Anda di halaman 1dari 36

ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM IMUNITAS PADA

INTEGUMEN AKIBAT REAKSI HIPERSENSITIVITAS DAN

PENYAKIT AUTO IMUNE

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah I

Disusun oleh :

1. Agus Mulyana
2. Anis Salamah Pertiwi
3. Dyah Sarah Puspita
4. Firman Pratama
5. Imas Nurhasanah
6. Immamatul Muslimat
7. Mitha Dwi Melyawati
8. Nindi Puspita Sari
9. Rina Irmawati
10. Sahsianne

Tingkat 2 C

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN BANDUNG

JURUSAN KEPERAWATAN BANDUNG

2014

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatnya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan Gangguan Sistem Imunitas Pada Integumen Akibat Reaksi Hipersensitivitas dan
Penyakit Autoimun”.

Dalam menyelesaikan makalah ini, kami telah banyak mendapat bantuan dan
masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami, tim penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ibu Lina Erlina., S.Kp., M.Kep., Sp.KMB dosen mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah yang telah memberikan tugas makalah ini dan membimbing kami sehingga
pengetahuan kami semakin bertambah.
2. Pihak-pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah turut membantu
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dalam waktu yang tepat. Kami
menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun
demikian telah memberikan manfaat bagi tim penulis.

Akhir kata kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan
saran yang bersifat membangun akan kami terima dengan senang hati.

Bandung, 1 April 2014

Tim penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................1
DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................3
A. Latar belakang.................................................................................................................3
B. Tujuan Penulisan.............................................................................................................4
1. Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah :......................................................4
2. Adapun tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah :........................................4
C. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
D. Metoda Penulisan............................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................5
LANDASAN TEORI.................................................................................................................5
A. Reaksi Hipersensitivitas..................................................................................................5
1. Pengertian Reaksi Hipersensitivitas............................................................................5
2. Factor – factor yang mempengaruhi Respon Hipersentivitas......................................5
3. Tipe Reaksi Hipersensitivitas......................................................................................5
4. Jenis – Jenis Penyakit Hipersensitivitas pada Integumen............................................7
B. Penyakit Autoimun........................................................................................................22
1. Pengertian..................................................................................................................22
2. Golongan Penyakit Autoimmun................................................................................22
3. Jenis – Jenis Penyakit Autoimun yang Menyerang Integumen.................................22
BAB III.....................................................................................................................................27
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN.................................................................................27
A. Pengkajian.....................................................................................................................27
B. Diagnosa Keperawatan..................................................................................................28
C. Rencana Keprawatan.....................................................................................................28
BAB III.....................................................................................................................................33
KESIMPULAN........................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................34

2
3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif
diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA,
IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang
bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat
limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon.
Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan,
sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan atau
sistem tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Berbagai sistem pada tubuh manusia dapat terjadi reaksi hipersensitivitas atau alergi
diantaranya sistem intergumen. Sistem integumen adalah sistem organ yang
membedakan, memisahkan, melindungi, dan menginformasikan terhadap lingkungan
sekitarnya. Sistem ini seringkali merupakan bagian sistem organ yang terbesar yang
mencakup kulit, rambut, bulu, sisik, kuku, kelenjar keringat dan produknya (keringat atau
lendir). Kata ini berasal dari bahasa Latin "integumentum", yang berarti "penutup".
Secara ilmiah kulit adalah lapisan terluar yang terdapat diluar jaringan yang terdapat
pada bagian luar yang menutupi dan melindungi permukaan tubuh, kulit merupakan organ
yang paling luas permukaan yang membungkus seluruh bagian luar tubuh sehingga kulit
sebagai pelindung tubuh terhadap bahaya bahan kimia.
Oleh karena kulit merupakan bagian terluar tubuh dan jika mengalami hypersitivitas
yang dapat merugikan tubuh manusia penulis tertarik untuk membahas macam-macan
penyakit hypersensitivitas pada sistem intergumen.
1.2 Tujuan Penulisan

4
1.2.1 Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah :
Agar mahasiswa mampu untuk memahami bagaimana konsep dasar teori
maupun asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem imunitas akibat
hypersensitivitas dan penyakit auto imun pada system integument.
1.2.2 Adapun tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah :
1. Menjelaskan konsep dasar dari berbagai pernyakit hypersensitivitas dan penyakit
autoimun pada sistem intergumen.
2. Menjelaskan konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
sistem integumen akibat reaksi hipersensitivitas (Sindrom Steven Jhonson).

1.3 Rumusan Masalah


1. Menjelaskan konsep dasar dari berbagai penyakit hypersensitivitas dan penyakit
autoimun pada sistem intergumen.
2. Menjelaskan konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
sistem integumen akibat reaksi hipersensitivitas (Sindrom Steven Jhonson)

1.4 Metoda Penulisan


Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah metode tinjauan
pustaka dan browsing. Penulis mencari informasi yang berkaitan dengan topik makalah
dengan menggunakan sumber buku. Penulis mencari informasi melalui media internet.

5
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Reaksi Hipersensitivitas


2.1.1. Pengertian Reaksi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas (alergi) merupakan keadaan dimana tubuh menghasilkan
respon yang tidak tepat atau yang berlebihan terhadap antigen yang spesifik.
(Brunner & Suddarth, 2001)
System respon imunitas yang telah disintesa sebelumnya telah dibuat untuk
mensajikan reaksi protektif yang segera dan efetif terhadap antigen yang suka
mensintesa antigen yang datang. Tentu saja ini merupakan factor positif sebagai
cadangan imunitas, namun dalam kondisi tertentu system respon imunitas dapat
mendatangkan efek yang merugikan. Respon yang tidak cocok ini merupakan
manifestasi dari reaksi yang berlebihan yang merusak jaringan terhadap antigen,
proses ini disebut dengan hipersensitivitas atau alergi. Stimulant antigen yang
memicu alergi disebut allergen. (Barbara C. Long. 1996)
2.1.2. Factor – factor yang mempengaruhi Respon Hipersentivitas
Factor-faktor yang mempengaruhi respon hipersensitivitas adalah :
1) Peningkatan daya responsive dari orang yang dihuni antigen
2) Sifat alergen
3) Cara masuk allergen melalui tempat yang cocok
4) Waktu yang sigkat antara periode kontak
2.1.3. Tipe Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas telah diklasifikasikan oleh Cell dan Coombs menjadi
empat tipe reaksi yang spesifik, yaitu :
1) Hipersensitivitas Anafilaktik (Tipe I)
Keadaan ini merupakan hipersensitivitas anafilaktik seketika dengan reaksi
yang dimulai dalam tempo beberapa menit sesudah terjadi kontak dengan anti
gen. kalau mediator kimia terus dilepaskan, reaksi lambat dapat berlanjut
selama 24 jam. Reaksi ini diperantarai oleh antibody IgE (regain).

6
Hipersensitivitas tipe 1 memerlukan kontak sebelumnya dengan antigen yang
spesifik sehingga terjadi produksi antibosi IgE oleh sel-sel plasma. Proses ini
berlangsung dalam kelenjar limfe tempat sel-sel T helper membantu
menggalakan reaksi ini. Mediator kimia primer (histamine, leukotriene dan
ECF-A {eosinophil cematokrit factor of anaphylaxis} bertanggung jawab atas
berbagai gejala pada hipersensitivitas tipe I karena efeknya pada kulit, paru-
paru dan traktus gastrointestinal. Reaksi hipersensitivitas tipe I dapat
mencangkup anafilaksis local dan sistemik.
Respon hipersensitivitas tipe I mengakibatkan penyakit atopic (alergi).
Gangguan yang ditandai oleh sifat atopic adalah anafilaksis, rinokonjungtivitis
alergik, dermatitis atopic, urtikaria, serta angioderma, alergi gastrointestinal
dan asma.
2) Hipersensitivitas Sitotoksik (tipe II)
Hipersensitivitas sitotoksik terjadi kalau system kekebalan secara keliru
mengenali konstituen tubuh yang normal sebagai benda asing. Reaksi ini
merupakan akibat dari antibody yang melakukan reaksi silang dan pada
akhirnya dapat menimbulkan kerusakan sel serta jaringan. Hipersensitivitas
tipe II meliputi pengikatan antibody IgG dan IgM dengan antigen yang terikat
sel.
Reaksi hipersensitivitas tipe II terlibat dalam penyakit miastemia gravis
dimana tubuh secara keliru menghasilkan antibody terhadap reseptor normal
terhadap ujung saraf. Contoh lainnya adalah syndrome Goodpasture yang pada
sindrom ini dihasilkan antibody terhadap jaringan paru dan ginjal sehingga
terjadi kerusakan paru dan gagal ginjal. Anemia hemolitik imun karena obat,
kelainan hemolitik Rh pada bayi baru lahir dan reaksi tranfusi darah yang
tidak kompatibel merupakan contoh hipersensitivitas tipe II yang
menimbulkan destruksi sel darah merah.
3) Hipersensitivitas Kompleks Imun (Tipe III)
Kompleks imun terbentuk ketika antigen terikat dengan antibody dan
dibersihkan dari dalam sirkulasi darah lewat kerja fagositik. Kalau kompleks
ini tertumpuk dalam jaringan aau endothelium vaskuler, terdapat dua factor
yang turut menimbulkan cedera, yaitu peningkatan jumlah kompleks imun
yang beredar dan adanya amina vasoaktiv. Sebagai akibatnya terjadi
peningkatan permeabilitas vaskuler dan cedera jaringan. Persendian dan ginjal

7
merupakan organ yang terutama rentan terhadap tipe cedera ini.
Hipersensitivitas tipe III berkaitan dengan sistemik lupus eritomatosus, artritis
rematoid, serum sicknes, tipe tertentu nefritis dan beberapa tipe endocarditis
bakterialis.
4) Hipersensitivitas Tipe Lambat (Tipe IV)
Reaksi ini yang juga disebut dengan hipersensitivitas seluler, terjadi 24 jam
sampai 72 jam sesudah kontak dengan allergen. Hipersensitivitas tipe IV
titandai oleh makrofag dan dan sel-sel T yang sudah tersensitisasi. Contoh
reaksi ini adalah penyuntikan intradermal antigen tuberculin atau PPD
(purified protein derivative). Sel – sel T yang tersensitisasi akan bereaksi
dengan antigen pada atau didekat tempat penyuntikan.
Dermatitis kontak merupakan hipersensitivitas tipe IV yang terjadi akibat
konta dengan allergen seperti kosmetika, plester, obat-obat topical, bahan
adiktif obat, dan racun tanaman. Kontak primer akan menimbulkan sensitisasi,
kontak ulang akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas yang tersusun dari
molekul dengan berat molekul rendah atau hapten yang terikat dengan protein
atau pembawa dan kemudian diproses oleh sel-sel Langerhans dalam kulit.
Gejala yang terjadi mencangkup gatal-gatal, eritema dan lesi yang menonjol.
2.1.4. Jenis – Jenis Penyakit Hipersensitivitas pada Integumen
1. Dermatitis
a) Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak (Dermatitis venenata) merupakan respon reaksi
hipersensitivitas lambat tipe IV. Penyakit ini adalah kelainan inflamasi yang
sering bersifat ekzematosa dan disebabkan oleh reaksi kulit terhadap sejumlah
bahan yang iritatif atau elergenik. Ada empat bentuk dasar : alergik, iritan,
fototoksik, dan fotoalergika. Hamper setiap zat dapat menimbulkan dermatitis
kontak. Penyebab dermatitis kontak adalah bahan kosmetik, sabun, deterjen,
dan bahan kimia industry. Kepekaan kulit dapat terbentuk sesudah mengalami
periode kontak yang singkat atau lama, dan gambaran klinisnya dapat timbul
beberapa jam atau minggu sesudah kulit itu terpajan.
Manifestasi klinis yaitu gatal-gatal, rasa terbakar, eritema, lesi kulit (vesikel)
dan edema yang diikuti oleh pengeluaran secret, pembentukan krusta serta
akhirnya pengeringan dan pengelupasan kulit. Pada respon yang berat dapat
terbentuk bullae hemoragi. Reaksi yang berulang-ulang dapat disertai

8
penebalan kulit dan perubahan pigmentasi. Invasi sekunder oleh bakteri dapat
terjadi pada kulit yang mengalami ekskoriasi karena digosok atau
digaruk.biasanya tidak terdapat gejala sistemik kecuali jia erupsinya tersebar
luas.
Bentuk dasar dermatitis kontak :

Tipe Etiologi Gambaran Pemeriksaan Terapi


klinis diagnostic
Alergik Reaksi Vasodilatasi Tes patch Hindari bahan
hipersensitivitas dan infiltrate (kontra penyebab
tipe IV yang perivaskuler indikasi larutan burroi
terjadi akibat dapa dermis untuk atau kompres
kontak kulit dermatitis air dingin
dengan bahan Edema intra yang akut kortikosteroid
elergenik. Tipe sel biasanya dan sistemik
ini memiliki terlihat pada menyebar (prednisone)
periode permukaan luas) selama 7-10
sensitisasi 10- dorsal hari
14 hari tangan Kortikosteroid
topical untuk
kasus – kasus
yang ringan
Antihistamin
oral untuk
mengurangi
pruritus
Iritan Terjadi akibat Kekeringan Gambaran Identifikasi
kontak dengan kulit yang klinis hasil dan
bahan yang berlangsung tes pacth penghilangan
secara kimiawi beberapa negative sumber iritasi
atau fisik hari hingga yang sesuai pemberian
merusak kulit bulan terapi keim
tanpa dasar vesikulasi, hidrovilik atau
imunologik. visura, dan vaselin untuk

9
Terjadi sesudah pecah-pecah mendinginkan
kontak pertama Tangan dan kulit dan
dengan iritan lengan mengurangi
atau kontak bawah iritasi
ulang dengan merupakan Kortikosteroid
iritan ringan bagian yang topical dan
selama waktu sering obat kompres
yang lama terkena untuk
mengatasi lesi
yang berair
Antibiotic
untuk infeksi
dan anti
histamine oral
untuk pruritus
Fototoksik Menyerupai Serupa Tes Sama seperti
tipe iritan tetapi dengan photopatch dermatitis
memerlukan dermatitis alergi dan
kombinasi sinar iritan iritan
matahari dan
bahan kimia
untuk merusak
epidermis
Fotoalergik Menyerupai Serupa Test Sama seperti
dermatitis alergi dngan photopatch dermatitis
tetapi dermatitis alergik dan
memerlukan iritan iritan
pajanan cahaya
disamping
kontak alergi
untuk
menimbulkan
reaktivitas

10
imunologik

b) Dermatitis Atopic
Dermatitis atopic merupakan kelainan hipersensitivitas segera (immediate
hypersensitivity) tipe I. riwayat dalam keluarga lazim dijumpai. Sebagian
besar pasien menunjukan kenaikkan jumlah eosinophil perifer dan kadar IgE
serum yang signifikan. Pruritus dan hiperiritabilitas kulit merupakan ciri khas
dermatitis atopic yang paling konsisten dan berkaitan dengan jumlah
histamine yang besar didalam kulit. Kekerigan kulit yang berlebihan dengan
keluhan gatal-gatal yang ditibulkannya berhubungan dengan perubahan pada
kandungan lemak. Aktivitas kelenjar sebasea serta pengeluaran keringat.
Sbagai reaksi terhadap garukan, gejala kemerahan segera tampak pada kulit
dan kemudian dalam waktu 15 hingga 30 detik akan diikuti oleh gambaran
pucat selama 3 menit. Lesi terjadi sekunder akibat truma garukan dan akan
tampak pada tempat-tempat dengan peningkatan pengeluaran keringat serta
hipervaskularitas. Dermatitis atopik merupakan kelainan kronik dengan remisi
dan eksasebarsi. Terapinya harus bersifat individual menurut kebutuhan
masing-masing pasien.
Pedoman terapi mencangkup pengurangan rasa gatal dan perbuatan
menggaruk dengan cara mengenakan bahan kain dari katun, mencuci tangan
dengan sabun deterjen yang lembut, melembabkan udara kering, hindari
binatang, debu, obat semprot serta parfume. Pasien didorong agar menjaga
kelembaban kulit. Kortikosteroid dapat dioleskan pada kulit untuk mencegah
inflamasi, dan setiap infeksi harus segera diobati.

c) Dermatitis Medikamentosa
Dermatitis medikamentosa merupakan kelainan hipersensitivitas tipe I,
merupakan istilah lain untuk ruam-ruam kulit karena pemakaian internal obat-
obat atau medikasi tertentu. Pada umumnya reaksi obat timbul mendadak,
memiliki warna yang cerah.

2. Psoriasis
1) Pengertian

11
Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik yang umum dijumpai,
bersifat rekuren dan melibatkan beberapa faktor misalnya; genetik, sistem
imunitas, lingkungan serta hormonal. Psoriasis ditandai dengan plak
eritematosa yang berbatas tegas dengan skuama berlapis berwarna
keputihan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor ekstremitas
terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia.
2) Etiologi
Penyebab terjadinya psoriasis adalah :
 Trauma fisik (Koebner Phenomenon), akibat gesekan atau garukan.
 Infeksi : infeksi streptokokus dapat menyebabkan psoriasis gutata
 Stress : faktor lain yang memicu timbulnya psoriasis yaitu stress,
insidensi nya sebanyak 40% dan lebih tinggi lagi pada anak-anak.
 Obat : obat-obatan yang dapat memicu timbulnya psoriasis yaitu
glukokortikoid, lithium, obat antimalaria, dan B blocker.
3) Patofisiologis
Sebelumnya psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit primer akibat
gangguan keratinosit, namun saat ini psoriasis dikenal sebagai suatu
penyakit yang diperantarai oleh sistem imun. Psoriasis melibatkan
interaksi kompleks diantara berbagai sel pada sistem imun dan kulit,
termasuk sel dendritik dermal, sel T, neutrofil dan keratinosit. Pada
psoriasis, sel T terdapat di epidermis sedangkan makrofag dan sel-sel
dendritik dermal dapat ditemukan di dermis superfisial. Sejumlah sitokin
dan reseptor permukaan sel terlibat dalam jalur molekuler yang
menyebabkan manifestasi klinis penyakit. Psoriasis dianggap sebagai suatu
penyakit yang diperantarai oleh sistem imun yang ditandai dengan adanya
sel T helper yang predominan pada lesi kulit dengan peningkatan kadar
IFN-γ, tumor necrosing factor-α(TNF-α), IL-2 dan IL-18. Sebagai pusat
jalur ini terdapat sel T CD4+, yang pengaturannya diaturoleh IL-23 yang
disekresikan oleh sel penyaji antigen (sel dendritik dermal). Sel Th17
CD4+ mensekresikan IL-17 dan IL-22 yang berperan pada peningkatan
dan pengaturan proses inflamasi dan proliferasi epidermal.
4) Manifestasi Klinis
 Psoriasis plak klasik

12
Ini merupakan manifestasi yang paling sering dijumpai. Bisa berupa
plak merah tunggal atau multiple, dengan diameter yang bervariasi
mulai dari beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter, dan
dengan permukaan yang berskuama. Dila dikerok dengan hati-hati,
maka skuama akan terlihat seperti memantulkan cahaya, memberikan
efek seperti perak (akibat terjadinya parakeratosis pada stratum
korneum). Plak-plak ini terjadi di bagia tubuh manapun, tetapi
psoriasis mempunyai tempat predileksi pada permukaan ekstensor:
lutut, siku, dan dasar tulang belakang.
 Psoriasis kulit kepala
Sulit untuk dapat membedakan psoriasis pada kulit kepala. Biasanya
psoriasis lebih tebal. Lesi-lesi bervariasi dari hanya satu atau dua plak
sampai berupa suatu lembaran skuama yang tebal yang menutupi
seluruh permukaan kulit kepala.
 Psoriasis kuku
Terdapat dua kelaina yang dapat terjadi bersama-sama maupun sendiri,
yaitu lekukan (pitting) dan onikolisis. Cekungan-cekungan pada kuku
psoriasis relative besar dan tidak teratur.
 Psoriasis gutata
Gutata dalam bahasa latin berarti “tetesan”. Kebanyakan lesi berukuran
sekitar satu sentimeter dan biasanya berwarna lebih pucat bila
dibandingkan dengan bercak psoriasis yang telah mantap.
 Psoriasis fleksural
Psoriasis fleksural dapat menyertai lesi plak yang khas namun juga
dapat terlihat tersensiri atau berkaitan dengan kelainan-kelainan pada
kulit kepala dan kuku, lesi dapat ditemukan pada daerah lipat paha,
celah pada bayi sumbing, aksila, umbilicus, dan lipatan dibawah
payudara.
 Psoriasis brittle
Psoriasis dimana tidak ditemukan adanya plak yang tebal dan stabil,
tetapi yang ada adalah daerah berskuama tipis yang tidak stabil.
 Psoriasis eritrodermik

13
Plak-plak psoriasis menyatu dan mengenai sebagian besar atau seluruh
kulit.
 Ada 2 tipe utama lesi dari psoriasis yaitu :
 Tipe inflamatori : manifestasi yang timbul yaitu adanya inflamasi,
eruptif, yang kecil. Lesi bisa berbentuk gutata (seperti tetesan air)
atau nummular (seperti koin).
 Tipe plak yang stabil.
Gejala lain yang timbul pada kulit diantaranya gatal (pruritus)
terutama di daerah kepala dan anogenital, akantosis, parakeratosis,
dan lesi biasanya ditutupi oleh plak berwarna keperakan.
5) Penatalaksanaan medis
Pada dasarnya, mayoritas kasus psoriasis terbagi menjadi tiga bagian besar
yaitu gutata, eritrodermik/pustular, dan plak kronis yang merupakan
bentuk yang paling sering ditemukan. Psoriasis gutata biasanya mengalami
resolusi spontan dalam waktu 6 sampai 12 minggu. Kasus psoriasis gutata
ringan seringkali tidak membutuhkan pengobatan, tetapi pada lesi yang
meluas fototerapi dengan menggunakan sinar ultraviolet (UV) B serta
terapi topikal dikatakan memberikan manfaat.
Psoriasis eritrodermik/pustular biasanya disertai dengan gejala sistemik,
oleh karena itu diperlukan obat-obatan sistemik yang bekerja cepat. Obat
yang paling sering digunakan pada psoriasis eritrodermik/pustular adalah
asitretin.
Pada beberapa kasus psoriasis pustular tertentu, penggunaan kortikosteroid
sistemik mungkin diperlukan. Pada psoriasis plak yang kronis, pemberian
terapi dilakukan berdasarkan perluasan penyakit. Untuk psoriasisplak yang
ringan (<10% luas permukaan tubuh), terapi topikal lini pertama dapat
digunakan emolien, glukokortikoid atau analog vitamin D3 sedangkan lini
kedua dapat dilakukan fototerapi dengan menggunakan sinar UVB. Pada
psoriasis plak yang sedang (>10% luas permukaan tubuh) dapat diberikan
terapi lini pertama seperti pada psoriasis ringan sedangkan lini keduanya
dapat berupa pengobatan sistemik misalnya metotreksat, asitretin, serta
agen-agen biologi seperti alefacept dan adalimumab. Untuk plak psoriasis

14
berat (>30% luas permukaan tubuh), terapi terutama menggunakan obat-
obat sistemik.
Pengobatan untuk pasien psoriasis bergantung pada lokasi, tipe, dan
keparahan dari penyakit. Beberapa agen yang sering digunakan yaitu :
 Agen sistemik : Methotrexate, golongan antimetabolite, Sintesis
retinoi, Siklosporin
 Analog vitamin D
 Sinar UV-B
 Psoralen PUVA (UV-A
6) Klasifikasi
Psoriasis dibagi kedalam beberapa bagian, yaitu :
 Psoriasis Vulgaris
 Psoriatik Eritroderma
 Psoriasis Pustular
 Psoriasis gutata
 Fleksural psoriasis

3. Sindrom Steven Jhonson (SSJ)


1) Pengertian
Stevens Johnson syndrome (SJS) adalah penyakit kulit yang disebabkan
oleh alergi atau infeksi. Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang
mengakibatkan kematian sel-sel kulit sehingga epidermis
mengelupas/memisahkan diri dari dermis. Sindrom ini dianggap sebagai
hipersensitivitas kompleks yang memengaruhi kulit dan selaput lendir.
2) Etiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons
imun terhadap obat.
Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya :
 Infeksi
Virus, jamur, bakteri, parasite, Herpes simpleks, Mycoplasma
pneumoniae, vaksiniakoksidioidomikosis, histoplasmastreptokokus,
Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis,
salmonelamalaria
15
 Obat
Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang
diberikan sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai
(dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat diteruskan dan gejala
klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat
yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus
dicurigai mempunyai hubungan kausal. Obat tersering yang dilaporkan
sebagai penyebab adalah golongan salisilat, sulfa, penisilin,
antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.
 Fisik
Udara dingin, sinar matahari, sinar X
3) Tanda dan Gejala
Sindrom Stevens-Johnson biasanya dimulai dengan demam, sakit
tenggorokan, kelelahan, dan nyeri pada persendian. Kebanyakan penderita
salah didiagnosa dan diobati dengan antobiotik. Ulkus dan lesi
(melepuhnya kulit) mulai muncul pada selaput lendir, hampir selalu di
daerah oral/mulut dan juga di daerah genital dan anal. Gejala ini sangat
menyakitkan dan bisa mengakibatkan menurunnya nafsu makan dan
minum bagi yang mengalami gejala di daerah mulut. Konjungtivitis mata
terjadi sekitar 30% pada anak-anak penderita sindrom ini. Ruam
lesi/melepuhnya kulit muncul sekitar satu inci pada wajah, lengan dan kaki
dan juga telapak tangan, namun biasanya tidak muncul di bagian kulit
kepala.
 Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise,
batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan
atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi
gejala tersebut.
 Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada
hampir seluruh tubuh.
 Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta
berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala
prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut,

16
anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif
dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
 Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat
terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.
Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik
dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang
diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid
bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
4) Patofisiologi
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun
beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab
(misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul
akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel
yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa,
serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan
reaksi inflamasi yang terjadi.
Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator
yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan
klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat
aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.
Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit
yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.
5) Penatalaksanaan Medis
Terapi suportif merupakan tata laksana standar pada pasien SSJ. Pasien
yang umumnya datang dengan keadaan umum berat membutuhkan cairan
dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai secara
parenteral. Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit dan
mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik
dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut
diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin.
17
 Untuk infeksi, diberikan antibiotika spektrum luas, biasanya
dipergunakan gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuskular dalam dua
dosis. Pemberian antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan
uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
 Kortikosteroid diberikan parenteral, biasanya deksametason dengan
dosis awal 1 mg/kgBB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5
mg/kgBB tiap 6 jam, setelah itu diturunkan berangsur-angsur dan bila
mungkin diganti dengan prednison per oral. Pemberian kortikosteroid
sistemik sebagai terapi SSJ masih kontroversial. Beberapa
mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa
menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang
signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan
dan menyelamatkan nyawa.
 Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat
menghentikan progresivitas penyakit SSJ dengan dosis total 3 gr/kgBB
selama 3 hari berturut-turut (1 gr/kgBB/hari selama 3 hari).
 Dilakukan perawatan kulit dan mata serta pemberian antibitik topikal.
Kulit dapat dibersihkan dengan larutan salin fisiologis atau dikompres
dengan larutan Burrow. Pada kulit atau epidermis yang mengalami
nekrosis dapat dilakukan debridement. Untuk mencegah sekuele okular
dapat diberikan tetes mata dengan antiseptik.
 Faktor penyebab (obat atau faktor lain yang diduga sebagai penyebab)
harus segera dihentikan atau diatasi. Deteksi dari penyebab yang paling
umum seperti riwayat penggunaan obat-obatan terakhir, serta
hubungannya dengan perkembangan penyakit terutama terhadap
episode SSJ, terbukti bermanfaat dalam manajemen SSJ.
 Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
 Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin
hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3
tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3
kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia

18
anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1
kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
 Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
 Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
 Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
 Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan
alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat
nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena,
diberikan 2 kali/hari

4. Eritoderma
1) Pengertian
Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai
dengan adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai
skuam ( Arief Mansjoer , 2000 )
Dermatitis eksfoliata merupakan keadaan serius yang ditandai oleh
inflamasi yang progesif dimana eritema dan pembentukan skuam terjadi
dengan distribusi yang kurang lebih menyeluruh ( Brunner & Suddarth vol
3 , 2002).
Dermatitis eksfoliata generalisata adalah suatu kelainan peradangan yang
ditandai dengan eritema dan skuam yang hampir mengenai seluruh tubuh
( Marwali Harahap , 2000 : 28 )
Eritroderma adalah kemerahan yang abnormal pada kulit yang menyebar
luas ke daerah-daerah tubuh (kamus saku kedokteran, Dorland).
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema di
seluruh tubuh atau hamper seluruh tubuh, biasanya disertai skuama.
Eritroderma, dimana seluruh badan kalihatan kemerahan (eritema), berasa
kasekitan, kegatalan dan bersisik halus
Eritroderma ditandai dengan warna kulit yang kemerahan dan bias
mengakibatkan pasien menggigil kedinginan karena banyak kehilangan
kalori yang dilepaskan lewat lesi. Eritroderma dan dermatitis exfoliative
biasanya dipakai untuk menjelaskan penyakityang sama dalam literature.
Eritroderma dijelaskan sebagai dilatasi yang menyebar dari pembuluh

19
darah kutaneus. Apabila proses inflamasi disertai dengan eritroderma
secara subtansial akan meningkatkan proliferasi sel epidermal dan
mengurangi waktu transit sel melalui epidermis yang bisa menimbulkan
sisik bertanda
2) Etiologi
Penyebab yang umum adalah faktor-faktor genetik, akibat pengobatan
dengan medikamentosa tertentu dan infeksi. Penyakit ini bisa juga
merupakan akibat lanjut (sekunder) dari psoriasis, eksema, dermatitis
seboroik, dermatitis kontak, dermatitis atopik, pitiriasis rubra pilaris, dan
limfoma maligna.
Eritroderma bisa muncul akibat berbagai penyebab, yang paling sering
lanjutan dari tahap dini suatu gangguan kulit. Eritroderma juga bisa
disebabkan oleh suatu efek samping dari reaksi obat-obatan. Walau
bagaimanapun, sebanyak 30% dari semua kasus eritroderma yang
dilaporkan, tidak ada penyebab yang jelas ditemukan. Ini yang dinamakan
eritroderma idiopatik.
3) Manifestasi klinis
Keadaan ini mulai terjadi secara akut sebagai erupsi terjadi bercak-bercak
atau eritematous yang menyeluruh disertai gejala panas, rasa tidak enak
badan dan kadang-kadang gejala gastrointestinal. Warna kulit berubah dari
merah muda menjadi merah gelap. Sesudah satu minggu dimulai gejala
eksfoliasi (pembentukan skuama) yang khas dan biasanya dalam bentuk
serpihan kulit yang halus yang meninggalkan kulit yang licin serta
berwarna merah dibawahnya : gejala ini disertai dengan pembentukan sisik
yang baru ketika sisik yang lama terlepas. Kerontokan rambut dapat
menyertai kelainan ini eksaserbasi sering terjadi. Efek sistemiknya
mencakup gagal jantung kongestif high-output, gangguan intestinal,
pembesaran payudara, kenaikan kadar asam urat dalam darah
(hiperurisemia) dan gangguan temperature.Peningkatan perfusi darah kulit
muncul pada eritroderma yang menyebabkan disregulasi temperature
(menyebabkan kehilangan panas dan hipotermia) dan kegagalan output
jantung. Kadar metabolic basal meningkat sebagai kompensasi dari
kehilangan suhu tubuh. Epidermis yang matur secara cepat kegagalan kulit
untuk menghasilkan barier permeabilitas efektif di stratum korneum. Ini

20
akan menyebabkan kehilangan cairan transepidermal yang berlebihan.
Normalnya kehilangan cairan dari kulit diperkirakan 400 ml setiap hari
dengan dua pertiga dari hilangnya cairan ini dari proses transpirasi
epidermis manakala sepertiga lagi dari perspirasi basal. Kekurangan barier
pada eritroderma ini menyebabkan peningkatan kehilangan cairan
ekstrarenal. Kehilangan cairan transepidermal sangat tinggi ketika proses
pembentukan sisik (scaling) memuncak dan menurun 5-6 hari sebelum
sisik menghancur.Hilangnya sisik eksfoliatif yang bias mencapai 20-30
gr/hari memicu kapada timbul kaedaan hipoalbuminemia yang biasa
dijumpai pada dermatitis exfoliatifa. Hipoalbiminemia muncul akibat
menurunnya sintesis atau meningkatnya metabolisme albumin. Edema
biasanya paling sering ditemukan, biasanya akibat peralihan cairan ke
ekstrasel. Respon imun mungkin bias berubah, sering adanya peningkatan
gammaglobulin, peningkatan serum IgE pada beberapa kasus. Penyakit
eritroderma dapat disertai dengan / tanpa rasa gatal. Kulit dapat membaik
seperti kuli normal lainnya setelah warna kemerahan, putih atau kehitaman
bekas psoriasis bernanah (psoriasis postulosa) dan seluruh kulit akan
menjadi merah disertai badan menggigil. Penyakit-penyakit yang diduga
menyebabkan timbulnya eritroderma yaitu : Psoriasis. Merupakan penyakit
kronik, residif yang ditandai dengan adanya plak eritematous, berbatas
tegas dengan skuama berlapis-lapis berwarna putih keperakan dan
biasanya idiopatik. Penyakit ini bias mengenai siku, lutut, kulit kepala, dan
region lumbosakral. Fenomena Koebner (yakni munculnya lesi-lesi baru
akibat trauma fisis disekitar lesi lama) biasanya positif, tanda Auspitz
(adanya bercak kemerahan akibat terkelupasnya skuama yang ada) juga
positif, fenomena tetesan lilin (bila ada skuama digaruk, maka timbul
warna putih keruh seperti tetesan lilin) positif. Bila tidak ada tanda-tanda
tersebut, kausa psoriasis bias disingkirkan.
4) Patofisiologi
???????
5) Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi, yaitu : Infeksi sekunder oleh bakteri
Septikemia Diare Pneumoni Gangguan metabolic melibatkan suatu resiko
hipotemia, dekompensasi kordis, kegagalan sirkulasi perifer, dan

21
tromboplebitis. Bila pengobatan kurang baik akan terjadi degenerasi
visceral yang menyebabkan kematian.
Komplikasi eritroderma eksfoliativa sekunder :
a. Abses
b. Limfadenopati
c. Furunkulosis
d. Hepatomegali
e. Konjungtivitis
f. Rinitis
g. Stomatitis
h. Kolitis
i. Bronkitis
6) Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan keseimbangan
cairan serta elektrolit dan mencegah infeksi tetapi bersifat individual serta
suportif dan harus segera dimulai begitu diagnosisnya ditegakan.Pasien
harus dirawat di rumah sakit dan harus tirah baring. Semua obat yang
terlibat harus dihantikan pemakaiannya, suhu kamar yang nyaman harus
dipertahankan karena pasien tidak memiliki kontrol termolegulasi yang
normal sebagai akibat dari fluktuasi suhu karena vasodilatasi dan
kehilangan cairan lewat evaporasi. Keseimbangan cairan dan elektrolit
harus dipertahankan karena terjadinya kehilangan air dan protein yang
cukup besar dari permukaan kulit. Preparat expander mungkin diperlukan.
7) Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan eusinofilia pada dermatitis
exfoliativa oleh karena dermatitis atopik. Gambaran lainnya adalah
sedimen yang meningkat, turunnya albumin serum dan globulin serum
yang relatif meningkat, serta tanda disfungsi kegagalan jantung dan
intestinal (tidak spesifik). Terapi Perawatan di rumah sakit sangat
dianjurkan untuk memperoleh perawatan medis dan pemeriksaan
laboratorium yang baik. Pengobatan topikal pelembut (untuk mandi berupa
emulsi dan mungkin juga bentuk-bentuk lain) sangat membentuk
Kortikosteroid (prednisone 40 mg setiap hari dalam dosis pemeliharaan)
juga diberikan. Obat-obat tersebut mengurangi kekakuan dari gejala yang

22
ada. Antibiotik diperlukan juga bila diduga ada infeksi sekunder.Perawatan
di rumah sakit tidak diperlukan bila pasien dianggap kooperatif dengan
dokter yang merawat, para pasien/penderita dermatitis exfoliativa
menunjukan adanya perbaikan , hanya dengan sistem rawat jalan saja.

2.2. Penyakit Autoimun


2.2.1. Pengertian
Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang
membuat badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh
melawan pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya.
Bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen. Antigen adalah
molekul yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel (seperti
bakteri, virus, atau sel kanker). Beberapa antigen ada pada jaringan sendiri tetapi
biasanya, sistem imunitas bereaksi hanya terhadap antigen dari bahan asing atau
berbahaya, tidak terhadap antigen sendiri. Sistem  munitas kadang-kadang rusak,
menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antigen asing dan menghasilkan
antibodi (disebut autoantibodi) atau sel imunitas menargetkan dan menyerang
jaringan tubuh sendiri. Respon ini disebut reaksi autoimun. Hal tersebut
menghasilkan radang dan kerusakan jaringan. Efek seperti itu mungkin
merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang menghasilkan jumlah yang
begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan autoimun tidak terjadi.

2.2.2. Golongan Penyakit Autoimmun


Penyakit autoimmune dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
 Khas organ (organ specific) dengan pembentukan antibodi yang khas organ,
contoh : Thiroiditis, dengan auto-antibodi terhadap tiroid; Diabetes Mellitus,
dengan auto-antibodi terhadap pankreas; sclerosis multiple, dengan auto-
antibodi terhadap susunan saraf; penyakit radang usus, dengan auto-antibodi
terhadap usus.
 Bukan khas organ (non-organ specific), dengan pembentukan auto antibodi
yang tidak terbatas pada satu organ. Contoh : Systemic lupus erythemathosus
(SLE), arthritis rheumatika, vaskulitis sistemik dan scleroderma, dengan auto-
antibodi terhadap berbagai organ

23
2.2.3. Jenis – Jenis Penyakit Autoimun yang Menyerang Integumen
1) Pemphigus Fulgaris
a. Pengertian
Pemfigus adalah penyakit autoimun berupa bula (vesikel besar yang
mengandung serum, pus, atau darah) kronik pada membran mukosa maupun
kulit. Pada penderita pemfigus, ditemukan adanya antibodi IgG yang
bersirkulasi dan terikat pada sel keratinosit sehingga menyebabkan timbulnya
reaksi pemisahan sel-sel epidermidis (disebut akantolosis) hingga terbentuk
bula. Pemisahan sel epidermidis tersebut terjadi karena tidak adanya kohesi
antara sel-sel epidermidis.
b. Etiologi
Penyebab pasti pemphigus vulgaris tidak diketahui,dimana terjadinya
pembentukan antibodi IgG , beberapa faktor potensial yang relevan yaitu :
 Faktor genetik : molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas II
berhubungan dengan human leukocyte antigen DR4 dan human leukocyte
antigen DRw6 .
 Pemphigus sering terdapat pada pasien dengan penyakit autoimun yang
lain, terutama pada myasthenia gravis dan thymoma. D-Penicillamine dan
captopril dilaporkan dapat menginduksi terjadinya pemphigus (jarang).
c. Manifestasi Klinis
 Membran mukosa Lesi pada pemphigus vulgaris pertamakali berkembang
pada membran mukosa terutama pada mulut,yang terdapat pada 50 – 70 %
pasien. Bula yang utuh jarang ditemukan pada mulut disebabkan bula
mudah pecah dan dapat timbul erosi. Pada umumnya erosi terdapat pada
buccal, ginggiva, palatum, dengan bentuk yang tidak teratur, sakit dan
lambat untuk menyembuh. Erosi dapat meluas ke larynx yang
menyebabkan sakit tenggorokan dan pasien kesulitan untuk makan
ataupun minum.
 Permukaan mukosa lain yang dapat terlibat yaitu konjungtiva, esophagus,
labia, vagina, cervix, penis, urethra, dan anus.
 Kelainan kulit dapat bersifatlokal ataupun generalisata, terasa panas, sakit
tanpa disertai pruritus dan tempat predileksinya adalah badan, umbilicus,

24
kulit kepala, wajah, ketiak, daerah yang terkena tekanan dan lipat paha.
Timbul pertama kali berupa bula yang lembek (berdinding kendur) berisi
cairan jernih pada kulit normal atau dengan dasar erithematous. Bula
mudah pecah dan yang utuh jarang di jumpaidisebabkan atap bula terdiri
dari sebagian kecil bagian atas epidermis. Kemudian timbul erosi yang
sakit, mudah berdarah dan cenderung meluas, kemudian erosi ditutupi
krusta yang menyebabkan lambat untuk menyembuh. Lesi yang
menyembuh meninggalkan daerah hiperpigmentasi tanpa terjadi parut.
Pada bula yang aktif dapat di temukan Nikolsky sign yang
menggambarkan tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis yaitu dengan
cara :
 Menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dengan ujung jari,
mengakibatkan kulit yang terlihat normal akan terkelupas.
 Menekan diatas bula dengan ujung jari, akibatnya cairan bula akan
melebar dari tempat penekanan disebut bulla spread phenomenon.
d. Patofisiologis
Antibodi IgG mengikat pemphigus vulgaris antigen yaitu desmoglein 3 pada
permukaan sel keratinosit, mengakibatkan terbentuk dan dilepaskannya
plasminogen activator sehingga merubah plasminogen menjadi plasmin.
Plasmin yang terbentuk menyebabkan kerusakan desmosom sehingga terjadi
penarikan tonofilamen dari sitoplasma keratinosit, akibatnya terjadi pemisahan
sel–sel keratinosit (tidak adanya kohesi antara sel-sel) proses ini disebut
akantolisis. Kemudian terbentuk celah di suprabasal dan akhirnya terbentuk
bula yang sebenarnya.

2) Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE)


a. Pengertian
Systemic Lupus Eritomatosus atau yang sering disebut lupus adalah
penyakit sistem imunitas di mana jaringan dalam tubuh dianggap benda asing.
Reaksi sistem imunitas bisa mengenai berbagai sistem organ tubuh seperti
jaringan kulit, otot, tulang, ginjal, sistem saraf, sistem kardiovaskuler, paru-
paru, lapisan pada paru-paru, hati, sistem pencernaan, mata, otak, maupun
pembuluh darah dan sel-sel darah.

25
Lupus adalah penyakit radang yang menyerang banyak sistem dalam
tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan disertai adanya
antibodi yang menyerang tubuh manusia.
Lupus adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan
peradangan akut dan kronis bermacam-macam jaringan tubuh.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyakit
lupus adalah penyakit autoimun atau penyakit yang disebabkan sistem imun
dalam tubuh seseorang menyerang tubuhnya sendiri yang dianggap benda
asing olehnya, perjalanan penyakit dapat kronis atau akut yang dapat
mengenai berbagai sistem organ tubuh, seperti kulit, otot, tulang, ginjal, sistem
syaraf, kardiovaskuler, paru-paru, hati, sistem pencernaan, mata, otak, maupun
pembuluh darah dan sel-sel darah.
b. Penyebab Lupus
Penyebab pasti abnormalitas autoimun yang mendasari Lupus tidak
diketahui. Gen yang diturunkan, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan
tertentu yang berjenis kortikosteroid di duga ikut berperan pada penyebab
Lupus.
Faktor-faktor genetik meningkatkan kecenderungan terjadinya
penyakit autoimun, dan penyakit-penyakit autoimun seperti lupus, rheumatoid
arthtitis dan penyakit thyroid autoimun lebih sering di antara famili dari pasien
dengan Lupus dibandingkan dengan populasi pada umumnya. Beberapa
ilmuwan meyakini bahwa sistem imun pada Lupus lebih mudah distimulasi
oleh faktor-faktor eksternal seperti virus atau sinar ultraviolet. Kadang-
kadang, gejala lupus dapat ditimbulkan atau diperburuk hanya oleh terkena
cahaya matahari sebentar saja.
Telah diketahui juga bahwa beberapa wanita dengan SLE dapat
mengalami pemburukan gejala sebelum periode menstruasinya. Fenomena ini,
bersama dengan wanita dengan SLE predominan, menunjukkan bahwa
hormon-hormon wanita mempunyai peran penting dalam ekspresi SLE.
Hubungan dengan hormonal ini merupakan area aktif penelitian-penelitian
yang sedang dilakukan oleh para ilmuwan.
c. Tanda dan Gejala Penyakit Lupus
Diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun
penjelasan singkat dari 11 gejala tersebut, adalah sebagai berikut:

26
1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada
bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya
jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya.
3. Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar
matahari
4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala
ini dijumpai pada 90 % Odapus.
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi
cairan.
7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
8. Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan
lain-lain.
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang, dan biasanya terjadi juga anemia.
10. Tes ANA (Antinuclear Antibody) positif.
11. Gangguan sistem kekebalan tubuh.
d. Penatalaksanaan Medis Penyakit Lupus
Tidak ada penyembuhan permanen untuk SLE. Tujuan pengobatan
hanyalah menghilangkan gejala dan melindungi organ tubuh dengan
menurunkan peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun tubuh. Banyak
pasien dengan gejala ringan dapat memerlukan pengobatan atau hanya diberi
obat-obat anti peradangan rutin terus-menerus. Mereka yang mengalami gejala
yang lebih berat dengan melibatkan kerusakan organ-organ dalam
memerlukan dosis yang lebih tinggi kortikosteroid dengan dikombinasi obat-
obat lain yang menekan sistem imun tubuh.
Pasien dengan SLE memerlukan lebih banyak istirahat selama periode
aktif penyakitnya. Para peneliti telah melaporkan bahwa jeleknya kualitas
tidur merupakan faktor yang signifikan dalam munculnya keletihan (fatigue)
pada pasien dengan SLE.
Laporan ini menekankan pentingnya bagi pasien dan dokter untuk
memperhatikan kualitas tidur dan pengaruh yang dilatarbelakangi depresi,
kurangnya olahraga, dan  strategi mengatasi perawatan diri pada kesehatan

27
secara keseluruhan. Selama periode ini, penentuan latihan secara hati-hati
masih tetap penting untuk memelihara kekuatan otot dan rentang gerakan
sendi.

BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM


IMUNITAS : SINDROM STEVEN JHONSON

3.1. Pengkajian

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada kondisi yang berat, kesadarannya menurun,
pendrita dapat soporus sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala
prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorokan. Dalam keadaan ini sering penderita mendapatkan pengobatan antibiotic
dan anti inflamasi sehingga menyebabkan kerusakan dalam mengidentifikasi obat
penyebab sindrom steven jhonson.

Trias kelainan yang terjadi pada kulit, mukosa , dan mata. Kelainan kulit terdiri atas
eritema, vesike, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi
yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Jika disertai purpura,
prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
Kelainan selaput lender yang tersering adalah pada mukosa mulut, kemudian disusul
oleh kelainan di lubang alat genital, sedangkan di lubang hidung dan anus jarang
terjadi. Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi
erosi, ekskoriasi, dan kerusta kehitaman. Selain itu juga dapat terbentuk
pseudomembran. Pada bibir, kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam
yang tebal. Kelainan di mukosa juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian
atas, dan esophagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar atau tidak

28
dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar
bernafas. Sementara itu pada mata keluhan yang timbul ialah konjungtivitis kataralis.
Selain itu juga dapat terjadi konjungtivitis purulent, perdarahan, simblefaron, ulkus
kornea, iritis, dan iridoksilitis.

3.2. Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi local
2. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake tidak
adekuat respon sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas
4. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak

3.3. Rencana Keprawatan


1. Diagnosa : Gangguan intergritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi
inflamasi
Tujuan : Dalam 5 x 24 jam integritas kulit membaik secara optimal
Kriteria evaluasi : pertumbuhan jaringan dengan optimal dan lesi berkurang

29
Intervensi Rasional
Kaji kerusakan jaringan kulit yang Menjadi data dasar untuk memberikan
terjadi pada klien informasi intervensi perawatan yang
akan digunakan
Lakukan oral hyigiene Tindakan oral hyigiene perlu
dilakukan untuk menjaga agar mulut
selalu bersih. Obat kumur larutan
anestesi atau agen gentilan violen
dapat digunakan dengan sering untuk
membersihkan mulut dari debris,
mengurangi rasa nyeri pada daerah
ulserasi dan mengendalikan bau mulu
yang amis.
Oleskan obat topical sesuai indikasi Vaselin dapat dioleskan pada bibir
dokter sesuai indikasi, untuk mengurangi
terjadinya lesi pada mulut
Kolaborasi untuk pemberian Pemberian antibiotic untuk infeksi
antibiotic dengan catatan menghindari
pemberian sulfonamide dan antibiotic
yang sering juga sebagai penyebab
SJS seperti penisilin, cepalosphorin.
Lakukan teknik aseptic saat Untuk menghindari terjadinya infeksi
melakukan perawatan luka yang meluas

2. Diagnosa : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan intake tidak adekuat efek sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam asupan nutrisi klien terpenuhi
Kriteria evaluasi :
 Pasien dapat mempertahankan status nutrisi yang adekuat
 Penurunan berat badan selama 7 hari tidak melebihi 0,5 kg

Intervensi Rasional
Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, Memvalidasi dan menetapkan derajat
berat badan dan derajat penurunan masalah untuk menetapkan pilihan

30
berat badan integritas mukosa oral, intervensi yang tepat.
kemampuan menelan, serta riwayat
mual dan muntah
Timbang berat badan pasien setiap Untuk mengetahui seberapa besar
hari peningkatan atau penurunan berat
badan yang terjadi
Fasilitasi pasien untuk memperoleh Memperhitungkan keiginan individu
diet biasa yang disukai pasien (sesuai dapat memperbaiki asupan nutrisi
indikasi)
Lakukan dan ajarkan perawatan Menurunkan rasa tidak enak karena
mulut sebelum dan sesudah makan sisa makanan atau bau obat yang dapat
merangsang pusat muntah
Berikan makanan secara perlahan Untuk menghindari terjadinya lesi
yang lebih parah pada mukosa mulut
Berikan lingkungan yang nyaman, Pasien dapat berkonsentrasi saat
dan tenang makan tanpa adanya ditraksi atau
gangguan dari luar
Anjurkan pasien dan keluarga untu Meningkatkan kemandirian dalam
berpartisipasi dalam pemenuhan pemenuhan nutrisi sesuai dengan
nutrisi tingkat toleransi individu
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk Merencanakan diet dengan kandungan
menetapkan komposisi dan jenis diet nutrisi yang adekuat untuk memenuhi
yang tepat peningkatan kebutuhan energy dan
kalori sehubungan dengan status
hipermetabolik pasien

3. Diagnose : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas


Tujuan : Dalam 2x24 jam infeksi tidak terjadi
Kriteria evaluasi :
 Tidak terdapat tanda – tanda inveksi dan peradangan pad area lesi
 Leukosit dalam batas normal
 TTV dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, N: 60-100 x/menit, R: 16-24
x/menit, S: 36,50C)

31
Intervensi Rasional
Kaji kondisi lesi, banyak dan Mengidentifikasi kemajuan atau
besarnya bula, serta apakah adanya penyimpangan dari tujuan yang
order khusus dari tim doter dalam diharapkan
melakukan perawatan luka
Buat kondisi balutan dalam keadaan Kondisi bersih dan kering akan
bersih dan kering menghindari kontaminasi konsensal,
serta akan menyebabkan respon
inflamasi local dan akan
memperlambat penyembuhan luka
Lakukan perawatan luka steril setiap Perawatan luka sebaiknya dilakukan
hari setiap hari untuk membersihkan debris
dan menurunkan kontak kuman masuk
ke Dalam lesi.
Kolaborasi penggunaan antibiotic Antibiotic injeksi diberikan untuk
mencegah aktivitas kuman yang bisa
masuk.

4. Diagnosa : Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak


Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam nyeri berkurang atau hilang
Kriteria evaluasi :
 Secara subjektif klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat diatasi
 Skala nyeri berkurang
 Dapat mengidentifikasi aktivitas yang menurunkan nyeri
 Pasien tidak tampak gelisah

Intervensi Rasional
Kaji nyeri dengan pendekatan Menjadi parameter dasar untuk
PQRST mengetahui sejauh mana intervensi
yang diperlukan dan sebagai evaluasi
keberhasilan dari intervensi
manajemen nyeri keperawatan
Atur posisi pasien nyaman Posisi yang nyaman dapat
meningkatkan asupan oksigen ke

32
jaringan yang mengalami peradangan.
Pengaturan posisi idealnya adalah
pada arah yang berlawanan dengan
letak lesi.
Istirahatkan klien istirahat diperlukan selama fase akut.
Kondisi ini akan meningkatkan suplai
darah pada jaringan yang mengalami
peradangan
Berikan kompres basah dan sejuk Merupakan tindakan protektif yang
mengurangi nyeri
Berikan lingkungan tenang dan batasi Lingkungan tenang akan mengurangi
pengunjung stimulus nyeri eksternal dan
pembatasan pengunjung akan
membantu meingkakan kondisi
oksigen ruangan
Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam Teknik relaksasi nafas dalam dapat
meningkatkan asupan oksigen
sehingga akan menurunkan nyeri
sekunder dari peradangan
Ajarkan teknik distraksi saat nyeri Distraksi (pengalihan perhatian) dapat
dirasakan menurunkan stimulus internal dengan
mekanisme peningkatan produksi
endorphin dan enkefalin yang dapat
memblok reseptor nyeri untuk tidak
dikirimkan ke korteks serebri sehingga
menurunkan persepsi nyeri
Kolaborasi dengan dokter pemberian Analgetik dapat memblok lintasan
analgetik nyeri sehingga nyeri akan berkurang

33
BAB III

KESIMPULAN

Hipersensitivitas adalah suatu keadaan dimana keadaan dimana tubuh menghasilkan


respon yang tidak tepat atau yang berlebihan terhadap antigen yang spesifik. Factor-faktor
yang mempengaruhi respon hipersensitivitas adalah peningkatan daya responsive dari
orang yang dihuni antigen, sifat allergen, cara masuk allergen melalui tempat yang cocok,
waktu yang sigkat antara periode kontak. Reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi 4 tipe
reaksi yaitu reaksi tipe I (hipersensitivitas anafilaktik), reaksi tipe II (hipersensitivitas
sitotoksik), reaksi tipe III (hipersensitivitas kompleks imun), reaksi tipe IV
(hipersensitivitas tipe lambat). Beberapa contoh penyakit hipersensitivitas yang terjadi
pada integument yaitu dermatitis (dermatitis atopic, dermatitis kontak, dermatitis
medicamentosa), psoriasis, Sindrom Steven Jhonson (SSJ), eritoderma.
Selain itu di dalam tubuh juga bisa terjadi reaksi autoimun dimana reaksi autoimun
adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat badan menyerang
jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang terlihatnya
sebagai bahan asing atau berbahaya. Beberapa contoh penyakit autoimun pada
integument adalah penyakit Sistemic Lupus Eritomatosus (SLE), Pemphigus vulgaris.
Dari semua contoh penyakit integument akibat reaksi hipersensitivitas dan reaksi
autoimun, yang dijadikan salah satu contoh konsep asuhan keperawatan adalah pada
Sindrom Steven Jhonson. Asuhan keperawatan yang diberikan terdiri dari pengkajian,
perumusan diagnose keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi. Diagnose yang
bisa muncul pada Sindrome Steven Jhonson adalah kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan lesi dan reaksi inflamasi local, ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan intake tidak adekuat respon sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa
mulut, resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas, nyeri berhubungan dengan
kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak.

34
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.

Corwin J, Elizabeth. (2000). Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U. Ed: Endah P.
Jakarta : EGC.

Graham-Brown, R. (2002). LECTURE NOTES Dermatologi. Jakarta: Erlangga.

Long, C Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Bandung: Yayasan IAPK Pajajaran.

Muttaqin, Arif & Kumala Sari. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen.
Vol 3. Jakarta: Salemba Medika.

35

Anda mungkin juga menyukai