Anda di halaman 1dari 50

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN EPIDURAL HEMATOM

DI RUANG GBST LT II RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU

OLEH
Kelompok 5

Khalil Gibran, S.Kep 19141772001

Ressy Hardi Yanti, S.Kep 1914194-372

Sri Wahyuningsih, S.Kep 19142012001

Surya Wahyuni, S.Kep 19142032001

Warni Julita, S.Kep 19141452001

Preceptor akademik : Ns. Helena Delli, M.Kep


Preceptor Klinik : Ns. Bambang Wibisono, S.Kep

POGRAM STUDI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Otak ditutupi oleh tulang tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga dikelilingi oleh
sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang disebut dura. Fungsinya untuk melindungi
otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika
seorang mendapat benturan yang hebat dikepala kemungkinan akan terbentuk suatu
lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari
pembuluh darah yang mengelili otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan
maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan
inilah yang dikenal dengan sebutan epidural hematom.
Epidural hematom sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan
biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar,
sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan
robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada
middle meningeal artery yang terletak dibawah tulang temporal.perdarahan masuk keruang
epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi. Epidural
hematom yang tidak ditatalaksana akan menjadi koma dan akhirnya meninggal. Epidural
hematom merupakan kasus emergensi di bagian bedah saraf yang harus dikeluarkan
melalui pembedahan.
Penelitian yang pernah dilakukan di kamboja pada tahun 2016 ditemukan
mortalitas pasien EDH 2,7 %, sedangkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat
pada tahun 2015 mortalitas 3,5 %, Sementara di hongkong mortalitas pasien EDH adalah
10,1 %. Terdapat faktor yang menimbulkan mortalitas meskipun sudah dilakukan
kraniotomy evakuasi, faktor tersebut seperti dilatasi pupil dan nilaii GCS pada saat datang,
pasien yang survive juga tergantung pada usia, kecepatan penambahan volume perdarahan,
ukuran dan lokasi hematoma, serta lamanya waktu mulai perubahan pupil hingga
dilakukan pembedahan
Dalam sebuah penilitian di kamerun tentang epidural hematoma, waktu rata rata
mulai dari saat terjadi trauma sampai dilakukan kraniotomy evakuasi hematoma adalah 78
jam dengan range 1- 16 hari, 31 pasien (67,39%) menjalani operasi sebelum 72 jam post
trauma, 15 pasien (32,61%) dilakukan setelah 72 jam. Jenis operasi yang dilakukan
kraniotomy (53,3%), kraniektomy (26,7%) dan burrhole (20%). Outcome yang dinilai
berdasarkan GOS angka mortalitas 13,04 %.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mengidentifikasi rencana asuhan keperawatan yang tepat pada penderita epidural
hematom.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, penatalaksanan,
pemeriksaan fisik dan diagnostik, dan rencana asuhan keperawatan pada
penderita epidural hematom.
b. Mengetahui kaluhan utama dan riwayat kesehatan pada penderita epidural
hematom.
c. Mengetahui rencana asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada penderita
epidural hematom.

C. Manfaan Penulisan
1. Bagi perkembangan ilmu keperawatan
Penulisan ini bermanfaat bagi perawat mengenai bagaimana rencana asuhan
keperawatan pada penderita epidural hematom. Penulisan ini juga diharapkan dapat
menjadi informasi tambahan mengenai bagaimana rencana asuhan keperawatan
pada penderita epidural hematom.
2. Bagi penulis lain
Bagi penulis selanjutnya, hasil penulisan ini diharapkan dapat dijadikan data dan
informasi dasar untuk melakukan rencana asuhan keperawatan pada penderita
epidural hematom.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Epidural Hematom


1. Pengertian
Epidural hematoma adalah hematom antara durameter dan tulang, biasanya
sumber perdarahannya adalah robeknya arteri meningea media. (NIC NOC. 2015).
Pada kejadian epidural hematoma jika pendarahan membesar dilakukan tindakan
pebedahan craniotomy. Craniotomy adalah operasi membuka tengkorak (tempurung
kepala) untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh adanya
luka yang ada di kepala.

2. Etiologi
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deslerasi, akselerasi-
deselerasi, coup-countere coup, dan cedera rotasional.
a. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak
bergerak (misalnya alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang
ditembakkan ke kepala).
b. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam,
seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobi ketika kepala membentur kaca depan
mobil.
c. Cedera akselerasi-deselerasi terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor
dan episode kekerasan.
d. Cedera coup-counter coup Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak
bergerak dalam ruang cranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak
yang berlawanan serta area kepala yang pertamakali terbentur. Sebagai contoh :
pasien dipukul dibagian belakang kepala.
e. Cedera rotasional terjadi jika pukulan / benturan menyebabkan otak berputar
dalam rongga tengkorak yang mengakibatkan perenggangan atau robeknya
neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi
otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.
3. Manisfestasi klinis
Pasien dengan EDH seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau
telinga. Tanda dan gejala yang tampak pada pasien dengan edh antara lain:
1. Penurunan kesadaran, bisa sampai koma.
2. Perubahan tanda vital. Biasanya kenaikan tekanan darah dan bradikardi.
3. Nyeri kepala yang hebat
4. Keluar cairan darah dari hidung atau telinga.
5. Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
6. Gangguan penglihatan dan pendengara.
7. Kejang otot.
8. Mual.
9. Pusing.
10. Muntah.
11. Berkeringat.
12. Sianosis / pucat.
13. Pupil anisokor yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
14. Susah bicara.

4. Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
durameter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang
tengkorak di daerah bersangkutan.Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau
oksipital. Arteri meninge amedia yang masukdi dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara duramater dan tulang di permukaan dan
ostemporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan
olehhematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar. Hematoma yang membesar di daerah temporal
menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan
dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi
dbawah pinggiran tentorium. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang
berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik
kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif. Dengan
makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah
yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda
lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan
gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan. Karena perdarahan ini
berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama
makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita
pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita
akan merasakan nyeri kepala yang progresif memberat, kemudian kesadaran
berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar
setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi

karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural
hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau epidural lhematoma
dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak
sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
(sumber:
www.radiopaedia.org)
5. Pathway

6. Pemerikasaan diagnostik
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala
lebih mudah dikenali.

Foto Polos Kepala


Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural
hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang
mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong
sulcus arteria meningea media.
Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi
cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single)
tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling
sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas
tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area
epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU),
ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

(sumber: www.researchgate.net)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

(sumber:emedicine.medscape.com)
7. Penatalaksanaan
Penanganan darurat : Dekompresi dengan trepanasi sederhana, Kraniotomi untuk
mengevakuasi hematom
Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka
jalur intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga
mencegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang
terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2
dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.
b. Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per
infus untuk “menarik” air dari ruang intersel ke dalam ruang intra-
vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk
memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam
dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51
gram/kg BB dalam 1030 menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang
menunggu tindak-an bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan
kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali
(diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
c. Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan
manfaatnya sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini
cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang ber-manfaat
pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi
bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.
Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi :
Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang
diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah
digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6
dd 10 mg.
d. Barbiturat. Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme
otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga
akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih
terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai
oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan
yang ketat
e. Operasi
Operasi di lakukan bila terdapat :
1. Volume hamatom > 30 ml
2. Keadaan pasien memburuk
3. Pendorongan garis tengah > 5 mm
4. fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan
kedalaman >1 cm
5. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis
tengah dengan GCS 8 atau kurang
6. Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian keperawatan
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan
cedera kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostik dan pengkajian psikososial.
a) Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda),
jenis kelamin (banyak laki – laki, karena sering ngebut – ngebutan dengan motor
tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk
memintapertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma
kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
b) Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung kekepala. Pengkajian yang
didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS >15), konvulsi, muntah,
takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis,
akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga,
serta kejang.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif dan
koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien
tidak sadar) tentang penggunaan obat – obatan adiktif dan penggunaan alkohol
yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut – ngebutan.
c) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia,
penggunaan obat – obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat – obat
adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.
d) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan
diabetes melitus.
e) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah
ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
diri Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesukaran
untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri
didapatkan kllien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan
tidak kooperatif.
f) Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan -keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukng data dan pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1 – B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) dan terarah dan
dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari klien
Keadaan umum
Pada keadaaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
(cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13 – 15, cedera kepala berat/
cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8 dan terjadi
perubahan pada tanda-tanda vital.
(1) B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradiasi dari perubahan
jaringa cerebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan, hasil dari
pemeriksaaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :
(a).Inspeksi
Diddaptakan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Terdapat retraksi klavikula/ dada, pengembangan paru tidak simetris.
Ekspansi dada : dinilai penuh/ tidak penuh dan kesimetrisannya. Ketidak
simetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada paru,
obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemothoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat. Pada
observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot – otot
interkostal, substernal, pernapan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot – otot
interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
(b).Palpasi
Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
(c).Perkusi
Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma
pada thoraks/ hematothoraks
(d).Auskultasi
Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang
menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan
tingkat kesadaran koma.

(2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan berat.
Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada
beberapakeadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi
bradikardi, takikardia da aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan adanya
penurunan kadar hemaglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya
perubahan perfusi jaringan dan tanda -tanda awal dari suatu syok. Pada
beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan merangsang
pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak pada kompensasi
tubuh untuk mengeluarkan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh
tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi elektolit meningkat
sehingga memberikan resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit pada sistem kardiovaskuler.

(3) B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma dan
epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus
dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
(a).Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan. Pada
keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya berkisar
pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai koma.
(b).Pemeriksan fungsi serebral
Status mental : Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,
nilaigaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas
motorik pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental
mengalami perubahan.Fungsi intelektual : Pada keadaan klien cedera
kepala didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka
pendek maupun jangka panjangLobus frontal : Kerusakan fungsi
kognitif dan efek psikologis didapatkan bila trauma kepala
mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori
atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak
disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas,
kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi, yang
menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi dalam program
rehabilitasi mereka. Masalah psikologi lain juga umum terjadi dan
dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan, frustasi,
dendam da kurang kerja sama.
Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparase
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan
terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh kesisi yang
berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami
hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati – hati, kelainan
bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah
frustrasi.
(c). Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I
Pada beberapa keadaan cedera kepala didaerah yang merusak
anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada
fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral
Saraf II
Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan
lapangan penglihatan dan menggangu fungsi dari nervus optikus.
Perdarahan diruang intrakranial, terutama hemoragia subarakhnoidal,
dapat disertai dengan perdarahan diretina. Anomali pembuluh darah
didalam otak dapat bermanifestasi juga difundus. Tetapi dari segala
macam kalainan didalam ruang intrakranial, tekanan intrakranial dapat
dicerminkan pada fundus
Saraf III, IV da VI
Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien
dengan trauma yang merusak rongga orbital. pada kasus-kasus trauma
kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai
tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda awal
herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran.
Paralisis otot – otot okular akan menyusul pada tahap berikutnya. Jika
pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana bukannya midriasis yang
ditemukan, melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil yang
normal pada sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal.
Miosis ini disebabkan oleh lesi dilobus frontalis ipsilateral yang
mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal
menjadi tidak aktif sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan
berkonstriksi.
Saraf V
Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis
nervus trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi
gerakan menguyah
Saraf VII
Persepsi pengecapan mengalami perubahan
Saraf VIII
Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan
biasanya tidak didapatkan penurunan apabila trauma yang terjadi tidak
melibatkan sarafvestibulokoklearis
Saraf IX dan Xl
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
Saraf XI
Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik
dan tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII
Indra pengecapan mengalami perubahan
(d). Sistem motorik
Inspeksi umum : Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis (kelemahan
salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
Tonus otot : Didapatkan menurun sampai hilang.
Kekuatan otot : Pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan
otot didapatkan grade OKeseimbangan dan koordinasi : Didapatkan
mengalami gangguan karena hemiparase dan hemiplegia.
(e). Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam : Pengetukan pda tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.Pemeriksaan refleks
patologis ; Pada fase akut refleks fisiologis sisi yag lumpuh akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul
kembali didahului dengan refleks patologis.
(f). Sistem sensorik
` Dapat terjadi hemihipestasi persepsi adalah ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsivisual karena gangguan
jaras sensorik primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan
hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek
dalam area spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia
kiri.Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan
propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian
tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimulasi visual, taktil
dan auditorius.
(4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik,
termasuk berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera
kepala klien mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi,
ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan
untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan
postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau
berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan
teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukan kerusakan
neurologis luas.
(5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual dan muntah dihubungkan
dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan
masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang
berlanjut menunjukan kerusakan neurologis luas. Pemeriksaan rongga
mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau
perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya dehidrasi. Pemeriksaan
bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usus
harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun
atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan
observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat
terjadi akibat tertelannya udara yag berasal dari sekitar selang
endotrakeal dan nasotrakeal.

(6) Tulang (Bone)


Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu kelembapan dan turgor kulit. Adanya
perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukan adanya sianosis
(ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa).
Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan
rendahnya kadar haemaglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien
yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia.
Joundice (warna kuning) pada klien yang menggunakan respirator dapat
terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari penggunaan
pocked red cells (PRC) dalam jangka waktu lama. Pada klien dengan
kulit gelap. Perubahan warna tersebut tidak begitu jelas terlihat. Warna
kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya demam dan infeksi.
Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya
kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensorik atau
paralisis/ hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.

2. Diagnosa keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi,
hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia,
disritmia jantung)
2. Resiko pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada
pusatpernapasan otak).
3. Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma
atau defisit neurologis).

3. Intervensi keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran
darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD
sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung).
Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan
fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil: Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi Rasional
- Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan
- Penurunan tanda/gejala neurologis atau
koma/penurunan perfusi jaringan otak dan kegagalan dalam pemulihannya setelah
potensial peningkatan TIK. serangan awal, menunjukkan perlunya
- pasien dirawat di perawatan intensif.
Pantau /catat status neurologis secara
- Mengkaji tingkat kesadaran dan
teratur dan bandingkan dengan nilai standar potensial peningkatan TIK dan bermanfaat
GCS. dalam menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP.
- Evaluasi keadaan pupil, ukuran,
- Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial
kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi okulomotor (III) berguna untuk menentukan
terhadap cahaya. apakah batang otak masih baik.
- Peningkatan TD sistolik yang diikuti
- Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, oleh penurunan TD diastolik (nadi yang
frekuensi nafas, suhu. membesar) merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, jika diikuti oleh
penurunan kesadaran.
- Pantau intake dan out put, turgor kulit
- Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan
dan membran mukosa. total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi
- jaringan.
Turunkan stimulasi eksternal dan berikan
- Memberikan efek ketenangan,
kenyamanan, seperti lingkungan yang menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan
tenang. meningkatkan istirahat untuk
- mempertahankan atau menurunkan TIK.
- Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan
Bantu pasien untuk menghindari intrathorak dan intraabdomen yang dapat
/membatasi batuk, muntah, mengejan. meningkatkan TIK.
- - Meningkatkan aliran balik vena dari
Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad kepala sehingga akan mengurangi kongesti
sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi. dan oedema atau resiko terjadinya
- peningkatan TIK.
- Pembatasan cairan diperlukan untuk
Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. menurunkan edema serebral, meminimalkan
- fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK
- Menurunkan hipoksemia, yang mana
Berikan oksigen tambahan sesuai dapat meningkatkan vasodilatasi dan
indikasi. volume darah serebral yang meningkatkan
- Berikan obat sesuai indikasi, misal: TIK.
diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik,
- Tindakan kolaboratif
sedatif, antipiretik.

2. Resiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler


(cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif.
Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi: bebas sianosis, GDA dalam batas normal

Intervensi Rasional
- Pantau frekuensi, irama, kedalaman
- Pernapasan lambat, periode apnea dapat
pernapasan. Catat ketidakteraturan menandakan perlunya ventilasi mekanis.
pernapasan. - Kemampuan memobilisasi atau
- Pantau dan catat kompetensi reflek membersihkan sekresi penting untuk
gag/menelan dan kemampuan pasien untuk pemeliharaan jalan napas.
melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan Kehilangan refleks menelan atau batuk
napas sesuai indikasi. menandakan perlunaya jalan napas buatan
- Angkat kepala tempat tidur sesuai atau intubasi.
aturannya, posisi miirng sesuai indikasi. - Untuk memudahkan ekspansi
- Anjurkan pasien untuk melakukan napas paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya
dalam yang efektif bila pasien sadar. kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat
- Lakukan penghisapan dengan ekstra jalan napas.
hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik.
- Mencegah/menurunkan atelektasis.
Catat karakter, warna dan kekeruhan dari
- Penghisapan biasanya dibutuhkan jika
sekret. pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi
- Auskultasi suara napas, perhatikan dan tidak dapat membersihkan jalan
daerah hipoventilasi dan adanya suara napasnya sendiri.
tambahan yang tidak normal misal: ronkhi,
- Untuk mengidentifikasi adanya masalah
wheezing, krekel. paru seperti atelektasis, kongesti, atau
- Pantau analisa gas darah, tekanan obstruksi jalan napas yang membahayakan
oksimetri oksigenasi cerebral dan/atau menandakan
- Lakukan ronsen thoraks ulang terjadinya infeksi paru.
- Berikan oksigen. - Menentukan kecukupan pernapasan,
- Lakukan fisioterapi dada jika ada keseimbangan asam basa dan kebutuhan
indikasi. akan terapi.
- Melihat kembali keadaan ventilasi dan
tanda-tandakomplikasi yang berkembang
misal: atelektasi atau bronkopneumoni.
- Memaksimalkan oksigen pada darah
arteri dan membantu dalam pencegahan
hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan,
mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
- Walaupun merupakan kontraindikasi
pada pasien dengan peningkatan TIK fase
akut tetapi tindakan ini seringkali berguna
pada fase akut rehabilitasi untuk
memobilisasi dan membersihkan jalan
napas dan menurunkan resiko atelektasis/
komplikasi paru lainnya.

3. Resiko terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon
inflamasi tertekan (penggunaan steroid).
Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.

Intervensi Rasional
- Berikan perawatan aseptik dan
- Cara pertama untuk menghindari
antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan terjadinya infeksi nosokomial.
yang baik. - Deteksi dini perkembangan infeksi
- Observasi daerah kulit yang mengalami memungkinkan untuk melakukan tindakan
kerusakan, daerah yang terpasang alat dengan segera dan pencegahan terhadap
invasi, catat karakteristik dari drainase dan komplikasi selanjutnya.
adanya inflamasi. - Dapat mengindikasikan perkembangan
- Pantau suhu tubuh secara teratur, catat sepsis yang selanjutnya memerlukan
adanya demam, menggigil, diaforesis dan evaluasi atau tindakan dengan segera.
perubahan fungsi mental (penurunan
- Peningkatan mobilisasi dan pembersihan
kesadaran). sekresi paru untuk menurunkan resiko
- Anjurkan untuk melakukan napas dalam, terjadinya pneumonia, atelektasis.
latihan pengeluaran sekret paru secara terus
- Terapi profilatik dapat digunakan pada
menerus. pasien yang mengalami trauma, kebocoran
- Observasi karakteristik sputum. CSS atau setelah dilakukan pembedahan
Berikan antibiotik sesuai indikasi untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi
nosokomia
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

I. Gambaran Kasus
Seorang perempuan berinisial Ny. S berusia 55 tahun dari IGD RSUD AA masuk
ke GBST LT II RSUD AA pada tanggal 14 Oktober 2019. Ny. S didiagnosa mengalami
EDH (Epidural Hematoma), berdasarkan pengkajian didapatkan bahwa pasien terjatuh
dari kamar mandi 2 hari yang lalu dan kepala bagian kiri pasien terbentur. Pasien
mengalami sakit kepala, tampak bingung, lemah anggota gerak bagian kanan, dan tidak
nyambung ketika diajak berkomunikasi. Didapatkan hasil TD 91/60 mmhg, HR 69x/m,
RR 27x/m. Pasien akan dilakukan tindakan pembedahan kraniotomi.

II. Hasil Pengkajian, Pemeriksaan Fisik, Hasil Laboratorium dan diagnostik


A. IDENTITAS
Nama : Ny. S
TTL : Hulu Kuantan, 01 September 1964/ 55 tahun
Gol Darah : B (+)
Pendidikan :-
Agama : Islam
Suku : Melayu
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Hulu Kuantan, Kuantan Singingi
Diagnosa : EDH (Epidural Hematoma)
Tindakan yang dilakukan : Kraniotomi

B. KELUHAN UTAMA
Pasien mengalami sakit kepala, tampak bingung, lemah anggota gerak
bagian kanan, tidak nyambung ketika diajak berkomunikasi, dan terlihat bengkak
pada kepala bagian kiri.
C. PENGKAJIAN
1) PRE OPERASI
a) Pengkajian Primer
Airway Tidak terdapat sumbatan jalan nafas
:
Breathing Pernafasan spontan, RR : 27x/m, pergerakn dinding dada
: simetris
Circulation CRT 3 detik, Akral teraba hangat, TD : 91/60 mmHg,
: MAP : 81 mmHg, HR: 69 x/m
Disability GCS 13 ( E4 M6 V3)
:
Exposure : Terdapat pembengkakan pada kepala bagian kiri (parietal)
dengan luas 4 cm dan panjang 5 cm, bentuk
pembengkakan melingkar, luka (-), Edema (-)
Foley Kateter Terpasang kateter, urine berwarna kuning dengan jumlah
: 200 cc
Gastric Tube Tidak terpasang NGT
:
Heart Monitor Tidak terpasang HR monitor
:

b) RIWAYAT KESEHATAN SEBELUMNYA


Pasien tidak pernah masuk/dirawat dirumah sakit, pasien tidak memiliki
riwayat penykit lainnya.
c) Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak dapat dikaji karena yang mendampingi adalah keluarga jauh pasien

d) PEMERIKSAAN FISIK
⁻ TD : 91/60 mmHg
⁻ Nadi : 69x/menit
⁻ Suhu : 36,8 °C
⁻ Pernafasan : 27 x/menit
⁻ Tinggi Badan : 156 cm
⁻ Berat Badan : 52 kg
1. Kepala
- Kulit Kepala : Terdapat pembengkakan pada kepala bagian kiri
(parietal)
dengan luas 4 cm dan panjang 5 cm
- Rambut : botak (Pasca pencukuran sebelum tindakan operasi)
- Mata : Simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
anisocoria ,ukuran pupil 4/2
- Hidung : Simetris, perdarahan (-), Sumbatan (-), Sinusitis (-)
- Mulut : mukosa bibir kering dan tampak pucat, Perdarahan (-),
stomatitis (-)
- Gigi : Tidak ada gigi
- Telinga : Simetris, infeksi (-), gangguan pendengaran (-)
2. Leher
- Distensi vena jugularis (-), pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-),
hiperpigmentasi (-)
3. Dada
a. Jantung
- Inspeksi : Dada simetris
- Palpasi : Nyeri tekan (-), teraba hangat, massa (-)
- Perkusi : Pekak pada dada sebelah kiri, bunyi tambahan (-)
- Auskultasi : Irama jantung reguler, bunyi jantung normal, suara
tambahan (-)
b. Paru-Paru
⁻ Inspeksi : Dada simetris
⁻ Palpasi : Nyeri tekan (-), teraba hangat, massa (-)
⁻ Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, bunyi tambahan (-)
⁻ Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler, suara tambahan (-)
4. Tangan
- Utuh
- CRT 3 detik
- Akral teraba hangat
5. Abdomen
- Inspeksi : Abdomen simetris
- Palpasi : Nyeri tekan pada semua kuadran (-), pembesaran (-)
- Perkusi : Bunyi timpani
- Auskultasi : bising usus 9x/menit
6. Genitalia
- Terpasang kateter urin
7. Kaki
- Ujung ekstremitas teraba hangat
8. Punggung
- Kelainan tulang belakang (-), lesi (-), dekubitus atau infeksi (-)

D. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK

1) Pemeriksaan laboratorium
NO Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
1 Hematologi
Hemoglobin 11.2 g/dL 12.0-16.0
Leukosit 9.47 10^3 /𝜇L 4.80-10.80
Trombosit 192 10^3 /𝜇L 150-450
Eritrosit 4.14 10^6 /𝜇L 4.20-5.40
Hematokrit 35.4 % 37.0-47.0
MPV 8.8 Fl 7.2-11.1
2 Hitung Jenis
Basofil 0.2 % 0-1
Eosinofil 0.5 % 1.0-30.0
Neutrofil 75.1 % 40.0-70.0
Limfosit 16.1 % 20.0-40.0
Monosit 8.1 % 2.0-8.0

3 Kimia Klinik
Glukosa darah sewaktu 91 Mg/dl Bukan DM <100
Belum Pasti DM
100-199
DM > 200
4 Elektrolot
Na + 149 mmol/L 135-145
K+ 4.0 mmol/L 3.5-5.5
Cl 112 mmol/L 9-107

2) Pemeriksaan Radiologi
a. Rontgen thorax
b. CT SCAN kepala
Hasil perhitungan volume perdarahan otak pada CT-SCAN kepala
Volume perdarahan (cc) = a x b x c
2

Volume perdarahan (cc) = 3 x 2 x 10


2
= 60
2
= 30 cc
ASUHAN KEPERAWATAN PRE OP
1. Analisa Data

MASALAH
DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN
Data Subjektif Trauma kepala Perfusi jaringan
Hasil pengkajian dengan serebral tidak efektif

metode wawancara Close fraktur


didapatkan bahwa keluarga
Ny. S menyatakan pasien Peningkatan TIK
jatuh di kamar mandi
Data Objektif Pecah pembuluh darah,
Penurunan aliran serebral
- GCS :13
- TD : 91/60mmHg
Perfusi jaringan serebral tidak
- S : 36,8 0C
efektif
- N : 69 x/menit
- RR : 27 x/menit
- CRT 3 detik
- Refleks pupil an isocoria,
4/2
Data Subjektif Trauma kepala (kepala Resiko syok
- terbentur akibat jatuh dari
Data objektif kamar mandi)
- TD : 91/60mmHg
- S : 36,8 0C Close fraktur
- N : 69 x/menit
- RR : 27 x/menit Terputusnya kontinuitas tulang
dan PD
- Hematokrit: 35,4
Sirkulasi darah serebral tidak
- CRT 3 detik
efektif

- Ct-scan kepala hematoma


Volume darah berkurang
30cc
Resiko syok

2. Diagnosa Keperawatan Pre Op


a. Ketidakefektifan perfusi serebral berhubungan dengan trauma kepala
b. Resiko syok berhubungan dengan hipovolemik

3. Intervensi Keperawatan Pre Op

DIAGNOSA TUJUAN/
INTERVENSI
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
NOC NIC
1 pantau TTV ( TD, nadi, suhu,
 Circulation status
respiration)
 Tissue perfution:
2. kaji ukuran, bentuk dan
cerebral
kesimetrisan pupil
 Tekanan
1. Ketidakefektifan perfusi
3. kaji adanya tingkat kesadaran
intracranial
serebral berhubungan
4. kaji pergerakan motoric, tonus
 Tekanan darah
dengan trauma kepala
otot
sistolik dan
5. pantau peningkatan TIK
diastolic
Definisi : mengalami
6. kolaborasi posisikan kepala 0-45
 Nilai MAP
penurunan sirkulasi jaringan
derajat.
 Penurunan
otak yang dapat menganggu
7. Kolaborasi dengan dokter untuk
kesadaran
kesehatan
tindakan pembedahan
 Gelisah
Batasan karakteristik:
Kriteria Hasil:
1. Tumor otak
1. Mendemonstrasikan
2. Trauma kepala
status sirkulation
3. Neoplasma otak
yang ditandai
dengan tekanan
systole dan diastole
dalam rentang yang
diharapkan
2. Tidak ada
orthostastik
hipertensi
3. Tidak ada tanda-
tanda peningkatan
tekanan intra kranial
4. Berkomunikasi
dengan jelas sesuai
kemampuan
5. Membuat keputusan
dengan benar

Resiko syok NOC NIC


Definisi : beresiko terhadap  Syok prevention Syok prevention
ketidakcukupan aliran darah  Syok management 1. monitor warna kulit, suhu,
kejaringan tubuh yang dapat Kriteria Hasil: denyut jantung, HR, nadi perifer,
mengakibatkan disfungsi 1. Nadi dalam Batasan dan kapiler refil
seluler yang mengancam jiwa yang diharapkan 2. Monitor tanda inadekuat
2. irama jantung dalam oksigenasi
Factor resiko: batas yang diharapkan 3. Monitor suhu dan pernafasan
1. hipotensi 3. frekuensi nafas 4. Monitor output dan input
2. hipovolemi dalam batas normal 5. Pantau nilai labor HB, AGD,
3. hipoksemia 4. irama nafas dalam elektrolit
4. hipoksia batas yang diharapkan 6. Monitor tanda asietas
5. natrium, kalium, 7. monitor tanda awal syok
magnesium, klorida 8. lihat dan pelihara kepatenan jalan
serum dalam batas nafas
normal 9. tempatkan pasien pada posisi
6. PH darah normal supine
4. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Hari/ Diagnosa Jam Implementasi Evaluasi


Tanggal
Senin, Perfusi jaringan 9.45  Memonitoring TTV 10.05 WIB
14/10/2019 serebral tidak  Memantau keadaan Subjektif:
efektif -
pasien
 mengkaaji tingkat Objektif:
kesadaran - GCS :13

 Mengkaji ukuran pupil - TD : 91/60mmHg

dan bentuk - S : 36,8 0C

 Mengatur posisi pasien - N : 69 x/menit

30 derajat - RR : 27 x/menit

 Mempersiapkan pasien - CRT 3 detik

untuk tindakan - Reflex an isocor

pembedahan ukuran pupil 4/2


pasien tampak gelisah
Analisa:
Masalah Perfusi jaringan
serebral tidak efektif belum
teratasi.
Planning:
Proses pembedahan
craniotomy
Pantau kondisi pasien

Senin, Resiko syok 09.50  monitor warna kulit, suhu, 10.20


14/10/2019 berhubungan denyut jantung, HR, nadi Subjektif:
dengan perifer, dan kapiler refil -
hipovolemik  Monitor tanda inadekuat Objektif:
oksigenasi - Terdapat pembengkakan
 Monitor suhu dan pernafasan pada kepala bagian kiri

 lihat dan pelihara kepatenan - Warna kulit pucat

jalan nafas - TD : 91/60mmHg


 tempatkan pasien pada posisi - S : 36,8 0C
supine - N : 69 x/menit
- RR : 27 x/menit
- CRT 3 detik
- Hemoglobin: 11,2 g/d
Analisa
Masalah belum terjadi
Planning
Pantau tanda-tanda syok
Dan lakukan intervensi
lanjutan.

2) INTRA OPERASI
Pada tanggal 14 oktober 2019 pada pukul 10.00 WIB Ny. S dilakukan
anestesi dan pada pukul 10.10 WIB Ny.S dilakukan tindakan kraniotomi pada
bagian frontal kiri di GBST LT II ruang 5. Kelengkapan tim operasi terdiri dari 1
orang dokter operator, 3 asisten dokter operator, 1 dokter anastesi, 2 penata
anestesi dan 1 perawat sirkuler. Jenis anastesi yang dilakukan adalah General
Anastesi (GA), posisi tubuh terlentang dan daerah operasi pada daerah kepala
bagian kiri. 30 menit pertama tindakan operasi berlangsung tanda-tanda vital Ny.
S stabil ditandai dengan HR: 89 x/m, TD : 96/62 mmHg, SpO2 : 99%
Pada jam 11.15 WIB operasi selesai dilaksanakan dan tanda-tanda vital Ny.
S jugaa dalam keadaan stabil dengan HR 83 x/m, TD: 100/73 mmHg, SpO2
100%. Tidak ditemukan adanya komplikasi, total input 3000 cc dengan 500 cc
RL, 1000 cc NaCl dan hes/gelafusin 1000 cc. Total output 1500 cc dengan
perdarahan  200 cc, cairan bilas  200 cc dan urin  200 cc. Setelah dilakukan
tindakan didapatkan gumpalan darah. Setelah masa anastesi berakhir pada pukul
11.30 WIB, Ny. S dipindahkan ke recovery room dengan menggunakan bed.

a) Pengkajian Primer
Airway : Terpasang OPA dan ETT
Breathing : Pernafasan kontrol ventilator
Circulation : CRT 3 detik, akral teraba dingin, ujung jari terlihat
pucat
Disability : Koma reversible (pengaruh anastesi)
Exposure : Terdapat luka insisi pada kepala bagian kiri
Folley Kateter : Terpapsang kateter dengan produksi  200 cc
Gastric Tube : Tidak terpasang NGT
Heart Monitor : Terpasang heart monitor. TD: 92/62 mmHg, HR:
89x/m, SpO2: 99%

Diagnosa Keperawatan Intra Operasi


a. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
b. Resiko cidera berhubungan dengan tindakan pembedahan

Intervensi Keperawatan Intra Operasi

DIAGNOSA TUJUAN/
INTERVENSI
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
NOC NIC
 Fluid balance Fluid management
 Hydration 1. Timbang popo/pembalut jika
Resiko kekurangan volume
 Nutritional status: diperlukan
cairan berhubungan
food and fluid 2. Pertahankan cairan intake dan
dengan kehilangan volume
output yang akurat
cairan aktif
Kriteria Hasil: 3. Monitor status hidrasi
Definisi : beresiko
1. Mempertahankan urin, 4. Monitor TTV
mengalami dehidrasi
output sesuai dengan usia 5. Monitor masukan makanan atau
vascular, selular, atau
dan BB, HT normal cairan
intraselular.
2. Tekanan darah, nadi, 6. Monitor status nutrisi
Faktor resiko:
suhu tubuh dalam batas 7. Kolaborasi pemberian cairan IV
1. kehilangan volume cairan
normal 8. Dorong masukan oral
aktif
3. Tidak ada tanda tanda 9. Kolaborasi dengan dokter
dehidrasi, elastisitas 10. Atur kemungkinan transfuse
turgor kulit baik, mukosa 11. Persiapan untuk tranfusi
lembab, tidak ada rasa
haus yang berlebihan

NOC NIC
Risk kontrol Environment management
Resiko cedera Kriteria hasil: 1. Sediakan lingkungan yang
berhubungan dengan  Klien terbebsa dari aman bagi pasien
tidakan pembedahan cidera 2. Identifikasi kebutuhan
Definisi:  Kliem mampu keamanan bagi pasien sesuai
Beresiko mengalami cedera menjelaskan dengan kondisi fisik dan fungsi
sebagai akibat kondisi cara/metode untuk kognitif pasien
lingkungan yang berinteraksi mencegah injury 3. Menghindarkan lingkungan
dengan sumber adaptif dan  Klien mampu yang berbahaya
sumber defensive individu. menjelaskan factor 4. Memasang side rail tempat tidur
Factor resiko: resiko dari lingkungan 5. Menyediakan tempat tempat
1. Zat kimia (racun, polutan,  Menggunakan tidur yang nyaman dan bersih
obat fasilitas kesehatan 6. Membatasi pengunjung
2.cara pemindahan/ transpor yang ada 7. Menganjurkan keluarga untuk
 Mampu mengenali menemani pasien
perubahan status 8. Mengontrol lingkungan dari
kesehatan kebisingan

Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Waktu Diagnosa Jam Implementasi Evaluasi


3/09/20 Resiko 10.20  Memonitor status 10.50
19 kekurangan hidrasi(kelemabapan membrane Subjektif: klien tidak
volume cairan mukosa,nadi adekuat, TD sadar
irthoststatik) jika diperlukan Objektif:
 Memonitor TTV  perdarahan  200 cc,
 Melakukan kolaborasi pemberian cairan bilas  200 cc
cairan IV urin  200 cc.
 Mengatur kemungkinan tranfusi
darah PRC.  Terpasang 500 cc RL,
1000 cc NaCl dan
hes/gelafusin 1000 cc.
 TD: 92/62 mmHg,
 HR: 89x/m,
 SpO2: 99%
Anamnesa:
Masalah tidak terjadi

Planning:
 pantau status hidrasi,
TTV
 pantau haluaran urin
dan perdarahan.
Resiko cidera 10.20  Sediakan lingkungan yang aman 10.30
bagi pasien Subjektif: klien tidak
 Identifikasi kebutuhan keamanan sadar
bagi pasien sesuai dengan Objektif:
kondisi fisik dan fungsi kognitif  klien terbaring dengan
pasien posisi supine
 Memasang side rail tempat tidur  terpasang side rile
 Menyediakan tempat tempat tidur pada tubuh
yang nyaman dan bersih Anamnesa:
masalah tidak terjadi
Planning:
pantau pemindahan pasien
3) POST OPERASI
Pada tanggal 14 oktober 2019 telah dilakukan tindakan operasi
kraniotomi pada Ny.S. Operasi selesai dilakukan pada pukul 11.30 WIB. Pasien
dipindahkan ke Recovery Room dengan Aldrete Score 5, terpasang guedel, TD
108/66 mmHg, HR 68x/m, SpO2 : 98%. Terdapat luka pasca bedah dan
terpasang drain pada kepala bagian kiri. Pasien dipindahkan ke ruang rawat inap
pada pukul 12. 15 WIB

a) Pengkajian Primer
Airway Terpasang OPA
:
Breathing Terpasang oksigenasi dengan NRM 9 liter, RR 28x/m,
: pernafasan cepat dan tidak dangkal, ronkhi (+/+) terdengar
lemah
Circulatio Ujung jari terlihat pucat, CRT 3 detik akral teraba dingin, TD
n : 108/66mmHg, HR : 68x/m

Disability Aldrete Score OK 5 – Recovery Recovery room –


: Room (11.30 WIB) ruang rawat inap
(12.15 WIB)
- Warna Kulit 1 2
- Pernafasan 1 2
- Sirkulasi 1 2
- Kesadaran 1 2
- Aktivitas 1 1
Total 5 9

Terdapat luka pasca bedah pada kepala bagian kiri dengan luas
Exposure 2 cm dan panjang 15 cm
:
Foley
Kateter : Terpasang Kateter dengan jumlah urine 100 cc
Gastric
Tube : Tidak terpasang NGT
Heart
Monitor : Terpasang HR monitor
Waktu TD HR RR S SpO2
11.30 108/66mmHg 68x/m 28x/m 35,1 98%
11.45 115/70mmHg 72x/m 24x/m 36,4 97%
12.00 125/72mmHg 85x/m 25x/m 36,4 98%
12.15 120/69mmHg 85x/m 23x/m 36,5 98%

Analisa Data

MASALAH
DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN
Data Subjektif: Prosedur pembedahan Ketidakefektifan
- bersihan jalan napas
Data Objektif: Anastesi general berhubungan dengan
- pasien terpasang Guedel efek anastesi dan
- pernapasan dangkal dan lambat Pemasangan ETT dan penumpukan sekret
- bunyi napas tambahan (+) ronkhi melemahnya otot
(+/+) terdengar lemah pernapasan
TD: 108/66 mmHg
HR: 68 x/menit Penimbunan sekret dan
SpO2: 99% perubahan frekuensi
T: 35,1 C pernapasan
RR: 28 x/menit

Data Subjektif
-
Data Objektif Prosedur pembedahan Hipotermi berhubungan
Ny. S tampak menggigil, dengan efek anastesi
kulit teraba dingin, CRT > 2 detik dan lingkungan
Tanda-tanda Vital Anastesi general dan suhu
TD: 108/66 mmHg ruangan
HR: 68 x/menit
SpO2: 99% Perlambatan kerja saraf
T: 35,1 C efek anatesi termasuk
RR: 28 x/menit dalam termoregulasi

Kegagalan termoregulasi

Hipotermi

Diagnosa Keperawatan Post Operasi


a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan efek anastesi dan
penumpukan sekret
b. Hipotermi berhubungan dengan efek anastesi dan lingkungan

Intervensi Keperawatan Post Operasi

DIAGNOSA TUJUAN/
INTERVENSI
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
Ketidakefektifan bersihan NOC NIC
jalan nafas berhubungan  Respiratory status:  Buka jalan napas, gunakan
dengan efek anastesi ventilation teknik chin lift
Definisi:  Respiratory status:  Posisikan pasien untuk
Ketidakmampuan Airway patency memaksimalkan ventilasi
membersihkan sekret atau  Lakukan suction jika perlu
obstruksi jalan napas untuk Kriteria Hasil:  Kolaborasi pemberian oksigen
mempertahankan jalan napas  Menunjukkan jalan  Auskultasi suara napas, catat
tetap paten napas paten (pasien adanya suara napas tambahan
tidak merasa  Monitor respirasi dan status O2
Gejala dan Tanda Mayor tercekikirama nafas,
Subjektif frekuensi
(Tidak tersedia) pernapasan dalam
Objektif rentangnormal, tidak
Batuk tidak efektif ada suara napas
Tidak mampu batuk abnormal)
Sputum berlebih  Mampu
Mengi, wheezing, dan atau mengidentifikasi
ronkhi kering dan mencegah faktor
yang dapat
Gejala dan Tanda Minor menghambat jalan
Subjektif napas
Dispnea
Sulit bicara
Ortopnea
Objektif
Gelisah
Sianosis
Bunyi napas menurun
Frekuensi napas berubah
Pola napas berubah
NOC NIC
Hipotermi berhubungan
 Thermoregulation Temperatur Regulation
dengan efek anastesi dan
Kriteria Hasil: 1. Monitor suhu tubuh
lingkungan
 Suhu tubuh dalam 2. Monitor TD, HR, RR
Definisi :Suhu tubuh dibawah
rentang normal 3. Monitor warna dan suhu kulit
kisaran normal
 Nadi dan RR 4. Berikan warmer management
Batasan karakteristik:
dalam rentang 5. Selimuti pasien untuk mencegah
- Penurunan ventilasi
normal hilangnya kehangatan tubuh
- Hipoksia
6. Diskusikan tentang pentingnya
- Peningkatan laju metabolism
pengaturan suhu dan
- Vasokontriksi perifer
kemungkinan efek negative dari
- Menggigil
kedinginan
- Kulit dingin
7. Berikan antipiretik jika perlu
- Pengisian ulang kapiler
lambat
Faktor yang berhubungan:
- Suhu lingkungan rendah

Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Waktu Diagnosa Jam Implementasi Evaluasi


18/2/2019 Ketidakefektifan 11.40  Membuka jalan napas 11.55 WIB
bersihan jalan nafas (menggunakan teknik chin lift) dan Subjektif: klien
berhubungan memposisikan pasien untuk sadar
dengan efek anastesi memaksimalkan ventilasi (Posisi Objektif:
dan penumpukan menengadah dengan meletakkan - Masih terdapat
sekret botol aquades 1000 cc dibawah secret
scapula) TTV
 Mengauskultasi suara napas, catat TD: 115/70mmHg
adanya suara napas tambahan HR: 72x/m
(terdengar sura gargling) dan SpO2: 99%
terdapat sekret T: 35,1 C
 Kolaborasi dengan melakukan RR: 24x/menit
suction (Suction dilakukan hingga Analisa:
tidak terdengar suara gargling lagi) Masalah bersihan
 Memonitor respirasi dan status O2 jalan napas tidak
efektif belum
teratasi
Planning:
Intervensi
dilanjutkan

Hipotermi 11.40  Memonitor TTV setiap 15 menit 11.55 WIB


berhubungan  Memonitor suhu setiap 15 menit Subjektif:-
dengan efek anastesi  Memberikan selimut elektrik (T: Objektif:
dan lingkungan. kulit dan akral
40 C) dan selimut kain
teraba hangat
 Memonitor suhu dan warna kulit
(Suhu dalam batas normal, tidak suhu 36,4
ada sianosis) Analisa
Masalah
Keperawatan
teratasi
Planning
Pertahankan suhu
12.00 tubuh pasien dalam
rentang normal

12.00
S:-
Objektif:
kulit dan akral
teraba hangat
suhu 36,4
Analisa
Masalah
Keperawatan
Hipotermi teratasi
Planning
Pertahankan suhu
tubuh pasien dalam
rentang normal
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini akan membahas tentang Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan

diagnose medis yaitu Epidural Hematoma (EDH) diruang OK GBST Lt 2. Pembahasan ini

meliputi komponen asuhan keperawatan yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan,

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Fokus pembahasan ini difokuskan pada masalah

(Diagnosa Keperawatan) berikut penatalaksanaannya dengan membandingkan antara teori

dan dengan kasus nyata.

Diagnosa keperawatan pada pasien Ny. S pada saat Pre operatif, intra operatif dan

post operatif yang sesuai dengan teori Asuhan keperawatan Nanda NIC NOC, (2015)

antara lain:

A. Diagnosa Pre Operatif

1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan trauma

kepala

(defenisi: penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat menganggu kesehatan

dengan batasan karakteristik yaitu tumor otak, trauma kepala, dan neoplasma

otak (Nurarif & Kusuma, 2015) ).

Epidural hematoma disebabkan karena banyak hal, salah satu nya adalah

trauma kepala. Trauma kepala akan mengakibatkan terputusnya kontinuitas

jaringan tulang dan rusaknya pembuluh darah serebral sehingga berdampak

pada sirkulasi darah yang tidak lancar sehingga sel dan jaringan diotak tidak

mendapatkan aliran darah yang cukup. Pada kasus nyata yang telah didapatkan,

pasien mengalami trauma kepala yang mengakibatkan pasien mengalami


penurunan kesadaran, TD 91/60 mmHg, CRT 3 detik, refleks pupil An isocoria

(4,2).

Tindakan yang dilakukan untuk pasien dengan diagnosa tersebut adalah

memonitoring TTV, memantau tingkat kesadaran pasien, mengkaji pupil,

mempersiapkan untuk proses pembedahan.

2. Resiko syok berhubungan dengan hipovolemik

(Defenisi: beresiko terhadap ketidakcukupan aliran darah kejaringan tubuh,

yang dapat mengakibatkan disfungsi seluler yang mengancam jiwa, dengan

faktor resiko antara lain hipotensi, hipovolemi, hipoksemia, hipoksia, infeksi,

sepsis sindrom respons inflamasi sistemik).

Diagnose resiko syok pasien dengan EDH pada saat pengkajian pre operasi

didapatkan karena resiko perdarahan yang terjadi pada pasien. Volume

perdarahan berdasarkan hasil CT scan yaitu sebanyak 30 cc. Resiko syok

muncul karena robeknya pembuluh darah otak yaitu arteri meningeal yang

menyebabkan darah memenuhi epidural, darah keluar dari vaskuler sehingga

terjadi syok hipovolemik. Syok ini akan berdampak terjadinya hipoksia otak

sehingga otak mengalami iskemik. Iskemik yang terjadi menyebabkan

terganggunya perfusi jaringan otak.

Intervensi yang dilakukan untuk pasien yang mengalami syok hipovolemik

yaitu monitor warna kulit, suhu, denyut jantung, HR, nadi perifer, dan kapiler

refill, monitor tanda inadekuat oksigenasi, monitor suhu dan pernafasan, lihat

dan pelihara kepatenan jalan nafas, dan memposisikan pasien dengan posisi

supine. Evaluasi yang didapat setelah dilakukan implementasi adalah warna

kulit pucat, TD 91/60 mmHg, S 36,8 ˚C, HR 69x/menit, RR 27 x/menit CRT 3


detik. Tindakan yang dapat dilakukan selajutnya yaitu memantau tanda-tanda

syok sehingga dapat dilakukan penanganan lebih lanjut pada pasien.

B. Diagnosa intra operatif

1. Resiko kekurangan volume cairan

(defenisi: beresiko mengalami dehidrasi vaskuler, selular, atau intraseluler

dengan faktor resiko yaitu kehilangan volume cairan aktif, penyimpangan yang

mempengaruhi absorbs cairan, kegagalan fungsi regulator, faktor yang

mempengaruhi kebutuhan cairan dll (Nurarif & Kusuma, 2015).

Pasien dengan EDH dilakukan operasi jenis kraniotomi pada bagian frontal

kiri. Tanda-tanda vital pada saat operasi berlangsung stabil dengan HR 89

x/menit, TD 96/62 mmHg, SpO2 99% dan pada saat operasi telah selesai

didapatkan TTV yaitu HR 83x/menit, TD 100/73 mmHg, SpO2 100%. Total

input 3000 cc dengan 500 cc RL, 1000 cc NaCl dan hes/gelafusal 1000 cc. total

output 1500 cc dengan perdarahan ±400 cc dan urin ±200 cc.

Pasien dengan masalah pada otak beresiko mengalami resiko kekurangan

cairan Karena adanya perdarahan/hematoma serebral sehingga membuat

pasokan darah berkurang. Pasien beresiko mengalami dehidrasi dan berakibat

terjadinya syok hipovolemik. Dampak terburuk yang dapat terjadi adalah

kematian. Implementasi yang telah dilakukan untuk pasien dengan diagnosa

resiko kekurangan cairan yaitu pemberian cairan RL 500 cc, memasukkan

hes/gelafusal 1000 cc dan memantau urin ± 100cc. evaluasi yang didapatkan

yaitu klien masih tampak belum sadar, TD 96/62 mmHg, HR 89 x/menit, SpO2

99 %.
C. Diagnose Post Operatif

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan efek anastesi

dan penumpukan sekret

(defenisi: ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas

untuk mempertahankan jalan napas tetap paten dengan manifestasi klinis yaitu

batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebih, mengi, wheezhing,

dan atau ronkhi kering (Nurarif & Kusuma, 2015)).

Pasien dengan Asma disebabkan karena alergi tertentu seperti debu, serbuk,

udara dingin dll yang menyebabkan terangsangannya pembentukan antibodi

IgE, bersama reseptor melekat pada reseptor sel mast, terjadi pelepasan

mediator inflamasi, menyebabkan keluarnya histamin, terjadi peningkatan

permeabilitas, cairan keluar ke ekstravaskuler, terjadi edema dan penyumbat

jalan nafas. Selain itu, akan merangsang pengeluaran bradikinin, meningkatkan

secret mucus, akumulasi mukus dan pasien dengan penurunan kesadaran akan

sulit melakukan batuk efektif, sehingga bersihan jalan nafas menjadi tidak

efektif.

Pada kasus yang didapatkan, setelah menjalani operasi, pasien dipindahkan

keruanagn RR dan masih terpasang OPA, pernafasan dangkal dan lambat,

adanya ronkhi terdengar lemah. intervensi yang dilakukan untuk pasien dengan

kondisi tersebut adalah membuka jalan nafas, memposisikan pasien untuk

meningkatkan ventilasi, mengauskultasi suara nafas tambahan, melakukan

suction (kolaborasi) bila perlu, memonitor respirasi dan memonitor TTV tiap 15

menit. Setelah dilakukan implementasi, pasien masih terdapat sekret dan pasien

sudah mulai sadar dengan TD 108/66 mmHg, HR 68x/menit.


2. Hipotermi berhubungan dengan efek anastesi dan lingkungan

(Defenisi : suhu tubuh berada dibawah kisaran normal. Batasan karakteristik

adanya suhu tubuh dibawah kisaran normal (dibawah 35 ˚C), kulit dingin, dasar

kuku sianotik, pucat, mengigil, pengisian ulang kapiler lambat (Nurarif &

Kusuma, 2015)).

Pada saat dilakukan pengkajian post operasi diruangan recovery room,

pasien tampak gelisah, menggigil, ujung jari tangan pucat, CRT 3 detik, akral

teraba dingin, suhu pasien 35,1 ˚C, pernafasan 28x/menit, TD 121/64 mmHg,

dan HR 89x/menit. Intervensi yang dilakukan pada saat itu adalah memberikan

penghangat kepada pasien berupa alat penghangat dengan suhu maksimal yaitu

44˚C, sebelum diberi penghangat, dilakukan pengukuran suhu terlebih dahulu.

Intervensi tersebut dilakukan ±10 menit dan jika pasien tidak tampak menggigil

lagi, maka dilakukan pengukuran suhu kembali. Evalusi yang didapatkan

setelah dilakukan implementasi adalah suhu tubuh pasien meningkat menjadi

36,4 ˚C. pasien tidak tampak menggigil, namun kadang masih terlihat gelisah.

Planning yang dilakukan selanjutnya adalah mempertahankan suhu tubuh

pasien dalam rentang normal.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Epidural hematoma (EDH) adalah hematom antara durameter dan tulang,

biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya arteri meningea media. (Nurarif

& Kusuma, 2015). Pada kejadian EDH jika pendarahan membesar dilakukan

tindakan pebedahan craniotomy. Craniotomy adalah operasi membuka tengkorak

(tempurung kepala) untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang

diakibatkan oleh adanya luka yang ada di kepala. Pasien dengan EDH akan

mengalami peningkatan TIK karena perdarahan pada otak. Peningkatan TIK ini

akan menyebabkan suplai oksigen ke serebal mengalami gangguan, sehingga

terjadi hipoksia otak yang nanti nya berakibat terjadinya iskemik jaringan. Tanda

dan gejala yang tampak pada pasien dengan kejadian tersebut yaitu mengalami

penurunan kesadaran, nyeri hebat pada kepala dan bahkan akan menyebabkan

terganggunya motorik bicara. Diagnose yang muncul pada pasien dengan kasus

EDH inisial Ny. S di ruang OK GBST Lt 2 yaitu resiko perdarahan dan resiko syok

pada pra operasi, resiko kekurangan cairan saat intra operasi, ketidakefektifan

bersihan jalan nafas dan hipotermi pasca operasi. Saat dilakukan pengkajian pre

operasi dan post operasi, pasien mengalami penurunan kesadaran, pembengkakan

pada kepala sebelah kiri, tampak sedikit “meracau” dan gelisah. Saat diajak

komunikasi, bahasa pasien tidak jelas dan sulit dimengerti, selain itu pasien juga

tampak menggigil pasca craniotomy. Hal tersebut disebabkan karena perubahan

suhu lingkungan.
B. Saran

Semoga dengan pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Penulis mengucapkan terimah kasih kepada yang telah membantu dan memberikan

motivasi dalam pembuatan makalah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah

ini. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah masih banyak kekurangan

dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun

selalu penulis harapkan demi kesempurnaan malakah ini yang nantinya akan

memberikan manfaat kepada kita semua khususnya dikalangan mahasiswa, petugas

kesehatan, ataupun yang bekerja diinstitusi kesehatan khususnya keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai