Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Berdasarkan data dari negara-negara maju, trauma kepala merupakan

26% dari jumlah jenis kecelakaan yang mengakibatkan seseorang tidak bisa

bekerja selama lebih dari satu hari hingga jangka yang panjang. Sekitar 33%

kecelakaan yang berakhir pada kematian disebabkan oleh trauma kapitis.1

Di Indonesia, menurut Depkes RI tahun 2007, cedera kepala

menempati urutan ke-7 dari 10 penyakit utama penyebab kematian terbanyak

pada pasien rawat inap di rumah sakit dengan CFR 2,94% dan pada tahun

2008 menempati urutan ke-6 dengan CFR 2,99%. Sedangkan di Amerika,

setiap tahun tercatat sekitar 52.000 penduduk meninggal karena trauma

kepala (20 orang per 100.000 populasi). Insidensi pasien dengan cedera

kepala berat (GCS kurang dari 8) mencapai 100 per 100.000 populasi.2

Trauma kapitis merupakan keadaan gawat darurat sehingga perlu

segera ditangani. Trauma timbul akibat adanya gaya mekanik yang secara

langsung menghantam kepala. Akibatnya dapat terjadi fraktur tulang

tengkorak, kontusio serebri, laserasi serebri, dan perdarahan intrakranial

seperti subdural hematom, epidural hematom, atau intraserebral hematom.

Trauma kapitis ini dapat menimbulkan terjadinya kelainan neurologi pada

saat awal kejadian, timbulnya kecacatan di kemudian hari atau bahkan pada

kasus yang berat dapat menimbulkan kematian.

Perdarahan bisa berjalan dengan cepat atau lambat. Bertambah

besarnya volume perdarahan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan


intrakranial yang ditandai dengan nyeri kepala, papil edema, dan muntah

yang seringkali bersifat proyektil. Pada tahap lebih lanjut, jika hematom yang

terbentuk lebih besar akan memicu terjadinya sindrom herniasi yang ditandai

dengan penurunan kesadaran, adanya pupil yang anisokor dan terjadinya

hemiparesis kontralateral.

Manajemen anestesi pada penderita cedera kepala sangat menentukan

untuk mencegah terjaadinya cedera kepala sekunder yang disebabkan oleh

berbagai hal.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi

tugas Sistem Neurologi dengan mengetahui asuhan keperawatan

pasien dengan Epidural Hematoma (EDH) dan Subdural Hematoma

(SDH).

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Mengidentifikasi tentang definisi hematom subdural dan epidural.
b. Mengidentifikasi tentang penyebab dari subdural dan epidural.
c. Mengidentifikasi tentnag manifestasi klinis dari subdural dan

epidural.
d. Mengidentifikasi tentang WOC dari subdural dan epidural.
e. Mengidentifikasi tentang pemeriksaan penunjang untuk subdural

dan epidural.
f. Mengidentifikasi tentang komplikasi subdural dan epidural.
g. Mengidentifikasi tentang penatalaksanaan subdural dan epidural.
h. Mengidentifikasi tentang asuhan keperawatan pada klien dengan

subdural dan epidural.


1.3 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan

pemahaman mengenai perdarahan subdural sehingga dapat diterapkan dalam

menangani kasus-kasus cedera kepala yang dicurigai sebagai perdarahan

subdural dan ep[idural di klinik sesuai kompetensi keperawatan.


BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi Otak


Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang

membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali

terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak

dapat diperbaiki lagi. Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, yaitu

jaringan fibrosa padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap

kekuatan trauma eksternal.Di antara kuliat dan galea terdapat suatu lapisan lemak

dan lapisan membrane dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila

robek, pembuluh-pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat

menyebabkan kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.


Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya

adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi

menjadi arachnoidea dan piamater.


Gambar 2.1. Lapisan-lapisan otak
2.1.1 Duramater
Dura

kranialis

atau

pachymeninx

adalah suatu

struktur

fibrosa
yang kuat dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar

(periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu,

kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk

menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus

terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan

dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak.


2.1.2 Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan

hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium

subdural. Ia menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor

cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater

oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat

yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.


2.1.3 Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang

menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan

sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke

dalam fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di tempat ini pia

membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan

bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus

untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan

ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela

choroidea di tempat itu.


2.2 Hematoma Epidural
2.2.1 Pengertian
Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi

karena fraktur tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii
dengan duramater. Hematoma epidural merupakan gejala sisa yang serius

akibat cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%.

Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah perietotemporal akibat

robekan arteria meningea media.


Epidural hematom adalah adanya pengumpulan darah diantara

tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-

cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh

darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat

terjadi dalam beberapa jam sampai 1 2 hari. Lokasi yang paling sering

yaitu dilobus temporalis dan parietalis.

2.2.2 Etiologi
Hematoma

Epidural dapat terjadi


Gambar 2.2 Hematoma Epidural
pada siapa saja dan

umur berapa saja,

beberapa keadaan

yang bisa menyebabkan EDH adalah misalnya benturan pada kepala pada

kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang

biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi

pembuluh darah.
Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur

duramater dan pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur. Akibat


trauma kapitis, tengkorak retak. Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur

linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa

bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya

menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus

melukai jaringan otak (laserasio). Pada pendarahan epidural yang terjadi

ketika pecahnya pembuluh darah, biasanya arteri, yang kemudian

mengalir ke dalam ruang antara duramater dan tengkorak

Gambar 2.3.
Coup and

countercoup lesion

2.2.3 Patofisiologi

Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan

durameter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila

salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering

terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom

dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.

Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui

foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan


dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom

epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut

dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar.

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan

tekanan pada lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini

menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah

pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda

neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.

Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus

formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya

kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga

(okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan

ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan

naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respon motorik

kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski

positif.

Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak

akan terdorong ke arah yang berlawanan, menyebabkan tekanan

intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan

intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda

vital dan fungsi pernafasan.


Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan

terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala

terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera

sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan

nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur

menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita

sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid

interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom.

Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau

epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval

karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami

fase sadar.

2.2.4 Manifestasi Klinis


Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara

progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di

sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang

keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus

diobservasi dengan teliti.


Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam

akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat

terjadi cedera kepala. Gejala yang sering tampak :

Penurunan kesadaran, bisa Penglihatan kabur


sampai koma Susahbicara
Bingung Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari Pusing
hidung atau telinga Berkeringat
Nampak luka yang dalam Pucat
atau goresan pada kulit Pupil anisokor, yaitu pupil
kepala.
ipsilateral menjadi melebar.
Mual
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa

dijumpai hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalananya,

pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada

permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi

herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.

Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil

kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil

tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan

adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.

Jika EDH di sertai dengan cedera otak seperti memar otak,


interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya
menjadi kabur.
2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat
trauma kepala lebih mudah dikenali.
2.2.5.1 Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti
sebagai epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P),
lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari
adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.
2.2.5.2 Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek,
dan potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu
bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral),
berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas
darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke
sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural
hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 90 HU),
ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.







Gambar 2.4. CT-

Scan epidural
2.2.5.3 Magnetic Resonance

Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan

massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi duramater, berada

diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan

batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan

yang dipilih untuk menegakkan diagnosis


2.2.6 Penatalaksanaan
2.2.6.1 Penanganan Darurat
1) Dekompresi dengan trepanasi sederhana
2) Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
2.2.6.2 Terapi Medikamentosa
1) Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah

yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang

pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama


untuk membuka jalur intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau

Dextrose in saline
2) Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a) Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah

vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga

dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat

mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2

dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.


b) Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk

menarik air dari ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk

kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang

dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang cukup dalam

waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030

menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an

bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound;

mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam

atau keesokan harinya.


c) Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak

beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung

menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang ber-manfaat pada kasus

cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini

menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah dicoba

juga bervariasi : Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100


mg bolus yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga

Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan

Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.



d) Barbiturat
Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak

dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga

akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih

terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai

oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan

yang ketat
2.2.6.3 Indikasi
Operasi di lakukan bila terdapat :
1) Volume hamatom > 30 ml
2) Keadaan pasien memburuk
3) Pendorongan garis tenga > 5 mm
4) Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan

kedalaman >1 cm
5) EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah

dengan GCS 8 atau kurang


6) Tanda-tanda lokal dan peningkatanTIK > 25 mmHg
2.2.7 Komplikasi
Hematoma epidural dapat memberikan komplikasi :
a. Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis di
mana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada

kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan

intracranial.
b. Kompresi batang otak.
2.2.8 Pemeriksaan B6
2.2.8.1 Breathing

Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama

jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,


frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia

breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana

karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada

jalan napas.
2.2.8.2 Blood

Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah

bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan

transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan

mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda

peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung

(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).


2.2.8.3 Brain
1) Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi

adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran

sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,

kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan

hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada

nervus cranialis, maka dapat terjadi :


2) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,

konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku

dan memori).
3) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,

kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.


4) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada

mata.
5) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
6) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus

vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.


7) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh

kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.


2.2.8.4 Blader

Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,

inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.


2.2.8.5 Bowel

Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,

muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan

selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses

eliminasi alvi.
2.2.8.6 Bone

Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi.

Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi

dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-

otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan

antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat

pula terjadi penurunan tonus otot.


2.3 Hematoma Subdural
2.3.1 Pengertian
Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara

duramater dan araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan

temporal.Pada subdural hematoma yang seringkali mengalami pendarahan

ialah bridging vein , karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik

pada otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan


lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai

dengan distribusi bridging vein.










Gambar 5. Hemtoma

subdural

2.3.2 Etiologi

Keadaan ini timbul

setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang

mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.

Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:

Trauma kapitis

Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran

atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh

terduduk.

Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah

terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya

pada orangtua dan juga pada anak anak.

Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam

ruangan subdura.
Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan

perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan

dari tumor intrakranial.

Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

Keadaan ini timbul setelah trauma kepala hebat, seperti perdarahan


kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik
dan memutuskan vena-vena. Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2
kejadian, yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak
ke arah yang berlawanan dengan arah dampak primer. Akselerasi kepala
dan pergeseran otak yang bersangkutan bersifat linear. Maka dari itu lesi-
lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah
dampak disebut lesi kontusio coup di seberang dampak tidak terdapat
gaya kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ terdapat
lesi, maka lesi itu di namakan lesi kontusio contercoup.

Gambar 3.5. Hematoma subdural


2.3.3 Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea.

Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins)

yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di

dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang

bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus

venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi

pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana

mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan

gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.


Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di

sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula.

Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya

dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena

tekanan intracranial yang berangsur meningkat.


Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan

atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar,

bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil

saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi

secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering

menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis

muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan

yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan

terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural

tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini


memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini

jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari

perdarahan subdural kronik.


Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan

tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan

intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan

dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra

kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial

yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai

pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.


Komplains intrakranial mulai berkurang yang

menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup

besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral.

Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi

tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak

terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan

supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa

aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu

dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.


Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan

subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa

sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan

kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma

dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul

subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang


mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada

kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian

didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata

hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang

ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat

mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor

angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan

subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan

peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural

hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan

peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya

perdarahan subdural kronik.


2.3.4 Macam perdarahan Subdural Hematoma
2.3.4.1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam jam setelah trauma.

Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat

mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya

sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat

kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran

skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.


2.3.4.2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 14 hari

sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari

bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi

belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran

skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi


isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan

resorbsi dari hemoglobin.


2.3.4.3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.

Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu

berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau

trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa

mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami

gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan

subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama

kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga

mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik,

didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada

yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah

permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi

robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh

darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena

dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya

dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat

pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan

menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat

menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan

membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri.

Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien


yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya

didapatkan lesi hipodens.



2.3.5 Manifestasi Klinis
2.3.5.1 Hematoma Subdural Akut

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24

sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak

berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada

jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang

selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan

cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas

denyut nadi dan tekanan darah.

2.3.5.2 Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48

jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma

subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam

ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma

kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan

status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu

penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.

Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa

jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran

hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak

memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran

isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh


akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan

melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.


2.3.5.3 Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan

bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek

salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara

lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah

perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya

selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma,

terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran

hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek

membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan

tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering

terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada

kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu

gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa

menunjukkan adanya genangan darah.


Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar

karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak . Hematoma subdural

yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.


Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala

neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk

dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:

sakit kepala yang menetap


rasa mengantuk yang hilang-timbul

linglung

perubahan ingatan

kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

2.3.5.4 Kerusakan Bagian Otak Tertentu


Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan

mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah

tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku

tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan

yang terjadi.
1) Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama

mengendalikan keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan

alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga

mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada

lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu

pada sisi tubuh yang berlawanan.


Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi,

tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi.

Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak, biasanya

tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun

kadang menyebabkan kejang.


Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus

frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang

inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan


atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita

mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang,

kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat

perilakunya.
2) Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan

kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi

umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa

berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu

mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi

dari bagian tubuhnya.


Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis

menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.

Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya

kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini

disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.


Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan

penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di

sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk

yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau

jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan

tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari

lainnya.
3) Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi

menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus


temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan

memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur

emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan

menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk.

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan

gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari

dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan

bahasanya.
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-

dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak

suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif

dan kehilangan gairah seksual.


2.3.6 Pemeriksaan Diagnostik
2.3.6.1 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan

darah rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.



2.3.6.2 Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk

memperkirakan adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai

untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial

tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak

dan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap

SDH.
2.3.6.3 CT-Scan
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila

dicurigai terdapat suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat,


mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat

membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-

aksial.
a) Perdarahan Subdural Akut
Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non

kontras) tampak sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-

aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam (inner

table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas

otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih

sedikit di daerah bagian atas tentorium serebelli. Subdural

hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura.

Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa seperti

epidural hematom dan biasanya unilateral.


Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat

berbaur dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan

tampak dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran

garis tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan

subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak

ada midline shift harus dicurigai adanya massa kontralateral

dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema

serebral yang mendasarinya.


Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena

serebelum relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi

terhadap bridging veins yang terdapat disana. Perdarahan

subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan


gambaran falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering

berhubungan dengan child abused.


b) Perdarahan Subdural Subakut
Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens

terhadap jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada

gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT dengan kontras

atau MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural

dalam waktu 48 72 jam setelah trauma kapitis. Pada

gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan tampak

hiperdens. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena

kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi

subdural hematoma dan jaringan otak.


Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk lensa

(bikonveks) sehingga membingungkan dalam membedakannya

dengan epidural hematoma. Pada alat CT generasi terakhir

tidaklah terlalu sulit melihat lesi subdural subakut tanpa

kontras.
c) Perdarahan Subdural Kronik
Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat

mudah dilihat pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20%

subdural hematom kronik bersifat bilateral dan dapat

mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali,

hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen

padat yang mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang

dengan tingkat cairan antara komponen akut (hiperdens) dan

kronis (hipodens).
2.3.6.4 MRI (Magnetic resonance imaging)

Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk

mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan

mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk

mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan

dibandingkan MRI pada fase akut penyakit. MRI baru dipakai

pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan

parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat

dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk

mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera aksonal

difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural

hematom kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas

pada CT-scan.

2.3.7 Penatalaksanaan

Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun

kurang ) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih

ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh

terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.

Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan

adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan

operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil


keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita

perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan

operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill

craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk

perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan

tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari

perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai

komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia

lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi

kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali.

Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah

yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan

teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik

sudah mulai berkurang.

Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka

tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan

definitif.

Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan

kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan

kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem

oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa

extra aksial.
Indikasi Operasi

Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata

Adanya tanda herniasi/ lateralisasi

Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi,

dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.

a. Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan

seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan

pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan

setelah 6-8 minggu kemudian.


Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada

sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari

pembuluh pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural

empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba,

kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk

mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan

subdural.. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan

sumber perdarahan harus ditiadakan.


Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga

dilakukan Markam .
b. Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak

membaik dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya

yang timbul kemudian.


c. HE (Healh Education) Untuk Keluarga
Keluarga diberikan penkes tentang perawatan pasien dengan

masalah cedera kepala, diantara yaitu :

Penjelasan tentang pengertian, penyebab, pengobatan dan

komplikasi cidera kepala termasuk gangguan fungsi luhur dari

pasien, oleh karena itu perlu control dan berobat secara teratur

dan lanjut.

Mengajarkan bagaimana cara pemenuhan nutrisi dan cairan

selama dirawat dan dirumah nantinya

Mengajarkan pada keluarga dan melibatkan keluarga dalam

pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien

Mengajarkan melatih mobilisasi fisik secara bertahap dan

terencana agar tidak terjadi cidera pada neuromuskuler

Mempersiapkan keluarga untuk perawatan pasien dirumah bila

saatnya pulang, kapan harus istirahat, aktifitas dan kontrol

selama kondisi masih belum optimal terhadap dampak dari

cidera kepala pasien dan sering pasien akan mengalami

gangguan memori maka mengajarkan pada keluarga bagaimana

mengorientasikan kembali pada realita pasien.

d. Rehabilitasi

Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi

gerakan seperti kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema,

infeksi, trombophlebitis, infeksi saluran kencing.

Goal jangka pendek


1) Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM,

balans, dan posture untuk mobilitas dan keamanan.


2) Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan

kardiopulmoner, fungsi musculoskletal, defisit neurologi

Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari

komplikasi seperti kontraktur dengan terapi fisik pengaturan

posis, melakukan gerakan ROM (pergerakan sendi) dan

mobilisasi dini

Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan home program

terapi yang melibatkan lingkungan dirumah

Pada pasien tidak sadar dilakukan dengan strategi terapi

coma management dan program sensory stimulation

Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan

terorganisis : dokter ,terapis, ahli gizi, perawat, pasien dan

keluarga.

Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk stimulasi,

suport nutrisi yang adekuat, edukasi keluarga.

2.3.8 Komplikasi
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
a) Hemiparese/hemiplegia.
b) Disfasia/afasia
c) Epilepsi
d) Hidrosepalus
e) Subdural empiema
2.3.9 Pemeriksaan B6
a) Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan

irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas,


kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne

Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,

wheezing ( kemungkinana karena aspirasi ), cenderung terjadi

peningkatan produksi sputum pada jalan napas.


b) Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan

darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan

meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung

yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat,

merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan

frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan

bradikardia, disritmia).
c) Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk

manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala.

Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,

vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada

ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang

otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat

terjadi :
(1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,

perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh

emosi/tingkah laku dan memori).


(2) Perubahan dalam penglihatan, seperti

ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang

pandang, foto fobia.


(3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri),

deviasi pada mata.


(4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan

tubuh.
(5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi

pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik

diafragma.
(6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang

tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria,

sehingga kesulitan menelan.


d) Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,

inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.


e) Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah,

mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami

perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan

terganggunya proses eliminasi alvi.


f) Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,

paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur

karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau

ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi

karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak

dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi

penurunan tonus otot..


2.4 Asuhan Keperawatan
2.4.1 Pengkajian
a. Identitas
Pada kasus Hematoma biasanya terjadi karena adanya benturan

ataupun trauma pada daerah kepala. 26% insiden dikarenakan

kecelakaan dan 33% diantaranya mengalammi kematian.


b. Riwayat sakit dan Kesehatan
1) Keluhan Utama
Pada pasien akibat trauma kecelakaan ditemukan

penurunan kesadaran dan gelisah.


2) Riwayat Penyakit Sekarang
Penurunan kesadaran ditandai dengan GCS menurun,

gelisah, mengeluh nyeri dikepala, mata lebam, dan diikuti demam.


3) Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit

hematoma subdural atau epidural atau penyakit lainnya.


4) Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah

mengalami sakit yang sama atau penyakit lainnya.




c. Pemeriksaan fisik
1) Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan
irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas,
kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne
Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,
wheezing ( kemungkinana karena aspirasi ), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
2) Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan
darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan
meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang
akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
3) Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk
manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala.
Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada
ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak
akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
(7) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,
perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori).
(8) Perubahan dalam penglihatan, seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang
pandang, foto fobia.
(9) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri),
deviasi pada mata.
(10) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan
tubuh.
(11) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi
pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik
diafragma.
(12) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang
tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria,
sehingga kesulitan menelan.
4) Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
5) Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah,
mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami
perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya
proses eliminasi alvi.
6) Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan
refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus
otot..

DAFTAR PUTAKA

1. Sidharta P, Mardjono M,2005, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.


2. Wilson M. L, Price S. A,2002 Patofisiologi, vol.2, Edisi 6.
3. Robertson C.S, Zager E, 2010, Clinical Evaluation of Portable Near-infrared
Device for detection of Traumatic Intracranial hematom, Journal of
Neurotrauma.
4. Bigler E.D,William L, 2012, Neuropathology of Mild traumatic brain Injury.
5. Sitorus ,S. M, 2004, Sistem Ventrikel dan liquor Cerebrospinal, USU.
6. Justin M, 2006, Subdural Hematoma, Vol 171
7. Wilkins, Williams L, 2008, ContralateralbAcute Epidural Hematoma After
Decompressive Surgery of Acute Subdural Hematoma, Vol.65.
8. Ersay F, Rapid spontaneous resolution of epidural hematoma,Turkish journal
of trauma & emergency surgey.
9. Gupta R, Mohindra S, 2008, Traumatic Ipsilateral acute extradural and
subdural hematoma, Indian Journal of Neurotrauma, Vol.5, No.2.
10. Gillet J, Whats the difference Between a subdural and Epidural Hematoma,
Brainline.org.
11. Leon J, Maria J, 2010, The Infrascanner, a handheld device for screening in
situ for the presence of brain Haematoms.
12. Mansjoer A, Suprohaita, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke 3, Jilid 2,
UI.
13. Tito.R.T, 2011, Subdural hematoma and epidural hematoma, Brain and spain
injury law blog, Titolooffice.com
14. Woody.S. Ways the brain injured, Brain Injury.com.

Anda mungkin juga menyukai