A. PENGERTIAN
Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus
paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus, yang karena keadaan
tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri pathogen
yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi jamur,
infeksi gigi, dan dapat pula terjadi akibat fraktur dan tumor (Benninger dan
Gottschall, 2006; Soetjipto dkk, 2006)
Rinosinusitis merupakan peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal, yang
selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks osteomeatal oleh infeksi,
obstruksi mekanik atau alergi (Hwang dkk, 2009; Jorissen dkk, 2000; Baroody,
2007)
Rinosinusitis adalah peradangan mukosa nasal dan sinus paranasal, dikatakan
kronis apabila berlangsung paling sedikit 12 minggu (CDK, 2010)
Sinusitis dapat didefinisikan sebagai peradangan pada salah satu atau lebih
mukosa sinus paranasal, umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering
disebut sebagai rinosinusitis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis,
sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. (Soetjipto D
& Wardani RS,2007)
Rinosinusitis merupakan penyakit peradangan yang menyerang organ sinus
paranasal dan kavitas nasal. Sejak pertengahan tahun 1990, kata sinusitis telah
diganti menjadi istilah rinosinusitis, dimana jarang ditemukan kasus sinusitis
tanpa rhinitis dan juga penyakit rhinitis yang selalu disertai dengan sinusitis. (Lee,
2008)
Rinosinusitis kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik didefinisikan
sebagai gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus paranasalis dan
pada mukosa hidung yang telah mengalami perubahan reversibel maupun
irreversible dengan berbagai etiologi dan faktor predisposisi dan 1,2,3
berlangsung lebih dari 12 minggu RSK masih merupakan tantangan dan masalah
dalam praktek umum maupun spesialis mengingat anatomi, etiologi serta
penanganannya yang kompleks (Harowi dkk, 2011)
Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang
dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12
minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2
kriteria minor (Stankiewicz, 2001; Busquets, 2006; Soetjipto, 2006; Setiadi M,
2009).
Rinosinusitis (RSK) merupakan istilah yang lebih tepat karena sinusitis jarang
tanpa didahului rinitis dan tanpa melibatkan infl amasi mukosa hidung.
Rinosinusitis menjadi penyakit berspektrum infl amasi dan infeksi mukosa hidung
dan sinus paranasal. Rinosinusitis didefinisikan sebagai gangguan akibat infl
amasi mukosa hidung dan sinus paranasal; dikatakan kronik apabila telah
berlangsung sekurangnya 12 minggu (Benninger dkk, 2003)
Menurut American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery 1996,
rinosinusitis adalah peradangan kronik pada satu atau lebih mukosa sius paranasal.
Secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan dari mukosa hidung,
sehingga sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis dan gejala-gejala
obstruksi nasi, rinore serta hiposmia dijumpai pada rinitis maupun sinusitis.
Berdasarkan Task force yang dibentuk oleh American Academy of Otolaryngic
Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS), rinosinusitis kronik
didefinisikan sebagai rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan
2 gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor (Hwang
dkk, 2003; Jirapongsananuruk, 1998 cit Setiadi 2009)
Rinosinusitis (maksila) adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus
paranasal (sinus maksila), ditandai oleh dua atau lebih gejala, diantaranya terdapat
sumbatan hidung/obstruksi/ kongesti, atau ada sekret hidung (anterior/ posterior
nasal drip), rasa nyeri/tertekan pada wajah, berkurang atau hilangnya penghidu;
juga temuan endoskopik: adanya sekret mukopurulen terutama dari meatus
medius, atau edema/sumbatan mukosa terutama di meatus medius dan atau adanya
perubahan mukosa dalam kompleks osteomeatal dan atau sinus pada temuan
tomografi komputer/ CT scan) (Fokkens dkk, 2007)
B. KLASIFIKASI
Pinheiro et al. (1998) dalam CDK (2010), membagi rinosinusitis ditinjau
dari lima aksis, yaitu:
1. Gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik)
Menurut Konsensus International (2004) dalam Soetjipto & Wardani (2007)
membagi rinosinusitis menjadi:
a. Akut dengan batas sampai 4 minggu
b. Sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu
c. Kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu
Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang
menetap selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan akut berulang pertahun
yang masing-masing serangan lebih dari 10 hari.
2. Lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan
sphenoidalis)
3. Organisme yang terlibat (virus, bakteri, atau jamur)
4. Keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi)
5. Modifikasi penyebab spesifik (atopi, obstruksi komplek osteomeatal)
Klasifikasi lain didasarkan ditemukan ada tidaknya alergi, membagi
rinosinusitis menjadi alergi dan nonalergi atau berdasarkan ada tidaknya infeksi
dibagi dalam rinosinusitis infeksi dan noninfeksi. Rinosinusitis infeksi biasanya
didahului dengan infeksi saluran nafas atas akut yang disebabkan virus, biasanya
infeksi bakteri merupakan lanjutan dari infeksi virus. Infeksi virus biasanya akan
membaik tanpa terapi setelah 2 minggu. Virus yang biasa menjadi penyebab
adalah virus influenza, corona virus dan rinovirus. Infeksi virus sering diikuti
infeksi bakteri terutama kokkus (streptococcus pneumonia dan staphilococcus
aureus) dan haemophilus influenza. Rinosinusitis kronik noninfeksi Bisa
disebabkan alergi, faktor lingkungan (misalnya polutan) dan penyebab fisiologik
atau yang berkaitan dengan usia (misalnya rinitis vasomotor dan perubahan
hormonal).
Pembagian berdasarkan derajat sinusitis digunakan gambaran radiologis
untuk menunjukkan berat ringannya penyakit. Pembagian secara radiologis telah
banyak dilakukan di antaranya menurut Lund MacKay. Pembagian menurut
sistem Lund MacKay didasarkan pada pengukuran obyektif kelainan masing-
masing sinus dengan skor 0 bila tidak ditemukan kelainan, skor 1 bila ditemukan
opasitas parsial, skor 2 bila ditemukan opasitas total sinus, dan penilaian patensi
osteomeatal komplek. Sistem ini banyak dipakai karena mampu mengukur
kelainan masing-masing sinus secara obyektif, dapat dipakai untuk kasus
individual, dan mempertimbangkan kondisi komplek osteomeatal (Zeinreich,
2004).
C. ETIOLOGI
1. Faktor Host
a. Umur, Jenis Kelamin dan Ras
Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua kelompok
umur, semua jenis kelamin dan semua ras.
b. Riwayat Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis akut biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran pernafasan atas
seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas dapat menyebabkan
edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan penurunan aktivitas mukosiliar.
Rinosinusitis akut yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan regenerasi
epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi kegagalan
mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan predisposisi infeksi.
c. Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
maksila. Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai hubungan yang sangat
dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas. Hubungan ini dapat
menimbulkan masalah klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula
oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus maksila.
d. Rinitis Alergi
Alergi merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing
yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada
kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.39 Rinitis alergi adalah suatu
penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell & Comb) yang
diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama.
Gejalanya berupa hidung beringus, bersin-bersin, hidung tersumbat dan gatal.
Peranan alergi pada rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti bodi
menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi. Mukosa sinus yang
membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase sehingga
menyebabkan timbulnya infeksi, yang selanjutnya menghancurkan epitel
permukaan. Kejadian yang berulang terus-menerus dapat menyebabkan
rinosinusitis kronis.
e. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam
kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga
lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis.
f. Asma
Asma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik.
Sebesar 25-30 % penderita asma dapat berkembang menjadi polip hidung
sehingga mengganggu aliran mukus.
g. Kelainan anatomi hidung
Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar, hipertrofi
atau paradoksal konka media dan konka bulosa dapat mempengaruhi aliran ostium
sinus, menyebabkan penyempitan pada kompleks osteomeatal dan
menggangu clearance mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya rinosinusitis.
h. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik
dapatmengganggu transport mukosiliar (sistem pembersih). Sindrom kartagener
atau sindrom silia immortal merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik,
dimana terjadi kekurangan/ketiadaan lengan dynein sehingga menyebabkan
terjadinya gangguan pada koordinasi gerakan silia dan disorientasi arah dari
denyut silia. Gangguan pada transport mukosiliar dan frekuensi denyut silia
menyebabkan infeksi
kronis yang berulang sehingga terjadi bronkiektasis dan rinosinusitis. Pada
fibrosis kistik terjadi perubahan sekresi kelenjar yang menghasilkan mukus yang
kental sehingga menyulitkan pembersihan sekret. Hal ini menimbulkan stase
mukus yang selanjutnya akan terjadi kolonisasi kuman dan timbul infeksi.
2. Faktor Agent
Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen
seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides,
Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri,
rinosinusitis juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus,
parainfluenza virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yaitu polusi
udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi saluran
hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan silia.
Apabila berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronik.
Udara dingin akan memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa sinus
membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan terjebak di dalam
sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri berkembang di daerah tersebut
E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi
silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi
faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan
transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama
berkembangnya rinosinusitis kronik.
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem hasil
proses radang di area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah kompleks
ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior.
Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya
hipoksi dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang merupakan media yang
baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi
toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang
memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan
membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi
sinus.
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi
mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di hidung,
polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi
seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan
defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan
kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia.
Pathway
Pathway Rinosinusitis
G. KOMPLIKASI
Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan
antibiotika. Komplikasi yang dapat terjadi ialah:
1. Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-
anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.
2. Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang
paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi
yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses
orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.
3. Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus
kavernosus.
4. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai
denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul asma
bronkial
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus
yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior.
2. Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik
tidak tersedia.
3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan Lateral.
Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika ada
infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa. Permukaan
mukosa yang membengkak dan udema tampak seperti suatu densitas yang paralel
dengan dinding sinus.
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus alveolaris
antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau daerah
periodontal.
Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya batas
cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak.
b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada penampang
CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-Scan adalah
cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah.
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan
visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal,
rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita,
lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek
osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas.
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan sistem
gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan
secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan. Lund-
MacKay Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi Radiologik
sinus maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid, Penilaian
Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 :
Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit.
4. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena
dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor
lokal penyebab sinusitis.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus
media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor.
I. DIAGNOSIS
Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of
Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah
rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau
lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor atau lebih (Setiadi M, 2009).
J. PENATALAKSANAAN
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti
deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak,
polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan
penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan (Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah
bakterial yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya.
1. Medikamentosa
a. Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan
sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup -laktamase seperti pada
terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin
sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan
antibiotik diteruskan mencukupi 10 14 atau lebih jika diperlukan.
Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti
siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada
bakteri anaerob, dapat diberi metronidazole.
Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi
kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan
pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan.
b. Terapi Medik Tambahan
Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal
mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor -adrenergik
dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan
sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi.
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine.
Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus
dilakukan dengan hati-hati.
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap
sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian
jangka lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa.
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada
lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan,
demikian juga kemungkinan imunoterapi.
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik
yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine, cetirizine,
fexofenadine dan loratadine.
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid
topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal
terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya
merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis.
Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan
non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal,
keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius
hilang.
Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus.
Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa
keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat
membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot
merata.
2. Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat
dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan
bedah.
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior,
Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF) dapat dilaksanakan.
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan
drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami.
Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka
berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-
Luc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan
normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga
drainase dapat sembuh kembali.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat
dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan
konservatif yang lebih efektif dan fungsional.
Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan
yang sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci
adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus.
Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan
ostium sinus yang tersumbat diperlebar.
Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap
berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.
DIANGOSA
NO
KEPERAWATAN DAN TUJUAN (NOC)
DX
KOLABORASI
1 Bersihan jalan nafas tidak NOC : NIC :
efektif berhubungan dengan Respiratory status : Ventilation Airway Managem
mucus berlebih Respiratory status : Airway patency Buka jalan nafas
Aspiration Control Posisikan pasien
Kriteria Hasil : Identifikasi pasien
Mendemonstrasikan batuk efektif dan Pasang mayo bila
suara nafas yang bersih, tidak ada Lakukan fisiotera
sianosis dan dyspneu (mampu Keluarkan sekret
mengeluarkan sputum, mampu Auskultasi suara n
bernafas dengan mudah, tidak ada Lakukan suction p
pursed lips) Berikan bronkodi
Menunjukkan jalan nafas yang paten Berikan pelembab
(klien tidak merasa tercekik, irama Atur intake untu
nafas, frekuensi pernafasan dalam Monitor respiras
rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal) Airway Suction
Mampu mengidentifikasikan dan Pastikan kebutuh
mencegah factor yang dapat Auskultasi suara
menghambat jalan nafas Informasikan pa
Minta klien nafa
Berikan O2 deng
nasotrakeal
Gunakan alat ya
Anjurkan pasien
dikeluarkan dari
Monitor status o
Ajarkan keluarga
Hentikan suksio
bradikardi, penin
Analgesic Admi
Tentukan lokasi,
pemberian obat
Cek instruksi do
Cek riwayat aler
Pilih analgesik y
pemberian lebih
Tentukan pilihan
Tentukan analge
Pilih rute pembe
teratur
Monitor vital s
pertama kali
Berikan analgesi
Evaluasi efektivi
DAFTAR PUSTAKA
Acala V. 2010. CDK: Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis
Rinosinusitis Kronik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada/RSUP Dr. Sardjito
Benninger MS, Gottschall J. 2006. Rhinosinusitis: clinical presentation and diagnosis. In:
Itzhak Brook, ed. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor
and Francis Group
Harowi MR dkk. 2011. Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah.
Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Kentjono WA. 2004. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. Dalam: Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya:
Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Unair/RS Dr. Soetomo
Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Rahmi AD, Punagi Q. 2008. Pola penyakit Subbagian Rinologi di RS Pendidikan Makassar
periode 2003-2007. Makasar: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Universitas
Hasanuddin. Dipresentasikan di PIT IV Bandung
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Soetjipto D, Dharmabakti U, Mangunkusumo E, Utama R. 2006. Functional endoscopic
sinus surgery di Indonesia pada panel ahli THT Indonesia. Jakarta: Yanmedic-
Depkes