Disusun oleh :
Kelompok 1B
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius dimasyarakat karena
berperan sebagai pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia. Sebagai negara maju, di
Eropa dan Amerika Serikat sekitar 1–1,5 juta jiwa mengalami cedera kepala tiap tahunnya.2
Sementara itu sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki jumlah insiden cedera kepala
relatif tinggi yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas, yaitu sebesar 19,6%. (Verra dkk.
2019)
Di Indonesia, menurut Depkes RI tahun 2007, cedera kepala menempati urutan ke-7 dari
10 penyakit utama penyebab kematian terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit dengan
CFR 2,94% dan pada tahun 2008 menempati urutan ke-6 dengan CFR 2,99%. Sedangkan di
Amerika, setiap tahun tercatat sekitar 52.000 penduduk meninggal karena trauma kepala (20
orang per 100.000 populasi). Insidensi pasien dengan cedera kepala berat (GCS kurang dari 8)
mencapai 100 per 100.000 populasi (Heller, dkk., 2012). Trauma kapitis merupakan keadaan
gawat darurat sehingga perlu segera ditangani. Trauma timbul akibat adanya gaya mekanik yang
secara langsung menghantam kepala. Akibatnya dapat terjadi fraktur tulang tengkorak, kontusio
serebri, laserasi serebri, dan perdarahan intrakranial seperti subdural hematom, epidural
hematom, atau intraserebral hematom. Trauma kapitis ini dapat menimbulkan terjadinya kelainan
neurologi pada saat awal kejadian, timbulnya kecacatan di kemudian hari atau bahkan pada kasus
yang berat dapat menimbulkan kematian (Sastrodiningrat, 2006). Subdural hematoma adalah
penimbunan darah di dalam rongga subdural (di antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini
sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan (bridging veins) yang terletak antara kortek
cerebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi
pembuluh arteri pada permukaan otak (Wiwik ,dkk. 2015)
Perdarahan subdural akut yang kompleks (complicated SDH) biasanya mengenai
parenkim otak, misalnya kontusio atau laserasi dari serebral hemisfer disertai dengan volume
hematoma yang banyak. Pada penderita ini mortalitas melebihi 50% dan biasanyaberhubungan
dengan volume subdural hematoma dan jauhnya midline shift. Akan tetapi, hal yang paling
penting untuk meramalkan prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio parenkim otak (Heller,
dkk., 2012).
Angka mortalitas pada penderita dengan perdarahan subdural yang luas dan
menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak, menjadi lebih kecil apabila
dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah kejadian. Walaupun demikian bila dilakukan
operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian tidaklah selalu berakhir dengan kematian (Heller, dkk.,
2012). Pada kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan kerusakan parenkim otak merupakan
faktor yang lebih menentukan prognosa akhir (outcome) daripada tumpukan hematoma ekstra
axial di ruang subdural.
Subdural hematoma (SDH) adalah akumulasi darah yang terjadi antara bagian dalam
duramater dengan arachnoid.1 Prevalensi terjadinya subdural hematoma pada cedera kepala
berat bergeser 30%. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan perdarahan epidural.
Perdarahan ini sering terjadi akibat robekan pembuluh darah atau vena-vena kecil di permukaan
korteks serebri. Subdural hematoma akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan
cedera kepala berat. Kejadian tahunan hematoma subdural kronis telah dilaporkan 1-5,3 kasus
per 100.000 penduduk. Penelitian terbaru telah menunjukkan insiden yang lebih tinggi. Hal itu
disebabkan teknik pencitraan yang lebih baik.(Ridha Darmaja,2018)
Tingkat mortalitas SDH akut berkisar 45-63%. Kematian terjadi 74% pada pasien
dengan Glasgow Coma Scale Score (GCS) 3-5 kurang dari 6 jam, namun jika GCS 6-8 tingkat
kematiannya menurun hingga 39%.2,3,4 Perbedaan jenis kelamin dan usia-terkait dalam insiden
secara keseluruhan. Subdural hematoma lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita,
dengan rasio laki-perempuan sekitar 3:1. Pria juga memiliki insiden yang lebih tinggi pada
hematoma subdural kronis. Rasio laki:perempuan telah dilaporkan berkisar 2:1. Insiden subdural
hematoma kronis meningkat tinggi pada dekade kelima hingga ketujuh kehidupan. Satu studi
retrospektif melaporkan bahwa 56% kasus berada di pasien dalam dekade kelima dan keenam
mereka, studi lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pada pasien yang
lebih tua dari 60 tahun. Insiden tertinggi, 7,35 kasus per 100.000 penduduk, terjadi pada orang
dewasa berusia 70-79 tahun. (Ridha Darmaja,2018)
Penanganan medis pasca operasi subdural hematom ditujukan untuk menjaga ICP di
bawah 20 mmHg dan mempertahankan tekanan perfusi serebral di atas 60-70 mmHg. Jika terjadi
peningkatan TIK pasca operasi, pemeriksaan CT scan harus segera dilakukan untuk mencari lesi
massa intrakranial baru atau reakulasi SDH. Pemeriksaan neurologis serial digunakan untuk
menentukan perjalanan klinis pasien selanjutnya apakah pasien stabil, membaik, atau memburuk.
Pasien mungkin memerlukan terapi fisik, terapi okupasi, rehabilitasi jangka panjang, atau bahkan
penempatan keperawatan. CT Scan pasca operasi 24 jam diperlukan untuk mengkonfirmasi
bahwa SDH akut telah sepenuhnya terselesaikan atau tidak, karena mungkin bisa terjadi
hematoma residual pasca operasi yang bisa berkembang menjadi SDH kronis. Pemeriksaan
koagulasi pasca operasi PT, APTT, dan jumlah trombosit harus diamati dengan seksama untuk
mengurangi risiko pendarahan tambahan. Komplikasi dari pasca operasi subdural hematom ialah
parenchymal brain injury, residual hematoma, kejang, meningitis, abses otak, pneumonia,
empyema, kumpulan formasi subdural akut, intraparenchimal hematoma, dan tension
pneumocephalus. (Jasa jurnal.com . 2021)
1.2 Tujuan
Mahasiswa diharapkan mampu memberikan asukan keperawatan gawat darurat dan kritis
pada An V dengan Subdural hematoma.
TINJAUAN TEORITIS
Subdural hematoma (SDH) adalah akumulasi darah yang terjadi antara bagian dalam
duramater dengan arachnoid. Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara
duramater dan araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal.Pada subdural
hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging vein” , karena tarikan ketika
terjadi pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan
lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging
vein” (Ridha Darmajaya, 2018).
Perdarahan subdural, lebih lazim dengan sebutan subdural hematoma (SDH). Diartikan
sebagai penumpukan darah di antara dura dan arachnoid. Lesi ini lebih sering ditemukan
daripada EDH. Dengan mortalitas 60 – 70 persen. Terjadi karena laserasi arteri/vena kortikal
pada saat berlangsungnya akselerasi dan deselerasi. Pada anak dan usia lanjut sering disebabkan
oleh robekan.
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi terjadinya subdural hematoma pada cedera kepala berat bergeser 30%. Jumlah ini
jauh lebih besar dibandingkan dengan perdarahan epidural. Perdarahan ini sering terjadi akibat
robekan pembuluh darah atau vena-vena kecil dipermukaan korteks serebri. Subdural hematoma
akut telahdilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan cedera kepalaberat. Kejadian tahunan
hematoma subdural kronis telahdilaporkan 1-5,3 kasus per 100.000 penduduk. Penelitian
terbaru telah menunjukkan insiden yang lebih tinggi. Hal itudisebabkan teknik pencitraan yang
lebih baik. Tingkatmortalitas SDH akut berkisar 45-63%. Kematian terjadi 74%pada pasien
dengan Glasgow Coma Scale Score (GCS) 3-5kurang dari 6 jam, namun jika GCS 6-8 tingkat
kematiannyamenurun hingga 39%.Perbedaan jenis kelamin dan usia-terkait dalam insiden
secarakeseluruhan. Subdural hematoma lebih sering terjadi padapria dibandingkan pada wanita,
dengan rasio laki-perempuansekitar 3:1. Pria juga memiliki insiden yang lebih tinggi pada
hematoma subdural kronis. Rasio laki:perempuan telahdilaporkan berkisar 2:1. Insiden subdural
hematoma kronismeningkat tinggi pada dekade kelima hingga ketujuhkehidupan. Satu studi
retrospektif melaporkan bahwa 56% kasus berada di pasien dalam dekade kelima dan keenam
mereka, studi lain mencatat bahwa lebih dari setengah darisemua kasus terlihat pada pasien yang
lebih tua dari 60 tahun.Insiden tertinggi, 7,35 kasus per 100.000 penduduk, terjadipada orang
dewasa berusia 70-79 tahun (Ridha Darmajaya, 2018).
2.1.3 Klasifikasi
Subdural hematom dibagi tiga, yaitu subdural hematom akut,subakut, dan kronis.
Ketiganya dibedakan berdasarkanlamanya kejadian. Subdural hematom akut terjadi selama 48-
72 jam setelah cedera, subdural hematom subakut terjadi 3-20hari setelah cedera, dan subdural
hematom kronis terjadi daritiga minggu sampai beberapa bulan setelah cedera. Subdural
hematom akut adalah tipe hematom intrakranial dimana 24 %pasien mengalami koma. Jika
sudah terjadi koma maka angkakematian meningkat menjadi 60%.Perdarahan akut dimana gejala
yang timbul segera hinggaberjam - jam setelah trauma. Terjadi pada cedera dentura
kepala yang cukup berat. Hal ini dapat mengakibatkanperburukan lebih lanjut pada pasien yang
sudah terganggukesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5mm tebalnya tetapi
melebar luas. Pada gambaran scanningtomografinya, didapatkan lesi hiperdens berbentuk
cekung.
Perdarahan sub akut dapat berkembang dalam beberapa haribiasanya sekitar 2 - 14 hari
sesudah trauma. Pada subduralsub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan
darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum adapembentukan kapsula di sekitarnya. Pada
gambaran scanningtomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodensberbentuk cekung. Lesi
isodens didapatkan karena terjadinyalisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
Perdarahan kronik terjadi setelah 14 hari setelah traumabahkan bisa lebih. Perdarahan
kronik subdural, gejalanya bisamuncul dalam waktu berminggu-minggu ataupun bulan
setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas,bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkanperdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguangangguan
pembekuan darah. Pada perdarahan subduralkronik, kita harus berhati hati karena hematoma ini
lamakelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahansehingga mengakibatkan
penekanan dan herniasi.Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma pada yang lebih baru, kapsula masihbelum terbentuk atau tipis di daerah
permukaan arachnoidea.Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan padaselaput otak
ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darahyang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater.
Karenadinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapatmenembusnya dan meningkatkan
volume dari hematoma.Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan
perdarahan baru yang menyebabkan hematom. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan
kental yangdapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea.Hematoma akan membesar dan
menimbulkan gejala sepertipada tumor serebri. Sebagian besar hematoma subduralkronik
dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran scanning tomografinya
didapatkan lesi hipodens berbentuk cekung (Ridha Darmajaya, 2018).
2.1.4 Etiologi
Pada subdural hematom, keadaan ini timbul setelah trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural .
Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan memutuskan vena-vena.Pada
waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak dan
pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah dampak primer.Akselerasi kepala dan
pergeseran otak yang bersangkutan bersifat linear.Maka dari itu lesi-lesi yang bisa terjadi
dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio “coup” di
seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ
terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup” (Sidharta P, 2005).
2.1.5 Patomekanisme
Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam
rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi
ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri. Putusnya vena-vena penghubung antara
permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi.
Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin
terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki
vena-vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena
penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih besar.
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium
dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” . Karena perdarahan
subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200
cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari
hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang
diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil,
yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi
timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan
sisa darah (higroma). Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga
mekanisme.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan
akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan
tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian
didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang
mengikuti hancurnya sel darah merah.
Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan
terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan
terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan
peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari
koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
2.1.6 Patofisiologi
SDH akut disebabkan robekan kapiler cortical akibatakselerasi otak dalam kranium
disebabkan benturan.Saat kepala berbenturan dengan benda keras,menimbulkan energi yang
berakibat otak berakselerasidi dalam kranium. Jika akselerasi ini berjalan hanyasesaat, kerusakan
terjadi hanya di sekitar permukaanotak dan pembuluh darah termasuk bridging veins.
Jika akselerasi dalam jangka waktu lama, regangandapat masuk lebih dalam menyebabkan
diffuse axonalinjury (DAI). Sumber perdarahan lain subduralhematom adalah laserasi atau ruptur
arteri dan venakecil di korteks yang berkaitan dengan kontusio.
Subdural hematom biasanya berada sepanjangkonveksitas cerebral. Tempat paling sering
kontusiocerebral yang menyebabkan subdural hematom adalahdi bagian temporal dan berikutnya
di bagian frontaldan cerebral konveksitas. Subdural hematom jugadapat terjadi antara falx dan
permukaan medialhemisfer cerebral. Ini sering disebut parafalcinesubdural hematom yang
dikarakterisasikan denganhemiparese kontralateral pada ekstremitas bawah
dibanding ekstremitas atas (falx syndrome).
Autopsi yang dilakukan Maixner menyatakan duapertiga kasus SDH akut disebabkan
oleh kontusio dansepertiga disebabkan oleh ruptur bridging vein.Bridging vein yang berasal dari
permukaansuperolateral posterior lobus frontal, parietal danoksipital berjalan ke depan menuju
sinus sagitalissuperior dengan sudut kemiringan 100-850.SDH akut dapat juga disebabkan oleh
aneurisma,tumor, dan arteriovenous malformation. Namun mayoritas penyebab SDH adalah
ruptur bridging vein.
Angiografi cerebral menyatakan 8-12 vena kortikalyang mengalir ke sinus sagitalis
superior. Vena inimengalirkan bagian medial, lateral dan superiorcerebral.6 Dapat dibagi
menjadi area prerolandic (1-6vena), area rolandic (1-3 vena), dan retrorolandic (1-3vena).
Kebanyakan satu atau vena bergabung menjadisatu, mengalirkan area yang luas, ada juga vena
yangberdekatan mengalirkan area yang kecil. Leary danEdward menyatakan lapisan dura bagian
dalam berupasel datar yang sama dengan fibroblas dikenal sebagaidural border cells. Jika ada
robekan bridging veinmaka darah akan masuk ke lapisan dural border cellssehingga terjadi SDH.
Ada juga yang membuat SDHbertambah besar, yaitu tekanan vena cerebral yang
berjalan sama dengan tekanan intrakranial, hanya adaperbedaan sedikit diantaranya.4 Jika
tekanan venacerebral meningkat maka darah dari vena kortikal sulitmasuk ke dalam sinus
sagitalis superior menyebabkandarah menumpuk di vena kortikal. Akibatnya SDHakan
bertambah besar, tekanan intrakranial juga meningkat kembali (Ridha Darmajaya,2018).
2.1.7 Gejala Klinis
SDH akut dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan lalulintas atau penganiayaan. Pasien
dengan SDH akutmengalami benturan benda tumpul di kepala baiksedang maupun berat.
Gambaran klinis tergantungletak lokasi dan luasnya perdarahan. Pasien denganSDH akut
biasanya berusia lebih tua dibanding cederatanpa SDH akut.Hematoma subdural akut
menimbulkan gejalaneurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera.Gangguan neurologik
progresif disebabkan olehtekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otakdalam foramen
magnum, yang selanjutnyamenimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan inidengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasandan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
Darah (Ridha Darmajaya,2018).
Gejala klinis SDH akut tergantung peningkatantekanan intrakranial dan keparahan cedera
difus padaotak. Perubahan kesadaran ditentukan oleh keparahanperkembangan hematom dan
waktu terjadinya cedera.Gejala klinis dan tanda pasien dengan SDH akutsupratentorial, yaitu
pupil abnormal, hemiparese,kejang, afasia, deserebrasi dan lateralisasi yaitu,ditemukannya
dilatasi pupil ipsilateral dan kelemahanmotorik kontralateral. Dapat juga terjadi Kernohan’snotch
dimana kelemahan motorik ipsilateral dandilatasi pupil kontralateral.
Gejala yang timbul pada subdural :
1. Subdural Hematoma Akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma sampai dengan hari ke tiga
Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan
perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda
vitalnya
Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai
adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi
pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens yang berupa
bulan sabit
2. Subdural Hematoma Subakut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar hari ke 3 – minggu ke 3 sesudah
trauma
Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula disekitarnya
Adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan
status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk
Trauma yang menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul, saat tersebut
gejala yang terasa Cuma pusing.
Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang mudah menyerap cairan dan
mempunyai sifat mudah ruptur.
Karena penimbunan cairan tersebut kapsul terus membesar dan mudah ruptur, jika
volumenya besar langsung menyebabkan lesi desak ruang.
Jika volume kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi >> menimbun cairan >>
ruptur lagi >> re-bleeding. Begitu seterusnya sampai suatu saat pasien datang dengan penurunan
kesadaran tiba-tiba atau hanya pelo atau lumpuh tiba-tiba.
2.1.9 Penatalaksanaan
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada pasien SDH, tentu kita harus
memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Dalam masa mempersiapkan operasi,
perhatiaan hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan medika mentosa untuk menurunkan
peningkatan tekanan intracranial. Seperti pemberian mannitol 0,25 gr/kgBBatau furosemide 10
mg intavena, dihiperventilasikan.
Tidakan operatif
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan ada gejala- gejala yang progresif
maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematom. Tetapi seblum
diambil kepetusan untuk tindakan operasi yang harus kita perhatikan adalah airway, breathing,
dan circulatioan.
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau pergeseran midline shift >5
mm pada CT-Scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring TIK
c. Pasien SDH dengan GCS <9, dengan ketebalan perdarahan <10 mm dan pergerakan struktur
midline shift. Jika mengalami penurunan GCS >2 poin antara saat kejadian sampai saat masuk
rumah sakit.
d. Pasien SDH dengan GCS<9, dan atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan /atau TIK >20 mmhg
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy. Tindakan yang paling
banyak diterima karena minimal komplikasi.
Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat dan local anastesi
Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang infasih dengan
tingkat komplikasi yang lebih tinggi.
2.1.10 Komplikasi
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
1. Hemiparese/hemiplegia.
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural empiema
2.2. Konsep Keperawatan
Peran perawat dalam manajemen Subdural Hematoma sangat penting. Kondisi Subdural
Hematoma dapat terjadi di berbagai setting perawatan pasien meliputi UGD, rawat inap dan
bahkan di rawat jalan. Oleh karena itu, kompetensi manajemen Subdural Hematoma harus
dikuasai bukan hanya oleh perawat UGD saja tetapi oleh seluruh perawat rumah sakit yang
kemungkinan kontak dengan pasien Subdural Hematoma. Peran perawat dalam manajemen
Subdural Hematoma diantaranya deteksi tanda dan gejala, monitoring tanda vital, deteksi dan
pencegahan/ perburukan serta deteksi komplikasi pasca tindakan, edukasi pasien dan keluarga,
serta rehabilitasi pasca tindakan. Pendekatan yang digunakan tentunya menggunakan
pendekatan proses keperawatan yaitu pengkajian, penegakkan diagnosis keperawatan,
penentuan tujuan dan outcomes, pemilihan rencana tindakan, implementasi dan evaluasi
2.2.1. Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan system persarafan
sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya
komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut:
a. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan,
hubungan pasien dengan penanggung jawab.
b. Riwayat kesehatan
Tingkat kesadaran/ GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala,
wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran
napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang. Riwayat penyakit dahulu
haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit
sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang
mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari pasien
atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa pasien.
c. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15,
disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese. Nervus cranialis dapat
terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau
perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.
1) Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa cheyne stokes atau ataxia breathing. Napas berbunyi,
stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
2) Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan
pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
3) Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan
otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas.
nBila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan
pada nervus cranialis, maka dapat terjadi:
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah
satu sisi, disfagia, disatria, kesulitan menelan
4) Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi
5) Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin
proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan
(disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
6) Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi
yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks spinal
selain itu dapat terjadi penurunan tonus otot.
D . Pemeriksaan Penunjang
NIC:
a. Monitor TTV.
b. Monitor AGD, ukuran pupil, ketajaman, kesimetrisan dan reaksi.
c. Monitor adanya diplopia, pandangan kabur, nyeri kepala.
d. Monitor level kebingungan dan orientasi.
e. Monitor tonus otot pergerakan.
f. Monitor tekanan intrkranial dan respon nerologis.
g. Catat perubahan pasien dalam merespon stimulus.
h. Monitor status cairan.
i. Pertahankan parameter hemodinamik.
j. Tinggikan kepala 45o atau tergantung pada kondisi pasien dan order medis.
NIC:
a. Berikan O2
b. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
c. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
d. Lakukan fisioterapi dada
e. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
f. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
g. Berikan bronkodilator
h. Monitor status hemodinamik
i. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl lembab
j. Berikan antibiotik
k. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
l. Monitor respirasi dan status O2
m. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan sekret
n. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan peralatan: O2, suction,
inhalasi.
NIC:
a. Monitor suhu sesering mungkin
b. Monitor warna dan suhu kulit
c. Monitor tekanan darah, nadi dan RR
d. Monitor penurunan tingkat kesadaran
e. Monitor WBC, Hb, dan Hct
f. Monitor intake dan output
g. Berikan anti piretik
h. Kelola Antibiotik
i. Selimuti pasien
j. Berikan cairan intravena
k. Kompres pada lipat paha dan aksila
l. Tingkatkan sirkulasi udara
m. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
n. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
o. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
p. Monitor hidrasi seperti turgor kulit, membran mukosa
2.2.4. Implementasi
Pelaksanaan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan. Pelaksanaan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
pasien secara optimal. Tahap pelaksanaan merupakan bentuk tindakan yang
direncanakan sebelumnya dan disesuaikan dengan waktu pelaksanaan tindakan
(Doenges, 2002).
2.2.5. Evaluasi
Penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan terencana tentang
kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan pasien dan tenaga kesehatan lainnya (Doenges,
2002). Evaluasi asuhan keperawatan merupakan tahap akhir proses keperawatan yang
bertujuan untuk menilai hasil dari keseluruhan tindakan keperawatan yang dilakukan,
ditulis dalam catatan perkembangan yang berfungsi untuk mendokumentasikan keadaan
pasien baik berupa keberhasilan maupun ketidakberhasilan yang dilihat berdasarkan
masalah yang ada. Evaluasi ini dapat bersifat formatif yaitu evaluasi yang dilakukan
secara terus menerus untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan, yang juga disebut
sebagai tujuan jangka pendek dan dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi dilakukan
sekaligus pada akhir semua tindakan keperawatan yang disebut dengan evaluasi
pencapaian tujuan jangka panjang.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN/NY/SDR/..... DENGAN .....
DI ICU/ICCU
PENGKAJIAN
Tanggal Pengkajian :07/09/2021
I. IDENTIFIKASI KLIEN
Nama Initial :An. V
Tempat/Tgl Lahir (Umur) :18-05-2006
Jenis Kelamin :Laki-laki
Status Perkawinan :BelumMenikah
Jumlah Anak :-
Agama/Suku :Khatolik
Pendidikan Terakhir :SMP
Pekerjaan :Pelajar
Alamat :Jl. SM. RAJA No. 120 SidikalangDairi
Diagnosa Medis :Penurunankesadaranec Subdural Hematoma
Nomor Medical Record :00-43-81-29
Tanggal Masuk RS :06/09/2021
Keluarga terdekat yang dapat segera dihubungi (orang tua, wali, suami, istri, dll)
Nama : Tn. J
Pendidikan Terakhir :S1 KesehatanMasyarakat
Pekerjaan :PNS
Alamat :Jl. SM. RAJA No. 120 SidikalangDairi
2. Data Sistemik
a. Sistem Persepsi Sensori
Pendengaran :
Normal Kerusakan Ka/Ki Tuli Ka/Ki
√
Alat Bantu Dengar Tinitus
Penglihatan :
Pengecap,Penghidu :
Normal Gangguan indera pengecap
√
Gangguan indrera penghidu
Peraba :
Frekuensi : 15x/menit
Batuk : YaTidak
√
c. Sistem Kardiovaskuler
Tekanan Darah : 90/70 mmHg
√
Denyut Nadi : 56x/menit, Irama : Teratur Tidak Teratur
Kekuatan : Kuat √ Lemah
Akral : Hangat Dingin
√
Pengisian Kapiler : < 3 detik > 3 detik
√
Edema : Tidak ada Ada di ............... Lain-lain .........
√
e. Sistem Gastrointestinal
Nafsu Makan : Normal Meningkat Menurun
√
Mual Muntah ( Terpasang NGT)
√ √
Mulut dan tenggorokan : Normal Lesi
√
Kemampuan Mengunyah : Normal Kurang Kesulitan
√
Kemampuan Menelan : Normal Nyeri Telan
√
Perut : Normal Hiperperistaltik Tidak ada bising usus
√
Kembung Nyeri Tekan Kuadra ......../Bagian ..........
Melena Hematemesis
f. Sistem Muskuloskeletal
√
Rentang Gerak : Penuh Terbatas
g. Sistem Integumen
Warna kulit : Normal Pucat Sianosis
√
Ikterik Lain-lain ....
h. Sistem Reproduksi
Infertil : Ada Tidak ada
i. Sistem Perkemihan
Vasica Urinarie :
HASIL LABORATORIUM
Tanggal 06/09/2021
LED 40 <10
GolonganDarah A
HASIL CT SCAN:
Tampakhypodense lesion di fossa media, batastegas
Hyperence lesion conveks concave di frontotemporoparietoksipitalkiri
Tampak midline shift
Cerebellum danbatangotak normal
SPN Normal
Calvariacranii normal
KESAN:
- Arachniod cyst di fossa cerebri media
- Perdarahan subdural di frontotemporoparietoksipitalsinistra
- Volume darah 56 cc
- Herniasisubfalcine
- Midline Shift kekanan
VI. PENGKAJIAN MASALAH PSIKOSOSIO BUDAYA DAN SPIRITUAL
PSIKOLOGIS
a. Perasaan klien setelah mengalami masalah ini adalah ...
b. Cara mengatasi perasaan tersebut ...
c. Rencana klien setelah masalahnya terselesaikan ...
d. Jika rencana ini tidak dapat dilaksanakan ...
e. Pengetahuan klien tentang masalah/penyakit yang ada ...
SOSIAL
a. Aktivitas atau peran klien masyarakat adalah ...
b. Kebiasaan lingkungan yang tidak disukai adalah ...
c. Cara mengatasinya ...
d. Pandangan klien tentang aktivitas sosial di lingkungannya ...
BUDAYA
a. Budaya yang diikuti klien adalah budaya ... yang akivitasnya adalah ...
b. Keberatannya dalam mengikuti budaya tersebut adalah ...
c. Cara mengatasi keberatan tersebut adalah ...
SPIRITUAL
a. Aktivitas ibadah yang bisa dilakukan sehari-hari ...
b. Kegiatan keagamaan yang bisa dilakukan adalah ...
c. Aktivitas ibadah yang sekarang tidak dapat dilaksanakan ...
d. Perasaan klien akibat tidak dapat melakukan hal tersebut ...
e. Upaya klien mengatasi perasaan tersebut ...
f. Apa keyakinan tentang peristiwa/masalah kesehatan yang sekarang sedang dialami ...
VII. ANALISA DATA
MASALAH
DATA FOKUS ETIOLOGI TT
KEPERAWATAN
DS : - Cedera kepala Resiko perfusi
DO: jaringan serebral
- K/U: Berat, kesadaran Apatis,
GCS: 12,
- Terpasang fentanyl 100mg +
NACL 0,9%= 2 cc/Jam.
- Terpasang infus Ringer Laktat
400cc 20tts/I
- Hasil CT SCAN Perdarahan
subdural di fronto temporo
parietoksipital kiri, Volume
Darah 56 cc.
- Obs TTV: TD = 90/80 mmhg,
HR = 56x/I, S=36,6 C,
RR=24x/i, SO2= 98%.
- Nilai TIK 7-8 mmHg
DIAGNOSA SIKI
TGL/ NO.
KEPERAWATAN/ SLKI (ManajemenPeningkatanIntrakran
JAM DP
SDKI ial)
06/09/ 1. Resiko perfusi Setelah dilakukan intervensi Observasi :
2021 jaringan serebral keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi Penyebab
berhubungan maka, resiko perfusi jaringan peningkatan TIK
dengan cedera serebral membaik dengan 2. Monitor tanda dan gejala
kepala kriteria hasil : peningkatan TIK
a. Tingkat kesadaran 3. Monitor status pernafasan
meningkat 4. Monitor intake dan output
b. Sakit kepala menurun cairan
b. Nilai rata-rata tekanan
darah membaik Terapeutik:
1. Minimalkan stimulus
denganmenyediakanlingkun
gan yang tenang
2. Cegahterjadinyakejang
3. Atur ventilator agar PaCO2
optimal
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
sedasi dan anti konvulsan.
2. Kolaborasi pemberian
diuretic osmosis jika perlu.
Edukasi:
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan
X. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Nama/Umur :An. V
Ruang/Kamar :ICU/01
TGL/
TINDAKAN KEPERAWATAN TT
JAM
06/09/20 Mencucitangansebelumdansesudahkontakdenganpasiendanlingkunganpasien
21 Mengobservasi Vital sign: TD= 100/70mmhg, HR=55x/i, S=36,4 C,
RR=22x/i.
Membantupasienmembersihkanmulutdanmemiringkandanmenggosokpunggu
ng
Merapikantempattidur
Memberikanposisi 30 derajat
Membantupasienmakandengansonde 200cc+air putih, mualmuntah(-)
Mengontrolpasiendanmelakukankontakpadapasien, pasiensadar da nada
Mengobservasi vital sign kembali: TD= 100/70mmhg, HR=67x/i, S=36,4 C,
RR=24x/i.
Dr IhsanVisite: Manitol 3x100cc, sudahdilihatkeadaanlukaoperasi,
rencanagantiverban
Mengantarpasienkeruangbedahuntukdilakukantindakan craniotomy
Menjemput pasien yang sudahselesai di operasikeruangoperasi
Memantaukeadaanpasien, keadaanumumpasienmasihapatis
Mengoleskan gentamicin salfokkulitdiarealukadilapisidengancuticell,
menutupkembalidengankasasteril
Pasienmengeluhsakitdiareaoperasidanmemberitahukankepadaperawat.
Instruksi: mengajarkan Tarik nafasdalamdanmenaikandosis fentanyl: 3
cc/jam
Mengontrolpasien, pasientampaksedangtidur
Membantukakakperawatmenggantiverban, lukamasihtampakbasah
MembersihkanlukadenganNacl 0,9%
XI. EVALUASI KEPERAWATAN
Ruang/Kamar :ICU/01
07/09 2. S: -
/2021 O:
- K/U Berat, Kesadaran Apatis,
- Pasien sudah selesai Operasi Craniotomy,
- Obs Vital Sign: 100/70 mmhg, HR= 71x/i, Suhu=36,3 C,
SPO2=99%,
- Terpasang NGT,
- Terpasang kateter,
- Terpasang fentanyl 200 mg/3 jam,
- Terpasanginfus Ringer Laktat 20tts/i,
- Sudah dilakukan perawatan luka
A : Masalah resiko infeksi teratasi sebagian
P:
- Lanjutkanintervensikeperawatan
- Pantauperkembanganluka
- Kolaborasipemberianterapidengandokter
08/09 3. S:-
/2021 O:
- K/U Berat, Kesadaran Composmentis,
- Obs Vital sign: TD=100/60mmhg, HR=65x/i, S= 36,2 C, O2:
3L/i, SPO2=100%,
- Terpasang drain 1 buah,
- Terpasang fentanyl 200 mg/3 jam,
- Terpasanginfus Ringer laktat 20tts/i,
- Pernafasan spontan.
A : Masalah Penurunan kapasitas adaptif intracranial belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi keperawatan.
Hipertensi Trauma Kepala SLKI
ve (ICU). (ICU/24.00) Hasil observasi An.V, TD : 90/80 mmhg, HR: 56 x/menit, T : 36,6 C, RR : 24 x/menit, SPO2 : 98%, GCS Apatis (12), Pupil (Ka/Ki) : Isokor, Pola pernafasan
Setelah dilakukan : Spontan,
intervensi Mode
keperawatan 1 x: 24
nasal
jam,kanul
makapemberian 02jaringan
resiko perfusi 3l/menit, CRT >membea
serebral 3 dtk.
Kemerahan menurun
Nyeri menurun
Pendarahan Konstitusional
SDH Bengkak menurun
(Subdural Hematoma)
Ruptur vena di dalam ruangan Subdural Resiko Infeksi b.d Prosedur Invasive
Akselerasi Deselerasi
SIKI: (Pencegahan Infeksi )
Observasi :
Akselerasi tengkorak . pergeseran otak Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
Terapeutik :
Berikan perawatan kulit pada area edema
Operasi Craniotomy Drainage
Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
Hematoma Subdural
Pertahankan teknik aseptic pada pasien yang beresiko tinggi
TIK ↑ ( 7- 8 mmhg)
S=
O= K/U Berat, Kesadaran Apatis, pasien sudah selesai Operasi Craniotomy, Obs Vital
Sign: 100/70 mmhg, HR= 71x/i, Suhu=36,3 C, SPO2=99%, Terpasang NGT,
terpasang kateter, terpasang fentanyl 200 mg/3 jam, terpasang infus Ringer Laktat
20tts/i, sudah dilakukan perawatan luka
A= Masalah resiko infeksi teratasi sebagian
P= - Lanjutkan intervensi keperawatan
- Pantau perkembangan luka
-Kolaborasi pemberian terapi dengan dokter
S=
O= K/U Berat, Kesadaran Composmentis, Obs Vital sign: TD=100/60mmhg,
HR=65x/i, S= 36,2 C, O2: 3L/i, SPO2=100%, Terpasang drain 1 buah, terpasang
fentanyl 200 mg/3 jam, terpasang infus Ringer laktat 20tts/i, pernafasan spontan.
A= Masalah Penurunan kapasitas adaptif intracranial belum teratasi
P= Lanjutkan intervensi keperawatan.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Subdural hematoma (SDH) adalah akumulasi darah yang terjadi antara bagian dalam
duramater dengan arachnoid. Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara
duramater dan araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal.Pada subdural
hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging vein”, karena tarikan ketika
terjadi pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan
lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging
vein”
5.2 Saran
1. Asuhan keperawatan ini dapat menjadi refrensi kepada pembaca terkait kekurangan
dan kelebihan asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus “subdural hemotama”
2. Dalam pemberian asuhan keperawatan, diharapkan petugas kesehatan sebaiknya
memberikan edukasi kesehatan terkait subdural hematoma, pencegahan dan
penatalaksanaan kepada pasien dan keluarga. Edukasi yang diberikan disesuaikan
dengan kebutuhan pasien dan mempertimbangkan keadaan saat pasien pulang ke
rumah. Pemberian edukasi kesehatan sebaiknya selama pasien dirawat sehingga
dapat dievaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Wiwik,dkk.2015. Analisis Praktik Klinik Keperawatan pada Pasien dengan Subdural Hematoma
di Ruang PICU RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda.
Verra dkk.2019. Hubungan antara Glasgow Coma Scale dan Lama Perawatan pada Pasien Cedera
Kepala dengan Perdarahan Subdural.Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 5. Nomor 1.
Januari 2019. https://www.jasajurnal.com/subdural-hematoma/