Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN NEUROLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

SUBDURAL HEMATOM

OLEH :
ALEXANDER CHANGAY C014182147
MIFTAHUL ZAIDAH C014182149
IDVIANTY WULANDARI C014182150
FATIMAH MUNA A C014182151

RESIDEN PEMBIMBING :
dr. Willy Candra

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

ALEXANDER CHANGAY C014182147


MIFTAHUL ZAIDAH C014182149
IDVIANTY WULANDARI C014182150
FATIMAH MUNA A C014182151

Judul Laporan Kasus: SUBDURAL HEMATOM

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Kepaniteraan Klinik pada Bagian Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Oktober 2019

Supervisor Pembimbing,

dr. Willy Candra

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Subdural hematom (SDH) adalah penimbunan darah di dalam rongga

subdural yakni diantara dua lapisan otak duramater dan subarakhnoid. Perdarahan

yang sering terjadi di daerah frontal, parietal dan temporal. Subdural hematom

sering terjadi akibat trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang

mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam rongga subdural. Vena yang sering

mengalami perdarahan ialah “bridging vein” dan menyebar sesuai arah

distribusinya. Perdarahan tersebut merupakan kondisi yang serius akibat

peningkatan tekanan intrkranial yang dapat merusak jaringan otak dan hilangnya

fungsi otak.1

Menurut waktunya, subdural hematom dapat diklasifikasikan menjadi

hematoma subdural akut (muncul selama 3 hari pertama), subakut (4 sampai 21

hari) dan kronik (setelah 21 hari).1

Subdural hematom merupakan bentuk trauma intrakranial yang paling

sering, subdural hematom tidak hanya terjadi pada cidera kepala berat tetapi juga

dapat terjadi pada orang dengan cidera kepala yang tidak terlalu berat seperti

pasien tua atau yang menerima terapi antikoagulan. Subdural hematom mungkin

juga terjadi secara spontan atau disebabkan oleh prosedur diagnostic seperti fungsi

lumbal.2

Subdural hematoma akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien

dengan cedera kepala berat. Kejadian tahunan hematoma subdural kronis telah

1
dilaporkan 1-5,3 kasus per 100.000 penduduk. Penelitian terbaru telah

menunjukkan insiden yang lebih tinggi. Hal itu disebabkan teknik pencitraan yang

lebih baik. Tingkat mortalitas SDH akut berkisar 45-63%. Kematian terjadi 74%

pada pasien dengan Glasgow Coma Scale Score (GCS) 3-5 kurang dari 6 jam,

namun jika GCS 6-8 tingkat kematiannya menurun hingga 39%.1

Insiden hematoma subdural kronis diperkirakan 1,7-18 / 100.000

penduduk dari seluruh populasi dan meningkat menjadi 58 / 100.000 penduduk

dalam kelompok pasien berusia di atas 65 tahun. Diperkirakan pada tahun 2030,

insiden subdural hemotam akan meningkat dua kali lipat seiring dengan

pertumbuhan populasi. Selain itu, prevalensi hematoma subdural kronis adalah

69% pada kelompok usia lebih dari 65 tahun dibandingkan dengan kelompok usia

lainnya sebesar 31%. Perbedaan jenis kelamin dalam insiden SDH menunjukkan

laki-laki 64% dan perempuan 33% serta dilaporkan pada penelitian lain laki

sebesar 71,8% dan perempuan 28,2%.3

Adapun penelitian mengenai lokalisasi hematoma subdural kronis

menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi dari hematoma subdural kronis pada

otak kiri (hemisfer cerebri sinistra) sebesar 52% dibandingkan dengan pada otak

kanan (hemisfer cerebri dextra) sebesar 30%, dan dalam 18% kasus menjadi

bilateral.3

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Subdural hematoma (SDH) adalah adanya darah pada ruang potensial diantara

lapisan duramater dan arachnoid. Penyebab paling sering dari subdural hematoma

adalah rupturnya vena yang membawa darah dari permukaan otak ke sinus dural

akibat dari pergerakan otak di dalam tengkorak. Subdural hematoma kebanyakan

bertempat pada lateral otak, meskipun bisa juga berlokasi di antara tentorium dan

lobus oksipitalis, pada dasar dari tengkorak, dan fossa posterior. Pasien usia tua

atau alkoholik dengan atrofi otak cenderung mudah mengalami perdarah subdural.

Benturan sepele dan cedera akselerasi-deselerasi murni seperti whiplash dapat

menimbulkan hematoma yang besar pada pasien-pasien ini.4

2.2 Etiologi

Penyebab paling banyak dari SDH trauma kepala dimana kebanyakan kasus

berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor dan jatuh.5

Faktor resiko dari SDH adalah pasien dengan atrofi serebri yaitu pasien usia

tua, pasien dengan penyalahgunaan alkohol, dan pasien dengan riwayat traumatic

brain injury sebelumnya. Penggunaan obat anti thrombotik yaitu aspirin,

clopidogrel, antagonis vitamin K juga dapat meningkatkan resiko SDH.5

3
2.3 Patofisiologi

SDH akut biasanya disebabkan oleh rupturnya vena yang membawa darah dari

permukaan otak ke sinus dura.4 Rupturnya vena tersebut menyebabkan perdarahan

pada ruang dimana vena itu berjalan yaitu pada ruang antara lapisan dura dan

arachnoid. Selain itu, pada 20-30% dari kasus SDH juga disebabkan oleh ruptur

arteri yaitu oleh arteri kortikal kecil. SDH yang disebabkan oleh rupturnya vena

biasanya berlokasi di bagian frontoparietal, sedangkan yang disebabkan oleh

ruptur arteri biasanya berlokasi di bagian temporoparietal.5

Pada SDH kronik, setelah trauma awal pada menings, sintesis dari kolagen

dural terinduksi dan fibroblast akan menyebar pada permukaan dalam dari dura

untuk membentuk membran luar yang tebal. Kemudian, membran dalam yang

lebih tipis terbentuk mengakibatkan bekuan darah terbungkus. Hal ini terjadi

dalam waktu sekitar 2 minggu. Seiring waktu, SDH kronik dapat menjadi cair

membentuk higroma dan membrannya akan terjadi kalsifikasi. Higroma ini dapat

membesar, namun alasannya belum diketahui.5

Hematoma dari SDH dapat membesar akibat perdarahan yang berulang (acute

on chronic SDH) atau akibat dari tekanan osmotik air ke higroma karena isi dari

higroma yang tinggi protein.5

Mekanisme lain yang dapat menyebabkan SDH adalah tekanan dari cairan

cerebrospinal yang rendah (hipotensi intrakranial). Hipotensi intrakranial bisa

disebabkan oleh kebocoran cairan serebrospinal yang spontan atau iatrogenik

seperti yang bisa terjadi setelah prosedur pungsi lumbal. Menurunnya tekanan

4
cairan serebrospinal menyebabkan menurunnya daya apung dari otak yang

mengakibatkan traksi pada struktur yang mendukung otak. Traksi pada vena

kemudian menyebabkan pembuluh ruptur, sedangkan hipotensi intrakranial

sendiri juga menyebabkan pembengkakan dari vena serebri yang selanjutnya akan

mengalami kebocoran cairan ke dalam ruang subdural.5

5
2.4 Manifestasi Klinis

Gejala klinis perdarahan subdural mirip dengan perdarahan epidural.

Namun, perdarahan subdural memiliki gejala klinis yang sering ditemui

berupa kejang. Sementara itu, tanda klinis herniasi lebih jarang ditemukan

daripada perdarahn epidural. Interval lusid hanya ada pada kurang dari 30%

kasus. Pada perdarahan subdural akut, hematom terbentuk dalam waktu 3 hari

hingga 3 minggu pasca cedera disertai penurunan fungsi neurologis sejalan

dengan besarnya hematom yang terbentuk. Ditemukan hemiparesis

kontralateral pada 50% kasus. Pada perdarahan subdural kronik dapat berupa

perubahan status mental, disfungsi neurologis fokal, peningkatan tekanan

intrakranial dan kejang fokal. Pasien dapat mengalami perubahan tingkat

kesadaran yang fluktuatif., tetapi bukan merupakan gejala utama. 6

2.5 Diagnosis

2.5.1 Anamnesis

Trauma akut subdural hematoma sering terjadi sebagai akibat dari

jatuh, kekerasan, atau kecelakaan kendaraan bermotor. Kecurigaan terhadap

terjadinya subdural hematom akut muncul kapanpun ketika pasien mengalami

trauma tumpul derajat sedang hingga berat. Gambaran klinisnya akan

tergantung pada lokasi lesi dan perkembangan dari lesi tersebut.

Pada anamesis dengan pasien, hal penting yang perlu ditanyakan dalam

anamnesis adalah sebagai berikut:7

6
1. Trauma yang mendahului sebelumnya dan jenis trauma apakah

tembus atau tidak

2. Riwayat kejang, penurunan kesadaran, dan mual muntah

3. Adanya kelemahan pada satu sisi tubuh

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey)

yang mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan

darah atau nadi (circulation). Pemeriksaan neurologis kesadaran penderita

dengan menggunakan skala GCS, pemeriksaan diameter kedua pupil, dan

tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala

GCS menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik

pasien terhadap stimulasi verbal atau nyeri (merupakan fungsi ARAS, batang

otak dan korteks). Pemeriksaan diameter kedua pupil dan adanya defisit

neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di dalam otak dan

terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula

spinalis. Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial

meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi

dini adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal

(unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya.

Apabila terjadi trauma langsung pada mata membuat pemeriksaan menjadi

lebih sulit. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan fungsi motorik, refleks

(fisiologis dan patologis), dan fungsi batang otak.8

7
2.6 Pemeriksaan Penunjang

Setelah memeriksa riwayat pasien, termasuk riwayat jatuh sebelumnya, cedera

kepala minor, onset dan perjalanan gejala klinis, penyakit kardiovaskular,

gangguan pendarahan, pengobatan, penggunaan alkohol atau obat-obatan

terlarang, dan pemeriksaan fisik, diperlukan pemeriksaan darah untuk menunjang

diagnosis dari SDH berupa darah lengkap, gula darah, ureum, kreatinin, dan

analisa gas darah.8

Pemeriksaan radiologi lanjutan perlu dilakukan untuk mendapatkan

diagnosis pasti. CT-scan dan MRI merupakan modalitas utama dalam

mendiagnosis SDH. CT-scan (Computed Tomography scan) adalah modalitas

imaging yang paling baik untuk evaluasi awal SDH, karena lebih cepat, mudah

diakses dan lebih murah jika dibandingkan dengan MRI. Ketika menggunakan

MRI, hasil yang didapatkan lebih akurat dibandingkan dengan CT dan dapat

menampakkan tulang yang terluka dengan lebih jelas, dan juga lebih efektif jika

dicurigai adanya diffuse axonal injuries. Jika modalitas MRI dan CT-Scan tidak

ada maka dapat dilakukan foto polos kepala posisi anteroposterior (AP), lateral,

dan tangensial. 7,8

Gambaran Radiologi dari SDH ada perdarahan yang terletak di antara

lapisan dura dan arachnoid, perdarahan melewati sutura tetapi tidak melewati

garis tengah orak, sering terletak disepanjang falx cerebri atau tentorium cerebelli,

perdaraha berbentuk konkaf, hematom subdural tampak gelap dan perdarahan

yang baru akan tampak sebagai area putih. Gambaran SDH pada CT-Scan akut,

berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Lesi akan menjadi isodens dalam 3

8
hari sampai 3 minggu. Pada SDH kronik yang lebih dari 3 minggu, lesi akan

tampak hipodens.7,8

2.7 Penatalaksanaan

2.7.1 Operasi

Indikasi :

Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan

terjadi terhadap status neurologis. Penatalaksanaan terhadap pasien

SDH kronis dengan kompressi pada otak dan midlineshift, tetapi tidak

terdapat gejala neurologis masih merupakan hal yang kontroversial.6

 SDH luas (>40 cc/>5 mm) dengan skor SKG>6, fungsi batang otak

masih baik.

 SDH tipis dengan penurunan kesadaran.

 SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai pergeseran

garis tengah (midline shift) dengan fungsi batang otak masih baik.

Metode Operasi

Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan

evakusai terhadap SDH. Metoda yang paling sering dilakukan adalah:7

 Twist drill Trephination/Craniostomy procedure

TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan rawat

dibawah anatesi local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan

untuk pasien yang terutama memiliki polimorbid dengan

9
kemungkinan hasil operasi yang buruk. Sebuah sistem drainase

tertutup diletakkan saat operasi untuk menyediakan drainase yang

kontinyu dan memberikan brain expansion setelah operasi. TDC

dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 10mm pada

tengkorak. TDC sangat efektif pada kasus dimana hematoma sudah

menjadi cair dan tidak ada membran yang menyelubungi.

 Burr Hole Craniotomy

BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling

sering digunakan untuk SDH kronis. Burr holes dimaksudkan untuk

mengevakuasi SDH secara cepat dengan lokal anestesi. BHC

dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 30mm pada

tengkorak. Pada saat akut tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena

dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma

yang biasanya solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma

cukup besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunyai

volume hematoma lebih dari 200 ml.

 Craniotomy with or without craniectomy

Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak sehingga

memberikan dokter bedah kesempatan untuk bekerja pada area operasi

yang luas. Metoda ini juga merupakan metoda yang paling invasif,

karena lamanya durasi operasi, besarnya jumlah darah yang keluar,

dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi. Sebagian besar dokter

bedah sekarang, setuju untuk melakukan craniotomy hanya jika

10
terdapat rekumulasi pada subdural, hametoma yang padat atau

terkalsifikasi, kegagalan otak untuk mengembang dan menutup ruang

subdural, atau terdapat membran yang tebal. Pada craniostomy dibuat

sebagian tulang tengkorak akan diangkat (>30mm) lalu dilakukan

evakuasi hematom, tulang yang diangkat tadi diganti dan mejadikan

suatu defek pada tulang tengkorak. Atau dapat juga dilakukan

craniectomy, dimana bagian tengkorak yang dianagkat akan ditanam

pada peritoneum, sambil menunggu hilangnya edema pada otak, lalu

setelh itu ditanam kembali ke lokasi asalnya.

 Subtemporal decompressive craniectomy

 Large decompressive hemicraniectomy, with or without dural

grafting.

Pemilihan teknik operasi dipengaruhi oleh keahlian, keterampilan,

dan elvauasi yang dimiliki dari masing-masing dokter bedah pada situasi

tertentu.

2.6.2 Terapi Konservatif

Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk pasien yang

asimtomatik, pasien yang menolak tindakan operasi, atau pasien yang memiliki

resiko tinggi untuk dilakukan operasi. Meskipun metoda drainase operatif

menjadi pilihan terapi yang efektif untuk SDH kronis tetapi beberapa kasus

dapat terjadi reabsorbsi spontan dari SDH kronis.9

11
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan

menentukan terapi konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala

klinis yang muncul seperti hematoma tanpa efek massa yang signifikan, dan

ada tidaknya tanda – tanda yang menunjukkan herniasi transtentorial seperti

abnormalitas pada pupil, memberikan tanda kepada tenaga medis untuk

mempersiapkan terapi konservatif untuk pasien tersebut.. Selain itu

pertimbangan terakhir dilihat pada umur pasien, secara statistik umur

memberikan perbedaan hasil secara signifikan terhadap terapi. Sehingga secara

umum terapi konservatif dapat diberikan pada pasien dengan:9

 Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang (10 mm)

 Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil

 Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal dengan

cepat

 Umur pasien kurang dari 40 tahun.

Beberapa tindakan yang biasa digunakan pada terapi konservatif seperti:

 Koreksi faal hemostasis

Beberapa pasien dengan cedera kepala berat munucl dengan

koagulopati dan memerlukan suatu penyesuaian kembali profil

koagulasinya. Perbaikan terhadap faal hemostasis sangatlah penting

pada semua pasien dengan subdural hematoma. Semua pasien yang

sedang dalam pengobatan antikoagulasi harus menghentikan

penggunaan antiplatelet atau antikoagulan. Selain itu setiap pasien

12
harus dilakukan pemeriksaan serial PT (Prothrombin Time), PTT

(partial thromboplastin time), INR, dan level platelet dan fibrinogen.9

 Kortikosteroid

Pada kasus SDH kronis, proses inflamasi dan angiogenesis menjadi

faktor penting dalam patofisologi SDH kronis, faktor tersebut seperti :

Tissue plasminogen activator, Il-6,IL-8 dan VEGF. Faktor - faktor

inflamasi dan angiogenesis ini terbukti dihambat oleh kortikosteroid.10

 Penatalaksanaan tekanan intrakranial

Tengkorak merupakan sebuah ruang tertutup yang dibentuk oleh

tulang yang terfixiri dan kokoh. Volume dari ruang tengkorak ini

dapat dijelaskan menggunakan doktrin Monroe-Kellie yang

menyatakan hubungan antara volume otak, cairan likuor

cerebrospinal, dan aliran darah di kepala sebagai pembentuk volume

intrakranial.9

Beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah dan

mengurangi peningkatan tekanan intrakranial dengan:

 Posisi head up 30 derajat, atau dengan posisi reverse tredelenberg

jika terdapat instabilitas spinal.8

 Menggunakan osmotic terapi menggunakan manitol 1-2 g/kgBB

dalam waktu ½-1 jam tetes cepat. Setelah 6 jam pemberian dosis

pertama, dilanjutkan dengan dosis kedua 0,5 g/kgBB dalam waktu

½-1 jam tetes cepat. Selanjutnya 12 jam dan 24 jam kemudian

diberikan 0,25g/kgBB selama ½-1 jam tetes cepat, untuk

13
membalikkan gradient osmotik intravaskular, sehingga beban

cairan akan ditarik masuk kedalam ruang intravaskular. Sebelum

memilih menggunakan manitol perlu untuk mengetahui fungsi

ginjal pasien.6

 Jaga temperatur tubuh dari hipotermia dan hipertermia.8

 Pertimbangkan untuk memberikan profilaksis anti kejang bila lesi

berisiko tinggi, seperti lokasi lesi yang berada di supratentorial

korteks, atau lesi berdampingan dengan korteks. Profilaksis

berupa fenitoin 18 mg/kg IV dengan kecepatan < 50mg /menit.8

2.8 Diagnosis Banding

a. Stroke

b. Demensia

c. Transient ischemic attack

d. Meningitis

e. Encephalitis

f. Abses otak

g. Tumor otak

h. Perdarahan subarachnoid

i. Hidrosefalus.11

14
2.9 Prognosis

Mortalitas dari hematom subdural akut dilaporkan berkisar antara 36% hingga

79%. Banyak dari pasien yang selamat tidak memeroleh fungsi yang sama dengan

saat sebelum sakit. Beberapa kasus menunjukkan prognosis yang lebih bagus pada

pasien yang lebih muda dimana pasien dibawah 40 tahun dihubungkan dengan

tingkat mortalitas 20%, umur 40-80 tahun dengan tingkat mortalitas 65% dan

umur lebih dari 80 tahun dengan tingkat mortalitas 88%.11

Prognosis yang utama dari hematom subdural berhubungan dengan jejas dari

massa yang ditimbulkan. Hematom subdural akut sederhana (tanpa jejas

parenkim) diasosiasikan dengan tingkat mortalitas 20%. Hematom subdural

komplikata diasosiasikan dengan tingkat mortalitas 60%.11

15
BAB III

KESIMPULAN

Subdural hematoma (SDH) adalah adanya darah pada ruang potensial diantara

lapisan duramater dan arachnoid. Penyebab paling sering dari subdural hematoma

adalah rupturnya vena yang membawa darah dari permukaan otak ke sinus dural

akibat dari pergerakan otak di dalam tengkorak. Gambaran klinisnya akan

tergantung pada lokasi lesi dan perkembangan dari lesi tersebut. Pemeriksaan

neurologis kesadaran penderita dengan menggunakan skala GCS, pemeriksaan

diameter kedua pupil, dan tanda-tanda defisit neurologis fokal.

Pemeriksaan kesadaran dengan Skala GCS menilai kemampuan membuka

mata, respon verbal dan respon motorik pasien terhadap stimulasi verbal atau

nyeri (merupakan fungsi ARAS, batang otak dan korteks). Pemeriksaan diameter

kedua pupil dan adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi

herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex

menuju medula spinalis. Modalitas yang dapat digunakan untuk menegakkan

diagnosis adalah CT-Scan dan MRI.

Penatalaksanaan yang dilakukan dapat berupa tindakan operatif dan

konservatif.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Iliescu IA. Current Diagnosis Treatment of Chronic Subdural

Haematomas. Journal of Medicine and Life. Jul-Sep 2015:8(3):278-284.

2. Meagher RJ et al. Subdural Hematom. Emedicine: Medscape. Jul 26,

2018.

3. Jimmy DM et al. Acute Subdural Hematoma from Bridging Vein Rupture:

a Potential Mechanism for Growth. J Neurolog. June 2014, 120:1378-

1384.

4. Brust J. CURRENT Diagnosis & Treatment Neurology, Third Edition.

McGraw-Hill Education; 2019.

5. McBride W. Subdural hematoma in adults: Etiology, clinical features, and

diagnosis. 2018.

6. Lastri DN, Aninditha T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi Jilid II. Edisi

ke-1. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2017.

7. Abdulrahman et al. Emergency Management of Subdural Hematoma: The

Egyptian Journal of Hospital Medicine (January 2018) Vol. 70 (9), Page

1508-1510.

8. Chris tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta : Media

Aeskulapius. 2014

9. Zollman, Felise. Manual of Traumatic Brain Injury. New York: Demos

Medical. 2011.

10. Jehuda Soleman, Fabio Nocera, Luigi Mariani. The Conservative and

Pharmacological Management of Chronic Subdural Haematoma. Swiss

17
Medical Weekly (January 2017): Department of Neurosurgery, University

Hospital of Basel, Basel, Switzerland.

11. Becske, T. Subarachnoid Hemorrhage. Available From:

http://emedicine.medscape.com/article/1164341-overview. 2014. [Diakses

tanggal 8 Oktober 2019].

18

Anda mungkin juga menyukai