(SUBDURAL HEMATOMA)
Di susun oleh:
DWI DAMAYANTI
(14401.16.17010)
PROBOLINGGO
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan
otak, yang dapat terjadi secara akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh
darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara durameter, perdarahan
lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan
kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Hematoma subdural adalah penimbunan darah didalam rongga subdural. Dalam
bentuk akut yang hebat, baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang
tersebut sebagai akibat dari laserasi otak, atau robeknya araknoid sehingga menambah
penekanan subdural pada jejas langsung diotak.
B. ETIOLOGI
Penyebab subdural hematoma antara lain :
1. Kecelakaan jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat berolahraga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan bernturan biasanya lebih besar sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
C. MANIFESTASI KLINIS
Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti pada
tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran
hematom subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali
bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan
manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah,
vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan
defisit neurologis lainnya, kadang kala dengan riwayat trauma yang tidak jelas,
sering diduga tumor otak.
a) Hematoma Subdural Akut
D. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi pada pasien subdural hematoma adalah sebagai berikut :
1. Subdural hematoma dapat memberikan komplikasi berupa :
a. Hemiparase / hemiplegia
b. Disfasia / afasia
c. Epilepsy
d. Hidrosefalus
e. Stroke
f. Encephalitis
g. Abses otak
h. Adverse drugs reactions
i. Tumor otak
j. Perdarahan subarachnoid
2. Outcome untuk subdural hematoma adalah :
a. Mortalitas pada subdural hematoma akut sekitar 75 % - 85 %
b. Pada subdural kronis :
1) Sembuh tanpa gangguan neurologis sekitar 50 % - 80 %
2) Sembuh dengan gangguan neurologis sekitar 20 % - 50 %
E. KLASIFIKASI
1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural dengan gejala yang timbul segera kurang dari 48 jam
setelah trauma. Terjadi pada cedera kepala yang cukup berat sehingga dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien, serta baik kesadaran maupun
tanda vital sudah terganggu. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi
melebar luas. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi hiperdens.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma subdural yang berkembang dalam beberapa hari, sekitar 2
sampai 14 hari sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak sadar,
kemudian mengalami perbaikan status neurologi yang bertahap. Namun, setelah
jangka waktu tertentu penderita akan memperlihatkan tanda-tanda status
neurologis yang memburuk. Sejalan dengan meningkatnya tekanan intrakranial,
pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak berespon terhadap rangsang nyeri atau
verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi sindrom herniasi dan menekan batang
otak. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi isodens
ini diakibatkan oleh terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari
hemoglobin.
3. Hematoma Subdural Kronik
Hematoma subdural yang terjadi pada 2 sampai 3 minggu setelah trauma
atau lebih. Gejala umumnya muncul dalam waktu berminggu-minggu ataupun
bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas. Bahkan karena
benturan ringanpun dapat mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan
subdural kronik, hematoma atau perdarahan yang terjadi lama kelamaan dapat
membesar secara perlahan-lahan, yang pada akhirnya mengakibatkan penekanan
dan herniasi.
F. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1) Anatomi
2) Fisiologi
a. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal
danoksipital.Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di
sinidilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga
dapatmelukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi.Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior
tempat lobusfrontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagianbawah batang otak dan serebelum.
b. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3lapisan
yaitu:
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisanendosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput
yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada
permukaan dalam darikranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, makaterdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara duramater danarachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,pembuluh-pembuluh vena
yang berjalan pada permukaan otak menuju sinussagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-
sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak
antara duramater dan permukaan dalam darikranium (ruang epidural).
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-
arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang palingsering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada
fosatemporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan
dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari
dura mater oleh ruangpotensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatiumsubarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.3 Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi
gyri dan masukkedalam sulci yang paling dalam. Membran ini
membungkus saraf otak danmenyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri
yang masuk kedalam substansi otakjuga diliputi oleh pia mater.
c. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat padaorangdewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon
(otakdepan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah)
danrhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata
danserebellum retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan.
Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggung jawab dalamfungsi koordinasi dan keseimbangan.
d. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
G. PATOFISIOLOGI
1. Pathway
Cidera kepala
↓
↓ Neuropati
Curah jantung ↓ ↓
↓ Inkontenensia urin
berlanjut
Suplai darah ke ↓
paru ↓
↓ Imobilisasi
Kompensasi tubuh ↑ RR ↓
↓ Penurunan tonus
otot
pola nafas tidak efektif ↓
Gangguan
mobilitas fisik
2. Narasi
Perdarahan terjadi antara durameter dan araknoid. Perdarahan ini
terjadi akibat robeknya vena yang menghubungkan otak dan sinus venosus
didalam durameter atau karena robeknya araknoid. Pada perdarahan subdural
yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar
biasanya menyebabkan terjadinya membrane vascular yang membukus
hematoma subdural tersebut. Akibat dari perdarahan subdural, dapat
meningkatkan tekanan intra cranial dan peubahan dari bentuk otak.
Peningkatan TIK dapat menyebakan curah jantung menurun dan suplai darah
ke paru menurun sehingga mengakibatkan sesak nafas.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin,
elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
2. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan
adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan
kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada
hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan
fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.
3. CT-Scan
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka
terdapat suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu
melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat
dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial
(1) Perdarahan Subdural Akut
Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak
sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan
sabit sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling
banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat
dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium
serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh
garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa
seperti epidural hematom dan biasanya unilateral.
(2) Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur
dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak
dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah
(midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang
atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus
dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift hebat
harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya.
Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena
serebelum relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi
terhadap ’bridging veins’ yang terdapat disana. Perdarahan subdural
yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran
falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan
dengan child abused.
(3) Perdarahan Subdural Subakut
Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah
dilihat pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural
hematom kronik bersifat bilateral dan dapat mencegah terjadi
pergeseran garis tengah. Seringkali, hematoma subdural kronis
muncul sebagai lesi heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya
perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara komponen akut
(hyperdense) dan kronis (hipodense).
4. MRI (Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi
perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang
lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis
menggunakan CT-scan ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru
dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan
parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat
dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi
otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat
membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena
pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.
I. PENATALAKSANAAN
a. Operasi
Indikasi :
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan terjadi
terhadap status neurologis.Penatalaksanaan terhadap pasien SDH kronis
dengan kompressi pada otak dan midlineshift, tetapi tidak terdapat gejala
neurologis masih merupakan hal yang controversial.
Sebuah SDH akut dengan ketebalan >10mm atau midline shift >5mm
pada CT scan dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot, tanpa melihat
GCS pasien. (surgical guideline)
Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS kurangdari 9)
harus dilakukan monitor tekanan intracranial.
Pasien koma (GCS kurang dari 9 ) dengan ketebalan SDH < 10 mm dan
midline shift < 5mm perlu mendapat pembedahan evakuasi klot jika skor
GCS berkurang dan/atau pasien menunjukkan pupil yang anisokor
dan/atau ICP yang lebih dari 20mmHg.
Metode Operasi
Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan evakusai
terhadap SDH. Metoda yang paling sering dilakukan adalah:
Twist drill Trephination/Craniostomy procedure
TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan rawat dibawah
anatesi local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan untuk pasien yang
terutama memiliki polimorbid dengan kemungkinan hasil operasi yang buruk.
Sebuah sistem drainase tertutupdiletakkan saat operasi untuk menyediakan
drainase yang kontinyu dan memberikan brain expansion setelah operasi.TDC
dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 10mm pada tengkorak. TDC
sangat efektif pada kasus dimana hematoma sudah menjadi cair dan tidak ada
membrane yang menyelubungi.
Burr Hole Craniotomy
BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling sering
digunakan untuk SDH kronis.Burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH
secaracepat dengan lokal anestesi. BHC dilakukan dengan membuat lubang kecil
berukuran 30mm pada tengkorak.Pada saat akut tindakan ini sulit untuk
dibenarkan karena dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan
hematoma yang biasanya solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup
besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunyai volume hematoma
lebih dari 200 ml.
Craniotomy with or without craniectomy
Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak sehingga memberikan
dokter bedah kesempatan untuk bekerja pada area operasi yang luas. Metoda ini
juga merupakan metoda yang paling invasif, karena lamanya durasi operasi,
besarnya jumlah darah yang keluar, dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi.
Sebagian besar dokter bedah sekarang,setuju untuk melakukan craniotomy hanya
jika terdapat rekumulasi pada subdural, hametoma yang padat atau terkalsifikasi,
kegagalan otak untuk mengembang dan menutup ruang subdural, atau terdapat
membran yang tebal. Pada craniostomy dibuat sebagian tulang tengkorak akan
diangkat (>30mm) lalu dilakukan evakuasi hematom, tulang yang diangkat tadi
diganti dan mejadikan suatu defek pada tulang tengkorak. Atau dapat juga
dilakukan craniectomy, dimana bagian tengkorak yang dianagkat akan ditanam
pada peritoneum, sambil menunggu hilangnya edema pada otak, lalu setelh itu
ditanam kembali ke lokasi asalnya.
Subtemporal decompressive craniectomy
Large decompressive hemicraniectomy, with or without dural grafting.
b. Terapi Konservatif
Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk pasien yang
asimtomatik, pasien yang menolak tindakan operasi,atau pasien yang memiliki
resiko tinggi untuk dilakukan operasi. Meskipun metoda drainase operatif menjadi
pilihan terapi yang efektif untuk SDH kronis tetapi beberapa kasus dapat terjadi
reabsorbsi spontan dari SDH kronis.
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan menentukan
terapi konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala klinis yang muncul
seperti hematoma tanpa efek massa yang signifikan, dan ada tidaknya tanda –
tanda yang menunjukkan herniasi transtentorial seperti abnormalitas pada pupil,
memberikan tanda kepada tenaga medis untuk mempersiapkan terapi konservatif
untuk pasien tersebut.. Selain itu pertimbangan terakhir dilihat pada umur pasien,
secara statistik umur memberikan perbedaan hasil secara signifikan terhadap
terapi. Sehingga secara umum terapi konservatif dapat diberikan pada pasien
dengan:27
Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang (10mm)
Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil
Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal dengan cepat
Umur pasien kurang dari 40 tahun.
Beberapa Tindakan yang biasa digunakan pada terapi konservatif seperti:
Koreksi faal hemostasi
Beberapa pasien dengan cedera kepala berat munucl dengan koagulopati dan
memerlukan suatu penyesuaian kembali profil koagulasinya.28 Perbaikan terhadap
faal hemostasis sangatlah penting pada semua psien dengan subdural hematoma.
Semua pasien yang sedang dalam pengobatan antikoagulasi harus menghentikan
penggunaan antiplatelet atau antikoagulan. Selain itu setiap pasien harus
dilakukan pemeriksaan serial PT (Prothrombin Time), PTT (partial
thromboplastin time), INR, dan level platelet dan fibrinogen.
Kortikosteroid
Pada kasus SDH kronis, proses inflamasi dan angiogenesis menjadi faktor
penting dalam patofisologi SDH kronis, factor tersebut seperti : Tissue
plasminogen activator, Il-6,IL-8 dan VEGF. Faktor - faktor inflamasi dan
angiogenesis ini terbukti dihambat oleh kortikosteroid.25
Penatalaksanaan tekanan intrakranial
Tengkorak merupakan sebuah ruang tertutup yang dibentuk oleh tulang yang
terfixiri dan kokoh. Volume dari ruang tengkorak ini dapat dijelaskan
menggunakan doktrin Monroe-Kellie yang menyatakan hubungan antara volume
otak, cairan likuor cerebrospinal, dan aliran darah dikepala sebagai pembentuk
volume intrakranial.
Sesuai doktrin tersebut, maka jika ada saja salah satu dari volume tersebut
meningkat, maka volume lain akan terdesak dan akhirnya tekanan intrakranial
akan segera meningkat. Peningkatan tekanan intrakranial ini akan meningkatkan
CVR(Cerebro Vascular Resistant) sehingga akan mengurangi Cerebral Blood
Flow. Rendahnya aliran darah ke otak akan mengakibatkan turunya cerebral
perfusion pressure dan tubuh akan mengkompensasi keadaan ini dengan Cushing
response.
K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d produksi sputum meningkat
2. Pola nafas tidak efektif b/d suplai darah ke paru menurun
3. Nyeri kepala b/d peningkatan TIK
4. Risiko perfusi cerebral tidak efektif b/d oksigen ke otak berkurang
5. Inkontenensia urin berlanjut b/d kerusakan saraf simpatis / parasimpatis
6. Gangguan mobilitas fisik b/d penurunan tonus otot
L. INTERVENSI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia. Cetakan ke II
2018
Tim Pokja SIKI DPP PPNI Standart Luaran Keperawatan Indonesia. Cetakan ke II
2018
Tim Pokja SIKI DPP PPNI Standart Intervensi Keperawatan Indonesia. Cetakan ke
II 2018