Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN SDH

(SUBDURAL HEMATOMA)

Di susun oleh:

DWI DAMAYANTI

(14401.16.17010)

PRODI D-III KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HAFSHAWATY

PESANTREN ZAINUL HASAN

PROBOLINGGO

2019
LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan
otak, yang dapat terjadi secara akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh
darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara durameter, perdarahan
lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan
kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Hematoma subdural adalah penimbunan darah didalam rongga subdural. Dalam
bentuk akut yang hebat, baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang
tersebut sebagai akibat dari laserasi otak, atau robeknya araknoid sehingga menambah
penekanan subdural pada jejas langsung diotak.

B. ETIOLOGI
Penyebab subdural hematoma antara lain :
1. Kecelakaan jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat berolahraga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan bernturan biasanya lebih besar sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
C. MANIFESTASI KLINIS
Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti pada
tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran
hematom subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali
bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan
manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah,
vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan
defisit neurologis lainnya, kadang kala dengan riwayat trauma yang tidak jelas,
sering diduga tumor otak.
a) Hematoma Subdural Akut

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai


48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah.
b) Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48


jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya
diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka
waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda- tanda status neurologik yang
memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan- lahan dalam
beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring
pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar
dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun
nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang
disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau
sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.

c) Hematoma Subdural Kronik


Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan
secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa. Dengan adanya
selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma,
terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran
hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek
membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan
tekanan hematoma. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan
paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada
alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan, sehingga
selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan
CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma
subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil
pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang
besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan
melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
1) sakit kepala yang menetap
2) rasa mengantuk yang hilang-timbul
3) linglung
4) perubahan ingatan
5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

D. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi pada pasien subdural hematoma adalah sebagai berikut :
1. Subdural hematoma dapat memberikan komplikasi berupa :
a. Hemiparase / hemiplegia
b. Disfasia / afasia
c. Epilepsy
d. Hidrosefalus
e. Stroke
f. Encephalitis
g. Abses otak
h. Adverse drugs reactions
i. Tumor otak
j. Perdarahan subarachnoid
2. Outcome untuk subdural hematoma adalah :
a. Mortalitas pada subdural hematoma akut sekitar 75 % - 85 %
b. Pada subdural kronis :
1) Sembuh tanpa gangguan neurologis sekitar 50 % - 80 %
2) Sembuh dengan gangguan neurologis sekitar 20 % - 50 %

E. KLASIFIKASI
1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural dengan gejala yang timbul segera kurang dari 48 jam
setelah trauma. Terjadi pada cedera kepala yang cukup berat sehingga dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien, serta baik kesadaran maupun
tanda vital sudah terganggu. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi
melebar luas. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi hiperdens.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma subdural yang berkembang dalam beberapa hari, sekitar 2
sampai 14 hari sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak sadar,
kemudian mengalami perbaikan status neurologi yang bertahap. Namun, setelah
jangka waktu tertentu penderita akan memperlihatkan tanda-tanda status
neurologis yang memburuk. Sejalan dengan meningkatnya tekanan intrakranial,
pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak berespon terhadap rangsang nyeri atau
verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi sindrom herniasi dan menekan batang
otak. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi isodens
ini diakibatkan oleh terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari
hemoglobin.
3. Hematoma Subdural Kronik
Hematoma subdural yang terjadi pada 2 sampai 3 minggu setelah trauma
atau lebih. Gejala umumnya muncul dalam waktu berminggu-minggu ataupun
bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas. Bahkan karena
benturan ringanpun dapat mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan
subdural kronik, hematoma atau perdarahan yang terjadi lama kelamaan dapat
membesar secara perlahan-lahan, yang pada akhirnya mengakibatkan penekanan
dan herniasi.
F. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1) Anatomi

2) Fisiologi
a. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal
danoksipital.Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di
sinidilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga
dapatmelukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi.Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior
tempat lobusfrontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagianbawah batang otak dan serebelum.
b. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3lapisan
yaitu:
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisanendosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput
yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada
permukaan dalam darikranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, makaterdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara duramater danarachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,pembuluh-pembuluh vena
yang berjalan pada permukaan otak menuju sinussagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-
sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak
antara duramater dan permukaan dalam darikranium (ruang epidural).
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-
arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang palingsering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada
fosatemporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan
dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari
dura mater oleh ruangpotensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatiumsubarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.3 Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi
gyri dan masukkedalam sulci yang paling dalam. Membran ini
membungkus saraf otak danmenyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri
yang masuk kedalam substansi otakjuga diliputi oleh pia mater.

c. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat padaorangdewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon
(otakdepan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah)
danrhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata
danserebellum retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan.
Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggung jawab dalamfungsi koordinasi dan keseimbangan.

Gambar 2.3. Lobus Otak

d. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
G. PATOFISIOLOGI
1. Pathway
Cidera kepala

( trauma tumpul, benda tajam, dll)



Fraktur tulang tengkorak

Terjadi robekan vena meningen

Hematom epidural

Menekan lobus temporalis

Kompresi
↓ ↓
okulomotorius Korteks serebri
↓ ↓ ↓
Dilatasi Palpebra Suplai 02 ke otak ↓
ptosis
Risko perfusi
cerebral tidak
efektif

Produksi sputum ↑ ← ↓Penurunan
kesadaran
Nyeri Kepala Peningkatan ↓ ↓
TIK
↓ ↓ Bersihan jalan Penurunan
nafas tidak efektif kapasitas adaptif
intrakranial
Nyeri Akut Kompensasi ↓
tubuh
vasokontriksi Kerusakan medulla
spinalis


↓ Neuropati
Curah jantung ↓ ↓
↓ Inkontenensia urin
berlanjut

Suplai darah ke ↓
paru ↓
↓ Imobilisasi
Kompensasi tubuh ↑ RR ↓
↓ Penurunan tonus
otot
pola nafas tidak efektif ↓
Gangguan
mobilitas fisik

2. Narasi
Perdarahan terjadi antara durameter dan araknoid. Perdarahan ini
terjadi akibat robeknya vena yang menghubungkan otak dan sinus venosus
didalam durameter atau karena robeknya araknoid. Pada perdarahan subdural
yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar
biasanya menyebabkan terjadinya membrane vascular yang membukus
hematoma subdural tersebut. Akibat dari perdarahan subdural, dapat
meningkatkan tekanan intra cranial dan peubahan dari bentuk otak.
Peningkatan TIK dapat menyebakan curah jantung menurun dan suplai darah
ke paru menurun sehingga mengakibatkan sesak nafas.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin,
elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
2. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan
adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan
kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada
hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan
fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.
3. CT-Scan
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka
terdapat suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu
melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat
dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial
(1) Perdarahan Subdural Akut
Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak
sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan
sabit sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling
banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat
dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium
serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh
garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa
seperti epidural hematom dan biasanya unilateral.
(2) Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur
dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak
dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah
(midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang
atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus
dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift hebat
harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya.
Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena
serebelum relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi
terhadap ’bridging veins’ yang terdapat disana. Perdarahan subdural
yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran
falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan
dengan child abused.
(3) Perdarahan Subdural Subakut

Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap


jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh
karena itu pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI sering
dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam waktu 48- 72
jam setelah trauma kapitis. Pada gambaran T1-weighted MRI lesi
subakut akan tampak hiperdens. Pada pemeriksaan CT dengan
kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak dan
membatasi subdural hematoma dan jaringan otak. Perdarahan subdural
subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga
membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma.
Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit melihat lesi
subdural subakut tanpa kontras.
(4) Perdarahan Subdural Kronik

Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah
dilihat pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural
hematom kronik bersifat bilateral dan dapat mencegah terjadi
pergeseran garis tengah. Seringkali, hematoma subdural kronis
muncul sebagai lesi heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya
perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara komponen akut
(hyperdense) dan kronis (hipodense).
4. MRI (Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi
perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang
lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis
menggunakan CT-scan ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru
dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan
parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat
dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi
otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat
membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena
pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.

I. PENATALAKSANAAN
a. Operasi
Indikasi :
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan terjadi
terhadap status neurologis.Penatalaksanaan terhadap pasien SDH kronis
dengan kompressi pada otak dan midlineshift, tetapi tidak terdapat gejala
neurologis masih merupakan hal yang controversial.

 Sebuah SDH akut dengan ketebalan >10mm atau midline shift >5mm
pada CT scan dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot, tanpa melihat
GCS pasien. (surgical guideline)
 Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS kurangdari 9)
harus dilakukan monitor tekanan intracranial.
 Pasien koma (GCS kurang dari 9 ) dengan ketebalan SDH < 10 mm dan
midline shift < 5mm perlu mendapat pembedahan evakuasi klot jika skor
GCS berkurang dan/atau pasien menunjukkan pupil yang anisokor
dan/atau ICP yang lebih dari 20mmHg.
Metode Operasi
Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan evakusai
terhadap SDH. Metoda yang paling sering dilakukan adalah:
 Twist drill Trephination/Craniostomy procedure
TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan rawat dibawah
anatesi local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan untuk pasien yang
terutama memiliki polimorbid dengan kemungkinan hasil operasi yang buruk.
Sebuah sistem drainase tertutupdiletakkan saat operasi untuk menyediakan
drainase yang kontinyu dan memberikan brain expansion setelah operasi.TDC
dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 10mm pada tengkorak. TDC
sangat efektif pada kasus dimana hematoma sudah menjadi cair dan tidak ada
membrane yang menyelubungi.
 Burr Hole Craniotomy
BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling sering
digunakan untuk SDH kronis.Burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH
secaracepat dengan lokal anestesi. BHC dilakukan dengan membuat lubang kecil
berukuran 30mm pada tengkorak.Pada saat akut tindakan ini sulit untuk
dibenarkan karena dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan
hematoma yang biasanya solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup
besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunyai volume hematoma
lebih dari 200 ml.
 Craniotomy with or without craniectomy
Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak sehingga memberikan
dokter bedah kesempatan untuk bekerja pada area operasi yang luas. Metoda ini
juga merupakan metoda yang paling invasif, karena lamanya durasi operasi,
besarnya jumlah darah yang keluar, dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi.
Sebagian besar dokter bedah sekarang,setuju untuk melakukan craniotomy hanya
jika terdapat rekumulasi pada subdural, hametoma yang padat atau terkalsifikasi,
kegagalan otak untuk mengembang dan menutup ruang subdural, atau terdapat
membran yang tebal. Pada craniostomy dibuat sebagian tulang tengkorak akan
diangkat (>30mm) lalu dilakukan evakuasi hematom, tulang yang diangkat tadi
diganti dan mejadikan suatu defek pada tulang tengkorak. Atau dapat juga
dilakukan craniectomy, dimana bagian tengkorak yang dianagkat akan ditanam
pada peritoneum, sambil menunggu hilangnya edema pada otak, lalu setelh itu
ditanam kembali ke lokasi asalnya.
 Subtemporal decompressive craniectomy
 Large decompressive hemicraniectomy, with or without dural grafting.

Pemilihan teknik operasi dipengaruhi oleh keahlian,keterampilan, dan elvauasi


yang dimiliki dari masing-masing dokter bedah pada situasi tertentu.

b. Terapi Konservatif
Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk pasien yang
asimtomatik, pasien yang menolak tindakan operasi,atau pasien yang memiliki
resiko tinggi untuk dilakukan operasi. Meskipun metoda drainase operatif menjadi
pilihan terapi yang efektif untuk SDH kronis tetapi beberapa kasus dapat terjadi
reabsorbsi spontan dari SDH kronis.
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan menentukan
terapi konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala klinis yang muncul
seperti hematoma tanpa efek massa yang signifikan, dan ada tidaknya tanda –
tanda yang menunjukkan herniasi transtentorial seperti abnormalitas pada pupil,
memberikan tanda kepada tenaga medis untuk mempersiapkan terapi konservatif
untuk pasien tersebut.. Selain itu pertimbangan terakhir dilihat pada umur pasien,
secara statistik umur memberikan perbedaan hasil secara signifikan terhadap
terapi. Sehingga secara umum terapi konservatif dapat diberikan pada pasien
dengan:27
 Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang (10mm)
 Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil
 Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal dengan cepat
 Umur pasien kurang dari 40 tahun.
Beberapa Tindakan yang biasa digunakan pada terapi konservatif seperti:
 Koreksi faal hemostasi
Beberapa pasien dengan cedera kepala berat munucl dengan koagulopati dan
memerlukan suatu penyesuaian kembali profil koagulasinya.28 Perbaikan terhadap
faal hemostasis sangatlah penting pada semua psien dengan subdural hematoma.
Semua pasien yang sedang dalam pengobatan antikoagulasi harus menghentikan
penggunaan antiplatelet atau antikoagulan. Selain itu setiap pasien harus
dilakukan pemeriksaan serial PT (Prothrombin Time), PTT (partial
thromboplastin time), INR, dan level platelet dan fibrinogen.
 Kortikosteroid
Pada kasus SDH kronis, proses inflamasi dan angiogenesis menjadi faktor
penting dalam patofisologi SDH kronis, factor tersebut seperti : Tissue
plasminogen activator, Il-6,IL-8 dan VEGF. Faktor - faktor inflamasi dan
angiogenesis ini terbukti dihambat oleh kortikosteroid.25
 Penatalaksanaan tekanan intrakranial
Tengkorak merupakan sebuah ruang tertutup yang dibentuk oleh tulang yang
terfixiri dan kokoh. Volume dari ruang tengkorak ini dapat dijelaskan
menggunakan doktrin Monroe-Kellie yang menyatakan hubungan antara volume
otak, cairan likuor cerebrospinal, dan aliran darah dikepala sebagai pembentuk
volume intrakranial.

Vol. Intrakaranial ( konstan) = Vol. Otak + Vol.LCS + Vol. Darah

Sesuai doktrin tersebut, maka jika ada saja salah satu dari volume tersebut
meningkat, maka volume lain akan terdesak dan akhirnya tekanan intrakranial
akan segera meningkat. Peningkatan tekanan intrakranial ini akan meningkatkan
CVR(Cerebro Vascular Resistant) sehingga akan mengurangi Cerebral Blood
Flow. Rendahnya aliran darah ke otak akan mengakibatkan turunya cerebral
perfusion pressure dan tubuh akan mengkompensasi keadaan ini dengan Cushing
response.

CPP (Cerebral Perfusion Pressure) = MAP (Mean Arterial Pressure) - ICP


(Intracranial Pressure)

Sesuai dengan Cushing response, maka tubuh akan berusaha mempertahankan


tekanan perfusi dengan meningkatkan MAP, sehingga tekanan darah akan
meningkat disetai dengan bradikardia, dan bradipnea. Oleh karena itu untuk
mempertahankan aliran darah ke otak yang adekuat diperlukan suatu keadaan
dimana tekanan perfusi otak bernilai sekita 60-70 mmHg dan tekanan intrakranial
<20mmHg.30Beberapa upaya yang bisa di lakukan untuk mencegah dan
mengurangi peningkatan tekanan intrakranial dengan:30
o Posisi head up 30 derajat, atau dengan posisi reverse tredelenberg jika
terdapat intsabilitas spinal
o Hiperventilasi hingga Pco2 berkisar 30-35 mmHg (dapat dimonitor dengan
analisis gas darah serial)31
o Menggunakan osmotic terapi menggunakan manitol 1-2 g/kg BB, untuk
membalikkan gradient osmotic intravascular, sehingga beban cairan akan
ditarik masuk kedalam ruang intravaskular. Sebelum memilih menggunakan
manitol perlu untuk mengetahui fungsi ginjal pasien.
o Pada pasien yang gelisah dan agitasi akan meningkatkan tekanan
intrakranial,oleh karena itu pemberian obat-obatan sedasi atau analgesia
akanmengurangi kecemasan , ketakutan dan respon terhadap nyeri berupa
postural spontan yang merupakan factor yang mempengaruhi peningkatan
tekanan intrakranial. Hal ini dapat ditangani dengan menggunakan morphine
2-5 mg/kg/jam dan vecuronium 10 mg/jam
o Hipothermia (32-330C) dengan selimut pendingin.32
o Pertimbangkan untuk memberikan profilaksis anti kejang dengan phenytoin
18 mg/kg IV dengan kecepatan < 50mg /menit.33
o Drainase LCS merupakan tindakan paling efektif untuk menururnkan TIK,
dengan metoda operatif ventriculostomy (burr hole).
J. ASUHAN KEPERAWATAN secara TEORI
1. PENGKAJIAN
a. Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga
terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa
berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,
wheezing ( kemungkinana karena aspirasi ), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
b. Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan
pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
c. Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan
otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas.
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi:
(1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori);
(2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia;
(3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata;
(4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh;
(5) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah
satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
d. Bladder
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
e. Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan
menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
f. Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula
terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi
karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks
pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d produksi sputum meningkat
2. Pola nafas tidak efektif b/d suplai darah ke paru menurun
3. Nyeri kepala b/d peningkatan TIK
4. Risiko perfusi cerebral tidak efektif b/d oksigen ke otak berkurang
5. Inkontenensia urin berlanjut b/d kerusakan saraf simpatis / parasimpatis
6. Gangguan mobilitas fisik b/d penurunan tonus otot
L. INTERVENSI

No Dx keperawatan Kriteria hasil intervensi


Bersihan jalan 1. Produksi sputum Manajemen jalan napas
1 napas tidak efektif menurun Observasi:
b/d produksi 2. Gelisah menurun 1. Monitor pola napas
sputum meningkat 3. Sulit bicara 2. Monitor bunyi napas
menurun 3. Monitor sputum
4. Frekuensi napas Terapeutik:
membaik 1. Pertahankan kepatenan jalan napas
5. Pola napas 2. Posisikan semi fowler
membaik 3. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
4. Berikan oksigen jika perlu
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator
2 Pola napas tidak 1. Ventilasi semenit Manajemen jalan napas
efektif b/d suplai meningkat Observasi:
darah ke paru 2. Penggunaan otot 1. Monitor pola napas
menurun bantu napas 2. Monitor bunyi napas
menurun 3. Monitor sputum
3. Frekuensi napas Terapeutik:
membaik 1. Pertahankan kepatenan jalan napas
4. Kedalaman napas 2. Posisikan semi fowler
membaik 3. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
4. Berikan oksigen jika perlu
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator
i.
3 Nyeri Akut b/d 1. Keluhan nyeri Manajemen nyeri
Observasi:
Agen pencedera menurun
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,frekuensi, kualitas,intensitas
fisik 2. Kemampuan
nyeri
menuntaskan
2. Identifikasi skala nyeri
aktivitas
3. Identifikasi nyeri non verbal
meningkat
Teraupetik:
3. Frekuensi nadi
membaik 1. Berikan tehnik non farmakologi (terapi musik, terapi pijat, kopres hangat/dingin)
4. Pola napas 2. Fasilitasi istirahat tidur
membaik 3. Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
Edukasi:

1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri


2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
Kolaborasi:

1. Kolaborasi pemberian analgesik


DAFTAR PUSTAKA

Taufan, Tamara, Dara dkk. (2016). TEORI ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT


DARURAT. Yogyakarta : nuhamedika.

Amin, Hardi. ( 2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis


dan Nanda Nic – Noc. Jogjakarta : Mediaction

Afif,Muhammad,alfian.(2018). Gawat Darurat Medis dan Bedah.Surabaya :


Airlangga

Tim Pokja SIKI DPP PPNI Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia. Cetakan ke II
2018

Tim Pokja SIKI DPP PPNI Standart Luaran Keperawatan Indonesia. Cetakan ke II
2018

Tim Pokja SIKI DPP PPNI Standart Intervensi Keperawatan Indonesia. Cetakan ke
II 2018

Anda mungkin juga menyukai