Askan Hemofilia - Kelompok 1 A5
Askan Hemofilia - Kelompok 1 A5
DISUSUN OLEH
1. Nopitasari (2011604059)
2. Latifa Khoitunnisa (2011604060)
3. Yaqutin Evi Nurdini (2011604063)
4. Saiful Ayub Harahap (2011604066)
5. Dandy Putra Aditama (2011604068)
6. Adhi Khoiril Wiradhika (2011604070)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penggunaan teknologi informasi dalam mengidentifikasi berbagai penyakit saat
ini mulai marak dilakukan, hal ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang akurat
dalam waktu yang cepat. Identifikasi menggunakan teknologi tersebut juga dilakukan
untuk jenis penyakit yang bersifat genetik atau penyakit yang didapatkan berdasarkan
proses turun temurun. Salah satu penyakit yang diwariskan dari proses genetik adalah
penyakit Hemofilia (Aryulina dkk, 2007).
Hemofilia merupakan suatu penyakit dengan kelainan faal koagulasi yang bersifat
herediter dan diturunkan secara X - linked recessive pada hemofilia A dan B ataupun
secara autosomal resesif pada hemofilia C. Hemofilia terjadi oleh karena adanya
defisiensi atau gangguan fungsi salah satu faktor pembekuan yaitu faktor VIII pada
hemofilia A serta kelainan faktor IX pada hemofilia B dan faktor XI pada hemofilia C. 1-
4 Secara umum, insiden hemofilia pada populasi cukup rendah yaitu sekitar 0,091% dan
85 % nya adalah hemofilia A. Disebutkan pada sumber lain insiden pada hemofilia A 4-8
kali lebih sering dari hemofilia B. Angka kejadian hemofilia A sekitar 1:10.000 dari
penduduk laki-laki yang lahir hidup, tersebar di seluruh dunia tidak tergantung ras,
budaya, sosial ekonomi maupun letak geografi. Insiden hemofilia A di Indonesia belum
banyak dilaporkan, sampai pertengahan 2001 disebutkan sebanyak 314 kasus hemofilia A.
Sedangkan insiden hemofilia B diperkirakan 1:25.000 laki-laki lahir hidup. Hemofilia C
yang diturunkan secara autosomal resesif dapat terjadi pada laki-laki maupun pada
perempuan, menyerang semua ras dengan insiden terbanyak ras Yahudi Ashkanaz.
Pada tahun 2014 telah dilakukan penelitian untuk mendeteksi penyakit
genetik atau penyakit yang bersifat turun temurun, penelitian yang dilakukan
tersebut juga menjadi salah satu referensi untuk melakukan penelitian terhadap
penyakit hemofilia seperti yang dijabarkan sebelumnya. Penyakit yang diteliti
dengan memanfaatkan teknologi informasi yang ada tersebut adalah penelitian
untuk mendeteksi penyakit buta warna yang berbasis pohon keluarga dengan
metode algoritma genetika. Dari penelitian tersebut bisa diketahui penggunaan
algoritma genetika sangat optimal karena persentase tingkat kesalahan yang
terjadi pada saat penelusuran penyakit hanya sebesar 35,64% yaitu 8 kali
kesalahan memprediksi dari 21 data uji (Ervan dan Mulyanto, 2014). Penelitian
yang dijadikan rujukan kedua penggunaan algoritma genetika sebagai metode
identifikasi adalah penelitian tentang integrasi sistem pakar dan algoritma
genetika untuk mengidentifikasi status gizi pada balita, pada penelitian tersebut
tingkat keberhasilan identifikasi algoritma genetika adalah sebesar 88% (Amalia
dkk, 2014). Penelitian lain yang dijadikan referensi sebagai panduan optimalisasi
penggunaan algoritma genetika adalah penelitian tentang prediksi jumlah
mahasiswa pengambil mata kuliah dengan algoritma genetika studi kasus di
jurusan Teknik Informatika, ITS. Penelitian dengan menggunakan algoritma
genetika tersebut dikategorikan berhasil karena tingkat kesalahan prediksinya
untuk setiap data uji yang digunakan sekitar 1 sampai 2 orang mahasiswa atau
dengan persentase 37,3% (Hazaki dkk, 2011).
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Hemofilia ?
2. Bagaimana Etiologi Hemofilia ?
3. Seperti apa Tanda Dan Gejala Hemofilia ?
4. Bagaimana Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan penunjang Hemofilia ?
5. Apa saja Penatalaksanaan Medis pada Hemofilia ?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi Hemofilia
2. Untuk Mengetahui Etiologi Hemofilia
3. Untuk mengetahui Tanda Dan Gejala Hemofilia
4. Untuk mengetahui Pemeriksaan penunjang Hemofilia
5. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Medis Hmofilia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori Penyakit
1. Definisi
Subdural hematoma atau juga disebut perdarahan subdural adalah kondisi ketika
darah menumpuk di antara dua lapisan di otak, yaitu lapisan arachnoid dan lapisan
dura atau meningeal. Lebih singkatnya, ini adalah jenis pendarahan yang terjadi di
dalam tengkorak kepala tetapi di luar jaringan otak yang sebenarnya.
Otak memiliki tiga lapisan membran atau penutup (disebut meninges) yang
terletak di antara tulang tengkorak dan jaringan otak yang sebenarnya. Fungsi
meningen adalah untuk menutupi dan melindungi otak. Seseorang yang mengalami
hematoma subdural mengalami robekan pada pembuluh darah, paling sering vena dan
darah bocor keluar dari pembuluh yang robek ke ruang di bawah lapisan membran
dura mater. Ruang ini disebut ruang subdural karena berada di bawah dura.
Perdarahan ke dalam ruang ini disebut perdarahan subdural.
Subdural Hematom (SDH) merupakan salah satu jenis lesi masa intrakranial.
SDH terbentuk dari akumulasi darah pada ruang antara arachnoid dan duramater yang
terbentuk ketika terjadi robekan vena atau arteri yang berada diantara duramater dan
arachnoid. Perdarahan ini dapat berasal dari robeknya bridging veins, terutama yang
terletak dekat dengan sinus sagittal superior. Perdarahan dapat terjadi akibat dari
akselerasi dan deselerasi pada kepala, baik disebabkan oleh direct impact / trauma
maupun non impact.
Subdural hematom (SDH) berdasarkan Brain Trauma Foundation dibagi menjadi
lesi akut dan kronis. Brain Trauma Foundation mendefinisikan Subdural hematom
(SDH) akut sebagai SDH yang didiagnosis dalam waktu kurang dari 14 hari setelah
cidera otak traumatis. Sedangkan bila diatas 14 hari maka disebut sebagai SDH
Kronis
2. Etiologi
kebanyakan kasus, hematoma subdural disebabkan oleh cedera kepala yang parah.
Pada kondisi ini, darah akan mengisi area otak dengan cepat. Selain cedera kepala
yang parah, hematoma subdural juga bisa terjadi akibat cedera kepala yang ringan.
Kondisi ini umumnya terjadi pada lansia atau orang tua karena pembuluh darah
semakin melonggar akibat atrofi otak.
Cidera Kepala merupakan penyebab sebagian besar kasus hematoma subdural.
Jika seseorang terjatuh dan kepalanya terbentur, misalnya saat kecelakaan mobil atau
mengalami cedera kepala saat olahraga, maka orang tersebut berisiko lebih tinggi
mengalami hematoma subdural. Meski siapa pun bisa mengalami hematoma subdural
dari cedera kepala yang tidak disengaja, tetapi kelompok tertentu lebih berisiko.
Hematoma subdural lebih sering terjadi pada:
a. Orang dewasa yang lebih tua: Seiring bertambahnya usia, otak menyusut di dalam
tengkorak dan ruang antara tengkorak dan otak melebar. Hal ini mengakibatkan
pembuluh darah kecil di selaput antara tengkorak dan otak meregang. Vena yang
menipis dan teregang ini lebih cenderung robek, bahkan pada cedera kepala
ringan.
b. Orang yang menggunakan pengencer darah: Pengencer darah memperlambat
proses pembekuan atau mencegah darah dari pembekuan sama sekali. Jika darah
tidak membeku, pendarahan dapat parah dan berlangsung lama, bahkan sesudah
cedera yang relatif minor.
c. Hemofilia: Hemofilia merupakan kelainan pendarahan bawaan yang mencegah
darah membeku. Orang dengan kondisi ini mempunyai risiko lebih tinggi
mengalami perdarahan yang tidak terkontrol sesudah cedera.
d. Pecandu alkohol dan orang yang menyalahgunakan alkohol: Minum terlalu
banyak alkohol mengakibatkan kerusakan hati seiring waktu. Hati yang rusak
tidak bisa memproduksi cukup protein yang membantu darah untuk membeku,
yang meningkatkan risiko pendarahan yang tidak terkontrol.
e. Bayi: Bayi tidak mempunyai otot leher yang kuat untuk melindungi diri dari
trauma di kepala. Saat seseorang menganiaya bayi dengan menggoyangnya
dengan keras, bayi bisa mengalami hematoma subdural. Jenis ini disebut sindrom
bayi terguncang (baby shaken syndrome).
3. Tanda Dan Gejala
Ketika seseorang mengalami hematoma subdural, maka dirinya akan mengalami
beberapa gejala medis. Gejala ini bergantung pada tingkat keparahan cedera yang
dialami, ukuran, dan lokasi hematoma. Gejala dapat segera muncul atau beberapa
minggu setelah cedera. Namun, ada pula beberapa orang yang terlihat baik-baik saja
(lucid interval) setelah mengalami cedera. Namun, lama-kelamaan tekanan pada otak
dapat menyebabkan gejala:
a. Kehilangan atau perubahan tingkat kesadaran.
b. Sakit kepala.
c. Bicara melantur.
d. Perubahan kepribadian.
e. Napas yang abnormal.
f. Kesulitan berjalan.
g. Kelemahan pada satu sisi tubuh.
4. Pemeriksaan Diagnostik/Pemeriksaan Penunjang Terkait
a. Laboratorium DL, cross match
b. X-foto vertebra servikal Menyingkirkan adanya cedera servikal
c. X-foto thoraks Mencari cedera penyerta 1C
d. CT scan kepala
CT Scan kepala paling sering dipakai untuk imaging pasien dengan trauma
kepala akut dengan alasan cepat, relative simple, dan banyak tersedia. Tampak
sebagai lesi hiperdens berbentuk bulan sabit (crescentic shape) pada konveksitas
hemisfer ekitar 91% SDH dg tebal ≥5 mm sudah teridentifikasi pada pemeriksaan
CT Scan kepala
e. MRI kepala
MRI kepala lebih sensitif dibanding CT Scan kepala dalam mendeteksi
perdarahan intrakranial. MRI kepala dikpakai pada beberapa kasus dimana
dicurigai adanya SDH atau perdarahan lain yang tidak tampak pada CT Scan
kepala.
f. Angiografi
Diindikasikan untuk evaluasi SDH, ketika tidak didapatkan riwayat trauma dan
tidak jelas penyebabnya.
g. CT-Scan Whole
Body Whole Body CT (WBCT) digunakan pada kasus multitrauma untuk
mengurangi waktu diagnosis, dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik
tidak stabil
5. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Terapi
1) Craniotomi evakuasi hematom
bila Hematom subdural dengan ketebalan >10mm atau midline
shift >5mm tanpa melihat GCS
GCS ≤8 atau bila GCS turun ≥2 poin dari saat pertama datang ke RS,
dan atau bila didapatkan pupil asimetris atau pupil dilatasi dan tetap,
dan atau pengukuran TIK >20mmHg.
2) ICP Monitor
GCS < 9
Hematom subdural dengan tebal < 10mm atau midline shift < 5mm
b. Penatalaksanaan Operatif
1) Hematoma yang kecil dan tidak memberikan efek masa (midline shift< 0,5
cm), juga tidak memberikan gejala klinik.
2) Perawatan di ruangan
3) Observasi GCS, pupil, lateralisasi, dan faal vital.
4) Optimalisasi, stabilisasi faal vital, menjaga mantapnya suplai O2 ke otak.
5) Sirkulasi : cairan infus berimbang NaCl-glukosa, dicegah terjadinya
overhidrasi, bila sudah stabil secara bertahap di ganti cairan / nutrisi enteral /
pipa lambung.
6) Airway : menghisap sekret / darah / muntahan bila diperlukan, tracheostomi.
Penderita COB dengan lesi yang tidak memerlukan evakuasi dan penderita
dengan gangguan analisa gas darah dirawat dalam respirator.
7) Kateter buli-buli diperlukan untuk mencatat produksi urine, mencegah retensi
urine, mencegah tempat tidur basah (dengan demikian mengurangi risiko
dekubitus).
8) Head Up 30o Berikan cairan secukupnya (normal saline) untuk resusitasi
korban agar tetap normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan
transfuse darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl.
9) Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS
dan pemeriksaan batang otak secara periodik.
10) Berikan obat-obatan analgetik (misal: acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri
ringan dan sedang) bila didapatkan keluhan nyeri pada penderita
11) Berikan obat-obatan anti muntah (misal:metoclopramide atau ondansentron)
dan anti ulkus gastritis H2 bloker (misal: ranitidin atau omeprazole) jika
penderita muntah
12) Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), bila tampak edema atau cedera
yang tidak operable pada CT Scan.Manitol dapat diberikan sebagai bolus 0,5
– 1 g/kg. BB pada keadaan tertentu, atau dosis kecil berulang, misalnya (4-6)
x 100 cc manitol 20% dalam 24 jam.Penghentian secara gradual.
13) Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi kejang
dengan dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah
terjadi kejang, PHT diberikan sebagai terapi.
B. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan. General anestesi meliputi:
a. General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat
anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
b. General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi
obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap
melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi
2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
Menurut Pramono (2015), anestesi adalah hilangnya seluruh modalitas
dari sensasi yang meliputi sensasi sakit/nyeri, rabaan, suhu, posisi/proprioseptif,
sedangkan analgesia yaitu hilangnya sensai sakit/nyeri, tetapi modalitas yang lain
masih tetap ada. Anestesi umum atau general anesthesia mempunyai tujuan agar
dapat menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia
yang bersifat reversible dan dapat diprediksi. Anestesi umum disebut juga sebagai
narkose atau bius. Anestesi umum juga menyebabkan amnesia yang bersifat
anterograd, yaitu hilangnya ingatan saat dilakukan pembiusan dan operasi
sehingga saat pasien sudah sadar, pasien
Anestesi regional memberikan efek mati rasa terhadap saraf yang
menginervasi beberapa bagian tubuh, melalui injeksi anestesi lokal pada
spinal/epidural, pleksus, atau secara Bier block (Mohyeddin, 2013). Anestesi
regional memiliki keuntungan, diantaranya adalah menghindari polifarmasi,
alternatif yang efektif terhadap anestesi umum, anesthesia yang dapat
diperpanjang, pasient dapat tetap dalam keadaan sadar, dan dapat dilakukan
pemberian makanan atau minuman yang lebih dini (Mohyeddin, 2013). Anestesi
regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai analgesik. Anestesi
regional hanya menghilangkan nyeri tetapi pasien tetap dalam keadaan sadar.
Oleh sebab itu, teknik ini tidak memenuhi trias anestesi karena hanya
menghilangkan persepsi nyeri saja (Pramono, 2017).
b. Regional Anestesi
Anestesi regional memberikan efek mati rasa terhadap saraf yang
menginervasi beberapa bagian tubuh, melalui injeksi anestesi lokal pada
spinal/epidural, pleksus, atau secara Bier block (Mohyeddin, 2013). Anestesi
regional memiliki keuntungan, diantaranya adalah menghindari polifarmasi,
alternatif yang efektif terhadap anestesi umum, anesthesia yang dapat
diperpanjang, pasient dapat tetap dalam keadaan sadar, dan dapat dilakukan
pemberian makanan atau minuman yang lebih dini (Mohyeddin, 2013). Anestesi
regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai analgesik. Anestesi
regional hanya menghilangkan nyeri tetapi pasien tetap dalam keadaan sadar.
Oleh sebab itu, teknik ini tidak memenuhi trias anestesi karena hanya
menghilangkan persepsi nyeri saja (Pramono, 2017).
3. Teknik Anestesi
Teknik general di bagi menjadi 3 yaitu :
a. General anestesi intravena Teknik general anestesi yang dilakukan
dengan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah
vena.
b. General anestesi inhalasi Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau
cairanyang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung
ke udarainspirasi.
c. Anestesi imbang Merupakan teknik anestesi dengan mengunakan
kombinasi obat-obata baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi
inhalasi atau kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk
mencapaitrias anestesi secara optimal dan beriimbang, yaitu:
1) Efek hinotis, diperoleh dengan menggunakan obat hipnotikum atau
obatanestesi umum yang lain.
2) Efek analgesia, diperoleh dengan menggunakan obat analgetik opiate
ataugeneral anestesi atau dengan cara analgesia regioal.
3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot atau
general anestesi atau dengan cara analgesia regional (Mangku, 2010).
4. Rumatan Anestesi
Rumatan anestesi yang paling sering di gunakan adalah sevoflurane dengan
persentase sebesar 48,81% dan yang paling sedikit di gunakan untuk rumatan anestesi
adalah kombinasi dari volatile agent halotan dan sevoflurane. Obat rumatan anestesi
merupakan obat yang di gunakan untuk memberikan kedalaman anestesi secara stabil
pada saat pembedahan, obat rumatan anestesi bisa berupa obat anestesi inhalasi
maupun anestesi intravena seperti propofol dan jenis jenis analgesi dan sedasi lain
nya dan juga suplemen opioid
5. Resiko
Menurut Butterworth, Mackey & Wasnick (2013), Pramono (2015) dan Gwinnutt
(2011) komplikasi pasca general anestesi yang dapat terjadi yaitu:
a. Komplikasi pernapasan
Komplikasi paru pasca operasi atau post operative pulmonary complication (PPC)
merupakan komplikasi terkait dengan sistem pernafasan. Komplikasi ini merupakan
keadaan yang dapat menyebabkan perawatan lanjut setelah operasi seperti perawatan
di unit perawatan intensif atau memperpanjang waktu perawatan di rumah sakit
setelahoperasi (Hadder, 2013).
Pasien pasca general anestesi dapat mengalami gangguan komplikasi pernapasan
yaitu:
1) Hipoventilasi
Hipoventilasi dapat terjadi akibat adanya seperti: kelebihan cairan atau emboli
paru, henti jantung, atelektasis, komplikasi yang mendasarinya penyakit pernapasan
seperti asma atau COPD. Pasien yang mengalami hipoventilasi berlanjut akan
menyebabkan komplikasi hiposekmia akibat kurangnya suplai oksigen yang ada
dalam darah (Hadder, 2013).
2) Ateletaksis paru
telektasis paru, kolaps atau gangguan fungsi paru merupakan keadaan yang sering
terjadi pada pasien pasca general anestesi. Atelektasis menghasilkan pengurangan
kapasitas residu fungsional, yang berkurang terhirup volume oksigen. Atelektasis
dapat menyebabkan komplikasi pneumotoraks.
3) Aspirasi paru
Keadaan ini dapat terjadi pada kondisi pasien pasca general anestesi umum.
Faktor-faktor risiko ini termasuk operasi darurat, anestesi umum, ahli anestesi dan
pasien yang tidak berpengalaman alasan tergantung seperti kurang puasa,
pengosongan lambung tertunda atau hipersekresi lambung (Murola, 2014).
b. Komplikasi kardiovaskuler
Kompliakasi kardiovaskuler yang dapat terjadi yaitu: hipotensi, aritmia,
bradikardi, dan hipertensi pulmonal. Hipotensi disebabkan akibat hipovolemia yang
disebabkan oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit kardiovaskuler
seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan relaksasi hipersensitivitas obat induksi,
obat pelumpuh otot dan reaksi transfusi (Butterworth, Mackey & Wasnick 2013).
c. Komplikasi neurology
Cedera saraf perifer yang paling sering terjadi adalah neuropati ulnar. Gejala-
gejala awal sebagian besar seringkali terlihat lebih dari 24 jam setelah prosedur
pembedahan dan mungkin telah terjadi saat pasien yang berada pada bangsal rumah
sakit saat pasien sedang tertidur. Cedera saraf perifer lainnya lebih berhubungan dekat
dengan pengaturan posisi atau prosedur pembedahan. Cedera ini terjadi pada saraf
peroneus, pleksus brakialis, atau saraf femoralis dan skiatika. Kemudian penekanan
eksternal pada saraf dapat membahayakan perfusinya, merusak integritas selularnya,
dan pada akhirnya menimbulkan edema, iskemia, dan nekrosis (Pramono, 2015).
d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Gangguan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi akibat adanya
hipovolemia, perdarahan, mual muntah pada saat intra anestesi (Akhtar, dkk, 2013).
Gangguan hipovolemia dapat mengakibatkan terjadinya takikardi, ketidakedekauatan
urine output serta hipotensi.
e. Komplikasi gastrointestinal
Mual muntah pasca general anestesi atau PONV (post operative nausea and
vomitus) merupakan komplikasi terbanyak pasca-anestesia. Keadaan ini terjadi akibat
penggunaan anestesi inhalasi sehingga menimbulkan mual muntah pasca bedah.
Kondisi ini menyebabkan penundaan pemulangan pasien dari rumah sakit sehingga
meningkatkan biaya perawatan pasien sehingga PONV harus ditangani secara serius
untuk mencegah terjadinya komplikasi yang dapat terjadi (Butterworth, 2013).
C. Web Of Caution (WOC)
Faktor Kongenital
Faktor Genetik Defisiensi Vitamin Fungsi Hepar
belum sempurna
Gg Pembentukan
Perdarahan
Hemofilia
Pendarahan
Dyspenia Uremia
Efektif
Gg perfusi jaringan
SDH
Hematoma Subdural
Post Operasi
Post Anestesi
1 Resiko infeksi Infeksi tidak terjadi atau 1. Kaji kulit dan
terkontrol dan mencapai identifikasi pada
tahap perkembangan
penyembuhan luka pada luka
waktu yang sesuai, dengan 2. Kaji lokasi, ukuran,
warna, bau, serta
kriteria hasil:
jumlah dan tipe
1. Tidak ada tanda-tanda cairan yang luka
infeksi 3. Pantau peningkatan
suhu tubuh, karena
2. Luka bersih, tidak suhu tubuh yang
lembab, dan tidak meningkat dapat
diindentifikasikan
kotor
sebagai adanya
3. Tanda-tanda vital proses peradangan
dalam batas normal 4. Berikan perawatan
luka dengan teknik
aseptic, balut luka
dengan kassa yang
kering dan steril
5. Jika pemulihan tidak
terjadi kolaborasi
tindakan lanjutan
6. Ganti balutan sesuai
kebutuhan
7. Kolaborasikan
pemberian antibiotic
sesuai indikasi
4. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap yang menentukan apakah tujuan tercapai. Evaluasi selalu
berkaitan dengan tujuan, apabila dalam penilaiannya ternyata tujuan tidak tercapai,
maka perlu dicari penyebabnya. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor:
tujuan tidak realistis, tindakan keperawatan yang tidak tepat, & terdapat faktor
lingkungan yang tidak dapat diatasi.
E. Daftar Pustaka
Setiowati, T. (2020). HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT DENGAN
TINDAKAN PENCEGAHAN KOMPLIKASI PASCA GENERAL ANESTESI DI
BANGSAL BEDAH RSUD WONOSARI (Doctoral dissertation, Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta).
Wirman, W., & Abram, A. T. (2015). Konsep Diri Penderita Hemofilia di Pekanbaru
dalam Perspektif Fenomenologi (Doctoral dissertation, Riau University).
KASUS KELOMPOK 1
ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS
SUBDURAL HEMORRAGHE (SDH) DENGAN RIWAYAT HEMOFILIA DILAKUKAN
TINDAKAN TREPANASI DEKOMPRESI DI RS NEO CITY YOGYAKARTA
Pasien laki- laki 24 tahun, datang ke IGD Rumah Sakit Neo City Yogyakarta dengan
ambulance post KLL. BB pasien 66 kg dan TB 177 cm. Pasien mengalami penurunan
kesadaran Subdural Hemorrghae (SDH) dan bicara sedikit melantur. Kepala pasien telihat
sedikit memar. Pasien mengeluhkan nyeri pada bagian kepala dan terkadang mual. Pasien tidak
memiliki riwayat alergi dan pengobatan rutin, tidak ada riwayat operasi sebelumnya, pasien
memiliki riwayat Hemofilia A.
Preoperasi kesadaran pasien Apatis, GCS E3. V4. M5, TD 135/75 mmHg, Nadi 92x/
menit, RR 20x/menit, SpO2 99%. Gerak dinding simetris kanan kiri, suara vesikuler paru +/+,
ronkhi -/-. Akral hangat kering merah dengah CRT < 2 detik, suara jantung 1-2 reguler dan
tidak didapatkan murmur maupun gallops, reflek cahaya +/+ dan pupil isokor 3mm/3mm.
Produksi urine on chateter 550 cc dalam 5 jam. Abdomen tidak didapatkan distended maupun
nyeri tekan. Terdapat edema pada kepala. Edema maupun sianosis pada ekstremitas tidak
ditemukan. Pasien dinilai dengan status fisik ASA 4E. Pemeriksaan CT Scan kepala
didapatkan Subdural Hemmorrhage pada regio frontotemporooccipital sinistra dan edema
cerebri. Pasien direncanakan Trepanasi Evakuasi Dekompresi SDH dengan General Anestesi
ETT. Pemeriksaan Laboratorium diperoleh :
INTRA ANESTESI
Pasien masuk ke ruang operasi jam 10.00 WIB Sebelum dilakukan tindakan operasi
pasien mendapatkan injeksi faktor VII 4000 unit dalam40 menit. Pasien dilakukan manajemen
anestesi general anestesi intubasi brain protection dengan kontrol ventilasi, dengan sebelumnya
pasien diposisikan head up 30 derajat dan dipasang monitor non ivasif seperti tekanan darah,
laju jantung, EKG, dan saturasi oksigen. Obat-obatan yang digunakan saat induksi antara lain
fentanyl 100mcg, lidocaine 80 mg, dan vecuronium 8 mg. Intubasi menggunakan ETT no 7.5
cuffed, nafas kontrol penuh dengan ventilator. Analgetik durante operasi menggunakan syringe
fentanyl 1mcg/kgbb/jam, vecuronium kontinyu 1–2mcg/ kgbb/jam dan sevoflurane sebagai
agen rumatan anestesia. Operasi berlangsung selama 5 jam, hemodinamik stabil dengan
perdarahan 1100cc dan mendapatkan transfusi produk darah dengan total 1942cc (6 labu
packed red cell dan 4 labu fresh frozen plasma).
POST ANESTESI
Operasi selesai pada pukul 15.00 WIB. Pasien dibawa ke RR untuk dilakukan
pemantauan. Pukul 15.15 TD 128/ 70, Nadi 99x/menit, SpO2 98%, RR 20x/menit, pasien
belum sadar. Hasil pemantauan didapatkan bahwa pasien kurang stabil dengan skor aldrete 7,
sehingga pasien harus dilakukan pemantauan lebih lanjut di ICU.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS
SUBDURAL HEMORRAGHE (SDH) DENGAN RIWAYAT HEMOFILIA DILAKUKAN
TINDAKAN TREPANASI DEKOMPRESI DI RS NEO CITY YOGYAKARTA
I. Pengkajian
A. Pengumpulan Data
1. Anamnesis
a. Identitas
1) Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Umur : 24 tahun
Jenis kelamin : Laki Laki
Agama : Islam
Pendidikan : Strata 1
Pekerjaan : Karyawan Swasta
SukuBangsa : Jawa
Status perkawinan` : Sudah Menikah
Golongan darah :B
Alamat : Perumahan Kwangya, Yogyakarta
No. RM : 396***
Diagnosa medis : Subdural Hemorraghe (SDH)
Tindakan operasi : Trepanasi Dekompresi
Tanggal MRS : 12 November 2022
Tanggal pengkajian : 12 November 2022
Jam Pengkajian : 10.00 WIB
Jaminan : BPJS
2) Identitas Penanggung-Jawab
Nama : Ny. E
Umur : 22 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : Strata-1
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Suku Bangsa : Jawa
Hubungan dg pasien : Istri
Alamat : Perumahan Kwangya, Yogyakarta
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
a) Saat MRS : Pasien mengeluh nyeri pada bagian kepala dan terkadang
mual
b) Saat Pengkajian : Pasien mengalami penurunan kesadaran Subdural
Hemorrghae (SDH) dan bicara sedikit melantur. Kepala pasien telihat
sedikit memar dan ada pembengkakan. Pasien mengeluhkan nyeri pada
bagian kepala dan terkadang mual
c) Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke iGD Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo dengan ambulance post KLL. Pasien mengalami
penurunan kesadaran Subdural Hemorrghae (SDH) dan bicara sedikit
melantur. Kepala pasien telihat sedikit memar dan ada pembengkakan.
Pasien mengeluhkan nyeri pada bagian kepala dan terkadang mual.
2) Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien memiliki riwayat penyakit Hemofilia A
7) Kebiasaan : Pasien merokok, tidak minum alkohol dan sesekali minum teh
1) Oksigenasi
Sebelum sakit dan saat ini pasien tidak memiliki gangguan oksigenasi
2) Air/Minuman
Sebelum sakit
Pasien minum 4-8 gelas sehari, minum air putih dan kadang-kadang teh,
minum normal melalui oral.
Saat ini
Sebelum sakit
Frekuensi : 3-4 x / hari
Jenis : Nasi + sayur + lauk
Porsi : 1 ½ centong nasi
Diet khusus : -
Makanan yang disukai : Rica-Rica Biawak
Napsu makan : Baik
Puasa terakhir : Saat Ramadhan
Keluhan : -
Saat ini
Frekuensi : 2 x / hari
Jenis : Nasi + sayur + lauk
Porsi : ½ centong nasi
Diet khusus : -
Makanan yang disukai : makanan berkuah
Napsu makan : Menurun
Puasa terakhir : Saat Ramadhan
Keluhan : -
4) Eliminasi
a) BAB
Sebelum sakit
Frekuensi : 1 x sehari
Konsistensi : lembek berbentuk
Warna : kuning kecoklatan
Bau : khas feses
Cara : spontan
Keluhan : tidak ada
Saat ini
Frekuensi : 2 hari sekali (tidak pasti)
Konsistensi : lembek berbentuk
Warna : kuning kecoklatan
Bau : khas feses
Cara : spontan
Keluhan : tidak ada
b) BAK
Sebelum sakit
Frekuensi : 3-5 x sehari
Konsistensi : cair
Warna : Kuning jernih
Bau : khas amoniak
Cara : spontan
Keluhan : -
Saat ini
Frekuensi : 5-7 x sehari
Konsistensi : cair
Warna : Kuning jernih
Bau : khas amoniak
Cara : spontan
Keluhan : -
d. Pola Aktivitas dan Istirahat
1) Aktivitas
Sebelum sakit
Sebelum sakit pasien tidak pernah mengalami Insomnia. Tidur pasien
cukup 6-8 jam
Saat ini
Semenjak di RS pasien kesulitan untuk tidur
e. Interaksi Sosial : Interaksi pasien baik dengan masyarakat.
f. Pemeliharaan Kesehatan
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Perdarahan (-)
Kotoran ( tidak ada )
Pembengkakan (-)
Pembesaran/ polip (-)
g. Mulut dan Faring
Bentuk (simetris)
Pembengkakan ( tidak ada )
Kulit payudara: warna sawo matang
Lesi ( tidak ada )
Cairan yang keluar ( tidak )
Ulkus ( tidak ada )
Pembengkakan (-)
Nyeri tekan (-)
Kekenyalan (kenyal)
Benjolan massa ( tidak ada )
j. Thorak
Paru Paru
Inspeksi : Pengembangan paru kanan dan kiri sama,
Auskultasi : Suara nafas vesikuler
Perkusi : Sonor
Palpasi : Fremitus raba kanan dan kiri sama
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Auskultasi : Terdapat murmur, tunggal keras, regular
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
k. Abdomen
Inspeksi : Tidak ada distensi abdomen
Auskultasi : Bising usus 6x/ menit
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : Kuadran 1-4 Timpani
l. Tulang Belakang
Tidak ada Kyposis
Tidak ada Scoliosis
Tidak ada Lordosis
Tidak ada Perlukaan
Tidak ada Infeksi
Mobilitas leluasa
Tidak ada Fibrosis
Tidak ada HNP
m. Genetalia
Laki Laki
Kebersihan rambut pubis (bersih)
Lesi ( Tidak ada lesi )
Eritema ( tidak ada eritema )
Peradangan (tidak ada peradangan )
Lubang uretra : stenosis/sumbatan ( Tidak ada sumbatan pada uretra )
Terpasang kateter (Terpasang kateter )
n. Anus
Tidak ada Atresia ani
Tidak ada tumor
Tidak ada Haemorroid
Tidak ada perdarahan
Tidak ada benjolan
Tidak ada jahitan
Tidak ada nyeri tekan
Tidak ada pemeriksaan Rectal Toucher
o. Ekstermitas
Atas
Otot antar sisi kanan dan kiri (simetris)
Deformitas ( Tidak ada deformitas )
Fraktur (Tidak ada reaktur ) Lokasi fraktur Jenis fraktur
Terpasang gips (Tidak Terpasang gips )
Traksi (tidak ada traksi )
Atropi otot ( tidak ada atropi otot )
IV line: terpasang di tangan kiri , ukuran abocatch 24, tetesan: 20 Tpm
ROM: Aktif
CRT: (kurang dari 2 detik)
Edema: (Tidak ada Edema)
Lakukan uji kekuatan otat : ( 5 )
Lainnya:………………
Bawah
ROM: Aktif
1) Refleks fisiologis
2) Refleks patologis
2. Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan : Pemeriksaan CT Scan kepala didapatkan Subdural
Hemmorrhage pada regio frontotemporooccipital sinistra dan edema cerebri.
C. Terapi Saat Ini :
Cairan Ringer Laktat dll
D. Kesimpulan Status Fisik (ASA) :
ASA 4E dengan Hemofilia A
E. Pertimbangan Anestesi
1. Faktor Penyulit : -
2. Jenis Anestesi : General Anestesi
Indikasi : Pasien dengan penurunan kesadaran
3. Teknik Anestesi : GA ETT
Indikasi : Pasien dengan penurunan kesadaran
F. Persiapan Penatalaksnaan Anestesi
1. Persiapan Alat (Persiapan alat untuk GA)
a. S (Scope) : Stetoscope, Laringoscope
b. T (Tube) : ETT dan LMA
c. A (Airway) : Ambubag, OPA dan NPA
d. T (Tape) : Plester, Hepafix
e. I (Introducer) : Stylet, magil forceps
f. C (Conector) : Konektor (penghubung)
g. S (Suction) : Suction, spuit.
h. Mesin Anestesi
i. Bedside Monitor
j. Lead EKG
k. Handscoon Steril
2. Persiapan Obat
a. Obat Antiperdarahan : Traneksamat 50mg/ml
b. Obat Premedikasi : Ketorolac IV 30 mg, Ranitidin IV 50 mg,
Ondansentron IV 4 mg
c. Obat Induksi : Fentanyl 100 mg/iv, Lidocaine 8 mg, Vecuronium
8 mg
d. Obat Antiemetik : Ondansentron 4 mg/ml
e. Obat Analgetik : Fentanyl 1 mcg, Vecuronium Kontinyu 1-2 mg,
Sevoflurane (agen inhalasi)
f. Obat Emergency : SA 0,25 mg/ml, Ephedrine 50mg/ml,
g. Cairan Infuse : RL 1500 cc
3. Persiapan Pasien
1) Pasien tiba di IBS pukul 10.00 WIB
2) Melakukan serah terima pasien
3) Memeriksa rekam medis pasien (Identitas pasien, alergi obat, penggunaan obat,
keluhan pasien, pemeriksaan penunjang, pemeriksaan fisik, diagnose, dll) serta
informed consent pasien.
4) Mengganti pakaian pasien
5) Memindahkan pasien ke brankar IBS
6) Memeriksa kelancaran infus dan memeriksa alat Kesehatan yang sudah
terpasang pada pasien.
4. Penatalaksanaan Anestesi
Sign in: Sign in dilakukan pukul 10.00 WIB.
Time out: Time out dilakukan pukul 10. 15 WIB. Pasien dilakukan manajemen
anestesi general anestesi intubasi brain protection dengan kontrol ventilasi,
dengan sebelumnya pasien diposisikan head up 30 derajat dan dipasang monitor
non ivasif seperti tekanan darah, laju jantung, EKG, dan saturasi oksigen. Obat-
obatan yang digunakan saat induksi antara lain fentanyl 100mcg, lidocaine 80
mg, dan vecuronium 8 mg. Intubasi menggunakan ETT no 7.5 cuffed, nafas
kontrol penuh dengan ventilator. Analgetik durante operasi menggunakan
syringe fentanyl 1mcg/kgbb/jam, vecuronium kontinyu 1–2mcg/ kgbb/jam dan
sevoflurane sebagai agen rumatan anestesia.
Sign out: Operasi berlangsung selama 5 jam. Pasien selesai operasi pukul 15.00
G. Kebutuhan Cairan
Maintenance :
O2 : 2 lt/mnt, N2O: 2 lt/mnt dengan 2 %Vol
Balance cairan:
kesadaran
- Pasien mual muntah
- SSP : Apatis
2 DS: - Berhubungan dengan Resiko Jatuh
DO: Penurunan Kesadaran
- Pasien mengalami penurunan
kesadaran
- Pasien berbicara melantur
- SSP : Apatis
hemofilia
I. Problem (Masalah)
A. Preanestesi
1. Nyeri Akut
2. Resiko Aspirasi
3. Resiko Jatuh
B. Intraanestesi
1. Resiko Penurunan Curah Jantung
2. Resiko Aspirasi
C. Post Operasi
1. Resiko Jatuh
D. Rencana Intervensi, Implementeasi, dan Evaluasi
Pra Anestesi
Nama : Tn. M No. RM : 639**
Umur : 24 tahun Diagnosa Medis : Subdural Hemorraghe (SDH) Post KLL
Jenis Kelamin :L Ruang : Bougenville 3
Rencana Tgl/
No Problem Implementasi Evaluasi
Intervensi Jam
(Masalah)
Tujuan Intervensi
1. Nyeri Akut Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji tingkat nyeri S: -
1) Mengkaji tingkat nyeri
selama 1x 30 menit, pasien dengan O:
pasien dengan PQRST
diharapkan nyeri akut PQRST TD: 120/89
2) Menginstruksikan kepada
teratasi, dengan kriteria 2. Intruksikan pada mmHg
pasien teknik relaksasi
hasil : pasien teknik N: 105x/menit
nafas dalam
1. Skala nyeri pasien relaksasi nafas dalan RR : 25x/menit
turun 3. Ajaran pasien 3) Mengajarkan pasien spO2 : 99%
2. Pasien dapat tentang bagaimana tentang bagaimana Pada saat ditanya
mengendalikan mengatasi nyeri mengatasi nyeri mengenai skala
rasa nyeri tersebut 4. Kolaborasikan 4) Mengolaborasikan dengan pasien tidak
3. Pasien dengan dokter untuk dokter untuk pemberian menjawab
mengungkapkan pemberian analgesik analgesik namun raut
rasa nyaman wajah pasien
setelah nyeri tampak sudah
berkurang rileks dan lebih
tenang
A : Nyeri Akut Teratasi
P : Lanjutkan Intervensi
Rencana Tgl/
No Problem Implementasi Evaluas
Intervensi Jam
(Masalah) i
Tujuan Intervensi
1. Risiko Penurunan Setelah dilakukan 1. Kaji TTV pasien 1. Mengkaji TTV pasien S: -
Curah Jantung asuhan keperawatan 2. Pantau input dan dan mendapatkan hasil O:
selama 1 x 30 menit, output pasien TD 135/75 mmHg, 1. TD 135/75
diharapkan resiko 3. Monitoring Nadi 92x/ menit, RR mmHg, Nadi 92x/
penurunan curah Elektrokardiograf (EKG) 20x/menit, SpO2 99%. menit, RR
jantung 2. Memantau input dan 20x/menit, SpO2
teratasi, dengan kriteria output pasien 99%.
hasil : Input: 1942cc (6 labu 2. Input: 1942cc (6
1. TTV pasien dalam packed red cell dan 4 labu packed red
batas normal dan irama labu fresh frozen cell dan 4 labu
EKG normal plasma). fresh frozen
2. Tidak ada disaritmia Output: 1100 cc darah plasma).
yang mengancam jiwa Output: 1100 cc
darah
A: Risiko Penurunan
Curah Jantung sudaha
teratasi
P: hentikan intervensi
Nopitasari
Nopitasari
2. Risiko Aspirasi Setelah dilakukan 1. Monitor pola nafas 1. Monitor pola nafas S: -
asuhan keperawatan (frekuensi, irama) (frekuensi, irama) O:
selama 1 x 30 menit 2. Kaji adanya factor Hasil: RR: 20 x/menit 1. TD 135/75 mmHg,
diharapkan resiko yang meningkatkan 2. Mengkaji adanya Nadi 92x/ menit, RR
aspirasi teratasi, dengan aspirasi factor yang 20x/menit, SpO2
kriteria hasil : 3. Kolaborasikan meningkatkan aspirasi 99%. Pasien
1. Kepatenan Jalan dengan dokter Hasil: Terpasang ett terpasang ETT
Nafas terjaga untuk pemberian A: Risiko Aspirasi
brocodilator, teratasi sebagian
expectoran, dan P: Lanjutkan intervensi
mukolitik bila
perlu.
14-10-2022 10.30 WIB
14-10-2022 10.30 WIB
Dandy Putra Aditama Dandy Putra
Aditama
Pasca Anestesi
Rencana Tgl/
No Problem Implementasi Evaluas
Intervensi Jam
(Masalah) i
Tujuan Intervensi
1. Resiko jatuh Setelah di lakukan 1. Kaji adanya faktor resiko jatuh 1. Mengkaji fator resiko S:-
Tindakan selama 15 2. Laporkan adanya faktor- jatuh O: pengaman tempat
menit di harapkan faktor resiko 2. Mencegah pasien jatuh tidur sudah terpasang
resiko jatuh dapat 3. Cegah pasien jatuh dengan dengan memasang Faktor resiko pasien
teratasi dengan memasang pengaman tempat pengaman tempat terjatuh karena pasien
kriteria hasil tidur tidur/ brankar tidak sadar
Pasin aman dan tidak 4. Lakukan pengawasan pada 3. Melakukan A: masalah teratasi
terjatuh pasien pengawasan pada P:hentikan intervensi
pasien
Latifa
Latifa
118