Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

Perdarahan Subarachnoid

Oleh:

Ajeng Dwi Novitasari NIM. 2030912320031

Gracellia Sujata NIM. 2030912320040

Muhammad Rafagih NIM. 2030912310123

Putri Nur Aini NIM. 2030912320066

Pembimbing:

dr. Zainal Abidin, Sp.BS

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN ULM
RSUD PENDIDIKAN ULIN
BANJARMASIN
AGUSTUS, 2021
DAFTAR ISI

Halaman Judul ..........................................................................................................i

Daftar Isi..................................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................2

BAB III. PENUTUP............................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25

ii Universitas Lambung Mangkurat


BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan subarakhnoid atau subarachnoid hemorrhage (SAH)

merupakan suatu keadaan gawat darurat yang ditandai dengan nyeri kepala sangat

hebat yang muncul secara akut dikarenakan perdarahan di ruang subarachnoid.1

SAH menyebabkan proporsi morbiditas dan mortalitas dari stroke dikarenakan

insidensi usia rata-rata yang lebih muda dan tingginya mortalitas. Penyebab

utamanya dikarenakan aneurisme intrakranial yang ruptur atau ruptured

intracranial aneurysm (aSAH) yang menjadi penyebab hingga 85% kasus. SAH ini

mempengaruhi 6 dari 100.000 individu tiap tahunnya di negara berkembang

meskipun insidensi mulai menurun.2 Dari kebanyakan studi epidemiologi,

didapatkan bahwa perempuan memiliki kecenderungan untuk mengalami SAH

dibanding laki-laki (1.24:1.0) serta pada orang Afrika-Amerika dan Hispanik lebih

sering mengalaminya dibading orang Amerika. Insidensi dari SAH meningkat

dengan usia, rerata usianya adalah 50 tahun atau lebih. Dikarenakan tingginya

morbiditas dan mortalitas sangat penting untuk memberikan penekanan bahwa

meskipun terdapat penurunan dari case-fatality rates separuh dari pasien akan

mengalami penurunan kualitas hidup yang kronik dan signifikan.3 Oleh sebab itu

perlu dilakukan diagnosis dan penanganan segera untuk mencegah terjadinya

komplikasi pada pasien.

1 Universitas Lambung Mangkurat


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Perdarahan subarachnoid adalah suatu keadaan kegawatdaruratan

neurologis yang ditandai oleh nyeri kepala yang sangat hebat, “worst headache

ever” dengan visual analog scale (VAS) 9-10 yang muncul akut/tiba-tiba akibat

perdarahan di ruang subarachnoid, yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater)

dan lapisan tengah (arakhnoid mater) yang merupakan bagian selaput yang

membungkus otak (meninges).1,4

B. Epidemiologi

Perdarahan ini kebanyakan berasal dari perdarahan arteri akibat pecahnya

suatu aneurisma pembuluh darah serebral atau malformasi arterio-venosa yang

ruptur, atau diakibatkan cedera kepala. Data kasus perdarahan subarachnoid

terdapat sekitar 10 kasus per 100.000 orang per tahun, menyumbang 3% dari

seluruh kejadian stroke. Pada tahun 2016, Global Burden of Disease, Injury and

Risk Factors Study menunjukkan bahwa stroke menyebabkan 5,5 juta kematian dan

116,4 juta kecacatan di dunia. Angka kejadian SAH berdasarkan European

Registers of Stroke (EROS) dan The Spanish Society of Neurology mencapai 9

kasus/100.000 orang dan mengalami peningkatan kejadian setelah usia 50 tahun

dengan persentase lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Menurut Riset

Kesehatan Dasar pada tahun 2018 di Indonesia prevalensi stroke akibat SAH pada

usia ≥15 tahun sebesar 10,85% dan sedikit lebih tinggi pada laki-laki serta daerah

2 Universitas Lambung Mangkurat


perkotaan. Menurut penelitian Harris et al pada beberapa RSUD di beberapa

Provinsi Indonesia pada tahun 2018 terdapat 181 kasus perdarahan subaraknoid.

Insidens perdarahan subaraknoid meningkat seiring bertambahnya usia dan lebih

tinggi pada wanita daripada laki-laki serta lebih tinggi pada ras kulit hitam dan

orang hispanik. Prevalensi kejadiannya sekitar 62% timbul pertama kali pada usia

40-60 tahun, kejadian mati mendadak karena perdarahan subaraknoid sebesar 2%

dari seluruh kasus.5,6,7

C. Etiologi

Subarachnoid hemorrhage (SAH) merupakan penyakit serebrovaskular

yang dapat terjadi setelah terjadi aneurisma arteri intrakranial pada 80% kasus yang

menyebabkan perdarahan di dalam ruang subarachnoid. Dengan bentuk paling

umum yaitu aneurisma saccular dan fusiform. Aneurisma ini dapat terjadi karena

faktor predisposisi seperti kelainan kongenital atau genetik yang dapat memicu

pecahnya pembuluh.8,9

Etiologi utama adalah terjadinya inflamasi yang menyebabkan aneurisma

dilanjutkan pecahnya pembuluh. Aktivasi ini kemudian akan melibatkan faktor

proinflamasi pada daerah yang terjadi trauma, seperti endothelial constitutional

equivalent (eNOS), induksi matrix metalloproteinase (MMP) dan sitokin

proinflamasi seperti IL-10, IL-1beta, IL-6, tumor necrosis factor (TNF-alpha) serta

komplemen dan faktor koagulasi. Seluruh komponen ini kemudian dapat

menyebabkan remodeling dari area yang mengalami trauma, sehingga

menyebabkan penipisan lapisan vaskular, sehingga terjadi penurunan fungsi dari

dinding pembuluh.8 Dalam kasus aneurisma, terjadi lokalisasi paling umum, yaitu

3 Universitas Lambung Mangkurat


anterior communicating artery (36%), middle cerebral (26%), posterior

communicating (18%), internal carotid arteries (10%).8,9

Namun aneurisma bukanlah satu-satunya etiologi, terdapat beberapa

etiologi SAH lain seperti yang terjabar pada tabel di bawah.9

Tabel 2.1. Etiologi SAH9

D. Faktor Risiko

Faktor risiko dapat dibagi menjadi faktor risiko terjadinya SAH,

terbentuknya formasi aneurisma dan pertumbuhan aneurisma. Faktor risiko

independen untuk SAH adalah merokok, konsumsi alcohol yang berlebih dan

hipertensi. Merokok merupakan faktor independen dan faktor risiko terjadinya

SAH. Setelah diagnosis dari aneurisme yang tidak ruptur, ukuran aneurisme,

kemungkinan lokasinya, usia serta kebiasaan merokok merupakan prediktor

independen dari terjadinya ruptur aneurisme di masa yang akan datang. Merokok

4 Universitas Lambung Mangkurat


dan jenis kelamin perempuan merupakan faktor independen signifikan yang

mempengaruhi pertumbuhan dan formasi aneurisme. Perempuan memiliki risiko

lebih tinggi untuk terbentuknya formasi aneurisme daripada laki-laki serta merokok

akan mempercepat pertumbuhan dari aneurisme. Penemuan ini penting dikarenakan

aneurisme tumbuh sebelum ruptur, semakin cepat pertumbuhannya maka akan

semakin cepat ruptur. Hipertensi merupakan faktor risiko peting dalam terjadinya

SAH dan kemungkinan dapat menyebabkan formasi aneurisme dan rupture

aneurisme yang fatal. Penggunaan alkohol serta konsumsi dalam jumlah yang

banyak dengan waktu cepat merupakai faktor risiko terjadinya ruptur aneurisme

yang harus dihentikan. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada SAH adalah

merokok, hipertensi dan konsumsi alkohol berlebih sementara faktor risiko yang

tidak dapat dimodifikasi adalah jenis kelamin, usia, ukuran aneurisme dan riwayat

keluarga. Faktor risiko dari formasi de novo aneurisme adalah jenis kelamin

perempuan, masih merokok, hipertensi, usia saat diagnosis dan riwayat keluarga. 10

Gambar 2.1 Faktor Risiko Terjadinya SAH3

5 Universitas Lambung Mangkurat


E. Klasifikasi

a. Berdasarkan penyebab terjadinya

Berdasarkan penyebab terjadinya, perdarahan subarachnoid dibagi menjadi

dua, yaitu:

1. Perdarahan subarachnoid traumatik

Perdarahan subarachnoid traumatik merupakan mekanisme ruptur pada

perdarahan subarachnoid yang disebabkan oleh trauma, seperti benturan langsung

atau gerakan menggeserkan kepala secara tiba tiba, regangan, dan tekanan.

vertebrobasilar.11

2. Perdarahan subarachnoid spontan non traumatik

Penyebab paling sering perdarahan subarachnoid non traumatik adalah

aneurisma serebral yang biasanya terbentuk di titik-titik percabangan arteri, tempat

terdapatnya tekanan pulsasi maksimal.12

b. Berdasarkan prediksi outcome

Beberapa parameter kuantitatif untuk memprediksi luaran (outcome) dapat

dijadikan panduan intervensi maupun untuk menjelaskan prognosis, yaitu sebagai

berikut:12

1. Skala Hunt dan Hess

Skala ini mudah dan paling banyak digunakan dalam praktik klinis. Nilai

tinggi pada skala Hunt dan Hess merupakan indikasi perburukan luaran. Skala ini

juga mempunyai beberapa keterbatasan, seperti beberapa gambaran klinis

teridentifikasi samar, sehingga sulit menentukan nilai gradasi, dan tidak

6 Universitas Lambung Mangkurat


mempertimbangkan kondisi komorbiditas pasien. Berikut merupakan skala Hunt

dan Hess yang ditampilkan pada tabel 2.2.12

Tabel 2.2. Skala Hunt dan Hess.12


Skala Gambaran klinis

0 Unruptured

I Nyeri kepala minimal atau asimtomatik, kaku kuduk ringan

II Nyeri kepala sedang/berat, kaku kuduk, tidak ada defisit neurologis, kecuali

parese nervi kraniales

III Mengantuk, bingung, defisit neurologis fokal sedang

IV Stupor, hemiparesis sedang/ berat, mungkin terjadi rigiditas

deserebrasi dini

V Koma dalam, rigiditas deserebrasi, munculnya tanda-tanda end state

2. Skala Fisher

Skala Fisher digunakan untuk mengklasifikasikan perdarahan subaraknoid

berdasarkan munculnya darah di kepala pada pemeriksaan CT scan dimana

penilaian ini hanya berdasarkan gambaran radiologik. Pasien dengan skor Skala

Fisher 3 atau 4 mempunyai risiko luaran klinis yang lebih buruk. Skala ini sangat

dipengaruhi oleh variabilitas pemeriksa serta kurang mempertimbangkan

keseluruhan kondisi klinis pasien. Berikut merupakan skala Fisher yang

ditampilkan pada tabel 2.3.12

Tabel 2.3 Skor Fisher.12


Skor Diskripsi adanya darah berdasarkan pemeriksaan CT scan kepala

1 Tidak terdeteksi adanya darah

7 Universitas Lambung Mangkurat


2 Deposit darah difus atau lapisan vertikal terdapat darah ukuran <1 mm,

tidak ada jendalan

3 Terdapat jendalan dan/atau lapisan vertikal terdapat darah tebal dengan

ukuran >1 mm

4 Terdapat jendalan pada intraserebral atau intraventrikuler secara difus atau

tidak ada darah

3. Sistem Ogilvy dan Carter

Sistem Ogilvy dan Carter menggabungkan data klinis, demografi dan

radiologik, serta mudah digunakan dan komprehensif untuk menentukan prognosis

pasien yang mendapatkan intervensi bedah. Besarnya nilai ditentukan oleh jumlah

skor Sistem Ogilvy dan Carter. Penggabungan ini mempunyai rentang nilai lebih

luas sehingga bisa memengaruhi luaran klinis. Nilai 0 dan 1 mempunyai luaran baik

atau sangat baik pada kurang lebih 95% pasien. Sementara itu, jika nilainya lebih

dari 1, secara signifi kan mempunyai luaran buruk; kematian kurang lebih 10% pada

nilai 2, dan 30% pada nilai 3 serta 50% pada nilai 4. Pasien dengan nilai 5 tidak

dapat dioperasi. , yaitu skor 5 mempunyai prognosis buruk, sedangkan skor 0

mempunyai prognosis lebih baik. Berikut merupakan Sistem Ogilvy dan Carter

yang ditampilkan pada tabel 2.4.12

Tabel 2.4 Sistem Ogilvy dan Carter.12


Skor Keterangan

1 Nilai Hunt dan Hess >III

1 Skor skala Fisher >2

1 Ukuran Aneurisma >10 mm

1 Usia pasien >50 tahun

8 Universitas Lambung Mangkurat


1 Lesi pada sirkulasi posterior berukuran

besar (≥25 mm)

F. Patofisiologi

Pembentukan aneurisma terjadi pada lesi awal pembuluh darah. Lesi akan

berinteraksi dengan fakto tertentu diantara biologis, fisik, dan faktor eksternal.

Gaya tangensial pada dinding pembuluh darah oleh aliran darah menciptakan

aneurisma, atau pelebaran dinding pembuluh darah. Gaya ini disebut shear stres,

bersama dengan dua faktor lain, impuls dan tekanan, meliputi faktor hemodinamik

yang terkait dengan degenerasi dinding pembuluh darah. Endotelium adalah

pertama yang rusak oleh tekanan dan tegangan gaya dari darah yang bersirkulasi.

Pembuluh darah merasakan perubahan tekanan dinding dan menyesuaikan diameter

lumen sesuai dengan tingkat dinding tegangan geser untuk mempertahankan

fisiologi dan menentukan proses remodelling secara keseluruhan. Remodeling

vaskular mempengaruhi kemajuan dan pertumbuhan aneurisma, jadi tingkat

tegangan geser dinding yang berlebihan menyebabkan cedera focal dan

menghilangkan penghalang endotel yang mengarah ke pembentukan aneurisma

intrakranial.13,14,15,16

Segera setelah aneurisma pecah, akan terjadi elevasi ICP (Intracranial

pressure) menurunkan tekanan perfusi serebral(CPP), akibatnya mengurangi aliran

darah otak (CBF) dan merusak autoregulasi serebrovaskular yang menyebabkan

hipoksia dan kekurangan oksigen akan menganggu fungsi mitokondria Hal tersebut

akan menyebabkan transient global cerebral ischemia dan patologi lainnya yang

9 Universitas Lambung Mangkurat


disebut EBI (Early cerebral injury). EBI didefinisikan sebagai perkembangan

kerusakan otak pada 72 jam pertama setelah perdarahan. Stress oksidatif

memainkan peran penting pada pekembangan EBI setelah SAH dengan

memproduksi radical reactive oxygen species (ROS) termasuk superoxide anion

(O2−), hydroxyl radical (OH−), hydrogen peroxide (H2O2), NO, dan peroxynitrate

(ONOO−) kemudian patologi akan berlanjut ke jaringan otak dan menyebabkan

defisit neurologis akibat apoptosis sel, dan jika terus berlanjut akan menyebabkan

edema serebri.13,14,15,16

Sementara itu, vasospasme serebral akan menyebabkan DCI (Delayed

cerebral ischemia) setelah . Vasospasme serebral merupakan penurunan difus dan

reversible kapiler pembuluh darah karena konstriksi otot polos arteri setelah SAH.

Dinamika vaskular selama vasospasme termasuk konstriksi pembuluh darah kecil

yang menyebabkan disfungsi endotel, neuroinflamasi intramural, kontraksi otot

polos pembuluh darah pial di pembuluh darah otak. Endothelin-1 (ET-1) yang

bekerja pada reseptor endotelium A sel otot polos vakular menyebabkan masuknya

Ca2+ intraseluler (peningkatan kadar Ca2+ intraseluler setelah SAH melalui

voltage-dependent Ca2+ channels dan neurotransmitter-receptor-operated Ca2+

channels) dan vasokonstriksi dengan aktivasi kaskade multipel termasuk protein

kinase C. Pelepasan oksihemoglobin setelah hemolisis akan menginduksi pelepasan

ET-1, merusak permeabilitas endotel, menghambat eNOS dan apoptosis neuronal

dengan stimulasi pembentukan ROS, peroksidasi lipid dan jalur Mitogen Activated

Protein Kinase (MAPK) yang menghambat influks kanal K+ dan akhirnya

menyebabkan kerusakan jaringan sekitar dan defisit neurologis.13,14,15,16

10 Universitas Lambung Mangkurat


SAH traumatik (tSAH) dapat terjadi di tempat yang berbeda dan mungkin

memiliki perjalanan waktu yang bervariasi dibandingkan dengan aneurisma SAH

(aSAH). Ini mungkin disebabkan keterlibatan ruang supratentorial, sulcal, dan

interhemispheric. Dalam tSAH, PTV terjadi lebih awal dan sembuh lebih awal

daripada di aSAH.13,14,15,16

Mekanisme tSAH sering berhubungan dengan kontusio dan hematoma

subdural, menyebar keluar dari laserasi dan sekitar luka tembus, tSAH dapat terjadi

pada permukaan ventral batang otak (basilar SAH), tSAH dapat mengganggu

absorpsi CSF dan dapat menyebabkan hidrosefalus. Vasospasme pasca trauma

(PTV) adalah gangguan sekunder yang signifikan pada otak yang cedera. Ini

biasanya terjadi antara 12 jam dan 5 hari setelah cedera dan berlangsung antara 12

jam dan 30 hari. Ini juga dapat terjadi dengan cara yang lebih lambat dan mungkin

melibatkan arteri anterior dan posterior. Pada kepustakaan terdapat tiga tahap

perubahan perederan darah setelah cedera kepala parah: 13,14,15,16

a. Fase I (hipoperfusi)

Tahap ini terjadi pada hari cedera (hari 0) dan didefinisikan oleh: (1) aliran

darah serebral yang rendah (CBF); (2) kecepatan arteri serebral tengah (MCA)

normal; (3) indeks hemisfer normal (rasio kecepatan MCA terhadap kecepatan

arteri karotis interna); dan, (4) perbedaan oksigenasi arteriovenosa normal

(AVDO).13,14,15,16

b. Fase II (hiperemia)

Tahap ini terjadi antara hari 1-3: (1) CBF meningkat; (2) AVDO jatuh; (3)

kecepatan MCA meningkat; dan, (4) indeks hemisfer tetap kurang dari 3.13,14,15,16

11 Universitas Lambung Mangkurat


c. Fase III (vasospasme)

Tahap ini terjadi antara hari ke 4-15: (1) terjadi penurunan CBF; (2) ada

peningkatan lebih lanjut dalam kecepatan MCA; (3) terjadi peningkatan indeks

hemisfer yang signifikan.13,14,15,16

Mekanisme SAH traumatik yang mungkin terjadi adalah sebagai

berikut:13,14,15,16

a. Percepatan rotasi menyebabkan gerakan osilasi otak yang berlangsung singkat;

b. Peregangan arteri vertebrobasilar karena hiperekstensi;

c. Peningkatan tekanan intra-arteri secara tiba-tiba dari pukulan ke arteri karotis

servikal; (4) robeknya vena penghubung

d. Difusi darah dari kontusio ke dalam ruang subarachnoid.

G. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang paling umum pada SAH adalah sakit kepala yang

terasa sangat berat, dengan onset mendadak yang mencapai intensitas tertinggi

selama beberapa detik atau menit. Pasien biasanya dapat mendeskripsikan rasa sakit

ini sebagai “Sakit kepala terburuk dalam hidup” atau dikenal pula sebagai

Thunderclap headache yang dapat terjadi pada 80% pasien SAH. Dalam 10-43%

pasien, dirasakan pula sentinel headache yang dapat terjadi sebelum terjadinya

keluhan utama. Kebanyakan pasien merasakan keluhan utamanya saat melakukan

aktivitas sehari-hari, bahkan tanpa dilakukannya aktivitas fisik yang berat. 9,13

Keluhan sakit kepala buruk ini biasanya diikuti setidaknya satu gejala lain

seperti penurunan kesadaran, mual atau muntah, tanda kelainan neurologis fokal,

kaku leher atau kejang. Namun perlu diingat pula, tidak semua pasien SAH

12 Universitas Lambung Mangkurat


merasakan sakit kepala berat yang mendadak, karena gejala ini terjadi pada pasien

dengan SAH dikarenakan ruptur aneurisma.9,17

Pasien biasanya juga dapat mengeluhkan terjadinya perdarahan minor yang

dikenal sebagai sentinel bleeding atau warning leak sekitar 2-8 minggu sebelum

mengalami SAH. Gejalanya lebih ringan, namun akan mereda dalam hitungan

hari.17

H. Diagnosis

Pada anamnesis umumnya pada pasien didapatkan sakit kepala yang akut

dan berat biasanya disebut dengan worst headache ever yang diikuti oleh mual,

muntah, fotophobia, nyeri leher serta hilangnya kesadaran. Sakit kepala pada SAH

ini dikenal dengan thunderclap headache dengan onset akut yang terjadi selama

beberapa menit dan ada penelitian yang menyebutkan bahwa sakit kepala ini

memiliki intensitas maksimal dalam 1 jam. Gejala yang meningkatkan

kemungkinan SAH sebagai penyebab nyeri kepala adalah saat awal beraktifitas,

sinkop, muntah, nyeri leher dan kejang.18

Dapat disimpulkan bahwa pada anamnesis dapat ditanyakan gejala

prodromal yang dialami pasien seperti:1

a. Gejala peningkatan tekanan intrakranial: sakit kepala, muntah-muntah,

penurunan kesadaran

b. Gejala rangsang meningeal: sakit kepala, kaku leher, silau dan penurunan

kesadaran

Sementara pada gejala khusus SAH adalah:1

13 Universitas Lambung Mangkurat


a. Manifestasi peningkatan tekanan intrakranial karena edema serebri, hidrosefalus

dan terjadinya perdarahan berulang

b. Defisit neurologis fokal

c. Manifestasi stroke iskemik karena vasospasme yang bergantung pada

komplikasinya

Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan adanya tanda rangsang meningeal

atau kaku kuduk, nyeri kepala, kelumpuhan saraf kranial, kelemahan motorik,

defisit sensorik, gangguan otonom serta gangguan neurobehaviour.1 Selain itu juga

perlu diperiksa tingkat kesadaran pasien, evaluasi funduskopi, dan defisit

neurologis fokal.3

Tabel 2.5 Penemuan Defisit Neurologis Fokal pada Pasien dengan SAH 3

American College of Emergency Physicians memberikan rekomendasi pada

pasien dengan sakit kepala akut untuk menggunakan Ottawa Subarachnoid

Hemorrhage Rule untuk menyingkirkan diagnosis SAH dikarenakan memilik

sensitivitas yang tinggi bagi pasien dengan pemeriksaan neurologi normal tapi

14 Universitas Lambung Mangkurat


dengan sakit kepala yang memuncak dalam 1 jam. Akan tetapi spesifisitasnya

rendah bila digunakan pada pasien yang sama.19

Tabel 2.6 Ottawa Subarachnoid Decision Rule19

Untuk kriteria diagnosisnya adalah nyeri kepala yang sangat hebat, akut,

disertai kaku kuduk, dengan atau tanpa defisit neurologis serta pada CT scan

didapatkan gambaran hiperdens di ruang subarachnoid.1

Gambar 2.2 Perdarahan Subarachnoid pada CT kepala19

Pada pemeriksaan penunjang bisa dilakukan:1

a. CT scan + CT angiografi

b. EKG

c. Doppler carotis

15 Universitas Lambung Mangkurat


d. Transkranial doppler serial 158

e. Pemeriksaan laboratorium berupa hematologi rutin, gula darah sewaktu, fungsi

ginjal (ureum, kreatinin), Activated Partial Thrombin Time (APTT), waktu

prothrombin (PT), International Normalized Ration (INR), gula darah puasa dan

2 jam setelah makan, HbA1C, profil lipid, C-reactive protein (CRP), laju endap

darah, dan pemeriksaan atas indikasi seperti: enzim jantung (troponin / CKMB),

serum elektrolit, analisis hepatik dan pemeriksaan elektrolit

f. Thorax foto

g. Urinalisis

h. Lumbal pungsi

i. Pemeriksaan neurobehaviour

j. Digital Subtraction Angiography Cerebral

Gambar 2.3 Algoritme pemeriksaan pasien SAH dengan nyeri kepala berat yang
akut18

16 Universitas Lambung Mangkurat


Keparahan dari gangguan neurologis serta banyaknya jumlah pendarahan

pada saat pasien masuk rumah sakit merupakan prediktor komplikasi neurologis

dan prognosis pasien dengan SAH. Pasien ini perlu dilakukan skoring setelah

datang dan stabilisasi. Semakin tinggi skornya maka akan berasosiasi dengan

prognosis klinis yang lebih buruk serta proporsi komplikasi neurologis yang lebih

tinggi.3

Tabel 2.3 Skala penilaian secara klinis dan radiologi pada SAH 3

I. Tata Laksana

a. Tatalaksana Umum

• Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure

• Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)

• Pengendalian tekanan intrakranial (manitol jika diperlukan)

• Pengendalian kejang (terapi anti kejang jika diperlukan)

• Analgetik dan antipiterik

• Pencegahan deep vein thrombosis (DVT) dan emboli paru (pemberian heparin) 1

b. Tatalaksana Spesifik

• Manajemen hipertensi

17 Universitas Lambung Mangkurat


Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%; 4% dalam 24 jam pertama,

selanjutnya 1% hingga 2% per hari dalam kurun waktu 4 minggu. Adanya

perbaikan aneurisma dan pemberian terapi primer secara signifi kan mengurangi

risiko perdarahan ulang. Untuk mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum

dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati.Tekanan

darah sistolik harus dipertahankan di atas 100 mmHg untuk semua pasien selama

kurang lebih 21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus

dipertahankan di bawah 160 mmHg, dan selama ada gejala vasospasme, tekanan

darah sistolik akan meningkat sampai 200 hingga 220 mmHg.11

Terapi yang dapat diberikan adalah nikardipin (5 miligram per jam

(mg/jam) intravena (IV), dapat meningkat 2,5 mg/jam setiap 5–15 menit (menit)

dan maksimal 15 mg/jam), labetalol (40–80 mg IV setiap 10 menit, mulai 20 mg

IV × 1 dan maksimal 300 mg/dosis total), dan clevidipine (4–6 mg/jam IV, mulai

1-2 mg/jam IV, kecepatan ganda q90 detik hingga mendekati TD target, lalu

tingkatkan. Dengan peningkatan yang lebih kecil 5–10 menit, maksimal 32 mg/jam)

adalah agen yang efektif, sering digunakan dalam bentuk infus untuk menghindari

hipotensi. Dalam pengaturan bradikardia, hydralazine juga dapat digunakan.

Nitroprusside dan nitrogliserin harus dihindari karena efek vasodilatasi yang

signifikan dan risiko peningkatan tekanan intrakranial (TIK).18

• Manajemen gula darah (insulin, anti diabetic oral)

Hiperglikemia sering dijumpai pada pasien perdarahan subaraknoid, boleh

jadi berhubungan dengan respons stres. Insulin diberikan untuk mempertahankan

kadar glukosa darah tetap aman dalam kisaran 90-126 mg/dL.Terapi insulin intensif

18 Universitas Lambung Mangkurat


dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas.Pemantauan kadar glukosa darah

intensif pada pasien dengan terapi insulin juga harus dilakukan.11

• Pencegahan perdarahan ulang (Vit. K, antifibrinolitik).1

• Pencegahan vasospasme

Sebelum terjadi vasospasme, pasien dapat diberi profi laksis nimodipin

dalam 12 jam setelah diagnosis ditegakkan, dengan dosis 60 mg setiap 4 jam per

oral atau melalui tabung nasogastrik selama 21 hari. Metaanalisis menunjukkan

penurunan signifi kan kejadian vasospasme yang berhubungan dengan kematian

pada pemberian nimodipin profilaksis. Nimodipin adalah suatu calcium channel

blocker yang harus diberikan secepatnya dalam waktu 4 hari setelah diagnosis

ditegakkan. Pemberian secara intravena dengan dosis awal 5 mL/ jam (ekuivalen

dengan 1 mg mimodipin/ jam) selama 2 jam pertama atau kira-kira 15 mg/kg

BB/jam. Bila tekanan darah tidak turun dosis dapat dinaikkan menjadi 10 mL/ jam

intravena, diteruskan hingga 7-10 hari. Dianjurkan menggunakan syringe pump

agar dosis lebih akurat dan sebaiknya dibarengi dengan pemberian cairan penyerta

secara three way stopcock dengan perbandingan volume 1: 4 untuk mencegah

pengkristalan. Karena nimodipin merupakan produk yang sensitif terhadap cahaya,

selang infus harus diganti setiap 24 jam. Pemberian secara infus dapat dilanjutkan

dengan pemberian nimodipin tablet per oral. Penambahan simvastatin sebelum atau

setelah perdarahan subaraknoid juga terbukti potensial mengurangi vasospasme

serebral. Terapi antiplatelet dapat berperan mengurangi iskemia serebral tertunda,

meskipun perlu penelitian prospektif lebih lanjut untuk menlai keselamatan dan

efek samping.11

19 Universitas Lambung Mangkurat


c. Tindakan Intervensi/Operatif

Bukti klinis mendukung bahwa pada pasien yang menjalani pembedahan

segera, risiko kembalinya perdarahan lebih rendah, dan cenderung jauh lebih baik

daripada pasien yang dioperasi lebih lambat. Pengamanan aneurisma yang ruptur

juga akan memfasilitasi manajemen komplikasi selama vasospasme serebral. 11

Berikut merupakan prosedur operatif:20

1) Clipping Aneurisma

Clipping aneurisma dilakukan apabila terdapat aneurisma dengan rasio

neck-to-body lebar, arteri penting yang timbul dari aneurisma dome, otak tengah

aneurisma arteri serebri media, aneurisma dengan hematoma parenkim yang

besar.20

2) Coiling aneurisma

Coiling aneurisma dilakukan pada pasien dengan usia lebih tua, derajat

klinis buruk, komorbiditas multipel, aneurisma basilar atas, risiko bedah tinggi,

serta aneurisma yang dapat dilakukan coiling atau clipping.20 International

Subarachnoid Aneurysm Trial (ISAT) menyebutkan bahwa untuk beberapa

kelompok pasien tertentu, hasil baik (bebas cacat selama 1 tahun) secara signifi kan

lebih sering pada kelompok endovascular coiling daripada clipping. Selain itu,

risiko terjadinya epilepsi lebih rendah pada pasien yang menjalani endovascular

coiling, akan tetapi risiko kembalinya perdarahan lebih tinggi. Selanjutnya pada

pasien yang di-follow-up dengan pemeriksaan angiografi serebral, tingkat

terjadinya oklusi komplit aneurisma lebih tinggi daripada clipping.11

20 Universitas Lambung Mangkurat


Berikut merupakan gambar clipping dan coiling aneurisma yang

ditunjukkan pada gambar 2.3.21

Gambar 2.3 Clipping dan coiling aneurisma.21

J. Komplikasi
Komplikasi SAH dibagi menjadi tiga, yaitu fase akut, fase sub-akut, dan

fase lanjut. Komplikasi fase akut SAH yang paling serius adalah perdarahan ulang

yang umumnya terjadi pada 3 hari pertama setelah perdarahan awal (perkiraan

risiko 9-17% pada jam-jam awal) yang dikaitkan dengan prognosis buruk dan skala

Fisher yang lebih tinggi.6

Hidrosefalus juga merupakan komplikasi awal yang muncul beberapa jam

setelah. Hidrosefalus akut (tipe noncommunicating/obstruksi) yang berkontribusi

terhadap EBI disebabkan oleh efek massa atau bekuan darah di dalam ventrikel dan

aqueduct menghalangi aliran CSF normal.6

Vasospasme merupakan komplikasi paling umum pada perdarahan

subaraknoid fase sub-akut. Oksihemoglobin (hasil proses lisis bekuan darah di

21 Universitas Lambung Mangkurat


ruang subarachnoid) diduga kontribusi terhadap terjadinya vasospasme. Namun

mekanisme efek vasospasmenya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga melalui

kemampuannya untuk menekan aktivitas kanal K+, meningkatkan masuknya Ca2+,

meningkatkan aktivitas protein kinase C, dan juga Rho kinase.6

Hidrosefalus kronik merupakan komplikasi lanjut pada perdarahan

subarachnoid yang disebabkan oleh partisi dalam ruang arachnoid mencegah

reabsorpsi CSF yang normal dan menyebabkan dilatasi sistem ventrikel.

Komplikasi lain yang dapat terjadi pada SAH, yaitu hiponatremia (Na<135 mEq/dl)

yang diduga akibat mekanisme cerebral salt wasting (CSW) dan syndrome of

inappropiate secretion of antideuretic hormone (SIADH). Komplikasi demam pada

SAH biasanya merupakan demam noninfeksius terutama karena adanya perdarahan

intraventrikular.6

K. Pencegahan

Pencegahan terjadi SAH pada pasien tentu dapat dilakukan dengan

melakukan modifikasi dari faktor risiko seperti merokok, mengkonsumsi alkohol,

dan mengontrol tekanan darah yang tinggi. Hal ini dikarenakan tekanan darah

dengan sistolik lebih dari 130 mmHg meningkatkan risiko terjadi SAH sebesar dua

kali, dan jika lebih dari 170 mmHg meningkat menjadi tiga kali.9

Pencegahan ini juga tertuang dalam Guideline AHA/ASA tentang

pencegahan SAH tipe aneurisma atau dikenal sebagai aSAH.17

1. Penanganan tekanan darah tinggi dengan pemberian terapi hipertensi untuk

mencegah terjadi kejadian penyakit serebrovaskular.

2. Terapi hipertensi dapat menurunkan risiko dari aSAH

22 Universitas Lambung Mangkurat


3. Menghindari rokok dan alkohol dapat menurunkan risiko dari aSAH

4. Mengkonsumsi diet sayuran dapat menurunkan risiko aSAH

L. Prognosis

Pada pasien ini untuk prognosisnya adalah:1

a. Ad Vitam : dubia adbonam

b. Ad Sanationam : dubia adbonam

c. Ad Fungsionam : dubia adbonam

Pada kasus dengan tingkat keparahan yang tinggi dengan skala World

Federation of Neurological Surgeon Scale (WFNS) > grade 3 memiliki prognosis

dubia ad malam.1 Hunt and Hess classification yang dibentuk pada tahun 1968

untuk memprediksi mortalitas pasien dengan SAH.19

Tabel 2.7 Hunt and Hess classification19

23 Universitas Lambung Mangkurat


BAB III

PENUTUP

SAH merupakan emergensi neurologis yang diasosiasikan dengan

morbiditas serta mortalitas yang tinggi sehingga memerlukan dokter untuk

mengevaluasi pasien yang dicurigai dengan hati-hati. SAH lebih sering terjadi pada

perempuan daripada laki-laki dan lebih sering pada populasi minoritas daripada

orang Amerika. Sangat penting memikirkan limitasi dari modalitas diagnostik dan

implementasi lebih awal dari sistem skoring bahkan pada presentasi atipikal. Area

utama yang perlu ditekankan pada pasien dengan SAG adalah diagnosis dan

evaluasi segera, rujukan segera pada rumah sakit yang sesuai, diagnosis dan

tatalaksana dari sumber pendarahan dengan cepat serta pelayanan neurokritikal

yang baik dan sesuai pada guideline tatalaksana yang ada. Komplikasi neurologis

utama dari SAH adalah hidrosefalus, kejang, edema cerebri, iskemik cerebral yang

terhambat dan kelainan neuroendokrin.Pasien SAH juga sering mengalami

komplikasi kardiopulmoner yang dapat mengancam jiwa. Morbiditas yang

umumnya menetap setelah mengalami SAH adalah disfungsi eksekutif, kelainan

memori jangka pendek, sikap impulsive, kesulitan konsentrasi dan membuat

keputusan, ansietas, depresi serta fatigue. 2,3,6 Prognosis dari SAH bervariasi secara

signifikan dan berhubungan dengan tingkat keparahan pendarahan awal pasien serta

kemungkinan komplikasi yang terjadi dalam 2 minggu setelah pendarahan.7 Selain

itu dapat digunakan skoring untuk menilai mortalitas dari pasien.

24 Universitas Lambung Mangkurat


DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Perdarahan


subarachnoid. Dalam: Tim editor. Acuan panduan praktik klinis
neurologi. Jakarta: PERDOSSI; 2016. h. 157-9.

2. Maher M, Schweizer TA, Macdonald RL. Treatment of spontaneous


subarachnoid hemorrhage: Guidelines and gaps. Stroke. 2020
Apr;51(4):1326-32.

3. Suarez JI. Diagnosis and management of subarachnoid hemorrhage.


CONTINUUM: Lifelong Learning in Neurology. 2015 Oct
1;21(5):1263-87.

4. Kairys N, Das JM, Garg M. Acute Subarachnoid Hemorrhage.


StatPearls. 2021:1;1-7.

5. Harris S, Kurniawan M, Rasyid A, Mesiano T, Hidayat R. Cerebral


small vessel disease in Indonesia: Lacunar infarction study from
Indonesian Stroke Registry 2012-2014. SAGE Open Med. 2018

6. Wulandari D, Sampe E, Hunaifi I. Perdarahan subarakhnoid. Jurnal


Kedokteran. 2021

7. Venketasubramanian N, Yoon B, Pandian J, Navarro J. Stroke


epidemiology in South, East, and South-East Asia: A Review. Journal
of Stroke. 2017;19(3):286-294.

8. Reis C, Ho WM, Akyol O, et al. Primer on Cerebrovascular Disease.


Ed 2. Elsevier. 2017: 125-6

9. Vivanos J, Gilo F, Frutos R, et al. Review article: Clinical management


guidelines for subarachnoid hemorrhage. Diagnosis and treatment.
Neurologia. 2014: 29(6); 353-6

25 Universitas Lambung Mangkurat


10. Steiner T, Juvela S, Unterberg A, Jung C, Forsting M, Rinkel G.
European Stroke Organization guidelines for the management of
intracranial aneurysms and subarachnoid haemorrhage.
Cerebrovascular diseases. 2013;35(2):93-112.

11. Setyopranoto I. Penatalaksanaan perdarahan subarachnoid. IDI.


2012:39(11);807-10.

12. Ballestas EG, Espinosa YAD, Florez RDJM, Moscotesalazar LR, Keni
RR, Deora H, Agrawal A. The puzzle of spontaneous versus traumatic
subarahnoid hemorrhage. Apollo medicine. 2019: 16(3); 141-7

13. Griswold DP, Fernandez L, Rubiano AM. Traumatic Subarachnoid


Hemorrhage: A Scoping Review. J Neurotrauma. 2021

14. Reis C, Ho W, Akyol O, Chen S, Applegate R, Zhang J.


Pathophysiology of Subarachnoid Hemorrhage, Early Brain Injury, and
Delayed Cerebral Ischemia. 2021

15. Fani D. Traumatic Subarachnoid Hemorrhage. Medicus Darussalam.


2018

16. Bogousslavsky, J. Frontiers of Neurology and Neuroscience:


Manifestation of stroke.2012

17. Connolly ES, Rabinstein AA, Carhuapoma JR, et al. AHA/ASA


Guideline: Guideline for the management of aneurysmal subarachnoid
hemorrhage. Stroke. 2012: 1713-8

18. Marcolini E, Hine J. Approach to the Diagnosis and Management of


Subarachnoid Hemorrhage. West J Emerg Med. 2019;20(2):203-11
19. Patel S, Parikh A, Okorie ON. Subarachnoid hemorrhage in the
emergency department. International Journal of Emergency Medicine.
2021 Dec;14(1):1-8.

26 Universitas Lambung Mangkurat


20. Muehlschlegel, S. (2018). Subarachnoid Hemorrhage. CONTINUUM:
Lifelong Learning in Neurology, 24(6), 1623–57.

21. Perez RM, Rayo N, Montivero A, Mura JM. The “Brain Stress Timing”
phenomenon and other misinterpretations of randomized clinical trial
on aneurysmal subarachnoid hemorrhage. Neural Regeneration
Research. 2019:14(8);1364-6.

27 Universitas Lambung Mangkurat

Anda mungkin juga menyukai