Anda di halaman 1dari 70

REFERAT

INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) MAYOR

Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun Oleh:

Virgiana Putri G1A212026


Amrina Ayu Floridiana G1A212107
Fitriyanur Sahrir G1A212108
I Gusti Ayu Ary N. 1310221087

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2014
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui referat dengan judul :

INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) MAYOR

Diajukan untuk memenuhi salah satu ujian

kepanitraan klinik dokter muda SMF Kulit

RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh:

Virgiana Putri G1A212026


Amrina Ayu Floridiana G1A212107
Fitriyanur Sahrir G1A212108
I Gusti Ayu Ary N. 1310221087

Purwokerto, Februari 2014

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan Referat yang berjudul
“Infeksi Menular Seksual (IMS) Mayor”. Penulisan referat ini merupakan salah
satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penulis
berharap referat ini dapat bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan,
pendidikan. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima
kasih kepada:
1. dr. Ismiralda Okke Putranti, SpKK selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan masukan dalam penyusunan referat ini.
2. Teman-teman FK-Unsoed dan FK-UPN serta semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan referat ini.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak
dijumpai kekurangan. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat membangun
dari para penelaah sangat diharapkan demi proses penyempurnaan.

Purwokerto, Februari 2014

Penyusun

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang sebagian besar
ditularkan melalui hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular.
IMS disebut juga Penyakit Menular Seksual (PMS) atau dalam bahasa
Inggrisnya Sexually Transmitted Disease (STDs), Sexually Transmitted
Infection (STI) or Venereal Disease (VD). Terdapat dua jenis IMS yaitu IMS
mayor dan minor. IMS mayor meliputi Sifilis, Gonore, Limfogranuloma
venereum, Granuloma inguinal, dan Ulkus mole, sedangkan yang termasuk
IMS minor antara lain Herpes genital, Non Spesifik Genital Infection (NSGI),
Trikomoniasis, Kandidiasis vulvo-vaginal, Bakterial vaginosis, kondiloma
akuminata, dan lain-lain.
Prevalensi IMS di negara sedang berkembang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan di negara maju. Pada perempuan hamil di negara
berkembang, angka kejadian gonoroe 10-15 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan angka kejadiannya pada perempuan hamil di negara industri.
Prevalansi sifilis pada perempuan di negara-negara maju hanya sebesar 0,03-
0,3%, tetapi di negara Afrika Sub-Sahara, sebagian besar Amerika Latin, dan
Fiji, sifilis didapatkan pada 3-22% perempuan hamil. Gonoroe hanya
ditemukan sebanyak kurang dari 1% di Eropa Barat dan beberapa bagian
Amerika Utara, tetapi terdapat sebesar 4-20% di Afrika Sub-Sahara dan
Thailand.
Di Indonesia sendiri angka kejadian PMS pada perempuan hamil sangat
terbatas. Pada perempuan hamil pengunjung Puskesmas Merak 1994
sebanyak 58% menderita PMS. Sebanyak 29,5% adalah infeksi genital
nonspesifik, kemudian 10,2% vaginosis bakterial, kandidosis vagialis 9,1%,
gonoroe sebanyak 3,4%, trikomoniasis 1,1%, dan gonoroe sebanyak 1,1%.
Penelitian di Surabaya menemukan 19,2% dari 599 perempuan hamil yang
diperiksa menderita paling tidak 1 jenis PMS, yaitu infeksi virus herpes
simpleks tipe 2 sebanyak 9,9%, infeksi klamidia sebanyak 8,2%,
trikomoniasis 4,8%, gonoroe 0,8%, dan sifilis 0,7%, penelitian di Jakarta,
Batam, dan Tanjung Pinang pada pengunjung perempuan hamil di beberapa
rumah bersalin ditemukan infeksi klamidia, trikomoniasis, vaginosis
bakterial, gonoroe, sifilis, dan HIV.
Peningkatan insidens IMS dan penyebarannya di seluruh dunia tidak
dapat diperkiraan secara tepat. Sebagian negara insidens IMS masih relatif
tinggi dan setiap tahun beberapa juta kasus baru dilaporkan beserta
komplikasi medis yang meliputi infertilitas, kecacatan, gangguan kehamilan,
gangguan pertumbuhan, kanker, dan kematian.
Besarnya dampak komplikasi, morbiditas, dan mortalitas yang
disebabkan oleh IMS maka diperlukan penanganan yang tepat serta upaya
pencegahan terhadap faktor-faktor resiko tertularnya IMS. Oleh sebab itu
kami akan membahas mengenai penyakit-penyakit menular seksual yang
termasuk dalam IMS mayor serta membahas penatalaksaaannya.

B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan referat ini adalah :
1. Untuk mengetahui jenis-jenis penyakit menular seksual yang termasuk
dalam infeksi menular seksual (IMS) Mayor.
2. Untuk mengetahui gambaran klinis dari masing-masing penyakit menular
seksual yang termasuk dalam infeksi menular seksual (IMS) Mayor.
3. Untuk mengetahui pencegahan dan penatalaksanaan dari masing-masing
penyakit menular seksual yang termasuk dalam infeksi menular seksual
(IMS) Mayor.

URETRITIS GONOREA
A. Pendahuluan
Uretritis gonore adalah suatu penyakit menular seksual yang disebabkan
oleh kuman neisseria gonorrhoeae. Penaganannya yang sulit menyebabkan
penyakit ini tidak terbatas hanya pada suatu negara, tetapi sudah menjadi masalah
dunia terutama pada negara berkembang atau sedang berkembang seperti Asia
Selatan dan Tenggara, Sub Sahara Afrika dan Amerika Latin (Martodiharjo,
2008).
WHO memperkirakan bahwa tidak kurang dari 25 juta kasus baru
ditemukan setiap tahun di seluruh dunia. Di Amerika Serikat diperkirakan
dijumpai 600.000 kasus baru setiap tahunnya. Hal ini disebabkan banyak faktor
penunjang yang dapat mempermudah dalam hal penyebarannya menyangkut :
kemajuan sarana transportasi, pengaruh geografi, pengaruh lingkungan,
kurangnya fasilitas pengobatan, kesalahan diagnosis, perubahan pola hidup, dan
tak kalah penting ialah penyalahgunaan obat. Kesemuanya ini dapat terjadi
terutama karena latar belakang kurangnya pengetahuan mengenai seluk beluk dari
infeksi menular seksual. Infeksi gonore dapat juga didapat dari setiap kontak
seksual, pharyngeal dan anal gonorrheae tidak biasa.
Gejala pharyngeal gonorrheae biasanya berupa nyeri tenggorokan, anal
gonorrheae dapat dirasakan lebih nyeri disertai sekret yang bernanah. Angka
tertinggi pada wanita dari semua ras adalah kelompok usia 15 sampai 19 tahun.
Prevalensi gonore selama kehamilan bervariasi, tetapi dapat mencapai 7% dan
mencerminkan status resiko populasi. Faktor resiko antara lain adalah lajang,
remaja, kemiskinan, terbukti menyalahgunakan obat, prostitusi, penyakit menular
seksual lain dan tidak adanya perawatan prenatal (Garry, 2006).

B. Epidemiologi
Gonore terdapat dimana-mana di seluruh dunia dan merupakan penyakit
kelamin yang terbanyak dewasa ini. Tidak ada imunitas bawaan maupun setelah
menderita penyakit. Juga tidak ada perbedaan mengenai kekebalan antara
berbagai suku bangsa atau jenis kelamin atau umur. Diperkirakan setiap tahun
tidak kurang dari 25 juta kasus baru ditemukan di dunia. Beberapa strain kuman
gonokok yang resisten terhadap penisilin, quinolone dan antibiotik lainnya telah
ditemukan beberapa tahun yang lalu dan membawa persoalan dalam pengobatan,
telah tersebar di beberapa Negara (Martodiharjo, 2008).

C. Klasifikasi
Famili Neisseriaceae meliputi spesies Neisseria dan Moxarella catarralis
seperti acinetobacter dan kingella serta spesies moxarella lainnya. Neisseria
adalah cocci gram negatif yang biasanya berpasangan. Neisseria gonorrhoeae
(gonococci ) dan Neisseria meningitidis (meningococci) adalah patogen pada
manusia dan biasanya ditemukan bergabung atau di dalam sel polimorfonuklear.
Beberapa neisseriae berhabitat di saluran pernafasan manusia, jarang
menimbulkan penyakit dan terjadi ekstraselular.
Gonococci dan meningococci saling berhubungan erat, dengan 70% DNA
homolog, dan dapat dibedakan melalui beberapa tes laboratorium dengan ciri-ciri
spesifik: meningococci memiliki kapsul polisakarida sedangkan gonococci tidak,
dan meningococci jarang memiliki plasmid dimana kebanyakan gonococci
memilikinya. Yang paling penting, kedua spesies tersebut dapat dibedakan dengan
presentasi klinis dari penyakit yang disebabkannya : meningococci biasanya
ditemukan pada saluran pernafasan atas dan menyebabkan meningitis, sementara
gonococci menyebabkan infeksi alat kelamin. Spektrum klinis dari penyakit
disebabkan oleh kelebihan gonococci dan meningococci (Kayser, 2005).

D. Etiologi
Neiserria gonorrhoeae merupakan kuman kokus gram negatif, berukuran
0,6 sampai 1,5 μm, berbentuk diplokokus seperti biji kopi dengan sisi yang datar
berhadap-hadapan. Kuman ini tidak motil dan tidak membentuk spora. Neisseria
gonorrheae dapat dibiakkan dalam media Thayer Martin dengan suhu optimal 35-
37ºC, pH 6,5-7,5, dengan kadar C02 5%. Gonococci hanya memfermentasi
glukosa dan berbeda secara antigen dari Neisseriae lain. Gonococci biasanya
menghasilkan koloni yang lebih kecil dibandingkan Neisseriae lainnya.
Gonococci yang membutuhkan arginin, hipoxantin dan urasil ( auksotipe Arg¯,
Hyx+, Ura+ ) cenderung tumbuh dengan sangat lambat pada kultur primernya.
Gonococci diisolasi dari specimen klinis atau dipertahankan oleh subkultur
nonselektif yang memiliki cirri koloni kecil yang mengandung bakteri yang
berpili. Pada subkultur nonselektif, koloni yang lebih besar yang mengandung
gonococci nonpili juga terbentuk Varian yang pekat dan transparan pada kedua
bentuk koloni ( besar dan kecil ) juga terbentuk, koloni yang pekat berhubungan
dengan keberadaan protein yang berada di permukaan, yang disebut Opa (Jawetz,
2001).

E. Patogenesis
Gonococci menampakkan beberapa tipe morfologi dari koloninya, tetapi
hanya bakteri berpili yang tampak virulen. Gonococci yang berbentuk koloni yang
pekat ( opaque ) saja yang diisolasi dari manusia dengan gejala uretritis dan dari
kultur uterine cervical pada siklus pertengahan. Gonococci yang koloninya
berbentuk transparan diisolasi dari manusia dari infeksi uretral yang tidak
bergejala, dari menstruasi dan dari bentuk invasif dari gonorrhea, termasuk
salpingitis dan infeksi diseminasi. Pada wanita, tipe koloni terbentuk dari sebuah
strain gonococcus yang berubah selama siklus menstruasi. Gonococci yang
diisolasi dari pasien membentuk koloni-koloni yang pekat atau transparan, tetapi
mereka umumnya memiliki 1-3 Opa protein pada saat tumbuh di kultur primer
yang sedang diuji. Gonococci dengan koloni transparan dan tanpa Opa protein
hampir tidak pernah ditemukan secara klinis tetapi dapat dispesifikasi melalui
penelitian di laboratorium (Kayser, 2005).
Gonococci menyerang membrane selaput lendir dari saluran
genitourinaria, mata, rectum dan tenggorokan, menghasilkan nanah yang akut
yang mengarah ke invaginasi jaringan, hal yang diikuti dengan inflamasi kronis
dan fibrosis. Pada pria, biasanya terjadi peradangan uretra ( uretritis ), nanah
berwarna kuning dan kental, disertai rasa sakit ketika kencing (Murtiastutik,
2008).

F. Gejala Klinis
Pada laki-laki
Sekali kontak dengan wanita yang terinfeksi, 25% akan terkena uretritis
gonore dan 85% berupa uretritis yang akut. Setelah masa tunas yang berlangsung
antara 2-10 hari, penderita mengeluh nyeri dan panas pada waktu kencing yang
kemudian diikuti keluarnya nanah kental berwarna kuning kehijauan. Pada
keadaan ini umumnya penderita tetap merasa sehat, hanya kadang kadang dapat
diikuti gejala konstitusi ringan. Sebanyak 10% pada laki-laki dapat memberikan
gejala yang sangat ringan atau tanpa gejala klinis sama sekali pada saat diagnosis,
tetapi hal ini sebenarnya merupakan stadium presimtomatik dari gonore, oleh
karena waktu inkubasi pada laki-laki bisa lebih panjang ( 1-47 hari dengan rata-
rata 8,3 hari ) dari laporan sebelumnya. Bila keadaan ini tidak segera diobati,
maka dalam beberapa hari sampai beberapa minggu maka sering menimbulkan
komplikasi lokal berupa epididymitis, seminal vesiculitis dan prostatitis, yang
didahului oleh gejala klinis yang lebih berat yaitu sakit waktu kencing, frekuensi
kencing meningkat, dan keluarnya tetes darah pada akhir kencing (Murtiastutik,
2008).
Pada perempuan
Pada wanita gejala uretritis ringan atau bahkan tidak ada, karena uretra
pada wanita selain pendek, juga kontak pertama pada cervix sehingga gejala yang
menonjol berupa cervicitis dengan keluhan berupa keputihan. Karena gejala
keputihan biasanya ringan, seringkali disamarkan dengan penyebab keputihan
fisiologis lain, sehingga tidak merangsang penderita untuk berobat. Dengan
demikian wanita seringkali menjadi carrier dan akan menjadi sumber penularan
yang tersembunyi. Pada kasus-kasus yang simtomatis dengan keluhan keputihan
harus dibedakan dengan penyebab keputihan yang lain seperti trichomoniasis,
vaginosis, candidiasis maupun uretritis non gonore yang lain. Pada wanita, infeksi
primer tejadi di endocerviks dan menyebar kearah uretra dan vagina,
meningkatkan sekresi cairan yang mukopurulen. Ini dapat berkembang ke tuba
uterine, menyebabkan salpingitis, fibrosis dan obliterasi tuba. Ketidak suburan
( infertilitas ) terjadi pada 20% wanita dengan salpingitis karena gonococci
(Martodiharjo, 2008).
G. Diagnosis
Bila fasilitas pengobatan, tenaga medis dan laboratorium tersedia, maka
untuk diagnosa uretritis tidak cukup hanya dengan pemeriksaan klinis, tetapi
harus diikuti pemeriksaan bakteriologis. Di sini pemeriksaan bakteriologis
meliputi pemeriksaan dengan hapusan dan biakan untuk identifikasi dan tes
kepekaan antibiotik. Dengan cara pengecatan gram dari hapusan ini nilainya
cukup tinggi karena kemungkinan kuman gonokok ditemukan cukup tinggi. Pada
wanita selain pemeriksaan dengan gram, harus diikuti dengan biakan oleh karena
dengan hanya kemungkinan ditemukan kuman gonokok lebih kecil disamping
kemungkinan keliru dengan flora lain dari vagina.

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Spesimen Nanah
Sekresi diambil dari uretra, cervix, rectum, conjunctiva, tenggorokan,
atau cairan sinovial untuk dibuat kultur dan hapusan. Kultur darah
diperlukan pada penyakit sistemik, tetapi sistem kultur spesial sangat
membantu, karena gonococci sensitif terhadap polyaetanol sulfonate pada
media kultur darah standar.
2. Smear
Smear dari uretra atau eksudat dari endocervix yang diberi pewarnaan
gram akan menampakkan banyak diplokokus di dalam sel nanahnya.
Kultur dari eksudat uretral pria tidak diperlukan lagi bila hasil
pewarnaannya positif, namun kultur harus dilakukan bila eksudat
uretralnya berasal dari wanita.
3. Kultur
Sesaat setelah pengumpulan nanah atau selaput lendir, dipindahkan ke
dalam media selektif yang telah diperkaya dan diinkubasi pada atmosfir
yang mengandung 5% CO2 pada suhu 37ºC.
4. Serologi
Serum dan cairan genital yang mengandung antibody IgG dan IgA
bekerja melawan pili gonococci, membrane protein paling luar dan LPS.
Beberapa IgM dari serum manusia bersifat bakterisidal terhadap gonococci
pada percobaan in vitro.
I. Pengobatan
Pada dasarnya pengobatan uretritis baru diberikan setelah diagnose
ditegakkan. Fasilitas untuk menegakkan diagnosis penyebab uretritis secara pasti
pada suatu daerah kadang-kadang belum tersedia, sehingga diagnosis dengan
mengandalkan tanda-tanda klinis atau dengan pendekatan sindrom masih
dipandang sangat efektif. Obat-obat yang digunakan sebagai terapi uretritis
tergantung beberapa faktor seperti Pola resistensi menurut area geografi maupun
sub populasi, obat-obatan yang tersedia, efektivitas yang dikaitkan dengan harga
obat, bila kemungkinan ada concomitant. (Murtiastutik, 2008).
Terapi uretritis gonore tanpa komplikasi :
1. Golongan Cephalosporin :
a. Cefixime 400 mg per oral
b. Ceftriaxone 250 mg im
2. Golongan Quinolone :
a. Ofloxacin 400 mg per oral
b. Ciprofloxacin 500 mg per oral
c. Spectinomycin 2 gram im
d. Kanamycin 2 gram im
Semua diberikan dalam dosis tunggal. Untuk Ciprofloxacin CDC
menganjurkan untuk tidak diberikan pada area geografi tertentu karena sudah
resisten seperti Inggris, Wales, Kanada sedangkan Asia, Kepulauan Pasifik,
California dilaporkan masih peka dan sensitif.
Terapi uretritis gonore dengan komplikasi:
1. Ciprofloxacin 500 mg per oral per hari selama 5 hari
2. Ofloxacin 400 mg per oral per hari selama 5 hari
3. Ceftriaxone 250 mg im per hari selama 3 hari
4. Spectinomycin 2 gram im per hari selama 3 hari
5. Kanamycin 2 gram im per hari selama 3 hari

J. Edukasi
Penjelasan pada pasien dengan baik dan benar sangat berpengaruh pada
keberhasilan pengobatan dan pencegahan karena gonore dapat menular kembali
dan dapat terjadi komplikasi apabila tidak diobati secara tuntas. Tidak ada cara
pencegahan terbaik kecuali menghindari kontak seksual dengan pasangan yang
beresiko. Penggunaan kondom masih dianggap yang terbaik. Pendidikan moral,
agama dan seks perlu diperhatikan

SIFILIS
A. Pendahuluan
Sifilis adalah penyakit kelamin menular yang disebabkan oleh spirochete
Treponema pallidum. Sifilis ditularkan melalui hubungan seksual, dari ibu ke
janin dalam rahim, melalui transfusi darah, dan kadang-kadang melalui luka
terbuka pada kulit yang bersentuhan dengan lesi yang infeksius. Jika tidak diobati
maka perkembangan penyakitnya dapat berlangsung melalui 4 tahap : primer,
sekunder , laten , dan tersier (Euerle, 2012).
Meskipun insidensi sifilis kian menurun, penyakit ini tidak dapat
diabaikan karena akibat yang timbul merupakan gejala sistemik yang sangat luas.
Hampir semua alat tubuh dapat diserang, termasuk system kardiovaskular dan
saraf. Istilah kita untuk penyakit ini yaitu raja singa sangat tepat karena
keganasannya (Djuanda, A. 2008).
Banyak tokoh terkenal sepanjang sejarah diperkirakan telah menderita
sifilis , termasuk Bram Stoker , Henry VIII , dan Vincent Van Gogh. Sejak
penemuan penisilin pada pertengahan abad ke-20, penyebaran penyakit ini
sebagian besar telah dikuasai, tetapi upaya untuk memberantas penyakit ini
sepenuhnya belum berhasil (Euerle, 2012).

B. Epidemiologi
Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996
berkisar antara 0,04 -0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang
tertinggi di Amerika Selatan. Di Indonesia insidensnya 0,61%. Di bagian
kami penderita yang terbanyak ialah stadium laten, disusul sifilis stadium I
yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II. WHO memperkirakan
bahwa terdapat 12 juta kasus baru pada tahun 1999, dimana lebih dari 90%
terdapat di negara berkembang (Djuanda, A. 2008).
Sejak tahun 2000, terdapat jumlah kasus sifilis di Amerika Serikat telah
sedikit meningkat setiap tahun. The Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) atau Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit melaporkan bahwa
dari tahun 2003-2004, tingkat sifilis primer dan sekunder meningkat 8%, 2,5-2,7
kasus per 100.000 penduduk (CDC, 2006). Data sifilis di AS menunjukkan pada
sifilis primer dan sekunder meningkat 12% antara tahun 2006 dan 2007 dari 3,3-
3,7 kasus per 100.000 penduduk. Sebanyak 11.466 kasus dilaporkan pada tahun
2007 (CDC, 2007)
Prevalensi usia pasien yang didiagnosis sifilis secara umum terjadi pada
usia dengan tingkat aktivitas seksual yang tinggi. Sebagian besar kasus baru
terjadi pada pria dan wanita berusia 15-40 tahun. Pada tahun 2007, tingkat sifilis
primer dan sekunder tertinggi pada orang berusia 25-29 tahun (8,9 per 100.000)
(CDC, 2008).

C. Definisi
Sifilis adalah satu penyakit kelamin menahun dengan remisi dan
eksaserbasi, dapat mengenai semua alat tubuh, mempunyai masa laten dan dapat
ditularkan dari ibu ke janin (Siregar, 2004).

D. Sejarah
Terdapat banyak pendapat dan spekulasi tentang asal usul penyakit sifilis
ini. Tetapi hanya ada dua teori utama yang menjelaskan asal-usul penyakit ini
antara lain (Hutapea, 2009); (Djuanda, 2008):
1. Colombian atau New World Theory
Penyakit ini dikenal di Eropa sebelum tahun 1942. Pada tahun ini
Cristopher Colombus melakukan suatu pelayaran bersejarah dengan melintasi
lautan Atlantik. Para pelautnya dikatakan telah dijangkiti penyakit sifilis oleh
wanita-wanita setempat di pulau Hispaniola di Hindia Barat. Pada pelayaran
kembali ke Eropa penyakit ini terus berkembang dengan gejala-gejala berupa
bercak-bercak berwarna tembaga pada setiap penderita yang disebut sebagai
Indian Measles. Sesudah tahun 1943 timbullah epidemic penyakit ini
diseluruh Eropa.
2. Unitarian atau African Theory
Menurut teori ini, penyakit ini sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya.
Penyakit ini kemudian menyebar dengan adanya perpindahan penduduk dan
perdagangan budak kenegaraan Amerika. Dengan adanya perbedaan udara di
Afrika yang panas dengan negara-negara Amerika yang berhawa dingin,
maka kuman-kuman penyakit sifilis lalu menyesuaikan diri dengan
perpindahan ke bagian badan yang panas yaitu di sekitar alat genital
(kemaluan). Dan akibatnya penyakit ini lalu menjadi penyakit yang ditularkan
melalui hubungan kelamin.
Penyakit ini disebut dengan SIFILIS , Hal ini disebabkan karena adanya
suatu sajak yang ditulis pada tahun 1530. Pengarangnya bernama FRACASTORO
seorang dokter yang juga seorang ahli sajak yang hidup di Verona, Italia. Dia
telah menerbitkan suatu sajak yang diberi nama sifilis, yang menceritakan
pengembalaan babi yang bernama Sifilis yang mendapat amarah dari Dewa
Apollo. Sehingga dewa tersebut menjatuhkan hukuman berupa suatu penyakit
yang sangat dahsyat sebagai hukumannya. Tanda-tanda mengenai penyakit yang
terdapat pada sajak tersebut dilukiskan sangat mirip dengan tanda-tanda penyakit
baru yang saat ini sedang melanda negara Itali. Akibat tersebar luasnya di
masyarakat, maka nama sifilis lalu diterapkan begitu saja pada penyakit baru
tersebut dan nama tersebut tetap digunakan hingga sekarang

E. Klasifikasi
Sifilis dibagi menjadi sifilis congenital dan sifilis akuisata (didapat). Sifilis
congenital dibagi menjadi dini (sebelum dua tahun), lanjut (sesudah dua tahun),
dan stigmata. Sifilis akuisata dapat dibagi menurut dua cara, secara klinis dan
epidemiologik. Menurut cara pertama sifilis dibagi menjadi tiga stadium : stadium
I, stadium II dan stadium III. Secara epidemiologic menurut WHO dibagi menjadi
(Djuanda, 2008) :
1. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S
II, stadium rekuren dan stadium laten dini.
2. Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), terdiri atas
stadium laten lanjut dan S III

F. Etiologi
Tiga generasi spirochetes menyebabkan infeksi pada manusia :
1. Treponema , yang menyebabkan sifilis , frambusia , dan pinta
2. Borrelia , yang menyebabkan penyakit Lyme dan demam kambuh
3. Leptospira , yang menyebabkan leptospirosis
Spirochete tertentu bertanggung jawab untuk sifilis adalah Treponema pallidum .
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan
Hoffman ialah Treponemapallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales,familia
Spirochaetaceae, dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur,
panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri atas delapan sampai dua
puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju
seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada
stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam (Djuanda, 2008).

Gambar Treponema pallidum


Klasifikasi sangat sulit dilakukan, karena spesies Treponema tidak
dapat dibiakkan in vitro. Sebagai dasar diferensiasi terdapat 4 spesies yaitu
Treponema pallidum sub species pallidum yang menyebabkan sifilis,
Treponema pallidum sub species pertenue yang menyebaban frambusia,
Treponema pallidum sub species endemicum yang menyebabkan bejel,
Treponema carateum menyebabkan pinta (Hutapea, 2009).
Transmisi T pallidum terjadi melalui penetrasi spirochetes melalui selaput
lendir (misalnya vagina atau mulut) atau melalui luka pada permukaan kulit. Hal
ini terutama menyebar melalui kontak seksual tetapi dapat ditularkan melalui
paparan produk darah dan menginfeksi janin selama dalam kandungan dan
menyebabkan cacat bawaan. T pallidum adalah organisme yang labil tidak dapat
bertahan pada lingkungan yang kering atau terpapar desinfektan, dengan
demikian, transmisi fomite (misalnya, dari kursi toilet) hampir tidak mungkin
(Euerle, 2012).
FAKTOR RISIKO
Faktor risiko sifilis adalah sebagai berikut:
1. Hubungan seks tanpa kondom, seks bebas, dan penggunaan narkoba
suntikan merupakan faktor risiko utama.
2. Petugas kesehatan berada pada risiko pekerjaan.
3. Pengetahuan yang kurang tentang bahaya penyakit, mendorong orang-
orang melakukan hubungan seksual di luar nikah.
4. Ekonomi kurang membuat segolongan masyarakat melacurkan diri untuk
mendapatkan uang dengan mudah
5. Perpindahan penduduk dari desa ke kota, mengarah sikap masyarakat
menjadi lebih bebas, longgar akan batas-batas adat dan agama sehingga
mudah melakukan hubungan seksual di luar nikah (Siregar, 2004).

G. Patogenesis
Stadium dini

T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput


lendir, biasanya melalui sanggama. Kuman tersebut membiak, jaringan
bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel-
sel plasma, terutama di perivaskular, pembuluh-pembuluh darah kecil
berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel radang. Treponema
tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan perivaskular di
sekitarnya. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan
hipertrofik endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis
obliterans). Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada
pemeriksaan klinis tampak sebagai S1 (Djuanda, 2008).
Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening
regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran
hematogen dan menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi manifestasinya
akan tampak kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai
SII, yang terjadi enam sampai delapan minggu sesudah S1. S1 akan sembuh
perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian
terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. SII juga
mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang. Tibalah stadium laten
yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif masih terdapat. Sebagai
contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi dengan sifilis
congenital (Djuanda, 2008).
Stadium lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema
dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam
serum penderita. Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat
sekonyong-konyong berubah, sebabnya belum jelas, mungkin trauma
merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat itu muncullah S III
berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T.
pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-
tahun. Setelah mengalami mass laten yang bervariasi guma tersebut timbul di
tempat-tempat lain (Djuanda, 2008).

H. Tanda Dan Gejala


Sifilis primer (S I)
Sifilis primer terjadi dalam waktu 3 minggu dari kontak dengan individu
yang terinfeksi. Hal ini bermanifestasi terutama pada glans penis pada laki-laki
dan vulva atau leher rahim pada wanita. Sepuluh persen dari lesi sifilis ditemukan
di anus, jari, orofaring, lidah, puting, jari, atau situs ekstragenital lainnya (Euerle,
2012).
Lesi (chancres) biasanya soliter berupa papul yang mengalami erosi,
teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi
ulserasi. Ukurannya bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 1-2 cm. Bagian
yang mengelilingi lesi meninggi dan mengeras. Bila tidak disertai infeksi bakteri
lain, maka akan berbentuk khas dan hampir tidak berasa nyeri. Kelainan tersebut
disebut afek primer. Pada pria tempat yang sering dikenai adalah sulkus
koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor (Euerle, 2012;
Djuanda, 2008).
Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar
getah bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks
primer. Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu.
Istilah syphilis d’emblee dipakai jika terdapat afek primer. Kuman masuk ke
jaringan yang dalam, misalnya pada transfuse darah atau suntikan (Djuanda,
2008). Meskipun chancres genital sering soliter, namun pada beberapa pasien
terkadang muncul sebagai “kissing” lesi khususnya pada labia mayora pada
wanita (Euerle, 2012).

Gambar. Lesi primer pada pri

Gambar. Lesi primer dengan “kissing” lesi pada wanita

Sifilis sekunder (S II )
Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan
sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan
bulan. Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat
disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejala umumnya
tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan, malaise, nyeri kepala, demam
yang tidak tinggi dan artralgia (Djuanda, 2008).
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit,
selaput lendir dan organ tubuh. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula,
papul, folikulitis, papulaskuamosa dan pustul serta yang khas pada S II adalah
kelainan kulit ummnya tidak gatal. Selain member i kelainan pada kulit, S II dapat
juga member kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata , hepar, tulang
dan saraf (Hutapea, 2009) .

Gambar. S II dengan ruam pada kulit

S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat


difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut dapat terjadi
kerontokan setempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut yang
tipis disebut alopesia areolaris. Gejala dan tanda sifilis sekunder dapat hilang
tanpa pengobatan, tetapi bila tidak diobati, infeksi akan berkembang menjadi siflis
laten (Djuanda, 2008).
Sifilis laten
Latency dapat berlangsung dari beberapa tahun dan dapat mencapai 25
tahun sebelum lesi destruktif tersier sifilis nyata . Pasien yang terkena mungkin
ingat gejala sifilis primer dan sekunder . Mereka tidak menunjukkan gejala selama
fase laten , dan penyakit ini terdeteksi hanya dengan tes serologis (Euerle, 2012).
Sifilis laten dibagi menjadi awal dan akhir laten laten . Perbedaan ini
penting karena pengobatan untuk masing-masing berbeda . Periode laten awal
adalah tahun pertama setelah resolusi sifilis primer atau sekunder . Pasien tanpa
gejala yang memiliki tes serologi aktif setelah hasil tes serologis negatif dalam
waktu 1 tahun juga dianggap berada dalam periode laten awal . Akhir latency
sifilis tidak menular , namun , perempuan di tahap ini dapat menyebarkan
penyakit dalam rahim (Euerle, 2012).
Sifilis tersier
Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun
setelah S I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis,
biasanya melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular
sampai sebesar telur ayam. Kulit di atasnya mula-mula tidak menunjukkan
tanda-tanda radang akut dan dapat digerakkan. setelah beberapa bulan mulai
melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit
menjadi eritematosa dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian
terjadi perforasi dan keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen;
pada beberapa kasus disertai jaringan nekrotik (Djuanda, 2008).

Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya


lonjong/bulat, dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke
luar. Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga membentuk pinggiryang
polisiklik. Jikatelah menjadi ulkus, maka infiltrat yang terdapat di bawahnya
yang semula sebagai benjolan menjadi datar. Tanpa pengobatan guma tersebut
akan bertahan beberapa bulan hingga beberapa tahun. Biasanya guma solitar,
tetapi dapat pula multipel, umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak
terdapat, tetapi jika guma multipel dan perlunakannya cepat, dapat disertai
demam (Djuanda, 2008).

Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula- mula di
kutan kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa
minggu/bulan dan umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus
tersebut dalam perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah
dan membentuk ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik.
Perbedaannya dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar
hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan untuk bergerombol
atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata). Warnanya merah kecoklatan
(Djuanda, 2008).
Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terns secara
serpiginosa. Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti
lilin dan disebut psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak
membesar. Kelainan yang jarang ialah yang disebut nodositas juxta
articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen,
biasanya pada sendi besar (Djuanda, 2008).
S III pada mukosa
Guma juga ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar.
Yang setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti
biasanya akan melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat
merusak tulang rawan septum nasi atau palatum mole hingga terjadi perforasi.
Pada lidah yang tersering ialah guma yang nyeri dengan fisur-fisur tidak teratur
serta leukoplakia (Djuanda, 2008).
S III pada tulang
Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan
humerus. Gejala nyeri, biasanya pada malam had. Terdapat dua bentuk,
yakni periostitis gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat
didiagnosis dengan sinar-X (Djuanda, 2008).

S III pada alat dalam


Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang.
Guma bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar
mengalami retraksi, membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar
lobatum Djuanda, 2008).
Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma
dapat menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat terjadi di
dalam atau di luar bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan menyebabkan
bronkiektasi. Guma dapat menyerang ginjal, vesika urinaria, dan prostat,
meskipun jarang. S III pada ovarium jarang, pada testis kadang-kadang
berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata dan
unilateral. Kadangkadang memecah ke bagian anterior skrotum (Djuanda,
2008).
Sifilis kardiovaskuler
Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-
30 tahun. Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih
banyak tiga kali daripada wanita (Djuanda, 2008).
Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau
aneurisms, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah
lanjut, akan sangat mudah dikenal. Secara teliti harus diperiksa
kemungkinan adanya hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung rematik
sebelumnya. Aneurisma aorta torakalis merupakan tanda sifilis kardiovaskuler.
Bila ada insufisiensi aorta tanpa kelainan katup pada seseorang yang setengah
umur disertai pemeriksaan serologis darah reaktif, pada tahap pertama harus
diduga sifilis kardiovaskuler, sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan
serologis umumnya menunjukkan reaktif (Hutapea, 2009).
Neurosifilis
Neurosifilis lebih sering pada orang kulit putih daripada kulit berwarna,
juga lebih sering pada pria daripada wanita. Akibat pengobatan sifilis dengan
penicillin, kini jarang ditemukan neurosifilis (Djuanda, 2008).

Neurosifilis dibagi menjadi empat macam :


1. Neurosifilis asimtomatik.
2. Sifilis meningovaskular (sifilis serebrospinalis), misalnya meningitis,
meningomielitis, endarteritis sifilitika.
3. Sifilis parenkim: tabes dorsalis dan demensia paralitika.
4. Guma.

1. Neurosifilis asimtomatik
Diagnosis berdasarkan kelainan pada likuor serebrospinalis. Kelainan
tersebut belum cukup memberi gejala klinis.

2. Sifilis meningovaskular
Terjadi inflamasi vaskular dan perivaskular. Pembuluh darah di
otak dan medula spinalis mengalami endarteritis proliferatif dan infiltrasi
perivaskular berupa limfosit, sel plasma, dan fibroblas. Pembentukan
jaringan fibrotik menyebabkan terjadinya fibrosis sehingga
perdarahannya berkurang akibat mengecilnya lumen. Selain itu jugs dapat
terjadi trombosis akibat nekrosis jaringan karena terbentuknya gums kecil
multiple (Djuanda, 2008).
Bentuk ini terjadi beberapa bulan hingga lima tahun sejak S I.
Gejalanya bermacam-macam bergantung pada letak lesi. Gejala yang
sering terdapat ialah: nyeri kepala, konvulsi fokal atau umum, papil
nervus optikus sembab, gangguan mental, gejala-gejala meningitis basalis
dengan kelumpuhan saraf-saraf otak, atrofi nervus optikus, gangguan
hipotalamus, gangguan piramidal, gangguan miksi dan defekasi, stupor,
atau koma. Bentuk yang sering dijumpai ialah endarteritis sifilitika
dengan hemiparesis karena penyumbatan arteri otak (Djuanda, 2008).
3. Sifilis parenkim
Termasuk golongan ini ialah tabes dorsalis dan demensia paralitika.
Tabes dorsalis
Timbulnya antara delapan sampai dua belas tahun setelah infeksi
pertama. Kira-kira seperempat kasus neurosifilis berupa tabes dorsalis.
Kerusakan terutama pada radiks posterior dan funikulus dorsalis daerah
torako-lumbalis. Selain itu beberapa saraf otak dapat terkena, misalnya
nervus optikus, nervus trigeminus, dan nervus oktavus. Gejala klinis di
antaranya ialah gangguan sensibilitas berupa ataksia, arefleksia, gangguan
virus, gangguan rasa nyeri pada kulit, dan jaringan dalam. Gejala lain
ialah retensi dan inkontinensia urin. Gejala tersebut terjadi berangsur-
angsur terutama akibat demielinisasi dan degenerasi funikulus dorsalis
(Djuanda, 2008).
Demensia paralitika
Penyakit ini biasanya timbul delapan sampai sepuluh tahun sejak
infeksi primer, umumnya pada umur antara tiga puluh sampai lima
puluh tahun. Sejumlah 10-15% dari seluruh kasus neurosifilis berupa
demensia paralitika (Djuanda, 2008).
Prosesnya ialah meningoensefalitis yang terutama mengenai otak,
ganglia basal, dan daerah sekitarventrikel ketiga. Lambat laun terjadi atrofi
pada korteks dan substansi albs sehingga korteks menipis dan terjadi
hidrosefalus (Djuanda, 2008).
Gejala klinis yang utama ialah demensia yang terjadi berangsur-
angsur dan progresif. Mula-mula terjadi kemunduran intelektual,
kemudian kehilangan dekorum, bersikap apatis, euforia, waham
megaloman, dan dapat terjadi depresif atau maniak (Djuanda, 2008).
Gejala lain di antaranya ialah disartria, kejang-kejang umum
atau fokal, muka topeng, dan tremor terutama otot-otot muka. Lambat laun
terjadi kelemahan, ataksia, gejala-gejala piramidal, inkontinensia urin,
dan akhirnya meninggal (Djuanda, 2008).

4. Guma
Umumnya terdapat pada meninges, rupanya terjadi akibat
perluasan pada tulang tengkorak. Jika membesar akan menyerang dan
menekan parenkim otak. Guma dapat solitar atau multipel pada verteks atau
dasar otak (Djuanda, 2008).
Keluhannya nyeri kepala, mual, muntah, dan dapat terjadi
konvulsi dan gangguan visus. Gejalanya berupa udema papil akibat
peninggian tekanan intracranial, paralisis nervus cranial, atau hemiplegia
(Djuanda, 2008).

Sifilis kongenital
Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama
sifilis dini sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. treponema
masuk secara hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat
terjadi pada saat masa kehamilan 10 minggu (Djuanda, 2008).

Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I


setelah infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai
90%. Jika ibu menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila
sifilis lanjut 30 % (Djuanda, 2008).
Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang
kemudian menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi
abortus pada bulan kelima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan,
berikutnya janin dengan sifilis kongenital yang akan meninggal dalam
beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga bayi yang hidup dengan sifilis
kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi yang sehat. Keadaan
ini disebut hukum Kossowitz (Djuanda, 2008).
Pemeriksaan dengan mikroskop elektron tidak terlihat adanya atrofi
lengkap. Hal yang demikian saat ini tidak dianut lagi sebab ternyata infeksi
bayi dalam kandungan dapat terjadi pada saat 10 minggu masa kehamilan.
Setiap infeksi sebelum 20 minggu kehamilan tidak akan merangsang
mekanisme imunitas, sebab sistem imun bayi yang dikandung belum
berkembang dan tidak tampak kelainan histologi reaksi bayi terhadap infeksi
(Hutapea, 2009).
Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks),
sifilis kongenital lanjut (tarda), dan stigmata (Hutapea, 2009);(Djuanda,
2008). Batas antara dini dan lanjut ialah dua tahun. Yang dini bersifat
menular, jadi menyerupai S 11, sedangkan yang lanjut berbentuk gums dan
tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat
penyembuhan kedua stadium tersebut (Djuanda, 2008).
Sifilis kongenital dini
Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah
bula bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang
pada tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T. pallidum.
Bayi tampak sakit. Bentuk ini adakalanya disebut pemfigus sifilitika (Djuanda,
2008).

Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa minggu
dan mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papulo-
skuamosa yang simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya
anular. Pada tempat yang lembab papul dapat mengalami erosi seperti
kondilomata lata. Ragades merupakan kelainan umum yang terdapat pada
sudut mulut, lubang hidung, dan anus; bentuknya memancar (radiating)
(Djuanda, 2008).

Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan
sehingga kulit berkeriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan
belakang kepala. Kuku dapat terlepas akibat papul dibawahnya; disebut onikia
sifilitika. Jika tumbuh uku yang baru akan kabur dan bentuknya berubah
(Djuanda, 2008).
Pada selaput lendir mulut dan tenggorok dapat terlihat plaques
muqueuses seperti pada S II. Kelainan semacam itu sering terdapat pada
daerah mukoperiosteum dalam kavum nasi yang menyebabkan timbulnya rinitis
dan disebut syphilitic snuffles. Kelainan tersebut disertai secret yang
mukopurulen atau seropurulen yang sangat menular dan menyebabkan
sumbatan. Pernapasan dengan hidung sukar. Jika plaques muqueuses terdapat
pada laring suara menjadi parau. Kelenjar getah bening dapat membesar,
generalisata, tetapi tidak sejelas pada S 11 (Djuanda, 2008).

Hepar dan lien membesar akibat invavasi T. pallidum sehingga terjadi


fibrosis yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit ikterik (fungsi hepar
terganggu). Ginjal dapat diserang, pada urin dapat terbentuk albumin,
hialin, dan granular cast. Pada umumnya kelainan ginjal ringan. Pada paru
kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut "pneumonia putih" (Djuanda,
2008).
Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa
minggu. Osteokondritis pada tulang panjang umumnyaterjadi sebelum berumur
enam bulan dan memberi gambaran khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-
X. Ujung tulang terasa nyeri dan bengkak sehingga tidak dapat digerakkan;
seolah-olah terjadi paralisis dan disebut pseudo paralisis Parrot. Kadang-
kadang terjadi komplikasi berupa terlepasnya epifisis, fraktur patologik,
dan artritis supurativa. Pada pemeriksaan dengan sinar-X terjadi gambaran
yang khas. Tanda osteokondritis menghilang setelah dua belas bulan, tetapi
periostitis menetap. Koroiditis dan uveitis jarang. Umumnya terdapat anemia
berat sehingga rentan terhadap infeksi (Djuanda, 2008).
Sifilis kongenital lanjut
Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun. Guma
dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas
ialah guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi akan
terjadi perforasi, bila meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung
mengalami kolaps dengan deformitas. Guma pada palatum mole dan
durum jugs sering terjadi sehingga menyebabkan perforasi pada palatum
(Djuanda, 2008).
Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai sepertiga tengah tulang
dan menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Osteoperiostitis
setempat pada tengkorak berupa tumor bulat yang disebut Parrot nodus,
umumnya terjadi pada daerah frontal dan parietal (Djuanda, 2008).

Keratitis interstisial merupakan gejala yang paling umum, biasanya


terjadi antara umur tiga sampai tiga puluh tahun, insidensnya 25% dari
penderita dengan sifilis kongenital dan dapat menyebabkan kebutaan. Akibat
diserangnya nervus VIII terjadi ketulian yang biasanya bilateral (Djuanda, 2008).
Pada kedua sendi lutut dapat terjadi pembengkakan yang nyeri disertai
efusi dan disebut Glutton's joints. Kelainan tersebut terjadi biasanya
antara umur sepuluh sampai dua puluh tahun, bersifat kronik. Efusi akan
menghilang tanpa meninggalkan kerusakan (Djuanda, 2008).
Neurosifilis berbentuk paralisis generalisata atau tabes dorsalis.
Neurosifilis meningovaskular jarang, dapat menyebabkan palsi nervus
kranial, hemianopia, hemiplegia, atau monoplegia. Paralisis generalisata
juvenilia biasanya terjadi antara umur sepuluh sampai tujuh betas tahun.
Taber juvenilia umumnya terjadi kemudian dan belum bermanifestasi hingga
dewasa muds. Aortitis sangat jarang terjadi (Djuanda, 2008).

Stigmata
Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh Berta meninggalkan
parut dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian merupakan
stigmata sifilis kongenital, akan tetapi hanya sebagian penderita yang
menunjukkan gambaran tersebut (Hutapea, 2009).
1. Stigmata lesi dini.
a. Gambaran muka yang menunjukkan saddlenose.
b. Gigi menunjukkan gambaran gigi insisor Hutchinson dan gigi
Mullberry c. Ragades
d. Atrofi dan kelainan akibat peradangan
c. Koroidoretinitis, membentuk daerah parut putih dikelilingi
pigmentasi pada retina.
2. Stigmata dan lesi lanjut.
a. Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels
b. Lesi tulang: sabre tibia, akibat
osteoeriostitis c. Atrofi optik,
tersendiri tanpa iridoplegia
d. Ketulian syaraf

I. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis harus
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium berupa (Hutapea, 2009);
(Djuanda, 2008).

1. a. Pemeriksaan lapangan gelap (dark field)


Ruam sifilis primer, dibersihkan dengan larutan NaCl
fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar/dalam lesi dengan cara
menekan lesi sehingga serum akan keluar. Diperiksa dengan mikroskop
lapangan gelap menggunakan minyak imersi. T. pall berbentuk ramping,
gerakan lambat, dan angulasi.
b. Mikroskop fluoresensi
Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi
dengan aseton, sediaan diberi antibodi spesifik yang dilabel fluorescein,
kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresensi. Penelitian lain
melaporkan bahwa pemeriksaan ini dapat memberi hasil nonspesifik
dan kurang dapat dipercaya dibandingkan pemeriksaan lapangan gelap.
2. Tes Serologik Sifilis (T.S.S)
Pada S I pada mulanya member hasil T.S.S negative (seronegatif),
kemudian menjadi positif (seropositif) dengan titer rendah. Pada S II yang masih
dini reaksi menjadi positif agak kuat, yang akan menjadi sangat kuat pada S II
lanjut. Pada S III reaksi menurun lagi menjadi positif lemah atau negative.
T.S.S dibagi menjadi dua berdasarkan antigen yang dipakai :
1. Nontreponemal (tes reagen)
Contoh tes nontreponemal :
a. Tes Fiksasi komplemen: Wasserman (WR), Kolmer
b. Tes Flokulasi : VDRL (Venereal Disease Research Laboratories),
Khan, RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Tes),
RST (Reagen Screen Test)
Diantara tes-tes tersebut, yang dianjurkan ialah VDRL dan RPR secara
kuantitatif, karena secara teknis lebih mudah dan lebih sensitive dalam hal
menilai terapi. Tes RPR dilakukan dengan antigen VDRL, kelebihan RPR
ialah flokulasi dapat dilihat secara makroskopis, lebih sederhana, serta
dapat dibaca setelah sepuluh menit sehingga dapat dipakai untuk
screening. Jika titer seperempat atau lebih tersangka penderita sifilis,
mulai positif setelah dua sampai empat minggu sejak S I muncul. Titer
akan meningkat hinggamencapai puncaknya pada S II lanjut (1/64 atau
1/28) kemudian berangsur-angsur menurun dan menjadi negative
(Djuanda, 2008).
2. Treponemal
Tes ini bersifat spesifik karena antigennya ialah treponema atau
ekstraknya dan dapat digolongkan menjadi empat kelompok:
a. Tes immobilisasi : TPI (Treponemal pallidum Immobilization
Test).
b. Tes Fiksasi komplemen : RPCF (Reiter Protein Complement
Fixation Test).
c. Tes Imunoflouresen: FTA-Abs (Flourecent Treponemal
Antibody Absorption Test), terdiri dari IgM, IgG dan FTA-Abs
DS (Flourecent Treponemal Antibody Absorpsion Double
Staining).
d. Tes Hemaglutisasi: TPHA (Treponemal pallidum
Haemoglutination Assay), 19S IgM SPHA ( Solid phase
Hemabsorption Assay), HATTS (Haemaglutination
Treponemal Test for Syphilis), MHA- TP
(Microhemaglutination Assay for Antibodies to Treponema
pallidum)
Diantara tes-tes tersebut yang dianjurkan adalah TPHA, karena teknis dan
pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan sensitive, menjadi reaktifnya
cukup dini. Kekurangannya tidak dapat dipakai menilai hasil terapi, karena tetap
reaktif dalam waktu yang lama (Djuanda, 2008).

J. Pengobatan
Penisilin adalah pengobatan pilihan untuk mengobati sifilis. Obat tersebut
dapat menembus placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat
menyembuhkan janin yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis (Djuanda,
2008).
Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang
dari 0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam
serum selama sepuluh sampai empat betas hari untuk sifilis dini dan lanjut,
dua puluh sate hari untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya
kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat sampai tiga
puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak (Djuanda, 2008).
Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:
a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat
jam, jadi bersifat kerja singkat.
b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat
(PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.

c. Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam
serum dua sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama

Sifilis Pengobatan Pemantuan serologik


Sifilis primer 1. Penisilin G Benzatin dosis 4,8 Pada bulan I, III,VI dan
dan sifilis juta unit secara IM (2,4 juta) dan XII dan setiap enam
sekunder diberikan satu kali seminggu bulan pada tahun ke-II
2. Penisilin G Prokain dalam akua
dosis total 6 juta unit, diberi 0,6
juta unit/hari selama 10 hari
3. PAM (Penisilin prokain + 2%
aluminium monostrerat). Dosis
total 4,8 juta unit diberikan 1,2
juta unit/kali selama 2 x seminggu
Sifilis Laten 1. Penisilin G Benzatin dosis total
7,2 juta unit
2. Penisilin G prokain dalam akua,
dosis total 12 juta unit (0,6 juta
unit/hari)
3. PAM dosis total 7,2 juta unit
(1,2 juta unit/kali, 2 kali
seminggu)
Sifilis tersier 1. Penisilin G benzatin dosis total
9,6 juta unit
2. Penisilin G prokain dalam akua,
dosis total 18 juta unit (0,6 juta
unit/hari)
3. PAM, dosis total 9,6 juta unit
(1,2 juta unit/kali, 2 kali
seminggu)

Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer.
Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan
oleh hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T. paffidum
yang coati. Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat
terjadi setelah enam sampai due betas jam pada suntikan penisilin yang pertama
(Djuanda, 2008).
Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya
ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi,

nyeri kepala, artralgia, malese, berkeringat, dan kemerahan pada muka. Gejala
lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel,
dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh sampai
dua betas jam tanpa merugikan penderita pada S I (Djuanda, 2008).
Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema
glotis pada penderita dengan gums di laring, penyempitan arteria koronaria
pada muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu
juga dapat terjadi ruptur aneurisms atau ruptur dinding aorta yang telah
menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang berlebihan
akibat penyembuhan yang cepat (Djuanda, 2008).
Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid,
contohnya dengan prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat
digunakan sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada
gangguan aorta dan diberikan dua sampai tiga hari sebelum pemberian
penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian (Djuanda, 2008).
Bagi yang alergi terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari,
atau aeritromisin 4 x 500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama
pengobatan 15 hari bagi S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten.
Eritromisin bagi yang hamil, efektivitasnya meragukan. Doksisiklin
absorbsinya lebih baik daripada tetrasiklin, yakni 90-100%, sedangkan
tetrasiklin hanya 60-80%. Selain itu obat yang lain ialah golongan sefalosporin,
misalnya sefaleksin 4 x 500 mg sehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap
hari 2 gr, dosis tunggal i.m. atau i.v. selama 15 hari (Djuanda, 2008).

Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama dinegara


yang sedang berkembang untuk menggantikan penisilin. Dosisnya 500 mg
sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari.

K. Prognosis
Prognosis sifilis menjadi lebih baik sejak ditemukannya penisilin. Jika
sifilis tidak diobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh, 5% akan
mendapat S III, 10 % mengalami sifilis kardiovaskular, neurosifilis pada pria 9%
dan pada wnaita 5 %, 23% akan meninggal (Djuanda, 2008).

ULKUS MOLE
A. Sinonim
Soft chancre, Chancroid, Soft sore

B. Pendahuluan
Kuman penyebab ulkus mole ditemukan oleh Ducrey (1889). Sering
ditemukan ® kelompok masyarakat sosio-ekonomi yang rendan

C. Definisi
Ulkus Mole (UM) adalah penyakit infeksi genital akut, lokalisata,
disebabkan oleh kuman Streptobacillus ducreyi (Haemophilus ducreyi). Gejala
khas berupa adanya ulkus nekrotik dan tidak terasa nyeri di tempat inokulasi dan
sering disertai dengan supurasi KGB regional.

D. Epidemiologi
Penyakit ini bersifat endemik, tersebar - tropik dan subtropik, terutama di
kota dan pelabuhan. Frekuensi penyakit ini di negara maju sudah berkurang.
Penularan melalui hubungan seksual, secara kebetulan terinokulasi ke jari dokter
atau perawat. Penyakit lebih banyak diderita oleh penduduk berkulit berwarna.
Frekuensi pd wanita lebih sedikit dibandikan pria, hal ini mungkin disebabkan
kesulitan menegakkan diagnosis. Pembawa kuman atau carrier kuman H ducreyi
lebih banyak pada wanita tuna susila.

E. Etiologi
Basil Haemophilus ducreyi - streptobasilus – yang memiliki ciri-ciri sebagai
berikut :
a. Gram negatif
b. Halus, pendek-pendek
c. Tidak berwarna
d. Berspora
e. Bagian ujungnya agak membundar - halter, tersusun memanjang seperti
rantai atau rel kereta api.
F. Patogenesis
a. Dengan adanya trauma atau abrasi menyebabkan kuman penetrasi ke dalam
epidermis.
b. Limfadenitis yang terjadi akibat infeksi Haemophilus ducreyi disertai dengan
supurasi.
c. Respons imun yang berhubungan dengan patogenesis dan kerentanan
penyakit tidak diketahui.
d. Hasil penyelidikan menyatakan bahwa adanya respons hipersensitivitas
lambat dan respon antibodi pada pasien dengan chancroid.
e. Terbentuk suatu Antibodi karena proses komplemen, aglutinasi, presipitasi
dan dapat dideteksi dengan tes fluoresens antibodi indirek.

G. Simtomatologi
Ciri khas ulkus mole
1. Bentuk bulat atau lonjong
2. Kecil, multipel
3. Dikelilingi halo eritematosa dan edematus
4. Berbentuk seperti cawan
5. Tepi ulkus tidak teratur atau tidak rata
6. Dinding bergaung
7. Dasar ulkus adalah jaringan granulasi, mudah berdarah, isi sekret keruh,
tertutup sekret kotor berwarna kuning, jaringan nekrotik
8. Perabaan ulkus - lunak, tanpa indurasi, mudah berdarah & terasa nyeri.
Multiple
ulcerations of the
Large single ulcer of the Multiple Ulkus durum dg
sulcus corona prepurce ulceration of ulkus di KGB
and the frenulum the sulcus inguinal
corona

Chancroid di penis, Ulkus mole


kissing effect
Sekitar 30 % kasus ulkus mole didapatkan adanya pembesaran Kelenjar
Getah Bening inguinal medial. Peradangan Kelenjar Getah Bening disertai demam
dan tanda-tanda radang akut. Sering pula disertai periadenitis. Bila terjadi
perlunakan, kulit di atasnya akan memerah, tipis dan terbentuk abses yang terasa
nyeri bila ditekan. Proses perlunakan selanjutnya membentuk sinus-sinus yang
tidak teratur.

TABEL PREDILEKSI

Laki-laki Wanita

Permukaan mukosa preputium Labium mayus


bagian dalam

Frenulum Vulva

Sulkus koronarus Klitoris

Batang penis Fourchette

Dalam uretra Vestibuli

Skrotum perineum Uretra

Anus Serviks

Anus

H. Bentuk Klinis
1. Ulkus mole folikularis
• Lesi di folikel rambut, lesi menyerupai folikulitis akibat infeksi bakteri
kokus, yang cepat terbentuk ulkus.
• Tempat predileksi Lesi terutama di vulva, daerah berambut di sekitar
genitalia dan bagian tubuh yang terletak sangat superfisial.
2. Dwarf chancroid
• Ukuran lesi sangat kecil dan menyerupai lesi erosi herpes genitalis,
bedanya tepi lesi berdarah dan dasar lesi tidak teratur.
3. Transient chancroid (chancre mou valant)
• Lesi ukuran kecil, dapat sembuh dalam beberapa hari
• Dua hingga tiga minggu kemudian akan berubah menjadi bubo di daerah
inguinal yang meradang dan menyerupai limfogranuloma venereum.
4. Papular chancroid (Ulcus mole elevatum)
• Lesi mulai dengan ulkus yang tepinya menonjol. Gambaran lesi
menyerupai kondilomata lata dan pada sifilis stadium II
5. Giant chancroid
• Awalnya ukuran ulkus kecil, semakin lama lesi semakin meluas secara
cepat, sering terbentuk abses inguinal yang pecah dan meluas ke
suprapubis dan paha. Biasanya dikarenakan proses autoinokulasi.
6 Phagedemic chancroid
• Lesi kecil membesar dan destruktif dengan jaringan nekrotik luas.
Genitalia eksterna dapat hancur. Pada beberapa kasus dapat disertai
dengan infeksi organisme Vincent.
7. Tipe serpiginosa
• Lesi membesar akibat perluasan lesi atau autoinokulasi ke lipatan paha
atau paha. Ulkus jarang menyembuh dan dapat menetap selama berbulan-
bulan atau bertahun-tahun.
• Pada 50% kasus ulkus mole dapat berubah menjadi bubo dan adenitis
inguinal.
• Pada 50% kasus kasus adenitis dpt sembuh dan tidak terjadi supurasi
Sifat bubo pada ulkus mole:
a. Unilateral
b. Eritematosa
c. Membesar
d. Nyeri
I. Diagnosa
• Anamnesis dan gambaran klinis
• Perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya infeksi campuran dan perlu
pemeriksaan serologik untuk menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi
sifilis.
Pemeriksaan penunjang :
1. Pemeriksaan sediaan hapus
Bahan pemeriksaan diambil
• Dinding ulkus yang menggaung,
• Aspirasi bubo
• Bahan selanjutnya dibuat sediaan hapus pd gelas objek, pewarnaan Gram,
Unna-Pappenheim, Wright, Giemsa.
Hanya sebanyak 30 – 50 % yang dapat ditemukan basil streptobasil yang
berwarna merah tersusun berkelompok atau seperti gerombolan ikan atau berderet
seperti rantai dengan nanah biru kehijauan
2. Biakan kuman
Bahan pemeriksaan berasal dari pus bubo / lesi, ditanamkan di media khusus
seperti :
• Darah kelinci yang sudah didefibrinasi, sistin, dekstrose & beef infusion.
Media diinkubasikan pada suhu 28 – 32 °C selama 48 jam. Hasil koloni
akan tampak koloni kecil, bersih dan cekung.
• Media yang mengandung serum darah pasien sendiri yang sudah
diinaktivasikan untuk selanjutnya diinkubasi selama 48 jam.
• Media yang mengandung gonococcal medium base yang ditambahkan 1 %
hemoglobin, 1 % Iso-Witalex dan Vankomisin 3 mcg/ml guna mengurangi
kontaminasi kuman lain.
3. Pemeriksaan laboratorium dengan teknik imunofluoresensi untuk
menemukan adanya Antibodi
4. Biopsi
• Pada hasil biopsi akan didapatkan gambaran histopatologi antara lain :
– Pada Daerah superfisial dasar ulkus ditemukan adanya neutrofil,
fibrin, eritrosit dan jaringan nekrotik
– Daerah tengah ulkus ditemukan pembuluh-pembuluh darah kapiler
baru disertai ddengan proliferasi sel-sel endotel, sehingga lumina
tersumbat dan menimbulkan trombosis. Di samping itu juga terjadi
degenaratif dinding pembuluh darah.
– Daerah dalam ulkus ditemukan infiltrat padat terdiri atas sel-sel
plasma dan sel-sel limfoid.
• Pada pemeriksaan histopatologi jarang ditemukan kuman penyebab.
5. Tes kulit dengan Ito-Reenstierna
• Tes ini tidak digunakan lagi karena tidak spesifik. Vaksin yang digunakan
adalah Dmeloos yang terdiri dari 225 juta kuman mati/ml. Disuntikkan
secara intradermal - 0,1 ml pada lengan bawah atau daerah fleksor lengan.
Sebagai kontrol, disuntik cairan pelarut scr intradermal pada lengan lain.
• Reaksi dianggap positif jika ditemukan infiltrat dengan diameter minimal
0,5 – 1 cm setelah 48 jam dengan kontrol negatif. Hasil Tes ini baru akan
menunjukkan hasil positif 6 – 11 hari setelah timbul ulkus mole dan tetap
positif sampai beberapa tahun bahkan seumur hidup.
6. Auto-inokulasi
Bahan berasal dari lesi, diiokulasi pada kulit sehat lengan bawah atau paha pasien
yang telah digores terlebih dahulu. Pada tempat tersebut akan menunjukkan hasil
positif Cara ini kini tidak digunakan lagi.

J. Komplikasi
1. Mixed chancre
• Ulkus mole dan sifilis stadium I. Awalnya lesi menunjukkan ciri khas
ulkus mole, setelah 15 – 20 hari akan muncul manifestasi. Kelainan ini
muncul terutama bila mendapat terapi dengan sulfonamida .
2. Abses kelenjar inguinal
• Ini disebut juga inflammatory bubo
• Kelenjar getah bening membesar, warna kulit di atasnya kemerahan dan
terjadi fluktuasi. Apabila abses kelenjar inguinal tidak ditangani secara
adekuat, abses akan memecah dan menimbulkan sinus yang meluas dan
menjadi ulkus yang disebut ulserasi chancroid. Ulkus ini kemudian akan
membesar dan disebut giant chancroid.
3. Balanitis, fimosis dan parafimosis
• Merupakan komplikasi yang serius. Kelainan ini terutama muncul pada
pasien yang tidak disirkumsisi. Kelainan ini terjadi akibat ulkus mole yang
mengenai prepusium.
• Prepusium menjadi bengkak, merah, udematus dan sangat nyeri.
4. Fistula uretra
• Kelainan ini muncul akibat ulkus mole pada glans penis dan bersifat
destruktif. Kelainan ini akan terasa nyeri saat buang air kecil dan
selanjutnya akan menjadi striktura uretra.
5. Fuso spirokhetosis
• Kelainan ini muncul akibat infeksi mikroorganisme lain, yang
mengakibatkan ulkus cepat menjadi parah dan bersifat destruktif. Ini
disebut phagedena. Di samping itu, dapat disertai kelainan
limfogranuloma venereum atau granuloma inguinale.

K. Diagnosa Banding
a. Herpes genitalis (HG)
b. Sifilis stadium I (S I) atau Ulkus durum (UD)
c. Limfogranuloma venereum (LGV)
d. Granuloma inguinale (GI)

L. Terapi
I.Sistemik
1. Sulfonamid
Sulfatiazol, sulfadiazine, sulfadimidin. Dosis I : 2 – 4 gr, dilanjutkan dg 1 gr
tiap 4 jam sampai sembuh sempurna (sekitar 10 – 14 hari) Kotrimoksazol yang
merupakan kombinasi sulfametoksazol 400 mg + trimetoprim 80 mg / tablet.
Dosis : 2 x 2 tablet, diberikan selama 10 hari.
2. Streptomisin
Dosis : 1 gr tiap hari selama 10 – 14 hari
3. Penisilin
Obat ini kurang efektif. Preparat ini baru diberikan bila terdapat infeksi
organisme Vincent.
4. Tetrasiklin dan oksitetrasiklin
Dosis : 4 x 500 mg / hari, diberikan selama 10 – 20 hari. Terapi menggunakan
obat ini dapat menutupi gejala klinis sifilis I.
5. Kanamisin
Dosis : 2 x 500 mg, disuntikkan secara i.m.dan diberikan tiap hari, selama 6 –
14 hari. Obat ini tidak berefek terhadap T pallidum.
6. Kloramfenikol
Obat ini efektif untuk H ducreyi. Namun obat ini bersifat toksik, maka obat ini
tidak digunakan.

II. Lokal
Apabila terdapat bubo yang telah terjadi supurasi, perlu dilakukan tindakan
aspirasi.

M. Prognosis
Prognosis baik, karena bersifat local dan tidak meluas secara sistemik.
Melalui pengobatan yang tepat, penyakit akan sembuh sempurna dalam
waktu 2 minggu.
GRANULOMA INGUINALE
(DONOVANOSIS)

A. Definisi
Granuloma ingunale adalah suatu penyakit infeksi bakteri kronis/
destruktif yang bersifat progresif, disertai proses granulomatosis yaitu
pembentukan granuloma di kulit dan jaringan subkutan yang biasanya
mengenai daerah anogenital dan inguinal, umumnya ditularkan melalui
hubungan seksual dan disebabkan oleh Calymmatobacterium granulomatis
(Judanarso, 2007; Murtiastutik, 2007; Velho, 2008).
Penyakit ini juga dikenal dengan nama lain yaitu serpiginous ulceration
of the groin, lupoid form of groin ulceration, ulcerating granuloma of the
pudenda, granuloma genitoguinale,  granuloma venereum genitoguinale,
infective granuloma, granuloma inguinale tropicum, chronic venereal sores,
ulcerating sclerosing granul, sclerosing granuloma, granulomatosis,
granuloma venereum, granuloma donovani, dan Donovanosis (Judanarso,
2007).

B. Etiologi
Tahun 1905 Mayor DONOVAN menemukan adanya badan intraselular
pada sedian hapus bahan yang diambil dari ulkus penderita granuloma
inguinale. Badan-badan ini dilukiskan sebagai gigantic bacilli with rounded
ends, yang selanjutnya sering disebut badan-badan Donovan. Penelitian
selanjutnya dilakukan pembiakan organisme tersebut pada yolk sac embrio
ayam, dan dinyatakan bahwa badan-badan Donovan adalah basil serta
diusulkan diberi nama Donovania granulomatis. Saat ini bakteri ini disebut
juga Calymatobacterium granulomatis (Judanarso, 2007).
Calymmatobacterium granulomatis dalam bangsa Yunani disebut
Klebsiella granulomatis, berasal dari kata kalymma yang artinya ’tudung’
atau ’peci’ yang menunjukan pada bentuk luka yang disebabkan oleh bakteri
ini, sedangkan nama granulomatis didapat dari bentuk luka yang ditimbukan
oleh bakteri ini mirip granul (butir-butir).
Bakteri in berada di dalam genus Klebsiella. Hal ini dikarenakan pada
determinasi bakteri menggunakan metode kolorimetri Calymmatobacterium
granulomatis menunjukan 99% kemiripan dengan organisme lain yang
berada pada genus Klebsiella.
Taksonomi dari Calymmatobacterium granulomatis
Kingdom = Bacteria
Phylum = Proteobacteria
Class = Gamma Proteobacteria
Order = Enterobacteriales
Family = Enterobacteriaceae
Genus = Calymmatobacterium atau Klebsiella
Species = Granulomatis
Calymmatobacterium granulomatis merupakan bakteri berbentuk
batang (kapsul) atau batang pendek, tebal, tidak membentuk spora dan pada
pewarnaan membentuk gambaran bipolar seperti  peniti, meskipun sering
juga terjadi pleomorfi. Memiliki panjang sekitar 1-1.5 mikrometer dan
memiliki lebar sekitar 0.1 mikrometer. Calymmatobacterium granulomatis
merupakan bakteri non-motil (diam) dan termasuk jenis bakteri gram negatif,
dimana dinding sel dan membrannya memiliki lapisan luar, berupa
lipopolisakarida yang terdiri atas lapisan peptidoglikan yang tipis terletak
pada periplasma (di antara lapisan luar dan membran sitoplasmik). Selain
dapat dibiak pada yolk sac embrio ayam, bakteri tersebut juga dapat di
tanampada medium sintetik, tetapi agak sukar tumbuhnya.

 Pada gambar terlihat bakteri


Calymmatobacterium
granulomatis berwarna ungu
dengan teknik pengecatan Wright-
http://images.google.com/imgres?
Giemsa
imgurl=http://aapredbook.aappublications.org/week/048_30.jpg
Calymmatobacterium granulomatis dikelilingi oleh kapsul yang
berbatas tegas. Bakteri ini merupakan parasit intraseluler dalam vakuol pada
histiosit  jaringan yang besar, kadang-kadang terdapat dalam leukosit
polimorfonuklear atau sel plasma, dengan ukuran 1,5-2,5 u. Pada pewarnaan
Wright terlihat kapsul berwarna merah muda dan kuman berbentuk  bipolar.
Reproduksi bakteri terjadi dalam fokus multiple pada sel-sel tersebut sampai
vakuol berisi 20-30 organisme, kemudian pecah dan keluar organisme matang
(Judanarso, 2007).

C. Epidemiologi
Penyakit ini terutama terdapat di daerah tropis dan subtropis dan lebih
banyak mengenai ras kulit berwarna (Judanarso, 2007). Insiden puncak pada
umumnya terjadi pada dekade ketiga masa hidup, dimana lebih dari 70%
kasus terjadi pada usia 20-40 tahun (Ballard, 2009). Prevalensi pada laki-laki
dua kali dari pada wanita. dengan tingkat sosial-ekonomi yang rendah dan
higiene yang buruk. Penyakit ini jarang menyerang anak-anak atau usia lansia
(Judanarso, 2007; Ballard, 2009).
Tahun 1954 penyakit ini di laporkan bersifat endemik di  pantai timur
india selatan, cina selatan, india timur dan barat, Australia utara, Afrika
Selatan, Tengah dan Barat, beberapa negara bagian di Amerika Utara,
Amerika Tengah dan Selatan, Karibia, India Selatan, Asia Tenggara, dan
Brazil. Banyak kasus terdapat di Papua New Guinea (Judanarso, 2007; Velho
et al., 2008).
Granuloma inguinal jarang ditemukan di Amerika Serikat dan negara-
negara industri dan semakin  jarang di negara-negara berkembang. Hal ini
disebabkan sebagian besar negara yang terkena adalah negara dengan
populasi penduduk yang memiliki tingkat kesehatan yang rendah. Sejak tahun
2000 tidak ada kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat. Akan tetapi
penelitian terbaru menyebutkan kurang dari 100 kasus granuloma inguinal
dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat. Hal ini terjadi karena banyak
yang berpergian ke luar negeri (Velho et al., 2008). Sebagian besar kasus di
negara-negara industri yang berasal dari daerah endemik. Mungkin melalui
kontak seksual, tetapi sebagian besar pasangan seks ternyata tidak terinfeksi.
Beberapa kasus dapat ditularkan oleh nonseksual, mungkin melalui kontak
kulit atau kulit yang terkelupas (O’Farrell, 2013).

D. Patogenesis
Cara penularan granuloma inguinal terutama terjadi melalui kontak
seksual. Namun sebuah hipotesis menyatakan hubungan seksual memiliki
kemampuan menular yang rendah karena diperlukan paparan berulang untuk
terjadinya infeksi dan muncul gejala klinis. Granuloma inguinal juga dapat
ditularkan melalui rute fekal atau melalui jalan lahir atau persalinan pada ibu
yang terinfeksi (Fasoldt et al., 2013).

E. Patofisiologi
Lesi primer dimulai sebagai satu nodus yang keras (berindurasi). Jika
terjadi kerusakan pada permukaan lesi, akan berlanjut menjadi ulkus yang
berwarna seperti daging dan granulomatosa. Lesi biasanya berkembang
perlahan-lahan, sering menjadi satu dengan lesi lain yang saling berhubungan
atau membentuk lesi baru dengan autoinokulasi. Tempat predileksi terutama
pada daerah perianal. Perubahan histologi akan muncul akantosis hebat dan
terdapat banyak histiosit. Beberapa leukosit PMN terdapat dalam fokus
infiltrat atau tersebar, sedangkan limfosit jarang ditemukan. Proliferasi epitel
marginal menyerupai gejala epiteliomatosa permulaan. Kadang terjadi
penyebaran hematogen, metastatik ke tulang-tulang, sendi-sendi, atau hati.
Infeksi sekunder akan menimbulakan desktruksi  jaringan kemudian terjadi
sikatriks (Judanarso, 2007).
Gambaran patognomonik granuloma inguinal adalah sel mononuklear
besar yang terinfeksi, berisi banyak kista intrasitoplasmik yang diisi oleh
badan-badan Donovan (Judanarso, 2007).

Gambar Hasil biopsi ulkus granuloma inguinal


Pada pewarnaan Giemsa terlihat badan donovan di dalam sel histiosit
http://www.scielo.br/img/revistas/abd/v86n3/en_a28fig02m.jpg

F. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi granuloma inguinal sangat bervariasi, berkisar antara 1-
360 hari, 3-40 hari, 14-28 hari, 17 hari atau 1-12 minggu. Lesi dapat dimulai
pada daerah genitalia eksterna, paha, lipatan paha, atau perineum. Pada
permulaan penyakit ini  berbentuk papul atau nodul subkutan tunggal atau
multipel yang tidak nyeri yang kemudian secara perlahan-lahan menjadi ulkus
granulomatosa  berbentuk bulat, menimbul seperti blundru. Ulkus dapat
terasa nyeri tetapi biasanya hanya terdapat gangguan konstitusi yang bersifat
ringan. Cairan lesi biasanya bersifat serosanguinosa. Ulkus tersebut hampir
tidak mempunyai tendensi sembuh spontan (Judanarso, 2007).

Gambaran Lesi Granuloma Inguinale


http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/010/10346-0550x0475.jpg
Gambaran klinis yang paling utama adalah lesi kulit yang fleshy, merah
daging, exuberant granulation tissue yang lunak, tanpa nyeri tekan dan mudah
berdarah. Gambaran klinis yang umum berupa lesi primer meluas perlahan
melalui penyebaran lansung atau autoinkulasi, yang mengakibatkan lesi baru
pada kulit yang berdekatan (“Kissing” lesion). (O'Farrell, 2002). Melalui
mekanisme ini, suatu lesi primer pada glans penis dapat menimbulkan fokus
infeksi baru pada skrotum, paha, dinding abdomen bawah, dan daerah
gluteus.

Gambaran Ulkus Granulomatosa pada Granuloma Inguinal Penis


http://trialx.com/curetalk/wp-content/blogs.dir/7/files/2011/05/diseases/Granuloma_Inguinale-3.jpg

Pembengkakan limfanodi inguinal dapat timbul menyertai lesi genital


sebagai masa induratif atau abses yang akhirnya pecah menimbulkan
gambaran ulkus yang khas. Kelainan ini disebut pseudobubo, karena pada
kenyataannya merupakan sebuah granuloma subkutan yang terjadi superfisial
pada daerah kelenjar getah bening inguinal bukan kelenjar getah bening yang
membesar. Pada penderita debil, infeksi sekunder terutama oleh organisme
Vincent, yang di ikuti timbulnya ulkus fagedenikum dengan kerusakan
jaringan yang hebat, berbau  busukdan di sertai gejala konstitusi. Akhirnya
timbul jaringan parut luas dengan distorsi, mungkin dapat pula terjadi
elefantiasis genital.
Pembengkakan Kelenjar Limfanodi Inguinal
http://www.healthinset.com/wp-content/uploads/2012/11/Granuloma-inguinale-Picture.jpg

Pada wanita, proses ulserasi kadang-kadang dapat meluas ke genitalia


wanita dan mengenai serviks uteri. Tempat predileksi pada wanita antara lain
labia minora, mons veneris, dan fourchette. Lesi menyebar dengan cara
kontak langsung atau autoinokulasi. Lesi ekstragenital dapat ditemukan di
daerah fasialis, leher, mulut dan tenggorokan, kadang-kadang pada kulit dan
mukosa daerah lain (Judanarso, 2007).
Tipe granuloma inguinale dari gambaran klinis terdiri dari (Judanarso,
2007 :
1. Tipe nodular
Timbul nodus berwarna merah, lunak, akhirnya timbul ulkus dengan
granulasi.
2. Tipe ulsero-vegetatif
Terdiri adri ulkus-ulkus yang besar, makin melebar dan berasal dari tipe
nodular.
3. Tipe hipertrofik
Timbul reaksi proliferatif dan membentuk massa vegetatif yang besar.
4. Tipe sikatriksial
Timbul sikatriks pada tempat jaringan granulasi dan terlihat pulau-pulau
jaringan granulasi di antara sikatriks.
Klasifikasi lain granuloma inguinal yaitu (O'Farrell, 2002) :
1. Ulcerogranulomatous  
Ulcerogranulomatous adalah jenis yang paling umum, terdiri dari
jaringan lunak yang mudah  berdarah, berwarna merah daging, tanpa
nyeri tekan dan dapat menjadi cukup luas jika tidak ditangani.

2. Ulkus hipertrofik atau verrucous  


Ulkus hipertrofik memiliki tepi yang biasanya tidak teratur, kadang-
kadang kering.

3. Nekrotik Ulkus
Ulkus berbau busuk dengan dasar yang lebih dalam dan menyebabkan
kerusakan jaringan.
4. Kering, sklerotik, atau lesi sikatriks dengan jaringan fibrosa dan jaringan
parut.

G. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagonis granuloma inguinal berdasarkan (Judanarso, 2007):
1. Anamnesis mengenai riwayat penyakit
2. Gambaran klinis meliputi UKK/Efloresensi
Efloresensi : papula, vesikel, ulkus berbentuk bulat dan mudah berdarah,
tidak teratur, dasar kotor, keluar sekret amis, berwarna kecoklatan
(Siregar, 2004).
3. Hapusan jaringan (tissue smears)
Tujuan pemeriksaan hapusan jaringan adalah mencari
Calymmatobacterium granulomatis dalam sel-sel mononuklear yang
besar. Sampel bahan terdiri atas jaringan granulasi yang tipis, diambil
dengan biopsi atau skalpel dari lesi bagian dalam. Setelah kering bahan
diwarnai dengan cat Giemsa, Wright Leishman atau pengecatan Gram.
Dapat pula digunakan bahan dari  biopsi parafin yang diwarnai dengan
H.E. atau pewarnaan perak (Judanarso, 2007).
Dapat ditemukan badan Donovan intraseluler khas dalam sel
mononuklear besar baik dalam hapusan diperoleh secara langsung dari
jaringan atau biopsi sampel. Sel-sel karakteristik berada di diameter 25-
90 μm sedangkan badan Donovan adalah 0,5-0,7 oleh 1-1,5 μm dan
berkapsul atau mungkin tidak berkapsul (O'Farrell, 2002).

Hapusan jaringan dengan pewarnaan Giemsa, tanda panah


menunjukkan badan Donovan di monosit (O'Farrell, 2002).

4. Biakan
Calymmatobacterium granulomatis tidak dapat tumbuh pada media
biasa. Dapat digunakan  biakan jaringan dan telur dengan hasil terbatas.
5. Biopsi
Pada hasil biopsi dapat dilihat gambaran histologik yang terdiri atas
epidermis di tengah lesi hilang, sedangkan pada tepi lesi terjadi akantosis
yang kemudian menunjukan gambaran hiperplasi pseudokarsinomatosa.
Dalam dermis terlihat infiltrat padat terutama terdiri atas histiosit dan sel
plasma. Di antara infiltrat tersebar abses kecil terdiri atas neutrofil dan
sedikit sel limfoid. Badan inklusi intrasitoplamik (Badan donovan)
terdapat dalam histiosit. Untuk melihat badan-badan ini dapat di gunakan
pewarnaan Giemsa atau pewarnaan perak. Pada tipe hipertofik dan
sikatriks tampak jaringan ikat bertambah.  
6. Tes Serum
Dapat ditemukan antibodi ikatan komplemen terhadap
Calymmatobacterium granulomatis, tetapi sensitivitas dan spesifisitas
terbatas.
7. Inokulasi
Tidak dapat diinokulasikan pada binatang yang lebih rendah.
8. Tes Kulit
Prosedur tes kulit adalah menggunakan antigen Calymmatobacterium
granulomatis, yang disuntikan intradermal dan dibaca setelah 72 jam,
sering terjadi reaksi positif semu.

H. Diagnosis Banding
1. Sifilis
Pada lesi permulaan dapat menyerupai sifilis dini, terutama kondiloma
lata. Selanjutnya massa ulkus dapat menyerupai lesi epiteliomatosa.
2. Limfogranuloma venereum
Pada granuloma inguinal stadium lanjut, gejala mirip dengan
limfogranuloma venerum sindrom genital.
3. Ulkus Mole
4. Tuberkulosis Kulit
5. Amubiasis Kulit
6. Filariasis
7. Karsinoma Sel Skuamosa (Judanarso, 2007).
I. Penatalaksanaan (Judanarso, 2007)
1. Sistemik
a. Sulfonamida dan Penisilin
Tidak mempunyai efek langsung terhadap lesi, mungkin terhadap
infeksi sekunder.
b. Ampisilin
Ampisilin 4 x 500 mg/hari selama paling sedikit 2 minggu efektif
untuk penyakit ini. Penyembuhan sempurna terjadi setelah pengobatan
selama satu bulan. Dosis maksimal berkisar 24-160 gram. Lesi
sembuh cepat, tidak kambuh kembali setelah 4-6 minggu.
c. Streptomisin
Dosis streptomisin 1 gram/hari diberikan secara i.m. selama 20 hari
atau 2 x 1 gram/hari selama 10 hari atau 4 x 1 gram/hari selama 5 hari.
Hati-hati dengan penggunaan streptomisin karena bersifat ototoksik.
Dosis maksimal adalah 25 gram. Di New Guniea, streptomisin akhir-
akhir ini memberikan hasil akhir yang buruk.
d. Tetrasiklin
Dosis yang dapat diberikan 4 x 500 mg/hari selama 10-20 hari.
e. Kloramfenikol
Kloramfenikol diberikan dengan dosis 4 gram sekali suntik yang
diberikan secara i.m. tiap 2-3 hari 1x. Dosis total 12-16 gram.
Kloramfenikol juga dapat diberikan dalam bentuk oral. Tidak
dianjurkan penggunaan secara rutin atau bahkan tidak dianjurkan
digunakan sama sekali karena memiliki efek toksik.
f. Eritromisin
Dosis 4 x 500 mg/hari selama 2-3 minggu.
g. Gentamisin
Dosis 1 mg/kgBB diberikan secara i.m. sebanyak 3x/hari. Jumlah total
2,4 gram. Willcox menganjurkan pemberian gentamisin dengan dosis
1 mg/kgBB secara i.m. sebanyak 2x/hari selama 14 hari.
h. Linkomisin
Dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 14 hari memberikan hasil yang
memuaskan.
i. Kotrimoksasol
Diberikan secara oral dengan dosis 2 x2 tablet/hari selama 2 minggu
atau lebih.
2. Topikal
Pengobatan topikal tidak ada manfaatnya.
3. Tindak Lanjut
Dapat timbul residif setelah pengobatan sempurna, sehingga pengobatan
perlu diulang. Setelah pengobatan berhasil, kontrol dilakukan dalam
jangka waktu yang lama, yakni beberapa bulan sampai beberapa tahun,
dengan tujuan untuk mengawasi dan mengevaluasi adanya kemungkinan
terjadi residif. Pada penyembuhan dapat terjadi jaringan parut yang
berdepigmentasi.

J. Pencegahan (Doh, 2012)


1. Menjauhkan diri dari seks (oral, anal, atau vaginal seks), berhubungan
seks dengan hanya satu pasangan
2. Edukasi mengenai Infeksi/Penyakit Menular Seksual (IMS), termasuk
HIV.
3. Jika memiliki, atau berencana untuk memiliki, lebih dari satu pasangan
seks, gunakan kondom lateks dan pelumas setiap kali melakukan
hubungan seks.
4. Melakukan tes untuk Infeksi/Penyakit Menular Seksual (IMS) termasuk
HIV tanpa gejala.
5. Jika seorang wanita yang berencana untuk hamil atau yang sedang hamil
dilakukan pemeriksaan sifilis dan HIV sesegera mungkin.
6. Berbicara tentang Infeksi/Penyakit Menular Seksual (IMS) termasuk
HIV dengan masing-masing pasangan sebelum berhubungan seks .
7. Pelajari sebanyak mungkin tentang perilaku masa lalu masing-masing
pasangan (seks dan penggunaan narkoba).
K. Komplikasi
1. Edema genital
Lesi dapat mengenai pembuluh getah bening dan dapat menyebabkan
fibrosis.
2. Deformitas genital
3. Stenosis
Pada kasus yang sudah berlangsung sejak lama atau kronis dapat terjadi
sklerotik yang menyebabkan stenosis uretra, vagina dan lubang anus.
4. Hiperplasia pseudoepiteliomatosa
5. Metastatik ke tulang, sendi, dan alat genital
6. Karsinoma sel skuamosa
7. Karsinoma sel basal (Judanarso, 2007).

L. Prognosis
Relapse dapat terjadi sampai 18 bulan setelah pengobatan. Jika tidak
diobati, lesi dapat terus berkembang selama bertahun-tahun (Fasoldt et al.,
2013).
LIMFOGRANULOMA VENEREUM

A. Definisi
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah infeksi menular seksual yang
mengenai sistem saluran pembuluh limfe dan kelenjar limfe, terutama pada
daerah genital, inguinal, anus dan rektum (Sentono, 2011).
Limfogranuloma venereum (LGV) disebut juga Limfopatia venereum
yang dilukiskan pertama kali oleh Nicolas, Durand dan Favre pada tahun
1913, karena itu juga disebut penyakit Durand-Nicolas-Favre disease. Selain
itu dikenal juga sebagai Limfogranuloma Inguinal, Limfogranuloma
tropikum, Tropical bubo, Climatic bubo, Strumous bubo, dan Paradenitis
inguinal (Djuanda, 2007).

B. Etiologi
Penyebab LGV adalah Chlamydia trachomatis, yang merupakan
organisme dengan sifat sebagian seperti bakteri dalam hal pembelahan sel,
metabolisme, struktur, maupun kepekaan terhadap sensitivitas antibiotik dan
kemoterapi, dan sebagian lagi bersifat seperti virus yaitu memerlukan sel
hidup untuk berkembang biak (parasit intrasel obligat).
Bakteri Chlamydia trachomatis terdiri dari dua biovars yaitu trachoma
atau organisme TRIC dan organisma LGV. Organisme LGV sendiri terdiri
atas 3 serovars yiatu L1, L2, dan L3.
Chlamydia trachomatis berukuran lebih kecil dari bakteri, berdiameter
250-500 mm, namun lebih besar dari ukuran virus pada umumnya. Di dalam
jaringan pejamu, membentuk sitoplasma inklusi yang merupakan
patognomoni infeksi Chlamydia trachomatis (Sentono, 2011).

C. Epidemiologi
Penyakit ini tersebar terutama di negara-negara yang beriklim tropis
dan subtropis, seperti Amerika Utara, Eropa, dan Australia dengan prevalensi
tinggi terdapat di Asia dan Amerika Selatan. Negara endemis LGV adalah
Afrika barat dan timur, India, sebagian Asia Tenggara, Amerika Utara dan
Kepulauan Karibia (Mabey et al., 2002; Hall, 2007).
Limfogranuloma venereum merupakan penyakit yang lebih sering
dijumpai pada daerah-daerah dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah.
Penyakit ini dijumpai pada usia antara 20-40 tahun, lebih sering pada wanita
karena adanya perbedaan patogenesis. Kejadian akut LGV berhubungan erat
dengan usia dan tingginya aktivitas seksual, pernah dilaporkan kasus LGV
pada remaja. Kini penyakit ini jarang ditemukan (Sentono, 2011).

D. Patogenesis
Etiologi LGV adalah C.trachomatis sub tipe L1, L2 (L2a/L2b), dan L3.
C.trachomatis merupakan famili dari Chlamydiaceae, yang diklasifikasikan
menjadi tiga, yakni C.trachomatis, C.pneumoniae, dan C.psittaci.
C.trachomatis dibagi menjadi 15 sub tipe berdasarkan gen Omp 1 yang
mengkode MOMP (major outer membrane protein). Setiap sub tipe
menyababkan penyakit yang berbeda satu sama lain, sub tipe A-C
menyebabkan penyakit trachoma atau kebutaan, sub tipe D-K menyebabkan
infeksi pada mukosa saluran genitalia dan mata, sedangkan sub tipe L (L1,
L2, dan L3) berproliferasi di jaringan limfoid yang menyebabkan penyakit
LGV, sub tipe ini lebih invasif dibanding sub tipe yang lain (Ballard et al.,
2006).
C.trachomatis adalah bakteri obligat intraseluler, yakni bergantung
pada sel host untuk melakukan produksi ATP dan melakukan replikasi.
Organisme ini dikelilingi oleh membran luar yang terdiri atas major outer
membrane protein (MOMP). Kolonisasi C.trachomatis diawali dengan
perlekatan reseptor asam sialic pada mukosa genitalia. C.trachomatis
bertahan di dalam elemetary body (EB) sehingga tidak dapat difagosit oleh sel
T atau sel B. Dinding sel yang unik tersebut merupakan faktor virulensi dari
C.trachomatis, karena dengan dinding selnya mampu mengahambat fusi dari
fagolisosom pada sel fagosit. Dinding sel C.trachomatis merupakan jenis
gram negatif yang terdiri atas membran lipopolisakarida dan hanya sedikit
peptidoglikan (Hall, 2007).
C.trachomatis memiliki siklus hidup bifasik, yakni elementary body
(EB) dan reticulate body (RB). Siklus diawali dengan perlekatan elementary
body yang sangat infeksius ke permukaan sel host yang rentan. Pada saat
mengalami perlekatan, EB (Ø = 350 nm) yang merupakan metabolit inaktif
namun sangat infeksius masuk ke dalam mukosa sel epitel melalui proses
fagositosis, kemudian EB dikelilingi oleh membran endosom membentuk
suatu inklusi berupa vacuole. Vakuola ini tidak bergabung dengan lisosom
primer di dalam sel. Terhambatnya fusi lisosom di sebabkan oleh antigen di
permukaan Chlamydia dan adanya EB yang masih hidup. Selama hidup di
dalam vacuole, EB masih dalam keadaan intak dan mengalami reorganisasi
dalam waktu 8 jam, yang disebut dengan initial atau reticulate body (RB). RB
(Ø = 800-1000 nm) merupakan partikel metaboli aktif yang tidak dapat hidup
di luar sel host, namun dapat bereplikasi melalui pembelahan biner untuk
memproduksi RB selanjutnya. Setelah 20 jam, vacuole terdiri atas banyak RB
dan mulai membentuk EB. Setelah 40 jam post infeksi, vacuole terdiri atas
banyak EB yang sudah matur dan sebagian kecil RB yang mengalami
pembelahan. Setelah 48-72 jam post infeksi, sel host lisis dan melepaskan
vacuole yang terdiri dari EB matur yang berjumlah sekitar 100-1000. Siklus
hidup Chlamydia selesai dalam waktu 2-3 hari (Ballard et al., 2006).

Siklus Hidup Chlamydia trachomatis


http://www.cytologystuff.com/images/bioinf1.jpg
E. Manifestasi Klinis
Masa tunas penyakit ini adalah 1-4 minggu. Gejala konstitusi timbul
sebelum penyakitnya mulai dan biasanya menetap selama sindrom inguinal.
Gejala tersebut berupa malaise, nyeri keoala, artralgia, anoreksia, nausea dan
demam (Djuanda, 2007)
Gambaran klinisnya dapat dibagi menjadi :
1. Bentuk dini
a. Afek primer
b. Sindrom inguinal
2. Bentuk lanjut
a. Sindrom genital
b. Sindrom anorektal
c. Sindrom uretral
Waktu terjadinya afek primer hingga sindrom inguinal 3-6 minggu,
sedangkan bentuk dini hingga bentuk lanjut satu tahun hingga beberapa
bulan.
1. Afek Primer
Afek primer muncul setelah masa inkubasi antara 3-20 hari. Afek
primer muncul di genital berbentuk tak khas dan tidak nyeri. Lesi dapat
berupa erosi, papul miliar, vesikel, pustul dan ulkus. Umumnya bersifat
solitar dan cepat menghilang (sembuh). Pada pria sering berlokasi di
genitalia, eksterna terutama di sulkus koronarius, frenulum, preputium,
penis, uretra, dan skrotum. Padawanita lebih sering terjadi pada dinding
posterior vagina, portio, bagianposterior serviks dan vulva.

Gambar ulserasi di penis


http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/399/resources/images.html
2. Sindrom Inguinal
Sindrom inguinal merupakan sindrom yang sering dijumpai karena
itu akan diuraikan secara luas. Sindrom tersebut terjadi pada pria, jika
afek primernya di genitalia eksterna, umumnya unilateral, kira-kira 80%.
Pada wanita terjadi jika afek primernya pada genitelia eksterna dan
vagina 1/3 bawah. Itulah sebabnya sindrom tersebut lebih sering terdapat
pada pria daripada wanita, karena umumnya lesi primer pada wanita
terletak di tempat yang lebih dalam, yakni di vagina 2/3 atas dan serviks.

Gambar Limfadenopati Inguinal dan Femoralis


http://doctordivagetshealthy.blogspot.com/2014/01/frostbite-stds-and-teenage-butthead-ery.htm l

Jika lesi primer terletak pada tempat tersebut, maka yang


mengalami peradangan bukan kelenjar inguinal medial, tetapi kelenjar
Gerota. Pada sindrom ini yang terserang ialah kelenjar getah bening
inguinal medial, karena kelenjar tersebut merupakan kelenjar regional
bagi genitalia eksterna. Kelenjar yang dikenal ialah beberapa dan dapat
diketahui karena permukaannya berbenjol-benjol, kemudian akan
berkonfluensi. Karena LGV merupakan penyakit subakut, maka terdapat
kelima tanda radang akut yaitu dolor, rubor, tumor, kalor dan fungsiolea.
Selain limfadenitis terjadi pula periadenitis yang menyebabkan
perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Kemudian terjadi perlunakan
yang tidak serentak, yang mengakibatkan konsistensinya menjadi
bermacam-macam, yakni keras, kenyal dan lunak (abses). Perlunakan
biasanya di tengah, dapat terjadi abses dan fistel yang multiple.
Gambar Edema Limfe yang telah terjadi abses dan fistel
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/399/resources/images.html

Sering terlihat pula 2 atau 3 kelompok kelenjar yang berdekatan


dan memanjang seperti sosis di bagian proksimal dan distal ligamentum
Pouparti dan dipisahkan oleh lekuk (sulkus). Gejala tersebut oleh
Greenblatt disebut stigma of groove. Pada stadium lanjut terjadi
penjalaran ke kelenjar getah bening di fosa iliaka disebut bubo bertingkat
(etage bubonen), kadang-kadang dapat pula ke kelenjar di fosa femoralis.
Ada kalanya terdapat limfangitis yang tampak sebagai tali yang keras dan
bubonuli.
3. Sindrom Genital
Apabila sindrom inguinal tidak diterapi, maka akan terjadi fibrosis
pada kelenjar inguinal media sehingga aliran getah bening tersumbat
serta terjadi edema dan elefantiasis. Elefantiasis tersebut bersifat
vegetatif, dapat berbentuk fistel-fistel dan ulkus. Pada pria, elefantiasis
terdapat di penis dan skrotum, sedangkan pada wanita di labia dan
klitoris yang disebut estiomen. Jika meluas terbentuk elefantiasis genito-
anorektalis dan disebut sindrom Jerslid.

Edema limfe yang telah terbentuk jaringan parut dan fibrosis


4. Sindrom Anorektal
Sindrom anorektal dapat terjadi pada pria yang homoseksual, yang
melakukan sanggama secara genitoanal, mukosa rektal dapat diinokulasi
lansung oleh Chlamydia selama hubungan seks secara anal atau melalui
penyebaran limfatik dari uretra posterior. Gejala awal dari infeksi rektal
adalah pruritus anal diikuti duh anal yang purulen yang disebabkan
karena edema local atau difus mukosa anorektal. Mukosa menjadi
hiperemis dan mudah berdarah karena trauma, juga sering terdapat
ulserasi superfisial, multiple dan diskrit, dengan batas yang ireguler yang
akhirnya diganti dengan jaringan parut. Proses peradangan kronis
menyerbu masuk ke dalam dinding usus dan membentuk granuloma non
kaseosa dan abses, jika terjadi infeksi sekunder secret menjadi
mukopurulen. Selanjutnya bila tidak diberi pengobatan proses
granulomatus akan mengenai seluruh lapisan dinding usus, lapisan otot
akan diganti dengan jaringan fibrosis. Pada wanita terjadi karena
penyebaran lansung dari lesi primer di posterior dinding vagina dan
serviks ke kelenjar limfe perirektal. Pada wanita septum rektovagina
mungkin akan terkikis, dan terbentuk fistula rektovagina. Kontraksi yang
berlebihan pada jaringan fibrosis selam berbulan-bulan sampai bertahun-
tahun akan menyebabkan hambatan pasial (striktur) atau komplit
(stenosis) dari rektum. Sindrom anorektal pada wanita dapat terjadi
dengan dua cara. Pertama, jika sanggama dilakukan dengan cara genito-
anal. Kedua, jika lesi primer terdapat pada vagina 2/3 atas atau serviks,
sehingga terjadi penjalaran ke kelenjar perirectal (kelenjar Gerota) yang
terletak antara uterus dan rektum. Pembesaran kelenjar tersebut hanya
dapat diketahui dengan palpasi secara bimanual. Proses berikutnya
hampir sama dengan sindrom inguinal, yakni terjadi di limfadenitis dan
periadenitis, lalu mengalami perlunakan hingga terbentuk abses.
Kemudian abses memecah sehingga menyebabkan gejala keluarnya
darah dan pus pada waktu defekasi, kemudian terbentuk fistel. Abses-
abses dan fistel-fistel dapat berlokasi di perianal dan perirektal.
Selanjutnya muara fistel meluas menjadi ulkus, yang kemudian
menyembuh dan menjadi sikatriks, terjadilah retraksi hingga
mengakibatkan striktur rekti. Kelainan tersebut umumnya mengenai
seluruh lingkaran rektum sepanjang 4-10cm dan berlokasi 3-8 cm atau
lebih di atas anus. Keluhannya ialah obstipasi, tinja kecil-kecil disertai
perdarahan waktu defekasi. Akibat lain ialah terjadinya proktitis yang
menyebabkan gejala tenesmus dan keluarnya darah dan pus dari rektum.
Kecuali kelenjar Gerota, dapat pula terjadi penjalaran ke kelenjar iliaka
dan hipogastrika.
5. Sindrom Uretral
Sindrom uretral terdiri dari infiltrat di uretra posterior yang
kemudian menjadi abses lalu memecah dan menjadi fistel. Akibatnya
adalah terjadi striktur hingga orifisium uretra eksternum berubah bentuk
seperti mulut ikan yang disebut fish mouth urethra dan penis melengkung
(Djuanda, 2007).

F. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis Limfogranuloma venerum berdasarkan :
1. Anamnesis
Anamnesis mengenai riwayat perjalanan penyakit.
2. Gambaran klinis
3. Pemeriksaan Darah Tepi
Pada pemeriksaan darah tepi akan didapatkan biasanya leukosit
normal, sedangkan LED meninggi. Peninggian ini menunjukkan
keaktifan penyakit, jadi tidak khas untuk LGV, namun lebih berarti untuk
menilai proses penyembuhan, jika menyembuh LED akan menurun.
Sering terjadi hiperproteinemia beripa peningkatan globulin,
sedangkan albumin normal atau menurun, sehingga perbandingan
albimin-globulin menjadi terbalik. Immunoglobulin yang meningkat
adalah IgA dan tetap meningkat selama penyakit masih aktif, sehingga
bersama-sama dengan LED menunjukkan keaktivan penyakit (Djuanda,
2007).
4. Tes Frei
Melakukan tes Frei dengan antigen Frei. Frei memperolehnya dari
pus penderita LGV yang mengalami abses yang belum pecah, kemudian
dilarutkan dalam garam faal dan dilakukan pasteurisasi. Untuk
mendapatkan antigen yang tidak terkontaminasi oleh bakteri, dapat
diperoleh dari otak tikus yang telah ditulari.
Cara melakukannya seperti pada tes tuberkulin, yakni 0,1 cc
disuntikkan intrakutan pada bagian anterior lengan bawah dan dibaca
setelah 48 jam. Jika terdapat infiltrat berdiameter 0,5 cm atau lebih berati
positif. Tes tersebut tidak khas karena penyakit yang segolongan juga
memberikan hasil positif. Kekurangan yang lain adalah tes tersebut baru
memberi hasil positif setelah 5-8 minggu dan jika positif hanya berati
sedang atau pernah menderita LGV.
Pada tes Frei terbalik, antigen diambil dari penderita yang diduga
menderita LGV, kemudian disuntikkan pada penderita LGV. Jika positif
berati penderita yang diduga menderita LGV (Djuanda, 2007).
5. Tes Ikatan Komplemen
Tes ikatan komplemen lebih peka dan lebi dapat dipercaya
daripada tes Frei dan lebih cepat menjadi positif. Tes ini juga memberi
reaksi silang dengan penyakit yang segolongan. Jika titer 1/16 berarti
sedang sakit, tetapi jika titernya lebih rendah hanya berarti pernah sakit
(Djuanda, 2007).

G. Diagnosis Banding
1. Skrofuloderma
2. Limfadenitis piogenik
3. Limfadenitis karena ulkus mole
4. Limfoma malignum
5. Hernia inguinale (Djuanda, 2007)
H. Penatalaksanaan (Djuanda, 2007)
1. Sistemik
a. Kotrimoksazol
Kotrimoksazol adalah kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim.
Satu tablet terdiri dari 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg
trimetoprim. Pemberian dengan dosis 2 x 2 tablet/hari diberikan terus-
menerus hingga penyakit sembuh. Lama penyembuhan pada sindrom
inguinal antara 1-5 minggu bergantung pada berat dan ringannya
penyakit.
b. Sulfa
Penggunaan sulfa saat ini sudah tidak digunakan karena kurang
bermanfaat. Dosis sulfa 3 x 1 gram sehari.
c. Tetrasikilin
Dosis 3 x 500 mg sehari
d. Kloramfenikol dan Eritomisin
Kloramfenikol dan Eritomisin kurang efektif. Dosisnya sama dengan
tetrasiklin yaitu 3 x 500 mg sehari.
2. Topikal
Pengobatan topikal berupa kompres terbuka jika abses telah memecah.
Larutan yang dapat digunakan adalah larutan permanganas kalikus
1/5.000.
3. Pengobatan lebih lanjut
a. Insisi dan aspirasi
Menurut kepustakaan tindakan insisi tidak boleh dilakukan karena
bekas insisi sukar sembuh dan akan menyebabkan penyebaran secara
hematogen, sedangkan bekas aspirasi akan meninggalkan fistel
artifisial yang juga sukar sembuh.
Sumber lain mengatakan jika dalam beberapa hari tidak terjadi
perbaikan, hendaknya abses diinsisi. Dengan cara tersebut keluhan
penderita akan berkurang dan masa penyembuhan akan lebih cepat.
Bekas insisi akan cepat sembuh seperti pada abses pada penyakit lain
asalkan obat terus dikonsumsi.
b. Pembedahan
c. Kortikosteroid

I. Komplikasi
1. Sindrom Genital
a. Edema vulva
b. Elefantiasis labia
c. Edema limfe
2. Sindrom Anorektal
a. Perdarahan anus
b. Fistel anal
c. Abese perirektal
d. Fistel rektovaginal/rektovesikal
e. Striktur rekti (Sentono, 2011).
J. Prognosis
Pada sindrom inguinal prognosisnya baik, sedangkan pada bentuk lanjut
prognosisnya buruk (Siregar, 2004; Sentono, 2011).
KESIMPULAN

1. Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang sebagian besar ditularkan
melalui hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular.
2. Infeksi menular seksual (IMS) terbagi menjadi IMS mayor dan IMS minor.
IMS mayor meliputi Sifilis, Gonore, Limfogranuloma venereum,
Granuloma inguinal, dan Ulkus mole.
3. Penatalaksaan Infeksi menular seksual (IMS) mayor terdiri dari penanganan
spesifik sesuai jenis penyakit dan pencegahan penularan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Ballard, RC dan Papp, JR. 2006. Chlamydia Trachomatis Infection of the Genital
Tract (Oculogenital Infection and Lymphogranuloma Venereum) in
Tropical Infectious Disease Second Edition. Elsevier Inc. H. 526-533.

Ballard, RC. 2009. Klebsiella granulomatis (Donovanosis, Granuloma Inguinale).


In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, eds. Principles and Practice of
Infectious Diseases. 7th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Churchill
Livingstone; chap 236.

Centers for Disease Control and Prevention. 2006. Primary and secondary
syphilis--United States, 2003-2004.  MMWR Morb Mortal Wkly Rep.
Mar 17;55(10):269-73. 
Centers for Disease Control and Prevention. 2007. Sexually Transmitted Disease
Surveillance Supplement, Syphilis Surveillance Report. Centers for
Disease Control and Prevention. Centers for Disease Control and
Prevention.
Centers for Disease Control and Prevention. 2007. Sexually Transmitted Disease
Surveillance, 33 2008.;Atlanta, Georgia

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 4th Ed.
Jakarta : FKUI.

Doh. 2012. Granuloma Inguinal. Washington State Departement Of Health.

Fasoldt, JJ., Elizabeth KS., James JN., Richard PV., Paul K., Catherine MQ., Dirk
ME. 2013. Granuloma Inguinale. Medscape.

Garry F . 2006 . Obstetri Williams Edisi 21, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 12 :
1668-1671.

Hall, CS. 2007. Lymphogranuloma Venereum In Current Medical Diagnosis &


Treatment : Sexual Ttransmitted Disease. TheMcGraw-Hill Companies. h.
108-115.

Hutapea ; Daili ; Makes WIB, Zubier F. SF 2009. Sifilis dalam: Infeksi


Menular Seksual, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,2009. h:84-102.

Jawetz, Melnick, & Adelberg’s. 2001. Mikrobiologi Kedokteran Edisi Pertama,


Penerbit Salemba Medika Jakarta, 21 : 419-431.
Judanarso, J. 2007. Granuloma Inguinale dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi Kelima. Jakarta : FKUI.

Kayser. 2005. Medical Microbiology, Penerbit Buku Kedokteran EGC. 4 : 274-


276.
Mabey, D dan Peeling, R.W. 2002. Lymphogranuloma Venereum. Sex Transm
Infect, vol. 78: 90-922.

Martodihardjo Sunarko . 2008. Uretritis Gonore dan Non Gonore Diagnosis dan
Pelaksanaan. Airlangga University Press Surabaya. 1: 1-7.
Murtiastutik D. 2007.  Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya: Fakultas
kedokteran Universitas Airlangga; Rumah sakit umum dr. Soetomo
Surabaya.

Murtiastutik Dwi . 2008. Buku Ajar Infeksi Menular , Cetakan 1, Airlangga


University Press Surabaya, 12 : 109-114.
O'Farrell N. 2002.  Donovanosis. Sex Transm Infect, vol.78: 452-7.

O’Farrell, N. 2013. Donovanosis. Color  Atlas and Synopsis of Sexually


Transmitted Diseases. Donovanosis Chapter 7.

Sentono, HK. 2011. Limfogranuloma Venereum dalam Infeksi Menular Seksual.


Edisi Keempat. Jakarta : FKUI.

Siregar, RS. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Velho PE, et al. 2008. Donovanosis. Braz J Infect Dis, vol.12(6):521-5.

Treats sifilis [serial online]. available


from :http://emedicine.medscape.com/article/1053426-treatment

Anda mungkin juga menyukai