Disusun Oleh:
Farah Athifah Sulbadana
N 111 19 001
Pembimbing :
dr. Ajutor Donny Tandiarrang. Sp. An
Bagian Anestesiologi
RSUD UNDATA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “An” yang berarti “tidak,
tanpa” dan “aesthesos” yang berarti “persepsi, kemampuan untuk merasa”.
Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver WendellHolmes
(1809-1894) yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,
karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.1
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa
nyeri yang reversible akibat pemberian obat – obatan, serta menghilangkan rasa
sakit seluruh tubuh secara sentral. Perbedaan dengan anestesi regional adalah
anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran.
Masing-masing anestesi memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi
akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya
tersebut.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abses
Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh
infeksi bakteri campuran. Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses
ini yaitu Staphylococcus aureus dan Streptococcus mutans. Staphylococcus aureus
dalam proses ini memiliki enzim aktif yang disebut koagulase yang fungsinya
untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan Streptococcus mutans memiliki 3 enzim
utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi, yaitu streptokinase,
streptodornase, dan hyaluronidase.6
2.2 Abses epidural
Abses epidural adalah kondisi yang relatif jarang dan mengacu pada
infeksi yang terletak di antara duramater dan tengkorak (tengkorak abses epidural
- CEA) atau tulang belakang (abses epidural spinal - SEA). Itu fokus awal CEA
biasanya di sinus paranasal, mastoid sel dan telinga tengah. SEA biasanya berasal
dari penyebaran hematogen atau dengan perluasan osteomielitis vertebralis.6
Perkembangan CEA sebagai komplikasi MBA paling banyak terjadi
umumnya di antara anak-anak di bawah usia 1 tahun. Antara CEA pada remaja
dan dewasa umumnya terjadi sebagai akibat dari infeksi otorhinolaringologis,
terutama infeksi pada sinus paranasal, trauma kepala atau prosedur bedah saraf.6
Gejala dan tanda klinis abses otak tergantung kepada banyak faktor, antara
lain lokasi, ukuran, stadium dan jumlah lesi, keganasan kuman, derajat edema
otak, respons pasien terhadap infeksi, umur pasien.5
Gejala yang timbul pada stadium awal tidak spesifik, baik pada pasien
dengan penyakit jantung bawaan sianotik atau infeksi primer. Pada fase serebritis
timbul gejala sakit kepala, demam, letargi dan kejang, baik fokal atau umum.
Dengan adanya progresivitas abses, gejala yang mula-mula minimal atau tak ada
sama sekali akan menjadi jelas. Pada anak progresivitas penyakit ditandai dengan
gangguan neurologis bersamaan dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial.
Pada bayi, pembesaran lingkar kepala yang abnormal sering dikacaukan dengan
proses intrakranial yang lain yaitu efusi subdural atau tumor.6
Manifestasi abses otak sebenarnya didasarkan adanya:
1. Manifestasi peningkatan tekanan intrakranial berupa sakit kepala, muntah,
papiledema
2. Manifestasi supurasi intrakranial berupa iritabel, drowsiness, atau stupor,
tanda rangsang meningeal
3. Tanda infeksi berupa demam, menggigil, leukositosis
4. Tanda lokal jaringan otak yang terkena berupa kejang, gangguan saraf
kranial, afasia, ataksia, paresis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis disokong oleh
pemeriksaan laboratorium, EEG dan pencitraan. Manifastasi klinis yang
menyebabkan dugaan adanya abses otak adalah sakit kepala, rancu, penurunan
kesadarn, kejang, papiledema, kaku kuduk, dan manifestasi neurologis fokal.5
Pemeriksaan laboratorium kadang-kadang terdapat leukositosis dan
peningkatan laju endap darah. Pada cairan serebrospinal terdapat peningkatan
jumlah leukosit, tetapi pungsi lumbal kontra indikasi pada abses otak. Pada
pemeriksaan EEG didapatkan adanya gelombang lambat delta voltase tinggi,
tetapi tidak cukup akurat untuk menentukan lokasi abses. 7
Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek massa dan
menghilangkan kuman penyebab. Penatalaksaan abses otak dapat dibagi menjadi
pengobatan bedah dan konservatif. Untuk menghilangkan penyebab dilakukan
operasi baik aspirasi maupun eksisi dan pemberian antibiotik. Antibiotik yang
diberikan adalah yang dapat menembus abses yaitu kloramfenikol, penisilin dan
metisilin. Kortikosteroid hanya digunakan bila terdapat efek massa yang
menyebabkan manifestasi neurologis fokal dan penurunan kesadaran. 7
Separuh dari pasien yang sembuh memperlihatkan hemiparesis, sedangkan
gangguan kognitif mencapai 70%. Pasca operasi terdapat serangan kejang pada
30-50% pasien. Bila kejang telah terjadi preoperatif, umumnya selalu terjadi
kejang pascabedah. Di antara pasien yang mengalami kejang, 50% berupa kejang
umum sedangkan 30% berupa kejang fokal atau epilepsi parsial. Abses otak akan
kambuh beberapa waktu setelah pengobatan pada 8-10% pasien dan biasanya
akan terjadi dalam 8-24 minggu setelah pengobatan.8
BAB III
LAPORAN KASUS
B. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda vital :
TD : 160/90mmHg N : 118x/menit P : 22x/menit S : 39,10C
2. Pemeriksaan Fisik :
Kepala : anemis (-) sianosis (-) ikterus (-) Mallampati : I
Leher :deviasi trakhea (-) tiromental distance : (-)
Thoraks :simetris kiri = kanan
BP : Vesikuler +/+ Rh (-)/(-), Wh (-)/(-)
BJ I/II : Reguler bising jantung : (-)
Abdomen : Peristaltik (+ ) kesan normal, Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Edema (-)
3. B1 (Breath)
Airway bebas, gurgling/snoring/crowing : -/-/-, RR: 22 x/menit,
Mallampati : I, Riwayat asma (-) alergi (-), batuk (-), sesak (-) leher
pendek (-), pergerakan leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis
(-), pernapasan bronkovesikular (+/+), suara pernapasan tambahan
ronchi (-/-), wheezing (-/-)
4. B2 (Blood)
Akral hangat, HR : 118x/menit irama reguler, CRT < 2 detik. masalah
pada sistem cardiovaskuler (-).
5. B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis GCS 7 (E2V1M4, Pupil: isokor Ø 3
mm/3mm, Refleks Cahaya +/+
6. B4 (Bladder)
BAK lancar dan BAB lancar
7. B5 (Bowel)
Keluhan mual (-), muntah (-). Abdomen: Inspeksi tampak cembung,
kesan normal, Auskultasi: peristaltik (+), kesan normal. Perkusi:
tympani (+) pada seluruh lapang abdomen.
8. B6 Back& Bone
Nyeri tulang belakang (-), krepitasi (-), morbilitas (-), ekstremitas
deformitas (-)
C. Pemeriksaan penunjang
1. Darah Rutin
WBC : 6,17 x 103μL (3,6 – 11,0 x 103μL)
RBC : 2,93 x 106 μL (3,8 – 5,2mg/dL)
HB : 9,0 g/dl (11,7 – 15,5 g/dl)
PLT : 176 x 103 μL (150 – 440 x 103 μL)
HCT : 28,0 % (35 – 47 %)
Clottingtime : 4 menit (4 – 10 menit)
Bleedingtime : 5 menit (1 –5 menit)
2. Pemeriksaan laboratorium lain
HbsAG : non reaktif (non reaktif)
Glukosa sewaktu : 117mg/dl (70 – 140mg/dL)
HIV : non reaktif
SARS-CoV-2 IgG/IgM : non reaktif
D. Assesment
Status fisik ASA II
Rencana anestesi : Anestesi general dengan teknik GETA
Diagnosis pra-bedah : abses epidural
E. Plan
Jenis anestesi : Anestesi general
Teknik anestesi : General endotrakeal tube anestesi (GETA)
Jenis pembedahan : Bore Holes
H. Laporan Anestesi
Diagnosis pra-bedah : Abses epidural
Diagnosis post-bedah :-
Jenis pembedahan : Burr Holes
Jenis anastesi : Anestesi General
Teknik anastesi : General endotrakeal tube anestesi (GETA)
Posisi : supine
Premedikasi anestesi : Fentanyl 70 mcg (analgetik)
: Midazolam 2.5 mg (sedasi)
: Atrakurium 25 mg (relaksasi)
Induksi : Propovol 90 mg
Inhalasi : Gas Sevoflurane 2vol%
Medikasi tambahan :Dexametason 5 mg
Ketorolac 50 mg
Maintenance : Inhalasi oksigen 5 lpm + Sevoflurane 2 vol%
Anestesi mulai : 09.25 WITA
Operasi mulai : 09.57 WITA
Lama operasi : 1 jam
Lama anestesi : 1 jam 20 menit
Fentanyl 70 mcg
BB: 45kg
a. cairan masuk
Pre operatif RL 800 ml, darah (-), koloid (-)
Durante operatif RL 200 ml, darah (-), koloid (-)
Total input cairan 1000 ml
b. kebutuhan cairan saat operasi
perempuan = 35cc/kgBB/24 jam = 1575 cc/24 jam = 66 cc/jam atau
1,1 cc/ menit.
1 cc = 16 tetes
1,1 cc = 18 tetes
c. cairan pengganti puasa
pada pasien ini tidak perlu lagi cairan pengganti puasa, karena selama
puasa cairan RL tetap diberikan pada pasien.
d. cairan keluar
darah = +- 50 cc
urine = 70 cc
Post operatif
1. pantau tanda vital
BAB IV
PEMBAHASAN
II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang dan tidak ada
keterbatasan fungsional
III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi
V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa
operasi
Pelaksanaannya :
20) Mesin siap pakai
21) Cuci tangan
22) Memakai sarung tangan steril
23) Periksa balon pipa/ cuff ETT
24) Pasang macintosh blade yang sesuai
25) Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai 1
26) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
27) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
28) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
29) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis,
dorong blade sampai pangkal epiglotis
30) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
31) Masukkan ETT ukuran 7 yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan
tangan kanan
32) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan
nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
33) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
34) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
35) Pasang OPA/NPA ukuran 40 mm
36) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
37) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
38) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
39) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan
Pada anestesi ini pasien diberikan gas inhalasi sevoflurane 2vol%, dimana
sevofluran adalah obat anestesi inhalasi yang dapat digunakan dalam induksi
anestesi dan pemeliharaan anestesi umum pada pasien anak-anak maupun dewasa.
Sediaan yang ada saat ini berupa cairan inhalasi. Sevofluran menyebabkan kondisi
hipnosis, amnesia, akinesia, dan blokade otonom selama prosedur pembedahan
atau tindakan intervensi lain.
KESIMPULAN
11.Chan YC, Dasey N. Iatrogenic spinal epidural abscess. Acta Chir Belg.
2007;107:109−18.