Anda di halaman 1dari 22

Laporan Kasus Agustus 2020

“MANAJEMEN ANESTESI UMUM DENGAN TEKNIK GENERAL


ENDOTRACHEAL TUBE ANESTESI (GETA) PADA PROSEDUR
PEMBEDAHAN BORE HOLES DENGAN DIAGNOSIS ABSES
EPIDURAL”

Disusun Oleh:
Farah Athifah Sulbadana
N 111 19 001

Pembimbing :
dr. Ajutor Donny Tandiarrang. Sp. An

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Farah Athifah Sulbadana


No. Stambuk : N 111 19 001
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Laporan Kasus : MANAJEMEN ANESTESI UMUM DENGAN TEKNIK
GENERAL ENDOTRACHEAL TUBE ANESTESI (GETA)
PADA PROSEDUR PEMBEDAHAN BORE HOLES DENGAN
DIAGNOSIS ABSES EPIDURAL

Bagian Anestesiologi
RSUD UNDATA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

\ Palu, Agustus 2020

Mahasiswa Pembimbing Klinik

Farah Athifah Sulbadana dr. Ajutor Donny Tandiarrang. Sp. An

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “An” yang berarti “tidak,
tanpa” dan “aesthesos” yang berarti “persepsi, kemampuan untuk merasa”.
Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver WendellHolmes
(1809-1894) yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,
karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.1

Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa
nyeri yang reversible akibat pemberian obat – obatan, serta menghilangkan rasa
sakit seluruh tubuh secara sentral. Perbedaan dengan anestesi regional adalah
anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran.
Masing-masing anestesi memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi
akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya
tersebut.2

Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang


pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi
yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi
usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan
obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu
saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu
menghentikan impuls saraf di area itu.3

Anestesi regional dapat meliputi spinal, epidural dan caudal. Anestesi


spinal juga disebut sebagai blok subarachnoid (SAB) umumnya digunakan pada
operasi tubuh bagian bawah, seperti ekstremitas bawah, perineum, maupun
abdomen bagian bawah. Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik
anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan
hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan
keadaan hipovolemia.4

Sebuah abses epidural mengacu pada koleksi nanah dan bahan infeksius


yang terletak di ruang epidural dangkal ke dura mater yang mengelilingi sistem
saraf pusat . Karena letaknya yang berdekatan dengan otak atau sumsum tulang
belakang, abses epidural berpotensi menyebabkan kelemahan, nyeri, dan
kelumpuhan.5

Abses Epidural Spinal 

Abses epidural spinal (SEA) adalah kumpulan nanah atau granulasi


inflamasi antara dura mater dan kolumna vertebralis. Saat ini tingkat kejadian
tahunan KLHS diperkirakan 2,5-3 per 10.000 masuk rumah sakit. Insiden SEA
sedang meningkat, karena faktor-faktor seperti populasi yang menua, peningkatan
penggunaan instrumentasi tulang belakang invasif, peningkatan jumlah pasien
dengan faktor risiko seperti diabetes dan penggunaan obat-obatan intravena. SEA
lebih sering terjadi di area posterior daripada anterior, dan lokasi paling umum
adalah area torakolumbar, di mana ruang epidural lebih besar dan berisi lebih
banyak jaringan lemak. KLHS lebih sering terjadi pada laki-laki, dan dapat terjadi
pada semua usia, meskipun prevalensi tertinggi selama dekade kelima dan ketujuh
kehidupan.5 

Abses epidural kranial 

Sebuah tengkorak epidural abses melibatkan akumulasi jaringan nanah dan


granulasi di antara dura mater dan tulang tengkorak. Ini biasanya timbul (bersama
dengan osteomielitis tulang kranial) dari infeksi telinga atau sinus
paranasal. Mereka jarang dapat disebabkan oleh infeksi jauh atau trombosis sinus
vena serebral yang terinfeksi . Staphylococcus aureus adalah patogen yang paling
umum. Gejala berupa nyeri di dahi atau telinga, nanah mengalir dari telinga atau
sinus, nyeri tekan di sekitar tempat infeksi, demam, leher kaku, dan dalam kasus
yang jarang terjadi kejang fokal. Perawatan membutuhkan kombinasi antibiotik
dan operasi pengangkatan tulang yang terinfeksi.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abses
Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh
infeksi bakteri campuran. Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses
ini yaitu Staphylococcus aureus dan Streptococcus mutans. Staphylococcus aureus
dalam proses ini memiliki enzim aktif yang disebut koagulase yang fungsinya
untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan Streptococcus mutans memiliki 3 enzim
utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi, yaitu streptokinase,
streptodornase, dan hyaluronidase.6
2.2 Abses epidural
Abses epidural adalah kondisi yang relatif jarang dan mengacu pada
infeksi yang terletak di antara duramater dan tengkorak (tengkorak abses epidural
- CEA) atau tulang belakang (abses epidural spinal - SEA). Itu fokus awal CEA
biasanya di sinus paranasal, mastoid sel dan telinga tengah. SEA biasanya berasal
dari penyebaran hematogen atau dengan perluasan osteomielitis vertebralis.6
Perkembangan CEA sebagai komplikasi MBA paling banyak terjadi
umumnya di antara anak-anak di bawah usia 1 tahun. Antara CEA pada remaja
dan dewasa umumnya terjadi sebagai akibat dari infeksi otorhinolaringologis,
terutama infeksi pada sinus paranasal, trauma kepala atau prosedur bedah saraf.6
Gejala dan tanda klinis abses otak tergantung kepada banyak faktor, antara
lain lokasi, ukuran, stadium dan jumlah lesi, keganasan kuman, derajat edema
otak, respons pasien terhadap infeksi, umur pasien.5
Gejala yang timbul pada stadium awal tidak spesifik, baik pada pasien
dengan penyakit jantung bawaan sianotik atau infeksi primer. Pada fase serebritis
timbul gejala sakit kepala, demam, letargi dan kejang, baik fokal atau umum.
Dengan adanya progresivitas abses, gejala yang mula-mula minimal atau tak ada
sama sekali akan menjadi jelas. Pada anak progresivitas penyakit ditandai dengan
gangguan neurologis bersamaan dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial.
Pada bayi, pembesaran lingkar kepala yang abnormal sering dikacaukan dengan
proses intrakranial yang lain yaitu efusi subdural atau tumor.6
Manifestasi abses otak sebenarnya didasarkan adanya:
1. Manifestasi peningkatan tekanan intrakranial berupa sakit kepala, muntah,
papiledema
2. Manifestasi supurasi intrakranial berupa iritabel, drowsiness, atau stupor,
tanda rangsang meningeal
3. Tanda infeksi berupa demam, menggigil, leukositosis
4. Tanda lokal jaringan otak yang terkena berupa kejang, gangguan saraf
kranial, afasia, ataksia, paresis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis disokong oleh
pemeriksaan laboratorium, EEG dan pencitraan. Manifastasi klinis yang
menyebabkan dugaan adanya abses otak adalah sakit kepala, rancu, penurunan
kesadarn, kejang, papiledema, kaku kuduk, dan manifestasi neurologis fokal.5
Pemeriksaan laboratorium kadang-kadang terdapat leukositosis dan
peningkatan laju endap darah. Pada cairan serebrospinal terdapat peningkatan
jumlah leukosit, tetapi pungsi lumbal kontra indikasi pada abses otak. Pada
pemeriksaan EEG didapatkan adanya gelombang lambat delta voltase tinggi,
tetapi tidak cukup akurat untuk menentukan lokasi abses. 7
Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek massa dan
menghilangkan kuman penyebab. Penatalaksaan abses otak dapat dibagi menjadi
pengobatan bedah dan konservatif. Untuk menghilangkan penyebab dilakukan
operasi baik aspirasi maupun eksisi dan pemberian antibiotik. Antibiotik yang
diberikan adalah yang dapat menembus abses yaitu kloramfenikol, penisilin dan
metisilin. Kortikosteroid hanya digunakan bila terdapat efek massa yang
menyebabkan manifestasi neurologis fokal dan penurunan kesadaran. 7
Separuh dari pasien yang sembuh memperlihatkan hemiparesis, sedangkan
gangguan kognitif mencapai 70%. Pasca operasi terdapat serangan kejang pada
30-50% pasien. Bila kejang telah terjadi preoperatif, umumnya selalu terjadi
kejang pascabedah. Di antara pasien yang mengalami kejang, 50% berupa kejang
umum sedangkan 30% berupa kejang fokal atau epilepsi parsial. Abses otak akan
kambuh beberapa waktu setelah pengobatan pada 8-10% pasien dan biasanya
akan terjadi dalam 8-24 minggu setelah pengobatan.8

2.3 General Anestesi


General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat
beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general anestesi denggan teknik
intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask
(sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube
atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena.9
1) Teknik General Anestesi
General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat dilakukan
dengan 3 teknik, yaitu:
 General Anestesi Intravena Teknik general anestesi yang dilakukan
dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke
dalam pembuluh darah vena.
 General Anestesi Inhalasi Teknik general anestesi yang dilakukan
dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau
mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
 Anestesi Imbang Merupakan teknik anestesi dengan
mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat anestesi
intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik
general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai trias
anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu:
a. Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat
hipnotikum atau obat anestesi umum yang lain.
b. Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat
analgetik opiat atau obat general anestesi atau dengan cara
analgesia regional.
c. Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat
pelumpuh otot atau general anestesi, atau dengan cara analgesia
regional.10
2) Obat-obat General Anestesi
Pada tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat
dilakukan adalah general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan
general anestesi dengan inhalasi.
3) Gangguan Pasca Anestesi
Pernapasan Gangguan pernapasan cepat menyebabkan kematian karena
hipoksia sehingga harus diketahui sedini mungkin dan segera di atasi.
Penyebab yang sering dijumpai sebagai penyulit pernapasan adalah sisa
anastesi (penderita tidak sadar kembali) dan sisa pelemas otot yang belum
dimetabolisme dengan sempurna, selain itu lidah jatuh kebelakang
menyebabkan obstruksi hipofaring. Kedua hal ini menyebabkan
hipoventilasi, dan dalam derajat yang lebih beratmenyebabkan apnea.
Sirkulasi Penyulit yang sering di jumpai adalah hipotensi syok dan aritmia,
hal ini disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdarahan yang tidak
cukup diganti. Sebab lain adalah sisa anastesi yang masih tertinggal dalam
sirkulasi, terutama jika tahapan anastesi masih dalam akhir pembedahan.
4) Regurgitasi dan Muntah Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia
selama anastesi. Pencegahan muntah penting karena dapat menyebabkan
aspirasi.
5) Hipotermi Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi,
selain itu juga karena efek obat-obatan yang dipakai. General anestesi juga
memengaruhi ketiga elemen termoregulasi yang terdiri atas elemen input
aferen, pengaturan sinyal di daerah pusat dan juga respons eferen, selain
itu dapat juga menghilangkan proses adaptasi serta mengganggu
mekanisme fisiologi pada fungsi termoregulasi yaitu menggeser batas
ambang untuk respons proses vasokonstriksi, menggigil, vasodilatasi, dan
juga berkeringat.
6) Gangguan Faal Lain Diantaranya gangguan pemulihan kesadaran yang
disebabkan oleh kerja anestesi yang memanjang karena.11

BAB III
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. Salmia Athiya
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 55 Tahun
IMT : 22,0 (Normal )
Alamat : buol
Pekerjaan : -
Agama : Islam
Diagnosa Pra Anestesi : Abses Epidural
Jenis Pembedahan : Bore Holes
Tanggal Operasi : 19/08/2020
Jenis Anestesi : General Anestesi Inhalasi
Anestesiologi : dr. Faridnan, Sp,An
Ahli Bedah : dr. Franklin, Sp.BS

2.2. PENGKAJIAN MEDIS PASIEN


A. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
2. Riwayat penyakit sekarang : Pasien perempuan usia 55 tahun
masuk Rumah Sakit dengan keluhan penurunan kesadaran setelah
demam selama kurang lebih seminggu yang lalu.
3. Riwayat penyakit dahulu:
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat penyakit hipertensi (+)
 Riwayat penyakit trauma atau kecelakaan (-)
 Riwayat anestesi (-), komplikasi (-)
4. Anamnesis tambahan:
Gigi goyang (-), gigi palsu (-), riwayat operasi sebelumnya (-)

B. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda vital :
TD : 160/90mmHg N : 118x/menit P : 22x/menit S : 39,10C
2. Pemeriksaan Fisik :
 Kepala : anemis (-) sianosis (-) ikterus (-) Mallampati : I
 Leher :deviasi trakhea (-) tiromental distance : (-)
 Thoraks :simetris kiri = kanan
BP : Vesikuler +/+ Rh (-)/(-), Wh (-)/(-)
BJ I/II : Reguler bising jantung : (-)
 Abdomen : Peristaltik (+ ) kesan normal, Nyeri tekan (-)
 Ekstremitas : Edema (-)
3. B1 (Breath)
Airway bebas, gurgling/snoring/crowing : -/-/-, RR: 22 x/menit,
Mallampati : I, Riwayat asma (-) alergi (-), batuk (-), sesak (-) leher
pendek (-), pergerakan leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis
(-), pernapasan bronkovesikular (+/+), suara pernapasan tambahan
ronchi (-/-), wheezing (-/-)
4. B2 (Blood)
Akral hangat, HR : 118x/menit irama reguler, CRT < 2 detik. masalah
pada sistem cardiovaskuler (-).
5. B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis GCS 7 (E2V1M4, Pupil: isokor Ø 3
mm/3mm, Refleks Cahaya +/+
6. B4 (Bladder)
BAK lancar dan BAB lancar
7. B5 (Bowel)
Keluhan mual (-), muntah (-). Abdomen: Inspeksi tampak cembung,
kesan normal, Auskultasi: peristaltik (+), kesan normal. Perkusi:
tympani (+) pada seluruh lapang abdomen.
8. B6 Back& Bone
Nyeri tulang belakang (-), krepitasi (-), morbilitas (-), ekstremitas
deformitas (-)

C. Pemeriksaan penunjang
1. Darah Rutin
WBC : 6,17 x 103μL (3,6 – 11,0 x 103μL)
RBC : 2,93 x 106 μL (3,8 – 5,2mg/dL)
HB : 9,0 g/dl (11,7 – 15,5 g/dl)
PLT : 176 x 103 μL (150 – 440 x 103 μL)
HCT : 28,0 % (35 – 47 %)
Clottingtime : 4 menit (4 – 10 menit)
Bleedingtime : 5 menit (1 –5 menit)
2. Pemeriksaan laboratorium lain
HbsAG : non reaktif (non reaktif)
Glukosa sewaktu : 117mg/dl (70 – 140mg/dL)
HIV : non reaktif
SARS-CoV-2 IgG/IgM : non reaktif

D. Assesment
 Status fisik ASA II
 Rencana anestesi : Anestesi general dengan teknik GETA
 Diagnosis pra-bedah : abses epidural
E. Plan
 Jenis anestesi : Anestesi general
 Teknik anestesi : General endotrakeal tube anestesi (GETA)
 Jenis pembedahan : Bore Holes

F. PERSIAPAN PRE OPERATIF


Di Ruangan
a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi
(Informed Consent)
b. Pasang infus RL
Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
d. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
e. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
f. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“PulseOxymeter”
g. Kartu catatan medis anestesia.
Persiapan Alat (STATICS):
1) Scope : Laringoscope, Stetoscope
2) Tubes : Endotrakheal Tube (ETT) nomor 7
3) Airway : Pipa orofaring / OPA atau hidung-faring/NPA
4) Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting
5) Introducer : Mandrin / Stylet, Magill Forcep
6) Conector : Penyambung antara pipa dan pipa dan peralatan anestesi.
7) Suction : Penghisap lendir siap pakai.
8) Bag dan masker oksigen (biasanya satu paket dengan mesin anestesi
yang siap pakai, lengkap dengan sirkuit dan sumber gas).
9) Sarung tangan steril
10) Xylocain jelly/ Spray 10%
11) Gunting plester
12) Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
13) Bantal kecil setinggi 12 cm
14) Obat-obatan (premedikasi, induksi/sedasi, relaksan, analgesi dan
emergency).

G. PROSEDUR GENERAL ENDOTRAKEAL TUBE ANESTESI


1) Mesin siap pakai
2) Cuci tangan
3) Memakai sarung tangan steril
4) Periksa balon pipa/ cuff ETT
5) Pasang macintosh blade yang sesuai
6) Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai 1
7) Beri oksigen 100% dengan masker/ambu bag 4 liter/menit
8) Masukkan obat-obat analgetik (fentanyl), sedasi (midazolam) dan
relaksan (atrakurium)
9) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis,
dorong blade sampai pangkal epiglotis
11) Masukkan ETT nomor 7 yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan
tangan kanan
12) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan
nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
13) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
14) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
15) Pasang OPA/NPA ukuran 40 mm
16) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
17) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
18) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
19) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan

H. Laporan Anestesi
Diagnosis pra-bedah : Abses epidural
Diagnosis post-bedah :-
Jenis pembedahan : Burr Holes
Jenis anastesi : Anestesi General
Teknik anastesi : General endotrakeal tube anestesi (GETA)
Posisi : supine
Premedikasi anestesi : Fentanyl 70 mcg (analgetik)
: Midazolam 2.5 mg (sedasi)
: Atrakurium 25 mg (relaksasi)
Induksi : Propovol 90 mg
Inhalasi : Gas Sevoflurane 2vol%
Medikasi tambahan :Dexametason 5 mg
Ketorolac 50 mg
Maintenance : Inhalasi oksigen 5 lpm + Sevoflurane 2 vol%
Anestesi mulai : 09.25 WITA
Operasi mulai : 09.57 WITA
Lama operasi : 1 jam
Lama anestesi : 1 jam 20 menit

Hasil Monitoring Intraoperatif

Pukul Tekanan Nadi Saturasi Terapi


(WITA Darah (kali/menit) Oksigen
) (mmHg) (SpO2)
09.25 140/90 112 100% Sevoflurane 2 vol%

Fentanyl 70 mcg

09.30 120/70 113 100% Propovol 90 mg

09.35 130/80 112 100 % Midazolam 2,5 mg


09.40 130/80 110 100 % Atrakurium 25 mg
09.45 130/80 100 100 %
09.50 120/70 98 100 %
09.55 120/80 98 100 %
10.00 120/70 99 100 %
10.05 120/70 98 100 % Dexametashon 5
mg
10.10 110/60 100 100 %
10.15 110/60 99 100 % Ketorolac 50 mg
10.20 110/60 98 100 %
10.25 110/70 98 100 %

BB: 45kg
a. cairan masuk
Pre operatif RL 800 ml, darah (-), koloid (-)
Durante operatif RL 200 ml, darah (-), koloid (-)
Total input cairan 1000 ml
b. kebutuhan cairan saat operasi
perempuan = 35cc/kgBB/24 jam = 1575 cc/24 jam = 66 cc/jam atau
1,1 cc/ menit.
1 cc = 16 tetes
1,1 cc = 18 tetes
c. cairan pengganti puasa
pada pasien ini tidak perlu lagi cairan pengganti puasa, karena selama
puasa cairan RL tetap diberikan pada pasien.
d. cairan keluar
darah = +- 50 cc
urine = 70 cc
Post operatif
1. pantau tanda vital

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan penurunan kesadaran setelah


kurang lebih 1 minggu demam, mual (-) muntah (-), BAB dan BAK lancar
Dari hasil pemeriksanaan fisik didapatkan tekanan darah 160/90 mmHg,
Nadi 118 x/menit, laju napas 22 x/menit. Pasien ada riwayat tekanan darah tinggi
Sebelum diputuskannya anestesi, hendaknya sebelumnya dilakukan
penentuan standar kesehatan pasien sesuai American Society of Anesthesia.
Dengan keadaan tersebut di atas, pasien termasuk dalam kategori ASA IE.
Adapun pembagian kategori ASA adalah:

I : Pasien normal dan sehat fisis dan mental

II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang dan tidak ada
keterbatasan fungsional
III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi

IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan


menyebabkan ketidakmampuan fungsi

V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa
operasi

VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil

Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA


diikuti huruf E (misalnya IE atau IIE).
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut, pasien
digolongkan pada PS ASA I karena seorang pasien normal dan sehat fisis dan
mental.
Pada persiapaan perioperatif, dilakukan juga puasa sebelum operasi yang
bertujuan untuk mengurangi asam lambung tanpa menyebabkan rasa haus. Puasa
yang dilakukan menurut ASA adalah ^6 jam untuk makana ringan, 8 jam untuk
makanan berat, dan 2 jam untuk air. Pada pasien ini dipuasakan 8 jam sbelum
operasi
Pada pasien ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah general anestesi
dengan teknik endotrakea tube (ETT). Teknik anestesinya adalah pasien dengan
posisi supinasi beradadiruang operasi, infus terpasang di tangan kiri dengan cairan
RL 150 tpm dilakukan pemasangan monitor EKG, saturasi oksigen, manset, nasal
kanul. Pasien diberikan obat premedikasi yaitu fentanyl 20 mg/iv. Fentanyl adalah
obat pereda nyeri yang digunakan untuk meredakan rasa sakit yang hebat. Obat ini
juga digunakan sebagai salah satu obat bius ketika pasien akan menjalani operasi.
Fentanyl bekerja dengan mengubah respon otak dan sistem saraf pusat terhadap
rasa sakit. Dilakukan persiapan alat sarung tangan steril, kemudian persiapkan alat
(STATICS):
1) Scope : Laringoscope, Stetoscope
2) Tubes : Endotrakheal Tube (ETT) ukuran 7
3) Airway : Pipa orofaring / OPA atau hidung-faring/NPA
4) Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting
5) Introducer : Mandrin / Stylet, Magill Forcep
6) Conector : Penyambung antara pipa dan pipa dan peralatan anestesi.
7) Suction : Penghisap lendir siap pakai.
8) Bag dan masker oksigen (biasanya satu paket dengan mesin anestesi
yang siap pakai, lengkap dengan sirkuit dan sumber gas).
9) Sarung tangan steril
10) Xylocain jelly/ Spray 10%
11) Gunting plester
12) Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
13) Bantal kecil setinggi 12 cm
14) Obat- obatan (induksi, sedasi, relaksan, dan analgesik).

Pelaksanaannya :
20) Mesin siap pakai
21) Cuci tangan
22) Memakai sarung tangan steril
23) Periksa balon pipa/ cuff ETT
24) Pasang macintosh blade yang sesuai
25) Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai 1
26) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
27) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
28) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
29) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis,
dorong blade sampai pangkal epiglotis
30) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
31) Masukkan ETT ukuran 7 yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan
tangan kanan
32) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan
nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
33) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
34) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
35) Pasang OPA/NPA ukuran 40 mm
36) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
37) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
38) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
39) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan
Pada anestesi ini pasien diberikan gas inhalasi sevoflurane 2vol%, dimana
sevofluran adalah obat anestesi inhalasi yang dapat digunakan dalam induksi
anestesi dan pemeliharaan anestesi umum pada pasien anak-anak maupun dewasa.
Sediaan yang ada saat ini berupa cairan inhalasi. Sevofluran menyebabkan kondisi
hipnosis, amnesia, akinesia, dan blokade otonom selama prosedur pembedahan
atau tindakan intervensi lain.

Formula molekular sevofluran adalah C4H3F7O, dengan berat 200,05


g/mol. Sevofluran tersedia dalam bentuk cairan inhalasi dengan senyawa yang
mudah menguap, tidak mudah terbakar, tidak mengandung bahan peledak, tidak
mengiritasi, dan mudah dikelola dengan profil kelarutan dan koefisien partisi
darah ke gas yang rendah. Sevofluran berbentuk cairan bening, tidak berwarna,
tidak mengandung bahan tambahan, dan tidak korosif terhadap bahan-bahan
seperti stainless steel, aluminium, tembaga berilium, dan kuningan baik yang
tidak berlapis maupun yang berlapis nikel atau krom. Sevofluran larut dengan
etanol, eter, kloroform dan benzene, serta sedikit larut dalam air. Ketika terjadi
kontak dengan absorben alkaline CO2, dalam mesin anestesi, sevofluran dapat
mengalami degradasi minimal.

Sebelum akhir pembedahan pasien diberikan ketorolac 50mg iv,


diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang
sampai berat setelah prosedur pembedahan. Ketorolac adalah anti inflamasi non
steroid dengan durasi kerja sedang dengan waktu paruh 4-6 jam sehingga
digunakan sebagai analgesik dalam penggunaan intravena bukan sebagai
antiinflamasi. Obat ini mempunyai efektiftas analgesik yang nyata dan telah
dipakai dengan hasil yang baik untuk menggantikan morfin pada nyeri ringan
hingga sedang sesudah operasi. Kebanyakan diberikan secara intramuskular dan
intravena, tetapi terdapat juga dalam bentuk obat oral

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan diatas, maka dapat


disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut:

1. pada kasus dilakukan operasi Burr Holes pada pasien perempuan


berusia 55 tahun setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
maka status fisik pasien ASA II.

2. Pasien dilakukan anestesi dengan teknik general anestesi inhalasi


menggunakan sevuflurane. Sebagai premedikasi diberikan fentanyl 70
mg sebagai anti nyeri. Ketrolorac 50 mg diberikan beberapa menit
sebelum pembedahan selesai untuk memberikan efek analgetik.

3. Lama operasi pada pasien ini adalah 1 jam dengan perdarahan +- 50


cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).
Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA. Dahlan, M.R. Anestesiologi. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
2. Gwinnutt CL. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit EGC: Jakarta.
2014.
3. Mansjoer, Arif. dkk. Anestesi spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran edisi
III hal.261-264. 2000. Jakarta.
4. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T editor:
IlmukebidananEdisiKetiga, cetakanketujuh, Jakarta: Yayasan Bina
PustakaSarwonoPrawirohardjo, 2006
5. S. Grewal1 *, G. Hocking1 and J. A. W. Wildsmith2. Epidural abscesses.
British Journal of Anaesthesia 96 (3): 292–302 (2006) doi:10.1093/bja/ael006
Advance Access publication January 23, 2006
6. Lisandra Serra Damasceno1*, Carlos Jaime de Araújo Filho1 , Eveline
Fernandes Nascimento Vale1 and Roberto da Justa Pires Neto1,2. Cranial
Epidural Abscess Successfully Treated with Conservative Measures: Case
Repor. Journal of Neuroinfectious Diseases

7. Rahayu. Abses otak dan penatalaksanaannya. Saintika Medika: Jurnal Ilmu


Kesehatan dan Kedokteran Keluarga.
8. Indra Nur Hidayat,1 Suwarman,2 Eri Surahman2. Gambaran Jenis Bakteri
pada Ujung Kateter Epidural di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Jurnal Anestesi Perioperatif

9. Sahay BM, Dahake S, Mendiratta DK, Deotale V, Pramedran B, Narang P.


Backterial profile of epidural catheters. J K Sci. 2010;12(1):23−6.

10. Grewal S, Hocking G, Wildsmith JAW. Epidural abscess. Br J Anaesth.


2006;96:292−302. 5.

11.Chan YC, Dasey N. Iatrogenic spinal epidural abscess. Acta Chir Belg.
2007;107:109−18.

Anda mungkin juga menyukai