Anda di halaman 1dari 67

ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA NY.

T DENGAN
SOL (SPACE OCCUPYING LESION) YANG DILAKUKAN TINDAKAN
CRANIOTOMY DENGAN GENERAL ANESTESI DI IBS RSUD
BENDAN

Disusun untuk memenuhi tugas individu

Dosen Pembimbing: Dr.Catur Budi Susilo,S.Pd.,S.Kp.,M.Kes.

Pembimbing Lapangan: Alif Achmad Fahrizal, S.Tr.Kep

Disusun Oleh :

Salwa Azzahra (P07120319010)

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
2022
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA NY. T DENGAN SOL


(SPACE OCCUPYING LESION) YANG DILAKUKAN TINDAKAN
CRANIOTOMY DENGAN GENERAL ANESTESI DI IBS RSUD
BENDAN
Diajukan untuk disetujui pada:
Hari :
Tanggal :
Tempat : RSUD BENDAN

Mengetahui

Pembimbing Akademik Pembimbing Lapangan

(Dr.Catur Budi Susilo,S.Pd.,S.Kp.,M.Kes.) (Alif Achmad Fahrizal, S.Tr.Kep)


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan asuhan keperawatan anestesi dengan judul “ASUHAN KEPENATAAN
ANESTESI PADA NY. T DENGAN SOL (SPACE OCCUPYING
LESION) YANG DILAKUKAN TINDAKAN CRANIOTOMY DENGAN
GENERAL ANESTESI DI IBS RSUD BENDAN”. Laporan ini disusun untuk
memenuhi tugas individu Praktik Klinik komprehensif Anestesi V.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Dr.Catur Budi Susilo,S.Pd.,S.Kp.,M.Kes selaku pembimbing pendidikan


yang telah memberikan bimbingan demi terselesainya laporan ini.
2. Alif Achmad Fahrizal, S.Tr.Kep selaku pembimbing lapangan yang telah
memberikan bimbingan demi terselesainya laporan ini.
3. Rekan-rekan yang telah memberikan bantuan dalam proses menyelesaikan
penyusunan laporan ini.

Penulis berharap semoga laporan ini dapat membantu pembaca untuk lebih
mengetahui tentang asuhan kepenataan anestesi pada pasien yang akan
dilakukan tindakan craniotomy menggunakan teknik general anestesi. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini, masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak agar laporan ini menjadi lebih sempurna.

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Otak adalah bagian penting dari tubuh manusia karena otak
merupakan syaraf pusat yang mengkoordinir, mengatur seluruh tubuh
dan pemikiran manusia. Cidera sedikit pada otak dapat mengakibatkan
hal yang fatal bagi seseorang, oleh sebab itu perlu pemeliharaan
kesehatan otak agar tidak diserang penyakit. Salah satu penyakit
berbahaya yang menyerang otak adalah Space Occupying Lesion (SOL).
Space Occupying Lesion (SOL) (lesi desak ruang intrakranial)
merupakan neoplasma bisa berupa jinak atau ganas dan primer atau
sekunder, serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak
yang menempati ruang di dalam otak menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial. Space Occupying Lesion (SOL) meliputi tumor,
hematoma, dan abses (Ejaz Butt, 2005).

Space Occupying Lesion (SOL) merupakan desakan ruang yang


diakibatkan peningkatan volume di dalam ruang intrakranial yang
ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Lesi
desakan ruang (Space Occupying Lesion) bisa meningkatkan tekanan
intrakranial (Wilson, L.M., & Price, S.A, 2006). Space Occupying
Lesion bisa berupa neoplasma ataupun tumor, perdarahan ataupun
granuloma. Jaringan otak akan mengalami nekrosis sehingga
menyebabkan gangguan neurologik progresif (Sisca & Zam, 2017).

Craniotomy adalah operasi untuk membuka bagian tengkorak


(tempurung kepala) dengan tujuan memperbaiki dan mengetahui
kerusakan yang ada di otak. Pembedahan tersebut bertujuan
memperbaiki dan mengetahui kerusakan yang ada di otak dengan cara
membuka tengkorak jadi sementara waktu pasien post op craniotomy
akan mengalami gangguan mobilissasi bahkan bisa terjadi penurunan
kesadaran. Untuk mengurangi atau meminimalisir komplikasi yang
terjadi akibat pembedahan pasien post operasi craniotomy memerlukan
perawatan yang intensif. Maka dari itu pasien dengan post op 3
craniotomy harus di rawat di ruangan Intensive Care Unit (ICU)
(Brunner dan Suddarth, 2002).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas maka rumusan
masalahnya adalah “Bagaimana Asuhan Kepenataan Anestesi pada
Pasien Ny. N dengan Space Occupying Lesion (SOL) yang dilakukan
tindakan Craniotomy dengan General Anestesi di IBS RSUD Bendan?”

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui Asuhan Kepenataan Anestesi
pada pasien Ny. T dengan Space Occupying Lesion (SOL) yang
dilakukan tindakan craniotomy. 2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian Space Occupying Lesion


(SOL).

b. Mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi Space Occupying Lesion


(SOL).

c. Mahasiswa dapat mengetahui anatomi fisiologi Space Occupying


Lesion (SOL).

d. Mahasiswa dapat mengetahui etiologi Space Occupying Lesion


(SOL).

e. Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi Space Occupying Lesion


(SOL).

f. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis Space Occupying


Lesion (SOL).
g. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan diagnostik Space
Occupying Lesion (SOL).

h. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan Space Occupying


Lesion (SOL).

i. Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi Space Occupying


Lesion (SOL).

D. Waktu dan Tempat


Waktu : kamis, 27 Oktober 2022

Pukul : 08.00 WIB

Tempat : IBS RSUD Bendan Pekalongan


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Anestesi


1. Anestesi Umum
Anestesi umum atau biasa disebut bius total adalah prosedur
pembiusan yang membuat pasien menjadi tidak sadar selama operasi
berlangsung. Anestesi jenis ini sering digunakan untuk operasi besar,
seperti operasi jantung terbuka, operasi otak, atau transplantasi
organ.

Anestesi ini bisa diberikan melalui dua cara, yaitu melalui gas
untuk dihirup (inhalasi) dan obat yang disuntikkan ke dalam
pembuluh darah (intravena). Anestesi inhalasi adalah obat yang
berupa gas atau cairan mudah menguap, yang diberikan melalui
pernafasan pasien. Anestesi ini memiliki indeks yang sempit,
sehingga menghasilkan efek toksik pada beberapa organ, misalnya
jantung. TIVA (Total Intra Venous Anesthesia) adalah teknik
anestesi umum di mana induksi dan pemeliharaan anestesi
didapatkan dengan hanya menggunakan kombinasi obat-obatan
anestesi yang dimasukkan lewat jalur intra vena tanpa penggunaan
anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA dalam anestesi umum
digunakan untuk mencapai 4 (empat) komponen penting dalam
anestesi yaitu ketidak sadaran, analgesia, amnesia dan relaksasi otot.
Namun, tidak ada satupun obat tunggal yang dapat memenuhi
kriteria di atas, sehingga diperlukan pemberian kombinasi dari
beberapa obat untuk mencapai efek yang diinginkan tersebut (Iqbal,
dkk 2014).

Laryngeal mask airway adalah alat yang telah membuktikan


dirinya selama 30 tahun terakhir pada sekelompok besar pasien yang
menjalani prosedur diagnostik atau pembedahan intervensi.
Laryngeal mask airway (LMA) dan lebih umum perangkat
supraglottic airway atau secara luas didefinisikan sebagai
extraglottic airway devices (EADs) adalah perangkat jalan napas
yang aman dan efektif: dirancang dengan tujuan tertentu, digunakan
untuk menyediakan pertukaran gas yang memadai dan mencegah
obstruksi jalan napas selama operasi umum anestesi tanpa
menggunakan pipa endotrakeal. EADs berguna sebagai primer (jalan
napas pertama), sekunder (penyelamatan jalan napas yang sulit) dan
alat tersier (sebagai saluran untuk ruang lingkup) dalam manajemen
jalan napas (Cattano et.al,. 2019).

Laryngeal mask airway (LMA) diperkenalkan pada tahun 1988 di


Amerika Serikat. LMA diterima secara luas sebagai alternatif untuk
intubasi tracheal tube (TT) tradisional karena kemudahan penyisipan
dan kemungkinan risiko trauma yang lebih rendah pada trakea.
Namun, untuk prosedur bedah yang membutuhkan relaksasi otot,
ventilasi tekanan positif mekanis diperlukan untuk mengamankan
ventilasi jalan napas. Untuk mencapai PPV dengan LMA, tekanan
manset yang lebih tinggi dapat digunakan tetapi ini tidak
memberikan segel kedap udara dan menciptakan risiko regurgitasi
dan aspirasi paru. Obesitas, operasi laparoskopi, dan refluks
gastroesofageal mungkin merupakan kontraindikasi relatif untuk
penggunaan LMA (Schweiger et al,. 2020).

Perangkat saluran napas supraglottic generasi kedua telah


diperkenalkan yang memungkinkan tekanan positif yang lebih
tinggi, mengurangi risiko aspirasi, dan menurunkan risiko
komplikasi pernapasan. Secara terus menerus, keuntungan dan
kerugian dari LMA dan TT mengenai kejadian komplikasi jalan
nafas diperdebatkan dalam literatur. Sejauh ini, tidak ada konsensus
tentang keuntungan dari satu perangkat mengenai komplikasi pada
jaringan di sekitarnya langsung terkait dengan jenis teknik ventilasi
seperti batuk, sakit tenggorokan, laringospasme, disfagia, disfonia,
atau darah pada perangkat. Sebuah meta-analisis menyimpulkan
bahwa LMA terkait dengan risiko yang lebih rendah pada beberapa
komplikasi jalan napas pasca operasi bila dibandingkan dengan TT
tetapi pemilihan dan penanganan (alat) perangkat tidak
diperhitungkan.

Faktor risiko yang signifikan untuk komplikasi jalan napas pasca


operasi yang terkait dengan penggunaan LMA atau TT, seperti
ukuran perangkat yang tepat untuk ukuran pasien dan volume
manset, berpengaruh ketika menafsirkan temuan penelitian. Dengan
tinjauan sistematis ini, kami bertujuan untuk menyelidiki risiko
komplikasi jalan napas pada pasien dewasa setelah anestesi umum
membandingkan LMA dan TT dengan mempertimbangkan faktor
risiko seperti ukuran alat dan tekanan manset (van Esch et al,. 2017).

Anestesi umum dianggap cukup aman untuk sebagian besar


pasien. Namun, pada kelompok tertentu, seperti lansia, anak-anak,
atau pasien yang kondisinya sangat buruk, pemberian anestesi jenis
ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena dapat
menyebabkan komplikasi yang berbahaya. Pemilihan dan pemberian
anestesi akan disesuaikan dengan kondisi kesehatan pasien, prosedur
medis yang akan dijalani, dan lamanya prosedur yang akan
dilakukan.

2. Pertimbangan Anestesi
a. Definisi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan
rasa sakit ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini rasa takut perlu
ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi
pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
b. Jenis Anestesi
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa
nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat
pulih kembali (reversibel). Komponen trias anestesi yang ideal
terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot. Obat anestesi
yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat
anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak,
sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit,
dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu
mengetahui stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik
pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik
mungkin, pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika
ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan
yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang
dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat
anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak
menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran
pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat
dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik,
kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat
antara lain pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik
relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja
obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang
merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah
dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas.

c. Teknik Anestesi
Macam-macam teknik anestesi sebagai berikut:
1) Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk
anestesik yang menguap, peralatan sangat sederhana dan
tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang
diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang
dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat
anestetik menguap ke udara terbuka.
2) Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop,
hanya untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik
digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering
terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk
menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang
tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.
3) Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama
oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya kemudian
dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik
dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan
dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi
dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat
anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan
volume fresh gas flow kurang dari 100% kebutuhan.
4) Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed
hanya udara ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang
dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung
anestetik dapat digunakan lagi. Dalam memberikan obat-
obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka
perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi,
induksi, maintenance, dan lain-lain.

Pada tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik


yang dapat dilakukan adalah general anestesi dengan teknik
intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu
dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi
yaitu pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya
inhalasi dan intravena (Latief, 2007).
Teknik General Anestesi General anestesi menurut Mangku dan
Senapathi (2010), dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:
1) General Anestesi Intravena Teknik general anestesi yang
dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi
parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
2) General Anestesi Inhalasi Teknik general anestesi yang
dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat
anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang
mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung
ke udara inspirasi.
3) Anestesi Imbang Merupakan teknik anestesi dengan
mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat anestesi
intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi
teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk
mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang,
yaitu:
a) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat
hipnotikum atau obat anestesi umum yang lain.
b) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat
analgetik opiat atau obat general anestesi atau dengan
cara analgesia regional.
c) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat
pelumpuh otot atau general anestesi, atau dengan cara
analgesia regional.

d. Risiko
Dari beberapa metode atau teknik anestesi umum,
pemberian anestesi umum dengan teknik inhalasi, intravena
maupun imbang mempunyai risiko komplikasi pada pasien.
Kematian merupakan risiko komplikasi yang dapat terjadi pada
pasien pasca pemberian anestesi. Kematian yang disebabkan
anestesi umum terjadi < 1:100.000 kasus, selain kematian ada
komplikasi lain yaitu serangan jantung, infeksi paru, stroke,
trauma pada gigi atau lidah (Pramono, 2014).
Risiko komplikasi pada anestesi umum minimal apabila
kondisi pasien sedang optimal, namun sebaliknya jika pasien
mempunyai riwayat kebiasaan yang kurang baik misalnya
riwayat penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan, alergi pada
komponen obat, perokok, mempunyai riwayat penyakit jantung,
paru dan ginjal maka risiko komplikasi anestesi umum akan
lebih tinggi (Pramono, 2014).
Risiko komplikasi pada anestesi umum tersebut dapat
diminimalkan bahkan dicegah. Dokter anestesi dan perawat
anestesi berperan penting dalam meminimalkan risiko
komplikasi tersebut yaitu dengan cara mempersiapkan pasien
sebelum operasi dengan melakukan kunjungan pre anestesi
(Pramono, 2014). Saat kunjungan pre anestesi dokter anestesi
atau perawat anestesi melakukan pemeriksaan kondisi pasien
serta melakukan anamnesis (Mangku dan Senapathi, 2010).
Pemeriksaan yang dilakukan saat kunjungan pre anestesi
adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan khusus yang mendalam jika diperlukan, konsultasi
dengan dokter spesialis lain, penentuan status fisik berdasarkan
ASA serta anamnesis. Anamnesis tersebut meliputi identitas
pasien, anamnesis khusus terkait penyakit bedah, anamnesis
umum meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat pemakaian
obat, riwayat kebiasaan buruk seperti merokok (Mangku dan
Senapathi, 2010).
Menurut Kusmanda (2014), fenomena yang terjadi di lapangan pada
pasien merokok yang dilakukan tindakan anestesi umum inhalasi sering terjadi
hipersekresi mukus, penyebabnya adalah tidak berfungsinya reflek fisiologis
tubuh sehingga terjadi akumulasi pada saluran pernafasan yang mengakibatkan
obstruksi jalan nafas parsial maupun total lebih lanjut jika tidak ditangani
menyebabkan hipoksia. Pasien dengan riwayat merokok kemudian dilakukan
pembedahan dengan menggunakan agen inhalasi maka risiko obstruksi jalan
nafas lebih besar karena agen inhalasi dapat melemahkan reflek fisiologis tubuh
dalam membersihkan mukus (Soerasdi, Satriyanto & Susanto, 2010).
Menurut Stannard dan Krenzischeck (2012), merokok meningkatkan
risiko komplikasi pada paru-paru pasca operasi, infeksi luka dan penyembuhan
luka tertunda. Merokok juga meningkatkan risiko komplikasi intra anestesi pada
pernapasan dan jantung.

e. Persiapan Pra Anestesi


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin.
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan
tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah
1)Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2)Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
3)Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American American Society
Society Anesthesiology):
a) ASA I: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
b)ASA II: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai
akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
c) ASA III: Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
d)ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Angka mortalitas 68%.
e) ASA V: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil, tindakan operasi hampir tak ada
harapan. Angka mortalitas 98%.
f) ASA VI: Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan).
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu, dan anak.

f. Pemeriksaan Pra Operasi Anestesi


1)Anamnesis
a) Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dan lain-lain.
b)Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c) Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita seperti alergi, diabetes melitus,
penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.
d)Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik obat
anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik,
golongan aminoglikosid, dan lain lain.
e) Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
f) Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi seperti
merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik.
g)Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
h)Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
2)Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan psikis: gelisah, takut, kesakitan
b)Tingkat kesadaran Tingkat kesadaran menunjukkan kewaspadaan atau reaksi
seseorang dalam menghadapi rangsangan dari luar yang ditangkap oleh panca
indera. Penurunan tingkat kesadaran diukur dengan Glasgow coma scale (GCS).
Pemeriksaan kesadaran dibagi menjadi 2, yaitu:
i. Pemeriksaan Kualitatif
- Composmentis, yaitu kesadaran penuh (normal), GCS 15-14
- Apatis, kesadaran sedikit menurun, acuh tak acuh, GCS 13-12
- Delirium, mental dan motorik kacau, ada halusinasi dan bergerak sesuai dengan
kekacauan fikirannya, kadang berhayal, berteriak-teriak, memberontak, gelisah,
disorientasi (orang, tempat, waktu), GCS 11-10.
- Somnolen, keadaan mengantuk, dapat pulih jika dirangsang, dan mudah
dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menghindari rasa nyeri, GCS
9-7
- Sopor, keadaan mengantuk yang mendalam, pasien dapat dibangunkan jika
dirangsang dengan kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi, GCS 6-5
- Semi koma, tidak ada respon vverbal, refleks pupil baik. Gerakan timbul sebagai
respon terhadap rangsang nyeri. Pasien tidak dapat dibangunkan, GCS 4.
- Koma, sama sekali tidak terdapat respon membuka mata, berbicara, maupun
gerakan, GCS 3
ii. Pemeriksaan Kuantitatif
- Respon Membuka Mata

Skor Pemeriksaan
4 Spontan
3 Membuka mata dengan rangsang suara
(menyuruh pasien membuka mata)
2 Membuka mata dengan rangsang nyeri tekan
pada supraorbita/kuku jari
1 Dengan rangsang nyeri tidak membuka mata

- Respon Verbal
Skor Pemeriksaan
5 Baik, dapat menjawab dengan kalimat yang baik
dan tahu siapa ia, dimana ia berada, dan kapan
4 Dapat bicara dalam kalimat tetapi terdapat
disorientasi waktu dan tempat
3 Dapat mengucapkan kata-kata, tetapi tidak
berupa kalimat dan tidak tepat
2 Mengerang, tidak ada kata-kata
1 Mengerang, tidak ada kata-kata

- Respon Motorik

Skor Pemeriksaan
6 Gerakan spontan dan bertujuan, menuruti
perintah
5 Melokalisir rangsang nyeri
4 Menarik menghindari rangsang nyeri dengan
cara fleksi
3 Fleksi abnormal terhadap rangsang nyeri (postur
dekortikasi)
2 Ekstensi abnormal (postur deserebrasi)
1 Tidak terdapat respon motorik

c) Keadaan gizi; malnutrisi; obesitas


d)Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
e) Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.
f) Jalan nafas, diperiksa untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi,
adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan
dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati yang dinilai dari visualisasi
pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan
intubasi. Penilaiannya yaitu:
i. Mallampati I: palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk, tonsilla
palatina, dan tonsilla pharyngeal
ii. Mallampati II: palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior uvula
iii. Mallampati III: palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV: palatum durum saja
Patokan pemeriksaan pada B6:

i. Breath
Keadaan jalan napas, bentuk pipi dan dagu, mulut dan gigi, lidah dan tonsil.
ii. Blood
Tekanan nadi, pengisi nadi, tekanan darah, perfusi perifer. Nilai syok atau
perdarahan. Lakukan pemeriksaan jantung.
iii. Brain
GCS adakah kelumpuhan saraf atau kelainan neurologist. Tanda-tanda TIK.
iv. Bladder
Produksi urin, pemeriksaan faal ginjal
v. Bowel
Pembesaran hepar. Bising usus dan peristaltik usus. Cairan bebas dalam perut
atau massa abdominal.
vi. Bone
Kaku kuduk atau patah tulang. Periksa bentuk leher dan tubuh. Kelainan tulang
belakang.
g)Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
h)Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki, dan mengi
i) Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi
j) Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit untuk melihat di tempat pungsi vena atau daerah blok saraf
regional
g. Rumatan Anestesi
1)Premedikasi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Premedikasi
diberikan berdasar keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah
dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat
premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur
pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat
anestesi, riwayat hospitalisasi, riwayat penggunaan obat tertentu, perkiraan
lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.
a) Sulfat Atropin
Dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk
mengurangi efek bronkial dan kardial yang berasal dari perangsangan
parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikum maupun tindakan lain dalam
operasi. Disamping itu, efek lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ-
organ dan menurunkan spasme gastrointestinal. Setelah penggunaan obat ini
dalam dosis terapetik teradapat perasaan kering di rongga mulut dan penglihatan
kabur. Karena itu sebaiknya obat ini tidak digunakan untuk anestesi regional.
Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan suhu diatas normal dan
pada penderita penderita penyakit jantung. Atropin tersedia dalam bentuk
atropin sulfat dalam ampul 0.25 mg dan 0.5 mg. Diberikan secara suntikan
subkutis, intramuscular, atau intravena.
b)Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anaestheti. Indikasi
pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian jalan napas yang sulit,
prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien resiko tinggi, dan asma. Dosis
pemakaian ketamin untuk bolus 1-2 mg/kgBB dan pada pemberian IM 3-10
mg/kgBB.
c) Fentanyl
Fentanyl merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB,
termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan
remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah
digunakan untuk meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi
yang diberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan
larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana
meningkatnya kebutuhan opioid post operasi berhubungan dengan
perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang
lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan
baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek analgesi
perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek
depresi nafas fentanyl lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan
analgetik fentanyl diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak
bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol yaitu suatu
neuroleptik yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi
fentanyl menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin
disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di
antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi,
meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi akan sebagai pasca operasi.Obat ini
tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk
kombinasi tetap dengan droperidol. Fentanyl dan droperidol diberikan bersama-
sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan
nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disebut sebagai neurolepanestesia.
d)Midazolam
Untuk pengaruh sedasi yang cukup untuk pasien dengan dosis 2-3 mg
2)Induksi
a) Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25 gliserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi. Propofol
memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena lainnya, namun
pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah
anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah post
operasi karena propofol mengurangi mual dan muntah post operasi. Propofol
digunakan baik sebagai sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan
merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan.
Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada
pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak
kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam
keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele
neurologic. Pemberian propofol (2 mg/kgBB) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang
disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus
propofol yang berkesinambungan dengan opiate, N2O dan/atau anestetik
inhalasi lain. Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-6 menit dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60
menit.
Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada
thiopenthal pada tikus. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan
kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme
otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal. Efek
samping propofol pada sistem pernafasan adalah depresi pernafasan, apnea,
bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi,
aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan saraf pusat adanya sakit
kepala, pusing, euphoria, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat
terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).
3)Pelumpuh Otot Non-depolarisasi
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan
dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi,
hanya menghalangi asetil kolin yang menempatinya, sehingga asetilkolin tak
dapat bekerja.
4)Anestesi Inhalasi
a) N2O
Nitrogen oksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa berasa, dan lebih berat daripada udara. N 2O biasanya tersimpan dalam
bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan penguapan pada suhu kamar
50 atmosfir. N2O mempunyai efek analgesi yang baik, dengan inhalasi 20% N 2O
dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk
mendapatkan efek analgesi maksimum 35%. Gas ini sering digunakan pada
partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu kontraksi uterus sehingga rasa
sakit hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O 2 pada waktu
relaksasi untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan
secara intermiten untuk mendapatkan analgesi pada saat proses persalinan dan
persalinan dan pencabutan gigi. N2O digunakan secara umum untuk anestetik
umum dalam kombinasi dengan zat lain. Penggunaan biasanya dipakai
perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi
umumnya dipakai dalam kombinasi N2O: O2 adalah sebagai berikut 60%:40% ;
70%:30% atau 50%:50% 2.3.
b)Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara kimiawi
mirip dengan enfluran, tetapi secara farmakologi berbeda. Isofluran berbau tajam
sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap oleh penderita karena
penderita menahan nafas dan batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik
stadium induksi dapat dilalui dengan lancar dan sedikit eksitasi bila diberikan
bersama bersama N2O dan O2. Isofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk
intubasi.

Tendensi timbul aritmia amat kecil sebab isofluran tidak menyebabkan


sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin. Peningkatan frekuensi nadi dan
takikardia dihilangkan dengan pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil
narkotik (8-10 mg morfin atau 0,1 mg fentanyl), sesudah hipoksia atau
hipertemia diatasi terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi dengan
mengatur dosis. Pada anestesi yang dalam dengan isofluran tidak terjadi
perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan
aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1 MAC (Minimal Alveolar
Concentration) dan meningkatkan tekanan intrakranial.
c) Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling disukai
untuk induksi inhalasi. Sevofluran merupakan halogenasi eter. Induksi dari
anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Bau dari sevofluran tidak
menyengat dan tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi
anestesi inhalasi. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan
belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan
sevofluran cepat dikeluarkan oleh tubuh. Walaupun dapat dirusak oleh kapur
soda (soda lime, baraline), tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap
tubuh manusia.

h. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk:
1). Memenuhi kebutuhan cairan elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
2). Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi:
a) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada
ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar, dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk
dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml/kgBB/jam. Setiap kenaikan suhu 10 derajat
celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15%.
b)Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi:
Ringan = 4 ml/kgBB/jam
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10%
EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih
dari 10% maka dapat dipertimbangkan pemberian pemberian
plasma/koloid/dekstran.
c) Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
i. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca anestesi. Ruang pulih sadar merupakan
batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara
Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien
anak-anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya termasuk untuk orang
dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage

B. SOL (SPACE OCCUPYING LESION)


1. Pengertian
Space Occupying Lesion (SOL) (lesi desak ruang intrakranial)
merupakan neoplasma bisa berupa jinak atau ganas dan primer atau
sekunder, serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak
yang menempati ruang di dalam otak menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial. Space Occupying Lesion (SOL) meliputi tumor,
hematoma, dan abses (Ejaz Butt, 2005).
SOL merupakan generalisasi masalah yang mengenai otak serta
adanya lesi pada ruang intracranial. Kuntusio serebri, hematoma, infark,
abses otak dan tumor intrakranial merupakan beberapa penyebab yang
bisa menimbulkan lesi pada otak. ( Long, C 2000 )
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder,
serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan menempati ruang di
dalam otak. Space occupying lesion intrakranial meliputi tumor,
hematoma, dan abses (Simamora&janariah, 2017).
2. Klasifikasi
a. Tumor Otak
Tumor otak atau tumor intrakranial merupakan neoplasma atau proses
desak ruang (space occupying lesion) yang timbul di dalam rongga
tengkorak baik di dalam kompartemen supertentorial maupun
infratentorial.
Kategori-kategori tumor menurut Arthur (2012) :
1) Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas, hanya
mendesak organ-organ disekitar dan tidak infiltratif. Setalah dilakukan
pengangkatan total ditemukan adanya pembentukan kapsul serta tidak
adanya metastasis maupun rekurensi. Secara histologis, menunjukkan
struktur sel yang reguler, densitas sel yang rendah dengan diferensi
struktur yang jelas parenkhim, stroma yang tersusun teratur tanpa
adanya formasi baru dan pertumbuhan tanpa mitosis.
2) Maligna (ganas)
Tumbuh cepat serta cenderung membentuk metastasis, tampilan
mikroskopis yang infiltratif atau tanpa batas yang jelas dan rekurensi
pasca pengangkatan total.
Kategori tumor berdasarkan letaknya :
1) Astrositoma
Astrositoma adalah kelompok tumor sistem saraf pusat primer yang
tersering. Astrositoma adalah lesi berbatas tegas tumbuh lambat yang
merupakan sekelompok neoplasma heterogen seperti astrositoma
pilositik hingga neoplasma infiltratif yang sangat ganas seperti
glioblastoma multiforme.
2) Oligodendroglioma
Oligodendroglioma biasanya terbentuk dalam hemisferium serebri dan
paling sering ditemukan pada masa dewasa. Hilangnya heterozigositas
di lengan panjang kromosom 19 dan lengan pendek kromosom 1
merupakan kelainan yang sering terjadi pada oligodendroglioma.
Oligodendroglioma secara makroskopis biasanya galantinosa dan
lunak. Sedangkan secara mikroskopis oligodendroglioma dibedakan
dengan adanya sel infiltratif dengan bulat seragam. Dibandingkan
dengan astositoma infiltratif tumor ini memiliki batas yang lebih tegas.
3) Ependimoma
Ependioma bisa terjadi pada semua usia. Ependinoma sering ditemui di
daerah sentralis di korda spinalis atau dalam salah satu rongga
ventrikel. Pada dua dekade pertama kehidupan yang sering terjadi yaitu
ependimoma intrakranial sedangkan lesi intraspinal terutama pada
orang dewasa. Ventrikel keempat merupakan tempat yang sering timbul
ependioma intrakranial dan mungkin menyumbat CSS yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan hidrosefalus.
4) Glioblastoma
Glioblastoma merupakan neoplasma yang infiltratif secara difuse yang
timbul dengan masa yang berbatas tegas. Pada daerah nekrosis dengan
konsistensi seperti krim kekuningan yang ditandai dengan suatu daerah
bekas perdarahan berwarna cokelat dan potongan tumor dapat berupa
masa yang lunak berwarna keabuan atau kemerahan.
5) Meduloblastoma
Meduloblastoma tumbuh sangat cepat yang merupakan neoplasma yang
invasif dan sering ditemukan pada anak. Lokasi tersering
meduloblastoma pada anak adalah di infratentorial yaitu di bagian atap
ventrikel ke empat dan posterior vermis serebeli.
6) Tumor Pleksus Khoroid
Bentuk dari mikroskopis tumor pleksus khoroid mirip dengan kembang
kol yang berupa massa dengan konsistensi lunak, vaskuler, ireguler.
Tumor ini cenderung berekstensi melalui foramen-foramen ke dalam
ventrikel lain yang berdekatan atau ke dalam rongga subarakhnoid dan
berbentuk sesuai dengan kontur ventrikel yang ditempatinya.
b. Hematom Intrakranial
1) Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala bisa merobek pembuluh darah, terutama arteri
meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam os
temporale. Hematome epidural disebabkan oleh perdarahan. Hematome
bisa bertambah besar karena desakan dari hematom akan melepaskan
durameter lebih lanjut dari tulang kepala. (R. Sjamsuhidajat, 2004).
2) Hematom Subdural
Trauma otak menyebabkan hematom subdural yang mengakibatkan
robeknya vena di dalam ruang araknoid. Robeknya vena memerlukan
waktu yang lama menyebabkan pembesaran hematome. Dibandingkan
dengan hematome epidural prognosis hematome subdural lebih jelek
karena sering disertai cedera otak berat lain. (R. Sjamsuhidajat, 2004).
3) Higroma Subdural
Hematome subdural lama dan disertai pengumpulan cairan
serebrospinal di dalam ruang subdural merupakan faktor penyebab
higroma subdural. Kelainan ini terjadi karena robekan selaput 18
arakhnoid yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang
subdural dan jarang ditemui. Kenaikan tekanan intrakranial dan sering
tanpa tanda fokal merupakan gambaran klinis dari higro subdural (R.
Sjamsuhidajat, 2004).
3. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi Otak
Otak terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang saling berhubungan
yang bertanggungjawab atas fungsi mental dan intelektual kita. Neuron
merupakan sel sel yang terdapat di otak. Otak adalah organ mudah
beradaptasi meskipun neuron neuron di otak mati tidak mengalami
regenerasi kemampuan adaptif atau plastisitas. (Price, 2006). Sistem
saraf secara garis beras dibagi menjadi 2 yaitu sistem saraf pusat (SSP)
dan sistem saraf tepi (SST). Otak dan medulla spinalis membentuk
sistem saraf pusat (SSP). Sistem saraf tepi (SST) merupakan sistem
saraf yang berada disisi luar SSP (Price, 2006). Komponen dari otak
adalah : a) Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar. Cerebrum terdiri dari
sepasang hemisfer kanan dan kiri serta tersusun dari korteks yang
ditandai dengan sulkus (celah) dan girus. Cerebrum terdiri dari
beberapa lobus yaitu (Price, 2006) :
1) Lobus Frontalis
Fungsi lobus frontalis yaitu sebagai pusat intelektual seperti
kemampuan dalam berpikir dan nalar, bicara serta emosi. Pada lobus
frontalis terdapat daerah broca yang bisa mengatur ekspresi dalam
berbicara, lobus frontalis juga bisa mengatur perilaku sosial, berbicara,
gerakan sadar, motivasi dan inisiatif.
2) Lobus Temporalis
Cakupan dari lobus temporalis adalah bagian korteks serebrum yang
berjalan ke bawah dari fisura lateral dan sebelah posterior dari fisura
parieto-oksipitalis. Fungsi dari lobus ini yaitu mengatur verbal, visual,
daya ingat, pendengaran dan berperan dalam perkembangan dan
pembentukan emosi.
3) Lobus Parietalis
Lobus parietalis berada di gyrus postsentralis atau area sensorik primer
yang merupakan daerah pusat untuk kesadaran sensorik berfungsi untuk
rasa dalam perabaan dan pendengaran.
4) Lobus Oksipitalis
Lobus oksipitalis berfungsi untuk area asosiasi dan pusat penglihatan :
nervus optikus menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan
serta mengasosiasikan rangsangan ini dengan informasi yang di
dapatkan dari saraf lain dan memori.
5) Lobus Limbik
Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memoriemosi
dan bersama hipothalamus melakukan pengendalian atas susunan
endokrin dan susun

an
autonom yang dapat menimbulkan perubahan.

b) Cerebellum
Secara keseluruhan cerebellum merupakan struktur kompleks yang
mengandung lebih banyak neuron. Cerebellum memiliki peran yaitu
sebagai koordinasi dalam fungsi motorik didasarkan pada informasi
somato sensori yang diterima inputnya 40 kali lebih banyak
dibandingkan output (Price, 2006).
Cerebellum merupakan pusat koordinasi sebagai keseimbangan dan
tonus otot yang secara optimal melakukan kontraksi otot-otot volunter.
Cerebellum memiliki bagian-bagian yaitu lobus anterior, lobus
medialisdan dan lobus fluccolonodularis (Price, 2006).

c) Brainstem
Brainstem merupakan batang otak yang berfungsi dalam mengatur
seluruh proses kehidupan yang mendasar. Di atas brainstem terdapat
diensefalon dan medulla spinalis dibawahnya. Jaras asenden dan
desenden, traktus longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-
bagian otak, anyaman sel saraf dan 12 pasang saraf cranial merupakan
struktur-struktur fungsional penting yang terdapat di batang otak.
Brainstem terdiri dari tiga segmen, yaitu medulla oblongata, pons dan
mesensefalon (Price, 2006).
d) Anatomi Peredaran Darah Otak
Darah mengangkut makanan, zat asam, dan substansi lainnya yang
dibutuhkan untuk fungsi jaringan hidup yang baik. Karena kebutuhan
otak sangat mendesak dan vital mengharuskan aliran darah terus
konstan. Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan pembuluh-
pembuluh darah yang bercabang-cabang, berhubungan erat satu dengan
yang lain sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel
(Brunner dan Suddarth, 2002).
b. Histologi Susunan Saraf Pusat
Bila dibuat penampang melintang bagian-bagian dari susunan saraf
pusat, akan terlihat adanya jaringan dengan warna berbeda. Sebagian
tampak berwarna putih dan sebagian lagi berwarna agak gelap (kelabu).
Atas dasar itu, susunan saraf pusat dibagi menjadi substansia grisea
yang berwarna kelabu dan substansia alba yang berwarna putih. Warna
kelabu ini disebabkan oleh banyaknya badan sel saraf di bagian
tersebut, sedangkan warna putih ditimbulkan oleh banyaknya serabut
saraf yang bermielin, sel saraf yang terdapat dalam susunan saraf pusat
juga dapat dibagi menjadi sel saraf dan sel penunjang (Satyanegara,
2010).
Sel penunjang merupakan sel jaringan ikat yang tidak berfungsi
untuk menyalurkan impuls. Pada sel saraf serabut dengan diameter
besar ditandai dengan nama serabut alpha atau A, beta atau B untuk
yang lebih kecil dan gamma untuk yang lebih kecil lagi pada ujung-
ujung saraf yang membentuk sinaps, ternyata terdapat gelembung yang
menghasilkan macam-macam zat kimia. Karena demikian banyaknya
sinaps yang terdapat di otak, secara keseluruhan otak dapat dianggap
sebagai sebuah kelenjar yang sangat besar (Satyanegara, 2010).

4. Etiologi
Space-occupying lesion (SOL) intrakranial mempunyai beberapa
etiologi, dimana semuanya menimbulkan ekspansi dari volume dari
cairan intrakranial yang kemudian menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial. Pembengkakan pada ot ak dapat dibagi dua yaitu diffuse
dan fokal (Khoirinnisa, 2010)
Pembengkakan diffuse sering terjadi akibat peningkatan umum cairan di
otak diakibatkan oleh vasodilatasi atau edema. Gangguan sistem
vasomotor dapat menyebabkan vasodilatasi yang kemudian
meningkatan aliran darah di serebrum.Hal ini terjadi sebagai respons
terhadap hypercapnia dan hipoksia, dan juga terjadi akibat head
injury.Selain itu, edema dapat terjadi dari tiga mekanisme
yaitu vasogenik, sitotoksik dan interstisial.Pada edema vasogenik terjadi
peningkatan permeabilitas pembuluh darah serebral akibat disfungsi
sawar otak.Pada edema sitotoksik terjadi jejas terhadap sel endotel, sel
glia dan neuron pada otak.Pada edema interstisial terjadi kerusakan
pada ventrikel-ventrikel otak, sering ditemukan pada kasus hidrosefalus
(Utina, 2013).Fokal dapat terjadi akibat abses serebral, hematoma, atau
neoplasma.Lesi menyebar ekstrinsik seperti hematoma subdural dan
Meningioma juga meningkatkan tekanan pada kavitas otak dan disebut
sebagai space-occupying lesion (Utina, 2013).
Pada neoplasma dapat ditemukan faktor-faktor resiko berikut
Utina, 2013): 1.Riwayat trauma kepala
2.Faktor genetic
3.Paparan zat kimia yang bersifat karsinogenik
4.Virus tertentu
5.Defisiensi imunologi
6.Kongenital

5. Patofisiologi
Ada tiga komponen di dalam kranium yaitu otak, cairan
serebrospinal (CSS) dan darah. Foramen magnum adalah sebuah lubang
keluar utama pada kranium yang memiliki tentorium pemisah anatara
hemisfer serebral dari serebellum. Isi intrakranial yang normal akan
menggeser sebagai konsekuensi dari space occupying lesion (SOL) jika
terdapat massa yang di dalam kranium seperti neoplasma. (Price, 2005).
Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan dalam rongga kranialis. Otak, darah dan cairan serebrospinal
menempati ruang pada intrakranial. Pada ruang intrakranial terdapat
unsur yang terisi penuh dan tidak dapat di tekan yaitu otak (1400 g),
cairan ( sekitar 75 ml) dan darah (sekitar 75 ml). Desakan ruang dan
kenaikan tekanan intrakranial di sebabkan oleh peningkatan volume
pada salah satu dari ketiga unsur utama. (Price, 2005).
Tekanan normal intrakranial berkisar 10-15 mmHg yang akan di
pertahankan konstan pada keadaan fiologis. Peninggian tekanan
intrakranial yang parah apabila tekanannya melebihi 40 mmHg. Trauma
pada kepala akan mengakibatkan cedera pada otak sehingga terjadi
peningkatan tekanan intrakranial. Terjadinya tingkatan darah arteri
untuk sesaat di sebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial secara
mendadak karena aneurisma intrakranial yang pecah. Sehingga bisa
menyebabkan peningkatan pada kadar laktat cairan serebrospinal dan
hal ini mengindikasikan terjadinya suatu iskhemia serebri. Pergeseran
CSS dan 20 darah secara perlahan diakibatkan oleh tumor yang
semakin membesar. (Satyanegara, 2010)

6. Manifestasi Klinis
Menurut Brunner dan Suddarth (2000) tanda dan gejala dari post op
craniotomy adalah :
a. Menglami pusing, nyeri kepala hebat bahkan bisa terjadi penurunan
kesadaran
b. Bisa menimbulkan gejala deserebrasi dan gangguan pada tanda vital dan
pernafasan jika hematomanya semakin meluas 26
c. Muntah, pusing dan terjadi peningkatan tanda-tanda vital jika setelah
pembedahan terjadi peningkatan TIK

7. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik pada SOL menurut Arif Muttaqin, 2008 :

a. Elektroensefalogram (EEG)
Elektroensefalogram (EEG) merekam aktivitas umum elektrik di otak,
dengan cara meletakkan elektroda pada area kulit kepala atau dengan
menempatkan mikroelektroda dalam jaringan otak. Pemeriksaan ini
memberikan pengkajian fisiologis aktivasi serebral.
b. Ekoensefalogram
Pergeseran kandungan intra kranial bisa diketahui dari pemeriksaan
ekoensefalogram.
c. Foto rontgen polos
Foto rontgen polos tengkorak dan medulla spinalis sering digunakan
dalam penatalaksanaan trauma akut seperti untuk mengidentifikasi
abnormalitas tulang, adanya fraktur dan dislokasi. Selain itu, foto
rontgen polos mungkin menjadi diagnostik bila kelenjar pineal yang
mengalami penyimpangan letak terlihat pada hasil foto rontgen, yang
merupakan petunjuk dini tentang adanya space occupying lesion (SOL).
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) menggunakan medan magnetik
untuk mendapatkan gambaran daerah yang berbeda pada tubuh. Foto
magnetik (nucleus hidrogen) di dalam tubuh seperti magnet-magnet
kecil di dalam medan magnet. Setelah pemberian getaran
radiofrekuensi, foto memancarkan sinyal-sinyal, yang diubah menjadi
bayangan.
e. Computerized Tomografi (CT Scan)
Penderita yang dicurigai space occupying lesion (SOL) bisa
menggunakan alat diagnostik CT Scan sebagai evaluasi pasien. Pada
basis kranil sensitifitas CT Scan bisa untuk mendeteksi lesi yang
berpenampang kurang dari 1 cm. Lesi abnormal yang berupa massa
mendorong struktuk otak disekitarnya merupakan gambaran CT Scan
pada space occupying lesion (SOL). Densitas yang lebih rendah
biasanya menyebabkan SOL seperti dikelilingi jaringan udem yang
terlihat jelas. Sifatnya yang hiperdens memudahkan dalam
membedakan perdarahan atau invasi dengan jaringan sekitarnya karena
adanya klasifikasi. Jika pada waktu pemeriksaan CT Scan disertai
pemberian zat kontras, beberapa jenis SOL akan terlihat lebih nyata.
Penilaian space occupying lesion (SOL) pada CT Scan :
Proses desak ditandai dengan :
1) Garis tengah otak terdapat pendorongan struktur
2) Pada ventrikel terjadi penekanan dan perubahan bentuk
f. Angiografi serebral
Angiografi serebral adalah proses pemeriksaan dengan menggunakan
sinar-x terhadap sirkulasi serebral setelah zat kontras disuntikkan ke
dalam arteri yang dipilih. Angiografi serebral merupakan pilihan
terakhir jika dengan pemeriksaan CT scan dan MRI, diagnosis masih
belum bisa ditegakkan.
g. Sidik otak radioaktif Dari zat radioaktif terlihat daerah-daerah akumulasi
abnormal. Akumulasi zat radioaktif disebabkan oleh adanya space
occupying lesion (SOL) karena terjadi kerusakan sawar darah pada
otak.

8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Menurut Hudak & Gallo (2000):
1) Perawatan untuk ventilasi
a) Mode Control atau SIM V dengan RR yang dibutuhkan untuk memberi
dukungan secara penuh.
Tujuan : PO2 > 80 mmHg (lebih baik lagi >1 00) PCO2 < 35
mmHg b) Hiperventilasi (PCO2 < 35)
(1) Akute: terjadi penurunan pada aliran darah serebral dan tekanan darah
intracranial
(2) 4 – 8 jam: ditoleransi
(3) > 8 jam: “berulang” meningkatnya tekanan intrakranial jika PCO2
meningkat.
(4) Kronik: terjadi penurunan aliran darah serebral
c) PEEP: Kadar rendah dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Gunakan 10 cm H2O jika :
(1) Paru-paru kolaps
(2) FIO2 50%
(3) Jika tidak dilakukan monitoring tekanan intrakranial hindari
penggunaan PEEP > 0 cm H2O
d) Sebelum dilakukan suction naikkan pemberian sedatif atau lognocain
30 2) Penatalaksanaan untuk sirkulasi :
a) Tekanan darah harus dipertahankan dalam batas normal b) Jika tidak
terjadi SIADH harus pertahankan normovolemik (jangan batasi cairan)
c) Pada terapi cairan hindari pemberian dextrose
d) Pada tekanan darah harus di kontrol
(1) Tekanan Perfusi Serebral (CPP) = CPP = MAP – ICP Hasil yang
diharapkan CPP > 60 Lebih baik lagi jika CPP > 70 Pertahan MAP 90
mmHg jika tekanan intrakranial pasien tidak diketahui.
e) Normal tekanan intrakranial jika CPP < 60 atau tekanan intrakranial
tidak diketahui jika PAP < 90, maka:
(1) Gunakan koloid untuk mengguyur cairan
(2) Nilai CVP harus adekuat
f) Cairan NaCL hipertonik berguna jika pasien terjadi hipovolemik namun
tekanan intrakranial > 25.
3) Lakukan pemberian manitol untuk mengurangi edema serebral yang bisa
menarik air bebas dari area otak dan meningkatkan osmolalitas serum.
Melalui diuresis osmotik cairan ini akan dieksresikan. Berikan
deksametason melalui intravena setiap 6 jam selama 24-72 jam, setelah
itu secara bertahap dosis dikurangi.
4) Untuk mengurangi nyeri biasanya asetaminofen diberikan jika suhu
diatas 37,50 C dan kodein yang diberikan lewat parental karena setalah
dilakukan craniotomy pasien sering kali mengalami sakit kepala.
5) Memantau TIK. Pada pasien yang dilakukan pembedahan untuk tumor
fossa posterior sering di pasang kateter ventrikel atau tipe drainase
lainnya. Selain itu untuk mengontrol hipertensi intrakranial juga
dilakukan pirau ventrikel sebelum prosedur bedah.
9. Komplikasi
Menurut Harsono (2011) komplikasi SOL :
a. Gangguan fisik neurologis
b. Gangguan kognitif
c. Gangguan mood dan tidur
d. Disfungsi seksual
e. Herniasi otak (sering fatal)
Herniasi otak adalah keadaan dimana terjadi pergeseran pada otak yang
normal melalui atau antar wilayah ketempat lain karena efek massa.
Herniasi otak ini merupakan komplikasi dari efek massa dari tumor,
trauma atau infeksi.
f. Herniasi unkal
g. Herniasi Foramen Magnum 24
h. Kerusakan neurologis permanen, progresif, dan amat besar
i. Kehilangan kemampuan untuk berinteraksi atau berfungsi
C. CRANIOTOMY
1. Pengertian
Craniotomy merupakan tindakan pembedahan yang membuka
tengkorak (tempurung kepala) bertujuan untuk mengetahui dan
memperbaiki kerusakan pada otak. Pembedahan intrakranial ini biasa
disebut dengan craniotomy merupakan tindakan untuk mengatasi
masalah-masalah pada intrakranial seperti hematoma atau perdarahan
otak, pembenahan letak anatomi intrakranial, pengambilan sel atau
jaringan intrakranial yang dapat terganggunya fungsi neorologik dan
fisiologis manusia, mengobati hidrosefalus dan mengatasi peningkatan
tekanan intrakranial yang tidak terkontrol. ( Widagdo, W., 2008).
2. Tujuan
Tujuan dari kraniotomi menurut Satyanegara (2010)
adalah untuk :

a. Mengambil tumor otak, biopsi, dan mengontrol


perdarahan
b. Membuat drain pada abses
c. Mengambil jendalan darah atau hematoma
d. Memperbaiki kebocoran pembuluh darah seperti aneurisme
e. Memperbaiki pembuluh darah abnormal seperti pada malformasi
arteriovena f. Memperbaiki fraktur tengkorak akibat injuri
g. Memperbaiki tekanan otak
3. Indikasi
Indikasi tindakan pembedahan intrkranial atau craniotomy menurut
Satyanegara (2010) adalah sebagai berikut :
a. Pengangkatan pada jaringan yang abnormal tumor atau
kanker
b. Pada pasien yang menglami bekuan darah
c. Pasien yang membutuhkan pembenahan organ-organ
intracranial
d. Terdapat tumor pada otak
e. Terdapat hemorrage (perdarahan) pada otak
f. Pada pembuluh darah (cerebral aneurysms) terjadi
kelemahan
g. Terdapat peradangan pada otak
h. Pada tengkorak terjadi trauma
4. Manifestasi Klinis
Menurut Brunner dan Suddarth (2000) tanda dan gejala dari post op
craniotomy adalah :
a. Menglami pusing, nyeri kepala hebat bahkan bisa terjadi penurunan
kesadaran
b. Bisa menimbulkan gejala deserebrasi dan gangguan pada tanda vital
dan pernafasan jika hematomanya semakin meluas
c. Muntah, pusing dan terjadi peningkatan tanda-tanda vital jika setelah
pembedahan terjadi peningkatan TIK
5. Patofisiologi
SOL merupakan adanya lesi pada ruang intracranial khususnya yang
mengenai otak. Salah satu penatalaksanaan yang dilakukan yaitu
pembedahan seperti craniotomy. Setelah dilakukan pembedahan
terdapat perlukaan pada kulit kepala yang bisa menyebabkan resiko
infeksi karena masuknya mikroorganisme. Terputusnya jaringan
kontinuitas jaringan akibat proses pembedahan bisa merangsapng
reseptor nyeri sehingga bisa menyebabkan kelemahan fisik dan pasien
akan mengalami intoleransi aktifitas. Terjadinya edema pada otak
karena dari proses inflamasi bisa menyebabkan gangguan pada perfusi
jaringan serebral. Akibat proses pembedahan juga bisa menyebabkan
resiko tinggi kekurangan cairan dan nutrisi karena efek dari anestesi
selama proses pembedahan. Prosedur anestesi dan penggunaan ETT
pada proses pembedahan akan menimbulkan iritasi pada saluran
pernafasan yang akan memungkinkan terjadinya jalan nafas tidak efektif
(Price, 2005)
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
Hari/Tanggal : kamis 27 Oktober 2022
Jam : 08.00WIB
Tempat : IBS RSUD BENDAN
Metode : Wawancara, Observari, Pengkajian Fisik, dan Studi
Dokumentasi
Sumber Data : Pasien dan Keluarga
Oleh : Salwa Azzahra
Rencana Tindakan : Craniotomy
1. Identitas Pasien
a. Nama : Ny.N
b. Umur : 56thn
c. Jenis Kelamin :perempuan
d. Agama :islam
e. Suku Bangsa :Jawa
f. Alamat :warungasem
g. No. RM :22-10-xxxx
h. Dx. Pre Operasi : SOL
i. Tindakan Operasi :Craniotomy
j. Tanggal Operasi :27 Oktober 2022
k. Dokter Bedah :dr.Bair Ginting,Sp.BS
l. Dokter Anestesi : dr. Windy K Sp.An
2. Identitas Penanggung Jawab
a. Nama :Tn.S
b. Umur :40
c. Pekerjaan :-
d. Hubungan :-
3. Anamnesa
a. Keluhan utama
Ny. T mengeluh sering nyeri kepala disertai dengan nyeri seperti
ditusuk tusuk, skala nyeri 6, nyeri dirasa hilang timbul.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluhkan sering nyeri kepala, nyeri seperti ditusuk-tusuk,
skala nyeri 6, nyeri dirasa hilang timbul, mual dan berat badan
menurun. Pasien datang ke RSUD Bendan
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengatakan belum pernah operasi, pasien mengatakan tidak
pernah mengalami gejala seperti ini, pasien mengatakan tidak memiliki
riwayat alergi.
d. Riwayat penyakit keluarga
Pasien mengatakan tidak memiliki penyakit
keturunan
4. Status Gizi

Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 157 cm
5. Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran Umum danTanda-Tanda Vital:
- BB : 55 kg
- TB : 157 cm
- Kesadaran : Composmentis
- GCS : 15 (E4V5M6)
- TD : 142/82 mmHg
- Nadi : 98 x/menit
- RR : 18 x/menit
- Sp O2 : 100%
- Suhu : 36,5℃
b. Status Generalis
1) Kepala
Inspeksi : Bentuk mesocepal, tidak ada edema, tampak bersih
Palpasi : nyeri 6
2) Mata
Mata mendekati simetris, conjungktiva tidak anemis, pupil simetris dan
isokor (normal)
3) Hidung
Tidak ada kotoran, tidak ada pembesaran polip, tidak ada pernafasan
cuping hidung (normal)
4) Mulut
Bentuk mendekati simetris, mukosa tampak kering, gigi utuh dan bersih,
tidak ada pembengkakan pada gusi, skor mallampati 1 (normal)
5) Telinga
Tidak ada kotoran, simeteris (normal)
6) Leher
Bentuk leher simetris, tidak ada tonjolan pada limfe, tidak ada nyeri
tekan (normal)
7) Thoraks
a) Pulmo
Inspeksi : irama napas teratur, tidak terdapat retraksi dinding
dada
Palpasi : taktil fremitus raba kanan dan kiri sama
Perkusi : sonor, tidak ada mur-mur
Auskultasi : suara nafas vesikuler, tidak terdengar suara
tambahan wheezing, ronchi, maupun cracles
b) Jantung
Inspeksi : tampak ada pulsasi
Palpasi : ictus cordis kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, regular, tidak ada
suara mur-mur
6. Genetalia
Terpasan DC
7. Ekstremitas
a. Atas : kemampuan pergerakan sendi bebas, kekuatan otot
normal, tidak ada edema, terpasang infus RL 20 tpm di
manus dekstra
b. Bawah : kemampuan pergerakan sendi bebas, kekuatan otot
normal, tidak ada edema
8. Pemeriksaan Psikologis
Pasien mengatakan takut dan cemas saat tahu bahwa ia akan menjalani operasi
karena belum pernah operasi
9. Pemeriksaan CT scan

10. Pemeliharaan Cairan

• Kebutuhan cairan basal (M) = 2 x kgBB


= 2 cc x 55 kg
= 110 cc
• Pengganti puasa (PP) = 2cc x jam puasa x bb
= 2 cc x 6 jam x 55 kg
= 660 cc

• Stress Operasi = Jenis operasi (b/s/k) x BB


= 4 cc x 55 kg
= 220 cc

• Kebutuhan Cairan
- Jam I = M + ½ PP + SO
= 110 cc + 330 cc + 220 cc
= 660 cc

- Jam II = M + ¼ PP + SO
= 110 cc + 115 cc + 220 cc
= 445 cc

- Jam III = M + ¼ PP + SO
= 110 cc + 115 cc + 220 cc
= 445 cc

- Jam IV = M + SO
= 110 cc + 220 cc
= 330 cc
11. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium

HEMATOLOGI

Eritrosit (RBC) 4.00 juta/uL L: 4.5 ~ 6.5

Hemoglobin (HBG) 11,5 g/dL L: 13.5 ~ 17.5

Hematokrit (HCT) 33.9 % L: 40 ~ 52

Trombosit (PLT) 94 /uL 150000 ~ 450000

Lekosit (WBC) 4,61 /uL 4400 ~ 11300

HEMOSTASIS

Masa Pembekuan/CT 10 menit 9 ~ 17

Masa Pendarahan/BT 5 menit 1~7

KIMIA KLINIK

AST (SGOT) 26 U/L 37 oC 17 ~ 59

ALT (SGPT) 28 U/L 37 oC 21 ~72

Ureum 28.0 mg/dL 15 ~ 50


b. Klasifikasi ASA

Ny. N didiagnosa mengalami Space Occupying Lesion (SOL) dan


direncanakan akan dilakukan tindakann Craniotomy dengan ASA III E

12. Diagnosa Anestesi


Ny. N didiagnosa mengalami Space Occupying Lesion (SOL)
dan direncanakan akan dilakukan tindakann Craniotomy dengan
ASA III E dengan general anestesi teknik intubasi ETT.
B. Persiapan Penatalaksanaan Anestesi
1. Persiapan Pasien
a. Informed consent, kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui general
Anestesi
b. Pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan leher pendek
atau penyulit lainnya
c. Pemeriksaan laboratorium anjuran, hemoglobin, hematokrit, PT (Prothrombine
Time), PTT (Partial Thromboplastine Time)
d. Memeriksa kelengkapan status pasien.
e. Mengklarifikasi lama puasa pasien.
f. Memeriksa kelancaran infus pasien.
g. Meposisikan pasien di meja operasi.
h. Mengukur tanda-tanda vital pasien (tekanan darah, nadi, saturasi)
i. Mengklarifikasi riwayat penyakit (asma, DM, Hipertensi), alergi, konsumsi obat.
2. Persiapan Alat dan Bahan
b) Persiapan alat:
• S (Scope) : Stesoscope, laringoscope machintosh (blade no.
3; 4)
• T (Tube) : ETT non kingking no.6,5; 7
• A (Aiway) : Gudel no. 3
• T (Tape) : Plester ± 15 cm 2 lembar, 5x3 1 lembar
• I (Introducer) : Stylet
• C (Conector) : Terpasang
• S (Suction) : Tersedia
• Spuit 3 cc, 5 cc dan 10 cc
• Handscoon bersih
• Sungkup muka/face mask no 3

2. Persiapan Obat
a. Obat premedikasi : Midazolam, Fentanyl
b. Obat induksi : Propofol
c. Obat pelumpuh otot : Atracurium (Tramus)
d. Obat analgetik : Tramadol, Ketorolac, Dexketoprofen
e. Obat 5HT–antagonis : Ondansentron
f. Obat anti perdarahan : Asam Tranexamat, Phytomenadione
g. Obat emergency : Epinefrin, Dexamethasone, Atropine, Ephedrine,
Pethidine, Neostigmin
h. Cairan infuse
• Kristaloid : RL, NaCl
• Koloid : Gelafusal
• Manitol
• Darah

3. Persiapan pasien
1) Mengecek kelengkapan status klien
2) Klien telah puasa sejak pukul 03.00 WIB
3) Menanyakan keluhan pasien saat di ruang penerimaan IBS,
dari pasien mengatakan takut dan cemas menjalani operasi.
4) Klien sudah terpasang infus line RL 20 tpm pada kaki kanan dan
kaki kiri, infus lancar
5) Klien telah memakai baju, topi operasi, dan masker
6) Memposisikan klien

C. Pengkajian Intra Anestesi

a. Posisi anestesi : Supinasi


b. Anestesi mulai : Pukul 09.00 WIB
c. Anestesi selesai : Pukul 13.30 WIB
d. Operasi mulai : 09.10 WIB
e. Operasi Selesai : 13.20 WIB
f. Gas: O2 = 3 lpm sevoflurant 3%

Tabel Monitoring Intra Anestesi

Waktu Nadi (x/mnt) TD (mmHg) SpO2 keterangan


(%)

09.00 61 145/98 99 Mulai anestesi dengan


premedikasi midazolam
2mg,ondansetron 4mg
dan dilanjutkan induksi
menggunakan fentanyl
50mg,propofol
100mg,dan tramus
30mg

09.15 65 120/80 99 Mulai pembedahan

09.30 62 110/80 99 Pasang infus 2 jalur


menggunakan abocath
ukuran 20,induksi
tramus 10mg,fentanyl
50 mg,loading cairan
menggunakan gelafusal
500 ml dan manitol
300ml
09.45 58 95/60 100 masuk PRC
200ml,pendarahan
500ml
10.00 63 95/65 99 Masuk PRC
200ml,injeksi tramus
10mg dan fentanyl 50
mg
10.15 60 90/55 99 Ganti gelafusal
menggunakan
RL,pendarahan 1000ml
10.30 61 90/60 100 Masuk PRC
200ml,injeksi tramus
10mg dan fentanyl
50mg
10.45 60 85/60 99 Masuk WB
350ml,pendarahan
1500ml,produksi urin
300ml
11.00 55 75/60 99 Injeksi tramus 10mg
dan fentanyl 50mg
11.15 61 70/66 100 Masuk WB 350ml
11.30 50 76/60 100 Masuk fentanyl
50mg,tramus 10 mg
11.45 50 78/45 99 Ganti RL
12.00 55 80/45 98 Injeksi tramus 10mg
dan fentanyl 50ml
12.15 61 84/66 99 Ganti Rl
12.30 60 85/60 99 Injeksi tramus 10mg
dan fentanyl 50mg
13.00 62 80/55 100 Ganti RL
13.15 55 88/65 100 Injeksi tramus 10mg
dan fentanyl 50ml
13.30 50 95/70 99 Anestesi selesai pasien
dipindah ke ICU
1
D. Pengkajian Post Anestesi

a. Masuk ICU pukul 13.30 WIB


b.Kesadaran : Coma
c. A : terintubasi
d.B: dibantu ventilator 16x/menit
e. C: 100/80mmHg, 100%, 74x/menit, akral dingin
f. D : GCS 3, mobilisasi tidak bisa

E. Analisa Data
F. . Analisa Data

Data Masalah Penyebab

PRE ANESTESI

▪ Ds: Ansietas Stressor operasi


Klien mengatakan belum pernah operasi
sebelumnya ▪ Do:

- Raut wajah klien cemas


- Nadi : 84x/menit
- RR : 14x/menit
▪ Ds: Nyeri akut Agen cedera biologis
- Pasien mengatakan merasakan nyeri diarea kepala yang akan
dioperasi

- P: Pasien mengatakan nyeri


- Q: Nyeri seperti di tusuk tusuk
- R: Pada bagian kepala yang akan dioperasi
- S: Skala nyeri 6
- T: Nyeri hilang timbul
▪ Do:

- Pasien tampak meringis


- TTV:
▪ TD: 140/90 mmHg
▪ N: 84x/mnt
▪ RR: 14x/mnt
▪ Suhu: 36,5
▪ SpO2: 100%

DURANTE ANESTESI

▪ Ds: - Pola nafas tidak efektif Efek sedatif medikasi anestesia umum
▪ Do:
- TTV: TD: 91/54 mmHg, N: 80 x/menit, RR:12 x/menit, S:
36,4oC, SpO2: 100%

- Terpasang ETToral
- Ventilator: TV:400, RR:14,PEEP: 5 (sengaja ditidurkan)

▪ Ds:- Gangguan Hemodinamik Prosedur pembiusan


▪ Do:
- Lama operasi ± 6 jam
- Pasien Bradikardi (Dahi berkeringat)
- TTV :
TD: 78/47, N: 50x/menit, RR: 12x/menit, S 36,,5oC,
SpO2: 76%

▪ Ds: - Risiko pendarahan Prosedur pembedahan


▪ Do:
- Pendarahan ±1500 cc
- TD: 90/62 mmHg
- N: 60x/menit

POST ANESTESI
▪ Ds: - Pola nafas tidak efektif Efek sedatif medikasi anestesia umum
▪ Do:
- TTV: TD: 91/54 mmHg, N: 80 x/menit, RR:12 x/menit, S:
36,4 SpO2: 100%

- Terpasang ETT dan Ventilator (TV:400, RR:14, PEEP: 5)


- Jenis NonKingking

- Nomor 7
- Fiksasi 21 cm

▪ Ds:- Intoleransi Aktifitas Tirah baring, ketidakseimbangan


▪ Do: antara suplai dan kebutuhan
- TTV: oksigen

- TD 90/55
- N: 111x/menit
- SpO2: 100%
- R : 14x/menit
- Kesadaran Coma
- GCS : 3 (E1V1M1)
▪ Ds: - Resiko Infeksi Tindakan pembedahan
▪ Do:
- TD 90/55
- N: 111x/menit
- SpO2: 100%
- R : 14x/menit
- Pada kepala tampak luka operasi
- Terpasang drain pada kepala dengan cairan yang keluar
berwarna merah

G. Diagnosa Keperawatan
1. Pre Anestesi
a. Ansietas b.d Stressor operasi
b. Nyeri akut b.d Agen cidera biologis

2. Durante Operasi
a) Pola napas tidak efektif b.d efek sedatif medikasi anestesia umum
b) Gangguan Hemodinakin b.d prosedur pembedahan
c) Risiko pendarahan b.d prosedur pembedahan
3. Post Operasi
a. Pola nafas tidak efektif b.d Gangguan neurologis
b. Intoleransi Aktifitas b.d Tirah baring, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
c. Risiko infeksi b.d Tindakan pembedahan
H. Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi

Diagnosa Tujuan Rencana Implementasi Evaluasi


Keperawatan
Tindakan

PRE ANESTESI

Ansietas b.d. stressor operasi Setelah dilakukan a. Anjurkan klien untuk


Kamis,27 Oktober 2022 Kamis,27 Oktober 2022
tindakan keperawatan, selalu berdoa
Pukul 08.00 Pukul 08.00
ansietas teratasi dengan
b. Evaluasi tingkat kecemasan 1. Menganjurkan klien S: Klien merasa sudah
kriteria hasil:
untuk selalu berdoa lebih tenang
a. Klien tampak tidak
2. Mengevaluasi tingkat O:
tegang b. Klien tampak
kecemasan - Klien tampak berdoa
rileks
dan menenangkan diri

A: Ansietas teratasi

P : Hentikan intervensi
salwa
salwa

Nyeri akut b.d. agen Setelah dilakukan a. Kaji tingkat nyeri, S: -


Kamis,27 Oktober 2022
cedera biologis durasi, lokasi, dan
tindakan keperawatan Pukul 08.05 O:
intensitas
pre operasi selama 10
b. Berikan posisi 1. Mengkaji tingkat nyeri,
-Kesadaran CM
menit nyaman pada klien durasi, lokasi dan intensitas
2. Memberikan posisi -Tanda – tanda vital stabil
diharapkan nyeri akut teratasi nyaman pada klien

dengan kriteria hasil: c. Observasi tanda- 3. Mengobservasi tanda- -Klien terlihat rileks
tanda vital tanda vital
a. Klien dapat A: Nyeri teratasi
mengontrol nyeri
P: Observasi nyeri post
(mengetahui
operasi
penyebab dan cara
salwa salwa
penanganan)
b. Skala nyeri
berkurang
menjadi 3

c. Klien tampak rileks

DURANTE ANESTESI

Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan a. Pasang peralatan


Kamis,27 Oktober 2022 Kamis,27 Oktober 2022
b.d efek sedatif medikasi keperawatan anestesi
oksigenasi Pukul 09.30 Pukul 09.30
selama intra operasi
anestesia umum b. Berikan tambahan
diharapkan pola napas b. Memberikan S: -
oksigen atau ventilasi tambahan oksigen atau
menjadi efektif dan O:
manual ventilasi
normal dengan kriteria : 1. - TD: 90/55mmHg
Frekuensi nadi stabil sesuai kebutuhan manualsesuaikebutuhan - Nadi : 111x/mnt
c. Monitoring tanda - SpO2: 100%
2. SpO2 >95%
hipoventilasi
3. Tidak terjadi aspirasi A:
salwa
Masalah risiko

a.

ketidakefektifan pola

napas teratasi sebagian

P: Monitoring tanda
hipoventilasi

salwa
Risiko gangguan Setelah dilakukan intervensi - observasi vital sign pasien
Kamis,27 Oktober 2022 Kamis,27 Oktober 2022
diharapkan hemodinamik
hemodinamik pasien stabil dengan kriteria Pukul 09.30 Pukul 09.30
hasil :
observasi vital sign pasien S: -
- tekanan darah pasien
normal O: Tekanan darah stabil

pasien tidak terlihat lemas A: risiko gangguan


salwa hemodinamik teratasi
P : hentikan Intervensi

salwa

Risiko pendarahan b.d. Setelah dilakukan a. Monitor


Kamis,27 Oktober 2022 Kamis,27 Oktober 2022
prosedur pembedahan hemodinamik b.
tindakan keperawatan, Pukul 10.00 Pukul 10.00
Monitor jumlah
risiko perdarahan 1. Melakukan monitor DS: -
perdarahan
hemodinamik pasien DO:
c. Kolaborasi pemberian
teratasi dengan kriteria: Asam traneksamat 1 g 2. Melakukan monitor - Pasien terpasang IV line denga
d. Kolaborasi pemberian jumlah perdarahan RL 20 tpm pada ekstremitas
a. Perdarahan tidak
Phytomenadione 10mg 3. Memantau tanda dan bawah kiri dan kanan (± 2500 m
bertambah banyak
e. Lakukan tranfusi darah bila gejala syok line ukuran 20, Perdarahan ±15
perlu 4. Mengonsultasikan dengan 93/63 mmHg, N: 88x/mnt, RR:
dokter atau penata SpO2: 100%

anestesi terkait pemberian - Akral hangat


obat dan cairan pengganti A: Masalah risiko
(Infus: RL ±2000 ml, perdarahan teratasi

Gelafusal ± 500ml) P:

5. Melakukan tranfusi darah - Monitoring hemodinamik


1.350cc
- Memantau tanda dan gejala s
6. Kelola pemberian Asam dilanjutkan
traneksamat 500mg
Salwa
7. Kelola pemberian
Phytomenadione 10 mg

salwa

POST OPERASI
Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan a. Pasang peralatan
Kamis,27 Oktober 2022 Kamis,27 Oktober 2022
b.d efek sedatif medikasi tindakan keperawatan oksigenasi
Pukul 13.30 Pukul 13.30
post operasi selama 1x24 b. Berikan tambahan
anestesia umum 1. Memberikan
jam, pola nafas efektif S: -
oksigen atau ventilasi
tambahan oksigen atau
dengan kriteria hasil :
manual sesuai O:
ventilasi manual
a. Frekuensi nadi stabil kebutuhan - TD: 110/80 mmHg
sesuai kebutuhan
b. SpO2 >95% c. Monitoring tanda - Nadi : 64x/mnt
c. Tidak terjadi aspirasi hipoventilasi - SpO2: 100%

A:

Masalah risiko
ketidakefektifan pola

napas teratasi sebagian

P: Monitoring tanda
hipoventilasi

salwa
salwa

Intoleransi Aktifitas b.d Setelah dilakukan a. Observasi adanya


Kamis,27 Oktober 2022 Kamis,27 Oktober 2022
Tirah baring, Tindakan keperawatan pembatasan klien
Pukul 13.30 Pukul 13.00
ketidakseimbangan antara post operasi selama 1x24 dalam melakukan
suplai dan kebutuhan jam pasien 1. Membantu personal S:
aktivitas

oksigen bertoleransi terhadap b. Kaji adanya faktor


aktivitas dengan kriteria yang menyebabkan
hasil: kelelahan

a. Berpartisipasi dalam c. Monitor nutrisi dan


aktivitas fisik sumber energi yang
tanpa adekuat

disertai peningkatan d. Monitor respon


tekanan darah, nadi dan kardivaskuler terhadap
RR aktivitas (takikardi,
b. Mampu melakukan disritmia, sesak nafas,
aktivitas sehari hari diaporesis, pucat,
(ADLs) secaramandiri perubahan
c. Keseimbangan aktivitas hemodinamik) e. Bantu
dan istirahat klien untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang mampu
dilakukan

f. Monitor respon fisik,


emosi, sosial dan spiritual

Risiko infeksi b.d Setelah dilakukan tindakan a. Kaji luka bekas


tindakan pembedahan keperawatan, risiko infeksi operasi: warna,bau,dll.
teratasi dengan kriteria
b. Monitor tanda dan
hasil: Klien terbebas dari
gejala infeksi
tanda dan
BAB IV
REVIEW JURNAL

Judul Anesthesia for awake craniotomy

Penulis Kulikov, Alexander; Lubnin, Andrey


Tahun 2018
Tujuan
Tinjauan saat ini melaporkan tren terkini dalam manajemen anestesi

kraniotomi sadar, termasuk persiapan praoperasi, skema sedasi,

manajemen nyeri, dan pencegahan komplikasi intraoperatif.

Hasil
Kedua pendekatan anestesi untuk kraniotomi terjaga, tidur-terjaga-tertidur

dan perawatan anestesi terpantau (MAC), telah menunjukkan kemanjuran

yang sama untuk melakukan pemetaan otak intraoperatif. Pilihan skema

yang tepat saat ini terutama didasarkan pada preferensi ahli anestesi

tertentu. Dexmedetomidine telah menunjukkan kemanjuran dan

keamanan yang tinggi di MAC untuk kraniotomi sadar dan telah menjadi

alternatif rasional untuk propofol. Meskipun kemanjuran yang tinggi dari

blok kulit kepala dan opioid, nyeri tetap menjadi keluhan umum pada

kraniotomi sadar. Taktik bedah yang tepat dapat mengurangi rasa sakit

dan bahkan mencegah komplikasi neurologis pascaoperasi. Meskipun

kemanjuran profilaksis kejang intraoperatif dengan antikonvulsan masih

diragukan, levetiracetam bisa lebih unggul daripada obat lain untuk

tujuan ini.
Kesimpulan
Mengikuti banyak kemajuan dalam manajemen anestesi, kraniotomi

sadar, yang merupakan pendekatan yang relatif jarang, sekarang menjadi

prosedur yang umum dilakukan untuk intervensi bedah saraf. Teknik

anestesi modern dapat memberikan pemetaan otak yang sukses di hampir

semua pasien. Manajemen kraniotomi terjaga pada pasien berisiko tinggi

adalah tugas utama untuk penelitian masa depan.

Link https://journals.lww.com/co-anesthesiology/Abstract/2018/10000/
Anesthesia_for_awake_craniotomy.4.aspx
BAB V
PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Space Occupying Lesion (SOL) merupakan desakan ruang


yang diakibatkan peningkatan volume di dalam ruang intrakranial
yang ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Lesi desakan ruang (Space Occupying Lesion) bisa
meningkatkan tekanan intrakranial (Wilson, L.M., & Price, S.A,
2006). Space Occupying Lesion bisa berupa neoplasma ataupun
tumor, perdarahan ataupun granuloma. Jaringan otak akan
mengalami nekrosis sehingga menyebabkan gangguan neurologik
progresif (Sisca & Zam, 2017).

Craniotomy adalah operasi untuk membuka bagian tengkorak


(tempurung kepala) dengan tujuan memperbaiki dan mengetahui
kerusakan yang ada di otak. Pembedahan tersebut bertujuan
memperbaiki dan mengetahui kerusakan yang ada di otak dengan
cara membuka tengkorak jadi sementara waktu pasien post op
craniotomy akan mengalami gangguan mobilissasi bahkan bisa
terjadi penurunan kesadaran. Untuk mengurangi atau
meminimalisir komplikasi yang terjadi akibat pembedahan pasien
post operasi craniotomy memerlukan perawatan yang intensif.
Maka dari itu pasien dengan post op 3 craniotomy harus di rawat
di ruangan Intensive Care Unit (ICU) (Brunner dan Suddarth,
2002).

Setelah dilakukan Asuhan Kepenataan Anestesi pada Ny. T


dengan diagnosa medis Space Occupying Lesion (SOL) yang
dilakukan tindakan craniotomy dengan status fisik ASA 3 (E) dan
direncanakan General Anestesi yaitu Intubasi ETT Oral
didapatkan diagnosa keperawatan, sebagai berikut :

1. Pre Anestesi
a. Ansietas b.d Stressor operasi
b. Nyeri akut b.d Agen cidera biologis

2. Durante Operasi
d) Pola napas tidak efektif b.d efek sedatif medikasi
anestesia umum e) Gangguan Hemodinakin b.d
prosedur pembedahan
f) Risiko pendarahan b.d prosedur pembedahan
3. Post Operasi
a. Pola nafas tidak efektif b.d Gangguan neurologis
b. Intoleransi Aktifitas b.d Tirah baring,
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
c. Risiko infeksi b.d Tindakan pembedahan

B. Saran
Makalah ini disusun agar para pembaca dapat memahami
tentang tindakan Craniotomy. Terdapat beberapa masukan guna
menurunkan risiko terjadinya Space Occupying Lesion (SOL)
yakni masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kepedulian
tentang pentingnya menjaga kesehatan dan hidup sehat.
DAFTAR PUSTAKA

Mutiudin, A. I., Sagala, R., Pahria, T., Herliani, Y. K., Harun, H., & Pitriana,
E. (2020). Studi Kasus : Status Neurologi Pasien Space Occupying
Lesion Dengan Hiv dan Toxoplasmosis Cerebri. Jurnal Perawat
Indonesia, 4(1), 285. https://doi.org/10.32584/jpi.v4i1.450
Prasad, J., Meena, D. ka, Meena, D., Meena, M. K., & -, G. L. M. (2017).
Imaging of intracranial space occupying lesions: a prospective study in a
tertiary care centre in northern westran rajasthan. International Journal
of Current Advanced Research, 6(4), 3254–3256.
https://doi.org/10.24327/ijcar.2017.3256.0238
Sajjad, A., Naroo, G., Khan, Z., Ali, Z., Nasim, B., Sheikh, A., Shah, H.,
Mathew, L., Rehman, N., & Yadgir, T. (2018). Space Occupying
Lesions (SOL) of the Brain - Clinical Manifestation with Subtle
Neurological Symptoms in Emergency Department. Journal of
Advances in Medicine and Medical Research, 26(3), 1–8.
https://doi.org/10.9734/jammr/2018/38701
Widadi;, E., & Widadi;, E. (2002). Askep pd Ny.S Post Craniotomi dg tumor
otak Di RSDK Smg. http://repository.poltekkes-smg.ac.id//index.php?
p=show_detail&id=9376 Wulandari, S. A. (2019). Asuhan Keperawatan Pada
Tn. S Dengan Space Occupying Lesion (SOL) Post Op Craniotomy Melalui
Elevasi Kepala 30 Derajat Terhadap Peningkatan Perfusi Jaringan Serebral
Di Ruangan Intensive Care Unit (ICU) RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukit
Tinggi Tahun 2019. In Stikes Perintis Padang.

Anda mungkin juga menyukai