Anda di halaman 1dari 43

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI DENGAN DIAGNOSIS CLOSED

FRACTURE ANTEBRACHII AKAN DILAKUKAN TINDAKAN ORIF


MENGGUNAKAN TEKNIK GENERAL ANESTESI LARINGEAL MASK
AIRWAY (LMA) DI RSUD HJ. ANNA LASMANAH BANJARNEGARA
Disusun untuk memenuhi tugas individu PKAD semestester lima

Dosen Pembimbing : Ns. Harmilah, M.Kep., Sp.MB


Pembimbing Lapangan :

Disusun Oleh :
1. Azizah Widya Rahmatia (P07120320043)

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
TAHUN 2022
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI DENGAN DIAGNOSIS CLOSE


FRACTURE ANTEBRACHII AKAN DILAKUKAN TINDAKAN ORIF
MENGGUNAKAN TEKNIK GENERAL ANESTESI LARINGEAL MASK
AIRWAY (LMA) DI RSUD HJ. ANNA LASMANAH BANJARNEGARA

Diajukan untuk disetujui pada,


Hari :
Tanggal :
Tempat :

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Lapangan

Ns. Harmilah, M.Kep., Sp.MB Imam


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
maghfirah dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Asuhan
Keperawatan Anestesi yang berjudul “ Asuhan Keperawatan Anestesi Dengan
Diagnosis Close Fracture Antebarachii akan dilakukan tindakan ORIF
Menggunakan Teknik General Anestesi Laringeal Mask Airway (LMA) di RSUD Hj.
Anna Lasmanah Banjarnegara”. Laporan ini disusun guna menenuhi salah satu tugas
individu pada kegiatan Praktik Klinik Anestesi Dasar (PKAD).
Penyusunan Laporan ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, baik secara moril maupun materiil. Maka dari itu, tak lupa penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Harmilah selaku Dosen Pembimbing
2. Bapak Imam selalu Pembimbing Lapangan
3. Seluruh staf Instalasi Bedah Sentral di RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara
Penulis menyadari bahwa dalam Penyusunan Laporan Asuhan Keperawatan
Anestesi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis menerima
kritikan atau saran yang bersifat memmbangun. Semoga Laporan Asuhan
Keperawatan Anestesi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun para pembaca.

Banjarnegara, Oktober 2022

Azizah Widya Rahmatia


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anestesi (berasal dari bahasa Yunani an-, "tidak, tanpa" dan aesthētos,


"persepsi atau kemampuan untuk merasa") atau pembiusan, secara umum berarti
suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh Obat untuk
menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi.
Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total.
Seseorang yang mengonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar.
Analgetik tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan
rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan
jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan
pemakainya tetap sadar. Beberapa tipe anestesi yaitu sebagai berikut : 1.
Pembiusan Total ( Hilangnya Kesadaran Total), 2. Pembiusan Lokal ( Hilangnya
rasa pada daerah tertentu yang diinginkan / pada sebagian kecil daerah tubuh), 3.
Pembiusan Regional ( Hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh
blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan dengannya).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang


yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma /ruda paksa atau tenaga fisik
yang ditentukan jenis dan luasnya trauma (Lukman dan Nurma, 2009). Berdasarkan
hasil riset oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia (2007), di Indonesia terjadi kasus fraktur yangdisebabkan oleh
cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam atau
tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775
orang atau 3,8%, dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur
sebanyak 1.770 orang atau 8,5%, dari 14.127 trauma benda tajam/tumpul yang
mengalami fraktur sebanyak 236 orang atau 1,7% (Juniartha,2007). Maka dari itu
dengan meningkatnya jumlah kendaraan dan kecelakaan lalulintas kita sebaiknya
lebih berhati – hati dalam berkendara untuk menghindari berbagai efek buruk.
Fraktur bisa terjadi di bagian tubuh kita dimanapun itu, salah satunya adalah
Fracture Antebrachii.
Fraktur antebrachi adalah terputusnya kontinuitas tulang os radius dan os
ulna. Yang dimaksud dengan antebrachi adalah batang (sharf) tulang os radius dan
os ulna. Fraktur antebrachi merupakan suatu perpatahan pada lengan bawah yaitu
pada tulang os radius dan os ulna dimana kedua tulang mengalami perpatahan
(Kustoyo & Harahap, 2019). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan tahun 2018, prevalensi fraktur di
Indonesia tercatat angka kejadian fraktur sebanyak 5,5%. Sementara itu, untuk
prevalensi cedera menurut bagian tubuh, cedera pada bagian ekstremitas bawah
memiliki prevalensi tertinggi yaitu 67,9% (Nur, Morika, & Sardi, 2020). Penyebab
terbanyaknya yaitu jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%).
Selanjutnya karena terkena benda tajam atau tumpul (7,3%), transportasi darat
lainnya (7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Sedangkan untuk penyebab yang belum
disebut proporsinya sangat kecil. Fraktur di Indonesia menjadi penyebab kematian
terbesar ketiga dibawah penyakit jantung koroner dan tuberkulosis. Indonesia
merupakan negara terbesar di Asia Tenggara yang mengalami kejadian fraktur
terbanyak sebesar 1,3 juta setiap tahunnya dari jumlah penduduknya yaitu berkisar
238 juta (Ulva, 2019).

Menurut (Siregar 2020) mengatakan bahwa penatalaksanaan fraktur dapat


dibedakan menjadi dua metode yaitu manajemen farmakologis dan manajemen non
– farmakologis. Manajemen farmakologis dikelompokkan menjadi : pada tahap
reduksi mengacu pada pemulihan tulang yang sejajar pada posisi anatomis, tahap
imobilisasi dilakukan pada saat setelah tahap reduksi selesai. Insiden fragmen
tulang harus segera diperbaiki bahkan dipertahankan pada posisi yang sejajar
sampai pada tahap penyatuan. Dan pada tahap rehabilitasi berperan untuk
mengembalikan fungsi dan kekuatan tulang dengan cara latihan gerak sehingga
proses pemulihan fragmen tulang dapat dipertahankan dengan baik. Kondisi
neurovaskular seperti sirkulasi, gerakan, harus dipantau secara terus menerus.
Kecemasan dan ketidaknyamanan secepatnya diberikan tindakan seperti mengubah
posisi, memberi pereda nyeri termasuk penggunaan analgesik. Selain
penatalaksanaan secara farmakolgis cara lain ialah dengan menggunakan metode
manajemen nyeri non-farmakologi yaitu dengan memenuhi metode relaksasi yang
artinya perilaku eksternal yang dapat mencapai respon internal pribadi terhadap
nyeri. Manajemen nyeri dengan menggunakan teknik nafas dalam, meditasi,
massase atau pijat dan relaksasi otot (Rahmasari Ikrima 2015).

Perawat mempunyai karakter sebagai pemberi asuhan keperawatan,


penasehat, pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan dan peneliti. 3 Untuk
menghindari kecacatan fisik pasien pasca patah tulang, pasien tersebut harus segera
ditangani, dengan salah satunya mobilisasi dini secara bertahap (Nopianti,
Setyorini, and Pebrianti 2019). Sebagai tenaga medis perawat banyak mempunyai
peran dalam mengendalikan tugasnya sesuai dengan hak dan kekuasaan yang
berlaku. Salah satu peran perawat ialah sebagai care provider atau pemberi asuhan
keperawatan. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan harus sepenuhnya atau
mencakup, tidak hanya berfokus pada tindakan menyediakan akan tetapi juga
berfokus pada tindakan pencegahan terhadap pasien (Sulistyowati and Handayani
2012). Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengambil kasus pada salah satu
pasien yaitu An. V dengan diagnosis Close Fracture Antebrachii dan akan
dilakukan tindakan ORIF di RSUD Hj. Anna Lasmanah sebagai acuan dalam
penulisan Laporan Asuhan Keperawatan Anestesiologi yang diharapkan dapat
menumbuhkan etos ilmiah dikalangan pembaca dan sebagai salah satu alternatif
alat komunikasi antara pembaca yang mencangkup : klien (pasien), keluarga
pasien, penata anestesi, dan tim kesehatan lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Anestesi?
2. Apakah pengertian dari Fraktur Antebrachii ?
3. Apakah yang dimaksud dengan tindakan ORIF?
4. Apakah pengertian dari Teknik Anestesi menggunakan LMA (Laringeal
Mask Airway) ?
5. Bagaimanakah penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan diagnosis
Fraktur Antebrachii dengan tindakan ORIF menggunakan teknik anestesi
General Anestesi ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberikan gambaran tentang Penatalaksanaan Anestesi dengan Teknik
General Anestesi menggunakan LMA ( Laringeal Mask Airway) pada pasien
Anak dengan diagnosis Fracture Antebrachii akan dilakukan tindakan ORIF.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan deskripsi mengenai konsep dasar dan sejarah anestesi.
b. Mampu menjelaskan dan memahami konsep dasar medis fraktur
antebrachii yang meliputi ; pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinik, pemeriksaan diagnostik, komplikasi, dan penatalaksanaan medis
khususnya dibidang anestesi.
c. Mampu mendeskripsikan gambaran tentang konsep dasar penanganan
fraktur antebrachii dengan tindakan ORIF.
d. Mampu menjelaskan dan memahami konsep pada teknik Anestesi dengan
metode General Anestesi menggunakan LMA ( Laringeal Mask Airway).
e. Mampu mendeskripsikan dan menganalisis tentang penatalaksaan teknik
anestesi dengan metode general anestesi menggunakan LMA pada pasien
(Anak V) dengan diagnosis fraktur antebrachi dan akan dilakukan
tindakan ORIF, yang meliputi ; pengkajian, analaisis data, diagnose
keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi dan evaluasi
keperawatan.
D. Manfaat
1. Bagi Institusi Pendidikan
Manfaat bagi Institusi Pendidikan yaitu dapat digunakan sebagai referensi
bagi institusi pendidikan untuk mengembangkan ilmu tentang asuhan
keperawatan anestesiologi khususnya bagi pasien dengan diagnosa fraktur
antebrachii
2. Bagi Lahan Praktik
Manfaat penulisan laporan bagi lahan praktik yaitu dapat digunakan sebagai
acuan dalam melaukan tindakan asuhan keperawatan anestesiologi bagi
pasien khususnya dengan diagnosis fraktur antebrachii yang akan dilakukan
tindakan orif dengan menggunakan teknik anesetesi menggunakan LMA, dan
melakukan pencegahan dengan memberi penyuluhan kesehatan kepada
pasien maupun keluarga pasien.
3. Bagi Masyarakat
Manfat penulisan laporan asuhan keperawatan anestesiologi bagi pembaca
yaitu dapat menjadi sumber referensi dan informasi supaya mengetahui dan
lebih mendalami bagaimana penatalaksaan pada pasien dengan diagnosa
fraktur antebrachii.
4. Bagi Penulis
Manfaat laporan asuhan keperawatan anestesiologi bagi penulis adalah
penulis diharapkan dapat menentukan diagnosa dan intervensi keperawatan
yang tepat pada pasien dengan diagnosis fraktur antebrachii dan akan
dilakukan tindakan orif menggunakan teknik anestesi dengan metode General
Anestesi (LMA / Laringeal Mask Airway).

E. Metode Penulisan dan Teknik Pengumpulan Data


Metode penulisan yang penulis gunakan adalah metode deskriptis berbentuk
laporan dengan teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara
( dengan keluarga), observasi (pada pasien), pemeriksaan fisik, studi
dokumentasi ( dari status keperawatan pasien), maupun studi literatur.

F. Waktu dan Tempat


1. Waktu : Selasa, 1 November 2022
2. Tempat : Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUD Hj. Anna Lasmanah
Banjarnegara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Anestesi


a. Definisi Anestesi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah
suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi
obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum
terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel
dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan
secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas
dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan,
enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena,
yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis, dan
beberapa obat khusus seperti ketamin. (Munaf, 2018).
b. Tujuan General Anestesi ( GA)
Tujuan dari anestesi umum adalah analgesia, menghilangkan kecemasan, amnesia,
hilangnya kesadaran, penekanan terhadap respon kardiovaskular, motorik serta hormonal
terhadap stimulasi pembedahan
c. Tahap – Tahap Anestesi
Guedel (2017) membagi anestesi umum dalam 4 stadium, yaitu :
Tahap Nama Keterangan
1 Analgesia Dimulai dengan keadaan sadar dan diakhiri dengan
hilangnya kesadaran. Sulit untuk bicara; indra penciuman
dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta halusinasi pendengaran
dan penglihatan mungkin terjadi. Tahap ini dikenal juga
sebagai tahap induksi.
2 Eksitasi atau delirium Terjadi kehilangan kesadaran akibat penekananan korteks
serebri. Kekacauan mental, eksitasi, atau delirium dapat
terjadi. Waktu induksi singkat.
3. Surgical Prosedur pembedahan biasanya dilakukan pada tahap ini.
Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu: 1. Plana 1 :
Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil
midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks
faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi
otot lurik yang sempurna. (tonus otot mulai menurun).
2. Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume
tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak
bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya
mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring
hilang sehingga dikerjakan intubasi.
3. Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot
interkostal mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil
midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak
ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus otot
semakin menurun).
4. Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot
interkostalparalisis total, pupil sangat midriasis, refleks
cahaya hilang, refleks sfingter ani dan kelenjar air mata tidak
ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat
menurun).
4. Paralisis medular Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan hilang dan terjadi
kolaps sirkular. Perlu diberikan bantuan ventilasi
Tabel 5. Tahap – Tahap Anestesi
Sumber: E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC
d. Obat – Obat Anestesi Umum
Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi cepat
melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan suatu anestesi umum
per inhalasi. Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium anestesi, penyuntikan harus
dilakukan secara perlahan-lahan (Kee, et al 2017).
a. Intravena
1) Obat Premedikasi Pemberian obat premedikasi bertujuan untuk:
a) Menimbulkan rasa nyaman pada pasien (menghilangkan kekhawatiran,
memberikan ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesi).
b) Memudahkan/memperlancar induksi, rumatan, dan sadar dari anastesi.
c) Mengurangi jumlah obat-obatan anastesi.
d) Mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual dan muntah pascaanastesi.
e) Mengurangi stres fisiologis (takikardi, napas cepat, dan lain-lain).
f) Mengurangi keasaman lambung.
Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi adalah
sebagai berikut:
1. Narkotik
(a) Morfin. Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kg BB) intramuskular
diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang operasi,
menghindari takipnu pada pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan dengan tenang
dan dalam. Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan waktu pemulihan, timbul spasme serta
kolik biliaris dan ureter.
(b) Petidin Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kg BB) intravena
diberikan untuk menekan tekanan darah dan pernafasan serta merangsang otol polos. Dosis
induksi 1-2 mg/kg BB intravena
2. Barbiturat
dan sekobarbital. Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis dewasa 100-200 mg,
pada anak dan bayi 1 mg/kg BB secara oral atau intramuslcular.
3. Antikolinergik Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan dan
bronkus selama 90 menit. Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular bekerja setelah 10-15 menit.
4. Obat Penenang ( Tranquillizer)
(a) Diazepam. Diazepam (valium) merupakan golongan benzodiazepin. Dosis
premedikasi dewasa 10 mg intramuskular atau 5-10 mg oral (0,2-0,5 mg/kgBB) dengan dosis
maksimal 15 mg. Dosis sedasi pada analgesi regional 5-10 mg (0,04-0,2mg/kgBB) intravena.
Dosis induksi 0,2- 1 mg/kg BB intravena.
(b) Midazolam Mempunyai awal dan lama kerja lebih pendek dibandingkan dengan
diazepam.

2) Obat Sedatif
a) Tiopenthal :
1. Bubuk berbau belerang, berwarna kuning, dalam ampul 500/1000 mg. Dilarutkan dengan
aquades sampai konsentrasi 2,5%. Dosis 3- 7 mg/kgBB.
2. Melindungi otak oleh karena kekurangan O2.
3. Sangat alkalis, nyeri hebat dan vasokonstriksi bila disuntikkan ke arteri yang menyebabkan
nekrosis jaringan sekitar.
b) Propofol:
1. Dalam emulsi lemak berwarna putih susu, isotonic, dengan kepekatan 1%. Dosis induksi 2-
2,5 mg/kgBB, rumatan 4- 12mg/kgBB/jam, sedasi perawatan intensif 0,2mg/kgBB.
Pengenceran hanya dengan Dextrosa 5%.
2. Dosis dikurangi pada manula, dan tidak dianjurkan pada anak dibawah 3 thn dan ibu hamil.

c) Ketamin:
1. Kurang disenangi karena sering takikardi, HT, hipersalivasi, nyeri kepala. Paska anestesi
mual, muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Dosis bolus iv 1-2mg/kgBB, im
3-10mg/kgBB.
2. Dikemas dalam cairan bening kepekatan 5%, 10%, 1%.

d) Opioid:
1. Diberikan dosis tinggi, tak menggangu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk
pasien dengan kelainan jantung.
2. Untuk induksi dosis 20-50mg/kgBB, rumatan dosis 0,3-1 mg/kgBB/mnt.
3 Obat Analgetik Menurut kamus perobatan Oxford (2011), obat anti nyeri bermaksud suatu
obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan (aspirin dan parasetamol) digunakan
untuk meredakan nyeri kepala, nyeri gigi dan nyeri reumatik ringan manakala obat anti nyeri
yang lebih poten (narkotika atau opioid) seperti morfin dan petidin hanya digunakan untuk
meredakan nyeri berat.
a) Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS) Hampir semua obat AINS mempunyai tiga
jenis efek yang penting yaitu : 1. Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi. 2. Efek
analgesik : meredakan suatu rasa nyeri. 3. Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang
meningkat.
Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan tindakan awal obat-obat tersebut
yaitu penghambatan arakidonat siklooksigenase sekaligus menghambat sintesa prostaglandin dan
tromboksan (Rang et al., 2007). Terdapat dua tipe enzim siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-
2. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan termasuklah
platlet darah (Rang et al., 2007). Enzim ini memainkan peranan penting dalam menjaga
homeostasis jaringan tubuh khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung,
aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. COX-2 pula diinduksi
dalam sel-sel inflamatori diaktivasi. Dalam hal ini, stimulus inflamatoar seperti sitokin inflamatori
primer yaitu interleukin-1 (IL- 1) dan tumour necrosis factor-α (TNF- α), endotoksin dan faktor
pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan menjadi sangat penting dalam aktivasi enzim
tersebut. Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan
vaskular dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan A2, yang disentesis trombosit oleh
COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya
prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan
menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif (Fendrick
et al., 2018).
b) Obat Anti Inflamasi Steroid. Morgan Jr GE, Michail MS, Murray MJ (2017), Menjelaskan
bahwa opioid didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang diantagonis oleh nalokson. 1.
Analgesik Opioid Kuat Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri tumpul yang tidak
terlokalisasi dengan baik (viseral). Nyeri somatik dapat ditentukan dengan jelas dan bisa
diredakan dengan analgesik opioid lemah. Morfin parenteral banyak digunakan untuk mengobati
nyeri hebat dan morfin oral merupakan obat terpilih pada perawatan terminal. Morfin dan
analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu kisaran efek sentral yang meliputi analgesia, euforia,
sedasi, depresi napas, depresi pusat vasomotor (menyebabkan hipotensi postural), miosis akibat
stimulasi nukleus saraf III (kecuali petidin yang mempunyai aktifitas menyerupai atropin yang
lemah), mual, serta muntah yang disebabkan oleh stimulasi chemoreceptor trigger zone. Obat
tersebut juga menyebabkan penekanan batuk, tetapi hal ini tidak berkaitan dengan aktivitas
opioidnya. Efek perifer seperti konstipasi, spasme bilier, dan konstriksi sfingter Oddi bisa terjadi.
Morfin bisa menyebabkan pelepasan histamin dengan vasodilatasi dan rasa gatal. Morfin
mengalami metabolisme dalam hati dengan berkonjugasi dengan asam glukoronat untuk
membentu morfin-3-glukoronid yang inaktif, dan morfin-6-glukuronid, yaitu analgesik yang lebih
poten daripada morfin itu sendiri, terutama bila diberi intratekal. Diamorfin (heroin,
diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak daripada morfin sehingga mempunyai awitan kerja lebih
cepat bila diberikan secara suntikan. Kadar puncak yang lebih tinggi menimbulkan sedasi yang
lebih kuat daripada morfin. Dosis kecil diamorfin epidural semakin banyak digunakan untuk
mengendalikan nyeri hebat. Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam) dan dapat
diberikan secara oral maupun sublingual sesaat sebelum tindakan yang menyakitkan. Metadon
mempunyai durasi kerja panjang dan kurang sedatif dibandingkan morfin. Metadon digunakan
secara oral untuk terapi rumatan pecandu heroin atau morfin. Pada pecandu, metadon mencegah
penggunaan obat intravena.

e. Teknik pada general anestesi ( LMA )

B. Konsep Dasar Penyakit


a. Definisi Fraktur
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika
terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu.
Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak
mampu menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau pembuluh
darah yang pecah sehingga dapat menjadi komplikasi pemulihan klien ( Black dan
Hawks, 2014).
Fraktur antebrachii adalah
terputusnya kontinuitas tulang
radius
ulna. Yang dimaksud dengan
antebrachii adalah batang
(shaft) tulang
radius dan ulna (andi, 2012).
Fraktur antebrachii merupakan
suatu perpatahan pada lengan
bawah yaitu pada tulang radius
dan ulna dimana kedua tulang
tersebut
mengalami perpatahan. Dibagi
atas tiga bagian perpatahan
yaitu bagian
proksimal, medial , serta distal
dari kedua corpus tulang
tersebut.
Fraktur antebrachii adalah
terputusnya kontinuitas tulang
radius
ulna. Yang dimaksud dengan
antebrachii adalah batang
(shaft) tulang
radius dan ulna (andi, 2012).
Fraktur antebrachii merupakan
suatu perpatahan pada lengan
bawah yaitu pada tulang radius
dan ulna dimana kedua tulang
tersebut
mengalami perpatahan. Dibagi
atas tiga bagian perpatahan
yaitu bagian
proksimal, medial , serta distal
dari kedua corpus tulang
tersebut.
Fraktur Antebrachii adalah terputusnya kontinuitas tulang radius ulna. Yang
dimaksud dengan antebrachii adalah batang (shaft) tulang radius dan ulna ( andi,
2012). Fraktur antebrachii merupakan suatu pepatahan pada lengan bawah yaitu pada
tulang radius dan ulna dimana kedua tulang tersebut mengalami perpatahan. Dibagi
atas tiga bagian perpatahan yaitu bagian proksimal, medial, serta distal dari kedua
corpus tulang tersebut.
b. Etiologi
Menurut Diguilio (2014), Tekanan berleihan atau trauma langsung pada tulang
menyebabkan suatu retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan
jaringan. Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan
hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa memindahkan
tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang tulang dianggap sebagai
fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang terjadi pada semua tulang yang
patah dikenal sebagai fraktur lengkap.
Adapun penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat
dibedakan menjadi :
 Cedera traumatik. Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh : 1) Cedera
langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara
spontan. 2) Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan
fraktur klavikula 3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
 Fraktur Patologik. Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan : 1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali. 2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul salah satu proses yang progresif. 3) Rakhitis. 4) Secara spontan
disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus.

c. Patofisiologi Fraktur menurut Black dan Hawks (2014)


Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika
ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya
retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka
tulang dapat pecah berkeping keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada
ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen
fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat
bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian proksimal
dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena
faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat
bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen
tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah. Selain itu, periosteum dan
pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang yang patah juga terganggu
sehingga dapat menyebabkan sering terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi
karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran
sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah
periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon
peradangan yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan
fungsi, eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap
penyembuhan tulang.

d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang
dijelaskan secara rinci sebagai berikut :
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah ( gerakan luar biasa) pergeseran
fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahi dengan membandingkannya
dengan ektremitas normal. Ektremitas tidak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat
otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenernya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm ( 1
sampai 2 inci).
4. Saat ektremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakak dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur, atau fraktur impaksi
( permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur
bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar – x pasien.
Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.

e. Pemeriksaan Diagnostik
Menururt Istianah (2017) Pemeriksaan Diagnostis antara lain :
1. Foto rontgen ( X- ray ) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
2. Scan tulang, temogram, atau scan CT / MRIB untuk memperlihatkan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, Hemokonsentrasi mungkin meningkat atau
menurun pada peradarahan selain itu peningkatan lukosit mungkin terjadi
sebagai respon terhadap peradangan.
f. Komplikasi fraktur menurut Black dan Hawks (2014)
Ada beberapa komplikasi fraktur. Komplikasi tergantung pada jenis cedera ,
usia klien, adanya masalah kesehatan lain (komordibitas) dan penggunaan obat yang
mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin, kortikosteroid, dan NSAID. Komplikasi
yang terjadi setelah fraktur antara lain :
a. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan tungkai klien
yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada kemampuan klien untuk
menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai. parestesia, atau adanya keluhan
nyeri yang meningkat.
b. Sindroma kompartemen
Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah dilapisi oleh jaringan
fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar jika otot
mengalami pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai respon terhadap
fraktur dapat menyebabkan peningkatan tekanan kompartemen yang dapat
mengurangi perfusi darah kapiler. Jika suplai darah lokal tidak dapat
memenuhi kebutuhan metabolik jaringan, maka terjadi iskemia. Sindroma
kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi yang berhubungan
dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas.
Hal ini disebabkan oleh apapun yang menurunkan ukuran kompartemen gips
yang ketat atau faktor-faktor internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia
yang berkelanjutan akan menyebabakan pelepasan histamin oleh otot-otot
yang terkena, menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi lebih
lanjut. Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak metabolisme
anaerob dan peningkatan aliran darah yang menyebabakn peningkatan tekanan
jaringan. Hal ini akan menyebabkan suatu siklus peningkatan tekanan
kompartemen. Sindroma kompartemen dapat terjadi dimana saja, tetapi paling
sering terjadi di tungkai bawah atau lengan. Dapat juga ditemukan sensasi
kesemutan atau rasa terbakar (parestesia) pada otot.
c. Kontraktur Volkman
Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma
kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang terus
menerus menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan diganti oleh jaringan
fibrosa yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma kompartemen setelah
fraktur tibia dapat menyebabkan kaki nyeri atau kebas, disfungsional, dan
mengalami deformasi.
d. Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada pasien fraktur.
Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang panjang seperti
femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan panggul. Kompikasi jangka panjang
dari fraktur antara lain: Kaku sendi atau artritis, Nekrosis avaskular, Malunion,
Penyatuan terhambat, Non-union, Penyatuan Fibrosa, Sindroma Nyeri regional
kompleks.
g. Penatalaksanaan Fraktur
Penatalaksanaan fraktur antebrachii open reduksi fraktur terbuka atau tertutup :
tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali
seperti letak semula, imobilisasi fraktur, fiksasi eksterna atau interna, mempertahankan dan
mengembalikan fungsi, reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan,
pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri, status neurovaskuler (misal:
perdarahan,nyeri,perabaan gerak) dipantau, latihan isometric dan setting otot diusahakan
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke posisi
semula dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang. Cara
pertama penangan adalah proteksi saja tanpa reposisi atau imobilisasi, misalnya
menggunakan mitela. Biasanya dilakukan pada fraktur iga dan fraktur klavikula pada
anak. Cara kedua adalah imobilisasi luar tanpa reposisi, biasanya dilakukan pada
patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi. Cara ketiga adalah reposisi dengan cara
manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi, biasanya dilakukan pada patah tulang
radius distal. Cara keempat adalah reposisi dengan traksi secara terus-menerus selama
masa tertentu. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang apabila direposisi akan
terdislokasi di dalam gips. Cara kelima berupa reposisi yang diikuti dengan
imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa reposisi secara non-operatif
diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif. Cara ketujuh berupa
reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna yang biasa disebut dengan ORIF
(Open Reduction Internal Fixation). Cara yang terakhir berupa eksisi fragmen patahan
tulang dengan prostesis (Sjamsuhidayat dkk, 2010).
C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
D. Rencana Keperawatan
E. Persiapan Tindakan Anestesi Umum

BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
1. Data Umum
Pengkajian dilakukan pada pasien Anak. V pada tanggal 1 November 2022
pukul 09.00 WIB, dilakukan dengan wawancara secara langsung terhadap pasien
maupun keluarga pasien, dilanjutkan dengan observasi secara langsung pada
pasien saat pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara melihat catatan status
keperawatan pasien ( data rekam medik) seperti hasil laboratorium dan klinis.
Berdasarkan pengkajian yang sudah dilakukan penulis di IBS RSUD Hj. Anna
Lasmanah Banjarnegara didapatkan data sebagai berikut :
Nama : An. V
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 14 Tahun
Tanggal Lahir : 11 April 2008
Alamat : Petambakan RT 4/ RW 1, Banjarnegara
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SMP (Sekolah Menengah Pertama
Pekerjaan : Masih Sekolah
Diagnosis Medis : Close Fracture Antebrachii
Rencana Tindakan: ORIF
Tanggal Operasi : 1 November 2022
Dokter Bedah : dr. Dani, Sp. OT
Dokter Anestesi : dr. Bahtiar, Sp.An

Adapun Identitas Penanggungjawab dari Pasien An. V adalah sebagai berikut:


Nama : Ny. U
Umur : 41 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Petambakan RT 4/ RW 1, Banjarnegara
Hubungan : Ibu dan Anak Kandung

Status Kesehatan saat ini penulis menemukan data pasien datang keluhan
terasa nyeri ditangan kiri dan tidak bisa digerakkan saat sedang berlatih silat.
Kemudian keluarga membwa pasien ke RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara.
Faktor terjadinya keluhan nyeri adalah saat pasien mencoba menggerakan
lengannya, lamanya keluhan setelah terjadi cedera, lalu dilakukan upaya untuk
mengatasi nyeri dengan langsung membawa kerumah sakit.

2. Anamnesa
Riwayat kesehatan lalu penulis menemukan data penyakit yang pernah
diderita pasien disebutkan bahwa pasien tidak pernah menderita penyakit
sebelumnya, pasien pada awalnya tidak pernah cedera dan kejadian ini adalah
waktu pertama kali pasien mengalami cedera, pasien juga menyebutkan tidak
pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya, pasien tidak memiliki alergi makanan
maupun obat – obatan atau lainnya.
Riwayat kesehatan keluarga penulis menemukan data penyakit yang pernah
diderita oleh keluarga pasien, seperti ayah dan ibu pasien, disebutkan bahwa
keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit seperti yang sedang diderita
oleh pasien pada saat ini, dan keluarga pun tidak sedang menderita penyakit
lainnya.
Riwayat kesehatan Lingkungan didapatkan data dari wawancara dengan
keluarga pasien disebut bahwa kondsi rumah dan lingkungan adalah lingkungan
yang bersih dan berada di wilayah komplek perumahan. Keluarga pasien
mengatakan kemungkinan tidak ada terjadinya bahawa dari lingkungan tempat
tinggal pasien.

3. Pola Kesehatan Fungsional / Pengkajian Data Fokus


Allergy Tidak ada alergi obat dan makanan
Medication Mengkonsumsi obat – obatan sejak
rawat inap
Past Illnes Tidak ada riwayat penyakit terdahulu
Last Meal Sudah Puasa ± 6 jam pre operasi
Environment Hanya melakukan aktivitas ringan
Look Tidak terdapat trauma diluar tubuh
pasien
Evaluation 3 jari pasien membuka mulut
3 jari mandibula-hioid
2 jari dari hyoid-cartilago tiroid
Mallampati Mallampati I
Terlihat palatum mole, palatum durum,
uvula, dan pillar laring
Obstruksi Tidak terdapat obstruksi
Neck Mobility Pergerakan leher normal

4. Pemeriksaan Fisik ( Head To Toe)


Hasil pengkajian pemeriksaan fisik pada An. V preoperasi orif fractur
antebrachii hari pertama didapat :
 Kesadaran : composmentis,
 Penampilan : lemas, pucat, gelisah, meringis
 Kepala : bentuk kepala mesocephal, bersih, rambut tidak rontok dan
tidak ada ketombe, warna rambut hitam kecokelatan
 Mata : Penglihatan normal, bentuk selaras, konjungtiba merah muda,
selera mata berwarna putih, tidak memakai alat bantu
 Hidung : Bentuk simetris, terdapat sedikit secret, tidak ada epistaksis,
tidak ada polip, tidak ada nafas cuping hidung, tidak memakai oksigen
 Telinga : Bentuk Simetris, telinga bersih tidak ada serumen, tidak
terdapat benjolan, tidak memakai alat bantu pendengaran
 Mulut dan Tenggorokan : Tidak kesulitan berbicaa, tidak ada gigi
ompong, warna gigi putih, tidak susah menelan, tidak ada benjolan di
leher, tidak terdapat pembesaran tonsil
 Dada :
- Jantung : Inspeksi ( normal, ictus cordis tidak tampak) , Palpasi ( detak
jantung normal, ictus cordis pada ics 5), Perkusi (Normal), Auskultasi
( Suara ireguler )
- Paru : Inspeksi ( bentuk dada simetris), Palpasi ( tidak ada nyeri tekan),
perkusi (suara sonor) , auskultasi ( suara vesikuler )
- Abdomen : Inspeksi (simestris, palpasi : tidak ada bising usus), perkusi
(suara timpani) , auskultasi ( normal, terdengar tiap 10-30 detik)
 Genetalia : daerah genital bersih, tidak ada luka, tidak ada tanda-tanda infeksi, tidak
terpasang kateter.
 Kulit : kulit bersih, warna kulit coklat tua, lembab, tidak ada turgor, ada edema pada
tangan kiri, tidak ada luka pada tangan kiri, tidak ada perdarahan pada tangan kiri klien.
 Terpasang Infus : daerah tusukan infus dibagian tangan kanan, tak ada gejala infeksi pada
infus, ada nyeri tekan ringan pada daerah tusukan infus
 Kemampuan befungsi : kemampuan otot menurun, ekstremitas atas susah di gerakkan,
klien takut menggerakkan tangannya karena nyeri
 Status Hemodinamik :
- TD : 120 / 54
- HR : 70x / menit
- RR : 20x / menit
- SaO2 : 99%
 Status Gizi :
- BB : 40 kg
- TB : 150 cm
- IMT : 40 kg / m2
5. Data Penunjang
a. Hasil Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan Ket
Hemoglobin 13.5 11.7 – 15.5 g/dl
Hematokrit 44 33.0 – 45.0 %
Leukosit H 11.81 3.00 – 11.00 ribu / µL
Trombosit 238 150 – 440 ribu / µL

CT 4.00 1–6 menit


BT 13.0 9 - 15 menit

6. Pemeliharaan Cairan
a. Kebutuhan carian basal (M) = 4 cc x 40 kgBB
= 160 cc
b. Pengganti Puasa ( PP ) = jam puasa x M
= 6 jam x 160 cc
= 960
c. Stress Operasi = Jenis operasi ( b/s/k) x BB
= 6 cc / kgBB x 40
= 240 cc / jam
d. Kebutuhan Cairan
- Jam I = M + ½ PP + SO
= 160 cc + 480 cc + 240 cc
= 880 cc

- Jam II = M + ¼ PP + SO
= 160 cc + 240 cc + 240 cc
= 640 cc

- Jam III = M + ¼ PP
= 160 cc + 240 cc
= 400 cc
- Jam IV = M + SO
= 160 cc + 240 cc
= 400 cc

7. Diagnosa Anestesi
Pasien didiagnosa mengalami close fracture antebrachii akan dilakukan
tindakan ORIF dengen general anestesi menggunakan teknik anestesi LMA (
Laringeal Mask Airway). Pasien status fisik ASA II ( Pasien dengan penyakit sistemik
ringan sedang).

B. Persiapan Penatalaksanaan Anestesi


1. Persiapan Pasien
a. Mengecek kelengkapan status pasien
b. Pasien dianjurkan untuk puasa ±6 jam sebelum operasi
c. Pasien sudah terpasang infus RL 20 tpm pada tangan kiri, tetesan lancar
d. Pasien telah berganti baju operasi, melepas aksesoris, memakai topi operasi
dan masker
e. Mobilisasi pasien
2. Persiapan Mesin dan Alat
a. Persiapan mesin
1. Mengecek sumber gas
2. Mengecek isi volatil agen
3. Mengecek kondisi absorber
4. Melakukan kalibrasi mesin anestesi
b. Persiapan alat
1. S (Scope) : Stetoscope
2. T (Tube) :-
3. A (Airway) : Laryngeal Mask Airway (LMA) No. 2 ,
face mask
4. T (Tape) : Plester/ hepafix ±20 cm 4 lembar
5. I (Introducer) : -
6. C (Connector): -
7. S (Suction) : -
8. Spuit 3ml, 5ml, 10 ml

3. Persiapan Obat
a. Obat Pramedikasi
- Fentanyl 80 mcg
- Midazolam 2 mg
b. Obat Induksi
- Propofol 100 mg
c. Antiemetic
- Ondansentron 4 mg
- Dexamethasone 5 mg
d. Analgetik
- Paracetamol 1 g
e. Obat Emergency
- Atropin Sulfat

C. Pengkajian Intra – Anestesi


1. Anestesi Mulai : 09.30 WIB
2. Anestesi Selesai : 10.35 WIB
3. Operasi Mulai : 09.40 WIB
4. Operasi Selesai : 10.25 WIB
5. Jumlah Perdarahan : 50 cc
Tabel Monitor Intra – Anestesi
No Waktu Tekanan HR SpO2 Tindakan
. Darah
1. 09.30 115 / 80 77 100 %  Dilakukan indukasi obat –
obatan anestesi pramedikasi
( ondansentron,
dexamethasone )
 Pasien diposisikan pada
posisi supinasi
 Cairan Infus Kristaloid
terpasang ( Ringer Lactat
500 cc)
2. 09.35 110 / 75 70 99 %  Dilakukan induksi obat –
obatan ( Fentanyl 80 mcg,
midazolam 2 mg, propofol
100 mg)
 Dilakukan preoksigenasi
selama 2 – 3 menit
menggunakan Face Mask
dengan agent inhalasi
sevoflurane dan N2O
3. 09.40 123 / 80 72 99 %  Dilakukan tindakan general
anestesi ( anestesi umum )
menggunakan Laringeal
Mask Airway ( LMA)
 Operasi dimulai
4. 09.45 107 / 72 75 98 %  Monitoring status
hemodinamik pasien pada
mesin anestensi
5. 09.50 107 / 68 74 98 %  Monitoring status
hemodinamik pasien pada
mesin anestesi
6. 09.55 111 / 65 74 100 %  Monitoring status
hemodinamik pasien pada
mesin anestensi
7. 10.00 104 / 60 80 100 %  Monitoring status
hemodinamik pasien pada
mesin anestensi
8. 10.05 104 / 60 79 100 %  Monitoring status
hemodinamik pasien pada
mesin anestensi
9. 10.10 117 / 67 79 100 %  Monitoring status
hemodinamik pasien pada
mesin anestensi
10. 10.15 120 / 80 77 98 %  Monitoring status
hemodinamik pasien pada
mesin anestensi
11. 10.20 122 / 78 79 98 %  Monitoring status
hemodinamik pasien pada
mesin anestensi
12. 10.25 123 / 77 79 99%  Melakukan Ektubasi pada
pasien post operasi pada
akhir ekspirasi
 Pemasangan
Oropharyngeal airway /
OPA
 Dilakukan oksigenasi
dengan Face Mask sampai
saturasi kembali stabil
13. 10.30 120 / 70 74 99 %  Pemasangan Nasal Canule
dengan konsentrasi 2 liter /
menit
 Mobilisasi pesien menuju
Recovery Room

D. Pengkajian Post Anestesi ( Pukul 10.40 WIB, di Recovery Room / Ruang Pemulihan)
1. Situation :
Warna kulit pucat, pernafasan dangkal dibantu dengan nasal canul,Obat Hyson
100mg , Lavit C 1g, dan Fentanyl 100mcg diinjeksi kedalam cairan tutosol,
kesadaran bangun.
2. Background :
Pasient post operasi ORIF
3. Assesment :
Tekanan Darah: 127/70 , HR :78 , Saturasi: 100 %
4. Recommendation :
a. Monitor patensi jalan nafas
b. Monitoring keadaan umum dan vital sign hingga stabil
c. Monitoring luka post operasi

E. Analisis Data
Data Masalah Penyebab
Pre – Anestesi
DS : Pasien mengatakan Ansietas ( SDKI D.0080 Krisis Situsional
takut dengan tindakan halaman 180) Kekhawatiran mengalami
operasi kegagalan

DO :
 Pasien tampak gelisah
 Pada daerah yang
cedera terpasang bidai
( bantalan ekstra)
sebagai imobilisasi
pada pertolongan
pertama ( pembatasan
gerakan )
DS : Pasien mengeluh Nyeri Akut ( SDKI Agen Pencedera Fisik
sangat nyeri saat D.0077, halaman 172) (close fracture
menggerakan bagian yang antebrachii)
cedera

DO :
 Pasien tampak
meringis kesakitan
Intra Anestesi
DS : - Risiko Syok ( SDKI Sepsis
DO : D.0039, halaman 92)
Adanya pembengkakan
pada daerah fraktur
HR :
TD :
SPO2 :
DS : - Risiko Aspirasi ( SDKI Terpasangnya Laryngeal
DO : D.0006, halaman 28) Airway Mask ( LMA)
Terpasang LMA
(Laringeal Mask Airway)
dengan posisi supinasi
Post Anestesi
DS : Pasien mengatakan Gangguan Mobilitas Kerusakan integritas
kesulitan menggerakan Fisik (SDKI D.0054, struktur tulang
ekstremitas pada bagian halaman 124) Keengenan melakukan
cedera pergerakan

DO : Rentang gerak
(ROM) menurun
DS : Pasien mengeluh Gangguan Rasa Manajemen Rasa nyeri
tidak nyaman Nyaman (SDKI D.0074) post operasi yang
berkaitan dengan
DO : kerusakan jaringan atau
 Pasien tampak gelisah fungsional
 Bagian yang cedera
telah terpasang gips
DS : Defisit Perawatan diri Gangguan pada sistem
DO : Tidak mampu (SDKI D.0109) muskuloskeletal yang
melakukan atau berkaitan dengan patah
menyelesaikan aktifitas tulang
perawatan diri
Tidak mampu mandi /
mengenakan pakaian /
makan / ke toilet / berhias
secara mandiri

F. Diagnosa Keperawatan dan Prioritas Masalah


1. Pre-Anestesi
a. Ansietas b.d krisis situsional d.d pasien tampak gelisah dan mengatakan takut
pada tindakan operasi
b. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik d.d pasien mengeluh sangat merasa nyeri
saat menggerakan bagian yang cedera
2. Intra-Anestesi
a. Risiko syok b.d sepsis d.d terdapat pembengkakan pada daerah yang
terdiagnosa close fracture antebrachii
b. Risiko aspirasi b.d terpasangnya LMA ( Laringeal Mask Airway)
3. Post Anestesi
a. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang dan
keenganan untuk melakukan pergerakan d.d rentang gerak ( ROM ) menurun
dan pasien mengatakan tidak dapat menggerakan ektremitas pada bagian yang
cedera
b. Gangguan rasa nyaman b.d Manajemen Rasa nyeri post operasi yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan atau fungsional d.d pasien mengeluh tidak nyaman
dan tampak gelisah
c. Defisit perawatan diri b.d gangguan pada sistem muskuloskeletal yang
berkaitan dengan patah tulang d.d pasien tidak mampu melakukan aktivitas
perawatan diri secara mandiri
Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi

Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Tindakan Implementasi Evaluasi


Pre-Anestesi
Ansietas b.d krisis Setelah dilakukan Observasi  Mengidentifikasi S : Pasien mengatakan
situsional d.d pasien tindakan keperawatan, 1. Identifikasi saat tingkat ansietas pasien lega karena tindakan
tampak gelisah dan maka ansietas diharapkan tingkat ansietas  Monitoring tanda – operasi telah selesai
mengatakan takut pada menurut dengan kriteria berubah tanda ansietas
tindakan operasi hasil : 2. Identifikasi  Menemani pasien O : Pasien tampak tenang,
( SDKI D.0080 halaman 1. Verbalisasi khawatir kemampuan menuju ruang operasi status hemodinamik
180) akibat tindakan mengambil keputusan  Menganjurkan untuk pasien stabil
operasi yang telah 3. Monitor tanda-tanda mengungkapkan
dihadapi menurun ansietas (verbal dan perasaan dan persepsi A : Masalah teratasi

2. Perilaku gelisah nonverbal) pasien


menurun Terapeutik P : Intervesi Selesai

3. Perilaku tegang 1. Menciptakan suasa


menurun terapeutik untuk
4. Pola tidur membaik menumbuhkan
kepercayaan
2. Temani pasien untuk
mengurangi
kecemasan , jika
memungkinkan
3. Gunakan pendeketan
yang tenang dan
meyakinkan
4. Diskusikan
perencenaan realistis
tentang peristiwa yang
akan datang
Edukasi
1. Informasikan
secara faktual
mengenai
diagnosis,
pengobatan, dan
prognosis
2. Anjurkan
mengungkapkan
perasaan dan
persepsi

(SIKI I.09314)
(SIKI I.09326)
Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan Manajemen Nyeri  Monitor kualitas nyeri S : Pasien mengatakan
pencedera fisik d.d pasien tindakan keperawatan, Observasi  Monitor intensitas nyeri pada daerah lengan
mengeluh sangat merasa maka tautan nyeri 1. Identifikasi faktor nyeri dengan kiri bagian bawah post
nyeri saat menggerakan meningkat dengan kriteria pencetus dan pereda menggunakan skala operasi, nyeri yang dirasa
bagian yang cedera seperti hasil : nyeri  Ajarkan teknik seperti di tusuk-tusuk
ditusuk- tusuk dengan 1. Melaporkan nyeri 2. Monitor kualitas nyeri nonfarmakologis dengan sekali nyeri 3
sekala nyeri 5, dan nyeri terkontrol 3. Monitor lokasi dan untuk mengontrol rasa
yang dirasa hilang timbul, meningkat penyebaran nyeri nyeri O : Wajah pasien terlihat
pasien tampak meringis 2. Kemampuan 4. Monitor intensitas  Kolaborasi pemberian meringis
kesakitan mengenali inset nyeri dengan obat analgetik Pasien menderita close
nyeri meningkat menggunakan sekla frakture antebrachii
(SDKI D.0077,
halaman 172) 3. Kemampuan 5. Monitor durasi dan
menggunakan frekuensi nyeri A : Masalah nyeri teratasi

teknik Terapeutik sebagian

nonfarmakologis 1. Ajarkan teknik


meningkat nonfarmakologis P : Lanjutkan Intervensi

4. Keluhan nyeri untuk mengurangi


penggunaan rasa nyeri
analgesik menurun 2. Fasilitasi istirahat
5. Meringis menurun dan tidur
6. Frekuensi nadi
membaik Edukasi
7. Pola nafas 1. Anjurkan
membaik memonitor nyeri
8. Tekanan darah secara mandiri
membaik 2. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat

Kolaborasi pemberian
obat analgetik
Intra- Anestesi
Risiko syok b.d sepsis d.d Setelah dilakukan Observasi  Monitoring status S:-
terdapat pembengkakan tindakan keperawatan 1. Monitor status hemodinamik pasien
pada daerah yang maka risiko syok dengan hemodinamik  Monitoring status O : Pasien tampak mulai
terdiagnosa close fracture kriteria hasil : 2. Monitor status cairan pasien membuka mata dan
antebrachii 1. Kekuatan nadi cairan  Terapi oksigen dengan merespon panggilan
( SDKI D.0039, meningkat 3. Monitor tingkat nasal canule untuk Warna kulit kembali
halaman 92) 2. Tingkat kesadaran kesadaran dan mempertahankan normal
meningkat respon pupil saturasi pasien Status hemodinamik
3. Pucat menurun 4. Periksa Riwayat pasien stabil
4. Tekanan darah
sistolik dan Alergi
diastolik membaik
5. Freuensi nadi dan Terapeutik A : Masalah teratasi

nafas membaik 1. Berikan terapi sebagian

6. Tekanan arteri oksigen untuk


rata-rata membaik mempertahankan P : Lanjutkan intervensi

saturasi
(SLKI L.03032) 2. Persiapkan
intubasi dan
ventilasi mekanis,
jika perlu

Edukasi
1. Jelaskan
penyebab / faktor
risiko syok
2. Jelaskan tanda dan
gejala awal syok
Kolaborasi pemberian
antiinflamasi jika perlu
(SIKI I.02068)
Risiko aspirasi b.d Setelah dilakukan Manajamen Jalan Napas  Monitoring pola S:-
terpasangnya LMA ( tindakan keperawatan, ( SIKI I.01011) pernapasan pada
Laringeal Mask Airway) maka tingkat aspirasi 1. Monitor pola pasien O : telah dilakukan
(SDKI D.0006, menurun dengan kriteria napas ( frekuensi,  Monitoring adanya ekstubasi LMA (laryngeal
halaman 28) mask airway) pada akhir
hasil : kedalaman, usaha bunyi napas tambahan
1. Tingkat kesadaran napas)  Melakukan ekspirasi pasien
meningkat 2. Monitor bunyi penghisapan lender Pasien mulai bernafas
2. Kemampuan napas tambahan menggunakan mesin secara spontan
menelan 3. Monitor Sputum suction kurang dari 15 Masih dipertahankan
meningkat 4. Posisikan semi- detik kepatenan jalan napas
3. Dispnea menurun fowler/fowler  Monitoring tingkat dengan FM (face mask)
4. Kelemahan otot 5. Lakukan kesadaran, batuk
menurun penghisapan muntah, dan A : Masalah teratasi

5. Akumulasi sekret lender kurang dari kemampuan menelan sebagian

menurun 15 detik pada pasien


(SLKI L.01006)  Monitoring status P : Lanjutkan Intervensi

Pencegahan Respirasi hemodinamik pasien


(SIKI I.01018)  Mempertahankan
1. Monitor tingkat kepatenan jalan napas
kesadaran, batuk,
muntah, dan
kemampuan
menelan
2. Monitor status
pernapasan
3. Pertahankan
kepatenan jalan
napas

Post-Anestesi
Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan Dukungan Ambulasi  Identifikasi S : Pasien mengatakan
b.d kerusakan integritas tindakan keperawatan Observasi kemmapuan pasien sulit beraktivitas normal
struktur tulang dan mobilitas fisik meningkat 1. Identifikasi beraktivitas seperti biasanya karena
keenganan untuk dengan kriteria hasil : kemampuan pasien  Monitor kondisi kondisi fraktur antebrachii
melakukan pergerakan d.d 1. Pergerakan beraktifitas umum selama
rentang gerak ( ROM ) ektremitas 2. Monitor kondisi melakkukan O : Pasien menderita
menurun , fisik pasien meningkat umum selama mobilisasi fraktur pada lengan kiri
terlihat lemah 2. Kekuatan otot melakukan  Anjurkan mobilisasi bagian bawah
(SDKI D.0054, halaman meningkat tindakan dini Aktivitas pasien terlihat
124) 3. Rentang gerak mobilisasi dibantu oleh keluarga
(ROM) meningkat Pasien tampak kesulitan
4. Kelemahan fisik Edukasi jika hendak melakukan
menurun 1. Jelaskan tujuan aktivitas sehari – hari
dan prosedur
mobilisasi
2. Anjurkan A: Masalah gangguan
melakukan mobilitas fisik belum
mobilisasi dini teratasi
3. Anjurkan
mobilisasi P : Lanjutkan intervesi

sederhana yang
harus dilakukan
Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan Manajemen nyeri (SIKI  Mengidentifikasi S : Pasien mengatakan
b.d manajemen rasa nyeri tindakan keperawatan, I.08238) lokasi , karakterisi, masih terasa nyeri pada
post operasi rasa nyaman meningkat 1. Identifikasi lokasi, durasi, frekuensi, luka post op, dan merasa
(SDKI D.0074) dengan kriteria hasil : karakteristis, kualitas, dan intensitas nyeri pada lengan yang
1. Keluhan tidak durasi, frekuensi, nyeri terbalut verban
nyaman menurun kualitas, intensitas  Mengidentifikasi skala
2. Gelisah menurun nyeri nyeri O : Terdapat luka post op
3. Rasa nyeri 2. Identifikasi skala  Monitoring efek orif antebrachii dan
berkurang nyeri samping analgetik terpasang balutan verban
(SLKI L.08064) 3. Monitor efek  Menganjurkan pasien Klien masih bisa
samping untuk melakukan menggerakan ektremitas
pengunaan ROM aktif atau ROM dan jari – jarinya
analgetik pasif sesuai Terdapat bengkak pada
kesanggupan pasien jari – jari pasien karena
verban terlalu kencang
Pengaturn posisi (SIKI Obat Fentanyl 100mcg,
I.01019) Hyson 100mg, dan Lavit
1. Monitor status C 1 gr diinjeksi pada
oksigenasi cairan infus pasien
sebelum dan ( tutosol)
sesudah mengubah
posisi A : Masalah gangguan
2. Motivasi kenyamanan belum
melakukan ROM teratasi
aktif atau ROM
pasif P : Lanjutkan intervesi
3. Ajarkan cara
menggunakan
postur yang baik
dan mekanika
tubuh yang baik
selama melakukan
perubahan posisi
Defisit perawatan diri b.d Setelah dilakukan Dukungan Perawatan  Monitor tingkat S:-
gangguan sistem tindakan keperawatan diri observasi : kemandirian
selama .. perawatan diri 1. Identifikasi  Identifikasi kebutuhan O : Pasien memenuhi
muskuloskeletal meningkat dengan kriteria kebiasaan aktivitas alat antu kebersihan kebutuhan personal
(SDKI D.0109) hasil : diri sesuai usia diri, berpakaian hygiene dan aktivitas
1. Kemampuan 2. Monitor tingkat maupun berhias sehari - hari dibantu oleh
mandi meningkat kemandirian  Anjurkan melakukan keluarga
2. Kemampuan 3. Identfikasi perwatan diri secara
mengenakan kebutuhan alat konsisten sesuai A : Masalah defisit
pakaian meningkat bantu kebersihan kemampuan perwatan diri belum
3. Kemampuan diri berpakaian teratasi
makan dan minum maupun berhias
meningkat Terapeutik P : Lanjutkan Intervesi

4. Verbalisasi 1. Sediakan
keingnan lingkungan yang
melaukan terapeutik ( mis.
perawatan diri Privasi pasien)
meningkat 2. Dampingi dalam
melakukan
perawatan diri
sampai mandiri
3. Bantu jika tidak
mampu melakukan
perawatan diri
DAFTAR PUSTAKA

(Yanti Susanti, Amellia Surya Purnama, 9 September 2021)


(Nofitasari, 2016)
(Sulistia, 2021)
(Hayati, 2022)
(Krisdiyana, 2019)
(Koten, 2018)

Anda mungkin juga menyukai