Disusun Oleh :
1. Azizah Widya Rahmatia (P07120320043)
Mengetahui,
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
maghfirah dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Asuhan
Keperawatan Anestesi yang berjudul “ Asuhan Keperawatan Anestesi Dengan
Diagnosis Close Fracture Antebarachii akan dilakukan tindakan ORIF
Menggunakan Teknik General Anestesi Laringeal Mask Airway (LMA) di RSUD Hj.
Anna Lasmanah Banjarnegara”. Laporan ini disusun guna menenuhi salah satu tugas
individu pada kegiatan Praktik Klinik Anestesi Dasar (PKAD).
Penyusunan Laporan ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, baik secara moril maupun materiil. Maka dari itu, tak lupa penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Harmilah selaku Dosen Pembimbing
2. Bapak Imam selalu Pembimbing Lapangan
3. Seluruh staf Instalasi Bedah Sentral di RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara
Penulis menyadari bahwa dalam Penyusunan Laporan Asuhan Keperawatan
Anestesi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis menerima
kritikan atau saran yang bersifat memmbangun. Semoga Laporan Asuhan
Keperawatan Anestesi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun para pembaca.
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Anestesi?
2. Apakah pengertian dari Fraktur Antebrachii ?
3. Apakah yang dimaksud dengan tindakan ORIF?
4. Apakah pengertian dari Teknik Anestesi menggunakan LMA (Laringeal
Mask Airway) ?
5. Bagaimanakah penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan diagnosis
Fraktur Antebrachii dengan tindakan ORIF menggunakan teknik anestesi
General Anestesi ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberikan gambaran tentang Penatalaksanaan Anestesi dengan Teknik
General Anestesi menggunakan LMA ( Laringeal Mask Airway) pada pasien
Anak dengan diagnosis Fracture Antebrachii akan dilakukan tindakan ORIF.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan deskripsi mengenai konsep dasar dan sejarah anestesi.
b. Mampu menjelaskan dan memahami konsep dasar medis fraktur
antebrachii yang meliputi ; pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinik, pemeriksaan diagnostik, komplikasi, dan penatalaksanaan medis
khususnya dibidang anestesi.
c. Mampu mendeskripsikan gambaran tentang konsep dasar penanganan
fraktur antebrachii dengan tindakan ORIF.
d. Mampu menjelaskan dan memahami konsep pada teknik Anestesi dengan
metode General Anestesi menggunakan LMA ( Laringeal Mask Airway).
e. Mampu mendeskripsikan dan menganalisis tentang penatalaksaan teknik
anestesi dengan metode general anestesi menggunakan LMA pada pasien
(Anak V) dengan diagnosis fraktur antebrachi dan akan dilakukan
tindakan ORIF, yang meliputi ; pengkajian, analaisis data, diagnose
keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi dan evaluasi
keperawatan.
D. Manfaat
1. Bagi Institusi Pendidikan
Manfaat bagi Institusi Pendidikan yaitu dapat digunakan sebagai referensi
bagi institusi pendidikan untuk mengembangkan ilmu tentang asuhan
keperawatan anestesiologi khususnya bagi pasien dengan diagnosa fraktur
antebrachii
2. Bagi Lahan Praktik
Manfaat penulisan laporan bagi lahan praktik yaitu dapat digunakan sebagai
acuan dalam melaukan tindakan asuhan keperawatan anestesiologi bagi
pasien khususnya dengan diagnosis fraktur antebrachii yang akan dilakukan
tindakan orif dengan menggunakan teknik anesetesi menggunakan LMA, dan
melakukan pencegahan dengan memberi penyuluhan kesehatan kepada
pasien maupun keluarga pasien.
3. Bagi Masyarakat
Manfat penulisan laporan asuhan keperawatan anestesiologi bagi pembaca
yaitu dapat menjadi sumber referensi dan informasi supaya mengetahui dan
lebih mendalami bagaimana penatalaksaan pada pasien dengan diagnosa
fraktur antebrachii.
4. Bagi Penulis
Manfaat laporan asuhan keperawatan anestesiologi bagi penulis adalah
penulis diharapkan dapat menentukan diagnosa dan intervensi keperawatan
yang tepat pada pasien dengan diagnosis fraktur antebrachii dan akan
dilakukan tindakan orif menggunakan teknik anestesi dengan metode General
Anestesi (LMA / Laringeal Mask Airway).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2) Obat Sedatif
a) Tiopenthal :
1. Bubuk berbau belerang, berwarna kuning, dalam ampul 500/1000 mg. Dilarutkan dengan
aquades sampai konsentrasi 2,5%. Dosis 3- 7 mg/kgBB.
2. Melindungi otak oleh karena kekurangan O2.
3. Sangat alkalis, nyeri hebat dan vasokonstriksi bila disuntikkan ke arteri yang menyebabkan
nekrosis jaringan sekitar.
b) Propofol:
1. Dalam emulsi lemak berwarna putih susu, isotonic, dengan kepekatan 1%. Dosis induksi 2-
2,5 mg/kgBB, rumatan 4- 12mg/kgBB/jam, sedasi perawatan intensif 0,2mg/kgBB.
Pengenceran hanya dengan Dextrosa 5%.
2. Dosis dikurangi pada manula, dan tidak dianjurkan pada anak dibawah 3 thn dan ibu hamil.
c) Ketamin:
1. Kurang disenangi karena sering takikardi, HT, hipersalivasi, nyeri kepala. Paska anestesi
mual, muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Dosis bolus iv 1-2mg/kgBB, im
3-10mg/kgBB.
2. Dikemas dalam cairan bening kepekatan 5%, 10%, 1%.
d) Opioid:
1. Diberikan dosis tinggi, tak menggangu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk
pasien dengan kelainan jantung.
2. Untuk induksi dosis 20-50mg/kgBB, rumatan dosis 0,3-1 mg/kgBB/mnt.
3 Obat Analgetik Menurut kamus perobatan Oxford (2011), obat anti nyeri bermaksud suatu
obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan (aspirin dan parasetamol) digunakan
untuk meredakan nyeri kepala, nyeri gigi dan nyeri reumatik ringan manakala obat anti nyeri
yang lebih poten (narkotika atau opioid) seperti morfin dan petidin hanya digunakan untuk
meredakan nyeri berat.
a) Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS) Hampir semua obat AINS mempunyai tiga
jenis efek yang penting yaitu : 1. Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi. 2. Efek
analgesik : meredakan suatu rasa nyeri. 3. Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang
meningkat.
Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan tindakan awal obat-obat tersebut
yaitu penghambatan arakidonat siklooksigenase sekaligus menghambat sintesa prostaglandin dan
tromboksan (Rang et al., 2007). Terdapat dua tipe enzim siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-
2. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan termasuklah
platlet darah (Rang et al., 2007). Enzim ini memainkan peranan penting dalam menjaga
homeostasis jaringan tubuh khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung,
aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. COX-2 pula diinduksi
dalam sel-sel inflamatori diaktivasi. Dalam hal ini, stimulus inflamatoar seperti sitokin inflamatori
primer yaitu interleukin-1 (IL- 1) dan tumour necrosis factor-α (TNF- α), endotoksin dan faktor
pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan menjadi sangat penting dalam aktivasi enzim
tersebut. Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan
vaskular dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan A2, yang disentesis trombosit oleh
COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya
prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan
menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif (Fendrick
et al., 2018).
b) Obat Anti Inflamasi Steroid. Morgan Jr GE, Michail MS, Murray MJ (2017), Menjelaskan
bahwa opioid didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang diantagonis oleh nalokson. 1.
Analgesik Opioid Kuat Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri tumpul yang tidak
terlokalisasi dengan baik (viseral). Nyeri somatik dapat ditentukan dengan jelas dan bisa
diredakan dengan analgesik opioid lemah. Morfin parenteral banyak digunakan untuk mengobati
nyeri hebat dan morfin oral merupakan obat terpilih pada perawatan terminal. Morfin dan
analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu kisaran efek sentral yang meliputi analgesia, euforia,
sedasi, depresi napas, depresi pusat vasomotor (menyebabkan hipotensi postural), miosis akibat
stimulasi nukleus saraf III (kecuali petidin yang mempunyai aktifitas menyerupai atropin yang
lemah), mual, serta muntah yang disebabkan oleh stimulasi chemoreceptor trigger zone. Obat
tersebut juga menyebabkan penekanan batuk, tetapi hal ini tidak berkaitan dengan aktivitas
opioidnya. Efek perifer seperti konstipasi, spasme bilier, dan konstriksi sfingter Oddi bisa terjadi.
Morfin bisa menyebabkan pelepasan histamin dengan vasodilatasi dan rasa gatal. Morfin
mengalami metabolisme dalam hati dengan berkonjugasi dengan asam glukoronat untuk
membentu morfin-3-glukoronid yang inaktif, dan morfin-6-glukuronid, yaitu analgesik yang lebih
poten daripada morfin itu sendiri, terutama bila diberi intratekal. Diamorfin (heroin,
diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak daripada morfin sehingga mempunyai awitan kerja lebih
cepat bila diberikan secara suntikan. Kadar puncak yang lebih tinggi menimbulkan sedasi yang
lebih kuat daripada morfin. Dosis kecil diamorfin epidural semakin banyak digunakan untuk
mengendalikan nyeri hebat. Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam) dan dapat
diberikan secara oral maupun sublingual sesaat sebelum tindakan yang menyakitkan. Metadon
mempunyai durasi kerja panjang dan kurang sedatif dibandingkan morfin. Metadon digunakan
secara oral untuk terapi rumatan pecandu heroin atau morfin. Pada pecandu, metadon mencegah
penggunaan obat intravena.
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang
dijelaskan secara rinci sebagai berikut :
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah ( gerakan luar biasa) pergeseran
fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahi dengan membandingkannya
dengan ektremitas normal. Ektremitas tidak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat
otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenernya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm ( 1
sampai 2 inci).
4. Saat ektremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakak dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur, atau fraktur impaksi
( permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur
bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar – x pasien.
Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.
e. Pemeriksaan Diagnostik
Menururt Istianah (2017) Pemeriksaan Diagnostis antara lain :
1. Foto rontgen ( X- ray ) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
2. Scan tulang, temogram, atau scan CT / MRIB untuk memperlihatkan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, Hemokonsentrasi mungkin meningkat atau
menurun pada peradarahan selain itu peningkatan lukosit mungkin terjadi
sebagai respon terhadap peradangan.
f. Komplikasi fraktur menurut Black dan Hawks (2014)
Ada beberapa komplikasi fraktur. Komplikasi tergantung pada jenis cedera ,
usia klien, adanya masalah kesehatan lain (komordibitas) dan penggunaan obat yang
mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin, kortikosteroid, dan NSAID. Komplikasi
yang terjadi setelah fraktur antara lain :
a. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan tungkai klien
yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada kemampuan klien untuk
menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai. parestesia, atau adanya keluhan
nyeri yang meningkat.
b. Sindroma kompartemen
Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah dilapisi oleh jaringan
fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar jika otot
mengalami pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai respon terhadap
fraktur dapat menyebabkan peningkatan tekanan kompartemen yang dapat
mengurangi perfusi darah kapiler. Jika suplai darah lokal tidak dapat
memenuhi kebutuhan metabolik jaringan, maka terjadi iskemia. Sindroma
kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi yang berhubungan
dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas.
Hal ini disebabkan oleh apapun yang menurunkan ukuran kompartemen gips
yang ketat atau faktor-faktor internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia
yang berkelanjutan akan menyebabakan pelepasan histamin oleh otot-otot
yang terkena, menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi lebih
lanjut. Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak metabolisme
anaerob dan peningkatan aliran darah yang menyebabakn peningkatan tekanan
jaringan. Hal ini akan menyebabkan suatu siklus peningkatan tekanan
kompartemen. Sindroma kompartemen dapat terjadi dimana saja, tetapi paling
sering terjadi di tungkai bawah atau lengan. Dapat juga ditemukan sensasi
kesemutan atau rasa terbakar (parestesia) pada otot.
c. Kontraktur Volkman
Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma
kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang terus
menerus menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan diganti oleh jaringan
fibrosa yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma kompartemen setelah
fraktur tibia dapat menyebabkan kaki nyeri atau kebas, disfungsional, dan
mengalami deformasi.
d. Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada pasien fraktur.
Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang panjang seperti
femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan panggul. Kompikasi jangka panjang
dari fraktur antara lain: Kaku sendi atau artritis, Nekrosis avaskular, Malunion,
Penyatuan terhambat, Non-union, Penyatuan Fibrosa, Sindroma Nyeri regional
kompleks.
g. Penatalaksanaan Fraktur
Penatalaksanaan fraktur antebrachii open reduksi fraktur terbuka atau tertutup :
tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali
seperti letak semula, imobilisasi fraktur, fiksasi eksterna atau interna, mempertahankan dan
mengembalikan fungsi, reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan,
pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri, status neurovaskuler (misal:
perdarahan,nyeri,perabaan gerak) dipantau, latihan isometric dan setting otot diusahakan
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke posisi
semula dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang. Cara
pertama penangan adalah proteksi saja tanpa reposisi atau imobilisasi, misalnya
menggunakan mitela. Biasanya dilakukan pada fraktur iga dan fraktur klavikula pada
anak. Cara kedua adalah imobilisasi luar tanpa reposisi, biasanya dilakukan pada
patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi. Cara ketiga adalah reposisi dengan cara
manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi, biasanya dilakukan pada patah tulang
radius distal. Cara keempat adalah reposisi dengan traksi secara terus-menerus selama
masa tertentu. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang apabila direposisi akan
terdislokasi di dalam gips. Cara kelima berupa reposisi yang diikuti dengan
imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa reposisi secara non-operatif
diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif. Cara ketujuh berupa
reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna yang biasa disebut dengan ORIF
(Open Reduction Internal Fixation). Cara yang terakhir berupa eksisi fragmen patahan
tulang dengan prostesis (Sjamsuhidayat dkk, 2010).
C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
D. Rencana Keperawatan
E. Persiapan Tindakan Anestesi Umum
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
1. Data Umum
Pengkajian dilakukan pada pasien Anak. V pada tanggal 1 November 2022
pukul 09.00 WIB, dilakukan dengan wawancara secara langsung terhadap pasien
maupun keluarga pasien, dilanjutkan dengan observasi secara langsung pada
pasien saat pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara melihat catatan status
keperawatan pasien ( data rekam medik) seperti hasil laboratorium dan klinis.
Berdasarkan pengkajian yang sudah dilakukan penulis di IBS RSUD Hj. Anna
Lasmanah Banjarnegara didapatkan data sebagai berikut :
Nama : An. V
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 14 Tahun
Tanggal Lahir : 11 April 2008
Alamat : Petambakan RT 4/ RW 1, Banjarnegara
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SMP (Sekolah Menengah Pertama
Pekerjaan : Masih Sekolah
Diagnosis Medis : Close Fracture Antebrachii
Rencana Tindakan: ORIF
Tanggal Operasi : 1 November 2022
Dokter Bedah : dr. Dani, Sp. OT
Dokter Anestesi : dr. Bahtiar, Sp.An
Status Kesehatan saat ini penulis menemukan data pasien datang keluhan
terasa nyeri ditangan kiri dan tidak bisa digerakkan saat sedang berlatih silat.
Kemudian keluarga membwa pasien ke RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara.
Faktor terjadinya keluhan nyeri adalah saat pasien mencoba menggerakan
lengannya, lamanya keluhan setelah terjadi cedera, lalu dilakukan upaya untuk
mengatasi nyeri dengan langsung membawa kerumah sakit.
2. Anamnesa
Riwayat kesehatan lalu penulis menemukan data penyakit yang pernah
diderita pasien disebutkan bahwa pasien tidak pernah menderita penyakit
sebelumnya, pasien pada awalnya tidak pernah cedera dan kejadian ini adalah
waktu pertama kali pasien mengalami cedera, pasien juga menyebutkan tidak
pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya, pasien tidak memiliki alergi makanan
maupun obat – obatan atau lainnya.
Riwayat kesehatan keluarga penulis menemukan data penyakit yang pernah
diderita oleh keluarga pasien, seperti ayah dan ibu pasien, disebutkan bahwa
keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit seperti yang sedang diderita
oleh pasien pada saat ini, dan keluarga pun tidak sedang menderita penyakit
lainnya.
Riwayat kesehatan Lingkungan didapatkan data dari wawancara dengan
keluarga pasien disebut bahwa kondsi rumah dan lingkungan adalah lingkungan
yang bersih dan berada di wilayah komplek perumahan. Keluarga pasien
mengatakan kemungkinan tidak ada terjadinya bahawa dari lingkungan tempat
tinggal pasien.
6. Pemeliharaan Cairan
a. Kebutuhan carian basal (M) = 4 cc x 40 kgBB
= 160 cc
b. Pengganti Puasa ( PP ) = jam puasa x M
= 6 jam x 160 cc
= 960
c. Stress Operasi = Jenis operasi ( b/s/k) x BB
= 6 cc / kgBB x 40
= 240 cc / jam
d. Kebutuhan Cairan
- Jam I = M + ½ PP + SO
= 160 cc + 480 cc + 240 cc
= 880 cc
- Jam II = M + ¼ PP + SO
= 160 cc + 240 cc + 240 cc
= 640 cc
- Jam III = M + ¼ PP
= 160 cc + 240 cc
= 400 cc
- Jam IV = M + SO
= 160 cc + 240 cc
= 400 cc
7. Diagnosa Anestesi
Pasien didiagnosa mengalami close fracture antebrachii akan dilakukan
tindakan ORIF dengen general anestesi menggunakan teknik anestesi LMA (
Laringeal Mask Airway). Pasien status fisik ASA II ( Pasien dengan penyakit sistemik
ringan sedang).
3. Persiapan Obat
a. Obat Pramedikasi
- Fentanyl 80 mcg
- Midazolam 2 mg
b. Obat Induksi
- Propofol 100 mg
c. Antiemetic
- Ondansentron 4 mg
- Dexamethasone 5 mg
d. Analgetik
- Paracetamol 1 g
e. Obat Emergency
- Atropin Sulfat
D. Pengkajian Post Anestesi ( Pukul 10.40 WIB, di Recovery Room / Ruang Pemulihan)
1. Situation :
Warna kulit pucat, pernafasan dangkal dibantu dengan nasal canul,Obat Hyson
100mg , Lavit C 1g, dan Fentanyl 100mcg diinjeksi kedalam cairan tutosol,
kesadaran bangun.
2. Background :
Pasient post operasi ORIF
3. Assesment :
Tekanan Darah: 127/70 , HR :78 , Saturasi: 100 %
4. Recommendation :
a. Monitor patensi jalan nafas
b. Monitoring keadaan umum dan vital sign hingga stabil
c. Monitoring luka post operasi
E. Analisis Data
Data Masalah Penyebab
Pre – Anestesi
DS : Pasien mengatakan Ansietas ( SDKI D.0080 Krisis Situsional
takut dengan tindakan halaman 180) Kekhawatiran mengalami
operasi kegagalan
DO :
Pasien tampak gelisah
Pada daerah yang
cedera terpasang bidai
( bantalan ekstra)
sebagai imobilisasi
pada pertolongan
pertama ( pembatasan
gerakan )
DS : Pasien mengeluh Nyeri Akut ( SDKI Agen Pencedera Fisik
sangat nyeri saat D.0077, halaman 172) (close fracture
menggerakan bagian yang antebrachii)
cedera
DO :
Pasien tampak
meringis kesakitan
Intra Anestesi
DS : - Risiko Syok ( SDKI Sepsis
DO : D.0039, halaman 92)
Adanya pembengkakan
pada daerah fraktur
HR :
TD :
SPO2 :
DS : - Risiko Aspirasi ( SDKI Terpasangnya Laryngeal
DO : D.0006, halaman 28) Airway Mask ( LMA)
Terpasang LMA
(Laringeal Mask Airway)
dengan posisi supinasi
Post Anestesi
DS : Pasien mengatakan Gangguan Mobilitas Kerusakan integritas
kesulitan menggerakan Fisik (SDKI D.0054, struktur tulang
ekstremitas pada bagian halaman 124) Keengenan melakukan
cedera pergerakan
DO : Rentang gerak
(ROM) menurun
DS : Pasien mengeluh Gangguan Rasa Manajemen Rasa nyeri
tidak nyaman Nyaman (SDKI D.0074) post operasi yang
berkaitan dengan
DO : kerusakan jaringan atau
Pasien tampak gelisah fungsional
Bagian yang cedera
telah terpasang gips
DS : Defisit Perawatan diri Gangguan pada sistem
DO : Tidak mampu (SDKI D.0109) muskuloskeletal yang
melakukan atau berkaitan dengan patah
menyelesaikan aktifitas tulang
perawatan diri
Tidak mampu mandi /
mengenakan pakaian /
makan / ke toilet / berhias
secara mandiri
(SIKI I.09314)
(SIKI I.09326)
Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan Manajemen Nyeri Monitor kualitas nyeri S : Pasien mengatakan
pencedera fisik d.d pasien tindakan keperawatan, Observasi Monitor intensitas nyeri pada daerah lengan
mengeluh sangat merasa maka tautan nyeri 1. Identifikasi faktor nyeri dengan kiri bagian bawah post
nyeri saat menggerakan meningkat dengan kriteria pencetus dan pereda menggunakan skala operasi, nyeri yang dirasa
bagian yang cedera seperti hasil : nyeri Ajarkan teknik seperti di tusuk-tusuk
ditusuk- tusuk dengan 1. Melaporkan nyeri 2. Monitor kualitas nyeri nonfarmakologis dengan sekali nyeri 3
sekala nyeri 5, dan nyeri terkontrol 3. Monitor lokasi dan untuk mengontrol rasa
yang dirasa hilang timbul, meningkat penyebaran nyeri nyeri O : Wajah pasien terlihat
pasien tampak meringis 2. Kemampuan 4. Monitor intensitas Kolaborasi pemberian meringis
kesakitan mengenali inset nyeri dengan obat analgetik Pasien menderita close
nyeri meningkat menggunakan sekla frakture antebrachii
(SDKI D.0077,
halaman 172) 3. Kemampuan 5. Monitor durasi dan
menggunakan frekuensi nyeri A : Masalah nyeri teratasi
Kolaborasi pemberian
obat analgetik
Intra- Anestesi
Risiko syok b.d sepsis d.d Setelah dilakukan Observasi Monitoring status S:-
terdapat pembengkakan tindakan keperawatan 1. Monitor status hemodinamik pasien
pada daerah yang maka risiko syok dengan hemodinamik Monitoring status O : Pasien tampak mulai
terdiagnosa close fracture kriteria hasil : 2. Monitor status cairan pasien membuka mata dan
antebrachii 1. Kekuatan nadi cairan Terapi oksigen dengan merespon panggilan
( SDKI D.0039, meningkat 3. Monitor tingkat nasal canule untuk Warna kulit kembali
halaman 92) 2. Tingkat kesadaran kesadaran dan mempertahankan normal
meningkat respon pupil saturasi pasien Status hemodinamik
3. Pucat menurun 4. Periksa Riwayat pasien stabil
4. Tekanan darah
sistolik dan Alergi
diastolik membaik
5. Freuensi nadi dan Terapeutik A : Masalah teratasi
saturasi
(SLKI L.03032) 2. Persiapkan
intubasi dan
ventilasi mekanis,
jika perlu
Edukasi
1. Jelaskan
penyebab / faktor
risiko syok
2. Jelaskan tanda dan
gejala awal syok
Kolaborasi pemberian
antiinflamasi jika perlu
(SIKI I.02068)
Risiko aspirasi b.d Setelah dilakukan Manajamen Jalan Napas Monitoring pola S:-
terpasangnya LMA ( tindakan keperawatan, ( SIKI I.01011) pernapasan pada
Laringeal Mask Airway) maka tingkat aspirasi 1. Monitor pola pasien O : telah dilakukan
(SDKI D.0006, menurun dengan kriteria napas ( frekuensi, Monitoring adanya ekstubasi LMA (laryngeal
halaman 28) mask airway) pada akhir
hasil : kedalaman, usaha bunyi napas tambahan
1. Tingkat kesadaran napas) Melakukan ekspirasi pasien
meningkat 2. Monitor bunyi penghisapan lender Pasien mulai bernafas
2. Kemampuan napas tambahan menggunakan mesin secara spontan
menelan 3. Monitor Sputum suction kurang dari 15 Masih dipertahankan
meningkat 4. Posisikan semi- detik kepatenan jalan napas
3. Dispnea menurun fowler/fowler Monitoring tingkat dengan FM (face mask)
4. Kelemahan otot 5. Lakukan kesadaran, batuk
menurun penghisapan muntah, dan A : Masalah teratasi
Post-Anestesi
Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan Dukungan Ambulasi Identifikasi S : Pasien mengatakan
b.d kerusakan integritas tindakan keperawatan Observasi kemmapuan pasien sulit beraktivitas normal
struktur tulang dan mobilitas fisik meningkat 1. Identifikasi beraktivitas seperti biasanya karena
keenganan untuk dengan kriteria hasil : kemampuan pasien Monitor kondisi kondisi fraktur antebrachii
melakukan pergerakan d.d 1. Pergerakan beraktifitas umum selama
rentang gerak ( ROM ) ektremitas 2. Monitor kondisi melakkukan O : Pasien menderita
menurun , fisik pasien meningkat umum selama mobilisasi fraktur pada lengan kiri
terlihat lemah 2. Kekuatan otot melakukan Anjurkan mobilisasi bagian bawah
(SDKI D.0054, halaman meningkat tindakan dini Aktivitas pasien terlihat
124) 3. Rentang gerak mobilisasi dibantu oleh keluarga
(ROM) meningkat Pasien tampak kesulitan
4. Kelemahan fisik Edukasi jika hendak melakukan
menurun 1. Jelaskan tujuan aktivitas sehari – hari
dan prosedur
mobilisasi
2. Anjurkan A: Masalah gangguan
melakukan mobilitas fisik belum
mobilisasi dini teratasi
3. Anjurkan
mobilisasi P : Lanjutkan intervesi
sederhana yang
harus dilakukan
Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan Manajemen nyeri (SIKI Mengidentifikasi S : Pasien mengatakan
b.d manajemen rasa nyeri tindakan keperawatan, I.08238) lokasi , karakterisi, masih terasa nyeri pada
post operasi rasa nyaman meningkat 1. Identifikasi lokasi, durasi, frekuensi, luka post op, dan merasa
(SDKI D.0074) dengan kriteria hasil : karakteristis, kualitas, dan intensitas nyeri pada lengan yang
1. Keluhan tidak durasi, frekuensi, nyeri terbalut verban
nyaman menurun kualitas, intensitas Mengidentifikasi skala
2. Gelisah menurun nyeri nyeri O : Terdapat luka post op
3. Rasa nyeri 2. Identifikasi skala Monitoring efek orif antebrachii dan
berkurang nyeri samping analgetik terpasang balutan verban
(SLKI L.08064) 3. Monitor efek Menganjurkan pasien Klien masih bisa
samping untuk melakukan menggerakan ektremitas
pengunaan ROM aktif atau ROM dan jari – jarinya
analgetik pasif sesuai Terdapat bengkak pada
kesanggupan pasien jari – jari pasien karena
verban terlalu kencang
Pengaturn posisi (SIKI Obat Fentanyl 100mcg,
I.01019) Hyson 100mg, dan Lavit
1. Monitor status C 1 gr diinjeksi pada
oksigenasi cairan infus pasien
sebelum dan ( tutosol)
sesudah mengubah
posisi A : Masalah gangguan
2. Motivasi kenyamanan belum
melakukan ROM teratasi
aktif atau ROM
pasif P : Lanjutkan intervesi
3. Ajarkan cara
menggunakan
postur yang baik
dan mekanika
tubuh yang baik
selama melakukan
perubahan posisi
Defisit perawatan diri b.d Setelah dilakukan Dukungan Perawatan Monitor tingkat S:-
gangguan sistem tindakan keperawatan diri observasi : kemandirian
selama .. perawatan diri 1. Identifikasi Identifikasi kebutuhan O : Pasien memenuhi
muskuloskeletal meningkat dengan kriteria kebiasaan aktivitas alat antu kebersihan kebutuhan personal
(SDKI D.0109) hasil : diri sesuai usia diri, berpakaian hygiene dan aktivitas
1. Kemampuan 2. Monitor tingkat maupun berhias sehari - hari dibantu oleh
mandi meningkat kemandirian Anjurkan melakukan keluarga
2. Kemampuan 3. Identfikasi perwatan diri secara
mengenakan kebutuhan alat konsisten sesuai A : Masalah defisit
pakaian meningkat bantu kebersihan kemampuan perwatan diri belum
3. Kemampuan diri berpakaian teratasi
makan dan minum maupun berhias
meningkat Terapeutik P : Lanjutkan Intervesi
4. Verbalisasi 1. Sediakan
keingnan lingkungan yang
melaukan terapeutik ( mis.
perawatan diri Privasi pasien)
meningkat 2. Dampingi dalam
melakukan
perawatan diri
sampai mandiri
3. Bantu jika tidak
mampu melakukan
perawatan diri
DAFTAR PUSTAKA