Anda di halaman 1dari 147

KARYA TULIS ILMIAH

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI

PADA PASIEN SDR. A DENGAN FRAKTUR PHALANK MEDIAL DIGITI III


MANUS DEKSTRA

YANG DILAKUKAN TINDAKAN ORIEF DENGAN GENERAL ANESTESI

DI RUANG OPERASI LT. 2 RSU dr. SUYUDI PACIRAN KAB. LAMONGAN

OLEH :

ENDAH KHUSNIYATUL ARIFAH Amd.Kep

PELATIHAN ANESTESI UNTUK PERAWAT

SMF-ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

RSUD Dr. SOETOMO

SURABAYA 2020

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA PASIEN SDR.A DENGAN


DIAGNOSA FRAKTUR PHALANK MEDIAL DIGITI III MANUS DEKSTRA
YANG DILAKUKAN TINDAKAN ORIF DENGAN GA LMA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari fungsi tangan dan penggunaan jari-jari tangan sangat
penting untuk sebagian besar melakukan berbagai aktifitasdan hampir setiap profesi.Cedera
tangan merupakan cedera yang palingumum. Sebagian besar cedera pada tangan merupakan
cedera tertutup, cedera ligamen, cedera tendon, dislokasi, dan fraktur(Bowen, 2012). Cedera
tangan yang sering terlewatkan atau dianggap cedera ringan dan sering diperlakukan dengan
penanganan yang tidak tepatdengan non operatif yaitu fraktur phalanx.Fraktur
phalanxmerupakan cedera yang paling sering menyebabkan gangguan fungsional pada tangan
(Ahmad, 2006).

Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta
orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1.3 juta orang mengalami
kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi
yaitu insiden fraktur ekstrimitas atas sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi.
Menurut depkes RI (2011), Penyebab terbanyaknya adalah insiden kecelakaan, tetapi
faktor lain seperti proses degeneratif dan osteoporosis juga dapat berpengaruh terhadap
terjadinya fraktur.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktural tulang (Solomon, 2010).Fraktur phalanxadalah
terputusnya hubungan tulang jari-jari tangan yang disebabkan oleh trauma langsung pada
tangan (Helmi, 2013). Fraktur dapat terjadi pada semua bagian tubuh. Salah satunya yaitu
fraktur proximalinterphalanx(PIP).Terdapat 408 remaja yang mengalami patah tulang
disebabkan karena cedera olahraga dengan angka keseluruhan kejadian 563/tahun. 84% adalah
fraktur ekstermitas atas, fraktur yang paling umum adalah frakturphalanxdengan 28,7%, radius
dan ulna dengan 23,0%,dan metacarpus12,7%.Pada bulan Oktober 2001-Maret 2010, terdapat
69 pasien dengan 88 patah tulang tangan (phalanxdistal, phalanxmedial, phalanxproximal, dan
patah tulang metacarpal). Fraktur yang sangat umum terjadi yaitu metacarpaldan
phalanx.Terdapat 21 fraktur phalanxdistal, 21 phalanxmedial, 32 fraktur phalanxproximal, dan
14 fraktur metacarpal.

Prinsip penanganan fraktur meliputi: (1) Reduksi yaitu memperbaiki posisi fragmen yang
patah terdiri dari reduksi tertutup yaitu tindakan yang dilakukan tanpa operasi dan reduksi
terbuka yaitu tindakan yangdilakukan dengan operasi, (2) Immobilisasi yaitu suatu tindakan
untuk mencegah terjadinya pergeseran dengan cara traksi terus-menerus, pembebatan dengan
gips, fiksasi internal dan fiksasi eksternal, (3) Rehabilitasi yaitu memulihkan fungsi agar pasien
dapat kembali ke aktifitas normal (Kisner,2007). Dalam kasus inidilakukan tindakan operasi
menggunakan fiksasi internal atau Open Reduction Internal
Fixation(ORIF)denganmenggunakanScrew.

Problematika FisioterapiPostOpen Reduction Internal Fixation


(ORIF)CloseFractureProximal InterphalanxDigiti IVDextrameliputi impairment, functional
limitation,dan disability.Problematika yang termasuk impairmentmeliputi: (1) adanya nyeridan
spasme otot,(2) adanya keterbatasan LingkupGerak Sendi(LGS) proximalinterphalanx, (3)
adanya penurunan kekuatan ototfleksordan ekstensordigiti IV. Problematika yang termasuk
functional limitationadalah keterbatasan pasien untuk melakukan aktifitas fungsionalnya
dengan melibatkan pergerakan dari sendi Proximal Interphalanx, misalnya menulisdan
menggenggam. Problematika yang termasukdisabilityyaitu ketidakmampuan pasien untuk
bersosialisasi dengan optimal dilingkungan masyarakat yang berhubungan dengan hobbydan
pekerjaan.

Fisioterapidalam mengatasi problematika di atas dapat menggunakan modalitas terapi


latihan untuk upaya pemulihan dan pengembalian kemampuan fungsional. Terapi latihan adalah
salah satu modalitas Fisioterapiyang dalam pelaksanaannya menggunakan latihan gerak pasif
dan aktif (Kisner,2007). Terapi latihan yang dipilih dalam kasus ini yaitu: (1) static contraction,
(2) passive exercise,(3) active resisted exercise, (4) hold relax.Manfaat dari terapi latihan
tersebut adalah untuk mengurangi nyeri karena luka incisi,mengurangi spasme otot,
meningkatkan LingkupGerak Sendi(LGS)Proximal Interphalanxdan meningkatkan kekuatan
otot fleksor dan ekstensorphalanx.

Berdasarkan uraian di atas, maka saya tertarik untuk memberikan asuhan


keperawatan anestesi pada pasien dengan fraktur phalang medial digiti 3 manus dextra
dengan pendekatan proses keperawatan di gedung OK 1 RSU dr. Suyudi Paciran Kab.
Lamongan.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana asuhan keperawatan perianestesi pada pasien dengan fraktur phalanx
medial digiti 3 manus dextra yang dilakukan tindakan orief dengan general anestesi di
OK Lt. 2 RSU dr. Suyudi Paciran Lamongan.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Penulis mampu melakukan asuhan keperawatan anestesi pada pasien dengan


fraktur phalanx medial manus yang dilakukan tindakan orief dengan anestesi umum.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan fraktur phalanx medial
manus yang dilakukan tindakan operasi dengan general anestesi.

2. Penulis mampu menganalisa dan membuat diagnose keperawatan anestesi pada


pasien dengan fraktur phalanx medial manus yang dilakukan operasi dengan general
anestesi.

3. Penulis mampu menyusun intervensi atau rencana keperawatan anestesi pada pasien
dengan fraktur phalanx medial manus yang dilakukan operasi dengan general
anestesi.

4. Penulis mampu melakukan tindakan keperawatan anestesi pada pasien dengan


fraktur phalanx medial manus yang dilakukan operasi dengan anestesi umum.

5. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan fraktur phalanx medial
manus yang dilakukan tindakan operasi dengan general anestesi.

6. Penulis mampu melakukan dokumentasi pada pasien dengan fraktur phalanx medial
manus yang dilakukan tindakan operasi dengan general anestesi.
1.4 Manfaat Penyusunan KTI

1.4.1 Manfaat Teoritis

Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan proses


asuhan keperawatan anestesi pada pasien dengan fraktur phalanx medial manus yang
dilakukan tindakan operasi dengan general anestesi di OK 1 RSU dr. Suyudi Paciran
Lamongan.

1.4.2 Manfaat Praktik

1. Bagi penulis

Meningkatkan pengetahuan penulis tentang asuhan keperawatan anestesi pada


pasien dengan fraktur phalanx yang dilakukan tindakan operasi dengan general anestesi.

2. Bagi perawat anestesi


Sebagai bahan masukan untuk mengembangkan tingkat profesi mekanisme
pelayanan keperawatan anestesi yang sesuai dengan setandar asuhan keperawatan
anestesi.

3. Bagi institusi pendidikan


Memberi masukan bagi institusi sehingga dapat menghasilkan perawat anestesi
yang kompeten dalam memberikan asuhan keperawatan anestesi.

1.5 Metode Penulisan


Dalam penyusunan laporan kasus ini, penyusun menggunakan metode penulisan
deskriptif dalam bentuk studi kasus dengan tahap-tahapan meliputi, pengkajian,
diagnose keperawatan, perencanaan/intervensi, dan evaluasi (Nikmatur 2012).

Cara yang digunakan dalam pengumpulan data diantaranya :


1. Anamnesa
Tanya jawab/komunikasi secara langsung dengan keluarga untuk mengkaji
informasi tentang setatus, keluhan pasien. Komunikasi yang digunakan adalah
komunikasi terapiutik (Nikmatur 2012).
2. Observasi
Tindakan secara umum mengamati perilaku dan keadaan pasien (Nikmatur 2012).
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menggunakan empat cara yaitu dengan
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan indikasi, contoh : foto thorax,
pemeriksaan laboratorium, ECG, dll (Nikmatur 2012).

1.6 Lokasi dan Waktu


Pelaksanaan asuhan keperawatan anestesi dilakukan pada hari Rabu, 02 Juni 2021
di OK 1 RSU dr. Suyudi Paciran Kab. Lamongan

1.7 Strategi Pelaksanaan

1. Wawancara
2. Pemeriksaan Fisik
3. Observasi
4. Studi dokumentasi

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Anatomi & Fisiologi Ossa Manus

Anatomi fisiology adalah ilmu dalam bidang kesehatan/kedokteran yang


mempelajari didalamnya anatomi dan fisiology metabolisme tubuh, anatomi dan
fisiologi sistem syaraf, anatomi dan fisiologi digestif, otak, panggul, dan bagian tubuh
lainnya. Ilmu anatomi tubuh manusia wajib dikuasai oleh mahasiswa di bidang
kedokteran khususnya, keperawatan serta kebidanan (Bruce M. Rothschild,2009).

Ossa manus terdiri dari beberapa tulang sebagai berikut:


a. Carpals
Tulang jari tangan, dan pergelangan tangan meliputi, kelompok tulang jari tangan
atau tulang phalanx atau digiti (ossa phalanges) kelompok tulang telapak tangan atau
tulang metacarpus.

b. Metacarpal
Pergelangan tangan (ossa carpalia) yaitu tulang-tulang yang terdiri dari:

1) Bagian proximal :
 Os navikular/skapoid (tulang bentuk kepala)
 Os lunatum (tulang bentuk bulan sabit)
 Os triquetrum (tulang bentuk segi tiga)
 Os fisiformis (tulang bentuk kacang)

2) Bagian distal
 Os multangulum mavus/trapizoid (tulang besar persegi panjang)
 Os multangulum/trapezium (tulang kecil segi banyak)
 Os kapitatum (tulang berkepala)
 Os hamatum (tulang berkait)
2.2 KonsepTeori fraktur

2.2.1 Pengertianfraktur

Frakturadalahterputusnyakontinuitastulangbaikkarenatrauma,tekananmaupun
kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan
olehtraumaatautenagafisik(Price,2005).SedangkanmenurutSmeltzer(2005)fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditentukan sesuai jenis
danluasnya.Frakturterjadijikatulangdikenaistresyanglebihbesardariyangdiabsorpsinya.

2.2.2 Etiologifraktur
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
puntirmendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Patah tulang mempengaruhi
jaringansekitarnya mengakibatkan oedema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan
sendi,dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan pembuluh darah. Organ
tubuhdapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau
gerakanfragmentulang(Brunner&Suddarth, 2005)
Faktor-faktor yangmempengaruhiterjadinyafraktur:
a. Faktorekstrinsikyaitumeliputikecepatandandurasitraumayangmengenaitulang,arah
sertakekuatan tulang.
b. Faktorintrinsikyaitumeliputikapasitastulangmengabsorpsienergitrauma,kelenturan,d
ensitas sertakekuatan tulang.

Sebagianbesarpatahtulangmerupakanakibatdaricedera,sepertikecelakanmobil,
olah raga atau karena jatuh. Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhioleh arah,
kecepatan, kekuatan dari tenaga yang melawan tulang, usia penderitadan kelenturan
tulang. Tulang yang rapuh karena osteoporosis dapat mengalamipatahtulang.

2.2.3 Patofisiology

Ketika tulang patah, sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi di daerah patah
dan kedalam jaringan lunak di sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak biasanya
mengalami kerusakan akibat cidera. Reaksi inflamasi yang intens terjadi setelah patah
tulang. Sel darah putih dan sel mast terakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan
aliran darah ke area tersebut. Fogositosis dan pembersihan sel dan jaringan mati
dimulai.

Bekuan fibrin (hematoma fraktur) terbentuk ditempat patah dan berfungsi


sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas osteoblas akan segera terstimulasi
dan terbentuk tulang baru imatur, disebut kalus, bekuan fibrin segera direabsorbsi dan
sel than mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Tulang sejati
mengganti kalus dan secara perlahan mengalami klasifikasi. Penyembuhan memerlukan
waktu beberapa minggu sampai beberapa bulab (fraktur pada anak sembuh lebih cepat).
Penyembuhan dapat terganggu atau terhambat apabila hematoma fraktur atau kalus
rusak sebelum tulang sejati terbentuk, atau apabila sel tulang baru rusak selama
klasifikasi dan pengerasan (Elizabeth J. Corwin 2009 ; 337).
2.2.4 Klasifikasi Fraktur

The Orthopedic Trauma Association (OTA), secara umum fraktur diklasifikasi


berdasarkan lima hal, yaitu berdasarkan nama tulang yangterkena, lokasi fraktur, tipe
fraktur dan hubungan dengan dunia luar, bentuk atau pola patahan, dan juga kerusakan
lainnya seperti stabilitas(OTA, 2010). Adapun klasifikasi fraktur berdasarkan dengan
nama tulangyang terkena contohnya adalah fraktur humerus, fraktur femur,
frakturradius/ulnaris dan lain-lain. Sedangkan berdasarkan hubungan dengandunia luar,
fraktur dapat dibagi atas fraktur tertutup dan fraktur terbuka.
Jenisfrakturdapatdibagimenjadi:
a. Fraktur Tertutup (simple/close fracture)
Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit, tetapi
terjadi pergeseran tulang didalamnya. Pasien dengan fraktur tertutup harus diusahakan
untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin. Pasien diajarkan bagaimana cara
mengontrol pembengkakan dan nyeri yaitu dengan meninggikan ekstremitas yang
cedera, dan mulai melakukan latihan kekuatan otot yang dibutuhkan untuk pemindahan
atau menggunakan alat bantu jalan (Smeltzer & Bare, 2009)

.b. Fraktur Terbuka (complicated/open fracture)


Fraktur terbuka merupakan fraktur dengan luka pada kulit ataumembran mukosa
sampai ke patahan tulang. Klasifikasi frakturterbuka menurut Gustilo – Anderson
(Smeltzer & Bare, 2009) adalah:
1) Grade I : dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya, kerusakan jaringan
lunak minimal, biasanya tipe fraktur simple transverse dan fraktur obliq pendek.

2) Grade II : luka lebih dari 1 cm panjangnya, tanpa kerusaka


jaringan lunak yang ekstensif, fraktur komunitif sedang dan adakontaminasi.

3) Grade III : yang sangat terkontaminasi dan mengalami


kerusakan jaringan lunak yang ekstensif, kerusakan meliputi otot,kulit dan struktur
neurovascular.

4) Grade III ini dibagi lagi kedalam :


III A : fraktur grade III,tapi tidak membutuhkan kulit untuk penutup lukanya.
III B:fraktur grade III, hilangnya jaringan lunak, sehingga tampakjaringan tulang,
dan membutuhkan kulit untuk penutup (skingraft).
III C: fraktur grade III, dengan kerusakan arteri yang harusdiperbaiki, dan beresiko
untuk dilakukannya amputasi.

2.2.5 Fraktur juga dapat diklasifikasikan menurut bentuk dan pola

patahannya (Smeltzer & Bare, 2009), yaitu:


a. Fraktur transversal
Fraktur yang terjadi karena benturan langsung pada titik fraktur dengan bentuk
patahan fraktur adalah lurus melintang pada batang tulang. Fraktur ini pada umumnya
menjadi stabil kembali setelah direduksi.
b. Fraktur oblik
Fraktur ini terjadi karena benturan tak langsung ketika suatu kekuatan pada jarak
tertentu menyebabkan tulang patah pada bagian yang paling lemah. Fraktur ini
berbentuk diagonal sepanjang tulang dan biasanya terjadi karena pemelintiran
padaekstremitas.

c. Fraktur spiral
Fraktur spiral terjadi ketika sebuah anggota gerak terpuntir dengan kuat dan
biasanya disertai dengan kerusakan pada jaringan lunak. Bentuk patahan dari fraktur
spiral hampir sama dengan fraktur obilk, akan tetapi pada fraktur spiral patahannya
mengelilingi tulang sehingga seolah-olah terpilin seperti spiral.

d. Fraktur komunitiva
Fraktur komunitiva merupakan kondisi di mana tulang yang patah pecah menjdai
dua bagian atau lebih.

e. Fraktur kompresi
Fraktur yang terjadi ketika kedua tulang menumbuk (akibat tubrukan) tulang
ketiga yang berada di antaranya, contoh fraktur jenis ini adalah tumbukan antara tulang
belakang dengan tulang belakang lainnya.

f. Fraktur greenstick
Fraktur di mana garis fraktur pada tulang tersebut hanya parsial (tidak lengkap)
pada sisi konveks bagian tulang yang tertekuk, seperti ranting pohon yang lentur.
Fraktur jenis ini hanya terjadi pada anak-anak.

g. Fraktur patologik
Fraktur yang terjadi pada tulang yang sudah mengalami kelainan misalnya
metastase tumor.

2.2.6 Manifestasiklinis

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,


pemendekanekstremitas,krepitasi,pembengkakanlokaldanperubahanwarna(Smeltzer,20
05).
a. Nyeriterusmenerusdanbertambahberatsampai fragmentulangdiimobilisasi.
b. Pergeseran fragmen tulang menyebabkan deformitas tulang yang bisa
diketahuidenganmembandingkandengan bagianyangnormal.
c. Pemendekantulangyangdisebabkankarenakontraksiototyangmelekatdiatasmaupundi
bawah tempatfraktur.
d. Padapemeriksaanpalpasiditemukanadanyakrepitasiakibatgesekanantarafragmensatu
denganyanglainnya.
e. Pembengkakandanperubahanwarnalokalkulitterjadisebagaiakibattraumadanperdara
hanyangmengikuti fraktur.

Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar
X.Setelahmengalamicedera,pasienakanmengalamikebingungandantidakmenyadari
adanya fraktur, serta berusaha berjalan dengan tungkaiyang patah(Brunner &
Suddarth, 2005). Nyeri berhubungan dengan fraktur sangat berat
dandapatdikurangidenganmenghindarigerakanantarfragmentulangdansendidisekitarfra
ktur.

2.3 KonsepDasarNyeripadaFraktur

2.3.1 PengkajianNeurovaskular

Nyeri merupakan salah satu aspek dalam pengkajian neurovaskular.


Pengkajianneurovaskular pada pasien dengan trauma ekstremitas merupakan
keterampilanpentingyangharusdimilikiolehseorangperawat, menurutJudge(2007).

Pengkajian neurovaskular adalah tindakan yang dilakukan untuk mengetahui


fungsi
neurologisdanintegritasvaskulerdariekstremitas.Pengkajianinidilakukansecarasistemati
suntukmengetahuiadanyapenurunanfungsineurovaskular yang dapat membantu dalam
upaya pencegahan kematian jaringandari ekstremitas yang mengalami cedera.
Pengkajian difokuskan pada tanda dangejala penurunan status neurovaskular yang
berdasarkan pada prinsip 5 P yaitupain (nyeri), paralyze (kelemahan), pulselessness
(penurunan/ hilangnya denyutnadi, parestesia (kehilangan sensasi) dan pallor
(penurunan suhu). Pengkajianneurovaskuler dengan akurat serta pelaporan yang cepat
dan tepat dilakukan untukmencegah iskemia, deformitas atau kehilangan fungsi
permanen dari ekstremitastersebut.

Pengkajianneurovaskulardilakukanpadakasustraumamuskuloskeletal,padapasien
yangdilakukanpemasangangips,pascaoperasiorthopedikdankasuspemasangantraksi.Be
berapahalyangdiobservasipadapemeriksaanneurovaskular meliputi:
a. Warna
Warnaekstremitasyangdilakukantindakanseharusnyanaturalyangmenggambarkan
suplai arteri dan vena lancar ke area yang cedera. Warna pucatmengindikasikan
adanya sumbatan arteri dan warna kebiruan mengindikasikanadanyasumbatan vena.

b. Suhu

Judge(2007),menyatakanbahwapemeriksaansuhudariekstremitasbagianbawahyang
cedera dengan menggunakan punggung tangan. Ekstremitas
yangterasadinginmengindikasikanadanyainsufisiensiarteri.Ekstremitas yang lebih
hangat dari ekstremitas yang tidak mengalami cedera kemungkinan terdapat
stasisvena.

c. Pergerakan/movement
Pasien disuruh untuk menggerakkan jemari serta pergelangan/sendi
ekstremitassesuai dengan toleransi. Jika pasien tidak bisa melakukan secara aktif,
makabantudenganteknikpergerakanpasif.Penurunankemampuanpergerakanmengindika
sikanmasalah persarafan.

d. Pengisiankapiler/capillaryrefill
Dilakukandenganmenekanujungjaripadakukudanmelihatpengembalianwarna
sehingga menjadi normal. Tekan ujung jari kuku selama 2-3 detik sampaiberwarna
pucat kemudian lepas tekanan dan observasi waktu sampai warna kukukembaliseperti
semula:
 NormalCapillaryrefill1 –2detik
 Capillaryrefill>2detik(lambat):insufisiensiarteri

e. Sensasi

Pemeriksaaninidilakukanuntukmengetahuisensasidenganmemintapasienmenutup mata
saat melaksanakan sentuhan pada ekstremitas. Kemudian
mintapasienmendeskripsikansentuhantersebut,apakahmerasadenganbaikataukesemutan
/ tidak merasakan sentuhan.

f. Nadi
Perawatmelakukanpalpasipadadaerah-
daerahdenyutnadi.Bandingkankekuatandenyutan dengan ekstremitasyangsehat.

g. Nyeri
Pasien yang mengalami iskemia karena vaskularisasi yang buruk akan
mengalaminyeripadasaat pergerakan pasif.

2.3.2 NyeriPadaFraktur

Nyerimerupakangejalapentingyangtimbulpertamakalisaatterjadikompartemensin
drom(DavisdanLukas,2005dalamJudge,2007).Bagianpertama dari observasi
neurovaskularadalah menentukan level dari rasa
nyeriyangdialamipasien.Alatpengkajiannyeriharusmemberikanpilihansesuaikondisipas
ien.Berbagaimacamalatpengkajiannyeridapatdigunakandanmasing–
masingmempunyaikelebihandankekurangantetapiyangpalingpentingalatpengkajiannye
riharussamadigunakanolehsatuteamyangmemberikanperawatanpasien.Haliniakanmeni
ngkatkanreliabilitasdanmenurunkan subyektifitas dari pemeriksa. Numeric pain scale
yang memberikanrata-
ratadaritingkatrasanyeridenganmenggunakanskaladariangkasatusampai sepuluh sangat
berguna. Respon non verbal seperti mengepalkan tangan,meringis,berkeringat
jugapentingsebagai perwujudan nyeri.

Nyeri dapat timbul secara primer baik karena masalah muskuloskeletal


maupunmasalahpenyertanya.Misalnya;tekananpadatonjolantulangakibatdaripembidaia
n,spasmeototdanpembengkakan.Tekananyangberkepanjangandiatastonjolantulangdapa
tmenyebabakanrasaterbakar.Nyeriadalahpengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakanjaringanyangaktual maupunpotensial
(Brunner&Suddarth,2005).

Pasiendenganfrakturterjadikerusakanfragmentulangdanjaringansekitar.Jaringantu
langterutamapadaperiosteumterdapatujung-ujungsarafbebassebagai reseptor nyeri.
Kerusakan jaringan tulang dan sekitarnya mengakibatkankeluarnya mediator kimia
yaitu bradikinin, histamin dan kalium yang bergabungdengan lokasi reseptor di
nosiseptor untuk memulai transmisi neural (Clancy danMc Vicar, 1992 dalam Potter
dan Perry, 2005). Bradikinin dilepas dari plasmayang keluar dari pembuluh darah di
jaringan sekitar pada lokasi cedera jaringan.Bradikininjugaterikatdengansel-
selyangmenyebabkanreaksirantaiyangmenghasilkanprostaglandindaripemecahanfosfol
ipiddalammembranesel.Rangsangan nyeri ini menyebar disepanjang serabut saraf
perifer aferenyangterdiri atas serabut A delta yang bermielin menghantarkan impuls
secara lebihcepat daripada serabut C yang tidak bermielin. Transmisi stimulus nyeri
berakhirdibagiankornudorsalismedullaspinalis.Didalamkornudorsalis,neurotransmitter
seperti substansi glutamat dan substansi P dilepaskan
sehinggamenyebabkansuatutransmisisinapsisdarisarafperiferkesaraftraktusspinotalamu
s.Impulsnyeriditeruskankesystemsarafpusat,systemlimbik,thalamus, kortek sensori dan
kortek asosiasi sehingga nyeri dapat dipersepsikan(Potterdan Perry, 2005)

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaanyang mempengaruhi seseorang


danekstensinyadiketahuibilaseseorangpernahmengalaminya(Tamsuri,2007).Menurut
International Association for Study of Pain (IASP) yang dikutif dariLestari(2010)

Nyeriadalahsensorisubyektifdanemosionalyangtidakmenyenangkandidapatterkai
tdengankerusakanjaringanyangbersifataktualmaupunpotensial,ataumenggambarkankon
disiterjadinyakerusakan.Nyerimerupakansensasiperingatanbagiotakterhadapbeberapast
imulusyangmenyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Nyeri merupakan tanda penting
terhadapadanya gangguan fisiologis.
2.3.3 PenyebabNyeri

Wiryoatmojo(2002) dalamZahrulyza (2005) danLestari


(2010),menyatakanbahwabeberapapenyebab nyeri antaralain:
a. Rangsanganfisikmisalnyakarenaterpaparsuhu,mekanik,listrik,ataupembedahan.

b. Rangsangan kimiawi, misalnya karena ada substansia algogenikekstrensik:HCl


lambung, ATP, bradikinin, prostaglandin dari sel yang rusak, serotonin,asetilkolin,
asam laktat. Zat-zat ini akan menimbulkan rasa nyeri bila keluardarisel dan beradadi
jaringan interstisial.

2.3.4 KlasifikasiNyeri

Secaraumumnyeridiklasifikasikankedalam2jenisyaitu:
a. Nyeriakut
Nyeri akut disebabkan oleh injuri pada tubuh. Nyeri ini merupakan
peringatanadanyapotensialkerusakanjaringanyangmembutuhkanreaksitubuhyangdiperi
ntahkan oleh otak. Nyeri dapat berkembang secara cepat ataupun perlahan.Nyeri
dikatakan akut jika berlangsung paling lama 6 bulan sejak terjadinya injuripadatubuh.
b. Nyerikronis
Nyeriyangberlangsunglebihdarienambulanbiasanyadiklasifikasikansebagainyerikr
onis.Nyerikronisbiasanya akibatterjadinyapenurunanfungsitubuh.

2.3.5 Jenis-JenisNyeri

MubarakdanChayatin(2008),menyatakanbahwaadatigajenisnyeriyaitu:
a. Nyeriperifer
Nyeriperiferinidibedakanlagimenjaditigamacam,yaitu:
1) Superficialpain,nyeripadakulit,mukosaterasatajamatausepertiditusuk,akibat dari
rangsanganfisik, mekanis, kimiawi.
2) Deeppain(nyeridalam),nyeripadadaerahviscera,sendipleura,peritoneum

3) Referred(menjalar),kejangototdidaerahlain, nyeridirasakanpadadaerahyangjauh
darisumberrangsangan,seringterjadipadadeeppain.

b. Nyeri sentral (central pain), akibat rangsangan pada tulang belakang,


batangotak,dan thalamus.

c. Nyeri psikogenik, keluhan nyeri tanpa adanya kerusakan di organ tempat


dantingkatkeparahanberupa(rekayasa).Nyeripsikogeniktidakdiketahuipenyebab
fisiknya. Seringkali muncul karena faktor psikologis bukan
karenafaktorfisiologis.

2.3.6 FisiologiNyeri
Murdianto(2009),menyatakanreseptornyeriadalahorgantubuhyangberfungsiuntuk
menerimarangsangnyeri.Organtubuhyangberperansebagaireseptornyeri adalah ujung
saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimuluskuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,secara anatomis reseptor
nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada jugayangtidak bermielin
darisarafperifer.
Nosireseptor berdasarkan letaknya dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaiantubuh yaitu pada kulit (kutaneus), dalam (deep somatic), dan pada daerah,
karenaletaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi
yangberbeda.Nosireceptorkutaneusberasaldarikulitdansubkutan,nyeriyangberasaldari
daerahini biasanyamudah untukdialokasi dandidefinisikan.

Reseptorjaringankulit(kutaneus)terbagidalamduakomponenyaitu:
a. ReseptorAdelta
Merupakanserabutkomponencepat(kecepatantranmisi6-30m/
det)yangmemungkinkantimbulnyanyeritajamyangakancepathilangapabilapenyebabnye
ri dihilangkan.

b. SerabutC
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0, 5 m/det)
yangterdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulitdilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang,pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena
strukturreseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan
sulitdilokalisasi. Spasme otot menimbulkan nyeri karena menekanpembuluh darah
yang menjadi anoksia. Spasme otot juga dapat berakibat anoksia.
Pembengkakanjaringan menjadi nyeri akibat tekanan kepada nosiseptor yang
menghubungkanjaringan(Brunner&Suddarth, 2005).

2.3.7 TeoriTransmisiNyeri
Impuls nyeri dialirkan ke sumsum tulang belakang oleh dua jenis serabut
yaituserabut- serabut yang bermielin rapat disebut serabut A-delta dan serabut
lambanyang disebutb serabut C. Menurut Long (1997) terdapat beberapa teori
tentangterjadinya pengirimanrangsangannyeriyaitu :

a. Teoripengendaliangerbang(GateControlTheory)
Menurutteoriini,nyeritergantungdarikerjasarafbesardankecilyangterdapat pada
akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat saraf besar akanmeningkatkan aktifitas
substansia gelatinosa yang mengakibatkan tertutupnyapintu mekanisme (gate control)
sehingga aktifitas sel T terhambat sehinggarangsangan ikut terhambat. Rangsangan
saraf besar ini langsung
merangsangkortekscerebri.Hasilpersepsiiniakandikembalikankemedullaspinalismelalui
seratefferent.Rangsanganseratsarafkecilmenghambatsubstansiagelatinosa sehingga
membuka pintu mekanisme gate control, mengaktivasi selTdan menghantarkan nyeri.

b. Teoripemisahan(specifitytheory)
Menurut teori ini rangsangan sakit masuk ke medulla spinalis melalui
kornudorsalis yang bersinap didaerah posterior, kemudian naik ke traktus lissur
danmenyilang di garis median ke sisi lainnya dan berakhir di korteks
sensoristempatrangsangan diteruskan.
c. Teoripola(patterntheory)
Rangsangan nyeri masuk melalui akar dorsalis ke medulla spinalis
kemudianmerangsang aktifitas selT mengakibatkan responyang merangsang
bagianlebihtinggiyaitukortekserebrisertamenimbulkanpersepsi.

d. Teoritransmisidaninhibisi
Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls saraf
sehinggamenjadilebih efektifolehneurotransmitteryangspesifik.

Sejumlahsubstansidilepaskankejaringanekstraselulersebagaiakibatdarikerusakanj
aringan.Zat–zatkimiayang
meningkatkantransmisiataupersepsinyerimeliputihistamin,bradikinin,asetilkolin,dansu
bstansiprostaglandin.Prostaglandinadalahzatkimiayangdidugadapatmeningkatakansens
itivitasreseptornyeri dengan meningkatkanefekdari bradikinin.

2.3.8 KarakteristikNyeri
Karakteristik nyeri meliputi letak atau lokasi, durasi, irama dan kualitas
(Brunner&Suddarth,2005).Nyerimerupakankejadianyangbersifatindividu.Untukmengk
ajinyeri dapatdilakukan denganpendekatan PQRST yaitu:
P : Provocating (pemicu) faktor yang memperberat atau meringankan nyeri
Q : Quality (kualitas) tumpul, tajam, merobek
R : Region (daerah) lokasi
S : Severity (keparahan)
T:Time(waktu)serangan,lamanya

2.3.9 SkalaIntensitasNyeri
Untuk mengetahui suatu tindakan terhadap nyeri berhasil atau tidak, maka
perluadanya suatu alat ukur. Menurut AHCPR (Agency for Health care policy
andresearch, 1992 dalam Lestari, 2010) ada beberapa metode pengukuran
tingkatnyerisepertiyangterlihat dalamgambarberikut ini:

a. SkalaVisualAnalogNyeri (VisualAnalog Scale)


Skala analog visual (Visual Analog Scale) adalah suatu garis lurus yang
mewakiliintensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya.Skalainimemberiklienkebebasanpenuhuntukmengidentifikasikeparahannyeri.
VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih karena kliendapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satukataatau
satuangka(Potter, 2005).

b. SkalaIntensitasNyeriNumerik(NumericPainRatingScale)
Skala penilaian NPRS (Numerical Pain Rating Scales) lebih digunakan
sebagaipenggantialatpendeskripsikata.Dalamhalini,klienmenilainyeridenganmengguna
kanskala0-
10.Skalainipalingefektifdigunakansaatmengkajiintensitasnyerisebelumdansetelahinterv
ensiterapeutik.Apabiladigunakanskalauntukmenilainyeri,makadirekomendasikanpatok
an10cm(AHCPR,1992).

a. Wong baker rating pain scale


Digunakan pada pasien dewasa dan anak diatas 3 tahun yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka
2.3.10 ResponTerhadap Nyeri
Secaraobjektifresponnyeridapatdiamatiberupatandadangejalafisiknya.MenurutPo
tter&Perry(2006)beruparesponfisiologisdanresponprilakusebagaiberikut:
a. Responprilakuakibatnyeri
Respon prilaku terhadap nyeri meliputi pernyataan verbal, prilaku vokal,
ekspresiwajah, gerakan tubuh, kontak fisik dan perubahan respon terhadap
lingkungan,seperti:

1) Menangis
2) Merintih
3) Mendesis
4) Merenggut
5) Memegangbagiantubuhyangterasanyeri
6) Takutmenggerakkanbagiantubuh
7) Mengepalkantangan
8) Menarikdiri

b. Responfisiologisterhadapnyeri
Padanyeriakutakanterjadiakanterjadiperubahanfisiologisyangdianggapsebagaiind
ikatornyeri:
1) Peningkatanfrekuensipernafasan
2) Peningkatanfrekuensinadi
3) Pucat berkeringat

2.3.11 Faktor– FaktorYangMempengaruhiResponNyeri


Prohealth (2009), menyatakan bahwa nyeri yang dialami pasien dipengaruhi
olehsejumlahfaktorantaralain:

a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
responnyeripadaanak.Padaorangdewasakadangmelaporkannyerijikasudahpatologisdan
mengalamikerusakanfungsi.Padalansiacenderungmenyembunyikannyeriyangdialami,k
arenamerekamenganggapnyeriadalahhal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut
kalau mengalami penyakit beratataumeninggal jikanyeridiperiksakan.

b. Maknanyeri
Maknanyeriberhubungandenganbagaimanapengalamanseseorangterhadapnyerid
an dan bagaimanamengatasinya.

 Jeniskelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara
signifikandalammeresponnyeri, lebihdipengaruhi budaya contoh: tidakpantas
kalaulaki-lakimengeluhnyeri sedangkanwanitaboleh mengeluhnyeri.

 Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadapnyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri
adalahakibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka
tidakmengeluhjikaadanyeri.

 Perhatian
Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri, dapat
mempengaruhi persepsi nyeri.

 Ansietas
Cemasmeningkatkanpersepsiterhadapnyeridannyeribisamenyebabkanseseorangce
mas.
 Pengalamanmasalalu
Seseorang
yangpernahberhasilmengatasinyeridimasalampau,dansaatininyeriyang sama timbul,
maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudahtidaknya seseorang mengatasi
nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalammengatasinyeri.

 Polakoping
Polakopingadaptifakanmempermudahseseorangmengatasinyeridansebaliknya
pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasinyeri.

 Supportkeluarga
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluargaatauteman dekatntukmemperoleh dukungan danperlindungan.

2.3.12 ManajemenNyeri

Metode nonfarmakologi yang dapat digunakan untuk pengelolaan nyeri


menurutBrunner &Suddarth (2005) adalah:
a. Stimulasidan masasekutaneus
b. Terapiesdanpanas
c. Stimulasisarafelektristranskutan(TrancutaneusElectricalNerveStimulating)
d. Distraksi
e. Teknikrelaksasipernafasandanrelaksasiototprogresif
f. Imaginasiterbimbing
g. Hypnosis
h. Metodebedahneurodaripenatalaksanaannyeri

MetodefarmakologimenurutLong(1997)dalamLestari(2010)pengelolaannyeri
menggunakan farmakologi dilakukan dengan pemberian obat- obatan
yangterdiridarianalgesik,narkotik,analgesiknonnarkotik,NonSteroidAntiinflamatoryDru
g(NSAID) danobat lainuntuk mengurangi rasa nyeri.
2.3.13 KomplikasiFraktur

KomplikasifrakturmenurutBrunner &Suddarth(2005)dibagimenjadi2yaitu:
a. Komplikasiawal
1) Syok
Syok hipovolemik akibat dari perdarahan karena tulang merupakan organyang
sangat vaskuler maka dapat terjadi perdarahanyang sangat
besarsebagaiakibatdaritraumakhususnyapadafrakturfemurdanfrakturpelvis.

2) Embolilemak
Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam darah
karenatekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler dan katekolaminyang
dilepaskan memobilisasi asam lemak kedalam aliran darah.
Globulalemakinibergabungdengantrombositmembentukemboliyangdapatmenyumbat
pembuluh darah kecil yang memasok darah ke otak, paru-paru,ginjal dan organ
lainnya.

3) CompartmentSyndrome
Compartmentsyndromemerupakanmasalahyangterjadisaatperfusijaringan dalam
otot kurang dari yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan
olehkarenapenurunanukuranfasiayangmembungkusototterlaluketat,balutanyangterlalu
ketatdanpeningkatanisikompartemenkarenaperdarahanatau edema.

4) Komplikasi awal lainnya seperti infeksi, tromboemboli dan


koagulopatiintravaskular.

b. Komplikasilambat
1) Delayedunion,malunion, nonunion
Penyatuanterlambat(delayedunion)terjadibilapenyembuhantidakterjadi dengan
kecepatan normal berhubungan dengan infeksi dan
distraksi(tarikan)darifragmentulang.Tarikanfragmentulangjugadapatmenyebabkan
kesalahan bentuk dari penyatuan tulang (malunion). Tidakadanya penyatuan
(nonunion) terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujungdari patahan tulang.
2) Nekrosisavaskulartulang
Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kekurangan asupan darah dan mati.Tulang
yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengantulang yang baru.
Sinar-X menunjukkan kehilangan kalsium dan kolaps strukturalReaksiterhadap
alatfiksasiinterna.

Alat fiksasi interna diangkat setelah terjadi penyatuan tulang namun


padakebanyakanpasienalattersebuttidakdiangkatsampaimenimbulkangejala.Nyeridanp
enurunanfungsimerupakanindikatorterjadinyamasalah. Masalah tersebut meliputi
kegagalan mekanis dari pemasangandan stabilisasi yang tidak memadai, kegagalan
material, berkaratnya alat,respon alergi terhadap logam yang digunakan dan
remodeling osteoporotikdisekitaralat.

2.4 PenatalaksanaanFrakturdanKegawatdaruratannya

Menurut Brunner & Suddarth (2005) selama pengkajian primer dan


resusitasi,sangatpentinguntukmengontrolperdarahanyangdiakibatkanolehtraumamusku
loskeletal. Perdarahan dari patah tulang panjang dapat menjadi
penyebabterjadinyasyokhipovolemik.Pasiendievaluasidenganseksamadanlengkap.Ekst
remitas sebisa mungkin jangan digerakkan untuk mencegah kerusakan
softtissuepadaareayangcedera.

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi


semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah
tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat, 2011).

1. Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi dilakukan
pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius distal.
Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu, misalnya
beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada
fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips.
Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur
(Nayagam, 2010).

Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang


secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur. Fragmen
direposisi secara nonoperatif dengan meja traksi, setelah rereposisi, dilakukan
pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur (Nayagam, 2010).

Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar dilakukan untuk fiksasi
fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen
tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh dengan batangan logam di kulit luar.
Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan
lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu
berisiko untuk terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur
di sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak
untuk operasi yang aman, pasien dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang
panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala, fraktur
dengan infeksi (Nayagam, 2010).

Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan
fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan bawah.
Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga
plat dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah
dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah
operasi tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi.
Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan
operasi, fraktur yang tidak stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah
reduksi fraktur dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur femoral neck),
fraktur patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan
komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien
geriatri) (Nayagam, 2010; Sjamsuhidajat dkk, 2011; Bucholz; Heckman; Court-Brown,
2006).
2. Reduksi fraktur
Berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran
danrotasianatomis.Reduksibisa
dilakukansecaratertutup,terbukadantraksitergantungpadasifatfrakturnamunprinsipyang
mendasarinyatetapsama.

3. Traksi
Traksidigunakanuntukreduksidanimobilisasi.MenurutBrunner&Suddarth
(2005), traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian
tubuhuntukmeminimalisasispasmeotot,mereduksi,mensejajarkan,sertamengurangidefo
rmitas. Jenis–jenis traksi meliputi:

 Traksikulit: Bucktraction,Russeltraction,Dunloptraction
 Traksiskelet:traksiskeletdipasanglangsungpadatulangdenganmenggunakan pin
metal atau kawat. Beban yang digunakan pada
traksiskeletal7kilogramsampai12kilogramuntuk mencapaiefektraksi.

4. Imobilisasifraktur

Setelahfrakturdireduksi,fragmentulangharusdiimobilisasi,ataudipertahankandalamposi
sidankesejajaranyangbenarsampaiterjadipenyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi interna atau eksterna.Fiksasi eksterna dapat menggunakan pembalutan,
gips, bidai, traksi kontinu pindanteknik gips.Fiksatorinternadenganimplant logam.

5. Mempertahankandanmengembalikanfungsi

Latihanototdilakukanuntukmeminimalkanatrofidanmeningkatkanperedarandarah.Partis
ipasidalamaktifitassehari-haridiusahakanuntukmemperbaikikemandirian fungsi dan
hargadiri.

2.5 KonsepDasarPembidaian
2.5.1 PengertianPembidaian

Saleh(2006),menyatakanbahwapembidaian(splinting)adalahsuatucarapertolonga
n pertama pada cedera atau trauma pada sistem muskuloskeletal
yangharusdiketahuiolehdokter,perawat,atauorangyangakanmemberikanpertolongan
pertama pada tempat kejadian kecelakaan. Pembidaian adalah carauntuk
mengistirahatkan (imobilisasi) bagian tubuh yang mengalami cedera
denganmenggunakansuatu alat.

Fitch (2008), menyatakan bahwa pembidaian mengimobilisasi ekstremitas


yangmengalami cedera dan melindungi dari cedera yang lebih lanjut, mengurangi
nyeridan perdarahan serta digunakan untuk memulai proses penyembuhan.
Pemakaianpembidaian pada pasien rawat jalan termasuk didalamnya fraktur, dislokasi
dansprainotot.Stabilisasidariektremitasyangpatahtulangdenganpembidaianmembantuk
esejajarantulangdanmengurangiketidak nyamanan.

Sesudah
dilakukanreduksidaridislokasi,posisianatomidijagadenganpembidaian.Menurut Saleh
(2006), bidai dapat kaku atau lunak. Ada bidai buatan pabrik untukpenggunaan pada
tempat tertentu pada tubuh kita dan ada pula bidai yang dapatdibuat dengan
melakukan improvisasi dari barang atau benda yang sudah adadisekitarkita.

2.5.2 TujuanPembidaian

Saleh (2006), menyatakan bahwaada 5 alasan dalam melakukan


pembidaianpadacederamusculoskeletalyaitu:
a. Untuk mencegah gerakan (imobilisasi) fragmen patah tulang atau sendi yang
mengalamidislokasi.
b. Untuk meminimalisasi/mencegah kerusakan pada jaringan lunak sekitar tulangyang
patah (mengurangi/mencegah cedera pada pembuluh darah, jaringan sarafperiferdan
padajaringanpatah tulangtersebut).
c. Untukmengurangiperdarahandanbengkakyangtimbul.
d. Untukmencegahterjadinyasyok.
e. Untukmenguranginyeri danpenderitaan.

2.5.3 KontraIndikasiPembidaian

Fitch (2008) menyatakan bahwa meskipun tidak ada kontraindikasi absolut


dalammenggunakan pembidaian/splinting pada ekstremitas yang mengalami
cedera,beberapa hal unik harus diperhatikan. Pembengkakan alami akan terjadi
sesudahterjadicederadapatmenjadi hambatandari keamananmetodedariimobilisasi.

2.5.4 PrinsipDasarPembidaian

Prinsipdasarpembidaianiniharusselaludiingatsebelumkitamelakukanpembidaian(Saleh,
2006).
a. Harusmelakukanproteksidirisebelumpembidaian
b. Janganmelepaskanstabilisasimanualpadatulangyangcederasampaikitabenar-
benarmelakukanpembidaian
c. Jangan mereposisiataumenekanfragmen tulangyangkeluar kembali ketempatsemula

d. Bukapakaianyangmenutupitulangyangpatahsebelummemasangbidai
e. Lakukan balut tekan untuk menghentikan perdarahan pada fraktur
terbukasebelummemasangbidai.
f. Bidaiharusmelewatisendiproksimaldansendidistaldaritulangyangpatah
g. Bila persendian yang mengalami cedera, lakukan juga imobilisasi pada
tulangproksimal dan distal darisendi tersebut
h. Berikan bantalan atau padding untuk mencegah penekanan pada bagian
tulangyangmenonjol dibawahkulit
i. Sebelumdansesudahmemasangbidailakukanpenilaianterhadapnadi,gerakan dan
rasa /sensasi pada bagian distal dari tempat yang fraktur ataucedera
j. Berikandukungandantenangkanpenderitamenghadapicederaini.

2.5.5 Tipe-TipeBidai/Splint
Gilbert (2011) menyatakan bahwa pembidaian membantu mengurangi
komplikasisekunder dari pergerakan fragmen tulang, trauma neurovaskular dan
menguranginyeri.Adabeberapamacamsplint,yaitu:

a. Hardsplint (bidaikaku)
Bidaikakubiasanyadigunakanuntukfrakturekstremitas.Bidaikakusederhana bisa
dibuat dari kayu dan papan. Bidai ini juga bisa dibuat dariplastik, aluminium,
fiberglass dan gips back slab. Gips back slab ini dibentukdan diberi nama sesuai
peruntukannya untuk area trauma yang dipasang bidai.Gips back slab merupakan alat
pembidaian yang lebih baik dan lebih tepatdigunakan pada ekstremitas atas dan bawah
serta digunakan untuk imobilisasisementarapadapersendian.

b. Softsplint (bidai lunak)

Pembidaiandimulaidaritempatkejadianyangdilakukanolehpenolongdenganmenggunaka
nalatpembidaiansederhanasepertibantalatauselimut.

c. Airslint atauvacuumsplint
Bidai ini digunakan pada traumayang spesifik seperti bidai
udara.Bidaiudaramempunyaiefekkompresisehinggaberesikoterjadicompartmentsyndro
medan iritasi padakulit.

d. Tractionsplint(bidaidengantraksi)
Bidai dengan tarikan merupakan alat mekanik yang mampu melakukan
traksipada bidai. Bidai dengan tarikan ini biasanya digunakan untuk trauma
padadaerahfemurdansepertigabagiantengahekstremitas bawah.

2.5.6 Backslabcast

a. Pengertian
New Zealand Orthopaedic Organization (2010), menyatakan bahwa back slab
castadalahalatimobilisasipertamasebelumdilakukantindakandefinitifyangdigunakan
untuk stabilisasi dari bagian fraktur dan otot yang mengelilinginya dandigunakan
untuk mengurangi oedema (swelling) sebagai bidai. Gips ini
mudahdilepaskanbiladiperlukanpemeriksaan inspeksipadabagiantubuhyangditutupi.

Miranda (2010), menyatakan bahwa back slab cast adalah gips sementara
yangdigunakan pada penanganan pertama trauma seperti patah tulang ankle. Back
slabcastiniterdiridariplasteryang menjaga
tendonachilesdandigunakanpadabagianyangterjadipembengkakantanpamemberikanpen
ekanan.Bidaitradisionaldapatmenekanalirandarah,meningkatkanrasanyeridanketidakny
amanan. Back slab cast ini dapat membantu mengurangi nyeri, pembengkakan,spasme
otot yang terjadi ketika trauma patah tulang. Sedangkan menurut Koval &Zukerman
(2006), back slab cast ini menjaga tulang yang patah pada
kesejajaranselamaprosespenyembuhan.Backslabcastinidipasangmengikutidaerahtonjol
antulang.

b. Carapembuatan

Fitch(2008),menyatakanbahwatahappertamadalampembidaianadalahmelapisibagianek
stremitasdenganbeberapalembarbantalan(padding)padabagian tonjolan tulang atau
bagian tubuh yang mengalami iritasi. Ukur
panjangpembidaianyangdiperlukanyaitumelewatiduasendi.Gunakan3lembargipsuntuke
kstremitasatasdan6lembaruntukekstremitasbawahuntukmeyakinkan pembidaian yang
dilakukan cukup kuat.

Celupkan kedalam mangkokair yang sudah disiapkan, diamkan beberapa saat


sampai mengenai seluruh
gips,kemudianangkat,pegangsecaravertikaldangunakanduajarimenurunkansisaairpadag
ipssehinggamemudahkanpengeringankemudianlapisidenganpadding. Letakkan
dibawah ekstremitas yang akan dibidai sesuai posisi anatomis.Gunakan perban elastis
untuk memegang posisi dari back slab cast yang
dibuatdaribagianterjauhdaritubuhkebagianyanglebihdekatdaripusattubuh.Gunakan
telapak tangan pada saat pemasangan back slab cast. Setelah keringperiksa kembali
adekuat tidaknya imobilisasi yang dilakukan, posisi anatomis dankenyamananpasien.

Brunner & Suddarth (2005), menyatakan bahwa gips akan mengalami


kristalisasiyang menghasilkan pembalutan yang kaku. Kecepatan terjadinya reaksi
bervariasisekitar30menitsampai60menittergantungdariketebalandankelembabanlingku
ngan. Selanjutnya perlu pemeriksaan X-ray untuk mengetahui fraktur
ataudislokasiyangmembutuhkan reduksisebelum pembidaian dilepaskan.

c. Keunggulandaripembidaiandenganbackslabcast
Brunner & Suddarth (2005), menyatakan bahwa pasien yang menderita
masalahtulang dan sendi sering mengalami nyeri yang sangat berat. Nyeri dapat
timbulsecara primer baik karena masalah muskuloskeletal maupun masalah
penyertanyamisalnya; tekanan pada tonjolan tulang akibat dari pembidaian, spasme
otot danpembengkakan.Tekananyangberkepanjangandiatastonjolantulangdapat
menyebabkan rasa terbakar. Menurut Miranda (2010) back slab cast ini
dapatmembantumenguranginyeri,pembengkakan,spasmeototyang
terjadiketikatraumapadakasuspatahtulang.Backslabcastiniterdiridariplasteryangmenjag
a tendon dan digunakan pada bagian yang terjadi pembengkakan tanpamemberikan
penekanan. Pergerakan ekstremitas yang mengalami fraktur
setelahpembidaiandenganback slabcastsangatminimal,sehingga
dapatmencegahkerusakanfragmen tulangdan jaringansekitarnyayanglebih berat.

2.5.7 KomplikasiPembidaian
Saleh (2006) menyatakan bahwa komplikasi pembidaian biasanya timbul bila
kitatidakmelakukan pembidaian secarabenar,misalnya;
a. Bisa menekan jaringan saraf, pembuluh darah atau jaringan dibawah bidai
yangbisamemperparah cederayangsudah ada,biladipasangterlaluketat.

b. Bilabidaiterlalulonggarbisamenimbulkankerusakanpadasarafperifer,pembuluh
darah,atau jaringan sekitarnyaakibat pergerakan ujung–ujungfragmenpatah tulang.

c. Menghambatalirandarahbilaterlaluketatbisamenyebabkaniskemijaringan.

Brinkley(2010),meyatakanbahwakomplikasipembidaianantaralain:
a. Kerusakankulit
Penekanan pada kulit dapat menyebabkan iritasi dan kerusakan pada
kulitsehinggasebelumdilakukanpembidaiankulitharusbenar–
benardalamkeadaanbersih. Pasirdankotorandapat menjadi titiktekanan padakulit.

b. Compartmentsyndrome
Compartmentsyndromemerupakankomplikasiseriusdaripembidaian.Peningkatannye
ri,pembengkakan,perubahanwarnadanpeningkatantemperaturmerupakangejalapenti
ngyangharusdiperhatikan.

c. Infeksi
Kerusakan kulit dalam pembidaian dapat menjadi tempat masuknya
bakteridaninfeksi jamur.

d. Kerusakansaraf
Traumadapatmenyebabkanpembengkakanyangdapatmenimbulkanpenekanansirkula
si dankerusakan saraf.

Koval & Zukerman (2006), menyatakan bahwa back slab cast menjaga
tulangyangpatahpadakesejajaranselamaprosespenyembuhan.Backslabcastinidipasan
g mengikuti daerah tonjolan tulang. Sedangkan menurut NewZealandOrthopaedic
Organization (2010), back slab cast digunakan untuk stabilisasi daribagian fraktur
dan otot yang mengelilinginya dan digunakan untuk
mengurangioedema(swelling)sebagaibidai.Gipsinisangatmudahdilepaskanbiladiperl
ukanpemeriksaan inspeksi padabagian tubuhyangditutupi.

2.6 Proses Penyembuhan Fraktur


Black & Hawks (2009) menyebutkan bahwa tulang yang fraktur akan
melewati beberapa tahap penyembuhan diantaranya :
a. Fase Inflamasi, yaitu terjadi respons tubuh terhadap cedera yang ditandai oleh
adanya perdarahan dan pembentukan hematoma pada tempat patah tulang.Ujung
fragmen tulang mengalami divitalisasi karena terputusnya aliran darah, lalu terjadi
pembengkakan dan nyeri, tahap inflamasi berlangsung beberapa hari.

b. Fase Proliferasi, pada fase ini hematoma akan mengalami organisasi dengan
membentuk benang-benang fibrin, membentuk revaskularisasi dan invasi fibroblast
dan osteoblast. Kemudian menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks
kolagen pada patahan tulang, terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan
(osteoid) berlangsung setelah hari ke lima.

c. Fase Pembentukan Kalus, Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang


rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan.Fragmen patahan
tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur.
Waktu yang dibutuhkan agar fragmen tulang tergabung adalah 3-4 minggu. Pada
fase ini, penting sekali dilakukannya pelurusan tulang secara tepat.

d. Fase penulangan kalus/Ossifikasi, adalah pembentukan kalus mulai mengalami


penulangan dalam 2-3 minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondral.
Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu. Selama minggu
ketiga sampai kesepuluh, kalus berubah menjadi tulang dan menyatukan patahan
tulang dengan sempurna sehingga tahap ini sering disebut tahap penyatuan Pada
patah tulang panjang orang dewasa normal,penulangan tersebut memerlukan waktu
3-4 bulan.
e. Fase Remodeling/konsolidasi, merupakan tahap akhir perbaikan patah tulang
meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan
struktural sebelumnya. Pada tahap ini osifikasi terus berlanjut dan jarak antara
patahan tulang semakin hilang dan akhirnya menutup. Bersamaan dengan
terbentuknya tulang sejati melalui osifikasi, terjadi remodeling kalus oleh aktivitas
osteoblas dan osteoklas. Jaringan tulang berlebih akan direabsorpsi dari kalus.
Jumlah dan jangka waktu remodeling tulang tergantung pada tekanan yang dialami
tulang, beban tulang, dan usia

2.7 Konsep Dasar Anesthesi Umum

2.7.1 Pengertian

Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya


kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan
ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak
diinginkan dari pasien.Anestesi umum adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat
sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat
anestesia (Mangku G, Senapathi TGA, 2017)

Anestesi umum menurut American Association of Anestesiologist merupakan


pemberian obat yang menginduksi hilangnya kesadaran dimana pasien tidak arousable,
meskipun dengan stimulasi yang sangat menyakitkan. Kemampuan untuk mengatur
fungsi pernafasan juga terganggu. Pasien seringkali membutuhkan bantuan untuk
menjaga patensi jalan nafas, dan tekanan ventilasi positif dibutuhkan karena hilangnya
ventilasi spontan atau hilangnya fungsi neuromuskular. Fungsi kardiovaskular juga
terganggu (ASA., 2013).

Anestesi umum dibagi menjadi tiga tehnik yaitu tehnik anestesi total intravena,
anestesi total inhalasi, dan anestesi kombinasi antara intravena dan inhalasi yang
sering disebut balance anestesia. Masing-masing dari tehnik tersebut memiliki
kekurangan dan kelebihan. Pemilihan tehnik seriingkali ditentukan oleh karakteristik
pasien sehingga tepat penggunaan dan resiko efek samping yang paling minimal. Saat
ini penggunaan tehnik ini sudah umum dan sering dikerjakan.
Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan
ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak
diinginkan dari pasien.

Mangku (2010) menjelaskan bahwa anestesi umum adalah suatukeadaan tidak


sadar yang berifat sementara yang diikuti oleh hilangnyarasa nyeri diseluruh tubuh
akibat pemberian obat anestesi. Efekneurofisiologis yang dihasilkan oleh anestesi
umum ditandai oleh limaefek utama: tidak sadarkan diri, amnesia, analgesia,
penghambatan refleksotonom, dan relaksasi otot rangka. Tak satu pun dari agen
anestesi yangsaat ini tersedia ketika digunakan sendiri bisa mencapai semua lima
efekyang diinginkan dengan baik. Selain itu, anestesi yang ideal harusmenginduksi
cepat, kehilangan kesadaran secara halus, cepat kembalisetelah penghentian, dan
memiliki batas keselamatan yang lebar (Katzung,2015).Praktek anestesi modern
bergantung pada penggunaan kombinasiobat intravena dan inhalasi (balanced
anesthesia) untuk mengambilkeuntungan dari setiap agen dan meminimalkan efek
samping mereka.Pemilihan teknik anestesi ditentukan oleh jenis diagnostik, terapi,
atauintervensi bedah yang akan dilakukan. Untuk operasi kecil atau untukprosedur
diagnostik invasif, obat oral atau parenteral dapat digunakandalam kombinasi dengan
anestesi lokal, yang disebut teknik monitoredanesthesia (Katzung, 2015).

Trias anesthesia:
 Hipnotika : Pasien kehilangan kesadaran
 Anestesia : Pasien bebas nyeri
 Relaksasi : Pasien mengalami kelumpuhan otot rangka

Keuntungan anestesi umum :


 Pasien tidak sadar, mencegah ancietas pasien selama prosedur medis berlangsung
 Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang diperoleh akibat ancietas
dan berbagai kejadian intra operatif yang mungkin memberikan trauma psikoligis
 Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama
 Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien
Kerugian anestesi umum :
 Sangat mempengaruhi fisiologi, hampir semua regulasi tubuh menjadi tumpul
dibawah anestesia umum
 Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit
 Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan syaraf pusat, misalnya perubahan
kesadaran
 Resiko komplikasi pasca bedah lebih besar
 Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama

2.7.1 Macam-macam anestesi umum

Katzung (2015) membagi anestesi umum sesuai dengan penggunaan


sediaan obat, yaitu:
a. Anestesiinhalasi
Sebuah perbedaan yang jelas harus dibuat antara anestesi volatil dan gas,
walaupun keduanya dikelola oleh inhalasi. Anestetik volatil (halotan, enfluran,
isofluran, desfluran, sevofluran) memiliki tekanan uap yang rendah dan titik didih
demikian tinggi sehingga mereka cairan pada suhu kamar (20°C), sedangkan anestesi
gas (nitrous oxide, xenon ) memiliki tekanan uap yang tinggi dan titik didih rendah
sehingga mereka berada dalam bentuk gas pada suhu kamar. Karakteristik khusus dari
anestesi volatil membuat diperlukannya alat penguap (vaporizer). Anestesi inhalasi,
yaitu agen volatil serta gas diambil melalui pertukaran gas di alveoli paru-paru.

b. AnestesiIntravena
Anestesi nonopioid intravena memainkan peran penting dalam praktek anestesi
modern. Mereka digunakan untuk memfasilitasi induksi cepat dan telah menggantikan
inhalasi sebagai metode yang disukai kecuali untuk anestesi pediatrik. Dengan
diperkenalkannya propofol, anestesi intravena juga menjadi pilihan yang baik untuk
pemeliharaan anestesi. Anestesi intravena yang digunakan untuk induksi anestesi umum
bersifat lipofilik (otak, sumsum tulang belakang), yang mampu menyumbang onset
yang cepat. Agen anestesi intravena antara lain: dexmedetomidine, etomidat, ketamin,
benzodiazepam (diazepam, lorazepam, midazolam), propofol, dan barbitural
(thiopental, methohexital).
c. Anestesiseimbang
Mirip dengan agen inhalasi, anestesi intravena yang tersedia saat ini bukan obat
anestesi yang ideal untuk menimbulkan lima efek yang diinginkan. Sehingga,
digunakan anestesi seimbang dengan beberapa obat (anestesi inhalasi, sedatif-hipnotik,
opioid, dan agen neuromuscular blocking) untuk meminimalkan efek yang tidak
diinginkan.

2.7.2 Induksi dan Rumatan Anestesia

1. Induksi anestesia

Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan.
Induksi anestesia dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskular, maupun
rektal.

Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia, dapat langsung dilanjutkan dengan
pemeliharaan anestesia/maentenance sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum
memulai induksi anestesia, sebaiknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang
diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat
dan lebih baik.

Jenis-jenis induksi
Induksi Intravena Merupakan metode yang paling banyak dilakukan. Obat
induksi disuntikkan secara bolus intravena dengan
kecepatan antara 30-60 detik.
Contoh obat induksi intravena: Thiopental, Propofol,
Ketamin.
Induksi Intramuskular Obat induksi diberikan secara injeksi intramuskular.
Obat yang dapat digunakan: Ketamin.

Induksi Inhalasi Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang
belum terpasang jalur intravena atau pada pasien
dewasa yang takut disuntik.
Obat induksi inhalasi yang dapat digunakan: Halotan,
Sevofluran
Induksi Perrectal Cara induksi ini hanya dilakukan pada bayi atau anak
dengan menggunakanThiopental atau Midazolam

Induksi Mencuri Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur.
Induksi mencuri inhalasi sama seperti induksi biasa
hanya sungkup muka tidak ditempelkan di muka pasien,
namun diberi jarak beberapa centimeter hingga pasien
tertidur baru sungkup muka ditempelkan.

Persiapan induksi anestesia


S = Scope
 Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
 Laringoscope (Pilih bilah atau blade yang sesuai dengan usia
pasien, lampu harus cukup terang)

T = Tubes
 Pipa trakhea, pilih sesuai usia, usia ‹ 5 tahun tanpa balon dan
usia › 5 tahun dengan balon (cuffed)
A = Airway
 Pipa mulut-Faring (Gudel/orofaringeal airway) atau pipa
nasofaring. Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga agar lidah tidak menyumbat jalan nafas.

T = Tape
 Plaster untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut.
I = Introducer
 Mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu agar pipa trakhea mudah
dimasukkan.
C = Connector
 Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S = Suction (penyedot lendir, saliva/lendir, dll)

2.7.3 Rumatan Anestesia

Rumatan anestesia dapat dikerjakan secara intravena (anastesi intravena total)


atau dengan inhalasi atau campuran intravena-inhalasi. Rumatan anestesia biasanya
mengacu pada trias anastesia yaitu tidur ringan (hipnotis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup (diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri) dan relaksasi
otot lurik yang cukup.

1. Anestesia Imbang
Merupakan tehnik anestesia dengan menggunakan kombinasi obat-obatan baik
obat anestesia intravena maupun obat anestesia inhalasi atau kombinasi tehnik anestesi
umum dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesia secara optimal dan
berimbang, yaitu:
- Efek hipnotis: diperoleh dengan menggunakan obat hipnotikum atau obat anestesia
umum yang lain
- Efek analgesia: dengan menggunakan obat analgetik opiat atau obat anastesia umum
dengan cara analgesia regional
- Efek relaksasi: diperoleh dengan menggunakan obat pelumpuh otot atau obat
anastesia umum, atau dengan cara analgesia regional.

2.7.4 Prosedur Anestesia Umum

Presedur tindakan anestesia umum:


1. Persiapan pasien: Pasien disiapkan dengan pedoman evaluasi pra anestesia
2. Pasang alat bantu yang dibutuhkan (Monitor ECG, tekanan darah)
3. Siapkan alat-alat, obat anastesia dan obat resusitasi/obat emergency
4. Siapkan alat bantu nafas manual atau alat bantu nafas mekanik. Siapkan mesin
anestesi dan sistem sirkuitnya, serta gas anastesia yang dipergunakan.
5. Induksi dapat dilakukan dengan obat anestesia intravena atau inhalasi
6. Pengelolaan jalan nafas sesuai dengan pedoman (lakukan intubasi dan pasang
pipa endotrakheal)
7. Rumatan anestesia dapat menggunakan obat-obat yang dibutuhkan sesuai trias
anestesia antara lain obat pelumpuh otot, obat analgetik opioid, obat hipnotik
sedatif, obat anestesia inhalasi sesuai kebutuhan
8. Pernapasan pasien dikendalikan secara mekanik atau dengan bantuan manual,
berikan suplemen oksigen sesuai dengan kebutuhan
9. Pantau tanda vital secara continou dan periksa analisis gas darah bila ada indikasi
10. Selesai operasi, pemberian obat-obatan anestesi dihentikan. (bila anestesi
dilakukan secara inhalasi, hentikan pemberian gas inhalasi dan berikan oksigen
100% (4-8 lpm) selama 2-5 menit
11. Pengakhiran anestesi yang menggunakan obat pelumpuh otot diberikan obat
penawar pelumpuh otot (neostigmine dikombinasikan dengan atropin)
12. Setelah kelumpuhan otot pulih dan pasien mampu bernapas sepontan, dilakukan
ekstubasi pipa endotrakheal
13. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan dilakukan bila
ventilasi-oksigen adekuat dan hemodinamik stabil
14. Pemantauan pra dan intra anestesia dicatat/didokumentasikan dalam rekam medik
pasien.

2.8 Manajemen Jalan Nafas

Pada pasien yang tidak sadar, penyebab tersering sumbatan jalan nafas yang
terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot tenggorokan sehingga lidah jatuh ke
belakang dan menyumbat jalan nafas pada bagian faring.

Tanda jalan nafas tidak paten antara lain:


- Suara nafas abnormal, snoring, gurgling, stidor
- Ada tarikan otot leher
- Ada cekungan di suprasternal notch
- Cekungan di daerah iga dan dibawah diafragma
- Tak terasa ada udara ekspirasi
2.8.1 Penanganan obstruksi jalan nafas

1. Pembukaan jalan nafas secara manual

Tehnik yang digunakan untuk membuka jalan nafas:


Tehnik angkat kepala-angkat dagu (head till-chin lift) pada penderita yang diketahui
tidak mengalami trauma servical.

Pada penderita yang dicurigai mengalami trauma servical tehnik head till-chin lift
tidak bisa dilakukan. Tehnik yang bisa dilakukan pada keadaan tersebut adalah menarik
rahang tanpa melakukan ekstensi kepala (Jaw trust).

• Head till-chin lift manuver


Posisikan telapak tangan pada dahi sambil mendorong dahi ke belakan, pada
waktu yang bersamaan ujung jari tangan yang lain mengangkat dagu. Ibu jari dan
telunjuk harus bebas agar dapat digunakan menutup hidung jika perlu memberikan
nafas buatan.

2. Pembukaan jalan nafas dengan alat bantu


• Orofaringeal airway (OPA)
Digunakan pada pasien tidak sadar bila head till-chin lift tidak berhasil
mempertahankan jalan nafas atas terbuka. Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien
sadar/setengah sadar karena dapat menyebabkan batuk dan muntah.

 Nasopharingeal Airway (NPA)


Dapat digunakan pada pasien sadar/setengah sadar. Indikasi lain penggunaan
NPA adalah bila terdapat kesulitan penggunaan OPA seperti ada trauma di sekitar
mulut atau trismus.

3. Pemberian ventilasi manual


Bila pernafasan tidak adekuat, maka tindakan yang harus dilakukan adalah
memberikan bantuan nafas (ventilasi). Target pemberian bantuan ventilasi adalah agar
O2 bisa masuk sampai ke alveoli (yang selanjutnya berdifusi ke darah) dan CO2 keluar
ke alveoli ke udara bebas.
• Sungkup Muka (Bag Mask Ventilation)
Indikasi penggunaannya adalah pada kasus henti nafas, nafas spontan tidak
adekuat, mengurangi kerja nafas dengan membantu memberikan tekanan positif pada
saat inspirasi pasien.

4. Pemberian ventilasi dengan alat bantu jalan nafas tingkat lanjut

• Intubasi endotrakhea
Merupakan proses memasukkan pipa endotrakhea ke dalam trakhea pasien.
Kegunaan pipa endotrakheal:
o Memelihara jalan nafas atas terbuka (paten)
o Membantu pemberian oksigen kosentrasi tinggi
o Memfasilitasi pemberian ventilasi dengan volume tidal yang tepat untuk memelihara
pengembangan paru yang adekuat
o Mencegah jalan napas dari aspirasi isi lambung atau benda padat atau cairan dari
mulut, kerongkongan, atau jalan nafas atas.
o Mempermudah penyedotan cairan dalam trakhea
Indikasi intubasi endotrakhea adalah:
o Ventilasi positif dengan BVM yang tidak memungkinkan atau tidak efektif pada
henti jantung
o Pasien gagal napas, hipoksia hipoksemia yang memerlukan oksigen aliran tinggi
yang gagal dengan alat-alat ventilasi yang tidak invasif
o Pasien yang tidak bisa mempertahankan jalan napas sendiri (pasien koma atau
dibawah pengaruh obat anestesi)

Kesulitan intubasi:
o Leher pendek berotot
o Mandibula menonjol
o Maksila/gigi depan menonjol
o Uvula tidak terlihat (skor mallempati 3 atau 4)
o Gerak sendi temporomandibular terbatas
o Gerak vertebra servical terbatas.

Alat-alat yang digunakan untuk intubasi:


o Handscoon
o Laringoskope
o Endotrakheal tube
o Syring cufft
o Stetoscope
o Plaster
o Stylet

Cara memilih endotrakheal tube:


o Pada bayi dan anak kecil
Diameter dalam pipa trakhea (mm) = 4.0+1/4 umur (tahun)
Panjang endotrakheal tube (cm) = 12+1/2 umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakheal (cm) = 12+1/2 umur (tahun)

Tabel pengukuran endotrakheal tube


Usia Diameter (mm) Skala (French) Jarak sampai
bibir
Prematur 2.0-2.5 10 10 cm
Neonatus 2.5-3.5 12 11 cm
1-6 bulan 3.0-4.0 14 11 cm
6 bln-1 tahun 3.5-4.0 16 12 cm
1-4 tahun 4.0-5.0 18 13 cm
4-6 tahun 4.5-5.5 20 14 cm
6-8 tahun 5.0-5.5 22 15-16 cm
8-10 tahun 5.5-6.0 24 16-17 cm
10-12 tahun 6.0-6.5 26 17-18 cm
12-14 tahun 6.5-7.0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6.5-8.5 28-30 20-24 cm

Dewasa pria 7.5-10 32-34 20-24 cm

• Sungkup laring (Laringeal Mask Airway)


LMA merupakan pipa yang ujungnya berbentuk sungkup dengan balon yang bisa
dikembangkan. LMA dimasukkan kedalam faring tanpa laringoscope.
Indikasi pemasangan LMA adalah:
o Ketidak mampuan penolong memberikan ventilasi dengan alat kantong nafas-
sungkup muka
o Henti nafas dan henti jantung

Cara pemasangan LMA:


o Masukkan LMA kedalam mulut sampai terasa ada tahanan. Adanya tahanan
menunjukkan ujung distal pipa LMA sampai di hipofaring.
o Kembangkan balonnya untuk mendorong sungkup menutupi lubang trakhea dan
menyebabkan udara mengalir lewat pipa masuk
o Pemberian ventilasi dengan LMA akan mengalirkan udara lewat lubang ditengah
sungkup
o Periksa pengembangan dinding dada dan lakukan auskultasi di 5 tempat untuk
memastikan udara masuk ke dalam paru-paru.

2.9 Persiapan Anestesi

2.9.1 Persiapan alat

1. Mesin anestesi

a. pengertian

Tidak ada satu alat pun yang lebih erat hubungannya dengan seorang ahli
anestesiologi selain mesin anestesi.1 Tugas utama seorang ahli anestesiologi adalah
memastikan bahwa peralatannya dapat memberikan suatu kadar oksigen yang adekuat
pada penderita.

Mesin anestesi digunakan oleh ahli anestesi untuk mendukung pemberian


anestesi. Tipe mesin anestesi yang digunakan di negara maju adalah mesin anestesi
jenis cotinuous-flow, yang dirancang untuk memberikan secara akurat dan terus-
menerus pasokan gas (seperti oksigen dan nitrogen oksida), dicampur dengan uap agen
anestesi (seperti isoflurane) yang dihantarkan dengan aliran dan tekanan yang aman
bagi pasien. Mesin anestesi modern dilengkapi ventilator, sucktion unit, dan peralatan
monitoring pasien.

Kesalahan penggunaan peralatan penghantar gas tiga kali lebih sering


menyebabkan akibat samping dibandingkan dengan kegagalan fungsi mesin itu
sendiri.1,4 Kurangnya penguasaan alat dan kelalaian dalam pemeriksaan fungsi mesin
merupakan penyebab tersering. Kecelakaan ini mencatat angka 2% kasus.

Pada American Society of Anesthesiology (ASA) Close Claim Project Database.


Sirkuit nafas merupakan sumber tersering terjadinya kecelakaan (39%) dan
menyebabkan 70% kematian atau kerusakan otak, hampir semua insiden berhubungan
dengan miskoneksi dan diskoneksi alat.
Konsep asal mesin anestesi ini diciptakan oleh seorang ahli anestesi Inggris Hendry
Edmund Gaskin Boyle pada tahun 1917. Sebelum masa ini, seorang ahli anestesi selalu
membawa sendiri semua perlengkapannya, tetapi dengan berkembangnya alat-alat yang
lebih berat, tabung penyimpanan gas yang besar, dan kelengkapan alat-alat pengaman
jalan nafas, hal ini menjadi tidak praktis.3Setiap kemajuan dari mesin anestesi ini dibuat
dengan tujuan untuk memperbaiki dan mengurangi efek samping yang terjadi akibat
penghantaran gas oleh mesin anestesi yang sangat penting bagi keamanan pasien.

Mesin anestesi adalah alat-alat anestesi dan perlengkapannya yang digunakan


untuk memberikan anestesi. umum secara inhalasi (Muhadi M, 1989).
Suatu alat yang digunakan untuk menyalurkan gas atau campuran gas anastetik
yang aman ke rangkaian anestesi yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang
sisa gas dari pasien (Said.A Latief, dkk, 2001). Rangkaian mesin anestesi banyak sekali
ragamnya mulai dari yang sederhana sampai yang diatur dengan komputer.

Istilah “mesin anestesi” adalah tradisional berlaku untuk suatu perlengkapan yang
mengirimkan oksigen dan agen bersifat gas dan/ atau cairan yang mudah menguap.
Yang dimaksud dengan peralatan anestesi adalah alat-alat anestesi dan perlengkapannya
yang digunakanuntuk memberikan anestesi umum secara inhalasi. Mesin anestesi
adalah peralatan yang digunakan untuk memberikan anestesi inhalasi.

b. Fungsi
Fungsi mesin anestesi ( mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas
anestetik yang aman kerangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien
dan membuang sisa campuran gas dari pasien.
Mesin yang aman dan ideal adalah mesin yang memenuhi persyaratan berikut:
• Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
• Ruang rugi ( dead space ) minimal
• Mengeluarkan CO2 dengan efesien
• Bertekanan rendah
• Kelembaban terjaga dengan baik
• Penggunaannya sangat mudah dan aman
c. Komponen

Secara umum mesin anestesi yang kita kenal sekarang terdiri dari 3 komponen
yang saling berhubungan, yaitu:

• Komponen 1 : sumber gas, penunjuk aliran gas/ flow meter, penguap/ vaporizer
dan oksigen flush control yang dapat mengalirkan O2 murni 35-37 Liter/menit
tanpa melalui meter aliran gas pada keadaan darurat
• Komponen 2 : sirkuit nafas: sistem lingkar dan sistem magill
• Komponen3 : alat yang menghubungkan sirkuit nafas dan pasien; sungkup
muka (FACE MASK),pipaendotrakea (ETT).

Penjelasan :
Komponen 1
 Sumber gas
Tersimpan dalam tabung-tabung khusus dibawah tekanan tinggi.dapat disimpan
dalam bentuk gas (O2, udara ) maupun dalam bentuk cair ( N2O, CO2, C6H6 ).
Masing-masing tabung gas mempunyai alat pengukur tekanan ( regulator ) khusus.
Regulator ini menunjukkan tekanan gas didalam tabung dan dapat menurunkan tekanan,
dengan pertolongan pressure reducting valve( katup penurun tekanan ). Mesin anestesi
bekerja efektif pada tekanan 50-60 PSI atau 3-4 atm.

Sebelum membuka tabung gas, yakinlah bahwa regulator sudah benar-benar


terpasang dan sudah ada hubungan antara regulator dan PAG atau flowmeter. Tabung
gas dapat dibuka dengan cara memutar logam ( berbentuk kotak kecil yang ada
dipuncak tabung ) kearah berlawanan dengan arah jarum jam dengan alat pembuka
khusus atau alat lain.

Pada rumah sakit besar dengan banyak kamar operasi, mungkin tidak dijumpai
tabung-tabung gas tersebut karena telah dibuat dengan system sentral.

Tabel.Berbagai macam gas anestesi, warna tabung, bentuk gas dan tekanan jenuh.
Jenis Warna tabung Dalam Tekanan Tekanan
bentuk (Psi) (atm)
O2 Putih/hijau Gas 1800-2400 120-160
N2O Biru Cair 745 50
Air Hitam/putih Gas 1800 120
Cyclopropan Jingga Cair 75 5
CO2 Abu-abu Cair 838 56

 Penunjuk aliran gas/ Flowmeter

Berbentuk tabung gelas yang didalamnya terdapat indikator pengukur yang


umumnya berbentuk bola atau berbentuk rotameter.Skala yang tertera umumnya dalam
L/menit dan ml/menit.

Sebelum membuka flowmeter perhatikan dulu gas apa yang akan diputar ( tidak
jarang terjadi bahwa kita bermaksud membuka O2, tanpa sengaja kita membuka N2O ).
Flowmeter dapat dibuka dengan cara memutar tombol pemutar kearah berlawanan
dengan arah jarum jam. Bila indikator berbentuk bola, maka angka laju aliran
( flowmeter) dibaca setinggi bagian tengah bola dan bila memakai rotameter dibaca
setinggi bagian atas rotameter.

Flowmeter dan regulator, berfungsi untuk mengatur besarnya aliran gas yang
masuk pada pasien.
 Alat penguap/ Vaporizer

Berfungsi untuk menguapkan zat anestesi cair yang mudah menguap ( volatile
anesthetic agent ) yang biasanya dilengkapi dial untuk mengatur besar kecilnya
konsentrasi zat anestesi yang keluar.

Vaporizer, berfungsi untuk menguapkan obat bius yang dipakai dan mengatur
berapa konsentrasi obat yang masuk kepada pasien.

Alat penguap ini ada yang terbuat dari :


a. Gelas dengan komponen pengatur dari logam : vaporizer Goldman, Boyle
b. Logam keseluruhannya misalnya : Fluotec mark II, mark III.EMO, OMV, Copper
Kettle.

Penempatan vaporizer.
a. Dapat diletakkan diluar sirkuit nafas, terletak diantara flowmeter dan lubang keluar
gas
b. Dapat diletakkan didalam sirkuit nafas
c. Dapat lebih 2 vaporizer yang akan dipakai, maka vaporizer untuk zat anestesi
cairyang lebih mudah menguap diletakkan lebih dekat dengan flowmeter.
Pada umumnya zat anestesi cair mempunyai alat penguapannya sendiri, tetapi ada
alat penguap yang dapat dipakai untuk menguapkan beberapa zat anestesi.

Contoh : Fluotec Mark II, Mark III hanya untuk halothane dan EMO khusus
untuk eter. Copper kettle dapat untuk eter, halothane, trilene metoksifluran.

Komponen 2
Sirkuit nafas
Sirkuit nafas: Aliran gas dari sumber gas berupa campuran O2 dan gas anestesi
akan mengalir melalui vaporizer. Campuran gas yang lazim disebut aliran gas segar ini
selanjutnya akan masuk ke sirkuit nafas pasien. Sirkuit nafas pasien tersebut adalah:

 Sistem lingkar: terjadi rebreathing

a Paling banyak ada pada mesin anestesi


b Komponen system lingkar : Sungkup muka, konektor Y, katup searah, canister,
katup ekspirasi, kantong cadangan (reservoir bag), pipa berlekuk (kurogeted)
c Pada system lingkar dapat bervariasi mengenai:
a) Letak masuknya FGF
b) Letak Reservoir bag
c) Letak katup ekspirasi
d) Letak katup searah

 Sistem Magill dan Mapleson dengan variasi: rebreathing tidak ada atau minimal
sekali.

Sistem Magill (Mapleson A) merupakan sistem penyediaan gas yang paling


sering digunakan di inggris untuk pasien yang bernafas spontan.

Tersimpan dalam tabung-tabung khusus dibawah tekanan tinggi.dapat disimpan


dalam bentuk gas (O2, udara ) maupun dalam bentuk cair ( N2O, CO2, C6H6 ).
Masing-masing tabung gas mempunyai alat pengukur tekanan ( regulator ) khusus.
Regulator ini menunjukkan tekanan gas didalam tabung dan dapat menurunkan tekanan,
dengan indikator pengukur yang umumnya berbentuk.

Komponen 3

Sungkup muka atau pipa endotrakea terdapat dalam berbagai ukuran dan dapat terbuat
dari bahan plastik maupun karet.

 Sungkup muka

Terdapat beberapa rancangan sungkup muka.Sungkup muka dengan bahan


transparan memungkinkan memantau uap gas ekspirasi dan dapat mengenali terjadinya
muntah dengan segera.Sungkup muka dari bahan karet hitam dapat menyesuaikan
dengan bentuk wajah yang tidak biasa.

Pada mesin anesthesi ini menggunakan bermacam-macam obat yang di


klasifikasikan berdasarkan warna, antara lain :

 Halothane, pada tahun 1956 dan di lambangkan dengan warna Merah.


 Enflurane, pada tahun 1972 dan dilambangkan dengan warna Oranye.
 Isoflurane, pada tahun 1981 dan dilambangkan dengan warna Ungu.
 Sevoflurane, pada tahun 1970 s/d 1990 dan dilambangkan dengan warna
Kuning.
 Desflurane, pada tahun 1992 dan dilambangkan dengan warna Biru

d. Mekanisme kerja mesin anestesi

Oksigen, N2O masuk kedalam mesin anesthesi dan diatur alirannya oleh regulator
dan berapa besarnya aliran gas dapat dilihat dari flowmeter, dari flow meter tersebut
Oksigen dan N2O akan bercampur melewati vaporizer, didalam vaporizer ini oksigen
akan membawa partikel-partikel obat bius yang berada didalam vaporizer tersebut.
Setelah melewati vaporizer gas yang telah tercampur dengan partikel obat bius tadi
akan masuk kedalam saluran pernafasan melalui masker atau endotracheal tube. Setelah
masuk kedalam paru-paru pada saat pasien menghembuskan nafas maka gas tadi akan
keluar, pada proses ini sebagian oksigen akan di filter kandungan karbondioksidanya
dan setelah kandungan karbondioksida hilang oksigen tersebut bisa masuk lagi kedalam
saluran pernafasan, siklus tersebut akan selalu berulang-ulang sampai pasien tertidur.
Setelah pasien tertidur, maka gas N2O dan obat bius tadi akan dihentikan. Jadi setelah
pasien tertidur gas yang dialirkan hanya Oksigen yang berfungsi untuk menjaga sistem
pernafasan pasien.

e. Prinsip dasar mesin anestesi


• Penyalahgunaan alat gas anesthesia tiga kali lebih sering dibandingkan kegagalan
alat dalam menyebabkan efek yang tidak diinginkan. Kurang familiernya dengan
alat dan gagal mengecek fungsi mesin adalah penyebab tersering. Kelalaian ini
hanya merupakan 2% dari kasus-kasus dalam ASA Closed Claim Project. Sirkuit
pernafasan adalah penyebab kecelakaan yang paling sering (39%), hamper semua
kecelakaan disebabkan oleh disconnect dan misconnect.
• Mesin Anestesi menerima gas medis dari suplai gas, mengontrol aliran yang
diinginkan dan menurunkan tekanan, jika diperlukan sampai ke batas aman,
menguapkan volatile anesthetics ke campuran gas akhir yang terhubung dengan
jalan nafas pasien. Ventilator mekanik yang tersambung ke sirkuit pernafasan tapi
dapat dipisahkan dengan switch selama ventilasi spontan atau manual.
• Dimana suplayi oxygen dapat langsung menuju katup pengontrol aliran, nitrous
oxide, udara dan gas lain harus melewati alat pengaman terlebih dahulu sebelum
mencapi katup pengontrol aliran masing-masing. Alat ini mencegah aliran gas lain
jika tekanan oxygen tidak cukup. Alat ini mencegah pemberian campuran hipoxik
ketika terdapat kegagalan suplai oksigen.
• Sebuah pengaman yang lain adalah hubungan aliran gas nitrous oxide dengan aliran
oxygen; hal ini untuk meyakinkan konsentrasi minimum oxygen 21-25%.
• Semua vaporizer modern adalah agen spesisfik, mampu untuk memberikan
konsentrasi agen yang konstan pada perubahan temperature dan aliran gas melewati
vaporizer
• Peningkatan tekanan jalan nafas dapat menunjukkan perburukan komplains paru,
peningkatan tidak volum, atau obstruksi pada sirkuit pernafasan, ETT, atau jalan
nafas pasien.

• Penurunan secara tradisional, ventilator mesin anestesi memiliki desain sirkuit


ganda dan sumber tenaga pneumatic dan dikontrol secara elektris. Mesin baru juga
memiliki control mikroprosessor, yang bergantung pada sensor tekanan dan aliran.
Beberapa model menawarkan mesin anestesi dengan ventilator yang menggunakan
desain piston sirkuit tunggal.
• Keuntungan utama dari ventilator piston adalah kemampuannya mengurimkan tidal
volum yang akurat ke pasien dengan komplains paru yang buruk dan kepada pasien
yang sangat kecil.
• Ketika ventilator digunakan, “disconnect alarms” harus difungsikan secara pasif.
Mesin anestesi paling tidak harus memiliki tiga disconnect alarms; tekanan rendah,
tidak volum exhalasi rendah, dan exhalasi karbon dioksida yang rendah.
• Karena spill valve ventilator tertutup selama inspirasi, aliran gas segar dari outlet
mesin memberi kontribusi terhadap tidal volum yang diberikan pada pasien
• Penggunaan oxygen flush valve selama siklus inspirasi dari ventilator harus
dihindari karena spill valve ventilator akan tertutup dan adjustable pressure-limiting
(APL) valve disingkirkan, hembusan oxygen (600-1200mL/detik) dan tekanan
sirkuit akan diteruskan ke paru-paru pasien
• Perbedaan yang besar antara tidal volum yang di set dan diterima pasien sering
terlihat di ruang operasi selama volume-controlled ventilation. Sebabnya karena
komplains dari sirkuit pernafasan, kompresi gas, penyatuan aliran gas segar
ventilator, dan kebocoran pada mesin anestesi, sirkuit pernafasan, atau jalan nafas
pasien
• Penghisap gas sisa membuang gas yang diventilasikan keluar dari sirkuit
pernafasan oleh APL valve dan spill valve ventilator. Polusi di ruang operasi dapat
menghadapkan bahaya pada anggota tim operasi.
• Inspeksi rutin dari alat anestesi sebelum penggunaannya meningkatkan familiaritas
operator dan memastikan fungsinya. The United States Food and Drug
Administration telah membuat prosedur standar untuk mesin anestesi dan breathing
system.

2. Monitor
a. Pengertian
Alat yang difungsikan untuk memonitor kondisi fisiologis pasien. Domana
proses monitoring tersebut dilakukan secara real time sehingga dapat diketahui kondisi
fisiologis pasien pada saat itu juga.

b. Parameter monitor
Parameter adalah bagian-bagian fisiologis dan pasien yang diperiksa
melalui monitor pasien jika kita ketahui ada sebuah monitor pasien dengan 5
parameter maka yang dimaksud dari 5 parameter tersebut adalah banyaknya jenis
pemeriksaan yang bisa dilakukan oleh monitor tersebut.
Didalam istilah monitor kita mengetahui beberapa parameter yang diperiksa,
parameter itu antara lain:

a) ECG adalah pemeriksaan aktivitas kelistrikan jantung, termasuk pemeriksaan


“Heart Rate” atau detak jantung pasien dalam satu menit.Dalam monitoring
ECO di kamar operasi dapat menggunakan ECG 3 lead atau 5 lead sesuai
dengan kebutuhan. ECG dengan 3 lead dapat merekam aktivitas jantung di
bagian inferior dan lateral, sedangkan 5 lead dapat merekam di bagian inferior,
lateral dan anterior jantung.
b) Respirasi adalah pemeriksaan irama nafas pasien dalam satu menit.
c) Saturasi darah / SpO2, adalah kadar oksigen yang ada dalam darah.
d) Tensi / NTBP (Non Invasive Blood Pressure) / Pemeriksaan tekanan darah.
e) Temperature, suhu tubuh pasien yang diperiksaan

c. Jenis monitor
Beberapa jenis monitor pasien
(a) Pasien monitor vital sign, pasien monitor ini bersifat pemeriksaan stándar, yaitu
pemeriksaan ECG, Respirasi, Tekanan darah atau NIBP, dan Kadar oksigen
dalam darah / saturasi darah / SpO2.
(b) Pasien monitor 5 parameter, pasien monitor ini bisa melakukan pemeriksaan
seperti ECO, Respirasi, Tekanan darah atau NIBP, kadar oksigen dalam darah /
saturasi darah / SpO2, dan Temperatur.

(c) Pasien monitor 7 parameter, pasien monitor ini biasanya dipakai diruangan
operasi. karena ada satu parameter tambahan yang biasa dipakai pada saat operasi,
yaitu “ECG, Respirasi, Tekanan darah atau NIBP (Non Invasive Blood Pressure),
kadar oksigen dalam darah / Saturasi darah / SpO2, temperatur, dan sebagai
tambahan adalah IBP (Invasive Blood Pressure).
Pengukuran tekanan darah melalui pembuluh darah langsung, EtCO2 (End
Tidal CO2) yaitu pengukuran kadar karbondioksida dan sistem pernafasan
pasien. Kebanyakan rumah sakit memakai pasien monitor vital sign dan 5
parameter adalah diruangan ICU, UGD, ruang-ruang perawatan, dan beberapa
ruang operasi. Sedangkan untuk pasien monitor yang 7 parameter biasanya
pemakaian dilakukan di ruang operasi.

d. Accessories monitor
Yang termasuk dalam aksesoris pasien monitor adalah tergantung dari
parameter pengukuran yang ada. Seperti ECG, NIBP, SpO2, Temperatur.
2.9.2 Persiapan pasien

Selalu pastikan kembali identitas pasien, kelengkapan status/rekam medis,


data laboratorium, radiologi, dan EKG sebelum memulai anestesi, persiapan puasa
dan terapi cairan pre anestesi, mengetahui kebutuhan cairan dan elektrolit pasien
perioperatif.

1) Anatomi cairan tubuh


Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat
benubah tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada
bayi usia < 1 tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi
usia > 1 tahun mengandung air sebanyak 70-75 %. Seiring dengan pertumbuhan
seseorang persentase jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun
yaitu pada laki-laki dewasa 50-60% berat badan, sedangkan pada wanita dewasa
50%BB.
Perubahan cairan tubuh sesuai usia
Usia Kilogram Berat %

Bayi premature 80

3 bulan 70

6 bulan 60

1-2 tahun 59

l1-l6 tahun 58

Dewasa 58-60

Dewasa obesitas 40-50

Dewasa kurus 70- 75

Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelurn tindakan anestesi dan bedah, maka
resiko penderita menjadi lebih besar. Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam
kompartemen. intraselular dan kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen
ekstraselular dibagi menjadi cairan intravaskular dan intersisial.

2) Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang
dewasa, sekitar duapertiga dan cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar
27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram),
sebaliknya pada bayi hanya setengah dan berat badannya merupakan cairan
intraselular.
3) Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dan
cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan
ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dan volume total. Ini sebanding dengan
sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg. Cairan eksfraselular
dibagi menjadi :

 Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12
liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif
terhadap ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir
dibandingkan orang dewasa.

 Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6 L dimana 3 liternya
merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.

 Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran
pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter,
tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dan ruang transeluler.

Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elelctrolit dan non
elektrolit:
• Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik.
Elelctrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah
kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen).

• Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan
kation utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa
terdapat di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.
• Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat
(HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat
(PO43-). Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada
intinya sama maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dan cairan
eksfraseluler tetapi tidak mencerminkan komposisi cairan intraseluler.

• Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan.
Zat lainya tenmasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.

4) Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian


Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan ± 30-35 ml/kgBB/hari dan
elektrolit utama Na+ =1-2 mmol/kgBB/hari dan = l mmol/kgBB/hari. Kebutuhan
lainnya yaitu pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi
gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal
dengan insensible water losses. Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat
hipotonus (air lebih banyak dibandingkan elektrolit). kehilangan cairan pada ekskresi
urin (rata-rata 1500 ml tiap hari, 40-80 ml per jam untuk orang dewasa dan 0,5 ml/kg
untuk pediatnik), kulit (insensible loss sebanyak rata-rata 6 ml/kg/24 jam pada rata-
rata orang dewasa yang mana volume kehilangan bertambah pada keadaan demam
yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1 derajat celcius pada suhu tubuh di atas
37 derajat celcius dan sensible loss yang banyaknya tergantung dari tingkatan dan
jenisaktivitas yang dilakukan), paru-paru (sekitar 400 ml tiap hari dari insensible
loss), traktus gastointestinai (100-200 ml tiap hari yang dapat meningkat sampai 3-6
L tiap hari jika terdapat penyakit di traktus gastrointestinal).
Tabel: Rumatan Cairan menurut rumus Holliday-Segar (3) Defisit
cairan dan elektrolit preoperatif
Weight (Kg) Kcal/d or ml/d Kcal/h or ml/h

0 to 10 kg 100/kg per day 4 kg per hour

11 to 20 kg 1000 + (50/kg per day) 4+ (2 kg per hour)

> 20 kg 1500 + (20/kg per day) 60+ (2 kg per hour)

Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement)


harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah
sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama
pembedahan, sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan
cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti garam
fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak
mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau parenteral
lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan mengalami
pembedahan (operasi elektif) harus mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2
ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan
(hipovolernik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera
diganti dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi.

5) persiapan mental.

a. Persetujuan informasi (Inform Consent).


b. Apakah gigi palsu, lensa kontak, perhiasan, cat kuku, lipstik, dll, sudah dilepas atau
dibersihkan.
c. Menetukan P.S ASA pasien
d. Menentukan bila ada atau tidak ada komorbit
6) Menentukan PS ASA

7) Premedikasi anastesi

Adalah pemberian obat sebelum anastesi. Adapun tujuan dari premedikasi

antara lain:

o Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam


o Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
o Membuat amnesia, misal diazepam, midazolam
o Memberikan analgesia, misal : pethidin
o Mencegah muntah, misal : droperidol
o Memperlancar induksi, misal : pethidin
o Mengurangi jumlah obat-obatan anasthesia, misal pethidin
o Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropine

o Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal: sulfas atropin hiosin

Bagi tenaga medis, premedikasi berfungsi untuk pendekatan psikologis


memberikan penjelasan pada pasien dan keluarganya, tentang apa yang akan
dilakukan sebelum dan sesudah operasi beserta yang akan terjadi kemudian. Dan
juga untuk memisahkan sang pasien dari orang tuanya dengan tenang pada saat
akan dilakukan operasi, dan juga penggunaan obat- obatan analgesi dan hipnotik
yang bertujuan untuk membuat amnesia ataupun mengurangi nyeri post operasi.
Tujuan lainnnya dapat berupa menekan biaya obat yang akan digunakan, anti
emesis, memudahkan saat induksi, dan hal-hal lain yang takdiinginkan.

Nama obat Merk dagang Pemberian Dosis Onset Efek


Benzodiazepin Midazolam Oral 0,3-0,7mg/kgBB 15-30 Depresi
Diazepam Nasal 0,1-0,2mg/kgBB 5-10 system
pernafasan,
eksitasi
postoperative
eksitasi
Dissosiatif Ketamin Oral 3-8mg/ 10-15 Eksitasi
IM kgBB 2- 2-5 Meningkatka
5mg/kgBB n TD, tekanan
intra cranial
meningkat
Opioids Morfin IM 0,1-0,2 15-30 Depresi
Meperidin IM mg/kgBB 15-30 system
Fentanil oral 0,5-1mg/kgBB 5-15 pernafasan
10-15µg/kgBB Depresi
system
pernafasan
Depresi sitem
pernafasan
Barbiturat Pentobarbital Oral 3mg/kgBB 60 Eksitasi
Tiopental Rectal 30mg/kgBB 5-10 postoperative
yang
memanjang
Depresi
system
pernafasan
Antikolinergik Atropin Oral 20µg/kgBB 15-30 Flushing
Scopolamin IM 20µg/kgBB 5-15 Mulut kering
IV 10-20µg/kgBB 30 Rasa gembira
IM 20µg/kgBB 15-30 Halusinasi
H2 Antagonis Cimetidine Oral 7,5mg/kgBB 60
Ranitidine Oral 2 mg/kgBB 60
2.9.3 Persiapan Obat
2.9.3.1 Pre medikasi

1. Sulfas Atropin

Merupakan Obat golongan anti kolinergik dimana kerjanya memblok Acetilcholin.

a. Penggunaan
 Pengobatan dari sinus bradikardi/CPR
 Premedikasi (vagosis)
 Reversal dari blokade neuromuskular (blokade efek muskarinik anticolinergik)
 Terapi tambahan pada pengobatab bronkospasme dan tukak lambung

b. Dosis

Pengobatan dari bradikardi sinus /CPR

Dewasa :
IV/IM/SC : 0,5-1,0 mg ulang setiap 3-5 menit sesuai indikasi,
dosis maksimurn 40 µg / kg
Anak :
IV/IM/SC : 10-20 pg/kg (dosis minimum: 0,1 mg)

c. Premedikasi
Dewasa:
IV/IM : 0,4-T,0 mg
PO : 0,4-0,6 mg tiap 4-6 jam
Anak-anak
IV : 10-20 μg/kg BB (dosis minimum 0,1 mg)
PO : 30 μg/kg BB setiap 4-6 jam

Pada reseptor muskarinik. Menurunkan sekresi saliva, bronkus dan lambung dan

merelaksasi otot polos bronkus, tonus dan motilitas gastrointestinal berkurang, tekanan

sfinfier esophagus bagian bawah berkurang, dan tekanan intraokuler meningkat (karena

dilatasi pupil). Dalam dosis digunakan untuk premedikasi. Peningkatan TOP ini secara

klinis tidak bermakna. Dosis yang besar dapat meningkatkan suhu tubuh dengan mencegah

sekresi keringat.
Blokade vagus perifer dari sinus dan nodus AV meningkatkan nadi. Penurunan

sementara dari nadi dosis yang kecil (0,5 mg pada orang dewasa) disebabkan oleh efek

agonis kolinergik muskarinik perifer yang lemah. Atropin merupakan suatu amin tersier

dan karena itu melintasi sawar darah otak pada dosis yang tinggi merangsang dan

kemudian mendepresi medulla dan pusat otak yang lebih tinggi.

d. Farmakokinetik

Onset awal IV 45-60 detik


Intratekal 10-20 detik
IM 5-40 detik
PO 30 menit-2 jam
Inhalasi 3-5 menit
Efek puncak IV 2menit
Inhalasi 1-2 jam
Durasi IV/IM Blokade vagal 1-2 jam efek antisialog 4 jam
Blokade vagal 3-6 jam
Inhalasi

e. Interaksi / Intoxixitas

Efek antikolinergik aditif dengan antihistamin, fenotiasin, antidepresi trisklik,

prokainamid, kuinidin, inhibitor MAO, benzodiazepine, antipsikotik, peningkatan tekanan

intraokuler ditingkatkan oleh nitrat, nitrit, obat-obatan alkalinasi, disopiramid,

kortikosteroid, haloperidol, mempotensiasi simpato-mimetik, mengaragonisir

antikolineterase danmetoclopramide ; dapat menimbulkan sindrom antikolinergik sentral

(halusinasi, delirium, koma)

f. Pedoman / peringatan

• Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan takiaritmia, gagal jantung kongestif
(CHF), iskemia miokard akut atau infark, demam, refluk esophagus, infeksi.
• Kontraindikasi pada pasien dengan glukoma sudut sempit uropati obstriktif, penyakit
obstruktif trakus.

• Jika tidak tersediaakses intra vens selama resusitasi kardiopuirnoner, obat dapat
diencerkan 1:1 dalam normal saline steril dan disuntikkan via suatu tube andotrakea
kecepatan lama absorbs dan efek farmakologik dan pemberian obat intra trakeal dengan
nate IV.

• Dapat berakumulasi dan menimbulkan efek samping sistemik dengan dosis majemuk
melalui inhalsi khususnya pada manusia,

• Obat keracunan dengan sedasi (benzodizepin) dan pemberianfisotigmin (prostigmin,


neostigmine)

• Bayi dan anak kecil dan pasien manula lebih rentan terhadap efak system atropine,
contohnya nadi yang cepat dan teratur, demam, eksitas agitasi.

g. Reaksi samping Utama

CVS : Takikhardi (dosis tinggi), Bradikardi (dosis rendah)

Pulmonal : Depresi nafas

SSP : Kebingungan, halusinasi, kegugupan

GV : Keraguan urinarius, retensi

GI : Refluk gastroesofagus

Mata : Medriasis, penglihatan kabur, intraokuler

Dermatologik : Urtikaria

Lain-lain : Keringat berkurang, reaksi alergi

2. Petidhine

Pethidine adalah merupakan golongan obat analgesic opioid dan dikenal

juga sebagai meperidine. Secara kimia adalah etil-1 metil-4 karboksilat

a) Penggunaan

 Premedikasi
 Analgesia

 Pencegahan dan pengobatan menggigil pasca bedah

b) Dosis

• Analgesia

PO/TM/SC : 5-150mg (1-3 mg/kg)


IV : 25-100mg (0,5-2 mg/kg)
• Epidural Bolus

50-100 mg (1-2 mg/kg) diencerkan dalam 10 ml (bebas pengawet)

NS atau anestesi local

• Infus

10-20 mg/jam (0,2-0,4 mg/kg/jam)

• Analgesia terkontrol pasien


IV : Bolus 5-30 mg (0,1-0,6 mg/kg)
Infus 5-40 mg/jam (0,1-0,8 mg 1kg/jam)
Inteval lockout 5-15 menit
• Epidural 4

Bolus 5-30 mg/jam (0,1-0,6 mg/kg/jam)

• Infus 5-10 mg/jam (0,1-0,2 mg/kg/jam)

Interval lockout 5-15 monk.

c) Farmakologi

Opioid sintetik ini mernpunyai kekuatan kira-kira sepersepuluh mopin,

meperidin lebih efektif pada nyeri neuropatik.Meperidin mempunyai efek

vagolitik dan anti fasmodik ringan Dapat menimbulkan hipotensi ortostatik

pada dosis terapeutik. Normoperidn, metabolit aktifnya merupakan stimulant

otak terutama diekskresikan dalam urin. Pada pemberian yang lama dapat

terjadi akumulasi 73 hari. Memperidin menurunkan aliran darah ke otak,

kecepatan metabolik otak dan tekanan intrakanial. Meperidin melintasi sawar

placenta maksimum dan menimbulkan depresi pada neonates.

Transfer placenta maksimum dan depresi neonates terjadi 2-3 jam setelah

pemberian parental. Pemberian meperidine spinal dan epidural menimbulakan

substansia gelatinosa. Sekali sudah diaktifasi, reseptor opioid menghambat

pelepasan substansi P dan serat C aferen nisiseptif.

d) Farmakokinetik

Absorbsi meperidine setelah cara pemberian apapun berlangsung baik

akan tetapi kecepatan absorbs mungkin tidak teratur setelah suntikan TM.

Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang
dicapai bervariasi antar individu. Setelah pemberian secara oral, sekitar 50%

obat mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar maksimal dalam plasma

tercapai dalam 1-2 jam. Setelah pemberian meperidine IV, kadarnya dalam

plasma, kemudian penurunannya berlangsung dengan lambat. Kurang lebih 60

% meperidine dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidine

mengalami hoidrolisis menjadi asam meperedinat yang kemudian sebagian

mengalami konyugasi.N-demelitasi rnenghasilkan normeperidine, yang

kemudian dihidrosis menjadi asarn normeperidine dan seterusnya asam

dikoyugasi pula. Masa meperidine + 3 jam. Pada penderita sirosis,

biovailabilitas meningkat sampai 80% dan masa paruh meperidine dan

normeperidine memenjang. Meperidine bentuk utuh sampai sedikit ditemukan

dalam urine. Sebanyak 1/3 dan dosis meperidine ditemukan dalam urine.

e) Efek Samping Kontraindikasi Dan Introksikasi

Efek samping meperidine dan derivate fenilpiperidine yang ringan

berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual, muntah, perasaan

lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disfonia, sinkop dan sedasi. Pada

penderita berobat jalan reaksi ini timbul lebih sering dan lebih berat opstipasi

dan retensi urine tidak begitu sering timbul pada morin tetapiefek sedasinya

sebanding morpin. Penderita yang mual muntah pada pemberian morfin

mungkin tidak mengalami hal tersebut bila morfin diganti dengan meperidine,

hal yang sebaliknya juga terjadi.

Kontraindikasi penggunaan meperidine menyerupai kontraindikasi

terhadap morfin dan opioi lain. Pada penderita hati dan orang tua dosis obat

harus dikurangi karena terjadinya perubahan pada disposis obat. Selain itu

dosis meperidine perlu dikurangi bila diberikan bersama antipsikosis, hipnotik


sedasi dan obat-obat lain penekan SSP. Pada penderita yang sedang mendapat

MAO inhibitor pemberian meperidine dapat menyebabkan kegelisahan, gejala

eksitasi dan demam. Takar layak meperidine dapat mengakibatkan timbulnya

tremor dan kovulsi bahkan juga depresi nafas, koma dan kematian. Depresi

nafas oleh meperidine dapat dilawan oleh nalorfin atau nalokson. Pada

pecandu meperidine yang telah kebal akan efek depresi, pemberian meperidine

dalam dosis besar dapat menimbulkan tremor, kedutan otot, midriasis, reflek

hieraktif dan konvulsi. Efek perangsang SSP tersebut disebabkan oleh

akumulasi metabolic aktifnya yaitu normeperidine pada penggunaan jangka

panjang terutama pada gangguan fungsi ginjal atau anemi bulan sabit.

f) Indikasi

Analgesia pada meperidine hanya digunakan untuk menimbulkan

analgesia pada beberapa keadaan klinis, meperidine diindikasikan atas dasar

masa kerjanya yang lebih pendek daripada morpin. Misalnya untuk tindakan

diagnostic seperti sistoskopi, pielografi, retrogad, gastroskopi,dan

pneumoensefalosgrafi.Pada bronscoskopi meeridine kurang cocok karena efek

antitusifnya jauh lebih lemah dari morfin.

Meperidine digunakan juga untuk menemukan analgesia obstetric dan

sebagai obat preanastetik. Untuk menimbulkan analgesia obstetric

dibandingkan dengan morpin, meperidine kurang menyebabkan depresi napas

pada janin, tetapi sebagai medikasi preanastetik masih dipertanyakan perlunya

suatu analgesic opioid pada penderita yang tidak menderita nyeri.

4. Midazolam

a) Farmakodinamik
Obat induksi tidur jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan

anastesi, bekerja cepat dan karena tranformasinya metaboliknya cepat dan

karena

kerjanya singkat, bekerja kuat menimbulkan sedasi dan induksi tidur.

Setelah pemberian TM<IV terjadi amnesia anterograde.

b) Dosis

(1) Premedikasi

 TM 2,5-20 mg (0,05-0,2 mg/kg)

 Intranasal 0,2-0,3 mg/kg. gunakan larutan

injektat potensi tinggi (5 mg/ml)

 Rektal 15-20 mg (0,3-0,35 mg/kg). encerkan dalam 5 ml NS

(2) Sedasi

IV 0,5-5 mg (0,25-0,1 mg/kg). Titrasi lambat hingga efek yang

diinginkan (contohnya, awitan bicara tidak jelas). Pemafasan dan fungsi

jantung harus dimonitor secara continue.

(3) Induksi

 IV 50-350igIkg

 Infus 0,25-1,5 jig/kg/menit

(4) Antikonvulsan

 TV/TM 2-5 mg (0,025-0,1 mg/kg) setiap 10 menit seperti yang diperlukan

c) Farmakologi

Mula kerja:
IM sedasi: sampai 15 menit;
IV.: 1-5 menit.
Puncak efek: IM:0,5-1 jam.
Durasi: IM sampai 6 jam; rata-rata 2 jam.
Absorpsi oral cepat. Distribusi: Vd: 0,8-2,5 L/kg; meningkat oleh adanya
gagal jantung kongestif dan gagal ginjalkronik. Ikatan protein 95%.
Metabolisme: secara ekstensif di hati melalui CYP3A4. Biovailabilitas rata-
rata 45%. Waktu paruh eliminasi: 1-4 jam; diperpanjang oleh sifrosis, gagal
jantung kongestif, obesitas dan ketuaan. Ekskresi : lewat urin sebagai
metabolit yang terkonjugasi oleh glukuronat; feses 2-10%.

d) Penyimpanan

Pada konsentrasi akhir 0,5 mg/ml stabil sampai 24 jam bila diencerkan

dengan larutan NaC1 fisiologis atau larutan dekstrosa 5%. Larutan 1 mg/mli

dalam NaCl fisiologis stabil sampai 10 hari. Dapat juga dicampur dengan

larutan Ringer Laktat.Campuran larutan yang disimpan singkat tidak perlu

diproteksi terhadap cahaya. Penyimpanan suhu kamar (15°-30°C), lindungi

dari cahaya.

e) Kontra Indikasi

Hipersensitif pada midazolam atau komponen lain dalam formula,

termasuk beazilalkohol (sensitivitas silang dengan benzodiazepine lain);

bentuk sediaan parental tidak boleh digunakan untuk intratekal atau epiderual;

glaucoma sudut sempit, penggunaan bersamaan dengan inhibitor kuat

CYP3A4 (amprenavir, atazanavir, ritonavir); kehamilan.

f) Efek Samping

• Kardiovaskuler: Takikardi, vasovagal, hipotensi


• Pulmoner : Bronicospasme, laringospasme, apneu, hipoventilasi
• SSP : Euforia, delirium bangkitan, agitasi, hiperaktivitas, gerakan
tonik-kionik
• GI : Saliva, muntah, rasa asam
• Dermatologic : Ruam, pruritis, liangat atau dingin pada tempat suntikan

g) Interaksi Makanan

Etanol: hindari etanol, karena dapat memperkuat penghambat SSP.


Makanan: Jus grapefruit dapat meningkatkan konsentrasi midazolam di
serum; hindari pemberian bersamaan. Herbal: hindari penggunaan bersamaan
dengan St. Johns wort karena dapat menurunkan konsentrasi midazolam atau
meningkatkan pengharnbat SSP. Hindari penggunaan bersama valerian, kava-
kava, gotu kola karena meningkatkan penghambat SSP.

h) Interaksi Obat

Efek Sitokrom P450: substrat CYP2B6 (minor), 3A4 (major);

Penghambat CYP2C8 (lemah), 2C9 (lemah), 3A4 (lemah). Peningkatan

efek/toksisitas: penghambat CYP3A4 dapat meningkatkan efek/tingkat

midazolam; misalnya antijamur azol, klaritromisin, diklofenak, doksisiklin,

eritromisin, imatinib isoniazid, nefazodon, nikarpidin, propofol, protease

inhibitor, kunidin, telitromisin, dan verapamil. Dosis midazolam harus

diturunkan 30% padausia < 65 tahun, 50% pada usia > 65 tahun bila diberikan

bersama narkotik, dan penghambat SSP lainnya. Penurunan efek: Peninduksi

CYP3A4 dapat menurunkan efek/tingkat midazolam; misalnya

aminoglutetimid, karbamazepin, nafsilin, nevirapin, fenobarbital, fenitoin, dan

rifamisin.

i) Pengaruh Kehamilan
Faktor risiko D. Midazolam dapat melewati plasenta; tidak

direkomendasikan penggunaan pada kehamilan.

j) Peringatan

 Mengurangi dosis pada manula, pasien hipovolemik, beresiko tinggi dan

penggunaan bersama sedative atau narkotik lain

 Pasien dengan COPD biasanya peka terhadap efek depresi pernafasan

 Penggunaannya merupakan kontra indikasi pada glaucoma sudut-sempit

atau terbuka akut keeuali pasien mendapatkan terapi yang sesuai.

 Hipotensi dan depresi pernafasan yang tidak diharapkan dapat terjadi jika

diberikan bersama opioid; pertimbangkan dosis yang lebih kecil

 Depresi dan henti pernafasan dapat terjadi jika digunakan untuk sedasi, jika

digunakan untuk sedasi jangan berikan sebagai suatu bolus. Terapi

kelabihan dosis dengan tindakan suportif dan flumazenil (IV lambat 0,2-1

mg).

k) Mekanisme Aksi

Berikatan dengan reseptor stereospesifik benzodiazepin pada neuron

postsinaps GABA di beberapa tempat di SSP, termasuk di sistem limbic, dan

reticular formation. Meningkatkan efek hambatan oleh GABA pada

perangsangan neuron akibat dari meningkatnya permeabilitis neuron terhadap

ion Chlorida.

2.9.3.2 Induksi

1. Propofol
Obat induksi sedasi sadar, menimbulkan induksi yang cepat serta

distribusi dan eliminasi yang cepat pula. Mendepresi myocard langsung,

mengakibatkan apne dan hipertensi. Tidak mempunyai efek analgetik,

memiliki efek anti emetic intrinsic. Dapat menekan korteks adren& dan

menurunkan kadar kartisol plasma. Mengurangi aliran darah ke otak, tekanan

perpusi otak, dapat terjadi pelepasan histamin dan reaksi alergi kemugkinan

sekali berupa anafilaksis. Kurangi dosis untuk manula dan penggunaan

bersama narkotik dan hipnotik sedatif.

a) Farmakologi

Tidak bersifat histamine release/reaction anaphylactoid (cheremophor El

diganti dengan minyak soyabean), pada injeksi perivascular injection: tidak

terjadi nekrosis jaringan, pada injeksi intra arteri tidak terjadi nekrosis

jaringan. Mekanisme kerja: diduga menghasilkan efek sedative hipnotik

interaksi dengan gamma-amino bucryc acid (GABA), neurotranmilter inhibitor

pada sistem saraf pusat.

b) Dosis

- Sediaan 10 mg/cc cairan putih seperti susu. siapkan dalam

spuit 20cc.

- Dosis anak > 8 thn : 2,5 mg/ KgBB (IV)

- Dewasa : 2 2,5 mg/ KgBB (IV)

- Orang tua :1,25-2 mg/ KgBB (IV)

c) Kontra Indikasi
Pada pasien yang mengalami alergi terhadap telur atau minyak kedelai.

d) Efek Samping

 Pernapasan depresi perbapasan, ane, cegukan, Bronco Spasme,

Laringaspasme. Cardio Vaskuler Hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.

 Susunan staf pusat : Sakit kepala, pusing, europia, kebingungan, gerakan

kionik/miokionik, apestotonus, kejang

 Gastrointestinal Mual, muntah ringan, kram abdomen.

 Lain-lain Demam. Ilusi seksuai, nyeri pada tempat suntikan.

2. Ketamine

Pertama kali ditemukan oleh Domino dan Carsen tahun 1965, yang

termasuk golongan Phewilcyclo Hexylamin. Merupakan anastetik disosiatif

induksi dan pemeliharaan anastesi, khususnya pada pasien hipovolemik atau

berisiko tinggi, satu-satunya anastetik untuk prosedur bedah singkat.

a) Farmakologi

Menimbulkan anastesi disosiatif dan bereaksi cepat yang ditandai dengan

adanya reflex laring yang normal atau agak meningkat, tonus otot rangka yang

normal atau meningkat, stimulasi pernapasan, dankadang-kadang depresi

pernapasan yang sementara atau menimal. Ketamine juga bekerja pada

reseptor Kolinergik muskarinik, serotonin, dan norepinephrine dalam SSP.

Pengaruh terhadap ECG meliputi peningkatan aktifitas alfa, delta, Dan tetap

perubahan pada gelombang beta. Ketamine menimbulkan peningkatan tonus

uterus terkait dosis tanpa efek berlawananterhadap aliran darah uterus (pada
dosis < 1 mg/kg). Sekresi dan trakeobronkial meningkat. Ketamin tidak

melepaskan histamin.

b) Farmakokinetik

Ketalar dapat menimbulkan delirium, penurunan kebutuhan anastetik

volatile. hipertensi, aritmia, iskemia, miokard pada penggunaan bersama

simpatumetitik (contohnya efineprine), depresi hemodinamik dapat terjadi

dengan adanya penyekat alfa, penyekat beta, penyekat ganglion, anastesi

epidural servikal, transeksi medulla spinalis, penggunaan bersama dengan

benzodiazepine, barbitural, anastetik volatile dapat memperpanjang pemulihan,

peningkatan penyekat neuromuskuler depolarisasi, penurunan ambang kejang

jika diberikan dengan arniofilin.

c) Sifat Fisik

 Mempunyai daya analgesic yang kuat terutama untuk nyeri somatic

sedangkan untuk nyeri visceral tidak ada

 Tidak mempunyai sifat relaksasi malahan tonus otot sering meningkat

 Hipersalivasi, mual dan muntah

 Batas keselamatan lebar

 Tidak ada toksik terhadap hepar dan ginjal

 Waktu siuman lama

 Merangsang sekresi katekolamin.

d) Penggunaan Klinik

Tersedia dalam vial : dosis 100 mg/cc dan 50mg/cc Cara

pengenceran:
1. 100 mg/cc : ambil 1 cc + aquades 9 cc = 10 cc, jadi 1 cc = 10mg

2. 50 mg/cc : ambil 2 cc + aquades 8 cc = 10 cc, jadi 1 cc = 10mg.

e) Dosis

 IV : 1-2 mg/KgBB Onset 15 detik Durasi

obat 5-10 menit

 TM :5-7 mg/KgBB Onset 2-8 menit Durasi

obat 10-20 menit

f) Efek Terhadap CNS

 Mempunyai analgesic kuat, hipnotik kurang

 Mimpi bunk, halusinasi, disorientasi dan bangun lama

 Cerebral blood flow meningkat

 Intracranial pressure meningkat.

Terhadap Kardiovaskuler

 Tekanan darah meningkat 20-25 %


 Nadi meningkat
 Kardiak output meningkat karena pengeluaran adrenalin dalam sirkulasi.

Terhadap Respirasi

 Dilatasi bronkus dan antagonis terhadap efek konstiksi bronkus oleh

histamine

 Dapat terjadi depresi nafas bila dosis berlebihan

 Obstruksi dan aspirasi dapat terjadi walaupun kemungkinan kecil.

g) Indikasi
 Pasien asmatik

 Untuk prosedur diagnostic orthopedic (reposisi + biopsi)

 Untuk tindakan operasi kecil

 Untuk pasien resiko tinggi karena ketamine tidak mendepresi fungsi vital

 Tersering digunakan di daerah bila alat anestesi tidak ada.

h) Kontraindikasi

 Hipertensi dengan systole > 160 mmHg, diastole > 100 mmHg

 Pasien pre eklampsi dan eclampsia

 Pasien riwayat CVA

 Pasien penyakit jantung coroner

 TIK meningkat, kontusio serebri, trauma kapitis dan hemiasi otak.

i) Keuntungan Ketamin

 Depresi kardiovaskuler minimal sehingga baik untuk pasien syok


 Depresi faring dan laring minimal

 Airway dapat dipertahankan tanpa intubasi

 Mudah pemberiannya

 Anestesi sangat baik.

j) Kerugian Ketamin

 Reaksi emergensi (mimpi bunk, halusinasi ) terutama pasien dewasa

 Harga mahal

 Hipertensi
 Relaksasi kurang

 Peningkatan salivasi

 Mata masih terbuka dan ada gerakan spontan.

k) Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pemakaian Ketamin

 Hindari sedasi ketamine TM (1-2 mg/kg) pada bayi praterm karena dapat

menyebabkan apnea lama dan bradikardia

 Jangan campur dengan barbiturate dalam suntikan yang sama Karena dapat

pembentukan presipitat atau endapan.

 Hati-hati penggunaan pada pasien hipertensi berat, penyakit jantung

iskemik atau aneurisma, pasien dengan TTK meningkat, alkoholik kronis

dan terintoksikasi alcohol secara aktif

 Peningkatan TIK akibat ketamine dapat diperlemah dengan hiperventilasi

dan pra pengobatan benzodiazepine.

2.9.3.3 Analgetik Opioid

1. Fentanyl

Obat analgesic yang sangat kuat berupa cairan isotonic steril untuk

penggunaan intravena. Zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100x

morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan

kelarutan lipid yang lebih besar.Fentanyl dikombinasi dengan droperidol untuk

menimbulkan neurolep analgesia.

a) Farmakologi
Metabolisme terutama dalam hati.Ekskresi melalui urin sebagai

metabolit tidak aktif dan obat utuh 2-12 %.Pada kerusakan ginj al terj adi

akumulasi morfin-6-glukoronid yang dapat memperpanjang aktivitas

opioid.Kira kira 7-10 % melalui feses.

 Dosis

(1) Analgesia

(1) TV/TM :25-100 μg (0,7 4g/KgBB)

(2) Oral tranmukosa: 200-400 μg (5-15 μg/KgBB). Setiap 4-6 jam,

oralet harus dihisap dan tidak dikunyah.

 Induksi

(1) Bolus IV: 5-40 μg/kg atau

(2) Infus 0,25-0,2 μg/kg/menit selama 20 menit.

(3) Suplemen anesthesia

 IV : 2-20 μg/kg

 Infus : 0,025-0,25 μg/kg/menit.

 Anestesik Tunggal

(1) IV 50-150 μg/kg (dosis total) atau

(2) Infus : 0,25-0,5 μg/kg/menit.

 Epidural

(1) Bolus TV :50-100 μg (1-2 μg/kg), diencerkan dalam 10 ml

(2) NS (bebas pengawet)

(3) Infus 25-60 μg/jam (0,5-0,7 μg/kg/jam).

 Spinal

Bolus : 5-20 μg (0,1-0,4 μg/kg).


(7) Blok Regional

IV : tambahlcan 50 μg local.

 Blok Pleksus Brakhialis

Tambahkan 50-100 μg (1 μg/kg) fentanyl pada anastetik (1-2 μg/kg)

fentanyl pada 40 ml (0,5-0,75 μg/kg) anestetik local.

b) Penyimpanan

 Suntikan : suhu kamar (15-30°C), lindungi dari cahaya.

 Sistem transdermal suhu dibawah 30° C

c) Kontraindikasi

Hipersensitivitas, depresi pernapasan yang parah, sediaan transdennal

tidak derekomendasikan pada nyeri akut atau paska operasi, nyeri kronis

ringan atau intermitten atau pasien yang belum pernah menggunakan opioid

dan toleran terhadap opioid.

e) Efek Samping
 Kardiovaskuler : hipotensi, bradikardi
 Pulmoner depresi pernafasan, apneu
 SSP : pusing, penglihatan kabur, kejang
 Mata miosis
 Muskuloskeletal kekakuan otot
 GI : mual, emesis, pengosongan lambung tertunda, spasme trakstus
biliaris.

f) Interaksi Obat

 Antidepresan (MAO & trisiklik) : potensiasi efek antidepresan


 Agonis opioid lainnya, anestetik umum, trankuilizer, sedative,

hinotik potensiasi efek depresi SSP.

 Relaksan otot opioid dapat meningkatkan kerja penghambatan

neuromuskuler

 Kumarin, antikoagulan : potensiasi aktivitas antikoagulan

 Diuretic opioid menurunkan efek diuretic pada pasien dengan

kengestifjantung

 Amfetamin dekstroamfetamin dapat meningkatkan efek analgetik

opioid.

o Pengaruh Pada Anak

Keamanan dan efikasi pada anak-anak belum diketahui.

o Pengaruh Pada kehamilan

Kategori C dapat digunakan jika potensi manfaat lebih besar daripada

resiko pada janin.

o Pengaruh Menyusui

Hati-hati pemakaian pada ibu menyusui.

 Parameter Monitoring

Status sistem pernapasan dan status mental, tekanan darah.

3) Bentuk Sediaan

 Suntikan 50 μg/ml

 Transdermal 25 μg/ml, 50 μg/ml, 75 μg/ml, 100 μg/ml.

 Oralet tranmukosa: 200 μg, 300 μg, 400 μg.

4) Peringatan

Hati-hati pada pasien disfungsi hati dan ginjal karena akan memperiama kerja dan

efek akurnulasi opioid, juga pada pasien lanjut usia, pada depresi SSP yang parah,
anoreksia, hiperkapnia, depresi pernapasan, aritmia, kejang, cedera kepala, tumor otak dan

asma bronkial.

 Informasi Pasien

Hindari pemakaian alkohol, dapat menyebabkan ngantuk (hati-hati mengendarai

mobil atau menjalankan mesin), gangguan koordirtasi, pada penggunaan jangka panjang

menyebabkan ketergantungan fisik dan psikologi.

 Mekanisme Aksi

Berikatan dengan reseptor di system saraf pusat, mempengaruhi persepsi dan respon

terhadap nyeri.

2.9.3.4 Antagonis Obat Narkotik

1. Naloxone

Naloxone adalah antagonism opiod dan bekerja pada reseptor μ (mu),

delta, kappa dan sigma. Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapatkan

morfm akan terlihat : laju nafas meningkat, kantuk menghilang, pupil mata

diiatasi, tekanan darah sebelumnya rendah akan meningkat. Kemasan suntikan

0,4 mg/ml, suntikan neonates 0,02 mg/ml.

 Kegunaan

Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi pemafasan pada

akhir pembedahan dengan dosis dicicil 1-2 μg/KgBB IV, dapat diulang flap 3-

5 menit sampai ventilasi dianggap baik.


Pada keracunan opioid nalokson dapat diberikan per inflis dosis 4-5

μg/kg/jam. Untuk depresi nafas neonates yang ibunya mendapat opioid berikan

10 μg/kgBB dapat diulang setelah 2 menit.

Biasanya 1 ampul nalokson, diambil 0,4 mg kemudian dioplos menjadi

10 cc, sehingga tiap cc mengandung 0,04 mg, bisa diberikan bertahap yaitu

0,5-1 μg/kg setiap 3-5 menit.

 Efek Samping

Dapat menaikkan tekanan darah pada septik syok.

Dapat menimbulkan oedem pam.

 Eliminasi Dimetabolisme di

liver.

 Penggunaan:

Reversi dan depresi narkotik dan spasme traktus bilianis, pengobatan

tambahan pada kelebihan dosis captopril, clonidine, codein, dekstrometorfan,

difenoksilat dan propoksifen, pengobatan efek samping narkotik (contoh

pruritus, mual), terapi tambahan syok septik dan kardiogenik.

 Farmakologi

Nalokson merupakan antagonis opioid mumi tanpa aktivitas agonis

secara kompetisi menghambat agonis opiate pada reseptor mu, delta, kappa

dan mencegah atau mereversi efek opioid, termasuk depresi pemapasan,

sedasi, hipotensi, analgesia dan spasme traktus biliaris. Nalokson dapat juga

mereversi efek psikoemetik dan disforik dan antagonis seperti penazosin.

Depresi SSP dan pernafasan sebagai akibat sekunder kelebihan dosis captopril,

clonidine, codein, dekstrometorfan, difenoksilat dan propoksifen dapat


direversi dengan nalokson.Nalokson dapat rnereversi ketidakstabilan

kardivaskuler dan hipotensi sebagai akibat sekunder dan endorphin endogen

(vasodilatasi poten) yang dilepaskan pada pasien syok septik atau kardiogenik,

nalokson tidak menimbulkan depresi pemafasan, psikomimeik, konstriksi

pupil.

 Farmakokinetik

o Awitan aksi IV 1-2 menit; IM/SK 2-5 menit

o Efek puncak : IV/IM/SI( : 5-15 menit

 Lama aksi : IV/IMJSK: 1-4 jam

 Interaksi/toksisitas : reverse analgesia, peningkatan aktivitas system saraf

simpatis termasuk takikardi, hipertensi, edema paru dan aritmia jantung. Mual dan

muntah berhubungan dengan dosis dan kecepatan penyuntikan.

 Pedoman/peringatan

o Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit jantung yang

sudah ada sebelumnya atau yang mendapat obat-obatan yang secara

potensial kardotoksik.

o Titrasi lambat hingga efek yang diinginkan

o Pasien yang memberikan respon terhadap nalokson hans dipantau

secara seksama karena lamanya aksi dan beberapa opiate dapat

melebihi lama aksi naiokson.

o Jika akses intravena tidak ada, obat dapat diencerkan 1:1 dalam NS

steril dan disuntikkan via pipa endotrakeal.


o Berikan dengan hati-hati pada orang yang diketahui atau dicurugai

secara fisik tergantung pada opioid, termasuk dan ibu dengan

ketergantungan narkotik.

 Kemasan

 Suntikan 0,4 mg/ml, 1 mg/ml

 Suntikan neonates 0,02 mg/ml

 Penyimpanan suhu kamar (15-30 °C), lindungi dari cahaya.

 Pengenceran Untuk Infus

 Depresi narkotik/kelebihan dosis obat IV, 1 mg dalam 100 ml D5W

atau NS (l0 μg/ml).

 Efek samping narkotik: IV, 0,4-0,8 mg (1-2 ampul) dalam 100 ml.

 Reaksi efek samping : berkeringat , puimoner : edema paru, GI :

o mual dan muntah, SSP : gemetaran, kardiovaskuier: takikardi.

2.9.3.5 Obat Emergency

1. Adrenalin

a. Farmakologi

Pada umumnya pemberian obat ini menimbulkan efek stimulasi saraf

adrenergik .Ada beberapa perbedaan karena neurotransmitor pada syaraf

adrenergik adalah Non epinefrmne. Efek paling menonjol adalah efek pada

jantung, otot polos pembuluh darah dan otot polos lain.Obat ini menstimuler

baik alfa maupun betha reseptor. Zat ini juga dibentuk dalam medulla supra

renalis, yang kemudian disimpan dalam granula-granula interseluler dan

ujung-ujung saraf adrenergik dan dilepaskan oleh acetil choline dan serabut

otonom pre ganglion.


 Sistem Kardiovaskuler

Efek terbesar pada sistem kardiovaskuler adalah dalam hal menambah

stroke volume, cardiac rate cardia output. terjadi peningkatan konfraktilinitas

miokard dan nadi. Tekanan sistole akan meninggi tetap tekanan diastole tidak

terlalu banyak dipengaruhi. Terjadi vasodilatasi pembuluh darah, dan dengan

bertambahnya cardi output inilah yang akan menyebabkan tekanan darah naik,

tekanan darah perifer juga naik. Sangat penting digunakan pada penderita

cardiac arest. Kerjanya pada jantung mengaktivasi reseptor beta-1 diotot

jantung dan jaringan konduksi. ini merupakan dasar efek inotropik dan

kronotropik positif epinefrmne pada jantung. Efineprine mempercepat

depoiarisasifase 4, yakni depolarisasi lambat sewaktu diastole, dari nodissino

atrial (SA) dan sel otomatik lainnya, dengan demikian mempercepat firing rate

pacu jantung dan merangsang pembentukan fokus ektopik dalarn ventrikel

dalam nodus SA.

Epinefrmne juga menyebabkan perpindahan pacu jantung ke sel yang

mempunyai firing rate yang lebih cepat. Epinefrine memperkuat waktu sistolik

tanpa mengurangi waktu diastoli. Akibatnya curah jantung bertambah, tetapi

kerja jantung dan pemakaian oksigen makin bertambah, sehingga efisiensi

jantung berkurang.

 Ginjal/Kandung Kemih

Terjadi penyempitan pembuluh darah ginjal, RBF menurun.

Menyebabkan relaksasi otot detrusor melalui reseptor Beta-2 dan kotraksi otot

trigonium dan sfingter melalui Alfa- 1 sehingga dapat menimbulkan retensi

urine.
 Sistem Respirasi

Epinefrmne mempengaruhi pemafasan terutama dengan cara merelaksasi

otot bronchus melalui reseptor Beta-2. Bronchus melebar, baik pemberian

secara topikal maupun injeksi. Hal ini dapat menambah tidal volume walaupun

pada penderita normal sekalipun. Efek bronkhodilatasi mi jelas sekali bila

sudah ada kontraksi otot polos bronchus karena asma bronkial, histamin, ester

kolin, pilorkapin, bradikinin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat(SRS-A) dan

lain-lain. Pada asma epineprinejuga menghambat pelepasan mediator inflamasi

dari sel-sel mast melalui reseptor B2, serta mengurangi sekresi bronkus dan

kongesti melalui reseptor alfal.

 Susunan Saraf Pusat

Epinefrmne pada dosis terapi tidak mempunyai efek stimulasi SSP kuat

karena obat ini relatif polar sehingga sukar masuk SSP. Tetapi pada banyak

orang epinefrmne dapat menimbulkan kegelisahan, rasa kwatir, nyeri kepala

dan tremor, sebagainya karena efek pada sistem kardiovaskuler,

 Saluran Cerna

Melalui reseptor alfa dan beta-2, epinefrine menimbulkan relaksasi otot

polos saluran cerna pada umumnya, tonus dan motilitas usus dan lambung

berkurang, tapi spinter pylorus dan spinter ileocolic akan berkontraksi (efek

alfa dan betha). sekresi dan kelenjar-kelenjar usus akan terlambat. Glikogin

akan dimobilisir dan liver, sehingga kadar gula darah akan naik.

b. Farmakokinetik
Absorpsi pada pemberian oral epinefrine tidak mencapai dosis terapi

karena sebagian besar oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat

pada dinding usus dan hati. Pada penyuntikan sub kutan, absorpsi yang lambat

terjadi karena vasokontriksi lokal, dapatmempercepat dengan memijat tempat

suntikan. Absorpsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan IM. Pada

pemberian lokal

 secara inhalasi,efeknya terbatas terutama pada saluran nafas,tetapi efek

sistemik dapat terjadi, terutama bila digunakan dosis besar.

 Biotransformasi dan Ekskresi-Epinefiine stabil dalam darah Degradasi

epinefrine terutama terjadi dalam hati yang banyak mengandung kedua

enzim COMT dan MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak zat ini.

Metabolit-metabolit ini bersifat epinefrmne yang tidak di ubah

dikeluarkan dalam urine. Pada orang normal jumlah epinefrine dalam urine

hanya sedikit.

c. Intoksikasi

Efek Samping Dan Kontra Indikasi Pemberian epinefrmne dapat

menimbulkan gejala seperti perasaan takut, kwatir, gelisah, tegang, nyeri

kepala berdenyut, pusing, sukar bernafas, dan palpitasi. Gejala-gejala ini cepat

setelah istirahat. Penderita hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap efek-

efek tersebut diatas maupun terhadap efek pada sistem vaskuler. Pada

penderita psikonurotik epinefrine dapat memperberat gejala-gejalanya. Dosis

epinefrmne yang besar atau penyuntikan IV cepat dengan tidak disengaja akan

menimbulkan perdarahan otak karena kenaikan tekanan darah yang

hebat.Bahkan penyuntikan lewat sub kutan 0,6 ml larutan 2 : 1000 dapat


menimbulkan perdarahan sub araknoid dan hemiplagia. Untuk mengatasinya

dapat diberikan vasodilator yang kerjanya cepat, misalnya nitrit atau natrium

nitropusit, epinefrmne dapatmenimbulkan aritmia ventrikel. febrilasi ventrikel

bisa terjadi biasanya bersifat fatal, ini terutama terjadi bila epinefrine diberikan

sewaktu anastesia dengan hidrokarbon berhalogen, atau pada penyakit jantung

organic.

 Awitan aksi : IV 30-60 detik

Sub kutan 6- 15 menit Intra trakea 4 -15

detik Inhalasi 3 - 5 menit

 Efek puncak IV dalam 3 menit

 Lamaaksi 1V 5 –l0 menit Intra trakea 15 - 25 menit

Inhalasi 1 - 3 jam

d. Penggunaan Klinis

Manfaat epinefrine dalam klinis berdasarkan efeknya terhadap pembuluh

darah jantung dan otot polos bronkus.Penggunaan paling sering untuk

menghilangkan sesak nafas akibat bronkokonstriksi untuk mengatasi reaksi

hipersensitifitas terhadap obat maupun alergen lainnya, dan untuk

memperpanjang masa kerja anastetik lokal. Epinefrine juga untuk merangsang

jantung pada waktu terjadi henti jantung oleh berbagai sebab. Secara lokal obat

ini digunakan untuk menghentikan perdarahan kapiler.

e. Dosis

Henti Jantung
Dosis standart Bolus IV, 1 mg atau 0,02 mg/kg (10 ml atau 0,02 mg/kg
larutan 1; 10000). Berikan setiap 3 - 5 menit seperlunya, jika tidak ada respon
setelah dosis kedua berikan dosis tinggi.
Dosis tinggi (dapat diterima, kemungkinan dapat membantu), bolus IV 5

- 10 ml larutan 1: 1000 setiap 3 - 5 menit seperti yang diperlukan. Jika akses

intra vena tidak ada encerkan 5 - 10 mg atau 0,1 - 0,2 mg/kg ( 5 - 10 ml larutan

1 : 1000) dalam volume yang sama normal saline steril dan suntikan via tube

endotrakea.

 Anafilaksis Asma Berat

Dewasa 0,1 - 0,5mg sub kutan atau IM ( 0,1 - 0,5 ml dilarutkan 1: 10000)

Anak-anak : 0,01 mg/kg larutkan 1 : 1000, jangan melebihi 0,05 mg dosis

subkutan dapat diulangi dalam interval 10 -15 menit pada pasien dengan syok

anafilatik dan dalam interval 20 menit hingga 4 jam pada pasien asma.

f. Efek Samping Utama

Kardiovaskuler hipertensi, takikardi, aritmia, angina

Pulmuner: edema pam

SSP : ansietas, sakit kepala, perdarahan serebri vaskuler

Dermatologi : nekrosis pada tempat suntikan

Metabolik : hiperglikemia, hiperkalemia, hipokalemia.

2. Lidokain

a) Penggunaan
Anestesi regional, pengobatan aritmia ventrikuler, khususnya jilca
berkaitan dengan infark miokard akut atau pembedahan jantung, perlemahan
prosesor terhadap intubasi (tekanan darah/ tekanan intracranial: pelemahan
fasikulasi yang diakibatkan subsikolin.
b) Dosis
 Antiaritmik : bolus IV lambat, 1 mg/kg (dalam 1%-2%) diikuti oleh 0,5

mg/kg/setiap 2-5 menit ( sehingga maksimum 3mg/kg/jam.

 Infuse ( larutan 0,15-0,4 mg/menit ( 20-50 μg/kg/menit) TM 4-5 menit,

dapat diulang 60-90 menit kemudian.

 Pelemahan reseptor pressor

IV 1,5-2 mg/kg (larutan 1%-2%), berikan 3-4 menit sebelum laringoskopi.

Laringotrakea, 2 mg/kg (larutan 4%),instilasikan secara translaringeal

(dengan kanula) tepat sebelum intubasi. Reduksi dan respon prosesor

terhadap intubasi hanya merupakan indikasi pada pasien yang secara

hemodinarnik stabil.

 Pelemahan fasikulasi

IV, 1,5 mg/kg ( larutan T%-2%). Berikan 3 menit sebelum dosis

suksinokolin. Dapat dikombinasikan dengan dosis pra pengobatan dan

relaksan otot non depolarisasi

 Anestesi local

Topical 0,6-3 mg/kg ( larutan 2%-4%)

Block saraf tepi/infiltrasi 0,5-5 mg/kg (dalam larutan 0,5%-2%)


 Regional intravena

 Ekstremitas atas, 200-25 0 mg (40-50 ml larutan 0,5%)

 Ekstremitas bawah, 250-300 mg (l00-120 ml larutan 0,25%)

 Blok pleksus brakialis, 300-750 mg ( 30-50 ml larutan l%-l,5%, anak-anak

0,2- 0,3 ml/kg

 Blok epidural, 200-400 mg (larutan 1%-2%), anak-anak 7- 9 mg/kg infuse

6-12 ml/jam (larutan 0,55 dengan atau tanpa narkotik pidural); anak-anak

0,2 - 0,35 ml/kg/jam.


c) Eliminasi

Hati dan paru

d) Kemasan

 Pemberian parental : suntikan untuk suntik TM 10%, suntikan untuk IV

langsung 1%-2%, suntikan untuk campuran TV 4%, 10%, 20%, suntikan untuk

infuse IV 0,2%, 0,4%, 0,8%.

 Blok saraftepi/ infiltrasi : 0%, l%, 1,5%, 2% dengan atau tanpa

epinephrine, 1:500.000, 1: 100.000, 1: 200.000

 Epidurai : 1%, 1,5%, 2% bebas pengawet.

e) Farmakologi

Anestesi local turunan amida ini mempunyai awitan aksi yang cepat.

Menstabilkan membrane neuronal dengan menghinbisi influx natrium yang

diperlukan untuk memulai dan menghantarkan impuls. Obat ini juga

merupakan suatu obat antiarimik kelas 1 B, yang secara otomatis menekan dan

mempendek periode refraktek efek dan lama potensial aksi dan systemhis-

purkinje. Lama potensial aksi dan periode refraktef aktif otot ventrikuler juga

berkembang. Lidokain intravena dan laringotrakea menurunkan respons

tekanan darah yang ditimbulkan oleh intubasi trakea. Jika diberikan secara

intravena, hal ini disebabkan oleh efek analgesic dan efek anatetik local

(mencermmnkan pengiriman obat ke percabangan trakeobronkus yang sangat

vaskuler). Dosis yang berulang menyebabkan peningkatan yang bermakna dari

kadar darah karena akumulasi yang lambat.

f) Farmakokinetik
 Awitan IV ( efek antianimik) 45-90 detik

Intratrakea ( efek antianmik) : 10-15 detik

Infiltrasi : 0,5-1 menit

Epidural 5-15 menit

 Efek puncak : IV ( efek antiarimik) : 1-2 menit

Infiltrasi epidural : ≤ 30 menit

 Lama aksi IV ( efek antianimik) : 10-20 menit

Inatrakea : 30-50 menit

Infiltrasi : 0,5-1 jam

Dengan Epineprine : 2-6 jam

Epidural : 1-3 jam

g) Pedoman / Peringatan

a. Hati-hati pada pasien hipovolemik, gagal jantung kongenetif (CHF) berat,

syok dan semua bentuk blok jantung.

b. Benzodiazepine meningkatkan ambang kejang

c. Kontraindikasi pada pasien hipersensivitas terhadap anastetik local tepi

amida

d. Monitor terhadap hipoventilasi dengan melepaskan manset jika

ditambahkan relaksan otot pada larutan anastetik untuic blockade regional.

h) Reaksi Efek Samping Utama

 Kardiovaskuler : hipotensi, bradikardi, aritmia, blok jantung

 SSP tinnitus, kejang, kehilangan pendengaran, euphoria, ansietas,

diplopia, nyeri kepala pasca spinal, araknoiditis.

 Pulmoner: depresi pernapasan, henti pernapasan


 Alergik urtikaria, pruiritas, edema angioneurotik

 Epidural/kaudal/spinal spinal tinggi, kehilangan control kandungan

kemih dan usus, deficit motorik, sensorik, otonomik dan segmen bawah.

3. Ephedrine

Obat ini adalah stimulator langsung α dan β-adregenik dan

membebaskan catheccholamin (adrenalin dan nonadrenalin) dari tempat

reseptor. Secara kimiawi ini adalan keturunan adrenalin.

a) Farmakodinamik

Obat ini mengahambat penghancuran adrenalin dan nonadrenalin

sehingga mempertahankan kadar cathecolamin dalam darah tetap tinggi. Obat

ini membebaskan nonadrenalin pada ujung saraf dalam pembuluh darah

berefek

 Suatu rangsangan simpatis yang kuat. Denyut jsntung menguat dan

frekwensinya bertambah dan tekanan darah naik. Arterior berkonsentrasi.

Durasi efek kira-kira 30-40 menit tetapi dosis ulang kurang efektif

 Relaksasi otot polos bronchus melebarkan pupil

 Merangsang cortex dan medulla cerebrum dengan perasaan subyektif pada

sesuatu, geram dan tidak nyaman

 Melebarkan arteri koronaria

 Meningkatkan aliran darah koroner dan skelet menimbulkan bronkodilatasi

melalui reseptor β-2

b) Penggunaan
 Memiliki keuntungan bahwa cardiac out put dan venous return itu

meningkat

 Digunakan pada keadaan hypotensi, broncouspasme, heartblock, carotis

sinus, syndrome, urticaria, narcolepsy, enuresis dan myasthenia.

 Vasopresor dan bronkodilator

c) Dosis

 Dosis 5-20mg (100-200 μg/kg) IV < IM 25-50 mg

 Efek puncak IV 2-5 menit, IM < 10 menit , DOA IV/IM 10-60 menit

d) Pedoman

 Gunakan hati-hati pada pasien dengan hipertensi dan penyakit jantung

sistemik.

Dapat menimbulkan suatu tingkat stimulasi SSP tidak dapat diterirna yang
menimbulkan

3. Isofluran

Isofluran merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak

berwarna, tidak eksplosif, tidak mengandung zat pengawet, dan relatif tidak

larut dalam darah tapi cukup iritatif terhadap jalan nafas sehingga pada saat

induksi inhalasi sering menimbulkan batuk dan tahanan nafas. Proses induksi

dan pemulihannya relatif cepat dibandingkan dengan obat-obat anestesi

inhalasi yang ada pada saat ini tapi masih lebih lambat dibandingkan dengan

sevofluran.

a) Efek Farmakologi
 Terhadap sistem saraf pusat

Efek depresinya terhadap SSP sesuai dengan dosis yang diberikan.

Isofluran tidak menimbulkan kelainan EEG seperti yang ditimbulkan oleh

enfluran. Pada dosis anestesi tidak menimbulkan vasodilatasi dan perubahan

sirkulasi serebrum serta mekanisme autoregtilasi aliran darah otak tetap stabil.

Kelebihan lain yang dimiliki oleh isofluran adalah penurunan konsumsi

oksigen otak. Sehingga dengan demikian isofluran merupakan obat pilihan

untuk anestesi pada kraniotomi, karena tidak berpengaruh pada tekanan

intrakranial, mempunyai efek proteksi serebral dan efek metaboliknya yang

menguntungkan pada tekhnik hipotensi kendali.

 Terhadap sistem kardiovaskuler

Efek depresinya pada otot jantung dan pembuluh darah lebih ringan

dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain. Tekanan darah dan denyut

nadi relatif stabil selama anestesi. Dengan demikian isofluran merupakan obat

pilihan untuk obat anestesi pasien yang menderita kelainan kardiovaskuler.

 Terhadap sistem respirasi

Seperti halnya obat anestesi inhalasi yang lain, isofluran juga

menimbulkan depresi pemafasan yang derajatnya sebanding dengan dosis yang

diberikan.

 Terhadap otot rangka

Menurunkan tonus otot rangka melalui mekanisme depresi pusat motorik

pada serebrum, sehingga dengan demikian berpotensiasi dengan obat

pelumpuh otot non depolarisasi. Walaupun demikian, masih diperlukan obat

pelumpuh otot untuk mendapatkan keadaan relaksasi otot yang optimal

terutarna pada operasai laparatomi.


 Terhadap ginjal

Pada dosis anestesi, isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan laju

fitrasi glomerulus sehingga produksi urin berkurang, akan tetapi masih dalam

batas normal.

 Terhadap hati

Isofluran tidak menimbulkan perubahan fungsi hati. Sampai saat ini

belum ada laporan hasil penelitian yang menyatakan bahwa isofluran

hepatotoksik.

b) Biotransformasi

Hampir seluruhnya dikeluarkan melalui udara ekspirasi, hanya 0,2%

dimetabolisme di dalam tubuh. Konsentrasi metabolitnya sangat rendah, tidak

cukup untuk menimbulkan gangguan fhngsi ginjal.

c) Fenggunaan Klinik

Sama seperti halotan dan enfluren, isofluren digunakan terutama sebagai

komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum. Disamping efek

hipnotik, juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi ringan.

Untuk rnengubah cairan isofluran menjadi uap, diperlukan alat penguap

(vaporizer) khusus isofluran.

d) Dosis
 Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 2-3%

bersama-sama dengan N20.

 Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan konsentrasinya berkisar

antara 1-2,5%, sedangkan untuk nafas kendali berkisar antara 0,5-1%.

e) Kontra Indikasi

Tidak ada kontra indikasi yang unik. Hati-hati pada hipovolemik berat.

f) Keuntungan Dan Kelemahan

 Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap

mukosa jalan nafas, pemulihannya lebih cepat dan halotan, tidak

menimbulkan mual muntah, dan tidak menimbulkan menggigil serta

tidak mudah meledak atau terbakar. Penilaian terhadap pemakaian

isofluran saat ini adalah bahwa isofluran tidak menimbulkan guncangan

terhadap fungsi kardiovskuler, tidak megubah sensitivitas otot jantung

terhadap katekolarnin, sangat sedikit yang mengalami pemecahan

dalam tubuh dan tidak menimbulkan efek eksitasi SSP.

 Kelemahannya adalah batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan

dosis), analgesia dan relaksasinya kurang, sehingga harus

dikombinasikan dengan obat lain.

4. Sevoflurane

Sevofluran merupakan halogenasi eter, hasil dan fluonisasi isopropil

metil eter dengan nama kimia 1-1-1-3-3-3-hexafluoro 2- propil fluoro-metil-


eter atau fluorometil 2-2-2 trifluoro-l (trifluorometil) eter-eter dan memilki

berat molekul 200,053.

Sevofluran dikemas dalam bentuk cairan, tidak berwarna, tidak eksplosif,

tidak berbau, stabil di tempat biasa (tidak perlu tempat gelam), dan tidak

terlihat adanya degradasi sevofluran dengan asam kuaat atau panas. Obat ini

tidak bersifat iritatif terhadap jalan nafas sehingga baik untuk induksi inhalasi.

Proses induksi dan pemulihannya paling cepat dibandingkan dengan obat-obat

anestesi inhalasi yang ada pada saat ini. Sevofluran dapat dirusak oleh kapur

soda tetapi belum ada laporan yang membahayakan.

a) Efek Farmakologi

 Terhadap sistem saraf pusat

Efek depresinya pada SSP hampir sama dengan Aliran darah otak sedikit

rneningkat sehingga sedikit meningkatkan tekanan mntrakranial. Laju

metabolisme otak menurun cukup bermakna sama dengan isofluran.

 Terhadap sistem kardiovaskuler

Sevofluran relatif stabil dan tidak menimbulkan aritmia. Nilai ambang

arimogenik epmnefrmn terhadap sevofluran terletak antara isofluran dan

enfluran.

Tahanan vaskuler dan curah jantung sedikit menurun, sehingga tekanan

darah sedikit menurun. Pada 1,2-2 MAC sevofluran menyebabkan penurunan

tahanan vaskuler sisternik kira-kira 20% dan tekanan darah arteri kira-kira

20%-40%. Curah jantung akan menurun 20% pada pemakaian sevofluran lebih
dan 2 MAC. Diabndingkan dengan isofluran, sevofluran menyebabkan

penurunan tekanan darah lebih sedikit.

Sevofluran tidak atau sedikit meyebabkan perubahan pada aliran darah

koroner. Dilatasi arresi koroner yang terjadi akibat sevofluran lebih kecil

dibanding isofluran dan tidak menimbulkan efek coronary steal, sehingga

sevofluran aman dipakai untuk penderita penyakit jantung koroner atau yang

mempunyai resiko penyakit jantung iskemik, tetapi penelitian pada orang tua

di atas 60 tahun, disebutkan bahawa sebaiknya berhati-hati dalam memberikan

sevofluran konsentrasi tinggi (8%) pada penderita hipertensi dan riwayat

penyakit jantung penyakit jantung koroner dan iskemik).

Sevofluran menyebabkan penurunan laju jantung. Mekanisme ini belum

jelas, kemungkinan disebabkan olèh karenna penurunan aktifitas simpatis

tanpa perubahan aktifitas parasimpatis. Penelitian-penelitian menyebutkan

bahwa penurunan laju jantung tidak sampai menyebabkan bradikardi, tetapi

kejadian bradikardi pemah dilaporkan pada bayi.

 Terhadap sistem respirasi

Seperti halnya dengan obat anestesi inhalasi yang lain sevofluran juga

menimbulkan depresi pernapasan yang derajatnya sebanding dengan dosis

yang diberikan sehingga volume tidal akan menurun, tapi frekuensi nafas

sedikit meningkat. Pada manusia, 1,1 MAC sevofluran menyebahkan tingkat

depresi pemafasan hampir sama dengan halotan dan pada 1,4 MAC tingkat

depresinya lebih dalam daripada halotan. Sevofluran menyebabkan relaksasi

otot polos bronkus, tetapi tidak sebaik halotan.

 Terhadap otot rangka


Efeknya terhadap otot rangka lebih lemah dibandingkan dengan

isofluran. Relaksasi otot dapat terjadi pada anestesi yang cukup dalam denga

sevofluran. Proses induksi, laringoskopi dan intubasi dapat dikerjakan tanpa

bantuan obat pelemas otot.

 Terhadap hepar dan ginjal

Tidak ada laporan tentang hepatotoksisitas klinis pada manusia setelah

penggunaan sevofluran oleh lebih dari dua jua orang sejak tahun l988.

Sevofluran menurunkan aliran darah ke hepar paling kecil dibandingkan

dengan enfluran dan halotan.

Ada beberapa bukti, sevofluran menurunkan aliran darah ke ginjal dan

meningkatkan konsentrasi fluoride plasma, tetapi tidak ada bukti hal ini

menyebabkan gangguan fungsi ginjal pada manusia.

 Terhadap uterus

Kontraksi uterus spontan dapat dipertahanican dengan baik dan

kehilangan darah minimal. Tidak terjadi efek buruk pada bayi dan ibu.

Penelitian Sharma dkk, menunjukkan bahwa efek terhadap bayi, perubahan

hemodinamik ibu dan efek samping pasca bedah adalah sebanding antara

sevofluran dan isofluran.

b) Biotransformasi

Hampir seluruhnya dikeluarkan untuk melalui udara ekspirasi, hanya

sebagian kecil 2-3% dimetabolisme dalam tubuh. Konsentrasi metabolitnya

sangat rendah, tidak cukup untuk menimbulkan gangguan fungsi ginjal.

c) Elemmnasi

Eleminasi sevofluran oleh paru-paru kurang cepat dibanding desfluran,

tetapi masih lebih cepat dibanding isofluran, enfluran, dan halotan. Sevofluran

mengalami metabolisme di hati (defluoronisasi) kurang dari 5%, membentuk


senyawa fluorine, kemudian oleh enzim glucuronyl tansferase diubah menjadi

fluoride inorganik dan fluoride organik (hexafluoro isopropanol), dan dapat

dideteksi dalamdarah serta urine. Hexafluoro isopropanol akan terkonjugasi

menjadi produk tidak aktif, kemudian diekskresikan lewat urine. Tidak ada

pengaruh nyata pada fungsi ginjal dan tidak bersifat nefrotoksik.

d) Penggunaan Klinik

Sama seperti agen volatil lainnya, sevofluran digunakan terutama sebagai

komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesia umum. Disampingefek

hipnotik, juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Pada

bayi dan anak-anak yang tidak kooperatif, sangat baik digunakan untuk

induksi. Untuk mengubah cairan sevofluran menjadi uap, diperlukan alat

penguap (vaporizer) khusus sevofluran.

e) Dosis

(1) Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 3,0-

5,0% bersama-sama dengan N20.

(2) Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, konsentrasinya berkisar

antara 2,0-3,0%, sedangkan untuk nafas kendali berkisar antara 0,5-1%.

f) Kontra Indikasi

Hati-hati pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced

hyperthermia”, hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.

g) Keunggulan Dan Kelemahan

(1) Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap

mukosajalan nafas, pemulihannya paling cepat dibandingkan dengan agen

volatil lain.
(2) Kelemahannya adalah batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan

dosis), analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan

dengan obat lain.

5. Desflurane

Desfluran merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek

klinisnya sama dengan isofluran. Desfiuran sangat mudah menguap

dibandingkan dengan agen volatil yang lain. Memerlukan alat penguap khusus

(TEC-6) dengan saran elektrik tidak seperti agen yang lain.

a) Efek Farmakologi

Efek klinisnya hampir sama dengan isofluran. Hanya efeknya terhadap

respirasi dapat menimbulkan rangsangan jalan nafas sehingga tidak dapat

digunakan untuk induksi. Bersifat simpatomimetik sehingga mengakibatican

takikardi, akan tetapi tidak bermakna dalam meningkatkan tekanan darah. Efek

terhadap hepar dan ginjal sama dengan sevofluran.

b) Biotransformasi

Hampir seluruhnya dikeluarkan melalui udara ekspirasi, hanya < 0,1%

dimetabolisme oleh tubuh.

c) Penggunaan Klinik
Sama seperti agen volatil lainnya, desfluran digunakan terutama sebagai

komponen hipnotik dalam pemeliharaan anesthesia umum. Disamping efek

hipnotik, desfiuran juga mempunyai efek analgetik yang ringan dan relaksasi

otot ringan.

d) Dosis

1. Untuk induksi, disesuaikan dengan kebutuhan

2. Untuk pemeliharaan tergantung dengan racikan obat yang lain dan

disesuaikan dengan kebutuhan.

e) Kontra Indikasi

Hati-hati pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced

hyperthermia”, hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.

f) Keuntungan Dan Kelemahan

(1) Keuntungannya hampir sama dengan isofluran.

(2) Kelemahannya adalah batas keamanannya sempit (mudah terjadi

kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang sehingga

harus dikombinasikan dengan obat lain.

2.10 Konsep Asuhan Keperawatan

Dalam melaksanakan asuhan keperawatan penulis mengacu dalam proses

keperawatan yang terdiri dari 5 tahapan, yaitu:

2.10.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan.

Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap ini

akan menentukan diagnosis keperawatan. Pengkajianharus dilakukan dengan

teliti dan cermat sehingga seluruh kebutuhan perawatan pada klien dapat

diidentifikasi (Nikmatur, 2012).

Pengkajian dibedakan menjadi 2 tahap yaitau:

1. Pengkajian pre op

Pengkajian ini dilakukan sejak pasien MRS sampai saat operasinya, yang

meliputi :

a. Identitas pasien

Meliputi nama, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, usia, alamat, setatus

perkawinan, agama/kepercayaan, nomor register, diagnosa medis dan nomor

telephon yang bisa dihubungi.

b. Riwayat penyakit sekarang

Meliputi kejadiaan saat pasien mengalami sakit hingga dibawa ke rumah

sakit

c. Riwayat penyakit dahulu

Meliputi penyakit yang diderita sebelumnya

d. Riwayat penyakit keluarga

Meliputi, apakah pasien memiliki riwayat penyakit turunan dari keluarga

seperti diabetes militus, hipertensi, jantung, dan penyakit2 degeneratif lainnya.

e. Pemeriksaan fisik

B1 (Breath)

Pemeriksaan meliputi beberapa aspek meliputi: respiratory rate, suara

nafas, perkembangan dada, bentuk dada, gangguan pola nafas, serta anatomis
jalan nafas yang dapat mempengaruhi atau menyulitkan dalam pemberian

anestesi.

B2 (Blood)

Meliputi pemeriksaan tekanan darah, nadi, suhu, perfusi, CRT serta hal-

hal lain yang berhubungan dengan sirkulasi dan perdarahan yang dapat

mendukung pelaksanaan anestesi serta proses operasi.

B3 (Brain)

Keadaan umum pasien yang meliputi kesadaran pasien orientasi pasien

serta kecemasan pasien dalam menghadapi operasi.

B4 (Bladder)

Meliputi pemeriksaan frekuensi berkemih, konsistensi dan jumlah, serta

penyulit dalam berkemih

B5 (Bowel)

Meliputi pengkajian sekitar abdomen dan sistem pencernaan yang ada

didalamnya, lama puasa, gangguan eliminasi alfi, dll.

B6 (Bone)

Kemampuan beraktivitas, kekuatan otot, gangguan motorik, lokasi

operasi atau pemeriksaan terhadap postur tubuh dll.

2. Pengkajian post operasi

Pengkajian ini dilakukan setelah pasien menjalani operasi, antara lain:

a) Keluhan utama

Keluhan post operasi yang sering muncul adalah rasa nyeri, tidak nyaman

dan gangguan mobilisasi

b) Keadaan umum

Kesadaran pasien, GCS, ekspresi wajah, suara bicara dll


c) Pemeriksaan fisik

Meliputi B1 sampai dengan B6

d) Terapi yang diberikan setelah operasi


2.10.2 Analisa data

Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa untuk menentukan


masalah pasien. Analisa merupakan proses intelektual yang meliputi kegiatan
mentabulasi, menyeleksi, mengklasifikasi data, mengelompokkan dan mengaitkan
untuk menentukan kesenjangan informasi. Membandingkan dengan standar,
menginterpretasikan serta akhirnya membuat kesimpulan.

2.10.3 Diagnosis keperawatan

Pernyataan yang menggambarkan respon manusia ( keadaan sehat atau

perubahan pola interaksi actual/potensial) dari individu atau kelompok agar

perawat dapat secara legal mengidentifikasi dan perawat dapat memberikan

tindakan keperawatan secara pasti untuk menjaga status kesehatan (Nikmatur,

2012).

2.10.4 Perencanaan

Pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi dan

mengatasi masalah-masalah yang telah di identifikasi dalam diagnosis

keperawatan. Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana perawat

mampu menetapkan cara menyelesaikan masalah dengan efektif dan efesien

(Nikmatur, 2012)

2.10.5 Pelaksanaan

Realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan,

mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta

menilai data yang baru (Nikmatur, 2012).


2.4.6 Evaluasi

Penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil

yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap

perencanaan (Nikmatur, 2012)


BAB III
TINJAUAN KASUS

Pada bab ini akan disajikan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan anestesi
dengan pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian,
perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang
dilakukan pada tanggal 2 Juli 2021 pukul 16.00 WIB di ruang operasi OK 1 RSU
dr. Suyudi Paciran kab, Lamongan dengan uraian sebagai berikut:

3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas pasien
Nama : Sdr. A
No. RM : 04.97.xx
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 17 tahun
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Alamat : Lamongan
Tgl. MRS : 01 Juli 2021 pkl 22.00 WIB
Tgl. Pengkajian: 02 Juli 2021 pkl 16.00 WIB

3.1.2 Riwayat penyakit sekarang


1. Keluhan utama
Nyeri kemeng menerus, pada jari tengah tangan kanan sejak sore pkl 19.00
sebelum pasien MRS.

2. Kronologi
Pasien datang ke RSU dr. Suyudi Paciran dengan keluhan nyeri pada jari
tangan kanan, paska kecelakaan di Jl. Deandels saat akan pergi mengaji pada tgl
01 Juni 2021 pkl 19.00 WIB, kemudian oleh dokter spesialis orthopedy pasien
akan dilakukan orif pada sore ini pada tgl 02 Juni 2021 pkl 17.00 WIB
3.1.3 Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah menderita sakit apapun,
termasuk riwayat operasi.

3.1.4 Riwayat alergi


Pasien mengatakan tidak ada riwayat alergi sebelumnya, baik obat-obatan
maupun makanan

3.1.5 Pemeriksaan fisik


1. Keadaan umum
Didapatkan luka jejas di bahu tangan kanan, dan kaki, tampak bengkak di
area jari ke 3 tangan kanan, deformitas. Pasien kooperatif namun mengeluh sedikit
cemas karena ini merupakan pengalaman pertama pasien akan menjalani operasi.
TTV : PR : 130/80 MmHg
HR : 100 x/mnt
T : 36,2 oC
RR : 20x/mnt
Spo2 : 99%
B1 (Breath)
Jalan nafas pasien bebas, nafas spontan dengan frekuansi 20 x/mnt, dengan
saturasi 99% tanpa menggunakan oksigen, tampak pergerakan dada simetris.

B2 (Blood)
Akral teraba hangat kering merah, didapatkan CRT ‹ 2 detik, dari hasil
pemeriksaan vital sign didapatkan tensi 130/80 MmHg dan nadi 100x/mnt, dari
auskultasi didapatkan suara jantung S1 S2 tunggal.

B3 (Brain)
Sadar baik, GCS e 4, v 5, m 6, pupil isokor ukuran 2mm/2mm, kooperatif
namun sedikit takut karena merupakan pengalaman pertama pasien menjalani
operasi.
B4 (Blader)
Genitalia normal, BAK spontan normal dengan konsistensi warna kuning
jernih tanpa nyeri dan bau khas. Jumlah ± 250cc pkl 13.00.

B5 (Bowel)
Pasien saat ini telah puasa sejak sekitar pkl 09.30 pagi, makan terakhir (nasi
dan lauk pauk) pkl 07.00 pagi, minum terakhir air putih pkl 09.30.
BAB pagi ini sekitar pukul 05.00 saat akan sholat subuh, dengan kosistensi
lembek, warna kuning dan bau khas, untuk jumlah tidak terkaji.

B6 (Bone)
Cara berjalan normal, pasien mengalami keterbatasan gerak di tangan kanan
karena terdapat fraktur di jari tangan ke 3 sebelah kanan. Bengkak, dan deformitas

3.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium tgl 02 Juni 2021
Leukosit 8.800 4.000-10.000/uL
Neutrofil absolut 6.370 2.000-7.000/uL
Monosit absolut 1.800 800-4.000/uL
Eosinofil absolut 460 120-1.200/uL
Basofil absolut 70 0-100/uL
Neutrofil % 72,3 50-70%
Limfosit % 20,5 20-40%
Monosit % 5,3 3-12%
Eosinofil % 1,1 0,5-5,0 %
Basofil % 0,8 0-1%
Eritrosit 4,65 3,50-5,50/uL
Haemoglobin 13,8 11,0-16,0 g/dL
Hematokrit 38,0 37,0-54,0%
MCV 81,8 80,0-100,0 fL
MCH 29,8 27,0-34,0 pg
MCHC 36,4 32,0-36,0 g/dL
RDW-CW 12,7 11,0-16,0%
RDW-SD 39,1 35,0-56,0
Trombosit 238.000 150.000-450.000
MPV 8,9 7,0-11,0 fL
PDW 15,6 9,0-17,0
PCT 0,211 0,108-0,282%
P-LCC 45 30-90 x 10ꞈ9/L
P-LCR 18,8 11,0-45,0%
NLR 3,54 0,000-3,130
FAAL HATI
HbsAg NON REAKTIF NON REAKTIF
FAAL HEMOSTASIS
PT 9,9 7,9-10,3 Detik
APTT 24,7 22,9-32,1 Detik
GULA DARAH
GDA 98 ≤ 150 mg/dl
HIV NON REAKTIF NON REAKTIF

foto manus dekstra


3.1.7 Klasifikasi ASA dan rencana tindakan anestesi
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan terhadap sdr. A, pasien
termasuk klasifikasi PS ASA 1 dengan kriteria pasien usia 17 tahun, terdapat
fraktur tertutup di jari tengah tangan kanan, yang mana resiko infeksi tergolong
minimal, pasien tidak merokok dan tidak pernah minum minuman beralkohol,
serta tanpa adanya penyakit sistemik lainnya. dengan mempertimbangkan kondisi
klinis dan hasil pemeriksaan terhadap pasien, maka dokter anestesi memutuskan
untuk tindakan operasi dengan GA LMA

3.2 Data asuhan keperawatan anestesi


3.2.1 Pre operasi
Pasien tiba di Ruang Premedikasi Kamar Operasi pada tanggal 02 Juli 2021
pukul 16.00 WIB diantar oleh perawat IRNA Lt.2. Pasien sudah disiapkan untuk
operasi dan di karenakan ini operasi elektif yang membutuhkan waktu sedikit
lama maka pasien di puasakan selama kurang lebih 8 jam dengan dokter
bersamaan dengan dilakukan pemeriksaan awal dan persiapan operasi. Pasien
mengatakan tidak pernah menjalani operasi sebelumnya dan merasa takut dengan
tindakan yang akan dilakukan, pasien menanyakan berapa lama tindakan operasi
akan dilaksanakan. Wajah pasien tampak cemas dan pasien banyak berdoa.
Kondisi datang pasien dalam keadaan sadar baik, GCS E4V5M6, pasien terpasang
infus Ringer laktat 500 ml pada tangan kiri dengan surflo 18G, tidak ada gigi
goyang atau gigi palsu, tidak ada riwayat penyakit sesak atau mengi-mengi serta
penyakit sistemik lain. Tindakan premedikasi inj. Sulfas atropin 0,25 mg per IV
terhadap pasien, pasien dibawa masuk ke dalam OK 2 pada pukul 17.00 WIB, saat
di ruang OK 2 pasien dipersiapkan dan dipasang monitor (Tekanan Darah, EKG,
Nadi, SpO2) serta diberikan oksigen murni (preoksigenasi) mask O2 5 lpm,
kemudian mesin anestesi disiapkan. Aliran infus menetes dengan lancar baik.
Observasi TTV sebelum dilakukan induksi adalah TD 133/89 mmHg, Nadi 105
kali/menit, EKG: Normal Sinus Rythm, SpO2 100%, RR 16-20 kali/menit. Pasien
diposisikan lateral dan dimulai tindakan general anestesi dengan LMA pada pukul
17.15 WIB. Mulai dilakukan pemberian obat induksi per IV, obat-obatan induksi
yang digunakan adalah:
 Midazolam 3 mg
 Fentanyl 50 mg
 Propofol 70 mg
Kepala dibuat ekstensi dan leher fleksi, kemudian LMA no.4 dimasukkan
dan difiksasi kemudian dicek auskultasi dada apakah LMA sudah masuk atau
tidak

3.2.2 Durante operasi


Setelah dilakukan tindakan anestesi umum dengan LMA pasien
diterlentangkan. Tindakan operasi dimulai pukul 17.34 WIB, saat durante operasi,
suhu ruangan operasi 20°C. Observasi peningkatan secret/saliva, TTV selama
durante operasi adalah TD berkisar 100/75 mmHg sampai dari 120/80 mmHg,
Nadi 70-100 kali/menit, EKG: Normal Sinus Rythm, RR 15-20 kali/menit, SPO2
100%. Pasien terpasang LMA nomor 4 dengan agen Isofluran 1,5 %, akral telapak
tangan pasien teraba hangat. tindakan operasi selesai pada pukul 18.20 WIB.
Cairan yang masuk saat durante operasi Ringer Laktat 500 ml, perdarahan ±
100cc Saat tindakan.
Tabel Data Observasi Tanda-Tanda Vital sdr. A
Waktu Tekanan Darah Irama EKG Nadi SPO2
17.15 133/89 Sinus Rythm 105 100%
17.20 111/60 Sinus Rythm 98 100%
17.25 113/77 Sinus Rythm 95 100%
17.30 121/62 Sinus Rythm 96 96%
17.35 100/75 Sinu Rythm 97 100%
17.40 145/85 Sinus Rythm 121 100%
17.45 107/63 Sinus Rythm 95 100%
17.50 102/70 Sinus Rythm 91 100%
17.55 122/63 Sinus Rythm 89 100%
18.00 121/61 Sinus Rythm 89 100%
18.05 117/67 Sinus Rythm 90 100%
18.10 110/72 Sinus Rythm 97 100%
18.15 124/75 Sinus Rythm 97 100%
18.20 123/73 Sinus Rythm 92 100%

3.2.1 Post Operasi


Setelah operasi selesai, pasien mendapatkan terapi pethidine IM 50 mg,
ondancentron 4mg. Pasien langsung bangun dengan menunjukan gerakan
bertujuan ingin mengambil benda yang ada di mulut, disertai reflek batuk
kemudian dilakuka ekstube, kemudian keluar dari OK 2 dan dipindahkan ke ruang
pulih sadar pada pukul 18.30 WIB. Observasi TTV selama di ruang pulih sadar
adalah TD 106/70 mmHg sampai dengan 125/80 mmHg, Nadi 80-90 kali/menit,
EKG: Normal Sinus Rythm, RR 16-20 kali/menit, SPO2 99-100% dengan Nasal
O2 3 lpm, suhu tubuh 36-36,2 oc. Pasien mengatakan tangan kanannya nyeri skala
9, pasien tidak merasa kedinginan, pasientak tampak menggigil, pasien tidak mual
dan tidak muntah. Pasien di observasi di ruang pulih sadar sekitar dua jam, setelah
kondisi stabil, pasien dijemput perawat dari Ruang rawat inap At taqwa Lt.2 pada
pukul 20.10 WIB. Pesanan pasca bedah adalah (1) Pasien sadar baik, tidak mual,
tidak muntah, boleh minum sedikit-sedikit, tidak ada keluhan, boleh diit bebas, (2)
Infus sisa OK dihabiskan 20 tetes/menit, Ringer laktat 1500 ml/24 jam (3) Injeksi
anbacim 2x1g IV, injeksi metamizol 3x1g IV, injeksiPethidine 50 mg IM k/p (4)
Pasien boleh mobilisasi bebas, batasi gerak pada area post orief.

3.2.3 Analisa Data


Tabel Analisa Data
Data Masalah Etiologi
Keperawatan
 Pre Operasi Ansietas Kekhawatiran/takut
DS: Pasien mengatakan tidak akan tindakan
pernah operasi sebelumnya, pasien operasi
mengatakan takut operasi, pasien
menanyakan berapa lama tindakan
operasi yang akan dilakukan

DO: Pasien tampak khawatir, pasien


banyak berdoa,TD 133/89 mmHg,
Nadi 105 kali/menit, RR 20
kali/menit
 Durante Operasi Pola nafas tidak Disfungsi
DS: - efektif neuromuskular
DO: dampak anesthesi
- agen sedatif propofol 70 mg umum
- pasien terpasang LMA no 4
- selama tindakan saturasi antara 96-
100%
- selama operasi, pernafasan pasien
dibantu menggunakan mesin
anestesi
 Durante Operasi Resiko aspirasi Penurunan tingkat
DS: - kesadaran
DO: pasien tidak sadar, pasien
terpasang LMA no. 4, sekret
tertahan di jalan nafas.
 Post Operasi Nyeri Akut Agen pencedera
DS: Pasien mengatakan tangan fisik (prosedur
terasa nyeri pembedahan)
DO: Pasien tampak meringis
kesakitan TD 125/100 nadi 99 kali /
menit

3.2.4 Diagnosa Keperawatan


1. Ansietas beruhubungan dengan Kekhawatiran/takut akan tindakan operasi
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular dampak
anestesi umum
3. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur pembedahan)

3.2.5 Luaran dan Intervensi Keperawatan


Tabel Luaran dan Intervensi Keperawatan
Diagnosa SLKI SIKI
Ansietas setelah dilakukan tindakan Konseling :
beruhubungan asuhan keperawatan selama 30 Observasi :
dengan menit diharapkan Tingkat  Identifikasi kemampuan
Kekhawatiran Ansietas Menurun dengan dan beri penguatan
akan kriteria hasil :  identifikasi perilaku
kegagalan  Verbalisasi Khawatir keluarga yang
ditandai akibat kondisi yang di mempengaruhi pasien
dengan pasien hadapi menurun Terapeutik :
mengatakan  Perilaku Gelisah  Bina hubungan
takut, tampak menurun terapeutik berdasarkan
cemas dan  perilaku tegang menurun rasa percaya dan
banyak berdo,a  Frekuensi pernapasan penghargaan
membaik  berikan empati,
 frekuensi nadi membaik kehangatan, dan
 Tekanan darah membaik kejujuran
 tetapkan tujuan dan
lama hubungan
konseling
 berikan privasi dan
pertahankan
kerahasiaan
 fasilitasi untuk
mengidentifikasi
masalah
Edukasi :
 Anjurkan
mengepresikan
perasaan
 anjurkan membuat
daftar alternatif
penyelesaian masalah
 anjurkan pegembangan
keterampilan baru, jika
perlu
Gangguan pola setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas :
nafas tidak asuhan keperawatan selama 15 Observasi :
efektifberhubu menit diharapkan bersihan nafas  monitor pola napas
ngan dengan terpenuhi dengan kriteria hasil : (frekuensi, kedalaman,
disfungsi  saliva tidak ada usaha napas)
neuromuskular  tidak ada tanda  monitor bunyi napas
dampak penggunaan otot bantu tambahan
anestesi umum nafas  monitor sputum
 RR 16-20 x/mnt (jumlah, warna, aroma)
 frekuensi nafas membaik
 kedalaman napas terapeutik :
 pertahankan kepatenan
membaik jalan napas dengan
head-lit dan chin-lift
(jaw- thrust jika curiga
trauma servikal)
 posisikan semi fowler
atau fowler
 lakukan fisioterapi dada
 beri tampon
 suction bila perlu

Edukasi :
 ajarkan teknik batuk
efektif (jika pasien
sadar)

Kolaborasi :
 kolaborasi pemberian
bronkodilatir,
ekspetoran, mukolitik,
jika perlu
Resiko aspirasi Setelah dilakukan asuhan Pemberian obat Intravena
berhubungan keperawatan selama 10 menit di Observasi:
dengan harapkan resikodapat dihindari  monitor pola napas
penurunan dengan kriteria hasil: (frekuensi, kedalaman,
tingkat - TTV dalam batas usaha napas)
kesadaran normal  monitor bunyi napas
- RR 16-20 x/mnt tambahan
- Saturasi 96-100%  monitor sputum
- Frekuensi nafas baik (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik:
 pertahankan kepatenan
jalan napas dengan
head-lit dan chin-lift
(jaw- thrust jika curiga
trauma servikal)
 posisikan semi fowler
atau fowler
 lakukan fisioterapi dada
 beri tampon
 suction bila perlu

Edukasi:
 ajukan asupan cairan
2000ml/24 jam jika
tanpa kontraindikasi
 ajarkan teknik batuk
efektif (jika pasien
sadar)
Kolaborasi:
 kolaborasi pemberian
bronkodilatir,
ekspetoran, mukolitik,
jika perlu
Nyeri Akut setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri :
berhubungan asuhan keperawatan selama Observasi :
dengan agen 2x60 menit diharapkan Tingkat  identifikasi lokasi,
pencedera fisik Nyeri Menurun dengan kriteria karakteristik, durasi,
(prosedur hasil : frekuensi, kualitas,
pembedahan)  keluhan nyeri menurun insensitas nyeri
ditandai  meringis menurun  identifikasi skala nyeri
dengan pasien  gelisah menurun  identifikasi repon nyeri
mengeluh  frekuensi nadi membaik non verbal
nyeri pada area  identifikasi faktor yang
 pola nafas membaik
yang dilakukan  tekanan darah dalam memperberat dan
operasi batas normal memperingan nyeri
 skala nyari 5 Terapeutik :
 berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
 kontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri
Edukasi :
 jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
 jelaskan strategi
meredakan nyeri
 anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
 anjurkan menggunakan
analgesik secara tepat
 ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi nyeri
Kolaborasi :
 kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Sumber: SDKI, SLKI, SIKI (PPNI, 2019)

5. Implementasi Keperawatan dan Evaluasi


Tabel Implementasi Keperawatan dan Evaluasi
Catatan
Waktu Waktu
Tindakan Keperawatan Perkembangan
Tgl/jam Tgl/jam
(SOAP)
02/07/21 Menanyakan nama dan 02/07/21 Diagnosa Keperawatan 1
16.00 tanggal lahir pasien dan 16.10 S: Pasien mengatakan
mencocokan dengan gelang
takut, pasien berharap
identitas pasien
16.10 Menanyakan kepada pasien operasi lancar dan bisa
tentang riwayat alergi: obat
segera sembuh
tidak ada, makanan tidak
ada; makan terakhir pkl O: Pasien tampak lebih
07.00 minum terakhir pukul
rileks, pasien tampak
09.30 WIB; riwayat
penyakit: pasien, tidak ada banyak berdoa, pasien
riwayat hipertensi, Tidak
bertindak kooperatif, TD:
ada riwayat diabetes
miletus, tidak ada riwayat 133/89 mmHg, N 105
asma, riwayat operasi tidak
kali/menit, 20 kali/menit,
pernah.
16.20 Menanyakan perasaan spo2 99%,
pasien sebelum dilakukan A: Ansietas teratasi
tindakan operasi: pasien
mengatakan takut dilakukan P: Intervensi dihentikan
tindakan operasi.
16.27 Memberitahu pasien tentang
prosedur tindakan
pembiusan dan efek
samping dari pembiusan
16.55 Mengalihkan perhatian
pasien dengan mengajak
bercerita selama menunggu
agar pasien tidak cemas
02/07/20 Mengarahkan dan 17.30 Diagnosa
21
membantu pasien untuk Keperawatan 2
17.15
posisi head till untuk S: -
memberi posisi yang relaks O: Pasien tampak sudah
dan bebas airway, monitor tidur, pasien tampak rileks,
bunyi nafas pembiusan TD 121/62 mmHg, N 96
menggunakan midazolam, kali/menit
fentanyl, dan propofol A: bersihan jalan nafas
17.30 Memposisikan pasien teratasi
terlentang dan mulai P: Intervensi dihentikan
memberi tampon mulut

17.35 Memberikan injeksi


fentanyl 25 mg IV
Observasi mulut pasien
17.35
apakah masih ada salifa
17.40 Mengobservasi vital sign 17.40 Diagnosa Keperawatan 3
S: -
pasien, produksi sekret serta
O: vital sign berubah TD
monitoring pernafasan dan
145/85 mmHg, N 121
posisi tampon
kali/menit, Spo2 100%
17.40 Memberikan injeksi
A: resiko aspirasi tidak
fentanyl 25mg iv, dan
terjadi
propofol 20 iv
P: Intervensi di hentikan
18.00 Mengobservasi kembali
TTV: TD 121/61 mmHg, N
89 kali/menit, RR 20
kali/menit, SPO2 100%
dengan LMA 5 lpm, EKG
Normal Sinus Rythm
18.30 Memindahkan pasien ke 18.00 Diagnosa Keperawatan 4
ruang pulih sadar, beri S: pasien mengatakan
selimut agar pasien tidak terasa nyeri, di tangan
kedinginan kanan,.
18.55 Memberitahukan pasien O: Keadaan umum pasien
baik, tampak pasien
untuk tirah baring minimal 5
berusaha memegangi
jam setelah operasi dan baru tangan yang telah
dioperasi, pasien masih
di perbolehkan untuk belajar
mrintih tampak hati- hati
miring kiri kanan dan duduk saat mau bergerak, TD
106/70 mmHg, N 80
19.00 Menanyakan keluhan yang kali/menit.
di rasa pasien dan Perdarahan : - (dbn)
melaporkan hasil observasi
kepada dokter spesialis UT: Spontan

19.05 Memberikan petidine 50 mg A: nyeri akut teratasi


per IM sebagian
Memberitahukan kepada
19.15
pasien dan keluarga untuk P: Intervensi no 2, 3, 4
dipertahankan
tetap puasa terlebih dahulu
jika dirasa tidak ada rasa
mual muntah dan pusing,
boleh minum sedikit-sedikit
dan diet bebas.
19.20 Menganjurkan pasien untuk
beristirahat
19.40 Melakukan evaluasi,
keadaan umum pasien baik,
TTV: TD 125/80 mmHg, N
89 kali/menit, RR 21
kali/menit, SPO2 100%
dengan nasal O2 3 lpm,
EKG Normal Sinus Rythm,
dan melaporkan hasil
evaluasi kepada dokter
spesialis anestesi
19.45 Melepas oksigen, evaluasi
nafas vesikuler, gerak dada
simetris, RR 21x/menit,
spo2 100%
20.10 Mengoperkan/hand over
perawat RR dengan perawat
ruangan, Pasien pindah
ruangan.
BAB IV
PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan membahas masalah yang ditemui selama
melaksanakan asuhan keperawatan anestesi pada Pasien Sdr. A dengan diagnosa
fraktur phalanx medial digiti 3 manus dekstra dengan General Anestesi LMA di
Ruang OK Rumah Sakit Umum dr. Suyudi Paciran Kab. Lamongan. Adapun
masalah tersebut berupa kesenjangan antara teori dan pelaksanaan praktik secara
langsung, meliputi pengkajian, diagnosis keperawatan, intervensi, implementasi
dan evaluasi.
Masalah yang penulis temukan selama melaksanakan asuhan keperawatan
anestesi pada Pasien Sdr. A dengan diagnosa medis fraktur phalanx medial digiti
3 manus dekstra dengan General Anestesi LMA di Ruang OK Rumah Sakit
Umum dr. Suyudi Paciran Kab. Lamongan.. adalah sebagai berikut:

4.1 Pengkajian
4.1.1 Identitas Pasien
Pengkajian identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur,
agama/kepercayaan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa,
alamat, nomor register dan diagnosa medis.
Pasien bernama Sdr. A, nomor register 04.97.xx, berjenis kelamin laki-laki,
berumur 17 tahun, suku Jawa, pasien beragama Islam, pendidikan terakhir pasien
adalah SMA, pasien adalah seorang pelajar, pasien bertempat tinggal di desa
Kemantren kab. Lamongan.
Berdasarkan data teori dan kasus di atas, penulis berpendapat dengan
menanyakan dan mengetahui identitas pasien merupakan salah satu upaya untuk
menjalankan patient safety. Selain itu, latar belakang pasien juga memengaruhi
kemampuan pasien dalam menerima informasi yang penulis berikan sehingga
pasien bertindak kooperatif saat dilakukan tindakan.

4.1.2 Riwayat Sakit dan Kesehatan


1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien fraktur keluhan-keluhan yang sering muncul adalah nyeri,
bengkak dan perubahan bentuk pada area yang fraktur .

Berdasarkan data rekam medis Pada tanggal 01 Juli 2021 pkl 22.00 Pasien
datang ke RSU dr. Suyudi Paciran dengan keluhan nyeri pada jari tangan kanan,
paska kecelakaan di Jl. Deandels saat akan pergi mengaji pada tgl 01 Juni 2021
pkl 19.00 WIB, kemudian oleh dokter spesialis orthopedy pasien akan dilakukan
orif pada sore ini pada tgl 02 Juni 2021 pkl 17.00 WIB

Berdasarkan data yang diperoleh melalui anamnesa, pasien tidak memiliki


riwayat hipertensi, diabetes melitus, pasien tidak memiliki riwayat penyakit asma
atau penyakit menahun lainnya.
Berdasarkan data teori dan kasus di atas, penulis berpendapat dengan
mengetahui riwayat operasi dan penyakit yang diderita oleh pasien. Penulis dapat
menganalisa lebih dalam mengenai riwayat pengobatan dan kondisi yang sedang
dialami pasien.

2. Riwayat Alergi
Berdasarkan data yang diperoleh melalui anamnesa, pasien tidak memiliki
riwayat alergi obat dan/atau makanan.

4.1.3 Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan Umum
Mata pasien tampak simetris, konjungtiva tidak anemis, dan sklera tidak
ikterus. Telinga pasien bersih, tidak tampak serumen, fungsi pendengaran pasien
baik. Hidung pasien tampak normal, tidak terlihat septum deviasi, fungsi
penciuman baik. Saat pasien membuka mulut terlihat gigi masih utuh, tidak ada
gigi yang goyang, hasil observasi didapatkan malampathy 2, buka mulut: 5, jarak
mentohyoid: 3, jarak hypothyroid: 3, tidak tampak protusi mandibula. Tidak
ditemukan benjolan di area kepala, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, leher
bergerak bebas, tidak tampak leher pendek.

Penulis berpendapat pemeriksaan fisik yang dilakukan secara head to toe


dapat memberikan gambaran klinis secara komprehensif tentang kondisi fisik
pasien. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada kelainan yang
akan menjadi penyulit tindakan anestesi.

2. B1 (Breath)
Pemeriksaan meliputi beberapa aspek seperti, respiratory rate, suara nafas,
perkembangan dada, dan gangguan pola nafas, serta anatomis jalan nafas yang
dapat memengaruhi atau menyulitkan dalam pemberian tindakan anestesi.
Jalan napas pasien bebas, pasien bernapas dengan spontan, pergerakan dada
simetris, RR 16-20 kali/menit, SPO2 98-100% tanpa menggunakan oksigen
tambahan, tidak terlihat otot bantu napas, tidak ada pernapasan cuping hidung,
suara napas vesikuler pada kedua lapang paru, tidak ada suara ronchi, tidak ada
suara wheezing.

Berdasarkan data teori dan kasus di atas, penulis berpendapat kondisi sistem
pernapasan pasien berfungsi dengan baik dan tidak ada masalah yang ditemukan.

3. B2 (Blood)
Pemeriksaan meliputi tekanan darah, nadi, suhu, perfusi, CRT, serta hal-hal
lain yang berhubungan dengan sirkulasi dan pendarahan yang dapat mendukung
pelaksanaan anestesi serta proses operasi.

Observasi tanda-tanda vital yang didapatkan TD 130/90 mmHg, Nadi 91


kali/menit, akral pasien teraba hangat, kering, dan merah pada semua ekstremitas,
CRT <2 detik, suara jantung S1S2 tunggal

Berdasarkan data teori dan kasus di atas, penulis berpendapat kondisi sistem
sirkulasi pasien berfungsi dengan baik dan tidak ada masalah yang ditemukan.

4. B3 (Brain)
Keadaan umum pasien yang meliputi kesadaran pasien, orientasi pasien,
kecemasan.Hasil pemeriksaan yang penulis lakukan adalah Pasien sadar baik,
GCS pasien E4, V5, M6, pasien bertindak kooperatif, pupil paisen isokor, ukuran
2 mm/2 mm. Berdasarkan data teori dan kasus di atas, penulis berpendapat
kondisi sistem persarafan pasien berfungsi dengan baik dan tidak ada masalah
yang ditemukan.

5. B4 (Bladder)
Frekuensi berkemih normal, warna kuning jernih, pancaran normal, Hasil
pemeriksaan yang penulis dapatkan adalah Genitalia normal, Berdasarkan data
teori dan kasus di atas, terkait masalah genitalia pasien dalam batas normal.

6. B5 (Bowel)
Pemeriksaan yang meliputi sekitar abdomen dan sistem pencernaan
yang ada di dalamnya seperti contohnya gangguan eliminasi BAB.
Hasil pemeriksaan yang penulis dapatkan adalah Abdomen pasien
supel, tidak terdapat jejas atau luka, bising usus positif, suara perkusi
timpani, tidak ada nyeri tekan pada supra pubis, terasa gerakan janin
berkurang.
Berdasarkan data teori dan kasus di atas, penulis berpendapat kondisi
sistem pencernaan pasien berfungsi dengan baik dan tidak ditemukan
masalah resiko gawat.

7. B6 (Bone)
Kemampuan beraktivitas, kekuatan otot, gangguan motorik, lokasi operasi,
atau pemeriksaan terhadap postur tubuh yang menyimpan, serta pemeriksaan
terhadap odema.
Hasil pemeriksaan yang penulis dapatkan adalah terdapat jari tengah tangan
kanan terlihat bengkak, sedikit deformitas, dan terasa nyeri.

4.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang bisa muncul pada pasien fraktur yang dilakukan
tindakan orief dengan general anestesi LMA sesuai tinjauan teori pada saat pre
operasi, durante operasi, dan post operasi berdasarkan penyebab, patofisiologi,
dan kondisi klinis pasien adalah:
Pada kasus Sdr. A diagnosa keperawatan yang muncul sesuai dengan analisa
penulis dan kondisi klinis pasien, didapatkan 4 diagnosa keperawatan utama yang
dapat ditegakkan, antara lain:
1. Ansietas beruhubungan dengan Kekhawatiran/kecemasan akan tindakan
operasi
Ansietas adalah kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu terhadap
objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan
individu melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman (PPNI, 2019).
Kondisi klinis yang penulis dapatkan berdasarkan hasil pengkajian pada
Sdr. A dengan fraktur phalanx medial digiti 3 manus dekstra dengan general
anestesi LMA yaitu pasien mengatakan tidak pernah operasi sebelumnya, pasien
mengatakan takut operasi, pasien menanyakan berapa lama tindakan operasi yang
akan dilakukan, pasien tampak khawatir, pasien banyak Pasien tampak khawatir,
pasien banyak berdoa,TD 133/89 mmHg, Nadi 105 kali/menit, RR 20 kali/menit.
Berdasarkan data di atas, penulis berpendapat bahwa kondisi yang terjadi
pada Sdr. A sangat menunjang dengan batasan karakteristik yang telah ditetapkan
sesuai dengan SDKI, sehingga penulis mengangkat diagnosa keperawatan untuk
pre operasi yaitu ansietas berhubungan dengan kekhawatiran akan kegagalan.

2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular


dampak anestesi umum
Pola nafas tidak efektif adalah suatu keadaan dimana inspirasi dan atau
ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat (Tim Pokja SDKI DPP PPNI,
2016)
Kondisi klinis yang penulis dapatkan pada saat durante operasi berdasarkan
hasil pengkajian pada Sdr. A dengan diagnosa medis fraktur phalanx medial digiti
3 manus dekstra dengan general anestesi LMA yaitu perubahan saturasi pasien
dari 100% ke 96%. Akan tetapi berdasarkan kondisi klinis yang muncul terhadap
sdr. A, dengan memerhatikan tanda dan gejala yang muncul sesuai SDKI, maka
penulis mengangkat diagnosa keperawatanpola nafas tidak efektif berhubungan
dengan disfungsi neuromuskular dampak anestesi umum, sebagai diagnosa yang
harus segera diberikan intervensi saat operasi berlangsung.

b. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran


Nyeri akut adalah pengalama sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan actual dan atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari 3 bulan (PPNI, 2019).
Kondisi klinis yang penulis dapatkan pada saat durante operasi
berdasarkan hasil pengkajian pada sdr. A dengan diagnosa medis fraktur
phalanx medial digiti 3 manus dekstra dengan general anestesi LMA yaitu
didapatkan TD 145/83 mmhg dan nadi 121 x/mnt, karena pasien tidak sadar
dibawah agen farmakologi anestesi dan terpasan LMA, maka berdasarkan
data di atas, penulis berpendapat bahwa kondisi yang terjadi pada sdr. A
sangat menunjang dengan batasan karakteristik yang telah ditetapkan sesuai
dengan SDKI. sehingga penulis mengangkat diagnosa keperawatan Nyeri
Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur pembedahan dan
pasca pembedahan)

5. Intervensi Keperawatan
Pada tinjauan teori dan tinjauan kasus, penulis membuat rencana
intervensi dengan luaran menggunakan kriteria hasil yang mengacu pada
pencapaian tujuan. Pada tahap ini penulis ingin meminimalkan kondisi-
kondisi yang mengancam jiwa dan membantu memenuhi kebutuhan pasien
sesuai dengan kondisi yang dialami pasien saat pre operasi, durante operasi,
dan post operasi.

1. Ansietas beruhubungan dengan Kekhawatiran akan kegagalan


setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 30 menit
diharapkan Tingkat Ansietas Menurun dengan kriteria hasil : Verbalisasi
Khawatir akibat kondisi yang di hadapi menurun, Perilaku Gelisah
menurun, perilaku tegang menurun, Frekuensi pernapasan membaik,
frekuensi nadi membaik, Tekanan darah membaik frekuensi nadi 60-100
kali/menit, tekanan darah 90/60 mmHg s/d 130/90 mmHg,
Ansietas beruhubungan dengan Kekhawatiran akan kegagalan ditandai
dengan peningkatan tegangan, ketakutan, perasaan tak berdaya, penurunan
keyakinan diri fokus pada diri sendiri, gelisah, rangsangan simpatis,
mengekspresikan masalah sehubungan dengan penyakit yang dialami.

Pada diagnosa keperawatan ansietas ini, penulis merencanakan


intervensi antara lain Observasi : Identifikasi kemampuan dan beri
penguatan, identifikasi perilaku keluarga yang mempengaruhi pasien.
Terapeutik : Bina hubungan terapeutik berdasarkan rasa percaya dan
penghargaan, berikan empati, kehangatan, dan kejujuran, tetapkan tujuan
dan lama hubungan konseling, berikan privasi dan pertahankan kerahasiaan,
fasilitasi untuk mengidentifikasi masalah. Edukasi : Anjurkan
mengepresikan perasaan, anjurkan membuat daftar alternatif penyelesaian
masalah, anjurkan pegembangan keterampilan baru, jika perlu.

Intervensi yang direncanakan oleh penulis merupakan sebuah upaya


untuk menurunkan tingkat ansietas yang dialami oleh pasien. Adapun
rasional yang dapat penulis uraikan berdasarkan rencana intervensi di atas
adalah sebagai berikut mengamati gejala ansietas, suasana terapeutik dapat
membuat pasien merasa lebih nyaman, mengetahui penyebab ansietas,
membuat pasien merasa lebih nyaman, membuat pasien mengerti tentang
tindakan dan risiko yang akan dialami, membuat pasien mengerti tentang
keadaan yang sedang dialami, teknik relaksasi napas dalam dapat membantu
pasien lebih rileks, obat-obatan antiansietas dapat membantu mengurangi
tingkat kecemasan pasien. Dengan demikian diharapkan pasien mampu
memahami dan mengikuti prosedur operasi dan pembiusan dengan
kooperatif.

2. Bersihan jalan nafas berhubungan dengan agen anestesi


setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 30 menit
diharapkan Pola Napas Membaik dengan kriteria hasil : Dispnea menurun,
penggunaan otot bantu napas menurun, pernapasan cuping hidung menurun,
frekuensi nafas membaik, kedalaman napas membaik.

Kejadian bersihan jalan pada pasien yang sedang menjalani operasi


sebaiknya bisa diminimalisir sebaik mungkin, pada diagnosa keperawatan
pola bersihan jalan nafas ini, penulis melakukan rencana intervensi, antara
lain Observasi : monitor produksi salifa dan pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas), monitor bunyi napas tambahan,monitor sputum
(jumlah, warna, aroma). Terapeutik : pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head-lit dan chin-lift (jaw- thrust jika curiga trauma servikal),
posisikan semi fowler atau fowler, lakukan fisioterapi dada, berikan
oksigen. Edukasi : ajarkan teknik batuk efektif . Kolaborasi : kolaborasi
pemberian bronkodilatir, ekspetoran, mukolitik, jika perlu.
Intervensi yang direncanakan oleh penulis merupakan sebuah upaya
untuk mempertahankan pola nafas pasien agar tetap baik. Adapun rasional
dari intervensi di atas antara lain memantau pola nafas dan frekuensi nafas,
mengetahui penyebab terjadinya pola nafas tidak efektif , mengetahui tanda
dan gejala akibat ketidak efektifan pola nafas, posisi yang baik dapat
membantu memperbaiki pola nafas pasien, mengedukasikan pada pasien
untuk melakukan teknik nafas dalam.

3. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur selama


pembedahan dan pasca pembedahan)
setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 2x60 menit
diharapkan Tingkat Nyeri Menurun dengan kriteria hasil : keluhan nyeri
menurun, meringis menurun, gelisah menurun, frekuensi nadi membaik,
pola nafas membaik, tekanan darah membaik.

Pada diagnosa keperawatan Nyeri Akut berhubungan dengan agen


pencedera fisik (prosedur pembedahan) ini, penulis membuat rencana
intervensi sebagai berikut Observasi : Identifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas, insensitas nyeri, identifikasi skala nyeri,
identifikasi repon nyeri non verbal, identifikasi faktor yang memperberat
dan memperingan nyeri. Terapeutik : Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri, kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
Edukasi : Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri, jelaskan strategi
meredakan nyeri, anjurkan memonitor nyeri secara mandiri, anjurkan
menggunakan analgesik secara tepat, ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi nyeri. Kolaborasi : Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.

Intervensi yang direncanakan penulis merupakan upaya untuk


mengatasi tingkat nyeri yang di rasa pasien meningkatkan kenyamanan
pasien. Adapun rasional dari intervensi di atas antara lain mengetahui
tingkat kemampuan pasien untuk memahami tingkat nyeri, mengetahui
tanda-tanda vital pasien selama proses pemulihan setelah pembiusan;
mengetahui keadaan yang sedang dialami pasien setelah pembiusan;
membantu pasien melakukan teknik distraksi dan relaksasi, membuat pasien
memahami dan mengerti tentang proses pemulihan setelah pembiusan.

4.1.5 Implementasi Keperawatan


1. Ansietas beruhubungan dengan Kekhawatiran akan kegagalan
Kondisi klinis yang penulis dapatkan berdasarkan hasil pengkajian
pada sdr. A dengan diagnosa medis fraktur phalanx medial digiti 3 manus
dekstra dengan general anestesi LMA pada tgl 02 Juli 2921 yaitu pasien
mengatakan tidak pernah operasi sebelumnya, pasien mengatakan takut
operasi, pasien menanyakan berapa lama tindakan operasi yang akan
dilakukan, pasien tampak khawatir, pasien banyak Pasien tampak khawatir,
pasien banyak berdoa.Berdasarkan keadaan yang dialami pasien, maka
implementasi tindakan keperawatan dilaksanakan secara aktual sesuai
dengan rencana intervensi yang telah penulis buat. Hal pertama yang penulis
lakukan adalah menanyakan nama dan tanggal lahir pasien dan mencocokan
dengan gelang identitas pasien, kemudianmenanyakan kepada pasien
tentang riwayat alergi: pasien tidak memiliki alergi obat dan makanan;
makan minum terakhir pukul 09.30.00 WIB; riwayat penyakit: pasien tidak
menderita DM, tidak ada riwayat hipertensi; riwayat operasi tidak pernah.
Setelah itu penulis menanyakan perasaan pasien sebelum dilakukan
tindakan operasi dan pasien mengatakan takut dilakukan tindakan operasi,
kemudian penulis memberitahu pasien tentang prosedur tindakan pembiusan
dan efek samping dari pembiusan agar pasien mengetahui dan dapat
bertindak kooperatif selama tindakan pembiusan dan operasi dilaksanakan.
Penulis juga berusa hamengalihkan perhatian pasien dengan mengajak
bercerita selama menunggu agar pasien tidak cemas.

2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan Efek agen farmakologis


Kondisi klinis yang penulis dapatkan pada saat durante operasi pada
sdr. A Berdasarkan keadaan yang dialami pasien saat durante operasi, maka
implementasi tindakan keperawatan dilaksanakan secara aktual sesuai
dengan rencana intervensi yang telah penulis buat. Penulis mengobservasi
TTV pasien dan didapatkan hasil TD 121/62 mmHg, Nadi 96 kali/menit,
EKG Normal Sinus Rythm, SPO2 96% RR 27x/m.. Setelah itu penulis
memberikan tampon mulut dan suction minimal serta mengekstensikan
kepala agar keluhan pasien sedikit membaik pola nafas kembali teratur.

3. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik


Kondisi klinis yang penulis dapatkan pada saat post operasi pada sdr.
A dengan diagnosa medis tersebut diatas, yaitu saat durante operasi vital
sign pasien menunjukkan TD 145/85 mmhg dan nadi 121 kemudian post
operasi pasien mengatakan Pasien mengatakan nyeri pada tangan kanan,
Pasien tampak meringis kesakitan TD 125/80 nadi 89 kali / menit.
Berdasarkan keadaan yang dialami pasien saat post operasi,
maka implementasi tindakan keperawatan dilaksanakan secara aktual
sesuai dengan rencana intervensi yang telah penulis buat dan
memberikan analgesik petidin IM 50mg sesuai indikasi dokter
Anestesi.

4.1.6 Evaluasi Keperawatan


Pada tinjauan teori evaluasi belum dapat diuraikan secara maksimal
karena keterbatasan literatur. Sedangkan pada tinjauan kasus, evaluasi pada
pasien dapat dilakukan dengan menilai keadaan pasien secara langsung.
Dimana setelah dilakukan implementasi tindakan keperawatan, keadaan
pasien dapat dievaluasi sebagai berikut:

1. Ansietas beruhubungan dengan Kekhawatiran akan kegagalan


Evaluasi yang dilakukan terhadap keluhan pasien setelah dilakukan
asuhan keperawatan selama 30 menit pada tanggal 2 Juli 2021 pukul 16.00
diperoleh hasil sebagai berikut Pasien mengatakan berharap operasi lancar
dan berharap anaknya lahir dengan selamat, Pasien tampak lebih rileks,
pasien tampak banyak berdoa, pasien bertindak kooperatif, TD: 120/85
mmHg, N 95 kali/menit, 20 kali/menit, spo2 99%.

Penulis berpendapat tingkat ansietas pasien sudah berkurang


berdasarkan hasil evaluasi yang penulis lakukan. Pemberian obat
antiansietas juga tidak perlu untuk diberikan karena pasien bertindak
kooperatif dan mampu memahami penjelasan tentang prosedur pembiusan
dan operasi. Penulis menilai bahwa ansietas pasien teratasi dan intervensi
keperawatan bisa dihentikan.

2. Bersihan jalan nafas berhubungan dengan Efek agen anestesi


Evaluasi yang dilakukan terhadap keluhan pasien setelah dilakukan
asuhan keperawatan selama 45 menit pada tanggal 2 Juli 2021 pukul 17.00
diperoleh hasil sebagai berikut pasien tampak rileks TD 107/63 mmHg, N
95 kali/menit, RR 20 x/mnt dan spo2 kembali 100%.

Penulis berpendapat bahwa pola nafas pasien sudah kembali efektif


dan bersihan jalan nafas teratasi, berdasarkan hasil evaluasi yang penulis
lakukan. Penulis menilai bahwa pola nafas pasien teratasi dan intervensi
keperawatan bisa dihentikan.
3. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur
pembedahan dan pasca pembedahan)
Evaluasi yang dilakukan terhadap keluhan pasien setelah dilakukan
asuhan keperawatan selama 2 x 60 menit pada tanggal 29 Januari 2021
pukul 18.00 diperoleh hasil sebagai berikut Pasien mengatakan masih terasa
sedikit nyeri, Keadaan umum pasien baik, pasien tampak sedikit rileks, TD
124/75 mmHg, N 97 kali/menit.
Penulis berpendapat bahwa perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut
terhadap tingkat nyeri. Penulis menilai bahwa masalah nyeri akut teratasi
sebagian sehingga perlu dilanjutkan intervensi sebagai berikut:monitor
tingkat nyeri dan tekanan darah, monitor kondisi umum selama melakukan
mobilisasi, Evaluasi selanjutnya akan dilakukan oleh perawat di ruang rawat
inap setelah 6 jam post operasi.
BAB V
PENUTUP

Pada bab ini penulis akan menyimpulkan beberapa hal yang


berkaitan dengan ASUHAN KEPERAWATAN pada Sdr. A dengan
diagnosa medis Fraktur Phalanx Medial digiti 3 Manus Dekstra dengan
general anestesi LMA di OK 1 RSU dr. Suyudi Paciran Kab. Lamongan,

5.1 Kesimpulan
Secara garis besar penulis akan menyimpulkan tentang apa yang
dibahas di bab-bab sebelumnya yaitu :
1. Pelaksaan pengkajian harus dilakukan sedetail mungkin agar mendapatkan
data yang akurat dan dapat di pertanggung jawabkan, baik dari pengkajian
langsung pada pasien dan keluarga maupun dari hasil pengkajian dignostic
yang dilakukan.

2. Pada pelaksanaan pengkajian kita harus membina hubungan saling percaya


pada klien, agar klien yakin dengan apa yang akan dilakukan terutama
tindakan anestesi yang akan diberikan.

3. Sebelum melakukan tindakan yang berkaitan dengan anestesi wajib kita


menyiapkan segala sesuatu dengan lengkap seperti obat emergency, obat
obatan anestesi yang lain dan alat alat anestesi seperti mesin anestesi,
suction, bantal donat, monitor, intubation set, serta alat pendukung lainnya
serta di pastikan dapat berfungsi dengan baik,

4. Didalam pelaksaan anestesi segala hal dapat terjadi, maka dari itu kita harus
cepat tanggap, memahami kondisi-kondisi yang bisa terjadi saat
pelaksanaan anestesi.

5. Di dalam merumuskan suatu masalah seperti diagnosa dan perencanaan


tindakan kita harus memikirkan secara matang dan melakukan kolaborasi
dengan dokter anestesi, dokter bedah perawat instrumen yang menunjang
tercapainya hasil yang baik

6. Hasil akhir dari pelayanan Anestesi adalah tercapainya keadaan yang aman
dan nyaman pada pasien, serta efek minimal pada pasien, baik jangka
panjang maupun jangka pendek

5.2 Saran Saran


Untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta,
maka perlu di dukung oleh praktek lapangan yang cukup, sehingga
pengetahuan yang didapatkan akan lebih sinkron dan aplikatif, yang
merupakan tolak ukur suatu evaluasi kegiatan pendidikan dan pelatihan.
Sebagai perawat anestesi harus mampu berkolaborasi dan bekerja tim
dalam melaksanakan pelayanan yang optimal, dan tak henti-hentinya belajar
dan terus belajar dalam mengembangkan potensi agar dapat berkontribusi
positif dan mengaplikasikan ilmu serta senangtiasa menjaga etika-etika.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul Asuhan
Keperawatan Perioperatif pada pasien Sdr. A dengan Diagnosa Medis
Fraktur Phalanx Medial Digiti 3 Manus Dekstra Dengan General Anestesi
LMA di RSU dr. Suyudi Paciran Kab. Lamongan, penulis menyadari masih
banyak kekurangan, untuk itu penulis mohon kritik dan saran yang
membangun.

Anda mungkin juga menyukai