Anda di halaman 1dari 72

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semakin pesatnya kemajuan teknologi saat ini, memberikan berbagai

kemudahan dengan tercapainya berbagai sarana dan prasarana dalam berbagai

bidang. Sementara dibalik kemajuan tersebut, mengakibatkan sering terjadi

berbagai kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahan manusia terutama

kecelakaan kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan fraktur atau patah

tulang (Astutik dkk, 2011). Fraktur femur merupakan hilangnya kontinuitas

tulang paha tanpa disertai kerusakan jaringan kulit yang dapat disebabkan oleh

trauma langsung atau kondisi tertentu. Fraktur femur tersebut mengenai tulang

dan terjadi reversal vaskuler kemudian dilakukan tindakan operasi untuk

mengembalikan kelainan fungsi klien seoptimal mungkin atau melatih klien

dan menggunakan fungsi yang masih terganggu seoptimal mungkin. nyeri

merupakan suatu mekanisme bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang

dirusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan

rangsangan nyeri.Menurut McCaffery, 1980 dalam Potter & Perry, 2006

dikatakan bahwa nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang

nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia merasa

nyeri.

Menurut Depkes RI (2007) dalam Nurdin (2013) badan kesehatan dunia

(WHO) mencatat tahun 2009 terdapat lebih dari 7 juta orang yang mengalami

kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki pravalensi cukup
tinggi yakni insiden fraktur ekstermitas bawah sekitar 46,2% dari insiden

kecelakaan yang terjadi. Menurut laporan penelitian Moesbar (2007) dalam

Astutik dkk (2011) kejadian fraktur di Indonesia periode tahun 2006 sampai

dengan 2008 terdapat 864 kasus fraktur akibat kecelakaan lalu lintas yang

datang berobat dari jumlah tersebut yang mengalami patah tulang pada

anggota gerak bawah dari sendi panggul sampai ke jari kaki yaitu 549 kasus

(63,5%) kemudian anggota gerak atas dari sendi bahu sampai ke jari tangan

sejumlah 250 kasus (28,9%) di ikuti daerah tulang panggul sejumlah 39 kasus

(4,5%) dan tulang belakang 26 kasus (3,1%). Dari sekian banyak fraktur yang

terjadi di Amerika Serikat 10% duiantaranya mengalami kelainan dalam

penyembuhan tulang, selain itu dari 3% mengalami gangguan dalam

beraktifitas akibat kekakuan otot karena kurangnya mobilisasi dini, dan

menurut survei kesehatan nasional kelainan penyembuhan tulang paling sering

dialami oleh laki-laki dan perempuan tua (Olgavivera, 2005). Diagnosa

keperawatan yang terjadi pada pasien fraktur meliputi gangguan rasa nyaman

nyeri, gangguan mobilitas fisik, gangguan body image, dan kecemasan

(Bararah dan Jauhar, 2013). Berdasarkan data yang diperoleh dari Rumah

Sakit Umum Daerah Bangil Kabupaten Pasuruan satu tahun terakhir yaitu

pada tahun 2016 terdapat 1351 kasus dengan jumlah pasien 23103 orang

(58,4%) dan pada tahun 2017 sebanyak 887 kasus dengan jumlah pasien 5756

orang (15,4%).

Nyeri timbul karena adanya kemampuan system saraf untuk mengubah

berbagai stimulus mekanis, kimia, termal, elektrik menjadi potensial aksi

yang dijalarkan ke sistem saraf pusat yang salah satunya disebabkan oleh
tindakan reduksi terbuka pada fraktur femur. Pelaksanaan keperawatan dalam

mengatasi rasa nyeri pada pasien post operasi reduksi terbuka femur adalah

mengurangi rasa nyeri. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri diantaranya

arti nyeri, toleransi terhadap nyeri, ambang nyeri, pengalaman lampau,

lingkungan, usia, kebudayaan, kepercayaan, kecemasan dan stres (Nursalam,

2015). Sehingga bilamana nyeri akut pada pasien ORIF tidak diatasi secara

adekuat akan mengakibatkan rasa ketidaknyamanan pasien setelah operasi.

Penanganan nyeri pasca operasi harus dilakukan sebaik mungkin untuk

mencegah pasien masuk ke dalam nyeri kronik pasca operasi salah satunya

asuhan keperawatan nyeri. Asuhan keperawatan nyeri merupakan suatu

proses atau tindakan keperawatan yang dilakukan baik secara mandiri,

kolaborasi ataupun secara individu pasien guna mengontrol atau mengurangi

nyeri serta mengendalikan rasa nyeri yang dirasakan yang berfokus pada

manajemen nyeri. Menurut Potter & Perry, 2006 tindakan untuk

menghilangkan nyeri akan sangat bermanfaat apabila perawat mengetahui

apakah klien mempunyai cara efektif untuk menghilangkan nyeri, seperti

mengubah posisi, melakukan tindakan ritual (melangkah, berayun ayun,

menggosok) makan, melakukan tekhnik distraksi dan relaksasi nafas dalam.

Berdasarkan fenomena diatas penulis tertarik melakukan studi kasus asuhan

keperawatan nyeri akut pada pasien post ORIF

1.2 Batasan Masalah

Pada studi kasus ini asuhan keperawatan post op close fraktur femur

dekstra dan post op close fraktur femur sinistra dengan nyeri akut di ruang Melati

RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan.


1.3 Rumusan Masalah

Bagaimanakah asuhan keperawatan post op close fraktur femur dekstra

dan post op close fraktur femur sinistra dengan nyeri akut di Ruang Melati RSUD

Bangil Kabupaten Pasuruan.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengenali asuhan keperawatan post op close fraktur femur pada Tn. I dan

Tn. K dengan nyeri akut di Ruang Melati RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Menggalii pengkajian pada masalah nyeri Tn. I dan Tn. K post op close

fraktur femur di ruang Melati RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan

2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. I dan Tn. K dengan masalah

keperawatan nyeri akut di ruang Melati RSUD Bangil Kabupaten

Pasuruan.

3. Merencanakan tindakan keperawatan nyeri akut pada pasien post op close

fraktur femur Tn. I dan Tn. K di ruang Melati RSUD Bangil Kabupaten

Pasuruan.

4. Melaksanakan tindakan asuhan keperawatan nyeri akut pada Tn. I dan Tn.

K post op close fraktur femur di ruang Melati Kabupaten Pasuruan.

5. Mengevaluasi hasil yang telah dicapai pada Tn. I dan Tn. K post op close

fraktur femur di ruang Melati RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan.


1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian dapat dijadikan refrensi untuk kasus fraktur femur yang

selanjutnya diharapkan dapat lebih dikembangkan pembahasannya tentang asuhan

keperawatan fraktur femur dalam lingkup yang lebih luas. Sehingga dapat

mengembangkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan kemampuan dalam

mengidentifikasi dan memecahkan suatu permasalahan yang ada di masyarakat.

1.5.2 Manfaat Pelaporan

1. Bagi perawat

Hasil tugas akhir ini dapat menjadi tambahan ilmu bagi perawat khususnya

perawat medikal bedah dalam penanganan kasus nyeri akut post op close fraktur

femur.

2. Bagi rumah sakit

Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan pemberian pelayanan

kesehatan berkaitan dengan pasien nyeri akut post op close fraktur femur.

3. Bagi Institusi

Hasil tugas akhir ini dapat menjadi tambahan ilmu bagi institusi

pendidikan khususnya keperawatan medikal bedah dalam penanganan kasus nyeri

akut post op close fraktur femur.

4. Bagi pasien dan keluarga

Pasien dan keluarga mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang

latihan peningkatan rentang gerak akibat post op close fraktur femur.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Fraktur Femur

2.1.1 Definisi Fraktur

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai

dengan jenisnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari

yang dapat di absorbsinyan(Smeltzer & Bare, 2002)

Fraktur adalah patah tulang, biasaanya disebabkan oleh trauma atau

tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan

jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu

lengkap. Fraktur lengkap apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur

tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Price, 2006).

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang

dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat,

2005).

Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa

terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian).

Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,

mengakibatkan penderita jatuh dalam syok (FKUI dalam Jitowiyono, 2010).

2.1.2 Tanda Dan Gejala

1. Tanda dan gejala

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi deformitas,

pemendekan ekstermitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.


a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang

diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk

bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar

fragmen tulang.

b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan

cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa).

Pergeseran fragmen pada lengan atau tungkai menyebabkan deformitas

(terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan

membandingkan dengan ekstermitas normal. Ekstermitas tidak dapat

berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada

integritas tulang tempat melekatnya otot.

c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya

karena kontraksi otot yang melekat diatas dab bawah tempat fraktur.

Fragmen sering saling melengkapisatu sama lain 2,5-5 cm (1 – 2 inci).

d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang

dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu

dengan yang lainnya (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan

jaringan lunak yang lebih berat).

e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai

akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa

baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Brunner &

Suddarth, 2002).
2.1.3 Patofisiologi

Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan

adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik,

patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun

tertutup. Kerusakan pembulu darah akan mengakibatkan perdarahan, maka

volume darah menurun. COP menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan.

Hematoma akan mengedukasi plasma dan poliferasi menjadi edema lokal maka

penumpukan didalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut

saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri.

Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi revral vaskuler yang

menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping itu

fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi

infeksi dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas

kulit.

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan

metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka

atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa

nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi

neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik

terganggu disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang

kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar.

Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan

dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah

dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh. (Sylvia, 2008).


2.1.4 Pathway

Trauma
Trauma Langsung
Langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis:
patologis
- Osteoporosis
- Kelemahan pada
Fraktur tulang

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen Nyeri akut


tulang

Perubahan jaringan Kerusakan fragmen


sekitar tulang

Tekanan sumsum tulang


Pergeseran fragmen Spasme otot lebih tinggi dari kapiler
tulang
Peningkatan tekanan Melepaskan
kapiler katekolamin
Deformitas

Pelepasan histamin
Metabolisme asam
Gangguan fungsi
lemak
ekstremitas
Protein plasma hilang
Hambatan mobilitas Bergabung dengan
fisik trombosit
Edema

Emboli
Laserasi kulit
Penekanan pembuluh
Menyumbat pembuluh
darah
darah

Putus vena/arteri Kerusakan integritas Ketidakefektifan


kulit perfusi jaringan

Perdarahan Kehilangan volume Resiko syok


cairan hipovolemi

Gambar 2.1 Pathway fraktur (NANDA, 2015)


2.1.5 Komplikasi

1. Komplikasi awal

Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok yang bisa berakibat fatal

dalam beberapa jam seyelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi

dalam 48 jam atau lebih dan sindrom kopartemen, yang berakibat

kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera.

Komplikasi awal lainnya yang berhubungan dengan fraktur adalah

infeksi, tromboemboli (emboli paru) yang dapat menyebabkan kematian

beberapa minggu setelah cedera dan koagulopati intravaskuler

disemenata (KID)

2. Komplikasi lambat

Penyetuan terlambat atau tidak ada penyatuan. Penyatuan lambat terjadi

bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis dan

tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan

dengan infeksi sistemik dan distaksi (tarik jauh)fragmen tulang. Tidak

ada penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung patahan

tulang. Pasien mengeluh tidak nyaman dan gerakan yang menetap pada

tempat fraktur. Faktor yang ikut berperan dalam masalah penyatuan

meliputi infeksi pada tempat fraktur, interposisi jaringan diantara ujung-

ujung tulang, immobilisasi dan manipulasi yang tidak memadai, yang

menghentikan pembentukan kalus, jarak yang terlalu antara fragmen,

kontak tulang yang terbatas dan gangguan asupan darah yang

mengakibatkan nekrosis avaskuler (Brubber & Suddarth: 2002)


2.2 Konsep Nyeri Akut

2.2.1 Definisi Nyeri

Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan

dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial (Nursalam, 2015). Menurut

Triyana, 2013 bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan dan bersifat sangat subjektif. Sebab perasaan nyeri berbeda pada

setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya. Hanya pada orang tersebutlah,

yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Menurut

(International Association for the Study of Pain, IASP) nyeri adalah pengalaman

sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan

jaringan baik aktual maupun potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-

kejadian dimana terjadi kerusakan (IASP, 1979 dalam Potter & Perry, 2006).

Beberapa para ahli juga berpendapat. Diantaranya adalah Mc.Coffery, 1979 dalam

Triyana 2013 yang mendefinisikan bahwa nyeri adalah suatu keadaan yang

mempengaruhi seseorang yang keberadaanya diketahui hanya jika orang tersebut

pernah mengalaminya. Menurut Artur C. Curton 1983 dalam Potter & Perry 2006

bahwa nyeri merupakan suatu mekanisme bagi tubuh, timbul ketika jaringan

sedang dirusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk

menghilangkan rangsangan nyeri. Definisi keperawatan tentang nyeri adalah

apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya,

yang ada kapanpun individu mengatakannya (Brunner & Suddart, 2013).


2.2.2 Batasan Karakteristik

1. Gejala dan Tanda Mayor

1) Tampak meringis(mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan

mata berpencar atau tetap pada satu focus, meringis), menurut SDKI

DPP PPNI (2017) & Headman&Kamitsuru (2017)

2) Mengungkapkan keluhan nyeri

3) Bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghindari nyeri)

4) Gelisah (gelisah, merengek, menangis, waspada), menurut SDKI DPP

PPNI (2017) & Headman&Kamitsuru (2017)

5) Frekuensi nadi meningkat (tekanan darah, frekuensi jantung,

frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, dan end-tidal karbon

dioksidaa [CO2]), menurut SDKI DPP PPNI (2017) & Headman &

Kamitsuru (2017)

6) Sulit tidur, menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017). Hal ini

disebabkan nyeri yang timbul mengakibatkan adanya gangguan rasa.

2. Gejala dan Tanda Minor

1) Tekanan darah meningkat

2) Pola napas berubah

3) Nafsu makan berubah (perubahan selera makan), menurut SDKI DPP

PPNI (2017) & Headman&Kamitsuru (2017)

4) Proses berfikir terganggu

5) Menarik diri (perubahan posisi untuk menghindari nyeri), menurut

SDKI DPP PPNI (2017) & Headman&Kamitsuru (2017)


6) Berfokus pada diri sendiri (focus pada diri sendiri), menurut SDKI

DPP PPNI (2017) & Headman&Kamitsuru (2017)

7) Diaphoresis (diaforesis), menurut SDKI DPP PPNI (2017) &

Headman&Kamitsuru (2017)

2.2.3 Sifat Nyeri

Nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang

dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar

belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor

kompleks nyeri dan bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya dan tes

laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak

adekuat terhadap nyeri. Potter & Perry, 2006 mengatakan bahwa nyeri tidak dapat

diukur secara objektif, seperti dengan menggunakan sinar X atau pemeriksaan

darah. Menurut Asmadi, 2008 mengklasifikasikan nyeri berdasarkan sifatnya

yaitu; (1) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu

menghilang, (2) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan

dalam waktu yang lama, (3) paroximal pain, yaitu nyeri yang dirasakan

berintensitas tinggi dan kuat sekali yang biasanya menetap 10-15 menit lalu

menghilang kemudian timbul lagi. Menurut Triyana, 2013 yaitu sifat-sifat nyeri

diantaranya; nyeri menyebabkan kelelahan dan membutuhkan banyak energi,

nyeri bersifat subjektif dan individual, nyeri tak dapat dinilai secara objektif

seperti sinar X atau laboratorium darah, perawat hanya dapat mengkaji nyeri

pasien dengan melihat perubahan fisiologis tingkah laku dan dari pernyataan

klien, hanya klien yang mengetahui saat nyeri timbul dan rasanya, nyeri

merupakan mekanisme pertahanan fisiologis, nyeri merupakan tanda peringatan


adanya kerusakan jaringan, nyeri mengawali ketidakmampuan, persepsi yang

salah tentang nyeri menyebabkan manajemen nyeri jadi tidak optimal.

Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi

diri, apabila seseorang merasakan nyeri maka perilakunya akan berubah. Nyeri

merupakan tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan jaringan, yang harus

menjadi pertimbangan utama keperawatan saat saat mengkaji nyeri (Clancy dan

Mc Vicar, 1992 dalam Potter & Perry 2006). Perawat setiap hari memberi asuhan

keperawatan kepada klien yang mengalami nyeri. Salah satu ketakutan yang

paling dini dirasakan setiap klien yang didiagnosis suatu penyakit ialah

kekhawatiran nyeri yang akan mereka rasakan.

2.2.4 Fisiologis Nyeri

Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Stimulus

penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri

memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan

akhirnya sampai didalam massa berwarna abu-abu di medula spinalis. Terdapat

pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus

nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks

serebral. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks serebral, maka otak

menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan

pengetahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan

nyeri (McNair, 1990 dalam Potter & Perry, 2006). Nyeri karena pembedahan

mengalami sedikitnya dua perubahan, pertama karena pembedahan itu sendiri,

menyebabkan rangsang nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya

respon inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat
kimia oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara

lain adalah prostaglandin, histamine, serotonin, bradikinin, substansi P,

leukotrien; dimana zat-zat tadi akan ditransduksi oleh nosiseptor dan

ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C ke neuroaksis. Terdapat tiga

komponen fisiologis dalam pengalaman nyeri; yaitu resepsi, persepsi, dan reaksi.

1. Resepsi.

Semua kerusakan selular yang disebabkan oleh stimulus termal, mekanik,

kimiawi, atau stimulus listrik menyebabkan pelepasan substansi yang

menghasilkan nyeri. Pemaparan terhadap panas atau dingin, tekanan, friksi, dan

zat-zat kimia menyebabkan pelepasan substansi, seperti histamin, bradikinin dan

kalium, yang bergabung dengan lokasi reseptor di nosiseptor. Menurut Tamsuri,

2007 organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri adalah reseptor

nyeri atau disebut juga nosiseptor. Menurut Brunner & Suddart, 2013 nosiseptor

adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya pada stimulus yang

kuat, yang secara potensial merusak. Secara anatomis, nosiseptor ada yang

bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf aferen yang tersebar pada

kulit dan mukosa, khususnya pada organ viseral, persendian, dinding arteri, hati

dan kandung empedu (Triyana, 2013). Sensitivitas dari komponen sistem

nosiseptor dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan berbeda diantara individu.

Tidak semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami

intensitas nyeri yang sama. Sebagai contoh nyeri pasca operasi sering terasa lebih

parah pada malam hari, faktor tersebut dapat meningkatkan atau menurunkan

sensitivitas komponen yang berbeda dari sistem nosiseptor (Brunner & Suddart,

2013). Apabila kombinasi dengan reseptor nyeri mencapai ambang nyeri (tingkat
intensitas stimulus minimum yang dibutuhkan untuk membangkitkan suatu impuls

saraf), kemudian terjadilah aktivasi neuron nyeri. Impuls saraf, yang dihasilkan

oleh stimulus nyeri, menyebar disepanjang serabut saraf perifer aferen. Dua tipe

serabut saraf perifer mengonduksi stimulus nyeri; serabut A-delta yang bermielin

dan cepat, dan serabut C yang tidak bermielin dan berukuran sangat kecil serta

lambat. Serabut A mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan jelas yang

melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri (Jones dan cory, 1990

dalam Potter & Perry, 2006). Serabut C menyampaikan impuls yang terlokalisasi

buruk, visceral, dan terus menerus (Puntillo,1988 dalam Potter & Perry, 2006).

Ketika serabut C dan serabut A-delta mentransmisikan impuls dari serabut saraf

perifer, maka akan melepaskan mediator biokimia yang mengaktifkan atau

membuat peka akan respon nyeri. Kemudian transmisi stimulus nyeri berlanjut

disepanjang serabut saraf aferen sampai transmisi tersebut berakhir dibagian

kornu dorsalis medulla spinalis. Didalam kornu dorsalis, neutransmiter seperti

substansi P dilepaskan, sehingga menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf

perifer (sensori) ke saraf traktus spinotalamus. Resepsi nyeri membutuhkan

system saraf perifer dan medulla spinalis yang utuh. Faktor-faktor umum yang

mengganggu resepsi nyeri normal meliputi trauma, obat-obatan, pertumbuhan

tumor, dan gangguan metabolic.

2. Persepsi

Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Stimulus

nyeri ditransmisikan naik ke medulla spinalis ke thalamus dan otak tengah. Dari

thalamus, serabut mentransmisikan pesan nyeri ke berbagai area otak, termasuk

korteks sensori dan korteks asosiasi (dikedua lobus parietalis), lobus frontalis, dan
sistem limbik. Ada sel-sel didalam sistem limbik yang diyakini mengontrol emosi,

khususnya untuk ansietas. Dengan demikian sistem limbik berperan aktif dalam

memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi saraf berakhir didalam

pusat otak yang lebih tinggi, maka individu akan mempersepsikan sensasi nyeri.

3. Reaksi

Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisiologis dan perilaku yang

terjadi setelah mempersepsikan nyeri.

2.2.5 Klasifikasi Nyeri

Menurut Brunner & Suddart, 2013 klasifikasi nyeri dibagi menjadi dua;

yaitu nyeri akut dan nyeri kronik

1. Nyeri akut

Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan

cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah

terjadi, nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya kurang

dari satu bulan. Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh

secara spontan atau dapat memerlukan pengobatan.

2. Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang

suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung diluar waktu penyembuhan yang

diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera fisik.

Nyeri kronis biasanya didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung enam bulan

atau lebih, meskipun enam bulan merupakan suaru periode yang dapat berubah

untuk membedakan suatu nyeri akaut atau kronis.


2.2.6 Faktor yang mempengaruhi nyeri

Nyeri merupakan sesuatu yang komplek, maka itu perawat perlu

melakukan pendekatan yang holistik dalam pengkajian dan perawatan klien yang

mengalami nyeri. Rasa nyeri yang dialami seseorang dapat dipengaruhi oleh

beberapa hal, diantaranya

1. Usia

Menurut Potter & Perry, 2006 usia merupakan variabel penting yang

memepengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan

perkembangan yang ditemukan didalam usia mempengaruhi bagaimana anak-anak

dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Menurut Triyana, 2013 usia anak-anak yang

mengalami nyeri tentu belum bisa mengungkapkan nyeri yang ia alami. Sehingga,

perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Namun berbeda pada lansia, pada

lansia yang mengalami nyeri perlu dilakukan pengkajian, diagnosis, dan

penatalaksanaan secara agresif. Pengkajian nyeri pada lansia mungkin sulit karena

perubahan fisiologis dan psikologis yang menyertai proses penuaan. Bila lansia

diberikan kesempatan untuk menggunakan sendiri analgesik pasca operasi, lansia

menunjukan keberhasilan peredaan nyeri dengan dosis opioid yang lebih kecil

(Brunner & Suddart, 2013). Menurut Nursalam, 2015 makin dewasa seseorang

maka semakin dapat mentoleransi rasa sakit.

2. Jenis Kelamin

Menurut Gill, 1990 dalam Triyana, 2013 bahwa jenis kelamin laki-laki dan

wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, dan justru lebih

dipengaruhi faktor budaya. Misalnya, tidak pantas laki-laki mengeluh nyeri, dan

wanita boleh mengeluh nyeri. Toleransi nyeri sejak lama telah menjadi subjek
penelitian yang melibatkan pria dan wanita, akan tetapi toleransi terhadap nyeri

dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap

individu, tanpa memperhatikan jenis kelamin (Brunner & Suddart, 2013).

3. Kultur

Norma/aturan dapat menumbuhkan perilaku seseorang dalam memandang

dan berasumsi terhadap nyeri yang dirasakan (Nursalam, 2015). Keyakinan dan

nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu

mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka,

hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Brunner & Suddart, 2013).

Misalnya suatu daerah yang menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat

yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, maka mereka tidak

mengeluh jika ada nyeri (Triyana, 2013).

4. Makna Nyeri

Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman

nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara

dekat dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu akan

mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, misalnya seorang wanita yang

sedang bersalin akan memeprsepsikan nyeri berbeda dengan seorang wanita yang

mengalami nyeri akibat cedera karena pukulan pasangannya. Derajat dan kualitas

nyeri yang dipersepsikan berhubungan dengan makna nyeri. Menurut Nursalam,

2015 interpretasi pengalaman nyeri dimulai saat pertama pasien sadar adanya

nyeri.
5. Perhatian

Tingkat seorang klien dalam memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill, 1990 dalam Triyana, 2013 perhatian

yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya

distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.

6. Ansietas

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat komplek. Ansietas seringkali

meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu proses

ansietas. Suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian system limbic

yang diyakini mengendalikan emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbik

dapat merespon reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau

menghilangkan nyeri (Brunner & Suddart, 2013).

7. Keletihan

Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa keletihan menyebabkan

sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Apabila

keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri bahkan dapat terasa lebih

berat lagi. nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu mengalami suatu

periode tidur yang lelap disbanding pada akhir hari yang melelahkan.

8. Pengalaman sebelumnya

Pengalaman sebelumnya dapat mengubah sensasi pasien terhadap nyeri

(Nursalam, 2015). Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri pada masa

lalunya, dan saat ini ia mengalami nyeri yang sama, maka ia akan lebih mudah

mengatasi nyerinya. Mudah atau tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung

pada pengalaman masalalunya dalam mengatasi nyeri (Triyana, 2013).


9. Gaya Koping

Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat

seseorang merasa kesepian. Hal yang sering terjadi adalah klien merasa

kehilangan kontrol terhadap lingkungan atau kehilangan kontrol terhadap hasil

akhir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dengan demikian gaya koping

mempengaruhi kemampuan individu tersebut untuk mengalami nyeri.

10. Dukungan keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung pada anggota

keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan

perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai

akan meminimalkan rasa kesepian dan ketakutan.

2.2.7 Pengukuran Tingkat Nyeri

Menurut Smeltzer, S.C & Bare B.G (2002) skala intensitas nyeri adalah

sebagai berikut :

1) Skala Intensitas Nyeri Deskritif

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Nyeri Ringan Nyeri Sedang Nyeri Berat Nyeri

Nyeri Terkontrol sangat berat

Gambar 2.2 Skala Intensitas Nyeri Deskriptif


Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingakat keparahan nyeri yang lebih

obyektif. Skala pendeskripsi verbal (verbal descriptor scale, VDS) merupakan

sebuah garis terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi ya ng tersusun dengan

jarak yang sama disepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa

nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Alat VDS ini memungkinkan klien

memilih sebuah katagori untuk mendeskripsikan nyeri.

2) Skala Nyeri Numerik

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Nyeri Sedang Nyeri

Nyeri hebat

Gambar 2.3 Skala Penilaian Numerik

Skala penilaian numerik (numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai

penganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan

menggunkan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas

nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila patokan 10 cm (AHCPR,

1992).

3) Skala Analog Visual

Tidak nyeri Nyeri sangat Hebat

Gambar 2.4 Skala Analog Visual


Skala Analog Visual (visual Analog Scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS

adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan

mendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan

penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan

pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat

mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata

atau satu angka (Potter, 2005)

4) Skala Nyeri Menurut Bourbanis

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Nyeri ringan Nyeri Sedang Nyeri berat Nyeri

Nyeri terkontrol hebat

Gambar 2.5 Skala Nyeri Menurut Bourbanis

Tabel 2.2 Keterangan Skala Nyeri Menurut Bourbanis

Skala Keterangan
0 Tidak nyeri
1-3 Nyeri Ringan, secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan baik
4-6 Nyeri sedang, secara objektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendiskripsikannya, dan dapat
mengikuti perintah dengan baik.
7-9 Nyeri berat, secara obyektif penderita terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendiskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi napas panjang dan distraksi.
10 Nyeri sangat berat, klien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan

tidak menghabiskan banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat

membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala

deskriptif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri,

melainkan juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat

menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih baik memburuk atau

menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan.

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Post Op

a. Pengkajian

Menurut wakid (2013), pengkajian meliputi :

1. Identitas klien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan alamat,

pekerjaan, agama, status perkawinan, suku bangsa, tanggal masuk, nomor

register, diagnosa medis.

2. Keluhan utama, pada umumnya keluhan utama pada fraktur adalah rasa

nyeri.

3. Riwayat penyakit sekarang, berupa kronologi terjadinya penyakit sehingga

bisa terjadi penyakit yang seperti sekarang.

4. Riwayat penyakit dahulu, ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan

sebagai petunjuk berapa lama tulang tersebut akan mkenyambung.

5. Riwayat penyakit keluarga, merupakan salah satu faktor predisposisi

terjadinya fraktur.

6. Riwayat psikososial, merupakan respon emosi klien terhadap penyakit

yang diderita dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat yang
mempengaruhi dalam kehidupan sehari – hari baik dalam keluarga atau

masyarakat.

7. Pola – pola fungsi kesehatan

a) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat, pada fraktur biasanya klien

merasa takut akan mengalami kecacatan, maka klien harus menjalani

penatalaksanaan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,

perlu dilakukan pengkajian yang meliputi kebiasaan hidup klien,

seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme

kalsium, pengonsumsian alkohol, apakah klien melakukan olahraga

atau tidak.

b) Pola nutrisi dan metabolisme, klien fraktur harus mengkonsumsi

nutrisi yang lebih dari kebutuhan sehafri – hari, seperti kalsium, zat

besi, protein, vit C karena untuk membantu proses penyembuhan.

c) Pola eliminasi perlu dikaji frekuensi, kepekatan, warna bau, dan

jumlah untuk mengetahui adanya kesulitan atau tidak.

d) Pola tidur dan istirahat, klien biasanya merasa nyeri dan geraknya

terbatas sehingga dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.

e) Pola aktivitas, adanya nyeri dan gerak yang terbatas, aktivitas klien

menjadi berkurang dan butuh bantuan dari orang lain.

f) Pola hubungan dan peran, klien akan kehilangan peran dalam keluarga

dan masyarakat karena harus menjalani rawat inap.

g) Pola persepsi dan konsep diri, dampak dari klien fraktur akan timbul

ketakutan akan kecacatan akibat fraktur, easa cemas, rasa


ketidakmampuan melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan

citra tubuh.

h) Pola sensori dan kognitif, berkurangnya daya raba terutama pada

bagian distal fraktur

i) Pola reproduksi seksual, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual

karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak juga nyeri.

j) Pola penanggulangan stress, pada klien fraktur timbul rasa cemas akan

keadaan dirinya, takut mengalami kecacatan dan fungsi tubuh.

k) Pola tata nilai dan kepercayaan, klien tidak bisa melaksanakan ibadah

dengan baik karena nyeri dan keterbatasan gerak.

b. Pemeriksaan fisik

1. Keadaan umum

2. Pemeriksaan head to toe

Ekstermitas perlu dilakukan pemeriksaan gerakan ekstermitas, untuk

mengetahui apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan, pemeriksaan

ini perlu dilakukan agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan

sesudahnya. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak

(mobilitas) atau tidak, pergerakan dilihat dari gerakan aktif dan pasif.

c. Pemeriksaan diagnostik

Ignatius, Donna D (2006) dalam Wahid (2013).

1) Pemeriksaan radiologi guna untuk mendapatkan gambaran tiga dimensi

dari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit.

2) Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui jauh kelainan yang terjadi

meliputi : kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap


penyembuhan tulang, fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan

tulang dan menunjukkan osteoblastik dalam membentuk tulang, enzim otot

seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH-5), asparta amino

transferase (AST), dan aldolase meningkat pada proses penyembuhan

tulang.

d. Diagnosa keperawatan

Menurut Dongoes (2000) dalam Wahid (2013).

1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gderakan fragmen tulang,

edema , cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress atau ansietas.

2. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan

aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah,

emboli paru, perubahan membran alveolar atau kapiler (interstisial, edema

paru,kongesti).

4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerurasak rangka

neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (mobilisasi)

5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka,

pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup).

6. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer

(kerusakan kulit, trauma jaringan lunak, prosedur invasif atau traksi

tulang).

7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosisdan kebutuhan pengobatan

berhubungan dengan kurang terpajan atau salah interprestasi terhadap


informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat atau lengkapnya informasi

yang ada.

e. Intervensi

1) Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gderakan fragmen tulang,

edema , cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress atau ansietas.

Tujuan : klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang

denganmenunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam

beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan

ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi

individu.

Intervensi :

a) Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengantirah baring gips, berat

dan atau traksi.

Rasional : mengurangi nyeri dan mencegah malformasi

b) Tinggikan posisi ekstermitas yang terkena.

Rasional : meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema atau nyeri.

c) Lakukan dan awasi latihan gerak pasif atau aktif

Rasional : mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi

vaskuler

d) Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase perubahan

posisi).

Rasional : meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan lokal

dan kelelahan otot.


e) Ajarkan tekhnik penggunaan nyeri (latihan nafas dalam, relaksasi

pendengaran musik mozart, imajinasi visual, aktivitas dipersional).

Rasional : mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan

kontrolterhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.

f) Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi

Rasional : menurunkan nyeri melalui penghambatan rangsang nyeri baik

secara sentral maupun perifer.

g) Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verbal, perubahan

tanda-tanda vital).

2) Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan

aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)

Tujuan : klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan

kriteria akral hangat, tidak pucat dan sianosis, bisa bergerak secara aktif.

Intervensi :

a) Dorong klien secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari atau sendi

distal cedera.

Rasional : meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.

b) Hindari restriksi sirkulasi akibat tekanan berat atau spalk yang terlalu

ketat.

Rasional : mencegah stasis vena dan sebagaipetunjuk perlunya

penyesuaian keketatan bebat atau spalk.

c) Pertahankan letak tinggi ekstermitas yang cedera kecuali ada

kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.


Rasional : meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali

pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan

perfusi.

d) Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.

Rasional : mungkin diberikan sebagian upaya profolaktik untuk

menurunkan trombus vena.

e) Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit, dan kehangatan

kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.

Rasional : mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya

intervensi sesuai keadaan klien.

3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah,

emboli paru, perubahan membran alveolar atau kapiler (interstisial, edema

paru,kongesti).

Tujuan : klien akan menunjukkan kebutuhan oksigen terpenuhi dengan

kriteria klien tidak sesak nafas, tidak sianosis analisa gas darah dalam

batas normal.

Intervensi :

a) Intruksikan atau bantu latihan batuk efektif.

Rasional : meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.

b) Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang nyaman sesuai keadaan klien.

Rasional : reposisi meningkatkan drainase sekretr dan menurunkan

kongesti paru.

c) Kolaborasi pemberian obat antikoagulan dan kortikosteroid sesuai

indikasi.
Rasional : mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboli.

Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah emboli

lemak.

d) Analisa pemeriksaan gas darah, hb, kalsium LED, lemak, dan trombosit.

Rasional : penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan

gangguan pertukaran gas; anemia, hipoksemia, peningkatan LED dan

kadar lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan

dengan emboli lemak.

e) Evaluasi frekuensi pernafasan dan upaya bernafas, perhatikan adanya

stridor, penggunaan otot aksesoris pernafasan, retraksi sela iga dan

sianosis sentral.

Rasional : adanya takipnea dan perubahan dini insufisiensi pernafasan,

mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal.

4) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka

neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)

Tujuan : klien dapat meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada

tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi

fungsional meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit dan

mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan teknik yang mampu

melakukan aktivitas.

Intervensi :

a) Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi teraputi sesuai keadaan.

Rasional : memfokuskan perhatian, meningkatkan rasa kontrol diri,

membantu menurunkan isolasi sosial.


b) Bantu latihan gerak pasif aktif pada ekstermitas yang sakit maupun yang

sesuai keadaan klien.

Rasional : meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal,

mempertahankan gerak sendi, mengabsorbsi kalsium karena mobilisasi.

c) Baerikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter atau tangan sesuai

indikasi.

Rasional : mempertahankan posisi fungsional ekstermitas

d) Bantu dan dorong perawatan diri sesuai keadaan klien.

Rasional : meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai

kondisi

e) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.

Rasional : menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan.

f) Berikan diet TKTP.

Rasional : kalori dana protein diperlukan untuk proses penyembuhan dan

mempertahankan fungsi fisiologis tubuh.

g) Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi.

Rasional : kerjasama dengan fisioterapi untuk menyusun program aktivitas

fisik secara individual.

h) Evaluasi kemampuan mobilisasi dan program imobilisasi.

Rasional : menilai perkembangan masalah klien.

5) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka,

pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup).

Tujuan : klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan

perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit, mencapai penyembuhan


luka sesuai waktu.

Intervensi :

a) Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman.

Rasional : menurunkan risiko kerusakan kulit yang lebih luas.

b) Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat atau

gips.

Rasional : meningkatkan sirkulasi perifer kelemasan kulit dan otot

terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.

c) Lindungi kulit dan gips pada daerah perinatal.

Rasional : mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat

kontaminasi fekal.

d) Observasi keadaan kulit, penekanan gips, insersi traksi.

Rasional : menilai perkembangan masalah klien.

f) Evaluasi

Wahid (2013) menyatakan evaluasi pada klien fraktur meliputi :

1. Nyeri berkurang atau hilang

2. Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer

3. Pertukaran gas adekuat

4. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit

5. Infeksi tidak terjadi

6. Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yan g dialami.


2.4 Literatur Review

No Populasi Intervensi Comprasion Outcome Time/lama Jurnal


penelitian
1 Pasien Strategi Pemberian Adanya Pengaruh
fraktur penanggulangan teknik penurunan teknik
femur nyeri, disamping relaksasi tingkat relaksasi
berusia metode TENS nafas dalam nyeri pada nafas dalam
25 – 40 (Transcutaneons memberikan pasien terhadap
tahun Electric Nerve dampak post penurunan
sebanyak Stimulation), penurunan operasi tingkat
68 orang biofeedback, nyeri yang fraktur nyeri pada
plasebo dan lebih baik femur pasien pasca
distraksi yang operasi
diulakukan fraktur
teknik femur
relaksasi
nafas
dalam.
2 Pasien Manajemen Adanya 20 Juni – Efektifitas
nyerin nyeri, terapi perbedaan 15 juli relaksasi
post op farmakologi, efektifitas 2011 nafas dalam
closed dan terapi non perilaku dan
fraktur farmakologi. kognitif distraksi
femur relaksasi baca
nafas menurunkan
dalam dan nyeri pasca
distraksi operasi
baca fraktur
terhadap femur,
penurunan Journal of
skala nyeri Ners
pada Community,
pasien Vol 5
post tanggal 2
operasi November
closed 2014
fraktur
femur.
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah multiple case study atau studi

kasus kolektif dengan jenis penelitian deskriptif yang menggunakan dua unit

subjek atau dua orang. Penelitian studi kasus ini adalah studi untuk mempelajari

secara intensif suatu masalah keperawatan dengan batasan terperinci, memiliki

pengambilan data yang mendalam dan menyertakan berbagai sumber informasi.

Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, serta kasus yang dipelajari berupa

peristiwa, aktivitas atau individu (Setiadi, 2013). Penelitian studi kasus ini adalah

untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan nyeri akut pada pasien Tn.I

dengan post op close fraktur femur dekstra dan Tn.K dengan post op close fraktur

sinistra di ruang Melati RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan selama Lima hari.

3.2 Lokasi

Penelitian studi kasus ini dilakukan di ruang Melati Rumah Sakit Umum

Daerah Bangil Kabupaten Pasuruan.

3.3 Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaanya adalah pada Tn. I dan Tn. K post operasi close

fraktur femur dekstra pada hari ke-1 sampai post operasi close fraktur femur

sinistra hari ke-3 dari praktik studi kasus yaitu pada hari senin tanggal 7 Agustus

2017 sampai 11 Agustus 2017.


3.4 Subjek penelitian

Subjek studi penelitian ini menggunakan dua pasien dengan diagnosa Post

operasi close fraktur dengan nyeri akut pasca bedah di ruang Melati RSUD Bangil

Kabupaten Pasuruan.

1. Tn. I pasca bedah close fraktur femur dekstra

2. Tn. K pasca bedah close fraktur femur sinistra

3.5 Pengumpulan Data

Pada studi kasus ini pengumpulan data yang di ambil oleh penulis adalah

secondary survey pada pasien Tn.I dengan post op close fraktur femur dextra dan

Tn. K dengan post op close fraktur femur sinistra di ruang Melati RSUD Bangil

Kabupaten Pasuruan yang mana menggunakan menggunakan beberapa metode di

bawah ini:

1. Penulis menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan data mengenai

identitas pasien, keluhan utama yang dirasakan pasien, riwayat penyakit sekarang,

riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, kebiasaan yang dilakukan

tentang kesehatan pasien dan lain-lain mengenai permasalahan pasien, yang dapat

didapatkan dari pasien sendiri serta keluarga.

2. Observasi yang dilakukan penulis dalam pemeriksaan fisik menggunakan

mayor body system dengan pendekatan IPPA yaitu pemeriksaan dengan inspeksi,

palpasi, perkusi dan auskultasi. Menggunakan pengukuran nyeri dengan numeric

pain scale.

3. Studi dokumentasi keperawatan yang penulis lakukan adalah dengan

mempelajari dokumentasi klien yang terdapat dalam status dan hasil pemeriksaan
diagnostik yang berisikan catatan keperawatan klien juga hasil dokumentasi foto

yang relevan.

3.6 Analisa Data

Analisis data dilakukan pada studi kasus ini sejak penulis di lapangan, saat

pengumpulan data sampai semua data terkumpul. Pada studi kasus ini

pengumpulan data dikumpulkan dari hasil wawancara kepada pasien dan

keluarga, observasi keadaan pasien, dan melihat dokumen pasien dan

mendokumentasikan yang di lakukan penulis dimana hasilnya ditulis dalam

bentuk catatan lapangan, kemudian disalin dalam bentuk transkrip. Kemudian

dijadikan satu dalam bentuk transkrip. Data yang terkumpul kemudian dibuat

koding yang di sesuaikan dengan topik yang di tetapkan penulis. Untuk penyajian

data yang telah di peroleh di sajikan dalam bentuk tabel, gambar, bagan maupun

teks narasi serta kerahasiaan dari responden dijamin dengan jalan mengaburkan

identitas dari responden. Setelah penulis mendapatkan semua data yang di

perlukan maka akan di bahas dalam bab 4 mulai dari hasil data pengkajian,

diagnosa pasien, perencanaan, implementasi tindakan yang dilakukan sampai

dengan evaluasi keperawatan serta dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian

terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku kesehatan. Penarikan kesimpulan

dilakukan dengan metode induksi.

3.7 Etika Penulisan

Dalam studi kasus ini, penulis menggunakan subyek penelitian dengan

kasus Post op close fraktur femur pada Tn. I dan Tn. K yang ada diruang

Kertabumi RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan. Untuk itu perlu pengajuan

permohonan izin kepada kepala ruangan Melati RSUD Bangil Kabupaten


Pasuruan. Setelah itu penulis menemui subyek yang akan dijadikan responden

untuk menekankan masalah etik yang meliputi:

1. Informed Consent

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang memenuhi

kriteria atau sesuai dengan kasus yang diinginkan penulis, disertai dengan judul

laporan studi kasus dan tujuan serta manfaat. Jika subjek bersedia maka

diharuskan menandatangani lembar persetujuan yang telah disediakan oleh

penulis, tetapi apabila subjek menolak untuk dijadikan sebagai responden maka

penulis tidak memaksa dan tetap menghormati hak dari setiap subyek.

2. Anonimity

Penulis bertanggung jawab untuk melindungi semua data yang

dikumpulkan dalam lingkup laporan studi kasus dari pemberitahuan kepada orang

diluar team riset. Termasuk merahasiakan nama peserta.

3. Confidentially

Pada laporan asuhan keperawatan nama responden tidak dicantumkan tetapi

menggunakan inisial saja, serta hanya pada data tertentu saja yang akan penulis

sajikan utamanya dilaporkan pada hasil studi kasus.


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian
RSUD Bangil adalah rumah sakit tipe C milik pemerintah kabupaten
Pasuruan yang merupakan rumah sakit rujukan di kabupaten Pasuruan terletak di
jalur poros Surabaya-Banyuwangi. Gedung yang besar seluas kurang lebih 2 H,
tempat yang nyaman dan kualitas pelayanan yang terus ditingkatkan sehingga dapat
memberikan kepuasan oleh pelanggan dan masyarakat. RSUD Bangil tersedia 39
dokter diantaranya 23 dokter spesialis, dokter umum 14 orang, dan 2 dokter gigi,
108 perawat, 11 bidan dan 126 orang tenaga non medis. Dengan misi
menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara paripurna dengan mengutamakan
mutu dan keselamatan pasien, mengembangkan pelayanan kesehatan, sarana
prasarana serta tenaga yang terintegrasi dengan pendidikan dan penelitian,
mengelola sumber daya dan keuangan secara efektif, efisien, dan akuntabel.

4.1.2 Asuhan Keperawatan Dengan Nyeri Akut Pada Pasien Post Op


Fraktur Femur

A. Pengkajian
1) Pengumpulan Data
1) Biodata Pasien

Tabel 4.1 Pengumpulan Data Pada Pasien Post Close Fraktur Femur Dekstra dan
Close Fraktur Femur Sinistra
No Identitas Pasien Kasus 1 Kasus 2
1. No. Rekam Medik 338151 337381
2. Tanggal masuk 08 Agustus 2017 07 Agustus 2017
3. Jam masuk 10.00 WIB 08.00 WIB
4. Ruang/Kelas Melati/III Melati/III
5. Tanggal Pengkajian 07 Agustus 2017 08 Agustus 2017
6. Jam pengkajian 07.30 WIB 09.00 WIB
7. Nama Tn “I” Tn “K”
8. Umur 19 thn 22 thn
9. Suku/Bangsa Jawa/ Indonesia Madura/ Indonesia
10. Agama Islam Islam
11. Pendidikan SMA SMK
12. Pekerjaan Swasta/ Konveksi Buruh Tani
13. Alamat Gesing 04/02 Rowo Gempol Kedung Sari Pasuruan
14. Status perkawinan Belum Kawin Belum Kawin
15. Dx Medis Post op Cf Femur Dekstra 1/3 Post op Cf Femor Sinistra
Tengah 1/3 Sinistra

2) Biodata penanggung jawab pasien


Tabel 4.2 Biodata Pengkajian Pada Pasien Post Op Close Fraktur Femur Dekstra
dan Post Op Close Fraktur Femur Sinistra
No Identitas Penanggung Kasus 1 Kasus 2
jawab pasien
1. Nama Ny “J” Ny “G”
2. Jenis kelamin Perumpuan Perempuan
3. Alamat Gesing 04/02 Rowo Gempol Kedung Sari Pasuruan
Lekok
4. Hubungan dg pasien Ibu Ibu
5. Pekerjaan Swasta Swasta

3) Keluhan Utama
- Pasien 1: pasien mengeluh sakit pada daerah bekas oprasi di area paha
- Pasien 2: pasien mengeluh sakit pada daerah bekas oprasi di area paha

4) Riwayat Kesehatan

Tabel 4.3 riwayat kesehatan Pada Pasien Post Op Close Fraktur Femur Dekstra
dan Post Op Close Fraktur Femur Sinistra
No Riwayat Kesehatan Kasus 1 Kasus 2

1. Riwayat penyakit Pasien mengatakan bahwa Pasien mengatakan bahwa pada


sekarang pada hari senin jam 07.00 hari Minggu, tanggal 06
WIB, tanggal 07 Agustus 2017 Agustus 2017 jam 22.00 pasien
Mengalami kecelakaan di mengalami kecelakaan pasien
daerah rejokso pasien di tabrak oleh mobil di jalan
bertabrakan dengan mobil raya kemudian pasien di tolong
berlawanan arah kemudian oleh warga dan lansung di
pasien dibawa ke Puskesmas bawa ke IGD RSUD Bangil
Rejokso setelah di puskesmas setelah sampai di igd pasien
Rejoksa kemudian di rujuk ke mendapatkan pemeriksaan dan
RSUD Bangil menggunakan oleh petugas dan stelah itu
ambulance pada jam 10.00 pasien dipindahkan keruangan
WIB setelah di IGD RSUD Melati untuk mendapatkan
Bangil pasien dilakukan perawataan lebih lanjut,
pemeriksaan setelah kemudian pasien dilakukan
mendapatkan pemeriksaan oprasi pada tanggal 07-08-2017
pasien dipindahkan ke ruangan di ruang oprasi jam 10.00 wib
melati untuk mendapatkan dan selesai jam 12.00 wib,dan
perawatan lebih lanjut pada jam 19.00 pasien di
kemudian pasien direncanakan pindahkan ke ruangan melati
oprasi dan pasien dilakukan dari ruangan RR untuk
oprasi pada jam 10 tanggal 08- mendapatkan perawatan lebih
08-2017 dan selesai jam 12.00
wib dan kembali ke ruangan lanjut.
jam 18.00 wib setelah itu
pasein mendapat perawatan
lebih lanjut.

2. Riwayat Penyakit Pasien mengatakan bahwa Pasien mengatakan bahwa tidak


Dahulu tidak pernah MRS sebelumnya pernah MRS sebelumnya dan
dan tidak pernah oprasi baru tidak pernah oprasi baru kali ini
kali ini saja saja

3. Riwayat Keluarga Pasien mengatakan bahwa Pasien mengatakan bahwa


didalam anggota keluarganya didalam anggota keluarganya
tidak ada yang mempunyai tidak ada yang mempunyai
riwayat penyakit menurun riwayat penyakit menurun
seperti, hipertensi dan diabetes seperti, hipertensi dan diabetes
mellitus dan TBC. mellitus.

4. Riwayat Alergi Pasien mengatakan bahwa Pasien mengatakan bahwa tidak


tidak mempunyai riwayat mempunyai riwayat alergi
alergi makanan maupun obat- makanan maupun obat-obatan.
obat.

5) Genogram

Gambar 4.1 Genogram Pada Pasien Tn. I Post Op Close Fraktur Femur Dekstra

Gambar 5.1 Genogram Pada Pasien Tn.K Post Op Close Fraktur Femur Sinistra
Keterangan:

: Laki-laki : Suami meninggal

: Perempuan : Istri meninggal

: Pasien : Tinggal serumah

2. Pola Fungsi Kesahatan Gordon

Tabel 4.4 Pola Fungsi Kesehatan Pada Pasien Post Op Close Fraktur Femur
Dekstra dan Post Op Close Fraktur Femur Sinistra
No Pola Kasus 1 Kasus 2
Aktivitas
Sebelum MRS Saat MRS Sebelum MRS Saat MRS

1. Aktivitas dan - Pasien - Pasien - Pasien - Pasien


latihan mengatakan mengatakan mengatakan mengatakan
bahwa bahwa bahwa bahwa
aktivitas aktivitas aktivitas aktivitas
sehari-hari sehari-hari sehari-hari pasien
pasien yaitu pasien selama pasien yaitu selama
bekerja dirumah sakit menjadi dirumah
- Kemampuan yaitu istirahat buruh tani. sakit yaitu
pasien untuk ditempat - Kemampuan istirahat.
merawat diri tidur saja. pasien untuk - Kemampuan
sendiri - Kemampuan merawat diri pasien untuk
seperti pasien untuk seperti merawat diri
berpakaian, merawat diri berpakaian, dibantu oleh
mandi, sendiri mandii, ibu dan
makan dan dibantu oleh makan dan kelurganya
kekamar keluarga. kekamar
mandi mandi
dilakukan dilakukan
oleh pasien oleh pasien
dan tidak sendiri dan
dibantu. tidak dibantu
keluarga.
2. Istirahat/Tidur Pasien Pasien tidur siang Pasien Pasien
mengatakan dan tidur malam mengatakan mengatakan
kebiasaan tidur tetapi tergagnggu kebiasaan tidur tidur siang dan
sehari-hari karena nyeri pada sehari-hari. malam tidak
- Tidur Siang: bekas oprasi - Pasien tidur tentu karena
jarang, siang pasien terganggu
karena - Waktu: ±3jam oleh rasa nyeri
pasien - Lama: 12.00- yang di alami
bekerja 14.00 WIB pasien pada luka
Tidur malam Tidur malam bekas oprasi.
- Waktu : ±7 - Waktu: ±8jam
jam - Lama: 21.00-
- Lama: 05.00
21.00-05.00
WIB
3. Nutrisi - Pasien - Pasien - Pasien makan - Pasien
makan 3x makan 3x 3x sehari. makan 3x
sehari. sehari. - Terdiri atas: sehari.
- Terdiri atas: - Terdiri atas: nasi, sayur, - Terdiri atas:
nasi, sayur, nasi, sayur, lauk pauk. nasi, sayur,
lauk pauk. lauk pauk. - 1 porsi makan lauk pauk.
- 1 porsi - 1 porsi dari habis. - 1 porsi
makan habis. rumah sakit makan tidak
habis. habis .
4. Eliminasi - BAB: 1x - BAB: pasien - BAB: 1x - BAB: pasien
sehari, mengatakan sehari, normal. mengatakan
normal. belum BAB - BAK: ±3x blom BAB
- BAK : ±4x sejak selesai sehari, normal. sejak selesai
sehari, oprasi oprasi.
normal - BAK: ±5x - BAK: ±4x
sehari, sehari, di
normal di bantu
bantu keluarga
keluarga. normal.

5. Kognitif - - Pasien - - Pasien


mengatakan mengatakan
bahwa pasien bahwa pasien
sedang sakit sedang sakit
patah tulang patah tulang
dan baru dan baru
selesai oprasi selesai oprasi
dan pasien dan pasien
pengen pengen ceppet
ceppet pulih. pulih.
6. Pola presepsi- - Pasien - Pasien - Pasien - Pasien
konsep diri. mengatakan mengatakan mengatakan mengatakan
bahwa bahwa bahwa bahwa
sebelum terdapat sebelum sakit terdapat
sakit tidak masalah tidak terdapat masalah
terdapat dalam permasalahan dalam
permasalaha perubahan pada harga perubahan
n pada harga peran selama diri, body peran
diri, body sakit, Karena imange, ideal selama sakit,
imange, pasien diri, peran dan Karena
ideal diri, dibantu oleh identitas. pasien
peran dan ibunya. dibantu oleh
identitas. ibu dan
keluarganya.
7. Pola toleransi- - Pasien - Pasien - Pasien - Pasien
koping mengatakan mengatakan mengatakan mengatakan
jika bahwa bahwa jika bahwa
mengalami selama mengalami selama
masalah/stre dirumah sakit masalah/stress dirumah
s pasien pasien pasien sakit pasien
bercerita menceritakan bercerita menceritaka
dengan keluhannya dengan ibunya n
saudaranya dengan terkadang keluhannya
dan temenya. ibunya dan dengan dengan
kadang- saudaranya. keluarganya
kadang sama dan
perawatnya. perawatnya.
8. Personal - Mandi 3x - Selama - Mandi 2x - Selama
Hyigene sehari. dirumah sakit sehari dirumah
- Keramas 5x pasien hanya - Keramas 4x sakit pasien
perminggu diseka oleh seminggu. hanya diseka
- Memotong ibunya. - Memotong oleh ibunya.
kuku: 1x - Kuku kuku: 1x - Kuku
seminggu. Nampak seminggu. Nampak
panjang dan panjang dan
pasien jarang pasien
memotong jarang
kuku. memotong
kuku.
10. Peran dan - Pasien - Pasien - Pasien - Pasien
hubungan mengatakan mengatakan mengatakan mengatakan
bahwa bahwa saat bahwa bahwa saat
sebelum MRS pasien sebelum MRS MRS pasien
MRS tidak mengalami tidak ada mengalami
ada gangguan gangguan gangguan
gangguan dalam peran dalam peran dalam peran
dalam peran dan dan hubungan, dan
dan hubungan pasien dapat hubungan
hubungan, saat berkomunikasi saat
pasien dapat berkomunika dengan berkomunik
berkomunika s, karena keluarga dan as, karena
si dengan kondisi teman dengan kondisi
keluarga dan pasien yang baik. pasien yang
temannya yang menahan
dengan baik. menahan rasa rasa nyeri
nyeri. Tetapi tetapi pasien
pasien masih masih bisa
bisa berkomunik
berkomunika asi dengan
si dengan keluarga da
keluarga dan perawat.
perawat.
11. Nilai dan - Pasien - Pasien - Pasien - Pasien
kepercayaan beragama mengatakan beragama mengatakan
islam, dan selama islam, dan selama
sholat 5x dirumah sakit sholat 5x dirumah
pasien jarang sakit pasien
sholat tetapi tidak pernah
pasien masih shalat.
bisa berdo’a
untuk
kesembuhann
ya.
3. Pemeriksaan Fisik

Tabel 4.5 Pemeriksaan Fisik Pada Pasien Post Op Fraktur Femur Dekstra dan
Post Op Close Fraktur Femur Sinistra
No Pemeriksaan Fisik Kasus 1 Kasus 2
1. Keadaan umum Lemah Lemah
Tekanan darah 110/80 mmHg 100/80 mmHg
Nadi 88x/mnt 90x/mnt
Suhu 37,4ºC 37ºC
RR 20x/mnt 20x/mnt
GCS 456 456
Kesadaran Composmentis Composmentis
2. Breathing (B1) Inspeksi: Inspeksi:
- Bentuk hidung semetris. - Bentuk hidung semetris.
- Tidak ada penggunaan otot - Tidak ada penggunaan otot
bantu pernapasan bantu pernapasan
- RR : 20x/mnt - Tidak ada pernapasan
- Tidak ada pernafasan cuping cuping hidung
hidung. - RR: 20x/mnt
- Pergerakan Dada semetris - Pergerkan dada semetris.
- Lesi(-), luka bekas opras(-) - Lesi(-), luka bekas oprasi
Palpasi: Palpasi:
- Kesimetrisan ekspansi dan - Kesimetrisan ekspansi dan
traktil fremitus normal. traktil fremitus normal.
- Tidak ada nyeri tekan - Tidak ada nyeri tekan
Perkusi Perkusi
- Suara paru sonor. - Suara paru sonor
- Jantung redup - Jantung redup
Auskultasi: Auskultasi:
- Suara nafas vesikuler - Suara nafas vesikuler
- Tidak ada suara nafas - Tidak ada suara nafas
tambahan ronchi (-), tambahan wheezing (-),
whezing (-) ronchi(-)
3. Blood (B2) Inspeksi Inspeksi
- Tidak sianosis - Tidak sianosis
- Tidak Anemis tidak ikterus - Tidak anemis tidak ikterus
Palpasi Palpasi
- CRT : < 3dtk - CRT : < 3dtk
- N : 88x/mnt - N : 90x/mnt
- Tidak ada pembesaran - Tidak ada pembesaran
jantung jantung
Perkusi Perkusi
- Terdengar bunyi redup. - Terdengar bunyi redup
Auskultasi Auskultasi
- TD : 110/80 - TD : 100/60
- Bunyi jantung pada S1 dan - Bunyi jantung pada S1 dan
S2 tunggal. S2 tunggal.
- Tidak terdapat bunyi - Tidak terdapat bunyi
jantung tambahan seperti jantung tambahan seperti
mur-mur dan gallop. mur-mur dan gallop.
4. Brain (B3) Inspeksi: Inspeksi:
- Kesadaran :Composmentis - Pasien nampak cemas dan
- Pasien nampak menyeringai gelisah.
kesakitan. - Kesadaran: Composmentis
- GCS : 456 - GCS : 456
- Tidak ada gangguan pada - Tidak ada gangguan pada
saraf saraf
Palpasi Palpasi
- Ada nyeri tekan pada - Ada nyeri tekan pada
daerah bekas oprasi daerah bekas oprasi paha kiri
diarea paha kanan dan dan tangan kiri luka
pada dahi luka jahitan.
5. Bowel (B4) Inspeksi: Inspeksi
- Turgor kulit: lembab - Turgor kulit lembab.
- Tidak ada acites - Tidak ada acites
- Tidak lesi,tidak terdapat - Tidak ada lesi,tidak luka
luka bekas oprasi bekas oprasi
Auskultasi: Auskultasi
- Bising usus terdengar - Bising usus terdengar
14x/mnt 12x/mnt
Perkusi Perkusi
- Terdengar bunyi timpani. - Terdengar bunyi timpani
Palpasi: Palpasi:
- Tidak ada pembesaran - Tidak ada pembesaran
pada abdomen. pada abdomen, acites (-)
- Tidak ada nyeri tekan - Tidak ada nyeri tekaan
6. Bladder (B5) Inspeksi Inspeksi
- Tidak terdapat pembesaran - Tidak terdapat pembesaran
pada vesika urinaria. pada vesika urinaria.
- BAK: ± 1500 ml - BAK: ±1200
- Warna urin kuning jernih - Warna urin kuning jernih
Palpasi Palpasi
- Tidak ada nyri tekan - Tidak ada nyeri tekan pada
pada area simpisis simpisis
7. Bone (B6) Inspeksi (Ekstremitas atas) Inspeksi (Ekstremitas atas)
- Tidak terdapat oedema - Tidak terdapat oedema
pada ektremitas atas. pada ektremitas atas.
- Terpasang infus RL - Terpasang infus RL
ditangan kanan ditangan kanan
- Pergerkan bebas
Palpasi Palpasi
- Akral hangat - Akral hangat
- Tidak ada nyeri tekan

Ekstremitas bawah Ekstremitas bawah


Inspeksi Inspeksi
- Tidak terdapat oedema - Tidak terdapat oedema
pada ekstremitas bawah. pada ekstremitas bawah.
- Terdapat perban pada area - Terdapat luka bekas oprasi
bekas oprasi pada daerah di paha kiri dan terpasang
paha perban
Palpasi Palpasi
- Akral hangat - Akral hangat
Kekuatan otot : Kekuatan otot :
5 5 5 5
1 5 5 1
4. Pemeriksaan Diagnostik

1) Laboratorium tanggal 08 Agustus 2017

Tabel 4.6 Pemeriksaan Penunjang Pada Pasien Tn. I Post Op Close Fraktur Femur
Dekstra
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HEMATOLOGI
Darah lengkap
Leukosit (WBC) 8,68 3,70 - 10,1
Neutrofil 6,6
Limfosit 1,3
Monosit 0,4
Eosinofil 0,2
Basofil 0,2
Neutrofil % 76,6 % 39,3 - 37,7
14,8 % 14,0 – 48,3
Limfosit %
5,0 % 4,40 – 12,7
Monosit %
2,3 % 0,600 – 7,30
Eosinofil %
0,2 % 0,00 – 1,70
Basofil %
3,710 10³/µl 4,6 – 6,2
Eritrosit (RBC)
11,60 g/dl 13,5 – 18,0
Hemoglobin (HGB)
33,30 % 40 – 54
Hematokrit (HCT)
89,70 µm³ 81,1 – 96,0
MCV
31,20 pg 27,0 – 31,2
MCH
34,20 g/dl 31,8 – 35,4
MCHC
13,20 % 11,5 – 14,5
RDW
190 10³/µl 155 – 366
PLT
6,0 fL 6,90 – 10,6
MPV

2) Laboratorium pada tanggal 09 Agustus 2017 2017

Tabel 4.7 Pemeriksaan Penunjang Pada Pasien Tn. K Post Op Close Fraktur
Femur Sinistra
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HEMATOLOGI
Darah lengkap
Leukosit (WBC) 14,81 3,70 - 10,1
Neutrofil 11,9
Limfosit 1,4
Monosit 0,5
Eosinofil 0,7
Basofil 0,0
Neutrofil % 80,4 % 39,3 - 37,7
9,1 % 14,0 – 48,3
Limfosit %
3,6 % 4,40 – 12,7
Monosit %
4,4 % 0,600 – 7,30
Eosinofil %
0,1 % 0,00 – 1,70
Basofil %
2,790 10³/µl 4,6 – 6,2
Eritrosit (RBC)
8,30 g/dl 13,5 – 18,0
Hemoglobin (HGB)
23,80 % 40 – 54
Hematokrit (HCT)
85,50 µm³ 81,1 – 96,0
MCV
29,90 pg 27,0 – 31,2
MCH 34,90 g/dl 31,8 – 35,4
MCHC 13,20 % 11,5 – 14,5
RDW 397 10³/µl 155 – 366
PLT 6,7 fL 6,90 – 10,6
MPV

5). Penatalaksanaan Dan Terapi

Tabel 4.8 Penatalaksanaan Terapi pada pasien Pst Op Close Fraktur Femur
Pasien 1 (Tn. I) Pasien 2 (Tn. K)
Advis Dokter Tanggal 08 Agustus 2017 Advis Dokter Tanggal 09 Agustus
2017
1 Infus Ringer laktat 1500cc/hari 1. Infus Ringer laktat 1500
2 Injeksi Cefazolin 3x1gr/iv cc/hari
3 Injeksi Ketorolac 3x30 mg/iv 2. Injeksi Cefazolin 3x1gr/iv
4 Ranitidin 3x50mg/iv 3. Injeksi Ketorolac 3x30 mg/iv
4. Ranitidin 3x50mg/iv

5. Analisa Data

Tabel 4.9 Analisa Data Pada Pasien Post Op Close Fraktur Femur Dekstra
No Data Etiologi Masalah

Px DS : Trauma Nyeri akut berhubungan


1 Pasien mengatakan dengan diskuntinuitas
kalau nyeri di daerah fraktur jaringan
luka bekas oprasi dengan
skala nyeri 5. oprasi(pembedahan)
DO :
- Keadaan lemah luka insisi diskuntinitas
- GCS: 456 jaringan
- Kesadaran:
Composmentis mediator kimia ,bradikirin
- Pasien tampak histaminprostaglandin
meringis kesakitan tersensori
- Terpasang infus pada
tang kiri rangsaangan ujung saraf perifer
- Terdapat luka bekas menghantar rangsangan
oprasi pada paha
sebelah kanan Substansi gelatinasi
- Tanda-tanda vital:
TD : 110/70 mmHg Talamus korteks serebri
N : 88x/mnt
S : 36,4ºC Nyeri
RR : 26x/mnt

Px DS : Trauma Nyeri Akut berhubungan


2 Pasien mengatakan dengan diskuntinuitas
kalau nyeri di daerah fraktur jaringan
luka bekas oprasi dengan
skala nyeri 5. oprasi(pembedahan)

DO luka insisi diskuntinitas


- Keadaan lemah jaringan
- GCS: 456
- Kesadaran: mediator kimia ,bradikirin
Composmentis histaminprostaglandin
- Pasien tampak tersensori
meringis kesakitan
- Terpasang infus pada rangsaangan ujung saraf perifer
tang kiri menghantar rangsangan
- Terdapat luka bekas
oprasi pada paha Substansi gelatinasi
sebelah kanan
- Tanda-tanda vital: Talamus korteks serebri
TD : 110/70 mmHg
N : 88x/mnt Nyeri
S : 37ºC
RR : 20x/mnt

6. Diagnosa Keperawatan

Tabel 4.10 Diagnosa Keperawatan Tn.I dan Tn.K setelah operasi di Ruang Melati
RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan
Diagnosa Keperawatan
No Tanggal Tanggal
Pasien 1 (Tn. I) Pasien (Tn. K)
muncul Muncul
1 8/8/2016 Nyeri akut berhubungan dengan 9/8/2016 Nyeri akut berhubungan dengan
diskontinuitas jaringan, yang di dengan diskontinuitas jaringan,
tandai dengan : yang di tandai dengan :

1. Tekanan darah: 110/80 1. Tekanan darah: 110/80 mmHg,


mmHg, nadi: 90x/menit, RR: nadi: 88x/menit, RR:
22x/menit, Suhu: 370C 20x/menit, Suhu: 36,90C
2. Terdapat luka bekas operasi 2. Terdapat luka bekas operasi di
di paha kanan dengan jahitan paha kiri dengan jahit 1.d.1 ±
1.d.1 panjang ± 20 cm 20 cm
3. Terpasang drain paha kanan 3. Terpasang drain paha kiri
4. Wajah menyeringai dan 4. Skala nyeri: 5
gelisah 5. Wajah menyeringai,gelisah
5. Skala nyeri: 6 6. Terpasang Pen dipaha kiri.
6. Terpasang Pen pada paha
kanan
7. Intervensi Keperawatan

No Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Hasil
1. Tujuan: 1. Observasi TTV 1. Mengetahui keadaan umum
Nyeri hilang atau pasien.
berkurang 2. Lakukan pengkajian nyeri secara
Kriteria hasil: komprehensif termasuk lokasi, 2. Untuk mengetahui tingkat nyeri
1. Mampu karakteristik, durasi, frekuensi, pasien.
mengontorl nyeri kualitas,dan faktorpresipitasi
(tahu penyebab, 3. Untuk mengetahui tingkat
mampu 3. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan yang dirasakan
menggunakan ketidaknyamanan pasien.
teknik relaksasi
distraksi nafas 4. Gunakan strategi komunikasi 4. Untuk mengalihkan perhatian
dalam. terapeutik untuk mengetahui pasien dari rasa nyeri.
2. Melaporkan penyebaran nyeri.
bahawa nyeri 5. Pemberian “health education”
sudah berkurang 5. Berikan informasi tentang nyeri dapat mengurangi tingkat
atau hilang termasuk penyebab nyeri, berapa kecemasan dan membantu klien
3. Mampu mengenali lama nyeri akan hilang. dalam membentuk mekanisme
nyeri(skala, koping terhadap rasa nyeri
intensita, 6. Tentukan pengaruh pengalaman
frekuensi, dan nyeri terhadap kualitas hidup 6. Mengetahui apakah nyeri yang
tanda nyeri) (nafsu makan, tidur, aktivitas, dirasakan klien berpengaruh
4. Menyatakan rasa hubungan sosial) terhadap yang lainnya.
nyaman setelah
nyeri berkurang 7. Kontrol lingkungan yang dapat 7. Agar nyeri yang dirasakan klien
atau hilang mempengaruhi nyeri tidak bertambah

8. Tentukan faktor yang dapat 8. Untuk mengurangi faktor yang


memperburuk nyeri dapat memperburuk nyeri

9. Ajarkan teknik nonfarkologi untuk 9. Agar klien mampu menggunakan


mengurangi nyeri. teknik nonfarmakologi dalam
memanagemen nyeri yang
10. kolaborasi dengan tim medis dalam dirasakan.
pemberian analgesik
10. Pemberian analgesik dapat
mengurangi rasa nyeri pasien
8. Implementasi Keperawatan

KASUS 1

Kasus 1 “Tn I”

No Hari/ Diagnosa Pukul Implementasi


Tanggal keperawatan
1. Rabu/09 Nyeri Akut 13.00 1. Mengobservasi tanda-tanda vital
Agustus 2017 berhubungan dengan TD : 110/80 mmHg
diskuntinuitas jaringan N : 88x/mnt
yang ditandai dengan S : 37,ºC
pemasangan traksi RR : 20x/mnt
13.30 2. Mengobservasi keadaan umum
pasien
Respon: Keadaan umum lemah
15.00 3. Mengkaji skala nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas.
Respon:nyeri luk bekas oprasi skala
nyeri: 6, nyeri terus-menerus,
nyeri sperti disayat-sayat, dan
bertambah nyeri saat dibuat
bergerak.
15.45 4. Menggunakan strategi
komunikasi terapeutik untuk
mengetahui penyebaran nyeri
Respon : pasien menunjukkan
nyerinya dengan tenang
16.00 5. Memberikan informasi tentang
nyeri termasuk penyebab nyeri
dan berapa lama nyeri akan
hilang.
Respon : pasien mampu memahami
penyebab nyeri
18.40 6. Mengontrol lingkungan yang
dapat memperparah nyeri seperi
kebisingan.
Respon : pasien tampak tenang
19.00 7. Memilih dan melakukan
penanganan nyeri (farmakologi
dan non farmakologi).
Respon : pasien setuju dengan
tindakan tersebut
19.30 8. Menentukan faktor yang dapat
memperburuk nyeri
Respon : pasien mengungkapkan apa
yang dapat memperburuk nyerinya
19.40 9. Mengajarkan teknik non
farmakologi
- Melatih pasien Tarik napas nafas
dalam .
Respon : pasien dapat melakukan
teknik nafas dalam.
23.00 10. Berkolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian analgetik untuk
mengurangi nyeri
-inj -ketorolak 30 mg/iv
-Ranitidin 50 mg/iv
-Cefazolin 1gr/iv

2. Kamis/10 Nyeri akut 08.00 1. Mengobservasi tanda-tanda vital


Agustus 2017 berhubungan dengan TD : 100/70 mmHg
diskuntinuitas jaringan N : 84x/mnt
S : 36,5ºC
RR : 20x/mnt
08.30 2. Mengobservasi keadaan umum
pasien
Respon: Keadaan umum lemah
08.45 3. Mengkaji skala nyeri secara
komprehensif termasuk
lokasi,karakteristik,durasi,
frekuensi, kualitas.
Respon:nyeri luka bekas oprasi skala
nyeri: 4, nyeri hilang timbul,
nyeri sperti disayat-sayat, dan
bertambah nyeri saat dibuat
bergerak.
Respon : pasien tampak menyeringai
kesakitan
09.00 4. Menggunakan strategi komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
penyebaran nyeri
Respon : pasien menunjukkan
nyerinya dengan tenang
09.40 5. Memberikan informasi tentang
nyeri termasuk penyebab nyeri
dan berapa lama nyeri akan
hilang.
Respon : pasien mampu memahami
penyebab nyeri

10.30 6. Mengontrol lingkungan yang


dapat memperparah nyeri seperi
kebisingan.
Respon : pasien tampak tenang
12.00 7. Memilih dan melakukan
penanganan nyeri (farmakologi
dan non farmakologi).
Respon : pasien mau diklakukan
tindakan tersebut
12.10 8. Menentukan faktor yang dapat
memperburuk nyeri
Respon : pasien mengungkapkan apa
yang dapat memperburuk nyerinya
12.30 9. Mengajarkan teknik non
farmakologi
- Melatih pasien Tarik napas nafas
dalam
Respon : pasien dapat melakukan
tindakan nafas dalam
16.00 10. Berkolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian analgetik untuk
mengurangi nyeri
-inj -ketorolak 30 mg/iv
-Ranitidin 50 mg/iv
-Cefazolin 1gr/iv

3. Jumat/11 Nyeri akut 20..00 1. Mengobservasi tanda-tanda vital


Agustus 2017 berhubungan dengan TD : 120/70 mmHg
diskuntinuitas jaringan N : 86x/mnt
S : 36,2ºC
RR : 20x/mnt
20.10 2. Mengobservasi keadaan umum
pasien
Respon: Keadaan umum lemah
20.15 3. Mengkaji skala nyeri secara
komprehensif termasuk
lokasi,karakteristik,durasi,
frekuensi, kualitas.
Respon:nyeri luk bekas oprasi
skala nyeri: 3, nyeri hilang
timbul, nyeri sperti disayat-
sayat, dan bertambah nyeri saat
dibuat bergerak.
Respon : pasien tampak rileks
20.30 4. Menggunakan strategi komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
penyebaran nyeri
Respon : pasien menunjukkan
nyerinya dengan tenang
20.45 5. Memberikan informasi tentang
nyeri termasuk penyebab nyeri
dan berapa lama nyeri akan
hilang.
Respon : pasien mampu memahami
penyebab nyeri
21.00 6. Mengontrol lingkungan yang
dapat memperparah nyeri seperi
kebisingan.
Respon : pasien tampak tenang
21.10 7. Memilih dan melakukan
penanganan nyeri (farmakologi
dan non farmakologi)
Respon : pasien mau melakukan
tindakan tersebut
21.15 8. Menentukan faktor yang dapat
memperburuk nyeri
Respon : pasien mengungkapkan apa
yang dapat memperburuk nyerinya
21.25 9. Mengajarkan teknik non
farmakologi
- Melatih pasien Tarik napas nafas
dalam
Respon : pasien dapat melakukan
teknik nafas dalam
23.00 10. Berkolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian analgetik untuk
mengurangi nyeri
-inj –ketorolak 30 mg/iv
KASUS 2

Kasus 2 “Tn K”

No Hari/ Diagnosa Pukul Implementasi


Tanggal keperawatan
1. Selasa/08 Nyeri akut 13.00 1. Mengobservasi tanda-tanda vital
Agustus berhubungan TD : 110/80 mmHg
2017 dengan N : 88x/mnt
diskuntinuitas S : 37,ºC
jaringan RR : 20x/mnt
14.00 2. Mengobservasi keadaan umum
pasien
Respon: Keadaan umum lemah
14.30 3. Mengkaji skala nyeri secara
komprehensif termasuk
lokasi,karakteristik,durasi, frekuensi,
kualitas.
Respon:nyeri luk bekas oprasi skala
nyeri:5 nyeri terus-menerus, nyeri
sperti disayat-sayat, dan bertambah
nyeri saat dibuat bergerak.
15.00 4. Menggunakan strategi komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
penyebaran nyeri
Respon : pasien menunjukkan nyerinya
dengan tenang
15.20 5. Memberikan informasi tentang nyeri
termasuk penyebab nyeri dan berapa
lama nyeri akan hilang.
Respon : pasien mampu memahami
penyebab nyeri
15.45 6. Mengontrol lingkungan yang dapat
memperparah nyeri seperti
kebisingan.
Respon : pasien tampak tenang
16.00 7. Memilih dan melakukan penanganan
nyeri (farmakologi dan non
farmakologi)
Respon : pasien mau melakukan
tindakan tersebut
17.00 8. Menentukan faktor yang dapat
memperburuk nyeri
Respon : pasien mengungkapkan apa
yang dapat memperburuk nyerinya
18.30 9. Mengajarkan teknik non
farmakologi
-Melatih pasien Tarik nafas dalam
Respon : pasien dapat melakukan teknik
nafas dalam
23.00 10. Berkolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian analgetik untuk
mengurangi nyeri
-inj -Ketorolak 30 mg/iv
-Ranitidin 50 mg/iv
-Nefazolam 1gr/iv
20.30 1. Mengobservasi tanda-tanda vital
2. Rabu/09 Nyeri akut TD : 110/80 mmHg
Agustus berhubungan N : 84x/mnt
2017 dengan S : 37,ºC
diskuntinuitas RR : 20x/mnt
jaringan 20.35 2. Mengobservasi keadaan umum
pasien
Respon : Keadaan umum lemah
20.40 3. Mengkaji skala nyeri secara
komprehensif termasuk
lokasi,karakteristik,durasi, frekuensi,
kualitas.
Respon : nyeri luk bekas oprasi skala
nyeri:4 nyeri hilang timbul, nyeri
sperti disayat-sayat, dan bertambah
nyeri saat dibuat bergerak.
20.50 4. Menggunakan strategi komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
penyebaran nyeri
Respon : pasien menunjukkan nyerinya
dengan tenang
21.00 5. Memberikan informasi tentang nyeri
termasuk penyebab nyeri dan berapa
lama nyeri akan hilang.
Respon : pasien mampu memahami
penyebab nyeri
21.15 6. Mengontrol lingkungan yang dapat
memperparah nyeri seperti
kebisingan.
Respon : pasien tampak tenang
21.30 7. Memilih dan melakukan penanganan
nyeri (farmakologi dan non
farmakologi)
Respon : pasien mau melakukan
tindakan tersebut
21.45 8. Menentukan faktor yang dapat
memperburuk nyeri
Respon : pasien mengungkapkan apa
yang dapat memperburuk nyerinya
21.50 9. Mengajarkan teknik non
farmakologi
-Melatih pasien Tarik nafas dalam
Respon : pasien dapat melakukan teknik
nafas dalam
23.00 10. Berkolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian analgetik untuk
mengurangi nyeri
-inj -Ketorolak 30 mg/iv
-Ranitidin 50 mg/iv
-Nefazolam 1gr/iv

3. Kamis/10 Nyeri akut 06.00 1. Mengobservasi tanda-tanda vital


Agustus berhubungan TD : 120/80 mmHg
2017 dengan N : 88x/mnt
diskuntinuitas S : 37,ºC
jaringan RR : 20x/mnt
06.30 2. Mengobservasi keadaan umum
pasien
Respon: Keadaan umum lemah
08.00 3. Mengkaji skala nyeri secara
komprehensif termasuk
lokasi,karakteristik,durasi, frekuensi,
kualitas.
Respon:nyeri luka bekas oprasi skala
nyeri: 3, nyeri hilang timbul, nyeri
sperti disayat-sayat, dan bertambah
nyeri saat dibuat bergerak.
09.00 4. Menggunakan strategi komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
penyebaran nyeri
Respon : pasien menunjukkan nyerinya
dengan tenang
09.30 5. Memberikan informasi tentang nyeri
termasuk penyebab nyeri dan berapa
lama nyeri akan hilang.
Respon : pasien mampu memahami
penyebab nyeri
09.45 6. Mengontrol lingkungan yang dapat
memperparah nyeri seperti
kebisingan.
Respon : pasien tampak tenang
10.00 7. Memilih dan melakukan penanganan
nyeri (farmakologi dan non
farmakologi)
Respon : pasien mau melakukan
tindakan tersebut
10.15 8. Menentukan faktor yang dapat
memperburuk nyeri
Respon : pasien mengungkapkan apa
yang dapat memperburuk nyerinya
10.30 9. Mengajarkan teknik non
farmakologi
-Melatih pasien Tarik nafas dalam
Respon : pasien dapat melakukan teknik
nafas dalam
16.00 10. Berkolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian analgetik untuk
mengurangi nyeri
-inj -Ketorolak 30 mg/iv
-Ranitidin 50 mg/iv
-Nefazolam 1gr/iv
EVALUASI

KASUS 1 “Tn. I”

No Hari/ Diagnosa Pukul Evaluasi


Tanggal keperawatan
1. Rabu/09 Nyeri akut S : Pasien pengatakan nyeri sudah
Agustus 2017 berhubungan dengan berkurang pada luka bekas oprasi
diskuntinuitas jaringan dengan skala nyeri: 5.
yang ditandai dengan O :Keadaan Umum:Lemah
pemasangan traksi - GCS : 456
- Pasien tampak meringai
kesakitan,terdapat luka
bekas oprasi di daerah paha
- Terpasang Drain dan
perban di luka bekas oprasi
- Terpasang infus di tangan
kanan
- Ada luka pada daerah dahi
luka jahitan
A: - pasien mampu mengontrol
nyeri dengan melakukan
teknik nafas dalam
- Pasien mengatakan bahwa
nyeri mulai berkurang
- Pasien dapat mengenali
nyeri
- Pasien belum merasa
nyaman dengan nyeri yang
dirasakan
P:Lanjutkan intervensi nomer
(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)

2. Kamis/10 Nyeri akut S : Pasien pengatakan nyeri sudah


Agustus 2017 berhubungan dengan berkurang pada luka bekas oprasi
diskuntinuitas jaringan dengan skala nyeri: 4.
O :Keadaan Umum:Lemah
- GCS : 456
- Pasien tampak meringai
kesakitan,terdapat luka
bekas oprasi di daerah paha
- Terpasang Drain dan
perban di luka bekas oprasi
- Terpasang infus di tangan
kanan
- Ada luka pada daerah dahi
luka jahitan
A: pasien mampu mengontrol nyeri
dengan melakukan teknik
nafas dalam
- Pasien mengatakan bahwa
nyeri mulai berkurang
- Pasien dapat mengenali
nyeri
- Pasien merasa nyaman
setelah nyeri berkurang
P : Lanjutkan intervensi nomer
(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)

3. Jumat/11 Nyeri akut S : Pasien pengatakan nyeri sudah


Agustus 2017 berhubungan dengan berkurang pada luka bekas oprasi
spasme otot dengan skala nyeri: 3.
berhubungan dengan O :Keadaan Umum:Lemah
diskuntinuitas jaringan - GCS : 456
- Pasien tampak rileks,
terdapat luka bekas oprasi
di daerah paha
- Terpasang Drain dan
perban di luka bekas oprasi
- Terpasang infus di tangan
kanan
- Ada luka pada daerah dahi
luka jahitan
A: pasien mampu mengontrol nyeri
dengan melakukan teknik
nafas dalam
- Pasien mengatakan bahwa
nyeri mulai berkurang
- Pasien dapat mengenali
nyeri
- Pasien merasa nyaman
setelah nyeri berkurang
- Rencana lepas drain hari ini
P : Lanjutkan intervensi nomer
(4,6,9,10)

KASUS 2 “Tn. K”

No Hari/ Diagnosa Pukul Evaluasi


Tanggal keperawatan
1. Selasa/08 Nyeri akut S : Pasien pengatakan nyeri sudah
Agustus 2017 berhubungan dengan berkurang pada luka bekas oprasi
diskuntinuitas jaringan dengan skala nyeri: 4.
O :Keadaan Umum:Lemah
- GCS : 456
- Pasien tampak meringai
kesakitan,terdapat luka
bekas oprasi di daerah paha
- Terpasang Drin dan perban
di luka bekas oprasi
- Terpasang infus di tangan
kanan
- Ada luka pada daerah dahi
luka jahitan
A: pasien mampu mengontrol nyeri
dengan melakukan teknik
nafas dalam
- Pasien mengatakan bahwa
nyeri mulai berkurang
- Pasien dapat mengenali
nyeri
- Pasien belum merasa
nyaman dengan nyeri yang
dirasakan

P : Lanjutkan intervensi nomer


(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)

2. Rabu/09 Nyeri akut S : Pasien pengatakan belum


Agustus 2017 berhubungan dengan berkurang pada luka bekas oprasi
diskuntinuitas jaringan dengan skala nyeri: 4.
O :Keadaan Umum:Lemah
- GCS : 456
- Pasien tampak meringai
kesakitan,terdapat luka
bekas oprasi di daerah paha
- Terpasang Drain dan perban
di luka bekas oprasi
- Terpasang infus di tangan
kanan
A: - pasien mampu mengontrol
nyeri dengan melakukan
teknik nafas dalam
- Pasien mengatakan bahwa
nyeri mulai berkurang
- Pasien dapat mengenali
nyeri
- Pasien merasa nyaman
setelah nyeri yang
dirasakan mulai berkurang.

P : Lanjutkan intervensi nomer


(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)

3. Kamis/10 Nyeri akut S : Pasien pengatakan nyeri sudah


Agustus 2017 berhubungan dengan berkurang pada luka bekas oprasi
diskuntinuitas jaringan dengan skala nyeri: 2.
O :Keadaan Umum:Lemah
- GCS : 456
- Pasien tampak meringai
kesakitan,terdapat luka
bekas oprasi di daerah paha
- Terpasang Drin dan perban
di luka bekas oprasi
- Terpasang infus di tangan
kanan
A: - pasien mampu mengontrol
nyeri dengan melakukan
teknik nafas dalam
- Pasien mengatakan bahwa
nyeri mulai berkurang
- Pasien dapat mengenali
nyeri
- Pasien merasa nyaman
setelah nyeri yang
dirasakan berkurang

P : Lanjutkan intervensi nomer


(4,6,9,10)
4.2 Pembahasan

4.2.1. Pengkajian Keperawatan

Hasil pengkajian yang didapatkan menurut batasan karakteristik nyeri:

1. Data Mayor

1) Tampak meringis (mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan mata

berpencar atau tetap pada satu fokus, meringis)

Hasil pengkajian Tn. I dan Tn. K menunjukkan bahwa kedua pasien

wajahnya meringai (meringis), mata kurang bercahaya (sayu), Hal ini didukung

dengan teori batasan karakteristik dari Tim Pokja DPP PPNI (2017) & Heardman

& Kamitsuru (2017), yaitu tampak meringis (mata kurang bercahaya, tampak

kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus, meringis).

Berdasasrkan hasil pengkajian didapatkan keadaan umum kedua pasien kedua

pasien wajah meringis. Hal ini, sesuai dengan pendapat yang telah dikemukakan

oleh Tim Pokja DPP PPNI (2017) & Heardman & Kamitsuru (2017) dala batasan

karakteristik data mayor dari data obyektif nyeri.

2) Mengungkapkan keluhan nyeri

Hasil pengkajian Tn. I Dn Tn. K mengungkapkan adanya nyeri yang

dirasakan. Untuk Tn. I mengeluh nyeri dengan skala 5, dan Tn.K Mengeluh nyeri

dengan skala 4. Hal ini didukung dengan teori batasan karakteristik dari Tim

Pokja DPP PPNI (2017) & Heardman & Kamitsuru (2017), yaitu mengungkapkan

keluhan nyei, Berdasarkan hasil fakta dan teori bahwa kedua pasien menunjujkan

pengungkapan keluhan nyeri yang sama. Sedangkan perbedaan skala nyeri yang

dirasakan oleh Tn. I adalah 5 dan Tn. K adalah 4. Hal ini, dipengaruhi oleh faktor

nyeri yatu pengalaman sebelumnya. Pengalaman sebelumnya dapat mengubah


sensasi pasien terhadap nyeri ( Nursalam 2015). Seseorang yang pernah berhasil

mengatasi nyeri pada masa lalunya, dan saat ini ia mengalami nyeri yang sama,

maka ia akan lebih mudah mengatasi nyeri (Triyana, 2013). Hal tersebut

dibuktikan dengan adanya Tn”K” sudah mengalami nyeri patah tulang karena

kecelakaan motor, sehingga Tn “K” dapat mengontrol nyeri yang dirasakan saat

ini, sedangkan Tn “I” belum pernah merasakan nyerisama sekali sehingga belum

mampu mengontrol nyeri. Dan pada kasus ini dibenarkan dengan teori diatas

menurut (Nursalam, 2015) bahwa pengalaman sebelumnya dapat mengubah

sensasi pasien terhadap nyeri yang dirasakannya saat ini.

3) Bersikap protektif (mis, waspada, posisi menghindari nyeri)

Hasilm pengkajian Tn. I dan Tn. K menunjukkan sikap yang protektif

yang ditandai dengan kedua pasien tampak berhati-hati saat merubah posisi, saat

yang berada didekatnya nampak lebih mewaspadai daerah yang sakit dan terasa

nyeri, hal ini didukung dengan teori batasan karakteristikdari Tim Pokja DPP

PPNI (2017) & Heardman & Kmitsuru (2017), yaitu bersikap protektif (mis,

waspada, posisi menghindari nyeri). Berdasarkan hasil mpengkajian didapatkan

kedua pasienbersikap protektif terhadap dirinya, Kondisi dari kedua pasien

tersebut sesuai dengan teori yang telah dikemukakan oleh Tim Pokja DPP PPNI

(2017) & Heardman & Kmitsuru (2017) dalam batasan karakteristik data mayor

nyeri

4) Gelisah (gelisah, merengek, menangis, waspada)

Hasil pengkajian Tn. I dan Tn. K menunjukkan bahwa kedua pasien

gelisah. Hal ini didukung dengan teori dengan teori batasan karakteristik dari Tim

Pokja DPP PPNI (2017) & Heardman & Kmitsuru (2017), yaitu gelisah (gelisah,
merengek, menangis, waspada). Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan keadaan

umum kedua pasien gelisah. Kondisi dari kedua pasien tersebut sesuai dengan

pendapat yang telah dikemukakan oleh Tim Pokja DPP PPNI (2017) &

Heardman & Kmitsuru (2017) dalam batasan karakteristik data mayor dari data

objektif nyeri.

5) Frekuensi nadi meningkat(tekanan darah, frekuensi pernapasan)

Hasil pengkajian Tn. I dan Tn K menunjukkan bahwa kedua pasien

mengalami peningkatan tanda-tanda vital(tekanan darah, nadi, penpasan. Hal ini

didukung dengan teori batasan karakteristik dari Tim Pokja DPP PPNI (2017) &

Heardman & Kmitsuru (2017), yaitu frekuensi nadi meningkat (tekanan darah,

frekuensi pernapasan). Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan keadaan umum

adalaah Tn. I lemah tekanan darah 110/80 mmhg, nadi 88x/menit, respirasi rate

23x/menit. Dan Tn. K adalah tekanan darah 120/70, nadi 88x/menit respirasi rate

20x/menit. Kondisi tanda-tanda vital dari kedua pasien tersebut sudah sesuai

dengan pendapat yang telah dikemukakan oleh Tim Pokja DPP PPNI (2017) &

Heardman & Kmitsuru (2017) dalam batasan karakteristik data mayor.

6) Sulit Tidur

Hasil pengkajian Tn. I dan Tn. K Menunjukkan bahwa kedua pasien

terlihat mata kurang bercahaya yang disebabkan karena kedua pasien mengalami

kesulitan untuk tidur akibat nyeri yang dirasakan. Hal ini didukung dengan teori

batasan karakteristik dari Tim Pokja DPP PPNI (2017) & Heardman & Kmitsuru

(2017), yaitu sulit tidur. Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan keadaan umum

kedua pasien mengalami kesulitan untuk tidur. Kondisi yang dialami oleh kedua
pasien tersebut sesuai dengan pendapat yang telah dikemukakan oleh Tim Pokja

DPP PPNI (2017) & Heardman & Kmitsuru (2017) dalam batasan karakteristik.

2. Data Minor

1) Daphoresis (diaforesis)

Hasil pengkajian Tn. I mengalami pengeluaran keringat secara berlebihan

sedangkan Tn. K tidak mengalami pengeluaran keringat yang berlebihan. Hal ini

didukung dengan teori batasan karakteristik dari Tim Pokja DPP PPNI (2017) &

Heardman & Kmitsuru (2017), yaitu diaphoresis, berdasarkan hasil dari fakta dan

teori bahwa kedua pasien kondisi yang berbeda. Hal ini disebabkan karena adanya

pengalaman nyeri sebelumnya, Tn. I belum pernah mengalami nyeri seperti yang

dialami saat ini, berbeda dengan Tn. K yang sudah pernah mengalami nyeri

sebelumnya yakni mengalami patah tulang.

4.2.2 Diagnosa Keperawatan

Pada tinjauan kasus Tn”I” dan Tn”K” diagnosa keperawatan yang muncul

adalah nyeri akut berhubungan dengan diskontinutas jaringan ditandai dengan

pasien di pasang traksi. Perioritas diagnosa keperawatan pada tinjauan kasus ini

adalah nyeri akut, karena berdasarkan data yang didapat dari 2 pasien adalah

pasien mengeluh nyeri pada luka bekas operasi di paha kanan dan kiri, dan

ekspresi wajah pasien adalah menyeringai tampak gelisah. Berdasarkan tinjauan

pustaka yang ada di bab 2, bahwa data mayor dari diagnosa keperawatan nyeri

akut adalah pasien mengungkapkan keluhan nyeri, tampak menyeringai, gelisah,

sulit tidur. Sedangkan data minornya adalah tekanan darah meningkat, pola nafas

berubah, ansietas dan menarik diri.


Sedangkan menurut (Wilkinson, 2011) dalam menegakkan masalah

keperawatan data yang dibutuhkan adalah berdasarkan batasan karakteristik, yaitu

data subjektif mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri dengan isyarat

karena nyeri adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan

akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau digambarkan

dengan istilah (International Association For The study Of Pain). Nyeri adalah

pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang muncul akibat

kerusakan jaringan actual atau potensial atau yang digambarkan sebagai

kerusakan (International Association for the Study of Pain); awitan yang tiba-tiba

atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat di

antisipasi atau prediksi (Heardman & Kamitsuru, 2017). Menurut Boedihartono,

1994 dalam Jitowiyono & Kristyanasari, 2012 diagnosa keperawatan adalah suatu

penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data

yang telah dikumpulkan.

Pada kedua pasien menunjukkan adanya data mayor yaitu pasien

mengeluh nyeri di paha kanan dan kiri luka bekas oprasi, wajah menyeringai,

gelisah, sulit tidur dan hal ini juga diperkuat dengan adanya beberapa data minor

bahwa pola nafas berubah, nadi meningkat, pasien tampak gelisah, sehingga bisa

ditegakkan diagnoasa nyeri akut. Selain dengan menggunakan data mayor dan

data minor, dalam menegakkan diagnosa bisa dilakukan dengan melihat data

subjektif dan data objektif. Berdasarkan data yang didapat dari kedua pasien yaitu

adanya keluhan nyeri sedangkan data objektif yang didapatkan dari kedua pasien

yaitu wajah pasien tampak menyeringai, sehingga jika sudah ditemukan data
mayor ataupun data subjektif maka dapat ditentukan dalam penegakkan diagnosa

keperawatan yang sesuai dengan teori.

4.2.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi yang diberikan peneliti yaitu mengobservasi TTV pasien dan

mengkaji skala nyeri dan karakteristik nyeri pasien serta mengajarkan teknik

relaksasi nafas dalam kepada pasien sehingga nyeri pasien lebih berkurang,

kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik, dengan rasional untuk

mengurangi nyeri.

Intervensi dituliskan sesuai dengan rencana dan kriteria hasil berdasarkan

Brunner & Suddarth (2013). Intervensi keperawatan disesuaikan dengan kondisi

pasien dan fasilitas yang ada, sehingga rencana tindakan dapat diselesaikan

dengan Spesifik (jelas atau khusus), Measurable (dapat diukur), Achievable (dapat

diterima), Rasional dan Time (ada kriteria waktu). Selanjutnya akan diuraikan

rencana keperawatan dari diagnosa yang ditegakkan Brunner & Suddarth (2013)

& Nurarif (2015). Intervensi yang dilakukan oleh peneliti telah disesuaikan

dengan kriteria hasil dan intervensi seperti mengobservasi skala nyeri yang

dialami pasien, mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam. Dengan rasional untuk

mengidentifikasi skala nyeri dan ketidak nyamanan; monitor tanda vital (Tekanan

darah, nadi, pernafasan, dan suhu), dengan rasional memberikan gambaran

lengkap mengenai sistem kardiovaskuler; berikan posisi yang nyaman, dengan

rasional untuk meningkatkan kenyamanan dan mengurangi rasa nyeri.

Intervensi keperawatan yang dilakukan peneliti adalah mengajarkan

teknik relaksasi nafas dalam selain pada pasien peneliti juga mengajarkan pada

keluarga agar keluarga dapat mengajarkan tindakan tersebut pada pasien ketika
sewaktu-waktu nyeri datang. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau dilakukan

peneliti dengan pengkajian nyeri pada masa lampau karena nyeri pada masa

lampau akan mempengaruhi respon pasien untuk menangani nyeri saat ini.

Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,

pencahayaan dan kebisingan. Teknik relaksasi nafas dam dilakukan peneliti

karena dengan pemberian nafas dam intensitas nyeri yang dirasakan pasien

sudah mulai berkurang. Hasil intervensi yang dilakukan sudah sesuai dengan

intervensi yang dilakukan oleh hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian

Yuanita Syaiful, Sigit Hendro Rachman, (2014) dengan judul Pengaruh teknik

relaksasi nafas dan distraksi baca terhadap penurunan skala nyeri pada pasien

post operasi femur tertutup DI RSUD Ibnu Sina Kabupaten Gresik, dimana dalam

hal ini menunjukkan terjadinya penurunan skala nyeri serta interpretasi yang

berubah dari nyeri sedang berubah menjadi nyeri ringan.

4.2.4 Implementasi Keperawatan

Tn “I” di hari pertama kooperatif dan bersedia melakukan teknik nafas

dalam dan sudah dapat melakukan dengan benar sehingga Tn “I” dapat

memanajemen nyerinya. sedangkan pada Tn“K” pada hari pertama kooperatif dan

bersedia melakukan teknik nafas dalam dan sudah dapat melakukan dengan benar

sehingga Tn “K” juga dapat memanajemen nyerinya . Pada Tn ”I” peneliti

melakukan teknik nafas dalam dan mengajarkaan cara nafas dalam dalam yaitu

waktu 1 kali dalam sehari dan untuk hari kedua dan ketiga pasien sudah mampu

melakukan cara nafas dalam yang benar dengan sendirinya tetapi peneliti masih

terus mendampingi, sedangkan pada Tn “K” peneliti melakukan teknik nafas


dalam dan mengajarkaan cara nafas dalam 1 kali dalam sehari dan untuk hari

kedua dan ketiga pasien sudah mampu melakukan cara nafas dalam dengan benar

dengan sendirinya tetapi peneliti masih terus mendampingi. Dalam

pelaksanaannya semua tindakan telah dilakukan oleh penulis. Faktor

pendukung adalah pasien dan keluarga kooperatif saat penulis melakukan

intervensi, mudah dilakukan sehingga bisa lebih mempercepat proses

penyembuhan pasien dan intervensi di atas dirasa tepat guna untuk pasien. Faktor

penghambat adalah penulis tidak sepenuhnya bisa mengawasi dan melakukan

intervensi di atas selama 24 jam penuh.

Implementasi yang dilakukan adalah melakukan tindakan nafas dalam

setiap hari, hal ini bertujuan untuk membantu mengurangi nyeri. Berdasarkan

hasil data yang diperoleh sesuai dengan hasil penelitian. Menurut teori tindakan

keperawatan merupakan tindakan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan

rencana tindakan yang telah di susun. Setiap tindakan yang dilakukan dicatat

dalam pencatatan keperawatan agar tindakan keperawatan terhadap klien berlanjut

(Suprajito, 2004). Tujuan dari teknik nafas dalam dapat mengurangi nyeri yang

terganggu diakibatkan oleh tindakan pembedahan.

Pada tahap ini merupakan lanjutan dari tahap perencanaan, pelaksanaan

yang diaplikasikan sesuai dengan rencana tindakan keperawatan yang telah

ditetapkan. Adapun pelaksanaan yang penulis lakukan pada Tn. I yaitu : masalah

keperawatan nyeri akut, tindakan yang dilakukan yaitu memeriksa tanda – tanda

vital, mengkaji skala nyeri pada pasien, mengkaji kemampuan pasien dalam
melakukan teknik nafas dalam untuk penatalaksanaan nyeri, mengkaji kekuatan

otot, melakukan kolaborasi tim medis lain dalam pemberian obat.

4.2.5 Evaluasi Keperawatan

Hasil evaluasi yang sudah dilakukan peneliti sudah disesuaikan dengan

intervensi yang sudah direncanakan dimana peneliti melakukan evaluasi terhadap

keluhan pasien, pengamatan keadaan pasien. Pada Tn. I menunjukkan skala nyeri

3, dari nyeri dengan skala 5 menjadi 3 selama dilakukan implementasi 3 hari.

Wajah tampak rileks dan pasien sering tampak senyum, paha sudah mulai bisa

digerakkan. Hal ini sudah sesuai dengan kriteria hasil yang disusun peneliti bahwa

pasien dapat melaporkan nyeri (2-3), wajah tampak rileks, pasien tampak tenang.

Dan asuhan keperawatan pada Tn. I teratasi dalam waktu 3 hari dan pasien

diperbolehkan pulang pada hari keempat pelaksanaan asuhan keperawatan tanggal

11 Agustus 2017. Sedangkan pada Tn. K menunjukkan penurunan skala nyeri 2,

wajah tampak rileks dan senyum, tampak tenang dan paha sudah mulai

digerakkan. Hal ini sudah sesuai dengan kriteria hasil yang disusun oleh peneliti

bahwa pasien dapat melaporkan nyeri (2-3), wajah tampak rileks, pasien tampak

tenang. Dan asuhan keperawatan pada Tn. K teratasi dalam waktu 3 hari dan

pasien diperbolehkan pulang pada hari keempat pelaksanaan asuhan keperawatan

tanggal 12 Agustus 2017 sehingga perawat memberikan health education untuk

kedua pasien banyak minum, terutama minum susu, makan bebas, kontrol hari

sabtu 14 Agustus 2017 ke poli bedah tulang. Minum obat sesuai jadwal, cefixime

2 x 200 mg/p.o, asam mefenamat 3 x 500 mg/p.o, menjaga paha dari aktivitas

yang berat, hindari trauma ulang. Menurut Doengoes (2001) evaluasi yang

dilakukan yaitu menilai perilaku atau respon klien mencerminkan suatu kejadian
atau kemunduran dalam diagnosa keperawatan. Pada evaluasi, penulis sudah

menyesuaikan dengan SOAP (Subyektif (S), Obyektif (O), Assesment (A),

Planning (P)). Evaluasi dari penatalaksanaan nyeri salah satunya adalah

terpenuhinya penurunan dan peningkatan adaptasi nyeri. Dari hasil penelitian

menunjukkan persamaan skala nyeri pada hari ketiga setelah diberikan tekhnik

relaksasi nafas dalam antara pasien 1 dan pasien 2 tidak ada perbedaan skala

nyeri. Sehingga dapat dinyatakan bahwa antara teori dan evaluasi yang dilakukan

tidak menunjukkan adanya kesenjangan.


BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

5.1.1 Pengkajian

Pengkajian yang dilakukan penulis pada Tn. I dan Tn. K dengan masalah

keperawatan nyeri akut pada tanggal 07 Agustus 2017 sampai 11 Agustus 2017

sudah sesuai dengan fakta dan tori yang ada

5.1.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. I dan Tn. K

berdasarkan analisa data yang diperoleh dari pengkajian. Perumusan diagnosa

keperawatan nyeri akut pada Tn. I dan Tn. K menggunakan diagnosa keperawatan

berdasarkan Intervensi Nyeri akut Menurut Brunner & Suddarth (2013) dengan

PES (Problem, Etiologi dan Symtom). Diagnosa keperawatan nyeri akut

berhubungan dengan diskuintenitas jaringan pada paha yang muncul pada Tn. I

dan Tn. K merupakan diagnosa keperawatan yang tepat.

5.1.3 Intervensi

Intervensi keperawatan yang direncanakan sesuai diagnosa keperawatan

yang telah ditentukan yaitu nyeri akut berhubungan dengan diskuntuinitas

jaringan pada paha. Intervensi keperawatan nyeri akut tersebut berfokus pada

strategi penatalaksanaan manajemen nyeri pada pasien yang tersusun dalam

pedoman intervensi Intervensi Nyeri Menurut Brunner & Suddarth (2013)


5.1.4 Implementasi

Tindakan keperawatan dilakukan setelah pasien operasi close fraktur femur

dari post operasi hari ke-1 sampai hari ke-4. Tindakan meliputi rencana yang telah

disusun seperti pengkajian nyeri secara komprehensif, mengevaluasi budaya

terhadap respon nyeri, pengalaman nyeri masa lampau, pemberian analgesik,

mengajarkan teknik manajemen nyeri non farmakologi relaksasi nafas dalam dan

distraksi baca, serta mengevaluasi kontrol nyeri pada pasien.

5.1.5 Evaluasi

Pada tahap akhir penulis mengevaluasi keadaan pasien setelah dilakukan

tindakan keperawatan yang dilakukan selama 3 hari. Hasil evaluasi pada Tn. I

pada hari pertama pasien mengatakan nyeri pada paha dan tidak bisa digerakkan

dan semua aktivitas pasien dibantu oleh keluarga. Pada hari kedua didapatkan

hasil paha pasien sudah mulai bisa digerakkan sedikit demi sedikit, namun

aktivitas pasien masih dibantu oleh keluarga. Dan pada hari ketiga pasien sudah

banyak menggerakkan kakinya terutama paha. Sedangkan pada Tn. K pada hari

pertama masih merasa kesakitan pada pahanya dengan skala nyeri 4 dan tidak bisa

digerakkan, aktivitas dibantu oleh keluarga. Pada hari kedua Tn. K mengatakan

bahwa belum mengalami penurunan skala nyeri, paha masih terasa sakit dan susah

untuk digerakkan, aktivitas pasien dibantu oleh keluarga. Pada hari ketiga

didapatkan hasil paha sudah mulai digerakkan, namun aktivitas pasien masih

dibantu oleh keluarganya.


5.2 Saran

5.2.1 Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan pemberian pelayanan

kesehatan berkaitan dengan pasien fraktur dengan nyeri akut misalnya pemberian

penanganan farmakologis dan non farmakologis sesuai dengan indikasi kasus.

5.2.2 Bagi Institusi Pendidikan

Institusi pendidikan dapat melengkapi literatur kepustakaan tentang pasien

fraktur dengan masalah keperawatan nyeri akut, sehingga peneliti dapat

melakukan penelitian dengan baik pada saat praktik.

5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti selanjutnya dapat dijadikan panduan atau literatur dalam

melaksanakan asuhan keperawatan nyeri akut pada fraktur, sehingga peneliti

dapat melakukan penelitian dengan baik.

5.2.4 Bagi Responden

Pasien dapat melakukan kontrol atau pemeriksaan dengan lebih teratur

ketika menjalani masa perawatan fraktur sehingga tidak terjadi komplikasi saat

perawatan berlangsung dan dapat melakukan penatalaksanaan teknik nafas dalam

untuk mengurangi nyeri.

Anda mungkin juga menyukai