PENDAHULUAN
tulang paha tanpa disertai kerusakan jaringan kulit yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung atau kondisi tertentu. Fraktur femur tersebut mengenai tulang
dikatakan bahwa nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang
nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia merasa
nyeri.
(WHO) mencatat tahun 2009 terdapat lebih dari 7 juta orang yang mengalami
kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki pravalensi cukup
tinggi yakni insiden fraktur ekstermitas bawah sekitar 46,2% dari insiden
Astutik dkk (2011) kejadian fraktur di Indonesia periode tahun 2006 sampai
dengan 2008 terdapat 864 kasus fraktur akibat kecelakaan lalu lintas yang
datang berobat dari jumlah tersebut yang mengalami patah tulang pada
anggota gerak bawah dari sendi panggul sampai ke jari kaki yaitu 549 kasus
(63,5%) kemudian anggota gerak atas dari sendi bahu sampai ke jari tangan
sejumlah 250 kasus (28,9%) di ikuti daerah tulang panggul sejumlah 39 kasus
(4,5%) dan tulang belakang 26 kasus (3,1%). Dari sekian banyak fraktur yang
keperawatan yang terjadi pada pasien fraktur meliputi gangguan rasa nyaman
(Bararah dan Jauhar, 2013). Berdasarkan data yang diperoleh dari Rumah
Sakit Umum Daerah Bangil Kabupaten Pasuruan satu tahun terakhir yaitu
pada tahun 2016 terdapat 1351 kasus dengan jumlah pasien 23103 orang
(58,4%) dan pada tahun 2017 sebanyak 887 kasus dengan jumlah pasien 5756
orang (15,4%).
yang dijalarkan ke sistem saraf pusat yang salah satunya disebabkan oleh
tindakan reduksi terbuka pada fraktur femur. Pelaksanaan keperawatan dalam
mengatasi rasa nyeri pada pasien post operasi reduksi terbuka femur adalah
2015). Sehingga bilamana nyeri akut pada pasien ORIF tidak diatasi secara
mencegah pasien masuk ke dalam nyeri kronik pasca operasi salah satunya
nyeri serta mengendalikan rasa nyeri yang dirasakan yang berfokus pada
Pada studi kasus ini asuhan keperawatan post op close fraktur femur
dekstra dan post op close fraktur femur sinistra dengan nyeri akut di ruang Melati
dan post op close fraktur femur sinistra dengan nyeri akut di Ruang Melati RSUD
Mengenali asuhan keperawatan post op close fraktur femur pada Tn. I dan
Tn. K dengan nyeri akut di Ruang Melati RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan.
1. Menggalii pengkajian pada masalah nyeri Tn. I dan Tn. K post op close
Pasuruan.
fraktur femur Tn. I dan Tn. K di ruang Melati RSUD Bangil Kabupaten
Pasuruan.
4. Melaksanakan tindakan asuhan keperawatan nyeri akut pada Tn. I dan Tn.
5. Mengevaluasi hasil yang telah dicapai pada Tn. I dan Tn. K post op close
Hasil penelitian dapat dijadikan refrensi untuk kasus fraktur femur yang
keperawatan fraktur femur dalam lingkup yang lebih luas. Sehingga dapat
1. Bagi perawat
Hasil tugas akhir ini dapat menjadi tambahan ilmu bagi perawat khususnya
perawat medikal bedah dalam penanganan kasus nyeri akut post op close fraktur
femur.
kesehatan berkaitan dengan pasien nyeri akut post op close fraktur femur.
3. Bagi Institusi
Hasil tugas akhir ini dapat menjadi tambahan ilmu bagi institusi
TINJAUAN PUSTAKA
dengan jenisnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan
jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap. Fraktur lengkap apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur
dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat,
2005).
terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian).
Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,
fragmen tulang.
karena kontraksi otot yang melekat diatas dab bawah tempat fraktur.
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Brunner &
Suddarth, 2002).
2.1.3 Patofisiologi
adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik,
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun
volume darah menurun. COP menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan.
Hematoma akan mengedukasi plasma dan poliferasi menjadi edema lokal maka
penumpukan didalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut
Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi revral vaskuler yang
fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi
kulit.
metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka
atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa
nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi
terganggu disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
Trauma
Trauma Langsung
Langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis:
patologis
- Osteoporosis
- Kelemahan pada
Fraktur tulang
Pelepasan histamin
Metabolisme asam
Gangguan fungsi
lemak
ekstremitas
Protein plasma hilang
Hambatan mobilitas Bergabung dengan
fisik trombosit
Edema
Emboli
Laserasi kulit
Penekanan pembuluh
Menyumbat pembuluh
darah
darah
1. Komplikasi awal
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok yang bisa berakibat fatal
dalam beberapa jam seyelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi
disemenata (KID)
2. Komplikasi lambat
bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis dan
tulang. Pasien mengeluh tidak nyaman dan gerakan yang menetap pada
Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan
Triyana, 2013 bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan dan bersifat sangat subjektif. Sebab perasaan nyeri berbeda pada
setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya. Hanya pada orang tersebutlah,
yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Menurut
(International Association for the Study of Pain, IASP) nyeri adalah pengalaman
jaringan baik aktual maupun potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-
kejadian dimana terjadi kerusakan (IASP, 1979 dalam Potter & Perry, 2006).
Beberapa para ahli juga berpendapat. Diantaranya adalah Mc.Coffery, 1979 dalam
Triyana 2013 yang mendefinisikan bahwa nyeri adalah suatu keadaan yang
pernah mengalaminya. Menurut Artur C. Curton 1983 dalam Potter & Perry 2006
bahwa nyeri merupakan suatu mekanisme bagi tubuh, timbul ketika jaringan
mata berpencar atau tetap pada satu focus, meringis), menurut SDKI
dioksidaa [CO2]), menurut SDKI DPP PPNI (2017) & Headman &
Kamitsuru (2017)
6) Sulit tidur, menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017). Hal ini
Headman&Kamitsuru (2017)
dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar
belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor
kompleks nyeri dan bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya dan tes
adekuat terhadap nyeri. Potter & Perry, 2006 mengatakan bahwa nyeri tidak dapat
yaitu; (1) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu
menghilang, (2) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan
dalam waktu yang lama, (3) paroximal pain, yaitu nyeri yang dirasakan
berintensitas tinggi dan kuat sekali yang biasanya menetap 10-15 menit lalu
menghilang kemudian timbul lagi. Menurut Triyana, 2013 yaitu sifat-sifat nyeri
nyeri bersifat subjektif dan individual, nyeri tak dapat dinilai secara objektif
seperti sinar X atau laboratorium darah, perawat hanya dapat mengkaji nyeri
pasien dengan melihat perubahan fisiologis tingkah laku dan dari pernyataan
klien, hanya klien yang mengetahui saat nyeri timbul dan rasanya, nyeri
diri, apabila seseorang merasakan nyeri maka perilakunya akan berubah. Nyeri
menjadi pertimbangan utama keperawatan saat saat mengkaji nyeri (Clancy dan
Mc Vicar, 1992 dalam Potter & Perry 2006). Perawat setiap hari memberi asuhan
keperawatan kepada klien yang mengalami nyeri. Salah satu ketakutan yang
paling dini dirasakan setiap klien yang didiagnosis suatu penyakit ialah
penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri
memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan
pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus
nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks
nyeri (McNair, 1990 dalam Potter & Perry, 2006). Nyeri karena pembedahan
respon inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat
kimia oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara
komponen fisiologis dalam pengalaman nyeri; yaitu resepsi, persepsi, dan reaksi.
1. Resepsi.
menghasilkan nyeri. Pemaparan terhadap panas atau dingin, tekanan, friksi, dan
2007 organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri adalah reseptor
nyeri atau disebut juga nosiseptor. Menurut Brunner & Suddart, 2013 nosiseptor
adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya pada stimulus yang
kuat, yang secara potensial merusak. Secara anatomis, nosiseptor ada yang
bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf aferen yang tersebar pada
kulit dan mukosa, khususnya pada organ viseral, persendian, dinding arteri, hati
nosiseptor dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan berbeda diantara individu.
Tidak semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami
intensitas nyeri yang sama. Sebagai contoh nyeri pasca operasi sering terasa lebih
parah pada malam hari, faktor tersebut dapat meningkatkan atau menurunkan
sensitivitas komponen yang berbeda dari sistem nosiseptor (Brunner & Suddart,
2013). Apabila kombinasi dengan reseptor nyeri mencapai ambang nyeri (tingkat
intensitas stimulus minimum yang dibutuhkan untuk membangkitkan suatu impuls
saraf), kemudian terjadilah aktivasi neuron nyeri. Impuls saraf, yang dihasilkan
oleh stimulus nyeri, menyebar disepanjang serabut saraf perifer aferen. Dua tipe
serabut saraf perifer mengonduksi stimulus nyeri; serabut A-delta yang bermielin
dan cepat, dan serabut C yang tidak bermielin dan berukuran sangat kecil serta
lambat. Serabut A mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan jelas yang
melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri (Jones dan cory, 1990
dalam Potter & Perry, 2006). Serabut C menyampaikan impuls yang terlokalisasi
buruk, visceral, dan terus menerus (Puntillo,1988 dalam Potter & Perry, 2006).
Ketika serabut C dan serabut A-delta mentransmisikan impuls dari serabut saraf
membuat peka akan respon nyeri. Kemudian transmisi stimulus nyeri berlanjut
system saraf perifer dan medulla spinalis yang utuh. Faktor-faktor umum yang
2. Persepsi
nyeri ditransmisikan naik ke medulla spinalis ke thalamus dan otak tengah. Dari
korteks sensori dan korteks asosiasi (dikedua lobus parietalis), lobus frontalis, dan
sistem limbik. Ada sel-sel didalam sistem limbik yang diyakini mengontrol emosi,
khususnya untuk ansietas. Dengan demikian sistem limbik berperan aktif dalam
memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi saraf berakhir didalam
pusat otak yang lebih tinggi, maka individu akan mempersepsikan sensasi nyeri.
3. Reaksi
Menurut Brunner & Suddart, 2013 klasifikasi nyeri dibagi menjadi dua;
1. Nyeri akut
cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah
terjadi, nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya kurang
dari satu bulan. Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh
2. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung diluar waktu penyembuhan yang
diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera fisik.
Nyeri kronis biasanya didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung enam bulan
atau lebih, meskipun enam bulan merupakan suaru periode yang dapat berubah
melakukan pendekatan yang holistik dalam pengkajian dan perawatan klien yang
mengalami nyeri. Rasa nyeri yang dialami seseorang dapat dipengaruhi oleh
1. Usia
Menurut Potter & Perry, 2006 usia merupakan variabel penting yang
dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Menurut Triyana, 2013 usia anak-anak yang
mengalami nyeri tentu belum bisa mengungkapkan nyeri yang ia alami. Sehingga,
perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Namun berbeda pada lansia, pada
penatalaksanaan secara agresif. Pengkajian nyeri pada lansia mungkin sulit karena
perubahan fisiologis dan psikologis yang menyertai proses penuaan. Bila lansia
menunjukan keberhasilan peredaan nyeri dengan dosis opioid yang lebih kecil
(Brunner & Suddart, 2013). Menurut Nursalam, 2015 makin dewasa seseorang
2. Jenis Kelamin
Menurut Gill, 1990 dalam Triyana, 2013 bahwa jenis kelamin laki-laki dan
wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, dan justru lebih
dipengaruhi faktor budaya. Misalnya, tidak pantas laki-laki mengeluh nyeri, dan
wanita boleh mengeluh nyeri. Toleransi nyeri sejak lama telah menjadi subjek
penelitian yang melibatkan pria dan wanita, akan tetapi toleransi terhadap nyeri
dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap
3. Kultur
dan berasumsi terhadap nyeri yang dirasakan (Nursalam, 2015). Keyakinan dan
mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka,
hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Brunner & Suddart, 2013).
Misalnya suatu daerah yang menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat
yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, maka mereka tidak
4. Makna Nyeri
nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara
sedang bersalin akan memeprsepsikan nyeri berbeda dengan seorang wanita yang
mengalami nyeri akibat cedera karena pukulan pasangannya. Derajat dan kualitas
2015 interpretasi pengalaman nyeri dimulai saat pertama pasien sadar adanya
nyeri.
5. Perhatian
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill, 1990 dalam Triyana, 2013 perhatian
6. Ansietas
meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu proses
ansietas. Suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian system limbic
7. Keletihan
keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri bahkan dapat terasa lebih
berat lagi. nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu mengalami suatu
periode tidur yang lelap disbanding pada akhir hari yang melelahkan.
8. Pengalaman sebelumnya
(Nursalam, 2015). Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri pada masa
lalunya, dan saat ini ia mengalami nyeri yang sama, maka ia akan lebih mudah
seseorang merasa kesepian. Hal yang sering terjadi adalah klien merasa
perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai
Menurut Smeltzer, S.C & Bare B.G (2002) skala intensitas nyeri adalah
sebagai berikut :
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
sebuah garis terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi ya ng tersusun dengan
jarak yang sama disepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa
nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Alat VDS ini memungkinkan klien
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nyeri hebat
Skala penilaian numerik (numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai
penganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan
menggunkan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas
1992).
adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan
mendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Skala Keterangan
0 Tidak nyeri
1-3 Nyeri Ringan, secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan baik
4-6 Nyeri sedang, secara objektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendiskripsikannya, dan dapat
mengikuti perintah dengan baik.
7-9 Nyeri berat, secara obyektif penderita terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendiskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi napas panjang dan distraksi.
10 Nyeri sangat berat, klien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak menghabiskan banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat
membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala
deskriptif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri,
menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih baik memburuk atau
a. Pengkajian
2. Keluhan utama, pada umumnya keluhan utama pada fraktur adalah rasa
nyeri.
terjadinya fraktur.
yang diderita dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat yang
mempengaruhi dalam kehidupan sehari – hari baik dalam keluarga atau
masyarakat.
a) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat, pada fraktur biasanya klien
atau tidak.
nutrisi yang lebih dari kebutuhan sehafri – hari, seperti kalsium, zat
d) Pola tidur dan istirahat, klien biasanya merasa nyeri dan geraknya
e) Pola aktivitas, adanya nyeri dan gerak yang terbatas, aktivitas klien
f) Pola hubungan dan peran, klien akan kehilangan peran dalam keluarga
g) Pola persepsi dan konsep diri, dampak dari klien fraktur akan timbul
citra tubuh.
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak juga nyeri.
j) Pola penanggulangan stress, pada klien fraktur timbul rasa cemas akan
k) Pola tata nilai dan kepercayaan, klien tidak bisa melaksanakan ibadah
b. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
(mobilitas) atau tidak, pergerakan dilihat dari gerakan aktif dan pasif.
c. Pemeriksaan diagnostik
tulang.
d. Diagnosa keperawatan
paru,kongesti).
tulang).
yang ada.
e. Intervensi
individu.
Intervensi :
vaskuler
posisi).
g) Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verbal, perubahan
tanda-tanda vital).
kriteria akral hangat, tidak pucat dan sianosis, bisa bergerak secara aktif.
Intervensi :
a) Dorong klien secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari atau sendi
distal cedera.
b) Hindari restriksi sirkulasi akibat tekanan berat atau spalk yang terlalu
ketat.
perfusi.
e) Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit, dan kehangatan
paru,kongesti).
kriteria klien tidak sesak nafas, tidak sianosis analisa gas darah dalam
batas normal.
Intervensi :
b) Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang nyaman sesuai keadaan klien.
kongesti paru.
indikasi.
Rasional : mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboli.
lemak.
d) Analisa pemeriksaan gas darah, hb, kalsium LED, lemak, dan trombosit.
sianosis sentral.
melakukan aktivitas.
Intervensi :
indikasi.
kondisi
Intervensi :
b) Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat atau
gips.
kontaminasi fekal.
f) Evaluasi
METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan adalah multiple case study atau studi
kasus kolektif dengan jenis penelitian deskriptif yang menggunakan dua unit
subjek atau dua orang. Penelitian studi kasus ini adalah studi untuk mempelajari
Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, serta kasus yang dipelajari berupa
peristiwa, aktivitas atau individu (Setiadi, 2013). Penelitian studi kasus ini adalah
untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan nyeri akut pada pasien Tn.I
dengan post op close fraktur femur dekstra dan Tn.K dengan post op close fraktur
sinistra di ruang Melati RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan selama Lima hari.
3.2 Lokasi
Penelitian studi kasus ini dilakukan di ruang Melati Rumah Sakit Umum
Waktu pelaksanaanya adalah pada Tn. I dan Tn. K post operasi close
fraktur femur dekstra pada hari ke-1 sampai post operasi close fraktur femur
sinistra hari ke-3 dari praktik studi kasus yaitu pada hari senin tanggal 7 Agustus
Subjek studi penelitian ini menggunakan dua pasien dengan diagnosa Post
operasi close fraktur dengan nyeri akut pasca bedah di ruang Melati RSUD Bangil
Kabupaten Pasuruan.
Pada studi kasus ini pengumpulan data yang di ambil oleh penulis adalah
secondary survey pada pasien Tn.I dengan post op close fraktur femur dextra dan
Tn. K dengan post op close fraktur femur sinistra di ruang Melati RSUD Bangil
bawah ini:
identitas pasien, keluhan utama yang dirasakan pasien, riwayat penyakit sekarang,
tentang kesehatan pasien dan lain-lain mengenai permasalahan pasien, yang dapat
mayor body system dengan pendekatan IPPA yaitu pemeriksaan dengan inspeksi,
pain scale.
mempelajari dokumentasi klien yang terdapat dalam status dan hasil pemeriksaan
diagnostik yang berisikan catatan keperawatan klien juga hasil dokumentasi foto
yang relevan.
Analisis data dilakukan pada studi kasus ini sejak penulis di lapangan, saat
pengumpulan data sampai semua data terkumpul. Pada studi kasus ini
dijadikan satu dalam bentuk transkrip. Data yang terkumpul kemudian dibuat
koding yang di sesuaikan dengan topik yang di tetapkan penulis. Untuk penyajian
data yang telah di peroleh di sajikan dalam bentuk tabel, gambar, bagan maupun
teks narasi serta kerahasiaan dari responden dijamin dengan jalan mengaburkan
perlukan maka akan di bahas dalam bab 4 mulai dari hasil data pengkajian,
kasus Post op close fraktur femur pada Tn. I dan Tn. K yang ada diruang
1. Informed Consent
kriteria atau sesuai dengan kasus yang diinginkan penulis, disertai dengan judul
laporan studi kasus dan tujuan serta manfaat. Jika subjek bersedia maka
penulis, tetapi apabila subjek menolak untuk dijadikan sebagai responden maka
penulis tidak memaksa dan tetap menghormati hak dari setiap subyek.
2. Anonimity
dikumpulkan dalam lingkup laporan studi kasus dari pemberitahuan kepada orang
3. Confidentially
menggunakan inisial saja, serta hanya pada data tertentu saja yang akan penulis
A. Pengkajian
1) Pengumpulan Data
1) Biodata Pasien
Tabel 4.1 Pengumpulan Data Pada Pasien Post Close Fraktur Femur Dekstra dan
Close Fraktur Femur Sinistra
No Identitas Pasien Kasus 1 Kasus 2
1. No. Rekam Medik 338151 337381
2. Tanggal masuk 08 Agustus 2017 07 Agustus 2017
3. Jam masuk 10.00 WIB 08.00 WIB
4. Ruang/Kelas Melati/III Melati/III
5. Tanggal Pengkajian 07 Agustus 2017 08 Agustus 2017
6. Jam pengkajian 07.30 WIB 09.00 WIB
7. Nama Tn “I” Tn “K”
8. Umur 19 thn 22 thn
9. Suku/Bangsa Jawa/ Indonesia Madura/ Indonesia
10. Agama Islam Islam
11. Pendidikan SMA SMK
12. Pekerjaan Swasta/ Konveksi Buruh Tani
13. Alamat Gesing 04/02 Rowo Gempol Kedung Sari Pasuruan
14. Status perkawinan Belum Kawin Belum Kawin
15. Dx Medis Post op Cf Femur Dekstra 1/3 Post op Cf Femor Sinistra
Tengah 1/3 Sinistra
3) Keluhan Utama
- Pasien 1: pasien mengeluh sakit pada daerah bekas oprasi di area paha
- Pasien 2: pasien mengeluh sakit pada daerah bekas oprasi di area paha
4) Riwayat Kesehatan
Tabel 4.3 riwayat kesehatan Pada Pasien Post Op Close Fraktur Femur Dekstra
dan Post Op Close Fraktur Femur Sinistra
No Riwayat Kesehatan Kasus 1 Kasus 2
5) Genogram
Gambar 4.1 Genogram Pada Pasien Tn. I Post Op Close Fraktur Femur Dekstra
Gambar 5.1 Genogram Pada Pasien Tn.K Post Op Close Fraktur Femur Sinistra
Keterangan:
Tabel 4.4 Pola Fungsi Kesehatan Pada Pasien Post Op Close Fraktur Femur
Dekstra dan Post Op Close Fraktur Femur Sinistra
No Pola Kasus 1 Kasus 2
Aktivitas
Sebelum MRS Saat MRS Sebelum MRS Saat MRS
Tabel 4.5 Pemeriksaan Fisik Pada Pasien Post Op Fraktur Femur Dekstra dan
Post Op Close Fraktur Femur Sinistra
No Pemeriksaan Fisik Kasus 1 Kasus 2
1. Keadaan umum Lemah Lemah
Tekanan darah 110/80 mmHg 100/80 mmHg
Nadi 88x/mnt 90x/mnt
Suhu 37,4ºC 37ºC
RR 20x/mnt 20x/mnt
GCS 456 456
Kesadaran Composmentis Composmentis
2. Breathing (B1) Inspeksi: Inspeksi:
- Bentuk hidung semetris. - Bentuk hidung semetris.
- Tidak ada penggunaan otot - Tidak ada penggunaan otot
bantu pernapasan bantu pernapasan
- RR : 20x/mnt - Tidak ada pernapasan
- Tidak ada pernafasan cuping cuping hidung
hidung. - RR: 20x/mnt
- Pergerakan Dada semetris - Pergerkan dada semetris.
- Lesi(-), luka bekas opras(-) - Lesi(-), luka bekas oprasi
Palpasi: Palpasi:
- Kesimetrisan ekspansi dan - Kesimetrisan ekspansi dan
traktil fremitus normal. traktil fremitus normal.
- Tidak ada nyeri tekan - Tidak ada nyeri tekan
Perkusi Perkusi
- Suara paru sonor. - Suara paru sonor
- Jantung redup - Jantung redup
Auskultasi: Auskultasi:
- Suara nafas vesikuler - Suara nafas vesikuler
- Tidak ada suara nafas - Tidak ada suara nafas
tambahan ronchi (-), tambahan wheezing (-),
whezing (-) ronchi(-)
3. Blood (B2) Inspeksi Inspeksi
- Tidak sianosis - Tidak sianosis
- Tidak Anemis tidak ikterus - Tidak anemis tidak ikterus
Palpasi Palpasi
- CRT : < 3dtk - CRT : < 3dtk
- N : 88x/mnt - N : 90x/mnt
- Tidak ada pembesaran - Tidak ada pembesaran
jantung jantung
Perkusi Perkusi
- Terdengar bunyi redup. - Terdengar bunyi redup
Auskultasi Auskultasi
- TD : 110/80 - TD : 100/60
- Bunyi jantung pada S1 dan - Bunyi jantung pada S1 dan
S2 tunggal. S2 tunggal.
- Tidak terdapat bunyi - Tidak terdapat bunyi
jantung tambahan seperti jantung tambahan seperti
mur-mur dan gallop. mur-mur dan gallop.
4. Brain (B3) Inspeksi: Inspeksi:
- Kesadaran :Composmentis - Pasien nampak cemas dan
- Pasien nampak menyeringai gelisah.
kesakitan. - Kesadaran: Composmentis
- GCS : 456 - GCS : 456
- Tidak ada gangguan pada - Tidak ada gangguan pada
saraf saraf
Palpasi Palpasi
- Ada nyeri tekan pada - Ada nyeri tekan pada
daerah bekas oprasi daerah bekas oprasi paha kiri
diarea paha kanan dan dan tangan kiri luka
pada dahi luka jahitan.
5. Bowel (B4) Inspeksi: Inspeksi
- Turgor kulit: lembab - Turgor kulit lembab.
- Tidak ada acites - Tidak ada acites
- Tidak lesi,tidak terdapat - Tidak ada lesi,tidak luka
luka bekas oprasi bekas oprasi
Auskultasi: Auskultasi
- Bising usus terdengar - Bising usus terdengar
14x/mnt 12x/mnt
Perkusi Perkusi
- Terdengar bunyi timpani. - Terdengar bunyi timpani
Palpasi: Palpasi:
- Tidak ada pembesaran - Tidak ada pembesaran
pada abdomen. pada abdomen, acites (-)
- Tidak ada nyeri tekan - Tidak ada nyeri tekaan
6. Bladder (B5) Inspeksi Inspeksi
- Tidak terdapat pembesaran - Tidak terdapat pembesaran
pada vesika urinaria. pada vesika urinaria.
- BAK: ± 1500 ml - BAK: ±1200
- Warna urin kuning jernih - Warna urin kuning jernih
Palpasi Palpasi
- Tidak ada nyri tekan - Tidak ada nyeri tekan pada
pada area simpisis simpisis
7. Bone (B6) Inspeksi (Ekstremitas atas) Inspeksi (Ekstremitas atas)
- Tidak terdapat oedema - Tidak terdapat oedema
pada ektremitas atas. pada ektremitas atas.
- Terpasang infus RL - Terpasang infus RL
ditangan kanan ditangan kanan
- Pergerkan bebas
Palpasi Palpasi
- Akral hangat - Akral hangat
- Tidak ada nyeri tekan
Tabel 4.6 Pemeriksaan Penunjang Pada Pasien Tn. I Post Op Close Fraktur Femur
Dekstra
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HEMATOLOGI
Darah lengkap
Leukosit (WBC) 8,68 3,70 - 10,1
Neutrofil 6,6
Limfosit 1,3
Monosit 0,4
Eosinofil 0,2
Basofil 0,2
Neutrofil % 76,6 % 39,3 - 37,7
14,8 % 14,0 – 48,3
Limfosit %
5,0 % 4,40 – 12,7
Monosit %
2,3 % 0,600 – 7,30
Eosinofil %
0,2 % 0,00 – 1,70
Basofil %
3,710 10³/µl 4,6 – 6,2
Eritrosit (RBC)
11,60 g/dl 13,5 – 18,0
Hemoglobin (HGB)
33,30 % 40 – 54
Hematokrit (HCT)
89,70 µm³ 81,1 – 96,0
MCV
31,20 pg 27,0 – 31,2
MCH
34,20 g/dl 31,8 – 35,4
MCHC
13,20 % 11,5 – 14,5
RDW
190 10³/µl 155 – 366
PLT
6,0 fL 6,90 – 10,6
MPV
Tabel 4.7 Pemeriksaan Penunjang Pada Pasien Tn. K Post Op Close Fraktur
Femur Sinistra
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HEMATOLOGI
Darah lengkap
Leukosit (WBC) 14,81 3,70 - 10,1
Neutrofil 11,9
Limfosit 1,4
Monosit 0,5
Eosinofil 0,7
Basofil 0,0
Neutrofil % 80,4 % 39,3 - 37,7
9,1 % 14,0 – 48,3
Limfosit %
3,6 % 4,40 – 12,7
Monosit %
4,4 % 0,600 – 7,30
Eosinofil %
0,1 % 0,00 – 1,70
Basofil %
2,790 10³/µl 4,6 – 6,2
Eritrosit (RBC)
8,30 g/dl 13,5 – 18,0
Hemoglobin (HGB)
23,80 % 40 – 54
Hematokrit (HCT)
85,50 µm³ 81,1 – 96,0
MCV
29,90 pg 27,0 – 31,2
MCH 34,90 g/dl 31,8 – 35,4
MCHC 13,20 % 11,5 – 14,5
RDW 397 10³/µl 155 – 366
PLT 6,7 fL 6,90 – 10,6
MPV
Tabel 4.8 Penatalaksanaan Terapi pada pasien Pst Op Close Fraktur Femur
Pasien 1 (Tn. I) Pasien 2 (Tn. K)
Advis Dokter Tanggal 08 Agustus 2017 Advis Dokter Tanggal 09 Agustus
2017
1 Infus Ringer laktat 1500cc/hari 1. Infus Ringer laktat 1500
2 Injeksi Cefazolin 3x1gr/iv cc/hari
3 Injeksi Ketorolac 3x30 mg/iv 2. Injeksi Cefazolin 3x1gr/iv
4 Ranitidin 3x50mg/iv 3. Injeksi Ketorolac 3x30 mg/iv
4. Ranitidin 3x50mg/iv
5. Analisa Data
Tabel 4.9 Analisa Data Pada Pasien Post Op Close Fraktur Femur Dekstra
No Data Etiologi Masalah
6. Diagnosa Keperawatan
Tabel 4.10 Diagnosa Keperawatan Tn.I dan Tn.K setelah operasi di Ruang Melati
RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan
Diagnosa Keperawatan
No Tanggal Tanggal
Pasien 1 (Tn. I) Pasien (Tn. K)
muncul Muncul
1 8/8/2016 Nyeri akut berhubungan dengan 9/8/2016 Nyeri akut berhubungan dengan
diskontinuitas jaringan, yang di dengan diskontinuitas jaringan,
tandai dengan : yang di tandai dengan :
KASUS 1
Kasus 1 “Tn I”
Kasus 2 “Tn K”
KASUS 1 “Tn. I”
KASUS 2 “Tn. K”
1. Data Mayor
wajahnya meringai (meringis), mata kurang bercahaya (sayu), Hal ini didukung
dengan teori batasan karakteristik dari Tim Pokja DPP PPNI (2017) & Heardman
& Kamitsuru (2017), yaitu tampak meringis (mata kurang bercahaya, tampak
kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus, meringis).
pasien wajah meringis. Hal ini, sesuai dengan pendapat yang telah dikemukakan
oleh Tim Pokja DPP PPNI (2017) & Heardman & Kamitsuru (2017) dala batasan
dirasakan. Untuk Tn. I mengeluh nyeri dengan skala 5, dan Tn.K Mengeluh nyeri
dengan skala 4. Hal ini didukung dengan teori batasan karakteristik dari Tim
Pokja DPP PPNI (2017) & Heardman & Kamitsuru (2017), yaitu mengungkapkan
keluhan nyei, Berdasarkan hasil fakta dan teori bahwa kedua pasien menunjujkan
pengungkapan keluhan nyeri yang sama. Sedangkan perbedaan skala nyeri yang
dirasakan oleh Tn. I adalah 5 dan Tn. K adalah 4. Hal ini, dipengaruhi oleh faktor
mengatasi nyeri pada masa lalunya, dan saat ini ia mengalami nyeri yang sama,
maka ia akan lebih mudah mengatasi nyeri (Triyana, 2013). Hal tersebut
dibuktikan dengan adanya Tn”K” sudah mengalami nyeri patah tulang karena
kecelakaan motor, sehingga Tn “K” dapat mengontrol nyeri yang dirasakan saat
ini, sedangkan Tn “I” belum pernah merasakan nyerisama sekali sehingga belum
mampu mengontrol nyeri. Dan pada kasus ini dibenarkan dengan teori diatas
yang ditandai dengan kedua pasien tampak berhati-hati saat merubah posisi, saat
yang berada didekatnya nampak lebih mewaspadai daerah yang sakit dan terasa
nyeri, hal ini didukung dengan teori batasan karakteristikdari Tim Pokja DPP
PPNI (2017) & Heardman & Kmitsuru (2017), yaitu bersikap protektif (mis,
tersebut sesuai dengan teori yang telah dikemukakan oleh Tim Pokja DPP PPNI
(2017) & Heardman & Kmitsuru (2017) dalam batasan karakteristik data mayor
nyeri
gelisah. Hal ini didukung dengan teori dengan teori batasan karakteristik dari Tim
Pokja DPP PPNI (2017) & Heardman & Kmitsuru (2017), yaitu gelisah (gelisah,
merengek, menangis, waspada). Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan keadaan
umum kedua pasien gelisah. Kondisi dari kedua pasien tersebut sesuai dengan
pendapat yang telah dikemukakan oleh Tim Pokja DPP PPNI (2017) &
Heardman & Kmitsuru (2017) dalam batasan karakteristik data mayor dari data
objektif nyeri.
didukung dengan teori batasan karakteristik dari Tim Pokja DPP PPNI (2017) &
Heardman & Kmitsuru (2017), yaitu frekuensi nadi meningkat (tekanan darah,
adalaah Tn. I lemah tekanan darah 110/80 mmhg, nadi 88x/menit, respirasi rate
23x/menit. Dan Tn. K adalah tekanan darah 120/70, nadi 88x/menit respirasi rate
20x/menit. Kondisi tanda-tanda vital dari kedua pasien tersebut sudah sesuai
dengan pendapat yang telah dikemukakan oleh Tim Pokja DPP PPNI (2017) &
6) Sulit Tidur
terlihat mata kurang bercahaya yang disebabkan karena kedua pasien mengalami
kesulitan untuk tidur akibat nyeri yang dirasakan. Hal ini didukung dengan teori
batasan karakteristik dari Tim Pokja DPP PPNI (2017) & Heardman & Kmitsuru
(2017), yaitu sulit tidur. Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan keadaan umum
kedua pasien mengalami kesulitan untuk tidur. Kondisi yang dialami oleh kedua
pasien tersebut sesuai dengan pendapat yang telah dikemukakan oleh Tim Pokja
DPP PPNI (2017) & Heardman & Kmitsuru (2017) dalam batasan karakteristik.
2. Data Minor
1) Daphoresis (diaforesis)
sedangkan Tn. K tidak mengalami pengeluaran keringat yang berlebihan. Hal ini
didukung dengan teori batasan karakteristik dari Tim Pokja DPP PPNI (2017) &
Heardman & Kmitsuru (2017), yaitu diaphoresis, berdasarkan hasil dari fakta dan
teori bahwa kedua pasien kondisi yang berbeda. Hal ini disebabkan karena adanya
pengalaman nyeri sebelumnya, Tn. I belum pernah mengalami nyeri seperti yang
dialami saat ini, berbeda dengan Tn. K yang sudah pernah mengalami nyeri
Pada tinjauan kasus Tn”I” dan Tn”K” diagnosa keperawatan yang muncul
pasien di pasang traksi. Perioritas diagnosa keperawatan pada tinjauan kasus ini
adalah nyeri akut, karena berdasarkan data yang didapat dari 2 pasien adalah
pasien mengeluh nyeri pada luka bekas operasi di paha kanan dan kiri, dan
pustaka yang ada di bab 2, bahwa data mayor dari diagnosa keperawatan nyeri
sulit tidur. Sedangkan data minornya adalah tekanan darah meningkat, pola nafas
data subjektif mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri dengan isyarat
karena nyeri adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau digambarkan
dengan istilah (International Association For The study Of Pain). Nyeri adalah
kerusakan (International Association for the Study of Pain); awitan yang tiba-tiba
atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat di
1994 dalam Jitowiyono & Kristyanasari, 2012 diagnosa keperawatan adalah suatu
penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data
mengeluh nyeri di paha kanan dan kiri luka bekas oprasi, wajah menyeringai,
gelisah, sulit tidur dan hal ini juga diperkuat dengan adanya beberapa data minor
bahwa pola nafas berubah, nadi meningkat, pasien tampak gelisah, sehingga bisa
ditegakkan diagnoasa nyeri akut. Selain dengan menggunakan data mayor dan
data minor, dalam menegakkan diagnosa bisa dilakukan dengan melihat data
subjektif dan data objektif. Berdasarkan data yang didapat dari kedua pasien yaitu
adanya keluhan nyeri sedangkan data objektif yang didapatkan dari kedua pasien
yaitu wajah pasien tampak menyeringai, sehingga jika sudah ditemukan data
mayor ataupun data subjektif maka dapat ditentukan dalam penegakkan diagnosa
mengkaji skala nyeri dan karakteristik nyeri pasien serta mengajarkan teknik
relaksasi nafas dalam kepada pasien sehingga nyeri pasien lebih berkurang,
mengurangi nyeri.
pasien dan fasilitas yang ada, sehingga rencana tindakan dapat diselesaikan
dengan Spesifik (jelas atau khusus), Measurable (dapat diukur), Achievable (dapat
diterima), Rasional dan Time (ada kriteria waktu). Selanjutnya akan diuraikan
rencana keperawatan dari diagnosa yang ditegakkan Brunner & Suddarth (2013)
& Nurarif (2015). Intervensi yang dilakukan oleh peneliti telah disesuaikan
dengan kriteria hasil dan intervensi seperti mengobservasi skala nyeri yang
dialami pasien, mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam. Dengan rasional untuk
mengidentifikasi skala nyeri dan ketidak nyamanan; monitor tanda vital (Tekanan
teknik relaksasi nafas dalam selain pada pasien peneliti juga mengajarkan pada
keluarga agar keluarga dapat mengajarkan tindakan tersebut pada pasien ketika
sewaktu-waktu nyeri datang. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau dilakukan
peneliti dengan pengkajian nyeri pada masa lampau karena nyeri pada masa
lampau akan mempengaruhi respon pasien untuk menangani nyeri saat ini.
karena dengan pemberian nafas dam intensitas nyeri yang dirasakan pasien
sudah mulai berkurang. Hasil intervensi yang dilakukan sudah sesuai dengan
intervensi yang dilakukan oleh hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Yuanita Syaiful, Sigit Hendro Rachman, (2014) dengan judul Pengaruh teknik
relaksasi nafas dan distraksi baca terhadap penurunan skala nyeri pada pasien
post operasi femur tertutup DI RSUD Ibnu Sina Kabupaten Gresik, dimana dalam
hal ini menunjukkan terjadinya penurunan skala nyeri serta interpretasi yang
dalam dan sudah dapat melakukan dengan benar sehingga Tn “I” dapat
memanajemen nyerinya. sedangkan pada Tn“K” pada hari pertama kooperatif dan
bersedia melakukan teknik nafas dalam dan sudah dapat melakukan dengan benar
melakukan teknik nafas dalam dan mengajarkaan cara nafas dalam dalam yaitu
waktu 1 kali dalam sehari dan untuk hari kedua dan ketiga pasien sudah mampu
melakukan cara nafas dalam yang benar dengan sendirinya tetapi peneliti masih
kedua dan ketiga pasien sudah mampu melakukan cara nafas dalam dengan benar
penyembuhan pasien dan intervensi di atas dirasa tepat guna untuk pasien. Faktor
setiap hari, hal ini bertujuan untuk membantu mengurangi nyeri. Berdasarkan
hasil data yang diperoleh sesuai dengan hasil penelitian. Menurut teori tindakan
rencana tindakan yang telah di susun. Setiap tindakan yang dilakukan dicatat
(Suprajito, 2004). Tujuan dari teknik nafas dalam dapat mengurangi nyeri yang
ditetapkan. Adapun pelaksanaan yang penulis lakukan pada Tn. I yaitu : masalah
keperawatan nyeri akut, tindakan yang dilakukan yaitu memeriksa tanda – tanda
vital, mengkaji skala nyeri pada pasien, mengkaji kemampuan pasien dalam
melakukan teknik nafas dalam untuk penatalaksanaan nyeri, mengkaji kekuatan
keluhan pasien, pengamatan keadaan pasien. Pada Tn. I menunjukkan skala nyeri
Wajah tampak rileks dan pasien sering tampak senyum, paha sudah mulai bisa
digerakkan. Hal ini sudah sesuai dengan kriteria hasil yang disusun peneliti bahwa
pasien dapat melaporkan nyeri (2-3), wajah tampak rileks, pasien tampak tenang.
Dan asuhan keperawatan pada Tn. I teratasi dalam waktu 3 hari dan pasien
wajah tampak rileks dan senyum, tampak tenang dan paha sudah mulai
digerakkan. Hal ini sudah sesuai dengan kriteria hasil yang disusun oleh peneliti
bahwa pasien dapat melaporkan nyeri (2-3), wajah tampak rileks, pasien tampak
tenang. Dan asuhan keperawatan pada Tn. K teratasi dalam waktu 3 hari dan
kedua pasien banyak minum, terutama minum susu, makan bebas, kontrol hari
sabtu 14 Agustus 2017 ke poli bedah tulang. Minum obat sesuai jadwal, cefixime
2 x 200 mg/p.o, asam mefenamat 3 x 500 mg/p.o, menjaga paha dari aktivitas
yang berat, hindari trauma ulang. Menurut Doengoes (2001) evaluasi yang
dilakukan yaitu menilai perilaku atau respon klien mencerminkan suatu kejadian
atau kemunduran dalam diagnosa keperawatan. Pada evaluasi, penulis sudah
menunjukkan persamaan skala nyeri pada hari ketiga setelah diberikan tekhnik
relaksasi nafas dalam antara pasien 1 dan pasien 2 tidak ada perbedaan skala
nyeri. Sehingga dapat dinyatakan bahwa antara teori dan evaluasi yang dilakukan
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan penulis pada Tn. I dan Tn. K dengan masalah
keperawatan nyeri akut pada tanggal 07 Agustus 2017 sampai 11 Agustus 2017
keperawatan nyeri akut pada Tn. I dan Tn. K menggunakan diagnosa keperawatan
berdasarkan Intervensi Nyeri akut Menurut Brunner & Suddarth (2013) dengan
berhubungan dengan diskuintenitas jaringan pada paha yang muncul pada Tn. I
5.1.3 Intervensi
jaringan pada paha. Intervensi keperawatan nyeri akut tersebut berfokus pada
dari post operasi hari ke-1 sampai hari ke-4. Tindakan meliputi rencana yang telah
mengajarkan teknik manajemen nyeri non farmakologi relaksasi nafas dalam dan
5.1.5 Evaluasi
tindakan keperawatan yang dilakukan selama 3 hari. Hasil evaluasi pada Tn. I
pada hari pertama pasien mengatakan nyeri pada paha dan tidak bisa digerakkan
dan semua aktivitas pasien dibantu oleh keluarga. Pada hari kedua didapatkan
hasil paha pasien sudah mulai bisa digerakkan sedikit demi sedikit, namun
aktivitas pasien masih dibantu oleh keluarga. Dan pada hari ketiga pasien sudah
banyak menggerakkan kakinya terutama paha. Sedangkan pada Tn. K pada hari
pertama masih merasa kesakitan pada pahanya dengan skala nyeri 4 dan tidak bisa
digerakkan, aktivitas dibantu oleh keluarga. Pada hari kedua Tn. K mengatakan
bahwa belum mengalami penurunan skala nyeri, paha masih terasa sakit dan susah
untuk digerakkan, aktivitas pasien dibantu oleh keluarga. Pada hari ketiga
didapatkan hasil paha sudah mulai digerakkan, namun aktivitas pasien masih
kesehatan berkaitan dengan pasien fraktur dengan nyeri akut misalnya pemberian
ketika menjalani masa perawatan fraktur sehingga tidak terjadi komplikasi saat