Anda di halaman 1dari 27

EVIDENCE BASED PRACTICE (EBP)

PENGGUNAAN COLD PACK UNTUK MENGURANGI NYERI PADA PASIEN POST


OPERASI ORIF DI RUANG PRABU KRISNA RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO
SEMARANG

DISUSUN OLEH :

ENDANG JUNAELA
P1337420919014

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur atau patah tulang adalah suatu kondisi dimana kontinuitas jaringan tulang
dan/atau tulang rawan terputus secara sempurna atau sebagian yang disebabkan oleh
rudapaksa atau osteoporosis (Smeltzer & Bare, 2013; American Academy Orthopaedic
Surgeons [AAOS], 2013). Hal ini juga ditegaskan oleh Icoel, 2011 yang menyatakan bahwa
fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh rudaapaksa, yaitu fraktur yang disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau
penarikan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa fraktur merupakan kerusakan kontinuitas jaringan
tulang akibat trauma fisik berulang ataupun adanya kelemahan pada tulang. Menurut
Kementrian Kesehatan Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2010 menyatakan bahwa kasus
fraktur di Indonesia mencapai 8 juta diakibatkan oleh jatuh, kecelakan lalu lintas, trauma
benda tajam atau tumpul.
Fraktur dapat menimbulkan berbagai keluhan yang dirasakan oleh pasien, meliputi
gangguan fungsi tulang yang mengalami cedera, nyeri, dan masalah lainnya. Oleh karena itu,
perlu adanya penanganan yang tepat pada kasus fraktur. Penanganan tersebut dapat dilakukan
dengan tindakan operatif maupun non operatif. Pada tindakan operatif fraktur terbagi menjadi
dua yaitu ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) dan OREF (Open Redution and
External Fixation). Menurut (Smeltzer & Bare, 2013) metode OREF merupakan tindakan
operatif dengan memasukan gips, bidai atau pin, sedangkan ORIF merupakan tindakan
operatif dengan memasukan paku, kawat atau pin. Tindakan operatif seperti ini, tentu akan
meninggalkan luka insisi yang akan merangsang mediator kimia sebagai reaksi alamiah
dalam tubuh. Mediator kimia tersebut meliputi prostaglandin, histamine, bradykinin dan
astilkolin yang membuat peningkatan sensitifitas reseptor nyeri ((Smeltzer & Bare, 2013).
Nyeri merupakan penilaian pasien terhadap sensori yang tidak menyenangkan disertai
adanya kerusakan jaringan. Nyeri tersebut dapat dinilai dengan berbagai metode, namun pada
pasien dewasa maka penilaian nyeri dilakukan dengan VAS (Visual Analog Scale). Pada
VAS ini meliputi berbagai klasifikasi nyeri ringan, nyeri sedang dan nyeri berat. Pada
kondisi nyeri berat dapat diatasi dengan manajamen nyeri secara farmakologi, sedangkan
pada nyeri ringan sampai sedang dapat dilakukan manajemen nyeri secara non farmakologi.
Manajemen nyeri non farmakologi saat ini sangat bervariasi dan telah mengalami inovasi,
salah satunya manajemen nyeri yang kelompok angkat dalam intervensi kasus kelolaan EBP
ini yaitu menggunakan cold pack.
Penggunaan Cold pack ini merupakan salah satu inovasi kompres dingin dengan
memanfaatkan jell yang dimasukaan ke dalam frezzer sehingga jell tersebut sebagai
penghantar dingin yang baik, karena suhu dingin yang dihantarkan stabil, suhu tidak cepat
berubah (mencair), memberikan rasa nyaman, efektif dan efisien untuk dilakukan oleh
perawat maupun keluarga. Inovasi cold pack ini telah dilakukan penelitian sebelumnya oleh
Agung Kristanto dan Fitri Arofiati pada tahun 2016 dengan judul “Efektifitas Penggunaan
Cold Pack Dibandingkan Relaksasi Nafas Dalam untuk Mengatasi Nyeri Pasca Open
Reduction Internal Fixation (ORIF)”. Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa setelah
dilakukan intervensi pemberian cold pack terbukti menurunkan nyeri yang lebih banyak yaitu
2-3 poin, sedangkan pada teknik relaksasi nafas dalam hanya menurunkan nyeri sebesar 1
poin, sehingga cold pack lebih efektif untuk menurunkan nyeri dibanding dengan relaksasi
napas dalam dan cold pack lebih disarankan sebagai salah satu implementasi keperawatan
mandiri yang dapat dilakukan. Inovasi cold pack selain mengurangi nyeri post operasi ORIF
juga dapat mengurangi nyeri episiotomy dan telah dilakukan penelitian oleh Wenniarti, Putri
Widita Muharyani, dan Jaji dengan judul “Pengaruh Terapi Ice Pack Terhadap Perubahan
Skala Nyeri Pada Ibu Post Episiotomi”.
Berdasarkan beberapa jurnal yang telah kelompok paparkan di atas, kelompok tertarik
untuk mengangkat inovasi cold pack sebagai manajemen nyeri yang kelompok jadikan
sebagai penerapan intervensi pada kasus kelolaan kelompok di Ruang Prabu Krisna RSUD
K.R.M.T Wongsonegoro Semarang dengan karakteristik beberapa pasien menjalani operatif
ORIF dan seringkali mengalami nyeri post operatif.

B. Tujuan
1. Mengetahui skala nyeri yang dirasakan pasien post operasi ORIF di Ruang Prabu Krisna
RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang.
2. Mengetahui manfaat langsung dari penggunaan inovasi cold pack terhadap nyeri yang
dirasakan pasien post operasi ORIF di Ruang Prabu Krisna RSUD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang.
3. Memberikan edukasi pada keluarga untuk melakukan inovasi cold pack sebagai
perawatan sederhana untuk mengurangi nyeri setelah pasien dipulangkan ke rumah.
4. Menjadikan cold pack sebagai alternatif inovasi intervensi keperawatan mandiri dalam
manejemen nyeri yang dapat dilakukan perawat di Ruang Prabu Krisna RSUD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang.

C. Manfaat
1. Cold pack dapat mengurangi skala nyeri yang dirasakan pasien post operasi ORIF
2. Mahasiswa menjadi terampil, berfikir kritis dan bertanggung jawab terhadap setiap
intervensi yang dilakukan
3. Memberikan kesempatan pada keluarga untuk mampu melakukan manajemen nyeri
sederhana yang dilakukan pada pasien
4. Mengurangi beban biaya pasien salah satunya dalam penggunaan obat analgetik
5. Memajukan profesi keperawatan dalam menerapkan inovasi intervensi keperawatan
mandiri yang bisa dilakukan di rumah sakit dan di rumah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Fraktur
1. Pengertian
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, kedaan tulang itu sendiri dan jaringan lunak
disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap (Price, Wilson,2010).
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik (Brunner & Suddarth, 2009).
Fraktur adalah terputusnya kontuinitast ulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare,2011).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpukan bahwa fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang yang dapat disebabkan oleh trauma,rudapaksa atau oleh
penyebab patologis yang dapat digolongkan sesuai dengan jenis dan kontinuitasnya.

2. Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya:
a. Fraktur Fisiologis
Suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga fisik,
olahraga, dan trauma dapat disebabkan oleh:
1) Cidera langsung berarti pukulan lansung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan.
2) Cidera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan,misalnya jatuh dengan tangan terjulur menyebabkan fraktur klavikula,
atau orang tua yang terjatuh mengenai bokong dan berakibat fraktur kolom femur.
b. Fraktur Patologis
Dalam hal ini kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur. Dapat terjadi pada berbagai keadaan
berikut:
1) Tumor tulang, terbagi menjadi jinak dan ganas
2) Infeksi seperti Osteomielitis
3) Scurvy (penyakit gusi berdarah)
4) Osteomalasia
5) Rakhitis
6) Osteoporosis ( Rasjad, 2009)
Umumya fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi
pada umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau
luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua,
perempuan lebih sering mengalami fraktur dari pada laki-laki yang berhubungan dengan
meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada
menopause.

3. Klasifikasi
a. Fraktur terbuka
Fraktur terbuka atau patah tulang terbuka adalah hilangnya kontinuitas tulang disertai
kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah) yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung pada area yang terkena.
b. Farktur tertutup
Fraktur tertutup atau patah tulang tertutup adalah hilangnya kontinitas tulang tanpa
disertai kerusakan jaringan kulit yang dapat disebabkan oleh trauma langsung atau
kodisi tertentu, seperti degenerasi tulang (osteoporosis).

4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Ketika patah tulang, terjadi kerusakan di korteks,
pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut terjadi
perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan
hematom pada kanal medul antara tepi tulang bawah periostrium dengan jaringan tulang
yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik
ditandai dengan fase vasodilatasi dari plasma dan leukosit, ketika terjadi kerusakan
tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki cedera, tahap ini
menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
Hematom yang terbentuk biasa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum
tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak tersebut
masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain. Hematom
menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler di otot,
sehingga meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang
iskemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini
menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung syaraf, yang
bila berlangsung lama bisa menyebabkan syndrom comportement.
Tulang bergenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk
tulang baru diantara ujung patahan tulang-tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel.
Pada stadium poliferasi sel menjadi fibrokartilago. Sel yang mengalami poliferasi terus
masuk kedalam lapisan yang lebih dalam dan bergenerasi sehingga terjadi osteogenesis.
Sel-sel yangberkembang memiliki potensi yang kardiogenik

5. Tanda Dan Gejala


a. Nyeri hebat di tempat fraktur
b. Tak mampu menggerakkan ekstremitas
c. Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah,bengkak, kripitasi,
sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.
6. Manisfestasi Klinis
Manisfestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi deformitas, pemendekan
ekstremitas, krepitus, pembekakan lokal, dan perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti
nomalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan
baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya
otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkapi
satu sama lain 2,5 – 5 cm (1 – 2 inci).
d. Saat eksremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya ( uji
krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa
jam atau hari setelah cidera ( Brunner & Suddarth, 2002 ).

7. Komplikasi
a. Komplikasi awal
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok yang bisa berakibat fatal dalam
beberapa jam setelah cidera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih
dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen
jika tidak ditangani segera. Komplikasi awal lainnya yang berhubungan dengan fraktur
adalah infeksi, tromboemboli (emboli paru) yang dapat menyebabkan kematian
beberapa minggu setelah cidera dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID).
b. Komplikasi lambat
Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan. Penyatuan lambat terjadi bila
penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur
tertentu. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik dan
distaksi ( tarikan jauh ) fragmen tulang.
Tidak ada penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung patahan
tulang. Pasien mengeluh tidak nyaman dan gerakan yang menetap pada tempat fraktur.
Faktor yang ikut berperan dalam masalah penyatuan meliputi infeksi pada tempat
fraktur, interposisi jaringan diantara ujung-ujung tulang, imobilisasi dan manipulasi
yang tidak memadai, yang menghentikan pembentukan kalus, jarak yang terlalu antara
fragmen, kontak tulang yang terbatas dan gangguan asupan darah yang mengakibatkan
nekrosis avaskuler (Brunner & suddarth, 2002).

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi, luasnya fraktur, trauma, dan jenis fraktur.
b. Scan tulang, temogram, CT scan/MRI :memperlihatkan tingkat keparahan fraktur,
juga dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada multipel trauma)
peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal setelah trauma.
e. Kretinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk pasien ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi mulpel atau
cidera hati.

9. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama yaitu:
1. Mengurangi rasa nyeri,
Trauma pada jaringan disekitar fraktur menimbulkan rasa nyeri yang hebat bahkan
sampai menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri dapat diberi obat penghilang rasa
nyeri, serta dengan teknik imobilisasi, yaitu pemasangan bidai / spalk, maupun
memasang gips.
2. Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Fraktur harus segera diimobilisasi untuk memungkinkan pembentukan hematoma
fraktur dan meminimalkan kerusakan. Penyambungan kembali tulang (reduksi) penting
dilakukan agar terjadi pemulihan posisi yang normal dan rentang gerak. Sebagian besar
reduksi dapat dilakukan tanpa intervensi bedah (reduksi tertutup/OREF), misalnya
dengan pemasangan gips, skin traksi maupun bandaging. Apabila diperlukan
pembedahan untuk fiksasi (reduksi terbuka/ORIF), pin atau sekrup dapat dipasang
untuk mempertahankan sambungan. (Elizabeth J. Corwin, 2009; 339)
3. Membuat tulang kembali menyatu
Imobilisasi jangka panjang setelah reduksi penting dilakukan agar terjadi pembentukan
kalus dan tulang baru. Imobilisasi jangka panjang biasanya dilakukan dengan
pemasangan gips atau penggunaan bidai.
4. Mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi otot dan kekakuan
pada sendi. Maka untuk mencegah hal tersebut diperlukan upaya mobilisasi. (Anonim,
2008)

12. Komplikasi
1. Non-union, delayed-union dan mal-union tulang dapat terjadi, yang menimbulkan
deformitas atau hilangnya fungsi.
2. Sindrom kompartemen.
3. Ditandai dengan kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang disebabkan
oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstitial
yang intens, tekanan pada pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat
menyebabkan pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini menyebabkan hipoksia jaringan
dan dapat menyebabkan kematian saraf yang mempersarafi area tersebut. Biasanya
timbul nyeri hebat. Individu mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangannya. Untuk
memeriksa sindrom kompartemen, hal berikut harus dievaluasi dengan sering pada
tulang yang cedera atau digips: nyeri, pucat, parestesia dan paralisis. Denyut nadi
mungkin teraba atau mungkin tidak.
4. Embolus lemak dapat timbul setelah patah tulang, terutama tulang panjang, termasuk
humerus. Embolus lemak dapat timbul akibat pajanan sumsum tulang, atau dapat terjadi
akibat sistem saraf simpatis yang menimbulkan stimulasi mobilisasi asam lemak bebas
setelah trauma. Embolus lemak yang timbul setelah patah tulang panjangsering
tersangkut di sirkulasi paru dan dapat menimbulkan gawat napas dan gagal napas.
(Elizabeth J. Corwin, 2009; 338)

B. Nyeri
1. Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat
subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau
tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi
rasa nyeri yang dialaminya. (Hidayat, 2009)
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori
subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan.
Dari ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah suatu
keadaan yang tidak menyenangkan akibat terjadinya rangsangan fisik maupun dari
serabut saraf dalam tubuh ke otak yang diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis, dan emosional.

2. Fisiologi Nyeri
Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor
nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang
memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan mukosa,
khususnya pada visera, persendian, dinding arteri, hati, dan kandung empedu. Reseptor
nyeri dapat memberikan respons akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi
tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, dan
macam-macam asam yang dilepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan akibat
kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain dapat berupa termal, listrik atau mekanis.
Selanjutnya, stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut ditransmisikan berupa
impuls-impuls nyeri ke sumsum tulang belakang oleh dua jenis serabut yang bermyelin
rapat atau serabut A (delta) dan serabut lamban (serabut C). Impuls-impuls yang
ditransmisikan oleh serabut delta A mempunyai sifat inhibitor yang ditransmisikan ke
serabut C. Serabut-serabut aferen masuk ke spinal melalui akar dorsal (dorsal root) serta
sinaps pada dorsa horn. Dorsal horn terdiri atas beberapa lapisan atau laminae yang saling
bertautan. Di antara lapisan dua dan tiga terbentuk substantia gelatinosa yang merupakan
saluran utama impuls. Kemudian, impuls nyeri menyeberangi sumsum tulang belakang
pada interneuron dan bersambung ke jalur spinal asendens yang paling utama, yaitu jalur
spinothalamic tract (STT) atau jalur spinothalamus dan spinoreticular tract (SRT) yang
membawa informasi tentang sifat dan lokasi nyeri. Dari proses transmisi terdapat dua
jalur mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur opiate dan jalur nonopiate. Jalur opiate
ditandai oleh pertemuan reseptor pada otak yang terdiri atas jalur spinal desendens dari
thalamus yang melalui otak tengah dan medula ke tanduk dorsal dari sumsum tulang
belakang yang berkonduksi dengan nociceptor impuls supresif. Serotonin merupakan
neurotransmiter dalam impuls supresif. Sistem supresif lebih mengaktifkan stimulasi
nociceptor yang ditransmisikan oleh oleh serabut A. Jalur nonopiate merupakan jalur
desenden yang tidak memberikan respons terhadap naloxone yang kurang banyak
diketahui mekanismenya (Hidayat, 2009).

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri


Pengalaman nyeri seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya
adalah :
a. Arti nyeri.
Arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir sebagian arti
nyeri merupakan arti yang negatif, seperti membahayakan, merusak dan lain-lain.
Keadaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,seperti usia, jenis kelamin, latar
belakang sosial budaya, lingkungan dan pengalaman.
b. Persepsi nyeri.
Persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat sbjektif tempatnya pada korteks
(pada fungsi evaluatif kognitif). Persepsi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
dapat memicu stimulasi nociceptor.
c. Toleransi nyeri.
Toleransi ini erat hubungannya dengan intensitas nyeri yang dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang menahan nyeri. Faktor yang dapat
mempengaruhi peningkatan toleransi nyeri antara lain alkohol, obat-obatan, hipnotis,
gesekan atau garukan, pengalihan perhatian, kepercayaan yang kuat, dan sebagainya.
Sedangkan faktor yang menurunkan toleransi antara lain kelelahan, rasa marah,
bosan, cemas, nyeri yang tidak kunjung hilang, sakit dan lain-lain.
d. Reaksi terhadap nyeri.
Merupakan bentuk respons seseorang terhadap nyeri, seperti ketakutan, gelisah,
cemas, menangis dan menjerit. Semua ini merupakan bentuk respons nyeri yang dapat
dipengaruhi oleh beberapa fator, seperti arti nyeri, tingkat persepsi nyeri, pengalaman
masa lalu, nilai budaya, harapan sosial, kesehatan fisik dan mental, rasa takut dan
cemas, usia dan lain-lain.

4. Jenis Gangguan
Secara umum, nyeri dibagi menjadi dua,yakni nyeri akut dan kronis. Nyeri akut
merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang, yang tidak
melebihi 6 bulan dan ditandai dengan adanya peningkatan tegangan otot. Nyeri kronis
merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu
yang cukup lama, yaitu lebih dari 6 bulan. Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis
adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis. Ditinjau dari sifat
terjadinya, nyeri dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, di antaranya nyeri tertusuk dan
nyeri terbakar.
Selain klasifikasi nyeri di atas, terdapat jenis nyeri yang spesifik, di antarnya nyeri
somatis, nyeri viseral, nyeri menjalar (referent paint), nyeri psikogenik, nyeri phantom
dari ekstremitas, nyeri neurologis, dan lain-lain.
Nyeri somatis dan nyeri viseral ini umumnya bersumber dari kulit dan jaringan di
bawah kulit (superfisial) pada otot dan tulang. Perbedaan dari kedua jenis nyeri ini dapat
dilihat pada tabel berikut :
Karakteristik Nyeri Somatis Nyeri Viseral
Superfisial Dalam
Kualitas Tajam, menusuk, Tajam, tumpul, nyeri Tajam, tumpul, nyeri
membakar. terus. terus, kejang.
Menjalar Tidak Tidak Ya
Stimulasi Torehan, abrasi Torehan, panas, iskemia Distensi, iskemia,
terlalu panas dan pergeseran tempat. spasmus, iritasi
dingin. kimiawi (tidak ada
torehan).
Reaksi Otonom Tidak Ya Ya
Refleks Kontraksi Tidak Ya Ya
Otot

Nyeri menjalar adalah nyeri yang terasa pada bagian tubuh yang lain, umumnya
terjadi akibat kerusakan pada cedera organ viseral. Nyeri psikogenik adalah nyeri nyeri
yang tidak diketahui secara fisik yang timbul akibat psikologis. Nyeri phantom adalah
nyeri yang disebabkan karena salah satu ekstremitas diamputasi. Nyeri neurologis adalah
bentuk nyeri yang tajam karena adanya spasme di sepanjang atau di beberapa jalur saraf.

5. Pengkajian Nyeri
Pengkajian pada masalah nyeri yang dapat dilakukan adalah adanya riwayat nyeri,
keluhan nyeri seperti lokasi nyeri, intensitas nyeri, kualitas dan waktu serangan.
Pengkajian dapat dilakukan dengan cara PQRST :
a. P (pemacu), yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri,
b. Q (quality) dari nyeri, seperti apakah rasa tajam, tumpul atau tersayat,
c. R (region), yaitu daerah perjalanan nyeri,
d. S (severity) adalah keparahan atau itensitas nyeri,
e. T (Time) adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.
Intensitas nyeri dapat diketahui dengan bertanya kepada pasien melalui skala nyeri berikut:

C. Cold Pack
Dalam praktek klinik perawatan nyeri dengan kompres dingin cenderung
menggunakan alat Cryoterapi. Kompres dingin Cryoterapi menggunakan suhu sekitar 5-
10°C yang diberikan setiap 15 menit sampai nyeri hilang. Penggunaan diberikan segera
setelah dilakukan operasi atau satu jam setelah operasi karena setelah satu jam post
operasi pasien mulai merasakan nyeri akibat dari penurunan pengaruh obat analgetik
yang diberikan saat di kamar operasi. Kompres dingin adalah suatu metode dalam
penggunaan suhu rendah setempat yang dapat menimbulkan beberapa efek fisiologis.
Terapi dingin diperkirakan menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan
hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit.
Saat ini telah dikembangkan Cold Pack sebagai pengganti biang es (Dry Ice) atau
es batu. Cold Pack merupakan salah satu terapi nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
berupa pengganti biang es (Dry Ice) atau es batu. Bentuknya berupa gel dalam kontener
yang tidak mudah pecah atau bocor. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi di
dunia kesehatan telah banyak digunakan cold pack sebagai media untuk melakukan
kompres dingin maupun kompres hangat. (Metules, 2007).
Cold pack mempunyai beberapa keunggulan dibanding dengan es batu. Jika es batu
digunakan ia akan habis dan berubah menjadi gas karbon diosida, sehingga hanya dapat
digunakan sekali saja. Cold Pack dapat digunakan berkali-kali dengan hanya
mendinginkan kembali kedalam lemari pembuat es (Freezer). Cold Pack merupakan
produk alternatif pengganti Dry Ice & Es Batu. Ketahanan beku bisa mencapai 8-12 jam
tergantung box yang digunakan, pemakaiannya dapat berulang-ulang selama kemasan
tidak bocor (rusak).
Cold Pack dalam praktek klinik keperawatan digunakan untuk mengurangi nyeri
dan edema, karena akan mengurangi aliran darah ke suatu bagian sehingga dapat
mengurangi perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek analgetik
dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai
otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja adalah bahwa persepsi dingin
menjadi dominan dan mengurangi persepsi nyeri.
Berdasarkan fakta banyak kelebihan cold pack dibandingkan dengan es
batu sebagai bahan untuk kompres dingin, maka penulis berinovasi menggunakan cold
pack sebagai alat untuk melakukan kompres dingin untuk mengurangi nyeri dengan
memasukkan cold pack kedalam kantong berbahan kain sintetis tahan air dan
menempatkan di sisi kanan dan kiri pada luka bekas operasi fraktur.
BAB III
METODE PENULISAN

A. Rancangan Solusi yang Ditawarkan


Rancangan yang digunakan yaitu menggunakan studi kasus (case study). Case study
adalah metode yang digunakan untuk memahami individu yang dilakukan secara integrative
dan menyeluruh, dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai kondisi
individu tersebut beserta masalah yang dihadapinya dengan tujuan untuk menyelesaikan
permasalahan dan memporeleh perkembangan diri yang baik (Rahardjo & Gudnanto, 2010).
Studi kasus merupakan rancangan penelitian yang mencangkup pengkajian satu unit
penelitian secara intensif misalnya satu klien, keluarga, kelompok, komunitas, atau institusi.
Studi kasus dalam desain inovatif ini yaitu studi kasus dengan cara menerapkan hasil
penelitian berupa memberikan kompres dingin dengan Cold Pack untuk mengurangi masalah
gangguan rasa nyaman : nyeri pada pasien dengan Post Operasi Fraktur di ruang Prabu Krisna
RSUD K.R.M.T Wongsonegoro.
Secara skematis rancangan studi kasus ini sebagai berikut :
O1 X O2

Keterangan :
O1 : pengukuran nyeri sebelum tindakan memberikan kompres dingin dengan cold pack
X : tindakan memberikan kompres dingin dengan cold pack
O2 : pengukuran nyeri setelah tindakan memberikan kompres dingin dengan cold pack

B. Target dan Luaran


Luaran pada studi kasus ini adalah penurunan skala nyeri pada pasien dengan Post
Operasi Fraktur setelah dilakukan tindakan memberikan kompres dingin dengan cold pack
dengan kriteria hasil sebagai berikut:
NOC : Kontrol nyeri (1605)
Skala target outcome : dipertahankan pada 3 ditingkatkan ke 5
Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang-kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Secara konsisten menunjukkan

Target pada studi kasus ini yaitu sebagai berikut :


a. Pasien kooperatif
b. Pasien dengan diagnosa keperawatan nyeri
c. Pasien dengan Post Operasi Fraktur
d. Pasien menyetujui inform consent
e. Pasien dengan skala nyeri ringan sampai sedang

C. Satuan Prosedur Operasional Penerapan Kompres Dingin dengan Teknik atau Cara
Penerapan Cold Pack Pada Pasien Post Operasi Fraktur

PROSEDUR 1. Tahap pra interaksi


PELAKSANAAN a. Memperkenalkan diri
b. Mencuci tangan
c. Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar

2. Tahap orientasi
a. Memberikan salam
b. Menjelaskan maksud dan tujuan
c. Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien
d. Tahap kerja
e. Menjaga privasi
f. Meminta pasien untuk mengisi lembar biodata
(khusus pertemuan pertama)
g. Meminta pasien untuk mengisi lembar observasi
skala pengukuran nyeri Visual Analogi Scale (VAS)
h. Mengatur posisi pasien senyaman mungkin
i. Menyiapkan cold pack
j. Meletakkan pengalas di bawah daerah yang akan di
pasang cold pack
k. Memasang cold pack di sisi kanan dan kiri luka post
operasi fraktur selama 15 menit dan berhenti selama
15 menit diulang intervensi 4 kali dengan mengukur
pre dan post kembali selama pengulangan
l. Memantau respons pasien

3. Tahap terminasi
a. Melakukan evaluasi tindakan yang dilakukan
b. Membereskan alat
c. Merapikan pasien
d. Mencuci tangan
e. Mencatat kegiatan dalam lembar observasi
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
I. Pelaksanaan Kegiatan
Intervensi kompres dengan cold pack dilakukan setelah pasien pulih kesadarannya
pasca operasi dan diintervensi kompres dengan cold pack selama 15 menit dan kemudian
dilepas selama 15 menit. Sebelum kompres dilepas dilakukan pengukuran skala nyeri dengan
skala VAS. Siklus pengompresan dengan cold pack diatas diulang sampai sampai 4 kali
siklus pengompresan atau selama 2 jam. Pengompresan dengan cold pack pada tahap
analgetik II dilakukan kurang lebih 3-4 jam setelah pemberian obat di bangsal. Proses
pengompresan dan pengukuran skala nyeri seperti pada siklus pertama.
Pemberian cold pack dilakukan Pada Ny. C yang mengalami nyeri post ORIF pada
saat dikaji memiliki skala nyeri 5 Setelah diberikan intervensi Cold Pack skala nyeri
berkurang menjadi 3.
II. Faktor Pendukung
Faktor pendukung dalam pelaksanaan pemberian intervensi cold pack di ruang
Prabu Krisna RSUD K.R.M.T Wongsonegoro yaitu :
1. Klien yang masuk dalam kriteri inklusi yaitu klien dengan post operatif ORIF dengan
keluhan skala nyeri sedang 5
2. Klien yang dapat menahan stresor dingin yang diberikan selama 15 menit dengan 4
kali pengulangan dalam sehari
3. Klien dan keluarga kooperatif sehingga memudahkan perawat dalam pemberian
intervensi
4. Perawatan diruangan yang sangat mendukung diberikannya intervensi cold pack
terhadap klein sehingga memudahkan kami dalam pemberian tindakan

III. Faktor Penghambat


Faktor penghambat dalam pelaksanaan pemberian intervensi cold pack di ruang
Prabu Krisna RSUD K.R.M.T Wongsonegoro yaitu :
1. Kesulitan dalam menyesuaikan suhu cold pack supaya tetap dalam suhu 10-150C
dalam ruangan yang tidak memiliki pendingin ruangan yang bagus.
2. Nyeri yang waktunya sering berubah-ubah yang menyulitkan perawat menyesuaikan
dalam pemberian kompres dingin.
3. Harga dan ketersediaan cold pack yang masih sulit ditemukan ditoko.

IV. Evaluasi Kegiatan


Pemberian intervensi Cold Pack yang diberikan dalam 3 hari selama 2 jam
pemberian dengan jeda waktu 15 menit setiap pengompresin dengan pengulangan 4 kali
dalam sehari dapat menurunkan intensitas nyeri klien dari skala 4 sampai skala 2 dalam
suhu 10-150C.

B. Pembahasan
I. Pengaruh Cold Pack Untuk Mengurangi Nyeri
Nyeri merupakan masalah utama pada pasien pasca operasi sekaligus merupakan
pengalaman multidimensi yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan (Rizaldi,
2014). Mekanisme munculnya nyeri dimulai dengan adanya stimulus nyeri. Stimulus-
stimulus tersebut dapat berupa biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik. Stimulus
penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer, lalu memasuki medula
spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam
masa berwarna abu-abu di medula spinalis. Pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel
inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa
hambatan ke korteks serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan
mempersepsikan nyeri (Potter, 2005).
Manajemen untuk mengatasi nyeri dapat dilakukan secara fakmakologis dan
nonfarmakologis. Secara farmakologis yaitu dengan memberikan obat opioid, non opioid
dan analgetik (Burst, 2011). Sedangkan dengan non farmakologis, diantaranya berupa
penggunaan teknik distraksi teknik relaksasi, hypnosis, Transcutaneous Electrical Nerve
Stimulation (TENS), pemijatan, tusuk jarum, aroma terapi, serta kompres hangat dan
dingin (Pamela et.al, 2010).
Kompres dingin sebagai alternatif penanganan nyeri pada pasien dengan nyeri
ringan ataupun sedang tidak digunakan lagi dalam panduan penanganan nyeri.
Penanganan nyeri ringan lebih menggunakan tehnik relaksasi nafas dalam, sedangkan
pada nyeri sedang dan berat menggunakan terapi obat dalam menangani nyeri.
Berdasarkan best practice yang dilakukan di Taiwan, tehnik kompres dingin menjadi
salah satu penanganan yang sedang dikembangkan walaupun penelitian terkait dengan
tehnik ini masih dilakukan. Pengalaman praktek klinik di Negara Taiwan tehnik relaksasi
nafas dalam sudah tidak diterapkan dalam praktek klinik keperawatan tetapi kompres
dingin masih digunakan dalam mengatasi nyeri, karena merupakan tindakan mandiri
perawat dalam mengatasi nyeri yaitu dengan mengunakan alat Cryoterapi. Cryoterapi
adalah alat kompres dingin dengan air es yang dimasukkan ke dalam termos yang
kemudian dialirkan melalui selang pada cuff yang bisa mengembang karena terisi air es
dan dapat dipasang pada bagian organ tubuh yang dilakukan operasi. Air es yang
digunakan suhunya sekitar 5- 10 °C dan diberikan setiap 15 menit sampai nyeri hilang
dan pemakaian diberikan segera setelah dilakukan operasi atau satu jam setelah operasi
karena setelah satu jam post operasi pasien mulai merasakan nyeri dikarenakan obat
analgetik yang diberikan saat di kamar operasi mulai habis masa paruh obatnya.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Agung dkk (2016) yang
menunjukkan adanya penurunan skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan cold pack.
Pengukuran skala nyeri sebelum dilakukan kompres dingin dengan cold pack
mempunyai nilai skala sedang dan setelah diberi kompres dingin menjadi skala nyeri
ringan Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata, yakni penurunan rasa nyeri.
Nyeri pasien pada saat sebelum diberi kompres dingin cold pack lebih tinggi
dibandingkan dengan sesudah kompres dingin dengan cold pack mempunyai selisih rata-
rata dua point pada masing masing pengukuran setelah dilakukan empat kali
pengompresan. Hal ini disebabkan pada pemberian kompres dingin dapat menghambat
hantaran pada impuls syaraf nosiseptor yaitu serabut syaraf yang terletak dikulit yang
berfungsi memberitahu otak tentang adanya stimulus berbahaya atau nyeri (Potter &
Perry, 2014) Sehingga apabila hantaran ini dihambat maka nyeri yang akan
diterjemahkan otak akan berkurang. (Pinzon, 2014). Hal ini sesuai penelitian yang
dilakukan oleh (Shaik, et al, 2015) yang menyatakan bahwa perendaman dengan air es
efektif untuk mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Dalam literature review yang
dilakukan oleh (Jon, 2010) menyatakan bahwa kompres dingin mempunyai pengaruh
yang signifikan menurunkan nyeri dibanding tidak dilakukan pengobatan, serta kompres
dingin ini tidak menyebabkan kecanduan seperti halnya pada pengobatan anti nyeri
dengan obat atau farmakoterapi.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Market & Summer (2011)
dan Sheik et al. (2015) yang membedakan efektifitas Cryoterapi ( kompres dingin)
dengan penggunaan bebat, obat epidural dan narkotik. Kompres dingin ini juga tidak
mengganggu pembuluh darah perifer dan tidak menyebabkan kerusakan jaringan kulit
apabila perendaman dilakukan sesuai prosedur
Penelitian terkait yang menggunakan media es adalah penelitian yang dilakukan
oleh (Esperanza,et al. 2010) yang menyatakan bahwa cold pack dapat menurunkan
intensitas nyeri pada pasien post operasi. Penelitian lain adalah penelitian yang dilakukan
(Shaik, et al. 2015) yang menyatakan perendaman air es efektif dalam menurunkan nyeri
pada kasus fraktur radius ulna dan perendaman ini dilakukan dalam suhu 10°C selama 15
menit tidak mengganggu dalam peredaran darah pasien. Hasil pengukuran skala nyeri
menunjukkan skala nyeri pada pemberian cold pack ada penurunan angka skala nyeri
antara pengukuran setelah pembedahan dan analgetik I dan pengukuran setelah diberikan
analgetik II. Hal ini dapat dijelaskan karena nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua
perubahan, pertama akibat pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan
nosiseptif dan yang kedua setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada
daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, histamin,
serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh jaringan yang rusak dan sel-sel
inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang berperan pada proses transduksi dari
nyeri pada pasca pembedahan (Brunner & Suddarth, 2002 ). Berjalannya waktu maka
proses inflamasi akan berkurang dan akan menurunkan intensitas nyeri pada paisen post
operasi pembedahan pada umumnya termasuk ORIF.
Menurut Wenniarti dkk (2016)`berdasarkan hasil penelitian perlakuan terapi ice
pack pada ibu yang mengalami nyeri post episiotomi pada hari pertama sampai hari ke
empat post episiotomi menunjukkan skala nyeri post episiotomi tertinggi sebelum
dilakukan terapi ice pack adalah 9 dan setelah diberi perlakuan skala nyeri pada
responden mengalami penurunan hingga skala 2. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata nyeri sebelum dan setelah
dilakukan terapi ice pack (p value = 0,001, α=0,05) yang berarti ada pengaruh terapi ice
pack terhadap perubahan skala nyeri post episiotomi.
Prinsip pada kompres dingin adalah menstimulas permukaan kulit untuk
mengontrol nyeri, terapi kompres dingin yang diberikan akan mempengaruhi impuls yang
dibawa oleh serabut taktil A-beta untuk lebih mendominasi sehingga gerbang akan
menutup dan impuls nyeri terhalangi sehingga nyeri yang dirasakan akan berkurang atau
hilang untuk sementara (Prasetyo, 2010).
BAB VI
PENUTUP

A. Simpulan
Kompres dingin pemberian cold pack menggunakan suhu sekitar 5-10°C
yang diberikan setiap 15 menit sampai nyeri hilang. Penggunaan diberikan segera
setelah dilakukan operasi atau satu jam setelah operasi karena setelah satu jam post
operasi pasien mulai merasakan nyeri akibat dari penurunan pengaruh obat analgetik
yang diberikan saat di kamar operasi. Terapi dingin diperkirakan menimbulkan efek
analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang
mencapai otak lebih sedikit.
Mekanisme lain yang bekerja adalah bahwa persepsi dingin menjadi
dominan dan mengurangi persepsi nyeri. Salah satu alasan kompres dingin tidak masuk
dalam panduan penanganan nyeri karena kompres dingin tidak efisiensi waktu. Faktor
kenyamanan juga mempengaruhi proses pemberian kompres dingin karena pasien
menjadi basah oleh es batu yang mencair. Namun demikian pemberian perlakuan
kompres dingin tidak mengganggu pembuluh darah perifer dan tidak menyebabkan
kerusakan jaringan kulit apabila perendaman dilakukan sesuai prosedur.
Setelah dilakukan kompres dingin pada Ny. C selama 2 jam terjadi
penurunan skala nyeri pada Ny. C, dimana dapat disimpulkan bahwasannya terapi Cold
Pack yang diberikan pada Ny. C dapat mengurangin nyeri yang terjadi pada pasien
yang mengalami keluhan nyeri, tetapi setelah diberhentikan kompres dingin, dilakukan
evaluasi kembali pasien mengatakan nyeri kembali lebih nyeri dari setelah dilakukan
kompres dingin walaupun nyeri tidak sehebat sebelum dilakukan kompres dingin, yang
artinya kompres dingin tidak dapat mereda kan nyeri untuk waktu yang lama, dimana
perlu dilakukan pengulangan tindakan kompres sesering mungkin untuk mengatasi
nyeri.
B. Saran & Rencana Tindak Lanjut
1. Saran
Dari hasil penerapan EBP yang telah dilakukan pada Ny. C dengan post op ORIF,
kompres dingin bersifat sementara, efek menenangkan yang dirasakan mempunyai
jangka yang lebih pendek, dari efek antigetik, makan disarankan untuk dilakukan
kompres berulang ketika efek yang dirasakan telah menghilang, dan selama efek
kompres masih ada dilakukan pendinginan pada Cold Pack untuk mempertahankan
suhu dinginnya sebelum pemakaian kembali.
2. Rencana Tindak Lanjut
- Kaji tingkat kesanggupan pasien menerima respon dingin yang diberikan
- Ukur suhu Cold Pack sebelum diberikan kembali
- Observasi tanda-tanda vital
- Evaluasi tindakan yang telah diberikan
- Anjarkan keluarga melakukan kompres dingin menggunakan Cold Pack
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2009). Buku ajar keperawatan medikal bedah, Edisi 8., Jakarta: EGC.
Elizabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media.
Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine M. C, 2010, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Edisi 6, Vol 2, Alih bahasa, Brahm U. Pendit, Penerbit Buku Kedokteran,
EGC, Jakarta.
Rasjad Chairuddin, 2007, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi edisi ketiga, Jakarta: PT.Yarsif
Watampone (Anggota IKAPI).
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC
: Jakarta
Anonim A, 2008. Konsep Dasar Nyeri.
http://qittun.blogspot.com/2008/10/konsep-dasar-nyeri.html
Anonim B, 2011. Askep Fraktur Femur – Patah Tulang Paha.
http://mihardi77.blogspot.com/2011/01/askep-fraktur-femur-patah-tulang-paha.html
Hidayat, A. A. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia : Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan, Buku 1. Jakarta : Salemba Medika.
North American Nursing Diagnosing Association. 2010. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan
Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC.
Sutedjo, A. Y. 2009. Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Yogyakarta :
Asmara Books.

Anda mungkin juga menyukai