Laporan Kasus
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Menyelesaikan Pendidikan Klinik Ilmu Anestesi dan Reanimasi
Disusun oleh:
Mira Sagita Tri Cahyani (11711040)
Abrid Farahnaz (11711045)
Fitrizha Rachmadea Gonta (11711074)
Pembimbing :
dr. IG.L Sukamto, Sp.An
dr. Hanifa Agung, Sp.An
Oleh:
Mira Sagita Tri Cahyani (11711040)
Abrid Farahnaz (11711045)
Fitrizha Rachmadea Gonta (11711074)
Pembimbing I Pembimbing II
Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahhirobbil alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita penulis
sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan referat untuk memenuhi
syarat memperoleh derajat sarjana kedokteran ini yang berjudul “ANESTESI
UMUM DENGAN TEKNIK RESPIRASI SPONTAN MENGGUNAKAN
ENDOTRACHEAL TUBE PADA TONSILEKTOMI ANAK” dengan sebaik-
baiknya. Tidak lupa pula shalawat dan salam selalu tercurah untuk baginda kita
tercinta Nabi Besar Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan penghargaan setinggi-
tingginya dan ucapan terimakasih kepada :
1. dr. IG.L Sukamto, Sp.An selaku dokter pembimbing I dalam penulisan ini,
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan
dan arahan yang tulus dan penuh kesabaran dalam membimbing penulis.
Sekali lagi kepada beliau penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya, semoga kebaikan beliau dibalas oleh Allah SWT dengan pahala
yang berlimpah.
2. dr. Hanifa Agung, Sp.An selaku dokter pembimbing II dalam penulisan
ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas
bimbingan dan arahan yang tulus dan penuh kesabaran dalam
membimbing penulis.
3. Seluruh staf perawat anastesi dan bedah di Instalasi Bedah Sentral RSUD
Sragen yang telah memberikan banyak bimbingan dan masukan dalam
menjalankan program sehari-hari.
4. Seluruh dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia yang
telah memberikan ilmunya selama masa perkuliahan selama ini.
1
2
2.2. Anamnesis
2.2.1.Keluhan Utama
Nyeri tenggorokan
3
4
2.5. Pemeriksaan
2.5.1. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
Nadi : 80 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 36 oC
Status gizi : Baik
5
2.5.3. Leher
Inspeksi : Tidak tampak adanya luka
Palpasi : Pembesaran kelenjar limfe (-), massa (-)
2.5.4. Toraks
Inspeksi : Bentuk normal, dinding dada simetris, gerakan nafas simetris,
laju pernafasan 18 kali/menit, retraksi dinding dada (-), iktus
kordis tampak.
Palpasi : Ketinggalan gerak (-), iktus kordis kuat angkat.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, batas jantung kanan : linea
midsternalis, batas jantung kiri : dua jari ke arah lateral dari
6
2.5.5. Abdomen
Inspeksi : Simetris, dinding perut lebih rendah dari dinding toraks.
Auskultasi : Peristaltik usus (+)
Palpasi : Hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
2.5.6. Ekstremitas
Inspeksi : Tidak terdapat luka, bekas operasi, massa dan sianosis
Palpasi : Turgor kulit baik, akral hangat
2.8. Kesan
An. T, 10 tahun dengan diagnosis tonsilitis kronik akan melakukan
rencana operasi tonsilektomi. Dengan status fisik ASA 1.
2.9. Laporan Anestesi
1. Diagnosis Pra Bedah
Tonsilitis Kronik
2. Diagnosis Pasca Bedah
Tonsilitis Kronik
3. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus RL 500 cc
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis pembedahan : Tonsilektomi
b. Jenis anestesi : General Anestesi
c. Teknik anestesi : General Anestesi dengan Jackson Rees
8
2.10. Persiapan
Operasi Tonsilektomi dilakukan pada hari senin, 6 Juli 2015 (laporan
anestesi terlampir).
Persiapan pasien di ruangan :
Informed consent (penjelasan tindakan dan persetujuan tertulis).
Pemasangan infuse. Pasien diberikan terapi cairan untuk
memenuhi kebutuhan cairan, cairan yang diberikan adalah
kristaloid isotonis (Ringer Laktat) sebanyak 192 cc/ 6jam (2 cc x
20 (BB) x jam puasa).
Pengosongan lambung. Pasien dipuasakan selama 6 jam.
Pemeriksaan fisik (keadaan umum, kesadaran, tanda vital) ulang
pada pagi hari.
08.30 : Pasien dibawa dari bangsal mawar ke ruang IBS.
9
BAB III
DASAR TEORI
3.1. Tonsilitis
3.1.1. Definisi
Tonsilitis adalah inflamasi pada tonsil faringeal. Inflamasi yang terjadi
biasanya akan mencapai adenoid dan tonsil lingualis; sehingga, dipakai juga
istilah faringitis. Faringotonsilitis dan adenotonsilitis juga merupakan variasi dari
tonsilitis, mengingat daerah tersebut berdekatan dengan tonsil (Shah, 2014).
dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX
yaitu nervus glosofaringeal.
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan
cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri
lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus
vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. Aliran getah bening
dari daerah tonsil akan menuju kelenjar getah bening servikal profunda (deep
jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus.
Tonsil faringeal atau adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan
terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Adenoid
tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring.
Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan
posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba
eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya
adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan
mengalami regresi. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua
oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata.
3.1.3 Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, tetapi jarang pada anak di
bawah usia 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus
biasanya terjadi pada anak usia 5 – 15 tahun, sementara tonsilitis viral lebihs ering
pada anak yang berusia lebih muda. Abses peritonsilar biasanya terjadi pada
dewasa muda dan remaja.
Faringitis biasanya terlibat pada berbagai infeksi saluran nafas atas
(ISPA). Kurang lebih 2,5 % dan 10,9 % anak-anak dikatakan sebagai karier. Pada
14
salah satu studi dikatakan bahwa prevalensi status karier Streptococcus grup A
pada anak-anak usia sekolah adalah sebanyak 15,9 % (Pichichero, 2003; Wald,
2001).
3.1.4. Patofisiologi
Infeksi bakterial atau virus dan faktor imunologis akan menyebabkan
tonsilitis dan komplikasinya. Kondisi lingkungan yang terlalu padat penduduk dan
malnutrisi akan memudahkan terjadinya tonsilitis. Sebagian besar faringitis akut
dan tonsilitis akut disebabkan oleh virus sebagai berikut (Pichichero, 2003) :
1. Herpes simplex virus
2. Epstein-Barr virus
3. Cytomegalovirus
4. Adenovirus
5. Measles virus
Infeksi bakterial menjadi penyebab sebanyak 15 – 30 % kasus
faringotonsilitis. Bekteria anaerob juga memiliki peran sendiri pada penyakit yang
berkaitan dengan tonsil. Sebagian besar kasus tonsilitis bakterial disebabkan oleh
group A beta-hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS). S. pyogenes akan
berikatan dengan reseptor adhesin yang terletak di epitel tonsil. Imunoglobulin
akan melapisi patogen yang merupakan awal dari terjadinya tonsilitis bakterial
(Pichichero, 2003).
3.1.5. Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan waktunya, tonsilitis terbagi menjadi beberapa
jenis, yaitu (Baugh, dkk., 2011):
- Akut : terjadi gejala tonsilitis yang biasanya akan mereda dalam 3 – 4 hari
yang dapat menetap hingga 2 minggu.
- Rekuren : jika terdapat sebanyak 7 episode kultur positif dalam 1 tahun, 5
infeksi dalam 2 tahun berturut-turut, atau 3 infeksi setiap tahun pada 3
tahun yang berurutan.
- Kronis : gejalanya yang timbul biasanya berkaitan dengan infeksi kronis
pada tonsil, yaitu nyeri tenggorok kronis, halitosis, dan nyeri pada
limfonofi servikal.
15
akan menyebabkan suara menjadi berubah, yang disebut sebagai hot-potato voice.
(Brooke, 2005).
Nyeri tekan pada limfonodi servikal dan kaku pada leher biasanya terjadi
pada tonsilitis akut. Periksa kulit dan mukosa untuk melihat tanda dehidrasi.
Pertimbangkan mononukleosis infeksius akibat EBV pada remaja atau anak kecil
dengan tonsilits akut, terutama jika ditemukan nyeri tekan pada limfonodi
servikal, aksila, atau inguinal; splenomegali; letargi dan malaise berat; dan low
grade fever. Membran keabu-abuan dapat menutupi tonsil yang mengalami
inflamasi akibat infeksi EBV. Membran ini dapat dihilangkan tanpa adanya
perdarahan. Erosi pada mukosa palatum dan peteki pada mukosa pada palatum
durum juga dapat terjadi (Baugh, dkk., 2011).
Gambar 4 Tonsilitis akibat EBV (moninukleosis infeksius) : tampak tonsil yang membesar
mengalami inflamasi tertutupi bercak keabu-abuan
Merupakan salah satu teknik anastesia umum yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anastesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
Beberapa variasi anestesia intravena:
a. Anastesi intravena klasik
Pemakaian kombinasi obat ketamine hidroklorida dengan sedative
misalnya: diazepam, midazolam, atau dehidro benzperidol. Komponen
trias anastesia yang dipenuhi dengan tekhnik ini adalah hipnotik dan
sedative. Indikasi penggunaan anastesia intravena klasik adalah pada
operasi kecil dan sedang yang tidak memerlukan relaksasi lapangan
operasi yang optimal dan berlangsung singkat dengan perkecualian operasi
di daerah jalan nafas dan intraokuler. Kontraindikasi penggunaan anastesi
intravena klasik, antara lain:
1. Pada pasien yang rentan terhadap obat-obat simpatomimetik,
misalnya; penderita diabetes mellitus, hipertensi, tiroktosikosis dan
paeokromo sitoma.
2. Pasien yang menderita hipertensi intracranial.
3. Pasien yang menderita glaukoma.
4. Operasi intraokuler.
b. Anastesi intravena total
Pemakaian kombinasi obat anastetika yang berkhasiat hipnotik,
analgetik dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen trias anastesi
yang dipenuhi dengan tekhnik ini adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi
otot. Indikasi penggunaan anastesia intravena klasik adalah pada operasi-
operasi yang memerlukan relaksi operasi optimal.
c. Anastesia-analgesia neurolept
Pemakaian kombinasi obat neuroleptic dengan analgetik opiate
secara intravena. Komponen trias anestesia yang dipenuhinya adalah
sedasi atau hipnotik ringan dan analgesia ringan. Indikasi penggunaan
anastesia-analgesia neurolept adalah tindakan diagnostic endoskopi seperti
misalnya: laringoskopi, bronkoskopi, esofaguskopi, rektoskopi, dll dan
sebagai suplemen tindakan anastesia lokal. Kontraindikasi penggunaan
22
ASA (%)
Kelas I Pasien sehat yang akan menjalani operasi. 0,1
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik yang ringan atau 0,2
sedang, tanpa pembatasan aktivitas.
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat yang 1,8
membatasi aktivitas biasa.
Kelas IV Pasien dengan kelainan sistemik berat yang 7,8
menyebabkan ketidakmampuan melakukan
aktivitas biasa (rutin), yang mengancam nyawanya
setiap waktu.
Kelas V Pasien yang tidak dapat hidup atau bertahan dalam 9,4
24 jam dengan atau tanpa operasi.
Kelas VI Pasien mati otak yang akan dilakukan donor organ.
Kelas E Operasi dilakukan darurat atau segara.
2. Periode Intraanestesia
Anestesi umum dimulai dengan premdikasi, induksi, diikuti oleh tahap
pemeliharaan atau maintenance, dan diakhiri dengan pemulihan anestesi. Tahap
pemulihan anestesi biasanya dilakukan dengan pengawasan di ruang pulih sadar
hingga pasien memenuhi beberapa persyaratan untuk dipindahkan ke ruang
perawatan atau dipulangkan (Soenarjo, 2010).
Premedikasi
Obat-obat pada premedikasi diberikan bertujuan untuk menimbulkan rasa
nyaman, menghambat sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus, menurunkan
dosis obat anastesia dan mengurangi rasa sakit dan kegelisahan pasca bedah.
Berdasarkan kegunaannya, obat premedikasi dibagi menjadi beberapa jenis antara
lain (Mangku, 2010):
1. Obat golongan antikolinergik
Obat golongan antikolinergik bekerja dengan menghambat aktivitas
kolinergik atau parasimpatis dengan tujuan untuk menghambat sekresi
kelenjar saliva, GI dan saluran nafas, mencegah spasme laring dan bronkus,
mencegah bradikardia, menurunkan motilitas usus dan melawan efek depresi
narkotik pada pusat nafas. Obat golongan antikolinergik yang digunakan
dalam praktek anastesia adalah preparat alkaloid belladonna yang turunannya
26
adalah sulfas atropine dan skopolamin. Dosis premedikasi dari sulfas atropine
melalui pemberian injeksi intravena adalah 0,005 mg/kgBB yang diberikan 5-
10 menit sebelum induksi dan melalui injeksi intramuscular adalah 0,01
mg/kgBB yang diberikan 30-40 menit sebelum induksi.
2. Obat golongan sedative/trankuilizer
Obat golongan sedative/trankuilier diberikan untuk mengurangi rasa
cemas dan menimbulkan rasa kantuk. Terdapat beberapa golongan obat yang
termasuk dalam golongan sedative/trankuilier antara lain golongan
fenothiazin, golongan benzodiazepine, golongan butirofenon dan golongan
barbiturat. Obat golongan fenotiazin memberikan efek depresi sistem saraf
pusat, menekan pusat muntah, dilatasi otot polos saluran nafas, menghambat
sekresi kelenjar, vasodilatasi sehingga memperbaiki perfusi jaringan,
menurunkan peristaltic usus, mencegah spasme dan menurunkan sekresi
kelenjar pada saluran pencernaan. Dosis premedikasi dari prometazin melalui
pemberian injeksi intravena adalah 0,5 mg/kgBB yang diberikan 5-10 menit
sebelum induksi dan melalui injeksi intramuscular adalah 1 mg/kgBB yang
diberikan 30-45 menit sebelum induksi.
Obat golongan benzodiazepine memberikan efek sedasi, mengurangi rasa
cemas, amnesia antegrad, depresi ringan, pada dosis tinggi dapat memberikan
efek hipotensi, menurunkan tonus otot rangka. Dosis premedikasi midazolam
melalui injeksi intravena adalah 0,07-0,1 mg/kgBB. Obat golongan
butirofenon memberikan efek sedasi, anti muntah, dilatasi pembuluh darah
hidung dan vasodilatasi. Dosis premedikasi dehidrobensperidol melalui injeksi
intramuscular adalah 0,1mg/kgBB. Obat golongan barbiturate yang sering
digunakan sebagai obat premedikasi adalah pentobarbital dan sekobarbital.
Digunakan sebagai sedasi dan penenang pra bedah, terutaama pada anak-anak.
Sebagai premedikasi diberikan secara intramuscular dengan dosis 2 mg/kgBB
atau peroral.
3. Obat golongan analgetik narkotik atau opioid
Golongan narkotik yang sering digunakan sebagai obat premedikasi
adalah petidin, morfin dan fentanyl. Golongan obat ini memberikan efek
27
analgetik, sedasi, depresi pusat nafas terutama pada bayi dan orang tua,
merangsang pusat muntah dan menimbulkan spasme spincter kandung empedu.
Sebagai premedikasi fentanyl diberikan secara intravena dengan dosis 1-2
mcg/kgBB.
Induksi
Dalam praktik, obat-obat anestesi dimasukkan ke dalam tubuh melalui
inhalasi, intravena, intramuskuler, atau rektal. Berdasarkan pemasukkan obat ke
dalam tubuh, obat induksi dibagi menjadi beberapa cara antara lain:
1. Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan karena cepat. Pada saat
menginduksi harus dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan dan
terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60
detik. Selama iniduksi, pernapasan, nadi dan tekanan darah harus diawasi
dan selalu diberikan O2. Tiopental (tiopenton, peniotat) diberikan dengan
dosis antara 2-7 mg/kgBB. Pada anak dan manula digunkan dosis rendah
dan dewasa muda sehat dengan dosis tinggi. Propofol (recofol, lipuro)
diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB. Ketamin (ketalar) diberikan dengan
dosis 1-2 mg/kgBB. Ketamin sering menimbulkan halusinasi, maka
dianjurkan sebelumnya diberikan sedative (midazolam). Ketamin tidak
dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160
mmHg).
2. Induksi intramuskular
Sampai saat ini hanya ketamin yang dapat diberikan secara intramuskular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
3. Indukasi inhalasi
Induksi inhalasi menggunakan halotan atau sevofluran. Induksi denngan
sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun langsung
diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. Induksi dengan
halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O:O2=3:1 aliran
4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai onsentrasi yang
28
Koefisien partisi gas darah (Blood gas partition coefisient) adalah rasio
konsentrasi zat anestesi dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam
keadaan keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi
(koefisien BG tinggi), maka obat akan berdifusi cepat larut di dalam darah.
3. Faktor Jaringan
Faktor jaringan dipengaruhi oleh perbedaan tekanan parsial obat anestesi
di dalam sirkulasi darah dan di dalam jaringan, kecepatan metabolisme
obat, dan aliran darah dalam jaringan.
4. Faktor Obat Anestesi
Untuk mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC
(minimal alveolar concentration), yaitu konsentrasi obat anestesi inhalasi
minimal pada tekanan udara 1 atmosfer yang dapat mencegah gerakan otot
skelet sebagai respon rangsang sakit supramaksimal pada 50 % pasien.
Semakin rendah MAC, semakin tinggi potensinya.
Induksi inhalasi diberi dengan meminta penderita menghirup campuran
gas anestesi dengan oksigen, melalui face mask. Gas anestesi bisa diambil dari
tabung gas (N2O) atau dari obat anestesi cair yang diuapkan melalui vaporizer.
Pada zaman dahulu, obat anestesi cair diteteskan pelan-pelan langsung ke face
mask yang dibuat dari kawat dan dibalut kain kasa. Cara demikian disebut sebagai
open drop. Dahulu, obat anestesi inhalasi yang digunakan adalah ether. Namun
karena menimbulkan stadium II yang lebih lama, maka akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas bagi penderita. Saat ini, induksi inhalasi sudah lebih
baik, yaitu menggunakan halothane, enflurane, isoflurane, atau sevoflurane.
Dengan menggunakan obat-obat tersebut, penderita akan masuk ke stadium III
lebih cepat. Biasanya induksi inhalasi dikerjakan pada bayi dan anak (Soenarjo,
2010).
Induksi intravena dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi ke dalam
pembuluh darah vena. Pada induksi ini tidak terjadi stadium II. Induksi
intramuskuler yaitu dengan menyuntikkan obat anestesi ke dalam otot. Biasanya
dikerjakan pada anak-anak (Desai, 2011).
32
Pada pasien yang tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat
pelemas otot, jika mendapat rangsang nyeri akan menimbulkan gerakan
lengan atau kaki, adanya lakrimasi, pernafasan ireguler, atau terdapat tanda-
tanda pelepasan adrenalin (katekolamin), seperti frekuensi nadi bertambah,
tekanan darah meningkat, atau berkeringat (Soenarjo, 2010).
Jika ditemukan keadaan seperti tersebut di atas, diatasi dengan
mendalamkan anestesi, salah satunya dengan cara menambah dosis obat. Jika
hanya menggunakan obat tunggal, maka dosis yang diberikan harus sangat
tinggi yang membahayakan pasien. Untuk mengatasinya, ada teknik agar
mencapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu pasien dibuat
tidur dengan hipnotik, analgesiknya menggunakan analgetik kuat,
relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant). Teknik ini
disebut sebagai balanced anaesthesia (Soenarjo, 2010).
Karena pada balanced anaesthesia menggunakan pelemas otot, maka
otot-otot tidak dapat berkontraksi, termasuk otot-otot respirasi, sehingga
diperlukan nafas buatan. Nafas pasien sepenuhnya tergantung dari
pengendalian, maka balanced anaesthesia juga disebut dengan teknik
respirasi kendali (Soenarjo, 2010).
Berdasar respirasinya, anestesi umum dibedakan menjadi tiga macam
(Desai, 2011), yaitu :
1. Respirasi spontan, yaitu pasien bernafas sendiri secara spontan.
2. Respirasi kendali / kontrol, yaitu pasien tidak bernafas dan membutuhkan
pernafasan bantuan untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
3. Respirasi assisted, yaitu pasien bernafas spontan, tetapi masih harus
diberikan bantuan untuk memenuhi minute volume.
Karena teknik anestesi umum ini menggunakan pelemas otot, maka
diperlukan intubasi endotrakeal untuk menjaga jalan nafas dan
mempertahankan transpor oksigen yang adekuat (Desai, 2011).
Pemulihan Anestesi
34
Sementara pada anak-anak ET yang digunakan adalah tube non cuff yang
berfungsi mengurangi risiko trauma tekanan dan batuk setelah intubasi. ET non
cuff digunakan untuk anak yang berusia kurang dari 8 tahun, karena bentuk
anatomi subglotis yang sempit (Davis, 2009)
Ukuran ET dinyatakan dalam milimeter (mm) berdasar diameter internal
yang tertera dan ada pula yang dinyatakan dalam French unit. ET juga memiliki
ukuran panjang dalam centimeter (cm). ukuran rata-rata untuk pria adalah 7,5 –
8,0; untuk perempuan adalah 7,0 – 7,5 (Davis, 2009)
Untuk menentukan ukuran ET salah satunya adalah dengan menggunakan
patokan besar jari kelingking pasien, sedang kedalaman insersinya yaitu besar
diameter internal (ukuran ET) dikalikan 3. Misal ukuran ET adalah nomor 7,
maka kedalaman insersinya adalah 7x3, yaitu 21 cm (Davis, 2009)
Berikut ini pedoman yang dipakai dalam menentukan ukuran ET, yang
dirangkum ke dalam tabel (Davis, 2009; Soenarjo, 2010):
Tabel 3 Ukuran Endothracheal Tube (Davis, 2009; Soenarjo, 2012)
Diameter Kedalaman
Umur French unit
internal (mm) insersi
38
posisi yang tepat, yaitu di trakea. Namun jika terdengar suara bagging di
lambung, berarti penempatannya salah. Selain itu, stetoskop juga untuk
mengevaluasi kedalaman ET. Jika suara paru kiri dan kanan besarnya sama, maka
kedalamannya sudah pas. Jika suara paru kanan lebih besarm, maka kemungkinan
ET terlalu dalam dan masuk ke dalam bronkus kanan.
Tube atau pipa endotrakeal (endotracheal tube) harus dipilih sesuai
ukurannya pasien. Setelah diperoleh ukuran yang dibutuhkan, perlu juga
disiapkan ET dengan 1 ukuran di atasnya dan 1 ukuran di bawahnya. Sehingga
misalnya seorang pasien membutuhkan ET nomor 7, maka harus disiapkan pula
ET nomor 6,5 dan 7,5 mm. Hal tersebut untuk menghindari jika perkiraan ukuran
tidak tepat, sehingga langsung dapat diatasi dengan menggunakan ET yang
ukurannya telah dipersiapkan sebelumnya.
Airway, yaitu jalan nafas. Semua peralatan yang digunakan untuk
membuka dan mengamankan jalan nafas harus disiapkan, seperti oropharyngeal
airway (OPA) dan nasopharyngeal airway (NPA). Ukuran OPA atau NPA
disesuaikan dengan ukuran jalan nafas, yaitu diukur jarak dari sudut bibir sampai
ke bagian depan telinga.
Tape atau plester berfungsi untuk melakukan fiksasi setelah dilakukan
intubasi endotrakeal. Setelah ET terpasang dengan tepat, maka dilakukan fiksasi
agar tidak terjadi perubahan posisi, baik tercabut atau terdorong, sehingga akan
membuat cidera pada mukosa jalan nafas. Plester ditempatkan pada pipi atau di
wajah pasien.
Introducer digunakan untuk membantu insersi ET ke dalam trakea. Alat
yang biasa digunakan adalah mandarin atau kawat yang bisa dimasukkan ke
dalam ET dan dapat diatur kelengkungannya sesuai dengan anatomi jalan nafas,
sehingga akan memudahkan mengarahkan ujung ET melewati pita suara. Alat
lainnya adalah klem Magil, berupa klem yang dapat menjepit ET di dalam rongga
mulut untuk diarahkan ke laring.
Connector merupakan alat untuk menghubungkan atau menyambungkan
ET dengan alat lainnya, yaitu bagging, ventilator, dan sebagainya. Connector ini
41
Indikasi
Indikasi khusus dilakukannya intubasi endotrakeal pada pasien di
antaranya adalah (Soenarjo, 2010):
1. Untuk menjaga patensi jalan nafas, sehingga terjamin ventilasi dan
oksigenasi yang adekuat.
2. Perlindungan terhadap paru dengan penutuhpan cuff dari ET harus
dilaksanakan pada pasien yang baru saja makan atau pada pasien yang
menderita obstruksi usus.
3. Operasi yang memerlukan VTP (ventilasi tekanan positif), misal pada
operasi torakotomi, atau pada penggunaan pelemas otot.
4. Operasi yang membutuhkan posisi selain telentang (supine).
5. Operasi daerah kepala, leher, atau jalan nafas atas.
6. Diperlukan pengendalian sekret pulmo atau disebut bronchialpulmonair
toilet.
7. Diperlukan proteksi jalan nafas pada pasien yang tidak sadar atau dengan
penurunan refleks muntah (misalnya pada anestesi umum).
8. Ada penyakit atau kelainan jalan nafas atas.
Kontraindikasi
Sementara kontraindikasi relatif dilakukannya intubasi endotrakea
adalah sebagai berikut (Soenarjo, 2010):
43
Anak-anak bukan orang dewasa kecil. Pasien pediatri bervariasi dan dibagi
dalam kelompok antara lain (Macfarlance,2012):
1. Neonatus : yang berusia 44 minggu dari tanggal konsepsi hingga berusia
12 bulan
2. Anak : 1 sampai 12 tahun
3. Remaja : 13 sampai 16 tahun
Perbedaan anatomi dan fisiologi penting akan dipertimbangkan disini
diikuti dengan bagaimana ini akan mempengaruhi praktik anestesi.
1. Sistem Respirasi
a. Memiliki kepala yang besar, leher yang pendek dan oksiput yang
menonjol
b. Lidah yang besar
c. Laring terletak lebih tinggi dan anterior, setinggi C3-C4. Epiglotis yang
panjang, kaku dan berbentuk U-shaped. Sniffing position tidak dapat
membantu untuk mempermudah visualisasi glottis pada pemasangan ET.
d. Dinding dada memiliki kemampuan compliance yang lebih besar
dibandingkan pada orang dewasa. Selanjutnya, kapasitas residual
fungsional (FRC) relatif rendah.
e. Bernafas menghabiskan 15% dari konsumsi oksigen.
f. Otot-otot pernafasan diafragma mudah mengalami kelelahan disebabkan
oleh jumlah serabut otot tipe I yang masih sedikit.
g. RR = 24 – umur/2
2. Sistem Kardivaskuler
Denyut nadi dan tekanan darah sistolik pada anak (Macfarlance,2012):
44
Premedikasi
46
Infus
1. Tempat pemasangan infus dilakukan pada dorsum manus, pergelangan
tangan, dekat mata kaki bagian dalam dan kepala.
2. Menggunakan abocath dengan No. 20, 22, 24
3. Cairan yang diberikan:
Bayi berumur <12 bulan diberikan Dekstrosa 5% dalam NaCl 0,225% atau
NaCl 0,45%
Umur >12 bulan diberikan Dekstrosa 5% dalam NaCl 0,9% atau dalam
ringer, atau bisa juga diberikan ringer laktat/asetat
Pada kasus tertentu disesuaikan dengan masalah yang dijumpai
Induksi
1. Pada neonatus : induksi dilakukan di kamar operasi dengan cara inhalasi
dengan kombinasi obat N20 dan 02 = 4:2 (liter) dan obat inhalasi volatile,
kemudian dipasang infus.
2. Pada anak usia <3tahun : induksi dilakukan dikamar terima atau kamar
persiapan dan boleh ditemani orang tua, kemudian dipasang infus.
3. Pada anak usia >3 tahun : pasien diterima orang tuanta dan segera
dipasang infus untuk anestesi local, selanjutnya induksi dilakukan secara
intravena
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien anak dengan tonsillitis kronis, anastesi yang dipilih
adalah anastesia umum inhalasi melalui pipa endotrakea dengan pola nafas
spontan. Indikasi pemakaian inhalasi pipa endotrakea pada operasi di daerah
kepala-leher dengan posisi terlentang, berlangsung singkat dan tidak memerlukan
relaksasi otot yang maksimal. Kontraindikasi penggunaan inhalasi pipa
endotrakea (PET) nafas spontan adalah pada operasi intracranial, torakotomi,
laparotomy, operasi dengan posisi khusus (misalnya miring atau tengkurap) dan
operasi yang berlangsung lama lebih dari satu jam. Tindakan anastesia yang
memadai, meliputi tiga komponen antara lain:
a. Hipnotik
b. Analgesia
c. Relaksasi
Ketiga komponen anesthesia yang populer disebut trias anastesia ini dapat
diwujudkan dengan obat anesthesia tunggal misalnya eter atau dengan kombinasi
beberapa obat untuk mencapai masing-masing komponen trias anastesia tersebut
diatas.
Awalnya dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan keadaan
umum baik, jantung paru dalam batas normal, pemeriksaan abdomen normal dan
pada pemeriksaan rongga mulut didapatkan T4-T4 dengan hiperemis (+).
Pemeriksaan penunjang dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium darah lengkap
bertujuan untuk mengetahui infeksi yang sedang berlangsung dan keadaan pasien
terkait penyakit penyerta yang dimiliki oleh pasien. Berdasarkan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan maka direncanakan
penatalaksanaan untuk pasien ini adalah tonsilektomi. Pasien dilakukan
pemasangan infus sebelumnya untuk mengganti defisit cairan selama puasa,
koreksi defisit cairan pra bedah, fasilitas vena terbuka untuk memasukan obat-
obatan selama operasi, memberikan cairan pemeliharaan, koreksi
defisit/kehilangan cairan selama operasi, koreksi cairan akibat terapi lain dan
47
48
memberikan efek pelumpuh otot termasuk otot pernafasan. Obat yang digunakan
pada pemeliharaan adalah N2O, O2, halotan 0,5-2 vol%, efluran 2-4 vol%,
isofluran 2-4 vol% dan sevofluran 2-4 vol%.π
51
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Baugh R.F., Archer S.M., Mitchell R.B., 2011. Clinical practice guideline:
tonsilectomy in children. Otolaryngol Head Neck Surg.;144(1 Suppl):S1-
30.
Brooke I., 2005. The role of anaerobic in tonsilitis. Int J Pediatr
Otorhinplaryngol; 69(1):9-19.
Davis C., Jones J., Fix B., 2009. Critical Care Notes. City University Barts and
the London NHS Trust.
Desai, 2011. General Anaesthesia. http://emedicine.medscape.com/article/
1271543-overview diakses tanggal 7 Juli 2015.
Pichichero, M.E., Casey J.R. Defining and dealing with carriers of group A
Streptococci. Contemporary Pediatrics. 2003 ; 1 : 46.
Chmidt R.J., Herzog A., Cook S., O’Reilly R., Reilly J., 2007. Complications of
tonsilectomy. Arch Otolaryngol Head and Neck Surg;133:925-928.
Roberts, and Hedges, 2010. Clinical Procedures in Emergence Medicine. Saunder
Elsevier.
Shah, Udayan K., 2014. Tonsillitis and peritonsilar abscess. Tersedia :
http://emedicine.medscape.com/article/871977-treatment#showall diakses
tanggal 7 Juli 2015.
Soenarjo, Hari Dwi Jatmiko, 2010. Anestesiologi. Semarang : Ikatan Dokter
Spesialis Anestesi dan Reanimasi (IDSAI) Cabang Jawa Tengah.
Soenarto, dkk., 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care FKUI/RSCM.
Udayan K., 2008. Tonsillectomy & Adeinoidectomy : Techniques and
Technologies. Madison WI. Omnipress, Inc. ISBN 978-0-615-23355-0
Wald E.R. Commentary : Antibiotic treatment of pharingitis. Pediatric in Review.
2001 ; 22 (8) : 255-6.