Anda di halaman 1dari 57

ANESTESI UMUM DENGAN TEKNIK RESPIRASI SPONTAN

MENGGUNAKAN ENDOTRACHEAL TUBE


PADA TONSILEKTOMI ANAK

Laporan Kasus
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Menyelesaikan Pendidikan Klinik Ilmu Anestesi dan Reanimasi

Disusun oleh:
Mira Sagita Tri Cahyani (11711040)
Abrid Farahnaz (11711045)
Fitrizha Rachmadea Gonta (11711074)

Pembimbing :
dr. IG.L Sukamto, Sp.An
dr. Hanifa Agung, Sp.An

PROGRAM PENDIDIKAN KLINIK STASE ILMU ANESTESIA DAN


REANIMASI
RSUD DR. SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
LEMBAR PENGESAHAN
ANESTESI UMUM DENGAN TEKNIK RESPIRASI SPONTAN
MENGGUNAKAN ENDOTRACHEAL TUBE
PADA TONSILEKTOMI ANAK

Oleh:
Mira Sagita Tri Cahyani (11711040)
Abrid Farahnaz (11711045)
Fitrizha Rachmadea Gonta (11711074)

Telah dipresentasikan pada tanggal:


dan disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

dr. IG.L Sukamto, Sp.An dr Hanifa Agung, Sp.A


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahhirobbil alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita penulis
sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan referat untuk memenuhi
syarat memperoleh derajat sarjana kedokteran ini yang berjudul “ANESTESI
UMUM DENGAN TEKNIK RESPIRASI SPONTAN MENGGUNAKAN
ENDOTRACHEAL TUBE PADA TONSILEKTOMI ANAK” dengan sebaik-
baiknya. Tidak lupa pula shalawat dan salam selalu tercurah untuk baginda kita
tercinta Nabi Besar Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan penghargaan setinggi-
tingginya dan ucapan terimakasih kepada :
1. dr. IG.L Sukamto, Sp.An selaku dokter pembimbing I dalam penulisan ini,
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan
dan arahan yang tulus dan penuh kesabaran dalam membimbing penulis.
Sekali lagi kepada beliau penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya, semoga kebaikan beliau dibalas oleh Allah SWT dengan pahala
yang berlimpah.
2. dr. Hanifa Agung, Sp.An selaku dokter pembimbing II dalam penulisan
ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas
bimbingan dan arahan yang tulus dan penuh kesabaran dalam
membimbing penulis.
3. Seluruh staf perawat anastesi dan bedah di Instalasi Bedah Sentral RSUD
Sragen yang telah memberikan banyak bimbingan dan masukan dalam
menjalankan program sehari-hari.
4. Seluruh dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia yang
telah memberikan ilmunya selama masa perkuliahan selama ini.

Atas seluruh bantuannya, semoga Allah SWT memberikan pahala berlipat


ganda. Amin ya robbal alamin. Semoga karya tulis ini dapat memberikan ilmu
pengetahuan serta manfaat bagi semua pihak.
Wassalamualaikum WR. WB.
Yogyakarta, Juli 2015
Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................... 12
BAB III DASAR TEORI .................................................................................... 12
2.1. Tonsilitis.................................................................................................. 12
2.1.1. Definisi ............................................................................................. 12
2.1.2. Epidemiologi .................................................................................... 12
2.1.3. Patofisiologi ..................................................................................... 14
2.1.4. Klasifikasi ........................................................................................ 14
2.1.5. Tanda dan Gejala.............................................................................. 14
2.1.6. Pemeriksaan Fisik ............................................................................ 15
2.1.7. Komplikasi ....................................................................................... 17
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 18
2.1.9. Pengobatan ....................................................................................... 18
2.2. Anestesi Umum ....................................................................................... 20
2.2.1. Definisi ............................................................................................. 20
2.2.2. Keuntungan dan Kerugian................................................................ 20
2.2.3. Manajemen Perianestesi ................................................................... 24
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................... 30
BAB IV KESIMPULAN ..................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 55
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi umum merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit


seluruh tubuh dari sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.
Anestesi umum ini memungkinkan pasien untuk mentoleransi tindakah
pembedahan yang akan menimbulkan nyeri yang tak tertahankan, merangsang
perubahan fisilogis secara ekstrim, dan meninggalkan memori yang tidak
mengenakkan (Desai, 2011). Sehingga dapat disimpulkan bahwa anestesi umum
adalah suatu tindakan yang menyebabkan perubahan fisiologis secara reversibel
yang dikondisikan untuk memungkinkan pasien menjalani berbagai prosedur
medis (Soenarto, dkk., 2010).
Manajemen perianestesia dibagi menjadi tiga, yaitu periode preanestesi,
periode intraanestesi, dan perioda pascaanestesi. Pada periode preanestesi
tujuannya adalah untuk mencari kemungkinan penylit anestesi atau dalam
tindakan pembedahan. Harus diketahui riwayat kesehatan pasien dan riwayat
pemakaian obat-obatan. Setelah seluruh data dikumpulkan maka dapat dilakukan
penggolongan status fisik menurut ASA (American Society of Anesthesiologist).
Pada periode intraanestesi dibagi menjadi induksi, pemeliharaan, dan pemulihan.
Sementara periode pascaanestesi merupakan tindak lanjut dari periode preanestesi
dan intraanestesi (Soenarjo, dkk., 2010).
Dikenal trias anestesi, yaitu hipnosis, analgesia, dan arefleksia. Untuk
prosedur bedah, analgesia merupakan peringkat teratas komponen anestesi yang
harus dipenuhi. Untuk mencapai trias anestesi dengan kedalaman yang ringan,
yaitu pasien dibuat tidur dengan hipnotik, analgesiknya menggunakan analgetik
kuat, relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant). Teknik ini
disebut sebagai balanced anaesthesia. Karena pada balanced anaesthesia
menggunakan pelemas otot, maka otot-otot tidak dapat berkontraksi, termasuk
otot-otot respirasi, sehingga diperlukan nafas buatan melalui endotracheal tube
yang telah dipasang pada saat dilakukan induksi anestesi (Soenarto, dkk., 2010).

1
2

Intubasi endotrakea adalah tindakan memasukkan endotracheal tube (ET)


ke dalam trakea melalui mulut. ET digunakan sebagai penghantar gas anestesi ke
dalam trakea dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi. ET untuk orang
dewasa mempunyai sistem inflation cuff, sementara untuk anak di bawah 8 tahun
tidak mempunyai sistem inflation cuff yang disebut sebagai tube non cuff. Tube
non cuff yang digunakan pada anak bertujuan untuk mengurangi risiko trauma
tekanan setelah intubasi dilakukan (Soenarjo, dkk., 2010).
Berdasar respirasinya, anestesi umum dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu (Soenarjo, dkk., 2010):
1. Respirasi spontan, yaitu pasien bernafas sendiri secara spontan.
2. Respirasi kendali / kontrol, yaitu pasien tidak bernafas dan membutuhkan
pernafasan bantuan untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
3. Respirasi assisted, yaitu pasien bernafas spontan, tetapi masih harus
diberikan bantuan untuk memenuhi minute volume.
Tonsilektomi merupakan pengangkatan jaringan tonsil. Tonsilektomi
biasanya dilakukan dengan adenoidektomi, yaitu pengangkatan jaringan adenoid.
Tindakan operasi tersebut harus dilakukan dengan menggunakan anestesi umum
(general anesthesia) (Udayan, 2008).
Berdasarkan perjalanan waktunya, tonsilitis dibagi menjadi tonsilitis akut,
rekuren, dan kronis. Tonsilitis akut biasanya akan mereda dalam 3-4 hari hingga 2
minggu. Tonsilitis dapat menjadi kronis dan rekuren dan dapat menyebabkan
obstruksi saluran nafas pada penderitanya. Pada kasus tonsilitis kronis, jika
diperoleh adanya sumbatan saluran nafas, yang ditunjukkan dengan gejala sleep
apnea, tidur mendengkur, dan meningkatnya izin sekolah akibat sakit merupakan
pertimbangan dilakukannya tonsilektomi (Udayan, 2008).
Tonsilitis adalah inflamasi pada tonsil faringeal. Inflamasi yang terjadi
biasanya akan mencapai adenoid dan tonsil lingualis; sehingga, dipakai juga
istilah faringitis. Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, tetapi jarang pada
anak di bawah usia 2 tahun. Tonsilitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri
maupun virus. Tonsilitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus
biasanya terjadi pada anak usia 5 – 15 tahun, sementara tonsilitis viral lebihs ering
pada anak yang berusia lebih muda (Udayan, 2008).
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : An. T
Usia : 10 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Mojomulyo RT02/11 Sragen Kulon
Agama : Islam
Diagnosis : Tonsilitis Kronik
No. RM : 433494

2.2. Anamnesis
2.2.1.Keluhan Utama
Nyeri tenggorokan

2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang bersama ibunya ke poli RSUD dr. Soehadi Prijonegoro
dengan keluhan nyeri telan. Keluhan tersebut dirasakan pasien sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri telan dirasakan terutama bila
pasien sedang makan, minum ataupun menelan ludah. Saat ini pasien tidak
mengelukan demam, batuk dan pilek. Menurut ibunya, keluhan nyeri telan
dirasakan setelah beberapa hari sebelumnya mengalami demam dan pilek.
Pasien sering mengalami demam, batuk, pilek yang kumat-kumatan
hampir setiap bulan. Keluhan terasa jika pasien sering mengkonsumsi
minuman dingin, makanan pedas dan mie. Pasien juga mempunyai
kebiasaan jajan sembarangan disekitar rumahnya

2.2.3. Anamnesis Sistem

3
4

Sistem Serebrospinal : Sakit kepala (-), pusing (-),


demam (-), kejang (-)
Sistem Kardiovaskular : Berdebar-debar (-), nyeri dada (-), sesak
(-)
Sistem Respirasi : Batuk (-), pilek (-), sesak nafas (-)
Sistem Digesti : Mual (-), muntah (-), BAB lancar (+),
nyeri perut (-)
Sistem Urogenital : BAK lancar (+), warna (N), nyeri saat
BAK (-)
Sistem Integumentum : Ruam (-), pucat (-)
Sistem Muskuloskeletal : Akral hangat, turgor kulit baik

2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat dengan keluhan serupa (-)
Riwayat menjalani tindakan operasi sebelumnya (-)
Riwayat alergi (-)

2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Anggota keluarga dengan keluhan serupa (-)
Riwayat alergi (-)

2.5. Pemeriksaan
2.5.1. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
Nadi : 80 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 36 oC
Status gizi : Baik
5

Tinggi badan : 120 cm


Berat badan : 20 kg

2.5.2. Pemeriksaan Kepala


Inspeksi : Bentuk mesosefal, sefalohematoma (-)
Rambut : Tipis, halus
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), eksoftalmus (-/-)
Hidung : Simetris, cuping hidung
Mulut
Bibir : Sianosis (-), lesi (-)
Mukosa bukal : Hiperemis (-), massa (-)
Lidah : Hiperemis (-), massa (-)
Palatum : Hiperemis (-), massa (-)
Gusi : Hiperemis (-), edema (-)
Gigi : Karies (+)
Uvula : Hiperemis (+), edema (+), deviasi (-)
Tonsil : T4-T4, hiperemis (+), detritus(-)
Faring : Hiperemis (+)

2.5.3. Leher
Inspeksi : Tidak tampak adanya luka
Palpasi : Pembesaran kelenjar limfe (-), massa (-)

2.5.4. Toraks
Inspeksi : Bentuk normal, dinding dada simetris, gerakan nafas simetris,
laju pernafasan 18 kali/menit, retraksi dinding dada (-), iktus
kordis tampak.
Palpasi : Ketinggalan gerak (-), iktus kordis kuat angkat.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, batas jantung kanan : linea
midsternalis, batas jantung kiri : dua jari ke arah lateral dari
6

linea midclavicula sinistra, batas atas jantung : SIC II linea


sterna sinistra, batas pinggang jantung : SIC III linea
parasternal sinistra. Auskultasi : Cor : BJ I dan II regular, bunyi
jantung tambahan (-), pulmo : vasikuler (+/+), ronki (-).

2.5.5. Abdomen
Inspeksi : Simetris, dinding perut lebih rendah dari dinding toraks.
Auskultasi : Peristaltik usus (+)
Palpasi : Hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani

2.5.6. Ekstremitas
Inspeksi : Tidak terdapat luka, bekas operasi, massa dan sianosis
Palpasi : Turgor kulit baik, akral hangat

2.6. Pemeriksaan penunjang


2.6.1. Pemeriksaan Darah Rutin
Tabel 2. Hasil pemeriksaan darah (Rekam medis, 2015)
CBC Hasil Nilai Normal
Leukosit (uL) 6.300 4.500 - 11.500
Eritrosit (uL) 4.780.000 4.000.000 - 4.200.000
Hemoglobin (g/dL) 12,2 11,5 - 15,5
Hematokrit (%) 35,8 35 - 45
MCV (fL) 74,8 80 - 99
MCH (pg) 25,5 27 - 31
MCHC (g/DI) 34,1 33 - 37
RDW (%) 13,7 11,5 - 14,5
Trombosit (uL) 373 150 - 450
MPV (fL) 8,3 7,2 - 11,1
Masa Pembekuan 2,00 1-3
7

Masa Perdarahan 2,30 1-6


Golongan Darah B
GDS 106 60-100

2.6.2. Pemeriksaan Kimia Klinik


Tabel 3. Hasil pemeriksaan kimia klinik (Rekam medis, 2015)

Fungsi Hati Hasil Nilai Normal


SGOT (U/I) 21 < 47
SGPT (U/I) 10 <39
Fungsi Ginjal
Ureum (mg/dL) 38,7 < 48
Kreatinin (mg/dL) 0,54 0-1

2.7. Diagnosis operator


Tonsilitis Kronik

2.8. Kesan
An. T, 10 tahun dengan diagnosis tonsilitis kronik akan melakukan
rencana operasi tonsilektomi. Dengan status fisik ASA 1.
2.9. Laporan Anestesi
1. Diagnosis Pra Bedah
Tonsilitis Kronik
2. Diagnosis Pasca Bedah
Tonsilitis Kronik
3. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus RL 500 cc
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis pembedahan : Tonsilektomi
b. Jenis anestesi : General Anestesi
c. Teknik anestesi : General Anestesi dengan Jackson Rees
8

d. Mulai anestesi : 6 Juli 2015, pukul 08.55 WIB


e. Mulai operasi : 6 Juli 2015, pukul 09.00 WIB
f. Premedikasi : SA 0,25 mg iv
Sedacum 1 mg iv
Fentanyl 25 mcg iv
g. Induksi : Recofol 50 mg iv
Tramus 10 mg iv
h. Medikasi tambahan : Ketorolac 15 mg iv
i. Maintenance : O2, N2O, Isoflurane
j. Respirasi : Pernapasan spontan
k. Posisi : Supine
l. Pemantauan HR : Terlampir
m. Selesai operasi : 6 Juli 2015, pukul 09.20 WIB
n. Perdarahan : 5cc
o. Cairan masuk : RL 500 cc
p. Lama pembedahan : 20 menit

2.10. Persiapan
Operasi Tonsilektomi dilakukan pada hari senin, 6 Juli 2015 (laporan
anestesi terlampir).
Persiapan pasien di ruangan :
 Informed consent (penjelasan tindakan dan persetujuan tertulis).
 Pemasangan infuse. Pasien diberikan terapi cairan untuk
memenuhi kebutuhan cairan, cairan yang diberikan adalah
kristaloid isotonis (Ringer Laktat) sebanyak 192 cc/ 6jam (2 cc x
20 (BB) x jam puasa).
 Pengosongan lambung. Pasien dipuasakan selama 6 jam.
 Pemeriksaan fisik (keadaan umum, kesadaran, tanda vital) ulang
pada pagi hari.
08.30 : Pasien dibawa dari bangsal mawar ke ruang IBS.
9

08.45 : Pasien masuk ke ruang OK 2, dilakukan pemasangan O2, dilakukan


pemasangan monitor dengan hasil nadi 110 x/menit, dan SpO2
99%.
08.55 : Dilakukan premedikasi menggunakan SA i.v. 0,25 mg, fentanyl i.v. 25
mcg, dan midazolam i.v. 1 mg. Induksi pasien menggunakan
Propofol i.v. 60 mg. Penggunaan premedikasi pada pasien ini
bertujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan
pemberian analgesia dan mempermudah induksi dengan
menghilangkan rasa khawatir. Setelah didapatkan reflek bulu mata
pasien negatif, dilakukan intubasi pada pasien dengan memasang
endotrakeal tube dengan muscle relaxan yaitu atraqurium, tunggu
kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya
pemasangan endotrakeal tube.
Cek alat yang diperlukan seperti mesin anestesi, laringoskop, ET
dan stetoskop, pastikan semua berfungsi dengan baik dan pilih pipa
endotrakeal (ET) yang sesuai ukuran, cek fungsi balon dengan
mengembangkan dengan udara 10 ml. Jika fungsi baik kempeskan
balon. Beri pelumas pada ujung pipa ET sampai daerah cuff.
Letakkan bantal kecil atau RL di oksiput dan pertahankan kepala
sedikit ekstensi. Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut
dan faring. Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri
memegang laringoskop. Masukkan bilah laringoskop dengan lembut
menelusuri mulut sebelah kanan, sisihkan lidah ke kiri. Masukkan
bilah sedikit sampai ujung laringoskop mencapai dasar lidah,
perhatikan agar lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan
gigi pasien.
Bila pita suara sudah terlihat, masukkan pipa ET dari sebelah kanan
mulut ke faring sampai bagian proksimal dari cuff ET melewati pita
suara. Kemudian dihubungkan dengan Jackson rees yang telah
terpasang pada mesin anestesi yang menghantarkan gas N2O,
10

Sevoflurance dan O2 dari mesin ke jalan nafas pasien sambil


melakukan bagging selama kurang lebih 2 menit untuk menekan
pengembangan paru. Lakukan ventilasi sambil melakukan
auskultasi pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan
pengembangan dada. Setelah bunyi nafas optimal dicapai,
kembangkan balon cuff dengan spuit 10 cc. Lakukan fiksasi pipa
dengan plester agar tak terdorong atau tercabut. Lakukan ventilasi
terus dengan oksigen 100%.
09.00 : Tindakan operasi dimulai, selama tindakan berlangsung dilakukan
maintenance terhadap pasien menggunakan N2O, Sevoflurance dan
O2. Lakukan monituring denyut nadi selama operasi berlangsung.
09.20 : Operasi selesai dilakukan. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi
diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan
untuk membangunkan pasien. Dan diharapkan agar pasien dapat
melakukan nafas spontan menjelang operasi hampir selesai. Setelah
bernafas spontan, gas sevofluran dihentikan karena pasien sudah
nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi
endotrakeal secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi
lebih lanjut. Total cairan yang diberikan selama operasi sejumlah
Ringer laktat 500 cc dan perdarahan pada operasi ini sebanyak 3cc.
Setelah selesai pembedahan dilakukan pemberian analgetik, injeksi
Ketorolac 15 mg i.v. Diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka
pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur
pembedahan.
09.25 : Pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir Nadi
137x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan selama 20
menit dengan perdarahan ± 3 cc. Pasien kemudian dipindahkan ke
ruang pemulihan (Recovery room), selama di ruang pemulihan, jalan
nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta
kesadaran compos mentis. Nadi selama 15 menit pertama pasca
11

operasi stabil yaitu 125 x/menit. Total skor stewart = 6 maka


pasien dapat keluar dari recovery room (RR).
Tabel 4. Monitoring nadi dan saturasi O2
Menit Nadi SO2
08.55 110 100
09.00 137 99
09.05 139 99
09.10 137 99
09.15 137 99
09.20 137 99
12

BAB III
DASAR TEORI

3.1. Tonsilitis
3.1.1. Definisi
Tonsilitis adalah inflamasi pada tonsil faringeal. Inflamasi yang terjadi
biasanya akan mencapai adenoid dan tonsil lingualis; sehingga, dipakai juga
istilah faringitis. Faringotonsilitis dan adenotonsilitis juga merupakan variasi dari
tonsilitis, mengingat daerah tersebut berdekatan dengan tonsil (Shah, 2014).

3.1.2 Anatomi dan Fisiologi Tonsil


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatine dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina atau yang
biasanya disebut tonsil adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring. Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis
gepeng yang juga melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus
terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli
terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus.
Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang
tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik.
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau
dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan
13

dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX
yaitu nervus glosofaringeal.
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan
cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri
lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus
vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. Aliran getah bening
dari daerah tonsil akan menuju kelenjar getah bening servikal profunda (deep
jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus.
Tonsil faringeal atau adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan
terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Adenoid
tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring.
Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan
posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba
eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya
adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan
mengalami regresi. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua
oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata.
3.1.3 Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, tetapi jarang pada anak di
bawah usia 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus
biasanya terjadi pada anak usia 5 – 15 tahun, sementara tonsilitis viral lebihs ering
pada anak yang berusia lebih muda. Abses peritonsilar biasanya terjadi pada
dewasa muda dan remaja.
Faringitis biasanya terlibat pada berbagai infeksi saluran nafas atas
(ISPA). Kurang lebih 2,5 % dan 10,9 % anak-anak dikatakan sebagai karier. Pada
14

salah satu studi dikatakan bahwa prevalensi status karier Streptococcus grup A
pada anak-anak usia sekolah adalah sebanyak 15,9 % (Pichichero, 2003; Wald,
2001).
3.1.4. Patofisiologi
Infeksi bakterial atau virus dan faktor imunologis akan menyebabkan
tonsilitis dan komplikasinya. Kondisi lingkungan yang terlalu padat penduduk dan
malnutrisi akan memudahkan terjadinya tonsilitis. Sebagian besar faringitis akut
dan tonsilitis akut disebabkan oleh virus sebagai berikut (Pichichero, 2003) :
1. Herpes simplex virus
2. Epstein-Barr virus
3. Cytomegalovirus
4. Adenovirus
5. Measles virus
Infeksi bakterial menjadi penyebab sebanyak 15 – 30 % kasus
faringotonsilitis. Bekteria anaerob juga memiliki peran sendiri pada penyakit yang
berkaitan dengan tonsil. Sebagian besar kasus tonsilitis bakterial disebabkan oleh
group A beta-hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS). S. pyogenes akan
berikatan dengan reseptor adhesin yang terletak di epitel tonsil. Imunoglobulin
akan melapisi patogen yang merupakan awal dari terjadinya tonsilitis bakterial
(Pichichero, 2003).
3.1.5. Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan waktunya, tonsilitis terbagi menjadi beberapa
jenis, yaitu (Baugh, dkk., 2011):
- Akut : terjadi gejala tonsilitis yang biasanya akan mereda dalam 3 – 4 hari
yang dapat menetap hingga 2 minggu.
- Rekuren : jika terdapat sebanyak 7 episode kultur positif dalam 1 tahun, 5
infeksi dalam 2 tahun berturut-turut, atau 3 infeksi setiap tahun pada 3
tahun yang berurutan.
- Kronis : gejalanya yang timbul biasanya berkaitan dengan infeksi kronis
pada tonsil, yaitu nyeri tenggorok kronis, halitosis, dan nyeri pada
limfonofi servikal.
15

3.1.6 Tanda dan Gejala


Anamnesis yang lengkap terhadap riwayat penyakit sekarang dan dahulu
pada pasien akan menentukan jenis tonsilitisnya (akut, rekuren, atau kronis).
Individu dengan tonsilitis akut biasanya menunjukkan demam, nyeri tenggotokan,
nafas bau, disfagia (susah menelan), odinofagia (nyeri telan), dan nyeri tekan pada
limfonodi servikal. Obstruksi saluran nafas dapat bermanifestasi sebagai nafas
melalui mulut, mendengkur, gangguan nafas saat tidur, atau sleep apnea. Sering
disertai dengan letargi dan malaise. Gejala yang timbul mereda dalam 3-4 hari dan
dapat mencapai 2 minggu Tonsilitis kronis biasanya menimbulkan gejala nyeri
telan kronis, halitosis, dan nyeri tekan pada limfonodi servikal yang persisten
(Baugh, dkk., 2011;Wald, 2001).

3.1.7 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik harus diawali dengan menentukan derajat gangguan
saluran nafas dan fungsi menelan. Pemeriksaan pada faring diawali dengan
membuka mulut tanpa lidah menjulur, diikuti dengan penekanan bagian tengah
lidah. Periksa daerah mukosa oral, gigi, dan duktus kelenjar ludah menggunakan
spatel lidah. Jika telah terjadi trismus yang berat, pemeriksaan fisiknya dapat
dibantu menggunakan alat nasofaringoskopi fiberoptik fleksibel (Udayan, 2008).

Gambar 1 Pemeriksaan faring , dan tonsil kiri


16

Gambar 2 Pemeriksaan mukosa oral (kanan)

Pada pemeriksaan fisik tonsilitis akut dapat ditemukan demam dan


pembesaran tonsil yang mengalami inflamasi yang bisa terdapat eksudat.
Streptococcus pyogenes grup A beta-hemolitik dan EBV (Ebstein-Barr virus)
dapat menyebabkan tonsilitis yang berkaitan dengan terjadinya peteki pada
palatum. (Udayan, 2008).

Gambar 3 Tonsilitis akut bakterial: tonsil membesar dan terjadi inflamasi


disertai eksudat uvula tampak masih di garis tengah
Pernafasan melalui mulut dan perubahan suara (lebih tebal atau lebih
dalam) merupakan akibat dari pembesaran tonsil yang menyebabkan obstruksi.
Perubahan suara pada tonsilitis akut biasanya tidak separah pada abses
peritonsilar. Pada abses peritonsilar akan terjadi edema faring dan trismus yang
17

akan menyebabkan suara menjadi berubah, yang disebut sebagai hot-potato voice.
(Brooke, 2005).
Nyeri tekan pada limfonodi servikal dan kaku pada leher biasanya terjadi
pada tonsilitis akut. Periksa kulit dan mukosa untuk melihat tanda dehidrasi.
Pertimbangkan mononukleosis infeksius akibat EBV pada remaja atau anak kecil
dengan tonsilits akut, terutama jika ditemukan nyeri tekan pada limfonodi
servikal, aksila, atau inguinal; splenomegali; letargi dan malaise berat; dan low
grade fever. Membran keabu-abuan dapat menutupi tonsil yang mengalami
inflamasi akibat infeksi EBV. Membran ini dapat dihilangkan tanpa adanya
perdarahan. Erosi pada mukosa palatum dan peteki pada mukosa pada palatum
durum juga dapat terjadi (Baugh, dkk., 2011).

Gambar 4 Tonsilitis akibat EBV (moninukleosis infeksius) : tampak tonsil yang membesar
mengalami inflamasi tertutupi bercak keabu-abuan

Sedangkan pada individu dengan faringitis HSV akan menunjukkan tonsil


yang membengkak, kemerahan, yang dapat ditemukan pula ulkus pada
permukaannya. Dapat ditemukan pula stomatitis gingival, herpes labialis, dan lesi
hipofaringeal dan epiglotis (Baugh, dkk., 2011).
Jika terjadi abses peritonsilar akan ditemukan pembesaran (bulging)
unilateral di atas atau di lateral salah satu tonsil. Hampir selalu ditemukan trismus
pada berbagai derajat keparahan. Dapat disertai pula otalgia unilateral (Baugh,
dkk., 2011; Brooke, 2005).
3.1.8. Komplikasi
18

3.1.9. Pemeriksaan Penunjang


Tonsilitis merupakan diagnosis klinis. Pemeriksaan penunjang dibutuhkan
jika mengindikasikan adanya infeksi GABHS. Kultur tenggorok merupakan
standar untuk mendeteksi GABHS. Pasien dengan tonsilitis yang dicurigai terjadi
penyebaran ke struktur leher yang lebih dalam perlu dilakukan evaluasi radiologi
menggunakan foto polos leher lateral atau CT scan dengan kontras. Pada kasus
abses peritonsilar, diperlukan CT scan dengan kontras (Baugh, dkk., 2011).
3.1.10. Pengobatan
Pengobatan tonsilitis akut bersifat suportif, mempertahankan hidrasi yang
adekuat, masukan kalori, mengendalikan demam, dan mengendalikan nyeri.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan kalori oral dan masukan cairan
dibutuhkan hidrasi intravena, antibiorik, dan pengendali nyeri. Kortikosteroid
intravena juga dapat diberikan untuk mengurangi edema faring. Obstruksi jalan
nafas membutuhkan manajemen dengan menempatkan alat penunjang saluran
nafas, kortikosteroid intravena, dan pemberian iksigen (Shah, 2014)
Dahulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan
berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan
hipertrofi tonsil. Menurut American Academy of Otolaryngology – Head and Neck
Surgery (AAO-HNS) (1995), indikator klinis untuk prosedur tonsilektomi adalah
seperti berikut:
1. Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
nafas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor
pulmonale.
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.
5. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
19

6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus


beta hemoliticus.
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
8. Otitis media efusa/otitis media supuratif
Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut
untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang
dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik. Obstruksi
nasofaringeal dan orofaringeal yang berat sehingga mengakibatkan terjadinya
gangguan apnea ketika tidur merupakan indikasi absolut untuk operasi. Pada
kasus yang ekstrim, obstructive sleep apnea ini dapat menyebabkan hipoventilasi
alveolar, hipertensi pulmonal dan kardiopulmoner (Schidt, dkk., 2007)
20

3.2. Anestesi Umum


3.2.1 Definisi
Anestesi umum adalah suatu tindakan yang menghilangkan rasa sakit
seluruh tubuh dari sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel
(Soenarjo, 2010). Pasien yang sedang teranestesi dapat dikatakan sedang dalam
keadaan yang dapat dikendalikan dan dalam keadaan tidak sadar yang sifatnya
reversibel. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah
yang akan menimbulkan nyeri yang tidak tertahankan, merangsang perubahan
fisiologis secara ekstrim, dan meninggalkan memori yang tidak mengenakkan
(Desai, 2011).
Dikenal istilah trias anestesi, yaitu hipnosis, analgesia, dan arefleksia. Saat
ini anestesi umum tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut, namun
lebih luas. Soenarto, dkk. (2012) mengatakan bahwa komponen yang ada dalam
anestesi umum yaitu :
1. Hipnosis, yaitu suatu keadaan hilangnya kesadaran.
2. Analgesia, yaitu suatu keadaan hilangnya rasa nyeri yang ditimbulkan oleh
rangsang.
3. Arefleksia, yaitu suatu keadaan hilangnya refleks-refleks motorik tubuh,
sehingga memungkinkan imobilisasi pasien.
4. Relaksasi otot.
5. Amnesia, yaitu suatu keadaan hilangnya memori atau ingatan pasien
selama menjalani prosedur operasi atau anestesi.
Namun dalam praktik klinis sehari-hari, tidak semua komponen di atas
harus terpenuhi semua. Untuk prosedur bedah, analgesia merupakan peringkat
teratas komponen anestesi yang harus dipenuhi. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa anestesi umum adalah suatu tindakan yang menyebabkan perubahan
fisiologis secara reversibel yang dikondisikan untuk memungkinkan pasien
menjalani berbagai prosedur medis (Soenarto, dkk., 2010).
3.2.2. Klasifikasi
Tekhnik anastesi umum dibagi menjadi antara lain (Mangku, 2010):
1. Anastesi umum intravena
21

Merupakan salah satu teknik anastesia umum yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anastesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
Beberapa variasi anestesia intravena:
a. Anastesi intravena klasik
Pemakaian kombinasi obat ketamine hidroklorida dengan sedative
misalnya: diazepam, midazolam, atau dehidro benzperidol. Komponen
trias anastesia yang dipenuhi dengan tekhnik ini adalah hipnotik dan
sedative. Indikasi penggunaan anastesia intravena klasik adalah pada
operasi kecil dan sedang yang tidak memerlukan relaksasi lapangan
operasi yang optimal dan berlangsung singkat dengan perkecualian operasi
di daerah jalan nafas dan intraokuler. Kontraindikasi penggunaan anastesi
intravena klasik, antara lain:
1. Pada pasien yang rentan terhadap obat-obat simpatomimetik,
misalnya; penderita diabetes mellitus, hipertensi, tiroktosikosis dan
paeokromo sitoma.
2. Pasien yang menderita hipertensi intracranial.
3. Pasien yang menderita glaukoma.
4. Operasi intraokuler.
b. Anastesi intravena total
Pemakaian kombinasi obat anastetika yang berkhasiat hipnotik,
analgetik dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen trias anastesi
yang dipenuhi dengan tekhnik ini adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi
otot. Indikasi penggunaan anastesia intravena klasik adalah pada operasi-
operasi yang memerlukan relaksi operasi optimal.
c. Anastesia-analgesia neurolept
Pemakaian kombinasi obat neuroleptic dengan analgetik opiate
secara intravena. Komponen trias anestesia yang dipenuhinya adalah
sedasi atau hipnotik ringan dan analgesia ringan. Indikasi penggunaan
anastesia-analgesia neurolept adalah tindakan diagnostic endoskopi seperti
misalnya: laringoskopi, bronkoskopi, esofaguskopi, rektoskopi, dll dan
sebagai suplemen tindakan anastesia lokal. Kontraindikasi penggunaan
22

anastesia-analgesia neurolept adalah penderita Parkinson, penderita


penyakit paru obstruktif dan bayi dan anak-anak, kontraindikasi relative.
2. Anastesia umum inhalasi
Merupakan salah satu tekhnik anastesia umum yang dilakukan
dengan jalan memberikan kombinasi obat anastesia inhalasi yang berupa
gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat/mesin anestesia
langsung ke udara respirasi. Tekhnik anastesia umum inhalasi dibagi
menjadi antara lain:
a. Inhalasi sungkup muka.
Pemakaian salah satu obat kombinasi obat anastesia umum inhalasi
melalui sungkup muka dengan pola nafas spontan. Indikasi pemakaian
inhalasi sungkup muka pada operasi kecil dan sedang didaerah
permukaan tubuh, berlangsung singkat dan posisinya terlentang.
Kontraindikasi penggunaan inhalasi sungkup muka adalah operasi di
daerah kepala dan jalan nafas dan operasi dengan posisi miring atau
telungkup.
b. Inhalasi sungkup laring
Pemakaian salah satu kombinasi obat anastesia umum inhalasi
melalui sungkup laring dengan pola nafas spontan. Indikasi pemakaian
inhalasi sungkup laring pada operasi kecil dan sedang didaerah
permukaan tubuh, berlangsung singkat dan posisinya terlentang.
Kontraindikasi penggunaan inhalasi sungkup laring adalah operasi di
daerah rongga mulut dan operasi dengan posisi terlungkup.
c. Inhalasi pipa endotrakea (PET) nafas spontan.
Pemakaian salah satu kombinasi obat anastesia umum inhalasi
melalui pipa endotrakea dengan pola nafas spontan. Indikasi pemakaian
inhalasi pipa endotrakea pada operasi di daerah kepala-leher dengan
posisi terlentang, berlangsung singkat dan tidak memerlukan relaksasi
otot yang maksimal. Kontraindikasi penggunaan inhalasi pipa
endotrakea (PET) nafas spontan adalah pada operasi intracranial,
23

torakotomi, laparotomy, operasi dengan posisi khusus (misalnya miring


atau tengkurap) dan operasi yang berlangsung lama lebih dari satu jam.
d. Inhalasi pipa endotrakea (PET) nafas kendali.
Pemakaian salah satu kombinasi obat anastesia umum inhalasi
melalui pipa endotrakea dan pemakaian obat pelumpuh otot non
depolarisasi dengan pola nafas kendali. Komponen trias anastesia yang
harus dipenuhi adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Indikasi
pemakaian inhalasi pipa endotrakea pada kraniotomi, torakotomi,
laparotomi, operasi dengan posisi khusus, operasi yang berlangsung
lama lebih dari 1 jam.
3. Anastesia imbang
Merupakan tekhnik anastesia dengan mempergunakan kombinasi
obat-obatan baik obat anastesia intravena maupun obat anastesia inhalasi
atau kombinasi tekhnik anastesia umum dengan anastesia regional untuk
mencapai trias anastesi. Indikasi pemakaian anastesi seimbang pada
operasi besar dan lama seperti kraniotomi, torakotomi, laparotomi, operasi
dengan posisi khusus dan operasi yang berlangsung lama (>1jam).
3.2.3. Keuntungan dan Kerugian
Berikut ini adalah keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan teknik
anestesi umum (Soenarjo, 2010):
1. Pasien tidak sadar, mencegah kecemasan atau ansietas pasien selama
prosedur medis berlangsung.
2. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
kecemasan dan berbagai kejadian intraoperatif yang meungkin
memberikan trauma psikologis.
3. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
4. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.
Sementara kerugian-kerugian yang diperoleh dengan menggunakan teknik
anestesi umum adalah sebagai berikut :
1. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir seluruh regulasi tubuh menjadi
tumpul di bawah anestesi umum.
24

2. Memerlukan pemantauan yang lebih holistik.


3. Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat.
4. Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.
3.2.4. Manajemen Perianestesi
Menurut Soenarjo, 2010, Elsevier, 2010, keseluruhan prosedur anestesi
dimulai sejak 1.) preanestesi, 2.) intraanestesi, dan 3.) postanastesi. Ketiga periode
ini dikenal sebagai periode perianestesi. Tujuan dari manajemen perianestesi ini
adalah untuk mempersiapkan pasien seoptimal mungkin untuk dilakukan anestesi.
Manajemen perianestesi sulit untuk optimal jika waktu yang tersedia sempit. Hal
tersebut menyebabkan pembedahan emergensi selalu memiliki angka morbiditas
atau mortalitas yang lebih tinggi.
1. Periode Preanestesia
Tujuannya adalah untuk mencari kemungkinan penylit anestesi atau dalam
tindakan pembedahan. Harus diketahui riwayat kesehatan pasien dan riwayat
pemakaian obat-obatan. Salah satu penyulit anestesi adalah kelainan anatomi,
terutama anatomi jalan nafas. Kelainan fungsi tubuh dan penyakit penyerta juga
perlu diketahui karena akan berhubungan dengan pilihan teknik dan obat anestesi.
Infeksi akut harus diatasi dulu pada operasi elektif (Soenarjo, 2010).
Evaluasi preanestesi didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang jika diperlukan. Hal lain yang perlu diketahui adalah
menanyakan waktu makan atau minum terakhir. Pada umumnya, pasien dewasa
memerlukan waktu 6-8 jam untuk mengosongkan lambung dari makanan padat,
anak besar 4-6 jam, sedangkan anak kecil danbayi 4 jam. Cairan bening boleh
diminum sedikit-sedikit hingga 2 jam preanestesi (Soenarjo, 2010).
Setelah seluruh data dikumpulkan maka dapat dilakukan penggolongan
status fisik menurut ASA (American Society of Anesthesiologist). Status fisik
pasien menggambarkan tingkat kebugaran pasien untuk menjalani anestesi.
Klasifikasi status fisik yang dibentuk oleh ASA telah dikenal dan dipergunakan
secara luas (Soenarjo, 2010; Soenarto, 2012):
Tabel 1 Klasifikasi ASA

Klasifikasi Deskripsi Mortalitas


25

ASA (%)
Kelas I Pasien sehat yang akan menjalani operasi. 0,1
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik yang ringan atau 0,2
sedang, tanpa pembatasan aktivitas.
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat yang 1,8
membatasi aktivitas biasa.
Kelas IV Pasien dengan kelainan sistemik berat yang 7,8
menyebabkan ketidakmampuan melakukan
aktivitas biasa (rutin), yang mengancam nyawanya
setiap waktu.
Kelas V Pasien yang tidak dapat hidup atau bertahan dalam 9,4
24 jam dengan atau tanpa operasi.
Kelas VI Pasien mati otak yang akan dilakukan donor organ.
Kelas E Operasi dilakukan darurat atau segara.

2. Periode Intraanestesia
Anestesi umum dimulai dengan premdikasi, induksi, diikuti oleh tahap
pemeliharaan atau maintenance, dan diakhiri dengan pemulihan anestesi. Tahap
pemulihan anestesi biasanya dilakukan dengan pengawasan di ruang pulih sadar
hingga pasien memenuhi beberapa persyaratan untuk dipindahkan ke ruang
perawatan atau dipulangkan (Soenarjo, 2010).
Premedikasi
Obat-obat pada premedikasi diberikan bertujuan untuk menimbulkan rasa
nyaman, menghambat sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus, menurunkan
dosis obat anastesia dan mengurangi rasa sakit dan kegelisahan pasca bedah.
Berdasarkan kegunaannya, obat premedikasi dibagi menjadi beberapa jenis antara
lain (Mangku, 2010):
1. Obat golongan antikolinergik
Obat golongan antikolinergik bekerja dengan menghambat aktivitas
kolinergik atau parasimpatis dengan tujuan untuk menghambat sekresi
kelenjar saliva, GI dan saluran nafas, mencegah spasme laring dan bronkus,
mencegah bradikardia, menurunkan motilitas usus dan melawan efek depresi
narkotik pada pusat nafas. Obat golongan antikolinergik yang digunakan
dalam praktek anastesia adalah preparat alkaloid belladonna yang turunannya
26

adalah sulfas atropine dan skopolamin. Dosis premedikasi dari sulfas atropine
melalui pemberian injeksi intravena adalah 0,005 mg/kgBB yang diberikan 5-
10 menit sebelum induksi dan melalui injeksi intramuscular adalah 0,01
mg/kgBB yang diberikan 30-40 menit sebelum induksi.
2. Obat golongan sedative/trankuilizer
Obat golongan sedative/trankuilier diberikan untuk mengurangi rasa
cemas dan menimbulkan rasa kantuk. Terdapat beberapa golongan obat yang
termasuk dalam golongan sedative/trankuilier antara lain golongan
fenothiazin, golongan benzodiazepine, golongan butirofenon dan golongan
barbiturat. Obat golongan fenotiazin memberikan efek depresi sistem saraf
pusat, menekan pusat muntah, dilatasi otot polos saluran nafas, menghambat
sekresi kelenjar, vasodilatasi sehingga memperbaiki perfusi jaringan,
menurunkan peristaltic usus, mencegah spasme dan menurunkan sekresi
kelenjar pada saluran pencernaan. Dosis premedikasi dari prometazin melalui
pemberian injeksi intravena adalah 0,5 mg/kgBB yang diberikan 5-10 menit
sebelum induksi dan melalui injeksi intramuscular adalah 1 mg/kgBB yang
diberikan 30-45 menit sebelum induksi.
Obat golongan benzodiazepine memberikan efek sedasi, mengurangi rasa
cemas, amnesia antegrad, depresi ringan, pada dosis tinggi dapat memberikan
efek hipotensi, menurunkan tonus otot rangka. Dosis premedikasi midazolam
melalui injeksi intravena adalah 0,07-0,1 mg/kgBB. Obat golongan
butirofenon memberikan efek sedasi, anti muntah, dilatasi pembuluh darah
hidung dan vasodilatasi. Dosis premedikasi dehidrobensperidol melalui injeksi
intramuscular adalah 0,1mg/kgBB. Obat golongan barbiturate yang sering
digunakan sebagai obat premedikasi adalah pentobarbital dan sekobarbital.
Digunakan sebagai sedasi dan penenang pra bedah, terutaama pada anak-anak.
Sebagai premedikasi diberikan secara intramuscular dengan dosis 2 mg/kgBB
atau peroral.
3. Obat golongan analgetik narkotik atau opioid
Golongan narkotik yang sering digunakan sebagai obat premedikasi
adalah petidin, morfin dan fentanyl. Golongan obat ini memberikan efek
27

analgetik, sedasi, depresi pusat nafas terutama pada bayi dan orang tua,
merangsang pusat muntah dan menimbulkan spasme spincter kandung empedu.
Sebagai premedikasi fentanyl diberikan secara intravena dengan dosis 1-2
mcg/kgBB.

Induksi
Dalam praktik, obat-obat anestesi dimasukkan ke dalam tubuh melalui
inhalasi, intravena, intramuskuler, atau rektal. Berdasarkan pemasukkan obat ke
dalam tubuh, obat induksi dibagi menjadi beberapa cara antara lain:
1. Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan karena cepat. Pada saat
menginduksi harus dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan dan
terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60
detik. Selama iniduksi, pernapasan, nadi dan tekanan darah harus diawasi
dan selalu diberikan O2. Tiopental (tiopenton, peniotat) diberikan dengan
dosis antara 2-7 mg/kgBB. Pada anak dan manula digunkan dosis rendah
dan dewasa muda sehat dengan dosis tinggi. Propofol (recofol, lipuro)
diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB. Ketamin (ketalar) diberikan dengan
dosis 1-2 mg/kgBB. Ketamin sering menimbulkan halusinasi, maka
dianjurkan sebelumnya diberikan sedative (midazolam). Ketamin tidak
dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160
mmHg).
2. Induksi intramuskular
Sampai saat ini hanya ketamin yang dapat diberikan secara intramuskular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
3. Indukasi inhalasi
Induksi inhalasi menggunakan halotan atau sevofluran. Induksi denngan
sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun langsung
diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. Induksi dengan
halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O:O2=3:1 aliran
4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai onsentrasi yang
28

dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk


kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsntrasi yang
diperlukan. Induksi dengan enfluran, isofluran atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering sering batuk dan waktu induksi menjadi
lama.
4. Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak-anak atau bayi menggunakan tiopental atau
midazolam.
Setelah dilakukan induksi, dapat dinilai kedalaman anestesi atau stadium
anestesi. Stadium anestesi dibuat berdasarkan efek dari ether, yaitu zat anestetik
volatil poten yang digunakan luas pada zamannya, sehingga banyak dilakukan
pengamatan dan penelitian terhadap efek zat anestetik tersebut. Guedel membagi
kedalaman anestesi menjadi empat stadium, dengan menilai pernafasan, gerakan
bola mata, pupil, tonus otot, dan refleks pada pasien yang mendapat anestesi ether.
Klasifikasi stadium anestesi tersebut adalah (Soenarjo, 2010; Soenarjo, 2012):
4. Stadium I : disebut juga sebagai stadium analgesia, disorientasi, atau
induksi.
Stadium ini adalah periode sejak masuknya obat induksi hingga hilangnya
kesadaran, yang salah satunya ditandai dengan hilangnya refleks bulu
mata. Pada stadium ini dapat dilakukan operasi kecil.
5. Stadium II : disebut juga sebagai stadium eksitasi atau delirium.
Setelah menghilangnya kesadaran, timbul eksitasi dan delirium. Stadium
ini akan menyebabkan pernafasan menjadi ireguler, pupil melebar
(midriasis), timbul gerakan-gerakan otot involunter, seringkali spastik,
tonus otot meningkat, gerakan bola mata tidak teratur, peningkatan tonus
simpatis, dan kadang-kadang pasien dapat muntah pada stadium ini.
Refleks fisiologis dan refleks cahaya masih ada.
Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata
dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini merupakan stadium
yang membahayakan pasien, sehingga harus segera diakhiri.
6. Stadium III : disebut juga sebagai stadium operasi atau pembedahan.
29

Stadium ini terbagi menjadi empat plana, yaitu :


- Plana 1 : dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan nafas teratur, gerakan bola mata berhenti, pupil
mengecil (miosis), refleks cahaya positif, lakrimasi meningkat,
refleks faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
- Plana 2 : dari terhentinya gerakan bola mata sampai permulaan
paralisis otot interkostalis. Ditandai dengan nafas teratur, volume
tidal menurun, sehingga frekuensi nafas meningkat, pupil melebar
(midriasis), refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang,
dan tonus otot semakin menurun.
- Plana 3 : dari permulaan paralisis otot interkostalis sampai paralisis
seluruh otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal
lebih dominan, pupil semakin lebar (midriasis), refleks cahaya
menghilang, tidak ada lakrimasi, refleks laring dan peritoneal
menghilang, tonus otot makin menurun.
- Plana 4 : dari paralisis semua otot interkostal sampai paralisis
diafragma. Ditandai dengan pernafasan lambat, ireguler, tidak
adekuat, tonus sangat menurun, sehingga mterjadi flaksid, pupil
melebar, refleks cahaya tidak ada, refleks spingter ani tidak ada.
7. Stadium IV : merupakan stadium overdosis obat anestetik atau stadium
paralisis. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang otak.
Ditandai dengan hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi kegagalan
respirasi dan diikuti dengan kegagalan sirkulasi.
30

Gambar 5 Stadium Anastesi

Berikut ini beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses suatu


anestesi (Soenarto, 2012): :
1. Faktor Respirasi (untuk obat inhalasi)
Setelah obat inhalasi sampai alveolus, akan mencapai tekanan parsial
tertentu. Makin tinggi konsentrasi zat yang diinhalasi, semakin tinggi
tekanan parsialnya. Perbedaan tekanan parsial zat anestesi di dalam
alveolus dan di dalam darah akan menyebabkan terjadinya difusi. Bila
tekanan parsial di alveolus tinggi, maka akan terjadi difusi dari alveolus ke
dalam sirkulasi, demikian sebaliknya. Semakin tinggi perbedaan tekanan
parsial, semakin cepat terjadinya difusi.
2. Faktor Sirkulasi
Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke
jaringan dan sebaliknya. Jika terjadi gangguan pembuluh darah pada paru
maka obat yang dapat diangkut juga akan semakin sedikit. Demikian pula
pada keadaan cardiac output yang menurun.
31

Koefisien partisi gas darah (Blood gas partition coefisient) adalah rasio
konsentrasi zat anestesi dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam
keadaan keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi
(koefisien BG tinggi), maka obat akan berdifusi cepat larut di dalam darah.
3. Faktor Jaringan
Faktor jaringan dipengaruhi oleh perbedaan tekanan parsial obat anestesi
di dalam sirkulasi darah dan di dalam jaringan, kecepatan metabolisme
obat, dan aliran darah dalam jaringan.
4. Faktor Obat Anestesi
Untuk mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC
(minimal alveolar concentration), yaitu konsentrasi obat anestesi inhalasi
minimal pada tekanan udara 1 atmosfer yang dapat mencegah gerakan otot
skelet sebagai respon rangsang sakit supramaksimal pada 50 % pasien.
Semakin rendah MAC, semakin tinggi potensinya.
Induksi inhalasi diberi dengan meminta penderita menghirup campuran
gas anestesi dengan oksigen, melalui face mask. Gas anestesi bisa diambil dari
tabung gas (N2O) atau dari obat anestesi cair yang diuapkan melalui vaporizer.
Pada zaman dahulu, obat anestesi cair diteteskan pelan-pelan langsung ke face
mask yang dibuat dari kawat dan dibalut kain kasa. Cara demikian disebut sebagai
open drop. Dahulu, obat anestesi inhalasi yang digunakan adalah ether. Namun
karena menimbulkan stadium II yang lebih lama, maka akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas bagi penderita. Saat ini, induksi inhalasi sudah lebih
baik, yaitu menggunakan halothane, enflurane, isoflurane, atau sevoflurane.
Dengan menggunakan obat-obat tersebut, penderita akan masuk ke stadium III
lebih cepat. Biasanya induksi inhalasi dikerjakan pada bayi dan anak (Soenarjo,
2010).
Induksi intravena dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi ke dalam
pembuluh darah vena. Pada induksi ini tidak terjadi stadium II. Induksi
intramuskuler yaitu dengan menyuntikkan obat anestesi ke dalam otot. Biasanya
dikerjakan pada anak-anak (Desai, 2011).
32

Untuk menjaga agar penderita tidak terjatuh ke dalam hipoksia, sebelum


induksi dilakukan perlu diberikan oksigenasi selama 5 menit. Cara ini disebut
sebagai preoksigenasi. Dengan memberi preoksigenasi, kapasitas residual
fungsional paru akan terisi penuh oleh oksigen. Oksigen yang larut dalam darah
juga akan meningkat, sehingga jika terjadi gangguan respirasi pada saat dilakukan
induksi anestesi maka sudah ada cadangan oksigen yang diharapkan cukup untuk
memberikan kompensasi sampai gangguan respirasi dapat ditangani (Soenarjo,
2010).
Tergantung indikasi, setelah dilakukan induksi, dapat dilakukan intubasi
endotrakeal, dipasang sungkup laring atau laryngeal mask airway (LMA), atau
cukup dilakukan dengan face mask (Desai, 2011; Soenarto, 2012)
Pemeliharaan (Maintenance)
Pada periode ini diberikan obat anestesi dalam dosis tertentu,
sehingga tercapai anestesi yang tidak terlalu dalam dan tidak terlalu dangkal.
Pada fase pemeliharaan dapat dipakai obat inhalasi dan obat intravena atau
gabungan keduanya, sehingga dosis masing-masing dapat diperkecil.
Diperlukan anestesi umum sampai tingkat kedalamannya mencapai trias
anestesi, yaitu hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot. Pemeliharaan intravena
dengan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 μg/kgBB. Dosis tinggi opioid
menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Selain itu juga dapat menggunakan
dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesia total intravena menggunakan
opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan pasru
digunakan inhalasi dengan udara +O2 atau N2O + O2 (Soenarjo, 2010).

Pemeliharaan inhalasi biasanya menggunkan campuran N2O dan O2


3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau efluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4
vol% atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernafas spontan,
dibantu atau dikendalikan (Soenarjo, 2010).
33

Pada pasien yang tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat
pelemas otot, jika mendapat rangsang nyeri akan menimbulkan gerakan
lengan atau kaki, adanya lakrimasi, pernafasan ireguler, atau terdapat tanda-
tanda pelepasan adrenalin (katekolamin), seperti frekuensi nadi bertambah,
tekanan darah meningkat, atau berkeringat (Soenarjo, 2010).
Jika ditemukan keadaan seperti tersebut di atas, diatasi dengan
mendalamkan anestesi, salah satunya dengan cara menambah dosis obat. Jika
hanya menggunakan obat tunggal, maka dosis yang diberikan harus sangat
tinggi yang membahayakan pasien. Untuk mengatasinya, ada teknik agar
mencapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu pasien dibuat
tidur dengan hipnotik, analgesiknya menggunakan analgetik kuat,
relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant). Teknik ini
disebut sebagai balanced anaesthesia (Soenarjo, 2010).
Karena pada balanced anaesthesia menggunakan pelemas otot, maka
otot-otot tidak dapat berkontraksi, termasuk otot-otot respirasi, sehingga
diperlukan nafas buatan. Nafas pasien sepenuhnya tergantung dari
pengendalian, maka balanced anaesthesia juga disebut dengan teknik
respirasi kendali (Soenarjo, 2010).
Berdasar respirasinya, anestesi umum dibedakan menjadi tiga macam
(Desai, 2011), yaitu :
1. Respirasi spontan, yaitu pasien bernafas sendiri secara spontan.
2. Respirasi kendali / kontrol, yaitu pasien tidak bernafas dan membutuhkan
pernafasan bantuan untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
3. Respirasi assisted, yaitu pasien bernafas spontan, tetapi masih harus
diberikan bantuan untuk memenuhi minute volume.
Karena teknik anestesi umum ini menggunakan pelemas otot, maka
diperlukan intubasi endotrakeal untuk menjaga jalan nafas dan
mempertahankan transpor oksigen yang adekuat (Desai, 2011).
Pemulihan Anestesi
34

Apabila operasi telah selesai, maka anestesi dapat diakhiri dengan


menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi, bersamaan
dengan penghentian obat anestesi, aliran oksigen harus dinaikkan, yang
disebut sebagai oksigenasi. Pada pasien ini, setelah dilakukan penghentian
nitrogen oksida dan isoflurane, oksigen yang diberikan langsung
ditingkatkan menjadi 6 lpm (Soenarjo, 2010).
Dengan oksigenasi, oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya
diisi oleh obat anestesi inhalasi di alveolus yang berangsur-angsur keluar
mengikuti udara ekspirasi. Tekanan parsial obat anestesi yang ada di
alveolus lama kelamaan akan menurun, sehingga lebih rendah daripada
tekanan parsial obat anestesi dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan
adanya difusi obat anestesi dalam darah menuju alveolus, yang diikuti oleh
penurunan kadar obat anestesi dalam darah yang semakin berkurang. Selain
itu, obat anestesi yang ada dalam darah juga telah mengalami metabolisme di
hepar atau sudah mengalami ekskresi melalui ginjal atau keringat.
Penurunan kadar obat anestesi dalam darah akan diikuti oleh pulihnya
kesadaran penderita secara berangsur-angsur (Soenarjo, 2010).
Pada pasien yang menggunakan endotracheal tube, perlu dilakukan
ekstubasi. Ekstubasi dapat dilakukan pada saat pasien masih teranestesi dalam
atau pada saat pasien telah sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar dapat
mengakibatkan spasme jalan nafas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, dan
meningkatnya tekanan intrakranial. Ekstubasi pada saat penderita masih
teranestesi mempunyai risiko tidak terjaganya jalan nafas dalam kurun waktu
antara pasien tidak sadar hingga pasien sadar (Soenarto, 2012; Desai, 2011)
Pada pasien yang mendapat balanced anaesthesia, ekstubasi dilakukan
setelah nafas pasien adekuat. Untuk mempercepat pulihnya dari pengaruh
pelemas otot, dapat dilakukan reverse, yaitu pemberian obat
antiasetilkolinesterase. Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse
meskipun nafas sudah adekuat pada pasien yang mendapat pelemas otot
(Soenarjo, 2010).
35

Untuk me-reverse pasien yang mendapatkan pelemas otot, digunakan


prostigmin atau neostigmin, dengan dosis 0,06 mg/kgBB. Setiap 1 mg
neostigmin harus diberikan juga sulfas atropin 0,6 – 1,2 mg/kgBB. Efek
muskarinik yang ditimbulkan (misalnya bradikardi) dinetralisir oleh obat
antikolinergik (parasimpatolitik), yaitu sulfas atropin, dengan ketentuan
(Soenarjo, 2010):
- Bila frekuensi nadi ≤ 100 kali/menit, diberi sulfas atropin terlebih dahulu
hingga frekuensi nadi mencapai 100 kali/menit, kemudian diikuti
pemberian neostigmin.
- Jika frekuensi nadi ≥ 100 kali/menit, sulfas atropin dan neostigmin
dicampur dalam satu spuit.
3. Periode Pascaanestesia
Periode pascaanestesi merupakan tindak lanjut dari kondisi praanestesi dan
intraanestesi. Penyebab tersering morbiditas pascaanestesi adalah analgetik yang
tidak adekuat dan hipoksia. Hipoksia pascaanestesi dapat merupakan akibat dari
tingginya kebutuhan oksigen (akibat menggigil atau akibat takikardi), dapat pula
akibat turunnya suplai oksigen (akibat metabolit aktif pelemas otot yang
menyebabkan pasien hipoventilasi bahkan apneu) (Sunarto, 2012).
Untuk menentukan kapan pasien dapat dipindahkan dari kamar
operasi, dipakai modifikasi skor aldrete. Modifikasi skor aldrete adalah
penilaian yang didasarkan atas respirasi, kesadaran, sirkulasi, aktivitas, dan
saturasi oksigen. Masing-masing mempunyai nilai terendah 0 dan tertinggi 2.
Pasien dengan aldrete skor 8 atau lebih dapat dipindahkan ke ruang
perawatan. Untuk pasien rawat jalan setelah aldrete skor mencapai 10 tidak
boleh langsung pulang, tetapi harus menunggu hingga 2 jam, untuk dilatih
duduk, turun, jalan, dan minum secara bertahap (Soenarjo, 2010).
Tabel 2 Skor Aldrete

Kriteria Skor Kondisi


1. Aktivitas 2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas
1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas
0 Tidak mempu menggerakkan ekstremitas
36

2. Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan bebas


1 Dispneu, nafas dangkal atau terbatas
0 Apneu
3. Sirkulasi 2 Tekanan darah < 20 mm dari preanestesi
1 Tekanan darah 20 – 50 mm dari preanestesi
0 Tekanan darah > 50 mm dari preanestesi
4. Kesadaran 2 Sadar penuh
1 Bangun jika dipanggil
0 Tidak berespon
5. Saturasi O2 2 Saturasi O2 > 92 % pada udara kamar
1 Perlu inhalasi O2 untuk saturasi O2 > 90 %
0 Saturasi O2 < 90 % meski dengan suplemen O2

3.3. Intubasi Endotrakeal


Definisi
Intubasi endotrake adalah tindakan yang dilakukan untuk
memasukkan endotracheal tube (ET) ke dalam trakea melalui hidung atau
mulut. ET digunakan sebagai penghantar gas anestesi ke dalam trakea dan
memudahkan mengendalikan ventilasi dan oksigenasi. ET adalah alat
berbentuk pipa yang dimasukkan ke dalam trakea. Endotracheal tube (ET)
untuk orang dewasa memiliki sistem inflation cuff yang terdiri dari katup,
balon pilot, inflating tube, dan cuff. Katup berfungsi untuk mencegah
kehilangan udara setelah cuff diinflasi. Balon pilot sebagai indikator inflasi
cuff. Inflating tube berfungsi menghubungkan katup dengan cuff dan dibuat
menempel pada dinding ET (Soenarjo, 2010).
Cuff dekat ujung distal ET dibuat menjadi satu dengan ET. Fungsi
utama cuff adalah memberi tekanan positif dan mengurangi risiko aspirasi
dan mencegah kebocoran udara nafas saat dilakukan ventilasi tekanan
positif, yang terjadi setelah cuff dikembangkan sampai tidak terdengar lagi
suara nafas. Cuff diinflasi sampai tidak ada udara inspirasi yang bocor tetapi
dapat mencegah dari aspirasi dan tidak menimbulkan kerusakan dinding
mukosa jalan nafas (Soenarjo, 2010).
37

Gambar 6 Endotracheal Tube (Soenarjo, 2010)

Sementara pada anak-anak ET yang digunakan adalah tube non cuff yang
berfungsi mengurangi risiko trauma tekanan dan batuk setelah intubasi. ET non
cuff digunakan untuk anak yang berusia kurang dari 8 tahun, karena bentuk
anatomi subglotis yang sempit (Davis, 2009)
Ukuran ET dinyatakan dalam milimeter (mm) berdasar diameter internal
yang tertera dan ada pula yang dinyatakan dalam French unit. ET juga memiliki
ukuran panjang dalam centimeter (cm). ukuran rata-rata untuk pria adalah 7,5 –
8,0; untuk perempuan adalah 7,0 – 7,5 (Davis, 2009)
Untuk menentukan ukuran ET salah satunya adalah dengan menggunakan
patokan besar jari kelingking pasien, sedang kedalaman insersinya yaitu besar
diameter internal (ukuran ET) dikalikan 3. Misal ukuran ET adalah nomor 7,
maka kedalaman insersinya adalah 7x3, yaitu 21 cm (Davis, 2009)
Berikut ini pedoman yang dipakai dalam menentukan ukuran ET, yang
dirangkum ke dalam tabel (Davis, 2009; Soenarjo, 2010):
Tabel 3 Ukuran Endothracheal Tube (Davis, 2009; Soenarjo, 2012)

Diameter Kedalaman
Umur French unit
internal (mm) insersi
38

Prematur 2,5 10-12 10


Aterm 3,0 12-14 11
1-6 bulan 3,5 16 11
6-12 bulan 4,0 18 12
2 tahun 4,5 20 13
4 tahun 5,0 22 14
6 tahun 5,5 24 15-16
8 tahun 6,5 26 16-17
10 tahun 7,0 28 17-18
12 tahun 7,5 30 18-20
> 14 tahun 8,0-9,0 32-36 20-24

Sementara untuk menetukan ukuran ET oral pada pasien adalah


sebagai berikut (Soenarjo, 2010):
Tabel 4 Ukuran Endotracheal Tube Oral (Soenarjo, 2010)

Umur Diameter internal (mm) Kedalaman insersi (cm)


Aterm 3,5 12
Anak 𝑢𝑚𝑢𝑟 (𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛) 𝑢𝑚𝑢𝑟 (𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛)
4+ 14 +
4 2
Dewasa perempuan 7-8 24
Dewasa laki-laki 7,5-8,5 24
Untuk melakukan intubasi endotrakea, dibutuhkan alat-alat yang harus
dipersiapkan, yaitu :
1. Magil forsep
2. Lubricant
3. Suction cathether
4. Spuit
5. Plester
6. Stilet
7. Self-refilling bag-valve combination, connector, tube, dan sumber oksigen
8. Laryngoscope dengan blade lengkung (tipe Machintosh) atau lurus (tipe
Miller) disesuaikan dengan pasien
9. ET dengan ukuran yang telah disesuaikan
10. Sarung tangan
39

Gambar 7 Laryngoscope tipe Miller dan Machintos

Untuk melakukan intubasi endotrake pada pasien, harus dipastikan tidak


ada alat yang terlewatkan. Untuk memudahkan, dibuat singkatan “STATICS”,
yaitu scope, tube, airway, tape, introducer, connector, dan suction (Davis, 2009;
Soenarto, 2012)
Scope, terdiri dari laryngoscope dan stethoscope. Laringoskop dibagi
menjadi 2 macam berdasar bilahnya, yaitu bilah melengkung disebut tipe
macintosh dan bilah lurus yang disebut tipe Miller. Laringoskop tipe miller
digunakan untuk visualisasi pita suara dengan cara mengangkat epiglotis secara
langsung, sedangkan tipe macintosh tidak mengangkat epiglotis secara lansung,
tetapi dengan cara menempatkan ujung bilah di dalam valecula dan mengangkat
epiglotis secara tidak langsung dengan menarik frenulumnya tanpa menyentuh
epiglotis. Penggunaannya tergantung kondisi klnis dan pasien. Laringoskop tipe
macintosh lebih sedikit menyebabkan trauma karena sama sekali tidak menyentuh
laring dan memberikan ruang yang lebih besar untuk visualisasi dan
menempatkan ET. Sedangkan tipe miller lebih memudahkan intubasi endotrakeal
pada bayi, karena langsung mencari epiglotis dan mengangkatnya.
Stetoskop digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap penempatan dan
kedalaman ET. Jika terdengar suara bagging di kedua paru berarti ET berada di
40

posisi yang tepat, yaitu di trakea. Namun jika terdengar suara bagging di
lambung, berarti penempatannya salah. Selain itu, stetoskop juga untuk
mengevaluasi kedalaman ET. Jika suara paru kiri dan kanan besarnya sama, maka
kedalamannya sudah pas. Jika suara paru kanan lebih besarm, maka kemungkinan
ET terlalu dalam dan masuk ke dalam bronkus kanan.
Tube atau pipa endotrakeal (endotracheal tube) harus dipilih sesuai
ukurannya pasien. Setelah diperoleh ukuran yang dibutuhkan, perlu juga
disiapkan ET dengan 1 ukuran di atasnya dan 1 ukuran di bawahnya. Sehingga
misalnya seorang pasien membutuhkan ET nomor 7, maka harus disiapkan pula
ET nomor 6,5 dan 7,5 mm. Hal tersebut untuk menghindari jika perkiraan ukuran
tidak tepat, sehingga langsung dapat diatasi dengan menggunakan ET yang
ukurannya telah dipersiapkan sebelumnya.
Airway, yaitu jalan nafas. Semua peralatan yang digunakan untuk
membuka dan mengamankan jalan nafas harus disiapkan, seperti oropharyngeal
airway (OPA) dan nasopharyngeal airway (NPA). Ukuran OPA atau NPA
disesuaikan dengan ukuran jalan nafas, yaitu diukur jarak dari sudut bibir sampai
ke bagian depan telinga.
Tape atau plester berfungsi untuk melakukan fiksasi setelah dilakukan
intubasi endotrakeal. Setelah ET terpasang dengan tepat, maka dilakukan fiksasi
agar tidak terjadi perubahan posisi, baik tercabut atau terdorong, sehingga akan
membuat cidera pada mukosa jalan nafas. Plester ditempatkan pada pipi atau di
wajah pasien.
Introducer digunakan untuk membantu insersi ET ke dalam trakea. Alat
yang biasa digunakan adalah mandarin atau kawat yang bisa dimasukkan ke
dalam ET dan dapat diatur kelengkungannya sesuai dengan anatomi jalan nafas,
sehingga akan memudahkan mengarahkan ujung ET melewati pita suara. Alat
lainnya adalah klem Magil, berupa klem yang dapat menjepit ET di dalam rongga
mulut untuk diarahkan ke laring.
Connector merupakan alat untuk menghubungkan atau menyambungkan
ET dengan alat lainnya, yaitu bagging, ventilator, dan sebagainya. Connector ini
41

memiliki ukuran atau diameter yang standar, sehingga dapat dihubungkan ke


semua alat.
Suction atau penyedot, lengkap dengan cution cathether. Berfungsi untuk
menghisap sekret, lendir, atau darah yang berada di rongga mulut atau jalan nafas
yang menyulitkan proses intubasi endotrakea.
Melakukan intubasi endotrakea memiliki kesulitan tersendiri di setiap
pasien. Untuk itu, terdapat skor untuk mengevaluasi perkiraan kesulitan intubasi
endotrakea, yaitu dengan skor Mallampati atau skor Cormack and Lehane (Davis,
2009, Roberts, 2010).

Gambar 8 Derajat Kesulitan dari Mallampati (Soenarjo, 2010)

Untuk memperkirakaan kesulitan intubasi berdasarkan skor Mallampati


terdapat 4 derajat/kelas/grade (Davis, 2009; Roberts, 2010, Soenarjo, 2010):
- Derajat I: Semua glotis terlihat, tidak ada kesulitan
- Derajat II: Hanya glotis posterior yang tampak, derajat ini menyebabkan
kesulitan ringan
- Derajat III: Tidak ada bagian glotis yang tampak, tetapi epiglotis terlihat,
derajat ini menyebabkan kesulitan yang agak berat
- Derajat IV: Epiglotis tidak tampak, dapat menyebabkan kesulitan yang
berat
42

Gambar 9 Derajat Kesulitan dari Cormack dan Lehane

Indikasi
Indikasi khusus dilakukannya intubasi endotrakeal pada pasien di
antaranya adalah (Soenarjo, 2010):
1. Untuk menjaga patensi jalan nafas, sehingga terjamin ventilasi dan
oksigenasi yang adekuat.
2. Perlindungan terhadap paru dengan penutuhpan cuff dari ET harus
dilaksanakan pada pasien yang baru saja makan atau pada pasien yang
menderita obstruksi usus.
3. Operasi yang memerlukan VTP (ventilasi tekanan positif), misal pada
operasi torakotomi, atau pada penggunaan pelemas otot.
4. Operasi yang membutuhkan posisi selain telentang (supine).
5. Operasi daerah kepala, leher, atau jalan nafas atas.
6. Diperlukan pengendalian sekret pulmo atau disebut bronchialpulmonair
toilet.
7. Diperlukan proteksi jalan nafas pada pasien yang tidak sadar atau dengan
penurunan refleks muntah (misalnya pada anestesi umum).
8. Ada penyakit atau kelainan jalan nafas atas.
Kontraindikasi
Sementara kontraindikasi relatif dilakukannya intubasi endotrakea
adalah sebagai berikut (Soenarjo, 2010):
43

1. Trauma jalan nafas berat atau obstruksi yang tidak memungkinkan


pemasangan ET yang aman. Mungkin cricothyrotomi merupakan pilihan
pada beberapa kasus.
2. Trauma servikal yang membutuhkan imobilisasi komplit.

3.4. Keadaan Anatomis dan Fisiologis pada Anak

Anak-anak bukan orang dewasa kecil. Pasien pediatri bervariasi dan dibagi
dalam kelompok antara lain (Macfarlance,2012):
1. Neonatus : yang berusia 44 minggu dari tanggal konsepsi hingga berusia
12 bulan
2. Anak : 1 sampai 12 tahun
3. Remaja : 13 sampai 16 tahun
Perbedaan anatomi dan fisiologi penting akan dipertimbangkan disini
diikuti dengan bagaimana ini akan mempengaruhi praktik anestesi.
1. Sistem Respirasi
a. Memiliki kepala yang besar, leher yang pendek dan oksiput yang
menonjol
b. Lidah yang besar
c. Laring terletak lebih tinggi dan anterior, setinggi C3-C4. Epiglotis yang
panjang, kaku dan berbentuk U-shaped. Sniffing position tidak dapat
membantu untuk mempermudah visualisasi glottis pada pemasangan ET.
d. Dinding dada memiliki kemampuan compliance yang lebih besar
dibandingkan pada orang dewasa. Selanjutnya, kapasitas residual
fungsional (FRC) relatif rendah.
e. Bernafas menghabiskan 15% dari konsumsi oksigen.
f. Otot-otot pernafasan diafragma mudah mengalami kelelahan disebabkan
oleh jumlah serabut otot tipe I yang masih sedikit.
g. RR = 24 – umur/2
2. Sistem Kardivaskuler
Denyut nadi dan tekanan darah sistolik pada anak (Macfarlance,2012):
44

Usia Rata-rata Rentang Rata-rata


Tekanan Darah
Sistolik
Preterm 130 120-170 40-55
New-born 120 100-170 50-90
1-11 bulan 120 80-160 85-105
2 tahun 110 80-130 95-105
4 tahun 100 80-120 95-105
6 tahun 100 75-115 95-110
8 tahun 90 70-110 95-110

10 tahun 90 70-110 100-120


14 tahun LK 80 60-100 110-130
PR 85 65-105 110-130
16 tahun LK 75 55-95 110-130
PR 80 60-100 110-130
Volume darah pada anak :
Umur Volume Darah
Bayi baru lahir 85-90 ml/kg
6 minggu – 2 tahun 85 ml/kg
2 tahun - pubertas 80 ml/kg
3. Sistem Uropoetika dan Keadaan Cairan Tubuh
Pada anak, cairan ekstraselulernya lebih banyak dibandingkan dewasa.
Pada dewasa cairan ekstraseluler mencapai 20%, 15% interstisial dan 5%
intravaskuler. Sedangkan komposisi cairan ekstravaskuler pada anak adalah
40%. Hal ini menjadi indikator penting pada resusitasi cairan jika terjadi
shock hipovolemik atau perdarahan hebat pada anak karena komposisinya
lebih besar. Urin output pada anak sekitar 1-2 ml/kg/jam (Macfarlance,2012).
4. Sistem Hepar
Sistem hepar belum berfungsi baik, dengan jumlah enzim hepar yang
sedikit. Oleh karena itu, obat-obatan seperti barbiturate dan golongan opiad
45

keran akan dimetabolisme lebih lama dalam hepar (slower matabolism)


(Macfarlance,2012).
5. Metabolisme Glukosa
Hipoglikemia lebih cepat terjadi pada anak karena cadangan glikogennya
lebih sedikit. Untuk mengantisipasi hal ini biasanya digunakan infus d5 atau
d10 yang mengandung glukosa sebagai pengganti energinya
(Macfarlance,2012).

3.5. Anastesia dan Reanimasi pada Pasien Pediatri


Anastesi pediatri adalah anastesia pada pasien yang berumur dibawah 12
tahun, yang dibagi menjadi 3 kelompok umur, yaitu:
1. Neonatus
2. Bayi-anak umur <3tahun
3. Anak umur >3tahun
Penatalaksanaan pra anastesi pediatri:
Evaluasi pra anastesia
1. Anamnesis (Alloanamnesis)
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratoriu yang disesuaikan dengan jenis operasi
Persiapan pra anastesia
Puasa
Puasa pada anak :
Umur Makanan padat/
Susu formula/ASI Cairan jernih
<6 bulan 4 jam 2 jam
6 bulan – 36 bulan 6 jam 3 jam
>36 bulan 8 jam 3 jam

Premedikasi
46

1. Bayi : Umur <12 bulan, berikan atropine 0,01-0,02 mg/kgBB, dosis


minimum 0,1 mg secara intravena
2. Anak sehat : Umur 1-3 tahun, berikan atropine 0,01mg/kgBB, dosis
minimum 0,1 mg secara intravena
3. Anak dengan Kelainan Jantung Bawaan : dapat diberikan kombinasi obat
atropine 0,1-0,02mg/kgBB IM, diazepam perrektak 0,02-0,04 mg/kgBB,
30 menit pra induksi, morfin IM 0,2 mg/kgBB, 45 menit pra induksi

Infus
1. Tempat pemasangan infus dilakukan pada dorsum manus, pergelangan
tangan, dekat mata kaki bagian dalam dan kepala.
2. Menggunakan abocath dengan No. 20, 22, 24
3. Cairan yang diberikan:
 Bayi berumur <12 bulan diberikan Dekstrosa 5% dalam NaCl 0,225% atau
NaCl 0,45%
 Umur >12 bulan diberikan Dekstrosa 5% dalam NaCl 0,9% atau dalam
ringer, atau bisa juga diberikan ringer laktat/asetat
 Pada kasus tertentu disesuaikan dengan masalah yang dijumpai

Induksi
1. Pada neonatus : induksi dilakukan di kamar operasi dengan cara inhalasi
dengan kombinasi obat N20 dan 02 = 4:2 (liter) dan obat inhalasi volatile,
kemudian dipasang infus.
2. Pada anak usia <3tahun : induksi dilakukan dikamar terima atau kamar
persiapan dan boleh ditemani orang tua, kemudian dipasang infus.
3. Pada anak usia >3 tahun : pasien diterima orang tuanta dan segera
dipasang infus untuk anestesi local, selanjutnya induksi dilakukan secara
intravena
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien anak dengan tonsillitis kronis, anastesi yang dipilih
adalah anastesia umum inhalasi melalui pipa endotrakea dengan pola nafas
spontan. Indikasi pemakaian inhalasi pipa endotrakea pada operasi di daerah
kepala-leher dengan posisi terlentang, berlangsung singkat dan tidak memerlukan
relaksasi otot yang maksimal. Kontraindikasi penggunaan inhalasi pipa
endotrakea (PET) nafas spontan adalah pada operasi intracranial, torakotomi,
laparotomy, operasi dengan posisi khusus (misalnya miring atau tengkurap) dan
operasi yang berlangsung lama lebih dari satu jam. Tindakan anastesia yang
memadai, meliputi tiga komponen antara lain:
a. Hipnotik
b. Analgesia
c. Relaksasi
Ketiga komponen anesthesia yang populer disebut trias anastesia ini dapat
diwujudkan dengan obat anesthesia tunggal misalnya eter atau dengan kombinasi
beberapa obat untuk mencapai masing-masing komponen trias anastesia tersebut
diatas.
Awalnya dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan keadaan
umum baik, jantung paru dalam batas normal, pemeriksaan abdomen normal dan
pada pemeriksaan rongga mulut didapatkan T4-T4 dengan hiperemis (+).
Pemeriksaan penunjang dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium darah lengkap
bertujuan untuk mengetahui infeksi yang sedang berlangsung dan keadaan pasien
terkait penyakit penyerta yang dimiliki oleh pasien. Berdasarkan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan maka direncanakan
penatalaksanaan untuk pasien ini adalah tonsilektomi. Pasien dilakukan
pemasangan infus sebelumnya untuk mengganti defisit cairan selama puasa,
koreksi defisit cairan pra bedah, fasilitas vena terbuka untuk memasukan obat-
obatan selama operasi, memberikan cairan pemeliharaan, koreksi
defisit/kehilangan cairan selama operasi, koreksi cairan akibat terapi lain dan

47
48

fasilitas transfusi darah. Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian cairan


sebelum operasi dengan tidak ada intake oral dapat mengakibatkan pasien
mengalami defisit cairan dan elektrolit karena terjadinya pembentukan urin,
sekresi gastrointestinal, sekresi kelenjar keringat, dan insensible losses yang terus
menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan
berdasarkan tabel dibawah:
Usia Jumlah Kehilangan Air Tubuh
Dewasa 1,5-2 ml/kg/jam
Anak-anak 2-4 ml/kg/jam
Bayi 4-6 ml/kg/jam
Neonatus 3 ml/kg/jam

Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan pada pasien ini (berat


badan 20 kg): 2 cc/ jam x 20 kg x 6 jam = 240 cc maka kebutuhan cairan untuk
memenuhi defisit cairan sebelum operasi adalah 240 cc.
Terapi cairan durante operasi dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid dan
kombinasi keduanya. Cairan yang dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan
yang digantikan. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight
(garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung
zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Pada
terapi cairan durante operasi diberikan tambahan cairan sesuai dengan jumlah
perdarahan yang kemungkinan terjadi sesuai dengan perhitungan cairan yang
hilang berdasarkan jenis operasi yang dilakukan, dengan asumsi:
Jenis Operasi Perkiraan Cairan yang Hilang
Operasi besar 6-8 ml/kgBB/jam
Operasi sedang 4-6 ml/kgBB/jam
Operasi kecil 2-4 ml/kgBB/jam

Koreksi perdarahan selama operasi untuk bayi dan anak adalah :


1. Perdarahan >10% dari perkiraan volume darah = transfusi darah
49

2. Perdarahan <10% dari perkiraan volume darah = berikan kristaloid


sebanyak 2-3 kali perdarahan atau koloid yang jumlahnya sama dengan
perkiraan jumlah perdarahan atau campuran kristaloid+koloid.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan
darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada kasa ( 1 gram = 1 ml), ditambah dengan faktor koreksi
sebesar 25% x jumlah terukur
+ terhitung. Kebutuhan cairan durante operasi dapat diperkirakan pada pasien ini
(jenis operasi: trauma sedang): 4 cc/kgBB/jam x 20 = 80 cc/jam + cairan
pemeliharaan selama operasi : 2 cc/kgBB/jam x 20 kg = 40 cc/jam maka
kebutuhan cairan untuk memenuhi defisit cairan selama operasi adalah 80 cc
dalam jam I menggunakan cairan kristaloid sebanyak 160-240 cc atau cairan
koloid sebanyak 120 cc. Pada pemantauan perdarahan pada operasi tonsilektomi
pada anak, tidak terdapat pendarahan hebat. Infus kristaloid yang diberikan cukup
untuk menggantikan perdarahan yang terjadi.
Obat-obat yang digunakan pada anestesi dalam operasi ini meliputi obat-
obat untuk premedikasi, induksi dan pemeliharaan. Obat-obat yang digunakan
pada premedikasi antara lain : sulfas atropine, midazolam dan fentanyl. Sulfas
atropine merupakan golongan obat antikolinergik yang bertujuan untuk
menghambat sekresi kelenjar saliva, GI dan saluran nafas, mencegah spasme
laring dan bronkus, mencegah bradikardia, menurunkan motilitas usus dan
melawan efek depresi narkotik pada pusat nafas. Pemberian midazolam bertujuan
untuk efek sedasi, mengurangi rasa cemas, amnesia antegrad, depresi ringan, pada
dosis tinggi dapat memberikan efek hipotensi, menurunkan tonus otot rangka.
Sedangkan fentanyl diberikan bertujuan untuk analgetik, sedasi, depresi pusat
nafas terutama pada bayi dan orang tua, merangsang pusat muntah dan
menimbulkan spasme spincter kandung empedu. Obat yang digunakan pada
induksi adalah propofol (recofol, lipuro) diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB
yang memberikan efek depresi respirasi, penurunan tekanan darah dan
peningkatan denyut nadi. Obat yang digunakan pada muscle relaxant adalah
atraqurium diberikan dengan dosis dengan dosis 0,5-0,6 mg/kgBB yang
50

memberikan efek pelumpuh otot termasuk otot pernafasan. Obat yang digunakan
pada pemeliharaan adalah N2O, O2, halotan 0,5-2 vol%, efluran 2-4 vol%,
isofluran 2-4 vol% dan sevofluran 2-4 vol%.π
51

BAB V
KESIMPULAN

Tonsilitis merupakan peradangan yang terjadi pada tonsil. Peradangan


yang terjadi dapat menyebar ke jaringan sekitar, sehingga sering juga disebut
sebagai tonsilofaringitis. Penyebabnya bisa infeksi virus maupun bakteri. Infeksi
yang harus diperhatikan adalah infeksi Streptococcus pyogenes grup A beta-
hemolitik (GABHS) yang dapat menyebabkan komplikasi berupa demam scarlet,
demam rematik, dan glomerulonefritis pasca streptokokus (GNAPS).
Tonsilits dapat terjadi akut, kronis, maupun rekuren. Pada tonsilitis kronis,
yang menyebabkan adanya gangguan berupa osbtruksi saluran nafas, diperlukan
tindakan pembedahan berupa tonsilektomi. Selain dapat menghilangkan obstruksi
yang ada, dapat mengurangi bacterial load GABHS, sehingga akan menurunkan
risiko komplikasi dan penularan.
Untuk melakukan tindakan tonsilektomi, harus ditunjang dengan anestesi
umum. Anestesi umum yang diberikan bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit
seluruh tubuh dari sentral. Hilangnya rasa sakit tersebut diikuti dengan hilangnya
kesadaran yang bersifat reversibel. Dikenal tiga manajemen perianestesi, yaitu
periode preanestesi, periode intraanestesi, dan periode pascaanestesi.
52

DAFTAR PUSTAKA

Baugh R.F., Archer S.M., Mitchell R.B., 2011. Clinical practice guideline:
tonsilectomy in children. Otolaryngol Head Neck Surg.;144(1 Suppl):S1-
30.
Brooke I., 2005. The role of anaerobic in tonsilitis. Int J Pediatr
Otorhinplaryngol; 69(1):9-19.
Davis C., Jones J., Fix B., 2009. Critical Care Notes. City University Barts and
the London NHS Trust.
Desai, 2011. General Anaesthesia. http://emedicine.medscape.com/article/
1271543-overview diakses tanggal 7 Juli 2015.
Pichichero, M.E., Casey J.R. Defining and dealing with carriers of group A
Streptococci. Contemporary Pediatrics. 2003 ; 1 : 46.
Chmidt R.J., Herzog A., Cook S., O’Reilly R., Reilly J., 2007. Complications of
tonsilectomy. Arch Otolaryngol Head and Neck Surg;133:925-928.
Roberts, and Hedges, 2010. Clinical Procedures in Emergence Medicine. Saunder
Elsevier.
Shah, Udayan K., 2014. Tonsillitis and peritonsilar abscess. Tersedia :
http://emedicine.medscape.com/article/871977-treatment#showall diakses
tanggal 7 Juli 2015.
Soenarjo, Hari Dwi Jatmiko, 2010. Anestesiologi. Semarang : Ikatan Dokter
Spesialis Anestesi dan Reanimasi (IDSAI) Cabang Jawa Tengah.
Soenarto, dkk., 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care FKUI/RSCM.
Udayan K., 2008. Tonsillectomy & Adeinoidectomy : Techniques and
Technologies. Madison WI. Omnipress, Inc. ISBN 978-0-615-23355-0
Wald E.R. Commentary : Antibiotic treatment of pharingitis. Pediatric in Review.
2001 ; 22 (8) : 255-6.

Anda mungkin juga menyukai