Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%


sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar
14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab
penyakit jantung di Indonesia.
Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut
sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil
hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder). Tidak ada data
akurat mengenai prevalensi hipertensi sekunder dan sangat tergantung dimana
angka itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien hipertensi sekunder
sedangkan di pusat rujukan dapat mencapai sekitar 35%. Hampir semua hipertensi
sekunder didasarkan atas 2 mekanisme, yaitu gangguan sekresi hormone dan
gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal dini karena komplikasi
jantung (yang disebut sebagai penyakit jantung hipertensi). Juga dapat
menyebabkan stroke, gagal ginjal, dan gangguan retina mata.

Hipertensi Heart Disesase (HHD)


A. Definisi
Penyakit jantung hipertensi atau Hipertensi Heart Disesase (HHD) adalah
kelainan yang menunjukkan akumulasi dari adaptasi fungsional dan struktural
dari peningkatan tekanan darah. Penyakit jantung hipertensi merupakan suatu
penyakit yang berkaitan dengan dampak sekunder pada jantung karena hipertensi
sistemik yang lama dan berkepanjangan. Hipertensi yang berkepanjangan dan tidak
terkendali dapat mengubah struktur miokard, pembuluh darah dan sistem konduksi
jantung. Perubahan-perubahan ini dapat mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri,
penyakit arteri koroner, gangguan sistem konduksi, disfungsi sistolik dan diastolik
miokard yang nantinya bermanifestasi klinis sebagai angina (nyeri dada), infark
miokard, aritmia jantung (terutama fibrilasi atrium) dan gagal jantung kongestif.
B. Etiologi
Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung, dan seiring dengan
berjalannya waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena
jantung memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah
yang meningkat, ventrikel kiri membesar dan jumlah darah yang dipompa jantung
setiap menitnya (cardiac output) berkurang. Tanpa terapi, gejala gagal jantung akan
makin terlihat.
Tekanan darah tinggi adalah faktor resiko utama bagi penyakit jantung dan
stroke. Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik (
menurunnya suplai darah untuk otot jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau
angina dan serangan jantung) dari peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh
otot jantung yang menebal.
Tekanan darah tinggi juga berpenaruh terhadap penebalan dinding pembuluh
darah yang akan mendorong terjadinya aterosklerosis (peningkatan kolesterol yang
akan terakumulasi pada dinding pembuluh darah). Hal ini juga meningkatkan resiko
seangan jantung dan stroke. Penyakit jantung hipertensi adalah penyebab utama
penyakit dan kematian akibat hipertensi. Hal ini terjadi pada sekitar 7 dari 1000
orang.

C. Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang
melibatkan banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik,
struktural, neuroendokrin, seluler, dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor
ini memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi
lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor tersebut.

1. Hipertrofi Ventrikel Kiri


Hipertrofi ventrikel kiri merupakan pertambahan massa pada ventrikel
(bilik) kiri jantung. Hal ini merupakan respon sel miosit terhadap stimulus yang
menyertai peningkatan tekanan darah. Hipertrofi miosit terjadi sebagai
mekanisme kompensasi peningkatan tekanan afterload. Stimulus mekanis dan
neurohormonal yang menyertai hipertensi akan mengaktivasi pertumbuhan sel
miokard, ekspresi gen dan berujung kepada hipertrofi ventrikel kiri. Selain itu
aktivasi sistem renin-angiotensin akan menyebabkan pertumbuhan intestitium
dan komponen sel matriks.
Berbagai bentuk hipertrofi ventrikel kiri telah diidentifikasi, di antaranya
hipertrofi ventrikel kiri konsentrik dan hipertrofi ventrikel kiri ekstenstrik. Pada
hipertrofi ventrikel kiri konsentrik terjadi peningkatan massa dan ketebalan
serta volume dan tekanan diastolik. Pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri
konsentrik umumnya memiliki prognosis yang lebih buruk. Adapun pada
hipertrofi ventrikel kiri eksentrik terjadi peningkatan hanya pada lokasi
tertentu, misalnya daerah septal. Walaupun hipertrofi ventrikel kiri bertujuan
untuk melindungi terhadap stress yang ditimbulkan oleh hipertensi, namun pada
akhirnya dapat menyebabkan disfungsi miokard sistolik dan diastolik.

2. Abnormalitas Atrium Kiri


Abnormalitas atrium kiri meliputi perubahan struktural dan fungsional,
sangat sering terjadi pada pasien hipertensi. Hipertensi akan meningkatkan
volume diastolik akhir (end diastolic volume / EDV) di ventrikel kiri sehingga
atrium kiri pun akan mengalami perubahan fungsi dan peningkatan ukuran.
Peningkatan ukuran atrium kiri tanpa disertai gangguan katup atau disfungsi
sistolik biasanya menunjukkan hipertensi yang sudah berlangsung lama / kronis
dan mungkin berhubungan dengan derajat keparahan disfungsi diastolik
ventrikel kiri.

3. Gangguan Katup
Hipertensi berat dan kronik dapat menyebabkan dilatasi pada pangkal aorta
sehingga menyebabkan insufisiensi katup. Hipertensi yang akut mungkin
menyebabkan insufisiensi aorta, yang akan kembali normal jika tekanan darah
dikendalikan. Selain menyebabkan regurgitasi (aliran balik) aorta, hipertensi
juga akan mempercepat proses sklerosis aorta dan regurgitasi katup mitral.

4. Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
peningkatan tekanandarah yang terjadi secara kronis. Hipertensi sebagai
penyebab dari gagal jantung kongestif seringkali tidak terdeteksi, karena saat
proses gagal jantung terjadi, disfungsi ventrikel kiritidak menyebabkan
peningkatan tekanan darah. Disfungsi diastolik sering terjadi pada pasien
dengan hipertensi, dan sering disertaidengan pembesaran ventrikel kiri. Faktor-
faktor yang menyebabkan disfungsi diastolik disamping adanya peningkatan
afterload, adalah interaksi antara penyakit jantung koroner,usia, disfungsi
sistolik, dan kelainan struktural, misalnya fibrosis dan hipertrofi ventrikel kiri.
Biasanya disfungsi diastolik juga diikuti oleh disfungsi sistolik asimtomatis.
Selanjutnya,hipertrofi ventrikel kiri gagal untuk mengkompensasi peningkatan
curah jantung karenapeningkatan tekanan darah, sehingga ventrikel kiri
mengalami dilatasi untuk mempertahankan curah jantung. Ketika memasuki
tahap akhir, fungsi sistolik ventrikel kirisemakin menurun. Hal ini
meningkatkan aktivasi neurohormonal dan sistem renin-angiotensin,
mengakibatkan peningkatan retetensi garam dan cairan, serta
peningkatanvasokonstriksi perifer, menambah kerusakan lebih lanjut pada
ventrikel kiri menjadidisfungsi sistolik yang simtomatik.

5. Iskemik Miokard
Pada pasien dengan hipertensi, angina dapat muncul tanpa penyakit jantung
koroner. Hal ini terjadi karena peningkatan afterload sekunder karena hipertensi
mengakibatkan peningkatan tekanan ventrikel kiri dan transmural, menghambat
aliran darahkoroner saat diastol. Selanjutnya, pada pasien dengan hipertensi,
mikrovaskularisasi yaitu arteri koroner epikardial, mengalami disfungsi dan
tidak dapat mengkompensasi peningkatan metabolisme dan kebutuhan oksigen.
Perkembangan dan progresifitas arteriosklerosis, dasar dari penyakit
jantung koroner,adalah kerusakan arteri terus-menerus karena peningkatan
tekanan darah. Tekanan yang terus-menerus mengakibatkan disfungsi endotel,
dan menyebabkan kelainan sistesis dan pengeluaran agen vasodilator nitrit
oxide. Penurunan kadar nitrit oxide menyebabkan dan mempercepat proses
arteriosklerosis dan penumpukan plak. Adanya proses aterosklerosis ini akan
memperparah kondisi peningkatan resistensi pembuluh darah dan mengurangi
aliran darah koroner yang berujung pada iskemia miokard.

D. Patogenesis
Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan kompensasi jantung menghadapi
tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohumoral yang ditandai oleh
penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolic akan
mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul
oleh dilatasi ventrikel kiri (dilatasi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi
sistem RAA memacu mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan volume
diastolic ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan
kontraksi miokard (penurunan/gangguan fungsi sistolik).

Iskemia miokard (asimtomatik, angina pectoris, infark jantung, dll) dapat terjadi
karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan peningkatan kebutuhan
oksigen miokard akibat dari HVK. HVK, iskemia miokard, dan gangguan fungsi
endotel merupakan faktor utama kerusakan miosit pada hipertensi.

Evaluasi pasien hipertensi atau penyakit jantung hipertensi ditujukan untuk:


 Meneliti kemungkinan hipertensi sekunder
 Menetapkan keadaan pra pengobatan
 Menetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengobatan atau faktor yang
akan berubah karena pengobatan
 Menetapkan kerusakan organ target, dan
 Menetapkan faktor resiko PJK lainnya
E. Manifestasi Klinis
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien tidak ada
keluhan. Bila simtomatik, maka biasanya disebabkan oleh :
1. Peninggian tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar-debar, rasa melayang
(dizzy), dan impoten
2. Penyakit jantung/hipertensi vaskuler seperti cepat capek, sesak napas, sakit
dada (iskemia miokard atau diseksia aorta), bengkak kedua kaki atau perut.
Gangguan vaskular lainnya adalah epistaksis, hematuria, pandangan kabur
karena perdarahan retina, transient cerebral ischemic
3. Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder : polidipsia, poliuiria, dan
kelemahan otot pada aldosteronisme primer, peningkatan BB dengan emosi
yang labil pada sindrom Chusing. Feokromositoma dapat muncul dengan
keluhan episode sakit kepala, palpitasi, banyak keringat, dan rasa melayang
saat berdiri (postural dizzy).

F. Diagnosis
Diagnosis dari HHD dapat ditentukan sebagai berikut :
1. Riwayat

Pemeriksaan awal pasien hipertensif harus menyertakan riwayat lengkat


dan pemeriksaan fisis untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring
faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular lain, menyaring penyebab-
penyebab sekunder hipertensi, mengidentifikasi konsekuensi kardiovaskular
hipertensi dan komorbiditas lain, memeriksa gaya hidup terkait-tekanan darah,
dan menentukan potensi intervensi.
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala spesifik
yang dapat dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah mereka. Walaupun
popular dianggap sebagai gejala peningkatan tekanan arterial, sakit kepala
lazim terjadi hanya pada pasien dengan hipertensi berat. Suatu sakit kepala
hipertensif khas terjadi pada waktu pagi dan berlokasi di regio oksipital. Gejala
nonspesifik lain yang dapat berkaitan dengan peningkatan tekanan darah antara
lain adalah rasa pusing, palpitasi, rasa mudah lelah, dan impotensi. Ketika
gejala-gejala didapati, mereka umum berhubungan dengan penyakit
kardiovaskular hipertensif atau dengan manifestasi hipertensi sekunder. Tabel
berikut mendaftarkan fitur-fitur nyata yang harus diselidiki dalam perolehan
riwayat dari pasien hipertensif.

Tabel Riwayat yang relevan


Durasi hipertensi
Terapi terdahulu: respon dan efek samping
Riwayat diet dan psikososial
Faktor-faktor risiko lain: perubahan berat badan, dislipidemia, kebiasaam
merokok, diabetes, inaktivitas fisik
Bukti-bukti hipertensi sekunder: riwayat penyakit ginjal; perubahan
penampilan; kelemahan otot; palpitasi, tremor; banyak berkeringan, sulit
tidur, perilaku mendengkur, somnolens siang hari; gejala-gejala hipo atau
hipertiroidisme; penggunaan agen-agen yang dapat meningkatkan tekanan
darah
Bukti-bukti kerusakan organ target: riwayat TIA, stroke, kebutaan transien;
angina, infark miokardium, gagal jantung kongestif; fungsi seksual
Komorbiditas lain

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai keadaan umum :
memperhatikan keadaan khusus seperti : Chusing, feokromositoma,
perkembangan tidak proporsionalnya tubuh atas dibanding bawah yang
sering ditemukan pada koarktasia aorta. Pengukuran tekanan darah di
tangan kiri dan kanan saat tidur dan berdiri. Funduskopi dengan klasifikasi
Keith-Wagener-Barker sangat berguna untuk menilai prognosis. Palpasi dan
auskultasi arterikarotis untuk menilai stenosis atau oklusi.

Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung ditujukan


untuk menilai HVK dan tanda-tanda gagal jantung. Ompuls apeks yang
prominen. Bunyi jantung S2 yang meningkat akibat kerasnya penutupan
aorta. Kadang ditemukan mur mur diastolic akibat regurgutasi aorta. Bunyi
S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat dari peninggian
tekanan atrium kiri. Sedangkan bunyi S3 (gallop ventrikel atau
ptotodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir diastolic ventrikel kiri
meningkat akibat dari dilatasi ventrikel kiri. Bila S3 dan S4 ditemukan
bersama disebut summation gallop. Paru perlu diperhatikan apakah ada
suara napas tambahan seperti ronki basah atau ronki kering/mengi.
Pemeriksaan perut ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati,
limpa, ginjal dan asites. Auskultasi bising sekitar kiri kanan umbilicus
(renal artery stenosis). Arteri radialis, arteri femoralis, dan arteri dorsalis
pedia harus diraba. Tekanan darah di betis harus diukur minimal sekali pada
hipertensi umur muda (kurang dari 30 tahun).

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratrium awal meliputi :
 Urinalisis : protein, leukosit, eritrosit, dan silinder
 Hemoglobin/hematokrit
 Elektrolit darah : Kalium
 Ureum/kreatinin
 Gula darah puasa
 Kolesterol total
 Elektrokardiografi menunjukkan HVK pada sekitar 20-50% (kurang
sensitif) tetapi masih menjadi metode standar

Apabila keuangan tidak menjadi kendala, maka diperlukan pula


pemeriksaan :
 TSH
 Leukosit darah
 Trigliserida, HDL, dan kolesterol LDL
 Kalsium dan fosfor
 Foto toraks
 Ekokardiografi dilakukan karena dapat menemukan HVK lebih dini dan
lebih spesifik (spesifitas 95-100%). Indikasi ekokardiografi pada pasien
hipertensi adalah :
o Konfirmasi gangguan jantung atau mur mur
o Hipertensi dengan kelainan katup
o Hipertensi pada anak atau remaja
o Hipertensi saat aktivitas, tetapi normal saat istirahat
o Hipertensi disertai sesak nafas yang belum jelas sebabnya
(gangguan fungsi diastolic atau sistolik)
 Ekokardiografi-doppler dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolic
(gangguan fungsi relaksasi ventrikel kiri, pseudo-normal atau tipe
restriktif).

G. Tatalaksana

Penatalaksanaan umum hipertensi mengacu kepada tuntutan umum (JNC VII


2003)
a. Terapi non farmakologis
Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya melakukan modifikasi
gaya hidup seperti menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan dengan
menjaganya pada kisar body mass index (BMI) yaitu 18,5-24,9; mengadopsi
pola makan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) yang kaya
dengan buah, sayur, dan produk susu rendah lemak; mengurangi konsumsi
garam yaitu tidak lebih dari 100 meq/L; melakukan aktivitas fisik dengan teratur
seperti jalan kaki 30 menit/hari; serta membatasi konsumsi alkohol tidak lebih
dari 2 kali/hari pada pria dan 1 kali/hari pada wanita. Selain itu, pasien juga
disarankan untuk menghentikan kebiasaan merokok (Weber dkk., 2014).
Modifikasi pola hidup dapat menurunkan tekanan darah, menambah efikasi
obat antihipertensi, dan mengurangi resiko komplikasi penyakit kardiovaskular
(Chobanian dkk., 2004). 12 b. Terapi farmakologis Pemilihan obat pada
penatalaksanaan hipertensi tergantung pada tingkat tekanan darah dan
keberadaan penyakit penyulit. Obat-obat antihipertensi seperti diuretik, beta
blocker (BB), angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), angiotensin
receptor blocker (ARB), dan calcium channel blocker (CCB) merupakan agen
primer yang dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Obat-obat
antihipertensi seperti α-1 blocker, α-2 agonis central, dan vasodilator
merupakan alternatif yang digunakan penderita setelah mendapatkan obat
pilihan pertama (Chobanian dkk., 2004). Jenis obat yang sering digunakan
dalam terapi hipertensi : i. Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI)
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) menghambat secara langsung
angiotensin converting enzyme (ACE) dan menghalangi konversi angiotensin-
1 menjadi angiotensin-2. Aksi ini mengurangi angiotensin-2 yang dapat
menimbulkan vasokonstriksi dan sekresi aldosteron. Adanya jalur lain yang
menghasilkan angiotensin-2 mengakibatkan ACEI tidak menghalangi secara
penuh produksi angiotensin-2 sehingga ACEI tidak menyebabkan efek pada
metabolisme. Bradikinin terakumulasi pada sebagian pasien karena
penghambatan ACE mencegah kerusakan dan inaktivasi bradikinin. Bradikinin
dapat mengakibatkan vasodilatasi dengan mengeluarkan nitro oksida, tetapi
bradikinin juga dapat menimbulkan terjadinya batuk. Contoh obat golongan
ACEI adalah kaptopril, enalapril, dan lisinopril . Angiotensin converting
enzyme inhibitor (ACEI) harus dihindari pada pasien dengan arteri stenosis
ginjal karena beresiko menimbulkan gagal ginjal akut. Selain itu, ACEI juga
dikontraindikasikan pada pasien angioedema dan wanita hamil (Barranger dkk.,
2006; BPOM RI, 2008; WHO, 2009). Efek samping ACEI yang paling sering
yaitu batuk kering, ruam, dan pusing. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien
dengan penyakit ginjal atau diabetes (katzung, 2010).

b. Farmakologi
Terapi farmakologis Pemilihan obat pada penatalaksanaan hipertensi
tergantung pada tingkat tekanan darah dan keberadaan penyakit penyulit. Obat-
obat antihipertensi seperti diuretik, beta blocker (BB), angiotensin converting
enzyme inhibitor (ACEI), angiotensin receptor blocker (ARB), dan calcium
channel blocker (CCB) merupakan agen primer yang dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Obat-obat antihipertensi seperti α-1 blocker, α-2
agonis central, dan vasodilator merupakan alternatif yang digunakan penderita
setelah mendapatkan obat pilihan pertama (Chobanian dkk., 2004). Jenis obat
yang sering digunakan dalam terapi hipertensi :

 Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI)


Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) menghambat secara
langsung angiotensin converting enzyme (ACE) dan menghalangi konversi
angiotensin-1 menjadi angiotensin-2. Aksi ini mengurangi angiotensin-2
yang dapat menimbulkan vasokonstriksi dan sekresi aldosteron. Adanya
jalur lain yang menghasilkan angiotensin-2 mengakibatkan ACEI tidak
menghalangi secara penuh produksi angiotensin-2 sehingga ACEI tidak
menyebabkan efek pada metabolisme. Bradikinin terakumulasi pada
sebagian pasien karena penghambatan ACE mencegah kerusakan dan
inaktivasi bradikinin. Bradikinin dapat mengakibatkan vasodilatasi dengan
mengeluarkan nitro oksida, tetapi bradikinin juga dapat menimbulkan
terjadinya batuk. Contoh obat golongan ACEI adalah kaptopril, enalapril,
dan lisinopril. Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) harus
dihindari pada pasien dengan arteri stenosis ginjal karena beresiko
menimbulkan gagal ginjal akut. Selain itu, ACEI juga dikontraindikasikan
pada pasien angioedema dan wanita hamil (Barranger dkk., 2006; BPOM
RI, 2008; WHO, 2009). Efek samping ACEI yang paling sering yaitu batuk
kering, ruam, dan pusing. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan
penyakit ginjal atau diabetes (katzung,2010).

 Angiotensin receptor blocker (ARB)


Angiotensin-2 dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim yaitu
RAAS (renin angiotensin aldosterone system) yang melibatkan ACE dan
jalur alternatif yang menggunakan enzim kimas. Angiotensin converting
enzyme inhibitor (ACEI) hanya menghambat efek angiotensin yang
dihasilkan melalui RAAS, sedangkan ARB menghambat angiotensin-2 dari
semua jalur. Angiotensin receptor blocker (ARB) menghambat secara
langsung reseptor angiotensin-2 tipe 1 (AT1) yang memediasi efek
angiotensin-2 yaitu vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi saraf
simpatik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen dari
glomerulus. Angiotensin receptor blocker (ARB) tidak memblok reseptor
angiotensin-2 tipe 2 (AT2). Hal ini menyebabkan efek yang menguntungkan
dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan
penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh dengan penggunaan ARB
(Depkes RI, 2006). Contoh ARB yaitu valsartan, kandesartan, irbesartan,
dan losartan (katzung, 2010).

Penggunaan ARB biasanya dapat ditoleransi dengan baik, karena tidak


menyebabkan batuk dan jarang menyebabkan angioedema . Angiotensin
receptor blocker (ARB) harus digunakan secara hati-hati pada pasien
dengan kerusakan hati dan ginjal serta dikontraindikasikan pada kehamilan.
Efek samping ARB meliputi pusing, kelelahan, diare, rasa sakit, dan infeksi.

 Diuretik
Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan mengosongkan
simpanan natrium dalam tubuh. Diuretik menurunkan tekanan darah dengan
mengurangi volume darah dan curah jantung, tetapi setelah 6-8 minggu
maka curah jantung kembali normal sedangkan resistensi vaskular
menurun. Natrium diperkirakan berperan dalam resistensi vaskular dengan
meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan reaktivasi saraf. Hal ini
kemungkinan berhubungan dengan peningkatan pertukaran natrium-
kalsium yang menghasilkan suatu peningkatan kalsium intraselular. Empat
subkelas diuretik yang digunakan untuk mengobati hipertensi yaitu tiazid,
loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik terutama
golongan tiazid merupakan lini pertama pada pasien hipertensi. Diuretik
penahan kalium memiliki efek yang lemah bila digunakan sendiri tetapi
memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop.
Antagonis aldosteron memiliki efek yang lebih poten dengan mula kerja
yang lambat (Depkes RI, 2006). Contoh diuretik tiazid yaitu
hidroklorotiazid, klortalidon, dan indapamid. Diuretik loop yaitu
bumetanid, torsemid, dan furosemid. Diuretik penahan kalium yaitu
amilorid dan triamteren. Antagonis aldosteron yaitu eplerenon dan
spironolakton. Diuretik khususnya diuretik tiazid dikontraindikasikan pada
hipersensitivitas terhadap tiazid atau sulfonilurea, anuria, kehamilan,
hiponatremia, hiperurisemia simptomatik, gout, hipokalemia yang
persisten, hiperkalsemia, penyakit Addison, gangguan hati berat, dan
gangguan ginjal berat (kreatinin klirens <30 ml/mnt).

 Beta blocker (penyekat beta)


Reseptor beta terdiri dari reseptor beta-1 dan reseptor beta-2. Reseptor
beta-1 yang terdapat di jantung dan ginjal berfungsi dalam mengatur denyut
jantung, pelepasan renin, dan kontraktilitas jantung. Reseptor beta-2 yang
terdapat di paru-paru, hati, pankreas, dan otot polos arteri berfungsi dalam
mengatur bronkodilatasi dan vasodilatasi. Penyekat 16 beta menurunkan
tekanan darah dengan mengurangi curah jantung dan mengurangi pelepasan
renin dari ginjal . Penyekat beta yang berikatan dengan reseptor beta-1
bersifat kardioselektif karena tidak menghambat reseptor beta-2 dan tidak
menstimulasi bronkokonstriksi. Obat-obat yang termasuk dalam penyekat
beta-1 seperti metoprolol, betaksolol, atenolol, asebutolol, dan bisoprolol
lebih aman pada pasien asma, penyakit paru-paru obstruksi kronis, dan
penyakit vaskular. Pada dosis tinggi, penyekat beta selektif kehilangan
kardioselektifitasnya (Barranger dkk., 2006). Beberapa penyekat beta
mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsik (ISA). Asebutolol, karteolol,
penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja secara
agonis pada beta reseptor parsial (Depkes RI, 2006). Penyekat beta ISA
dapat menstimulasi reseptor beta tetapi dengan aksi yang lebih lemah dari
agonis beta sebenarnya. Jika diberikan pada pasien dengan denyut jantung
yang lemah, maka penyekat beta ISA dapat meningkatkan denyut jantung.
Hal yang sebaliknya terjadi pada pasien dalam keadaan istirahat atau
melakukan aktivitas yang dapat menyebabkan takikardi, dimana pada
pasien-pasien ini penyekat beta ISA dapat menurunkan denyut jantung
karena adanya dominasi sifat penyekat beta (Saseen, 2009). Penyekat beta
harus dihindari pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap BB, hipotensi,
kehamilan, bradikardi, blok AV derajat 2 dan 3, edema paru-paru, syok
kardiogenik, serta gagal jantung 17 dekompensasi kecuali pada penggunaan
karvedilol, metoprolol extended release, dan bisoprolol (NFKDOQI, 2004;
Barranger dkk., 2006; Lacy dkk., 2006). Efek samping paling sering dari
penyekat beta adalah kelelahan, mengantuk, pusing, bronkospasme, mual,
dan muntah (Fk ui, 2009)

 Calcium channel blocker (CCB)


Calcium channel blocker (CCB) menurunkan tekanan darah dengan
menghambat aliran ion kalsium melalui kanal L pada sel otot polos arteri.
Ada dua jenis CCB yaitu dihidropiridin seperti amlodipin dan nifedipin
yang bekerja mendilatasi arteri, serta nondihidropiridin seperti dilitiazem
dan verapamil yang bekerja mendilatasi arteri dengan efek yang lebih lemah
dari dihidropiridin, tetapi memiliki efek mengurangi denyut jantung dan
kontraktilitas. Generasi pertama CCB seperti verapamil dan dilitiazem
dapat mempercepat progresifitas congestive heart failure pada pasien
dengan kelainan fungsi jantung. Penggunaan CCB generasi pertama harus
dihindari kecuali untuk terapi pada pasien angina, hipertensi, atau aritmia
(Barranger dkk., 2006; Weber dkk., 2014). Dilitiazem dan verapamil harus
dihindari pada pasien dengan blok AV derajat 2 dan 3, gagal jantung
kongesif karena disfungsi sitolik, hipotensi, bradikardi, dan arterial fibrilasi
(NFKDOQI, 2004; Barranger dkk., 2006; BPOM RI, 2008; WHO, 2009).
Nifedipin aksi pendek harus dihindari pada pasien hipertensi atau hipertensi
emergensi karena menyebabkan tekanan darah diastolik tidak teratur dan
takikardi (Barranger dkk., 2006). 18 Efek samping utama CCB yaitu
menyebabkan edema perifer yang biasa terjadi pada dosis tinggi. Efek
samping ini dapat dikurangi dengan mengkombinasikan CCB bersama
ACEI atau ARB. Calcium channel blocker (CCB) dihidropiridin
menunjukkan efek yang menguntungkan pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular dan stroke. Calcium channel blocker (CCB)
nondihidropiridin tidak direkomendasikan pada pasien gagal jantung, tetapi
lebih dipilih pada pasien dengan detak jantung yang cepat dan untuk
mengontrol detak jantung pada pasien atrial fibrillation yang tidak dapat
mentoleransi penyekat beta. Calcium channel blocker (CCB)
nondihidropiridin juga dapat mengurangi proteinuria. Calcium channel
blocker (CCB) memiliki efek menurunkan tekanan darah yang besar ketika
dikombinasi dengan ACEI atau ARB.

H. Prognosis
Resiko komplikasi tergantung pada seberapa besar hipertropi ventrikel kiri.
Semakin besar ventrikel kiri, semakin besar kemungkinan kompilkasi terjadi.
Pengobatan hipertensi dapat mengurangi kerusakan pada ventrikel kiri. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obatan tertentu seperti ACE-Inhibitor,
Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat mengatasi hipertropi ventrikel kiri
dan memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung akibat
penyakit jantung hipertensi. Bagaimanapun juga, penyakit jantung hipertensi
adalah penyakit yang serius yang memiliki resiko kematian mendadak
DAFTAR PUSTAKA

1. Panggabean, Marulam. Penyakit jantung hipetensi, Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi


B, Alwi I, et all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta:Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006.p.1654-55
2. Miller. Hypertensive heart disease-treatment. (Serial Online: Desember 2008).
Available from: http://www.umm.edu/ency/article/000153.htm. accessed at
Desember 3, 2008
3. Riaz, Kamran. Hypertensive heart disease. (Serial Online: Desember 2008).
Available from: http://www.emedicine.com/MED/topic3432.htm. Accessed at
Desember 3, 2008
4. Baim, Donald S. Hypertensive vascular disease in: Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 7th Ed. USA. The Mcgraw-Hill Companies, Inc. 2008. p. 241
5. Price SA, Wilson LM. Fisiologi sistem kardiovaskular, Dalam: Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:EGC; 2006.p.530-543.
6. Yogiantoro, mohammad. Hipertensi esensial, Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, et all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta:Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006.p.610-614.
7. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI: 2001. H. 441-442
8. Katzung, betram.Farmakologi dasar dan klinik.Edisi VI. Jakarta : EGC. 1997. h.
245
9. Robbins, S.L, Kumar, V. Buku Ajar Patologi. Edisi ke-4. Jakarta : EGC. 1995. h.45
10. Robbin, SL, Kumar, V, Cotran, RS. Dasar Patologi Penyakit. Edisi ke-5. Jakarta:
EGC. H.322-323

Anda mungkin juga menyukai