Anda di halaman 1dari 30

KONSEP ANESTESI-TREND DAN ISSUE-PERAN DAN FUNGSI

ANESTESI PADA KASUS TONSILEKTOMI

KELOMPOK 3
AULIA RACHMAN
DANIEL DATU MANGA
DHIEMAS PRAJA SAPUTRA
I GEDE GITA ARIAWAN
I WAYAN PUJANA
LAURA MELISA TARIGAN
LUH ADE DWIANA DARMA PUTRI
LUH PUTU WANDA DESI SAVITRI
PUTU RAMA PRATAMA KARMA
SUSAN AURELIA FIRSTNANDA
WA ANYIDA M. TOHIR

KELAS A
D-IV ANASTESIOLOGI

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI


2018/2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Konsep Anestesi-Trend dan Isu-Peran dan Fungsi Anestesi Pada Kasus Tonsilektoni”.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan untuk kepentingan proses belajar.

Penulis menyadari bahwa makalah masih jauh dari sempurna dan perlu pendalaman
lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Semoga dengan adanya makalah ini kita dapat belajar bersama demi kemajuan kita dan
kemajuan ilmu pengetahuan.

Denpasar , 07 April 2019

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul .............................................................................................................................. i


Kata Pengantar ................................................................................................................................ ii
Daftar Isi ........................................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................................1


A. Latar Belakang ...........................................................................................................................1
B. Tujuan .......................................................................................................................................1
C. Rumusan Masalah ......................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................................3


A. Anatomi Dan Fisiologi Saluran Nafas Bagian Atas ..................................................................3
B. Tonsilitis ......................................................................................................................................4
C. Etiologi .......................................................................................................................................5
D. Manifestasi Klinis .......................................................................................................................5
E. WOC ...........................................................................................................................................7
F. Pemeriksaan Penunjang ...............................................................................................................8
G. Komplikasi ..................................................................................................................................8
H. Penatalaksanaan ..........................................................................................................................9
I. Anestesi Umum .........................................................................................................................11
J. Premedikasi Anestesi ................................................................................................................15
K. Obat-Obatan Yang Digunakan ..................................................................................................16
L. Pemulihan ..................................................................................................................................21
M.Trend dan Issue .........................................................................................................................22
N. Peran dan Fungsi .......................................................................................................................24

BAB III PENUTUP ......................................................................................................................26


A. Kesimpulan ...............................................................................................................................26
B. Saran ..........................................................................................................................................26
Daftar Pustaka ................................................................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami
pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi
inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan
anestesi pada suatu operasiterdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra
anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,
menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan tahap
penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan, tahap
pemulihan serta perawatan pasca anestesi.
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Pada
tonsillitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsillitis
kronis hipertrofi. Mengingat dampak yang ditimbulkan maka tonsilitis kronis hipertrofi
yang telah menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak lanjuti dengan
pendekatan operatif tonsilektomi.
Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil berasal dari
bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu serta dari
bahasa yunani ectomy yang berarti eksisi. Beragam teknik tonsilektomi terus berkembang
mulai dari abad 21 diantaranya diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan
bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi
dengan coblation. Adapun teknik yang sering dilakukan adalah diseksi thermal
menggunakan elektrocauter. Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan
berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta
keterampilan dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia,
tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak
digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan.

1
Mengingat tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan
anestesi umum maupun lokal, komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan
komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000
pasien yang menjalani tonsilektomi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status
kesehatan pasien. Adapun komplikasiyang dapat ditemukan berupa laringospasme,
gelisah pasca operasi, mual, muntah, kematian pada saat induksi pada pasien dengan
hipovolemia, hipersensitif terhadap obat anestesi serta hipotensi dan henti jantung terkait
induksi intravena dengan pentotal.

B. Tujuan
a. Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan asuhan keperawatan ini adalah untuk mengetahui
bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan perioperatif Tonsilitis.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan pre operasi tonsillitis.
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan intra operasi
tonsillitis.
3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan post operasi
tonsillitis

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis mencoba
merumuskan suatu masalah yaitu bagaimana melakukan asuhan keperawatan pada pasien
dengan perioperatif kasus tonsillitis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Dan Fisiologi Saluran Nafas Bagian Atas


Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal terlebih dahulu kita harus memahami
anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi itu dipasang.
1. Respirasi Internal dan Eksternal
Respirasi dibagi dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam pengertian
yang sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari pergerakan otot dan
skelet, dimana udara untuk pertama kali didorong ke dalam paru dan selanjutnya
dikeluarkan. Peristiwa ini termasuk inspirasi dan ekspirasi. Fase yang lain adalah
respirasi internal yang meliputi perpindahan / pergerakan molekul-molekul dari gas-
gas pernafasan (oksigen dan karbondioksida) melalui membrana, perpindahan cairan,
dan sel-sel dari dalam tubuh sesuai keperluan
2. Organ-organ pernafasan
Traktus respiratorius ini meliputi:
(a) Rongga hidung
(b) Laring
(c) Trakea
(d) Bronkhus
(e) Paru- paru
(f) Pleura.
Faring mempunyai dua fungsi yaitu untuk sistem pernafasan dan sistem pencernaan.
Beberapa otot berperan dalam proses pernafasan. Diafragma merupakan otot
pernafasan yang paling penting disamping muskulus intercostalis interna dan eksterna
beberapa otot yang lainnya.
3. Faring
Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke dalam
laring. Nasofaring terletak dibagian posterior rongga hidung yang
menghubungkannya melalui nares posterior. Udara masuk ke bagian faring ini turun
melewati dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring.Kontrol membukanya

3
faring, dengan pengecualian dari esofagus dan membukanya tuba auditiva, semua
pasase pembuka masuk ke dalam faring dapat ditutup secara volunter. Kontrol ini
sangat penting dalam pernafasan dan waktu makan, selama membukanya saluran
nafas maka jalannya pencernaan harus ditutup sewaktu makan dan menelan atau
makanan akan masuk ke dalam laring dan rongga hidung posterior
4. Laring
Organ ini (kadang-kadang disebut sebagai Adam’s Apple) terletak di antara akar
lidah dan trakhea. Laring terdiri dari 9 kartilago melingkari bersama dengan
ligamentum dan sejumlah otot yang mengontrol pergerakannya. Kartilago yang kaku
pada dinding laring membentuk suatu lubang berongga yang dapat menjaga agar
tidak mengalami kolaps. Pita suara terletak di dalam laring, oleh karena itu ia sebagai
organ pengeluaran suara yang merupakan jalannya udara antara faring dan
laring.Bagian laring sebelah atas luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk
silinder. Fungsi laring,yaitu mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang
selanjutnya mengatur suara. Laring juga menerima udara dari faring diteruskan ke
dalam trakhea dan mencegah makanan dan air masuk ke dalam trakhe. Ketika terjadi
pengaliran udara pada trakhea, glotis hampir terbuka setiap saat dengan demikian
udara masuk dan keluar melalui laring,namun akan menutup pada saat menelan.
Epiglotis yang berada di atas glottis selain berfungsi sebagai penutup laringjuga
sangat berperan pada waktu memasang intubasi, karena dapat dijadikan patokan
untuk melihat pita suara yang berwarna putih yang mengelilingi lubang.

B. Tonsilitis
Tonsilitis merupakan suatu kondisi respon peradangan local pada tonsil sebagai
manifestasi dari infeksi kuman yang menginvasi tonsil (Muttaqin, Kumala, 2013).
Radang tonsil pada anak hampir selalu melibatkan organ sekitarnya sehingga infeksi pada
faring biasanya juga mengenai tonsil sehingga disebut sebagai tonsilofaringitis
(Ngastiyah,1997 ).

4
C. Etiologi
Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari Commission on
Acute Respiration Disease yang bekerja sama dengan Surgeon General of the Army,
dimana dari 169 kasus didapatkan :
1. 25 % disebabkan oleh Streptokokus β hemolitikus yang pada masa penyembuhan
tampak adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita.
2. 25 % disebabkan oleh Streptokokus lain yang tidak menunjukkan kenaikan titer
Sreptokokus antibodi dalam serum penderita.
3. Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus influensa.
Ada pula yang menyebutkan etiologi terjadinya tonsilitis sebagai berikut:

1. Streptokokus βhemolitikus Grup A


2. Hemofilus influensa
3. Streptokokus pneumonia
4. Stafilokokus (dengan dehidrasi, antibiotika)
5. Tuberkulosis (pada immunocompromise)
Faktor Predisposisi :

1. Rangsangan kronis (rokok, makanan)


2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
4. Alergi (iritasi kronis dari alergen)
5. Keadaan umum (gizi jelek, kelelahan fisik)
6. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

D. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala tonsilitis akut adalah :

1. Nyeri tenggorok
2. Nyeri saat menelan
3. Kesulitan saat menelan
4. Debris
5. Nousea

5
6. Anoreksia
7. Kelenjar limfa leher membengkak
8. Faring hiperemis
9. Edema faring
10. Pembesaran tonsil
11. Tonsil hiperemia
12. Mulut berbau
13. Otalgia ( sakit di telinga )
14. Malaise
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka
gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi:
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25 % volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring

Gambar Gradasi pembesaran tonsil

6
E. Woc

Invasi kuman patogen (bakteri / virus)

Penyebaran limfogen

Faring & tonsil

Proses inflamasi

Tonsilitis akut
hipertermi

Edema tonsil Tonsil & adenoid membesar

Nyeri telan Obstruksi pada tuba eustakii

Sulit makan & minum Kurangnya Infeksi sekunder


pendengaran

kelemahan
Otitis media
Resiko
perubahanstatus
Intoleransi
nutrisi < dari
aktifitas
kebutuhan tubuh

Gangguan persepsi sensori :


pendengaran

7
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa tonsilitis akut
adalah pemeriksaan laboratorium meliputi :
1. Hapusan jaringan atau kultus untuk Uji resistensi (sensitifitas) atau usap tonsil untuk
pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas obat
2. Leukosit
3. Hemoglobin

G. Komplikasi
Komplikasi sekitar tonsil

1. Peritonsilitis : Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya
trismus dan abses.
2. Abses Peritonsilar (Quinsy) : Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami
supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.
3. Abses Parafaringeal : Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran
getah bening/pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus
paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, mastoid dan os petrosus.
4. Abses retrofaring : Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya
terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi
kelenjar limfe.
5. Krista Tonsil : Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan
fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih/berupa
cekungan, biasanya kecil dan multipel.
6. Tonsilolith (kalkulus dari tonsil) : Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium
karbonat dalam jaringan tonsil membentuk bahan keras seperti kapur.

8
Komplikasi ke organ jauh

1. Demam rematik dan penyakit jantung rematik


2. Glomerulonefritis
3. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
4. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
5. Artritis dan fibrositis

H. Penatalaksanaan
Penanganan pada klien dengan tonsilitis akut adalah :
1. Penatalaksanaan medis
a) Antibiotik baik injeksi maupun oral seperti cefotaxim, penisilin, amoksisilin,
eritromisin dll
b) Antipiretik untuk menurunkan demam seperti parasetamol, ibuprofen.
c) Analgesik
2. Penatalaksanaan keperawatan
a) Kompres dengan air hangat
b) Istirahat yang cukup
c) Pemberian cairan adekuat, perbanyak minum hangat
d) Kumur dengan air hangat
e) Pemberian diit cair atau lunak sesuai kondisi pasien
3. Pembedahan
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan oleh Celsus dalam
De Medicina(10 Masehi), tindakan ini juga merupakan tindakan pembedahan yang
pertama kali didokumentasikan oleh Lague dari Rheims (1757).
Indikasi untuk dilakukan tonsilektomi yaitu :
1) Obstruksi:
a. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi.
b. Sleep apnea atau gangguan tidur.
c. Kegagalan untuk bernafas.
d. Corpulmonale.
e. Gangguan menelan.

9
f. Gangguan bicara.
g. Kelainan orofacial / dental yang menyebabkan jalan nafas sempit.
2) Infeksi
a. Tonsilitis kronika / sering berulang.
b. Tonsilitis dengan :
a. Absces peritonsilar.
b. Absces kelenjar limfe leher.
c. Obstruksi Akut jalan nafas.
d. Penyakit gangguan klep jantung.
c. Tonsilitis yang persisten dengan : Sakit tenggorok yang persisten.
d. Tonsilolithiasis Carrier Streptococcus yang tidak respon terhadap terapi.
e. Otitis Media Kronika yang berulang.
3) Neoplasia atau suspek neoplasia benigna / maligna.
Indikasi tonsilektomi secara garis besar terbagi 2,yaitu :

1) Indikasi absolut :
1. Tonsilitis akut/kronis berulang-ulang
2. Abses peritonsillar
3. Karier Difteri
4. Hipertrofi tonsil yang menutup jalan nafas dan jalan makanan
5. Biopsi untuk menentukan kemungkinan keganasan
6. Cor Pulmonale
2) Indikasi relatif :
1. Rinitis berulang-ulang
2. Ngorok (snoring) dan bernafas melalui mulut
3. Cervical adenopathy
4. Adenitis TBC
5. Penyakit-penyakit sistemik karena Streptokokus β hemolitikus: demam
rematik. Penyakit jantung rematik, nefritis, dll.
6. Radang saluran nafas atas berulang-ulang
7. Pertumbuhan badan kurang baik
8. Tonsil besar

10
9. Sakit tenggorokan berulang-ulang
10. Sakit telinga berulang-ulang

I. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias
anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot. Obat anestesi yang
masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama
terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak,
sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang
yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan stadium
terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis. Agar anestesi umum
dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya adalah memilih
anestetika ideal.
Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita,
sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat
anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping
terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil,
cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali,
tanpa efek yang tidak diinginkan. Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat
antara lain pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup,
cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping
yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan,
mempunyai batas keamanan yang luas.
1. Macam- macam Teknik Anestesi
a. Open drop method:
Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap, peralatan sangat
sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang diletakkan di
depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan
pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
b. Semi open drop method:

11
Hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi terbuangnya zat
anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap
kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume
fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.
c. Semi closed method :
Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang dapat ditentukan
kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat
ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar.
Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu
dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh
gas flow kurang dari 100% kebutuhan.
d. Closed method:
Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi dialirkan melalui
soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik
dapat digunakan lagi.Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan
menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi,
induksi, maintenance, dan lain-lain.
2. Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2
hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi
pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan
kunjungan pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):

12
ASA I :
Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimiawi,
dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II :
Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat
kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III :
Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas. Angka
mortalitas 38%.
ASA IV :
Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu
sembuh dengan operasi. Misal :insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V :
Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada
harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi.
Angka mortalitas 98%.
ASA VI :
Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan).
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.
3. Pemeriksaan praoperasi anestesi
a. Anamnesis
b. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
c. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi
d. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,
pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
e. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik seperti

13
kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dan lain-lain.
f. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
g. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi seperti
merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
h. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
i. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin, psikiatrik,
ortopedi dan dermatology.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
b. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
c. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
d. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.
e. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,
keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi.
f. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan mulut
maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk
menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi.
Penilaiannya yaitu:
Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk, tonsilla
palatina dan tonsilla pharyngeal.
Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
Mallampati IV : palatum durum saja

14
g. Mulut : Bibir dan mukosa mulut lembab, terdapat peradangan pada kedua
tonsilnya (tonsil palatine membesar diameter ± 2 cm) serta mengeluarkan lender
dari mulut.
h. Leher : ditemukan nyeri tekan pada sekitar leher, nyeri saat menelan, tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid dan nodul limfe pada kedua sisi leher, tidak terdapat
peningkatan vena jugularis pressure (JVP).
i. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
j. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
k. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.
l. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok
saraf regional

J. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain :
1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. Memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
5. Mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin menekan reflek-reflek yang
tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas atropin.
8. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan
setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat
premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien,
berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang

15
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan
rencana anestesi yang akan digunakan.

K. Obat-obatan Yang Digunakan


1. obat premedikasi Fentanil :
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan termasuk
dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk sufentanil
(0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid
yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan depresi
pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan selama operasi dapat
menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat
mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid
potoperasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis
fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakansebagai premedikasi dan
sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena untuk
memberikan efek analgesi perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek depresi
nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan analgetik fentanil
diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang
masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya
digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan
yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi
dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya
digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca
operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam
bentuk kombinasi tetap dengan droperidol. Fentanyl dan droperidol (suatu
butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk
menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida
memberikan suatu efek yang disedut sebagai neurolepanestesia.

16
2. Induksi :
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium
pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk
mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Pada kasus ini
digunakan obat induksi :
Propofol
Propofol (2,6diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi
yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena lainnya,
namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah
anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah
postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol
digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan
agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam
menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu
timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan
kemungkinan adanya skuele neurologic.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat. Rasa
nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau
trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain. Propofol dapat
menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti selama induksi anestesi
karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi. Propofol menurunkan
tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi
perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah 8
menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat
dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat dari pada thiopenthal pada tikus. Propofol

17
diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang
dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar
daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat
bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-
obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal.
Aliran darah ke otak, metabolisme otakdan tekanan intrakranial akan menurun.
Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca
operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada
otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai
efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosisyang rendah propofol memiliki efek
antiemetic.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan, apnea,
bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi,
aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit
kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri
sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).
3. Pemeliharaan
Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak berasa,
lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda
lime absorber(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah.
Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen
dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan
analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi
karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia
difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit

18
sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi
dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O
: O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%
4. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan
kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi
2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil
kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal :kurarin.Dalam
anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi
dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan
dan ventilasi kendali. Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai
struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice leontopetaltum.
Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain
adalah :
a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia
unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi
hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Mula dan
lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai.
Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit,
sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi
saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu
dengan pemberian antikolinesterase. Nampaknya atracuriumdapat menjadi obat
terpilih untuk pasien geriatrik ataupasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang
berat. Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg
atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu
dingin dan perlindungan terhadap penyinaran. Dosis intubasi : 0,5 –0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5–0,6 mg/kgBB/iv. Dosis pemeliharaan :0,1–0,2 mg/kgBB/ iv.

19
5. Intubasi Nasal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas
hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk :
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
6. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan
komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24
jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
a) Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
b) Sedang = 6 ml/kgBB/jam
c) Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 %
EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih
dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.

20
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambahkebutuhan sehari-hari pasien

L. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang
biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery roomyaitu ruangan untuk observasi
pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang
disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya. Untuk memindahkan pasien dari
ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien
setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk
anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,dimana cara Steward mula-mula
diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk
untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage
Penilaian Aldrete Score ( pada orang dewasa dengan GA :

Kriteria 2 1 0 Total
Kesadaran Sadar, orientasi baik Dapat dibangunkan Tidak dapat dibangunkan
Warna kulit Merah muda (pink), Pucat/ kehitaman, Sianosis, dengan O2 dan
tanpa O2, SaO2 perlu O2 agar SaO2 tetap dibawah 90%
>92% SaO2 >90%
Aktivitas 4 ekstremitas 2 ekstremitas Ektremitas tidak dapat
bergerak bergerak digerakan
Respirasi Dapat nafas dalam, Nafas dangkal, Apnue dan obstruksi
batuk sesak nafas
Cardiovasku Tekanan darah Berubah 20-30% Berubah>50%
ler berubah<20%

21
Penilaian Steward Score (pada anak-anak dengan GA)
Kriteria 2 1 0 Total
score
Pergerakan Gerak bertujuan gerak tak bertujuan Tidak
bergerak
Pernapasan Batuk, menangis Pertahankan jalan Perlu bantuan
napas
Kesadaran Mengangis Bereaksi terhadap Tidak bereaksi
rangsangan

M. Trend Dan Isu Pada Tonsilektomi


1. Trend Tonsilektomi
1) Tonsilektomi merupakan pelayanan one day care (operasi sehari) di banyak
fasilitas kesehatan.
2) Teknik operasi tonsilektomi hingga saat ini adalah teknik Sluder, diseksi, menjadi
teknik yang paling sering digunakan selain Sluder (modifikasi guillotine). Teknik
diseksi meliput: memegang tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi membran
mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkat tonsil
palatina dari fossa peritonsiller dengan manipulasi hati-hati.
2. Isu Tonsilektomi
1) Penggunaan Blok Peritonsil untuk Mengurangi Nyeri Pasca Operasi Tonsilektomi
Blok peritonsil dapat menjadi metode yang bisa digunakan untuk mengurangi
nyeri pasca operasi tonsilektomi. Blok peritonsil dapat dilakukan setelah intubasi
(sebelum insisi) ataupun sebelum ekstubasi (setelah tindakan selesai). Ketamin
0,2 atau 0,5 mg/kgBB dapat menjadi pilihan utama sebagai obat anestesi yang
diberikan. Dimana ketamin dapat secara tunggal atau dikombinasikan dengan
obat anestesi lokal seperti pehakain atau bupivakain dan analgetik lain untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik dan efek samping yang lebih minimal.

22
2) Prosedur Tonsilektomi dapat menyebabkan efek jangka panjang
efek dari prosedur tonsillectomy dan adenoidectomy, berupa perubahan sistem
imun, dan peningkatan resiko terjadinya beberapa penyakit. Namun hasil ini perlu
penelitian lebih lanjut dengan mempertimbangkan faktor-faktor lainnya.

23
N. Peran Dan Fungsi Perawat Anestesi

Pre Operasi/Anestesi Intra Operasi/Anestesi Post Operasi/Anestesi


1. Memastikan identitas pasien. 1. Memberikan premedikasi sesuai 1. Transport pasien dari kamar operasi ke
2. Memastikan diagnosa medis dan instruksi anastesiologist RR/PACU
tindakan operasi yang akan 2. Melakukan induksi anastesi sesuai 2. Melakukan monitoring selama di
dilaksanakan peran sebagai tim anastesi RR/PACU dan mendeteksi kegawatan
3. Memastikan operator dan 3. Melakukan pemantauan yang terjadi
anastesiologist yang akan berperan hemodinamik secara invasive dan 3. Monitoring TTV : seperti Tekanan Darah,
dalam proses pembedahan non invasive. Nadi, Respirasi Rate, Suhu, SaO2.
4. Memastikan adanya pemeriksaan 4. Memasang alat bantu nafas, NGT, 4. Monitoring efek obat anestesi terhadap B6
penunjang yang diperlukan saat dan lainnya selama pembedahan (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder,
pembedahan 5. Melakukan assesment kegawatan Bone).
5. Memastikan assesment pra anastesi selama pembedahan, penanganan 5. Monitoring tingkat kesadaran pasien.
sudah dilaksanakan awal, melaporkan, dan sebagai tim 6. Serah terima pasien dari RR/PACU ke
6. Memastikan informed consent dalam penanganan selanjutnya ruangan perawatan selanjutnya
sudah dilaksanakan dan diisi 6. Menjaga kesetabilan hemodinamik 7. Memberikan rasa nyaman kepada pasien
dengan benar/jika belum selama pembedahan berlangsung selama proses pembedahan berlangsung
melaksanakan informed consent 7. Melakukan resusitasi cairan dan 8. Mendokumentasikan semua tindakan
anastesi komponen darah sesuai instruksi pembiusan yang dilakukan
7. Mempersiapkan alat-alat anastesi, anastesiologist 9. Ikut bertanggun jawab dalam manajemen
STATICS : 8. Berperan dalam mengakhiri tindakan pembedahan secara umum
Scope : Stetoscope, Laringoscope anastesi 10. Sebagai mitra dan tim dari anastesiologist
Tube : ETT, LMA 9. Memantau monitor seperti Tekanan selama proses pembedahan berlangsung
Airway : Sungkup muka, OPA Darah, Nadi, Respirasi Rate, Suhu,
Tape : Plester SaO2.
Inducer : Stilet, Forcep Magill 10. Memantau kesadaran pasien
Connector : penghubung antara
mesin anestesi dengan sungkup

24
muka (sirkuit napas)
Suction : Selang suction
8. Mempersiapkan mesin anastesi, alat
monitoring, dan alat-alat
emergency yang berfungsi dengan
baik
9. Mempersiapkan obat-obat anastesi
dan obat emergency yang
diperlukan
10. Mempersiapkan komponen darah
dan cairan resusitasi lainnya
11. Memasang IV line dan memastikan
berfungsi dengan baik
12. Menyiapkan ruangan yang nyaman
dan alat-alat untuk
mempertahankan suhu tubuh pasien
selama pembedahan
13. Melakukan transport pasien dari
ruang persiapan ke kamar operasi

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya
permasalahan yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya
komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin. Selama di ruang pemulihan juga
tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.Secara umum pelaksanaan operasi
dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.
Ketika dalam proses Anestesi atau kegagalan dalam tindakan atau ditemukan
komplikasi maka disinilah peran dan fungsi dari perawat anestesi. Demikian sebaliknya
dalam proses tindakan keperawatan anestesi peran dan fungsi perawat anestesi tetap
dijalankan agar dalam perianestesi berjalan dengan baik.

B. Saran
Jadi penulis mensarankan kepada perawat anestesi masa depan agar mampu memahami
peran dan fungsinya, sehingga dalam tindakan perianestesi berjalan baik.

26
DAFTAR PUSTAKA

Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children. Otolaryngology Head


and Neck Surgery 2011; 144 (15).

Lab/SMF Anestesiologi & reanimasi. 2010. Panduan Kepaniteraan Klinik Anestesiologi.


Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi ke-4.
Jakarta : Gaya baru.

Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran FKUI.
Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta : Media Aesculapius.

Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif, FKUI.
Jakarta: CV Infomedia

Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk Pendidikan S1
Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

27

Anda mungkin juga menyukai