Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS PROFESI FISIOTERAPI

MANAJEMEN FISIOTERAPI

GANGGUAN FUNGSIONAL PARU-PARU BERUPA SESAK NAPAS

DAN BATUK E.C ASMA SEJAK 7 BULAN YANG LALU

OLEH:

Fatima Nurulhaq Pratiwi, S.Ft R024201009


Nur Anugrawati Irwan, S.Ft R024201013
Tirton Harinata Simanjuntak, S.Ft R024201015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021

HALAMAN PERSETUJUAN
i
Yang bertandatangan di bawah ini, menerangkan bahwa mahasiswa berikut:

Nama Kelompok : Fatima Nurulhaq Pratiwi

Nur Anugrawati Irwan

Tirton Harinata Simanjuntak

Lokasi Stase : Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar

Adalah benar telah menyelesaikan kasus dengan judul “Manajemen Fisioterapi

Gangguan Fungsional Paru-Paru Berupa Sesak Napas dan Batuk Dada e.c Asma

Tahun Sejak 7 Bulan yang Lalu” pada bagian Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat

Makassar (BBKPM)

Makassar, 19 November 2021


Mengetahui,
Clinical Instructor

Alfi Syahar, S.ST,Ft

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penyusun akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan laporan studi
kasus dengan judul “Manajemen Fisioterapi Gangguan Fungsional Paru-Paru Berupa
Sesak Napas dan Batuk Dada e.c Asma Tahun Sejak 7 Bulan yang Lalu”
Penyusunan laporan studi kasus ini merupakan salah satu tugas pada pelaksanaan
Program Studi Pendidikan Profesi Fisioterapi Fakultas Keperawatan Universitas Hasanuddin.
Melalui penyusunan laporan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih tentang
patofisiologi dan penatalaksanaan fisioterapi kardiopulmonal pada kasus Penyakit Paru
Obstruktif Kronik yang ditemui penyusun pada saat melakukan praktek lapangan yang akan
bermanfaat pada masa yang akan datang.
Dalam penyusunan laporan studi kasus ini, banyak ditemui tantangan dan hambatan
yang mendasar. Namun semua itu dapat terselesaikan dengan baik berkat dukungan, bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini sudah selayaknya
penyusun menyampaikan rasa terima kasih kepada para instruktur klinis di Unit Fisioterapi
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar dan edukator klinis yang telah
membimbing dalam penyusunan laporan studi kasus ini.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa laporan studi kasus
ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penyusun
memohon maaf yang sebesar-besarnya dan membuka diri untuk segala saran dan kritik yang
sifatnya membangun sehingga dapat dilakukan perbaikan untuk pencapaian hasil yang lebih
baik. Akhirnya, penyusun berharap semoga laporan studi kasus dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Makassar, 19 November 2021

Tim Penyusun

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru................................................... 1
BAB II ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS
A. Kerangka/Mind Mapping Teori..................................................... 10
B. Definisi Penyakit Asma................................................................. 10
C. Etiologi........................................................................................... 11
D. Epidemiologi.................................................................................. 13
E. Klasifikasi...................................................................................... 14
F. Patomekanisme............................................................................... 15
G. Manifestasi Klinis.......................................................................... 16
H. Pemeriksaan dan Penegakan Diagnosis......................................... 16
I. Diagnosis Banding......................................................................... 19
J. Penatalaksanaan Fisioterapi........................................................... 20
K. Kerangka/Mind Mapping Teknologi Fisioterapi........................... 23
BAB III MANAJEMEN FISIOTERAPI
A. Data Umum Pasien........................................................................ 24
B. Assessment..................................................................................... 24
C. Pemeriksaan Spesifik FT............................................................... 26
D. Diagnosa FT................................................................................... 28
E. Program Fisioterapi........................................................................ 29
F. Evaluasi dan Modifikasi................................................................. 30
G. Home Program.............................................................................. 31
H. Kemitraan...................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 33

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Asma merupakan penyakit yang ditandai dengan peningkatan responsivitas

pada trakea dan rangsangan multipel bronkus dengan manifestasi penyumbatan jalan

nafas yang luas dan pangkat dapat berubah secara spontan atau sebagai akibat

pengobatan (AFTON, 2021). Asma Bronchiale adalah penyakit obstruksi saluran

pernapasan akibat penyempitan saluran napas yang sifatnya reversible (penyempitan

dapat hilang dengan sendirinya). Namun ada kalanya sifat reversible ini dapat hilang

setelah mendapatkan penanganan. Gangguan yang ditimbulkan dari asma bronchiale

sendiri adalah sesak napas, penumpukan sputum, dan spasme pada otot pernapasan

(Amanati et al., 2020).

Asma merupakan masalah Kesehatan global yang mengenai semua kelompok

umur dan mengancam jiwa penderitanya. Epidemiologi asma dahulu dialami oleh

negara maju selama kurun waktu 30 tahun terakhir tetapi sekarang menyerang negara

berkembang seiring terjadinya urbanisasi dan perubahan gaya hidup di negara-negara

tersebut. Lebih dari serratus juta penduduk di seluruh dunia menderita sama dengan

dengan peningkatan prevalensi terjadi pada anak-anak (Fatmawati,2014). Prevalensi

asma semakin meningkat tiap tahunnya dan saat ini asma diketahui sebagai salah satu

Penyakit yang membutuhkan biaya banyak dan penyakit dengan kematian yang dapat

dicegah (Ummu Kalsum, 2021). Prevalensi penyakit asma di Indonesia berdasarkan

hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia tahun 2018 didapatkan

prevalensi asma di Indonesia 2,4% dengan kejadian terbanyak pada perempuan

1
sebesar 2,5%. Prevalensi asma tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (4,59%),

Kalimantan Timur (4,0%), dan Bali (3,9%)

Asma dan rinitis alergi merupakan penyakit alergi yang saat ini masih menjadi

problem kesehatan karena pengaruhnya dalam menurunkan tingkat kualitas hidup dan

dibutuhkan biaya besar dalam penatalaksanaannya. Fisioterapi sebagai salah satu

tenaga kesehatan yang mempunyai peran aktif dalam upaya peningkatan pelayanan

kesehatan masyarakat sesuai dengan bidangnya, yaitu mengembangkan, memelihara

dan memulihkan gerak dan kemampuan fungsional pasien, sehingga mampu hidup

mandiri semaksimal mungkin dalam memenuhi kehidupannya dan diharapkan juga

agar dapat kembali bekerja.

Problematika yang muncul pada kondisi asma yaitu berupa adanya sesak

napas, kesulitan mengeluarkan sputum, dan biasanya di sertai dengan hambatan dalam

melakukan aktivitas sehari-hari bila tidak segera ditangani oleh fisioterapi. Fisioterapi

sebagai bagian dari tim medis yang memiliki peran penting dalam memberikan

intervensi pada asma bronchiale, intervensi Yang diberikan berupa pemberian

nebulizer untuk mengurangi sekresi bronkus, infrared untuk mengurangi spasme pada

otot pernapasan. Serta memberikan breathing exercise, tapotement, dan vibrasi untuk

membantu menurunkan work of breathing pada penderita asma (Amanati et al.,

2020).

B. Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru

Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada

di atas rusuk (rib) pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru-paru terbagi

menjadi dua yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus

sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat

dengan jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa subbagian menjadi

2
sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru

kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum (Sherwood, 2014).

Karakteristik paru-paru yaitu berpori, tekstur kenyal ringan; mengapung di air,

dan sangat elastis. Permukaan paru-paru halus, bersinar, dan membentuk beberapa

daerah polihedral, yang menunjukkan lobulus organ: masing-masing daerah dibatasi

oleh garis-garis yang lebih ringan (fisura). Setiap paru memiliki bentuk kerucut yang

terdiri dari bagian puncak (apeks), dasar (basis), tiga perbatasan, dan dua permukaan.

Puncak (apeks pulmonis) memiliki permukaan halus dan tumpul. Puncak apeks

menonjol ke atas dalam leher sekitar 2,5 cm di atas klavikula. Dasar (basis pulmonis)

memiliki permukaan luas, konkaf, dan terletak di atas diafragma, yang memisahkan

paru-paru kanan dari lobus kanan hati, dan paru-paru kiri dari lobus kiri hati,

lambung, dan limpa. Karena diafragma sebelah kanan lebih tinggi daripada di sisi kiri,

kecekungan dasar paru kanan lebih dalam dari yang di sebelah kiri. Basis pulmonalis

paru turun selama inspirasi dan naik selama ekspirasi (Snell, 2012).

Gambar 1. Anatomi Paru


Sumber: Seeleys Essential Anatomy, 2016

Pergerakan dari dalam ke luar paru terdiri dari dua proses, yaitu inspirasi dan

ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari atmosfer ke dalam paru, sedangkan

3
ekspirasi adalah pergerakan dari dalam paru ke atmosfer. Agar proses ventilasi dapat

berjalan lancar dibutuhkan fungsi yang baik pada otot pernafasan dan elastisitas

jaringan paru. Menurut fungsinya, otot pernapasan dibedakan menjadi otot inspirasi,

yang terdiri dari otot inspirasi utama dan tambahan, serta otot ekspirasi. Yang

termasuk dalam otot inspirasi utama yaitu m. intercostalis externus dan m. diafragma,

sedangkan yang termasuk dalam otot inspirasi tambahan yaitu m.

sternocleidomastoideus berfungsi mengangkat sternum ke superior, m. serratus

anterior berfungsi mengangkat sebagian besar costa, dan m. scalenus berfungsi

mengangkat dua costa pertama.

Selama pernapasan normal dan tenang (quiet breathing), tidak ada otot

pernapasan yang bekerja selama ekspirasi, hal ini akibat dari daya lenting elastis paru

dan dada. Namun pada keadaan tertentu, di mana terjadi peningkatan resistensi jalan

nafas dan resistensi jaringan, misalnya saat serangan asma, otot ekspirasi dibutuhkan

kontribusinya. Dalam keadaan ini, otot ekspirasi yaitu m. rectus abdominis

memberikan efek tarikan ke arah inferior yang sangat kuat terhadap costa bagian

bawah, pada saat yang bersamaan otot ini dan otot abdominal lain menekan isi

abdomen ke arah diafragma, serta m. intercostalis internus juga berfungsi menarik

rongga toraks ke bawah (Sari, 2015).

Gambar 2. Otot-otot Pernapasan

4
Sumber: Majumder, 2015

1. Mekanisme Bernapas

Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan

atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi

jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida (Alqahtani et al., 2020). Udara

masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang menyempit (bronchi dan

bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-paru utama (trachea). Pipa

tersebut berakhir di gelembung-gelembung paru-paru (alveoli) yang

merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan karbondioksida

dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir. Ada lebih dari 300 juta

alveoli di dalam paru-paru manusia bersifat elastis. Ruang udara tersebut

dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat

menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis (Majumder, 2015).

Untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan dapat dibagi menjadi

empat mekanisme dasar (Guyton, 2011), yaitu:

a. Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara alveoli dan

atmosfer

b. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah.

c. Transport dari oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh

ke dan dari sel.

d. Pengaturan ventilasi

Pada pernapasan normal, saat inprirasi, otot interkostal eksternal

berkontraksi, tulang kosta dan sternum akan tertarik ke atas, karena tulang

kosta pertama tidak bergerak. Diameter anterior-posterior dari rongga dada

5
bagian atas akan membesar dan memperbesar diameter transversal rongga

dada bagian bawah. Pada saat inspirasi ini, diafragma berkontraksi sehingga

turun, akibatnya kapasitas rongga dada meningkat. Akibatnya, tekanan antar

permukaan pleura (dalam keadaan normal negatif) menjadi lebih negatif: -2.5

menjadi -6 mmHg, lalu jaringan elastis pada paru akan meregang, dan paru

akan mengembang memenuhi kapasitas rongga dada. Pada saat ini tekanan

udara di alveolus adalah -1,5 mmHg (lebih rendah dari tekanan atmosfir).

Udara akan masuk ke dalam alveolus akibat perbedaan tekanan tersebut

(Sherwood, 2014).

Sebaliknya, pada saat ekspirasi dalam pernapasan normal, otot

interkostal eksternal akan relaksasi. Tulang kosta dan sternum akan turun.

Lebar dan dalamnya dada akan berkurang. Diafragma akan relaksasi,

melengkung naik, panjang rongga dada akan berkurang. Kapasitas rongga

dada akan berkurang. Tekanan antar permukaan pleura menjadi kurang

negatif: dari -6 menjadi -2 mmHg. Jaringan elastis paru akan kembali ke

keadaan semula. Tekanan udara pada alveolus saat ini adalah +1,5 mmHg

(lebih tinggi dari tekanan udara). Udara akan terdorong keluar alveolus

(Sherwood, 2014).

Pada keadaan pernafasan paksa, tepatnya saat inspirasi, otot cuping

hidung dan otot glotis akan berkontraksi untuk membantu masuknya udara ke

dalam paru-paru. Otot pada leher akan berkontraksi, tulang kosta pertama akan

bergerak ke atas (dan sternum bergerak naik dan ke depan). Pada saat ekspirasi

pada pernapasan paksa, otot interkostal internal berkontraksi, sehingga tulang

kosta akan menurun lebih dari pernafasan normal. Otot abdominal juga

berkontraksi untuk membantu naiknya diafragma (Sherwood, 2014).

6
Gambar 3. Aktivitas Otot Pernapasan Saat Inspirasi dan Ekspirasi
Sumber: Seeleys Essential Anatomy, 2016

2. Volume dan Kapasitas Paru

Menurut Guyton (2011) volume paru terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:

a. Volume Tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada

setiap kali pernafasan normal. Besarnya ± 500 ml pada rata-rata orang

dewasa.

b. Volume Cadangan Inspirasi adalah volume udara ekstra yang diinspirasi

setelah volume tidal, dan biasanya mencapai ± 3000 ml.

c. Volume Cadangan Eskpirasi adalah jumlah udara yang masih dapat

dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum pada akhir ekspirasi normal, pada

keadaan normal besarnya ± 1100 ml.

d. Volume Residu, yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru-

paru setelah ekspirasi kuat. Besarnya ± 1200 ml.

Kapasitas paru merupakan gabungan dari beberapa volume paru dan dibagi

menjadi empat bagian, yaitu:

a. Kapasitas Inspirasi sama dengan volume tidal + volume cadangan inspirasi.

Besarnya ± 3500 ml, dan merupakan jumlah udara yang dapat dihirup

7
seseorang mulai pada tingkat ekspirasi normal dan mengembangkan paru

sampai jumlah maksimum.

b. Kapasitas Residu Fungsional, sama dengan volume cadangan inspirasi +

volume residu. Besarnya ± 2300 ml, dan merupakan besarnya udara yang

tersisa dalam paru pada akhir eskpirasi normal.

c. Kapasitas Vital, sama dengan volume cadangan inspirasi + volume tidal +

volume cadangan ekspirasi. Besarnya ± 4600 ml, dan merupakan jumlah

udara maksimal yang dapat dikeluarkan dari paru, setelah terlebih dahulu

mengisi paru secara maksimal dan kemudian mengeluarkannya sebanyak-

banyaknya.

d. Kapasitas Vital paksa (KVP) atau Forced Vital Capacity (FVC) adalah

volume total dari udara yg dihembuskan dari paru-paru setelah inspirasi

maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa minimum. Hasil ini didapat

setelah seseorang menginspirasi dengan usaha maksimal dan mengekspirasi

secara kuat dan cepat (Ganong, 2005).

e. Volume ekspirasi paksa satu detik (VEP1) atau Forced Expiratory Volume

in One Second (FEV1) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan dengan

ekspirasi maksimum per satuan detik. Hasil ini didapat setelah seseorang

terlebih dahulu melakukakn pernafasan dalam dan inspirasi maksimal yang

kemudian diekspirasikan secara paksa sekuat-kuatnya dan semaksimal

mungkin, dengan cara ini kapasitas vital seseorang tersebut dapat

dihembuskan dalam satu detik.

f. Kapasitas Paru Total, sama dengan kapasitas vital + volume residu.

Besarnya ± 5800ml, adalah volume maksimal dimana paru dikembangkan

sebesar mungkin dengan inspirasi paksa. Volume dan kapasitas seluruh

8
paru pada wanita ± 20 – 25% lebih kecil daripada pria, dan lebih besar pada

atlet dan orang yang bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan

astenis (Guyton, 2011).

Tabel 1. Daftar nilai KVP dan VEP1 beserta interpretasinya

Klasifikasi Nilai
Normal KVP≥ 80%, VEP1/KVP≥75%

Gangguan Obstruksi VEP1< 80% nilai prediksi, VEP1/KVP< 70% nilai prediksi

Gangguan Restriksi Kapasitas Vital (KV)< 80% nilai prediksi, KVP<80%

Gangguan Campuran KVP< 80% nilai prediksi, VEP1/KVP< 75% nilai prediksi
Sumber: Price, 2014

Faktor utama yang mempengaruhi kapasitas vital adalah bentuk anatomi

tubuh, posisi selama pengukuran kapasitas vital, kekuatan otot pernafasan dan

pengembangan paru dan rangka dada. Volume udara normal dalam paru

bergantung pada bentuk dan ukuran tubuh. Posisi tubuh juga mempengaruhi

volume dan kapasitas paru, biasanya menurun bila berbaring, dan meningkat

bila berdiri. Perubahan pada posisi ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu

kecenderungan isi abdomen menekan ke atas melawan diafragma pada posisi

berbaring dan peningkatan volume darah paru pada posisi berbaring, yang

berhubungan dengan pengecilan ruang yang tersedia untuk udara dalam paru-

paru.

Fungsi paru dapat digolongkan menjadi dua yaitu gangguan fungsi paru

obstruktif (hambatan aliran udara) dan restriktif (hambatan pengembangan

paru). Seseorang dianggap mempunyai gangguan fungsi paru obstruktif bila

nilai VEP1/KVP kurang dari 70% dan menderita gangguan fungsi paru

restriktif bila nilai kapasitas vital kurang dari 80% dibanding dengan nilai

standar (Majumder, 2015)

9
BAB II

ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS

A. Kerangka/ Mind Mapping Teori

Otot polos kontriksi


Sekresi kelenjar Peradangan Paparan alergen pada
meningkat
bronkus
Sekresi neuropeptide
meningkat

Kaliber bronkus
menyempit Asma

Gejala Klinis yang muncul:


Batuk
Menurunnya kemampuan Produksi lendir (sputum)
aktivitas fisik individu Sesak napas
Nyeri dada

Nyeri dada
Gambar 4. Kerangka/Mind Mapping Teori

B. Definisi

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan

banyak sel dan elemen selularnya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan

hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala efisodik berulang berupa mengi

atau wheezing, sesak nafas, berat, batuk dan dada terasa terutama dimalam hari

(Laksana dkk,2015). Sedangkan menuurut Kurniawan tahun 2016, Asma adalah

suatu penyakit yang disebabkan oleh reaksi berlebihan jalan napas terhadap iritasi

atau stimuli lain asma biasanya terjadi berulang dan serangan dapat disebabkan oleh

pajanan terhadap iritasi, keletihan dan atau kondisi emosional.

10
C. Etiologi

Menurut Setiawan (2018) atopi merupakan faktor terbesar yang paling

berpengaruh terhadap perkembangan asma. Riwayat penyakit alergi pribadi maupun

keluarga seperti rinitis, urtikaria, dan eksema sering dihubungkan dengan kejadian

asma alergi. Suatu hal yang yang menonjol pada penderita Asma adalah fenomena

hiperaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsangan

imunologi maupun non imunologi. Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang

sering menimbulkan Asma adalah:

a. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen atau

alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang.

b. Faktor intrinsik(non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen, seperti

common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan

lingkungan dapat mencetuskan serangan.

c. Asma gabungan: Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai

karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare, 2002).

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi

timbulnya serangan Asma Bronkhial yaitu:

1. Faktor predisposisi: Genetik

Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui

bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi

biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena

adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit Asma

Bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersensitivitas

saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.

11
2. Faktor presipitasi

a) Alergen

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

1) Inhalan: yang masuk melalui saluran pernapasan

Contoh: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan

polusi.

2) Ingestan: yang masuk melalui mulut

Contoh: makanan dan obat-obatan

3) Kontaktan: yang masuk melalui kontak dengan kulit

Contoh: perhiasan, logam dan jam tangan

b) Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi

Asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya

serangan Asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim,

seperti musim hujan, musim kemarau.

c) Stres

Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan Asma, selain itu

juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala

Asma yang timbul harus segera diobati penderita Asma yang mengalami

stres atau gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah

pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi maka gejala belum bisa

diobati.

12
d) Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan Asma.

Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di

laboratorium hewan, industri, tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala

ini membaik pada waktu libur atau cuti.

e) Olahraga atau aktifitas jasmani

Sebagian besar penderita Asma akan mendapat serangan jika melakukan

aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah

menimbulkan serangan Asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya

terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

D. Epidemiologi

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di dunia.

Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi

menunjukkan peningkatan kejadian asma, WHO menyatakan bahwa pada saat ini

ada sekitar 300 juta orang yang menderita asma di seluruh dunia. Terdapat sekitar

250.000 kematian yang disebabkan oleh serangan asma setiap tahunnya, dengan

jumlah terbanyak di negara dengan ekonomi rendah-sedang. Untuk sepuluh tahun

kedepan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit asma diseluruh dunia

diperkirakan akan meningkat 20%. Jika tidak terkontrol dengan baik. Prevalensi

asma diseluruh dunia sebesar 8-10% pada anak-anak dan 3-5% pada dewasa dan

terus meningkat sekitar 50% pada sepuluh tahun terakhir.

Di Indonesia penyakit asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan

dan kematian, asma di Bali cukup tinggi menempati peringkat ke – 3 di Indonesia

setelah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan provinsi Kalimantan Timur,

Tercatat prevalensi asma di Bali sebesar 3,9%. Penderita asma sering mengalami

13
penurunan arus puncak ekspirasi (APE) ini dikarenakan adanya penyempitan dan

juga sumbatan pada jalan nafas.prevalensi asma di Indonesia menurut data survei

Kesehatan rumah tanggga tahun 2018 sebesar 4%, sedangkan berdasarkan riset

Kesehatan dasar tahun 2019 prevalensi asma untuk seluruh kelompok umur sebesar

3,5% dengan anak-anak usia 1-4 tahun sebesar 2,4%, usia 5-12 tahun sebesar 2,0%.

E. Klasifikasi

Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) asma dibagi menjadi 4 yaitu:

1. Asma intermitten, ditandai dengan:

a. Gejala kurang dari 1 kali seminggu.

b. Eksaserbasi singkat.

c. Gejala malam tidak lebih dari 2 kali sebulan.

d. Bronkodilator diperlukan bila ada serangan.

e. Jika serangan agak berat mungkin memerlukan kortikosteroid.

f. APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi;

g. Variabiliti APE atau VEP1 < 20%.

2. Asma persisten ringan, ditandai dengan :

a. Gejala asma malam >2x/bulan;

b. Eksaserbasi >1x/minggu, tetapi eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur;

c. Membutuhkan bronkodilator dan kortikosteroid;

d. APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi;

e. Variabiliti APE atau VEP1 20-30%

3. Asma persisten sedang, ditandai dengan :

a. Gejala hampir tiap hari;

b. Gejala asma malam >1x/minggu;

c. Eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur;

14
d. Membutuhkan steroid inhalasi dan bronkhodilator setiap hari;

e. APE atau VEP1 60-80%;

f. Variabiliti APE atau VEP1 >30%

F. Patomekanisme

Suatu serangan asma merupakan akibat obstruksi jalan napas difus reversible.

Obstruksi disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi utama yaitu kontraksi otot-otot

polos baik saluran napas, pembengkakan membrane yang melapisi bronki, pengisian

bronki dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronki dan kelenjar mukusa

membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi,

dengan udara terperangkap didalam jaringan paru.Antibodi yang dihasilkan (IgE)

kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru.

Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan

antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti

histamine,bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang

bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru

mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme,

pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan mucus yang sangat banyak.

Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak

dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergic dirangsang, terjadi bronkokonstriksi,

bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β- adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan

antara reseptor α- dan β- adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosine

monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor α- mengakibatkan penurunan cAMP, yang

mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast

bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor β- mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP

yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabakan bronkodilatasi.

15
Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β- adrenergik terjadi pada individu

dengan Asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator

kimiawi dan konstriksi otot polos (Smeltzer & Bare, 2002).

G. Manifestasi Klinis

Gejala-gejala yang lazim muncul pada Asma Bronkhial adalah batuk,

dispnea, dan wheezing. Serangan seringkali terjadi pada malam hari. Asma biasanya

bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan

pernapasan lambat, wheezing. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang dibanding

inspirasi, yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan setiap otot-

otot aksesori pernapasan. Jalan napas yang tersumbat menyebabkan dispnea.

Serangan Asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam dan dapat

hilang secara spontan. Meskipun serangan asma jarang ada yang fatal, kadang terjadi

reaksi kontinu yang lebih berat, yang disebut “status asmatikus”, kondisi ini

mengancam hidup (Setiawan, 2018).

H. Pemeriksaan dan Penegakkan Diagnosis

Diagnosis asma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis,

dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk

memastikan kelainan yang ditemukan berupa pemeriksaan radiologi dan

laboratorium. Pemeriksaan foto toraks merupakan cara yang praktis untuk

menemukan lesi. walaupun dengan harga yang lebih mahal karena beberapa

keuntungan yang dimilikinya. Disamping itu, pemeriksaan laboratorium yang dapat

dilakukan adalah darah rutin. Pemeriksaan darah mempunyai hasil yang tidak

sensitif dan spesifik. Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standart adalah

pemeriksaan sputum BTA. Pemeriksaan ini mampu mendiagnosis dan mengevaluasi

pengobatan yang telah diberikan.

16
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda (GINA, 2018):

1) Batuk, mengi, sesak napas episodik

2) Bronkitis / pneumonia berulang

3) Riwayat atopi pada penderita / keluarganya

4) Riwayat faktor pencetus

5) Perburukan gejala pada malam / dini hari,

2. Spirometri

Spirometri adalah suatu alat yang digunakan untuk menghasilkan secara obyektif

ntuk mengukur hambatan aliran udara yang ada. Spirometri pada dasarnya

dilakukan untuk mengetahui apakah kerja pernafasan seseorang mampu

mengatasi kedua resistensi yang mempengaruhi kerja pernafasan kita yaitu

resistensi elastik dan non elastik sehingga dapat menghasilkan fungsi ventilasi

yang optimal (Andersson-Marforio et al., 2020)

3. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis)

4. Pemeriksaan Faal Paru

Pemeriksaan faal paru adalah mengukur berapa banyak udara yang dapat masuk

kedalam paru – paru dan seberapa cepat udara dapat keluar dari paru – paru.

Pada pasien asma terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan

KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan

KAEM (kecepatan arus ekspirasi maksimal), kenaikan KRF dan VR, sedangkan

KTP bertambah atau normal. Kelainan di atas lebih jelas pada stadium lanjut,

sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran nafas kecil yang dapat

dibuktikan dengan pemeriksaan KAEM, closing volume, flow volume curve

dengan O2 dan gas helium N2 wash out curve.

17
5. Analisis Gas Darah

Pada umumnya pasien bronkhitis tidak dapat mempertahankan ventilasi dengan

baik, sehingga PaCO2 naik. Saturasi hemoglobin menurun, dan timbul sianosis.

Terjadi juga vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penambahan eritropoeisis.

6. Foto toraks PA

7. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis asma, yaitu :

1) ICS melebar

2) Hili kasar dan melebar,

3) Hiperinflasi,

4) Bronko Vaskular Pulmonal (BVP) normal.

Gambar 5. Gambaran Foto Rontgen Dada pada Pasien asma


Sumber: GINA, 2019

18
Gejala Klinis & PF

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan
spirometri

Pemeriksaan penunjang
laboratorium
X-Ray Asma

Gambar 6. Skema Alur Diagnosis Asma


Sumber: GINA 2018
I. Diagnosis Banding

Diagnosis banding asma bronchial diantaranya adalah bronkitis kronik, emfisema

paru,gagal jantung kiri akut (asma cardial), dan emboli paru.

1. Bronkitis kronik 

Ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam

setahununtuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberkulosis,

bronkitis ataukeganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala utama batuk disertai

sputum biasanyadidapatkan pada pasien berumur lebih dari 35 tahun dan perokok

berat. Gejalanyadimulai dengan batuk pagi hari, lama kelamaan disertai mengi

dan menurunnyakemampuan kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut, datap

ditemukan sianosis dan tanda-tanda cor pulmonal. 

2. Emfisema paru

Sesak merupakan gejala utama emfisema. Sedangkan batuk dan mengi

jarangmenyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada

emfisema tidak pernahada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan

19
jasmani. Pada pemeriksaan fisik ditemukan dada kembung, peranjakan napas

terbatas, hipersonor, pekak hati menurun,dan suara napas sangat lemah.

Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.c.

3. Gagal jantung kiri akut

Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila

timbul pada malam hari disebut paroxyismal nokturnal dyspnea. Pasien tiba-

tiba terbangun padamalam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau

berkurang bila duduk. Padaanamnesis dijumpai hal-hal yang memperberat atau

memperingan gejala gagal jantung.Disamping ortopnea pada pemeriksaan fisik

ditemukan kardiomegali dan edema paru.

4. Emboli paru

Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi,

gagal jantung dan tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, pasien batuk-

batuk yang dapatdisertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsan.

J. Penatalaksanaan Fisioterapi

Adapun teknologi fisioterapi yang digunakan penulis pada kondisi asma

diantaranya:

1. Nebulizer

Nebulizer adalah alat yang digunakan untuk mengubah obat dalam bentuk

cairan menjadi aerosol stabil. Bersamaan dengan cairan dapat dapat diberikan

juga obat bronkodilator atau kortikosteroid. Pada eksaserbasi akut terapi oksigen

merupakan hal yang pertama diberikan dengan tujuan untuk memperbaiki

hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa (Balte et al., 2020).

20
2. Chest Fisioterapi

Chest Fisioterapi yaitu upaya untuk membersihkan jalan napas dari mukus/

sekresi yang berlebih. Chest fisioterapi terdiri dari breating exercise, postural

drainage, perkusi/ tapotement, batuk efektif dan active exercise (Malesker et al.,

2020).

3. Breathing exercise

Breathing exercise merupakan salah satu tekhnik yang digunakan untuk

membersihkan jalan nafas, merangsang terbukanya system collateral,

meningkatkan distribusi ventilasi, dan meningkatkan volume paru. Tekhnik yang

digunakan meliputi :Diaphragmatic Breathing Exercise, Pursed Lip Breathing,

dan Segmental Costal Breathing Exercise(Mahler & Croitoru, 2019).

Pursed lip breathing merupakan salah satu latihan pernapasan guna

mengurangi sesak napas dan mengurangi kerja dari suatu pernapasan, yang

dibarengi dengan pernapasan diafragma Selain itu, breathing control merupakan

latihan pernapasan yang dapat meningkatkan volume paru, mempertahankan

alveolus agar tetap mengembang, meningkatkan oksigenasi, membantu

membersihkan sekresi mukosa, mobilitas sangkar toraks dan meningkatkan

kekuatan, daya tahan dan koordinasi otot-otot respirasi, meningkatkan efektifitas

mekanisme batuk, mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan

thoracal spine, koreksi pola-pola napas yang abnormal, dan meningkatkan

relaksasi (Tolba et al., 2021).

21
4. Mobilisasi lingkar thoraks

Mobilisasi sangkar toraks adalah suatu bentuk latihan aktive movement pada

trunk dan extremitas yang dilakukan dengan deep breathing yang bertujuan untuk

meningkatkan mobilitas trunk dan shoulder yang mempengaruhi respirasi serta

memperkuat kedalaman inspirasi dan ekspirasi (Visca et al., 2019).

5. Coughing exercise

Coughing exercise atau batuk efektif merupakan suatu metode batuk

dengan benar, dimana pasien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah

lelah dan dapat mengeluarkan dahak secara maksimal dari jalan napas dan area

paru. Selain itu coughing exercise menekankan inspirasi maksimal yang dimulai

dari ekspirasi. Adapun tujuan dilakukannya tindakan coughing exercise adalah

merangsang terbukanya sistem kolateral, meningkatkan distribusi ventilasi, dan

meningkatkan volume paru serta memfasilitasi pembersihan saluran napas yang

memungkinkan pasien untuk mengeluarkan sekresi mukus dari jalan napas

(Mahler & Croitoru, 2019).

6. IR (Infra Red)

Modalitas Infra Red Luminous dengan penetrasi mencapai jaringan

subkutan yaitu epidermis dan dermis. Pemberian Infra Red Luminous diberikan

dengan intensitas sesuai dengan toleransi dari pasien tersebut, dimana pasien

merasakan hangat pada area yang diterapi. Penyinaran diberikan secara tegak

lurus pada area yang diterapi pada jarak 30-45 cm dan dengan dosis terapi selama

10-15 menit (Tolba et al., 2021).

22
K. Kerangka/ mind mapping Teknologi Fisioterap

Pemeriksaan Fisik
- Auskultasi Gejala Klinis:
- Fremitus - Batuk
- Perkusi - Sesak napas (ekspirasi lebih lama)
- Lingkar thoraks - Nyeri dada
- NYHA, MET,HRS-A, - Wheezing/Ronkhi
Indeks Barthel, Skala
Borg, dan Six Minutes
Walking Test Asma

Problem FT
- Sesak napas Modalitas Terpilih
- Batuk berdahak
- Spasme otot pernapasan - MWD
- Keterbatasan mobilisasi thorak - Breathing Exercise
- Gangguan Postur - Chest terapi
- Gangguan ADL - Terapi O2
- Six Minutes Walking Exercise
- Respiratory Muscle Strech Gymnastic
Meningkatkan kemampuan - Streatching Exercise
aktivitas fisik individu

Gambar 6. Kerangka/Mind Mapping Teknologi

Fisioterapi

23
BAB III

MANAJEMEN FISIOTERAPI

A. Data Umum Pasien

Nama : Tn. E

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 72 tahun/06 April 1949

Pekerjaan :-

Alamat : BTN Tritura Blok D1/1

No RM : 088925

Agama : Islam

Hobby :-

Tanggal Pemeriksaan : 15 November 2021

Vital Sign

Tekanan Darah : 150/100 mmHg

Denyut Nadi : 85 kali per menit

Pernapasan : 17 kali per menit

Saturasi Oksigen : 97 %

Berat Badan : 54 Kg

Tinggi Badan : 168 cm

B. Assesment

1. Keluhan Utama

Sesak napas setelah beraktivitas.

2. Riwayat Penyakit

Bulan April 2021 pasien datang ke BBKPM dengan keluhan sesak napas dan

batuk. Berdasarkan diagnosis, Pasien memiliki riwayat Asma. Pasien datang

24
kembali tanggal 15 November 2021 dengan keluhan sesak napas. Pasien

mengeluh mudah merasa lelah dan sesak napas setelah beraktivitas atau

berjalan lama. Pasien memiliki riwayat merokok (saat ini telah berhenti) dan

memiliki riwayat hipertensi. Pasien masih beraktivitas sehari-hari secara

mandiri.

3. Inspeksi: Statis

a. Postur Kifosis

b. Pola nafas dalam

c. Bentuk dada normal

d. Ekspansi dada cenderung terbatas

e. Protraksi Shoulder

Fase ekspirasi lebih lama

Inspeksi: Dinamis

a. Pola jalan normal

b. Sedikit kifosis

4. Palpasi

a. Tenderness : -

b. Spasme : M. Trapezius, SCM, Scaleni

c. Suhu : Normal

d. Kontur : Normal

5. Kemampuan Fungsional dan Lingkungan Aktivitas

Terganggu saat beraktivitas berat, berjalan lama dan naik turun tangga

25
6. Pemeriksaan Penunjang

a. Hasil Laboratorium 15 April 2021

No Parameter Hasil Rentang Normal Interpretasi


1 WBC 5,26 4,00-10,00
2 Neu% 84,2% 50-70% High (Tinggi)
3 Lym% 9,0% 20-40% Low (Rendah)
4 Eos% 0,4% 0,5-5% Low (Rendah)
5 RBC 4,15 3,50-5,50
6 HGB 12,1g/dL 11-16 g/dL
7 PLT 465 100-300 High (Tinggi)
Interpretasi: Mengindikasikan adanya proses inflamasi/ respon peradangan

b. Hasil Radiologi 15 April 2021

 Bronchitis Ephysematous

 COR: Bentuk, ukuran, dan letak baik

 Sinus dan diafragma baik

 Tulang intak (utuh normal)

C. Pemeriksaan Spesifik FT

1. Derajat Sesak

Hasil :1

Interpretasi : Sesak napas sangat ringan

2. Mobilitas Sangkar Thoraks

Selisih
Titik Ukur Inspirasi Awal Ekspirasi
Insp Eksp
Axilla 82 80 79 2 1
P. Mamas 88 85 83 3 2
Xypoid 86 84 83 2 1
Interpretasi: Pasien mengalami keterbatasan ekpansi thoraks.

3. Auskultasi

Spirometr Kiri Kanan

i Vas Ronchi Whes Vas Ronchi Whes

26
Apical √ √
Mild Zone √ √
Low Zone √ √
Posterior √ √
Interpretasi : Terdapat penyempitan jalan napas pada lobus apical paru bilateral

4. Spirometri

Best Pred %Pred


FVC 2.69 3.27 82.51
FEV1 1.24 2.50 49.78
FEV1/FVC 46.16 74.14 62.26
Interpretasi : Obstructive Abnormality: Severe

5. Pemeriksaan Panjang Otot

M. Pectoralis Major : Normal

M. Pectoralis Minor : Normal

M. Upper Trapezius : Normal

M. Sterno Cleido Mastoideus : Normal

6. Pemeriksaan Nyeri

Nyeri dada saat batuk dan beraktivitas dengan skala Vas: 3 (Nyeri ringan)

7. AQLQ Modifikasi - Kusioner Kualitas Hidup

Hasil Poin Penilaian AQLQ:

1) Batuk =3

2) Sesak napas =2

3) Terbangun pada malam/pagi hari karena asma = 4

4) Khawatir tidak mendapatkan obat = 4

5) Terganggu karena cuaca (dingin/panas) = 3

6) Keadaan Asma mengganggu perkerjaan = 1

7) Keadaan Asma mengganggu ADL = 3

8) Keadaan Asma mengganggu Aktivitas Olahraga = 5

9) Keadaan Asma mengganggu Aktivitas Sosial = 4

27
(Sulit dilakukan pada beberapa poin pertanyaan karena pasien kurang bisa

mengerti)

8. Pemeriksaan Toleransi Aktivitas

Parameter : 6 Minute Walking Test (jarak 60 meter)

Hasil : VO2Max: 7.74

Hasil : METs 2.2 = Rendah

D. Diagnosa FT

a. Impairment

Body Structure. Spasme pectoralis mayor dan minor, upper trapezius,

protracted shoulder, dan kyphosis

Body Function Sesak napas, retensi sputum, nyeri dada, dan keterbatasan

ekspansi thoraks

b. Functional Limitation

ADL mandiri namun sesak saat beraktivitas berat (mengangkat barang),

berjalan jauh dan lama serta naik turun tangga

c. Disability : tidak ditemukan (-)

E. ProgramFisioterapi

Tabel 2. Program Intervensi Fisioterapi

No Problem Fisioterapi Modalitas Fisioterapi Dosis


.
1. Metabolic Stress Reaction Electrotherapy F : 1x/10 hari
(MWD) I : 30 cm di atas kulit
T : local (toraks bagian
anterior)
T : 10 menit
2. Nyeri Tens F : 1x/10 hari
I : freq. 80Hz & int. 30 mA
T : local (toraks bagian
anterior)

28
T : 10 menit
3. Sesak napas dan penurunan Exercise Therapy F: 1x/10 hari
mobilitas toraks I: 8 hitungan, 3x repetisi
T: Segmental Breathing exc
T: 2 menit
F: 1x/10 hari
I: 8 hitungan, 3x repetisi
T: Pursed Lip Breathing exc
T: 2 menit
F: 1x/10 hari
I: 8 hitungan, 3x repetisi
T: Diaphragmatic
Breathing
exc
T: 2 menit
F: 1x/10 hari
I: 8 hitungan, 3x repetisi
T: Active Shoulder Flex &
Abduction
T: 2 menit
4. Spasme otot Stretching Exercise F : 1x/10 hari
I : 8 hit 3 rep
T : Stretching Otot
Aksesoris Pernapasan
(SCM, Pectoralis,
scalene, dan trapezius)
T : 3 menit
5. Gangguan postur (Protraksi Exercise Therapy F : 1x/10 hari
dan Kyphosis) I : 8 hit 3 rep
T : Active Shoulder
Retraction & Bugnet exc
T : 3 menit
6. Retensi sputum Exercise Therapy F: 1x/10 hari
I: Senyamannya Pasien
T: Postural Drainage Right
Apical Segment (Semi-
Lying)
T: Selama terapi

F: 1x/10 hari
I: 5 kali pengulangan
T: Huffing
T: Toleransi Pasien
7. Gangguan ADL Exercise Therapy F: 1x/10 hari
I: Toleransi pasien
T: Edukasi Home Exercise
T: Toleransi pasien
Sumber: Data Primer, 2021

F. Evaluasi dan Modifikasi Fisioterapi

29
Adapun hasil evaluasi dan modifikasi terhadap program fisioterapi yang telah
diberikan pada klien tersebut, adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Evaluasi Fisioterapi
Evaluasi Sesaat
Problem
No Parameter Kategori Sebelum Setelah Interpretasi
FT
Intervensi Intervensi

Tekanan 150/100
Kapasitas -
Darah mmHg
fungsi Tidak
1. Vital sign
cardio- 85 dilakukan
pulmonal Denyut Nadi -
kali/menit

2 (inspirasi)
2 cm Upper chest 1
(ekspirasi)

3 (inspirasi)
Lingkar Tidak
2. 3 cm Middle chest 2
toraks dilakukan
(ekspirasi)

2 (inspirasi)
5 cm Lower chest 1
(ekspirasi)

Sesak Sesak napas


5. Borg Scale - 1 1
napas sangat ringan

Gangguan Tidak
6. Inspeksi - Kifosis -
Postur dilakukan

Gangguan 6 minutes
Tidak
7. ADL walking - 60 m -
dilakukan
berjalan test

Tabel 4. Modifikasi Fisioterapi


No Problem Fisioterapi Modalitas FT Dosis
F:1x sehari
I: 10 hitungan, 5x repetisi
Breathing
1 Sesak Napas T: Diaphragmatic Breathing
Exercise
exc dan control breathing
T: 7 menit
2 Gangguan Postur Tubuh Exercise Threapy F:1x sehari
I: 10 hitungan, 5x repetisi

30
T: Bugnet exc
T: 5 menit
F : 1x/hari
I : 10 hit 3 rep
3 Ekspansi Toraks Exercise Threapy T : Active Shoulder Movement +
Breathing Exercise
T : 5 menit
Sumber: Data Primer, 2021

G. Home Program

Pasien diberikan edukasi berupa latihan pernapasan, dan latihan berjalan untuk

meningkatkan kebugaran pasien dengan dosis sebagai berikut:

1. Purse Lip Breathing Exercise

F : 1x sehari

I : 8 hitungan, 3x repetisi, 2 set

T : Bernapas melalui hidung sambil mengangkat tangan ke atas lalu

membuang napas melalui mulut sambil menurunkan tangan dengan

menggunakan pernapasan perut

T : 3 menit

2. Latihan bejalan

F : 2x/hari

I : toleransi pasien

T : Pasien berjalan selama 6 menit jika merasa sesak dan lelah maka latihan

berjalan dihentikan

T : Toleransi pasien

H. Kemitraan

Melakukan kolaborasi atau kemitraan dalam rangka memberikan layanan prima

kepada pasien, di antaranya:

a. Dokter Spesialis Paru

31
Kolaborasi dan kemitraan dengan dokter spesialis paru sangat penting dalam

hal mengenali kondisi umum, tanda dan gealah, patofisiologi pasien, serta

dalam peresepan obat.

b. Dokter Radiologi

Hasil radiologi memegang peran yang penting, terutama dalam kasus yang

berhubungan dengan organ dalam, seperti paru. Hasil radiologi dapat

menyaikan gambaran paru pasien yang dapat menunjang dalam penetapan

diagnosis pasien. Pada kasus ini pasien belum memiliki hasil radiologi.

c. Ilmu Gizi

Seorang ahli gizi sangat dibutuhkan dalam mengontrol status gizi seorang

pasien dan menyarankan pola makan dan jenis-jenis makanan dengan

kandungan yang sesuai guna meningkatkan gizi pasien.

d. Apoteker

Kolaborasi dengan apoteker sangat penting terkait pemberian, peracikan dan

penetapan dosis obat kepada pasien.

e. Psikologi

Kehadiran psikolog sangat penting dalam memberikan motivasi dan dorongan

batin kepada pasien, guna menurunkan tingkat kecemasan pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI. (2020). Laporan
Kinerka Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 206. Retrieved
from https://e-renggar.kemkes.go.id/file2018/e-performance/1-465827-3tahunan-
768.pdf

32
Mahler, B., & Croitoru, A. (2019). Pulmonary rehabilitation and tuberculosis: A new
approach for an old disease. Pneumologia, 68(3), 107–113.
https://doi.org/10.2478/pneum-2019-0024

Majumder, N. (2015). Physiology of respiration. International Anesthesiology Clinics, 1(2),


333–349. https://doi.org/10.1097/00004311-196302000-00001

Prastyanto, D., & Kushartanti, W. (2016). Pengaruh Latihan Pernafasan Buteyko Terhadap
Arus Puncak Ekspirasi (APE) Pada Penderita Asma. Medikora, 15(2).

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2016. PPOK. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika.

Puspasari, F. (2019). Asuhan keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta: Pustaka Baru Press.

Rasjid, H. (2018). Asma dan Sindrom Metabolik. Healthy Tadulako, 4(3).

Sumaryati, E. (2016). Buku Ajar Sistem Respirasi. Jakarta: EGC.

Sutrisna, M., Pranggono, E. H., & Kurniawan, T. (2018). Pengaruh Teknik Pernapasan
Buteyko terhadap ACT. Jurnal Keperawatan Silampari.
https://doi.org/10.31539/jks.v1i2.22

Sari, LWI. 2015. Perbedaan Nilai Arus Puncak Ekspirasi Sebelum Dan Sesudah Pelatihan
Senam Lansia Menpora Pada Kelompok Lansia Kemuning, Banyumanik. Semarang

Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Snell, R.S. 2012. Anatomi Klinik Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC.

Yunus, I. P. P. F. (2013). Anatomi dan Fisiologi Pleura. Jakarta: Departemen Pulmonologi


Dan Ilmu Kedokteran Respirasi.

33

Anda mungkin juga menyukai