Anda di halaman 1dari 15

TUGAS STASE DEPARTEMEN ILMU ANESTESI, PERAWATAN

INTENSIF, DAN MANAJEMEN NYERI

ULASAN MENGENAI ANESTESI PADA OPERASI TELINGA TENGAH


(Liang S & Irwin MG. Review of Anesthesia for Middle Ear Surgery.
Anesthesiology Clin 2010; 28(3): p.519-28)

Oleh:

dr. Rifa Septian

Pembimbing:

dr. Abdul Wahab, Sp. An

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 (SP-1)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG

TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2020
Ulasan Mengenai Anestesi Pada Operasi Telinga Tengah
Sharon Liang, BSc, MBBS; Michael G Irwin, MB, ChB, MD, FRCA, FANZCA, FHKAM

Kata Kunci: Anestesi pada operasi telinga tengah, Hipotensi terkontrol,


Mual dan muntah post operatif

Telinga tengah mengacu kepada rongga telinga tengah di antara


membran timpani dan tingkap oval. Telinga tengah dihubungkan pada
nasofaring melalui tuba eustachius dan lokasinya berdekatan dengan
lobus temporalis, serebellum, bulbus jugularis, dan labirin telinga dalam.
Telinga tengah berisi tiga tulang pendengaran yaitu malleus, inkus, dan
stapes dimana ketiganya berperan untuk transmisi getaran suara dari
telinga tengah sampai koklea. Rongga telinga telinga dilalui oleh nervus
fascialis sebelum keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoideus.
Nervus fascialis memberikan inervasi motorik untuk otot yang berperan
pada ekspresi wajah.

OPERASI TELINGA TENGAH TERSERING


Penyakit telinga tengah mengenai pasien pada semua umur. Kondisi
patologis pada telinga tengah memerlukan pembedahan terutama pada
pasien dewasa antara lain timpanoplasti (operasi rekonstruksi untuk
membran timpani atau gendang telinga), stapedektomi atau osikuloplasti
untuk otosklerosis, mastoidektomi untuk pembuangan sel udara (air cells)
pada tulang mastoid yang terinfeksi, dan pembuangan kolesteatoma.
Operasi telinga tengah pada pasien anak antara lain timpanoplasti,
mastoidektomi, miringotomi, insersi grommet (pipa ventilasi), dan
implantasi koklear. Beberapa prosedur ini dapat dilakukan pada anestesi
lokal, meskipun semua operasi dapat dilakukan dibawah anestesi general
jika dibutuhkan dari faktor pasien atau pembedahan (Kotak 1).
Kotak 1
Prosedur tersering pada operasi telinga tengah
Anestesi Lokal
Faktor Pembedahan
  - Insersi grommet (pipa ventilasi)
  - Miringoplasti
  - Timpanoplasti
  - Stapedotomi
  - Stapedektomi
  - Osikuloplasti
  - Mastoidektomi
  - Operasi kolesteatoma via liang telinga intak
Faktor Pasien
  - Dewasa
Pasien harus paham dengan prosedur operasi, kooperatif, mendengar, dan mampu
  -
berkomunikasi selama prosedur operasi dilakukan
Anestesi General
Faktor Pembedahan
  - Implantasi koklear
  - Operasi dengan waktu yang lama
  - Operasi dengan komplikasi (misalnya: jaringan parut yang luas pada telinga tengah)
Faktor Pasien
  - Anak-anak
  - Tidak stabil secara mental, pasien tidak kooperatif
  - Pasien yang memerlukan anestesi general

PERTIMBANGAN ANESTESI PADA OPERASI TELINGA TENGAH


Telinga tengah memiliki lokasi, ukuran, dan struktur yang unik, karena itu
pendekatan khusus harus dilakukan selama periode perioperatif.
Pertimbangan khusus termasuk: penyediaan lapang pandang operasi
dengan perdarahan yang minimal, perhatian pada posisi kepala pasien,
manajemen jalan napas, monitoring nervus fascialis, efek dari nitrogen
oksida pada telinga tengah, pemulihan yang perlahan dan tenang, dan
pencegahan mual dan muntah post operatif (PONV).
Suatu lapang pandang operasi yang minimal perdarahan adalah
ideal untuk operasi telinga tengah. Perdarahan dalam jumlah yang kecil
dapat mengaburkan pandangan pada pembedahan mikro. Kombinasi dari
tehnik fisik dan farmakologi digunakan untuk meminimalisir perdarahan.
Perhatian pada posisi kepala pasien sangat penting untuk mencegah
obstruksi dan kongesti vena. Sebagai tambahan, hiperekstensi atau torsi
ekstrim dapat menyebabkan cedera pada pleksus brakialis dan tulang
belakang bagian leher. Pada pasien dengan aterosklerosis karotis, aliran
darah karotis dapat menyebabkan lepasnya plak emboli, sehingga sangat
bermanfaat untuk melakukan auskultasi pada karotis untuk menentukan
bruit sebelum pembedahan.
Selama anestesi general, jalan napas dapat dijaga dengan
menggunakan masker laringeal jalan napas (LMA) atau intubasi
endotrakeal; intubasi dapat lebih sesuai jika ekstensi atau rotasi ekstrim
leher dibutuhkan. LMA lebih sesuai sebagai alternatif untuk kebanyakan
operasi telinga tengah dan berbagai jenis alat sekarang telah tersedia.
Komplikasi potensial yang telah didokumentasikan pada operasi otologi
adalah paralisis nervus fascialis, sehingga stimulator saraf seringkali
digunakan sebagai monitoring intraoperatif dengan merangsang aktivitas
elektromiografi nervus fascialis untuk menghindari kerusakan pada nervus
fascialis. Pelemas otot harus dicegah pada situasi ini, atau jika blok
neuromuskular dibutuhkan untuk memfasilitasi intubasi yang lembut
(smooth), perlu dipilih dosis dan agen yang dapat menjamin kembalinya
fungsi neuromuskular sebelum dilakukan monitoring fungsi
neuromuskular. Harus dipertimbangkan juga bahwa pergerakan pasien
yang mendadak saat operasi berlangsung dapat mengganggu
keberhasilan operasi, sehingga monitoring kedalaman anestesi
dibutuhkan. Penggunaan nitros oksida pada operasi telinga tengah masih
kontroversial. Pulih sadar yang lembut (smooth) tanpa batuk atau
mengejan sangat penting, terutama pada pasien yang menjalani operasi
rekonstruksi telinga tengah untuk mencegah bergesernya protesa. PONV
merupakan masalah yang sering terjadi setelah operasi telinga tengah
yang dapat diminimalkan dengan pemilihan tehnik anestesi yang tepat
dan pemberian profilaksis antiemetik. Kebanyakan prosedur telinga
tengah dapat dilakukan sebagai operasi one day care, sehingga
pemulihan yang cepat, analgesia yang baik, dan pencegahan mual dan
muntah sangat penting.

EVALUASI PREOPERATIF
Untuk pasien dewasa, operasi telinga tengah sederhana dapat dilakukan
dibawah anestesi lokal maupun general, meskipun komplikasi atau
prosedur operasi yang lama harus dilakukan dengan anestesi general.
Pasien yang mampu untuk memahami prosedur serta dapat
berkomunikasi dan kooperatif selama prosedur, merupakan kandidat yang
cocok untuk anestesi lokal atau diberikan sedasi sebelum operasi. Pasien
yang menjalani operasi telinga tengah seringkali menderita gangguan
pendengaran yang berat, sehingga mengurangi kemampuan pasien untuk
kooperatif, pada situasi ini pembedahan akan lebih baik dilakukan
dibawah anestesi general. Memasang alat bantu dengar pada telinga
yang tidak dioperasi sebelum induksi dan dilepas setelah prosedur operasi
dilakukan akan membantu mengurangi ansietas dan mempermudah
komunikasi. Premedikasi ansiolisis oral dengan benzodiazepine dapat
dipertimbangkan atau dapat dijadikan regimen standar intraoperatif.
Riwayat penyakit kardiovaskular, hipovolemia, dan anemia akan
membatasi tingkat hipotensi yang dapat dilakukan. Pada pasien anak,
sebagai tambahan terhadap komponen penilaian preoperatif, penting
untuk memeriksa sindrom dan gejala infeksi pada saluran pernapasan
atas.

PEMILIHAN ANESTESI
Empat saraf memberikan inervasi pada telinga. Nervus temporoaurikular
mensuplai meatus akustikus bagian luar, nervus aurikularis mayor
mensuplai aspek medial dan inferior dari aurikula dan bagian meatus
auditorius eksternus. Cabang aurikular dari nervus vagus mensuplai
konka dan meatus auditorius eksternus, dan nervus timpanikus mensuplai
kavitas timpani.
Anestesi general maupun lokal memiliki kelebihan dan kekurangan.
Operasi telinga tengah tanpa komplikasi dapat dilakukan dibawah
anestesi lokal. Pada suatu penelitian dengan anestesi lokal pada telinga
tengah oleh Caner dkk, pasien diberikan premedikasi dengan meperidin
dan atropin intramuskular 30 menit sebelum dilakukan pembedahan, dan
diazepam 5 mg sampai 10 mg diberikan intravena jika pasien masih
gelisah di ruang operasi. Lidokain 2% dengan 1:100.000 epinefrin
digunakan untuk infiltrasi dan blok nervus aurikulotemporal/ aurikular. 73
dari 100 pasien menyatakan bahwa mereka lebih memilih anestesi lokal
untuk operasi yang sama di masa yang akan datang. Pada survey yang
serupa, Yung menemukan ketidaknyamanan tersering yang dilaporkan
selama operasi dengan anestesi lokal adalah bising selama operasi dan
ansietas, diikuti oleh pusing berputar, nyeri punggung, klaustrofobia, dan
nyeri telinga. Meskipun mengeluhkan ketidaknyamanan ini, tetapi 89%
pasien menyatakan bahwa mereka akan memilih anestesi lokal untuk
operasi serupa di masa yang akan datang. Nyeri dirasakan terutama pada
permulaan operasi saat injeksi multiple anestesi lokal diberikan, dan
kemungkinan aplikasi lidokain dan prilokain (EMLA) preoperatif dapat
mengurangi keluhan ini. Untuk ahli bedah, keuntungan utama melakukan
operasi telinga tengah dibawah anestesi lokal adalah kemampuan untuk
melakukan pemeriksaan pendengaran selama prosedur operasi, dan
mereka juga melaporkan perdarahan operasi yang lebih sedikit.
Pertimbangan utama untuk tidak melakukan operasi telinga tengah
dibawah anestesi lokal adalah pasien mungkin tidak dapat mentoleransi
ketidaknyamanan dan kemungkinkan untuk pergerakan pasien yang tiba-
tiba. Pertimbangan lain adalah adalah toksisitas potensial, sebagaimana
tingkat plasma toksik dari anestesi lokal telah dilaporkan pada 5 menit
pertama setelah infiltrasi untuk timpanoplasti. Kepala pasien ditutupi
dengan linen (pembungkus/ drapes) selama operasi, dan kewaspadaan
ekstra diperlukan terhadap kemungkinan terjadinya depresi napas atau
obstruksi jalan napas. Suplementasi oksigen dapat diberikan melalui kanul
nasal, dan memungkinkan juga untuk menggunakan kapnometri atau
stetoskop prekordial untuk memonitor pernapasan. Pembungkus/ drapes
plastik yang bening dapat mengurangi perasaan klaustrofobia pada
pasien, dan perangkat udara bertekanan positif dapat digunakan untuk
memberikan ventilasi udara di ruangan operasi.
Dengan evaluasi pasien secara seksama, penjelasan preoperatif
yang adekuat, dan penggunaan sedasi yang sesuai, operasi telinga
tengah dapat dilakukan dengan sukses dibawah anestesi lokal, dengan
tingkat kepuasaan dan penerimaan yang baik dari pasien dan operator.
Benedik dan Manohin membandingkan keamanan dan keefektifitasan dari
propofol dibandingkan midazolam untuk sedasi sadar pada operasi telinga
tengah. Studi tersebut mendemonstrasikan bahwa propofol memiliki
hubungan yang signifikan dengan waktu pemulihan yang lebih singkat dan
tingkat kepuasan pasien dan operator jika dibandingkan dengan
midazolam. Pertimbangan dalam penggunaan sedasi pada operasi telinga
tengah adalah efek samping dari propofol dan midazolam, seperti depresi
pernapasan, hipotensi, dan pergerakan pasien mendadak intraoperatif.
Agonis alfa-2 seperti klonidin atau dexmedetomidin, memiliki
beberapa manfaat sebagaimana obat-obatan tersebut memberikan
perangsangan sedasi, analgesia, dan sedikit reduksi pada denyut jantung
dan tekanan darah tanpa depresi pernapasan, hal ini penting terutama
saat kepala pasien dibungkus dengan pembungkus (drapes) bedah.
Dexmedetomidin telah berhasil digunakan sebagai sedatif primer dengan
tambahan propofol dan midazolam dosis rendah untuk monitoring
perawatan anestesi selama thyroplasti sadar, suatu prosedur yang
memerlukan pasien untuk berbicara saat ditanya oleh operator dan juga
diperlukan untuk tetap tidak bergerak. Ahli bedah melaporkan kepuasan
terhadap kondisi operasi, dan pasien tidak memerlukan prosedur
tambahan dan tidak ada nyeri selama operasi. Agonis alfa-2 juga
berperan pada kraniotomi sadar. Dexmedetomidin dapat juga digunakan
untuk operasi telinga tengah tapi belum dilaporkan secara luas pada
literatur.
Sebagai kesimpulan, keuntungan dari melakukan operasi telinga
tengah dibawah anestesi lokal dan sedasi sadar antara lain perdarahan
yang kurang, pengurangan nyeri yang cepat pada periode postoperatif,
mobilisasi lebih awal, efektifitas biaya, dan kemampuan untuk memeriksa
restorasi pendengaran selama operasi.
Meskipun memiliki keuntungan, bagaimanapun juga, pertimbangan
khusus untuk anestesi general pada operasi telinga tengah telah
disebutkan sebelumnya, kebanyakan operasi telinga tengah masih
dilakukan dibawah anestesi general.
Anestesi intravena total (TIVA) dibandingkan anestesi dasar volatil
untuk operasi telinga tengah dengan waktu yang panjang telah menjadi
perdebatan. Mukherjee dkk membandingkan PONV, nyeri dan kondisi
untuk operasi pada pasien yang sudah menjalani operasi telinga tengah
dibawah tehnik TIVA menggunakan remifentanil dan propofol, dengan
tehnik menggunakan perawatan fentanil, propofol, dan isofluran. Pasien
pada kelompok inhalasi lebih banyak mengalami PONV (25%)
dibandingkan kelompok TIVA (8%) pada ruangan pemulihan. Pada
periode postoperatif awal, kelompok TIVA dilaporkan memiliki skor nyeri
yang lebih tinggi dan membutuhkan morfin lebih banyak pada ruang
pemulihan, tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada jam ke 2,
4, 6, 8, 12, dan 18. Kondisi untuk pembedahan pada kelompok TIVA
dilaporkan lebih baik. Pada studi lain yang membandingkan tehnik
anestesi berbasis propofol dengan anestesi inhalasi dalam hal profil
pemulihan dan insidensi PONV untuk operasi telinga tengah, TIVA
diketahui berhubungan dengan pemulihan yang lebih cepat dan keluhan
mual dan muntah lebih sedikit.
Penggunaan nitros oksida dalam praktek anestesi telah menurun
pada beberapa tahun terakhir sebagai akibat dari pertimbangan pada efek
fisik dan metabolik. Penggunaan nitros oksida pada operasi telinga tengah
masih kontroversial. Nitros oksida lebih larut dibandingkan nitrogen pada
darah dan konsentrasi tinggi memasuki rongga telinga tengah lebih cepat
dibandingkan tingkat nitrogen, menyebabkan peningkatan tekanan telinga
tengah jika tuba eustachius mengalami obstruksi. Selama timpanoplasti,
telinga tengah terbuka dan berhubungan dengan udara atmosfer, dalam
hal ini tidak ada penambahan tekanan, namun saat graft membran timpani
dipasang penggunaan nitros oksida yang kontinyu dapat menyebabkan
pergeseran graft. Pada akhir pembedahan, saat dihentikan, nitros oksida
secara cepat diabsorbsi, dimana dapat menyebabkan tekanan negatif
sehingga dapat juga menyebabkan pergeseran graft, otitis media serosa,
disartikulasi stapes, atau gangguan pendengaran. Karena hal itu,
penggunaan nitros oksida tidak direkomendasikan pada timpanoplasti.
Lebih lanjut, efek samping yang diketahui dari nitros oksida adalah PONV,
dan menyebabkan pada penggunaannya dalam operasi telinga tengah
dapat meningkatkan insidensi PONV.
Intubasi endotrakeal dan laringoskopi selama anestesi general
berhubungan dengan banyak potensi komplikasi seperti nyeri
tenggorokan, batuk, cedera pada gigi, kesulitan pemulihan, dan
penggunaan pelemas otot untuk insersi tube. Sebagai perbandingan, LMA
bebas dari komplikasi tersebut, dan pemulihan lembut dapat dilakukan
dengan mudah. LMA juga menawarkan keuntungan dari sedasi intravena
dengan resiko lebih sedikit dari kelebihan sedasi dan apneu obstruktif.
Keselamatan dan kefektifitasan LMA dibandingkan dengan intubasi
endotrakeal pada pasien yang menjalani operasi otologi pada studi review
retrospektif yang dilakukan pada rumah sakit pendidikan militer tersier.
Tidak didapatkan komplikasi jalan napas utama pada kedua kelompok,
terdapat penurunan signifikan pada penggunaan penghambat
neuromuskular (neuromuscular blocker) pada kelompok LMA, dan waktu
total anestesi juga memendek pada kelompok tersebut. Tidak terdapat
perbedaan pada insidensi PONV atau durasi rawat inap perawatan post
anestesi. Penggunaan LMA untuk prosedur kepala leher telah direview
oleh Mandel pada topik ini.
Lapang pandang operasi yang bebas perdarahan sangat penting,
karena bahkan sedikit tetesan darah dapat mengaburkan lapangan
operasi. Tehnik fisik dan farmakologis yang dapat digunakan yaitu: kepala
mendongak 15o sampai 20o, pencegahan obstruksi vena, normokapnea,
dan hipotensi terkontrol. Hipotensi terkontrol deidefinisikan sebagai
reduksi dari tekanan darah sistolik menjadi 80 sampai 90 mmHg, reduksi
dari rerata tekanan arteri (MAP) menjadi 50 sampai 65 mmHg pada pasien
tanpa hipertensi, atau reduksi dari 30% baseline MAP pada pasien
dengan hipertensi. Sedikit elevasi posisi kepala mengurangi tekanan arteri
dan vena pada area di bagian atas jantung; bagaiamanapun juga, hal ini
dapat meningkatkan resiko terjadinya embolisme udara. Pada keadaan
dengan adanya hipotensi, elevasi kepala lebih lanjut akan
mengkompensasi perfusi pada daerah kepala dan leher. Agen
farmakologi yang digunakan untuk hipotensi terkontrol pada operasi
telinga, hidung, dan tenggorok termasuk: anestesi inhalasi (misalnya
isofluran dan sevofluran), vasodilator (misalnya sodium nitroprusid dan
nitrogliserin), antagonis beta adrenergik (labetolol dan esmolol), agonis
alfa-2 adrenergik (klonidin dan dexmedetomidin), opioid (remifentanil), dan
magnesium sulfat. Bagaimanapun juga hipotensi terkontrol tetap memiliki
resiko, sebagai tambahan efek samping dari beberapa agen farmakologis,
obat-obatan tersebut dapat menyebabkan hipoksia jaringan dengan
mereduksi autoregulasi mikrosirkulasi pada organ vital.
Pada konsentrasi menengah, isofluran menurunkan tekanan darah
melalui efek vasodilatasi dan juga menjaga autoregulasi serebral.
Bagaimanapun juga, pada konsentrasi tinggi, dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial melalui peningkatan tekanan darah
serebral dan ketidakseimbangan autoregulasi serebral. Sevofluran
menyebabkan efek hipotensif melalui vasodilatasi langsung tanpa
modifikasi tekanan darah koklear. Sebagai tambahan, sevofluran memiliki
kelarutan gas dalam darah yang rendah dan iritabilitas jalan napas yang
rendah, sehingga merupakan agen yang baik untuk induksi gas pada
pasien pediatri, meskipun juga berhubungan dengan agitasi mendadak
dan perubahan perilaku negatif post operasi pada kelompok ini. Pada
konsentrasi tinggi, anestesi inhalasi dapat mengganggu pengukuran
potensial aksi yang digunakan untuk monitoring nervus fascialis.
Vasodilator sodium nitroprusida dan nitrogliserin menjadi kurang
populer karena efek sampingnya dan avaliabilitias dari agen lain yang
lebih baik. Sodium nitroprosida sangat poten dan memiliki onset yang
cepat dan seimbang, tetapi memiliki beberapa efek samping serius
termasuk takipilaksis, rebound hypertension, iskemia organ, dan toksisitas
sianida. Sodium nitroprusida berperan sebagai tambahan pada anestesi
sevofluran pada anak-anak sehingga meningkatkan visibiliats lapang
pandang operasi tetapi memprovokasi asidosis laktat dan peningkatan
hiperkapnea. Nitrogliserin merupakan vasodilator langsung nonspesifik
short acting pada pembuluh darah vena dan arteri, dimana tidak
memproduksi metabolit toksik. Dibandingkan dengan sodium nitroprusid,
nitrogliserin kurang efektif dalam menginduksi hipotensi dan bekerja lebih
lambat. Kedua agen memerlukan monitoring tekanan darah yang ketat,
disarankan untuk menggunakan jalur arteri.
Labetolol merupakan antagonis kompetitif reseptor alfa dan beta
dengan rasio 7:1. Blokade adrenoreseptor beta menurunankan
kontraktilitas miokardial dan denyut jantung, sementara blokade alfa
menyebabkan vasodilatasi. Efek samping termasuk bronkospasme,
hipotensi yang memanjang, dan blokade konduksi. Esmolol merupakan
antagonis adrenoreseptor beta-1 short acting, dimana memilki waktu
onset sekitar 3 menit dan durasi kerja sekitar 10 menit. Obat ini
menurunkan tekanan darah dengan menurunkan detak jantung dan
menurunkan aktivitas renin dan tingkat katekolamin. Dibandingkan dengan
sodium nitroprusida, antagonis beta adrenoreseptor menurunkan tekanan
darah dan mengurangi aliran darah menuju telinga tengah dan
meningkatkan lapang pandang operasi tanpa komplikasi metabolik.
Agonis adrenoreseptor alfa-2, klonidin dan dexmedetomidin, telah
didiskusikan sebelumnya memiliki hubungan dengan efek sedatif dan
analgesik. Obat-obatan ini juga mengurangi sekresi katekolamin, yang
merupakan tambahan anestesi, dan menyebabkan bradikardi dan
hipotensi menengah. Suatu studi investigasi tentang keefektifan dari
dexmedetomidin dalam menurunkan perdarahan selama operasi
septoplasti dan timpanoplasti memperlihatkan bahwa dexmedetomidin
secara signifikan menurunkan perdarahan dan kebutuhan fentanil pada
septoplasti. Pada operasi timpanoplasti kebutuhan fentanil juga menurun,
tetapi tidak menurunkan perdarahan secara signifikan. Durmus dkk
menggunakan dexmedetomidin untuk meningkatkan kualitas lapang
pandang operasi pada timpanoplasti dan septoplasti, dan didapatkan
kesimpulan bahwa dexmedetomidin bermanfaat sebagai tambahan untuk
menurunkan perdarahan.
Remifentanil merupakan agonis reseptor mu ultrashort-acting.
Remifentanil mampu untuk menurunkan tekanan darah sistemik,
menurunkan aliran darah pada telinga tengah, dan membuat lapang
pandang operasi lebih baik tanpa menganggu autoregulasi pada
mikrosirkulasi telinga tengah. Mekanisme aksi yang terjadi adalah blokade
simpatetik sentral. Degoute dkk melaporkan bahwa remifentanil
dikombinasikan dengan sevofluran pada anak-anak menyebabkan
hipotensi terkontrol, mengurangi aliran darah pada telinga tengah, dan
menghasilkan lapang pandang yang baik untuk operasi telinga tengah
dengan tanpa kebutuhan tambahan untuk agen hipotensif lainnya. Lebih
lanjut, remifentanil mereduksi kebutuhan sevofluran dan membantu
mencegah penggunaan pelemas otot. Terdapat beberapa bukti bahwa
pemberian infus dosis tinggi remifentanil intraoperasi dapat menyebabkan
hiperalgesia postoperatif, meningkatan kebutuhan analgesik postoperatif
tetapi hasil ini masih bersifat kontroversial.
Magnesium sulfat merupakan antagonis reseptor non kompetitif N-
methyl-D aspartate (NMDA) dengan efek antinosiseptif, dan obat ini
menghambat pintu masuk ion kalsium ke dalam sel. Magnesium sulfat
digunakan sebagai vasodilator untuk hipotensi terkontrol. Ryu dkk
membandingkan remifentanil dan magnesium sulfat untuk operasi telinga
tengah dalam efek hemodinamik dan nyeri post operatif saat
dikombinasikan dengan sevofluran. Mereka melaporkan tidak terdapat
perbedaan signifikan pada rerata tekanan arteri atau denyut jantung
diantara kedua obat tersebut. Pasien dengan kelompok magnesium sulfat
memiliki kebutuhan sevofluran yang lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok yang mendapat remifentanil. Secara keseluruhan, magnesium
sulfat berhubungan dengan hemodinamik perioperatif yang lebih stabil
dan menghasilkan analgesia yang lebih baik dan PONV yang kurang jika
dibandingkan remifentanil.
Prosedur operasi otologi berhubungan dengan paralisis nervus
fasialis, dan proteksi nervus fasialis merupakan pertimbangan yang
penting. Perlindungan terhadap nervus fasialis dapat dikonfirmasi dengan
mudah saat pasien tidak dalam keadaan paralisis, tetapi penggunaan
pelemas otot mengganggu interpretasi dari aktivitas potensial aksi
elektromiografi. Sejak pergerakan mendadak dapat mengganggu operasi,
telah disarankan bahwa digunakan blokade neuromuskular parsial
sebagaimana ditetapkan oleh train-of-four stimulasi nervus periver.
Operasi telinga tengah berhubungan dengan tingginya insidensi
PONV. Pada kondisi tidak adanya pengobatan antiemetik, 62% sampai
80% pasien akan mengalami keluhan tersebut. Etiologi dari PONV adalah
multifaktorial dan tergantung dari beberapa faktor, termasuk demografik
pasien, riwayat PONV sebelumnya, tehnik anestesi, penggunaan nitros
oksida, durasi dari anestesi dan operasi, dan bahkan pengalaman
operator. TIVA mereduksi PONV jika dibandingkan dengan menggunakan
agen volatil. Pasien yang dioperasi oleh residen membutuhkan profilaksis
lebih agresif untuk PONV jika dibandingkan dioperasi oleh spesialis.
Pemberian profilaksis dari medikasi antiemesis juga menurunkan insidensi
PONV. Usmani dkk membandingkan keefektifan ondansetron (0,1 mg/kg),
deksametason (0,15 mg/kg) dan suatu kombinasi dari ondansetron (0,1
mg/kg) dan deksametason (0,15 mg/kg) untuk mencegah PONV pada
suatu studi randomisasi double-blind yang melibatkan 90 pasien ASA I
dan II. Mereka menyimpulkan bahwa terapi profilaksis dengan
ondansetron bersama dengan deksametason lebih superior jika
dibandingkan dengan kedua obat dalam penggunaan tunggal. Studi lain
yang membandingkan keefektifan dari kombinasi granisetron dan
deksametason terhadap kedua obat dalam penggunaan tunggal
memberikan hasil yang serupa. Studi ini juga memberikan hasil yang
sesungguhnya pada pasien anak. Kombinasi dari suatu antagonis
reseptor selektif 5-hydrxy tryptamine type 3 bersama dengan
deksametason lebih efektif dalam mencegah PONV dibandingkan kedua
obat dalam penggunaan tunggal. Yeo dkk membandingkan keefektifitasan
antiemetik dari deksametason dikombinasikan dengan midazolam dan
menyimpulkan bahwa penambahan midazolam tidak signifikan dalam
mereduksi keseluruhan insidensi PONV dibandingkan dengan
deksametason tunggal. Bagaimanapun juga, penambahan midazolam
menurunkan insidensi muntah dan kebutuhan segera untuk antiemetik.
Pasien yang menjalani operasi telinga tengah dibawah anestesi
lokal mengalami nyeri post operatif yang lambat dibandingkan pasien
dengan anestesi general. Suatu pendekatan analgesik multimodal
mengkombinasi opioid, obat anti inflamasi nonsteroid/ coxib, dan
asetaminofen secara umum lebih diterima. Suatu studi menemukan
bahwa blokade dari cabang aurikular dari nervus vagus dengan 0,2 mL
dari bupivakain 0,25% didapatkan lebih efektif dibandingkan fentanil
intranasal (2 μg/kg) dalam penatalaksanaan nyeri post operatif pada infant
dan anak-anak yang menjalani miringotomi atau pemasangan pipa
ventilasi.
Sebagai kesimpulan, pemilihan pasien dengan seksama, anestesi
lokal dengan sedasi merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan
dengan anestesi general untuk operasi telinga tengah sederhana.
Anestesi general dengan TIVA memberikan profil pemulihan yang lebih
baik dan keluhan mual dan muntah lebih sedikit dibandingkan anestesi
inhalasi, dan nitros oksida sebaiknya dihindari. Remifentanil merupakan
obat yang baik untuk mengontrol hipotensi dan untuk menghindari
penggunaan pelemas otot. Jika dibutuhkan, blokade neuromuskular
parsial masih dapat memungkinkan monitoring nervus fasialis selama
pembedahan. Kombinasi profilaksis PONV lebih efektif dibandingkan
pemberian obat tunggal.

Anda mungkin juga menyukai