Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

SMF RADIOLOGI

"Gambaran Radiologi pada Aneurisma Intracranial”

Oleh :

Nadia Nisaussholihah 6120019043

Fernando Prasetya E. H 6120019037

Delvia Sekar Apsari 6120019009

Yunyastiti Dwidya Palupi 6120019045

Izki Masyaqqoni Pujiana 6120019039

Dosen Pembimbing:

Utami Ambarsari, dr., Sp. Rad

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas KehendakNya
penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul Gambaran Radiologi pada
Aneurisma Intracranial. Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam kriteria
penilaian pada pembelajaran.
Pada kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada dr. Utami Ambarsari dr Sp.Rad selaku pembimbing SMF radiologi di RSI
Jemursari Surabaya, yang telah memberikan masukan yang berguna dalam proses
penyusunan referat ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-
rekan yang juga turut membantu dalam upaya penyelesaian referat ini.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yang tersedia
untuk menyusun referat ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak kekurangan
baik dari segi isi, susunan bahasa maupun sistematika penulisannya. Untuk itu kritik
dan saran pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata penulis berharap kiranya referat ini dapat menjadi masukan yang
berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain yang terkait
dengan masalah kesehatan pada umumnya.

Surabaya, 4 November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Aneurism Intracranial ...................................................................................... 3

Etiologi ........................................................................................................................... 3

Klasifikasi ...................................................................................................................... 4

Patofisiologi .................................................................................................................... 8

Manifestasi Klinis Aneurism Intracranial ..................................................................... 10

Pemeriksaan Penunjang ............................................................................................... 11

Tatalaksana ................................................................................................................... 11

Komplikasi .................................................................................................................... 12

Prognosis ....................................................................................................................... 15

BAB 3 GAMBARAN RADIOLOGI

Kesimpulan ................................................................................................................... 16

BAB 4 PENUTUP

Kesimpulan ................................................................................................................... 20

Saran ............................................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Aneurisma adalah suatu kantong yang terbentuk oleh dilatasi dinding pembuluh
darah. Aneurisma intrakranial pertama kali diperkenalkan oleh Morgagni (1761)
dan Biumi (1778) dan dengan semakin berkembangnya metode radiodiagnostik,
Egaz Moniz (1933) mampu memperlihatkan aneurisma melalui angiografi serebral.
Angka kejadian insidensi aneurisma intrakranial diperkirakan antara 1%-6%, dan
data otopsi antara 0,2-7,9%, dimana data ini bervariasi sesuai dengan definisi dan
unsur pembentuk aneurisma intrakranial dan serial data pada studi angiografi.
Gejala klinis sebelum terjadinya ruptur aneurisma sangat bervariasi karena
dipengaruhi oleh efek massa dan lokasi, seperti parese nervus abdusens. Jika terjadi
ruptur, maka akan memperlihatkan gejala-gejala karena perdarahan subarachnoid,
kadang-kadang bisa juga timbul efek massa karena perdarahan intraserebral, atau
terjadinya carotid cavernous fistula (CCF) (Krings, 2005).
Etiologi aneurisma intrakranial sebagian besar disebabkan oleh perubahan
degeneratif dan kelainan kongenital. Lokasi aneurisma intrakranial yang paling
sering dijumpai adalah di arteri komunikans anterior, disusul oleh arteri karotis
interna pada percabangan antara arteri serebri media dan arteri komunikans
posterior. Komplikasi yang paling berbahaya pada aneurisma adalah perdarahan
dengan akibat lanjut yang bersifat fatal. Beberapa diantaranya akan mengalami
vasospasme dan perdarahan ulang dengan mortalitas yang meningkat.
Penatalaksanaan definitif terhadap aneurisma intrakranial di Indonesia mulai
berkembang sejalan dengan perkembangan radiodiagnostik, radiointervensi dan
teknik operasi bedah mikro (Brisman, 2012).
Anatomi arteri yang ada di dalam otak, berbeda dengan arteri di organ lainnya.
Perbedaannya dalam hal ketebalan dan komposisi dinding pembuluh darah.
Dinding pembuluh darah arteri terdiri dari 3 lapisan, yaitu tunika intima (lapisan
endotel paling dalam), tunika media (memiliki serabut otot halus), dan tunika

1
adventisia (lapisan terluar yang terdiri dari jaringan ikat). Pembuluh darah arteri di
otak, memiliki lapisan membrana interna elastika, yang letaknya antara tunika
intima dan media. Membrana interna elastika merupakan lapisan yang menentukan
kekuatan dari dinding pembuluh darah arteri, dan dapat menahan tekanan hingga
600mmHg tanpa mengalami penonjolan. Defek yang terdapat di dalam lapisan ini,
dapat menyebabkan terjadinya penonjolan setempat dari sebelah dalam pembuluh
darah, dan pada akhirnya membentuk aneurisma (Brisman, 2012; Wanke, 2006).

1.2.Tujuan Referat
1. Menjelaskan definisi aneuryms intracranial
2. Menjelaskan etiologi aneuryms intracranial
3. Menjelaskan klasifikasi aneuryms intracranial
4. Menjelaskan faktor resiko aneuryms intracranial
5. Menjelaskan patofisiologi aneuryms intracranial
6. Menjelaskan gejala klinis aneuryms intracranial
7. Menjelaskan pemeriksaan penunjang aneuryms intracranial
8. Menjelaskan diagnosis intracranial
9. Menjelaskan tatalaksana aneuryms intracranial
10. Menjelaskan komplikasi aneuryms intracranial
11. Menjelaskan prognosis aneuryms intracranial

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Aneurisma adalah suatu kantong yang terbentuk oleh dilatasi dinding
pembuluh darah. Aneurisma intrakranial pertama kali diperkenalkan oleh Morgagni
(1761) dan Biumi (1778) dan dengan semakin berkembangnya metode
radiodiagnostik, Egaz Moniz (1933) mampu memperlihatkan aneurisma melalui
angiografi serebral (Sastrodiningrat, 2012). Aneurisma otak atau otak adalah kelainan
serebrovaskular di mana kelemahan di dinding arteri atau vena serebral menyebabkan
dilatasi atau balon pada pembuluh darah (Erfen, 2011). Di banyak negara, prevalensi
penyakit ini tergolong tinggi. Di Amerika Serikat, misalnya, aneurisma mencapai
rata-rata lima per 100.000 kasus, tergolong paling tinggi dibandingkan dengan
gangguan atau kelainan otak lainnya. Kasus ini di banyak negara ditemui pada pasien
berusia 3 - 50 tahun. Insiden dari aneurisma baik yang pecah maupun yang utuh pada
otopsi ditemukan sebesar 5 % dari populasi umum. Insiden pada wanita ditemukan
lebih banyak dibandingkan pria, yaitu: 2 - 3 : 1, dan aneurisma multiple atau lebih
dari satu didapatkan antara 15 - 31% (Vale dan Hadley).
2.2.Etiologi
Etiologi aneurisma dapat karena adanya predisposisi kongenital (seperti defek
pada tunika muskularis dari dinding arteri), proses aterosklerosis (karena hipertensi),
emboli (seperti pada miksoma atrial), infeksi (mycotic aneurysms), traumatik dan
kondisi lainnya. Aneurisma dapat ruptur kapan saja tetapi terutama pada saat tekanan
darah atau aliran darah meningkat. Ruptur sering terjadi saat melakukan aktivitas berat
seperti mengangkat beban, latihan, berhubungan badan, defekasi dan melakukan
pekerjaan berat. Walaupun begitu aneurisma juga dapat ruptur pada saat sedang
beristirahat atau tidur. Semakin besar ukuran aneurisma maka semakin besar
kemungkinannya untuk ruptur. Aneurisma yang berdiameter lebih dari 10 mm lebih
besar kemungkinannya untuk ruptur daripada aneurisma yang berdiameter lebih kecil.
Titik pada aneurisma yang paling sering mengalami ruptur adalah pada apex. Sebelum
ruptur, aneurisma jarang menimbukan gejala klinis kecuali bila terdapat tekanan pada

3
struktur susunan saraf pusat, iritasi pada otak atau duramater dan hambatan aliran
darah (Greenberg, 2006).
Aneurisma yang berukuran lebih dari 2,5 cm biasanya disebut giant aneurysm.
Giant aneurysm sering mengandung trombus pada lumen arterinya. Faktor-faktor yang
menyebabkan penurunan aliran darah pada aneurisma seperti vasospasme pada
feeding artery mempercepat pembentukan trombus intraaneurisma. Embolisasi dari
trombus intraaneurisma juga dapat terjadi. Telah dilaporkan 20 kasus transient
ischemic attack akibat emboli aneurisma dimana lokasi yang paling sering untuk
mengalami embolisasi ini adalah arteri serebri media (2/3 kasus) dan arteri karotis
interna (1/3 kasus) (Greenberg, 2006).

Ada beberapa faktor resiko terjadinya aneurisma intrakranial dimana terbagi 2 yaitu :
Faktor resiko yang diturunkan :
• Penyakit ginjal polikistik autosoml dominan
• Sindrom Ehlers-Danlos tipe IV
• Telangiektasia hemoragik herediter
• Neurofibromatosis tipe I
• Sindrom Klinefelter’s
 Defisien-alfa-glikosida

Faktor yang lain seperti :


• Umur lebih dari 50 tahun
• Wanita
• Perokok
• Pengguna kokain
• Trauma kepala
• Neoplasma intrakranial atau neoplastik emboli.

2.3.Klasifikasi Aneurisma
Aneurisma intrakranial dibagi berdasarkan patologi, ukuran, dan lokasinya.
Berdasarkan bentuk dan patologinya, aneurisma dibagi menjadi tiga tipe yaitu
saccular, fusiform dan dissecting. Ketiganya dapat berkembang sebagai lesi vaskuler

4
soliter (70%-75 %) ataupun multiple (25%-30%), dan biasanya berlokasi di sirkulus
willisi. Berdasarkan ukuran, aneurisma dibagi menjadi lima bagian yaitu sangat kecil
(25mm). Sedangkan berdasarkan lokasi, aneurisma dibagi menjadi dua bagian yaitu
aneurisma intrakranial di sirkulasi anterior (arteri karotis interna, arteri serebri anterior,
dan arteri serebri medialis), dan aneurisma intrakranial di sirkulasi posterior (arteri
vertebralis, arteri basilaris, dan arteri serebri posterior) (Brisman, 2012).

Saccular Aneurysm
Saccular aneurysm (aneurisma sakular) adalah penonjolan kantung
(outpouching) dari pembuluh darah yang berbentuk seperti buah berry (berry like)
yang banyak tumbuh dari bifukarsio arteri, dan merupakan tipe aneurisma intrakranial
yang terbanyak (66%-98%). Saccular aneurysm dianggap terjadi karena adanya defek
kongenital di tunika media, dan dapat berkembang menjadi aneurisma akibat adanya
tekanan arterial (Brisman, 2012).
Tipe Sakular dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yaitu (Brisman, 2012):
a. Developmental Aneurysm atau aneurisma degeneratif

5
Dinding arteri yang normal terdiri dari 3 lapisan, yaitu intima, media dan
adventisia. Akibat proses degeneratif, elastisitas membran dapat berkurang
sampai menghilang, dan tunika media berakhir pada hubungan dari ujung
aneurisma dengan parent vessel. Limfosit dan fagosit dapat menginfiltrasi tunika
adventisia. Lumen dari kantung aneurisma sering mengandung debris trombus,
dan sering dijumpai pembuluh darah yang aterosklerotik. Banyak dari tipe
sakular yang kongenital, timbul dari defek fokal pada tunika media, dan
berkembang seiring melemahnya tahanan arteri, sehingga dinding pembuluh
darah menonjol (ballooning). Rupturnya aneurisma tipe sakular dapat
disebabkan oleh daya reganf yang merupakan proses hemodinamik yang
abnormal pada diniding arteri serebral, terutama pada bifurkasio.
b. Traumatic Aneurysm
Tipe traumatik dapat dibagi menjadi penetrating dan non penetrating.
Trauma penetrasi pada pembuluh darah ekstrakranial dapat menyebabkan
laserasi, fistula arterivenous, diseksi atau traumatic pseudoaneurysm. Arteri
karotis merupakan pembuluh darah yang paling sering terlibat pada tipe
penetrating. Non penetrating dapat disebabkan cedera kepala tertutup, dimana
arteri serebri anterior yang distal dan cabang kortikal yang perifer lebih sering
terlibat. Benturan dari frontolateral menghasilkan shearing force antara batas
inferior dari falks serebri dan arteri serebri anterior distal.
c. Mycotic Aneurysm

Aneurisma mikotik merupakan aneurisma yang berasal dari proses


infeksi yang melibatkan dinding arteri. Aneurisma ini dapat disebabkan embolus
septik serebral, yang menyebabkan kerusakan inflamasi pada dinding arteri,
yang dimulai dari permukaan endotel. Pada tipe ini, emboli yang infeksi
mencapai tunika adventisia melalui vasa vasorum, kemudian proses inflamasi
mengganggu muskularisasi tunika adventisia yang berakibat pada aneurisma.
Penyebab dari sumber infeksi yang tersering adalah endokarditis bakterial
subakut. Septikemia dan piemia kronik dapat menjadi sumber infeksi, tetapi
sangat jarang terjadi. Lokasi paling sering terjadinya aneurisma mikotik adalah
pada aorta thorakalis, sedangkan di pembuluh darah intrakranial lebih jarang
terjadi. Emboli umumnya tersangkut pada cabang kortikal dari arteri serebri

6
media, dan arteri serebri anterior. Aneurisma mikotik lebih sering terjadi pada
anakanak. Dalam penanganannya, diperlukan adanya terapi antibiotik segera,
dan umumnya di berikan selama 4-6 minggu.
d. Oncotic Aneurysm
Aneurisma onkotik dapat timbul akibat embolisasi dari sel neoplastik yang
mengalami infiltrasi, dan diikuti pembentukan aneurisma. Mekanisme dasar dari
aneurisma onkotik mirip dengan tipe infeksius (mikotik). Tipe onkotik
dilaporkan berhubungan dengan cardiac myxoma, choriocarcinoma, kanker paru
dan setelah prosedur radiasi intratekal pada terapi germinoma dan
meduloblastoma.
e. Flow-related Aneurysm

Tipe ini sangat berhubungan dengan arteriovenous malformation (AVM)


dengan frekuensi sekitar 25%, dan terjadi sepanjang feeding vessel yang distal
dan proksimal. Tipe ini berhubungan dengan stress hemodinamik yang
disebabkan peningkatan aliran dan tekanan, yang diikuti oleh dilatasi dan
perubahan patologis pada feeding artery.
f. Vasculophatic Aneurysm

Tipe vaskulopati berhubungan dengan penyakit yang mengakibatkan


vaskulitis, seperti Takayashu arteritis dan Systemic Lupus erythematous (SLE).
Pada kasus SLE dijumpai sekitar 10% kasus, yang berupa tipe sakular, fusiform
ataupun gabungan dari keduanya.
Dissecting Aneurysm
Dissecting aneurysm adalah aneurisma yang terjadi akibat terpisahnya lapisan-
lapisan pada dinding arteri setelah tunika intima pembuluh darah arteri mengalami
robekan. Celah yang terbentuk akibat terpisahnya lapisan-lapisan dinding arteri
tersebut menjadi tempat masuknya aliran darah. Celah yang dibentuk oleh
lapisanlapisan dinding arteri yang terpisah ini semakin lama semakin besar dan
membentuk struktur seperti balon yang dapat menimbulkan rasa sakit. Nyeri atau
gejala yang timbul akan berakibat semakin fatal apabila aneurisma ini pecah.
Dissecting aneurysm biasanya terjadi di pembuluh darah aorta. Robekan pada tunika
intima terjadi di dekat katup aorta, sedangkan robekan tunika media dibagian distal

7
terjadi dengan jarak/ ketebalan yang berbeda-beda, dan biasanya terjadi di dinding
terluar dari aorta. Dissecting aneurisym harus dibedakan dengan pseudoaneurisma,
yang berasal dari ruptur arterial dan diikuti dengan kapsulisasi dari hemato
perivaskuler. Penyebab primer dari dissecting aneurisym belum diketahui, namun
dapat diasumsikan bahwa aterosklerosis, melalui respon inflamasi kronik, dapat
menyebabkan penipisan tunika media dan menyebabkan ruptur di dalam adventisia
(Krings T, 2005).
Fusiform Aneurysm
Fusiform aneurysm dikenal juga sebagai aneurisma aterosklerotik. Lesi-lesi ini
terjadi akibat adanya pelebaran pembuluh darah arteri (arterial ectasia), akibat
aterosklerosis yang berat dan tidak biasa. Kerusakan pada tunika media menyebabkan
peregangan dan pemanjangan (elongasi) dinding arteri, melebihi ukuran yang normal.
Pelebaran pembuluh darah ini dapat memiliki fokus area pelebaran berbentuk
fusiform, bahkan menyebabkan pembesaran sakular. Fusiform aneurysm umumnya
terjadi pada pasien usia lanjut. Sistem vertebrobasiler biasanya terkena gangguan, dan
dapat terjadi infark pada batang otak akibat adanya trombosis. Aneurisma ini dapat
menekan daerah otak disekitarnya, menyebabkan kelumpuhan saraf kranialis, dan
menyebabkan erosi pada dasar otak. Fusiform aneurysm merupakan tipe aneurisma
yang memiliki karakteristik dengan bentuk seperti gelondong (spindle-like shape)
pada penampang melintang. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus, tergantung pada
tempat aneurisma. Pada beberapa kasus diperlukan pembedahan segera, untuk
mencegah ruptur. Ruptur dari aneurisma dapat mengakibatkan keadaan yang fatal;
sebagai contoh, abdominal aneurisma aorta (AAA) dapat mengalami perdarahan,
sehingga menyebabkan kematian (Wanke,2006).
2.4.Patofisiologi
Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral
utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15%
dalam sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah arteri
communicans anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri bifucartio
cerebri. Dalam sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar adalah di bagian atas
bifurkasi arteri basilar ke arterie otak posterior (Jones, 2014).

8
Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang dewasa,
terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma intrakranial dan rupture
tidak dipahami; Namun, diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial terbentuk selama
waktu yang relatif singkat dan baik pecah atau mengalami perubahan sehingga
aneurisma yang utuh tetap stabil. Pemeriksaan patologis dari aneurisma ruptur
diperoleh pada otopsi menunjukkan disorganisasi bentuk vaskular normal dengan
hilangnya lamina elastis internal dan kandungan kolagen berkurang. Sebaliknya,
aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan kolagen dari dinding arteri
normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma bertanggung jawab atas stabilitas
relatif yang diamati dan untuk resiko rupture menjadi rendah. Meskipun masih terdapat
kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi
ukuran minimal pada saat ruptur. Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur
cenderung lebih besar daripada aneurisma yang tidak rupture (Jones, 2014).
Arteri intrakranial lebih rentan daripada arteri ekstrakranial untuk mengalami
aneurisma karena dindingnya lebih tipis, mengandung lebih sedikit elastin pada tunika
media dan adventisia, tunika media memiliki sel otot lebih sedikit dan tidak didapatkan
lamina elastika eksterna. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa pembuluh darah otak
besar yang berjalan di ruang subarakhnoid memiliki jaringan penyokong eksternal
yang lebih kecil. Ferguson menyatakan bahwa aneurisma serebral terjadi akibat

9
degenerasi arteri yang diinduksi proses mekanik. Stres hemodinamik maksimal terjadi
pada apex dan bifurkasio arteri. Ketidakseimbangan antara kekuatan arteri pada
bifurkasio utama dan stress hemodinamik yang terjadi padanya menyebabkan
degenerasi lamina elastika interna dan pembentukan aneurisma.Turbulensi aliran pada
aneurisma dan daerah di sekitarnya menghasilkan getaran pada dinding pembuluh
darah yang selanjutnya mengakibatkan kelemahan integritas struktur pembuluh darah
dan akhirnya menyebabkan perkembangan aneurisma. Pembentukan atheroma pada
pembuluh darah juga berkontribusi menyebabkan kelemahan dinding pembuluh darah
dan akselerasi pembentukan aneurisma. Stres pada dinding pembuluh darah meningkat
seiring makin tipisnya aneurisma, radius aneurisma yang semakin besar dan tekanan
pada aneurisma yang semakin besar karena peningkatan tekanan darah. Ketika stres
pada dinding pembuluh darah melebihi kekuatannya maka terjadilah ruptur aneurisma
(Jones, 2014).

2.5. Manifestasi Klinis


Banyak kasus aneurisma intrakranial yang tidak terdeteksi sebelum adanya
ruptur. Gejala yang timbul tergantung dari lokasi dan ukuran aneurisma tersebut.
Beberapa gejala yang dapat timbul adalah sakit kepala, penglihatan kabur/ ganda, mual
dan muntah, serta defisit neurologis fokal (Wanke I, Dorfler A, Forsting M, 2006).

Sumber : Ferns SP, 2010.

10
Pada kasus thrombosis parsial, gejala tergantung pada lokasi dan ukuran dari
aneurisma intrakranial. Pada aneurisma intrakranial di sinus kavernosus dan arteri
komunikans posterior (PcomA), sering dijumpai oftalmoplegi sebagai akibat kompresi
pada N.okulomotor, N.troklear dan N.abdusen. Aneurisma pada hypophyseal superior
dapat melibatkan nervus optkus, pada arteri komunikans posterior menyebabkan
sindroma frontalis, pada serebri media (MCA) menyebabkan disfasia, pada aneurisma
intrakranial yang besar di sirkulasi posterior dapat menyebabkan penekanan batang
otak, dan pada percabangan arteri basilaris dapat melibatkan penekanan saraf fasial
dan trigeminal. Studi Ferns dkk, meneliti gejala klinis pada 56 kasus thrombosis
parsial, menemukan sinus kavernosus sebagai lokasi tersering (Wanke I, Dorfler A,
Forsting M, 2006).
2.6. Pemeriksaan Penunjang
Di negara maju, aneurisma pada stadium dini lebih banyak ditemukan. Hal ini
karena banyak orang yang menjalani pemeriksaan MRI (magnetic resonance
imaging), sehingga aneurisma pada tingkat awal dapat terlihat jelas. Kadang aneurisma
tidak sengaja ditemukan saat pemeriksaan kesehatan dengan menggunakan CT scan,
MRI atau angiogram. Diagnosis pasti aneurisma pembuluh darah otak, beserta lokasi
dan ukuran aneurisma dapat ditetapkan dengan menggunakan pemeriksaan angiogram
yang juga dipakai sebagai panduan dalam pembedahan (Suwangto, 2011).
1) Computed Tomography (CT) Scan
Pada aneurisma dengan thrombosis parsial gambaran CT scan berkaitan
dengan derajat patensi dari thrombus, dan derajat patensi dari lumen di dalam
aneurisma. Pada CT scan dijumpai lesinya berbentuk bulat ataupun lobulated
dengan batas yang jelas. Zona sentral dan perifer akan menyangat kontras, namun
zona yang isodens tidak menyengat. Lumen akan dikelilingi material trombus
yang isodens pada CT scan. Pada dinding perifer, aneurisma mengandung jaringan
fibrous yang hiperdens. Lingkaran dari jaringan fibrous menunjukkan gambaran
peningkatan vaskularisasi yang dianggap sebagai respon meningeal terhadap
aneurisma yang membesar (Sastrodiningrat, 2012).
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Gambaran aneurisma pada MRI sangat bervariasi dan bergantung pada
bentuk, arah, kecepatan aliran, dan kalsifikasi di dalam aneurisma. Thrombosis

11
parsial memiliki gambaran yang kompleks pada MRI. Pada MRI dapat dijumpai
gambaran area yang kehilangan sinyal pada lumen, yang dikelilingi lapisan
konsentrik dari hematom, yang berlapis dengan intensitas sinyal yang bervariasi.
Terkadang beragam lapisan dari hematom intraluminal dapat menampilkan
gambaran menyerupai kulit bawang. Lingkaran tipis bersinyal rendah yang
membatasi aneurisma mungkin menujukkan kalsifikasi atau deposit hemosiderin
3) CT Angiografi (CTA)
Metode CTA merupakan diagnostik yang umum untuk mendeteksi
aneurisma intrakranial dan perencanaan terapi. Beberapa metode visualiasi CTA
2 dimensi dan 3 dimensi telah digunakan, yaitu multiplanar reformation (MPR),
maximum intensity projection (MIP), shaded surface display (SSD) dan direct
volume rendering (dVR). Kesukaran dari CTA mencakup visualisasi yang kurang
pada arteri kecil, artefak, gambaran struktur vena yang menyerupai aneurisma,
ketidakmampuan mengidentifikasi trombus, dan kalsifikasi pada tampilan 3
dimensi. Angiografi yang dilakukan bukanlah prosedur tanpa resiko, walaupun
sangat kecil. Kejadian iskemik serebral didapatkan pada 1,3% dalam 24 jam
pertama pasca angiografi, dan deteriorasi neurologis terjadi pada 1,8%, antara 24-
72 jam setelah angiografi (Sastrodiningrat, 2012).
4) Digital Substraction Angiography (DSA)
DSA merupakan kriteria standar untuk menampilkan gambaran aneurisma
intrakranial. Kemajuan teknologi terkini, terutama angiografi rotasional 3D,
meningkatkan kemampuan DSA untuk menjelaskan struktur anatomis dari
aneurisma intrakranial. Angiografi rotasional 3-D sangat membantu memahami
morfologi aneurisma intrakranial, terutama pada kasus yang sulit, untuk
membedakan vascular loop dan infundibulum dari bentuk aneurisma yang
sebenarnya (Sastrodiningrat, 2012).

2.7.Tatalaksana
Untuk aneurisma yang belum pecah, terapi ditujukan untuk mencegah agar
aneurisma tidak pecah, dan juga agar tidak terjadi penggelembungan lebih lanjut
dari aneurisma tersebut. Sedangkan untuk aneurisma yang sudah pecah, tujuan
terapi adalah untuk mencegah perdarahan lebih lanjut dan untuk mencegah atau

12
membatasi terjadinya ''vasospasme'' (kontraksi pembuluh darah yang
menyebabkan penyempitan diameter pembuluh darah).
Evaluasi terhadap tekanan darah arteri, harus terus dilakukan. Untuk mencegah
peningkatan tekanan intracranial, beberapa obat yang dapat diberikan untuk
menurunkan tekanan intracranial seperti :
a) Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intracranial secara
signifikan (50% dalam 30 menit pemberian).
b) Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan intracranial
c) Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan tekanan intracranial

Aneurisma biasanya diatasi dengan operasi, yang dilakukan dengan


membedah otak, memasang klip logam kecil di dasar aneurisma, sehingga bagian
dari pembuluh darah yang menggelembung itu tertutup dan tidak bisa dilalui oleh
darah. Dengan operasi ini diharapkan kemungkinan aneurisma tersebut untuk
pecah jauh berkurang. Tujuan pembedahan adalah untuk membuang darah yang
telah terkumpul di dalam otak dan untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak.
Pembedahan untuk menyumbat atau memperkuat dinding arteri yang lemah, bisa
mengurangi resiko perdarahan fatal di kemudian hari (Becske T, 2014).

2.8. Komplikasi
Berikut beberapa komplikasi aneurysma :
1. Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi apabila pembuluh darah yang terletak di
dekat permukaan otak pecah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang
subarakhnoid. Arteri yang terdapat di bagian basis otak dan berjalan melewati
ruang subarakhnoid merupakan tempat yang paling sering mengalami
pembentukan aneurisma sehingga apabila aneurisma tersebut ruptur maka
aliran darah yang pertama kali biasanya menuju sistem kavernous yang
dibentuk oleh arakhnoid. Jumlah darah yang mengalir ke ruang subarakhnoid
ditentukan olehukuran awal ruangan tersebut, brain compliance, tekanan
darah, tingkat pembekuan darah dan faktor hemodinamik lainnya. Perdarahan
subarakhnoid yang masif dapat menghasilkan volume perdarahan hingga 150

13
ml. Volume perdarahan yang lebih besar dapat mengancam jiwa pasien.
Proses perdarahan berhenti ketika tekanan intrakranial melebihi tekanan
intraarterial dan terjadi proses pembekuan. Gejala klinis perdarahan
subarakhnoid biasanya sangat berat dengan onset yang sangat mendadak.
Untuk menilai derajat klinis pasien dengan perdarahan subarakhnoid
digunakan skala Hunt and Hess. Skala ini sangat berguna untuk
memperkirakan prognosis jangka pendek dan panjang.Semakin tinggi derajat
skala pasien maka prognosisnya semakin buruk (Adam, 2015).

2. Reaksi Meningeal.
Dalam beberapa jam setelah perdarahan subarakhnoid akan terjadi pengeluaran
leukosit polimorfonuklear yang diikuti oleh limfosit dan fagosit mononuklear.
Respon seluler ini akan bertahan selama sel darah merah dan produk-produk
hasil degradasinya masih terkumpul di ruang subarakhnoid. Sehubungan
dengan proses pembekuan, eritrosit akan dikelilingi oleh serat-serat fibrin yang
kemudian bergabung membentuk gambaran sarang tawon di sekitar eritrosit
tersebut.Fagositosis pertama kali terjadi pada 24 jam setelah perdarahan. Bukti
dari percobaan menunjukkan bahwa fagosit yang ada dihasilkan oleh sel-sel
datar yang melapisi ruang subarakhnoid secara normal. Darah juga akan
menyebabkan distensi villi arakhnoidalis. Secara bertahap debris akan dibuang
setelah 2-3 minggu. Kemungkinan besar respon meningeal yang terjadi
disebabkan oleh oksihemoglobin dan bilirubin (Adam, 2015).

14
3. Reaksi Serebral Umum
Dalam keadaan normal 78% volume otak terdiri dari air yang akan meningkat
jumlahnya pada perdarahan sehubungan volume darah yang dilepaskan.
Kandungan air yang bertambah pada otak dapat diakibatkan oleh proses
vasogenik (peningkatan permeabilitas sel endotel kapiler otak) dan sitotoksik
(kerusakan seluler langsung akibat iskemia dan anoksia). Selain itu juga akan
terjadi peningkatan volume darah serebral yang mungkin diakibatkan paralisis
vasomotor yang diinduksi oleh iskemia akut setelah ruptur aneurisma. Sebagai
konsekuensi dari edema dan pembengkakan otak maka dapat terjadi pergeseran
garis tengah (midline shift) (Adam, 2015).
4. Perdarahan Intraserebral.
Perdarahan intraserebral primer terjadi pada 20-40% kasus ruptur aneurisma.
Dari semua perdarahan intraserebral yang berukuran > 3 cm, 20% diantaranya
disebabkan aneurisma. CT-Scan dapat membantu kita untuk membedakan
perdarahan intraserebral yang disebabkan hipertensi dengan ruptur aneurisma.
Perdarahan di talamus dan nukleus kaudatus hampir selalu disebabkan
hipertensi sedangkan perdarahan kalosal hampir selalu disebabkan oleh ruptur
aneurisma (Adam, 2015).
5. Perdarahan Intraventrikuler.
Perdarahan intraventrikuler ditemukan pada 13-28% kasus ruptur aneurisma.
Prognosis biasanya lebih buruk pada kasus dengan perdarahan intraventrikuler
(angka kematian mencapai 64%). Ukuran ventrikel saat datang ke rumah sakit
merupakan faktor prognostik yang sangat penting. Semakin besar ukuran
ventrikel maka prognosisnya semakin buruk. Aneurisma pada arteri
komunikans anterior menyebabkan perdarahan intraventrikuler akibat ruptur
lamina terminalis ke bagian anterior ventrikel ketiga atau ventrikel lateralis.
Aneurisma pada arteri basilaris distal dapat ruptur ke arah lantai ventrikel
ketiga. Aneurisma pada arteri serebelaris inferior posterior dapat ruptur
langsung ke ventrikel keempat melalui foramen Luschka. Lokasi aneurisma
yang dapat menyebabkan perdarahan intraventrikuler yaitu arteri serebri
anterior (40%), arteri karotis interna (25%), arteri serebri media (21%) dan
pada sistem vertebrobasiler (14%) (Adam, 2015).

15
6. Perdarahan Subdural
Hanya 1-2% ruptur aneurisma yang dapat menyebabkan perdarahan subdural.
Hampir setengah kasus dengan perdarahan subdural berakhir dengan kematian
karena efek massa. Lokasi aneurisma yang dapat menyebabkan perdarahan
subdural menurut studi literatur yaitu arteri karotis interna (36%), arteri serebri
media (33%), arteri serebri anterior (25%) dan pada sistem vertebrobasiler
(6%). Pada hampir separuh kasus didapatkan perdarahan subhyaloid. Faktor
prognostik yang buruk yaitu midline shift yang besar dan volume perdarahan
yang besar. Mayoritas pasien adalah wanita dengan aneurisma di bagian
proksimal arteri karotis (Adam, 2015).

2.9.Prognosis
Prognosis pada aneurisma bergantung pada jenis aneurisma (rupture atau
unruptur), bentuk aneurisma, lokasi, waktu penanganan dan kondisi pasien saat
dilakukan pengobatan (usia, gejala klinis, kesadaran dan adanya penyakit lain).
Prinsipnya semakin cepat ditemukan aneurisma mempunyai kemungkinan
kesembuhan yang baik, oleh karena itu pemeriksaan medis rutin sangat
dianjurkan.
• Aneurisma a. communicans posterior, dengan ligasi a.carotis communis
kematian sebesar 10%, sedangkan dengan bed rest kematian sebesar 42%.
• Aneurisma a. cerebri media, dengan clipping langsung pada aneurismanya
mortalitas 11%, sedang dengan istirahat ditempat tidur mortalitas sebesar
36%.
• Aneurisma a. communicans anterior tindakan bedah maupun konservatif
angka kematian sama (Charles, 2002).

16
BAB III
GAMBARAN RADIOLOGI

3.1.GAMBARAN RADIOLOGI

A. Aneurisma berdasarkan bentuk dan patologinya


1. Saccular Aneurysms

Gambar 2 : a. Aneurisma arteri basilar pada bayi baru lahir (ap view). b. Aneurysmografi
yang menunjukkan aneurisma berlobulasi besar

17
2. Dissecting Aneurysms

Gambar 3 : Diseksi arteri karotis interna kanan. (a). Contrast-enhanced MR angiography


yang menunjukkan aneurisma pada ICA ekstracranial. (b). DSA konvensianal, oblique view.
(c). CT angiografi potongan sagittal, menunjukkan leher aneurisma kecil. (d). DSA
konvensional sebelum dan (e, f) setelah embolisasi kumparan endovaskular yang
menunjukkan oklusi aneurisma dengan pengawetan arteri karotis interna

18
3. Fusiform Aneurysms

B. Variasi lokasi aneurisma


a. Aneurisma di vertebral basilar
junction .
b. True PICA aneurysms.
c. Aneurisma di trunkus basilar.
d. Aneurisma di arteri cerebellar
superior

19
e. Aneurisma di truncus basilar
f. Basilar tip aneurysm.
g. Acom aneurysm.
h. ICA aneurysm at the origin of the Pcom artery, so-called Pcom aneurysm.
i. Pericallosal aneurysm.
j. MCA bifurcation aneurysm.
k. Paraophthalmic aneurysm.
l. Distal carotid bifurcation aneurysm

20
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Aneurisma merupakan suatu kantong yang terbentuk oleh dilatasi dinding
pembuluh darah. Etiologi terbentuknya aneurisma dapat dikarnakan adanya
predisposisi kongenital (seperti defek pada tunika muskularis dari dinding arteri),
proses aterosklerosis (karena hipertensi), emboli (seperti pada miksoma atrial),
infeksi (mycotic aneurysms), traumatik dan kondisi lainnya. Berdasarkan bentuk
dan patologinya, aneurisma dibagi menjadi tiga tipe yaitu saccular, fusiform dan
dissecting. Tempat yang paling umum adalah arteri communicans anterior diikuti
oleh arteri communicans posterior dan arteri bifucartio cerebri. Arteri intrakranial
lebih rentan daripada arteri ekstrakranial untuk mengalami aneurisma karena
dindingnya lebih tipis, mengandung lebih sedikit elastin pada tunika media dan
adventisia, tunika media memiliki sel otot lebih sedikit dan tidak didapatkan
lamina elastika eksterna.

4.2.Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas masih jauh dari kesempurnaan.
Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak
sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.

21
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Achmad. 2015. Patobiologi Aneurisma Intrakranial. Bandung : Universitas
Padjajaran
Becske T. 2014. Subarachnoid Hemorrhage Treatment & Management. Medscape
Reference Drugs, Disease & Procedure
Brisman JL, Soliman E, Kader A, Perez N. 2012. Neurosurgery for Cerebral Aneurysm
Medscape Reference. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/252142-overview on 16/09/2012
Charles vega, m.d., jeremiah v. Kwoon, m.d., and sean d. Lavine, m.d. 2002.
Intracranial Aneurysms: Current Evidence and Clinical Practice. University of
California, Irvine, College of Medicine, Irvine, California, Agustus,
Erfen Gustiawan Suwangto. Damianus Journal of Medicine 10 (2), 97-106, 2011
Greenberg MS. 2006. Cerebral Aneurysms In: Handbook of Neurosurgery; 6th edition.
New York: Thieme.
Jones R, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. 2014. Subarachnoid Hemorrhage. Netter's
Neurology.
Krings T, Piske RL, Lasjaunias PL. 2005. Intracranial arterial aneurysm
vasculopathies : Targeting the outer vessel wall. Neuroradiology.
Sastrodiningrat, AG. 2012. Neurosurgery Lecture Notes. Medan: USU Press.
Suwangto, E. G. 2011. Pertimbangan Klinis dalam Pemilihan Jenis Tatalaksana
Terbaik untuk Pasien Aneurisma Serebral. Damianus Journal of
Medicine, 10(2), 97-106.
Wanke I, Dorfler A, Forsting M. 2006. Intracranial Aneurysms. In : Forsting M, ed.
Intracranial Vascular Malformations and Aneurysms. Berlin : Springer-
Verlag.

22

Anda mungkin juga menyukai