DisusunOleh :
Nurjanah : 211030230240
Sofatunnisa : 211030230250
Sukmawati : 211030230244
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Praktek Profesi (Ners) Stase Keperawatan
Medikal Bedah di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Syarif Hidayatullah Jakarta dari tanggal 25
Oktober sampai dengan 20 November 2021. Penulisan Laporan Praktek klinik Keperawatan
Medikal Bedah ini bertujuan untuk mengikuti dan memenuhi nilai Pendidikan Profesi Ners pada
Pada kesempatan ini tidak lupa kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Ns. Riris Andriati, S.Kep, M.Kep selaku ketua STIKes Widya Dharma Husada dan yang
2. Ns. Selvia Akub, S.Kep, M.Kep., selaku pembimbing praktik Stase Keperawatan Medikal
Bedah Profesi Ners dan selaku ketua Koordinator mata ajaran Keperawatan Medikal Bedah
Dalam penyusunan laporan ini, kami menemui beberapa kesulitan dan hambatan. Kami
berharap, semoga Laporan Akhir Praktek Klinik Profesi (Ners) Stase Keperawatan
Medikal Bedah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua dan menambah wawasan kita
penulis. Laporan ini memang masih jauh dari sempurna, maka kami harapkan kritik dan
saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Tangerang, Oktober 2021
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cardiovaskuler disease (CVD) merupakan kumpulan kelompok penyakit pada
jantung dan pembuluh darah. Cardiovaskuler disease terdiri dari coronary artery disease
(CAD) dan acute coronary syndrome (ACS). Coronary artery disease merupakan suatu
kondisi terdapatnya akumulasi plak pada arteri coronaria yang biasanya bersifat
asimptomatis (SanchisGomar et al., 2016)
Coronary artery disease disebabkan oleh akumulasi plak yang berada di bagian
dalam dinding arteri yang menyebabkan terjadinya penyempitan arteri dengan berbagai
derajat stenosis atau penyempitan lumen pembuluh darah yang menyebabkan penurunan
aliran darah ke jantung yang berakibat gangguan oksigenasi otot jantung dengan berbagai
derajat bentuk iskemia, infark sampai nekrosis otot jantung dan kematian (He et al., 2014;
Jonnagaddala et al., 2015).
World Health Organization (WHO) melaporkan penyakit jantung merupakan penyebab
utama kematian di seluruh dunia. Pada tahun 2015 diperkirakan terdapat sekitar 17,7 juta
orang meninggal akibat penyakit jantung dan 7,4 juta diantaranya disebabkan oleh CAD.
Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
(2013) melaporkan prevalensi CAD di Indonesia sekitar 0,5% dengan prevalensi tertinggi
terdapat di provinsi Nusa Tenggara Timur (4,4%), sedangkan prevalensi CAD di Jawa
tengah sebesar 0,5 %.
Framingham Risk Score (FRS) adalah salah satu skor perhitungan yang dapat
digunakan untuk memprediksi terjadinya CAD dalam kurun waktu 10 tahun (Tolunay
and Kurmus, 2016). Framingham Risk Score ini menggunakan beberapa parameter
seperti usia, status merokok, tekanan darah, kadar kolsterol total dan HDL serum
(Jonnagaddala et al., 2015). Kelebihan FRS adalah perhitungannya mudah dilakukan dan
tidak memerlukan tindakan invasif.
Penelitian yang dilakukan oleh Tolunay dan Kurmus (2016) meneliti hubungan
antara FRS, The Prospective Cardiovascular Münster (PROCAM) dan score and
Systematic Coronary Risk Evaluation (SCORE) untuk menilai keparahan CAD dengan
SYNTAX. Ketiga skor tersebut menunjukkan hubungan positif untuk menilai keparahan
CAD dan FRS merupakan sistem skoring yang paling baik.
Penegakkan diagnosis pada pasien CAD dapat dilakukan dengan pemeriksaan
coronary angiography. Coronary artery Disease dinilai berdasarkan derajat stenosis arteri
coronaria yang didasarkan pada persentase stenosis atau penurunan diameter arteri
coronaria pada setiap tempat lesinya terhadap arteri coronaria yang berdekatan. Derajat
stenosis dikatan signifikan jika stenosis >50% pada arteri coronaria mayor (Dharmasaroja
et al., 2010).
Modifikasi penilaian keparahan CAD dengan sistem skoring menggunakan
parameter dari hasil angiografi seperti pada Gensini Score sudah banyak diteliti.
Penelitian yang dilakukan oleh Sayin et al., (2014) di Turki, yang meneliti hubungan
antara Gensini Score dengan keparahan CAD berdasarkan hasil angiografi arteri coroner
pada tiga kelompok subyek penelitian. Klasifikasi tiga kelompok subyek meliputi
kelompok normal (tidak terdapat kelainan pada arteri coroner), kelompok dua (stenosis <
50%) dan kelompok tiga (stenosis > 50%). Penelitian ini menyatakan bahwa, terdapat
perbedaan signifikan pada tiga kelompok subyek penelitian yang menunjukkan hubungan
antara Gensini score dengan keparahan CAD dengan nilai p < 0,0001. Gensini score
merupakan penilaian yang lebih rinci karena dalam perhitungannya menggunakan derajat
stenosis pada setiap segmen arteri koroner dan lebih mudah dibandingkan dengan
SYNTAX score karena variabel Gensini score lebih sedikit (Gensini, 1983; He et al.,
2014; Serruys et al., 2009).
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, Framingham risk score dapat digunakan
untuk memprediksi kejadian keparahan CAD dalam kurun waktu 10 tahun. Hasil
penilaian FRS bermanfaat sebagai dasar perencanaan pengelolaan pasien dan
pemeriksaan lanjutan angiography untuk menilai derajat stenosis arteri koroner. Hasil
pemeriksaan angiography dapat digunakan sebagai dasar penilaian Gensini score untuk
menilai derajat keparahan CAD. Peneliti tertarik melakukan penelitian yang untuk
mencari adakah hubungan antara nilai Framingham risk score dengan Gensini score
untuk menilai derajat keparahan CAD karena pemeriksaan ini mudah dilakukan.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara beratnya skor faktor risiko yang dihitung
menggunakan Framingham risk score dengan derajat stenosis pada pasien coronary artery
disease berdasarkan Gensini score.
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan Framingham risk score dengan derajat stenosis
berdasarkan Gensini score pada pasien CAD.
D. Manfaat
Dari nilai FRS diharapkan dapat dengan mudah untuk memprediksi derajat
stenosis pada pasien.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
kepala kronis seperti migraine, nyeri kepala tension, nyeri kepala clauster
Stoke menyebabkan defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana
yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah
kolateral. Stroke akan meninggalkan gejala sisa karena fungsi otak tidak akan membaik
sepenuhnya.
1. Kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh (hemiparese atau hemiplegia)
2. Lumpuh pada salah satu sisi wajah anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul
mendadak.
3. Tonus otot lemah atau kaku
4. Menurun atau hilangnya rasa
5. Afasia (bicara tidak lancar atau kesulitan memahami ucapan)
6. Disartria (bicara pelo atau cadel)
7. Gangguan persepsi
8. Gangguan status mental
9. Vertigo, mual, muntah, atau nyeri kepala.
6. Klasifikasi
Menurut Muttaqin (2008) stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala
kliniknya, yaitu:
1. Stroke Hemoragi
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid.
Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Biasanya
kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat
istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun. Perdarahan otak dibagi dua, yaitu:
c. Perdarahan intraserebral
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa yang
menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi
cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak. Perdarahan
intraserebral yang disebabkan karena hipertensi sering dijumpai di daerah putamen,
thalamus, pons dan serebelum.
d. Perdarahan subaraknoid
Pedarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry atau AVM. Aneurisma yang
pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi willisi dan cabang-cabangnya yang
terdapat diluar parenkim otak.Pecahnya arteri dan keluarnya keruang subaraknoid
menyebabkan TIK meningkat mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, dan
vasospasme pembuluh darah serebral yang berakibat disfungsi otak global (sakit
kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparase, gangguan hemisensorik,
dll)
2. Stroke Non Hemoragi
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah
lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun
terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema
sekunder. Kesadaran umumnya baik.
a. Menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya, yaitu:
1. TIA (Trans Iskemik Attack)
Gangguan neurologis setempat yang terjadi selama beberapa menit sampai
beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan spontan dan sempurna
dalam waktu kurang dari 24 jam.
2. Stroke involusi
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan neurologis terlihat
semakin berat dan bertambah buruk. Proses dapat berjalan 24 jam atau beberapa
hari.
3. Stroke komplit
Dimana gangguan neurologi yang timbul sudah menetap atau permanen. Sesuai
dengan istilahnya stroke komplit dapat diawali oleh serangan TIA berulang.
7. Patofisiologi
Infark serbral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infark
bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya
sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai
darah ke otak dapat berubah (makin lmbat atau cepat) pada gangguan lokal (thrombus,
emboli, perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia karena
gangguan paru dan jantung). Atherosklerotik sering/ cenderung sebagai faktor penting
terhadap otak, thrombus dapat berasal dari flak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada
area yang stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran
darah. Thrombus mengakibatkan; iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah
yang bersangkutan dan edema dan kongesti disekitar area. Area edema ini menyebabkan
disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam
beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema
pasien mulai menunjukan perbaikan. Oleh karena thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak
terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan
edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding
pembukluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada
pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini
akan menyebabkan perdarahan cerebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan menyebabkan kematian
dibandingkan dari keseluruhan penyakit cerebro vaskuler, karena perdarahan yang luas
terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intracranial dan yang lebih berat dapat
menyebabkan herniasi otak. Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak,
hemisfer otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang
otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di
nukleus kaudatus, talamus dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia cerebral. Perubahan
disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan
irreversibel bila anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena
gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung. Selain kerusakan parenkim otak,
akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peningian tekanan
intrakranial dan mentebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase
otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya
tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya
tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume darah lebih
dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam dan 71 % pada
perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara 30-60
cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75 % tetapi volume darah 5 cc dan terdapat
di pons sudah berakibat fatal. (Misbach, 1999 cit Muttaqin 2008).
8. Pathway
9. Pemeriksaan penunjang
1. Angiografi serebral
Menentukan penyebab stroke scr spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
2. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT).
Untuk mendeteksi luas dan daerah abnormal dari otak, yang juga mendeteksi,
melokalisasi, dan mengukur stroke (sebelum nampak oleh pemindaian CT).
3. CT scan
Penindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara pasti.
4. MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menggunakan gelombang megnetik untuk menentukan posisi dan bsar terjadinya
perdarahan otak. Hasil yang didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari
hemoragik.
5. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan
yang infark sehingga menurunya impuls listrik dalam jaringan otak.
6. Pemeriksaan laboratorium
a. Lumbang fungsi: pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang
masif, sedangkan pendarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal
(xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama.
b. Pemeriksaan darah rutin (glukosa, elektrolit, ureum, kreatinin)
c. Pemeriksaan kimia darah: pada strok akut dapat terjadi hiperglikemia.
d. Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian berangsur-rangsur
turun kembali.
e. Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri.
10. Penatalaksanaan Medis
1. Penatalksanaan hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di IGD dan tindakan resusitasi serebro kardio
pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak meluas.
a. Pemberian oksigen dan cairan kristaloid/ koloid, hindari cairan dektrosa atau salin
dalam H2O.
b. Lakukan pemeriksaan CT scan otak, EKG, foto thorak dan pemeriksaan lain, jika
hipoksia lakukan pmeriksaan analisa gas darah
c. Tindakan lain di IGD memberikan dukunngan mental kepada pasien dan memberikan
penjelasan kepada keluarga agar tetap tenang
2. Penalaksanaan akut
Dilakukan penanganan factor-faktor etiologic maupun penyulit, juga dilakukan tindakan
terapi fisik, okupasi, wicara, psikologi dan telaah social untuk membantu pemulihan
pasien. Edukasi kepada keluarga mengenai dampak stroke dan perawatanya.
a. Stroke iskemik
1) Terapi umum: letakkan posisi pasien 30º, kepala dan dada pada satu bidang, ubah
posisi 2 jam sekali, mobilisasi bertahap bila hemodinamik stabil. Bbebaskan jalan
nafas dengan pemberian oksigen, jika erlu dilakukan intubasi
2) Apabila demam dilakukan kompres dan pemberian antipiretik, bila kandung
kemih penuh lakukan pemasangan kateter
3) Pemberian nutrisi dengan cairan isotonic, kristaloid atau koloid hindari cairan
glukosa atau salin isotonic
4) Pemberian nutrisi peroral diberikan jika fungsi meneln baik, bila mengalami
gangguan menelan atau penurunan kesadaran diberikan melaalui NGT
5) Nyeri, mual diatasi dengan obat-obatan yang sesuai
6) Tekanan darah tidaak perlu segera diturunkan, kecuali tekanan sistolik ≥220
mmhg distolik ≥120 mmhg, MAP ≥130 mmhg (dalam 2 kali ppengukuran selang
waktu 30 menit atau didapatkan infrk miocard akut, gagal ginjal atau gagal
jantung kongesi.Penurunan tekanan darah maksimal 20 % dan bat
direkomendasikan: natrium nitropuid, penyekat reseptor alfa beta, penyekat ACE,
atau angiotensin natrium
7) Jika hipotensi, sistolik ≤ 90 mmhg, diastolic ≤70 mmhg berikan NaCl 0,9% 250
ml selama 1 jam dilanjutkan 500 ml jam dan 500 ml sampai hipotensi teratsi. Jika
belum terkoreksi berikan dopamine 2-20µ/kg/ menit sampai tekana darah sistolik
≥110 mmhg
8) Jika kejang berikan diaazepaam 5-29 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal
100 mg/hari dialnjut pemberian antikonvulsan peroral
9) Jika terjadi peningkatan TIK berikan manitol bolus intravena 0,25-1g/kgBB/30
menit, jika kondisi memburuk dilanjut 0,25g/kgBB/30 mnt setiap 6 jam selama 3-
5 hari
Terapi khusus: ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti
aspirin dan antikoagulan atau antitrombolitik rt-PA (recombinant tissue Plasminogen
Activator) dan diberikna agen neuroproteksi yaitu citicolin atau piracetam (jika
didapat afaksia)
b. Stroke hemoragik
Terapi umum: pasien stroke di rawat di ICU jika volume hematoma >30 ml,
perdarahan intravaskuler dengan hidrosefalus dan kedaan klinis memburuk Tekanan
darah harus diturunkan sampai tekanan darah premoid atau 15-20% bila tekanan
darah sistolik >180 mmhg, diatolik >120 mmhg dan MAP 130 mmhg dan vol
hematoma bertambah, bila gagal jantung teknan drah harus segera diturunkan dengan
labetalol iv 10 mg (pemberian 2 menit) sampai 20 mg (pemberian 10 menit)
maksimal 300 mg. enalapril 0,625-1,25 mg/ 6 jam, kaptopril 3x 6,25-25 mg per oral.
Bila didapat peningkatakn TIK, diposisikan 30º, pee,berian manitol dan hiperventilasi
(Pco 20-35 mmhg) Penatalksaan umum sama dengan stroke iskemik.
Terapi khusus: Neuroprotektor dapat diberikan kecuali bersifat vasodilator. Tindakan
bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan serebelum >3 cm, hidrosefalus
akut akibat perdarahan intravertikal atau serebelum, dilakukan VP-shuting dan
perdarahan lobar >60 ml dengan peningktan TIK dan ancaman herniasi. Pada
perdarahan subaraknoid digunakan antagonis kalsium (nimodipin) dan tindakan bedah
(ligase, embolasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya aneurisma atau
malformasi arteri-vena (arteriovenous malformasi, (AVM)
c. Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi wicara, kognitif, perilaku, bladder training.
Dilakukan pemulihan.
Manfaat Pemberian manitol:
Pada gangguan neurologis, diuretic osmotic (Manitol) merupakan jenis deuretik yang
paling sering digunakan untuk terapi oedema otak dan adanya peningkatan tekanan
intracranial (TIK). Manitol adalah suatu hiperosmotik agent yang digunakan dengan
segera untuk meningkatkan aliran darah ke otak dan menghantarkan oksigen.
11. Komplikasi
Adapun kompilasi Stroke Hemoragik menurut Sudoyo, (2009) yaitu:
a. Hipoksi Serebral Diminimalkan dengan memberikan oksigenasi darah adekuat di otak
b. Penurunan aliran darah serebral Tergantung pada tekanan darah curah jantung, dan
integritas pembuluh darah.
c. Embolisme Serebral Dapat terjadi setelah infrak miokard atau fibrilasi atrium atau dapat
berasal dari katup jantung prostetik. d. Distritmia Dapat mengakibatkan curah jantung
tidak konsisten dan penghentian trombus lokal.
BAB II
TEORI TINJAUAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian merupakan kegiatan menganalisis informasi, yang dihasilkan dari
pengkajian skrining untuk menilai suatu keadaan normal atau abnormal, kemudian nantinya
akan digunakan sebagai pertimbangan dengan diagnosa keperawatan yang berfokus pada
masalah atau resiko. Pengkajian harus dilakukan dengan dua tahap yaitu pengumpulan data
(informasi subjektif maupun objektif) dan peninjauan informasi riwayat pasien pada rekam
medic (Nanda, 2018).
Pengkajian melibatkan beberapa langkah-langkah di antaranya yaitu pengkajian
skrining. 15 Dalam pengkajian skrining hal yang pertama dilakukan adalah pengumpulan
data. Pengumpulan data merupakan pengumpulan informasi tentang klien yang di lakukan
secara sistemastis. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu wawancara
(anamnesa), pengamatan (observasi), dan pemeriksaan fisik (pshysical assessment). Langkah
selanjutnya setelah pengumpulan data yaitu lakukan analisis data dan pengelompokan
informasi. Selain itu, terdapat 14 jenis subkategori data yang harus dikaji yakni respirasi,
sirkulasi, nutrisi atau cairan, eliminasi, aktivitas atau latihan, neurosensori, reproduksi atau
seksualitas, nyeri atau kenyamanan, integritas ego, pertumbuhan atau perkembangan,
kebersihan diri, penyuluhan atau pembelajaran, interaksi sosial, dan keamanan atau proyeksi
(Tim Pokja SDKI PPNI, 2017). Adapun Fokus pengkajian pada klien dengan Stroke
Hemoragik menurut Tarwoto (2013) yaitu:
1) Identitas Kien
Meliputi identitas klien (nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama, alamat,
pendidikan, diagnosa medis, tanggal MRS, dan tanggal pengkajian diambil) dan identitas
penanggung jawab (nama, umur, pendidikan, agama, suku, hubungan dengan klien,
pekerjaan, alamat).
2) Keluhan Utama
Adapun keluhan utama yang sering dijumpai yaitunya klien mengalami kelemahan
anggota gerak sebelah badan, biasanya klien mengalami bicara pelo, biasanya klien
kesulitan dalam berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran.
3) Riwayat Kesehatan Sekarang
Keadaan ini berlangsung secara mendadak baik sedang melakukan aktivitas ataupun tidak
sedang melakukan aktivitas. Gejala yang muncul seperti mual, nyeri kepala, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak
yang lain.
4) Riwayat Kesehatan Dahulu
Adapun riwayat kesehatan dahulu yaitunya memiliki riwayat hipertensi, riwayat DM,
memiliki penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, riwayat kotrasepsi oral yang
lama, riwayat penggunan obat-obat anti koagulasi, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif,
kegemukan.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya riwayat keluarga dengan hipertensi, adanya riwayat DM, dan adanya riwayat
anggota keluarga yang menderita stroke.
6) Riwayat Psikososial
Adanya keadaan dimana pada kondisi ini memerlukan biaya untuk pengobatan secara
komprehensif, sehingga memerlukan biaya untuk pemeriksaan dan pengobatan serta
perawatan yang sangat mahal dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan
keluarga.
7) Pemeriksaan Fisik
a. Tingkat Kesadaran Gonce (2002) tingkat kesadaran merupakan parameter untama yang
sangat penting pada penderita stroke. Perludikaji secara teliti dan secara komprehensif
untuk mengetahui tingkat kesadaran dari klien dengan stroke. Macam-macam tingkat
kesadaran terbagi atas: Metoda Tingkat Responsivitas
I. Composmentis : kondisi sesorang yang sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya
maupun terhadap dirinya maupun terhap lingkungannya dan dapat menjawab
pertanyaan yang dinyatakan pemeriksa dengan baik
II. Apatis : yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap
lingkungannya
III. Derilium : yaitu kondisi sesorang yang mengalami kekacauan gerakan, siklus tidur
bangun yang terganggu dan tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi srta meronta-
ronta
IV. Somnolen : yaitu kondisi sesorang yang mengantuk namun masih dapat sadar bila
diransang, tetapi bila rangsang berhenti akan tertidur kembali
V. Sopor : yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam, namun masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak
terbangun sempurna dan tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik.
VI. Semi-Coma : yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap
pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap rangsang nyeri
hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil masih baik.
VII. Coma : yaitu penurunan kesadaran yang salangat dalam, memberikan respons
terhadap pernyataan, tidak ada gerakan, dan tidak ada respons terhadap rangsang
nyeri. Berikut tingkat kesadaran berdasarkan skala nilai dari skor yang didapat dari
penilaian GCS klien :
a. Nilai GCS Composmentis : 15 – 14
b. Nilai GCS Apatis : 13 – 12
c. Nilai GCS Derilium : 11 – 10
d. Nilai GCS Somnolen : 9 – 7
e. Nilai GCS Semi Coma : 4
f. Nilai GCS Coma : 3
8) Pemeriksaan Saraf Kranial Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi
pemeriksaan saraf kranial I-X11.
a. Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
b. Saraf II : Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara
mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan
dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada Mien dengan hemiplegia
kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
c. Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada
d. Satu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat
unilateral di sisi yang sakit.
e. Saraf V : Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigenimus,
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang bawah
ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan eksternus.
f. Saraf VII : Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot wajah
tertarik ke bagian sisi yang sehat.
g. Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
h. Saraf IX dan X : Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut.
i. Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
j. Saraf XII : Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta indra
pengecapan normal.
9). Pemeriksaan Sistem Motorik Stroke
adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan, gangguan
kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada
UMN di sisi berlawanan dari otak.
a. Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh
adalah tanda yang lain.
b. Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
c. Tonus Otot. Didapatkan meningkat
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien
terhadap suatu masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respon klien individu, keluarga dan komunitas terhadap yang berkaitan
dengan kesehatan. Proses penegakan diagnosa (diagnostic process) merupakan suatu proses
yang sistemasis yang terdiri atas tiga tahap yaitu analisa data, identifikasi masalah dan
perumusan diagnosa.
Diagnosis keperawatan memiliki dua komponen utama yaitu masalah (problem)
yang merupakan label diagnosis keperawatan yang menggambarkan inti dari respons klien
terhadap kondisi kesehatan, dan indikator diagnostik. Indikator diagnostik terdiri atas
penyebab, tanda/gejala dan faktor risiko. Pada diagnosis aktual, indikator diagnostik hanya
terdiri atas penyebab dan tanda/gejala. Diagnosa keperawatan yang diambil dalam masalah ini
adalah resiko perpusi serebral, gangguan mobilitas fisik dan ganggunan komunikasi verbal.
Gangguan mobilitas fisik merupakan keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri. Gangguan mobilitas fisik termasuk jenis kategori diagnosis
keperawatan negatif. Diagnosis negatif menunjukkan bahwa klien dalam kondisi sakit
sehingga penegakkan diagnosis ini akan mengarah ke pemberian intervensi keperawatan yang
bersifat penyembuhan (Tim Pokja SDKI PPNI, 2017).
Penyebab terjadinya gangguan mobilitas fisik antara lain kerusakan integritas
struktur tulang, perubahan metabolism, ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot,
penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot, keterlambatan perkembangan, kekakuan
sendi, kontraktur, malnutrisi, gangguan muskuluskeletal, gangguan neuromuscular, indeks
masa tubuh di atas persentil ke75 sesuai usia, efek agen farmakologis, program pembatasan
gerak, nyeri, kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik, kecemasan, gangguan kognitif,
keengganan melakukan pergerakan, gangguan sensori persepsi. Tanda dan gejala mayor
gangguan mobilitas fisik secara subjektif yaitu mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas, dan
secara objektif yaitu kekuatan otot menurun dan rentang gerak (ROM) menurun (Tim Pokja
SDKI PPNI, 2017). Tanda dan gejala mayor minor dari gangguan mobilitas fisik secara
subjektif yaitu nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa cemas saat
bergerak, secara objektif yaitu sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, fisik
lemah. Kondisi klinis yang terkait dengan gangguan mobilitas fisik yaitu stroke, cedera
medulla spinalis, trauma, fraktur, osteoarthritis, osteomalasia, ostemalasia dan keganasan
(Tim Pokja SDKI PPNI, 2017). Diagnosa yang sering muncul :
1. Resiko perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan intracerebral.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia.
3. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelemahan otot
mengunyah dan menelan. 4. Resiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan
tirah baring lama.
4. Pola napas tidak efektif b/d depresi pusat pernapasan, hambatan upaya napas,
5. Gangguan neuromuskur dan gangguan neurologis.
6. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d spasme jalan napas, disfungsi neuromuskuler dan
sekresi yang tertahan.
7. Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan neuromuskuler dan kelemahan anggota gerak
8. Gangguan komunikasi verbal b/d penurunan sirkulasi serebral, dan gangguan
neuromuskuler Gangguan persepsi sensori b/d gangguan penglihatan, pendengaran,
penghiduan, dan hipoksia serebral.
9. Defisit perawatan diri b/d gangguan neuromuskuler dan kelemahan (SDKI, Edisi 1)
C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Setelah merumuskan diagnosa dilanjutkan dengan perencanaan dan aktivitas
keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan serta mencegah masalah keperawatan klien.
Intervensi keperawatan merupakan segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang di
harapkan (Tim Pokja SIKI PPNI, 2018). Luaran (Outcome) Keperawatan merupakan aspek-
aspek yang dapat diobservasi dan diukur meliputi kondisi, perilaku, atau persepsi pasien,
keluarga atau komunitas sebagai respon terhadap intervensi keperawatan. Luaran
keperawatan menunjukkan status diagnosis keperawatan setelah dilakukan intervensi
keperawatan. Hasil akhir intervensi keperawatan yang terdiri dari indikator-indikator atau
kriteria-kriteria hasil pemulihan masalah. Terdapat dua jenis luaran keperawatan yaitu luaran
positif (perlu ditingkatkan) dan luaran negatif (perlu diturunkan) (Tim Pokja SLKI PPNI,
2018).
Adapun komponen luaran keperawatan diantaranya label (nama luaran
keperawatan berupa kata-kata kunci informasi luaran), ekspetasi (penilaian terhadap hasil
yang diharapkan, meningkat, menurun, atau membaik), kriteria hasil (karakteristik pasien
yang dapat diamati atau diukur, dijadikan sebagai dasar untuk menilai pencapaian hasil
intervensi, menggunakan skor 1-3 pada pendokumentasian computer-based). Ekspetasi
luaran keperawatan terdiri dari ekspetasi meningkat yang artinya bertambah baik dalam
ukuran, jumlah, maupun derajat atau tingkatan, menurun artinya berkurang baik dalam
ukuran, jumlah maupun derajat atau tingkatan, membaik artinya menimbulkan efek yang
lebih baik, adekuat, atau efektif. Pemilihan luaran keperawatan tetap harus didasarkan pada
penilaian klinis dengan mempertimbangkan kondisi pasien, keluarga, kelompok, atau
komunitas (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).
Intervensi keperawatan memiliki tiga komponen yaitu label, definisi dan tindakan
(Tim Pokja SIKI PPNI, 2018). Label merupakan kata kunci untuk memperoleh informasi
mengenai intervensi keperawatan. Label terdiri atas satu atau beberapa kata yang diawali
dengan kata benda (nomina) yang berfungsi 21 sebagai deskriptor atau penjelas dari
intervensi keperawatan. Terdapat 18 deskriptor pada label intervensi keperawatan yaitu
dukungan, edukasi, kolaborasi, konseling, konsultasi, latihan, manajemen, pemantauan,
pemberian, pemeriksaan, pencegahan, pengontrolan, perawatan, promosi, rujukan, resusitasi,
skrining dan terapi. Definisi merupakan komponen yang menjelaskan tentang makna dari
tabel intervensi keperawatan. Tindakan adalah rangkaian perilaku atau aktivitas yang
dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan. Tindakan-
tindakan pada intervensi keperawatan terdiri atas tindakan observasi, tindakan terapeutik,
tindakan edukasi dan tindakan kolaborasi (Tim Pokja SIKI PPNI, 2018).
Klasifikasi intervensi keperawatan gangguan mobilitas fisik termasuk dalam
kategori fisiologis yang merupakan intervensi keperawatan yang ditujukan untuk mendukung
fungsi fisik dan regulasi homeostatis dan termasuk dalam subkategori aktivitas dan istirahat
yang memuat kelompok intervensi untuk memnfasilitasi pasien dalam meningkatkan
aktivitas pergerakan fisik. Sebelum menentukan perencanaan keperawatan, perawat terlebih
dahulu menetapkan tujuan. Dalam hal ini tujuan yang diharapkan pada klien dengan
gangguan mobilitas fisik yaitu : pergerakan ekstremitas meningkat, kekuatan otot meningkat,
rentang gerak (ROM) meningkat, nyeri menurun, kecemasan menurun, kaku sendi menurun,
gerakan tidak terkoordinasi menurun, gerakan terbatas menurun, kelemahan fisik menurun.
Setelah menetapkan tujuan dilanjutkan dengan perencanaan keperawatan. Rencana
keperawatan pada pasien dengan gangguan mobilitas fisik antara lain : dukungan mobilisasi
dan pengaturan posisi.
D. IMPLEMENTASI IMPLEMENTASI
adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun
pada tahap perencanaan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan klien secara optimal.
Pada tahap ini perawat menerapkan pengetahuan intelektual, kemampuan hubungan antar
manusia (komunikasi) dan kemampuan teknis keperawatan, penemuan perubahan pada
pertahanan daya tahan tubuh, pencegahan komplikasi, penemuan perubahan sistem tubuh,
pemantapan hubungan klien dengan lingkungan, implementasi pesan tim medis serta
mengupayakan rasa aman, nyaman dan keselamatan klien.
E. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi merupakan perbandingan yang sistemik dan terencana mengenai
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan secara berkesinambungan
dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Penilaian dalam keperawatan
bertujuan untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil
dari proses keperawatan.
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
A. PENGKAJIAN
Jam : 06.30
Pengkajiantgl : 25 Oktober 2021 NO.RM :094610
TanggalMRS : 24 Oktober 2021 Diagnose Medis : Susp CVD
Ruang/Kelas : 306 Dokter yang merawat: dr. Yuniarti, S.Ps
dr. Deni, Sppd
Nama : Tn.I
Umur : 54 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS kemenkumham
Suku/Bangsa : Indonesia
Alamat : Jl. H.muri salim no.3 Art 006/002 ciputat
RiwayatSakitdanKesehatan
Keluhanutama:
Klien mengatakan pusing, mual, lemas
Riwayatpenyakitsaatini:
Kejang, kurang lebih minggu ini mual, muntah, diabetes melitus dan memiliki riwayat
hipertensi
Penyakityangpernah diderita:
Diabetes Melitus
Riwayatpenyakitkeluarga:
Penginderaan
Pupil :Isokor 🌕Anisokor 🌕Lain-
lain:Sclera/Konjungtiva :🌕Anemis 🌕Ikterus 🌕Lain-lain:
Pendengaran/Telinga :
Gangguanpendengaran: 🌕YaTidak Jelaskan:
Penciuman(Hidung)
Bentuk :Normal 🌕Tidak
Jelaskan:GangguanPenciuman :Ya 🌕TidakJelaskan:
Masalah:
Kebersihan: Bersih 🌕Kotor
Perkemihan
Urin: 600 Jumlah: 1200 cc/hr Warna : kuning Bau: - Alatbantu(kateter, danlain-lain):
-
Kandungkencing: Membesar 🌕Ya Tidak., Nyeritekan 🌕Ya Tidak
Gangguan:
🌕Anuria 🌕Oliguri 🌕Retensi🌕Nokturia 🌕Inkontinensia🌕Lain-lain:
Masalah:
Nafsumakan: Baik🌕Menurun Frekuensi: x/hari
Porsimakan: Habis🌕Tidak
Diet : -
Minum: 500cc/hari Jenis: air putih
MulutdanTenggorokan
Mulut: Bersih 🌕Kotor 🌕Berbau
Mukosa 🌕Lembab Kering 🌕Stomatitis
Tenggorokan 🌕Nyeritelan 🌕Kesulitanmenelan
🌕Pembesarantonsil 🌕Lain-lain:
Abdomen 🌕Tegang Kembung 🌕Ascites 🌕Nyeri tekan,
lokasi:Peristaltik : 25x/mnt
Pembesaranhepar 🌕Ya TidakPembesaran., lien🌕Ya 🌕Tidak
Buangairbesar : 2x/hari Teratur : 🌕Ya Tidak
Konsistensi Bau: - Warna: kuning Lain-lain: -
Masalah:
Memotongkuku : - :-
Masalah:
Orangyangpalingdekat:istri
Psiko-sosio-spiritual
Hubungandengantemandanlingkungan: baik
Kegiatan ibadah: baik
Lain-lain:
Masalah:
N: 77x/mnt
RR: 20x/mnt
S: 36,1
N: 77x/mnt
RR: 20x/mnt
S: 36,1
3 Ds : Deficit Kurang
Pengetahuan Terpapar
- Klien tidak tahu cara Informasi
mencegah penyakit (D.0111)
dia alami
Do :
- Klien tidak
mengkontrol
makanan diit diabetes
- KU: Sedang
- Kesadaran Samnolen
- Pemeriksaan TTV:
TD: 200/98 mmHg
N: 77x/mnt
RR: 20x/mnt
S: 36,1
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko perfusi Miokard Tidak Efektif b/d Riwayat penyakit kardiovaskuler
d/d Klien mengatakan memiliki riwayat kejang sebelumnya, riwayat
Hipertensi (D.0014)
2. Intoleransi Aktivitas b/d Kelemahan d/d Klien mengatakan lemas, Klien
terlihat tidak mampu mengangkat kedua kakinya(D.0056)
3. Deficit Pengetahuan b/d Kurang Terpapar Informasi d/d Klien tidak tahu
cara mencegah penyakit dia alami (D.0111)
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Nama pasien : Tn. G
Ruang : 306
No.M.R. :094610
(1.03094)
2 25/10/21 Intoleransi Aktivitas b/d Setelah dilakukan tindakan Terapi Aktivitas 1. Untuk mengetahui deficit
selama 3x24 jam diharapkan tingkat aktivitas
Kelemahan d/d Klien
Jam 16.00 toleransi aktivitas meningkat, Observasi 2. Untuk mengetahui
mengatakan lemas, Klien dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi deficit tingkat kemampuan berpartisipasi
1. Kemudahan dalam aktivitas dalam aktivitas tertentu
terlihat tidak mampu
melakukan aktivitas sehari- 2. Identifikasi kemampuan 3. Untuk mengetahui sumber
mengangkat kedua hari meningkat berpartisipasi dalam aktivitas daya untuk aktivitas yang
2. Kecepatan berjalan tertentu diinginkan
kakinya(D.0056)
meningkat 3. Identifikasi sumber daya 4. Untuk mengetahui strategi
3. Jarak berjalan meningkat untuk aktivitas yang meningkatkan partisipasi
2. Kekuatan tubuh bagian atas diinginkan dalam aktivitas
meningkat 4. Identifikasi strategi 5. Untuk mengetahui makna
3. Kekuatan tubuh bagian meningkatkan partisipasi aktivitas rutin
bawah meningkat dalam aktivitas 6. Untuk mengetahui respon
4. Toleransi dalam menaiki 5. Identifikasi makna aktivitas emosional, fisik, social dan
tangga meningkat rutin spirirutual terhadap
5. Keluhan lelah menurun 6. Monitor respon emosional, aktivitas
6. Dyspnea saat aktivitas fisik, social dan spirirutual 7. Jadwalkan aktivitas dalam
menurun terhadap aktivitas rutunitas sehari-hari
7. Dyspnea setelah aktivitas Terapeutik 8. Untuk menjelakan metode
menurun 7. Sepakati komitmen untuk aktivitas fisik sehari-hari
8. Perasaan lemah menurun meningkatkan frekuensi dan 9. Untuk menganjurkan
9. Aritmia saat aktivitas rentan aktivitas melakukan aktivitas fisik,
10. Aritmia setelah aktivitas 8. Fasilitsi aktivitas fisik rutin social, spiritual dan
11. Warna kulit membaik 9. Libatkan keluarga dalam kognitif dalam menjaga
12. Tekanan darah membaik aktivitas fungsi dan kesehatan
13. Frekuensi napas membaik 10. Fasilitasi mengembangkan 10. Untuk menganjurkan
(L.05047) motivasi dan penguatan diri terlibat dalam aktivitas
11. Fasilitasi pasien dan kelurga kelompok atau terapi
memantau kemajuan sendiri
untuk mencapai tujuan
12. Jadwalkan aktivitas dalam
rutunitas sehari-hari
Edukasi
13. Jelakan metode aktivitas fisik
sehari-hari
14. Anurkan melakukan aktivitas
fisik, social, spiritual dan
kognitif dalam menjaga
fungsi dan kesehatan
15. Anjurkan terlibat dalam
aktivitas kelompok atau
terapi
(1.05186)
3 25/1021 Deficit Pengetahuan b/d Setelah dilakukan tindakan Edukasi Kesehatan 1. Untuk mengetahui
selama 3x24 jam diharapkan kesiapan dan kemampuan
Kurang Terpapar Informasi
Jam 16.00 tingkat pengetahuan meningkat, Observasi menerima informasi
d/d Klien tidak tahu cara dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi kesiapan dan 2. Untuk mengetahui factor-
1. Perilaku sesuai anjuran kemampuan menerima faktor yang dapat
mencegah penyakit dia
meningkat informasi meningkatkan dan
2. Verbalisasi minat dalam 2. Identifikasi factor-faktor menurunkan motivasi
alami (D.0111) belajar meningkat yang dapat meningkatkan perlu hidup bersih dan
3. Kemampuan menjelaskan dan menurunkan motivasi sehat
meningkat perlu hidup bersih dan 3. Untuk Berikan
4. Pengetahuan tentang suatu sehat kesempatan untuk
topic meningkat Terapeutik bertanya
5. Kemampuan meningkat 3. Berikan kesempatan untuk 4. Untuk Jelaskan factor
6. Perilaku sesuai dengan bertanya resiko yang dapat
pengetahuan meningkat Edukasi mempengaruhi kesehatan
7. Persepsi yang keliru 4. Jelaskan factor resiko yang 5. Untuk mengajarkan
terhadap masalah menurun dapat mempengaruhi perilaku hidup bersih dan
8. Menjalani pemeriksaan kesehatan sehat
yang tidak tepat menurun 5. Ajarkan perilaku hidup 6. Untuk mengajarkan
bersih dan sehat strategi yang dapat
(L.12111) 6. Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk
digunakan untuk meningkatkan perilaku
meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat
hidup bersih dan sehat
(1.12383)
D. CATATAN PERAWATAN
Nama Klien : Tn. G
Diagnosis Medis :DM
Ruang Rawat : 306
Tgl/ No. DK Implementasi Tanda Tangan
jam
1. Resiko perfusi Miokard Tidak Efektif Konseling Nutrisi
25/10/21 Observasi
b/d Riwayat penyakit kardiovaskuler d/d
1. identifikasi kebiasaan makan dan perilaku makan akan
16.00 Klien mengatakan memiliki riwayat kejang diubah
2. monitor intake dan output cairan
sebelumnya, riwayat Hipertensi (D.0014)
3. nilai HB
4. tekanan darah, kenaikan berat badan dan kebiasaan
membeli makanan
terapeutik
5. bina hubungan terapeutik
6. gunakan standar nutrisi sesuai program diet dalam
mengevaluasi kecukupan asupan makanan
7. pertimbangkan factor-faktor yang mempengaruhi
pemenuhan kebutuhan gizi
edukasi
8. informasikan modifikasi diet
kolaborasi
9. rujuk pada ahli gizi
(1.03094)
25/10/21 2. Intoleransi Aktivitas b/d Kelemahan d/d Terapi Aktivitas
Klien mengatakan lemas, Klien terlihat
16.00 Observasi
tidak mampu mengangkat kedua 1. Identifikasi deficit tingkat aktivitas
2. Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas
kakinya(D.0056)
tertentu
3. Identifikasi sumber daya untuk aktivitas yang
diinginkan
4. Identifikasi strategi meningkatkan partisipasi dalam
aktivitas
5. Identifikasi makna aktivitas rutin
6. Monitor respon emosional, fisik, social dan spirirutual
terhadap aktivitas
Terapeutik
7. Sepakati komitmen untuk meningkatkan frekuensi dan
rentan aktivitas
8. Fasilitsi aktivitas fisik rutin
9. Libatkan keluarga dalam aktivitas
10. Fasilitasi mengembangkan motivasi dan penguatan
diri
11. Fasilitasi pasien dan kelurga memantau kemajuan
sendiri untuk mencapai tujuan
12. Jadwalkan aktivitas dalam rutunitas sehari-hari
Edukasi
13. Jelakan metode aktivitas fisik sehari-hari
14. Anurkan melakukan aktivitas fisik, social, spiritual
dan kognitif dalam menjaga fungsi dan kesehatan
15. Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok atau terapi
(1.05186)
25/10/21 3. Deficit Pengetahuan b/d Kurang Edukasi Kesehatan
Terpapar Informasi d/d Klien tidak tahu
16.00 Observasi
cara mencegah penyakit dia alami, 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
(D.0111)
2. Identifikasi factor-faktor yang dapat meningkatkan
dan menurunkan motivasi perlu hidup bersih dan
sehat
Terapeutik
3. Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi
4. Jelaskan factor resiko yang dapat mempengaruhi
kesehatan
5. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
6. Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat
(1.12383)
E. CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Klien : Tn. G
Diagnosis Medis : DM
Ruang Rawat : 306
Hari ke-1
Tgl No. DK SOAP Tanda Tangan
P : Intervensi dilanjutkan
A:
- Intoleransi aktivitas tidak efektif
P:
- Monitor aktivitas dan istirahat
- Monitor tanda vital
- Terapi aktivitas
P:
- Mengajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
- Mengajarkan strategi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat
Hari ke-2
Tgl No. DK SOAP Tanda Tangan
P : Intervensi dilanjutkan
A:
- Intoleransi aktivitas tidak efektif mulai berkurang
P:
- Intervensi dipertahankan
26/1021 3. Deficit Pengetahuan b/d Kurang S:
Terpapar Informasi d/d Klien tidak tahu - Klien mulai sedikit tahu cara mencegah penyakit
15.00 cara mencegah penyakit dia alami, yang dia alami
(D.0111) O:
- Klien terlihat sedikit mengontrol makanan apa yang
dia konsumsi
- KU: Sedang
- Kesadaran CM
- Pemeriksaan TTV:
TD: 140/98 mmHg
N: 77x/mnt
RR: 20x/mnt
S: 36,1
A:
- Defisit pengetahuan tidak efektif mulai berkurang
P:
- Intervensi dipertahankan
Hari ke-3
Tgl No. DK SOAP Tanda Tangan
27/10/21 1. Deficit nutrisi b/d Ketidakmampuan - Keluarga klien mengatakan klien mengalami kejang
mengabsorbsi nutrient d/d Klien - Klien mengatakan memiliki riwayat kejang
16.00 mengatakan mual, muntah (D.0019) sebelumnya, riwayat Hipertensi
O:
- Klien sudah tidak lemas
- KU: Sedang
- Kesadaran CM
- Pemeriksaan TTV:
TD: 110/72 mmHg
N: 87x/mnt
RR: 20x/mnt
- S: 36,0
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
P:
- Intervensi dihentikan
P:
- Intervensi dihentikan
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 2 . Jakarta :
EGC.
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi6 Volume2.