Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

ILMU BEDAH
UNRUPTURED AND RUPTURED INTRACRANIAL ANEURYSM

Disusun Oleh :
Angelina Pramusinta / 01073170140
Karina Terry / 01073170033
Gabriella Patricia / 01073170090
Putri Paramitha Oeniasih / 01073170122

Pembimbing :
Dr. dr. Harsan, Sp.BS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
RUMAH SAKIT SILOAM
PERIODE JANUARI-APRIL 2019
TANGERANG

1
DAFTAR ISI

BAB 1 - PENDAHULUAN.......................................................................................................3

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................4

2.1 Unruptured Intracranial Aneurysm...........................................................................4


2.1.1 Definisi dan anatomi...........................................................................................4
2.1.2 Patogenesis..........................................................................................................5
2.1.3 Epidemiologi........................................................................................................7
2.1.4 Faktor Risiko........................................................................................................8
2.1.5 Manifestasi Klinis.................................................................................................9
2.1.6 Diagnosis dan Pencitraan....................................................................................10
2.1.7 Screening............................................................................................................12
2.1.8 Penanganan Unruptured Aneurysm...................................................................13
2.2 Ruptured Aneurysm.................................................................................................18
2.2.1 Definisi...............................................................................................................18
2.2.2 Epidemiologi......................................................................................................18
2.2.3 Patofisiologi.......................................................................................................18
2.2.4 Manifestasi Klinis..............................................................................................20
2.2.5 Diagnosa.............................................................................................................21
2.2.6 Tatalaksana.........................................................................................................23
2.2.7 Prognosis............................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................32

2
BAB 1
PENDAHULUAN

Unruptured Intracranial Aneurysm (UIA) relatif umum, ditemukan pada 3.2% (95%
Interval kepercayaan [CI], 1,9% -5,2%) dari populasi orang dewasa (usia rata-rata 50 tahun) di
seluruh dunia, dimana ditemukan secara kebetulan dengan frekuensi yang semakin tinggi dengan
meluasnya penggunaan high-resolution magnetic resonance imaging (MRI) scanning. Sebagian
besar UIA tidak akan pernah pecah. Berdasarkan data yang telah ada sebelumnya, dari 1 juta orang
dewasa dengan usia rata-rata 50 tahun, 32000 menderita UIA, tetapi hanya 0,25% keseluruhan,
atau sekitar 1 dari 200 hingga 400, aneurismanya pecah atau ruptur. Dengan kata lain, secara
perspektif, pada tahun-tahun tertentu, 80 dari 32.000 orang dengan UIA dapat menjadi perdarahan
subaraknoid (SAH).
Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage adalah perdarahan dalam rongga antara otak dan
selaput otak akibat pecahnya aneurisma. Meskipun jumlah kejadian pecah relatif kecil terjadi,
hingga saat ini masih banyak ketidakpastian. Masih ada kekhawatiran mengenai risiko ruptur
untuk beberapa jenis aneurisma tertentu seperti aneurisma multilobus, aneurisma yang memiliki
ketidakteraturan kubah, aneurisma yang memiliki karakteristik morfologi tertentu (contoh : ukuran
relatif terhadap arteri induk), aneurisma yang berada di lokasi-lokasi tertentu, dan aneurisma
dengan diameter yang cenderung lebih besar. Kekhawatiran lainnya termasuk gejala yang sering
kali mirip dengan sakit kepala sentinel, pasien yang merokok atau memiliki hipertensi, mereka
yang memiliki riwayat keluarga dengan ruptur aneurisma, serta mereka yang mengalami
aneurisma yang membesar. Masalah lain, UIA yang ditemukan secara tidak sengaja seringkali
tidak bergejala, sehingga para dokter seringkali kesulitan untuk membuat keputusan apakah harus
mengobati pasien dengan UIA yang ditemukan secara tidak sengaja, atau hanya memberikan terapi
konservatif, dengan mempertimbangkan keuntungan dalam melakukan pengobatan terhadap UIA
harus lebih besar dari risiko yang mungkin terjadi.
Adapun tujuan dari pernyataan ini adalah untuk memberikan panduan bagi dokter,
profesional kesehatan lain, dan pasien, serta berfungsi sebagai kerangka kerja untuk pengambilan
keputusan dalam menentukan tindakan terbaik saat UIA ditemukan. Penulis menggunakan
rekomendasi standar Kriteria AHA (American Heart Association) sebagai panduan dalam
menyusun tulisan ini.1

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Unruptured Intracranial Aneurysm


2.1.1 Definisi dan Anatomi
Aneurisma intrakranial adalah lesi vaskular dimana terdapat gangguan struktural lokal
dinding arteri yang ditandai dengan adanya penipisan dari lamina elastika interna serta
gangguan pada tunika media, sehingga menyebabkan outpouchings dari dinding arteri.2

Gambar 1. Histologi arteri intrakranial dan ekstrakranias


Kebanyakan kasus aneurisma (sekitar 85%) ditemukan sirkulasi anterior dari Circle of
Willis, lebih tepatnya pada penghubung antara arteri komunikans anterior dengan arteri
serebri anterior, penghubung arteri komunikans posterior dengan arteri karotis internal,
serta pada bifurkasi dari arteri serebri medial. Pada sirkulasi posterior, aneurisma seringkali
ditemukan pada bagian proksimal arteri basilar, penghubung antara arteri basilar dengan
superior atau arteri serebelar inferior anterior, serta pada penghubung antara arteri vertebral
dengan arteri serebelar inferior posterior.
Secara umum, jenis aneurisma dapat dibagi menjadi 3 yaitu aneurisma sakular (Berry),
aneurisma fusiform dan aneurisma mikotik. Aneurisma sakular merupakan penonjolan dari
arteri intracranial yang tipis dan terdiri dari lapisan tunika media serta lapisan lamina
elastika interna yang sangat tipis atau hampir tidak ada. Aneurisma sakular merupakan

4
aneurisma yang paling sering mengalami ruptur dan menyebabkan terjadinya perdarahan
subaraknoid3. Aneurisma fusiform disebabkan oleh dilatasi dari seluruh diameter dari
pembuluh darah yang biasanya disebabkan karena proses aterosklerosis, sedangkan
aneurisma mikotik biasanya disebabkan karena adanya emboli yang terinfeksi akibat
endokarditis. Aneurisma fusiform dan mikotik dapat juga menyebabkan perdarahan
subaraknoid, namun angka kejadiannya lebih rendah daripada aneurisma Berry.

2.1.2 Patogenesis
Walaupun patofisiologi terbentuknya aneurisma masih belum dapat dipastikan dengan
jelas, namun dicurigai bersifat multifaktorial. Beberapa faktor yang menyebabkan
terbentuknya aneurisma terutama tipe sakular adalah akibat stres hemodinamik yang
menyebabkan wear and tear yang berlebihan serta kerusakan lamina elastika interna dan
turbulensi aliran darah yang meningkatkan resonansi getaran ke dinding arteri dan

5
menyebabkan gangguan struktural. Pada suatu penelitian dengan menggunakan 66 pasien
sebagai sampel, ditemukan bahwa aneurisma dapat dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan
histologinya dan hal ini menentukan derajat degenerasi yang berujung pada ruptur
aneurisma:
 Tipe A: dinding endotel terdiri dari sel otot polos yang tersusun secara linear (7 dari
17; 41% mengalami ruptur)
 Tipe B: terdapat penebalan dinding dengan disorganisasi sel otot polos (11 dari 20;
55% mengalami ruptur)
 Tipe C: dinding hiposeluler dengan hiperplasia intima (9 dari 14; 64% mengalami
ruptur)
 Tipe D: dinding hiposeluler dilapisi trombosis yang sangat tipis (15 dari 15; 100%
mengalami ruptur)

Selain itu, proses inflamasi juga dikatakan memegang peran dalam patofisiologi aneurisma
serebri. Proses inflamasi diinisiasi oleh gangguan hemodinamik menyebabkan degradasi
matriks ekstraseluler oleh matrix metalloproteinases (MMP) dan apoptosis dari sel otot
polos, yang memegang peran penting dalam sintesis matriks pada dinding pembuluh darah.
Bila hal ini terjadi secara terus menerus, maka dinding arteri lama kelamaan akan melemah
dan menyebabkan dilatasi serta formasi aneurisma yang dapat berujung pada ruptur.4

6
2.1.3 Epidemiologi
Tidak ada data yang akurat mengenai tingkat kejadian UIA karena membutuhkan studi
prospektif tindak lanjut jangka panjang dari populasi berisiko, dengan peninjauan berulang
dari waktu ke waktu. Prevalensi UIA tergantung pada populasi yang diteliti, metode
pemastian kasus, alasan untuk menjalani pencitraan otak, dan apakah penelitian ini
retrospektif atau prospektif..
Dalam tinjauan sistematis dan meta-analisis yang komprehensif dengan kriteria inklusi
yang ketat, termasuk 68 studi pelaporan pada 83 populasi penelitian, prevalensi UIA
berkisar dari 0,0% menjadi 41,8%, dengan prevalensi rata-rata keseluruhan 2,8% (95% CI,
2,0% -3,9%). Dengan data ini, perkiraan prevalensi UIA dalam populasi tanpa
komorbiditas dengan usia rata-rata 50 tahun dihitung menjadi 3,2% (95% CI, 1,9% - 5,2%).
Tahun-tahun yang termasuk dalam studi ini berkisar dari tahun 1931 hingga 2008,
termasuk beberapa tahun yang tidak diketahui.5
Ketika studi yang menggunakan intra-arterial digital subtraction angiography (DSA)
dibandingkan dengan yang menggunakan magnetic resonance angiography (MRA),
ditemukan tidak ada perbedaan dalam prevalensi, tetapi prevalensi secara signifikan lebih
rendah pada studi yang menggunakan MRI meskipun telah dilakukan penyesuaian pada
usia dan jenis kelamin. Ketika studi yang menggunakan MRI dikeluarkan, prevalensi
secara keseluruhan menjadi 3,5% (95% CI, 2,7% -4,7%) . Meskipun prevalensi kasar UIA
lebih tinggi dalam penelitian yang menggunakan pencitraan dibandingkan dengan otopsi,
tidak ada perbedaan dalam perkiraan prevalensi setelah dilakukan penyesuaian jenis
kelamin, usia, dan komorbiditas. Hasil yang ditemukan, perempuan memiliki prevalensi
UIA yang lebih tinggi daripada laki-laki, bahkan setelah dilakukan penyesuaian usia dan
komorbiditas.
Secara keseluruhan, prevalensi lebih tinggi pada orang berusia ≥30 tahun dimana tingkat
kejadiannya sekitar 3,6% hingga 6,0%, dari keseluruhan populasi. Dalam perbandingan
antara Amerika Serikat dengan negara-negara lain, setelah penyesuaian untuk jenis
kelamin dan usia, prevalensi yang sama dicatat, tetapi ditemukan data yang membuktikan
bahwa ras/etnis memberikan pengaruh pada tingkat prevalensi UIA. Sebuah cross-
sectional studi yang baru-baru ini dilakukan di Cina terhadap 4813 orang dewasa berusia
35 hingga 75 tahun prevalensinya mencapai 7% berdasarkan MRA.5,6

7
Klasifikasi Rekomendasi
Tabel 1. Klasifikasi Rekomendasi dan Level of Evidence

2.1.4 Faktor Risiko


Adapun faktor risiko terhadap UIA dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor risiko yang
dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.
I. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Usia dan Jenis Kelamin
Beberapa studi penelitian telah menunjukkan seiring bertambahnya usia,
semakin tinggi prevalensi terjadinya UIA dimana puncaknya terjadi pada
usia 50-60 tahun.
b. At-Risk Disorders
Berdasarkan bukti substansial dari seri klinis otopsi dan studi pencitraan
kelompok klinis spesifik, terdapat peningkatan risiko pembentukan
aneurisma pada disorder seperti pada ginjal polikistik, sindrom Ehlers-
Danlos tipe IV, Sindrom Marfan, koarktasio aorta, katup aorta bikuspid,
pseudoxanthoma elasticum, hemoragik herediter telangiectasia,

8
neurofibromatosis tipe 1, α 1-antitrypsin defisiensi, displasia fibromuskular,
pheochromocytoma, Sindrom Klinefelter, tuberous sclerosis, sindrom
Noonan, kekurangan α-glukosidase, primordial osteodisplastik
mikrosefalik dwarfisme, dan malformasi arteriovena intrakranial. Pada
autosomal dominan ginjal polikistik, peningkatan risiko dapat menjadi 3
hingga 14 kali lipat. Namun, ketika diperiksa dalam kohort klinis besar,
<10% dari pasien UIA yang memiliki kondisi-kondisi tersebut.
c. Riwayat Keluarga dan Genetik
Menurut data, angka kejadian UIA meningkat sebanyak 1.9 - 5.9% pada
pasien yang memiliki riwayat penyakit tersebut di dalam keluarga.
Mekanisme peningkatan risiko terjadinya UIA dalam satu keluarga masih
belum diketahui secara pasti, namun transmisinya diduga terjadi secara
autosomal dominan. Pada beberapa studi, didapati beberapa regio
kromosom yang bersangkutan dengan terjadinya aneurisma intrakranial
seperti Ip34.3-36.13, 7q11, 19q13.3 dan Xp22.7

II. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi


Salah satu faktor yang ditemukan memiliki pengaruh terhadap meningkatnya risiko
UIA adalah merokok. Berdasarkan studi prospektif yang tercatat di International
Study of Unruptured Intracranial Aneurysm (ISUIA), 44% pasien dengan UIA
merupakan perokok aktif dan 33% sudah berhenti, sedangkan di Finland 36%
pasien merupakan perokok aktif dan 24% pasien memiliki riwayat merokok.
Selain merokok, faktor-faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap risiko
aneurisma adalah hipertensi, konsumsi alkohol dan penggunaan kontrasepsi
hormonal dengan dosis tinggi. Akan tetapi mekanisme dan hubungannya masih
belum dapat dipastikan secara jelas.8

2.1.5 Manifestasi Klinis


Pada kebanyakan kasus, UIA seringkali diidentifikasi setelah terjadi perdarahan dari
aneurisma di tempat lain, adanya tanda abnormal dari pemeriksaan neurologis umum serta
adanya gejala nyeri kepala. Data dari ISUIA menunjukkan bahwa 30.4% diagnosis UIA
ditemukan pada saat pasien melakukan evaluasi dari aneurisma hemoragik, 23.7% dari
keluhan sakit kepala, 10.6% dari penyakit serebrovaskular iskemik, 10.5% dari kasus TIA,
8% dari kasus palsi nervus kranialis, 2.9% dari kejang, dan 2.7% dari pasien yang

9
menunjukkan gejala dari efek massa. Pada pasien dengan UIA yang diidentifikasi setelah
terjadi perdarahan aneurisma di lokasi lain, dilakukan follow up secara berkala dalam 5
tahun dan ditemukan bahwa risiko pecahnya aneurisma dengan diameter < 7 mm jauh lebih
tinggi dibandingkan pasien yang tidak memiliki riwayat ruptur aneurisma sebelumnya.
Selain riwayat aneurisma sebelumnya, presentasi yang paling sering ditunjukkan pada
pasien dengan UIA adalah sakit kepala dan palsi saraf kranial, dimana akan lebih sering
dilakukan tindakan dibandingkan pasien yang asimtomatik.
Aneurisma seringkali asimptomatik (terutama yang kurang dari 10 mm) atau dapat timbul
dengan gejala seperti sakit kepala, kejang, kelumpuhan saraf kranial, defisit neurologis
fokal terkait efek massa, dan kejadian iskemik serebral distal ke lokasi aneurisma karena
emboli yang timbul dari kantung aneurisma.9

2.1.6 Diagnosis / Pencitraan


Kebanyakan dari kasus aneurisma intraserebral baru terdiagnosis setelah terjadi perdarahan
subaraknoid atau ditemukan secara tidak sengaja pada saat skrining, hal ini disebabkan
karena UIA biasanya tidak menimbulkan gejala. Maka dari itu, standard diagnosis untuk
kasus UIA masih belum dapat ditegakkan secara pasti hingga saat ini. Pada dasarnya
terdapat 3 pemeriksaan yang lazim digunakan untuk kasus ini, yaitu Digital Subtraction
Angiography (DSA), Computed Tomography Angiography (CTA) dan Magnetic
Resonance Angiography (MRA).
1. Digital Subtraction Angiography (DSA)
Menurut jurnal AHA, DSA merupakan pemeriksaan penunjang yang diakui sebagai
baku emas untuk mendiagnosis aneurisma, terutama angiografi 3D rotasional. Studi
mengatakan bahwa DSA dapat memiliki sensitivitas yang tinggi terutama pada
aneurisma dengan ukuran kecil (<3 mm), sehingga dapat memberikan resolusi yang
sangat baik untuk pembuluh darah yang sangat kecil sekalipun. Pada jurnal AHA juga
merekomendasikan pemeriksaan DSA dibandingkan pemeriksaan penunjang non-
invasif untuk mengevaluasi aneurisma apabila tindakan endovaskular masih
dipertimbangkan. Selain itu, DSA juga dikatakan memiliki sensitivitas yang paling
10
tinggi untuk follow up pada kasus aneurisma yang sudah dilakukan tatalaksana .

Walaupun DSA dikatakan sebagai baku emas, namun perlu diingat bahwa kateterisasi
arteriografi juga memiliki risiko komplikasi seperti infark serebri, ruptur aneurisma,
cedera arteri. Pada kasus-kasus tertentu seperti insufisiensi renal dan sindrom Ehlers-
Danlos, klinisi lebih memilih untuk menggunakan teknik non-invasif.11

10
Gambar 1. UIA dari arteri koroid anterior menunjukkan adanya pembentukan bleb

2. Computed Tomography Angiography (CTA)


Dengan berkembangnya teknologi, sensitivitas dan spesifisitas CTA pun meningkat
menjadi 96.3% dan 100%, akan tetapi pemeriksaan ini kurang direkomendasikan untuk
pembuluh darah kecil yang berukuran < 3 mm. CT juga dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya kalsifikasi dan trombus, yang penting diketahui untuk
menentukan tatalaksana selanjutnya. CTA juga memiliki keterbatasan yaitu tidak dapat
digunakan pada pasien yang menggunakan metal (stent, klip, coil) dan memiliki
radiasi, sehingga tidak disarankan untuk digunakan sebagai pemeriksaan follow up
jangka panjang. Walaupun dengan adanya kekurangan, CTA masih dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan sebagai pemeriksaan awal dan skrining.

3. Magnetic Resonance Angiography (MRA)


Pencitraan aneurisma dengan MRA biasanya menggunakan metode time-of-flight
(TOF) atau kontras. Secara keseluruhan, MRA memiliki sensitivitas 79% pada
aneurisma kecil, dan 89% untuk ukuran yang lebih besar (> 3 mm). Hal ini
menunjukkan bahwa MRA lebih efektif untuk mendeteksi aneurisma yang lebih besar.
Untuk kasus yang perlu dilakukan follow up, MRA cukup direkomendasikan baik pada
kasus yang sudah dilakukan tindakan maupun belum. Suatu studi meta-analisis

11
menunjukan bahwa MRA dengan kontras memiliki sensitivitas 92% dan spesifisitas
96% untuk mendeteksi sisa-sisa aneurisma pada kasus post-coiling, dibandingkan
dengan pemeriksaan DSA.
Secara garis besar, beberapa rekomendasi dari jurnal AHA mengenai diagnosis aneurisma
intraserebral adalah:
1. DSA merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan metode pencitraan non-
invasif untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi aneurisma serebri apabila
tatalaksana operatif atau endovaskular dipertimbangkan
2. DSA merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk follow up kasus aneurisma
yang sudah dilakukan tindakan
3. CTA dan MRA dapat juga digunakan untuk mendeteksi dan follow up UIA
4. MRA dapat digunakan sebagai alternatif untuk follow up kasus aneurisma yang
sudah dilakukan tindakan, sedangkan DSA digunakan untuk menentukan terapi
5. Pada kasus aneurisma yang sudah dilakukan tindakan coiling, terutama dengan
diameter leher yang lebar atau memiliki residu, penting untuk dilakukan evaluasi
dan follow up ulang.

2.1.7 Screening
Skrining untuk kasus UIA direkomendasikan untuk orang-orang yang memiliki >2 anggota
keluarga dengan riwayat aneurisma atau SAH, terbukti memiliki penyakit autosomal
dominant polycystic kidney disease, sindrom Ehler-Danlos tipe IV, koarktasio aorta dan
katup aorta bikuspid. Jurnal AHA merekomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan yang
non-invasif seperti CTA atau MRA untuk skrining pada pasien yang memiliki riwayat
keluarga dengan SAH, akan tetapi keuntungannya masih belum dapat dipastikan. Faktor
risiko lain yang perlu dipertimbangkan untuk skrining adalah apabila pasien tersebut
seorang wanita, merokok dan memiliki riwayat hipertensi.

12
Tabel 2. Summary of Recommendation

2.1.8 Penanganan Unruptured Intracranial Aneurysm12


Keputusan untuk melakukan tindakan perbaikan-preventif (endovaskular atau bedah) UIA
harus dipikirkan dalam sebuah tim serebrovaskular multidisiplin dan berdedikasi, serta
harus mencakup semua risiko aneurisma yang terkait pasien dengan faktor-faktor relevan
untuk pecahnya aneurisma. Dari sejumlah besar data yang berasal dari berbagai tingkat
mengenai hal ini, keputusan yang diambil sering kali menantang. Dari studi yang ada,
selain pedoman saat ini yaitu American Heart Association / American Stroke Association
mengenai manajemen UIA, skor PHASES dapat memberikan estimasi risiko absolut 5
tahun dari pecahnya aneurisma berdasarkan prediktor independen. Studi terbaru
menunjukkan bahwa threshold dari fase absolut dengan skor 3 hingga 4 mampu
membedakan apakah seseorang memiliki risiko tinggi untuk ruptur berdasarkan penelitian
kohort dari 841 pasien dengan unruptured aneurysm dan ruptured aneurysm. Dalam

13
penelitian ini, pasien dengan PHASES skor <3 sebagian besar dimonitor dengan pencitraan
serial, dimana MRI setiap 5 tahun dianggap sebagai strategi terbaik, sedangkan pasien
dengan skor FASE> 4 lebih mungkin untuk dilakukan penanganan.

1. Surgical Clipping
Kliping bedah aneurisma diperkenalkan pada tahun 1937 oleh Dr. Walter Dandy,
yang berhasil melakukannya ketika mengobati pasien dengan kelumpuhan saraf
ketiga yang disebabkan oleh aneurisma karotis internal. Saat ini, penanganan
aneurisma biasanya diakses melalui kraniotomi terbuka, dimana tempat aneurisma

14
tersebut berada dibedah dan diklip dengan menggunakan logam kecil, yang dipilih
berdasarkan anatomi UIA. Klip tersebut ditempatkan di leher aneurisma yang
diisolasi dari pembuluh darah induk. Hasil untuk kliping aneurisma dinilai secara
prospektif pada 1.917 pasien dengan UIA oleh kelompok studi ISUIA. Angka
morbiditas 1 tahun kurang lebih 9,8% dan kematian 2,3%. Risiko outcome yang
kurang bagus untuk operasi ditemukan meningkat pada orang dengan usia yang
lebih tua (risiko meningkat setelah usia 50), ukuran aneurisma lebih besar dari 12
mm, aneurisma terletak di sirkulasi posterior, riwayat stroke sebelumnya, dan
adanya gejala aneurisma selain pecah.

2. Endovascular Coiling
Manajemen endovaskular muncul sebagai modalitas pengobatan pada 1990-an dan
telah meningkat popularitasnya sejak saat itu. Prosedur ini lebih umum dilakukan
daripada operasi sebagai manajemen UIA di Amerika Serikat. Dalam bentuk
manajemen endovaskular yang paling umum, koil platinum dimasukkan ke dalam
aneurisma, menyebabkan trombosis lokal dan isolasi aneurisma dari arteri induk.
Kasus-kasus tertentu mungkin bukan kandidat untuk bentuk intervensi ini termasuk
aneurisma besar, aneurisma dengan leher lebar, rasio kubah-ke-leher yang tinggi,
atau dengan pendekatan intravaskular yang sulit. Teknik lain seperti inflasi balon
atau penempatan stent di leher aneurisma semakin sering digunakan untuk beberapa
kasus yang sulit ini.
Untuk manajemen endovaskular, risiko untuk hasil yang tidak menguntungkan
adalah sekitar 4% -5%, dengan risiko kematian 1% –2% berdasarkan ulasan dan
meta-analisis literatur yang ada. Tingkat hasil yang buruk dengan prosedur
endovaskular tampaknya menurun dari waktu ke waktu, tetapi karakteristik
aneurisma yang diterapi dengan prosedur endovaskular juga berubah seiring
waktu,sehingga sulit untuk menentukan apakah peningkatan ini disebabkan oleh
berhasilnya teknik atau karena adanya perubahan pada populasi pasien.
Berdasarkan pada pencitraan pasca-prosedur, aneurisma berhasil disumbat
sebanyak 86,1% kasus, dengan tingkat kekambuhan mencapai 24,4% dan
kebutuhan untuk dilakukan penanganan ulang 9,1%. Kelompok studi ISUIA juga
menilai hasil secara prospektif untuk endovascular coiling pada 451 pasien.

15
Tingkat morbiditas 1 tahun adalah 6,4% dan tingkat kematian 3,1%. Dari catatan,
karena karakteristik dasar kelompok ini berbeda dari kelompok operasi (termasuk
pasien yang lebih tua, aneurisma yang lebih besar, dan jumlah yang lebih besar dari
aneurisma sirkulasi posterior) hasilnya tidak dapat dibandingkan secara langsung.
Risiko hasil yang buruk dengan prosedur endovaskular adalah lebih tinggi dengan
diameter aneurisma lebih besar dari 12 mm dan lokasi aneurisma berada pada
sirkulasi posterior.
International Subarachnoid Aneurysm Trial secara langsung membandingkan
teknik bedah kliping dengan endovascular coiling sebagai penanganan aneurisma
intrakranial. Dalam penelitian ini, risiko kematian atau ketergantungan lebih rendah
pada penanganan secara endovaskular (23,5%) dibandingkan dengan kelompok
pembedahan (30,9%), dengan pengurangan risiko 7,4%.

Gambar 2. Aneurysm Intervention

16
Gambar 3. Endovascular Coiling

3. Penggunaan Antiplatelet dan Antikoagulan


Agen antiplatelet dan antikoagulan adalah obat yang masih menjadi dilema dalam
manajemen UIA. Beberapa data membahas keamanan penggunaan obat ini pada
pasien dengan UIA. Sebuah studi kasus-kontrol berbasis populasi di Denmark
menunjukkan peningkatan hubungan antara SAH dan penggunaan dipyridamole
serta penggunaan aspirin, tetapi bukan penggunaan aspirin jangka panjang. Sebuah
studi case control menggunakan kohort ISUIA menyatakan penggunaan aspirin
dapat memiliki efek perlindungan terhadap ruptur. Penggunaan aspirin sebelum
ruptur tampaknya tidak memperburuk hasil dari SAH. Penggunaan agen
antiplatelet digunakan sesuai kebutuhan pada pasien dengan UIA berdasarkan
indikasi spesifik pasien untuk pengobatan tersebut. Dalam hal untuk antikoagulan,
penggunaannya dikaitkan dapat memperburuk SAH, tetapi tidak jelas terkait
dengan peningkatan risiko ruptur aneurisma. Antikoagulasi mungkin diperlukan
pada beberapa pasien dengan UIA, tetapi harus ada pertimbangan terhadapt risiko
dan keuntungan yang didapatkan pasien. Manajemen pasti dari aneurisma melalui
kliping atau coiling lebih dianjurkan dalam beberapa situasi.

17
2.2 Ruptured Aneurysm
2.2.1 Definisi11
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan dalam rongga antara otak dan selaput otak
(ruang subaraknoid). Penyakit ini merupakan suatu keadaan darurat neurologis, dengan
mortalitas keseluruhan hingga 50%. Pasien dapat mengalami kekakuan leher, mual /
muntah, dan penurunan tingkat kesadaran. Sekitar 80% perdarahan subaraknoid adalah
nontraumatik dan paling sering disebabkan oleh ruptur aneurisma. (European academy)

2.2.2 Epidemiologi12
Variasi yang cukup besar dalam kejadian tahunan SAH pada berbagai wilayah di dunia.
WHO menemukan variasi 10 kali lipat kejadian SAH pada pasien di negara-negara di
Eropa dan Asia, dari 2,0 kasus per 100.000 penduduk di Cina menjadi 22,5 kasus per
100.000 di Finlandia. Hal ini kemudian didukung insiden tinggi SAH di Finlandia dan
Jepang, kejadian rendah di Amerika Selatan dan Tengah, dan kejadian intermediet 9,1 per
100.000 penduduk di daerah lain.
Kejadian SAH meningkat dengan usia dan rata-rata pada orang dewasa usia 50 tahun.
SAH relatif jarang terjadi pada anak-anak. Mayoritas studi juga menunjukkan insiden SAH
lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria. Data menunjukkan bahwa kejadian pada
wanita 1.24 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Bukti pengaruh usia jenis kelamin
pada insiden SAH telah muncul dari data penelitian yang dikumpulkan, dengan insiden
yang lebih tinggi dilaporkan pada pria yang lebih muda (25 - 45 tahun), wanita berusia
antara 55 dan 85 tahun, dan pria 85 tahun. Kejadian SAH juga berpengaruh pada ras dan
etnisitas, orang kulit hitam dan Hispanik memiliki insiden SAH lebih tinggi daripada orang
kulit putih. (aha)

2.2.3 Patofisiologi13
Aneurisma merupakan lesi yang berhubungan dengan tekanan hemodinamik pada dinding
arteri pada titik bifurkasi. Aneurisma sakular atau berry spesifik untuk arteri intrakranial
karena dindingnya tidak memiliki lamina elastis eksternal dan mengandung adventitia yang
sangat tipis. Hal ini merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan
aneurisma.
85% dari spontan SAH dihasilkan dari rupture aneurisma yang muncul pada pembuluh
darah di pangkal otak. Pembuluh-pembuluh darah ini merupakan Circle of Willis.
Lingkaran Willis terdiri dari bagian anterior dan posterior. Bagian anterior terdiri dari arteri

18
serebral anterior berpasangan, bergabung dengan arteri communicating anterior, dan arteri
karotis interna berpasangan. 85% aneurisma yang pecah timbul dari bagian anterior Circle
of Willis. 15% dari aneurisma yang pecah timbul dari bagian posterior Circle of Willis,
yang terdiri dari arteri communicating posterior dan arteri serebral posterior berpasangan
yang berasal dari ujung bifurkasi arteri basilar.
Prekursor awal aneurisma adalah outpouching kecil melalui defek pada media arteri. Defek
ini diperkirakan meluas karena adanya tekanan hidrostatik dari aliran darah pulsatil dan
turbulensi darah, yang paling besar terjadi pada bifurkasi arteri. Aneurisma yang matang
memiliki media yang sedikit, digantikan oleh jaringan ikat, dan lamina elastis berkurang
atau tidak ada.
Probabilitas pecah berkaitan dengan ketegangan pada dinding aneurisma. Hukum La Place
menyatakan bahwa tegangan ditentukan oleh radius aneurisma dan gradien tekanan yang
melintasi dinding aneurisma. Dengan demikian, tingkat terjadinya ruptur berhubungan
langsung dengan ukuran aneurisma. Aneurisma dengan diameter lebih besar dari 10 mm
lima kali lebih besar kemungkinan pecah daripada yang lebih kecil. Risiko ruptur tahunan
untuk aneurisma <10 mm adalah 0,7%. Cedera otak akibat pembentukan aneurisma
serebral dapat terjadi jika tidak ada ruptur. Kekuatan penekanan dapat menyebabkan cedera
pada jaringan lokal dan mengganggu suplai darah distal. Biasanya tidak diketahui mengapa
suatu aneurisma dapat pecah atau kapan akan pecah, namun beberapa faktor resiko yang
dapat meningkatkan kemungkinan suatu aneurisma tersebut pecah diantaranya : tekanan
darah tinggi , mengangkat beban berat dan mengejan serta emosi yang kuat dan meledak-
ledak dapat meningkatkan tekanan di otak dan menyebabkan aneurisma menjadi pecah.
Selain itu , penggunaan obat-obatan pengencer darah seperti warfarin dan obat-obatan lain
yang bekerja sebagai stimulant seperti efedrin dan amfetamin serta obat-obatan lain seperti
kokain dapat menyebabkan pecah aneurisma . Ketika aneurisma pecah, ekstravasasi darah
di bawah tekanan arteri ke ruang subarachnoid dan dengan cepat menyebar melalui cairan
serebrospinal di sekitar otak dan sumsum tulang belakang. Darah yang dilepaskan di bawah
tekanan tinggi dapat secara langsung menyebabkan kerusakan pada jaringan lokal.
Extravasasi darah menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (ICP). (American
journal of clinical medicine)
Beberapa faktor telah dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk aneurismal SAH.
Risiko-risiko ini termasuk riwayat keluarga aneurisma intrakranial, penyakit jaringan ikat,
hipertensi, merokok, aterosklerosis, kontrasepsi oral, usia yang lebih tua, etnis Afrika-
Amerika dan Jepang, jenis kelamin wanita, penyakit ginjal polikistik, dan minum alkohol

19
berat. Terdapat peningkatan risiko SAH tiga hingga tujuh kali lipat pada kerabat tingkat
pertama pasien dengan SAH. Afrika-Amerika memiliki risiko 2,1: 1 dibandingkan dengan
Kaukasia, sedangkan jenis kelamin perempuan ditemukan memiliki risiko 1,6: 1
dibandingkan denganjenis kelamin pria.
Dua skala yang banyak digunakan untuk menilai keparahan SAH yaitu skala Hunt and
Hess dan World Federation of Neurological Surgeons Scales. Pada kedua skala, terdapat
korelasi antara skor yang lebih tinggi dengan hasil yang lebih buruk. Informasi ini termasuk
ukuran dan lokasi aneurisma dan kondisi keseluruhan pasien.

Tabel 3. Hunt and Hess Severity Scale


Tingkat Kriteria
1 Asimptomatik, sakit kepala ringan
2 sakit kepala sedang hingga berat, kekakuan nuchal, tidak ada defisit fokal
selain kelumpuhan saraf kranial
3 Perubahan status mental ringan, deficit neurologi fokal ringagn
4 Stupor atau hemiparesis sedang hingga berat
5 Comatose atau rigiditas deserebrasi

Tabel 4. World Federation of Neurosurgical Surgeon


Tingkat Glasgow Coma Scale Defisit Neurologis Fokal
1 15 Tidak ada
2 13-14 Tidak ada
3 13-14 Ada
4 7-12 Tidak ada atau ada
5 3-6 Tidak ada atau ada

2.2.4 Manifestasi Klinis14


Sebelum pecah, biasanya aneurisma tidak menimbulkan gejala. Namun aneurisma yang
pecah biasanya menyebabkan perdarahan ke dalam ruang subaraknoid yang dengan segera
menimbulkan gejala yang mucul tiba-tiba, meliputi :

20
Sakit kepala mendadak dan parah dimana biasanya pasien akan mengatakan bahwa sakit
kepala ini merupakan sakit kepala yang palng parah yang pernah pasien rasakan seumur
hidup”
 Mual dan muntah
 Leher kaku
 Pandangan mata kabur atau pandangan menjadi ganda
 Sensitive terhadap cahaya
 Kejang
 Pupil dilatasi
 Drooping eyelid
 Kebingungan
 Nyeri di atas dan bagian belakang bola mata
 Hilang kesadaran
 Kelemahan dan atau mati rasa

2.2.5 Diagnosa15
Pilihan metode diagnostik untuk bisa melihat adanya darah dalam ruang subarachnoid, CT-
scan tanpa kontras dapat menjadi landasan . Dari pemeriksaan tersebut akan tampak lesi
hiperdens pada sisterna basalis (dan jika ada dapat ditemukan juga pada sistem ventrikel
dan parenkim otak). Dalam beberapa jam setelah SAH akut, CT scan memiliki sensitifitas
dan spesifisitas mendekati 100% untuk dapat mendeteksi adanya darah pada ruang
subaraknoid.
Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, SAH akut dapat hanya melibatkan “kebocoran
kecil”, yaitu masuknya sejumlah kecil darah pada ruang subaraknoid sehingga tidak dapat
terdeteksi oleh CT-scan. Jika berdasarkan gejala dan tanda klinis mengarah pada SAH,
pemerisaan pungsi lumbal harus dilakukan. Karena CT menjadi kurang sensitif terhadapt
SAH akut dari waktu ke waktu, pasien yang datang pada patensi yang lebih lama setelah
perdarahan juga memerlukan pungsi lumbal untuk menegakkan diagnosis. Pungsi lumbal
juga berguna pada beberapa kasus untuk menyingkirkan diagnosis mayor lainnya seperti
meningitis.

21
MRI (Magnetic resonance imaging ) dengan beberapa rangkaian kombinasi tampaknya
lebih sensitif daripada CT-scan. Jika CT-scan negatif, MRI dapat menjadi pilihan
berikutnya. Meskipun demikian, MRI tidak digunakan secara rutin dalam evaluasi
diagnostik SAH akut karena cenderung sulit secara logistik dan lebih sulit diekspertisi.

Gambar 4. Studi pencitraan untuk mendeteksi perdarahan subaraknoid dan penentuan sumber perdarahan

Gambar di atas merupakan studi pencitraan yang diperoleh dari seorang pasien laki laki
berusia 63 tahun dengan nyeri kepala hebat yang mendadak yang disertai dengan
penurunan kesardaran. Pada CT scan kepala tampak pola klasik dari perdarahan

22
subarachnoid basalis dengan darah dalam sisterna basalis yang terganmabr sebagai sinyal
hiperintens pada sisterna pentagonal (gambar a, tanda panah). CT angiografi berikutnyadan
digital subtraction angiography (gambar b,c) mengungkapkan aneurisma dari anterior
komunikating arteri merupakan sumber perdarahan. Rekonstruksi 3D yang sesuai (gambar
d dan e) mengungkapkan konfigurasi spasial dari aneurisma dan relasi spasial dengan
pembuluh terdekat. CT prefusion (gambar F) memungkinkan visualisasi perfusi otak.
Parameter yang ditampilkan disini adalah aliran darah otak regional.
Standar emas untuk mendeteksi aneurisma serebri sebagai sumber perdarahan pada SAH
adalah DSA (Digital Subtraction Angiography) yang memungkinkan visualisasi yang lebih
baik dari lokasi dan konfigurasi aneurisma, pembuluh yang masuk dan keluar dan
hubungannya dengan pembuluh darah terdekat. Informasi yang didapat dari pemerisaan
DSA berfungsi sebagai dasar untuk perencanaan perawatan definitid untuk mengamankan
aneurisma. Meskipun begitu, DSA membawa resiko kecil perdarahan aneurisma skitar 1-
2% serta deficit neurologis yang baru (1,8%),
CT angiografi dapat menjadi alternatif yang baik penggunaan DSA pada situasi tertentu.
Khususnya ketika intervensi bedah sangat diperlukan, spserti pada pasien dengan
perdarahan masif dan tanda-tanda herniasi serebral, DSA harus disingkirkan dan diganti
dengan CT angiografi. Namun, selama situasi pasien tidak segera mengancam jiwa, DSA
tetap menjadi modalitas pencitraan utama.

2.2.6 Tatalaksana 16
Tatalaksana Awal SAH
Tatalaksana awal pada pasien yang terdiagnosis SAH yaitu manajemen jalan napas,
analgesia yang memadai, pemantauan kardiopulmoner dan neurologis, kontrol tekanan
darah, antiemetik, dan sedasi, kapan pun dianggap perlu. Intubasi dilakukan untuk
perlindungan jalan napas, oksigenasi dan / atau ventilasi. Elevasi head of bed hingga 30
dapat menurunkan ICP yang tinggi. Analgesia diberikan untuk pasien dengan sakit kepala
berat. Analgesia yang diberikan merupakan analgesia dosis kecil, short-acting dan
reversible. Pemantauan jantung yang berkelanjutan sangat penting untuk mengevaluasi
disritmia. Evaluasi status neurologis terus menerus dan teratur, termasuk ukuran pupil dan
reaktivitas dan fungsi motorik diperlukan. Pemberian cairan IV menargetkan euvolemia,

23
glukosa normal, dan elektrolit. Kontrol tekanan darah mungkin diperlukan. American
Stroke Association’s 2012 guidelines merekomendasikan untuk mempertahankan SBP
awal kurang dari 160 mm Hg. Tekanan perfusi otak (CPP = MAP-ICP) harus dijaga pada>
60 mm Hg. Penempatan kateter arteri harus dilakukan segera setelah pemantauan tekanan
darah terus menerus dianggap perlu.

Metode Bedah dan Endovaskular untuk Pengobatan Ruptur Aneurisma Serebral


Microsurgical clip obliteration dari aneurisma intracranial merupakan modalitas utama
pengobatan sebelum tahun 1991. Dengan adanya kemajuan dalam pendekatan bedah mikro
dan endovascular, algoritma untuk menentukan populasi pasien yang tepat dengan
karakteristik aneurysmal untuk setiap perawatan terus menjalani perbaikan.

Manajemen Anestesi Selama Operasi dan Perawatan Endovaskular


Tujuan umum manajemen anestesi melibatkan hemodinamik kontrol untuk meminimalkan
risiko re-rupture aneurisma dan strategi untuk melindungi otak terhadap cedera iskemik.
Meskipun induksi hipotensi telah digunakan terdahulu untuk mencegah pecahnya
aneurisma, data menunjukkan bahwa masih mungkin ada potensi bahaya dengan
peningkatan risiko dini defisit neurologis. Pada pasien yang menjalani operasi aneurisma
serebral, intraoperatif hiperglikemia telah dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif
jangka panjang dan fungsi neurologis. Hubungan ini terlihat pada tingkat hiperglikemia
secara umum yang ditemui dalam praktik, dengan peningkatan risiko perubahan pada
kognisi dengan konsentrasi glukosa > 129 mg/dL dan defisit neurologis dengan konsentrasi
glukosa > 152 mg/dL. Telah banyak agen farmakologis yang digunakan untuk
perlindungan otak selama operasi aneurisma otak tetapi tidak ada yang memberikan hasil
yang baik.
Hipotermia sistemik telah digunakan dalam beberapa klinis termasuk cedera kepala, stroke
iskemik, dan circulatory arrest untuk melindungi otak terhadap cedera iskemik.
Penggunaan hipotermia selama kraniotomi untuk pengobatan ruptur aneurisma serebral
telah dievaluasi dalam multisenter uji coba acak terkontrol. Penelitian itu menunjukkan
hipotermia relatif aman tetapi tidak berhubungan dengan hasil mortalitas atau neurologis.

24
Selain itu, hipotermia intraoperatif tidak memiliki efek menguntungkan pada fungsi
neuropsikologis setelah SAH.
Temporary clipping sering digunakan untuk memperbaiki kondisi pembedah dan
mencegah ruptur intraoperatif selama diseksi bedah aneurisma. Dalam studi retrospektif,
hasil tidak dipengaruhi oleh oklusi vaskular sementara. Induksi hipertensi dapat
dipertimbangkan ketika durasi temporary clipping menjadi > 120 detik, tetapi nilai strategi
ini belum diteliti dalam operasi aneurisma. Pada pasien tertentu dengan giant aneurisma,
hipotermia dengan circulatory arrest di bawah sirkulasi ekstrakorporeal kardiopulmoner
telah terbukti merupakan teknik yang layak dan mungkin bermanfaat, namun hasil data
masih minimal. Transient cardiac pause yang disebabkan oleh adenosin telah digunakan
untuk mengendalikan perdarahan dari aneurisma ruptur intraoperatif atau untuk
mendekompresi aneurisma besar dan memfasilitasi klip aneurisma.
Secara umum, prinsip-prinsip anestesi yang berlaku untuk perawatan bedah terbuka dari
ruptur aneurisma serebral juga berlaku untuk perawatan endovaskular. Pilihan teknik
anestesi bervariasi tergantung pada institusi, dengan teknik yang paling umum adalah
anestesi umum. Tujuan utama dari teknik anestesi adalah menjaga pasien tidak bergerak
untuk mengoptimalkan kualitas gambar yang digunakan dalam prosedur endovascular.
Ruptur aneurisma intraprocedural selama tatalaksana endovascular dapat memungkinkan
terjadinya suatu komplikasi. Mungkin dapat terjadi peningkatan tekanan darah secara tiba-
tiba dan masif dengan atau tanpa bradikardia yang disebabkan oleh peningkatan tekanan
intrakranial. Hiperventilasi dan diuresis osmotik mungkin diperlukan untuk
mengendalikan hipertensi intrakranial. Penanganan tekanan darah secara agresif dapat
menyebabkan iskemia; Oleh karena itu, terapi antihipertensi harus disediakan untuk pasien
dengan peningkatan tekanan darah yang ekstrim.
Prosedur endovaskular berbeda dari prosedur terbuka dalam antikoagulasi dengan heparin
yang sering diberikan selama embolisasi aneurisma. Pasien yang telah menjalani
antikoagulasi memerlukan pembalikan cepat dengan protamin jika terjadi ruptur aneurisma
intraprosedural. Dengan meningkatnya penggunaan stent intravaskular, pemberian agen
antiplatelet (aspirin, clopidogrel, dan glikoprotein IIb / IIIa antagonis reseptor) selama
prosedur ini menjadi lebih umum. Dalam kasus ruptur intraprosedural, pembalikan cepat
aktivitas antiplatelet dapat dilakukan dengan transfusi trombosit.

25
Manajemen Cerebral Vasospasm dan DCI Setelah SAH
Penyempitan (vasospasme) dari arteri serebral dapat terjadi setelah SAH, biasanya terjadi
7 hingga 10 hari setelah pecahnya aneurisma dan sembuh secara spontan setelah 21 hari.
Kaskade kejadian yang memuncak pada penyempitan arteri dimulai ketika oksihemoglobin
bersentuhan dengan sisi abluminal pembuluh darah. Jalur penyempitan arteri telah menjadi
fokus penelitian dasar yang luas, tetapi sampai saat ini belum ada terapi pencegahan yang
efektif. Penyempitan arteri besar menghasilkan gejala neurologis iskemik pada 50% kasus
dan meskipun ada korelasi antara keparahan spasme arteri besar dan iskemia simptomatik,
namun terdapat pasien dengan spasme arteri berat yang parah dan tidak menimbulkan
gejala simtomatik dan terdapat juga pasien dengan spasme yang cukup sederhana yang
tidak bergejala namun menjadi infark. Mungkin banyak faktor yang berkontribusi pada
perkembangan iskemia dan infark, termasuk tetapi kegagalan mikrosirkulasi, anatomi
kolateral yang buruk, dan variasi genetik atau fisiologis dalam toleransi iskemik seluler.
DCI, terutama yang berhubungan dengan vasospasme arteri, tetap menjadi penyebab utama
kematian dan kecacatan pada pasien dengan SAH. Penatalaksanaan SAH-induced
vasospasm adalah kompleks. Pada SAH-induced vasospasm dan DCI berfokus pada
pencegahan dengan nimodipine oral dan maintenance euvolemia, serta pengobatan dengan
terapi triple-H (augmentasi hemodinamik) terapi dan/atau terapi endovaskular dengan
vasodilator dan balon angioplasti. Sebuah meta-analisis menunjukkan nimodipine
membuat peningkatan hasil neurologis dengan mencegah proses selain penyempitan
pembuluh besar. Dalam sebuat data, profilaksis angioplasti dari arteri serebral basal dan
profilaksis antiplatelet tidak efektif dalam mengurangi morbiditas.
Data menunjukkan infus trombolitik intratekal, dengan meta-analisis baru-baru ini dari 5
uji coba terkontrol acak yang menunjukkan manfaat meskipun ada beberapa kelemahan
metodologis. Ada juga data yang muncul untuk beberapa metode baru untuk mengurangi
kejadian dan konsekuensi iskemik dari SAH-induced vasospasm. Pendekatan baru ini
didasarkan pada data eksperimental yang kuat yang menunjukkan peran penting disfungsi
endotel, khususnya pada tingkat sirkulasi mikro. Beberapa uji telah menyelidiki kegunaan
statin, antagonis endotelin-1, dan magnesium sulfat namun pengobatan ini tidak terbukti
bermanfaat secara klinis.

26
Pada diagnosis DCI pemeriksaan neurologis merupakan serial yang penting namun
memiliki sensitivitas terbatas pada pasien dengan tingkat klinis yang buruk. Oleh karena
itu, pendekatan diagnostik perlu disesuaikan dengan situasi klinis. Berbagai alat diagnostik
umumnya digunakan untuk mengidentifikasi penyempitan arteri dan / atau kelainan perfusi
atau berkurangnya oksigenasi otak. Perfusi imaging menunjukkan daerah hipoperfusi dan
mungkin lebih akurat untuk mengidentifikasi DCI daripada imaging anatomi penyempitan
arteri atau perubahan kecepatan aliran darah dengan transcranial Doppler. Perfusion CT
merupakan teknologi yang menjanjikan, meskipun pengukuran berulang dibatasi oleh
risiko beban pewarna dan paparan radiasi.
Ketika DCI terdiagnosis, pengobatan awal adalah induksi augmentasi hemodinamik untuk
meningkatkan perfusi otak. Pada beberapa pasien, peningkatan tekanan MAP dapat
meningkatkan aliran darah otak dalam pengaturan disfungsi autoregulatori. Pada pasien
yang lain mungkin ada beberapa efek tekanan transluminal langsung yang mengarah ke
dilatasi arteri. Augmentasi hemodinamik terdiri dari hemodilusi, hipervolemia, dan terapi
hipertensi.
Salah satu metode baru augmentasi hemodinamik yang sedang diteliti adalah alat balon
aorta. Intervensi endovaskular sering digunakan pada pasien yang tidak membaik dengan
augmentasi hemodinamik dan pasien dengan defisit neurologis fokal tiba-tiba dan lesi fokal
pada angiografi. Intervensi umumnya terdiri dari balloon angioplasty untuk lesi yang dapat
diakses dan infus vasodilator untuk pembuluh darah yang lebih jauh. Vasodilator yang
biasanya digunakan adalah calcium channel blocker, tetapi donor nitric oxidejuga dapat
digunakan. Papaverine digunakan lebih jarang karena dapat menghasilkan neurotoksisitas.
Keterbatasan utama terapi vasodilator adalah durasi manfaat yang singkat.

Manajemen Hidrosefalus yang berhubungan dengan SAH


Hidrosefalus dapat terjadi dalam waktu 24 jam setelah SAH, baik sebagai hasil dari produk
darah beku yang menghambat aliran CSF atau dengan penurunan penyerapan CSF pada
granulasi arachnoid. Hidrosefalus akut terjadi 15-87% pada pasien dengan SAH. Chronic
shunt-dependent hydrocephalus, terjadi 8.9-48% pada pasien dengan SAH. Faktor-faktor
yang berkorelasi dengan perkembangan hidrosefalus termasuk perdarahan intraventrikular,
pengobatan dengan agen antifibrinolitik, SAH sirkulasi posterior, GCS rendah, riwayat

27
hipertensi pada pasien dengan hiponatremia. Hidrosefalus akut yang berhubungan dengan
SAH biasanya ditangani dengan drainase ventrikel eksternal (EVD) atau drainase lumbar.
EVD untuk pasien dengan hidrosefalus terkait SAH umumnya berhubungan dengan
peningkatan neurologis. Risiko aneurisma berulang dengan EVD telah dipelajari dalam 3
seri kasus retrospektif, 1 di antaranya menemukan risiko perdarahan kembali yang lebih
tinggi dengan EVD, sedangkan 2 penelitian lainnya tidak menemukan peningkatan risiko.
Drainase lumbar untuk pengobatan hidrosefalus terkait SAH telah dilaporkan aman (tidak
ada peningkatan risiko perdarahan ulang). Ketika diduga hidrosefalus obstruktif, EVD
biasanya lebih dipilih. Data awal menunjukkan bahwa drainase lumbar berhubungan
dengan penurunan kejadian vasospasme. Lumbar puncture untuk tatalaksana hidrosefalus
terkait SAH akut merupakan pilihan yang aman, namun strategi ini hanya dinilai dalam
seri retrospektif kecil. Hidrosefalus kronis yang berhubungan dengan SAH biasanya
ditatalaksana dengan pemasangan shunt ventrikel. Hanya sebagian pasien dengan
hidrosefalus akut terkait-SAH yang mengalami hidrosefalus kronis yang bergantung pada
shunt.

Manajemen Kejang yang berhubungan dengan SAH


Manajemen kejang yang berhubungan dengan SAH masih controversial. Saat ini tidak ada
uji coba terkontrol secara acak yang tersedia untuk memandu tatalaksanan mengenai
profilaksis atau pengobatan kejang. Penelitian retrospektif menunjukkan insiden kejang
yang lebih rendah dari 6% menjadi 18%, dan 2 dari studi ini menemukan bahwa mayoritas
pasien tersebut melaporkan timbulnya kejang terjadi sebelum evaluasi medis. Kejang yang
terlambat terjadi pada 3% hingga 7% pasien. Studi retrospektif telah mengidentifikasi
beberapa faktor risiko terjadinya kejang yang berhubungan dengan SAH yaitu aneurisma
di arteri serebral tengah, ketebalan clot SAH, hematoma intraserebral, perdarahan
berulang, infark, tingkat neurologis yang buruk, dan riwayat hipertensi.
Model tatalaksana untuk pasien dengan rupture aneurisma juga tampaknya mempengaruhi
perkembangan kejang berikutnya. Insiden kejang secara signifikan lebih rendah pada
pasien yang diobati dengan endovascular coiling. Dua penelitian retrospektif SAH
menemukan bahwa status epileptikus nonconvulsive adalah prediktor yang sangat kuat
memberikan hasil yang buruk. Meskipun bukti untuk penggunaan antikonvulsan rutin

28
dalam SAH masih kurang, terapi antiepilepsi jangka pendek masih umum digunakan pada
pasien dengan SAH berdasarkan argumen bahwa kejang pada pasien dengan SAH dapat
menyebabkan cedera tambahan atau perdarahan kembali. Dalam 1 studi dimana
antikonvulsan digunakan secara rutin efek samping obat terlihat pada 23% pasien. Studi
retrospektif single-center lain menemukan bahwa penggunaan fenitoin profilaksis secara
independen terkait dengan hasil kognitif yang lebih buruk pada 3 bulan setelah SAH. Data
yang dikumpulkan dari uji coba dampak terapi lain juga menunjukkan hasil yang lebih
buruk pada mereka yang diobati dengan antikonvulsan, tetapi penggunaan antikonvulsan
juga dikaitkan dengan vasospasme, DCI, dan demam, yang menunjukkan bahwa mungkin
ada bias pada yang diobati dengan antiepilepsi.

Manajemen Komplikasi Medis Terkait Dengan SAH


Baik hipernatremia dan hiponatremia sering diamati pada fase akut setelah SAH. Insiden
hiponatremia yang dilaporkan pada penyakit ini berkisar antara 10% hingga 30%.
Hiponatremia secara kronologis dikaitkan dengan timbulnya vasospasme sonografi dan
klinis. Hiponatremia dapat berkembang dari mekanisme yang berbeda setelah SAH.
Syndrome cerebral salt wasting dihasilkan oleh sekresi natriuretik peptida yang berlebihan
dan menyebabkan hiponatremia dari natriuresis berlebihan, yang juga dapat memicu
kontraksi volume. Diagnosis syndrome cerebral salt wasting umum pada pasien dengan
derajat klinis yang buruk, ruptur aneurisma arteri komunikasi anterior, dan hidrosefalus,
dan mungkin merupakan faktor risiko untuk hasil yang buruk. Sebuah studi yang
menggunakan agen kristaloid atau koloid menunjukkan bahwa resusitasi volume yang
agresif dapat memperbaiki efek dari cerebral salt wasting pada risiko iskemia serebral
setelah SAH. Satu studi retrospektif telah menyarankan bahwa larutan garam 3% efektif
dalam memperbaiki hiponatremi. Selain itu, penggunaan larutan garam hipertonik
meningkatkan aliran darah otak regional, oksigen jaringan otak, dan pH pada pasien
dengan SAH.
Dua percobaan telah dilakukan untuk mengevaluasi fludrokortison dalam memperbaiki
hiponatremia dan keseimbangan cairan. Satu percobaan menemukan bahwa hal itu
membantu memperbaiki keseimbangan natrium, dan yang lainnya melaporkan
berkurangnya kebutuhan cairan dan peningkatan kadar natrium menggunakan

29
mineralokortikoid ini. Percobaan placebo-controlled yang serupa menunjukkan
pengurangan natriuresis dan tingkat hiponatremia yang lebih rendah pada pasien SAH yang
diobati dengan hidrokortison.
Demam adalah komplikasi medis paling umum pada SAH. Demam telah dikaitkan dengan
keparahan cedera, jumlah perdarahan, dan pengembangan vasospasme, dan mungkin
merupakan tanda keadaan inflamasi sistemik yang dipicu oleh darah dan produk
sampingnya. Analisis data SAH yang dikumpulkan secara prospektif menunjukkan bahwa
demam secara independen terkait dengan hasil kognitif yang lebih buruk pada SAH.
Peningkatan konsentrasi glukosa darah berhubungan dengan hasil yang buruk setelah
cedera otak iskemik. Kontrol glukosa yang efektif setelah SAH secara signifikan dapat
mengurangi risiko buruk pada pasien. Namun kadar glukosa serum dalam kisaran normal
dapat dikaitkan dengan krisis metabolisme energi otak dan peningkatan rasio laktat-piruvat
pada pasien dengan SAH.
Anemia umum terjadi setelah SAH dan dapat mengganggu pengiriman oksigen ke otak.
Transfusi sel darah merah pada pasien anemia dengan SAH membuat peningkatan yang
signifikan dalam pengiriman oksigen otak dan pengurangan rasio ekstraksi oksigen.
Berdasarkan data prospektif pasien dengan SAH menunjukkan bahwa nilai hemoglobin
yang lebih tinggi dikaitkan dengan hasil yang lebih baik setelah SAH. Baru-baru ini,
percobaan acak prospektif telah menunjukkan keamanan dan kemungkinan menjaga tujuan
hemoglobin yang lebih tinggi pada pasien dengan SAH yang berisiko tinggi vasospasme.
Tujuan hemoglobin optimal setelah SAH belum diketahui. Dua komplikasi tambahan
adalah trombositopenia yang diinduksi heparin dan trombosis vena dalam. Pasien dengan
trombositopenia tipe II yang diinduksi heparin tampaknya memiliki tingkat komplikasi
trombotik yang lebih tinggi dan vasospasme/DCI simtomatik.

2.2.7 Prognosis 17
Sepuluh hingga 15% pasien dengan SAH meninggal sebelum mencapai perawatan medis.
Angka kematian SAH di rumah sakit adalah sekitar 30%. Kematian SAH selama tiga puluh
hari mendekati 50%.

30
Terjadinya rebleeding setelah SAH merupakan faktor prognostik tunggal, memberikan
tingkat kematian 80% atau disabilitas serius. Faktor prognostik penting lainnya adalah usia,
komorbiditas, komplikasi perioperatif, vasospasme, tingkat kesadaran dan tingkat klinis
perdarahan pada saat presentasi, dan jumlah darah pada awal CT kepala. Kondisi lain yang
berhubungan dengan prognosis buruk adalah hiperglikemia, demam (baik infeksi maupun
non-infeksi), infark serebral dan vasospasme simtomatik, dan insufisiensi ginjal.
Disabilitas jangka panjang terjadi pada setengah dari seluruh pasien SAH termasuk
kognitif, deficit neurologis lainnya dan epilepsi.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. D‘Souza S. Aneurysmal subarachnoid hemorrhage. J Neurosurg


Anesthesiol. 2015;27:222–240.
2. Brisman JL, Song JK, Newell DW. Cerebral aneurysms.N Engl J Med. 2006; 355:928–
939..
3. Austin G, Fisher S, Dickson D. The significance of the extracellular matrix in intracranial
aneurysms. Ann Clin Lab Sci. 1993; 23:97.
4. Chalouhi N, Hoh B, Hasan D. Review of Cerebral Aneurysm Formation, Growth, and
Rupture. Stroke. 2013;44(12):3613-3622.
5. van Dijk JM, Groen RJ, Ter Laan M, Jeltema JR, Mooij JJ, Metzemaekers JD. Acta
Neurochir. Vol. 153. Wien: 2011. Surgical clipping as the preferred treatment for
aneurysms of the middle cerebral artery; pp. 2111–2117.
6. Cebral JR, Mut F, Weir J, Putman CM. Association of hemodynamic characteristics and
cerebral aneurysm rupture. AJNR Am J Neuroradiol. 2011;32:264–270.
7. Nahed BV, Bydon M, Ozturk AK, Bilguvar K, Bayrakli F, Gunel M. Genetics of
intracranial aneurysms. Neurosurgery. 2007;60:213–225.
8. Wiebers DO, Whisnant JP, Huston J 3rd, Meissner I, Brown RD Jr, Piepgras DG, Forbes
GS, Thielen K, Nichols D, O’Fallon WM, Peacock J, Jaeger L, Kassell NF, Kongable-
Beckman GL, Torner JC; International Study of Unruptured Intracranial Aneurysms
Investigators. Unruptured intracranial aneurysms: natural history, clinical outcome, and
risks of surgical and endovascular treatment. Lancet. 2003;362:103–110
9. Hunt WE, Hess RM. Surgical risk as related to time of intervention in the repair of
intracranial aneurysms. J. Neurosurg. 1968;28:14–20
10. McKinney AM, Palmer CS, Truwit CL, Karagulle A, Teksam M. Detection of aneurysms
by 64-section multidetector CT angiography in patients acutely suspected of having an
intracranial aneurysm and com- parison with digital subtraction and 3D rotational
angiography. AJNR Am J Neuroradiol. 2008;29:594–602.
11. Machi P, Ouared R, Brina O, Bouillot P, Yilmaz H, Vargas M et al. Hemodynamics of
Focal Versus Global Growth of Small Cerebral Aneurysms. Clinical Neuroradiology.
2017.
12. Sriganesh K, Venkataramaiah S. Concerns and challenges during anesthetic management
of aneurysmal subarachnoid hemorrhage. Saudi J Anaesth. 2015;9:306–313.

32
13. Schmutzhard E. Subarachnoid hemorrhage (SAH): how do we treat delayed ischemic
neruological deficit (DIND). 4rd Congress of the European Academy of Neurology. 2018;
14. Connolly E, Rabinstein A, Carhuapoma J, Derdeyn C, Dion J, Higashida R et al. Guidelines
for the Management of Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. Stroke. 2012;43(6):1711-
1737.
15. Hayman A, Pagani J, Kirkpatrick J, Hinck V. Pathophysiology of Acute Intracerebral and
Subarachnoid Hemorrhage:. American Society of Neuroradiology. 2019
16. Lemonick D. Subarachnoid Hemorrhage: State of the Art(ery). American Journal of
Clinical Medicine. 2010;7(2)
17. Lemonick D. Subarachnoid Hemorrhage: State of the Art(ery). American Journal of
Clinical Medicine. 2010;7(2)

33

Anda mungkin juga menyukai