Anda di halaman 1dari 13

Referat Kepaniteraan Klinik

Ilmu Kesehatan Mata

Afakia

Disusun oleh:
Claudia Natasha Liman

Penguji:
dr. Maria Larasati, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN


MATA
RUMAH SAKIT SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE APRIL – MEI 2019
JAKARTA
DAFTAR PUSTAKA

BAB I ......................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 3
BAB II........................................................................................................................................ 4
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 4
I. Anatomi dan Fisiologi Lensa Mata ............................................................................ 4
II. Definisi ....................................................................................................................... 5
III. Etiopatogenesis .......................................................................................................... 5
IV. Epidemiologi .............................................................................................................. 6
V. Manifestasi Klinis ...................................................................................................... 6
VI. Diagnosis.................................................................................................................... 7
VII. Tatalaksana ................................................................................................................ 9
VIII. Komplikasi ............................................................................................................... 11
IX. Prognosis .................................................................................................................. 11
BAB III .................................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 12

2
BAB I
PENDAHULUAN

Afakia adalah suatu keadaan dimana mata tidak memiliki lensa kristal. Keadaan mata
tanpa lensa menyebabkan adanya hipermetropia tinggi.1 Prevalensi afakia di Indonesia tidak
tercatat, namun pada penelitian di Amerika Serikat tahun 2004 tercatat 6.1 juta kasus afakia
atau pseudofakia.2 Afakia dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, paska operasi
pengangkatan lensa pada katarak, trauma ekstrusi lensa, atau dislokasi lensa ke badan vitreous.
Penyebab afakia paling sering adalah akibat operasi pengkangkatan lensa sedangkan afakia
akibat trauma ekstrusi dan afakia kongenital merupakan kasus langka.3
Gejala yang paling nampak pada afakia adalah penglihatan buram akibat hipermetropia
berat yang didapatkan. Hipermetropia pada afakia biasa tinggi dan mencapai + 10.0 – 12.0
Dioptri.1 Lensa memiliki kemampuan akomodasi yang adalah kemampuan untuk
memfokuskan obyek jauh atau dekat. Sehingga, keadaan dimana tidak ada lensa menyebabkan
kehilangan daya akomodasi. Selain itu dapat juga ditemukan iridodenesis atau ketidakstabilan
iris akibat hilangnya sanggahan lensa, pengelihatan cembung, bilik mata depan dalam, pupil
berwarna hitam pekat, serta pembesaran gambar retina sehingga terlihat 25% lebih besar.4
Pilihan tatalaksana afakia mencakup pengunaan kacamata, pengunaan lensa kontak
atau pemasangan intraocular lens atau IOL. Pengunaan kacamata hanya bisa diberikan pada
afakia bilateral karena perbedaan ukuran banyangan pada kedua mata yang dapat muncul atau
aniseikonia. Sedangkan lensa kontak dapat digunakan pada afakia bilateral atau unilateral.
Pemasangan IOL dapat dipertimbangkan jika pasien tidak dapat memakai lensa kontak atau
kacamata.
Bila timbul komplikasi seperti distrofi kornea, glaukoma sudut tertutup akibat blok
pupil, katarak, iridosiklitis atau uveitis1 maka harus dilakukan tatalaksana untuk pengendalian
komplikasi. Bila tidak terjadi komplikasi maka prognosis pada afakia baik.3

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi dan Fisiologi Lensa Mata


Lensa mata berasal dari ektoderm permukaan, terletak didalam bola mata yakni
dibelakang iris, didalam kamera okuli posterior. Tebal lensa sekitar 4 mm dengan diameter
sekitar 9 mm.5 Lensa mata merupakan struktur bikonveks yang transparan yang terletak
posterior dari iris dan disanggah oleh serabut zonular atau zonula zinn yang bermuara dari
badan siliar dan berujung pada daerah equator lensa. Di sebelah anterior lensa terdapat aqueous
humor, di sebelah posteriornya terdapat corpus vitreus. Lensa terdiri dari tiga bagian yaitu
kapsul, korteks dan nukleus. Kapsul lensa adalah membran basal yang mengelilingi lensa. Sel
epitel pada daerah equator lensa terus berdifferensiasi menjadi serabut lensa baru sehingga
serabut lensa yang lama tertekan kedaerah sentral dan disebut nukleus sedangkan serabut yang
baru ada disekitar nukelus dan disebut korteks. Lensa mendapatkan nutrisi dari humor aqueous.
Lensa memiliki kemampuan akomodasi, yang adalah kemampuan lensa untuk berubah
bentuk tergantung dengan kebutuhan untuk memfokuskan obyek jauh atau dekat. Lensa dapat
berubah bentuk menjadi lebih atau kurang sferis akibat tegangan dari zonula zinn pada kapsul
lensa yang dikontrol oleh badan siliar dimana bila terjadi kontraksi maka akan terjadi relaksasi
zonula sehingga lensa menjadi lebih sferis dan adanya peningkatan kekuatan dioptri sehingga
dapat memfokuskan benda jarak dekat. Namun seiring adanya penuaan, maka fungsi
akomodasi lensa berkurang.6

Gambar 2.1. Anatomi lensa.

4
Fungsi lensa selain kemampuan akomodasi adalah untuk mempertahankan kejernihan
dan transparensi strukturnya sendiri. Lensa, seperti kornea memiliki kemampuan untuk
mentransmisi 80% cahaya yang masuk. Lensa juga merupakan media refrakta sehingga
bertanggung jawab atas 35% kemampuan refrakta mata.1

II. Definisi
Afakia adalah kondisi dimana tidak terdapat lensa kristal pada mata. Afakia
menyebabkan adanya hipermetropia tinggi dimana proyeksi cahaya jatuh pada titik fokus 31
mm dibelakang kornea. Terdapat juga kehilangan daya akomodasi mata serta pembesaran
gambar pada retina sebesar 25%.1 Gambaran benda pada mata pasien terlihat seperti
melengkung akibat adanya efek prisma lensa tebal. Dapat ditemukan fenomena jack-in-the-
box yang adalah penglihatan jelas pada bagian sentral namun kabur pada bagian perifer.5

III. Etiopatogenesis
Afakia dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, operasi pengangkatan lensa pada
katarak, trauma ekstrusi lensa, atau dislokasi lensa ke arah posterior ke badan vitreous. Afakia
setelah operasi pengangkatan lensa merupakan penyebab umum afakia, namun afakia
kongenital dan akibat trauma ekstrusi merupakan penyebab afakia yang jarang ditemukan.3
Trauma ekstrusi lensa biasa disebabkan oleh cedera memar pada mata yang dapat diakibatkan
oleh pukulan pada mata seperti ditinju.7 Dislokasi lensa atau ektopia lentis disebabkan oleh
adanya disfungsi dari serabut zonul pada lensa. Tingkat kerusakan serabut zonul menentukan
derajat dislokasi lensa.8
Afakia kongenital disebabkan oleh adanya perhentian pada proses embriologi mata
pada minggu ke 4 atau 5 embriogenesis sehingga terjadinya hambatan proses pembentukan
struktur lensa. Terjadi kegagalan induksi ektoderm permukaan. Beberapa studi menemukan
adanya hubungan antara mutasi pada gen FOXE3 pada bayi yang lahir dari orangtua
berhubungan darah7 atau pada gen PAX6 dan memiliki pola keturunan resesif heterozigot.9
Afakia akibat dislokasi atau subluksasi lensa dapat disebabkan oleh kondisi kelainan
kongenital seperti pada sindroma Marfan dimana terdapat mutasi gen fibrilin pada kromoson
15. Pada dislokasi lensa akibat sindroma Marfan, bisa dislokasi lensa kearah superotemporal.
Zonula zinn biasa terlihat dan tidak patah dibandingkan zonula yang patah pada
homosisteinuria. Kadang keluhan pengelihatan hanya muncul pada usia 20-30 tahun ketika
terjadinya pelepasan retina akibat kelemahan jaringan ikat.10

5
Pada afakia kongenital primer, terdapat kehilangan lensa kristal, membran Bowman
dan Descemet, endotel Descemet, bilik anterior serta iris. Interior mata tertutup oleh pigmen
epitel sehingga terdapat displasia retina dan serabut sarat dan sel ganglion tidak terbentuk.
Secara klinis terlihat mikroftalmia dan adanya kelainan dinding anterior menyebabkan
gambaran stafiloma kornea. Afakia kongenital primer disebabkan oleh adanya kelainan
invaginasi inferior dari vesikel optik sehingga menggangu hubungan vesikel optik dengan
ektoderm permukaan dan menghambat pertumbuhan jaringan segmen anterior lainnya.
Kelainan invaginasi dapat dilanjutkan dengan penutupan tidak lengkap dari fisura fetal. Badan
silier dapat terbentuk pada margin koloboma.11

IV. Epidemiologi
Prevalensi afakia di Indonesia tidak tercatat namun pada penelitian di Amerika Serikat
tahun 2004 menyatakan sebanyak 6.1 juta atau 5.1% dari total penduduk memiliki afakia atau
pseudophakia. Penelitian di Swedia yang dilalukan pada tahun 1997-2001 menunjukan afakia
terjadi sebanyak satu dari dua ratus kasus operasi katarak. Komplikasi tidak dapat terpasangnya
lensa pada operasi biasa disebakan oleh kegagalan pemasangan kapsul saat operasi atau adanya
prolaps vitreous.2 Prevalensi kasus afakia kongenital tidak tercatat, namun angka kejadian
sangat jarang. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh European Journal of Human Genetics
tahun 2018, tercatat sembilan garis keturunan keluarga dengan kasus afakia kongenital. Dari
sembilan keluarga tersebut, delapan diantaranya terdapat pernikahan dengan hubungan darah,
dan tujuh diantaranya terjadi di Pakistan. Dua kasus lainnya ada di Perancis dan Meksiko.
Sehingga menujukan kemungkinan peningkatan prevalensi kejadian afakia kongenital pada ras
Pakistan.12

V. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling nampak pada afakia adalah penglihatan buram akibat hipermetropia
berat yang didapatkan. Hipermetropia pada afakia biasa tinggi dan mencapai + 10.0 – 12.0
Dioptri.1 Pasien dapat mengeluhkan pengelihatan merah dan biru atau eritropsia dan sianopsia.
Afakia menyebabkan ketidakmampuan untuk memfokuskan sinar cahaya sehingga masuknya
sinar ultraviolet dan infrared maka terlihat sinar merah dan biru. Dapat juga ditemukan
iridodenesis yang adalah gerakan bergetar pada iris akibat ketidakstabilan iris dikarenakan
hilangnya sanggahan dari lensa dan kehilangan fungsi akomodasi lensa sehingga gambar retina
terlihat 25% lebih besar. Lensa memiliki bentuk yang bikonveks, sehingga keadaan afakia

6
menyebabkan adanya efek prisma lensa tebal sehingga benda yang dilihat terlihat seperti
melengkung.4

Gambar 2.2. Ilustrasi titik fokus pada mata afakia (kiri) dibandingkan titik fokus pada mata yang telah dikoreksi
dengan lensa konveks (kanan)

Pada pemeriksaan mata, dapat ditemukan visus 1/60 atau lebih rendah. Dapat
ditemukan juga skar pada limbus pada afakia akibat pembedahan, bilik mata anterior sangat
dalam akibat hilangnya sanggahan lensa pada iris, hilangnya gambar Purkinje-Sanson ke-3 dan
ke-4 serta pupil yang berwarna hitam pekat.1 Pada pemeriksaan funduskopi, dapat ditemukan
diskus optikus yang mengecil.4 Pada afakia kongenital dapat ditemukan kelainan okular
sekunder yang adalah aplasia atau displasia dari segmen anterior okuli, mikroftalmia atau
intraokular disgenesis seperti displasia retina, aniridia atau sklerokornea.7

VI. Diagnosis
Pada pasien afakia akibat dislokasi lensa, trauma ekstruksi lensa, paska pembedahan
atau absorpsi lensa dapat ditemukan perubahan mata dari eumetropia menjadi hipermetropia
tinggi.
Temuan optik pada afakia antara lain adalah:13
 Penurunan total power pada mata menjadi +44 Dioptri
 Titik fokus anterior menjadi 23.2 mm didepan kornea
 Titik fokus posterior 31 mm dibelakang kornea.
 Bila panjang bola mata diukur, maka akan ditemukan ukuran bola mata anteroposterior
menjadi 24 mm.
 Titik nodul pertama dan kedua terletak berdekatan dan 7.75 mm dibelakang permukaan
kornea.
 Kehilangan akomodasi akibat tidak ada lensa

7
Gambar 2.3. Optik pada mata normal dibandingkan dengan pada mata afakia.

Sedangkan, magnifikasi pada afakia adalah 23.22 mm dibandingkan pada mata normal
yang adalah 17.05 mm. Hal tersebut disebabkan oleh titik fokus anterior yang lebih jauh dari
permukaan anterior kornea dibandingkan pada mata normal.14

Gambar 2.4. Magnifikasi pada afakia.

8
Gambar 2.5. Bayi 3 bulan dengan afakia bilateral

Gambar 2.6. Pupil hitam pekat pada afakia

VII. Tatalaksana
Tatalaksana afakia dapat dengan pengunaan kacamata, pengunaan lensa kontak atau
pemasangan intraocular lens (IOL). Kacamata dapat diresepkan pada pasien afakia dengan
pengunaan kacamata lensa konveks sferis dengan ukuran sekitar + 10 D dan lensa konveks
silindris +1 hingga + 2 D dengan kurva 180º. Pada afakia akibat operasi, maka kacamata dapat
digunakan 6 minggu paska operasi atau saat skar pulih. Keuntungan pengunaan kacamata
adalah harga yang terjangkau, gampang diakses pasien dan gampang digunakan pada pasien
lanjut usia. Namun kekurangannya antara lain adalah pembesaran gambar retina hingga 25%.
Dapat terjadi penyimpangan pengelihatan warna, keterbatasan lapang pandang perifer,
gangguan koordinasi dan orientasi, adanya efek “jack-in-the-box” akibat refleksi internal total
cahaya, serta adanya efek “pin cushion” akibat aberasi sferis dimana adanya refraksi lebih

9
besar pada bagian perfier dibandingkan bagian sentral sehingga cahaya sinar tidak dapat
difokuskan.1 Namun, pengunaan kacamata pada afakia hanya bisa diberikan pada afakia
bilateral. Bila kacamata diberikan pada afakia unilateral makan akan menimbulknan
aniseikonia yaitu adanya bayangan pada kedua mata akibat perbedaan kekuatan optik pada
kedua mata.3

Gambar 2.7. Gambaran aberasi sferis sehingga terjadi efek “pin cushion” pada pengelihatan

Pilihan tatalaksana lain pada afakia adalah pengunaan lensa kontak, dimana
keunggulannya adalah magnifikasi gambaran retina yang minimal sehingga dapat digunakan
pada afakia unilateral. Namun, kekurangannya adalah dapat menimbulkan edema pada epitel
kornea akibat hipoksia yang dapat berkelanjutan menjadi erosi atau ulkus kornea, dapat terjadi
vaskularisasi kornea akibat iritasi berulang. Dapat terjadi konjungtivitis papiler akibat
pertumbuhan patogen bila kebersihan lensa kontak tidak dijaga dengan baik. Pasien juga dapat
mengeluhkan adanya sensasi benda asing akibat pemasangan lensa kontak. Harga lensa kontak
yang juga cukup mahal serta kecenderungan lensa kontak hilang atau sobek dapat menjadi
beban tambahan bagi pasien. Koreksi kekuatan lensa kontak juga harus sering diperiksa untuk
memastikan koreksi optimal, terutama pada pengunaan lensa kontak pada anak akibat
perubahan globe dan status refraksi.1
Dapat dilakukan implantasi intraocular lens atau IOL sehingga terjadi kondisi
pseudofakia. Pemasangan IOL merukapan metode pilihan utama koreksi refraksi pada afakia
dan biasa dilakukan bersamaan dengan operasi katarak. Terdapat beberapa macam jenis IOL;
polymethyl methacrylate atau PMMA yang terbuat oleh bahan kaku atau hydroxyethyl
methacrylate atau HEMA yang terbuat oleh silikon atau plastik hidrogen sehingga lentur dan
dapat dilipat dan lebih sering digunakan. IOL berbentuk bikonveks atau planakonveks dan
berukuran 4-6 mm. Pemasangan IOL dilakukan melalui insisi kecil para kornea dan dimasukan
dalam kantong kapsul utuh setelah pembedahan ekstrakapsular. Ukuran kekuatan lensa
dilakukan sebelum pembedahan dan mengunakan keratometri, panjang aksial melalui
ultrasonografi dan estimasi kedalaman bilik anterior serta perhitungan menggunakan rumus

10
Sanders-Retzlaff-Kraff.6 Keuntungan pemasangan IOL selain minim magnifikasi gambaran
retina adalah visus perifer normal, pemulihan visus binokuler cepat dan mendukung secara
kosmetik.
Subluksasi lensa dapat dilakukan phakoemulsifikasi untuk memperbaiki kondisi.6

VIII. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul antara lain adalah distrofi kornea akibat kerusakan
endotel, dislokasi IOL ke vitreous atau bilik anterior, glaukoma akibat blok pupil sehingga
terjadi peningkatan tekanan intra okuler paska operasi, atau iridosiklitis paska operasi.1 Dapat
terjadi komplikasi lain seperti edema kornea, glaukoma sekunder atau cystoid macular edema
(CME).
Pada afakia akibat dislokasi lensa akibat truma, dapat terjadi uveitis atau glaukoma
terutama bila dislokasi lensa total. Bila timbul uveitis atau glaukoma yang tidak terkontrol,
maka ekstraksi lensa harus dilakukan dengan teknik pars plana lensektomi atau
phakofragmentasi tergantung densitas katarak.
Pada afakia akibat ektopia lentis, komplikasi yang paling sering terjadi adalah katarak.
Luksasio lensa ke daerah bilik mata anterior dapat menyebabkan glaukoma sudut tertutup
sedangkan jika menutupi pupil menimbulkan blok pupil.15

IX. Prognosis
Pasien afakia dan pseudofakia memiliki risiko lebih besar terjadinya ablasi retina, yaitu
sebanyak 1-3% dibandingkan pasien fakia. Sehingga sebaiknya pasien diedukasi terlebih
dahulu tentang risiko kejadian tersebut, namun tatalaksana profilaksis belum dapat
dipastikan.16 Bila tidak terjadi komplikasi maka prognosis pada afakia baik.3
Jika dislokasi lensa parsial dan lensa yang tersisa jernih, maka prognosis visus baik.

11
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Jogi R. Basic ophthalmology. New Delhi, India: Jaypee Brothers Medical Publishers;
2009.
2. Lundström M, Brege KG, Florén I, Lundh B, Stenevi U, Thorburn W. Postoperative
aphakia in modern cataract surgery: part 2: detailed analysis of the cause of aphakia
and the visual outcome.J Cataract Refract Surg. 2004 Oct;30(10):2111-5.
3. A.K. khurana. Opthalmology. New Delhi: New Age International. 2003.
4. Mukherjee. Clinical Examination In Ophthalmology. India : Elsevier India. 2006.
5. Ilyas Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
6. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Widya Medika: Jakarta. 2000.
7. Inserm. Orphanet: Congenital primary aphakia [Internet]. Congenital primary aphakia.
Orphanet.
8. Eifrig CW. Ectopia Lentis [Internet]. Background, Pathophysiology, Epidemiology.
MedScape; 2018.
9. Congenital Aphakia [Internet]. American Academy of Ophthalmology. American
Academy of Ophthalmology.
10. Sumana D, Himadri D. Subluxation of lens in Marfan’s syndrome. Indian Pediatrics.
2009 May;(46).
11. Manschot WA. Primary Congenital Aphakia. Archives of Ophthalmology. 1963
May;63:571-7.
12. Disease #02923: Congenital Apkahia [Internet]. 2019. The Human Variome Project.
Leiden Open Variation Database.
13. Neil J. Friedman, M.D., Peter K. Kaiser, M.D. Essentials of Ophthalmology. Elsevier
Inc. 2007.
14. Agarwal S, Agarwal S, Apple DJ. Textbook of Ophthalmology. Jaypee Brothers
Medical Publisher. 2002
15. Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, editors. Buku Ajar Oftalmologi. 1st
ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017.
16. Aphakia and Pseudophakia [Internet]. American Academy of Ophthalmology.
American Academy of Ophthalmology.

12
17. Tromans C, Wilson H. Contact lens practice. 3rd ed. ScienceDirect. Edinburgh:
Elsevier; 2018.
18. Bangalore Nethalaya Super Speciality Eye Hospital. Aphakia: Causes, symptoms, and
treatment [Internet]. Medikoe. 2018.

13

Anda mungkin juga menyukai