Anda di halaman 1dari 47

Case Report Session

Ruptur Pembuluh Darah, Varises Tungkai, dan Tumor Saraf

Disusun oleh:
Reyhan Mahazra Alwa 1710070100124

Pembimbing :
dr. Khomeini, Sp.B

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


SMF ILMU BEDAH RSI SITI RAHMAH
PADANG
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang.................................................................................. 1
1.2 Batasan masalah............................................................................... 1
1.3 Tujuan penulisan.............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1Ruptur Pembuluh Darah .................................................................... 2
2.1.1 Defenisi ....................................................................................... 2
2.1.2 Klarisikasi.................................................................................. 2
2.1.3 Diagnosis ................................................................................... 4
2.1.4 Penanganan Aneurisma.............................................................. 5
2.1.5 Pencegahan Aneurisma............................................................... 5
2.2 Varises Vena Tungkai Bawah .......................................................... 5
2.2.1 Definisi........................................................................................ 5
2.2.2 Epidemiologi ............................................................................... 6
2.2.3 Anatomi dan Fisiologi Vena Tungkai Bawah ............................ 6
2.2.4 Etiologi ....................................................................................... 8
2.2.5 Patofisiologi ................................................................................ 10
2.2.6 Klarifikasi dan Gambaran Klinis ................................................ 11
2..2.7 Gambaran Histopatologis .......................................................... 14
2.2.8 Diagnosis .................................................................................... 14
2.2.9 Penatalaksanaan .......................................................................... 18
2.3 Tumor saraf....................................................................................... 24
2.3.1 Anatomi ..................................................................................... 25
2.3.2 defenisi ........................................................................................ 28
2.3.3 Klasifikasi ................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit diartikan sebagai kondisi medis yang berkaitan dengan
tanda klinis dan gejala tertentu. Dalam berbagai macam kasus yang terjadi
istilah-istilah seperti sakit, gangguan, penyakit, kelainan dan morbiditas
dipergunakan secara bergantian dan ada kondisi tertentu yang mana
penggunaan istilah tertentu menjadi lebih sesuai.
Penyakit yang sering di derita oleh manusia diantaranya adalah
sebagai berikut, seperti penyakit yang berkaitan dengan Ruptur Pembuluh
Darah, Varises, , Tumor saraf dan lain sebagainya.

1.2 Batasan Masalah


Case Report Session ini membahas teori tentang Ruptur Pembuluh Darah,
Varises, dan Tumor Saraf berupa definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi,
patogenesis, diagnosis, dan tatalaksana.

1.3 Tujuan penulisan


Tujuan penulisan case report session ini adalah untuk mengetahui
karakteristik pada penderita Ruptur Pembuluh Darah, Varises, dan Tumor
Saraf. Pengamatan terhadap penyakit ini dirasa penting dilakukan karena
dengan mengetahui gejala dapat memprediksi pilihan perawatan, tindakan
dan terapi yang sesuai. Bagi penderita juga bermanfaat untuk menjaga
kesehatan dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ruptur Pembuluh Darah


2.1.1 Anatomi pembuluh darah
Sistem peredaran darah dibagi menjadi sistem cardiovaskular,
yang terdiri dari jantung, pembuluh darah, darah, dan sistem limfatik.
Pembuluh darah membentuk jaringan pipa yang memungkinkan darah
mengalir dari jantung ke seluruh sel-sel hidup tubuh dan kemudian kembali
ke jantung. Arteri membawa darah dari jantung, sementara vena darah
kembali ke jantung. Arteri dan vena yang terus-menerus dengan satu sama
lain melalui pembuluh darah yang lebih kecil. Arteri cabang ekstensif untuk
membentuk jaringan progresif pembuluh kecil yang disebut dengan arteriol.
Sebaliknya, Vena yang berukuran kecil disebut venula.

Divisi utama dari aliran darah adalah sirkulasi paru dan sirkulasi sistemik.
Sirkulasi paru termasuk pembuluh darah yang mengangkut darah ke paru-paru
untuk pertukaran gas dan kemudian kembali ke jantung. Ini terdiri dari ventrikel
kanan yang memompa darah, trunkus pulmonalis dengan valva pulmonalis, arteri
pulmonalis yang mengangkut darah terdeoksigenasi ke paru-paru, kapiler paru
dalam setiap paru-paru, vena pulmonalis yang transportasi oksigen darah kembali
ke jantung, dan atrium kiri yang menerima darah dari vena pulmonalis. Sirkulasi

2
sistemik melibatkan semua bagian dari tubuh yang bukan merupakan bagian dari
sirkulasi paru-paru. Itu termasuk atrium kanan, ventrikel kiri, aorta dengan valva
aorta, semua cabang aorta, semua kapiler selain yang di paru-paru yang terlibat
dengan pertukaran gas. Atrium kanan menerima semua vena yang kembalinya
darah oksigen dari pembuluh darah sistemik.

2.1.2 Defenisi
Ruptur Pembuluh Darah merupakan suatu kondisi di mana terdapat
tonjolan yang abnormal dari dinding pembuluh darah. Aneurisma dapat pecah
atau ruptur, yang menyebabkan perdarahan internal dan dapat berujung pada
terjadinya kematian. Kondisi ini sering kali tidak menimbulkan tanda dan
gejala. Jadi, seseorang yang mengalami aneurisma bisa saja tidak mengetahui
kondisinya walaupun ukurannya besar.

Aneurisma dapat terjadi pada beberapa bagian tubuh, seperti:

3
 Aorta, yakni salah satu pembuluh darah utama yang mengantarkan aliran
darah dari jantung ke organ vital (aneurisma aorta)
 Bagian dari aorta yang melewati abdomen (aneurisma aorta abdominalis)
 Bagian dari aorta yang melewati dada (aneurisma aorta torakalis)
 Pembuluh darah yang mengantarkan aliran darah ke otak (aneurisma
serebral)
 Pembuluh darah pada bagian tubuh lainnya, seperti tungkai, selangkangan,
atau leher (aneurisma perifer)

2.1.3 Klarifikasi
Beberapa aneurisma kecil memiliki risiko rendah untuk terjadi ruptur.
Dokter bisa menilai ukuran, lokasi, dan tampilan dari aneurisma, disertai
dengan riwayat kesehatan penderita dan keluarga, untuk menentukan risiko
terjadinya ruptur. Kemudian, dokter dapat menentukan penanganan yang
paling tepat untuk aneurisma yang dialami.

Gambar 1 Penyebab Aneurisma

Walaupun penyebab pasti dari aneurisma masih belum jelas,


terdapat beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya
kondisi ini. Sebagai contoh, kerusakan jaringan arteri juga dapat berperan.
Arteri dapat mengalami sumbatan, misalnya akibat deposit lemak
yang berlebih. Deposit lemak tersebut dapat menyebabkan jantung
memompa secara berlebih untuk mengalirkan darah melewati penumpukan

4
lemak tersebut. Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya kerusakan
pada arteri akibat peningkatan tekanan.
Aterosklerosis , atau penumpukan plak pada arteri, juga dapat
menyebabkan terjadinya aneurisma. Penumpukan plak tersebut dapat
menyebabkan kerusakan arteri karena mengganggu aliran darah.
Tekanan darah tinggi pun dapat berkaitan dengan terjadinya
aneurisma. Tekanan darah merupakan pengukuran tekanan pada dinding
pembuluh darah arteri saat darah mengalir melalui pembuluh darah
tersebut. Bila tekanan meningkat di atas batas normal, hal ini dapat
menyebabkan pembesaran atau kelemahan pada pembuluh darah.
Peningkatan tekanan darah di atas batas normal yang signifikan
dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan pada jantung, pembuluh
darah, dan sirkulasi darah.
Gejala Aneurisma
Tanda dan gejala pada aneurisma bergantung dari tipe dan
lokasinya. Penting untuk mengetahui bahwa aneurisma yang terjadi pada
tubuh atau otak umumnya tidak menunjukkan tanda atau gejala hingga
terjadi ruptur.
Aneurisma yang terjadi di dekat permukaan tubuh dapat
menunjukkan tanda berupa pembengkakan dan nyeri. Selain itu, juga
dapat tampak massa yang besar.
Tanda dan gejala dari ruptur aneurisma dapat mencakup:
 Perdarahan
 Peningkatan denyut jantung
 Nyeri
 Rasa pusing atau lemah
Tipe aneurisma yang terjadi pada seorang individu bergantung dari
faktor risiko tertentu. Pria memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk
mengalami aneurisma dibandingkan wanita. Orang yang berusia di atas 60
tahun juga memiliki risiko yang lebih tinggi.
Faktor risiko lainnya mencakup:
 Diet yang tinggi lemak dan kolesterol

5
 Riwayat penyakit jantung pada anggota keluarga, termasuk serangan
jantung
 Memiliki kebiasaan merokok
 Obesitas
 Kehamilan, yang dapat meningkatkan risiko terjadinya aneurisma pada
limpa

2.1.4 Diagnosis
Diagnosis dari aneurisma dapat ditentukan dari wawancara medis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang tertentu. Alat diagnostik yang
digunakan untuk pemeriksaan penunjang bergantung dari lokasi terjadinya
aneurisma.
Pemeriksaan computerized tomography (CT) dan ultrasonografi (USG)
merupakan pemeriksaan yang umum digunakan untuk mendiagnosis atau
mengidentifikasi kelainan pada pembuluh darah. Pemeriksaan ini dapat
membantu visualisasi kondisi dari pembuluh darah, serta adanya sumbatan,
penonjolan, dan titik lemah pada pembuluh darah di dalam tubuh.

2.1.5 Penanganan Aneurisma


Penanganan dari aneurisma umumnya bergantung dari lokasi dan tipe
aneurisma yang terjadi. Sebagai contoh, titik lemah pada pembuluh darah di
dada dan abdomen dapat membutuhkan prosedur pembedahan yang disebut
endovascular stent graft.
Prosedur tersebut melibatkan koreksi dari pembuluh darah yang rusak.
Penanganan lain yang juga dapat disarankan oleh dokter mencakup
pengobatan untuk menangani tekanan darah dan kadar kolesterol yang tinggi.

2.1.6 Pencegahan Aneurisma


Mengonsumsi diet yang sehat dan mencakup buah-buahan, gandum,
dan sayur-sayuran dapat membantu mencegah terjadinya aneurisma. Daging
dan ayam yang rendah kolesterol dan lemak jenuh juga merupakan pilihan

6
asupan protein yang baik. Selain itu, produk susu yang rendah lemak juga
dapat membantu pencegahan tersebut.
Aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin, terutama aktivitas aerobik,
dapat menunjang sirkulasi darah yang baik serta aliran darah yang lancar
melalui jantung dan pembuluh darah. Menghindari merokok juga menurunkan
risiko terjadinya aneurisma.

2.2 Varises Vena Tungkai Bawah


2.2.1 Definisi
Varises (vena varikosa) adalah pelebaran dari vena superfisial yang
menonjol dan berliku-liku pada ekstremitas bawah, sering pada distribusi
anatomis dari vena safena magna dan parva.meskipun demikian, hanya
beberapa orang saja yang berobat. Penyakit ini menimbulkan rasa sakit
yang bermacam-macam dan tidak semua perawatan dapat diterapkan pada
varises. Rata-rata pasien bermasalah dengan kecantikan (kosmetik)
mereka, sementara yang lainnya bermasalah dengan gejala-gejala seperti,
kaki yang sakit, pruritus, dan eksema.

2.2.2 Epidemiologi
Varises vena tungkai lebih sering terjadi pada wanita daripada pria,
hal ini sering dikaitkan dengan kehamilan danfaktor hormonal. Prevalensi
varises vena tungkai di Inggris pada usia 18 – 64 tahun adalah 40% pada
pria dan 32% pada wanita. Prevalensi di Amerika Serikat adalah 15%
(berkisar dari 7 % menjadi 40 % ) pada pria dan 27,7% ( 25 % sampai 32
%) pada wanita. 10,11 Data menunjukkan bahwa jenis kelamin
perempuan, peningkatan usia, serta aktivitas merupakan faktor risiko
untuk varises, tidak ada bukti kuat bahwa sejarah keluarga atau pekerjaan
adalah faktor. Obesitas tidak muncul untuk membawa risiko kelebihan.10-
12 Data prevalensi akurat memungkinkan penyediaan sumber daya yang
tepat atau setidaknya membantu debat rasional jika permintaan lebih besar
dari sumber daya yang tersedia. Di Indonesia sendiri belum ada angka
yang pasti mengenai insiden terjadinya varies vena tungkai.

7
2.2.3 Anatomi dan Fisiologi Vena Tungkai Bawah
Sistem vena pada tungkai terdiri dari komponen vena superfisialis,
vena profunda, vv komunikans (perforantes).Sistem superfisialis sendiri
terdiri dari vena safena magna dan vena safena parva.Keduanya memiliki
arti klinis yang sangat penting karena memiliki predisposisiterjadinya
varises yang membutuhkan pembedahan. Vena safena magna merupakan
vena terpanjang di tubuh, mulai dari kaki sampai ke fossa ovalis dan
mengalirkan darah dari bagian medial kaki serta kulit sisi medial
tungkai.Vena ini merupakan vena yang paling sering menderita varises
vena tungkai.Vena safena magna keluar dari ujung medial jaringan vena
dorsalis pedis. Vena ini berjalan di sebelah anterior maleolus medialis,
sepanjang aspek anteromedial betis (bersama dengan nervus safenus),
pindah ke posterior selebar tangan di belakang patela pada lutut dan
kemudian berjalan ke depan dan menaiki bagian anteromedial paha.
Pembuluh ini menembus fasia kribriformis dan mengalir ke v.femoralis
pada hiatus safenus.Bagian terminal v.safena magna biasanya mendapat
percabangan superfisialis dari genitalia eksterna dan dinding bawah
abdomen.Dalam pembedahan, hal ini bisa membantu membedakan
v.safena dari femoralis karena satu-satunya vena yang mengalir ke
v.femoralis adalah v.safena. Cabang-cabang femoralis anteromedial dan
posterolateral(lateral aksesorius), dari aspek medial dan lateral paha,
kadang-kadang juga mengalir ke v.safena magna di bawah hiatus safenus.
Vena safena magna berhubungan dengan sistem vena profunda di
beberapa tempat melalui vena perforantes (penghubung). Vena perforantes
(penghubung) adalah vena yang menghubungkan vena superfisial ke vena
profunda, yaitu dengan cara langsung menembus fasia (direct
communicating vein). Vena ini mempunyai katup yang mengarahkan
aliran darah dari vena superfisial ke vena profunda. Bila katup ini tidak
berfungsi (mengalami kegagalan) maka aliran darah akan terbalik
sehingga tekanan vena superfisial makin tinggi dan varises dengan mudah
akan terbentuk. Hubungan ini biasanya terjadi di atas dan di bawah

8
maleolus medialis, di area gaiter, di regio pertengahan betis, di bawah
lutut, dan satu hubungan panjang pada paha bawah.Katup-katup pada
perforator mengarah ke dalam sehingga darah mengalir dari sistem
superfisialis ke sistem profunda dari mana kemudian darah dipompa
keatas dibantu oleh kontraksi otot betis. Akibatnya sistem profunda
memiliki tekanan yang lebih tinggi daripada superfisialis, sehingga bila
katup perforator mengalami kerusakan, tekanan yang meningkat
diteruskan ke siste superfisialis sehingga terjadi varises pada sistem ini.
Vena safena parva terletak di antara tendo Achilles dan maleolus
lateralis.Vena safena parva keluar dari ujung lateral jaringan v.dorsalis
pedis. Vena ini melewati bagian belakang maleolus lateralis dan di atas
bagian belakang betis kemudian menembus fasia profunda pada berbagai
posisi untuk mengalir ke v.poplitea.
Vena-vena profunda pada betis adalah v.komitans dari arteri
tibialis anterior dan arteri tibialis posterior yang melanjutkan sebagai vena
poplitea dan vena femoralis. Vena profunda ini membentuk jaringan luas
dalam kompartemen posterior betis pleksus soleal dimana darah dibantu
mengalir ke atas melawan gaya gravitasi oleh otot saat olahraga.

Gambar 2. Anatomi Susunan Vena Tungkai Bawah

9
Gambar. 3 Diagram Skematis Pompa Otot Betis

2.2.4 Etiologi
Berbagai faktor intrinsik berupa kondisi patologis dan ekstrinsik
yaitu faktor lingkungan bergabung menciptakan spektrum yang luas dari
penyakit vena.Penyebab terbanyak dari varises vena adalah oleh karena
peningkatan tekanan vena superfisialis, namun pada beberapa penderita
pembentukan varises vena ini sudah terjadi saat lahir dimana sudah terjadi
kelenahan pada dinding pembuluh darah vena walaupun tidak adanya
peningkatan tekanan vena. Pada pasien ini juga didapatkan distensi
abnormal vena di lengan dan tangan.
Herediter merupakan faktor penting yang mendasari terjadinya
kegagalan katup primer, namun faktor genetik spesifik yang bertanggung
jawab terhadap terjadi varises masih belum diketahui. Pada penderita yang
memiliki riwayat refluks pada safenofemoral junction (tempat dimana v.
Safena Magna bergabung dengan v. femoralis kommunis) akan memiliki
risiko dua kali lipat. Pada penderita kembar monozigot, sekitar 75 % kasus
terjadi pada pasangan kembarnya.angka prevalensi varises vena pada
wanita sebesar 43 % sedangakan pada laki-laki sebesar 19 %.
Keadaan tertentu seperti berdiri terlalu lama akan memicu
terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik dalam vena hal ini akan
menyebakan distensi vena kronis dan inkopetensi katup vena sekunder
dalam sistem vena superfisialis. Jika katup penghubung vena dalam
dengan vena superfisialis di bagian proksimal menjadi inkopeten, maka
akan terjadi perpindahan tekanan tinggi dalam vena dalam ke sistem vena

10
superfisialis dan kondisi ini secara progresif menjadi irreversibel dalam
waktu singkat.
Setiap orang khususnya wanita rentan menderita varises vena
tungkai, hal ini dikarenakan pada wanita secara periodik terjadi distensi
dinding dan katup vena akibat pengaruh peningkatan hormon
progrestron.Kehamilan meningkatkan kerentangan menderita varises
karena pengaruh faktor hormonal dalam sirkulasi yang dihubungkan
dengan kehamilan. Hormon ini akan meningkatkan kemampuan distensi
dinding vena dan melunakkan daun katup vena. Pada saat bersaan, vena
harus mengakomodasikan peningkatan volume darah sirkulasi.Pada akhir
kehamilan terjadi penekanan vena cava inferior akibat dari uterus yang
membesar. Penekanan pada v. cava inferior selanjutnya akan
menyebabkan hipertensi vena dan distensi vena tungkai sekunder
berdasarkan mekanisme tersebut varises vena pada kehamilan mungkin
akan menghilang setelah proses kelahiran. Pengobatan pada varises yang
sudah ada sebelum kehamilan akan menekan pembentukan varises pada
vena yang lain selama kehamilan.
Umur merupakan faktor risiko independen dari varises. Umur tua
terjadi atropi pada lamina elastis dari pembuluh darah vena dan terjadi
degenerasi lapisan otot polos meninggalkan kelemahan pada vena
sehingga meningkatkan kerentanan mengalami dilatasi.
Varises vena juga dapat terjadi apabila penekanan akibat adanya
obstruksi. Obstruksi akan menciptakan jalur baypass yang penting dalam
aliran darah vena ke sirkulasi sentral, maka dalam keadaan vena yang
mengalami varises tidak dianjurkan untuk di ablasi.

2.2.5 Patofisiologi
Pada keadaan normal katup vena bekerja satu arah dalam
mengalirkan darah vena naik keatas dan masuk kedalam.Pertama darah
dikumpulkan dalam kapiler vena superfisialis kemudian dialirkan ke
pembuluh vena yang lebih besar, akhirnya melewati katup vena ke vena
profunda yang kemudian ke sirkulasi sentral menuju jantung dan

11
paru.Vena superfisial terletak suprafasial, sedangkan vena vena profunda
terletak di dalam fasia dan otot. Vena perforata mengijinkan adanya aliran
darah dari vena superfisial ke vena profunda.1,1
Di dalam kompartemen otot, vena profunda akan mengalirkan
darah naik keatas melawan gravitasi dibantu oleh adanya kontraksi otot
yang menghasikan suatu mekanisme pompa otot. Pompa ini akan
meningkatkan tekanan dalam vena profunda sekitar 5 atm. Tekanan
sebesar 5 atm tidak akan menimbulkan distensi pada vena profunda dan
selain itu karena vena profunda terletak di dalam fasia yang mencegah
distensi berlebihan. Tekanan dalam vena superfisial normalnya sangat
rendah, apabila mendapat paparan tekanan tinggi yang berlebihan akan
menyebabkan distensi dan perubahan bentuk menjadi berkelok-kelok.
Peningkatan tekanan di dalam lumen paling sering disebabkan oleh
terjadinya insufisiensi vena dengan adanya refluks yang melewati katup
vena yang inkompeten baik terjadi pada vena profunda maupun pada vena
superficial.Peningkatan tekanan vena yang bersifat kronis juga dapat
disebabkan oleh adanya obstruksi aliran darah vena.Penyebab obstruksi ini
dapat oleh karena thrombosis intravaskular atau akibat adanya penekanan
dari luar pembuluh darah. Pada pasien dengan varises oleh karena
obstruksi tidak boleh dilakukan ablasi pada varisesnya karena segera
menghilang setelah penyebab obstruksi dihilangkan.
Kegagalan katup pada vena superfisal paling umum disebabkan
oleh karena peningkatan tekanan di dalam pembuluh darah oleh adanya
insufisiensi vena. Penyebab lain yang mungkin dapat memicu kegagalan
katup vena yaitu adanya trauma langsung pada vena adanya kelainan katup
karena thrombosis. Bila vena superficial ini terpapar dengan adanya
tekanan tinggi dalam pembuluh darah , pembuluh vena ini akan
mengalami dilatasi yang kemudian terus membesar sampai katup vena satu
sama lain tidak dapat saling betemu.
Kegagalan pada satu katup vena akan memicu terjadinya kegagalan
pada katup-katup lainnya. Peningkatan tekanan yang berlebihan di dalam
sistem vena superfisial akan menyebabkan terjadinya dilatasi vena yang

12
bersifat lokal. Setelah beberapa katup vena mengalami kegagalan, fungsi
vena untuk mengalirkan darah ke atas dan ke vena profunda akan
mengalami gangguan. Tanpa adanya katup-katup fungsional, aliran darah
vena akan mengalir karena adanya gradien tekanan dan gravitasi.
Varises vena pada kehamilan paling sering disebabkan oleh karena
adanya perubahan hormonal yang menyebabkan dinding pembuluh darah
dan katupnya menjadi lebih lunak dan lentur, namun bila terbentuk varises
selama kehamilan hal ini memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk
menyingkir adanya kemungkinan disebabkan oleh keadaan Deep Vein
Thrombosis (DVT) akut.

2.2.6 Klasifikasi dan Gambaran Klinis


Varises tungkai terdiri dari varises primer dan varises sekunder.
Varises primer terjadi jika katup system vena superfisial (v.saphena magna,
v.saphena parva dan vv.perforantes) gagal menutup sebagaimana mestinya,
sehingga akan terjadi refluks kearah bawah dan terjadi dilatasi vena yang
kronis, sedangkan v.profunda masih normal. Varises sekunder terjadi akibat
sistem v.profunda mengalami thrombosis / tromboflebitis, sumbatan vena
profunda karena tumor/ trauma atau adanya fistula arterovenosa, yang semula
keadaan katupnya normal selanjutnya terjadi kompensasi pelebaran pada vena
superfisial.
Secara klinis varises tungkai dikelompokkan berdasarkan jenisnya,
yaitu:
a. Varises trunkal
Merupakan varises v.saphena magna dan v.saphena parva, diameter lebih
dari 8 mm, warna biru - biru kehijauan.
b. Varises retikuler
Varises yang mengenai cabang v.saphena magna atau v.saphena parva
yang umumnya kecil dan berkelok-kelok, diameter 2 - 8 mm. warna biru -
biru kehijauan.
c. Varises kapiler

13
Merupakan vena subkutis yang tampak sebagai kelompok serabut halus
dari pembuluh darah, diameter 0,1 – 1 mm, warna merah, atau sianotik
(jarang).
Menurut klasifikasi Clinical, Etiological, Anatomic, Pathophysiologic
(CEAP) varises vena tungkai dibagi berdasarkan berat ringan manifestasi
klinisnya, yaitu :
1. Derajat 0 : Tidak terlihat atau teraba tanda gangguan vena
2. Derajat 1 : Telangiektasis, Vena retrikule
3. Derajat 2 : Varises Vena
4. Derajat 3 : Edem tanpa perubahan kulit
5. Derajat 4 : Perubahan kulit akibat gangguan vena (pigmentasi, dermatitis
statis, lipodermatoskelrosis)
6. Derajat 5 : Perubahan kulit seperti di atas dengan ulkus yang sudah
sembuh
7. Derajat 6 : Perubahan kulit seperti diatas dengan ulkus aktif

Gambar 4. Klasifikasi CEAP derajat 1, vena retikular

14
Gambar 5. Klasifikasi CEAP derajat 1, telangiektasis

Gambar 6. Klasifikasi CEAP derajat 1, varises vena


Berdasarkan dengan berat ringannya, varises vena tungkai dibagi atas
empat stadium, yaitu :
1) Stadium I
Keluhan samar (tidak khas) rasa berat, mudah lelah pada tungkai setelah
berdiri atau duduk lama. Gambaran pelebaran vena berwarna kebiruan tak
jelas
2) Stadium II
Mulai tampak pelebaran vena, palpebel, dan menonjol
3) Stadium III
Varises tampak jelas, memanjang, berkelok-kelok pada paha atau tungkai
bawah. Dapat disertai telangiektasis/spider vein

15
4) Stadium IV
Terjadi kelainan kulit dan atau ulkus karena sindrom insufisiensi vena
menahu

2.2.7 Gambaran Histopatologis


Hasil penelitian Abrar A Khan dkk menunjukkan bahwa terdapat
intimal hipertrofi hampir di seluruh bagian VVTB.Perubahan intimal ini
dapat berhubungan dengan meningkatnya deposisi kolagen dan plak bawah
lapisan endotel.Dilaporkan bahwa VVTB mengalami peningkatan dalam
jaringan ikat dan gangguan dari jaringan elastis sekitar bundel smooth muscle
cells.

2.2.8 Diagnosis
Dalam menghadapi penderita dengan varises tungkai, sebelum
melakukan pemeriksaan khusus, pemeriksaan klinis tetap merupakan dasar
penelitian medis, meskipun saat ini teknologi dalam menentukan diagnosis
kelainan-kelainan vena sudah berkembang pesat, Evaluasi penderita varises
tungkai dimulai dengan riwayat penyakitnya.

2.2.8.1 Anamnesis
Anamnesis yang terarah dan harus ditanyakan meliputi hal-hal
berikut ini :
1) Riwayat insufisiensi vena (kapan onset terlihatnya pembuluh darah
abnormal, onset dari gejala yang muncul, penyakit vena sebelumnya,
adanya riwayat menderita varises sebelumnya
2) Faktor predisposisi (keturunan, trauma pada tungkai, pekerjaan yang
membutuhkan posisis tubuh berdiri yang terlalu lama, supporter olah
raga)
3) Riwayat edema (onset, predisposisi, lokasi edema, intensitas, jenis
edema, perubahan setelah beristirahat pada malam hari)
4) Riwayat pengobatan penyakit vena sebelumnya (obat, injeksi,
pembedahan, kompresi)

16
5) Riwayat menderita tromboplebitis vena superficial atau vena profunda
6) Riwayat menderi penyakit vaskuler lainnya (penyakit arteri perifer,
penyakit arteri coronaria, lymphadema, lymphangitis)
7) Riwayat keluarga

2.2.8.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik sistem vena penuh dengan kesulitan karena
sebagian besar sistem vena profunda tidak dapat dilakukan pemeriksaan
langsung seperti inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi. Pada sebagian
besar area tubuh, pemeriksaan pada system vena superfisial harus
mencerminkan keadaan sistem vena profunda secara tidak langsung.
1) Inspeksi
Inspeksi tungkai dilakukan dari distal ke proksimal dari depan ke
belakang. Region perineum, pubis, dan dinding abdomen juga dilakukan
inspeksi.Pada inspeksi juga dapat dilihat adanya ulserasi, telangiektasi,
sianosis akral, eksema, brow spot, dermatitis, angiomata, varises vena
prominent, jaringan parut karena luka operasi, atau riwayat injeksi
sklerotan sebelumnya.Setiap lesi yang terlihat seharusnya dilakukan
pengukuran dan didokumentasikan berupa pencitraan.Vena normalnya
terlihat distensi hanya pada kaki dan pergelangan kaki.Pelebaran vena
superfisial yang terlihat pada region lainnya pada tungkai biasanya
merupakan suatu kelainan. Pada seseorang yang mempunyai kulit yang
tipis vena akan terlihat lebih jelas.
Stasis aliran darah vena yang bersifat kronis terutama jika
berlokasi pada sisi medial pergelangan kaki dan tungkai menunjukkan
gejala seperti perubahan struktur kulit.Ulkus dapat terjadi dan sulit untuk
sembuh, bila ulkus berlokasi pada sisi media tungkai maka hal ini
disebabkan oleh adanya insufusiensi vena. Insufisiensi arteri dan trauma
akan menunjukkan gejala berupa ulkus yang berloksi pada sisi
lateral.14,20,28
2) Palpasi

17
Palapsi merupakan bagian penting pada pemeriksaan vena.Seluruh
permukaan kulit dilakukan palpasi dengan jari tangan untuk mengetahui
adanya dilatasi vena walaupun tidak terlihat ke permukaan kulit.Palpasi
membantu untuk menemukan keadaan vena yang normal dan
abnormal.Setelah dilakukan perabaan pada kulit, dapat diidentifikasi
adanya kelainan vena superfisial.Penekanan yang lebih dalam dapat
dilakukan untuk mengetahui keadaan vena profunda
Palpasi diawali dari sisi permukaan anteromedial untuk menilai
keadaan VSM (vena saphena magna) kemudian dilanjutkan pada sisi
lateral diraba apakah ada varises dari vena nonsafena yang merupakan
cabang kolateral dari VSM, selanjutnya dilakukan palpasi pada
permukaan posterior untuk meinail keadaan VSP (vena saphena parva).
Selain pemeriksaan vena, dilakukan juga palpasi denyut arteri distal dan
proksimal untuk mengetahui adanya insufisiensi arteri dengan
menghitung indeks ankle-brachial.Nyeri pada saat palpasi kemungkinan
adanya suatu penebalan, pengerasan, thrombosis vena. Empat puluh
persen DVT (deep vein thrombosis) didapatkan pada palpasi vena
superfisialis yang mengalami thrombosis.
3) Perkusi
Perkusi dilakukan untuk mengetahui kedaan katup vena
superficial.Caranya dengan mengetok vena bagian distal dan dirasakan
adanya gelombang yang menjalar sepanjang vena di bagian proksimal.
Katup yang terbuka atau inkopeten pada pemeriksaan perkusi akan
dirasakan adanya gelombang tersebut.
4) Manuver Perthes
Manuver Perthes adalah sebuah teknik untuk membedakan antara
aliran darah retrograde dengan aliran darah antegrade. Aliran antergrade
dalam system vena yang mengalami varises menunjukkan suatu jalur
bypass karena adanya obstruksi vena profunda. Hal ini penting karena
apabila aliran darah pada vena profunda tidak lancar, aliran bypass ini
penting untuk menjaga volume aliran darah balik vena ke jantung sehingga
tidak memerlukan terapi pembedahan maupun skeroterapi.

18
Untuk melakukan manuver ini pertama dipasang sebuah Penrose
tourniquet atau diikat di bagian proksimal tungkai yang mengalami
varises.Pemasangan tourniquet ini bertujuan untuk menekan vena
superficial saja.Selanjutnya pasien disuruh untuk berjalan atau berdiri
sambil menggerakkan pergelangan kaki agar sistem pompa otot menjadi
aktif. Pada keadaan normal aktifitas pompa otot ini akan menyebabkan
darah dalam vena yang mengalami varises menjadi berkurang, namun
adanya obstruksi pada vena profunda akan mengakibatkan vena superficial
menjadi lebih lebar dan distesi.
Perthes positif apabila varises menjadi lebih lebar dan kemudian
pasien diposisikan dengan tungkai diangkat (test Linton) dengan
tourniquet terpasang. Obstruksi pada vena profunda ditemukan apabila
setelah tungkai diangkat, vena yang melebar tidak dapat kembali ke
ukuran semula.
5) Tes Trendelenburg
Tes Trendelenburg sering dapat membedakan antara pasien dengan
refluks vena superficial dengan pasien dengan inkopetensi katup vena
profunda. Tes ini dilakukan dengan cara mengangkat tungkai dimana
sebelumnya dilakukan pengikatan pada paha sampai vena yang mengalami
varises kolaps. Kemudian pasien disuruh untuk berdiri dengan ikatan tetap
tidak dilepaskan. Interpretasinya adalah apabila varises yang tadinya telah
kolaps tetap kolaps atau melebar secara perlahan-lahan berarti adanya
suatu inkopenten pada vena superfisal, namun apabila vena tersebut terisi
atau melebar dengan cepat adannya inkopensi pada katup vena yang lebih
tinggi atau adanya kelainan katup lainnya.
6) Auskultasi menggunakan Doppler
Pemeriksaan menggunakan Doppler digunakan untuk mengetahui
arah aliran darah vena yang mengalmi varises, baik itu aliran retrograde,
antegrade, atau aliran dari mana atau ke mana. Probe dari dopple ini
diletakkan pada vena kemudian dilakukan penekanan pada vena disisi
lainnya. Penekanan akan menyebabkan adanya aliran sesuai dengan arah
dari katup vena yang kemudian menyebabkan adanya perubahan suara

19
yang ditangkap oleh probe Doppler. Pelepasan dari penekanan vena tadi
akan menyebabkan aliran berlawanan arah akut. Normalnya bila katup
berfungsi normal tidak akan ada aliran berlawanan arah katup saat
penekanan dilepaskan, akhirnya tidak aka nada suara yang terdengar dari
Doppler.

2.2.9 Penatalaksanaan
2.1.9.1 Terapi Non Operatif
1. Kaus Kaki Kompresi (Stocking
Kaus kaki kompresi membantu memperbaiki gejala dan keadaan
hemodinamik pasien dengan varises vena dan mengilangkan edema.Kaus
kaki dengan tekanan 20-30 mmHg (grade II) memberikan hasil yang
maksimal.Pada penelitian didapatkan sekitar 37-47 % pasien yang
menggunakan kaus kaki ini selama 1 tahun setelah menderita DVT mencegah
terjadi ulkus pada kaki.Kekurangan menggunakan kaos kaki ini adalah dari
segi harga yang relatif mahal, kurangnya pendidikan pasien, dan kosmetik
yang kurang baik. Pada penelitian randomize controlled trial compression
menggunakan stoking (grade I dan II) dibandingkan dengan kontrol
penggunaan kaus kaki ini mengurangi terjadinya refluks VSM dan
mengurangi keluhan dan gejala varises pada wanita hamil namun tidak ada
perbedaan terhadapa pembentukan varises vena.

2. Skleroterapi
Skleroterapi dilakukan dengan menyuntikkan substansi sklerotan
kedalam pembuluh darah yang abnormal sehingga terjadi destruksi endotel
yang diikuti dengan pembentukan jaringan fibrotik. Sklerotan yang
digunakan saat yaitu ferric chloride, salin hipertonik, polidocanol, iodine
gliserin, dan sodium tetradecyl sulphate, namun untuk terapi varises vena
safena paling umum digunakan saat ini adalah sodium tetradecyl sulphate dan
polidacanol. Kedua bahan ini dipilih karena sedikit menimbulkan reaksi
alergi, efek pada perubahan warna kulit (penumpukan hemosiderin) yang

20
rendah, dan jarang menimbulkan kerusakan jaringan apabila terjadi
ekstravasasi ke jaringan.
Terapi menggunakan kombinasi skleroterapi dengan ligasi saphena
femoral junction (SFJ) sangat pupuler dilakukan pada tahun 1960-an dan
1970-an, terapi kombinasi ini diberikan setelah dilakukan pembedahan
konvensional untuk menghilangkan vaarises residual setelah operasi. Sebuah
penelitian yang membandingkan antara kombinasi skleroterapi dengan ligasi
SFJ dibandingkan kombinas ligasi SFJ dengan stripping didapatkan angka
rekurensi klinis dan rekuresnsi terjadinya refluks SFJ yang lebih tinggi pada
kelompok yang menggunakan skleroterapi.

2.2.9.2 Terapi Minimal Invasif


1. Radiofrekuensi ablasi (RF)
Radiofrekuensi adalah teknik ablasi vena menggunakan kateter
radiofrekuensi yang diletakkan di dalam vena untuk menghangatkan dinding
pembuluh darah dan jaringan sekitar pembuluh darah.Pemanasan ini
menyebakan denaturasi protein, kontraksi kolagen dan penutupan
vena.Kateter dimasukkan sampai ujung aktif kateter berada sedikit sebelah
distal SFJ yang dikonfirmasikan dengan pemeriksaan USG.Ujung kateter
menempel pada endotel vena, kemusian energy radiofrekuensi dihantarkan
melalui kateter logam untuk memanaskan pembuluh darah dan jaringan
sekitarnya.Jumlah energy yang diberikan dimonitor melalui sensor termal
yang diletakkan di dalam pembuluh darah. Sensor ini berfungsi mngatur suhu
yang sesui agar ablasi endotel terjadi.

2. Endovenous Laser Therapy (EVLT)


Salah satu pilihan terapi varises vena yang minimal invasive adalah
dengan Endovenous Laser Therapy (EVLT).Keuntungan yang didapat
menggunakan pilihan terapi ini adalah dapat dilakukan pada pasien poliklinis
di bawah anestesi local.EVLT yang secara luas digunakan menggunakan daya
sebesar 10 14 watt. Prosedurnya EVLT menggunakan fibre laser yang
dimasukkan ke distal VSM sampai SFJ dibawah control USG.

21
Prosedur yang dilakukan pertama-tama dialkuakn anestesi local
perivena dengan jalan memberikan infiltrasi di sekitar pembuluh darah
pepanjang VSM. Tujuannya selain memberikan efek analgesia juga
memberikan efek penekanan pada vena agar dinding vena beraposisi dengan
fibre yang berperan sebagai “heat sink” mencegah kerusakan jaringan lokal.
EVLT tidak menyebabkan vena segera menjadi mengecil bila
dibandingkan dengan apabila dilakukan FR ablation, tetapi vena akan
mengecil secara gradual beberapa minggu sampai tidak tampak setelah 6
bulan dengan pemerikasaan USG, kemudia diikuti dengan kerusakan endotel,
nekrosis koagulatif, penyempitan dan thrombosis vena.1,1

2.2.9.3 Terapi Pembedahan


1. Ambualtory phlebectomy (Stab Avulsion)
Teknik yang digunakan adalah teknik Stab-avulsion dengan
menghilangkan segmen varises yang pendek dan vena retikular dengan jalan
melakukan insisi ukuran kecil dan menggunakan kaitan khusus yang dibuat
untuk tujuan ini, prosedur ini dapat digunakan untuk menghilangkan
kelompok varises residual setelah dilakukan sphenectomy.
Mikronisisi dibuat diatas pembuluh darah menggunakan pisau kecil
atau jarum yang berukuran besar.Selanjutnya kaitan phlebectomy dimasukkan
ke dalam dan vena dicapai melalui mikroinsisi ini. Menggunakan kaitan
kemudian dilakukan traksi pada vena, bagian vena yang panjang dipisahkan
dari perlekatan sekitarnya..bila vena tidak dapat ditarik apat dilakukan insuisi
di tempat lain dan proses diulangi dari awal sampai keseluruhan vena.

2. Saphectomy
Teknik saphenektomi yang paling popular saat ini adalah teknik
menggunakan peralatan stripping internal dan teknik invaginasi dengan jalan
membalik pembuluh darah dan menariknya menggunakan traksi endovenous,
teknik tersebut dapat menurunkan terjadinya cedera pada struktur di
sekitarnya. Untuk menghilangkan VSM, sebuah insisi dibuat 2-3 cm sebelah
medial lipatan paha untuk melihat SFJ.

22
Sebelum melakukan stripping pada VSM, semua percabangan dari
SFJ harus diidentifikasi dan dilakukan ligasi untuk memilinimalkan
terjadinya rekurensi. Setelah ligasi dan pemisahan Junction, peralatan
stripping dimasukkan ke dalam VSM di lipatan paha didorong sampai level
cruris selnajutnya alat strippeer dikeluarkan melalui insisi yang dibuat (5 mm
ataiu lebih kecil) sekitar 1 cm dari tuberosity tibia pada lutut. Kemudian head
stripper dipasangkan pada lipatan paha dan dikunci pada ujung proksimal
vena. Pembuluh darah kemudian ditarik dan dilipat ke dalam lumen vena
sepanjang pembuluh darah sampai pintu keluar yang dibuat sebelumnya di
bagian distal. Jika di perlukan dapat diberikan gaas yang berisi efinefrin atau
dilakukan ligasi untuk tujuan hemostasis setelah dilakukan stripping.
Teknik lama dalam stripping vena sudah ditinggalkan karena
tingginya insiden komplikaasi yang terjasi setelah dilakukan stripping,
komplikasi ini meliputi kerusakan pada nervus safena, yang berlokasi sangat
dekat dengan vena pada regio lutut.

2.2. 10 Pencegahan
Penderita varies vena tungkai bawah harus mencegah berlanjutnya
gangguan ini dan perkembangan edem tungkai bawah dengan memperbaiki
kuliatas hidup, meskipun sulit untuk mencegah gejala vena varises, berapa
tindakan dapat diambil untuk mengurangi keparahan keadaan ini.
2.2.11 Komplikasi
Jika kasus ringan, atrofi dan pigmentasi kulit di temukan pada atau di
atas pergelangan kaki, ulserasi sekunder dapat terjadi, sering sebagai akibat
dari trauma kecil atau bukan trauma. Ulser kadang menyebar ke dalam variks
dan tidak hilang apabila tungkai dinaikkan dan tekanan lokal dipakai pada
bagian yang mengalami pendarahan.
Dasar terjadinya komplikasi pada pasien vena tungkai adalah
gangguan hemodinamik vena tepi. Bila gangguan tersebut segera diatasi,
maka penyulit tidak akan terjadi. Komplikasi yang sering ditemukan adalah
pigmentasi disekitar pergelangan kaki (akibat endapan pigmen hemosiderin
pada kulit), dermatitis dan plebitis perifer berulang. Perdarahan karena varises

23
jarang terjadi tapi akan menyebabkan pasien segera berobat.
Lipodermatosklerosis perubahan kulit berupa pigmentasi dan indurasi
jaringan lemak akibat reaksi inflamasi yang diduga merupakan suatu
prerulcer bisa ditemukan pada varises lanjut atau kegagalan vena
menahun.Lokasinya disekitar pergelangan kaki, sesuai dengan lokasi tukak
vena. Bila gangguan hemodinamik vena tepi terus berlangsung, akhirnya akan
terbentuk tukak vena disekitar pergelangan kaki (biasanya dibawah dan
dibelakang dari malleolus medialis atau lateralis), berbentuk lonjang biasanya
lebih dari satu, pinggirnya landai dasarnya rata dan ditutupi keropeng. Sekitar
luka kulit berwarna lebih gelap dari sekitarnya (pigmentasi). Emboli
merupakan komplikasi varises yang paling jarang terjadi, tetapi bisa
menyebabkan kematian bila memasuki sirkulasi pulmonal.

2.2.11 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Varises


Vena Tungkai Bawah
Faktor-faktor yang diduga berperan serta dapat mempengaruhi
timbulnya VVTB, antara lain :
A. Riwayat keluarga
Ditunjukkan dengan terjadinya penyakit yang sama pada beberapa
anggota keluarga dan gambaran VVTB pada pramuniaga.

B. Usia
Seiring bertambahnya usia insiden VVTB akan meningkat. Dinding vena
menjadi lemah karena lamina elastis menjadi tipis dan atrofik bersama
dengan adanya degenerasi otot polos. Disamping itu akan terdapat atrofi
otot betis sehingga tonus otot menurun.
C. Overweight/obesitas
Resiko terkena VVTB lebih tinggi pada seseorang dengan BMI (Body
Mass Index) yang tinggi dibanding seseorang dengan usia yang sama
dengan berat badan sesuai. Terdapat hipotesis yang menyatakan hal ini
dihubungkan dengan tekanan hidrostatik yang meningkat akibat

24
peningkatan volume darah serta kecenderungan buruknya struktur
penyangga vena.
D. Multiparitas kehamilan
Pengaruh hormonal, peningkatan volume darah, dan obstruksi akibat
pembesaran uterus merupakan penyebab VVTB pada kehamilan, namun
VVTB akan mengalami perbaikan 3-12 bulan setelah melahirkan.
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa terjadi prevalensi VVTB yang
lebih tinggi pada penderita dengan kehamilan lebih dari dua kali.
E. Faktor hormonal
Estrogen menyebabkan relaksasi otot polos dan perlunakan jaringan
kolagen sehingga meningkatkan distensibilitas vena.Selain itu dapat
meningkatkan permeabilitas kapiler dan edem.Progesteron menyebabkan
penurunan tonus vena dan peningkatan kapasitas vena sehingga dapat
menginduksi terjadinya stasis vena, hal ini disebabkan karena adanya
hambatan pada aktomiosin kontraktil dinding vena. Hal ini dapat dilihat
pada penderita yang mendapat terapi hormonal atau pada siklus
menstruasi.
F. Faktor berdiri lama
Peningkatan tekanan hidrostatik kronis pada pekerjaan yang
membutuhkan berdiri lama juga berperan dalam menimbulkan VVTB.
Pada posisi tersebut tekanan vena menjadi 10 kali lebih besar, sehingga
vena akan teregang di luar batas kemampuan elastisitasnya sehingga
terjadi inkompetensi pada katup.
G. Pemakaian pelindung kaki
Pemakaian pelindung kaki antara lain seperti kaos kaki, compression
stocking saat maupun setelah melakukan aktivitas pekerjaan dapat
mencegah terjadinya VVTB.
H. Elevasi tungkai
Tungkai dinaikkan (15-20 cm) saat tidur dapat mencegah terjadinya
VVTB.
I. Merokok

25
Jangka panjang merokok memiliki efek yang merugikan pada sistem
vena.Pada perokok, modifikasi kimia diduga terjadi pada endothelium
vena. Modifikasi ini dapat menyebabkan peningkatan tonisitas vasomotor
dan proliferasi otot polos. Reaksi ini bisa menjelaskan perubahan dalam
dinding vena yang menyebabkan terjadinya VVTB.
J. Konsumsi alkohol
Pada studi kasus yang dilakukan di Perancis, penyalahgunaan alkohol
mengindikasikan risiko yang lebih tinggi insufisiensi vena tungkai bawah.
Alkohol menyebabkan vasodilatasi segera dan penurunan tekanan darah
yang diikuti oleh rebound elevasi tekanan darah.
2.3 Tumor saraf
2.3.1 Anatomi sistem saraf
Susunan sistem saraf terbagi secara anatomi yang terdiri dari
saraf pusat (otak dan medula spinalis) dan saraf tepi (saraf kranial dan spinal)
dan secara fisiologi yaitu saraf otonom dan saraf somatik. Sistem saraf pada
manusia terdiri dari dua komponen yaitu sel saraf dan sel glial.

Sel saraf berfungsi sebagai alat untuk menghantarkan impuls dari


panca indera menuju otak yang selanjutnya oleh otak akan dikirim ke otot.
Sedangkan sel glial berfungsi sebagai pemberi nutrisi pada neuron.

Sel saraf (neuron) bertanggung jawab untuk proses transfer


informasi pada sistem saraf. Sel saraf berfungsi untuk menghantarkan impuls.
Setiap satu neuron terdiri dari tiga bagian utama yaitu badan sel (soma),
dendrit dan akson.

Badan sel (soma) memiliki satu atau beberapa tonjolan. Soma


berfungsi untuk mengendalikan metabolisme keseluruhan dari neuron. Badan
sel (soma) mengandung organel yang bertanggung jawab untuk memproduksi
energi dan biosintesis molekul organik, seperti enzim-enzim. Pada badan sel
terdapat nukleus, daerah disekeliling nukleus disebut perikarion. Badan sel
biasanya memiliki beberapa cabang dendrit.

Dendrit adalah serabut sel saraf pendek dan bercabang-cabang

26
serta merupakan perluasan dari badan sel. Dendrit berfungsi untuk menerima
dan menghantarkan rangsangan ke badan sel. Khas dendrit adalah sangat
bercabang dan masing-masing cabang membawa proses yang disebut dendritic
spines.

Akson adalah tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan


informasi keluar dari badan sel. Di dalam akson terdapat benang-benang halus
disebut neurofibril dan dibungkus oleh beberpa lapis selaput mielin yang
banyak mengandung zat lemak dan berfungsi untuk mempercepat jalannya
rangsangan. Selaput mielin tersebut dibungkus oleh sel-sel Schwann yang
akan membentuk suatu jaringan yang dapat menyediakan makanan dan
membantu pembentukan neurit. Bagian neurit ada yang tidak dibungkus oleh
lapisan mielin yang disebut nodus ranvier.Pada SSP, neuron menerima
informasi dari neuron dan primer di dendritic spines, yang mana ditunjukkan
dalam 80-90% dari total neuron area permukaan. Badan sel dihubungkan
dengan sel yang lain melalui akson yang ujung satu dengan yang lain
membentuk sinaps. Pada masing-masing sinap terjadi komunikasi neuron
dengan sel yang lain.

Susunan saraf manusia

1. Sistem saraf pusat

27
Susunan saraf pusat (SSP) yaitu otak (ensefalon) dan medula
spinalis, yang merupakan pusat integrasi dan kontrol seluruh aktifitas
tubuh. Bagian fungsional pada susunan saraf pusat adalah neuron akson
sebagai penghubung dan transmisi elektrik antar neuron, serta dikelilingi
oleh sel glia yang menunjang secara mekanik dan metabolik.

Otak

2. Sistem saraf perifer


Susunan saraf tepi (SST) yaitu saraf kranial dan saraf spinalis
yang merupakan garis komunikasi antara SSP dan tubuh . SST tersusun
dari semua saraf yang membawa pesan dari dan ke SSP.

28
Struktur neuron

2.3.2 Defenisi
Tumor saraf adalah segala jenis tumor yang tumbuh di sistem
saraf. Sistem saraf itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian, yaitu otak dan
saraf atausumsum tulang belakang yang merupakan bagian dari sistem
saraf pusat, serta saraf tepi.
Tumor adalah pertumbuhan jaringan yang berlebihan dan tidak
normal. Pada tumor saraf, pertumbuhan yang tidak normal itu bisa terjadi
di bagian otak, saraf tulang belakang, maupun saraf tepi mana pun.

2.3.3 Klasifikasi tumor sistem saraf


1. Meningioma
a. Defenisi
Meningioma merupakan tumor primer otak namun meningioma tidak
berasal dari jaringan otak itu sendiri, namun berasal dari meningen, tumor
ini bertumbuh ke dalam jaringan otak dan medulla spinalis sehingga
menyebabkan penekanan terhadap jaringan tersebut. Meningioma juga
dapat bertumbuh ke luar sehingga menyebabkan penipisan dari tulang
tengkorak. Sebagian besar meningioma bersifat jinak, bertumbuh lambat
dan beberapa diantaranya mengandung kista kalsifikasi dan cabang
pembuluh darah.
b. Epidemiologi
34% dari tumor otak adalah meningioma dan sebagian besar didiagnosis
pada pasien berusia >60 tahun, insidensi meningkat seiring bertambahnya
usia. Meningioma jarang didapatkan pada anak-anak dan insidensi pada
wanita 2x lebih besar daripada pria
c. Etiologi
Para peneliti mempelajari beberapa teori asal dari meningioma.
Pada sekitar 40% dan 80% meningioma ditemukan adanya kromosom 22
yang berfungsi abnormal, kromosom ini berperan dalam suppressing
tumor growth. Penyebab kromosom ini berfungsi abnormal masih belum

29
diketahui. Pada meningioma juga sering ditemukan platelet-derived
growth factor (PDFGR) dan epidermal growth factor receptors (EGFR)
yang berlebih, dimana hal itu mungkin berperan dalam tumbuhnya tumor
ini. Riwayat radiasi pada kepala sebelumnya, riwayat kanker payudara,
neurofibromatosis tipe 2 merupakan faktor risiko tumbuhnya meningioma.
Meningioma multiple terjadi pada 5-15% pasien, beberapa diantaranya
memiliki neurofibromatosis tipe 2 Beberapa meningioma memiliki
reseptor yang dapat berinteraksi dengan hormon seksual seperti
progesterone, androgen dan esterogen. Adanya reseptor progesterone
biasanya terdapat pada meningioma benign. Fungsi dari reseptor ini belum
diketahui.
d. Gejala
Meningioma biasanya tumbuh lambat, sehingga dapat tumbuh
menjadi besar sebelum menyebabkan gejala. Tumor biasanya ditemukan
pada pada parasagittal/falcine region dan the convexity otak. Lokasi yang
sering lainnya adalah the sphenoid ridge pada dasar otak. Tumor yang
tumbuh dapat mengganggu fungsi otak, gejala yang muncul tergantung
pada lokasi tumor. Biasanya gejala yang pertama muncul disebabkan oleh
meningkatnya tekanan pada otak yang disebabkan oleh pertumbuhan
tumor. Sakit kepala dan kelemahan pada tangan atau kaki adalah gejala
yang paling sering ditemui, kejang, personality changes, gangguan visual
mungkin dapat terjadi. Nyeri dan gangguan sensorik atau kelemahan pada
tangan dan kaki adalah gejala yang paling sering ditemukan pada
meningioma medulla spinalis
e. Diagnosis
Pemeriksaan neurologis diikuti dengan pemeriksaan MRI dan
atau CT scan. MR angiografi atau arteriogram dapat dilakukan bila
terdapat rencana terapi embolisasi.

30
f. Penatalaksanaan
Sebagian besar kasus meningioma dapat diterapi dengan tindakan
operatif, dengan angka rekurensi yang rendah dan prognosis yang bagus.
Bila tumor terletak pada falx cerebri atau pada daerah retrochiasmatic
suprasellar hanya sebagian yang dapat dihilangkan, dan tindakan operatif
berikutnya mungkin diperlukan bila terdapat rekurensi setelah beberapa
tahun. Meningioma secara umum resisten terhadap radioterapi.
2. Ependimoma
a. Defenisi
Ependymoma berasal dari ependymal cells yang menembus
lapisan ventrikel dan canalis sentralis medulla spinalis. Ependymoma
merupakan glioma terbanyak di medulla spinalis. Sel-selnya memiliki
karakteristik glial dan epithelial. Secara makroskopis, ependymoma di
ventrikel keempat berwarna pink keabu-abuan, tegas, seperti kembang kol
pada pertumbuhan yang timbul dari dinding lateral ventrikel. Sel-sel tumor
cenderung membentuk mawar dengan lumens pusat atau, lebih sering,
melingkar di sekitar pembuluh darah.
b. Epidemiologi
Ependimoma intrakranial merupakan 5% dari seluruh tumor
intrakranial. Insiden dari tumor ini 6 kali lebih sering pada anak-anak
daripada orang dewasa. Paling sering ditemukan pada umur 7 minggu
sampai 16 tahun, kemudian ditemukan juga pada usia dekade ketiga. Pada
anak, ± 2-3 kali ditemukan pada ruang infratentorial, sedang supratentorial

31
lebih sering pada anak yang lebih dewasa
c. Etiologi
Etiologi dari ependimoma belum diketahui, tapi diduga virus
SV40 ikut terlibat dalam patogenesis dari beberapa tumor, termasuk
ependimoma

d. Gejala klinis
Gejala dari ependimoma tergantung lokasi dan ukuran tumor.
Pada neonatus dan bayi, hidrosefalus merupakan salah satu gejala awal.
Irritabilitas, suka mengantuk, dan muntah dapat terjadi jika tumor terus
bertumbuh. Pada anak- anak yang lebih besar, gejala yang paling umum
ditemukan adalah nausea, vomiting dan sakit kepala. Biasanya terjadi
tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial yang terjadi jika tumor
menyumbat drainage dari cairan serebrospinalis.
Pada Intracranial ependimoma, tanda-tanda dan gejala neurologik
baik umum maupun fokal tergantung lokasi, ukuran dan usia. Umumnya
gejala timbul jika ukuran tumor besar. Ependimoma fossa posterior
biasanya memberikan gejala dan tanda peningkatan intrakranial akibat
obstruksi ventrikel yang akan memicu terbentuknya hidrocephalus
Infratentorial memberikan gejala pertama berupa mual dan
muntah (80%) , sakit kepala (50%), papil edema, ataxia, nistagmus,
esotropia akibat peningkatan tekanan intrakranial, nyeri leher, dan defisit
dari lower nerve kranial, sedangkan lesi supratentorial sering memberikan
gejala hemiparesis, sensory loos, visual loos, afasia, gangguan kognitif,
serangan sakit kepala dan muntah

e. Diagnosis
Diagnostik ependymoma didasarkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang dilakukan. Pemeriksaan radiologis dapat dilakukan
yaitu melalui pemeriksaan CT Scan dan MRI. Pemeriksaan EEG dapat
dilakukan pada pasien dengan supratentorial ependymoma, namun tidak
ada gambaran yang spesifik yang didapatkan pada ependymoma.

32
f. Penatalaksanaan
Penanganan ependymoma berupa terapi adjuvant yaitu terapi
radioterapi, radiosurgery dan kemoterapi. Pemberian steroid dapat
diberikan untuk menangani peritumoral edema, serta dapat diberikan
antikonvulsan pada ependymoma supratentorial.
3. Schwannoma
a. Defenisi
Schwannoma merupakan periveral nerve sheath tumor yang
tumbuh lambat pada bagian distal dari transisi myelinisasi sel
oligodendroglial-schwan. Perkembangan patogenesis dari tumor ini telah
dapat dipahami dengan adanya evaluasi molekuler dan perubahan genetik
pada neurofibromatosis 2 (NF2). Gen NF2 terlokalisasi pada kromosom
22q12. Subsekuen genetik dan pemetaan fisik menyebabkan ditemukannya
gen NF2 pada tahun 1993.
b. Epidemiologi
Schwannoma dijumpai sekitar 8% dari tumor primer otak, frekuensi
pada wanita 2 kali lebih sering daripada pria dan pada usia pertengahan.
Schwannomamaligna juga berasal dari nervus periver, bersifat
rekuren, dan metastase dapat terjadi secara dini. Hilangnya lengan
kromosom 1p dan penambahan pada lengan kromosom 11q dijumpai
pada beberapa Schwannoma, juga dijumpai hilangnya kromosom 22q

c. Etiologi
Vestibular Schwannoma yang unilateral dan bilateral dapat terjadi
karena kerusakan gen pada kromosom 22, yang menghasilkan protein

33
(schwannomine/ merlin) yang mengontrol pertumbuhan sel schwann. Pada
pasien neurofibromatosis tipe II ( NF2), gen rusak pada kromosom 22
diwariskan dan hadir dalam semua atau sebagian besar sel-sel somatik.
Namun, pada individu dengan vestibular Schwannoma yang unilateral,
tidak diketahui peranan gen ini dalam pembentukan sel Schwannoma.
d. Patofisiologi
Vestibular dari saraf vestibulocochlear yang superior dan inferior
dengan frekuensi yang sama tampaknya merupakan saraf asal lesi. Sangat
jarang Schwannoma muncul dari bagian koklea dari saraf
vestibulocochlear. Karena vestibular Schwannoma timbul dari sel
schwann, pertumbuhan tumor umumnya menekan serat vestibular ke
permukaan. Penghancuran serat vestibular lambat dan bertahap dan fungsi
vestibular berkurang dikompensasikan melalui mekanisme sentral dari
otak. Konsekuensinya banyak pasien mengalami sedikit atau ada
ketidakseimbangan. Setelah tumor tumbuh dan cukup besar untuk mengisi
internal auditory canal, tumor terus tumbuh dengan mengikis atau
memperluas tulang dan / atau dengan memperluas sampai keluar ke
cerebellopontine angle (CPA). Vestibular Schwannoma, seperti space
occupying lesion lainnya, menghasilkan gejala dengan salah satu dari
empat mekanisme yang dikenal seperti : (1) penyumbatan ruang cairan
cerebrospinal, (2) displacement batang otak, (3) kompresi pembuluh darah
atau (4) kompresi saraf
Vestibular Schwannoma dapat terus tumbuh sampai mencapai 3-4 cm
di dalam intrakranial sebelum muncul gejala efek massa yang besar.
Nervus facialis cukup tahan terhadap peregangan yang dikenakan oleh
pertumbuhan tumor tanpa kerusakan fungsi klinis yang jelas sampai tumor
telah mencapai ukuran yang sangat besar. Saraf koklea dan vestibular jauh
lebih sensitif terhadap peregangan dan kompresi tumor sehingga tumor
kecil yang terbatas pada internal auditory canal dapat menghasilkan gejala
awal berupa gangguan pendengaran atau gangguan vestibular. Sebagian
tumor mendekati diameter 1,5 cm dalam intrakranial, umumnya mulai
berbatasan dengan permukaan lateral batang otak. Pertumbuhan lebih

34
lanjut dapat terjadi hanya dengan penekanan atau mendorong batang otak
menuju sisi kontralateral. Sebuah tumor dengan ukuran 2,0 cm biasanya
meluas cukup jauh ke anterior dan superior untuk menekan saraf
trigeminal dan kadang-kadang menghasilkan hipoestesia wajah .
Pertumbuhan lebih dari 4,0 cm pada umumnya menghasilkan penipisan
progresif cerebral aqueduct dan ventrikel keempat dengan perkembangan
akhir menjadi hidrosefalus

e. Manifestasi klinis
Schwannoma intrakranial, seperti juga Schwannoma dari spinal,
cenderung memperlihatkan gejala gangguan dari saraf-saraf divisi
sensoris. Schwannoma sring muncul dari komponen vestibular nervus VIII
(>90%), divisi sensori nervus trigeminal (0.8%-8%), nervus fasialis
(1.9%), nervus yang keluar dari foramen jugularis (2.9%-4%), nervus
hipoglosus, nervus ekstra okular, dan nervus olfaktorius. Karena letak
yang sangat dekat dengan area dari nervus kranialis, batang otak, dean
cerebelum, Schwannoma sudah menampakkan gejala bahkan ukuran
tumor masih kecil. Namun, sifat pertumbuhan yang lambat dapat
mengaburkan gejala defisit neurologi yang berkembang progresif. Hal ini
menyebabkan tidak dijumpai adanya defisit neurologi yang terjadi secara
akut.
Ekstensi tumor ke dalam modiolus atau vestibular sepanjang
cabang saraf koklea atau vestibular mungkin ada bahkan dalam vestibular
Schwannoma yang soliter, meskipun lebih sering terjadi pada NF-2.
Butiran atau homogen eksudat cairan biasanya terdapat dalam ruang
perilymphatic dari koklea dan vestibular . Hal ini mungkin timbul sebagai
akibat dari tekanan oleh neoplasma pada vena koklea dan vestibular di
meatus auditori internal. Hydrops dari sistem endolymphatic mungkin
terjadi dan pada tumor yang lebih besar ada atrofi sel ganglion spiral dan
serabut saraf di membran basilar
f. Pemeriksaan penunjang

35
Pada pemeriksaan foto polos, didapatkan adanya lesi litik pada C2
hingga C4 dengan kerusakan tulang pada C3 dan C4. Pada CT-scan
didapatkan info tambahan berupa sumber arteri tumor berasal dari
arteri vertebralis dengan adanya penekanan pada arteri tersebut yang
menyebabkan stenosis hingga diameter mengecil yaitu hanya 33% dari
ukuran normal arteri vertebralis. Pemeriksaan MRI dilakukan dan
didapatkan massa berukuran 39,5 x 30,9 x 45,7 mm yang
mengindikasikan tumor ini masuk dalam kategori Giant Schwannoma
yang telah menginvasi daerah intracanal dengan adanya
destruksi scalloping pada foramina neural dengan perluasan ke anterior
dan posterior.
g. Tatalaksana
Eksisi intraneural merupakan terapi operatif pilihan. Secara teori
dimungkinkan dilakukannya pengangkatan tumor tanpa terjadi defisit
neurologis yang bermakna. Operasi dilakukan dengan menggunakan
loupe atau mikroskop

4. Neuroblastoma

a. Defenisi

Neuroblastoma adalah tumor yang berasal dari sistem saraf


simpatis dan mayoritas berasal dari kelenjar medula adrenal dan
ganglion simpatis. Tumor primer neuroblastoma berasal dari abdomen
dengan keluhan pada umumnya terdapat masa dan nyeri pada abdomen
b. Etiologi

Kebanyakan etiologi dari neuroblastoma adalah tidak diketahui.


bahwa timbulnya neuroblastoma infantil berkaitan dengan orang tua
atau selama hamil terpapar obat-obatan atau zat kimia tertentu seperti
hidantoin, etanol
c. Gejala klinis

Neuroblastoma dapat menyerang setiap situs jaringan sistem saraf


simpatik. Sekitar setengah dari tumor neuroblastoma timbul di kelenjar

36
adrenal dan sebagian besar sisanya berasal dari ganglia simpatis
paraspinal. Metastase ditemukan lebih sering pada anak usia> 1 tahun
saat terdiagnosis, terjadi melalui invasi lokal, hematogen atau
limfogen. Organ yang paling umum dituju oleh proses metastasis ini
adalah kelenjar getah bening regional atau yang jauh, tulang panjang
dan tengkorak, sumsum tulang, hati dan kulit. Metastasis ke paru-paru
dan otak jarang terjadi, kurang dari 3% kasus.Neuroblastoma dapat
menyerupai gangguan lain sehingga sulit untuk mendiagnosa. Tanda-
tanda dan gejala dari neuroblastoma mencerminkan lokasi tumor dan
luasnya penyakit. Proses metastasis dapat menyebabkan berbagai tanda
dan gejala, termasuk demam, iritabel, kegagalan dalam masa
pertumbuhan, nyeri tulang, sitopeni, nodul kebiruan pada subkutan,
proptosis orbital dan ekimosis periorbital. Penyakit lokal dapat
bermanifestasi sebagai massa asimptomatik atau sebagai gejala yang
muncul terkait massa, termasuk kompresi sumsum tulang belakang,
obstruksi usus dan sindrom vena cava superior.

d. Diagnosis
 Tumor unequivocal secara patologi dari jaringan tumor dengan
metode standar dan kalau perlu dengan mikroskop elektron,
 pada pemeriksaan sumsum tulang ditemukan sel tumor
unequivocal seperti synctia tumor
 Ditemukan peningkatan katekolamin yaitu VMA (vinyl

mandelic acid) pada urin. 1 Pada kasus kami belum ditemukan


metastase sel pada sumsum tulang.
e. Penatalaksanaan
International Staging System untuk neuroblastoma menetapkan
definisi standar untuk diagnosis, pertahapan dan pengobatan serta
mengelompokkan pasien berdasarkan temuan-temuan radiografik dan
bedah ditambah keadaan sumsum tulang. Tumor yang terlokalisasi
dibagi menjadi stadium I, II, III, tergantung ciri tumor primer dan
status limfonodus regional. Penyakit yang telah mengalami penyebaran

37
dibagi menjadi stadium IV dan IVS (S untuk spesial), tergantung dari
adanya keterlibatan tulang kortikal yang jauh, luasnya penyakit
sumsum tulang dan gambaran tumor primer

 Pembedahan
Tujuan dari intervensi bedah adalah reseksi lengkap dari tumor.
Jika reseksi lengkap tidak layak maka tujuannya adalah untuk
melakukan biopsi tumor. Reseksi tumor primer dinilai
menggunakan pencitraan dengan mempertimbangkan ukuran
tumor, ekstensi kedekatan struktur seperti sumsum tulang
belakang, keterlibatan kelenjar getah bening dan kemungkinan
penyembuhan setelah bedah
 Kemoterapi
Kemoterapi adalah pengobatan utama untuk stadium lanjut

neuroblastoma. Ketika digunakan dalam kombinasi dan

berdasarkan sinergi obat, mekanisme kerja, dan resistensi obat

potensi tumor, pengobatan kemoterapi telah efektif untuk

pasien yang memiliki primer luas, berulang, atau metastasis

neuroblastomas.

 Radioterapi
secara umum neuroblastoma dianggap radiosensitif. Ada
sedikit manfaat radioterapi untuk tahap I dan II tumor
meskipun ada sisa.Radioterapi bagaimanapun telah terbukti
mengurangi tingkat kekambuhan lokal untuk neuroblastoma
risiko tinggi. Iradiasi lokal ke hati ditunjukkan pada bayi yang
memiliki neuroblastoma stadium 4S dan gangguan pernapasan
akibat hepatomegali.
5. Feokromositoma
a. Defenisi

38
Feokromositoma adalah neoplasma sel jaringan kromaffin sistem
saraf ektodermik. Tumor ini terkenal dengan efek hipertensi malignan
yang tidak dapat diprediksi. Angka keganasan feokromositoma sekitar
10%. Faktor klinis yang berhubungan dengan feokromositoma
malignan antara lain ukuran lebih dari lima sentimeter, berat lebih dari
80 gram, dan letak ekstra adrenal
b. Gejala klinis
Gejala utama berupa hipertensi, disertai nyeri kepala, keringat
berlebih, takikardia dengan palpitasi, hipotensi postural, penurunan
berat badan, cemas dan penurunan motilitas usus.Hipertensi yang
timbul dapat berupa hipertensi berat yang resisten terhadap pengobatan
standar hipertensi.
c. Diagnosis
Diagnosis klinis feokromositoma berdasarkan evaluasi subyektif
terhadap tanda dan gejala serta konfirmasi laboratoris dan radiologi.
Pemeriksaan feokromositoma dapat dilakukan dengan pemeriksaan
kadar katekolamin dalam urine tampung 24 jam. 80% penderita
mempunyai hasil dua kali atau lebih dari harga normal.
d. Penatalaksanaan
Terdapat beberapa macam manajemen feokromositoma. Terapi
awal dan utama adalah pembedahan. Terapi ini untuk mengambil
tumor sebanyak mungkin (surgical debulking) dengan tujuan
menghilangkan resiko katekolamin berlebih.Menurut Schlumberger,
pasien dengan tumor tumbuh lambat atau terisolasi diterapi dengan
pembedahan mempunyai respon terapi jangka panjang yang baik.
Kemoterapi dapat digunakan kombinasi CVD (Cyclophosphamide,
Vincristine, Dacarbazine), hasil terakhir menunjukkan respon tumor
yang baik meskipun durasi efektivitas tetap terbatas. Radioterapi
MIBG (Metaiodobenzylguanidine) dapat diberikan jika pasien
memberi hasil positif pada skintigrafi MIBG
(Metaiodobenzylguanidine), sedangkan terapi somatostatin analog

39
dapat diberikan pada pasien dengan SRI (Somatostatin Receptor
Imaging) Lesion positif .
6. Neurofibromatosis
a. Defenisi
Neurofibromatosis tipe 1(NF 1), atau disebut juga penyakit von
reclinghausen, adalah salah satu tipe jenis tumor pada serat saraf. Kelainan
ini merupakan suatu kelainan akibat mutasi gen pada kromosom 17 yang
berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan jaringan saraf.
Neurofibromatosis dibagi menjadi dua tipe, yaitu: NF1 dan NF2.
Kejadian NF 2 terjadi lebih langka daripada NF1. Jenis neurofibromatosis
1 ditemukan satu kasus dalam 2.500–3.000 kelahiran. Sedangkan NF2
jarang ditemukan, bahkan kemungkinan hanya satu kasus dalam 50.000–
120.000 kelahiran. 
Tumor ini bisa berukuran kecil atau besar dan dapat muncul di
mana saja pada bagian tubuh –seperti otak, sumsum tulang belakang,
saraf, dan saraf besar atau kecil.
b. Etiologi
Sama seperti tumor pada umumnya, neurofibromatosis tipe 1 juga
disebabkan oleh adanya kelainan atau mutasi pada gen. Penyebab dari
NF1 adalah adanya mikrodelesi pada kromosom 17 yang mengkode
protein neurofibromin. Mutasi ini menyebabkan pertumbuhan sel saraf
yang tidak normal.
c. Gejala klinis
Terdapat beberapa gejala penyakit neurofibromatosis tipe 1 (NF
1). Ciri-ciri penderita NF adalah:

 Bercak kecokelatan pada kulit. Bercak-bercak coklat yang disebut ‘café-


au-lait’pada kulit. Lesi kulit biasanya melebihi diameter 15 mm dan
biasanya terdapat paling tidak lima buah.Gejala ini biasanya terlihat sejak
usia kanak-kanak. Jika bercak ini disertai dengan adanya tumor di kulit
atau di bawah kulit, dan nodul Lisch, yaitu tumor jinak yang sangat kecil

40
di iris (bagian hitam mata), maka bisa dipastikan orang tersebut menderita
NF, karena nodul Lisch hanya akan ada pada penderita NF.
 Gangguan tulang juga dapat terlihat dengan adanya penipisan atau
pertumbuhan tidak normal dari tulang lengan dan kaki, atau deformitas
pada tulang belakang.
  Gangguan perkembangan, gangguan belajar atau retardasi mental.
d. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi khusus yang dapat mencegah perkembangan
neurofibromatosis tipe 1 (NF 1). Namun, penanganan yang tepat dapat
menurunkan risiko komplikasi lebih lanjut. Penanganan NF1 memerlukan
kerja sama berbagai disiplin ilmu untuk memperlambat progresivitas
peyakit, deteksi keterlibatan organ lain dan jaringan kulit.  Tumor kulit
dapat diangkat melalui bedah eksisi, elektrokauter, ataupun laser ablasi.

7. Neuroma akustik
a. Defenisi
Neurinoma akustik adalah tumor jinak yang tumbuh dari
selubung saraf akustikus. Tumor ini dapat tumbuh pada saraf
keluar dari pons,sepanjang perjalanan saraf di fosa kranialis
posterior atau di dalam liang telinga dalam. Tumor tumbuh sangat
lambat yang dapat mengenai saraf akustikus, saraf fasialis, dan
kemudian mengenai CPA.
b. Etiologi
Kebanyakan pasien didiagnosis dengan neurinoma akustik
tidak memiliki faktor risiko jelas. Paparan radiasi dosis tinggi
pengion adalah salah satu faktor risiko. Beberapa studi telah
menemukan bahwa penggunaan telepon seluler tidak mempunyai
hubungan dengan terjadinya peningkatan neuroma akustik, tetapi
studi lain mengatakan ada hubungannya. Neurofibromatosis tipe II
terjadi pada individu yang memiliki cacat gen supresor tumor
terletak pada kromosom 22q12.2. Protein yang diproduksi oleh gen
disebut merlin atau schwannomin.
c. Gejala klinis

41
Kehilangan pendengaran unilateral merupakan gejala yang
paling umum. Tumor dapat menyebabkan gangguan pendengaran
melalui 2 mekanisme, cedera langsung ke saraf koklea atau
gangguan suplai darah koklea. Cedera pada serat koklea
menyebabkan gangguan pendengaran yang progresif lambat
neurosensorik. Gangguan pendengaran mendadak dan berfluktuasi
lebih mudah disebabkan oleh karena gangguan suplai darah koklea.
Kehilangan pendengaran tersebut dapat membaik secara spontan
atau sebagai respon terhadap terapi steroid.
Tinnitus unilateral merupakan gejala tersering pada
seseorang dengan neurinoma akustik. Vertigo dan
ketidakseimbangan adalah gejala yang jarang terjadi. Rotasi
vertigo (ilusi gerakan atau jatuh) adalah umum dan kadang-kadang
terlihat pada pasien dengan tumor kecil. Ketidakseimbangan sering
terjadi pada tumor yang lebih besar. Sakit kepala terjadi pada 50-
60% dari pasien pada saat diagnosis. Sakit kepala terjadi karena
peningkatan ukuran tumor dan adalah yang paling menonjol pada
pasien hidrosefalus obstruktif .
Mati rasa wajah terjadi pada sekitar 25% dari pasien dan

lebih umum pada saat presentasi dari kelemahan wajah.

Hypoesthesia melibatkan gigi, bukal mukosa, atau kulit wajah


dikaitkan dengan tumor yang lebih besar, tetapi pengurangan
subyektif dalam sensasi yang tidak dapat didokumentasikan pada
pemeriksaan objektif biasanya terjadi dengan tumor sedang dan
kecil.
Penurunan refleks kornea umumnya terjadi lebih awal dan
lebih sering daripada hypoesthesia wajah objektif. Tumor yang
lebih besar dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial ,
dengan gejala-gejala yang terkait seperti sakit kepala, muntah, dan
kesadaran menurun.
d. Diagnosis

42
Audiologi dan tes vestibular harus bersamaan dievaluasi
dengan menggunakan konduksi udara dan tulang. Ini untuk menilai
perbandingan antara sensorineural dan konduksi.
e. Pemeriksaan penunjang
 Ct scan
Salah satu cara yang lain untuk mendiagnosa neurinoma akustik
adalah dengan melihat adanya satu proses yang berkembang dalam
auditory meatus.

 MRI
Pada MRI, neurinoma akustik sering padat dan enhanced.
Biasanya pada protocol MRI umumnya T1 dengan kontras
(gadolinium) atau IAC ,yang digunakan pada MRI tertutup
dengan resolusi yang tinggi untuk memperlihatkan gambaran
tumor dengan pewarna

43
f. Tatalaksana
Tumor yang besar dapat menyebabkan penumpukan cairan
(hidrosefalus) di otak, yang dapat mengancam jiwa. Pembedahan
untuk pengangkatan tumor biasanya dilakukan untuk tumor besar ,
tumor yang menimbulkan gejala, tumor yang tumbuh cepat, tumor
yang tumbuh dekat saraf atau bagian otak yang lebih mungkin
menimbulkan masalah.
Pembedahan dilakukan untuk mengangkat tumor dan
mencegah gangguan pendengaran lebih lanjut atau kerusakan saraf
lainnya. Radiosurgery stereotactic berfokus tenaga tinggi x-ray
pada area yang kecil. Hal ini dianggap sebagai bentuk terapi
radiasi, bukan prosedur bedah. Ini dapat digunakan untuk
memperlambat pertumbuhan tumor yang sukar diangkat melalui
operasi, Operasi neurinoma akustik dapat merusak saraf serta dapat
menyebabkan kehilangan pendengaran atau kelemahan pada otot
wajah oleh itu ia tidak dapat dilakukan pada orang tua atau orang
yang mempunyai penyakit lain. Kerusakan ini lebih mungkin
terjadi ketika tumor di sebelah atau di sekitar saraf.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat de jong. Buku kedokteran EGC buku ajar ilmu bedah. Edisi 3
2. Satyanegara. Buku ilmu bedah saraf. Edisi V
3. Boulton AJM, Kirsner RS, Vieikyte L. Neuropathic diabetic foot ulcers. The
New England Journal of Medicine, 2004;351:48−55.
4. Ivy C, Elkin VL, Thomas RE. Management and prevention of diabetic foot
ulcers and infections. Pharmacoeconomics. 2008;26(12):1019-1035
5. Cynthia LB and David JM. Reducing the incidence of foot ulceration and
ampution in diabetes. Current Diabetes Reports. 2004;4:413-418
6. Fard AS, Esmaelzadeh M, Larijani B. Assessment and treatment of diabetic
foot ulcer. Int J Clin Pract. 2007;61(11):1931-1938
7. John AD. Outpatient assessment and management of the diabetic foot. Med
Clin N Am. 2014;98:353-373
8. Lepantalo M, et al. Diabetic foot. European Journal of Vascular and
Endovascular Surgery. 2011;42(52):S60-S74
9. Katsilambros N, Dounis E, Tsapogas P, Tentolouris N. Atlas of the diabetic
foot. John Wiley & sons, Ltd. England. 2003; 1-22
10. Blanes JJ, et al. Consensus document on treatment of infection in diabetic
foot. Rev Esp Quimioter.2011;24(4):233-262
11. Ibrahum A, Jude E, Langdon DC, Martinez F, Harkless L, Gawish H, Huang
Y et al.IDF Clinical Practice Recommendations on the Diabetic Foot – 2017.
International Diabetes Federation. 2017; 1- 70.

45

Anda mungkin juga menyukai