Disusun oleh:
Pembimbing :
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
penulis dapat menyelesaikan penyusunan Case Report Session ini yang berjudul
Kepaniteraan Klinik Senior pada bagian Ilmu Bedah di RSI Siti Rahmah Padang.
kesulitan, namun atas bantuan dan bimbingan dari dr. Khomeini Sp.B selaku
pembimbing, maka case ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada beliau
kekurangan. Karena itu, penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca
untuk penyempurnaan di masa yang akan datang. Semoga jerih payah dalam
penulisan case ini dapat memberikan manfaat bagi semua kalangan pembaca
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar .............................................................................................. ii
Daftar Isi.......................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Tujuan......................................................................................................... 2
1.2.1 Tujuan Umum................................................................................. 2
1.2.2 Tujuan Khusus................................................................................ 2
1.2.3 Manfaat........................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 3
2.1 Anatomi Kulit ............................................................................................ 3
2.2 Luka Bakar.................................................................................................. 5
2.2.1 Definisi........................................................................................... 5
2.2.2 Epidemiologi................................................................................... 5
2.2.3 Etiologi .......................................................................................... 6
2.2.4 Patofisiologi.................................................................................... 7
2.2.5 Klasifikasi....................................................................................... 8
2.2.6 Penatalaksanaan.............................................................................. 15
2.2.7 Komplikasi...................................................................................... 22
2.2.8 Rujukan........................................................................................... 23
2.2.9 Prognosis ........................................................................................ 24
2.3 Labiopalatoskizis........................................................................................ 24
2.3.1 Definisi........................................................................................... 24
2.3.2 Epidemiologi................................................................................... 25
2.3.3 Embriologi...................................................................................... 25
2.3.4 Etiologi........................................................................................... 30
2.3.5 Klasifikasi....................................................................................... 31
2.3.6 Diagnosis........................................................................................ 34
2.3.7 Penatalaksanaan.............................................................................. 35
2.3.8 Komplikasi...................................................................................... 42
iii
2.3.9 Prognosis.........................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA.................................................................... 44
iv
BAB I
PENDAHULUAN
perlindungan dari lingkungan luar tubuh dan strukturnya yang komplek. Sebagai
penutup tubuh, kulit melindungi tubuh dari trauma mekanis, radiasi, kimiawi, dan
kuman infeksius. 1
Luka bakar adalah suatu trauma pada kulit yang dapat di sebabkan karena
terpaparnya zat secara langsung maupun secara radiasi. Dapat karena terpapar
oleh api, bahan kimia asam atau basa kuat, listrik tegangan tinggi, atau radiasi
sinar matahari.1
1.2 Tujuan
Bedah di RSI Siti Rahmah Padang dan juga sebagai bahan pengayaan materi agar
dokter muda mengetahui dan memahami lebih jauh tentang Luka Bakar,
1
labiopalatoskisis
1.2.3 Manfaat
menambah ilmu pengetahuan dan agar pembaca lebih memahami tentang Luka
Bakar, labiopalatoskisis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kulit adalah organ tubuh yang terluas yang terletak paling luar dan
membatasi dari lingkungan hidup manusia, juga merupakan organ essensial dan
vital serta sebagai sarana komunikasi non verbal antara individu. Kelembutan
kulit bervariasi, begitu juga ketebalan dan elastisitasnya. Luas kulit orang dewasa
adalah satu setengah sampai dua persegi. Tebalnya antara satu setengah sampai
lima millimeter, tergantung dari letak, umur, jenis kelamin, suhu dan keadaan gizi.
emosi.3
3
Secara histologis, kulit tersusun atas beberapa lapis yaitu lapisan epidermis,
1. Epidermis
dermis.
Stratum Korneum
luar, terdiri atas sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti dan
Stratum Lusidum
Stratum granulosum
Terdiri dari dua sampai tiga lapis sel gepeng dengan sitoplasma
Stratum spinosum
4
menempel pada antigen yang menyerang kulit rusak, dan memberi
Stratum basalis
Terdiri atas dua jenis sel yaitu sel kolumnair dan melanosit.
2. Dermis
jaringan elastic dan fibrosa dengan elemen selular, kelenjar dan rambut
ssebagai adneksa kulit. Terdiri atas dua bagian yaitu pars papilaris dan
pars retikularis. 3
3. Subkutis
Lapisan ini merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar
2.2.1 Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma jaringan pada tubuh terutama kulit akibat
api secara langsung (flame) maupun tidak langsung (flash), terkena air panas
2.2.2 Epidemiologi
prevalensi luka bakar di Jawa Tengah adalah 7,2% dari seluruh kejadian cedera
5
total. Data yang diperoleh dari Unit Luka Bakar RSCM dari tahun 2009 – 2010
menunjukkan bahwa penyebab luka bakar terbesar adalah ledakan tabung gas
LPG (30,4%), kebakaran (25,7%), dan tersiram air panas (19,1%) dengan
mortalitas pasien luka bakar mencapai 34%. Sebagian besar pasien dirawat karena
luka bakar dengan luas 20 -50%, menempati angka mortalitas tertinggi (58,25%)
2.2.3 Etiologi
Luka bakar pada kulit bisa disebabkan karena panas, dingin, ataupun zat
kimia. Ketika kulit terkena panas, maka kedalaman luka dipengaruhi oleh derajat
Luka bakar termal disebabkan oleh air panas (scald), jilitan api ke
tubuh (flash), kobaran api ke tubuh (flame) dan akibat terpapar atau kontak
Luka bakar kimia biasanya disebabakn oleh asam kuat atau alkali yang biasa
resistensi paling rendah; dalam hal ini cairan. Kerusakan terutama pada
sirkulasi ke distal. Seringkali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik
6
kontak dengan sumber arus maupun ground.
radioaktif. Tipe luka bakar ini sering disebabkan oleh penggunaaan radioaktif
sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi.
2.2.4 Patofisiologi
Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel
darah yang ada di dalamnya ikut mengalami destruksi, sehingga dapat terjadi
intravaskuler.5
evaporasi yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka
bakar derajat dua dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat tiga.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh
masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20% akan terjadi syok hipovolemik
dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil,
dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakkan
Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat
terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap, atau uap panas yang
7
napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak bewarna
gelap akibat jelaga. Dapat juga keracunan gas CO dan gas beracun lainnya.
tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas,
bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bisa
lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal. Setelah 12 –
diuresis.5
Menurut Jackson pada tahun 1947, luka bakar dibagi menjadi 3 zona,
yaitu:5
Pada zona ini mengalami kehilangan jaringan yang tidak dapat dikembalikan
dikarenakan oleh koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi.
penurunan perfusi pada jaringan. Jaringan pada zona stasis masih dapat
perfusi pada jaringan ini dapat meningkat dan mencegah terjadinya kerusakan
3. Zona hiperemi merupakan zona terluar dan memiliki perfusi yang lebih baik.
Jaringan pada zona ini akan selalu sembuh, kecuali ada sepsis berat dan
8
hipoperfusi berkepanjangan.
2.2.5 Klasifikasi
A. Berdasarkan Kedalamannya
sembuh dalam 5-7 hari. Luka tampak sebagai eritema dengan keluhan rasa
nyeri atau hipersensitifitas setempat dan tidak ada bulla. Contoh luka
bakar derajat I seperti akibat tersengat matahari. Luka dapat sembuh tanpa
9
Gambar 3. Luka bakar derajat I
Tetapi masih ada elemen epitel vital yang menjadi dasar regenerasi dan
epitelisasi. Elemen epitel tersebut terdiri dari sel epitel basal, kelenjar
sebasea, kelenjar keringat dan pangkal rambut. Luka dapat sembuh sendiri
dan berair serta terdapat gelembung atau bulla berisi cairan eksudat yang
Luka bakar derajat II sering diakibatkan oleh cairan panas dan ledakan.5
terbentuk sikatriks.
10
waktu > 1 bulan.
kedalaman kulit dan mungkin subkutis atau organ yang lebih dalam.
Tidak ada lagi elemen epitel hidup yang tersisa yang memungkinkan
eskar.
jaringan kulit(7). Kulit tampak pucat abu-abu gelap atau hitam, dengan
11
B. Berdasarkan derajat ringan luka bakar menurut American Burn
Association
Luka bakar dibedakan menjadi 3, yaitu luka bakar ringan, sedang dan
berat.5
genitalia/perineum.
Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh.
12
a. Rumus 9 (Rule of nine)6
Pada orang dewasa “rumus 9” seperti berikut; luas kepala dan leher
9%, tangan kanan 9%, tangan kiri 9%, dada dan perut 18%, punggung dan
bokong 18%, kaki kanan 18%, kaki kiri 18%, dan genital 1% (7). Rumus ini
kepala bayi jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil.
Karena perbedaan tersebut “rumus 9” pada bayi seperti berikut; kepala dan
leher 18%, tangan kanan 9%, tangan kiri 9%, dada dan perut 18%,
punggung 13%, bokong kanan 2,5%, bokong kiri 2,5%, kaki kanan 14%,
kaki kiri 14%(5). Setiap penambahan umur 1 tahun, luas area kepala
bawah (kiri 0,5% & kanan 0,5%). Setelah usia 10 tahun digunakan
13
Gambar 7. Rule of nine for pediatric
Untuk anak kepala dan leher 15%, badan depan dan belakang
untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di kepala pada anak sehingga
14
Gambar 8. Lund and Browder Burn Chart
dengan 1%.5
2.2.6 Penatalaksanaan
A. Primary Survey
Hal pertama yang harus dilakukan jika menemukan pasien luka bakar
keselamatan diri sendiri. Bahan yang meleleh atau menempel pada kulit tidak
bisa dilepaskan. Air suhu kamar dapat disiramkan ke atas luka dalam waktu
15 menit sejak kejadian, namun air dingin tidak dapat diberikan untuk
15
mencegah terjadinya hipotermia dan vasokonstriksi.6
berikut:6
pada luka bakar, yaitu trauma inhalasi, stridor, luka bakar yang
jalan napas.
infus.
diperlukan.
16
Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk
diuresis pada hari ketiga baik, dan pasien dapat minum, infus dapat
17
b) Rumus Baxter = 4cc x % luas luka bakar x berat badan (kg)
diberikan elektrolit yaitu Ringer laktat karena defisit ion Na. Hari
ditambah jika perlu, seperti pada keadaan syok atau jika diuresis
kurang.
mempertahankan cairan.
Pada anak :
Kebutuhan Faal:
diberikan dapat dilihat dari produksi urin yaitu pada dewasa 0,5-1,0
18
Indikasi rawat inap pada pasien luka adalah sebagai berikut:
– Wajah, mata
– Perineum
berikut:6
ileus paralitik.
dengan antiseptik dan menutupnya dengan kasa steril yang telah dibubuhi
19
antiseptik untuk perawatan tertutup. Perawatan tertutup bertujuan untuk
7. Obat topikal yang dipakai dapat berbentuk larutan, salep, atau krim.
garam sulfide atau klorida yang memberi warna hitam. Obat lain yang
banyak digunakan adalah silver sulfadiazin, dalam bentuk krim 1%. Krim
resistensi, dan aman. Krim ini dioleskan tanpa pembalut, dan dapat
C. Tindakan bedah6
1. Eskarektomi dilakukan pada luka bakar derajat III yang melingkar pada
nekrosis.
20
mungkin setelah keadaan pasien stabil karena eksisi tangensial juga
sampai ketujuh, dan pasti boleh dilakukan pada hari kesepuluh. Eksisi
3. Pasien luka bakar derajat II dalam dan derajat III dilakukan skin grafting
D. Nutrisi
Sebanyak 25 ml/kgBB/hari
Vitamin A, B, dan D
Vitamin C 500 mg
Fe sulfat 500 mg
21
2.2.7 Komplikasi
sedang berlangsung. Pada fase akut, komplikasi yang sering terjadi adalah syok
dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada fase subakut dapat terjadi
Dysfunction Syndrome (MODS) dan Sepsis(8). SIRS adalah suatu bentuk respon
klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi
ataupun non-infeksi seperti luka bakar. Respon ini merupakan dampak dari
(MODS).
(PaCO2
<32mmHg)
Apabila dari hasil kultur darah didapatkan bukti bahwa infeksi sebagai
Pada fase lanjutan, komplikasi yang dapat terjadi adalah parut hipertrofik
22
dicegah, dan terbentuk akibat beberapa faktor sebagai berikut; kedalaman luka
bakar, sifat kulit, usia pasien, lamanya waktu penutupan kulit. Kontraktur adalah
komplikasi yang hampir selalu menyertai luka bakar dan menimbulkan gangguan
fungsi pergerakan.
2.2.8 Rujukan
Kriteria merujuk pasien luka bakar yang perlu dirujuk ke pusat luka bakar
Luka bakar der. II dan III >10% luas permukaan tubuh pada pasien
Luka bakar der. II dan III >20% di luar usia tersebut diatas.
Luka bakar der. II dan III yang mengenai wajah, mata, telinga, tangan,
utama.
Luka bakar der. III >5% luas permukaan tubuh pada semua umur.
kulit hebat dan menyebabkan gagal ginjal akut serta komplikasi lain).
Trauma inhalasi
Luka bakar pada pasien yang karena penyakit yang sedang dideritanya
mengakibatkan kematian.
23
Anak-anak dengan luka bakar yang dirawat di rumah sakit tanpa petugas
2.2.9 Prognosis
Luas permukaan
Daerah
Usia
Keadaan kesehatan.
2.3 Labiopalatoskizis
2.3.1 Definisi
Labiopalatoskisis berasal dari kata labium yang berarti bibir, palatum yang
keduanya. Celah pada labium disebut labioskisis sedangkan celah pada palatum
disebut palatoskisis. Kelainan ini dapat merupakan bagian dari suatu sindrom atau
berdiri sendiri. Defek yang ada akan menyebabkan gangguan produksi suara,
24
merupakan salah satu defek yang melibatkan banyak disiplin ilmu dalam
penanganannya.7
2.3.2 Epidemiologi
kombinasi lebih banyak pada laki-laki, sedangkan palatoskisis saja lebih banyak
pada perempuan. Angka prevalensi celah berbeda untuk tiap ras. Prevalensi
labiopalatoskisis lebih rendah pada kulit hitam dan lebih tinggi pada orang Asia
palatoskisis. Celah unilateral sembilan kali lebih sering daripada celah bilateral,
dan terjadi dua kali lebih sering pada sisi kiri dari pada kanan. labiopalatoskisis
memiliki angka kejadian sekitar 1:500-600 kelahiran hidup, dan untuk celah
palatum saja 1 dari 1000 kelahiran hidup. Insidensi lebih tinggi ditemukan pada
kelompok Asia (1:500) dan lebih rendah pada kelompok kulit hitam (1:2000). 7
2.3.3 Embriologi
Pada akhir minggu ke-4, processus facialis terbentuk secara primer oleh
sel mesenkim yang berasal dari krista neuralis. Proses pembentukan facial secara
keseluruhan di mulai dengan berpindahnya sel dari regio facial ke sel mesenkim.
25
Gambar 1. A. Pandangan dari sisi lateral embrio pada akhir minggu
ke-4 menunjukkan posisi dari arkus faringeal. B.
Pandangan dari arah frontal embrio minggu ke 5
menunjukkan processus mandibula dan maxilaris. C.
Electron micrograph embrio manusia dengan usia minggu
sama dengan B.
ventral vesikel otak, merupakan tepi atas stomodeum. Pada kedua sisi dari
cavitas nasalis, setiap cavitas dan placoda nasalis membentuk rigi jaringan.
Processus pada tepi luar dari cavitas merupakan processus nasalis lateral; dan
26
Gambar 2. Pandangan dari aspek frontal. A. Embrio minggu ke-
5. B. Embrio minggu ke-6. Processus nasalis terpisah
secara bertahap dari processus maxillaris. C. Electron
micrograph dengan usia minggu sama dengan B. 8
medial ke arah garis tengah. Selanjutnya celah diantara processus nasalis medial
dan kedua processus nasalis medialis yang berfusi bergabung membentuk segmen
(membentuk filtrum dari labium superior), komponen rahang atas (alveolus dan 4
lateralis tidak ikut membentuk labium superior. Labium inferior dan rahang
27
Gambar 3. Aspek frontal dari wajah. A. Embrio minggu ke-7.
Processus maxillaris berfusi dengan processus
nasalis medial. B. Embrio minggu ke-10. C. Electron
micrograph dari embrio manusia dengan usia
minggu sama dengan A.
primer pada satu atau kedua sisi, selalu muncul di depan foramen insisivus.
processus nasalis medial tidak hanya tumbuh pada permukaan tetapi juga pada
yang terdiri dari (a) komponen labialis, yang membentuk filtrum dari labium
superior; (b) komponen rahang atas, yang berisi 4 gigi insisivus ; dan (c)
28
Gambar 4. A. Segmen intermaxillaris dan processus maxillaris. B.
Segmen intermaxillaris menghasilkan filtrum labium
superior, bagial medial dari os maxillaris dengan
keempat gigi insisivus dan palatum triangularis
primer. 8
palatum tetap dibentuk oleh dua lempeng dari processus maxillaris. Pada kedua
tonjolan ini, yaitu lempeng palatina muncul di minggu ke-6 perkembangan dan
mengarah ke bawah secara oblik pada sisi kanan dan kiri lingua. Pada minggu ke-
di atas lingua dan berfusi membentuk palatum sekunder. Pada bagian anterior,
bersamaan septum nasalis tumbuh ke bawah dan bersatu dengan permukaan atas
29
Gambar 5. Potongan frontal kepala pada embrio minggu ke-
7. Lingua mengarah ke bawah dan lempeng-
lempeng palatina mencapai posisi horizontal. B.
Aspek ventral dari lempeng-lempeng palatina
setelah mandibula dan lingua diangkat. Lempeng-
lempeng palatina mengarah ke arah horizontal.
Septum nasi dapat terlihat. C. Electron
micrograph dengan usia minggu sama dengan A.
D. Lempeng-lempeng palatum pada usia minggu
sama dengan B.
2.3.4 Etiologi
oleh adanya interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Artinya, faktor
faktor lingkungan sebagai pemicu ekspresi gen tersebut. Interaksi keduanya akan
pola genetik, seperti autosomal resesif, autosomal dominan, dan x-linked, yang
anak dengan celah adalah 1:600-700. Seperti yang telah dijelaskan, etiologi
kelainan ini masih belum jelas. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu
30
munculnya fenotif berupa kelainan celah, antara lain: konsumsi alkohol pada
periode embrional. Beberapa bahan teratogen seperti fenitoin, asam retinoid, dan
beberapa agen anestetik juga dapat memicu terjadinya kelainan ini. Ibu yang
2.3.5 Klasifikasi
Klasifikasi embriologi
a. Embriologi labioskizis
menyatu dengan proses hidung medial di salah satu sisi, sedangkan pada
b. Embriologi palatoskizis
terjadi akibat kegagalan fusi proses palatina lateral dengan satu sama lain &
dengan septum hidung, langit palatoskizis lengkap (anterior & posterior) hasil
dari kegagalan fusi proses palatina lateral satu sama lain, dengan septum
31
Klasifikasi morfologi
a. David dan Ritchie mengklasifikasikan celah menjadi 3 grup, yaitu: celah pre-
celah palate, serta celah bibir dan langit-langit. Terdapat subklasifikasi celah
Bentukan unilateral vermillion, Grup 2: Celah pada vermillion dan bibir, Grup
3: Celah pada vermillion, bibir dan lantai hidung, Grup 4: Celah bilateral bibir
lengkap.
32
langit lunak dan keras, Grup C: celah langit-langit keras, lunak, alveolus dan
bibir (unilateral), Grup D: celah langit- langit keras, lunak, alveolus dan bibir
(bilateral).
Gambar 10. Tipe palatoskisis: (a) inkomplit, (b) unilateral komplit, (c)
bilateral komplit.
33
2.3.6 Diagnosis
Orofacial cleft termasuk cleft lip dengan atau tanpa cleft palate adalah
abnormalitas kongenital yang umum. Namun deteksi prenatal yang tepat sangat
penting karena jenis dan ekstensi dari cleft berhubungan dengan outcome yang
berhubungan secara anatomi dan abnormalitas kromosom. Cleft lip tanpa cleft
palate memiliki prognosis yang lebih baik daripada cleft lip yang disertai cleft
palate. Teknik rekonstruksi, operasi, risiko untuk kronis otitis media, kehilangan
Cleft lip yang disertai cleft palate menimbulkan morbiditas yang lebih besar dan
dua kehamilan adalah pilihan pertama untuk screening orofacial cleft. TA-US
banyak dilakukan karena mudah dan tidak menimbulkan radiasi.14 Selain itu ada
adalah gambaran rekonstruksi 3D dari regio perioral fetal. SROP dapat melihat
superior lip, alveolar ridge, dan palate sekunder dalam satu kali scan. SROP ini
digunakan untuk managemen cleft lip dengan atau tanpa cleft palate, uni atau bi-
lateral yang telah didiagnosis pada umur gestasi 22-28 minggu. 15 Namun 3-D US
lebih jarang digunakan karena membutuhkan waktu lebih lama. Sehingga orang
lebih sering menggunakan 2-D US. Untuk meningkatkan akurasi dari 2-D US ada
berwarna abu-abu dapat saja melewati adanya cleft palate saat pemeriksaan
karena bayangan dari bony alveolar ridge yang menutupi kecacatan pada palate.
34
Penggunaan warna atau power Doppler pada potongan sagittal dapat memperbaiki
minggu, dapat juga dilakukan MRI pada umur gestasi 29-30 minggu jika
terkonfirmasi saat dilakukan pemeriksaan klinis pada bayi yang sudah lahir.8
Gambar 11. Gambaran ultrasonographic prenatal dengan cleft lip and palate pada
umur gestasi 27 minggu.
2.3.7 Penatalaksanaan
pembedahan pada cacat yang ada, ahli THT mengobati masalah telinga, speech
therapist membantu bicara yang benar, orthodontist mengatur rahang dan gigi
yang biasanya dilakukan menjelang tumbuhnya gigi permanen, pekerja sosial dan
berikut:9
35
2. Palatoplasty dimulai umur 10-12 bulan
8-9 tahun
USIA TINDAKAN
0-1 minggu Pemberian nutrisi dengan kepala miring posisi 45°
1-2 minggu Pasang obturator untuk menutup celah pada langitan,
agar dapat menelan
10 minggu Labioplasty
1,5-2 tahun Palatoplasty
2-4 tahun Speech therapy
4-6 tahun Velopharyngoplasty
6-8 tahun Ortodonsi (pengaturan lengkung gigi)
8-9 tahun Alveolar bone grafting
9-17 tahun Ortodonsi tulang
17-18 tahun Cek keseimbangan mandibula dan Maksila
36
Teknik operasi labioskisis
mukosa vermilion di celah medial dan lateral, lalu menyatukan kedua mukosa.
Penyatuan mukosa itu dilakukan dengan benang jahit yang dapat diserap di
bibir dalam, setelah itu menjahit dengan benang yang tidak dapat diserap
yang dapat diserap, menjahit di bagian otot bibir medial dan lateral dengan
teknik interrupted.9
37
Rekonstruksi Bibir Sumbing
dilakukan pada bayi usia 8-12 minggu. Di Amerika, para dokter bedah
sumbing. Melakukan insisi di bagian yang sumbing dan daerah yang akan
orbikularis oris, lapisan mukosa, lapisan kulit, dan kartilago di ala nasi.
operasi unilateral. Setelah itu membuat insisi untuk filtrum dan ala nasi dari
lapis demi lapis mulai dari otot, mukosa, kulit, filtrum, dan ala nasi.
38
Gambar 13 Rekonstruksi bibir sumbing bilateral
gangguan oklusi. Secara umum, rekonstruksi ini dilakukan pada bayi usia 8-12
bulan.
otot dan mukosa, dan mukoperiosteum nasal dipisahkan dan tepinya dijahit
satu sama lain. Selanjutnya otot velar dijahit dengan horizontal mattress dan
39
Gambar 14. Rekonstruksi celah palatum unilateral
membuat flap mukosa oral dan flap otot, kemudian dijahit tumpang tindih
40
Gambar 15. Rekonstruksi palatum bilateral Bardachtwo-flap
41
2.3.8 Komplikasi
Terdapat komplikasi lain yang mungkin terkait dengan celah bibir dan
Karena pembukaan atap mulut dan bibir, fungsi otot dapat menurun, yang
2.3.9 Prognosis
dimodifikasi atau disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini
melakukan operasi saat usia masih dini, dan hal ini sangat memperbaiki
42
DAFTAR PUSTAKA
1. R Sjamsuhidajat, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-4. Penerbit
Buku Kedokteran.EGC.2014:1
2. Supit L, Prasetyono TO. Cleft lip and palate review: Epidemiology, Risk
Factors, Quality of Life, and importance of classifications. Med J Indones
Vol.17, No.4, October-Desember 2008.
3. Winn, Henry j. et all. 2009. Acute destruction by humoral antibody of rat skin
grafted to mice. The journal of experimental medicine. 137, Pp 893-910.
4. Astrid MP. Presentasi Luka Bakar. Departemen Bedah FKUI. Jakarta: 2009
5. Shehan H, Peter D. Pathophysiology and types of burns: 12 June 2004.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC421790/
6. Terapi Sel Punca pada Luka Bakar. Tempo: 25 November 2013. Jakarta
Available from: m.tempo.co
7. Supit L, Prasetyono TO. Cleft lip and palate review: Epidemiology, Risk
Factors, Quality of Life, and importance of classifications. Med J Indones
Vol.17, No.4, October-Desember 2008.
8. Stainer P, Moore GE. Genetics of cleft lip and palate: syndromic genes
contribute to the incidence of non-syndromic clefts. Human Molecular
Genetics, 2004, Vol. 13, Review Issue 1. DOI: 10.1093/hmg/ddh052.
9. Hopper RA, Cutting C, Grayson B. Cleft Lip and Palate. In Grabb and Smith’s
Plastic Surgery 6th edition. 2007. P.201-25
43