Anda di halaman 1dari 47

Case Report Session

Luka Bakar, Labiopalatoschisis

Disusun oleh:

Sevira Gusvita 1710070100121

Pembimbing :

dr. Khomeini, Sp.B

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


SMF ILMU BEDAH RSI SITI RAHMAH
PADANG
2022
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,

penulis dapat menyelesaikan penyusunan Case Report Session ini yang berjudul

“Luka Bakar, Labiopalatoschisis Case ini disusun untuk memenuhi tugas

Kepaniteraan Klinik Senior pada bagian Ilmu Bedah di RSI Siti Rahmah Padang.

Dalam penyusunan case ini penulis mengalami beberapa hambatan dan

kesulitan, namun atas bantuan dan bimbingan dari dr. Khomeini Sp.B selaku

pembimbing, maka case ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Oleh

karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada beliau

yang telah meluangkan waktu serta ilmu pengetahuannya kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan case ini masih terdapat banyak

kekurangan. Karena itu, penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca

untuk penyempurnaan di masa yang akan datang. Semoga jerih payah dalam

penulisan case ini dapat memberikan manfaat bagi semua kalangan pembaca

terutama dibidang kesehatan. Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

Padang, Desember 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar .............................................................................................. ii
Daftar Isi.......................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Tujuan......................................................................................................... 2
1.2.1 Tujuan Umum................................................................................. 2
1.2.2 Tujuan Khusus................................................................................ 2
1.2.3 Manfaat........................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 3
2.1 Anatomi Kulit ............................................................................................ 3
2.2 Luka Bakar.................................................................................................. 5
2.2.1 Definisi........................................................................................... 5
2.2.2 Epidemiologi................................................................................... 5
2.2.3 Etiologi .......................................................................................... 6
2.2.4 Patofisiologi.................................................................................... 7
2.2.5 Klasifikasi....................................................................................... 8
2.2.6 Penatalaksanaan.............................................................................. 15
2.2.7 Komplikasi...................................................................................... 22
2.2.8 Rujukan........................................................................................... 23
2.2.9 Prognosis ........................................................................................ 24
2.3 Labiopalatoskizis........................................................................................ 24
2.3.1 Definisi........................................................................................... 24
2.3.2 Epidemiologi................................................................................... 25
2.3.3 Embriologi...................................................................................... 25
2.3.4 Etiologi........................................................................................... 30
2.3.5 Klasifikasi....................................................................................... 31
2.3.6 Diagnosis........................................................................................ 34
2.3.7 Penatalaksanaan.............................................................................. 35
2.3.8 Komplikasi...................................................................................... 42

iii
2.3.9 Prognosis.........................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA.................................................................... 44

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kulit sebagai organ tubuh paling luar yang dapat memberikan

perlindungan dari lingkungan luar tubuh dan strukturnya yang komplek. Sebagai

penutup tubuh, kulit melindungi tubuh dari trauma mekanis, radiasi, kimiawi, dan

kuman infeksius. 1

Luka bakar adalah suatu trauma pada kulit yang dapat di sebabkan karena

terpaparnya zat secara langsung maupun secara radiasi. Dapat karena terpapar

oleh api, bahan kimia asam atau basa kuat, listrik tegangan tinggi, atau radiasi

sinar matahari.1

Labiopalatoskisis (celah bibir dan langit-langit, cleft lip and palate

(CLP)), merupakan kelainan kongenital kraniofacial yang disebabkan oleh

gangguan perkembangan wajah pada masa embrio. Kegagalan penyatuan

processus maxillaris dan processus nasalis media terutama pada minggu ke 5 – 7

kehamilan akan menimbulkan labioskisis unilateral ataupun bilateral. Processus

nasalis medial, yang merupakan bagian yang membentuk dua segmen

intermaxillaris, bila gagal menyatu, terjadilah celah yang disebut palatoskisis.

Labiopalatoskisis merupakan gabungan dari dua kelainan tersebut di atas.2

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Referat ini dibuat untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Stase

Bedah di RSI Siti Rahmah Padang dan juga sebagai bahan pengayaan materi agar

dokter muda mengetahui dan memahami lebih jauh tentang Luka Bakar,

1
labiopalatoskisis

1.2.2 Tujuan Khusus

Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Senior dapat mengetahui, memahami, dan

menjelaskan tentang Luka Bakar, labiopalatoskisis.

1.2.3 Manfaat

Agar referat ini dapat digunakan sebagai referensi dalam pembelajaran,

menambah ilmu pengetahuan dan agar pembaca lebih memahami tentang Luka

Bakar, labiopalatoskisis.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kulit

            Kulit adalah organ tubuh yang terluas yang terletak paling luar dan

membatasi dari lingkungan hidup manusia, juga merupakan organ essensial dan

vital serta sebagai sarana komunikasi non verbal antara individu. Kelembutan

kulit bervariasi, begitu juga ketebalan dan elastisitasnya. Luas kulit orang dewasa

adalah satu setengah sampai dua persegi. Tebalnya antara satu setengah sampai

lima millimeter, tergantung dari letak, umur, jenis kelamin, suhu dan keadaan gizi.

Fungsi utama kulit yaitu proteksi, absorpsi, ekskresi, pengindraan sensori,

termoregulasi, pembentukan pigmen, produksi vitamin D serta untuk ekspresi

emosi.3

Gambar 1 Anatomi kulit

3
Secara histologis, kulit tersusun atas beberapa lapis yaitu lapisan epidermis,

lapisan dermis serta lapisan subkutis.3

1. Epidermis

Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang tersusun atas epitel

squamos yang terutama terdiri oleh keratinosit. Epidermis tidak memiliki

pembuluh darah, sehingga mendapatkannya melalui difusi dari dasar

dermis, menuju ke membrane basalis yang memisahkan epidermis dan

dermis.

 Stratum Korneum

Disebut juga lapisan tanduk. Merupakan lapisan kulit yang paling

luar, terdiri atas sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti dan

protoplasmanya berubah menjadi keratin (zat tanduk).

 Stratum Lusidum

Merupakan lapisan yang terdiri dari sel-sel gepeng tidak berinti

dengan protoplasma yang berubah menjadi protein eleidin. Lapisan

ini tampak jelas pada telapak tangan dan kaki.

 Stratum granulosum

Terdiri dari dua sampai tiga lapis sel gepeng dengan sitoplasma

yang kasar yang terdiri atas keratohialin.

 Stratum spinosum

Di lapisan ini, terdapat proses pembuatan keratinosit. Stratum

spinosum merupakan lapisan yang paling tebal pada epidermis dan

terlibat dalam proses keluar-masuknya zat dari dalam tubuh.

Lapisan tersebut mengandung sel Langerhans, Sel-sel ini

4
menempel pada antigen yang menyerang kulit rusak, dan memberi

“sinyal” kepada sistem kekebalan.

 Stratum basalis

Merupakan dasar epidermis, berproduksi dengan cara mitosis.

Terdiri atas dua jenis sel yaitu sel kolumnair dan melanosit.

2. Dermis

Lapisan dermis jauh lebih tebal daripada epidermis, terbentuk oleh

jaringan elastic dan fibrosa dengan elemen selular, kelenjar dan rambut

ssebagai adneksa kulit. Terdiri atas dua bagian yaitu pars papilaris dan

pars retikularis. 3

3. Subkutis

Lapisan ini merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar

berisi sel-sel lemak. 3

2.2 Luka Bakar

2.2.1 Definisi

Luka bakar adalah suatu trauma jaringan pada tubuh terutama kulit akibat

sentuhan permukaan tubuh dengan benda-benda yang menghasilkan panas seperti,

api secara langsung (flame) maupun tidak langsung (flash), terkena air panas

(scald), tersentuh benda panas, sengatan matahari (sunburn), listrik, maupun

bahan kimia, dan lain-lain.4

2.2.2 Epidemiologi

Luka bakar telah menjadi masalah kesehatan masyarakat global, angka

kematiannya sekitar 195.000 orang per tahun. Menurut Riskesdas 2007,

prevalensi luka bakar di Jawa Tengah adalah 7,2% dari seluruh kejadian cedera

5
total. Data yang diperoleh dari Unit Luka Bakar RSCM dari tahun 2009 – 2010

menunjukkan bahwa penyebab luka bakar terbesar adalah ledakan tabung gas

LPG (30,4%), kebakaran (25,7%), dan tersiram air panas (19,1%) dengan

mortalitas pasien luka bakar mencapai 34%. Sebagian besar pasien dirawat karena

luka bakar dengan luas 20 -50%, menempati angka mortalitas tertinggi (58,25%)

dari keseluruhan kasus kematian akibat luka bakar(34%).4

2.2.3 Etiologi

Luka bakar pada kulit bisa disebabkan karena panas, dingin, ataupun zat

kimia. Ketika kulit terkena panas, maka kedalaman luka dipengaruhi oleh derajat

panas, durasi kontak panas pada kulit dan ketebalan kulit.4

1. Luka Bakar Termal (Thermal Burns)

Luka bakar termal disebabkan oleh air panas (scald), jilitan api ke

tubuh (flash), kobaran api ke tubuh (flame) dan akibat terpapar atau kontak

dengan objek-objek panas lainnya (logam panas dan lain-lain).

2. Luka Bakar Zat Kimia (Chemical Burns)

Luka bakar kimia biasanya disebabakn oleh asam kuat atau alkali yang biasa

digunakan bidang industri, militer, ataupun bahan pembersih yang sering

digunakan untuk keperluan rumah tangga.

3. Luka Bakar Listrik (Electrical Burns)

Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan

ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki

resistensi paling rendah; dalam hal ini cairan. Kerusakan terutama pada

pembuluh darah, khususnya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan

sirkulasi ke distal. Seringkali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik

6
kontak dengan sumber arus maupun ground.

4. Luka Bakar Radiasi (Radiation Exposure)

Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber

radioaktif. Tipe luka bakar ini sering disebabkan oleh penggunaaan radioaktif

untuk keperluan terapeutik dalam kedokteran dan industri. Akibat terpapar

sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi.

2.2.4 Patofisiologi

Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.

Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel

darah yang ada di dalamnya ikut mengalami destruksi, sehingga dapat terjadi

anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan oedem dan menimbulkan bula

yang banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan

intravaskuler.5

Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat

evaporasi yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka

bakar derajat dua dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat tiga.

Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh

masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20% akan terjadi syok hipovolemik

dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil,

dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakkan

terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam.5

Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat

terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap, atau uap panas yang

terhisap. Oedem laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan

7
napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak bewarna

gelap akibat jelaga. Dapat juga keracunan gas CO dan gas beracun lainnya.

Karbon monoksida akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin

tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas,

bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bisa

lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal. Setelah 12 –

24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan mobilisasi serta penyerapan

kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini di tandai dengan meningkatnya

diuresis.5

Menurut Jackson pada tahun 1947, luka bakar dibagi menjadi 3 zona,

yaitu:5

1. Zona koagulasi merupakan zona yang mengalami kerusakan paling berat.

Pada zona ini mengalami kehilangan jaringan yang tidak dapat dikembalikan

dikarenakan oleh koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi.

2. Zona stasis merupakan zona disekeliling zona koagulasi, ditandai dengan

penurunan perfusi pada jaringan. Jaringan pada zona stasis masih dapat

diselamatkan dengan cara melakukan resusitasi pada luka bakar sehingga

perfusi pada jaringan ini dapat meningkat dan mencegah terjadinya kerusakan

jaringan yang permanen.

Apabila terjadi hipotensi berkepanjangan, infeksi ataupun udem dapat

menyebabkan zona ini menjadi kehilangan jaringan. Hilangnya jaringan di

zona stasis akan menyebabkan luka mendalam dan melebar.

3. Zona hiperemi merupakan zona terluar dan memiliki perfusi yang lebih baik.

Jaringan pada zona ini akan selalu sembuh, kecuali ada sepsis berat dan

8
hipoperfusi berkepanjangan.

Gambar 2. Jackson’s burn model

2.2.5 Klasifikasi

Berdasarkan American Burn Association luka bakar diklasifikasikan

berdasarkan kedalaman, luas permukaan, dan derajat ringan luka bakar.5

A. Berdasarkan Kedalamannya

1. Luka Bakar Derajat I (Superficial burn)

Luka bakar derajat I hanya mengenai epidermis dan biasanya

sembuh dalam 5-7 hari. Luka tampak sebagai eritema dengan keluhan rasa

nyeri atau hipersensitifitas setempat dan tidak ada bulla. Contoh luka

bakar derajat I seperti akibat tersengat matahari. Luka dapat sembuh tanpa

bekas. Karena tidak berbahaya, luka bakar derajat I tidak memerlukan

pemberian cairan intravena.5

9
Gambar 3. Luka bakar derajat I

2. Luka Bakar Derajat II (Partial thickness burn)

Luka bakar derajat II kedalaman luka mencapai lapisan dermis.

Tetapi masih ada elemen epitel vital yang menjadi dasar regenerasi dan

epitelisasi. Elemen epitel tersebut terdiri dari sel epitel basal, kelenjar

sebasea, kelenjar keringat dan pangkal rambut. Luka dapat sembuh sendiri

dalam 2-3 minggu. Gejala yang timbul adalah kemerahan / campuran,

epidermis rusak, nyeri, sensitif terhadap udara, bengkak, permukaan basah

dan berair serta terdapat gelembung atau bulla berisi cairan eksudat yang

keluar dari pembuluh darah karena permeabilitas dindingnya meninggi.

Luka bakar derajat II sering diakibatkan oleh cairan panas dan ledakan.5

Luka bakar derajat II dibedakan menjadi 2 yaitu:

a. Derajat IIA (Superficial partial thickness burn)

Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari dermis.

Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa

terbentuk sikatriks.

b. Derajat IIB (Deep partial thickness burn)

Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa-sisa

jaringan epitel sehat tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama

dan disertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam

10
waktu > 1 bulan.

Gambar 4. Luka bakar derajat II6

c. Luka Bakar Derajat III (Full thickness burn)

Luka bakar derajat III kerusakannya meliputi seluruh

kedalaman kulit dan mungkin subkutis atau organ yang lebih dalam.

Tidak ada lagi elemen epitel hidup yang tersisa yang memungkinkan

penyembuhan dari dasar luka, biasanya diikuti dengan terbentuknya

eskar.

Eskar merupakan jaringan nekrosis akibat denaturasi protein

jaringan kulit(7). Kulit tampak pucat abu-abu gelap atau hitam, dengan

permukaan lebih rendah dari jaringan sekeliling yang masih sehat,

tidak ada bulla dan tidak terasa nyeri.5

Gambar 5. Luka bakar derajat III7

11
B. Berdasarkan derajat ringan luka bakar menurut American Burn

Association

Luka bakar dibedakan menjadi 3, yaitu luka bakar ringan, sedang dan

berat.5

a. Kriteria luka bakar ringan:

 Luka bakar derajat II < 15%.

 Luka bakar derajat II < 10% pada anak-anak.

 Luka bakar derajat III< 2%.

b. Kriteria luka bakar sedang:

 Luka bakar derajat II 10-25% pada orang dewasa.

 Luka bakar derajat II 10-20% pada anak-anak.

 Luka bakar derajat III <10%.

c. Kriteria luka bakar berat:

 Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa.

 Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak.

 Luka bakar derajat III 10% atau lebih.

 Luka bakar mengenai tangan, wajah, telinga, mata, kaki, dan

genitalia/perineum.

 Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain.

C. Berdasarkan Luas Permukaannya

Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh.

Terdapat beberapa rumus untuk menentukan luas bakar, yaitu :

12
a. Rumus 9 (Rule of nine)6

Pada orang dewasa “rumus 9” seperti berikut; luas kepala dan leher

9%, tangan kanan 9%, tangan kiri 9%, dada dan perut 18%, punggung dan

bokong 18%, kaki kanan 18%, kaki kiri 18%, dan genital 1% (7). Rumus ini

membantu untuk memperkirakan luasnya permukaan tubuh yang terbakar

pada orang dewasa.

Gambar 6. Rule of nine for adult

Pada bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan

kepala bayi jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil.

Karena perbedaan tersebut “rumus 9” pada bayi seperti berikut; kepala dan

leher 18%, tangan kanan 9%, tangan kiri 9%, dada dan perut 18%,

punggung 13%, bokong kanan 2,5%, bokong kiri 2,5%, kaki kanan 14%,

kaki kiri 14%(5). Setiap penambahan umur 1 tahun, luas area kepala

dikurangi 1% dan jumlah yang sama ditambah pada setiap ekstremitas

bawah (kiri 0,5% & kanan 0,5%). Setelah usia 10 tahun digunakan

persentase orang dewasa .

13
Gambar 7. Rule of nine for pediatric

Untuk anak kepala dan leher 15%, badan depan dan belakang

masing-masing 20 %, ekstremitas atas kanan dan kiri masing-masing 10%,

ekstremitas bawah kanan dan kiri masing-masing 15%.5

b. Lund and Browder Chart

Lund and Browder chart merupakan metode yang diperkenalkan

untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di kepala pada anak sehingga

dipergunakan untuk estimasi besarnya luas luka bakar pada anak.

14
Gambar 8. Lund and Browder Burn Chart

c. Rumus Luas Permukaan Telapak Tangan

Untuk luka bakar yang distribusinya tersebar dan berukuran kecil,

dapat menggunakan telapak tangan pasien (tanpa jari-jari) untuk

menentukan persentase luas luka bakar. Setiap 1 telapak tangan sama

dengan 1%.5

2.2.6 Penatalaksanaan

A. Primary Survey

Hal pertama yang harus dilakukan jika menemukan pasien luka bakar

di tempat kejadian adalah menghentikan proses kebakaran. Maksudnya adalah

membebaskan pasien dari pajanan atau sumber dengan memperhatikan

keselamatan diri sendiri. Bahan yang meleleh atau menempel pada kulit tidak

bisa dilepaskan. Air suhu kamar dapat disiramkan ke atas luka dalam waktu

15 menit sejak kejadian, namun air dingin tidak dapat diberikan untuk

15
mencegah terjadinya hipotermia dan vasokonstriksi.6

Penanganan awal (primary survey) pada pasien luka bakar, sebagai

berikut:6

a. Airway; membebaskan jalan napas, menilai adanya trauma inhalasi, dan

melakukan intubasi bila terdapat indikasi. Indikasi pemasangan intubasi

pada luka bakar, yaitu trauma inhalasi, stridor, luka bakar yang

melingkari leher sehingga mengakibatkan pembengkakan jaringan sekitar

jalan napas.

b. Breathing; memberikan O2, mengenali dan mengatasi keracunan CO.

c. Circulation; memantau tekanan darah dan nadi, memasang kateter urin,

memeriksa sirkulasi perifer (Capillary Refill Time / CRT), dan memasang

infus.

d. Disability; menilai GCS.

e. Environment; memadamkan sumber panas lalu merendam atau menyiram

luka bakar dengan air mengalir selama sekurang-kurangnya 15 menit,

melepaskan pakaian, memeriksa luas luka bakar, memeriksa adanya

trauma penyerta lain, dan menjaga agar pasien tetap hangat.

f. Fluid; melakukan resusitasi cairan sesuai dengan luas luka bakar.

Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar adalah:

 Preservasi reperfusi yang adekuat dan seimbang diseluruh pembuluh

vaskuler regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan.

 Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak

diperlukan.

16
 Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk

menjamin survival seluruh sel.

 Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan

stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.

Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan pada

seorang pasien luka bakar, yaitu:6

a) Cara Evans adalah sebagai berikut:

1. Luas luka (%) x berat badan (kg) = ml NaCl per 24 jam

2. Luas luka (%) x berat badan (kg) = ml plasma per 24 jam

Keduanya merupakan pengganti cairan yang hilang akibat udem.

Plasma diperlukan untuk mengganti plasma yang keluar dari

pembuluh dan meninggikan tekanan osmosis, hingga mengurangi

perembesan keluar dan menarik kembali cairan yang telah keluar.

3. Sebagai pengganti cairan yang hilang akibat penguapan, diberikan

2000cc glukosa 5% per 24 jam.

Separuh dari jumlah ketiganya diberikan dalam 8 jam pertama,

sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan

setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga, diberikan

setengah jumlah cairan hari kedua. Penderita mula-mula dipuasakan

karena peristalsis usus terhambat pada keadaan prasyok dan mulai

diberikan minum segera setelah fungsi usus normal kembali. Apabila

diuresis pada hari ketiga baik, dan pasien dapat minum, infus dapat

dikurangi bahkan diberhentikan.6

17
b) Rumus Baxter = 4cc x % luas luka bakar x berat badan (kg)

Hasil yang didapatkan, separuhnya diberikan dalam 8 jam

pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam. Hari pertama terutama

diberikan elektrolit yaitu Ringer laktat karena defisit ion Na. Hari

kedua diberikan setengah cairan pertama. Pemberian cairan dapat

ditambah jika perlu, seperti pada keadaan syok atau jika diuresis

kurang.

Hari kedua : koloid : 500 – 2000 cc + glukosa 5% untuk

mempertahankan cairan.

Pada anak :

Hari I : RL:dex 5% = 17:3

(2cc x KgBB x 10% Luka Bakar) + Keb. Faal

Kebutuhan Faal:

<1 thn = kgBB X 100cc

1 – 5 thn = kgBB X 75cc

5-15 thn = kgBB X 50cc

Hari II: sesuai kebutuhan faal

Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan cairan 4 ml

ditambah 1% dari kebutuhan. Pengawasan kecukupan cairan yang

diberikan dapat dilihat dari produksi urin yaitu pada dewasa 0,5-1,0

cc/kg/jam dan pada anak 1,0-1,5 cc/kg/jam.

18
 Indikasi rawat inap pada pasien luka adalah sebagai berikut:

1. Penderita syok atau terancam syok

– Anak : luas luka > 10%

– Dewasa : luas luka > 15%

2. Letak luka memungkinkan penderita terancam cacat berat

– Wajah, mata

– Tangan atau kaki

– Perineum

3. Terancam udem laring

– Terhirup asap atau udara hangat

B. Penanganan lanjut (secondary survey) pada pasien luka bakar, sebagai

berikut:6

1. Pemantauan terhadap tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, frekuensi

nadi dan frekuensi pernapasan.

2. Pemeriksaan penunjang untuk pasien luka bakar berat, yaitu pemeriksaan

darah, seperti hemoglobin, hematokrit dan analisis kadar elektrolit darah

serta pemeriksaan radiologi.

3. Pemasangan pipa lambung (NGT) untuk mengosongkan lambung saat

ileus paralitik.

4. Pemasangan kateter buli-buli untuk memantau diuresis.

5. Obat analgesik diberikan apabila pasien mengalami kesakitan.

6. Perawatan luka dapat dilakukan dengan mengoleskan antiseptik dan

membiarkan terbuka pada perawatan terbuka atau mengkompres luka

dengan antiseptik dan menutupnya dengan kasa steril yang telah dibubuhi

19
antiseptik untuk perawatan tertutup. Perawatan tertutup bertujuan untuk

menutup luka dari kemungkinan kontaminasi, tetapi masih cukup longgar

untuk berlangsungnya penguapan.

7. Obat topikal yang dipakai dapat berbentuk larutan, salep, atau krim.

Antiseptik yang dipakai adalah betadine atau nitras-argenti 0,5%.

Kompres nitras-argenti yang selalu dibasahi tiap 2 jam efektif sebagai

bakteriostatik untuk semua kuman, namun obat ini mengendap sebagai

garam sulfide atau klorida yang memberi warna hitam. Obat lain yang

banyak digunakan adalah silver sulfadiazin, dalam bentuk krim 1%. Krim

ini sangat berguna karena bersifat bakteriostatik, mempunyai daya serap

yang cukup, efektif terhadap semua kuman, tidak menimbulkan

resistensi, dan aman. Krim ini dioleskan tanpa pembalut, dan dapat

dibersihkan dan diganti setiap hari.

8. Antibiotik dapat diberikan dalam bentuk sediaan kasa (tulle).

9. Anti tetanus untuk pencegahan tetanus berupa ATS dan/atau toksoid.

C. Tindakan bedah6

1. Eskarektomi dilakukan pada luka bakar derajat III yang melingkar pada

ekstremitas atau tubuh karena pengerutan keropeng dari pembengkakan

yang terus berlangsung dapat mengakibatkan penekanan yang

membahayakan sirkulasi sehingga bagian distal dapat mengalami

nekrosis.

2. Debridemen diusahakan sedini mungkin untuk membuang jaringan kulit

mati dengan cara eksisi tangensial. Tindakan ini dilakukan sesegera

20
mungkin setelah keadaan pasien stabil karena eksisi tangensial juga

menimbulkan perdarahan. Biasanya eksisi dini dilakukan pada hari ketiga

sampai ketujuh, dan pasti boleh dilakukan pada hari kesepuluh. Eksisi

tangensial sebaiknya tidak dilakukan lebih dari 10% luas permukaan

tubuh karena dapat terjadi perdarahan yang cukup banyak.

3. Pasien luka bakar derajat II dalam dan derajat III dilakukan skin grafting

untuk mencegah terjadinya keloid dan jaringan parut yang hipertropik.

Skin grafting dapat dilakukan sebelum hari kesepuluh yaitu sebelum

timbulnya jaringan granulasi.

D. Nutrisi

Kebutuhan nutrisi pada pasien luka bakar antara lain:

a. Minuman diberikan pada pasien luka bakar:

 Segera setelah peristalsis menjadi normal.

 Sebanyak 25 ml/kgBB/hari

 Sampai diuresis minimal mencapai 30 ml/jam atau 1 ml/kgBB/jam

b. Makanan diberikan oral pada pasien luka bakar:

 Segera setelah dapat minum tanpa kesulitan.

 Sedapat mungkin 2500-3000 kalori/hari

 Sedapat mungkin mengandung 100-150 gr.protein/ hari

c. Tambahan, dapat diberikan:

 Vitamin A, B, dan D

 Vitamin C 500 mg

 Fe sulfat 500 mg

 Antasida diberikan untuk pencegahan tukak stress (tukak Curling).

21
2.2.7 Komplikasi

Komplikasi luka bakar dapat bermacam-macam sesuai dengan fase yang

sedang berlangsung. Pada fase akut, komplikasi yang sering terjadi adalah syok

dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada fase subakut dapat terjadi

Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ

Dysfunction Syndrome (MODS) dan Sepsis(8). SIRS adalah suatu bentuk respon

klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi

ataupun non-infeksi seperti luka bakar. Respon ini merupakan dampak dari

pelepasan mediator-mediator inflamasi (proinflamasi) yang mulanya bersifat

fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun secara berlebihan dan

mengakibatkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi

(MODS).

Kriteria SIRS yaitu:6

 Hipertermia (suhu >38oC) atau hipotermia (<36oC)

 Takikardi (frekuensi nadi >90x/menit)

 Takipneu (frekuensi nafas >20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah

(PaCO2

 <32mmHg)

 Leukositosis (jumlah leukosit >12000 sel/mm3), leukopeni (<4000

sel/mm3) atau dijumpai >10% netrofil dalam bentuk imatur (band).

Apabila dari hasil kultur darah didapatkan bukti bahwa infeksi sebagai

penyebab (bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis.

Pada fase lanjutan, komplikasi yang dapat terjadi adalah parut hipertrofik

dan kontraktur. Hipertrofi jaringan parut merupakan komplikasi yang sulit

22
dicegah, dan terbentuk akibat beberapa faktor sebagai berikut; kedalaman luka

bakar, sifat kulit, usia pasien, lamanya waktu penutupan kulit. Kontraktur adalah

komplikasi yang hampir selalu menyertai luka bakar dan menimbulkan gangguan

fungsi pergerakan.

2.2.8 Rujukan

Kriteria merujuk pasien luka bakar yang perlu dirujuk ke pusat luka bakar

menurut American Burn Association, sebagai berikut:7

 Luka bakar der. II dan III >10% luas permukaan tubuh pada pasien

berumur <10 tahun atau >50 tahun.

 Luka bakar der. II dan III >20% di luar usia tersebut diatas.

 Luka bakar der. II dan III yang mengenai wajah, mata, telinga, tangan,

kaki, genitalia, atau perineum atau yang mengenai kulit sendi-sendi

utama.

 Luka bakar der. III >5% luas permukaan tubuh pada semua umur.

 Luka bakar listrik, termasuk tersambar petir (kerusakan jaringan bawah

kulit hebat dan menyebabkan gagal ginjal akut serta komplikasi lain).

 Luka bakar kimia

 Trauma inhalasi

 Luka bakar pada pasien yang karena penyakit yang sedang dideritanya

dapat mempersulit penanganan, memperpanjang pemulihan, atau dapat

mengakibatkan kematian.

 Luka bakar dengan cedera penyerta yang menambah resiko morbiditas

dan mortalitas, ditangani dahulu di UGD sampai stabil, baru dirujuk ke

pusat luka bakar.

23
 Anak-anak dengan luka bakar yang dirawat di rumah sakit tanpa petugas

dan peralatan yang memadai, dirujuk ke pusat luka bakar.

 Pasien luka bakar yang memerlukan penanganan khusus seperti masalah

sosial, emosional atau yang rehabilitasinya lama, termasuk adanya

tindakan kekerasan pada anak atau anak yang ditelantarkan.

2.2.9 Prognosis

Prognosis pasien luka bakar ditentukan oleh:7

 Derajat luka bakar (dalam)

 Luas permukaan

 Daerah

 Usia

 Keadaan kesehatan.

2.3 Labiopalatoskizis

2.3.1 Definisi

Labiopalatoskisis berasal dari kata labium yang berarti bibir, palatum yang

berarti langit-langit, dan skisis yang berarti celah. Jadi, Labiopalatoskisis

merupakan deformitas kongenital daerah orofacial, baik labium, palatum, atau

keduanya. Celah pada labium disebut labioskisis sedangkan celah pada palatum

disebut palatoskisis. Kelainan ini dapat merupakan bagian dari suatu sindrom atau

berdiri sendiri. Defek yang ada akan menyebabkan gangguan produksi suara,

gangguan makan, gangguan pertumbuhan maxilofacial, dan pertumbuhan gigi

abnormal. Mengingat banyaknya masalah yang ada, maka Labiopalatoskisis

24
merupakan salah satu defek yang melibatkan banyak disiplin ilmu dalam

penanganannya.7

2.3.2 Epidemiologi

Perbandingan antara laki-laki dan perempuan, labioskisis dan celah

kombinasi lebih banyak pada laki-laki, sedangkan palatoskisis saja lebih banyak

pada perempuan. Angka prevalensi celah berbeda untuk tiap ras. Prevalensi

labiopalatoskisis lebih rendah pada kulit hitam dan lebih tinggi pada orang Asia

Timur. Diantara populasi penderita labiopalatoskisis, yang di diagnosis dengan

labiopalatoskisis 46%, palatoskisis 33%, kemudian labioskisis 21%. Mayoritas

labioskisis bilateral (86%) dan labioskisis unilateral (68%) berhubungan dengan

palatoskisis. Celah unilateral sembilan kali lebih sering daripada celah bilateral,

dan terjadi dua kali lebih sering pada sisi kiri dari pada kanan. labiopalatoskisis

memiliki angka kejadian sekitar 1:500-600 kelahiran hidup, dan untuk celah

palatum saja 1 dari 1000 kelahiran hidup. Insidensi lebih tinggi ditemukan pada

kelompok Asia (1:500) dan lebih rendah pada kelompok kulit hitam (1:2000). 7

2.3.3 Embriologi

Pada akhir minggu ke-4, processus facialis terbentuk secara primer oleh

sel mesenkim yang berasal dari krista neuralis. Proses pembentukan facial secara

keseluruhan di mulai dengan berpindahnya sel dari regio facial ke sel mesenkim.

Processus maxillaris dapat dikenali di sebelah lateral stomodeum, dan processus

mandibularis di sebelah caudal stomadeum. 7

25
Gambar 1. A. Pandangan dari sisi lateral embrio pada akhir minggu
ke-4 menunjukkan posisi dari arkus faringeal. B.
Pandangan dari arah frontal embrio minggu ke 5
menunjukkan processus mandibula dan maxilaris. C.
Electron micrograph embrio manusia dengan usia minggu
sama dengan B.

Processus frontonasalis dibentuk oleh proliferasi sel mesenkim di sebelah

ventral vesikel otak, merupakan tepi atas stomodeum. Pada kedua sisi dari

processus frontonasalis, muncul penebalan permukaan ektoderm, yaitu plakoda

nasalis, yang berasal dari bagian ventral otak depan. 7

Pada minggu kelima, plakoda nasalis akan berinvaginasi membentuk

cavitas nasalis, setiap cavitas dan placoda nasalis membentuk rigi jaringan.

Processus pada tepi luar dari cavitas merupakan processus nasalis lateral; dan

yang berada pada tepi dalam merupakan processus nasalis medial. 7

26
Gambar 2. Pandangan dari aspek frontal. A. Embrio minggu ke-
5. B. Embrio minggu ke-6. Processus nasalis terpisah
secara bertahap dari processus maxillaris. C. Electron
micrograph dengan usia minggu sama dengan B. 8

Selama 2 minggu selanjutnya, ukuran processus maxillaris terus

bertambah dan tumbuh ke arah medial, sehingga mendesak processus nasalis

medial ke arah garis tengah. Selanjutnya celah diantara processus nasalis medial

dan processus maxillaris menutup secara perlahan, kedua processus maxillaris

dan kedua processus nasalis medialis yang berfusi bergabung membentuk segmen

inter maxillaris. Segmen inter maxillaris membentuk 1 komponen labium superior

(membentuk filtrum dari labium superior), komponen rahang atas (alveolus dan 4

gigi insisivus), dan palatum (palatum primer triangular). Processus nasalis

lateralis tidak ikut membentuk labium superior. Labium inferior dan rahang

bawah dibentuk oleh processus mandibula yang menyatu di garis tengah.7

27
Gambar 3. Aspek frontal dari wajah. A. Embrio minggu ke-7.
Processus maxillaris berfusi dengan processus
nasalis medial. B. Embrio minggu ke-10. C. Electron
micrograph dari embrio manusia dengan usia
minggu sama dengan A.

Labioskisis terjadi dari kegagalan menyatunya sebagian atau seluruhnya dari

jembatan epitel karena kekurangan pertumbuhan jaringan mesoderm dan

proliferasi processus maxillaris dan processus nasalis medialis. Celah palatum

primer pada satu atau kedua sisi, selalu muncul di depan foramen insisivus.

Disebabkan oleh pertumbuhan ke arah medial dari processus maxillaris, kedua

processus nasalis medial tidak hanya tumbuh pada permukaan tetapi juga pada

bagian yang terdalam.7

Struktur yang terbentuk oleh kedua processus yaitu processus maxillaris,

yang terdiri dari (a) komponen labialis, yang membentuk filtrum dari labium

superior; (b) komponen rahang atas, yang berisi 4 gigi insisivus ; dan (c)

komponen palatum, yang membentuk palatum trianguaris primer. 7

28
Gambar 4. A. Segmen intermaxillaris dan processus maxillaris. B.
Segmen intermaxillaris menghasilkan filtrum labium
superior, bagial medial dari os maxillaris dengan
keempat gigi insisivus dan palatum triangularis
primer. 8

Meskipun palatum primer berasal dari segmen intermaxillaris, bagian utama

palatum tetap dibentuk oleh dua lempeng dari processus maxillaris. Pada kedua

tonjolan ini, yaitu lempeng palatina muncul di minggu ke-6 perkembangan dan

mengarah ke bawah secara oblik pada sisi kanan dan kiri lingua. Pada minggu ke-

7, lempeng-lempeng palatina mengarah ke atas untuk mencapai posisi horizontal

di atas lingua dan berfusi membentuk palatum sekunder. Pada bagian anterior,

lempeng-lempeng tersebut bersatu, satu sama lain sehingga membentuk palatum

sekunder. Saat lempeng-lempeng dari palatina berfusi, pada waktu yang

bersamaan septum nasalis tumbuh ke bawah dan bersatu dengan permukaan atas

palatum yang baru terbentuk. 7

29
Gambar 5. Potongan frontal kepala pada embrio minggu ke-
7. Lingua mengarah ke bawah dan lempeng-
lempeng palatina mencapai posisi horizontal. B.
Aspek ventral dari lempeng-lempeng palatina
setelah mandibula dan lingua diangkat. Lempeng-
lempeng palatina mengarah ke arah horizontal.
Septum nasi dapat terlihat. C. Electron
micrograph dengan usia minggu sama dengan A.
D. Lempeng-lempeng palatum pada usia minggu
sama dengan B.

2.3.4 Etiologi

Seperti kebanyakan kasus kelainan kongenital, celah orofacial disebabkan

oleh adanya interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Artinya, faktor

genetik merupakan suatu kerentanan yang dimiliki individu tertentu, sedangkan

faktor lingkungan sebagai pemicu ekspresi gen tersebut. Interaksi keduanya akan

menyebabkan gangguan perkembangan pada tahap awal kehamilan.8

Dasar genetika kelainan celah sendiri cukup heterogen. Terdapat berbagai

pola genetik, seperti autosomal resesif, autosomal dominan, dan x-linked, yang

berkaitan dengan klinis labiopalatoskisis. Pada keseluruhan orang tua, memiliki

anak dengan celah adalah 1:600-700. Seperti yang telah dijelaskan, etiologi

kelainan ini masih belum jelas. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu

30
munculnya fenotif berupa kelainan celah, antara lain: konsumsi alkohol pada

periode embrional. Beberapa bahan teratogen seperti fenitoin, asam retinoid, dan

beberapa agen anestetik juga dapat memicu terjadinya kelainan ini. Ibu yang

merokok pada masa kehamilan juga dapat penyebabkan peningkatan angka

kejadian labiopalatoskisis sebanyak 2 kali.8

2.3.5 Klasifikasi

Ada beberapa klasifikasi celah orofasial yang diberikan oleh beberapa

penulis. Namun pada dasarnya, klasifikasi dibagi menjadi 2 kategori, yaitu: 8

Klasifikasi embriologi

a. Embriologi labioskizis

Labioskizis unilateral terjadi akibat dari kegagalan proses maxillary

menyatu dengan proses hidung medial di salah satu sisi, sedangkan pada

labioskizis bilateral merupakan hasil dari kegagalan proses maxillary untuk

bergabung dengan proses hidung medial di kedua sisi, labioskizis median

dihasilkan dari kegagalan hidung medial proses untuk menggabungkan dan

membentuk segmen intermaxillary, labioskizis miring hasil dari kegagalan

proses maxillary untuk menyatu dengan proses hidung lateral.

b. Embriologi palatoskizis

Palatoskizis anterior terjadi akibat kegagalan fusi proses palatina

lateral yang gagal menyatu dengan langit-langit primer, palatoskizis posterior

terjadi akibat kegagalan fusi proses palatina lateral dengan satu sama lain &

dengan septum hidung, langit palatoskizis lengkap (anterior & posterior) hasil

dari kegagalan fusi proses palatina lateral satu sama lain, dengan septum

hidung dan palatum primer.

31
Klasifikasi morfologi

a. David dan Ritchie mengklasifikasikan celah menjadi 3 grup, yaitu: celah pre-

alveolar, celah post-alveolar, dan celah alveolar. Terdapat subklasifikasi

celah unilateral, celah median, dan celah bilateral.

Gambar 6. Klasifikasi David Ritchie

b. Fogh-Anderson mengklasifikasikan celah menjadi 3 grup, yaitu: celah bibir,

celah palate, serta celah bibir dan langit-langit. Terdapat subklasifikasi celah

unilateral dan celah bilateral.

c. Veau mengklasifikasikan celah bibir menjadi empat kelompok besar; Grup 1:

Bentukan unilateral vermillion, Grup 2: Celah pada vermillion dan bibir, Grup

3: Celah pada vermillion, bibir dan lantai hidung, Grup 4: Celah bilateral bibir

lengkap.

Gambar 7. Klasifikasi celah bibir Veau

Veau juga mengklasifikasikan celah langit-langit menjadi empat

kelompok utama; Grup A: celah langit-langit lunak, Grup B: celah langit-

32
langit lunak dan keras, Grup C: celah langit-langit keras, lunak, alveolus dan

bibir (unilateral), Grup D: celah langit- langit keras, lunak, alveolus dan bibir

(bilateral).

Gambar 8. Klasifikasi celah palatum Veau.

Gambar 9. Tipe labioskisis: (a) unilateral inkomplit, (b) unilateral


komplit, (c) bilateral komplit.1

Gambar 10. Tipe palatoskisis: (a) inkomplit, (b) unilateral komplit, (c)
bilateral komplit.

33
2.3.6 Diagnosis

Orofacial cleft termasuk cleft lip dengan atau tanpa cleft palate adalah

abnormalitas kongenital yang umum. Namun deteksi prenatal yang tepat sangat

penting karena jenis dan ekstensi dari cleft berhubungan dengan outcome yang

berhubungan secara anatomi dan abnormalitas kromosom. Cleft lip tanpa cleft

palate memiliki prognosis yang lebih baik daripada cleft lip yang disertai cleft

palate. Teknik rekonstruksi, operasi, risiko untuk kronis otitis media, kehilangan

pendengaran, lafal yang abnormal akan sangat berbeda dibandingkan keduanya.

Cleft lip yang disertai cleft palate menimbulkan morbiditas yang lebih besar dan

memerlukan perbaikan yang lebih banyak yang berhubungan dengan lebih

banyaknya tindakan operasi.8

Transabdominal ultrasonography (TA-US) yang dilakukan pada trimester

dua kehamilan adalah pilihan pertama untuk screening orofacial cleft. TA-US

banyak dilakukan karena mudah dan tidak menimbulkan radiasi.14 Selain itu ada

juga 3-D US seperti Ultrasonographic surface rendered oro-palatal (SROP) yang

adalah gambaran rekonstruksi 3D dari regio perioral fetal. SROP dapat melihat

superior lip, alveolar ridge, dan palate sekunder dalam satu kali scan. SROP ini

digunakan untuk managemen cleft lip dengan atau tanpa cleft palate, uni atau bi-

lateral yang telah didiagnosis pada umur gestasi 22-28 minggu. 15 Namun 3-D US

lebih jarang digunakan karena membutuhkan waktu lebih lama. Sehingga orang

lebih sering menggunakan 2-D US. Untuk meningkatkan akurasi dari 2-D US ada

penggunaan aplikasi warna atau power Doppler. Ultrasound konvensional yang

berwarna abu-abu dapat saja melewati adanya cleft palate saat pemeriksaan

karena bayangan dari bony alveolar ridge yang menutupi kecacatan pada palate.

34
Penggunaan warna atau power Doppler pada potongan sagittal dapat memperbaiki

keakuratan diagnostik dengan mendeteksi aliran lambat cairan amniotik diantara

ruang buccal dan nasal fossa selama bernafas atau menelan.8

Selain ultrasound yang biasanya dilakukan pada umur gestasi 25-26

minggu, dapat juga dilakukan MRI pada umur gestasi 29-30 minggu jika

pemeriksaan secara ultrasound terlalu sulit. Kepastian diagnosis akan

terkonfirmasi saat dilakukan pemeriksaan klinis pada bayi yang sudah lahir.8

Gambar 11. Gambaran ultrasonographic prenatal dengan cleft lip and palate pada
umur gestasi 27 minggu.

2.3.7 Penatalaksanaan

Karena banyaknya masalah yang di hadapi, maka kelainan ini harus

ditanggulangi bersama-sama interdisipliner. Ahli bedah plastik melakukan

pembedahan pada cacat yang ada, ahli THT mengobati masalah telinga, speech

therapist membantu bicara yang benar, orthodontist mengatur rahang dan gigi

yang biasanya dilakukan menjelang tumbuhnya gigi permanen, pekerja sosial dan

psikolog membantu mengatasi keluhan kejiwaan setelah penderita dilahirkan.8

Adapun tahapan penatalaksanaan labiopalatoskisis adalah sebagai

berikut:9

1. Labioplasty dimulai umur 10 minggu (3 bulan), Berat badan 10 pon (5

Kg), dan Hb>10g%.

35
2. Palatoplasty dimulai umur 10-12 bulan

3. Speech therapy segera setelah dilakukan cheilopalatoraphy untuk

mencegah timbulnya suara nasal

4. Pharyngoplasty dilakukan umur 5-6 tahun

5. Orthodonti dilakukan untuk memperbaiki lengkung alveolus pada umur

8-9 tahun

6. Bone grafting dilakukan umur 9-11 tahun, dan dilanjutkan hingga

pertumbuhan gigi berhenti

7. Operasi advancement osteotomi Le Fort I umur 17 tahun, dimana os

facial telah berhenti pertumbuhannya.

USIA TINDAKAN
0-1 minggu Pemberian nutrisi dengan kepala miring posisi 45°
1-2 minggu Pasang obturator untuk menutup celah pada langitan,
agar dapat menelan
10 minggu Labioplasty
1,5-2 tahun Palatoplasty
2-4 tahun Speech therapy
4-6 tahun Velopharyngoplasty
6-8 tahun Ortodonsi (pengaturan lengkung gigi)
8-9 tahun Alveolar bone grafting
9-17 tahun Ortodonsi tulang
17-18 tahun Cek keseimbangan mandibula dan Maksila

Manajemen labiopalatoskisis sendiri secara umum dibagi

menjadi dua tahapan besar, yaitu manajemen primer dan sekunder.

Manajemen primer mencakup diagnosis antenatal, feeding (termasuk

masalah airway), dan koreksi bedah, sedangkan manajemen sekunder

mencakup seluruh prosedur penanganan hearing, speech, dan dental.9

36
Teknik operasi labioskisis

 Perlekatan bibir unilateral

Menggunakan Millard rotation, metode ini dimulai dengan langkah

pertama yaitu menentukan area operasi. Kemudian membuat flap segiempat di

mukosa vermilion di celah medial dan lateral, lalu menyatukan kedua mukosa.

Penyatuan mukosa itu dilakukan dengan benang jahit yang dapat diserap di

bibir dalam, setelah itu menjahit dengan benang yang tidak dapat diserap

melewati kartilago septum di sisi tidak bercelah melewati muskulus

orbicularis oris, lalu kembali ke kartilago septum. Kemudian dengan benang

yang dapat diserap, menjahit di bagian otot bibir medial dan lateral dengan

teknik interrupted.9

Gambar 11. Perlekatan bibir unilateral

 Perlekatan bibir bilateral

Metode ini sama dengan operasi unilateral, hanya berbeda penggunaan

teknik menjahit dengan teknik horizontal mattress

Gambar 12. Perlekatan bibir bilateral

37
Rekonstruksi Bibir Sumbing

Jika tidak dilakukan perlekatan bibir sebelumnya, rekonstruksi ini

dilakukan pada bayi usia 8-12 minggu. Di Amerika, para dokter bedah

menggunakan rule of ten untuk rekonstruksi bibir dengan kiriteria bayi

setidaknya usia 10 minggu, berat 10 pon, dan hemoglobin 10 gram/dL.

 Rekonstruksi bibir sumbing unilateral

Sebelum operasi, operator menentukan dasar ala nasal, ujung

vermilion, bagian tengah vermilion, dan panjang filtrum di bagian yang

sumbing. Melakukan insisi di bagian yang sumbing dan daerah yang akan

direkonstruksi, kemudian menjahit lapis demi lapis mulai dari muskulus

orbikularis oris, lapisan mukosa, lapisan kulit, dan kartilago di ala nasi.

Gambar 12. Rekonstruksi bibir sumbing unilateral

 Rekonstruksi bibir sumbing bilateral

Rekonstruksi bibir sumbing bilateral Prinsip operasi ini sama dengan

operasi unilateral. Setelah itu membuat insisi untuk filtrum dan ala nasi dari

prolabium, melonggarkan tegangan muskulus orbicularis oris, dan menjahit

lapis demi lapis mulai dari otot, mukosa, kulit, filtrum, dan ala nasi.

38
Gambar 13 Rekonstruksi bibir sumbing bilateral

Rekonstruksi Celah Palatum

Rekonstruksi ini bertujuan membantu perkembangan berbicara,

mencegah kemungkinan gangguan pertumbungan maksilofasial, dan

gangguan oklusi. Secara umum, rekonstruksi ini dilakukan pada bayi usia 8-12

bulan.

 Rekonstruksi celah palatum unilateral

Operasi ini dimulai dengan menentukan daerah operasi di tepi celah

palatum pada teknik Bardach two-flap. Melakukan insisi celah di palatum

durum 1-2 mm di lateral tepi celah, insisi 1 cm di posterior tuberositas maksila

dan mengarah ke anterior, kemudian bersatu dengan insisi di medial. Setelah

insisi dilakukan, lapisan submukoperiosteum bilateral dibuka untuk

mengidentifikasi foramen palatina tempat keluar arteri palatine mayor.

Kemudian tepi posterior palatum durum diidentifikasi dan memotong serat

otot dan mukosa, dan mukoperiosteum nasal dipisahkan dan tepinya dijahit

satu sama lain. Selanjutnya otot velar dijahit dengan horizontal mattress dan

akhirnya melekatkan mukoperiosteal oral.

39
Gambar 14. Rekonstruksi celah palatum unilateral

 Rekonstruksi Celah palatum bilateral

Prosedur ini dapat dilakukan dengan beberapa teknik, seperti teknik

Bardachtwo-flap dengan prosedur sama dengan unilateral.

- Teknik Wardill-Kilner/ V-Y advancement membuat flap mukoperiosteal

berbentuk Y oral di ujung palatum sekunder, dan melakukan prosedur

seperti teknik Bardach two-flap.

- Teknik Furlow menggunakan prosedur berbeda, yaitu Z-plasti, dengan

membuat flap mukosa oral dan flap otot, kemudian dijahit tumpang tindih

dengan membentuk huruf Z.

40
Gambar 15. Rekonstruksi palatum bilateral Bardachtwo-flap

Beberapa hal yang perlu dilakukan dan dipantau pada

pasien labiopalatoskisis paska bedah adalah: 9

- Paska bedah, feeding dilakukan dengan menggunakan ujung dot lembut

yang dipotong ujungnya.

- Bayi perlu dihospitalisasi untuk pemberian cairan intravena hingga

intake oral memungkinkan dilakukan

- Jahitan hams tetap bersih dengan berkumur / dilusi larutan hidrogen

peroksida 3 kali sehari setelah makan

- Bila menggunakan benang jahit yang nonresorbable, jahitan dapat

dilepas pada hari ke-5 paska operasi.

41
2.3.8 Komplikasi

Terdapat komplikasi lain yang mungkin terkait dengan celah bibir dan

celah langit-langit, termasuk yang berikut:9

 Kesulitan makan terjadi lebih banyak dengan kelainan langit-langit celah.

Bayi mungkin tidak dapat mengisap dengan baik karena langit-langit

mulut tidak terbentuk sepenuhnya.

 Infeksi telinga sering disebabkan oleh disfungsi tuba yang

menghubungkan telinga tengah dan tenggorokan. Infeksi berulang dapat

menyebabkan gangguan pendengaran.

 Karena pembukaan atap mulut dan bibir, fungsi otot dapat menurun, yang

dapat menyebabkan keterlambatan bicara atau bicara abnormal. Rujukan

ke ahli terapi bicara harus didiskusikan dengan dokter anak Anda.

 Sebagai akibat dari ketidaknormalan, gigi mungkin tidak tumbuh secara

normal dan perawatan ortodontik biasanya diperlukan.

2.3.9 Prognosis

Kelainan labiopalatoskisis merupakan kelainan kongenital yang dapat

dimodifikasi atau disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini

melakukan operasi saat usia masih dini, dan hal ini sangat memperbaiki

penampilan wajah secara signifikan. Dengan adanya teknik pembedahan yang

makin berkembang, 80% anak dengan labiopalatoskisis yang telah ditatalaksana

mempunyai perkembangan kemampuan bicara yang baik. Terapi bicara yang

berkesinambungan menunjukkan hasil peningkatan yang baik pada masalah-

masalah berbicara pada anak labiopalatoskisis.9

42
DAFTAR PUSTAKA

1. R Sjamsuhidajat, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-4. Penerbit
Buku Kedokteran.EGC.2014:1
2. Supit L, Prasetyono TO. Cleft lip and palate review: Epidemiology, Risk
Factors, Quality of Life, and importance of classifications. Med J Indones
Vol.17, No.4, October-Desember 2008.
3. Winn, Henry j. et all. 2009. Acute destruction by humoral antibody of rat skin
grafted to mice. The journal of experimental medicine. 137, Pp 893-910.
4. Astrid MP. Presentasi Luka Bakar. Departemen Bedah FKUI. Jakarta: 2009
5. Shehan H, Peter D. Pathophysiology and types of burns: 12 June 2004.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC421790/
6. Terapi Sel Punca pada Luka Bakar. Tempo: 25 November 2013. Jakarta
Available from: m.tempo.co
7. Supit L, Prasetyono TO. Cleft lip and palate review: Epidemiology, Risk
Factors, Quality of Life, and importance of classifications. Med J Indones
Vol.17, No.4, October-Desember 2008.
8. Stainer P, Moore GE. Genetics of cleft lip and palate: syndromic genes
contribute to the incidence of non-syndromic clefts. Human Molecular
Genetics, 2004, Vol. 13, Review Issue 1. DOI: 10.1093/hmg/ddh052.
9. Hopper RA, Cutting C, Grayson B. Cleft Lip and Palate. In Grabb and Smith’s
Plastic Surgery 6th edition. 2007. P.201-25

43

Anda mungkin juga menyukai