DISUSUN OLEH:
WISPA HANYDAAYNI,SST P01720423
Gambar 2.1. Potongan axial dari serebrum. Basal ganglia adalah yang ditunjukkan
oleh lingkaran berwarna merah.
Lokasi tersering terjadinya PIS adalah pada basal ganglia, tepatnya pada putamen,
dengan persentase 35% hingga 50%, diikuti dengan lobar sekitar 30%, thalamus (10 hingga
15%), pons (5 hingga 12%), nukleus kaudatus (7%), dan serebelum (5%) (Fisher, 1959; Freytag,
1968; Furlan, 1979).
Arteri yang sering ruptur pada perdarahan intrsebral spontan adalah arteri lentikulostriata
yang merupakan cabang langsung dan arteri serebri media. Ruptur dan arteri ini akan
mengakibatkan perdarahan pada basal ganglia, tepatnya putamen. Arteri Thalamo-perforata yang
merupakan percabangan dan arteri serebri anterior dan media juga merupakan sumber terjadinya
PIS. Ruptur arteri ini akan mengakibatkan perdarahan thalamus. Arteri lain yang terlibat pada
PIS adalah cabang paramedian dari arteri basilaris, yang mana akan menyebabkan perdarahan
dan pons dan serebelum (Manish, 2012).
4
Perdarahan intraventrikular (PIV) juga sering terjadi menyertai PIS pada kasus-kasus
stroke hemoragik. Menjangkiti 12%-45% dengan pasien yang mengalami PIS. Tetapi PIV juga
dapat terjadi tanpa disertai dengan PIS (Hallevi, 2008; Leira, 2004; Tuhrim, 1999).
Gambar 2.2. Lokasi dan perdarahan yang dapat terjadi pada PIS
sekitarnya bahkan dapat masuk ke dalam ventrikel atau ke ruangan subaraknoid yang akan
bercampur dengan cairan serebrospinal dan merangsang meningens.
Onset perdarahan intraserebri sangat mendadak, seringkali terjadi saat beraktivitas dan
disertai nyeri kepala berat, muntah dan penurunan kesadaran, kadang-kadang juga disertai
kejang. Distribusi umur biasanya pada usia pertengahan sampai tua dan lebih sering dijumpai
pada laki-laki. Hipertensi memegang peranan penting sebagai penyebab lemahnya dinding
pembuluh darah dan pembentukan mikroaneurisma. Pada pasien nonhipertensi usia lanjut,
penyebab utama terjadinya perdarahan intraserebri adalah amiloid angiopathy. Penyebab lainnya
dapat berupa aneurisma, AVM, angiopati kavernosa, diskrasia darah, terapi antikoagulan,
kokain, amfetamin, alkohol dan tumor otak. Dari hasil anamnesa tidak dijumpai adanya riwayat
TIA.
Lokasi perdarahan umumnya terletak pada daerah ganglia basalis, pons, serebelum dan
thalamus. Perdarahan pada ganglia basalis sering meluas hingga mengenai kapsula interna dan
kadang-kadang rupture ke dalam ventrikel lateral lalu menyebar melalui system ventrikuler ke
dalam rongga subarachnoid. Adanya Perluasan intraventrikuler sering berakibat fatal. Perdarahan
pada lobus hemisfer serebri atau serebelum biasanya terbatas dalam parenkim otak.
Apabila pasien dengan perdarahan intraserebri dapat bertahan hidup, adanya darah dan
jaringan nekrotik otak akan dibersihkan oleh fagosit. Jaringan otak yang telah rusak sebagian
digantikan pleh jaringan ikat, lia dan pembuluh darah baru, yang meninggalkan rongga kecil
yang terisi cairan. .
Gambaran klinis tergantung dari lokasi dan ukuran hematoma. Karakteristiknya berupa
sakit kepala, muntah-muntah dan kadang-kadang kejang pada saat permulaan. Kesadaran dapat
terganggu pada keadaan awal dan menjadi jelas dalam waktu 24-48 jam pertama bila volume
darah lebih dari 50 cc. Karena jaringan otak terdorong, maka timbul gejala defisit neurologik
yang cepat menjadi berat dalam beberapa jam.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan CSS seperti air cucian daging (xanthocrome) pada
pungsi lumbal dan adanya perdarahan (hiperdens) pada CT Scan.
6
Patofisiologi
Pada orang normal terdapat sistem autoregulasi arteri serebral, dimana bila tekanan darah
sistemik meningkat maka pembuluh serebral akan vasokonstriksi, sebaliknya bila tekanan darah
sistemik menurun maka pembuluh serebral akan vasodilatasi, dengan demikian aliran darah ke
otak tetap konstan. Batas atas tekanan darah sistemik yang masih dapat ditanggulangi adalah
tekanan darah sistolik 150-200 mmHg dan diastolic 110-120 mmHg. Ketika tekanan darah
sistemik meningkat, pembuluh serebral akan berkonstriksi, namun bila keadaan ini terjadi selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun, akan menyebabkan degenerasi pada lapisan otot pembuluh
serebral, yang akan menyebabkan pembuluh diameter lumen pembuluh darah menjadi sulit
berubah. Hal ini berbahaya karena pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi
dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi tekanan darah.
Pada hipertensi kronis, pembuluh darah arteriol akan mengalami perubahan degeneratif
yang menyebabkan dinding pembuluh darah arteriol menjadi lemah sehingga akan menimbulkan
mikroaneurisma yang tersebar disepanjang pembuluh darah disebut mikroaneurisma Charchot-
Bouchard, dengan bentuk seperti kantung yang menonjol melalui tunika media yang lemah.
8
Teori yang dikemukakan oleh Kaplan (1990), jika terjadi peningkatan tekanan darah
kronis maka akan menyebabkan kerusakan spesifik pembuluh darah melalui tiga mekanisme
yang saling berhubungan, yaitu pulsatile flow, endothelial denudation, dan replikasi sel otot
polos. Namun yang dapat menyebabkan perdarahan intraserebral adalah mekanisme pulsatile
flow, dimana tekanan darah yang tinggi akan menyebabkan tekanan pada jaringan kolagen dan
elastin dinding pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan kerusakan berupa medionekrosis,
aneurisma, dan perdarahan.
Bila pembuluh darah pecah akan terjadi perdarahan atau hematom sampai dengan
maksimal 6 jam, yang akan berhenti sendiri akibat pembentukan bekuan darah dan ditampon
oleh jaringan sekitarnya. Jika perdarahan terus berlanjut dengan volume yang besar akan
merusak struktur anatomi otak, ditambah lagi terjadinya edema awal disekitar hematom akibat
pelepasan dan akumulasi protein serum aktif osmotic dari bekuan darah. Akibatnya akan
destruksi massa otak dan terjadi peninggian tekanan intracranial yang menyebabkan tekanan
perfusi otak yang menurun serta terganggunya aliran darah otak. Proses ini akan berlanjut
terjadinya kaskade iskemik dan terjadinya edema sitotoksik yang akan menyebabkan kematian
sel otak, dan massa didalam otak akan bertambah sehingga dapat terjadi herniasi otak yang dapat
menyebabkan kematian.
Aneurisma
Aneurisma merupakan suatu kelainan congenital pada pembuluh darah, dimana terjadi
gangguan perkembangan dinding pembuluh darah yaitu pada tunika media dan lamina
elastika. Akibat adanya gangguan pada tunika media, dan terjadi perubahan degeneratif
9
sehingga dapat terjadi destruksi local pada membrane elastika interna yang menyebabkan
tunika intima menonjol dan membentuk suatu aneurisma bentuk sakuler. Ukuran aneurisma
ini rata-rata 7,5 mm, bila > 10 mm maka akan mudah terjadi ruptur.
Amiloid Angiopati
Cerebral amiloid angiopati atau disebut juga congophilic angiopati merupakan suatu
kelainan pada dinding pembuluh darah otak akibat deposit protein beta amiloid. Deposit ini
terjadi pada dinding arteri tunika media dan tunika adventisia arteri kecil atau sedang yang
terletak di korteks, leptomeningen dan subkortikal substansia alba dimana menggantikan
jaringan kolagen dan elemen kontraktilitas pembuluh darah dengan amiloid protein beta ini.
Deposit amiloid ini menyebabkan kerusakan pada tunika media dan adventisia pembuluh
darah otak kortikal dan leptomeningen. Terjadi penebalan membran basalis sehingga terjadi
stenosis lumen pembuluh darah dan fragmentasi/kerusakan pada tunika lamina elastika
interna, sehingga dinding pembuluh darah menjadi rapuh dan mudah terjadi ruptur pembuluh
darah.
Tumor Otak
Tumor otak dapat menyebabkan perdarahan intraserebral biasanya oleh jenis tumor ganas
yang primer atau bentuk metastasis dengan presentasi 5-10%. Tumor otak primer yang dapat
mengalami perdarahan adalah glioblastoma, oligodendroma, medulloblastoma,
hemangioblastoma atau metastase. Namun yang paling sering terjadi adalah pada
glioblastoma dan metastase. Metastase yang sering alami perdarahan intraserebral adalah
tumor primer melanoma, karsinoma bronkial, karsinoma ginjal dan choriokarsinoma.
Perdarahan diduga karena rapuhnya pembuluh darah abnormal dalam tumor yang kaya akan
komponen vaskuler.
Diskrasia darah
Yang termasuk diskrasia darah yang dapat menyebabkan perdarahan intraserebral adalah
anemia sickle cell, leukimia dan hemofilia serta gangguan koagulasi yang didapat, misalnya
pada penyakit hepar yang berat seperti sirosis hepar dan hepatitis fulminan dapat
menyebabkan gangguan sintesis faktor pembekuan, peningkatan fibrinolisis, dan
trombositopenia.
Antikoagulan
Pada penggunaan obat antikoagulan heparin atau warfarin, sekitar 9% dapat terjadi
perdarahan intraserebral. Biasanya terjadi perdarahan apabila antikoagulan digunakan secara
berlebihan atau penggunaan jangka panjang dengan insidens 8-11 kali jika dibandingkan
pada pasien yang tidak mendapatkan antikoagulan. Faktor predisposisi yang dapat
menyebabkan perdarahan pada pasien yang menggunakan antikoagulan adalah meningkatnya
umur, infark iskemik yang luas dan adanya hipertensi berat.
Trombolitik
Perdarahan merupakan gejala toksisitas mayor pada penggunaan obat-obat trombolitik,
hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
- Lisisnya fibrin pada trombin yang terbentuk di pembuluh darah yang luka
- Lisis sistemik yang diakibatkan oleh pembentukan plasmin, fibrinolisis dan destruksi
faktor-faktor pembekuan.
Namun mekanisme yang mendasari terjadinya perdarahan otak ini belum diketahui jelas.
Vaskulitis
Vaskulitis merupakan penyakit inflamasi pada pembuluh darah arteri dan vena, misalnya
penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (SLE). SLE secara histologis ditandai dengan adanya
inflamasi mononuclear sel raksasa (giant cell) dalam tunika media dan adventisia arteri dan
vena berukuran kecil dan sedang. Keadaan ini menyebabkan lemahnya dinding pembuluh
darah sehingga terbentuk mikroaneurisma. Rupturnya pembuluh darah tersebut oleh karena
adanya riwayat hipertensi atau penyakit lain yang dapat memicunya.
11
Pada PIS, lokasi perdarahan dapat menunjukkan gejala neurologis tertentu seperti :
1. Sistem Karotis
Perdarahan striata atau putamen dan kapsula interna yang berdekatan. Gejala yang
sering dijumpai diantaranya nyeri kepala, muntah, parese otot wajah, gangguan bicara,
penurunan kesadaran, hemianopia homonim, hemihipestesia, hemiplegia. Bila perdarahan
terbatas pada nukleus caudatus, defisit neurologis kurang berat dan bersifat sementara.
Perdarahan Talamus. Defisit neurologis yag biasa dijumpai adalah hemihipestesia,
hemiparese/hemiplegi, gaze palsy keatas (pada waktu istirahat posisi mata kea bawah),
pupil kecil, tidak berekasi terhadap cahaya, bila sisi dominan yang terkenan maka akan
dapat dijumpai afasia atau disfasia global, sedangkan pada sisi non dominan akan
didapatkan anosognosia.
Perdarahan pada lobus hemisfer serebri. Terjadi paling sering di daerah temporo-
oksipital. Defisit neurologis yang terjadi bervariasi tergantung lobus mana yang terkena.
2. Sistem Vertebrobasiler
Perdarahan mesensefalon. Defisit neurologis yang didapatkan seperti kelumpuhan N
III ipsilateral dan ganguan traktis kortikospinalis kontralateral (Sindrom Weber).
Perdarahan Pons. Defisit neurologis yang terjadi diantaranya onset koma yang dalam
tanpa didahului nyeri kepala atau gejala prodormal lainnya, gangguan traktus
12
piramidalis bilateral, desrebrasi, refleks gerakan mata hilang, pinpoin pupil tetapi
bereksi terhdap cahaya dan kematian terjadi dalam beberapa jam.
Perdarahan Medula Oblongata
Perdarahan Serebelum. Biasanya berjalan cepat dan fatal. Namun dapat juga
ditemukan gejala-gejala berupa nyeri kepala, dizzines, vertigo, muntag berulang,
ataksia, gangguan gerakan mata, gangguan keseimbangan, nistagmus. Jarang dijumpai
hemiparese atau hemiplegia.
Perdarahan lobus oksipitalis. Gejalanya berupa nyeri kepala, hemianopia dengan atau
tanpa gejala traktus kortikospinalis yang minimal pada sisi yang sama dengan gangguan
lapang pandang.
Tabel 2.1 manifestasi perdarahan intraserebral pada sistem karotis dan sistem
vertebrobasiler
D. Penegakan Diagnosa
Meskipun diagnosis dari stroke dapat ditentukan dengan berdasarkan gejala klinis dan
faktor risiko, diagnosis pasti haruslah melalui radio imejing. Dengan radio imejing dapat
ditentukan ada tidaknya perdarahan, luas perdarahan dan lokasi perdarahan, dan bahkan dapat
memprediksikan penyebab terjadinya perdarahan. CT scan adalah modalitas pertama untuk
diagnostik dari PIS. Dikarenakan CT dapat mudah diulangi dan dengan biaya yang tidak terlalu
13
mahal. Pada CT scan akan ditemukan PIS berupa lesi hiperdense (putih) pada intrakranial jika
perdarahan masih pada fase akut. Seiring waktu clot akan lisis dan akan memberikan gambaran
yang lebih gelap dari fase akut. Pada fase kronis perdarahan akan memberikan gambaran
hipodense yang mirip seperti CSF. Selain untuk melihat perdarahan intraserebral CT juga dapat
menampilkan perdarahan intraventrikular dan ada atau tidaknya hidrosefalus. Jika terdapat lesi
lain, tindakan bedah akan menjadi berbeda. Beberapa teknik dapat digunakan untuk mengukur
volume dari hematom. Salah satunya dengan metode computed planimetric measurement. Yaitu
®
dengan menggunakan alat bantu komputer yang dilengkapi dengan neuronavigasi (BrainLab ).
Data gambar CT scan diubah formatnya dengan menggunakan software khusus untuk
®
perencanaan navigasi (Iplan Cranial software). Hematoma didelineasi pada setiap potongan
dengan menggunakan software yang dapat melakukan brush atau smart brush. Kemudian
3
volume perdarahan akan dikalkulasi oleh software tersebut dan disajikan dalam cm . Tetapi pada
keadaan emergensi, hal ini sulit untuk dilakukan.
Volume perdarahan juga dapat diukur dengan menggunakan rumus volume elipsoid yang
dimodifikasi, yaitu (A x B x C)/2. A dan B adalah merupakan diameter hematoma terbesar yang
saling tegak lurus, dan C adalah jumlah dari slice yang terdapat hematoma dikalikan dengan
ketebalan slice (Kothari, 1996). Pada penelitian Kothari didapati bahwa volume PIS dapat
14
Hidrosefalus dapat dilihat dari CT scan dengan menampilkan gambaran dilatasi dari
sistem ventrikel (ventrikulomegali). Ventrikulomegali ditentukan dengan menggunakan ratio
evans. Ratio evans adalah perbandingan jarak kedua frontal horn ventrikel lateral dengan jarak
biparietal terjauh. Dikatakan ventrikulomegali jika ratio evans lebih dari 30%.
MRI lebih sensitif dari CT untuk melihat keadaan intrakranial, tetapi memerlukan waktu
yang lebih lama sehingga sulit untuk melakukannya berulang-ulang. MRI tidak dianjurkan untuk
tindakan screening. Dan juga biayanya relatif lebih mahal dan CT scan. Tetapi dengan MRI
dapat melihat etiologi yang menyebabkan terjadinya PIS. Seperti ditemukannya gambaran tumor,
malformasi serebrovaskular dan aneurisma. Tetapi MRI tetap merupakan pilihan diagnostik
sekunder setelah CT.
Serebral angiogarafi diperlukan untuk lesi yang disangkakan akibat gangguan vascular,
seperti AVM atau aneurisma. Dengan ditemukannya CT-angiografi dan MRA, penemuan lesi
vaskular tanpa terpapar risiko angiografi dapat dihindari. Dan MRA maupun CTA dapat
dilakukan berulang-ulang untuk mengevaluasi lesi bilamana diperlukan operasi emergensi.
3. Identifikasi sumber perdarahan yang mungkin dapat diperbaiki dengan tindakan bedah.
1. Terapi Umum
1. Tirah baring total dengan kepala ditinggikan paling sedikit 15-30”, paling sedikit dua
minggu
2. Fisioterapi pasif beberapa kali sehari, fisioterapi aktif tidak dianjurkan dalam dua minggu
pertama
3. Diet makanan sesuai faktor resiko
4. Monitoring tanda-tanda vital
3. Terapi Khusus
1. Pemberian sedasi misalnya diazepam 5 mg tiap 6 jam atau phenobarbital 30-60 mg/p.o
atau IV tiap 6 jam untuk pasien gelisah dan analgetik untuk nyeri kepala.
2. Nyeri kepala hebat narkotika. Misalnya demetol 100-150 mg IM tiap 4 jam. Dapat
digunakan kodein 30-60 mg p.o tiap 2-3 jam
3. Pemakaian obat yang mempengaruhi fungsi platelet sebaiknya dihindari karena dapat
memperpanjang perdarahan.
4. pemberian manitol 20% 1 gr/kgBB diberikan dalam 20 menit diikuti 0,25 gr/kgBB tiap 4
jam untuk edema serebri.
16
5. Bila terdapat fasilitas pemantaun tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak harus
dipertahankan lebih dari 70 mmHg.
6. Untuk kelainan jantung akibat PSA dapat diberikan β-blocker seperti propanolol yang
dilaporkan dapat menurunkan efek samping ke jantung.
7. Untuk perdarahan saluran cerna, dapat dilakukan lavage lambung dengan NaCl, transfusi,
pemberian cairan yang adekuat, dan antasida.
8. H2-blocker, misalnya ranitidin, untuk mengurangi resiko terjadinya stress ulcer.
9. Untuk mual muntah dapat diberikan antiemetik.
10. Bila kejang dapat diberikan anti-konvulsan : fenitoin 10-15 mg/kg IV (loading dose),
kemudian diturunkan menjadi 100 mg per 8 jam atau phenobarbital 30-60 mg tiap 6-8
jam.
Hipertensi
Pedoman penatalaksanaan :
Hilangkan faktor-faktor yang berisiko meningkatkan tekanan darah
seperti retensi urin, nyeri, febris, TTIK, emosional stress, dll.
Diberikan bila : sistol >120 mmHg dan diastol > 105
Dimonitor agar TD tidak kurang atau lebih dari 20% dari tekanan
darah arteri rerata 1 jam pertama