Anda di halaman 1dari 29

Laboratorium / SMF Ilmu Bedah Referat

Program Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman


RSUD A.W.Sjahranie Samarinda

HEMOROID GRADE I & II

Disusun oleh :
Mayshia Prazitya S 1410029050

Pembimbing
dr. Ahmad Tobroni N, Sp. B

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Laboratorium Bedah
Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Hemoroid
grade 1&2. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis
dalam pelaksanaan hingga terselesaikannya laporan kasus ini, diantaranya:

1. Bapak dr. H. Emil Bachtiar Moerad, Sp.P, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.

2. dr. Soehartono, Sp. THT selaku Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman selaku Ketua Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unmul

3. dr Ahmad Tobroni N, Sp. B, selaku dosen Pembimbing referat yang dengan sabar
memberikan arahan, motivasi, saran dan solusi yang sangat berharga dalam penyusunan
laporan kasus ini dan juga yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan, saran, dan solusi selama penulis menjalani co.assisten di lab/SMF Ilmu Bedah.

4. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Bedah RSUD AWS/FK UNMUL dan semua
pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk
perbaikan kepenulisan di masa mendatang.

Samarinda, 2 September 2016

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................... i
Kata Pengantar .................................................................................................. ii
Daftar Isi............................................................................................................ iii

BAB 1 Pendahuluan .......................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................... 1
BAB 1 Isi........................................................................................................... 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi .......................................................................... 2
2.2 Definisi .................................................................................................. 7
2.3 Epidemiologi ......................................................................................... 9
2.4 Klasifikasi ............................................................................................. 10
2.5 Patofisiologi .......................................................................................... 12
2.6 Diagnosis............................................................................................... 12
2.7 Diagnosis Banding ................................................................................ 14
2.8 Penyulit ................................................................................................. 15
2.9 Penatalaksanaan .................................................................................... 15
2.10 Prognosis ............................................................................................. 24
BAB III Penutup ................................................................................................ 25
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hemoroid atau wasir merupakan vena varikosa pada kanalis ani dan dibagi menjadi 2 jenis
yaitu, hemoroid interna dan eksterna. Hemoroid interna merupakan varises vena hemoroidalis
superior dan media, sedangkan hemoroid eksterna merupakan varises vena hemoroidalis inferior.
Sesuai istilah yang digunakan, hemoroid eksterna timbul disebelah luar otot sfingter ani, dan
hemoroid interna timbul disebelah atas (atau disebelah proksimal) sfingter. Kedua jenis hemoroid
ini sangat sering dijumpai dan terjadi pada sekitar 35% penduduk yang berusia lebih dari
25 tahun. Walaupun keadaan ini tidak mengancam jiwa, namun dapat menimbulkan perasaan
yang sangat tidak nyaman. Hemoroid timbul akibat kongesti vena yang disebabkan oleh gangguan
aliran balik dari vena hemoroidalis. Telah diajukan beberapa faktor etiologi yaitu konstipasi, diare,
sering mengejan, kongesti pelvis pada kehamilan, pembesaran prostat, fibroid uteri, dan
tumor rektum. Penyakit hati kronik yang disertai hipertensi portal sering mengakibatkan hemoroid,
karena vena hemoroidalis superior mengalirkan darah ke dalam sistem portal. Selain itu sistem
portal tidak mempunyai katup, sehingga mudah terjadi aliran balik (Price dan Wilson, 2006).
Keluhan yang biasanya dirasakan oleh pasien hemoroid adalah nyeri, terdapatnya benjolan
pada anus dan perdarahan. Adapun keluhan dapat diatasi dengan berbagai tindakan. Ada beberapa
alternatif lain untuk menangani hemoroid yaitu dengan hemoroidektomi. komplikasi yang
mungkin terjadi setelah tindakan operasi yaitu perdarahan, trombosis, dan strangulasi hematoma
(hemoragi) dan infeksi pada luka setelah operasi. Sedangkan komplikasi sebelum
pembedahan adalah berkurangnya sel darah (anemia), dan hipotensi jika tidak segera
ditangani dapat mengakibatkan perdarahan hebat (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, &
Budiman, 2007).

1.2 Tujuan
Referat ini bertujuan untuk mempelajari dan memahami lebih dalam tentang Hemoroid yang
meliputi definisi, klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosa, diagnosa banding, penatalaksanaan
serta prognosis dari Hemoroid, terutama hemoroid grade I dan II.
BAB II
ISI

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm, sedangkan
rektum berasal dari endoderm. Karena perbedaan asal anus dan rektum ini maka perdarahan,
persarafan, serta penyaliran vena dan limfenya berbeda juga, demikian pula epitel yang
menutupinya (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Rektum berukuran sekitar 12 hingga 15 sentimeter. Terdapat fascia presakralis pada bagian
posterior yang membagi rektum dari pleksus vena presakralis dengan nervus pelvikus. Pada sakral
4, fascia rektosakral (fascia waldeyer) melekat pada fascia propria pada anorectal junction. Pada
bagian anterior, fascia Denonvillers memisahkan rektum dari prostat dan vesika seminalis pada
pria dan dari vagina pada wanita. Ligamentum lateralis menyokong rektum bagian bawah
(Brunicardi, et al., 2010).

Gambar 1. Anatomi Anorektal (Brunicardi, et al., 2010)

Anal canal adalah akhir dari usus besar dengan panjang 4 cm dari rektum hingga orifisium
anal. Setengah bagian ke bawah dari anal canal dilapisi oleh epitel skuamosa dan setengah bagian
ke atas oleh epitel kolumnar. Pada bagian yang dilapisi oleh epitel kolumnar tersebut membentuk
lajur mukosa (lajur morgagni) (Snell, 2006).
Daerah batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan perubahan jenis epitel. Kanalis
analis dan kulit luar disekitarnya kaya akan persyarafan sensoris somatik dan peka terhadap
rangsang nyeri, sedangkan mukosa rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka
terhadap nyeri. Nyeri bukanlah gejala awal pengidap karsinoma rektum, sementara fisura anus
nyeri sekali. Darah vena diatas garis anorektum mengalir melalui sistem porta, sedangkan yang
berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melalui cabang v.iliaka (Sjamsuhidayat, Karnadiharja,
Praseyono, & Budiman, 2007).

Gambar 2. Batas anal canal (Brunicardi, et al., 2010)

Kanalis analis berukuran panjang kurang lebih 3 cm. Batas antara kanalis anus disebut garis
anorektum, garis mukokutan, linea pektinata atau linea dentata. linea pectinea / linea dentata
yang terdiri dari sel-sel transisional. Dari linea ini kearah rectum ada kolumna rectalis
(Morgagni), dengan diantaranya terdapat sinus rectalis yang berakhir di kaudal sebagai valvula
rectalis. Didaerah ini terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara kolumna rektum.
infeksi yang terjadi disini dapat menimbulkan abses anorektum yang dapat menimbulkan fistel.
Lekukan antar sfingter sirkuler dapat diraba didalam kanalis analis sewaktu melakukan colok
dubur dan menunjukkan batas antara sfingter interna dan sfingter eksterna (garis Hilton). Cincin
sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter intern dan sfingter ekstern. sisi
posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari fusi sfingter intern, oto longitudinal, bagian tengah
dari otot levator (puborektalis), dan komponen m.sfingter eksternus (Sjamsuhidayat,
Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Otot-otot yang berfungsi mengatur mekanisme kontinensia adalah :
1. Pubo-rektal merupakan bagian dari otot levator ani
2. Sfingter ani eksternus (otot lurik)
3. Sfingter ani internus (otot polos)
Muskulus yang menyangga adalah m. Puborectalis. Otot yang memegang peranan
terpenting dalam mengatur mekanisme kontinensia adalah otot-otot puborektal. Bila m.
pubo-rektal tersebut terputus, dapat mengakibatkan terjadinya inkontinensia (Sjamsuhidayat,
Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Batas-batas kanalis ani, ke kranial berbatasan dengan rectum disebut ring anorektal, ke
kaudal dengan permukaan kulit disebut garis anorektal, ke lateral dengan fossa ischiorectalis, ke
posterior dengan os koksigeus, ke anterior pada laki-laki dengan sentral perineum, bulbus urethra
dan batas posterior diafragma urogenital (ligamentum triangulare) sedang pada wanita korpus
perineal, diafragma urogenitalis dan bagian paling bawah dari dinding vagina posterior. Ring
anorektal dibentuk oleh m.puborektalis yang merupakan bagian serabut m. levator ani
mengelilingi bagian bawah anus bersama m. spincter ani ekternus (Sjamsuhidayat, Karnadiharja,
Praseyono, & Budiman, 2007).

Gambar 3. Distal rektum dan anal canal (Brunicardi, et al., 2010)

Pendarahan arteri. Arteri hemoroidalis superior adalah kelanjutan langsung


a.mesenterika inferior. Arteri ini membagi diri menjadi dua cabang utama: kiri dan kanan.
Cabang yang kanan bercabang lagi. Letak ketiga cabang terakhir ini mungkin dapat menjelaskan
letak hemoroid dalam yang khas yaitu dua buah di setiap perempat sebelah kanan dan sebuah
diperempat lateral kiri. Arteri hemoroidalis medialis merupakan percabangan anterior a.iliaka
interna, sedangkan a.hemoroidalis inferior adalah cabang a.pudenda interna. Anastomosis antara
arkade pembuluh inferior dan superior merupakan sirkulasi kolateral yang mempunyai makna
penting pada tindak bedah atau sumbatan aterosklerotik didaerah percabangan aorta dan a.iliaka.
Anastomosis tersebut ke pembuluh kolateral hemoroid inferior dapat menjamin perdarahan di
kedua ekstremitas bawah. Perdarahan di pleksus hemoroidalis merupakan kolateral luas dan kaya
sekali darah sehingga perdarahan dari hemoroid intern menghasilkan darah segar yang berwarna
merah dan bukan darah vena warna kebiruan (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, &
Budiman, 2007).

Gambar 4. Distal rektum dan anal canal (Brunicardi, et al., 2010)

Suplai darah bagian atas anal canal berasal dari pembuluh rektal superior sedangkan bagian
bawahnya berasal dari pembuluh rektal inferior. Kedua pembuluh tersebut merupakan
percabangan pembuluh darah rektal yang berasal dari arteri pudendal interna. Arteri ini
adalah salah satu cabang arteri iliaka interna. Arteri-arteri tersebut akan membentuk
pleksus disekitar orifisium anal (Snell, 2006).
Drainase vena. Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis internus dan
berjalan kearah kranial kedalam v.mesenterika inferior dan seterusnya melalui v.lienalis ke vena
porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan ronggga perut menentukan tekanan di
dalamnnya. Karsinoma rektum dapat menyebar sebagai embolus vena didalam hati, sedangkan
embolus septik dapat menyebabkan pileflebitis, v.hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke
dalam v.pudenda interna dan v. hemoroidalis dapat menimbulkan keluhan hemoroid
(Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Drainase vena dari rektum berjalan bersamaan dengan suplai arteri. Vena rektalis superior
berjalan menuju ke vena porta melalui vena iliaka internal. Vena rektalis inferior berjalan menuju
ke vena pudendalis, dan menuju ke vena iliaka interna. Pleksus submukosa berjalan sepanjang
kolumna Morgagni membentuk pleksus hemoroidalis (Brunicardi, et al., 2010).
Sistem limfe. Pembuluh limfe dari kanalis membentuk pleksus halus yang menyalirkan
isinya menuju ke kelenjar limfe inguinal, selanjutnya dari sini cairan limfe terus mengalir sampai
ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas di daerah anus dapat mengakibatkan
limfadenopati inguinal. Pembuluh limfe dari rektum di atas garis anorektum berjalan seiring
dengan v.hemoroidalis superior dan melanjut ke kelenjar limf mesenterika inferior dan aorta.
Operasi radikal untuk eradikasi karsinoma rektum dan anus didasarkan pada anatomi saluran
limf ini (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Inervasi kanalis ani diatur oleh saraf somatik sehingga sangat sensitif terhadap rasa sakit,
sedang rektum oleh saraf viseral sehingga kurang sensitif terhadap rasa sakit. Rektum diinervasi
oleh saraf simpatis dari pleksus mesenterika inferior dan n.presakralis (hipogastrica) yang
berasal dari L2,3,4 dan saraf parasimpatis dari S2,3,4 (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono,
& Budiman, 2007).
Persarafan pada bagian atas anal canal disuplai oleh plexus otonom, bagian
bawah dipersarafi oleh saraf somatik rektal inferior yang merupakan akhir percabangan saraf
pudendal (Snell, 2006).
Kontinensia anus bergantung pada konsistensi feses, tekanan didalam anus, tekanan
didalam rektum, dan sudut anorektal. Makin encer feses, makin sukar untuk menahannya
didalam usus. Tekanan pada suasana istirahat didalam anus berkisar antara 25-100mmHg dan
didalam rektum antara 5-20mmHg. Jika sudut antara rektum dan anus lebih dari 80 derajat, feses
sukar dipertahankan (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Defekasi. Pada suasana normal, rektum kosong. Pemindahan feses dari kolon sigmoid
kedalam rektum kadang-kadang dicetuskan oleh makan, terutama pada bayi. Bola isi sigmoid
masuk kedalam rektum, dirasakan oleh rektum dan menimbulkan keinginan untuk defekasi.
Rektum mempunyai kemauan khas untuk mengenai dan memisahkan bahan padat, cair dan gas.
Sikap badan sewaktu defekasi yaitu sikap duduk atau jongkok, memegang peranan yang berarti.
Defekasi terjadi akibat refleks peristalsis rektum, dibantu oleh mengedan dan relaksasi sfingter
anus eksternal. Syarat untuk defekasi normal ialah persarafan sfingter anus untuk kontraksi dan
relaksasi yang utuh, peristalsis kolon dan rektum tidak terganggu, dan struktur anatomi organ
panggul yang utuh. Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan rectum mencapai 18
mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan eksternus melemas dan
isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah refleks intrinsic (diperantarai sistem
saraf enteric dalam dinding rectum. Ketika feses masuk rectum, distensi dinding rectum
menimbulkan sinyal aferen menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan
gelombang peristaltic dalam kolon descendens, sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah anus.
Ketika gelombang peristaltic mendekati anus, sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal
penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani eksterni dalam keadaan sadar berelaksasi
secara volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter melemas sewaktu rectum teregang
Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksternus tercapai, defekasi volunter dapat
dicapai dengan secara volunter melemaskan sfingter eksternus dan mengontraksikan otot-otot
abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan suatu reflex spinal yang dengan
sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter eksternus tetap berkontraksi atau
melemaskan sfingter dan megontraksikan otot abdomen (Sjamsuhidayat, Karnadiharja,
Praseyono, & Budiman, 2007).

2.2 Definisi Hemoroid


Plexus hemoroid merupakan pembuluh darah normal yang terletak pada mukosa rektum
bagian distal dan anoderm. Gangguan pada hemoroid terjadi ketika plexus vaskular
ini membesar. Sehingga kita dapatkan pengertiannya dari hemoroid adalah dilatasi varikosus
vena dari plexus hemorrhoidal inferior dan superior (Dorland, 2010).
Hemoroid adalah kumpulan dari pelebaran satu segmen atau lebih vena hemoroidalis di
daerah anorektal. Hemoroid bukan sekedar pelebaran vena hemoroidalis, tetapi bersifat
lebih kompleks yakni melibatkan beberapa unsur berupa pembuluh darah, jaringan lunak
dan otot di sekitar anorektal (Felix, 2006). Hemoroid merupakan varises pada pleksus venosus
hemoroidalis superior atau inferior (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2011).
Hemoroid merupakan penonjolan dari jaringan submukosa pembuluh darah vena, arteri
dan lapisan serat otot yang berada di anal canal (lihat gambar 28.4). Penonjolan hemorrhoid
ditemukan pada posisi lateral sinistra, anterior dextra, dan posterior dextra. Karena hemoroid
merupakan bagian normal dari anatomi anorektal, terapi hanya diindikasikan jika menimbulkan
gejala. Aktivitas berat, peningkatan tekanan abdomen dan feses yng keras akan meningkatkan
kejadian pelebaran pleksus vena hemorroidalis dan menyebabkan prolapse dari jaringan
hemorroidalis. Perdarahan, thrombosis dan penonjolan hemoorid mungkin akan terlihat
(Brunicardi, et al., 2010).
Teori sebelumnya mengenai perkembangan hemoroid dipertimbangkan dari asal dari anal
cushions. Beberapa cushions merupakan agregasi dari pembuluh darah (arteriol, venula, dan
pertemuan arteerio-vena), otot polos, dan jaringan penghubung pada bagian submukosa yang
normalnya terdapat pada bagian lateral kiri, posterolateral kanan dan anterolateral kanan dari
anal canal. Hemoroid merupakan keadaan dimana anal cushion tergelincir ke bawah. Hemoroid
kemungkinan terjadi akibat adanya disintegrasi antara jaringan ikat penghubung dan serat daro
otot longitudinalis menyebabkan struktur ini mudah tergelincir ke bawah (Zinner & Ashley,
2007).
Gambar 5. Lokasi dan Tipe Hemoroid (Zinner & Ashley, 2007).

Hemoroid adalah jaringan normal yang terdapat pada semua orang, yang terdiri atas pleksus
arteri-vena, berfungsi sebagai katup di dalam saluran anus untuk membantu sistem sfingter anus,
mencegah inkontinensia flatus dan cairan. Apabila hemoroid ini menyebabkan keluhan atau
penyulit,baru dilakukan tindakan (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).

2.3 Epidemiologi
Hemorroid dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita. Insidensi hemorrhoid umumnya
paling tinggi pada usia antara 20 dan 50 tahun. (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2011).
Penyebab hemoroid dapat meliputi (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2011):
- Duduk lama
- Mengejan saat defekasi
- Konstipasi, makanan rendah serat
- Kehamilan
- Obesitas
Hemoroid terjadi karena aktivitas yang meningkatkan tekanan intravena sehingga terjadi
distensi dan penggelembungan vena. Faktor predisposisinya meliputi duduk lama, mengejan saat
defekasi, konstipasi, makanan rendah serat, kehamilan dan obesitas. Faktor lain meliputi
penyakit hati, seperti sirosis hepatis, abses ameba, atau hepatitis, alkoholisme, dan infeksi
anorektal. (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2011).
2.4 Klasifikasi
Hemoroid dibedakan antara interna dan eksterna. Hemoroid iterna adalah pleksus vena
hemoroidalis superios di atas garis mukokutan dan ditutupi olehmukosa. Hemoroid interna ini
merupakan bantalan vascular di dalam jaringan submukosa pada rectum sebelah bawah.
Hemoroid sering dijumpai pada tiga posisi primer, yaitu kanan-depan, kanan-belakang, dan
kiri-lateral. Hemoroid yang lebih kecil terdapat di antara ketiga letak primer tersebut
(Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Hemoroid eksterna yang merupakan pelebaran dan penonjolan pleksus hemoroid inferior
terdapat di seblah distal garis mukokutan di dalam jaringan dibawah epitel anus
(Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).

a. Hemoroid interna
Hemoroid interna berlokasi di proksimal dari linea dentate dan ditutupi oleh mukosa
anorektal yang tidak sensitive terhadap rangsangan. Pada hemoroid internal bisa terjadi
prolapse maupun perdarahan, namun jarang menyebabkan nyeri kecuali berkembang
menjadi thrombosis dan nekrosis (biasanya berhubungan dengan severe prolapse,
inkarserasi, dan atau strangulasi). Hemoroid internal diklasifika sikan berdasarkan derajat
prolapse. Derajat pertama terjadi penonjolan di dalam anal kanal dan mungkin prolapse
sampai melewati linea dentate saat mengedan. Derajat kedua, hemoroid prolapse melewati
anus namun dapat tereduksi secara spontan. Derajat tiga, hemoroid prolapse melewati anal
kanal dan hanya bisa dilakukan reduksi secara manual. Derajat empat, hemoroid prolapse
tetapi tidak dapat direduksi dan berisiko mengalami strangulasi (Brunicardi, et al., 2010).
Dilatasi dan pelebaran pleksus superior pada vena hemoroidalis superior di atas line
dentata akan menyebabkan hemoroid interna (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2011). Vena
hemoroidalis superior mengembalikan darah ke v. mesentrika inferior dan berjalan dalam
lapisan submukosa, mulai dari daerah anorektal dalam kolumna Morgagni berjalan
memanjang secara radier sambil beranastomosis. Apabila vena ini menjadi varises
disebut hemoroid interna. Lokasi primer hemoroid interna (pada posisi litotomi) terdapat
pada tiga tempat yaitu anterior kanan, posterior kanan, dan lateral kiri dengan ukuran
lebih kecil dapat timbul diantaranya (Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta, 2014).
Hemoroid interna diklasifikasikan sebagai berikut (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2011;
Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta, 2014):
- Hemoroid grade I : hanya terbatas pada saluran anus, gejala perdarahan merah segar
pada saat defekasi tanpa adanya prolaps
- Hemoroid grade II : memperlihatkan adanya prolaps pada saat mengejan (prolaps anal
cushion), tetapi tonjolan hemoroid tersebut kemudian dapat masuk kembali secara
spontan
- Hemoroid grade III : hemoroid yang mengalami prolaps setiap kali selesai defekasi
dan harus dimasukkan kembali secara manual.
- Hemoroid grade IV : hemoroid tidak dapat direposisi
b. Hemoroid eksterna
Hemoroid eksternal berada di distal dari linea dentate dan ditutupi oleh anoderm. Karena
anoderm kaya akan pembuluh darah, thrombosis pada hemoroid ekternal akan
menyebabkan nyeri yang signifikan. Inilah alas an mengapa pada hemoroid eksternal tidak
boleh dilakukan ligasi atau eksisi tanpa anestesi local yang adekuat. Skin tag merupakan
jaringan fibrous yang berlebih pada pinggiran anal, seringkali persisten sebagai sisa
thrombosis dari hemoroid eksternal. Skin tag seringkali disalah artikan sebagai gejala
hemoroid (prolapse vena). Penatalaksanaan pada hemorrhoid eksternal dan skin tag hanya
diindikasikan jika menimbulkan gejala yang menganggu (Brunicardi, et al., 2010).
Pelebaran pleksus pada vena hemoroidalis inferior dibawah linea dentata akan
menyebabkan hemoroid eksterna yang dapat menonjol keluar dari dalam rectum.
(Kowalak, Welsh, & Mayer, 2011) vena hemoroidalis inferior memulai venuler dan
pleksus kecil di daerah anus dan distal dari garis anorektal. Pleksus ini dibagi menjadi 2
yakni vv. Hemoroidalis media yang menuju v.pudenda interna dan vv.hemoroidales
inferior yang menuju v. hipogastrik. Pleksus inilah yang apabila menjadi tonjolan disebut
hemoroid eksterna (Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta, 2014).

Kombinasi hemoroid internal dan eksternal menyebabkan peregangan pada line dentate
dan memiliki karakteristik dari keduanya. Hemoroidektomy biasanya dilakukan jika prolapsnya
besar, menimbulkan gejala, atau hemorrhoid kombinasi. Hemorrhoid yang terjadi setelah post
partum dapat menyebabkan edema, thrombosis dan atau strangulasi. Hemorroidektomy
merupakan terapi pilihan khususnya pada pasien yang memiliki gejala hemoroid kronik.
Hipertensi porta meningkatkan risiko penyebab jangka panjang terjadinya perdarahan pada
hemorrhoid karena anastomosis antara sistem vena porta (middle dan upper pleksus hemoridalis)
dan sistem vena sistemik (pleksus rektal inferior). Saat ini dipahami bahwa penyakit hemoroid
tidak berhubungan dengan pasien hipertensi portal dibandingkan dengan orang normal. Varises
rectal mungkin dapat muncul dan menyebabkan perdaahan pada pasien ini. Secara general, varises
rektal paling baik diterapi dengan menurunkan tekanan vena portal. Sangat jarang dilakukan yakni
ligasi dengan penjahitan jika terdapat persisten dari perdarahan massive. Operasi hemoroidektomy
harus dihindari pada pasien ini karena risiko perdarahan massive sehingga sulit untuk mengontrol
perdarahan massive (Brunicardi, et al., 2010).

2.5 Patofisiologi
Kedua pleksus hemoroid, internus dan eksternus, saling berhubungan secara longgar dan
merupakan awal dari aliran vena yang kembali bermula dari rectum sebelah bawah dan anus.
Pleksus hemoroid internus mengalirkan darah ke vena hemoroidalis superior danselanjutnya ke
vena porta. Pleksus hemoroid eksternus mengalirkan darah ke peredaran sistemik melalui daerah
perineum dan lipat paha ke vena iliaka (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman,
2007).
Hemoroid dapat menimbulkan gejala karena banyak hal. Faktor yang memegang peranan
kausal ialah mengedan pada waktu defekasi, konstipasi menahun, kehamilan dan obesitas
(Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).

2.6 Diagnosis
2.6.1 Gejala dan tanda
Tanda dan gejala yang muncul tergantung dari derajat hemoroid. (Kowalak, Welsh, & Mayer,
2011) Tanda dan gejala umum hemoroid meliputi :
Perdarahan intermitten tanpa rasa nyeri pada saat defekasi, perdarahan ini terjadi
karena iritasi dan cedera pada mukosa yang mengalami hemoroid
Darah berwarna merah cerah pada feses atau tissue kamar mandi yang disebabkan oleh
cedera pada mukosa yang mengalami hemoroid
Darah menetes, tidak bercampur feses dengan jumlah bervariasi
Rasa gatal pada anus akibat hygiene anus yang buruk
Rasa tidak nyaman di daerah anus ketika terjadi perdarahan
Prolaps mukosa rekti akibat mengejan
Rasa nyeri akibat thrombosis pada hemoroid eksterna
Pasien sering mengeluh menderita hemoroid atau wasir tanpa ada hubungannya dengan
gejala rectum atau anus yang khusus. Nyeri yang hebat jarang sekali ada hubungannnya dengan
hemoroid interna dan hanya timbul pada hemoroid eksterna yang mengalami thrombosis
(Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Perdarahan umumnyamerupakan tanda pertama hemoroid interna akibat trauma oleh feses
yang keras. Darah yang keluar berwarna merah segar dan tidak bercampur dengan feses, dapat
hanya berupa garis pada feses atau kertas embersih sampai pada perdarahan yang terlihat
mewarnai air toilet menjadi merah. Walaupun berasal dari vena, darah yang keluar berwarna
merah segar karena kaya akan zat asam. Perdarahan luas dan intensif di pleksus hemoroidalis
menyebabkan darahdi vena tetap merupakan darah arteri (Sjamsuhidayat, Karnadiharja,
Praseyono, & Budiman, 2007).
Kadang, perdarahan hemoroid yang berulang dapat menyebabkan anemia berat. Hemoroid
yang membesar secara perlahan dapat menonjol ke luar dan menyebabkan prolaps. Pada tahp
awal, penonjolan ini hanya terjadi sewaktudefekasi dan disusul oeh reduksi spontan sesudah
selesai defekasi. Pada stadium lebih lanjut, hemoroid interna ini perlu didorong kembali setelah
defekasi agar masuk ke dalam anus. Akhirnya, hemoroid dapat berlanjut menjadi bentuk yang
mengalami prolaps menetap dan tidak dapat di dorong masuk lagi. Kealuarnya mukus dan
terdapatnya feses pada pakaian dalam menandakan ciri hemoroid yag mengalami prolaps yang
menetap. Iritasi kulit perianaldapat menimbulkan rasa gatal yang dikenal sebagai pruritus ani,
dan ini disebabkan oleh kelembapan yang terus menerus dan rangsangan mukus. Nyeri hanya
timbul apabila terdapat trombosis yang luas dengan udem dan radang (Sjamsuhidayat,
Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).

2.6.2 Pemeriksaan
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
(Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta, 2014).
Anamnesis keluhan yang terdapat pada manifestasi klinik
Pemeriksaan fisik hemoroid eksterna dapat dilihat dengan inspeksi terutama bilah terjadi
thrombosis, sedangkan hemorrhoid interna dapat diamati apabila mengalami prolaps
Pemeriksaan penunjang, pemeriksaan dalam rectal secara digital dan anoskopi
Apabila hemoroid mengalami prolap, lapisan epitel penutup bagian yang menonjol ke luar
ini mengeluarkan mukus yang dapat dilihat apabila penderita diminta megedan. Pada
pemeriksaan colok dubur, hemoroid interna tidak dapat diraba sebab tekanan vena di dalamnya
tidak cukup tinggi dan biasanya tidak nyeri. Colok dubur diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan karsinoma reKtum (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Penilaian dengan anoskop diperlukan untuk melihat hemoroid interna yang tidak menonjol
ke luar. Anoskop dimasukkan dan diputar untuk mengamati keempat kuadran. Hmoroid interna
terlihat sebagai struktur vaskular yang mnonjol ke dalam lumen. Apabila pnderita diminta
mengedan sedikit, ukuran hemoroid akan membesar dan penonjolan atau prolaps akan lebih
nyata (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Proktosigmoidoskopi perlu dikerjakan untuk memastikan bahwa keluhan bukan disebabkan
oleh proses radang atau proses keganasan di tingkat yang lebih tinggi, karena hemoroid
merupakan keadaan fisiologik saja atau tanda yang menyertai. Feses harus diperiksa terhadap
adanya darah samar (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).

2.7 Diagnosa banding


Perdarahan rektum yang merupakan manifestasi utama hemoroid interna juga terjadi pada
karsinoma kolorektum, penyakit divertikel, polip, kolitis ulserosa, dan pnyakit lain yang tidak
begitu sering terdapat dikoloretum. Pemeriksaan sigmoidoskopi harus dilakukan. Foto barium
kolon dan kolonoskopi perlu dipilih secara selektif bergantung pada keluan dan gejala penderita.
Prolaps rektum harus juga dibedakan dari prolaps mukosa akibat hemoroid interna
(Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Kondiloma perianal dan tumor anorektum lainnya biasanya tidak sulit dibedakan dari
hemoroid yang mengalami prolaps. Lipatan kulit luar yang lunak akibat trombosis hemoroid
eksterna sebelumnya juga mudah dikenali. Adanya lipatan kullit sentinel pada garis tengah
dorsal, yang disebut umbai kulit, dapat menunjukkan adanya fissura anus (Sjamsuhidayat,
Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007)
2.8 Penyulit
Sekali-sekali hemoroid interna yang mengalami prolaps akan menjadi ireponibel sehingga
tak dapat terpulihkan oleh karena kongesti yang mengakibatkan udem dan trombosis. Keadaan
yang agak jarang ini dapat berlanjut menjadi trombosis melingkar pada hemoroid interna dan
hemoroid eksterna secara bersamaan. Keadaan ini menyebabkan nyeri hebat dan dapat berlanjut,
menyebabkan nekrosis mukosa dan kulit yang menutupinya. Emboli septik dapat terjadi melalui
sistem portal dan dapat menyebabkan abses hati. Anemia dapat terjadi karena perdarahan ringan
yang lama (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Hemoroid dapat membentuk pintasan portal sistemik pada hipertensi portal, dan apabila
hemoroid semacam ini mengalami perdarahan, darah yang keluar dapat sangat banyak
(Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).

2.10 Penatalaksanaan
Keluhan dapat dikurangi dengan rendam duduk menggunakan larutan hangat salep
analgesik untuk mengurangi nyeri atau gesekan pada waktu berjalan, dan sedasi. Istirahat di
tempat tidur dapat membantu mempercepat berkurangnya pembengkakan (Sjamsuhidayat,
Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Pasien yang datang sebelum 48 jam dapat segera ditolong dan menunjukkan hasil yang baik.
Terapi dilakukan dengan cara mengeluarkan trombus atau melakukan eksisi lengkap secara
hemoroidektomi menggunakan anastesi lokal. Bila ttrombus sudah dikeluarkan, kulit dieksisi
berbentuk elips untuk mencegah bertautnya tepi kulit dan terbetuknya trombus kembali di
bawahnya. Nyeri segera hilang pada saat tindakan, dan luka akan semuh dalam waktu singkat
sebab luka berada di daerah yang kaya akan darah (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, &
Budiman, 2007).
Trombus yang sudah terorganisasi tidak dapat di keuarkan; dalam hal ini, terapi konservatiif
merupakan piluhan. Usaha reposisi hemoroid eksterna yang mengalami hemoroid eksterna tidak
boleh dilakukan karena kelainan ini terjadi pada struktur luar anus yang tidak dapat direposisi
(Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Terapi hemoroid interna yang simptomatik harus ditetapkan secara per orangan. Hemoroid
merupakan suatu hal yang normal sehingga tujuan terapi bukan untuk menghilangkan pleksus
hemoroidal tetapi untuk menghilangkan keluhan (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, &
Budiman, 2007).
Perdarahan pada hemoroid derajat 1 dan 2 biasanya diakali dengan diet tinggi serat,
pelembek feses, meningkatkan intake cairan, dan menghindari mengejan. Munculnya gatal
(pruritus) dihilangkan dengan memperbaiki hygiene individu. Beberapa obat topical kebanyakan
tidak efektif untuk mengobati gejala hemoroid (Brunicardi, et al., 2010).
Kebanyakan pasien hemoroid derajat pertama dan kedua dapat ditolong dengan tindakan
lokal yang sederhana disertai nasehat tentang makan. Makanan sebaiknya terdiri atas makanan
berserat tinggi, yang membuat gumpalan isi usus besar dan lunak, sehingga mempermudah
defekasi dan mengurangi keharusan mengedan secara berlebihan (Sjamsuhidayat, Karnadiharja,
Praseyono, & Budiman, 2007).
Supositoria dan salep anus diketahui tidak mempunyai efek yang bermakna kecuali efek
anastetik dan astringen (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Hemoroid interna yang mengalami prolaps karena udem umunya dapat dimasukkan
kembali secara perlahan disusul dengan istirahat baring dan kompres lokal untuk mengurangi
pembengkakan. Rendam duduk dengan cairan hangat juga dapat meringankan nyeri. Apabila ada
penyakit radang usus besar yang mendasarinya, misalnya penyakit Chron, terapi medik harus
diberikan apabila hemoroid menjadi simptomatik (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, &
Budiman, 2007).
Tata laksana hemoroid dapat dibedakan menjadi non bedah dan bedah (hemoroidektomi).
Selain itu, pilihan tata laksana bergantung pada derajat hemoroid. Kebanyakan pasien dengan
hemoroid derajat 1 dan 2 dapat diobati dengan tindakan lokal dan modifikasi diet. Pada sebagian
derajat 2, derajat 3 dan 4 pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis bedah untuk dilakukan
hemoroidektomi (Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta, 2014).
Derajat 1 : modifikasi diet, medikamentosa
Derajat 2 : rubber band ligation, koagulasi, ligasi arteri hemoroidalis repair
rektoanal, modifikasi diet, medikamentosa
Derajat 3 : hemoroidektomi, rubber band ligation, ligasi arteri hemoroidalis
repair rektoanal, modifikasi diet, hemoroidopexy dengan stapler
Derajat 4 : hemoroidektomi (cito untuk kasus trombosis), hemoroidopexy
dengan stapler, modifikasi diet (Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta,
2014).

2.10.1 Penatalaksanaan Medis


Ditujukan untuk hemoroid interna derajat I sampai III atau semua derajat hemoroid yang ada
kontraindikasi operasi atau klien yang menolak operasi.

a. Non-farmakologis
Bertujuan untuk mencegah perburukan penyakit dengan cara memperbaiki defekasi.
Pelaksanaan berupa perbaikan pola hidup, perbaikan pola makan dan minum, perbaikan
pola/cara defekasi. Perbaikan defekasi disebut Bowel Management Program (BMP) yang terdiri
atas diet, cairan, serat tambahan, pelicin feses, dan perubahan perilaku defekasi (defekasi dalam
posisi jongkok/squatting). Selain itu, lakukan tindakan kebersihan lokal dengan cara merendam
anus dalam air selama 10-15 menit, 2-4 kali sehari. Dengan perendaman ini, eksudat/sisa tinja
yang lengket dapat dibersihkan. Eksudat sisa tinja yang lengket dapat menimbulkan iritasi dan
rasa gatal bila dibiarkan.

b. Farmakologi
Bertujuan memperbaiki defekasi dan meredakan atau menghilangkan keluhan dan gejala.
Obat-obat farmakologis hemoroid dapat dibagi atas empat macam, yaitu:
1. Obat yang memperbaiki defekasi.
Terdapat dua macam obat yaitu suplement serat (fiber suplement) dan pelicin tinja
(stool softener). Suplemen bekerja dengan cara membesarkan volume tinja dan
meningkatkan peristaltik usus. Efek samping antara lain ketut dan kembung. Obat
kedua adalah laxant atau pencahar.
2. Obat simptomatik.
Bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi keluhan rasa gatal, nyeri, atau
kerusakan kulit di daerah anus. Sediaan yang mengandung kortikosteroid digunakan
untuk mengurangi radang daerah hemoroid atau anus.
3. Obat penghenti perdarahan.
Perdarahan menandakan adanya luka pada dinding anus atau pecahnya vena
hemoroid yang dindingnya tipis. Psyllium, citrus bioflavanoida yang berasal dari
jeruk lemon dan paprika berfungsi memperbaiki permeabilitas dinding pembuluh
darah.
4. Obat penyembuh dan pencegah serangan. Pengobatan ini dapat memberikan
perbaikan terhadap gejala inflamasi, kongesti, edema, dan prolaps.

c. Minimal Invasif
Bertujuan untuk menghentikan atau memperlambat perburukan penyakit dengan
tindakan-tindakan pengobatan yang tidak terlalu invasif antara lain skleroterapi hemoroid atau
ligasi hemoroid atau terapi laser. Dilakukan jika pengobatan farmakologis dan non-farmakologis
tidak berhasil.

2.10.2 Penatalaksanaan Tindakan Operatif


Ditujukan untuk hemoroid interna derajat IV dan eksterna atau semua derajat hemoroid
yang tidak berespon terhadap pengobatan medis (Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta, 2014).
Hemoroidektomi dilakukan apabila terapi konservatif tidak berhasil, pada hemoroid
dengan prolaps tanpa reduksi spontan (hemoroid derajat 3 dan 4), hemoroid dengan strangulasi,
ulserasi, fisura, fistula, atau pada hemorid eksterna dengan keluhan (Tanto, Liwang, Hanifati, &
Pradipta, 2014).
Prinsip utama hemoroidektomi adalah eksisi hanya pada jaringan yang menonjol dan
eksisi konservatif kulit serta anoderm normal. Hemoroidektomi terdiri dari prosedur terbuka dan
tertutup. Pada hemoroidektomi terbuka (Parks of Ferguson Hemorrhoidectomy) dilakukan
reseksi jaringan hemoroid dan penutupan luka dengan jahitan benang yang dapat diserap.
Sedangkan pada hemoroidektomi tertutup (Milligan and Morgan hemorrhoidectomy) dilakukan
teknik yang sama, hanya saja luka dibiarkan terbuka dan diharapkan terjadi penyembuhan
sekunder. Selain kedua teknik tersebut terdapat berbagai teknik lain yang dapat digunakan :
Teknik operasi Whitehead dilakukan dengan eksisi sirkumferensial bantalan hemoroid
di sebelah proksimal linea dentata. Kemudian, mukosa rektal dijahit hingga linea
dentata. Dengan teknik ini terdapat risiko terjadinya ektropion.
Teknik operasi Langenback dilakukan dengan menjepit vena hemoroidales interna
secara radier dengan klem. Jahitan jelujur dilakukan di bawah klem dengan chromic
gut no.22, eksisi jaringan diatas klem sebelum akhirnya klem dilepas dan jepitan
jelujur dibawah klem diikat. Teknik ini lazim dipakai karena mudah dan tidak
mengandung risiko timbulnya parut sirkuler
Teknologi baru dengan menggunakan doppler untuk mendeteksi pembuluh darah atau
arteri yang terdapat pada submukosa dan dilakukan ligasi dengan jahitan. Teknik ini
dikenal dengan Hemorrodal Artery Ligation (HAL). Dapat pula dikombinasikan
dengan teknik Recto Anal Repair (RAR)
Teknik Longo dilakukan untuk tata laksana prolaps sirkumferensial dengan perdarahan
atau dikenal dengan stapled hemorroidopexy. Dengan teknik ini dilakukan eksisi
sirkumferensial mukosa dan submukosa kanalis anal bawah dan atas serta anastomosis
dengan alat stapling sirkuler. Dengan teknik ini, rasa nyeri pascabedah dapat
dikurangi.

a. Skleroterapi
Skleroterapi adalah penyuntikan larutan kimia yang merangsang, misalnya 5% fenol dalam
minyak nabati. Penyuntikan diberikan ke submukosa di dalam jaringan areolar yang longgar di
bawah hemoroid interna dengan tujuan menimbulkan peradangan steril yang kemudian menjadi
fibrotik dan meninggalkan parut. Penyuntikan dilakukan di sebelah atas dari garis mukokutan
dengan jarum yang panjang melalui anoskop. Penyuntikan yang dilakukan pada tempat yang
tepat tidak akan menimbulkan nyeri. Penyulit penyuntikan antara lain : infeksi, misalnya
prostatitis akut (jika penyuntikan dilakukan melalui prostat) dan reaksi hipersensitivitas terhadap
obat yang disuntikkan (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Terapi suntikan bahan sklerotik bersama dengan nasehat tentang makanan merupakan terapi
yang efektif untuk hemoroid interna derajat I dan II (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, &
Budiman, 2007).

b. Rubber band Ligation


Perdarahan yang persisten dari hemoroid derajat 1, 2 dan 3 dapat diatasi dengan rubber
band ligation. Mukosa terletak 1-2 cm proximal dari line dentate difiksasi dan ditarik dengan alat
rubber band. Setelah alat ligasi terpasang, gelang karet (rubber band) terikat didasar jaringan
menyebabkan munculnya scar dan mencegah perdarahan ataupun prolapse lebih lanjut (gambar
28.30). secara umum, hanya 1 atau 2 kuadran yang dapat diikat. Nyeri hebat dapat muncul jika
rubber band ditempatkan pada atau distal dari linea dentate dimana terdapat saraf sensoris pada
bagian tersebut. Komplikasi lain dari ligasi menggunakan rubber band adalah retensio urin, infeksi
dan perdarahan. Retensio urine muncul pada 1% pasien yang beberapa bagian sphincter internal
juga ikut terligasi. Infeksi nekrotikan jarang terjadi, namun dapat membahayakan nyawa. Nyeri
hebat, demam dan retensio urin merupakan tanda awal terjadinya infeksi dan harus dievaluasi
secara cepat biasanya dilakukan dibawaha anesthesia. Terapi termasuk debridement dari jaringan
nekrotik, drainase abses, dan antibiotic broadspectrum. Perdarahan mungkin dapat muncul pada
7-10 hari setelah ligasi rubber band, dan pada saat itu terdapat jaringan yang terkelupas dan
nekrotik. Perdarahan biasanya sembuh sendiri, namun perdarahan yang persisten membutuhkan
evaluasi dibawah anesthesia dan jahitan untuk ligasi pedikel (Brunicardi, et al., 2010).
Gambar 6. Tehnik hemoroidektomy submukosa tertutup A. pasien pada posisi jackknife prone B. anoskopi
Fansler digunakan untuk eksposure C. cekungan sempit dari anoderm di eksisi D. diseksi submukosa dari
pleksus hemoroidalis didasar jaringan sphincter anal E. mukosa yang berlebih di sambungkan ke proksimal
anal kanal dan luka ditutup dengan jahitan menggunkn benang absorbable F. kuadran lainnya juga dieksisi
untuk melengkapi prosedur (Brunicardi, et al., 2010).

Hemoroid yang besar atau mengalami prolaps dapat ditangani dengan ligasi gelang karet
menurut Barron.dengan bantuan anuskop, mukosa di atas hemoroid yang menonjol dijepit dan
ditarik atau diisap ke dalam tabung ligator khusus. Gelang karet didorong dari ligator dan
ditempatkan secara rapat disekeliling mukosa pleksus hemoroidalis tersebut. Nekrosis karena
iskemia terjadi dalam beberapa hari. Mukosa bersama karet akan lepas sendiri. Fibrosis dan parut
akan terjadi pada pangkal hemoroid tersebut. Pada satu kali terapi hanya diikat satu kompleks
hemoroid, sedangkan ligasi berikutnya dilakukan dalam jarak waktu dua sampai empat minggu.
Penyulit utama ligasi ialah timbulnya nyeri karena mengenai garis mukokutan. Untuk
menghindari ini, gelang ditempatkan cukup jauh dari garis mukokutan. Nyeri hebat dapat pula
disebabkan oleh infeksi. Perdarahan dapat terjadi sewaktu hemoroid mengalami nekrosis,
biasanya setelah tujuh sampai sepuluh hari (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, &
Budiman, 2007).

c. Bedah beku
Hemoroid dapat pula dibekukan dengan pendinginan pada suhu yang rendah sekali. Bedah
beku atau bedah krio ini tidak dipakai secara luas oleh karena mukosa yang nekrotik sukar
ditentukan luasnya. Bedah krio ini lebih cocok untuk terapi paliatif karsinoma rektum yang
inoperabel (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).

d. Hemoroidektomi
Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengakami keluhan menahun dan pada penderita
hemoroid derajat III atau IV. Terapi bedah juga dapat dilakukan pada penderita dengan
perdarahan berulang dan anemia yang tidak sembuh dengan cara terapi lainnya yang lebih
sederhana. Penderita hemoroid derajat IV yang mengalami trombosis dan kesakitan hebat dapat
ditolong segera dengan hemoroidektomi (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman,
2007).
Prinsip yang harus diperhatikan pada hemoroidektomi adalah eksisi hanya dilakukan pada
jaringan yang benar-benar berlebihan. Eksisi sehemat mungkin dilakukan pada anoderm dan
kulit yang normal dengan tidak mengganggu sfingter anus (Sjamsuhidayat, Karnadiharja,
Praseyono, & Budiman, 2007).

e. Hemoroidopeksi dengan stapler


Karena bantalan hemoroid merupakan jaringan normal yang berfungsi sebagai katup untuk
mencegah inkontinensia flatus dan cairan, pada hemoroid derajat III dan IV tidak usah dilakukan
hemoroidektomi, tetapi cukup menarik mukosa dan jaringan submukosa rektum distal ke atas
(arah aboral) dengan menggunakan sejenis stapler, sehingga hemoroid akan kembali ke posisi
semula yang normal. Operasi hemoroid jenis ini dinamakan hemoroidopeksi dengan stapler, dan
nyeri pasca bedah pada tindakan ini sangat minimal (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, &
Budiman, 2007).

f. Tindakan Bedah lain


Dilatasi anus yang dilakukan dalam anastesi dimaksudkan untuk memutus jaringan ikat
yang diduga menyebabkan obstruksi jalan ke luar anus atau spasme yang merupakan faktor
penting dalam pembentukan hemoroid. Metode dilatasi menurut Lord ini kadang disertai dengan
penyulit inkontinensia sehingga tidak dianjurkan (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, &
Budiman, 2007).

g. Hemoroid Eksterna yang mengalami trombosis


Keadaan ini bukan hemoroid dalam arti yang sebenarnya, tetapi merupakan trombosis vena
hemoroid eksterna yang terletak subkutan di daerah kanalis analis (Sjamsuhidayat, Karnadiharja,
Praseyono, & Budiman, 2007).
Trombosis dapat terjadi karena tekanan tinggi di vena tersebut misalnya ketika mengangkat
barang berat, batuk, bersin, mengedan, atau partus. Vena lebar yang menonjol itu dapat terjepit
sehingga kemudian terjadi trombosis. Kelainan yang nyeri sekali ini dapat terjadi pada semua
usia dan tidak ada hubungan dengan ada/tidaknya hemoroid interna. Kadang terdapat lebih dari
satu trombus (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
Keadaan ini ditandai dengan adanya benjolan di bawah kulit kanalis analis yang nyeri sekali,
tegang, dan berawrna kebiruan, berukuran mulai dari beberapa milimiter sampai 1-2 cm
diameternya. Benjolan itu dapat unilobular, dan dapat pula multilokuler atau beberapa benjolan.
Ruptur dapat terjadi pada dinding vena, meskipun biasanya tidak lengkap sehingga masih
terdapat lapisan tipis adventisia menutupi darah yang membeku (Sjamsuhidayat, Karnadiharja,
Praseyono, & Budiman, 2007).
Pada awal timbulnya, trombosis terasa sangat nyeri, kemudian nyeri berkurang dalam
waktu dua sampai tiga hari bersamaan dengan berkurangnya edema akut. Ruptur spontan dapat
terjadi diikuti dengan perdarahan. Resolusi spontan dapat pula terjadi tanpa terapi setelah dua
sampai empat hari (Sjamsuhidayat, Karnadiharja, Praseyono, & Budiman, 2007).
2.11 Prognosis
Keluhan pasien hemoroid dapat dihilangkan dengan terapi yang tepat (Tanto, Liwang,
Hanifati, & Pradipta, 2014).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Plexus hemoroid merupakan pembuluh darah normal yang terletak pada mukosa rektum
bagian distal dan anoderm. Gangguan pada hemoroid terjadi ketika plexus vaskular
ini membesar. Sehingga kita dapatkan pengertiannya dari hemoroid adalah dilatasi varikosus
vena dari plexus hemorrhoidal inferior dan superior (Dorland, 2010).
Hemoroid adalah kumpulan dari pelebaran satu segmen atau lebih vena hemoroidalis di
daerah anorektal. Hemoroid bukan sekedar pelebaran vena hemoroidalis, tetapi bersifat
lebih kompleks yakni melibatkan beberapa unsur berupa pembuluh darah, jaringan lunak
dan otot di sekitar anorektal (Felix, 2006). Hemoroid merupakan varises pada pleksus venosus
hemoroidalis superior atau inferior (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2011).
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
(Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta, 2014).
Anamnesis keluhan yang terdapat pada manifestasi klinik
Pemeriksaan fisik hemoroid eksterna dapat dilihat dengan inspeksi terutama bilah terjadi
thrombosis, sedangkan hemorrhoid interna dapat diamati apabila mengalami prolaps
Pemeriksaan penunjang, pemeriksaan dalam rectal secara digital dan anoskopi
Tata laksana hemoroid dapat dibedakan menjadi non bedah dan bedah (hemoroidektomi).
Selain itu, pilihan tata laksana bergantung pada derajat hemoroid. Kebanyakan pasien dengan
hemoroid derajat 1 dan 2 dapat diobati dengan tindakan lokal dan modifikasi diet. Pada sebagian
derajat 2, derajat 3 dan 4 pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis bedah untuk dilakukan
hemoroidektomi (Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi, F. C., Andersen, D. K., Billiar, T. R., Dunn, D. L., Hunter, J. G., Matthews, J. B., et al. (2010).
Schwartz's Principles of Surgery. United States: Mc Graw Hill.

Dorland, W. N. (2010). Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta: EGC.

Felix, M. (2006). Current Therapy in Emergency Medicine. BC. Becker Inc: Toronto.

Kowalak, J. P., Welsh, W., & Mayer, B. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidayat, R., Karnadiharja, W., Praseyono, T. O., & Budiman, R. (2007). Buku Ajar Ilmu Bedah
Sjamsuhidayat-De Jong (Vol. 3). Jakarta: EGC.

Snell, R. S. (2006). Anatomi Klinik untuk Mahhasiswa Kedokteran; alih bahasa Liliana Sugihharto, Edisi 6. Jakarta:
EGC.

Price, A. S, Wilson, M.L. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih bahasa : dr. Brahm U.
Penerbit Jakarta : EGC.

Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., & Pradipta, E. A. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.

Zinner, M. J., & Ashley, S. W. (2007). Maingot's Abdominal Operation 11th Edition. New York: Mc Graw-Hill
Companies.

Anda mungkin juga menyukai