Anda di halaman 1dari 40

Bagian Ilmu Bedah Refleksi Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Hidrosefalus ec. Suspect Meningitis

Disusun oleh:
Mayshia Prazitya S 1410029050

Pembimbing:
Dr. dr. Arie Ibrahim, Sp. BS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
JUNI 2017
BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas pasien
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 60 tahun
Alamat : Jl. Wiraguna dalam RT.7
Pendidikan terakhir : Swasta
Suku : Jawa
Agama : Islam
MRS : 30 Mei 2017

Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa pada tanggal 2 Juni 2017 dengan
anak kandung pasien.

Keluhan Utama :
Pusing berputar sejak 2 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD AWS dengan pusing berputar sejak 2 bulan
yang lalu. Menurut anak kandung pasien, pasien merasa seperti benda
disekelilingnya bergerak dan goyang. Pusing berputar dirasakan muncul tiba-tiba,
tidak berdasarkan perubahan posisi, dan hilang timbul. Awalnya pusing berputar
dirasakan tidak terlalu sering, namun lama kelamaan frekuensi serangan menjadi
lebih sering. Tiap serangan hanya berlangsung beberapa menit saja kemudian
membaik. Sejak keluhan ini muncul, nafsu makan dan minum pasien juga
menurun, akibatnya badan pasien sering terasa lemas dan berat badan pasien juga
dirasa menurun.
Pasien kemudian dirawat di ruang flamboyan dan mendapatkan pengobatan.
Pada hari ke-3 perawatan, kesadaran pasien menurun secara tiba-tiba. Dari
anamnesis didapatkan, sebelumnya pasien juga mengeluhkan adanya nyeri kepala
yang dirasakan sejak 2 minggu terakhir, nyeri terasa pada seluruh kepala seperti
tertekan dan seperti mau pecah, namun muncul hanya kadang-kadang saja

2
sehingga pasien tidak terlalu menghiraukan keluhan ini. Sebelumnya pasien juga
sempat mengeluhkan demam yang dirasakan sejak 1 bulan terakhir, demam
dirasakan tidak terlalu tinggi (terkadang seperti meriang), hilang timbul, dan tidak
ada waktu tertentu munculnya demam. Selain itu, 2 hari sebelumnya pasien juga
sempat mengeluhkan muntah sebanyak 1 kali, muntah tidak menyembur, dan
berisi makanan. Tidak ada keluhan batuk pilek sebelumnya, batuk lama, ataupun
batuk darah. Tidak ada keluhan kejang, penglihatan kabur ataupun penglihatan
ganda. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan.
Kemudian dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala cito pada pasien dan
didiagnosis hidrosefalus. Pasien kemudian dikonsulkan kespesialis bedah saraf.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Pasien tidak pernah mengalami kejang dari saat kecil hingga sekarang.
Pasien memiliki riwayat penyakit jantung, dan rutin kontrol di poli jantung
serta mengkonsumsi obat secara teratur.
Riwayat operasi kepala, cedera kepala, ataupun MRS sebelumnya disangkal.
Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis, ataupun alergi obat disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak terdapat anggota keluarga lain yang menderita penyakit yang serupa
dengan yang dialami pasien.
Riwayat batuk lama dalam keluarga disangkal, di tetangga dan lingkungan
sekitar tidak diketahui.
Tidak ada riwayat penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kencing manis,
ataupun alergi obat dalam keluarga.

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 2 Juni 2017
Kesadaran : E1V1M4

3
Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70
Frekuensi nadi : 96 x/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi napas : 22 x/menit
Temperatur : 37,0o C per axila

Kepala dan Leher


Kepala : normosefali, diameter frontooksipital 57 cm, fontanela
tertutup, sefal hematoma (-)
Mata : mata simetris, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), Refleks Cahaya (+/+), Pupil Isokor (3mm/3mm),
mata cowong (-/-)
Hidung : kelainan bentuk (-), rhinorea (-/-)
Telinga : kelainan bentuk (-), otorhea (-/-)
Leher : jejas (-), deformitas tulang leher (-), kaku kuduk (+),
tidak ada pembesaran KGB

Thoraks-Cardiovaskuler
Inspeksi : Bentuk dan gerak dinding dada simetris dextra = sinistra,
retraksi (-), Ictus cordis tampak di ICS V MCL sinistra
Palpasi : gerakan dinding dada simetris dextra = sinistra, Ictus
cordis teraba di ICS V MCL sinistra
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), Rhonki (+/+), S1S2 tunggal reguler,
murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Tampak datar
Palpasi :Soefl, nyeri tekan (-), organomegali (-), turgor kulit
kembali cepat
Perkusi : Timpani seluruh kuadran
Auskultasi : Bising usus (+) normal

4
Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (-), capillary refill test < 2 detik

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Kesan umum : sakit berat
GCS : E1V1M4
1. Rangsang meningeal
Kaku kuduk (+)
2. Pemeriksaan nervus kranialis
a. Nervus kranialis I : tde
b. Nervus kranialis II :
OD OS
Ketajaman
penglihatan tde tde
Lapang pandang
Funduskopi

c. Nervus kranialis III, IV, VI :


Posisi bola mata : esotropia
Pupil : ukuran 3 mm, bulat, isokor, RCL (+/+), RCTL
(+/+)
Gerakan bola mata : tde
d. Nervus kranialis V : refleks kornea (+)
e. Nervus kranialis VII : tde
f. Nervus kranialis VIII : tde
g. Nervus kranialis IX dan X :
Posisi arkus faring : normal, uvula ditengah
Refleks menelan/muntah : tde
Suara : tde
h. Nervus kranialis XI :
m. sternocleidomastoideus : tde
m. trapezius : tde
i. Nervus kranialis XI : tde

5
3. Refleks fisiologis
a. Biseps : +/+
b. Triseps : +/+
c. Patella : +/+
d. Achilles : +/+

4. Refleks patologis
a. Babinski : +/+
b. Chaddok : +/+
c. Klonus : -/-

5. Motorik
Superior Inferior
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Pergerakan
tde tde tde tde
Kekuatan

6. Sensorik
a. Raba : tde
b. Nyeri : tde
c. Suhu : tde

Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (30 Mei 2017)
Leu 13.100 Na 128 Ur 28,5
Hb 11,5 K 3,7 Cr 0,9
HCT 33,5 % Cl 99 CT 2
Tro 324.000 GDS 134 LED 21 mm/jam
HbsAg NR 112 NR

CT-Scan Kepala
Kesan : hidrosefalus

6
Diagnosis Kerja
Hidrocephalus ec susp meningitis
CHF

Penatalaksanaan
EVD
Digoxin tablet 1x1 mg

Prognosis
Dubia

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 MENINGITIS
3.1.1 Definisi
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang
lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial
(Harsono, 2003).
Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan Cerebrospinal
Fluid (CSF) atau disebut juga Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu: meningitis
purulenta dengan penyebab bakteri selain bakteri Mycobacterium tuberculosis,
dan meningitis serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun virus. Tanda
dan gejala klinis meningitis hampir selalu sama pada setiap tipenya, sehingga
diperlukan pengetahuan dan tindakan lebih untuk menentukan tipe meningitis. Hal
ini berkaitan dengan penanganan selanjutnya yang disesuaikan dengan etiologinya
(Huldani, 2012).
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita
dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan
cairan tenggorok penderita. Saluran nafas merupakan port dentree utama pada
penularan penyakit ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui
pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk
secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan
memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput
otak dan otak (Mansjoer, 2000).

3.1.2 Epidemiologi
3.1.2.1 Distribusi Frekuensi Meningitis
a. Orang/ Manusia
Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya
meningitis. Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki
dibandingkan perempuan dan distribusi terlihat lebih nyata pada bayi.

8
Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak
karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna (Lewis,
2008).
Puncak insidensi kasus meningitis karena Haemophilus influenzae di
negara berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan,
sedangkan di Amerika Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan.
Sebelum tahun 1990 atau sebelum adanya vaksin untuk Haemophilus
influenzae tipe b di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 kasus meningitis
Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun. Insidens Rate pada usia <
5 tahun sebesar 40-100 per 100.000. Setelah 10 tahun penggunaan
vaksin, Insidens Rate menjadi 2,2 per 100.000. Di Uganda (2001-
2002) Insidens Rate meningitis Hib pada usia < 5 tahun sebesar 88 per
100.000 (Lewis, 2008).
b. Tempat
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-
ekonomi rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp
tentara dan jemaah haji), dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis
banyak terjadi pada negara yang sedang berkembang dibandingkan
pada negara maju. Insidensi tertinggi terjadi di daerah yang disebut
dengan the African Meningitis belt, yang luas wilayahnya
membentang dari Senegal sampai ke Ethiopia meliputi 21 negara.
Kejadian penyakit ini terjadi secara sporadis dengan Insidens Rate 1-
20 per 100.000 penduduk dan diselingi dengan KLB besar secara
periodik. Di daerah Malawi, Afrika pada tahun 2002 Insidens Rate
meningitis yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae 20-40 per
100.000 penduduk (Lewis, 2008).
c. Waktu
Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana
kasus- kasus infeksi saluran pernafasan juga meningkat. Di Eropa dan
Amerika utara insidensi infeksi Meningococcus lebih tinggi pada
musim dingin dan musim semi sedangkan di daerah Sub-Sahara
puncaknya terjadi pada musim kering (Lewis, 2008).

9
d. Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di Amerika
sering terjadi selama musim panas karena pada saat itu orang lebih
sering terpapar agen pengantar virus.21 Di Amerika Serikat pada tahun
1981 Insidens Rate meningitis virus sebesar 10,9 per 100.000
Penduduk dan sebagian besar kasus terjadi pada musim panas (Lewis,
2008).

3.1.2.2 Determinan Meningitis


a. Host/ Pejamu
Meningitis yang disebabkan oleh Pneumococcus paling sering
menyerang bayi di bawah usia dua tahun. Meningitis yang disebabkan
oleh bakteri Pneumokokus 3,4 kali lebih besar pada anak kulit hitam
dibandingkan yang berkulit putih. Meningitis Tuberkulosa dapat
terjadi pada setiap kelompok umur tetapi lebih sering terjadi pada
anak-anak usia 6 bulan sampai 5 tahun dan jarang pada usia di bawah
6 bulan kecuali bila angka kejadian Tuberkulosa paru sangat tinggi.
Diagnosa pada anak-anak ditandai dengan test Mantoux positif dan
terjadinya gejala meningitis setelah beberapa hari mendapat suntikan
BCG (Lewis, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Nofareni (1997-2000) di RSUP
H.Adam Malik menemukan odds ratio anak yang sudah mendapat
imunisasi BCG untuk menderita meningitis Tuberculosis sebesar 0,2.
Penelitian yang dilakukan oleh Ainur Rofiq (2000) di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengenai daya lindung vaksin TBC
terhadap meningitis Tuberculosis pada anak menunjukkan penurunan
resiko terjadinya meningitis Tb pada anak sebanyak 0,72 kali bila
penderita diberi BCG dibanding dengan penderita yang tidak pernah
diberikan BCG (Musfiroh, et al, 2000).
Meningitis serosa dengan penyebab virus terutama menyerang anak-
anak dan dewasa muda (12-18 tahun). Meningitis virus dapat terjadi
waktu orang menderita campak, Gondongan (Mumps) atau penyakit
infeksi virus lainnya. Meningitis Mumpsvirus sering terjadi pada
kelompok umur 5-15 tahun dan lebih banyak menyerang laki-laki

10
daripada perempuan. Penelitian yang dilakukan di Korea (Lee, 2005),
menunjukkan resiko laki-laki untuk menderita meningitis dua kali
lebih besar dibanding perempuan (Nelson, 2002).
b. Agen
Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus.
Meningitis purulenta paling sering disebabkan oleh Meningococcus,
Pneumococcus dan Haemophilus influenzae sedangkan meningitis
serosa disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa dan virus. 3
Bakteri Pneumococcus adalah salah satu penyebab meningitis
terparah. Sebanyak 20-30 % pasien meninggal akibat meningitis hanya
dalam waktu 24 jam. Angka kematian terbanyak pada bayi dan orang
lanjut usia (Lewis, 2008).
Meningitis karena virus termasuk penyakit yang ringan. Gejalanya
mirip sakit flu biasa dan umumnya penderita dapat sembuh sendiri.
Pada waktu terjadi KLB Mumps, virus ini diketahui sebagai penyebab
dari 25 % kasus meningitis aseptik pada orang yang tidak diimunisasi.
Virus Coxsackie grup B merupakan penyebab dari 33 % kasus
meningitis aseptik, Echovirus dan Enterovirus merupakan penyebab
dari 50 % kasus. 9 Resiko untuk terkena aseptik meningitis pada laki-
laki 2 kali lebih sering dibanding perempuan (Nelson, 2002).
c. Lingkungan
Faktor Lingkungan (Environment) yang mempengaruhi terjadinya
meningitis bakteri yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae tipe
b adalah lingkungan dengan kebersihan yang buruk dan padat dimana
terjadi kontak atau hidup serumah dengan penderita infeksi saluran
pernafasan. Pada umumnya frekuensi Mycobacterium tuberculosa
selalu sebanding dengan frekuensi infeksi Tuberculosa paru. Jadi
dipengaruhi keadaan sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat.
Penyakit ini kebanyakan terdapat pada penduduk dengan keadaan
sosial ekonomi rendah, lingkungan kumuh dan padat, serta tidak
mendapat imunisasi (Nelson, 2002).
Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di Amerika

11
sering terjadi selama musim panas karena pada saat itu orang lebih
sering terpapar agen pengantar virus. Lebih sering dijumpai pada anak-
anak daripada orang dewasa. Kebanyakan kasus dijumpai setelah
infeksi saluran pernafasan bagian atas (Nelson, 2002).

3.1.3 Anatomi Meningen


Meningen terdiri dari tiga lapis, yaitu (Huldani, 2012):
1. Pia mater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang
menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulkus, fisura dan sekitar
pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fisura
transversalis di bawah corpus callosum. Di tempat ini piamater membentuk tela
choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan
pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari
ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel
keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.
2. Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan pia mater dan
durameter.
3. Dura mater merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal
dari jaringan ikat yang tebal dan kuat. Dura kranialis atau pachymeninx adalah
struktur fibrosa yang kuat dengan lapisan dalam (meningen) dan lapisan luar
(periosteal). Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan
juga membentuk periosteum. Di antara kedua hemispher terdapat invaginasi yang
disebut falx cerebri yang melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis
ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater
bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke kedua sisi.

12
Gambar 3.1.3 Struktur meningen dari luar

3.1.3 Patofisiologi
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di
organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen
sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia,
Bronchopneumonia dan Endokarditis. Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara
perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput
otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus
dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan
fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang
subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan
Serebrospinal) dan sistem ventrikulus (Suwono, 2002).
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami
hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit
polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat.
Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu
kedua sel- sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar
mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam
terdapat makrofag (Suwono, 2002).
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan
dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-

13
neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen
menyebabkan kelainan kraniales. Pada Meningitis yang disebabkan oleh virus,
cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh
bakteri (Suwono, 2002).

3.1.4 Manifestasi Klinis


Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak,
letargi, muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
cairan serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal (Suwono, 2002).
Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih
serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang
disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise,
kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke
susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai
dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan
disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah,
leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis
Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah
dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku
leher, dan nyeri punggung (Harsono, 2003).
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat
pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara
akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang,
nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan
fontanella yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44 % anak dengan
penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 %
oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan
dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas,
penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat,
malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh
atau purulent (Soegijanto, 2002).

14
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau
stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti
gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering
tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan
turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan
kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul,
nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung,
halusinasi, dan sangat gelisah (Musfiroh, 2000).
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 3 minggu dengan
gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat
dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda
rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat
tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih
hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan
gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal
dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana
mestinya (Musfiroh, 2000).

3.1.5 Diagnosis
Diagnosis pada meningitis dapat dilakukan dengan beberapa cara :
3.1.5.1 Anamnesis
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam,
nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu
makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang, penurunan kesadaran
adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis. Pada neonatus, gejalanya
mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum,
letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia. Anamnesa dapat
dilakukan pada keluarga pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan
untuk autoanamnesa (Ramalingan, 2016).
3.1.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya
adalah pemeriksaan rangsang meningeal (Sidharta, 2009).

15
Yaitu sebagai berikut :
1. Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi
kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada
pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.
2. Kernig`s sign
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa
nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135
(kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya
diikuti rasa nyeri.
3. Brudzinski I (Brudzinski leher)
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi
ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala
pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. BrudzinskiI positif (+) bila
gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi disendi lutut dan panggul
kedua tungkai secara reflektorik.
4. Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi
panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila
pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter padasendi panggul dan lutut
kontralateral.
5. Brudzinski III (Brudzinski Pipi)
Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari
pemeriksa tepat dibawah os ozygomaticum. Tanda Brudzinski III positif (+) jika
terdapat flexi involunter extremitas superior.
6. Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan
pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi involunter
extremitas inferior.

16
7. Lasegue`s Sign
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah
satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda
lasegue positif (+) jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70 pada dewasa
dan kurang dari 60 pada lansia.

3.1.5.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Uji Mantuox/Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis
yang paling bermanfaat. Terdapat beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi
hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan
penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm
(Ramalingan, 2016).
b. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa,
kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
1. Pemeriksaan LED meningkat pada pasien meningitis TB :
a. Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit polimorfonuklear
dengan shift ke kiri.
b. Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
c. Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa pada
cairan serebrospinal.
d. Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ dan
penyesuaian dosis terapi.
e. Tes serum untuk sifilis jika diduga akibat neurosifilis.
2. Lumbal Pungsi
Lumbal Pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan
protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan
tekanan intrakranial. Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum lumbal
pungsi ke dalam kandung dura lewat processus spinosus L4-L5 / L5-S1 untuk
mengambil cairan serebrospinal (Ramalingan, 2016).

17
Pada meningitis TB, sering ditemukan glukosa pada cairan serebrospinalis
di bawah 5 mg/dl dengan warna yang jernih, hitung jenis sel darah putih
menunjukkan peningkatan limfosit sebesar 50% atau lebih pada 50 sampai 500
per L sel darah putih di dalam cairan serebrospinalis. Kandungan protein di atas
1 g/L dan glukosa kurang dari 2.2 mmol/L. Namun pada beberapa kasus bisa
ditemukan hasil penemuan laboratorium yang berbeda (Huldani, 2012).
c. Pemeriksaan Radiologis
1. Foto Toraks
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto toraks, foto kepala, CT-
Scan dan MRI. Foto toraks untuk melihat adanya infeksi sebelumnya pada paru-
paru misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis, sementara foto kepala dilakukan
karena kemungkinan adanya penyakit pada mastoid dan sinus paranasal. Pada
penderita dengan meningitis tuberkulosis umumnya didapatkan gambaran
tuberkulosis paru primer pada pemeriksaan rontgen toraks, kadang-kadang
disertai dengan penyebaran milier dan kalsifikasi. Gambaran rontgen toraks yang
normal tidak menyingkirkan diagnosa meningitis tuberkulosis (Ramalingan,
2016).
2. Computed Tomography Scan / Magnetic Resonance Imaging Scan
Pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT- Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging Scan (MRI) kepala dapat menentukan adanya dan luasnya
kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran dari
pemeriksaan CT-scan dan MRI kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah
normal pada awal penyakit. Seringnya berkembangnya penyakit, gambaran yang
sering ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus
komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang
masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di
daerah korteks serebri atau talamus (Ramalingan, 2016).
2.8.1.6 Pemeriksaan Gene Xpert
Gene Xpert adalah tes baru untuk tuberkulosis. Hal ini dapat mengetahui
apakah seseorang terinfeksi TB, dan juga jika bakteri TB dari orang yang
memiliki ketahanan terhadap salah satu obat TB umum, rifampisin. Gene Xpert
adalah mesin yang dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dalam sampel

18
dahak. Mesin mencari Deoxyribonucleic acid (DNA) spesifik untuk bakteri TB.
Teknik ini disebut PCR (polymerase chain reaction), dan mungkin mesin untuk
juga melihat struktur gen (Ramalingan, 2016).
Gene Xpert dapat menguji resistensi terhadap salah satu obat TB yang
paling umum, rifampisin. Ini berarti bahwa hal itu dapat memberitahu kita dua hal
yaitu, apakah seseorang memiliki TB, dan apakah penderita TB tersebut telah
dapat diobati dengan rifampisin (Ramalingan, 2016).

3.1.6 Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah menghilangkan infeksi dengan menurunkan tanda-
tanda dan gejala serta mencegah kerusakan neurologik seperti kejang, tuli, koma
dan kematian (Baoezier, 2002).
3.1.6.1 Prinsip umum terapi
1. Pemberian cairan, eletrolit, antipiretik, analgesik, dan terapi penunjang lain
yang penting untuk pasien penderita meningitis akut
2. Terapi antibiotika empirik harus diberikan sesegera mungkin untuk
menghilangkan mikroba penyebab. Terapi antibiotik harus paling tidak
selama 48-72 jam atau sampai diagnosa ditegakkan
3. Meningitis yang disebabkan oleh S pneumonia, N meningitidis, H influenza
dapat sukses diterapi dengan antibiotik selama 7-14 hari. Pemberian lbih
lama, 14-21 hari direkomendasikan untuk pasien yang terinfeksi L
monocytgees, Group B streptococci dan basil G enterik. Terapi seharusnya
secara idividu dan beberapa pasien mungkin memerlukan terapi antibiotik
lebih lama (Baoezier, 2002).
3.1.6.1 Terapi Farmakologi
1. Peningkatan inflamasi selaput otak akan meningkatkan penetrasi antibiotik.
Masalah penetrasi AB dapat diatasi dengan pemberian AB langsung secara
intratekal, intrasisternal, atau intraventrikuler.
2. Faktor2 yang memperkuat penetrasi ke CSS adalah BM yang rendah,
molekul yang tidak terion, kearutan dalam lemak, dan ikatan protein yang
kecil.

19
3. Deksametason sebagai terapi adjuvan, juga sering digunakan pada kasus
meningitis anak, karena dapat menyebabkan perbaikan yang nyata pada
konsentrasi glukosa dan laktat CSS serta juga mnurunkan dengan nyata
kejadian gangguan neurologi yang umum berkaitan dengan meningitis. Efek
anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri,
mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat
menurunkan penetrasi antibiotika ke dalam abses dan dapat memperlambat
pengkapsulan abses, oleh karena itu penggunaaan secara rutin tidak
dianjurkan. Oleh karena itu kortikosteroid sebaiknya hanya digunakan untuk
tujuan mengurangi efek masa atau edema pada herniasi yang mengancam
dan menimbulkan defisit neurologik fokal (Davis, 2004).
4. Deksa harus diberikan sebelum dosis pertama AB dan Hb dan tinja pucat
harus dimonitor untuk mengethui pendarahan saluran cerna.
5. Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus terlebih dahulu dilakukan kultur
darah dan Lumbal Punksi guna pembrian antibiotika disesuaikan dengan
kuman penyebab. Pemilihan antimikrobial pada meningitis otogenik
tergantung pada pemilihan antibiotika yang dapat menembus sawar darah
otak, bakteri penyebab serta perubahan dari sumber dasar infeksi.
Bakteriologikal dan respons gejala klinis kemungkinan akan menjadi
lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling sedikit 14 hari setelah hasil
kultur CSF akan menjadi negative (Baoezier, 2002).

3.1.7 Prognosis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik
yang menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis
meningitis dan lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia
neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai prognosis yang semakin jelek,
yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian (Baoezier, 2002).
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas
meningitis purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami
sequelle (akibat sisa). Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan

20
kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan
mental, dan 5 10% penderita mengalami kematian (Baoezier, 2002).
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada
umumnya tinggi. Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian
meningitis TBC dipengaruhi oleh umur dan pada stadium berapa penderita
mencari pengobatan. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu
(Baoezier, 2002).
Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis
yang lebih ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral
memiliki prognosis yang jauh lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 2
minggu dan dengan pengobatan yang tepat penyembuhan total bisa terjadi
(Nelson, 2002).

3.2 HIDROSEFALUS
3.2.1 Definisi
Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang
berarti kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan serebrospinal (CSS)
secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak dimana terjadi
akumulasi CSS yang berlebihan pada satu atau lebih ventrikel atau ruang
subarachnoid. Keadaan ini disebabkan oleh karena terdapat ketidak seimbangan
antara produksi dan absorpsi dari CSS. Bila akumulasi CSS yang berlebihan
terjadi diatas hemisfer serebral, keadaan ini disebut higroma subdural atau koleksi
cairan subdural. Pada kasus akumulasi cairan yang berlebihan terjadi pada sistem
ventrikuler, keadaan ini disebut sebagai hidrosefalus internal (Sjamsuhidajat,
2004).

3.2.2 Epidemiologi
Secara keseluruhan, insiden dari hidrosefalus diperkirakan mendekati 1 :
1000. sedangkan insiden hidrosefalus kongenital bervariasi untuk tiap-tiap
populasi yang berbeda. Hershey BL mengatakan kebanyakan hidrosefalus pada
anak-anak adalah kongenital yang biasanya sudah tampak pada masa bayi. Jika

21
hidrosefalus tampak setelah umur 6 bulan biasanya bukan oleh karena kongenital.
Mujahid Anwar dkk mendapatkan 40 50% bayi dengan perdarahan
intraventrikular derajat 3 dan 4 mengalami hidrosefalus. Pongsakdi Visudiphan
dkk pada penelitiannya mendapatkan 36 dari 49 anak-anak dengan meningitis TB
mengalami hidrosefalus, dengan 3 catatan 8 anak dengan hidrosefalus obstruktif
dan 26 anak dengan hidrosefalus komunikans. Hidrosefalus yang terjadi sebagai
komplikasi meningitis bakteri dapat dijumpai pada semua usia, tetapi lebih sering
pada bayi daripada anak-anak. Berdasarkan catatan medik di bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Denpasar dari tahun 1991 s/d Desember 1993
telah dirawat 21 penderita hidrosefalus dimana 4 diantaranya adalah hidrosefalus
kongenital (Wijaya, 2006).

3.2.3 Anatomi dan Fisiologi


Struktur anatomi yang berkaitan dengan hidrosefalus, yaitu bangunan-
bangunan dimana CSS berada (Wijaya, 2006).
a. Sistem ventrikel otak dan kanalis sentralis.
1. Ventrikel lateralis
Ada dua, terletak didalam hemispherii telencephalon. Kedua ventrikel
lateralis berhubungan denga ventrikel III (ventrikel tertius) melalui foramen
interventrikularis (Monro).
2. Ventrikel III (Ventrikel Tertius)
Terletak pada diencephalon. Dinding lateralnya dibentuk oleh thalamus
dengan adhesio interthalamica dan hypothalamus. Recessus opticus dan
infundibularis menonjol ke anterior, dan recessus suprapinealis dan recessus
pinealis ke arah kaudal. Ventrikel III berhubungan dengan ventrikel IV melalui
suatu lubang kecil, yaitu aquaductus Sylvii (aquaductus cerebri).
3. Ventrikel IV (Ventrikel Quartus)
Membentuk ruang berbentuk kubah diatas fossa rhomboidea antara
cerebellum dan medulla serta membentang sepanjang recessus lateralis pada
kedua sisi. Masing-masing recessus berakhir pada foramen Luschka, muara lateral
ventrikel IV. Pada perlekatan vellum medullare anterior terdapat apertura mediana
Magendie.

22
4. Kanalis sentralis medula oblongata dan medula spinalis
Saluran sentral korda spinalis: saluran kecil yang memanjang sepanjang
korda spinalis, dilapisi sel-sel ependimal. Diatas, melanjut ke dalam medula
oblongata, dimana ia membuka ke dalam ventrikel IV.
b. Ruang subarakhnoidal
Merupakan ruang yang terletak diantara lapisan arakhnoid dan piamater.
CSS dihasilkan oleh plexus choroideus dan mengalir dari ventrikel lateral
ke foramen Monroe ke dalam ventrikel III, dan dari sini melalui aquaductus Sylvii
masuk ke ventrikel IV. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor serebrospinalis
externum melalui foramen lateralis dan medialis dari ventrikel IV. Pengaliran CSS
ke dalam sirkulasi vena sebagian terjadi melalui villi arachnoidea, yang menonjol
ke dalam sinus venosus atau ke dalam lacuna laterales; dan sebagian lagi pada
tempat keluarnya nervi spinalis, tempat terjadinya peralihan ke dalam plexus
venosus yang padat dan ke dalam selubung-selubung saraf (suatu jalan ke circulus
lymphaticus) (Wijaya, 2006).
Kecepatan pembentukan CSS 0,3-0,4 cc/menit atau antara 0,2- 0,5%
volume total per menit dan ada yang menyebut antara 14-38 cc/jam. Sekresi total
CSS dalam 24 jam adalah sekitar 500-600cc, sedangkan jumblah total CSS adalah
150 cc, berarti dalam 1 hari terjadi pertukaran atau pembaharuan dari CSS
sebanyak 4-5 kali/hari (Wijaya, 2006).

23
Gambar 3.2.3 Intracranial hydrodynamics represented as a circuit diagram
with a parallel pathway of CSF flow and cerebral blood flow.

3.2.4 Etiologi
Hidrosefalus timbul akibat terjadi ketidak seimbangan antara produksi
dengan absorpsi dan gangguan sirkulasi CSS (Wijaya, 2006).

24
Selain akibat gangguan pada produksi, absorpsi, dan sirkulasi, hidrosefalus
juga dapat timbul akibat : Disgenesis serebri dan atrofi serebri.

3.2.5 Klasifikasi
Hidrosefalus dapat diklasifikasikan atas beberapa hal, antara lain
(Sjamsuhidajat, 2004):
a. Hidrosefalus tipe obstruksi / non komunikans
Terjadi bila CSS otak terganggu (Gangguan di dalam atau pada sistem
ventrikel yang mengakibatkan penyumbatan aliran CSS dalam sistem ventrikel
otak). Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal yang disebabkan obstruksi
pada salah satu tempat pembentukan likuor, antara pleksus koroidalis sampai
tempat keluarnya dari ventrikel IV melalui foramen Magendi dan Luschka. Tipe
ini kebanyakan disebabkan oleh kongenital : stenosis akuaduktus Sylvius
(menyebabkan dilatasi ventrikel lateralis dan ventrikel III. Ventrikel IV biasanya
normal dalam ukuran dan lokasinya). Yang agak jarang ditemukan sebagai
penyebab hidrosefalus adalah sindrom Dandy-Walker, Atresia foramen Monro,
malformasi vaskuler atau tumor bawaan. Radang (Eksudat, infeksi meningeal).
Perdarahan/trauma (hematoma subdural). Tumor dalam sistem ventrikel (tumor
intraventrikuler, tumor parasellar, tumor fossa posterior).
b. Hidrosefalus tipe komunikans
Jarang ditemukan. Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal tanpa
disertai penyumbatan sistem ventrikel. Terjadi karena proses berlebihan atau
gangguan penyerapan (Gangguan di luar sistem ventrikel).
- perdarahan akibat trauma kelahiran menyebabkan perlekatan lalu
menimbulkan blokade villi arachnoid.
- Radang meningeal
- Kongenital :
- Perlekatan arachnoid/sisterna karena gangguan pembentukan.
- Gangguan pembentukan villi arachnoid
- Papilloma plexus choroideus

25
3.2.6 Patofisiologi
Secara teoritis hidrosefalus terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme
yaitu; produksi liquor yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran liquor,
peningkatan tekanan sinus venosa. Sebagai konsekuensi dari tiga mekanisme
diatas adalah peningkatan tekanan intrakranial sebagai upaya mempertahankan
keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel masih
belum dipahami dengan jelas, namun hal ini bukanlah hal yang sederhana
sebagaimana akumulasi akibat dari ketidakseimbangan antara produksi dan
absorbsi (Saputra, 2015).
Produksi liquor yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh tumor
pleksus khoroid (papiloma dan karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan
akan menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dalam mempertahankan
keseimbangan antara sekresi dan absorbsi liquor, sehingga akhirnya ventrikel
akan membesar. Adapula beberapa laporan mengenai produksi liquor yang
berlebihan tanpa adanya tumor pada pleksus khoroid (Saputra, 2015).
Gangguan aliran liquor merupakan awal dari kebanyakan dari kasus
hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan aliran akan
meningkatkan tekanan liquor secara proporsional dalam upaya mempertahankan
resorbsi yang seimbang. Derajat peningkatan resistensi aliran cairan liquor ada
kecepatan perkembangan gangguan hidrodinamik berpengaruh pada penampilan
klinis (Saputra, 2015).

3.2.7 Hidrosefalus dan Meningitis


Hidrosefalus dapat terjadi akibat proses infeksi atau inflamasi. Efek
inflamasi kronis menyebabkan organisasi eksudat inflamasi untuk membentuk
jaringan fibrotik dan gliosis. Fibrosis dan gliosis ini menyebabkan obstruksi dari
perjalanan cairan serebrospinal di dalam sistem ventrikel dan di ruang
subarachnoid (misalnya di sisterna basal) dan ruang subarachnoid di permukaan
korteks. Infeksi bakteri, parasit, dan infeksi granulomatosa lebih sering
menyebabkan hidrosefalus dibandingkan infeksi virus (Saputra, 2015).
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga terjadi
obliterasi ruang subarachnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis
purulenta terjadi bila aliran cairan serebrospinal terganggu oleh obstruksi mekanik

26
eksudat purulen di akuaduktus Sylvius atau sisterna basalis. Pembesaran kepala
dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari
meningitisnya. Secara patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan
arakhnoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Pada meningitis serosa
tuberkulosa, perlekatan meningen terutama terdapat di daerah basal sekitar
sisterna kiasmatika dan interpendunkularis, sedangkan pada meningitis purulenta
lokasinya lebih tersebar (Saputra, 2015).

3.2.8 Gejala Klinis


Manifestasi klinis hidrosefalus pada anak tergantung dari usia. Pada bayi
yang suturanya belum menutup, manifestasi klinis yang menonjol adalah lingkar
kepala yang membesar. Pada anak yang suturanya telah menutup, manifestasi
klinis yang muncul disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial (Saputra,
2015).
Gejala klinis bervariasi sesuai dengan umur penderita. Gejala yang tampak
berupa gejala akibat tekanan intracranial yang meninggi. Pada pasien hidrosefalus
berusia di bawah 2 tahun gejala yang paling umum tampak adalah pembesaran
abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrani mengesankan sebagai
salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standart di
atas ukuran normal, atau persentil 98 dari kelompok usianya. Pada bayi yang lebih
tua dan anak-anak, tengkorak menjadi lebih kaku, sehingga penampilan klinis
berupa paralisis Nervus Abdusens dan Paralisis gerak bola mata vertikal (tanda
Perinaud) (Saputra, 2015).
Kerusakan saraf yang memberi gejala kelainan neurologis berupa
gangguan kesadaran, motoris atau kejang, kadang-kadang gangguan pusat vital,
bergantung kepada kemampuan. Kepala untuk membesar dalam mengatasi
tekanan intracranial yang meninggi. Bila proses berlangsung lambat, maka
mungkin tidak terdapat gejala neurologis walaupun telah terdapat pelebaran
ventrikel yang belum begitu melebar (Saputra, 2015).
Gejala lainnya yang dapat terjadi ialah spastisistas yang biasanya
melibatkan ekstremitas inferior (sebagai konsekuensi peregangan traktus
pyramidal sekitar ventrikel lateral yang dilatasi) dan berlanjut sebagai gangguan

27
berjalan, gangguan endoktrin (karena distraksi hipotalamus dan pituitari stalk
oleh dilatasi ventrikel III) (Saputra, 2015).

3.2.9 Diagnosis
- Gejala klinis
- Pemeriksaan Fisik
Pengukuran dan pemantauan lingkar kepala anak dapat diukur melalui grafik
lingkar kepala standar pada anak. Grafik lingkar kepala khusus telah tersedia
untuk mengukur lingkar kepala pada anak yang prematur dan yang menderita
achondroplasia. Penilaian lingkar kepala pada grafik tersebut menggunakan satuan
persentil. Disamping lingkar kepala, keluhan yang sering dikatakan oleh orang tua
adalah anaknya menjadi lebih rewel (irritable), matanya cenderung melirik
kebawah (sunsetting) atau menjadi juling (akibat paresis nervus abdusens)
(Wijaya, 2006).
Pada anak-anak yang suturanya telah menyatu, lingkar kepala yang terukur
bisa saja normal, tetapi keluhan yang menonjol berupa nyeri kepala, mual dan
muntah. Bila proses peningkatan tekanan intrakranial terus berlanjut, maka akan
dijumpai edema papil pada pemeriksaan funduskopi. Edema papil ini mungkin
tidak terdeteksi pada anak yang suturanya masih terbuka, kecuali telah mencapai
lingkar kepala yang sangat besar. Keluhan-keluhan tersebut yang terjadi pada
beberapa tahun pertama dari anak yang mengalami hidrosefalus, merupakan
petunjuk bahwa hidrosefalus tersebut diakibatkan oleh proses patologi sekunder
seperti akibat tumor, cedera kepala atau meningitis (Saputra, 2015).
- X-ray Foto kepala, didapatkan
Tulang tipis
Disproporsi kraniofasial
Sutura melebar
Dengan prosedur ini dapat diketahui :
a. Hidrosefalus tipe kongenital/infantil
b. Hidrosefalus tipe juvenile/adult : oleh karena sutura telah menutup maka dari
foto rontgen kepala diharapkan adanya gambaran kenaikan tekanan intrakranial.

28
- Transiluminasi ; penyebaran cahaya diluar sumber sinar lebih dari batas,
frontal 2,5 cm, oksipital 1 cm
- Pemeriksaan CSS. Dengan cara aseptik melalui punksi ventrikel / punksi
fontanela mayor. Menentukan :
- Tekanan
- Jumlah sel meningkat, menunjukkan adanya keradangan / infeksi
- Adanya eritrosit menunjukkan perdarahan
- Bila terdapat infeksi, diperiksa dengan pembiakan kuman dan kepekaan
antibiotik (Wijaya, 2006).
- Ventrikulografi ; yaitu dengan cara memasukkan kontras berupa O2 murni atau
kontras lainnya dengan alat tertentu menembus melalui fontanella anterior
langsung masuk ke dalam ventrikel. Setelah kontras masuk langsung difoto, maka
akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak yang besar
karena fontanela telah menutup untuk memasukkan kontras dibuatkan lubang
dengan bor pada karanium bagian frontal atau oksipitalis. Ventrikulografi ini
sangat sulit dan mempunyai resiko yang tinggi. Di rumah sakit yang telah
memiliki fasilitas CT scan, prosedur ini telah ditinggalkan (Wijaya, 2006).
- CT scan kepala (Wijaya, 2006)
Pada hidrosefalus obstruktif CT scan sering menunjukkan adanya
pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas
ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak yang besar. Ventrikel
IV sering ukurannya normal dan adanya penurunan densitas oleh karena
terjadi reabsorpsi transependimal dari CSS.
Pada hidrosefalus komunikan gambaran CT scan menunjukkan dilatasi
ringan dari semua sistem ventrikel termasuk ruang subarakhnoid di
proksimal dari daerah sumbatan.
Keuntungan CT scan :
o Gambaran lebih jelas
o Non traumatik
o Meramal prognose
o Penyebab hidrosefalus dapat diduga
- USG

29
Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka.
Dengan USG diharapkan dapat menunjukkan sistem ventrikel yang melebar.
Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus ternyata
tidak mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal ini
disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan anatomi sistem
ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT-scan (Wijaya, 2006).

3.2.10 Penatalaksanaan
a. Terapi medikamentosa
Terapi obat-obatan pada hidrosefalus digunakan untuk menunda intervensi
bedah. Terapi obat-obatan dapat digunakan pada hidrosefalus paska perdarahan
(tanpa adanya hidrosefalus akut). Terapi obat-obatan tidaklah efektif untuk
pengobatan jangka panjang dari hidrosefalus kronis. Terapi ini dapat memicu
perubahan metabolik dan dengan demikian penggunaannya hanya sebagai usaha
sementara saja (Saputra, 2015).
Dapat dicoba pada pasien yang tidak gawat, terutama pada pusat-pusat
kesehatan dimana sarana bedah saraf tidak ada. Obat yang sering digunakan
adalah (Wijaya, 2006):
- Asetasolamid
Cara pemberian dan dosis; Per oral 2-3 x 125mg/hari, dosis ini dapat
ditingkatkan sampai maksimal 1.200 mg/hari
- Furosemid
Cara pemberian dan dosis; Per oral, 1,2 mg/kgBB 1x/hari atau injeksi iv
0,6 mg/kgBB/hari.
Bila tidak ada perubahan setelah satu minggu pasien diprogramkan untuk
operasi.
b. Lumbal pungsi berulang (serial lumbar puncture)
Mekanisme pungsi lumbal berulang dalam hal menghentikan progresivitas
hidrosefalus belum diketahui secara pasti. Pada pungsi lumbal berulang akan
terjadi penurunan tekanan CSS secara intermiten yang memungkinkan absorpsi
CSS oleh vili arakhnoidalis akan lebih mudah (Wijaya, 2006).

30
Indikasi : umumnya dikerjakan pada hidrosefalus komunikan terutama
pada hidrosefalus yang terjadi setelah perdarahan subarakhnoid, periventrikular-
intraventrikular dan meningitis TBC. Diindikasikan juga pada hidrosefalus
komunikan dimana shunt tidak bisa dikerjakan atau kemungkinan akan terjadi
herniasi (impending herniation) (Wijaya, 2006).
c. Terapi Operatif
Operasi biasanya langsung dikerjakan pada penderita hidrosefalus. Pada
penderita gawat yang menunggu operasi biasanya diberikan :
Mannitol per infus 0,5-2 g/kgBB/hari yang diberikan dalam jangka waktu 10-30
menit (Wijaya, 2006).
1. Third Ventrikulostomi/Ventrikel III
Lewat kraniotomi, ventrikel III dibuka melalui daerah khiasma optikum, dengan
bantuan endoskopi. Selanjutnya dibuat lubang sehingga CSS dari ventrikel III
dapat mengalir keluar.
2. Operasi pintas/Shunting
Ada 2 macam :
a. Eksternal
CSS dialirkan dari ventrikel ke luar tubuh, dan bersifat hanya sementara.
Misalnya: pungsi lumbal yang berulang-ulang untuk terapi hidrosefalus tekanan
normal.
b. Internal
a. CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota
tubuh lain.
~Ventrikulo-Sisternal, CSS dialirkan ke sisterna magna (Thor- Kjeldsen)
~Ventrikulo-Atrial, CSS dialirkan ke atrium kanan.
~Ventrikulo-Sinus, CSS dialirkan ke sinus sagitalis superior
~Ventrikulo-Bronkhial, CSS dialirkan ke Bronkhus
~Ventrikulo-Mediastinal, CSS dialirkan ke mediastinum
~Ventrikulo-Peritoneal, CSS dialirkan ke rongga peritoneum
b. Lumbo Peritoneal Shunt
CSS dialirkan dari Resessus Spinalis Lumbalis ke rongga peritoneum dengan
operasi terbuka atau dengan jarum Touhy secara perkutan.

31
Komplikasi Shunting
Komplikasi shunt dikategorikan menjadi tiga komplikasi yaitu; infeksi,
kegagalan mekanis, dan kegagalan fungsional, yang disebabkan jumlah aliran
yang tidak adekuat. Infeksi meningkatkan resiko akan kerusakan intelektual,
lokulasi ventrikel dan bahkan kematian. Kegagalan mekanis mencakup
komplikasi komplikasi seperti; oklusi aliran di dalam shunt (proksimal katub atau
distal), diskoneksi atau putusnya shunt, migrasi dari tempat semula, tempat pem
asangan yang tidak tepat. Kegagalan fungsional dapat berupa drainase yang
berlebihan atau malah kurang lancarnya drainase. Drainase yang terlalu banyak
dapat menimbulkan komplikasi lanjutan seperti terjadinya efusi subdural,
kraniosinostosis, lokulasi ventrikel, hipotensi ortostatik (Saputra, 2015).
Anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa biasa dengan gejala dengan
sakit kepala, febris, vomitus, dan meningismus. Dengan ventriculoperitoneal
shunts, nyeri perut dapat terjadi, shunts dapat bertindak sebagai saluran untuk
metastasis extraneural tumor tertentu (misalnya medulloblastoma), komplikasi
dari ventriculoperitoneal shunt termasuk; peritonitis, hernia inguinal, perforasi
organ abdomen, obtruksi usus, volvulus, dan cairan serebrospinal asites (Saputra,
2015).

32
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Tn. S usia 60 tahun, awalnya datang dengan keluhan pusing berputar
sejak 2 bulan SMRS. Dari anamnesis didapatkan, sebelumnya pasien juga
mengeluhkan adanya nyeri kepala yang dirasakan sejak 2 minggu terakhir.
Sebelumnya pasien juga sempat mengeluhkan demam yang dirasakan sejak 1
bulan terakhir, dan muntah sebanyak 1 kali, muntah tidak menyembur, dan berisi
makanan. Tidak ada keluhan batuk pilek sebelumnya, batuk lama, ataupun batuk
darah. Tidak ada keluhan kejang, penglihatan kabur ataupun penglihatan ganda.
Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan.
Dalam hal ini, hal yang sesuai dengan teori yaitu :
1. Gejala hidrosefalus yang dapat ditemui pada usia tua yaitu : gangguan mental
dan fungsi kognitif, nyeri kepala (terutama saat pagi hari), nyeri leher
(menandakan adanya herniasi tonsilar), mual hingga muntah, pandangan kabur
(akibat dari papilledema) , penglihatan ganda (terkait palsy N.VI), spastik, dan
mudah mengantuk. Namun gejala hidrosefalus tidak terlalu khas pada pasien
ini.
2. Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri
kepala dan kaku kuduk.
Hal yang tidak sesuai:
1. Angka kejadian hidrosefalus pada orang tua lebih rendah dibanding pada anak
(Nelson, 2016). Adapun bentuk hidrosefalus yang sering ditemukan pada usia
tua yaitu hydrocephalus ex vacuo dan normal pressure hydrocephalus (NPH).
Dimana hydrocephalus ex vacuo dapat disebabkan karena proses alami
ataupun trauma yang menyebabkan gangguan pada otak dan penyusutan
volume otak. Contohnya pada pasien usia lanjut atau pasien dengan
Alzheimer, dimana volume CSF meningkat untuk mengisi ruangan yang
kosong. Dalam hal ini terjadi peningkatan volume ventrikel namun tidak
diikuti dengan peningkatan tekanan intracranial. Sedangkan NPH terjadi
akibat adanya penyumbatan secara bertahap pada aliran CSF di otak, dimana
terjadi pembesaran ventrikel dan penekanan ataupun bahkan kerusakan dari

33
jaringan otak akibat dari peningkatan jumlah CSF, namun dalam hal ini tidak
terjadi peningkatan dari tekanan intracranial atau hanya terjadi sedikit
peningkatan tekanan intracranial (Well, 2007).
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan GCS : E1V1M4, dengan pemeriksaan
meningeal sign kaku kuduk (+). Pemeriksaan saraf kranialis sulit dievaluasi.
Refleks fisiologis dalam batas normal, refleks patologis Babinski (+/+), Chaddok
(+/+), pemeriksaan sensorik dan motorik sulit dievaluasi. Pemeriksaan
laboratorium dalam batas normal, dengan hasil CT Scan kepala kesan
hidrosefalus.
Hal yang sesuai:
1. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan CT scan, dimana pemeriksaan CT Scan
dapat membantu mendiagnosis hidrosefalus terutama pada gejala yang tidak
khas.
2. Pada pasien dengan kecurigaan meningitis dapat dilakukan analisa cairan
cerebrospinal dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan
intracranial, untuk menganalisa jumlah sel dan protein cerebrospinal. Namun
pada pasien ini hasilnya belum diketahui.
Hal yang tidak sesuai:
1. Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada pasien hidrosefalus dewasa
yaitu :
Papilledema
Kepala membesar
Parese N.VI (sekunder akibat peningkatan TIK)
Gangguan dalam berjalan
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik pasien sudah mengalami penurunan
kesadaran sehingga hasil temuan pemeriksaan fisik hidrosefalus pada pasien
ini tidak khas.
2. Pada pasien dengan kecurigaan meningitis, dapat dilakukan pemeriksaan foto
toraks untuk melihat adanya infeksi sebelumnya pada paru-paru misalnya pada
pneumonia dan tuberculosis.

34
Pada pasien ini dilakukan penatalaksanaan berupa pemasangan EVD
(External Ventricular Drain).
Hal yang sesuai :
1. Umumnya, terapi pembedahan pada hidrosefalus adalah operasi
pintas/shunting ataupun ventrikulostomi. Namun pada pasien ini dilakukan
EVD (External Ventricular Drain), dimana pada keadaan emergensi, dapat
dilakukan tindakan ini untuk penyelamatan jiwa (Muralidharan, 2015).
Hal yang tidak sesuai :
1. Hidrosefalus merupakan salah satu kegawatdaruratan bedah saraf non
traumatika, dimana komplikasi dari hidrosefalus sendiri bervariasi mulai dari
gangguan fungsi kognitif, kehilangan fungsi visual yang dapat menjadi
permanen, hingga bahkan dapat menyebabkan kematian apabila terlambat
diketahui. Dalam hal ini penting untuk diketahui sejak dini, mengingat hal ini
dapat mengancam nyawa. Pada kasus ini, pasien mengabaikan keluhan yang
dirasakan, dan baru memeriksakan keluhan ke dokter setelah keluhan dirasa
sangat mengganggu.

TEORI KASUS
ANAMNESIS
Hal yang sesuai: Pasien awalnya daang dengan
1. Pada anamnesa dapat diketahui keluhan pusing berputar sejak 2
gejala hidrosefalus berupa : bulan SMRS
2. Pada anamnesa dapat diketahui Dari anamnesis didapatkan,

adanya trias meningitis seperti sebelumnya pasien juga

demam, nyeri kepala dan kaku mengeluhkan adanya nyeri

kuduk. Hal yang tidak sesuai: kepala yang dirasakan sejak 2

3. Hidrosefalus lbh sering pada anak, minggu terakhir. Sebelumnya

dan jika ditemukan hidrosfalus pasien juga sempat mengeluhkan

pada usia tua : Kemungkinan demam yang dirasakan sejak 1

penyebab NPH dan ex vacuo bulan terakhir, dan muntah


sebanyak 1 kali, muntah tidak
menyembur, dan berisi makanan.

35
Tidak ada keluhan batuk pilek
sebelumnya, batuk lama, ataupun
batuk darah. Tidak ada keluhan
kejang, penglihatan kabur
ataupun penglihatan ganda.
Buang air besar dan buang air
kecil tidak ada keluhan.

PEMERIKSAAN
Hal yang sesuai: GCS : E1V1M4
3. Pada pasien ini dilakukan Kaku kuduk (+)
pemeriksaan CT scan, dimana Pemeriksaan saraf kranialis sulit
pemeriksaan CT Scan dapat dievaluasi
membantu mendiagnosis Refleks fisiologis
hidrosefalus dan dapat mengetahui a. Biseps : +/+
ukuran ventrikel serta struktur lain. b. Triseps : +/+
c. Patella : +/+
4. Pada pasien dengan kecurigaan d. Achilles : +/+
meningitis dapat dilakukan analisa Refleks patologis
cairan cerebrospinal dengan syarat
a. Babinski : +/+
tidak ditemukan adanya b. Chaddok : +/+
c. Klonus : -/-
peningkatan tekanan intracranial,
Pemeriksaan sensorik dan
untuk menganalisa jumlah sel dan
motoric sulit dievaluasi
protein cerebrospinal. Namun pada
pasien ini hasilnya belum Pemeriksaan lingkar kepala : 57
diketahui. cm
Laboratorium :

Hal yang tidak sesuai: Leu : 13.100

3. Pemeriksaan fisik yang dapat Hb : 11,5

ditemukan pada pasien hidrosefalus HCT : 33,5 %

dewasa yaitu : Trombosit : 324.000

Papilledema GDS : 134


Na : 128
Kepala membesar
K : 3,7
Parese N.VI (sekunder akibat

36
peningkatan TIK) Cl : 99
Gangguan dalam berjalan Ur : 28,5
Pada saat dilakukan pemeriksaan Cr : 0,9
fisik pasien sudah mengalami HbsAg : NR
penurunan kesadaran sehingga 112 : NR
hasil temuan pemeriksaan fisik CT Scan kepala : hidrosefalus
hidrosefalus pada pasien ini tidak
khas.
4. Pada pasien dengan kecurigaan
meningitis, dapat dilakukan
pemeriksaan foto toraks untuk
melihat adanya infeksi sebelumnya
pada paru-paru misalnya pada
pneumonia dan tuberculosis.
DIAGNOSIS
Hal yang sesuai: Hidrosefalus + CHF
Diagnosis ditegakkan melalui Ditegakkan melalui anamnesis,
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan fisik, dan penunjang
penunjang berupa CT scan dan analisis dalam hal ini adalah CT scan kepala.
cairan cerebrospinal
Hal yang tidak sesuai:
Perlu dilakukannya pemeriksaan
tambahan seperti pemeriksaan foto
toraks untuk menunjang diagnosis
meningitis.
PENATALAKSANAAN
Hal yang sesuai : EVD cito
1. Umumnya, terapi pembedahan
pada hidrosefalus adalah operasi
pintas/shunting ataupun
ventrikulostomi. Namun pada
pasien ini dilakukan EVD
(External Ventricular Drain),
dimana pada keadaan emergensi,

37
dapat dilakukan tindakan ini untuk
penyelamatan jiwa (Muralidharan,
2015).
Hal yang tidak sesuai:
1. Hidrosefalus merupakan salah satu
kegawatdaruratan bedah saraf non
traumatika, dimana komplikasi dari
hidrosefalus sendiri bervariasi
mulai dari gangguan fungsi
kognitif, kehilangan fungsi visual
yang dapat menjadi permanen,
hingga bahkan dapat menyebabkan
kematian apabila terlambat
diketahui. Dalam hal ini penting
untuk diketahui sejak dini,
mengingat hal ini dapat
mengancam nyawa. Pada kasus ini,
pasien mengabaikan keluhan yang
dirasakan, dan baru memeriksakan
keluhan ke dokter setelah keluhan
dirasa sangat mengganggu.

38
DAFTAR PUSTAKA

Baoezier F. Meningitis. Dalam: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan On


Neurology 2002. SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNAIR/ Dr. Sutomo.
2002:1-20
Davis LE. Acute Bacterial Meningitis. In: Johnson RT, Griffin JW. Current
Therapy in Neurologic Disease. 5th edition. USA:Mosby-Year
Book,Inc;2004.p.120-31.
Harsono. 2003. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Huldani. 2012. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosis. Referat.
Banjarmasin : Universitas Lambung Mangkurat.
Lewis, R., dkk.,2008. Action for Child Survival Elimination of Haemophilus
Influenzae Type b Meningitis in Uganda. Bulletin of the World Health
Organization,Vol.86,No.4 :292-301,Uganda
Mansjoer, A.,dkk.. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga. Media
Aesculapius, Jakarta.
Musfiroh, S., dkk., 2000. Tuberkulosis Sistem Saraf Pusat di RSUP Dr.Sardjito
Yogyakarta. Berkala Ilmu Kedokteran, Vol.32, No.3, FK Universitas Gadjah
Mada.
Nelson. 2002. Ilmu Kesehatan Anak, Bagian 2. Kedokteran EGC, Jakarta.
R.Sjamsuhidat, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2. Jakarta : EGC
(hal 809-810).
Ramalingan. 2016. Gambaran Karakteristik Penderita Meningitis Tuberkulosis
Yang dirawat Di Ruang Rawat Inap Anak RSUP Haji Adam Malik periode
2011-2014. Master. Medan : University of Sumatera Utara.
Saputra, Indra. 2015. Pengaruh Kadar Protein dan Jumlah Sel CSF dengan Angka
Kejadian Malfungsi VP Shunt di Rumah Sakit Haji Adam Malik. Master.
Medan : University of Sumatera Utara
Sidharta, Priguna, 2009. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Edisi Ketujuh.
Jakarta:Dian Rakyat.

39
Suwono, W. 2002. Diagnosis Topik Neurologi, Edisi Kedua. Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Soegijanto, S. 2002. Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi
Pertama. Salemba Medika, Jakarta.
Wijaya, Yoppy. 2006. Hidrosefalus. Referat. Surabaya : Universitas Wijaya
Kusuma.

40

Anda mungkin juga menyukai