Anda di halaman 1dari 33

JOURNAL READING

CIRCULATORY SHOCK
Disusun untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik bagian Anastesi di
Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh:
Estu Septiyanto (01.211.6382)
Insania Chusna Arifah (01.211.6416)
Pembimbing:
dr. Said Shofwan., Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
RS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015

HALAMAN PENGESAHAN

NAMA

: ESTU SEPTIYANTO (01.211.6382)

INSANIA CHUSNA ARIFAH (01.211.6416)


FAKULTAS

: KEDOKTERAN UMUM

UNIVERSITAS

: UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG


SEMARANG

BIDANG PENDIDIKAN

: ANESTESI

PEMBIMBING

: dr.SAID SHOFWAN., Sp.An

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal

Juli 2015

Pembimbing,

dr. Dian Ayu L., Sp.An

DAFTAR MASALAH
No
1

Masalah aktif
G4P3A0

Tanggal
10/07/15

Keterangan

No

Masalah pasif

Tanggal

Keterangan

GEMELLI

BAB 1
LAPORAN KASUS
STATUS PENDERITA

1. Identitas Pasien
Nama

: Ny. Emaculata Ana Triati

Umur
Agama
Pekerjaan
Status
No RM
Tanggal masuk
Perawatan
Pasien bangsal

: 32 th
: Katolik
: Ibu Rumah Tangga
: Menikah
: 01-25-6065
: 10 Juli 2015
: Hari ke-2
: Baitun Nisa II

2. Keluhan Utama
Pasien G4P3A0 hamil 37 minggu dengan Gemelli dan MOW
2.1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien G4P3A0 usia 32 tahun hamil 37 minggu. Janin 2 hidup
intrauterin presentasi kepala, mengeluhkan tidak ada kontraksi rahim,
keluar cairan (lendir dan darah) dari jalan lahir (+), terasa gerakan
janin (+) ada tanda-tanda persalinan.
2.2. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hipertensi
2. Riwayat penyakit jantung
3. Riwayat penyakit paru
4. Riwayat DM
5. Riwayat stroke
6. Riwayat kejang
7. Riwayat penyakit maag
8. Riwayat alergi obat
9. Riwayat sakit di ginjal
10. Riwayat abortus

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

2.3. Riwayat Penyakit Keluarga


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Riwayat hipertensi
Riwayat penyakit jantung
Riwayat penyakit paru
Riwayat DM
Riwayat stroke
Riwayat kejang

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

2.4. Riwayat Pribadi


1. Riwayat merokok
: disangkal
2. Riwayat komsumsi alcohol : disangkal

3. Riwayat minum jamu

: disangkal

3.
Persiapan Pre Operasi
3.1 Anamnesis (11 Juli 2015)
A (Allergy)
: Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan
M (Medication)
P (Past Illnes)
L (Last meal)

dan penyakit
: (-)
: Riwayat DM (-), HT (-), Asma (-)
: Puasa mulai pukul 00.00 WIB (7 jam sebelum

E (Environment)

operasi)
: G4P3A0 hamil 37 minggu, janin 2 hidup
intrauterine presentasi kepala dengan Gemelli

3.2. Pemeriksaan Fisik Pre-operasi (11 Juli 2015)


Tanda Vital

TD
Nadi
RR
SaO2
Suhu
TB
BB
Jantung
Paru
Mulut, gigi dan jalan nafas
Ekstremitas
Lain lain

: 110/70 mmHg
: 80 x/menit
: 20x/menit
: 100 %
: 36 oC
: 155 cm
: 65 Kg
: dbn
: dbn
: dbn
: dbn
: dbn

DJJ I + 12-11-12
DJJ II+ 11-11-11
3.3.
Pemeriksaan Penunjang (10 juli 2015)
HEMATOLOGI
1. Darah rutin (WB EDTA)
2. Leukosit
: 6,4 103/uL
3. Eritrosit
: 3,76 103/uL (L)
4. Hemoglobin
: 10,4 g/dL (L)
5. Hematocrit
: 32 % (L)
6. Trombosit
: 240 103 /u (L)
7. APTT
: 26,6 detik
8. PTT
: 10,6 detik
9. Golongan Darah
: B Rh +

Nilai Normal
3,6-11 103/uL
3,8-5,2 103/uL
11,7-15,5 g/dL
33-45 %
150-440 103 /uL
25 35 detik
9,9 11,6 detik

10. Kimia Klinik (Serum)


a. Gula Darah Sewaktu
b. Natrium
c. Kalium
d. Chloride
11. Serologi-Imun
a. HbsAg

: 68 mg/dL
: 138,8 mmol/l
: 4,15 mmol/l
: 110,2 mmol/l

75-110 mg/dL
135 147 mmol/l
3,5 5 mmol/l
95 105 mmol/l

: Non Reaktif (-) Non Reaktif (-)

4. Laporan Anesthesi Durante Operasi


Tindakan operasi
: SC (Sectio Caesarea)
Jenis anestesi
: Regional Spinal, posisi puncture di lumbal
Lama anestesi
Lama operasi
Premedikasi
Induksi
Maintenance
Adjuvantia
Reverse
Terapi cairan

terbawah, level median.


: 08.20 - 09.30 WIB
: 08.30 09.30 WIB
: Ondancetron 4 mg/2ml (IV)
: Bunascan Spinal 0.5% Heavy (Bupivacain HCL)
5mg/ml (4 ml), Efedrin 10 mg/ml
: O2 2 L/menit
: Oxytocin 20 IU/ 2 ml
Methylergometrine Maleat 0.4 mg/ 2 ml
Ketorolac 3% 30 mg/ml
:: Kristaloid : RL 500 ml

Pematauan Tanda Vital (DI BUAT YAAAA)

Post operasi

: Selesai operasi pasien dipindahkan ke recovery


room

4.1 Tindakan Anestesi Regional

Pasien diposisikan lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi


antara L3-L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan
jarum / trokard. Setelah menembus ligamentum flavum (hilang

tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus selaput duramater,


mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan

keluarnya cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.


Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang subaraknoid.
Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah
operasi, menggunakan jarum halus atau kapas dan tes motorik

dengan mengangkat kaki dan menekuk lutut.


Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah

pungsi ditutup dengan kasa dan plester.


Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan
selanjutnya.

4.2 Pemberian Cairan


Cairan masuk
Pre operatif : RL 500 cc
Durante operatif : RL 500 cc
Cairan keluar
Perdarahan : 300-400 cc
Produksi urin : 55 cc/jam

Pasca Bedah di Recovery Room (RR)

Bromage Score :

Recovery Room
Masuk jam
Pulang jam

: 09.40 WIB
: 10.00 WIB

Keadaan Umum

: Baik

Respon Kesadaran

: Terjaga

Status mental

: Sadar penuh

Jalan nafas

: Nasal

Pernafasan

: Teratur

Terapi Oksigen

: Nasal Canul

Kulit

: Kering

Posisi Pasien

: Tidur menggunakan bantal

Nadi

: Teratur

Infus

: RL

Tanda Vital

TD
Nadi
RR
SaO2
TB
BB

: 120/80 mmHg
: 80 x/menit
: 20 x/menit
: 100 %
: 155 cm
: 65 Kg

Instruksi Post Operasi Dengan Anestesi Spinal


Tidur dengan bantal tinggi selama 24 jam
Infus

: RL 20 tpm

Inj. Ketolorac 3 x 30 mg iv / 8 jam dimulai pukul 17.00 WIB

Boleh langsung minum, atau makan sedikit - sedikit jika tidak mual
muntah
Bila muntah berikan inj. Ondansetron 4 mg iv
Bila TD 100 mmHg (systole), beri :

Loading cairan RL 250 cc iv


Inj. Ephedrine HCL 10 mg iv (diencerkan)
Hub. dr. anestesi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anestesi Spinal
I.1 Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik
lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3L4 atau L4-L5.
I.2 Mekanisme Kerja Anestesi Regional
Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana
tempat kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah
meradang tidak akan memberi hasil yang memuaskan oleh karena
meningkatnya keasaman jaringan yang mengalami peradangan sehingga akan
menurunkan aktifitas dari zat anestesi lokal (pH sekitar 5).
Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf,
efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui, potensial
aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat (sekilas) pada
permeabilitas membran terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada
membran. Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi lokal dengan kanal
Na+ yang peka terhadap perubahan voltase muatan listrik (voltase sensitive
Na+ channels). Dengan bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf,
maka ambang rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan
peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan faktor
pengaman (safety factor) konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini
akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan
dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi saraf. Ada kemungkinan
zat anestesi lokal meninggikan tegangan permukaan lapisan lipid yang
merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan saluran (channel)
pada membran tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift) melalui membran
akan terhambat. Zat anestesi lokal akan menghambat perpindahan natrium
dengan aksi ganda pada membran sel berupa :

1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.


Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak
dapat keluar masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek
9

blok. Percobaan dari Hille menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat
anestesi lokal terletak di dalam saluran natrium.
2. Ekspansi membran.
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat
dengan reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan
oleh zat non-polar lemak misalnya barbiturat, anestesi umum dan
benzocaine.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali
harus dapat menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang
diperlukan untuk melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk
kation yang bergabung dengan reseptor di membran sel yang mencegah
timbulnya potensial aksi. Agar dapat melakukan aksinya, obat anestesi
spinal pertama kali harus menembus jaringan sekitarnya.
I.3 Teknik Anestesi Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan
posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan
anestesi spinal adalah sebagai berikut :
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga supaya tulang
belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar processus
spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.

10

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.


4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya
ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (QuinckeBabcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu
pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk
menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri
kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum
spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak

11

6. eluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.
7. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa 6cm.
I.4 Indikasi Anestesi Spinal
Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk
pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah
papila mammae ke bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua
operasi abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki.
I.5 Kontraindikasi
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat
suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati,
dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor
cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan
(misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama
operasi yang tidak diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat
terapi antibiotik dan tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat
dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus
memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang
dapat meningkatkan risiko meningitis.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat
meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui
jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal,
herniasi otak dapat terjadi.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan resiko pembentukan hematoma,
hal ini penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan operasi sebelum melakukan induksi anestesi spinal. Jika durasi
operasi tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup
panjang untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi
membantu ahli anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan,
penambahan terapi spinal seperti epinefrin dan apakah kateter spinal akan
diperlukan.

12

Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,


karena operasi diatas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang
belakang sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit
neurologis seperti multiple sclerosis masih kontroversial karena dalam
percobaan in vitro didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap
toksisitas obat bius lokal.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin
menggabungkan pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati, dalam
perawatan anestesi mereka deformitas dari kolumna spinalis dapat
meningkatkan kesulitan dalam menempatkan anestesi spinal. Arthritis,
kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal dalam kemampuan dokter anestesi
untuk performa anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali
pasien untuk menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba
anestesi spinal.
I.6 Komplikasi
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan
komplikasi lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan
gastrointestinal.
a. Komplikasi sirkulasi :
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi.
Biasanya terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga
tekanan darah perlu diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan,
sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini.
Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau
terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka kita harus
bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan
otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin
tinggi blok makin berat hipotensi.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah
penyuntikan anestesi spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan
cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang terjadi,

13

blok spinal total dengan anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada
kasus demikian, kita harus melakukan intubasi dan melakukan
ventilasi paru, serta berikan penanganan seperti pada hipotensi berat.
Dengan cara ini, biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis. Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit,
berikan atropin 0,5 mg intravena.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi
anestesi spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal
biasanya akan memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila
pasien berbaring. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau
oksipital dan tidak ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini
disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak melalui
pungsi dura, makin besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya
sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan membiarkan pasien berbaring
secara datar (boleh menggunakan satu bantal) selama 24 jam.
4. Komplikasi Respirasi
a) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi,
bila fungsi paru-paru normal.
b) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk
blok spinal tinggi.
c) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi
atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
d) Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,
merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu
segera ditangani dengan pernafasan buatan.
5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi
lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada

14

perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48 jam
pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua
lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.
II. Obat-Obat Anestesi Spinal
1. Bupivakain
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai
berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali
lebih kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa
oleh BO af Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 1963. Secara
komersial bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan
kecenderungan yang lebih menghambat sensoris daripada motoris
menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia selama persalinan dan
pasca bedah. Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik
maupun hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk
operasi abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya
menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg,
sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume
2-4 ml dan total dosis 15-22,5 mg.
Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah
kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan
bila dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari
bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade
motorisnya yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain.
Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain
karena mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein.
Untuk menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan
memberikan rasa bebas nyeri selama 2 jam disertai blokade motoris yang
ringan. Analgesik paska bedah dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih,
sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi kaudal akan memberikan efek
analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25 0,375 % merupakan obat
terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah. Konsentrasi yang lebih
tinggi (0,5 0,75 %) digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25
- 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 0,5 %, epidural 0,5 0,75 %, spinal 0,5 %.
Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3
4 mg / kgBB.

15

2.

KLONIDIN

Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis 2 yang digunakan untuk
obat antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek
kronotropik negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat 2 agonis lain juga
mempunyai efek sedasi. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek
anestesi dari pemberian secara oral (3-5g/kg), intramuscular (2g/kg),
intravena (1-3g/kg), transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150g)
dan epidural (1-2g/kg) dari pemberian klonidin. Secara umum klonidin
menurunkan kebutuhan anestesi dan analgesi (menurunkan MAC) dan
memberikan efek sedasi dan anxiolisis.
Selama anestesi umum, klonidin dilaporkan juga meningkatkan stabilitias
sirkulasi intraoperatif dengan menurunkan tingkatan katekolamin. Selama
anestesi regional, termasuk peripheral nerve block, klonidin akan
meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada medula spinalis
mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik 2 dengan ramus dorsalis.
Keuntungan lain juga mungkin berupa menurunkan terjadinya
postoperative shivering, inhibisi dari kekakuan otot akibat obat opioid, gejala
withdrawal dari opioid, dan pengobatan dari beberapa sindrom nyeri kronis.
Efek samping dapat berupa bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi nafas dan
mulut kering. Klonidin adalah agonis alfa2-adrenergik parsial selektif yang
bekerja secara sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui
kemampuannya untuk menurunkan keluaran sistem saraf simpatis dari sistem
saraf pusat. Obat ini telah terbukti efektif digunakan pada pasien dengan
hipertensi berat atau penyakit renin-dependen. Dosis dewasa yang biasa
digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg. Ketersediaan klonidin transdermal
ditujukan untuk pemberian secara mingguan pada pasien bedah yang tidak
dapat diberikan obat per oral.
3. EFEDRIN
Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang
secara alami ditemukan di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin
mempunyai gugus OH pada cincin benzena , gugus ini memegang peranan
dalam efek secara langsung pada sel efektor.
Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor , 1, 2. Efek
pada 1 di perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase.
Efek pada 1 dan 2 adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat.
Efek 1 berupa takikardi tidak nyata karena terjadi penekanan pada

16

baroreseptor karena efek peningkatan TD. Efek perifer efedrin melalui kerja
langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya
mendasari timbulnya takifilaksis (pemberian efedrin yang terus menerus
dalam jangka waktu singkat akan menimbulkan efek yang makin lemah
karena semakin sedikitnya sumber NE yang dapat dilepas, efek yang menurun
ini disebut takifilaksis terhadap efek perifernya. Hanya I-efedrin dan efedrin
rasemik yang digunakan dalam klinik.
Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik
dan mendesak NE keluar. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek
Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik
meningkat juga biasanya tekanan diastolik, sehingga tekanan nadi membesar.
Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi
terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi
jantung dan curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat
reflex kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah. Aliran darah ginjal
dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah koroner, otak dan otot rekat.
Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah pada dosis rendah tidak
nyata pada efedrin.
4. EPINEFRIN (ADRENALIN)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh
bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh
neuron-neuron tertentu yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin
merupakan stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf
simpatis, dan stimulan jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut
jantung dan meningkatkan curah jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan
mengeluarkan efek metabolik lain.
Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan dilepas sebagai
respon terhadap hipoglikemia, stres dan rangsangan lain. Preparat
sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai vasokonstriktor
topikal, stimulan jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan secara intranasal,
intraoral, parenteral, atau inhalasi. Sedangkan norephineprin (noradrenalin)
adalah suatu katekolamin alamiah atau neurohormon yang dilepaskan oleh
saraf adrenergik pasca ganglion dan beberapa saraf otak, juga diekskresi oleh
medula adrenal sebagai respon terhadap rangsangan splanchnicus dan
disimpan dalam granul kromafin.
Norephineprin merupakan neurotransmiter utama yang bekerja pada
reseptor adrenergik - dan 1. Norephineprine merupakan vasopressor kuat

17

dan biasanya dilepaskan dalam tubuh sebagai respon terhadap hipotensi dan
stres. Preparat farmasi senyawa norephinephrine biasanya dalam bentuk
garam bitartat.
5. FENTANYL
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM
(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang
disebabkan kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan
menghilangkan rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol
rasa sakit yang persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk
pasien yang siap menggunakan analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa
sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem
syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan
tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan.
Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak.
Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan
dosis secara bertahap dengan periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat
(CNB) meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang
analgesia pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60
menit setelah dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi
Fentanyl 12,5 g menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih
rendah tidak memiliki efek apapun dan dosis tinggimeningkatkan kejadian
efek samping.

III.

Efedrin
Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari
tanaman genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas
di Cina dan India Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Pengobatan tradisional
Cina menyebut efedrin dengan nama Ma huang. Efedrin mempunyai rumus
molekul C10H15NO dan nama lainnya
adalah -hydroxy-methylaminopropylbenzene. Rumus bangun efedrin adalah sebagai berikut:

18

Efedrin telah banyak digunakan dalam praktek kedokteran termasuk dalam


bidang Anestesi. Efedrin bekerja pada reseptor dan , termasuk 1, 2, 1
dan 2, baik bekerja langsung ataupun tidak langsung. Efek tidak langsung
yaitu dengan merangsang pelepasan noradrenalin. Efedrin 25 mg sampai 50
mg intramuskular atau subkutan bisa digunakan untuk mengatasi keadaan
hipotensi, 25 mg per oral sekali sehari untuk mengatasi hipotensi ortostatik,
juga sebagai bronkodilator dan dekongestan. Gangguan-gangguan alergi juga
bisa diatasi dengan efedrin, seperti asma bronkhial, kongesti nasal karena akut
koriza, rhinitis dan sinusitis. Efedrin 25 atau 30 mg subkutan, intramuskular
atau intravena lambat) dapat juga untuk mengatasi bronkospasme tetapi
epinefrin lebih efektif.
Penggunaan efedrin di bidang anestesi pada kasus hipotensi akibat
regional anestesi, baik oleh karena spinal ataupun epidural anestesi. Pemberian
efedrin 10-25 mg iv pada orang dewasa sebagai pilihan simpatomimetik
mengatasi blokade susunan saraf simpatis yang disebabkan anestesi regional
ataupun untuk mengatasi efek hipotensi yang disebabkan obat-obat anestesi.
Untuk Ibu hamil yang menjalani prosedur seksio sesarea dengan spinal
anestesi, efedrin merupakan pilihan mengatasi hipotensi yang diakibatkan oleh
spinal anestesi. Efedrin selain meningkatkan tekanan darah, sejalan dengan itu
memperbaiki aliran darah plasenta.
Selain itu efedrin juga digunakan untuk mengatasi hipotensi akibat induksi
dengan propofol. Efedrin juga mampu mempercepat mula kerja rokuronium.
Efedrin mencegah nyeri akibat injeksi propofol. Pencampuran efedrin dengan
propofol dapat menjaga kestabilan hemodinamik dan mencegah nyeri akibat
suntikan propofol.
2. Farmakokinetik
Efedrin dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral. Efedrin
dapat diserap secara utuh dan cepat pada pemberian oral, subkutan ataupun
intramuskular. Bronkodilatasi terjadi dalam 15-60 menit setelah pemberian
oral dan bertahan selama 2-4 jam. Absorbsi efedrin yang diberikan lewat jalur

19

intramuskular lebih cepat (10-20 menit) dibanding dengan pemberian


subkutan. Pada pemberian intravena, efek klinik dapat langsung diobservasi.
Lama kerja terhadap efek tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada
pemberian parenteral dan dapat bertahan selama 4 jam pada pemberian secara
oral. Efedrin juga dilaporkan melewati plasenta dan terdistribusi pada air susu
ibu.
Efedrin dimetabolisme oleh liver dalam jumlah kecil melalui deaminasi
oksidasi, demetilasi, hidroksilasi aromatis dan konjugasi. Metabolitnya adalah
p-hidroksiefedrin, p-hidroksinorefedrin, norefedrin dan konjugasinya. Efedrin
dan metabolitnya diekskresi terutama melalui urine dan dalam bentuk tidak
berubah. Eliminasi efedrin dan metabolitnya dipengaruhi oleh asiditas urine.
Eliminasi paruh waktu efedrin dilaporkan 3 jam pada pH urin 5 dan 6 jam
pada pH urin. Efek puncak efedrin terhadap curah jantung dicapai sekitar 4
menit setelah injeksi.
3. Efek terhadap kardiovaskular
Efek kardiovaskular dari efedrin menyerupai epinefrin, tetapi respon
kenaikan tekanan darah sistemik kurang dibanding efedrin. Efedrin
membutuhkan 250 kali dibandingkan epinefrin untuk mendapatkan efek
kenaikan tekanan darah yang sama. Pemberian efedrin intravena
meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan curah jantung. Aliran darah
renal dan splanik menurun, tetapi aliran darah koroner dan otot skelet
meningkat. Resistensi vaskular sistemik berubah karena vasokonstriksi pada
vascular beds diimbangi dengan vasodilatasi oleh stimulasi 2 pada tempattempat yang lain. Efek kardiovaskular tersebut pada reseptor menyebabkan
vasokonstriksi arteri dan vena di perifer.
Mekanisme utama efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan
meningkatkan kontraktilitas otot jantung dengan aktivasi reseptor 1. Dengan
adanya antagonis reseptor maka efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah
dengan stimulasi reseptor .
Dosis kedua efedrin setelah pemberian dosis awal mempunyai efektifitas
lebih rendah dibanding dosis awal. Fenomena ini dikenal dengan istilah
takifilaksis, yang mana juga terjadi pada simpatomimetik dan berhubungan
dengan masa kerja obat. Takifilaksis terjadi oleh karena blokade reseptor
adrenergik secara persisten. Sebagai contoh, efedrin menyebabkan aktivasi
reseptor adrenergik bahkan setelah peningkatan tekanan darah sistemik terjadi
pada subdosis. Ketika efedrin diberikan pada saat itu, reseptornya bisa

20

menempati batas minimal efedrin untuk peningkatan tekanan darah.


Takifilaksis mungkin karena kekurangan simpanan norepinefrin.
3. Kontra Indikasi
Kontra indikasi termasuk riwayat hipertensi, tirotoksikosis, angina
pectoris, aritmia dan gagal jantung.
4. Toksisitas efedrin
Dosis besar efedrin parenteral dapat menyebabkan bingung, delirium,
halusinasi atau euphoria. Paranoid psikosis dan halusinasi penglihatan dan
pendengaran bisa terjadi pada dosis yang sangat besar. Efedrin bisa juga
menyebabkan sakit kepala, kesulitan bernafas, demam atau merasa hangat,
merasa kering pada hidung atau tenggorokan, takikardi, aritmia, nyeri dada,
berkeringat, tidak nyaman di perut, muntah, retensi urine, hipertensi yang
akibatnya perdarahan intrakranial, mual dan hilangnya selera makan.
Dalam suatu laporan disebutkan seorang wanita 21 tahun mengkonsumsi
efedrin 6 tablet (120 mg). Tekanan darah mencapai 210/110 mmHg dan diatasi
dengan lidokain dan nitroprusside dan tekanan darah turun dalam 9 jam
kemudian. Seorang pemuda 19 tahun menelan tablet yang berisi 24 mg efedrin
dan 100 mg kafein dan 15 menit kemudian mengalami nyeri dada hebat dan
menjalar ke lengan kiri. Untuk kasus ini juga diatasi dengan lidokain dan
nitroprusside.
Teknik Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah suatu metode anestesi dengan menyuntikkan obat
analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid di daerah lumbal. Cara ini sering
digunakan pada persalinan per vaginam dan pada seksio sesarea tanpa
komplikasi. Pada seksio sesarea blokade sensoris spinal yang lebih tinggi
penting. Hal ini disebabkan karena daerah yang akan dianestesi lebih luas,
diperlukan dosis agen anestesi yang lebih besar, dan ini meningkatkan
frekuensi serta intensitas reaksi-reaksi toksik.
1. Teknik anestesi spinal pada seksio sesarea
Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi, berikan
antasida, dan lakukan observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit
daerah punggung pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal
dilakukan dengan menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 23 atau 25) pada
bidang median setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal akan
menembus berturut-turut beberapa ligamen, sampai akhirnya menembus
21

duramater - subarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal akan


menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam
ruang subarachnoid tersebut.
Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi,
menggunakan jarum halus atau kapas. Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan
plester, kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi.
2. Indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea
Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah yang
diinervasi oleh cabang Th.4 (papila mammae kebawah) :
1) Vaginal delivery
2) Ekstremitas inferior
3) Seksio sesarea
4) Operasi perineum
5) Operasi urologic
3.

Kontra indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea :


1) Infeksi tempat penyuntikan
2) Gangguan fungsi hepar
3) Gangguan koagulasi
4) Tekanan itrakranial meninggi
5) Alergi obat lokal anstesi
6) Hipertensi tak terkontrol
7) Pasien menolak
8) Syok hipovolemik
9) Sepsis

4. Obat anestesi spinal pada seksio sesarea :


Obat anestetik yang sering digunakan:
1) Lidocain 1-5 %
2) Bupivacain 0,25-0,75 %
5. Komplikasi anestesi spinal pada seksio sesarea :
1) Hipotensi

22

2) Brakikardi
3) Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
4) Menggigil
5) Mual-muntah
6) Depresi nafas
7) Total spinal
8) Sequelae neurologic
9) Penurunan tekanan intrakranial
10) Meningitis
11) Retensi urine

23

BAB III
PEMBAHASAN
Anestesi spinal memberikan blokade sensorik dan motorik simetris, cepat serta
mendalam pada pasien yang melahirkan secara sectio caesaria. Efek yang paling
sering dan serius dari penggunaan anestesi spinal pada persalinan sesar adalah
hipotensi, dengan insidensi kasus yang dilaporkan lebih dari 80 %.
Efedrin telah banyak digunakan dalam praktek kedokteran termasuk dalam
bidang Anestesi. Efedrin bekerja pada reseptor dan , termasuk 1, 2, 1 dan
2, baik bekerja langsung ataupun tidak langsung. Efek tidak langsung yaitu
dengan merangsang pelepasan noradrenalin. Efedrin 25 mg sampai 50 mg
intramuskular atau subkutan bisa digunakan untuk mengatasi keadaan hipotensi,
25 mg per oral sekali sehari untuk mengatasi hipotensi ortostatik, juga sebagai
bronkodilator dan dekongestan.
Penggunaan efedrin di bidang anestesi banyak dilakukan pada kasus
hipotensi akibat regional anestesi, baik oleh karena spinal ataupun epidural
anestesi. Pemberian efedrin 10-25 mg iv pada orang dewasa sebagai pilihan
simpatomimetik mengatasi blokade susunan saraf simpatis yang disebabkan
anestesi regional ataupun untuk mengatasi efek hipotensi yang disebabkan obatobat anestesi. Pemberian secara intravena mungkin lebih efektif dan terkontrol,
meskipun menggunakan dosis dalam jumlah yang besar (tinggi) dan insidensi dari
hipotensi masih tinggi dalam beberapa penelitian.

24

1. Pre Operatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk
dilakukan persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi
terjadinya

kecelakaan

anestesi.

Kunjungan

ini

bertujuan

untuk

mempersiapkan mental, fisik pasien secara optimal, merencanakan dan


memilih teknik dan obat-obatan yang sesuai serta menentukan klasifikasi
yang sesuai menurut ASA. Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa
menghindari

kejadian

salah

identitas

dan

salah

operasi.

Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga
harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA.
Operasi yang elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai
pasien mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus
menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen
anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent. Dari
anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan tidak adanya kencang-kencang
dibagian perut padahal umur kehamilan sudah 37 minggu. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan denyut jantung kedua janin baik, presentasi
kepala. Dari pemeriksaan penunjang tidak didapatkan adanya peningkatan
kadar apapun.

Pada pasien ini status anestesi adalah ASA 1 (Pasien

normal dan sehat fisik dan mental).


History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat
alergi terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau
skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya
manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga
harus digali begitu juga riwayat pengobatan, karena adanya potensi terjadi
interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi
sebelumnya, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah. Riwayat
kebiasaan sehari-hari seperti merokok, minum alkohol, menggunakan obat

25

penenang, dan narkotika. Pertanyaan tentang review sistem organ untuk


mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum
terdiagnosa.
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak
muncul pada history taking, sedangkan history taking membantu
memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus
diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang
sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan
darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung,
paru-paru, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga
penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada
defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.
Pemeriksaan jalan nafas daerah leher dan kepala diperiksa untuk
mengetahui adanya trismus. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut,
lidah relatif besar, leher pendek, gangguan fleksi extensi leher, deviasi
trachea sangat penting dilakukan untuk mengetahui apakah akan
menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker harus sudah
diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan.
Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus
bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari
Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek
mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.
Pemeriksaan laboratorium memeriksa kadar hematokrit
atau

hemoglobin,

elektrokardiogram,

urinalisis,
dan

foto

serum
polos

elekrolit,

toraks

pada

tes

koagulasi,

semua

pasien.

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori

26

ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ


donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat
mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari
banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka
tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun
begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan
manajemen
Kelas I

anestesi,

terutama

teknik

monitoring.

: Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau

psikiatri.
Kelas II

: Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang,


tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.

Kelas III

: Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi


aktivitas normal.

Kelas IV

: Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan


memerlukan terapi intensif, dengan limitasi serius pada
aktivitas sehari-hari.

KelasV

: Pasien sekarat yang akan menyang tidak dapat


hidup/bertahan

dalam

24

jam,

dengan

atau

tanpa

pembedahan.
Kelas E

: Bila operasi dilakukan darurat/cito

Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko
utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko

27

tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan


anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8
jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih,
teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.
Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan
sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan.
Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi
cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal,
keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru.
Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:
Kebutuhan Cairan Selama Operasi
Jenis Operasi
Kebutuhan Cairan Selama Operasi
Ringan
4 cc/kgBB/jam
Sedang
6 cc/kgBB/jam
Berat
8 cc/kgBB/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan
mengalami deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan
mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.

Penggantian Cairan Selama Puasa

50 % selama jam I operasi

25 % selama jam II operasi

25 % selama jam III operasi

28

Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anesthesia diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron
4mg/ml. Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif
yang dapat menekan mual dan muntah.
2. Durante Operasi
Pemakaian Obat Anestesi
Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan Bupivacaine HCL
yang merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional
bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu
dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer
jaringan tubuh, bersifat reversibel. Mula kerja lambat dibanding lidokain,
tetapi lama kerja 8 jam. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang
(supine).
Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan
kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari
perpotongan garis yang menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang
punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan

29

pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan alkohol


dan betadin. Jarum spinal nomor 27-gauge ditusukkan dengan arah
median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian
dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahanlahan.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui
penurunan tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi
penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistole kurang dari 100
mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat anestesi
spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila keadaan ini terjadi
maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15mg secara
intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini tidak terjadi hipotensi,
sehingga tidak diberikan bolus ephedrin sebanyak 10mg secara intravena.
Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin 20
IU (2 ampul) diberikan per-drip, dan Pospargin o,2 mg/ml diberikan secara
bolus IV Pemberian oksitosin dan pospargin bertujuan untuk mencegah
perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik atau untuk
mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5
menit. Selain oksitosin, juga diberi metergin 2 ml bolus IV, Mekanisme
kerjanya merangsang kontraksi otot uterus dengan cepat dan poten melalui
reseptor adrenergik sehingga menghentikan perdarahan uterus.
Pemberian ketorolac 30 mg secara intravena diberikan sesaat
sebelum operasi selesai. Ketorolac adalah golongan NSAID (Non steroidal
anti-inflammatory drug) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin.
Ketorolac diberikan untuk mengatasi nyeri akut jangka pendek post
operasi, dengan durasi kerja 6-8 jam.

Terapi Cairan

30

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid,


atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low
molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan
koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau
glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid
plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid
cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan
ekstraseluler.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik,
cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling
umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik,
menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk
menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki
efek

yang

paling

sedikit

pada

komposisi

cairan

ekstraseluler

danmerupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar


diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan
cairan kristaloid sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang
hilang.

31

DAFTAR PUSTAKA
1.

Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.


2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins..

2.

Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis


Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI.

3.

Keat Sally, Simon T, Alexander B, Sarah L. 2013. Anaesthesia on the move


1th editional. U.K. Hodder Arnold.

4.

Snell, Richard S. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi ke-6.

5.

Editor:Hartanto Hurniawati, dkk. Jakarta:EGC;2006.


Spinal Anesthesia: Subarachnoid Block. Editor Lee A. Fleisher. 2008.
Diunduh

10

Juni

2015.

Available

from:

http://www.proceduresconsult.com/medical-procedures/spinal-anesthesia6.

subarachnoid-block-AN-procedure.aspx
Mangku Gde, Senapathi Agung Gde Tjokorda. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi, Indeks Jakarta: Jakarta. 2010

32

Anda mungkin juga menyukai