Disusun Oleh :
Putri Annisa
20154012016
Diajukan Kepada :
dr. Mahmud, Sp. An
ILMU ANESTESI
RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. JN
Umur : 22 tahun
Agama : Islam
Alamat : Bantul
1. ANAMNESIS
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien wanita usia 22 th datang ke poli bedah RS PKU
Gamping dengan keluhan nyeri perut sebelah kanan bawah sejak 5 hari. Awalnya nyeri
timbul di ulu hati, kemudian menjalar ke sebelah kanan bawah. Semakin lama nyeri yang
dirasakan semakin bertambah apalagi jika ditekan dan dibuat bergerak serta berkurang saat
pasien berbaring terlentang dan kaki ditekuk. Pasien juga merasakan mual dan juga
mengeluhkan muntah. Muntah sebanyak 3x/hari. Pasien belum buang air besar sejak
kemarin. BAB tidak pernah berdarah dan BAB sebelumnya normal tidak bermasalah. BAK
lancar dan tidak ada nyeri maupun darah.
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga lain yang mengalami hal serupa.
2. PEMERIKSAAN FISIK
Circulation : Tensi 126/78 mmHg, nadi 88x/menit, perfusi baik (tangan hangat)
Suhu : 36,7o C
ASA :I
Thorax :
b. COR: Inspeksi: Ictus Cordis (-), Palpasi & Perkusi dbn, Auskultasi: S1S2 reguler.
Tes Lokalis: Rovsing sign (+), Psoas Sign (+), Obturator Sign (+).
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hematokrit: 41 % (36-52)
Hbsag: (-)
GDS: 163 (70-140)
Respirasi: Spontan
5. LAPORAN OPERASI
JAM TD (mmHg)
14.00 125/88
14.05 123/80 (obat anestesi masuk)
14.10 116/75
14.15 98/43
14.20 98/41
14.25 97/41
14.30 110/58
14.35 112/59
14.40 105/60
14.45 101/59
14.50 101/58
14.55 111/62 (operasi selesai, masuk RR)
15.00 115/67
6. PEMANTAUAN POST OP
TD : 120/78
Bromage Score: 3 (pada menit ke 5), 3 (pada menit ke 15), 2 (pada menit ke 30).
BAB II
PEMBAHASAN
I. Anestesi Spinal
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarackhnoid.
Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kulis
subkutis Lig. Supraspinosum Lig. Interspinosum Lig. Flavum ruang epidural
durameter ruang subarachnoid.
Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal,
dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa berakhir
setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu, anestesi/analgesi spinal
dilakukan ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Indikasi anestesi spinal:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan
dengan anesthesia umum ringan
Kontraindikasi anestesi spinal
e. Komplikasi
II. Menggigil (Shivering)
Menggigil terjadi akibat usaha tubuh untuk menaikan suhu tubuh agar kembali normal
pada pasien dengan hipotermi selama operasi. Begitu pula dengan pasien yang mendapat
anestesi. Hal ini disebabkan pemberian obat anestesi akan mengubah pusat termoregulasi
pada hipothalamus yang menyebabkan peningkatan nilai ambang respon terhadap panas dan
penurunan nilai ambang respon terhadap dingin. Disisi lain pelepasan pirogen, toksin atau
reaksi imun akibat kerusakan jaringan oleh karena luka operasi menyebabkan pelepasan
sitokin (interleukin-1 dan tumor necrosis factor) yang menstimulasi hipotalamus
memproduksi prostaglandin E2 (PG E2) sehingga terjadi aktivasi neuron yang memproduksi
panas dan terjadi menggigil.
Keadaan menggigil ditandai dengan peningkatan aktivitas otot secara involunter.
Akibatnya, tubuh akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan laju metabolisme yang
diimbangi dengan kenaikan kebutuhan oksigen hingga dua sampai tiga kali serta peningkatan
produksi CO2.3 Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan cardiac output, takikardi,
hipertensi serta meningkatnya tekanan intraokuler yang berbahaya pada pasien dengan
kondisi fisik buruk seperti pada pasien dengan gangguan kerja jantung atau anemia berat,
serta pada pasien dengan penyakit paru obstruktif menahun yang berat ataupun pada usia tua.
Hal tersebut dikarenakan jika terjadi kegagalan kerja kompensasi ventilasi dan jantung maka
dapat berakibat terjadinya asidosis laktat ataupun respiratorik. Selain itu, menggigil juga
menyebabkan penyembuhan efek anestesi dan penyembuhan luka operasi yang lama serta
ganggguan fungsi trombosit dimana terlihat perpanjangan waktu pembekuan.
1. Derajat menggigil
Menggigil dapat diklasifikasikan menjadi beberapa derajat (0-4) berdasarkan
tanda-tanda yang tampak, yaitu:
0 : Tidak ada menggigil
1 : Tremor intermitten dan ringan pada rahang dan otot-otot leher
2 : Tremor yang nyata pada otot-otot dada.
3 : Tremor intermitten seluruh tubuh.
4 : Aktivitas otot-otot seluruh tubuh sangat kuat dan terus menerus.
2. Efek Fisiologis Menggigil
Menggigil hanya meningkatkan produksi panas 50-100%, yang masih tidak
efektif dibandingkan produksi panas melalui latihan fisik. Menggigil dianggap
memiliki pengaruh buruk, karena dengan meningkatnya aktivitas otot, maka
kebutuhan oksigen juga meningkat hingga 200-400%, yang akan mengakibatkan
hipoksia dan berbahaya bagi pasien kondisi fisik buruk seperti gangguan jantung
dan anemia. Peningkatan kebutuhan oksigen jantung berbahaya bagi pasien
gangguan jantung dan geriatri, yang mana dapat terjadi aritmia, infark dan gagal
jantung sebagai komplikasi setelah operasi.
3. Menggigil Setelah Anestesi Spinal
Pada anestesi spinal pengaturan suhu masih baik tetapi tidak efektif sebagai
akibat gangguan jalur afferent dan efferent yang menghambat vasokonstriksi dan
menggigil pada daerah yang terblok. Dengan demikian sistem pengaturan suhu
tidak mampu mengkompensasi tubuh bagian bawah yang paralisis, serta
diperburuk oleh gangguan intrinsik dan faktor lain, termasuk peningkatan umur
dan penyakit penyerta . Anestesi spinal biasanya menjangkau sebagian besar
massa otot, sehingga penurunan core temperature bisa lebih berat, sedangkan
produksi panas hanya sedikit mengalami penurunan (Sessler, 2009). Penurunan
core temperature akan mencetuskan vasokonstriksi dan menggigil pada daerah
yang tidak terblok jika pengatur suhu tidak terganggu berat seperti oleh umur atau
sedasi, sehingga relatif tidak efektif dan tidak efisien untuk mengatasi hipotermia.
Pada anestesi spinal terjadi penghambatan input suhu ke hipotalamus dari
bagian tubuh yang terblok (informasi dari sensor dingin di kaki yang normal tidak
mencapai hipotalamus, sehingga berpotensi terbaca bersuhu panas), dan
banyaknya dermatome yang terblok secara proporsional menghambat pengaturan
suhu pusat sehingga terjadi kehilangan panas terus-menerus hingga pulihnya
kembali fungsi simpatis dan vasokonstriksi. Meskipun telah terjadi vasokonstriksi,
penurunan core temperature terus berlanjut dan tidak dapat dicegah karena massa
otot yang tidak terblok sangat sedikit, sehingga jika core temperature mencapai
ambang menggigil akan terjadi menggigil. Pada siklus ini, hipotermia bisa lebih
berat daripada yang terjadi pada anestesi umum (Luginbuehl, 2005; Sessler,
2009). Dibandingkan anestesi umum, anestesi spinal menurunkan resiko
hipotermia khususnya pada bedah minor dan jika pasien diselimuti dengan baik.
Pada operasi besar, dengan anestesi spinal hipotermia bisa lebih berat daripada
anestesi umum, dan pemulihan suhu tubuh ke kondisi normal memanjang
(Luginbuehl, 2005).
Orang tua dengan anestesi spinal, mudah mengalami hipotermia karena core
temperature yang rendah tidak merangsang respon proteksi autonom (Vassilieff,
1995). Ambang vasokonstriksi dan menggigil yang telah turun, diperberat dengan
penambahan obat-obat adjuvant dan peningkatan umur. Respon terhadap dingin
yang terjadi tidak efektif dan pasien tidak merasa jika sedang hipotermia. Karena
pemantauan core temperature jarang dilakukan saat anestesi spinal, maka
hipotermia sering tidak terdeteksi (Sessler, 2009; Vassilieff, 1995).
1. Adithi A, Dimar. 2007. Tramadol for control of shivering (comparison with pethidine).
Ind J Anaesth. 51 (1) : 28 31
2. Luginbuehl I, Bissonnette B, Davis PJ. 2005. Smiths Anesthesia for Infants and
Children. 7th ed. Philadelphia : Mosby Elsevier.
3. Sessler DI, De Witte JL. Perioperative shivering physiology and pharmacology.
Anesthesiology. 2002; 96: 467-84.
4. Vassilieff N, Rosencher N, Sessler DI, Conseiller C. Shivering threshold during spinal
anesthesia is reduced in elderly patients. Anesthesiology 1995; 83(6):1162-66.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Patient monitors. In : Lange Medical Books
Clinical Anesthesiology. 4th eds. New York. 2006 :148-50.
6. Collins VJ. Temperature regulation and heat problem. Physiologic and pharmacologic
bases of anesthesia. Baltimore: Williams and Wilkins: 1996: 316-39.
7. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua.
Jakarta: Bagian anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: 2010
8. Duthie DJR. Remifentanil and tramadol, Recent advances in opioid pharmacology. Br.
J. Anaesth. 1998; 81: 51 7.
9. Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN. Acute pain management. In: Lees synopsis
of anesthesia. 12th ed. Oxford : Reed Education and Professional Publishing Ltd.,
1999:81-2.
10. Chan AMH. Ng KFJ, Tong EWN, Jan GSK. Control of Shivering Under Regional
Anaesthesia in Obstetric Patient with Tramadol. Can J Anaesth. 1999. 46: 253 8.