Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

POLIP HIDUNG YANG DISERTAI DENGAN SINUSITIS

Penyusun:
Noferly Gina Jessica Go
030.14.142

Pembimbing:
dr. Donald Marpaung, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO
PERIODE 4 JUNI 2018 - 20 JULI 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Polip Hidung Yang Disertai
Dengan Sinusitis”. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian referat ini, terutama kepada dr.
Donald Marpaung, Sp. THT-KL selaku pembimbing yang telah memberikan waktu dan
bimbingannya sehingga referat ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini tidak lepas dari kesalahan dan
kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan berbagi kritik, saran dan masukan untuk
perbaikan selanjutnya dimasa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini
dapat memberikan manfaat dan dapat bernilai positif bagi semua pihak yang membutuhkan, baik
dalam bidang kedokteran, khususnya untuk bidang ilmu penyakit THT.
Kritik dan saran penulis hargai demi penyempurnaan penulisan serupa dimasa yang akan
datang. Besar harapan penulis, semoga referat ini dapat bermanfaat dan dapat bernilai positif
bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jakarta, Juli 2018

Noferly G. J. Go
030.14.142
DAFTAR ISI

HALAMAN
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 1
2.1 Fisiologi tidur ................................................................................................ 2
2.2 Sistem respirasi saat tidur ............................................................................. 2
2.3 Klasifikasi OSA ............................................................................................ 5
2.4 Epidemiologi OSA ........................................................................................ 5
2.5 Gejala klinis OSA ......................................................................................... 6
2.6 Diagnosis OSA.............................................................................................. 7
2.7 Penyakit kardiovaskuler ................................................................................ 10
2.8 Hubungan OSA dengan penyakit kardiovaskuler ......................................... 10
2.8.1 Hubungan OSA dan hipertensi.............................................................. 12
2.8.2 Hubungan OSA dan aterosklerosis ....................................................... 13
2.8.3 Hubungan OSA dengan acute coronary syndrome dan aritmia ............ 13
2.8.4 Hubungan OSA dan gagal jantung kongestif ........................................ 14
2.9 Terapi OSA ................................................................................................... 15
BAB III KESIMPULAN................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 19
BAB I
PENDAHULUAN

Polip hidung merupakan masalah kesehatan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup
penderita baik pendidikan, pekerjaan, dan aktivitas harian. Polip hidung ialah massa lunak yang
mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih, keabu-abuan, yang terjadi
akibat inflamasi mukosa. (1)
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,2% di
Finlandia. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4%. Pada anak-anak
sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di
Denmark memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun.(2) Di
Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan
prevalensi 0,2%-4,3%.(3)
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari,
bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu
oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis.(1)
Prevalensi sinusitis di Indonesia cukup tinggi. Penyakit sinusitis menempati urutan ke 25
dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
Hal ini membuktikan bahwa masih banyak masyarakat luas yang menderita sinus hingga saat
ini.(3) beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, rinitis, polip hidung,
kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma
Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. (1)
Gejala-gejala sinusitis yang biasanya muncul adalah batuk atau pilek yang menahun,
sakit kepala, demam dan nyeri. Gejala tersebut sering kali diabaikan oleh penderia sinusitis
sehingga pasien datang kerumah sakit sudah dengan komplikasi seperti osteomyelitis, kelainan
orbita, kelainan intrakranial, infeksi telinga tengah, infeksi tenggorokan, gangguan pernapasan
danlain sebagainya.
Referat ini akan membahas bagaimana terjadinya sinusitis yang disertai dengan polip
hidung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga
hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel dari sinus etmoid,
sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah sinus sphenoid. Sinus sphenoid
terletak tepat di depan klivus dan atap nasofaring. Sinus paranasal juga dilapisi dengan epitel
berambut-getar. Lendir yang dibentuk di dalam sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus
nasalis. Alirannya dimulai dari sinus frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila kemudian
masuk ke meatus-medius. Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior dan sinus sfenoid masuk ke
meatus superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus inferior hanya masuk melalui duktus
nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang penting ialah bagian depan-tengah meatus medius
yang sempit, yang disebut kompleks ostio-meatal. Daerah ini penting karena hampir semua
lubang saluran dari sinus paranasal terdapat di sana.(4)
Pada saat lahir, sinus paranasal belum terbentuk, kecuali beberapa sel etmoid. Kemudian
baru pada sekitar umur dua belas tahun, semua sinus paranasal terbentuk secara lengkap.
Kadang-kadang, salah satu dari sinus frontal tidak terbentuk. Bagian belakang nasofaring
berbatasan dengan fossa sfeno-palatina.(4)
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai dari pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.
Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada sejak saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior
rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18
tahun.(3)
Gambar 2.1 Anatomi sinus paranasal

Kompleks ostio-meatal (KOM)


Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit,
dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM). KOM adalah bagian dari sinus etmoid anterior.
Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga antara
konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat
dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid
anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.(5)

Gambar 2.2 Kompleks ostio-meatal (KOM)


Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke
posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada pinggir tulang
lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus
membentuk dinding medial dari infundibulum.(6)
Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara etmoid
yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoid dapat membengkak sangat besar sehingga
menekan infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksila.(6)
Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding anteromedial dibatasi
oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoid, dan pada bagian
posteroinferolateralnya terdapat ostium alami sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi
terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior.(7)
Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari selsel etmoid anterior.
Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan anatomi untuk
operasi sinus frontal. Dengan Universitas Sumatera Utara membuka sel ini akan memberi jalan
menuju resesus frontal.(8)
Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan
merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media atau melalui
infundibulum etmoid menuju kavum nasi.(8)
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar
hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada 3 pasang sinus
yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa
selsel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan
sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media,
sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus posterior dan
bermuara di meatus superior.(9)
2.2 Definisi
2.2.1 Polip Hidung
Kata polip berasal dari Yunani (Polypous) yang kemudian dilatinkan (polyposis)
dan berarti berkaki banyak. Polip hidung adalah masa yang tumbuh dalam rongga hidung,
sering kali multiple dan bilateral. Massa ini lunak berwarna putih keabu-abuan, agak
transparan, permukaan licin mengkilat, bertangkai dan mudah digerakkan. Berasal dari
epitel dimeatus medius, ethmoid atau sinus maksila. Dapat menjadi besar dan dapat
memenuhi rongga hidung dan sampai keluar dari nares anterior. Ada polip yang tumbuh
ke posterior ke arah nasofaring dan disebut polip koanal, sering tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior. Polip koanal paling sering berasal dari sinus maksila
(antrum). Sehingga disebut juga polip antrokoanal. Polip koanal yang lain adalah
sfenokoanal dan etmoidokoanal.(10)

Gambar 2.3 Gambaran Endoskopi Polip Hidung

2.2.2 Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai(11):
 Inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua
atau lebih gejala, salah satunya harus termasuk sumbatan
hidung/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/posterior),
nyeri/tekanan wajah, penurunan/hilangnya penghidu.
 Salah satu dari temuan endoskopi:
1. Polip dan / atau
2. Sekret mukopurulen dari meatus medius dan / atau
3. Edema / obstruksi mukosa dimeatus media o Gambaran tomografi
komputer memperlihatkan perubahan mukosa dikompleks osteomeatal
dimeatus media

2.3 Epidemiologi
Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa kasus polip hidung perbandingan
pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2%-4,3%.(3) Sardjono Soejak dan Sri Herawati
melaporkan penderita polip hidung sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL
RS.Dr. Soetomo Surabaya. Rasio pria dan wanita 2-4:1.(12) Di RSUP H.Adam Malik Medan
selama Maret 2004 sampai Februari 2005, kasus polip hidung sebanyak 26 orang terdiri dari 17
pria (65%) dan 9 wanita (35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan kasus polip
hidung sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan (48,8%).(13)
Faktor genetik dianggap berperan dalam etiologi polip hidung. Sekitar 14% penderita
polip memiliki riwayat keluarga menderita polip hidung. Etnis dan geografis memiliki peranan
dalam patofisiologi polip. Pada populasi Caucasian dominan polip eosinofilik sementara di Asia
dominan neutrofilik.(14)
Sinusitis Kronis adalah salah satu penyakit kronis yang paling umum di seluruh dunia.
Sinusitis Kronis juga memiliki dampak signifikan pada kualitas hidup, dengan gagal jantung
kongestif, nyeri punggung kronis, dan penyakit paru obstruktif kronik. Literatur menunjukkan
bahwa kasus sinusitis kronik dengan polip hidung meningkat seiring bertambahnya usia, dengan
onset rata-rata di semua kelompok etnis 42 tahun. Dalam kebanyakan penelitian, polip hidung
jarang terjadi di bawah usia 20 tahun dan menunjukkan lebih banyak pada pria daripada pada
wanita.(15)

2.4 Etiologi
2.4.1 Etiologi Polip Hidung
Sampai sekarang etiologi polip masih belum diketahui dengan pasti tapi ada 3
faktor yang penting dalam terjadinya polip, yaitu:
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstisial dan edema mukosa hidung.
Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit
akan menyebabkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap
oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema mukosa dan menyebabkan polip.
Fenomena ini menjelaskan mengapa polip banyak berasal dari area yang sempit di infundibulum
etmoid, hiatus semilunaris dan area lain di meatus medius.(16)
Pada awal pembentukan polip ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terjadi
didaerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa
yang sembab akan menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin
membesar dan kemudian akan turun kedalam rongga hidung sambil membentuk tangkai,
sehingga terbentuk polip.(16)

2.4.2 Etiologi Sinusitis


Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis
terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti
deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil,
infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener, dan diluar
negri adalah penyakit fibrosis kistik. (1)

2.5 Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari untuk terjadinya sinusitis kronik pada sinusitis yang disertai
polip hidung tidak sepenuhnya dapat dijelaskan. Beberapa penelitian berfokus pada peran sel
epitel sinonasal, sistem imun host, dan patogen yang kemungkinan berperan untuk terjadinya
sinusitis yang disertai polip hidung. Dikatakan bahwa terganggunya barrier epitel sinonasal dapat
menyebabkan lebih mudah untuk terpapar dengan patogen, antigen dan partikel dari inhalasi
sehingga terjadi respon imun yang memicu terjadinya inflamasi.(17)
Gambar 2.4 Patogenesis Sinusitis disertai Polip Hidung

Pada patofisiologi sinusitis, permukaan mukosa ditempat yang sempit di komplek


osteomeatal sangat berdekatan dan jika mengalami oedem, mukosa yang berhadapan akan saling
bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi
gangguan drainase dan ventilasi dari sinus maksila dan sinus frontal, sehingga akibatnya aktifitas
silia terganggu dan terjadi genangan lendir sahingga lendir menjadi lebih kental dan merupakan
media yang baik untuk tumbuh bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus maka akan
terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga bakteri anaerob pun akan berkembang biak. Bakteri
juga memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan
menjadi hipertofi, polipoid atau terbentuk polip dan kista.(18)

2.6 Gejala Klinis dan Diagnosis


Gejala primer adalah hidung tersumbat, terasa ada masa dalam hidung, sukar
mengeluarkan ingus dan hiposmia atau anosmia. Gejala sekunder termasuk ingus turun kearah
tenggorok (post nasal drip), rinore, nyeri wajah, sakit kepala, telinga rasa penuh, mengorok,
gangguan tidur, dan penurunan prestasi kerja.(17)
Biasanya polip sudah dapat terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Polip yang
sangat besar dapat mendesak dinding rongga hidung sehingga menyebabkan deformitas wajah
(hidung mekar). Polip kecil yang berada di celah meatus medius sering tidak terdeteksi pada
rinoskopi anterior dan baru terlihat pada nasoendoskopi.(17)
Pada pemeriksaan foto sinus paranasal sering menunjukkan rinosinusitis. Pada
pemeriksaan CT scan akan terlihat bagaimana selsel ethmoid dan kompleks ostio-meatal tempat
biasanya polip tumbuh. CT scan perlu dilakukan bila ada polip unilateral, bila tidak membaik
dengan pengobatan konservatif selama 4-6 minggu, bila akan dilakukan operasi BESF dan bila
ada kecurigaan komplikasi sinusitis.(18)

Gambar 2.5 CT Scan Sinus yang Memperlihatkan Gambaran Polip Hidung

Pemeriksaan lain yang mungkin perlu dilakukan adalah tes alergi pada pasien
yang diduga atopi, biopsy bila ada kecurigaan keganasan dan kultur polip nasi.(17)

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding polip nasi termasuk tumor-tumor jinak yang dapat tumbuh dihidung
seperti kondroma, neurofibroma, angiofibroma dan lain-lain. Papiloma inversi (Inverted
papiloma) adalah tumor hidung yang secara histologis jinak tapi perangai klinisnya ganas dapat
menyebabkan pendesakan/destruksi dan sering kambuh kembali, penampakannya sangat
merupai polip. Tumor ganas hidung seperti karsinoma atau sarkoma biasanya unilateral, ada rasa
nyeri dan mudah berdarah, sering menyebabkan destruksi tulang.(18)
Diagnosis banding lain adalah meningokel/meningoensefalokel pada anak. Biasanya akan
menjadi lebih besar pada saat mengejan atau menangis.
2.8 Tatalaksana(19)
1. Non Operatif
Satu-satunya pengobatan yang efektif untuk polip nasal adalah kortikosteroid.
Baik bentuk oral maupun topikal, memberikan respon anti inflamasi non-spesifik yang
mengurangi ukuran polip dan mengurangi gejala sumbatan hidung. Obat-obatan lain
tidak memberikan dampak yang berarti
a. Kortikosteroid oral Pengobatan yang telah teruji untuk sumbatan yang disebabkan
polip nasal adalah kortikosteroid oral seperti prednison. Agen anti inflamasi
nonspesifik ini secara signifikan mengurangi ukuran peradangan polip dan
memperbaiki gejala lain secara cepat. Sayangnya, masa kerja sebentar dan polip
sering tumbuh kembali dan munculnya gejala yang sama dalam waktu mingguan
hingga bulanan
b. Kortikosteroid Topikal Hidung Respon antiinflamasi non-spesifiknya secara
teoritis mengurangi ukuran polip dan mencegah tumbuhnya polip kembali jika
digunakan berkelanjutan. Tersedia semprot hidung steroid yang efektif dan relatif
aman untuk pemakaian jangka panjang dan jangka pendek seperti fluticson,
mometason, budesonid dan lain-lain.
Follow up
 Pasien dengan gejala minimal dapat dimonitor sekali setahun atau dua kali setahun.
 Pasien dengan gejala obstruktif yang mengganggu memerlukan follow up yang lebih
sering, terutama jika mereka sedang menerima kortikosteroid oral dosis tinggi atau
menggunakan semprot hidung steroid topikal dalam jangka lama.
 Intervensi bedah pada polip nasal dipertimbangkan setelah terapi medikamentosa gagal
dan untuk pasien dengan infeksi / peradangan sinus berulang yang memerlukan
perawatan dengan berbagai antibiotik
2. Operatif
Menjelang operasi, selama 4 atau 5 hari pasien diberi antibiotik dan kortikosteroid
sistemik dan lokal. Hal ini penting untuk mengeliminasi bakteri dan mengurangi
inflamasi, karena inflamasi akan menyebabkan edema dan perdarahan yang banyak, yang
akan mengganggu kelancaran operasi. Kortikosteroid juga bermanfaat untuk mengecilkan
polip sehingga operasinya akan lebih mudah.
Dengan persiapan yang teliti, maka keadaan pasien akan optimal untuk menjalani
bedah sinus endoskopi dan kemungkinan timbulnya komplikasi juga ditekan seminimal
mungkin.
Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau
cunam dengan analgetik lokal, bisa juga dengan menggunakan alat yang sangat
menguntungkan seperti microdebrider yang dapat memotong langsung menghisap polip
sehingga perdarahan sangat minimal, yang terbaik ialah Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional (BSEF).
Gambar 2.6 Skema Penatalaksaan Sinusitis Kronis dengan Polip Hidung
2.9 Prognosis
Polip nasi sering kambuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan
kepada penyebabnya, misalnya alergi. Tetapi yang paling ideal pada rinitis alergi adalah
menghindari kontak dengan alergen penyebab. Secara medikamentosa dapat diberikan
antihistamin, dengan atau tanpa dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung
kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi,
yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.(20)
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan:
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Leher, Edisi ke-7. Jakarta: FKUI. 2012
2. Erbek SS, Erbek S, Topal O, Cakmak O. The role of allergy in the severity of nasal
polyposis. Am J Rhinol. 2012. 21(6):686-90.
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan:
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Leher, Edisi ke-6. Jakarta: FKUI. 2007. 123-25.
4. Broek, P.V.D, Feenstra L., 2010. Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal. Buku Saku
Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. Edisi 12. Jakarta: EGC, 99-100.
5. Hwang PH, Abdalkhani A, 2009. Embriology, Anatomy, and Phisiology of The Nose and
Paranasal Sinuses. In :Ballenger’s Otorhiolaryngology Head And Neck Surgery.
Centennial Edition. BC Becker Inc. USA. p: 456-63.
6. Kennedy DW, Lee JT, 2006, Endoscopic Sinus Surgery, in Head and Neck
SurgeryOtolaryngology, Vol I, Fourth Edition, ByronJ.Bailey Lippincott Wiliams and
Wilkins, Philadelphia,459-75
7. Nizar NW. 2000. Anatomik Endoskopik Hidung Sinus Paranasal dan Patofiologi
Sinusitis. Dalam : Kumpulan Naskah Lengkap Kursus, Pelatihan dan Demo BSEF,
Makassar, 1-11.
8. Mangunkusumo E, 2000. Persiapan Operasi BSEF: Nasoendoskopi dan Pemeriksaan
Tomografi Komputer dalam Kursus Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Makasar. hal:
13-25.
9. Walsh et al, 2006, Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation. In : Bailey BJ, Johnson
JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th
Edition. Vol 2. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins.
10. Naclerio RM, Baroody FM, Pinto JM. Nasal Polyps and Biomarkers. The Journal of
Allergy and Clinical Immunology: In Practice, Volume 5, Issue 6, November–December
2017, Pages 1582-1588.
11. Fokkens, W.J., Lund, V.J., Bachert, C. et al. (2012) European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps. Rhinology. [Online] 50(23). p.1-298.
12. Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri
Herawati, Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung &
Tenggorok. Jakarta : EGC. 2000.
13. Fatwa D. Profil Polip Nasi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010. Medan:
Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara. 2012.
14. Aaron,Chandra,Conley,Kern. 2010. Epidemiology of Nasal Polyps in Nasal Polyposis.
T.M.Onerci and B.J. Ferguson (eds), Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
15. Chaaban MR, Walsh EM, Woodworth BA. Epidemiology and differential diagnosis of
nasal polyps. Am J Rhinol Allergy. 2013 Nov-Dec; 27(6): 473–478.
16. Budiman BJ, Asyari A. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi.
Padang: FK Universitas Andalas.
17. Stevens WW, Schleimer RP, Kern RC. Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps. J
Allergy Clin Immunol Pract. 2016 Jul-Aug; 4(4): 565–572.
18. Budiman BJ, Ade Asyari. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis dengan Polip
Nasi. Padang: FK Universitas Andalas. 2008.
19. Assanasen P, Naclerio RM. Medical and Surgical Management of Nasal Polyps.
Lippincott Williams & Wilkins, Inc. 2001.
20. Bachert C, Hormann K, Mosges R, Rasp G, Riechelmann H, Muller R. An Update on
The Diagnosis and Treatment of Sinusitis and Nasal Polyposis. Allergy 2003. 58: 176-
191.

Anda mungkin juga menyukai