Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, presentasenya dapat berubah
tergantung pada umur, jenis kelamin, dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia < 1
tahun,cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan, dan pada bayi usia > 1 tahun
mengandung air sebanyak 70-75%. Seiring dengan pertumbuhan, presentase jumlah cairan
terhadap berat badan berangsur-angsur turun,yaitu pada laki-laki dewasa 60% berat badan,
pada wanita dewasa 50-55% berat badan. Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam
kompartemen intraseluler dan kompartemen ekstraseluler.1
Menjaga agar volume cairan tubuh tetap relatif konstan dan komposisi elektrolit di
dalamnya tetap stabil adalah penting bagi homeostatis. Beberapa masalah klinis timbul akibat
adanya abnormalitas dalam hal tersebut. Untuk bertahan, volume dan komposisi cairan tubuh
harus dipertahankan, baik cairan ekstraseluler (CES) maupun cairan intraseluler (CIS) dalam
batas normal. Gangguan cairan dan elektrolit dapat membawa penderita dalam kegawatan yang
bila tidak dikelolah secara cepat dan tepat dapat menimbulkan kematian.1
Elektrolit merupakan molekul terionisasi yang terdapat di dalam darah, jaringan, dan
sel tubuh. Molekul tersebut, baik yang positif (kation) maupun yang negatif (anion)
menghantarkan arus listrik dan membantu mempertahankan pH dan level asam basa dalam
tubuh. Elektrolit juga memfasilitasi pergerakan cairan antar dan dalam sel melalui suatu proses
yang dikenal sebagai osmosis dan memegang peranan dalam pengaturan fungsi
neuromuskular, endokrin, dan sistem ekskresi.2
Jumlah asupan air dan elektrolit melalui makan dan minum akan dikeluarkan dalam
jumlah relatif sama. Ketika terjadi gangguan homeostasis dimana jumlah yang masuk dan
keluar tidak seimbang, harus segera diberikan terapi untuk mengembalikan keseimbangan
tersebut.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Cairan Tubuh


Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia. Perubahan jumlah dan komposisi
air dalam tubuh, yang dapat terjadi pada perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan
puasa preoperatif maupun perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat.
Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah,
maka resiko penderita menjadi lebih besar.3
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular. Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular.
Pada orang dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular,
sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular.1
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan
tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular
menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Cairan ekstraselular dibagi menjadi:1
 Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial. Cairan limfe
termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap ukuran tubuh, volume ISF
adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang dewasa.
 Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya
merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.
 Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran
pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter,
tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.

2
Gambar 1. Cairan Tubuh

Selain air, cairan tubuh juga mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non
elektrolit. 1
1. Elektrolit
Elektrolit merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus
listrik. Dibedakan menjadi :
- Kation (ion positif)
Kation utama dalam cairan ekstraseluler adalah natrium (Na+)
sedangkan kation utama dalam cairan intraseluler adalah kalium (K+).
- Anion (ion negatif)
Anion utama dalam cairan ekstraseluler adalah klorida (Cl-) dan
bikarbonat (HCO3), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular
adalah ion fosfat (PO43-)
Kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada intinya sama maka nilai
elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi tidak mencerminkan
komposisi cairan intraseluler.
1. Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan
di dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135-

3
145mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15 gram NaCl). Natrium dapat
bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial maupun ke dalam dan
keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium (muntah,diare)
sedangkan pemasukkan terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi disertai
kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium dalam plasma akan diganti
dengan air dan natrium dari cairan interstitial. Apabila kehilangan cairan terus
berlangsung, air akan ditarik dari dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak
dapat dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi.
2. Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan intraseluler berperan
penting di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Kadar kalium
plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB.

a. Non elektrolit
Substansi seperti glukosa dan urea yang tidak berdisosiasi dalam larutan. Non-
elektrolit lainnya yang secara klinis penting mencangkup kreatinin dan bilirubin.

2.2. Proses Pergerakan Cairan Tubuh


Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan mekanisme
transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan energi sedangkan
mekanisme transpor aktif membutuhkan energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme
transpor pasif. Sedangkan mekanisme transpor aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang
memerlukan ATP.1,2,4
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara:1,2,4
a. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran
semipermeabel (permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah menuju
larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan
kapiler permeabel terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh seluruh
kompartemen sama. Membran semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui
air (pelarut), namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.5,7,8 Tekanan
osmotik plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik
kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer laktat).

4
Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah disebut hipotonik (akuades),
sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik.
b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak
dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik
pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut.
Jadi difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion
natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion
kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk
mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.

5
2.3. Keseimbangan Cairan
Keseimbangan cairan serta elektrolit antara tubuh dan lingkungan bergantung
pada asupan cairan dan elektrolit serta output dari ginjal, traktus gastrointestinal, serta
kulit dan paru-paru (insensible water loss). Intake dan output harian rata-rata normal
dari cairan akan ditunjukkan pada Gambar 2.5

Gambar 2. Keseimbangan cairan rata-rata harian

6
2.4 Dehidrasi
Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :
1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan
tubuh yang paling umum terjadi pada pasien bedah. Penyebab paling
umum adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah,
penyedot nasogastrik, diare, dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat
berupa kehilangan cairan pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi
jaringan, peritonitis, obstruksi usus, dan luka bakar. Keadaan akut seperti
kehilangan cairan secara cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada
susunan saraf pusat dan jantung. Sedangkan pada kehilangan cairan yang
terjadi secara lambat lebih dapat ditoleransi sampat defisit volume cairan
ekstraseluler yang berat terjadi.6
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi
serum dari natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik
(<139 mEq/L), atau hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik
merupakan tipe dehidrasi yang paling sering terjadi (80%), sedangkan
dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik hanya terjadi sekitar 5-10%
dari kasus.7
Dehidrasi isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
hampir sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan
cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam kompartemen
intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular.7
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan
hipertonis). Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih
banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum
rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen
ekstravaskular sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular.7
Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan
cairan dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan
cairan hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih
banyak dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi

7
air di kompartemen ekstravaskular berpindah ke kompartemen
intravaskular sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular.7
Terapi untuk dehidrasi ialah rehidrasi yang dilakukan dengan cara
mempertimbangkan kebutuhan cairan untuk rumatan, defisit cairan, dan
kehilangan cairan yang sedang berlangsung.
b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraseluler merupakan suatu kondisi
akibat iatrogenik seperti pada pemberian cairan intravena yang berlebihan
atau dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada GFR),
sirosis, ataupun gagal jantung kongestif. Kelebihan cairan intraseluler
dapat terjadi jika terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau
berkurang. 6
2. Perubahan konsentrasi
a. Hiponatremia8
Jika kadar natrium <120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi,
gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan.
Sedangkan jika kadar natrium <110 mg/L maka akan timbul gejala kejang
hingga koma. Hiponatremi ini dapat disebabkan oleh euvolemia (SIADH,
polidipsi, psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare,
muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis).
Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan (Na+ > 125 mg/L) atau
NaCl 3% sebanyak (140-X) x BB x 0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5
mg/kg.
Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan secara
perlahan-lahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif.
Untuk menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan
rumus:

8
b. Hipernatremia
Jika kadar natrium >160 mg/L maka dapat timbul gejala seperti perubahan
mental, letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremia dapat disebabkan
oleh kehilangan cairan seperti pada diare, muntah, diuresis, diabetes
insipidus, keringat berlebihan, asupan air kurang, asupan natrium
berlebihan. Terapi untuk keadaan ini adalah penggantian cairan dengan
dekstrose 5% dalam air.9
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium <3mEq/L maka dapat terjadi akibat dari redistribusi
akut kalium dari cairan ekstraseluler ke intraseluler atau dari pengurangan
kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat
berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen melebar dan ST
segmen depresi), hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria,
intoleransi glukosa. Terapi untuk hipokalemia dapat berupa koreksi faktor
presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infus NaCl sampai
10 mEq/jam atau sampai 40 mEq/jam dengan monitoring EKG pada
hipokalemia berat.9
d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5mEq/L dan sering terjadi karena insufisiensi
renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor,
siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan
saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sis kardiovaskular (disritmik
dan perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia dapat berupa pemberian
intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100
mEq dalam 5-10 menit, atau pemberian diuretik, dan hemodialisis.9
3. Perubahan komposisi 10
a. Asidosis respiratorik (pH < 7,35 dan PaCO2 > 45 mmHg)
Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk
menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut
merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk obstruksi
jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi abdomen
atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan.
Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari defek pulmonal,
intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu. Perhatian yang

9
ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif adalah sangat
penting.
b. Alkalosis respiratorik (pH >7,45 dan PaCO2 <35 mmHg)
Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan
ventilasi yang dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum
normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang
cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari
termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari
ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi.
c. Asidosis metabolik (pH <7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau
kehilangan bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal
ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat.
Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi dan depresi
PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok, diabetik ketoasidosis,
kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol. Terapi
sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi
bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan
hanya setelah kompensasi alkalosis respirasi digunakan.
d. Alkalosis metabolik (pH >7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)
Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan
bikarbonat dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi
pada pasien bedah adalah hipokloremik, hipokalemik akibat defisit
volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah sodium klorida
isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus
gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum
elektrolit yang sering.

2.5 Penatalaksanaan Terapi Cairan1,8


1. Cairan Pra Bedah
Status cairan harus dinilai dan dikoreksi sebelum dilakukannya induksi
anestesi untuk mengurangi perubahan kardiovaskuler dekompensasi akut.
Penilaian status cairan ini didapat dari :

10
 Anamnesa: apakah ada perdarahan, muntah, diare, rasa haus. Kencing
terakhir, jumlah dan warnya.
 Pemeriksaan fisik: apakah ada tanda-tanda obyektif dari status cairan,
seperti tekanan darah, nadi, berat badan, kulit, abdomen, mata dan
mukosa.
 Laboratorium meliputi pemeriksaan elektrolit, BUN (blood urea
nitrogen), hematokrit, hemoglobin dan protein.
Defisit cairan dapat diperkirakan dari berat-ringannya dehidrasi yang terjadi.
 Pada fase awal pasien yang sadar akan mengeluh haus, nadi biasanya
meningkat sedikit, belum ada gangguan cairan dan komposisinya secara
serius. Dehidrasi pada fase ini terjadi jika kehilangan kira-kira 2% BB
(1500 ml air).
 Fase moderat, ditandai rasa haus. Mukosa kering otot lemah, nadi cepat
dan lemah. Terjadi pada kehilangan cairan 6% BB.
 Fase lanjut/dehidrasi berat, ditandai adanya tanda shock kardiosirkulasi,
terjadi pada kehilangan cairan 7-15 % BB. Kegagalan penggantian
cairan dan elektrolit biasanya menyebabkan kematian jika kehilangan
cairan 15 % BB atau lebih.
Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan, pada
dewasa 2 ml/kgBB/jam. Atau 60 ml ditambah 1 ml/kgBB untuk berat badan
lebih dari 20 kg. Pada anak-anak 4 ml/kg pada 10 kg BB I, ditambah 2 ml/kg
untuk 10 kgBB II, dan ditambah 1 ml/kg untuk berat badan sisanya. Kecuali
penilaian terhadap keadaan umum dan kardiovaskuler, tanda rehidrasi
tercapai ialah dengan adanya produksi urine 0,5-1 ml/kgBB.

2. Cairan Selama Pembedahan


Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan dan
penggantian sisa defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang selama
operasi. Berdasarkan beratnya trauma pembedahan dikenal pemberian cairan
pada trauma ringan, sedang dan berat. Pada pembedahan dengan trauma ringan
diberikan cairan 2 ml/kg BB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kg
BB/jam sebagai pengganti akibat trauma pembedahan. Cairan pengganti
akibat trauma pembedahan sedang 6 ml/kg BB/jam dan pada trauma
pembedahan berat 8 ml/kg BB/jam.

11
Cairan pengganti akibat trauma pembedahan pada anak, untuk trauma
pembedahan ringan 2 ml/kg BB/jam, sedang 4 ml/kgBB/jam dan berat 6
ml/kgBB/jam.
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur pembedahan
dan perkiraan jumlah perdarahan. Perkiraan jumlah perdarahan yang terjadi
selama pembedahan sering mengalami kesulitan., dikarenakan adanya
perdarahan yang sulit diukur/tersembunyi yang terdapat di dalam luka operasi,
kain kasa, kain operasi dan lain-lain. Dalam hal ini cara yang biasa digunakan
untuk memperkirakan jumlah perdarahan dengan mengukur jumlah darah di
dalam botol suction ditambah perkiraan jumlah darah di kain kasa dan kain
operasi. Satu lembar duk dapat menampung 100 – 150 ml darah, sedangkan
untuk kain kasa sebaiknya ditimbang sebelum dan setelah dipakai, dimana
selisih 1 gram dianggap sama dengan 1 ml darah. Perkiraan jumlah perdarahan
dapat juga diukur dengan pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin secara
serial.
Pada perdarahan untuk mempertahankan volume intravena dapat
diberikan kristaloid atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya karena
anemia. Pada keadaan ini perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel
darah merah untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin ataupun
hematokrit pada level aman, yaitu Hb 7 – 10 g/dl atau Ht 21 – 30%. 20 – 25%
pada individu sehat atau anemia kronis.
Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah berdasarkan
nilai hematokrit dan EBV (estimated blood volume). EBV pada neonatus
prematur 95 ml/kgBB, fullterm 85 ml/kgBB, bayi 80 ml/kgBB dan pada
dewasa laki-laki 75 ml/kgBB, perempuan 85 ml/kgBB.
Penggantian cairan akibat perdarahan adalah sebagai berikut :
Berdasar berat-ringannya perdarahan :
 Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 – 15%, cukup
diganti dengan cairan elektrolit.
 Perdarahan sedang, perdarahan 10 – 20% EBV, 15 – 30%, dapat diganti
dengan cairan kristaloid dan koloid.
 Perdarahan berat, perdarahan 20 – 50% EBV, > 30%, harus diganti dengan
transfusi darah.

12
Klasifikasi Shok Akibat Perdarahan :
Intravenous fluid replacement in haemorrhagic shock
Class I 2.5 L Ringer-lactate solution or 1.0 L
(haemorrhage 750 ml (15%)) polygelatin

Class II 1.0 L polygelatin plus 1.5 L Ringer-


(haemorrhage 800-1500 ml (15- lactate solution
30%))

Class III 1.0. L Ringer-lactate solution plus 0.5


(haemorrhage 1500-2000 ml (30- l whole blood or 0.1-1.5 L equal
40%)) volumes of concentrated red cells and
polygelatin

Class IV 1.0 L Ringer-lactate solution plus 1.0


(haemorrhage 2000 ml (48%)) L polygelatin plus 2.0 L whole blood
or 2.0 L equal volumes of
concentrated red cells and polygelatin
or hestastarch

3. Cairan Paska Bedah


Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk :
 Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.
 Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung,
febris).
 Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.
 Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.
Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu kalori, protein
dan lemak termasuk unsur penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan trace
element. Pemberian kalori sampai 40 – 50 Kcal/kg dengan protein 0,2 – 0,24
mg N/kg. Nutrisi parenteral ini penting, karena pada penderita paska bedah
yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan protein 75 – 125
gr/hari. Hipoalbuminemia menyebabkan edema jaringan, infeksi dan dehisensi

13
luka operasi, terjadi penurunan enzym pencernaan yang menyulitkan proses
realimentasi.
Macam-macam Cairan yang Dapat Digunakan dalam Terapi Cairan9,11,12

1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap
pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau
syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid)
ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit
volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-
30 menit. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit
larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan
paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka,
apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian lain menunjukkan
pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru
berat. Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan
edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid
sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel. Larutan Ringer
Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk resusitasi
cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan
intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami
metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering
digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan
asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar
bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.

14
2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma
substitute´ atau plasma expander´. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan
ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler.
Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama
pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia
berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar). Kerugian dari plasma
expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan
dapat menyebabkan gangguan pada cross match.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
1. Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%).
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk
membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta
globulin.Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments) seringkali
terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab
itu pemberian infuse dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan
hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
2. Koloid Sintesis yaitu:
 Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran
70(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri

15
Leuconostocmesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun
Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan
Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat
sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain
itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangiplatelet
adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan
melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat
mengganggucro match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal
ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu
dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.
 Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 ± 1.000.000, rata-rata
71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg.
Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat
urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid
ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar
serum amilase ( walau jarang).Low molecullar weight Hydroxylethyl starch
(Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma
hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena
potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas
yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih
sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.
 Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-
rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu:
- Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin ,merupakan plasma expanders dan banyak digunakan
pada penderita gawat. Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
(jarang) terutama dari golonganurea linked gelatin

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed. Missouri:Elsevier-

mosby; 2005.p3-227

2. Latief, AS, dkk. Petunjuk praktis anestesiologi : terapi cairan pada pembedahan, Edisi

II. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI. 2002.

3. Pandey CK, Singh RB. Fluid and electrolyte disorders. Indian

J.Anaesh.2003;47(5):380-387.

4. Mayer H, Follin SA. Fluid and electrolyte made incredibly easy. 2nd ed. Pennsylvania:

Springhouse; 2002:3-189.

5. Pedoman cairan infus revisi IX. Jakara: PT Otsuka Indonesia; 2007:1-10.

6. Schwartz SI, ed. Principles of surgery companion handbook. 7th ed. New york:

McGraw-Hill; 1999:53-70.

7. Ellsbury DL, George CS. Dehydration. eMed J; 2006 Mar

8. Sunatrio S. Resusitasi cairan. Jakarta: Media aesculapius; 2000:1-58.

9. Leksana E. Terapi cairan dan elektrolit. Bagian anestesi dan terapi intensif FK Undip:

Semarang; 2004: 1-60.

10. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.

Philadelphia: Lippincot williams and wilkins; 2006: 74-97.

11. Hillman K. Colloid versus crystalloids in shock. Indian J Crit Care Med 2004;8:14-21.

12. Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology. 2nd ed. New York: Thieme; 2011.

17

Anda mungkin juga menyukai