Anda di halaman 1dari 35

3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia
(termasuk di lautan). Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak
berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring
tersebut terdapat saluran bisa. Kasus kematian maupun keracunan akibat gigitan ular
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting yang dapat menyebabkan
morbiditas hingga mortalitas. Penyakit akibat gigitan ular atau “snake bite”
merupakan kejadian yang cukup sering ditemukan dilingkungan tertentu dan
biasanya berhubungan dengan pekerjaan tertentu, terutama pada area pedesaan di
negara-negara berkembang.
Pemeriksaan pasien yang terkena gigitan ular harus ditemukan bekas tanda
gigitan ular. Untuk luka pada ekstremitas harus dinilai luas luka gigitan dan diameter
inflamasi yang diakibatkan gigitan tersebut. Dalam bisa ular terdapat kandungan
yang toksik maupun yang non toksik yang diproduksi oleh struktur glandular
homolog yang berjalan ke glandula salivatorius pada ular.
Menurut (WHO, 2010) snake bite termasuk kasus yang diabaikan namun
dalam Katsusirane et al menyebutkan terdapat 1.200.000- 5.500.000 kasus dan
terjadi mortalitas sekitar 20.000-94.000 secara global per tahun dengan angka
tertinggi pada benua Asia (Asia Selatan dan Tenggara). Di Indonesia tidak ada data
yang akurat tentang kasus snake bite karena kasus yang terdata di rumah sakit
minimal. Data yang tersedia tahun 2007 menyebutkan sekitar 20-11.581 kematian
akibat snake bite, data ini didapat dari beberapa penelitian yang dilakukan sehingga
sangat bervariasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara mendiagnosis pasien dengan gigitan ular?
2. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan gigitan ular?
3. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan gigitan
ular?
4. Bagaimana prognosis pasien dengan gigitan ular?
4

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui cara mendiagnosis pasien dengan gigitan ular
2. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien dengan gigitan ular
3. Untuk mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan
gigitan ular
4. Untuk mengetahui prognosis pasien dengan gigitan ular

1.4 Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan
pembaca tentang identifikasi gigitan ular berbisa, gejala yang ditimbulkan
dan penanganannya.
2. Manfaat Praktis
Penulisan ini dapat menjadi bahan rujukan bagi dokter klinisi dalam
menangani pasien dengan gigitan saat praktik.
5

BAB II
STATUS PASIEN

2.1. Identitas Pasien


Nama : An. I
Umur : 12 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Alamat : Bandungrejo
Status perkawinan : Belum Menikah
Suku : Jawa
Pendidikan : Tamat SD
Tanggal MRS : 02/12/2019
Nomor register : 482***

2.2. Anamnesis
1. Keluhan Utama:
Nyeri pada kaki kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan pada hari Senin tanggal dua
Desember 2019 pukul 18.00WIB dengan keluhan nyeri pada kaki kiri.
Pasien mengaku digigit ular pada daerah telapak kaki sekitar pukul
16.00WIB disawah ketika akan pergi les. Pasien tidak mengetahui ular
yang menggigitnya, namun dari keterangan tetangga ular yang
menggigit pasien adalah ular kobra. Pasien mengatakan ular berwarna
kehitaman dengan ukuran panjang kurang lebih 30cm namun pasien
tidak memperhatikan dengan detail bentuk kepala dan ekor ular. Setelah
tergigit ular, kaki kiri pasien terasa nyeri dan bengkak hingga
pergelangan kaki. Nyeri dirasakan pasien menjalar hingga tungkai
bawah kiri dan terdapat bekas gigitan ular yang tidak mengeluarkan
darah ataupun cairan. Kemudian tetangga pasien membebat tungkai
6

kaki kiri pasien menggunakan kain dengan kencang pada lokasi kaki
yag terkena gigitan. Pasien tidak merasakan adanya mati rasa, atau
kesemutan pada tungkai kiri maupun kaki kirinya. Pasien juga tidak
mengeluhkan pusing, mual, muntah, berdebar-debar atau demam.
Pasien belum pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Pasien
menyatakan bahwa BAK dan BAB masih sama seperti sebelumnya dan
tidak ada keluhan. Nafsu makan pasien baik sama seperti biasanya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat penyakit serupa : disangkal
b. Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit paru : disangkal
e. Riwayat Hipertensi : disangkal
f. Riwayat alergi obat : disangkal
g. Riwayat alergi makanan : disangkal
h. Riwayat penyakit lain : disangkal
4. Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak memberikan pengobatan apapun, hanya membebat kaki
kiri menggunakan kain dengan kencang sesaat setelah tergigit ular.
5. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluhan serupa
6. Riwayat Alergi : Tidak ada
7. Riwayat Kebiasaan :
 Pasien makan 3x/sehari (kualitas & kuantitas cukup)
 Merokok (-)
 Alkhohol (-)
 Konsumsi kopi (-)

8. Riwayat Sosial Ekonomi :


Termasuk golongan ekonomi menengah
2.3. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : baik
2. Kesadaran : Compos mentis (GCS 456)
3. Tanda Vital : Tensi : 110/80 mmHg Nadi : 87 x/ menit
7

RR : 18 x/ menit Suhu : 36,3o C


Berat badan : 34 kg
4. Kulit : Warna normal (coklat), turgor <2 detik, ikterik (-).
pucat (-), gatal (-)
5. Kepala : Bentuk simetris, luka (-), rambut tidak mudah
dicabut, makula (-), papula (-), nodul (-), deformitas (-)
6. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek
cahaya (+/+), mata cowong (-/-), pupil isokor (diameter pupil
±3mm/±3mm), hiperemis (-/-)
7. Hidung : Nafas cuping (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-),
deformitas (-/-)
8. Mulut : Bibir pucat (-), kering (-), lidah kotor (-), gusi
berdarah (-), tonsil (T0/T0), trismus (-)
9. Telinga : Nyeri tekan mastoid (-/-), sekret (-/-), pendengaran
berkurang (-/-)
10. Leher : Pembesaran kelenjar tiroid (-), KGB (-/-), nyeri
telan (-)
11. Toraks : Bentuk simetris, retraksi supraklavikula dan
intercostal (-)
 Cor : Inspeki : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi :
- Batas kiri atas : ICS II parasternal line sinistra
- Batas kanan atas : ICS II parasternal line dekstra
- Batas kiri bawah : ICS V mid clavicula line sinisra
- Batas kanan bawah : ICS IV parasternal line dekstra
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)
 Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada simetris, benjolan (-),
luka (-)
Palpasi : Fremitus taktil kanan sama dengan kiri,
nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : Sonor/sonor
8

Auskultasi : Suara dasar vesikuler di semua lapang


paru, wheezing (-/-), rhonki (-/-)
12. Abdomen : (status lokalis)
Inspeksi : Bentuk simetris, caput medusa (-).
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani (+)
13. Ekstremitas :
Atas : tumor (-/-), Akral hangat (+/+), edema (-/-), nyeri (-/-), luka (-/-
), nadi (+/+) Bula (-/-)
Bawah : tumor (-/-), Akral hangat (+/+), edema (-/+), nyeri (-/+), luka
(-/+), nadi a.dorsalis pedis (+/+) Bula (-/-)

Gambar 2.1 Tanda gigitan ular pada pasien


9

2.4. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL


HEMATOLOGI
Hb 13,6 g/dl 11,4 – 15,1
Hematokrit 38,2 % 38 - 42
INDEKS ERITROSIT
MCV 76.9 fl 60-93
MCH 27,4 pg 27-31
MCHC 35,6 g/dl 32-36
Hitung eritrosit 4,97 juta/cmm 4,0 – 5,0
Hitung leukosit 8.050 cell/cmm 4.700 - 11.300
Hitung trombosit 287.000 cell/cmm 142.000 – 424.000
HITUNG JENIS LEUKOSIT
Eusinofil 2.6 % 0-4
Basofil 0,2 % 0-1
Neutrofil 46,6 % 51-67
Limfosit 44,1 % 25-33
Monosit 6,5 % 2-5
HEMOSTASIS
PT 10,2 detik 9,4-11,3
INR 0,94 2,0-3,5
APTT 29,3 detik 24,6-30,6
KIMIA KLINIK
GDS 79 mg/dL <200
AST (SGOT) 30 U/L 0-32
ALT (SGPT) 27 U/L 0-33
Ureum 27 mg/dL 16-38
Kreatinin 0,39 mg/dL <1,2
IMUNOSEROLOGI
HbsAg Non-reaktif Non-reaktif
10

2.5. Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan pada hari Senin dua
Desember 2019 pukul 18.00WIB dengan keluhan nyeri pada kaki kiri. Pasien
mengaku digigit ular sekitar pukul 16.00WIB (dua jam yang lalu) di sawah
ketika akan pergi les. Pasien mengatakan tidak tahu jenis ular yang menggigit,
tetapi menurut keterangan tetangga ular yang menggigit pasien adalah ular
kobra. Pasien mengatakan ukuran ular kurang lebih 30cm. setelah tergigit ular
kaki kiri pasien terasa nyeri, bengkak hingga pergelangan kaki dan terdapat
luka bekas gigitan ular yang tidak mengeluarkan darah ataupun cairan.
Kondisi pasien compos mentis GCS 456. Saat ini pasien tidak mengeluhkan
pusing, mual, muntah, berdebar-debar atau demam. Pada pemeriksaan fisik
lokalis didapatkan edema pada pergelangan kaki, terdapat nyeri tekan, terdapat
luka bekas gigitan ular. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan
limfosit dan monosit serta penurunan neutrofil dan INR.

2.6. Diagnosa Kerja


Snake bite
2.7. Diagnosis Banding
- Gigitan kalajengking
- Sengatan lebah
- Anafilatik syok
2.8. Penatalaksanaan
1. MRS
2. Imobilisasi
3. Medikamentosa
a. Injeksi ceftriaxone 2x600mg iv
b. Injeksi antrain 3x600mg iv
c. Injeksi Omeprazole 2x 20mg iv
d. 2 vials SABU + 500 cc Normal saline 0.9% 40 tpm.
2.9. Prognosis
Dubia ad bonam (cenderung baik).
11

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Snake Bite


A. Definisi
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau
manusia. Hewan mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya atau untuk
mencari makanan. Gigitan hewan bisa disebabkan diantaranya adalah gigitan ular.
Gigitan dari ular dapat dibedakan atas gigitan ular berbisa dan ular tidak berbisa.
Ular berbisa yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu
taring, pada bagian depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung
saluran bisa (seperti jarum hipodermik) atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan
jauh ke dalam jaringan dari mangsa alamiahnya. Bila manusia tergigit, bisa
biasanya disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada
spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah
hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang
terjadi.
Luka gigitan penting untuk diperhatikan dalam dunia kedokteran. Luka ini
dapat menyebabkan:
a. Kerusakan jaringan secara umum,
b. Perdarahan serius bila pembuluh darah besar terluka
c. Infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya
d. Mengandung racun seperti pada gigitan ular, laba laba dan sebagainya
e. Terjadi peradangan
Beberapa orang yang beresiko terkena goigitan ular adalah sebagai berikut:
12

3.2 Klasifikasi Jenis Ular


Ada tiga jenis famili ular berbisa di Asia Tenggara termasuk di Indonesia
yaitu Elapidae, Viperidae dan Colubridae.

1. Elapidae: memiliki taring depan relatif pendek (proteroglyph). Golongan


ini termasuk ular kobra, king kobra, kraits, coral snake, ular Australasia,
dan ular laut. Elapidae adalah ular yang relatif panjang, tipis, dan berwarna
seragam dengan sisik simetris besar (pelat) di bagian atas (dorsum) kepala.
Tidak ada skala loreal antara skala pra-okuler dan hidung. Beberapa,
terutama kobra, mengangkat bagian depan tubuh mereka dari tanah dan
menyebar dan meratakan leher untuk membentuk tudung. Beberapa
spesies kobra dapat meludahkan racunnya sejauh satu meter atau lebih ke
arah mata yang dianggap musuh. Ular laut berbisa memiliki ekor datar
seperti ekor dayung dan perut bersisik.
13

Gambar 3.1 (a1,b1) Kobra, (a2,b2) King Kobra, Sea snake


2. Viperidae memiliki taring yang relatif panjang (solenoglyph) yang
biasanya terlipat rata pada rahang atas tetapi, ketika ular menyerang, taring
akan ereksi. Ada dua subfamili, ular berbisa tipikal (Viperinae) dan ular
belerang (Crotalinae). Crotalinae memiliki organ penginderaan panas
infra-merah khusus, organ lubang loreal: Kepala ular viper tip khas - pitper
hijau gelap (Trimeresurus T. macrops) menunjukkan organ lubang yang
terletak di antara lubang hidung dan mata (panah merah) untuk mendeteksi
mangsanya yang berdarah panas. Ini terletak di antara lubang hidung dan
mata. Viperidae adalah ular berbadan tebal yang relatif pendek dengan
banyak sisik kasar kecil di bagian atas (dorsum) kepala dan pola
karakteristik tanda berwarna pada permukaan dorsal tubuh.
14

Gambar 3.2 Pit Viper (Trimeresurus T. Macrops)

3. Jenis Colubridae yang penting secara medis (sensu lato) telah


diidentifikasi di Wilayah Asia Tenggara. Keelback berleher merah
Rhabdophis subminiatus dan yamakagashi R. tigrinus dapat menyebabkan
gangguan anti-hemostatik yang mengancam jiwa dan acute kidney injury.

Gambar 3.3 Red-necked keelback

Banyak spesies yang tidak berbisa atau hanya spesies berbisa sepele yang
bertanggung jawab atas gigitan, terutama yang agresif, mudah tersinggung atau
cenderung menyerang manusia yang mendekati atau yang umumnya menghuni
taman dan daerah perkotaan atau pedesaan. Ular jenis ini diantaranya flying
snakes (Chrysopelea species), striped keelbacks (Amphiesma species), kukri
snakes (Oligodon species), checkered keelbacks or Asian water snake
(Xenochrophis species), wolf snakes (Lycodon or Dinodon species), bridle snakes
(Dryocalamus) and rat snakes (Ptyas, Elaphe, Coelognathus, Goniosoma.)
15

Gambar 3.4 (a) flying snake, (b) Striped keelbacks (Amphiesma stolatum, (c)
Kukri snakes (Oligodon cyclurus)

3.3 Bisa Ular


Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah
parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa
ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
Komposisi Bisa Ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, hampir 90% adalah
protein. Setiap bisa atau racun > 100 protein yang berbeda termasuk enzim dan
racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki efek klinis :
a. Zinc Metalloproteinase haemorrhagins dapat merusak endotel
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan
(spontaneous systemic haemorrhage).
b. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah
namun dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Enzim ini
merangsang pembekuan dengan pembentukan fibrin dalam darah. Namun
saat proses tersebut terjadi, gumpalan fibrin yang terbentuk dipecah segera
oleh sistem fibrinolitik plasmin tubuhnya sendiri. Beberapa racun
mengandung banyak faktor anti-hemostatik. Misalnya, racun ular viper
16

Russell mengandung racun yang mengaktifkan faktor V, X, IX dan XIII,


fibrinolisis, protein C, agregasi trombosit, antikoagulasi dan pendarahan.
Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian besar dapat
dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan
terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan darah
menjadi sangat rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat
membeku.
c. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik
dan fosfolipase A) racun polipeptida dan faktor lainnya yang
meningkatkan permeabilitas membran sel dan menyebabkan
pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat menghancurkan membran
sel dan jaringan.
d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – ennzim ini dapat
menghancurkan membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah
merah.
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa
Viperidae) – merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf,
pada awalnya melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan
pelepasannya.
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan
asetilkolin untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan
menyebabkan paralisis.
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A,
hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease,
fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi
jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau
pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak
bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun.

3.4 Patofisiologi Bisa Ular


Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di
bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang
17

atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar.


Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak
gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya.
Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat
memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.
Beberapa efek umum yang dapat muncul pada kasus gigitan ular antara lain :
A. Hematotoksik
Umumnya ular berbisa, bisanya mengandung serine protease,
metaloproteinase yang mengganggu hemostasis dengan aktivasi atau
menghambat faktor koagulan atauplatelet dan merusak endotel vaskular.
Enzim dalam bisa ular akan berikatan denganreseptor platelet menginduksi
atau menghambat agregasi platelet. Enzim-enzim prokoagulan akan
mengaktifkan protrombin, faktor V,X,XIII dan pasminogen
endogen.Kombinasi konsumsi aktivitas antikoagulan, terganggunya jumlah
dan fungsi platelet dan kerusakan dinding endotel pembuluh darah berakibat
perdarahan yang hebat pada pasien, Penyakit pembekuan darah (koagulopati)
ditandai defibrinasi yang berkaitan dengan jumlah trombosit. Di samping itu
dapat mengubah protrombin menjadi trombin dan mengurangi faktor V,VII,
protein C dan plasminogen.Tekanan di sistem kardiovaskuler menyebabkan
DIC atau tekanan di otot jantung.
Hipotensi dapat terjadi pasca gigitan ular karena disebabkan banyak hal
terkait bisa ular itu sendiri. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi plasma ke
jaringan interstisiel. Hal ini akan menyebabkan manifestasi memar dan
bengkak pada pasien. Selain itu zat-zat dalam bisa ular akan memiliki efek
langsung maupun tidak langsung terhadap otot jantung, otot polos dan
jaringan lain. Melalui bradykinin-potentiating peptide, efek hipotensif dari
bradikinin akan semakin meningkat dengan tidak aktifnya peptidyl peptidase
yang berfungsi menghancurkan bradikinin dan mengubah angiotensin I
menjadi angiotensin II.
B. Neurotoksik
18

Bisa ular yang bersifat neurotoksik akan menghambat eksitasi


neuromuskular junction perifer dengan berbagai cara. Sehingga gejala yang
paling sering muncul adalah mengantuk, menunjukkan bahwa ada
kemungkinan pengaruh sedasi sentral yang terkait dengan molekul kecil non
protein yang terdapat dalam bisa ular king cobra. Hampir sebagian besar
neurotoksin akan mengakibatkan pamanjangan efek dari asetilkolin, sehingga
muncul gejala paralisis seperti ptosis, ophtalmoplegia eksternal, midriasis, dan
depresi jalan napas dan total flacid paralysis seperti pada pasien dengan
Myastenia Gravis. Selain itu ada pola paralisis desendens yang sulit dijelaskan
secara patofisiologinya.

Gambar 3.5 Neuromuscular junction dan protein neurotoksik bisa ular

3.5 Klasifikasi Derajat Keparahan Gigitan Ular


Derajat gigitan ular (Warrel, 2010):
1. Derajat 0
- Bekas gigitan 2 taring
- Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam
- Pembengkakan dan nyeri minimal
2. Derajat I (Minimal)
- Bekas gigitan 2 taring
- Bengkak dan kemerahan dengan diameter 1 – 5 inchi
- Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
- Nyeri sedang sampai berat
19

3. Derajat II (Moderate)
- Bekas gigitan 2 taring
- Nyeri hebat, Bengkak dan kemerahan dengan diameter 6 – 12 inchi dalam 12
jam
- Petechie, echimosis, perdarah pada bekas gigitan
- Ada tanda-tanda sistemik (mual, muntah, demam, Pembesaran KGB)
4. Derajat III (Severe)
- Bekas gigitan 2 taring
- nyeri sangat hebat , Bengkak dan kemerahan lebih dari 12 inchi
- Tanda-tanda derajat I dan II muncul dengan sangat cepat
- Ditemukan tanda-tanda sistemik (gangguan koagulasi, mual, muntah,
takikardi, hipotermia, ekimosis, petekia menyeluruh).
- Syok dan distres nafas
5. Derajat IV (Extremely severe)
- Sangat cepat memburuk
- Bengkak dan kemerahan di seluruh ekstremitas yang terkena gigitan, muncul
ekimosis, nekrosis dan bulla
- Meningkatnya tekanan intrakompartemen yang dapat menghambat aliran
darah vena atau arteri
- Kegagalan multiorgan (ginjal, jantung) bisa sampai koma bahkan meninggal

Tabel 3.1 Derajat Gigitan Ular Menurut Parrish


20

3.5 Penegakan Diagnosa Gigitan Ular


Secara umum beberapa manifestasi klinis yang dapat terjadi pada kasus
gigitan ular antara lain :
- Gigitan ular tanpa masuknya bisa ular
Pada korban gigitan ular atau yang masih disangka tergigit ular biasanya
akan muncul gejala panik, cemas serta gelisah dikarenakan kerakutan yang biasa
sehingga dapat muncul gejala kaku pada ekstremitas ataupun vasovagal shock.
Tekanan darah dan nadi akan meningkat disertai menggigil dan berkeringat.
- Gigitan ular dengan masuknya bisa ular
Setelah masuknya taring ular pada kulit akan muncul nyeri yang kemudian
berkembang sensasi terbakar, berdenyut dan nyeri akan bertambah hebat dan akan
meningkat ke bagian proksimal dari bagian yang tergigit. Pembesaran kelenjar
getah bening regional sering dijumpai (KGB ingunalis jika yang tergigit adalah
ekstremitas inferior dan KGB axila jika yang tergigit adalah ekstremitas superior.
A. Anamnesis
Anamnesa yang dapat ditanyakan antara lain lokasi gigitan pada tubuh,
kapan kejadiannya, lokasi kejadian gigitan, jenis ular yang mengigit jikalau ingat,
keluhan yang dirasakan pasien setelah gigitan, serta tindakan pertama apa yang
telah dilakukan korban. Karena hal ini mempengaruhi tatalaksana selanjutnya.

Gambar 3.6 Borang anamnesa snake bite


21

Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik
lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. Pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular
(misalnya, adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi
lokal.
2. Kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu
berlalu sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit
segera setelah terkena gigitan ular,bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan
gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah diinjeksikan. Bila pasien digigit
ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit adalah Kraits (ular
berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau russel
viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular
berbisa), bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air
tawar), ular laut (laut atau air payau).
3. Perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan
dari pasien. Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya
ular tersebut dibawa bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk
memudahkan identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau tidak. Apabila
spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular samasekali) pasien dapat
segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit.
4. Apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat.
Gejala gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang
mengalami trombositopenia atau mengalami gangguan pembekuan darah akan
mengalami perdarahan dari luka yang telah terjadi lama. Pasien sebaiknya
ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan ular. Pasien
yang mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan
kabur atau ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.
22

B. Pemeriksaan Fisik
1. Cek tanda-tanda vital (jalan napas, napas, sirkulasi / ABC)
2. Cek tanda bekas gigitan ular berbentuk 2 titik bekas taring ular
3. Status generalis :
1) Lemas, mual, muntah, nyeri perut
2) Hipotensi
3) Penglihatan terganggu, edema konjungtiva (chemosis)
4) Pengeluaran keringat dan hipersalivasi
5) Aritmia, edema paru, shock
6) Tanda perdarahan spontan (petekie, epistaksis, hemoptoe)
7) Parestesia
Status lokalis :
1) Terdapat sepasang lubangan (pungsi) bekas gigitan sebagai tanda luka.
2) Bengkak sekitar gigitan dan berwarna kemerahan (tanda-tanda inflamasi) yang
muncul dalam 5 menit sampai 12 jam setelah kejadian.
3) Daerah sekitar gigitan nyeri,muncul bula.
4) Mati rasa atau kebas ( numbness ) atau kesemutan rasa berdenyut-denyut
(tingling) di sekitar wajah atau tungkai dan lengan.
5) Khusus untuk jenis kobra yang dapat menyemburkan racunya, pada umumnya
mengenai mata atau yang disebut Cobra-spit ophthalmia. Manifestasi klinisnya
adalah : nyeri hebat segera setelah terkena bisa ular, mata berair dengan adanya
discharge, serta disertai adanya pembekakan mata (kelopak mata).

Tabel 3.2 Status Lokalis Pada Kasus Snake Bite


LOKAL

Tanda taring

Nyeri local

Pendarahan lokal

Memar
23

Menyebarkan pembengkakan lokal

Lymphangitis

Pembesaran kelenjar getah bening

Peradangan (pembengkakan,kemerahan, panas)

Infeksi lokal, pembentukan abses

Nekrosis

Tabel 3.3 Status Sistemik Pada Kasus Snake Bite


SISTEMIK

General : Ketakutan, kecemasan, mual, muntah, malaise, sakit perut,


kelemahan, kantuk

Kardiovaskular (Viperidae)

Gangguan visual, pusing, pingsan, kolaps, syok, hipotensi, jantung aritmia,


kerusakan miokard (berkurang fraksi ejeksi).

Peningkatan permeabilitas seluler  Edema wajah dan konjungtiva


(chemosis), pembesaran parotis bilateral, efusi pleura dan perikardial, edema
paru, albuminuria masif, hemokonsentrasi

Gangguan pendarahan dan pembekuan

(Viperidae) : termasuk pendarahan yang berkepanjangan dari tanda taring,


epistaksis, air mata darah, perdarahan intracranial, perdarahan sistemik
spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal
dari perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh
perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria,
perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil,
perdarahan mukosa (misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura,
perdarahan diskoid, ekimosis), serta perdarahan retina
24

Neurologis (Elapidae, Viperidae misalnya viper D. russelii Russell, Spesies


Gloydius) : mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan,
ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang
dipersarafi nervus kranialis, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan
melaui hidung, kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan
flasid generalisata.

Kerusakan otot rangka (ular laut, beberapa spesies krait – Bungarus) Nyeri
seluruh tubuh, kekakuan dan nyeri otot, nyeri pada peregangan pasif, trismus,
mioglobinuria, hiperkalemia, henti jantung, cedera ginjal akut.

Renal : hematuri, hemoglobinuria, myoglobinuria, anuria/oliguria, acute


kidney injury

Endokrin : insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark


hipofisis anterior. Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa
bulan hingga tahun setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual
sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism

Gambar 3.7 Manifestasi klinis pasien dengan gigitan ular


25

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan yang diperlukan adalah pemeriksaan Darah lengkap meliputi
leukosit,trombosit, Hemoglobin, hematokrit dan hitung jenis leukosit. Faal
Hemostasis (Prothrombin time, Activated Partial Thromboplastin time,
International Normalized Ratio), Serum elektrolit, Faal ginjal (BUN,
Kreatinin), Urinalisis untuk melihat myoglobinuria, dan Anlisis Gas darah
untuk pasien dengan gejala sistemik.
2. Pencitraan Foto rontgen thorax untuk melihat apakah ada edema paru
3. Lain-lain untuk mencari tanda-tanda sindrom kompartemen. Tekanan
kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersial tersedia alat yang steril,
sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Styker
pressure monitor). Indikasi pengukuran tekanan kompartemen adalah bila
terdapat pembengkakan yang signifikan, nyeri yang sangat hebat yang
menghalangi pemeriksaan, dan jika parestesi muncul pada ekstremitas yang
tergigit

3.6 Tatalaksana Gigitan Ular


Pertolongan pertama yang harus dihindari adalah es, insisi, suction,
torniquet (memperburuk edema) dan penghangatan. Penanganan pertama yang
direkomendasikan adalah membuat penderita tetap tenang, menjaga agar tempat
gigitan berada lebih rendah dari posisi jantung, imobilisasi daerah gigitan dan
rujuk penderita ke fasilitas kesehatan yang tepat. Pasien harus diawasi dengan
ketat dalam minimal 8 jam dari saat gigitan pertama dengan evaluasi snake bite
severity score yang dinilai 6, 12 dan 24 jam setelah admisi rumah sakit.

Hal-hal yang perlu dihindari sesaat setelah tergigit ular yaitu :

 Menyedot bisa ular dengan mulut


 Memasang torniquet dengan ketat di sekitar luka gigitan karena bisa
mengakibatkan nyeri, bengkak dan menghambat aliran darah ke ekstremitas
perifer
26

 Melakukan kompres panas, dingin atau penyayatan luka


 Pemberian ramuan herbal
1. Survei primer dan resusitasi : Prinsip penanganan “ABCDE’
secara umum meliputi:
1) Airway.
2) Breathing (pergerakan nafas).
3) Circulation (pulsasi arteri).
4) Disability nervous system (kesadaran).
5) Exposure and Enviromental Control (perlindungan dari dingin, risiko
tenggelam).

Beberapa kondisi khusus yang membutuhkan penangana segera antara lain:

1) Hipotensi/ syok: dapat sebagai efek langsung pada sistem kardiovaskular


atau sebagai efek sekunder dari hipovolemia, pelepasan substansi
vasoaktif, perdarahan maupun reaksi anafilaksis akibat bisa ular.
2) Gagal nafas akibat efek neurotoksik bisa yang melumpuhkan otot
pernafasan.
3) Penurunan kondisi tiba-tiba akibat pelepasan torniquet yang telah
dipasang.
4) Cardiac arrest akibat hiperkalemia karena rabdomiolisis akibat efek bisa
ular pada sistem otot.
5) Pasien yang terlambat penanganannya dapat terjadi gagal ginjal akut,
septikemia dan nekrosis lokal di daerah yang terkena gigitan.

Berdasarkan panduan penanganan racun ular berbisa di Indonesia langkah-


langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah:

1) Pertolongan pertama, harus segera dilakukan secepatnya setelah terjadi


gigitan ular sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat
dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain yang ada di tempat kejadian.
Tujuan pertolongan pertama adalah menghambat penyerapan bisa,
mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum
mendapatkan perawatan medis di rumah sakit. Pertolongan yang dilakukan
27

adalah menenangkan korban yang cemas imobilisasi bagian tubuh yang


tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak
terjadi kontraksi otot (karena pergerakan atau kontraksi otot dapat
meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening),
pertimbangkan pressure immobilization pada gigitan Elapidae, hindari
gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan
bisa dan menimbulkan perdarahan lokal.

Gambar 3.8 Imobilisasi pasien dengan snake bite

2) Terapi yang dianjurkan


meliputi:
a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun
elastis dan spalek yang dipasangkan mulai dari ujung ekstremitas yang
terkena hingga ujung atau pangkal ekstremitas (pertemuan kelenjar
getah bening)
c. Tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan
jalan nafas atau apabila ada tanda-tanda shock.
28

d. Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah mendapatkan


toksoid maka diberikan satu dosis toksoid tetanus.
e. Pemberian sedasi atau analgesik untuk penghilang rasa sakit
f. Pemberian antibiotik diberikan jika terdapat adanya tanda-tanda
infeksi seperti leukositosis
g. Pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas
protein, maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari
serum kuda. Di Indonesia, antibisa bersifat polivalen, yang
mengandung antibody terhadap beberapa bisa ular.
h. Apabila pasien alergi terhadap serum anti bisa ular dapat diberikan anti
histamin dan kortikosteroid
i. Pemberian anticholinesterase diberikan apabila venom yang mengenai
bersifat neurotoxic dengan didahulukan pemberian atropin untuk
mencegah adanya physostigmine intoxication.
Physostigmine dose
Adult (>12 yo) : 1.0-2.0 mg
Children ≤ 12 yo : 0.02 mg/kg/dose (max single dose 0.5 mg)

Terapi Spesifik gigtan ular adalah dengan pemberian antibisa ular,


suatu imunoglobulin yang diekstrak dari plasma kuda, keledai maupun domba
yang telah diimunisasi degan pemberian bisa ular. Antibisa ular ada 2 jenis
yaitu:

1. Monovalen: antibisa yang menetralkan bisa ular spesies spesifik.


2. Polivalen: antibisa yang dapat menetralkan bisa ular dari beberapa spesies
yang sering muncul pada area geografis tertentu. Antibisa ular yang banyak
dikembangkan adalah yang polivalent yang menetralkan bisa ular jenis
neurotoksik Elapidae (Naja kaouthia, O.hannah, Bungarus candidus, B.
fasciatus) and haematotoksik Viperidae (Daboia siamensis, Calloselasma
rhodostoma, Cryptelytrops- Trimeresurusalbolabris). Indikasi pemberian
anti-bisa ular:
 Abnormalitas hemostasis: terdapat manifestasi perdarahan secara klinis
dan koagulopati (PT dan PTT abnormal, trombosit < 100.000).
29

 Tanda neurotoksik (ptosis, optalmoplegia, paralisis).


 Abnormalitas kardiovaskular (hipotensi, syok, aritmia, EKG abnormal).
 Gagal ginjal akut: oliguria/ anuria, peningkatan BUN dan kreatinin
 Hemoglobinuria/ mioglobinuria; produk urin kecoklatan, nyeri hebat pada
otot
 Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari setengah ekstremitas yang
tergigit dalam 48 jam atau pembengkakan setelah gigitan pada jari.
 Pembesaran limfonodi dan nyeri tekan limfonodi yang menjadi drainase
tempat gigitan.

Serum Anti Bisa Ular (SABU) yang ada di Indonesia umumnya adalah
golongan polivalen, yang dimurnikan dan dipekatkan, berasal dari plasma kuda
yang dikebalkan terhadap bisa ular yang mempunyai efek neurotoksik dan
hematotoksik.

Kandungan Serum Anti Bisa Ular


Tiap ml dapat menetralisasi :
a. Bisa ular Ankystrodon rhodosoma 10-50 LD50
b. Bisa ular Bungarus fascinatus 25-50 LD50
c. Bisa Ular Naya sputatrix 25-50 LD50
d. Dan mengandung Fenol 0,25% sebagai pengawet

Cara Penyimpanan Serum Anti Bisa Ular


Pada suhu 20-800C dengan waktu kadaluwarsa 2 tahun.

Indikasi Pemeberian Serum Anti Bisa Ular (SABU) :


Pemberian serum anti bisa ular direkomendasikan bila dan saat pasien terbukti
atau dicurigai mengalami gigitan ular berbisa dengan munculnya satu atau lebih
tanda berikut :
A. Gejala venerasi sistemik
 Kelainan hemostatik : perdarahan spontan (klinis), koagulopati, atau
trombositopenia.
 Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis, dan lainnya.
 Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia (klinis), kelainan EKG.
30

 Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria (klinis), peningkatan


kreatinin/urea urin (hasil laboratorium). Hemoglobinuria/mioglobinuria :
urin coklat gelap (klinis), dipstik urin atau bukti lain akan adanya
hemolisis intravaskuler atatu rabdomiolisis generalisata (nyeri
otot,hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium). Serta adanya bukti
laboratorium lainnya terhadap tanda venerasi.
B. Gejala venerasi lokal :
Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari separuh bagian tubuh
yang terkena gigitan (tanpa adanya turniket) dalam 48 jam setelah gigitan.
Pembengkakan setelah tergigit pada jari-jari ( jari kaki dan khususnya jari tangan).
Pembengkakan yang meluas ( misalnya di bawah pergelangan tangan atau mata
kaki pada beberapa jam setelah gigitan pada tangan dan kaki), pembesaran
kelenjar getah bening pada kelenjar getah bening pada ekstremitas yang terkena
gigitan.

Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
 Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat
 meningkat maka diberikan SABU
 Derajat II: 3-4 vial SABU
 Derajat III: 5-15 vial SABU
 Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU

Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular
dapat melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap
selama beberapa hari, atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat
belangsung dua minggu atau lebih. Untuk itu, pemberian anti bisa tepat diberikan
selama terdapat bukti terjadi koagulopati persisten. Apakah antibisa ular dapat
mencegah nekrosis lokal masih menjadi kontroversi, namun beberapa bukti klinis
menunjukkan bahwa agar antibisa efektif pada keadaan ini, anti bisa ular harus
diberikan pada satu jam pertama setelah gigitan.
31

Cara Pemakaian Serum Anti Bisa Ular


Pemilihan antibisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis
yang tepat untuk ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk
peredaran darah dan keadaan korban sewaktu menerima anti serum. Dosis
pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan
sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam.
Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah)
antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). antiserum
yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena
dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar
daripada dosis untuk dewasa. Cara lain adalah denga menyuntikkan 2,5 ml secara
infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena.
Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati
selama 24 jam.

Efek Samping Serum Anti Bisa Ular


Meskipun pemberian antiserum akan menimbulkan kekebalan pasif dan
memberikan perlindungan untuk jangka waktu pendek, tapi pemberiannya harus
hari-hati, mengingat kemungkinan terjadinya reaksi sampingan yang dapat
berupa:
1. Reaksi anafilaktik (anaphylactic shock)
Dapat timbul dengan segera atau beberapa jam setelah suntikan
2. Penyakit serum (serum sickness)
Dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu,
gatal-gatal, sesak nafas dan lain-lain gejala alergi. Reaksi ini jarang timbul
bila digunakan serum yang sudah dimurnikan
3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan
Biasanya timbul pada penyuntikan serum dengan jumlah besar reaksi ini
terjadi dalam pemberian 24 jam. Oleh karena itu, pemberian serum harus
berdasarkan atas indikasi yang tajam.
32

Hal-hal yang harus diperhatikan bila akan menyuntik serum


1. Siapkan alat suntik, adrenalin 1:1000, sediakan kortikosteroid dan
antihistamin
2. Jangan menyuntik serum dalam keadaan dingin, yang baru dikeluarkan
dari lemari es, apalagi dalam jumlah besar. Hangatkan lebih dahulu hingga
suhunya sama dengan suhu badan
3. Waktu disuntik penderita harus dalam keadaan “relax”
4. Penyuntikan harus perlahan-lahan, sesudahnya amati penderita paling
sedikit 30 menit

Tindak Lanjut
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di
Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam; namun, hal ini sering tidak mungkin
dilaksanakan. Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat
membutuhkan perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah,
menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam. Buat evaluasi serial
untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma kompartemen.
Tergantung pada skenario klinik, ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung
dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin
dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah,
jumlah trombosit, dan level fibrinogen.

Observasi Dan Evaluasi Respon Terhadap Pemberian Antibisa Ular


Bila dosis adekuat dari antibisa yang tepat telah diberikan, beberapa respon di
bawah ini dapat diobservasi.
a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan
dapat hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30
menit.
33

c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang
menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama
dan aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan
membaik
dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan
waktu bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut)
tidak tampak respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna
urin akan kembali ke warna normal.

Perawatan Konservatif
1. Bed rest
2. Perawatan luka dengan iodine, hibitane
3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
4. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
5. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin,
Petidine)
6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)
7. Pemberian toxoid Tetanus
8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)
34

Gambar 3.9 Diagram Penanganan Kasus Gigitan Ular Menurut WHO 2005

Kerterangan Diagram :
35

Kriteria Pemberian Serum Anti Bisa Ular (Sabu)


36

3.7 Komplikasi Gigitan Ular


Secara umum komplikasi yang dapat teradi pada kasus gigitan ular adalah
komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi, kehilangan jaringan, amputasi,
ulserasi kronis (risiko perubahan ganas), osteomielitis, radang sendi, artrodesis,
kontraktur dan bekas luka hipertrofi atau keloid menyebabkan cacat fisik
permanen. Serta komplikasi sistemik berupa komplikasi kardiovaskuler,
komplikasi hematologis, penyakit ginjal kronis, defisit neurologis kronis dan
kolaps paru. Selain itu sindrom kompartemen adalah komplikasi yang sering
terjadi pada gigitan ular.

3.8 Prognosis Gigitan Ular


Prognosis dari gigitan ular yaitu dubia ad bonam tergantung pada
penatalaksanaan yang segera dan efektif. Semakin lama pemberian terapi maka
semakin buruk prognosanya
37

BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

yang telah dilakukan pada pasien, didapatkan hasil diagnosa berupa Snake

bite. Pasien di imobilisasi pada tungkai bawahnya dengan melakukan bidai

dan mendapatkan terapi antivenom, analgesic, anti-emetik dan antibiotik.

Kemudian pasien dilakukan observasi tanda vital, status lokalis, status

sistemik dan keluhan pasien minimal 3x24 jam. Prognosa pada pasien ini

adalah dubia ad bonam karena pada hari kedua keluhan nyeri dan bengkak

sudah berkurang dan tidak ditemukan tanda sistemik sehingga pada hari

ketiga observasi pasien diperbolehkan pulang.

Anda mungkin juga menyukai