Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Later Belakang

Fraktur adalah suatu diskontinuitas susunan tulang yang disebabkan oleh

trauma atau keadaan patologis (Saunders,2009). Fraktur adalah terputusnya

kontinuitas jaringan tulang dan atau rawan yang umumnya disebabkan oleh

rudapaksa (Sjamsuhidajat & Jong, 2007). Kebanyakan fraktur adalah akibat dari

trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis

yang menyebabkan fraktur-fraktur yang patologis (Enggram,1998). Saat ini,

penyakit musculoskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-

pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan

decade 2000-2010 menjadi dekade tulang dan persendian.

Menurut DEPKES RI tahun 2011 di Indonesia sendiri juga banyak yang

mengalami fraktur, yaitu sebanyak 45.987 orang, prevalensi kejadian fraktur yang

paling tinggi adalah fraktur femur yaitu terdapat 19.729 orang (Sjamsuhidajat &

Jong, 2007). Angka kejadian fraktur femur keseluruhan adalah 11,3 dalam 1000 per

tahun. fraktur pada laki-laki adalah 11,67 dalam 1000 per tahun, sedangkan pada

perempuan 10,65 dalam 1000 per tahun (Maharta, 2014).

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke

posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan

patah tulang (imobilisasi). Reposisi dilakukan agar terjadi penyatuan tulang

kembali untuk mengembalikan fungsi seperti semula. Sementara, imobilisasi


2

dilakukan untuk menghilangkan spasme otot pada ekstremitas yang sakit sehingga

terasa lebih nyaman dan sembuh lebih cepat (Helmi, 2011 ; Bucholz et al,2006).

Mengingat golden period dari fraktur adalah 1-6 jam, penting untuk

memikirkan komplikasi fraktur yang mungkin terjadi. Secara umum, komplikasi

fraktur dapat berupa komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Hal ini berdasarkan

onset terjadinya komplikasi dengan fraktur awalnya. Namun, yang dapat dinilai

dengan pemeriksaan radiologis antara lain, osteomyelitis, nekrosis avaskuler, non-

union, malunion, delayed union dan atrofi sudeck. Untuk memastikan komplikasi

dari fraktur ini, diperlukan beberapa jenis pemeriksaan radiologis, baik itu dengan

sinar x biasa, CT-scan dan MRI

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, diagnosis,
penatalaksanaan dan komplikasi malunion fraktur?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, diagnosis,
penatalaksanaan dan komplikasi malunion fraktur

1.4 Manfaat
1.4.1 Menambah wawasan mengenai penyakit bedah orthopedi khususnya
malunion fraktur
1.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah orthopedi.
3

BAB II

STATUS PASIEN

2.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. S

Usia : 47 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status Perkawinan : Kawin

Agama : Islam

Suku : Jawa

Alamat : Ampelgading

Tanggal MRS : 05 November 2019 13:18 WIB

No. Registrasi : 480***

Tanggal Pemeriksaan : 06 November 2019 14.00 WIB

2.2. Anamnesis (Heteroanamnesis)

1. Keluhan Utama

Tungkai kanan sakit ketika dibuat jalan

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Ny.S datang ke Poli Orthopedi RSUD Kanjuruhan Malang pada

Selasa, 05 November 2019 13:18 WIB dengan Tungkai kanan sakit ketika

dibuat jalan kurang lebih sudah empat bulan yang lalu karena jatuh

dikamar mandi.
4

Tujuh tahun yang lalu pasien jatuh dari motor karena menabrak

tiang. Pasien sebagai orang yang dibonceng. Pasien jatuh dalam keadaan

duduk tetapi lupa bagian tubuh mana yang jatuh terlebih dahulu

menyentuh aspal. Pada saat jatuh, pasien masih dalam keadaan sadar, tidak

pusing, mual ataupun muntah. pasien tidak mengalami gangguan BAK

atau BAB, hanya luka memar pada paha bagian kanan dan terasa nyeri.

Pasien mengaku saat itu tidak bisa jalan dan membutuhkan bantuan ketika

berjalan. Pasien dibawa ke sangkal putung keesokan harinya dimana

pasien dipijat, diberi jamu dan tungkai kanan dibebat dengan bambu dan

disuruh kembali seminggu kemudian untuk dipijat kembali. Pasien

mengaku nyeri sempat berkurang setelah dipijat.

Sekitar empat bulan yang lalu pasien jatuh dari kamar mandi. Pasien

mengaku dikarenakan lantai kamar mandi licin, pasien jatuh dalam

keadaan duduk dengan posisi paha bagian kanan terkena lantai kamar

mandi terlebih dahulu. Pada saat jatuh pasien masih dalam keadaan sadar,

tidak pusing mual ataupun muntah. pasien tidak mengalami gangguan

BAK dan BAB, tidak ada luka terbuka atau tulang keluar dari kaki kanan.

Tetapi bagian paha kanan terasa nyeri.. Nyeri yang dirasakan pada bagian

pinggul kanan menjalar sampai ke tungkai kaki bawah sebelah kanan.

Nyeri yang dirasakan terus-menerus dan terasa seperti ditusuk-tusuk.

Nyeri bertambah parah saat tungkai kanan digerakkan dan diangkat. Hal

tersebut membuat pasien sulit berdiri dan berjalan, sehingga pasien

dibantu untuk berdiri. Keluarga pasien segera membawa pasien ke tempat

pengobatan alternative (sangkal putung), disana paisen dipijat dan diberi


5

jamu untuk diminum. Pasien ke sangkal putung sudah kira-kira lebih dari

4 kali. Pasien mengaku setelah dipijit paha kanan paisen bengkok, kalau

dibuat jalan sakit dan antara kaki kanan dan kiri tidak sama panjangnya

sehingga pasien segera ke RSUD Kanjuruhan karena merasa tidak

membaik.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat trauma sebelumnya : 7 tahun yang lalu jatuh dari motor.

Pasien sebagai orang yang dibonceng. Pasien jatuh dalam kondisi

duduk dengan bagian paha kanan membentur aspal terlebih dahulu.

Paisen sempat dibawa ke sangkal putung untuk dipijat dan diberi jamu.

- Riwayat sakit serupa : Disangkal

- Riwayat Hipertensi : Disangkal

- Riwayat Diabetes : Disangkal

- Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal

- Riwayat Penyakit Ginjal : Disangkal

- Riwayat Stroke : Disangkal

- Riwayat Penyakit paru : Disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat Penyakit Serupa : Disangkal

- Riwayat Hipertensi : Disangkal

- Riwayat Diabetes : Disangkal

- Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal

5. Riwayat Alergi : Disangkal


6

6. Riwayat Pengobatan : Sudah dibawa ke sangkal putung lebih dari 5 kali.

Disangkal putung diberi minuman jamu, pasien tidak mengetahui jenis

jamunya.

7. Riwayat Kebiasaan

Makan 3 kali sehari, minum alkohol (-), minum kopi/teh (-), merokok (-),
aktivitas sehari-hari membersihkan rumah.

2.3 Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

2. Kesadaran : GCS E4V5 M6

3. Tanda Vital

a. Tensi : 124/67 mmHg

b. Nadi : 79 x/menit, reguler

c. RR : 20 x/menit

d. Suhu : 36,3º C

4. Kulit

Warna kulit sawo matang, ikterik (-), pucat (-).

5. Kepala

Bentuk simetris, luka (-), makula (-), papula (-), nodul (-) deformitas.

6. Mata

Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), edema

palpebra (-/-), cowong (-/-), pupil isokor, diameter 3 mm, radang (-/-),

lagoftalmus (-/-) racoon eye (-/-).

7. Hidung

Nafas cuping hidung (-/-), secret (-/-), epistaksis (-/-), deformitas (-/-).
7

8. Mulut

Sianosis (-), bibir pucat (-), tremor (-), gusi berdarah (-)

9. Telinga

Nyeri tekan mastoid (-/-), sekret (-/-), pendengaran berkurang (-/-)

10. Tenggorokan

Hiperemi (-), tonsil membesar (-/-)

11. Leher

Trakea ditengah, peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-)

12. Toraks : Normochest, simetris, retraksi (-) ICS melebar (-).

 Cor :

- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

- Palpasi : ictus cordis tidak teraba

- Perkusi : batas kiri atas : ICS II Linea Para Sternalis Sinistra

batas kanan atas : ICS II Linea Para Sternalis Dextra

batas kiri bawah : ICS V Mid Clavicular Line Sinistra

batas kanan bawah : ICS IV Linea Para Sternalis Dextra

(batas jantung terkesan normal)

- Auskultasi : Bunyi jantung S1 S2 single, murmur (-)

 Pulmo :

- Inspeksi : Pengembangan dada kanan sama dengan kiri

- Palpasi : Fremitus raba kiri sama dengan kanan

- Perkusi : Sonor/Sonor

- Auskultasi : Suara dasar Vesikuler, Suara tambahan Rhonki (-/-),

Wheezing (-/-)
8

13. Abdomen

- Inspeksi : bentuk datar, caput medusa (-), spider nevi (-), scar (-)

- Auskultasi : BU (+) normal

- Palpasi : dinding perut supel, undulasi (-), distensi abdomen (-), hepar 2

cm dibawah arcus costae dengan permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri

tekan abdomen (-) , defans muskuler (-)

- Perkusi : Timpani , shifting dullness (-)

14. Ekstremitas :

- Atas: Tremor (-/-), Akral dingin (-/-), Edema (-/-), Ulkus (-/-)

- Bawah: Tremor (-/-), Akral dingin (-/-), Edema (+/-), Ulkus (-/-)

15. Sistem genetalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

2.3. Status Lokalis Regio Femur

Gambar 2.1 Regio Femur

Look : Warna kulit sawo matang, anemis (-), luka (-), deformitas (+) terdapat
shortening pada kaki kanan, edema tungkai atas dextra (+), perubahan
warna (-), perdarahan aktif (-)
Feel : Suhu teraba hangat (+), nyeri tekan (-), sensibilitas (+), pulsasi arteri
9

dorsalis pedis (+), CRT < 2 detik. Pengukuran panjang tungkai


didapatkan Leg Length Discrepancy (LLD) 5 cm.
Dextra Sinistra

Apparent Leg 85cm 80 cm


Length (ALL)

True Leg Length 72 cm 77 cm


(TLL)

Anatomical Leg 34 36
Length

Move :
 Gerakan aktif :
Fleksi hip dan genu terbatas (nyeri), ekstensi hip dan genu (+), internal
rotasi terbatas (nyeri), eksternal rotasi terbatas (nyeri). Fleksi dan ekstensi
pada pergelangan kaki (+), fleksi jari kaki (+), ekstensi jari kaki (+),
abduksi jari kaki (+), adduksi jari kaki (+), False of movement (-)
AROM Knee : terbatas (nyeri).
 Gerakan pasif :
Fleksi hip dan genu terbatas (nyeri), ekstensi hip (+), internal rotasi terbatas
(nyeri), eksternal rotasi terbatas (nyeri). Fleksi dan ekstensi pada
pergelangan kaki (+), fleksi jari kaki (+), ekstensi jari kaki (+), abduksi
jari kaki (+), adduksi jari kaki (+), False of movement (-)
PROM Knee : terbatas (nyeri).

2.4. Resume

Seorang perempuan umur 47 tahun datang ke poli orthopedi RSUD

kanjuruhan dengan keluhan tungkai kanan atas sakit ketika dibuat jalan

akibat jatuh dari kamar mandi sekitar setahun yang lalu


10

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas

normal. Pada pemeriksaan status lokalis: regio femoris dextra didapatkan

deformitas (+), Edema tungkai atas dextra (+), suhu teraba hangat (+), nyeri

tekan (+), terdapat shortening, LLD 5 cm. Gerakan aktif Fleksi hip terbatas

(nyeri), internal rotasi terbatas (nyeri), eksternal rotasi terbatas (nyeri). dan

pasif Fleksi hip terbatas (nyeri), internal rotasi terbatas (nyeri), eksternal rotasi

terbatas (nyeri).

2.6 Diagnosis Kerja

Suspect Malunion Fraktur Shaft Femur dextra

2.7. Differential Diagnosis

- Refraktur Shaft Femur Dextra

- Delayed Union Fraktur Femur Dextra

- Non-Union Fraktur Femur Dextra

2.8.Planning Diagnosis

- Foto rontgen AP/Lateral femur dextra

- Foto rontgen pelvis AP

- Laboratorium : Pemeriksaan Darah Lengkap, Kadar Albumin, Kimia Darah

(GDS, SGOT, SGPT), Faal ginjal (Ureum, Kreatinin), Faal hemostasis (PT,

APTT)

2.9. Planning Terapi

1. Non Operatif
Non Medikamentosa
 Memberi KIE kepada pasien dan keluarga tentang penyakit pasien
11

 Melakukan inform consent bahwa pasien harus MRS untuk evaluasi


dan persiapan dilakukan tindakan selanjutnya
 Melakukan inform consent mengenai tindakan yang akan dilakukan
pada pasien
 Imobilisasi kaki kanan
 Merubah posisi badan setiap 2 jam
 ROM Exercise

Medikamentosa
 Analgesik
 Antibiotik
2. Operatif
 Skeletal Traction
 ORIF
12

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Femur


Femur dalam bahasa latin berarti paha, adalah tulang terpanjang, terkuat dan
terberat dari semua tulang pada rangka tubuh, meneruskan berat tubuh dari os
coxae ke tibia sewaktu kita berdiri. Bentuk dari tulang femur menyerupai bentuk
silinder yang memanjang. Femur terbagi atas tiga bagian yaitu bagian proximal,
medial, dan distal (Sloane, 2004).
a. Proximal femur
Adalah bagian tulang femur yang berdekatan dengan Pelvis. Terdiri atas :
kepala (caput), leher (collum), trochanter mayor, dan minor.
1. Kepala (Caput)
Bentuk kepala femur membulat dan berartikulasi dengan
accetabulum. Permukaan lembut dari bagian caput femur mengalami
depresi, fovea kapitis untuk tempat perlekatan ligamen yang menyangga
caput agar tetap di tempatnya dan membawa pembuluh darah ke kepala
femur tersebut.
Femur tidak berada pada garis vertikal tubuh. Caput femur masuk
dengan pas ke acetabulum untuk membentuk sudut sekitar 1250 dari bagian
Collum femur.
2. Leher (Collum)
Collum femur menyerupai bentuk piramida memanjang, serta
merupakan penghubung antara Caput femur dengan trochanter.
3. Trochanter Mayor dan Minor.
Trochanter mayor adalah prominance besar yang berlokasi di bagian
superior dan lateral tulang femur. Trochanter minor merupakan prominance
kecil yang berlokasi di bagian medial dan posterior dari leher dan corpus
tulang femur.
13

Trochanter mayor dan minor berfungsi sebagai tempat perlekatan


otot untuk menggerakan persendian panggul.

b. Medial Femur
Adalah bagian tulang femur yang membentuk corpus dari femur menyerupai
bentuk silinder yang memanjang. Bagian batang permukaannya halus dan memiliki
satu tanda saja, linea aspera yaitu lekuk kasar untuk perlekatan beberapa otot.
c. Distal Femur
Bagian anterior dari distal femur merupakan lokasi tempat melekatnya tulang
patella, terletak 1, 25 cm di atas knee joint. Bagian posterior dari distal femur
terdapat dua buah condilus, yaitu condilus lateral dan condilus medial. Kedua
condilus ini dipisahkan oleh forsa intercondilus.
Salah satu fungsi penting kepala tulang paha adalah tempat produksi sel darah
merah pada sumsum tulangnya.
14

Gambar 3.1 Os. Femur penampang anterior dan posterior


15

Gambar 3.2 Susunan muskulus pada femur dilihat dari anterior


16

Gambar 3.3 Susunan muskulus pada femur dilihat dari posterior


17

Gambar 3.4 Susunan muskulus pada femur dilihat dari lateral


18

Gambar 3.5 Vaskularisasi Femur


19

Gambar 3.6 Inervasi pada femur anterior cabang dari pleksus lumbal
20

Gambar 3.7 Inervasi pada femur posterior cabang dari pleksus lumbal
21

Gambar 3.8 Inervasi pada femur anterior dan posterior cabang dari pleksus
sakralis
22

3.2 Definisi Fraktur

Cedera pada tulang menimbulkan patah tulang (fraktur) dan dislokasi. Fraktur

adalah keadaan dimana tulang mengalami retak atau patah (Triono, et al., 2015).

Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total

maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Terjadinya suatu fraktur

lengkap atau tidak lengkap ditentukan oleh kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan

tulang, serta jaringan lunak di sekitar tulang (Helmi, 2011).

Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai

fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur tertutup

adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat

fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/dunia luar. Fraktur terbuka adalah fraktur

yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan

lunak, dapat terbentuk dari dalam maupun luar. Fraktur dengan komplikasi adalah

fraktur yang disertai dengan komplikasi seperti malunion, delayed union, nounion

dan infeksi tulang (Bucholz, 2006).

3.3 Epidemiologi

Berdasarkan data Depkes RI pada tahun 2011 sebanyak 45.987 orang

mengalami fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629 orang diantaranya

mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775

orang mengalami fraktur tibia, 9.702 orang mengalami fraktur pada tulang-tulang

kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula. Diestimasikan bahwa

insidensi fraktur femur proksimal akan bertambah dua kali lipat menjadi 2,6 juta

pada tahun 2025 dan 4,5 juta pada tahun 2050. Persentase peningkatannya
23

meningkat lebih besar pada pria (310%) dibanding perempuan (240%). Pada tahun

1990, 26% fraktur femur proksimal terjadi di Asia, diperkirakan pada tahun 2025

akan mencapai 37%, dan pada tahun 2050 akan mencapai 45%. Risiko seseorang

untuk mengalami fraktur femur proksimal semasa hidupnya adalah 5,6% pada laki-

laki dan 20% pada perempuan (Canale & Beaty, 2008).

3.4 Etiologi

Berdasarkan penyebab terjadinya fraktur femur, dapat dibedakan menjadi tiga


berdasarkan besar energi penyebab trauma, yaitu (Yoo et al., 2017):
a. High energy trauma atau trauma karena energi yang cukup besar, jenis
kecelakaan yang menyebabkan terjadinya fraktur jenis ini antara lain adalah
trauma kecelakaan bermotor (kecelakaan sepeda motor, kecelakaan mobil,
pesawat jatuh, dsb), olahraga yang berkaitan dengan kecepatan seperti
misalnya: ski, sepeda balap, naik gunung; jatuh, jatuh dari tempat tinggi; serta
luka tembak.
b. Low energy trauma atau trauma karena energi yang lemah, karena struktur
femur adalah sturktur yang cukup kuat, ada kecenderungan trauma karena
energi yang lemah lebih disebabkan karena tulang kehilangan kekuatannya
terutama pada orang-orang yang mengalami penurunan densitas tulang karena
osteoporosis; penderita kanker metastasis tulang dan orang yang
mengkonsumsi kortikosteroid jangka panjang juga beresiko tinggi mengalami
fraktur femur karena kekuatan tulang akan berkurang.
c. Stress fracture atau fraktur karena tekanan, penyebab ketiga dari fraktur femur
adalah tekanan atau trauma yang berulang. Trauma jenis ini mengakibatkan
jenis fraktur yang berbeda karena biasanya terjadi secara bertahap. Trauma
tekanan berulang mengakibatkan kerusakan internal dari struktur arsitektur
tulang. Fraktur jenis ini seringkali terjadi pada atlet atau pada militer yang
menjalani pelatihan yang berat. Fraktur jenis ini biasanya mempengaruhi area
corpus femoris.
24

3.5 Klasifikasi

3.5.1. Klasifikasi Fraktur

Klasifikasi fraktur secara umum dibagi menjadi sebagai berikut (Rasjad, 2007):

1. Klasifikasi Klinis

a. Fraktur tertutup
Fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka
Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka
pada kulit dan jaringan lunak.
c. Fraktur dengan komplikasi
Fraktur yang disertai dengan komplikasi seperti malunion, delayed
union, nonunion dan infeksi tulang.
2. Menurut etiologis
a. Fraktur traumatik
Terjadi karena trauma yang tiba-tiba.
b. Fraktur patologis
Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis
pada tulang maupun di luar tulang, misalnya tumor, infeksi atau
osteoporosis.
c. Fraktur stress
Terjadi karena beban lama atau trauma ringan yang terus-menerus pada
suatu tempat tertentu, misalnya fraktur pada tulang tibia atau metatarsal
pada tentara atau olehragawan yang sering berlari atau baris-berbaris.

3. Klasifikasi Radiologis
a. Lokalisasi
 Diafisial
 Metafisial
 Intraartikuler
 Fraktur dengan dislokasi
b. Konfigurasi
25

 Fraktur transversal
 Fraktur oblik
 Fraktur spiral
 Fraktur Z
 Fraktur segmental
 Fraktur kominutif
 Fraktur impaksi
 Fraktur pecah (burst)
 Fraktur epifisis
c. Ekstensi
 Fraktur komplit
Apabila garis patah yang melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang.
 Fraktur inkomplit
Apabila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang,
seperti buckle fracture, hairline fracture, dan green stick fracture.
d. Hubungan antar fragmen tulang
 Tidak bergeser (undisplaced)
 Bergeser (displaced), dapat terjadi dalam 6 cara yaitu;
bersampingan, angulasi, rotasi, distraksi, impaksi dan over riding.

3.5.2. Fraktur Shaft Femur


Fraktur Shaft femur dapat terjadi pada setiap umur, biasanya karena
trauma hebat misalnya kecelakaan lalu lintas atau trauma lain misalnya
jatuh dari ketinggian. Femur diliputi oleh otot yang kuat dan merupakan
proteksi untuk tulang femur, tetapi juga daat berkibat jelek karena dapat
menarik fragmen fraktur sehingga bergeser. Femur dapat pula mengalami
fraktur patologis akibat metastasis tumor ganas. Fraktur femur sering
disertai dengan perdarahan masif yang harus selalu dipikirkan sebagai
penyebab syok. Fraktur shaft femur adalah fraktur diafisis femur, 5cm distal
dari trochanter minor dan 5cm proksimal dari tuberculum adductor.
a. Mekanisme trauma
26

Fraktur spiral terjadi apabila jatuh dengan posisi kaki melekat erat
pada dasar sambil terjadi putaran yang diteruskan pada femur. Fraktur yang
bersifat transversal dan oblik terjadi karena trauma langsung dan trauma
angulasi.
- High Energy Trauma: biasanya pada populasi muda akibat
kecelakan bermotor (motor vehicle accident)
- Low-energy Trauma: biasanya pada orang tua akibat jatuh.

b. Klasifikasi
Klasifikasi menurut Winquist and Hansen, membagi fraktur shaft
femur kedalam 5 tipe.

OTA Classification Femur diaphysis-Bone segment:


27

c. Gambaran klinis
Penderita pada umumnya dewasa muda. Ditemukan pembengkakan dan
deformitas pada tungkai atas berupa rotasi eksterna dan pemendekan tungkai dan
mungkin datang dalam keadaan syok.

3.5 Patofisiologi

Apabila tulang hidup normal dan mendapat kekerasan yang cukup

menyebabkan patah, maka sel-sel tulang akan mati. Perdarahan biasanya terjadi

disekitar tempat patah dan kedalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut.

Jaringan lunak biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat

timbul setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mati berakumulasi menyebabkan

peningkatan aliran darah di tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa

sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk bekuan fibrin (hematom fraktur) dan
28

berfungsi sebagai jalan untuk melekatnya sel-sel baru. Aktifitas osteoblas segera

terangsang dan membentuk tulang baru imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin di

reabsorbsi dan sel-sel tulang baru secara perlahan lahan mengalami remodeling

untuk tulang sejati. Tulang sejati menggantikan kalus dan secara perlahan

mengalami kalsifikasi. Penyembuhan memerlukan beberapa minggu sampai

beberapa bulan. (Corwin, 2001).

3.6 Diagnosis

Diagnosis fraktur femur dapat ditegakkan dengan anamnesis yang lengkap

mengenai kejadian trauma meliputi waktu, tempat, dan mekanisme trauma;

pemeriksaan fisik yang lengkap dan menyeluruh, serta pencitraan menggunakan

foto polos sinar-x (Rex, 2012).

3.7.1 Look (Inspeksi):

 Deformitas: Deformitas dapat timbul dari tulang itu sendiri atau penarikan dan

kekakuan jaringan lunak.

 Sikap anggota gerak: Kebanyakan fraktur terlihat jelas, namun fraktur satu tulang

di tungkai atau fraktur tanpa pergeseran mungkin tidak nampak.

3.7.2 Feel (Palpasi):

 Nyeri tekan: Tanyakan pada pasien daerah mana yang terasa paling sakit.

Perhatikan ekspresi pasien sambal melakukan palpasi.

 Krepitasi: Krepitasi tulang dari gerakan pada daerah fraktur dapat diraba
29

 Pemeriksaan kulit dan jaringan lunak di atasnya: Pada fraktur akut, terapi

tergantung pada keadaan jaringan lunak yang menutupinya. Adanya blister atau

pembengkakan merupakan kontraindikasi untuk operasi implan. Abrasi pada

daerah terbuka yang lebih dari 8 jam sejak cedera harus dianggap terinfeksi dan

operasi harus ditunda sampai luka sembuh sepenuhnya. Bebat dan elevasi

menurunkan pembengkakan dan ahli bedah harus menunggu untuk keadaan kulit

yang optimal.

 Neurovaskular distal: Kondisi neurovaskular distal harus diperiksa karena fraktur

apapun dapat menyebabkan gangguan neurovaskular.

3.7.3 Move (Gerakan):

Sebagai skrining cepat, gerakan aktif dari seluruh anggota gerak diuji pada

penilaian awal. Pasien dengan fraktur mungkin merasa sulit untuk bergerak dan

fraktur harus dicurigai jika ada yang nyeri yang menimbulkan keterbatasan.

Manuver yang memprovokasi nyeri sebaiknya tidak dilakukan.

3.7.4 Pengukuran

Pada fraktur dengan pergeseran atau dislokasi, hal ini nampak jelas. Apparent

leg length discrepancy dapat diukur dari xiphisternum ke maleolus medial dengan

menjaga tubuh dan kaki sejajar dengan alas dan tidak membuat setiap upaya untuk

menyamakan sisi panggul. Hal ini akan memberikan perbedaan fungsional pada

panjang kaki. Raba spina iliaka anterior superior (SIAS) dan atur panggul agar

sejajar (garis yang menghubungkan kedua SIAS tegak lurus dengan alas).Lalu ukur
30

panjang kaki dari SIAS ke maleolus medial, maka akan didapatkan true length

measurement. Pastikan kaki berada dalam sikap dan posisi yang sama (Rex, 2012).

Gambar 3.12 Pengukuran Leg Length Discrepancy

3.7.5 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan sinar-x pelvis posisi anteroposterior (AP) dan sinar-x

proksimal femur posisi AP dan lateral diindikasikan untuk kasus curiga fraktur

collum femur. Dua hal yang harus diketahui adalah apakah ada fraktur dan apakah

terjadi pergeseran. Pergeseran dinilai dari bentuk yang abnormal dari outline tulang

dan derajat ketidaksesuaian antara garis trabekula di kaput femur, collum femur,

dan supra-asetabulum dari pelvis. Penilaian ini penting karena fraktur terimpaksi

atau fraktur yang tidak bergeser akan mengalami perbaikan setelah fiksasi internal,

sementara fraktur dengan pergeseran memiliki angka nekrosis avaskular dan

malunion yang tinggi (Solomon, 2001; Egol, 2002). Magnetic resonance imaging

(MRI) saat ini merupakan pilihan pencitraan untuk fraktur tanpa pergeseran atau

fraktur yang tidak nampak di radiografi biasa. Bone scan atau CT scan dilakukan

pada pasien yang memiliki kontraindikasi MRI (Solomon, 2001; Egol, 2002) .

Pemeriksaan radiologis berupa foto polos dapat digunakan untuk menentukan


keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan
prinsip rule of two:
31

 Two views: Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada hasil X-Ray.
Oleh karena itu, setidaknya foto meliputi 2 view, yaitu AP dan lateral view.
 Two joints: Foto harus meliputi sendi yang berada di atas dan di bawah daerah
fraktur.
 Two limbs: Pada anak-anak, gambaran dari lempeng epifisis menyerupai
garis fraktur. Oleh karena itu diperlukan foto dari ekstremitas yang tidak
mengalami trauma atau normal.
 Two injuries: Terkadang trauma tidak hanya menyebabkan fraktur pada satu
daerah. Contohnya seseotang mengalami fraktur pada femur, sehingga
diperlukan foto femur dan pelvis.
 Two occasions: Ada beberapa jenis fraktur yang sulit dinilai segera setelah
trauma, sehingga dibutuhkan pemeriksaan X-Ray satu atau dua minggu
setelahnya untuk melihat fraktur yang terjadi. Contohnya pada fraktur yang
terjadi pada ujung dital dari os klavikula, scaphoid, neck femur dan malleolus

3.8. Penyembuhan Fraktur

Proses penyemuhan fraktur terdiri atas 5 fase, yaitu:

1) Fase Hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah
kecil yang melewati kanalikuli dalam sistem haversian mengalami
robekan pada daerah fraktur dan akan membentuk hematoma diantara
kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar diliputi oleh periosteum.
Periosteum akan terderong dan dapat mengalami robekan akibat
tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi
daerah ke sistem jaringan lunak.
2) Fase Proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal
Terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi
penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel
osteogenic yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk
kalus eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus interna
sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi
robekan yang hebat pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal
32

dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke


dalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini
terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel osteogenic yang memberi
pertumbuhan yang cepat pada jaringan osteogenic yang sifatnya leih
cepat dari tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler tidak terbentuk
dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah
beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa
yang meliputi jaringan osteogenic. Pada pmeriksaan radiologis kalus
belum mengandung tulang sehingga merupakan suatu daerah
radiolusen.
3) Fase Pembentukan Kalus
Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap
fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblast dan kemudian pada
kondroblas membentuk tulang rawan. Tempat osteoblast diduduki
oleh matriks intraseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh
garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk
tulang ini disebut waven bone. Poada pemeriksaan radiologis kalus
sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologic pertama terjadinya
penyembuhan fraktur.
4) Fase Konsolidasi
Waven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan
diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblast
yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan diresorpsi
secara bertahap.
5) Fase Remodeling
Tulang yang baru membentuk bagian yang menyerupai bulbus yang
meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling
ini, perlahan-lahan terjadi resorbsi secara osteoklastik dan tetap terjadi
proses osteoblastic pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-
lahan menghilang. Kalus intermediet berubah menjadi tulang yang
kompak dan berisi sitem haversian dan kalus bagian dalam akan
mengalami peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.
33

3.9.Penatalaksanaan

Sebelum melakukan penanganan pada suatu fraktur, perlu dilakukan


pertolongan pertama pada penderita seperti pembebasan jalan nafas, penilaian
ventilasi, menutup luka dengan verban steril, penghentian perdarahan dengan balut
tekan dan imobilisasi fraktur sebelum diangkut dengan ambulans. Penderita dengan
fraktur multipel biasanya datang dengan syok sehingga diperlukan resusitasi cairan
dan transfusi darah serta pemberian obat anti nyeri (Rasjad, 2015).
Penanganan fraktur mengikuti prinsip umum pengobatan kedokteran yaitu
jangan membuat keadaan lebih jelek, pengobatan didasarkan atas diagnosis dan
prognosis yang akurat, seleksi pengobatan dengan tujuan khusus seperti
menghilangkan nyeri, memperoleh posisi yang baik dari fragmen, mengusahakan
terjadinya penyambungan tulang dan mengembalikan fungsi secara optimal,
mengingat hukum penyembuhan secara alami, bersifat realistik dan praktis dalam
memilih jenis pengobatan, dan seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara
individual (Rasjad, 2015).
Terdapat empat prinsip dalam penanganan fraktur, yaitu (Rasjad, 2015):
1. Recognition (Mengenali)
Dengan mengetahui dan menilai keadaan fraktur dari anamnesis,
pemeriksaan klinis dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan
lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk
pengobatan dan komplikasi yang mungkin terjadi.
2. Reduction
Reduksi bertujuan untuk memberikan aposisi yang adekuat dan
alignment yang normal dari fragmen tulang. Semakin besar permukaan
kontak antara fragmen tulang, maka proses penyembuhannya akan lebih
mungkin terjadi. Adanya spasi atau ruang antara ujung fragmen tulang yang
patah merupakan penyebab umum dari penyatuan tulang yang tertunda
hingga tidak menyatu (Solomon, 2010).
34

Meskipun terapi umum dan resusitasi harus selalu diutamakan, tidak


boleh ada keterlambatan dalam menangani fraktur. Pembengkakan bagian
lunak selama 12 jam pertama akan mempersulit reduksi. Namun, ada
beberapa situasi di mana reduksi tidak perlukan, yaitu (Solomon, 2010).:
a. Bila pergeseran sedikit atau tidak ada;
b. Bila pergeseran tidak berarti (misal pada fraktur klavikula);
c. Bila reduksi tidak mungkin berhasil (missal dengan fraktur kompresi
vertebra).
Terdapat dua jenis reduksi, yaitu reduksi tertutup dan reduksi terbuka.
Secara umum, reduksi tertutup digunakan pada (Solomon, 2010):
a. Fraktur yang mengalami pergeseran secara minimal,
b. Sebagian besar fraktur pada anak-anak,
c. Fraktur yang stabil setelah reduksi dan diretensi dengan splin dan cast.
Reduksi terbuka diindikasikan pada:
a. Reduksi tertutup gagal karena kesulitan dalam mengendalikan fragmen
tulang;
b. Ketika terdapat fragmen tulang artikular besar yang memerlukan reposisi
akurat;
c. Untuk memasang traksi pada tulang yang fraktur.

3. Retention
Retention merupakan tindakan untuk mempertahankan hasil reposisi
dengan fiksasi (imobilisasi). Hal ini akan menghilangkan spasme otot pada
ekstremitas yang sakit sehingga terasa lebih nyaman dan dapat sembuh lebih
cepat. Beberapa metode yang digunakan dalam retensi fragmen tulang, yaitu
(Solomon, 2010).:
a. Continuous Traction
Traksi ini diterapkan pada alat gerak distal dari lokasi fraktur. Traksi ini
berguna pada shaft fraktur dengan bentuk garis oblique atau spiral. Traksi
tidak bisa menahan patah tulang; dapat menarik sepanjang tulang lurus dan
menahannya untuk panjang tetapi mempertahankan pengurangan yang
35

akurat kadang-kadang sulit. Sementara itu pasien dapat menggerakkan


sendi dan melatih otot
1. Traction by grativity.
Traksi ini hanya berlaku pada cedera ekstremitas atas. Dengan
gendongan pergelangan tangan, berat lengan memberikan traksi
terus-menerus ke humerus.
2. Skin traction.
Traksi kulit akan mempertahankan tarikan dengan beban 4 atau 5kg
yang merupakan batas toleransi kulit. Elastoplast menempel pada
kulit dan ditahan dengan balutan. Malleolus dilindungi oleh gamgee
dan tali atau pita diikatkan dengan beban. Beberapa jenis traksi kulit,
yaitu:
- Traksi ekstensi dari Buck adalah traksi kukit dimana plaste
melekat secara sederhana dengan memakai katrol

- Traksi dari Dunlop, digunakan pada fraktur suprakondiler


humeri untuk anak-anak
36

- Traksi dari Gallow atau traksi dari Bryant, dipergunakan


pada fraktur femur anak-anak usia dibawah 2 tahun

- Traksi dari Hamilton Russel, digunakan pada anak-anak usia


lebih dari 2 tahun.

Indikasi:
 Traksi kulit merupakan terapi pilihan pada fraktur femur
dan beberapa fraktur suprakondiler humeri anak-anak.
 Pada reduksi tertutup dimana manipulasi dan imobilisasi
tidak dilakukan
 Merupakan pengobatan sementara pada fraktur sambal
menunggu terapi definitive
 Fraktur-fraktur yang sangat bengkak dan tidak stabil
misalnya fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak
37

 Untuk traksi pada spasme otot atau pada kontraktur sendi


misalnya sendiri lutut dan panggul
 Untuk traksi pada kelainan-kelainan tulang belakang
seperti hernia nucleus pulposus (HNP) atau spasme otot-
otot tulang belakang.
Komplikasi:
 Penyakit trombo-emboli
 Aberasi, infeksi serta alergi pada kulit.
3. Skeletal traction.
Sebuah kawat atau pin dimasukkan pada tulang (biasanya di
belakang tuberkulum tibialis untuk cedera pelvis, femur dan lutut
atau melalui calcaneum untuk fraktur tibialis) dan tali yang terikat
padanya untuk menerapkan traksi. Jenis-Jenis traksi tulang:
- Traksi tulang dengan menggunakan kerangka dari Bohler
Braun pada fraktur orang dewasa

- Thomas Splint dengan pegangan lutut atau alat traksi dari


Pearson
38

- Traksi tulang pada olecranon, pada fraktur humerus

- Traksi yang digunakan pada tulang tengkorak misalnya


Gardner Well Skull Caliper,Crutchfield cranial tong.

Indikasi:
 Apabila diperlukan traksi yang lebih berat dari 5kg
 Traksi pada anak-anak yang lebih besar
 Pada fraktur yang bersifat tidak stabil,oblik atau
komunitif
 Fraktur-fraktur tertentu pada daerah sendi
 Fraktur terbuka dengan luka yang sangat jelek dimana
fiksasi eksterna tidak dapat dilakukan
 Digunakan sebagai traksi langsung pada traksi yang
sangat berat misalnya dislokasi panggul yang lama
sebagai persiapan terapi definitive.
Komplikasi:
39

 Infeksi, misalnya infeksi melalui kawat/pin yang


digunakan
 Kegagalan penyambungan tulang (non-union) akibat
traksi yang berlebihan
 Luka akibat tekanan misalnya tekanan Thomas splint
pada tuberositas tibia.
 Parase saraf akibat traksi yang berlebihan
(overtraksi) atau bila pin mengenai saraf.
Fixed Traction
Tarikan diberikan terhadap titik tetap. Metode yang biasa digunakan
adalah mengikat tali traksi ke ujung distal belat Thomas dan menarik kaki
ke bawah.
Balance Traction
Di sini tali traksi dipandu di atas katrol di kaki tempat tidur dan diisi
dengan beban; kontra-traksi disediakan oleh berat tubuh ketika kaki tempat
tidur dinaikkan.
Combined Traction
Jika belat Thomas digunakan, pita diikat ke ujung belat dan seluruh
belat tersebut ditangguhkan, seperti dalam traksi seimbang.
b. Cast Splintage
Plester Paris (gips) masih banyak digunakan sebagai belat, terutama
untuk fraktur ekstremitas dan fraktur pada anak-anak. Gips merupakan
kapur bercampur bahan kimia yang setelah bercampur air dapat dibentuk
lalu mengeras setelah beberapa waktu dan merupakan imobilisator yang
baik. Bentuk gips dibagi menjadi dua, yaitu gips sirkuler yang dibalut
dengan melingkari ekstremitas dan gips bidai yang dipasang pada salah satu
sisi ekstremitas. Keuntungan penggunaan gips adalah pasien dapat cepat
pulang ke rumah. Kerugian pada gips adalah persendian yang terbalut gips
tidak dapat bergerak dan dapat mengalami kekakuan.
c. Functional Branching
Baik menggunakan plester paris atau salah satu dari bahan
termoplastik yang lebih ringan adalah salah satu cara untuk mencegah
40

kekakuan sendi. Segmen gips diaplikasikan hanya pada bagian shaft dari
fraktur tulang, sehingga membiarkan sambungan terpisah. Selanjutnya,
segmen dihubungkan oleh engsel logam atau plastik yang memungkinkan
pergerakan seusai dengan pergerakan fungsional pada sendi. Functional
branching digunakan paling sering untuk fraktur femur atau tibia, tetapi
karena gipsnya terpisah dan penahannya tidak terlalu kaku, maka biasanya
digunakan hanya ketika fraktur tersebut mulai menyatu, yaitu setelah 3-6
minggu.
d. Internal Fixation
Internal fixation diindikasikan pada:
 Fraktur yang tidak dapat direposisi kecuali melalui operasi
 Fraktur tidak stabil dan cenderung displaced setelah reposisi (fraktur
midshaft antebrachii, fraktur ankle)
 Fraktur yang berlawanan posisi dengan gerak otot (fraktur
transversal paella, fraktur transversal olecranon)
 Fraktur yang memiliki waktu penyatuan yang lama dan sulit
menyatu (fraktur column femoris)
 Fraktu patologis pada penyakit tulang yang dapat menghambat
proses penyembuhan.
 Fraktur multiple dimana fiksasi segera (internal fiksasi dan eksternal
fiksasi) dapat menurunkan resiko komplikasi umum dan multi organ
failure
 Fraktur pada penderita dengan asuhan keperawatan sulit
(paraplegia, pasien geriatri).
Beberapa tipe fiksasi internal, yaitu Interfragmentary screws, Wires,
Plates and screws, dan intramedullary nails.
e. External Fixation
Fiksasi eksternal terutama berlaku untuk femur dan pelvic, tetapi
metode ini juga dapat digunakan untuk fraktur tibia, humerus, phalang.
Indikasi penggunakan fiksasi eksternal, yaitu:
41

 Fraktur yang terkait dengan kerusakan jaringan lunak yang parah


(termasuk fraktur terbuka) atau yang terkontaminasi, di mana fiksasi
internal berisiko sehingga luka harus dirawat terbuka.
 Pasien dengan cedera multipel yang parah, terutama jika ada fraktur
femur bilateral, fraktur pelvis dengan perdarahan hebat, dan pasien
dengan terkait cedera thoraks atau kepala.
 Patah tulang yang terinfeksi, yang mungkin tidak cocok difiksasi
internal.
 Fraktur pada area persendian.
4. Rehabilitation
Permasalahan rehabilitasi pada fraktur ekstremitas bawah adalah
nyeri dan kekakuan sendi yang menyebabkan gangguan ambulasi.
Tatalaksana rehabilitasi medik pascabedah fraktur ekstremitas bawah
adalah latihan lingkup gerak (range of motion) dan latihan ambulasi dengan
alat bantu serta dengan weight bearing yang sesuai dengan kondisi pasien.

3.10. Komplikasi

Komplikasi dini (Rasjad, 2015):

1. Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Hal
ini biasanya terjadi pada fraktur, pada kondisi tertentu terjadi syok
neurogenic pada fraktur femur karena rasa sakit yang hebat pada pasien.
2. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh; tidak adanya nadi; CRT
(Capillary Refill Time) menurun; sianosis distal; hematoma yang lebar;
serta dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
pembidaian; perubahan posisi pada yang sakit; tindakan reduksi dan
pembedahan.
3. Sindrom kompartemen
42

Adalah suatu kondisi dimana terjebaknya otot, tulang, saraf dan pembuluh
darah dalam jaringan parut akibat suatu pembengkakan dari edema atau
hematoma yang menekan otot, syaraf, dan pembuluh darah. Kondisi
sindrom kompartemen akibat komplikasi fraktur hanya terjadi pada fraktur
yang dekat dengan persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang.
Tanda khas untuk sindrom kompartemen adalah 5 P (pain/ nyeri local,
pallor/ pucat, parestesi/tidak ada sensasi, pulselessness/ tidak ada denyut
nadi , perubahan nadi , perfusi yang kurang baik pada bagian distal, CRT >
3 detik pada bagian distal kaki, paralysis/kelumpuhan tungkai)
4. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
ortopedik, infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Hal
ini biasanya terjadi karena kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF dan OREF)
atau plat.
5. Avaskular Nekrosis
Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa
menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmanns
ischemia.
6. Sindrom emboli lemak
Adalah suatu komplikasi serius yang sering terjadi pada fraktur tulang
panjang. FES terjadi karena sel –sel lemak yang dihasilkan sumsum tulang
kuning masuk pada aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam
darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernapasan, takikardi,
hipertensi, takipneu, dan demam.
Komplikasi lanjut (Rasjad, 2015):
1. Delayed union
Kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyatu kembali / tersambung dengan baik. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang. Delayed union adalah fraktur yang
tidak sembuh setelah selang waktu 3- 5 bulan (3 bulan untuk anggota gerak
atas dan 5 bulan untuk anggota gerak bawah
43

Etiologi:
Sama dengan mal-union
Gambaran Klinis:
Nyeri anggota gerak dan pergerakan pada waktu berjalan, terdapat
pembengkakan, nyeri tekan, terdapat Gerakan abnormal pada daerah
fraktur, pertambahan deformitas.
Radiologis:
Tidak ada gambaran tulang baru pada ujung daerah fraktur, gambaran kista
pada ujung-ujung tulang karena adanya dekalsifikasi tulang, gambaran
kalus yang kurang disekitar fraktur.
Pengobatan:
Konservatif dilakukan pemasangan plester untuk imobilisasi tambahan
selama 2-3 bulan. Operatif dilakukan bila union diperkirakan tidak akan
terjadi maka segera dilakukan fiksasi interna dan pemberian bone graft.
2. Non union
Apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu antara 6-8 bulan dan tidak terjadi
konsolidasi sehingga dapat pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartrosis
dapat terjadi dengan infeksi maupun tidak dengan infeksi. Beberapa jenis
non-union terjadi menurut keadaan ujung-ujung fragmen tulang yaitu
- Hipertrofik
Ujung-ujung tulang bersifat sklerotik dan lebih besar dari
normal yang disebut gambaran elephant’s foot. Garis fraktur
tampak dengan jelas, ruangan antar tulang diisi dengan
tulang rawan dan jaringan ikat fibrosa, pada jenis ini
vaskularisasi baik sehingga biasanya hanya diperlukan
fiksasi yang rigid tanpa pemasangan bone graft.
- Atrofik
Tidak ada tanda-tanda aktivitas seluler pada ujung fraktur,
ujung tulang lebih kecil dan bulat serta osteoporotic dan
avaskuler, pada jenis ini disamping dilakukan fiksasi rigid
juga diperlukan pemasangan bone graft
44

Etiologi:
Vaskularisasi yang kurang pada ujung-ujung fragmen, reduksi yang
tidak adekuat, imobilisasi yang tidak adekuat sehingga terjadi pada
kedua fragmen, waktu imobilisasi yang tidak cukup, infeksi, distraksi
pada kedua ujung karena adanya traksi yang berlebihan, interposisi
jaringan lunak diantara kedua fragmen, terdapat jarak yang cukup
besar antara kedua fragmen, destruksi tulang misalnya oleh karena
tumor atau osteomyelitis(fraktur patologis), disolusi hematoma
fraktur oleh jaringan synovia(fraktur intrakapsuler), kerusakan
periosteum yang hebat sewaktu terjadi fraktur atau operasi, fiksasi
interna yang tidak sempurna, delayed union yang tidak diobati,
pengobatan yang salah atau sama sekali tidak dilakukan pengobatan,
terdapat benda asing diantara kedua fraktur misalnya pemasangan
screw diantara kedua fragmen.
Gambaran Klinis:
Nyeri ringan atau sama sekali tidak ada, Gerakan abnormal pada
daerah fraktur yang membentuk sendi palsu yang disebut
pseudoartrosis, nyeri tekan sedikit atau sama sekali tidak ada,
pembengkakan bisa deitemukan bisa tidak ada sama sekali, pada
perabaan ditemukan rongga diantara kedua fragmen.
Radiologis:
Terdapat gambaran sklerotik pada ujung tulang, ujung tulang
berbentuk bulat dan halus, hilangnya ruangan meduler pada ujung-
ujung tulang, salah satu ujung tulang dapat berbentuk cembung dan
sisi lainnya cekung (pseudoartrosis).
Pengobatan:
Fiksasi interna rigid dengan atau tanpa bone graft, eksisi fragmen
kecil dekat sendi misalnya kepala radius dan prossesus styloideus
ulna, pemasangan protesis misalnya pada fraktur leher femur,
stimulasi untuk mempercepat osteogeesis
45

3. Mal union
Keadaan dimana fraktur sembuh pada saatnya tetapi terdapat deformitas
yang berbentuk angulasi, varus/valgus, rotasi, pemendekan, atau union
secara menyilang misalnya pada fraktur radius dan ulna.
Etiologi:
Fraktur tanpa pegobatan, pengobatan yang tidak adekuat, reduksi dan
imobilisasi yang tidak baik, pengambilan keputusan serta Teknik yang salah
pada awal pengobatan, osifikasi premature pada lempeng epifisis karena
adanya trauma
Gambaran klinis:
Deformitas dengan bentuk yang bervariasi, gangguan fusi anggota gerak,
nyeri, dan keterbatasan pergerakan sendiri, ditemukan komplikasi seperti
paralisis tardi nervus ulnaris, osteoarthritis apabila terjadi pada daerah
sendi, bursitis atau nekrosis kulit pada tulang yang megalami deformitas
Radiologis:
Pada foto rontgen terdapat penyambungan fraktur tetapi dalam posisi yang
tidak sesuai dengan keadaan normal
Pengobatan:
Konservatif dilakukan refrakturisasi dengan pembiusan umum dan
diimobilisasi sesuai dengan fraktur yang baru. Pada pasien malunion yang
masih terbentuk fase subkalus, apabila ada pemendekkan anggota gerak
dapat digunakan sepatu orthopedi. Operatif dilakukan osteotomi koreksi
dan bone graft disertai dengan fiksasi interna, atau dengan osteotomi
dengan pemanjangan bertahap misalnya pada anak-anak atau dengan
osteotomi yang bersifat baji
46

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Telah diperiksa seorang pasien Ny. S usia 47 tahun tanggal 06 Oktober 2019

14.30 WIB dengan dengan keluhan tungkai atas kanan sakit ketika berjalan setelah

terjatuh dari kamar mandi setahun yang lalu dan riwayat kecelakaan 7 tahun yang

lalu. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik disimpulkan bahwa diagnosis pada

Ny S adalah suspect malunion frakture femur dextra.

Dalam penatalaksanaan kasus ini diberikan terapi operatif berupa skeletal

traction dan ORIF, sedangkan farmakologi yaitu analgetik dan antibiotik.

4.2. Saran
Setelah mengkaji laporan kasus ini disarakan kepada pembaca maupun

penulis untuk menambah wawasan lebih dalam lagi melalui sumber-sumber lain

yang lebih relevan terutama pada penentuan malunion fraktur femur dan tatalaksana

lanjut pada malunion fraktur femur.


47

DAFTAR PUSTAKA

Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. 2015. Yarsif Watampone: Jakarta.

Kim SH, Meehan JP, Blumenfeld T, Szabo RM. Hip Fractures in the United States:
2008 Nationwide Emergency Department Sample. Arthritis Care & Research.
May 2012 (64): 751-757.

Orthopaedic Trauma Association, AO/OTA Fracture and dislocation classification.


2018. AO foundation

Farr JN, Melton LJ, Achenbach SJ, Atkinson EJ, Khosla S, Amin S. Fracture
Incidence and Characteristics in Young Adults Aged 18 to 49 Years: A
Population-Based Study. Journal of Bone and Mineral Research. 2017 (32):
2347-2354.

Anda mungkin juga menyukai