Anda di halaman 1dari 29

REFLEKSI KASUS

FRAKTUR TERTUTUP FEMUR DEXTRA

Disusun Oleh :
Hanifah Khoirunnisa 20110310108

Pembimbing :
dr. Wahyu Purnomo, Sp.OT

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD SALATIGA
2015
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan refleksi kasus dengan judul

FRAKTUR TERTUTUP FEMUR DEXTRA

Disusun oleh :
Hanifah Khoirunnisa 20110310108

Telah diajukan pada,


Hari, Tanggal :
_____________________

Disahkan oleh :
Dokter Pembimbing,

dr. Wahyu Purnomo, Sp.OT


BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 30 Tahun
Alamat : Bancak, Semarang
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
Masuk RS : 3 Januari 2016
No. CM : 1617321007

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Kaki kanan bengkak dan terasa nyeri.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD post KLL tanggal 3 Januari 2016 karena
terserempet truk saat berkendara dengan sepeda motor bersama
adik dan keponakannya, pasien dan keponakannya sebagai
pembonceng sedangkan adiknya sebagai pengendara sepeda
motornya. Adik dan keponakannya hanya luka lecet dan
diperbolehkan pulang rawat jalan, sedangkan pasien diminta rawat
inap. Pasien jatuh terguling-guling saat KLL terjadi hingga
membuat kaki kanannya bengkak, nyeri dan sulit digerakkan, tanpa
disertai penurunan kesadaran.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit hipertensi, asma dan diabetes disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga menderita penyakit hipertensi, asma dan diabetes
disangkal.
Riwayat Personal Sosial
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, mengurus rumah dan
kebutuhan anak-anak setiap hari, suami bekerja di Jakarta.

III. PEMERIKSAAN FISIK


 Status Generalisata
- Keadaan Umum : Compos mentis, baik
- Tanda Vital :
Tekanan darah : 119/101 mmHg
Nadi : 75x/menit

1
Suhu : 36,5° C
Pernafasan : 18x/menit
SpO2 : 98%
- Kepala : Normosefali, tidak terdapat hematom
- Mata : Pupil isokor (3mm/3mm), konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Telinga : Normotia, serumen (-/-), sekret (-/-)
- Hidung : Normosepta, sekret (-), darah (–)
- Tenggorokan : Dbn
- Leher : KGB tidak teraba membesar, simetris
- Cor : S1 dan S2 terdengar reguler
- Pulmo : Bentuk paru simetris, tidak terdapat jejas &
kelainan bentuk, tidak ada ketinggalan
gerak, tidak ada nyeri tekan pada lapang
paru, perkusi sonor, suara dasar vesikuler
(+/+), suara ronkhi (-/-), suara wheezing (-/-)
- Abdomen : Supel (+), nyeri tekan (-), bising usus (+)
- Ekstremitas : Odema (+) dan akral dingin (-) pada
Ekstremitas inferior dextra
 Status Lokalis
I : Femur dextra tampak adanya deformitas dan odema, juga
tampak terpasang spalk pada ekstremitas inferior dextra
A :-
P :-
P : Ada nyeri tekan dan krepitasi

2
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologik
Foto rontgen femur dextra (03-01-2015)

3
V. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja : Fraktur komplit 1/3 distal femur

VI. PENATALAKSANAAN
 IGD (3-1-2016)
o Pasang spalk
o Inf. RL 20 tpm
o Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr
o Inj. Ketorolac 2 x 1 ampul
o Inj. Ranitidin 2 x 1 ampul
 Pro Operasi (4-1-2016)
o Inf. RL 20 tpm
o Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr
o Inj. Ketorolac 2 x 1 ampul
o Inj. Ranitidin 2 x 1 ampul
o Rencana ORIF besok  tunggu suami datang dari Jakarta
o Cek darah rutin, PTT, APTT, HbsAG, SGOT, SGPT,
Ureum, Kreatinin
 Pasien pulang aps (atas permitaan sendiri), suami minta pasien
dipulangkan

VII. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam

VIII. FOLLOW UP
Hari perawatan ke-2 (04-12-2015)
S : Post KLL, kaki kanan nyeri, terutama di bagian paha, bengkak
dan sulit digerakkan oleh karena nyeri. Pusing (-), mual (-),
muntah (-)
O : KU: CM, sedang
GCS: 15
TD: 120/90mmHg N: 78x/menit RR: 18x/menit T: 36,5°C
I : Femur dextra tampak adanya deformitas dan odema, juga
tampak terpasang spalk pada ekstremitas inferior dextra
A :-
P :-
P : Ada nyeri tekan dan krepitasi
A :
P : Rencana ORIF, tunggu persetujuan suami  suami datang, tidak
melakukan persetujuan dan istri dibawa pulang (APS, atas

4
permintaan sendiri)

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI
A. Sistem Tulang
1. Os. Femur
Merupakan tulang panjang dalam tubuh tas Caput
Corpus dan collum dengan ujung distal dan proksimal. Tulang
ini bersendi dengan acetabulum dalam struktur persendian
panggul dan bersendi dengan tulang tibia pada sendi lutut.
Tulang paha atau tungkai atas merupakan tulang terpanjang
dan terbesar pada tubuh yang termasuk seperempat bagian dari
panjang tubuh. Tulang paha terdiri dari 3 bagian, yaitu
epiphysis proximalis, diaphysis, dan epiphysis distalis.

― Epiphysis Proksimalis
Ujung membuat bulatan 2/3 bagian bola disebut
caput femoris yang punya facies articularis untuk bersendi
dengan acetabulum ditengahnya terdapat cekungan disebut
fovea capitis. Caput melanjutkan diri sebagai collum
femoris yang kemudian disebelah lateral membulat disebut
throcantor major ke arah medial juga membulat kecil

6
disebut trochantor minor. Dilihat dari depan, kedua
bulatan major dan minor ini dihubungkan oleh garis yang
disebut linea intertrochanterica (linea spiralis). Dilihat
dari belakang, kedua bulatan ini dihubungkan oleh rigi
disebut crista intertrochanterica. Dilihat dari belakang
pula, maka disebelah medial trochantor major terdapat
cekungan disebut fossa trochanterica.
― Diaphysis
Merupakan bagian yang panjang disebut corpus.
Penampang melintang merupakan segitiga dengan basis
menghadap ke depan. Mempunyai dataran yaitu facies
medialis, facies lateralis, facies anterior. Batas antara
facies medialis dan lateralis nampak di bagian belakang
berupa garis disebut linea aspera, yang dimulai dari
bagian proximal dengan adanya suatu tonjolan kasar
disebut tuberositas glutea. Linea ini terbagi menjadi dua
bibit yaitu labium mediale dan labium laterale, labium
medial sendiri merupakan lanjutan dari linea
intertrochanrterica. Linea aspera bagian distal
membentuk segitiga disebut planum popliseum. Dari
trochantor minor terdapat suatu garis disebut linea
pectinea. Pada dataran belakang terdapat foramen
nutricium, labium medial lateral disebut juga
supracondylaris lateralis/medialis.
― Epiphysis distalis
Merupakan bulatan sepasang yang disebut condylus
medialis dan condylus lateralis. Disebelah proximal
tonjolan ini terdapat lagi masing-masing sebuah bulatan
kecil disebut epicondylus medialis dan epicondylus
lateralis. Epicondylus ini merupakan akhir perjalanan
linea aspera bagian distal dilihat dari depan terdapat
dataran sendi yang melebar disebut facies patelaris untuk
bersendi dengan os. patella. Intercondyloidea yang
dibagian proximalnya terdapat garis disebut linea
intercondyloidea.
2. Os. Patella
Terjadi secara desmal. Berbentuk segitiga dengan basis
menghadap proximal dan apex menghadap ke arah distal.
Dataran muka berbentuk convex. Dataran belakang punya
dataran sendi yang terbagi dua oleh crista sehingga ada 2
dataran sendi yaitu facies articularis lateralis yang lebar dan
facies articularis medialis yang sempit.

7
3. Os. Tibia
Terdiri 3 bagian yaitu epipysis proximalis, dialysis dan
epiphysis distalis. Epiphysis proximalis terdiri dari 2 bulatan
disebut condylus medialis dan condylus lateralis. Disebelah
atas terdapat dataran sendi disebut facies articularis superior,
medial dan lateral. Tepi atas epiphysis melingkar yang disebut
infra articularis medialis dan lateralis oleh suatu peninggian
disebut eminentia intercondyloidea, yang disebelah lateral dan
medial terdapat penonjolan disebut tuberculum
intercondyloideum terdapat cekungan disebut fossa
intericondyloidea anterior dan posterior. Tepi lateral margo
infra glenoidalis terdapat dataran disebut facies articularis
fibularis untukbersendi dengan os fibulae.
4. Os. Fibula
Tulang fibula terbentuk kecil dan hampir sama panjang
dengan tibia, terletak disebelah lateral dari tiga bagian yaitu
epiphysis proximalis, diaphysis dan epiphysis distalis,
epiphysis proximalis membulat disebut capitullum fibula yang
proximal meruncing menjadi apex capitis fibula pada
capitullum terdapat dua dataran yang disebut facies articularis,
capitullum fibula untuk bersendi dengan tibia.
B. Sistem Sendi
Sendi adalah hubungan antara dua tulang atau lebih dari
sistem sendi, disini meliputi sistem sendi panggul dan sendi lutut.
1. Sendi panggul
Sendi panggul dibentuk oleh facies lunata acetabullum
dan caput femoris. Facies lunata rongga sendi atau cavum
articularis merupakan cekungan bentuk simetris terbentang
melampaui equator labium acetabuli, labium acetabuli
mengandung zat rawan fibrosa. Facies lunata dan labium
menjadi dua pertiga caput femoris lekuk tulang tidak lengkap
dan bagian interior ditutup oleh lig trasuersum, acetabuli,
dimana terdapat bantalan lemak menuju caput femoris. Kapsul
sendi melekat pada tulang panggul sebelah luar labium
acetabuli sehingga labium aetabuli dengan bebas masuk ke
rongga kapsul. Sendi panggul diperkuat oleh ligamentum-
ligamentum yang diantaranya:
a. Ligamentum Iliofemorale
Berbentuk Y, dasarnya melekat pada spinailiaca
anterium dan interior berfungsi mencegah gerakan extensi
dan exirotasi tungkai atas yang berlebihan pada sendi
pangkal paha.

8
b. Ligamentum pubofemorale
Berbentuk segitiga, dasarnya ligamen pada ramus
superior pubis, berfungsi mencegah gerakan abduksi
tungkai atas yang berlebihan.
c. Ligamentum ischiofemorale
Berbentuk spiral, melekat pada corpus ischium
dekat tepi aetabulum.
d. Ligamentum transferum acetabuli
Dibentuk oleh labium acetabulare. Berfungsi
mencegah keluarnya caput femoris dari acetabuli.
e. Ligamentum cepitis femoris
Berbentuk gepeng dan segitiga melekat pada caput
femoris. Berfungsi sebagai tempat berjalan vasa dan saraf,
meratakan sinovial pada permukaan sendi.
2. Sendi Lutut
Sendi lutut dibentuk oleh tiga sendi yang berbeda dan
dilindungi oleh kapsul sendi. Sendi tersebut dibentuk oleh
tulang femur dan patella yang mana pada facet sendi terdiri
dari tiga permukaan pada bagian lateral, yang mana pada satu
permukaan bagian medial otot vastus lateralis menarik patella
ke arah proximal sedangkan otot vastus medialis menarik
patela ke arah medial, sehingga patella stabil. Pada posisi 30o,
40o dari ekstansi, patellah tertarik oleh mekanisme gaya kerja
otot sangat kuat.

9
10
C. Sistem Otot
Pada fraktur femur 1/3 medial dextra dengan pemasangan
plate and screw adalah otot yang berfungsi ke segala arah seperti
regio hip untuk gerakan fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi dan
eksternal rotasi-internal rotasi.
Untuk lebih terperincinya, otot-otot yang berhubungan
dengan kondisi tersebut yaitu sebagai berikut :
Tabel 2.1. Otot Tungkai Atas Bagian Anterior (Richard, S. 1986)
No Otot Regio Insertio Fungsi Inervasi
1 Sartorius Spina iliace Permukaan Fleksi N.
anterior medial tibia abduis, femoralis
superior rotasi, lateral
(SIAS) arc coxae
2 Iliacus Fossa illiaca Throcantor Flexi N.
di dalam femur femoralis
abdomen
3 Quadricep
Femoralis
a. Rectus SIAS Tendon m. Flexi arc N.
femoris quadriceps coxae femoralis
pada patela,
vialigamentu
m patellae ke
dalam
b. Vatus Ujung atas Tuberositas Extansi lutut N.
lateralis dan batang tibia femoralis
femur,
septum
facialis lat ke
dalam
c. Vatus Ujung atas Extensi lutut, N.
medialis dan batang menstabilkan femoralis
femur patela
d. Vatus Permukaan Extensi lutut N.
intermedius anterior dan femoralis
lateral
batang femur

Tabel 2.2. Otot Tungkai Atas Bagian Posterior (Ricard, S. 1986)


No Otot Regio Insertio Fungsi Inervasi
1 Biceps Caput Permukaan Flexi Ramus
femoralis longum medial abduksi, tibialis N.
(tuber tibia rotasi lateral ischiadicum

11
isciadoleum) arc.Coxae
caput breve
(linea Flexi,
Semi aspera) Medial rotasi, Ramus
tendonisosis crista supra tibia medial tibialis N.
condilair sendi lutut ischiadicum
lateral serta Arc.
batang Coxae
femur)
Tuber
ischiadikum
2 Semi Tuber Condylus Flexi dan Ramus
membranosus ischiadikum medialis rotasi, tibialis N.
tibia medial ischiadicum
sendi lutut
serta extensi
serta extensi
Arc. Coxae
3 Adduktor Tuber Tiberculu Extensi Arc Ramus
magnus ischiadicum m adduktor Coxae tibialis N.
femur ischiadicum

Tabel 2.3. Otot tungkai atas Regio Glutealis (Richar, S. 1986)


No Otot Regio Insertio Fungsi Inervasi
1 Gluteus Permukaan Tractus Extensi dan N. gluteus
maximus luar ilium, illiotibialis rotasi interior
sacrum, dan laterale Arc.
ligamen duterositas Coxae
sacrotuberal gluteo
e femoris
2 Gluteus Permukana Lateral Extensi dan N. gluteus
Medius luar ilium throchantor rotasi superior
mayor
femoris
3 Gluteus Permukaan Anterior Abduksi N. gluteus
minimus luar ilium throchantor Arc. Coxae superior
mayor
femoris
4 Piriformis Permukaan Throchantor Rotasi N. Sacralis I
anterior mayor lateral dan II
sacrum femoris
5 Obturatorius Permukaan Tepian atas Rotasi Plexus
internus dalam throchantor lateral sacralis
membrana mayor
abturatoria femoris

12
Tabel 2.4. Otot Tuang Medial Paha
No Otot Regio Insertio Fungsi Inervasi
1 M. Gracilis Ramus Tuberositas Adduktor Ramus
interior ossis tibia flexor, hip anterior N.
pubis dan dibelakang flexor dan obturatoria
ossis ischi internal L2-4
rotator
tungkai
bawah
2 M. adduktor Dataran M. sartorius Ramus Adduktor,
langus anterior labium anterior N. flexor hip
ramus medial linea Abtoratoriu
superior aspera 1/3 m L2-3
ossis pubis medial
3 M. adduktor Lateral Labium Adduktor Ramus
brevis ramus medial linea flexor, anterior
interior ossis aspera internal dan
pubis rotasi hip posterior
N.
abturatoria
L2-4
4 M. adduktor Dataran Labium Adduktor Ramus
magnus anterior medial linea dan extensor posterior
ramus aspera hip dan N.
interfior ossi tibialis
ischii dan dan L2-5
tuber dan S1
ischiadicum
5 M. Datarna Fossa External Ramus
Obturatoriu anterior throhantorica rotator hip muscularis
s externus membrana femoris membantu plexus
abturatoria, extensor hip sacralis
foramen S1-3
abturatroium

13
D. Sistem Saraf
Sistem persyarafan pada tungkai atas (paha) dibagi menjadi
4 yaitu:
1. Nervus femoralis
Merupakan cabang terbesar dari pleksus lumbalis.
Nervus ini berisi dari tiga bagian pleksus anterior yang berasal
dari nervus lumbalis (L2, L3 dan L4). Nervus ini muncul dari
tepi lateral psoas di dalam abdomen dan berjalan ke bawah
melewati m. psoas dan m.iliacus ia terletak di sebelah fasia
illiaca dan memasuki paha lateral terhadap anterior femoralis
dan selubung femoral di belakang ligament inguinal dan pecah

14
menjadi devisi anterior dan posterior nervus femoralis
mensyarafi semua otot anterior paha.
2. Nervus obturatorius
Berasal dari plexus lumbalis (L2, L3 dan L4) dan
muncul pada bagian tepi m. psoas di dalam abdomen, nervus
ini berjalan ke bawah dan depan pada lateral pelvis untuk
mencapai bagian atas foramen abturatorium, yang mana
tempat ini pecah menjadi devisi anterior dan posterior. Devisi
anterior memberi cabang-cabang muscular pada m. gracilis, m.
adduktor brevis dan longus. Sedangkan devisi posterior
mensyarafi articularis guna memberi cabang-cabang muscular
kepada m.obturatorius esternus, dan adduktor magnus.
3. Nervus gluteus superior dan inferior
Cabang nervus sacralis meninggalkan pelvis melalui
bagian atas, dan bawah foramen ischiadicus majus di atas m.
piriformis dan mensyarafi m.gluteus medius dan minimus serta
maximus.
E. Sistem Pembuluh Darah
Sistem peredaran darah dari sepanjang tungkai atas atau
paha yaitu pembuluh darah arteri dan vena :
1. Pembuluh darah arteri
Arteri membawa darah dari jantung menuju saluran
tubuh dan arteri ini selalu membawa darah segar berisi oksigen,
kecuali arteri pulmonale yang membawa darah kotor yang
memerlukan oksigenisasi. Pembuluh darah arteri pada tungkai
antara lain yaitu:
a. Arteri femoralis
Arteri femoralis memasuki paha melalui bagian
belakang ligament inguinale dan merupakan lanjutan
arteria illiace externa, yang terletak dipertengahan antara
SIAS (spina illiaca anterior superior) dan sympiphis
pubis. Arteria femoralis merupakan pemasok darah utama
bagian tungkai, berjalan menurun hampir bertemu ke
tuberculum adductor femoralis dan berakhir pada lubang
otot magnus dengan memasuki spatica poplitea sebagai
arteria poplitea.
b. Arteria profunda femoralis
Merupakan arteri besar yang timbul dari sisi lateral
arteri femoralis dari trigonum femorale. Ia keluar dari
anterior paha melalui bagian belakang otot adductor, ia
berjalan turun diantara otot adductor brevis dan kemudian
teletak pada otot adduktor magnus.

15
c. Arteria obturatoria
Merupakan cabang arteri illiaca interna, ia berjalan
ke bawah dan ke depan pada dinding lateral pelvis dan
mengiringi nervus obturatoria melalui canalis
obturatorius, yaitu bagian atas foramen obturatum.
d. Arteri poplitea
Arteri poplitea berjalan melalui canalis adduktorius
masuk ke fossa bercabang menjadi arteri tibialis posterior
terletak dalam fossa poplitea dari fossa lateral ke medial
adalah nervus tibialis, vena poplitea, arteri poplitea.
2. Pembuluh darah vena
Pembuluh darah vena pada tungkai antara lain :
a. Vena femoralis
Vena femoralis memasuki paha melalui lubang pada
otot adduktor magnus sebagai lanjutan dari vena poplitea,
ia menaiki paha mula-mula pada sisi lateral dari arteri.
Kemudian posterior darinya, dan akhirnya pada sisi
medialnya. Ia meninggalkan paha dalam ruang medial dari
selubung femoral dan berjalan dibelakang ligamentum
inguinale menjadi vena iliaca externa.
b. Vena profunda femoralis
Vena profunda femoris menampung cabang yang
dapat disamakan dengan cabang-cabang arterinya, ia
mengalir ke dalam vena femoralis.
c. Vena obturatoria
Vena obturatoria menampung cabang-cabang yang
dapat disamakan dengan cabang-cabang arterinya, dimana
mencurahkan isinya ke dalam vena illiaca internal.
d. Vena saphena magna
Mengangkut perjalanan darah dari ujung medial
arcus venosum dorsalis pedis dan berjalan naik tepat di
dalam malleolus medialis, venosum dorsalin vena ini
berjalan di belakang lutut, melengkung ke depan melalui
sisi medial paha. Ia bejalan melalui bagian bawah n.
saphensus pada fascia profunda dan bergabung dengan
vena femoralis.
II. FRAKTUR FEMUR
A. Pengertian
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang,
baik yang bersifat total maupun sebagian, biasanya disebabkan
oleh trauma. Terjadinya suatu fraktur lengkap atau tidak lengkap
ditentukan oleh kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan tulang, serta
jaringan lunak di sekitar tulang.1 Fraktur femur adalah terputusnya

16
kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung
(kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian). Patah pada tulang
femur dapat menimbulkan perdarahan cukup banyak serta
mengakibatkan penderita mengalami syok.2
B. Etiologi
Penyebab fraktur secara fisiologis merupakan suatu
kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga
fisik, olahraga dan trauma dapat disebabkan oleh: cedera langsung
berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan dan cedera tidak langsung berarti pukulan langsung
berada jauh dari lokasi benturan. Secara patologis merupakan suatu
kerusakan tulang yang terjadi akibat proses penyakit dimana
dengan trauma dapat mengakibatkan fraktur, hal ini dapat terjadi
pada berbagai keadaan diantaranya: tumor tulang, osteomielitis,
scurvy (penyakit gusi berdarah) serta rakhitis.3
C. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan
dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Tetapi apabila tekanan
eksternal datang lebih besar dari pada tekanan yang diserap tulang,
maka terjadilah trauma pada tulang yang dapat mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (fraktur).4
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks marrow dan jaringan lunak yang
membungkus tulang menjadi rusak sehingga menyebabkan
terjadinya perdarahan. Pada saat perdarahan terjadi terbentuklah
hematoma di rongga medulla tulang, sehingga jaringan tulang
segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis akan menstimulasi terjadinya respon inflamasi
yang di tandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit
serta infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan
dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.5
Proses penyembuhan tulang terdiri dari 3 fase, yaitu:
1. Fase inflamasi, berakhir kurang lebih satu hingga dua minggu
yang pada awalnya terjadi reaksi inflamasi. Peningkatan aliran
darah menimbulkan hematom fraktur yang segera diikuti
invasi dari sel-sel peradangan yaitu netrofil, makrofag dan sel
fagosit. Sel-sel tersebut termasuk osteoklas berfungsi untuk
membersihkan jaringan nekrotik untuk menyiapkan fase
reparatif. Secara radiologis, garis fraktur akan lebih terlihat
karena material nekrotik disingkirkan.
2. Fase reparatif, umumnya berlangsung beberapa bulan. Fase ini
ditandai dengan differensiasi dari sel mesenkim pluripotensial.
Hematom fraktur lalu diisi oleh kondroblas dan fibroblas yang

17
akan menjadi tempat matrik kalus. Mula-mula terbentuk kalus
lunak, yang terdiri dari jaringan fibrosa dan kartilago dengan
sejumlah kecil jaringan tulang. Osteoblas kemudian yang
mengakibatkan mineralisasi kalus lunak menjadi kalus keras
dan meningkatkan stabilitas fraktur. Secara radiologis garis
fraktur mulai tak tampak.
3. Fase remodelling, membutuhkan waktu bulanan hingga
tahunan untuk merampungkan penyembuhan tulang meliputi
aktifitas osteoblas dan osteoklas yang menghasilkan perubahan
jaringan immatur menjadi matur, terbentuknya tulang lamelar
sehingga menambah stabilitas daerah fraktur.
D. Manifestasi
Menurut American Academy of Orthopaedic Surgeons
(AAOS) (2008) Menyatakan bahwa manifestasi klinis fraktur
femur adalah sebagai berikut: nyeri, ketidakmampuan untuk
menggerakkan kaki, deformitas, dan bengkak.
Sedangkan Smeltzer dan Bare menyatakan bahwa
manifestasi klinis fraktur ekstremitas bawah secara umum yaitu6 :
1. Nyeri, sifatnya terus menerus skalanya meningkat saat
mobilisasi dan berkurang saat imoblisasi.
2. Hilangnya fungsi segera setelah terjadi fraktur bagian tersebut
cenderung tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alami fungsi otot bergantung pada integritas tulang
sebagai tempat melekatnya otot.
3. Deformitas, hal ini terjadi karena adanya pergeseran fragmen
tulang.
4. Pemendekan tulang (shortening), hal ini terjadi karena adanya
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur
sehingga fragmen tulang saling bertumpuk satu sama lain
sampai 2,5 cm – 5 cm.
5. Kripitasi (suara derik), ini timbul dikarenakan adanya gesekan
antar fragmen tulang.
6. Pembengkakan dan perubahan warna kulit secara lokal, hal ini
terjadi akibat adanya trauma dan perdarahan yang mengikuti
fraktur.
Tanda-tanda tidak pasti diantaranya adalah: rasa nyeri dan
tegang, nyeri hebat bila bergerak, hilangnya fungsi akibat nyeri
atau tak mampu melakukan gerakan dan deformitas karena
pembengkakan atau akibat perdarahan dan posisi fragmen berubah.
Tanda-tanda pasti diantaranya adalah: gerakan abnormalitas (false
movement), gesekan dari kedua ujung fragmen tulang yang patah
(krepitasi) serta deformitas akibat fraktur (umumnya deformitas
berupa rotasi, angulasi dan pemendekan).6

18
E. Jenis Fraktur
Jenis fraktur dibedakan berdasarkan beberapa hal antara
lain: 1) bentuk garis patah, yaitu fraktur komplit dan fraktur
inkomplit; 2) berhubungan dengan dunia luar, yaitu fraktur tertutup
dan fraktur terbuka; 3) pergeseran anatomi tulang, yaitu fraktur
greenstick, fraktur transversal, fraktur oblik, fraktur spiral, fraktur
segmental, fraktur avulse, fraktur impacted, fraktur torus, dan
fraktur komminuted.
Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat
diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur
dengan komplikasi. Fraktur tertutup adalah fraktur dimana kulit
tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak
tercemar oleh lingkungan/dunia luar. Fraktur terbuka adalah fraktur
yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada
kulit dan jaringan lunak, dapat terbentuk dari dalam maupun luar.
Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan
komplikasi seperti malunion, delayed union, nounion dan infeksi
tulang.7
Patah tulang terbuka menurut Gustillo dibagi menjadi tiga
derajat, yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang
terjadi.8,9
1. Tipe I: luka kecil kurang dari 1 cm, terdapat sedikit kerusakan
jaringan, tidak terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada
jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simpel,
tranversal, oblik pendek atau komunitif.
2. Tipe II: laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat
kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat
kerusakan yang sedang dan jaringan.
3. Tipe III: terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak
termasuk otot, kulit dan struktur neovaskuler dengan
kontaminasi yang hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe :
a. Tipe IIIA : jaringan lunak cukup menutup tulang yang
patah,
b. Tipe IIIB : disertai kerusakan dan kehilangan janingan
lunak, tulang tidak dapat di tutup jaringan lunak, dan
c. Tipe IIIC : disertai cedera arteri yang memerlukan repair
segera.
Menurut Apley Solomon fraktur diklasifikasikan
berdasarkan garis patah tulang dan berdasarkan bentuk patah
tulang.10
1. Berdasarkan garis patah tulangnya :
a. Greenstick: fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi
lainnya bengkok,

19
b. Transversal: fraktur yang memotong lurus pada tulang,
c. Spiral: fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang,
d. Obliq: fraktur yang garis patahnya miring membentuk
sudut melintasi tulang.
2. Berdasarkan bentuk patah tulangnya :
a. Komplet: garis fraktur menyilang atau memotong seluruh
tulang dan fragmen tulang biasanya tergeser,
b. Inkomplet: hanya sebagian retakan di sebelah sisi tulang,
c. Fraktur kompresi: fraktur dimana tulang terdorong ke arah
permukaan tulang lain
d. Avulsi: fragmen tulang tertarik oleh ligament,
e. Communited (segmental): fraktur dimana tulang terpecah
menjadi beberapa bagian.
f. Simple: fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh,
g. Fraktur dengan perubahan posisi: yaitu ujung tulang yang
patah berjauhan dari tempat yang patah,
h. Fraktur tanpa perubahan posisi: yaitu tulang patah, posisi
pada tempatnya yang normal,
i. Fraktur komplikata: tulang yang patah menusuk kulit dan
tulang terlihat.
Berdasarkan lokasinya fraktur dapat mengenai bagian
proksimal (plateau), diaphyseal (shaft), maupun distal.
Berdasarkan proses osifikasinya, tulang panjang tediri dari diafisis
(corpul/shaft) yang berasal dari pusat penulangan sekunder.
Epifisis, terletak di ujung tulang panjang. Bagian dari diafisis yang
terletak paling dekat dengan epifisis disebut metafisis, yaitu bagian
dari korpus yang melebar. Fraktur dapat terjadi pada bagian-bagian
tersebut.1,8

20
F. Penegakkan Diagnosis
Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa
nyeri dan bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas
(angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan fungsi muskuloskeletal
akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan
neurovaskuler. Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis
diagnose fraktur dapat ditegakkan walaupun jenis konfigurasinya
belum dapat ditentukan.1,8,9,10
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme
cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan
dengan cedera tersebut. Riwayat cedera atau fraktur sebelumnya,
riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi,
merokok, riwayat alergi dan osteoporosis serta penyakit lain.1,9,10
Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting9,10 :
1. Inspeksi / look: deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan,
pemanjangan), bengkak.
2. Palpasi / feel (nyeri tekan, krepitasi): status neurologis dan
vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa, lakukan palpasi
pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut (meliputi
persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami
nyeri, efusi, dan krepitasi), neurovaskularisasi bagian distal
fraktur (meliputi pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian
cairan kapler, sensasi).
3. Pemeriksaan gerakan / moving: dinilai apakah adanya
keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan
lokasi fraktur. Pemeriksaan trauma di tempat lain meliputi
kepala, toraks, abdomen, pelvis. Sedangkan pada pasien
dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut
protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway,
breathing, dan circulation. Perlindungan pada vertebra
dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan klinis dan radiologis.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain
laboratorium meliputi darah rutin, faktor pembekuan darah,
golongan darah, cross-test, dan urinalis. Hal lain yang dapat
dilakukan adalah dengan pemeriksaan laboratorium, pada fraktur
test laboratorium yang perlu diketahui: hemoglobin, hematokrit
sering rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED)
meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas.1,3,8
Pemeriksaan radiologi, diantaranya adalah: X-Ray, dapat
dilihat gambaran fraktur. Venogram/anterogram menggambarkan
arus vascularisasi. CT-Scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang
komplek.3

21
Pemeriksaan radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut
rule of two9,10 :
1. Dua gambaran, yaitu anteroposterior (AP) dan lateral,
2. Memuat dua sendi, yaitu di proksimal dan distal fraktur,
3. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang
cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) dan dua kali,
yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
G. Penatalaksanaan
Sebelum menggambil keputusan untuk penatalaksanaan
definitif, prinsip penatalaksanaan fraktur ada 4 R yaitu :
1. Recognition: diagnosa dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan
fraktur dengan anannesis, pemeriksaan klinis dan radiologi.
Pada awal pengobatan perlu diperhatikan: lokasi fraktur,
bentuk fraktur, menentukan tehnik yang sesuai untuk
pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi selama
pengobatan.
2. Reduction: mengembalikan panjang & kesegarisan tulang
Dapat dicapai yang manipulasi tertutup/reduksi terbuka
progresi. Reduksi tertutup terdiri dari penggunaan traksimoval
untuk menarik fraktur kemudian memanupulasi untuk
mengembalikan kesegarisan normal/dengan traksi mekanis
Reduksi terbuka diindikasikan jika reduksi tertutup gagal/tidak
memuaskan. Reduksi terbuka merupakan alat frusasi internal
yang digunakan itu mempertahankan dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid seperti pen, kawat, skrup dan
plat. Reduction interna fixation (ORIF) yaitu dengan
pembedahan terbuka akan mengimobilisasi fraktur dengan
memasukkan skrup/pen kedalam fraktur yang berfungsi untuk
menfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara
bersamaan.
3. Retention: imobilisasi fraktur
Tujuannya untuk mencegah pengeseran fregmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam union. Untuk
mempertahankan reduksi (ektrimitas yang mengalami fraktur)
adalah dengan traksi. Traksi merupakan salah satu pengobatan
dengan cara menarik/tarikan pada bagian tulang-tulang sebagai
kekuatan dngan kontrol dan tahanan beban keduanya untuk
menyokong tulang dengan tujuan mencegah reposisi
deformitas, mengurangi fraktur dan dislokasi,
mempertahankan ligamen tubuh/mengurangi spasme otot,
mengurangi nyeri, mempertahankan anatomi tubuh dan

22
mengimobilisasi area spesifik tubuh. Ada 2 pemasangan traksi
yaitu: skin traksi dan skeletal traksi.
4. Rehabilitation: mengembalikan optimal aktiftas fungsional
Ada 4 tujuan utama penatalaksanaan fraktur, yaitu:
a. Mengurangi rasa nyeri.
Trauma pada jaringan disekitar fraktur
menimbulkan rasa nyeri yang hebat bahkan sampai
menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri dapat diberi
obat penghilang rasa nyeri, serta dengan teknik
imobilisasi, yaitu pemasangan bidai/ spalk, maupun
memasang gips.
b. Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi
eksternal, fiksasi internal, sedangkan bidai maupun gips
hanya dapat digunakan untuk fiksasi yang bersifat
sementara saja.
c. Membuat tulang kembali menyatu.
Tulang yang fraktur akan mulai menyatu dalam
waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan sempurna
dalam waktu 6 bulan.
d. Mengembalikan fungsi seperti semula.
Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan atrofi otot dan kekakuan pada sendi. Maka
untuk mencegah hal tersebut diperlukan upaya mobilisasi.
H. Komplikasi
Komplikasi akibat fraktur yang mungkin terjadi menurut 2,
antara lain: syok neurogenik, infeksi, nekrosis divaskuler, cidera
vaskuler dan saraf, malunion, luka akibat tekanan serta kaku sendi.
Berikut merupakan beberapa komplikasi yang dapat terjadi
pada penderita Fraktur :
1. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah
telah sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya,
membentuk sudut atau miring
2. Delayed union, adalah proses penyembuhan yang berjalan
terus tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan
normal.
3. Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.
4. Compartment syndrome, adalah suatu keadaan peningkatan
takanan yang berlebihan di dalam satu ruangan yang
disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat.
5. Shock, terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

23
6. Fat embolism syndrome, tetesan lemak masuk ke dalam
pembuluh darah. Faktor resiko terjadinya emboli lemak ada
fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70 sam
pai 80 fraktur tahun.
7. Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering
terjadi pada individu yang imobiil dalam waktu yang lama
karena trauma atau ketidak mampuan lazimnya komplikasi
pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi
paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedil
8. Infeksi, sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedi, infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan
lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
9. Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika
atau necrosis iskemia.
10. Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh
hiperaktif sistem saraf simpatik abnormal syndroma ini belum
banyak dimengerti. Mungkin karena nyeri, perubahan tropik
dan vasomotor instability.
III. ORIF
A. Pengertian
ORIF adalah sebuah prosedur bedah medis, yang
tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang,
seperti yang diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi
internal mengacu pada fiksasi plate dan screw untuk mengaktifkan
atau memfasilitasi penyembuhan.6
B. Metode
Terdapat 5 metode fiksasi internal yang digunakan, antara
lain: sekrup kompresi antar fragmen, plat dan sekrup (paling sesuai
untuk lengan bawah), paku intermedula (untuk tulang panjang
yang lebih besar), paku pengikat sambungan dan sekrup (ideal
untuk femur dan tibia), sekrup kompresi dinamis dan plat (ideal
untuk ujung proksimal dan distal femur).11
C. Indikasi ORIF
Indikasi ORIF diantaranya adalah: fraktur yang tidak bisa
sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi (fraktur collum
femur), fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup (fraktur avulse
dan fraktur dislokasi), fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit
dipertahankan (fraktur monteggia, fraktur galeazzi, fraktur
antebrachii dan fraktur ankle), fraktur yang berdasarkan
pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi (fraktur
femur).11

24
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien mengalami fraktur femur dextra tertutup dan hasil rontgen
menunjukkan adanya fraktur komplit 1/3 distal femur. Fraktur femur adalah
terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung
(kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian). Patah pada tulang femur dapat
menimbulkan perdarahan cukup banyak serta mengakibatkan penderita
mengalami syok.
Perdarahan dapat terjadi karena adanya arteria femoralis yang memasuki
paha melalui bagian belakang ligament inguinale dan merupakan lanjutan arteria
illiace externa, yang terletak dipertengahan antara SIAS (spina illiaca anterior
superior) dan sympiphis pubis. Arteria femoralis merupakan pemasok darah
utama bagian tungkai, berjalan menurun hampir bertemu ke tuberculum adductor
femoralis dan berakhir pada lubang otot magnus dengan memasuki spatica
poplitea sebagai arteria poplitea. Pada 1/3 distal femur terdapat arteria femoralis
didekatnya maka jika terjadi fraktur dapat merobek arteri tersebut.
Manifestasi klinis fraktur femur ditemukan pada pasien, yaitu nyeri,
deformitas, bengkak, shortening (pemendekan tulang), dan ketidakmampuan
untuk menggerakkan kaki. Nyeri dirasakan pasien terus menerus, skalanya
meningkat saat mobilisasi dan berkurang saat imoblisasi. Deformitas terjadi
karena adanya pergeseran fragmen tulang. Pemendekan tulang terjadi karena
adanya kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur sehingga
fragmen tulang saling bertumpuk satu sama lain sampai 2,5 cm – 5 cm.
Pembengkakan dan perubahan warna kulit secara lokal dapat terjadi akibat adanya
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Penatalaksanaan di IGD (Instalasi Gawat Darurat) dengan melakukan
pembidaian merupakan langkah yang tepat karena terkadang pasien dalam
keadaan bingung tidak menyadari adanya fraktur dan berjalan dengan tulang
kering yang mengalami fraktur. Gerakan fragmen tulang dapat menyebabkan
nyeri bertambah, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut.

25
Pasien megalami fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup (fraktur
dislokasi), dan fraktur femur berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih
baik dengan operasi, maka dianjurkan melakukan tindakan operasi ORIF
(reduction interna fixation), yaitu pembedahan terbuka untuk mengimobilisasi
fraktur dengan memasukkan skrup/pen kedalam fraktur yang berfungsi untuk
menfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara bersamaan. Terdapat 5
metode fiksasi internal yang digunakan, antara lain: sekrup kompresi antar
fragmen, plat dan sekrup (paling sesuai untuk lengan bawah), paku intermedula
(untuk tulang panjang yang lebih besar), paku pengikat sambungan dan sekrup
(ideal untuk femur dan tibia), sekrup kompresi dinamis dan plat (ideal untuk
ujung proksimal dan distal femur). Metode fiksasi internal yang ideal untuk pasien
ini yang fraktur komplit 1/3 distal femur adalah sekrup kompresi dinamis dan plat.
Komplikasi pada patah tulang dapat terjadi baik komplikasi awal seperti
sindrom kompartemen, infeksi, kerusakan arteri dan syok maka diperlukan
pemantauan terhadap pasien untuk menilai status lokalis walaupun pasien telah
dipasang gips mengingat pasien memiliki luka terbuka. Komplikasi lanjut yang
dapat terjadi adalah delayed union, non-union ataupun mal-union, maka pasien
harus kontrol keadaan status lokalis untuk penilaian lanjutan.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Helmi ZN. Buku Ajar GANGGUAN MUSKULOSKELETAL. Jakarta: Salemba


Medika. 2011. p411-55
2. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta:
EGC.
3. Mansjoer, Arief. 2003. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius.
4. Elizabeth, J. Corwin. 2003. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
5. Price, A. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit, Edisi IV.
Jakarta: EGC.
6. Smeltzer, Suzanne, C. Bare Brenda, G. 2004. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth, Edisi VIII. Jakarta: EGC.
7. Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown CM. Rockwood & Green's Fractures in
Adults, 6th Edition. USA: Maryland Composition. 2006. p80-331
8. Sjamsuhidayat, de Jong. BUKU AJAR ILMU BEDAH EDISI 3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG. 2011. p959-1083
9. Salter RB. Textbook Disorders and Injuries of The Muskuloskeletal System
Third Edition. USA: Lippincott Williams and Wilkins. 1999. p417-498
10. Nayagam S. Principles of Fractures. Dalam: Solomon L, Warwick D, Nayagam
S. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures Ninth Edition. London: Hodder
Education. 2010. p687-732
11. Appley, G. A. 2005. Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley, Edisi VII. Jakarta:
Widya Medika.

27

Anda mungkin juga menyukai