Anda di halaman 1dari 31

OSTEOPOROSIS

Laporan Kasus

Oleh:

Alif Fariz Jazmi 1500702000111

Erien Guswidtri 150070200011041

Naya Adi D 1500702000111

Pembimbing:

dr. Bagus Putu Putra Suryana, Sp.PD-KR

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR

MALANG

2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di negara berkembang insidensi penyakit degeneratif terus meningkat sejalan
dengan meningkatnya usia harapan hidup. Dengan bertambah usia harapan hidup
ini, maka penyakit degeneratif dan metabolik juga meningkat, seperti penyakit
jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, obesitas, dislipidemia, dan termasuk
osteoporosis. Saat ini osteoporosis menjadi permasalahan di seluruh negara dan
menjadi isu global di bidang kesehatan.
Osteoporosis adalah kelainan yang khusus ditemukan pada pria dan wanita
lanjut usia.1-3. Karakteristik osteoporosis adalah nilai bone mineral density (BMD)
rendah dan degenerasi mikroarsitektur yang meningkatkan fragilitas dan risiko
fraktur. Secara klinis, osteoporosis diidentifikasi melalui kejadian fraktur
non/minimal traumatik pada vertebra, hip, humerus proksimal, serta fraktur femur.2-
4 Meningkatnya ekonomi dan populasi lanjut usia akan meningkatkan frekuensi
osteoporosis sehingga menjadi satu permasalahan kesehatan yang perlu
diperhatikan
Prevalensi osteoporosis di negara kurang atau sedang berkembang tidak jelas
terungkap, akibat sedikitnya penelitian. 6 Pada populasi >50 tahun di negara Asia
didapatkan osteoporosis lumbar spine wanita sebesar 11%-37% dan pria sebesar
5,4%-37,4%, osteoporosis leher femoral wanita 2% dan pria sebesar 6,3%-11,4%,
serta osteoporosis pinggul wanita 16% dan pria sebesar 3,8%-24,3%.7-11 Data
“White Paper” yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Osteoporosis Indonesi
(PEROSI), prevalensi osteoporosis tahun 2007 mencapai 28,8% untuk pria dan
32,3% untuk wanita.12 Di Banjarmasin berdasarkan data pasien BMD sampai Juli
2009 didaptkan bahwa prevalensi osteoporosis dari seluruh pemeriksaan BMD per
tahun berkisar antara 24,52%-39,28% untuk wanita dan 0-3,05% untuk pria.
Hasil analisa data risiko Osteoporosis pada tahun 2005 dengan jumlah sampel
65.727 orang yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Departemen Kesehatan RI dan
sebuah perusahaan nutrisi dengan metode pemeriksaan DMT (densitas massa
tulang) menunjukkan bahwa 2 dari 5 penduduk Indonesia memiliki risiko untuk
terkena osteoporosis. Pemeriksaan bone mineral density (BMD) pada kelompok
yang beresiko tinggi merupakan upaya penting untuk mengurangi prevalensi
osteoporosis di Indonesia (Priyana, 2007). Dual Energy X-Ray Orbsorptiometry

2
(DEXA) merupakan metode pemeriksaan BMD yang dijadikan standar baku emas
oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) (Blake dan Fogelman, 2007).
Karena cukup tingginya prevalensi osteoporosis di Indonesia dan rendahnya
kesadaran masyarakat akan penyakit osteoporosis ini, maka dari itu, diperlukan
pemahaman yang baik mulai dari teknik anamnesis, pemeriksaan fisik yang tepat
dan pemeriksaan penunjang yang efektif dan efisien. Berdasarkan uraian latar
belakang di atas, maka perlu dilakukan pelaporan kasus pasien dengan
osteoporosis yang dirawat di Rumah Sakit dr.Saiful Anwar Malang

1.2 Tujuan
Laporan kasus ini membahas salah satu pasien dengan osteopororsis di
Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang, sehingga dapat diketahui:
a. Prosedur penegakan diagnosis osteoporosis.
b. Penatalaksanaan osteoporosis serta prognosisnya

1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penulisan laporan kasus ini adalah :
a. Menambah pengetahuan dan pemahaman dokter muda terkait metode
penegakan diagnosis osteoporosis.
b. Meningkatkan pemahaman dokter muda mengenai tatalaksana dan prognosis
untuk penderita osteoporosis.

3
BAB 2
URAIAN KASUS

2.1 Identitas
Reg : 1111XXXX
Nama : Ny. WNR
Umur : 38 tahun
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Status : Menikah 1 kali
Alamat : Jl. Plaosan Timur 161 RT 01/12 Malang
Tanggal periksa : 03 Agustus 2016 pukul 09.00

2.2 Subyektif (30-5-2016)


2.2.1 Keluhan utama
Deformitas kedua telapak tangan dan telapak kaki
2.2.2 Perjalanan Penyakit
 Pasien datang ke IGD RSUD Dr Saiful Anwar Malang pada tanggal 03
Agustus 2016 dengan keluhan utama deformitas kedua telapak tangan
dan telapak kaki. Deformitas sudah berlangsung selama 4 tahun terakhir.
Deformitas membentuk gambaran Swan Neck deformities yang terdapat
pada hampir semua sendi-sendi jari tangan dan kaki.
 Pasien merupakan pasien Poli Rematologi RSSA dengan diagnosis
Psoriasis Arthritis. Pasien merupakan pasien rawat jalan yang rutin
kontrol sekitar 1 minggu hingga 1 bulan sekali.
 Pasien juga mengeluh terdapat plaque kering di dada dan di kepala tanpa
disertai ekskoriasi maupun crustae. Rambut pasien juga sedikir rontok.
Tidak ada kaku sendi, tebal-tebal, maupun sakit saat beraktifitas dan
istirahat.
 Pasien juga didiagnosa Osteoporosis tulang belakang sejak 1 tahun
terakhir. Diagnosis dinyatakan berdasarkan hasil Bone Mineral Density
(BMD) dengan metode Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA) pada
tanggal 01 April 2015. Osteoporosis berlokasi pada L1-L4 dan Femoral
Neck.

4
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
 Pasien MRS di Ruang Poli Rematologi RSSA sekitar 5 tahun yang lalu
dengan keluhan kaku sendi tangan dan kaki disertai bengkak dan nyeri,
memberat bila beraktifitas, disertai deformitas yang simetris pada tangan
dan kaki, didiagnosis Rheumatoid Arthritis.
 Pasien memiliki gangguan pertumbuhan sejak kecil dilihat dari ukuran
tubuhnya dibandingkan dengan teman-temannya.
 Pasien perah mengalami fraktur siku kanan dan diterapi dengan operasi.
 Pasien pernah mencoba terai alternatif seperti jamu sekitar 5 tahun yang
lalu.
 Pasien pernah menjalani operasi cessarian pada usia 37 tahun
 Pasien memiliki hipertensi, alergi obat-obataan, dan Diabetes Mellitus
 Riwayat penyakit jantung, asma, dan alergi disangkal oleh pasien.
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat osteoporosis dan penyakit sendi dalam keluarga (-). Riwayat
hipertensi, DM, penyakit jantung, asma, dan alergi pada keluarga (-).
2.2.5 Riwayat Pengobatan
Pasien MRS di Ruang RSSA sekitar 5 tahun yang lalu. Pasien dirawat jalan
hingga 4 tahun yang lalu hingga diagnosis berubah menjadi Psoriatic
Arthritis. Pasien diberi pengobatan kortikosteroid selama didiagnosis
Rheumatoid Arthritis dan Psoriatic Arthritis
2.2.6 Riwayat Sosial
Pasien seorang ibu buruh. Sanitasi, ventilasi, dan kebersihan tempat kerja
kurang baik. Pasien tinggal di lingkungan perkampungan dan tidak
memelihara hewan peliharaan. Pasien merokok sejak kecil sampai menikah
dan mempunyai anak, diperkirakan lama merokok adalah 10tahun.

2.3 Obyektif
2.3.1 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
- Keadaan umum : tampak sakit sedang
- Kesadaran : GCS 456
- Tinggi badan : 148 cm
- Berat badan : 63 kg
- BMI : 28,76 kg/m2

5
- Tekanan darah : 150/80 mmHg
- Nadi : 88x/menit, reguler
- RR : 20x/menit,
- Suhu rectal : 36,90C
- Suhu axilla : 36,60C
- Kepala dan leher : konjungtiva anemis - / -, sklera ikterik - / -
refleks cahaya (+), pupil 3mm/3mm,
pembesaran KGB leher - / -
- Thorax : jantung: S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
paru: Insp st D=S SF N / N Perk S / S
dyn D=S N/N S/S
N/N S/S
Ausk v / v Rh - / - Wh - / -
v/v -/- -/-
v/v -/- -/-
- Abdomen : rounded, soefl, bising usus (+) normal, permukaan
rata, batas tegas, liver span 7cm, traube’s space
tymphany, nyeri (-), shifting dullness (-)
- Ekstremitas : edema - / -
-/-
Tangan kanan: MCP 1, MCP2, MCP3, MCP4, MCP5,
PIP1, PIP2, PIP3, PIP4, PIP5, DIP1, DIP2, DIP3, DIP4,
DIP 5
Tangan kiri: MCP1, MCP3, MCP4, MCP5, PIP1, PIP3,
PIP4, PIP5, DIP 2, DIP 3, DIP4, dan DIP 5
Kaki kanan: MTP1, MTP2, MTP3, MTP4, MTP5, IP1,
IP2, IP3, IP 4, dan IP 5
Kaki Kiri: MTP1 dan IP1

6
2.3.2 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (02-08-2016)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Hemoglobin (Hb) 12,7 g/dL 11,4-15,1
Eritrosit (RBC) 4,68 106/µL 4,0-5,0
Leukosit (WBC) 7,25 103/µL 4,7-11,3
Hematokrit 39,50 % 38-42
Trombosit (PLT) 323 103/µL 142-424
MCV 84,40 fL 80-93
MCH 27,10 Pg 27-31
MCHC 32,20 g/dL 32-36
RDW 18,80 % 11,5-14,5
PDW 11,2 fL 9-13
MPV 10,0 fL 7,2-11,1
P-LCR 23,6 % 15,0-25,0
PCT 0,32 % 0,150-0,400
Hitung jenis
- Eosinofil 3,0 % 0-4
- Basofil 0,4 % 0-1
- Neutrofil 63,9 % 51-67
- Limfosit 27,0 % 25-33
- Monosit 5,7 % 2-5
CRP Kuantitatif 0,33 mg/dl <0,3

Bone Mineral Density (04-04-2016)


- Osteoporosis pada L1-L4
2.4 Assessment
1. Psoriasis Arthritis
2. Hipertensi
3. Osteoporosis
2.5 Planning
PDx :-
PTx : Methotrexate 1x12,5mg
Diltiazem 3x30mg
As. Folat 1x1mg

7
Klarithromicin 2x500mg
PMo :-
PEd : KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) pasien dan keluarga tentang:
1. Kondisi pasien
2. Prosedur tindakan medis yang akan dilakukan
3. Efek samping dan komplikasi dari tindakan yang dilakukan
4. Prognosis

8
PROBLEM ORIENTED MEDICAL RECORD
Cue and Clue Problem List Idx PDx PTx PMo

Ny. M/ 38 th 1. Joint Pain 1.1 Immunocompromise Rheumatoid Methotrexate 1 x 12,5 mg


Ax: state Factor Asam Folat 1 x 1 mg
- Deformitas dan nyeri sendi 1.1.1 Psorioasis Artritis
jari-jari tangan dan kaki. 1.1.2 Rheumatoid Artritis
Keluhan sudah berlangsung
selama 4 tahun terakhir.
- Terdapat plaque kering di
dada dan di kepala
- Pasien MRS di RSSA
sekitar 5 tahun yang lalu
dengan keluhan kaku sendi
tangan dan kaki disertai
bengkak dan nyeri,
memberat bila beraktifitas,
disertai deformitas sendi
pada tangan dan kaki
- Pasien pernah mencoba
terapi alternatif seperti jamu
sekitar 5 tahun yang lalu.
- Hipertensi (+)
PF:
- Tangan kanan: deformitas
pada MCP 1-5, IP1, PIP2-5,
DIP 2-5
Tangan kiri : deformitas di MCP
1,3,4, dan 5, IP1, PIP3-5 dan
DIP 2-5,
Kaki kanan : deformitas di MTP
1-5, IP1-5
Kaki kiri : deformitas di MTP1
dan IP1
CRP kuantitatif : 0.33 mg/dL
Foto manus : gambara n
rheumatoid artritis
2. Ny. M/ 38 th 2. 2.1 Psoriasis Arthritis RF Olah raga aktivitas fisik BMD/ 12
Ax: Osteoporosis 2.2 Rheumatoid Arthritis teratur bulan
- Nyeri punggung, terutama 2.3Corticosteroid induced 30-60 menit/ hari Edukasi:
saat beraktifitas
(berjalan, sepeda, berhenti
- Konsumsi kortikosteroid (+)
sejak 5 tahun yang lalu berenang) merokok
- Riwayat fraktur
Diet TKTP
- Tidak pernah
mengkonsumsi susu Bifosfosnat 150mg/ bulan

10
- Merokok (+) sejak 10 tahun
yang lalu
- Riwayat konsumsi jamu
- Menopause (+)
PRC Kuantitatif : 0.33 mg/dL
Rongent lumbal:
-
BMD:
T-Score Fem neck : -1,95
T-Score Lumbal : -2,65
3. Ny. M/ 38 th 3. Hipertensi Irbesartan 1 x 15 mg S
Ax: gr II Diltiazem 3 x 30 mg VS
Hipertensi terkontrol sejak 5
tahun yang lalu
PF:
TD : 150/80 mmHg
N : 80 x/menit
RR : 20 x/m

11
BAB 3
PERMASALAHAN

3.1 Diagnosa

Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus ini?

3.2 Penatalaksanaan dan prognosis

Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada kasus ini?

11
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Osteoporosis
Osteoporosis adalah sebuah kondisi “silent” dimana tulang menjadi lemah
dan mudah terjadi fraktur, kondisi ini dapat diderita oleh pria dan wanita, utamanya
pada saat lanjut usia. Tulang adalah jaringan hidup yang secara konstan
mengalami regenerasi, dimana tubuh akan menghilangkan tulang-tulang yang
sudah tua (bone resorbtion) dan menggantikannya dengan tulang baru (bone
formation). Pada usia 30 tahunan, kebanyakan manusia secara perlahan mulai
mengalami kondisi dimana ia kehilangan lebih banyak tulang dibandingkan
terbentuknya tulang-tulang baru. Sehingga, tulang menjadi lebih tipis dan lemah
dalam strukturnya. Osteoporosis disebut silent disease karena tidak ada gejala
yang ditimbulkan. Kondisinya hanya akan terlihat setelah terjadinya fraktur tulang.
Ketika mengalami osteoporosis, fraktur tulang dapat terjadi dengan mudah bahkan
bisa disebabkan karena minor injury seperti terjatuh (Amin, 2012).
World Health Organization (WHO) secara operasional mendefinisikan
osteoporosis berdasarkan Bone Mineral Density (BMD), yaitu jika BMD mengalami
penurunan lebih dari -2,5 SD dari nilai rata-rata BMD pada orang dewasa muda
sehat (Bone Mineral Density T -score <-2,5 SD). Osteopenia adalah nilai BMD -1
sampai -2,5 SD dari orang dewasa muda sehat (Lindslay, 2008)
4.1.1 Jenis Osteoporosis

4.1.1.1 Osteoporosis Primer

- Osteoporosis tipe I

Setelah menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada


dekade awal setelah menopause, sehingga insidens fraktur, terutama fraktur
vertebra dan radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada
tulang trabekular, karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah
dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorpsi tulang dan formasi tulang, keduanya
meningkat menunjukkan adanya peningkatan bone turnover. Estrogen juga
berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow yang berperan
meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat
menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktifitas
osteoklas meningkat. Selain peningkatan aktifitas osteoklas, menopause juga

13
menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal.
(Keith R., 2007)

- Osteoporosis Tipe II
Peningkatan resorpsi tulang merupakan risiko fraktur yang independen
terhadap BMD. Peningkatan osteokalsin seringkali didapatkan pada orang tua,
tetapi hal ini lebih menunjukkan peningkatat turnover tulang dan bukan
peningkatan formasi tulang. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti
pebnyebab penurunan fungsi osteoblas pada orang tua. Defisiensi kalsium dan
vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan
kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi dan paparan sinar
matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul hiperparatiroidisme
sekunder yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi tulang dan
kehilangan massa tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal di daerah 4
musim. Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada
orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan,
imobilisasi lama). Defisiensi estrogen, ternyata juga merupakan masalah yang
penting sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua, baik pada laki-
laki maupun perempuan.(Keith R., 2007)

4.1.1.2 Osteoporosis Sekunder

Osteoporosis sekunder terjadi karena adanya penyakit tertentu yang dapat


mempengaruhi kepadatan masa tulang (bone mass) dan gaya hidup yang tidak
sehat. Contohnya, yaitu:

a. Penyakit endokrin : tiroid, hypertiroid, hypogonadisme


b. Penyakit saluran pencernaan yang menyebabkan absorbsi zat gizi (kalsium,
fosfor, vit.D, dll) menjadi terganggu
c. Penyakit keganasan (kanker)
d. Konsumsi obat-obatan (kortikosteroid)
e. Gaya hidup tidak sehat (merokok, minum minuman alkohol, kuranng olahraga,
dan lain-lain) (Emma, 2007).

14
4.2 Faktor Resiko

Faktor resiko osteoporosis meliputi banyak hal, beberapa dapat dihindari


dan beberapa faktor resiko tidak dapat dihindari. Diantaranya yaitu:
Faktor resiko utama yang tidak dapat dihindari:
a. Usia tua (mulai pada pertengahan 30)
b. Non-Hispanik atau Asia etnik
c. Stuktur tulang yang kecil
d. Riwayat osteoporosis dalam keluarga
e. Prior fraktur terkait trauma level kecil, utamanya setelah usia 50 tahun.
Faktor resiko yang dapat dirubah:
a. Level hormon seks yang rendah, terutama hormon estrogen pada wanita
(menopause)
b. Kelainan pola makan pada anoreksia nervosa atau bulimia
c. Merokok
d. Alkhohol
e. Level kalsium dan vitamin D yang rendah, dari intake makanan atau absorbsi
yang tidak adekuat
Gaya hidup yang pasif atau immobilitas (Amin, 2012).

4.3 Pathogenesis Osteoporosis


Dasar terjadinya osteoporosis adalah adanya ketidak-seimbangan antara
resorbsi tulang dengan proses formasi tulang. Sehingga bila penghancuran yang
terjadi pada tulang lebih banyak dari pada pembentukan, tulang akan menjadi
keropos. Beberapa faktor dapat mempengaruhi timbulnya osteoporosis, sebagian
bisa dicegah, tetapi yang sebagian lagi tidak dapat menghindarinya, seperti
bertambah usia atau jenis kelamin (Tandra, 2009).
Rendahnya kepadatan tulang dan kerapuhan skeletal pada dewasa adalah
salah satu hasil dari masa tulang puncak rendah pada dewasa. Tulang manusia
terus berubah-ubah secara konstan sepanjang hidup manusia. Kira-kira 70%-80%
dari masa puncak tulang ditentukan oleh genetik, namun banyak juga faktor non
genetik yang ikut berkontribusi seperti nutrisi (contohnya kalsium, fosfat, protein,
dan vitamin D), aktivitas angkat berat, hormon termasuk hormon pertumbuhan dan
pubertas (William, 2006).

15
4.3.1 Fisiologi Tulang

Jaringan tulang terdiri dari komponen sel dan matriks.sel tulang terdiri dari
osteoblas, osteosit dan osteoclast sebagai remodelling cells. Dan untuk Matriks tulang
terdiri dari serat kolagen dan protein non-kolagen yang disebut osteoid.(Clarke, 2008)
Osteoblas adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses formasi
tulang, yaitu berfungsi dalam sintesis matriks tulang yang disebut osteoid, yaitu
komponen protein dari jaringan tulang. Selain itu osteoblas juga berperan memulai
proses resorpsi tulang dengan cara membersihkan permukaan osteoid yang akan
diresorpsi melalui berbagai proteinase netral. Terdapat berbagai reseptor mediator
metabolisme di permukaan osteoblas, sehingga osteoblas merupakan sel yang sangat
penting dalam bone turnover. (PEROSI, 2010)
Osteosit merupakan sel tulang yang terbenam di dalam matriks tulang. Sel ini
berasal dari osteoblas, terletak di dalam rongga yang disebut lakuna dan memiliki
juluran sitoplasma (prosesus) yang menghubungkan antara satu osteosit dengan
osteosit lainnya (terletak di kanilikuli) disebut dengan bone lining cells di permukaan
tulang membentuk sistem lakunokanilikular (LCS), fungsi osteosit belum sepenuhnya
diketahui, namun diduga berperan pada transmisi signal dan stimuli dari satu sel ke sel
lainnya. Baik osteoblas maupun osteosit berasa dari sel mesenkimal yang terdapat di
dalam sumsul tulang, periosteum, dan endothel pembulur darah. Sekali osteoblas
mensintesis osteosit maka osteoblas akan langsung berubah menhadi osteosit dan
terbenam di dalam osteosit yang disintesisnya. (PEROSI, 2010)
Osteoklas adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses
resorpsi tulang. Pada tulang trabekular, osteoklas akan membentuk cekungan pada
permukaan tulang yang aktif yang disebut dengan lakuna Howship. Sedangkan pada
tulang kortikal, osteoklas akan membentuk kerucut sebagai hasil resoropsinya yang
disebut dengan cutting cone, dan osteoklas berapa di apex kerucut terssebut.
Osteoklas merupakan Giant cell yang berasal dari sel hematopoetik mononuklear.
(PEROSI, 2010)

16
Gambar 2.1 Bone Remodeling (Sumber: Encyclopedia Britannica, Inc,
2010)
bone remodeling. Encyclopædia Britannica. 2010.

Menurunnya massa tulang dan memburuknya arsitektur jaringan tulang ini


berhubungan erat dengan abnormalitas proses remodeling tulang. Pada proses
remodeling, tulang secara kontinyu mengalami bone resorbtion dan boneformation.
Pembentukan tulang terutama terjadi pada masa pertumbuhan. Pembentukan dan
penyerapan tulang berada dalam keseimbangan pada individu berusia sekitar 30 -
40 tahun. Keseimbangan ini mulai terganggu dan lebih berat ke arah penyerapan
tulang ketika wanita mencapai menopause dan pria mencapai usia 60
tahun.(Shane, 2003)

4.4 Epidemiologi
Prevalensi osteoporosis di negara kurang atau sedang berkembang tidak
jelas terungkap, akibat sedikitnya penelitian. 6 Pada populasi >50 tahun di negara
Asia didapatkan osteoporosis lumbar spine wanita sebesar 11%-37% dan pria
sebesar 5,4%-37,4%, osteoporosis leher femoral wanita 2% dan pria sebesar
6,3%-11,4%, serta osteoporosis pinggul wanita 16% dan pria sebesar 3,8%-
24,3%.7-11 Data “White Paper” yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Osteoporosis
Indonesi (PEROSI), prevalensi osteoporosis tahun 2007 mencapai 28,8% untuk
pria dan 32,3% untuk wanita.12 Di Banjarmasin berdasarkan data pasien BMD
sampai Juli 2009 didaptkan bahwa prevalensi osteoporosis dari seluruh
pemeriksaan BMD per tahun berkisar antara 24,52%-39,28% untuk wanita dan 0-
3,05% untuk pria.

17
4.3.5 Penegakan Diagnosa
4.3.5.1 Anamnesis
Anamnesis mempunyai peranan penting dalam evaluasi penderita
osteoporosis. Pada anak-anak, terdapat tanda-tanda gangguan pertumbuhan
seperti tubuh pendek, nyeri tulang, dan kelemahan otot, waddling gait, dan
kalsifikasi ekstraskeletal dapat mengarah pada penyakit tulang metabolik. Selain
dengan anamnesis keluhan utama, pendekatan menuju diagnosis juga dapat
dibantu dengan adanya riwayat fraktur yang terjadi karena trauma minimal,
adanya faktor imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua,
kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, dan
factor - faktor risiko lainnya. Obat - obatan yang dikonsumsi dalam jangka panjang
juga dapat digunakan untuk menunjang anamnesis, yaitu misalnya konsumsi
kortikosteroid, hormon tiroid, antikonvulsan, heparin. Selain konsumsi obat –
obatan, juga konsumsi alkohol jangka panjang dan merokok. (Setiyohadi, 2010).
Pada anamnesa didapatkan bahwa pasien memiliki gangguan pertumbuhan
kecil, yakni memiliki tubuh yang pendek dibandingkan dengan anak-anak
seusianya. Pasien pernah mengalami fraktur siku kanan akibat terjatuh dari
sepeda dan melakukan operasi. Pasien jarang sekali mengonsumsi susu yang
memiliki asupan kalsium yang tinggi, mulai dari lahir hingga sekarang. pasien
datang dengan didiagnosa Osteoporosis tulang belakang sejak 1 tahun terakhir.
Pasien sudah aktif meminum kortikosteroid sejak 5 tahun yang lalu untuk terapi
rehumatoid arthritis dan psoriasis arthritis yang dideritanya. Pasien mengonsumsi
obat tradisional sejenis jamu selama 1 tahun untuk mengurangi rasa nyeri sendi
sekitar 5 tahun yang lalu. Pasien merokok sejak kecil sampai menikah dan
mempunyai anak, diperkirakan lama merokok adalah 10 tahun.
4.3.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang harus diukur adalah tinggi badan dan berat
badan, demikian juga dengan gaya jalan penderita, deformitas tulang, leg - lenght
inequality, dan nyeri spinal. Hipokalsemia yang terjadi dapat ditandai oleh adanya
iritasi muskuloskeletal, yaitu berupa tetani. Adduksi jempol tangan juga dapat
dijumpai, fleksi sendi metacarpophalangeal, dan ekstensi sendi interphalang.
Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus
(Dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan
rotuberansia abdomen, spasme otot paravertebral, dan kulit yang tipis (tanda
McConkey) (Setiyohadi, 2010)

18
Pada pasien didapatkan tinggi badan 148cm, berat badan 63kg, BMI 28,76
kg/m2 yang mengindikasikan adanya obesitas yang meningkatkan beban pada
tulang. Pada pemeriksaan didapatkan deformitas pada MCP 1-5, IP1, PIP2-5, DIP
2-5 di tangan kanan, deformitas di MCP 1,3,4, dan 5, IP1, PIP3-5 dan DIP 2-5,
pada tangan kiri, deformitas di MTP 1-5, IP1-5 pada kaki kanan, dan deformitas di
MTP1 dan IP1 pada kaki kiri. Pasien juga memiliki nyeri pada spinal yang
memburuk jika beraktivitas. Tidak ada penurunan tinggi badan dan kelainan
tulang belakang. Tidak ada kelainan kulit yang tipis tetapi terdapat plaque dan
ekskoriasi sejak 5 tahun yang lalu dan mulai membaik saat ini.

Gambar 4.1. Deformitas pada Sendi Pasien

19
4.3.5.3 Pemeriksaan Laboratorium
Manfaat dari adanya pemeriksaan petanda biokimia tulang adalah
dapat memprediksi adanya kehilangan massa tulang dan adanya risiko
fraktur, untuk menyeleksi pasien yang membutuhkan terapi antiresorpstif, dan
untuk mengevaluasi efektifitas terapi (Setiyohadi, 2010). Pemeriksaan ini
digunakan untuk menunjang diagnosis osteoporosis yaitu dengan menggunakan
berbagai petanda biokimiawi untuk menentukan bone turnover kalsium, dan
fosfatase alkali serum yang semula 23 dianggap merupakan petanda turnover
tulang yang baik, ternyata kadarnya dalam darah normal. Pemeriksaan
biokimiawi tulang lainnya yaitu kalsium total dalam serum, ion kalsium, kadar
fosfor dalam serum, kalsium urin, osteokalsin serum, fosfat serum, piridinolin
urin, dan bila perlu hormon paratiroid dan vitamin D. Dengan penelitian yang
ada, saat ini yang dianggap sebagai petanda turnover tulang yang baik adalah :
Sebagai penanda pembentukan tulang: (Lindslay, 2008)
- Osteokalsin ( bone GLA protein) serum.
- Isoenzim fosfatase alkali.
Sedangkan sebagai penanda reabsorpsi tulang adalah :
- Piridinolin dan deoksipiridinolin “crosslink” urin.
- Hidroksiprolin urin.
Walaupun aspek dinamik tulang dan dari segi deteksi dini
pemeriksaan ini memenuhi syarat, akan tetapi mengingat biaya pemeriksaan
yang cukup mahal, pemeriksaan ini tidak begitu banyak dilakukan.
Kalsium serum terdiri dari 3 fraksi, yaitu kalsium yang terikat pada albumin
(40%), kalsium ion (48%), dan kalsium kompleks (12%). Kalsium yang terikat
pada albumin tidak dapat difiltrasi oleh glomerulus. Keadaan yang dapat
mempengaruhi kadar albumin serum, seperti sirosis hepatik dan sindrom nefrotik
akan mempengaruhi kadar kalsium total serum. Ikatan kalsium pada albumin
sangat baik terjadi pada pH 7-8. Peningkatan dan penurunan pH 0,1 secara
akut akan menurunkan ikatan kalsium pada albumin sekitar 0,12 mg/dl. Pada
penderita hipokalsemia dengan asidosis metabolik yang berat, misalnya
pada penderita gagal ginjal, koreksi asidemia yang cepat dengan natrium
bikarbonat akan dapat menyebabkan tetani karena kadar kalsium akan menurun
dengan drastis. (Setiyohadi, 2010)
Pemeriksaan ion kalsium lebih bermakna dibandingkan dengan
pemeriksaan kadar kalsium total. Ion kalsium merupakan fraksi kalsium

20
plasma yang penting pada proses-proses fisiologik, seperti pada kontraksi
otot, pembekuan darah, sekresi hormon paratiroid, dan mineralisasi tulang
(Setiyohadi, 2010).
Osteokalsin merupakan salah satu tanda dari aktifitas osteoblas dan
formasi tulang. Selain sebagai petanda aktifitas formasi, osteokalsin juga
dilepaskan pada saat proses resorpsi tulang, sehingga kadarnya dalam serum
tidak hanya menunjukkan aktifitas formasi, namun juga aktifitas resorpsi.
Kadar osteokalsin dalam matriks akan meningkat bersamaan dengan peningkatan
hidroksiapatit selama pertumbuhan tulang. (Setiyohadi, 2010)
Carboxy-terminal propeptide of type I collagen dan amino-terminal
propeptide of type I collagen merupakan bagian dari petanda adanya proses
formasi tulang karena sebagian besar protein yang dihasilkan oleh osteoblas
adalah kolagen tipe I, namun kolagen tipe I juga dihasilkan oleh kulit,
sehingga penggunaannya di klinik tidak sebaik alkali fosfatase tulang
ataupun osteokalsin. (Setiyohadi, 2010)
Produk degradasi kolagen yaitu hidroksilisil-piridinolin (piridinolin), dan lisil-
piridinolin (deoksipiridinolin). Pada saat tulang diresorpsi, produk degradasi
kolagen akan dilepaskan ke dalam darah, dan akhirnya akan diekskresi lewat
ginjal. Piridinolin lebih banyak ditemukan di dalam ginjal daripada deoksipiridinolin,
akan tetapi deoksipiridinolin lebih spesifik karena piridinolin juga ditemukan dalam
kolagen tipe II pada sendi dan jaringan ikat lainnya
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan petanda
biokimia tulang, yaitu:
- Petanda biokimia tulang diukur dalam urin, sehingga perlu memperhatikan
kadar kreatinin dalam darah dan urin karena akan mempengaruhi hasil
pemeriksaan.
- Petanda biokimia tulang dipengaruhi umur, karena pada usia muda terjadi
peningkatan bone-turnover
- Terdapat perbedaan hasil pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya
penyakit paget hasil lkali fosfatase tulang akan lebih tinggi dibandingkan
osteokalsin, terapi bifosfonat akan penurunkan kadar piridinolin dan
deoksipiridinolin yang terikat protein tanpa perubahan ekskresi, terapi
estrogen akan menurunkan ekskresi piridinolin dan deoksipiridinolin urin
bebas maupun yang terikat protein.

21
4.3.5.4 Pemeriksaan Radiologik
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah adanya penipisan
korteks dan daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak jelas pada
tulang - tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra . Pada
pemeriksaan radiologik tulang vertebra sangat baik untuk menemukan adanya
fraktur kompresi, fraktur baji atau fraktur bikonkaf. Pada anak - anak, fraktur
kompresi dapat timbul spontan dan berhubungan dengan osteoporosis yang berat,
misalnya pada osteogenesis imperfekta, riketsia, artritis rheumatoid juvenil,
penyakit Crohn atau penggunaan steroid jangka panjang. Bowing deformity pada
tulang panjang sering didapatkan pada anak - anak dengan osteogenesis
imperfekta, riketsia, dan displasia fibrosa.

Selain dengan memeriksa foto polos, dapat dilakukan juga skintigrafi tulang
dengan menggunakan echnetium - 99m yang dilabel pada metilen difosfonat atau
hidroksi metilen difosfonat. Diagnosis ditegakkan dengan mencari uptake yang
meningkat, baik secara umum maupun fokal.

4.3.5.5 Pemeriksaan Densitas Tulang


Masa tulang yang rendah merupakan faktor utama terjadinya osteoporosis.
Terdapat hubungan antara BMD dengan kecenderungan patah tulang. BMD
merupakan indicator utama resiko patah tulang pada pasien pada pasien tanpa
riwayat patah tulang sebelumnya.
Terdapat berbagai cara pemeriksaan densitas tulang, yaitu: foto rontgen
tulang absorpsiometri foto tunggal SPA), absorbsi Foton Ganda (DPA), tomografi
computer kuantitatif (CT Scan) DPA dengan energy sinar X ganda (DEXA) atau
dengan ultrasound. Saat ini yang terbanyak dipakai, walaupun harganya cukup
mahal adalah DPA dan DEXA, (DEXA merupakan gold standar sesuai
rekomendasi WHO). Kekurangan cara pemeriksaan ini adalah tidak dapat
menggambarkan keadaan dinamik tulang, walaupun dapat diatasi dengan
mengadakan pemeriksaan serial. (Kutikat, 2004)
Ukuran dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA) dari tulang pinggul dan
tulang belakang merupakan teknologi yang dipakai untuk menetapkan atau
mengkonfirmasi diagnosis osteoporosis, prediksi risiko fraktur yang akan datang
dan monitoring pasien yang untuk menilai performa serial. Hasil pengukuran
DEXA berupa densitas mineral tulang yang dinilai satuan bentuk gram per cm2,
kandungan mineral dalam satuan gram, perbandingan densitas tulang dengan

22
nilai normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dan dewasa muda yang
dinyatakan dalam persentase, atau perbandingan hasil densitas mineral tulang
dengan nilai normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dan dewasa
muda yang dinyatakan dalam skor standar deviasi (Z-score atau T-
score).(Cheung, 2010)
Ukuran dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA) dari tulang pinggul dan
tulang belakang merupakan teknologi yang dipakai untuk menetapkan atau
mengkonfirmasi diagnosis osteoporosis, prediksi risiko fraktur yang akan datang
dan monitoring pasien yang untuk menilai performa serial. Hasil pengukuran
DEXA berupa densitas mineral tulang yang dinilai satuan bentuk gram per cm2
kandungan mineral dalam satuan gram, perbandingan densitas tulang dengan
nilai normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dan dewasa muda yang
dinyatakan dalam persentase, atau perbandingan hasil densitas mineral tulang
dengan nilai normal rata - rata densitas tulang pada orang seusia dan dewasa
muda yang dinyatakan dalam skor standar deviasi (Z-score atau T-
score).(Cheung, 2004)
Pengukuran BMD sering dilakukan dengan T-score yaitu angka deviasi
antara BMD pasien dengan puncak BMD rata-rata pada subjek yang normal
dengan jenis kelamin sama. Ukuran BMD lain yaitu Z-score, dimana ukuran
standar deviasi pada BMD pasien dengan BMD pada usia yang sama.
Perbedaaan antara skor pasien dan normal menunjukkan standar deviasi (SD)
dibawah atau diatas rata-rata. Biasanya, 1 standar deviasi antara dengan 10 -
15% ukuran BMD dalam g/cm2. Tergantung pada bagian tulang, penurunan BMD
dalam massa absolut tulang atau standar deviasivi (T-score atau Z-score) yang
berlangsung selama dewasa muda, mempercepat pada wanita menopause dan
berlanjut secara progresif pada wanita pasca menopause atau pria usia 50 tahun
atau lebih. Diagnosis BMD normal, massa tulang rendah, osteoporosis dan
osteoporosis berat didasarkan berdasarkan klasifikasi diagnostik WHO. (Seeman,
2006)
Tabel 2. Kriteria Osteoporosis Menurut WHO
Normal :
BMD
Lebih dari -1 Standar Deviations (SD) dari dewasa muda normal (T-score above-
1).
Low bone mass (osteopenia):
BMD -1 sampai -2,5 SD dibawah dari dewasa muda normal (T-score between -1.0
and -2.5).

23
Osteoporosis:
BMD >2,5 SD dibawah dari dewasa muda normal (T-score below -2.5). Pasien di
grup ini yang mempunyai riwayat 1 fraktur atau lebih dianggap sebagai
osteoporosis berat atau osteoporosis yang tidak bisa disangkal.

Pengukuran bone mineral density yang dilakukan pada pasien ini


mempunyai angka rata-rata T Score (-29,3%) -1,95, rata-rata Zscore (-28,6%) -
1,88, dan rata-rata BMD 0,7-0,96. menunjukkan adanya osteoporosis pada os
vertebrae L1-L4.

Tabel 4.1 Data Hasil Pemeriksaan BMD

Nilai BMD (gram/cm2) T-Score

Femoral neck 0.595 -1,95


Spine (L1-L4) 0,630 -2.65

4.3.5.6 Biopsi Tulang

Cara ini dapat menunjukkan adanya osteoporosis serta proses dinamik


tulang, akan tetapi karena bersifat invasif sehingga tidak dapat dipakai sebagai
prosedur rutin, baik untuk uji saring (penentuan risiko) atau untuk pemantauan
pengobatan. Biopsi tulang dapat digunaka untuk menilai kelainan metabolik
tulang. Biopsi biasanya dilakukan di transiliakal. (Rachmatullah, 2007). Pada
pasien ini belum dilakukan pemeriksaan biopsi tulang.

4.3.5.6 Terapi
Terapi pada osteoporosis memiliki 4 tujuan utama, yaitu pencegahan
fraktur, stabilisasi atau pencapaian peningkatan massa tulang, pengurangan
gejala fraktur dan deformitas skeletal, dan maksimalisasi fungsi fisik. Dalam
pencapaian keempat tujuan tersebut terapi pada osteoporosis dibagi dalam
sebuah pendekatan piramidal yang dimulai dari tingkat pertama, yaitu perubahan
gaya hidup, tingkat kedua berupa pengobatan penyebab sekunder osteoporosis,
tingkat ketiga meliputi intervensi farmakoterapi untuk memperbaiki densitas tulang
dan mengurangi resiko terjadinya fraktur (Gass & Dawson-Hudges, 2006).

24
a. Edukasi dan Pencegahan
Edukasi dan pencegahan osteoporosis merupakan kunci terpenting
dalam menurunkan angka kejadian osteoporosis di masyarakat karena perubahan
mikroarsitektur tulang berhubungan dengan kehilangan struktur tulang yang
bersifat irreversibel. Pencegahan osteoporosis dapat dilakukan baik melalui
perawatan kesehatan skeletal dimulai sebelum lahir melalui nutrisi maternal
maupun melalui perawatan lanjutan hingga tulang mencapai maksimalisasi
puncak massa tulangnya pada usia dewasa muda melaui berbagai pilihan, seperti
penambahan asupan vitamin D, kalsium, adanya kebiasaan aktivitas yang teratur,
penerapan gaya hidup yang sehat dan lain sebagainya (Lewiecki, 2008).
Edukasi dalam menurunkan angka kejadian osteoporosis di masyarakat
menjadi teknik yang mudah dilakukan namun bermanfaat cukup besar dalam
menekan angka kejadian dan komplikasi fraktur akibat osteoporosis. Edukasi
kepada masyarakat dapat dilakukan melalui proses maksimalisasi massa tulang
hingga seorang manusia mencapai usia puncak massa tulangnya karena tingkat
nutrisi dan perawatan massa tulang usia muda berhubungan erat dengan usaha
meminimalisasi kehilangan tulang disaat tulang tersebut telah melewati usia
massa puncaknya. Sehingga masyarakat perlu mengetahui rentang waktu
pemberian nutrisi tulang dan macam-macam nutrisi yang diperlukan tulang untuk
tumbuh dan berkembang dalam mencapai puncak massa tulangnya (Lewiecki,
2006).
b. Terapi Non Famakologis
Aktivitas fisik diperlukan dalam membentuk dan menjaga massa tulang
sepanjang hidup. Aktivitas fisik yang dapat dilakukan adalah olahraga. Olahraga
memberikan keuntungan pada proses osteogenik terutama oleh olahraga yang
melibatkan gaya beban tinggi. Mekanisme tersebut disebabkan oleh adanya
regangan biomekanis yang dihasilkan kontraksi otot selama olahraga sebagai
contributor dominan terhadap pertambahan massa tulang berupa peningkatan
BMD (Bone Mass Density). Pada wanita pasca menopause awal, intervensi
olahraga berupa jalan kaki moderat selama 30 menit yang dikombinasikan dengan
olahraga beban tubuh dua kali seminggu mampu mencegah kehilangan tulang.
Sedangkan bagi wanita lebih tua, kombinasi olahraga beban tubuh juga efektif
meningkatkan BMD tulangnya (West et al.,2009).

25
c. Nutrisi dan Suplementasi Kalsium/ Vitamin D
Nutrisi yang baik dan diet seimbang dengan kalori yang tepat, tidak berlebih
maupun kurang sangat diperlukan dalam pertumbuhan normal. Asupan kalsium
memiliki peran yang penting dalam menjaga dan mencapai masa tulang yang
adekuat. Sedangkan, vitamin D yang diperlukan dalam proses absorb kalsium
intestinal. Kombinasi suplementasi vitamin D dan kalsium juga mampu
menurunkan resiko terjadinya fraktur. Asupan diet kalsium yang direkomendasikan
adalah 1000 mg/hari pada pria dan wanita usia <50 tahun. Bagi wanita usia >50
tahun rekomendasi dietnya sebesar 1200 mg/hari. Untuk asupan vitamin D yang
direkomendasikan adalah 400 IU/hari untuk pria dan wanita usia 51-70 tahun dan
600 IU untuk usia >71 tahun (Gass & Dawson-Hudges, 2006)
d. Faktor gaya hidup lain
Gaya hidup dan kebiasaan penderita berhubungan erat dengan
osteoporosis dan faktor resiko terjadinya fraktur. Penderita osteoporosis harus
menjauhi alkohol, kafein, dan merokok serta meningkatkan asupan antioksidan
yang terdapat pada makanan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Alkohol,
kafein dan merokok diketahui mengandung beragam zat kimia yang dapat
menurunkan massa tulang melalui mekanisme yang tidak sepenuhnya jelas dan
kemungkinan besar dapat terjadi oleh mekanisme radikal bebas yang masuk ke
dalam tubuh ketika mengkonsumsi alkohol, kafein dan merokok (Lewiecki, 2008).
e. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis pada osteoporosis meliputi pemberian senyawa
kimia berupa obat-obatan, hormon, antara lain bisphosphonate, selective estrogen
receptor modulators (SERMs), kalsitonin, teriparatide, dan estrogen (Gass &
Dawson-hudges, 2006).

 Biphosphonate
Bisphosphonate merupakan analog stabil dari pirofosfonat yang
memiliki afinitas kuat terhadap apatit tulang. Agen ini dapat menghambat
resorpsi tulang melalui pengurangan rekrutmen dan aktivitas osteoklas serta
meningkatkan apoptosis. Biphosphonate mengandung nitrogen yang
menghambat resorpsi yang diperantarai oleh osteoklas melalui blockade
aktivitas enzim pada pathway mevalonate, FPP sintetase, dan akhirnya prenilasi
small GTPases untuk mengatur penataan sitoskeletal. Biphosphonate juga
dapat menurunkan risiko fraktur dengan meningkatkan densitas tulang dan

26
menurunkan resorpsi tulang. Obat resorptif ini mampu menghambat resorpsi
tulang sebanyak 50-70 % (Gass & Dawson).
Namun terapi bisphosphonate memiliki beberapa efek samping, yakni
intoleransi gastrointestinal, hipokalemia, acute-phase reaction, nyeri otot dan
tulang kronis. Intoleransi gastrointestinal terjadi bila terapi bisphosphonate
diberikan secara oral setiap hari, dalam kondisi asam, dan adanya iritasi
esophagus sebelumnya. Hipokalemia dapat terjadi akibat kurangnya efluks
kalsium dari tulang sehingga dapat menurunkan serum kalsium. Sehingga
kompensasinya ialah peningkatan hormon paratiroid serum. Reaksi fase akut
lain setelah pemberian bisphosphonate adalah gejala flu yakni demam tidak
terlalu tinggi, myalgia, nyeri kepala, artalgia, nyeri tulang, dan mual yang dapat
berkurang sekitar 3-7 hari (Recker,2009).

 Alendronate
Alendronate sodium diindikasikan untuk pencegahan (5 mg harian dan
35 mg mingguan ) dan pengobatan (10 mg harian dan 70 mg mingguan) pada
wanita osteoporosis. Alendronate dapat digunakan sebagai pengobatan
osteoporosis akibat induksi kostikosteroid dan penyakit Paget tulang pada pria
dan wanita. Alendronate juga berperan sebagai pengobatan untuk menurunkan
resiko fraktur dengan mekanisme penekanan remodeling tulang yang akhirnya
meningkatkan BMD tulang, penurunan porositas kortikal, perbaikan parameter
geometri tulang dan meningkatkan keseragaman mineralisasi pada tulang
kortikal. Dosis pemberianyang dianjurkan adalah seminggu sekali (Iwamoto et
al., 2008).

 Risedonate
Riesedonate sodium (5 mg harian atau 35 mg mingguan) diindikasikan
untuk pengobatan dan pencegahan osteoporosis pada wanita khususnya pasca
menopause. Untuk pengobatan, risedonate diindikasikan untuk meningkatkan
BMD dan menurunkan insidensi fraktur. Untuk pencegahan osteoporosis,
risedonate diindikasikan dalam menjaga massa tulang dan menurunkan risiko
fraktur pada wanita beresiko osteoporosis serta juga diindikasikan untuk
osteoporosis terinduksi glukokortikoid dan penyakit Paget (Gass & Dawson-
Hudges, 2006).

27
 Ibandronate
Ibandronate sodium (2,5 mg sekali sehari atau 150 mg sekali
perbulan) diindikasikan untuk pengobatan dan pencegahan osteoporosis pada
wanita pascamenopause. Ibandronate juga berperan dalam pegobatan
osteoporosis melalui mekanisme peningkatan BMD tulang dan pecegahan
terjadinya fraktur (Gass & Dawson-Hudges, 2006).

 SERMs
Raloxifene (60 mg sekali sehari) saat ini merupakan obat yang juga
ditujukan untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis. Raloxifen berperan
sebagai agonis estrogen untuk metabolism tulang dan lipid serta sebagai
estrogen antagonis pada payudara dan endometrium. Raloxifene efektif dalam
mencegah kehilangan massa tulang pada wanita pascamenopause. Efek
raloxifene nonskeletal termasuk penurunan lipid serum dan penurunan resiko
kanker payudara pada wanita osteoporosis. Namun, raloxifene juga dapat
meningkatkan risiko thrombosis vena dalam dan emboli paru yang mirip
dengan terapi hormonal (Gass & Dawson-Hudges,2006).

 Terapi Estrogen
Hormon steroid seks diperlukan dalam mekanisme homeostasis kalsium
normal dan kesehatan tulang, seperti estradiol yang berperan dalam
pencapaian dan memelihara puncak massa tulang bagi wanita. Estrogen pada
pria juga berefek sebagai antiresorptif, kontributif dalam pencapaian massa
puncak tulang dan pertahanan skeletal pada dewasa. Namun terapi hormonal
memiliki resiko terhadap peningkatan adanya kanker payudara, stroke, dan
penyakit kardiovaskuler yang berhubungan erat dengan penggunaaan
estrogen. Pemberian terapi sulih hormone tidak boleh diberikan pada wanita
osteoporosis yang tidak mengalami menopause karena dapat memberikan efek
samping dan gejala yang menganggu metabolism tubuh (Boonen, 2005).

 Teriparatide
Teriparatide adalah formulasi rekombinan 34-N terminal asam amino
dari hormon paratiroid yang meningkatkan massa tulang dan memperbaiki
mikrostruktur tulang. Teriparatide disetujui untuk diberikan secara subkutan
injeksi 20 mikrogram sekali sehari ke dinding abdomen atau paha selama
kurang dari 2 tahun. Obat ini dapat memberikan efek samping berupa mual dan

28
sakit kepala, hiperkalsemia ringan dan sementara dan lain sebagainya (Gass &
Dawson-Hudges, 2006).

 Kalsitonin
Kalsitonin merupakan hormone polipeptida endogen yang
menghambat resorpsi tulang. Untuk penggunaan klinik dapat diberikan secara
injeksi atau nasal dengan dosis 200 IU/ nasal setara dengan 50 IU injeksi.
Kalsitonin dapat meningkatkan densitas mineral tulang sehingga dapat
menurunkan resiko fraktur tulang (Boonen, 2005).

 Human monoclonal antibody anti RANKL


Antibody anti RANKL dapat menghambat munculnya penyakit pada
tulang dengan mekanisme menghambat ikatan RANKL dengan RANK
sehingga akan mencegah proses resorptif pada tulang oleh osteoklas. Salah
satu obatnya ialah Denosumab (AMG 162) yang merupakan antibody spesifik
terhadap RANKL (Bekker et al., 2004; McClung, et al., 2006).

29
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Osteoporosis adalah kelainan yang khusus ditemukan pada pria dan


wanita lanjut usia. Secara klinis, osteoporosis diidentifikasi melalui kejadian
fraktur non/minimal traumatik pada vertebra, hip, humerus proksimal, serta
fraktur femur. Penegakan diagnosis dilakukan dengan menggunakan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan laboratorium, radiologik, dan pengukuran kepadatan tulang.
Penegakan diagnosis yang cepat dan tepat akan sangat membantu dalam
tatalaksananya. Terapi pada osteoporosis memiliki 4 tujuan utama, yaitu
pencegahan fraktur, stabilisasi atau pencapaian peningkatan massa tulang,
pengurangan gejala fraktur dan deformitas skeletal, dan maksimalisasi fungsi
fisik. Tatalaksana yang cepat dan tepat dapat memperbaiki prognosis penyakit.

5.2 Saran

1. Diperlukannya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang pentingnya


pencegahan osteoporosis pada masyarakat utamanya wanita menopause
meliputi menghindari stress, melakukan olahraga rutin, menjaga berat badan
ideal, dan beraktivitas cukup.

2. Diperlukannya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang pentingnya


menjaga pola hidup pada orang dengan faktor resiko osteoporosis untuk
mencegah terjadinya kejadian osteoporosis di masa mendatang.
Daftar Pustaka

Amin, Shreyasee, MD CM, MPH. 2012. Osteoporosis. American College of


Rheumatology. 2.

Cheung AM FD, Kapral M, Diaz N-Granados, Dodin S. 2004. Prevention of


Osteoporosis and Osteoporotic Fracturesin Postmenopausal Women. CMAJ
;170(11):1665-7.

Emma, S. W. 2007. Mencegah Osteoporosis lengkap dengan 38 jus & 39 resep


masakan. Depok: Wisma hijau, pp:7-26

Kutikat A GR, Chakravarty K. 2004. Management of Osteoporosis.;12:104 - 18

Lindsay R CFOI FA, Braunwald e, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.
2008. Osteoporosis. In: Fauci AS Be, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL, et al., editor. Harrison’s principle of internal medicine 17 ed: Mc
Grow-Hill USA: p. 2397-408.

PEROSI. 2010. Panduan Diagnosis dan Penaktalaksanaan Osteoporosis. Jakarta

Rachmatullah P G M, Hirlan, Soemanto, Hadi S, Tobing ML H M. 2007. Osteoporosis


pada usia lanjut tinjauan dari segi geriatri., Editor. Semarang (Indonesia):
Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2007. p.126

Seeman E PD, Delmas EPD. 2006. Bone Quality-The Material and Structural Basis of
Bone Strenght and Fragility. The New England Journal of Medicine:2250-61

Setiyohadi B. 2010. Osteoporosis. In: Aru W. Sudoyo BS, Idrus Alwi, Marcellinus
Simadibrata, Siti Setiati, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 ed. Jakarta:
Interna Publishing; p. 2650-76.

Watts, N. B, et all. 2010. American Association of Clinical Endocrinologists Medical


Guidelines for Clinical Practice for The Diagnosis and Treatment of
Postmenopausal Osteoporosis. Volume 16 : 7-8.
William, F. 2006. Genetic Regulation of Bone Mass and Susceptability to Osteoporosis.
J Musculoskel Neuron Interact. Volume 6; 27-35.t

31

Anda mungkin juga menyukai