Anda di halaman 1dari 15

Anemia Hipokrom Mikrositer pada Kasus Demam Tifoid

Laporan Kasus

Dewi Mandasari

ABSTRAC
Background: Typhoid fever is a systemic infection caused by Salmonella typhi. Early
diagnosis of typhoid fever and appropriate treatment will provide optimal output so that
complication, recurrence, carrier, and mortality can be prevented.
Case: Miss B, 22 years old, was admitted to the emergency room with intermittent febris for
about three months, abdominal pain, nausea and vomiting, post appendectomy three month
ago. Physical finding, blood pressure 80/60 mmHg, pulse 112x/minute, respiratory rate
20x/minute, temperature 38.2 0C, BMI 15 kg/m2, anemic in conjunctiva, soefl and all region
abdomen tenderness especially epigastrium area. Laboratory test showed, hemoglobin 9.8
gr/dl, MCV 65.9 fL, MCH 22.4 Pg, MCHC 34.0 g/dL, leucocyte 14.8 thousand/mm3, widal O
1/640, H 1/320, A 1/160, B 1/320.
Conclusion: Hypochromic microcytic anemia on typhoid fever caused by low intake which
lead iron deficiency and also can caused by chronic disease conditions.
Keywords: typhoid fever, anemia, hypochromic microcytic, iron deficiency.

ABSTRAK
Latar Belakang: Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat akan
memberikan hasil optimal sehingga mencegah komplikasi, kekambuhan, pembawa kuman,
dan kemungkinan kematian.
Kasus: Nn. B, 22 tahun, dating dengan keluhan panas terutama malam hari, naik turun sejak
3 bulan, nyeri perut, mual dan muntah, riwayat pasca operasi apendiktomi. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan tekanan darah 80/60 mmHg, laju nadi 112x/menit, laju nafas 20x/menit,
suhu 38,20C, IMT 15 kg/m2, keadaan umum tampak kurus, konjungtiva anemis, pada
abdomen teraba soefl dan nyeri tekan seluruh abdomen terutama epigastrium. Pemeriksaan
laboratorium didapatkan kadar hemoglobin 9.8 g/dL, MCV 65.9 fL, MCH 22.4 Pg, MCHC
34.0 g/dL, lekosit 14.8 ribu/mm3, widal O 1/640, H 1/320, A 1/160, B 1/320.

1
Kesimpulan: Anemia hipokrom mikrositer yang terjadi pada penderita demam tifoid dapat
dikarenakan asupan makanan rendah yang menyebabkan defisiensi besi dan dapat
diakibatkan oleh proses penyakit yang kronis.
Kata Kunci: Demam tifoid, anemia, hipokrom mikrositik, defisiensi besi.

PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri gram negatif,
Salmonella enterica serovar typhi (S typhi). Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan
C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan
paratifoid termasuk ke dalam demam enterik.1,2

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Pada daerah


endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid. Demam tifoid juga masih
menjadi topik yang sering diperbincangkan. Hal ini dikarenakan gambaran klinis demam
yang mirip dengan infeksi lain serta sering tidak lengkapnya pemeriksaan bakteriologi
terutama di negara berkembang. Faktor inilah yang menyebabkan banyak kasus menjadi
under diagnosis. 1,2,3

ILUSTRASI KASUS
Nn. B, 22 tahun, tanggal 20 Februari 2018, datang diantar keluarganya ke Instalasi
Gawat Darurat (IGD) RS Al-Huda dengan keluhan panas badan. Panas sejak sekitar 3 bulan
yang lalu, panas naik turun, panas terutama pada malam hari. Sebelum panas pasien terkena
radang usus buntu dan menjalani operasi tiga bulan yang lalu, setelah keluar dari rumah sakit
muncul keluhan panas. Selain itu dikeluhkan nyeri seluruh perut sejak beberapa minggu
terakhir, nyeri semakin bertambah saat akan dibuat kentut. Nafsu makan menurun, mual tiap
kali makan, muntah 3 kali hari ini. Tidak terdapat batuk dan pilek. Buang air besar (BAB)
normal satu kali sehari, warna kuning, tidak mencret. Buang air kecil (BAK) tidak nyeri,
tidak anyang-anyangen,saat kencing tidak terasa panas. Berat badan cenderung turun selama
tiga bulan terakhir. Sekitar satu bulan sebelumnya sering nyeri di daerah sendi-sendi kaki,
sempat muncul bintik-bintik merah yang ditekan sakit di daerah kedua kaki. Selama ini
pasien rutin kontrol setiap bulan di poli bedah tulang dan penyakit dalam dengan riwayat
penggunaan obat paracetamol. Riwayat menstruasi terakhir tanggal 16 Februari, dengan

2
siklus teratur 28 hari, lama sekitar empat hari dan ganti pembalut tiga kali sehari. Pasien
memiliki kebiasaan makan yang tidak teratur serta lebih sering membeli makanan di pinggir
jalan di sekitar lokasi kerja pasien, dan tidak memiliki kebiasaan cuci tangan sebelum makan.
Semenjak sakit sehari-hari pasien makan tiga kali sehari bubur halus sekitar 3 sendok setiap
kali makan.
Pada pemeriksaan fisik saat datang di IGD didapatkan keadaan umum pasien sadar
penuh, tampak sangat kurus, dan lemah. Tekanan darah 80/60 mmHg, laju nadi 112x/menit,
laju nafas 20x/menit, suhu 38,20C, berat badan 38 kg, estimasi tinggi badan dengan indeks
lutut 155.6 cm, indeks masa tubuh 15 kg/m2. Dari pemeriksaan area kepala didapatkan
konjungtiva anemis, serta tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening regional pada
leher. Pemeriksaan inspeksi dada bentuk tampak normal, iktus cordis tidak tampak namun
teraba tidak kuat angkat, fremitus paru kanan kiri normal, perkusi kedua paru sonor, suara
nafas vesikuler kanan kiri tanpa ada suara nafas tambahan, suara jantung S1/S2 tunggal
regular. Pemeriksaan abdomen tampak flat, bising usus terdengar normal, teraba soefl, nyeri
tekan seluruh perut terutama epigastrium, hepar dan lien tidak teraba. Keempat ekstremitas
teraba hangat dan kering, serta tampak pucat.
Pemeriksaan laboratorium saat di IGD didapatkan kadar hemoglobin 9.8 g/dL, MCV
65.9 fL, MCH 22.4 Pg, MCHC 34.0 g/dL, eritrosit 4.37 juta/mm3, lekosit 14.8 ribu/mm3,
limfosit 14%, mixed (basophil + eosinophil + monosit) 13%, neutrofil 73%, hematokrit
28.8%, trombosit 569 ribu/mm3, GDA 80 mg/dL, BUN/urea 10.3 mg/dL, creatinin 0.38,
SGOT 13 u/l, SGPT 10 u/L, widal O 1/640, H 1/320, A 1/160, B 1/320. Gambaran foto
toraks kondisi paru terdapat penebalan fisura interlobaris dextra dan jantung dalam batas
normal.
Pasien sementara didiagnosis dengan observasi febris dan anemia, dan tatalaksana di
IGD diberikan loading cairan asering 500cc karena tekanan darah awal 80/60 mmHg, pasca
koreksi asering 500cc tekanan darah ulang tetap 80/60 mmHg sehingga dilanjutkan cairan
rumatan dengan asering 2000cc per hari. Pasien diberikan injeksi ceftriaxone 2x1 gram,
injeksi Ranitidin 2x50mg, injeksi antrain 1 gram, dan injeksi ondancetron 4 mg.
Perawatan hari kedua tanggal 21 Februari 2018, keluhan pasien mual dan nyeri
seluruh perut, panas badan saat menjelang malam. Keadaan umum pasien sadar penuh,
tampak kurus dan lemah. Tekanan darah 85/60 mmHg, laju nadi 80x/menit, laju nafas
18x/menit, suhu 360C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, pada region
abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium dan hipokondria dextra dengan palpasi teraba
soefl. Pada pemeriksaan urin lengkap, didapatkan berat jenis 1.010, negatif untuk protein,

3
reduksi, urobilinogen, nitrit, aston, kristal, silinder, bilirubin dan jamur, didapatkan eritrosit
1-2/lpb. Leukosit 1-3/lbp, epitel squamous 1-3/lpb, serta bakteri positif. Pasien dikonsulkan
ke spesialis paru, dengan hasil konsul kondisi paru dalam batas normal dan diajukan
pemeriksaan sputum BTA SP untuk skrining. Diagnosis hari kedua yaitu febris kronis e.c
demam tifoid dan anemia hipokrom mikrositer. Tatalaksana pada hari kedua dengan
pemberian infus RL 2000cc per hari, injeksi ceftriaxone 2x1 gram, Injeksi Ranitidin 2x50mg,
injeksi ondancetron 4 mg (prn), paracetamol tablet 500 mg (prn), serta diet bubur halus
Tanggal 22 Februari 2018, pada perawatan hari ketiga pasien masih mengeluh mual
dan nyeri uluhati, panas badan hanya saat menjelang malam, BAB lembek satu kali. Keadaan
umum pasien sadar penuh, tampak kurus dan lemah. Tekanan darah 77/56 mmHg, laju nadi
100x/menit, laju nafas 18x/menit, suhu 36.30C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
konjungtiva anemis, pada region abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium dan
hipokondria dextra dengan palpasi teraba soefl. Tatalaksana pada hari ketiga diberikan infus
RL 2000cc per hari, injeksi ceftriaxone 2x1 gram, Injeksi Ranitidin 2x50mg, injeksi
ondancetron 4 mg (prn), paracetamol tablet 500 mg (prn), serta diet bubur halus.
Perawatan hari keempat tanggal 23 Februari 2018, pasien mengeluh nyeri uluhati,
BAB mencret 1x, dan mual. Keadaan umum pasien sadar penuh, tampak kurus dan lemah.
Tekanan darah 86/57 mmHg, laju nadi 90x/menit, laju nafas 18x/menit, suhu 36.20C. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, pada region abdomen didapatkan nyeri
tekan epigastrium dan hipokondria dextra dengan palpasi teraba soefl. Pada pemeriksaan
laboratorium hasil sputum sewaktu negatif, sedangkan sputum pagi belum bisa terambil,
didapatkan hasil LED 33. Tatalaksana pada hari keempat diberikan infus RL 2000cc per hari,
injeksi ceftriaxone 2x2 gram, Injeksi Ranitidin 2x50mg, injeksi ondancetron 4 mg (prn),
paracetamol tablet 500 mg (prn), serta diet bubur halus. Hari ini direncanakan pemeriksaan
USG abdomen dan feses lengkap.
Tanggal 24 Februari 2018, pasien mengeluh mual, makan mulai lebih banyak, panas
malam hari, nyeri perut mulai berkurang. Tekanan darah 90/64 mmHg, laju nadi 120x/menit,
laju nafas 18x/menit, suhu 36.50C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis,
pada region abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium dan palpasi teraba soefl.
Pemeriksaan USG abdomen didapatkan lien membesar, dilatasi usus, cairan di cavum
abdomen dengan kesimpulan splenomegali dan tidak dapat disingkirkan peritonitis.
Tatalaksana dengan infus RL 2000cc per hari, injeksi ceftriaxone 2x2 gram, Injeksi Ranitidin
2x50mg, injeksi ondancetron 4 mg (prn), paracetamol tablet 500 mg (prn), serta diet bubur
halus.

4
Keluhan nyeri perut pasien berkurang, mual berkurang, makan mau sedikit-sedikit.
Pada perawatan hari ke enam, tanggal 25 Februari 2018, keadaan umum pasien masih lemah.
Tekanan darah 90/60 mmHg, laju nadi 103x/menit, laju nafas 18x/menit, suhu 36.40C. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, pada region abdomen didapatkan nyeri
tekan epigastrium dengan palpasi teraba soefl. Hasil pemeriksaan feses lengkap didapatkan
sisa makanan, bakteri, eritrosit 0-1/lpb, dan leukosit 1-2/lpb, serta tidak didapatkan darah
secara mikroskopis. Tatalaksana dengan infus RL 2000cc per hari, injeksi ceftriaxone 2x2
gram, Injeksi Ranitidin 2x50mg, injeksi ondancetron 4 mg (prn), paracetamol tablet 500 mg
(prn), serta diet bubur halus. Pemeriksaan tambahan yang akan dilakukan kadar hemoglobin
ulangan.
Perawatan hari ke tujuh, 26 Februari 2018. Pasien mengeluh panas, dan sudah tidak
nyeri perut, mual berkurang, nafsu makan mulai membaik. Keadaan umum pasien lemah,
tekanan darah 89/47 mmHg, laju nadi 121x/menit, laju nafas 18x/menit, suhu 390C. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis. Hasil pemeriksaan Hb 9.2gr/dl.
Tatalaksana dengan infus RL 1500cc per hari, injeksi ceftriaxone 2x2 gram, paracetamol
tablet 500 mg (prn), ranitidine tablet 2x150 mg serta diet bubur halus. Pasien meminta pulang
paksa dengan diagnosis akhir febris kronik e.c demam tifoid dan anemia hipokrom mikrositer
e.c low intake, kemudian diberikan paracetamol tablet 3x500mg, ondancetron tablet 4mg
(prn), dan thiamfenikol 3x500mg.

PEMBAHASAN
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan panas dan nyeri perut
dan disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif, berbentuk batang dan berflagel, yaitu
Salmonella typhi. Penyakit yang hampir mirip disebabkan oleh Salmonella dengan serotype
paratyphi A, namun dengan gejala yang lebih ringan. Nama lain penyakit ini adalah enteric
fever, tifus dan paratifus abdominalis.1,4,5

Gambar 1. S. typhi dengan mikroskop elektron1

5
Demam tifoid dan paratifoid bersifat endemik dan sporadik di Indonesia. Demam
tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dengan insiden tertinggi pada anak. Sumber
penularan S.typhii ada dua yakni pasien dengan demam tifoid dan karier. Transmisi melalui
air yang tercemar S.typhii pada daerah endemik sedangkan pada daerah endemik sedangkan
pada daerah non-endemik makanan yang tercemar karier merupakan sumber penularan
utama.5
Dijelaskan pada gambar 2, masuknya kuman S.typhi dan S.paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan
dalam lambung sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-
sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propria kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyer ileum
distal kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat pada di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteriemia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama limfa dan hati. Di organ-organ ini kuman meninggalkan
sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi menyebabkan bakteriemia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.3

Gambar 2. Patofisiologi Demam Tifoid3

6
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperakif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik, seperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala,
sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental dan koagulasi.3
Di dalam plak peyer makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang biak
hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.3
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan dan gangguan
organ lainnya.3
Demam tifoid memiliki ciri yang khas yaitu demam dan nyeri perut. Dilaporkan
demam terdapat pada lebih dari 75% kasus, nyeri perut dilaporkan hanya terdapat pada 30-
40% kasus. Periode inkubasi S. typhi rata-rata sekitar 10-14 hari namun bervariasi antara 5
sampai 21 hari, tergantung pada ukuran inokulum dan daya tahan tubuh host serta status
imunologi.4
Gejala klinis yang paling menonjol adalah prolonged fever (38.3-40.5C), yang dapat
bertahan sampai empat minggu bila tidak diobati. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah
nyeri kepala (80%), menggigil (35-45%), batuk (30%), berkeringat (20-25%), nyeri otot
(20%), malaise (10%) dan atralgia (2-4%). Manifestasi gastrointestinal diantaranya anoreksia
(55%), nyeri abdomen (30-40%), nausea (18-24%), muntah (18%) dan diare (22-28%) lebih
sering dibandingkan konstipasi (13-16%). Pada pemeriksaan fisik ditemukan lidah berselaput
(kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor) (51-56%), splenomegali (5-6%), nyeri
tekan abdomen (4-5%), hepatosplenomegali (3-6%), epistaksis dan bradikardi relatif pada
puncak demam (<50%).3,4
Perkembangan penyakit menjadi berat (terjadi pada 10-15% pasien) bergantung pada
faktor host (imunosupresi, terapi antasida, paparan sebelumnya, dan pilihan terapi antibiotik).
Perdarahan gastrointestinal (10-20%) dan perforasi usus (1-3%) paling sering terjadi pada

7
minggu ketiga dan keempat penyakit yang diakibatkan oleh hyperplasia, ulserasi dan nekrosis
pada plak peyer ileocaecal di tempat awal infiltrasi salmonella. Kedua komplikasi tersebut
mengancam nyawa dan memerlukan resusitasi cairan segera dan intervensi bedah, dengan
pemberian antibiotik broad spectrum untuk peritonitis polimikroba, dan pengobatan
perdarahan gastrointestinal, termasuk reseksi usus. Manifestasi neurologi terjadi pada 2-40%
pasien dan termasuk meningitis, sindrom Guillain-Bare, neuritis dan gejala neuro-psikiatrik.4
Diagnosis klinis merupakan diagnosis kerja yang didapatkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik untuk mendapatkan sindrom klinis demam tifoid. Sesuai dengan
manifestasi klinis tifoid, diagnosis klinis diklasifikasikan menjadi suspek demam tifoid
(suspect case) yaitu dengan anamnesis, pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,
gangguan saluran cerna dan pertanda gangguan kesadaran, jadi sindrom tifoid didapatkan
belum lengkap, dan demam tifoid klinis (probable case) telah didapatkan gejala klinis yang
lengkap atau hampir lengkap serta didukung oleh gambaran laboratorium yang menunjukkan
tifoid.6
Diagnosis etiologik dilakukan dengan mendeteksi basil Salmonella dari dalam darah
atau sumsum tulang. Bila basil ditemukan maka pasien sudah pasti menderita demam tifoid
(confirm case). Ada tiga cara untuk diagnosis etiologik, yaitu dengan kultur darah,
pemeriksaan DNA Salmonella dengan PCR. Apabila hasil kultur tidak tumbuh dapat
didukung dengan hasil widal dengan kenaikan titer empat kali lipat pada pemeriksaan widal
kedua, 5-7 hari kemudian. Spesimen untuk kultur diambil dari darah, sumsum tulang, feses
dan urin. Spesimen darah diambil pada minggu pertama sakit saat demam tinggi, specimen
feses dan urin pada minggu kedua. 3,6
Pemeriksaan darah perifer sering ditemukan leukopenia, leukosit normal atau
leukositosis, limfositosis relatif, aneosinofilia, anemia ringan dan trombositopenia ringan
serta laju endap darah dapat meningkat. Anemia dapat terjadi akibat adanya perdarahan
intestinal yang samar (occult bleeding). SGOT dan SGPT seringkali meningkat namun akan
kembali normal setelah sembuh.3,6
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Prinsip test
adalah terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang dideteksi, yakni
agglutinin O (tubuh kuman) dan H (flagel kuman). Aglutinin O dibentuk pada akhir minggu
pertama demam sampai puncaknya minggu 3 sampai 5, bertahan 6 sampai 12 bulan.
Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4 sampai 6, menetap sampai 2 tahun.
Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.3

8
Uji lain yang bisa dilakukan adalah tubex untuk mendeteksi antibody anti-S.typhi 09
pada serum pasien dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonjugasi
pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S. typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetic latex. Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae
serogroup D walau tidak spesifik menunjukkan pada S. typhi.Uji tubex hanya mendeteksi
IgM dan tidak mendeteksi IgG.
Uji IgM dipstick secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S.typhi
pada spesimen serum atau whole blood. Akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan
1 minggu setelah timbulnya gejala.
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegak komplikasi dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah
eradikasi total bakteri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan karier. Sampai saat ini
masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu istirahat dan perawatan, diet
makanan yang lembut mudah dicerna, dan terapi suportif serta pemberian antibiotik. 2,3
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolasi S. typhi setempat.
Munculnya galur S. typhi yang resisten terhadap banyak antibiotic (MDR) dapat mengurangi
pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu
resistensi terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin dan trimethroprim-
sulfamethoxazol (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik floroquinolone. Terapi
antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO tahun
2003 dapat dilihat pada tabel 1.2
Tabel 1. Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid tanpa komplikasi menurut WHO 2003

9
Antibiotik golongan floroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin dan pefloxacin)
merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang tidak resisten terhadap floroquinolon
dengan angka kesembuhan klinis 98%, waktu penurunan demam 4 hari dan angka
kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%. Sebuah meta-analisis tahun 2009
menyimpulkan bahwa pada demam enteric dewasa floroquinolon lebih baik dibandingkan
chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan. Floroquinolone memiliki penetrasi ke
jaringan sangat baik, dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta
mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibanding antibiotik lain.2
Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas floroquinolone dan salah satu
yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin.
Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin diberikan
dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan dari studi ini
levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan ciprofloxacin dalam hal penurunan demam, hasil
mikrobiologi. 2,3
Di Indonesia chloramphenicol masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati
demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg per hari per oral atau intravena,
diberikan sampai 7 hari bebas panas. Dosis dan efektivitas thiamphenicol hampir sama
dengan chloramphenicol namun komplikasi hematologi lebih rendah, dosis yang diberikan
4x500 mg.3
Selain itu dapat diberikan cotrimoxazole dengan dosis dewasa 2x2 tablet
(sulfametoxazol 400mg dan trimethroprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu, efektivitasnya
sama dengan chloramphenicol. Sedangkan golongan ampicillin dan amoxicillin memiliki
kemampuan menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan chloramphenicol, dosis
yang dianjurkan 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.2,3
Hingga saat ini golongan cephalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk
demam tifoid adalah ceftriaxone, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam
dextrose 100cc diberikan selama setengah jam perinfus sekali sehari, diberikan 3 hingga 5
hari.3
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen atau kesadaran
menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai
pasien demam tifoid berat. Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut
WHO 2003 dapat dilihat di tabel 2. 2,2

Tabel 2. Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO 2003

10
Kombinasi dua antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu antara
lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi serta syok septik yang pernah terbukti ditemukan
dua macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella. Kortikosteroid hanya
diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis
3x5 mg.2,3
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan
minuman yang tidak terkontaminasi, higieni perorangan terutama menyangkut kebersihan
tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik dan tersedianya air bersih sehari-hari. 3
Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang
dari negara maju ke negara endemik, atau terpapar dengan penderita karier tifoid. Vaksin
yang dapat diberikan antara lain vaksin Vi Polysaccharide diberikan pada anak dengan usia
di atas 2 tahun secara subkutan atau intramuscular, efikasi perlindungan sebesar 70-80%.
Vaksin Ty21a tersedia dalam bentuk oral salut enteric dan cair, diberikan usia 6 tahun ke
atas, vaksin diberikan 3 dosis masing-masing selang 2 hari, antibiotik dihindari 7 hari
sebelum dan sesudah vaksin, efikasi perlindungan 67-82%. Sediaan terakhir adalah vaksin
Vi-conjugate, diberikan pada anak usia 2-5 tahun, efikasi perlindungan 91,1% selama 27
bulan setelah vaksin.2,3
Demam tifoid sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh
dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Komplikasi yang bisa terjadi
adalah komplikasi intestinal dan ekstra-intestinal.
a. Komplikasi Intestinal
- Perdarahan intestinal
Pada plak peyer yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat terbentuk tukak
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus

11
lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya
bila tukak menembus dinding usus terjadi perforasi. Perdarahan dengan gejala
berat berdarah (hematokezhia) atau dideteksi dengan tes perdarahan occult blood
test. Sekitar 25% pasien dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
memerlukan tranfusi darah.
- Perforasi usus
Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama. Selain panas pasien mengeluh nyeri perut hebat terutama daerah kanan
bawah kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai tanda-tanda ileus. Bising
usus melemah, pekak hati hilang, nadi cepat, tekanan darah turun dan dapat syok.
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri menyokong adanya perforasi dan
dipastikan dengan pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi.

Gambar 3. Perforasi ileum pada infeksi S.typhi3

b. Komplikasi Ekstra-Intestinal
- Hematologi
Komplikasi hematologi berupa trombositopenia, anemia hemolitik, peningkatan
prothrombin time, peningkatan partial trombhoplastin time, sampai koagulai
intravaskuler diseminata (DIC). Penyebab DIC yang sering dikemukakan adalah
endotoksin yang mengaktifkan beberapa sistem biologic, koagulasi dan
fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamine menyebabkan
vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah selanjtnya mengakibatkan
perangsangan mekanisme koagulasi, baik DIC kompensata maupun
dekompensata.
- Hepatitis tifosa

12
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus demam
tifoid. Hepatitis tifosa merupakan demam tifoid yang disertai gejala-gejala ikterus,
hepatomegali dan peningkatan enzim transaminase yang tidak relevan dengan
kenaikan serum bilirubin.
- Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang, gejalanya sama dengan pankreatitis.
Penderita nyeri perut hebat yang disertai mual dan muntah warna kehijauan,
meteorismus dan bising usus menurun, enzim amylase dan lipase meningkat.
Penatalaksanaan sama dengan pankreatitis pada umumnya, diberikan antibiotic
intravena seperti ceftriaxone atau kuinolon.
- Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita tifoid, keluhan berupa sakit dada, gagal
jantung kongestif, aitmia atau syok kardiogenik.Kelainan ini disebabkan
kerusakan miokarium oleh kuman S.thypi dan sering menyebabkan kematian.
- Tifoid toksik
Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan gejala delirium
sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan neurologis lainnya. Analisis cairan
otak dalam batas normal. Semua kasus tifoid toksis merupakan tifoid berat,
langsung diberikan kombinasi chloramphenicol 4x400mg ditambah ampicillin
4x1 gram dan dexamethasone 3x5 mg.
- Syok sepsis
Merupakan akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik karena bacteremia
Salmonella. Disamping gejala-gejala tifoid di atas, penderita jatuh kedalam fase
syok, tensi turun, nadi cepat dan lemah, berkeringat, akral dingin.

Salah satu temuan pada pemeriksaan laboratorium penderita demam tifoid adalah
anemia. Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya kadar hemoglobin darah. Walaupun
nilai normal dapat bervariasi antar laboratorium, kadar hemoglobin biasanya kurang dari 13,5
g/dl pada pria dewasa dan kurang dari 11,5 gr/dl pada wanita dewasa. Klasifikasi anemia
dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 7

Tabel 2. Klasifikasi anemia7


Hipokrom Mikrositer Normokrom normositer Makrositer

13
MCV <80 fL MCV 80-95 fL MCV >95 fl
MCH <27 pg MCH >26 pg

- Defisiensi Fe -Anemia hemolitik - Megaloblastik: defisiensi


- Thalasemia -Anemia penyakit kronik B12 atau asam folat
- Anemia penyakit kronik -Perdarahan akut - Non megaloblastik : alcohol,
- Keracunan timbal -Kegagalan sumsum tulang penyakit hati, anemia
- Anemia sideroblastik aplastik, mielodisplasia

Selain dari perdarahan intestinal, anemia secara khusus hipokrom mikrositer pada
kondisi demam tifoid dapat terjadi akibat gejala klinis yang ditimbulkan yaitu anoreksia,
nausea dan vomiting yang menyebabkan intake makanan penderita menurun sehingga tidak
mencukupi jumlah besi yang dibutuhkan tiap hari untuk mengkompensasi kehilangan besi
dari tubuh.3,7
Jumlah besi yang diperlukan tiap hari untuk mengompensasi kehilangan besi dari
tubuh dan untuk pertumbuhan bervariasi menurut usia dan jenis kelamin, paling tinggi pada
masa kehamilan, remaja dan wanita menstruasi. Karena itu, kelompok tersebut sangat
mungkin menderita defisiensi besi jika terdapat kehilangan besi oleh sebab lain atau
kurangnya asupan dalam waktu lama.7
Di negara maju asupan yang tidak adekuat atau malabsorbsi jarang merupakan
penyebab tunggal anemia defisiensi besi, namun di negara berkembang anemia defisiensi
besi dapat terjadi akibat diet yang buruk seumur hidup yang terutama terdiri dari biji-bijian
dan sayuran. Pada anemia defisiensi besi penyebab yang mendasari sedapat mungkin diobati.
Sebagai tambahan diberikan besi untuk mengoreksi anemia dan memulihkan cadangan besi.
Gambar 4 di bawah merupakan cara investigasi anemia defisiensi besi secara umum.

14
Gambar 4. Investigasi dan penatalaksanaan anemia defisiensi besi. 7

KESIMPULAN
Diagnosis demam tifoid yang ditegakkan secara dini dan disertai pemberian terapi
yang tepat mencegah terjadinya komplikasi, kekambuhan, pembawa kuman (carrier) dan
kemungkinan kematian. Gambaran klinis tersering setelah demam yaitu anorexia, nausea dan
vomiting, hal ini menyebabkan asupan nutrisi kurang yang akan mengakibatkan kebutuhan
besi setiap hari tidak terpenuhi sehingga dapat terjadi kondisi anemia defisiensi besi yang
ditandai dengan gambaran hipokrom mikrositer.

DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. 2006. Background document : The diagnosis, treatment and prevention of
typhoid fever. Communicable Disease Surveillance and Response Vaccines and
Biological. WHO. Geneva.
2. Nelwan RHH. 2012. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Cermin Dunia Kedokteran-
192/ Vol. 39 No. 4. Kalbe. Jakarta
3. Widodo D. 2010. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi l, et al, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta:
Interna Publishing. 2792-2806
4. Kasper, DL. Braunwald,E. Fauci, S.A, Hauser, SL.
Longo, DL, Jameson, JL. 2013. Harrison’s Manual of Medicine. 18th Ed. McGraw-
Hill Companies, USA. 1050-1054
5. Wibisono E. Susilo A. Nainggolan L. 2016. Demam
Tifoid, in TantomC. Liwang, F. Hanifati, A, Pradipta, EA, editor. Kapita Selekta
Kedokteran: Essential of medicine. 4th Ed. 721-723
6. Kemenkes. 2006. Pedoman Pengendalian Demam
Tifoid. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2006 Tanggal 19 Mei 2005.
7. Hoffbrand AV. Pettit JE. Moss PAH. 2005. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4.
Penerbit ECG. Jakarta. 25-37

15

Anda mungkin juga menyukai