Diajukan Kepada :
Dr. Bambang Sutanto, Sp.An KIC
Disusun Oleh :
Erlieza Rosdania J510165052
Nadia Fatkhy L J510165084
Diajukan Oleh :
Erlieza Rosdania J510165052
Nadia Fatkhy L J510165084
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pembimbing:
dr. Bambang Sutanto, Sp.An KIC (...............................)
Dipresentasikan dihadapan:
dr. Bambang Sutanto, Sp.An KIC (...............................)
BAB I
PENDAHULUAN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. AN
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Berat Badan : 55 kg
Alamat : Jayapuro
Agama : Islam
Diagnosis pre operasi : Soft tissue tumor
Jenis pembedahan : Eksisi
Jenis anestesi : General Anestesi
Tanggal masuk : 27 Desember 2017
Tanggal Operasi : 27 Desember 2017
No.Rekam Medis : 036xxxx
II. ANAMNESIS
a. Keluhan utama: terdapat benjolan pada pipi sebelah kiri
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka:
Diagnosis pre operatif: Soft tissue tumor
Status operatif : ASA II
Jenis operasi : Eksisi
Jenis anestesi : General Anastesi
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1. Etiologi
C. Klasifikasi
Sarkoma terbagi atas sarkoma jaringan lunak (soft tissue sarcoma) dan
sarkoma tulang atau osteosarkoma (bone sarcoma). Menurut
diferensiasinya, sarkoma jaringan lunak dapat dilihat pada tabel berikut:8,9
D. Diagnosis
1. Pemeriksaan Klinis
a. Anamnesis
Keluhan sangat tergantung dari dimana tumor tersebut tumbuh.
Keluhan utama pasien SJL daerah ekstremitas tersering adalah benjolan
yang umumnya tidak nyeri dan sering dikeluhkan muncul setelah terjadi
trauma di daerah tersebut, namun benjolan dapat pula disertai nyeri
yang timbul sekunder akibat efek penekanan massa tumor atau invasi
langsung terhadap struktur saraf di sekitarnya Untuk SJL lokasi di
visceral/retroperitoneal umumnya dirasakan ada benjolan abdominal
yang tidak nyeri, kadang-kadang terdapat pula perdarahan
gastrointestinal, obstruksi usus atau berupa gangguan neurovaskular.
Perlu ditanyakan kapan mulai dirasakan dan bagaimana sifat
pertumbuhannya. Umumnya ukuran bertambah besar dalam beberapa
bulan dan dapat mencapai ukuran yang sangat besar, tapi dapat pula
menetap9,12
Gambar 2. Rhabdomyosarkoma alveolar pada wanita 15 tahun dengan
riwayat benjolan pada tangan yang dialami sejak 6 bulan
Gambaran 7. MRI dari massa malignant fibrous histiocytoma di paha kiri seorang
pasien
laki-laki berusia 47 tahun. Potongan axial dengan kontras memperlihatkan massa
yang
besar terletak di otot vastus intermedius
4) Foto toraks
Posisi AP & lateral dilakukan untuk mengevaluasi adanya
metastasis jauh diindikasikan pada kasus tumor yang low-grade
atau lesi Tl yang high-grade
5) USG hepar / sidik tulang atas indikasi untuk menilai metastasis
6) Untuk SJL retroperitoneal perlu diperiksa fungsi ginjal
- Untuk kasus-kasus tertentu bila pemeriksaan histopatologi
meragukan, dilakukan pemeriksaan imunohistokimia.
Setelah dilakukan pemeriksaan diatas, maka diagnosis klinis
onkologi telah dapat ditegakkan, selanjutnya ditentukan stadium
klinik (clinical staging).
7) Sistem staging 7,8,10,11,13
Penentuan stadium dilakukan sesuai sistem American Joint
Committee on Cancer Staging (AJCC) dan International Union
Against Cancer (IUCC) edisi ke-6 tahun 2002. Sistem ini
menyusun kriteria mencakup grade, ukuran, dan lokasi relatif
terhadap fasia otot, status nodus, dan metastasis jauh yang diinvasi
oleh tumor.
Tumor primer (T)
Tx : tumor tidak dapat diukur
T0 : tidak terdapat tumor
T1 : tumor berukuran 5 cm
T1a : tumor terletak di atas / superfisial dari fasia
muskular
T1b : tumor terletak di bawah / profunda dari fasia
muskular
T2 : tumor berukuran > 5 cm
T2a : tumor terletak di atas / superfisial dari fasia
muskular
T2b : tumor terletak di bawah / profunda dari fasia
muscular
Kelenjar limfe regional (N)
NX : kelenjar limfe regional tidak dapat diperiksa
N0 : tidak terdapat metastase ke kelenjar limfe regional
N1 : terdapat metastase ke kelenjar limfe regional
Metastase jauh (M)
MX : metastase jauh tidak dapat diketahui
M0 : tidak terdapat metastase jauh
M1 : terdapat metastase jauh
Histopatologic Grade (G)7,9,11
Berdasarkan pemeriksaan histologis, maka SJL ditentukan derajat
keganasannya. Penilaian ditentukan berdasarkan jumlah mitosis, derajat
selularitas, nuklear pleomorfisme, sel nekrosis, dan neo vaskularisasi
Gx : grade tidak dapat diketahui
G1 : diferensiasi baik
G2 : diferensiasi sedang
G3 : diferensiasi jelek
G4 : undifferentiated
Penentuan stadium (Staging)
Tabel 3. Penetuan staging tumor
Stage G T N M
Stadium I a G1-2 T1a-b NO MO
Stadium I b G1-2 T2a NO MO
Stadium II a G1-2 T2b NO MO
Stadium II b G3-4 T1a-1b NO MO
Stadium II c G3-4 T2a NO MO
Stadium III G3-4 T2b NO MO
Stadium IV Any G Any T N1 MO
Any G Any T NO Ml
E. Penatalaksanaan
Prosedur terapi dibedakan atas lokasi SJL, yaitu 7,8:
1. Ekstremitas
2. Viseral/retroperitoneal
3. Bagian tubuh lain
4. SJL dengan metastasis jauh
1. Ekstremitas 7
Pengelolaan SJL di daerah ekstremitas sedapat mungkin haruslah dengan
tindakan “the limb-sparing operation” dengan atau tanpa terapi adjuvant
(radiasi/kemoterapi). Tindakan amputasi harus ditempatkan sebagai
pilihan terakhir. Tindakan yang dapat dilakukan selain tindakan operasi
ialah dengan kemoterapi intra arterial atau dengan hyperthermia dan limb
perfusion.
a. SJL pada ekstremitas yang resektabel
Untuk SJL yang masih operabel/resektabel, eksisi luas yang
dilakukan adalah eksisi dengan curative wide margin yaitu eksisi
pada jarak 5 cm atau lebih dari zona reaktif tumor yaitu daerah
yang mengalami perubahan warna di sekitar tumor yang terlihat
pada inspeksi, yang berhubungan dengan jaringan yang vaskuler,
degenerasi otot, edema, dan jaringan sikatrik.
Untuk SJL ukuran 5 cm dan gradasi rendah, tidak ada
tindakan ajuvan setelah eksisi luas
Bila SJL ukuran > 5 cm dan gradasi rendah, perlu
ditambahkan radioterapi eksterna sebagai terapi ajuvan
Untuk SJL ukuran 5-10 cm dan gradasi tinggi perlu
ditambahkan radioterapi eksterna atau brakhiterapi sebagai
terapi ajuvan
Bila SJL ukuran > 10 cm dan gradasi tinggi, perlu
dipertimbangkan pemberian kemoterapi preoperatif dan
postoperatif disamping pemberian radioterapi eksterna atau
brakhiterapi.
Bagan Pengelolaan SLJ Ekstremitas Resektabel
BT : Brak
Kemoterapi
pre/post op.
Radioterapi preoperatif
Eksisi
Neoajuvan terapi
Eksisi
Radioterapi post operatif
Kemoterapi Ajuvan
Observasi
Bila SJL telah menginfiltrasi ginjal dan dari tes fungsi ginjal diketahui ginjal
kontralteral dalam kondisi baik, maka tindakan eksisi luas harus disertai dengan
tindakan nefrektomi. Dan bila telah menginfiltrasi kolon maka dilakukan reseksi
kolon.
Seringkali tindakan eksisi luas yang dilakukan tidak dapat mencapai reseksi
radikal karena terbatas oleh organ-organ vital seperti aorta, vena cava dan
sebagainya, sehingga tindakan yang dilakukan tidak radikal dan terbatas pada
pseudokapsul. Untuk kasus yang demikian perlu dipikirkan terapi ajuvan berupa
kemoterapi dan/atau radioterapi.
Setelah dilakukan pemerikasaan laboratorium/pemeriksaan penunjang,
ditegakkan diagnosis SJL viseral/retroperitoneal, kemudian dilakukan eksisi luas.
3. ASMA
A. Definsi
Penyakit asma adalah penyakit kronik yang merupakan gangguan
inflamasi saluran pernafasan yang dihubungkan dengan hiperesponsif,
keterbatasan aliran udara yang reversible dan gejala pernafasan2,15
Menurut GINA (Global Initiative for Asma) asma didefinisikan
sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan
banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode wheezing
berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya malam hari
atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran
respiratorik yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini
juga berhubungan dengan hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap
berbagai rangsangan.16,18
Asma adalah penyakit saluran napas kronik akibat terjadinya
peningkatan kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Pada
penderita yang peka hal ini menyebabkan munculnya serangan batuk, bunyi
mengi, banyak dahak, sesak napas, dan tidak enak didada terutama pada
malam hari atau pagi hari.15,17
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensivitas
cabang-cabang tracheobronchial terhadap pelbagai jenis rangsang. Keadaan
ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara
periodik dan reversibel akibat bronkospasme. 15
B. Patofisiologi Asma
Pathofisiologi asma melibatkan pelepasan mediator kimiawi ke
jalan napas dan mungkin pula adanya aktivitas yang berlebihan dari sistem
saraf parasimpatis. Substansi yang terhirup dapat menimbulkan
bronkospasme melalui respon imun spencifik dan non spencifik oleh daya
degranulai sel mast bronkial. Pada asma alergi yang klasik antigen berikatan
dengan Ig E di permukaan sel mast dan menyebabkan degranulasi,
bronkokontriksi merupakan hasil dari pelepasan histamin berikutnya :
bradiknin; leukotrien C, D, dan E; platelet activating-factor, prostaglandin
(PG), PGE2, PGF2 alfa, dan PGD2; dan factor netrofil eosinofil
kemotaktik.2 Sedikitnya ada 2 jenis T-helper (Th), limpfosit subtipe CD4+
telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis lifosit
T mensekresi IL-3 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
(GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF-γ dan TNF-β. Sedangkan
Th2 terutama memprodusi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-
5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung
jawab atas terjadinya reaksi hipersensivitas tipe lambat maupun yang cell
mediated. Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi
limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris yaitu
suatu proses yang melibatkan molekul MHC/major histocompatibility
complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada ael T
CD8+). Sel dendritik adalah merupakan antigen presenting cell yang utama
dalam saluran napas. Sel dendritik terbentuk perkusornya didalam sumsum
tulang dan membentuk jaringan luas dan sel-selnya saling berhubungan
pada epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel tersebut bermigrasi
kekumpulan sel-sel limfoid dibawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin yang
terbentuk oleh aktivitas sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag dan sel mast.
Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerah yang
banyak mengandung limfosit. Dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel
dendritik menjadi matang sebagai antigen presenting cell (APC) yang
efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi selT naïve-Th0 menuju Th2
yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada klaster
kromosom 5q31-33 (IL-4 genecluster). 18,19
Pada asma baik dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki
kelabilan bronkus abnormal yang memudahkan penyempitan saluran napas
oleh banyak faktor, saluran napas ini seakan-akan merupakan persarafan β-
adrenergik yang tidak kompeten, dan banyak bukti memberikan paling tidak
secara fungsional terdapat hambatan partial pada reseptor β adrenergik pada
penderita asma yang khas ini. Penyempitan saluran respiratorik pada asma
dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab utama penyempitan saluran
respiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh
pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah
histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast,
neuropepetida dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari saraf
postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respirtorik diperkuat oleh
penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel
inflamasi dan remondeling, hiperplasia dan hipertropi kronis otot polos,
vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matrik pada diding saluran
respiratorik. Selain itu hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat
produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar
submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan
debris seluler.16,
Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor, belum diketahui pada
manusia. Sistim saraf parasimpatik memainkan peran penting dalam
menjaga tonus normal bronkial. Aktifasi reflek vagal terjadi pada
bronkokontriksi yang dimediasi oleh peningkatan siklik guanosin
monofosfat intraseluler (cGMP). 2
Selama serangan asma, bronkokontriksi, oedem mukosa, dan sekresi
yang terjadi akan meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan
napas yang lebih rendah. Tahanan jalan napas kembali normal pertama kali
pada jalan napas yang lebih besar (bronki utama, lobar, segmental dan sub
segmental), kemudian baru perifer. Laju ekspirasi menurun melampaui
kapasitas vital paksa (force vital capacity) tetapi pada pemulihan serangan
laju rata-rata ekspirasi menurun hanya pada volume paru rendah.
Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal
atau tinggi menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja
napas lagi dan hal ini sering merupakan tanda adanya gagal napas
(impending). Pulsus paradoksus dan gambaran EKG renggangan ventrikel
kanan (perubahan ST, deviasi aksis kanan, dan RBBB) menunjukan
obstruksi jalan napas berat.3
Gambar 9. Patogenesis Asma
C. Etiologi Asma 3
Herediter
Kebiasaan : polusi udara, stress, makanan
Alergi : rokok, udara dingin, anjing, kucing, debu
Obat : obat nyeri seperti NSAID
D. Gejala dan tanda asma2,3,15
Mengi saat ekspirasi
Batu berat pada malam hari dada sesak yang terjadi berulang dan
nafas tersengal-sengal.
Hambatan pernafasan yang reversibel secara bervariasi selama siang
hari.
Adanya peningkatan gejala pada saat olah raga, infeksi virus,
paparan terhadap alergan, dan peruahan musim.
Terbangun malam hari dengan gejala tersebut diatas.
E. Klasifikasi Asma 3
Berdasarkan etiologi :
Asma intrinsik
Asma yang tidak disebabkan oleh faktor lingkungan.
Asma ekstrinsik
Penyakit asma yang berhubungan dengan atopi, predisposisi genetik yang
berhubungan dengan IgE sel mast dan respon eosinofil terhadap alergan.
Ditinjau dari berat ringannya penyakit
Tabel 5. Derajat berat ringannya asma
DERAJAT GEJALA GEJALA MALAM FUNGSI PARU
ASMA
INTERMITEN Gejala < 1x/minggu < 2 kali sebulan VEP1 atau APE >
Mingguan Tanpa gejala di luar serangan 80%
Serangan singkat
Fungsi paru asimtomatik dan
normal di luar serangan.
PERSISTEN Gejala > 1x/minggu tapi < > 2 kali VEP1 atau APE >
RINGAN 1x/hari seminggu 80%
Mingguan Serangan dapat mengganggu normal
aktivitas dan tidur.
PERSISTEN Gejala harian > sekali VEP1 atau APE >
SEDANG Menggunakan obat setiap hari seminggu 60% tetapi < 80%
Harian Serangan mengganggu aktivitas normal
dan tidur
Serangan 2x/minggu, bisa
berhari – hari
PERSISTEN Gejala terus menerus Sering VEP1 atau APE <
BERAT Aktivitas fisik terbatas 80% normal
Kontinu Sering serangan
Ditinjau Dari Gejala Klinis 3
1. Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang
sesak, Sa O2 95% udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV1
lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan faktor
pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas
normal sehari-hari.
2. Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas
walaupun timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO2 92-
95% udara ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV1 antara 1-2 liter,
sesak nafas kadang mengganggu aktivitas normal sehari-hari.
3. Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas
sehari-hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan
untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang mengancam jiwa yang
dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO2 91%, PEFR 80 liter per
menit, FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas berat
seperti pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus
paradoskus 20 mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi
ekspirasi yang jelas.
F. Terapi :3,20
Non Farmakologi yaitu melalui pencegahan
Farmakologi dengan menggunakan obat
o Short acting β2 agonsts (salbutamol, terbutalin)
o Antiklinergik
o Kortikosteroid
4. Manajemen Anastesi
A. Evaluasi Preoperatif
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan
napas yang terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak,
sianosis, ekspirasi memanjang, Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor,
auscultasi whezing, ronchi.4 Tanda-tanda serangan asma berat meliputi
penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, tidak mampu berhenti napas
pada saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak ada whezing (jalan napas
tertutup, sedikit gerakan udara, dan whezing menurun).5
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah
eosinofil ini selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid
dan dapat juga untuk membedakan asma dengan bronchitis khronis. Pada
pemeriksaan sputum selain didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan
adanya kristal charcat leyden, spiral churschman dan mungkin juga
miselium aspergilus fumigates.4
4. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut
umumnya dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau
adanya komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum,
atelektasis, pneumonia. Kadang didapatkan gambaran air trapping,
diafragma datar karena hiperinflasi, jantung mengecil dan lapang paru yang
hiperluscen.5
5. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)
Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan
pengukuran aliran udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik pertama
(FEV1) dan arus puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila
dibandingkan dengan hasil pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai
volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk laki-laki adalah lebih dari 3 liter dan
lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus puncak ekspirasi (PEFR) adalah
lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa muda lebih dari 500 L/mnt).
Nilai PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150 L/mnt pada wanita)
menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan meningkatkan
komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50% menunjukan asma
sedang sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau FEV1 1 liter menujukan
obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena sering terjadi
ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang
baru sembuh dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak
mengeluh, tetapi setelah diperiksa ternyata obstruksi saluran napas.
Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien-pasien yang menderita penyakit
paru-paru sedang sampai berat yang menjalani operasi yang berdampak
pada sistem respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap
resiko komplikasi paru postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan
ventilasi dan respon pengobatan (Bronkodilator).2
Hubungan asma dengan pemeriksaan spirometri :
Normal 80-100
Asma Ringan 75-79
7. Fisioterapi dada.
Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan
napas. Indikasi fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan
akut untuk dilakukan fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi
sputum yang berlebihan atau abnormal akibat batuk yang terus menerus atau
pada pasien yang batuknya sangat lemah.3
B. Penilaian Pre-operatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan
persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien
sebelum pasien dibedah sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar
kelainan yang akan dioperasi.1
Tujuannya adalah:
Skoring Mallampati:
- Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
- Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
- Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
- Hanya terlihat palatum durum
c. Pemeriksaan Penunjang
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur
pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas
dari prosedur bedah yang direncanakan.
Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat yang
bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya selama waktu
yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini merupakan konsep yang sama baik pada
anestesi yang dicapai dengan anestesi inhalasi, obat intravena, atau keduanya.
Pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan anestesi inhalasi. Obat
anestesi inhalasi yang dipakai adalah Sevoflurane. Sevoflurane tidak memiliki
kontraindikasi khusus. Sevofluran juga dapat mempotensiasi NMBA
Pada kasus ini jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi dengan
intubasi. Sebelum dilakukan intubasi diperlukan muscle relaxant sehingga proses
intubasi lebih mudah dilakukan. Untuk itu digunakan Atracurium sebagai
pelumpuh otot, atracurium merupakan neuromuscular blocking agent yang sangat
selektif dan kompetitif (non-depolarising) dengan lama kerja sedang. Non-
depolarising agent bekerja antagonis terhadap neurotransmitter asetilkolin melalui
ikatan reseptor site pada motor-end-plate. Atracurium dapat digunakan pada
berbagai tindakan bedah dan untuk memfasilitasi ventilasi terkendali. Atracurium
tidak mempunyai efek langsung terhadap tekanan intraocular, dan karena itu dapat
digunakan pada bedah opthalmik. Atracurium berfungsi sebagai adjuvant terhadap
anestesi umum agar intubasi trakea dapat dilakukan dan untuk relaksasi otot rangka
selama proses pembedahan atau ventilasi terkendali, serta untuk memfasilitasi
ventilasi mekanik pada pasien Intensive Care Unit (ICU). Dosis yang dianjurkan :
0,3-0,6 mg/kg (tergantung durasi blokade penuh yang dibutuhkan) dan akan
memberikan relaksasi yang memadai selama 15-35 menit. Intubasi endotrakea
biasanya sudah dapat dilakukan dalam 90 detik setelah injeksi intravena 0,5-0,6
mg/kg. Blokade penuh dapat diperpanjang dengan dosis tambahan sebesar 0,1-0,2
mg/kg sesuai kebutuhan
LAPORAN ANESTESI
A. Pre Operatif
Informed Consent (+)
Puasa (+) selama 10 jam
Tidak ada gigi goyang atau pemakaian gigi palsu
IV line terpasang dengan infus RL 500 cc
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 110/68 mmHg
Nadi : 108 x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,8 0C
B. Premedikasi anestesi
Dexamethason 1 ampul
C. Pemantauan Selama Anestesi
Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi
pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi pernapasan
dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit, Tekanan darah setiap 5 menit
Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien, Saturasi Oksigen
Cairan : Monitoring input cairan
160
140
120
100
80
60
RL
40 (Ringer laktat)
20
Keterangan :
: Tekanan darah
: Nadi
: Saturasi Oksigen
F. POST OPERATIF
- Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke Bangsal
- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 114/86 mmHg
Nadi : 92x/min
Saturasi : 99%
- Penilaian pemulihan kesadaran (Aldrete Score)
Skor
Variabel Item Skor
Pasien
Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah 2
Aktivitas Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah 1 2
Tidak respon 0
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Respirasi Dispnea, hipoventilasi 1 2
Apnea 0
Perubahan < 20 % TD sistol preoperasi 2
Sirkulasi Perubahan 20-50 % TD sistol preoperasi 1 2
Perubahan .> 50 % TD sistol preoperasi 0
Sadar penuh 2
Kesadaran Dapat dibangunkan 1 1
Tidak respon 0
Merah 2
Warna kulit Pucat 1 2
Sianotik 0
Skor Total 9
≥ 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi
≥ 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal
≥ 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)
Pada pasien ini didapatkan nilai aldrete skor 9, pasien dipindahkan ke ruang
perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.
Pasca Bedah di Recovery Room (RR)
Recovery Room
Masuk jam : 08.15
Pulang jam : 09.20
Keadaan Umum : Baik
Respon Kesadaran : Terjaga
Status mental : Sadar Penuh
Jalan nafas : Nasal
Pernafasan : Teratur
Terapi Oksigen : Nasal Canul
Sirkulasi anggota badan : Merah muda
Kulit : Hangat
Posisi Pasien : Supinasi
Nadi : Teratur
Infus : RL
Tanda Vital
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
SaO2 : 99 %
TB : 153 cm
BB : 55 kg
Instruksi Post Operasi Dengan General Anestesi
Sadar penuh, mual muntah (-), boleh makan dan minum.
Awasi tanda-tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam post op,
O2 2 L/menit, infuse RL 20 tpm.
Terapi lain sesuai dokter operator.
Terapi analgesic :
Inj.Remopain 30mg IV karena pasien alergi terhadap
remopain (ketorolac 30mg) maka pasien diberikan injeksi
dexametason 1 amp.
Inj Cendantron 8mg IV
BAB V
KESIMPULAN
1. Asma adalah satu keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang
penyempitan bronkus yang reversible, biasanya diantara episode terdapat
pernapasan yang lebih normal.
2. Penilaian terhadap reversibilitas penyakit penting dilakukan evaluasi pasien
dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi, pemeriksaan AGD dan pemeriksaan tes fungsi paru-paru.
3. Pasien dengan riwayat asma frekuen atau kronis perlu dilakukan pengobatan
sampai tercapai kondisi yang optimal untuk dilakukan operasi atau kondisi
dimana gejala-gejala asma sudah minimal.
4. Pencegahan bronkospasme pada saat operasi penting dilakukan terutama pada
saat manipulasi jalan napas.
5. Pemilihan obat-obatan dan tindakan anestesi perlu dipertimbangkan untuk
menghindari penggunaan obat-obatan dan tindakan yang merangsang terjadinya
bronkospasme atau serangan asma.
6. Rencana tindakan atau obat-obat untuk mengatasi serangan asma atau
bronkospasme harus disiapkan agar jika terjadi serangan bronkospasme kondisi
reversibel dapat tercapai.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA