Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN KASUS

“Eksisi Soft Tissue Tumor Sarkoma dengan General Anestesi


pada Pasien dengan Riwayat Asma dan Alergi”
Diajukan Untuk Memenuhi
Sebagian Persyaratan Pendidikan Profesi Dokter Stase Anestesi

Diajukan Kepada :
Dr. Bambang Sutanto, Sp.An KIC

Disusun Oleh :
Erlieza Rosdania J510165052
Nadia Fatkhy L J510165084

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA RS. PKU SURAKARTA
2018
LAPORAN KASUS
“Eksisi Soft Tissue Tumor Sarkoma dengan General Anestesi pada Pasien
dengan Riwayat Asma dan Alergi”

Diajukan Oleh :
Erlieza Rosdania J510165052
Nadia Fatkhy L J510165084

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pembimbing:
dr. Bambang Sutanto, Sp.An KIC (...............................)

Dipresentasikan dihadapan:
dr. Bambang Sutanto, Sp.An KIC (...............................)
BAB I
PENDAHULUAN

Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan membutuhkan


terapi khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium untuk mengurangi
komplikasi selama dan pasca operasi. Masalah paru adalah penyebab umum morbiditas dan
mortalitas selama pembedahan. Berdasarkan frekuensinya, 1,2-4% pasien yang menjalani
prosedur bedah mayor dilaporkan mempunyai penyakit asma. Komplikasi pada pasien
dengan penyakit paru telah didokumentasikan, hanya 3% dari pasien dengan fungsi paru
yang normal akan berkembang menjadi atelektasis atau pneumonia, sedangkan 70% dari
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik dengan perubahan fungsi paru akan
menemui beberapa kesulitan. Dalam sebuah penelitian yang terbatas, gagal jantung lebih
dari 20 kali lebih sering terjadi pada penderita asma dibandingkan pada kelompok kontrol.
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-
cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini
bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan
reversibel, hal ini menandakan suatu keadaan hiperreaktivitas bronkus. Perubahan
jaringan pada asma tanpa komplikasi terbatas pada bronkus dan terdiri spasme otot
polos, edema paru-paru, infiltrasi sel-sel radang dan hipersekresi mukus yang
kental. Mobilisasi sekret pada lumen dihambat oleh penyempitan dari saluran napas
dan pengelupasan sel-sel epitel bersilia, yang dalam keadaan normal membantu
membersihkan mukus.1
Gejala-gejala asma yang umum terjadi seperti sesak napas, batuk, whezing,
dan sampai sulit bernapas. Penyebab klasik yang memicu terjadinya asma antara
lain: substansi udara seperti polutan, serbuk sari, debu, dan beberapa uap kimia.
Stimulasi psikologi (seperti emosi, stres, cemas), cuaca, penggunaan obat NSAID(
seperti aspirin, ibuprofen), dan olah raga. Penyebab terjadinya infeksi saluran napas
biasanya oleh karena virus.2
Berdasarkan penyebabnya asma dapat dibagi menjadi dua macam, asma
ekstrinsik (asma alergi), asma intrinsik (asma yang tidak diketahui penyebabnya
atau idiopatik). Pada asma ekstrinsik biasanya pada anak-anak dan dipicu oleh
alergen, asma intrinsik dipicu oleh faktor-faktor non alergen seperti infeksi saluran
napas oleh virus, emosi, iritasi saluran napas, dan olah raga. Pada asma intrinsik
umumnya pada orang dewasa. Asma dapat timbul pada semua kelompok umur.
Terdapat peningkatan prevalensi asma baik pada negara maju ataupun pada negara
berkembang. Meskipun angka kematian karena asma rendah tetapi penykit ini
mempunyai dampak yang cukup besar karena penderita asma sering mengalami
serangan sehingga mengganggu aktivitas kerja ataupun kehilangan hari sekolah.3,4
Pada umumnya pasien dengan gangguan fungsi paru derajat tertentu yang
mengalami pembedahan masih memiliki kemampuan toleransi terhadap gangguan
pernapasan pasca bedah, tetapi pasien dengan penyakit paru memiliki peluang
resiko yang lebih tinggi terjadinya komplikasi paru pasca bedah dibandingkan
pasien yang normal. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan perioperatif yang
memadai untuk mencegah komplikasi tersebut.5,6
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. AN
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Berat Badan : 55 kg
Alamat : Jayapuro
Agama : Islam
Diagnosis pre operasi : Soft tissue tumor
Jenis pembedahan : Eksisi
Jenis anestesi : General Anestesi
Tanggal masuk : 27 Desember 2017
Tanggal Operasi : 27 Desember 2017
No.Rekam Medis : 036xxxx

II. ANAMNESIS
a. Keluhan utama: terdapat benjolan pada pipi sebelah kiri

b. Riwayat Penyakit sekarang


Pasien datang ke PKU Muhammadiyah Surakarta dengan keluhan terdapat
benjolan pada pipi sebelah kiri yang dirasakan semakin lama semakin
membesar ukurannya, tidak dirasakan adanya nyeri, panas, maupun keluar
adanya nanah, namun benjolan pada bagian tengah berwarna kemerahan.

c. Riwayat penyakit dahulu:


- Riwayat Operasi (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Asma (+)
- Riwayat Alergi obat dan makanan (+)
- Riwayat Diabetes mellitus (-)
- Riwayat TB paru (-)
- Riwayat Sakit Jantung (-)

d. Riwayat penyakit Keluarga :


- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Penyakit Serupa (-)
- Riwayat Asma (+)
- Riwayat Alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat Diabetes mellitus (-)
- Riwayat TB Paru (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


Cranium : dalam batas normal.
Leher : DBN
Telingan : DBN
Hidung : DBN
Wajah : Benjolan pada mandibula sebelah kiri berukuran ± 5x3 cm,
kenyal keras, mobile.
Thorax : SDV (+/+), Rho (-/-), Wheezing (-/-), Bunyi Jantung I-II reguler
Abdomen: dalam batas normal
Ekstremitas: Akral hangat pada ke empat extremitas.
Urogenital : BAK dalam batas normal.
BAB : dalam batas normal.
Genitalia : dalam batas normal

IV. STATUS LOKALIS


-Regio : Regio mandibula sinistra
-Inspeksi : tampak masa ukuran 5x3 cm cm, warna sama dengan
sekitar, dengan central hiperemis.
-Palpasi : mobile, konsistensi kenyal keras, pembesaan KGB (-)
V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan 27 Desember 2017 Nilai normal
Hemoglobin 12,3 11,7-15,5 g/dL
Leukosit 99000 3600-11000/L
Hematokrit 37,9 35-47%
Eritrosit 4,45x106 3,8-5,2x106/
Trombosit 331.0000 15.0000-450000/L
Netrofil 68,0 50-70
Limfosit 24 L 25-40
Monosit 7,5 2-8
MCV 90,0 80,0-100 fl
MCH 29,7 26,0-34,0 pg
MCHC 33,0 32,0-36,0 %
CT 4’ 30’’ 2-6 menit
BT 2’ 1-5 menit
Kimia Klinik
SGOT 15 < 31 U/L
GDS 93,9 70-140
Kreatinin 0,60 0,6-1,1
Seroimmunologi
HbsAg Non Reaktif (-) Non Reaktif (-)

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka:
Diagnosis pre operatif: Soft tissue tumor
Status operatif : ASA II
Jenis operasi : Eksisi
Jenis anestesi : General Anastesi
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Soft Tissue Tumor Sarkoma


A. Definisi

Sarkoma adalah tumor yang berkembang dari jaringan mesenkimal, terdiri


dari banyak subtipe. Sarkoma terbagi atas sarkoma jaringan lunak (soft
tissue sarcoma) dan sarkoma tulang (bone sarcoma)7,8
Sarkoma jaringan lunak (SJL) merupakan kelas dari tumor ganas yang
tumbuh secara meluas dari jaringan konektif mesenkimal yang berasal dari
mesodermal, bukan berasal dari tulang, parenkim, atau viseral. Perbedaan
SJL dari karsinoma adalah berdasarkan asalnya yang dari jaringan konektif
dan bukan dari jaringan epiteliat yang berkembang dari ektodermal.9,10
B. Etiologi

Tabel 1. Etiologi

Syndrome Inheritance Locus Gene Associated Soft Tissue


Pattern Sarcomas
Familial gastrointestinal stromal AD 4q12 KIT Gastrointestinal stromal
tumor syndr. tumor
Familial infiltrative fibromatosis AD 5q21 APC Desmoid fibromatosis
Li-Fraumeni syndrome AD 17p13 TP53 Multiple types
22q11 CHK2
Neurofibromatosis type I AD 17q11 NFI Malignant peripheral nerve
(van Recklinghausen’s disease) sheath tumors
Retinoblastoma AD 13q14 RBI Multiple types
Rhabdoid predisposition syndrome AD 22q11 SNF5/IIN Malignant rhabdoid tumors
I1
Werner’s syndrome AR 8p11-12 WRN Multiple types
AD: Autosomal dominant, AR: Autosomal recessive

C. Klasifikasi
Sarkoma terbagi atas sarkoma jaringan lunak (soft tissue sarcoma) dan
sarkoma tulang atau osteosarkoma (bone sarcoma). Menurut
diferensiasinya, sarkoma jaringan lunak dapat dilihat pada tabel berikut:8,9

Tabel 2. Klasifikasi sarkoma


No. Jaringan Asal Bentuk Maligna
1. Fibrous Fibrosarcoma
2. Fibrohistiocytic Malignat fibrous histiocytoma
3. Lipomatous Liposarcoma
4. Smooth muscle Leimyosarcoma
5. Skeletal muscle Rhabdomyosarcoma
6. Blood vessel Angiosarcoma
7. Lymph vessel Lymphangiosarcoma
8. Perivascular Malignant hemangio pericytoma
9. Synovial Synovial sarcoma
10. Paraganglionic Malignant paragnglioma
11. Mesothelial Malignant schwannoma
12. Extra skeletal cartilaginous Extraskeletal chondrosarcoma
and osseus Extraskeletal osteosarcoma
13. Pluripotential mesenchymal Malignant mesechymoma
14. Neural - Neuroblastoma
- Extraskeletal Ewing’s sarcoma
15. Miscellaneous - Alveolar soft part sarcoma
- Epithelioid sarcoma
- Malignant extra renal rhabdoid tumor
- Desmoplastic small cell tumor

Klasifikasi ini penting untuk mengenali sifat dan perilaku masing-


masing jenis sarkoma dan suseptibilitasnya terhadap terapi. Perangai
biologik penyebaran SJL biasanya hematogen ke organ-organ misalnya
paru, otak, dan tulang. Pola metastase berbeda pada masing-masing subtipe
sarkoma, misalnya beberapa jenis sarkoma jaringan lunak seperti sarkoma
epiteloid, clear-cell sarcoma, angiosarkoma, dan rhabdomyosarkoma
memiliki resiko yang besar untuk terjadinya metastasis ke kelenjar limfe
regional. Lebih dari 50% kasus SJL bermetastasis pertama kali ke paru,
kecuali myxoid liposarcoma yang cenderung bermetastasis ke jaringan
lunak termasuk ke retroperitoneum. 13,14
Dari beberapa penelitian didapatkan presentasi rata-rata kejadian
metastasis ke kelenjar limfe hanya sejumlah 2,7%, angka ini lebih tinggi
pada angiosarcoma (13,5%), embryonal rhabdomyosarcoma (13,6%) dan
epiteloid sarcoma (16,7%).12

D. Diagnosis

1. Pemeriksaan Klinis
a. Anamnesis
Keluhan sangat tergantung dari dimana tumor tersebut tumbuh.
Keluhan utama pasien SJL daerah ekstremitas tersering adalah benjolan
yang umumnya tidak nyeri dan sering dikeluhkan muncul setelah terjadi
trauma di daerah tersebut, namun benjolan dapat pula disertai nyeri
yang timbul sekunder akibat efek penekanan massa tumor atau invasi
langsung terhadap struktur saraf di sekitarnya Untuk SJL lokasi di
visceral/retroperitoneal umumnya dirasakan ada benjolan abdominal
yang tidak nyeri, kadang-kadang terdapat pula perdarahan
gastrointestinal, obstruksi usus atau berupa gangguan neurovaskular.
Perlu ditanyakan kapan mulai dirasakan dan bagaimana sifat
pertumbuhannya. Umumnya ukuran bertambah besar dalam beberapa
bulan dan dapat mencapai ukuran yang sangat besar, tapi dapat pula
menetap9,12
Gambar 2. Rhabdomyosarkoma alveolar pada wanita 15 tahun dengan
riwayat benjolan pada tangan yang dialami sejak 6 bulan

Gambar 3. Soft tissue sarcoma pada paha


Berlokasi terutama di paha, bokong, atau abdomen. Paling sering
berlokasi pada quadrisep, mencapai 25% dari seluruh kasus SJL.
Keluhan yang berhubungan dengan infiltrasi dan penekanan terhadap
jaringan sekitar.Keluhan yang berhubungan dengan metastasis jauh10
b. Pemeriksaan Fisik7,9,10
Pemeriksaan status generalis untuk menilai keadaan umum penderita
dan tanda-tanda metastasis pada paru, hati atau tulang.
Pemeriksaan status lokalis meliputi:
1) Tumor primer:
 Lokasi tumor
 Ukuran tumor
 Batas tumor, tegas atau tidak
 Konsistensi dan mobilitas
 Tanda-tanda infiltrasi, sehingga perlu diperiksa fungsi motorik /
sensorik dan tanda-tanda bendungan pembuluh darah, obstruksi
usus, dan lain-lain sesuai lokasi lesi.
2) Metastasis regional
Perlu diperiksa ada atau tidaknya pembesaran kelenjar limfe
regional.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Biopsi :
Hasil pemeriksaan patologi anatomi dapat memberikan gambaran
subtipe histologis, grade, dan penilaian batas-batas tumor.
Biasanya dianjurkan biopsi yang minimal invasif terlebih dahulu
untuk diagnostik histologis definitif dan penilaian stadium.
Tidak dianjurkan pemeriksaan Fine-needle aspiration
(FNA/sitologi). Pemeriksaan FNA ini tidak layak pada SJL, karena
tidak dapat menentukan grading, dan adanya spindle cdell yang
bentuknya memanjang jadi tidak bisa tersedot semuanya.
Sebaiknya dilakukan core needle biopsy atau trucut biopsy dan
lebih dianjurkan untuk dilakukan biopsi terbuka, yaitu bila ukuran
tumor  3 cm dilakukan biopsi eksisi dan bila > 3 cm dilakukan
biopsi insisi.

Gambar 4. Potongan melintang dari sarkoma jaringan lunak pada paha


Massa (tanda panah) menginfiltrasi otot skelet dan jar .tulang (femur)
2) Foto polos
Untuk menilai ada tidaknya infiltrasi pada tulang, selain itu sangat
bermanfaat untuk melihat tumor jaringan lunak yang melibatkan
tulang, ataupun tumor primer pada tulang dengan massa jaringan
lunak, adanya kalsifikasi di dalam massa jaringan lunak (misalnya
sarkoma sinovia) dan untuk menyingkirkan miositis osifikans.
3) MRI/CT-scan
Untuk menilai infiltrasi pada jaringan sekitarnya. MRI merupakan
metode yang paling bermanfaat untuk menggambarkan struktur
ekstremitas dan kepala-leher dalam mendeteksi lesi yang sedang
berproses menjadi keganasan. CT-scan dada diindikasikan pada
kasus dengan tumor T2 yang high-grade untuk menilai adanya
metastasis jauh.

Gambaran 5. CT-scan potongan axial memperlihatkan liposarkoma


low-grade di peritoneum

Gambaran 6. CT-scan dengan kontras memperlihatkan malignant fibrous


histiocytoma di
retroperitoneal, tampak massa besar (tanda panah) yang terletak di
antara aorta dan vena cava inferior

Gambaran 7. MRI dari massa malignant fibrous histiocytoma di paha kiri seorang
pasien
laki-laki berusia 47 tahun. Potongan axial dengan kontras memperlihatkan massa
yang
besar terletak di otot vastus intermedius

4) Foto toraks
Posisi AP & lateral dilakukan untuk mengevaluasi adanya
metastasis jauh diindikasikan pada kasus tumor yang low-grade
atau lesi Tl yang high-grade
5) USG hepar / sidik tulang atas indikasi untuk menilai metastasis
6) Untuk SJL retroperitoneal perlu diperiksa fungsi ginjal
- Untuk kasus-kasus tertentu bila pemeriksaan histopatologi
meragukan, dilakukan pemeriksaan imunohistokimia.
Setelah dilakukan pemeriksaan diatas, maka diagnosis klinis
onkologi telah dapat ditegakkan, selanjutnya ditentukan stadium
klinik (clinical staging).
7) Sistem staging 7,8,10,11,13
Penentuan stadium dilakukan sesuai sistem American Joint
Committee on Cancer Staging (AJCC) dan International Union
Against Cancer (IUCC) edisi ke-6 tahun 2002. Sistem ini
menyusun kriteria mencakup grade, ukuran, dan lokasi relatif
terhadap fasia otot, status nodus, dan metastasis jauh yang diinvasi
oleh tumor.
 Tumor primer (T)
Tx : tumor tidak dapat diukur
T0 : tidak terdapat tumor
T1 : tumor berukuran  5 cm
 T1a : tumor terletak di atas / superfisial dari fasia
muskular
 T1b : tumor terletak di bawah / profunda dari fasia
muskular
T2 : tumor berukuran > 5 cm
 T2a : tumor terletak di atas / superfisial dari fasia
muskular
 T2b : tumor terletak di bawah / profunda dari fasia
muscular
 Kelenjar limfe regional (N)
NX : kelenjar limfe regional tidak dapat diperiksa
N0 : tidak terdapat metastase ke kelenjar limfe regional
N1 : terdapat metastase ke kelenjar limfe regional
 Metastase jauh (M)
MX : metastase jauh tidak dapat diketahui
M0 : tidak terdapat metastase jauh
M1 : terdapat metastase jauh
 Histopatologic Grade (G)7,9,11
Berdasarkan pemeriksaan histologis, maka SJL ditentukan derajat
keganasannya. Penilaian ditentukan berdasarkan jumlah mitosis, derajat
selularitas, nuklear pleomorfisme, sel nekrosis, dan neo vaskularisasi
Gx : grade tidak dapat diketahui
G1 : diferensiasi baik
G2 : diferensiasi sedang
G3 : diferensiasi jelek
G4 : undifferentiated
 Penentuan stadium (Staging)
Tabel 3. Penetuan staging tumor
Stage G T N M
Stadium I a G1-2 T1a-b NO MO
Stadium I b G1-2 T2a NO MO
Stadium II a G1-2 T2b NO MO
Stadium II b G3-4 T1a-1b NO MO
Stadium II c G3-4 T2a NO MO
Stadium III G3-4 T2b NO MO
Stadium IV Any G Any T N1 MO
Any G Any T NO Ml

E. Penatalaksanaan
Prosedur terapi dibedakan atas lokasi SJL, yaitu 7,8:
1. Ekstremitas
2. Viseral/retroperitoneal
3. Bagian tubuh lain
4. SJL dengan metastasis jauh
1. Ekstremitas 7
Pengelolaan SJL di daerah ekstremitas sedapat mungkin haruslah dengan
tindakan “the limb-sparing operation” dengan atau tanpa terapi adjuvant
(radiasi/kemoterapi). Tindakan amputasi harus ditempatkan sebagai
pilihan terakhir. Tindakan yang dapat dilakukan selain tindakan operasi
ialah dengan kemoterapi intra arterial atau dengan hyperthermia dan limb
perfusion.
a. SJL pada ekstremitas yang resektabel
Untuk SJL yang masih operabel/resektabel, eksisi luas yang
dilakukan adalah eksisi dengan curative wide margin yaitu eksisi
pada jarak 5 cm atau lebih dari zona reaktif tumor yaitu daerah
yang mengalami perubahan warna di sekitar tumor yang terlihat
pada inspeksi, yang berhubungan dengan jaringan yang vaskuler,
degenerasi otot, edema, dan jaringan sikatrik.
 Untuk SJL ukuran  5 cm dan gradasi rendah, tidak ada
tindakan ajuvan setelah eksisi luas
 Bila SJL ukuran > 5 cm dan gradasi rendah, perlu
ditambahkan radioterapi eksterna sebagai terapi ajuvan
 Untuk SJL ukuran 5-10 cm dan gradasi tinggi perlu
ditambahkan radioterapi eksterna atau brakhiterapi sebagai
terapi ajuvan
 Bila SJL ukuran > 10 cm dan gradasi tinggi, perlu
dipertimbangkan pemberian kemoterapi preoperatif dan
postoperatif disamping pemberian radioterapi eksterna atau
brakhiterapi.
Bagan Pengelolaan SLJ Ekstremitas Resektabel

Diagnosis Klinis Onkologis


Diagnosis Histopatologis
Gradasi / Stadium

SJL Yang Resektabel

Gradasi Tinggi Gradasi Rendah

Eksisi Luas Eksisi Luas

> 10 cm 5-10 cm > 5 cm  5 cm

BT/RE BT/RE RE Observasi

BT : Brak
Kemoterapi
pre/post op.

Gambar 8. Massa liposarkoma high-grade 10 cm pada laki-laki usia 23 tahun


yang telah diterapi dengan reseksi kompartemen dan radioterapi pre-operatif
b. SJL pada ekstremitas yang tidak resektabel
Ada 2 pilihan yang dapat dilakukan, yaitu :
 Sebelum tindakan eksisi luas terlebih dahulu dilakukan
radioterapi preoperatif atau neo ajuvan kemoterapi sebanyak 3
kali
 Pilihan lain ialah dilakukan terlebih dahulu eksisi kemudian
dilanjutkan dengan radiasi post operatif atau kemoterapi
Eksisi yang dapat dilakukan :
 Eksisi wide margin yaitu 1 cm di luar zona reaktif
 Eksisi marginal margin yaitu pada batas pseudo capsul.
 Eksisi intralesional margin yaitu memotong parenchim tumor
atau debulking, syarat harus membuang massa tumor > 50 % dan
tumornya harus berespon terhadap radioterapi atau kemoterapi.
Perlu diperhatikan bahwa khusus untuk SJL yang tidak ada respon
terhadap radioterapi atau khemoterapi dapat dipertimbangkan tindakan
amputasi.
Bagan Pengelolaan SLJ Pada Ekstremitas Yang Tidak Resektabel

Diagnosis Klinis Onkologis


Diagnosis Histopatologis
Gradasi/Stadium

SJL Yang Tidak Resektabel

Radioterapi preoperatif
Eksisi

Neoajuvan terapi

Eksisi
Radioterapi post operatif
Kemoterapi Ajuvan

c. SJL pada ekstremitas yang residif


Bila masih resektabel dilakukan eksisi luas dilanjutkan terapi
ajuvan radioterapi/kemoterapi. Untuk kasus residif yang tidak
resektabel dilakukan amputasi.

2. SJL di daerah viseral/retroperitoneal


Jenis histopatologi yang sering ditemukan adalah liposarcoma dan
leiomyosarcoma. Bila dari penilaian klinis/penunjang ditegakkan
diagnosis SJL viseral/retroperitoneal harus dilekukan pemeriksaan tes
fungsi ginjal dan pemeriksaan untuk menilai pasase usus. Sebelum
operasi dilakukan “persiapan kolon” untuk kemungkinan dilakukan
reseksi kolon. Modalitas terapi yang utama untuk SJL
viseral/retroperitoneal adalah tindakan operasi.

Bagan Pengelolaan SLJ Viseral / Retroperitoneal

Diagnosis Klinis + Pemeriksaan Penunjang = SJL


Viseral / Retroperitoneal

Eksisi Luas Radikal Eksisi tidak Radikal

Gradasi Gradasi Gradasi Kemoterapi Ajuvan


Rendah Tinggi Tinggi dan atau Radioterapi
< 10 cm ≥ 10 cm

Observasi

Bila SJL telah menginfiltrasi ginjal dan dari tes fungsi ginjal diketahui ginjal
kontralteral dalam kondisi baik, maka tindakan eksisi luas harus disertai dengan
tindakan nefrektomi. Dan bila telah menginfiltrasi kolon maka dilakukan reseksi
kolon.
Seringkali tindakan eksisi luas yang dilakukan tidak dapat mencapai reseksi
radikal karena terbatas oleh organ-organ vital seperti aorta, vena cava dan
sebagainya, sehingga tindakan yang dilakukan tidak radikal dan terbatas pada
pseudokapsul. Untuk kasus yang demikian perlu dipikirkan terapi ajuvan berupa
kemoterapi dan/atau radioterapi.
Setelah dilakukan pemerikasaan laboratorium/pemeriksaan penunjang,
ditegakkan diagnosis SJL viseral/retroperitoneal, kemudian dilakukan eksisi luas.

3. SJL di bagian tubuh lain8


 Bila tumor masih resektabel, dilakukan eksisi umumnya dengan
marginal margin dilanjutkan dengan radioterapi ajuvan.
 Bila tumor tidak resektabel dilakukan radioterapi pre operatif
dilanjutkan dengan eksisi marginal margin.
 Bila tidak memungkinkan untuk tindakan eksisi luas maka dilakukan
radioterapi primer atau kemopterapi.
 Pada SJL di kepala dan leher yang tidak mungkin dilakukan eksisi
luas maka dapat diberikan kemoradiasi.
4. SJL dengan metastasis jauh 8
Bila lesi metastasis tunggal masih operabel dan resektabel dapat
dilakukan tindakan eksisi maka dilakukan kemoterapi dengan
doxorubicin sebagai obat tunggal atau dengan kemoterapi kombinasi,
yaitu doxorubicin + ifosfamide, terutama untuk pasian dengan status
performance yang baik.
Obat-obat kombinasi yang lain adalah8,9
 Doxorubicin + Dacarbazine
 CyVADIC
 Doxorubicin + Ifosfamide + Mesna + Dacarbazine.

3. ASMA

A. Definsi
Penyakit asma adalah penyakit kronik yang merupakan gangguan
inflamasi saluran pernafasan yang dihubungkan dengan hiperesponsif,
keterbatasan aliran udara yang reversible dan gejala pernafasan2,15
Menurut GINA (Global Initiative for Asma) asma didefinisikan
sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan
banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode wheezing
berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya malam hari
atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran
respiratorik yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini
juga berhubungan dengan hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap
berbagai rangsangan.16,18
Asma adalah penyakit saluran napas kronik akibat terjadinya
peningkatan kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Pada
penderita yang peka hal ini menyebabkan munculnya serangan batuk, bunyi
mengi, banyak dahak, sesak napas, dan tidak enak didada terutama pada
malam hari atau pagi hari.15,17
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensivitas
cabang-cabang tracheobronchial terhadap pelbagai jenis rangsang. Keadaan
ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara
periodik dan reversibel akibat bronkospasme. 15

B. Patofisiologi Asma
Pathofisiologi asma melibatkan pelepasan mediator kimiawi ke
jalan napas dan mungkin pula adanya aktivitas yang berlebihan dari sistem
saraf parasimpatis. Substansi yang terhirup dapat menimbulkan
bronkospasme melalui respon imun spencifik dan non spencifik oleh daya
degranulai sel mast bronkial. Pada asma alergi yang klasik antigen berikatan
dengan Ig E di permukaan sel mast dan menyebabkan degranulasi,
bronkokontriksi merupakan hasil dari pelepasan histamin berikutnya :
bradiknin; leukotrien C, D, dan E; platelet activating-factor, prostaglandin
(PG), PGE2, PGF2 alfa, dan PGD2; dan factor netrofil eosinofil
kemotaktik.2 Sedikitnya ada 2 jenis T-helper (Th), limpfosit subtipe CD4+
telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis lifosit
T mensekresi IL-3 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
(GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF-γ dan TNF-β. Sedangkan
Th2 terutama memprodusi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-
5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung
jawab atas terjadinya reaksi hipersensivitas tipe lambat maupun yang cell
mediated. Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi
limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris yaitu
suatu proses yang melibatkan molekul MHC/major histocompatibility
complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada ael T
CD8+). Sel dendritik adalah merupakan antigen presenting cell yang utama
dalam saluran napas. Sel dendritik terbentuk perkusornya didalam sumsum
tulang dan membentuk jaringan luas dan sel-selnya saling berhubungan
pada epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel tersebut bermigrasi
kekumpulan sel-sel limfoid dibawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin yang
terbentuk oleh aktivitas sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag dan sel mast.
Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerah yang
banyak mengandung limfosit. Dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel
dendritik menjadi matang sebagai antigen presenting cell (APC) yang
efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi selT naïve-Th0 menuju Th2
yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada klaster
kromosom 5q31-33 (IL-4 genecluster). 18,19
Pada asma baik dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki
kelabilan bronkus abnormal yang memudahkan penyempitan saluran napas
oleh banyak faktor, saluran napas ini seakan-akan merupakan persarafan β-
adrenergik yang tidak kompeten, dan banyak bukti memberikan paling tidak
secara fungsional terdapat hambatan partial pada reseptor β adrenergik pada
penderita asma yang khas ini. Penyempitan saluran respiratorik pada asma
dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab utama penyempitan saluran
respiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh
pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah
histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast,
neuropepetida dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari saraf
postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respirtorik diperkuat oleh
penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel
inflamasi dan remondeling, hiperplasia dan hipertropi kronis otot polos,
vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matrik pada diding saluran
respiratorik. Selain itu hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat
produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar
submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan
debris seluler.16,
Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor, belum diketahui pada
manusia. Sistim saraf parasimpatik memainkan peran penting dalam
menjaga tonus normal bronkial. Aktifasi reflek vagal terjadi pada
bronkokontriksi yang dimediasi oleh peningkatan siklik guanosin
monofosfat intraseluler (cGMP). 2
Selama serangan asma, bronkokontriksi, oedem mukosa, dan sekresi
yang terjadi akan meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan
napas yang lebih rendah. Tahanan jalan napas kembali normal pertama kali
pada jalan napas yang lebih besar (bronki utama, lobar, segmental dan sub
segmental), kemudian baru perifer. Laju ekspirasi menurun melampaui
kapasitas vital paksa (force vital capacity) tetapi pada pemulihan serangan
laju rata-rata ekspirasi menurun hanya pada volume paru rendah.
Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal
atau tinggi menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja
napas lagi dan hal ini sering merupakan tanda adanya gagal napas
(impending). Pulsus paradoksus dan gambaran EKG renggangan ventrikel
kanan (perubahan ST, deviasi aksis kanan, dan RBBB) menunjukan
obstruksi jalan napas berat.3
Gambar 9. Patogenesis Asma

Gambar 10. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

C. Etiologi Asma 3
 Herediter
 Kebiasaan : polusi udara, stress, makanan
 Alergi : rokok, udara dingin, anjing, kucing, debu
 Obat : obat nyeri seperti NSAID
D. Gejala dan tanda asma2,3,15
 Mengi saat ekspirasi
 Batu berat pada malam hari dada sesak yang terjadi berulang dan
nafas tersengal-sengal.
 Hambatan pernafasan yang reversibel secara bervariasi selama siang
hari.
 Adanya peningkatan gejala pada saat olah raga, infeksi virus,
paparan terhadap alergan, dan peruahan musim.
 Terbangun malam hari dengan gejala tersebut diatas.
E. Klasifikasi Asma 3
Berdasarkan etiologi :
 Asma intrinsik
Asma yang tidak disebabkan oleh faktor lingkungan.
 Asma ekstrinsik
Penyakit asma yang berhubungan dengan atopi, predisposisi genetik yang
berhubungan dengan IgE sel mast dan respon eosinofil terhadap alergan.
Ditinjau dari berat ringannya penyakit
Tabel 5. Derajat berat ringannya asma
DERAJAT GEJALA GEJALA MALAM FUNGSI PARU
ASMA
INTERMITEN  Gejala < 1x/minggu < 2 kali sebulan VEP1 atau APE >
Mingguan  Tanpa gejala di luar serangan 80%
 Serangan singkat
 Fungsi paru asimtomatik dan
normal di luar serangan.
PERSISTEN  Gejala > 1x/minggu tapi < > 2 kali VEP1 atau APE >
RINGAN 1x/hari seminggu 80%
Mingguan  Serangan dapat mengganggu normal
aktivitas dan tidur.
PERSISTEN  Gejala harian > sekali VEP1 atau APE >
SEDANG  Menggunakan obat setiap hari seminggu 60% tetapi < 80%
Harian  Serangan mengganggu aktivitas normal
dan tidur
 Serangan 2x/minggu, bisa
berhari – hari
PERSISTEN  Gejala terus menerus Sering VEP1 atau APE <
BERAT  Aktivitas fisik terbatas 80% normal
Kontinu  Sering serangan
Ditinjau Dari Gejala Klinis 3
1. Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang
sesak, Sa O2 95% udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV1
lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan faktor
pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas
normal sehari-hari.
2. Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas
walaupun timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO2 92-
95% udara ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV1 antara 1-2 liter,
sesak nafas kadang mengganggu aktivitas normal sehari-hari.
3. Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas
sehari-hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan
untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang mengancam jiwa yang
dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO2 91%, PEFR 80 liter per
menit, FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas berat
seperti pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus
paradoskus 20 mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi
ekspirasi yang jelas.

F. Terapi :3,20
 Non Farmakologi yaitu melalui pencegahan
 Farmakologi dengan menggunakan obat
o Short acting β2 agonsts (salbutamol, terbutalin)
o Antiklinergik
o Kortikosteroid

4. Manajemen Anastesi
A. Evaluasi Preoperatif

Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan


sangat penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma
attack, baik intraoperatif maupun postoperatif. Maka diperlukan evaluasi
yang meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium,
pemeriksaan fungsi paru-paru, dan analisa gas darah, foto rontgen thorax.16
1. Riwayat Penyakit
Meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan atau
berat serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat
penggunaan obat-obatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit,
riwayat alergi (makanan, obat, minuman), Riwayat serangan terakhir,
beratnya, dan pengobatannya.4 Bila baru-baru ini mendapat infeksi saluran
napas atas dan menimbulkan serangan maka operasi elektif sebaiknya
ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan napas.3

2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan
napas yang terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak,
sianosis, ekspirasi memanjang, Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor,
auscultasi whezing, ronchi.4 Tanda-tanda serangan asma berat meliputi
penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, tidak mampu berhenti napas
pada saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak ada whezing (jalan napas
tertutup, sedikit gerakan udara, dan whezing menurun).5

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah
eosinofil ini selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid
dan dapat juga untuk membedakan asma dengan bronchitis khronis. Pada
pemeriksaan sputum selain didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan
adanya kristal charcat leyden, spiral churschman dan mungkin juga
miselium aspergilus fumigates.4
4. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut
umumnya dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau
adanya komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum,
atelektasis, pneumonia. Kadang didapatkan gambaran air trapping,
diafragma datar karena hiperinflasi, jantung mengecil dan lapang paru yang
hiperluscen.5
5. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)
Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan
pengukuran aliran udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik pertama
(FEV1) dan arus puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila
dibandingkan dengan hasil pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai
volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk laki-laki adalah lebih dari 3 liter dan
lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus puncak ekspirasi (PEFR) adalah
lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa muda lebih dari 500 L/mnt).
Nilai PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150 L/mnt pada wanita)
menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan meningkatkan
komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50% menunjukan asma
sedang sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau FEV1 1 liter menujukan
obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena sering terjadi
ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang
baru sembuh dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak
mengeluh, tetapi setelah diperiksa ternyata obstruksi saluran napas.
Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien-pasien yang menderita penyakit
paru-paru sedang sampai berat yang menjalani operasi yang berdampak
pada sistem respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap
resiko komplikasi paru postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan
ventilasi dan respon pengobatan (Bronkodilator).2
Hubungan asma dengan pemeriksaan spirometri :

Keadaan Klinik % FEV/FVC

Normal 80-100
Asma Ringan 75-79

Asma Sedang 50-74

Asma Berat 35-49

Status Asmatikus <35

6. Pemeriksaan Analisa gas darah


Pemeriksaaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita
dengan serangan asma yang berat. Keadaaan ini bisa terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, dan asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan
meningkatkan resiko komplikasi paru-paru.4

7. Fisioterapi dada.
Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan
napas. Indikasi fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan
akut untuk dilakukan fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi
sputum yang berlebihan atau abnormal akibat batuk yang terus menerus atau
pada pasien yang batuknya sangat lemah.3

B. Penilaian Pre-operatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan
persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien
sebelum pasien dibedah sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar
kelainan yang akan dioperasi.1
Tujuannya adalah:

- Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien


- Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu
maupun urtikaria).
- Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
- Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status
praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)
- Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed
consent) kepada pasien.
- Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat
induksi3.
Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan
anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio
cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan,
dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan plihan obat yang tepat pada
pasien. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian
salah identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi anamnesis
(AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium, EKG, USG, foto thorax, dll. Selanjutnya dokter anestesi harus
menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi
yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent3,4,17,19
a. Anamnesis
Anamnesis bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap
makanan, obat-obatan dan suhu, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash)
harus dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal).
Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat
pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi
obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa
menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review
sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah
medis lain yang belum terdiagnosis3,19
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan anamnesis melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan
yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi
tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu) dan
pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal.
Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional
sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan
anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi
geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan
intubasi. Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah
diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas wajah yang signifikan.
Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus
bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari
Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek
mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal2,16

Skoring Mallampati:
- Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
- Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
- Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
- Hanya terlihat palatum durum

Gambar 11. Kriteria Mallampati


Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek
samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.
Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya
ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik
ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.
Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang
berkontribusi terhadap komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan
apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik
ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik
monitoring4.

Tabel 6. Klasifikasi ASA


Kelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi
aktivitas sehari-hari.
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.
Kelas IV Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun
tanpa operasi.
Kelas V Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan
operasi sebagai upaya resusitasi.
Kelas VI Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil
untuk tujuan donor
E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI diatas.

c. Pemeriksaan Penunjang
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur
pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas
dari prosedur bedah yang direncanakan.

Tabel 7. Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan


Pemeriksaan rutin Indikasi
Urinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi
glukosa darah jika glukosa urine positif)
FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua
bedah mayor
Ureum, Creatinin, Elektrolit Bedah mayor
ECG Umur > 50 tahun
Foto Torak Umur > 60 tahun
Tes fungsi hati (Liver Function Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.
Test)

Tabel 8. Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya:


No Test Indikasi
1 Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya
Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi
2 Ureum, creatinin dan Penyakit ginjal
konsentrasi elektrolit Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus
Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan
elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari
adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik,
diuretic, antihipertensi, kortikosteroid,
hipoglikemik agent.
3 Konsentrasi glukosa Diabetes Mellitus
darah Penyakit hati yang berat
4 Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru
kronik
Diabetes Mellitus
5 Chest X-ray Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler
6 Arterial blood gases Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
7 Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti
COPD, bronchiectasis
8 Skreen koagulasi Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral
(warfarin) atau heparin
9 Test fungsi hati Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alcohol
Tumor dengan metastase ke hepar
10 Tes fungsi thyroid Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor
pituitary

d. Pengelolaan Preoperatif Pasein Asma


Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan
yang menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan.
Proses obstruksi yang reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul
dan proses inflamasi jalan napas. Obstruksi yang tidak reversible dengan
bronkodilator misalnya adalah empisema, tumor.3
Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat
bronkodilator yang berisi β-adenergik agonis, dosis terapi teopilin dan
kortikosteroid.2 Pada pasien dengan serangan asma balans cairan dan
elektrolit perlu dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami
dehidrasi.5
1). Manajemen Asma
Preparat yang digunakan untuk asma sebagai berikut :
1. Sympathomimetik atau β agonis agen, menyebabkan brokodilator
melalui Cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang memediasi
relaxasi otot polos bronkus. Obat-obat ini juga menghambat
antihistamin dan juga neurotransmiter kolinergik.
2. Selektif β-adrenergik, umumnya diberikan secara inhalasi dan sampai
saat ini merupakan preparat yang paling efektif. Misalnya
albuterol(ventolin) 2 puffs atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau
0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Salmeterol(serevent) 2 puff dengan
MDI setiap 12 jam dan metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs
dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam.
Pasien-pasien yang menggunakan terapi β-bloker hendaknya β bloker
yang tidak menimbulkan spasme bronkus seperti atenolol
atsumetropolol atau esmolol.3
3. Campuran β1 dan β2 adrenergik termasuk epinefrine (Adrenalin),
isoproterenol (Isuprel) dan isoetharin (Brokosol). Efek samping
takikardi dan arithmogenik membahayakan pada penderita penyakit
jantung.
4. Terbutaline sulfate pemberiannya 0,25 mg SC, dapat diulangi 15 menit,
tetapi tidak lebih dari 0,5 mg dalam 4 jam.
5. Santin (teofilin)
Nama obat :
1. Teofilin
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik,
tetapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan
efeknya saling memperkuat. Teofilin, sebagai bronkodilator, memiliki 2
mekanisme aksi utama di paru yaitu dengan cara relaksasi otot polos dan
menekan stimulan yang terdapat pada jalan nafas (suppression of airway
stimuli). Mekanisme aksi yang utama belum diketahui secara pasti. Diduga
efek bronkodilasi disebabkan oleh adanya penghambatan 2 isoenzim yaitu
phosphodiesterase (PDE III) dan PDE IV. Sedangkan efek selain
bronkodilasi berhubungan dengan aktivitas molekular yang lain. Teofilin
juga dapat meningkatkan kontraksi otot diafragma dengan cara peningkatan
uptake Ca melalui Adenosin-mediated Chanels
2. Aminofilin
Pada serangan asma akut reversible berat yang berhubungan dengan
bronkitis kronis dan enfisema digunakan aminofilin. Aminofilin merupakan
kompleks 2:1 dari Teofilin dan etilendiamin. Teofilin sebagai z.a untuk
antiasma. Etilendiamin digunakan agar terbentuk kompleks aminofilin yang
mudah larut dalam air. Bentuk pemberian adalah injeksi iv yang digunakan
dalam wadah dosis tunggal ampul. Tidak perlu ditambahkan pengawet
karena sediaan dalam wadah dosis tunggal. Sterilisasi akhir dengan autoklaf
karena za tetap stabil pada pemanasan tinggi. Pemberian aminofilin dengan
cara :
a. Bila pasien belum mendapatkan amonifilin sebelumnya, berikan
aminofilin dosis awal 6 mg/kgBB dalam dekstrosa atau NaCl
sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit
b. Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis
diberikan separuhnya.
c. Bila mungkin kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20
mcg/ml
d. Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam
Pengunaan aminofilin tidak dianjurkan pada anak berusia < 12
tahun. Obat-obat yang dapat meningkatkan kadar Teofilin: Propanolol,
Allopurinol (>600mg/day), Erythromycin, Cimetidin, Troleandomycin,
Ciprofloxacin (golongan Quinolon yang lain), kontrasepsi oral, Beta-
Blocker, Calcium Channel Blocker, Kortikosteroid, Disulfiram, Efedrin,
Vaksin Influenza, Interferon, Makrolida, Mexiletine, Thiabendazole,
Hormon Thyroid, Carbamazepine, Isoniazid, Loop diuretics. Obat lain yang
dapat menghambat Cytochrome P450 1A2, seperti: Amiodaron,
Fluxosamine, Ketoconazole, Antibiotik Quinolon). Obat-obat yang dapat
menurunkan kadar Teofilin: Phenytoin, obat-obat yang dapat menginduksi
CYP 1A2 (seperti: Aminoglutethimide, Phenobarbital, Carbamazepine,
Rifampin), Ritonavir, IV Isoproterenol, Barbiturate, Hydantoin,
Ketoconazole, Sulfinpyrazone, Isoniazid, Loop Diuretic,
Sympathomimetics.
Kortikosteroid sering digunakan pada pasien yang tidak respon
terhadap terapi
Dan antagonis β2 adrenergi. Terutama bentuk parental yang digunakan
untuk terapi serangan asma berat. Mekanisme kerja obat ini melalui
pengurangan oedem mukosa, stabilisasi membran mast sel. Sebagai anti
inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui mekanisme antara lain12:
1) Menghambat metabolisme asam arakidonat sehingga
mempengaruhi leukotrien dan prostaglandin.
2) Mengurangi kebocoran mikrovaskuler
3) Mencegah migrasi langsung sel-sel inflamasi
4) Menhambat produksi cytokins
5) Meningkatkan kepekaan reseptor beta pada otot polos bronkus.
Kortikosteroid yang diberikan jangka panjang dapat menimbulkan
efek samping oleh karena itu dianjurkan pemberian melalui inhalasi
(misalnya budesonide, beclometason) digunakan dengan dosis maximal
2000 mcg, sangat efektif dalam mengendalikan gejala asma dan
mengendalikan ekserbasi.4Bila pemberian kortikosteroid secara inhalasi
belum bisa mengontrol serangan asma maka dianjurkan pemberian
parenteral. Koortikosteroid yang biasa digunakan parenteral adalah 1-2
mg/kgBB Hydrocortyson atau100mg IV per 8 jam dan methylprednisolon
40-80 mg IV per 4-6 jam atau 0,8 mg/kgBB.3
Sodium Cromolyn dan sodium nedokromil adalah preparat inhalasi
yang digunakan sebagai profilaksis pada asma. Mekanisme kerja obat ini
melalui stabilisasi membrane mast sel dan anti inflamasi.
Mucolytics
1. Acetylcysteine melalui inhalasi(Nebulizer) dapat menurunkan viscositas
mukur dengan memecah disulfida bonds yang terdapt di mucoproteins.
2. Hypertonik saline dapat digunakan untuk menurunkan viscositas mukus
melalui nebulizer
3. Recombinant deoxyribonukleaese(Dnase atau pulmozyme) 10 sampai 40
mg perhari dengan inhaler. Digunakan pada pasien dengan fibrosis cystic
untuk menurunkan viscositas sekret bronkus.
4. Antileukotrien obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim yang
mensintesa leukotrien atau mempengaruhiikatan pada reseptor. Termasuk
antagonis reseptor leukotrien antara lain zafirlukast, pranlukast dan
montelukast, zafirlukast dapat digunakan sebagai kortikosteroid inhalasi
termasuk inhibitor 5-lipooxygenase adalah zilueton obat-obat antileukotrin
biasa digunakan untuk terapi asma kronik
2). Premedikasi7
1. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk anxiolitik tetapi pada pasien
dengan asma berat dapat menyebabkan depresi pernapasan. Sedasi ini
penting diberikan pada pasien dengan riwayat asma yang dipicu oleh
emosional.
2. Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya
dipilih yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil,
sufentanil18
3. Anticholinergik pemberian dilakukan jika terdapat sekresi berlebihan atau
penggunaan ketamin sebagai agen induksi Antikolinergik tidak efektif untuk
mencegah reflek bronkospasme oleh karena tindakan intubasi.2
4. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara
teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 sera normal akan
menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas
H1 yang tanpa hambatan dengan blokade H2 dapat menimbulkan
bronkokonstriksi.2
5. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau
kortikosteroid inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80
mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi.6 Bronkodilator harus diberikan
sampai proses pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan terapi lama
glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi
adrenal. Hidrokortison 50-100mg sebelum operasi dan 100mg/8 jam selama
1-3 hari post operasi.2,9
Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau
Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT.
Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium
dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter.

C. Manajemen Anestesi Intraoperatif


Sesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah
pathofisiologi yang mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi
khusus atau obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien
tetap sadar, mampu mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain
diperlukan kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena
pertimbangan atau untuk mengendalian nyeri postoperatif. 3,4,16,17
1. Regional Anestesi
Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ektrimitas bawah.
Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot
tambahan (intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa).
Spinal anestesi dapat memperburuk kondisi jika hambatan motorik
menurunkan FRC, mengurangi kemampuan untuk batuk dan membersihkan
lendir atau memicu gangguan respirasi atau bahkan terjadi gagal napas.
Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat memperburuk bronkokontriksi
karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas bawah(T1-T4) dan
menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi tehnik
epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi
adekuat, dapat mencegah hypoxemia dan atelectasi. Pada prosedur
pembedahan perifer yang panjang sebaiknya dilakukan dengan general
anestesi. Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan
regional anestesi seperti pasien tidak tahan berbaring lama dimeja operasi
dalam waktu lama, batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan
yaitu pada tahap kritis pembedahan17
2. Anestesi Umum
Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama
instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama
anestesi dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering
dihubungkan dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium,
mivacurium, morfin, meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat
lambat jika digunakan. Tujuan dari anestesi umum adalah smooth induction
dan kedalaman anestesi disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan agen
anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum
intubasi dan stimulasi pembedahan.
Penggunaan laryngeal mask airway LMA) menurunkan bronkospasme, tapi
tidak menghilangkan resiko bronkospasme sebagai akibat dari tindakan
laringkoskopi. Resiko tambahan pada penggunaan LMA ketidak mampuan
untuk ventilasi selama bronkospasme karena tekanan inspirasi dapat
menambah penutupan LMA pada laring. Yang paling bagus LMA proseal
yang dapat mengatasi keterbatasan itu19
a. Agent Inhalasi
Agent inhalasi anestesi seperti halothan akan menyebabkan
bronkodilatasi dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
bronkospasme. Halothan berpengaruh pada diameter airway dengan cara
memblok reflek airway dan efek langsung relaksasi otot polos airway.
Namun hati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan gangguan
jantung karena efek depresi miokardial dan efek aritmianya. Isofluran
dan desfluran dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan derajat
yang setara tetapi harus dinaikkan secara lambat karena sifatrnya iritasi
ringan di jalan napas. Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak menusuk)
dan memiliki efek bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi di jalan napas.
Agen inhalasi halothane lebih efektif sebagai bronkodilator
dibandingkan dengan isoflurane, namun bila dibandingkan dengan
desfluran, desflurane dapat menyebabkan batuk dan dapat mencetus
bronkospasme. Namun halotan tidak ideal pada pasien yang menderita
kelainan jantung karena halotan dapat mengakibatkan disaritmia karena
efek katekolamin release. Alternatif lain untuk menurunkan reflek pada
jalan nafas dapat diberikan 1,5 mg/kg i.v 1-3 menit sebelum intubasi2
b. Obat-Obat Induksi Intravena
Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai
onset kerja yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah
thiopenton, propofol, dan ketamin. Ketamin, satu-satunya agen intravena
dengan kemampuan bronkodilatasi, dengan menghambat re-uptake
nonadrenalin pada ujung syaraf simpatis sehingga berefek
bronkodilatasi.
Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi
kadang-kadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya
pelepasan histamin, beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa
thiopenton dapat menyebabkan bronkokonstriksi melalui reseptor μ2,
menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan mekanisme umpan balik
negatif dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut akibat stimulasi
yang terus berlangsung. Oleh karena itu blok reseptor μ2 dapat
menghambat ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang disebabkan
aktivitas vagal (biasanya karena iritan)propofol dan ethomidat dapat
sebagai alternatif17
Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk mencegah dan
mereverse bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural
dan melalui penekanan langsung aktivitas otot polos airway. Dari hasil
suatu penelitian, walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk
terapi bronkokonstriksi, ketamin dikatakan lebih poten daripada
propofol.16 Propofol dengan dosis 2,5 mg/kgBB dapat menurunkan
insidensi whezing setelah intubasi dibanding dengan penggunaan
metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan dengan
benzodiazepin, propofol lebih menguntungkan karena faktor onset yang
cepat dan akhit cepat pula.16 Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi
selain efek analgesik untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin
diberikan dengan pelan-pelan, ketamin juga mempunyai efek
meningkatkan sekresi kelenjar saliva dan tracheobronchial. Efek ini
dapat dicegah dengan menggunakan antisialogogue seperti atropin
ataupun gycopyrrolate.17
Reflek brokospasme dapat dicegah sebelum intubasi dengan
pemberian tambahan tiopenton 1-2 mg/kgBB, pasien diventilasi dengan
2-3 MAC agen volatil selama 5 menit atau diberikan lidocain intravena
atau intratracheal 1-2 mg/kgBB. Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri
dapat memicu bronkospasme jika dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat
juga dengan antikolinergic (atropin 2 mg atau glikoperolat 1 mg) tetapi
dapat menyebabkan takikardi18
Penggunaan morfin masih diperdebatkan karena aktivitas pelepasan
histamine. Opioid mempunyai efek analgesi dan sedasi, tapi
penggunaannya sebaiknya dititrasi untuk menghindari depresi respirasi,
terutama pada pasien dengan disfungsi paru berat. Kodein dan morfin
pada dosis besar dapat mencetus pelepasan histamin.
c. Muscle Relaxant
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle
relaxan adalah perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat
penghancuran ACH endogen, inhibitor cholinesterase seperti neostigmin
dapat meningkatkan sekresi jalan napas dan dapat menimbulkan
bronkospasme. Efek ini dapat dicegah dengan penggunaan antagonis
muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate 0,5 mg untuk
meminimalkan efek samping muskarinik. Alternatif lain dapat digunakan
muscle relaxan short acting. Meskipun suksinilkolin dapat menyebabkan
pelepasan histamin tetapi secara umum dapat digunakan dengan aman
pada kebanyakan pasien asma. Obat muscle relaksan selama
maintenance sering digunakan adalah non depolarisasi, dimana dihindari
obat yang histamine release seperti atrakurium. Secara teori obat
antagonis non depolarisasi neuromuscular menghambat antikolinesterase
yang akan mengakibatkan bronkospasme.17,19
3. Terapi Bronkospasme Intraoperatif
Bronkospasme pada intraoperatif ditunjukan dengan wheezing,
munculnya penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan
pelan dari gelombang dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan
anestesinya. Jika tidak hilang maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan
tube endotracheal dari kekakuan, balon yang terlalu keras, intubasi
endobronchial, tarikan aktif karena anestesi dangkal, oedem pulmo atau
emboli dan pneumothorak semua dapat menyebabkan bronkospasme.2
Bronkospasme harus ditangani dengan suatu beta adrenergik agonist baik
secara aerosol atau inheler kedalam jalur inspirasi dari sirkuit napas (gas
pembawa yang menggunakan dosis terukur dapat berinterferensi dengan
pembacaan massa spectrometer).
Hidrokortison intervena (1,5-2 mg / kg) dapat diberikan, terutama
pada pasien dengan riwayat terapi glukokortikoid.2 Tehnik pemberian ini
adalah secara matered dose inheler, berikan 5-10 puff obat tersebut kedalam
jalan napas bagian bawah. Asma sedang sampai berat perlu diterapi dengan
aminopillin intravena, terbutalin(0,25 mg) atau keduanya. Pasien yang tidak
menerima aminopillin preoperatif perlu diberikan aminopillin bolus 5-6
mg/kgBB intravena lebih dari 20 menit diberikan pemeliharaan 0,5-0,9
mg/kgBB. Pasien asma dengan serangan asma berat sebaiknya diberikan
ventilasi bantuan untuk mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal,
kecepatan ventilasi yang rendah (6-10 napas/menit) volume tidal yang rendah
dan waktu ekshalasi yang panjang.9
Apabila terjadi bronkospasme yang berat terjadi managemen yang harus
dilakukan :
a. Oksigenasi dengan pemberian oksigen 100%\
b. Mendalami anestesi dengan meningkatkan agen volatile
c. Aminophillyn 5-7 mg/kg i.v secara pelan-pelan
d. Ipratropium bromide 0,25 mg nebulizer, adrenalin bolus I.v (10μg=0,1
ml), ketamin 2 mg/kg magnesium 2 gr i.v secara lambat
e. Hidrokortison 200 mg i.v.
Penurunan diameter airway yang disebabkan bronkokontriksi yang
berat dapat mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat
penurunan ventilasi pada beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan
perfusi yang lebih rendah dapat menyebabkan hipoksemia arterial.
Vasodilatasi pulmoner akibat pemberian beberapa bronkodilator dapat
memperberat rasio ventilasi perfusi yang sudah rendah ini. Oleh karena itu
pada pasien-pasien yang teranestesi, yang penting adalah meningkatkan
konsentrasi gas oksigen inspirasi menjadi 100% pada saat terjadi
bronbkospasme. Hal ini tidak hanya meminimalkan derajat hipoksia arteial
tetapi juga meyakinkan tekanan partial oksigen dalam alveoli.2,4,18
Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi
pelemas otot nondepolarisasi perlu direvese dengan anticholin esterase yang
tidak memacu terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan
antikolinergik dengan dosis sesuai. Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum
terjadi pulihnya reflek jalan napas normal untuk mencegah brokospasme atau
setelah pasien asma sadar penuh. Lidocain bolus 1,5-2 mg/ kgBB diberikan
intravena atau dengan kontinue dosis 1-2 mg/ mnt dapat menekan reflek jalan
napas.2
Gambar 12. Managemen pasien bronkospasme pada general anestesi
D. Manajemen Postoperatif
Kontrol nyeri post operasi yang bagus adalah epidural analgesia. NSAID
harus dihindari karena dapat mencetus terjadinya bronkospasme. Oksigenasi
harus tetap diberikan. Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian
bronkodilator dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada pasca pembedahan.
Pemberian bronkodilator melalui nebulator atau sungkup muka. Sampai pasien
mampu menggunakan MDI (Meteroid Dose Inheler) sendiri secara benar.3,18
1. Buka penutup dan pegang inheler tegak
2. Kocok inhaler
3. Angkat sedikit kepala kebelakang dan ekshalasi sampai frc
4. Tempatkan inheler memakai spacer (pemisah) antar aktuator dan mulut
5. Tekan kebawah (on) inheler sementara sambil menarik napas pelan dan
dalam 3-5 detik
6. Tahan inspirasi paling sedikit 5-10 detik bila mungkin agar obat mencapai
paru-paru
7. Ulangi inhalasi sebagai berikut tunggu 1 menit setelah inhalasi,
bronkodilator bisa membuat inhalasi berikutnya masuk lebih dalam ke paru-
paru dan ini perlu untuk memberikan dosis yang benar
8. Bilas mulut dan keluarkan setelah memakai inhaler
Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi
kriteria sebagai berikut;3,17
1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit
2. Mampu menahan napas selama 5 detik atau lebih
3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb
4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi
5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai
6. PEFR ≥ 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria
Pada akhir pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal pemblok
neuromuskular nondepolarising dengan antikolinesterase tidak menimbulkan
brokospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang
teridentifikasi resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring post
operatif, dimana fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan
nyeri post operatif adalah hal yang penting menurunkan bronkospasme.17
Masalah berikut yang terjadi pasca bedah adalah penurunan volume paru
akibat anestesi dan pembedahan. Secara fisiologi hal tersebut oleh karena
terjadi penurunan VA (Ventilasi Alveolar) dan FRC (Functional Residual
Capacity).
Penurunan VA disebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau
oleh peningkatn dead speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah
disebabkan pengaruh anestesi, narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit
neuromuskuler, atau myesthenia gravis, Guillain Barre, lesi pada medula
spinalis servikalis, cedera pada neervus phrenicus. Peningkatan VD terjadi
oleh emboli paru, penurunan curah jantung, bronkospasme. Penurunan FRC
biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru, dan pneumonia. Penyebab
atelektasis oleh karena ventilasi tidak adekuat,intubasi endobronkhial,
penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot, efusi pleura, cedera nervus
phrenicus. Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang merupakan
predisposisi timbulnya atelektasis sehingga mobilisasi dini akan menurunkan
angka kejadian komplikasi ini. Latihan napas dalam dan incentive spirometry
merupakan cara yang sama efektifnya untuk mengembangkan paru dan
mempertahankan FRC atau dengan continous positive airway pressure
(CPAP) dapat menghindarkan atelektasis sama baiknya dengan latihan napas
dalam. Disamping itu pengendalian nyeri secara adekuat sejak awal pasca
bedah akan mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta
mempermudah mobilisasi.2,3,4,18
Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU :
1. Pasien yang butuh bantuan Ventilatory Support
2. FEV atau PEV < 50%
3. PCO2 > 50 mmHg
4. PO2 < 50 mmHg
5. Pasien nampak bingung dan lemah
6. Pasien yang membutuhkan monitoring terapi, cairan dan farmakologis
7. Pasien dengan major trauma , multitrauma, dan luka bakar berat apalagi
disertai instabilitas hemodinamika
8. Pasien major trauma yang dilakukan prosedur Damage Control Surgery
9. Pasien yang menjalani major surgery.
BAB IV
PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan anastesi sebelumnya pasien sudah dilakukan kunjungan pra


anastesi. Dari kunjungan tersebut diketahui bahwa pasien memiliki riwayat asma
yang kambuh malam sebelum operasi, dan pasien rutin memakai obat asma. Dari
anamnesis dapat ditentukan bahwa pasien ini termasuk dalam klasifikasi ASA II.
Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
 ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan
faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
 ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas
16%.
 ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
 ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,
tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
 ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir
tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi /
dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
 ASA VI: Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)6
 Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.

Dari anamnesis dapat disimpulkan bahwa pasien memiliki penyulit anastesi


yaitu penyakit asma. Sedangkan dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-
tanda asma. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien asma tidak dalam serangan.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka
pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,
riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya,
riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi,
perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan
digunakan.
Pada saat operasi pasien diberikan injeksi dexamathason. Obat ini adalah
golonngan kortikosteroid. Pada pasien asma yang sudah menggunakan
bronkodilator inheler atau kortikosteroid inheler obat-obat ini sebaiknya dibawa
masuk ke ruang operasi, tetapi pasien tidak membawa bronkodilator inhaler saat
masuk ruangan operasi. Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral (
Methilprednisolon 40-80 mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi.6 Bronkodilator
harus diberikan sampai proses pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan
terapi lama glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk mengkompensasi
supresi adrenal. Hidrokortison 50-100mg sebelum operasi dan 100mg/8 jam selama
1-3 hari post operasi.
Terapi cairan pada pasien ini adalah terapi cairan mantainance 2ml/ kgBB/
jam, cairan pengganti puasa, cairan stress operatif berat 8 ml/ kgBB/jam.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Pada
pasien kasus tersebut menggunakan anestesi umum sehingga yang dipakai adalah
system penilaian skor Alderette.
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:
• Meredakan kecemasan dan ketakutan
• Memperlancar induksi anesthesia
• Mengurangi sekresi kelenjar ludan dan bronkus
• Meminimalkan jumlah obat anestetik
• Mengurangi mual muntah pasca bedah
• Menciptakan amnesia
• Mengurangi isi cairan lambung
• Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada Pasien ini diberikan obat premedikasi berupa injeksi Ondansentron


(Cedantron) 8mg/ml. Ondansentron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat
selektif yang dapat menekan mual dan muntah. Dan juga diberikan premedikasi
dengan Dexa 1 Ampul. Selain itu juga digunakan Fentanyl dengan dosis 100 mg
yang merupakan obat golongan opioid yang banyak digunakan didunia daripada
morfin karena menimbulkan efek analgesic kuat dan mempunyai risiko depresi
nafas yang lebih ringan tetapi pada pasien ini tidak diberikan obat premedikasi.

Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan propofol ( 2,6 –


diisopropylphenol) merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai
anastesia intravena. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam
anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun.
Dengan dosis 200mg (20ml). Mekanisme kerjanya berlangsung di reseptor GABA
– A (Gamma Amino Butired Acid) pada sistem saraf pusat. Dosis induksi
menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat
menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian dosis
induksi (2mg /kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Propofol bisa
mempotensiasi Nondepolarizing neuromuscular blocking agents (NMBA) yang
juga digunakan pada kasus ini. Penggunaan propofol bersamaan dengan fentanyl
dapat meningkatkan konsentrasi fentanyl. Pada kasus ini analgetik yang digunakan
adalah fentanyl. Beberapa klinisi memberikan midazolam dengan jumlah kecil
(misal 30µg/kg) sebelum induksi dengan propofol, karena mereka percaya bahwa
kombinasi tersebut mempunyai efek sinergis (onset lebih cepat dan kebutuhan dosis
total menjadi turun).
Secara teoritis, pemberian 10–15% dosis intubasi muscle relaksan 5 menit
sebelum induksi akan menempati cukup reseptor sehingga paralisis akan cepat
mengikuti ketika keseimbangan relaxant sudah diberikan.

Setelah intubasi, paralisis otot mungkin perlu diteruskan untuk


memfasilitasi operasi misal operasi abdominal atau untuk manajemen anestesi atau
untuk kebutuhan mengontrol ventilasi. Dosis maintenance bisa dicapai dengan
intermittent bolus atau continuous infusion, diberikan dengan monitor menggunakn
nerve stimulator atau tanda klinis (usaha atau gerakan nafas spontan).

Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat yang
bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya selama waktu
yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini merupakan konsep yang sama baik pada
anestesi yang dicapai dengan anestesi inhalasi, obat intravena, atau keduanya.
Pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan anestesi inhalasi. Obat
anestesi inhalasi yang dipakai adalah Sevoflurane. Sevoflurane tidak memiliki
kontraindikasi khusus. Sevofluran juga dapat mempotensiasi NMBA

Pada kasus ini jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi dengan
intubasi. Sebelum dilakukan intubasi diperlukan muscle relaxant sehingga proses
intubasi lebih mudah dilakukan. Untuk itu digunakan Atracurium sebagai
pelumpuh otot, atracurium merupakan neuromuscular blocking agent yang sangat
selektif dan kompetitif (non-depolarising) dengan lama kerja sedang. Non-
depolarising agent bekerja antagonis terhadap neurotransmitter asetilkolin melalui
ikatan reseptor site pada motor-end-plate. Atracurium dapat digunakan pada
berbagai tindakan bedah dan untuk memfasilitasi ventilasi terkendali. Atracurium
tidak mempunyai efek langsung terhadap tekanan intraocular, dan karena itu dapat
digunakan pada bedah opthalmik. Atracurium berfungsi sebagai adjuvant terhadap
anestesi umum agar intubasi trakea dapat dilakukan dan untuk relaksasi otot rangka
selama proses pembedahan atau ventilasi terkendali, serta untuk memfasilitasi
ventilasi mekanik pada pasien Intensive Care Unit (ICU). Dosis yang dianjurkan :
0,3-0,6 mg/kg (tergantung durasi blokade penuh yang dibutuhkan) dan akan
memberikan relaksasi yang memadai selama 15-35 menit. Intubasi endotrakea
biasanya sudah dapat dilakukan dalam 90 detik setelah injeksi intravena 0,5-0,6
mg/kg. Blokade penuh dapat diperpanjang dengan dosis tambahan sebesar 0,1-0,2
mg/kg sesuai kebutuhan

LAPORAN ANESTESI
A. Pre Operatif
 Informed Consent (+)
 Puasa (+) selama 10 jam
 Tidak ada gigi goyang atau pemakaian gigi palsu
 IV line terpasang dengan infus RL 500 cc
 Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda vital
Tekanan darah : 110/68 mmHg
Nadi : 108 x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,8 0C
B. Premedikasi anestesi
Dexamethason 1 ampul
C. Pemantauan Selama Anestesi
Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi
pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi pernapasan
dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit, Tekanan darah setiap 5 menit
Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien, Saturasi Oksigen
Cairan : Monitoring input cairan

D. Monitoring Tindakan Operasi :


Jam Tindakan Tekanan Nadi Satur
Darah (x/menit asi
(mmHg) ) O2
(%)
07.3  Pasien masuk ke kamar operasi, dan 120/76 102 99
0 dipindahkan ke meja operasi
 Pemasangan monitoring tekanan darah, nadi,
saturasi O2
 Infus RL terpasang pada tangan kanan
 Premedikasi : Fentanyl 1 ampul (IV),
Notrixum 20 mg (IV)
07.3  Obat induksi dimasukkan secara iv: 111/66 100 99
5 o Propofol 100 mg
Kemudian mengecek apakah refleks bulu mata
masih ada atau sudah hilang.
 Jika tidak ada, lalu dilakukan tindakan face
mask dengan sungkup No.3, dan diberikan:
o O2 : 2 L
o N2O : 2 L
o Isoflurane : 1-2 vol %
07.4  Dilakukan tindakan pemasangan endotracheal 127/70 99 100
0 tube No. 7,0 (kinkin) dengan bantuan
laringoskop kemudian fiksasi.
 Kedua mata pasien ditutup dengan kassa
 Pernafasan spontan
07.4  Operasi dimulai 129/92 106 100
5  Melakukan tindakan Eksisi pada regio coli
anterior sinistra
07.5  Kondisi terkontrol 119/72 99 100
5
08.0  Kondisi terkontrol 126/78 82 100
0
08.0  Kondisi terkontrol 129/81 83 100
5  Cedantron 8mg
 Remopain (ketorolac tromethamine 30
mg)
 Pasien mengalami urtikaria pada
ekstremitas atas  dexamethasone 5mg
IV
08.1  Kondisi terkontrol 100/66 84 100
0
08.1  Operasi selesai 101/74 85 100
5  Melakukan ekstubasi
 Melepas goedel (oral airway) , dilakukan
suction, dan pelepasan endotracheal tube
 Gas N2O dan isoflurane dimatikan, dan gas O2
dinaikkan menjadi 5 vol % (Oksigenisasi)
dengan menggunakan face mask.
 Gas 02 dihentikan
 Pelepasan alat monitoring (saturasi dan
tensimeter).
 Pasien dipindahkan ke ruang recovery room.
Selanjutnya dilakukan pemasangan alat
monitoring di recovery room
 Pasien dapat dibangunkan dan memonitoring
keadaan pasien.
PEMANTAUAN STATUS FISIOLOGIS

07.30 08.00 08.30


Jam 1 2 3
180

160

140

120

100

80

60
RL
40 (Ringer laktat)

20

Keterangan :
: Tekanan darah
: Nadi
: Saturasi Oksigen

E. INTRAOPERATIF (27 Desember 2017)


Tindakan Operasi : Eksisi
Tindakan Anestesi : General anestesi
Lama Operasi : 45 menit (07.30- 08.15)
Jenis Anestesi : General anestesi dengan teknik “Semi Close Circuit
System” dengan ET No.7,0 menggunakan O2 2L, N2O 2L,
dan Isovoflurane 1-2 Vol %
Posisi : Supine
Pernafasan : Spontan
Infus : Ringer Laktat pada tangan kanan 500cc
Premedikasi : Fentanyl 100 mg (IV), Notrixum 20 mg (IV)
Induksi : Propofol 100 mg i.v
Maintenance : O2 2 L
N2O 2 L
Isoflurane 1-2 Vol %
Adjuvantia : Cendantron 8 mg i.v

Intubasi : Laringoskop blade no 3


Endotracheal Tube No 6,0
Cairan : Cairan Masuk: RL 500 cc + Fentanyl 100mg 24cc, cairan
keluar tidak dapat dimonitoring karena tidak dilakukan
pemasangan kateter.

F. POST OPERATIF
- Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke Bangsal
- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 114/86 mmHg
Nadi : 92x/min
Saturasi : 99%
- Penilaian pemulihan kesadaran (Aldrete Score)
Skor
Variabel Item Skor
Pasien
Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah 2
Aktivitas Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah 1 2
Tidak respon 0
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Respirasi Dispnea, hipoventilasi 1 2
Apnea 0
Perubahan < 20 % TD sistol preoperasi 2
Sirkulasi Perubahan 20-50 % TD sistol preoperasi 1 2
Perubahan .> 50 % TD sistol preoperasi 0
Sadar penuh 2
Kesadaran Dapat dibangunkan 1 1
Tidak respon 0
Merah 2
Warna kulit Pucat 1 2
Sianotik 0
Skor Total 9
≥ 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi
≥ 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal
≥ 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)
Pada pasien ini didapatkan nilai aldrete skor 9, pasien dipindahkan ke ruang
perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.
Pasca Bedah di Recovery Room (RR)
Recovery Room
 Masuk jam : 08.15
 Pulang jam : 09.20
Keadaan Umum : Baik
Respon Kesadaran : Terjaga
Status mental : Sadar Penuh
Jalan nafas : Nasal
Pernafasan : Teratur
Terapi Oksigen : Nasal Canul
Sirkulasi anggota badan : Merah muda
Kulit : Hangat
Posisi Pasien : Supinasi
Nadi : Teratur
Infus : RL
Tanda Vital
 TD : 120/70 mmHg
 Nadi : 80 x/menit
 RR : 20 x/menit
 SaO2 : 99 %
 TB : 153 cm
 BB : 55 kg
Instruksi Post Operasi Dengan General Anestesi
 Sadar penuh, mual muntah (-), boleh makan dan minum.
 Awasi tanda-tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam post op,
O2 2 L/menit, infuse RL 20 tpm.
 Terapi lain sesuai dokter operator.
 Terapi analgesic :
Inj.Remopain 30mg IV karena pasien alergi terhadap
remopain (ketorolac 30mg) maka pasien diberikan injeksi
dexametason 1 amp.
Inj Cendantron 8mg IV
BAB V
KESIMPULAN

1. Asma adalah satu keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang
penyempitan bronkus yang reversible, biasanya diantara episode terdapat
pernapasan yang lebih normal.
2. Penilaian terhadap reversibilitas penyakit penting dilakukan evaluasi pasien
dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi, pemeriksaan AGD dan pemeriksaan tes fungsi paru-paru.
3. Pasien dengan riwayat asma frekuen atau kronis perlu dilakukan pengobatan
sampai tercapai kondisi yang optimal untuk dilakukan operasi atau kondisi
dimana gejala-gejala asma sudah minimal.
4. Pencegahan bronkospasme pada saat operasi penting dilakukan terutama pada
saat manipulasi jalan napas.
5. Pemilihan obat-obatan dan tindakan anestesi perlu dipertimbangkan untuk
menghindari penggunaan obat-obatan dan tindakan yang merangsang terjadinya
bronkospasme atau serangan asma.
6. Rencana tindakan atau obat-obat untuk mengatasi serangan asma atau
bronkospasme harus disiapkan agar jika terjadi serangan bronkospasme kondisi
reversibel dapat tercapai.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

1. Applegate R, Lauer R, Lenart J, Gatling J, Vadi M (2013) The Perioperative


Management of Asthma. J Aller Ther S11: 007. doi:10.4172/2155-
6121.S11-007
2. Butterworth, John; Mackey, David C; Wasnick, John D. Morgan &
Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th edition. Chapter 24 page 530-534.
3. Bateman ED, Hurd SS, Barnes PJ, Bousquet J, Drazen JM, et al. (2008)
Global strategy for asthma management and prevention: GINA executive
summary. Eur Respir J 31: 143-178.
4. Burburan, SM; Xisto, DG; Rocco, PRM.2006. Anaesthetic management in
asthma. Minerva Anestesiologica Vol 73-No.6
5. Morgan G.E, 2006 : Anestesi for patients with Respiratory Disease in
Clinical
Anaesthesiology third edition, page : 571-576.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Asma di Indonesia. Penerbit FKUI, Jakarta.
7. Darwis I. Sarkoma jaringan lunak. Dalam: Kumpulan ilmu bedah.
Reksoprodjo S, Pusponegoro AD, Kartono D, Hutagalung ED (eds). Edisi
pertama. Jakarta: Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia / RSCM. 1995. Hal: 401-405.
8. Adams GA, Garland AM, Shatney CH, Sherck JP. Sarcoma. In: Surgery
clerkship guide. 1st edition. Missouri: Mosby. 2003. p:465-468.
9. Judson I, Harmer C. Sarcomas. In: Cancer in primary care. Gore M, Russel
D. 1st edition. London: Martin Dunitz. 2003. p:231-237.
10. Pisters PWT, Bramwell VHC, Rubin PR, O'Sullivan B. Sarcomas of soft
tissue. In: Clinical oncology. 3rd edition. Abeloff MD, Armitage JO,
Niederhuber JE, Kastan NB (eds); Philadelphia: Elsevier Churchill
Livingstone. 2004. p:2573-2615.
11. Spiro IJ, Suit HD, Rosier RN, Sahasrabudhe DM. Soft tissue sarcoma. In:
Clinical oncology, A multidisciplinary approach for physicisians and
students. 8th edition. Rubin P, Williams JP (eds). Philadelphia. W.B
Saunders company. 2001. p:615-627.
12. Albar ZA, Tjindarbumi D, Ramli M, Lukitto P, dkk. Protokol
penatalaksanaan sarkoma jaringan lunak. Dalam: Protokol PERABOI
2003. Edisi pertama. Bandung. PERABOI. 2003. p:90-100.
13. Sarcoma - Adult soft tissue cancer surgery. Available at :
www.ACSsurgery.com. Accessed on december 31th 2017.
14. Some Musculo-Skeletal Sequelae In Cancer Survivors. Available at:
www.Imformaword.com. Accessed on December 29th 2017
15. William R. Solomon, 2002 : Pathologi, Konsep Klinis Proses-prose
Penyakit hal: 171-186.
16. Gal, TJ, 2002, Reactive airway Disease: Anesthetic Perspective, IARS 2002
Review Course Lectures, USA.
17. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Asma di Indonesia. Penerbit FKUI, Jakarta.
18. Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M, Vignola AM, Asthma. From
bronchocontriction to airwy remondelling. Am J Respir Crit Care Med,
2000
; 161:1720-45.
19. Epstein L,L,1999 : Spesific Consideration With Pulmonary Disaeae in
Clinical
Anaesthesia Prosedure Of Massechusetts General Hospital,6 ed, LippinCott
Wlliam & Wilkins, page: 6, 33-41, 259-261.
20. Taib S, 2002 : Peran Kortikosteroid pada Serangan Asma dalam Pertemuan
Ilmiah Paru Milenium Surabaya, hal : 1-16.

Anda mungkin juga menyukai