Asma Bronkhial
Disusun Oleh :
Gantar Dewa Pambayun
14711130
Pembimbing :
dr. Bambang Subarno, Sp.P
Oleh :
Gantar Dewa Pambayun
LAPORAN KASUS
No. Rekam Medis : 6-80-9x-xx
IDENTITAS
Nama pasien : Ny. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 35 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Bantengan, Wiyungan
Masuk RS : Minggu, 14 April 2021, pukul 04.30
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sesak nafas
PEMERIKSAAN FISIK
Status Umum
Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
Vital sign
TD: 146/81 mmHg RR: 26 x/menit SpO2: 97%
HR: 154 x/menit Suhu: 36 0C
Status Gizi
Berat badan : 55 kg Tinggi Badan : 155 cm
IMT : 22,9 kg/m2 (normal)
Kepala Leher : Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dispneu (+),
nafas cuping hidung (-), nyeri tenggorokan (-)
Thorax
- Cardio
Inspeksi : Normochest, ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
- Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi intercostal (-)
Palpasi : Fremitus taktil simetris
Perkusi : Redup di basal hemithorax dextra
Auskultasi : Suara dasar vesikular kedua lapang paru
ronkhi ¿ wheezing ¿
Abdomen
Inspeksi : Sikatrik (-), distensi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+)
Perkusi : Timpani di seluruh regio
Palpasi : Soepel (+), nyeri tekan (-)
+¿ ¿
Ekstremitas : Akral hangat + ¿∨ + ¿ ¿ ¿ , oedema tungkai
+¿ ¿
−¿ ¿
−¿∨ −¿ ¿ ¿
−¿ ¿
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Rontgen Thorax (17-04-2021)
Kesimpulan:
- Foto thorak tak tampak kelainan
DIAGNOSIS
Asma bronkial
SVT
PLANNING
Rawat inap
Raber jantung
• Tiaryt 3x1
• Diltiazem 2x30mg
LANDASAN TEORI
Asma Bronkhial
I. DEFINISI
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran
napas yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas
dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya
bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.
Asma dapat bersifat fluktuatif (hilang timbul) yang berarti dapat tenang
tanpa gejala tidak mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala
ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Status asmatikus
adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespon terhadap terapi
konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam
II. EPIDEMIOLOGI
Asma mempunyai tingkat fatalitas yang rendah namun jumlah kasusnya
cukup banyak ditemukan dalam masyarakat. WHO memperkirakan 100-150 juta
penduduk dunia menderita asma, jumlah ini diperkirakan terus bertambah
sebesar 180.00 orang setiap tahun. Dengan melihat kondisi dan kencenderungan
asma secara global, Global Initiative for Asthma (GINA) pada kongres asma
sedunia menetapkan tanggal 7 Mei 1998 sebagai “Hari Asma Sedunia untuk
pertama kalinya.
III. KLASIFIKASI
Berat ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran
klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian
obat inhalasi beta-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan
untuk mengontrol asma (jenis, kombinasi, dan frekuensi pemakaian obat). Tidak
ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit. Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saaat
serangan (akut):
1. Asma saat tanpa serangan
V. FAKTOR RESIKO
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok:
1. Faktor genetik
Hiperaktivitas
Atopi/alergi bronkus
Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
Jenis kelamin
Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing)
Alergen diluar ruangan (serbuk sari)
Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-bloker, dll)
Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dll)
Ekspresi emosi berlebih
Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
Polusi udara di luar dan didalam ruangan
Exercise induced asthma
Perubahan cuaca
VI. PATOFISIOLOGI
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan faktor lain berperan sebagai pencetus inflamasi
saluran napas pada pasien asma. Inflamasi saluran napas pada pasien asma
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi yaitu terdapatnya obstruksi
saluran napas yang menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali
secara spontan atau setelah pengobatan. Obstruksi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang
menyempitkan jalan napas, pembengkakan membran yang melapisi bronkus dan
pengisian bronkus dengan mukus yang kental.
Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom.
Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah yang besar, golongan ini disebut
atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast
pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus
kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka akan terjadi fase sensitisasi yang
menyebabkan antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian
berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel
ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator
yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Ini akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus
kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos
bronkiolus yang menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase
cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan
alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel
mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada
fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama
16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi
seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan
sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi
melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan pelepasan neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Sistem saraf otonom
mempersarafi paru, tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui
sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik, ketika ujung saraf pada jalan napas
dirangsang oleh faktor pencetus maka akan meningkatkan pelepasan jumlah
asetilkolin. Ini menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan
mediator kimiawi
VII. MANIFESTASI KLINIS
Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat
di dada. Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari.
Setelah pasien asma terpajan alergen penyebab maka akan timbul dispnea,
pasien merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha
mengerahkan tenaga lebih kuat untuk bernapas. Kesulitan utama terletak saat
ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi
namun sulit untuk memaksa udara keluar dari bronkiolus yang sempit karena
mengalami edema dan terisi mukus. Akan timbul mengi yang merupakan ciri
khas asma saat pasien berusaha memaksakan udara keluar. Biasanya juga diikuti
batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan.
Tanda selanjutnya dapat berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat
dan gejala-gejala retensi karbon dioksida (berkeringat, takikardi dan pelebaran
tekanan nadi). Pada pasien asma kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat
dan mengancam nyawa, dikenal dengan istilah “status asmatikus”. Status
asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespon terhadap
terapi konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Asma
dapat bersifat fluktuatif (hilang timbul) yang berarti dapat tenang tanpa gejala
tidak mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan
sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian.
Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan seperti perubahan
temperatur, terpapar bulu binatang, uap kimia, debu, serbuk, obat-obatan,
olahraga berat, infeksi saluran pernapasan, asap rokok dan stres. Pada awal
serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, pada asma alergik
biasanya disertai pilek atau bersin. Meski pada mulanya batuk tidak disertai
sekret, namun dalam perkembangannya pasien asma akan mengeluarkan sekret
baik yang mukoid, putih dan terkadang purulen. Terdapat sebagian kecil pasien
asma yang hanya mengalami gejala batuk tanpa disertai mengi, yang dikenal
dengan istilah cough variant asthma.
VIII. TATALAKSANA
1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui
oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien dirumah
dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah:
Bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratotropium bromida)
Kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat
yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan
dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi
dengan teofilin / aminofilin oral. Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat
serangan berat sebelumnya), kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat
diberikan dalam waktu singkat 3-5 hari.
Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid
oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi,
aminofilin IV (bolus atau drip). Pemeberian obat-obatan bronkodilator
diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser.
2. Penatalaksanaan jangka panjang
Penatalaksanaan jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan
mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan
klasifikasi beratnya asma.
a) Edukasi
Edukasi yang diberikan mencakup:
Kapan pasien berobat / mencari pertolongan
Mengenali gejala serangan asma secara dini
Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu
penggunaannya
Mengenali dan menghindari faktor pencetus
Kontrol teratur
b) Obat asma
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan
pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk
pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan
terus menerus.
Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain:
Inhalasi kortikosteroid
β2 agonis kerja panjang
Antileukotrien
Teofilin lepas lambat