HALAMAN JUDUL
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL KE – 5
PENGELOLAAN PESISIR DAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Dinamika Wilayah Pesisir dan DAS serta Pengelolaannya
Diselenggarakan di:
Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (STMKG)
Tangerang Selatan, Banten, 26 September 2019
i
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KE-5
PENGELOLAAN PESISIR DAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
SUSUNAN PANITIA
Penasehat : Prof. Dr. rer. nat. Muh Aris Marfai, S.Si., M.Sc.
Dr. Slamet Suprayogi, M.S.
Dr. I Nyoman Sukanta, S.Si., MT.
ii
Moderator Panel Seminar Nasional : Hasti Amrih Rejeki, SST., M.Si.
Amir Mustofa Irawan, SST., M.Sc.
Fitria Puspita Sari, SST., M.Sc.
Editor : Prof. Dr. rer. nat. Muh Aris Marfai, S.Si., M.Sc.
Mukhamad Ngainul Malawani, M.Sc.
Dr. I Nyoman Sukanta, S.Si., MT.
DITERBITKAN OLEH :
Badan Penerbit Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara, Jl. Kaliurang, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281
Telp. 0274-6492336. Email: bpfg.geo@ugm.a.cid
© Hak Cipta dilindungi oleh Undang – Undang. Dilarang memperbanyak dalam bentuk apapun tanpa izin
tertulis dari editor. Hak intelektual dalam prosiding ini milik penulis yang tercantum pada setiap artikel.
Sekretariat:
Magister Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai
Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Telp. (0274) 6492348
iii
KATA PENGANTAR
Seminar Nasional ke-5 Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai dilaksanakan di Sekolah Tinggi Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (STMKG) Jakarta, Tangerang Selatan, Banten pada tanggal 26 September 2019. Seminar
ini diselenggarakan oleh Program Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS)
yang merupakan minat dari Program Studi S2 Geografi Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Acara seminar
kali ini terselenggara berkat adanya kerjasama antara MPPDAS dan STMKG. Salah satu tujuan utama seminar ini
adalah untuk mendiskusikan perkembangan dan tren penelitian pengelolaan di wilayah pesisir dan daerah aliran
sungai. Sebanyak 25 artikel yang terbagi dalam 7 tema ditampilkan dalam prosiding ini. Tema-tema tersebut antara
lain:
Meteo-tsunami di Indonesia
Meteorologi dan Klimatologi di Wilayah Kepesisiran
Kebencanaan di Wilayah Kepesisiran dan DAS
Dinamika Penggunaan Lahan di Wilayah Kepesisiran dan DAS
Aspek Sosial, Ekonomi, dan Kependidikan
Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Pengelolaan Wilayah Kepesisiran dan DAS
Aplikasi dan Teknologi Geofisika Terkait Sumber Daya Alam di Wilayah Laut, Kepesisiran dan DAS
Hasil dari seminar ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai kepadu-padanan pengelolaan pesisir dan
DAS yang meliputi aspek fisik, lingkungan, regulasi, tata ruang, pemanfaatan ruang, dan sumber daya.
iv
DAFTAR ISI
v
Modal Sosial dan Mitigasi Bencana Akibat Dampak Perubahan Iklim............................................................. 96
Analisis Manfaat dan Keuntungan Wisata Bahari Pemuteran Terhadap Pemangku Kepentingan Lokal ... 105
Kemitraan Tiga Pihak Antara BMKG, Instansi Pemerintah Dan Masyarakat Dalam Pengelolaan Pengamatan
Curah Hujan Di Sulawesi Selatan ...................................................................................................................... 110
Karakteristik Kualitas Air Embung Tambakboyo Di Kabupaten Sleman Yogyakarta................................... 117
Tema 6 - Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Pengelolaan Wilayah Kepesisiran dan DAS ................ 124
Estimasi Debit Puncak DAS Hulu Ciliwung Berbasis Data Radar Cuaca ...................................................... 125
Kajian Morfodinamika Pesisir dan Kerawanan Abrasi Di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali .................... 132
Kajian Multitemporal Tutupan Padang Lamun di Gili Sumber Kima, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali . 141
Kontribusi Pemetaan Menggunakan Drone untuk Memprediksi Erosi dan Tingkat Bahaya Erosi ............. 149
Analisis Morfometri DAS dalam Perencanaan Wisata Arung Jeram Berkelanjutan, DAS Saba, Provinsi Bali
.............................................................................................................................................................................. 155
Pemetaan Zona Potensi Fishing Ground Berdasarkan Konsentrasi Klorofil-A dan Posisi Sebaran Kapal
Ikan (Studi Kasus di Perairan Kota Padang) .................................................................................................... 164
Optimalisasi Penggunaan Lahan berdasarkan Prediksi Erosi dengan Model AGNPS (Agricultural Non-
Point Source Pollution Model) di DAS Sepaku ................................................................................................ 172
Pemanfaatan Data Satelit Untuk Analisis Hujan Lebat dan Sistem Konveksi di Jayapura .......................... 181
Tema 7 - Aplikasi dan Teknologi Geofisika Terkait Sumber Daya Alam di Wilayah Laut, Kepesisiran, dan DAS
.................................................................................................................................................................................. 191
Aplikasi Metode Resistivity Konfigurasi Schlumberger Untuk Penentuan Potensi Airtanah di DAS
Silandak, Kota Semarang, Jawa Tengah .......................................................................................................... 192
vi
LATAR BELAKANG
Pengelolaan potensi kepesisiran, termasuk di dalamnya adalah pengelolaan aspek proses-proses fisik, potensi
sumber daya, regulasi, sosial budaya, keteknikan, penduduk dan lain sebagainya, perlu terus ditingkatkan sebagai
bagian dari pembangunan geomaritim Indonesia. Pengelolaan kepesisiran bersinggungan dengan pengelolaan
ekosistem lainnya, termasuk daerah aliran sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu lingkungan yang
memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan pesisir.
Program Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS), yang merupakan minat
dari Program Studi S2 Geografi Fakultas Geografi UGM memfokuskan program pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat terkait dengan aspek kepesisiran dan DAS. Pada tahun 2019 ini, meneruskan agenda
tahun sebelumnya, Program MPPDAS menyelenggarakan Seminar Nasional ke-5 Pengelolaan Pesisir dan Daerah
Aliran Sungai, yang kali ini terselenggara berkat adanya kerjasama dengan Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika (STMKG) Jakarta.
TUJUAN
vii
Tema 1 - Meteo Tsunami Indonesia
1
Studi Gelombang Badai Pasca Siklon Tropis Ernie di Pesisir
Selatan Jawa Berbasis Fully-Coupled Model ADCIRC-SWAN :
Pengembangan Coastal-Inundation Real-Time Forecasting
Bagus Pramudjoa, Khafid Rizki Pratamab, Ejha Larasati Siadaric, Muhammad Fauzan Abdul
Lathifd
a,cPusat Meteorologi Maritim, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta ; e-mail:
baguspramudjo@yahoo.com
b Stasiun Meteorologi Mathilda Batlayeri, Kepulauan Tanimbar, Maluku
d Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Pondok Betung, Tangerang Selatan, Banten
ABSTRAK
Wilayah pesisir Indonesia sangat rentan terhadap bencana banjir akibat kenaikan air laut dan menjadi tempat strategis terhadap
gangguan cuaca laut tropis. Kaitan bencana tersebut adalah gelombang badai yang fluktuatif disebabkan oleh tekanan rendah disertai
intensitas angin yang kuat. Kondisi kenaikan muka air laut yang tidak normal mempengaruhi frekuensi dan ketinggian banjir di pesisir.
Penelitian ini mengkaji studi gelombang badai yang terjadi saat kejadian dan pasca siklon tropis Ernie di wilayah pesisir Selatan Jawa
dengan model gabungan ADCIRC-SWAN terintegrasi OASIS3-MCT. Komparasi intensitas angin yang dihasilkan oleh siklon tropis
dianalisis dengan data citra satelit gabungan Himawari-GOES R dengan produk Storm Track Intensity (STI), Wind Track Intensity
(WTI), dan Surface Wind High Resolution (SWHR). Karakteristik ketinggian muka air laut dan model inundasi dianalisis dengan
menggunakan keluaran model gabungan ADCIRC-SWAN serta pembanding kondisi gelombang laut perairan dalam dengan keluaran
model WaveWatch 3. Keluaran model menghasilkan kenaikan muka air laut dan peak surge yang dominan disebabkan oleh adanya
pengaruh dari intensitas angin siklon tropis yang kuat disertai gaya gesekan pada permukaan air laut yang menyebabkan kenaikan
pasang inundasi sebesar 20 – 30 cm. Verifikasi perbandingan dari keluaran model ADCIRC-SWAN dan komponen pasang surut
menghasilkan korelasi 0.85 serta RMSE sebesar 10-13 cm. Hasil validasi dapat digunakan dalam pemanfaatan untuk peringatan dini
terhadap prakiraan banjir pesisir yang lebih akurat.
ABSTRACT
Indonesia's coastal areas are very vulnerable to floods due to rising sea water and become a strategic place against the disruption of
tropical sea weather. The related disaster is fluctuating storm waves caused by low pressure accompanied by strong wind intensity.
Conditions for abnormal sea level rise affect the frequency and altitude of flooding on the coast. This study examines the characteristics
of storm waves that occurred during and after Ernie's tropical cyclone in the southern coastal region of Java with a combined model
of integrated OASIS3-MCT ADCIRC-SWAN. The comparison of the intensity of the wind produced by tropical cyclones was analyzed
by the combined satellite image data of Himawari-GOES R with Storm Track Intensity (STI), Wind Track Intensity (WTI), and Surface
Wind High Resolution (SWHR) products. The characteristics of sea level and inundation models were analyzed using the combined
model output of ADCIRC-SWAN and comparison of deep sea wave conditions with the output of WaveWatch 3. Model output resulted
in a dominant sea level rise and peak surge caused by the influence of cyclone wind intensity strong tropics accompanied by friction
forces on the sea water surface which causes an increase in inundation pairs of 20-30 cm. Verification of the comparison of the output
of the ADCIRC-SWAN model and tidal components produces a correlation of 0.85 and RMSE of 10-13 cm. . The results of the
validation can be used in the use of early warning for more accurate coastal flood estimates.
2
gelombang badai (storm surge) dan peningkatan track dari Bureau of Meteorology (BOM) Australia untuk
gelombang pasang (storm tide). Gelombang badai siklon tropis Ernie yaitu bulan Juni 2017.
adalah gelombang dengan panjang gelombang sampai
beberapa kilometer yang dibangkitkan oleh badai
(storm) dan penurunan tekanan atmosfer yang
disebabkan suatu kejadian cuaca yang ekstrem (Ali dkk,
1996). Sedangkan gelombang pasang adalah
pergerakan naik turunnya muka air laut yang besar dan
kuat membentuk lembah dan bukit mengikuti gerak
alunan gelombang. Pembangkit kekuatan gelombang
badai dan gelombang pasang bergantung pada tekanan
udara di pusat badai siklon tropis yang sangat rendah
sehingga menimbulkan kenaikan permukaan laut.
Naiknya permukaan air laut (akibat melintasnya daerah
tekanan atmosfer yang rendah) akan membentuk
gelombang yang menjalar ke luar daerah
pembangkitnya dan ketika sampai di perairan pantai Gambar 1. Peta lokasi penelitian wilayah
tinggi gelombangnya akan bertambah karena efek Pesisir Selatan Jawa
pendangkalan. Gelombang badai merambat ke perairan
dangkal, kecepatannya berkurang, panjang Pengumpulan data dilakukan dengan mengakses data
gelombangnya memendek, serta tingginya bertambah bathymetri dari GEBCO dengan resolusi 30 s. Data
dan jika terjadi bersamaan dengan fase gelombang HYCOM-NCODA GOFS 3.1 dengan resolusi 0.080
pasang surut pada kondisi air pasang tinggi (high tide) melalui website
dapat menambah tinggi muka laut. Superposisi kedua ftp://ftp.hycom.org/datasets/GLBv0.08/expt_92.9/ssh
jenis gelombang tersebut disebut gelombang badai untuk mengambil parameter Sea Surface High (SSH).
pasang (storm tide) yang dapat mengakibatkan Data shoreline dan coastline dari National Oceanic and
terjadinya gelombang ekstrem dengan tinggi dapat Atmospheric Administration (NOAA-GSHHS) melalui
mencapai kurang lebih 2– 5 meter atau lebih. Meluapnya website https://www.ngdc.noaa.gov. Data diambil untuk
air laut di kawasan pesisir dapat disebabkan oleh pembuatan unstructured mesh grid dan boundary dari
gabungan beberapa faktor dominan, yaitu fenomena garis pantai. Data FNL dari NCEP-NOAA resolusi 10
pasang surut purnama, posisi bulan yang berada pada tanggal 06 – 10 April 2017 dalam bentuk grib2 file dan
titik terdekat dengan bumi (perigee), alun yang berasal time step 6 jam. Data FNL digunakan sebagai input data
dari badai, penurunan permukaan tanah, dan naiknya meteorologi dalam model WRF-ARW Version 3.8.1.
permukaan laut akibat efek pemanasan global (Ningsih, Data pasang surut dari Badan Informasi Geospasial
2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji (BIG) dan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP)
karakteristik gelombang badai dan gelombang pasang wilayah titik stasiun pengamatan Pondokdadap,
di wilayah pesisir selatan Selatan Jawa yang diterjang Tamperan, Cilacap dan Prigi. Dan data Altimetri dari
dampak dari siklon tropis Ernie sehingga menimbulkan satelit JASON-1 dengan resolusi 0.250 x 0.250. Data
gelombang badai dan gelombang pasang pada tanggal Ina-WAVES Integrated Model WaveWatch III untuk
06 - 10 April 2017. Mengakibatkan adanya pembentukan analisis gelombang laut dan alun pada perairan dalam
alun hingga daratan. Alun yang terbentuk tidak saat kejadian siklon tropis Ernie.
diakibatkan oleh gelombang namun adanya akibat angin
kencang dari terbentuknya siklon tropis tersebut dan
berdampak menjalar hingga pesisir.
2. Metodologi
Dalam penelitian ini, kejadian gelombang badai
dan gelombang pasang yang dibangkitkan oleh dampak
siklon tropis Ernie disimulasikan dan dihitung dengan
menggunakan gabungan model hidrodinamika
Advanced Circulation Model and Simulating Waves
Nearshore (ADCIRC-SWAN). Menggunakan metode Gambar 2. Alur Model ADCIRC-SWAN pada Unstructured
Finite-Volume Coastal Ocean Model (FVCOM) dan Mesh Grid (Dietrich, 2011)
Unstructured Mesh Grid (Chen dkk, 2003), , sehingga
menghasilkan keluaran perhitungan model yang Formula pada model ADCIRC-SWAN untuk koordinat
mempunyai resolusi rapat dan sesuai dengan bentuk Cartesian (ADCIRC, 2016) :
pesisir. Lokasi penelitian kejadian siklon tropis yaitu 𝜕∁ 𝜕𝑈𝐻 𝜕𝑉𝐻
siklon tropis Ernie pada tangga 06 - 10 April 2017. + + =0
𝜕𝑡 𝜕𝑥 𝜕𝑦
Rentang waktu penelitian dilakukan berdasarkan pada
dampak yang signifikan terjadi hingga menyebabkan Dan persamaan primitif momentum (dalam persamaan
bencana alam dan ketersediaan data tropical cyclone non konservatif)
3
perambatan gelombang. Biasanya, model gelombang
𝜕𝑈 𝜕𝑈 𝜕𝑈 𝜕 𝑝𝑠 𝜏𝑔𝑥 𝜏𝑏𝑥
𝜕𝑡
+𝑈
𝜕𝑥
+𝑉
𝜕𝑦
− 𝑓𝑉 = − [ + 𝑔∁ − 𝑔(𝑛 + 𝑦)] +
𝜕𝑥 𝜌0
−
𝜌𝑜 𝐻 𝜌𝑜 𝐻
+ 𝐷𝑥 − 𝐵𝑥 menentukan evolusi densitas gerak N(x,t; σ,θ) dalam
𝜕𝑈 𝜕𝑈 𝜕𝑈 𝜕 𝑝𝑠 𝜏𝑔𝑦 𝜏𝑏𝑦
ruang x dan waktu t. Densitas gerak didefinisikan
𝜕𝑡
+𝑈
𝜕𝑥
+𝑉
𝜕𝑦
+ 𝑓𝑈 = − [ + 𝑔∁ − 𝑔(𝑛 + 𝑦)] +
𝜕𝑥 𝜌0
−
𝜌𝑜 𝐻 𝜌𝑜 𝐻
+ 𝐷𝑦 − 𝐵𝑦 sebagai N = E/ σ. Dalam kondisi tersebut dadpat
diasumsikan bahwa arus sama dengan koordinat
Keterangan : vertikal dan dinotasikan dengan U (SWAN Team, 2011).
𝐷𝑥 =
𝜕𝐷𝑢𝑣
+
𝜕𝐷𝑢𝑣
= Dispersi momentum dalam x Evolusi spektrum dapat dijelaskan dengan persamaan
𝜕𝑥 𝜕𝑦
keseimbangan gerak spectra sesuai dengan modul
𝜕𝐷𝑢𝑣 𝜕𝐷𝑢𝑣
𝐷𝑦 =
𝜕𝑥
+
𝜕𝑦
= Dispersi momentum dalam y logbook SWAN Team tahun 2011 seperti yang
∁ dinyatakan pada persamaan dibawah ini :
𝐵𝑥 = ∫−ℎ 𝑏𝑥 𝑑𝑧 = Gradien tekanan baroklinik secara vertikal
𝜕𝑁 𝜕𝐶𝜃 𝑁 𝜕𝐶𝜃 𝑁 𝑆𝑡𝑜𝑡
dalam x + ∇𝑥 . [(𝐶𝑔 + 𝑈)𝑁] + + =
𝜕𝑡 𝜕𝜎 𝜕𝜃 𝜎
∁
𝐵𝑦 = ∫−ℎ 𝑏𝑦 𝑑𝑧 = Gradient tekanan baroklinik secara vertikal
dalam y Keterangan :
𝜌 = Waktu dan variasi kerapatan air secara spasial pada 𝜕𝑁
= Bagian kinematic dari persamaan laju perubahan
𝜕𝑡
salinitas dan variasi temperature
densitas gerak dalam waktu.
𝜌0 = Densitas air
∇𝑥 . [(𝐶𝑔 + 𝑈)𝑁] = Perambatan energi gelombang dalam ruang x
𝜏𝑔𝑦 , 𝜏𝑏𝑦 = Tekanan permukaan air laut
geografis dua dimensi.
𝑝𝑠 = Tekanan pada permukaan air laut
𝜕𝐶𝜃 𝑁
= Efek perubahan frekuensi radian yang
𝜕𝜎
Persamaan perairan dangkal dua dimensi, kedalaman disebabkan variasi kedalaman dan arus rata-rata.
dengan menetapkan ICS =1 pada Parameter Model dan 𝜕𝐶𝜃 𝑁
= Refraksi kedalaman terinduksi dan arus terinduksi.
𝜕𝜃
Kondisi Periodik Boundary. ADCIRC mengasumsikan 𝑆𝑡𝑜𝑡
sistem koordinat cartesian dimana dimensi horizontal = Merepresentasikan semua proses fisik
𝜎
berada pada unit jarak yang sesuai dengan satuan pembangkit dan distribusi energi gelombang.
gravitasi.
Pada penelitian ini digunakan perbandingan terhadap
hasil model dan observasi dengan RMSE (Widayati,
2009) yang dihitung terhadap keluaran model ADCIRC-
SWAN berupa tinggi muka laut dengan data pasang
surut berdasarkan pada hasil pengamatan stasiun
otomatis di wilayah pesisir dan observasi satelit altimetri
JASON-2.
𝑁
Gambar 3. (a) Jalur Pertumbuhan Siklon Tropis Ernie fase tropical depression (TD) hingga fase tropical cyclone (TC) pada tanggal 5
April 2017 sampai tanggal 10 April 2017 di wilayah selatan Indonesia (BOM, 2017) (b) Jalur pertumbuhan Siklon Tropis Ernie (BMKG,
2017).
Gambar 4. Grafik sesi waktu pertumbuhan intensitas kekuatan angin siklon tropis Ernie fase tropical depression (TD) hingga
fase tropical cyclone (TC) pada tanggal 05 April 2017 hingga 10 April 2017 dengan pengukuran satelit geostasioner GOES-NOAA
(RAMMB, 2017)
Ekor siklon sangat berkaitan erat dengan adanya 3.2. Fase Intensitas Kekuatan Badai Siklon
intensitas dari angin yang dihasilkan oleh siklon. Profil Berdasarkan Storm Track Intensity (STI)
angin pada saat siklon tropis Ernie dapat dilihat pada Intensitas badai berdasarkan Storm Track Intensity
gambar 4. Jalur siklon tropis hampir dekat dengan menunjukkan fase pertumbuhan di wilayah selatan
wilyah Indonesia dan dampak terhadap pesisir Nusa Tenggara Timur terlihat kontur distribusi potensi
khususnya akan sangat terlihat oleh adanya kenaikan badai relative berwarna merah.
tinggi muka air laut di sekitar wilayah selatan Indonesia
yaitu wilayah pesisir Selatan Jawa.
5
a b c
d e a.1
b.1 c.1
Gambar 5. Akumulasi fase kekuatan badai berdasarkan Storm Track Intensity (STI) satelit geostasioner-polar (Himawari-GOES
NOAA) pada tanggal 06 - 10 April 2017 (a, a.1) Citra satelit storm relative 00.00 UTC (b, b.1) Citra satelit storm relative 00.00 UTC
(c, c.1) Citra satelit storm relative 00.00 UTC (d) Citra satelit storm relative 00.00 UTC (e) Citra satelit storm relative 00.00 UTC
pembentukan siklon maka berpengaruh terhadap sistem
Kapasitas panas yang terkandung di dalam intensitas angin yang terus menerus
lautan menimbulkan intensitas badai berdasarkan Storm
Track Intensity menunjukkan fase pembentukan di mengembang menjadi kecepatan angin yang tinggi.
wilayah selatan Indonesia khususnya pada wilayah Selain itu pengaruh lain yang ditimbulkan adalah
selatan pulau Jawa terlihat kontur distribusi potensi pembangki energi gelombang laut tinggi terbentuk
storm relatif berwarna merah-ungu dengan eye disekitar wilayah pusat dan berpropagasi menuju lautan
berwarna putih yang mengindikasikan struktur dinamika dangkal serta wilayah pesisir. Identifikasi kekuatan
atmosfer sangat tidak stabil dan dominan menyebabkan angin siklon tropis pada tanggal 09 April 2017
updraft yang kuat namun shearline di sekitar wilayah berdasarkan Storm Track Intensity menunjukkan
sangat lemah. Hal ini di tunjukkan dengan adanya suhu bergerak menjauhi wilayah selatan Jawa. Namun,
yang berada di wilayah terjadinya siklon tropis Ernie intensitas kekuatan angin yang dihasilkan masih kuat
berkisar – dan masih terdapatnya eye siklon ditengah-tengah.
30 sampai -40 derajat mengindikasikan adanya Citra satelit 00.00 UTC (a) menunjukkan pola pusaran
pertumbuhan awan cumulonimbus yang berkembang dengan karakteristik pembawa massa udara dari
menjadi siklon tropis namun masih memiliki skala kecil wilayah utara Jawa menuju pusat siklon. Kondisi ekor
dan intensitas kekuatan angin siklon masih berada di sekitar wilayah selatan Jawa
yang kuat. Fase pembentukan diawali dengan yang mengindikasikan bahwa kekuatan masih besar di
pergerakan menuju arah barat dan disertai dengan wilayah tersebut. Pusat siklon tropis Ernie mulai
membawa massa udara dari utara pulau Bali. Dipicu menunjukkan pelemahan dan kekuatan angin yang
oleh gaya corioli pada wilayah belahan bumi selatan. dihasilkan semakin berkurang. Hal ini terlihat dari
Citra satelit storm relative pada tanggal 08 April 2017 perubahan warna kontur sekitar siklon menjadi orange
jam 00.00 UTC mennjukkan pembentukan siklon tropis dan mata siklon mulai memudar.
masih berada tepat di bawah selatan Pulau Jawa.
Pergerakan posisi siklon tropis Ernie pada tanggal 09 3.3. Fase Intensitas Kekuatan Badai Siklon
April 2017 jam 00.00 UTC mengindikasikan pergerakan Berdasarkan Wind Track Intensity Satelit
ke arah barat dan dominan membawa massa udara. Hal Geostasioner-Polar (Himawari-GOES NOAA)
ini ditunjukkan dengan adanya kontur massa berwarna saat Siklon Tropis Ernie pada tanggal 06 April
ungu dari wilayah selatan Bali. Hal ini menimbulkan 2017 – 11 April 2017
penyebab yang sangat signifikan terhadap
pembentukan pola sirkulasi angin di wilayah pusat siklon
dimana dengan adanya uap air dari proses evaporasi
dari lautan dapat meningkatkan energi terhadap
pembentukan siklon tropis. Dengan adanya peningkatan
6
propagasi angin belum terlalu signifikan terhadap
pembentukan kenaikan upwelling siklonik pada
permukaan laut dan permukaan turbulen Ekman pump
yang sangat berpengaruh terhadap kendali proses
propagasi gelombang pada shallow water. Identifikasi
selanjutnya pada Wind Track Intensity (WTI)
menunjukkan mata (eye) siklon tropis berkembang
menjadi lebih luas dengan kecepatan angin
teridentifikasi masih sama sebesar 35 m/s atau 70 knots
dengan kecepatan angin pada sekitar ekor sebesar 10
m/s atau 20 knots dengan pergerakan posisi pusat
siklon mengakah kearah barat. Kondisi siklon pada
tanggal 07 April 2017 jam 00.00 UTC menunjukkan
Gambar 6. Skema propagasi arah dan kecepatan angin dalam peningkatan kecepatan angin dengan intensitas
pembentukan energi gelombang badai serta gelombang laut di kenaikan sebesar 50 m/s atau 100 knots serta pada
wilayah Selatan Selatan Jawa (Tropical Cyclone Chapter 5 wilayah sekitar siklon mengalami peningkatan sebesar
WMO, 2016). 35 m/s atau 70 knots.
Menurut WMO, 2016 bahwa karakteristik propagasi
sistem angin pada pusat siklon akan berpengaruh
terhadap energi gelombang yang terbentuk di lautan.
Dimana sistem perputaran kecepatan angin bergantung
penuh pada kondisi gradien intensitas angin dan a
perbedaan vortisitas pada bumi belahan selatan dan
bumi belahan utara. Intensitas kecepatan angin yang
yang membentuk gelombang akan terjadi lag-time
(perlambatan waktu) dimana tidak selalu bersamaan
dengan wind stress.
a
Gambar 8. Fase kecepatan angin berdasarkan Wind Track
Intensity (STI) satelit geostasioner-polar (Himawari-GOES
NOAA) pada tanggal 8 - 10 April 2017 (a) Citra satelit wind
intensity 00.00 UTC (b) Citra satelit wind intensity 00.00 UTC
8
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
a b c
d e f
Gambar 10. (a) Kondisi rata-rata Water Level Elevation keluaran model ADCIRC-SWAN saat kejadian siklon tropis Ernie
pada tanggal 6 - 10 April 2017 jam 00.00 UTC (b) Kondisi Water Level Elevation pada jam 00.00 UTC (c) Kondisi Water
Level Elevation pada jam 12.00 UTC (d) Kondisi rata-rata Peak Surge pada tanggal 6-10 April 2017 jam 00.00 UTC (f)
Kondisi Peak Surge pada jam 12.00 UTC (f) Kondisi Peak Surge jam 18.00 UTC.
Keluaran model ADCIRC-SWAN untuk parameter centimeter. Secara fisis, kenaikan muka air laut di
kenaikan muka air laut (water elevation) wilayah tersebut dominan disebabkan propagasi dari
memperlihatkan bahwa di wilayah pesisir selatan kecepatan arus dan kecepatan angin fase awal
Selatan Jawa pada saat terjadinya siklon tropis Ernie pertumbuhan siklon.
pada fase awal pertumbuhan siklon menunjukkan sifat
propagasi gelombang hingga mengakibatkan kenaikan
muka air laut dengan kisaran nilai yang masuk ke
dalam pesisir selatan Selatan Jawa sebesar 0.1 m
hingga 0.3 m atau 10 cm hingga 30 cm dengan kontur
berwarna kebiruan. Di wilayah Prigi terlihat kondisi
kenaikan muka air laut sebesar 0.4 m atau 40 meter.
Kondisi awal ini disebabkan oleh siklon tropis yang
belum menguat pada intensitas kecepatan angin di
pusat siklon sehingga masih belum terlalu terdampak
terhadap wilayah pesisir. Selain itu kondisi kecepatan
arus (velocity) di wilayah pesisir dominasi dipengaruhi
Gambar 11. Grafik perbandingan parameter keluaran model
oleh adanya system angin baratan sehingga wind
ADCIRC-SWAN dan hasil observasi velocity di wilayah
stress membentuk propagasi gelombang tidak beratur pesisir selatan Jawa perbandingan keluaran model ADCIRC-
di wilayah tersebut berdasarkan World Meteorological SWAN dengan observasi Prigi.
Organization tahun 2016. Kondisi pada tanggal 8 April Kondisi angin dihitung kedalam rumus perhitungan
217 jam 00.00 UTC dominasi propagasi gelombang kecepatan arus dengan masukan data kondisi angin
lebih terlihat dari kondisi arus yang masuk ke pesisir, yang tercatat oleh stasiun otomatis Prigi. Hasil
dimana wilayah selatan Selatan Jawa mengalami perhitungan korelasi keluaran model ADCIRC-SWAN
kenaikan muka laut sebesar 0.2 m atau 20 cm. dan observasi AWS Prigi menghasilkan nilai sebesar
Menunjukkan bahwa kenaikan muka air laut sebesar 0.67. Untuk perhitungan RMSE sebesar 3 – 4 knots.
0.2 meter atau 20 cm. Kondisi selanjutnya kenaikan
muka air laut sebesar 0.3 meter atau 30 centimeter.
Sedangkan kondisi pada jam 00.00 UTC terlihat
kenaikan muka air laut sebesar 0.3 meter atau 30 cm.
Propagasi gelombang yang terjadi pada tanggal 8 April
2017 jam 00.00 UTC tidak terlalu. Secara fisis,
kenaikan muka air laut di wilayah tersebut dominan
disebabkan propagasi dari kecepatan arus dan
kecepatan angin fase awal pertumbuhan siklon.
Kondisi pada tanggal 09 April 2017 jam 00.00 UTC
dominasi propagasi gelombang lebih terlihat dari
kondisi arus yang masuk ke pesisir, dimana wilayah
selatan Selatan Jawa mengalami kenaikan muka laut
sebesar 0.2 m atau 20 cm. Kenaikan muka air laut Gambar 12. Grafik perbandingan parameter keluaran model
ADCIRC-SWAN dan hasil observasi velocity di wilayah
sebesar 0.2 meter atau 20 cm. Kondisi selanjutnya
pesisir selatan Jawa perbandingan keluaran model ADCIRC-
kenaikan muka air laut sebesar 0.3 meter atau 30 SWAN dengan observasi Pesisir Purworejo.
9
Perbandingan keluaran model ADCIRC-SWAN dan Korelasi Pierson pada kondisi pasang surut
observasi AWS pesisir Purworejo menunjukkan menghasilkan perbandingan keluaran model ADCIRC-
korelasi sebesar 0,65 serta RMSE sebesar 5- 7 knots. SWAN dan observasi pasang surut di wilayah Cilacap
Hasil yang didapatkan lebih rendah dikarenakan menunjukkan korelasi sebesar 0.823 dengan RMSE
kurangnya observasi terhadap arus sebenarnya. sebesar 15 cm. Pada wilayah Prigi menujukkan
perhitungan korelasi pierson sebesar 0.802 dengan
a RMSE sebesar 17 cm. Pola ini dikarenaka oleh adanya
pengaruh faktir lain saat siklon tropis yaitu aktifnya
gelombang kelvin dan pada inputan namelist ADCIRC
tidak terdapat inoutan paramterisasi lokal untuk
mengkuantifikasi pengaruh gelombang Kelvin yang
aktif.
4. Kesimpulan
Karakteristik siklon tropis Ernie tanggal 06 April 2017.
Angin yang dihasilkan oleh siklon tropis sebesar 95 –
110 knots pada pusat siklon dan pada ekor siklon
b
sebesar 25 – 35. Karakteristik ketinggian muka air laut
dan kondisi velocity serta verifikasi keluaran model
ADCIRC-SWAN. Hasil keluaran model ADCIRC-
SWAN menghasilkan karakteristik dari gelombang
badai yang terbentuk di wilayah pesisir Selatan Jawa
disebabkan oleh adanya propagasi gelombang laut
dalam. Dimana hasil kenaikan muka air laut unutk
wilayah Selatan Jawa sebesar 0.2 – 0.3 meter atau 20
– 30 cm. Karakteristik lain adalah pembentukan
Gambar 13. Grafik perbandingan parameter keluaran model kenaikan muka laut didukung dengan kondisi
ADCIRC-SWAN dan hasil observasi pasang surut di wilayah gelombang pada perairan dangkal dengan nilai
pesisir selatan Jawa (a) Perbandingan keluaran model gelombang sebesar 0.6 – 1.0 meter di wilayah dekat
ADCIRC-SWAN dengan observasi Pondokdadap (b) pesisir. Verifikasi hasil dari keluaran model ADCIRC-
Perbandingan keluaran model ADCIRC-SWAN dengan SWAN dengan data observasi pasang surut Prigi
observasi Prigi. menghasilkan korelasi 0.961 dengan nilai RMSE
sebesar 10 cm. Hasil verifikasi Pondokdadap sebesar
Waktu perbandingan pasang surut ADCIRC-SWAN 0.927 dengan nilai RMSE sebesar 8 cm. Berdasarkan
dan observasi dikarenakan keluaran model ADCIRC- hasil penelitian dan pembahasan dalam Bab IV,
SWAN disesuaikan dengan inputan data angin dan dengan nilai korelasi mencapai 0,8 – 0.9 antara
kondisi pasang surut konstituens. Perhitungan korelasi keluaran model ADCIRC-SWAN dan observasi, dan
Pierson pada kondisi pasang surut menghasilkan hasil analisis kondisi gelombang laut dan alun sehingga
perbandingan keluaran model ADCIRC-SWAN dan dapat disimpulkan bahwa gelombang tinggi saat siklon
observasi pasang surut di wilayah Pondokdadap tropis Ernie di wilayah Selatan Indonesia bagian dalam
menunjukkan korelasi sebesar 0.927 dengan RMSE secara dominan dapat mengakibatkan pengaruh
sebesar 8 cm. Pada wilayah Prigi menujukkan pembentukan kenaikan muka air laut di wilayah pesisir
perhitungan korelasi Pierson sebesar 0.961 dengan selain faktor gesekan bottom friction. Namun pada hasil
RMSE sebesar 10 cm. Hasil perhitungan tersebut nilai korelasi velocity keluaran model ADCIRC-SWAN
terdapat beberapa perlambatan waktu (lag-time), dan observasi AWS Prigi saat siklon tropis sebesar
namun tidak terlalu signifikan terhadap pengaruh 0.67 dan RMSE sebesar 3-4 knots. Selain itu, terdapat
keluaran model ADCIRC-SWAN. hubungan kejadian intensitas angin pada siklon tropis
dan kondisi interaksi bumi - lautan sehingga dapat
meningkatkan peluang terjadinya gelombang pasang.
Faktor angin untuk inputan data model ADCIRC-SWAN
cukup berpengaruh terhadap hasil keluaran model.
Selain itu faktor ketersediaan trajektori siklon tropis
yang akurat sangat berpengaruh terhadap kondisi naik
dan turunnya kenaikan muka air laut. Faktor koefisien
gesekan dasar laut sangat dominan berpengaruh
terhadap kondisi perairan dangkal. Selain itu
ketersediaan data pasang surut dan data coastal buoy
Gambar 4.1 Grafik perbandingan parameter keluaran model pengukuran gelombang laut sangat diperlukan untuk
ADCIRC-SWAN dan hasil observasi pasang surut di wilayah dilakukan metode verifikasi yang lebih baik dan
pesisir selatan Jawa (a) Perbandingan keluaran model dilakukan asimilasi dengan data observasi atau in-situ
ADCIRC-SWAN dengan observasi Cilacap agar menghasilkan keluaran model yang lebih akurat.
10
DAFTAR PUSTAKA
11
Tema 2 - Meteorologi dan Klimatologi di Wilayah Kepesisiran
12
Pemanfaatan Radar Cuaca Doppler C-Band untuk Analisis
Struktur dan Evolusi Siklon Tropis Cempaka
ABSTRAK
Kemampuan radar dalam mengukur kecepatan doppler mampu meningkatkan akurasi dan ketepatan waktu pengamatan siklon tropis.
Sebagian besar siklon tropis terbentuk pada lintang 10° - 20° dari ekuator dan jarang terbentuk pada lintang kurang dari 4° dari
ekuator. Oleh karena itu, sulit untuk menangkap pergerakan dan struktur siklon tropis yang terbentuk dekat wilayah Indonesia dengan
radar cuaca. Siklon tropis Cempaka merupakan siklon tropis pertama yang terdeteksi oleh radar cuaca Doppler di Indonesia dengan
jangkauan pengamatan maksimum radar sejauh 200 km. Fenomena langka tersebut terjadi pada tanggal 27 – 29 November 2017
dan siklon mulai terbentuk pada koordinat -9,6°LS dan 109,4°BT. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur dan evolusi
sistem siklon tropis Cempaka menggunakan radar cuaca C-Band. Radar cuaca menghasilkan rawdata dalam format .vol dan
selanjutnya diolah menjadi produk CMAX, VCUT, CAPPI V yang di-overlay dengan HWIND dan VIL. CMAX dan VCUT masing-
masing digunakan untuk menganalisis distribusi spasial dan irisan vertikal parameter reflectivity. CAPPI V yang di-overlay dengan
HWIND digunakan untuk menganalisis profil horizontal arah dan kecepatan angin, sedangkan produk VIL digunakan untuk
mengindikasikan potensi badai. Analisis terhadap distribusi spasial reflectivity menunjukkan bahwa fase matang siklon diamati pada
tanggal 27 November 2017 pukul 12.06 UTC, dengan reflectivity tertinggi mencapai 46 dBZ di sekitar dinding mata siklon. Analisis
profil vertikal reflectivity radar menunjukan bahwa fase awal pertumbuhan siklon tropis berupa kumpulan sel konvektif yang
berkembang dan menyatu menjadi sel yang lebih besar. Pada saat siklon memasuki fase matang, sel konvektif terus berkembang
dengan echo reflectivity 15 – 20 dBZ mencapai ketinggian 16 km, dan kembali meluruh pada saat siklon tropis memasuki fase punah.
Kecepatan angin maksimum pada ketinggian 0.5 km mencapai 60 knots. Nilai Vertically Integrated Liquid (VIL) dominan terpusat
pada area di sekitar dinding mata siklon dengan rentang nilai 0,1 – 5,16 mm.
ABSTRACT
The ability of radar on measuring doppler velocity could improve the accuracy and timeliness of tropical cyclone track and observation.
Most tropical cyclones form at latitude 10° - 20° from the equator and rarely at latitudes less than 4° from the equator. Therefore, it is
difficult to capture the movement and structure of tropical cyclones that form near the Indonesian territory using weather radar.
Cempaka tropical cyclone is the first tropical cyclone detected by Doppler weather radar in Indonesia with maximum radar observation
range of 200 km. This rare phenomenon started to occur on 27-29 November 2017 and began to form at -9.6° S and 109.4° E. This
study aims to analyze the structure and evolution of Cempaka tropical cyclone system using C-Band weather radar. Weather radar
produces rawdata in the .vol format and processed into various products such as CMAX, VCUT, CAPPI V overlaid with HWIND and
VIL. CMAX and VCUT are used to analyze the spatial distribution and vertical slices of the reflectivity parameter, respectively. CAPPI
V overlaid with HWIND are used to analyze the horizontal profile of wind speed and direction, while VIL is used to indicate severe
storms. Reflectivity analysis on the spatial distribution showed that the mature phase of the cyclone was observed on 27 November
2017 at 12.06 UTC, with the highest reflectivity reached up to 46 dBZ around the eye wall structure. Vertical profile analysis shows
that the initial phase of tropical cyclone growth is a collection of convective cells that develop and merge into larger cells. When the
cyclone enters the mature phase, the convective cell continues to develop with echo reflectivity 15-20 dBZ reaching a height of 16
km, and again decays when the tropical cyclone enters the extinct phase. Maximum wind speed reached up to 60 knots observed at
an altitude of 0.5 km. Vertically Integrated Liquid (VIL) value dominantly concentrated around the eye wall part of the cyclone system
with value range from 0.1 – 5.16 mm.
2. Metodologi
2.1. Data Penelitian
Tabel 1. Koordinat trayektori siklon tropis
Waktu Lintang Bujur Tekanan WG
2017-11-26 00Z -9.6 109.4 1003 45
2017-11-26 06Z -9.2 109.5 1003 45
2017-11-26 12Z -9.5 109.0 1005 40
2017-11-26 18Z -9.1 109.2 1004 40
2017-11-27 00Z -9.0 109.5 1005 40
2017-11-27 06Z -8.6 110.5 1004 40
2017-11-27 12Z -8.6 110.9 999 55
2017-11-27 18Z -8.4 111.3 998 55
2017-11-28 00Z -8.5 111.2 999 55
2017-11-28 06Z -8.7 111.0 998 55
2017-11-28 12Z -8.5 110.2 998 55
2017-11-28 18Z -9.4 111.0 999 55
2017-11-29 00Z -9.5 111.5 1000 55
2017-11-29 06Z -9.9 110.0 1003 45
Data yang digunakan dalam penelitian ini trayektori Siklon Tropis Cempaka didapatkan dari Badan
merupakan data pengamatan radar dari 26 – 28 Meteorologi Klimatologi dan Geofisika ditampilkan pada
November 2017 dalam format .vol yang diperoleh dari Tabel 1. Lintang merepresentasikan lokasi lintang, bujur
Subbidang Pengelolaan Citra Radar BMKG. Data merepresentasikan lokasi bujur, tekanan
tersebut didapatkan dari radar cuaca Baron polarisasi merepresentasikan informasi tekanan dalam satuan hPa,
tunggal dengan konfigurasi C-band. Radar tersebut WG merepresentasikan informasi angin kencang (wind
terletak di Yogyakarta pada koordinat 7°43’55” LS and gust) dalam satuan knots.
110° 21’ 14” BT. Data radar cuaca di Yogyakarta dikelola
oleh Stasiun Klimatologi Yogyakarta. Informasi terkait
14
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
2.1 Metode Penelitian sekitar depresi (rendah) di belahan bumi selatan (Prants
Data radar diproses menggunakan perangkat dkk., 2017). Gerakan tersebut diakibatkan oleh adanya
lunak pengolah data radar untuk mendapatkan informasi rotasi bumi yang membentuk gaya semu (apparent
lengkap mengenai struktur dan evolusi dari Siklon Tropis forces) yang disebut sebagai gaya corioli. Nilai reflectivity
Cempaka. Terdapat beberapa produk keluaran radar tertinggi dalam sistem siklon tersebut mencapai sekitar
yang digunakan dalam penelitian ini, seperti Column 45 - 50 dBZ.
Maximum (CMAX) untuk mendapatkan informasi Bentuk menyerupai siklon mulai diamati pada
distribusi spasial nilai reflectivity, Vertical Integrated tanggal 27 November 2017 pukul 00.17 UTC. Sebaran
Liquid (VIL) untuk mengestimasi potensi badai, Constant nilai reflectivity tertinggi diamati di sekitar struktur yang
Altitude Plan Position Indicator (CAPPI) V yang di-overlay menyerupai dinding mata dengan nilai reflectivity
dengan HWIND ketinggian 500 m untuk mengetahui mencapai 46 dBZ. Formasi tersebut kemudian
profil angin horizontal, dan Vertical Cut (VCUT) untuk membentuk fase siklon yang matang pada tanggal 27
menampilkan profi vertikal dari awan sebagai bagian November 2017 pukul 12.06 UTC, digambarkan oleh
utama dari sistem siklon. telah terbentuknya struktur yang lengkap dari sebuah
sistem siklon. Nilai reflectivity tertinggi diamati di sekitar
3. Hasil dan Pembahasan\ struktur dinding mata dengan nilai reflectivity mencapai
3.1. Distribusi Spasial Nilai Reflectivity 46 dBZ. Nilai reflectivity tertinggi kedua diamati pada
Gambar 1 menunjukkan distribusi spasial dari struktur pita utama dengan kisaran nilai reflectivity antara
reflectivity pada 26 November 2017 (00.17 UTC), 27 30 - 40 dBZ. Nilai reflectivity tertinggi ketiga diamati di
November 2017 (00.17 UTC), 27 November (12.17 UTC), sekitar pita sekunder (secondary band) dengan kisaran
dan 28 November 2017 (23.55 UTC). Nilai reflectivity nilai reflectivity antara 25-40 dBZ. Sistem siklon tersebut
lebih atau sama dengan 38 dBZ umumnya menunjukan mulai memasuki tahap disipasi atau punah pada tanggal
adanya awan konvektif yang menyebabkan hujan 27 November 2017 pukul 23.00 UTC, kemudian punah
dengan intensitas tinggi (Gamache dan Houze, 1982), secara keseluruhan pada tanggal 28 November 2017
sedangkan nilai reflectivity 30 dBZ terkait dengan adanya pukul 23.55 UTC.
awan stratiform yang menyebabkan hujan dengan Meskipun siklon Cempaka tidak sepenuhnya
intensitas rendah (Matyas, 2009). Analisis radar dalam berada dalam fase stabil (steady state), dalam kaitannya
waktu tersebut mencakup fase puncak dari sistem siklon dengan struktur siklon selama periode waktu penelitian.
dan menunjukkan bagaimana sel konvektif tersusun Siklon Tropis Cempaka dikategorikan sebagai non-
dalam struktur bidang presipitasi pada siklon Cempaka. steady structure karena secara kontinyu menghasilkan
Analisis pada distribusi spasial sistem siklon sel badai dan menyebar ke beberapa daerah di Jawa.
menunjukkan bahwa fase pembentukan siklon terjadi Jenis dari struktur siklon yang tidak stabil ini (not-steady-
pada 26 November 2017 pukul 00.17 UTC (Gambar 1a.). structure) juga diamati dalam penelitian McCaul dkk.
Sistem siklon tersebut diamati bergerak mendekati (2004) yang menjadikan evolusi temporal dari citra radar
bagian paling selatan pulau Jawa dengan gerakan dalam penelitian mereka menjadi subjek utama.
searah jarum jam. Rotasi searah jarum jam ditemukan di
12.06Z 23.55Z
A B
Gambar 1. Distribusi spasial nilai reflectivity pada tanggal 26 November 2017 pukul 00.17 UTC (a), 27 November 2017 pukul 00.17
UTC (b), 27 November 2017 pukul 12.06 UTC (c), dan 28 November 2017 pukul 23.55 UTC (d). Label A, B, dan C hanya
digambarkan pada fase matang pembentukan siklon. Label A menunjukkan struktur dinding mata, label B menunjukkan struktur dari
pita utama (principal band), dan label C menunjukkan struktur pita sekunder (secondary band)
15
a 26 Nov 2017
3.2. Analisis Penampang Vertikal dari Struktur 00.17Z
Dinding Mata Siklon Cempaka
16
27 Nov 2017 dalam sistem siklon tersebut adalah 20 knot,
a
11.58Z sedangkan kecepatan angin maksimumnya mencapai
65 knot. Menurut Zakir (2010), siklon tropis terjadi
ketika kecepatan angin maksimum mencapai 34 knot.
Bayong (2000) menyatakan bahwa kecepatan angin
meningkat hingga 34 knot sampai 64 knot ketika
depresi tropis mulai berubah menjadi sistem siklon
tropis. Kecepatan angin akan dapat meningkat lebih
dari 64 knot ketika sistem badai berevolusi menjadi
sistem siklon tropis.
18
4. Kesimpulan Greene, D. R., dan Clark, R. A. 1972. Vertically integrated
Siklon Cempaka memasuki fase matang pada liquid water—A new analysis tool. Monthly Weather
tanggal 27 November 2017 pukul 12.06 UTC yang Review, 100(7), 548-552.
digambarkan melalui kelengkapan struktur sistem Ishihara, M., Yanagisawa, Z., Sakakibara, H., Matsuura, K.,
dan Aoyagi, J., 1986. Structure of a typhoon rainband
siklon. Nilai reflectivity tertinggi diamati di sekitar observed by two Doppler radar. J. Meteor. Soc. Japan,
struktur dinding mata siklon. Dalam penelitian ini, nilai Vol. 64 pp. 923-938.
reflectivity di sekitar dinding mata siklon mencapai 46 Jorgensen, D. P. 1982. The organization and structure of
dBZ. Analisis pada nilai ketinggian puncak badai hurricane convective bands with application to
menunjukkan bahwa ketinggian sel konvektif yang NEXRAD. Proc. NEXRAD Doppler Radar
membentuk sistem siklon berkisar antara 5-18 km. Symp./Wokshop, P. S. Ray and K. Colbert, Eds.,
Analisis produk HWIND menunjukkan bahwa Norman, OK, Cooperative Institute for Mesosclae
kecepatan angin minimum di atas wilayah siklon adalah Meteorological Studies,University of Oklohoma, pp. 67
20 knot, sedangkan kecepatan maksimum dalam – 81.
Kitzmiller, D. H., McGovern, W. E., dan Saffle, R.E. 1995. The
sistem tersebut dapat mencapai 65 knot. Analisis VIL WSR-88D Severe Weather Potential Algorithm. J. of
menunjukkan nilai tertinggi pada struktur dinding mata Weather and Forecasting, Vol. 10 pp. 141-159.
siklon dan luasan spiral pita hujan (rainband), baik di Krapivin, V. H., C. Nitu, dan A. Dumitrascu. 2011. Carbon
pita utama (primary band) maupun sekunder Cycle and Climate, Int. Conference CSCS18, vol.2, pg.
(secondary band). Namun nilai tersebut tidak 145-148 ISSN 2066-4451, 25May, Bucuresti.
menunjukkan adanya potensi badai parah pada sikon Krapivin, V.F. dan Shutko, A.M. 2012. Information
tropis Cempaka. Hal tersebut dapat terjadi karena Technologies for Remote Monitoring of the
karena pengambilan sampel volume sel siklon yang environment. Springer/Praxis, Chichester U.K. 498 pp.
tidak lengkap, output VIL dari persamaan relasi Z – M Kristianto, A., Saragih, I. J. A., Larasati, G., dan Akib, K. 2018.
Identifikasi Kejadian Hujan Es Menggunakan Citra
klasik yang masih underestimate, serta adanya potensi Radar dan Satelit Cuaca. Prosiding Pertemuan Ilmiah
pelemahan sinyal radar akibat lokasi yang jauh antara Tahunan-Riset Kebencanaan Ke-5. Mei 2018
radar cuaca dan siklon tropis Cempaka. Leary, C. A., dan Houze Jr, R. A. 1979. The structure and
evolution of convection in a tropical cloud cluster.
DAFTAR PUSTAKA Journal of the Atmospheric Sciences, 36(3), 437-457.
Austin, P. M. dan Bemis, A. C. 1950. A quantitative study of Marks, F. D. dan Houze, R. A. 1987. Inner core structure of
the “bright band” in radar precipitation echoes. J. of hurricane Alicia from Airborne Doppler radar
Meteorology, vol. 7, pp. 145-151. observation. J. of the Atmospheric sciences, vol. 44,
Barnes, G.M., Zipser, E.J., Jorgensen, D.P., dan Marks Jr., no. 9, pp. 1296-1317.
F.D. 1983. Mesoscale and convective structure of a Matyas, C. J. 2009. A spatial analysis of radar reflectivity
hurricane rainband. J. Atm. Sci., Vol. 40 pp. 2125-2137. regions within Hurricane Charley (2004). Journal of
Barnes, G. M., Gamache, J. F., LeMone, M. A., dan Applied Meteorology and Climatology, 48(1), 130-
Stossmeister, G. J. 1991. A convective cell in a 142.Maynard, R. H. 1945. Radar and Weather. J.
hurricane rainband. Monthly weather review, 119(3), Meteor. vol. 2, pp. 214-226.
776-794. Maynard, R. H. 1945. Radar and Weather. J. Meteor. vol. 2,
Bayong, T. H. K. 1999. The impact of tropical of tropical storm pp. 214-226.
on the weather over Indonesia. The second McCaul, E. W., Buechler, D. E., Goodman, S. J., dan
International Conference on Science and Technology, Cammarata, M. 2004. Doppler radar and lightning
BPPT, Jakarta. network observation of a severe outbreak of tropical
Bayong, T. H. K. 2000. Pengantar Geosains, Bandung: cyclone tornadoes. Monthly Wea. Review, vol. 132, pp.
Institut Teknologi Bandung. 1747-1763.
Bayong, T. H. K. 2012. Meteorologi Indonesia Volume II, Neiburger, M., James, G. E., dan Willian D.B. 1995.
Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Memahami Lingkungan Atmosfer Kita. Bandung:
Bayong, T. H. K. dan Musa, A. M. 2000. Seasonal rainfall Institut Teknologi Bandung.
variation over monsoonal areas. JTM, vol. 7, pp. 215- Nitu, C., Dumitrascu, A., Krapivin, V.F., Soldatov, V.Y.,
221. Varotsos, C.A. and Cracknell, A.P., 2013, May. An
Baynton, H. W. 1979. The case for Doppler radars along our effective tool for the tropical cyclones monitoring.
hurricane affected coasts. Bull. Amer. Meteor. Soc., vol. In 2013 19th International Conference on Control
60, pp. 1014-1023. Systems and Computer Science (pp. 276-280). IEEE.
Callaghan, J. dan Power, S.B. 2011. Variability and decline in Powell, M. D. 1988. Boundary layer structure and dynamics
the number of severe tropical cyclones making land- in outer hurricane rainbands. Doctoral dissertation,
fall over eastern Australia since the late nineteenth Florida State University, Tallahassee, p. 227.
century. Climate Dynamics. Vol 37. No.3-4 pp. 647- Prants, S. V., Uleysky, M. Y., dan Budyansky, M. V. 2017.
662. Lagrangian Oceanography: Large scale transport and
Cunningham, R. M. 1947. A different explanation of the ‘bright micing in the ocean. Switzerland: Springer
line’. J. of Meteorology, vol. 4, P. 163. International Publishing.
Elsner, J. B., Jagger, T. H., dan Hodges, R. E. 2010. Daily Ryde, J. W. 1946. The attenuation and radar echoes
tropical cyclone intensity response to solar ultraviolet produced at centimeter wave-lengths by various
radiation. Geophysical Research Letters. Vol. 37, meteorological phenomena. Report of a conference on
L09701, doi:10.1029/2010GL043091. Meteorological factors in radio-wave propagation held
Gamache, J.F. dan Houze Jr., R.A. 1982. Mesoscale air in 8 April 1946 at the Royal Institution, London.
motions associated with a tropical squall line. Published by The Physical Society.
American Meteorologi Society, vol. 110, pp 118-135, SELEX. 2013. Software Manual Rainbow 5 Product &
1982. Algorithms, Germany: SELEX SIGmbH.
19
Soldatov, V.Yu., Nitu, C., dan Krapivin, V.F. 2011.
Information-modeling technology for the operative
diagnostics of the ocean-atmosphere system. The
Scientific Bulletin of Electrical Engineering Faculty,
Valahia University of Targoviste, Romania. 2011. No.2.
pp. 82-89.
Wexler, H. 1947. Structure of hurricanes as determined by
radar. Ann. N. Y. Acad. Sci., vol. 48, pp. 821-844.
Wood, V. T. dan R. A. Brown. 1992. Effects of radar proximity
on single-Doppler velocity signatures of axisymmetric
rotation and divergence. Mon. Wea. Rev., vol. 120, pp.
2798-2807.
Wood, V. T. 1994. A technique for detecting a tropical cyclone
center using a Doppler radar. J. of Atmos. and Oceanic
Technology, vol. 11, pp. 1207-1216.
Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah, M. K. 2010. Perspektif
Operasional Cuaca Tropis, Jakarta: BMKG.
Zipser, E., A. Betts, F. Ruggiero, dan B. Hinton. 1990.
Tropical Meteorology: Panel report. Radar
inMeteorology, D. Atlas, Ed., Amer. Meteor. Soc., pp.
426 – 432.
20
Mascarene High Pressure Terhadap Anomali Gelombang Tinggi
dan Arus Maksimum di Wilayah Pesisir Selatan Indonesia
Ejha Larasati Siadaria, Widada Sulistyab, Nelly Florida Riamac, Khafid Rizki Pratamad,
Usman Effendie
a,b,c,d Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Kemayoran, Jakarta Pusat, Indonesia ; e-mail: ejhasiadari@gmail.com
e Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Tangerang Selatan, Indonesia
ABSTRAK
Gelombang signifikan di Indonesia mencapai puncaknya bersamaan dengan aktifnya monsun Asia dan Australia pada bulan DJF dan
JJA. Salah satu faktor tersebut disebabkan oleh adanya pola Mascarene High Pressure di lintang menegah Australia dengan
propagasi vektor angin maksimum dominan menuju wilayah low pressure di Lintang Utara serta di imbangin dengan aktifnya monsun
Australia.. Penelitian ini mengkaji variabilitas gelombang tinggi dan arus laut di wilayah Samudera Hindia Selatan pada musim JJA
saat pola Mascarene High Pressure aktif. Gelombang tinggi yang terbentuk oleh adanya propagasi fully developed-sea dan swell
panjang hingga pesisir barat sehingga menyebabkan pengaruh gelombang laut dangkal hingga pesisir selatan Jawa. Variabilitas
gelombang yang terjadi pada bulan Juli dominan berkisar 4 – 6 meter. Kondisi variasi anomali gelombang tinggi dipengaruhi adanya
kecepatan arus oleh angin maksimum menuju pola eddy yang terdapat di wilayah pesisir barat Indonesia sehingga meningkatkan
pengaruh intrusi propagasi gelombang maksimum hingga pesisir Selatan Jawa dengan koefisien korelasi terhadap kejadian respon
gelombang tinggi dari model WaveWatch-3 sebesar 0,4 – 0,6 dan tinggi gelombang maksimum hingga 7 meter.
ABSTRACT
Significant waves in Indonesia peaked with the active participation of the Asian and Australian monsoons in the months of the DJF and
JJA. One of these factors is caused by the presence of the Mascarene High Pressure pattern in the middle of Australia with the propagation
of the dominant maximum wind vector towards the low pressure region in North Latitude and balanced with the active monsoon Australia.
This study examines high wave variability and ocean currents in the Indian Ocean region South in the JJA season when the Mascarene High
Pressure pattern is active. The high waves formed by the propagation of fully developed-sea and long swell to the west coast caused the
influence of shallow sea waves to the southern coast of Java. Waves variability that occurs in July is dominant in the range of 4- 6 meters.
The condition of high wave anomaly variation is influenced by the current velocity by maximum wind towards the eddy pattern found in
the West Coast region of Indonesia, thus increasing the influence of maximum wave propagation intrusion to the southern coast of Java
with a correlation coefficient for the occurrence of high wave response of WaveWatch-3 model of 0.4 - 0.6 and maximum wave height
of up to 7 meters.
22
Gambar 3. Pola Mascarene High dari MSL Weather Chart (a)
Kondisi pada saat tanggal 11 Juni 2018 (b) Kondisi pada saat Gambar 4. Pola Mascarene High dari MSL Weather Chart
tanggal 14 Juni 2018 (c) Kondisi pada saat tanggal 17 Juni (a) Kondisi pada saat tanggal 21 Juni 2018 (b) Kondisi pada
2018 (d) Kondisi pada saat tanggal 20 Juni 2018 saat tanggal 24 Juni 2018 (c) Kondisi pada saat tanggal 27
Juni 2018 (d) Kondisi pada saat tanggal 30 Juni 2018
Faktor tekanan MSL terlihat ketika kontur tekanan udara rendah di wilayah utara. Hal ini
tekanan di wilayah Australia menunjukkan rentang nilai menyebabkan kondisi Mascarene High maksimum
1025 mb. Wilayah ini merupakan wilayah dengan berkurang pada periode dasarian 2 dengan ketinggian
tekanan tinggi dan sering mengalami fluktuasi densitas gelombang laut maksimum berkisar 5-6 meter di sekitar
tekanan udara di laut. Sehingga membuat pola tekanan wilayah Perairan Yogyakarta.
tinggi Mascarene High yang terbentuk semakin
membuat pola vektor angin semakin kencang. Selain
itu pola angin yang terbentuk di sekitar wilayah tersebut
berdampak pada kondisi arus maksimum dengan rata-
rata diatas 40-50 cm/s. Berdasarkan pada hasil analisis
weather chart synoptic dua pola tekanan tinggi di
Australia dan di wilayah Samudera Hindia bergerak ke
arah Timur dengan propagasi terpengaruh oleh
Gambar 5. Anomali Suhu Muka Laut Global Projection/NOAA dalam bulan Juni 2018.
23
Kondisi sistem Mascarene High aktif udara dari dataran Australi mengalami surplus udara
dipengaruhi oleh adanya sistem tekanan udara di kering dengan cangkupan secara kontinyu melewati
wilayah utara India. Pola ini membawa massa udara wilayah tropis Indonesia tanpa uap air.
basah menuju wilayah India dengan diperkuat oleh Menyebabkan tidak terjadi hujan namun rambatan
adanya siklus Somalia Jets dari dataran Afrika. angin yang terbentuk lebih memiliki intensitas di atas
Kontur suhu muka air laut menjadi lebih dingin dan rata-rata. Pola pertemuan Mascarene High dan pola
kondis bumi belahan utara mengalami pemanasan tekanan tinggi Australia yang menimbulkan secara
sehingga sistem bergerak ke wilayah utara (Morioka langsung pola angin menuju pesisir Jawa bagian
dkk, 2010). Selatan. Gesekan pada permukaan laut
Sea SurfaceTemperature (SST) memiliki mempengaruhi sistem gerakan arus Ekman dalam
dua pola siklus diurnal dalam bulan Juni 2018 yang laut dan pembentukan gelombang (developed sea)
dingin yaitu dataran Australia dan Perairan hingga perairan dangkal (shallow water).
Samudera bagian Barat. Sebagian siklus massa
a b
a b
a b
a b
Gambar 6. Citra Satelit Vektor Angin Sentinel OSI-
SAF (a) Kondisi pada saat tanggal 10 Juni 2018 (b)
Gambar 7. Citra Satelit Vektor Angin Sentinel OSI-
Kondisi pada saat tanggal 15 Juni 2018. SAF (a) Kondisi pada saat tanggal 20 Juni 2018 (b)
Kondisi pada saat tanggal 30 Juni 2018
Pola vektor angin berdasarkan pengamatan Hindia. Hal ini yang menyebabkan adanya arus
satelit Sentinel dari OSI SAF Wind Product secara Real- maksimum yang tidak dibelokkan. Arus permukaan
Time menunjukkan wilayah sekitar Samudera Hindia yang muncul dengan kecepatan maksimum dapt
dekat dengan Perairan selatan Jawa memiliki dilihat dalam gambar arus secara bulanan Gambar
keceoatan angin diatas 20 m/s atau 40 knots. Hal ini 3.9. Sekitar wilayah selatan jawa terdapat pola arus
berpotensi terhadap fenomena banjir pesisir di maksimum yang menjalar sepanjang pesisir selatan
wilayah Selatan Jawa. Inundasi yang terbentuk bukan jawa. Dengan arah arus maksimum dari wilayah
disebabkan oleh adanya badai di sekitar lautan namun utara Australia menuju wilayah barat.
disebabkan oleh adanya kekuatan angin dari pola Kondisi tersebut dapat di tinjau dari kondisi
Mascarene High yang membawa massa udara kering gelombang signifikan dimana ketinggian rata-rata
menuju wilayah Bagian Bumi Utara. yang terbentuk di sekitar wilayah pesisir jawa sekitar 2
Kondisi dasarian 2 dan 4 memperlihatkan – 3 meter selama bulan Juni 2018. Kondisi tersebut
kesamaan pola vektor angin akibat dari Mascarene melemah seiring dengan melemahnya pola Mascarene
High dimana pola yang terbentuk terdapat kecepatan High di wilayah Samudera Hindia karena memasuki
angin maksimum di wilayah tengah Samudera masa transisi musim kemarau di Indonesia.
24
Gambar 8. Gelombang laut signifikan (SWH) wilayah Gambar 11. Pola arus maksimum pada bulan Juni 2018
Indonesia pada bulan Juni 2018 berdasarkan keluaran berdasarkan keluaran model FVCOM-HYCOM/Ina-FLOWS
model WaveWatch 3. parameterisasi default.
Kondisi pola gelombang maksimum Gambar
3.8 menunjukkan rentang ketinggian gelombang di
wilayah tersebut berkisar 5-7 meter dan mendekati
wilayah pesisir dengan ketinggian 4-5 meter. Hal
tersebut sejalan dengan kondisi vektor angin keluaran
WaveWatch 3 dimana kecepatan rata-rata angin
sekitar 15-20 knots.
4. Kesimpulan
Kondisi Mascarene High sangat berpengaruh
terhadap kondisi gelombang dan arus di wilayah
Pesisir Selatan Jawa. Dengan ketinggian rata-rata
gelombang signifikan sebesar 2-3 meter dan
gelombang maksimum sebesar 5-7 meter. Hal
tersebut sangat rentan terhadap kondisi wilayah
pesisir selatan Jawa dapat mengakibatkan resiko
bencana banjir pesisir. Dari pola arus maksimum
didapatkan rentang kecepatan di wilayah pesisir
Selatan Jawa berkisar dari 20 – 50 cm/s yang dapat
dikategorikan sebagai kondisi anomali arus
maksimum oleh pola Mascarene High. Selain itu
ketersediaan data pasang surut dan data coastal
buoy pengukuran gelombang laut sangat diperlukan
untuk dilakukan metode verifikasi yang lebih baik
untuk mengindentifikasi kondisi inundasi yang
diperkiraan masuk ke wilayah pesisir.
DAFTAR PUSTAKA
Bureau of Meteorology, Australia Government, MSLP
Gambar 9. Kondisi angin vektor (a) berdasarkan keluaran
Analysis,
model WaveWatch 3 dengan input model angin GFS (b) Citra
http://www.bom.gov.au/cgibin/charts/charts.view.
Satelit WindSAT Algoritm.
pl?idcode=IDX0033&file=
IDX0033.201806080000.gif. Diakses pada 17
Juni 2019
Collins, M., 2000, The El Niño Southern Oscillation in the
Second Hadley Centre Coupled Model and Its
Response to Greenhouse Warming, Bracknell.
Diposaptono, S., Budiman, dan Agung, F., 2009,
Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir
dan Pulau - pulau Kecil, Buku Ilmiah Popoler,
Bogor.
Morioka, Y., T. Tozuka, and T. Yamagata, 2010: Climate
vari- ability in the southern Indian Ocean as
revealed by self- organizing maps. Climate Dyn.,
Gambar 10. Kondisi gelombang maksimum pada bulan Juni 35, 1059– 1072, doi:10.1007/ s00382-010-0843-
2018 berdasarkan keluaran model WaveWatch 3 dengan x.
ketentuan dua kali lebih tinggi dari kondisi Gelombang Laut Saputri, D.F., 2009, Kajian Runup dan Genangan Rob di
Pesisir Jakarta Utara yang disebabkan Pasang
Signifikan (SWH)
25
Surut (Studi Kasus: 24 - 27 November 2007),
Tugas Akhir, Program Studi Oseanografi, Institut
Teknologi Bandung.
SRT, 2007, Shuttle Radar Topographic Mission X
SAR/SRTM.
WMO Severe Weather Forecasting Demonstration
Project, 2018. NCEP Contributions to the WMO
Severe Weather Forecasting Demonstration
Project (SWFDP) and to the African Monsoon
Multidisciplinary Analysis (AMMA) Initiative.
NOAA
26
Pemetaan Batimetri dan Analisis Pasangsurut Untuk
Perencanaan Dermaga di Pulau Yeben, Kecamatan Maeos
Mansar, Kabupaten Raja Ampat Papua Barat
Erik Febriartaa , Septian Vienastrab
aJurusan Teknik Kelautan, Fakultas Sumber Daya Alam, Institut Teknologi Yogyakarta; e.febriarta@gmail.com
bJurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Minieral, Institut Sains dan Teknologi AKPRIND; vienastra@akprind.ac.id
ABSTRAK
Pulau Yeben merupakan salah satu tujuan baru wisata di kepulauan Raja Ampat. Daya tarik wisata di pulau ini antara adalah
keindahan pulau dengan pasir putih dan perairan dangkal dengan keanekaragaman terumbu karang dan habitat ikan karang. Akses
menuju Pulau Yeben adalah dengan transportasi laut (kapal). Kondisi perairan di Pulau Yeben memiliki morfologi dangkal. Atas
kondisi tersebut perlu diketahuinya data kedalaman dan analisis komponen pasang surut sebagai referensi dan pertimbangan untuk
evaluasi perencanaan dermaga di perairan Pulau Yeben. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan kajian untuk perencanaan
dermaga kedatangan kapal yang merupakan pintu akses utama transportasi menuju Pulau Yeben. Penelitian ini dilakukan pada
tanggal 29 September-15 Oktober 2014. Pengambilan data batimetri menggunakan instrumen pemeruman dengan singlebeam
echosounder dan pengukuran pasang surut di lokasi rencana pembangunan dermaga. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode kuantitatif. Hasil penelitian menghasilkan kondisi dasar laut di Utara Pulau Yeben 40 -70 m merupakan pasir pantai. Radius
50- 70 m keluar dari garis pantai banyak dijumpai batu terumbu dan terumbu karang. Tipe pasang surut di Pulau Yeben memiliki
karakteristik campuran, pasang didominasi semi- diurnal (harian tunggal). Kondisi rata-rata tinggi muka air laut (MSL) adalah 0,67 m.
Pasang tertinggi adalah 1,37 meter pada tanggal 9 Oktober 2014 dan surut terendah adalah 0,231 m. Nilai elevasi lantai dermaga
adalah + 2,15 m dengan nilai MSL sebagai titik referensi. Panjang dermaga yang aman untuk satu buah kapal terbesar LOA 44, 68
m adalah 57,616 m dan kedalaman perairan aman didepan dermaga adalah 4 m untuk kapasitas draf kapal sedang.
Kata kunci: batimetri; pasang surut; pasang tertinggi; pemeruman; echosounder; dermaga; Raja Ampat
ABSTRACT
Yeben Island is one of the new tourist destinations in Raja Ampat islands. A beautiful island with white sand and shallow waters with
diverse coral reefs and reef fish habitats are its main attractions. The island is accessible by sea transportation (ship) and has shallow
marine morphology. Based on these conditions, depth information and analysis of tidal components become necessary as they can
provide a reference and consideration for evaluating the dock planning in the waters of Yeben Island. This research aimed to analyze
the plan of the ship arrival dock as the main access door to the island. It was carried out from September 29 to October 15, 2014.
The bathymetry data were collected using a single beam echo sounder, while the tide was measured at the site planned for the dock
construction. The quantitative data analysis revealed that the seafloor 40-70 m north of Yeben Island was composed of beach sand,
while 50-70 m outside the coastline were corals and coral reefs. The tides had mixed characteristics with a prevalent semi-diurnal
tidal type (single high and low water daily). The mean sea level (MSL) was 0.67 m. The highest tide was 1.37 m (on October 9, 2014),
and the lowest ebb was 0.231 m. The safe height of the dock is 2.15 m higher than the reference point, i.e., MSL. The safe dock
length for the largest ship, the 44.68m LOA, was 57.616 m, and the safe depth of the waters in front of the dock is 4 m to be able to
accommodate vessels with moderate draft capacity.
Keywords: bathymetry, tide, highest tide, sounding, echosounder, dock, Raja Ampat
27
fungsi sebagai simpul yang memungkinkan perpindahan
barang maupun penumpang. Lokasi pulau tersebut
berada di sekitar kepulauan Raja Ampat yang mulai
banyak dikembangkan sebagai tempat wisata pantai dan
laut. Fungsi utama kapal-kapal dapat berlabuh dan
bersandar untuk kemudian melakukan bongkar muat
dan/atau penerusan ke daerah lainnya (Simbolon, 2014).
Pemetaan dasar laut untuk perencanaan dermaga
pelabuhan merupakan salah satu langkah perencanaan
insfrastruktur yang strategis, dimana kondisi batimetri
perairan merupakan hal yang sangat penting dalam
hubungannya dengan pemanfaatan ruang di pantai
(Rampengan, 2009). Pengukuran batimetri merupakan
proses pengambaran dasar perairan (Poerbandono dan
Djunarsjah, 2005) dengan analisis pasang surut dimana
akan mendapatkan kondisi ideal untuk perencanaan
dermaga pelabuhan.
Penelitian ini bertujuan menganalisis kondisi Gambar 1. Prinsip echosounder pengukuran dasar laut
dinamika pasang surut dilihat dari kondisi morfologi dasar (Febriarta, E., dkk. 2018)
pantai yang dangkal. Analisis tipe pasang surut yang
Rute jalur pengukura_n batimetri laut di sebagian
terjadi digunakan untuk perencanaan dasar dermaga
pelabuhan di Pulau Yeben dimana pulau tersebut Pulau Yeben dengan menggunakan rute zig-zag di
sekitar Pulau Yeben dengan lintasan terjauh dari garis
merupakan kawasan wisata strategis di kepualuan Raja
pantai adalah 200 meter. Hasil dari pengukuran tersebut
Ampat, kabupaten Papua Barat.
tersimpan memori penyimpanan echo sounder.
Hasil dari pengukuran kedalaman air laut
2. Metodologi
Lokasi kajian pemetaan batimetri dan analisis (batimetri) adalah tanggal dan waktu pengukuran, titik
koordinat kedalaman, kedalaman air laut (mdpl) dan
pasang surut berada di timur laut dimana lokasi tersebut
suhu air laut (°C). Untuk kalibrasi data tinggi muka air laut
memiliki dasar perairan dengan material pasir dan
menggunakan data Datum WGS 1984. Datum WGS
dikelilingi substrat dasar berupa material pasir. Pulau
1984 merupakan referensi untuk sistem tinggi ortometris
Yeben memiliki luas 572.402 m2. Lokasi
global digunakan untuk merepresentasikan informasi
ketinggian atau kedalaman. Data tersebut olah dengan
2.1. Kedalaman Perairan (Batimetri)
program SIG (Sistem Informasi Geografi) dengan
Pengukuran kedalaman dasar laut disekitar Pulau
Yeben menggunakan echo sounder singlebeam. proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator). Data
pengukuran kedalaman tersebut diproyeksikan dalam
Instrumen ini mencatat koordinat atau lokasi dan
setiap titik dengan nilai kedalaman (-mdpal). Data titik
kedalaman dasar laut (meter). Prinsip dari echo sounder
kedalaman air laut diekstrapolasi dengan skala 1:10.000
adalah gelombang pantul yang dihasilkan dari instrumen
(Gambar 2).
transduser. Instrumen tersebut memancarkan dan
membangkitkan gelombang suara pada frekuensi
tertentu ke kolom perairan. Gelombang suara tersebut
melintasi air hingga membentur obyek baik di kolom air
maupun dasar laut kemudian gelombang suara tersebut
dipantulkan kembali untuk diterima oleh echo sounder
(Gambar 1). Berdasarkan fungsi tersebut dapat
digunakan untuk mengukur kedalaman air dengan
mengirimkan tekanan gelombang dari permukaan ke
dasar air dan dicatat waktunya sampai echo kembali dari
dasar air (Febriarta, E., dkk, 2018).
2.3. Penentuan Elevasi Lantai Dermaga DWL : Design Water Level (Elevasi Muka Air Rencana)
Elevasi muka air rencana didasarkan pada pasang Tinggi Jagaan : 1,0 m – 2,0 m
surut dan kenaikan muka air laut. Pasang surut 2.4. Penentuan Panjang Dermaga
menggunakan beberapa elevasi muka air, yaitu MHWL Pemberian jarak sebesar 10 % kali dari panjang
(Mean High Water Level dan LLWL (Low Lowest Water kapal terbesar yang menggunakan dermaga dilakukan
Level), sedangkan kenaikan muka air laut (Sea Level apabila dermaga digunakan oleh lebih dari satu
Rise) diakibatkan oleh pemanasan global. Triatmodjo tambatan kapal dan penambahan jarak diberikan di
(2010) memberikan persamaan untuk penentuan elevasi antara dua kapal. Biasanya kapal yang masuk ke
muka air rencana (DWL) sebagai berikut: pelabuhan terdiri dari banyak ukuran, maka dihitung
DWL = MHWL + SLR panjang kapal rerata yang berlabuh di pelabuhan (Yose
…………………………………(7) R. N., dkk, 2014).
dalam hal ini : Panjang dermaga yang digunakan untuk
DWL : Design Water Level (Elevasi Muka Air Rencana) merapat beberapa kapal didasarkan pada panjang kapal
MHWL : Mean High Water Level rerata. International Maritim Organization (1980),
SLR : Sea Level Rise (Kenaikan muka air laut akibat memberikan persamaan untuk menentukan panjang
pemanasan global). dermaga, seperti persamaan sebagai berikut ini :
Sedangkan untuk menentukan elevasi lantai dermaga Lp = NLOA + (n + 1) x 10% x Loa ……………..(9)
dihitung dengan persamaan sebagai berikut: dengan :
Elevasi Lantai Dermaga = DWL + Tinggi Jagaan……(8) Lp : panjang dermaga
dalam hal ini : LOA : panjang kapal yang ditambat
n : jumlah kapal
29
3. Hasil dan Pembahasan Selatan Pulau Yeben merupakan Laut Terbuka dengan
3.1. Batimetri Di Sekitar Pulau Yeben efek dari Gelombang Laut Seram dan Laut Halmahera
Berdasarkan pengukuran kedalaman dasar laut sehingga gelombang yang dihasilkan lebih banyak dan
dengan intrumen echo sounder diketahui kedalaman laut ombak yang relatif tinggi (Amri, C.H. dkk, 1990). Hasil
disekitar Pulau Yeben memiliki variasi kedalaman 75 pengukuran batimetri disajikan pada Gambar 3.
meter dengan radius 200 meter dari garis pantai. Karakteristik dasar laut di Utara Pulau Yeben 40
Menurut Amri, C.H. dkk, (1990), karakteristik perairan di meter hingga 70 meter merupakan pasir pantai. Radius
sekitar pulau Yeben pembentukkanya dipengaruhi oleh 50- 70 meter keluar dari garis pantai banyak dijumpai
pengangkatan struktural oleh lempeng pasif secara batu terumbu dan terumbu karaang. Di bagian Utara
minor. Pulau Yeben banyak ditemukan patahan di dasar laut
Berdasarkan hasil pengukuran kedalaman laut dengan jarak ±100 meter (Gambar 4) dengan morfologi
diperairan Yeben diketahui bagian Utara merupakan tipe dasar laut berupa jurang jurang minor atau palung minor
lautan tertutup. Laut tertutup merupakan daerah perairan laut. Sedangkan karakteristik dasar laut di Selatan Pulau
dengan yang relatif tenang karena berada di Selat Yeben relatif konstan dengan penurunan dasar laut yang
Dampier dan tidak berhadapan dengan Laut lepas atau relatif stabil.
Samudera (Rositasari, R., 2002). Sedangkan di sisi
Berdasarkan pengukuran kedalaman dasar laut daerah litoral dan daerah neritik. Daerah litoral adalah
dijumpai batu karang memanjang Barat- Timur di radius daerah yang langsung berbatasan dengan darat
±90 meter dari garis pantai. Sehingga radius ±0-90 (Suharsono, 2011). Menurut Suharsono (2011) kondisi
meter dasar laut dan pasir laut dari garis pantai relatif radiasi matahari, variasi temperatur dan salinitas
dinamis bergerak mengikuti pergerakan dan arah mempunyai pengaruh yang lebih berarti untuk daerah ini
gelombang laut karena barisan batukarang merupakan dibandingkan dengan daerah laut lainnya. Biota yang
kawasan pecah gelombang. Pasir pantai di Sebelah hidup di Pulau Yeben antara lain: ganggang yang hidup
Selatan Pulau Yeben memiliki luas yang relatif lebih luas sebagai bentos, teripang, binatang laut, udang, kepiting,
karena efek dari proses litoral tersebut. Kedalaman dasar dan ikan terumbu. Sedangkan daerah Nneritik
laut 0-90 meter dari garis pantai menirun dari kedalaman merupakan daerah laut yang tembus cahaya sehingga
0.7 meter hingga 1,2 meter (Gambar 5.). Kedalaman dasar laut terlihat secara visual pancaindra. Daerah
dasar laut lebih dari 90 meter menunjukan kedalaman Neritik merupakan daerah laut dangkal, daerah ini masih
dengan variasi 12 meter hingga 22 meter. dapat ditembus cahaya sampai ke dasar, kedalaman
Pengangkatan Pulau Yeben mengakibatkan dasar daerah ini dapat mencapai 200 m. Biota yang hidup di
laut yang terangkat memasuki zona litoral atau daerah daerah ini adalah plankton, nekton, neston dan bentos
dengan pengaruh pasang surut dan daerah neritik. yang merupakan sumber makan bagi ikan karang, ikan
Perairan Pulau Yeben memiliki 2 ekosistem laut yaitu dangkal dan ikan perairan dalam.
30
Gambar 4. Profil melintang dasar laut di Utara Pulau Yeben.
3.2. Dinamika Pasang Surut dilindungi paralon. Cara kerja instrument ini mencatat
Pasang-surut (pasut) merupakan salah satu gejala tinggi air laut berdasarkan nilai tekanan (k.Pa) yang
alam yang tampak nyata di laut, yakni suatu gerakan tercatat secara otomatis.
vertikal (naik turunnya air laut secara teratur dan Lokasi pemasangan pemantauan pasang surut
berulang-ulang) dari seluruh partikel massa air laut dari berada di koordinat X: 65075, Y; 994666 berjarak 32,3
permukaan sampai bagian terdalam dari dasar laut meter dari garis pantai di bagian utara dari pulau Yeben
(Rositasari, R. 2002). berjarak 100 m dengan kedalaman pada saat
Menurut Rositasari, R. (2002) gerakan tersebut pemasangan 0,42 meter pada tangal 29 September
disebabkan oleh pengaruh gravitasi antara bumi dan 2014. Pencatatan pertama dimulai pada pukul 10.00
bulan, bumi dan matahari, atau bumi dengan bulan dan WITA pada tanggal 29 September 2014. Pengamatan
matahari. Pemantauan pasang surut di Pulau Yeben berlangsung selama 12 hari dengan pembulatan hari
dilakukan pada tanggal 29 September hingga 10 Oktober prediksi pengamatan dengan metode untuk menguraikan
2014. Instrumen pencatatan yang digunakan adalah komponen-komponen pasang surut adalah kwadran
logger water level atau instrumen pencatat tinggi muka terkecil. Data hasil dari pengamatan pasang surut dapat
air (permukaan air laut) dengan interval 1jam (Gambar dilihat pada Tabel 2.
5). Instrumen tersebut dipasang di dasar laut dengan
31
Gambar 5. Lokasi pengukuran pasang-surut
Tabel 2. Dinamika Pasang surut di Pulau Yeben (Pukul 12.00-23.00 WITA) (lanjutan)
Hari Tanggal Jam @
# 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00 21:00 22:00 23:00
1 29-Sep-14 0.324 0.358 0.478 0.670 0.881 1.045 1.130 1.150 1.079 0.877 0.675 0.507
2 30-Sep-14 0.375 0.401 0.465 0.623 0.762 0.955 1.060 1.118 1.083 0.968 0.824 0.656
3 1-Oct-14 0.436 0.439 0.458 0.529 0.654 0.784 0.931 1.018 1.007 0.970 0.895 0.773
4 2-Oct-14 0.491 0.453 0.496 0.518 0.590 0.667 0.765 0.801 0.892 0.930 0.912 0.840
5 3-Oct-14 0.552 0.542 0.581 0.558 0.575 0.623 0.673 0.718 0.788 0.862 0.907 0.896
6 4-Oct-14 0.672 0.688 0.706 0.687 0.670 0.625 0.572 0.555 0.621 0.680 0.796 0.868
7 5-Oct-14 0.690 0.786 0.829 0.814 0.750 0.657 0.583 0.514 0.478 0.518 0.614 0.762
8 6-Oct-14 0.668 0.829 0.952 0.966 0.939 0.792 0.656 0.503 0.418 0.369 0.387 0.532
9 7-Oct-14 0.614 0.772 1.055 1.056 1.156 0.942 0.752 0.629 0.409 0.308 0.287 0.402
10 8-Oct-14 0.504 0.762 0.997 1.180 1.224 1.179 0.951 0.734 0.486 0.341 0.248 0.273
11 9-Oct-14 0.452 0.671 0.909 1.150 1.355 1.324 1.135 0.867 0.597 0.393 0.266 0.231
12 10-Oct-14 0.364 0.612 0.997 1.180 1.224 1.179 0.951 0.734 0.486 0.341 0.248 0.273
Sumber : Perhitungan , 2014
Tabel 3. Surut Terendah dan Pasang Tertinggi di Pulau Yeben
Pasang Surut P.Yeben Minimun Maximum
Tanggal WaterLevel Tanggal WaterLevel
Observasi 9-Oct-14 23:00 0.231 9-Oct-14 16:00 1.355
Kalkulasi(Prediksi) 9-Oct-14 23:00 0.194 9-Oct-14 16:00 1.231
obs - calc 10-Oct-14 14:00 -0.138 10-Oct-14 18:00 0.147
Sumber : Perhitungan (metode kwadran terkecil), 2014
32
Keterangan : No observasi (n) : 288
No parameter (u) : 19
Redundan (r=n-u) : 269
Standar Deviation : 0.047 meter
Berdasarkan hasil analisis selisih nilai pasang surut adalah 1,124 m dengan pendekatan nilai observasi
sedangkan dengan pendekatan nilai prediksi menunjukkan nilai 1,221m. Selisih nilai observasi dan prediksi sebesar
0,138m. Nilai tersebut memiliki simpangan yang relatif kecil, sehingga nilai tersebut ideal untuk digunakan untuk
mengitung komponen pasang surut dengan nilai kwadran. Berdasarkan pendekatan perhitungan kwadran terkecil
diketahui kondisi rata-rata tinggi muka air laut (MSL) adalah 0,67 meter (Gambar 6). Pasang tertinggi adalah 1,37 meter
pada tanggal 9 Oktober 2014 dan surut terendah adalah 0,231 meter. Analisi komponen pasang surut adalah parameter
amplitude dan beda fase dari masing-masing komponen dapat dilihat pada Tabel 4.
Berdasarkan perhitungan kwadran terkecil air pasang dalam 1 hari dengan perbedaan yag besar
diperoleh nilai amplitudo dari masing-masing komponen pada tinggi dan waktu yang berbeda seperti yang
pasang surut maka dapat ditentukan tipe pasang surut ditunjukan grafik pasang surut (Gambar 6).
yang terjadi pada lokasi, yaitu dengan melakukan
perhitungan formzall (F). Besarnya nilai formzall (F) di 3.3. Elevasi dan Panjang Lantai Dermaga
Pulau Yeben adalah 0,42 sehingga disimpulkan bahwa Perhitungan nilai elevasi diperoleh dari
pasang surut di Pulau Yeben memiliki karakteristik perhitungan pasang surut. Parameter yang digunakan
Campuran, pasang didominasi semi- diurnal (harian antara lain nilai DWL (Design Water Level) dengan
tunggal). Karakteristik campuran yaitu dalam 1 hari penambahan tinggi 1,5 m., sehingga nilai yang diperoleh
terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut dengan elevasi dasar dermaga adalah + 2,15 m dengan nilai
ketinggian yang berbeda. Kadang-kadang terjadi 2 kali MSL sebagai titik referensi.
air pasang ketinggian yang berbeda. Kadang terjadi 2 kali
33
Kedalaman yang dibutuhkan untuk kawasan di Seminar Nasional IV Pengelolaan Pesisir dan Daerah
depan dermaga agar mencukupi kapasitas dan Aliran Sungai. 2018. Fakultas Geografi.Vol V (210-214)
karaktersitik kapal adalah 4 meter. Berdasarkan hasil Gross, G.M. 1993. Oseanografi. Sixth Edition. Prentice Hall,
kedalaman yang didapat, kedalaman perairan di depan Inc. New Jersey
Hanifah, A., Hariadi., Subarjo P., dan Trenggono M., 2016.
dermaga yang sesuai dengan karakteristik kapal, Pemetaan Batimetri Dan Analisis Komponen Pasng
kedalaman yang dibutuhkan dimana pada jarak 240 Surut Untuk Evaluasi Perbaikan Elevasi Dan Panjang
meter kedalaman perairan berada pada kedalaman Lantai Dermaga Di Perairan Pulau Lirang Maluku Barat
sekitar ±4 meter. Panjang dermaga yang direncanakan Daya. Jurnal Oseanografi. Vol 5 No.4 (573-579)
dengan karakteristik kapal kecil hingga sedang dengan Hoek, F., Muhfizar, Simau, S., Muruwaky, M.A., Ulat, A.M.,
bobot 1.300 Gross Tonage, panjang Lenght Ovel All Arafah, A. Potensi Sumberdaya Udang Penaeid Di
(Loa) 44 m, lebar (breadth) 1.200 m dan draf 3,6 m. Perairan Aru Bagian Timur Sub Wilayah Aru dan
Berdasarkan hasil analsisis diketahui bahwa Sekitarnya-III. Jurnal Airaha. Vol.4. No.1 (18-26)
panjang dermaga yang diperlukan atau kebutuhan Pinet, P.R., 1992. Oceanography, An Introduction to The Planet
Oceanus. West Publishing Company. United States of
panjang dermaga untuk memaksimalkan ukuran tersebut America. Rampengan, R.M., 2011. Konstanta Harmonik
adalah 57,161 m. Rencana disain dermaga di Pulau Pasang Surut Perairan Teluk Totok, Sulawesi Utara.
Yeben berada di Utara dari pulau. Berdasarkan hasil Pacific Journal, Dewan Riset Daerah Provinsi Sulawesi
analisis elevasi dasar didepan pelabuhan adalah 4 meter Utara. Vol. 2 No. 6
dan panjang dermaga ideal adalah 57, 616 dengan Rositasari, R. 2002. Beberapa Aspek Dasar yang Perlu
karakteristik draf kapal sedang. Dengan adanya Diagendakan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir di
perencanaan dermaga di daerah kawasan yang ramai Indonesia. Oseana XXVII (3): 19-27.
akan pengunjung wisata dapat meningkatkan potensi Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Edisi Revisi. Jakarta. Penerbit
wisata disekitar Raja Ampat. Djambatan.
Supriadi A., Widada S., Setiyono H. 2014. Pemetaan Batimetri
untuk Alur Pelayaran Pelabuhan Penyebrangan
4. Kesimpulan Mororejo Kabupaten Kendal. Jurnal Oseanografi. Vol 3.
Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis No2 (284-293)
dapat disimpulkan sebagai berikut: Suharsono. 2011. Pertumbuhan Karang. Puslitbang LIP.
1. Tipe pasang surut di Pulau Yeben memiliki Jakarta.
karakteristik campuran, pasang didominasi semi- Schureman, P., 1988. Manual of Harmonic Analysis and
diurnal (harian tunggal). Prediction of Tides. U.S. Department of Commerce,
2. Kondisi rata-rata tinggi muka air laut (MSL) adalah Coast and Geodetic Survey. Washington, united States.
0,67 m. Soeroso, 1989. Cara memperoleh Konstanta Pasang
Surut.Dalam. Pasang Surut.Penyunting : O.S.R.
3. Pasang tertinggi adalah 1,37 meter pada tanggal 9
Ongkosongo dan Suyarso. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Oktober 2014 dan surut terendah adalah 0,231 m. Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan
4. Nilai elevasi lantai dermaga adalah + 2,15 m dengan Oseanologi. Jakarta.
nilai MSL sebagai titik referensi. Soeprapto. 1999. Survei Hidrografi. Gajah Mada University
5. Panjang dermaga yang aman untuk satu buah kapal press, Yogyakarta.
terbesar LOA 44, 68 m adalah 57,616 m. Triatmodjo, B. 1999. Pelabuhan. Beta offshet, Yogyakarta.
6. kedalaman perairan aman didepan dermaga adalah Yose R. N., Nugraha L. A., Subiyanto. S., 2014. Analisis
4 m untuk kapasitas draf kapal sedang. Pengukuran Batimetri Dan Pasang SUrut Untuk
Menentukan Kedalaman Kolam Pelabuhan. Jurnal
Geodesi UNDIP, Vol 3. No.4
DAFTAR PUSTAKA Warpani SP, Warpani IP. 2007. Pariwisata dalam Tata Ruang
Amri, C.H., Sanyoto, P., Hamonangan, B., Supriatna, S.,
Wilayah. Bandung (ID): ITB
Simanjuntak, W., Pieters, P.E., 1990. Peta Geologi
Lembar Sorong, Irian Jaya. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi.
Anzari, R., Hartoni, Surbakti, H. 2017. Pemetaan Batimetri
Menggunakan Metode Akustik DI Muara Sungai Lumpur
Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera
Selatan. Jurna Maspari. Vol.9 No.2 (77-84)
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2006. Standar Nasional
Indonesia (SNI) Survei Hidrografi menggunakan
Singlebeam Echosounder. BSN. Cibinong.
Badan Standarisasi Nasional (BSN).2016. Metode pengukuran
kedalaman menggunakan alat perum gema untuk
menghasilkan peta batimetri SNI 8282
.2016.BSN.Jakarta.
Febriarta, E., Vienastra S., dan Rosaji C.S.F., 2018. Identifikasi
Kapasitas Embung Tambakboyo Yogyakarta. Prosiding
34
Tema 3 - Kebencanaan di Wilayah Kepesisiran dan DAS
35
Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Ekowisata Pantai
Kategori Rekreasi Pantai Kuwaru Kabupaten Bantul Yogyakarta
Agustina Setyaningruma, dan Erik Febriartab,
aTeknik Kelautan, Fakultas Sumber Daya Alam, Institut Teknologi Yogyakarta; e-mail: agustina678@ity.ac.id
bTeknik Kelautan, Fakultas Sumber Daya Alam, Institut Teknologi Yogyakarta; e-mail : e.febriarta@gmail.com
ABSTRAK
Kegiatan pariwisata di Pantai Kuwaru mengalami puncak kejayaan antara taun 2010 hingga 2012. Paca tahun 2012, kegiatan
pariwisata di Pantai Kuwaru mulai meredup dan bahkan cenderung hampir mati. Salah satu penyebab adalah adanya ancaman
abrasi yang mengikis bibir pantai hingga kurang lebih 250 meter dari posisi di tahun 1999. Kondisi tersebut menyebabkan banyak
bangunan rusak dan ditinggalkan, yang menyebabkan pemandangan yang tidak nyaman untuk sebuah lokasi wisata. Atas kondisi
tersebut, untuk mengetahui potensi ekowisata pada tahun sekarang (2019) perlu dilakukan pendekatan analisis kesesuaian wisata
pantai. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan kajian untuk kesesuaian dan daya dukung untuk ekowisata pantai dengan
kategori rekreasi di pantai Kuwaru. Metode yang digunakan dalam penentuan kesesuaian kawasan berdasarkan perkalian skor dan
bobot yang diperoleh dari setiap paremeter, antara lain: kedalaman, tipe pantai, lebar pantai, kecerahan, kecepatan arus, material
dasar perairan, dan ketersediaan air tawar. Berdasarkan hasil penelitian ini potensi yang diketahui adalah 52,0% S1 (sesuai) dengan
daya dukung ideal kawasan kategori ekowisata rekreasi sebesar 86 orang/hari. Berdasarkan hasil tersebut, saat ini pantai Kuwaru
masih dapat dijadikan ekowisata rekreasi unggulan di Kabupaten Bantul.
Kata kunci: Ekowisata pantai daya dukung kawasan; kesesuaian kawsa; pantai
ABSTRACT
Tourism activities on Kuwaru Beach experienced a peak from 2010 to 2012. Afterward, they began to fade and nearly collapsed. The
threat of abrasion persistently erodes the shoreline and has caused a retreat of approximately 250 m from its initial position in 1999.
As a result, many buildings are damaged and abandoned, giving an uncomfortable scenery to the tourist location. Referring to this
condition, the current ecotourism potential (in 2019) thereby needs to be identified, particularly using the coastal tourism suitability
analysis as an approach. This study intended to analyze the suitability and carrying capacity of the beach ecotourism for recreation
on Kuwaru Beach. The suitability was determined by multiplying the scores and weights of each parameter, namely depth, the type
and width of the beach, brightness, current velocity, seafloor material, and freshwater availability. The results showed that the potential
suitability for recreation was 52.0% Class S2 (suitable) with a carrying capacity of 86 people/day. As a conclusion, Kuwaru Beach can
still be developed as leading ecotourism for recreation in Bantul Regency.
36
pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan. Definisi kejayaan namun kini mengalami penurunan jumlah
ekowisata juga tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam wisatawan. Jumlah wisatawan dan retribusi pariwisata di
Negeri Nomor 33 Tahun 2009 tentang pedoman Pantai Kuwaru mengalami penurunan secara bertahap
pengembangan ekowisata di daerah, ekowisata sejak tahun 2011 hingga 2016(Putro & Setyaningrum,
didefinisikan sebagai kegiatan wisata alam di daerah 2017) . Dalam kajian yang dilakukan Santi (2015) serta
yang bertanggungjawab dengan memperhatikan unsur kajian selanjutnya oleh Putro dan Sertaningrum (2017)
pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha- menyebutkan abrasi terjadi di Pantai Kuwaru dan telah
usaha konservasi sumberdaya alam, serta peningkatan menyebabkan terkikisnya bibir pantai sejauh 250 ke arah
pendapatan masyarakat lokal. Didalam peraturan darat sejak tahun 2009 hingga 2016. Berdasarkan pada
tersebut, disebutkan prinsip-prinsip dalam kondisi tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah
pengembangan ekowisata yaitu: 1) kesesuaian antara untuk mengetahui kesesuaian ekowisata kategori
jenis dan karakteristik ekowisata, 2)konservasi, 3) rekreasi pantai serta menghitung daya dukung ekowisata
ekonomis, 4) edukasi, 5) memberikan kepuasan dan Pantai Kuwaru.
pengalaman kepada pengunjung, 6) partisipasi
masyarakat dan 7) menampung kearifan lokal. Berbagai 2. Metodologi
definisi tersebut mengarah pada kegaitan ekowisata Kajian ini dilaksanakan di Pantai Kuwaru,
berkaitan dengan lingkungan, peningkatan kesejahteraan Poncosari, Kecamatan Srandakan Bantul. Pengambilan
masyarakat lokal dan juga terdapat unsur edukasi data dilakukan melalui observasi dan pengukuran
didalamya. dilapangan. Data yang dikumpulkan meliputi data primer
Ekowisata bahari dalah aktivitas pariwisata minat dan data sekunder. Data primer yang diperlukan untuk
khusus yang berhubungan dengan kelautan yang menghitung nilai parameter kesesuaian wisata antara lain
aktivitasnya dapat dilakukan dibawah dan diatas : kedalaman perairan (m), tipe pantai, lebar pantai (m),
permukaan laut (Yulius, Rahmania & Kadarwati, 2018). material dasar perairan, kemiringan pantai, kecerahan
Ekowisata bahari mulai dikembangkan sebagai salah pantai, penutup lahan pantai, biota berbahaya dan
satu aktivitas pariwisata yang dapat menjaga ketersediaan air tawar(F Yulianda, 2007; Ferdinan
keberlanjutan sumber daya alam dan tidak merusak Yulianda et al., 2017) . Data primer tersebut diperoleh
lingkungan. dengan pengamatan dan pengukuran dilapangan (Yulius,
Yulius (2018), mengelompokkan kegiatan Rahmania & Kadarwati, 2018). Sedangkan data sekunder
ekowisata bahari menjadi dua kegiatan yaitu wisata untuk perhitungan parameter adalah kecepatan arus
pantai dan wisata bahari. Wisata pantai memiliki fokus (m/detik) menggunakan data sekunder yang diperoleh
pada kegiatan pemanfaatan sumberdaya pantai dan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
budaya masyarakat sedangkan wisata bahari didominasi (BMKG) tahun 2018 disekitar Provinsi D.I.Yogyakarta
dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya bawah laut (Geofisika, 2018).
dan dinamika air laut Yulianda, 2007 dalam Yulius et al., Analisis data menggunakan analisis data deskriptif
2018). Beberapa kategori kegiatan dalam ekowisata dan juga analisis Indeks Kesesuaian Wisata (IKW)
bahari adalah 1) rekreasi pantai, 2) ski air, 3) wisata (Maindo, Nur, & Oetama, 2019; F Yulianda, 2007). Indeks
selam, 4) wisata lamun, 5) wisata mangrove, 6)selancar Kesesuaian Wisata (IKW) utuk kesesuaian di Pantai
dan 7 wisata snorkeling. Setiap kategori aktivitas Kuwaru menggunakan metrik perhitungan pembobotan
ekowisata bahari tersebut memiliki parameter yang dapat dengan modifikasi dari (F Yulianda, 2007; Ferdinan
diukur kesesuaiannya (Yulius, Rahmania & Kadarwati, Yulianda et al., 2017; Yulius, Rahmania & Kadarwati,
2018). 2018). Parameter yang digunakan untuk mengukur
Pantai Kuwaru terletak di Kabupaten Bantul Daerah kesesuaian wisata bahari kategori pantai disajikan dalam
Istimewa Yogyakarta. Pantai ini pernah mengalami Tabel 1
.
Tabel 1. Parameter Kesesuian Wisata Bahari Kategori Pantai
No Parameter Bobot Kategori S1 Skor Kategori S2 Skor Kategori S3 Skor Kategori N Skor
1 Kedalaman perairan (m) 5 0-3 3 >3-6 2 >6-10 1 >10 0
Pasir hitam,
Pasir putih, sedikit Lumpur
2 Tipe pantai 5 Pasir putih 3 2 berkarang, 1 0
karang berbatu, terjal
sedikit terjal
3 Lebar pantai (m) 5 >15 3 10-15 2 3-<10 1 <3 0
Pasir
4 Material dasar perairan 3 Pasir 3 Karang berpasir 2 1 Lumpur 0
berlumpur
5 Kecepatan arus (m/det) 3 0-0.17 3 0.17-0.34 2 0.34-0.51 1 >0.51 0
6 Kemiringan pantai (0) 3 <10 3 10-25 2 >25-45 1 >45 0
7 Kecerahan peraian (%) 1 >10 3 >5-10 2 3-5 1 <2 0
Hutan bakau,
Kelapa, lahan Semak belukar,
8 Penutupan lahan pantai 1 3 2 Belukar tinggi 1 permukiman, 0
terbuka rendah, savana
pelabuhan
Bulu babi, ikan Bulu babi,
9 Biota berbahaya 1 Tidak ada 3 bulu babi 2 1 0
pari pari, lepu, hiu
Ketersediaan air tawar
10 1 <0.5 (km) 3 >0.5-1 (km) 2 >1-2 1 >2 0
(jarak x km)
Sumber : Yulianda et al., 2017
37
Indeks Kesesuaian Wisata (IKW) adalah indeks yang 3. Hasil dan Pembahasan
digunakan untuk menilai parameter kesesuaian suatu Pantai Kuwaru merupakan salah satu deretan jalur
kawasan wisata dibandingkan dengan nilai parameter obyek wisata pantai dan pesisir di jalan utama jalan
pada suatu kawasan wisata. Yulianda (2007)dalam samas di kabupaten Bantul. Lokasi ini berada ± 19 km
Yulianda (2017) rumus IKW disajikan pada rumus no (1). kearah selatan dari pusat kota D.I.Yogyakarta. Secara
Keterangan dari nilai Indeks Kesesuaian Wisata (IKW) umum wisata pesisir dan pantai disepanjang kabupaten
pada Tabel 1 adalah sebagai berikut: Bantul memiliki kemiringan pantai yang datar hingga
S1 : sangat sesuai (75-100%) landau dengan material pantai adalah pasir berwarna
S2 : sesuai (50-<75%) hitam. Pantai Kuwaru secara administrasi berada di Desa
S3 : sesuai bersyarat (25-<50%) Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul,
N : tidak sesuai (<25% dengan luas area pantai ± 55.500,923 m2 atau 0,055 km2
Nilai maksimal adalah 84. (Gambar 1). Lebar pantai kuwaru ± 483,3 m sedangkan
panjang pantai Kuwaru sangat dinamis, karena sangat
Rumus IKW = [∑(Ni/Nmaks] x 100% …………….(1) dipengaruhi oleh pergesaran garis pantai. Panjang pantai
Keterangan : diketahui rata-rata sepanjang 84 m.
IKW : Indeks Kesesuai Wisata Pengukuran dan pengamatan dilakukan pada
Ni : Nilai Parameter ke-I (Bobot x Skor) tanggal 23 Mei 2019 dengan 1 stasiun pengamatan.
Nmaks : Nilai Maksimum dari suatu kategori wisata Pengukuran dan pengamatan untuk kesesuaian pantai
kuwari menggunakan metode pengamatan 1 stasiun di
Yulianda (2007) dalam Yulianda et al (2017)
tengah-tengah kawasan Pantai Kuwaru. Lokasi
mendefinisikan analisis Daya Dukung Kawasan (DDK)
pengamatan berada di lokasi 414733; 91166625.
adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui jumlah
Penentuan 1 stasiun pengamatan didasarkan atas
pengunjung yang dapat ditampung oleh suatu kawasan
pengamatan visual dengan panjang pandang cakrawala
dalam waktu tertentu tanpa adanya gangguan pada alam
± 200 m kanan dan kiri pandangan mata tanpa halangan.
dan manusia. Rumus DDK disajikan pada rumus no (2).
3.1 Kedalaman Perairan
DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp
Parameter kedalaman perairan merupakan salah
……………………………(2)
satu aspek yang cukup penting dalam penentuan suatu
Keterangan :
kawasan wisata pantai. Secara pengamatan fisik
DDK : daya dukung kawasan
kedalaman perairan memiliki profil dangkal dan curam.
K : Potensi ekologis pengunjung per satuan
Sehingga jika dilihat untuk kesesuaian obyek rekresi
unit area
pantai hanya memiliki wilayah aman ±20 meter dari garis
Lp : Luas area atau panjang area yang dapat
pantai dengan nilia kedalaman > 2 m. Berdasarkan nilai
dimanfaatkan
kedalaman rata-rata perairan ±7m. Sehingga nilai
Lt : Unit area untuk kategori tertentu
tersebut masuk kedalam kategori S3. Karakter obyek
Wt : waktu yang disediakan oleh kawasan
wisata pantai dilihat dari kondisi dasar pantai yang curam
untuk kegiatan wisata dalam satu hari
dam relatif dalam, lebih dikembangkan sebagai obyek
Wp : waktu yang dihabiskan oleh pengunjung
wisata pesisir dimana area terbuka dalah kawasan betting
untuk setiap kegiatan tertentu
gisik hingga sampai garis pantai.
38
Gambar 1. Lokasi Pengukuran Pantai Kuwaru
3.4. Material Dasar Perairan
3.2. Tipe Pantai Material dasar perairan mempunyai korelasi
Pantai Kuwaru merupakan pantai dengan dengan nilai kecerahan pantai dimana semakin terang
material penyusun pasiran yang merupakan dari endapan warna dasar pantai maka semakin indah secara estetika
dari deposisi material pasir gunungapi Merapi yang lingkungan dan dapat tembuh cahaya hingga kedasar.
terbawa oleh aiiran sungai. Menurut Yulianda (2007) Untuk mengetahui material dasar perairan dilakukan
wisata pantai ideal adalah pantai yang berpasir atau dengan pengamatan langsung dilapangan secara visual.
dengan dominasi substrat pasir, dibandingkan dengan Pengamatan langsung dilakukan dengan cara melihat
pantai berbatu ataupun substrat karang. Pantai kuwaru dasar permukaan dari pantai, jika tidak terlihat sampai
memiliki dominasi pasiran dihampir seluruh obyek wisata dasar maka memiliki nilai yang kurang sesuai. Di Pantai
pantai. Berdasarkan nilai kesesuian termasuk S3 dengan Kuwari material dasar perairan adalah pasiran dengan
faktor pembobot warna pasir berwarna hitam, yang dominan substat dasar adalah pasir. Berdasarkan nilai
secara estetika warna hitam tidak lebih indah dari warna tersebut kesesuain material dasar peraian di Pantai
putih. Kuwaru adalah S3 (sesuai bersyarat).
Gambar 2. Pantai Kuwaru dengan substrat dasar pasiran 3.6. Kemiringan Pantai
Kemiringan pantai mempunyai hubungan dengan
3.3. Lebar Pantai kenyamanan para pengunjung disekitar pantai dan
Lebar pantai salah satu parameter kenyamanan pesisir. Kemiringan pantai juga mempengaruhi
pengunjung di kawasan wisata. Lebar pantai dapat keamanan pengunjung. Pengamatan dan pengukuran
diasumsikan juga seberapa luas wisatawan untuk kemiringan pantai dilakukan di stasiun pengamatan, dari
menjelajah area wisata. Lebar pantai juga meiliki garis pantai hingga daerah pasang tertinggi. Berdasarkan
hubungan dengan kemiringan pantai dimana jika pantai pengukuran dilapangan, nilai kemiringan panatai
semakin datar maka tingkat kenyamanan dan keamanan diperoleh nilai 17%. Nilai kemiringan pantai 10-25
lebih baik jika memiliki nilai yang curam (Yulianda, 2017). termasuk kedalam kategori S2 (sesuai).
Lebar Kuwaru adalah 488,3 m dimana nilai tersebut
masuk kategori S1 (sangat sesuai). 3.7. Kecerahan Perairan
Kecerahan perairan merupakan salah satu daya
tarik wisata pantai dimana tidak terlalu banyak material
padatan yang tesuspensi dan kekeruhan. Kondisi ini
39
dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya dimana ketersediaan air bersih dan air tawah cukup untuk
padatan tersuspensi, material pantai, kekeruhan, mencukup kebutuhan wisata maupun kegiatan
keadaan cuaca, tinggi gelombang dan waktu pengukran. pelelangan ikan. Berdasarkan nilai kesesuaian daya
Secara ideal pengukuran kecerahan perairan dilakukan dukung termasuk nilai S1 (sangat sesuai).
dengan diagram kecerahan atau secchi disk yang
ditenggelamkan kedasar perairan, tetapi di Pantai Kuwari
secara pengamatan visual sudah terlihat 3-5%. Nilai
kesesuain tersebut masuk kedalam kategori S3 (sesuai
bersyarat).
Nilai Indek kesesuaian wilayah ekowisata Pantai menunjukkan tingkat kelayakan Pantai Kuwaru masih
Kuwaru menujukkan nilai 52% (Tabel 2). Nilai tersebut layak menjadi tujuan ekowisata. Nilai 52% termasuk
40
kedalam kategori sesuai dengan faktor pemberat antara DAFTAR PUSTAKA
lain adalah arus yang relatif tinggi, kemunduran atau Domo, A. M., Zulkarnaini, Z., & Yoswaty, D. (2017). Analisis
pengurangan luas wilayah pantai diakibatkan oleh abrasi Kesesuaian dan Daya Dukung Kawasan Wisata Pantai
dan faktor alam substrat dasar berupa pasiran dengan (Studi Pantai Indah Sergang Laut di Pulau Singkep).
Dinamika Lingkungan Indonesia, 4(2), 109.
warna hitam. https://doi.org/10.31258/dli.4.2.p.109-116
Fandeli, C. M. (2000). Pengusahaan Pariwisata. Yogyakarta:
3.12. Analisis Daya Dukung Kawasan Gadjah Mada University Press.
Kegiatan ekowisata pantai diasumsikan bahwa setiap Geofisika, B. M. dan. (2018). Laporan Pasang surut dan Tinggi
orang membutuhkan panjang garis pantai 50m, Geombang musiman. Indonesia.
dikarenakan panjang atau lebar luasan tersebut para Hasnina Malasari Pasaribu, Pindi Patana, S. U. (2001). Analisis
pengunjung dapat melakukan aktivitas yang memerlukan Kesesuaian Dan Daya Dukung Wisata Pantai Binasi
ruang kegiatan berwisata (Yulianda, 2007). Berdasarkan Kecamatan Sorkam Barat Kabupaten Tapanuli Tengah.
hasil analisis data dukung kawasan ekowisata nilai Aquamarine, 1–34.
Maindo, A. S., Nur, A. I., & Oetama, D. (2019). Analisis Daya
potensi ekologis pengunjung per satuan unit area (K) Dukung Kawasan Wisata Pantai Walengkabola
adalah 1, nilai luas area (Lp) adalah 483,3 m, nilai unit Kabupaten Muna Dalam Mendukung Pariwisata
area untuk kategori wisata (Lt) adalah 50, nilai waktu Berkelanjutan [ Carrying Capacity Analilysis of The
kegiatan wisata (Wt) adalah 9 jam, dan nilai waktu yang Tourism Area of Walengkabola beach , Muna Regency in
dihabiskan pengunjung (Wp) rata-rata adalah 1 jam. Supporting sustainable Tourism ]. 4(2), 103–109.
Daya dukung ekowisata sangat penting untuk Putro, S. T., & Setyaningrum, A. (2017). DAYA DUKUNG
menjada suatu lingkungan secara berkelanjutan terhadap KEGIATAN PARIWISATA TERHADAP ANCAMAN
suatu ekowisata. Hasil analisis daya dukung kawasan ABRASI DI PANTAI KUWARU. Yogyakarta.
Pantai Kuwaru adalah 86 orang / hari. Nilai daya dukung Santi, P. A. (2015). Ecosystem Based Measures To Reduce The
Impact Of Coastal Erosion In Kuwaru Coastal Area.
kawasan Pantai Kuwaru cukup banyak berkurang nilai Yogyakarta.
daya dukungnya yang dipenagruhi oleh abrasi dan Society, T. I. E. (2015). Climate Change and Tourism.
pergersan garis pantai dan luasan pesisir pantai. Hal Washington.
tersebut mengurangi luasan area pantai sebagai World Tourism Organization. (2005). UNWTO Tourism
kawasan ekowisata rekreasi pantai. Dibandingkan Highlights (2005 Editi).
dengan jumlah pengunjung rata-rata yang dating ke https://doi.org/https://doi.org/10.18111/9789284411900
pantai Kuwaru berkisar 20 orang/hari, dapat disimpulkan Wunani, D., Sitti, N., Faizal, K. (2013). Kesesuaian Lahan dan
masih dapat menampung seluruh kegiatan wisata yang Daya Dukung Kawasan Wisata Pantai Botutonuo ,. Jurnal
dilakukan para pengunjung dengan baik tanpa melebihi Ilmiah Perikanan Dan Kelautan, 1(September), 89–94.
Yulianda, F. (2007). Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif
daya dukung kawasan wisata rekreasi pantai dan masih
Pemanfaatan
dapat dijaga kelesatraian lingkungannya. Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi Standar Sains
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas
4. Kesimpulan Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis dari Yulianda, Ferdinan, Samosir, A., Fachrudin, A., Adimu, H. E.,
penelitian ini menunjukkan nilai indek kesesuaian Febryane, A., & Muhidin. (2017). Daya Dukung
kawasan wisata Pantai Kuwaru sebesar 52 % atau S2 Lingkungan di Taman Nasional Kepulauan Seribu. Bogor:
(sesuai) dan mempunyai daya dukung kawasan Pantai Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan
Kuwaru sebesar 86 orang / hari. Faktor pemberat dalam Konservasi.
Yulius, Rahmania, & Kadarwati. (2018). Buku Panduan Kriteria
indek kesesuaian untuk kawasan pantai dengan kategori Penetapan Zona Ekowisata Ekowisata Bahari. Indonesia:
rekreasi adalah berkurangnya luas wilayah pantai kuwaru Pusat Riset Kelautan Badan Riset dan Sumber Daya
menjadi 483,3 m2 pada tahun 2019. Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan
dan Perikanan.
41
Pemanfaatan Data DEM dan Orthophoto Hasil UAV untuk
Pemodelan Tsunami di Wilayah Kepesisiran Baron dan
Sepanjang
Afif Ari Wibowoa, Muh Aris Marfaib, Widjo Kongkoc, Djati Mardiatnob, dan Amalia
Nurwijayantic
aMasterProgram MPPDAS, Fakultas Geografi UGM; e-mail: afifariw@gmail.com
bDepartemen Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM
cBTIPDP-BPPT
ABSTRAK
Fungsi Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dalam bidang geografi lebih kepada fungsi pemetaan, akusisi data foto udara, dan upaya
mitigasi bencana alam. Hasil dari UAV dapat berupa orthophoto dan data Digital Elevation Model (DEM) dengan resolusi tinggi. Salah
satu upaya mitigasi bencana yang memerlukan data dengan resolusi tinggi yaitu pemodelan bencana tsunami. Pemodelan tsunami
dengan TUNAMI N3 telah memperhitungkan kekasaran permukaan (roughness). Maka dari itu nilai roughness dalam pemodelan
tsunami akan dibedakan antara seragam (lahan terbuka) dan tidak seragam (sesuai kondisi penggunaan lahan). Pembagian tersebut
bertujuan untuk mengetahui pengaruh kekasaran permukaan dalam mereduksi energi tsunami. Data DEM juga dibedakan menjadi
tipe Digital Surface Model (DSM) dan Digital Terrain Model (DTM) karena DEM tipe DSM masih menganggap vegetasi dan bangunan
sebagai permukaan, sedangkan tipe DTM telah menggambarkan kofigurasi permukaan tanah sesuai kondisi di lapangan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengklasifikasikan nilai kekasaran permukaan dari orthophoto hasil UAV dan memodelkan potensi genangan
tsunami berdasarkan perbedaan tipe data DEM. Data orthophoto dan DEM hasil UAV memiliki resolusi yang detail yaitu sekitar 9 cm
dan 36 cm. Data tersebut jika dibandingkan dengan data yang tersedia saat ini seperti Citra Quickbird, DEM dari SRTM dan DEMNAS
nilai resolusinya masih jauh lebih besar. Data orthophoto dari UAV kemudian diturunkan menjadi data penggunaan lahan melalui
tahapan digitasi on screen. Data penggunaan lahan ini selanjutnya digunakan untuk melakukan klasifikasi kekasaran permukaan
(roughness) dalam pemodelan tsunami. Nilai koefisien kekasaran permukaan diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Chow (1959),
dimana hasil identifikasi menunjukkan penggunaan lahan hanya terbagi menjadi tubuh air, lahan terbuka, vegetasi, dan permukiman.
Hasil pemodelan menunjukkan luasan area genangan secara berurutan dari yang terendah yaitu data DSM (229.587 m²), DTM
dengan roughness tidak seragam (338.927 m²), dan DTM dengan rougness seragam (364.182 m²). Keadaan ini disebabkan oleh
bangunan dan pepohonan yang diperhitungkan dalam pemodelan mampu mereduksi energi tsunami.
ABSTRACT
The function of Unmanned Aerial Vehicle (UAV) in geographic is for mapping purposes, aerial photography, and disaster mitigation
efforts. Products of UAV are orthophoto and high resolution of Digital Elevation Model (DEM) data. One of disaster mitigation efforts
that requires high resolution data is tsunami disaster modeling. Tsunami modeling using TUNAMI N3 considered surface roughness.
Therefore, roughness value in tsunami modeling was divided into uniform (open field) and not uniform (in accordance with the existing
land use). This division aims to find out surface roughness effect in reducing the energy of tsunami. DEM data was also divided into
Digital Surface Model (DSM) and Digital Terrain Model (DTM). DSM considered vegetations and buildings as surface, while DTM
represented land surface roughness configuration according to reality. This research aims to classify surface roughness value based
on orthophoto and modeling the potential of tsunami inundation based on DEM data type. Orthophoto and DEM data from UAV have
high spatial resolution of 9 cm and 36 cm. These data have much better resolution than available data such as Quickbird image, DEM
of SRTM, and BATNAS. Orthophoto data of UAV was processed into land use data by on screen digitizing. Then land use data was
used to classify surface roughness in tsunami modeling. Surface roughness coefficient value was classified according to Chow
classification (1959), and the identification showed that land use was only divided into water bodies, open field, vegetation, and
settlement. Modeling result was represented inundation area from the smallest one was DSM (229,587 m²), then DTM with not uniform
surface roughness (338,928 m²), and the largest one was DTM with uniform surface roughness (364,182 m²). This condition was
caused by the ability to reduce tsunami energy of buildings and trees which had been considered in tsunami modeling.
46
Gambar 3. Data DEM tipe DTM Pesisir Baron hingga Gambar 4. Peta Inundasi Tsunami pada Data DSM
Sepanjang Sumber: Hasil Pemodelan Tsunami, 2019
Sumber: Olah Data, 2018
Nilai luasan area tergenang tertinggi pada
3.3. Pemodelan Tsunami skenario DTM dengan kekasaran permukaan seragam.
Skenario pemodelan tsunami ini dibedakan atas Skenario ini menganggap permukaan daratan area
data DEM yang digunakan, klasifikasi dan kekasaran terdampak tsunami sebagai daerah yang kosong atau
permukaan. Data DEM yang digunakan terdiri dari dua lahan terbuka tanpa adanya bangunan dan vegetasi,
tipe, yaitu DSM dan DTM. Skenario dengan data DSM sehingga energi tsunami lebih leluasa dalam
digunakan untuk mengetahui hasil model tsunami jika penjalarannya di area daratan. Berikut Gambar 5
bangunan dan pepohonan dianggap masif dan tidak menunjukkan kondisi tersebut.
terpengaruh oleh terjangan tsunami. Pemodelan
dengan data DTM dibagi lagi menjadi dua skenario,
yaitu kekasaran permukan seragam (lahan terbuka)
dan kekasaran permukaan sesuai dengan kondisi di
lapangan. Berikut Tabel 1 menjabarkan luasan area
serta ketinggian inundasi maksimal pada masing-
masing skenario pemodelan.
Hasil menunjukkan tinggi tsunami di bibir pantai dan pepohonan yang diperhitungkan dalam pemodelan
pada Pesisir Baron lebih tinggi daripada pesisir mampu mereduksi energi tsunami.
lainnya. Mardiatno dkk (2015) telah menyebutkan
bahwa Pesisir Baron memiliki morfologi teluk dengan Ucapan Terimakasih (Acknowledgement)
kemiringan rendah di ujung teluknya, sehingga Penelitian ini menggunakan sebagian data dari
inundasi tsunami dapat masuk jauh ke area daratan. Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (PUPT)
Ketinggian tsunami di Pesisir Sepanjang lebih rendah Tahun 2017 dengan judul “Pemetaan Risiko Bencana
dibandingkan pesisir lainnya. Meskipun demikian, Kepesisiran menggunakan Teknologi Unmanned
Pesisir Sepanjang tumbuh menjadi area wisata dan Aerial Vehicle (UAV) dan GIS pada Wilayah
perdagangan. Jika tsunami menerjang area tersebut, Kepesisiran Kabupaten Gunungkidul” yang didanai
kerugian akan tetap besar (Marfai dkk, 2019). Tsunami oleh KEMENRISTEKDIKTI. Penulis mengucapkan
dapat dikatakan sebagai bencana alam. Bencana alam terima kasih atas pendanaan dan segala bantuan tim
merupakan kejadian yang dapat mengancam dan peneliti yang diberikan dalam penelitian ini. Ucapan
menimbulkan kerusakan lingkungan (Marfai dan King, terimakasih juga penulis sampaikan kepada BTIPDP-
2008). BPPT atas bantuan, pemberian data, serta ijin
Perlu dilakukan validasi untuk mengetahui panggunaan laboratorium uji komputasi untuk
kebenaran hasil pemodelan. Gumbira dan Wibowo pemodelan tsunami.
(2017) juga menyebutkan validasi model bertujuan
untuk mengetahui tingkat akurasi data hasil DAFTAR PUSTAKA
pemodelan. Validasi dilakukan dengan data tinggi Apotsos, A., Gelfenbaum, G., dan Jaffe, B. 2012. Time-
tsunami Pangandaran tahun 2006. Hasil validasi dependent Onshore Tsunami Respone. Coastal
menunjukkan pola tinggi muka air laut yang relatif Engineering, 64. Hal 73-86.
sama dengan nilai NRMSE 20,9 %. Apotsos, A., Jaffe, B., dan Gelfenbaum, G. 2011. Wave
Characteristic and Morphologic Effects on The
4. Kesimpulan Onshore Hydrodynamic Respone of Tsunamis.
Coastal Engineering, 58. Hal 1034-1048.
Klasifikasi kekasaran permukaan (roughness) Basith, A., Kongko, W., dan Oktaviani, N. 2015. Pemodelam
terbagi menjadi tubuh air (ocean), lahan terbuka (crop Spasial Landaan Tsunami menggunakan Variasi
Field), vegetasi (medium density of tree), dan Sumber dan Magnitud Gempa (Studi Kasus Kota
permukiman (residential area + tree) dengan nilai Padang). Research Gate.
koefisien secara berurutan yaitu 0,016; 0,035; 0,1; dan http://www/reseachgate.net/publication/282243481
0,115. Hasil pemodelan menunjukkan luasan area Chow, V. T. 1959. Open Channel Hydraulics. New York:
genangan secara berurutan dari yang terendah yaitu McGraw-Hill Book Company.
skenario DSM sebesar 229.587 m², skenario DTM Gumbira, G. dan Wibowo, A. A. 2017. Kajian Karakteristik
dengan roughness tidak seragam sebesar 338.927 m², Hidrodinamika Teluk Balikpapan dengan Model 3D
sebagai Pertimbangan Perawatan Insfrastruktur
dan skenario DTM dengan rougness seragam sebesar Penting di Sekitar Teluk. Prosiding Seminar
364.182 m². Keadaan ini disebabkan oleh bangunan Nasional ke-3 Pngelolaan Pesisir dan DAS, 2017.
Hal: 256-266.
48
Harintaka, 2012. Pengembangan Pemrosesan Fotogrametri Martiana, D. N., Prasetyo, Y., dan Wijaya, A. P. 2017. Analisis
Digital Foto Udara Format Kecil untuk Penyediaan Akurasi DTM terhadap Penggunaan Data Point
Data Spasial. Disertasi. Yogyakarta: Teknik Clouds dari Foto Udara dan Las Lidar berbasis
Metode Penapisan Slope Based Filtering dan
Geomatika UGM.
Algoritma Macro Terrasolid. Jurnal Geodesi Undip
Hasan, M. D., Mobassarul, Rahman, S.M., Mostafizur, dan Vol. 6 (1). Hal: 293-302.
Mahamud, U. Numerical Modeling for the Prakoso, Y. 2016. Studi Landaan Tsunami di Sadeng
Propagation of Tsunami Wave and Corresponding menggunakan Model Numerik dengan Parameter
Inundation. IOSR Journal of Mechanical and Civil Gempa Bumi Bawah Laut dan Kekasaran
Engineering (IOSR-JMCE), Vol.12 (2). Hal: 55-62. Permukaan yang Beragam. Tesis. Yogyakarta:
Hidayat, A. 2015. Evaluasi Titik Koordinat Orthophoto dari Program Pascasarjana Fakultas Teknik UGM.
Foto Udara menggunakan Wahana Nir-Awak Purwanto, T. H. 2017. Pemanfaatan Foto Udara Format Kecil
dengan Titik Koordinat Hasil Pengukuran GNNS untuk Ekstraksi Digital Elevation Model dengan
(Global Navigation Satellite System) Metode Radial Metode Stereoplotting. Majalah Geografi Indonesia,
(Studi Kasus: Mosaic Foto Sungai Merawu Desa Vol. 31 (1). Hal: 73-89.
Giritirta). Tesis. Yogyakarta: Fakultas Teknik UGM. Putra, A. S., Ambarwulan, W., Mualana, E., Wulan, T. R.,
Imamura, F., Yalciner, A. C., dan Ozyurt, G. A. 2006. Tsunami Maulia, N., Putra, M. D., Wahyuningsih, D. S.,
Modelling Manual (TUNAMI Model). (April), 58. Ibrahim, F., Raharjo, T. 2016. Kajian Korelasi antara
Janitra, I. N. H. G. 2014. Pembuatan Model Tiga Dimensi Tinggi Terbang dan Resolusi Foto Udara Hasil
Candi Gebang menggunakan Metode Fotogramtri Akusisi dengan UAV di KAwasan Pesisir (Studi
Jarak Dekat. Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Teknik KAsus: Pemotretan di Kantor Parangtritis
Geodesi Fakultas Teknik UGM. Geomaritime Science Park. Prosiding Seminar
Jufri, R. G. 2016. Simulasi Numerik Penjalaran Gelombang Nasional Kelautan 2016. Hal: 216-225.
Tsunami dan Implementasi terhadap Mitigasi Romadhoni, M. F., Adiyanto, J., dan Sedoputro, H. W. 2016.
Bencana di Kota Painan. Tesis. Yogyakarta: Penggunaan Drone sebagai Media Digitasi
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan UGM. Penggambaran 3 Dimensi Bangunan dan Pemetaan
Kongko, W. 2011. South Java Tsunami Model using Highly Kawasan. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016. Hal:
Resolved Data and Probable Tsunamigenic Source. 149-154.
Disertasi. Hannover: Leibniz Universitat Hannover. Rosaji, F. S. C. 2017. Pemanfaatan Teknologi Unmanned
Kongko, W., dan Schlurmann, T. (2011). The Java Tsunami Aerial Vehicel (UAV) untuk Perencanaa Evakuasi
Model: Using Highly-Resolved Data to Model The Tsunami di Kawasan Wisata Pantai (Studi Kasus:
Past Event and to Estimate The Future Hazard. sPantai Pulang Syawal dan sekitarnya, Kabupaten
Coastal Engineering Proceedings, 1(32). Hal: 1–16. Gunungkidul). Tesis. Yogyakarta: Program
Kustiyanto, E. 2019. Estimating Aboveground Pascasarjana Fakultas Geografi UGM.
Biomass/Carbon Stock and Carbon Sequestration Samaras, A. G., Karambas, Th. V., dan Archetti, R. 2015.
using UAV (Unmanned Aerial Vehicle) in Simulation of Tsunami Generation, Propagation, and
Mangrove Forest, Mahakam Delta, Indonesia. Tesis. Inundation in The Estern Mediterranean. Ocean
Enschede: ITC University of Twente. Science, 11. Hal 643-655.
Litwin, U., Pijanowski, J. M., Szeptalin, A., dan Zygmunt, M. Sriram, V., Didenkulova, I., Sergeeva, A., dan Schimmels, S.
2013. Aplication of Surfer Software in Densification 2016. Tsunami Evolution and Run-Up in A Large
of Digital Terrain Model (DTM) Grid with The Use of Scale Experimental Faciliy. Coastal Engineering,
Scattered Points. Geomatics, Landmanagement and 111. Hal: 1-12.
Landscape No. 1. Hal: 51-61. Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid 1. Yogyakarta:
Mardiatno, D., Sunarto, Rahayu, L., Saptadi, G., Ayuningtyas,
Gadjah Mada University Press.
E. A. 2015. Risk Mapping and Tsunami Mitigation in
Gunungkidul Area, Yogyakarta. AIP Conference Togatorop, H. P. B. 2016. Pembuatan Peta Ortofoto
Proceedings of 4th International Symposium on Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng dengan
Earthquake and Disaster Mitigation 2014 (ISEDM menggunakan Wahana Udara tanpa Awak. Skripsi.
2014). Hal: 050004-1 – 050004-9. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geodesi Fakultas
Marfai, M. A. dan King, L. 2008a. Potential Vulnerability Teknik UGM.
Implications of Coastal Inundation Tue to Sea Level Triatmadja, R. 2010. Tsunami: Kejadian, Penjalaran, Daya
Rise for The Coastal Zone of Semarang City, Rusak, dan Mitigasinya. Yogyakarta: Gadjah Mada
Indonesia. Environmental Geology 54. Hal:1235- University Press.
1245. Ward, P. J., Marfai, M. A., Yulianto, F., Hizbaron, D. R., dan
Marfai, M. A. dan King, L. 2008b. Tidal Inundation Mapping Aerts, J. C. J. H. 2011. Coastal Inundation and
under Enhanced Land Subsidence in Semarang, Damage Exposure Estimation: A Case Study for
Central Java Indonesia. Nat Hazards 44. Hal:93– Jakarta. Nat Hazards 56. Hal: 899–916.
109. Wulan, T. R., Ambarwulan, W., Putra, A. S., Ibrahim, F.,
Marfai, M. A. 2015. Pemodelan Geografi. Yogyakarta: Putra, M. D., Maryanto, D., Pinem, F., dan Maulana,
E. 2017. Pemetaan Cepat Kawasan Terdampak
Penerbit Ombak.
Bencana Longsor dan Banjir di Kabupaten Bangli,
Marfai, M. A., Sunarto, Khakim, N., Fatchurohman, H., Provinsi Bali. Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31
Cahyadi, A., Wibowo, Y. A., dan Rosaji, F. S. C. (2). Hal: 44-50
2019. Tsunami hazard mapping and loss estimation
using geographic information system in Drini Beach,
Gunungkidul Coastal Area, Yogyakarta, Indonesia.
E3S Web of Conferences 76, 03010 (2019)-ICST
2018.
49
Kajian Pengaruh Siklon Tropis Menggunakan Model SWAN
(Simulating Waves Nearshore) Terhadap Tinggi Gelombang
Signifikan di Perairan Sekitar Pulau Bali
Yogi Muhammad Andariwana dan Hasti Amrih Rejekib
a, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika ; e-mail: yogiandariwanyogi@gmail.com
b Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
ABSTRAK
Posisi Pulau Bali terletak di utara Samudra Hindia yang sering menjadi trayektori siklon tropis. Ketika siklon tropis terjadi, fenomena
tersebut akan mengakibatkan banyak dampak, yang mana salah satunya adalah kenaikan tinggi gelombang. Di lain sisi, Pulau Bali
merupakan salah satu pulau yang padat penduduk dan menjadi andalan Indonesia di sektor pariwisata. Maka diperlukan informasi
tinggi gelombang untuk menunjang keselamatan daerah pesisir ketika terjadi siklon tropis. Pada studi ini, dilakukan pemodelan tinggi
gelombang menggunakan model SWAN (Simulating Waves Nearshore) untuk mengetahui tinggi gelombang yang terbentuk ketika
terjadi Siklon Tropis Jacob (2007), Freddy (2009) dan Gillian (2014). Data yang digunakan adalah data angin reanalisis dari ECMWF
(European Organisation for the Exploitation of Meteorological Satellites) dengan resolusi 0,125 ̊ x 0,125 ̊ dan data batimetri dari
GEBCO (General Bathymetric Chart of the Oceans) dengan resolusi 30 detik. Hasil penelitian menunjukkan kenaikan tinggi
gelombang signifikan ketika siklon tropis terjadi di ketiga fenomena siklon tropis tersebut dengan nilai yang bervariasi. Nilai tertinggi
terjadi ketika Siklon Tropis Freddy (1-2 m), kemudian Jacob (1-1,5 m) dan terakhir adalah Gillian (0,5-1 m). Perubahan arah
gelombang mengikuti perubahan arah angin yang terjadi di waktu kejadian masing-masing sikon tropis.
ABSTRACT
Bali Island located at the north of the Indian Ocean that frequently become tropical cyclone’s trajectory. Everytime a tropical cyclone
occured, that phenomenon will have impact on many sector, which is one of it is increase of the wave height. On the other hand, Bali
Island is one of the most populated island and become Indonesia’s most well known place for tourism. Therefore, wave height
modelling is conducted using SWAN (Simulating Waves Nearshore) model to comprehend the wave height during Tropical Cyclone
Jacob (2007), Freddy (2009) and Gillian (2014). This study uses wind reanalysis data from ECMWF (European Organisation for the
Exploitation of Meteorological Satellites) with 0,125 ̊ x 0,125 ̊ resolution grid and bathymetry data from GEBCO (General Bathymetric
Chart of the Oceans) with 30 second resolution. Results show that wave height increase during tropical cyclone events with various
value. Highest value happened during tropical cyclone Freddy (1-2 m), then Jacob (1-1,5 m) and the last is Gillian (0,5-1 m). Wave
direction also changed following wind direction changes during each tropical cyclone events.
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 2. Streamline pukul 00 UTC ketika siklon tropis Gillian berada di dekat lokasi penelitian (a) 17 Maret 2014,
(b) 18 Maret 2014, (c) 19 Maret 2014, (d) 20 Maret 2014,
(e) 21 Maret 2014 dan (f) 22 Maret 2014.
(f)
(b)
(g)
Gambar 3. Kenaikan tinggi dan kondisi arah
gelombang signifikan ketika terjadi siklon tropis Jacob
(a) 00 UTC 3 Maret 2007, (b) 12 UTC 3 Maret 2007,
(c) 00 UTC 4 Maret 2007, (d) 12 UTC 4 Maret 2007
(e) 00 UTC 5 Maret 2007, (f) 12 UTC 5 Maret 2007
dan (g) 00 UTC 6 Maret 2007.
(c)
(d)
(e)
53
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar e. Kenaikan tinggi dan kondisi arah gelombang signifikan ketika terjadi siklon tropis Jacob (a) 00 UTC 3
Maret 2007, (b) 12 UTC 3 Maret 2007, (c) 00 UTC 4 Maret 2007, (d) 12 UTC 4 Maret 2007 (e) 00 UTC 5 Maret
2007, (f) 12 UTC 5 Maret 2007 dan (g) 00 UTC 6 Maret 2007.
(g) (h)
Gambar 4. Kenaikan tinggi dan arah gelombang signifikan (Hs) ketika terjadi Siklon Tropis Freddy (a) 00 UTC 4
Februari 2009 dan (b) 12 UTC 4 Februari 2009 (c) 00 UTC 5 Februari 2009, (d) 12 UTC 5 Februari 2009 (e) 00
UTC 6 Februari 2009, (f) 12 UTC 6 Februari 2009, (g) 00 UTC 7 Februari 2009 dan (h) 12 UTC 7 Februari
2009.
Pada kasus terjadinya siklon tropis Jacob, secara tanggal 2 Maret 2007 kecepatan angin di sebagian besar
umum kondisi angin di lokasi penelitian terpengaruh lokasi penelitian berkisar antara 5 hingga 10 knot
adanya siklon tropis di selatan lokasi penelitian. Di bumi sementara pada pukul 00 UTC tanggal 7 Maret 2007
belahan selatan, gerakan rotasi siklon tropis searah kecepatan angin mencapai rentang 10 hingga 15 knot,
dengan jarum jam (Smith, 2006). Berdasarkan hal bahkan mencapai rentang 15 hingga 20 knot di daerah
tersebut, jika terdapat siklon tropis di selatan lokasi Samudra Hindia. Berdasarkan Gambar 4, mulai dari
penelitian maka kemungkinan besar angin di lokasi pukul 00 UTC tanggal Maret hingga pukul 00 UTC 6
penelitian akan bergerak ke timur laut – tenggara. Maret 2007 kenaikan tinggi gelombang signifikan
Kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4, di mana mencapai lebih dari 1 meter dengan kenaikan tinggi
angin bergerak ke arah timur – tenggara. Kemudian, gelombang tertinggi mencapai 1,3 meter di perairan
angin di lokasi penelitian mengalami peningkatan sebelah timur Pulau Bali. Kondisi tersebut mengalami
kecepatan di mana pada pukul 00 UTC penurunan ketika pada pukul 00 UTC tanggal 6 Maret.
Kondisi peningkatan kecepatan angin dan perubahan
54
arah angin akibat adanya siklon tropis turut 15 hingga 20 knot di sebagian besar lokasi penelitian,
memengaruhi perubahan tinggi dan arah gelombang di bahkan mencapai rentang 20 hingga 25 knot di sebagian
lokasi penelitian. Arah gelombang secara umum menuju lokasi penelitian. Tingginya kecepatan angin pada studi
ke arah timur laut – tenggara, menyesuaikan dengan kasus siklon Freddy karena pada pukul 06 UTC tanggal
arah angin. 6 Februari sistem siklon sudah berkembang dan
Pada penelitian ini, studi kasus yang kedua adalah memasuki tahap matang menjadi siklon tropis kategori 1,
ketika terjadi siklon tropis Freddy. Berdasarkan Gambar ketika tekanan sudah turun menjadi kurang dari 995 mb.
b. b, siklon tropis tersebut terletak di bagian selatan Kecepatan angin yang tinggi dalam studi kasus
lokasi penelitian dan bergerak menuju ke barat. siklon tropis Freddy berbanding lurus dengan kenaikan
Kemudian, untuk siklon tropis Freddy terjadi pada pukul tinggi gelombang signifikan. Berdasarkan Gambar
06 UTC tanggal 2 Februari 2009 dan berakhir pada pukul 4, mulai dari pukul 12 UTC tanggal 4 Februari hingga
06 UTC tanggal 13 Februari 2009. Pada bulan yang pukul 00 UTC tanggal 7 Februari kenaikan tinggi
sama, secara umum angin monsun mulai melemah gelombang signifikan mencapai lebih dari 1,5 meter
(Tjasyono, 2009). dengan kenaikan tinggi gelombang tertinggi mencapai 2
(a) (b)
(c) (d)
(e)
Gambar 5. Kenaikan tinggi dan arah gelombang signifikan (Hs) ketika terjadi siklon tropis Gillian (a) 00 UTC 19
Maret 2014 (b) 12 UTC 19 Maret 2014 (c) 00 UTC 20 Maret 2014, (d) 12 UTC 20 Maret 2014 dan (e) 00 UTC 21
Maret 2014.
Pada studi kasus terjadinya siklon tropis Freddy, meter di perairan sebelah timur Pulau Bali. Kondisi
secara umum kondisi angin di daerah penelitian tersebut mengalami penurunan ketika pada pukul 12
terpengaruh adanya siklon tropis Freddy yang terletak di UTC tanggal 7 Februari, di mana siklon tropis sudah
selatan lokasi penelitian. Pengaruh posisi siklon tropis berada cukup jauh dari lokasi penelitian. Kondisi
terhadap kondisi arah angin memiliHolSamulanoSWANki tingginya gelombang signifikan pada studi kasus siklon
kesamaan dengan studi kasus siklon tropis Jacob, tropis Freddy tidak terlepas dari tingginya kecepatan
namun pada studi kasus siklon Freddy kecepatan angin angin seiring semakin berkembangnya sistem siklon
di lokasi penelitian lebih kencang, terutama pada tanggal menjadi siklon tropis kategori 1.
6 hingga 7 Februari. Pada rentang waktu tersebut, Pada penelitian ini, studi kasus yang ketiga adalah
kecepatan angin di lokasi penelitian mencapai rentang ketika terjadi siklon tropis Gillian. Berdasarkan Gambar
55
b. c, siklon tropis tersebut tumbuh di Latu Arafuru, tinggi gelombang lebih rendah jika dibandingkan dengan
kemudian bergerak ke Teluk Carpentaria, lalu kembali ke studi kasus siklon tropis Jacob, yang juga terjadi di bulan
wilayah perairan Indonesia ketika siklon bergerak Maret, dan siklon tropis Freddy. Nilai kenaikan tinggi
memasuki Kepulauan Nusa Tenggara, selanjutnya gelombang sekitar 0,5 hingga 1 meter dengan nilai
sistem siklon bergerak ke barat dan melewati lokasi tertingginya adalah 1 meter. Hasil tersebut terjadi karena
penelitian hingga akhirnya meninggalkan lokasi faktor angin yang kecepatannya lebih rendah jika
penelitian. Siklon tropis dinyatakan mulai tumbuh pada dibandingkan dengan siklon tropis Jacob dan Freddy.
pukul 00 UTC tanggal 6 Maret dan berakhir pada pukul
00 UTC tanggal 26 Maret 2014. Pada bulan Maret, 4. Kesimpulan/Rekomendasi
secara umum kondisi angin monsun sedang tidak aktif Berdasarkan studi kasus, siklon tropis yang terjadi
sebagai akibat dari equinox, yaitu ketika matahari dalam di dekat lokasi penelitian menyebabkan perubahan arah
kondisi tegak lurus di atas wilayah tropis (Tjasyono, dan kenaikan tinggi gelombang signifikan. Kenaikan
2009). Akibatnya, pada bulan Maret kondisi tinggi tinggi gelombang diakibatkan oleh tingginya kecepatan
gelombang di wilayah Indonesia cenderung lebih rendah angin ketika terjadi siklon tropis dan arah gelombang di
dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya (Kurniawan, lokasi penelitian bergerak mengikuti arah angin
2011). pergerakan siklon. Nilai kenaikan tertinggi terjadi saat
Pada kasus terjadinya siklon tropis Gillian, secara siklon tropis Freddy, kemudian Jacob dan terakhir adalah
umum kondisi angin di lokasi penelitian terpengaruh Gillian. Kemudian untuk perubahan arah gelombang,
adanya sistem siklon yang melewati lokasi penelitian. terjadi kemiripan pola arah pada siklon tropis Jacob dan
Sebagai akibat dari sistem siklon yang melewati lokasi Freddy, sementara pada Gillian terdapat perubahan arah
penelitian, arah angin di lokasi penelitian mengalami gelombang yang signifikan dari hari ke hari.
perubahan yang signifikan, bahkan berubah arah
menjadi ke arah sebaliknya (Gambar 2). Siklon tropis DAFTAR PUSTAKA
mememasuki lokasi penelitian pada pukul 06 UTC Gray, W.M. 1968. Global View of The Origin of Tropical
tanggal 20 Maret. Sebelum waktu tersebut, secara umum Distrubance Storms. Colorado State University,
angin bertiup dari tenggara menuju ke barat laut, Colorado.
sementara setelah melewati lokasi penelitian arah angin Henderson-Sellers, A., H. Zhang, G. Berz, K. Emanuel,
mengalami pembalikan menjadi bertiup dari utara W. Gray, C. Landsea, G. Holland, J. Lighthill, S-L.
kemudian berbelok ke arah barat daya. Pada studi kasus Shieh, P. Webster, dan K. McGuffie. 1998. Tropical
ini, secara umum kecepatan angin di lokasi penelitian Cyclones and Global Climate Change: A Post-
tidak begitu kencang. Kecepatan tertingginya terdapat di IPCC Assessment. Bulletin of the American
waktu siklon sudah mendekati lokasi penelitian, yaitu Meteorological Society. 79:19-38.
mulai tanggal 19 Maret hingga 21 Maret di mana di Holthuijsen, L.H. 2007. Waves in the Oceanic and
sebagian besar lokasi penelitian didominasi oleh angin Coastal Waters. Cambridge University Press, New
dengan kecepatan berkisar antara 5 hingga 10 knot dan York.
di wilayah Samudra Hindia mencapai rentang 10 hingga Kurniawan R., M.N. Habibie, dan Suratno. 2011. Variasi
15 knot. Pada tanggal 18 dan 22 Maret kecepatan angin Bulanan Gelombang Laut di Indonesia. Jurnal
di sebagian besar lokasi penelitian kurang dari 5 knot. Meteorologi dan Geofisika. 12(3):221-232.
Rendahnya kecepatan angin tersebut dikarenakan pada Nieuwolt, S., dan G.R. McGregor. 1998. Tropical
saat tersebut sistem siklon belum memasuki tahap Climatology: an Introduction To The Climates of
matang. Adapun pada tanggal 22 Maret siklon sudah The Low Latitudes. Wiley, New York.
memasuki tahap matang dengan kategori siklon 1 Smith, R.K. 2006. Lectures on Tropical Cyclones.
menurut kategori badai Saffir-Simpson, namun karena University of Munich, Munich.
jaraknya yang sudah mulai menjauh maka dampak Samulano I. 2012. Refraksi dan Difraksi Gelombang Laut
kenaikan kecepatan angin hanya sedikit berpengaruh, di Dekat Pantai Pariaman. Tesis pada Fakultas
yaitu di Samudra Hindia yang mencapai rentang 5 hingga MIPA, Universitas Andalas, Padang.
10 knot (Gambar d). Sujantoko. 2009. The Analysis of Wave Refraction Using
Perubahan arah angin yang sangat bervariasi ketika SWAN Model. The Journal for Technology and
siklon tropis berimbas ke perubahan arah gelombang Science. 20(2). Surabaya.
signifikan sepanjang dilakukannya penghitungan oleh SWAN Team. 2017. SWAN User Manual Version 41.20.
model SWAN. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya Delft University of Technology, Delft.
bahwa terdapat perubahan drastis dari arah angin, hal Tjasyono, B. 2009. Meteorologi Indonesia Volume 1.
tersebut memengaruhi arah gerakan gelombang yang Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika,
juga mengalami pembalikan. Sebelum siklon memasuki Jakarta.
lokasi penelitian, yaitu pukul 12 UTC tanggal 20 Maret WMO. 1998. No.702: Guide To Wave Analysis and
2014, gelombang bergerak ke arah barat laut dan secara Forecasting. Secretariat of The World
perlahan-lahan mulai bergeser ke arah barat. Ketika Meteorological Organization, Geneva.
siklon berada di lokasi penelitian, arah gelombang Zakir A., M.K. Khotimah, dan W. Sulistya. 2010.
menjadi ke arah barat dan di beberapa wilayah pantai Perspektif Operasional Cuaca Tropis. Puslitbang
arahnya menyesuaikan dengan kontur pantai. Kemudian BMKG, Jakarta.
setelah sistem siklon meninggalkan lokasi penelitian,
arah gelombang bergeser menjadi ke arah selatan. Pada
studi kasus siklon tropis Gillian, secara umum kenaikan
56
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
ABSTRAK
Bencana alam di Indonesia meliputi bencana akibat faktor geologi, dan bencana akibat hidrometeorologi. Salah satu efek dari
terganggunya siklus hidrometeorologi adalah bencana banjir. Total kejadian banjir di Indonesia tahun 2012-2016 sebanyak 3.062
kejadian. Tahun 2017 bencana banjir terjadi di sejumlah wilayah seperti Kota Bekasi, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Bangka
Barat, Kabupaten Gorontalo Utara, dan Kota Bitung. Kejadian bencana hidrometeorologi tahun 2018 tetap menjadi dominan, dengan
total 506 kejadian banjir. Kota Manado sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang setiap tahunnya selalu terkena dampak bencana
banjir. Posisi Kota Manado pada hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano sebagai tempat bermuaranya aliran air permukaan yang
berasal dari kawasan hulu. Terlebih lagi perubahan penggunaan lahan sebagai kawasan terbangun semakin masif. Sempadan sungai
yang seharusnya menjadi kawasan lindung berupa sabuk hijau, taman, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) telah mengalami alih fungsi
lahan sebagai hunian. Berkurangnya area resapan di sempadan sungai mengakibatkan banjir bandang dan hunian di sempadan
sungai berdampak paling parah. Penelitian ini mengkasifiklasikan flood plain menjadi 2 (dua), yaitu sempadan sungai dan flood fringe
yang memerlukan pengaturan yang berbeda. Penggunaan alat analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam penelitian ini akan
menghasilkan output pengaturan dan pemanfaatan ruang pada flood plain berbasis mitigasi bencana.
ABSTRACT
In general, natural disasters in Indonesia include disasters due to geological factors, and hydrometeorological disasters. The biggest
effect of the disruption of the hydrometeorological cycle is a flood. The total number of floods in Indonesia in 2012-2016 was 3,062.
In 2017, floods occurred in a number of areas such as Bekasi City, Pandeglang Regency, West Bangka Regency, North Gorontalo
Regency, and Bitung City. The hydrometeorological disaster in 2018 remained dominant, with a total of 506 floods. Manado is one of
the regions in Indonesia which is always affected by the floods every year. The position of Manado is in the downstream of Tondano
Watershed as a place to surface water flow from the upstream area. Moreover, changes in land use are built increasingly massive.
The river boundaries that are supposed to be protected areas in the form of green belts, parks, and Green Open Space (RTH) have
experienced the conversion of land as housing. The reduction in recharge area in the river boundary resulted in flash floods and
occupancy at the river banks having the most severe impact. This study confirmed the flood plain to be 2 (two), namely the border of
the river and flood fringe which require different settings. By using a Geographic Information System (GIS) analysis tool, this study
will produce regulatory output and space use in a plain flood based on disaster mitigation.
58
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
59
Tabel 1 Jumlah Persil Bangunan yang Berada pada Tabel 2 Jumlah Persil bangunan di Kecamatan Singkil
Sempadan Sungai di Kecamatan Tuminting berdasarkan penggunaan lahan
Kelurahan Jumlah Persil Bangunan Kecam Kelurahan Penggunaan Jumlah persil
atan Lahan bangunan
Sindulang Satu 234 Singkil Karame Permukiman 354
Total 234 Ketang Permukiman 181
Baru
Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2018 Kombos Industri 29
Timur Lahan 1
3.2. Delineasi Lebar Sempadan Sungai di Terbuka
Permukiman 102
Kecamatan Singkil
Singkil Permukiman 121
Sempadan sungai yang berada pada Satu
Kecamatan Tuminting, tepatnya Kelurahan Karame, Ternate Permukiman 241
Kelurahan Ketang Baru, Kelurahan Kombos Timur, Baru
Kelurahan Singkil Satu, Kelurahan Ternate Baru, Ternate Permukiman 662
Tanjung
Kelurahan Ternate Tanjung, dan Kelurahan Wawonasa Permukiman 51
Wawonasa. Sempadan sungai tersebut termasuk pada Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2018
segmen Sungai Tondano (Gambar 4). Lebar
sempadan pada segmen sungai tersebut adalah 35 3.3. Delineasi Lebar Sempadan Sungai di
meter dengan mitigasi struktural berupa 2 (dua) pintu Kecamatan Mapanget
air yang terdapat pada Kelurahan Singkil Satu dan Sempadan sungai yang berada pada
Ternate Baru. Pada sempadan sungai di kecamatan ini Kecamatan Mapanget, tepatnya Kairagi Satu.
terdapat 1.738 persil bangunan. Sempadan sungai tersebut termasuk pada segmen
Sungai Tondano (Gambar 5). Lebar sempadan pada
segmen sungai tersebut adalah 35 meter tanpa
terdapat mitigasi struktural. Pada sempadan sungai di
kelurahan ini terdapat 276 persil bangunan.
60
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Tabel 3 Jumlah Persil bangunan di Kecamatan Bangunan perdagangan dan jasa masif berada di
Mapanget berdasarkan penggunaan lahan sempadan sungai Kelurahan Paal Dua hingga 11,75%
Kecamat Kelurah Penggunaan Jumlah persil seperti yang dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini.
an an Lahan bangunan
Mapang Kairagi Industri 55
et Satu Tabel 4 Jumlah Persil Bangunan di Kecamatan Paal Dua
Kebun 18
Berdasarkan Penggunaan Lahan
Campuran
Perdagangan 49 Kecam Kelurahan Penggunaan Jumlah persil
dan Jasa atan Lahan bangunan
Perkantoran 5 Paal Dendengan Permukiman 323
Dua Dalam
Permukiman 153 Dendengan Perdagangan 96
Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2018 Luar dan Jasa
Permukiman 176
3.4. Delineasi Lebar Sempadan Sungai di Kairagi Kebun 17
Weru Campuran
Kecamatan Paal Dua Perdagangan 45
Sempadan sungai yang berada pada dan Jasa
Kecamatan Paal Dua, tepatnya Kelurahan Dendengan Permukiman 125
Dalam, Kelurahan Dendengan Luar, Kelurahan Kairagi Malendeng Fasilitas 4
Weru, Kelurahan Malendeng, Kelurahan Paal Dua, Umum
Kebun 1
Kelurahan Perkamil, Kelurahan Ranamuut. Sempadan Campuran
sungai tersebut termasuk pada segmen Sungai Permukiman 50
Tondano dan Sungai Tikala (Gambar 6). Lebar Paal Dua Lahan Terbuka 1
sempadan pada segmen Tondano adalah 35 meter Perdagangan 148
dan segmen Sugai Tikala adaah 15-35 meter dengan dan Jasa
Perkantoran 16
mitigasi struktural berupa 1 (satu) pintu air yang Permukiman 89
terdapat pada Kelurahan Dendengan Luar. Pada Perkamil Permukiman 112
sempadan sungai di kecamatan ini terdapat 1257 persil Ranomut Permukiman 57
bangunan. Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2018
3.5. Delineasi Lebar Sempadan Sungai di
Kecamatan Wenang
Sempadan sungai yang berada pada
Kecamatan Wenang, tepatnya Kelurahan Calaca,
Kelurahan Istiqlal, Kelurahan Komo Luar, dan
Kelurahan Pinaesaan. Sempadan sungai tersebut
termasuk pada segmen Sungai Tondano (Gambar 7).
Lebar sempadan pada segmen Tondano adalah 35
meter dengan mitigasi struktural berupa 2 (dua) pintu
air yang terdapat pada Kelurahan Istiqlal. Pada
sempadan sungai di kecamatan ini terdapat 565 persil
bangunan.
61
terdapat pada sempadan sungai di Kelurahan Komo Bangunan di sempadan sungai pada
Luar, yaitu 198 persil dan jumlah bangunan paling Kecamatan Tikala perlu direkomendasikan untuk
sedikit berada pada Kelurahan Calaca, yaitu 54 persil. pembebasan lahan, sehingga fungsi dari sempadan
Berdasarkan hasil overlay dengan Penggunaan Lahan
sungai dapat lebih optimal. Jumlah persil terbanyak
RBI 2015, persentase persil terbesar adalah
permukiman dengan persentase 33.9% yang terdapat terdapat pada sempadan sungai di Kelurahan Paal
di Kelurahan Komo Luar. Selanjutnya di Kelurahan Empat, yaitu 203 persil dan jumlah bangunan paling
Istiqlal juga memiliki persentase permukiman yang sedikit berada pada Kelurahan Banjer, yaitu 12 persil.
besar yaitu 29,11% selain penggunaan lahan Tabel 5 Jumlah Persil bangunan di Kecamatan Tikala
permukiman, terdapat juga persil bangunan Berdasarkan Penggunaan Lahan
Perdagangan dan Jasa, Fasilitas Umum, Jalan, hingga Kecama Kelurah Penggunaan Jumlah persil
tan an Lahan bangunan
Badan Air merupakan penggunaan lahan pada
Tikala Banjer Permukiman 12
sempadan sungai di Kecamatan Wenang.
Paal Fasilitas Umum 2
Tabel 5 Jumlah Persil bangunan di Kecamatan Wenang Empat
Industri 2
Berdasarkan Penggunaan Lahan
Kecama Kelura Penggunaan Jumlah persil Permukiman 201
tan han Lahan bangunan Tikala Permukiman 55
Wenang Calaca Badan Air 3 Ares
Jalan 3 Tikala Permukiman 127
Perdagangan 54 Baru
dan Jasa Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2018
Istiqlal Fasilitas Umum 1
Perdagangan 8 Berdasarkan hasil overlay dengan
dan Jasa
Permukiman 170 Penggunaan Lahan RBI 2015, persentase persil
Komo Permukiman 198 terbesar adalah permukiman dengan persentase
Luar
Pinaes Fasilitas Umum 10
50,38% yang terdapat di Kelurahan Paal Empat (Tabel
aan Permukiman 137 3.15). Pada Kelurahan Paal Empat terdapat persil
Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2018 bangunan Fasilitas Umum dan juga Industri sedangkan
pada Kelurahan Banjer, Tikala Ares, dan Tikala Baru
3.6. Delineasi Lebar Sempadan Sungai di
Kecamatan Tikala persil bangunan seluruhnya merupakan permukiman di
Sempadan sungai yang berada pada sempadan sungai.
Kecamatan Tikala, tepatnya Kelurahan Paal Empat,
3.7. Delineasi Lebar Sempadan Sungai di
Kelurahan Tikala Ares, Kelurahan Banjer, dan
Kecamatan Sario
Kelurahan Tikala Baru. Sempadan sungai tersebut Sempadan sungai yang berada pada
termasuk pada segmen Sungai Tikala (Gambar 3.14). Kecamatan Sario, tepatnya Kelurahan Ranotana,
Lebar sempadan pada segmen tersebut adalah 15-35 Kelurahan Sario Kota Baru, Kelurahan Sario Utara dan
meter dan tidak terdapat mitigasi struktural pada Kelurahan Titwungen Selatan. Sempadan sungai
segmen sungai tersebut. Pada sempadan sungai di tersebut termasuk pada segmen Sungai Sario (Gambar
kecamatan ini terdapat 397 persil bangunan. 9). Lebar sempadan pada segmen tersebut adalah 15-
20 meter dan tidak terdapat mitigasi struktural pada
segmen sungai tersebut. Pada sempadan sungai di
kecamatan ini terdapat 310 persil bangunan.
62
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
63
Pada sempadan sungai di kecamatan ini Kecamatan Tuminting yang berada pada
hanya terdapat 3 persil bangunan. Sungai Tondano, arahan peruntukan ruangnya adalah
Tabel 8 Jumlah Persil Bangunan yang Berada pada dengan upaya adaptasi bencana banjir dan
Sempadan Sungai di Kecamatan Malalayang meningkatkan kemampuan resapan pada wilayah
Kelurahan Jumlah Persil Bangunan tersebut dengan tajuk vegetasi yang rapat. Kecamatan
Winangun Satu 3 Wenang juga berada dalam lingkup Sungai Tondano.
Total 3 Arahan pemanfaatan ruang Kecamatan Wenang untuk
Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2018
kawasan perumahan yaitu melalui hunian vertikal dan
kawasan perumahan dengan upaya adaptasi bencana
4. Arahan Pemanfaatan Ruang Flood Plain
banjir. Pada wilayah ini juga diperbolehkan
Arahan pemanfaatan ruang flood fringe bertujuan pengembangan taman multifungsi sebagai kawasan
untuk mengatur kawasan di luar sempadan. Sehingga resapan. Sedangkan sarana dan prasarana, seperti
peruntukan ruangnya dengan menambahkan syarat- kawasan pendidikan, kawasan perdagangan dan jasa,
syarat khusus yang dapat berfungsi ssebagai kawasan dan juga kawasan peribadatan diperbolehkan sesuai
resapan. Pengaturan pemanfaatan ruang flood fringe dengan fungsi eksistingnya dengan tetap
dilakukan pada Sungai Tondano, Sungai Tikala, dan mempertimbangkan tajuk vegetasi rapat untuk
Sungai Sario. meningkatkan kemampuan resapan kawasan tersebut.
Arahan Pemanfaatan ruang berdasarkan pada Kecamatan Paal Dua juga terdapat pada
unit administrasi kecamatan sesuai keberadaan flood ruang lingkup Sungai Tikala. Hanya saja luasnya lebih
fringe tersebut. Ketentuan dari pemanfaatan ruang kecil dibandingkan luas wilayah kecamatan yang
pada flood fringe mempertimbangkan ketinggian berada dalam ruang lingkup Sungai Tondano. Arahan
genangannya, apabila suatu wilayah berada pada pemanfaatan ruang pada kecamatan ini melalui upaya
ketinggian 1-3 meter maka perlu adanya konsep adaptasi bencana banjir dengan desain bangunan
adaptasi dengan desain rumah panggung dan/atau rumah panggung dan/atau peninggian rumah disertai
peninggian bangunan dan juga disertai degan tajuk tajuk vegetasi yang rapat dan juga diperbolehkan
vegetasi yang rapat. Sedangkan bangunan yang sesuai dengan fungsi eksistingnya dengan tetap
berada pada ketinggian < 1 meter maka diperbolehkan mempertimbangkan tajuk vegetasi rapat untuk
pemanfaatan ruang sesuai dengan fungsi eksistingnya meningkatkan kemampuan resapan kawasan tersebut.
dan disertai tajuk vegetasi rapat. Arahan peruntukan ruang Kecamatan Tikala
yang berada pada lingkup Sungai Tikala terdiri atas
4.1. Arahan Pemanfaatan Ruang Flood fringe taman multifungsi, kawasan perumahan dengan
Sungai Tondano dan Sungai Tikala desain rumah panggung dan/atau peninggian
bangunan, dan diperbolehkan sesuai dengan fungsi
Arahan pemanfaatan ruang flood fringe eksistingnya dengan tetap mempertimbangkan tajuk
Sungai Tondano terdapat pada unit administrasi vegetasi rapat untuk meningkatkan kemampuan
Kecamatan Paal Dua, Kecamatan Singkil, Kecamatan resapan kawasan tersebut.
Tuminting, Kecamatan Wenang. Sedangkan arahan
pemanfaatan ruang flood fringe Sungai Tikala terdapat
pada Kecamatan Paal Dua dan Kecamatan Tikala
(Gambar 12).
Pada Kecamatan Paal Dua yang termasuk
pada Sungai Tondano terdapat rencana
pengembangan rumah susun. Kawasan permukiman
pada kecamatan ini juga memerlukan upaya adaptasi
bencana banjir dengan desain rumah panggung
dan/atau penginggian bangunan. Sedangkan
infrastruktur yang terdapat di Kecamatan Paal Dua
diperbolehkan sesuai dengan fungsi eksistingnya
dengan tetap mempertimbangkan tajuk vegetasi rapat
untuk meningkatkan kemampuan resapan kawasan Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2018
tersebut. Gambar 12 Arahan Pemanfaatan Ruang Flood fringe
Arahan pemanfaatan flood fringe di Sungai Tondano dan Sungai Tikala
Kecamatan Singkil yang berada pada Sungai Tondano
terdapat pengembangan taman multifungsi seluas 1,05 Total luasan pemanfaatan ruang flood fringe
Ha. Pada kecamatan ini juga terdapat rencana Sungai Tondano adalah 88,35 Ha. Sebagai rinciannya
pengembangan rumah susun. Sedangkan untuk adalah luasan masing-masing kecamatan yang
arahan peruntukan lainnya adalah diperbolehkan terdapat pada Sungai Tondano, adalah Kecamatan
sesuai dengan fungsi eksistingnya dengan tetap Paal Dua 3,11 Ha, Kecamatan Singkil 39,81 Ha,
mempertimbangkan tajuk vegetasi rapat untuk Kecamatan Tuminting 3,62 Ha, Kecamatan Wenang
meningkatkan kemampuan resapan kawasan tersebut. 41,82 Ha.
64
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Arahan peruntukan ruang terluas yang Sungai Kecamatan Arahan Luas (Ha)
terdapat pada Kecamatan Paal Dua adalah Total 39.81
Tuminting Diperbolehkan 0.10
diperbolehkan sesuai dengan fungsi eksistingnya jaringan jalan dan tajuk
dengan tetap mempertimbangkan tajuk vegetasi rapat vegetasi rapat
untuk meningkatkan kemampuan resapan kawasan Diperbolehkan 1.86
tersebut, dengan luas 85% dari luas Kecamatan Paal kawasan perumahan
dengan desain rumah
Dua. Arahan peruntukan terluas yang terdapat pada panggung dan tajuk
Kecamatan Singkil adalah kawasan perumahan vegetasi rapat
dengan upaya adaptasi desain rumah panggung Diperbolehkan sesuai 1.66
dan/atau peninggian bangunan dengan disertai tajuk bangunan eksisting
disertai tajuk vegetasi
vegetasi yang rapat, yaitu 71% dari luas Kecamatan rapat
Singkil. Total 3.62
Arahan pemanfaatan terluas Kecamatan Wenang Diperbolehkan hunian 0.05
Tuminting adalah kawasan perumahan dengan upaya vertikal dan tajuk
vegetasi rapat
adaptasi desain rumah panggung dan/atau peninggian Diperbolehkan 3.28
bangunan dengan disertai tajuk vegetasi yang rapat, jaringan jalan dan tajuk
dengan presentase luasan terhadap luas keseluruhan vegetasi rapat
Kecamatan Tuminting adalah 51%. Sedangkan arahan Diperbolehkan 0.55
kawasan pendidikan
pemanfaatan ruang terluas Kecamatan Wenang dengan peninggian
diperbolehkan sesuai dengan fungsi eksistingnya bangunan dan tajuk
dengan tetap mempertimbangkan tajuk vegetasi rapat vegetasi rapat
untuk meningkatkan kemampuan resapan kawasan Diperbolehkan 6.18
kawasan
tersebut, dengan luas, yaitu 42% dari luas keseluruhan perdagangan&jasa
wilayah Kecamatan Wenang (Tabel 10). dengan peninggian
bangunan dan tajuk
Tabel 9 Luasan dan Arahan Pemanfaatan Ruang Flood vegetasi rapat
fringe Sungai Tondano Diperbolehkan 0.20
kawasan peribadatan
Sungai Kecamatan Arahan Luas (Ha) dengan peninggian
bangunan dan tajuk
Sungai Paal Dua Diperbolehkan 0.02
vegetasi rapat
Tondano jaringan jalan dan tajuk
Diperbolehkan 13.67
vegetasi rapat
kawasan perumahan
Diperbolehkan 0.10
dengan desain rumah
kawasan perumahan
panggung dan tajuk
dengan desain rumah
vegetasi rapat
panggung dan tajuk
Diperbolehkan sebagai 0.28
vegetasi rapat
taman multifungsi
Diperbolehkan 0.34
Diperbolehkan sesuai 17.61
pengembangan rumah
bangunan eksisting
susun dan tajuk
disertai tajuk vegetasi
vegetasi rapat
rapat
Diperbolehkan sesuai 2.65
Total 41.82
bangunan eksisting
Grand Total 88.35
disertai tajuk vegetasi
rapat Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2018
Total 3.11
Singkil Diperbolehkan 3.38 Arahan pemanfaatan ruang pada flood fringe
jaringan jalan dan tajuk Sungai Tikala adalah 9,99 Ha. Sebagai rinciannya,
vegetasi rapat
Diperbolehkan 0.80
Kecamatan Paal Dua yang berada pada Sungai Tikala
kawasan industri seluas 1,03 Ha dan Kecamatan Tikala yang berada
dengan peninggian pada Sungai Tikala seluas 8,96 Ha. Arahan
bangunan dan tajuk pemanfaatan ruang terluas Kecamatan Paal Dua
vegetasi rapat
Diperbolehkan 28.37
adalah diperbolehkan sesuai dengan fungsi
kawasan perumahan eksistingnya dengan tetap mempertimbangkan tajuk
dengan desain rumah vegetasi rapat untuk meningkatkan kemampuan
panggung dan tajuk resapan kawasan tersebut, dengan luas, yaitu 95% dari
vegetasi rapat
Diperbolehkan 0.74
luas keseluruhan wilayah Kecamatan Paal Dua.
pengembangan rumah Sedangkan arahan pemanfaatan ruang yang dominan
susun dan tajuk di Kecamatan Tikala adalah diperbolehkan sesuai
vegetasi rapat dengan fungsi eksistingnya dengan tetap
Diperbolehkan sebagai 1.05
taman multifungsi
mempertimbangkan tajuk vegetasi rapat untuk
Diperbolehkan sesuai 5.47 meningkatkan kemampuan resapan kawasan tersebut,
bangunan eksisting dengan luas, yaitu 97% dari luas keseluruhan wilayah
disertai tajuk vegetasi Kecamatan (Gambar 11).
rapat
65
Tabel 10 Luasan dan Arahan Pemanfaatan Ruang Flood pemanfaatan ruang terluas Kecamatan Sario dan
fringe Sungai Tikala Kecamatan Wanea adalah pengembangan kawasan
perumahan dengan desain rumah panggung dan/atau
Sungai Kecamatan Arahan Luas peninggian bangunan dengan tajuk vegetasi rapat,
(Ha) seluas 66% dari luas keseluruhan wilayah Kecamatan
Sungai Paal Dua Diperbolehkan jaringan jalan 0.00 Sario dan 70% dari luas keseluruhan wilayah
Tikala dan tajuk vegetasi rapat Kecamatan Wanea (Tabel 12).
Tabel 11 Luasan dan Arahan Pemanfaatan Ruang Flood
Diperbolehkan kawasan 0.05
fringe Sungai Sario
perumahan dengan desain
rumah panggung dan tajuk Kecamatan Arahan Luas (Ha)
vegetasi rapat Sario Diperbolehkan hunian vertikal dan 2.02
tajuk vegetasi rapat
Diperbolehkan sesuai 0.98 Diperbolehkan jaringan jalan dan 5.23
bangunan eksisting disertai tajuk vegetasi rapat
tajuk vegetasi rapat Diperbolehkan kawasan 1.22
pendidikan dengan peninggian
Total 1.03
bangunan dan tajuk vegetasi rapat
Tikala Diperbolehkan jaringan jalan 0.05 Diperbolehkan kawasan 5.29
dan tajuk vegetasi rapat perdagangan&jasa dengan
peninggian bangunan dan tajuk
Diperbolehkan kawasan 0.21 vegetasi rapat
perumahan dengan desain Diperbolehkan kawasan 27.39
rumah panggung dan tajuk perumahan dengan desain rumah
vegetasi rapat panggung dan tajuk vegetasi rapat
Diperbolehkan sebagai 0.00 Diperbolehkan sebagai taman 0.02
taman multifungsi multifungsi
Total 41.16
Diperbolehkan sesuai 8.70 Wanea Diperbolehkan jaringan jalan dan 0.58
bangunan eksisting disertai tajuk vegetasi rapat
tajuk vegetasi rapat Diperbolehkan kawasan 1.24
perdagangan&jasa dengan
Total 8.96 peninggian bangunan dan tajuk
Grand Total 9.99 vegetasi rapat
Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2018 Diperbolehkan kawasan 0.00
perkantoran dengan peninggian
bangunan dan tajuk vegetasi rapat
4.2. Arahan Pemanfaatan Ruang Flood fringe Diperbolehkan kawasan 6.69
Sungai Sario perumahan dengan desain rumah
panggung dan tajuk vegetasi rapat
Arahan pemanfaatan ruang flood fringe Diperbolehkan sebagai taman 0.94
multifungsi
Sungai Sario terdapat pada unit administrasi Total 9.47
Kecamatan Sario dan Kecamatan Wanea. Pada Grand Total 50.63
Kecamatan Sario terdapat arahan pemanfaatan ruang Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2018
taman multifungsi. Sedangkan untuk kawasan
permukiman diperbolehkan dengan syarat adanya 5. Kesimpulan
upaya adaptasi dengan desain rumah panggung Penentuan lebar sempadan sungai untuk
dan/atau peninggian bangunan dan juga terdapat setiap wilayah di Indonesia tidak hanya berasarkan
arahan peruntukan ruang hunian vertikal disertai tajuk kebijakan dan peraturan yang berlaku pada level
vegetasi yang rapat. Sarana dan prasarana yang nasional. Akan tetapi, perlu mempertimbangkan
terdapat pada Kecamatan Sario juga memerlukan karakteristik sempadan sungai di masing-masing
upaya adaptasi berupa peninggian bangunan (Gambar wilayah, historis banjir, pemetaan Kawasan Rawan
13). Bencana (KRB), dan pemodelan banjir. Dengan begitu
Arahan peruntukan ruang Kecamatan sempadan sungai pada setiap wilayah akan berbeda
Wanea memiliki kemiripan dengan arahan dan lebih berfungsi untuk mengurangi risiko bencana
pemanfaatan Kecamatan Sario, yaitu diperbolehkan banjir. Pemanfaatan sempadan sungai harus
pengembangan taman multifungsi. Kawasan dikembalikan sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria
permukiman diperbolehkan dengan syarat adanya dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
upaya adaptasi dengan desain rumah panggung Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyusunan
dan/atau peninggian bangunan. Sarana dan prasarana Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan
yang terdapat pada Kecamatan Sario juga memerlukan Kota yaitu berfungsi sebagai kawasan lindung.
upaya adaptasi berupa peninggian bangunan. Sedangkan kawasan flood fringe, pemanfaatan
Arahan pemanfaatan ruang pada flood fringe ruangnya dapat sebagai kawasan budidaya non
Sungai Sario adalah 50,63 Ha. Sebagai rinciannya, terbangun yang dapat juga berfungsi sebagai
Kecamatan Sario yang berada pada Sungai Sario penampung aliran permukaan atau kawasan budidaya
seluas 41,16 Ha dan Kecamatan Wanea yang berada terbangun dengan konsep adaptasi terhadap bencana
pada Sungai Sario seluas 9,47 Ha. Arahan banjir.
66
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Pengembangan rumah susun di sempadan Savitri, E. & Pramono, I. B, “Analisis Banjir Cimanuk
sungai sebagai upaya adaptasi memerlukan desain Hulu 2016,” JPPDAS, vol. 1, no. 2, hal. 97-110,
yang mempertimbangkan mitigasi bencana/PRB. Oktober 2017
Dalam konsep desain ini sisi terluar yang dekat dengan Schad, I., Schmitter, P., Saint-Macary, C., Neef, A.,
bibir sungai adalah safety railings yang bertujuan untuk Lamers, M., Nguyen, L., … Hoffmann, V, “Why do
sebagai mitigasi struktural. Sedangkan terrace part dan people not learn from flood disasters? Evidence
gentle slope bank dapat sebagai sempadan sungai from Vietnam’s northwestern mountains,” Natural
yang berfungsi RTH dan RTP. Kemudian rumah susun Hazards, vol. 62, no. 2, hal 221-241, Oktober
berada pada super embankment. Sehingga lokasi 2011
rumah susun topografinya lebih rendah dibandingkan Soemabrata, J., Zubair, A., Sondang, I., & Suyanti, E,
RTH dan RTP. RTH dan RTP berfungsi sebagai “Risk mapping studies of hydro-meteorological
kawasan konservasi yang dapat melindungi rumah hazard in Depok middle city.” International
susun dari bahaya banjir. Journal of GEOMATE, vol. 14, no. 44, hal. 128-
Penelitian ini dapat ditindaklanjuti dengan 133, April 2018
menuangkan hasil kajian ini dalam muatan Rencana Suriadi, A. B., Arsyad, M., & Riadi, B, “Potensi Resiko
Tata Ruang Kota Manado. Sehingga pengaturan Bencana Alam Longsor (Potential Risk of
pemanfaatan ruang flood plain terutama sempadan Landslide Related to Extreme Weather in Ciamis
sungai bersifat legal. Dengan begitu tidak terdapat alih Region, West Java,” Jurnal Ilmiah Geomatika,
fungsi lahan pada sempadan sungai menjadi kawasan vol. 19, no. 1, hal. 57-63, Mei 2013
budidaya. Tingsanchali, “Urban Flood Disaster Management,”
Procedia Engineering. vol. 32, hal 25-37,
November 2011
DAFTAR PUSTAKA Voss, M, “The vulnerable can′t speak. An integrative
Anita, Juarni, “Structural and Non Structural vulnerability approach to disaster and climate
Approaches as Flood Protection Strategy in change research,” Behemoth: A Journal on
Muara Angke Settlement, North Jakarta”, dalam Civilisation, vol. 1, no. 3, Hal. 39–56, Januari
The Second International Conference on 2008
Sustainable Infrastructure and Built Environment Warouw, Fela. 2017. Adaptasi Permukiman Sungai di
(SIBE), 2013, hal. 1-9 Kampung Tubir Kota Manado terhadap Risiko
Austell Public Works. 2018. Beneficial Functions of a Banjir. Jurnal Arsitektur Daseng Unsrat Manado.
Floodplain. Georgia Vol. 6, No. 1
BMKG, “Fokus Utama Cuaca Ekstrim,” Buletin Yanto, Livneh, B., Rajagopalan, B., & Kasprzyk, J,
Pemantauan Ketahanan Pangan Indonesia, “Hydrological model application under data
BMKG, 2016 scarcity for multiple watersheds, Java Island,
BNPB, “Data dan Informasi Bencana Indonesia: Profil Indonesia” Journal of Hydrology: Regional
Kebencanaan,” BNPB, 2016 Studies, vol.9, no. 1, hal. 127-139. Desember
Gregersen, Hans M, Peter F. Ffolliott, Kenneth N. 2017
Brooks, “Integrated Watershed Management:
Connecting People to Their Land and Water”.
CAB International: London, 2007, hal. 87-96
Hapsari, R. I., & Zenurianto, M., “View of Flood Disaster
Management in Indonesia and the Key
Solutions”, American Journal of Engineering
Research, vol. 5, no. 3, hal 140-151, Maret 2016
67
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
ABSTRAK
Banjir genangan merupakan salah satu bencana yang banyak mengakibatkan kerugian harta benda. Terdapat banyak penyebab
terjadinya banjir genangan, salah satunya diakibatkan oleh kenaikan muka air laut karena pemanasan global. Wilayah pesisir utara
Bali, khususnya Kecamatan Buleleng merupakan wilayah yang rentan terdampak banjir genangan akibat kenaikan muka air laut.
Model spasial perlu dibuat untuk memahami sebaran spasial banjir genangan yang berpotensi terjadi di Kecamatan Buleleng. Model
banjir genangan dibuat dengan menggunakan analisis iterasi pada ILWIS. Data topografi berupa Digital Elevation Model diturunkan
dari interpolasi garis kontur Peta Rupa Bumi Indinesia. Penelitian ini bertujuan untuk membuat pemodelan spasial potensi banjir
genangan di pesisir Kecamatan Buleleng akibat kenaikan muka air laut. Hasil penelitian menunjukkan untuk skenario tinggi genangan
40 cm, secara umum seluruh wilayah pesisir Kecamatan Buleleng terdampak. Penggunaan lahan yang berpotensi tergenang adalah
area permukiman seluas 125.800 m2, sawah seluas 248.300 m2 , kebun seluas 60.500 m2 , dan lahan kosong seluas 13.025 m2 .
Hasil kajian diharapkan menjadi salah satu pertimbangan dalam perencanaan penggunaan tata ruang serta manajemen resiko
bencana di wilayah Kabupaten Buleleng.
Kata kunci : kenaikan muka air laut; banjir genangan, analisis neighborhood
ABSTRACT
Coastal flooding is one of the most destructive disasters resulting property losses in settlements. The cause of coastal flooding could
be several things, one of them is the sea level rise due to global warming. The northern coastal area of Bali, particularly the Buleleng
District, is an area prone to inundation due to rising sea levels. Spatial models need to be created to understand the spatial distribution
of inundation floods that may occur in Buleleng District. Coastal inundation models are created using iteration analysis in ILWIS.
Topographic data in the form of Digital Elevation Model is derived from interpolation of the contours of the RBI map. This study aims
to make spatial modeling of the potential for inundation in the coast of Buleleng District due to sea level rise. The results showed that
for the 40 cm inundation height scenario, the entire coastal area of Buleleng District is affected. Potentially inundated land uses are a
settlement area of 125,800 m2, paddy fields of 248,300 m2, gardens of 60,500 m2, and vacant land of 13,025 m2. The results of the
study is expected to be one of the considerations in planning the use of spatial planning and disaster risk management in the area of
the Regency of Buleleng.
kenaikan muka air laut global akan naik 28-98 cm pada 2. Metode Penelitian
tahun 2100 atau rata-rata 0,49 mm/ tahun. Lokasi Penelitian
Kota Singaraja yang terletak di bagian utara Lokasi kajian meliputi wilayah Kecamatan
Pulau Bali merupakan salah satu kota di wilayah pesisir Buleleng. Kota Singaraja yang merupakan ibukota dari
yang padat penduduk. Laporan Badan Kabupaten Buleleng berada di Kecamatan ini.
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat Kecamatan Buleleng terdiri dari 17 kelurahan dan 12
terjadinya gelombang pasang yang melimpas ke desa, dengan . Kondisi topografi di wilayah ini berada
permukiman penduduk setiap tahunnya (BPBD pada ketinggian antara 0-200 m dpl dengan morfologi
Kabupaten Buleleng, 2019). Dampak adanya lahan dataran yang memiliki sudut lereng 0-5% pada
gelombang pasang tersebut juga dirasakan oleh ketinggian 0-40 m dan perbukitan dengan sudut lereng
pedagang atau penyedia jasa di lokasi wisata. Belum 5-15% pada ketinggian 40-200 m. Bila ditinjau secara
terdata adanya banjir yang menggenang dalam waktu geologis, wilayah ini tersusun oleh perlapisan batuan
lama di Kota Singaraja, namun dengan lahan hasil letusan gunung berapi yang terjadi pada masa
terbangun yang luas di sepanjang pesisirnya, Singaraja yang berlainan. Batuan tersebut pada umumnya terdiri
dan Kabupaten Buleleng secara umum merupakan dari breksi, lava dan tufa kecuali sepanjang pantai
wilayah yang rentan terhadap kenaikan muka air laut. utara yang tersusun dari endapan aluvial. Sedangkan
Pemodelan spasial perlu dilakukan untuk memetakan jenis tanah ada wilayah ini adalah tanah regosol
wilayah yang berpotensi terdampak kenaikan muka air dengan tekstur sebagian besar dalam kategori tekstur
laut. Model ini menunjukkan distribusi spasial dari sedang. Secara klimatologis, di daerah pantai minimal
genangan yang akan terjadi di Kecamatan Buleleng 1.250 mm dan di daerah pegunungan maksimal 2.500
yang di dalamnya termasuk Kota Singaraja. Hasil mm. Luas seluruh wilayah Kecamatan Buleleng adalah
kajian diharapkan menjadi salah satu pertimbangan 27,89 km2 yang terdiri dari lahan sawah seluas 844,15
dalam perencanaan tata ruang serta manajemen risiko km2, tegal/huma seluas 464,46 km2, perkebunan
bencana di wilayah Kota Singaraja dan sekitarnya. seluas 121 km2, pekarangan seluas 1063,46 km2,
Kuburan seluas 6,61 km dan lahan lain-lain seluas
216,09 km2.
Gambar 1. Lokasi penelitian ditunjukkan oleh kotak berwarna kuning. (Pemerintah Kabupaten Buleleng, 2014)
69
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
pada garis pantai yang diasumsikan berketinggian 0. menampalkan peta skenario genangan dengan peta
Proses ini dilakukan dengan memasukkan script penggunaan lahan. Dari sini kemudian dapat diketahui
command pada ILWIS sesuai dengan skenario tinggi luas masing-masing jenis lahan yang terendam dalam
genangan yang diinginkan. skenario genangan. Diagram alir penelitian ditunjukkan
Berikutnya, identifikasi luas genangan pada Gambar 2.
dilakukan dengan metode superimposed, yaitu dengan
Gambar 2. Lokasi penelitian ditunjukkan oleh kotak berwarna kuning. (Pemerintah Kabupaten Buleleng, 2014)
3. Hasil dan Pembahasan kondisi pada tahun 2100 dengan asumsi kenaikan
Kecamatan Buleleng merupakan daerah muka air laut berlangsung terus dengan tingkat yang
yang rentan terdampak kenaikan muka air laut. Dari sama dengan saat ini. Berdasarkan prediksi kenaikan
wawancara dengan warga setempat, pemukiman muka air laut menurut Sriartha dan Putra (2015) yang
padat di tepi pantai Kecamatan Buleleng mengalami menyatakan tingkat kenaikan sebesar 0,51 cm/tahun,
banjir akibat gelombang badai yang terjadi setiap tahun maka dibuat skenario kenaikan sebesar 40 cm. Peta
di musim hujan. Pembuatan peta potensi genangan pemodelan genangan banjir rob dengan skenario 40
tidak menggambarkan kondisi saat ini, namun prediksi cm ditampilkan pada Gambar 3.
Pada skenario genangan 40 cm, air laut telah pada tahun 2100. Peta potensi genangan menunjukkan
merambah ke daratan sampai paling jauh 60 m. Lahan lahan permukiman dan pertanian di Kecamatan
di pesisir Kecamatan Buleleng yang digunakan sebagai Buleleng akan terdampak.
wilayah permukiman dan pertanian terdampak. Luas Berdasarkan peta potensi genangan ini,
permukiman yang terendam yaitu seluas 125.800 m2 , pengambil kebijakan dapat mengkaji perencanaan
sedangkan sawah yang tergenang seluas 248.300 m2 . pembangunan maupun pengelolaan risiko bencana di
Kenaikan muka air laut juga berdampak pada lahan Kec. Buleleng. saat ini merupakan salah satu wilayah
kebun yang tergenang seluas 60.500 m2 dan lahan yang berpotensi untuk mengembangkan sektor
kosong tergenang seluas 13.025 m2. Data luas lahan pariwisata sehingga perlu untuk memperhatikan
yang tergenang pada skenario genangan 40 cm dapat pembangunan sarana dan prasarana yang mendukung
dilihat pada Tabel 1. serta kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi
bencana yang akan terjadi.
Tabel 1. Luas lahan yang tergenang pada skenario
genangan 40 cm.
DAFTAR PUSTAKA
Penggunaan lahan Luas area tergenang (m2) Barth MC, Titus JG . 1984. Greenhouse effect and sea
Permukiman 125.800 level rise. Van Nostrand Reinhold, New York.
Sawah 248.300 IPCC (2014) Climate Change 2014: impacts,
Kebun 60.500
Lahan kosong 13.025 adaptation and vulnerability. Contribution of
working group II to the fifth assessment report of
Genangan banjir pada areal permukiman dapat the intergovernmental panel on climate change.
mengganggu aktivitas manusia dan memberikan Cambridge University Press, Cambridge, UK
dampak yang buruk bagi kesehatan dan kebersihan Marfai MA .2003. Tidal flood hazard
lingkungan. Menurut Marfai (2013) banjir genangan assessment:modelling in raster GIS, case in
merusak infrastuktur. Jalan dan bangunan yang western part of Semarang coastal area.
tergenang mengalami kerusakan atau pun penurunan Indonesian J Geogr 36(1):25-38
kualitas. Genangan yang melanda sawah dapat Marfai, M.A. 2004. “Tidal flood hazard assessment:
menyebabkan berhentinya produktivitas. Lahan modeling in raster gis, case in western part of
tersebut tidak bisa lagi dimanfaatkan untuk kegiatan Semarang coastal area”. Indonesian Journal of
pertanian. Imbasnya, produktivitas padi sebagai bahan Geography, 36(1), 25–38.
pangan akan menurun. Marfai MA, D Mardiatno, A Cahyadi, F Nucifera, dan H
Potensi kerugian akibat kenaikan muka air laut Prihatno. 2013. Pemodelan spasial bahaya
di Kecamatan Buleleng dapat dihindari. Kerugian banjir rob berdasarkan skenario perubahan iklim
terbesar dalam hal ini mengancam area permukiman dan dampaknya di pesisir Pekalongan. Jurnal
dan sawah. Dalam jangka pendek, program mitigasi Bumi Lestari, Volume 13 No. 2,: 244-256
struktural dengan membangun penahan gelombang Nicholls, JR, Mimura N. 1998. Regional issues raised
pasang di sepanjang pesisir atau meninggikan rumah by sea level rise and their policy implications.
dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang Clim Res, 11:5-18
ditimbulkan oleh kenaikan muka air laut. Bagaimana Sriartha, IP, dan IWKE Putra. 2015. Distribusi spasial
pun, solusi permanen dapat ditempuh dengan genangan air laut berdasarkan analisis data
penataan ruang yang memperhatikan potensi kenaikan satelit altimetri Envisat di wilayah pesisir barat
muka air laut. Kabupaten Buleleng, Bali. Jurnal Bumi Lestari,
Vol 15 No 2: 165-175.
4. Kesimpulan Ward, PJ, Marfai MA, Yulianto F. Hizbaron DR, Aerts
Berdasarkan penelitian terdahulu, muka air laut JCJH. 2011. Coastal inundation and damage
di pesisir Kabupaten Buleleng akan naik sekitar 40 cm exposure estimation: a case study for Jakarta.
Nat Hazard 56:899-916
71
Tema 4 - Dinamika Penggunaan Lahan di Wilayah Kepesisiran
dan DAS
72
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
ABSTRAK
Indonesia mempunyai banyak etnik dan suku bangsa, diman setiap etnik dan suku bangsa mempunyai sistem dan
pendekatannya sendiri dalam memahami dan bersikap terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Hampir setiap suku dan kelompok
etnis mempunyai sistem pengetahuan tradisional tersendiri bahkan telah melahirkan inovasi pengelolaan lingkungan dan
pemanfaatan sumberdaya alam yang unik berbasis adat dan budaya setempat (Marfai, 2013). Etika lingkungan memberikan
pemahaman bagaiman manusia bersikap dan bertindak terhadap lingkungan. Penghargaan terhadap lingkungan yang diwujudkan
melalui pengelolaan berkelanjutan, pemeliharaan dan pelestarian lingkungan merupakan bentuk-bentuk interpretasi dari etika
lingkungan. Dewasa ini, terjadi penurunan luas hutan mangrove di daerah pesisir dan vegetasi yang berada di daerah aliran
sungai. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang baik untuk menjaga kelestarian di daerah pesisir dan daerah aliran
sungai. Kelestarian di daerah pesisir dan daerah aliran sungai dapat terjaga tanpa mengindahkan kaidah -kaidah pelestarian
alam. Pengelolaan kawasan hutan mangrove yang bersifat top down tanpa melibatkan komunitas lokal seringkali dihadapkan
pada kenyataan tidak efektifnya atau tidak taatnya masyarakat dalam mengikuti aturan -aturan pengelolaan kawasan
mangrove (Murdiyanto, 2004). Pemerintah dan masyarakat mempunyai peranan yang sangat menentukan kelestarian hutan
mangrove. Penanganan yang komprehensif sangat berkontribusi terhadap pola pikir, pengetahuan dan ketrampilan
masyarakat dalam mengelola hutan mangrove. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi Kearifan Lokal dan mengidentifikasi
Pemanfaatan Pengelolaan Hutan Mangrove di Desa Tirtohargo Kabupaten Bantul. Metode Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif menggunakan studi kepustakaan dengan cara menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang diteliti
dari berbagai sumber informasi dan buku-buku ilmiah. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian proposal ini
dilakukan dengan observasi, kuisioner (angket), dan wawancara mandalam. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh kearifan
lokal terhadap pengelolaan hutan mangrove baik secara fisik, sosial ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat
di Desa Tirtohargo Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.
ABSTRACT
Indonesia has numerous ethnic groups, each of which has its own system and approach in understanding and managing natural
resources. Almost every ethnic group has their own traditional methods in managing natural resources; they were even able to create
unique, local culture-based innovations to manage and utilize those resources (Marfai, 2013). Environmental ethics provides
understanding in humans' behavior and action towards their environment. Appreciation to the environment, shown by sustainable
environmental management and preservation, are ways to interpret environmental ethics. Coastal mangrove forestry areas and
watershed area vegetations are radiply declining nowadays; therefore coastal and watershed areas need to be thoroughly preserved.
Coastal and watershed areas can be preserved without following environment conservation principles. A top down mangrove forest
management without involving local communities often ends in ineffectivness due to the locals' disobedience to the regulations set by
the government (Murdiyanto, 2004). Both the government and local communities have important roles in conserving and preserving
mangrove forests. A comprehensive management can contribute to the local communities' mindset, knowledge, and skills in managing
mangrove forests. This study aims to:
a. Identify the nlinfluence of local wisdom to mangrove forest management in Tirtohargo Village, Bantul District.
b. Identify the butilization and management of mangrove forest in Tirtohargo Village, Bantul District.
The method of this study is descriptive using literature study by collecting relevant information from various documents and scientific
books. Data used in this study is collected from observation, questionnaire, and in depth interview. Study results show that local
wisdom influences mangrove forest management phisically and socio-economically, by creating new workfields for the local
community of Tirtohargo Village, Bantul District, Yogyakarta Province.
Keywords: Local Wisdom, Mangrove, Environment
3.1. Keadaan Umum Hutan Mangrove dan Desa Gambar 3. Vegetasi Hutan Mangrove di Pantai Baros
Tirtohargo
Menurut BPS Bantul, Desa Tirtohargo secara
geografis berada pada koordinat 08o00’ dan 110o17’ 55”
3.2. Kearifan Lokal Masyarakat Desa Tirtohargo
BT. Suhu tertinggi yang tercatat di Desa Tirtohargo
Terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove
adalah 35ºC dengan suhu terendah 28ºC. Desa ini
Dusun Baros merupakan salah satu dusun di
memiliki 5 bulan hujan dengan curah hujan ± 1580-2748
Desa Tirtohargo yang memiliki hutan mangrove. Nilai-
mm/tahun. Bentangan wilayah di Desa Tirtohargo 95%
nilai yang tertanam tentang pentingnya menjaga hutan
berupa daerah yang datar sampai berombak dan 5%
mangrove sangat melekat di kalangan pemuda-pemudi
berupa daerah yang berombak sampai berbukit.
Baros. Berdasarkan observasi di lapangan dan
Ketinggian tempat Desa Tirtohargo dari permukan air
wawancara dengan para pemuda Baros, mereka
laut 3-4 meter di atas permukaan air laut. Desa
memiliki waktu rutin untuk kegiatan di kawasan hutan
Tirtohargo terbagi menjadi 6 wilayah pedukuhan yaitu :
mangrove.
Dusun Baros, Dusun Muneng, Dusun Gunung Kunci,
Dusun Gegunung, Dusun Kalangan, dan Dusun Karang.
Desa Tirtohargo memiliki luas tanah kering sebesar
121,98 ha, hutan konservasi sebesar 5 ha, dan hutan
mangrove sebesar 5 ha. Luas persawahan yang berada
di Desa Tirtohargo ini didukung dengan mata
pencaharian warga Desa Tirtohargo terbanyak pada
mata pencaharian buruh tani.
Kawasan konservasi hutan mangrove di Desa
Tirtohargo terbentuk sejak tahun 2003 atas kerja sama
LSM Relung dan Pemuda-Pemudi Baros. Pengelolaan
diserahkan penuh kepada kelompok Pemuda Pemudi
Baros pada tahun 2007 hingga saat ini. Vegetasi hutan Gambar 4. Kegiatan Pemuda Pemudi Baros
mangrove di daerah Pantai Baros terdiri dari Avicennia
sp, Rizophora sp, Bruguiera sp, Nypa frutican. Jenis Berbagai kegiatan kerap dilakukan, salah
yang paling dominan adalah Avicennia sp karena satunya adalah membersihkan kawasan hutan
memiliki struktur perakaran yang kuat sehingga dapat mangrove Pantai Baros yang sering kotor akibat sampah
menahan hempasan ombak dari pantai selatan Pulau yang dibawa oleh sungai. Masyarakat yang digerakkan
Jawa. oleh pemuda-pemudi Baros bergotong royong
membersihkan sampah yang mencemari kawasan hutan
mangrove. Ada sampah kasur, botol minuman, bungkus
snack, sepatu, baju, keset kaki, plastik, dan lainnya.
Menurut ketua pemuda pemudi Baros, setiap hari selalu
ada sampah yang dibawa sungai yang setiap hari
jumlahnya selalu meningkat.
Kawasan hutan mangrove berdampingan
dengan area pertanian masyarakat Desa Tirtohargo.
Area pertanian ini kerap dilanda buntu suangan yaitu
penutupan muara oleh pasir laut dan mengakibatkan
banjir di area pertanian. Solusi yang dilakukan warga
adalah bergotong royong membuat selokan agar air
dapat mengalir ke laut.
75
Gambar 1.5b.
4. Kesimpulan/Rekomendasi
Kearifan lokal adalah bagian dari budaya suatu
masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat
itu sendiri. Kearifan lokal masyarakat Desa Tirtohargo
dalam hal ini sebagai nelaya, petani dan tinggal di
daerah pesisir ikut berperan penting dalam pengelolaan
hutan mangrove baik secara fisik dan sosial ekonomi
sekaligus menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat
Baros Desa Tirtohargo Kecamatan Kretek Kabupaten
Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan
demikian perlunya dukungan dari pemerintah setempat
untuk menjadikan kearifan lokal sebagai pilar dalam
pengelolaan lingkungan selain itu juga pemerintah wajib
memberikan dukungan bagi industri kecil dari
masyarakat dalam pengelolaan kayu hasil hutan
mangrove.
DAFTAR PUSTAKA
77
Karakteristik Habitat Peneluran Penyu Hijau (Chelonia Mydas) di
Sebagian Pesisir Jawa Timur
Sunartoa, Arlita Prasetyaningruma, Arinda Eka Safitria, Djati Mardiatnoa
a,Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Sekip Utara Jalan Kaliurang,
Bulaksumur, Yogyakarta, 55281, e-mail: sunarto@ugm.ac.id
bDepartemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Sekip Utara Jalan Kaliurang,
ABSTRAK
Salah satu jalur aktif migrasi penyu di Jawa Timur adalah Pesisir Malang dan Pesisir Jember yang memiliki banyak habitat peneluran
Penyu Hijau di dalamnya, karena lokasinya berbatasan dengan Samudera Hindia. Penelitian ini bertujuan menganalisis karakteristik
geomorfik habitat peneluran Penyu Hijau di sebagian pesisir Jawa Timur. Karakteristik geomorfologi penting dikaji karena habitat
peneluran penyu berkaitan dengan kondisi geomorfologi. Metode pengumpulan data secara purposive sampling dengan cara
mengidentifikasi karakteristik di setiap sarang Penyu Hijau. Data yang diperlukan adalah, aspek morfologi (panjang, lebar, dan
kemiringan pantai); material (ukuran butir dan bentuk butir); dan proses (angin dan gelombang). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
morfologi di kedua pesisir tersebut memiliki kemiringan lereng 2-13%, yaitu sesuai untuk habitat peneluran Penyu Hijau. Material
berupa pasir sedang dengan kebundaran agak menyudut-kebundaran tinggi dan kebulatan sedang-tinggi. Angin tergolong dalam
udara ringan hingga sepoi kuat, dan memiliki tipe empasan surging.
ABSTRACT
Malang Coastal Area and Jember Coastal Area are one of the active migration routes in East Java that have a lot of Green Sea turtle
nesting habitats since their locations are bordering The Indian Ocean. Therefore, this research aims to analyze the geomorphological
characteristic of turtles’ nesting habitat in East Java. The characteristic of geomorphology is important to study because turtle nesting
habitats relate to geomorphological conditions. The method of collecting data was purposive sampling by identified characteristic in
each nest. The data required a morphology aspect (length, width, and coastal slope), material (grain-size and grain-shape) and
process (wind and wave). The results show that the parts of East Java have a suitable area for turtle nesting habitat because they
have 2-13% of coastal slope. Type of material is composed of medium sand with sub-angular to well-rounded and moderate-sphericity
to high-sphericity. The wind is classified as light air to strong wind, and the type of waveform is surging.
1. Pendahuluan
Penyu hijau merupakan salah satu penyu yang Pesisir Selatan Jawa merupakan jalur migrasi
paling banyak ditemukan di perairan Indonesia karena penyu untuk bertelur. Penyu memiliki karateristik tempat
Penyu Hijau merupakan reptil yang mampu bermigrasi bersarang yang khas sehingga tidak semua pantai dapat
jauh dan umumnya ditemukan di perairan bagian menjadi habitat peneluran penyu. menurut Yustina, dkk
subtropis dan tropis. Selain Penyu Belimbing, Penyu (2004), kemiringan pantai berpengaruh pada kehadiran
Hijau merupakan salah satu penyu terbesar karena penyu untuk melakukan peneluran. Pantai yang luas juga
memiliki diameter karapas yang besar. Bentuk kepala menjadi faktor habitat peneluran penyu. Salah satu
yang kecil, paruh yang tumpul, dan lemak di bagian perut contoh lokasi pendaratan penyu untuk bertelur adalah
yang berwarna hijau menjadi ciri khas dari jenis Penyu wilayah Pesisir Bajul Mati dan Pesisir Jolangkung,
Hijau. Kabupaten Malang, serta Pesisir Paseban dan Pesisir
Menurut Ibrahim, Djumanto, & Probosunu (2016), Nyamplong Kobong, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa
jumlah telur Penyu Hijau untuk sekali bertelur sebanyak Timur .
74-114 butir, namun rasio keberhasilan penyu sampai Sarang di pantai berpasir digunakan penyu sebagai
dewasa hanya berkisar 1 ekor dibanding 1000 ekor inkubator. Suasana dari lingkungan di suatu pantai harus
penyu. Oleh sebab itu, Penyu Hijau merupakan hewan dapat mendukung perkembangan embrio penyu.
yang dilindungi karena setiap tahun mengalami Persyaratan umum pantai peneluran penyu yakni
penurunan populasi. Penurunan populasi penyu juga merupakan pantai yang mudah dijangkau dari laut, posisi
dapat dikarenakan rusaknya kawasan pantai habitat pantai cukup tinggi dari permukaan air laut untuk
peneluran penyu, penurunan jumlah telur karena mencegah telur terendam saat air pasang serta memiliki
perburuan telur dan ancaman dari fisik pantai maupun pasir pantai dengan ukuran sedang dan relatif lepas-
aktivitas manusia. Menurut IUCN dalam Pratiwi (2016), lepas. (Satriadi, dkk, 2003). Habitat peneluran penyu
Penyu Hijau memiliki status yang rentan punah dalam berkaitan dengan kondisi biologi pantai seperti jenis
Appendix I. vegetasi, kondisi fisik pantai berupa panjang dan lebar
78
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
2. Metodologi
Lokasi penelitian berada di pesisir selatan Provinsi
Jawa Timur khususnya di pesisir Kabupaten Malang dan
Kabupaten Jember. Terdapat dua pesisir di Kabupaten
Malang, yaitu Pesisir Bajul Mati dan Pesisir Jolangkung,
dan terdapat dua pesisir di Kabupaten Jember, yaitu
Pesisir Paseban dan Pesisir Nyamplong Kobong. Secara
administratif Pesisir Bajulmati dan Pesisir Jolangkung
terletak di Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang.
Kedua pesisir tersebut letaknya bersebalahan. Pesisir
Paseban dan Pesisir Nyamplong Kobong terletak di Gambar 1. Lokasi Penelitian Pesisir Paseban dan Pesisir
Kecamatan Gumukmas dan Kecamatan Kencong, Nyamplong Kobong, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur
Kabupaten Jember secara berturut-turut. Keempatan
pesisir di Kabupaten Malang dan Kabupaten Jember
berbatasan dengan Samudera Hindia di bagian selatan.
Gambar lokasi penelitian di Pesisir Paseban dan Pesisir
Nyamplong Kobong dapat dilihat pada Gambar 1, dan
gambar lokasi penelitian di Pesisir Bajulmati dan Pesisir
Jolangkung dapat dilihat pada Gambar 2.
Metode penelitian yang digunakan untuk
mengidentifikasi karakteristik geomorfik untuk habitat
peneluran Penyu Hijau adalah metode purposive
sampling. Metode ini dilakukan pada setiap sarang jenis
Penyu Hijau (Chelonia mydas). Masing-masing sarang
kemudian dilakukan pengukuran aspek morfologi,
material, dan proses geomorfik. Data yang digunakan
dalam mengidentifikasi karakteristik geomorfik untuk
habitat peneluran penyu antara lain morfologi yang terdiri Gambar 2. Lokasi Penelitian Pesisir Bajul Mati dan Pesisir
dari panjang pantai, lebar pantai, dan kemiringan pantai; Jolangkung, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur
data material sedimen terdiri dari ukuran butir dan bentuk
butir; dan data proses geomorfik yang terdiri dari angin Tabel 1. Data yang Dibutuhkan
dan gelombang. No Aspek Data
Sumber data yang digunakan pada penelitian ini 1 Morfologi Pantai Data panjang gelombang, lebar
berupa data primer yang diperoleh melalui observasi pantai, dan kemiringan lereng.
langsung di lapangan. Data yang dibutuhkan dalam 2 Material Sedimen Data ukuran butir dan bentuk butir.
penelitian ini ditampilkan pada Tabel 1. Aspek morfologi 3 Proses Geomorfik Data angin yang terdiri dari
yang terdiri dari lebar pantai, dan kemiringan lereng kecepatan angin dan arah angin.
diperoleh melalui pengukuran menggunakan pita ukur, Data gelombang yang terdiri dari
sedangkan data panjang pantai menggunakan estimasi periode gelombang, panjang
gelombang, tinggi gelombang,
citra google earth. Teknik pengumpulan data material
tinggi empasan gelombang, dan
sedimen diperoleh dengan cara mengambil sampel
tipe empasan gelombang.
sedimen sebanyak 1 kg dengan menggunakan cetok ke Sumber data: Kebutuhan penulis, 2019
dalam plastik sampel. Material sedimen diambil dengan
cara mengggali sarang sedalam ±30 cm. Aspek proses
geomorfik untuk data angin diperoleh melalui
pengukuran AWS (Automatic Weather Station), dan data
gelombang diperoleh melalui perhitungan menggunakan
Rumus Airy (Pethick, 1984).
79
Teknik pengolahan data morfologi ditampilkan Penangkaran lama telur penyu yang ada di Pesisir Bajul
dalam bentuk tabel matriks. Data material sedimen Mati ditunjukkan pada Gambar 3.
berupa ukuran butir diolah melalui teknik pengayakan
atau sievening kemudian diolah menggunakan aplikasi
Gradistat. Aplikasi tersebut bertujuan untuk
menghasilkan menganalisa ukuran butir dan
menampilkannya dalam nilai-nilai statistik. Analisis
statistik ukuran butir sedimen yang ditampilkan dalam
ukuran statistik seperti mean, modus, skewness, sortasi,
dan standar deviasi (Blott & Pye, 2001). Data bentuk butir
diolah menggunakan tabel skala kebundaran dan skala
kebulatan. Data proses geomorfik yang meliputi angin
dan gelombang diolah melalui perhitungan
menggunakan Rumus Airy (Pethick, 1984).
Gambar 4. Peta Infografis Karakteristik Geomorfik Pesisir Bajul Mati, Kabupaten Malang
80
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Pesisir Bajul Mati memiliki panjang pantai sebesar 1,2 meter yang terletak dekat dengan garis pantai. Abrasi
788 m dengan lebar pantai berkisar dari 29,4-41,2 m dan pantai tersebut dapat menjadi penghambat penyu untuk
memiliki rata-rata lebar pantai sebesar 34,09 m. mencapai lokasi sarang untuk bertelur. Pengahalang
Kemiringan panta di kawasan ini berkisar darii 4-9% menuju pantai berupa tebing batu-batu cadas serta
dengan klasifikasi landai-miring dan rata-rata kemiringan gangguan lainnya seperti abrasi berpengaruh terhadap
pantai sebesar 5,75 %. Menurut Nuitja (1992) , kehadiran penyu di pesisir tersebut karena penghalang
kemiringan pantai dengan nilai 5,75% termasuk dalam tersebut menjadi penghambat penyu untuk meraih
kategori landai. Kemiringan pantai yang landai dapat tempat aman untuk bertelur (Yustina et al, 2004). Kondisi
memudahkan penyu untuk menuju tempat sarang abrasi pantai yang ditemukan di Pesisir Bajul Mati
peneluran. Namun pada salah satu satu titik pengamatan ditunjukkan pada Gambar 6.
ditemukan abrasi pantai yang cukup tinggi yaitu setinggi
Tabel 2. Hasil Rekapitulasi Karakteristik Geomorfik Habitat Peneluran Penyu di Pesisir Kabupaten Malang
Pesisir
Karakteristik Geomorfik Pesisir Bajul Mati
Jolangkung
Panjang Pantai (m) 788 694
Morfologi Lebar Pantai (m) 27,6-41,2 27,3-52,6
Kemiringan Pantai (%) 4-9 2-13
Rata-Rata (µm) 348,5-438,4 339,2-487,7
Tekstur Pasir sedang Pasir sedang
Sortasi Sortasi sedang-sortasi agak baik Sortasi sedang
Ukuran Butir
Kemencengan kasar Kemencengan kasar-kemencengan
Material Kemencengan
halus
Keruncingan Mesokurtik-platikurtik Mesokurtik-platikurtik
Kebundaran Bundar-sangat bundar Agak bundar-bundar
Bentuk Butir
Kebulatan Kebulatan tinggi Kebulatan sedang-kebulatan tinggi
0,89-12,7 1,1-11,01
Kecepatan Angin (m/s)
Angin
Arah Angin Timur Laut Timur Laut
Periode (detik) 9,33-12 9,3-11,93
Proses
Tinggi (m) 0,11-0,47 0,04-0,42
Gelombang Panjang (m) 165,1-224,6 134,9-222
Tinggi Empasan (m) 0,1-0,81 0,12-0,79
Tipe Empasan Surging Surging
Sumber data : Hasil pengolahan, 2019
Proses geomorfik terdiri dari angin dan gelombang. kuat menurut Skala Beaufort. Arah angin didominasi
Berdasarkan kecepatan angin, kondisi angin di Pesisir menuju ke timur laut, karena pengukuran dilakukan pada
Bajul Mati tergolong uadara ringan hingga angin sepoi bulan Januari (musim barat). Tipe gelombang di Pesisir
81
Bajul Mati adalah tipe surging yang memiliki karakteristik gelombang di Pesisir Jolangkung adalah tipe surging
pecah gelombang tepat di tepi pantai dengan tinggi yang memiliki karakteristik pecah gelombang tepat di tepi
gelombang berkisar 0,11-0,47 m. Tipe gelombang pantai dengan tinggi gelombang berkisar antara 0,04 -
didapatkan melalui perhitungan dari periode gelombang, 0,42 m . Tipe gelombang didapatkan melalui perhitungan
tinggi gelombang, panjang gelombang, dan tipe dari periode gelombang, tinggi gelombang, panjang
empasan gelombang. gelombang, dan tipe empasan gelombang.
Material penyusun dominan pasir dengan
klasifikasi pasir sedang dengan nilai mean dari ukuran
butir berkisar antara 339,3-486,2 µm. Bentuk butir di
Pesisir Jolangkung temasuk dalam agak bundar-bundar
dengan kebulatan sedang-kebulatan tinggi.
Tinggi abrasi
1,2 meter
82
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Gambar 9. Peta Infografis Karakteristik Geomorfik Pesisir Nyamplong Kobong, Kabupaten Jember
83
Tabel 3. Hasil Rekapitulasi Karakteristik Geomorfik Habitat Peneluran Penyu di Pesisir Kabupaten Jember
Pesisir
Karakteristik Geomorfik Pesisir Paseban
Nyamplong Kobong
Panjang Pantai (m) 750 3360
Morfologi Lebar Pantai (m) 42.29 - 87.9 30.8 - 40
Kemiringan Pantai (%) 2.44 - 7.34 5.42 - 12.63
Rata-Rata (µm) 264 - 336.1 337 - 398.8
Tekstur Pasir Sedang Pasir Sedang
Sortasi Sortasi Agak Baik Sortasi Agak Baik
Ukuran Butir
Kemencengan kasar - Simetri - Kemencengan
Kemencengan
Material Kemencengan halus halus
Keruncingan Mesokurtik – Platikurtik Mesokurtik - Leptokurtik
Agak Menyudut - Agak
Kebundaran Agak Bundar
Bentuk Butir Bundar
Kebulatan Kebulatan Tinggi Kebulatan Tinggi
Kecepatan Angin (m/s) 0.03 - 6.66 1.18 - 6.37
Angin
Arah Angin Barat dan Barat Laut Barat
Periode (detik) 15.5 - 16.9 16.3 - 20.7
Proses Tinggi (m) 0.0008 - 0.2118 0.037 - 0.197
Gelombang Panjang (m) 375.31 - 449.8 419.2 - 672.1
Tinggi Empasan (m) 0 - 0.9 0.0001 - 0.1172
Tipe Empasan Surging Surging
Sumber data : Hasil pengolahan, 2019
3.2.1 Pesisir Paseban Gambar 10. Kemiringan Pantai yang Landai di Pesisir
Morfologi dari Pesisir Paseban memiliki panjang Paseban
pantai 750 meter dengan lebar pantai rata-rata 61,36
meter. Kemiringan pantai di Pesisir Paseban berkisar Proses geomorfik terdiri dari angin dan
antara 2,44 sampai 7,34% dengan rata-rata kemiringan gelombang. Berdasarkan kecepatan angin, kondisi
pantai sebesar 4,67%. Kemiringan pantai <16% angin di Pesisir Paseban tergolong dalam skala 0
merupakan kemiringan pantai yang sesuai untuk (angin tenang) dan skala 4 (angin sepoi sedang)
habitat peneluran penyu (Nuitja, 1992). Kemiringan menurut Skala Beaufort. Arah angin didominasi menuju
pantai tersebut diklasifikasikan dalam kemiringan ke arah barat dan barat laut, karena pengukuran
pantai landai dan sesuai untuk habitat peneluran dilakukan pada bulan April (musim timur). Tipe
penyu. Menurut Nuitja (1992), semakin landai suatu gelombang di Pesisir Paseban adalah tipe surging
pantai maka semakin memudahkan penyu dalam yang memiliki karakteristik pecah gelombang tepat di
mencapai lokasi penelurannya. Berdasarkan Tabel 3 tepi pantai. Tipe gelombang didapatkan melalui
kemiringan pantai di Pesisir Paseban lebih landai perhitungan dari periode gelombang, tinggi
dibandingkan Pesisir Nyamplong Kobong. Kondisi gelombang, panjang gelombang, dan tipe empasan
kemiringan pantai yang landai dapat dilihat pada gelombang. Periode gelombang rata-rata di Pesisir
Gambar 10. Paseban adalah 16,3 detik, tinggi gelombang rata-rata
Material sedimen di Pesisir Paseban terdiri dari adalah 0.0998 meter, dan panjang gelombang rata-rata
aspek ukuran butir dan bentuk butir. Berdasarkan hasil adalah 419.23 meter.
analisis Gradistat, material sedimen di Pesisir Paseban 3.2.2 Pesisir Nyamplong Kobong
didominasi oleh pasir sedang (medium sand) dengan Berdasarkan Tabel 3, panjang pantai Pesisir
ukuran 250-500 µm. Sortasi atau pemilahan material Nyamplong Kobong adalah 3367 meter dengan lebar
pasir di Pesisir Paseban tergolong dalam klasifikasi pantai rata-rata 34,97 meter. Kemiringan pantai di
agak baik. Artinya, material sedimen di Pesisir Pesisir Nyamplong Kobong berkisar antara 5,42 -12,63
Paseban didominasi oleh tekstur pasir sedang dengan % dengan rata-rata kemiringan pantai sebesar 9,36%.
sortasi yang agak baik sehingga pasir memiliki Menurut Nuitja (1992) kemiringan pantai tersebut
kemampuan meloloskan air dengan baik. Kondisi tergolong dalam klasifikasi miring. Klasifikasi
tersebut mampu menjadi inkubator yang baik untuk kemiringan lereng kurang dari 16% masih tergolong
penyimpanan telur penyu agar tidak busuk. Aspek sesuai untuk habitat peneluran penyu. Kemiringan
bentuk butir didominasi oleh kebulatan yang tinggi dan pantai yang miring tersebut diakibatkan oleh adanya
kebundaran agak bundar. abrasi di beberapa titik pengamatan di Pesisir
Nyamplong Kobong. Adanya abrasi di Pesisir
Nyamplong Kobong juga menyebabkan mundurnya
garis pantai, sehingga lebar pantai akan semakin kecil.
Hal ini dibuktikan dengan perbandingan lebar pantai
yang lebih kecil di Pesisir Nyamplong Kobong
dibandingkan di Pesisir Paseban. Abrasi di Pesisir
Nyamplong Kobong dapat dilihat pada Gambar 11.
Berdasarkan hasil analisis Gradistat, material
sedimen di Pesisir Nyamplong Kobong didominasi oleh
pasir sedang (medium sand) dengan ukuran 250-500
µm atau 1-2 ɸ. Distribusi persentase ukuran butir yang
84
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
didominasi oleh pasir sedang menggambarkan adanya Tabel 4. Perbandingan Kesesuaian Habitat Peneluran
keseragaman dari proses pengendapan. Sortasi Penyu Menurut Nuitja (1992)
Pesisir Nyamplong Kobong tergolong dalam klasifikasi Parameter Kesesuaian Kabupaten Kabupaten
agak baik (moderately well sorted) dengan nilai antara habitat Malang Jember
peneluran
0,50-0,70 ɸ. Material pasir dengan pasir sedang dan penyu
sortasi agak baik menandakan bahwa permeabilitas
pasir yang cukup tinggi, sehingga dapat meloloskan air Lebar pantai 30-80 m 27,3-52,6 m 30,8-87,9 m
dengan baik. Bentuk butir sedimen di Pesisir
Nyamplong Kobong didominasi oleh kebulatan tinggi Kemiringan <16 % 2-13% 2,44-12,63
dan kebundaran agak bundar. Pantai %
Kecepatan angin Pesisir Nyamplong Kobong
tergolong dalam skala 1 (angin udara ringan) dan skala Tekstur Pasir Pasir Pasir sedang Pasir
4 (angin sepoi sedang). Arah angin didominasi menuju sedang- sedang
ke arah barat sebanyak 12 kejadian dari 30 kejadian pasir halus
arah angin. Tipe gelombang di Pesisir Nyamplong
Kobong adalah surging. Periode gelombang rata-rata Sumber: Nuitja (1992)
di Pesisir Nyamplong Kobong adalah 18,3 detik, tinggi
gelombang rata-rata adalah 0.1176 meter, dan panjang 4. Kesimpulan/Rekomendasi
gelombang rata-rata adalah 534 meter.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah karakteristik
geomorfologi wilayah pesisir habitat peneluran Penyu
Hijau di sebagian Pesisir Selatan Jawa Timur ditinjau
dari aspek morfologi, material dan proses. Wilayah
pesisir habitat peneluran Penyu Hijau memiliki
morfologi dengan kemiringan pantai sebesar 2-13%
yang termasuk dalam klasifikasi datar hingga miring.
Material penyusun di wilayah pesisir tersebut dominan
bertekstur pasir dengan klasifikasi termasuk dalam
pasir sedang serta bentuk butir dengan agak menyudut
hingga kebundaran tinggi serta kebulatan sedang
hingga tinggi. Ditinjau dari aspek proses geomorfik,
pesisir habitat peneluran Penyu Hijau memiliki angin
Gambar 11. Abrasi di Pesisir Nyamplong Kobong (dengan dengan klasifikasi udara ringan hingga sepoi kuat
tinggi 30 cm) denga tipe empasan surging yang memiliki karakteristik
3.3 Pesisir yang Ideal untuk Habitat Peneluran pecah gelombang tepat di tepi pantai. Gelombang
Penyu Hijau dengan tipe empasan tersebut dapat membantu penyu
Pesisir yang sesuai sebagai habitat peneluran untuk mencapai tempat bertelur.
Penyu Hijau adalah pesisir dengan kemiringan yang
tidak curam, memiliki material berpasir halus dengan
air laut yang memiliki arus kuat serta memiliki DAFTAR PUSTAKA
hamparan karang dengan rumput laut. Rumput laut Blott, S. J., & Pye, K. (2001). Gradistat: A Grain Size
tersebut merupakan nutrisi bagi Penyu Hijau Distribution and Statistics Package for the Analysis of
Unconcolidated Sediments. Earth Surface Processes
(Yakardinata, 2013). Berdasarkan pernyataan
and Landforms, 26, 1237–1248.
tersebut, sebagian Pesisir Jawa Timur memiliki
https://doi.org/10.1002/esp.261
karakteristik yang sesuai untuk habitat peneluran
Ibrahim, A., Djumanto, & Probosunu, N. (2016). Sebaran
Penyu Hijau. Kehadiran Penyu Hijau di sebagian lokasi peneluran penyu hijau (Chelonia mydas) di
Pesisir Jawa Timur diduga karena pesisir tersebut pulau sangalaki kepulauan derawan kabupaten berau.
merupakan lokasi yang cocok untuk bertelur. Berikut Jurnal Perikanan, 18(2), 39–46.
Tabel 4 kesesuaian menurut Nuitja (1992) dan hasil Nuitja, I. N. (1992). Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu
pengukuran karakteristik geomorfik di Pesisir Laut. Bogor: IPB Press.
Kabupaten Malang dan Pesisir Kabupaten Jember. Nuitja, I. N., & Uchida, I. (1983). Studies in the Sea Turtle-II
(The Nesting Characteristic of the Hawksbill and
Green Turtle). A jounal of Museum Zoologicum Bogor,
1(29), 63–79.
Pethick, J. (1984). An introduction to coastal geomorphology.
London: Edward Arnold Ltd.
Pratiwi, B. W. (2016). Keragaman Penyu dan Karakteristik
Habitat Penelurannya di Pekon Muara Tembulih,
Ngambur, Pesisir Barat. Universitas Lampung.
Satriadi, A., Rudiana, E., dan Af-Idati, N. (2003). Identifikasi
Penyu dan Studi Karakteristik Fisik Habitat
Penelurannya di Pantai Samas, Kabupaten Bantul,
Yogyakarta. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol 8 2 (69-75).
Yakardinata, S. 2013. Studi Ekologi Penyu di Pulau Beringin
85
Kecamatan Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir
Selatan Sumatera Barat. Skripsi. Universitar Bung
Hatta
Yustina, Suwondo, Arneritis, & Hendri, Y. (2004). Analisis
Distribusi Sarang Penyu Hijau Chelonia mydas Di
Pulau Jemur, Riau. Jurnal Biogenesis, 1(1), 31–36
Yusuf, A. (2000). Mengenal Penyu. Jakarta: Yayasan Alam
Lestari.
86
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
dennysugianto@yahoo.com
ABSTRAK
Kota Semarang merupakan kota yang terletak di pesisir utara provinsi Jawa Tengah, dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi
menyebabkan Kota Semarang menghadapi berbagai masalah lingkungan, terutama masalah pencemaran air tanah akibat dari
meningkatnya permukiman. Menjaga keberlangsungan air tanah baik dari segi kualitas maupun kuantitas sangat penting, maka
diperlukan upaya untuk mengetahui tingkat kerentanan air tanahnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui zona tingkat
kerentanan air tanah secara intrisik dan spesifik atau pengaruh penggunaan lahan. Metode penilaian kerentanan air tanah yang
digunakan dalam studi ini adalah metode Susceptibility Index (SI). Parameter yang digunakan dalam metode ini adalah peta
kedalaman muka air tanah, peta imbuhan air tanah, peta media akuifer, peta lereng dan peta penggunaan lahan. Dari hasil studi
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kerentanan air tanah intrisik dan kerentanan air tanah spesifik (penggunaan lahan),
kerentanan air tanah intrisik 23.2% dari total area merupakan zona kerentanan rendah, 51.3% zona kerentanan sedang, dan 25.5%
zona kerentanan tinggi, sedangkan kerentanan air tanah spesifik menunjukkan bahwa hanya 8.4% yang merupakan zona kerentanan
rendah, 50.3% zona kerentanan sedang dan 41.3% zona kerentanan tinggi dari seluruh area studi. Hasil studi menunjukkan adanya
perbedaan mendasar dari parameter penggunaan lahan dalam penilaian kerentanan air tanah terhadap pencemar.
ABSTRACT
Semarang City is a city located on the north coast of Central Java province, with a high rate of growth causing the City of Semarang
to face a variety of environmental problems, especially the problem of groundwater pollution due to increasing settlements.
Maintaining groundwater sustainability both in terms of quality and quantity is very important, so efforts are needed to determine the
level of vulnerability of groundwater. The purpose of this study is to find out the zone of the vulnerability of groundwater intricately and
specifically or the effect of land use. The method of assessing groundwater vulnerability used in this study is the Susceptibility Index
(SI) method. The parameters used in this method are maps of groundwater depth, groundwater recharge maps, aquifer media maps,
slope maps, and land use maps. The results of the study show that there is a difference between the vulnerability of intestinal
groundwater and the vulnerability of specific groundwater (land use), the vulnerability of groundwater 23.2% of the total area is a zone
of low vulnerability, 51.3% zone of moderate vulnerability, and 25.5% zone of high vulnerability, whereas Specific groundwater
vulnerability indicates that only 8.4% are low vulnerability zones, 50.3% are moderate vulnerability zones and 41.3% are high
vulnerability zones from all study areas. The results of the study indicate a fundamental difference in the parameters of land use in
the assessment of groundwater vulnerability to pollutants.
88
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Klasifikasi kedalaman muka air tanah SI=(Dw x Dr)+(Rw x Rr)+(Aw x Ar)+(Tw x Tr)+(LUw x LUr)
menunjukkan bahwa semakin dalam muka air tanah Keterangan:
maka potensi untuk tercemar semakin rendah, Dw = Bobot Kedalaman Muka Air Tanah
klasifikasi imbuhan air tanah menunjukkan bahwa Dr = Skor Kedalaman Muka Air Tanah
semakin kecil imbuhan air tanahnya maka potensi Rw = Bobot Imbuhan Air Tanah
bahan pencemar untuk masuk ke air tanah semakin Rr = Skor Imbuhan Air Tanah
rendah, klasifikasi media akuifer air tanah menunjukkan Aw = Bobot Media Akuifer
bahwa semakin tinggi sifat porous maka potensi bahan Ar = Skor Media Akuifer
pencemar untuk masuk ke air tanah semakin tinggi, Tw = Bobot Lereng
klasifikasi lereng yang didasarkan pada kelas lereng Tr = Skor Lereng
menunjukkan bahwa semakin rendah kelas lereng LUw = Bobot Penggunaan Lahan
maka potensi bahan pencemar untuk masuk ke air LUr = Skor Penggunaan Lahan
tanah semakin tinggi, sedangkan klasifikasi Pengolahan peta kerentanan airtanah intrinsik
penggunaan lahan menunjukkan tingkat skor dari silakukan dengan overlay parameter kedalaman muka
penggunaan lahan tersebut dalam menghasilkan air tanah, imbuhan air tanah, media akuifer, dan lereng,
pencemar. sedangkan pengolahan kerentanan air tanah spesifik
Pengolahan kerentanan airtanah dilakukan dilakukan dengan overlay parameter kedalaman muka
dengan overlay dengan menggunakan software Arcgis
air tanah, imbuhan air tanah, media akuifer, lereng, dan
10.2 untuk dipetakan dari parameter kedalaman muka
air tanah, imbuhan air tanah, media akuifer, lereng, dan penggunaan lahan, selanjutnya dilakukan
penggunaan lahan, yang kemudian dilakukan perkalian pengklasifikasian kerentanan air tanah sesuai dengan
skor dan bobot sesuai dengan tabel 1 yaitu dengan tabel 2 kerentanan instrinsik dan untuk kerentanan
rumus persamaan sebagai berikut: spesifik.
Nilai Kerentanan Air Tanah:
89
3. Hasil dan Pembahasan 2). Dari hasil pengambilan data dilapangan dan analisis
Pengukuran kedalaman muka airtanah dilakukan kedalaman MAT diperoleh zona kedalaman muka air
terhadap 30 sumur di pesisir Kota Semarang (Gambar tanah (Gambar 3).
Imbuhan airtanah didapat dari hasil perhitungan Semarang yang kemudian didelineasi berdasarkan
curah hujan dari tahun 2012-2017 (BPS Kota cakupan wilayah studi, media akuifer di Kota Semarang
Semarang, 2018). Dari hasil perhitungan pengurangan sesuai dengan wilayah studi terdapat 2 jenis yaitu breksi
curah hujan dengan evapotranspirasi dan limpasan pada formasi damar dan batupasir pada alluvium
maka didapatkan hasil imbuhan air tanah di kota (Thaden, Sumadirdja, & Richards, 1975), seperti yang
semarang sebesar 841.242 mm/tahun. Peta media terlihat pada Gambar 4.
akuifer didapat dari hasil penelitian terdahulu di Kota
90
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Peta lereng wilayah penelitian didapat dari hasil Gambar 5. Peta penggunaan lahan didapatkan dari
data sekunder DEM resolusi 5m yang diklasifikasikan hasil delineasi peta penggunaan lahan Kota Semarang
berdasarkan klasifikasi parameter lereng dari metode Tahun 2017 dengan menyesuaikan citra satellite google
SI, peta lereng lokasi penelitian dapat dilihat pada earth, seperti yang terlihat pada Gambar 6.
91
Gambar 6. Peta Penggunaan Lahan
92
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Peta kerentanan intrisik (Gambar 7) didapat dari kerentanan sedang terdapat selisih 1%, dan pada zona
hasil overlay seluruh peta yang masuk dalam kerentanan tinggi luasannya membesar 15.8%, dapat
parameter pembobotan, yang terdiri dari peta disimpulkan bahwa penggunaan lahan sangat
kedalaman muka air tanah, imbuhan air tanah, media berpengaruh dalam penilaian kerentanan air tanah,
akuifer, dan lereng, sedangkan peta kerentanan karena masuknya faktor aktivitas manusia sebagai
spesifik (Gambar 8) dilakukan dengan overlay penyebab terjadinya pencemaran air tanah, namun
parameter kedalaman muka air tanah, imbuhan air pengaruh dari penilaian kerentanan airtanah ini masih
tanah, media akuifer, lereng, dan penggunaan lahan, perlu penelitian lebih lanjut, guna memvalidasi
selanjutnya dilakukan pengklasifikasian kerentanan air kerentanan spesifik tersebut.
tanah sesuai dengan tabel 2 kerentanan instrinsik dan
untuk kerentanan spesifik. DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan hasil tumpeng susun BPS Kota Semarang. (2018). Kota Semarang Dalam Angka
(overlay)didapatkan perbedaan antara kerentanan Tahun 2018. Kota Semarang, Jawa Tengah.
intrisik dan spesifik, terkait luasan zona kerentanan Kodoatie, R. J. (2012). Tata Ruang Air Tanah (Ed. I).
baik dari kerentanan rendah, kerentanan sedang Yogyakarta: Penerbit Andi Offset.
Putranto, T. T., & Alexander, K. (2017). Aplikasi geospasial
hingga kerentanan tinggi. Dari hasil kalkulasi luasan menggunakan arcgis 10.3 dalam pembuatan peta
kerentanan intrisik didapatkan hasil kerentanan air daya hantar listrik di cekungan airtanah sumowono.
tanah intrisik 23.2% atau seluas Ha dari total area 8(1), 15–23.
merupakan zona kerentanan rendah, 51.3% zona https://doi.org/10.14710/presipitasi.v14i1.15-23
kerentanan sedang, dan 25.5% zona kerentanan tinggi, Putranto, T. T., Hidajat, W. K., & Susanto, N. (2017).
sedangkan kerentanan air tanah spesifik menunjukkan Developing groundwater conservation zone of
bahwa hanya 8.4% yang merupakan zona kerentanan unconfined aquifer in Semarang, Indonesia. IOP
rendah, 50.3% zona kerentanan sedang dan 41.3% Conference Series: Earth and Environmental
zona kerentanan tinggi dari seluruh area studi. Hasil Science, 55, 12011. https://doi.org/10.1088/1755-
1315/55/1/012011
studi menunjukkan adanya perbedaan mendasar dari Ribeiro, L., Serra, E., Paralta, E., & Nascimento, J. (2003).
parameter penggunaan lahan dalam penilaian Nitrate pollution in hardrock formations: vulnerability
kerentanan air tanah terhadap pencemar. and risk evaluation by geomathematical methods in
Serpa-Brinches aquifer (South Portugal). Proc IAH
4. Kesimpulan International Conference on Groundwater in
Dari hasil studi menunjukkan bahwa adanya Fractured Rocks, 377–378. Prague, Czech Republic.
pengaruh penggunaan lahan terhadap penilaian Riyanto, I. A., & Widyastuti, M. (2016). Kerentanan Intrinsik
kerentanan air tanah di daerah pesisir Kota Semarang, Dan Spesifik Airtanah Terhadap Pencemaran di
hal ini ditunjukkan dari perbedaan luasan zona Kecamatan Banjarnegara Dan Sekitarnya. Jurnal
Bumi Indonesia, 5(4), 1–17.
kerentanan yang dihasilkan, pada zona kerentanan Stigter, T. Y., Ribeiro, L., & Carvalho Dill, A. M. M. (2006).
rendah terdapat selisih 14.8% ketika pengunaan lahan Evaluation of an intrinsic and a specific vulnerability
dimasukkan kedalam parameter penilaian, sehingga assessment method in comparison with groundwater
zona kerentanannya lebih kecil, sedangkan pada zona salinisation and nitrate contamination levels in two
93
agricultural regions in the south of Portugal.
Hydrogeol J, 14, 79–99.
https://doi.org/10.1007/s10040-004-0396-3
Susanto, A. (2010). Strategi Konservasi Pemanfaatan Air
Tanah Sebagai Sumber Air Bersih Di Kota Semarang
Yang Berkelanjutan. Semnas Nasional FMIPA-UT,
(November), 1–11. Semarang.
Thaden, R. E., Sumadirdja, H., & Richards, P. W. (1975).
Peta Geologi Lembar Magelang-Semarang.
Bandung.
Widayanti, R. (2010). Formulasi Model Pengaruh Perubahan
Tata Guna Lahan terhadap Angkutan Kota di Kota
Depok. Jurnal Tata Guna Lahan, 1–10.
Wijaya, K. A., & Purnama, I. L. S. (2018). Kajian Kerentanan
Airtanah Terhadap Potensi Pencemaran di
Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul. Jurnal Bumi
Indonesia, 7(1), 1–10.
94
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
95
Modal Sosial dan Mitigasi Bencana Akibat Dampak Perubahan
Iklim
Muhammad Athif Firasmokoa, Estuning Tyas Wulan Meib, dan Muh Aris Marfaic
aProgram Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai, Universitas Gadjah Mada ; e-mail:
Muhammad.athif.f@gmail.com
bDepartemen Geografi Pembangunan, Universitas Gadjah Mada
cDepartemen Geografi Lingkungan, Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Bencana rob dan abrasi yang terjadi di pesisir Kabupaten Brebes akibat perubahan iklim semakin merugikan masyarakat. Masyarakat
pesisir Kabupaten Brebes memiliki modal sosial yang digunakan dalam upaya adaptasi dan mitigasi bencana tersebut. Modal sosial
dalam pengelolaan bencana memiliki peran penting yaitu membantu kesiapsiagaan dan tanggap darurat hingga proses pemulihan
dan rekontruksi akibat bencana. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis modal sosial masyarakat pesisir dalam upaya mitigasi
bencana akibat perubahan iklim dalam tiga tipologi modal sosial yaitu modal sosial bonding, bridging dan linking. Responden dalam
penelitian ini adalah masyarakat yang tergabung dalam kelompok peduli bencana di Desa Kaliwlingi, Sawojajar, dan Karangdempel
Kecamatan Brebes. Identifikasi modal sosial menggunakan pendekatan teori pengembangan top-down dan bottom-up yang
memperhatikan empat variabel yaitu integrasi, linkage, integritas dan sinergi Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial
bonding ditunjukkan dari rasa memiliki wilayah pesisr oleh masyarkat. Individu masyarakat terdorong untuk aktif melakukan mitigasi.
Modal sosial bridging mendorong individu untuk berkelompok, sehingga mitigasi dilakukan secara bersama agar lebih efisien dan
efektif. Adanya modal sosial linking dapat meningkatkan akses bantuan alat, komunikasi dan pertukaran informasi terkait mitigasi dari
stakeholder kepada masyarakat.
ABSTRACT
Tides and abrasions as the impact of climate change pose serious risks to coastal communities in Brebes Regency. The coastal
communities of Brebes Regency have social capital for disaster risk reduction as a form of disaster adaptation and mitigation
strategies. Social capital in disaster management is an effort to improve emergency preparedness and respond to the disaster
recovery and reconstruction process. The objective of this research is to analyze the social capital of coastal area societies in the
effort of disaster mitigation as the result of climate change into three social capital (bonding, bridging, and linking). The respondents
are the societies who join disaster care association in Kaliwlingi, Sawojajar, and Karangdempel Village, Brebes Subdistrict.
Identification of social capital uses a top-down and bottom-up development theory approach that considers four variables, integration,
linkage, integrity and synergy. The results showed that bonding social capital was shown from the sense of ownership of the coastal
areas by the community. Individuals in the community are encouraged to actively mitigate it. Bridging social capital encourages
individuals to group, so that mitigation is done together to be more efficient and effective. The existence of linking social capital can
improve access to aid tools, communication and information exchange related to mitigation from stakeholders to the community.
96
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Populasi responden adalah anggota kelompok masyarakat dan kondisi pesisir dari pertama melakukan
mangrove yang ada di setiap desa. Anggota kelompok upaya mitigasi hingga saat ini. Metode sensus digunakan
mangrove dinilai mengetahui perkembangan kondisi untuk menentukan sampel responden dalam kelompok.
97
Total terdapat 73 orang responden. Data yang didapat berulang dalam kurun waktu bulanan. Banjir rob dapat
dari responden kemudian dilakukan analisis deskriptif terjadi 1-2 kali dalam satu bulan dengan lama genangan
kuantitatif, dan memberikan analisis kualitatif untuk mencapai 1-3 hari. Kegiatan masyarakat dalam
memperdalam pembahasan. Hasil skoring dari pemanfaatan wilayah pantai menjadi pemukiman dan
parameter modal sosial menunjukkan kondisi modal tambak dapat meningkatkan kerentanan. Penanaman
sosial masyarakat. mangrove secara berkelompok mulai dilakukan pada
tahun 2005-2010 oleh masyarakat sebagai bentuk
3. Hasil dan Pembahasan mitigasi.
3.1. Kondisi Bencana Pesisir Kabupaten Brebes
Kabupaten Brebes adalah salah satu 3.2. Variabel modal sosial
kabupaten yang terletak di Pesisir Utara Jawa Tengah 3.2.1. Integrasi masyarakat
(gambar 1), tepatnya di barat laut dari Provinsi Jawa Status kependudukan dibedakan menjadi dua
Tengah. Kabupaten Brebes secara geografis terletak kategori, yaitu penduduk asli dan penduduk yang
antara 6o44’ sampai 7o21’ Lintang Selatan dan antara berpindah-pindah atau penduduk pendatang. Penduduk
108o41’sampai 109o11’ Bujur Timur (BPS, 2017). Luas asli adalah penduduk yang lahir di desa tersebut,
wilayah administrasi Kabupaten Brebes sebesar sementara penduduk pendatang atau berpindah-pindah
1.662,96 km2. Kabupaten Brebes terbagi dari 17 wilayah adalah penduduk dari daerah lain yang kemudian tinggal
kecamatan, yang terdiri dari 292 desa dan lima sementara atau sudah lama tinggal di desa tersebut.
kelurahan. Menurut Triyanti (2013), penduduk asli memiliki
hubungan kuat antar penduduk. Hubungan kuat antar
penduduk dapat menciptakan kerjasama yang kuat pula.
Berdasarkan data yang didapatkan di lapangan (Tabel
2), setiap desa terdapat penduduk pendatang/berpindah-
pindah sebesar kurang lebih 13-20%. Salah satu alasan
responden berpindah tempat tinggal karena ikatan
pernikahan dan ikatan saudara. Pendatang yang
bermukim di Desa Sawojajar dan Kaliwlingi adalah
masyarakat desa lain yang masih termasuk dalam
Kabupaten Brebes. Daerah asal dari penduduk
pendatang di Desa Karangdempel tidak hanya dari
Kabupaten Brebes, namun terdapat masyarakat
Cirebon.
Luas lahan kosong di sekitar tempat tinggal
dibedakan menjadi area sempit dan luas. Area yang
tergolong sempit adalah lahan kosong kurang dari 50 m2,
sementara yang tergolong luas adalah lahan kosong
yang lebih dari 50 m2. Lahan kosong yang luas masih
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perlindungan
pesisir. Berdasarkan hasil wawancara responden
masing-masing desa (Tabel 2), responden Desa
Karangdempel sekitar 85% mengatakan di Desa
Karangdempel memiliki lahan kosong yang sempit.
Resoponden Desa Sawojajar sekitar tujuh orang
mengatakan di Desa Sawojajar memiliki lahan kosong
yang luas, sementara di Desa Kaliwlingi sebanyak 80%
Gambar 1. Peta Kecamatan Pesisir Kabupaten Brebes mengatakan luas lahan kosong di Kaliwlingi tergolong
Hasil lapangan menunjukkan seluruh pesisir luas. Kondisi keberadaan lahan kosong berkaitan
Kabupaten Brebes mengalami abrasi dan banjir rob. dengan kerentanan dan potensi pengembangan
Abrasi dan rob mulai dialami dari tahun 1980an hingga kawasan mangrove. Semakin banyak lahan kosong yang
saat ini. Kondisi kenaikan muka air laut di pantai utara dapat dimanfaatkan sebagai lahan mangrove baru
jawa diperparah dengan konversi mangrove menjadi semakin baik untuk masyarakat, semakin banyak lahan
lahan tambak oleh masyarakat yang banyak dimulai kosong yang belum dimanfaatkan juga semakin rendah
pada tahun 1980an. Fungsi mangrove di Kabupaten kerentanan jika terjadi bencana.
Brebes sebagai pelindung pantai dari gelombang pun Penilaian homogenitas suku dan agama dilihat
semakin berkurang disebabkan luasan hutan mangrove pada banyaknya jumlah agama dan suku yang ada di
yang semakin sempit. Perubahan iklim mengakibatkan lapangan. Kategori homogenitas dibedakan menjadi dua,
meningkatnya gelombang laut yang menerjang pantai. homogen dan heterogen. Agama dapat tergolong
Gelombang tersebut mengakibatkan tergerusnya homogen jika hanya terdapat satu agama yang dianut.
sedimen pantai. Hasil observasi lapangan menunjukkan Sementara suku dikatakan homogen jika hanya terdapat
ketinggian pantai di Pesisir Brebes rata-rata 1-2 meter paling banyak dua suku. Keseragaman suku dan agama
diatas permukaan laut, hal tersebut menjadi salah satu menjadi sebuah keuntungan dalam integrasi di Desa
alasan tingginya potensi banjir rob di Pesisir Kabupaten
Brebes. Banjir rob di Pesisir Kabupaten Brebes terjadi
98
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
(Triyanti, 2013). Data homogenitas suku dan agama di demikian, di Desa Sawojajar terdapat sekitar empat
setiap desa penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. orang responden mengatakan tidak ada/kurang rutin
Pekerjaan adalah salah salah satu rutinitas agenda kegiatan sosial masyarakatnya. Desa Kaliwlingi
yang dilakukan seseorang setiap hari, dan kegiatan sosial masyarakat seperti kerja bakti, gotong
mempengaruhi pengetahuan maupun informasi yang royong, arisan ibu-ibu dan pengajian masih berjalan.
didapat setiap hari. Semakin heterogen jenis pekerjaan Kegiatan gotong royong dan kerja bakti rutin dilakukan
semakin sulit untuk menyatukan kepedulian atau arah satu bulan dua kali. Sebanyak 85% responden di
mitigasi yang dilakukan. Mata pencaharian di tiga desa Kaliwlingi mengatakan kegiatan sosial masyarakat sering
lokasi penelitian sangat bervariasi. Rata-rata pekerjaan dilakukan. Kegiatan pesta laut, festival pesisir dan
yang dilakukan adalah nelayan, petani, petambak, sedekah bumi menjadi kegiatan sosial tahunan yang
penggiat wisata, dan pedagang. Desa Sawojajar dan menjadi kearifan dalam peduli terhadap lingkungan
Kaliwlingi didominasi pendapat bahwa mata pencaharian pesisir. Data frekuensi kegiatan sosial masyarakat dapat
di masing-masing desa adalah heterogen. Pendapat dilihat pada Tabel 2. Semakin sering dilakukan kegiatan
mata penacaharian bersifat homogen mencapai 30% di sosial masyarakat dapat memperkuat ikatan dalam
Desa Karangdempel. Dominasi pekerjaan sebagai masyarkat. Robbins & Judge (2008) mengatakan bahwa
nelayan sangat telihat di Desa Karangdempel, terutama interaksi yang muncul ketika berkegiatan sosial adalah
di Dusun Crucuk tempat kelompok mangrove. Kawasan sumber utama memenuhi kebutuhan afiliasi. Afiliasi
pesisir dinominasi pekerjaan yang berkaitan dengan adalah kebutuhan-kebutuhan sosial yang dimiliki
sumberdaya pesisir, seperti petambak garam dan ikan, seseorang seperti rasa nyaman secara sosial dalam
pengiat wisata, nelayan dan pedagang yang sama-sama bermasyarkat. Setiap desa, 100% responden menilai
memiliki kepentingan untuk menjaga lingkungan pesisir. adanya kegiatan sosial berfungsi dan berdampak baik.
Data jenis mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 2. Ketersediaan fasilitas dasar dilihat dari adanya
Persentase frekuensi dari kegiatan sosial sarana pendidikan, ekonomi dan kesehatan.
masyarakat di Desa Karangdempel sebesar enam orang Keberadaan fasilitas dasar dapat meningkatkan modal
responden mengatakan kurang sering. Kegiatan gotong sosial masyarakat karena sebagai pondasi peningkatan
royong, arisan, dan pengajian di Desa Karangdempel kualitas sumberdaya manusia dalam mitigasi bencana.
masih terjaga meski kegiatan masing-masing dilakukan Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan di Desa
minimal satu bulan satu kali atau bahkan satu bulan lebih Sawojajar 18% responden mengatakan fasilitas dasar
untuk satu kali kegiatan. Kegiatan sosial masyarakat di tidak tersedia, di Desa Karangdempel 68% mengatakan
Desa Sawojajar yang masih berjalan dengan baik adalah fasilitas dasar tidak tersedia, dan di Desa Kaliwlingi 25%
gotong royong dan pengajian. Kegiatan kemasyarakatan mengatakan tidak tersedia fasilitas dasar.
tersebut biasa dilakukan satu bulan satu kali. Meskipun
3.2.2 Linkage masyarakat Desa Bedono dalam penelitian Triyanti et al., (2017).
Kelompok yang terbentuk karena kebutuhan Terbentuknya kelompok mangrove di Desa Bedono
masyarakat lebih kuat ikatannya dibandingkan dengan disebabkan sadarnya masyarakat setelah stakeholder
kelompok yang dibentuk karena permintaan pemerintah. melakukan kegiatan penanaman mangrove.
Berdasarkan hasil wawancara, dapat dilihat pada Tabel Kelompok yang memiliki kegiatan yang
3, responden Desa Sawojajar dan Kaliwlingi 100% terencana menunjukkan kesiapan kelompok.
mengatakan bahwa kelompok terbentuk karena Berdasarkan hasil wawancara (Tabel 3), responden
kebutuhan atau kesadaran masyarakat. Responden Desa Sawojajar 35% dan Desa Karangdempel 65%
Desa Karangdempel 20% mengatakan kelompok di mengatakan bahwa kelompok di desa masing-masing
Karangdempel terbentuk atas inisiasi pemerintah. tidak memiliki rencana kegiatan. Responden di Desa
Kondisi di Desa Karangdempel hampir sama dengan Kaliwlingi 100% mengatakan kelompok memiliki rencana
99
kegiatan terarah dalam menjalankan kegiatannya. wawancara (Tabel 3), responden Desa Sawojajar 18%
Keterikatan anggota dalam sebuah kelompok menjadi dan Kaliwlingi 22% mengatakan bahwa peraturan yang
penting karena anggota dapat mendukung atau tidak dibuat tidak laksanakan. Responden Desa
jalannya setiap kegiatan yang diadakan. Kelompok yang Karangdempel mencapai 72% mengatakan peraturan
dapat mengikat anggotanya menunjukkan kesiapan kelompok di Karangdempel tidak dipatuhi.
kelompok. Berdasarkan hasil wawancara (Tabel 3), Jumlah dan status pembelian sarana
responden Desa Sawojajar 28% dan Desa prasarana perlindungan coastal area dapat menunjukkan
Karangdempel 40% mengatakan bahwa anggota kemandirian kelompok. Responden di Desa Sawojajar
kelompok di desa masing-masing tidak terikat oleh 28% dan Desa Karangdempel 68% mengatakan
kegiatan. Di Desa Sawojaja terdapat permasalahan kelompok tidak memiliki sarana prasarana lebih dari dua.
internal kelompok, sehingga terdapat anggota yang Sementara Desa Kaliwlingi 100% responden
mulai tidak aktif dalam kegiatan. Responden di Desa mengatakan kelompok memiliki sarana prasarana
Kaliwlingi 100% mengatakan anggota kelompok sangat perlindugan coastal area lebih dari dua (Tabel 3). Status
terikat oleh kelompok. Anggota kelompok Desa Kaliwlingi memperoleh sarana prasarana di Desa Sawojajar
diharuskan untuk mengikuti setiap kegiatan dan telah sebanyak 55% responden dan di Desa Kaliwlingi
tercatat memiliki peran masing-masing. Keterikatan sebanyak 60% responden mengatakan bahwa sarana
anggota di Kaliwlingi berbanding lurus dengan jumlah prasarana didapatkan dari bantuan pemerintah.
anggota kelompok yang terdaftar dan aktif. Sementara Desa Karangdempel 100% responden
Berdasarkan hasil wawancara (Tabel 3), mengatakan sarana prasarana yang didapatkan dari
responden Desa Sawojajar 72%, Desa Karangdempel bantuan (Tabel 3). Kelompok di Desa Karangdempel
85%, dan Desa Kaliwlingi 45% mengatakan bahwa hanya memiliki lahan yang luas untuk area penanaman
regenerasi anggota kelompok tidak berjalan baik. mangrove serta bambu sebagai alat tanam. Peralatan
Regenerasi yang dikatakan berjalan baik adalah ketika kelompok seperti kapal dan bibit didapatkan dari
terdapat anggota baru yang bergabung secara rutin, atau bantuan-bantuan pihak luar. Luas lahan yang dimiliki
terdapat proses kaderisasi untuk menggantikan anggota untuk ditanami mangrove lebih dari 15 ha. Perlengkapan
yang sudah tua. Anggota kelompok Desa Kaliwlingi untuk menanam dan menjaga mangrove milik kelompok
memiliki sebaran umur yang beragam, banyak anggota di Desa Sawojajar dan Kaliwlingi cukup lengkap.
berumur 20an tahun yang aktif. Sementara Desa Ketersediaan perlengkapan banyak dibantu oleh pihak
Sawojajar dan Karangdempel rata-rata berumur 30 tahun luar seperti pemerintah dan swasta karena keberadaan
ke atas. Triyanti et al. (2017) mengatakan bahwa kelompok. Keberadaan kelompok meningkatkan akses
keanggotaan di kelompok mangrove Desa Bedono terdiri bantuan untuk masyarakat, seperti dalam penelitian
dari laki-laki tua dan muda, dan sebagian besar adalah Triyanti et al, (2017) anggota kelompok mangrove di
nelayan. Peraturan kelompok dibuat untuk mencapai Desa Bedono merasakan keuntungan status sosial dan
tujuan terbentuknya kelompok. Peraturan-peraturan akses ke peluang keuangan dan pekerjaan baru setelah
terkait perlindungan pesisir jika tidak dipatuhi dapat berkelompok.
mendukung kerusakan pesisir. Berdasarkan hasil
3.2.3. Integritas Stakeholder Kabupaten Brebes bervariasi. Sementara di Desa Kaliwlingi 100%
Homogenitas kegiatan menunjukkan responden berpendapat bahwa kegiatan stakeholder
banyaknya jumlah jenis kegiatan yang diberikan oleh sudah baik (Tabel 4). Kegiatan yang telah dilakukan di
stakeholder kepada kelompok. Semakin banyak kegiatan Desa Kaliwlingi antara lain sosialisasi, penyuluhan,
yang dilakukan stakeholder artinya semakin kompleks bantuan fisik, pembuatan system penyelamatan dini,
dan rinci upaya yang dilakukan stakeholder untuk pendampingan pembangunan, dan membuat peraturan.
masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara, responden Sementara kegiatan di Desa Sawojajar dan Desa
Desa Sawojajar 10%, Desa Karangdempel 40%, Karangdempel antara lain sosialisasi, penyuluhan, dan
mengatakan bahwa kegiatan stakeholder kurang bantuan fisik.
100
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
3.2.4. Sinergi masyarakat dengan stakeholder persaingan yang muncul mampu mengurangi
Hubungan yang baik antar kelompok kemampuan mereka untuk menggunakan jaringan
mangrove yang berbeda desa menunjukkan sinergi yang mereka secara optimal (Triyanti et al, 2017).
baik dalam upaya perlindungan pesisir. Berdasarkan Kecemburuan kelompok Desa Karangdempel dapat
hasil wawancara, di Desa Sawojajar dan Kaliwlingi merusak hubungan antar kelompok dan berdampak
responden 100% mengatakan berhubungan baik antar buruk pada kelompok. Data hubungan antar kelompok
kelompok mangrove. Hubungan baik antar kelompok mangrove berbeda desa dapat dilihat pada Tabel 5.
tercermin dari sering adanya kegiatan studi banding Hubungan kelompok mangrove dengan stakeholder
untuk saling bertukar informasi dan ilmu. Terdapat 20% dapat memperlihatkan keharmonisan sosial. Hubungan
di Desa Karangdempel yang menyatakan hubungan baik dapat menciptakan kondisi sosial yang mendukung
kurang baik karena terdapat kecemburuan sosial. untuk bekerjasama. Berdasarkan hasil wawancara, di
Kecemburuan sosial yang muncul akibat bantuan yang Desa Karangdempel dan Kaliwlingi terdapat responden
menurut kelompok Desa Karangdempel adalah hak sebesar 45% dan 5% mengatakan terjadi hubungan
mereka, namun diberikan kepada kelompok lain. Studi kurang baik antar kelompok mangrove dengan
Desa Bedono menunjukkan kelompok mangrove disana stakeholder (Tabel 5). Sementara di Desa Sawojajar
bersaing untuk mendapatkan bantuan. Kondisi terdapat 100% responden berpendapat terdapat
101
hubungan yang baik antar stakeholder dan kelompok kerjasama (Triyanti et al., 2017). Data frekuensi interaksi
mangrove. Sementara kondisi dilapangan di Desa stakeholder dengan kelompok dapat dilihat pada Tabel
Sawojajar terdapat penurunan kepercayaan dari 5.
stakeholder terhadap kelompok. Turunnya kepercayaan Kegiatan kelompok yang dilakukan bersama
dikarenakan penyalahgunaan bantuan oleh oknum dengan stakeholder dapat terjadi jika kelompok
pengurus kelompok. Perhatian stakeholder kepada mengajukan proposal. Jika kelompok tidak membuat
kelompok Desa Sawojajar dapat menurun. Pendapat proposal terlebih dahulu, maka kemungkinan untuk
pejabat di Desa Bedono yang mengatakan terdapat bekerjasama cukup sulit. Berdasarkan hasil wawancara,
perbedaan dalam memberi perhatian kepada kelompok di Desa Karangdempel, Sawojajar, Kaliwlingi terdapat
tergantung antusiasme masyarakat (Triyanti et al., 2017). responden sebesar 55%, 72%, dan 32% mengatakan
Frekuensi interaksi menunjukkan gambaran sulit untuk bekerjasama (Tabel 5). Setiap kelompok
komunikasi yang dilakukan oleh stakeholder dan mendapat respon yang berbeda ketika mengajukan
kelompok. Frekuensi interaksi tinggi antara stakeholder proposal. Kelompok Desa Karangdempel merasa tidak
dengan kelompok menunjukkan hubungan yang baik mudah untuk mendapatkan dukungan dari proposal yang
antara keduanya. Desa Sawojajar memiliki persentase diajukan. Sementara Desa Kaliwlingi lebih mudah
35% orang dan Desa Karangdempel sebesar 48% untuk mendapatkan dukungan ketika mengajukan proposal.
kurang interaksi antara kelompok dengan stakeholder. Manfaat jaringan dengan stakeholder
Desa Kaliwlingi mengaku sering dengan periode minimal menandakan bahwa masyarakat merasakan peran
satu bulan satu kali dalam berinteraksi. Permasalahan stakeholder. Berdasarkan hasil wawancara, di Desa
internal kelompok di Desa Sawojajar dalam dua tahun Karangdempel dan Kaliwlingi 100% responden
terakhir mengakibatkan tidak banyak aktivitas mengatakan adanya jaringan memberi manfaat.
stakeholder di kelompok dan Desa Sawojajar. Sementara di Desa Karangdempel terdapat tiga orang
Sementara di Desa Karangdempel interaksi yang kurang responden mengatakan jaringan tidak bermanfaat pada
karena hanya beberapa stakeholder yang melakukan kelompok mangrove. Persentase kurangnya manfaat
aktivitas di Desa Karangdempel. Interaksi dengan jaringan di Karangdempel disebabkan kurang
stakeholder di Desa Karangdempel satu bulan satu kali maksimalnya dukungan pada proposal yang diajukan
atau lebih jarang. Interaksi kelompok mangrove di tingkat kelompok. Data manfaat yang dirasakan dengan adanya
Desa Bedono dengan stakeholder terkait dapat jaringan dengan stakeholder dapat dilihat pada Tabel 5.
berlangsung sebulan sekali atau lebih jika terdapat
3.3. Modal Sosial di Pesisir Kabupaten Brebes karung berisi pasir untuk menghambat rob masuk ke
Kegiatan sosial berjalan dengan teratur, rumah. Modal sosial bonding sangat terasa di Desa
terdapat kegiatan bulanan maupun tahunan. Kegiatan Kaliwlingi, rasa memiliki wilayah pesisir sebagai tempat
tahunan berupa kearifan lokal seperti kegiatan pesta laut, lahir, tinggal dan mencari nafkah tiap individu
festival pesisir dan sedekah bumi menjadi salah satu membentuk ikatan yang kuat di masyarakat. Azahro &
kearifan yang mengarah pada masalah lingkungan dan Angga (2017) mengatakan bahwa di Desa Kaliwlingi
upaya perlindungan pesisir. Kearifan yang berjalan dalam pelestarian mangrove didasari oleh rasa nasib
menimbulkan rasa takut, hormat dan peduli di yang sama atas kerusakan dan kehilangan yang dialami.
masyarakat terhadap ekosistem pesisir. Kesadaran Rasa memiliki wilayah pesisir oleh masyarakat pesisir
masyarakat semakin meningkat dalam upaya Brebes mendorong untuk bergerak aktif melakukan
perlindungan pesisir, masyarakat menjadi peduli untuk mitigasi seperti upaya penanaman mangrove.
menanam dan merawat mangrove. Kegiatan sosial Keberadaan kelompok mangrove Dewi
masyarkat yang bersifat bulanan seperti kerja bakti, Mangrove Sari di Desa Kaliwlingi, kelompok Wana
gotong royong, arisan ibu-ibu dan pengajian berjalan Lestari di Desa Sawjajar, dan Kelompok Mina Makmur di
setiap satu atau dua kali dalam satu bulan atau ada yang Desa Karangdempel menjadi bukti adanya modal sosial
tidak tentu. Sering kali kerjabakti dan gotong royong Bridging. Terbentuknya kelompok mampu membuat
diarahkan pada kegiatan penanaman dan perawatan peraturan terkait pengelolaan hutan mangrove. Adanya
mangrove untuk memanfaatkan lahan dan pembuatan peraturan yang dikeluarkan kelompok dapat memperluas
102
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
104
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
a,b,c Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai, Program S-2 Geografi, Fakultas Geografi,
Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, 55281
aisminuari@gmail.com; bdanis.naja@gmail.com; cfadhiyarizka1101@gmail.com
ABSTRAK
Wisata Bahari Pemuteran terletak di pesisir utara Bali dengan potensi keindahan alam berupa terumbu karang. Hal tersebut menjadi
modal yang strategis dalam kegiatan ekonomi masyarakat lokal. Dalam sejarahnya, pengembangan wisata bahari Pemuteran tak
lepas dari peran pemangku kepentingan lokal dan kesadaran masyarakat lokal, sehingga Pemuteran kini dikenal sebagai desa wisata
yang mampu memberikan dampak manfaat kepada masyarakat lokal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak manfaat
baik langsung maupun tidak langsung yang diterima masyarakat dengan adanya wisata bahari. Data dikumpulkan dengan observasi,
wawancara, penyebaran kuisioner, studi literatur dan dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa dampak langsung yang diterima masyarakat berupa perubahan mata
pencahariaan yang berkaitan dengan wisata dan kenaikan pendapatan per bulan dengan rata-rata pendapatan per bulan di atas Rp
2.000.000,- . Sedangkan dampak tidak langsung berupa dampak lingkungan, sosial budaya dan adanya nilai tambah.
ABSTRACT
Pemuteran Marine Tourism is on the northern coast of Bali with the potential for its natural beauty consisting of coral reefs. This has
become a strategic capital in the economic activities of local communities. In its history, the development of Pemuteran marine tourism
is inseparable from the role of local stakeholders and awareness of the local community, so Pemuteran is now known as a tourist
village that is able to provide benefits to local communities. This study aims to analyze the benefits either directly or indirectly received
by the community in the presence of marine tourism. Data was collected by observation, interview, questionnaire distribution, literature
study and documentation techniques. The data analysis technique was conducted in a qualitative descriptive manner. The results
obtained from this study indicate that the community immediately accepts changes in livelihoods and increases in money, while indirect
impacts are the environment, socio-culture and added value.
106
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
108
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Hasil penelitian menunjukkan kesadaran Surtikanti, H.K., Syulasmi, A., & Fatimah , T. 2019. Traditional
masyarakat yang meningkat membuat pengembangan Knowledge of Local Wisdom of Aga Tenganan
wisata bahari Pemuteran menjadi sarana untuk Pegringsingan Bali about Environmental Concervation
meningkatkan perekonomian. Dampak langsung yang and Sanitation. IOP Conf: Jounal of Physics: Conf.
Series 1157. doi:10.1088/1742-6596/1157/2/022117
diterima masyarakat berupa perubahan mata Trialfhianty, Tyas Ismi. Suadi. 2017. The Role Of Community
pencaharian dan peningkatan pendapatan. Perubahan In Supporting Coral Reef Restoration in Pemuteran, Bali,
mata pencaharian terjadi dari masyarakat yang bekerja Indonesia, Journal Coast Conversation, Vol. 21, Hal:
pada sektor usaha lain, kini sebagian besar menjadi 873-882.
pemilik dari usaha di bidang pariwisata. Sedangkan
peningkatan pendapatan pada masyarakat di bidang
sektor pariwisata meningkat rata-rata sebesar dua kali
lipat dibanding pendapatan sebelum adanya wisata.
Dampak tidak langsung yang diterima masyarakat
adalah dampak lingkungan, dampak sosial budaya dan
dampak adanya nilai tambah.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Buleleng. 2010-2017.
Kabupaten Buleleng Dalam Angka 2010-2017. BPS.
Buleleng.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Buleleng. 2018. Kabupaten
Buleleng Dalam Angka 2018. BPS. Buleleng.
Citra, M.E.A, Wibawa, I.M.S, & Wiasta, I.W. 2017. Pecalang
Sebagai Panyukerta Desa Adat Kutuh. Seminar
Nasional Riset Inovatif 2017. ISBN: 978-6026428-11-0.
Pp. 269-274
Das, M., Chatterjee, B., 2015. Ecotourism: a panacea or a
predicament? Tour. Manage.Perspec.14,3–16.
https://doi.org/10.1016/j.tmp.2015.01.002
Dewi, N I K, et all. 2018. Exploring The Potential Of Cultural
Villages As A Model Of Community Based Tourism.
Journal of Physic. Conf Series 953 012072.
Jamison N . 2009. The role of biorock artificial coral reefs in the
sustainable governance of marine protected areas: a
case study of Pemuteran, Bali, 60 p., M.Sc Thesis,
Sustainability and Management Programme,
Department of Geography, Royal Holloway College,
University of London
Kevin X.L, Mengjie, J. & Wenming, S. 2018. Tourism as
Important Impetus to Promoting Economic Growth: a
Critical Review. Tourism Management Perspectives.
26(2018) 135-142.
Kristanto, B., Fahrudin, A. & Salim, Z. 2019. Determinants of
sustainable small islands torism management: Case
study of Pahawang Island, Indonesia. IOP. Conf. Series:
Earth and Environmental Science 241(2019)012015.
doi:10.1088/1755-1315/241 /1/012015
Lakhsmi, S.R. & Shaji, T.L. 2016. Transformation of Coastal
Settlement Due To Tourism. International Conference
on Emerging Trends in Engineering, Science and
Technology (ICETEST- 2015). Procedia Technology
24(2016) 1668–1680 doi: 10.1016/j.protcy. 2016.05.188
Lu, W., Stepchenkova, S., 2012. Ecotourism experiences
reported online: classification of satisfaction attributes.
Tourism Manag. 33 (3), 702-712.
https://doi.org/10.1016/j.tourman.2011.08.003
Roza, E. 2017. Maritim Indonesia, Kemewahan Yang Luar
Biasa. Dakses pada 31 Maret 2019 dari Website
Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia: http://kkp.go.id/artikel/ 2233-maritim-
indonesia-kemewahan-yang-luar -biasa
Spalding, M., Burke, L., Wood, S.A., Ashpole, J., Hutchison, J.
Ermgassen, P. 2017. Mapping the global value and
ditribution of coral reef tourism. Marine policy 82 (2017)
104-113.
109
Kemitraan Tiga Pihak Antara BMKG, Instansi Pemerintah Dan
Masyarakat Dalam Pengelolaan Pengamatan Curah Hujan Di
Sulawesi Selatan
a,bPusat Meteorologi Publik BMKG Jakarta, Jl. Angkasa 1 No. 2 Kemayoran, DKI Jakarta, 10610; e-mail:
afachriradjab@gmail.com; bkiki.ekasiwi@gmail.com
ABSTRAK
Pengamatan curah hujan yang baik mutlak diperlukan untuk menghasilkan informasi cuaca yang tepat dan akurat. Saat ini
pengamatan curah hujan di Indonesia dikelola oleh berbagai pihak dan dikoordinir oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG). BMKG memiliki jejaring pengamatan curah hujan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun dari sisi jumlah dan
sebaran, jejaring pengamatan curah hujan yang ada saat ini belum ideal. Perlu dilakukan penambahan kerapatan jejaring
pengamatan. Guna menambah kerapatan jejaring pengamatan curah hujan, BMKG perlu menjalin kemitraan dengan berbagai pihak
termasuk dengan instansi pemerintah dan masyarakat umum. Penelitian ini mencoba mengidentifikasi model kemitraan yang ideal
untuk pengelolaan pengamatan curah hujan di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. Metode yang digunakan dalam kajian ini
adalah metode penelitian kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan dan menganalisis teori serta data hasil penelitian. Tiga variabel
kemitraan, yaitu motivasi, konsistensi dan keberlanjutan serta dua variabel determinan, yaitu pembinaan dan insentif digunakan dalam
penelitian ini. Berdasarkan hasil survey dari 32 orang responden serta hasil analisis data rekapitulasi data pengiriman curah hujan
selama 6 bulan dari 257 pos pengamatan hujan kerjasama BMKG, didapati bahwa model kemitraan yang paling ideal adalah
pengoperasian bersama dan ditambah dengan unsur pembinaan secara intensif kepada para pengamat. Kemitraan BMKG dengan
instansi pemerintahan maupun masyarakat umum yang saat ini telah berjalan menunjukkan bahwa aspek motivasi untuk bermitra
telah cukup memuaskan, serta cukup konsisten terutama untuk pos pengamatan curah hujan yang telah dilengkapi dengan teknologi
pengiriman data otomatis. Namun untuk aspek keberlanjutan masih menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, begitupun dengan
konsistensi pengiriman data hasil pengamatan oleh pos pengamatan curah hujan kerjasama yang belum dilengkapi fasilitas teknologi
pengiriman data otomatis. Serta didapati juga bahwa faktor insentif merupakan salah satu motivasi yang cukup signifikan untuk para
tenaga pengamat.
ABSTRACT
Proper rainfall observation is required to obtain the right and accurate weather information. At present the observation of rainfall in
Indonesia is managed by various parties and coordinated by the Agency of Meteorology, Climatology, and Geophysics (BMKG).
BMKG has rainfall observation network that spread throughout Indonesia. But in terms of quantity and distribution, the current rainfall
observation network is not ideal yet. It is necessary to increase the density of observation network. In order to increase the density of
rainfall collection networks, BMKG needs to establish partnerships with all parties including government agencies and the general
public. This study attempts to solve the ideal partnership model for rainfall management in Indonesia, especially in South Sulawesi.
Method used in this study is qualitative research method, which is describing and analyzing the theory and data resulted on this
research. Three partnership variables, namely motivation, consistency and sustainability, and two determinant variables, namely
coaching and incentives used in this study. Based on the survey result from 32 respondents and 6 month data dissemination from
257 rainfall observation stations it was found that the most ideal partnership model was joint operations and added with an intensive
coaching element to the observers. BMKG partnership with governmental institutions and public that existing now shows that the
motivation aspect has already satisfying especially for rainfall observation stations equipped with automatic dissemination technology.
However for sustainability aspect and the consistency of rainfall data dissemination still showing less satisfying result, mainly for
rainfall observation stations that has not equipped by automatic dissemination technology. Another result that need to be underlined
is one of the significant factor on observer’s motivation is incentive.
110
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
pemerintah yang memiliki tugas untuk melaksanakan b. Menemukan model kemitraan yang ideal dalam
tugas di bidang meteorologi, klimatologi, kualitas udara, pengelolaan pengamatan curah hujan curah hujan di
dan geofisika. Salah satu tugas yang diemban BMKG Sulawesi Selatan.
adalah melakukan pengamatan cuaca dan iklim di seluruh c. Mengidentifikasi faktor determinan dalam kemitraan
wilayah Indonesia. Data hasil pengamatan cuaca pengelolaan pengamatan curah hujan di Sulawesi
merupakan masukan data awal yang sangat penting Selatan.
dalam rangakaian pembuatan informasi prakiraan cuaca. 1.4. Manfaat Penelitian
Data pengamatan yang tepat dan dengan sebaran titik a. Meningkatkan kualitas layanan informasi cuaca dan
pengamatan yang rapat akan menghasilkan produk iklim.
informasi cuaca yang baik pula. Namun demikian saat ini b. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam
titik pengamatan cuaca yang dimiliki BMKG belum pengamatan cuaca.
tersebar merata dan rapat. 2. Metodologi
Guna meningkatkan kualitas dan kuantitas data 2.1. Jenis Penelitian
pengamatan cuaca di Indonesia, maka mutlak diperlukan Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif
penambahan jejaring pengamatan cuaca tersebut. Namun dimana selain dilakukan proses deskripsi atas teori dan
demikian, mengingat sumber daya yang dimiliki BMKG data yang ada juga dilakukan analisis atas data yang
untuk terus menambah jejaring pengamatan cuaca juga diproleh. Analisis kualitatif utamanya dilakukan pada
terbatas, maka dibutuhkan berbagai upaya untuk tataran operational teori, yaitu ketika dilakukan analisis
meningkatkan kerapatan jejaring pengamatan tersebut, data hasil survei tentang model dan variabel kemitraan.
salah satunya adalah dengan membangun kemitraan
dengan pihak lain, baik instansi pemerintah maupun 2.2. Variabel Penelitian
masyarakat umum. 1. Variabel Kemitraan :
Salah satu kemitraan dalam pengamatan cuaca a. Motivasi Kemitraan
yang telah dilakukan BMKG adalah pengamatan curah b. Konsistensi Kemitraan
hujan manual di berbagai pos hujan yang tersebar c. Keberlanjutan Kemitraan
diseluruh Indonesia, termasuk di Propinsi Sulawesi 2. Variabel Determinan :
Selatan. Propinsi Sulawesi Selatan dipilih menjadi lokus a. Pembinaan
penelitian karena jumlah pos hujan yang masih sedikit dan b. Insentif
belum merata serta keunikan pola curah hujan si Sulawesi 2.3. Definisi Operasional
Selatan, dimana sisi barat dan sisi timur memiliki periode 1. Kemitraan di bidang pengembangan jejaring
musim hujan yang berkebalikan. Saat ini di Sulawesi pengamatan cuaca dan iklim adalah kemitraan antara
Selatan terdapat 257 pos hujan. Pada umumnya pos Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika selaku
hujan ini terletak di lingkungan kantor instansi mitra BMKG pihak pemerintah dengan instansi pemerintah lainnya
seperti kantor Dinas Pertanian, Balai Benih dan lain dan masyarakat.
sebagainya. Apabila Dilihat dari distribusi spasialnya, 2. Kemitraan eksisiting adalah kemitraan yang dilakukan
jaringan pos hujan di Sulawesi Selatan juga belum cukup oleh BMKG bersama pemangku kepentingannya dan
merata tersebar. Dengan luas wilayah sekitar 46.717,48 dinyatakan dalam naskah kerjasama yang masih
km2maka dapat dikatakan bahwa 1 (satu) pos hujan berlaku. Total ada 166 naskah kerjasama yang akan
mewakili area sekitar 182 km2. dianalisis dalam penelitian ini.
Saat ini model kemitraan yang dibangun antara 3. Instansi pemerintah lainnya adalah instansi
BMKG dan instansi pemilik lahan adalah dalam hal pemerintah di wilayah Sulawesi Selatan yang menjadi
penyediaan alat oleh BMKG dan penyediaan lahan oleh mitra BMKG untuk menempatkan alat penakar hujan
instansi terkait serta proses pengamatan oleh mayarakat manual sehingga berperan sebagai pos pengamatan
disekitar pos hujan yang diberi tugas untuk melakukan hujan.
pengamatan. Namun demikian, model kemitraan ini belum 4. Model kemitraan yang ideal adalah bentuk atau model
menggambarkan dengan jelas kemanfaatan yang dapat kemitraan dalam bidang pengelolaan jejaring
diambil oleh masing-masing pihak serta peluang pengamatan cuaca dan iklim yang dinilai paling sesuai
pengembangan yang dapat dilakukan. Penelitian ini untuk diterapkan di Indonesia.
mencoba menemu kenali model kemitraan eksisiting 5. Wilayah penelitian adalah propinsi Sulawesi Selatan
antara BMKG, instansi terkait dan masyarakat pengamat dengan objeknya adalah pos pengamatan hujan di
serta mencoba menemukan pengembangan model Sulawesi Selatan.
kemitraan yang ideal dalam pengamatan curah hujan ini. 6. Varibel Determinan adalah faktor-faktor yang
1.2. Rumusan Masalah berpengaruh dalam pelaksanaan kemitraan, yaitu
Masalah yang akan dibahas pada penelitian ini faktor pembinaan dan faktor insentif.
adalah bagaimana model kemitraan eksisting, model 7. Kelompok Pengamat adalah kelompok pengamat
kemitraan ideal dan faktor determinan dalam pengelolaan curah hujan. Kelompok pengamat ini terbagi atas 2
pengamatan curah hujan di Sulawesi Selatan. (dua) kelompok yaitu, kelompok pengamat umum
1.3. Tujuan Penelitian yaitu kelompok pengamat yang belum dilengkapi
a. Mengidentifikasi model kemitraan eksisting dalam dengan fasilitas teknologi pengiriman data
pengelolaan pengamatan curah hujan di Sulawesi pengamatan berbasis aplikasi. Kelompok umum ini
Selatan. terdiri dari 251 tenaga pengamat. Sementara
kelompok kedua, yaitu kelompok khusus, adalah
111
kelompok pengamat yang telah dilengkapi fasilitas Bentuk model kemitraan dua pihak antara lain
teknologi untuk pengiriman data pengamatan. kemitraan pemerintah dengan swasta (Public
Kelompok khusus ini berjumlah 32 tenaga pengamat. Private Partnership), kemitraan pemerintah dengan
2.4. Teori Kemitraan masyarakat (Public People Partnership), kemitraan
Istilah kemitraan memiliki cakupan yang sangat luas pemerintah dengan kalangan professional,
baik dari sisi konsep maupun penerapannya. Ada misalnya akademisi, peneliti, perekayasa dan lain
berbagai asumsi yang menggarisbawahi definisi dari sebagainya (Public Professional Partnership).
kemitraan itu sendiri. Pertama, peluang sinergi dalam b. Model Kemitraan Banyak Pihak
berbagai bentuk, sehingga menghasilkan pemahaman Seperti namanya, model kemitraan banyak pihak
bahwa hasil dari bergabung akan lebih besar daripada dilakukan oleh lebih dari 2 (dua) pihak. Bentuk
terpisah-pisah. Kedua, kemitraan melibatkan unsur model kemitraan banyak pihak sangat bervariasi,
diantaranya pengembangan dan pelaksanaan strategi contohnya antara lain Kemitraan Pemerintah
atau sekumpulan proyek/operasi, meskipun setiap dengan Swasta dan Profesional (Public Private
pelakunya mungkin tidak memiliki tingkat keterlibatan Professional Partnership), Kemitraan Pemerintah
yang sama pada setiap tahapnya. Ketiga, didalam dengan Swasta, Profesional dan Masyarakat
kemitraan pemerintah dan swasta, sektor publik tidak (Public Private Professional and People
semata hanya mengejar tujuan komersil. Oleh karenanya Partnership). Variasi model kemitraan, baik
kriteria dari kemitraan dapat juga diartikan sebagai kemitraan dua pihak maupun kemitraan banyak
adanya kemitraan sosial (McQuaid,2000). pihak sangat beragam, hal ini dapat ditentukan oleh
Dalam perspektif pembangunan ekonomi, 4 (empat) dimensi kemitraan lainnya dari kemitraan
kemitraan sebagai suatu skema dengan keterlibatan atau sebagaimana disebutkan diatas.
pendanaan dari lebih dari satu lembaga (Sellgren, 1990). 2.6. Kebijakan Nasional Bidang MKG
Sedangkan (Bennet, 1994) menekankan hal yang sama, 2.6.1. Landasan Hukum Kebijakan Nasional Bidang
yaitu adanya tujuan bersama dari beberapa lembaga dan Layanan Informasi Cuaca dan Iklim
mendefinisikan kemitraan sebagai kesepakatan Landasan hukum kebijakan nasional dibidang
kerjasama antara beberapa aktor untuk bekerja bersama layanan informasi cuaca dan iklim tercantum didalam
guna mencapai tujuan ekonomi yang telah ditentukan Undang-undang No.31 Tahun 2009 tentang Meteorologi,
bersama. Hingga saat ini telah banyak berkembang Klimatologi dan Geofisika. Disebutkan bahwa pemerintah
definisi-definis tentang kemitraan dengan dalam hal ini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
mempertimbangkan perspektif kebijakan. Salah wajib menyediakan pelayanan meteorologi, klimatologi,
satu definisi kemitraan adalah kolaborasi antara pelaku dan geofisika, dimana didalamnya termasuk layanan
bisnis, organisasi nirlaba dan pemerintah yang mana informasi cuaca dan iklim (UU RI No. 31 Tahun 2009). Dan
segala resiko, sumber daya dan kemampuan dipikul dalam UU tersebut diatur pula bahwa layanan yang
bersama dalam sebuah proyek yang pada akhirnya dapat diberikan harus memenuhi standar, baik standar nasional
membawa kemanfaatan bagi para pihak yang terlibat dan maupun intenasional.
juga bagi masyarakat (Stratton, 1989). Sebagai turunan dari undang-undang ini telah
Dalam perspektif pembangunan nasional di dihasilkan peraturan dibawahnya yang mengatur tentang
Indonesia, kemitraan dalam pembangunan pada layanan informasi cuaca dan iklim, baik itu peraturan
dasarnya mengandung hakekat keadilan dalam perolehan pemerintah, dalam hal ini tentang Pelayanan Meteorologi
keuntungan dan manfaat, pembebanan biaya dan Klimatologi dan Geofisika maupun peraturan dibawahnya,
penanggungan resiko yang timbul dalam kegiatan usaha yaitu peraturan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan
tersebut (Linder, 1999). Dengan demikian, kemitraan yang Geofisika (PP No.11, 2016).
dikembangkan adalah kemitraan yang setara antara para 2.6.2. Komponen Utama Lembaga Pelayanan
pelaku sesuai dengan kemampuan kontribusinya. Informasi Cuaca dan Iklim di Indonesia
2.5. Model-model Kemitraan Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Badan
Dalam membangun kemitraan ada 5 (lima) dimensi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika selaku lembaga
utama yang perlu diperhatikan, yaitu : a). Apa yang ingin pemberi layanan informasi cuaca dan iklim memiliki 3
dicapai dari kemitraan tersebut, b). Siapa yang terlibat, c). (tiga) komponen, yaitu:
Kapan waktu pelaksanaannya, termasuk pentahapan, d). a. Komponen infrastruktur teknis, yang meliputi Jaringan
Dimana kemitraan tersebut akan dilakukan, dan e). Pengamatan, Peralatan, Kalibrasi, Sistem IT,
Bagaimana kemitraan ini akan dilakukan (McQuaid, Perangkat Lunak, Gedung kantor, System Integrasi,
2016). Mengacu kepada teori diatas, kita dapat Jaringan Komunikasi dan Pemeliharaan.
melakukan identifikasi awal model-model kemitraan b. Komponen Produksi, meliputi pengamatan,
berdasarkan kelima dimensi tersebut. pengolahan dan analisis data, prakiraan, supervisi.
Pada penelitian ini, penulis akan mengawali c. Komponen Layanan yang menangani layanan cuaca
identifikasi model kemitraan dengan mengacu pada diberbagai bidang, baik yang bersifat terjadwal (rutin)
dimensi kedua, yaitu siapa yang terlibat atau aktor-aktor maupun informasi peringatan dini (Early Warning).
dalam kemitraan. Dengan mengidentifikasi aktor-aktor Dari ketiga komponen diatas dapat pula dikatakan
yang terlibat, maka model-model kemitraan dapat bahwa Komponen Infrastruktur Teknis dan Komponen
dikategorikan menjadi : Produksi masuk kedalam kelompok komponen Back
a. Model Kemitraan dua Pihak Office dan Komponen Layanan merupakan kelompok
komponen Front Office.
112
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
2.7. Jejaring Pengamatan Global Maros, yang merupakan stasiun koordinator untuk
Pengelolaan jejaring pengamatan global saat ini Provinsi Sulawesi Selatan.
diatur oleh World Meteorological Organization (WMO)
dalam program yang disebut System Pengamatan Global
atau Global Observing System (GOS) (WMO, 2007).
Tujuan dari GOS adalah untuk menyediakan pengamatan
cuaca yang berkualitas baik dari daratan, permukaan laut
maupun dari angkasa, yang selanjutnya data hasil
pengamatan ini akan digunakan untuk pembuatan analisis
dan prakiraan cuaca serta aplikasi terkait lainnya (WMO,
2003).
Secara umum GOS terdiri dari 2 (dua) sub sistem
pengamatan, yaitu pengamatan berbasis permukaan
bumi (surface based observation) dan pengamatan
berbasis angkasa (space based observation).
Pengamatan berbasis permukaan bumi dapat terdiri dari
stasiun pengamatan sinoptik baik darat, laut, maupun
udara atas, stasiun pengamatan iklim, stasiun meteorologi
pertanian, stasiun meteorologi penerbangan dan stasiun
meteorologi khusus. Stasiun pengamatan cuaca darat
(land synoptic station) dapat berupa stasiun pengamatan
berawak (manned station) maupun stasiun pengamatan
otomatis (unmanned station).
Dalam melakukan pengamatan, seluruh stasiun
pengamatan harus dilengkapi dengan peralatan Gambar 1. Peta jaringan pos hujan di Sulawesi Selatan
pengamatan yang terstandarisasi dan sudah terkalibrasi
secara rutin, sehingga data yang dihasilkan layak untuk 2.9. Rancangan Penelitian
digunakan lebih lanjut. 2.9.1 Kerangka Pikir dan Kerangka Konseptual
2.8. Gambaran Pos Hujan di Sulawesi Selatan a. Kerangka Konseptual
Saat ini, jaringan penakar hujan di Sulawesi Selatan Gambar dibawah ini menjelaskan kerangka konsep
mencakup 257 pos seperti ditampilkan pada Gambar 1), dari penelitian ini, yaitu para pihak yang melakukan
termasuk di dalamnya stasiun MKG dan pos hujan kemitraan serta perannya masing-masing yang
kerjasama. Pada stasiun/pos hujan di Sulawesi Selatan, selanjutnya dilihat kemitraan eksisting yang ada seperti
pengukuran curah hujan rutin dilakukan setiap hari pada apa dan selanjutnya dilakukan analisis dengan variabel
pukul 07.00 WITA. Data curah hujan hasil pengukuran ini kemitraan dan variabel pengaruh sehingga dapat
kemudian dicatat lalu dilaporkan ke Stasiun Klimatologi ditemukan model kemitraan yang ideal.
b. Kerangka Pikir
Gambar dibawah ini menjelaskan alur pikir dan laur kerja dari penelitian ini.
113
.
114
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
4. Kesimpulan/ Rekomendasi
116
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
ABSTRAK
Embung Tambakboyo terletak pada lereng kaki selatan gunung Merapi yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS)
Tambakbayan dengan hulu di daerah Pakem, Sleman pada ketinggian +500 mdpal, sedangkan embung Tambakboyo berada pada
ketinggian +150m. Embung Tambakboyo mempunyai peranan penting sebagai konservasi sumber daya air, selain itu meningkatkan
potensi wisata di Kabupaten Sleman dan Yogyakarta, meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar embung, serta perikanan.
Yang terpenting adalah embung tersebut juga sebagai pasokan persediaan air baku Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Hal
ini juga mengakibatkan meningkatnya muka air tanah di kedua daerah tersebut. Terutama pada musim kemarau, penyimpanan air
semakin berkurang dan penurunan kualitas air. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karateristik embung Tambakboyo meliputi
sumber polusi, kualitas air fisik (suhu, EC, TDS, TSS dan kekeruhan), kualitas air kimia (pH, N02, N03, NH4, BOD, COD dan deterjen
dan kualitas air biologi (total coliform). Metode pendekatan untuk mengetahui karakteristik embung Tambakboyo dengan melakukan
metode survei pengambilan sampel air. Sebaran sampel air diambil secara purposive sampling berdasarkaan luas dan kedalaman
embung Tambakboyo. Hasil kualitatif menunjukkan bahwa embung Tambakboyo memiliki sumber pencemar dari kegiatan atau
aktifitas domestik seperti pembuangan limbah rumah tangga dan kegiatan industri kecil. Kriteria kualitas air di embung Tambakboyo
memenuhi syarat kualitas air baku untuk air kelas I, kecuali N02, N03 dan deterjen termasuk untuk kelas II.
Kata kunci: kualitas air; kelas air baku; embung; sungai tambakboyo;
ABSTRACT
Tambakboyo Reservoir is located on the southern slope of Mount Merapi and is part of Tambakbayan Watershed whose upper part
is in Pakem, Sleman at an elevation of +500 masl. The reservoir, situated at +150 masl, plays a crucial role in water resource
conservation, increases the tourism potential in Sleman Regency and Yogyakarta City, and improves the economy of the surrounding
communities and the fishery sector. Most importantly, it also supplies freshwater to both regions, increasing their water level. However,
during dry seasons, the water storage and quality decrease. This study aimed to determine the characteristics of Tambakboyo
Reservoir, including sources of pollutants, physical water quality (temperature, EC, TDS, TSS, and turbidity), chemical water quality
(pH, N02, N03, NH4, BOD, COD, and detergent), and biological water quality (total coliform). This process involved a water sampling
survey using purposive sampling technique that was based on the width and depth of the reservoir. The qualitative analysis results
showed that the pollutants came from domestic activities, such as household waste disposal, and small industrial activities. The water
quality parameters in Tambakboyo Reservoir met the requirements for Class I water, except for N02, N03, and detergent that
categorized the water as Class II.
117
sedimentasi, termasuk berkurangnya kapasitas 4 B1 435539 9142747
tampungan air, kehilangan air dan penurunan kualitas air. 5 B2 435520 9142675
6 B3 434493 9142614
Selain dari faktor alam kegiatan dan perilaku dan aktivitas Sumber: Pengkuran lapangan (2018)
orang-orang disekitar embung juga mempengaruhi
munculnya permasalahan ini (Balai Besar Wilayah
Sungai Serayu Opak, 2013). Penyimpanan air embung
tambakboyo berkurang dikarenakan adanya sedimentasi
dari sungai bagian hulu dan tingkat infiltrasi. Selain itu,
dimungkinkan tingkat penguapan yang tinggi. Sementara
itu, penurunan kualitas air dapat disebabkan oleh
berbagai kegiatan, seperti limbah domestik yang masuk
ke sangai bagian hulu, yang memasukkan polutan ke
dalam air. Selain itu, dilihat dari penggunaan lahan pada
bagian hulu masih terdapat padi sawah dapat
mempengaruhi kualitas air, khususnya yang berkaitan
dengan keduanya pupuk organik dan anorganik.
Faktor pemasok dari beban polusi yang
berkelanjutan dapat melebihi kapasitas alam embung
untuk mengakomodasi beban polusi yang mengarah
dalam katagori penurunan kualitas. Meskipun secara
siklus peredaran, embung tambakboyo dapat
menurunkan beban pencemar karena embung , danau
atau waduk memiliki pergerakan siklus hidrologinya
bergerak dikarenakan adanya inlet dan outlet. Oleh
karena itu, studi tentang beban polusi diperlukan untuk
mempertahankan fungsi embung tambakboyo secara
kuantitatif dan kualitatif terhadap penggunaan air secara
lokal disekitar embung tambakboyo.
Lokasi penelitian berada di embung tambakboyo
kabupaten Sleman, D.I.Yogyakarta, Potensi embung
tambakboyo dapat dilihat ketika musim kemarau dimana
menjaga cadangan airtanah tetap terpasok, dan
penurunan kualitas airnya. Oleh karena itu penelitian ini Gambar 1. Lokasi sample kualitas air
bertujuan untuk menentukan karateristik kualitas air
Peralatan yang digunakan untuk kegiatan
embung tambakboyo meliputi, polusi, kualitas air fisik,
penelitian ini antara lain global positioning system (GPS)
kualitas air kima (pH, NH4, PO4, NO2, NO3, BOD, COD,
untuk menentukan koordinat lokasi, botol sampel 800 ml
deterjen dan kualitas air secara biologi yaitu (coliform).
untuk tempat sampel air dan box es, untuk menyimpan
dan mengawetkan sampel air untuk parameter biologi.
2. Metodologi
Data penelitian diperoleh dari pengukuran langsung
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei
(data primer) dan survei kelembagaan (data sekunder).
dengan penekanan pada observasi dan pengukuran
Yang utama, data primer terdiri dari kondisi disekitar
variable. Teknik pengukuran variable berdasarkan
embung tambakboyo, pemanfaatan, kualitas air fisik,
sampel air dengan kedalaman 1-2m dari permukaan air,
kimia dan biologi dari embung tambakboyo.
dikarenakan sifat aliran hidrologinya bergerak dari inlet
Pengukuran lapangan termasuksifat fisik air, seperti
menuju outlet (Asdak, 2007). Teknik pengumpulan data
suhu dan daya hantar listrik (EC), dan parameter kimia,
berdasarkan sampel air yang lokasinya ditentukan
seperti pH. Sementara itu, untuk sampel di laboratorium
dengan metode purposive sampling, yaitu teknik
termasuk: 1) sifat fisik: TSS, TDS,dan kekeruhan; 2) sifat
pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan bahwa
kimia: NH4 , PO4 ,NO2, NO3, BOD, COD, dan deterjen;
sifat -sifat sampel sudah diketahui dan sesuai dengan
dan 3)sifat biologis: coliform total. Setelah itu,hasil
masalah yang diamati dan sesuai dengan tujuan
analisis semua sifat air dibandingkan dengan kriteria
penelitian (Sugiyono, 2016). Pengambilan sampel secara
kualitas air Kelas II, seperti yang telah ditentukan oleh
purposive sampling mendasarkan atas sifat embung
Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
tambakboyo yang terbuka yaitu pergerakan air masuk
20 Tahun 2008. Kriteria kualitas air disajikan pada Tabel
(inlet) menuju outlet sebanyak 3 dengan kode sampel B1,
2.
B2 dan B3. Sedangkan pada bagian pengendapan
Tabel 2. Kriteria Kualitas air
sedimen pada bagian barat sebanyak 3 sampel, yaitu A1,
Kelas
A2, dan A3. Lokasi pengambilan sampel disajikan pada Parameter Satuan
I II III
Tabel 1. dan Gambar 1.
Fisik
Tabel 1. Koordinat pengambilan sampel Suhu °C ±3 suhu udara
No. Kode X Y pH 6-9 6-8.5 6-9
1 A1 435379 9142799 TSS mg/L 0 50 400
2 A2 434366 9142731 TDS mg/L 1000 1000 1000
3 A3 435349 9142680 Kimia
118
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
NH3 mg/L 0.5 - - minuman, atau kotak kardus, meskipun sudah ada tempat
P04 mg/L 0.2 0.2 1 sampah dan tanda tidak ada sampah.
Nitrat (N03) mg/L 10 10 20 Kegiatan pertanian di bagian hulu (utara inlet
Nitrit (N02) mg/L 0.06 0.06 0.06 embung) yang masuk ke aliran sungai tambakboyo di
BOD mg/L 2 3 6 sekitarnya juga berpotensi dan berkontribusi sebagai
COD mg/L 10 25 50 sumber pencemar (Gambar 1). Curah hujan-limpasan
Deterjen µg/L 200 200 200 permukaan yang diinduksi mentransfer residu pupuk
Biologi organik dan anorganik melalui saluran masuk ke embung
Coliform total Jml/ml 1000 5000 10000
tambakboyo.
Sumber: (Nitrit) PP No.82 tahun 2001 dan PerGub DIY No.20
tahun 2008, (Amoniak) Sawyer dan McCarry, 1978
3.3. Kualitas Air Fisik
3. Hasil dan Pembahasan Parameter fisik yang dianalisis meliputi suhu air,
3.1. Kapasitas Tampungan Embung Tambakboyo Konduktivitas Listrik (EC), Total Suspended Solids (TSS),
Embung tambakboyo merupakan embung buatan Total DissolvedPadatan (TDS) dan kekeruhan.
yang berada di bagian sungai tambakboyo. Penggunaan 3.3.1. Suhu Air dan Daya Hantar Listrik (EC)
lahan disekitar embung tambakboyo antara lain Pengukuran nilai daya hantar listrik dan suhu air
permukiman padat penduduk, pertanian dan tegalan di embung tambakboyo dilakukan langsung dilapangan.
utara embung tambakboyo. Sedangkan dibagian selatan Pengukuran suhu dan nilai daya hantar listrik disajikan
permukiman, pertanian padi sawah dan tegalan. pada Tabel 4.
Embung tambakboyo berada di atas formasi
endapan gunung api merapi muda (Qmi). Endapan Tabel 4. Suhu dan Daya Hantar Listrik
No. Kode Suhu (C) EC (μmhos /cm)
gunungapi merapi muda tersusun atas maetrial tuf, abu,
breksi, aglomerat, dan leleran lava tak terpisahkan. 1 A1 28,3 115
Secara umum material dasar dari embung tambakboyo 2 A2 28,2 115
adalah material pasiran. Kedalaman dasar embung 3 A3 28,3 114
4 B1 28,1 113
tambakboyo anatara 0,5-6,3 m. Perbandingan luas 5 B2 28,1 112
penampang terhadap kedalaman terhadap topografi 6 B3 28,1 111
(mdpal) disajikan pada Tabel 3. Rata-rata 28,2 110
Sumber: Pengkuran lapangan (2018)
Tabel 3. Perbandingan luas penampang
terhadap kedalaman (mdpal) Hasil pengukuran suhu bervariasi dari 28,2 -28,3
Kedalaman (mdpal) Luas (m²) °C. Nilai tersebut bila dibandingkan dengan nilai
151 55.066 Peraturan Daerah Istimewa YogyakartaNomor 20 Tahun
150 53.995 2008 (BLH, 2008) masuk dalam kategori kondisi dibawah
149 51.252 nilai baku mutu dikarenakan sifat embung tambakboyo
148 46.807 yang terbuka dan memiliki aliran air yang mengalir dari
147 40.706 inlet menuju outlet.
146 15.038 Daya hantar listrik (DHL) merupakan kondisi
145 72 kemampuan air untuk mengalirkan listrik. Parameter dari
Total 263.936 nilai daya hantar listrik adalah nilai garam terlarut untuk
Sumber: Febriarta, dkk (2018) mengionisasi, semakin tinggi nilia daya hantar listrik.
Tabel 4. menunjukkan bahwa EC wilayah penelitian
Volume tampungan embung tambakboyo pada adalah antara 110-115 μmhos / cm, yang berarti tidak ada
tahun 2017 adalah 235,666 m3 atau 58,9% dari rencana nilai yang menyimpang tinggi. Nilai daya hantar listrik
disain. Ketinggian normal berdasarkan lengkung (EC) merupakan bukan bagian dari Kelas II kriteria
kapasitas adalah pada elevasi 148 mdapal. Kapasitas kualitas air yang dikeluarkan oleh Peraturan Gubernur
optimum luas permukaan embung pada ambang spillway Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 20 Tahun 2008.
46.807 m2. Volume tampung waduk pada ambang
spillway sebesar 914.556 m3 (Febriarta, dkk, 2018). 3.3.2. Total Padatan Melayang (TSS)
Total padatan melayang atau Total Suspended
3.2. Sumber Polutan Solid (TSS) merupakan partikel yang nilai berat dan
Sumber polutan di sekitar embung tambakboyo ukurannya lebih kecil dari sedimen dengan ukuran < 2
secara umum adalah limbah domstik yang masuk ke mikrometer. Zat padatan tersuspensi merupakan
sistem sungai pada hulu sungai tambakboyo. Sumber endapan dari padatan total. Total padatan melayang atau
tersebut berada di permukiman disekitar embung Total Suspended Solid (TSS) merupakan padatan yang
tambakboyo. Jenis kegiatan domestik dapat terdapat pada larutan tetapi tidak terlarut, sehingga
menyebabkan akumulasi atau peningkatan kadar nilai menyebabkan larutan menjadi keruh, dan tidak dapat
fosfat (P04) dan deterjen didasar embung tambakboyo langsung mengendap di dasar larutan. . Total padatan
dan meningkatkan probabilitas eutrofikasi. Selain limbah melayang atau Total Suspended Solid (TSS) dapat
cair, limbah padat masih ditemukan di sepanjang tepi dipengaruhi oleh endapan lanau, pasir dasar embung,
embung tambakboyo seperti bungkus plastik, botol mikroorganisme maupun erosi disekitar embung
tambakboyo.
119
Nilai Total Suspended (TSS) memiliki hubungan
Kekeruhan
positif dengan tingkat kekeruhan badan air. Semakin
350
tinggi Total Suspended Solid (TSS), semakin tinggi juga
nilai kekeruhan. Nilai Total Suspended Solid (TSS) dari 300
embung tambakboyo bervariasi di antaranya 9,5-75,4 250
mg/L (Gambar 2). Berdasarkan Peraturan Gubernur
NTU
200
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 20 tahun 2008,
150
tentang nilai ambang batas Total Suspended Solid (TSS)
untuk air Kelas II adalah 50 mg/L. 100
50
3.3.3. Total Padatan Terlarut (TDS) 0
Total Disolve Solid (TDS) adalah zat partikel Sampel A1 A2 A3 B1 B2 B3
terlarut. Besar zat partikel terlarut memiliki diameter < 10-
6 mm dan koloid dengan nilai partikel 10 -6-10-3 mm. Nilai Gambar 3. Konsentrasi Kekeruhan
pengukuran Total Disolve Solid (TDS) di lapangan 111-
115 mg/L (Gambar 2). Berdasarkan Gubernur Peraturan Kekeruhan bukan bagian dari air Kelas II kriteria
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 20 Tahun 2008, kualitas yang dikeluarkan oleh Peraturan
ambang batas TDS untuk Air Kelas II adalah 1.000 mg / GubernurDaerah Istimewa Yogyakarta Nomor 20 Tahun
L. 2008. Namun, tingkat kekeruhan ini memungkinkan
kondisi lingkungan embung tambakboyo, sebagai
parameter estetika dimana untuk menjaga keindahan dan
TSS dan TDS fungsinya sebagai sebuah objek wisata.
140
120 3.4. Kualitas Air Kimia
100 Parameter kimia yang dianalisis dari sampel air
80 embung tambakboyo meliputi pH, nitrat (NO3), nitrit
(NO2), amoniak (NH3N), fosfat (PO4P), Biological
mg/L
60
Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen
40
Biologis (KOB), Chemical Oxygen Demand (COD) dan
20
deterjen (Methyne Blue Active Substansi - MBAS). Hasil
0 pengukuran akan disajikan pada sub bab selanjutnya.
Sampel A1 A2 A3 B1 B2 B3
TSS TDS Ambang Batas TSS Kelas II 3.4.1. Tingkat Keasaman (pH)
Tingkat keasaman (pH) merupakan nilai
Gambar 2. Konsentrasi TSS dan TDS konsentrasi ion hydrogen dan pH memiliki hubungan
antara alkalinitas dan karbon dioksida. Nilai tingkat
3.3.4. Kekeruhan keasaman (pH) rendah (<5) menunjukkan nilai alkalinitas
Kekruhan adalah parameter tentang sifat optik nol, sedangkan nilai semakin tinggi menunjukkan
dari suatu badan air dilihat dari jumlah cahaya yang dapat alkalinitas yang tinggi. semakin tinggikonsentrai pH,
terserap dan dipendarkan oleh partikel dalam suatu tubuh semakin tinggi nilai alkalinitas. Sementara itu sebaliknya
air. Kekeruhan dapat diakibatkan oleh pengotor partikel nilai tersebut berkorelasi sama untuk nilai karbondioksida.
organik dan anorganik yang dilarutkan dalam air dalam Semakin tinggi nilai pH, semakin rendah karbondioksida
bentuk plankton atau mikroorganisme lainnya. Satuan bebas. Zat Asam larutan (pH rendah) bersifat korosif. pH
nilai kekeruhan adalah Nephelometric Turbidity Unit juga mengontrol toksisitas senyawa kimia.
(NTU. Nilai kekeruhan air mempunyai korelasi hubungan
dengan konsentrasi TSS yaitu semkain tinggi kekeruhan
Tingkat keasaman (pH)
semakin tinggi nilai TSS. Namun nilai kekeruhan yang
10
tinggi belum tentu atau tidak selalu diikuti oleh konstntrasi
yang lebih tinggi konsentrasi TDS. Hasil nilai pengukuran 8
kekeruhan menunjukkan nilai 26-330 NTU (Gambar 3). 6
4
2
0
A1 A2 A3 B1 B2 B3
Sampel
Ambang Batas Kelas II
6 Amoniak
4 0.45
2 0.4
0 0.35
Sampel A1 A2 A3 B1 B2 B3 mg/L
0.3
Ambang Batas Kelas II 0.25
Gambar 5. Konsentrasi Nitrat (N03) 0.2
0.15
Berdasarkan Peraturan Gubernur Daerah
0.1
Istimewa Yogyakarta Nomor 20 Tahun 2008, nilai
konsentrasi nitrat dalam air Kelas II adalah10 mg /L, Sampel A1 A2 A3 B1 B2 B3
sehingga rata-rata nilai konsentrasi nitrat melebihan nilia Ambang Batas
baku mutu air kelas II. Menurut Davis dan Cornwell (1991)
dalam Effendi (2003) nilai konsentrasi lebih dari 50 mg/L
adalah dianggap berbahaya bagi kesehatan. Gambar 7. Konsentrasi Amoniak (NH3+N)
0.75
0.7 Biochemical Oxygen Deman (BOD) memliki rentang nilai
0.65 1,2 – 1,7 mg/L (Gambar 8).
0.6 Berdasarkan ketetapan Peraturan Gubernur
0.55 Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 20 Tahun 2008, nilai
0.5 konsentrasi ambang batas untuk Biochemical Oxygen
A1 A2 A3 B1 B2 B3 Deman (BOD) dalam air Kelas II adalah 3 mg / L. Karena
Sampel itu, nilai konsentrasi Biochemical Oxygen Deman (BOD)
Ambang Batas di embung tambakboyo berada di bawah ambang batas
PP No.82 tahun 2001 yang diterima.
Gambar 6. Konsentrasi Nitrit (N02)
121
menyediakan oksigen dalam air. Hal tersebut
BOD
mengakibatkan konsentrasi deterjen yang melimpah di air
2 menurunkan kadar kualitas. Berdasarkan hasil analisis
semua sampel air menunjukkan tingkat deterjen di
1.5 embung tambakboyo menunjukkan nilai antara 230-330
μg/L (Gambar 10)
mg/L
1
Deterjen
0.5 400
0 300
Sampel A1 A2 A3 B1 B2 B3
Ambang Batas Kelas II 200
μg/L
Gambar 8. Konsentrasi (BOD) 100
4. Kesimpulan/Rekomendasi
Kesimpulan dari penelitian kajian ini
menunjukkan bahwa air di embung tambakboyo
berdasarkan ketetapan Peraturan Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor 20 tahun 2008, melebih
baku mutu kelas air kelas II. Parameter yang melebih
ambang baku mutu terbesar lebih dari kelas II adalah nitrit
(N02), nitrat (N03) dan deterjen. Polutan tersebut
berkorelasi dengan penggunaan lahan yang padat
penduduk di dusun Desa yaitu Condongcatur,
Maguwoharjo dan Wedomartani yang dihasilkan dari
limbah domestik.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Alaerts & Santika, SS. 1984. Metoda Penelitan Air. Penerbit
Usaha Nasional. Surabaya.
Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, 2013. Profil Balai
Besar Wilayah Sungai Serayu -Opak. Direktorat Jendral
Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum.
BLH. 2008. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 20 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Air di Provinsi
DIY. BLH Propinsi DIY, Yogyakarta.
Dinas Pekerjaan Umum. 2015. Profil sumberdaya air.
Departemen Pekerjaan Umum.
Dinas Pekerjaan Umum. 2017. Kawasan Permukiman.Dinas
Pekerjaan Umum, Perumahan dan Kawasan
Pemukiman. Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan
Kawasan Pemukiman. Yogyakarta
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius, Yogyakarta
Febriarta, E., Vienastra S., Rosaji C.S.F., 2018. Identifikasi
Kapasitas Embung Tambakboyo Yogyakarta. Prosiding
Seminar Nasional IV Pengelolaan Pesisir dan Daerah
Aliran Sungai. 2018. Fakultas Geografi.
Fetter, C.W. 2004. Applied Hydrogeology 5 Edition. Ohio: Merril
Publishing Company.
Kadam A. K., Wagh, V. M. Muley, A. A. Umrikar B. N. and
Sankhua. R. N. 2019. Prediction of water quality index
using artificial neural network and multiple linear
123
Tema 6 - Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk
Pengelolaan Wilayah Kepesisiran dan DAS
124
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Rahpeni Fajariantia, Yoga Wahyu Pradanaa, Vensca Rini Parewanga, Imma Redha
Nugrahenia dan Abdullah Alib
ABSTRAK
Luapan sungai Ciliwung sering menjadi penyebab terjadinya banjir di Jakarta. Perencanaan Jakarta Flood Early Warning System
perlu dikaji guna meminimalisir kerugian yang disebabkan bencana hidrometeorologi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui estimasi debit puncak DAS hulu Ciliwung berbasis data radar cuaca dengan korelasi Z-R Mueler dan Sims 1966 guna
dijadikan bahan pertimbangan untuk pengendalian banjir di hilir Ciliwung. Data radar cuaca memiliki kelebihan dalam mengestimasi
curah hujan secara spasial jika dibandingkan dengan data pos hujan. Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: citra
Shuttle Radar Topography Mission (SRTM), Landsat-8 Operational Land Imaginer (OLI)/ Thermal Infrared Sensor (TIRS), dan data
radar cuaca serta data debit harian bendung Katulampa 11-13 November 2018. Pengolahan citra SRTM dan Landsat-8 OLI/TIRS
menggunakan sofware sistem informasi geospasial. Data radar cuaca diolah menggunakan software Gematronik 5.49 dengan
memanfaatkan produk Surface Rainfall Intensity (SRI), Precipitation Accumulation (PAC) dan River Subcatchment Accumulation
(RSA) untuk mengetahui debit puncak yang dihasilkan oleh radar cuaca dan mengetahui intensitas curah hujan yang digunakan
sebagai data input intensitas curah hujan pada perhitungan estimasi debit puncak metode rasional. Penelitian ini menggunakan
metode analisis statistik deskriptif. Perhitungan koefisien limpasan berdasarkan metode Cook menunjukan 0,77 dengan hasil debit
puncak tertinggi 13,33 m3/s pada 11 November 2018. Pola debit puncak yang dihasilkan radar cuaca cenderung memiliki pola yang
sama dengan perhitungan debit puncak metode rasional dan pengukuran langsung, hanya saja nilai yang dihasilkan bersifat
underestimate. Intensitas hujan pada 11 November 2018 mengindikasikan andil hulu Ciliwung terhadap banjir di hilir Ciliwung.
Kata kunci: debit puncak, radar cuaca, metode rasional, metode cook, banjir.
ABSTRACT
The overflow of the Ciliwung river is often the cause of flooding in Jakarta. The Planning of Jakarta Flood Early Warning System
needs to be reviewed in order to minimize the losses caused by the hydro-meteorological disaster. This study aims to determine the
estimated peak discharge of the Upper Ciliwung Watershed based on weather radar data with the correlation of Z-R Mueler and Sims
1966 to be used as consideration for flood control in the lower Ciliwung. Weather radar data has ability in estimating spatial rainfall
when compared to rainfall data. The data used in this study include: Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) imagery, Landsat-8
Operational Land Imaginer (OLI)/ Thermal Infrared Sensor (TIRS), and weather radar data and also peak discharge data of Katulampa
dam on 11-13 November 2018. Processing SRTM and Landsat-8 OLI/TIRS images using software geospatial information systems.
Weather radar data is processed using Gematronic 5.49 software by utilizing surface rainfall intensity (SRI), precipitation accumulation
(PAC) and river subcatchment accumulation (RSA) products to determine the peak discharge generated by weather radar and know
the average rainfall used as data. Rainfall intensity input in the calculation of estimated peak discharge rational method. This research
uses descriptive statistic analysis method. Calculation of runoff coefficient based on the Cook method shows 0,77 with the highest
peak discharge result of 13,33 m3/s on 11 November 2018. The pattern of peak discharge generated by weather radar tends to have
the same pattern as the calculation of peak discharge rational method and direct measurement, only the resulting value is
underestimate. Rainfall intensity on 11 November 2018 indicates Ciliwung's upstream contribution to flooding in the lower reaches of
Ciliwung.
Keywords: peak discharge, weather radar, rational method, Cook method, flood.
1. Pendahuluan
Banjir merupakan salah satu bencana
hidrometeorologi yang sering terjadi di Indonesia. Pada
2018, frekuensi kejadian bencana banjir menempati
peringkat kedua setelah kejadian bencana puting
beliung, Gambar 1.
125
PERSENTASE KEJADIAN BENCANA DI INDONESIA
permukaan) dan konsentrasi aliran (Triatmodjo, 2008).
TAHUN 2018 Parameter curah hujan menjadi variabel penting dalam
tanah
banjir
fluktuasi jumlah debit puncak suatu DAS. Semakin
longsor
18% 26% besar curah hujan, maka debit DAS semakin besar
gelombang pula. Model hidrologi terdistribusi menggunakan
pasang / estimasi data grid curah hujan radar cuaca akan dapat
abrasi
puting 1% menghasilkan model curah hujan yang komplek secara
beliung
kebakaran akurat (Hoblit & Curtis, 2001). Penelitian Sulistyowati
33%
hutan dan (2011) menggunakan produk radar CAPPI dengan
letusan gunung api
lahan
kekeringan 16% korelasi Z-R Marshal Palmer untuk estimasi curah
2% 4% hujan sebagai produk inputan model hidrologi
Gambar 1. Persentase Kejadian Bencana di Indonesia terdistribusi limpasan. Selain itu, dalam penelitian
(sumber : BNPB, 2018) Putiamini, dkk. (2017) menjelaskan bahwa hasil
validasi simulasi hujan-debit data radar cuaca di DAS
Menurut Badan Nasional Penanggulangan hulu Ciliwung menggunakan koreksi metode RMSE
Bencana (BNPB) (2018), tercatat 871 kejadian banjir dan Nash menunjukan bahwa penggunaan data radar
tersebar di beberapa wilayah Indonesia dengan mendekati nilai sebenarnya dan lebih baik dari
dominan kejadian di Pulau Jawa. Dampak akibat penggunaan data penakar hujan (rain gauge). Namun,
adanya banjir memberikan kerugian diberbagai sektor dalam penelitian Wardhana (2017) menyimpulkan
baik perekonomian maupun kesehatan bahkan terdata bahwa pemanfaatan data curah hujan radar dengan
sejumlah 141 korban jiwa meninggal dan hilang, 946 QPE (Quantitive Precipitation Estimation) bersifat
unit rumah rusak berat dan beberapa fasilitas umum underestimate sehingga belum mampu menjadi
seperti fasilitas kesehatan, peribadatan dan pendidikan pengganti curah hujan observasi. Berdasarkan hal
mengalami kerusakan. Permasalahan banjir dapat tersebut, permasalahan estimasi curah hujan radar
diakibatkan oleh meluapnya air yang berlebihan di perlu diteliti lebih banyak. Menurut Lowe dkk. (2014),
suatu tempat karena hujan lebat, meluapnya air sungai estimasi curah hujan dari radar cuaca dimungkinkan
atau pecahnya bendungan sungai. Dimuat dalam mampu menghasilkan produk prakiraan curah hujan
news.detik.com, kawasan Jakarta Selatan dan Jakarta hingga 2-3 jam ke depan sehingga mampu
Timur dilanda banjir pada 12 November 2018 sekitar memprediksi limpasan yang akan terjadi di suatu area
pukul 02.00 WIB. Menurut BPBD Jakarta melalui akun tangkapan. Pemanfaataan curah hujan radar
media sosialnya menyebutkan bahwa banjir terjadi terkalibrasi dengan menggunakan produk SRI (Surface
akibat luapan sungai Ciliwung. Sungai Ciliwung Rainfall Intensity) dan PAC (Precpitation Accumulation)
merupakan salah satu sungai utama yang bermuara ke dapat digunakan untuk estimasi limpasan, prakiraan
Teluk Jakarta. Peningkatan debit dan volume banjir di banjir dan pemetaan zona banjir (Vanaja, 2018). Dalam
daerah hulu Ciliwung memiliki andil terhadap penelitian ini, estimasi debit puncak yang digunakan
peningkatan debit dan volume banjir di daerah hilir DAS adalah metode rasional dengan data input curah hujan
(Pawitan, 2002). Dalam hal ini, monitoring debit air radar menggunakan produk SRI, PAC, RSA dengan
puncak sungai hulu Ciliwung diperlukan guna antisipasi korelasi Z-R Mueler dan Sims 1966. Penelitian ini
kejadian banjir di hilir Ciliwung. Oleh karena itu, perlu bertujuan untuk mengetahui estimasi debit puncak
adanya penelitian untuk mengetahui estimasi debit DAS hulu Ciliwung berbasis data radar cuaca dengan
puncak hulu Ciliwung guna membangun sistem korelasi Z-R Mueler dan Sims 1966 guna dijadikan
peringatan dini banjir di kawasan hilir Ciliwung. Banyak bahan pertimbangan untuk perencanaan sistem
penelitian yang telah dilakukan di kawasan Daerah pengendalian banjir hilir Ciliwung. Oleh karena itu,
Aliran Sungai (DAS) hulu Ciliwung dengan berbagai diharapkan penelitian ini mampu menjadi referensi
pemodelan hidrologi. Putiamini, dkk. (2017), dalam untuk menemukan produk radar terbaik yang cocok
penelitiannya menjelaskan bahwa estimasi debit digunakan untuk estimasi debit puncak hulu Ciliwung
puncak dapat diketahui dengan menggunakan sehingga Jakarta Flood Early Warning System dapat
kombinasi yang berbasis GIS dengan memodelkan segera direalisasikan guna mengurangi dampak yang
debit limpasan (Run-off) dan Soil Conservation Service merugikan akibat adanya banjir.
(SCS) menggunakan HEC-HMS. HEC-HMS adalah
model matematika numeris yang dikemas dalam paket 2. Metodologi
program komputer, yang terdiri dari sejumlah metode Area penelitian berada di Daerah Aliran Sungai
untuk mensimulasikan watershed, saluran dan perilaku (DAS) Ciliwung dengan fokus area penelitian di wilayah
bangunan air (water control structure). Selain DAS hulu Ciliwung. Secara geografis, DAS hulu
pemodelan hidrologi, perhitungan sederhana juga Ciliwung terletak pada 6º37’- 6º46’ LS dan 106º50’ -
dapat digunakan untuk mengestimasi debit puncak. 107º0’ BT dan memiliki luas sebesar 252.8 km2 seperti
Metode rasional banyak digunakan untuk pada Gambar 2. Periode penelitian pada 11 – 13
memprakirakan debit puncak yang ditimbulkan oleh November 2018.
hujan deras pada daerah tangkapan (DAS) kecil
dengan memperhitungkan beberapa parameter
hidrologi antara lain: intensitas hujan, durasi hujan,
frekuensi hujan, luas DAS, abstraksi (kehilangan air
akibat evaporasi, intersepsi, infiltrasi, tampungan
126
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
127
yaitu 0.8 km – 5km dengan range 100km dikarenakan 3. Hasil dan Pembahasan
jarak area penelitian dengan radar dibawah 100km. 3.1 Parameter Permukaan Aliran
𝑄𝑝 = 0.278 𝐶 𝑥 𝐼 𝑥 𝐴 (Pers.2)
Keterangan:
Qp : puncak debit (m3/s),
C : koefisien aliran yang tergantung pada jenis
permukaan lahan (a)
I : intensitas hujan (mm/jam),
A : luas daerah tangkapan (km2).
(b)
(c)
128
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
129
Subcatchment Area (RSA) karena algoritma Tanggal Qradar (m3/s)
perhitungan curah hujan rata-rata (Pers. 3) (SELEX, 11 34,32
2007) merupakan total curah hujan spasial dibagi 12 15,44
interval waktu hujan sesuai dengan rumus perhitungan 13 15,40
intensitas hujan menurut Subarkah (1980). Sumber data Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, 2019
Berdasarkan Tabel 6, nilai input untuk intensitas curah Debit Puncak DAS Hulu Ciliwung
hujan tertinggi terjadi pada 11 November 2018 senilai 40
5,85 mm selama 24 jam.
131
Kajian Morfodinamika Pesisir dan Kerawanan Abrasi Di
Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali
Magister Geografi Minat Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS), Fakultas Geografi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; e-mail: aarief.wicaksono08@mail.ugm.ac.id; bratih.winastuti@mail.ugm.ac.id
ABSTRAK
Pesisir Kabupaten Buleleng telah mengalami proses abrasi dan akresi yang cukup parah. Dari total panjang garis pantai 172,301 km,
sekitar 29,33 km garis pantai masih tergerus abrasi. Kawasan ini merupakan kawasan padat penduduk dengan pembangunan fisik
pantai yang pesat. Perubahan wilayah pesisir erat kaitannya dengan karakteristik wilayah, di antaranya morfologi, material, dan
proses yang berlangsung di wilayah tersebut. Kawasan dengan penduduk padat dan pembangunan fisik pantai yang pesat dan tidak
teratur secara umum memperlihatkan ketidakselarasan dalam penataan pesisir kota sehingga hal ini berpengaruh pada
keseimbangan transpor sedimen di sepanjang pantainya. Perubahan garis pantai diakibatkan oleh proses perpindahan sedimen
dimana arus sepanjang pantai menjadi penyebab utama terjadinya perubahan garis pantai. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis erosi dan sedimentasi garis pantai Kabupaten Buleleng melalui pemetaan multiskala dan multitemporal menggunakan
citra Landsat, Sentinel-2A, dan SPOT-7. Aplikasi Digital Shoreline Analysis System (DSAS) digunakan untuk menghitung laju
perubahan garis pantai. Selain itu, dilakukan observasi lapangan di beberapa lokasi yang mengalami perubahan garis pantai
signifikan. Pengetahuan mengenai kompleksitas dan dinamika pesisir diperlukan dalam merumuskan arahan pengembangan wilayah
pesisir. Pemanfaatan lahan pada dasarnya harus sesuai dengan karakteristik wilayah sehingga dalam kaitannya dengan pemberian
masukan untuk penataan kawasan pesisir maka diperlukan kajian morfodinamika pesisir.
Kata kunci: penginderaan jauh, multiskala, multitemporal, perubahan garis pantai, Buleleng.
ABSTRACT
The coast of Buleleng Regency has experienced a severe abrasion and accretion process. From the total shoreline length of 172.301
km, about 29.33 km of shoreline is still eroded. This area is a densely populated area with rapid coastal physical development.
Changes in coastal areas are closely related to regional characteristics, including morphology, material, and processes that take
place on there. Areas with dense population and rapid and irregular coastal physical development generally show inconsistencies in
urban coastal arrangement so this affects the sediment transport equilibrium along the shore. Changes in shoreline are caused by
the sediment transfer process where the longshore currents are the main cause of shoreline changes. This study aims to analyze the
erosion and sedimentation of the Buleleng Regency shoreline with multiscale and multitemporal mapping using Landsat, Sentinel-
2A, and SPOT-7 imagery. The Digital Shoreline Analysis System (DSAS) application is used to calculate the rate of change of
shoreline. In addition, field observations were carried out in several locations that experienced significant shoreline changes.
Knowledge of the coast complexity and dynamics is needed in formulating direction for developing coastal areas. Land use must
basically be adjusted with the region characteristics so that in relation to the policy making for regulating coastal areas, a coastal
morphodynamics study is required.
132
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
133
penyajian yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk Tabel 1. Tinggi gelombang air laut dari data satelit Altimetri
memperoleh pandangan yang berbeda dalam memahami Envisat.
namun saling berkaitan pada suatu fenomena Tinggi gelombang Tinggi gelombang
morfodinamika pesisir. Maksud dari multitemporal adalah Ta- (musim hujan) (m) (musim hujan) (m)
hun Dese- Janua- Febru- Ju Agus Septe
memanfaatkan beberapa citra dengan resolusi spasial
mber ri ari -li -tus mber
sama, tetapi waktu perekaman berbeda-beda. Hal ini
2003 0 1,6 0,9 1, 0,7 1
dimaksudkan untuk dapat mengamati perubahan
3
fenomena yang terjadi di pesisir. Dengan demikian, 2004 0 6 0 0, 0 1,6
penelitian ini bermaksud untuk mengkaji variasi spasio- 6
temporal morfodinamika yang terjadi di pesisir Kabupaten 2005 1,1 0 3,9 1, 1,7 4
Buleleng dan diharapkan dapat memperoleh kesimpulan 5
yang berbeda-namun saing melengkapi-dari penggunaan 2006 2,2 1,8 5 1, 1,3 0
data multisumber tersebut. 5
2007 0,8 6,6 4,3 0 0 0
2. Metodologi 2008 0,7 0,7 0 1 1,8 1,5
Deskripsi Wilayah 2009 1,6 2,9 1,3 0, 0 1,7
1. Penggunaan lahan 8
Luas lahan menurut penggunaannya di Kabupaten
Buleleng dibagi menjadi lahan pertanian dan lahan bukan
pertanian, adapun luas lahan terbesar merupakan lahan Pasang surut
pertanian bukan sawah dengan 70.430 ha. Dengan Berdasarkan data pasang surut selama bulan Juni
perbandingan persentase terbesar yaitu lahan pertanian 2019 (Gambar 4), tinggi muka air rata tinggi muka air
pada kecamatan sawan dengan 24,59% lebih dominan tinggi tertinggi (high highest water level) sebesar 0,668 m
dari lahan pertanian bukan sawah dengan 17,69% pada dan tinggi muka air terendah (low lowest water level)
Kecamatan Banjar sedangkan lahan bukan pertanian sebesar -0,848 m. Julat pasut yang hingga mencapai 1 m
terbesar pada Kecamatan Gerokgak yaitu 48,27%. Dari termasuk dalam kelas mikropasut, yang memang menjadi
luas lahan yang ada di Kabupaten Buleleng, secara garis karakteristik pasang surut di Indonesia pada umumnya.
besar dikelompokkan menjadi lahan basah (sawah) dan Kegiatan lapangan dilakukan pada tanggal 30 Mei – 2
lahan kering. Jika dilihat dari jenis penggunaan lahan Juni 2019, yang berarti dilakukan saat ketinggian pasut
Kabupaten Buleleng (BPS, 2017), Tegal/Kebun mencapai 0,4 m. Variasi pasut dan kemiringan pantai
mencakup hampir setengah dari luas keseluruhan lahan yang datar (khususnya pada wilayah terumbu karang
di Kabupaten Buleleng yaitu mencapai 36.991 ha. tepi) mengakibatkan posisi garis pantai saat pasang dan
Tegal/kebun ini tersebar hampir di semua wilayah surut berbeda hingga mencapai > 50 m.
kecamatan, kecuali Kecamatan Buleleng.
1
Ketinggian (m)
2. Oseanografi 0.5
Arus laut 0
10-Jul-19
13-Jul-19
16-Jul-19
19-Jul-19
22-Jul-19
25-Jul-19
28-Jul-19
31-Jul-19
10-Jun-19
13-Jun-19
16-Jun-19
19-Jun-19
22-Jun-19
25-Jun-19
28-Jun-19
1-Jul-19
4-Jul-19
7-Jul-19
dokumentasi kenampakan di lokasi. Alat yang digunakan pada citra resolusi tinggi (SPOT-7 Pansharpen
dalam penelitian disajikan pada Tabel 2. dengan resolusi spasial 1,5 m).
Tabel 2. Alat yang digunakan.
No. Nama Alat Kegunaan 3. Perhitungan perubahan garis pantai
1 GPS Navigasi Memplot titik koordinat lokasi sampel Perhitungan perubahan garis pantai dilakukan
Yalon, Pita Ukur, Mengukur morfologi pantai berupa dengan menggunakan plug-in tambahan pada software
2
dan Abney Level panjang, lebar, dan kemiringan pantai ArcGIS berupa DSAS. Statistik pada DSAS yang
3 Stopwatch Menghitung waktu periode gelombang digunakan untuk menghitung perubahan garis pantai
4 Kompas Mengukur arah angin adalah Shoreline Change Envelope (SCE), Net Shoreline
5 Kamera digital Dokumentasi lapangan Movement (NSM) dan End Point Rate (EPR). Rumus
Software ArcGIS masing-masing statistik pada DSAS adalah sebagai
6 Menyajikan peta
10.5
berikut.
7 Software ENVI 5.3 Mengolah citra penginderaan jauh
Software DSAS
SCE= Perbedaan jarak terbesar pada semua garis pantai
8 Mengolah perubahan garis pantai (dalam meter) (2)
5.0
NSM= Perbedaan jarak antara garis pantai terlama dan
Metode yang digunakan untuk kajian morfodinamika garis pantai terkini (dalam meter) (3)
adalah pemetaan perubahan garis pantai dengan data EPR= Perbedaan jarak antara garis pantai terlama dan
selama 20 tahun (2000, 2009, dan 2019) menggunakan garis pantai terkini (dalam meter) / waktu antara
DSAS dan pengukuran lapangan. Waktu perekaman citra garis pantai terlama dan garis pantai terkini
dan kerja lapangan dilakukan pada saat musim timur, (dalam tahun) (4)
yaitu pada saat kondisi citra cukup bersih dari awan dan
kondisi gelombang tidak begitu ekstrim dibandingkan 4. Survei lapangan
dengan musim barat. Kerja lapangan dilakukan tanggal 30 Mei sampai
dengan 2 Juni 2019 pada 5 lokasi yang dipilih (Gambar
2. Pengolahan citra 5) dengan pertimbangan besarnya variasi garis pantai
Kegiatan Analisis Garis Pantai Menggunakan Citra Multi yang terjadi selama 20 tahun. Tahap ini dilakukan dengan
temporal, meliputi: observasi dan validasi hasil pengolahan data pada tahap
awal dan memperoleh data primer yang dibutuhkan
a. Pengolahan citra digital untuk deteksi garis pantai
dalam penelitian ini. Data primer diperoleh dengan
menggunakan citra multitemporal resolusi pengamatan dan pengukuran terkait aspek oseanografi
menengah (Sentinel-2A resolusi spasial 10 m dan berupa arah dan kecepatan angin, kondisi gelombang,
Landsat resolusi spasial 30 m) yang telah terkoreksi serta dilakukan wawancara dengan penduduk sekitar.
geometrik, radiometrik, dan atmosferik.
b. Saluran inframerah dekat (NIR), yaitu band 8 pada
citra Sentinel-2A digunakan untuk memisahkan
darat-laut, mengacu pada Kasim (2011) yang
menggunakan saluran inframerah tengah (SWIR1)
pada citra Landsat untuk penentuan batas darat-laut Sampel Lapangan
pada daerah pantai berpasir. Oleh karena citra Gambar 5. Sebaran sampel kerja lapangan.
Sentinel-2A tidak memiliki saluran SWIR1 pada
resolusi 10 m, maka digunakan saluran NIR dengan 5. Penyajian hasil
penyesuaian threshold secara subjektif. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk peta skala
c. Transformasi Modified Normalized Difference Water penyajian 1:65.000 dan grafik perubahan garis pantai.
Index (MNDWI) dengan threshold sebesar 0 Kerawanan abrasi, yang diindikasikan oleh kerusakan
diterapkan pada citra Landsat untuk penentuan pantai, diturunkan dari informasi laju perubahan garis
pantai pada citra Landsat perekaman 2000, 2008, dan
batas darat-laut pada daerah pantai berpasir dan
2019. Kriteria kerusakan pantai dikategorikan
padat lahan terbangun. Rumus dari MNDWI adalah
berdasarkan Tabel 3. Tingkat kerusakan tersebut dibagi
sebagai berikut. dalam lima kelas yaitu ringan, sedang, berat, amat berat,
(𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 ℎ𝑖𝑗𝑎𝑢 − 𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑓𝑟𝑎𝑚𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ)
MNDWI= dan amat sangat berat, yang tergantung pada kondisi
(𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 ℎ𝑖𝑗𝑎𝑢 + 𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑓𝑟𝑎𝑚𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ).
(1) lapangan.
Pemilihan metode ini didukung oleh hasil penelitian Tabel 3. Kriteria kerusakan pantai berdasarkan laju
Xu (2006), Rokni et al. (2014), dan Wicaksono dan perubahan.
Laju Perubahan Erosi/Abrasi
Wicaksono (2019) yang menyatakan bahwa MNDWI No Kriteria
(m/tahun)
memberikan hasil yang bagus ketika digunakan 1 Ringan < 0,5
untuk memisahkan darat-laut pada kondisi penutup 2 Sedang 0,5 – 2,0
lahan lahan terbangun dan lahan terbuka (pasir). 3 Berat 2,0 – 5,0
d. Perolehan data garis pantai selanjutnya dilakukan 4 Amat Berat 5,0 – 10,0
melalui digitasi dengan interpretasi visual, termasuk 5 Amat Sangat Berat > 10,0
Sumber: Kementrian PU
135
3. Hasil dan Pembahasan
Seluruh citra yang digunakan dalam analisis
direkam pada musim timur. Citra Landsat, Sentinel-2A,
dan SPOT-7 memiliki karakteristik yang berbeda. Selain
berbeda dalam hal resolusi spasial, yang mempengaruhi Skala 1:65.000
tingkat kedetailan informasi yang diperoleh, berbagai Gambar 7. Garis pantai yang berubah signifikan selama 2
sumber data ini berbeda dalam hal resolusi spektral, tahun (2018 - 2019) dari Citra Sentinel-2A.
radiometrik, dan temporal. Oleh karena karakteristiknya
berbeda maka pengolahan citra yang dilakukan untuk Perubahan Garis Pantai Citra Landsat dan Sentinel-
memperoleh informasi garis pantai dari ketiga jenis citra 2A
ini pun berbeda. Penelitian ini tidak menganalisis seluruh
garis pantai dari berbagai sumber data ini menjadi satu,
tetapi ingin melihat variasi garis pantai pada skala spasial
dan temporal yang berbeda. Perbandingan panjang garis
pantai antar citra yang digunakan ditunjukkan dalam
Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan panjang garis pantai antar citra.
Resolusi Panjang Garis
No Sumber Data
Spasial (m) Pantai (km)
1 Landsat 5 TM 2000 30 19,749
2 Landsat 7 ETM+ 2008 30 19,982
3 Landsat 8 OLI 2019 30 20,624
4 Sentinel-2A 2018 10 21,566
5 Sentinel-2A 2019 10 21,329
SPOT-7 Pansharpen Gambar 8. Peta perubahan garis pantai dari Citra Landsat.
6 1,5 21,393
2018
(a) (b)
Gambar 13. (a) Kenampakan muara Tukad Banyuraras dan
(b) Kenampakan pantai bermaterial pasir besi di Lokasi 4.
Lokasi 4 (X: 0267464 m, Y: 9093981 m) berada di
(a) (b) bagian muara Tukad Banyuraras (Gambar 13a) dengan
Gambar 10. (a) Kenampakan pantai bermaterial pasir besi dan
material pasir besi (Gambar 13b). Dinamika muara Tukad
(b) Kenampakan pelindung pantai di Lokasi 1.
Banyuraras diamati dari citra penginderaan jauh sangat
Lokasi 2 (X: 0259702 m, Y: 9094131 m) berada di tinggi dan terdiri dari dua muara karena dipisahkan oleh
bagian teluk, dengan material pasir pecahan terumbu gosong. Demikian pula pemanfaatan lahan di darat yang
karang (Gambar 11a). Dahulunya dikembangkan berupa resort akan memicu perubahan morfologi pantai
budidaya rumput laut disini, tetapi sekarang ini sudah di kemudian hari.
tidak beroperasi lagi dan digantikan oleh tambak.
Budidaya rumput laut mengalami kendala akibat kondisi
gelombang yang kuat sehingga perairan menjadi tidak
tenang. Di lokasi ini pun dapat dilihat pecahan terumbu
karang dengan berbagai ukuran yang mengindikasikan
energi gelombang yang kuat di lokasi tersebut. Selain
dimanfaatkan untuk tambak, dapat dilihat pula pada
Gambar 11b terdapat beberapa kapal milik nelayan yang (a) (b)
digunakan untuk mencari ikan di laut. Gambar 14. (a) Kenampakan permukiman yang berbatasan
langsung dengan pantai dan (b) Kenampakan tumpukan
sampah di muara Tukad Saba di Lokasi 5.
Lokasi 5 (X: 0272054 m, Y: 9094989 m) berada di
bagian muara Tukad Saba yang padat dengan
permukiman kumuh (Gambar 14a). Permukiman di sini
pernah menjadi pusat perhatian pemerintah Kabupaten
Buleleng karena permasalahan sampah. Berbeda
dengan Lokasi 4 yang dinamika muaranya disebabkan
(a) (b) oleh aktivitas alam, Dinamika muara di Lokasi 5
Gambar 11. (a) Kenampakan pantai bermaterial pasir pecahan disebabkan oleh sampah yang menumpuk di muara
terumbu karang dan (b) Kenampakan kapal nelayan di Lokasi 2. sehingga mempersempit ukuran muara (Gambar 14b).
Keberadaan bangunan pelindung pantai seperti,
tembok laut dan revetmen menjadi bukti bahwa dinamika
137
pantai yang terjadi cukup masif sehingga memerlukan lain untuk melindungi pura, permukiman, resort, tambak
mitigasi struktural. Adapun fungsi dari bangunan dan mereduksi energi gelombang. Distribusi bangunan
pelindung pantai yang ada di wilayah penelitian antara pantai ditunjukkan dalam Gambar 15.
Gambar 15. Peta bangunan pantai dan garis pantai dari Citra SPOT-7.
(a)
(b)
(c)
Gambar 16. Grafik perubahan garis pantai selama 20 tahun (2000 - 2019) dari Citra Landsat menggunakan statistik (a) SCE, (b)
NSM, dan (c) EPR.
Perubahan garis pantai terbesar (SCE) ditunjukkan 2019), garis pantai lebih banyak maju ke arah laut,
pada transek 8, 30, 31, 55, 103, dan 104 (Gambar 16), dengan laju perubahan maksimal (EPR) mencapai 9
yang berlokasi di daerah teluk dan muara sungai, dengan m/tahun. Dalam kurun waktu 20 tahun dan dilihat melalui
perubahan terbesar hingga 160 m. Garis pantai yang citra Landsat, maka kerawanan abrasi di lokasi penelitian
berubah signifikan cenderung terjadi di lokasi yang sama. cenderung pada kelas ringan karena dominan proses
Dilihat dari grafik NSM (perubahan garis pantai 2000- yang terjadi adalah akresi.
138
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
(a)
(b)
(c)
Gambar 17. Grafik perubahan garis pantai selama 2 tahun (2018 - 2019) dari Citra Sentinel-2A menggunakan statistik (a) SCE, (b)
NSM, dan (c) EPR.
Perubahan garis pantai terbesar (SCE) Ancaman terhadap garis pantai disebabkan oleh faktor
ditunjukkan pada transek 32, 79, 94, 102, 103, 108, hidrodinamika meliputi angin, arus, dan gelombang
109, 116 dan 117 (Gambar 17), yang berlokasi di Laut Bali. Faktor hidrodinamika mampu memindahkan
sedimen yang tersusun dari material lepas lepas yang
daerah tanjung dan muara sungai, dengan perubahan
mudah tererosi dan terdeposisi. Kejadian cuaca buruk
terbesar hingga 35 m. Garis pantai yang berubah selama musim barat menjadi salah satu faktor yang
signifikan cenderung terjadi di lokasi yang sama. Dilihat membuat gelombang destruktif di lokasi penelitian.
dari grafik NSM (perubahan garis pantai 2018-2019), Penutup lahan yang mendominasi pada pesisir di
garis pantai lebih banyak maju ke arah laut, dengan laju lokasi penelitian adalah permukiman. Kejadian
perubahan maksimal (EPR) mencapai 15 m/tahun, dan gelombang tinggi yang biasanya terjadi pada bulan
mundur ke arah darat dengan laju perubahan Februari mempengaruhi perkembangan pantai.
Kejadian gelombang tinggi mampu mencapai 3 m dan
maksimum mencapai 35 m/tahun. Dalam kurun waktu
merusak area permukiman warga, sehingga diperlukan
2 tahun dan dilihat melalui citra Sentinel-2A, maka usaha mitigasi struktural selain pentingnya mitigasi non
kerawanan abrasi di lokasi penelitian cenderung pada struktural.
kelas sedang karena dominan proses yang terjadi Periode musim kering yang pada umumnya terjadi
adalah akresi, tetapi di beberapa lokasi terjadi abrasi pada bulan Mei hingga Oktober menunjukkan
yang masif. gelombang di pesisir pantai dari muara Tukad
Gerokgak hingga Tukad Saba diklasifikasikan ke dalam
swells dan gelombang yang bersifat konstruktif
Morfologi dan Dinamika Pantai
meskipun dalam kejadian ekstrem energi angin dan
Perairan pesisir utara Buleleng pada wilayah
gelombang meningkat. Tinggi gelombang di lokasi
muara Tukad Gerokgak hingga tukad Saba sangat
penelitian rata–rata adalah 0,49 m dengan periode
landai. Kelandaian tersebut cenderung disebabkan
gelombang rata-rata 0,19 s. Gelombang yang bersifat
oleh adanya sedimentasi dari lumpur yang terbawa
desktruktif memiliki swash yang lemah namun
oleh sungai-sungai yang bermuara pada Tukad
backswash yang kuat sehingga dapat mengikis pesisir
Gerokgak dan Tukad Saba serta material karang pada
sehingga terjadi erosi pada pesisir sepanjang waktu.
daerah tengah lokasi penelitian. Kecepatan
Kondisi perairan pantai saat surut, terjadi pergerakan
pengendapan dipengaruhi oleh kedalaman dan
massa air dari arah dalam teluk menuju ke arah laut,
kecepatan aliran. Faktor yang dapat menyebabkan
massa air ini akan membawa padatan tersuspensi dari
terjadinya fluktuasi minimum dan perbedaan
daratan menuju ke arah laut, dan pergerakan massa air
kecepatan pengendapan adalah kedalaman minimum
yang berasal dari sungai tidak terhambat oleh massa
2 m (Rijn, 1993). Kecepatan arus yang besar
air dari laut. Sedimen pantai berasal dari tiga sumber,
menyebabkan penurunan kecepatan pengendapan
yaitu erosi sungai, erosi pantai, erosi dasar laut namun
pada posisi dekat lapisan dasar karena adanya
sungai yang memberikan masukan yang relatif besar
gesekan pada lapisan dasar.
(sekitar 90 %) terhadap pengangkutan sedimen yang
Pesisir Buleleng telah mengalami perubahan garis
terjadi di pantai (Pethick, 1984). Oleh karena itu,
pantai akibat adanya proses fisik dan non fisik.
dijumpai pendangkalan muara sungai akibat
139
sedimentasi. Kejadian akresi di pesisir Buleleng dapat Fuad, M. A., Saleh, R., dan Handayani, M. 2017. Automatic
diakibatkan oleh adanya muara dari Tukad Gerokgak Detection of Decadal Shoreline Change on Northern
dan Tukad Saba. Akresi pada pantai disebabkan oleh Coastal of Gresik, East Java. The 5th
penumpukan sedimen yang berasal dari daratan dan Geoinformation Science Symposium, 27-28
September 2017. PUSPICS Fakultas Geografi
terendapkan di pantai terutama melalui muara sungai Universitas Gadjah Mada.
(Parman, 2010). Kasim, F. 2011. Koreksi Pasang Surut dalam Pemetaan
Perubahan Garis Pantai Menggunakan Data
4. Kesimpulan Inderaja dan SIG. Jurnal Ilmiah Agrosains Tropis,
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari 6(3), Hal: 180-188.
penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa perubahan Kuleli, T. 2010. Quantitative Analysis of Shoreline Changes
garis pantai yang terjadi di pesisir Kabupaten Buleleng at the Mediterranean Coast in Turky. Environ. Monit.
selama 20 tahun (2000-2019) didominasi dengan Assess., Hal: 387-397.
kejadian akresi (0,875 km). Petambahan panjang garis Kuleli, T., Guneroglu, A., Karsli, F., dan Dihkan, M. 2011.
Automatic Detection of Shoreline Change on Coastal
pantai ini tidak hanya disebabkan oleh morfodinamika, Ramsar Wetlands on Turkey. Ocean Engineering,
tetapi juga disebabkan oleh faktor antropodinamika. Hal: 1141-1149.
Melalui citra Sentinel-2A, dapat dilihat variasi garis Moore, L. J. 2000. Shoreline Mapping Techniques. Journal of
pantai selama 2 tahun (2018 - 2019), dimana Coastal Research, Hal: 121-139.
cenderung mengalami akresi, tetapi ada beberapa Morton, R. A. 1991. Accurate Shoreline Mapping: Past,
lokasi yang mengalami abrasi masif. Terdapat empat Present, and Future. Proceeding of Coastal
lokasi yang konsisten mengalami abrasi, baik ketika Sediments, Hal: 997-1010.
diamati melalui citra Sentinel-2A maupun melalui citra Pethick, J. 1984. An Introduction to Coastal Geomorphology.
Landsat yang diamati selama rentang waktu 20 tahun, London: Edward Arnold Ltd.
Panizza, M. 1986. Environmental Geomorphology.
yaitu di sekitar Teluk Karang Rata, muara Tukad Amsterdam: Elsevier.
Banyuraras dan Tukad Saba. Parman, Satyanta. (2010). Deteksi Perubahan Garis Pantai
Dalam kurun waktu 20 tahun dan dilihat melalui Melalui Citra Penginderaan Jauh Di Pantai Utara
citra Landsat, maka kerawanan abrasi di lokasi Semarang Demak. Jurnal Geografi, 7(1), 30-38.
penelitian cenderung pada kelas ringan karena Rijn, L. C. 1993. Principle of Sediment Transpost in River,
dominan proses yang terjadi adalah akresi. Dalam Eustuaries, and coastal seas. Aqua Publication.
kurun waktu 2 tahun dan dilihat melalui citra Sentinel- Amsterdam, Netherlands.
2A, maka kerawanan abrasi di lokasi penelitian Rokni, K., Ahmad, A., Selamat, A., & Hazini, S. 2014. Water
cenderung pada kelas sedang karena dominan proses Feature Extraction and Change Detection Using
Multitemporal Landsat Imagery. Remote Sensing,
yang terjadi adalah akresi, tetapi di beberapa lokasi
6(5), Hal: 4173-4189.
terjadi abrasi yang masif. Untuk menanggulangi Sinaga, T. P., dan Susiati, H. 2007. Studi Pemodelan
dampak perubahan garis pantai maka diperlukan Perubahan Garis Pantai di Sekitar Perairan Tapak
mitigasi bencana pada daerah pesisir baik melalui PLTN Semenanjung Muria. Jurnal Pengembangan
mitigasi struktural, non struktural, dan peningkatan Energi Nuklir, Hal: 1-10.
resiliensi masyarakat. Sunarto. 2001. Geomorfologi Pantai: Dinamika Pantai.
Berkaitan dengan morfodinamika pesisir, terdapat Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Jawa
beberapa kajian lebih lanjut yang diperlukan sebagai Tengah: Kajian Paleogeomorfologi. Disertasi.
tindaklanjut dari hasil penelitian ini, seperti kajian suplai Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah
Mada.
sedimen dari daerah hulu yang diteruskan oleh tiga Sutikno, S., Fatnanta, F., Kusnadi, A., dan Murakami, K.
muara sungai di lokasi penelitian, kajian sel sedimen 2016. Integrated Remote Sensing and GIS for
dan transpor sedimen di sepanjang pantai, dan kajian Calculating Shoreline Change in Rokan Estuary. KnE
efektivitas bangunan pantai dalam mengatasi abrasi. Engineering, Hal: 1-9.
Thieler, E. R., Himmelstoss, E. A., Zichichi, J. L dan Ergul, A.
DAFTAR PUSTAKA 2009. Digital Shoreline Analysis System (DSAS)
Badan Pusat Statistik. 2017. Kabupaten Buleleng dalam version 4.0 – An ArcGIS Extension for Calculating
Angka 2018. Singaraja: BPS Buleleng. Shoreline Change. Massachusetts: USGS.
Badan Pusat Statistik. 2018. Kabupaten Buleleng dalam Triadmojo, B. 2008. Teknik Pantai. Yogyakarta: Beta Offset.
Angka 2019. Singaraja: BPS Buleleng. Wicaksono, A., dan P. Wicaksono. 2019. Akurasi Geometri
Bird, E. 2007. Coastal Geomorphology an Introduction Garis Pantai Hasil Transformasi Indeks Air pada
Second Edition. England: John Wiley and Sons Ltd. Berbagai Penutup Lahan di Kabupaten Jepara.
Boak, E. H., dan Turner, I. L. 2005. Shoreline Definition and Majalah Geografi Indonesia, 33(1), Hal: 86-94.
Detection: A Review. Journal of Coastal Research, Xu, H. 2006. Modification of Normalized Difference Water
Hal: 688-703. Index (NDWI) to Enhance Open Water Features in
Dulbahri. 1983. Aplikasi Citra Landsat skala 1:250.000 untuk Remotely Sensed Imagery. International Journal of
Studi Perubahan Garis Pantai di Daerah Jawa Remote Sensing, 27(14), Hal: 3025-3033.
Tengah dan Jawa Timur. Laporan Penelitian.
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
140
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
aMagister
Geografi Minat Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai, Fakultas Geografi, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
wahyulazuardi35@gmail.com, Ridwan.ardiyanto07@gmail.com
ABSTRAK
Padang lamun adalah ekosistem yang sangat produktif dalam menyediakan nutrient dan habitat bagi organisme pesisir dan memiliki
fungsi dan manfaat bagi ekosistem pesisir. Peningkatan aktivitas manusia di wilayah pesisir dan pengaruh perubahan iklim
menyebabkan meningkatnya dinamika tutupan padang lamun secara global. Hal tersebut menandakan bahwa perlu adanya
pengembangan dan pembaharuan langkah pengelolaan pesisir untuk mempertahankan tutupan padang lamun. Salah satu langkah
pengelolaan yang efektif dan efisien adalah dengan analisis spasial dan monitoring secara multitemporal. Analisis spasial dan
monitoring multitemporal dapat dilakukan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh karena mampu memberikan pemahaman
dalam mengidentifikasi dan analisis dinamika tutupan padang lamun yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
perubahan tutupan ekosistem padang lamun di Gili Sumber Kima, Kabupaten Buleleng, Bali secara multitemporal menggunakan citra
Sentinel 2A-MSI. Algoritma Machine learning random forest (RF) dan support vector machine (SVM) digunakan untuk klasifikasi kelas
lamun dan non lamun. Analisis change detection dilakukan untuk mengetahui pola dan luas perubahan yang terjadi. Hasil yang
diperoleh menunjukkan akurasi tutupan padang lamun sebesar +-70% hingga +-83%. Analisis change detection menunjukkan bahwa
terdapat tiga arah perubahan, yakni bertambah seluas 27.9 ha, berkurang seluas 86 ha serta tidak berubah seluas 157 ha. Dengan
adanya informasi spasial terkait dinamika tutupan padang lamun secara multitemporal, informasi tersebut sangat berfungsi dan
bermanfaat dalam menilai fungsi ekologis pesisir, sebagai dasar dalam melakukan monitoring dinamika sumberdaya dan pengelolaan
wilayah pesisir.
Kata kunci: Dinamika Tutupan; Padang Lamun; Multitemporal; Sentinel-2A MSI; Machine Learning.
ABSTRACT
Seagrass beds are very productive ecosystems that provide nutrients and habitat for coastal organisms, and many benefits for coastal
ecosystems. Increased human activity in coastal areas and the effects of climate change, increases the dynamics of global seagrass
cover. This indicates that coastal management activities are necessary to maintain seagrass cover. The most effective and efficient
way for coastal management is Spatio-temporal monitoring. Spatio-temporal monitoring can be done by utilizing remote sensing data
because it is able to support in the analysis of the dynamics of seagrass cover. This study aims to analyze changes in seagrass
ecosystem cover on Gili Sumber Kima, Buleleng Regency, Bali using multitemporal Sentinel 2A-MSI imagery. Random forest (RF)
and support vector machine (SVM) algorithms are used for classification of seagrass and non-seagrass classes. Change detection
analysis is performed to determine the pattern and extent of the changes in seagrass cover. The accuracy of seagrass cover map
was + -70% to + -83%. Change detection analysis shows that there are three forms of seagrass cover change, that is increases of
the seagrass cover of 27,9 ha, decreases of 86 ha and no change of 157 ha. The availability of spatio-temporal information on the
dynamics of seagrass cover is very useful for assessing the ecological functions of the coast, as a basis for coastal area monitoring
and management.
141
dikelaskan menjadi tiga kategori berdasarkan persentase faktor-faktor yang menyebabkan perubahan pada
tutupan didaerah. Tutupan diatas 60% dianggap sebagai tutupan lamun. Implikasi dari tujuan penelitian ini adalah
kategori sehat, 30-59% kurang sehat dan kurang dari agar dapat memperoleh (menginventarisasi) data
30% tidak sehat. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekosistem padang lamun multitemporal agar dapat
kondisi padang lamun di Indonesia berada di kategori dijadikan sebagai basis atau dasar dalam melakukan
kurang sehat ditunjukkan dengan data terakhir tutupan program monitoring dan pengelolaan ekosistem pesisir.
lamun di Indonesia sebesar 37,58%. Hal tersebut tidak 2. Metodologi
menutup kemungkinan akan mengalami penurunan pada 2.1 Area Kajian
tiap tahun. Perubahan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, Lokasi penelitian dilakukan di Gili Sumber
hasil penelitian Waycott et al. (2009) menunjukkan Kima, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Secara
bahwa ekosistem padang lamun telah hilang sebesar geografis lokasi ini terletak antara 8o,111598 sampai
29% secara global. dengan 8o,130138LS dan 114o,598284 sampai dengan
Agar ekosistem padang lamun tetap memiliki 114o, 629114 BT. Lokasi ini merupakan salah satu lokasi
kebermanfaatan dari segi ekologi, ekonomi, edukasi bagi di Kabupaten Buleleng yang memiliki potensi
masyarakat, perlu adanya pengembangan dan sumberdaya pesisir melimpah, berupa perikanan,
pembaharuan langkah pengelolaan pesisir untuk padang lamun dan terumbu karang. Berikut adalah
mempertahankan tutupan padang lamun. Salah satu gambar lokasi penelitian (Gambar 1).
langkah pengelolaan yang efektif dan efisien adalah
dengan analisis spasial dan monitoring secara
multitemporal karena dapat dipertanggungjawabkan
secara saintifik dan dapat dijadikan dasar dalam
pengelolaan ekosistem lamun secara berkelanjutan.
Analisis spasial dan monitoring multitemporal dapat
dilakukan dengan memanfaatkan data penginderaan
jauh karena mampu memberikan pemahaman dalam
mengidentifikasi dan analisis dinamika tutupan padang
lamun yang terjadi. Menghitung dan menganalisis
perubahan ekosistem lamun secara multitemporal
menggunakan penginderaan jauh dapat memberikan
kemudahan dalam identifikasi dinamika tutupan lamun
yang terjadi secara periodic serta dapat membantu
dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi tipe Gambar 1. Area kajian
pengelolaan ekosistem lamun yang dapat berkontribusi 2.1 Citra
pada perkembangan dan kelestarian lamun Citra yang digunakan dalam penelitian ini
menyesuaikan dengan dinamika lingkungan yang terjadi. adalah Sentinel-2A MSI (10 m) yang merupakan satelit
Penginderaan jauh sudah banyak digunakan untuk milik European Space Agency (ESA). Sentinel-2A MSI
aplikasi sumberdaya pesisir, khususnya lamun karena memiliki sembilan saluran yang terdiri dari ukuran
sangat efektif dan efisien (Fornes et al., 2006; Lyons at resolusi spektral dan spasial yang berbeda, yakni 10 m,
al., 2011). Selain itu analisis aplikasi penginderaan jauh 20m dan 60m. Penelitian ini hanya menggunakan
secara multitemporal dapat mempermudah dalam saluran yang resolusi spasialnya 10 m, yang terdiri dari
mengetahui pola perubahan yang terjadi pada tahun empat saluran, yakni biru, hijau, merah dan inframerah
tahun tertentu (Godet et al., 2008). Pemanfaatan data dekat.
penginderaan jauh untuk analisis tutupan lamun Tabel 1. Karakteristik Citra Sentinel-2A MSI
multitemporal telah digunakan di beberapa penelitian Sentinel-2A MSI
sebelumnya dan mampu memberikan hasil yang sangat Resolusi Spasial (m) 10
baik (Williams dan Meehan, 2004; Kendrick et al., 2002; Resolusi
12-bit
Bell et al., 2014). Radiometrik
Resolusi Temporal 5 hari
Penelitian ini akan dilakukan di Gili Sumber Kima, Julat Spektral (pm)
Kabupaten Buleleng, Bali. Daerah tersebut dipilih karena saluran Blue 0,45-0,52
merupakan salah satu daerah potensial ekosistem saluran Green 0,54-0,58
padang lamun dan memiliki perkembangan masif dalam saluran Red 0,65-0,68
aktivitas pariwisata. Sejauh ini, belum ada inventarisasi saluran near-infrared 0,78-0,90
Sumber: Suhet (2014)
data terkait potensi sumberdaya alam ekosistem padang
lamun di sekitar Gili Sumber Kima, akibatnya aktivitas 2.2 Analisis Data
pengelolaan menjadi kurang maksimal. Oleh karena itu, Proses data terdiri dari beberapa tahapan. Tahap
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan pertama berupa koreksi citra, pengambilan data
tutupan ekosistem padang lamun secara multitemporal di lapangan, klasifikasi citra, change detection, dan uji
Gili Sumber Kima, Kabupaten Buleleng, Bali akurasi hasil (Gambar 2).
menggunakan citra Sentinel 2A-MSI. Selain itu analisis
multitemporal diharapkan mampu mengidentifikasi pola
spasial atau temporal perubahan tutupan lamun pada
rentang waktu tertentu, serta mengetahui kemungkinan
142
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
143
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
2.5 Change Detection 2015 dengan 2019. Sangat terlihat substrat pada 2015
Dalam kegiatan analisis perubahan, aspek dan 2019 sangat berbeda, dimana di tahun 2015,
multitemporal (series) penting diperhatikan karena tutupan substrat lebih luas dibandingkan tahun 2019.
suatu perubahan dapat dengan mudah di analisis Hal tersebut disebabkan karena pengaruh iklim, energi
dengan memperhatikan kondisi pada waktu awal atau gelombang arus serta dinamika perairan pesisir yang
sebelum (t1) dan waktu sesudah (t2). Perubahan dapat sangat dinamis. Tutupan terumbu karang tidak terlalu
diidentifikasi melalui transisi distribusi objek dominan jauh berbeda, hanya saja terdapat kesalahan klasifikasi
antara kondisi t1 dengan t2 (Eastman et al., 2005). pada tahun 2015, dimana pada tahun tersebut pantulan
Penelitian ini menggunakan Change Analysys Modeler terumbu karang sangat mirip dengan pantulan lamun.
untuk mengetahui perubahan tutupa lamun yang terjadi Tutupan makro alga tidak jauh berbeda, hanya saja
di tahun 2015 dan tahun 2019. mengalami pengurangan pada tahun 2019. Kondisi
2.6 Akurasi tutupan lamun juga demikian, tahun 2019 mengalami
Uji akurasi adalah salah satu pendekatan yang perubahan luasan yang cukup signifikasi jika
digunakan untuk mengetahui nilai akurasi peta yang dibandingkan dengan tahun 2015. Perhitungan akurasi
dihasilkan. Uji akurasi dilakukan menggunakan pada masing-masing hasil klasifikasi memiliki nilai yang
confusion matrix (Congalton dan Green 2009). Input berbeda.
dari confusion matrix adalah data validasi di luar data Hasil tahun 2019 dengan akurasi tertinggi
training klasifikasi yang di analisis dengan hasil diperoleh menggunakan algoritma random forest dan
klasifikasi citra untuk mengetahui sejauh mana input saluran berupa citra terkoreksi kolom air dengan
kebenaran hasil klasifikasi yang diperoleh. Confusion akurasi sebesar 68,39% dan kappa 52,89%.
matrix akan menghasilkan nilai akurasi dan nilai kappa. Sedangkan hasil tahun 2015, akurasi tertinggi
Akurasi adalah nilai yang diperoleh dari rasio antara diperoleh menggunakan algoritma support vector
data validasi yang terkelaskan dengan benar dengan machine dan input saluran berupa citra terkoreksi
total data validasi. Sedangkan nilai kappa sunglint dengan akurasi sebesar 62,94% dan kappa
menunjukkan proporsi tingkat kebenaran data validasi 42,25% (Tabel 2).
yang terkelaskan dengan benar berdasarkan Perbedaan besaran akurasi tersebut
akumulasi nilai agreement pada setiap kelas yang disebabkan karena penggunaan data validasi yang
digunakan. bersumber dari tahun 2019. Sehingga ketika
diterapkan pada data tahun 2015, banyak titik validasi
3. Hasil dan Pembahasan yang objeknya tidak sesuai karena pada tahun 2015
3.1. Pemetaan Habitat Bentik titik tersebut masih merupakan objek bentik lain dan
Pemetaan habitat bentik menggunakan kelas telah berubah pada tahun 2019. Hal tersebut yang
mayor sesuai dengan SNI serta panduan teknis menyebabkan nilai akurasi hasil tahun 2015 lebih
pemetaan habitat bentik yang dikeluarkan oleh wali rendah dibandingkan 2019. Hal tersebut pula yang
data P2O LIPI, kelas tersebut berupa substrat, terumbu menjadi salah satu kelemahan penelitian ini, yakni tidak
karang, makro alga dan lamun. Peta habitat bentik terdapat data validasi secara temporal untuk tahun
diperoleh melalui klasifikasi multispektral citra 2015. Dimana data validasi tahun 2019 diasumsikan
terkoreksi sunglint dan kolom air menggunakan mampu mewakili kenampakan objek bentik pada tahun
machine learning dengan algoritma random forest dan 2015. Hal tersebut dapat dibuktikan dari hasil akurasi
support vector machine. Hasil peta habitat bentik yang yang diperoleh antar tahun 2015 dengan 2019.
diperoleh dari dua tahun yang berbeda memiliki Meskipun nilainya berbeda, tetapi selisihnya tidak
distribusi dan luasan yang berbeda (Gambar 3). terlalu besar, yakni berkisar 5-6%. Hasil eksperimen
Hal tersebut mengindikasikan bahwa tedapat klasifikasi habitat bentik yang diperoleh dapat dilihat
perubahan yang terjadi selama rentang waktu antara pada Tabel 2
.
144
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
RF 42,66 3,42
DII
SVM 46,85 0
2015
RF 62,24 42,63
Deglint
SVM 62,94 42,25
Ditinjau dari nilai producer dan user accuracy (Gambar 4), tutupan lamun dari peta habitat bentik terbaik dapat
terkelaskan pada masing-masing tahun memiliki akurasi tinggi. Tahun 2015 melalui algoritma support vector machine
dengan citra sunglint mampu memetakan tutupan lamun dengan akurasi +-70%. Sedangkan tahun 2019, melalui
algoritma random forest dengan citra kolom air mampu memetakan tutupan lamun dengan akurasi +-83%. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa sumber data penginderaan jauh Sentinel-2A MSI mampu mengelaskan objek tersebut dengan
baik.
146
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
serta ekosistem disekitarnya seperti terumbu karang, Godet L, Fournier, J, vanKatwijk, M., M., Olivier, F., LeMao.,
agar kembali pada kondisi sehat sehingga memiliki P., dan Retiere, C., 2008, Before and after wasting
manfaat alami sebagai habitat perikanan disekitar. disease in common eelgrass Zostera marina along the
Untuk kedepannya penelitian sejenis diharapkan French Atlantic coasts: a general overview and first
accurate mapping. Dis Aquat Org, Vol 79, 249-55.
mampu mengembangkan atau memanfaatkan data
Gong W.P. 2007. Obtaining water elevation in the lagoon and
ekosistem serta data terkait keanekaragaman fauna cross sectionally averaged velocity of the tidal inlet by
perairan dangkal untuk melihat tren atau pola using one-dimensional equation – a case study in
perkembangan yang terjadi secara periodik (Lyons et Xincun inlet, Linshui, Hainan, China. Journal
al., 2011). Oceanography, 3, 1-5
Hedley, J. D., Harborne.A.R., dan Mumby, P.J., 2005.
4. Kesimpulan Technical note: Simple and robust removal of sun glint
Hasil pemetaan tutupan lamun memperoleh peta for mapping shallowowater benthos.
dengan akurasi tinggi. Akurasi tutupan lamun tahun International Journal of Remote Sensing, Vol 26, 2107-2112.
Kay, S., Hedley, J.D. dan Lavender, S., 2009. Sun Glint
2015 berkisar +-70% dan tahun 2019 berkisar +-83%
Correction of High and Low Spatial Resolution Images
(Producer’s dan User’s Accuracy). Nilai tersebut of Aquatic Scenes: a Review of Methods for Visible
menunjukkan bahwa data tutupan lamun yang and Near-Infrared Wavelengths. Remote Sensing, Vol
diperoleh dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk 1, 697-730.
analisis ekosistem perairan dangkal, salah satunya Kendrick, G., A., Aylward, M., J., Hegge, B., J., Cambridge,
adalah analisis perubahan tutupan lamun. Hasil M., L., dan Hillman, K.,2002. Changes in seagrass
analisis multitemporal tutupan lamun tahun 2015 dan coverage in Cockburn Sound, Western Australia
2019 yang diperoleh menunjukkan perubahan yang between 1967 and 1999. Aquat Bot Vol 73: 75-87.
sangat signifikan. Distribusi tutupan lamun pada 2015 Lyons, M., Phinn, S., dan Roelfsema, C., 2011. Integrating
quickbird multi-spectral satellite and field data:
lebih luas dibandingan dengan distribusi tutupan lamun
mapping bathymetry, seagrass cover, seagrass
tahun 2019. Perubahan tutupan lamun yang bertambah species and change in Moreton Bay, Australia in 2004
memiliki luasan 27.9 ha, berkurang seluas 86 ha dan and 2007. Remote Sensing, Vol 3, 42-64.
tidak berubah seluas 157 ha. Perubahan tersebut Lyzenga, D. R., 1978. Passive Remote Sensing Techniques
secara keseluruhan didominasi oleh perubahan lamun for Mapping Water Depth and Bottom Features,
menjadi substrat pasir. Tutupan lamun yang cenderung Applied Optics, Vol 17, 379-383.
mengalami perubahan adalah yang memiliki lokasi Maritorena, S., 1996. Remote Sensing of the Water
dekat dengan aktifitas keramba serta tidak terlindung Attenuation in Coral Reefs: a Case Study in French
dari proses hidrodinamika perairan laut. Perubahan Polynesia, International Journal of Remote Sensing,
Vol 17, 155-166.
tersebut disebabkan oleh berbagai faktor alam dan
Ma, L., Li, M., Ma, X., Cheng, L., Du, P., dan Liu, Y., 2017. A
manusia. Faktor alam yang mempengaruhi berupa Review of supervised object-based land-cover image
proses hidrodinamika yang terjadi dan iklim. Faktor classification. ISPRS Journal of Photogrammetry and
manusia yang mempengaruhi berupa aktifitas keramba Remote Sensing, 130, 27793.
jaring apung, eksploitasi kerang (kima) dan produk Nazeer, M., Nichol, J.E., dan Yung, Y.K., 2014. Evaluation of
perikanan secara tidak terkontrol dan bersifat merusak, atmospheric correction models and Landsat surface
limbah akibat perkembangan kawasan permukiman reflectance product in an urban coastal environment.
dan penginapan di sekitar lokasi. International Journal of Remote Sensing, 1-21.
Pal, M., dan Mather, P.M., 2005. Support Vector Machines for
Classification in Remote Sensing. International
DAFTAR PUSTAKA
Journal of Remote Sensing, Vol 26, No.5.
Bell, D., Berelov, M., S., dan Young, P., 2014. Historical
Phinn, S.R., Roelfsema, C.M., Leiper, I., dan Mumby, P.J.,
seagrass mapping in Port Phillip bay, Australia.
2008, Mapping Coral reef benthic zones from high-
Journal Coast Conservation, Vol 18, 257-272.
spatial resolution image segmentation and photo
Breiman, L.,2001. Random Forests. Machine Learning. Vol
transect data. In Proceedings of the 11th International
45, 5-32.
Coral Reef Symposium, Fort Lauderdale, FL.
Congalton, R. G., dan Green, K., 2009. Assessing the
Wahidin, N., Siregar, V.P., Nababan, B., Jaya, I., dan
Accuracy of Remotely Sensed Data: Principles and
Wouthuyzen, 2015. Object based image analysis for
Practices: Second Edition. USA: CRC Press, Inc.
coral reef benthic habitat mapping with several
Duarte CM, Borum J, Short F, Walker D (2008) Seagrass
classification algorithm. Procedia Environmental
ecosystems: their global status and prospects. In:
Sciences, Vol 24, 222-227.
Polunin N (Ed.) Aquatic Ecosystems, Cambridge
Waycott, M., Duarte, C.,M., Carruthers, T.,J.,B., Olyamik, S.,
University Press, Foundation for Environmental
Calladine, A., Fourqurean, J., W., Heck, K.,L., Hughes,
Conservation, pp 281-294.
A.,R., Kendrick, G.,A., Kenworthy, W.,J., Short, F.,T.,
Eastman, J. R., Luis Solorzano and Megan Van Fossen.
dan Williams, S., L., 2009. Accelerating of loss
2005. Transition Potential Modeling for Land-Cover
seagrass across the globe threaten coastal
Change. In GIS, Spatial Analysis and Modeling, edited
ecosystemPYAS. Vol 106, 12377-12381.
by David J. Maguire, Michael batty and Michael F.
Wicaksono, P., dan Hafizt, M., 2017. Dark target
Goodchild, 357-385. Redlands, CA: ESRI Press.
effectiveness for dark-object subtraction atmospheric
Fornes A, Basterretxea G, Orfila A, Jordi A, Alvarez A, Tintore
correction method on mangrove above¬ground
J (2006) Mapping Posidonia oceanica from IKONOS.
carbon stock mapping. IET Image Processing, 0 pp.
ISPRSJ Photogrammetry Remote Sensing, Vol, 60,
Williams, R., J., dan Meehan, A., J.,2004. Focusing
315-322.
management needsatthe subcatchment level via
assessments of change in the cover of estuarine
147
vegetation, Port Hacking, NSW, Australia. Wetland
Ecology Management, Vol 12, 499-518.
Yang, D, dan Yang, C. 2009. Detection of Seagrass
Distribution Changes from 1991 to 2006 in Xincun Bay,
Hainan, with Satellite Remote Sensing, Sensors. 9,
830-844.
Zhang, C., 2014. Appliying data fusion techniques for benthic
habitat mapping and monitoring in coral reef
ecosystem. ISPRS Journal of Photogrammetry and
Remote Sensing, Vol 104, 213-223.
Zoffoli, M.L., Frouin, R., dan Kampel, M., 2014. Water Column
Correction for Coral Reef Studies by Remote Sensing.
Sensors, Vol 14, 16881¬16931.
148
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Latief Mahir Rachmana, Mohammad Bagus Dwi Purnomob, dan Wahyu Purwakusumaa
aDepartemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor;
e-mail: latiefra@apps.ipb.ac.id
bProgram Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
ABSTRAK
Erosi merupakan proses penyebab utama degradasi daerah aliran sungai (DAS) karena menimbulkan kerusakan dan degradasi
tanah serta lingkungan. Erosi tidak hanya menimbulkan dampak penurunan kualitas tanah dan produktivitas pertanian pada lahan
yang tererosi (onsite effect) tetapi juga menimbulkan kerusakan di luar wilayah yang tererosi (offsite effect), terutama merusak
sumberdaya perairan, mencemari lingkungan, dan bangunan air. Pengukuran dan estimasi erosi merupakan hal yang krusial dalam
manajemen lahan pertanian. Diperlukan dukungan teknologi yang sesuai untuk pengembangan pengukuran dan estimasi erosi yang
praktis dan ekonomis. Penggunaan drones terbukti sangat memberikan kontribusi dalam memprediksi besarnya erosi dan tingkat
bahaya erosi dengan menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation). Dari hasil penelitian yang dilakukan di Desa
Karyasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, penggunaan drone untuk memprediksi erosi dengan metode USLE (Universal
Soil Loss Equation) sangat membantu dalam menetapkan nilai nilai faktor tanaman (C), pengawetan/konservasi tanah (P), kemiringan
lereng (L) dan panjang lereng (S). Selanjutnya dapat digunakan untuk menghitung tingkat bahaya erosi untuk setiap unit pengelolaan
lahan yang diperlukan untuk mengetahui apakah erosi yang terjadi pada setiap unit pengelolaan lahan sudah menimbulkan kerusakan
dan degradasi tanah dan pencemaran lingkungan.
Kata kunci: drone, daerah aliran sungai (DAS), degradasi tanah, erosi tanah, USLE
ABSTRACT
Erosion is the main cause of degradation of watersheds because it causes damage and degradation of land and the environment.
Erosion not only has an impact on decreasing soil quality and agricultural productivity on onsite effects but also causes damage
outside the offsite effect, especially damaging aquatic resources, polluting the environment, and waterworks. Measuring and
estimating erosion is crucial in the management of agricultural land. Technology support is needed that is appropriate for the
development of practical and economical measurements also estimation of erosion. The use of drones proved to be very contributing
in predicting the amount of erosion and the level of erosion hazard using the USLE (Universal Soil Loss Equation) method. From the
results of research conducted in Karyasari Village, Leuwiliang District, Bogor Regency, the use of drones to predict erosion using the
USLE (Universal Soil Loss Equation) method is very helpful in determining the value of plant factors (C), soil conservation (P), slope
(L) and slope length (S). Furthermore, it can be used to calculate the erosion hazard level for each land management unit that is
needed to determine whether erosion that occurs in each land management unit has caused damage and soil degradation and
environmental pollution.
Thematic Strategy for the Soil Protection in European lahan serta faktor pengawetan tanah. Oleh karena itu
Union, 2008 di dalam Panagos 2019). Mengingat drone juga diharapkan sangat mendukung untuk
besarnya kerugian yang ditimbulkan, erosi harus membantu memprediksi tingkat erosi yang terjadi di
dicegah atau ditekan hingga sekecil mungkin atau suatu kawasan atau wilayah.
mencapai tingkat erosi yang diijinkan. Pada dasarnya ada beberapa cara yang dapat
Selain tingkat erosi yang terjadi, untuk mengendali- digunakan untuk menentukan erosi dan tingkat bahaya
kan erosi, manajemen lahan dan tanah perlu mengenal erosi. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengukur
jenis erosinya. Ada empat jenis erosi yang paling dan/atau memprediksi besarnya erosi yang terjadi
banyak dikenal, yaitu: 1) erosi percik (splash erosion), dalam suatu wilayah atau daerah aliran sungai, yaitu:
terperciknya butiran tanah dari agregat tanah akibat 1) Pengukuran di lapangan secara langsung (metode
pukulan butir hujan, 2) erosi lembar (sheet erosion), tongkat, metode petak erosi), 2) Pengukuran debit
erosi yang terjadi secara berlapis atau berlembar- sedimen di sungai (kemudian dikonversi dengan angka
lembar dimulai dari lapisan paling atas, 3) erosi alur (riil sediment delivery ratio), 3) Prediksi erosi (metode
erosion), erosi yang mengakibatkan terjadinya alur-alur USLE, RUSLE, dll), 4) Permodelan (Answer, SWAT,
pada permukaan tanah yang dapat dihilangkan dengan dll).
pengolahan tanah, 4) erosi parit (gully erosion), erosi Menurut Alewell et al. (2019), hingga saat ini
yang mengakibatkan terjadinya parit-parit yang cukup Metode USLE (Universal Soil Loss Equation) adalah
dalam,yang tidak bisa dihilangkan dengan pengolahan model prediksi erosi yang paling banyak digunakan di
tanah, 5) erosi tebing dan dasar sungai (streambed seluruh dunia untuk memenuhi berbagai macama
erosion), erosi yang mengikis tebing dan dasar sungai, tujuan di bawah beberapa kondisi, masih dianggap
serta 6) longsor (land slide), pergerakan atau lebih baik dan mudah digunakan dibandingkan dengan
perpindahan tanah secara masif di atas bidang luncur metode lainnya yang tersedia. Menurut Metode USLE,
yang jenuh air. besarnya erosi ditentukan oleh erodibilitas tanah (K),
Terjadinya erosi dapat menimbulkan kerugian erosivitas hujan R, panjang lereng (S), kemiringan
yang sangat besar. Pada onsite effect, erosi dapat lahan (S), faktor tanaman C dan pengawetan tanah (P).
mengakibatkan hilangnya lapisan teratas tanah yang Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji
paling subur dan gembur, yang pada akhirnya kontribusi drone dalam pemetaan kawasan/wilayah
menurunkan kesuburan, kualitas dan produktivitas dalam kaitannya dengan memprediksi erosi dan tingkat
tanah serta degradasi tanah. Untuk off site effect, erosi bahaya erosi.
menyebabkan terjadinya sedimentasi pada wilayah
daratan dan kawasan perairan dan infra strukurnya. 2. Metodologi
Sedimentasi pada sungai mengakibatkan: 1) 2.1. Lokasi dan Waktu
pengeruhan sungai yang berakibat menurunnya Penelitian dilaksanakan di Kebun Alpukat seluas
kualitas perairan sungai serta jenis dan produksi 6.63 ha yang berada di Desa Karyasari, Kecamatan
berbagai jenis udang dan ikan di sungai dan di danau, Leuwiliang (lihat Gambar 1), Kabupaten Bogor pada
serta 2) pendangkalan sungai yang mengakibatkan bulan Desember 2018 – Maret 2019. Pengambian data
memicu terjadinya luapan air sungai/danau dan/atau lapang dan sampel tanah dilakukan berdasarkan
banjir serta merosotnya kualitas transportasi sungai. perbedaan kelas lereng. Analisa sifat fisik tanah
Sedimentasi juga mengakibatkan pendangkalan pada dilakukan di Laboratorium Konservasi Tanah dan Air
infrastruktur bangunan air seperti waduk dan saluran serta Laboratorium Pengembangan Sifat Fisik Lahan,
irigasi sehingga mengurangi umur atau masa pakai Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
bangunan air tersebut. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Kemajuan teknologi di bidang fotogrametri dapat
digunakan di berbagai bidang, khususnya bidang
pertanian. Kehadiran drone secara luas di pasaran
umum ditandai dengan hadirnya drone jenis kopter
dengan harga relatif terjangkau (Sambodo,
Sukmawijaya, dan Budianto, 2018). Penggunaan
drone model DJI Phantom 3 telah menghasilkan
kontribusi sangat besar untuk perencanaan, monitoring
dan evaluasi di bidang pertanian (Houvannisyam,
Efendian, dan Vardayan, 2018). Sedikitnya drone
sangat bermanfaat dan membantu dalam
mengidentifikasi jenis erosi dan besarnya serta
penyebaran erosi yang terjadi secara spasial.
Kelebihan drone yang dapat “memotret” suatu
kawasan atau wilayah dalam skala yang relatif besar, Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
selain membantu dalam mengidentifikasi jenis-jenis
erosi yang terjadi di suatu kawasan secara spasial, 2.2. Bahan dan Alat
drone juga diharapkan dapat digunakan untuk Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
membantu dalam mengidentifikasi secara spasial contoh tanah komposit, contoh tanah agregat utuh, dan
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap erosi, bahan kimia untuk analisa laboratorium. Contoh tanah
khususnya kemiringan lahan, jenis vegetasi penutup komposit diambil secara acak di setiap kedalaman 0 –
150
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
152
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Penyebaran SL lebih didominasi dan banyak mengikuti Satuan Lahan (SL) yang memiliki erosi terbesar
pola kemiringan lahan. Penyebaran SL 2, SL 3.1 dan adalah SL 6.3. Lahan terbuka nyaris tanpa tindakan
SL 3.2 hanya terdapat di puncak-puncak perbukitan konservasi tanah serta lereng yang curam merupakan
kecil. SL 4.1, SL 4.2, SL 5.1. SL 5.2 dan SL 6.1 lereng penyebab utamanya. SL yang memiliki erosi terendah
agak curam sampai curam dengan vegetasi pohon adalah SL 7.1. Erosinya jauh lebih rendah dari EYD
alpukat serta kombinasi pohon alpukat dan nanas. SL sehingga nilai TBE nya hanya 0.20. Meskipun memiliki
7.1 berupa lahan terbuka tanpa vegetasi dan memiliki lahan curam, karena tutupan lahannya berupa hutan
lereng yang sangat curam. SL 7.2 merupakan satuan lebat dengan nilai C hanya 0.001, maka erosinya
lahan hutan yang berlereng sangat curam. Perbedaan menjadi kecil.
kondisi SL ini tentu akan memberikan konsekuensi SL dengan TBE > 1 tidak berkelanjutan karena
terhadap besarnya erosi yang terjadi. Dapat diduga menghasilkan solum tanah yang semakin menipis.
bahwa erosi yang terbesar akan terjadi pada SL 7.1. Semakin besar nilai TBE, proses menipisnya solum
Sedangkan SL yang erosinya terendah adalah SL 7.2. tanah akan semakin cepat. Untuk itu pada SL yang
TBE nya > 1 diperlukan tindakan pengawetan atau
3.3. Hasil Prediksi Erosi dan Tingkat Bahaya Erosi konservasi tanah. Semakin besar TBE nya, diperlukan
Dengan berhasil diperolehnya nilai-nilai faktor tindakan pengawetan tanah yang semakin berat.
erosi maka erosi dapat diprediksi. Hasil prediksi erosi
di lokasi penelitian hampir seluruhnya tergolong tinggi
sampai sangat tinggi, jauh melampaui nilai Erosi Yang
Diijinkan (EYD). Semakin besar nilai Tingkat Bahaya
Erosi (TBE),
maka semakin jauh nilai erosi melampaui EYD (lihat
Tabel 1)
Tabel 1. Erosi dan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Setiap Satuan Lahan
Satuan Lahan Faktor Erosi Erosi EYD TBE
K R LxS C P (ton/ha) (ton/ha)
SL-2 0.149 3566.947 2.833 0.100 0.500 75.380 37.333 2.02
SL-3.1 0.182 3566.947 3.322 0.300 0.500 323.405 37.333 8.66
SL-3.2 0.149 3566.947 3.556 0.100 0.500 94.582 37.333 2.53
SL-4.1 0.130 3566.947 13.614 0.200 0.750 949.630 37.333 25.44
SL-4.2 0.149 3566.947 13.545 0.100 0.750 540.913 37.333 14.49
SL-5.1 0.133 3566.947 8.359 0.400 0.900 1426.641 37.333 38.21
SL-5.2 0.124 3566.947 10.268 0.280 0.900 1143.547 37.333 30.63
SL-6.1 0.107 3566.947 18.691 0.100 0.900 640.045 37.333 17.14
SL-6.2 0.106 3566.947 14.555 0.233 0.900 1158.435 37.333 31.03
SL-6.3 0.096 3566.947 19.765 1.000 0.900 6101.797 37.333 163.44
SL-7.1 0.134 3566.947 15.542 0.001 1.000 7.420 37.333 0.20
SL-7.2 0.117 3566.947 18.154 0.100 0.900 684.710 37.333 18.34
Keterangan: SL = Satuan Lahan K = faktor kepekaan tanah terhadap erosi R = faktor kemampuan hujan mengerosi tanah
L = faktor panjang lereng S = faktor kemiringan lereng C = faktor tanaman P = faktor pengawetan tanah
EYD = Erosi yang Diijinkan TBE = Tingkat Bahaya Erosi
154
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
ABSTRAK
Arung jeram merupakan wisata air yang memanfaatkan jasa ekosistem sungai. Kondisi hidrologi sungai sangat mempengaruhi
keberlanjutan wisata arung jeram. Morfometri memberikan gambaran terkait geomorfologi suatu DAS. Analisis morfometri DAS secara
detail mampu memberikan dekripsri terkait kondisi, potensi, dan ancaman hidrologi. DAS Saba yang berpotensi dan sedang
berkembang wisata arung jeram di dalamnya. DAS Saba di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali telah sedang mengembangkan wisata
arung jeram sejak tahun 2017. Tujuan kajian ini yaitu 1) menghitung morfometri DAS Saba 2) analisis perencanaan wisata arung
jeram berdasarkan kondisi morfometri DAS Saba. Pendekatan menggunakan pendinderaan jauh dan sistem informasi geografis
digunakan dalam kuantifikasi morfometri DAS Saba. Analisis spasial merupakan salah satu metode yang disajikan dalam SIG untuk
mengkuantifikasi parameter-parameter morfometri DAS. Kuantifikasi parameter morfometri DAS mencakup aspek keruangan,
topografi, panjang sungai tama dan aspek alur sungai dalam morfometri DAS. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 15
parameter morfometri DAS yang menjadi oendukung dalam pengembangan wisata arung jeram Sungai Saba, yaitu luas, panjang,
lebar, panjang sungai utama, kemiringan, kemiringan sungai utama, titik berat, median elevasi, kerapatan drainase, faktor bentuk,
jumlah sungai orde 1, jumlah panjang sungai orde 1, jumlah semua sungai, jumlah panjang semua sungai. Aspek morfometri yaitu
kemiringan Sungai Saba 50 m/km dijadikan dasar penetuan jalur arung jeram hanya ada di segmen 7. Segmen 7 memmiliki
kemiringan sungai mencapai 14,2 m/km.
ABSTRACT
Rafting is a water tourism that utilizes river ecosystem services. The hydrological conditions of the river greatly affect the sustainability
of white water rafting tours. Morphometry provides an overview of the geomorphology of a watershed. Detailed watershed
morphometry analysis can provide decryption regarding conditions, potentials, and hydrological threats. Saba watershed has potential
and is developing white water rafting tourism in it. Saba watershed in Buleleng Regency, Bali Province has been developing white
water rafting tours since 2017. The purpose of this study is 1) to calculate the Saba watershed morphometry 2) analysis of white water
rafting tour planning based on the Saba watershed morphometric conditions. The approach to using remote sensing and geographic
information systems was used in the quantification of the morphometry of the Saba watershed. Spatial analysis is one of the methods
presented in GIS to quantify the watershed morphometry parameters. Quantification of watershed morphometric parameters includes
spatial, topographic, river length and river flow aspects in the watershed morphometry. The analysis shows that there are 15
morphometric parameters of the watershed that support the development of the Saba River rafting tour, namely area, length, width,
main river length, slope, main river slope, center of gravity, median elevation, drainage density, form factor, number order 1 river,
number of river order number 1, number of all rivers, total length of all rivers. The morphometry aspect, which is the slope of the Saba
River 50 m/ km, is used as the basis for determining rafting paths only in segment 7. The 7 segment has a river slope reaching 14.2
m / km.
155
keberadaan jeram di sungai. Debit, lebar, kemiringan dan dilakukan dalam kajian hidrologi. Pengembangan wisata
tu sungai menjadi faktor utama terbentuknya jeram arung jeram haruslah memperhatikan kondisi hidrologi
(Korua, 1997; Hasanah, 2017). Kemiringan sungai ideal guna mempertimbangkan pengelolaan wisata. Oleh
untuk arung jeram yaitu 10-20 m/km. Turbulensi air karenanya urgensi morfometri DAS Saba dalam
sungai dipengaruhi pula oleh kondisi kekasaran dasar keberlangsungan wisata arung jeram perlu dikaji.
sungai. Lebar penampang sungai berpengaruh terhadap
sebaran debit sungai secara lateral. 2. Metodologi
Pengembangan wisata arung jeram menurut ORC 2.1. Lokasi Kajian
(2010) haruslah mempertimbangkan faktor keselamatan. DAS Saba terletak di Kabupaten Buleleng, Bali.
Banjir merupakan ancaman bagi kegiatan arung jeram. Secara administrasi DAS Saba melintasi dua wilayah
Perhitungan morfometri DAS membantu memprediksi kecamatan yaitu Kecamatan Seririt di hilir dan
debit banjir suatu DAS (Youssef et al., 2011) (Waikar & Kecamatan Busungbiu di hulu. Secara absolut terletak
Nilawar, 2014) (Angillieri & Fernandez, 2017). Pola banjir pada 8o 13’ 15,8” - 8o 18’ 34,8” LS dan 108o 43’ 37,9” -
ini digambarkan dalam sebuah grafik hubungan antara 108o 55’ 49,2” BT. DAS Saba memiliki luasan mencapai
debit aliran dengan waktu sebagai hasil interaksi iklim 14.525,78 Ha. Terletak pada ketinggian 0-1800 mdpal,
dengan kondisi fisiografi DAS, yang disebut hidrograf dengan topografi didominasi oleh wilayah bergelombang
banjir (Ramirez, 2000). hingga perbukitan. Curah hujan rerata bulanan mencapai
DAS Saba merupakan DAS yang terletak di 205,97mm. Curah hujan maksimum bulanan mencapai
Kabupaten Buleleng, Bali. Luas DAS Saba mencapai 423,5 tercatat di bulan November 2017 (BPS, 2018).
14.525,78 ha. Sungai Saba merupakan sungai utama Penggunaan lahan di DAS Saba didominasi oleh hutan
yang memiliki panjang mencapai 35,73 km. Kondisi ini dan kebun, dibagian hulu serta permukiman dan sawah.
mendukung pengembangan wisata arung jeram di DAS Berikut lokasi kajian yang telah dilakukan (Gambar 1).
Saba. Analisis morfomteri DAS Saba sangat penting
Gambar 13. Peta Lokasi Kajian DAS Saba, Kabupaten Buleleng, Bali
2.2. Alat dan Bahan perhitungan parameter lainnya bersama peta sebaran
Alat dan bahan yang digunakan dalam kajian jaringan sungai dan peta kontur ci 12.5.
morfometri DAS yaitu Digital Elevation Model (DEM yaitu
AlosPalsar resolusi 12,5 meter, dan Peta RBI Skala Morfometri
1:25.000 tahun 2017. Peta RBI Skala 1:25.000 Morfometri DAS merupakan ukuran dan analisis
menyediakan informasi jaringan sungai, ketinggian numerik dari sebuah konfigurasi daerah aliran sungai,
tempat, dan penggunaan lahan. Bahan lainnya berupa bentuk dan dimensinya (Clark, 1966). Metode yang
data-data hasil survey lapangan tahun 2019. Perlatan digunakan dalam perhitungan morfometri menggunakan
yang digunakan dalam kajian berupa seperangkat alat analisis GIS yang diintegrasikan dengan data
Global Positioning System (GPS), Rangefinder, Pita penginderaan jauh (Sangle & Yannawar, 2014). Digital
Ukur, Laptop, dan ArcGIS 10. Elevation Model (DEM) digunakan untuk menghitung
2.3. Metode parameter-parameter morfometri (Romshoo et al., 2012).
Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) DEM digunakan sebagai dasar untuk menentukan batas
digunakan dalam metode kajian morfometri DAS sebagai DAS. Perhitungan parameter-parameter morfometri
pendukung perencanaan mitigasi bencana. DEM dilakukan berdasarkan kajian terdahulu yang telah
dijadikan sebagai dasar penentuan batas DAS dan dilakukan oleh Strahler (1964), Horton (1932) dan
Schumms (1956).
156
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
9 Kemiringan DAS s12 a12 s23 a23 s( n 1) n a( n 1) n S(n-1)n = rata-rata land slope antara The Weighted
sb ... dua kontur n-1 dan n Mean Method
A A A
A(n-1)n = area antara dua garis
kontur (n-1) dan n
x
10 Titik berat DAS ( xi .n xi ) n = jumlah titik grid dalam DAS Pareta et al. (2012)
n nxi= jumlah titik potong menurut
sumbu x dalam DAS
y i n yi
( y .n )
157
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
158
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Berdasarkan Tabel 1 DAS Saba memiliki luas bervasirasi dari hulu hingga hilir. DAS Saba memiliki
145,55 km2. Berdasarkan DAS Saba masuk ke dalam ketinggian yang didominasi pada 600 mdpal.
kategori DAS yang Kecil (100-1000 km2) (Bina Kemiringan DAS pada DAS Saba dihitung
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan menggunakan metode mean slope method.
Sosial, 2013). Luas DAS berpengaruh terhadap hasil air. Kemiringan rerata DAS Saba diketahui yaitu 0,015.
Luasan DAS Saba yang kecil diduga memiliki hasil air Orde sungai merupakan parameter penting
yang rendah pula. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan dalam perhitungan morfometri dan analisa banjir.
DAS menangkap air hujan. Hujan yang ditangkap juga Identifikasi orde sungai di DAS Saba digunakan dalam
semakin banyak. Oleh karenanya luas DAS berpengaruh penentuan sungai utama dan kerapatan drainase. DAS
terhadap debit yang masuk ke dalam sisitem jaringan Saba terhitung memiliki panjang sungai utama mencapai
sungai. 35,75 km. Berdasarkan penentuan orde sungai menurut
DAS memiliki bentuk memanjang (Gambar 3). Strahler (1964) jumlah panjang sungai orde 1 (L1) adalah
Hal ini didukung dengan nilai Circularity Ratio (Rc) dan 224.46 Km. Jumlah panjang sungai (Li) adalah 1487,31
Lemniscate Constant (k) secara berturut-turut yaitu 0,29 Km. Jumlah sungai orde 1 (ST1) adalah 160. Jumlah
dan 1,12. Bentuk DAS mempengaruhi waktu konsentrasi sungai orde 1 (ST1) adalah 307.
debit puncak pada outlet DAS (Sutapa, 2006). Panjang Orde sungai secara tidak langsung berpengaruh
DAS mencapai 25,51 km dan lebar DAS mencapai 2,15 terhadap kuantitas aliran yang masuk ke dalam sungai
km, dengan nilai WL dan Wu berturut turut adalah 2,15 utama. Jumlah sungai orde 1 berpotensi meningkatkan
km dan 6,85 km. Karakteristik DAS saba dapat dilihat sistem drainase sehingga potensi banjir semakin tinggi.
pada Gambar 3. Faktor percabangan sungai sungai berhubungan dengan
Parameter relief DAS Saba digambarkan kecepatan penurunan dan kenaikan tinggi muka air atau
melalui parameter median elevasi dan kemiringan debit dalam sebuah penampang sungai utama. Hal ini,
DAS. Berdasarkan hasil analisis median elevasi berpotensi mempengaruhi kondisi arung jeram di Sungai
sering dipakai sebagai parameter ketinggian DAS. Saba, terutama di musim penghujan.
Hal ini dikarenakan ketinggian dala sebuah DAS
Kerapatan drainase adalah panjang aliran meyebabkan mempengaruhi waktu konsentrasi debit
sungai per kilometer persegi luas DAS. Kerapatan puncak lebih cepat menuju hilir (Utama dkk, 2016).
drainase DAS Saba adalah 1,98 km/km2. Berdasarkan
Soewarno (1991) DAS Saba termasuk ke dalam DAS 3.2. Morfometri Segmen di Sungai Saba
dengan kerapatan drainase sedang. Semakin besar nilai Faktor utama yang mempengaruhi keberadaan
kerapatan drainase semakin baik sistem pengaliran jeram dalam suatu penampang sungai yaitu kemiringan
(drainase) di daerah tersebut. Besarnya sistem drainase sungai, debit aliran, kekasaran dasar sungai, serta
secara tidak langsung menggambarkan kesempatan keberadaan meandering. Berikut Beberapa segmen
infiltrasi rendah. Semakin kerapatan drainase Sungai Saba dengan karakteristiknya.
159
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Tabel 14 Kemiringan Segmen Sungai DAS Saba, Kabupaten Buleleng, Bali
Kemiringan air permukaan
Segmen Ketinggian (m) Panjang (m)
m/km
1 787.5 6423 122.6
2 325 4345 74.8
3 200 4028 49.7
4 150 4526 33.1
5 50 2603 19.2
6 62.5 3125 20.0
7 37.5 2645 14.2
8 25 2724 9.2
9 25 4500 5.6
160
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
No Parameter Nilai
1 Waktu Puncak 13.15 jam
2 Waktu Dasar 24.1 jam
3 Debit Puncak 11.89 m3/s
Sumber : (Hasil analisis, 2019)
Karaktersitik saluran yang diambil pada
penampang sungai Saba pada (Zona 49S X: 272002,64
Y: 9090674,93) didapatkan karakteristik seperti pada
Tabel 5.
Tabel 5 Parameterisasi Kondisi Saluran di Sungai
Saba, Kabupaten Buleleng, Bali
No Parameter Nilai
1 Luas Penampang 3,9 m2
2 Perimeter basah 12,75 m
Gambar 5 Sebaran Jeram di Jalur Pengarunngan
3 Lebar Penampang 13 m
4 Koefisien Manning 0,034
Wisata Sungai Saba, Kabupaten Buleleng, Bali
5 Kemiringan Permukaan Air 0,017
6 Jari-jari Hidrolik 0,31 m Keberadaan Bendungan
7 Kapasitas Maksimum 6,94 m3/s Potensi yang bisa dimanfaatkan secara
Sumber: (Hasil Analisis, 2019) maksimal di segmen 7 adalah debit air yang bisa
dikendalikan karena letaknya yang berada di outlet
Tabel 5 menunjukkan karakteristik saluran sebuah bendungan. Potensi ini jarang dimiliki oleh
Sungai Saba. Sungai Saba. Berdasarkan karakteristik sungai-sungai lain. Beberapa potensi yang bisa
Sungai Saba tersebut kapasitas maksimum saluran dimanfaatkan diantaranya adalah pengaturan tinggi
mencapai 6,94 m3/s. Kapasitas maksimum saluran muka air yang fleksibel sesuai kebutuhan. Perlu diingat,
menunjukkan debit maksimum yang dapat ditampung tinggi muka air yang berbeda akan mengubah variasi
dalam satu penampang sungai. jeram yang ada. Yang kedua adalah dari segi keamanan.
Berdasarkan hasil perhitungan debit puncak dan Tinggi muka air dan debit yang bisa diatur memperkecil
kapasitas maksimum, ketika hujan jatuh dengan peluang terjadinya banjir yang membahayakan
intensitas tertemtu Sungai Saba berpotensi mengalami wisatawan. Yang ketiga adalah pembukaan wisata arung
kejadian banjir ketika aliran mencapai debit puncaknya. jeram bisa dilakukan sepanjang musim karena
ketersediaan air yang setiap saat ada. Hal ini berbeda
Potensi Wisata Arung Jeram Sungai Saba dengen sungai-sungai lain yang tidak berada dibawah
Pengolahan data morfometri DAS bendungan atau DAM.
menghasilkan sejumlah data baru, salah satunya adalah Pemandangan Sepanjang Jalur
gradien sungai per segmen. Setelah diidentifikasi, Jalur arung jeram sungai saba terletak di kaki
segmen 7 memiliki tingkat kesesuaian yang paling gunung api purba Bratan-Buyan. Sisa kenampakan
sesuai. Oleh karena itu kajian potensi wisata arung jeram akibat proses fluvio-vulkanik masa lampau menghasilkan
difokuskan hanya pada segmen 7. bentukan tebing yang tinggi yang ditumbuhi berbagai
Variasi Jeram tumbuhan khas pegunungan. Tak jarang disela-sela
Variasi jeram ditentukan oleh material dan perjalanan, wisatawan juga menemukan air terjun kecil
morfologi dasar sungai serta tinggi muka air. Pada yang berupa rembesan air dari tebing-tebing tersebut.
ketinggian air 40-70 cm terdapat variasi jeram yang Hal ini menambah keindahan pemandangan selama
cukup bervariasi. Jeram pada lokasi segmen 7 secara perjalanan. Selain itu juga terdapat barisan sawah di tepi
umum diisi oleh standing wave. Jeram jenis eddy sungai yang membentuk terasering. Hijaunya sawah
sesekali muncul, begitu pula dengan pillow dan stopper. yang tertata rapi dapat menyejukkan mata para turis.
Terdapat kurang lebih tiga undercut sepanjang jalur. Masyarakat Lokal
Terdapat pula satu bottle neck pada bagian awal Keberadaan rintisan wisata arung jeram di
segmen. Adanya jeram dapat menjadi atraksi tersendiri kecamatan Busungbiu disambut baik oleh masyarakat di
bagi turis. Turis bisa menikmati sensasi terombang- sepanjang lintasan jalur arung jeram. Karakter
ambing, terguncang, jatuh bahkan sampai terbalik. Hal masyarakat desa yang ramah dan terbuka menjadi suatu
ini sangat menjual jika ditawarkan kepada wisatawan. kenunggulan. Secara nyata bentuk partisipasi
Berikut merupakan beberapa jenis jeram yang ditemui di ditunjukkan dengan partisipasi aktif masyarakat dalam
jalur pengarungan. membangun POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata)
161
yang diberi nama SWISS. POKDARWIS ini
beranggotakan masyarakat lokal yang dilatih untuk 4. Kesimpulan/Rekomendasi
menjalankan wisata arung jeram, mulai dari operator, Kajian morfometri sebagai pendukung
pemandu wisata, sampai bagian administrasi. pengembangan wisata arung jeram yang berkelanjutan
Masyarakat yang tergabung dalam organisasi ini sangat penting. Terdapat 15 parameter morfometri yang
merupakan warga lokal dari lima desa yang dilewati oleh dapat digunakan sebagai dasar pengembangan wisata
jalur arung jeram. arung jeram berkenjutan yaitu luas, panjang, lebar,
Akses Jalan dan Fasilitas Umum panjang sungai utama, kemiringan, kemiringan sungai
SWISS (Wisata Sungai Saba) berada di utama, titik berat, median elevasi, kerapatan drainase,
Ularan, Ringdikit, Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali. Jarak faktor bentuk, jumlah sungai orde 1, jumlah panjang
start point wisata arung jeram dari pusar kota Kecamatan sungai orde 1, jumlah semua sungai, jumlah panjang
Seririt sekitar 9-12 km, dapat ditempuh selama ± 30 semua sungai. Analisis morfometri tersebut dapat
menit. Wisata arung jeram berjarak 30 km dari Kota digunakan sebagai dasra penentuan segmen sungai,
Singaraja dan dapat ditempuh selama ± 1 jam. Jalur jalur pengarungan, serta dapat dijadikan dasar
tercepat menuju start point melalui Jalan-Seririt Pupua, manjemen risiki bencana dalam pengembangan wisata
Akses lainnya menuju lokasi wisata arung jeram dapat arung jeram.
ditempuh melalui jalan seririt-pupuan. Jalur alternatif lain
dapat ditempuh melalui Jalan Raya Ularan. Kondisi DAFTAR PUSTAKA
akses jalan di sekitar wisata arung jeram merupakan
jalan aspal dan jalan beton. Berikut merupakan Angillieri, M, Y, E and Fernandez, O, M. 2017. Morphometric
gambaran kondisi akses di sekitar area wisata arung Analysis of River Basins Using GIS and Remote
jeram. Sensing of an Andean Section of Route 150,
Argentina. A Comparison between Manual and
Automated Delineation of Basins. REVISTA
MEXICANA DE CIENCIAS GEOLOGICAS, 34 (2),
PP: 150-156. DOI:
http://dx.doi.org/10.22201/cgeo.20072902e.2017.
2.482.
Berhitu, P, T., dan Mulyono, R, M. 2014. Analisa Karakteristik
Hidrologi dan Model Dinamik Das Way Ruhu pada
Kawasan Pesisir Desa Galala Kota Ambon. Jurnal
TEKNOLOGI, 11 (2), hal: 2045 - 2053
BPS. 2018. Kabupaten Buleleng dalam Angka Tahun 2018.
Denpasar: BPS Kabupaten Buleleng.
Carolli, M. et al. 2017. Modelling White-Water Rafting Suitability
in a Hydropower Regulated Alpine River. Science
of the Total Environment, 579, pp: 1035-1049.
Clark, J, I. 1966. Morphometry from Maps Essay in
zgeomorphology. New York: Elsevier publishing
company. pp: 235-274
Hasanah, M., Sugiyanta, I, G., dan Miswar, D. 2018.
Karakteristik Jalur Arung Jeram d Way Sekampung
Provinsi Lampung Tahun 2016. Jurnal Skripsi.
Lampung: Universitas Lampung.
Gambar 5 Kondisi Jalan di Sekitar Wisata Arung Jeram Horton, R.E., 1932, Drainage basin characteristics,
Sungai Saba, Kabupaten Buleleng Bali Transactions American Geophysical Union, vol. 13,
pp. 350–361.
Mitigasi Bencana Banjir di Subdas Saba Korua, Lodi dkk.1997. Panduan Dasar Arung Jeram. Jakarta:
FAJI.
Berdasarkan hasil analisa morfometri dan debit McGinnis, William. 1994. Whitewater Rafting. Quadrangle. New
puncak, Sungai Saba berpotensi terjadi banjir. Kondisi York: The New York Times Book Co.
saat ini salah satu bentuk mitigasi yang telah dilakukan Marlina, N., Hudori., dan Hafidh, R. 2017. Pengaruh Kekasaran
pemerintah Kabupaten Buleleng adalah pembangunan Saluran Dan Suhu Air Sungai pada Parameter
bendungan di Sungai Saba. Kualitas Air Cod, Tss di Sungai Winongo
Bendungan Titab-Ularan berada di bagian Menggunakan Software Qual2kw. Jurnal Sains dan
tengah Subdas. Keberadaan bendungan Titab-Ularan Teknologi Lingkungan, 9 (2), hal. 122-133.
menjadi pengontrol aliran dalam saluran baik pada Mokarram, M., and Sathyamoorthy, D. 2015. Morphometric
musim penghujan maupun musim kemarau, serta Analysis of Hydrological Behavior Of North Fars
Watershed, Iran.
sebagai penampung cadangan air sehingga Pareta, K., dan Pareta, U. 2012. Quantitative
ketersediaan air tercukupi. Geomorphological Analysis of a Watershed of Ravi
Analisis morfometri dan karakteristik hidrologi River Basin, H.P. India. Remote Sensing and GIS,
masih perlu dilakukan terutama untuk mengantisipasi Volume 1, Issue 1, pp. 47-62.
kejadian banjir di bagian hulu (wilayah sebelum Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran
bendungan). Keberlanjutan dari perencanaan mitigasi Sungai Dan Perhutanan Sosial Nomor : P. 3/V-
bencana diperlukan pemetaan detail terhadap potensi Set/2013 Tentang Pedoman Identifikasi
bahaya banjir di Subdas Saba.
162
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
163
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Dandi Arianto Pelly a, Nada Fauziah b, Muh Aris Marfai c, Evita Hanie Pangaribowo c ,
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi konsentrasi Klorofil-a dengan distribusi spasial temporal berdasarkan musim,
memetakan sebaran posisi kapal ikan yang terdeteksi sensor VIIRS, dan menganalisis area potensial Fishing Ground di perairan laut
Kota Padang. Metode spatio temporal geostatistik yang digunakan dalam penelitian adalah metode kriging untuk mengetahui sebaran
spasial wilayah dengan konsentrasi klorofil-a pada waktu tertentu. Pengolahan data produk sensor VIIRS Boat Detection (VBD) untuk
mengetahui posisi kapal menggunakan analisis atribut dengan sebaran koordinat temporal. Analisis zona potensi Fishing Ground
dilakukan menggunakan metode Overlay Matching antara area konsentrasi klorofil-a dengan posisi persebaran kapal VBD. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa musim dengan kandungan klorofil-a tinggi adalah pada awal musim peralihan barat ke musim timur
dengan bulan Juli sebagai bulan yang memiliki kandungan klorofil-a tertinggi sebesar 2,68 mg/m³, sedangkan kandungan terendah
terjadi pada akhir musim timur hingga musim barat yaitu sebesar 0,1 mg/m³ yaitu pada bulan Desember dan Januari, untuk hasil
interpolasi kriging menunjukkan Root Mean Square error (RMSe) rata rata tahunan sebesar 0.05852. Deteksi posisi kapal oleh sensor
VBD tertinggi ialah pada musim timur (Juni, Juli, dan Agustus) yaitu 725 deteksi dan terendah pada musim peralihan timur
(September, Oktober, November) yaitu 180 deteksi. Posisi sebaran kapal lebih sering ditemukan pada wilayah dengan konsentrasi
Klorofil-a sedang hingga tinggi. Zona potensi Fishing Ground pada Musim Barat terdapat di sekitar perairan Kecamatan Padang
Utara, namun pada musim ini potensi nya sangat rendah, Musim Peralihan Barat terdapat pada kawasan Konservasi Taman Wisata
Perairan Pulau Pieh, pada Musim Timur memiliki zona potensi Fishing Ground yang tinggi ditandai dengan konsentrasi klorofil-a
tinggi yang tersebar merata dan banyak nya kapal penangkapan ikan, serta Musim Peralihan Timur terdapat pada wilayah Perairan
Kecamatan Koto Tangah ke arah utara perairan yang belum di teroptimalkan karena banyaknya kapal yang masih menangkap ikan
di daerah kandungan klorofil-a rendah hingga sedang.
Keywords: Klorofil-a, Kriging, VIIRS Boat Detection, Fishing Ground, Kota Padang
ABSTRACT
This study aims to identify the concentration of Chlorophyll-a with the spatial temporal distribution based on the season, the map
distribution of the position fishing boats detected by the VIIRS sensor, and analyze potential areas of Fishing Ground in the sea waters
of Padang City. The geostatistical spatio temporal method used in the study was the kriging to determine the spatial distribution of
regions with chlorophyll-a concentrations at certain times. Data processing of VIIRS Boat Detection (VBD) sensor products to
determine the position of the boats using attribute analysis with the distribution of temporal coordinates. Analysis of the potential
fishing ground zone was carried out using the Overlay Matching method between the area of moderate to high chlorophyll-a
concentration with the position of distribution boats from VBD. The results of this study indicate that the season with high chlorophyll-
a content is at the beginning of the western transition season to the east season with July as the month which has the highest
chlorophyll-a content of 2.68 mg/m³, while the lowest content occurs at the end of the east season up to the western season which is
equal to 0.1 mg/m³ in December and January, for the results of kriging interpolation show the Root Mean Square error (RMSe) annual
average of 0. 05852. The highest detection of vessel position by the VBD sensor is in the eastern season (June, July and August),
which is 725 detections and the lowest in the eastern transition season (September, October, November), which is 180 detection.
The position of boats distribution is more common in areas with moderate to high Chlorophyll-a concentrations. The Fishing Ground
potential zone in West Season is around the waters of North Padang Subdistrict, but this season the potential is very low, the Western
Transition Season is in the Pieh Island Aquatic Park Conservation Area, in East Season has a high potential Fishing Ground zone
characterized by concentration high chlorophyll-a spread evenly and many fishing boats, and the Eastern Transition Season is in the
waters of the Koto Tangah Subdistrict to the north of the waters which have not been optimized because of the many boats that still
catch fish in the area of low to moderate chlorophyll-a.
Keywords: Chlorophyll-a, Kriging, VIIRS Boat Detection, Fishing Ground, Padang City.
melalui limpasan air sungai dan sebaliknya cenderung indikator kesuburan suatu perairan (Patra et al. 2018;
rendah di daerah lepas pantai karena tidak adanya Hong et al. 2012). Siklus musiman fitoplankton di
suplai nutrien dari daratan secara langsung. wilayah pesisir sangat jelas, komposisi spesies dan
Meskipun demikian di beberapa tempat masih produksi primer. Oleh karena itu, siklus musiman
ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi pada komunitas fitoplankton mempengaruhi seluruh
area jauh dari daratan. Keadaan tersebut disebabkan komunitas sektor melalui hubungan trofik (Armi,
oleh adanya proses sirkulasi massa air yang Trabelsi, Turki, Béjaoui, & Maïz, 2010). Klorofil-a
memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari merupakan komponen penting yang didukung
tempat lain pada lapisan dalam ke permukaan lautan fitoplankton dan tumbuhan air yang mana keduanya
(Zhang et al., 2018). Proses pernaikan massa air ini merupakan sumber makanan alami bagi ikan (Yu,
dikenal dengan proses upwelling yang merupakan Chen, & Yi, 2017).
kekosongan massa di lapisan permukaan dan harus Perkembangan teknologi penginderaan jauh
diganti oleh massa air di lapisan dalam laut, hal ini telah mengalami kemajuan yang sangat pesat di bidang
terjadi karena pengembangan pada pola Suhu kelautan dalam penentuan lokasi penangkapan
Permukaan Laut (SPL) (Azis 2006; Babu, Geetha, and potensial jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi
Soman 2016). dengan mendeteksi parameter oseanografi penting
Kompensasi dari kehilangan massa air di daerah yang mempengaruhi keberadaan ikan seperti yang
perairan akan menggerakkan air yang lebih dingin dan dilakukan oleh Nurdin et al. (2017) dengan
kaya nutrien dari dasar perairan ke permukaan. Massa mengidentifikasi hubungan antara distribusi ikan
air yang terangkat dan kaya nutrien ini menstimulasi berdasarkan jumlah kandungan Klorofil-a dan Suhu
pertumbuhan produsen primer seperti fitoplankton dan Permukaan Laut (SPL) mengunakan Citra Aqua
produksi perikanan. Dengan demikian, coastal MODIS wilayah Sulawasi Selatan. Zhang et al. (2018)
upwelling memiliki dampak yang signifikan terhadap melakukan penelitian untuk mengidentifikasi distribusi
ekosistem serta perikanan (Barth et al. 2007). Proses nutrisi, Klorofil a fitoplankton dan silika perairan
ini dapat memperbesar jumlah plankton di laut menggunakan data citra satelit Aqua MODIS di Laut
sehingga menjadikan daerah ini sebagai daerah Cina Timur.
perikanan yang kaya. Prakiraan daerah potensial penangkapan ikan
Sistem upwelling Jawa bagian selatan dan barat berdasarkan hasil analisis dari data-data satelit
Sumatera merupakan sistem upwelling batas timur oseanografi, pemodelan statistika dan sistem informasi
daerah tropis, hal ini unik karena didorong oleh sistem geografis (SIG) telah dikembangkan untuk
angin munson (musim) khas Samudera Hindia (sistem meningkatkan efisiensi penangkapan ikan pelagis kecil
upwelling angin munson). Upwelling ini hanya muncul dengan memprediksi waktu perpindahan ke Perairan
selama musim hujan tenggara dari bulan Juni hingga Jepang dari wilayah pasifik (Miyamoto et al., 2019).
bulan Oktober (Susanto, Gordon, & Zheng, 2001). Zona Penangkapan ikan pelagis besar yaitu tuna sirip
Dengan demikian secara umum, perairan barat kuning di Sumatera Barat (Siregar, Siregar, & Agus,
Sumatera dan selatan Jawa-Sumbawa kemungkinan 2018). Variasi spatial dari ikan demersal (Xu et al.,
memiliki pola sebaran klorofil-a yang berbeda baik 2019).
secara spasial maupun temporal. Perbedaan tersebut Sumber daya ikan pada kenyataannya tidak
disebabkan karena angin muson yang bertiup di atas tersebar merata di seluruh kawasan perairan.
perairan ini selalu berubah berdasarkan musim Keberadaan ikan-ikan tertentu dengan karakteristik
(Susanto, Moore, & Marra, 2006). tertentu juga sangat tergantung dengan kondisi
Klorofil-a adalah salah satu pigmen fotosintesis yang lingkungan laut dan produktifitas primer lautan. Oleh
paling penting bagi organisme yang ada di perairan, sebab itu, diperlukan pengalaman serta kemampuan
banyak ditemukan dan merupakan kandungan pigmen memahami teknologi agar dapat memaksimalkan hasil
utama pada organisme Fitoflankton. Ada empat macam tangkapan ikan serta memungkinkan untuk prediksi
klorofil yang dikenal hingga saat ini yang dimiliki zona ikan yang potensial.
fitoplankton yaitu klorofil-a, klorofil-b, klorofil-c dan Dalam perspektif ini, penelitian ini bertujuan
klorofil-d, disamping itu ada beberapa jenis pigmen untuk mengidentifikasi variasi dari konsentrasi Klorofil-
fotosintesis yang lain seperti karoten dan xontofil dari a di wilayah perairan laut Kota Padang dengan
pigmen tersebut, klorofil-a merupakan pigmen yang distribusi spasial temporal berdasarkan musim, Untuk
paling umum yang terdapat dalam fitoplankton, oleh memetakan sebaran posisi kapal pengakapan ikan
karena itu konsentrasi fitoplankton sering dinyatakan yang terdeteksi sensor VIIRS di perairan laut Kota
dalam konsentrasi klorofil-a (Tangke, Karuwal, Padang tahun 2018, dan untuk menganalisis area
Zainuddin, & Mallawa, 2015). potensial penangkapan ikan. Fishing Ground di
Fitoplankton adalah penyumbang utama perairan laut Kota Padang.
produktivitas primer di laut, Keberadaan nya menjadi
165
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
2. Metodologi
Lokasi penelitian ini terletak di wilayah memenuhi hidup dan kehidupan nya, keluarga serta
perairan Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat puluhan ribu warga Kota Padang dari hasil perikanan
(Gambar 1). Kota Padang merupakan kota pelabuhan laut yang merupakan sumber makan bagi warga Kota
besar di pesisir barat Sumatera yang menjadi pusat Padang maupun luar Kota Padang. Perairan Kota
dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia di Padang terletak pada posisi astronomis 100°3'16"BT-
wilayah Samudera Hindia Bagian Timur. Wilayah 0°48'53"LS dan 100° 24' 47" BT - 1°9'51"BT dengan
perairan pesisir barat Kota Padang merupakan sumber kisaran luas daerah penelitian sebesar 90,327.58
utama penghasilan dari ribuan nelayan untuk hektar.
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu data dilakukan konversi menjadi data Shapefile berupa point
ekstraksi Konsentrasi Klorofil-a citra satelit Aqua-Modis agar dapat di input kedalam ArcGis untuk di proses
level 3 dengan resolusi spasial 4,63 Km, dari bulan secara spasial. Sedangkan data posisi Kapal VBD format
Januari hingga Desember tahun 2018 yang diperoleh CSV di olah menggunakan perangkat lunak Microsoft
dengan cara mengunduh pada website Oceancolor Excel untuk mendapatkan nilai koordinat, waktu
NASA dengan format data NetCDF. Data Posisi Sebaran perekaman, jenis obyek yang terdeteksi beserta Quality
Kapal dari hasil perekaman sensor VIIRS Boat Detection Flag Detection (QF Detection) atau kualitas dari
(VBD) perhari selama tahun 2018 yang di unduh di tanda/obyek yang terdeteksi.
halaman website milik NOAA berupa data format CSV. Metode analisis dalam penelitian ini menggunakan
Metode pengolahan data NetCDF citra Aqua geostatistik dengan interpolasi metode kriging untuk
MODIS level 3 menggunakan perangkat lunak SeaDAS mengetahui sebaran spasial wilayah dengan konsentrasi
7.53 untuk mendapatkan hasil ekstraksi nilai Konsentrasi klorofil-a pada waktu waktu tertentu. Menurut Montero,
Klorofil-a, namun sebelumnya harus di crop terlebih Avilés, and Mateu (2015)
dahulu pada wilayah parairan laut Kota Padang dan
kriging merupakan teknik interpolasi spasial yang Detection yang diseleksi pada QF 1,2 dan 3 (Tabel 1)
lebih baik dari lainnya (inverse distance method, splines, untuk kategori kapal perahu deteksi kuat, lemah dan
regresi polinomial, dan lainnya) karena tidak hanya samar samar. Data excel posisi kapal ini di konversi
memperhitungkan karakteristik geometris dan jumlah menjadi data shapefile (Gambar 2) menggunakan
serta organisasi lokasi, tetapi juga mempertimbangkan perangkat lunak ArcGIS 10.1 dengan tool Add X,Y Data.
struktur korelasi spasial yang disimpulkan dari Analisis atribut (Basisdata Atribut) di ArcGIS terdiri
ketersediaan informasi struktur semivariogram, sehingga dari Database Management System (DBMS) untuk
menghasilkan prediksi yang lebih andal secara spatial membuat, menghapus, membuat tabel basis data,
dan spatio temporal. mengisi dan menyisipkan data kedalam tabel, membaca
Analisis data produk sensor VIIRS Boat Detection dan mencari data dari tabel, mengubah atau mengedit
(VBD) untuk mengetahui posisi kapal menggunakan data yang ada didalam table, serta membuat indeks
analisis atribut dengan koordinat sebaran spasial untuk setiap basis data. Seluruh data pada atribut akan
temporal, jenis obyek yang terdeteksi beserta QF
166
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Penentuan zona potensi dari area Fishing Ground musim barat yang terjadi pada bulan Desember, Januari
di analisis menggunakan metode Overlay matching dan Februari, berkisar antara 0.049 mg/m³ - 0.154 mg/m³
antara daerah interpolasi dari konsentrasi klorofil-a dengan rata-rata 0.08 mg/m. Musim barat merupakan
dengan distribusi sebaran posisi kapal penagkapan ikan musim dengan kandungan klorofil-a yang paling rendah
sesuai musim. Terdapat empat musim yaitu musim barat dari musim lainnya dengan wilayah perairan yang
(Desember, Januari, Februari) musim peralihan barat memiliki klorofil-a rendah secara spasial lebih luas
(Maret, April, Mei), musim timur (Juni, Juli, Agustus) dan (Gambar 3).
musim peralihan timur (September, Oktober, November). Pada musim peralihan barat di bulan Maret, April
Untuk klasifikasi zona potensi Fishing Ground dibagi Mei, kandungan klorofil-a di wilayah pesisir pantai kota
menjadi empat kategori yaitu Zona Potensi Tinggi Padang mulai meningkat, berkisar 0.23 mg/m³ - 0.73
teroptimalkan, Zona Potensi Tinggi tidak teroptimalkan, mg/m³. Namum pada musim ini, sebaran klorofil-a masih
Zona Potensi Sedang, dan Zona Potensi Rendah. terkonsentrasi tidak merata pada kawasan konservasi
taman wisata Pulau Pieh. Pada musim timur bulan Juni,
3. Hasil dan Pembahasan Juli, dan Agustus, kandungan klorofil-a di perairan Kota
3.1. Sebaran konsentrasi klorofil-a di wilayah Padang lebih tinggi dari musim lainnya dan tersebar
perairan laut Kota Padang. secara merata di perairan dangkal kurang dari 100m
Variasi sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan dengan kisaran kandungan klorofil-a antara 0.23 mg/m3
Kota Padang Provinsi Sumatera Barat dipengaruhi oleh hingga 1.29 mg/m3.
banyak faktor diantara nya ialah dinamika massa air, Pola penyebaran klorofil-a yang terjadi musim timur
interaksinya terhadap kondisi atmosfer dan kedalaman ini berdasarkan gambar peta hasil interpolasi kriging tipe
perairan. Secara umum massa air dengan kelimpahan ordinary, menunjukkan sebaran yang hampir merata di
kandungan Klorofil-a yang tinggi di perairan Kota Padang seluruh perairan namun terkonsentrasi tinggi di daerah
berada di perairan dangkal kurang dari 100 m dekat dekat pantai arah utara yang berbatasan dengan
dengan pesisir pantai. Kabupaten padang pariaman. Pada musim peralihan
Sebaran klorofil-a yang diekstrak dari citra satelit timur, kandungan klorofil-a relatif rendah dibandingkan
Aqua MODIS level 3, hasil perekaman selama tahun musim peralihan barat. Kondisi klorofil-a pada musim
2018 dari januari hingga Desember menghasilkan variasi peralihan timur berkisar antara 0,17 mg/m3 – 0,73 mg/m3,
nilai kosentrasi klorofil-a yang berbeda beda setiap dengan area luasan yang lebih sempit .
musimnya. Sebarasan spasial kandungan klorofil-a pada
167
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
(a)
Gambar 4. Analisis Geostatistik (a) Nilai Prediksi dan error, (b) Nilai Standarisasi error dari interpolasi kriging sebaran klorofil-a di
perairan Kota Padang.
Pada penelitian ini di dapat nilai error dinyatakan particle(HEP), pendeteksian cahaya atmosfer di sekitar
dalam Root-Mean-Square Error (RMSe) atau nilai rata- sumber yang bersinar, dan gangguan background
rata dari jumlah kuadrat kesalahan. Nilai RMSe yang (Elvidge, Baugh, Zhizhin, Hsu, & Ghosh, 2017).
diperoleh adalah sebesar 0,05852 dengan rata rata / Aktivitas kapal Penangkapan ikan dengan bantuan
Mean sebesar 0,00442. Hasil ini menjukkan bahwa cahaya lampu di malam hari dapat dideteksi
penggunaan model interpolasi dari sebaran kandungan menggunakan data VIIRS Boat detection (VBD) yang
klorofil-a di laut padang menggunakan kriging, memiliki merupakan produk VIIRS dengan mengembangkan
nilai error yang rendah atau akurasi yang tinggi.(b) algoritma otomatis untuk mengetahui posisi kapal dan
benda lain nya yang bukan kapal dari penilaian
3.2. Pemetaan sebaran posisi kapal ikan yang pencahayaan yang dideteksi di area lautan. Algoritma ini
terdeteksi sensor VIIRS di perairan laut Kota Padang mampu mengetahui posisi objek yang diduga kapal saat
tahun 2018. malakukan aktivitas menangkap ikan dengan asumsi
Sensor dari Visible Infrared Imaging Radiometer memiliki cahaya lebih terang karena menyalakan banyak
Suite (VIIRS) merekam citra bercahaya rendah yang lampu. Sedangkan kapal ikan saat perjalanan, tidak
mampu mendeteksi keberadaan benda benda menyalakan lampu agar menghemat energi untuk
bercahaya pada darat dan lautan di saat malam hari aktivitas penangkapan ikan saat berhenti pada titik yang
menggunakan Day/Night Band (DNB). Beberapa jenis tertentu (Elvidge et al. 2015; Matsushita, Azuno, and
fenomena yang terekam diantaranya yaitu penerangan Yamashita 2012)
listrik, cahaya liar, kilatan petir, pembakaran biomassa, Hasil analisis atribut dari data deteksi posisi kapal
flare gas, pendeteksi partikel energi tinggi/high energy oleh sensor VBD (Tabel 1) menunjukkan sebaran
168
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
tertinggi ialah pada musim timur (Juni, Juli, dan Agustus) deteksi. Posisi sebaran kapal banyak terdeteksi di
yaitu 725 deteksi dan terendah pada musim peralihan wilayah dengan konsentrasi Klorofil-a tinggi hingga
timur (September, Oktober, November) yaitu 180 sedang di sekitar area lebih dekat pantai (Gambar 5).
Tabel 1. Jumlah Sebaran Kapal yang terdeteksi Sensor VIIRS di Perairan Kota Padang, 2018.
Musim Barat Musim Peralihat Barat Musim Timur Musim Peralihan Timur
No Jenis
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nov
1 Boat (QF=1) 23 41 80 48 7 28 61 88 217 35 8 43
2 Weak (QF=2) 16 32 71 32 33 43 94 106 159 56 14 24
3 Blurry (QF=3) 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah Perbulan 39 73 152 80 40 71 155 194 376 91 22 67
Jumlah Permusim 264 191 725 180
Sumber data diolah dari hasil Analisis Spasial dan atribut Field Caculator ArcGIS
Pada tabel di atas menunjukkan bahwa musim timur pada bulan juni, Juli dan Agustus, secara tradisional atau
kepercayaan turun temurun dikenal sebagai musim ikan sehingga para nelayan banyak yang melakukan aktivitas
penangkapan ikan. Fakta nya pada musim ini kandungan klorofil hasil data satelit di laut memang lebih tinggi dari musim
yang lain dengan sebaran yang hampir merata.
Gambar 5. Sebaran posisi kapal penangkapan ikan pada area Konsentrasi klorofil-a berdasarkan musim (a) pada musim barat,
(b) musim peralihan barat, (c) musim timur, (d) musim peralihan timur.
3.3. Analisis Area Potensial Fishing Ground di ditandai dengan konsentrasi klorofil-a tinggi yang
Perairan Laut Kota Padang. tersebar merata serta banyak nya kapal penangkapan
Berdasarkan hasil analisis dari metode Overlay ikan yang terdeteksi di perairan namun ada beberapa
Matching antara area konsentrasi klorofil-a dengan posisi wilayah yang kandungan klorofil tinggi yang tidak
persebaran kapal VBD maka diperoleh Zona potensi terdeteksi adanya aktivitas kapal perikanan.
Fishing Ground pada musim musim nya dalam periode Selanjutnya, pada Musim Peralihan Timur untuk
satu tahun atau empat musim. Pada Musim Barat, zona zona potensi Fishing Ground terdapat pada wilayah
potensial untuk penagkapan ikan terdapat di sekitar Perairan Kecamatan Koto Tangah ke arah utara perairan
perairan Kecamatan Padang Utara, namun sayangnya yaitu perbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman.
pada musim ini potensi nya sangat rendah dikarenakan Pada musim ini, zona yang potensial nya belum di
produktivitas primer atau konsentrasi klorofil-A bernilai teroptimalkan dengan baik, karena masih banyaknya
kecil dan tidak tersebar secara merata di wilayah kapal yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di
perairan Kota Padang. daerah kandungan klorofil-a yang cenderung rendah
Zona potensial untuk penagkapan ikan di Musim hingga sedang. Sedangkan area klorofil a tinggi sangat
Peralihan Barat terdapat pada kawasan Konservasi sedikit aktivitas penagkapan ikan yang terdeteksi. Area
Taman Wisata Perairan Pulau Pieh, pada musim ini potensi penangkapan ikan di perairan Kota Padang
konsentrasi klorofil a mulai berkembang dan menyebar berbeda setiap musim nya (Gambar 6), ini dikarenakan
pada wilayah perairandekat pantai dan pulau pulau. sebaran konsentrasi klorofil a di perairan Kota Padang
Sedangkan, pada Musim Timur terdapat zona potensi sebagai sumber makanan bagi ikan tersebar secara tak
Fishing Ground yang tinggi dari musim yang lain, ini menentu namun dapat di prediksi kandungan nya
169
berdasarkan periode waktu musim dengan bantuan Taman Wisata Perairan Pulau Pieh ini masih
teknologi penginderaan jauh . diperbolehkan aktivitas budidaya perikanan laut, dengan
Peta ini disesuaikan dengan kondisi Kawasan tujuan agar tetap terjaga kelestarian dari biota biota
Peraturan Kota Padang yang memiliki Kawasan perairan laut seperti terumbu karang, penyu dan
Konservasi dan Area Taman Wisata Bahari dengan berbagai jenis ikan yang endemik dan hidup di sana dan
beberapa batasan kepada nelayan untuk melakukan harus dijaga kelestaraiannya.
aktivitas penangkapan ikan. Area kawasan Konservasi
Gambar 6. Sebaran Area Potensial penangkapan ikan (Fishing Ground) Tinggi, Sedang dan rendah yang teroptimalkan dan belum
teroptimalkan berdasarkan musim (a) pada musim barat, (b) musim peralihan barat, (c) musim timur, (d) musim peralihan timur.
4. Kesimpulan/Rekomendasi lokasi dan jalwal waktu untuk melaut saat musim musim
Hasil analisa dari sebaran kandungan klorofil-a di yang kaya akan klorofil-a dan banyak nya keberadaan ikan
perairan Kota Padang berbeda beda berdasarkan spasial di lautan. Ini dibuktikan dengan sebaran posisikapal ikan
dan waktu temporalnya, ini juga mempengaruhi kesuburan yang terekan oleh sensor VBD di lokasi penelitian. Namun,
perairan dan banyak nya ikan yang membutuhkan untuk kawasan potensial penangkapan ikan masih ada
fitoplankton (klorofil-a) sebagai makanan. Untuk persebaran beberapa area potensi tinggi namun tidak ditemukan
kapal penangkapan ikan, nelayan hampir sudah memahami aktivitas nelayan sehingga perlu rasa nya untuk hasil
kondisi musim ini dengan kearifan lokal yang dimiliki. Para penelitian ini disosialisasikan oleh pemangku kepentingan
nelayan memiliki perhitungan sendiri dalam menentukan terkait
170
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
171
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Rizky Sunandar Ahmada, Muhammad Rizky Pratamaa, Amanda Putri Mirantib, dan
Muhammad Kamaluddinb
aProgram Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Kalimantan, Balikpapan 76127
bProgram Studi Teknik Sipil, Institut Teknologi Kalimantan, Balikpapan 76127 e-mail: ririzky.nandar@gmail.com
ABSTRAK
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan wilayah yang memiliki fungsi untuk menerima, menampung dan mengalirkan air yang berasal
dari hujan maupun sumber air lainnya dan akan menghasilkan komponen keluarannya berupa debit air dan muatan sedimen. Dalam
pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) tujuan yang ingin dicapai salah satunya terjadi keseimbangan sistem DAS dan optimalnya
pemanfaatan sumber daya DAS. Hal tersebut mengingat bahwa DAS merupakan satu kesatuan ekosistem yang memiliki hubungan
timbal balik antara lingkungan dengan kegiatan manusia. DAS Sepaku memiliki kodisi yang dapat dikatakan mengalami degradasi
lingkungan karena memiliki indeks penutup lahan kurang dari 30% luas DAS yaitu sebesar 16,6% dan terdapat wilayah yang telah
mengalami tingkat bahaya erosi pada tingkat tinggi dan sangat tinggi dengan persentase 84,01% dari luas DAS. Dengan dialokasikan
penggunaan lahan optimal dapat menurunkan laju erosi aktual sehingga mencapai tingkat erosi yang dapat ditoleransi.Penelitian ini
bertujuan untuk merumuskan alokasi penggunaan lahan yang optimal untuk mengurangi laju erosi yang terjadi di DAS Sepaku.
Penelitian dilakukan dengan terlebih dahulu menghitung laju erosi dengan menggunakan model AGNPS (Agriculturan Non-Point
Source Pollution). Hasil perhitungan laju erosi sebesar berdasarkan masukkan nilai curah hujan harian tertinggi dengan periode ulang
25 tahun sebesar 185,2 mm atau 7,29 inchi dan besar energi intensitas hujan 30 menit (EI30) sebesar 409,98 m.ton.cm/ha.jam atau
212,33 feet.ton.inch/acre.jam menghasilkan keluaran laju erosi yang terjadi di DAS Sepaku sebesar 66,21 ton/acre atau 163,48
ton/ha. Kemudian dilakukan perumusan alokasi lahan optimal dengan metode linear programming dan diperoleh hasil optimasi
penggunaan lahan dengan menerapkan wilayah hutan seluas 30% dari wilayah DAS dan asumsi batasan penggunaan lainnya yang
menunjukkan bahwa besar erosi dapat dikurangi sebesar 39,16% dari yang sebelumnya total erosi yang terjadi sebesar 5.114.308,32
ton menjadi sebesar 3.111.795 ton.
Kata kunci: Daerah Aliran Sungai, laju erosi, AGNPS (Agriculturan Non-Point Source Pollution), optimalisasi lahan
ABSTRACT
Watershed is an area that has a function to receive, accommodate and drain water from rain and other water sources and will produce
output components in the form of water discharge and sediment load. In the management of watersheds the objectives to be achieved
include balance between the watershed system and the optimal use of watershed resources. This is because the watershed is an
integrated ecosystem that has a reciprocal relationship between the environment and human activities. The Sepaku watershed has
a condition that can be said to experience environmental degradation because it has a land cover index of less than 30% of the
watershed area which is 16,6% and there are regions that have experienced high and very high levels of erosion hazard with a
percentage of 84,01% of the area Watershed. By allocating optimal land use it can reduce the rate of actual erosion so as to achieve
a level of erosion that can be tolerated. This study aims to formulate an optimal allocation of land use to reduce the rate of erosion
that occurs in the Sepaku watershed. The study was conducted by first calculating the rate of erosion using the AGNPS (Agriculturan
Non-Point Source Pollution) model. The results of the calculation of the erosion rate are based on entering the highest daily rainfall
value with a 25 year return period of 185,2 mm or 7,29 inches and the energy intensity of the rain intensity of 30 minutes (EI30) of
409,98 m.ton.cm/ha.hour or 212,33 feet.ton.inch / acre.hour produces an erosion rate that occurs in the Sepaku watershed of 66.21
tons / acre or 163,48 tons / ha. Then the formulation of optimal land allocation using linear programming method is done and the
results of optimization of land use are obtained by applying a forest area of 30% of the watershed area and other usage limitation
assumptions which indicate that the amount of erosion can be reduced by 39,16% from the previous total erosion amounting to
5.114.308,32 tons to be 3.111.795 tons.
Keywords: watershed , erosion rate, , AGNPS (Agriculturan Non-Point Source Pollution), land optimization
172
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) sedimentasi maka diperlukan suatu kajian terkait alokasi
tujuan yang ingin dicapai salah satunya terjadi penggunaan lahan yang optimal yang dapat mengurangi
keseimbangan sistem DAS dan optimalnya pemanfaatan laju erosi.
sumber daya DAS. Hal tersebut mengingat bahwa DAS
merupakan satu kesatuan ekosistem yang memiliki 1.2.Tujuan
hubungan timbal balik antara lingkungan dengan Tujuan dari penelitian ini adalah
kegiatan manusia (Pramono, 2015). Dengan komponen 1. Menghitung laju erosi yang terjadi di DAS Sepaku.
masukkan berupa air hujan, proses yang terjadi pada 2. Merumuskan alokasi penggunaan lahan optimal di
DAS akan menghasilkan komponen keluarannya berupa DAS Sepaku agar laju erosi yang terjadi dapat
debit air dan muatan sedimen (Suripin, 2004). dikurangi.
Erosi merupakan proses terlepasnya partikel-
partikel tanah akibat tumbukkan air hujan dan aliran B. Metodologi
permukaan dengan mengalami tiga proses, yaitu 2.1.Lokasi Penelitian
pelepasan partikel tanah dari tanah induk, pengangkutan Penelitian dilakukan di DAS Sepaku yang masuk
partikel tanah yang terlepas oleh media erosif seperti dalam wilayah administrasi Kabupaten Penajam Paser
aliran permukaan dan angin, kemudian mengalami Utara (Gambar 1.). DAS Sepaku secara geografis
pengendapan partikel tanah ketika media erosif tidak lagi terletak pada 0o47’30”-1o01’00”LS dan 116o35’00”-
memiliki tenaga yang cukup untuk mengangkut partikel 116o51’00”BT dan memiliki luas yaitu 31.241,04 ha.
tanah atau terbawa aliran permukaan menuju sungai 2.2.Metode Pengumpulan Data
yang terus hanyut hingga ke laut (muara sungai). Erosi Data yang digunakan dalam penelitian adalah data
secara alami dapat terjadi karena proses pembentukan sekunder. Metode pengumpulan data sekunder
tanah dan terjadinya masih dalam batas yang dapat dilakukan melalui survei instansional yaitu dengan
diterima. Aktivitas manusia dalam pengelolaan lahan melakukan permohonan data kepada instansi penyedia
yang tidak mengikuti kaidah konservasi tanah dapat data maupun melalui pengunduhan data pada situs
mempercepat proses erosi sehingga melebihi batas yang instansi penyedia data. Jenis data dan penyedia data
dapat diterima (Suripin, 2004) dapat dilihat pada Tabel 1.
DAS Sepaku merupakan salah satu DAS yang Tabel 1. Pengumpulan Data Sekunder
berada di Kawasan Teluk Balikpapan yang memiliki Jenis Data Penyedia Data
DEM (Digital Elevated Model) USGS (srtm.csi.cgiar.org)
indeks penutup lahan atau persentase lahan dengan Curah hujan harian BMKG Kota Balikpapan
tutupan vegetasi permanen yang dikategorikan kurang (bmkg.go.id)
(<30% dari luas DAS) yaitu sebesar 16,6% dari luas DAS Peta batas DAS
(BPDAS Mahakam Berau, 2014). Padahal menurut Peta jaringan sungai BPDAS Mahakam Berau
Peta jenis tanah
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Peta tutupan lahan BAPPEDA Provinsi Kalimantan
Penataan Ruang, setiap daerah aliran sungai harus Timur
ditetapkan luas kawasan hutan sebesar 30% dalam
rangka pelestarian lingkungan. Sehingga kodisi tutupan
lahan DAS Sepaku dapat dikatakan mengalami
degradasi lingkungan. Selain itu, menurut Aprisal dkk.
(2017) arahan penggunaan lahan yang optimal untuk
mengurangi laju erosi dan sedimen adalah dengan
keberadaan lahan hutan sebesar 30 persen di wilayah
DAS.
Berdasarkan data Balai Pengelola DAS Mahakam
Berau (2014), pada DAS Sepaku terdapat wilayah yang
telah mengalami tingkat bahaya erosi pada tingkat tinggi
dan sangat tinggi. Wilayah yang telah mengalami tingkat
bahaya erosi tersebut pada DAS Sepaku yaitu seluas
19.541,11 ha (84,01% dari luas DAS). BPDASLH (2014)
juga mengungkapkan data muatan sedimen yang
dihasilkan di DAS Sepaku yang telah berada pada tingkat
sedang yaitu sebesar 14,23 ton/ha/tahun. Semakin besar
sedimentasi pada aliran sungai mengindiksikan laju erosi
yang juga semakin tinggi sehingga kualitas DAS
mengalami penurunan kualitas dan merupakan indikasi
kerusakan DAS (Suripin, 2004). Dengan dialokasikan Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
penggunaan lahan optimal dapat menurunkan laju erosi 2.3.Metode Analisis
aktual sehingga mencapai tingkat erosi yang dapat Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini
ditoleransi. (Rusdiana dkk, 2011). didasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai,
Oleh karena itu, dengan kondisi DAS Sepaku yang yaitu 1)Menghitung laju erosi yang terjadi di DAS Sepaku
mengalami degradasi lingkungan dan dapat dan 2)Merumuskan komposisi penggunaan lahan
mempengaruhi keluaran dari DAS yang berupa optimal di DAS Sepaku agar laju erosi yang terjadi dapat
173
dikurangi. Gambar 2. menjelaskan proses analisis yang
dilakukan dalam penelitian. Pembahasan proses analisis
dapat dilihat berikut :
174
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
175
Berdasarkan data DEM (Digital Elevated Model) DAS Sepaku dapat dilihat pada Tabel 5. dan peta
yang diperoleh dari situs srtm.csi.cgiar.org, wilayah DAS persebaran jenis tanah dapat dilihat pada Gambar 6.
Sepaku terletak pada elevasi atau ketinggian wilayah Tabel 5. Luas Jenis Tanah di DAS Sepaku
antara 0- 599 meter di atas permukaan laut dengan Jenis Tanah Luas(Ha) Persentase (%)
elevasi antara 0-100 mdpl mendominasi wilayah DAS Komplek Padsolik Merah Kuning,
13.338,68 42,94
Sepaku sebesar 63,54% wilayah atau seluas 19.624,99 Latosol & Litosol
Ha. Kemiringan lereng yang mendominasi wilayah DAS Organosol Glei Humus 3.691,53 11,88
Sepaku adalah kelerengan 0-8% dengan luas 17.001,51 Padsolik,Merah Kuning 14.033,86 45,18
Ha (55,07% dari luas DAS Sepaku). Secara lebih jelas, Jumlah 31.064,08 100
elevasi dan kemiringan lereng di DAS Sepaku dapat Sumber: BPDAS Mahakam Berau, diolah
dilihat pada Tabel 3. dan Tabel 4. dan persebaran
secara spasial dapat dilihat pada Gambar 4. dan
Gambar 5.
Tabel 3. Luas Kelas Elevasi di DAS Sepaku
Luas
Elevasi/Ketinggian (mdpl)
Ha %
0-100 19.624,99 63,54
100-200 3.352,61 10,86
200-300 2.173,66 7,04
300-400 3.318,42 10,74
400-500 2.306,34 7,47
500-600 108,78 0,35
Jumlah 30.884,8 100
Sumber: SRTM, diolah
Tabel 4. Luas Kelas Kemiringan Lereng di DAS Sepaku
Kemiringan Bentuk Luas
Lereng (%) Wilayah Ha %
0-8 Datar 17.001,51 55,07
8-15 Landai 6.586,60 21,33
15-25 Agak curam 4.223,57 13,68
25-45 Curam 2.739,10 8,87
Sangat Gambar 5. Peta Kemiringan Lereng di DAS Sepaku
>45% 323,25 1,05
curam D. Tutupan lahan
Jumlah 30.874,03 100
Berdasarkan peta tutupan lahan yang diperoleh dari
Sumber: SRTM, diolah
BAPPEDA Provinsi Kalimantan Timur, terdapat 15
klasifikasi tutupan lahan di DAS Sepaku yang didominasi
oleh semak belukar seluas 11.997,66 ha atau 38,40%
dari luas DAS Sepaku. Luas setiap jenis tutupan lahan
pada wilayah penelitian ditunjukkan pada Tabel 6. dan
peta persebaran penutupan tutupan lahan dapat dilihat
pada Gambar 7.
176
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
177
Klaster Klaster Klaster
Tutupan lahan
(1) (2) (3)
Perkebunan (K) X1.K X2.K X3.K
Pertanian Lahan
X1.PK X2.PK X3.PK
Kering (PK)
Pertanian Lahan
X1.PB
Basah (PB)
Permukiman (P) X1.P X2.P
Lahan Terbuka (LT) X1.LT X2.LT X3.LT
Sumber: Hasil overlay
178
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
Tabel 10. Fungsi Kendala Luas Wilayah X1.LT + X2.LT + X3.LT = 0 Batasan luas lahan terbuka
Fungsi Kendala (Constrain) Keterangan Sumber: Hasil perumusan fungsi kendala
X1.H + X1.HM + X1.HP + X1.LT + X1.K Batasan luas wilayah klaster 1 4) Perumusan penggunaan lahan optimal
+ X1.B + X1.PK + X1.PB + X1.P = Dari hasil pemasukkan fungsi tujuan dan fungsi
17.496 kendala yang telah disusun ke dalam program linear
X2.H + X2.HP + X2.LT + X2.K + X2.B + Batasan luas wilayah klaster 2 programming pada aplikasi LINGO 11. maka diperoleh
X2.PK + X2.P = 10.404 komposisi penggunaan lahan yang optimal pada Tabel
X3.H + X3.HP + X3.LT + X3.K + X3.B + Batasan luas wilayah klaster 3 12.
X3.PK = 3.384
Sumber: Hasil perumusan fungsi kendala
D. Kesimpulan
Dari hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian
b)Kendala alokasi penggunaan lahan di DAS Sepaku maka dapat diambil kesimpulan sebagai
Kendala alokasi penggunaan lahan dirumuskan untuk berikut:
memberikan alokasi penggunaan lahan sesuai dengan 1) Berdasarkan masukkan nilai curah hujan harian
asumsi-asumsi alokasi luas dan arahan penggunaan tertinggi dengan periode ulang 25 tahun sebesar
lahan. Perumusan fungsi kendala didasari oleh asumsi- 185,2 mm atau 7,29 inchi dan besar energi
asumsi yang dibuat, diantaranya: intensitas hujan 30 menit (EI30) sebesar 409,98
(1)Hutan dapat berada di klaster berapa pun dengan total m.ton.cm/ha.jam atau 212,33
luas minimal 30% dari luasan DAS. Luas hutan yang feet.ton.inch/acre.jam menghasilkan keluaran laju
telah ada, tetap dipertahankan. erosi yang terjadi di DAS Sepaku sebesar 66,21
(2)Hutan produksi diarahkan pada seluruh klaster ton/acre atau 163,48 ton/ha. Terdapat wilayah
dengan total luas maksimum sesuai luas pada RTRW. dengan tingkat laju erosi sangat tinggi dan tinggi
Luas hutan produksi yang telah ada, tetap dengan luasan mencapai 5.940 Ha dan 2.700 Ha
atau sebesar 18,99% dan 8,63% dari luas wilayah
dipertahankan.
DAS Sepaku.
(3)Hutan mangrove diarahkan pada klaster 1 dan luasan 2) Hasil optimalisasi penggunaan lahan dengan
sesuai dengan luas pada RTRW. menerapkan wilayah hutan seluas 30% dari
(4)Perkebunan lebih diarahkan pada klaster 2 dengan wilayah DAS dan asumsi batasan penggunaan
total luas maksimum sesuai luas pada RTRW. lainnya menunjukkan bahwa besar erosi dapat
(5) Pertanian lahan kering diarahkan pada klaster 1 dan dikurangi sebesar 39,16% dari yang sebelumnya
2 dengan total sama dengan luas pada RTRW. total erosi yang terjadi sebesar 5.114.308,32 ton
(6)Pertanian lahan basah diarahkan pada klaster 1 menjadi sebesar 3.111.795 ton.
dengan luas sama dengan luas pada RTRW.
(7)Permukiman diarahkan pada klaster 1 dengan luas
sama dengan luas pada RTRW.
(8)Semak belukar dan lahan terbuka dihilangkan
Persamaan fungsi pembatas dari asumsi-asumsi
tersebut dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Persamaan Fungsi Pembatas (Constrain)
Fungsi Kendala (Constrain) Keterangan
X1.H + X2.H + X3.H > 9.385.2
X1.H > 180
X1.H < 17.496
Batasan luas hutan lahan
X2.H > 144
kering
X2.H < 10.404
X3.H > 72
X3.H < 3.384
X1.HP + X2.HP + X3.HP <
24.256,63
X1.HP > 2.952
X1.HP < 17.496
Batasan luas hutan produksi
X2.HP > 1.296
X2.HP < 10.404
X3.HP > 504
X3.HP < 3.384
Batasan luas hutan rawa
X1.HM = 1.000.17
mangrove
X1.B + X2.B + X3.B = 0 Batasan luas semak belukar
X1.K + X2.K < 1.705,22
X2.K > 972 Batasan luas perkebunan
X3.K = 0
X1.PK + X2.PK = 1.683,43 Batasan luas pertanian lahan
X3.PK = 0 kering
Batasan luas pertanian lahan
X1.PB = 201.91
basah
X1.P = 673,51 Batasan luas permukiman
179
Tabel 12. Penggunaan Lahan Optimal
Luas Lahan
Klaste Hutan Hutan Semak Pertania Pertania Lahan
Kondisi Hutan Perkebuna permukima Total
r lahan mangrov beluka n lahan n lahan terbuk
produksi n n
kering e r kering basah a
17.49
Aktual 180 1.476 2.952 2.916 2.268 2.124 72 1.908 3.600
6
1
1.177, 12.759,7 17.49
Optimal 1.000,17 0 0 1.683,43 201,91 673,51 0
2 8 6
10.40
Aktual 144 0 1.296 6.588 972 216 0 36 1.152
4
2
10.40
Optimal 8.136 0 1.296 0 972 0 0 0 0
4
Aktual 72 0 504 2.592 36 72 0 0 108 3.384
3
Optimal 72 0 3.312 0 0 0 0 0 0 3.384
31.28
Aktual 396 1.476 4.752 12.096 3.276 2.412 72 1.944 4.860
4
Total
Optima 9.385, 17.367,7 31.28
1.000,17 0 972 1.683,43 201,91 673,51 0
l 2 8 4
Sumber: Hasil analisis optimasi penggunaan lahan
DAFTAR PUSTAKA
Ananda, R. 2010. Pendugaan Erosi dan Sedimentasi di DTA
Cipokol Sub DAS Cisadane Hulu dengan Menggunakan
Model AGNPS (Agricultural Non Point Source Pollution
Model) (Skripsi). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Aprisal. Rusman, B. Darmawan. 2017. Optimasi Penggunaan
Lahan pada Sub DAS Masang Besar pada Das Masang
untuk Mengurangi Laju Aliran Permukaan, Erosi, dan
Sedimen. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai secara Terpadu. Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Riau.
Arwan, Yusdhi. 2014. Optimalisasi Penggunaan Lahan di Sub
DAS Keduang Kabupaten Wonogiri. Program Pasca
Sarjana Unversitas Sebelas Maret.
Baja, S. 2012. Perencanaan Tata Guna Lahan dalam
Pengembangan Wilayah. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
BPDASHL Mahakam Berau. 2014. Laporan Hasil Penyusunan
Klasifikasi DAS di Wilayah Kerja BPDAS Mahakam
Berau. Samarinda.
Hidayati, A.N. 2018. Evaluasi Respon Hidrologi menggunakan
Model Agricultural Non Point Source (AGNPS) Studi
Kasus Kali Sunter (Skripsi). Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.
Leon, L.F. George, C. 2011. Map Window Interface for AGNPS
(MWAGNPS) Release 2.
Pramono, I. 2015. Identifikasi Kerentanan Lahan dengan
Tipologi DAS: Studi kasus DAS Musi. Prosiding Seminar
Nasional Lahan Suboptimal, 8-9 Oktober 2015. Pusat
Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal
Universitas Sriwijaya.
Rusdiana, O. Ghufrona R. 2011. Aplikasi Model Optimasi
Linear Goal Programming dalam Menentukan Pola
Penggunaan Lahan Optimal di DAS Citarum Hulu.
Jurnal Silvikultur Tropika, Vol. 02. No. 01. Hal: 26-34.
Suripin. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air.
Yogyakarta : Penerbit ANDI.
180
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
ABSTRAK
Hujan dengan intensitas leabt-sangat lebat terjadi di Jayapura pada 16-18 Maret 2019 yang menyebabkan banjir
bandang dibeberapa titik. Data Stasiun Cuaca Otomatis Stasiun Meteorologi Dok 2 Jayapura mencatat curah hujan
sebesar 145.6 mm pada tanggal 16 Maret 2019 dan hari berikutnya sebesar 90,6 mm dan 56,8 mm. Nilai ini sebanding
dengan ketenetuan Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika dengan kategori hujan lebat-sangat lebat. Data satelit
Himawari-8 digunakan untuk menganalis struktur awan seperti suhu puncak, kontur suhu, diameter awan. Indeks
konvektif pada penelitian didapat dengan memanfaatkan data suhu puncak awan. Data curah hujan Global Precipitation
Measurement hasil pengolahan satelit dibandingkan dengan data curah hujan AWS Digitasi Dok 2. Data curah hujan
ARG Dok 2 dan AWS Pelabuhan digunakan untuk menghitung nilai hujan tiap jam selama kejadian hujan. Data ERA-
Interm digunakan untuk analisis kondisi atmosfer vertikal mulai dari lapisan dekat permukaan hingga lapisan 200 mb.
Parameter yang digunakan adalah kelembaban, kecepatan vertikal, dan divergensi. Selain itu, data observasi AWS
Digitasi Dok 2 seperti suhu, kelembaban dan tekanan udara digunakan untuk mewakili kondisi permukaan dekat pesisir
Jayapura. Pengolahan data berbentuk peta grafis menggunakan aplikasi Satellite Animation and Interactive Diagnosis
(SATAID) dan Grid Analysis and Display System (GrADS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem konveksi yang
terbentuk saat kejadian hujan lebat-sangat di Jayapura merupakan sistem konveksi skala meso yang teridentifikasi dari
suhu puncak awan mencapai -800C, durasi hujan >9 jam, diameter mayor awan mencapai >400 km. Intensitas hujan
lebat hingga sangat lebat teridentifikasi dari kondisi atmosfer yang mendukung terbentuknya presipitasi yaitu
kelembaban vertikla udara yang tinggi, aliran udara konvergensi dekat permukaan, dan gerak udara vertikal ke atas
disertai kondisi atmosfer permukaan pesisir yang identik. Korelasi curah hujan GPM terhadap curah hujan observasi
adalah 0,5 dengan RMSE 7,6 mm/jam.
ABSTRACT
Heavy rain occurred in Jayapura on March 16-18 2019 which caused flash floods. Automatic Weather Station (AWS) of
the Meteorological Station in Dok 2 Jayapura’s data recorded rainfall of 145.6 mm on March 16, 2019 and the following
day at 90.6 mm and 56.8 mm. This value is comparable with the determination of the Meteorology Climatology
Geophysical Agency with the category of heavy rain-very heavy. Himawari-8 satellite data is used to analyze cloud
structures: top temperature, contour, cloud diameter. The convective index in this research was obtained by utilizing
cloud top temperature data. Rainfall Data Global Precipitation Measurement results of satellite processing compared
with rainfall data AWS Digitasi Dok 2. Rainfall data ARG Dok 2 and AWS Pelabuhan are used to calculate the rain per
hour. ERA-Interm data is used for analysis of vertical atmospheric conditions from the near surface to 200 mb. The
parameters used are humidity, vertical velocity, and divergence. In addition, AWS Digitasi Dok 2 data such as
temperature, humidity and air pressure were used to represent surface conditions near the coast of Jayapura.
Processing data in the form of graphical maps using the Satellite Animation and Interactive Diagnosis (SATAID) and
Grid Analysis and Display System (GrADS) applications. The results showed that the convection system formed during
a very heavy rain event in Jayapura was a meso scale convection system identified from cloud peak temperatures
reaching -800C, the duration of rain> 9 hours, the major diamter of clouds reaching> 400 km. The intensity of heavy to
very heavy rainfall is identified from atmospheric conditions that support the formation of precipitation, namely high air
vertical stress, convergence airflow near the surface, and vertical upward air motion with identical coastal surface
atmospheric conditions. The GPM rainfall correlation to rainfall observation is 0.5 with RMSE 7.6 mm/hour.
182
CNES (Centre National d’Etudes Spatiales), ISRO
(Indian Space Research Organization), NOAA
(National Oceanic and Atmospheric Administration), 3. Hasil dan Pembahasan
EUMETSAT (European Organization for the 3.1. 16-17 Maret 2019
Explotation of Meteorological Satellites), dan lainnya. Dari gambar 1a ditunjukkan jumlah curah hujan
GPM memiliki beberapa misi keilmuaan diantaranya tiap jam tanggal 16-17 Maret 2019. Hujan dengan
meningkatkan kemampuan pengukuruan presipitasi; intensitas ringan mulai tercatat pukul 17.00 WIT pada
meningkatkan pengetahuan tentang sistem presipitasi, ARG Dok 2 dan AWS Pelabuhan. Hujan dengan
variabilitas siklus air, ketersediaan air bersih; intensitas sedang hingga sangat lebat terjadi hingga
meningkatkan pemodelan iklim dan kapabilitas menjelang dini hari. Puncak curah hujan tiap jam
prediksi; meningkatkan prakiraan cuaca dan reanalisis tertinggi terjadi pukul 23.00 WIT-00.00 WIT keesokan
4 dimensi; meningkatkan prediksi dan pemodelan harinya yaitu sebesar 70.4 mm (ARG Dok2), 40.6 mm
hidrologi (Hou dkk., 2008) (AWS Digi), 55.8 mm (AWS Pelabuhan). Dari deret
Tabel 1. Jenis Data GPM yang Digunakan waktu jumlah curah hujan tiap jam dapat diketahui
Resolusi Wilayah Waktu Latensi Format bahwa hujan yang terjadi pada tanggal 16-17 Maret
HDF5, GeoTIF, 2019 berlangsung sekitar 10-11 jam.
NetCDF, ASCII,
0.10-30 900N-
Maret 4 jam
PNG, KMZ, Dari deret waktu suhu puncak awan dapat
2014- (Early diidentifikasi bahwa fase tumbuh awan konveksi terjadi
menit 900S, OpenDAP,
sekarang Run)
GrADS, sekitar pukul 09.00 UTC (18.00 WIT) yang ditandai
THREDDS dengan penurunan suhu secara tajam dan konsisten
hingga sekitar pukul 10.00 UTC (19.00 WIT) dan terus
Kondisi fisis atmosfer diamati dengan mengalami penurunan secara fluktuaktif hinga pukul
menggunakan data ECMWF yaitu ERA-Interm. ERA - 12.00 UTC (21.00 WIT). Setelahnya, suhu puncak
Interm adalah data reanalisis atmosfer global sejak awan diketahui berada pada nilai terendah yaitu <-
1979 hingga data tekini. Sistem model dan reanlisis 800C. Fase matang berlangsung hingga sekitar pukul
atmosfer yang digunakan adalah 3lr2 ECMWF 16.00 UTC (04.00 WIT). Fase punah awan konveksi
Integrated Forecast System dengan konfigurasi teridentifikasi dengan kenaikan suhu 22.00 UTC (07.00
resolusi spasial yaitu: 60 level vertikal dengan puncak WIT).
0.1 hPa; T255 spherical-harmonicI untuk dasar Sistem konveksi fase tumbuh awan di Jayapura
dinamis; model Gaussian untuk wilayah permukaan ditandai dengan indeks konvektif berkisar nilai 0-20
dan titik grid lainnya. pada jam 09.20 UTC (18.20 WIT). Indeks konvektif fase
Gerak udara vertikal merupkan komponen utama matang awan berkisar 26-36 pada jam 15.10 UTC.
dari momentum gerak di atmosfer dan mempunyai Indeks konvektif fase puncah awan berkisar 0-15 pada
peranan penting dalam mempengaruhi terbentuknya jam 18.10 UTC (03.10 WIT). Kontur awan pada awan
awan, hujan maupun kondisi cuaca cerah. Nilai gerak dengan diameter mayor terpanjang menunjukkan
vertikal negatif atau kecepatan vertikal ke atas bahwa wilayah Jayapura dan sekitarnya memiliki suhu
mempercepat terjadinya proses kondensasi dan puncak awan yang sangat rendah yaitu -71,60C di titik
proses presipitasi. Divergensi merupakan Stasiun Meteorologi Dok 2 Jayapura. Diameter mayor
kecenderungan udara mengumpul atau menyebar awan konveksi mencapai 490 km dengan suhu
dalam komponen horizontal. Nilai divergensi positif terendah awan konveksi pada kejadian ini mencapai -
atau divergensi menunjukkan gerak udara menyebar 86,80C dan indeks konvektif berkisar 30-36.
dan diindikasikan keadaan cuaca baik, sedangkan nilai
divergensi positif menunjukkan udara mengumpul 3.2. 17-18 Maret 2019
pada suatu daerah yang membantu untuk Dari gambar 1b ditunjukkan jumlah curah hujan
pembentukan awan. tiap jam tanggal 17-18 Maret 2019. Hujan dengan
Tabel 1. Jenis Data ECMWF yang Digunakan intensitas ringan mulai tercatat pukul 19.00 WIT pada
Model Atmosfer
Level Tekanan, 1000mb -200 mb
ketiga penakar hujan yang digunakan. Hujan dengan
Tipe Analisis, ERA Interm intensitas sedang hingga sangat lebat terjadi hingga
Dataset Interm_daily, 20190301-20190331 pergantian hari. Puncak curah hujan tiap jam tertinggi
Step 0 terjadi pukul 00.00 WIT-01.00 WIT keesokan harinya
Temporal 00:00:00, 06:00:00, 12:00:00, 18:00:00
Parameter Divergensi, Kelembaban, Kecepatan Vertikal
yaitu sebesar 44.2 mm (ARG Dok2), 46.4 mm (AWS
Area 90E 150E, 10N 15S Digi), 42.4 mm (AWS Pelabuhan). Dari deret waktu
Spasial 0.25x0.25 jumlah curah hujan tiap jam dapat diketahui bahwa
hujan yang terjadi pada tanggal 17-18 Maret 2019
berlangsung sekitar 9-11 jam.
183
a
Curah Hujan Tiap Jam 16 Maret 2019
80
70.4
70
Curah Hujan (mm)
60 55.8
50 45 43
40.6
40 32.6
30
19.4 20.2 20 20.620.8 18.8
17.4 18.2
20 15.4
10.8
14.214.8
9
6.6 7.4
10 2.4 2.6 2 2.4 0.8 0.8 0.2
0 0.2 0.2 0 0
0
17-18 18-19 19-20 20-21 21-22 22-23 23-00 00-01 01-02 02-03 03-04
Jam (WIT)
b
Curah Hujan Tiap Jam 17-18 Maret 2019
50 46.4
44.2
42.4
Curah Hujan (mm)
40
30
19.2
20 14.6
10.4 10 11.81210.8
10.2
7.8 7.2 8.4
10 5.8 5 3.6 4.4 5
2.6 2 2.2
0.6 0.2 0.2 0 0.2 0 0.6 0 0 0.6 0.4
0
19-20 20-21 21-22 22-23 23-00 00-01 01-02 02-03 03-04 04-05 05-06
Jam (WIT)
c
Curah Hujan Tiap Jam 18-19 Maret 2019
20 18 18
14.8
Curah Hujan (mm)
15
9.6
10
7 7
6.2
5.45.4
4.6 4.2 4.2 4.44.4 4.4 4.4
5 3.63.6
2.8
3.63.6 3.4
2.82.8 3.23.2
2 1.61.6 2.22.2
1.21.2
0.40.20.2
0
21-22 22-23 23-00 00-01 01-02 02-03 03-04 04-05 05-06 06-07 07-08 08-09
Jam (WIT)
Gambar 1. Curah hujan tiap jam pada tanggal (a) 16 Maret 2019, (b) 17 Maret 2019, (c) 18 Maret 2019
184
Sistem konveksi fase tumbuh awan di 2019 berlangsung sekitar 12 jam. Dari deret waktu
Jayapura didahului dengan terbentuk sistem konveksi suhu puncak awan dapat diidentifikasi bahwa fase
yang berada disebelah timur Jayapura. Pada kondisi tumbuh awan konveksi terjadi sekitar pukul 11.30 UTC
ini, indeks konvetif disekitar Jayapura masih bernilai (20.30 WIT) yang ditandai dengan penurunan suhu
kurang dari 0. Indeks konvektif fase matang awan secara tajam dan konsisten hingga sekitar pukul 13.00
berkisar 32-36 pada jam 15.30 UTC (12.30 WIT). UTC (22.00 WIT) dan secara fluktuaktif terjadi
Indeks konvektif fase punah awan berkisar 0-15 pada penurunan suhu hingga pukul 15.00 UTC (24.00 WIT).
jam 19.20 UTC (04.20 WIT). Kontur suhu awan pada Suhu puncak awan terendah teridentifikasi pada fase
awan dengan diameter mayor terpanjang menunjukkan matang yang berlansung dari pukul 15.00 (24.00 WIT)
bahwa wilayah Jayapura dan sekitarnya memiliki suhu hingga pukul 19.00 UTC (04.00 WIT). Suhu puncak
puncak awan yang sangat rendah yaitu -78,30C di titik awan pada fase ini secara fluktuaktif berada pada nilai
Stasiun Meteorologi Dok 2 Jayapura. Diameter mayor -600C sampai -800C. Fase punah awan konveksi
awan konveksi mencapai 550 km dengan suhu ditandai dengan kenaikan suhu puncak awan dari pukul
terendah awan konveksi pada kejadian ini mencapai - 19.00 UTC (04.00 WIT) hingga pukul 22.00 UTC (07.00
82,40C dan indeks konvektif berkisar 32-36. WIT). Sistem konveksi fase tumbuh awan di Jayapura
didahului dengan terbentuk sistem konveksi yang
3.3. 18-19 Maret 2019 berada disebelah timur Jayapura. Pada saat sama
Dari gambar 1c ditunjukkan jumlah curah hujan terbentuk konveksi kecil dengan nilai 0-20 pada jam
tiap jam tanggal 18-19 Maret 2019. Hujan dengan 12.20 UTC (21.30 WIT) yang menjadi cikal bakal
intensitas ringan mulai tercatat pukul 21.00 WIT pada sistem konveksi yang lebih besar terbentuk beberapa
ketika penakar hujan yang digunakan. Hujan dengan jam berikutnya. Indeks konvektif fase matang awan
intensitas sedang hingga lebat terjadi hingga berkisar 32-36 pada jam 15.30 UTC (12.30 WIT).
menjelang dini hari. Puncak curah hujan tiap jam Indeks konvektif fase punah awan berkisar 0-10 pada
tertinggi terjadi pukul 00.00 WIT-01.00 WIT keesokan jam 20.00 UTC (07.00 WIT). Kontur suhu awan pada
harinya yaitu sebesar 14.8 mm (ARG Dok2), 18.0 mm awan dengan diameter mayor terpanjang menunjukkan
(AWS Digi), 18.0 mm (AWS Pelabuhan). Dari deret bahwa wilayah Jayapura dan sekitarnya memiliki suhu
waktu jumlah curah hujan tiap jam dapat diketahui puncak awan yang sangat rendah yaitu -64,30C di titik
bahwa hujan yang terjadi pada tanggal 18-19 Maret Stasiun Meteorologi Dok 2 Jayapura.
a b c d
e f g h
i j
Gambar 2. Pengolahan data satelit Himawari-8 16 Maret 2019 fase (IR, IK): tumbuh (a,e), matang (b,f), punah (c,g), diameter mayor
(d,h) dan kontur suhu (i) serta suhu puncah awan (j)
185
a b c d
e f g h
i j
Gambar 3. Pengolahan data satelit Himawari-8 17Maret 2019 fase (IR, IK): tumbuh (a,e), matang (b,f), punah (c,g), diamter mayor (d,h)
dan kontur suhu (i) serta suhu puncah awan (j)
a b c d
e f g h
i i j
Gambar 4. Pengolahan data satelit Himawari-8 18 Maret 2019 fase (IR, IK): tumbuh (a,e), matang (b,f), punah (c,g), diamter mayor (d,h)
dan kontur suhu (i) serta suhu puncah awan (j)
186
a
Perbandingan CH 16 Maret 2019
50.0
40.6
30.0
20.6
17.4
15.5
20.0 14.2
10.8
7.6 6.6 7.2
5.9
10.0 3.3 3.3 2.4 2
3.9
1.1
0.0
0 0.0
0 0.0
0 0.0
0 0.1
0 0.0
0 0.0
0 0.0
0 0.2
0 0.1 0.8 0 0.0
0 0.0
0 0.0
0 0.0
0 0.0
0
0.0
Jam (UTC)
GPM AWS Digi
40.0
30.0
20.0 14.2
12
10.1
7.4 7.2
6.8 8.4
5.8
10.0 0.2
0 1.2
0 0.2
0.1 0.9
0 0.9
0 0.0
0 0.0
0 0.0
0 0.0
0 0.0
0 0.2
0.1 0.2
0.0
2
0.0
3.1
0
3.4 3.6
1.3 1.4
0.6 0.5
0
2.2
1.5 1.8
0.0
0.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Jam (UTC)
c
Perbandingan CH 18 Maret 2019
20.0 17.2
18
17.1
18.0
Curah Hujan (mm)
16.0
14.0
12.0
10.0 8.0
7
8.0 5.4
6.0 4.1 4.4
3.6 3.6 3.2
2.4 2.8
4.0 1.8 1.7 2.1
1.2
2.3
1.6
2.2
1 0.6
2.0 0.0 0.2
0.0 0.0 0 0.4 0 0.4
0 0.2
0.0 0.0
0 0.0
0 0.0
0 0.0
0 0.2
0.0 0.1 0.0 0.0 0.0 0.1
0.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Jam (UTC)
Gambar 5. Perbandingan curah hujan tiap jam pada tanggal (a) 16 Maret 2019, (b) 17 Maret 2019, (c) 18 Maret 2019
187
hujan GPM lebih rendah terhadap curah hujan AWS dan RMSE sebesar 8.3 mm/jam. Gambar 5.c
Digitasi Dok 2 Jayapura dengan nilai koefisien korelasi menunjukkan perbandingan curah hujan GPM
sebesar 0.54 dan RMSE sebesar 10,4 mm/jam. terhadap AWS Digitasi Dok 2 Jayapura tanggal 18
Gambar 5.b menunjukkan perbandingan curah hujan Maret 2019. Secara umum curah hujan GPM lebih
GPM terhadap AWS Digitasi Dok 2 Jayapura tanggal rendah terhadap curah hujan AWS Digitasi Dok 2
17 Maret 2019. Secara umum curah hujan GPM lebih Jayapura dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.58
rendah terhadap curah hujan AWS Digitasi Dok 2 dan RMSE sebesar 4.1 mm/jam. Koefisian korelasi
Jayapura. Secara umum curah hujan GPM lebih rata-rata pada 3 kejadian hujan lebat di Jayapura
rendah terhadap curah hujan AWS Digitasi Dok 2 adalah 0.54 dengan RMSE rata-rata sebesar 7,6
Jayapura dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.52 mm/jam.
Gambar 6. Atmosfer vertikal: (a) kelembaban relatif, (b) kecepatan vertikal, (c) divergensi
3.5. Kondisi atmosfer permukaan dan vertikal terutama pada lapisan dekat permukaan yang bernilai
Gambar 6 menunjukkan kondisi atmosfer vertikal 80-90% sepanjang hari. Meskipun tidak diikuti lapisan
dari tekanan permukaan hingga 200 mb. Kondisi 800-500 mb yang tidak cukup lembab namun kondisi
kelembaban vertikal tanggal 16-18 Maret 2019 udara yang lembab berkisar 80-100%. Kondisi
menunjukkan keadaan udara yang cukup lembab kecepatan vertikal pada penampang atmosfer vertikal
188
menunjukkan nilai negatif yang menandakan adanya berupa suhu, kelembaban, dan tekanan udara pada
arus udara naik yang mendukung proses terjadinya tanggal 16-18 Maret 2019. Suhu tanggal 16 Maret 2019
kondensasi. Pola yang dominan yang ditunjukkan pada pada pagi hingga sore hari lebih tinggi dari tanggal 17
tanggal 16 Maret 2019 adalah adanya gerak udara turun dan 18 Maret 2019. Kondisi suhu malam hingga
yang besar pada lapisan 600-400 pada jam 12.00 UTC- menjelang pagi hari pada tanggal 16 Maret 2019 lebih
00.00 UTC. Pola dominan yang ditunjukkan pada rendah dari tanggal 17 dan 18 Maret. Hal ini diikuti
tanggal 17 Maret 2019 adalah gerak udara naik yang dengan nilai kelembaban udara dan tekanan udara yang
besar pada jam 06.00 UTC – 12.00 UTC. Pola dominan berkebalikan terhadap fluktuasi suhu. Kondisi tekanan
yang ditunjukkan pada tanggal 17 Maret 2019 adalah udara dan kelembaban udara pada tanggal 16 Maret
gerak udara naik pada lapisan dekat permukaan hingga 2019 lebih rendah dari tanggal 17 dan 18 Maret 2019
lapisan 600 mb pada jam 00.00 UTC. Arus kovergensi pada pagi hingga sore hari. Dari kondisi ini dapat
pada lapisan 800 mb-600 mb diikuti arus divergensi pada dijelaskan bahwa kejadian hujan 16-18 Maret 2019
lapisan atas yitu 500 mb - 200 mb terjadi pada tanggal didahului dengan perubahan suhu, kelembaban, dan
16 Maret 2019 jam 12.00 UTC. Pola serupa juga terlihat tekanan udara yang signifikan antara pagi hingga malam
pada tanggal 17 Maret 2019 jam 12.00 UTC. Arus hari. Kondisi suhu yang lebih rendah, kelembaban dan
konvergensi teridentifikasi dari lapisan dekat permukaan tekanan udara yang lebih tinggi pada tanggal 17 dan 18
hingga lapisan 400 mb sedangkan arus divergensi pada Maret 2019 di pagi hingga sore hari dibandingkan
lapisan 400 mb – 200 mb. Pada tanggal 18 Maret 2019 tanggal 16 Maret 2019 menunjukkan kondisi permukaan
arus konvergensi terindentifikasi pada lapisan 700 mb – yang mendukung potensi hujan yang tinggi setelah
600 mb sedangkan arus divergensi pada lapisan 500 mb kejadian hujan lebat tanggal 16 Maret 2019.
– 200 mb. Gambar 7 menunjukkan parameter cuaca
1011
1009
16 Maret
1007
17 Maret
1005
0:00:00 4:48:00 9:36:00 14:24:00 19:12:00 0:00:00 4:48:00 18 Maret
Jam (UTC)
30
28 16 Maret
26 17 Maret
24 18 Maret
0:00:00 4:48:00 9:36:00 14:24:00 19:12:00 0:00:00 4:48:00
Jam (UTC)
100
80 16 Maret
60 17 Maret
0:00:00 4:48:00 9:36:00 14:24:00 19:12:00 0:00:00 4:48:00 18 Maret
Jam (UTC)
Gambar 7. Kondisi permukaan: (a) tekanan udara, (b) suhu udara, (c) kelembaban udara
189
permukaan hingga lapisan diatasnya dan diverensi di Shandy Al Mughozali, Prasetyo Umar Firdiantp, Amir Mustofa
lapisan atas. Secara umum curah hujan dari data GPM Irawan. 2017. Analisis Hujan lebat dan angin kencang di
underestimate terhadap data curah hujan AWS Digitasi wilayah banjarnegara studi kasus rabu 8 november 2017,
Dok 2 Jayapura namun memiliki koefisien korelasi yang Unnes Physics Journal. Hal: 65-69
cukup baik.
DAFTAR PUSTAKA
Hou, A. Y., G. Skofronick-Jackson, C. Kummerow, and J. M.
Shepherd. 2008. Global precipitation measurement.
Precipitation: Advances in Measurement, Estimation and
Prediction, S. Michaelides, Ed., Springer-Verlag, Hal:
131–169.
Kristianto, A. dan Immanuel Jhonson Arizona Saragih, Gabriella
larasati, kartika akib. 2018. Indentifikasi kejadian hujan es
menggunakan citra radar dan satelit cuaca, prosiding PIT
ke-5 riset bencana IABI universitas andalas, Hal: 349-
361
Kurniawan, P. M. R. 2018. Analisis Cuaca Ekstrem Terkait
Bencana Hidrometeorologi di Jayapura (Studi Kasus
Hujan Lebat Tanggal 22 Februari 2014). Jurnal
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 5 No. 3
November. Hal: 1-13
Panjaitan, B. S. dan andersen panjaitan. 2015. seminar nasional
penginderaan jauh, hal 636-651, pemanfaatan data
satelit cuaca generasi baru himawari 8 untuk mendeteksi
asap akibat kebakaran hutan dan lahan di wilayah
indonesia (studi kasus:kebakaran hutan dan lahan di
palu)
Qordowi, W. 2018. Analisis Kondisi Atmosfer terkait kejadian
banjir menggunakan radioseonde dan citra satelit
himawari-8 (studi kasus: sungailiat, kabupaten bangka
tanggal 12 februari 2018). Prosising SNFA hal 277-286
Rinaldi, N. Imanuel J. A. Saragih, Agie Wandala Putra, Imma
Redha Nugraheni, Banu Wijaya Yonas. 2017. The 5th
Geoinformation Science Symposium, IOP conference
Series: Earth and Environmental Science, Identication of
Mesoscale Convective Complex (MCC) phenomenon
with image of Himawari 8 satellite and WRF ARW model
on bangka island (case study: 7-8 february 2016)
Sakurai, N., Murata, F., Yamanaka, M. D., Mori, S., Hamada, J.
I., Hashiguchi, H., Tauhid, Y. I., Sribimawati, T., dan
Suhardi, B. 2005. Diurnal cycle of cloud system migration
over Sumatera Island. Journal of the Meteorological
Society of Japan. Ser. II, 83(5). Hal: 835-850
Saragih, R. W. 2018. identifikasi karakteristik Mesoscale
Convective Complex (MCC) di wilayah Papua dan
sekitarnya, Skripsi, D4 STMKG, Tangerang
190
Tema 7 - Aplikasi dan Teknologi Geofisika Terkait Sumber
Daya Alam di Wilayah Laut, Kepesisiran, dan DAS
191
Aplikasi Metode Resistivity Konfigurasi Schlumberger Untuk
Penentuan Potensi Airtanah di DAS Silandak, Kota Semarang,
Jawa Tengah
Firza Syarifa Zahraa, Lukluk Mahya Rahmahb, dan Thomas Triadi Putrantoc
ABSTRAK
Perkembangan dan kemajuan Kota Semarang di bidang industri menimbulkan banyak dampak, salah satunya adalah meningkatnya
laju pertumbuhan penduduk yang menimbulkan kepadatan penduduk di Kota Semarang semakin bertambah. Seiring peningkatan
laju pertumbuhan penduduk, kebutuhan air bersih pun meningkat. Salah satu sumber air bersih yang dimanfaatkan oleh masyarakat
adalah airtanah. Pekembangan Industri seperti munculnya kawasan industri candi yang terdapat pada DAS-Silandak akan
berpengaruh pada meningkatknya jumlah penduduk dan sumberdaya alam di kawasan DAS-Silandak, seperti sumberdaya air.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi airtanah, potensi airtanah yang terdapat di DAS-Silandak dan proyeksi
kebutuhan air bersih untuk masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dan analisis kuantatif.
Survei dilakukan dengan mengukur sumur dangkal sebanyak 10 titik pada area DAS dan 6 titik pengukuran resistivity. Pemetaan
sumur dangkal untuk mengetahui gambaran hidrogeologi daerah penelitian. Sedangkan pemetaan bawah permukaan untuk
mengetahui kondisi bawah permukaan dan mengetahui jenis litologi yang mejadi akuifer dangkal. Pemetaan bawah permukaan
dengan metode resistivity konfigurasi schlumberger. Hasil penelitian menunjukkan MAT antara 0-120 mdpl dan arah aliran airtanah
mengalir dari selatan ke utara daerah penelitian. Dari hasil analisis bawah permukaan, didapatkan litologi berupa lempung dengan
nilai resistivitas 0,82–15,74Ωm, pasir dengan nilai resistivitas 32,8 Ωm, tuff dengan nilai resistivitas 24,48–43,3Ωm, pasir tuffan
dengan nilai resistivitas 28,41 – 85Ωm, breksi dengan nilai resistivitas 160 – 964Ωm, dan lava dengan nilai resistivitas 1.002-3.587
Ωm. Potensi airtanah di DAS-Silandak meliputi cadangan statis dan cadangan dinamis. Cadangan statis sebesar 7.424.802,63 m3
dan cadangan dinamis sebesar 6.782,926 m3/hari atau 2.475.768 m3/tahun. Proyeksi kebutuhan air bersih di daerah penelitian Tahun
2020 sebesar 1.051.930 m3/tahun dan Tahun 2025 sebesar 1.153.458 m3/tahun. Hasil perhitungan cadangan dan proyeksi kebutuhan
air bersih mampu dipenuhi dengan menggunakan airtanah.
Kata kunci: DAS Silandak, Airtanah, Resistivity, Potensi, Cadangan Statis, Cadangan Dinamis, Proyeksi Kebutuhan Air Bersih
ABSTRACT
The individual development of Semarang causes many impact, one of the impact is the increasing rate of population growth which
also increase population density. As the population growth rate increases, the need for clean water also increasing. One of clean
water resource utilized by community is groundwater. The industrial development such as Candi Industrial Park which is in the Silandak
watershed will increase population growth and affects natural resources including water resources. The aim of this study are to
determine groundwater condition, groundwater potential and clean water projection for the community. Researcher used survey
method & quantity analysis in this research. In survey method researcher measured 10 shallow wells and 6 resistivity measurement
in the watershed area. The aim of shallow wells mapping is to find out the major hydrogeology condition of the study area. The aim of
subsurface mapping is to find out subsurface condition and determine the lithology which potential to be shallow aquifer. The
subsurface mapping is conducted using Schlumberger configuration resistivity method. The result showed that the groundwater level
between 0-120 masl and the direction of groundwater is from south to north of the study area. From the subsurface analysis researcher
obtain the lithology of the study area those are Clay with resistivity value 0,82 - 15,74 Ω.m, Sand with resistivity value 32,8 Ω.m, Tuff
with resistivity value of 24,48 - 43,3 Ω.m, Breccia with values of 1.002 - 3.587 Ω.m. The groundwater potential in Silandak watershed
includes static reserves & dynamic reserves. The amount of static reserves is 7.424.802, 63 m3 and the dynamic reserves is 6.782,526
m3/day or 2.475.768 m3/year. The projected clean water needs in the study area is 1.051.920 m3/year in 2020 and 1.153.458 m3/year
in 2025. From the result of reserves calculation & projection of clean water needs, it can conclude that clean water needs can be
fulfilled using groundwater.
Keywords: Silandak watershed, groundwater, resistivity, potential, static reserves, dynamic reserves, projection of clean water
192
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
masih menjadi pilihan utama masyarakat karena biaya dengan luas 85,5 m2 (BAPPEDA Kota Semarang, 2009).
yang dikeluarkan relatif lebih murah jika dibandingkan DAS Silandak berada pada 3 Kecamatan, yaitu Ngaliyan,
dengan sumber air bersih lainnya. Selain itu jasa penyedia Semarang Barat, dan Tugu. Aliran sungai mengalir dari
air bersih seperti PDAM tidak menjangkau semua wilayah Selatan ke Utara dan bermuara di Laut Jawa (Gambar
dan jumlahnya yang tidak mencukupi. 1).
Penelitian dilakukan pada DAS Silandak. DAS
Silandak secara administrasi berada di Kota Semarang
193
Berdasarkan Peta Cekungan Airtanah Provinsi data-data sekunder dan primer. Data-data sekunder
Jawa Tengah, DAS Silandak termasuk kedalam berupa peta geologi regional, peta hidrogeologi, peta
Cekungan Airtanah (CAT) Semarang-Demak. CAT CAT, peta tata guna lahan. Data-data primer berupa
Semarang-Demak mempunyai aliran airtanah tidak
elevasi titik sumur, kedalaman muka airtanah, dan data
tertekan sebanyak 581,3 juta m3/tahun. Menurut Said,
dkk (1988), jenis akuifer daerah penelitian termasuk resistivity.
kedalam akuifer produktif dengan penyebaran setempat Penelitian ini menggunakan metode survei dan
dan akuifer dengan produktifitas kecil. analisis kuantatif. Survei dilakukan dengan mengukur
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk sumur dangkal sebanyak 10 titik pada area DAS (Gambar
mengetahui kondisi airtanah terutama potensi airtanah 3). Pengukuran dilakukan untuk mendapatkan kedalaman
yang meliputi cadangan statis dan cadangan dinamis muka airtanah. Selain pengukuran sumur dangkal,
airtanah di DAS Silandak serta mengetahui proyeksi
dilakukan juga survei bawah permukaan dengan
kebutuhan air bersih untuk masyarakat.
menggunakan metode resistivity konfigurasi
2. Metodologi Schlumberger sebanyak 6 titik (Gambar 3).
Penelitian telah dilakukan pada DAS Silandak. Data
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah
194
Prosiding Seminar Nasional V Pengelolaan Pesisir dan DAS
MPPDAS-STMKG, Jakarta 26 September 2019
195
Proyeksi kebutuhan air masyarakat dihitung Po = Jumlah penduduk awal perhitungan
berdasarkan jumlah penduduk yang tinggal di DAS Silandak r = Persen pertumbuhan jumlah penduduk
dan proyeksinya beberapa tahun ke depan. Pertumbuhan t = Interval waktu
jumlah penduduk adalah pertumbuhan langsung dan terus- Analisis kebutuhan air bersih untuk masa
menerus (continuous), sehingga dapat diperhitungkan mendatang menggunakan analisis pertumbuhan
pertumbuhan jumlah penduduk dengan persamaan berikut penduduk pada daerah penelitian. Menurut Dirjen
(Persamaan 1.5): Cipta Karya PU (1996) dalam kebutuhan air domestic
Pt = Po(1+r)t (1.5) untuk kota dibagi dalam beberapa kategori, yaitu
(Tabel 4):
Dimana: Pt = Jumlah penduduk untuk tahun ke t
tersebut akan digunakan dalam perhitungan potensi antara 28,41 – 85Ωm. Nilai resistivity litologi tuff yang
airtanah yang akan dibahas dalam subbab selanjutnya. diperoleh di titik pengkuran resistivity daerah penelitian
Hasil analisis diperoleh litologi daerah penelitian antara 24,48–43,3Ωm. Nilai resistivity litologi breaksi
berupa lempung, batupasir tuffan, pasir, tuff, breksi, dan yang diperoleh di titik pengkuran resistivity daerah
lava. Nilai resistivity litologi lempung yang diperoleh di penelitian antara 160 – 964Ωm. Nilai resistivity litologi
titik pengkuran resistivity daerah penelitian antara 0,82– lava yang diperoleh di titik pengkuran resistivity daerah
15,74Ωm, nilai resistivity litologi pasir yang diperoleh di penelitian antara 1.002–3.587Ωm. Berikut ini gambar 5
titik pengkuran resistivity daerah penelitian sebesar hasil analisis data resistivity:
32,8Ωm. Nilai resistivity litologi batupasir tuffan yang
diperoleh di titik pengkuran resistivity daerah penelitian
197
dinamis mempertimbangkan jumlah air yang masuk didapat nilai cadangan dnamis daerah penelitian
dan jumlah air yang keluar. Dimana jumlah air yang sebesar 6.782 m3/hari atau 2.475.768 m3/tahun. Hasil
masuk ke dalam batuan lebih sedikit dibandingkan perhitungan cadangan dinamis tersaji pada tabel 4
dengan jumlah air yang keluar. hasil perhitungan berikut ini:
Jumlah penduduk yang masuk ke dalam daerah penelitian pada Tahun 2013 adalah 30.018 Jiwa dan pada Tahun 2017 adalah
33.310. sehingga dapat ditentukan proyeksi jumlah penduduk Tahun 2020 dan 2025. Berikut ini tabel (Tabel 5) perhitungan jumlah
penduduk daerah penelitian:
Kota_Semarang-Dalam-Angka-2018.pdf [online
akses 20 April 2019].
BAPPEDA Kota Semarang.2011-2031. Peta Rencana Tata
Ruang dan Wilayah. (tidak diterbitkan)
Bisri, M. 2012. Air tanah. Universitas Brawijaya Press,
Malang.
Direktorat Jenderal Cipta Karya. 1996. Standar
Kebutuhan Air Bersih Untuk Keperluan Rumah
Tangga. Jakarta.
Kodoatie, R.J. 2012.Tata Ruang Air Tanah.Andi,
Yogyakarta
Musset, A.E., dan Khan M.A. 2000. Looking Into The Earth,
Cambridge University Press, New York.
Said, H.D., dan Sukrisno. 1988. Peta Hidrogeologi Regional
Lembar Semarang. Dinas ESDM Provinsi Jawa
Tengah
Telford, W.M., Geldart, L.P dan Sheriff, R.E. 2004.
Applied Geophysics 2nd Edition, Cambridge
University, Cambridge
Thanden, R.E., Sumadirdja, H., Richards, P.W., Sutisna, K.,
dan Amin, T.C. 1996. Peta Geologi Lembar
Magelang dan Semarang, Jawa: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi.
Todd, D. K. 1980. Groundwater Hydrology.John Wiley, New
York
Todd, D.K., dan Mays, L.W. 2005. Groundwater Hydrology
3ndEdition, John Wiley & Sons, New York.
Widada, S., Satriadi, A., Rochaddi, B., 2017. Kajian Potensi
Air Tanah Berdasarkan Data Geolistrik Resistiviti
Untuk Antisipasi Kekeringan Di Wilayah Pesisir
Kangkung, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa
Tengah. Jurnal Kelautan Tropis. Vol. 20(1):35-41.
199