ii
PROSIDING
Seminar Nasional PEI Cabang Bandung
“TANTANGAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN SERANGGA
DI ERA GLOBALISASI”
25-26 OKTOBER 2017
Buku ini mengandung makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional PEI Bandung
2017. Makalah ini menunjukkan hasil karya dan pendapat dari penulis yang disajikan tanpa
adanya perubahan yang merubah substansi dari hasil penelitian.
TIM REVIEWER
Vira Kusuma Dewi, PhD
Dr. Ramadani Eka Putra
Dr. Ida Kinasih
Gesang Pratyadhiraksana, S.P.
Yusup Hidayat, SP., M.Phil., Ph.D
Ida Yusidah, SP., MP
TIM EDITOR
Vira Kusuma Dewi, SP., M.Sc., Ph.D
Neneng Sri Widayani, SP., MP
Satrio Restu Adhi, S.P., MP
Intan Dwi Riandini, S.P
Sampul Depan :
(Larva Coccinelidae; Foto oleh Gesang Pratyadhiraksana, S.P)
(Belalang Sembah : Foto oleh Nugiarta Pratama)
Sampul Belakang :
(Serangga Ordo Hemiptera; Foto oleh M. Rifki Faisal)
ISBN : 978-602-439-662-6
Penerbit : Unpad Press
Redaksi : Unpad Press Direktorat Sumber Daya Akademik dan Perpustakaan (DSDAP) Grha
Kandaga Lt. 4, Jl. Raya Bandung – Sumedang KM 21, Jatinangor Sumedang 45363
Website : http://press.unpad.ac.id
E-mail : press@unpad.ac.id
Cetakan pertama 10 Oktober 2019.
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk
dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit
iii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr wb.
Pertama-tama kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
berkah-Nya yang luar biasa sehingga kami dapat menyelesaikan prosiding kegiatan Seminar
Nasional ini. Seminar ini merupakan kegiatan yang masuk dalam agenda tahunan yang dapat
menjadi ajang para akademisi, peneliti, stakholder, pemerintah, lembaga penelitian, serta
beberapa institusi pemerintah dan swasta serta instansi lain yang terkait untuk saling
bersilaturahim.
Pada pelaksanaan seminar ini diharapkan adanya diseminasi informasi terkait teknologi
perlindungan tanaman yang kaitannya dengan pengelolaan serangga. Perhimpunan
Entomologi Indonesia memegang peran yang penting dalam memberikan sarana untk
memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karenanaya dalam prosiding ini kami telah sampaikan
hasil penelitian dalam beberapa topik kajian sehingga diharapkan membuka wawasan kita
mengenai pengembangan dunia perlindungan tanaman dalam menyambut era globalisasi.
Pada era globalisasi ini, lalu lintas manusia, hewan, tanaman dan barang di dalam dan antar
negara sangat tinggi sehingga secara tidak langsung tantangan yang harus dihadapi tentunya
semakin besar. Dengan demikian perlunya merancang strategi pengelolaan serangga untuk
mencegah atau meminimalkan dampak negatif dari kondisi tersebut.
Pada kesempatan ini, ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh panitia pelaksana,
para narasumber, para sponsor dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan prosiding ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Namun, kami berharap prosiding ini dapat menjadi salah satu sumber
informasi ilmiah dan menjadi pendorong perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam
pengelolaan serangga. Kami meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan
prosiding ini
Wassalamualaikum wr wb
Jatinangor, Juli 2017
iv
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERHIMPUNAN ENTOMOLOGI INDONESIA
CABANG BANDUNG
Jatinangor, 25-26 Oktober 2017, Bale Sawala , Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor
Panitia Pelaksana
Ketua : Dr. Agus Susanto
Wakil Ketua 1 : Martua Suhunan Sianipar, M.Si.
Wakil ketua 2 : Dr. Tri Cahyanto
Sekretaris : Ida Yusidah, S.P., M.P.
Wakil Sekretaris : Leli Wasliawati, S.P.
Bendahara : Dr. Elly Roosma Ria
Wakil Bendahara 1 : Lindung Tri Puspasari, M.Si.
Wakil Bendahara 2 : Maria Wulan, M.S.
Bidang Bidang
Bidang Kesekretariatan : M. Dodi Rusli, SP.
Guriang Akbar, S.Si.
R. Arif M. Ramadhan, S.P.
Neneng Sri Widayani, S.P., M.P.
v
Ifa Dwi Luthfiana, S.P.
Bidang Acara & : Dr. Tien Turmuktini
Persidangan Syarif Hidayat, M.P.
Dr. N. Usyati
Dr. Rahmini
Dr. Endang Kantikowati
Dikayani, M.P
Yudhisa Henry Prabowo, S.P.
Ratmaneli, S.P.
Satrio Restu Adhi, S.P., M.P.
vi
DAFTAR ISI
vii
Pengaruh Interval Waktu Aplikasi Tepung Biji Sirsak (Annona muricata L.) Terhadap
Susut Bobot Biji Kedelai {Glycine max (L.) Merrill} Akibat Serangan Hama Gudang
Callosobruchus spp. Linn. Yenny Muliani , Dede Hidayat , Erry Mustariani, Ida Adviany , Iilis
Irmawatie 104-106
Efektivitas Cendawan Entomopatogen Metarhizium anisopliae Terhadap Mortalitas dan
Daya Makan Plutella xylostella Pada Tanaman Kubis Dina Gustiana, Cecep Hidayat, Yati
Setiati, Efrin Firmansyah 107-112
Pengaruh Beberapa Media Perbanyakan Cendawan Entomopatogen Cordyceps militaris
L.Fri Lokal Terhadap Mortalitas Larva Oryctes rhinoceros L. di Laboratorium Desita
Salbiah, Hamzah SP 113-118
Aplikasi Kombinasi Metarhizium anisopliae dan Formula Mimba (Azadirachta indica A.
Juss) 50 EC terhadap Helicoverpa armigera Hub. dan Aphis gossypii pada Tanaman Cabai
(Capsicum annum L.) Arisenia Nanda Pratama, Danar Dono, Ceppy Nasahi, Yusup Hidayat,
Sri Hartati, dan Rani Maharani 119-124
Ketahanan Bibit Mahoni (Swietenia macropylla) Asal Lima Sumber Benih Terhadap
Serangan Hama Penggerek Batang (Xylosandrus sp) Yeni Nuraeni dan Hani Sitti
Nuroniah 125-129
Pengaruh Repelen Spasial Berbahan Aktif Citronela Terhadap Perilaku Mencari Mangsa
Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) Strain Bandung Desy Purwanti, Intan Ahmad,
dan Ramadhani Eka Putra 130-134
Efektivitas Formula Minyak Biji Mimba (Azadirachta indica) Pada Ulat Daun Kubis
(Plutella xylostella L.) Mahsuri, Danar Dono, Luciana Djaya, Yusuf Hidayat, Rani Maharani,
Sri Hartati 135-141
Kerentanan Aedes Aegypti Pradewasa Terhadap Temephos 0,02 Ppm Di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara dan Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan Nita
Rahayu,Sri Sulasmi, Dian Eka S,Yuniarti Suryatinah 142-146
Resistensi Wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stal) terhadap Insektisida Organofosfat dan
Karbamat Serta Potensi Insektisida Nabati Sebagai Solusi Pengelolaan Resistensi(Review
Artikel) Neneng Sri Widayani dan Danar Dono 147-156
Bioaktivitas Formula Bitung (Barringtonia asiatica) terhadap Hama Ulat Krop Kubis
(Crocidolomia pavonana) (Lepidoptera: Crambidae) Miranti Aprihilda, Danar Dono, Rika
Meliansyah, Yusuf Hidayat, Sri Hartati dan Rani Maharani 157-164
Pendugaan Peristiwa Resistensi Spodoptera Litura L. Berdasarkan Survey Dan
Wawancara Di Desa Mekarjaya Kecamatan Cikajang Kabupaten GarutR. Arif Malik
Ramadhan dan Danar Dono 165-169
Model Prediksi Kelas Bahaya Serangan Rayap Tanah Di Provinsi Dki Jakarta Berbasis
Spesies, Tanah, dan Iklim Arinana, Aunu Rauf, Dodi Nandika, Idham Sakti Harahap, I Made
Sumertajaya 170-179
Kualitas Kokon bibit Hibrid Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Asal Bulgaria dan Indonesia
Lincah Andadari, Desi Ekawati, Kuntandi 178-182
Entomophagy: Serangga sebagai Sumber Protein Alternatif dalam Perspektif Keamanan
Pangan Lutfi Afifah 183-188
Tingkat Pemahaman Masyarakat Desa Besuki Terhadap Edible Insect : Kajian Awal
Introduksi Berbagai Produk Olahan Berbahan Dasar Serangga Sebagai Sumber Protein
Tutut Indah Sulistiyowati 189-191
Korelasi Panjang Probosis Kupu-kupu (Lepidoptera : Pieridae) dengan Panjang Tabung
Bunga Penghasil Nektar di Kawasan Kampus UI Depok Regina Diah Rachmawati, Rizka
Adriana, dan Adi Basukriadi 192-195
viii
Keanekaragaman Serangga: Fakta, Fiksi, dan Keterbaruan Penelitian di Indonesia Fitri
Ratna Juwita, dan Lutfi Afifah 196-203
Fluktuasi Populasi Lalat Buah Bactrocera dorsalis Kompleks (Diptera: Tehritidae) pada
Pertanaman Salak Di Desa Margaluyu, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya
Agus Susanto, Yusup Hidayat, Yadi Supriyadi, Tohidin dan Muhammad Resta Nugraha 204-208
Pemanfaatan Daun Sirsak (Annona muricata L) Sebagai Pestisida Nabati Lia Sugiarti 209-212
Identifikasi Jenis Kupu-Kupu (Ordo Lepidoptera) di Kawasan Taman Wisata Alam
Pulau Sangiang, Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Banten Yulia
Mustika Sari, Sean Providana Mauleti, Alisa Nurwahidah, Lela Risma, dan Hikmat Kasmara 213-223
Senyawa Volatil Tanaman sebagai Pertahanan terhadap Serangga Herbivora dan Penarik
Serangga Bermanfaat Nining Sulastri dan Lutfi Afifah 224-232
Keefektifan Kombinasi Aplikasi Formulasi Mimba 50 EC (Azadirachta indica) dan
Metarhizium anisopliae Dalam Mengendalikan Kutu Daun Persik (Myzus persicae Sulz.)
Pada Tanaman Cabai Lupitasari, Danar Dono, Luciana Djaya, Yusup Hidayat, Sri Hartati, dan
Rani Maharani 233-236
Parasitoid Telur Dan Intensitas Serangan Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga
Incertulas Walker) Pada Agroekosistem Padi Irigasi Rahmini, Jaja Suprijadi, Rusmana, dan
Dewi Hastuti 237-249
ix
Prosiding Seminar Nasional PEI Laporan khusus serangan rayap....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Rayap pada umumnya dikenal sebagai serangga perusak kayu. Kayu merupakan sumber makanan bagi rayap
untuk mendapatkan selulosa dan juga digunakan sebagai media bersarang dan berkoloni. Selulosa bisa
didapatkan oleh rayap pada kayu dengan kondisi lapuk ataupun sehat, tanaman batang basah, rumput,
serasah daun dan juga kotoran (faecal). Genus Coptotermes merupakan kelompok yang dikenal secara global
sebagai hama struktural dan mengganggu beberapa kegiatan pertanian. Sebagai genus dengan jumlah koloni
yang besar, serangan di area perkebunan dilaporkan banyak terjadi dan tersebar di negara-negara Asia
Tenggara. Namun, kasus serangan pada buah belum pernah dilapokan sebelumnya. Studi kasus kali ini
menguraikan sebuah kasus di lapangan mengenai serangan Coptotermes gestroi pada buah mangga
(Mangivera indica L). Laporan ini memberikan tambahan informasi yang penting mengenai potensi
fleksibilitas dan adaptabilitas perilaku makan rayap Coptotermes gestroi sebagai hama urban.
Kata kunci: rayap, Coptotermes gestroi, mangga, fleksibilitas, adaptabilitas, perilaku makan
ABSTRACT
Termites are generally known as wood attacking insects. Termites attack wood either for nesting or foraging.
Termites are known to harvest cellulosic structures of wood (either rotten dead or sound dead), living
herbaceuous plants, grass, various plant debris and even dung. Genus Coptotermes is particularly considered
as global economically important structural-pest, as well as agricultural nuisance. As the largest group of
termite species, Coptotermes attacks on plantation has been immensely spread across Southeast Asian
Countries. However Coptotermes group attacks spesifically on fruits, which is considered as anomaly, are
not reported yet. The present study reported an important insight regarding Coptotermes sp. attack on mango
fruits, Mangivera indica. The report may provide valuable information on feeding flexibility and adaptability
of termite.
Key words: termite, Coptotermes, mango fruit, flexibility, adaptability, feeding habit
1 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Laporan khusus serangan rayap....
Cabang Bandung
Gambar 1. Bagian di sekitar area infestasi yang terkena serangan rayap menjadi gambaran alur infestasi rayap di
buah mangga dalam bungkusan karton. 1. Lantai bangunan dengan mudtube sebagai tanda infestasi; 2. Posisi
palet yang bersebelahan dengan buah mangga dalam bungkusan karton; 3. dasar palet yang sudah terinfestasi
rayap; 4. bagian karton yang terkena serangan rayap.
Bagian yang terlihat dengan jelas terkena (Gambar 2). Terdapat lapisan tanah kering yang
serangan secara anatomi adalah bagian exocarpium melapisi meso carpium atau bagian buah yang sudah
yaitu kulit buah dan mesocarpium atau daging buah. terjadi infestasi, sehingga kondisi di sekitar area
Ditemukan 7 lubang serupa di exocarpium namun infestasi cenderung sudah tidak lembek atau lebih
hanya 3 yang menembus kedalam mesocarpium atau kering bila dibandingkan dengan bagian daging buah
daging buah. Ukuran lubang bervariasi antara 2-3 yang baru saja terbuka.
mm. Serangan tidak sampai menembus lapisan
endocarpium dan juga endosperm atau biji buah
Gambar 2. Infestasi rayap dalam buah mangga. A. Lubang infestasi terlihat di bagian exocarpium (kulit buah);
B. bagian dalam mesocarpium (daging buah) yang memperlihatkan rongga pasca infestasi.
2 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Laporan khusus serangan rayap....
Cabang Bandung
Gambar 3: Morfologi bagian caput C. gestroi. B: gundukan di bagian posterior kepala; H: Sepasang rambut di
bagian anterolateral fontanel; F: Fontanel; P: Pronotum; E: Emarginasi; 1 st, 3rd, 4th, 15th: Antena.
3 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Laporan khusus serangan rayap....
Cabang Bandung
Serangan pada bagian buah pada tanaman dilengkapi struktur anatomi trikoma tersebut rayap
mangga yang terjadi oleh C. gestroi merupakan hal subteran yang memiliki area makan diluar nest ini
yang belum pernah dilaporkan. Yamono (1997) di akan mengalami peningkatan kemampuan akuisisi air
dalam Nakayama et al., (2005) menjelaskan bahwa dari sumber pakan. Hal ini menunjukkan sangat
spesies didalam genus Coptotermes merupakan penting tercukupinya kadar air dalam sumber pakan
kelompok multiple nest yang memiliki perilaku bagi C. gestroi.
mencari makan jauh dari sarang. Walaupun C. gestroi ii. Potensi kadar gula
memiliki toleransi terhadap desikasi, Nakayama et al., Selain mendapatkan selulosa dan sumber air,
(2005) menjelaskan pentingnya konten air didalam probabilitas lain adalah preferensi terhadap kadar gula
sumber makanan bagi kelangsungan hidup koloni. yang ada dalam buah mangga. Menurut Aak (1991)
Ketiadaan konten air dalam pakan membuat C. gestroi kandungan karbohidrat buah mangga terdiri dari gula
bertahan hidup hanya 4 hari dengan humiditas sederhana, tepung dan selulosa. Gula sederhana
lingkungan yang tinggi. Namun humiditas lingkungan tersebut adalah sukrosa, gluktosa dan fruktosa.
yang tinggi (>75%) dan temperatur yang optimal (28 0 Abushama dan Kambal (1977) menjelaskan dalam
C) tetap penting bagi survivalitas Coptotermes percobaannya bahwa Microtermes traegardhi, yang
formosanus (Gautam & Henderson 2011). Aak (1991) merupakan hama utama di perkebunan tebu di Sudan,
juga menjelaskan mengenai kandungan buah manga memiliki nafsu makan lebih tinggi ketika diberikan
pada umumnya adalah 80% air dengan 15-20% gula. preferensi pakan berupa batang kering jawawut yang
Kemungkinan C. gestroi berusaha memanfaatkan di rendam dalam masing-masing 20% Fruktosa,
kandungan air pada buah mangga sangat Sukrosa dan Glukosa, bila dibandingkan dengan
dimungkinkan dengan ditemukannya tanda percobaan kontrol yang direndam dalam air saja. Kenaikan
pembuatan lubang akses kedalam mesocarpium persentase masing masing gula diikuti kenaikan lost
melalui exocarpium atau kulit mangga sebanyak 7 weight pada batang jewawut kering. Fruktosa adalah
lubang dengan 3 lubang berhasil menembus daging gula yang paling diminati diikuti sukrosa dan glukosa
buah dan melanjutkan invasi. Secara mikroanatomi, berturut turut. Probabilitas preferensi kadar gula juga
Silva & Costa-Leonardo (2017) dalam penelitiannya dimungkinkan terjadi pada C. gestroi. Walaupun
menyebutkan, susunan trikoma pada anatomi kelompok Coptotermitinae bukan merupakan fungus-
permukaan frontal farinx kasta pekerja rayap C. growing termite seperti kelompok Macrotermitinae,
gestroi dan Heterotermes tenuis memiliki bentuk dan genus Coptotermes juga merupakan hama umum bagi
densitas yang sama dan mewakili spesies dalam tanaman tebu di Afrika, India, Pakistan China, dan
Rhinotermitidae dengan Multiple-nest. Dengan Asia Tenggara (Hill, 1983)
Gambar 4. Pola galeri terlihat pada ruang infestasi. Terdapat dua lubang menuju pada satu ruangan yaitu
ditunjukkan oleh no. [1] dan [2]. Terlihat lapisan tanah melapisi sekeliling ruangan infestasi.
4 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Laporan khusus serangan rayap....
Cabang Bandung
5 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Laporan khusus serangan rayap....
Cabang Bandung
6 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Hutan Lindung Batutegi merupakan kawasan hutan yang digunakan sebagai salah satu lokasi pelepas liaran
satwa yang dilindungi termasuk kukang sumatera (Nycticebus coucang) oleh YIARI. Kukang tergolong
hewan omnivora dan serangga merupakan salah satu pakan asal hewan yang disukai kukang. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman serangga sebagai pakan alami kukang sumatera di Kawasan
Hutan Lindung Batutegi Tanggamus Lampung guna menunjang konservasi kukang sumatera. Pengambilan
sampel dilakukan pada dua habitat, yaitu kebun dan hutan sekunder dengan teknik purposive sampling
menggunakan metode jelajah. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Oktober 2016 dengan
menggunakan perangkap cahaya (light trap, light sheet) untuk serangga nocturnal dan jala ayun (sweep net)
untuk serangga diurnal. Jumlah serangga pakan kukang yang diperoleh sebanyak 24 famili dengan jumlah
famili terbanyak yaitu famili Acrididae, Formicidae, Chrysomelidae, Tettiginidae, dan Gryllidae. Di kebun
Talang Ajir didapatkan 22 famili dan di hutan sekunder 20 famili, sedangkan di kebun Talang Kadum
didapatkan 19 famili dan di hutan sekunder 14 famili. Kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman, dan
kemerataan serangga tertinggi ditemukan pada Talang Ajir. Indeks keanekaragaman pada kedua tipe habitat
tergolong dalam kategori sedang dengan nilai indeks berkisar antara 1,94 – 2,28, dengan indeks kemerataan
tergolong rendah (0,33 – 0,39) dan indeks kesamaan komunitas serangga tergolong tinggi (63,15%). Talang
Ajir lebih berpotensi sebagai lokasi pelepasliaran kukang (Nycticebus coucang) dan lokasi hutan sekunder
lebih baik dari pada kebun karena tidak adanya famili yang mendominasi dan penyebaran serangganya lebih
merata.
Kata kunci: keanekaragaman, KPHL Batutegi, kukang sumatera (Nycticebus coucang), serangga, YIARI
ABSTRAK
Hutan Lindung Batuegi is a forest area that is used as one of the protected wildlife release locations
including the Sumatran loris (Nycticebus coucang) by YIARI. Loris is classified as an omnivorous
animal and an insect is one of the animals' preferred animal feed. This study aims to determine the
diversity of insects as the natural feed of the Sumatran loris in Batutegi Protected Forest Area
Tanggamus Lampung to support the conservation of loris of Sumatra. Sampling was done on two
habitats, namely garden and secondary forest with purposive sampling technique using cruising
method. The study was conducted from August to October 2016 using light traps, light sheets for
nocturnal insects and sweep net for diurnal insects. The number of feeding loris insects obtained
by 24 families with the largest number of families are Acrididae, Formicidae, Chrysomelidae,
Tettiginidae, and Gryllidae. In the gardens Talang Ajir found 22 families and in the secondary
forest of 20 families, whereas in the garden Talang Kadum found 19 families and in the secondary
forest 14 families. The highest abundance, richness, diversity, and evenness of insects are found in
Ajir Gutter. The diversity index in both habitat types was in the medium category with the index
value ranging from 1,94 - 2,28, with low fairness index (0,33 - 0,39) and the insect community
similarity index were high (63,15%) . Gutter Ajir is more potential as a loris slaughter site
(Nycticebus coucang) and secondary forest location is better than gardens because there is no
dominant family and the spread of its insects is more evenly distributed.
Key words: diversity, KPHL Batuegi, Sumatran loris (Nycticebus coucang), insect, YIARI
7 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....
Cabang Bandung
itu serangga juga dapat dijadikan sebagai sumber menangkap sampel menggunakan jala ayun (sweep
pakan (Borror et al., 1992), termasuk sebagai pakan net) (Gambar 2).
alami kukang (Nycticebus sp.) (Nekaris dan Bearder, Pengambilan sampel malam hari
2007). Menurut Sinaga dkk., (2010) serangga menggunakan perangkap cahaya (light trap dan light
merupakan pakan asal hewan yang disukai kukang. sheet) serta pagi dan sore hari menggunakan jala ayun
Tingginya perburuan dan perdagangan (sweep net) (Gambar 3). Sebelum pengambilan
kukang menimbulkan ancaman yang serius terhadap sampel, dilakukan pengukuran suhu lingkungan
kelestarian kukang (Nursahid dan Purnama, 2007). dengan thermometer serta kelembaban relatif dengan
Menurut Nekaris & Campbell (2012), meningkatnya hygrometer yang dilakukan dua kali, yaitu saat
perdagangan kukang sebagai hewan kesayangan (pet peletakkan perangkap dan saat pengoleksian serangga.
animals) menjadi penyebab menurunnya populasi Pengambilan sampel menggunakan light trap dengan
kukang di alam. Bahkan kukang juga digunakan cara menggantungkannya di atas pohon dengan tinggi
sebagai bahan obat tradisional (Starr et al., 2010). ±7-9 meter untuk di hutan sekunder dan ±3-5 meter
Oleh sebab itu kukang berada pada status Apendiks I untuk kebun. Pemasangan light trap pukul 18.00
(CITES, 2007) dan vulnerable (rentan) (IUCN, 2013). WIB-23.00 WIB pada masing-masing titik koordinat.
Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia Serangga yang terperangkap light trap dikumpulkan
(YIARI) atau yang dikenal dengan International dan dimasukan ke dalam botol koleksi dan diberi
Animal Rescue (IAR) melakukan rehabilitasi dan label. Pemasangan light sheet dilakukan pada pukul
pelepasliaran kukang sumatera di Kawasan Hutan 19.00-00.00 WIB pada masing-masing titik koordinat.
Lindung Batutegi guna menjaga kelestarian kukang di Serangga yang terperangkap di light sheet diambil
alam (YIARI, 2015). Hutan Lindung Batutegi menggunakan pinset dan dibantu dengan jala ayun
merupakan tipe hutan primer dan sekunder untuk menangkap serangga. Pengambilan sampel
(Dishutprov Lampung, 2013) yang termasuk tipe menggunakan sweep net dilakukan dengan
habitat yang disukai oleh kukang (Nekaris dan mengayunkan jala kearah serangga pada pukul 07.00
Shekelle, 2007). WIB-11.00 WIB dan 15.00 WIB-18.00 WIB.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengambilan sampel serangga pada masing-
keanekaragaman jenis serangga pakan kukang masing titik koordinat dilakukan sekali pengambilan.
sumatera di lokasi pelepasliaran kukang sumatera di Serangga yang dikoleksi hanya jenis-jenis serangga
Kawasan Hutan Lindung Batutegi, Tanggamus, pakan kukang yaitu kumbang (Coleoptera), semut
Lampung sehingga dapat digunakan sebagai acuan (Hymenoptera), kepik (Hemiptera), kupu-kupu &
dasar dalam pemilihan lokasi pelepasliaran kukang ngengat (Lepidoptera), jangkrik & belalang
sumatera, guna menunjang konservasi satwa tersebut. (Orthoptera) (Wiens, 2002), tonggeret (Homoptera)
(Octavianata, 2014). Serangga yang dikoleksi di
BAHAN DAN METODE lapangan dimasukkan kedalam stoples plastik yang
Lokasi penelitian telah diisi alkohol 70% dan dikelompokkan
Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan berdasarkan ordo, lokasi dan perangkap. Kemudian
Hutan Lindung Batutegi Tanggamus Provinsi sampel diidentifikasi hingga tingkat famili dan
Lampung. Secara geografis Hutan Lindung Batutegi dihitung jumlahnya. Proses identifikasi dilakukan
terletak antara 104º27ꞌ-104º55ꞌ BT dan 05º48ꞌ-5º22ꞌ berdasarkan ciri morfologi eksternal dengan
LS. Penelitian dilaksanakan di lokasi pelepasliaran menggunakan buku Borror et al., (1992) dan bantuan
kukang sumatera (Nycticebus coucang) oleh YIARI di media online yaitu Bug Guide (Bugguide.net).
Talang Ajir (301-430 mdpl) dan Talang Kadum (221-
429 mdpl) (Gambar 1) yang dilakukan pada dua tipe Analisis data
habitat, yaitu kebun dan hutan sekunder. Keanekaragaman famili serangga pakan
Pengambilan sampel dan identifikasi kukang dianalisis menggunakan Indeks
Pengambilan sampel dilakukan mulai bulan Keanekaragaman Shannon-Wiener (Hꞌ): Hꞌ = - ∑ Pi ln
Agustus - Oktober 2016 dengan teknik purposive Pi (Magguran, 2004). Kemerataan jenis pada suatu
sampling yaitu membuat titik koordinat di masing- habitat dapat dihitung menggunakan formulasi Pielou:
masing lokasi berdasarkan titik dijumpainya kukang E = (Odum, 1993). Sedangkan kesamaan
sedang makan dan mencari makan berdasarkan data
observasi YIARI. Pada masing-masing lokasi terdapat komunitas serangga antar tipe habitat dianalisis
3 habitat kebun dan 3 habitat hutan sekunder, masing- dengan menggunakan Indeks similaritas atau indeks
masing habitat terdapat 2 titik koordinat dimana 1 titik kesamaan spesies serangga antar lokasi dianalisis
untuk perangkap light trap dan 1 titik untuk menggunakan rumus IS Bray-Curtis: IS = x 100
perangkap light sheet serta membuat jalur jelajah yang %; dengan nilai indeks ketidaksamaan atau indeks
menghubungkan antara masing-masing titik untuk disimilaritas (ID) dapat dihitung dengan rumus :
ID = 100 – IS
8 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....
Cabang Bandung
Gambar 1. Lokasi penelitian di Talang Ajir dan Talang Kadum pada Kawasan Hutan Lindung Batutegi
Tanggamus Lampung.
Gambar 2. Titik pengambilan sampel serangga (light sheet dan light trap) di Talang Ajir dan Talang Kadum
pada Kawasan Hutan Lindung Batutegi Tanggamus Lampung.
9 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....
Cabang Bandung
10 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....
Cabang Bandung
penelitian. Di mana menurut Jumar (2000) suhu Ordo Orthoptera banyak ditemukan di lokasi
optimum serangga untuk berkembang biak adalah penelitian diantaranya famili Acrididae, Tettigonidae
25ºC. Sedangkan menurut Gulo, dkk., (2014) curah dan Gryllidae yang mendominasi lokasi penelitian
hujan yang tinggi dapat menyebabkan kehadiran terutama habitat kebun. Hal tersebut disebabkan
serangga khususnya hama semakin menurun. karena ordo Orthoptera lebih banyak makan rumput
Persentase serangga pakan kukang yang dan tumbuh-tumbuhan serta membutuhkan tumbuhan
paling tinggi yaitu ordo Orthoptera (51,81% - sebagai inangnya. Sesuai dengan pernyataan Borror
72,52%) yang mendominasi di habitat kebun. Pada et. al., (1992) bahwa famili Acrididae merupakan
hutan sekunder Talang Ajir memiliki persentase ordo serangga pemakan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan
pakan kukang sebesar 1,75% - 35,66%, sedangkan di Tettigonidae meletakkan telurnya kedalam jaringan-
hutan sekunder Talang Kadum sebesar 1,05% - jaringan tumbuhan dan kebanyakan memakan
34,03% (Gambar 5). tumbuh-tumbuhan dan Gryllidae juga meletakkan
telur nya di dalam tanah atau tumbuh-tumbuhan.
Tabel 1. Ordo dan famili serangga pakan kukang yang ditemukan di kebun dan hutan pada lokasi
Talang Ajir dan Talang Kadum di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Tanggamus.
Talang Ajir Talang Kadum
No. Ordo Family
Kebun Hutan Kebun Hutan
1 Orthoptera
1 Acrididae 27,52% 15,71% 47,03% 20,94%
2 Gryllidae 10,74% 6,23% 8,22% 2,62%
3 Tettigonidae 7,65% 2,00% 10,76% 1,57%
4 Tetrigidae 4,30% 2,00% 6,23% 3,14%
5 Pyrgomorphidae 1,61% 0,00% 0,28% 0,00%
Jumlah 5 Famili 51,81% 25,94% 72,52% 28,27%
2 Coleoptera
6 Chrysomelidae 1,74% 18,70% 1,98% 8,38%
7 Coccinelidae 8,86% 3,49% 1,13% 6,28%
8 Scarabaeidae 4,83% 4,99% 1,42% 4,19%
9 Tenebrionidae 4,30% 4,49% 2,55% 0,00%
10 Carabidae 3,62% 0,75% 0,85% 2,62%
11 Cerambycidae 0,54% 1,50% 3,97% 0,00%
12 Curculionidae 0,81% 1,50% 0,85% 0,00%
13 Oedemeridae 0,00% 0,25% 0,57% 0,00%
14 Lucanidae 0,27% 0,00% 0,00% 0,00%
Jumlah 9 Famili 24,97% 35,66% 13,31% 21,47%
3 Hymenoptera
15 Formicidae 19,06% 28,43% 8,22% 34,03%
Jumlah 1 Famili 19,06% 28,43% 8,22% 34,03%
4 Hemiptera
16 Miridae 1,74% 2,99% 3,68% 7,85%
17 Pentatomidae 0,54% 2,49% 0,57% 2,09%
18 Reduviidae 0,13% 0,75% 0,00% 0,00%
19 Acanthosomatidae 0,13% 0,00% 0,00% 0,00%
Jumlah 4 Famili 2,55% 6,23% 4,25% 9,95%
5 Homoptera
20 Cicadidae 0,40% 1,75% 0,57% 5,24%
Jumlah 1 Famili 0,40% 1,75% 0,57% 5,24%
6 Lepidoptera
21 Noctuidae 0,40% 0,75% 0,57% 0,00%
22 Arctiidae 0,40% 1,00% 0,00% 0,00%
23 Saturnidae 0,27% 0,00% 0,28% 0,52%
24 Pyralidae 0,00% 0,25% 0,00% 0,52%
Jumlah 4 Famili 1,07% 2,00% 0,85% 1,05%
Jumlah Persentase 100% 100% 100% 100%
Total Famili 24 22 20 19 14
11 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....
Cabang Bandung
Gambar 4. Indeks keanekaragaman (Hꞌ) dan Indeks kemerataan (E) serangga pakan kukang pada masing-masing
lokasi.
Keanekaragaman serangga pakan kukang mendominasi daerah sekitar hutan hujan tropik.
pada lokasi kebun didominasi oleh ordo Orthoptera Sedangkan famili Chrysomelidae termasuk kumbang
(25,94% - 72,52%) (Gambar 5) yang diduga pemakan tumbuhan (Borror et. al., 1992), sehingga
disebabkan oleh penggunaan pestisida serta herbisida famili tersebut banyak ditemukan di lokasi penelitian.
oleh petani di lokasi penelitian. Saragih (2008) Persentase kehadiran serangga pakan kukang
menyatakan bahwa naik turunnya nilai keragaman paling tinggi ditemukan di hutan sekunder kecuali
jenis serangga berhubungan dengan penggunaan ordo Orthoptera yang hanya mendominasi kebun
pestisida. Di mana dalam penggunaan pestisida yang (Tabel 1). Di hutan sekunder Talang Ajir memiliki
secara langsung berdampak pada keseluruhan jenis persentase ordo pakan kukang sebesar 1,75% -
serangga khususnya serangga hama. Ledakan hama 35,66% dan di hutan sekunder Talang Kadum sebesar
ini kemungkinan adanya resistensi dan resurgensi 1,05% - 34,03% (Gambar 5), yang menunjukan
terhadap pestisida. bahwa kedua lokasi memiliki persentase yang tidak
Tingginya keberlimpahan famili Formicidae berbeda jauh dan tidak menunjukan adanya ordo
disebabkan famili tersebut adalah kelompok yang serangga pakan kukang yang dominan. Sehingga
sangat umum dan menyebar luas. Hal ini ditunjukkan habitat hutan sekunder Talang Ajir memiliki potensi
dari beberapa hasil penelitian dari Patang (2011) dan untuk pelepasliaran Kukang Sumatera (Nycticebus
Kartikasari dkk., (2015) yang menemukan famili coucang), ditunjukkan dengan ketersediaannya
Formicidae dalam jumlah yang banyak dan menurut serangga pakan kukang lebih merata dan tidak adanya
Atkins (1980) famili Formicidae umumnya serangga yang mendominasi.
12 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....
Cabang Bandung
Gambar 6. Indeks kesamaan (IS) dan indeks ketidaksamaan (ID) serangga pakan kukang pada masing-masing
lokasi.
Kesamaan serangga diversitas akan mempengaruhi stabilitas komunitas
Kesamaan famili serangga pada Talang Ajir dengan memberikan keseimbangan faktor fisik.
dan Talang Kadum tergolong tinggi yaitu dengan nilai
63,15%. Kesamaan serangga antar habitat KESIMPULAN
menunjukkan indeks kesamaan terbesar antara kebun Jumlah serangga yang diperoleh sebanyak 24
Talang Ajir dan kebun Talang Kadum dengan nilai famili yang didominasi oleh famili Acrididae,
indeks kesamaan sebesar 62,04%, kemudian antara Formicidae, Chrysomelidae, Tettigonidae, dan
hutan sekunder Talang Ajir dan hutan sekunder Gryllidae. Di kebun Talang Ajir didapatkan 22 famili
Talang Kadum sebesar 61,49%. Indeks kesamaan dan di hutan sekunder 20 famili, sedangkan di kebun
serangga terkecil antara kebun Talang Ajir dan hutan Talang Kadum didapatkan 19 famili dan di hutan
sekunder Talang Kadum dengan nilai 38,07% sekunder 14 famili. Kelimpahan, kekayaan,
(Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa komunitas keanekaragaman, dan kemerataan serangga tertinggi
serangga pada Talang Ajir memiliki banyak kesamaan ditemukan pada Talang Ajir. Indeks keanekaragaman
dengan Talang Kadum baik pada habitat kebun dan Shannon-Wiener (Hꞌ) pada semua habitat di Talang
hutan sekunder. Ajir dan Talang Kadum termasuk dalam kategori
Analisis kesamaan famili serangga sedang dengan nilai sebesar 1,94 – 2,37 (1 ≤ H ≤ 3)
menunjukkan bahwa komposisi famili serangga antara dengan indeks kemerataan rendah (0,33 – 0,39)
Talang Ajir dan Talang Kadum memiliki banyak dimana E < 0,4. Indeks kesamaan komunitas serangga
kesamaan dengan indeks kesamaan sebesar 63,15%. pada Talang Ajir dan Talang Kadum tergolong tinggi
Indeks tersebut juga menunjukkan bahwa komposisi (63,15%). Talang Ajir lebih berpotensi sebagai lokasi
famili serangga yang ditemukan di kebun Talang Ajir pelepasliaran kukang (Nycticebus coucang) dan lokasi
dan kebun Talang Kadum memiliki tingkat kesamaan hutan sekunder lebih baik dari pada kebun karena
yang tinggi yakni sebesar 62,04 dan pada hutan tidak adanya famili yang mendominasi dan persebaran
sekunder Talang Ajir dan hutan sekunder Talang serangganya lebih merata.
Kadum juga memiliki kesamaan yang tinggi yakni
sebesar 61,49 (Gambar 6). Hal tersebut menunjukkan UCAPAN TERIMA KASIH
bahwa kesamaan famili serangga pada habitat kebun Penulis mengucapkan terima kasih kepada
dan hutan sekunder di Talang Ajir dan Talang Kadum Ibu Indah Winarti, M.Si. yang telah membantu
hampir sama. Menurut Krebs (1999) komunitas penulis dalam melakukan penelitian dan KPHL
dikatakan berbeda apabila indeks kesamaan Batutegi yang telah mengizinkan penulis melakukan
komunitas yang dibandingkan memiliki nilai dibawah penelitian di Kawasan Hutan Lindung Batutegi, serta
50%. terima kasih banyak kepada YIARI yang telah
Tingginya indeks kesamaan serangga diduga membantu penulis selama penelitian berlangsung
karena masing-masing lokasi penelitian yang hingga proses penulisan selesai.
berdekatan sehingga keberadaan dan perpindahan
serangga pada lokasi tersebut tidak menunjukan DAFTAR PUSTAKA
perbedaan yang signifikan. Selain itu, pada kedua Atkins, M.D. 1980. Introduction To Insect Behavior.
lokasi juga memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan MacMillan Publishing. New York.
yang hampir sama. Price (1997) menyatakan bahwa
13 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....
Cabang Bandung
14 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman Serangga Pakan Kukang....
Cabang Bandung
15 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman jenis capung (odonata)....
Cabang Bandung
Shalfa Hisana Wibowo1, Tatang S. Erawan2, Hikmat Kasmara3, dan Wawan Hermawan4 *
1,2,3,4
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran
*
Alamat korespondensi: wawan.hermawan@unpad.ac.id
ABSTRAK
Daerah aliran sungai Cirengganis dan Cikamal merupakan wilayah Cagar Alam Pananjung Pangandaran yang
ditumbuhi vegetasi dan menjadi habitat berbagai jenis capung (Odonata). Capung merupakan salah satu
organisme yang berperan sebagai pengendali hayati sekaligus bioindikator lingkungan. Pada studi
keanekaragaman ini `dilakukan pengamatan jenis capung dengan menggunakan modifikasi dari metode
Visual Encounter Survey yaitu sampling spesimen di sepanjang jalur transek pengamat pada Daerah Aliran
Sungai (DAS) Cirengganis dan Cikamal. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode direct sweeping
menggunakan jaring serangga. Parameter yang diamati yaitu jenis, jumlah individu dan koordinat
penjumpaan capung. Parameter abiotik yang diukur antara lain suhu, kecepatan angin, serta intensitas cahaya.
Capung yang diperoleh selanjutnya diawetkan untuk diidentifikasi. Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh
15 jenis capung antara lain 9 jenis dari subordo Anisoptera dan 6 jenis dari subordo Zygoptera. Sedangkan
hasil pengukuran parameter abiotik di kedua lokasi pengamatan menunjukkan nilai rerata suhu sebesar 22 ºC,
intensitas cahaya sebesar 3825 lux, dan kecepatan angin sebesar 0,38 m/s. Keanekaragaman jenis capung di
sekitar DAS Cirengganis dan Cikamal memiliki nilai indeks keanekaragaman sebesar 2,43 atau termasuk
kategori sedang.
Kata kunci: Keanekaragaman, Capung, Cirengganis, Cikamal
ABSTRACT
Cirengganis and Cikamal watershed areas of Cagar Alam Pananjung Pangandaran are habitat of various type
of dragonflies (Odonata). Dragonflies act as biological controllers as well as environmental bioindicators.
These observation had done to determine the diversity of Odonata in Cirengganis and Cikamal River using
modified Visual Encounter Survey Method by which done by specimens capture based on their direct
encounter in sampling area. . Specimens were captured by direct sweeping method using insect net. . The
parameters were kind, number and coordinate of specimens. Abiotic factor measured were temperature, wind
speed, and light intensity. The specimens is then preserved to be identified. Based on the results of
identification obtained 15 types of Odonata, among others, 9 species of subordo Anisoptera and 6 species of
subordo Zygoptera. While the results of measurements of abiotic parameters in both locations showed the
average temperatures of 22 °C, the light intensity at 3825 lux, and wind speed at 0.38 m/s. The diversity of
Odonata around Cirengganis and Cikamal Rivers was included on medium category with a diversity index
amount 2.43006.
Keywords : Diversity, Odonata, Cirengganis, Cikamal
DAS Cirengganis dan Cikamal. Daerah aliran sungai menusukkan jarum pentul pada bagian toraks dan
merupakan tempat yang paling sering ditemukan sayapnya dijepit dengan kertas minyak.
capung karena siklus hidup capung sebagian besar Spesimen capung yang telah diawetkan
berada di sekitar tempat yang berair. kemudian diidentifikasi jenisnya dengan buku
Penelitian mengenai keanekaan capung identifikasi Seri Panduan Lapangan Mengenal
terutama di kawasan konservasi Pangandaran belum Capung (Susanti, 2007). Identifikasi capung
banyak dilakukan, sehingga melalui penelitian ini dilakukan dengan mengamati bentuk tubuh, warna,
diharapkan dapat memberi informasi terbaru ukuran tubuh, serta sayap kemudian dibandingkan
mengenai keanekaragaman jenis capung yang terdapat dengan ciri-ciri berdasarkan famili, genus, spesies
di kawasan Cagar Alam Pananjung Pangandaran kemudian dibuat deskripsinya.
terutama di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cirengganis dan Cikamal. 2.2. Analisis Data
Kelimpahan Relatif (Pi)
BAHAN DAN METODE Kelimpahan relatif atau sering juga disebut
2.1. Bahan dan Metode dengan relative abundance merupakan persentase dari
Alat yang digunakan untuk pengambilan jumlah individu dari suatu spesies terhadap jumlah
sampel dan pengukuran parameter biotik maupun total individu dalam suatu daerah tertentu (Odum,
abiotik antara lain alat tulis, amplop papilot, 1971).
anemometer, buku identifikasi, GPS, insect net,
kamera, kotak penyimpanan, label, lux meter, dan
thermometer. Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk
pengawetan capung antara lain alkohol 70%, aseton, Persebaran (Frekuensi)
jarum pentul, kamera, kertas minyak, papan Analisis data frekuensi merupakan penentuan
perentang, pinset, dan syringe. besarnya jumlah presentase setiap spesies pada
Metode yang digunakan pada pegamatan ini masing-masing plot. Frekuensi relatif merupakan
adalah modifikasi dari metode Visual Encounter persentase kehadiran suatu individu dalam sejumlah
Survey (VES) atau Survei Penjumpaan Langsung, titik sampling (Odum, 1993).
yaitu sampling spesimen berdasarkan perjumpaan
langsung pada jalur di daerah terrestrial maupun
akuatik (Heyer et al., 1994). Pelaksanaan pengamatan
dilakukan dengan menyusuri transek bayangan yaitu Keterangan :
sejauh ± 2000 m, yang dibagi ke dalam 4 stasiun FR : Frekuensi Relatif
dengan lebar 20 m ke samping kanan dan kiri FM: Frekuensi Mutlak (jumlah individu tiap jenis
sepanjang transek yang sudah ditentukan. Pemilihan yang menempati plot)
stasiun ditentukan berdasarkan zonasi sungai yaitu
stasiun 1 di daerah hulu, stasiun 2 di daerah tengah, Indeks Shannon-Wiener
stasiun 3 di daerah hilir, dan stasiun 4 di daerah muara Indeks Shannon-Wiener digunakan untuk menghitung
sungai. Pengamatan dilakukan di dua lokasi berbeda nilai keanekaragaman.
yaitu DAS Cirengganis dan Cikamal Cagar Alam
Pananjung Pangandaran. Keterangan :
Parameter yang diamati yaitu jenis, jumlah H’= Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
individu dan koordinat penjumpaan capung. Data ini Pi = ni/N
digunakan untuk menganalisis keanekaragaman jenis Ni = jumlah individu jenis ke-i
capung pada lokasi tersebut. Parameter abiotik yang N = jumlah seluruh individu capung
diukur antara lain suhu, kecepatan angin, serta Kriteria Indeks Shannon-Wiener dibagi menjadi 3
intensitas cahaya. Pengamatan dilakukan pada pagi kategori (Odum, 1993) :
hari pukul 08.00-11.00 WIB dan siang hari pukul H<1 Keanekaragaman rendah
13.00-16.00 WIB dengan satu kali ulangan pada 1<H<3 Keanekaragaman sedang
masing-masing lokasi selama empat hari pengamatan. H>3 Keanekaragaman tinggi
Spesimen yang tertangkap selanjutnya dimasukkan ke
dalam amplop papilot untuk selanjutnya dapat d. Indeks Similaritas
dilakukan proses identifikasi. Indeks similaritas menunjukkan perbandingan
Sampel capung yang telah ditangkap nilai suatu jenis capung di habitat yang berbeda.
selanjutnya diawetkan dengan menyuntikkan alkohol Rumus Indeks Similaritas Jenis yang digunakan
70% pada bagian thoraks capung, kemudian menurut Sorensen (Odum, 1971), yaitu :
dimasukkan ke dalam aseton untuk mencegah warna IS=
dan tubuh spesimen rusak (Suriana dkk., 2014).
Sampel capung tersebut direntangkan sayapnya pada Keterangan :
papan perentang, dan dipining dengan cara IS : Indeks Similaritas Sorensen
17 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman jenis capung (odonata)....
Cabang Bandung
A : Jumlah individu yang ditemukan di DAS Cikamal Beberapa kajian yang dilakukan untuk
dan Cirengganis mengetahui keragaman capung dapat diukur melalui
B : Jumlah individu yang ditemukan di DAS Cikamal nilai frekuensi, kelimpahan, Indeks Keanekaragaman,
C : Jumlah individu yang ditemukan di DAS serta Indeks Similaritas yang dapat dilihat pada Tabel
Cirengganis 2. Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh nilai
frekuensi relatif tertinggi sebesar 11% yaitu
HASIL DAN PEMBAHASAN Nososticta insignis, Pantala flavescens, Orthetrum
Berdasarkan hasil pengamatan dengan metode sabina, dan Anax guttatus. Sedangkan jenis lainnya
pengambilan spesimen secara langsung di DAS memiliki nilai frekuensi relatif (FR) yang sama yaitu
Cirengganis dan Cikamal, diperoleh 15 jenis capung sebesar 5%. Dari delapan stasiun pengamatan, capung
yang termasuk ke dalam subordo Anisoptera dan hanya ditemukan pada empat lokasi yaitu stasiun 1,
Zygoptera dengan total sebanyak 6 famili antara lain stasiun 4, stasiun 5, dan stasiun 6. Hal ini
Libellulidae, Aeshnidae, Platycnemididae, menunjukkan pola persebaran capung yang tidak
Protoneuridae, Euphaeidae, dan Calopterygidae. Hasil merata. Menurut Herlambang dkk. (2016), terdapat
identifikasi dari 15 jenis capung tersebut dapat dilihat beberapa faktor yang mempengaruhi keberadaan
pada Tabel 1. capung dan persebaran jenis-jenis capung. Faktor
Berdasarkan hasil identifikasi, jenis capung utama dipengaruhi oleh sumber daya makanan, dan
yang paling banyak ditemukan tergolong ke dalam habitat. McPeek (2008) menambahkan, faktor lain
famili Libellulidae. Menurut Borror dkk. (1992), yang membatasi keberadaan serta persebaran capung
famili Libellulidae atau biasa disebut dengan capung adalah tipe habitat, ketersediaan pakan, serta interaksi
penyaring ini kebanyakan di temukan pada yang berkaitan dengan siklus hidup capung.
bebatuan, tempat berlumpur, daerah terpencil, sungai Kelimpahan Relatif merupakan presentase
dengan arus lambat. Warna berbintik-bintik coklat tua jumlah individu satu jenis capung dari seluruh jenis
atau pucat. Penerbangan capung ini agak tidak teratur. capung yang ditemukan. Pada Tabel 2 diketahui nilai
Jantan berwarna kebiru-biruan dengan sayap-sayap Kelimpahan (Pi) tertinggi adalah Orthetrum chrysis
yang terang, dan betina berpola dengan warna hitam yaitu sebesar 15%, diikuti oleh Orthetrum sabina
dan kuning serta mempunyai sayap-sayap yang dengan kelimpahan sebesar 14%, sedangkan nilai
sepertiga basal atau lebih berwarna coklat kekuning-
kuningan.
Tabel 1. Keanekaragaman Jenis Capung di Sekitar DAS Cirengganis dan Cikamal CA Pananjung Pangandaran
No. Subordo Famili Nama Jenis Jumlah
1. Libellulidae Pantala flavescens 8
2. Libellulidae Orthetrum chrysis 12
3. Libellulidae Orthetrum sabina 11
4. Libellulidae Tramea onusta 7
5. Anisoptera Libellulidae Neurothemis ramburii 10
6. Libellulidae Zyxomma obtusum 1
7. Libellulidae Potamarcha congener 1
8. Libellulidae Brachytemis contaminata 3
9. Aeshnidae Anax guttatus 5
10. Platycnemididae Nososticta insignis 10
11. Platycnemididae Nososticta solida 3
12. Protoneuridae Prodasineura autumnalis 2
Zygoptera
13. Euphaeidae Euphaea variegata 2
14. Euphaeidae Euphaea splendens 1
15. Calopterygidae Hetaerina occisa 3
Kelimpahan jenis terendah adalah Zyxomma air yang dekat dengan semak-semak secara
obtusum, Potamarcha congener, dan Euphaea berkelompok dalam jumlah yang banyak.
splendens yaitu sebesar 1%. Menurut Herlambang Spesies yang memiliki nilai kelimpahan
dkk. (2016), O. chrysis paling sering dijumpai pada terendah adalah Zyxomma obtusum, Potamarcha
daerah terbuka maupun tertutup yang dekat dengan congener, serta Euphaea splendens. Menurut Susanti
saluran air seperti sungai-sungai kecil di perkebunan, (2007), Zyxomma obtusum bersifat nokturnal atau
aliran irigasi, dan kolam. Pada saat pengamatan, seringkali muncul pada keadaan yang gelap (aktif
spesies ini memang sering ditemukan berada di aliran malam hari). Karena sifatnya yang menyukai keadaan
yang minim cahaya, spesies tersebut hanya ditemukan
18 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman jenis capung (odonata)....
Cabang Bandung
sebanyak satu individu ketika cuaca mendung melimpah sehingga mudah didapatkan. Menurut
mendekati pukul 16.00 WIB. Sedangkan dua spesies Herlambang dkk. (2016), P. flavescens merupakan
lainnya merupakan capung jarum dan hanya jenis capung yang juga sering berada di tempat
ditemukan sesekali di bagian tengah DAS Cikamal. terbuka. Lokasi dimana kedua jenis capung tersebut
Capung jarum merupakan spesies yang sensitif ditemukan adalah padang rumput yang tidak tertutupi
terhadap kehadiran manusia dan sulit ditemukan di kanopi serta dekat dengan aliran air sungai
perairan terbuka sehingga kehadirannya jarang Cirengganis dan Cikamal sehingga jenis capung
ditemui.. tersebut sangat mudah dijumpai. Sedangkan A.
Nilai total indeks keanekaragaman (H’) adalah guttatus memiliki kebiasaan aktif pada pagi hari
sebesar 2,43006. Berdasarkan hal tersebut, nilai menjelang siang untuk berburu mangsa. Capung jenis
keanekaragaman capung di DAS Cikamal dan ini biasa terbang terus-menerus dalam jangka panjang
Cirengganis berkategori sedang. Kedua kawasan ini dengan kecepatan tinggi (Sigit dkk., 2013).
merupakan kawasan yang tidak banyak aktivitas Kemampuan terbangnya yang cukup kuat tersebut
manusia sehingga dapat ditemukan berbagai jenis menyebabkan A. guttatus memiliki daya jelajah yang
capung. Maka dapat diketahui bahwa ekosistem luas sehingga dapat ditemukan di kedua lokasi
tersebut memiliki produktivitas yang cukup, kondisi pengamatan.
ekosistem yang cukup seimbang serta tekanan Herlambang dkk. (2016) menyatakan bahwa
ekologis yang rendah (Magurran, 1988). selain kajian mengenai kelimpahan, kenaekaragaman,
Berdasarkan frekuensi penjumpaannya terdapat maupun kesamaan jenis, perlu ada beberapa kajian
beberapa jenis capung yang ditemukan di kedua lokasi lain yaitu pendataan kondisi fisik lingkungan (suhu,
pengamatan. Melalui hasil perhitungan Indeks intensitas cahaya, dan kecepatan angin), serta korelasi
Similaritas Sorensen, diketahui jenis capung di kedua antara faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor-faktor
lokasi pengamatan memiliki indeks similaritas sebesar tersebut mempengaruhi keberadaan capung dan
29%. Menurut Odum (1993), kriteria Indeks keanekaragaman capung yang menyusun suatu lokasi.
Similitaritas Sorensen dikatakan sangat tinggi apabila Parameter lingkungan yang diukur pada pengamatan
memenuhi nilai tolak ukur IS > 50%, dan dikatakan ini adalah temperatur udara, kecepatan angin, dan
rendah apabila memiliki nilai IS < 50 %. Berdasarkan intensitas cahaya. Parameter tersebut diukur selama
hal tersebut maka kesamaan jenis antara DAS dua hari pengamatan di empat stasiun pada masing-
Cikamal dan Cirengganis berkatogeri rendah. Nilai masing lokasi pengamatan, yaitu pada bagian hulu,
indeks kesamaan yang rendah tersebut disebabkan tengah, hilir, dan muara sungai Cirengganis dan
oleh beberapa faktor seperti ketersediaan makanan, Cikamal. Hasil pengukuran parameter lingkungan
lamanya waktu pengamatan, kerapatan kanopi, serta disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4 berikut ini.
kualitas air. Berdasarkan pengukuran parameter fisik di
Capung predator seperti O. sabina akan lokasi pengamatan, diperoleh rata-rata suhu di DAS
cenderung mudah ditemukan karena capung ini akan Cirengganis pada hari pertama sebesar 22º C,
terbang terus-menerus di berbagai tempat untuk sedangkan pada pengulangan berikutnya diperoleh
memperoleh mangsanya. Hal ini sesuai dengan data suhu yang tidak berbeda jauh yaitu 22,75º C.
pernyataan Pamungkas dan Ridwan (2015) bahwa Rerata suhu yang diperoleh terbilang cukup rendah
capung ini dijumpai sepanjang tahun dan sering karena bagian hulu dan tengah sungai Cirengganis
memangsa serangga yang ukurannya relatif besar yang ditutupi oleh kanopi yang rimbun sehingga
seperti kupu-kupu bahkan kanibal terhadap sesama suhunya lebih sejuk. Tutupan kanopi yang rimbun
capung. Berdasarkan pengamatan diperoleh empat juga menyebabkan intensitas cahaya di lokasi
jenis capung yang ditemukan di kedua lokasi yaitu pengamatan cukup rendah yaitu 3900 lux pada
Nososticta insignis, Orthetrum sabina, Anax guttatus pengukuran pertama, dan 4220 lux pada pengulangan
dan Pantala flavescens. N. insignis merupakan hari berikutnya. Intensitas cahaya yang lebih rendah
indikator air yang belum tercemar (Rachman dan disebabkan karena hujan yang terjadi di hari pertama
Rohman, 2016), lokasi ditemukannya jenis ini adalah pengamatan. Hal ini berpengaruh terhadap kehadiran
di daerah tengah atau hulu sungai yang kondisi capung sehingga hanya ditemukan satu jenis capung
perairannya cukup bersih sehingga mudah ditemukan yaitu Nososticta insignis saat pengambilan data di
jenis capung jarum ini. Bagian tengah atau hulu hulu sungai Cirengganis. Intensitas cahaya di bagian
sungai Cikamal dan Cirengganis berada di dalam muara sungai Cirengganis relatif tinggi yaitu sebesar
hutan cagar alam, karena letaknya yang di tengah 9240 lux dan 9850 lux pada pengulangan. Kondisi
hutan tersebut kegiatan manusia sangat terbatas penutupan vegetasi di sekitar lokasi pengamatan
sehingga tidak mengganggu keberadaan capung. mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang
O. sabina dan P. flavescens merupakan jenis sampai pada permukaan tanah. Muara sungai
capung yang kosmpolit atau dapat dijumpai di cirengganis yang didominasi oleh tumbuhan bawah
berbagai tempat karena daya jelajahnya yang luas. Hal seperti rumput dan semak menyebabkan intensitas
ini sesuai dengan pernyataan Susanti (2007) yaitu O. cahaya yang masuk lebih tinggi karena tidak terhalang
sabina merupakan salah satu jenis capung yang oleh kanopi pohon.
daerah sebarannya sangat luas dan jumlahnya sangat
19 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman jenis capung (odonata)....
Cabang Bandung
Suhu dan intensitas cahaya biasanya berkisar antara 21-22º C, dan rata-rata intensitas
berbanding lurus, yaitu apabila intensitas cahaya cahaya sebesar 0,3375 pada hari pertama, dan 0,3875
tinggi maka akan terjadi kenaikan suhu lingkungan. pada pengulangan hari berikutnya. Hal ini dipengaruhi
Menurut Michael (1994), faktor abiotik utama yang oleh lokasi pengamatan yang berada di dalam hutan
mempengaruhi aktivitas capung dewasa untuk terbang cagar alam yang sebagian besar ditutupi pepohonan.
adalah intensitas cahaya yang berbanding lurus Secara umum, bagian muara sungai Cikamal lebih
dengan suhu udara. Miller (1995) menyebutkan tertutup kanopi daripada muara sungai Cirengganis
bahwa capung membutuhkan suhu lingkungan yang sehingga keanekaragaman capung subordo Anisoptera
cukup panas untuk membantu aktivitasnya, terutama yang sebagian besar menyukai tempat terbuka, lebih
untuk membantu pergerakan sayapnya. Venasi pada sedikit dibanding anggota Zygoptera.
sayap capung hanya efektif pada suhu yang cukup Aktivitas organisme dapat juga dibatasi oleh
panas yaitu lebih dari 30º C. Oleh karena itu pada saat angin (Michael, 1994). Kecepatan angin yang terukur
pengamatan, capung terutama yang berasal dari famili di lokasi pengamatan berkisar antara 0,3-0,4 m/s yang
Libellulidae mulai terlihat aktif ketika matahari sudah menunjukkan bahwa kecepatan angin cukup rendah.
bersinar cukup terik. Hal ini juga berpengaruh terhadap kehadiran capung.
Intensitas cahaya dan tingginya suhu di lokasi Apabila kecepatan angin tidak begitu tinggi, maka
pengamatan daerah aliran sungai Cikamal juga tidak tidak akan mengganggu aktivitas terbang capung
berbeda jauh dibanding Cirengganis, dengan suhu sehingga capung akan lebih mudah dijumpai
Tabel 2. Nilai Frekuensi (FR), Kelimpahan (Pi), dan Indeks Keanekaragaman (H’) Jenis Capung di DAS
Cirengganis dan DAS Cikamal
Stasiun Pengamatan
Spesies Jumlah FR Pi H’
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8
Nososticta
1 9 10 11% 13% 0.261628
insignis
Nososticta solida 3 3 5% 4% 0.124209
Pantala
7 1 8 11% 10% 0.231899
flavescens
Orthetrum
12 12 5% 15% 0.286259
chrysis
Orthetrum sabina 3 8 11 11% 14% 0.27452
Tramea onusta 7 7 5% 9% 0.214744
Neurothemis
10 10 5% 13% 0.261628
ramburii
Zyxomma
1 1 5% 1% 0.055309
obtusum
Anax guttatus 2 3 5 11% 6% 0.174684
Potamarcha
1 1 5% 1% 0.055309
congener
Brachythemis
3 3 5% 4% 0.124209
contaminata
Prodasineura
2 2 5% 3% 0.093071
autumnalis
Euphaea
2 2 5% 3% 0.093071
variegata
Euphaea
1 1 5% 1% 0.055309
splendens
Hetaerina occisa 3 3 5% 4% 0.124209
Total 1 0 0 43 15 18 0 0 79 100% 100% 2.43006
Keterangan : S1-S4=Stasiun pengamatan di DAS Cirengganis ; S5-S8=Stasiun pengamatan di DAS Cikamal
21 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Serangan hama penggulung daun....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Pada kondisi tertentu, serangga dapat bersifat mengganggu dan menyebabkan kerusakan atau kehilangan hasil
pada tanaman/komoditas. Maka dari itu keberadaan serangga pada suatu areal tanaman atau tempat tertentu
perlu diantisipasi untuk menghindari terjadinya kerusakan. Dalam penelitian ini akan dilakukan kegiatan yang
bertujuan untuk mengidentifikasi jenis hama yang menyerang tanaman bambu dan tingkat kerusakan serta
kerentanan tanaman bambu terhadap serangan hama. Survei dilakukan di lapangan maupun di persemaian. Di
lapangan sebanyak 3 plot tersebar acak berbentuk persegi yang merepresentasikan ulangan, terdiri dari 100
(seratus) tanaman bambu petung (Dendrocalamus asper) berumur 6 bulan dijadikan unit pengamatan. Jumlah
tanaman yang sama juga diambil sebagai sampel di persemaian untuk tiga jenis bambu yaitu bambu duri
(Bambusa bambos), petung (D. asper) dan balkoa (B. balcoa). Data kemudian dianalisis menggunakan sidik
ragam dan tabulasi silang (crosstabulation). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hama yang menyerang
daun tanaman bamboo adalah Pyrausta sp. (Lepidoptera: Pyralidae). Insiden serangan hama lebih banyak
terjadi pada jenis bambu balkoa sebesar 28,25% kemudian diikuti oleh jenis bambu petung sebesar 21,75%
dan yang paling rendah adalah jenis bambu duri sebesar 8,25%. Insiden maupun besarnya intensitas serangan
hama pada jenis bamboo petung tidak berbeda secara nyata antara tanaman di persemaian maupun di
lapangan.
Kata kunci :Tiga jenis bambu, persemaian, lapangan ,hama daun.
ABSTRACT
Bamboo plantation, like any other plants associates with pest attack. The research aimed to identify pest
species attacking bamboo plantation, determine the damage level and determine the susceptibility of several
bamboo species against pest attack. Survey was conducted. Three plots (representing replication) were made
as observation unit consisting of one hundred bamboo plantation of six months old. Pest speciment was
analyzed descriptively and pest incidence in nursery was analyzed by analysis of varian and continued with
Tukey test (α=0.05) whereas pest on D. asper in nursery and field was analyzed using Mann-Whitney test
(α=0.05). The result concludes that Pyrausta sp. (Lepidoptera: Pyralidae) also knows as bamboo leafroller is
insect pest attacking bamboo plantation. Pest preference to several bamboo species is significantly different.
Pest incidence on Dendrocalamus asper is 26.67% with damage level is 19.15% (categorized as fair level)
respectively. There are no significant different both pest incident and damage level in nursery and field.
Key words: 3 kinds of bamboo, incidence, leafroller, pest.
22 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Serangan hama penggulung daun....
Cabang Bandung
Metode
Bedeng tanaman di persemaian yang terdiri Sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji
dari 100 tanaman dijadikan sebagai unit pengamatan Tukey (α=0.05) digunakan untuk menganalisa
dan diulang sebanyak tiga kali. Plot yang sama juga preferensi hama terhadap jenis bambu di persemaian
dibuat di lapangan dan diulang sebanyak tiga kali. dan tingkat serangannya. Sedangkan insiden serangan
Spesimen hama dianalisis berdasarkan ciri morfologi hama pada bambu petung (D.asper) dianalisa
dan gejala pada tanaman secara deskriptif. Parameter menggunakan tabulasi silang (crosstabulation)
yang diamati adalah tingkat mortalitas tanaman, kaikuadrat. Pola sebaran serangan hama yang terjadi
jumlah percabangan tanaman dan jumlah hama. pada tanaman bambu petung (D. asper) di
Insiden serangan hama diamati secara visual persemaian dan di lapangan dianalisa menggunakan
berdasarkan gejala serangan hama yang ditemukan. indeks disperse dengan metode rasio varian-rerata
Insiden serangan hama ditentukan berdasarkan rumus (rumus 3) (Krebs, 1989).
1 dan tingkat serangan hama dianalisa menurut rumus
2.
... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...rumus 2
Tabel 1. Skoring intensitas serangan hama pada tanaman bambu.
Tingkat serangan (%) Kategori Skor
0 Tidak terserang 0
0 - ˂15 Ringan 1
15 - ˂45 Sedang 2
≥45 Berat 3
Keterangan:
IS : intensitas serangan
ni : jumlah tanaman setiap kategori
vi : skor pada setiap kategori
Z : skor tertinggi yang diamati
N : jumlah tanaman yang diamati
23 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Serangan hama penggulung daun....
Cabang Bandung
sedang tumbuh menyediakan sumber makanan yang dapat menyediakan sumber makanan yang dibutuhkan
dapat menjamin pertumbuhan larva serangga. untuk pertumbuhan serangga.
Menurut Price, (2000) bagian tanaman yang
baru/sedang tumbuh seperti tunas, biji maupun umbi
Hama cenderung memakan daun muda sudah terlatih untuk memilih makanan yang tepat dan
daripada yang lebih tua karena daun muda hal ini akan berhubungan dengan kemampuan
menyediakan nutrisi yang dibutuhkan untuk bertahan larva yang dihasilkan (larval survivorship)
pertumbuhan hama. Serangga-serangga hama (Price, 2000). Pertumbuhan vegetasi yang cepat dan
herbivore yang bersifat monofag atau yang memiliki massif di sisi yang lain juga akan menyediakan
preferensi spesifik terhadap tanaman tertentu biasanya lingkungan mikro yang lebih mendukung secara
24 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Serangan hama penggulung daun....
Cabang Bandung
ekologis bagi pertumbuhan populasi serangga terbuka yang cukup luas sebagai akibat dari
(Arancon et al., 2005). pembukaan hutan. Selain sebagai sumber pakan,
keberadaan bambu sebagai tanaman monokultur
Tingkat serangan, kejadian dan jumlah populasi secara ekologis tidak stabil. Hal ini disebabkan karena
hama pada bambu petung (D. asper) kondisi semacam itu (monokultur) tidak mendukung
Intensitas atau tingkat serangan hama pada berkembangnya populasi pemangsa (predator) hama.
bambu petung (D. asper) di persemaian dan di Sebaliknya, pada sistem pertanaman yang lebih
lapangan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. heterogen, lingkungan akan mengembangkan
Tingkat serangan hama masih tergolong ringan yaitu mekanisme risistensi asosiasi antar elemen penyusun
sebesar 14,4 % dan 17,8 % masing-masing di ekologi. Mekanisme ini dapat terjadi melalui berbagai
persemaian dan di lapangan. Selain besarnya serangan cara seperti gangguan kimiawi,pengurangan
(intensitas), jumlah kejadian atau insiden serangan ketersediaan dan kualitas sumber makanan dan
hama di persemaian dan tanaman di lapangan juga peningkatan jenis dan populasi organisme predator
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Insiden (Plath et al., 2011).
serangan hama di persemaian sebesar 30% sedangkan Kondisi serangan hama akan terus terjadi
di lapangan adalah sebesar 23.3%.Sementara itu bahkan akan meningkat pada masa yang akan datang
populasi hama di persemaian dan di lapangan juga selama sistem ekologi yang terbentuk pada
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. lingkungan tersebut belum stabil. Sistem ekologi yang
dipersemaian, rata-rata populasi ulat pada satu dimaksudkan adalah terjadinya interaksi yang
tanaman bamboo adalah 0,57 sedangkan di lapangan melibatkan elemen-elemen penyusun sistem ekologi
populasi rata-ratanya dalah 1,4. seperti, produsen, konsumen, dekomposer dan
Keberadaan tanaman bambu sebagai sumber predator. Selain factor organisme, factor lingkungan
makanan mendorong munculnya persoalan serangan fisik seperti suhu, kelembaban juga berperan
hama baik di persemaian maupun di lapangan. mempengaruhi dinamika populasi serangga pada
Kondisi lain ikut mendorong terjadinya serangan tanaman (Khaliq et al., 2014).
hama adalah disebabkan kondisi lingkungan atau area
Tabel 3. Sidik ragam intensitas serangan hama pada bambu petung (D. asper) di persemaian dan di lapangan.
Persemaian Lapangan Probailitas
Tingkat serangan 14.4 17.78 .756
Insiden 30 23.33 .643
Jumlah ulat 0.57 1.4 .368
Gambar 2. Karakter serangan hama pada bamboo betung (D. asper) di persemaian dan di lapangan.
25 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Serangan hama penggulung daun....
Cabang Bandung
DAFTAR PUSTAKA
Arancon, N.Q., P.A. Galvis&C.A. Edwards.
2005. Suppression of insect pest populations and
damage to plants by vermicomposts. Bioresource
Technology 96: 1137-1142.
Haojie, W., R.V. Varma&X. Tiansen. 1998.
Insect Pests of Bamboo In Asia. An Illustrated
Manual. INBAR. New Delhi.
Junqi, W. (ed). 2014. International Trade of
Bamboo and Rattan 2012. International Network for
Bamboo and Rattan (INBAR). Beijing.
Plath, M., K. Mody, C. Potvin & S. Dorn.
2011. Establishment of native tropical timber trees in
monoculture and mixed-species plantations: small-
scale effects on tree performance and insect
herbivory. Forest Ecology and Management 261:
741-750.
Price, P.W. Host plant resource quality, insect
herbivores and biocontrol in Spencer, N.R. (ed). 2010.
Insect herbivores and biocontrol. Proceedings of the X
International Symposium on Biological Control of
Weeds. 4-14 July 1999, Montana State University,
Bozeman, Montana, USA pp. 583-590.
Yiping, L., L. Yanxia., K. Buckingham., G.
Henley&Z. Guomo. 2010. Bamboo and Climate
Change Mitigation. Technical Report No. 32.
International Network for Bamboo and Rattan
(INBAR). Beijing.
Khaliq, A., M. Javed, M. Sohail & M.
Sagheer. 2014. Environmental effects on insects and
their population dynamics Journal of Entomology and
Zoology Studies, 2 (2): 1-7.
Halpern, S.L., D. Bednar., A. Chisholm & N.
Underwood. 2014. Plant-mediated effects of host
plant density on a specialist herbivore of Solanum
carolinense. Ecological Entomology (2014), 39, 217–
225.
Rausher, M.D. 1983. Alternation of
oviposition behavior by Battus philenor butterflies in
reponse to variation in host-plant density. Ecology,
64(5): 1028-1034.
26 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Distribusi serangga antara mina....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Beberapa daerah di Sumatera, beras dan ikan ditanam di satu lokasi, disebut mina padi. Penelitian ini
dilakukan bertujuan untuk mengetahui penyebaran serangga antara mina padi dan budidaya padi pada bulan
Mei sampai Juni 2017 di Percut Sei Tuan, Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan pada 5 stasiun
pengamatan selama 12 kali pengamatan menggunakan 3 alat, seperti Yellow Sticky Trap (YST), Sweep Net
(SN) dan Core Sampler (CS) dengan purpossive random sampling. Komposisi dan distribusi serangga cukup
berbeda antara mina padi dan budidaya padi yang diidentifikasi di Laboratorium Hama dan Penyakit
Tanaman, Fakultas Pertanian USU. Jumlah serangga yang paling banyak pada budidaya padi adalah 9 ordo,
23 famili dan 40 spesies dengan 18.664 individu (persentase vegetatif 55,38% dan generatif 44,62%),
dibandingkan dengan mina padi dicatat sebanyak 7 ordo, 18 famili dan 32 spesies dengan 9.478 individu
(persentase vegetatif dan generatif adalah 62,13% dan 37,87%). Distribusi hama selama budidaya padi
ditemukan spesies Orseolia oryzae, Lycosa sp, Nilaparvata lugens, C. medinalis, Tetagrantha sp dan
Hydrellia sp. Kemudian spesies Leptocorisa oratorius, Crocothemis servilea dan Tholymis aurora tercatat
pada mina padi, sedangkan Nephotettix sp dan Atractomorpha lata (budidaya padi) dikategorikan menjadi
serangga tersedikit dikumpulkan. Jumlah serangga tertangkap terbanyak dari budidaya padi dan mina padi
sebagai berikut: menggunakan alat YST sebesar 11.547 individu dan 5.282 individu; diikuti oleh alat SN
sebesar 5.935 individu dan 3.657 individu, dan alat CS sebanyak 972 individu dan 539 individu. Perangkap
lem kuning sangat sesuaidalam mengendalikan hama pada pertanaman padi di Percut, Sumatera Utara.
Kata Kunci: Penyebaran, serangga, perangkap, mina padi, Percut.
ABSTRACT
Several areas in Sumatra, rice and fish are grown in one location, called fish farming or mina paddy”. The
aims to determine the distribution of insects between fish farming and rice cultivation was conducted in May
to June 2017 in Percut Sei Tuan, North Sumatra. This research was conducted on five stations for 12 times
sampling using three tools, such as Yellow Sticky Trap (YST), Sweep Net (SN) and Core Sampler (CS) with
purposive random sampling. The composition and distribution of insects differed considerably between fish
farming and rice cultivation identified at the Pest of Plant Laboratory, Faculty of Agriculture, Universitas
Sumatera Utara. The highest number of insects in rice cultivation consist of 9 orders, 23 families and 40
species with 18,664 individuals (vegetation percentage during vegetative is 55.38% and generative is
44,62%), compared tofish farming recorded as many as 7 orders, 18 families and 32 species with 9,478
individuals (vegetative and generative percentages were 62.13% and 37.87%). Distribution of pests during the
cultivation of rice found Orseolia oryzae, Lycosa sp, Nilaparvata lugens, C. medinalis, Tetagrantha sp and
Hydrellia sp. Then the species Leptocorisa oratorius, Crocothemis servilea and Tholymis aurora recorded on
fish farming, while Nephotettix sp and Atractomorpha lata (rice cultivation) are categorized into the smallest
insects collected. The largest number of insects caught from rice cultivation and rice mina as follows: using
the YST tool for 11,547 individuals and 5,282 individuals; followed by SN tool for 5,935 individuals and
3,657 individuals, and CS tools totaling 972 individuals and 539 individuals. Yellow glue trap is very
sesuaidalam controlling pests in rice cultivation in Percut, North Sumatra.
Keywords: Distributions, insects, traps, rice mina, Percut.
27 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Distribusi serangga antara mina....
Cabang Bandung
genetik varietas unggul untuk menghasilkan yang surut (diadopsi oleh Halwart & Gupta, 2004). Sistem
lebih tinggi (Balitpa, 2003). budidaya ikan dapat menghasilkan dua manfaat utama
Beras memiliki beberapa fase terdiri dari bibit, bagi kesehatan manusia, seperti protein dari tumbuhan
fase vegetatif, fase generatif dan fase panen. wereng dan hewan, menghasilkan protein makanan dan hewan
coklat, wereng hijau, hama putih palsu, siput dan tikus dalam satu musim tanam, juga dapat meningkatkan
merupakan hama dominan yang tercatat selama fase pendapatan petani dan keluarga (Nurhayati et al.,
pembibitan, sedangkan pada fase vegetatif 2013; Siregar, 2015; Siregar & Indra, 2016).
dikategorikan menjadi penggerek batang, wereng Penelitian dilakukan untuk mengetahui dan
hijau, hama penggerek padi dan siput. Pada fase menentukan distribusi serangga antara budidaya padi
generatif biasanya tercatat dari wereng hijau, dan mina padi di Percut, Sumatera Utara untuk
penggerek batang, wereng coklat, leptocorisa, hama mendukung keamanan pangan di Pulau Sumatra.
penggerek padi, ulat grayak, hama putih palsu, tikus
lapangan dan siput. Pest pada fase pemanenan, hama METODE PENELITIAN
yang umum adalah bau, tikus dan burung (BKPPP, Tempat dan Waktu Penelitian
2015; Purba, 2015; Siregar, 2015). Populasi Penelitian ini akan dilakukan di Desa
organisme akan terpengaruh oleh ketersediaan Benteng Putus, kecamatan Percut Sei Tuan, Sumatera
makanan dan lingkungan yang dapat menyebabkan Utara dengan masing-masing 400 m2 lahan budidaya
munculnya berbagai famili serangga. padi dan tempat budidaya ikan. Ada 5 stasiun dan 3
Keanekaragaman keluarga serangga suatu ekosistem ulangan pada setiap perlakuan selama bulan Juni 2017
dapat diambil untuk menunjukkan jumlah keluarga sampai Agustus 2017 yang digunakan secara
serangga di daerah tertentu atau sebagian jumlah purposive random sampling. Sampel serangga yang
keluarga di antara jumlah total individu yang ada di dikumpulkan dari 3 alat sebagai berikut, seperti
seluruh keluarga di sana. Hubungan ini dapat Perangkap lem kuning (Yellow Sticky Trap=YST),
dinyatakan secara numerik sebagai indeks Alat penangkap serangga (Sweep Net=SN), dan
keanekaragaman (Kalsoven, 1981; Pradana et al., perangkap Core (Core Sampler=CS) yang secara
2014; Pricess, 2016). langsung diamati dan diletakkan di masing-masing
Kelimpahan organisme air di sawah, seperti lahan pertanaman padi dan mina padi. Serangga yang
Anopheles dan Culex tinggi saat sawah dibajak di dijaga dilakukan pada pukul 08:00 sampai 10:00 wib
lapangan, sedangkan Anisoptera, Dysticidae dan setiap minggu sampai 12 kali selama penanaman padi
Zygoptera lebih banyak mengalami anakan atau pada IR 64.
saat padi jelang panen. Sedangkan selama fase bera, Bahan dan alat
corixids, gastropoda, hidrofil, dan ostracods, cukup Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
beragam (Che Salmah et al., 1998; Princess, 2016; seperti varietas padi Ciherang, serangga imago, ikan
Siregar, 2015). The chironomids, dipterans, cacing (Cyprinus sp dan Tilapia sp) distilat aquadest, plastik
oligochaete, Baetidae, Belostomatidae, transparan, kertas berwarna kuning, lem, formaldehid,
ephemeropteran, hemipterans, Micronecta, alkohol 70%. Alat yang digunakan dalam penelitian
coleopterans Berosus (Hydrophilidae), Laccophilus, ini adalah membunuh botol, Kuning (Siregar, 2015;
Hydrovatus (Dysticidae), Elmidae dan Odonata Siregar & Matondang, 2016). Buku identifikasi, yaitu
berlimpah pada fase sawah dibajak (Che Salmah & identifikasi Kalsoven (1981), Borror et al., (1992),
Hassan, 2002; Siregar 2014, Siregar & Indra, 2016). Untung (2006), Orr (2004) dan Orr (2005).
Saat ini, di Sumatera digunakan beberapa sistem Penangkapan Serangga
budidaya padi, seperti sistem legowo, penanaman padi Alat Yellow Sticky Trap (YST) dengan
tumpang sari dan usahatani ikan. Tujuan akuakultur ukuran 30x20 cm dipasang di posisi tengah.
terpadu adalah memaksimalkan pemanfaatan sumber Kemudian pada kertas dilapisi plastik kuning
daya lahan dan air, merampingkan modal, energi dan diletakan lem perekat serangga secara merata.
waktu untuk produktivitas yang lebih tinggi. Kemudian YST ditempatkan di lokasi yang
Peternakan dan budidaya ikan, dikenal mina padi ditentukan, setelah seminggu perangkap diperiksa,
(gabungan padi dan ikan) telah lama dikenal dan diamati, dan dicatat jumlah dan jenis serangga yang
dipraktekkan di Indonesia. terjebak dalam YST. Selanjutnya, penangkapan
Jika tidak, sistem mina padidipraktekkan di serangga menggunakan jaring serangga (Sweep Net)
Thailand (3 juta ha), Bangladesh, India (148.000 ha) yang memiliki pegangan 100 cm, pegangan 2,5 cm,
(Saikia et al., 2015), sedangkan menurut Sianipar dkk jaring berdiameter 42 cm dan panjang jaring kain 56
(2015) mengatakan bahwa Indonesia (138.000 ha) cm. Jaring penyapu diayunkan 10 kali sehingga setiap
Republik Korea, Vietnam (40.000 ha), dan masing-masing ditangkap akan dikumpulkan dalam
Madagaskar (13.000 ha) Budidaya ikan yang terdiri botol sampel yang mengandung alkohol 70%.
dari ikan mas, ikan lele, nila, mujahir, Chanos, dan Perangkap serangga mengunakan Core Sampler
lainnya. Ikan mas (Cyprinus sp), ikan nila (Tilapia diadopsi pada kaleng kaleng cat 10 kg dengan
mojambica L.), Oreochromis mossambicus, dan diameter batang setinggi 17 cm dan 20 cm.
Chanos chanos adalah spesies ikan yang cocok yang
distribusinya secara luas berada di ladang padi pasang
28 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Distribusi serangga antara mina....
Cabang Bandung
29 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Distribusi serangga antara mina....
Cabang Bandung
vegetatif, karena serangan daun ke puru (pentil) dan ditemukan di darat karena kondisi lingkungan yang
tidak menghasilkan malai. Gejala akibat serangan menguntungkan bagi pengembangan hama serangga
O.oryzae mengisap pada waktu kelembaban tinggi ini (Fortunately, 2006; Jumar, 2000).
pada permukaan daun tanaman padi. Hama ini biasa
Table 1. Komposisi serangga tercatat pada fase vegetatif dan generatif pada sawah padi di Percut
Total Total
Nama ordo Nama famili Nama genus/spesies Status Nama lokal budidaya Mina
padi padi
Aranea Lycosidae Lycosa sp Predator Laba-laba 730 245
Aranea Lycosidae Tetagrantha sp Predator Laba-laba 434 195
Cerithio Battilaridae Battilaria sp - Kecoak air 290 134
Coleoptera Coccinellidae Coccinella Predator Kumbang 51
septempunctata 174
Coleoptera Hydrophilidae Hydrobius sp Predator Kumbang 23 21
Coleoptera Hyrophillidae Hydrophillus sp Predator Kumbang 37 32
Coleoptera Chrysomelidae Leptispa sp Predator Leptispa 71 17
Coleoptera Staphylidae Paederus sp Predator Tomket 57 56
Diptera Anisopodidae Anisop sp Parasit Agas 2436 7
Diptera Cecidomylidae Orseolia oryzae Pests Ganjur 8217 7.104
Diptera Culicidae Culex sp Parasit Nyamuk 21 91
Diptera Ephydridae Hydrellia sp Pests Lalat bibit 247 241
Diptera Muscidae Atherigon sp Pests Lalat bibit 172 35
Diptera Tabanidae Tabanus sp Parasit Lalat 36 18
Hemiptera Alydidae L.orotarius sp Pests Walang 51
sangit 2880
Hemiptera Chrysomelidae Nephotettix sp Pests Wereng 247
hijau 87
Hemiptera Delphacidae N.lugens Pests WBC 87 84
Hemiptera Pentatomidae Scatinophora sp - Kepinding 42
tanah 329
Hymenoptera Apidae Aphis sp Parasitoid Lebah 290 40
Hymenoptera Formicidae Componotus sp Predator Semut 72 25
Hymenoptera Formicidae Fomocarfatus sp Predator Semut 78
merah 177
Lepidoptera Pyralidae Cnaphalocrocis Pests Hama Putih 358
medinalis 576
Lepidoptera Crambinidae Pelopida sp Pests Ngengat 144 17
Lepidoptera Crambidadae S.incertulas Pests Ngengat 61 59
Lepidoptera Crambidae S.inonata Pests Ngengat 41 32
Mesogastropo Ampullaridae Pomacea sp Pests Keongmas 54
da 54
Odonata Coenagrionidae A.femina Predator Capung 85 78
Odonata Coenagronidae A.pygmaea Predator Capung 26 12
Odonata Coenagrionidae I.senegalensis Predator Capung 92 24
Odonata Coenagrionidae P.rubiceps Predator Capung biru 125 15
Odonata Libellullidae C.servillia Predator Capung 212 9
Odonata Libellulidae D.trivialis Predator Capung 87 6
Odonata Libellulidae N.ramburii Predator Capung 31 0
Odonata Libellulidae N.terminata Predator Capung 5 0
Odonata Libellulidae N.tullia Predator Capung 3 0
Odonata Libellullidae O.sabina Predator Capung 96 0
Odonata Libellullidae P.flavescen Predator Capung 46 0
Odonata Libellulidae T.aurora Predator Capung 7 0
Odonata Libellullidae T.tillarga Predator Capung 72 0
Orthoptera Tetrigidae Atractomorpha lata Predator Belalang 29 0
30 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Distribusi serangga antara mina....
Cabang Bandung
Gambar 2. Nilai indeks keanekaragaman serangga pada fase vegetatif dan fase generatif di Percut
C. Perbandingan Alat Saat Sampling pada Mina individu (CS) daripada di mina padi yang
Padi menggunakan alat Yellow Sticky Trap (5.282
individu), Sweep Net (3657 individu) dan Core
Dari penelitian pada budidaya padi tercatat Sampler (539 individu). Hasil ini dapat dilihat pada
total serangga yang tertangkap lebih tinggi sebanyak Tabel 2 berikut ini.
11.757 individu (YST), 5.935 individu (SN) dan 972
Hasil tabel di atas menunjukkan pada budidaya spesies serangga menunjukkan distribusi populasi
padi lebih banyak serangga dikumpulkan daripada serangga yang tidak merata. Begitu juga daerah yang
mina padi dengan komposisi dan keanekaragaman tidak mengendalikan semua jenis serangga dapat
31 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Distribusi serangga antara mina....
Cabang Bandung
ditemukan distribusi di lokasi yang sama. Sehingga Sticky Trap (YST) yaitu Cucilidae, Anopheles (226
tingkat keanekaragaman dan kemerataan populasi individu) (Siregar, 2016). Hal ini disebabkan larva
serangga akan mempengaruhi keanekaragaman serangga akan tumbuh menjadi imago menyebar ke
serangga di sawah. Menurut Michael (1995) dan darat, siklus hidup fase imago yang banyak
Siregar (2014b), spesies indeks keanekaragaman tertangkap. Selain itu, serangga lebih tertarik pada
bergantung pada kekayaan dan distribusi spesies gelombang cahaya kuning yang dipantulkan dari
serangga. Hasil indeks keanekaragaman kurang dari 1 jebakan sehingga serangga mendekati jebakan kuning
menunjukkan bahwa populasi serangga rata-rata kuning yang telah dilepas.
mendominasi dalam uji coba di lapangan. Seperti di Hal ini didukung oleh penelitian Nainggolan
daerah kontrol yang didominasi oleh Orseolia oryzae, 2015; Hill, 1997; Siregar, 2014a; Siregar, 2016a yang
Leptocorisa oratorius, dan Anisop sp adalah jenis menyebutkan jenis jebakan kuning (perangkap
serangga yang banyak ditemukan pada budidaya kuning) yang disukai oleh banyak serangga imago,
tanaman padi, manakala yang terkecil tercatat dari terutama serangga dari tatanan jenis tanaman kopi
jenis N.tullia, N.terminata, T.aurora,. Sedangkan pada Diptera di dataran tinggi Karo, Sumatera Utara. Pada
mina padi didominasi oleh Anopheles sp. Hal ini Core Sampler (CS), serangga yang paling banyak
didukung Harahap dan Tjahjono (1997) yang ditangkap dari urutan Diptera, Famili Cucilidae, genus
menyatakan bahwa nilai indeks ekuitas terbesar Anopheles lebih beragam dibandingkan dengan
adalah 1 (indeks kemerataan maksimum). Dikatakan serangga lainnya pada sawah padi di Purwosari.
bahwa habitat jenis gurun/semak, tidak ada spesies D. Perbandingan Serangga Pada Budidaya dan
serangga yang mendominasi (Siregar, 2014a; Siregar, Mina Padi
2016b). Tabel 3 mendeskripsikan t-Test yang
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa Ordo Araneae, dilakukan, dimana nilai menggunakan alat YST
Famili Tetragnathidae, dengan genus Tetragnatha sp menunjukkan signifikan pada tingkat 5% dengan nilai
dari sejenis laba-laba yang banyak dikumpulkan dari t=4.582 (budidaya padi) dan t=3.748 (YST mina padi)
alat Sweep Net (SN). Serangga ini terjebak dalam pada P <0.005, sedangkan terendah pada penggunaan
jebakan jaring laba-laba yang biasa dibuat sarang di alat CS (t=1.958=budidaya padi) dan t=1.724
daun tanaman padi, sehingga saat pengambilan (mina padi). Manakala pada core sampler tidak
sampel sangat mudah didapat serangga ini. Sedangkan signifikan pada level 5% dengan nilai t = 1.958 dan
banyak serangga tertangkap dengan jaring Yellow 1.724 (P> 0.005).
Dari tabel 3, kita bisa melihat bahwa banyak dipengaruhi oleh aplikasi mina padi di sawah padi di
serangga terjebak dalam perangkap SN, yaitu Desa Purwosari, Simalungun. Efek negatif pestisida
Cnaphalocrocis medinalis, Hydrellia sp dan terhadap organisme air di sawah dilaporkan oleh
C.servilea. Spesies-spesies ini banyak ditemui pada berbagai peneliti (Riasari 2005; Saikia et al., 2015).
tanaman padi terutama pada fase vegetatif. Dalam
perangkap lem kuning (YST), serangga yang banyak KESIMPULAN
tertangkap dari jenis O.oryzae, L.oratorius, dan Serangga yang dikumpulkan dalam budidaya
Anisop sp. Pada alat perangkap core (CS), serangga padi adalah 18612 individu, vegetatif 55,53% dan
yang paling banyak ditangkap dari Lycosa sp, generatif 44,47%), 9 ordo, 23 famili dan 40 spesies,
Tetragrantha sp, Scatinophora sp. sedangkan pada mina padi tercatat dari 7 ordo, 18
Penerapan bahan kimia seperti pupuk (urea, nitrat, famili dan 32 spesies dan 9.478 individu (vegetatif
fosfat, pottasium), herbisida (H-Ally XP) dan dan generatif adalah 62,13% dan 37,87%). Distribusi
insektisida (imidacloprid, rhodiamine) di pertanaman hama pada budidaya padi ditemukan dari spesies
padi di Percut diaplikasi secara rutin yang Orseolia oryzae, Lycosa sp, Nilaparvata lugens, C.
diasumsikan akan mempengaruhi pengayaan nutrisi medinalis, Tetagrantha sp dan Hydrellia sp.Kemudian
air permukaan (Roja, 2009; Suyamto, 2005), terutama spesies Leptocorisa oratorius, Crocothemis servilea
setelah aplikasi pada akhir fase muda dan awal fase dan Tholymis aurora tercatat pada mina padi,
anakan (Borror, 1992; Siregar, 2014; Fortunately, sedangkan Nephotettix sp dan Atractomorpha lata
2006). Kelimpahan organisme air, seperti (dalam budidaya padi) dikategorikan menjadi
ephemeropterans, odonate, coleopterans dan dipterans serangga jumlah terkecil yang dikumpulkan. Jumlah
32 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Distribusi serangga antara mina....
Cabang Bandung
33 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Distribusi serangga antara mina....
Cabang Bandung
34 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Identifikasi dan uji coba....
Cabang Bandung
Identifikasi dan Uji Coba Pengendalian Hama Kepik Yang Menyerang Tanaman
Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) di BKPH Purworejo
Wida Darwiati
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan, Jl. Gunung Batu No.5 Bogor 16610
Penulis untuk korespondensi . E-mail : wdarwiati@yahoo.com
ABSTRAK
Salah satu kendala dalam proses budidaya tanaman nyamplung (Calophylluminophyllum L.) adalah serangan
hama. Hama tersebut adalah kepik pengisap pucuk (sap feeder) yang menyebabkan daun dan tunas menjadi
kering sehingga menghambat pertumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi jenis hama
kepik yang menyerang tanaman nyamplung; dan 2) melakukan uji coba pengendalian menggunakan pestisida
kimia dan nabati di lapangan. Percobaan pengendalian hama dilakukan menggunakan rancangan acak
lengkap, pestisida yang digunakan adalah pestisida kimia sistemik karbofuran dan ekstrak mimba yang
dicampur dengan cuka kayu. Aplikasi pengendalian melalui teknik siram tanah. Spesimen hama yang
diperoleh dari lapangan diidentifikasi secara deskriptif untuk menggambarkan ciri-ciri morfologinya.
Sedangkan data hasil percobaan menggunakan uji Friedman α 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hama yang menyerang tanaman nyamplung adalah jenis Anoplocnemis phasiana (Coreidae : Hemiptera).
Aplikasi pestisida karbofuran, ekstrak mimba dan cuka kayu tidak efektif mengendalikan serangan hama tsb.
Kata kunci : Cuka kayu, ekstrak mimba, hama kepik, karbofuran, tanaman nyamplung.
ABSTRACT
One of the obstacle of nyamplung (Calophyllum inophyllum L) cultivation is regard to pest attack. Among the
pest attacking this plant, sap feeder bug is commonly found. The bug caused wilting and withering tip and
losing growth. The research aimed at exploring the insect pest species and conducting experiment to control
entire pest using chemical and botanical pesticide in the field. Basic method of identification starting with
survey whereas pest control bexperiment was conducted with competely randomized design.Chemical
pesticide with active ingredient carbofuran was used as well as botanical neem combined with wood vinegar.
They were applied by way of soil drenches. Bug specimen obtained from exploration then was analyzed
descriptively to describe the morhological traits. Data obtained from attacking plants was identified as bug
Anoplocnemis phasiana. The pesticides did not show promising effect againt pest attack .
Key words : Bug, karbofuran, neem extract, nyamplung plant, wood vinegar.
teknologi pengelolaan hama dan penyakit perlu dianalisis untuk mengetahui besarnya tingkat serangan
dipersiapkan sebelum terjadi ledakan yang berarti menggunakan uji Friedman pada level α 5%.
yang berdampak pada produktivitas dan nilai ekonomi
tanaman nyamplung pada demplot-demplot yang telah Tabel 1. Tingkat kerusakan tanaman akibat serangan
dan akan dibangun baik di Jawa maupun luar Jawa. hama
Beberapa hama dijumpai menyerang tanaman Tingkat serangan Nilai
nyamplung dengan dampak yang beragam. Serangga Berat 0
dari kelompok aphid (Windyarini, 2014), thrips Sedang 1
(Friday & Okano, 2006) dan kutu putih (Stocks &
Ringan 2
Hodges, 2012) pernah dilaporkan menyerang tanaman
nyamplung. Selain hama tersebut jenis hama lain Sehat 3
yang menyerang tanaman ini adalah hama kepik
penghisap pucuk (sap feeder). Gejala akibat serangan HASIL DAN PEMBAHASAN
hama kepik adalah tunas menjadi kering dan Lokasi penelitian memiliki karakteristik
menyebabkan terganggunya pertumbuhan. Penelitian daerah pesisir pantai namun tidak terpengaruh dengan
ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kepik yang pasang surut air laut. Suhu di daerah tersebut berkisar
menyerang tanaman nyamplung (C. inophyllum). 23 – 320C dengan curah hujan tahunan berkisar 1400
Selain itu juga untuk mengetahui efektivitas pestisida mm/tahun. Kondisi ini sangat sesuai dengan tipikal
kimia dan botani dalam mengendalikan hama tersebut ekologi atau persyaratan tumbuh tanaman nyamplung
melalui eksperimen di lapangan. (Leksono et al., 2014). Hasil identifikasi hama kepik
yang menyerang tanaman nyamplung adalah jenis
BAHAN DAN METODE Anoplocnemis phasiana (Coreidae : Hemiptera).
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni dan Serangga dewasa berukuran panjang sekitar 27 mm.
September 2015 di demplot DME (Desa Mandiri Menurut Biswas et al., (2014) kepik A. Phasiana
Energi) Purworejo, BKPH Purworejo, Kecamatan dewasa berukuran panjang 22-28 mm. Kepik
Grabag, Kabupaten Purworejo. Luas area tanaman berwarna coklat tua atau hitam. Ciri menonjol dari
nyamplung 1,5 Ha umur 3 tahun sebanyak 45 sampel hama ini terdapat pada kaki (femur) belakangnya.
tanaman digunakan secara acak. Pada betina, tidak ada ciri yang menonjol,, pada
Pengumpulan Data dan Desain Eksperimen jantan, femurnya terlihat membesar dan melengkung
Untuk kepentingan identifikasi hama kepik serta menonjol pada bagian dalamnya. Terdapat
yang diperoleh dari lapangan secara survey semacam pola geometris menyilang pada permukaan
menggunakan jaring serangga. Untuk uji coba sayap kepik dewasa pada saat tertutup. Sedangkan
pengendalian dilakukan melalui eksperimen acak pada ujung kedua bagian antena berwarna kekuningan
lengkap dengan 3 perlakuan. Perlakuan yang baik pada jantan maupun betinanya. Kepik mengalami
digunakan adalah aplikasi pestisida kimia karbofuran metomorfosis tidak sempurna. Pada saat tertekan atau
0,15 gr/tanaman, ekstrak mimba 25 ml/l dicampur terancam serangga ini mengeluarkan cairan berbau
dengan cuka kayu 25 ml/l dan kontrol. Masing – menyengat yang terletak di metasternum diantara
masing perlakuan diuji cobakan pada 15 tanaman coxa tungkai tengah dan belakang. Sebaran alami
nyamplung, sehingga jumlah tanaman yang digunakan hama ini meliputi daerah beriklim tropis dan sub
sebanyak 45. tropis. Di India ditemukan di daerah yang didominasi
Metode Perlakuan pepohonan yang menggugurkan daun pada ketinggian
Perlakuan pertama diberikan dengan cara tempat 600 m dpl (Prabakar, 2015). Selain itu juga
menaburkan pestisida di atas tanah pada radius 0,5 m ditemukan di Srilanka (Anonimus, 1923), China (Haojie
dari batang tanaman secara merata dan ditimbun et al., 1998), Filipina (Hill, 1987), Jawa (Indriyanti et
dengan tanah. Sedangkan perlakuan kedua dilakukan al., 2015). Tanaman inang hama ini antara lain adalah
dengan cara menyiramkan pada pangkal batang, Acacia ssp. ,Albizia procera, Cassia sp., Casuarinae
sebelum perlakuan tersebut tanah disekitar tanaman quisetifolia, C. junghuhniana, Delonix regia,
dibersihkan dari gulma, ketiga kontrol. Peubah yang Lagerstromia speciosa, Michelia champaca, Tectona
diamati adalah kejadian dan intensitas serangan pada grandis (Hutacharern & Tubtim, 1995), Eupatorium
pucuk tanaman. Pengamatan intensitas serangan tuchuense, Cajanuscajan (Kohno, 2002). Hama ini
dilakukan secara visual berdasarkan tingkat serangan. juga menyerang polong Vigna radiate (Swaminathan,
Klasifikasi tingkat kerusakan tanaman dari serangan 2012), ranting muda pada tanaman Clavigrella
hama dapat dilihat pada Tabel 1. Penelitian ini gibbosa dan C. Horrens (Rekha & Mallapur, 2007)
dilakukan sebelum perlakuan aplikasi dan pada saat 2 serta tanaman ornamen di perkotaan seperti Albizia
bulan setelah aplikasi pestisida kimia dan nabati. julibrissin (Zheng et al., 2006) dan ketapang kencana
Analisa Data (Terminalia catappa) (Darmawan et al., 2015).Selain
Spesimen yang berhasil dikumpulkan kemudian itu kepik ini juga merupakan musuh alami dari
diidentifikasi dengan koleksi yang tersedia dan kunci beberapa tumbuhan invasif seperti Mimosa pigra,
identifikasi. Data hasil pengamatan dilapangan mikania (Mikania micrantha) dan kerinyu
(Chromolaena odorata) (Darmawan et al., 2015).
36 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Identifikasi dan uji coba....
Cabang Bandung
(b)
Gambar 1. Kepik (a). Kepik dewasa yang menyerang tunas pada tanaman nyamplung
(b). Kepik dewasa yang sedang kopulasi
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2. Kepik muda (nimfa) menyerang secara berkelompok (a), tunas kering akibat serangan kepik (b),
pertumbuhan tunas yang normal (c), percabangan baru akibat serangan kepik (d).
Hasil pengamatan penggunaan pestisida aplikasi tingkat serangan mencapai 36,7%. Begitu
kimia dan pestisida nabati di lapangan tidak efektif juga dengan perlakuan pestisida kimia karbofuran
mengendalikan serangan hama kepik tersebut. Dari sebelum aplikasi persentase serangan mencapai 50%,
hasil yang didapat pada (Tabel 1), dimana persentase setelah aplikasi menjadi 60%, sedangkan untuk
serangan sebelum di aplikasi dengan pestisida tingkat serangan mencapai 73,3% sebelum aplikasi,
mencapai 100% untuk perlakuan ekstrak mimba dan setelah aplikasi tingkat serangan menurun menjadi
cuka kayu setelah diaplikasi pesentase serangan 66,7%. Angka tersebut tergolong besar karena
menurun sebesar 90%, sedangkan untuk tingkat sebagian besar tanaman terserang dengan intensitas
serangan sebelum aplikasi mencapai 16,7% setelah sedang mendekati berat.
Tabel 1. Uji coba pengendalian hama kepik A. phasiana pada tanaman nyamplung C. inophyllum.
Persentase (%) Intensitas (%)
Perlakuan Rerata peringkat
Pre Post Pre Post
Karbofuran 50 60 73.3 66.7 1.9
Ekstrak mimba + Cuka kayu 100 90 16.7 36.7 1.9
Kontrol 70 80 50 56.7 2.2
Sig. asimt. 0.63
37 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Identifikasi dan uji coba....
Cabang Bandung
Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan Pangnakorn & Kanlaya (2014), kombinasi antara
menggunakan pestisida kimia berbahan aktif ekstrak biji mimba dengan cuka kayu dapat
karbofuran, ekstrak biji mimba yang dikombinasikan menyebabkan mortalitas maupun menghambat
dengan cuka kayu melalui aplikasi siram tanah dan pertumbuhan hama lalat (Musca domestica L.). Selain
semprot batang tidak efektif mengurangi intensitas itu ekstrak mimba yang diaplikasikan melalui tanah
serangan hama kepik. Meskipun terdapat dapat menurunkan tingkat serangan hama penggerek
kecenderungan intensitas serangan hama menurun polong (Abudulai et al., 2013).
pada perlakuan penaburan karbofuran, hal ini secara Terdapat beberapa hal yang menyebabkan
statistika tidak berbeda nyata dibandingkan dengan aplikasi di lapangan menjadi tidak efektif. Pertama,
kontrol. Demikian juga dengan persentase atau hama ini kurang peka terhadap pestisida karbofuran
kejadian serangan pada perlakuan ekstrak mimba baik jenis maupun konsentrasinya. Kajian
yang dikombinasikan dengan cuka kayu (Tabel 1). pendahuluan mengenai kerentanan hama ini terhadap
Intensitas serangan hama pada perlakuan penaburan jenis pestisida tertentu tidak dilakukan, termasuk di
karbofuran cenderung menurun. Karbofuran adalah dalamnya adalah dosis letal yang efektif. Kedua,
salah satu pestisida sistemik yang menyerang saraf penelitian dilakukan pada saat kemarau sehingga
target melalui penghambatan acetylcholinesterase kondisi tanah kurang lembab yang menjadikan
(Suiter & Scharf, 2015). Pestisida ini diharapkan serapan hara dan karbofuran oleh tanaman menjadi
dapat diserap oleh tanaman dan selanjutnya dapat terbatas atau tidak maksimal. Ketiga, rentang waktu
meracuni serangga hama melalui lambung, namun antara pemberian perlakuan dan pengamatan kedua
dalam percobaan ini pestisida tersebut tidak cukup lama sehingga pengaruh pestisida sudah
berpengaruh terhadap kepik A. phasiana. Adapun berkurang atau bahkan hilang. Dengan demikian
ekstrak mimba dan cuka kayu juga tidak efektif menyebabkan serangga hama sudah tidak terpengaruh
menekan intensitas serangan hama, bahkan terdapat dengan pestisida-pestisida tersebut.
kecenderungan intensitas serangan hama semakin
meningkat. Mimba merupakan pestisida nabati yang KESIMPULAN
dapat bersifat sistemik seperti jenis pestisida kimia Hama yang menyerang tanaman nyamplung
sistemik lainnya. Zat aktif di dalamnya dapat berperan (C.inophyllum) adalah kepik Anoplocnemis phasiana
sebagai pengganggu komunikasi seksual, penolak (Hemiptera: Coreidae). Kepik menyerang tanaman
makan dan bertelur (feeding and oviposition dengan cara menghisap bagian tunas, yang
deterrent) (National Research Council, 1992). menyebabkan pertumbuhan jaringan tersebut kering
Cuka kayu sebagai campuran diharapkan dapat dan mati. Pestisida karbofuran, ekstrak minyak mimba
meningkatkan performa ekstrak mimba yang sudah dan cuka kayu yang diterapkan melalui penyiraman
terkenal sebagai bahan pestisida botani. Meskipun tanah dan semprot pada batang tidak efektif
tidak terlalu toksik dan bekerja lambat, cuka kayu mengendalikan serangan hama penghisap pucuk A.
diharapkan dapat berperan sebagaipenolak (repellent) Phasiana baik persentase serangannya maupun
makan (Kiarie-Makara et al., 2010), dan penolak tingkat keparahan serangan pada tanaman.
bertelur (Chalermsan & Peerapan, 2009). Menurut
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan, U.W., Anggraeni.,I &Ismanto.,A. 2015.
Abudulai, M.,Salifu., A.B.,Atakora., D.O., Haruna., Serangan Hama
M.,Baba., I.K.,Dzomeku.,I., KepikpadaTanamanKetapangdanUjiCobaPeng
Brandenburg.,R.I.,&Jordan.,D.L. 2013. Field endaliannya.Prosiding Seminar Nasional XVIII
efficacy of neem (Azadirachtaindica A. Juss) MasyarakatPenelitiKayu Indonesia. Bandung,
for managing soil arthropods and cercospora 4-5 November 2015.
leaf spots damage for increased yield in Friday, J.B. &Okano.,D. 2006.
peanut.Plant Protection Science, 49(2), 65-72 Calophylluminophyllum (kamani), ver. 2.1. In:
Anonimus. 1923. A preliminary list of the pests of cultivated Elevitch, C.R. (ed.). Species Profiles for
plants in Ceylon. Department of Agriculture, Pacific Island Agroforestry. Permanent
Ceylon. Bulletin No 67. Agriculture Resources (PAR), Hōlualoa.
Biswas, B., Hassan., M.E.,Chandra.,K., & Praveen.,K. Haojie, W., Floyd.,
2014. On an account of coreoidea R.,Farrow.,R.,Changfu.,H.,Chuanbit.,G.,
(Heteroptera: Hemiptera) from Chhattisgarh, Changchun., L.,Huadong.,R.,Farrell.,G
India. Zoological Survey of India, 114(4), 637- &Tiansen.,X.1998. Insect Damage on Acacia
650. mearnsiiin China dalamTurnbull, J.W., H.R.
Chalermsan,Y., &Peerapan, S.2009. Wood vinegar: Crompton & K.Pinyopusarerk (ed.). Recent
by-product from rural charcoal kiln and its role developments in acacia planting. Proceedings
in plant protection. Asian Journal of Food and of an international workshop held in Hanoi,
Agro-Industry. Special Issue,189-195. Vietnam, 27-30 October 1997. ACIAR
Proceedings No. 82, p. 240-245.
38 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Identifikasi dan uji coba....
Cabang Bandung
Hill., D.S. 1987. Agricultural insect pests of Swaminathan, R., Singh.,K.,&Nepalia.,V. 2012.
temperate regions and their control.Cambridge Insect Pests of Green Gram Vignaradiata
University Press. Cambridge. p. 659. (L.)Wilczek and Their Management,
Hutacharern C., & Tubtim.,N. 1995. Checklist of dalamAflakpui, G. (Ed.), Agricultural Science,
forest insects in Thailand.Office of In Tech. Rijeka-Shanghai. p.198-222.
Environmental Planning and Policy. Bangkok. Windyarini., E. 2014.
p.392. Seranganhamadantingkatkerusakannyapadase
Indriyanti, D.R., Arija.,F&Ngabekti.,S. 2015. maidari 7 populasinyamplung
Keanekaragamanseranggahamapadatanamanca (Calophylluminophyllum) di Indonesia, Wana
baimerah (Capsicum annuumL.). Biosaintifika, Benih,15(1), 30-40.
7(2): 120-126. Zheng, H., Wu.,Y., Ding., J.,Binion., D.,Fu., W
Kiarie-Makara, M.W., Yoon., H.S.,& Lee.,D.K. 2010. &Reardon.,R. 2006.Invasive Plants ofAsian
Repellent efficacy of wood vinegar Origin Established in the United States and
against Culexpipienspallens andAedestogoi (Di Their Natural Enemies. Vol. 1.Forest Health
ptera: Culicidae) under laboratory and semi- Technology Enterprise Team.Chinese
field conditions. Entomological Research, Academy of Agricultural Sciences & USDA
40(2),97-103. Forest Service. Morgantown.
Kohno, K.,2002.Phoresy by an Egg Parasitoid
Protelenomu ssp. (Hymenoptera: Scelionidae)
on the Coreid bug
Anoplocnemisphasiana(Heteroptera:
Ceorraei:dae), Entomological science, 5(3),
281-285.
LIPI, 2005. Mengenal kerabat Kepik. Pusat Penelitian
Biologi.74p.
Leksono, B., Windyarini.,E., &Hasnah.,T.M.
2014.BudidayaTanamanNyamplung
(CalophyllumInophyllumL.)
UntukBioenergiDan
ProspekPemanfaatanLainnya. IPB Press.
Bogor.
National Research Council. 1992. Neem: A Tree For
Solving Global Problems. National Academy
Press, Washington, D.C.
Pangnakorn, U. &Kanlaya.,S. 2014. Efficiency of
Wood Vinegar Mixed with Some Plants
Extract against the Housefly (Muscadomestica
L.).International Journal of Biological,
Biomolecular, Agricultural, Food and
Biotechnological Engineering, 8(9), 1064-
1068.
Prabakar, D. 2015. The biogeographical distribution
of species of the superfamily Coreoidea:
Hemiptera in India. Biolife, 3(1), 291-316.
Rekha, S. &Mallapur.,C.P. 2007. Abundance and
Seasonability of Sucking Pests of Dolichos
Bean.Karnataka Journal of Agricultural
Sciences, 20(2), 397-398.
Stocks, I.C. &Hodges.,G. 2012. The Rugose Spiraling
Whitefly, AleurodicusrugioperculatusMartin, a
New Exotic Whitefly in South Florida
(Hemiptera: Aleyrodidae). Florida Department
of Agriculture and Consumer Services,
Division of Plant Industry, DACS-P-
01745.Florida.
Suiter, D.R. &Scharf., M.E. 2015. Insecticide basics
for the pest management professional.Bulletin
1352.The University of
Georgia.www.extension.uga.edu/publications.
diakses 1 oktober 2016.
39 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Tinjauan bioekologi dan pengendalian....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Hama kutu kebul (Bemisia tabaci) merupakan hama yang menyerang tanaman budidaya. Serangan hama kutu
kebul pada daun menyebabkan terjadinya kerusakan langsung maupun tidak langsung pada tanaman.
Kerusakan langsung berupa timbulnya embun madu yang menjadi media tumbuh bagi cendawan embun
jelaga. Serangan tidak langsung berupa vektor virus pada tanaman. Serangan hama kutu kebul telah
menyebabkan kerusakan sampai 80 %. Untuk mengantisipasi serangan hama kutu kebul perlu dilakukan
kajian bioekologi dan pengendalian hama kutu kebul. Serangga kutu kebul (B. tabaci) tersebar luas di daerah
tropis dan sub tropis. Hama kutu kebul bersifat polifag yang memiliki telur berbentuk lonjong, berwarna
kuning terang, berukuran panjang antara 0,2 - 0,3 mm dengan lama stadium 5-6 hari. Serangga muda (nimfa)
berwarna putih pucat, tubuhnya berbentuk bulat telur dan pipih terdiri dari tiga instar dan berlangsung selama
9-10 hari. serangga dewasa (imago) tubuhnya berukuran 1 - 1,5 mm, berwarna putih, dan sayapnya jernih
ditutupi lapisan lilin yang bertepung. Penggunaan insektisida yang kurang tepat diketahui telah membuat
hama kutu kebul menjadi resisten. Pengendalian hama kutu kebul terpadu yang berorientasi pada ekologi
dapat dilakukan. Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mengendalikan serangan hama kutu kebul pada
tanaman dapat dilakukan dengan kultur teknis, pengendalian fisik mekanis insektisida selektif serta
pengendalian hayati dengan menggunakan musuh alami B. tabaci.
Kata kunci: bioekologi, kutu kebul, pengendalian, tinjauan
ABSTRACT
Tobacco whitefly (Bemisia tabaci) is a pest that attacks cultivation plants. Pest attacks on tree leaves can
directly or indirectly to the plant. Direct damage in the form of the emergence of honey dew that became a
growing medium for sooty mould fungus. An indirect attack becomes a vector virus in plants. Pest attack of
the pest has caused damage up to 80%. To anticipate pest infestation of pest need to do bioecological studies
and pest control tobbaco whitefly. Tobbaco whiteflys insects (B. tabaci) are widespread in tropical and sub-
tropical regions. The pest comfortable polifag which has oval shape eggs, the colour eggs is bright yellow,
length between 0,2 - 0,3 mm with long stadium 5-6 days. Pale white insects (nymph), rounded and flat body
of three instars and lasts for 9-10 days. Adult insects (imago) body size 1 - 1.5 mm, white, and wings are
lucidly invited layers of starchy candles. The use of insecticides is not very appropriate because it makes
tobacco whitefly become resistant. Integrated ecologically oriented pest control can be done. Some activities
that can be done to control the infestation of tobbaco whitefly infestation can be done by technical culture,
physical control and biological control by using natural enemies of B. tabaci.
Key words: bioelcology, tobacco whitefly, pest control, review
40 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Tinjauan bioekologi dan pengendalian....
Cabang Bandung
41 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Tinjauan bioekologi dan pengendalian....
Cabang Bandung
juga menjadi vektor untuk penyebaran penyakit faktor yang berpengaruh terhadap pola hidup
mosaic dan penyakit krupuk pada tanaman tembakau. serangga.
(Kalshoven, 1981). Serangga seperti halnya makhluk hidup
Pada tanaman cabai dan tomat, hama kutu lainnya, perkembangan hidupnya juga dipengaruhi
kebul B. tabaci juga menjadi vektor dalam oleh faktor-faktor iklim baik secara langsung maupun
penyebaran penyakit kuning di beberapa wilayah di tidak langsung. Pengaruh iklim secara langsung
Pulau Jawa yaitu : di Bogor, Cianjur, Brebes, adalah terhadap siklus hidup serangga. Pengaruh
Wonosobo, Magelang, Klaten, Boyolali, Kulonprogo, iklim secara tidak langsung adalah terhadap vigor dan
Blitar, dan Tulungagung (Wiyono, 2007). fisiologi tanaman inang (Wiyono, 2007).
Mulai tahun 2006 sampai dengan sekarang Pengaruh kenaikan suhu lingkungan terhadap
hama kutu kebul B. tabaci telah menjadi hama kecepatan proses metabolisme serangga adalah
penting bagi tanaman kedelai dimana pada tahun berbanding lurus, dimana ketika suhu lingkungan
2006, hama B.tabaci menyerang tanaman kedelai di naik, maka proses metabolism serangga semakin
Lamongan, Gresik dan Bojonegoro. (Wiyono, 2009 cepat dan waktu yang dibutuhkan oleh serangga untuk
dalam Marwoto dan Indiati, 2009). Sehingga berkembang menjadi lebih pendek.
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi B.tabaci memiliki suhu optimum sebesar
petani kedelai. 32,50C untuk pertumbuhan populasinya (Wiyono,
2007). Hasil penelitian Bonaro et al., (2007)
Tanaman Inang menunjukkan bahwa laju pertumbuhan intrinsik B.
Hama kutu kebul B. tabaci merupakan tabaci pada tanaman tomat meningkat dengan
serangga polyfagus yang memiliki kurang lebih 600 meningkatnya suhu uji.
jenis tanaman inang (Oliveira et al., 2001; Mound and Pengaruh faktor iklim secara tidak langsung
Halsey (1978) telah mengidentifikasi sebanyak 317 akan mempengaruhi kondisi fisiologis tanaman inang
jenis tanaman yang menjadi inang bagi kutu kebul B. dan akan mempengaruhi daya tahan tanaman terhadap
tabaci. serangan serangga hama. Wiyono (2007)
Hama kutu kebul B. tabaci merupakan mengemukakan bahwa temperature akan berpengaruh
serangga polyfagus yang memiliki berbagai jenis terhadap sintesis metabolit sekunder yang dihasilkan
tanaman inang seperti : tanaman hias, tanaman oleh tanaman seperti alkaloid, flavonoid yang
sayuran, tanaman buah-buahan, tumbuhan liar dan mempengaruhi ketahanan tanaman seperti daya tahan
gulma. Tanaman budidaya yang sering diserang dan tanaman dari serangan hama serangga.
menjadi inang hama kutu kebul adalah tomat, cabai,
kentang, mentimun, terung, kubis, buncis, selada, ubi PENGENDALIAN KUTU KEBUL B.tabaci
jalar, singkong, kedelai, tembakau, kapas, lada dan Penggunaan insektisida yang kurang tepat
tanaman liar (gulma) yang paling disenangi oleh B. diketahui telah membuat hama kutu kebul menjadi
tabaci adalah babadotan (Ageratum conyzoides). Kutu resisten. Pengendalian hama kutu kebul terpadu yang
kebulsaat ini juga sudah menyerang tanaman murbei berorientasi pada ekologi dapat dilakukan. Beberapa
(Morus sp). usaha yang dapat dilakukan untuk mengendalikan
Hasil penelitian Subagyo dan Hidayat (2014) serangan hama kutu kebul pada tanaman dapat
melaporkan bahwa siklus hidup B. tabaci lebih dilakukan dengan kultur teknis, pengendalian fisik
singkat pada tanaman inang gulma babadotan mekanis insektisida selektif serta pengendalian hayati
(Ageratum conyzoides) apabila dibandingkan dengan dengan menggunakan musuh alami B. tabaci.
tanaman inang cabai merah. Sehingga keberadaan Kultur Teknis
gulma babadotan di sekitar tanaman budidaya harus Inayati & Marwoto, 2015 menjelaskan bahwa
diwaspadai karena dapat menjadi inang bagi pengendalian hama kutu kebul secara kultur teknis
perkembangan hama kutu kebul B. tabaci. dapat dilakukan dengan cara: (1) mengatur waktu
Terdapat beberapa faktor dari tanaman yang tanam dan panen guna menghindari periode migrasi
dapat mempengaruhi serangga dalam proses kutu kebul dan serangan yang lebih besar, tumpang
pemilihan dan penentuan tanaman inang, yaitu: tindihnya waktu tanam, serta mengatur periode tidak
bentuk daun, jumlah trikoma, serta senyawa kimia adanya tanaman inang kutu kebul; (2) penanaman
hasil proses metabolisme sekunder tanaman tersebut varietas tahan hama dengan cara menanam tanaman
(Morgan et al., 2011; Subagyo & Hidayat, 2014). yang tahan terhadap kutu kebul atau yang dapat
Perubahan Iklim menghambat perkembangan nimfa; (3) penanaman
Perubahan iklim mendorong terjadinya tanaman penghalang merupakan upaya untuk
peningkatan suhu bumi yang akan mengubah kondisi menghalangi penyebaran, dan membatasi persebaran
iklim secara global. Marwoto & Indiati (2009) hama ke tanaman, juga dapat berperan sebagai
mengemukakan bahwa berdasarkan tanda-tanda di pelindung alami terhadap vektor virus; (4) sistem
lapangan, terdapat kaitan yang kuat antara pengairan yang teratur diyakini mempengaruhi siklus
perkembangan hama dan penyakit dengan perubahan hidup kutu kebul, perkembangbiakannya, dan
iklim. Hal ini berkaitan dengan suhu yang menjadi kemampuannya untuk bertahan hidup; (5) pergiliran
tanam dan pengaturan pola tanam dapat memutus
42 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Tinjauan bioekologi dan pengendalian....
Cabang Bandung
kesinambungan penyediaan makanan bagi kutu kebul dengan cara : 1) penggunaan pestisida selektif dengan
di suatu tempat, caranya adalah dengan menanam dosis minimal. 2) penggunaan pestisida pada
tanaman bukan inang; (6) sanitasi sisa tanaman atau daerah/tempat pertanaman secara terbatas, yaitu
tanaman lain yang dapat dipakai sebagai inang tempat terjadinya ledakan hama. 3) penggunaan
merupakan cara pengendalian hama yang paling tua umpan beracun, dan 4) aplikasi pestisida berdasarkan
dan cukup efektif. Teknik sanitasi dilakukan dengan ambang pengendalian hama sasaran. (Setyawati dkk,
membersihkan lahan dari sisa-sisa tanaman singgang, 2007).
tunggul tanaman atau bagian-bagian tanaman yang Salah satu musuh alami hama kutu kebul
tertinggal setelah masa panen. adalah kumbang kubah Menochilus sexmaculatus
Fisik-Mekanis yang berfungsi sebagai predator hama kutu kebul.
Indiati & Marwoto (2009) mengatakan Kumbang kubah diketahui mampu memangsa 200-
bahwa pengendalian fisik mekanis merupakan 400 nimfa kutu kebul. M. sexmaculatus diketahui
tindakan yang dapat dilakukan baik secara langsung memiliki beberapa karakteristik predator yang
maupun tidak langsung dengan tujuan: 1). Mematikan diinginkan untuk keberhasilan pengendalian hayati
hama untuk mengurangi populasi hama; 2). yaiitu : 1) memiliki kemampuan mencari yang baik;
Mengganggu aktivitas fisiologis hama yang normal; 2) memiliki kekhususan mangsa/inang; 3) memiliki
3). Mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai laju reproduksi yang tinggi; 4) memiliki kemampuan
bagi kehidupan dan perkembangan hama. adaptasi yang baik di habitat mangsa/inang; 5)
Tujuan utama pengendalian fisik mekanis adalah memiliki daur hidup yang sinkron dengan
untuk mematikan dan menghambat kehidupan hama mangsa/inang, 6) memiliki kemudahan untuk
tanaman. Pengendalian fisik mekanis dapat dilakukan diperbanyak.
dengan mengambil kelompok telur/larva/imago atau
mengambil tanaman yang telah terserang hama.
Penanganan secara fisik mekanis dilakukan dengan
melakukan pengurangan pada tanaman yang terserang
supaya tidak menjadi sumber penularan ke tanaman
lain.
Penanganan secara fisik mekanis terhadap
serangan hama kutu kebul di kebun murbei dilakukan
dengan cara melakukan pemangkasan pada semua
tanaman, baik tanaman yang terserang maupun
tanaman yang belum terserang hama kutu kebul.
Pemangkasan dilakukan untuk memutus sumber
Gambar 3. Kumbang Kubah (M. sexmaculatus)
pasokan makanan bagi hama kutu kebul.
Sumber : http:// insectoid.info. thumbs.447.jpg
Insektisida Selektif
Upaya pengendalian hama menggunakan
Hasil penelitian Setyawati dkk., (2007)
insektisida seperti yang umum digunakan oleh petani
melaporkan bahwa terdapat empat jenis insektisida
pada pemeliharaan tanaman budidaya di ketahui tidak
yaitu : Teflubenzuron 50 EC, Permetrin 25 EC,
mampu menurunkan tingkat serangan hama kutu
Imidakloprid 200 SL, dan Metidation 25 WP yang
kebul, karena B. tabaci diperkirakan telah resisten
paling efektif dalam pengendalian hama kutu kebul
terhadap penggunaan insektisida.
namun juga selektif atau tidak membahayakan bagi
Salah satu upaya pengendalian hama kutu kebul yang
populasi kumbang predator M.sexmaculatus.
dapat dilakukan adalah dengan penggunaan
insektisida selektif. terdapat beberapa insektisida yang
Pengendalian Hayati
terdaftar dan diizinkan oleh Menteri Pertanian yang
Pengendalian hayati merupakan salah satu
diketahui efektif terhadap pengendalian hama kutu
komponen pengendalian hama terpadu yang memiliki
kebul, yaitu : Applaud 10 WP (buprofesin 10%),
peranan di dalam mencegah berkembangnya populasi
Confidor 5 WP (Imidakloprid 5 %), Mitac 200 EC
hama. Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan
(Amitraz 200 g/l) dan Orthene 75 SP (Asefat 75%).
penggunaan musuh alami dari hama. Musuh alami
Penyemprotan insektisida diusahakan mengenai daun
berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi
bagian bawah daun. Usaha pengendalian akan efektif
predator, pathogen dan parasitoid. Penggunaan musuh
jika dilakukan secara serentak pada satu hamparan
alami juga dapat dilakukan di dalam penanganan
lahan.
hama kutu kebul B.tabaci.
Trumble (1985) dalam Setiawati dkk, (2007)
Parasitoid merupakan serangga yang hidup
melaporkan bahwa insektisida Abamektin dan
pada atau di dalam tubuh serangga lain yang menjadi
Siromazin diketahui menjadi insektisida yang efektif
inangnya. Fase perkembangan hidup (siklus hidup)
terhadap pengendalian populasi B. tabaci namun tidak
serangga berupa telur, larva dan pupa berada pada
membahayakan musuh alaminya. Penggunaan
tubuh serangga inangnya. Namun tahapan imagonya
insektisida selektif tanpa mengganggu terhadap
hidup bebas di luar tubuh serangga inang. Keberadaan
musuh-musuh alami B. tabaci juga dapat dilakukan
parasitoid akan melemahkan dan bahkan membunuh
43 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Tinjauan bioekologi dan pengendalian....
Cabang Bandung
serangga inang, karena parasitoid makan dengan Beberapa jenis predator dan parasitoid hama kutu
menghisap cairan dari serangga inang (Pracaya, 2002 kebul yang ditemukan pada lahan pertanian tanaman
dalam Andadari, 2009). cabai merah seperti disajikan pada Tabel 1.
Penelitian Andadari (2009) pada tanaman murbei Metidation 25 WP yang efektif dalam pengendalian
menemukan kelompok predator hama kutu kebul dari hama kutu kebul namun tidak membahayakan bagi
ordo Coleoptera, family Coccinellidae yaitu jenis populasi kumbang predator M.sexmaculatus.
Serangium sp. dimana berdasarkan hasil uji
pemangsaan menunjukkan bahwa seekor predator DAFTAR PUSTAKA
Serangium sp. rata-rata mampu memangsa 4,5 ekor Andadari, L. 2009. Identifikasi Parasitoid dan
nimfa kutu kebul dalam 24 jam. Hasil identifikasi Predator Kutu Kebul pada Tanaman Murbei
parasitoid yang ditemukan termasuk pada ordo (Morus sp). Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Tesis.
Hymenoptera, family Ceraphronidae, Eucoilidae, Tidak diterbitkan.
Eulophidae dan Scelionidae. Untuk parasitoid Basu, A N. 1995. Bemisia tabaci (Gennadius) : Crop
ditemukan jenis Scelio sp. Pest and Principal Whitefly Vector of Plant
Viruses. Westview Press. New Delhi. 183 p
SIMPULAN Bonaro, O., A, Laurette, C, Vidal. J, fargues. 2007.
Hama kutu kebul (B. tabaci) merupakan Modelling temperature-dependent bionomics
hama penting bagi tanaman budidaya di Indonesia, of Bemisia tabaci (Q-biotype). Physiological
seperti pada cabai merah, kedelai dan murbei. Entomology, 32 : 50-55.
Serangan langsung maupun tidak langsung hama kutu De Barro, P, J. 1995. Bemisia tabaci Biotype B. a
kebul pada tanaman telah menyebabkan kerusakan Review of its Biology, Ditribution and Control.
sampai 80% bahkan bisa menyebabkan kegagalan CSIRO Division Entomology Technical Paper.
panen (puso). 36 : 1-58.
Hama kebul (B. tabaci) dapat ditemukan di Hendrival, Hidayat P dan Nurmansyah A. 2011.
semua semua tempat kecuali di benua Antartika. Keanekaragaman dan Kelimpahan Musuh
Hama kutu kebul bersifat polyfagus yang memiliki Alami Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera
tanaman inang sebanyak 600 jenis. Terdiri dari : Aleyrodidae) pada Pertanaman Cabai Merah
tanaman budidaya dan gulma. Keberadaan gulma di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman,
babadotan (Ageratum conyzoides) pada lahan Daerah Istimewa Yogyakarta.
pertanian harus diwaspadai karena dapat menjadi Inayati, A. dan Marwoto. 2015. Kultur Teknis Sebagai
inang antara bagi kutu kebul sebelum menyerang Dasar Pengendalian Hama Kutu Kebul B.
tanaman budidaya. tabaci Genn pada tanaman kedelai. Buletin
Pengendalian hama kutu kebul terpadu yang Palawija no. 29, 2015 : 14-25.
berorientasi pada ekologi dapat dilakukan. Beberapa Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in Indonesia.
usaha yang dapat dilakukan untuk mengendalikan Revisi oleh P.A. van der Laan. PT. Ichtiar
serangan hama kutu kebul salah satunya dengan Baroe-van Hoevoe. Jakarta
penggunaan insektisida selektif dan pengendalian Marwoto dan Indiati, S. W. 2009. Strategi
hayati dengan menggunakan musuh alami B. tabaci. Pengendalian Hama Kedelai dalam Era
Salah satu musuh alami hama kutu kebul adalah Perubahan Iklim Global p. 94-103. In IPTEK
predator kumbang kubah (M. sexmaculatus). Tanaman Pangan Vol.4 No.1-2009.
Insektisida selektif dapat dilakukan menggunakan Morgan, D. Walters, KFA and Aegerter, JN. 2001.
empat jenis insektisida yaitu : Teflubenzuron 50 EC, Effect of temperature and cultivar on pea aphid
Permetrin 25 EC, Imidakloprid 200 SL, dan acyrthosiphon pisum (Hemiptera : Aphididae).
44 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Tinjauan bioekologi dan pengendalian....
Cabang Bandung
45 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Identifikasi dan pola sebaran....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Salah satu jenis pohon asli Indonesia sebagai alternatif penghasil kayu atau biomassa adalah pohon yang
memiliki nama latin Trema orientalis. Informasi mengenai potensi serangan hama yang menyerang tanaman
ini penting untuk diketahui sebagai bagian pengelolaan sistem silvikultur. Tulisan ini bertujuan untuk
melaporkan insiden serangan hama yang menyerang tanaman T. orientalis yang berada di persemaian.
Metode yang digunakan adalah survey yang dilakukan dengan cara pengambilan sampel berbentuk persegi
sebanyak 13 sampel dan tersebar secara merata di persemaian. Pola sebaran hama digambarkan dianalisis
menggunakan indeks disperse dengan metode rasio varian-rerata, koefisien Green dan koefisien Morista
terstandar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hama yang menyerang semai T. orientalis adalah Dasychira
sp. hama ini tergolong dalam kelas Insekta, Ordo Lepidoptera dan Famili Lymantridae. Intensitas dan
persentase serangan hama pada semai tanaman T. orientalis masing-masing adalah 4,34% dan 10,92%.
Sebaran serangan hama mengikuti pola berkelompok (aggregated pattern).
Kata kunci: Dasychira, hama, sebaran, semai, Trema orientalis.
ABSTRACT
One of the original tree species Indonesian as an alternative wood or biomass is Trema orientalis.
Information on potential pests that attack the plant is important to know as part of management silvicultural
system. This paper aims to report incidents pest attacks that Trema orientalis plants in the nursery. The
method is a survey conducted by collecting a square sample of 13 samples and spread evenly in the nursery.
The pattern of pest distribution described was analyzed using disperse index with mean-variance ratio
method, Green coefficient and standardized Morista coefficient. The results showed that the pest that attacked
T. orientalis seedling was Dasychira sp. This pest belongs to the Insekta class, the Lepidoptera Order and the
Lymantridae Family. Intensity and percentage of pest attack on T. orientalis seedlings are respectively 4.34%
and 10.92%. The distribution of pest attacks follows a pattern of aggregated patterns.
Keywords: Dasychira, pest, distribution, seedlings, Trema orientalis.
Parameter yang diamati adalah intensitas serangan, Penilaian intensitas serangan hama dilakukan
insiden serangan dan keberadaan individu hama. berdasarkan tabel dan formula di bawah ini.
Tabel 1. Nilai skala kerusakan tanaman akibat serangan hama
Skor Intensitas serangan Kondisi tanaman
0 0 Tidak terserang
1 0 - 25% Intensitas sangat ringan
2 25% -50% Intensitas ringan
3 50% - 75% Intensitas sedang
4 ≥ 75% Intensitas berat
47 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Identifikasi dan pola sebaran....
Cabang Bandung
Perilaku makan ulat berpindah-pindah. Ulat spesies lain dari kelompok serangga Famili
memakan sebagian daun dan meninggalkannya Lymantriidae.
sebelum daun tersebut habis. Ulat kemudian bepindah Aktivitas makan ulat biasanya dilakukan di
ke daun berikutnya untuk melakukan aktivitas yang bagian permukaan bawah daun (sisi abaxial) sehingga
sama. Daun yang dimakan oleh ulat muda ditandai ulat tidak tampak dari atas. Hal ini merupakan strategi
dengan lubang-lubang kecil pada helaian daun, bersembunyi agar tidak terlihat oleh pemangsanya
sedangkan ulat yang telah lanjut akan meninggalkan atau menghindari terik matahari. Tanaman T.
jejak kerusakan daun yang lebih parah. Kondisi ini orientalis adalah tanaman yang belum dibudidayakan
menyebabkan jejak berupa daun yang berlubang dan secara masal di Indonesia dan tidak populer sebagai
menyisakan bagian yang cukup keras seperti tangkai komoditas tanaman kehutanan sehingga laporan
dan tulang daun. Perilaku semacam ini biasanya serangan hama pada tanaman ini juga masih terbatas,
dilakukan untuk mengurangi resiko terhadap musuh termasuk pada skala persemaian.
alami (Hagstrum & Subramanyam,2010) karena Dasychirainclusa juga dilaporkan menyerang
serangan yang menyebar akan mengurangi resiko tanaman lain seperti kersen (Muntingia calabura) dan
perjumpaan dengan predator. Menurut Costa &Pierce kangkung liar (Ipomoea fistulosa) dan kacang tanah
(1997) tipikal serangan yang tidak menetap (Arachis hypogaea) (Prayogo et al., 2011).
(nomaden) semacam ini dijumpai pada beberapa
(a) (b)
Ganbar 2. Kelompok tanaman yang tidak terserang (a) dan kelompok tanaman yang terserang hama (kanan).
48 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Identifikasi dan pola sebaran....
Cabang Bandung
Tabel 2. Deskripsi intensitas dan serangan hama Dasychirasp. pada tanaman T. Orientalis
Minimum Maximum Rerata Std. Deviasi Varian
49 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Identifikasi dan pola sebaran....
Cabang Bandung
hama tergolong berkelompok. Kesimpulan yang persentase serangan adalah 10,92%. Tingkat serangan
serupa juga ditunjukkan dari hasil analisis hama tergolong sangat ringan. Sebaran serangan hama
menggunakan metode index atau koefisien Green dan mengikuti pola berkelompok (aggregated pattern).
Morista yang terstandar. Koefisien Green
menunjukkan angka yang sama untuk intensitas DAFTAR PUSTAKA
serangan dan persentase serangan yaitu 0,11. Dua Costa, J. T.&N. E. Pierce. 1997. Social evolution in
angka tersebut bernilai positif yang berarti bahwa the Lepidoptera: ecological context and
intensitas dan persentase serangan tergolong communication in larval societies, pp. 402–
berkelompok. Sedangkan menurut index Morista yang 422.dalamChoe, J.C.&B.J. Crespi (Eds.).
terstandar, intensitas serangan bernilai 0,55 dan Evolution of social behavior in insects and
persentase serangan adalah 0,57. Angka ini juga arachnids. Cambridge University Press, New
mengindikasikan bahwa sebaran kedua parameter York.
tersebut tergolong berkelompok karena indeks Forestry image, 2013. Tussock moths
dispersinya adalah>0 (positif). (Dasychira spp.) Huebner 1802.
Tipe serangan hama yang berkelompok dapat Http://www.forestryimages.org/browse/detail.c
disebabkan oleh faktor reproduksi serangga hama. fm?Imgnum=9009078. Diakses 24 maret 2016.
Serangga betina dewasa akan melakukan seleksi Hagstrum, D.W. & B. Subramanyam. 2010. Immature
terhadap tanaman inang sebagai tempat meletakkan Insects: Ecological Roles of Mobility.
telurnya. Hal ini penting karena larva serangga American Entomologist, 56(4): 230-241.
berbeda dengan serangga dewasa, cenderung Hanum I.F. 2007. Trema orientalis(L.) Blumedalam
mobilitasnya terbatas sehingga keberhasilan hidupnya Hanum I.F. & L.J.G van der Maesen (ed.)
sangat dipengaruhi oleh posisi dimana telur tersebut Plant Resources of South East Asia 11:
diletakkan dan menetas (Renwick & Chew, 1994). Auxiliary Plants. LIPI Press, Jakarta.
Apabila serangga betina dewasa menemukan tempat Hutchinson, G.E. 1953. The concept of pattern in
yang cocok, maka betina dewasa akan meletakkan ecology. Proceedings of the Academy Natural
kelompok telur di tempat tersebut. Kelompok telur Sciences of Philadelphia. 105: 1-12.
kemudian menetas dan menghasilkan kelompok larva Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Harper &
yang kemudian melakukan aktivitas makan di tempat Row Publisher, Inc. New York.
tersebut. Aktivitas ini menyebabkan tanaman tersebut Prayogo, Y., Marwoto & Suharsono. 2011. Ulat bulu
dan yang berada di sekitarnya mengalami tingkat yang meresahkan. Warta Penelitian dan
serangan yang lebih berat dibandingkan daerah yang Pengembangan Pertanian. 33(4): 5-6.
lainnya. Ciri visual seperti adanya naungan atau Rausher, M.D. 1979. Larval habitat suitability and
keterbukaan terhadap sinar matahari juga dapat oviposition preference in three related
mempengaruhi pemilihan dewasa betina dalam butterflies. Ecology, 60(3): 503-511.
menempatkan telurnya. Spesies seperti Battus Renwick, J.A.A. & F.S. Chew. 1994. Oviposition
phylenor dan B. Polydamus cenderung menempatkan Behavior in Lepidoptera. Annual Review of
telur pada area terbuka (Rausher, 1979). Kondisi ini Entomology, 39: 377-400.
juga terjadi pada subjek pengamatan bahwa plot Tempo, 2011. Ulat Bulu di Banyuwangi diduga jenis
pengamatan yang terletak di bagian luar (ujung) Dasychira inclusa. Rabu, 06 april 2011; 15:10
bedeng cenderung mengalami kerusakan lebih berat WIB. Diakses 22 maret 2016.
dibandingkan yang berada di tengah. Wati H., E.E. & F. Azwar. 2009. Gulma penting pada
Selain disebabkan oleh faktor reproduksi lokasi penanaman beberapa jenis lokal di
hama, pola sebaran serangan juga dapat dipengaruhi Sumatera Selatan dalam Rostiwati, T., R.
oleh perilaku makan individu hama. Larva yang lebih Effendi., S. Bustomi & A. Wibowo (ed).
tua melakukan aktivitas makan lebih intensif Mengenal teknik budidaya jenis-jenis pohon
dibandingkan dengan larva muda. Hal ini lokal Sumsel dan upaya pengembangannya.
menyebabkan intensitas serangan yang dihasilkan Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Balai
oleh perilaku makan larva dewasa pada tanaman lebih Penelitian Kehutanan. 11 Desember 2008.
besar dibandingkan intensitas serangan oleh larva Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
muda. Menurut Hutchinson (1953), pola sebaran Tanaman. Badan Litbang Kehutanan, Bogor. p:
individu dipengaruhi oleh beberapa hal termasuk 189-193.
faktor reproduksi dan tingkah laku organisme.
KESIMPULAN
Hama yang menyerang persemaian T.
orientalis adalahDasychira sp (Lepidoptera :
Lymantridae). Intensitas serangan pada persemaian
tanaman T. orientalishanya berkisar 4,34% dengan
50 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Rayap merupakan serangga sosial yang berperan penting dalam perputaran hara di alam. Keanekaragaman
dan kelimpahan spesies rayap di beberapa tipe habitat masih banyak yang belum diteliti. Kampus IPB
Dramaga merupakan salah satu lokasi yang mempunyai tipe habitat cukup beragam. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap di Kampus IPB Dramaga-Bogor
pada berbagai tipe habitat. Metode yang digunakan yaitu mengoleksi rayap dengan cara memasang umpan
kayu pinus, transek dengan luasan 10 x 10 m, dan menghitung indeks keanekaragaman dan kelimpahannya.
Rayap hasil koleksi dari lapangan ditemukan 6 spesies yang terbagi menjadi dua famili yaitu Termitidae dan
Rhinotetmitidae. Empat spesies dari famili Termitidae yaitu Macrotermes gilvus, Odontotermes javanicus,
Microtermes insperatus, dan Capritermes mohri, sedangkan dua spesies dari famili Rhinotermitidae yaitu
Schedorhinotermes javanicus dan Coptotermes curvignathus. Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H)
dan indeks kelimpahan Simpson (D) diperoleh nilai tertinggi pada tipe habitat REK (Kebun Karet Percobaan
Rektorat IPB) yaitu secara berurutan sebesar 1.7 dan 0.8. Indeks jumlah spesies (S) dan kekayaan spesies (E)
mempunyai hubungan yang sama dengan indeks H dan D. Semakin banyak koloni rayap yang ditemukan
dengan keanekaragaman spesies yang berbeda, maka nilai indeks yang dihasilkan akan semakin tinggi juga.
Spesies rayap yang tergambar pada NMDS (stress 0.00435) dengan nilai P-value yang diperoleh yaitu
0.000831 (alfa 5%) menunjukkan bahwa kawasan permukiman dan perkebunan di kawasan Kampus IPB
Dramaga mempunyai komposisi spesies rayap yang berbeda nyata. Kelimpahan koloni rayap di perkebunan
lebih tinggi dibandingkan di permukiman.
Kata kunci: Termitidae, Rhinotermitidae, indeks keanekaragaman, permukiman, perkebunan
ABSTRACT
Termites are social insects that play an important role in nutrient turnover in nature. The diversity and
abundance of termite species in some habitat types is still largely unexplored. Campus IPB Dramaga is one
location that has a variety of habitat types. The purpose of this study was to determine the diversity and
abundance of termite species in Dramaga-Bogor IPB Campus in various habitat types. The method used is
collecting termites by installs pine bait, transect with area 10 x 10 m, and counting index of diversity and
abundance. Termites collected from the field found 6 species that are divided into two families i.e. Termitidae
and Rhinotetmitidae. Four species of the Termitidae family are Macrotermes gilvus, Odontotermes javanicus,
Microtermes insperatus, and Capritermes mohri, whereas two species of the Rhinotermitidae family are
Schedorhinotermes javanicus and Coptotermes curvignathus. Shannon-Wienner diversity index (H) and
Simpson abundance index (D) obtained the highest value in the type of REK (Field Trial of Rectorate IPB)
that are 1.7 and 0.8 respectivelly. The number of species (S) and species richness (E) have the same relation
as the H and D indexes. The more termite colonies are found with the diversity of different species, the
resulting index value will be higher as well. The termite species depicted in NMDS (stress 0.00435) with P-
value obtained 0.000831 (alpha 5%) showed that the settlement and plantation area in the Dramaga IPB
campus area had a distinctly different species of termite composition. The abundance of termite colonies on
plantations is higher than in the settlements.
Key words: Termitidae, Rhinotermitidae, diversity, settlement, plantation
51 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....
Cabang Bandung
tinggi (1.19) dibandingkan dengan perkebunan kakao yaitu tipe tanah, pH tanah, tanaman penutup tanah,
(0.37). tipe naungan, dan persentase naungan.
Di perkebunan, rayap cenderung menjadi Analisis Indeks Keanekaragaman dan Kelimpahan
bagian terpenting karena rayap berperan sebagai hama Hasil rayap yang ditemukan di lapangan
pemakan kayu. Di perkebunan Araucaria, ditemukan kemudian dianalisis indeks keanekaragaman dan
dominasi serangan Coptotermes curvignathus (Jasmi kelimpahannya. Indeks keanekaragaman
dan Ahmad 2011). Di perkebunan sawit di Serawak, menggunakan indeks Shannon-Wienner (H),
Malaysia diperoleh hasil bahwa serangan rayap dari sedangkan indeks kelimpahan jumlah spesies dihitung
famili Rhinotermitidae lebih banyak dibandingkan dengan indeks Simpson (D), selain itu juga dihitung
famili lain (Bong et al., 2012). indeks jumlah spesies (S) dan kekayaan
Selain di kawasan hutan dan perkebunan, spesies/Evennes (E). Kemudian diuji lanjut analysis of
daerah permukiman seperti di Jakarta juga telah similarity (ANOSIM), indeks kemiripan Bray-Curtis
dilakukan survei keanekaragam rayap dan ditemukan (Magurran, 2003). Hasil matrik tersebut dibuat
4 spesies rayap yaitu Macrotermes gilvus, ordinasi non- matric multidimesional scaling (NMDS)
Microtermes insperatus, Capritermes mohri, dan C. (Clarke 1993). Analisis tersebut dilakukan dengan
curvignathus (Lantera & Nandika 2014, Ummah menggunakan software R-Statistic (R-Development
2015; Arinana et al., 2016). Sehingga, hal ini menjadi Core Team, 2012).
perhatian yang sangat penting karena fungsi
ekologisnya yang berubah menjadi hama potensial di HASIL DAN PEMBAHASAN
permukiman di masa mendatang. Keanekaragaman Spesies Rayap
Kampus IPB Dramaga merupakan kampus Rayap yang diperoleh dari lapangan
yang mempunyai beberapa tipe habitat. Kampus IPB diidentifikasi dan diperoleh enam spesies rayap yang
mempunyai kebun-kebun percobaan yang biasa terdiri dari dua famili. Famili yang ditemukan yaitu
digunakan untuk praktik lapangan maupun gedung- Termitidae dan Rhinotermitidae. Spesies rayap dari
gedung yang merupakan contoh dari permukiman. famili Termitidae yaitu Macrotermes gilvus,
Akan tetapi informasi tentang keanekaragaman dan Microtermes insperatus, Capritermes mohri, dan
kelimpahan rayap masih belum diteliti. Sehingga Odontotermes javanicus (Gambar 1). Sedangkan dari
perlu dilakukan penelitian tentang keanekaragaman famili Rhinotermitidae yaitu Schedorhinotermes.
dan kelimpahan rayap yang ada di Kampus IPB javanicus dan Coptotermes curvignathus (Gambar 2).
Dramaga. Rayap yang ditemukan di lapangan diperoleh jumlah
koloni yang berbeda-beda yaitu secara berurutan M.
BAHAN DAN METODE insperatus, O. javanicus, M. gilvus, S. javanicus, C.
Pengambilan Sampel dan Identifikasi Rayap mohri, dan C. curvignathus (15, 14, 13, 7, 5, dan 5)
Lokasi pengambilan sampel di area (Tabel 2). Spesies Termitidae mempunyai jumlah
perkebunan dan permukiman (Tabel 1). Sampel rayap koloni yang lebih banyak dibandingkan famili
diambil dengan cara pengumpanan di masing-masing Rhinotermitidae (secara berurutan 47 dan 12) (Tabel
lokasi sampling menggunakan kayu pinus (Arinana et 2). Hal ini disebabkan karena rayap dari famili
al., 2012) yang dibuat dengan ukuran 46 x 2 x 2 cm Termitidae mempunyai jenis yang lebih banyak
yang dibentuk seperti stik (ASTM, 2008) dan metode (hampir 1/3 dari total rayap) dibandingkan dengan
transek dengan luasan 10 x 10 m. Rayap yang famili-famili rayap yang lain. Kemampuan
ditemukan dari lapangan dikoleksi dan dipisahkan mengkolonisasi habitat lebih tinggi dibandingkan
berdasarkan kasta pekerja dan prajurit. Proses dengan rayap dari famili yang lainnya (Krishna,
identifikasi dilakukan pada kasta prajurit karena 1969).
mempunyai karakter yang lebih mudah dibedakan Hubungan Antara Spesies Rayap yang Ditemukan
dibandingkan dengan kasta pekerja. Identifikasi rayap di Beberapa Tipe Habitat
berdasarkan buku identifikasi Ahmad (1958) dan Tho Setiap spesies rayap mempunyai perilaku
(1992). yang berbeda-beda. Aktivitas rayap sangat tergantung
Pengamatan Tipe Habitat pada habitat yang ditempatinya karena perilaku dasar
Lokasi penemuan rayap dicatat dan rayap dalam mencari makan untuk koloninya. Selain
didokumentasikan untuk analisis tipe habitat sebagai itu, keberadaan rayap juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman hal seperti tipe tanah, tipe vegetasi, dan persentase
dan penyebaran rayap (Jones 2000, Jones et al. 2003, tajuk pohon sebagai naungan.
DeBlauwe et al., 2008). Tipe habitat yang diamati
52 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....
Cabang Bandung
a b c
d e
Gambar 1 Rayap yang ditemukan dari famili Termitidae (a) M. gilvus (mayor),
(b) M. gilvus (minor), (c) M. insperatus, (d) C. mohri, dan (e) O. javanicus (perbesaran 100 kali)
53 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....
Cabang Bandung
a b c
Tabel 3 Hubungan antara spesies rayap yang ditemukan dengan karakteristik habitatnya
Jenis tanah Vegetasi penutup Persentase naungan
Jenis rayap pH tanah
Termitidae
M. gilvus 4, 5, 6 L 1, 3, 4, 5 1, 2, 3, 4
M. insperatus 4, 5, 6 L 1, 2, 3, 4, 5, 6 1, 2, 3, 4
O. javanicus 4, 5, 6 L, R 1, 2, 3, 4, 5, 7 1, 2, 3, 4
C. mohri 4, 5 L 1, 4, 5 2, 3, 4
Rhinotermitidae
S. javanicus 5 L 1, 4, 5 1, 2, 3, 4
C. curvignathus 5 L 1, 4, 5 1, 3, 4
Keterangan: Jenis tanah (L: Latosol, R: Regosol), vegetasi penutup tanah (1: A. compressus, 2: A. gangetica, 3:
S. plicata, 4: C. lappacea, 5: C. aridus, 6: D. adscendens, 7: Pannicum sp.), dan persentase naungan (1: 0-25%,
2: 25-50%, 3: 51-75%, dan 4: 76-100%.
54 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....
Cabang Bandung
a b
Gambar 3 Jenis tanah (a) regosol (hitam) (b) latosol (coklat kemerahan)
Tanah bagi rayap merupakan tempat hidup disebabkan karena kondisi alam di daerah Kampus
dan dapat melindungi rayap dari suhu dan kelembaban IPB yang mempunyai curah hujan yang tinggi
yang sangat ekstrim. Keberadaan dari rayap tersebut menyebabkan gulma-gulma tersebut dapat tumbuh
dapat membantu meningkatkan kesuburan tanah dan menyebar dengan sangat baik di lingkungan
karena kemampuan dalam mencerna bahan organik Kampus IPB Dramaga.
menjadi hara yang dibutuhkan oleh makluk hidup lain Berdasarkan hubungan jenis rayap yang
seperti tumbuhan. Umumnya rayap menyukai tipe ditemukan dengan vegetasi penutup tanah, jenis rayap
tanah yang mengandung liat seperti tanah latosol M. insperatus dan O. javanicus ditemukan pada jenis
karena memiliki kandungan bahan organik yang vegetasi yang hampir sama, hanya berbeda pada satu
tinggi (Sands, 1969; Nandika et al., 2015). jenis gulmanya yaitu M. insperatus ditemukan pada
gulma D. adscendens sedangkan O. javanicus
Vegetasi Penutup Tanah. ditemukan pada jenis gulma Pannicum repens (Tabel
Vegetasi penutup tanah pada lokasi 3). Hal ini disebabkan karena kemampuan jenis gulma
pengambilan sampel rayap diperoleh sebagian besar tumbuh yang berbeda-beda. Umumnya jenis gulma P.
dari jenis gulma. Gulma yang menjadi vegetasi repens yang mempuyai perawakan tinggi dan besar
penutup tanah tersebut juga menjadi penghalang akan tumbuh di habitat yang terbuka (banyak terkena
(barrier) agar tekstur tanah tidak tereduksi menjadi sinar matahari), berbeda halnya dengan jenis gulma D.
homogen. Vegetasi tanah juga berfungsi untuk ascendens dengan perawakan yang kecil akan
mengurangi aliran permukaan tanah akibat hujan membutuhkan tempat teduh untuk tumbuh. Dari
(Lamaourex et al., 2012). Sistem penutupan tanah kemampuan gulma tumbuh tersebut, hanya spesies
akan menguntungkan terhadap perilaku rayap, yaitu rayap dengan daya kolonisasi tinggi yang akan dapat
akan meningkatkan siklus kelembaban dan stabilitas ditemukan di habitat gulma yang terbuka.
fisik tanah. Rayap tanah (subterranean) lebih
menyukai kondisi habitat yang ideal dengan suhu dan Persentase Naungan.
kelembaban stabil jika dibandingkan dengan kondisi Persentase naungan yang semakin tinggi
lahan terbuka dengan iklim mikro ekstrim yang akan maka menyebabkan jumlah koloni rayap yang
mempengaruhi mikrohabitat di sekitarnya (Sands, ditemukan juga akan semakin banyak (Gambar 4).
1969). Persentase naungan rendah (0-25%) rata-rata jumlah
Vegetasi penutup tanah yang ditemukan koloni yang ditemukan sedikit dan didominasi oleh
yaitu Axonopus compressus, Asystasia gangetica, rayap O. javanicus. Rayap jenis O. javanicus
Setaria plicata, Centhotheca lappacea, Cyslosorus ditemukan sebanyak 6 koloni pada kondisi naungan
aridus, Digitaria ascendens, dan Panicum repens. yang rendah. Hal ini dikarenakan rayap dari spesies
Hubungan antara jenis rayap yang ditemukan dengan O. javanicus mempunyai kemampuan mengkolonisasi
vegetasi penutup tanah yaitu sebagian besar habitat yang tinggi pada tingkat gangguan yang tinggi.
didominasi oleh gulma A. compressus, C. lappacea, Berbeda dengan jenis rayap lain yang ditemukan yang
dan C. aridus. Sebagian besar jenis rayap ditemukan relatif sedikit ditemukan pada naungan yang rendah.
pada lokasi yang mempunyai dominansi vegetasi
penutup tanahnya dari ketiga gulma tersebut. Hal ini
55 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....
Cabang Bandung
56 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....
Cabang Bandung
Pada indeks jumlah spesies, semakin besar Irisan antara kawasan halaman belakang
angka yang diperoleh pada indeks tersebut, maka Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Kebun
berhubungan dengan jumlah dan keanekaragaman Percobaan Arboretrum Arsitekstur Lanskap (ARL),
spesies yang ditemukan. Begitu juga sebaliknya, dan Kebun Percobaan Kelapa Sawit (KS) memiliki
semakin kecil angka yang diperoleh maka jumlah dan kemiripan komposisi spesies rayap (Gambar 5).
keanekaragaman spesies yang ditemukan akan Semakin jauh titik plot menunjukkan semakin
semakin kecil. ketidakmiripan. Misalnya pada habitat Kebun Kakao
Indeks kekayaan spesies (E) diperoleh angka (KK) dan lahan kandang Fakultas Peternakan FAPET
tertinggi sebesar 0.83 pada habitat FPI (Kebun yang menunjukkan ketidakmiripan spesies yang ada.
Percobaan Karet Fakultas Perikanan dan Ilmu Hal ini disebabkan karena di KK hanya ditemukan 1
Kelautan. Sedangkan angka terendah pada habitat spesies rayap dengan jumlah 4, sedangkan di Kandang
AGR, FEM, KK, MA, PDI, dan RES dengan angka FAPET hanya ditemukan dengan jumlah 3, tetapi
yang tidak dicantumkan (NaN). Indeks kekayaan memiliki spesies yang berbeda (Gambar 5).
spesies (E) berkorelasi dengan indeks H, D, dan S
yaitu apabila jumlah koloni dan jumlah spesies yang Hasil Perhitungan ANOVA pada Habitat
ditemukan pada suatu habitat tersebut tinggi maka Permukiman dan Perkebunan
akan menunjukkan bahwa lokasi tersebut mempunyai Dari hasil ANOVA, kelimpahan rayap
kekayaan spesies yang tinggi dan hal tersebut yang ada di permukiman dan di perkebunan Kampus
berhubungan langsung dengan parameter indeks yang IPB Dramaga mempunyai perbedaan yang nyata.
lainnya juga. Nilai P-value yang diperoleh yaitu 0.000831 yang
berarti kurang dari 0.05 (Tabel 5). Hal ini
Struktur Komposisi Rayap pada Tipe Habitat menunjukkan bahwa komposisi rayap di perkebunan
yang Berbeda yang ditemukan lebih besar dibandingkan di
Hasil ANOSIM menunjukkan bahwa permukiman. Kawasan perkebunan terdapat sumber
perbedaan tipe habitat di kampus IPB mempengaruhi makanan yang melimpah untuk rayap dibandingkan
keanekaragaman rayap (R = 0.3873, P = 0.011). Tipe dengan permukiman yang banyak terdapat gangguan
habitat yang berbeda mempunyai keanekaragaman atau aktivitas manusia. Sehingga akan memberikan
rayap yang berbeda, hal ini ditunjukkan dengan kondisi yang mendukung untuk rayap dalam
adanya pemisahan antar habitat. mengkolonisasi habitat dengan baik.
57 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....
Cabang Bandung
58 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....
Cabang Bandung
Bong JCF, King PJH. Ong KH. Mahadi NM. 2012. ecosystems: a review. Eur. J. Entomol.
Termites assemblage in oil palm plantation in 105(2):165-173. doi: 10.14411/eje.2008.025.
Sarawak, Malaysia. Jour Ento. 9(2):68-78. Jasmi AH, Ahmad AH. 2011. Termite incidence on an
doi:10.3923/je.2012.68.78. araucaria plantation forest in Teluk Bahang,
Clarke KR. 1993. Non-parametric multivariate Penang. Insects.2(1):469-474.
analyses of change in community structure. doi:10.3390/insects2040469.
Australian Journal of Ecology. 18: 117-143. Jones DT. 2000. Termite assemblages in two distinct
DeBlauwe I, Dibog L, Missoup AD, Dupain J, Van montane forest types at 1000m elevation in the
Elsacker L, Dekoninck W, Bonte D, Hendrickx Maliau Basin, Sabah. Journal of Tropical
F. 2008. Spatial scales affecting termite Ecology. 16: 271 -286.
diversity in tropical low land rainforest: a case Jones DT, Susilo FX, Bignell DE, Hardiwinoto S,
study in southeast Cameroon. African Journal Gillison AN, Eggleton, P. 2003. Termite
of Ecology. 46:5 - 8. assemblage collapse along a Land-use
Freymann BP, Buitenwerf R, Desouza O, Olff H. intensification gradient in lowland central
2008. The importance of termites (Isoptera) for Sumatra, Indonesia. Journal of Applied
the recycling of herbivore dung in tropical Ecology. 40:380 - 391.
Keng WM.2006. Spesies comparison of termite Surakarta (ID), edisi 2. Mubin N, editor.
(Isoptera) in primary forest of Tawau Hill Surakarta: Muhammadiyah University
Park, Sabah and adjacent cocoa plantation Press.
area.[thesis]. Sabah (MY): University R-Development CT. 2013. R: A language and
Malaysia Sabah. environment for statistical computing
Krishna K. 1969. Introduction. Di dalam: Krishna [internet]. Vienna: R Foundation for
K, Weesner FM, editor. Biology of Termites. Statistical Computing; diunduh Tersedia
New York (US): Academic Press Inc. hlm pada: http://cran.r-project.org/.
1-17. Sands WA. 1969. The assosiation of termites and
Lamaourex S, O’Kane MA. 2012. Effect of fungi. Di dalam: Krishna K, Weesner FM,
termites on soil cover system performance. editor. Biology of Termites. New York (US):
Mine Clousure. 432:446. Academic Press Inc. hlm 495-524.
Magurran AE. 2003. Ecological diversity and its Tho YP. 1992. Termites of Peninsular Malaysia.
measurement. New Jersey (US): Princeton Kirton LG, editor. Kepong, Kuala Lumpur
University Press. (MY): Malayan Forest Records.
Nandika D, Rismayadi Y, Diba F, Harun JP. 2015.
Rayap: Biologi dan Pengendaliaannya.
59 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman dan kelimpahan spesies rayap ....
Cabang Bandung
60 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Review: Hubungan flexistyle pada....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Polinator merupakan salah satu faktor utama dalam keberhasilan proses penyerbukan pada bunga. Sejak awal
proses evolusi yang terjadi dimuka bumi berlangsung polinator dengan bunga memiliki hubungan
coevolusion, hubungan ini mengakibatkan adanya penyesuaian antara morfologi yang dimiliki oleh bunga
dengan morfologi yang dimiliki oleh polinatornya sehingga keberhasilan penyerbukan tetap terjadi.
Penelitian terakhir famili Zingiberaceae ditemukan beberapa penemuan yang cukup menarik dari morfologi
alat reproduksi yang dimiliki oleh genus Alpinia, Amomum serta Globba. Organ reproduksi (style) pada
beberapa genus ini dapat bergerak sehingga selanjutnya dikenal dengan istilah flexistyle. Flexistyle
merupakan suatu mekanisme dari style tumbuhan untuk bergerak dikarenakan beberapa faktor seperti : suhu,
kelembaban serta intensitas cahaya. Dalam mekanisme yang dimiliki oleh organ reproduksi ini terdapat dua
macam bentuk flexistyle yaitu : cataflexistylous (protandrous) dan anaflexistylous (protogynous). Dengan
adanya modifikasi organ reproduksi yang dimiliki beberapa genus pada famili zingiberaceae ini maka
polinator pada famili ini juga akan beradaptasi sehingga proses penyerbukan tetap terjadi serta menghindari
terjadinya inbreeding. Pada artikel ini, penulis ingin mereview beberapa jurnal tentang cara beberapa
polinator beradaptasi dengan mekanisme ini.
Kata kunci: Coevolusion, Zingiberaceae, Flexistyle, Cataflexistylous, Anaflexistylous, Inbreeding
ABSTRACT
Polinator is one of the main factors in the success of the pollination process on flowers. Since the beginning
of the evolutionary process that takes place on earth on a pollinator with interest has a coevolutional
relationship, this relationship results in an adjustment between the morphology of interest and the
morphology possessed by the pollinator so that the success of pollination still occurs. A recent study of the
Zingiberaceae family found some interesting discoveries of the morphology of the reproductive apparatus
which belongs to the genus Alpinia, Amomum and Globba, the reproductive organs (styles) in some of these
genera can move so that later known as flexistyle. Flexistyle is a mechanism of plant style to move due to
several factors such as: temperature, humidity and light intensity. In the mechanism possessed by the
reproductive organs there are two kinds of flexistyle form: cataflexistylous (protandrous) and anaflexistylous
(protogynous). With the modification of reproductive organs owned by several genera in the family
zingiberaceae this then the pollinator in this family will also adapt so that pollination process still occur and
avoid the happening of inbreeding. In this article, the author wants to review some journals on how some
polinators adapt to this mechanism.
Keywords: Coevolence, Zingiberaceae, Flexistyle, Cataflexistylous, Anaflexistylous, Inbreeding
61 | SSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Review: Hubungan flexistyle pada....
Cabang Bandung
berada dalam posisi keatas (unreceptive) lalu bergerak tanaman Amomum subulatum (Gambar 2), didapatkan
kebawah dalam posisi receptive dimana stigma dapat hasil bahwa ketepatan waktu penyerbukan sangat
berinteraksi dengan polinator ( gambar 1). berpengaruh terhadap keberhasilan Amomum
Sedangkan saat tanaman dalam keadaan subulatum untuk menghasilkan pembuahan. Pada
anaflexistylous (protogynous) stigma berlawanan arah bunga yang dikunjungi oleh polinator yang dapat pada
dengan Cataflexistylous (protandrous). Selama proses pagi hari, tingkat keberhasilan penyerbukan
perbungaan stigma pada famili Zingiberaceae akan menunjukan keberhasilan yang sangat tinggi, hal ini
selalu bergerak namun anthers akan tetap pada dikarenakan jarak antara anther-stigma dengan
posisinya dan akan mengeluarkan pollen ketika posisi labellum yang tidak terlalu jauh sehingga pollen dapat
stigma berada diatas. Dengan demikian dalam proses terdepositkan dengan mudah pada saat lebah sedang
penyerbukannya, tanaman ini sangat membutuhkan mengambil nektar, sedangkan pada sore hari jarak
mekanisme tertentu ataupun polinator. antara anther-stigma cukup jauh sehingga ketika
lebah mengambil nektar polen tidak dapat menempel
pada bagian thorax lebah (Sinu et al., 2011).
62 | SSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Review: Hubungan flexistyle pada....
Cabang Bandung
DAFTAR PUSTAKA
Cui, X.L., Wei, R.C. & Huang, R.F. 1995. A
preliminary study on the genetic system of
Amomum tsao-ko. J. Yunnan. Univ. (Nat.Sci.)
17: 290–297.
Cui, X.L. & Li Q.J. 2015. Autonomous Self-
pollination under Dominant Flexistylous
Outcrossing Mechanisme in Alpinia galanga
(Zingiberaceae). Plant Diversity and
Resources. 37 (6): 793-800
Harder, L.D. & Wilson, W.G. 1998. A clarification of
pollen discounting and its joint effects with
inbreeding depression on mating-system
evolution. Am. Nat. 152: 684–695.
Li, Q.J., Xu, Z.F., Kress, W.J., Xia, Y.M., Zhang, L.,
Deng, X.B. et al. 2001. Flexible style that
encourages outcrossing. Nature 410: 432.
Li, Q.J., Kress, W.J., Xu, Z.F., Xia, Y.M., Zhang, L.,
Deng, X.B. et al. 2002. Mating system and
stigmatic behaviour during flowering of
Alpinia kwangsiensis (Zingiberaceae). Plant
Syst. Evol. 232: 123–132.
Ren, P.Y., Liu, M. & Li, Q.J. 2007. An example of
flexistyly in a wild cardamom species
(Amomum maximum (Zingiberaceae)). Plant
Syst. Evol. 267: 147–154.
Sinu, P.A., Kuriakose, G., & Shivanna, K.R. 2011. Is
the bumblebee (Bombus haemorrhoidalis) the
only pollinator of large cardamom in central
Himalayas, India?. Springer. 42: 690-695
Sun. S., Zhang.D.Y., Ives.A.R et al., 2011. Why do
stigmas move in a flexistylous plant ? (J).
Journal of Evolutionary Biology, 24 (3) : 497-
504
Takano, A., Gisil, J., Yusoff, M. & Tachi, T. 2005.
Floral and pollinator behaviour of flexistylous
Bornean ginger, Alpinia nieuwenhuizii
(Zingiberaceae). Plant Syst. Evol. 252: 167–
173.
Thomson, J.D. 1986. Pollen transport and deposition
by bumble bees in Erythronium: influences of
floral nectar and bee grooming. J. Ecol. 74:
329–341.
Thomson, J.D. & Plowright, R.C. 1980. Pollen
carryover, nectar rewards, and pollinator
behavior with special reference to Diervilla
lonicera. Oecologia 46: 68–74.
Zhang, L., Li, Q.J., Deng, X.B., Ren, P.Y. & Gao,
J.Y. 2003. Reproductive biology of Alpinia
blepharocalyx (Zingiberaceae): another
example of flexistyly. Plant Syst. Evol. 241:
67–76.
63 | SSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Media pengenalan jenis capung....
Cabang Bandung
Media Pengenalan Jenis Capung (Odonata) Sebagai Langkah Awal Konservasi Capung
di Kawasan Wisata Air Terjun Ironggolo Kabupaten Kediri
Inggit Tria Prameswari, Tutut Indah Sulistiyowati, Sulistiono, Poppy Rahmatika Primandiri
ABSTRAK
Capung merupakan salah satu fauna yang dapat ditemukan di kawasan wisata Air Terjun Ironggolo. Namun
keberadaannya belum banyak diketahui oleh pengunjung. Telah dilakukan penelitian tentang jenis capung di
kawasan wisata Air Terjun Ironggolo Kabupaten Kediri. Ditemukan lima jenis capung yang telah
teridentifikasi yaitu Orthetrum sabina, Trithemis festiva, Tholymis tillarga, Calopteryx maculata, dan
Coenagrien hastulatum. keberadaan capung perlu dikenalkan kepada pengunjung sebagai langkah awal
konservasi. Agar pesan konservasi dapat tersampaikan dibutuhkan media yang dapat mengenalkan jenis
capung pada pengunjung. penelitian pengembangan menggunakan model pengembangan ADDIE hingga
tahap Analysis untuk menentukan media yang akan dibuat. Instrumen yang digunakan adalah angket need
assessmen disertai wawancara sederhana. Dalam penelitian ini diketahui latar belakang pekerjaan pengunjung
didominasi oleh pelajar (45). Mayoritas tujuannya untuk berlibur yaitu sebanyak 76 %. Sumber informasi
tentang Air Terjun Ironggolo yang dipilih oleh pengunjung sebagian besar berupa media cetak yaitu sebanyak
42%. pengetahuan pengunjung tentang jenis capung tergolong rendah, mayoritas pengunjung tidak tahu nama
setiap jenis capung yaitu sebanyak 58%. Rata-rata hanya dapat menyebutkan nama daerah. nama tersebut
berlaku sama untuk semua jenis capung. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka media yang dapat
digunakan untuk mengenalkan jenis capung pada pengunjung adalah poster.
Kata kunci: Media, Capung, Ironggolo
ABSTRACT
Dragonfly is one of the fauna that can be found in Ironggolo waterfall. However, the presence of its place
haven’t know by visitor yet. Five species of dragonfly have been identified are Orthetrum sabina, Trithemis
festiva, Tholymis tilarga, Calopteryx maculata, and Coenagrion hastulatum. This research is first step from
ADDIE method. 100 respondent fill the questionnaire showed 45% are students. The majority purpose of
visiting is for vacation (76%). 42% visitor wonted get information by reading. The knowledge of tourist
about dragonfly is relatively low, they are do not know the difference between dragonfly species (58%). Most
of them only can mention by local name. Based on the result analysis, poster is proper media that can be used
to introduce the dragonfly to visitors.
Keywords: Dragonfly, Ironggolo, conservation, media
64 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Media pengenalan jenis capung....
Cabang Bandung
dapat mengenalkan flora fauna yang ada disana. Agar keragaman capung. Pengunjung menyebutkan jenis
pesan konservasi dapat tersampaikan dengan baik, capung sebatas menggunakan nama daerah. Hal
perlu didukung dengan menggunakan media. Media tersebut berlaku untuk semua jenis capung. Menurut
memiliki banyak peran dalam bidang konservasi salah Soendjoto (2016) berdasarkan ciri morfologi, capung
satunya sebagai penyampai informasi berupa terbagi menjadi dua subordo berbeda yaitu Anisoptera
himbauan dan isu-isu konservasi. dan Zygopeta (capung jarum). Keduanya memiliki
Jenis media sangat banyak serta memiliki karakteristik yang berbeda.
tujuan dan sasaran masing-masing. Oleh sebab itu
perlu dilakukan penelitian mengenai media
pengenalan jenis capung yang dapat diterapkan
sebagai langkah awal konservasi capung di kawasan
wisata Air Terjun Ironggolo kabupaten Kediri.
METODE
Penelitian dilakukan di kawasan wisata Air
Terjun Ironggolo Kabupaten Kediri. penelitian
dilakukan selama bulan Februari hingga Maret 2017.
Penelitian ini menggunakan model pengembangan
ADDIE (Analysis, Design, Developmen,
Implementation, Evaluation) hingga tahap Analysis.
Instrument penelitian menggunakan angket analisis
kebutuhan (need assessment) disertai wawancara
sederhana.
HASIL
Dalam penelitian ini dilakukan analisis Gambar 2. Persentase pengetahuan pengunjung
kebutuhan menggunakan angket pada pengujung tentang jenis-jenis capung.
untuk menentukan media konservasi yang dapat
dikembangkan, meliputi sumber informasi kawasan Masalah mendasar yaitu tidak tersedia
wisata, pengetahuan pengunjung tentang capung, sumber informasi tentang fauna khususnya capung di
tujuan berkunjung, dan latar belakang pengunjung. kawasan wisata Air Terjun Ironggolo. Hal tersebut
Berdasarkan hasil analisis kebutuhan menggunakan menjadi salah satu penyebab kurangnya pengetahuan
angket kepada 50 pengunjung, 62% pengunjung tidak pengunjung tentang capung yang ada di Ironggolo.
mengetahui tentang keberadaan capung di Ironggolo Hasil survei awal lokasi terlihat beberapa lokasi hanya
(Gambar 1). dipasang poster-poster himbauan dan larangan tidak
Konsentrasi pengunjung hanya pada membuang sampah sembarangan.
keindahan pemandangan tanpa memperhatikan fauna Air terjun Ironggolo telah banyak diketahui
yang ada khususnya capung. Pengunjung hanya bisa oleh masyarakat. wisatawan yang datang tidak hanya
menyebutkan dari warna saja, sebab sekilas semua dari kota Kediri saja, banyak juga yang berasal dari
capung terlihat sama. Dapat dikatakan bahwa luar kota. Hasil analisis menunjukkan mayoritas
sebagian besar pengunjung belum mengenal setiap pengunjung mengetahui informasi tentang Air Terjun
jenis capung yang ada di Ironggolo. Ironggolo dari media cetak yaitu sebanyak 42%
(Gambar 3). Hal tersebut Menandakan sebagian besar
pengunjung cenderung membaca informasi dalam
bentuk media visual yaitu media cetak.
65 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Media pengenalan jenis capung....
Cabang Bandung
66 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman jenis kupu-kupu....
Cabang Bandung
Livia Hananti1*,Raihan Anshari 1, Rina Dwi Ananda1, Dwi Putri Handayani1, dan Hikmat Kasmara 2
1
Mahasiswa Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran
2
Dosen Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran
*Alamat korespondensi: Liviahananti@gmail.com
ABSTRAK
Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Sangiang merupakan kawasan yang terletak di Selat Sunda dengan
potensi keanekaragaman fauna yang belum banyak diketahui diantaranya kupu-kupu. Penelitian tentang
keanekaragaman kupu-kupu dilakukan di TWA Sangiang, Banten pada tanggal 4-10 Agustus 2017.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan jumlah jenis kupu-kupu (Ordo Lepidoptera) serta
keanekaragamannya di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, Banten. Metode penelitian
menggunakan metode jelajah (survey) pada 3 tipe vegetasi yaitu vegetasi hutan dataran rendah, vegetasi
hutan pantai, dan vegetasi mangrove. Teknik pengambilan data menggunakan teknik direct swiping net yang
dilakukan pada pagi hari pukul 08.00-11.00 dan sore hari pukul 14.00-16.00. Hasil yang diperoleh terdapat
38 jenis dari total 49 individu, yang terbagi kedalam 3 suku yaitu suku Papilionidae (13 jenis), suku
Nymphalidae (16 jenis), dan suku Pieridae (9 jenis). Jenis yang dominan yaitu jenis Nymphalidae. Indeks
keanekaragaman (H’) yang diperoleh sebesar 3.567 dan indeks kemerataannya adalah 0.98. Berdasarkan
indeks keanekaragaman (H’) Shannon-Wiener nilai indeks keanekaragaman pada Pulau Sangiang tergolong
tinggi dan nilai indeks kemerataan Evenness (E) juga tergolong tinggi. Untuk penelitian selanjutnya
diharapkan dapat diperluas luas area jelajahnya.
Kata kunci: Keanekaragaman, Kupu-kupu, Pulau Sangiang, Vegetasi.
ABSTRACT
Sangiang Island Nature Park is an area located in the Sunda Strain with unknown potential of fauna
biodiversity such as butterflies. The research of butterflies biodiversity is done at Sangiang Island Nature
Park, Banten on 4-10 Agustus 2017. This study aims to determine the type and number of butterflies species
(order Lepidoptera) and it’s diversity in the area of Sangiang Islanda Nature Park , Banten. The research
method used the survey method at 7 points of research location is Tanjung Bajo, Kedondong Muara, Legon
Waru, Tembuyung, Mata Suta Beach, Tukik Beach, Green Garden Resort which generally consists of 3 types
of vegetation in example lowland forest vegetation, vegetation coastal forests, and mangrove vegetation.
Techniques of data collection using direct swiping net technique conducted in the morning at 08.00-11.00 and
afternoon at 14.00-16.00 on the three types of vegetation. There were 38 species out of 49 individuals,
divided into 3 tribes, Papilionidae (13 species), Nymphalidae (16 species), and Pieridae (9 species). The
dominant tribe is Nymphalidae. The index of diversity (H ') obtained is 3.567 and its evenness index is 0.98.
Based on the Shannon-Wiener's diversity index (H '), the diversity index value at Sangiang Island Nature Park
(TWA) is high and the Evenness (E) evenness is also high. For further research is expected to be expanded
wide roaming area.
Keyword: Butterfly, Diversity, Sangiang island, vegetation.
67 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman jenis kupu-kupu....
Cabang Bandung
H’ = 1-2 Rendah
H’ = 2-3 Sedang
H’ = 3-4 Tinggi
Gambar 1. Lokasi penelitian di kawasan Taman H’>4 Sangat tinggi
Wisata Alam Pulau Sangiang, Banten
68 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman jenis kupu-kupu....
Cabang Bandung
(2) Indeks kemerataan (E) dihitung menggunakan kupu adalah 150C hingga 450C dengan suhu optimum
indeks kemerataan Evenness (E) dengan rumus 250C. Connors (2002) dalam Florida (2015)
(Odum, 1993 dalam Florida, 2015): menjelaskan bahwa kupu-kupu berjemur di bawah
sinar matahari untuk menghangatkan tubuh sebelum
terbang. Kupu-kupu paling aktif pada suhu 370C, jika
Ket: E= indeks kemerataan jenis suhu lebih dari 370C maka kupu-kupu akan mencari
H’ = indeks keanekaragam jenis tempat berlindung.
S = jumlah seluruh jenis
Dengan kriteria (Cox 1996; Barbour et al. 1987 dalam Faktor Lingkungan
Rahayu, 2012): Faktor lingkungan yang mempengaruhi
kelangsungan hidup kupu-kupu yaitu suhu,
Indeks Kemerataan Penilaian
kelembaban, serta kecepatan angina (Florida dkk.,
E < 0.3 Rendah 2015). Pada penilitian ini 2 alat untuk mengukur
E 0.3 - 0.6 Sedang faktor abiotik atau digunakan data fisik yaitu Digital
E > 0.6 Tinggi instruments Model LM-8010 untuk mengukur
kelembaban relatif, temparatur udara, intensitas
HASIL DAN PEMBAHASAN cahaya dan kecepatan angin. Altimeter digunakan
Pada kawasan Taman Wisata Alam Pulau untuk mengukur ketinggian tempat. Hasil pengukuran
Sangiang diperoleh 38 spesies dari total 49 individu faktor abiotik dituliskan dalam tabel1.
yang terdiri dari 3 suku yaitu Papilionidae 13 jenis,
Nymphalidae 16 jenis, dan Pieridae 9 jenis yang Ketinggian Tempat dan Kecepatan Angin
disampaikan dalam (Tabel 1.). Berdasarkan indeks Ketinggian tempat atau topografi Taman
keanekaragaman (H’) Shannon-Wiener nilai indeks Wisata Alam Pulau Sangiang tidak terlalu tinggi
keanekaragaman pada Pulau Sangiang tergolong (berkisar dari 0-210 mdpl) dan rata-rata termasuk ke
tinggi yaitu 3.567. Sedangkan nilai indeks dalam kawasan dataran rendah. Perbedaan ketinggian
kemerataan Evenness (E) yang diperoleh yaitu 0.981. tempat/topografi tidak begitu berpengaruh terhadap
Berdasarkan hasil penelitian kehidupan kupu-kupu, hanya menyebabkan adanya
keanekaragaman jenis pada kawasan Taman Wisata perbedaan jenis kupu-kupu yang berdiam di daerah
Alam Pulau Sangiang tergolong tinggi. hal ini dapat yang tinggi dan daerah yang rendah yang
disebabkan oleh beberapa faktor seperti lokasi berhubungan dengan suhu karena tiap jenis kupu-
geografis, faktor biotik dan faktor abiotik. kupu memerlukan suhu yang berbeda-beda. Rerata
Lokasi Geografis kecepatan angin pada lokasi penelitian termasuk
Keanekaragaman flora dan fauna di suatu rendah (berkisar 0-0,4 m/s) hal ini disebabkan karena
wilayah tidak terlepas dari dukungan kondisi di vegetasi di lokasi penelitian berupa hutan dan semak.
wilayah itu. Pulau Sangiang merupakan pulau kecil Terdapat beberapa lokasi penelitian di daerah pantai
yang berada di Selat Sunda dan diapit oleh 2 pulau namun angin di wilayah tersebut tidak terlalu kencang
besar yaitu Jawa dan Sumatra, hal ini sangat karena terdapat hutan disekitar pantai tersebut.
berpengaruh terhadap keanekaragaman flora dan Vegetasi penyusun hutan sekunder berupa pepohonan
fauna di pulau ini. Pulau Sangiang dijadikan tempat dapat menjadi penghalang atau pemecah gelombang
singgah oleh satwa saat bermigrasi dari Pulau Jawa angin (Sulistyani dkk., 2014).
menuju Pulau Sumatera atau sebaliknya. Migrasi
fauna antar pulau memberi peluang bercampurnya Intensitas Cahaya
unsur dari 2 kelompok kawasan tersebut yang Rerata intensitas cahaya di Pulau Sangiang
menyebabkan flora dan fauna di pulau ini menjadi berkisar (12.300 Lux-4000 Lux) termasuk baik untuk
beranekaragam. Salah satu contoh yang membuktikan perkembangan imago kupu-kupu, kecuali pada Lokasi
bahwa satwa terutama kupu-kupu yang ada di Pulau II intensitas cahayanya sebesar 12.300 lux dan IV
Sangiang merupakan percampuran antara Pulau Jawa intensitas cahayanya sebesar 16.616 lux, intensitas
dan Sumatra yaitu kupu-kupu jenis Euploea gamelia cahaya matahari pada wilayah tersebut diatas kriteria
atau biasa disebut Javan crow, kupu-kupu ini yang baik untuk perkembangan imago. Namun di
merupakan kupu-kupu endemik Pulau Jawa (Whitten daerah tersebut masih ditemukan kupu-kupu karena di
et al., 1997). Kupu-kupu melakukan migrasi dalam lokasi II dan IV masih ditemukan beberapa tanaman
jumlah yang banyak (berkelompok) dengan arah yang termasuk food plant dari beberapa jenis kupu-
tertentu, untuk mencari tempat yang menyediakan kupu. Menurut Nurjannah (2010) dalam Sulistyani
cukup pakan bagi perkembangan larva (Hermawanto (2013) intensitas cahaya antara 2.000-7.500 lux baik
dkk., 2015). Islam et al (2013) menyatakan bahwa untuk perkembangan imago.
kelimpahan kupu-kupu dipengaruhi oleh faktor Intensitas cahaya merupakan faktor penting
abiotik yaitu suhu, kelembaban relatif, curah hujan, dalam keberadaan kupu-kupu di suatu wilayah.
intensitas sinar matahari, dan faktor biotik adalah Cahaya diperlukan untuk mengeringkan sayap kupu-
vegetasi. Jumar (1997) dalam Florida (2015) kupu pada saat keluar dari kepompong. Menurut
menyatakan bahwa kisaran suhu yang baik bagi kupu- Suantoro (2000) dalam Sulistyani (2013) cahaya akan
69 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman jenis kupu-kupu....
Cabang Bandung
memberikan energi panas kepada tubuh, sehingga di Pulau Sangiang cocok untuk aktivitas dan
suhu tubuh meningkat dan metabolisme menjadi lebih perkembangbiakan kupu-kupu.
cepat. Peningkatan suhu tubuh akan mempercepat
perkembangan larva kupu-kupu, Sayap kupu-kupu Suhu Udara
berperan dalam pengaturan panas tubuh (Suantara, Rerata temperatur lokasi penelitian berkisar
2000 dalam Sulistyani, 2013). Saat cuaca dingin 28,10C -34,170C. Nilai suhu tertinggi terdapat pada
kupu-kupu meningkatkan frekuensi berjemur dan lokasi IV yaitu 34,170C dan nilai terendah terendah
pembukaan sayapnya untuk mengumpulkan energi terdapat pada lokasi II yaitu 28,10C. Jumar (1997)
panas dari cahaya matahari untuk meningkatkan dalam Florida (2015) menyatakan bahwa kisaran suhu
temperatur tubuh. Bila suhu tubuh meningkat maka yang baik bagi kupu-kupu adalah 150C hingga 450C
kupu-kupu akan mencari tempat berteduh dengan suhu optimum 250C. Berdasarkan pernyataan
(Sihombing, 2002 dalam Sulistyani, 2013). diatas, suhu udara di lokasi penelitian tergolong baik
bagi kupu-kupu. Connors (2002) dalam Florida
Kelembaban Udara (2015) menjelaskan bahwa kupu-kupu berjemur di
Nilai kelembaban udara tertinggi terdapat bawah sinar matahari untuk menghangatkan tubuh
pada lokasi II yaitu 80% dan nilai kelembaban sebelum terbang. Kupu-kupu paling aktif pada suhu
terendah terdapat pada lokasi IV (60,6%). Untuk 370C, jika suhu lebih dari 370C maka kupu-kupu akan
dapat beraktifitas optimal umumnya kelembaban mencari tempat berlindung.
udara lingkungan kupu-kupu berkisar antara 60-75% Suhu berbanding terbalik dengan
(Kingsolver; Suwarno, 2012 dalam Febrita dkk., kelembaban. Semakin tinggi suhu lingkungan maka
2014). Untuk berkembangbiak, kupu-kupu kelembabannya akan semakin rendah (Febrita dkk.,
membutuhkan kelembaban udara yang lebih tinggi 2014). Kupu-kupu adalah organisme poikilotermal
yaitu berkisar antara 84-92%, namun kupu-kupu tidak yang suhu tubuhnya bergantung pada suhu lingkungan
mampu beradaptasi pada daerah yang memiliki sekitarnya (Sulistyani, 2013). Perubahan suhu udara
kelembaban terlalu tinggi yaitu >92% (Borror dkk, dapat mempengaruhi proses metabolisme tubuh
1992 dalam Febrita dkk., 2014). Berdasarkan serangga. Kupu-kupu memerlukan suhu yang hangat
pernyataan diatas dapat diketahui bahwa kelembaban untuk dapat terbang (Landman, 2001 dalam
Sulistyani, 2013).
tahi ayam (Tagetes erecta), alang-alang (Imperata vegetasi di pulau ini. Semakin banyak tanaman yang
cylindrica), pohon beringin (Ficus sp.) dan beberapa menjadi food plant dan host plant, semakin
tanaman dari suku Poaceae, Verbenaceae, serta beranekaragam pula kupu-kupu yang ada di wilayah
Palmae (Arecaceae). Walaupun di wilayah ini tersebut. Tingginya nilai indeks keanekaragaman jenis
ditemukan beberapa food plant kupu-kupu, namun menunjukkan keseimbangan lingkungan stabil dan
hanya sedikit jenis kupu-kupu yang ditemukan pada area tersebut mampu menyediakan sumber daya yang
wilayah ini seperti Danaus sp dan Euploea sp. selain dibutuhkan bagi kehidupan kupu-kupu (Febrita dkk.,
dikarenakan oleh intensitas cahaya matahari yang 2014). Menurut Sarma et al. (2012); Lodh dan
terlalu tinggi, pada wilayah ini terdapat banyak Agarwala (2016) dalam Irni dkk (2016), Indeks
burung dan merupakan habitat bagi burung-burung keanekaragaman juga dipengaruhi faktor abiotik
tersebut. Burung merupakan predator bagi larva kupu- seperti suhu, kelembaban udara serta intensitas cahaya
kupu (Rahayu,2012). Pada wilayah yang tersusun oleh yang sesuai dengan aktifitas kupu-kupu serta faktor
vegetasi hutan pantai terdapat tanaman pandan bidur jumlah jenis, jumlah individu masing-masing jenis
(Pandanus bidur), waru laut (Hibiscus tiliaceus), dan total individu sehingga dapat berubah sesuai
cemara laut (Casuarina equisetifolia), dan beberapa komposisi dan sebaran serta kelimpahan masing-
tanaman dari suku Lethycidaceae. Lokasi III adalah masing jenis.
Legon Waru yang tersusun oleh vegetasi hutan pantai, Nilai indeks kemereataan Evenness pada
pada lokasi ini ditemukan pohon ketapang Taman Wisata Alam Pulau Sangiang sebesar 0.98.
(Terminalia catappa), pandan bidur (Pandanus bidur), Menurut Barbour et al (1987) dalam Rahayu (2012),
alang-alang (Imperata cylindrica), johar (Cassia nilai kemerataan <0,3 menunjukkan tingkat
siamea), pohon kelapa (Cocos nucifera) dan beberapa kemerataan yang rendah, nilai kemerataan antara 0,3 –
tanaman dari suku Casuarinaceae dan Astreaceae. 0,6 menunjukkan tingkat kemerataan yang sedang,
Pada lokasi ini ditemukan beberapa jenis kupu-kupu dan nilai kemerataan >0,6 menunjukkan tingkat
seperti Eurema sp., Neptis hylas, Catopsilia pyranthe, kemerataan yang tinggi. Berdasarkan pernyataan
dan beberapa jenis dari suku Nymphalidae. Lokasi IV tersebut dapat diketahui bahwa nilai indeks
adalah Tembuyung, Pantai Tukik, dan Resort Green kemerataan pada kawasn Taman Wisata Alam Pulau
Garden, lokasi ini tersusun oleh vegetasi hutan pantai Sangiang tergolong tinggi. Indeks kemerataan spesies
dan hutan mangrove. Pada wilayah yang tersusun yang menunjukkan bahwa tidak ada satu spesies yang
vegetasi hutan pantai terdapat tanaman pohon mendominasi spesies lainnya. Semakin tinggi nilai
ketapang (Terminalia catappa), alang-alang (Imperata kemerataan spesies mengindikasikan bahwa jumlah
cylindrica), sengon (Albizzia falcataria), Cyperus individu setiap spesies semakin beragam
rotundus, bunga tembelakan (Lantana camara), dan (Winarni,2005 dalam Rahayu,2012).
beberapa tanaman dari suku Asteraceae dan
Annonaceae. Pada wilayah yang tersusun oleh SIMPULAN
vegetasi mangrove di dominasi oleh pohon bakau Berdasarkan hasil penelitian dapat
(Rhizophora mucronata). Pada lokasi IV ini kupu- disimpulkan bahwa total kupu-kupu yang tercatat di
kupu yang sering ditemukan adalah dari suku kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang
Papilionidae seperti Graphium sarpedon, Papilio sebanyak 38 jenis dari total 49 individu, yang terbagi
peranthus, Papilio memnon, serta Graphium kedalam 3 suku yaitu suku Papilionidae (13 jenis),
agamamemnon. Amer et al. (2003) dalam Sulistyani suku Nymphalidae (16 jenis), dan suku Pieridae (9
dkk (2014) menyatakan bahwa kupu-kupu memiliki jenis). Nilai indeks keanekaragaman yang jenis yaitu
perbedaan kesukaan terhadap sinar matahar langsung. sebesar 3.57 tergolong ke dalam kriteria tinggi,
Walaupun intensitas cahaya matahari di area ini tinggi keanekaragaman jenis erat hubungannya denga
tetapi kupu-kupu jenis papilionidae sering ditemukan vegetasi karena semakin tinggi nilai keanekaragaman
pada lokasi ini karena kupu-kupu dari suku jenis maka semakin banyak tanaman yang menjadi
Papilionidae mempunyai sayap yang besar. Kupu- food plant dan host plant. Nilai indeks kemerataan
kupu, khususnya dari superfamily Papilionoidea, evenness yaitu sebesar 0.981 yang tergolong ke dalam
sangat menyukai cahaya. Cahaya diperlukan untuk kriteria tinggi, semakin tinggi nilai kemerataan spesies
mengeringkan sayap kupu-kupu pada saat keluar dari mengindikasikan bahwa jumlah individu setiap
kepompong. Cahaya akan memberikan energi panas spesies semakin beragam.
kepada tubuh, sehingga suhu tubuh meningkat dan
metabolisme menjadi lebih cepat. Peningkatan suhu UCAPAN TERIMA KASIH
tubuh akan mempercepat perkembangan larva kupu- Terima kasih diberikan kepada Balai
kupu (Suantara, 2000 dalam Sulistyani, 2013). Konservasi Sumber Daya Alam Banten atas izinnya
Nilai indeks keanekaragaman Shannon- untuk melakukan penelitian di kawasan Taman
Wiener (H’) pada Taman Wisata Alam Pulau Wisata Alam Pulau Sangiang, kepada panitia
Sangiang yaitu sebesar 3.57 tergolong ke dalam Observasi Wahana Alam IV Himpunan Mahasiswa
kriteria tinggi karena H’= 3-4 (Barbour et al. 1987 Biologi UNPAD yang telah mengadakan penelitian
dalam Rahayu, 2012). Tingginya nilai H’ pada Taman ini, kepada Tim Entomologi OWA IV yang telah
Wisata Alam Pulau Sangiang berhubungan dengan membantu dalam pengambilan data, dan kepada
71 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman jenis kupu-kupu....
Cabang Bandung
72 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keanekaragaman jenis kupu-kupu....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Inger-inger (Neotermes tectonae Damm) termasuk binatang kelas Insecta dari Ordo Isoptera. Inger-inger juga
disebut sebagai rayap pohon dan sering menyerang pada pohon Jati (Tectona grandis) yang masih hidup.
Serangan Inger-inger terjadi pada pohon sehat serta bagian yang mati,lapuk, dan bekas luka.Inger-inger
mencerna sellulosa yang pada potongan kayu maupun tanaman yang masih hidup. Akibatnya pohon
tersumbat, sistem penyaluran bahan makanan dan mengalami pembengkakan ( gembol) , kulit pohon akan
pecah-pecah /mengelupas dan tidak berproduksi kembali. Penelitian ini bertujuan mengetahui frekuensi
serangan Inger-inger terhadap tegakan Jati (Tectona grandis) dan kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh
serangan. Berdasarkan hasil penelitian ada 2 bentuk kerusakan yaitu dari luar (berupa gembol pada batang
atau bagian yang terserang, keadaan kulit pohon yang pecah-pecah dan pengelupasan ) dan kerusakan dalam
batang pohon , terlihat liang-liang kembara rayap secara melintang, membujur dan melingkar. Frekuensi
serangan serangga Inger-inger,dari 40 petak pengamatan , terdapat 9 petak yang terserang Inger-Inger,
dipetak 39c dengan Frekuensi serangan antara 19,05% sampai dengan 55,56%. Hasil pengukuran suhu dan
kelembaban pada daerah tersebut adalah 24,5 °C dan 81,56%. Kondisi tersebut merupakan kondisi ideal bagi
perkembangan serangga Inger-inger. Berdasarkan frekuensi serangan Inger-inger, akibat serangan serangga
tersebut diduga kerugiannya sebesar Rp. 81.570.000,- .Tingginya nilai kerugian tersebut diakibatkan oleh
hilangnya nilai ekonomis kayu.
Kata Kunci : Inger-inger, Tegakan Jati, Frekuensi Serangan, Ekonomis Kayu.
ABSTRACT
Inger-inger (Neotermes tectonae Damm) incluiding Arthropoda animal, calss of insecta of Isoptera ordo.
Isoptera come from Greek, iso mean same and ptera mean wing, this name relate at reproduce caste because
they have a couple of wing with size measure and from between front wing and behind is same. Inger-inger
also often conceived of by tree white ants and in general spread over between latitude 50 °LU - 50°LS. This
insect attack at teak tree (Tectona grandis) which still alive above the ground. Attack of Inger-inger happened
at parts of mouldy or dead tree and also at hurt second hand, then continued at part of healthy . Inger-inger
then digest cellulose found on wood cutting and also crop which above the ground. Effect of this activity of
attacked tree will experience of gagging at system chanelling of food cortex will break and flake cap it all tree
cannot be productive return. This research want to know attack frequency of Inger-inger at teak tree and
economic loss resulted by attack of Inger-inger. Pursuant to result of research found damage from that is
visible damage from outside and damage which do not see from outside. Damage of which can see from
outside in the form of vision of gembol-gembol at attacked shares or bar, seen caves wander ants at visible bar
athwart, circle and lengthwise. Effect of damage of attacked tree experience of growth trouble and
degradation of bar quality. Attack frequency of Inger-inger at RPH Curah Jati BKPH Curah Jati KPH South
Banyuwangi from result of perception an 40 check of perception , there are nine check of attacked Inger-inger
with attack frequency among 19,05% up to 55,56%. Ninth check of perception spread over by group at check
area 39c. At the area anticipated to have the condition of more supporting environment of life of Inger-inger .
Result of measurement of dampness and temperature at the area is 24,50°C and 81,56 %. The condition
represents ideal condition to growth of Inger-inger. Pursuant to attack frequency of Inger-inger that happened
calculated by wood value, effect of the insect attack anticipated by loss becauese of attack of Inger-inger is
Rp. 81.570.000,- . Height asses the loss resulted from the loss off economic value of wood.
Keywords: Inger-inger, teak, frequency of attact, economical wood.
74 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Frekuensi serangan serangga inger....
Cabang Bandung
berbagai jenis faktor perusak hama. Hama Jati yang menjadi dua bagian, selanjutnya diamati bentuk-
telah dikenal sejak lama adalah rayap pohon bentuk kerusakannya terutama arah dan bentuk liang
(Neotermes tectonae Damm) atau yang dikenal gerek. Semnetara itu pengamatan arah tangensial
sebagai Inger-inger. dilakukan dengan membelah batang menjadi dua
Menurut data dari Perum Perhutani, daerah bagian.
endemik serangan Inger-inger di Jawa Timur selain di Kerugian Ekonomis
KPH Cepu adalah KPH Banyuwangi dan Kebonharjo. Kerugian ekonomis dihitung berdasrakan
Frekuensi serangan inger-inger pada kedua KPH nilai kayu yang hilang akibat serangan inger-inger ,
tersebut sangat tinggi, namun hingga saat ini data dengan demikian kerugian ekonomis pada penelitian
kerusakannya belum secara rinci diketahui. Oleh ini dihitung berdasrkan persamaan sebagai berikut :
karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengukur Kerugian Ekonomis (Rp) = volume kayu terserang
frekuensi serangan Inger-inger yang dilakukan di inger-inger (m3) x Nilai Kayu (Rp)/m3
salah satu RPH di BKPH Grajagan KPH Banyuwangi
Selatan serta untuk menegtahui taksiran kerugian HASIL DAN PEMBAHASAN
akibat kerusakan yang disebabkan oleh inger-inger. Bentuk Kerusakan Serangan Hama Inger-inger
Hasil pengamatan pada pohon Jati yang
BAHAN DAN METODE terserang inger-inger menunjukkan bahwa serangga
Waktu dan Tempat ini seluruhnya menyerang bagian batang pohon Jati
Penelitian dilaksanakan pada September dan tidak dijumpai adanya inger-inger yang
2016-Januari 2017 yang mengambil lokasi di kawasan menyerang bagian cabang. Kondisi ini diduga
hutan Jati RPH Curah Jati BKPH Grajagan KPH diakibatkan oleh masih rendahnya kelas umur Jati
Banyuwangi Selatan. sehingga belum ada cabang yang berukuran besar
Alat dan Bahan sebagai tempat inger-inger.
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah Penampakan Kerusakan pada Permukaan Batang
peta kerja, Roll meter, cat, kuas, Termometer, alat Inger-inger masuk ke dalam kayu melalui
pengukur kelembaban (Hygrometer), alat tulis dan lubang atau celah pada bagian pohon yang mengalami
kamera. Sedangkan obyek dari penelitian ini adalah gangguan seperti lapuk atau mati dan selanjutnya
tegakan jati di RPH Curah Jati BKPH Grajagan KPH setelah beberapa saat akan diteruskan kebagian kayu
Banyuwangi Selatan. yang sehat.
Metode Penelitian Aktivitas serangan Inger-inger dengan cara
Pembuatan Petak Pengamatan menggerek ke arah samping . Pada tempat-tempat
Petak pengamatan berupa plot pengukuran tersebut laron mencari lubang-lubang atau celah-celah
dengan ukuran 20 x 20 m yang dibuat secara acak di yang ekmudian akan bergerak memperbesar liangnya
setiap anak petak , yang berada di RPH Curah Jati . ke bagian dalam (kayu gubal dan teras).
Pada masing- masing anak petak dibuat 1 (satu ) petak Bentuk serangan melingkar diawali pada
pengamatan sehingga total petak pengamatan kayu gubal kemudian diteruskan pada kayu teras,
sebanyak 40 petak pengamatan. Batas-batas petak sehingga bagian yang terserang akan terlihat
pengamatan ditandai dengan menggunakan tali menggembol secara melingkar dan berbelah-belah.
plastik. Setelah beberapa lama inger-inger mendiami pohon,
Pengamatan Intensitas Serangga gejala baru akan terlihat tiga sampai empat tahun,
Tingkat serangan inger-inger pada tegakan bahkan ada yang sampai tujuh tahun. Kemungkinan
jati menurut Subyanto (1995) dapat ditentukan dengan gejala berupa gembol tersebut baru terlihat pada kelas
menggunakan intensitas sampling (IS) , yang dihitung umur III, dan kulit pohon kasar.
berdasarkan persamaan sebagai berikut : Pada saat serangan semakin parah maka kulit
pohon akan tampak pecah-pecah. Hal ini akan
IS = (Jumlah Pohon yang diserang pada masing- berakibat tidak baik pada tegakan, di samping pohon
masing petak contoh : Jumlah Pohon dalam seluruh akan mati juga akan menurunkan mutu kayu bahkan
petak contoh) x 100 % kayu tidak dapat dimanfaatkan sama sekali.
Dengan Kriteria :
Ringan, jika IS =˂ 15%
Sedang, jika IS = 15 – 49 %
Berat, jika IS = ˃ 50%
Penampakan pada arah radial terlihat pada setiap petak pengamatan yang terserang disajikan
bagian dalam batang, tampak apabila batang yang pada tabel 2.
terserang dipotong. Inger-inger menyerang pada kayu
gubal , kemudian kayu teras , arah gerekan adalah ke Tabel 1. Tingkat Serangan Hama Inger-inger pada
arah samping. Ukuran lubang gerek dari aktivitas Kelas Umur III.
inger-inger rata-rata 2 Cm. Bentuk kerusakan pada Petak Σ Pohon Σ Pohon Frekuensi
arah radial disajikan pada Gambar 1. Pengamatan Dalam yang Serangan
Penampakan Kerusakan Pada Arah Tangensial Petak Terserang
Inger-inger tampak menggerek batang searah Contoh dalam
Petak
serat, dengan membentuk liang-liang gerek
Contoh
memanjang dan saling berhubungan . Pada awalnya 9 47 10 21,28
terjadi pelebaran yang dapat mencapai kulit batang 10 42 8 19,05
pada tempat pertama Inger-inger masuk. 17 55 23 41,82
Akibat pelebaran liang gerek akan 16 48 12 25,00
menghambat aliran makanan sehingga merangsang 15 47 13 27,66
tumbuhnya tunas air. Sebagai reaksi kambium 14 39 9 23,10
membentuk lingkaran tumbuh yang lebih lebar 21 41 10 24,39
sehingga mengakibatkan terjadinya gembol. 22 44 20 45,45
Frekuensi Serangan 23 45 25 55,56
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap Σ 408 130 273,20
frekuensi serangan inger-inger di RPH Curah Jati di Ṝ 45,33 14,44 30,36
40 Petak Pengamatan, terdapat sembilan petak
pengamatan yang terserang inger-inger dengan Tabel 2. Kerugian Ekonomis Serangan Inger-inger
intensitas serangan antara 19,05% sampai dengan pad Kelas Umur III di RPH Curah Jati.
55,56% . Data selengkapnya disajikan pada Tabel 1. No.Petak Volume Kerugian ekonomis (
Kesembilan petak pengamatan tersebar secara (m3) Rp)
mengelompok pada daerah petak 39°C. Pada daeran 9 1.122 6.907.400
tersebut diduga memiliki kondisi lingkungan yang 10 1.132 6.924.400
lebih menudukung kehidupan inger-inger. Hasil 17 3.059 10.200.300
pengukuran suhu dan kelembaban di daerah tertentu 16 1.472 7.502.400
adlah 25,5 – 27°C dsn 81-85,56%. Kondisi tersebut 15 1.568 7.665.600
merupakan kondisi ideal bagi perkembangan inger- 14 1.013 6.722.210
inger. Tempat tumbuh yang lembab dan hangat akan 21 1.568 7.665.600
disukai oleh Inger-inger untuk hidup dan berkembang
22 2.521 6.722.210
biak . Kondisi ini serupa dengan sifat jenis rayap
lainnya dari kelompok rayap pohon atatu rayap kayu 23 2.859 9.860.300
basah, yang menyukai kayu –kayu dengan kadar air Jumlah 16.314 80.030.720
tinggi. Kandungan kadar air kayu ini berkorelasi
dengan kelembaban lingkungan di sekitarnya. Berdasarkan data pada tabel 2 total kerugian
Tarumingkeng (2000) kelembaban yang cocok untuk ekonomis akibat serangan inger-inger di RPH Curah
perkembangan rayap adalah kelembaban yang tinggi , Jati BKPH Grajagan KPH Bnyuwangi Selatan adalah
yaitu hampir mencapai 100% . Pada tegakan jati Rp. 80.030.720,00 dengan luas petak pengamatan
kelembaban terkait dengan kadar air pada kayu jati itu yang terserang sebesar 28.8575 Ha. Nilai kerugian ini
sendiri. tentunya sangat besar dan tidak termasuk kerugian
Kerugian Ekonomis yang dihitung dari persiapan penanaman, penyediaan
Tanaman yang terserang inger-inger pada bibit dan biaya pemeliharaan tegakan selama 30
umumnya tidak akan menyebabkan kematian, tahun. Besar nilai kerugian diakibatkan hilangnya
meskipun kadang kematian pucuk seringkali terjadi nilai ekonomis kayu jati yang terserang inger-inger.
akibat serangan inger-inger, sehingga tumbuh pucuk Kayu yang terserang inger-inger tidak laku dijual
baru. Pembentukantunas-tunas akan menyebabkan sehingga tidak bernilai secara ekonomis.
penurunan kualitas batang akan rendahnya tinggi
bebas cabang . Selain hal di atas, serangan inger-inger SIMPULAN
akan meyebabkan rentannya pohon terhadap angin. Kesimpulan
Batang kayu Jati yang terserang inger-inger akan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ,
menurun kualitasnya bahkan pada tingkat serangan dapat disimpulkan sebagai berikut :
berat nilai kayu menjadi sangat rendah karena tidak Bentuk kerusakan jati yang terserang inger-
diperjualbelikan. Berdasarkan kondisi ini terjadi inger tampak dibagian permukaan , yang membentuk
kerugian ekonomis yang sangat berarti. Perkiraaan gembol pada bagian batang, kulit pohon pecah-[ecah
kerugian ekonomis akibat serangan inger-inger pada dan kasar serta pada kerusakan yang parah kulut
pohon akan mengelupas.
76 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Frekuensi serangan serangga inger....
Cabang Bandung
DAFTAR PUSTAKA
77 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Korelasi panjang probosis kupu....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Probosis kupu-kupu berhubungan dengan pakannya, yaitu nektar. Panjang probosis kupu-kupu diduga
berhubungan dengan panjang tabung bunga sumber pakannya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui
korelasi antara panjang probosis kupu-kupu famili Nymphalidae dengan panjang tabung bunga. Pengambilan
data dilaksanakan pada bulan Juni hingga Agustus 2017 di tujuh titik lokasi pengamatan di Kawasan
Universitas Indonesia, Depok dengan menggunakan metode jelajah bebas. Analisis data menggunakan uji
korelasi Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata panjang probosis kupu-kupu famili
Nymphalidae berkisar 0,57—1,7cm, sedangkan rata-rata panjang tabung bunga yang dikunjungi kupu-kupu
berkisar 0,45—1,69cm. Hasil analisis data menggunakan perangkat lunak IBM SPSS Statistics 22
menunjukkan angka koefisien korelasi sebesar 0,16 dengan P = 0,659. Berdasarkan hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi panjang probosis kupu-kupu famili Nymphalidae dengan panjang
tabung bunga yang dikunjunginya di Kawasan Universitas Indonesia, Depok. Tidak adanya korelasi antara
panjang probosis kupu-kupu dengan panjang tabung bunga yang dikunjunginya lebih disebabkan karena
perilakunya yang adaptif ketika ukuran panjang probosis dan tabung bunga berbeda.
Kata kunci: korelasi, nektar, Nymphalidae, probosis, tabung bunga.
ABSTRACT
Proboscis of butterflies was associated with nectar as their food resources. The proboscis length of the
butterflies is related to the length of the flowers tube of its nectar source. The aim of this research is to know
the correlation between the length of butterflies’ proboscis with the length of flowers tube. Data was
collected from June to August 2017 at seven points of observation location at the Universitas Indonesia,
Depok by using the free roaming method. The data was analysed using Spearman correlation test. The results
showed that the length of the butterflies’ proboscis (Family: Nymphalidae) ranged from 0.57 to 1.7 cm, while
the average length of the flower tube ranged from 0.45 to 1.69 cm. The results showed the correlation
coefficient is 0.16 with P = 0.659. Based on these results it can be concluded that there is no correlation
between the Length of butterfies’ proboscis (family : Nymphalidae) and the length of flower tube in the
Universitas Indonesia, Depok. The absence of a correlation between the length of the butterflies’ probosis
and the length of the tube the flower is more due to its adaptive behavior when the length of the probosis and
the flower tube are different.
Keywords: correlation, nectar, Nymphalidae, probosis, flower tube.
78|ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Korelasi panjang probosis kupu....
Cabang Bandung
yang tidak sesuai akan sulit atau tidak dapat Analisis data dilakukan dengan uji korelasi Spearman
menjangkau nektar yang berada di dalam tabung menggunakan perangkat lunak IBM SPSS Statistics
bunga yang terlalu dalam. Sementara itu, kupu-kupu 22.
yang memiliki probosis yang panjang mendapatkan
keuntungan dalam mendapatkan nektar yang HASIL DAN PEMBAHASAN
tersembunyi dengan melimpah karena kurangnya Hasil penelitian pada tujuh lokasi penelitian
pesaing yang mampu menjangkau tabung bunga yang menemukan sepuluh spesies kupu-kupu dari famili
dalam (Bauder et al., 2011; Bauder et al., 2015). Nymphalidae yang memiliki perbedaan rata-rata
Berdasarkan penelitian, ada dugaan lain bahwa panjang probosis, yaitu Doleschallia bisaltide (jantan
beberapa kupu-kupu bersifat oportunisme, yaitu dan betina), Euploea eunice, Euploea phaenarete,
mendapatkan keuntungan dengan mengambil nektar Hypolimnas bolina, Ideopsis juventa, Junonia
dari bunga secara melimpah tanpa membantu dalam hedonia, Junonia iphita, Mycalesis horsfieldi, dan
proses polinasi. Bahkan, hal tersebut dapat Ypthima horsfieldii. Rata-rata panjang probosis kupu-
menimbulkan kerugian bagi bunga yang dikunjung kupu berkisar 0,57—1,7cm. Spesies kupu-kupu yang
oleh kupu-kupu tersebut. Contohnya, kupu-kupu memiliki probosis paling pendek adalah Ypthima
pencuri nektar dapat mengambil persediaan nektar horsfieldii, yaitu sepanjang 0,57cm, sedangkan kupu-
Calathea, sehingga menyisakan sedikit nektar untuk kupu dengan probosis paling panjang yaitu
Euglossini yang merupakan polinator Calathea Doleschallia bisaltide (jantan), sepanjang 1,7cm.
(Bauder et al., 2015). Spesies kupu-kupu yang paling banyak mengunjungi
Penelitian bertujuan untuk mengetahui korelasi bunga dari berbagai spesies berbeda adalah
antara panjang probosis kupu-kupu (Lepidoptera: Doleschallia bisaltide (betina), yaitu mengunjungi
Nymphalidae) dengan panjang tabung bunga yang tujuh spesies bunga (Tabel 1).
dikunjunginya, dengan mengambil sampel di Menurut Levetin dan Mc Mahon (1999 lihat
Kawasan Universitas Indonesia, Depok. Bariyah, 2011), kupu-kupu akan mengunjungi suatu
bunga karena adanya aroma dan nektar yang
BAHAN DAN METODE dihasilkan bunga tersebut. Selain itu, warna dan
Alat-alat yang digunakan selama penelitian bentuk bunga juga memengaruhi dalam kunjungan
yaitu jaring serangga, alat tulis, buku identifikasi kupu-kupu ke suatu bunga. Sebagian besar kupu-kupu
kupu-kupu, pinset, penggaris, jarum pentul, jarum akan mengunjungi bunga yang berwarna cerah (Sari,
suntik, kotak penyimpanan, laptop, dan kamera. 2013). Kupu-kupu mengunjungi bunga terutama
Bahan yang digunakan yaitu sampel kupu-kupu, untuk mengambil nektar yang merupakan pakannya.
sampel bunga yang dikunjungi kupu-kupu, kertas Nektar yang dihasilkan kelenjar nektaria tumbuhan
papilot, silica gel, ziplock, dan lembar pengamatan. mengandung gula (sukrosa, glukosa, fruktosa), serta
Penelitian dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan komponen lain seperti protein, asam organik, pigmen,
Juni hingga Agustus 2017 di tujuh titik lokasi vitamin, mineral, enzim, dan zat aroma (Situmorang
pengamatan yang berada di Kawasan Universitas & Hasanudin, 2014).
Indonesia, Depok. Ketujuh titik lokasi pengamatan Bunga yang diamati dan diukur panjang
tersebut yaitu Wales Timur Hutan Kota UI, sepanjang tabungnya berjumlah sembilan spesies, yaitu
Danau Mahoni, sekitaran PPMT, Menara Air, dan Lab Asystasia gangetica, Clibadium surinamens, Lantana
Alam FMIPA UI, dan dua titik lokasi di Wales Barat camara, Xanthostemon verticillatus, Bougainvillea
Hutan Kota UI. spectabilis, Chromolaena odorata, Clerodendron
Metode yang digunakan adalah metode jelajah serratum, Sphagneticola trilobata, dan Ageratum
bebas, yaitu berjalan menelusuri jalur pengamatan, conyzoides. Rata-rata panjang tabung bunga yang
serta mengamati lokasi bunga yang dikunjungi kupu- dikunjungi kupu-kupu berkisar 0,45—1,69cm. Bunga
kupu. Kupu-kupu yang mengunjungi bunga yang yang paling banyak dikunjungi kupu-kupu dari famili
diamati kemudian ditangkap menggunakan jaring Nymphalidae adalah Asystasia gangetica, yang
serangga. Kupu-kupu yang mengunjungi bunga dikunjungi sembilan spesies kupu-kupu. Asystasia
didokumentasikan dengan kamera Canon Ixus 125 gangetica merupakan bunga dengan tabung yang
HS. Kupu-kupu yang ditangkap diukur panjang paling panjang, yaitu sepanjang 1,37cm (Tabel 1).
probosisnya dengan menggunakan penggaris. Menurut Priwiratama (2011 lihat Huwaida, 2016),
Pengukuran panjang probosis setiap spesies dilakukan Asystasia gangetica merupakan tumbuhan herba
pada tiga individu. Seusai diukur, kupu-kupu merambat dan bercabang yang termasuk ke dalam
dipreservasi dengan cara dikeringkan dan disimpan di famili Acantheceae. Tumbuhan tersebut memiliki
kertas papilot, kemudian dimasukkan ke dalam kotak bunga majemuk yang muncul dari ujung batang atau
penyimpanan. Selain itu, panjang tabung bunga juga ketiak daun yang tidak bercabang. Mahkota bunga
diukur dengan menggunakan penggaris dan dilakukan menyerupai lonceng yang berwarna putih, dengan
pada tiga bunga. bibir bawah mahkota bunga menekuk berwarna
Data yang dikumpulkan yaitu nama spesies sepasang bercak ungu yang saling berhadapan
kupu-kupu dan bunga yang dikunjuinya, serta panjang (Huwaida, 2016).
probosis kupu-kupu dan tabung bunga tersebut.
79|ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Korelasi panjang probosis kupu....
Cabang Bandung
Tabel 1. Data rata-rata panjang probosis kupu-kupu dan rata-rata panjang tabung bunga yang dikunjunginya.
Rata-rata Panjang Rata-rata
panjang Spesies Bunga yang tabung panjang
Spesies kupu-kupu
probosis Dikunjungi bunga tabung bunga
(cm) (cm) (cm)
Doleschallia bisaltide 1.53 Asystasia gangetica 1.37 0.98
(betina) Clibadium surinamens 0.48
Lantana camara 0.9
Xanthostemon verticillatus 0.84
Bougainvillea spectabilis 2
Chromolaena odorata 0.48
Clerodendron serratum 0.79
Ypthima horsfieldii memiliki probosis dengan panjang mengunjungi Bougainvillea spectabilis dengan
0,57cm. Beberapa bunga yang dikunjungi oleh panjang tabung 2cm (Bauder, 2011).
Ypthima horsfieldii adalah Asystasia gangetica, Analisis data menggunakan perangkat lunak
Sphagneticola trilobata dan Lantana camara, IBM SPSS Statistics 22 menunjukkan angka koefisien
memiliki ukuran tabung lebih panjang dari panjang korelasi sebesar 0,16 dengan P = 0,659. Hasil tersebut
probosisnya, yaitu dengan masing-masing memiliki menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara
panjang tabung 1,37cm, 0,7cm dan 0,9cm. panjang probosis kupu-kupu dengan panjang tabung
Berdasarkan data pengamatan, Ypthima horsfieldii bunga yang dikunjunginya.
terlihat berusaha untuk memasukkan kepalanya ke Kupu-kupu yang memiliki probosis yang
dalam tabung bunga, sehingga dapat menjangkau panjang pada umumnya akan mengunjungi bunga
lokasi nektar yang berada di dalam tabung bunga yang sesuai atau lebih pendek ukuran tabungnya
tersebut. Begitu pula yang terjadi pada spesies lainnya dibandingkan probosisnya. Hal tersebut terjadi pada
yang memiliki probosis yang lebih pendek dari tabung Doleschallia bisaltide (jantan dan betina), Euploea
bunga yang dikunjunginya, yaitu Ideopsis juventa, Eunice, Euploea phaenarete, Hypolimnas bolina,
Junonia hedonia, dan Junonia iphita dengan panjang Junonia hedonia, dan Ypthima horsfieldii yang
masing-masing probosis 1,23cm, 1,1cm, dan 1,15cm mengunjungi bunga lain dengan ukuran tabung bunga
mengunjungi Asystasia gangetica, serta Doleschallia yang lebih pendek dari panjang probosisnya.
bisaltide (betina) dan Hypolimnas bolina dengan Penelitian yang dilakukan oleh Bauder (2011)
masing-masing panjang probosis 1,53cm dan 1,48cm menunjukkan bahwa Eurybia lycisca membutuhkan
80|ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Korelasi panjang probosis kupu....
Cabang Bandung
waktu yang lebih lama untuk mengambil nektar Biologi FMIPA Universitas Islam Negeri
karena probosisnya yang panjang. Oleh karena itu, (UIN) Syarif Hidayatullah. Jakarta: 87 hlm.
Eurybia lycisca akan lebih memaksimalkan Bauder, J.A.S., A.D. Warren & H.W. Krenn. 2015.
pengambilan nektar pada jenis-jenis bunga tertentu The ecology role of extremely long-proboscid
yang mampu menyediakan nektar yang melimpah. Neotropical butterflies (Lepidoptera:
Selain itu, morfologi bunga dapat menimbulkan Hesperiidae) in plant-pollinator networks.
kompetisi bagi serangga sebagai pemakan nektar. Springer. 9: 415-424.
Ukuran probosis kupu-kupu yang panjang merupakan Bauder, J.A.S., Nora R. Lieskonig & Harald W.
salah satu adaptasi untuk mendapatkan akses sumber Krenn. 2011. The extremely long tongued
nektar yang tersembuyi di dalam tabung bunga. Neotropical butterfly Euybia lycisca
Dengan adaptasi khusus itu, kupu-kupu pemilik (Riodinidae): probosis morphology and flower
probosis panjang akan memperoleh nektar yang handling. Elsevier. 40: 122-127.
melimpah tanpa ada pesaing (Bauder et al., 2011). Faegri, K. & van der Pijil L. 1979. The principles of
Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa pollination ecology. Dalam Hungston, A.D. &
kupu-kupu yang memiliki probosis lebih panjang dari Peter, B.Mc.Q. 2000. Are pollination
tabung bunga yang dikunjunginya tidak perlu syndromes useful predictors of floral vositors
memasukkan kepalanya ke dalam tabung bunga, in Tasmania?. Austral Ecology. 25: 600-609.
bahkan tidak memasukkan semua probosisnya. Kupu- Ghazanfar, Mobeen, Muhammad Faheem Malik,
kupu tersebut hanya memasukkan probosisnya sesuai Mubashar Hussain, Razia Iqbal & Misbah
dengan panjang tabung bunga yang dikunjunginya Younas. 2016. Butterflies and their
(Bauder et al., 2015). Sementara itu, kupu-kupu contribution in ecosystem: a review. Journal of
dengan probosis lebih pendek daripada tabung bunga Entomology and Zoology Studies. 4(2): 115-
yang dikunjunginya berusaha mencapai dasar tabung 118.
bunga dengan cara memasukkan kepalanya ke dalam Huwaida, U.N. 2016. Preferensi pakan kupu-kupu di
tabung bunga. Oleh karena itu, tidak adanya korelasi Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa
antara panjang probosis kupu-kupu dengan panjang Barat. Skripsi S-1 Departemen Biologi FMIPA
tabung bunga yang dikunjunginya lebih disebabkan UI, Depok: xiv + 56 hlm.
karena perilakunya yang adaptif ketika ukuran Moore, Aubrey. 2013. Insect Orders. University of
panjang probosis dan tabung bunga berbeda. Panjang Guam. Guam: 24 pp
probosis yang dimiliki kupu-kupu merupakan salah Peggie, Djunijanti & Mohammad Amir. 2006.
satu bentuk adaptasi untuk mendapatkan nektar. Practical guide to the butterflies of Bogor
Beberapa jenis kupu-kupu dengan probosis panjang Botanic Garden. Bidang Zoologi Pusat
akan mengambil nektar di dalam tabung bunga yang Penelitian Biologi LIPI. Jakarta: v + 126 hlm.
pendek untuk memaksimalkan perolehan nektarnya, Peggie, Djunianti. 2011. Kupu-kupu Indonesia yang
meskipun mampu memperolehnya dari jenis-jenis bernilai dan dilindungi. PT Binamitra
bunga lain (Bauder et al., 2011). Megawarna. Jakarta: vi + 72 hlm.
Sari, E.F.W. 2013. Keanekaragaman kupu-kupu
SIMPULAN Nymphalidae di Pulau Tegal dan Pulau
Simpulan dari penelitian ini adalah tidak Pahawang Kecil, Teluk Lampung. Skripsi.
terdapat korelasi antara panjang probosis kupu-kupu Lampung: xiv + 62 hlm.
(Famili: Nymphalidae) dengan panjang tabung bunga Utami, E. N. 2012. Komunitas kupu-kupu (ordo
sumber nektar di Kawasan Universitas Indonesia, Lepidoptera: Papilionoidea) di Kampus
Depok. Tidak adanya korelasi antara panjang probosis Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat.
kupu-kupu dengan panjang tabung bunga yang Skripsi S-1 Departemen Biologi FMIPA UI,
dikunjunginya lebih disebabkan karena perilakunya Depok: xiv + 93 hlm.
yang adaptif ketika ukuran panjang probosis dan
tabung bunga berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Bariyah, K. 2011. Hubungan panjang proboscis kupu-
kupu dengan preferensi pakan di Areal
Kampus I Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi Jurusan
81|ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Efektivitas fumigant magnesium fosfida....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Kumbang tembakau Lasioderma serricorne Fabricius (Coleoptera: Anobiidae) merupakan hama utama yang
merusak tembakau di gudang penyimpanan. Pengendalian kumbang tembakau Lasioderma serricorne di
gudang penyimpanan dilakukan secara kimiawi dengan cara fumigasi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji
efektivitas fumigant magnesium terhadap pengendalian hama gudang tembakau L. serricorne. Penelitian di
laksanakan di Malang, Jawa Timur mulai bulan Agustus sampai dengan Oktober 2014. Perlakuan terdiri dari
lima perlakuan yaitu empat dosis magnesium fosfida : 0,83 gr/m3, 1,67 gr/m3, 2,50 gr/m3, 3,33 gr/m3 dan
kontrol (tanpa fumigan). Percobaan disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan jumlah
ulangan sebanyak 4 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa magnesium fosfida efektif terhadap L.
serricorne stadium dewasa mulai dari dosis terendah yang diuji yaitu 0,83 gr/m3, tetapi tidak efektif terhadap
stadium telur. Agar magnesium fosfida efektif menekan populasi L. serricorne digudang penyimpanan
tembakau, maka disarankan waktu pemaparan fumigan dilakukan lebih dari 5 hari.
Kata kunci : magnesium fosfida, Lasioderma sericorne, hama gudang, tembakau
ABSTRACT
The tobacco beetle Lasioderma serricorne Fabricius (Coleoptera: Anobiidae) is the main pest that damages
tobacco in storage. Control of the tobacco beetle Lasioderma serricorne in the storage storehouse is done
chemically by fumigation. This study aims to examine the effectiveness of fumigant magnesium on pest
control of the L. serricorne tobacco warehouse. The study was conducted in Malang, East Java from August
to October 2014. The treatment consisted of five treatments, four doses of magnesium phosphide: 0.83 gr /
m3, 1.67 gr / m3, 2.50 gr / m3, 3, 33 gr / m3 and control (without fumigant). The experiment was prepared
using Completely Randomized Design (RAL) with 4 replications. The results showed that magnesium
phosphide was effective against adult L. serricorne stage starting from the lowest tested dose of 0.83 gr / m3,
but was not effective to the stage of the egg. In order for magnesium phosphide to effectively suppress the
population of L. serricorne in the storehouse of tobacco, it is recommended that the fumigant exposure time
be more than 5 days.
Keywords: magnesium phosphide, Lasioderma sericorne, warehouse pest, tobacco
82|ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Efektivitas fumigan magnesium fosfida....
Cabang Bandung
Pengendalian kumbang tembakau L. serricorne terdiri dari empat dosis magnesium fosfida : 0,83
di gudang penyimpanan selama ini dilakukan secara gr/m3, 1,67 gr/m3, 2,50 gr/m3, 3,33 gr/m3 dan kontrol
kimiawi dengan cara fumigasi. Metil bromida banyak (tanpa fumigan). Percobaan disusun menggunakan
dipilih dibanding fumigan lain, daya bunuh yang Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan jumlah
cepat dan kemampuan penetrasi pada komoditas yang ulangan sebanyak 4 kali untuk masing-masing
difumigasi. Namun demikian untuk komoditas perlakuan. Jumlah daun tembakau untuk setiap
pangan tidak dianjurkan, karena metil bromida dapat perlakuan dalam satu ulangan sebanyak 100 kg yang
bereaksi secara kimia dengan beberapa komoditas dikemas dalam kardus berukuran 0,6 m3.
pangan dan meninggalkan residu "bromida anorganik" Pelaksanaan perlakuan diawali dengan (1)
yang berbahaya terhadap kesehatan tubuh. Fumigan menata kardus untuk tiap-tiap perlakuan sebanyak
yang resmi terdaftar di Kementerian Pertanian untuk empat kardus (empat ulangan) membentuk persegi
daun tembakau kering sebagai alternatif yang lebih empat diatas palet kayu (flonder). Lima perlakuan
ramah lingkungan adalah fosfin yang terdiri dari ditata secara berjajar dengan jarak antar perlakuan
aluminium fosfida dan magnesium fosfida (Anonim, sejauh 2 m. Jadi dalam penelitian ini dibutuhkan 20
2016). Perlakuan Fosfin yang berulang-ulang pada kardus yang berisi 2.000 kg daun tembakau. (2)
komoditas yang difumigasi tidak menimbulkan residu. Sebelum fumigasi dilakukan pengambilan contoh
Ion phospine juga tidak menimbulkan kerusakan pada daun tembakau untuk diamati kadar airnya. (3) Lima
lapisan ozon. tabung serangga uji dimasukkan dalam setiap kardus
Fosfin diformulasikan dalam bentuk tablet, yang berisi tumpukan tembakau yang akan
pipih (plate) dan kantong (bags). Fosfin akan sangat difumigasi. Masing-masing tabung plastik terdiri atas
efektif sebagai fumigan bila diaplikasikan dengan 20 ekor yang ditutup dengan kawat kasa dikedua
menggunakan fosfin dosis rendah dalam waktu ujungnya. Didalam setiap tabung disediakan pakan
fumigasi panjang. Suhu dan kelembaban tertentu berupa kepala gandum. Dengan demikian dalam
diperlukan agar fosfin dapat menguap. Umumnya setiap kardus terdapat sebanyak 100 ekor serangga
Fosfin digunakan dalam bentuk formulasi padat uji. (4) Tumpukan daun tembakau masing-masing
seperti aluminium fosfida dan magnesium fosfida. perlakuan disungkup plastik fumigasi/plastik PVC
Fosfin dalam bentuk formulasi magnesium fosfida dengan ketebalan 150 mikron. Plate fumigan
dapat melepaskan fosfin lebih cepat dan dapat Magnesium fosfida diletakkan dalam cawan petri
digunakan pada temperatur lebih rendah, misal 50C. dan dimasukkan di bawah palet masing-masing
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas tumpukan sesuai perlakuan, kemudian plastik
magnesium fosfida terhadap pengendalian hama sungkup dirapatkan dan ditindih dengan bantalan
gudang tembakau L. serricorne. pasir penindih (sand snake) pada semua bagian ujung
lembaran plastik PVC agar tidak bocor. (5) Fumigasi
BAHAN DAN METODE dilakukan selama 120 jam. (6) Sebagai kontrol
Uji efektivitas fumigan magnesium fosfida digunakan tumpukan daun tembakau yang tidak diberi
terhadap hama gudang tembakau L. sericorne fumigan tetapi disungkup plastik.
dilaksanakan di gudang tembakau Malang, Jawa Variabel yang diamati adalah mortalitas
Timur pada bulan Agustus sampai dengan Oktober serangga uji, jumlah kumbang dewasa yang muncul
2014. setelah proses fumigasi, konsentrasi fosfin, kadar air
tembakau, dan residu pada daun yang diperlakukan.
Serangga Uji
Pengamatan mortalitas dilakukan dengan menghitung
Induk L. sericorne berasal dari gudang
mortalitas serangga uji dalam tabung plastik yang
tembakau milik perusahaan rokok yang dikumpulkan
telah disisipkan diantara tumpukan daun tembakau
pada stadia dewasa. Selanjutnya induk tersebut
setelah fumigasi selesai dan menginkubasikan wadah
dipelihara di laboratorium Entomologi Balai
plastik tersebut untuk dilihat ada tidaknya
Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat dengan
perkembangan telur menjadi larva yang selanjutnya
menggunakan pakan kepala gandum (wheat germ)
menjadi kumbang dewasa. Pengukuran konsentrasi
lebih dari lima generasi. L. sericorne yang digunakan
fosfin masing-masing perlakuan dilakukan pada 24,
sebagai serangga uji yang diperlakukan dengan
48, 96, dan 120 jam setelah fumigasi atau satu hari
fumigan magnesium fosfida adalah serangga dewasa
sebelum fumigasi selesai. Pengambilan Contoh untuk
berumur < 24 jam.
analisis kadar air dan residu fumigan dilakukan pada
Pelaksanaan Pengujian masing-masing perlakuan sebelum dan setelah
Magnesium fosfida yang digunakan sebagai fumigasi selesai (120 jam) dengan menggunakan
bahan uji adalah formulasi plate (pipih) berukuran 5 spear sampler berdiameter 2 inci sebanyak 5 titik
gr yang mengandung bahan aktif 56% dan telah diuji contoh secara diagonal pada setiap sisi dari
kandungan bahan aktifnya oleh salah satu permukaan tumpukan/cases (empat permukaan
laboratorium yang telah ditunjuk oleh Menteri tumpukan). Daun tembakau contoh (100
Pertanian yaitu laboratorium PPPTMGB LEMIGAS gram/perlakuan) dikumpulkan ke dalam kantong
Jakarta. Kemasan fumigan bersegel dan belabel plastik untuk dianalisis kadar air dan residunya
Direktorat Prasarana dan Sarana Pertanian. Perlakuan
83 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Efektivitas fumigan magnesium fosfida....
Cabang Bandung
(setelah fumigasi). Analisa residu fosfin dilakukan di Hasil pemantauan konsentrasi gas fosfin
Lab. PPPTMGB LEMIGAS Jakarta. selama fumigasi mulai 24 jam sampai dengan 120 jam
Kriteria efektivitas fumigan yang diuji didasarkan disajikan pada Tabel 3. Pengamatan konsentrasi gas
pada mortalitas serangga uji dalam wadah plastik fosfin pada 12 jam dosis 1 plate atau 0,83 gr/m3 bahan
selama fumigasi dan hasil inkubasi dari pakan yang daun tembakau menunjukkan 500 ppm. Semakin
ada didalam wadah plastik dengan melihat ada tinggi dosis konsentrasi gas fosfin semakin tinggi
tidaknya perkembangan telur menjadi larva dan konsentrasinya. Pada perlakuan dosis 3,33 gr/m3
akhirnya menjadi dewasa. Perlakuan fumigan yang daun tembakau konsentrasi gas fosfin mencapai 2.000
diuji dinyatakan efektif jika mortalitas serangga uji : ppm. Konsentrasi gas fosfin menurun secara linier
(1) Nyata lebih efektif dibandingkan dengan atau proposional dengan dosis rata-rata turun 20% per
mortalitas pada kontrol. (2) Tidak adanya 24 jam. Semakin tinggi dosis semakin tinggi pula
perkembangan telur menjadi kumbang dewasa setelah berkurangnya gas. Penurunan gas tertinggi terjadi
perlakuan fumigasi. pada 48 jam setelah aplikasi. Penurunan konsentrasi
gas relatif stabil dan rendah yang menunjukkan bahwa
HASIL DAN PEMBAHASAN proses fumigasi berjalan dengan baik.
Kadar air daun tembakau dan suhu ruang
Efektivitas Fumigan Magnesium fosfida
fumigasi
Magnesium fosfida relatif cepat
Kadar air komoditas yang akan difumigasi
menyebabkan kematian pada kumbang L. sericorne.
merupakan salah satu syarat keberhasilan fumigasi,
Hayata (2014) melaporkan bahwa 60 menit setelah
karena fosfin memiliki sifat yang sangat reaktif
fumigasi dengan dosis 0,98 – 2,94 gr magnesium
dengan air. Gas fosfin mulai dihasilkan 30 menit
fosfida/ m3, kumbang L. sericorne sudah tidak
setelah terjadi reaksi dengan uap air (Anonim, 2007).
bergerak dan mati pada 60 menit kemudian atau 120
Hasil pengukuran kadar air daun tembakau yang
menit setelah fumigasi. Hasil pengamatan mortalitas
difumigasi dilaksanakan sebelum fumigasi berada
kumbang dewasa pada 120 jam setelah aplikasi
pada kisaran 12,1 – 13,6% (Tabel 1). Kadar air 12 -
menunjukkan bahwa semua dosis yang dicoba mulai
13% merupakan kadar air yang ideal untuk
dari fosfin 0,83 gr/m3 sampai dengan 3,33 gr/m3
penyimpanan daun tembakau di gudang (Tirtosastro,
efektif membunuh kumbang L. sericorne (Tabel 2, hal
2013). Sedangkan kadar air komoditas yang
5). Semakin tinggi dosis semakin tinggi persentase
direkomendasikan memenuhi syarat difumigasi
mortalitasnya. Dosis terendah 0,83 gr/m3
dengan fosfin adalah di bawah 22% (Anonim, 2007).
menyebabkan mortalitas kumbang L. sericorne
Dengan demikian kondisi daun tembakau yang
sebesar 86% dan pada dosis mulai dari 2,50 gr/m3
difumigasi sudah sesuai dengan syarat yang
kematian mencapai 100%. Pada perlakuan kontrol
direkomendasikan.
tidak terjadi kematian kumbang dewasa atau 0%.
Suhu ruang fumigasi sangat berpengaruh
Kriteria penilaian efikasi disebutkan bahwa suatu
terhadap lamanya pemaparan fumigan terhadap
fumigan yang diuji dinyatakan efektif jika mortalitas
komoditas. Pada suhu 280C waktu yang dibutuhkan
serangga uji nyata lebih kecil dibandingkan dengan
untuk menyebabkan mortalitas kumbang >99% adalah
mortalitas pada kontrol. Dengan demikian pada dosis
9 hari dan suhu 380C membutuhkan waktu 4 hari
0,83 gr/m3 dinilai efektif membunuh kumbang L.
(Coresta, 2013). Hasil pemantauan suhu pada 24
sericorne.
sampai dengan 120 jam setelah fumigasi dengan
Kriteria efikasi yang kedua adalah tidak
magnesium fosfida disajikan pada Tabel 2. Fumigasi
adanya perkembangan telur menjadi larva setelah
dengan magnesium fosfida tidak nyata menyebabkan
inkubasi selama 7 hari setelah perlakuan fumigasi.
kenaikan suhu. Hasil pengamatan 24 jam setelah
Inkubasi telur berpengaruh terhadap perkembangan
fumigasi suhu di semua perlakuan tidak berbeda yaitu
populasi hama gudang selanjutnya. Untuk
290C. Selanjutnya pada 48 sampai dengan 96 jam
mengetahui adanya inkubasi telur, maka pengamatan
setelah fumigasi menunjukkan kenaikan suhu 10C
dilanjutkan dengan menyimpan tabung sampel hingga
pada semua perlakuan menjadi 300C.
30 hari. Dalam 30 hari jika terjadi inkubasi telur akan
muncul kumbang. Hasil pengamatan menunjukkan
Tabel 1. Hasil pengukuran kadar air daun tembakau bahwa kumbang L. sericorne muncul dari semua
saat akan dilaksanakan fumigasi perlakuan dan secara statistik berbeda nyata (Tabel 5).
Semakin tinggi dosis jumlah kumbang yang muncul
Perlakuan dosis semakin rendah. Dosis tertinggi 3,33 gr/m3,
No Kadar air (%) kumbang yang muncul rata-rata sebanyak 59 ekor per
Magnesium fosfida
ulangan dan dosis terendah 0,83 gr/m3 yang tidak
1 0,83 gr/m3 13,6 berbeda nyata dibanding kontrol yaitu rata-rata
2 1,67 gr/m3 13,0 sebanyak 220 ekor kumbang per ulangan. Sedangkan
3 2,50 gr/m3 13,0 dosis 1,67 gr/m3 dan 2,50 gr/m3 meskipun tidak
4 3,33 gr/m3 12,1 berbeda dengan dosis tertinggi, tetapi juga tidak
5 Kontrol 12,7 berbeda dengan kontrol. Dengan demikian
magnesium fosfin sampai dengan dosis 3,33 gr/m3
84 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Efektivitas fumigan magnesium fosfida....
Cabang Bandung
dengan pemaparan selama 120 jam kurang efektif Berdasarkan hal tersebut, fumigasi menggunakan
mengendalikan populasi L. sericorne. magnesium fosfida harus dilaksanakan lebih dari 120
jam. Hal tersebut sesuai dengan panduan fumigasi
Tabel 4. Mortalitas (%) kumbang L. sericorne pada
dengan fosfin yang dibuat oleh Badan Karantina
beberapa perlakuan
Pertanian (2007) yang menyarankan bahwa fumigasi
Perlakuan dosis Mortalitas dengan fofin sebaiknya dilakukan selama tidak kurang
No dari 7 hari agar kemungkinan terjadinya kegagalan
Magnesium fosfida Kumbang (%)
1 0,83 gr/m3 86,0 b fumigasi dapat dikurangi. Saran lainnya disebutkan
2 1,67 gr/m3 98,5 c bahwa fosfin akan sangat efektif sebagai fumigan bila
3 2,50 gr/m3 100,0 c diaplikasikan dengan menggunakan dosis rendah
4 3,33 gr/m3 100,0 c dalam waktu fumigasi panjang.
5 Kontrol 0,0 a Tabel 6. Hasil analisa residu fosfin pada 15 hari
Keterangan : Angka dalam kolom yang sama yang setelah selesai kegiatan fumigasi
didampingi oleh huruf yang sama berarti tidak
berbeda nyata berdasarkan BNT 5% Perlakuan dosis Kandungan fosfin
No
Tabel 5. Jumlah kumbang dewasa L. sericorne Magnesium fosfida (mg/kg)
setelah fumigasi pada beberapa perlakuan 1 0,83 gr/m3 0,48
Perlakuan dosis Jumlah kumbang 2 1,67 gr/m3 0,55
No 3 2,50 gr/m3 1,01
Magnesium fosfida dewasa
1 0,83 gr/m3 220 b 4 3,33 gr/m3 1,57
2 1,67 gr/m3 95 ab 5 Kontrol 0,20
3 2,50 gr/m3 75 ab Keterangan : Dianalisa oleha Lab. PPPTMGB
4 3,33 gr/m3 59 a LEMIGAS menggunakan metode Spectophotometry.
5 Kontrol 197 b Sample dengan nomer seri: 396/P/13.5/LHU/14.
Keterangan : Angka dalam kolom yang sama yang
Analisa residu pada daun dilakukan 15 hari
didampingi oleh huruf yang sama berarti tidak
setelah perlakuan. Hasil analisa residu fosfin pada 15
berbeda nyata berdasarkan BNT 5%
hari setelah selesai fumigasi dapat dilihat pada Tabel
Kumbang yang muncul dari semua perlakuan 6. Perlakuan 1 plate atau 1 gram bahan aktif/1,2m3
yang diuji diduga sebagian besar berasal dari telur daun tembakau kandungan fosfin 0,48 mg/kg. Secara
yang dihasilkan sebelum aplikasi. Hal tersebut umum semakin tinggi perlakuan dosis fosfin akan
berdasarkan terjadinya mortalitas kumbang mencapai menghasilkan residu fosfin dalam daun tembakau
100% pada perlakuan dosis 2,50 gr/m3 dan 2,50 gr/m3 semakin tinggi. Dosis yang lebih tinggi lagi yakni
yang seharusnya tidak terjadi ingkubasi telur, tetapi dosis 2 plates atau 2 gram bahan aktif/1,2m3 daun
ternyata muncul kumbang pada pengamatan 30 hari tembakau menghasilkan 0,55 mg/kg. Pada kontrol
setelah aplikasi. Hayata (2014) melaporkan bahwa ditemukan residu fosfin 0,2 mg/kg daun tembakau.
fosfin dengan dosis 0,25 gram/0.0816 m3 atau setara Hal ini disebabkan sebelumnya daun tembakau pernah
dengan 3 gr/m3 pada 60 menit menyebabkan kumbang dilakukan fumigasi dengan bahan aktif fosfin. Daun
L. serricorne tidak aktif atau tidak bergerak. dan 60 tembakau sebelum disimpan di gudang dan
menit kemudian atau 120 menit setelah aplikasi selanjutnya setiap 3 bulan dilakukan fumigasi. Residu
kumbang sudah mati. Dengan demikian pada saat fosfin dalam daun tembakau akan menurun seiring
memasuki proses fumigasi, kesempatan kumbang berjalanan waktu penyimpanan di gudang, dan akan
untuk bertelur sangat kecil. Dengan demikian maka menurun sampai di bawah ambang (<0,3 ppm).
diperkirakan bahwa telur L. serricorne yang Residu fosfin dalam daun tembakau akan berkurang
diletakkan sebelum apalikasi dan menetas setelah 120 karena terjadi penguapan dan sampai 3 bulan dapat
jam atau setelah tabung sampel diambil dari ruang mencapai 0,2 mg/kg daun tembakau.
fumigasi. Penetasan telur sebelum 120 jam
peluangnya sangat kecil, karena konsentrasi gas fosfin
masih cukup tinggi yaitu 200 – 1.000 ppm.
Tabel 2. Hasil pemantauan suhu didalam ruang fumigasi
Perlakuan dosis Suhu (0C) setelah fumigasi (jam)
No
Magnesium fosfida 24 48 72 96 120
1 0,83 gr/m3 29 30 30 30 29
2 1,67 gr/m3 29 30 30 30 29
3 2,50 gr/m3 29 30 30 30 29
4 3,33 gr/m3 29 30 30 30 29
5 Kontrol 29 29 29 29 29
85 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Efektivitas fumigan magnesium fosfida....
Cabang Bandung
Tabel 3. Hasil pemantauan konsentrasi gas fosfin pada 24 sampai dengan 120 jam setelah fumigasi
86 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Teknologi pengendalian hayati serangga....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Masalah kerusakan tanaman akibat serangan hama dapat menurunkan hasil produksi pertanian. Salah satu
tindakan pengendalian yang dapat dilakukan yaitu menggunakan cendawan entomopatogen Verticillium
lecanii (Zimm.) Viegas. Agens hayati seperti V. lecanii mempunyai spesifik inang yang tinggi, tahan lama,
dan tidak toksik terhadap lingkungan. V. lecanii menghasilkan metabolit sekunder bersifat toksin yaitu
senyawa khitosan. Senyawa khitosan meningkatkan kemampuan tanaman terhadap serangan serangga dengan
menginduksi sekresi enzim ketahanan dan memperbaiki respon imun tanaman. Khitosan juga mengurangi
tekanan lingkungan pada tanaman seperti kekurangan unsur hara tanah dan kekeringan. Berbagai substrat
alternatif dalam perbanyakan massal V. lecanii antara lain: media biji-bijian (jagung, beras, kedelai, dan
gandum) dengan dekstrosa atau tanpa penambahan dekstrosa; PDA (Potato Dextrose Agar); SDAY
(Sabouraud Desxtrose Agar-Yeast), serta MEA (Malt Extract Agar). Inkubasi V. lecanii ditumbuhkan pada
suhu 25°C selama 21 hari setalah inokulasi. Hal yang harus diperhatikan dalam pembiakan massal cendawan
V. lecanii antara lain: asal isolat, media pembiakan, produksi konidia yang dihasilkan, dan keadaan
lingkungan saat pembiakan. V. lecanii mampu menginfeksi beberapa jenis serangga inang dari Ordo
Orthoptera, Hemiptera, Lepidoptera, Thysanoptera, dan Coleoptera. Pengendalian menggunakan V. lecanii
telah banyak digunakan pada hama-hama seperti: penghisap polong Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae),
kutu kebul Bemisia tabaci, B. argentifolii, Trialeurodes vaporariorum (Hemiptera: Aleyrodidae), dan hama
kutu daun kedelai Aphis glycines (Hemiptera: Aphididae). Kerapatan konidia 109/ml dinilai lebih efektif
dalam mengendalikan serangga hama dibandingkan dengan kerapatan konidia yang lebih rendah. Penelitian
mengenai cendawan entomopatogen V. lecanii perlu dikembangkan lebih lanjut karena potensinya sebagai
biopestisida dan sebagai agens promotor pertumbuhan tanaman.
Kata kunci: Verticillium lecanii, serangga hama, pembiakan secara massal, khitosan, biopestisida
ABSTRACT
Problems of crop damage due to pest attacks can reduce agricultural production. One of the control measures
that can be done is using entomopatogenic fungus Verticillium lecanii (Zimm.) Viegas. Biological agents
such as V. lecanii have a high host specific, durable, and non-toxic to the environment. V. lecanii produces a
toxin secondary metabolite, a chitosan compound. Chitosan compounds increase the ability of plants to attack
insects by inducing the secretion of endurance enzymes and improving the immune response of plants.
Chitosan also reduces environmental stresses on plants such as soil nutrient deficiency and drought. Various
alternative substrates in mass propagation of V. lecanii include: grain media (corn, rice, soybeans, and wheat)
with dextrose or without dextrose addition; PDA (Potato Dextrose Agar); SDAY (Sabouraud Desxtrose Agar-
Yeast), and MEA (Malt Extract Agar). Incubation of V. lecanii was grown at 25 ° C for 21 days after
inoculation. It should be noted in the mass culture of the fungus V. lecanii, among others: the origin of the
isolates, the culture medium, the production of conidia produced, and the environmental conditions at the
time of breeding. V. lecanii was able to infect several types of host insects from the Orthoptera Order,
Hemiptera, Lepidoptera, Thysanoptera, and Coleoptera. Control using V. lecanii has been widely used in
pests such as: Riptortus linearis pods (Hemiptera: Alydidae), Bemisia tabaci, B. argentifolii, Trialeurodes
vaporariorum (Hemiptera: Aleyrodidae), and Aphis glycines (Hemiptera : Aphididae). Conidia densities of
109/ml were considered to be more effective in controlling pest insects than with lower conidial densities.
Research on entomopathogenic fungus V. lecanii needs to be further developed because of its potential as a
biopesticide and as a promoter of plant growth.
Keywords: Verticillium lecanii, pest insects, mass culture, chitosan, biopesticide.
87 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Teknologi pengendalian hayati serangga....
Cabang Bandung
Begitu berada di dalam serangga, cendawan lecanii yang menyebabkan mortalitas 28,4% pada
berkembang sebagai tubuh hifa yang menyebar Coccus viridis dimana fenthion (0,1%) dan fosomidan
melalui haemocoel dan menyerang beragam jaringan menyebabkan penurunan pertumbuhan radial, bobot
otot, lemak, tabung malpighi, mitokondria dan kering misellium dan perkecambahan spora, karena
haemocytes, yang menyebabkan kematian serangga 3 tingginya konsentrasi insektisida kimia
sampai 14 hari setelah infeksi. Begitu serangga mati (Eswaramoorthi et al., 1978). Wilding (1972)
dan nutrisi habis, misellium cendawan mulai tumbuh melaporkan bahwa fungisida dimethirimol tidak
dan menyerang semua organ inang. Akhirnya, hifa berbahaya bagi L. lecanii sementara benomyle dan
menembus kutikula dari interior serangga dan muncul triarimol menghambat pertumbuhan miselium
di permukaan, dimana mereka memulai pembentukan cendawan pada piring agar dalam kondisi in vitro
spora di bawah kondisi lingkungan yang sesuai (Shindhe et al.,2010).
(Kachhawa, 2017). Kombinasi beberapa agens pengendalian yang
L. lecanii mematikan serangga dengan bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi
mencerna jaringan sebagai sumber nutrisi dan pengendalian sangat dianjurkan (Purwar & Sachan,
menghasilkan toksin yang berperan dalam mematikan 2006). Penggunaan formulasi mikoinsektisida
serangga. Vey et al. (2001) mengemukakan bahwa L. berbasis minyak telah dipelajari secara ekstensif oleh
lecanii memproduksi beberapa jenis toksin yaitu Lomer dan Lomer (2001). Pengaruh beberapa minyak
dipicolinic acid, hydroxycarboxylic acid, dan nabati terhadap perkecambahan L. lecanii juga
cyclosporin dengan kadar yang berbeda. Toksin dipelajari oleh Verhaar et al.(1999). Hasil penelitian
cyclosporin dapat menyebabkan gangguan pada Prayogo (2011) melaporkan bahwa penambahan
fungsi hemolimfa dan nukleus serangga, sehingga insektisida nabati ke dalam media tumbuh cendawan
mengakibatkan pembengkakan yang disertai mampu meningkatkan pertumbuhan dan
pengerasan pada serangga yang terinfeksi. Cendawan perkembangan cendawan L. lecanii. Selain itu, juga
entomopatogen menghasilkan beberapa jenis toksin ditemukan bahwa arachid oil dengan tween-80,
yang dalam mekanisme kerjanya menyebabkan merangsang perkecambahan spora L. lecanii.
terjadinya kenaikan pH hemolimfa, penggumpalan Penambahan arachid oil 0,5 persen dapat
hemolimfa, dan berhentinya peredaran hemolimfa meningkatkan perkecambahan setelah 24 jam pada
(Tanada & Kaya, 1993). media pertumbuhan (Nithya, 2015). Verhaar et al.
Aktivitas serangga yang terinfeksi cendawan (1999) melaporkan bahwa minyak kacang tanah
entomopatogen mengalami penurunan bahkan nafsu sebagai pembawa lebih baik untuk L. lecanii
makan juga berhenti karena sistem syaraf serangga dibandingkan dengan minyak bunga matahari, karena
terganggu. Syaraf serangga memegang peranan perkecambahan pada awalnya terbukti sangat baik.
penting dalam mengatur semua proses aktivitas, Sementara kombinasi adjuvant terhadap pertumbuhan
serangga yang mengalami gangguan sistem syarafnya L. lecanii ditemukan bahwa gliserol dua persen +
akan mengacaukan semua perilaku termasuk dalam tween-80 satu persen+ minyak arachid 0,5 persen dan
memenuhi kebutuhan makan (Khaerati & Indriati, gliserol lima persen + tween- 80 satu persen + arachid
2015). Gejala yang dialami oleh serangga yang oil dua persen merupakan kombinasi adjuvant terbaik
terinfeksi cendawan entomopaogen yaitu nafsu makan untuk formulasi L. lecanii (Nithya, 2015).
berkurang, gerakan tubuh menjadi lamban,
bersembunyi dibalik daun, terjadi perubahan warna Produksi Massal L. Lecanii
pada tubuh serangga menjadi kepucatan, bahkan sama Asal isolat
sekali sulit untuk bergerak (Masyitah dkk., 2017). Salah satu faktor yang mempengaruhi virulensi
Apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan cendawan entomopatogen dalam mengendalikan
cendawan hanya berlangsung di dalam tubuh serangga serangga hama adalah tingkat virulensi isolat,
tanpa keluar menembus integumen yang virulensi antara isolat cendawan entomopatogen
menyebabkan serangga yang mati tidak selalu disertai disebabkan karena adanya keragaman antarspesies
gejala pertumbuhan spora (Santoso, 1993). (Velasquez et al., 2007; Prayogo, 2009). Isolat yang
diperoleh dari lokasi yang sama tetapi dari jenis
Kompatibilitas L. lecanii terhadap Pestisida Kimia serangga yang berbeda atau sebaliknya yaitu isolat
dan Adjuvant dari lokasi yang berbeda tetapi dari jenis serangga
Pestisida kimia mungkin memiliki efek sama dimungkinkan memiliki karakter yang berbeda
antagonis atau sinergis terhadap potensi L. lecanii dan baik secara fisiologis maupun genetis (Varela &
mungkin telah mengganggu epizootik alami. Dengan Morales, 1996). Pada umunya keragaman spesies
kondisi epizootik seperti itu, diharapkan dapat berhubungan dengan serangga inang dan daerah
meningkatkan efektivitas melalui aksi bersama geografis asal isolat cendawan yang diperoleh
patogen dan insektisida yang kompatibel, yang akan (Prayogo, 2009).
mengurangi tidak hanya biaya perlindungan tetapi Hasil penelitian Prayogo (2004) menunjukkan
juga mengurangi kontaminasi lingkungan. Salah satu bahwa isolat L. lecanii yang diperoleh dari serangga
kasus pengaruh antagonis pestisida kimia terhadap L. Leptocorisa oratorius (Hemipter:Alydidae) di
90 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Teknologi pengendalian hayati serangga....
Cabang Bandung
Probolinggo (Jawa Timur) ternyata lebih virulen jika spora dari L. lecanii diinokulasi dalam kondisi aseptik
diaplikasikan pada Riptortus linearis dibandingkan L. pada kamar Laminar air flow dan dijaga dalam
lecanii yang diperoleh dari serangga Spodoptera inkubator pada suhu 30°C selama 5 hari (Vinodhini et
litura (Lepidotera:Noctuidae) dari Jember. Kim et al. al., 2017). Sementara menurut Sahayaraj &
(2001) melaporkan isolat L. lecanii strain CS-626 dari Namasivayam (2008) waktu inkubasi spora sekitar 15
Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae) lebih efektif hari. Setelah diinkubasi, botol labu berisi sporulate
untuk mengendalikan Trialeurodes vaporarium dituangkan ke dalam 100 ml air penyaring steril yang
(Hemiptera: Aleyrodidae) dengan mortalitas hingga berisi 80 (0,05%) larutan Tween dalam labu 250 ml.
mencapai 100% dibanding isolat yang lainnya (Yoon Kemudian, labu dikocok dalam mesin pengocok
et al., 1999) selama 10 menit. Suspensi difilter melalui kain kasa
dua lapis. Penghitungan spora dilakukan setelah sesi
Media Perbanyakan pencairan suspensi dengan menggunakan aturan
Cendawa entomopatogen diperbanyak dengan ganda Neubauer haemocytometer untuk
menggunakan beberapa tipe substrat berbeda. L. mendeterminasi jumlah konidia dalam 1 g biji sereal
lecanii dapat diperbanyak dengan menggunakan solid (Sahayaraj & Namasivayam, 2008).
media dan liquid media. Pada solid media biasanya Perhitungan daya tumbuh dilakukan
menggunakan substrat biji-bijian (jagung, beras, menggunakan metode ukur pengenceran dari
kedelai, gandum, dan sorgum) dengan dekstrosa atau perbanyakan tumbuh cendawan (Vinodhini et al.,
tanpa penambahan dekstrosa; PDA (Potato Dextrose 2017). Medium yang telah disterilisasi dalam autoklaf
Agar); SDAY (Sabouraud Desxtrose Agar-Yeast), pada 15 psi (pound per square inch) selama 15 - 30
serta MEA (Malt Extract Agar). Menurut Sahayaraj menit, selanjutnya dituangkan ke piring sterilisasi,
dan Namasivayam (2008) biji-bijian mudah kemudian didinginkan dan diinokulasi dengan
ditemukan dan dibuat sebagai media nutritif untuk perbanyakan murni cendawan dalam kondisi aseptik.
perkembangbiakan berbagai organisme mikro dan Lalu piring diinkubasi pada suhu kamar (26±2°C)
makro (Gambar 3). selama 5 hari (Vinodini et al., 2017), 10 hari (Yadav
Sorgum yang sudah dihancurkan sebagai et al.,2013) atau 15 hari (Sahayaraj & Namasivayam,
media biji-bijian padat dapat memproduksi 15x108 2008). Setelah sporulasi sempurna, piring diambil dari
konidia/g (Lakshmi et al., 2001), sementara beras inkubator, kemudian konidia dari medium tersebut
yang telah dimasak dan kulit padi dapat memberikan dipanen dengan menggunakan teknik pengenceran
produksi spora yang lebih tinggi 1.5 dan 1.4 x 109 menggunakan air penyaringan (Yadav et al., 2013).
spora/g substrat (Feng et al., 2000). Sedangkan MEA Setelah itu, jumlah koloni pada masing-masing piring
merupakan medium padat dengan bahan berupa agar dihitung melalui perhitungan koloni untuk
yang mengandung maltosa. Sementara untuk media determinasi jumlah konidia dalam 1 ml dari biji-bijian
SDAY merupakan salah satu medium cair yang sereal. Produksi spora tertinggi diperoleh dalam
digunakan sebagai pertumbuhan efektif cendawan suspensi pengenceran 10-2dan10-3 (Vinodhini et al.,
(Vinodhini et. al., 2017. 2017).
Menurut Yadav et al. (2013) MEA terbukti mengakibatkan mortalitas serangga hanya di bawah
menjadi pilihan terbaik dibanding PDA karena respon 40%. Apabila kerapatan konidianya ditingkatkan
baik miselium terjadi pada MEA dengan periode menjadi 108 /ml mampu menyebabkan mortalitas T.
inkubasi yang lebih cepat. Pertumbuhan Miselium vaporarium hingga mencapai 100% hanya dalam
terbaik L. lecanii telah diamati pada media PDA kurun waktu lima hari (Prayogo, 2009).
dengan penambahan 2.5 gram glukosa dengan Cara mengetahui kerapatan konidia melalui
menghasilkan suspensi konidia yang disiapkan dengan
miselium padat pada hari ke 8 inkubasi, dan menambahkan akuades steril dan Tween 80% ke
pertumbuhan miselium terbaik juga terdapat pada dalam cawan petri berisi biakan cendawan yang telah
MEA dengan penambahan 2.5 gram laktosa berumur 3 minggu. Cawan digoyang-goyang,
menghasilkan hifa lembut dan miselium tumbuh kemudian dengan bantuan kuas kecil steril, konidia
memenuhi cawan pada hari ke 4 periode inkubasi. dapat terlepas. Suspensi tersebut disaring kemudian
Produksi konidia yang dihasilkan diencerkan sampai diperoleh kerapatan konidia yaitu
Penggunaan sorgum yang sudah dihancurkan 106, 107, 108, dan 109 konidia/ml untuk L. lecanii.
sebagai media biji-bijian padat, dapat memproduksi Konidia dihitung dengan menggunakan
15x108 konidia/g (Lakshmi et al., 2001), kerapatan haemocytometer. Aplikasi suspensi cendawan
konidia tidak kalah pentingnya dalam menentukan dilakukan dengan metode penyemprotan langsung
tingkat keefektifan cendawan terhadap serangga inang pada tubuh serangga (Ladja et al., 2011).
yang akan dikendalikan (Wang et al., 2004). Hasil Keadaan lingkungan saat perbanyakan
penelitian Kim et al. (2001) menunjukkan bahwa Potensi cendawan di lapangan sangat
aplikasi L.lecanii pada Bemissia tabacci dan T. bergantug pada beberapa faktor lingkungan, antara
vaporarium dengan kerapatan 104 - 107 konidia/ml lain, suhu (Yeo et al., 2003), kelembaban (Range et
92 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Teknologi pengendalian hayati serangga....
Cabang Bandung
al., 2005), air hujan (Fransen 1995), dan pengaruh UV (315-400 nm) dan UV-B (280-315 nm) dapat
oleh sinar matahari (Braga et al., 2001).Diantara menurunkan kemanjuran agens bionkontrol melalui
faktor abiotik temperatur dan kelembaban relatif inaktivasi strukturnya karena genetik dan morfologi
adalah faktor penting yang mempunyai pengaruh berubah (Braga et. al., 2001). UV-C dengan panjang
besar terhadap daya hidup dan juga keberhasilan atau gelombang rendah antara 100-280 nm juga dilaporkan
kegagalan cendawan entomopatogen yang menyerang sangat merusak entomopatogen. (Lee et al., 2006).
serangga hama. Temperatur mempengaruhi umur
konidia L.lecanii dengan setengah dari hidupnya Mortalitas dan Pemanfaatan L. lecanii Sebagai
dalam variasi air penyaring. Keduanya pada suhu 20C Pengendali Hama
(110-160 hari) dan 170C (60-120 hari). Blastopora Respon Mortalitas terhadap L.lecanii pada
kadang berumur pendek dan lebih beravariasi (100- serangga hama bervariasi tergantung dari mekanisme
150 hari pada 20C) (Shinde et al., 2010). Temperatur serangan dan habitat mereka. Menurut Khaerati dan
penyimpanan merupakan faktor penting dimana Indriati (2015) Keberhasilan pengendalian hama
menentukan penjagaan kualitas formulasi (Prayogo, dengan memanfaatkan cendawan entomopatogen
2009). ditentukan oleh berbagai faktor seperti kerapatan
Cendawan L. lecanii tumbuh baik pada suhu konidia (viabilitas dan virulensi), lingkungan (suhu
15-30ºC, namun pertumbuhan optimum pada suhu dan kelembaban). Keuntungan pemanfaatan cendawan
25°C dan pertumbuhan mengalami penghambatan entomopatogen yaitu kapasitas produksi yang tinggi,
pada suhu 35°C (Yeo et al., 2003). Cendawan ini siklus hidup pendek, dapat bertahan pada kondisi
tumbuh baik dengan kelembaban minimal 80%. Pada yang kurang menguntungkan.
kelembaban lebih dari 90% cendawan akan tumbuh Berdasarkan Tabel 1. menunjukan bahwa
optimal (Helyer et al, 2006). Konidia akan semakin tinggi kerapatan konidia L. lecanii yang
berkecambah lebih cepat pada suhu 20-25°C (Barbosa diaplikasikan pada serangga hama dapat menekan
et al., 2002). Cendawan L. lecanii mampu hidup pada mortalitas serangga hama yang tinggi. Sehingga
bahan organik yang mati dalam rentang waktu yang kerapatan konidia 109/ml dinilai lebih efektif dalam
sangat panjang (Tanada & Kaya 1993). Sementara mengendalikan serangga hama dibandingkan dengan
spora-spora dipertahankan viabilitasnya saat kerapatan konidia yang lebih rendah. Pengembangan
penyimpanan pada suhu 15ºC dan 25ºC (Chen et al., L. lecanii perlu dikembangkan karena potensinya
2008; Nithya 2015). Derakhshan et al. (2008b) sebagai biopestisida potensial sebab salah satu
melaporkan bahwa viabilitas L.lecanii yang disimpan metabolit sekunder yang dihasilkannya yaitu khitosan
dalam kondisi lemari pendingin secara signifikan dapat berperan mendegradasi kutikula serangga, dan
lebih tinggi dibandingkan yang disimpan dalam suhu dapat meningkatkan kemampuan tanaman terhadap
ruangan (Nithya, 2015). serangan serangga dengan menginduksi sekresi enzim
Spora cendawan sangat rentan terhadap sinar ketahanan dan memperbaiki respon imun tanaman,
radiasi. Pemancaran sinar matahari menginaktifkan serta mengurangi tekanan lingkungan pada tanaman
L.lecanii dalam satu jam (Moore et al., 1993). UV-A seperti kekurangan unsur hara tanah dan kekeringan.
Tabel 1. Daftar Inang Serangga Hama yang Terinfeksi oleh L. Lecanii
Jenis hama Kerapatan Konidia (ml) Mortalitas (%) Sumber
8
Spodoptera exigua 10 70 ± 11,5 Wahyuni et al., 2013
7
Aphis craccivora 5 x 10 72,15 Harder et al., 2013
9
Thrips tabaci 1,82 x 10 78,88
Annamalai et al., 2015
Aiuchi, D., Baba, Y., Inami, K., Shinya, R., Tani, M., germinants of the entomopathogenic
Kuramochi, K., ... & Koike, M. 2007. hyphomycete Metarhizium anisopliae: a study
Screening of Verticillium lecanii of reciprocity and recovery. Photochem.
(Lecanicillium spp.) hybrid strains based on Photobiol. 73:140–146.
evaluation of pathogenicity against cotton Charnley, A. K. 2003. Fungal pathogens of insects:
aphid and greenhouse whitefly, and viability cuticle degrading enzymes and
on the leaf surface. Japanese Journal of toxins. Advances in Botanical Research,40,
Applied Entomology and Zoology (Japan) 241-321.
Alavo, Thiery B.C. 2015. The insect pathogenic Cloyd, R. 2003. The entomopathogen Verticillium
fungus Verticillium lecanii (Zimm.) Viegas lecanii. Midwest Biological Control News.
and its use for pests control: a review. Journal University of Illinois. http://www. extension.
of Experimental Biology and Agricultural umn. Edu/distribution/horticulture/DG7373.
Sciences. 3: 337-345. Html
Alexopoulos, C. J., & Mims, C. W. D, Kachhawa. 2017. Microorganisms as biopesticides.
1979. Introducción a la Micología (No. Journal of Entomology and Zoology Studies.
QK603. A4318 3A ED.). Eudeba. 5: 468-473.
Anggarawati, S. H. 2014. Upaya Pengendalian Hayati Deising, H., & Siegrist, J. 1995. Chitin deacetylase
Helopeltis sp. Hama Penting Tanaman Acacia activity of the rust Uromyces viciae-fabae is
crassicarpa dengan Cendawan Beauveria controlled by fungal morphogenesis.FEMS
bassiana dan Lecanicillium lecanii. Tesis. IPB. Microbiology Letters, 127(3), 207-211
Annamalai, M., Kaushik H. D., & Selvaraj K. 2015. Derakhshan, A, Rabindra, R.J, Ramanujam, B,
Bioefficacy of Beauveria bassiana (Balsamo) Rahimi, M. 2008. Evaluation of different
Vuillemin and Lecanicillium lecanii Media and Methods of Cultivation onthe
Zimmerman against Thrips tabaci Lindeman. production and viability of Enthomophatogenic
Proc. Natl. Acad. Sci. DOI 10.1007/s40011- Fungi Verticilium lecanii (Zimm.) Viegas.
014-0475-8. Pakistan Journal of Biological Science. 11
Avanti, B, Balaraman, K, Gopinath, R. 2014. (11):1506-1509.
Development of higher temperature tolerant Easwaramoorthy, S., & Jayaraj, S. 1978.
mutant of Beauveria bassiana and Verticillium Effectiveness of the white halo fungus,
lecanii. International Journal of Life Sciences Cephalosporium lecanii, against field
Biotechnology and Pharma Research. 3: 109- populations of coffee green bug, Coccus
112. viridis. Journal of Invertebrate
Badan Pusat Statistik. 2016. Indikator Pertanian. Pathology,32(1), 88-96
Jakarta: BPS. Fatiha, L., Ali, S., Ren, S., & Afzal, M. 2007.
Barbosa, C.C., A.C. Monteiro, and A. C. B. Correia. Biological characteristics and pathogenicity of
2002. Growth and sporulation of Verticillium Verticillium lecanii against Bemisia tabaci
lecanii isolates under different nutritional (Homoptera: Aleyrodidae) on eggplant. Pak.
conditions. Pesq Agropec Braz 37(6): 821–829 Entomol, 29(2), 63-72.
Benhamou, N. 2004. Potential of the mycoparasite, Feng, K. C., Liu, B. L., & Tzeng, Y. M. 2002.
Verticillium lecanii, to protect citrus fruit Morphological characterization and
against Penicillium digitatum, the causal agent germination of aerial and submerged spores of
of green mold: A comparison with the effect of the entomopathogenic fungus Verticillium
chitosan. Phytopathology, 94(7), 693-705. lecanii. World Journal of Microbiology and
Benhamou, N., Lafontaine, P. J., & Nicole, M. 1994. Biotechnology, 18(3), 217-224.
Induction of systemic resistance to Fusarium Feng, K.C., Liu, B.L. & Tzeng, Y.M. 2000
crown and root rot in tomato plants by seed Verticillium lecanii spore production in solid-
treatment with state and liquid-state fermentations. Bioprocess
chitosan. Phytopathology, 84(12), 1432-1444. Engineering 23, 25–29.
Bhattacharyya, A., Samal, A. C., & Kar, S. 2004. Fransen, J. J. 1995. Survival of spores of the
Entomophagous fungus in pest entomopathogenic fungi Aschersonia aleyrodis
management. News Letter, 5, 12. (Deuteromycotina:Coelomycetes) on leaf
Bidochka, M. J., Clark, D. C., Lewis, M. W., & surfaces. Journal of Invertebrate Pathology 65
Keyhani, N. O. 2010. Could insect phagocytic (1), 73-75
avoidance by entomogenous fungi have Gindin, G., Geschtovt, N. U., Raccah, B., & Barash, I.
evolved via selection against soil amoeboid (2000). Pathogenicity ofVerticillium lecanii to
predators?.Microbiology, 156(7), 2164-2171. different developmental stages of the silverleaf
Braga, G. U. L., Flint, S. D., Messias, C. L., whitefly, Bemisia
Anderson, A. J., and Roberts, D. W. 2001. argentifolii. Phytoparasitica, 28(3), 229-239.
Effects of UV-B irradiance on conidia and
94 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Teknologi pengendalian hayati serangga....
Cabang Bandung
Goettel, M. S., Koike, M., Kim, J. J., Aiuchi, D., mengendalikan ulat grayak Spodoptera litura
Shinya, R., & Brodeur, J. 2008. Potential of F. pada tanaman tembakau in vivo. Jurnal
Lecanicillium spp. for management of insects, Agroekoteknologi. 5: 484-493.
nematodes and plant diseases. Journal of Moore, D. and Prior, C. 1993. The potential of
invertebrate pathology, 98(3), 256-261. mycoinsecticides. Biocontrol News Info. 14:
Halder, J., Rai A. H., & Kadandaram M. H. 2013. 31–40.
Compatibility of neem oil and different Oliveira, I, Baptista, P, Lino-Neto, T, Bento, A,
entomopathogens for the management of major Pereira, J.A. 2013. Entomopathogenic fungi
vegetable sucking pests. Natl. Acad. Sci. Lett, associated to Prays oleae: isolation,
36(1): 19-25. characterization and selection for biological
Helyer, N., G. Gill, A. Bywater, and R. Chamber. control. Science and Technology Foundation.
2006. Elevated humidities for control of Pearce, R. B., & Ride, J. P. 1982. Chitin and related
Chrysanthemum pests with Verticillium compounds as elicitors of the lignification
lecanii. Pest Manag Sci 36(4): 373–378 response in wounded wheat
Jaber, Lara R, Ownley, B.H, 2017. Biological leaves.Physiological Plant Pathology, 20(1),
Control. Science Direct. 119-123.
Jayaraj, J., Rahman, M., Wan, A., & Punja, Z. K. Prayogo, Yusmani. 2009. Kajian Cendawan
2009. Enhanced resistance to foliar fungal Entomophatogen Lecanicillium lecanii
pathogens in carrot by application of (Zimm.) (Viegas) Zare and Gams untuk
elicitors. Annals of Applied Biology, 155(1), Menentukan Perkembangan Telur Hama
71-80. Pengisap Polong Kedelai Riptortus linearis
Khaerati, Indriati, Gusti. 2015. Lecanicillium lecanii (F.) (Hempitera: Alydidae). Disertasi Doktor
(Ascomycota: Hypocreales) sebagai agens (Tidak diterbitkan). Bogor. Intstitut Pertanian
hayati pengendali hayati dan penyakit Bogor.
tanaman. SIRINOV. 3: 93-102. Prayogo, Yusmani. 2011. Pengendalian dini hama
Kim, J. J. et al. 2001. Fertilizer Technology Center. kepik coklat pada kedelai dengan pemanfaatan
Ext. Bull. 502: 8 -15 cendawan entomopatogen Lecanicillium
Krishnamoorthy, A, Visalakshi, P.N.G, Kumar, A.M, lecanii. Iptek Tanaman Pangan. 6: 99-115.
Mani, M. 2007. Influence of some pesticides Priyatno, T. P., Samudra, I. M., Manzila, I.,
on entomopathogenic fungus Lecanicillium Susilowati, D. N., & Suryadi, Y. 2016.
(=Verticillium) lecanii (Zimm.) ZARE & Eksplorasi Dan Karakterisasi Entomopatogen
GAMS. Jurnal Horticulture Science. 2(1) : 53- Asal Berbagai Inang Dan Lokasi [Exploration
57. and Characterization of Entomopathogenic
Kumar, M. N. R. 2000. A review of chitin and from Various Host and Location]. BERITA
chitosan applications.Reactive and functional BIOLOGI, 15(1).
polymers, 46(1), 1-27. Purwar J.P & Sachan G.C. 2006. Synergistic effect of
Ladja, Fausiah T. 2009. Pengaruh Cendawan entomogenous fungi on some insecticides
Entomopatogen Verticillium lecanii dan against Bihar hairy caterpillar Spilarctia
Beauveria bassiana Terhadap Kemampuan obliqua (Lepidoptera: Arctiidae). Microbiol
Nephotettix virescens Distant (Hemiptera: Res, 161(1): 38-42.
Cicadellide) Dalam Menularkan Virus Tungro. R, Nithya P. 2015. Improved Formulation of
Tesis Magister (Tidak diterbitkan). Bogor: Lecanicillium lecanii (Zimmermann) Zare and
Sekolah Pascasarjana IPB. Gams and its Evaluation Against Sucking
Lakshmi S. M. et al. 2001. In: Microbials in Insect Pests. Tesis Magister ( tidak diterbitkan).
Pest Management, Ignacimathu, S. and A. Sen Kerala. Kerala Agriculutre University.
(Eds.) Oxford and IBH Publishing Co. Pvt. Rangel, D.E.N., G.U.L. Braga, A.J. Anderson, D.W.
Ltd., New Delhi, pp.111-115 Roberts. 2005. Influence of growth enviroment
Lee, J. Y., Kang, S. W., Yoon, C. S., Kim, J. J., Choi, on tolerance to UV B radiation, germination
D. R., and Kim, S. W. 2006. Verticillium speed and morphology of Metarhizium
lecanii spore formulation using UV protectant anisopliae var. acridum conidia. J of Invertebr
and wetting agent and the biocontrol of cotton Pathol 90(1):55-58.
aphids. Biotechnol. Lett. 28: 1041-1045 Romanazzi, G., Nigro, F., Ippolito, A., DiVenere, D.,
Liu, J., Tian, S., Meng, X., & Xu, Y. 2007. Effects of & Salerno, M. 2002. Effects of Pre‐and
chitosan on control of postharvest diseases and Postharvest Chitosan Treatments to Control
physiological responses of tomato Storage Grey Mold of Table Grapes. Journal
fruit. Postharvest Biology and of Food Science, 67(5), 1862-1867.
Technology, 44(3), 300-306. Santoso, T. 1993. Dasar-dasar patologi serangga. Di
Masyitah, Irna, Sitepu, Suzanna Fitriany, Safni, Irda. dalam: Martono, E. Mahrub, NS Putra, dan Y.
2017. Potensi jamur entomopatogen untuk
95 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Teknologi pengendalian hayati serangga....
Cabang Bandung
96 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Dinamika serangga hama penggerek....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Hama penggerek pucuk (Hypsipyla robusta (Moore)) (Lepidoptera: Pyralidae) merupakan hama utama pada
tanaman mahoni. Serangan hama ini menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman mahoni karena pucuk
yang diserang adalah pucuk apikal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola dan dinamika serangan
hama penggerek pucuk Hypsipyla robusta pada tanaman mahoni. Penelitian dilakukan selama satu tahun di
Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Haurbentes, Jasinga – Bogor, dengan melakukan
monitoring berkala setiap dua bulan di tiga blok pengamatan. Data yang dikoleksi meliputi pengamatan
gejala, tanda, keberadaan hama dan efek serangan, serta penghitungan frekuensi serangan hama. Gejala
serangan hama penggerek pucuk adalah adanya lobang gerek yang dipenuhi oleh serbuk hasil sekresi hama,
tanda serangan terdapat larva penggerek pucuk di dalam lubang batang pada pucuk, sedangkan efek serangan
adalah kematian pucuk dan munculnya multi percabangan. Hasil penelitian menunjukkan serangan hama
penggerek pucuk tidak dipengaruhi oleh cuaca, dengan kejadian tertinggi terjadi pada bulan Maret 2017.
Pertumbuhan serangga di lapangan tidak seragam dengan ditemukannya berbagai tingkat instar yang berbeda
dalam satu waktu pengamatan. Tingkat serangan berulang tertinggi ditemukan 7 kali/pohon/tahun, rata-rata
serangan terjadi 2-4 kali/pohon/tahun.
Kata kunci: Dinamika, frekuensi, Hypsipyla robusta, mahoni
ABSTRACT
Cedar shoot (Hypsipyla robusta (Moore)) (Lepidoptera: Pyralidae) is a major pest in mahogany plants. This
pest attack causes the disruption of the growth of mahogany plants because the shoots that are attacked are
apical shoots. This study aims to determine the pattern and dynamics of pest (H. Robusta) attack on
mahogany plants. The study was conducted for one year in Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK)
Haurbentes, Jasinga - Bogor, with periodic monitoring every three months. The data collected includes
observation of symptoms, signs, comments and the effects of attacks, as well as the calculation of the
frequency of pest attacks. The phenomenon of cedar shoot attack is the hole of pipe issued by the powder of
pest secretion, the sign of attack there is cedar shoot larvae in the hole of the stem at the shoot, while the
attacking effect is shoot death and multi-branching mating. The results showed that shoot borer attack was not
affected by the weather, with the highest occurrence occurring in March 2017. Growth was not possible to be
found with different levels at one observation time. The highest rate of recurrent attacks was found 7 times /
tree / year, the average attack occurred 2-4 times / tree / year.
Keywords: dynamics, frequency, Hypsipyla robusta, mahogany
97 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Dinamika serangga hama penggerek....
Cabang Bandung
pucuk. Pada larva instar awal, larva bergerak pengukuran cuaca yang terdekat dengan lokasi
menyusuri beberapa lokasi sehingga terjadi tetesan penelitian.
getah dan ujung pucuk menjadi layu. Larva yang lebih Analisis Data
besar sering berpindah kebatang yang lebih tua untuk Analisis data dilakukan dengan cara
menggerek ligniofied yang dapat menyebabkan deskriptif dan statistik. Analisis deskriptif digunakan
kerusakan pada batang utama, kerusakan yang terhadap pengamatan gejala serangan pada tanaman,
berlanjut dapat menyebabkan pohon menjadi kerdil biologi hama, korelasi antara frekuansi serangan
dan memiliki banyak percabangan (Griffiths, 1996). dengan cuaca. Analisis statistik digunakan untuk
Permasalahan hama H. robusta menjadi melihat frekuensi serangan dan korelasi umur
tantangan karena larva hidup dalam batang dan di tanaman.
pucuk apikal serta beregenerasi terus menerus.
Serangan H. robusta merupakan faktor utama yang HASIL DAN PEMBAHASAN
dapat menyebabkan kegagalan pada pembangunan Gejala serangan dan pemulihan pada tanaman
hutan tanaman dan memiliki implikasi ekologi dan Berdasarkan pengamatan di lapangan
komersial yang serius (Byfrave & Bygrave, 2004). tanaman mahoni yang terserang hama penggerek
Maka adanya informasi mengenai kelimpahan dan pucuk menunjukkan gejala awal pucuk tanaman
pola penyerangan diperlukan untuk pendugaan puncak menjadi layu dan bagian apikal berwarna hitam
serangan dan teknik pengendalian hama dimaksud. seperti terbakar (Gambar 1a). Dalam kurun waktu satu
minggu gejala selanjutnya yang teramati yaitu
BAHAN DAN METODE terdapat getah berwarna bening dan terdapat serbuk
Waktu dan Lokasi kotoran yang disekresikan oleh hama penggerek
Lokasi tegakan mahoni berada di Kawasan pucuk (Gambar 1b). Pemulihan tanaman mahoni
Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Haurbentes pasca serangan hama terjadi secara alamiah dengan
– Jasinga, Bogor pada lokasi geografis 06032’880”S munculnya tunas baru yang terjadi pada rentang
dan 106026’149”E dengan ketinggian tempat 274 m waktu 3-4 minggu setelah serangan berakhir. Salah
dpl. satu parameter tanaman resisten diantaranya adalah
Material kapasitas untuk mempertahankan tunas apikal
Tegakan mahoni yang diamati ditanam (Cornelius, 2009). Tunas yang terbentuk baru hasil
pada bulan Mei 2016 dan mulai mengalami serangan pemulihan berjumlah tiga sampai lima tunas
hama penggerek pucuk pada bulan Oktober 2016 (5 (multishoots) (Gambar 1c). Karena itulah selanjutnya
bulan setelah tanam). Pengamatan dinamika hama tanaman mahoni memiliki banyak cabang dan
penggerek pucuk mahoni Hypsipyla robusta menurunkan nilai ekonomis.
dilakukan selama satu tahun, mulai bulan oktober
2016 sampai dengan September 2017.
Prosedur kerja yang dilakukan meliputi,
pembuatan plot pengamatan permanen, karena
tanaman mohoni merupakan objek pengamatan tetap
dalam penelitian. Tanaman yang diamati terdiri atas 3
blok. Dalam satu blok terdapat 15 plot dengan jumlah
9 tanaman per plot, sehingga tanaman yang diamati
yaitu 135 tanaman per blok atau total 405 tanaman.
Karakteristik lahan plot pertama relatif datar, plot ke
dua lembah dan plot ke tiga lereng.
Pengumpulan Data a b
Pengamatan yang dilakukan meliputi: (1).
Pengamatan tanaman yang mengalami gejala dan
pemulihan setelah serangan; (2) pengamatan biologi
hama penggerek pucuk di laboratorium Perlindungan
Hutan Puslitbang Hutan Bogor; (3) pengukuran setiap
dua bulan meliputi pengamatan terhadap gejala, tanda,
keberadaan hama dan efek serangan, serta
penghitungan frekuensi serangan hama pada setiap
contoh tanaman mahoni.
Data cuaca diperoleh dari Badan Meteorologi, c d
Klimatologi dan Geofisika (BMKG), stasiun
Gambar 1. Pengamatan pada tanaman mahoni yang
Dramaga-Bogor. Data yang diambil meliputi curah
terserang penggerek pucuk: a). gejala awal serangan;
hujan dan jumlah hari hujan yang merupakan hasil
b). gejala lanjutan serangan; c). pemulihan tanaman;
pengukuran stasiun Jasinga-Bogor, sebagai stasiun
d). serangan berulang
98 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Dinamika serangga hama penggerek....
Cabang Bandung
99 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Dinamika serangga hama penggerek....
Cabang Bandung
Berdasarkan hasil pengamatan persentase P-Value 0,967273 (Tabel 3). Hal ini menunjukkan
pohon terserang hama pada blok I lebih tinggi bila bahwa perbedaan kontur tanah pada blok I dengan
dibandingkan dengan blok II dan blok III (Tabel 2), kontur tanah yang relatif datar, blok II dengan kontur
tetapi setelah dilakukan uji analisis of varians tanah yang berada di daerah lembah dan blok III
(ANOVA) perkembangan populasi hama pada ketiga dengan kontur tanah berlereng tidak mempengaruhi
blok pengamatan hampir sama/ tidak berbeda dengan terhadap tingkat serangan hama H. robusta.
Total 6049,111 17
Pengaruh cuaca terhadap serangan hama H. memperlihatkan tidak terdapat satu plot pun yang
robusta terbebas dari serangan hama.
Serangan hama H. robusta pada tanaman Informasi mengenai kelimpahan musiman
mahoni di KHDTK Haurbentes-Jawa Barat terjadi dan pola penyerangan saat ini masih jarang tersedia.
dengan frekuensi serangan berfluktuasi pada setiap Padahal, pengetahuan tentang hal ini memungkinkan
bulannya. Data pengamatan selama satu tahun untuk menduga puncak serangan, teknik sampling dan
memperlihatkan serangan hama paling tinggi terjadi yang terutama adalah pengendalian dari hama
pada bulan Maret 2017 dan terendah terjadi pada dimaksud. Menurut Taveras et al., (2004) Hypsipyla
bulan Juli 2017 (Gambar 1 dan 2), dari kedua grafik aktif sepanjang tahun, dan populasinya dipengaruhi
tersebut menunjukan tidak terdapat pengaruh antara faktor abiotik (kelembaban, curah hujan, suhu) dan
persentase jumlah pohon terserang hama dengan faktor abiotik (ketersediaan pucuk mahoni dan musuh
faktor cuaca seperti curah hujan dan jumlah hari alami). Ketersediaan tunas terutama berkaitan dengan
hujan. musim penghujan sehingga beberapa penelitian
menyatakan bahwa kelimpahan H. robusta berkaitan
dengan musim penghujan (David & Suratmo, 1976;
Yamazaki et al, 1990). Pada penelitian yang
dilakukan ini, lokasi penelitian terletak di KHDTK
Haurbentes, dan berdasarkan data cuaca yang
diperoleh, dalam kurun waktu selama penelitian
dilakukan, setiap bulannya terdapat hujan dalam
variasi yang berbeda. Jumlah hari hujan terkecil
terjadi pada bulan Juli 2017 dan ditunjukkan dengan
persentase serangan rendah berturut-turut pada blok I,
II dan III yaitu 22,22%; 26,67% dan 14,07%.
Pengaruh Interval Waktu Aplikasi Tepung Biji Sirsak (Annona muricata L.) Terhadap
Susut Bobot Biji Kedelai {Glycine max (L.) Merrill} Akibat Serangan Hama Gudang
Callosobruchus spp. Linn.
Yenny Muliani , Dede Hidayat , Erry Mustariani, Ida Adviany , Iilis Irmawatie
ABSTRAK
Kedelai {Glycinemax (L.) Merrill} mengandung berbagai zat yang berguna bagi tubuh manusia seperti
protein, lemak nabati, karbohidrat dan senyawa isoflavon (Alina et al., 2016). Kandungan protein pada
biji kedelai sangat tinggi, berkisar antara 35-38% per 100 gram biji kedelai basis kering (bk), bahkan
pada kedelai varietas unggul seperti Sinabung, Kaba, Anjasmoro dan Argomulyo kadar protein dapat
mencapai 40-43% (Suyamto dan I Nyoman, 2010; El-Shemy, 2011). Callosobruchus spp. merupakan
hama gudang yang menyerang biji kedelai yang disimpan di tempat penyimpanan, sehingga
menimbulkan kerusakan berupa menurunnya kualitas dan kuantitas hasil. Untuk mengendalikan hama
gudang tersebut, masyarakat mulai memikirkan cara yang lebih baik, aman dan tidak memberikan
dampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu peluangnya adalah pemanfaatan bahan alami seperti biji
sirsak yang diharapkan mampu mengendalikan serangan kumbang Callosobruchus spp.
Kata kunci: Callosobruchus spp.; biji sirsak; interval waktu
ABSTRACT
Soybean {Glycinemax (L.) Merrill} contains a variety of substances that are usfull for the human body
such as proteins, vegetable fats, carbohydrates and isoflavones (Alina et al., 2016). Protein content in
soybean seed is very high, ranging from 35-38% per 100 gram of dried soybean seed, even in soybean
superior varieties such as Sinabung, Kaba, Anjasmoro, and Agromulyo protein contain can reach 40-43%
(Suryamto and I nyoman, 2010; El Shemy, 2011) Callosobrochus spp., is a pest of werehouses that
attack soybean seeds stored in storage, causing damage in the from of declining quality and quantity of
result. To control the werehouse pest, people are starting to think of better, safer ways and do not a
negative impact on the environment. One of opportunities is the ultization of natural materials such
soursop seed are expected to control Callosobrochus spp. attacks.
Keyword: Callosobrochus spp, soursop seed, time interval.
membahayakan manusia. Selain itu, pestisida kimia (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, 2014).
dapat menimbulkan resistensi hama, yakni Senyawa racun anonain dan asetogenin yang
menurunnya kepekaan hama terhadap jenis pestisida terkandung pada biji sirsak umumnya hanya bertahan
tertentu dan dikhawatirkan dapat menyebabkan sekitar 4-8 hari di alam, setelah itu efektivitas
resurjensi (Bellinger, 1996). senyawanya akan berkurang secara bertahap (Keller et
Keadaan yang tidak menguntungkan bagi al., 2009). Untuk mengatasi hal tersebut diatas, maka
manusia dan lingkungan membuat masyarakat mulai perlu diatasi dengan frekuensi pemberian bahan
memikirkan cara yang lebih baik, aman dan tidak insektisida nabati secara konsisten,
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Berdasarkan penelitian Muliani & Ichsan
Salah satu peluangnya adalah pemanfaatan bahan- (2016); Muliani& Kusnadi (2015), perlakuan biji
bahan alami yang berasal dari tumbuhan untuk sirsak dengan dosis 5 gr/kg biji kedelai mampu
dikembangkan sebagai insektisida nabati yang dapat menekan perkembangan populasi Callosobruchus
mengendalikan serangan kumbang Callosobruchus spp. yang menyerang kedelai Varietas Argomulyo,
spp. akan tetapi kerusakan biji kedelai akibat serangan
Pestisida nabati dapat berupa ekstrak ataupun hama tersebut masih tinggi serta susut bobot biji
tepung yang diperoleh dari bahan-bahan alami seperti kedelai masih tinggi, oleh karena itu, tulisan ini
daun-daun tanaman, ranting-ranting tanaman, dan biji diharapkan dapat menekan populasi hama gudang
atau buah dari tanaman yang memiliki sifat racun bagi Callosobruchus spp. dengan melakukan uji frekuensi
hama tanaman akan tetapi aman bagi lingkungan dan pemberian insektisida asal biji sirsak
manusia (Antonio, 2009). Bahan alami yang dapat
digunakan sebagai bahan pestisida nabati adalah biji METODE PERCOBAAN
sirsak (Yos, 2013; Righi et al., 2014). Sirsak memiliki Percobaan menggunakan metode eksperimental
berbagai macam keunggulan, seperti tidak dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok
mempunyai dampak negatif bagi manusia, mudah (RAK), terdiri dari 6 perlakuan frekuensi waktu
didapat, mudah di olah menjadi insektisida nabati, dan pemberian pestisida nabati biji sirsak dengan 4 kali
dapat menekan serangan kumbang bubuk kedelai di ulangan. Perlakuan frekuensi tersebut adalah :
penyimpanan (Muliani & Ichsan, 2016). Bagian K1 : frekuensi pemberian pestisida nabati 4 hari sekali
tanaman yang dapat digunakan untuk bahan pestisida K2 : frekuensi pemberian pestisida nabati 5 hari sekali
nabati antara lain daun, ranting dan biji. Menurut Yos K3 : frekuensi pemberian pestisida nabati 6 hari sekali
(2013); Herminanto(2004), bahan pestisida nabati dari K4 : frekuensi pemberian pestisida nabati 7 hari sekali
biji sirsak adalah bagian yang paling efektif K5 : frekuensi pemberian pestisida nabati 8 hari sekali
mengendalikan kumbang bubuk kedelai. Sedangkan, K6 : 1 kali pemberian pestisida nabati
menurut Novizan (2002), tanaman sirsak khususnya Aplikasi yang dilakukan dengan cara
dalam bijinya, mengandung senyawa aktif annonain memasukan kumbang Callosobruchus spp. dewasa
dan squamosin yang termasuk ke dalam golongan sebanyak 25 pasang kedalam wadah berisi kedelai
asetogenin yang dapat berfungsi sebagai insektisida, varietas Argomulyo yang telah dicampur dengan
repellent dan antifeedant bagi kumbang bubuk pestisida nabati biji sirsak dengan dosis 7,5 gr/kg
kedelai. kedelai. Pengamatan dilakukan selama 60 hari,
Selain memiliki berbagai kelebihan, dengan menghitung mortalitas Callosobruchus spp.,
penggunaan insektisida nabati memiliki kekurangan. jumlah kerusakan biji dan bobot biji kedelai.
Salah satu kekurangannya yaitu reaksi yang timbul
terhadap hama sasaran tidak langsung mematikan bila HASIL DAN PEMBAHASAN
dibandingkan dengan pestisida kimia, serta efektivitas Kerusakan biji akibat serangan kumbang
racun terhadap hama relatif pendek karena sifat Callosobruchus spp. disajikkan pada Tabel 2 berikut
senyawa alami yang mudah terurai. Hal ini tentu saja ini :
akan berdampak terhadap mortalitas hama sasaran
Tabel 2. Rata-rata Kerusakan Biji Kedelai
Perlakuan Pengamatan minggu ke-
(frekuensi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
pemberian)
4 hari 14,10a 15,20a 15,58a 15,73a 15,95a 16,27a 16,49a 17,31a 19,94a 20,57a 21,33a 21,45a 21,64a 22,02a
5 hari 17,59b 19,07b 19,80b 20,11b 20,40b 20,43b 20,62b 22,54b 27,08b 27,74b 28,63b 28,88b 29,13b 29,70b
6 hari 20,46c 21,99c 22,96c 23,39c 23,71c 23,99c 24,39c 27,70c 32,44c 33,53c 35,03c 35,40c 35,75c 36,18c
7 hari 22,74c 24,65c 25,96c 26,50c 26,88c 27,36c 27,55c 31,50d 37,99d 39,59d 41,62d 42,01d 42,39d 43,15d
8 hari 27,83d 29,93d 31,63d 32,38d 32,66d 32,88d 33,13d 38,10e 46,51e 47,05e 49,18e 49,34e 49,40e 50,50e
1 kali 30,42d 32,75d 34,38d 35,07d 35,45d 35,64d 36,14d 42,98f 55,92f 57,27f 59,91f 60,28f 61,07f 63,55f
Keterangan :
*Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut
uji jarak berganda Duncan pada taraf nyata 5 persen.
Dari tabel diatas dapat diinterpretasikan The Ripe Fruit of The North American
bahwa pemberian perlakuan pemberian tepung biji Pawpaw (Asimina triloba). Kentucky State
kedelai pada semua perlakuan masih menyebabkan University. Kentucky.
kerusakan pada biji kedelai yang disimpan. Frekuensi Muliani, dan Ichsan Darmawan, 2016. Pengaruh
pemberian 4 hari menghasilkan kerusakan biji kedelai Beberapa Jenis Bioinsektisida Nabati Terhadap
yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan Mortalitas Callosobruchus Chinensis Lin.)
lainnya, sehingga susut bobot biji yang paling rendah (Coleoptera: Bruchidae) Dan Intensitas
terjadi pada perlakuan frekuensi pemberian 4 hari Kerusakan Biji Kedelai (Glycine Max. Merr.)
sekali. Tabel bobot biji disajikkan pada Tabel 3. Di Laboratorium.
berikut ini : Muliani, dan Dadang Kusnadi, 2016. Penggunaan
Beberapa Jenis Tanaman Sebagai Bahan
Tabel 3. Susut Bobot Biji Kedelai Insektisida Nabati Untuk Mengendalikan
Susut Bobot Biji Hama Gudang Callosobruchus Spp. Pada Biji
Perlakuan
(%) Kedelai (Glycine Max (L.) Merrill) Di Tempat
K1=frekuensi 4 hari sekali 3,50 f Penyimpanan.
K2=frekuensi 5 hari sekali 10,50 e Novizan, 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif.
K3=frekuensi 6 hari sekali 13,75 d PT. Agromedia Pustaka. Depok.
K4=frekuensi 7 hari sekali 24,00 c Qazi Muhammad Arshad, 2007. Developtment and
K5=frekuensi 8 hari sekali 33,50 b Monthly Percent Damage of Callosobruchus
K6=1 kali aplikasi 52,75 a chinensis L. Pakistan J.Agric.Res.Vol 20 no.3-
Keterangan : 4, 2007.
*Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada Suyamto dan Widiarta I Nyoman, 2010. Kebijakan
kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata Pengembangan Kedelai Nasional. Prosiding
menurut uji jarak berganda Duncanpada taraf nyata 5 Simposium dan Pameran Teknologi Aplikasi
persen. Isotop dan Radiasi. Bogor. Pusat Penelitian
Tanaman Pangan. Available at
KESIMPULAN http://dx.doi.org/10.4236/Jacen 2015.42006.
Frekuensi waktu pemberian insektisida Verified on March 2016.
nabati asal biji sirsak dengan Interval waktu aplikasi 4 Yos, Wahyu Harinta, 2013. Pengaruh Tepung Daun
hari sekali merupakan perlakuan paling efektif untuk Sirsak Annona muricata L.) Terhadap
menekan kerusakan dan susut bobot biji kedelai akibat Mortalitas dan Perkembangan Kumbang
serangan Callosobruchus spp. Callosobruchus analis F. Pada Biji Kedelai
dan Kacang Hijau. Skripsi Universitas Veteran
DAFTAR PUSTAKA Bangun Nusantara.
Badan Pusat Statistik, 2015. Padi, Jagung, Kedelai.
Badan Pusat Statistik. Jakarta. Available at
bps.go.id Verified Agustus 2016.
Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi Kedelai di
Indonesia Tahun 2010-2015. Available at
bps.go.id Verified March 2016.
Bellinger, Robert G. 1996. Pest Resistance to
Pesticide. Department of Entomology.
Clemson University. 1996.
Briones Antonio Dahlin, 2007. Botanical Pesticide: A
Pest of Sustainable Agriculture in Babati
District Tanzania.
El-Shemy, H.A. 2011. Soybean and Nutrition. InTech.
Available at www. Intechopen.com. Verified
on December 2016.
Herminanto, 2004. Pengendalian Hama Kumbang
Callosobruchus analis pada Biji Kedelai
Dalam Simpanan dengan Menggunakan
Tepung Daun dan Biji Sirsak. Skripsi
Universitas Jenderal Sudirman. Purwokerto.
Kardinan, 2005. Pestisida Nabati, Kemampuan dan
Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Keller, W., Kirk W.P., Jeremiah., D., Shery B.,2009.
Identification of Annonaceae Acetogenin in
ABSTRAK
Serangan Plutella xylostella menyebabkan produksi kubis di Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan
konsumen. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi larva yang terinfeksi
Metarhizium anisopliae, mengetahui efektivitas dan kerapatan efektif cendawan entomopatogen M.
anisopliae dalam mengendalikan P. xylostella pada tanaman kubis dilaksanakan di Laboratorium Hama
Jurusan Agroteknologi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung dari Januari sampai Mei 2017, menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan kerapatan spora M. anisopliae dan empat ulangan.
Perlakuan tersebut : kontrol (tanpa aplikasi spora M. anisopliae),102,104,106 ,108 dan 1010 spora/ml aquades
yang diaplikasikan pada larva P. xylostella instar 2. Uji lanjut yang digunakan yaitu Uji Duncan taraf 5%.
Hasil penelitian menunjukan kerapatan 1010 spora/ml aquades menyebabkan mortalitas larva P. xylostella
92,50% selama 7 hari setelah aplikasi M. anisopliae dan bobot pakan yang dimakan oleh larva P. xylostella
paling sedikit selama 24 jam sebesar 0,94 g.
Kata Kunci : Daya makan, Kerapatan , Mortalitas, Metarhizium anisopliae dan Plutella xylostella
ABSTRACT
Attack Plutella xylostella causing the production of cabbage in indonesia could not meet the needs of
consumers .Research aimed at acknowledge the changing morphology larvae infected Metarhizium
anisopliae, know effectiveness and density effective boletus entomopatogen m . Anisopliae in controlling P.
xylostella in plants cabbage carried out in laboratory pest of Agroteknologi, Uin Sunan Mountain Djati
Bandung from January until May 2017, use design random complete (RAL) with six treatment density spores
M. anisopliae and four remedial. The treatment: control (without the application of spores M. anisopliae) ,
102,104,106 , 108 and 1010 spores / m lAquades applied to the larvæ P. xylostella instar 2. Test said used the
test duncan the economic situation of 5 percent. The results of the study show 10 10 Density spores / ml
Aquades causing mortalitas larvae P. xylostella 92,50% during 7 days after application M. anisopliae and
weights the weft of which eaten by the larvae P. xylostella at least for 24 hours as much as 0,94 g
Keywords: Density, Mortality , Metarhizium anisopliae , Plutella xylostella and The Eat
penggunaan insektisida di areal pertanian menuntut dengan komposisi 1 liter ekstrak kentang, gula pasir
tersedianya cara pengendalian lain yang aman dan 20 g dan 7 g agar-agar tidak berwarna dan diinkubasi
ramah lingkungan, diantaranya dengan memanfaatkan pada suhu ruang selama 7 hari.
agen hayati seperti entomopatogen (Trizelia et al., Aplikasi suspensi M. ansopliae dilakukan di
2011). Cendawan entomopatogen yang sangat laboratorium. Langkah pertama yang dilakukan yaitu
potensial dalam mengendalikan hama P. xylostella membuat larutan suspensi cendawa M. anisopliae
adalah M. anisopliae. Cendawan M. anisopliae dapat dengan kerapatan 0 spora/ml (kontrol), 10 2 spora/ml,
menyebabkan penyakit “green muscardin fungus” 104 spora/ml, 106 spora/ml, 108spora/ml, dan
yang bersifat patogen terhadap serangga sasaran. M. 1010spora/ml, masing-masing perlakuan diulang
anisopliae menghasilkan endotoksin yaitu Destruxins sebanyak empat kali. Setelah membuat larutan
dimana senyawa ini dapat menyebabkan kelumpuhan suspensi, kemudian diaplikasikan pada larva P.
dan kematian pada serangga. Efek destruxin xylostella instar 2 yang berada di dalam toples
berpengaruh pada organella sel target (mitokondria, sebanyak 10 ekor. Aplikasi M. anisopliae dilakukan
retikulum endoplasma dan membrannukleus), dengan cara disemprotkan pada larva P. xylostella.
menyebabkan paralisa sel dan kelainan fungsi Dalam melakukan aplikasi ini larva diberi pakan daun
lambung tengah, tubulus malphigi, hemocyt dan kubis sebanyak 1 helai per unit percobaan, hal ini
jaringan otot (Widiyanti & Muyadihardja, 2004). bertujuan untuk mengetahui bobot pakan yang
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dikonsumsi larva selama 24 jam.
M. anisopliae efektif dalam mengendalikan populasi Rancangan respon yang diamati diantaranya;
serangga dari ordo Lepidoptera. Larva Maruca vitrata (a) Perubahan Morfologi Larva P. xylostella
instar 3 yang di infeksikan cendawan M. anisopliae dilakukan pengamatan secara deskriptif dengan
dengan kerapatan 2 x 106 spora/ml dapat mengamati setiap perubahan morfologi yang terjadi
menyebabkan mortalitas larva hingga 49% pada 6 hari pada larva, seperti kondisi fisik larva. Pengamatan
setelah aplikasi (Toffa, 2014). Penelitian ini bertujuan dilakukan pada 6 jam, 12 jam dan 24 jam setelah
untuk mengetahui efektivitas cendawan M. anisopliae aplikasi cendawan entomopatogen M. anisopliae
terhadap mortalitas dan daya makan P. xylostella pada selanjutnya pengamatan dilakukan setiap 24 jam
tanaman kubis. selama 6 hari; (b) Mortalitas Larva P. xylostella (%)
Pengamatan mortalitas harian dilakukan dengan
BAHAN DAN METODE PENELITIAN menghitung jumlah keseluruhan larva P. xylostella
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium yang mati, pengamatan dilakukan setiap 24 jam
Hama jurusan Agroteknologi, Fakultas Sains dan selama 7 hari. Sedangkan pengamatan mortalitas total
Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung dilakukan setelah waktu pengamatan berakhir dengan
Djati Bandung. Bahan yang digunakan diantaranya menghitung keseluruhan larva yang mati selama 7
isolat M. anisopliae, larva P. xylostella, media PDA hari. Maka, untuk mengetahui persentase mortalitas P.
(Potato Dextrose Agar), daun kubis (sebagai pakan xylostella dapat dilakukan menggunakan rumus
larva), tanaman kubis, kertas buram. Alat yang (Gabriel dan Riyanto, 1989) sebagai berikut :
digunakan diantaranya mikroskop, autoclave, cawan
petri, mikropipet, haemacytometer, silk, tabung jarum Mo = k/Kn x 100%
ose, Laminar Air Flow (LAF), toples plastik
berukuran 20 x 15 x 5 cm3, timbangan analitik, Keterangan:
thermohygrometer, spatula, beaker glass dan pH Mo : Persentase mortalitas
meter. Metode yang digunakan adalah metode k : Larva P. xylostella yang mati
eksperimental berupa Rancangan Acak Lengkap Kn : Jumlah seluruh larva P. xylostella
(RAL) sederhana dengan perlakuan kerapatan spora
M. anisopliae diantaranya kontrol, 102, 104, 106, 108, (c) Bobot Pakan yang dimakan oleh larva P.
dan 1010/ml aquades sehingga terdapat 6 perlakuan xylostella (g), pengamatan dilakukan pada 24 jam
yang diulang sebanyak 4 kali sehingga diperoleh 24 setelah aplikasi suspensi cendawan M. anisopliae.
unit percobaan. Adapun cara untuk menghitung bobot pakan yang
Pelaksanaan Penelitian persiapan penelitian dimakan larva yaitu dengan cara menghitung bobot
dengan menyediakan bahan dan alat yang dibutuhkan pakan awal – bobot akhir, pengamatan bobot pakan
selama pelaksanaan penelitian. Tahap pertama yang dimakan larva dilakukan selama 24 jam.
melakukan pemeliharaan dan perbanyakan P.
xylostella pada tanaman kubis yang di tutup kain tile HASIL DAN PEMBAHASAN
sehingga diperoleh larva P. xylostella instar 2. Isolat Perubahan Morfologi Larva P. xylostella
cendawan M. anisopliae diperoleh dari BALITSA Pengamatan gejala infeksi terhadap larva yang
(Balai Penelitian Tanaman Sayuran) Lembang, disebabkan oleh M. anisopliae dilakukan setiap hari
Kabupaten Bandung Barat. Isolat M. anisopliae selama 168 jam atau 7 hari. Larva P. xylostella yang
tersebut hasil isolasi P. xylostella dari tanaman bunga terinfeksi oleh cendawan M. anisopliae mengalami
kol, isolat M. anisopliae disubkultur pada media PDA
108 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Aktivitas cendawan entomopatogen Metarhizium....
Cabang Bandung
beberapa tahapan perubahan yang dapat dilihat dari kerapatan dan tingkat kerapatan jumlah spora
Tabel 1. cendawan M. anisopliae yang diinfeksikan, maka
Pada perlakuan berbagai tingkat kerapatan semakin tinggi pula mortalitas. Larva P. xylostella
spora M. anisopliae setelah 24 JSA sudah yang terinfeksi cendawan tubuhnya akan
menunjukkan gejala yaitu larva mulai gerakan memperlihatkan perubahan warna diantaranya
lamban, nafsu makan berkurang, perubahan warna kekuningan dan bercak cokelat pada awal infeksi
terjadi yaitu dimulai dari warna hijau kecoklatan sedangkan pada hari kedua dan ketiga setelah larva
kemudian menjadi hitam, dan larva mulai lunak, mati maka larva tersebut akan mengalami mumifikasi
mengeluarkan cairan berbau dan warna menjadi hitam dimana cendawan akan menembus kutikula dan akan
kemudian kering. Marheni et al., (2013) menuturkan membentuk miselium cendawan pada permukaan
bahwa terjadinya pengerasan pada tubuh larva tubuh larva, miselium cendawan pada awalnya
disebabkan karena seluruh jaringan dan cairan tubuh berwarna putih (Gambar 2a), setelah dua hari warna
larva telah habis dimanfaatkan oleh cendawan M. miselium berubah menjadi hijau menutupi permukan
anisopliae yang mengakibatkan serangga mati. Proses tubuh larva (Gambar 2b).
selanjutnya yaitu mumifikasi dimana miselium Bobot Pakan yang dikonsumsi oleh Larva P.
berwarna putih mulai menyelimuti bagian tubuh larva xylostella (g)
(Gambar 1d) dari abdomen dan menyelimuti seluruh Pengamatan terhadap bobot pakan bertujuan
bagian tubuh, 168 JSA larva menjadi rapuh. untuk mengetahui bobot pakan yang dikonsumsi oleh
larva P. xylostella normal dan larva yang diinfeksi
Mortalitas Larva P. xylostella (%) spora cendawan. Perhitungan terhadap konsumsi
pakan larva P. xylostella meliputi kebutuhan pakan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa larva P. xylostella dengan menimbang bobot pakan
pengaruh aplikasi beberapa kerapatan kerapatan M. awal dengan bobot pakan setelah dikonsumsi untuk
anisopliae berpengaruh nyata terhadap mortalitas mengetahui kebutuhan pakan yang dimakan. Hasil
larva P. xylostella (Tabel 2). analisis ragam menunjukkan bahwa aplikasi beberapa
Mortalitas larva P. xylostella tertinggi yaitu kerapatan spora M. anisopliae berpengaruh nyata
pada perlakuan F dengan kerapatan spora terhadap bobot pakan yang dimakan oleh larva P.
1010spora/ml yaitu sebesar 92,50% (Tabel 2). Nilai xylostella selama 24 jam setelah aplikasi suspensi M.
persentase mortalitas ini paling tinggi dibandingkan anisopliae (Tabel 3).
dengan kerapatan spora cendawan M. anisopliae lain Bobot pakan yang dikonsumsi oleh P.
yang digunakan. Kerapatan M. anisopliae 104spora xylostella tertinggi diperlihatkan pada kontrol yaitu
/ml telah mampu mematikan > 50% larva P. 1,38 g. Aplikasi spora 102 spora/ml sampai 106
xylostella. . Perlakuan yang paling efektif untuk spora/ml dapat menurunkan aktivitas pakan larva P.
mematikan larva P. xylostella pada skala laboratorium xylostella, namun tidak signifikan. Berbeda dengan
ialah perlakuan dengan tingkat kerapatan 1010 perlakuan 108 spora/ml dan 1010 spora/ml yang
spora/ml dengan presentase mortalitas 92,50%. berhasil menurunkan konsumsi pakan dimana
Berdasarkan penelitian tersebut, semakin tinggi aktivitas makan larva pada perlakuan 1010 spora/ml
kerapatan spora, akan semakin tinggi pula peluang diperoleh rata-rata bobot pakan yang dimakan yaitu
kontak antara patogen dengan larva, sehingga proses 0,94 g.
kematian larva yang terinfeksi semakin cepat. Meningkatnya kerapatan spora, maka populasi
Semakin banyak spora yang melekat pada kutikula spora senilai dengan besarnya spora yang dapat
larva, maka semakin banyak pula spora yang melekat pada permukaan tubuh larva. Berdasarkan
melakukan penetrasi terhadap kutikula tersebut yang hasil uji viabilitas spora M. anisopliae yang
berakibat pada banyaknya larva yang mati sehingga diinkubasikan selama 16 jam pada penelitian ini
akan meningkatkan mortalitas larva P. xylostella. mampu berkecambah sebanyak 60,1%, dengan
Secara umum tampak bahwa semakin tinggi kerapatan demikian pada 24 JSA M. anisopliae dapat tumbuh
yang diberikan terhadap larva P. xylostella maka dan berkembang menghasilkan enzim dan toksin yang
semakin tinggi tingkat mortalitasnya. mampu menurunkan aktivitas makan, tingkah laku
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa dan morfologi larva. Viabilitas merupakan daya
terjadi kenaikan mortalitas larva yang diinfeksi spora kecambah konidia cendawan, jika viabilitas tinggi
cendawan seiring dengan semakin tinggi tingkat maka kemampuan cendawan untuk hidup dan
kerapatan spora, hal ini sejalan dengan penelitian menginfeksi inang juga tinggi. Perkecambahan spora
yang telah dilakukan oleh Prayogo & Tengkano merupakan tahapan yang penting dalam proses
(2005) terhadap larva S. litura dengan kerapatan penginfeksian terhadap larva, isolat yang mempunyai
spora cendawan yang digunakan adalah 104 spora/ml daya kecambah tinggi akan mempunyai peluang besar
sampai 108spora/ml dengan mortalitas larva berturut- untuk dapat menginfeksi dan mematikan larva
turut pada hari ke delapan setelah aplikasi adalah (Tanada & Kaya, 1993). Penurunan aktivitas makan
44,33%, 54%, 60%, 79% dan 70,67%. Pada larva disebabkan karena terganggunya jaringan tubuh
penelitian tersebut diketahui bahwa semakin tinggi larva akibat infeksi M. anisopliae yang akan
109 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Aktivitas cendawan entomopatogen Metarhizium....
Cabang Bandung
mengelurkan enzim dan toksinnya sehingga yang diaplikasikan maka presentase aktivitas makan
menyebabkan kerusakan saluran pencernaan, sistem larva akan menurun dibandingkan dengan kontrol
pernafasan serta menghancurkan daya tahan tubuh yang tidak diberi perlakuan spora M. anisopliae.
larva. Semakin tinggi kerapatan spora M. anisopliae
Gambar 1 Larva P. xylostella yang terinfeksi spora M. anisopliae a) larva belum menunjukkan gejala, b) larva
menguning, c) larva menghitam, d) larva ditumbuhi misellium berwarna putih dan e) larva rapuh
Kerapatan M. anisopliae
Rata-rata presentase mortalitas larva P. xylostella (%)
(spora/ml)
A = 0 (Kontrol) 0,00 a
B = 102 30,00 b
C = 104 57,50 c
D = 106 65,00 c
E = 108 80,00 d
F = 1010 92,50 e
Keterangan : Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji jarak
Berganda Duncan pada taraf 5%
Tabel 3 Pengaruh kerapatan spora M. anisopliae terhadap Bobot pakan yang dikonsumsi Larva P. xylostella
Kerapatan M. anisopliae
Rata-rata bobot pakan yang dikonsumsi (g)
(spora/ml)
A = 0 Kontrol 1,38 b
B = 10 2 1,20 ab
C = 10 4 1,09 ab
D = 10 6 1,05 ab
E = 10 8 0,98 a
F = 10 10 0,94 a
Keterangan : Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji jarak
Berganda Duncan pada taraf 5%.
Gambar 2 Larva P. xylostella yang diselimuti miselium M. anisopliae (a) miselium berwarna putih dan (b)
miselium berwarna hijau
ABSTRAK
Pengendalian hama ramah lingkungan dapat menggunakan cendawan entomopatogen lokal Riau sebagai
alternatif bahan pengendalian dan potensi untuk dikembangkan sebagai agen hayati misalnya cendawan
entomopatogen Cordyceps militaris (L.Fr) lokal. Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Hama
Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Riau dari bulan Agustus hingga September 2015. Tujuan
penelitian untuk mendapatkan media perbanyakan C. militaris lokal yang terbaik untuk perbanyakan
cendawan entomopatogen C. militaris lokal dalam mengendalikan larva Oryctes rhinoceros L. di
laboratorium. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan
sembilan ulangan. Perlakuan yang digunakan yaitu C. militaris lokal yang diperbanyak pada medium
bekatul padi, jagung pecah dan biji saga. Setiap hasil perbanyakan diaplikasikan dengan cara
mencampurkan ke dalam makanan larva O.rhinoceros L. di laboratorium. Tiap kotak perlakuan
diinfestasikan 4 ekor larva instar 3. Parameter yang diamati yaitu waktu awal kematian (jam), mortalitas
harian larva (%) dan mortalitas total larva(%). Data berbeda nyata diuji lanjut dengan Beda Nyata
Terkecil (BNT) taraf 5%.
Hasil penelitian menunjukkan semua medium perbanyakan yaitu bekatul padi, jagung pecah dan bijisaga
dapat digunakan sebagai media perbanyakan cendawan entomopatogen C. militaris lokal dan mampu
menyebabkan mortalitas total larva O. rhinoceros di laboratorium antara 94,44% - 100%.
Kata kunci: Medium perbanyakan , Cordyceps militaris (L.Fr) lokal, Oryctes rhinoceros L.
ABSTRACT
Pest control that environmental friendly to be use local Riau entomopathogenic fungi as biocontrol
agent alternative and potential to development example Cordyceps militaris. The research was conducted
at Plant Pest Laboratory from August until September 2015. The objective study were to find the better
propagation medium of local entomopathogenic fungi Cordyceps militaris to control Oryctes rhinoceros
grub in laboratory. The experiment used Completely Randomized Design with three treatment
propagation medium are maize, rice sifting, red seed and nine replications.
The result showed all propagation medium can be used as propagation medium to local
entomopathogenic fungi Cordyceps militaris and effective to control Oryctes rhinoceros grub in
laboratory because able to more than 85% mortality.
Key word : propagation medium, Cordyceps militaris L.Fri, Oryctes rhinoceros L.
PENDAHULUAN
Tanaman kelapa sawit adalah tanaman karena itu perlu dilakukan perbanyakan di
perkebunan unggulan di Provinsi Riau dengan luas laboratorium. Perbanyakan cendawan entomopatogen
lahan terluas di Indonesia yaitu 2.381.900 Ha dan di laboratorium membutuhkan medium perbanyakan
produksi 7.333.600 ton pada tahun 2015 ( Badan yang mendukung pertumbuhan cendawan tersebut.
Pusat Statistik Republik Indonesia, 2016). Medium yang digunakan untuk menumbuhkan
Budidaya tanaman kelapa sawit tidak selalu cendawan entomopatogen sangat menentukan laju
aman dari serangan hama yang dapat merusak pembentukan koloni dan jumlah konidia selama
tanaman dan menurunkan produksi. Hama yang sering pertumbuhan. Jumlah konidia akan
menyerang tanaman kelapa sawit selain ulat api yaitu menentukankeefektifan cendawan entomopatogen
kumbang tanduk Oryctes rhinoceros L yang merusak dalam mengendalikan serangga. Media dengan kadar
pucuk dan titik tumbuh kelapa sawit. Pengendalian gula tinggi akan meningkatkan virulensi cendawan
hama kumbang ini telah banyak dilakukan baik secara entomopatogen (Prayogo dkk, 2006). Oleh sebab itu
kimia maupun hayati. Pengendalian dengan perlu dilakukan penelitian tentang media yang dapat
menggunakan cendawan entomopatogen juga dapat digunakan untuk perbanyakan cendawan
dilakukan seperti menggunakan cendawan entomopatogen C. militaris lokal agar terpenuhi
entomopatogen Cordyceps militaris lokal. kebutuhan untuk penggunaan di lapangan. Penelitian
Penggunaan cendawan entomopatogen di lapangan bertujuan untuk mendapatkan medium perbanyakan
membutuhkan bahan dalam jumlah yang banyak oleh yang terbaik untuk perbanyakan cendawan
113 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Pengaruh beberapa media perbanyakan....
Cabang Bandung
entomopatogen C. militaris lokal terhadap mortalitas pelepasan kulit. Biji saga yang telah terkelupas
larva Oryctes rhinoceros di laboratorium. dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas
BAHAN DAN METODA secara aseptik sebanyak 100 g kemudian dipasang
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hama pipa paralon dan ditutup dengan kapas steril dan
Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Riau mulai aluminium foil.
bulan Agustus hingga September 2015 menggunakan Pembuatan starter cendawan entomopatoegn
Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan C. militaris lokal dengan cara potongan isolat
medium perbanyakan yaitu bekatul padi, jagung pecah cendawan entomopatogen C. militaris lokal pada
dan biji saga yang diulang sebanyak 9 kali. Data media PDA diinokulasikan ke dalam masing-masing
yang berbeda nyata diuji lanjut dengan Beda Nyata medium perbanyakan yang telah dibuat di dalam
Terkecil (BNT). plastik tahan panas secara aseptik dan diaduk dengan
Pelaksanaan penelitian dimulai dengan cara menggoyangkan plastik kenudian ditutup
reisolasi cendawan entomopatogen Cordyceps kembali dengan kapas steril dan aluminium foil dan
militaris lokal koleksi Laboratorium Hama Tumbuhan dimasukkan ke dalam inkubator selama 30 hari.
Fakultas Pertanian Universitas Riau pada media PDA Sebelum aplikasi setiap starter media perbanyakan
sampai umur 15 hari. dihitung kerapatan konidianya mengggunakan
Larva O. rhinoceros instar 2 diambil dari haemocytometer pada pengenceran 10 -7 .
kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau Aplikasi dilakukan dengan cara
kemudian dipelihara di dalam kotak plastik dengan mencampurkan starter cendawan dari tiap media
makanan tandan kosong kelapa sawit yang dicacah. perbanyakan perlakuan yaitu bekatul padi, jagung
Kotak pembiakan diletakkan di Laboratorium Hama pecah dan biji saga dengan makanan larva O.
Tumbuhan sampai larva memasuki tahap instar 3. rhinoceros sebanyak 30 g yang telah ditambahkan
Larva instar 3 ini yang akan digunakan sebagai larva dekstrosa 1 % di dalam kotak perlakuan dan dibiarkan
uji. Setiap kotak perlakuan dibutuhkan 4 ekor larva selama 1 hari. Kemudian dimasukkan 4 ekor larva
O. rhinoceros instar 3. O.rhinoceros instar 3 pada tiap kotak perlakuan
Media perbanyakan jagung pecah dan bekatul Parameter yang diamati adalah waktu awal
padi dibuat dengan cara dikukus selama 15 menit kematian (jam), mortalitas harian larva (%) dan
atau sepertiga matang dan dimasukkan ke dalam mortalitas total larva (%).
plastik tahan panas secara aseptik sebanyak 100 g.
Ujung plastik dipasang paralon dan ditutup dengan HASIL DAN PEMBAHASAN
kapas steril dan aluminium foil. Waktu Awal Kematian Larva
Media perbanyakan biji saga yang diperoleh Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi
dari tanaman saga di sekitar kampus Universitas Riau cendawan entomopatogen C.militaris lokal yang
dikumpulkan sebanyak 1 kg. Biji saga direndam di diperbanyak pada beberapa media perbanyakan
dalam larutan chlorox 0,3% selama 10 menit terhadap waktu awal kematian larva O. rhinoceros,
kemudian dicuci bersih dengan aquades. Biji saga setelah dianalisis dan diuji lanjut memberikan
direbus selama 40 menit sampai kulit merahnya pengaruh yang nyata pada tiap media perbanyakan.
berubah menjadi kuning. Selanjutnya biji saga Hasil uji lanjut dengan BNT pada taraf 5% dapat
direndam di dalam aquades untuk mempermudah dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Rata-rata waktu awal kematian larva setelah aplikasi C.militaris lokal dari media perbanyakan biji saga,
jagung pecah dan bekatul
Media perbanyakan (kerapatan konidia) Waktu awal kematian (Jam)
Biji saga (3,2x107 kon/ml) 250,6 a
7
Jagung pecah (7,2x10 kon/ml) 226,3 b
7
Bekatul padi (10,4x10 kon/ml) 200,6 c
KK = 1.7%
Ket: Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama menunjukkan berbeda
nyata menurut uji lanjut BNT pada taraf 5%.
Tabel 1 menunjukkan bahwa waktu awal kon/ml diikuti dengan media perbanyakan jagung
kematian dipengaruhi oleh aplikasi cendawan pecah yaitu 226,3 jam dengan kerapatan konidia 7,2 x
entomopatogen C.militaris lokal yang diperbanyak 107 dan biji saga 250,6 jam dengan kerapatan konidia
pada medium perbanyakan yang berbeda. Waktu awal 10,4x107 kon/ml. Hal ini menunjukkan bahwa media
kematian tercepat ditemukan pada hasil perbanyakan bekatul padi paling baik dalam memproduksi konidia
dari media bekatul padi yaitu 200,6 jam yang cendawan entomopatogen C. militaris lokal.
memiliki kerapatan konidia tertinggi yaitu 10,4 x 10 7
Menurut Hartanto (2010) bahwa bekatul media bekatul. Oleh sebab itu media bekatul padi
mengandung 84,36% karbohidrat dan 8,77% protein, potensial sebagai media pertumbuhan untuk
sedangkan jagung mengandung karbohidrat ( pati memproduksi jumlah konidia yang tinggi
61% dan gula 1,4%) dan protein 10% ( Koswara, dibandingkan dengan media jagung dan biji saga.
2009). Biji saga mengandung karbohidrat 10% dan Perapatan konidia mempengaruhi daya infeksi
protein 48,2% (Suita, 2013). Hal ini menunjukkan cendawan terhadap larva O. rhinoceros. Semakin
bahwa media bekatul padi memiliki nutrisi lebih tinggi kerapatan konidia maka peluang untuk
banyak yang dibutuhkan oleh cendawan menginfeksi semakin besar sehingga larva yang
entomopatogen C.militaris lokal untuk menghasilkan terinfeksi akan semakin cepat mengalami kematian.
konidia daripada media jagung dan biji saga. Menurut Sinaga (2010), kerapatan konidia yang tinggi
Perbedaan nutrisi media perbanyakan yang akan meningkatkan toksin Cordycepin yang
digunakan untuk produksi massal tergantung pada dihasilkan cendawan C militaris untuk mematikan
kebutuhan cendawan entomopatogen yang digunakan. larva. Prayogo (2009) menyatakan bahwa keefektifan
Media yang digunakan akan mempengaruhi produksi cendawan entomopatogen terhadap serangga
konidia dari cendawan entomopatogen. Karbohidrat dipengaruhi oleh asal isolat, kerapatan konidia, umur
yang tinggi mendorong pertumbuhan vegetatif dan stadia perkembangan serangga inang, dan juga
cendawan sedangkan protein diperlukan untuk waktu aplikasi.
pembentukan organel dalam membentuk apikal hifa Penggunaan media bekatul padi sebagai media
dan sintesis enzim yang diperlukan selama proses perbanyakan cendawan entomopatogen C.militaris
pertumbuhan. Menurut Kardin dan Priyatno ( 1996) lokal akan memberikan hasil yang lebih baik
cendawan entomopatogen memerlukan media dengan terhadap awal kematian larva O. rhinoceros yaitu
kandungan gula dan protein yang tinggi. Muchtadi 200,6 jam ( 8 hari ) setelah aplikasi. Sedangkan
(1993) juga menyatakan bahwa bekatul merupakan penggunaan media jagung pecah dan biji saga akan
serat pangan yang juga mengandung protein, lemak, lebih lama masing-masing 226,3 ( 9 hari ) dan 250,6 (
mineral dan vitamin. Kandungan karbohidrat, protein, 10 hari). Konidia dari masing-masing media
vitamin dan mineral tersebut dapat membantu perbanyakan dapat dilihat pada Gambar 1.
mengoptimalkan cendawan entomopatogen pada
perbanyakan bekatul padi menghasilkan puncak Selain mengandung protein yang lebih tinggi dari
mortalitas pada hari ke 9 hanya 16,7% yang bekatul padi dan jagung, biji saga juga mengandung
sebelumnya menghasilkan waktu awal kematian tajin. Protein sebagai sumber nitrogen bagi cendawan
tercepat dibandingkan dengan media biji saga. Hal ini entomopatogen untuk meningkatkan virulensi
diduga karena media biji saga mampu meningkatkan konidia sedangkan tajin (polisakarida) sebagai
aktifitas toksin cordycepin yang dihasilkan cendawan sumber karbon bagi cendawan entomopatogen. Hal ini
entomopatogen C. militaris local sehingga persentase sesuai dengan pendapat Safavi et al., (2007) yang
mortalitas harian mengalami puncaknya pada hari ke menyatakan bahwa sumber energi utama yang
11 setelah aplikasi. dibutuhkan oleh cendawan entomopatogen yaitu
Menurut Suita (2013) biji saga mengandung karbon dan nitrogen yang dapat mempengaruhi
protein 48,2%, tajin sebanyak 41,95% tiap 100 g. viabilitas, virulensi dan patogenisitas.
Tabel 2. Mortalitas total larva O.rhinoceros setelah aplikasi C.militaris lokal dari medium perbanyakan biji
saga, jagung pecah dan bekatul padi
Medium Perbanyakan Mortalitas Total (%)
Biji Saga (3,2x107 kon/ml) 100,00 a
Jagung pecah (7,2x107 kon/ml) 97,22 a
Bekatul padi (10,4x107 kon/ml) 94,44 a
KK: 11.71% Ket: Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama menunjukkan
berbeda nyata menurut uji lanjut BNT pada taraf 5%.
Tabel 2 menunjukkan bahwa mortalitas serangga sebesar 72 – 95%. Hal ini menunjukkan
total larva O. rhinoceros dari beberapa medium bahwa semua media perbanyakan yaitu bekatul padi,
perbanyakan yaitu bekatul padi, jagung pecah dan biji jagung pecah dan biji saga dapat digunakan sebagai
saga berbeda tidak nyata dan persentase mortalitas media perbanyakan cendawan entomopatogen C.
total mulai dari 94,44 % hingga 100%. Menurut militaris lokal yang menyebabkan mortalitas total
Steinhaus ( 1963) bahwa cendawan entomopatogen larva O. rhinoceros 94,44 – 100%, walaupun awal
yang dapat dikategorikan sebagai bioinsektisida kematian tercepat dihasilkan dari media perbanyakan
adalah cendawan yang berhasil mengendalikan
116 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Pengaruh beberapa media perbanyakan....
Cabang Bandung
bekatul padi dan puncak mortalitas tertinggi dari O. rhinoceros. Pada fase perkembangan di dalam
media perbanyakan biji saga. tubuh larva, cendawan entomopatogen C. militaris
Proses infeksi cendawan entomopatogen C. akan mengeluarkan toksin Cordycepin yang
militaris pada larva O. rhinoceros diawali dari menyebabkan kenaikan pH haemolimp,
konidia cendawan entomopatogen yang menempel penggumpalan haemolimp dan terhentinya peredaran
pada kutikula larva yang menyebabkan terjadi kontak darah larva ( Robert, 1981). Akibatnya larva akan
antara konidia dan kutikula larva. Hal ini terjadi mengalami paralisis dan akhirnya mati.
karena larva masih aktif bergerak pada makanan yang Setelah cendawan entomopatogen berkembang
telah dicampur dengan cendawan entomopatogen C. memenuhi tubuh larva, maka tubuh larva akan
militaris sehingga konidia cendawan dapat menempel mengeras seperti mummi akibat semua jaringan dan
pada integumen larva. cairan tubuh larva sudah habis digunakan oleh
Pada kondisi suhu dan kelembaban yang sesuai cendawan untuk pertumbuhan.Larva sehat berwarna
untuk pertumbuhan cendawan C. miltaris maka putih, dan setelah terinfeksi larva akan berubah
konidia (konidiospora) akan tumbuh membentuk menjadi warna coklat dan akhirnya menghitam dan
tabung kecambah membentuk apresorium dan mengeras. Hal ini menurut Boucias dan Pendland
melakukan penetrasi ke dalam tubuh larva O. (1998) disebabkan oleh proses melanisasi yang
rhinoceros. Penetrasi dapat terjadi dengan kombinasi merupakan suatu bentuk pertahanan tubuh serangga
tekanan mekanik dan bantuan enzim khitinase yang melawan patogen. Selanjutnya cendawan akan
dikeluarkan oleh cendawan agar dapat menghidrolisis melanjutkan fase perkembangan saprofit yang
kutikula dan masuk ke dalam haemocoel larva. ditandai dengan munculnya miselium pada permukaan
Cendawan entomopatogen akan berkembang di dalam tubuh larva yang mati. Tahap infeksi dapat dilihat
tubuh larva dengan mengambil nutrisi dari tubuh larva pada gambar 3.
Arisenia Nanda Pratama1, Danar Dono1*, Ceppy Nasahi1, Yusup Hidayat1, Sri Hartati1, dan Rani
Maharani2
1
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Jawa Barat,
Indonesia.
2
Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Jawa
Barat, Indonesia.
*Penulis Korespondensi: danar.dono@unpad.ac.id
ABSTRAK
Helicoverpa armigera dan Aphis gossypii merupakan serangga polifag yang menyerang tanaman cabai.
Serangga ini merusak tanaman terutama pada bagian daun, batang muda, dan buah yang menyebabkan
tanaman terganggu pertumbuhannya. Mimba (Azadirachta indica) diketahui sebagai salah satu tanaman yang
berpotensi sebagai insektisida nabati. Metarhizium anisopliae juga dikenal sebagai agen hayati mampu
mengendalikan serangga hama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi M. anisopliae
dan Formula Mimba (FM) dengan berbagai konsentrasi dalam mengendalikan H. armigera dan A. gossypii.
Penelitian ini dilakukan di lahan percobaan Ciparanje, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Pengujian
menggunakan rancangan acak kelompok menggunakan 6 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan yang diujikan
yaitu A (kontrol), B (M. anisopliae + FM 1%), C (M. anisopliae + FM 1,25%), D (M. anisopliae + FM
1,5%), E (M. anisopliae + FM 1,75%), dan F (M. anisopliae + FM 2%). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kombinasi terbaik ditunjukkan pada perlakuan D (M. anisopliae + FM 1,5%), E (M. anisopliae + FM
1,75%), dan F (M. anisopliae + FM 2%).
Kata Kunci : Aphis gossypii, Formula Mimba, Helicoverpa armigera, Kombinasi, Metarhizium anisopliae.
ABSTRACT
Helicoverpa armigera and Aphis gossypii are polyphagous insects that attack chili plants. These insects
damage plants mainly on leaves, stems, and fruit that cause growth disorders. Neem (Azadirachta indica) is
known as one of the plants that have potential as a botanical insecticide. Metarhizium anisopliae is also
known as a biological agent that is able to control insect pests. This study aims to determine the effect of
combination M. anisopliae and Neem Formulation (FM) with various concentrations in controlling H.
armigera and A. gossypii. This research was conducted in Ciparanje experimental field, Faculty of
Agriculture, Padjadjaran University. The experiment used a randomized block design using 6 treatments and
5 replications. The tested treatments were A (control), B (M. anisopliae + FM 1%), C (M. anisopliae + FM
1.25%), D (M. anisopliae + FM 1.5%), E (M. anisopliae + FM 1.75%), and F (M. anisopliae + FM 2%). The
results showed that the best combination was shown in the treatment of D (M. anisopliae + FM 1.5%), E (M.
anisopliae + FM 1.75%), and F (M. anisopliae + FM 2%).
Keywords : Aphis gossypii, Neem Formulation, Helicoverpa armigera, Combination, Metarhizium
anisopliae.
Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera Jika pada pengamatan pertama populasi hama atau
(Prayogo dkk., 2005). kerusakan tanaman yang ditimbulkan berbeda nyata
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui antar petak perlakuan, maka efikasi insektisida yang
keefektifan kombinasi jamur entomopatogen M. diuji dihitung dengan rumus Henderson dan Tilton
anisopliae dan formula mimba dalam (Ciba-geigy, 1981 dalam Gatot, 2012):
mengendalikan Helicoverpa armigera dan Aphis
gossypii pada tanaman cabai. EI=
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan EI = Efikasi Insektisida yang diuji (%)
Ciparanje dan Laboratorium Bioteknologi Fakultas Tb = Populasi hama atau persentasi kerusakan
Pertanian, Universitas Padjadjaran, Sumedang, Jawa tanaman pada petak perlakuan setelah penyemprotan
Barat. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Cb = Populasi hama atau persentasi kerusakan
Kelompok (RAK) terdiri dari 6 perlakuan dan 5 tanaman pada control
ulangan. Waktu pengamatan adalah satu hari sebelum Ca = Populasi hama atau kerusakan tanaman pada
aplikasi dan dua hari setelah aplikasi. Perlakuan terdiri kontrol setelah penyemprotan insektisida.
dari A (kontrol), B (M. anisopliae + FM 1%), C (M.
anisopliae + FFM 1,25%), D (M. anisopliae + FM Analisis Data
1,5%), E (M. anisopliae + FM 1,75%), dan F (M. Analisis data hasil pengamatan dilakukan
anisopliae + FM 2%). dengan cara menghitung seluruh jumlah tangkapan
M. anisopliae diperbanyak pada media hama pada tanaman cabai selama pengamatan
jagung. Jagung setengah matang yang sudah menggunakan program SPSS versi 20 dan dilanjutkan
disterilisasi menggunakan autoclave diberi biakan dengan Uji Duncan pada taraf 5%. Data yang
murni M. anisopliae yang berasal dari Balai Penelitian dianalisis meliputi jumlah populasi hama sebelum dan
Tanaman Sayuran (Balitsa). Media jagung yang sudah setelah aplikasi M. anisopliae dengan formula mimba
diinokulasikan jamur Metarhizium anisopliae tersebut 50 EC dengan berbagai konsentrasi.
diinkubasi pada suhu 25° lebih kurang 3 minggu
(Manurung, 2012). M. anisopliae yang digunakan HASIL DAN PEMBAHASAN
untuk aplikasi pada kerapatan spora 108 spora/ml Pengaruh Aplikasi M. anisopliae dan Formula
yang dilarutkan dalam 3 liter air dengan tambahan Mimba terhadap H. armigera
bahan perekat tween sebanyak 0.05%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi
jamur M. anisopliae dan formula mimba dapat
Penghitungan Kerapatan Spora menyebabkan mortalitas terhadap H. armigera.
Media jagung yang ditumbuhi spora jamur Tingkat mortalitas larva dengan perlakuan F (M.
sebanyak 10 gram dilarutkan ke dalam akuades anisopliae + formula mimba 2%) telah mencapai
sebanyak 90ml kemudian di saring. Suspensi spora 100% setelah aplikasi ketiga, berbeda nyata dengan
diteteskan pada hemositometer dibawah mikroskop perlakuan lainnya. Namun, Berdasarkan Tabel 1 dan 2
dengan perbesaran 400 kali. Perhitungan spora pada pengamatan pertama dan keempat dapat
menggunakan rumus Bibiana & Hastowo (2012): disimpulkan bahwa perlakuan M. anisopliae dan
C= t x 50000 x F Formula Mimba 50 EC tidak berbeda nyata dari
Keterangan: kontrol. Berbeda dari pengamatan pertama dan
C : Kerapatan Spora keempat, pada pengamatan kedua, ketiga, dan kelima
t : banyaknya spora yang dihitung perlakuan B (MA + FM 1%), C (MA + FM 1,25%), D
F : Faktor pengenceran = 1 (MA + FM 1,5%), E (MA + FM 1,75%), dan F (MA
+ FM 2%) terlihat berbeda nyata dari kontrol yaitu
Pengujian Efikasi Insektisida dapat menekan pertumbuhan dari H. armigera.
Jika pada pengamatan pertama populasi hama Dari hasil perhitungan yang terlampir pada
atau kerusakan yang ditimbulkan tidak berbeda nyata Tabel 3 menunjukkan bahwa keefektifan insektisida
antar petak perlakuan, maka efikasi insektisida yang baik nabati maupun hayati dalam mengendalikan H.
diuji dihitung dengan rumus Abbott (Ciba-geigy, 1981 armigera berbeda hasilnya. Walaupun berdasarkan
dalam Gatot, 2012): Tabel 1 dan 2 perlakuan M. anisopliae dan Formula
EI = ( Mimba 50 EC tidak berbeda nyata dari kontrol,
namun terdapat perlakuan yang mempunyai nilai
efikasi insektisida yang tinggi. Efektifitas insektisida
EI = Efikasi insektisida yang diuji (%). pada aplikasi pertama terdapat beberapa perlakuan
Ta = Populasi hama atau persentase kerusakan yang memiliki efektifitas insektisida diatas 70% yaitu
tanaman pada petak perlakuan insektisida yang diuji perlakuan B (MA + FM 1%), D (MA + FM 1,5%), E
setelah penyemprotan insektisida. (MA + FM 1,75%), dan F (MA + FM 2%).
Ca = Populasi hama atau kerusakan tanaman pada
kontrol setelah penyemprotan insektisida.
Tabel 1. Rata-rata Populasi H. armigera Sebelum Aplikasi Jamur M. anisopliae dan Formula Mimba 50 EC
POPULASI PADA UMUR TANAMAN
PERLAKUAN
5 6 7 8 9
A (Kontrol) 0a 1,38ab 2,38b 2,16a 2,56b
B (MA + FM 1%) 0a 0,6a 1,38ab 2,08a 1,68ab
C (MA + FM 1,25%) 0,3a 0,9ab 1,43ab 1,56a 1,26ab
D (MA + FM 1,5%) 0,3a 0,78ab 1,98b 1,08a 0,9a
E (MA + FM 1,75%) 0,3a 1,26ab 0,3a 1,08a 0,9a
F (MA + FM 2%) 0a 1,98b 0,9ab 0,9a 0,6a
Keterangan : Angka rata-rata pada tiap kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berpengaruh
nyata berdasarkan hasil analisi ragam. FM = Formula Mimba 50 EC. MA= M. anisopliae
Tabel 2. Rata-rata Populasi H. armigera Setelah Aplikasi Jamur M. anisopliae dan Formula Mimba 50 EC
POPULASI PADA UMUR TANAMAN
PERLAKUAN
5 6 7 8 9
A (Kontrol) 1,08a 1,56a 2,64c 2,16b 2,98c
B (MA + FM 1%) 0a 0,9a 1,08ba 1,56b 1,26b
C (MA + FM 1,25%) 0,6a 0,6a 1,86bc 1,38b 0,9ab
D (MA + FM 1,5%) 0,3a 0,9a 1,38ab 0,9ab 0,6ab
E (MA + FM 1,75%) 0,3a 0,9a 1,38ab 0,9ab 0,3ab
F (MA + FM 2%) 0,3a 1,51a 0,6a 0a 0a
Keterangan : Angka rata-rata pada tiap kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berpengaruh
nyata berdasarkan hasil analisi ragam. FM = Formula Mimba 50 EC. MA= M. anisopliae
Aplikasi insektisida pada minggu kedua menyebabkan penurunan hasil panen. Stadia yang
efikasi insektisida tidak ada yang mencapai 70%, paling merugikan ialah stadia ulat/ larva. Tubuh ulat
sama seperti minggu kedua, pada aplikasi minggu berbentuk silindris dan terdapat variasi warna dan
ketiga, efektifitas terbaik hanya ditunjukkan perlakuan corak, tergantung pada sumber makanannya. Gejala
F (MA + FM 2%) yaitu 77%. Perlakuan E (MA + FM serangan ditandai adanya lubang pada buah.
1,75%) pada aplikasi kelima menunjukkan Menurut Subiyakto tahun 2009, beberapa
efektifitasnya dalam mengendalikan H. armigera jenis tumbuhan yang banyak diteliti dan diketahui
yaitu sebesar 90%. Perlakuan F (MA + FM 2%) efektif untuk mengendalikan H. armigera dan
merupakan perlakuan dengan efektifitas insektisida serangga noctuidae lainnya antara lain biji dan daun
terbaik pada minggu keempat dan lima, yaitu sebesar mimba (A. indica). Perlakuan mimba pada pergantian
100%. instar-instar atau pada proses metamorfosis
Serangga H. armigera stadia larva ditemukan menyebabkan kematian hama. Mimba tidak
pada saat pengamatan. H. armigera merupakan salah membunuh hama secara cepat tetapi berpengaruh
satu hama yang merugikan pada tanaman cabai terhadap daya makan, pertumbuhan, reproduksi,
(Gambar 1). Serangan larva H. armigera dapat proses ganti kulit, menghambat perkawinan dan
121 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Aplikasi kombinasi Metarhizium anisopliae....
Cabang Bandung
komunikasi seksual, penurunan daya tetas telur, dan insektisida tertinggi pada aplikasi insektisida minggu
menghambat pembentukan kitin (Rachmat dkk., ketiga yaitu masing-masing 92% dan 76%. Pada
2013). minggu keempat aplikasi insektisida, perlakuan
terbaik ditunjukkan oleh perlakuan F (MA + FM 2%)
sebesar 91%, perlakuan E (MA + FM 1,75%) sebesar
86%, dan perlakuan D (MA + FM 1,5%) sebesar 80%.
Namun berbeda pada minggu selanjutnya, efikasi
insektisida terbaik hanya ditunjukkan perlakuan F
(MA + FM 2%) sebesar 100%, perlakuan lain tidak
ada yang mencapai efikasi insektisida sebesar 70%.
Pada minggu terakhir aplikasi, semua perlakuan
menunjukkan nilai efikasi yang tinggi, yaitu diatas
(a) (b) 70%, kecuali perlakuan B (MA + FM 1%) dan A
Gambar 1 (a). Larva H. armigera pada buah cabai. (kontrol). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
(b). Lubang pada buah cabai akibat serangan H. konsentrasi formula mimba, belum dapat dikatakan
armigera semakin efektif. Urutan ketiga yaitu perlakuan D
(MA+1,5%) dengan persentase sebesar 70%. Dan
Sasaran mimba pada sel neurosekretori otak. perlakuan sisanya belum dikatakan efektif dalam
Sel tersebut berfungsi mengaktifkan fungsi kelenjar mengendalikan Aphis gossypii karena efikasi
protorak yang menstimulasi sintesis protein, insektisidanya dibawah 70%.
meningkatkan atau mengurangi aktivitas Berdasarkan hasil pengamatan yang telah
metamorfosa, ekdisis, diapause, dan mencegah dilakukan, pada saat tanaman berumur 7 hari setelah
kehilangan air. Sel neurosekretori yang tidak tanam (HST) belum ditemukan A. gossypii. Pada
berfungsi sempurna menyebabkan aktifitas terganggu. umur cabai 14 hst, kutu daun cabai ini mulai
Ekstrak biji mimba yang disemprotkan menyebabkan menginvasi daun tanaman, namun belum merata di
penurunan telur menetas. Semakin tinggi konsentrasi seluruh tanaman sehingga belum dilakukan aplikasi
ekstrak biji mimba, semakin sedikit telur yang M. anisopliae dan formula mimba 50 EC. Rata-rata
menetas. (Subiyakto, 2002). populasi A. gossypii tertinggi pada seluruh perlakuan
Pemberian jamur M. anisopliae dengan yang diuji adalah pada 11 minggu setelah tanam
konsntrasi 1 x 107 dan 1 x 108 spora/ml dapat (MST) dengan rata-rata populasi sebanyak 28,08
menyebabkan kematian optimum Helicoverpa ekor/300 tanaman, sedangkan rata-rata populasi
armigera dalam waktu 8 hari setelah aplikasi. Jamur terendah pada seluruh perlakuan yang diuji adalah
entomopatogen menghasilkan senyawa metabolit pada pengamatan pertama yaitu 4 MST dengan rata-
sekunder yang berperan sebagai mikotoksin rata populasi sebanyak 4,91 ekor/300 tanaman.
(Vijayavani, 2010). M. anisopliae menghasilkan Gejala daun yang terserang A. gossypii adalah
metabolit sekunder berupa siklodepsipeptida, permukaan daun, pucuk, bunga, putik, banyak
destruksin A, B, C, D, E, dan desmethyldestruxin B. dijumpai koloni dari A. gossypii (Gambar 2). Daun
Senyawa metabolit sekunder berperan sebagai yang terserang akan berubah menjadi mengeriting.
immunosupresan yaitu menghambat respon Hal tersebut yang menyebabkan tanaman menjadi
pertahanan humoral maupun selular. Jamur M. terganggu pertumbuhannya, bahkan menyebabkan
anisopliae juga memproduksi enzim proteolitik yang tanaman menjadi kerdil. Pada tanaman cabai merah
menghambat kerja protease pada hemolimfa serangga keriting cenderung lebih tinggi apabila dibandingkan
(Tanada & Kaya, 1993). pada cabai rawit.
A. gossypii merupakan serangga yang menusuk
Pengaruh Aplikasi M. anisopliae dan Formula dan mengisap cairan tanaman. Menurut Prayogo
Mimba terhadap A. gossypii (2011) dan Yi et al., (2012) menyebutkan bahwa
Perlakuan M. anisopliae dan Formula Mimba senyawa toksik dari jamur entomopatogen M.
terhadap A. gossypii berbeda nyata dari kontrol anisopliae (destruksin) yang dikombinasikan dengan
berdasarkan Tabel 4 dan 5. Bila dilihat pada rata-rata insektisida botani azadirachtin (dari tanaman mimba)
populasi hama pada Tabel 1 dan Tabel 2 dapat menyebabkan mortalitas A. gossypii hingga mencapai
disimpulkan bahwa perlakuan M. anisopliae dan 98%. Kematian serangga sebagai akibat dari
formula mimba 50 EC konsentrasi 1,25%, 1,5%, penggunaan mimba terjadi pada pergantian instar-
1,75% dan 2% dapat menekan populasi serangga instar berikutnya. Mimba tidak membunuh hama
hama A. gossypii, dan perlakuan F (M. anisopliae + secara cepat, akan tetapi berpengaruh antara lain
FM 2%) merupakan perlakuan terbaik. terhadap daya makan dan pertumbuhan (Kardinan,
Berdasarkan hasil perhitungan efikasi 2000).
insektisida, perlakuan F (MA + FM 2%) dan
perlakuan E (MA + FM 1,75%) merupakan efikasi
Tabel 4. Rata-rata Populasi Aphis gossypii Sebelum Aplikasi Jamur Metarhizium anisopliae dan Formula
Mimba 50 EC
POPULASI SEBELUM APLIKASI
PERLAKUAN
4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST
A (Kontrol) 1,83b 3,25a 2,48ab 2,66b 3,13b 4,45c
B (MA + FM 1%) 0,12a 0,56a 5,22c 4,76c 4,78c 4,12c
C (MA + FM 1,25%) 1,32ab 2,5a 3,39b 3,08b 3,17b 3,22b
D (MA + FM 1,5%) 1,53ab 2,62a 3,31b 2,86b 2,85b 2,36b
E (MA + FM 1,75%) 0,72ab 0,75a 3,66bc 3,06b 2,80b 2,39b
F (MA + FM 2%) 1,75b 2,44a 1,46a 1,02a 1,04a 0,78a
Keterangan : Angka rata-rata pada tiap kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berpengaruh
nyata berdasarkan hasil analisi ragam. FM = Formula Mimba 50 EC. MA= Metarhizium anisopliae
Tabel 5. Rata-rata Populasi A. gossypii Setelah Aplikasi Jamur M. anisopliae dan Formula Mimba 50 EC
POPULASI SETELAH APLIKASI
PERLAKUAN
4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST
A (Kontrol) 1,95c 3,72c 3,05b 2,88b 3,50bc 4,54c
B (MA + FM 1%) 0a 0,50a 5,02c 4,73c 4,41c 3,84c
C (MA + FM 1,25%) 0,68abc 2,46ab 3,29b 2,77b 2,96b 2,67b
D (MA + FM 1,5%) 1,02abc 2,54ab 3,13b 2,78b 2,47b 0a
E (MA + FM 1,75%) 0,46ab 1,21a 3b 2,51b 2,46b 0a
F (MA + FM 2%) 1,48bc 1,88ab 1,15a 1,11a 0,90a 0a
Keterangan : Angka rata-rata pada tiap kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berpengaruh
nyata berdasarkan hasil analisi ragam. FM = Formula Mimba 50 EC. MA= Metarhizium anisopliae
DAFTAR PUSTAKA
Gatot I. S. 2012. Metode Standar Pengujian Efikasi
Insektisida T.A. 2012. Kementrian pertanian.
Jakarta.
Kardinan A. 2000. Pestisida Nabati, Ramuan dan
Aplikasi. PT Penear Swadaya. Jakarta. 80
halaman.
Manurung, E.M. Tobing. Lubis, L, Priwiratama H.
2012. Efikasi beberapa formulasi metarhizium
anisopliae terhadap larva Oryctes rhinoceros l.
(coleoptera: scarabaeidae) di insektarium. J.
Online Agroekoteknologi 1(1):47-63.
Prayogo Y., W Tengkano dan Marwoto. 2005.
Prospek Cendawan Entomopatogen
Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan
Ulat Grayak Spodoptera litura pada Kedelai. J.
Litbang Pertanian. 24(1): 19-23.
Rachmat, Muchjidin. Dono Wahyono. Anastasia
Promosiana. Ndarie Indartiah. Muhammad
Tahir. Lipur Watini. Budi Hartono. Dina
Martha S. Poltak L. Tobing. Aneng Hermami.
Jamin Waludin. 2013. Tanaman Biofarmaka
sebagai Biopestisida. Direktorat Budidaya
Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. 36
halaman. ISBN : 978-979-16677-2-2.
Ketahanan Bibit Mahoni (Swietenia macropylla) Asal Lima Sumber Benih Terhadap
Serangan Hama Penggerek Batang (Xylosandrus sp).
ABSTRAK
Permasalahan hama dan penyakit tanaman sering kali menjadi faktor penyebab kegagalan pembangunan
hutan tanaman, baik pada hutan tanaman industri (HTI) maupun hutan rakyat (HR). Ketahanan lima sumber
bibit mahoni di persemaian terhadap serangan hama penggerek batang diuraikan pada tulisan ini. Bibit
mahoni diperoleh dari lima sumber benih yaitu dari Parung panjang (Bogor), Gunung Gedor (Banten),
Cipatujah (Tasikmalaya), Urug (Tasikmalaya) dan Ciharuman (Garut). Metode penelitian dilakukan dengan
melakukan pengamatan terhadap tanda dan gejala serangan hama penggerek batang pada bibit mahoni hingga
umur 6 bulan, penghitungan jumlah bibit yang terserang, pengambilan sampel dan identifikasi hama di
laboratorium. Serangan hama penggerek batang mulai terjadi pada umur bibit 4 bulan. Tanda dan gejala
serangan yaitu terdapat lubang gerek pada batang dengan diameter ± 0,8 mm, batang mudah patah, dan daun
menjadi kering. Hasil identifikasi hama penggerek batang yang menyerang bibit mahoni yaitu Xylosandrus
sp. yang termasuk ke dalam family Scolytidae ordo Coleoptera. Persentase serangan total pada bibit umur 4
bulan sebesar 3,75% dengan persentase serangan per asal benih adalah Parung Panjang 0,90%; Gunung
Gedor 7,28%; Ciharuman 7,22%; Urug 4,42% dan Cipatujah 0%. Persentase serangan total pada bibit umur 6
bulan sebesar 11,92% dengan persentase serangan per asal benih adalah Parung Panjang 7,67%; Gunung
Gedor 12,96%; Ciharuman 29,14%; Urug 19,88% dan Cipatujah 3,36%. Tingkat serangan total hama
penggerek batang di persemaian sebesar 11,92% termasuk pada kategori ringan, namun tindakan
pengendalian diperlukan sejak ditemukannya serangan penggerek batang untuk menghindari kerugian yang
lebih besar.
Kata kunci: Bibit mahoni, asal benih, Xylosandrus sp., persentase serangan.
ABSTRACT
Pest and disease are often the factors causing plantation failures, both in industrial timber plantations (HTI)
and community forests (HR). The resilience of mahogany seedlings against the stem borer attack in nursery is
described in this paper. Mahogany seeds were obtained from five sources, which were Parung Panjang
(Bogor), Gunung Gedor (Banten), Cipatujah (Tasikmalaya), Urug (Tasikmalaya), and Ciharuman (Garut).
The research was conducted by observing the signs and symptoms of stem borer attack on mahogany seeds
up to 6 months old, counting the number of seedlings affected, sampling and identifying pests in the
laboratory. Stem borer attack starts at 4 months of age. Signs and symptoms of attack are the existence of a
hole in the stem with a diameter of ± 0.8 mm, broken rods, and drying leaves. Identification of stem borer that
attacked mahogany seeds was Xylosandrus sp. which belongs to the Scolytidae family of the Coleoptera
order. The percentage of total attack on 4 month old seedlings was 3.75% with the percentage attack per seed
origin was Parung Panjang 0,90%; Gunung Gedor 7.28%; Ciharuman 7.22%; Urug 4.42% and Cipatujah 0%.
The percentage of total attack on 6 months old seeds was 11.92% with the percentage attack per seed origin
was Parung Panjang 7.67%; Mount Gedor 12.96%; Ciharuman 29.14%; Urug 19.88% and Cipatujah 3.36%.
The rate of stem borer’s total attack in the seedlings of 11.92% fell under the light level category, but
monitoring and cure treatment are needed since the discovery of stem borer attacks to avoid greater losses.
Key words: Mahogany seedlings, Seeds sources, Xylosandrus sp., percentage of attack.
Tegakan tanaman mahoni yang sehat dan Metode yang dilakukan dalam pengamatan
berkualitas baik dapat diperoleh dengan penggunaan ini yaitu dengan cara mengamati gejala dan tanda
bibit yang sehat dan dan memiliki kwalitas pula, serangan yang ditimbulkan oleh hama penggerek
sehingga kesehatan bibit di persemaian sangat penting batang pada bibit sampai umur 6 bulan, menghitung
diperhatikan. Berdasarkan SK 707/Menhut-II/2013 persentase serangan hama pada setiap blok
menetapkan bahwa pengadaan benih, peredaran dan pengamatan yang terdiri dari lima asal sumber benih
penanamannya diwajibkan berasal dari sumber benih serta identifikasi hama penggerek batang. Persentase
bersertifikat. Mahoni merupakan salah satu tanaman serangan (P) dihitung dengan rumus sebagai berikut:
yang termasuk ke dalam SK tersebut bersama empat
tanaman lainya yaitu jati, sengon, gmelina dan jabon.
Selain itu berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan P = Persentase serangan hama/penyakit
no P.1/Menhut-II2/2009, menetapkan bahwa sumber n = Jumlah tanaman yang terserang oleh
benih diklasifikasikan atas: tegakan benih hama/penyakit tertentu
teridentifikasi (TBT), tegakan benih terseleksi (TBS), N = Jumlah tanaman dalam plot tertentu
areal produksi benih (APB), tegakan benih provenan,
kebun benih semai (KBS), kebun benih klon (KBK) HASIL DAN PEMBAHASAN
dan kebun Pangkas (KP). Deskripsi Hama Penggerek Batang Xylosandrus sp.
Penurunan kualitas bibit seringkali dijumpai Hasil identifikasi di laboratorium terhadap
di persemaian, hal ini terkait dengan adanya serangan hama penggerek batang yang menyerang bibit mahoni
hama dan penyakit. Permasalahan hama dan penyakit di persemaian yaitu Xylosandrus sp. termasuk ke
di persemaian ini dapat berdampak pada menurunnya dalam ordo Coleoptera famili Scolytidae. Serangga ini
produksi bibit apabila serangan tersebut menyebabkan memiliki kisaran inang yang luas (> 200 tanaman)
kemaatian bibit. Tindakan pencegahan merupakan (Greco dan Wrigth, 2015).
langkah pertama yang sering dilakukan untuk Wilayah penyebaran hama ini meliputi
menghindari serangan hama dan penyakit, namun beberapa bagian Afrika, Asia, Kepulauan Pasifik,
apabila serangan telah terlanjur terjadi maka tindakan Selandia Baru, Amerika Selatan, dan Amerika Utara
pengendalian merupakan solusi terakhir. (Rabaglia et al, 2006; Horng-Chong, 2011), kemudia
Bibit mahoni dari 5 (lima) sumber benih terdeteksi di wilayah Florida pada tahun 1941 (Wood,
yaitu dari KBS Parung panjang (Bogor), Gunung 1982; Horng-Chong, 2011) dan Hawai pada tahun
Gedor (KPH Banten), Cipatujah 1961 (Bearedsley, 1964; Horng-Chong,
(Tasikmalaya/Masyarakat), Urug (KPH Tasikmalaya) 2011)dilaporkan dari Texas sampai North Carolina
dan TBT Ciharuman (Garut) di persemaian Komatsu (Rabaglia et al.2006; Horng-Chong, 2011).Kumbang
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan ini merupakan asliAsia dan terutama di daerah
(Puslitbang Hutan) mengalami serangan penggerek subtropis dan tropis dengan lingkungan yang hangat
batang. (Hayato 2007; Greco & Wrigth, 2015).Kemudian
Tujuan menyebar secara luas diJepang, Vietnam, Indonesia,
Tujuan pengamatan adalah untuk Malaya, Sri Lanka, Madagaskar, selatanIndia,
mengindentifikasi jenis hama penggerek batang serta Seychelles, Mauritius, Afrika Barat, Fiji, Kuba, dan
mengetahui asal sumber benih yang lebih tahan Brasil (Venkataramaiah & Sekhar 1964; Vasquez dkk.
terhadap seranggan hama penggerek batang. 1996, Oliveira dkk., 2008; Greco & Wrigth, 2015). Di
Amerika Serikat, hama ini pertama kali dilaporkan di
BAHAN DAN METODE Indonesia Fort Lauderdale, FL, pada tahun 1941
Lokasi dan Waktu (Wood, 1982) dan sejak itu telah menyebardi seluruh
Pengamatan serangan hama pada tanaman tenggara Amerika Serikat, di sepanjang dataran pantai
mahoni yang berasal dari lima sumber benih dariTexas ke North Carolina (Ngoan dkk., 1976;
dialkasanakan di persemaian Komatsu Puslitbang Greco & Wrigth, 2015).
Hutan - Gunung Batu, Bogor. Identifikasi serangga Xylosandrus sp. dilaporkan sebagai hama
dilakukan di laboratorium Perlindungan Hutan – pada tanaman mahoni yaitu pada pembibitan
Puslitbang Hutan. kehutanan di wilayah Amazon pada tahun
Bahan dan Alat 2007(Delgado & Couturier, 2010).Di Indonesia hama
Bahan yang digunakan yaitu bibit mahoni ini juga menyerang tanaman mahoni pada stadia bibit
usia 1-6 bulan yang berasal dari lima sumber benih di persemaian. Gejala serangan hama ini ditandai
yaitu dari Parung panjang (Bogor), Gunung Gedor dengan daun yang layu serta berwarna kecokelatan,
(Banten), Cipatujah (Tasikmalaya), Urug serangan yang parah menyebabkan daun menjadi
(Tasikmalaya) dan Ciharuman (Garut), alat yang kering (Gambar 1 kiri). Tanda serangan sangat mudah
digunakan yaitu alat tulis, kamera, kotak serangga dan diketahui yaitu terdapat lobang gerek pada batang
mikroskop. berukuran ± 0,8 mm (Rahmanto & Lestari, 2013)
Metode (Gambar 1 kanan), terletak ± 10 – 15 cm dari leher
akar (dari permukaan tanah). Tanaman akan mudah
126 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Ketahanan bibit mahoni (Swietenia....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Salah satu upaya untuk melindungi manusia dari Aedes aegypti sebagai vektor deman berdarah adalah dengan
menggunakan repelen. Citronela diketahui sebagai repelen yang aman dan digunakan sebagai bahan aktif
repelen komersial (topikal maupun spasial/diuapkan), namun repelen jenis ini belum banyak diteliti. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh repelen spasial berbahan aktif citronela terhadap perilaku
mencari mangsa nyamuk Ae. aegypti Strain Bandung. Penelitian menggunakan alat tes modular untuk melihat
respon perilaku nyamuk dewasa terhadap bahan kimia yang dibuat berdasarkan model WHO. Ae. aegypti
dipaparkan pada empat konsentrasi citronela yaitu 0; 0,025; 0,5 dan 0,1 ug/ml. Pengamatan perilaku mencari
mangsa dilakukan dengan metode arm in cage. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA dan uji lanjut
Duncan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan perilaku mencari mangsa Ae. aegypti yang
bermakna antara citronela konsentrasi 0 ug/ml dan 0,025 ug/ml, 0 ug/ml dan 0,05 ug/ml serta 0 ug/ml dan 0,1
ug/ml. Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat pengaruh repelen spasial berbahan aktif citronela terhadap
perilaku mencari mangsa nyamuk Ae. aegypti Strain Bandung. Semua konsentrasi repelen spasial berbahan
aktif citronela dapat menyebabkan terganggunya kemampuan mencari mangsa nyamuk Ae.aegypti, dengan
jumlah gangguan tertinggi pada konsentrasi 0,1 ug/ml.
Kata kunci: Aedes aegypti, perilaku mencari mangsa, repelen spasial, citronela.
ABSTRACT
Efforts that can be used to protect human being from Aedes aegypti as a vector of dengue fever disease is by
using repellent. Citronella is known as savety repellent and used as active ingredient to comercial repellent
(topical and spatial), but this repellent is rarely analyzed. The purpose of this research is to study the effect of
citronella as spatial repellent toward host seeking behaviour of Ae.aegypti (Diptera: Culicidae) strain
Bandung. A vehicle is developed based on WHO model applied in this research. Ae.aegypti is exposed to
four concentrations of citronella at 0; 0,025; 0,5 and 0,1 ug/ml. Host-seeking behaviour is observed by using
arm in cage method. Data collected from observation are then analyzed with ANOVA, followed by Duncan
test. Result shows that there is significant difference of host-seeking behaviour between Ae. aegypti that
exposed to citronella 0 ug/ml and 0,025 ug/ml; 0 ug/ml and 0,05 ug/ml; 0 ug/ml and 0,1 ug/ml. Research
concludes that there is effect of citronella as spatial repellent toward host seeking behaviour of Ae.aegypti
(Diptera: Culicidae) strain Bandung. Host seeking behaviour of Ae.aegypti is distrubed by all of
concentration of citronella as spatial repellent especially in concentration 0,1 ug/ml.
Kata kunci: Aedes aegypti, host-seeking behaviour, spatial repellent, citronella.
penurunan meskipun angka kejadian masih tergolong nyamuk Ae. aegypti dalam menularkan penyakit
tinggi, yaitu sebanyak 71.668 dengan angka kematian demam berdarah di kota Bandung.
sebanyak 641 orang (Kemenkes, 2012; Kemenkes,
2013; Kemenkes, 2015). BAHAN DAN METODE
Salah satu provinsi dengan angka kejadian Citronela yang digunakan merupakan repelen
DBD yang tinggi di Indonesia adalah Jawa Barat. spasial yang telah dikomersialkan dengan kadar
Kota Bandung merupakan ibu kota provinsi Jawa 7,16%.
Barat yang tercatat memiliki rekam jejak angka Alat yang digunakan untuk uji hayati dibuat
kejadian DBD tinggi. Pada tahun 2014 dilaporkan sesuai dengan model alat pengujian nyamuk pada
angka kejadian DBD di kota bandung adalah 3.132 repelen spasial yaitu, HITSS (High-Troughtput
dengan angka kematian 9 orang. Sedangkan pada Screening System) yang dikeluarkan oleh WHO
tahun 2015 diketahui angka kejadia DBD mengalami (2013) berdasarkan Grieco et al.,. (2005).
peningkatan 3.640 dengan angka kematian 7 orang Ae. aegypti strain Bandung diperoleh dengan
(Dinkes, 2015; Dinkes, 2016 ). memasang ovitrap (perangkap telur) yang dibuat
Vaksin maupun obat yang efektif untuk menggunakan 3-4 buah stik es krim yang disusun
mencegah ataupun mengobati penyakit demam berjajar kemudian dijepit menggunakan klip kertas.
berdarah belum ditemukan hingga saat ini. Stik es krim tersebut selanjutnya diletakan dalam
Berdasarkan informasi tersebut, tindakan yang paling gelas plastik 250 ml yang telah dicat hitam di
efektif dalam menekan dan mengurangi angka permukaan luarnya dan diisi dengan air hingga ¾
kejadian DB/DBD adalah dengan mengendalikan bagian gelas. Ovitrap di tempatkan di dekat
vektornya, yaitu nyamuk Ae. aegypti. Pengendalian pemukiman penduduk terutama pada tempat yang
vektor dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah redup dan tidak terkena matahari secara langsung.
satunya adalah dengan repelen atau penolak nyamuk Ovitrap diamati setiap satu minggu sekali hingga
yang dapat mencegah manusia dari gigitan nyamuk. mendapatkan telur nyamuk, yaitu berupa bulatan oval
Repelen atau penolak nyamuk dapat berupa berwana hitam. Hasil sampling berupa jentik maupun
topikal atau spasial (diuapkan). Repelen topikal dapat telur nyamuk, selanjutnya dipelihara di laboratorium
berbentuk lotion atau krim yang dapat dioleskan di dan diidentifikasi untuk memastikan sampel yang
bagian tubuh untuk melindungi diri dari gigitan diperoleh merupakan spesies Ae. aegypti.
nyamuk. Sedangkan repelen spasial dapat berupa Perbanyakan masal dilakukan apabila spesies yang
cairan atau padatan yang diuapkan pada suatu ruang dikoleksi dari lapangan adalah Ae. aegypti.
agar nyamuk tidak mau mendekati ruangan tersebut. Perbanyakan Ae. aegypti dilakukan dengan
Menurut Nolen et al. (dalam Hao et al., 2008) repelen merendam telur dalam air pada baki plastik berukuran
spasial merupakan suatu zat yang terevaporasi dalam 27cm x 17cm x 5cm. Setiap baki berisi ±200 larva
suatu ruang tiga dimensi yang dapat menghambat yang diberi makan pelet ikan sebanyak 0,2 g yang
kemampuan nyamuk dalam melacak dan menemukan ditambahkan setiap tiga hari bersamaan dengan
inangnya. penggantian air. Air dalam baki peliharaan diganti
Salah satu jenis repelen yang belum banyak setiap tiga hari sekali agar selalu dalam keadaan
diteliti adalah repelen spasial yang mengandung bersih. Larva yang telah berubah menjadi pupa
citronela. Citronela merupakan ekstrak tumbuhan dikoleksi dan ditempatkan pada kandang kasa
genus Cymbopogon yang diketahui memiliki berukuran 30 x 30 x 30 cm. Pupa tersebut selanjutnya
kemampuan menolak kehadiran nyamuk, aman akan tumbuh menjadi nyamuk Ae. aegypti dewasa.
digunakan bagi manusia dan lingkungan (Debboun et Ae. aegypti dewasa selanjutnya diberikan pakan
al., 2006). Environtmental Protection Agency (1999) larutan gula 10% yang dituangkan pada bola kapas
menyatakan bahwa citronela merupakan repelen yang (Porter et al.., dalam Gerberg, 1970).
aman dan efektif bagi manusia. Selain itu, citronela Nyamuk dewasa yang telah berusia dua hari
juga aman bagi lingkungan karena merupakan bahan diberikan pakan darah tikus selama dua jam. Tikus
alam yang dapat terurai dengan cepat. Hal tersebut yang akan digunakan terlebih dahulu dicukur pada
membuat citronela banyak digunakan sebagai bahan bagian punggungnya, agar mempermudah nyamuk
aktif berbagai repelen komersial baik topikal maupun untuk menghisap darah. Tikus dimasukan dalam
spasial. kandang kecil berlubang (di daerah punggung, sisi
Namun demikian, repelen jenis ini belum pinggang dan ekor) lalu dimasukan ke dalam kandang
banyak diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk nyamuk. Pemberian pakan dengan darah tikus
mempelajari pengaruh repelen spasial berbahan aktif dilakukan setiap tiga hari. Ovitrap diletakan setelah
citronela terhadap perilaku mencari mangsa nyamuk nyamuk dua hari menghisap darah. Telur
Ae. aegypti Strain Bandung. Informasi yang diperoleh dikumpulkan dalam ovitrap yang terbuat dari gelas
dari penelitian ini dapat digunakan sebagai plastik berukuran 50 mL, berisi air 15 mL, dilapisi
pertimbangan dalam penggunaan repelen spasial kertas saring berlabel sebagai tempat untuk nyamuk
berbahan aktif citronela sebagai upaya pengendalian meletakkan telurnya. Kertas saring yang telah berisi
telur dikumpulkan jika telah penuh berisi telur, lalu Uji hayati dilakukan dalam laboratorium
digantikan dengan yang baru. Telur dibiarkan dalam dengan suhu 25 ± 1oC, 4500 lux dan ±77% RH.
keadaan lembab selama dua hari, lalu dikeringkan Laboratorium dibuka setiap sebelum dan sesudah uji.
dalam suhu kamar dan disimpan dalam wadah tertutup Methanol digunakan sebagai pelarut bahan kimia
sampai telur akan digunakan (Gerberg, 1970). karena methanol tidak berpengaruh pada indra
Pemeliharaan nyamuk dilakukan pada suhu ruang pembau nyamuk (Bennier et al. dalam Hao dkk.,
antara 24 - 29 0C, kelembaban nisbi udara 75 – 77% 2008). Hal tersebut yang menyebabkan methanol
dan fotoperioda 12:12, yaitu 12 jam peroide terang, menjadi bahan kontrol dalam penelitian.
dan 12 jam periode gelap. Pengamatan perilaku mencari mangsa
Telur yang telah dikoleksi selanjutnya dilakukan dengan metode arm-in-cage yaitu
ditetaskan dengan cara dilembapkan selama 5 menit, menggunakan tangan volunteer yang dimasukan
dikeringkan selama 24 jam lalu direndam dalam air dalam kandang nyamuk. Nyamuk yang telah
berisi ragi kering 0,3% (b/v) untuk merangsang mengalami uji hayati selama 1 jam dipindahkan
penetasan telur. Perendaman dilakukan selama 24 secara individu ke kandang kasa bersih (30 x 30 x 30
jam. Setelah 24 jam larva ditempatkan pada baki cm) dan diberi makan dengan larutan gula 10%.
pemeliharaan dan dipelihara hingga dewasa. Nyamuk Selanjutnya, 3 menit setelah uji hayati nyamuk
betina berumur 5 hingga 10 hari digunakan untuk dibiarkan menyerang tangan dan lengan selama 2
melakukan uji repelen. Nyamuk tersebut dipilih menit untuk mendapatkan data respon perilaku
dengan cara sebagai berikut: Nyamuk dimasukan ke nyamuk setelah dipaparkan citronela. Perilaku
dalam kadang kasa (30 x 30 x 30 cm) yang berfungsi mencari mangsa Ae.aegypti ditetapkan sebagai
sebagai kandang uji. Tangan dan lengan atas kemampuan nyamuk untuk menemukan inang,
kemudian dimasukan ke dalam kandang uji. Nyamuk mendarat dan mencari tempat yang cocok untuk
yang menuju tangan dan lengan dalam waktu 2 menit menusukan stilet hingga menusuk lengan dengan
akan digunakan dalam penelitian ini. stiletnya.
Metode penelitian dilakukan berdasarkan Parameter yang digunakan dalam
Hao et al., (2008). Perilaku nyamuk yang diamati pengamatan perilaku mencari mangsa adalah jumlah
adalah perilaku mencari mangsa. Penelitian terdiri individu yang berhasil mendarat hingga menusukan
dari dua bagian sebagai berikut: bagian pertama stilet setelah dipaparkan citronela pada konsentrasi
adalah uji hayati nyamuk pada repelen spasial dengan tertentu dalam waktu dua menit pengamatan.
dosis 0 ug/ml; 0,025 ug/ml; 0,05 ug/ml dan 0,1 ug/ml Pengamatan dilakukan 3 menit setelah uji hayati.
(dosis ditentukan berdasarkan ED50 hasil uji Pengukuran parameter perilaku mencari
pendahuluan), dilanjutkan dengan bagian kedua yaitu mangsa menggunakan rancangan acak kelompok
pengamatan perilaku mencari mangsa setelah nyamuk (RAK) (Yitnosumarto, 1993). Pengambilan data
terpapar repelen spasial. Hewan uji yang digunakan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan, setiap ulangan
adalah hewan uji yang berbeda dengan strain yang menggunakan sepuluh individu nyamuk Ae.aegypti
sama. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari betina. Data hasil pengamatan perilaku mencari
faktor pengaruh kelelahan neuron olfaktori nyamuk mangsa dan menghisap darah masing-masing strain
pada data yang dihasilkan. dianalisis dengan analisis sidik ragam (Analysis of
Nyamuk betina berumur 5 hingga 10 hari varian) dengan menggunakan program statistik
digunakan untuk melakukan uji repelen. Metode uji SPSS. 20, yang dilanjutkan dengan uji perbandingan
hayati dilakukan berdasarkan Grieco et al. (2005) ganda Duncan jika berbeda nyata pada taraf
dengan menggunakan HITSS. Tabung transparan signifikansi α = 5% (Siregar, 2013).
pada HITSS dihubungkan dengan tabung uji dengan
katup kupu-kupu tertutup. Rangka tabung uji berserta HASIL DAN PEMBAHASAN
saringan yang sudah berisi repelen spasial dengan Salah satu perilaku nyamuk Ae. aegypti yang
konsentrasi tertentu dimasukan dalam tabung uji. penting untuk diketahui adalah perilaku mencari
HITSS selanjutnya didiamkan selama 24 hingga 48 mangsa. Perilaku mencari mangsa merupakan
jam untuk memastikan semua repelen spasial telah kemampuan nyamuk untuk menemukan inang,
terevaporasi. Sepuluh nyamuk uji dimasukan dalam mendarat dan mencari tempat yang cocok untuk
tabung transparan dan dibiarkan beraklimatisasi menusukan stilet hingga menusuk lengan dengan
selama 30 detik sebelum uji hayati dimulai. Nyamuk stiletnya (Hao et al., 2008). Perilaku tersebut
yang mengalami gangguan fisik, mati, tidak bisa merupakan aktifitas nyamuk untuk menemukan
terbang dihitung dan diganti dengan nyamuk baru. Uji mangsa yang selanjutnya mengarah pada perilaku
hayati dimulai dengan membuka perlahan katup kupu- menghisap darah. Perilaku mencari mangsa berperan
kupu hingga terbuka penuh selama 1 jam. Pengamatan penting dalam penyebaran penyakit DB dan DBD
perilaku mencari mangsa dan perilaku menghisap yang disebabkan oleh virus Dengue (Hao et al., 2008).
darah diamati setelah uji hayati dilakukan. Hasil penelitian menunjukan bahwa respon
mencari mangsa Ae.aegypti strain Bandung bervariasi
setelah dipaparkan citronela pada berbagai spasial repelen citronela dengan berbagai konsentrasi
konsentrasi. Jika dibandingkan dengan data awal (n=10). Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf abjad
perilaku mencari mangsa sebelum dipaparkan berbeda dalam kolom yang sama adalah berbeda nyata
citronela (0 ug/ml) maka dapat diketahui bahwa secara signifikan pada uji Duncan taraf kepercayaan
respon perilaku mencari mangsa strain Bandung 95%.
setelah dipaparkan citronela 0,025 ug/ml mengalami Terganggunya kemampuan nyamuk untuk
penurunan respon sebesar 23,33% ± 0,882. mendeteksi mangsa diduga disebabkan oleh
Selanjutnya, pada saat dipaparkan citronela 0,05 kemampuan citronela yang mampu menolak nyamuk
ug/ml Ae.aegypti menunjukan penurunan respon atau repelen. Mode of action repelen menurut Dickens
perilaku 36,67% ± 0,667. Sedangkan pada aplikasi dan Bohbot (2013) adalah memblok neuron olfaktori
citronela 0,1 ug/ml Ae.aegypti menunjukan nyamuk sehingga odorant atau bau yang bersifat
penurunan respon perilaku mencari mangsa sebanyak atraktan pada nyamuk tidak bisa dideteksi. Neuron
46,67% ± 0,882. Data hasil pengamatan respon olfaktori merupakan sensori yang sangat penting bagi
perilaku mencari mangsa Ae.aegypti strain Bandung nyamuk untuk mendeteksi bau (Bowen, 1991).
secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai Hao et al. (2008) menyebutkan bahwa
berikut. repelen spasial seperti eugenol, geraniol,
Tabel 1. Pengaruh Repelen Spasial Berbahan Aktif anisaldhehyd, citral dan citronelal dapat menginduksi
Citronela Terhadap Perilaku Mencari Mangsa perubahan respon reseptor olfaktori terutama grooved
Ae.aegypti Strain Bandung. peg sensilar dan sensila trichodea dalam mengenali
Respon Perilaku Mencari kairomon (amonia, protein, asam laktat dan CO 2). Hal
Mangsa (n) tersebut didukung oleh pendapat Davis (1985) yang
Konsentrasi
menyebutkan bahwa DEET (repelen sintetik yang
ug/ml 1 2 3
efektif dalam menolak nyamuk) bekerja dengan cara
0,000 10 10 10 memodifikasi atau membloking respon ORNs yang
0,025 9 6 8 sebelumnya sensitif terhadap atraktan. DEET terbukti
mengurangi sensitifitas ORNs yang peka terhadap
0,050 5 7 7 asam laktat dan ORNs yang sensitif terhadap atraktan
0,100 5 7 4 pada oviposisi yaitu, ethyl proprionat.
Keterangan: Jumlah individu Ae.aegypti strain Penelitian tentang pengaruh citronela pada
Bandung yang menunjukan perilaku mencari mangsa olfaktori serangga juga dilakukan oleh Kwon (2010).
setelah dipaparkan spasial repelen citronela dengan Penelitian tersebut terutama membahas mengenai
berbagai konsentrasi (n=10). interaksi citronelal dengan olfactory co-receptor
Selanjutnya, hasil uji anova menunjukan (orco) dan TPRA1 channel (Transient Receptor
bahwa strain Bandung yang pada konsentrasi citronela Potential Ankyrin) pada Anopheles gambiae dan
0 ug/ml memiliki kemampuan mencari mangsa Drosophila melanogaster. Hasilnya, interaksi
100%(n=10), saat mendapat penambahan konsentrasi citronelal dengan TRPA1 pada D. melanogaster dapat
citronela menunjukan penurunan kemampuan mencari berpengaruh pada regulasi aktifitas ion Ca2+ yang
mangsa yang signifikan. Hasil uji lanjut menunjukan mengaktifasi channel ion K+. Reduksi aktifitas ion
bahwa terdapat perbedaan perilaku mencari mangsa Ca2+ yang mengaktifasi channel ion K+ (BK
Ae. aegypti yang bermakna antara citronela channel) mengakibatkan meningkatnya frekuensi
konsentrasi 0 ug/ml dan 0,025 ug/ml, 0 ug/ml dan potensial aksi dan membuat D. melanogaster
0,05 ug/ml serta 0 ug/ml dan 0,1 ug/ml. Pola menjauhi citronelal. Sedangkan pada A. gambiae,
penurunan respon perilaku mencari mangsa TRPA1 channel yang terletak di antena langsung
Ae.aegypti strain Bandung seiring dengan diaktifasi oleh citronelal dan mengakibatkan nyamuk
penambahan konsentrasi citronela secara lebih jelas menjauhi citronelal. Kim (2013) menjelaskan bahwa
dapat diketahui melalui Tabel 2. TRP merupakan channel kation non-selektif yang
Tabel 2. Penurunan Respon Perilaku Mencari Mangsa terdapat pada cacing, lalat, nyamuk hingga mamalia.
Ae.aegypti Strain Bandung Seiring Dengan Selanjutnya, fungsi TRPA1 pada serangga yaitu
Penambahan Konsentrasi Citronela sebagai pendeteksi rasa sakit dan mendeteksi
Konsentrasi Rerata ± standar eror persentase temperatur panas. Berdasarkan penjelasan tersebut,
perilaku mencari mangsa strain aktivasi TRPA1 pada serangga membuat intepretasi
Bandung yang tidak nyaman (rasa sakit atau temperatur panas)
0 ug/ml 100 ± 0,00b sehingga menstimulasi reaksi menjauh atau repelen.
0,025 ug/ml 76,7 ± 0,882a Berdasarkan penjelasan tersebut, nampaknya
0,05 ug/ml 63,3 ± 0,667a penurunan respon perilaku mencari mangsa Ae.
aegypti strain Bandung setelah dipaparkan pada
0,1 ug/ml 53,3 ± 0,882a
beberapa konsentrasi citronela diduga berhubungan
Keterangan: Rerata ± standar eror persentase perilaku
dengan terganggunya TRPA1 akibat pengaruh
mencari mangsa strain Bandung setelah dipaparkan
133 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Pengaruh repelen spasial berbahan ....
Cabang Bandung
citronela. Terganggunya TRPA1 diduga menyebabkan Evaluate The Behavioural Response of Adult
interpretasi tidak nyaman pada nyamuk sehingga Mosquiotos to Chemicals. Journal of the
mengganggu kemampuan nyamuk untuk mendeteksi American Mosquito Control Association,
mangsa. 21(4), 4004-411.
Hao, H., Wei, J., Dai, J., dan Du, J. 2008. Host-
SIMPULAN seeking and Blood-Feeding Behaviour of
Penelitian menunjukan bahwa terdapat Aedes albopictus (Diptera: Culicidae)
pengaruh repelen spasial berbahan aktif citronela Exposed to Vapor of Geraniol, Citral,
terhadap perilaku mencari mangsa nyamuk Ae. Citronelal, Eugenol, or Anisaldehyde.
aegypti Strain Bandung. Semua konsentrasi repelen Journal Medical Entomology, 45(3), 533-
spasial berbahan aktif citronela dapat menyebabkan 539(2008).
terganggunya kemampuan mencari mangsa nyamuk Kemenkes. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia
Ae.aegypti, dengan jumlah gangguan tertinggi pada Indonesia Tahun 2011. Dinas Kesehatan RI.
konsentrasi 0,1 ug/ml. website://www.depkes.go.id. (diakses 14
September 2014).
UCAPAN TERIMA KASIH Kemenkes. 2014. Profil Data Kesehatan Indonesia
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Tahun 2013. Dinas Kesehatan RI.
Prof. Intan Ahmad dan Dr. Rachmadani Eka Putra website://www.depkes.go.id. (diakses 21
dari SITH, Institut Teknologi Bandung serta semua Februari 2015).
pihak yang telah memberikan masukan dan arahan Kemenkes. 2015. Demam Berdarah Biasanya Mulai
yang baik dalam penelitian maupun penulisan hasil Meningkat di Januari. Dinas Kesehatan RI.
penelitian. website://www.depkes.go.id. (diakses 30
April 2015).
DAFTAR PUSTAKA Kim, S.H. 2013. Insect GPRs and TRP Channel:
Bowen, M.F.1991. The Sensory Physiology of Host- Putative Target for Insect Repellents.
Seeking Behaviour in Mosquitoes. Annual Interdisciplinary Bio Central, 5(3), 1-7.
Reveiw Entomology, 36, 139-158. Kwon, Y. 2010. Drosophila TRPA1 Channel is
Davis, E.E. 1985. Insect Repellents: Concept of Their Required to Avoid the Naturally Occuring
Mode of action Relative to Potential Sensory Insect Repellent Citronelal. Current Biology,
Mechanisms in Mosquitoes (Diptera: 20, 1672-1678.
Culicidae). Journal Medical Entomologi, Siregar, S. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. PT
22(3), 237-243. Fajar Interpratama Mandiri. Jakarta.
Debboun, M., Frances, Stephen.P., dan Strickman, D. Soepardi, J. 2010. Demam Berdarah Dengue di
2006. Insect Repellent: Principles, Methods Indonesia Tahun 1968-2009. Buletin Jendela
and Uses. CRC Press Taylor and Francis Epidemiologi, 2, 1-20.
Group. United States of America. Yitnosumarto, S. 1993. Percobaan, Perancangan,
Dickens dan Bohbot. 2013. Mini Review: Mode of Analisis dan Interpretasinya. PT. Gramedia
Action of Mosquito Repellents. Pesticide Pustaka Utama. Jakarta.
Biochemistry and Physiology, World Health Organization. 2013. Guidelines for
http://dx.doi.org/10.1016/j.pestbp. 2013. 02. Efficacy Testing of Spatial Repellents. WHO
006 (diakses 2 Desember 2014). Press. Geneva.
Dinkes. 2015. Profil Kesehatan 2014. Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
http://www.diskes.jabarprov.go.id/index.php/
arsip/categories/MTEz/profile-kesehatan
(diakses 15 Oktober 2017).
Dinkes. 2016. Profil Kesehatan 2015. Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
http://www.diskes.jabarprov.go.id/index.php/
arsip/categories/MTEz/profile-kesehatan
(diakses 15 Oktober 2017).
Gerberg, E.J. 1970. Mosquito Rearing and
Experimental Techniques. American
Mosquito Control Association Bulletin No.3.
AMCA inc. California.
Grieco, J.P., Achee, N.L., Sardelis, M.R., Chauhan,
K.R., dan Roberts, D.R. 2005. A Novel
High-Throughput Screening System to
Efektivitas Formula Minyak Biji Mimba (Azadirachta indica) Pada Ulat Daun
Kubis (Plutella xylostella L.)
Mahsuri2, Danar Dono1*, Luciana Djaya1, Yusuf Hidayat1, Rani Maharani3, Sri Hartati1
1
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
²Alumni Departemen HPT, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
3
Departemen Kimia, FMIPA, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Jawa Barat, Indonesia.
*Alamat Korespondensi: danar.dono@unpad.ac.id
ABSTRAK
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan formula minyak biji mimba pada ulat daun kubis
Plutella xylostella. Percobaan dilaksanakan di kebun percobaan Ciparanje, Fakultas Pertanian Universitas
Padjadjaran, Jatinangor. percobaan menggunakan rancangan acak kelompok yang terdiri dari enam perlakuan
yaitu formula minyak biji mimba 1%, 1,25%, 1,5%, 1,75%, 2% dan 0% (kontrol) yang diulang lima kali.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa formula minyak biji mimba konsentrasi 2% efektif menekan populasi
P. xylostella di pertanaman kubis.
kata kunci : Plutella xylostella, Azadirachta indica, pestisida nabati, kubis.
ABSTRACT
This experiment aims to determine the effectiveness of neem seed oil formula on cabbage moth
Plutella xylostella. The experiment was conducted in Ciparanje experimental garden, Faculty of
Agriculture, Padjadjaran University, Jatinangor. The experiment used a randomized block design
consisting of six treatments ie 1%, 1.25%, 1.5%, 1.75%, 2% and 0% (control), with five
replication. The experimental results showed that the Neem seed oil formula 2% was effective in
suppressing P. xylostella populations in cabbage crops.
keywords: Plutella xylostella, Azadirachta indica, vegetable pesticide, cabbage.
perlakuan B (1%); C (1,25%); D (1,5%); dan E terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol dan
(1,75%) jumlah P. xylostella tidak berbeda nyata perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC (Tabel
terhadap kontrol. Hal serupa terjadi pada aplikasi ke 1).
5, 6, 7 dan 8 MST dimana populasi P. xylostella
Tabel 1. Rata-rata jumlah larva P. xylostella (ekor/tanaman sampel) formula minyak biji mimba 50 EC.
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut Uji jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%. PBA : Pengamatan Sebelum Aplikasi. FM: Formula
mimba 50 EC.
Faktor penyebab rendahnya populasi hama P. (Samsudin, 2011). Hal tersebut berkaitan dengan tipe
xylostella yaitu pengaruh formula minyak biji mimba mulut mengunyah yang dimiliki P. xylostella,
50 EC pada konsentrasi 1,5 %, 1,75 % dan 2 % yang sehingga senyawa azadirachtin yang menempel pada
dapat menekan populasi P. xylostella. Hal tersebut tanaman kubis masuk ke dalam tubuh P. xylostella.
terjadi karena pengaruh bahan aktif azadirachtin yang Semakin tinggi konsentrasi formula minyak biji
terkandung di dalam formula minyak biji mimba 50 mimba 50 EC yang diberikan maka akan semakin
EC sebagai penolak hama (Orwa, et al., 2009). tinggi residu azadirachtin dari biji mimba yang
Salanin berperan sebagai penurun nafsu makan (anti- ditinggalkan pada tanaman kubis, sehingga
feedant) yang dapat mengakibatkan daya rusak keefektifan formulasi akan semakin cepat terlihat.
serangga sangat menurun, walaupun serangganya Semakin tinggi konsentrasi formula minyak biji
sendiri belum mati. Meliantriol berperan sebagai mimba 50 EC yang diberikan pada tanaman kubis
penghalau (repellent) yang mengakibatkan serangga maka akan semakin tidak disukai oleh larva P.
hama tidak mendekati zat tersebut. xylostella. Senyawa azadirachtin ini berfungsi sebagai
Mimba mengandung metabolit sekunder yang antifeedant (mencegah makan) dan sebagai repellent
dapat menggangu kopulasi (perkawinan) dan (Widayat, 1994). Pada perlakuan formula minyak biji
komunikasi seksual serangga (Wijiastuti, 2013). mimba 50 EC dengan konsentrasi 1,5; 1,75; dan 2%
Azadirachta akan bekerja efektif jika masuk ke dalam Efektif dalam menekan populasi hama P. xylostella
tubuh serangga dalam jumlah sedikit hanya akan pada tanaman kubis varietas Green Nova (Tabel 2).
mengakibatkan serangga diam dan berhenti makan
Suatu formula insektisida dikatakan efektif bila Menurut Isroi (2008), selain azadirachtin, tanaman
pada setiap aplikasi kali pengamatan (n=jumlah mimba juga mengandung senyawa aktif meliantriol
total pengamatan setelah aplikasi), tingkat efikasi dan salanin dari daun atau cairan minyak dari biji
insektisida (EI) 70%. Perlakuan formula minyak biji mimba, efektif mencegah makan (antifeedant) bagi
mimba 50 EC konsentrasi 2% paling efektif dalam serangga, mencegah serangga mendekati tanaman
menekan populasi larva P. xylostella pada tanaman (repellent), dan bersifat sistemik. Mimba dapat
kubis. Nilai efikasi insektisida (EI) perlakuan formula membuat serangga mandul karena dapat mengganggu
minyak biji mimba 50 EC konsentrasi 2% dimulai produksi hormon dan pertumbuhan serangga.
pada penyemprotan ke-3 di 4 MST setelah aplikasi Azadirachtin akan bekerja efektif jika masuk ke dalam
insektisida mencapai 70,37% sampai 100%. Hal tubuh serangga dalam jumlah sedikit hanya akan
tersebut terjadi karena pengaruh bahan aktif mengakibatkan serangga diam dan berhenti makan
azadirachtin yang terkandung di dalam formula (Samsudin, 2011).
minyak biji mimba 50 EC sebagai penolak hama.
Tabel 3. Rata-rata intensitas kerusakan tanaman kubis pada aplikasi formula minyak biji mimba 50 EC.
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Tabel 4. Efikasi Insektisida Formula Minyak Biji Mimba 50 EC Terhadap Intensitas Kerusakan
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa aplikasi perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC 1%;
formula minyak biji mimba 50 EC dengan konsentrasi 1,25%; 1,5%,1,75%; dan 2%.
yang berbeda berpengaruh nyata terhadap intensitas Rata-rata intensitas kerusakan tanaman
kerusakan tanaman kubis pada pengamatan 3 MST terendah dijumpai pada penyemprotan ke-6 dengan
sampai 8 MST. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa rata- perlakuan fomula minyak biji mimba 50 EC dengan
rata kerusakan tanaman kubis pada aplikasi formula konsentrasi 2% yaitu 3,09%. Pada 7 MST
minyak biji mimba 50 EC pada penyemprotan ke-2 penyemprotan ke-8, perlakuan minyak mimba 2%
mulai berbeda antara kontrol dengan yang diberi memiliki intensitas kerusakan terendah, sebesar
formula minyak biji mimba 50 EC. Akan tetapi yang 3,71%, dibandingkan dengan kontrol (4,13%).
diberi perlakuan tidak berbeda nyata antar petak Perlakuan minyak biji mimba 1%; 1,25%; 1,5%;
perlakuan. Pada penyemprotan ke-6 pada 6 MST 1,75% dan 2% menunjukkan berbeda nyata dengan
berbeda nyata antara intensitas kerusakan kontrol kontrol (4,90%) pada penyemprotan ke-10 di 8 MST.
(3,43%) dengan intensitas kerusakan yang diberi Akan tetapi pada perlakuan C (1,25%) dan D (1,5%)
138 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Efektivitas formula minyak biji ....
Cabang Bandung
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Dari bukan hanya kerusakan oleh P. xylostella yaitu
Tabel 4, perlakuan konsentrasi 2% (4,25%) kerusakan secara keseluruhan. Sehingga nilai tingkat
menunjukkan hasil intensitas kerusakan tanaman efikasi insektisida (EI) ≤70% tidak ditemukan pada
terendah dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi hasil uji efikasi insektisida (EI) intensitas kerusakan
1,75%; 1,5%; 1,25% dan 1%. (Tabel 4).
Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan, Pengamatan terhadap jumlah telur P. xylostella
maka semakin tinggi kandungan insektisida formula pada tanaman kubis menunjukkan ditemukannya telur
minyak biji mimba 50 EC tersebut (azadirachtin, pada masing-masing perlakuan formula minyak biji
meliantriol dan salanin) di dalam tanaman kubis mimba 50 EC saat di lapangan. Tabel 5 menunjukkan
meningkat. Senyawa azadirachtin ini berfungsi bahwa rata-rata jumlah telur P. xylostella pada
sebagai antifeedant (mencegah makan) dan sebagai perlakuan konsentrasi formula minyak biji mimba 50
repellent (penolak makanan), menghambat proses EC 1,75% (E) dan 2% (F) nyata terlihat lebih rendah
pergantian kulit serta dapat mematikan serangga bila dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi 1%
(Samsudin, 2011). Peristiwa tersebut disebabkan oleh (B), 1,25% (C), 1,5% (D) dan kontrol/tanpa aplikasi
susunan senyawa kimia yang dapat mengacaukan (A). Rendahnya jumlah telur P. xylostella yang
sistem indera (efek antifeedant primer), atau muncul pada perlakuan konsentrasi formula minyak
memengaruhi syaraf pusat serangga yang biji mimba 50 EC 1,75% dan 2%, diduga karena
memengaruhi proses makan (efek antifeedant rendahnya jumlah larva P. xylostella yang ditemukan
sekunder), sehingga perlakuan formula minyak biji pada petak perlakuan konsentrasi 1,75% (E) dan 2%
mimba 50 EC dengan konsentrasi 2% dapat (F) akibat peningkatan konsentrasi aplikasi formula
menyebabkan rendahnya populasi P. xylostella pada minyak biji mimba 50 EC, karena kandungan
tanaman kubis. Rendahnya intensitas kerusakan pada insektisida tersebut (azadirachtin, salanin, dan
perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC dengan meliantriol) di dalam tanaman meningkat.
konsentrasi 2% (F) disebabkan karena semakin (Sastrodihardjo dkk, (1992) menyatakan bahwa
tingginya residu yang menempel pada tanaman kubis azadirachtin dapat memengaruhi beberapa sistem
Tingginya intensitas kerusakan pada perlakuan fisiologis yang mengatur pertumbuhan serangga,
kontrol (A) disebabkan tanaman kubis pada perlakuan dimana senyawa ini secara struktural menyerupai
kontrol (A) tidak diberi perlakuan formula minyak biji hormon ecdysone pada serangga yang berfungsi
mimba 50 EC atau zat toksik lainnya, sehingga larva mengontrol proses metamorfosis pada serangga.
P. xylostella dapat berkembang dengan baik. Azadirachtin akan bekerja efektif jika masuk kedalam
Intensitas kerusakan tanaman kubis pada tubuh serangga (Wijiastuti, 2013) dalam jumlah
perlakuan formula minyak biji mimba 50 EC dengan sedikit hanya akan mengakibatkan serangga diam dan
konsentrasi 2% lebih rendah daripada perlakuan berhenti makan (Samsudin, 2011). Herlinda dkk,
formula minyak biji mimba 50 EC dengan konsentrasi (2004) Imago P. xylostella akan meletakkan telurnya
1,75%, 1,5%, 1,25% maupun 1%. Hal ini secara tunggal dengan 20-25 butir telur yang berada di
menunjukkan bahwa formula minyak biji mimba 50 permukaan bawah daun (Gambar 1).
EC dengan konsentrasi 2% dapat menurunkan
intensitas kerusakan larva P. xylostella. Semakin
tinggi kadar azadirachtin dalam tanaman kubis
semakin tidak disukai oleh larva P. xylostella. Biji
mimba bersifat ramah lingkungan karena mudah
diperoleh, tidak toksik terhadap manusia dan jasad
bukan sasaran serta mudah terurai. Akan tetapi
formula minyak biji mimba 50 EC ini tidak efektif
terhadap hama ulat krop (Crocidolomia pavonana)
dimana ulat ini memberikan kontribusi tinggi terhadap
intensitas kerusakan tanaman kubis pada lahan
penelitian. Sehingga intensitas kerusakan tanaman
kubis pada lahan penelitian lebih disebabkan oleh
hama ulat krop (C. Pavonana) dimana populasi hama
ulat krop (C. pavonana) pada lahan penelitian lebih
banyak dibandingkan populasi hama ulat P. xylostella. Gambar 1. Telur P. xylostella
Pada Tabel 4 hasil uji efikasi insektisida
terhadap intensitas kerusakan menunjukkan hasil yang
berbeda dibandingkan hasil uji efikasi insektisida
populasi P. xylostella (Tabel 2). Karena pengamatan
pada intensitas kerusakan yang dilakukan kurang
tepat. Kerusakan pada tanaman kubis yang diamati
Tabel 5. Jumlah telur ulat kubis P. xylostella (butir/tanaman) yang ditemukan di lapangan
Jumlah Butir Pada Aplikasi (n) Minggu Setelah Tanam (MST)
Perlakuan
3 4 5 6 7 8
A (Kontrol) 24 - 16 - - 14
B (FM 1%) 19 - 23 - - 20
C (FM 1,25%) 17 21 - - 24 -
D (FM 1,5%) 22 - - 19 - 23
E (FM 1,75%) 24 - 25 - - -
F (FM 2%) 22 - - 10 17 -
Hashmat I., Azad H., Ahmed A. 2012. Neem
Kesimpulan (Azadirachta indica A. Juss) - A Nature's
Aplikasi Formula Minyak Biji Mimba (Azadirachta Drugstore: An overview. Review paper :
indica) 50 EC dengan konsentrasi 2% efektif menekan International Research Journal of Biological
populasi P. xylostella pada tanaman kubis. Nilai Sciences Vol. 1(6), 76-79, October 2012.
efikasi insektisida (EI) perlakuan konsentrasi 2% Herlinda, S., Rosdah Thalib, & R. M. Saleh. 2004.
dimulai pada penyemprotan ke-3 di 4 MST setelah Perkembangan dan Preferensi Plutella
aplikasi insektisida mencapai 70,37% sampai 100%. xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae) pada
Lima Jenis Tumbuhan Brassicaceae. Hayati
DAFTAR PUSTAKA 11(4):130-134.
Anonim. A, 2009. Teknologi Budi Daya Tanaman Herminanto, 2010. Hama Ulat Daun Kubis (Plutella
Pangan. http://www.iptek.net.id/ind/ xylostella L.) dan upaya pengendaliannnya.
teknologi_pangan/index.phd?id=203. Diakses www.gerbangpertanian.com/2010/08/hama-
pada tanggal 15-07-2017. ulat-daun-kubis-plutella.html. Vol. 2, No. 3,
Ashari, S. 1995. Hortikultura aspek budidaya 203-206. Diakses pada tanggal 17 Febuari
Universitas Indonesia. Jakarta. 485 halaman. 2016.
Barus, I., Dono, D., Hidayat, Y., Puspasari, L.T., Indonesia Horticulture Statistics. 2014. Harvest area,
Meliansyah, R., Maharani, R. (2015). Pengaruh production and yield of cabbages year 2014.
Formula Insektisida Minyak Mimba Available online at:
(Azadirachta indica JUSS) Terhadap Populasi http://www.bps.go.id/sector/agri/horti/table/s/h
Beberapa Serangga Hama dan Arthropoda tml. Diakses pada tanggal 17 Febuari 2016.
Musuh Alami Pada Tanaman Kedelai (Glycine 315 halaman .
max (L) Merril) Dalam Prosiding Seminar Isroi. 2008. Pengendalian Hama dan Penyakit dengan
Nasional Agroteknologi Indonesia. Surakarta. Pestisida Nabati. Available from
21 Juli 2016. 513 halaman. http://www.isroi.wordpress.com/2008/06/02/pe
Cahyono, B. 2001. Kubis Bunga dan Broccoli. ngendalian-hama-penyakit-dengan-pestisida-
Kanisius. Yogyakarta. 63 halaman . nabati
Capinera JL. 2000. Diamondback Moth, Plutella Jenifer, A. and Alasdair J. 2000. Azadiracthin from
xylostella (Linnaeus) (Insecta: Lepidoptera: the Neen Tree Azadiractha indiaca: its Action
Plutellidae). Against Insects. University of Aberdeen.
http://edis.ifas.ufl.edu/,pdffiles/IN/IN27600.pd Scotland. 29(4): 615-632.
f. Diakses pada tanggal 05-03-2017. Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan
Darwiati, W. 2009. Uji Efikasi Ekstrak Tanaman Aplikasi. Cetakan ke-2. Penebar Swadaya,
Suren (Toona sinensis Merr.) sebagai Jakarta. 80 halaman
insektisida nabati dalam pengendalian hama Kardinan, A., dan Ruhnayat, A., 2003, Mimba
daun (Eurema spp. dan Spodoptera litura F.). Budidaya dan Pemanfaatan, Penebar Swadaya,
[Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Vol. Jakarta. Hal. 8-9, 12.
2, No.3, 203-206 Kardinan, A. 2005. Pestisida Nabati Ramuan dan
Gatot I. S. 2012. Metode Standar Pengujian Efikasi Aplikasinya. Penebar Swadaya. Jakarta.
Insektisida T.A. 2012. Kementrian pertanian. Halaman 1-20.
Jakarta. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia.
Gomez, K. dan Gomez. Arturo. 2007. Prosedur Revisid and Translated by P.A. Van Der Laan.
Statistik untuk Penelitian Pertanian edisi Ichtiar Baru. Jakarta. 627p.
Kedua. Universitas Indonesia. Jakarta. Khana A. 1992. Neem compounds commercialized.
Grace-Sierra Crop Protection Co. 1990. Margosan-O Biotechnology and Development Monitor, No.
technical bulletin. Grace-Sierra Crop 13, December 1992. Vol. 6, No. 1, 42-52.
Protection Co., Milpitas, CA. Halaman 41-54. Kraees H, Cullen EM. 2008. Insect growth regulator
effects of azadirachtin and neem oil in
Kerentanan Aedes aegypti pradewasa terhadap temephos 0,02 ppm di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara dan Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan
Nita Rahayu1,Sri Sulasmi1, Dian Eka S1,Yuniarti Suryatinah1
1
Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan R.I.
*Alamat korespondensi : nita.rahayu79@yahoo.co.id
ABSTRAK
Temephos sudah lama digunakan sebagai larvasida. Sejak tahun 1976 ditetapkan sebagai bagian dari
program pengendaliaan larva Ae.aegypti di Indonesia. Penggunaan jangka panjang insektisida ini dapat
menyebabkan resistensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerentananAe.Aegypti terhadap insektisida
Temephos di 3 (tiga) daerah endemis demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Hulu Sungai Selatan,
Hulu Sungai Utara dan Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan. Jenis penelitian ini adalah eksperimen murni
yang dilaksanakan dengan metode uji kerentanan standar WHO (Suceptibility Test). Desain penelitian adalah
post test only control group design dengan pendekatan rancangan acak lengkap. Telur dan larva didapatkan
dari lapangan dikolonisasi di Laboratorium Entomologi Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu sampai menjadi
nyamuk. Generasi F2 dijadikan larva instar III dan IV awal untuk dilakukan uji kerentanan terhadap
Temephos 0,02 pp atau 0,02 mg/lt.
Hasil uji kerentanan menunjukkan angka kematian larva terhadap dosis 0.02mg/lt sebesar 97,5%
untuk KabupatenHulu Sungai Utara dengan status toleran, sedangkan untuk Kabupaten Hulu Sungai Selatan
dan Tabalong dengan kematian sebesar 100% dengan status rentan. Kesimpulan penggunaan temephos masih
relevan untuk digunakan sebagai larvasida dalam program pengendaliaan DBD di Kabupaten Hulu Sungai
Utara, Hulu Sungai Selatan dan Tabalong. Dalam mengoptimalisasi pengendalian vektor terpadu perlu juga
dilakukan metode pengendalian fisik dan mekanis melalui modifiksi dan manipulasi lingkungan tempat
perindukan yaitu dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk tetap meningkatkan 3M+.
Kegiatan 3M+ masih merupakan program yang paling efektif dalam penanggulangan DBD.
Kata kunci: Larva Ae. aegypti, temephos, kerentanan
ABSTRACT
Temephos has been long used as a larvicida. Since 1976 it has been established as part of the Ae.aegypti
larvae control program in Indonesia. Long-term use of this insecticide may cause resistance. This study aims
to determine the susceptibility Ae. Aegypti against Temephos insecticide in endemic areas of dengue
hemorrhagic fever (DHF) in Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara and Tabalong of South Kalimantan
Province. This type of research is a pure experiment conducted by the susceptibility test method according to
WHO standard (Suceptibility Test). The study design was post test only control group design with complete
randomized design approach. Eggs and larvae were obtained from the field at the colonization at the research
and development centers . laboratory at Tanah Bumbu until it became a mosquito. Generation F2 was made in
instar instar larvae III and IV for susceptibility test of Temephos 0.020 mg / lt. The test result shows mortality
from larvae with dose of 0.02mg / lt of 97,5% for Hulu Sungai Utara with tolerant status, while for Hulu
Sungai Selatan and Tabalong Regency with 100% mortality with Vulnerable status. The suggestion should be
that temephos use is still relevant for use as a larvasida in DHF control program in district Hulu Sungai Utara,
Hulu Sungai Selatan and Tabalong, and for the program should always give counseling to society to keep
increasing 3 M +. 3M + activities are still the most effective programs in the prevention of DHF.
Keywords: Larvae Ae. Aegypti, Temephos, Susceptibility
tersembunyi di dalam rumah sebagai tempat Cara kerja insektisida yang digunakan dalam
beristirahat. Ae aegypti mempunyai kebiasaan pengendalian vector terbagi dalam 5 (lima) kelompok
menggigit manusia untuk dihisap darahnya sepanjang yaitu kelompok insektida yang mempengaruhi sistem
hari terutama antara jam 08.00-13.00 dan antara jam saraf, kelompok insektida yang menghambat produksi
15.00-17.00. Sebagai nyamuk domestik di daerah energi, kelompok insektida yang mempengaruhi
urban, Ae aeypti merupakan vektor utama (95%) bagi sistem endokrin, kelompok insektida yang
penyebaran penyakit DBD (Djunaedi, 2006). menghambat produksi kutikula dan kelompok
Kasus DBD sampai dengan tahun 2013 telah insektida yang menghambat keseimbangan air. Cara
terjadi di 411 kabupaten/kota dari 440 kab/kota insektisida masuk ke dalam tubuh serangga dapat
(93,4%) yang melaporkan kejadian DBD di Indonesia. melalui kutikula atau racun kontak, alat pencernaan
Penderita DBD pada tahun 2011 dilaporkan sebanyak atau racun perut, dan melalui lubang pernafasan
65.725 kasus dengan angka insidens 27,67‰ dengan atau racun pernafasan. Suatu insektisida
jumlah meninggal sebanyak 597 orang, dan tersebar dapat mempunyai satu atau lebih cara masuk ke dalam
di 31 provinsi. Pada tahun 2012 meningkat menjadi tubuh serangga (Kemkes, 2012).
90.245 kasus, angka insidens 37,11‰ dengan jumlah Aplikasi pengendalian vektor penyakit secara
meninggal sebanyak 816 orang tersebar di 33 provinsi umum ada 2 (dua) jenis insektisida yaitu yang bersifat
dan pada tahun 2013 dilaporkan sebanyak 86.547 residual dan non residual. Insektisida residual adalah
kasus, angka insidens 35,27‰ dengan jumlah insektisida yang diaplikasikan pada permukaan suatu
meninggal sebanyak 647 orang tersebar di 34 provinsi tempat dengan harapan serangga yang lewat atau
seluruh Indonesia. hinggap pada permukaan tersebut akan terpapar dan
Kasus DBD di Provinsi Kalimantan Selatan akhirnya mati. Sedangkan insektisida non residual
menunjukkan kecenderungan kenaikan dan penurunan adalah insektisida yang langsung berkontak dengan
yang fluktuatif, hal ini terlihat dari nilai Incidence tubuh serangga saat diaplikasikan (Kemkes, 2012).
Rate per 100.000 penduduk dan CFR dari tahun 2009- Insektisida yang dapat digunakan terhadap
2014 untuk tiap-tiap kabupaten/kota Provinsi nyamuk antara dari golongan organochlorine,
Kalimantan Selatan. Pada tahun 2014, diketahui organophosphor, carbamate dan pyrethroid. Bahan-
bahwa Kabupaten Hulu Sungai Selatan memiliki bahan insektisida tersebut dapat diaplikasikan dalam
angka insiden (IR) sebesar 30,27 ‰ dan CFR 4,4%, bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumah
Kabupaten Hulu Sungai Utara memilik angka insiden penduduk. Sedangkan insektisida yang dapat
(IR) sebesar 58,08‰ dan CFR 1,57% dan Kabupaten digunakan terhadap larva yaitu dari golongan
Tabalong memiliki angka insiden (IR) 80 ‰ dan CFR organophosphor (temephos) dalam bentuk sand
1,62% (Dinkes, 2014). granules yang dilaurutkan dalam air di tempat
Upaya program pencegahan dan pengendalian perindukannya (Soegijanto, 2008). Insektisida
yang sudah dilakukan selama 43 tahun, belum golongan organofosfat yaitu temefos bekerja dengan
berhasil menurunkan angka kesakitan dan angka menghambat enzim kholinesterase (Kemkes, 2012).
kematian. Pencegahan dan pengendalian DBD Penggunaan insektisida dilakukan untuk
dilakukan dengan case management (case supportif) mengendalikan Ae. aegypty/Ae. albopictus sebagai
dan pengendalian vektor. Tujuan pengendalian vektor DBD. Pengendalian dapat dilakukan pada fase
vektor utama adalah untuk menurunkan kepadatan larva. Pengendalian pada fase larva menggunakan
populasi nyamuk Ae aegypti sampai serendah larvasida Themephos (Ditjen P2PL, 2012).
mungkin sehingga kemampuan sebagai vektor Pada kondisi tersebut timbul pertanyaan,
menghilang. Ada 4 (empat) cara pengendalian vektor apakah telah terjadi resistensi pada vektor DBD
yaitu dengan kimiawi, biologis, radiasi, dan mekanik terhadap insektisida temephos 1% yang selama ini
atau pengelolaaan lingkungan (Soegijanto, 2008). dipakai oleh program dalam pengendalian vektor
Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan DBD di Indonesia khususnya Provinsi Kalimantan
pengelolaan lingkungan secara fisik atau mekanis, Selatan.
penggunaan agen biotic, kimiawi, baik terhadap Tujuan penelitian untuk mengetahui status
vector maupun tempat perkembangbiakannya kerentanan vektor DBD terhadap larvasida (Temephos
dan/atau perubahan perilaku masyarakat serta dapat 0,02 ppm) di daerah endemis DBD di Kabupaten
mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara dan
(Ditjen P2PL, 2012). Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan.
Salah satu cara pengendalian vektor dengan
kimiawi yaitu dengan menggunakan insektisida baik BAHAN DAN METODE
untuk nyamuk dewasa maupun larva (Soegijanto,
2008). Pengendalian vektor dengan insektisida adalah Penelitian ini adalah penelitian eksperimen
salah satu cara yang dianggap efektif untuk murni (true experiment). Dilaksanakan dengan
menurunkan kasus dan menekan penyebarannya, metode uji kerentanan menurut standar WHO
karena obat dan vaksin DBD sampai saat ini belum (suceptability Test). Desain penelitian adalah post test
ada.
143 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Kerentanan Aedes aegypti pradewasa ....
Cabang Bandung
only control group design dengan pendekatan berisi 250 ml aquadest. Untuk setiap satu perlakuan
rancangan acak lengkap (Notoatmodjo, 2002). konsentrasi insektisida yang diuji digunakan satu
Sampel dalam penelitian ini adalah larva saringan. Larva disimpan dalam kontainer
Ae.aegypti instar III dan IV awal yang merupakan penyimpanan yang berisi 250 ml aquadest selama 24
hasil rearing nyamuk di Laboratorium Entomologi jam, dan diberi makan. Pada jam 0, 1 dan 24
P2B2 Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu yang dilakukan pengamatan. Dihitung dan dicatat jumlah
berasaldari pengumplan telur dan larva dari 3 larva yang pingsan, mati, dan jumlah larva yang
kabupaten di Propinsi Kalimantan Selatan. masih hidup. Dalam pengujian ini apabila kematian
Lokasi penelitian ini adalah di Kabupaten Hulu larva pada kontrol > 10%, maka dianggap gagal dan
Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara dan Tabalong harus diulang. Jika kurang dari 10% maka digunakan
Propinsi Kalimantan Selatan yang dilaksanakan dari faktor koreksi rumus Abbots. Pengukuran temperatur
Bulan April s/d Mei Tahun 2015. dicatat selama percobaan.
Pengumpulan spesimen uji dilakukan di Sebagai panduan untuk menafsirkan hasil uji
KabupatenHulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara bioassay WHO adalah sebagai berikut :
dan TabalongPropinsi Kalimantan Selatanberupa Kematian lebih besar dari 98% menunjukkan
koleksi larva/pupa di daerah endemis DBD yang spesies rentan,
sering dilakukan upaya pengendalian vektror. Dari Kematian di kisaran 80- 98% menunjukkan
setiap kabupaten/kota akan dikumpulkan sampel dari spesies toleran
tiga lokasi yang diduga vektornya sudah mengalami Kematian kurang dari 80% menunjukkan
mekanisme resistensi terhadap insektisida yang spesies resisten
digunakan. Untuk menduga terjadinya resistensi
vektor DBD maka dicari daerah yang paling sering HASIL DAN PEMBAHASAN
dilakukan upaya pengendalian vektor atau daerah
paling endemis. Berdasarkan hasil uji kerentanan larva yang
Uji kerentanan vektor di lakukan di telah dilakukan didapatkan persentase kematian pada
laboratorium entomologi Balai Litbang P2B2 Tanah konsentrasi diagnosa yang ditetapkan WHO terhadap
Bumbu. Dilaksanakan dengan metode uji kerentanan temephos 0,02 ppm, di Kabupaten Hulu Sungai
menurut standar WHO (Suceptability Test). Hasil uji Selatan dan Tabalong menunjukkan masih rentan,
kerentanan dikelompokkan dengan kriteria; rentan, sedangkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara jentik
toleran dan resisten. Kerentanan yang akan di lihat Aedes aegypti menunjukkan toleran. Hasil uji
adalah kerentanan Ae. aegypti sebagai vektor DBD di resistensi dapat dilihat pada Tabel 1.
Indonesia pada fase larva. Larva yang digunakan Tabel 1. Hasil uji kerentanan Aedes aegypti
untuk uji larvasida adalah instar III dan atau IV awal. pradewasa terhadap Temephos 0,02 ppm 3 Kabupaten
Uji kerentanan dilakukan berdasarkan metodologi di Provinsi Kalimantan Selatan, Tahun 2015
yang diusulkan oleh WHO (WHO, 1981). Jumlah Kabupaten/Kota Persentase Status
larva yang diperlukan sebanyak 25 larva dengan Kematian
ulangan sebanyak 4 kali dan 1 kontrol sehingga Ae. Aegypti
jumlah larva keseluruhan sebanyak 125. Konsentrasi Hulu Sungai 100 Rentan
temephos yang diuji adalah 0,02 ppm dalam pelarut Selatan
aquades, sedangkan untuk kontrol digunakan aquades. Hulu Sungai 97.5 Toleran
Untuk mendapatkan temephos0,02 ppm dengan Utara
konsentrasi yang diinginkan maka terlebih dahulu Tabalong 100 Rentan
dibuat larutan stok dengan konsentrasi 0,5 ppm.
Sehinggauntuk membuat konsentrasi selanjutkan Sumber : Data Primer
dilakukan pengenceran dengan memakai persamaan :
Kematian nyamuk pada tiap uji dan pada tiap
C1V1 = C2 V2 kabupaten berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Di mana : daya imunitas nyamuk dari setiap daerah tidak sama.
C1 = Konsentrasi larutan (ppm) sebelum pengenceran Hasil uji kerentanan larva di Kabupaten Hulu
V1 = Volume larutan (ppm) sebelum pengenceran Sungai Utara tergolong status toleran terhadap
C2 = Konsentrasi larutan (ppm) sesudah pengenceran larvasida Temephos. Hasil ini sejalan dengan
V2 = Volume larutan (ppm) sesudah pengenceran penelitian Nisa, Hargono, Ridha, 2012 bahwa
persentase kematian larva Ae. Aegypti dari Kelurahan
Sebanyak 25 larva dimasukkan ke dalam Sekumpul terhadap temephos dalam tahap toleran.
gelas/kontainer yang telah berisi temephos dengan Penelitian Ridha dan Nisa di Kota Banjarbaru juga
konsentrasi 0,02 ppm. Kemudian larva dibiarkan menunjukkan bahwa status resistensi Ae. Aegypti
kontak dengan larutan insektisida temephos selama terhadap temephos dalam status toleran. Hasil uji
satu jam.Setelah satu jam larva dipindahkan ke dalam sampel dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan
saringan dan dibilas dalam kontainer pembilasan Tabalong didapatkan persentase kematian pada
144 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Kerentanan Aedes aegypti pradewasa ....
Cabang Bandung
ABSTRAK
Resistensi merupakan kondisi saat dosis rekomendasi insektisida tidak efektif untuk pengendalian hama
(Baehaki dkk., 2016). Gejala hopperburn merupakan kerusakan akibat aktivitas makan wereng coklat yang
mengganggu proses translokasi asimilasi tanaman (Watabe & Kitagawa, 2000). Kasus resistensi sudah
terjadi pada wereng coklat. Resistensi terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu ketahanan metabolik,
ketahanan penetrasi, resistensi perilaku, dan ketahanan pada bagian target (IRAC, 2007). Pada resistensi
akibat OP (Organofosfat) dan CB (Karbamat), paparan insektisida secara terus menerus menyebabkan
modifikasi bagian aktif asetilkolinesterase (target insektisida OP dan CB) (Fournier & Mutero, 1994).
Pengelolaan resistensi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Insektisida nabati merupakan salah satu
pengelolaan resistensi yang ramah lingkungan.
Kata kunci : Karbamat, Insektisida nabati, Nilaparvata lugens, Organophosphat, Resistensi, Wereng Coklat
ABSTRACT
Resistance is a condition of insecticide recommendation doses not effective for pest control (Baehaki et al.,
2016). The hopperburn symptom is a breakdown of brown planthopper activites that interfere with the
process of translocation of plant assimilation (Watabe & Kitagawa, 2000). Cases of resistance have occurred
on brown planthopper. Resistance occurs through several mechanisms: metabolic resistance, penetration
resistance, behavioral resistance, and resistance to the target-site (IRAC, 2007). In resistance to OP
(Organophosphate) and CB (Carbamate), continuous exposure to insecticides causes modification of the
active part of Acetylcholinesterase (OP and CB insecticide target) (Fournier & Mutero, 1994). Resistance
management can be done in various ways. Botanical insecticide is one of the environmentally friendly
management of resistance.
Keywords: Botanical insecticides, Brown Planthopper, Carbamate, Nilaparvata Lugens, Organophosphat,
Resistance
membentuk populasi baru (Baehaki & Widiarto, mengendalikan hama telah menyebabkan enzim
2011). Ketika wereng coklat terseleksi dan wereng resisten, kurang terhambat seperti enzim pada tipe
coklat resisten semakin banyak, maka peningkatan liar. Hal ini terjadi karena adanya mutasi untuk
populasi wereng resisten juga akan semakin banyak. resistensi sehingga menghasilkan protein hasil mutasi
Upaya penanganan resistensi dapat dilakukan yang memiliki sifat katalitik baru terhadap substrat
dengan melakukan pengendalian terpadu, penggunaan dan inhibitor (Fournier & Mutero, 1994).
insektisida berspektrum luas, dan penggunaan Serangga resisten terhadap insektisida
insektisida secara tepat (IRAC, 2007). Insektisida memiliki banyak mekanisme peningkatan
nabati merupakan insektisida yang memiliki detoksifikasi insektisida (Yu et al., 2003). Modifikasi
campuran beberapa metabolit sekunder dengan asetilkolinesterase akan menyebabkan resistensi pada
berbagai cara kerja (Miresmaili & Isman, 2013). insektisida (Fournier & Mutero, 1994). Aktivitas
Insektisida nabati merupakan alternatif pengendalian enzim asetilkolinesterase pada strain resisten akan
yang ramah lingkungan. Review ini kan membahas lebih tinggi dibandingkan strain peka (Taskin et al.,
mengenai resistensi wereng coklat terhadap 2007). Peningkatan aktivitas enzim Glutathione S-
insektisida, mekanisme terjadinya resistensi, dan Transferase (GST) terjadi setelah paparan insektisida
penanganan resistensi serta potensi insektisida nabati karbamat (Maran et al., 2009) dan sistem glutation
untuk penanganan resitensi. akan melindungi kerusakan sel pada paparan
insektisida karbamat (Maran et al., 2010). Adapun
RESISTENSI WERENG COKLAT mekanisme resistensi wereng coklat terhadap
Resistensi terjadi melalui beberapa mekanisme insektisida dapat berupa penurunan sensitivitas enzim
yaitu ketahanan metabolik, ketahanan penetrasi, asetilkolinesterase, peningkatan enzim aliesterase,
resistensi perilaku, dan ketahanan pada bagian target glutation s-transferase, dan oksidase mikosom (Heong
(IRAC, 2007). Resistensi penetrasi terjadi ketika et al., 2011).
kutikula luar serangga mengembangkan hambatan Ketersediaan pakan tidak sebanding dengan
yang dapat memperlambat penyerapan bahan kimia populasi juga akan menyebabkan preferensi pakan,
kedalam tubuh serangga atau secara genetik dimana serangga monofag akan lebih cepat resisten
dimodifikasi untuk mencegah insektisida mengikat dibandingkan serangga polifag karena tidak ada
atau berinteraksi di bagian kerjanya (IRAC, 2016). perpindahan atau migrasi yang menyebabkan
Serangga mengurangi penetrasi dan mempercepat sedikitnya serangga yang tidak terpapar insektisida
proses eksresi insektisida saat terpapar (Nan-nan et (Georghiu & Taylor, 1986). Pada wereng coklat yang
al., 2006). Hal tersebut sama seperti ketahanan pada bersifat monopag dan hanya menyerang tanaman padi,
bagian target, serangga dapat memodifikasi secara kemungkinan resisten lebih tinggi ditambah dengan
genetis untuk mencegah insektisida mengikat atau kemampuannya dapat beradaptasi yang tinggi seperti
berinteraksi di lokasi target sasarannya dan dapat yang dipaparkan oleh Baehaki (2012). Hasil pengujian
mengurangi atau menghilangkan efek insektisida terhadap resistensi wereng coklat disajikan pada Tabel
(IRAC, 2007). 1.
Pada resistensi perilaku, serangga melakukan Kasus resistensi yang terjadi pada wereng
suatu perilaku evolusi serangga yang mengurangi coklat sejalan dengan dikeluarkannya Intruksi
paparan senyawa toksik atau keadaan yang Presiden Nomor 3 Tahun 1986 dan Permentan Nomor
memungkinkan serangga untuk bertahan pada kondisi 39 Tahun 2015. Dalam INPRES tersebut berisikan 57
beracun dan lingkungan yang beracun (Sparks et al., jenis insektisida yang dilarang penggunaannya untuk
1989). Georghiou (1972) menjelaskan peningkatan tanaman padi dan pada Permentan disebutkan bahan
kemampuan untuk mendeteksi zat beracun akan aktif pestisida yang dilarang digunakan pada tanaman
mengisyaratkan sesuatu yang mengiritasi atau padi. Pada Permentan dan INPRES tersebut bahan
menolak zat toksik setelah terdeteksi yang aktif yang dilarang kebanyakan merupakan bahan
menyebabkan respon penghindaran. Contohnya pada aktif dari golongan organofosfat yaitu fenitrotion,
kasus DDT, serangga memberikan efek iritan dan diazinon, klorpirifos, triklorfon, azinfosmetil,
serangga mampu bertahan hidup dengan ometoat, malation, monokrotofos, triazofos,
menghentikan kontak sebelum mencapai letal dosis. metamidofos, piridafention, metil klorpirifos, asefat,
Mekanisme perilaku juga dapat dengan meningkatnya fentoat, fenofos, fention, mefosfolan, fosfamidon,
pemilihan habitat lain selain yang biasanya terpapar kuinalfos, etrimfos, isasofos, sianofenfos,
insektisida (Sparks et al., 1989). karbofenontion dan profenofos. Pada golongan
Resistensi metabolik terjadi ketika serangga karbamat bahan aktif yang dilarang diantaranya
menggunakan tingkat metabolisme yang karbaril. metomil, kartap hidroklorida. Selain itu
disempurnakan oleh enzim yang tahan sehingga golongan piretroid turunan piretrin juga dilarang.
serangga dapat mendetoksifikasi insektisida tertentu Hingga saat ini berdasarkan Buku Pestisida
lebih cepat dari serangga yang rentan (IRAC, 2007). Pertanian dan Kehutanan Tahun 2016 banyak jenis
Penggunaan insektisida secara instensif untuk insektisida yang terdaptar untuk pengendalian wereng
coklat. Insektisida yang terdaftar yaitu dengan bahan asetilkolinesterase dan karboksilesterasi sama
aktif fenobucarb/BPMC (karbamat), karbofuran terhadap CB, sedangkan karboksilesterase lebih
(karbamat), karbosulfan (karbamat), propoxur sensitif terhadap OP dibandingkan asetilkolinesterase
(karbamat), imidakloprid (necotinoid), tiametoksam (Barata et al., 2004).
(necotinoid), nitenpiram (nicotinoid), fipronil Mekanisme penghambatan asetilkolin oleh CB
(phenylpyrazzol), bisultap/dimehipo/thiosultapsodium dijelaskan oleh Yu et al., (1972), bahwa proses
(nereistoxin analogue), abamectin (avermectin), hidrolisis asetilkolin merupakan mekanisme
bufrofezin (bufrofezin), etiprol (phenylpyrazol), penghambatan asetilkolinesterase oleh CB. Tahap
siromazin (cyromazin), flubendamida (diamides), pertama terjadi inhibisi yaitu peniruan dari CB mirip
pimetrozin (pyrridine), dan etofenpoks (piretroid). dengan enzim (reaksi reversible) dan seluruh enzim
terhidrolisis. Kemudian terjadi proses karbamilasi dan
MEKANISME RESISTENSI INSEKTISIDA menghasilkan enzim terkabamilasi yaitu EH-CX dan
GOLONGAN ORGANOFOSFAT (OP) DAN E-C. Selanjutnya terjadi proses dekarbamilasi untuk
KARBAMAT (CB) membentuk enzim semula. Proses tersebut seperti
Berdasarkan IRAC (Insecticide Resistance skema yang diuraikan sebagai berikut:
Action Committee), OP dan CB termasuk pada
Golongan 1 dengan mekanisme kerja penghambat
acetylcholinesterase (AChE). OP merupakan ester
dari asam fosfat dan turunananya. Struktur umum dari
OP terdiri dari atom fosfor sentral (P) dan ikatan Ket: EH adalah enzim bebas; CX, karbamat; EH ---
fosforik (P=) atau triofosfat (P=S) (Gambar 1) CX, enzyme-inhibitor complex, E-C enzim
(Kazemi et al., 2012). OP merupakan insektisida yang karbamilat.
banyak digunakan untuk mengendalikan hama pada
tanaman padi di Asia (Hemingway et al., 1999). OP Asetilkolinesterase ditemukan pada membrane
termasuk pada insektisida generasi tua yang sudah sinaptik. Asetilkolin neurotransmitter memproduksi
dipakai dalam jangka lama (Baehaki dkk., 2016). kolin dan asetat untuk pengaturan aktivitas sinaptik
Insektisida OP diperkenalkan pada Tahun 1950an pada sistem syaraf pusat dan sistem syaraf perifer
(Casida & Durkin, 2013). Eleršek & Filipi (2011). Penghambatan
CB merupakan pestisida organik dari asam CB asetilkolinesterase oleh insektisida yang dijelaskan
dengan rumus umum R1 dan R2 adalah hydrogen, oleh Futuko (1990) mengakibatkan asetilkolin
methyl, ethyl, propyl, atau alkil rantai pendek lainnya, terakumulasi dan pada konsentrasi yang terlalu tinggi
adapun R3 adalah phenol, napthelene, atau cincin untuk dijalankan sebagai sinyal. Reseptor kolin
hidrokarbon siklik lainnya (Gambar 1) (Matsumura, kemudian jenuh dengan akumulasi asetilkolin
1975). Nitrogen basa pada CB merupakan bagian sehingga sistem syaraf tidak berfungsi dan terjadi
yang berinteraksi dengan asetilkolinesterase bagian rangsangan terus menerus. Rangsangan seperti ini
ionik yang berfungsi untuk mencegah ionisasi karena akan menyebabkan gangguan pada tubuh seperti
ionisasi menghambat kemampuan penetrasi kejang, tremor, dan lain sebagainya jika tidak
insektisida (Tarumingkeng, 1972). dihentikan.
Secara biokimia, CB menghambat
kolinesterase dan karboksilesterase dengan
penghambatan pada bagian aktif melalui proses
karbamilasi (Barata et al., 2004). Toksisitas CB dapat
berbeda/bervariasi terhadap serangga yang sama atau
CB yang sama untuk beberapa spesies. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh perbedaan tingkat pentrasi
melalui kutikula, laju metabolisme pada tubuh
serangga, laju konjugasi metabolit primer dan tingkat
eksresi CB pada tubuh serangga (Kuhr, 1970).
Gambar 1. komposisis senyawa kimia umum pada
Insektisida OP didetoksifikasi oleh enzim
pestisida OP dan struktur kimia umum CB
karboksilesterase, transferase, dan oksidase dengan
(Kazemi et al., 2012; Matsumura, 1975)
mekanisme kerja hidrolisis atau pengurangan jumlah
molekul OP pada tubuh serangga (Pereira et al.,
OP dan CB memiliki target yang sama yaitu
2014). Fournier & Mutero (1994) menyebutkan
asetilkolinesterase. Namun, ada perbedaan reaktivitas
bahwa penggunaan insektisida terus menerus
kimia antara keduanya. Reaktivitas kimia OP penting
mengakibatkan enzim resisten yang disebabkan oleh
untuk aktivitas tinggi asetilkolinesterase, sedangkan
mutasi sehingga protein hasil mutasi akan memiliki
kecocokan yang tepat pada CB terhadap tempat aktif
enzim menjadi penting untuk aktivitas tinggi
asetilkolinesterase (Futuko, 1990). Kepekaan enzim
149 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Resistensi wereng coklat (Nilaparvata ....
Cabang Bandung
fipronil (Phenylpyrazoles) Pada sleksi ke tiga dan kempat terjadi peningkatan dan (Melhannah, 2002)
menunjukkan terjadinya resistensi yaitu 13,7 kali pada
seleksi ke tiga dan 27,3 kali pada seleksi ke empat. Dan
menunjukkan semakin banyak dilakukan seleksi semakin
meningkatkan tingkat reistensi wereng coklat. Adapun
konsentrasi yang digunakan saat awal adalah 50 ppm dan
ditingkatkan setiap generasi hingga pada generasi
pengujian terakhir mencapai 250 ppm. Hasil pengujian ini
menunjukkan bahwa jika insektisida yang digunakan
adalah sama secara terus menerus, hal tersebut akan
mengakibatkan resistensi yang juga terus meningkat.
Imidakroprid (Necotinoid) Tingkat resistensi 4,8-108,1 kali terhadap wereng rentan Surahmat dkk
asal Bppadi dari lkasi Serang, Karawang, Subang, (2016)
Indramayu, Purbalingga, dan Pasuruan dengan dosis yang
menyebabkan LC50 adalah 150,392-455,595 ppm ba.
sedangkan dosis anjuran 20-25 ppm ba.
BPMC (Karbamat) Tingkat resistensi 6,6 di Indramayu dan lokasi karawang, Surahmat dkk
subang, Purbalingga, dan pasuruan memiliki nilai NR 2.5- (2016)
3.00 dengan dosis yang menyebabkan LC50 adaah
104,793-382,304 ppm ba. sedangkan dosis anjuran 250-
300 ppm ba.
Pimetrozin (Pyridine hasil masih rentan dengan NR<4 dengan dosis yang Surahmat dkk
azomethine menyebabakn LC50 0,3395-1,795 ppm ba. sedangkan (2016)
derivatives) dosis anjuran 2,000 ppm ba.
sifat katalitik baru terhadap suatu subtrat dan di celah sinaptik. Penghambatan tersebut
inhibitor. mengakibatkan otot akan terus berkontraksi sehingga
OP awalnya masuk ke dalam tubuh dalam menyebabkan hiperaktivitas, paralisis, hingga
keadaan tidak aktif, lalu diaktivasi oleh enzim kematian (Heong et al., 2011). Gambaran mekanisme
detoksifikasi dan selanjutnya OP yang sudah aktif kerja OP dan CB disajikan pada Gambar 2.
tersebut mengikat enzim AChE (Paudyal, 2008). Lebih rinci proses kerja OP dimulai dari
Adanya Inhibitor dari kolinesterase mengakibatkan inhibisi, pemulihan, dan penuaan (Matsumura et al.,
terblokirnya fungsi asetilkolinesterase dan 1972; Tarumingkeng, 1992). Prosesnya dijelaskan
menyebabkan akumulasi asetilkolin yang berlebihan sebagai berikut: Pada proses inhibisi, terjadi peniruan
struktur dari OP mirip dengan asetilkolin (Ach) yang bahwa mutasi pada AchE pada L. salmonis yaitu
merupakan subtrat dari enzim kolinesterase (ChE). P Phe362Tyr yang berkaitan dengan ketahanannya
melakukan pengikatan pada gugus C (ascy carbonil) terhadap azamethiophos. Seperti frekuensi tinggi pada
atau atom P dari OP dari ChE. Kemudian terjadi 362Tyr yang tahan dan sensitivitas yang rendah
penguraian dan penyusunan kembali molekul C-OC terhadap azamethiphos. Sehingga menghasilkan hasil
(dari ikatan Ach) atau P-O-X (dari OP). Kemudian uji enzimatik yang lebih tinggi secara significant
terjadi fosforisasi yaitu pemindahan gugus kolin Ach resisten (RR) versus sampel sensitif (SS) pada invivo
ke gugus OX dari OP, selanjutnya ChE yang dan invitro. Mutasi pada strrtuktur ini mungkin yang
terasetilasi atau terfosforisasi setelah bersenyawa mengakibatkan peningkatan ketahanan serangga
dengan H2O mengalami perubahan. Setelah proses terhadap OP atau CB. Studi lain juga menunjukkan
inhibisi selesai maka akan terjadi proses pemulihan bahwa alel ace-1R dan kdrR berinteraksi untuk
ChE dimana terjadi proses deasilasi dari enzyme meningkatkan ketahanan terhadap CB dan OP di
dengan ACh. Semakin lama inhibisi ChE oleh OP Anopheles gambiae. Kehadiran alel kdrR dan ace-1R
mengakibatkan kemampuan pemulihan enzim tampaknya meningkatkan tingkat resistensi CB dan
kembali menurun atau terjadi proses penuaan. OP (Assogba et al., 2014). Resistensi silang juga
Penuaan juga dapat terjadi saat enzim dalam waktu dapat terjadi ketika resistensi terhadap suatu
lama mengalami fosforisasi. Diagram dari insektisida memicu resistensi terhadap insektisida
kemungkinan reaktivasi dan reaksi penuaan AChE lainnya, bahkan ketika serangga tersebut belum
setelah dihambat oleh senyawa OP disajikan pada pernah terkena insektisida tersebut (IRAC, 2016).
Gambar 3. Resistensi silang terjadi karena insektisida tersebut
Paparan OP yang dilakukan terus menerus memiliki target yang sama sehingga sistem
mengakibatkan adanya modifikasi dari bagian aktif detoksifikasinya pun mirip.
AChE sehingga proses fosforisasi menjadi kurang
efisien (Fournier & Mutero, 1994). Saat terjadi PENANGANAN RESISTENSI
pemulihan ChE akan berjalan cepat ketika enzim Menurut IRAC (2007) strategi yang dapat
sudah resisten juga proses defosforisasi akan lambat digunakan untuk manajemen resistensi adalah
(dengan OP) hingga adanya reaktivasi enzim penggunaan program pengendalian berbasis IPM,
(Tarumingkeng, 1992). Hal lain yang menyebabkan penggunaan insektisida berspektrum luas, penggunaan
resistensi adalah serangga melakukan detoksifikasi dosis, waktu aplikasi, dan cakupan insektisida harus
dengan menggunakan energi yang semula untuk dilakukan dengan benar dan hati-hati. Kalibrasi alat
perkembangan dan pertumbuhan sehingga serangga semprot juga penting untuk dilakukan jangan sampai
mampu bertahan hidup ketika terkena zat toksik kesalahan pada teknik aplikasi menyebabkan adanya
namun sebagai gantinya pertumbuhan dan resistensi. Penghambatan timbulnya resistensi ataupun
perkembangan serangga terganggu (Syahputra, 2005). perkembangan resistensi juga dapat dilakukan dengan
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk pengelolaan untuk mengurangi tekanan seleksi
melihat aktivitas AChE. Seperti pada penelitian menuju populasi yang resisten, manipulasi yang dapat
Vontas et al., (2002) menunjukkan bahwa adanya mempengaruhi pertahanan serangga pada insektisida,
substritusi glycin-serine (64885) pada Bactrocera dan penggunaan refugia sebagai tempat migrasi
oleae yang membuat mutasi sehingga terjadi serangga (Georgiou &Taylor, 1986).
pengurangan 35-40% pada pengurangan efisiensi Hal lain yang harus diperhatikan dalam
katalis AChE, dan adanya substitusi memberikann mencegah resistensi terhadap insektisida diantaranya
tingkat resistensi yang rendah terhadap OP sehingga penggunaan rotasi insektisida berdasarkan kelas yang
terjadi penurunan kepekaan terhadap insktisida 16x berbeda (target atau sistem kerja insektisida berbeda)
lipat. Namun pada beberapa kasus juga menunjukkan (Hastutiek & Fitri, 2002) dan penggunaan bahan
bahwa resistensi terhadap OP pada Aedes albopictus sinergis juga telah digunakan untuk menekan
menunjukkan aktivitas esterase non spesifik yang resistensi terhadap OP dan CB. Sinergis seperti
tinggi (Mulyaningsih et al., 2017). Adapun pada piperonyl butoxide (PBO) dipergunakan untuk
Aphis gossypii, ditemukan memiliki banyak mutasi mengatasi resistensi terhadap insektisida (Pereira et
pada gen AchE atau Ace. Ekspresi tunggal dari al., 2014).
AChEs menujukkan bahwa Ace1 (Ace1R) dan Ace2 Hasil penelitian Pereira et al., (2014)
(Ace2R) yang resisten secara signifikan kurang menunjukkan bahwa penggunaan sinergis seperti PBO
dihambat oleh eserine, omthoate, dan maloxon terhadap toksisitas organophosphat temephos
daripada Ace1 (Ace1S) dan Ace2 (Ace2S) yang menyebabkan penurunan aktivitas esterase sehingga
rentan. Jumlah Copy DNA dan tingkat traskripsi Ace2 efek dari aktivitas esterase tidak muncul pada dosis
secara signifikan lebih tingggi daripada Ace1 yang atau time dependent pada larva Aedes aegypti.
menunjukkan keterlibatan duplikasi gen Ace2 dalam Sinergis bertindak sebagai alternatif untuk
resistensi (Shang et al., 2012). Pada penelitian yang berkombinasi dengan insektisida untuk mengganggu
dilakukan oleh Kaur et al., (2015) menunjukkan kerja detoksifikasi.
Dari paparan tentang pengelolaan resistensi di Hasil penelitian Martin et al., (2003) menunjukkan
atas menunjukkan bahwa pada prakteknya, bahwa penggunaan insektisida OP yang
pengetahuan tentang faktor penyebab resistensi dan dikombinasikan dengan piretroid yang aplikasikan
mekanisme terjadinya resistensi harus diketahui untuk pada straint resisten insektisida OP secara signifikan
dapat melaksanakan pengelolaan resistensi terutama meningkatkan toksisitas piretroid baik dengan efek
pada OP dan CB. Jika pada penggunaan rotasi aditif maupun sinergis. Sinergisme signifikan
pestisida maka jangan menggunakan CB yang masih ditunjukkan untuk campuran: cypermethrin/etion,
dalam satu golongan dengan OP atau sebaliknya. Tapi deltametrin/triazofos, dan deltametrin/kluofenriphos.
gunakan pestisida golongan lain seperti neonicotinoid Penggunaan sinergisme dari campuran insektisida OP
atau yang lainnya. Teknik pengelolaan lain yang dapat dan Piretroid dapat digunakan sebagai strategi
digunakan yaitu penggunaan campuran insektisida. pengelolaan resistensi karena resistensi piretroid.
Gambar 3. Diagram alur kemungkinan reaktivasi dan reaksi penuaan AChE setelah dihambat oleh senyawa OP
(Paudyal, 2008)
152 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Resistensi wereng coklat (Nilaparvata ....
Cabang Bandung
Miresmaili S & Isman MB. 2013. Botanical atrolineata, and Cyrtorhinus lividipennis.
insecticides inspired by plant-herbivore http://dx.doi.org/10.1093/ee/11.1.193 .
chemical interaction. Trends in Plant Science. 11(1):193-199.
19 (1): 29-35. Rubia-Sanchez E, Suzuki Y, Miyamoto K, &
http://dx.doi.org/10.1016/j.tplants.2013.10.002. Watanabe T. 1999. The potential for
Mordue (Luntz) AJ, Simmonds MSJ, Ley SV, Blaney compensation of the effects of the brown
WM, Mordue W, Nasiruddin M, & Nisbet AJ. planthopper Nilaparvata lugens Stål
1998. Actions of azadirachtin, a plant (Homoptera : Delphacidae) feeding on rice.
allelochemical, against insects. Pesticide Crop Protection, 18(1): 39–45.
Science. 54(3): 277-284. doi: Senthil-Nathan S, Choi M, Paik C, Seo H, &
10.1002/(SICI)1096-9063(1998110. Kalaivani K. 2009. Toxicity and physiological
Mulyaningsih B, Umniyati SR, Hadianto T. 2017. effects of neem pesticides applied to rice on
Detection of nonspecific esterase activity in the Nilaparvata lugens Stal, the brown
organophosphat resistance straint of aedes planthopper. Ecotoxicology and Environmental
albopictus skuse (dipteraL culcidae) larvae in Safety 72 (2009) 1707–1713.
jogyakarta, indoensia. Southeast asian J trop Shang Q., Pan Y., Fang K., Xi J.,Wong A.,Brennan
med public helath. 48(3) 552-560 JA.,Cao C. 2012. Extensive Ace2 Duplication
Nan-nan L, Fang Z, Qiang X, Pridgeon JW, & Xi-Wu and Multiple Mutations on Ace1 and Ace2 Are
G. 2006. Behavioral change, physiological Related with High Level of Organophosphates
modification and metanolic detoxification: Resistance in Aphis gossypii. Environmental
mechanism of insecticides resistance. Acta Toxicology 00: 000–000. Published online in
Entomologica Sinica. 49(4):671-679. Wiley Online Library
Paudyal BP. 2008. Orgaophosphorus Poisoning. J (wileyonlinelibrary.com). DOI
Nepal Med Assoc. 47(172):251-258. 10.1002/tox.21778.
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia. Sparks TC., Lockwood JA., Byford RL., Graves JB.,
Nomor 39/permentan/SR.330/7/2015 Tentang Leonard BR. 1989. The Role f behavior in
Pendaftaran Pestisida. insecticide resistance. Pestic.sci. 26:383-399.
Pereira BB, Limngi JE, Junior EdC, Luiz DP, Kerr Surahmat EC, Dadang, & Priono D. 2016. Kerentanan
WE, 2014. Effects of piperonyl butoxide on wereng batang coklat (Nilavarpata lugens) dari
the toxicity of the organophosphate temephos enam lokasi di pulau Jawa terhadap tiga jenis
and the role of esterases in the insecticide insektisida. Jurnal Hama dan Penyakit
resistance of Aedes aegypti. Revista da Tumbuhan Tropika. 16(1):71-81.
Sociedade Brasileira de Medicina Tropical Sutrisno. 2014. Resistensi wereng batang coklat padi
47(5):579-582 Nilaparvata lugens Stal terhadap insektisida
Putra NS, Martono E, & Moeljopawiro S. 2002. di Indonesia. Jurnal AgroBiogen. 10(3):115-
Seleksi wereng batang padi coklat, Nilaparvata 124.
lugens Stal (Homoptera: Delphacidae) dengan Syahputra E, Djoko P, Dadang, Syafrida M, &
insektisida Karbamat MIPC dan BPMC. Latidah KD. 2005. Respons Fisiologi
Agrosains. 15(3): 455-468. Crocidolomia pavonana terhadap Fraksi Aktif
Qiao J, Zou X, Lai D, Yan Y, Wang Q, Li W, Deng S, Calophyllum
Xu S, & Gu H. 2013. Azadirachtin block the soulattri. Fakultas Pertanian, Universitas
calcium channel and modulates the cholinergic Tanjungpura, Departemen Kimia, FMIPA,
miniature synaptic current in the central Institut Pertanian Bogor. Majalah Hayati Maret
nervous system of Drosophila. Pest 2006.
Management Science. 70:1041-1047. DOI Tangtrakulwanich K & Reddy GVD. 2014.
10.1002/ps.3644. Development of Insect Resistance to Plant
Rahmini, Hidayat P, Ratna ES, Winasam IW, & Biopesticides: An Overview., Advances in
Manuwoto S. 2012. Respon biologi wereng Plant Biopesticide. 48-62. DOI 10.1007/978-
batang coklat terhadap biokimia tanaman padi. 81-322-2006-0_4
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 31(2): Tarumingkeng RC. 1992. Insektisida. Sifat,
117-123. Mekanisme Kerja, dan Dampak
Rembold, H. 1988. Isomeric Azadirachtin and Their Penggunaannya. Jakarta : Ukrida. 250
Modes of Action. In M. Jacobson (ed). Focus halaman
on Phytochemical Pesticides. Vol.I : The Taskin V, Küçükakyüz1 K, Arslan T, Çöl1 B, &
Neem Tree. CRC, Boca Raton, Florida. Taflk›n BG. 2007. The biochemical basis of
Halaman 47-67. insecticide resistance and determination of
Reissing, W.H., S.E.A. Heindrichs, & S.L. Valencia. esterase enzyme patterns by using PAGE in
1981. Effects of insecticides on Nilaparvata field collected populations of Drosophila
lugens and its predator: Spider, Icrovelia melanogaster from Mu¤la province of Turkey.
155 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Resistensi wereng coklat (Nilaparvata ....
Cabang Bandung
Bioaktivitas Formula Bitung (Barringtonia asiatica) terhadap Hama Ulat Krop Kubis
(Crocidolomia pavonana) (Lepidoptera: Crambidae)
Miranti Aprihilda1, Danar Dono1, Rika Meliansyah1, Yusuf Hidayat1, Sri Hartati1 dan Rani Maharani2
1
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
2
Departemen Kimia, FMIPA, Universitas Padjadjaran
*Penulis korespondensi: danar.dono@unpad.ac.id
ABSTRAK
Ekstrak biji bitung (Barringtonia asiatica) merupakan salah satu formula insektisida nabati yang digunakan
dalam mengendalikan ulat krop kubis. Penelitian ini bertujuan mengetahui konsentrasi efektif ekstrak biji
bitung 30 SC dalam mengendalikan larva Crocidolomia pavonana. Rancangan percobaan menggunakan
rancangan acak lengkap dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Larva C. pavonana sebanyak 240 ekor diberi
perlakuan formula cair ekstrak biji bitung dengan konsentrasi yang berbeda. Masing-masing formulasi diuji
pada konsentrasi 0%, 0,7%, 1%, 1,5%, 2,2%, dan 3,3%. Toksisitas formula cair ekstrak biji bitung 30 SC
diujikan pada larva C. pavonana instar II dan diamati hingga instar IV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
konsentrasi formula cair ekstrak biji bitung yang lebih tinggi dapat mengendalikan larva C. pavonana.
Kata kunci: konsentrasi, mortalitas, perkembangan larva, pestisida nabati
ABSTRACT
Bitung seed extract (Barringtonia asiatica) is one of the botanical insecticides formula used in controlling
caterpillar cabbage. This study aims to determine the effective concentration of Bitung 30 SC seed extract in
controlling Crocidolomia pavonana larvae. The experimental design was completely randomized design with
6 treatments and 4 replications. C. pavonana larvae were treated with a liquid formula of bitung seed extract
with different concentrations. Each of the formulations was tested at concentrations of 0%, 0.7%, 1%, 1.5%,
2.2%, and 3.3%. The toxicity of the Bitung SC 30 seed extract formula was tested on instar II C. pavonana
larvae and observed to instar IV. The results showed that the higher concentration of liquid seed extract
formulas can control C. pavonana larvae.
Keywords: concentration, mortality, larval development, botanical insecticides
konsentrasi perlakuan formula cair ekstrak biji daun yang dikonsumsi larva, waktu perkembangan
Barringtonia asiatica (Poison 30 SC yang diperoleh larva, dan bobot kering larva instar IV yang masih
dari Dr.Ir. Danar Dono). Perlakuan tersebut yaitu bertahan hidup
Kontrol, Formula cair ekstrak biji bitung 30 SC 0,7%, Data kematian serangga uji dianalisis secara
1,0%, 1,5%, 2,2% dan 3,3%. statistik dengan menggunakan analisis varian
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 (ANNOVA). Rata-rata perlakuan diuji dengan Uji
kali pengulangan. Pengujian dilakukan dengan Duncan taraf 5%. Data luas daun yang dikonsumsi,
metode pencelupan pakan pada larutan formula sesuai data waktu perkembangan dan data bobot kering larva
konsentrasi perlakuan. Daun kubis berukuran 4 x 4 instar IV yang masih hidup disajikan dalam bentuk
cm dicelupkan pada larutan formula selama 20 detik rata-rata dan standar deviasi.
sehingga seluruh daun pakan terbasahi secara merata.
Selanjutnya daun dikeringanginkan hingga kering HASIL DAN PEMBAHASAN
pada kedua sisi pakan, lalu dimasukkan ke dalam Mortalitas Larva
cawan petri berdiameter 9 cm yang telah diberi alas Kematian larva C. pavonana bergantung
kertas hisap. Setiap cawan petri diberi 10 ekor larva pada jumlah konsentrasi formula cair ekstrak biji
C. pavonana instar II dengan menggunakan kuas bitung 30 SC yang diberikan. Berdasarkan hasil
halus. Pemberian pakan dengan perlakuan formula pengamatan, peningkatan persentase kematian
cair ekstrak biji bitung pada larva uji dilakukan tertinggi terjadi pada 2 sampai 5 hari setelah
selama 48 jam, selanjutnya pakan diganti dengan perlakuan (HSP). Pada 10 HSP hingga 15 HSP
pakan tanpa perlakuan hingga larva mencapai instar persentase kematian mulai stabil dengan jumlah larva
IV. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam dengan yang bertahan hidup menjadi sedikit (Gambar 1).
parameter pengamatan berupa kematian larva, luas
Berdasarkan grafik mortalitas (Gambar 1) hasil terjadi pada 1 HSP sebesar 2,5%. Namun pada 5 HSP
uji lanjutan, jumlah kematian tertinggi terdapat pada persentase kematian larva meningkat menjadi 5%, dan
perlakuan yang diberi formula cair ekstrak biji bitung pada 15 HSP meningkat kembali sebesar 2,5%
dengan konsentrasi 3,3%. Jumlah kematian terendah menjadi 7,5%.
terdapat pada larva yang tidak diberi perlakuan Pada perlakuan formula cair ekstrak biji bitung
(kontrol), walaupun jumlah kematiannya tidak konsentrasi 1% jumlah kematian berbeda dengan
berbeda jauh dengan perlakuan konsentrasi 0,7%. kontrol dan perlakuan konsentrasi 0,7%. Persentase
Pada perlakuan kontrol kematian larva muncul kematian perlakuan formula cair ekstrak biji bitung
pada 1 HSP sebesar 2,5% lalu meningkat menjadi 5% konsentrasi 1% pada 1 HSP yaitu 7,5%, dengan
pada hari selanjutnya, tetapi persentase kematian larva peningkatan persentase setiap harinya. Pada 5 HSP
stabil hingga 15 HSP. Hal ini disebabkan karena larva persentase kematian larva yaitu sebesar 30%, dan
yang masih hidup telah mencapai instar IV. Serupa terus mengalami peningkatan menjadi 37,5% pada 10
dengan kontrol, pada perlakuan formula cair ekstrak HSP. Persentase kematian pada 10 hingga 15 HSP
biji bitung konsentrasi 0,7% kematian larva juga tidak mengalami perubahan atau stabil. Hal ini
dikarenakan larva yang masih hidup telah memasuki kematian larva sebesar 60% dan stabil hingga 15
fase instar IV. HSP. Hal ini disebabkan karena larva yang bertahan
Pada perlakuan formula cair ekstrak biji bitung hidup telah memasuki fase instar IV.
konsentrasi 1,5% persentase kematian larva sebesar Perlakuan formula cair ekstrak biji bitung
7,5% pada 1 HSP. Berbeda dengan perlakuan konsentrasi 3,3% memiliki persentase kematian larva
konsentrasi 1%, persentase kematian larva pada yang relatif lebih tinggi. Pada 2 HSP persentase
perlakuan konsentrasi 1,5% terus mengalami kematian meningkat drastis menjadi 30%, dengan
peningkatan mulai dari 1 hingga 10 HSP, walaupun peningkatan setiap harinya hingga 8 HSP. Pada 8 HSP
peningkatan tersebut tidak signifikan. Pada 10 HSP persentase kematian larva sebesar 62,% dan stabil
persentase kematian sebesar 37,5% dan stabil hingga hingga 15 HSP. Hal ini disebabkan karena larva yang
15 HSP. Hal ini disebabkan karena larva yang masih bertahan hidup telah memasuki fase instar IV,
hidup telah memasuki fase instar IV. sehingga grafik mortalitas tidak berubah.
Berbeda dengan perlakuan-perlakuan Berdasarkan grafik mortalitas (Gambar 1),
sebelumnya, perlakuan formula cair ekstrak biji empat dari lima belas hari pengamatan dilakukan uji
bitung konsentrasi 2,2% diawali dengan persentase statistik untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap
kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan mortalitas. Empat hari tersebut yaitu hari ke-2, 4, 6
perlakuan-perlakuan sebelumnya. Pada 1 HSP dan 9 dimana pada hari ke-2 dan 4 mortalitas larva C.
persentase kematian larva sebesar 5%, dan meningkat pavonana mulai meningkat secara signifikan,
cukup drastis pada 2 HSP sebesar 17,5% menjadi sedangkan pada hari ke-6 dan 9 mortalitas larva C.
22,5%. Persentase kematian larva berangsur-angsur pavonana relatif stabil sampai dengan hari terakhir
meningkat hingga 9 HSP. Pada 9 HSP persentase pengamatan.
Tabel 1. Pengaruh pemberian formula cair ekstrak biji bitung 30 SC terhadap mortalitas larva C. pavonana
instar II-IV pada hari ke-2, 4, 6 dan 9 setelah percobaan
Mortalitas Larva Rata-Rata (%) ( x ± SD)
Perlakuan
Hari ke-2 Hari ke-4 Hari ke-6 Hari ke-9
K (Konsentrasi 0%) 2,5 ± 5a 2,5 ± 5a 5 ± 5,77a 5 ± 5,77a
A (Konsentrasi 0,7%) 2,5 ± 5a 2,5 ± 5a 2,5 ± 5a 5 ± 5,77a
B (Konsentrasi 1,0%) 12,5 ± 12,58ab 22,5 ± 22,17ab 35 ± 26,46ab 37,5 ± 30,95ab
C (Konsentrasi 1,5%) 17,5 ± 15ab 32,5 ± 28,72ab 32,5 ± 28,72ab 35 ± 26,46ab
D (Konsentrasi 2,2%) 22,5 ± 18,93ab 47,5 ± 25b 57,5 ± 26,3b 60 ± 29,44b
E (Konsentrasi 3,3%) 30 ± 16,33b 52,5 ± 29,86b 60 ± 27,08b 62,5 ± 28,72b
Keterangan :
x : Rata-rata mortalitas larva C. pavonana
SD : Standar deviasi
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata
5%.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa komponen toksik yang terkandung dalam ekstrak biji
perlakuan pemberian formula cair ekstrak biji bitung bitung menyebabkan keracunan dan terganggunya
30 SC konsentrasi 3,3% memberikan pengaruh metabolisme tubuh, sehingga aktivitas hidup larva
terhadap mortalitas larva C. pavonana pada 2 HSP. menjadi terhambat, hingga larva akhirnya mati. Larva
Meskipun demikian, perlakuan pemberian formula yang mati memiliki ciri-ciri fisik berupa warna kulit
cair ekstrak biji bitung 30 SC konsentrasi 3,3% tidak yang menghitam, badan yang mengering dan
berbeda nyata dengan perlakuan pemberian formula melengkung, serta ukuran badan lebih kecil daripada
cair ekstrak biji bitung 30 SC konsentrasi 1,5% dan larva yang masih hidup.
2,2%. Pada 4 dan 6 HSP pemberian formula cair Gershenzon & Croteu (1991) melaporkan
ekstrak biji bitung 30 SC konsentrasi 2,2% dan 3,3% bahwa senyawa aktif berupa saponin yang terkandung
berbeda nyata dengan pemberian formula cair ekstrak dalam ekstrak methanol biji bitung dapat menurunkan
biji bitung 30 SC konsentrasi 0,7% dan kontrol (tanpa aktivitas enzim protease dalam saluran pencernaan
perlakuan). Meskipun demikian, tingkat mortalitas larva, sehingga memengaruhi proses penyerapan
larva C. pavonana belum cukup tinggi, dengan arti makanan, akibatnya makanan yang masuk tidak dapat
besar konsentrasi yang diaplikasikan harus lebih diserap dan langsung dikeluarkan dalam bentuk feses.
tinggi dari yang diujikan. Terganggunya aktivitas makan larva menyebabkan
Menurut Danar dkk. (2008), mortalitas yang pasokan nutrisi yang dibutuhkan larva menurun dan
terjadi pada larva C. pavonana diduga karena menyebabkan kematian pada larva tersebut.
senyawa saponin dan alkaloid yang merupakan
159 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Bioktivitas formula bitung (Barringtonia ....
Cabang Bandung
Luas Daun yang Dikonsumsi Larva daripada luas daun yang tidak diberi perlakuan
Luas daun yang dikonsumsi larva C. pavonana (kontrol).
disajikan pada Tabel 5. Luas daun yang dikonsumsi Luas daun yang dikonsumsi yang paling
larva merupakan ukuran konsumsi pakan yang kecil menunjukkan bahwa konsentrasi yang
diamati sebagai indikator yang digunakan untuk diaplikasikan pada daun merupakan konsentrasi
mengukur pengaruh pemberian formula cair ekstrak paling tinggi. Luas daun terbesar yang dikonsumsi
biji bitung 30 SC. Senyawa saponin yang terkandung larva C. pavonana terdapat pada daun yang tidak
dalam biji bitung mengandung antifeedant dan diberi perlakuan (kontrol), sedangkan luas daun
diharapkan dapat memberikan perbedaan luas daun terkecil yang dikonsumsi larva C. pavonana terdapat
yang dikonsumsi larva, yaitu luas daun yang pada daun yang diberi perlakuan formula cair ekstrak
dikonsumsi yang diberi perlakuan akan lebih kecil biji bitung dengan konsentrasi 3,3%.
Tabel 2.Pengaruh pemberian formula cair ekstrak biji Barringtonia asiatica terhadap luas daun yang dikonsumsi
larva C. pavonana
Perlakuan Luas daun yang n
dikonsumsi larva (%) ( x
± SD)
K (Konsentrasi 0%) 19,08 ± 11,308a 38
A (Konsentrasi 0,7%) 16,78 ± 10,789a 37
B (Konsentrasi 1,0%) 9,79 ± 9,118b 25
C (Konsentrasi 1,5%) 5,94 ± 5,554bc 25
D (Konsentrasi 2,2%) 4,21 ± 3,662bc 16
E (Konsentrasi 3,3%) 3,08 ± 1,780c 15
Keterangan:
x : Rata-rata luas daun yang dikonsumsi larva C. pavonana
SD : Standar deviasi
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan
pada taraf nyata 5%.
Berdasarkan hasil pengamatan, persentase luas yang menurut Tjahyono dkk., (2005) dapat merusak
daun yang dikonsumsi yang paling tinggi terdapat bagian tubuh serangga setelah masuk melalui mulut
pada daun yang tidak diberi perlakuan, yaitu 19,08%. dan saluran makanan, sehingga pada akhirnya
Sedangkan luas daun yang dikonsumsi paling rendah serangga mati.
terdapat pada perlakuan daun yang diberi formula cair
ekstrak biji bitung dengan konsentrasi 3,3% yaitu Waktu Perkembangan Larva
sebesar 3,08%. Hal ini menunjukkan bahwa larva C. Berdasarkan hasil pengamatan, waktu
pavonana banyak mengonsumsi daun yang tidak perkembangan larva C. pavonana yang tidak diberi
diberi perlakuan daripada daun yang diberi perlakuan. perlakuan lebih cepat daripada larva yang diberi
Atkins (1980) menyatakan bahwa sebelum perlakuan. Tabel 6 menunjukkan bahwa waktu
makan, serangga akan melakukan proses pengenalan perkembangan yang dibutuhkan larva C. pavonana
terlebih dahulu terhadap makanannya. Jika serangga yang tidak diberi perlakuan dari instar II menuju ke
menemukan bahan makanan yang akan merugikan instar III yaitu 3 hari, sama dengan larva yang diberi
dirinya, maka serangga tidak akan makan dan perlakuan konsentrasi 0,7%. Larva C. pavonana yang
meninggalkan makanan tersebut. Hal ini berkaitan diberi perlakuan formula cair ekstrak biji bitung 30
dengan senyawa saponin yang terkandung dalam SC konsentrasi 1% membutuhkan waktu
formula cair ekstrak biji bitung. Daun yang diberi perkembangan lebih panjang, yaitu 6 hari. Hal ini
formula cair ekstrak biji bitung yang bersifat diduga disebabkan oleh terganggunya hormon yang
antifeedant memberikan dampak pada larva C. bertugas dalam mengatur proses pertumbuhan dan
pavonana dalam mengonsumsi daun. Sifat antifeedant pergantian kulit yang disebut hormon ecdysone
menyebabkan menurunnya nafsu makan larva C. (Samsudin, 2011).
pavonana dengan cara menghasilkan stimulant Larva yang diberi perlakuan konsentrasi 1,5%
deterrent spesifik berupa reseptor kimia atau membutuhkan waktu perkembangan selama ± 5,5
chemoreceptor pada bagian mulut yang bekerja hari. Berbeda dengan larva yang diberi perlakuan
bersamaan dengan reseptor kimia yang berfungsi sebelumnya, larva yang diberi perlakuan konsentrasi
mengganggu persepsi rangsangan untuk makan atau 2,2% membutuhkan waktu perkembangan selama ± 5
disebut juga sebagai phagostimulant (Ahadian, 2012). hari. Hal ini menunjukkan bahwa semakin panjang
Selain itu, ekstrak biji B. asiatica bersifat racun perut periode perkembangan serangga C. pavonana, maka
160 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Bioktivitas formula bitung (Barringtonia ....
Cabang Bandung
akan semakin lama pula waktu yang dibutuhkan Agar dapat melakukan proses metamorfosis
serangga dalam mengalami setiap stadia dalam siklus dengan baik, larva C. pavonana membutuhkan
hidupnya. Pada kondisi tersebut serangga akan kesesuaian beberapa jenis hormon dan perubahan
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat fisik. Mirip dengan azadiracthin, senyawa saponin
menghasilkan keturunan serta perkembangannya memiliki fungsi sebagai ecdysone blocker atau
terhambat. Hal ini berkaitan dengan terganggunya penghambat ekdison. Fungsi ini berperan sebagai
hormon ecdysone pada tubuh serangga, sehingga penghambat pemproduksi dan pelepas hormon-
perkembangan serangga jadi terhambat dan pada hormon penting dalam proses metamorfosis. Akibat
akhirnya serangga mati. dari hal tersebut serangga tidak dapat berganti kulit,
sehingga siklus hidupnya terganggu.
Tabel 3. Pengaruh pemberian formula cair ekstrak biji Barringtonia asiatica terhadap waktu
perkembangan larva C. pavonana
Perlakuan Perkembangan ( x ± SD) hari
Instar II-III n Instar II-IV n
K (Konsentrasi 0%) 3,00 ± 0,00 39 7,00 ± 0,00 38
A (Konsentrasi 0,7%) 3,00 ± 0,00 39 7,00 ± 0,00 37
B (Konsentrasi 1,0%) 6,00 ± 0,00 28 10,00 ± 2,00 25
C (Konsentrasi 1,5%) 5,50 ± 0,577 29 9,25 ± 2,061 25
D (Konsentrasi 2,25%) 5,00 ± 0,816 19 8,50 ± 1,732 16
E (Konsentrasi 3,35%) 5,25 ± 0,50 17 8,75 ± 1,258 15
Keterangan:
x : Rata-rata bobot larva (g)
N : Jumlah populasi C. pavonana
SD : Standar deviasi (g)
Tabel 4. Pengaruh pemberian formula cair ekstrak biji Barringtonia asiatica terhadap bobot larva C.
pavonana instar IV yang bertahan hidup
Perlakuan Bobot kering larva ( x ± SD) g N
K (Konsentrasi 0%) 0.0048 ± 0.0017 38
A (Konsentrasi 0,7%) 0.0031 ± 0.0009 37
B (Konsentrasi 1,0%) 0.0027 ± 0.0014 25
C (Konsentrasi 1,5%) 0.0023 ± 0.0011 25
D (Konsentrasi 2,2%) 0.0022 ± 0.0016 16
E (Konsentrasi 3,3%) 0.0028 ± 0.0020 15
Keterangan:
x : Rata-rata bobot larva (g)
SD : Standar deviasi (g)
SIMPULAN 20TANAMAN%20KUBIS%20(Brassica%2
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka 0oleracea%20var.%20capitata%20L.)%20%
dapat disimpulkan belum dapat ditentukan nilai LC50 20DI%20KELURAHAN%20KAKASKASE
yang tepat untuk mengendalikan larva C. pavonana, N%20II,%20KECAMATAN%20TOMOHO
namun formula dengan konsentrasi 3,3% dapat N%20UTARA,%20KOTA%20TOMOHON
menyebabkan persentase kematian larva sebesar pada 27 Februari 2016.
62,5%. Luas daun terkecil yang dikonsumsi larva Bayraktar, K. 1976: Vegetable growing. Vol. III. Seed
yaitu daun yang diberi perlakuan formula konsentrasi production of vegetables. Ege Ziraat
3,3%. Waktu perkembangan larva terlama yaitu yang Fakültesi Yayinlari No: 244.356. Izmir,
diberi perlakuan formula konsentrasi 1%. Bobot Turkey.
kering larva instar IV terkecil yaitu larva yang diberi Bustanussalam & Simanjuntak, P. 2009. Uji
perlakuan formula konsentrasi 2,2%. bioaktivitas senyawa glikosida dari biji
bitung (Barringtonia asiatica L. Kurz).
UCAPAN TERIMA KASIH Jurnal Natur Indonesia 12 (1): 9 – 14.
Terima kasih disampaikan kepada Kementrian Busvine, J.R. 1971. A Critical Review of the
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah Techniques for Testing Insecticides.
memfasilitasi penelitian Program Riset Andalan Commonwealth Agricultural Bureaux.
Perguruan Tinggi (RAPID) DP2M DIKTI tahun 2016 London.
dengan peneliti utama Dr.Ir. Danar Dono, M.Si. Cheeke, P.R., dan Shull, L.R. 1985. Natural Toxicants
in Feeds and Poisonous Plant. Avi. Publ.
DAFTAR PUSTAKA Com. Westpost C.I.
Adiyoga, W., dkk. 2004. Profil Komoditas Kubis. Cornell University: College of agriculture and life
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, sciences. 2012. Crocidolomia binotalis.
Departemen Pertanian. Lembang. Diakses dari
Ahadian, F. 2012. Efektivitas Skabisida Ekstrak Daun http://www.web.entomology/cornell.edu/
Mimba (Azadirachta indica A. Juss) pada 12 Februari 2016.
terhadap Tungau Sarcoptes Scabiei Secara In Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya.
Vitro. USU Agromedia Pustaka, Jakarta. 344 Halaman.
Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Dono, D., Hidayat, S., Nasahi, C., dan Anggraini, E.
Hortikultura. 2014. Produksi Kol/Kubis Pengaruh ekstrak biji Barringtonica asiatica
menurut provinsi, 2010-2014. Diakses dari L. (Kurz) (Lecythidaceae) terhadap
http://www.pertanian.go.id/ap_pages/mod/da mortalitas larva dan fekunditas Crocidolomia
tahorti pada 7 April 2016. pavonana F. (Lepidoptera: Pyralidae). 2008.
Badjo, R., Rante, C.S., Meray, E.R.M., Assa, B.H., Jurnal Agrikultura 19 (1). Hlm. 5 – 14.
dan Dien, M.F. 2015. Serangan hama ulat Dono, D., Santosa, E., dan Inangsih, F.P. 2011.
krop (C. pavonana ) pada tanaman kubis Pengaruh lama penyimpanan ekstrak biji
(Brassica oleracea var. capitata L.) di Barringtonia asiatica (L) Kurz
kelurahan kakaskasen II, kecamatan tomohon (Lecythidaceae) terhadap toksisitasnya pada
utara, kota tomohon. Diakses dari larva Crocidolomia pavonana (F)
http://download.portalgaruda.org/article.php? (Lepidoptera: Pyralidae). Jurnal Bionatura 13
article=332084&val=1027&title=SERANGA (3). Hlm. 1 – 12.
N%20HAMA%20ULAT%20KROP%20(Cro Duryatmo, S. 2006. Obat Papua Bermula dari Pantai
cidolomia%20pavonana%20F.)%20PADA% Basege. Majalah Trubus 34: 12.
162 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Bioktivitas formula bitung (Barringtonia ....
Cabang Bandung
Ecology and Evolutionary Biology Greenhouses. Monteiro, A. dan Lunn, T. 1998. Trends and
2006. Barringtonia asiatica Kurtz. Perspectives of Vegetable Brassica
University of Connecticut. Available online Breeding, World Conference on Horticultural
at http://florawww.eeb.uconn.edu (diakses 24 Research, 17-20 Juni 1998, Roma, Italia.
Maret 2015). Muniappan, R., Shepard, B.M., Carner, G.R. dan Ooi,
Fajar, Murdono, D., Simanjuntak, B.H. 2010. Potensi P.A-C. 2012. Arthropod Pests of
Beberapa Varietas Kubis Hibrida (Brassica Horticultural Crops in Tropical Asia. Printed
oleraceae L. Var. Capitata) dalam and bound by Gutenberg Press Limited,
Menghasilkan Benih Melalui Metode Tarxien, Malta. 168 pp.
Penyambungan dengan Caisim sebagai Myers, P., R. Espinosa, C. S. Parr, T. Jones, G. S.
Batang Bawah. Agric 22, No. 1 Juli 2010. Hammond, and T. A. Dewey. 2017. The
Hlm 36 – 54. Animal Diversity Web (online). Accessed at
Gershenzon, J. & Croteau, R. 1991. Terpenoid, dalam http://animaldiversity.org pada 28 Juli 2017.
Resentha G.A. & M.R. Barembaun (Eds), Othman, N. 1982. Biology of Crocidolomia binotalis
Herbivores their interaction with secondary [Zeller] (Lepidoptera: Pyralidae) and its
plant metabolites, 2nd Edition, Academic Parasites from Cipanas Area (West Java).
Press, London. PhD thesis BIOTROP. SEAMEO Regional
Gunay A. 1984. Special Vegetable Growing (Brassica Center for Tropical Biology, Bogor,
crops). Vol. 3. Ankara, Turkey. (In Turkish) Indonesia.
Harborne, J.H. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Paat, F.J., Pelealu, J., dan Manueke, J. 2012. Produksi
Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. ITB. Kubis dan Persentase Serangan
Bandung. Crocidolomia pavonana pada Beberapa Pola
Hartono. 2012. Saponin. Diakses dari Tanam Kubis. Eugenia 18 No. 1 April 2012.
http://www.farmasi.dikti.net pada tanggal 16 Hlm 72 – 82.
Februari 2016. Pracaya. 1991. Hama dan Penyakit Tanaman. Depok:
Herlt, A.J., Mander, L.N., Pongoh, E.J., Rumampuk, Penerbit Penebar Swadaya. 427 Hlm.
R.J., & Tarigan, P. 2002. Two major Pudalov, A., & Liang, J. 2008. Cabbage, cauliflower
saponins from Seeds of Barringtonia and kale. Diakses dari
asiatica: putative antifeedants toward http://academics.hamilton.edu/foodforthough
Epilachna sp. larvae. J. Nat. Prod. 65: 115 – t/our_research_files/cabbage_cauliflower_kal
120. e.pdf pada 12 Februari 2016.
Jain, P.C. and Bhargava, M.C. 2007. Entomology: Rumampuk, R.J. 2001. Elusidasi Struktur Saponin
Novel Approaches. Publisher New India dari Biji Barringtonia asiatica (L) Kurz.
Publishing Agency. New Delhi. 550 pp. Disertasi. Universitas Padjadjara, Bandung.
Jawariah. 2012. Manfaat pestisida nabati bitung dalam Sahria, E. 2012. Kubis (Brassica oleraceae). Diakses
pengendalian OPT. Diakses melalui dari
http://disbunsulut.org/beranda/manfaat- http://syekhfanismd.lecture.ub.ac.id/files/201
pestisida-nabati-mitung-dalam-pengendalian- 2/11/KOL-KUBIS1.pdf pada 30 Maret 2015.
opt/ pada 7 April 2015. Samsudin. 2011. Biosintesa dan cara kerja
Kalshoven, LGE. 1981. The Pests of Crops in azadirachtin sebagai bahan aktif insektisida
Indonesia. Translated and revised by PA van nabati. Semnas Pesnab IV. Balai Penelitian
der Laan. Penerjemah. Ichtiar Baru-van Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman
Hoeve, Jakarta. Industri (BALITTRI).
Korinus, L.M. 1995. Dinamika populasi Santosa, J. dan Sartono, S. 2007. Laporan Penelitian
Crocidolomia pavonana pada kubis dan Kajian Insektisida Hayati Terhadap Daya
petsai di Kecamatan Tomohon, Kabupaten Bunuh Ulat Plutella xylostella dan
Minahasa. Tesis S2. Program pascasarjana, Crocidolomia binotalis pada Tanaman Kubis
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Crop. Balai Penelitian dan Pengembangan,
Mardianingsih, T.L., C. Sukmana, N. Tarigan, dan S. Departemen Pertanian RI. Jakarta. Diakses
Suriati. 2010. Efektivitas insektisida dari http://www.deptan.go.id/ pada tanggal
berbahan aktif azadirachtin dan saponin 12 Februari 2016.
terhadap mortalitas dan intensitas serangan Satrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R. 2000.
Aphis gossypii Glover. Bul. Littro. Vol. Penerapan Teknologi PHT pada Tanaman
21(2): 171 – 183. Kubis. Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Melcher, H. dan Subroto, M. A. 2006. Kesembuhan Monografi No. 21. Hlm. 78.
Melalui Air Mata (Terapi Penyakit Mata Sastrosiswojo, S., Setiawati, W. 1990. Biology and
dengan Bitung). Jakarta: Penerbit AgroMedia Control of Crocidolomia binotalis in
Pustaka. 68 Hlm. Indonesia. Proceeding of the Second
ABSTRAK
Kabupaten Garut merupakan daerah pertanian yang berkontribusi tinggi terhadap ketersediaan
produk sayuran di Provinsi Jawa Barat. Penanaman komoditas sayuran sepanjang tahun dan penggunaan
insektisida secara intensif di kabupaten Garut dinilai dapat mempercepat terjadinya peristiwa resistensi
hama. Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data mengenai komoditas yang diusahakan,
serangan hama, cara pengendalian, bahan aktif insektisida, dosis dan konsentrasi insektisida yang
digunkaan, pengetahuan petani mengenai resistensi hama dan kaitannya terhadap resistensi S. litura di
desa Mekarjaya kecamatan Cikajang kabupaten Garut. Metode Penelitian menggunakan metode survey
dan wawancara kuisioner yang melibatkan 20 orang petani responden yang berasal dari 4 dusun di desa
Mekarjaya. Berdasarkan hasil survey dan wawancara didapatkan data yang mengindikasikan terjadinya
resistensi S. litura di desa Mekarjaya kecamatan Cikajang kabupaten Garut. Komoditas yang ditanam
umumnya cabai dan kubis yang merupakan salah satu inang S. litura. Keberadaan hama utama yang
paling banyak dilaporkan oleh petani responden ialah S. litura. Cara pengendalian yang digunakan petani
menggunakan insektisida sintetik dengan interval penyemprotan satu sampai tiga kali dalam satu
minggu. Bahan aktif yang sering digunakan diantaranya profenofos 500 g/l (organofosfat), klorpirifos
200 g/l (organofosfat), dan λ-sihalotrin 25 g/l (piretroid). Sebagian petani responden tidak mengetahui
besaran dan dosis insektisida yang digunakan, sebagian lainnya meningkatkan dosis dan konsentrasi
anjuran dengan alasan penurunan efektifitas insektisida terhadap hama sasaran. Penurunan efektifitas
insektisida terhadap S. litura mengindikasikan terjadinya peristiwa resistensi di daerah tersebut.
Pengetahuan petani responden mengenai peristiwa resistensi dinilai masih sangat terbatas sehingga perlu
dilakukan pengarahan mengenai bahaya resistensi hama.
Kata kunci: Resistensi, Ulat Grayak, Spodoptera litura, Insektisida.
ABSTRACT
Garut is an agricultural area that contribute intensively towards any vegetable supply in West Java. The
vegetable commodity planting throughout the year and intensive usage of insecticide in the district of
Garut assessed to accelerate the occurrence of pest resistance. The aim of this research is collecting data
about cultivated comodity, pest attack, how to control, insecticide active ingredients, dose and
concentration of insecticide used, farmers awareness about pest resistance and its relation to S. Litura
resistance in Mekarjaya village, Cikajang, Garut. This research is using survey and questioner interview
methode involving 20 farmers, as respondents, came from 4 different areas in Mekarjaya village. The
indication of S. Litura resistance data in this village are based on survey and interview result. Mostly the
planted commodity are Chili and Cabbage, one of S. Litura host. It’s the most common pest reported by
the respondents. The farmers control it by using synthetic insecticides with 1-3 times spraying intervals a
week. The active ingredients used oftenly are profenofos 500 g/l (organophosphate), klorpirifos 200 g/l
(organophosphate), and λ-sihalotrin 25 g/l (piretroid). Most of them don’t know the amount and dosage
of insecticide used, others increase the dosage and suggested concentration due to decreased
effectiveness of insecticides against target pests. It indicates the occurrence of resistance in the area. The
respondents awareness about resistence is still considered very limited, there should be an educative
briefing about the danger of pest resistance.
Keywords: Resistance, Ulat Grayak, Spodoptera litura, Insecticide
menimbulkan dampak negatif bagi manusia, konsentrasi yang digunakan, dan pengetahuan petani
lingkungan (Kementrian Kesehatan Republik mengenai resistensi hama.
Indonesia, 2012), dan dapat menyebabkan timbulnya
generasi-generasi serangga baru yang lebih resisten HASIL DAN PEMBAHASAN
(Suharsono & Muchlish, 2010). Pada umumnya Komoditas yang diusahakan
pengendalian hama di tingkat petani masih Berdasarkan hasil survey dan wawancara yang
menggunakan insektisida sintetik (Laoh dkk., 2003; dilakukan terdapat berbagai jenis komoditas yang
Razak et al., 2014) sehingga paluang terjadinya seperti kacang panjang, sawi, wortel, tomat, daun
peristiwa resistensi hama sangat tinggi. bawang, kubis, dan cabai (Gambar 1).
Berdasarkan hasil survey lapangan yang
dilakukan di desa Mekarjaya Kecamatan Cikajang
Kabupaten Garut didapatkan informasi mengenai
serangan hama S. litura yang menyerang hampir di
setiap komoditas yang diusahakan petani setempat.
Pengendalian menggunakan insektisida secara terus-
menerus dikhawatirkan dapat mendorong terjadinya
peristiwa resistensi S. litura di wilayah tersebut.
Terjadinya peristiwa resistensi S. litura telah
dilaporkan di berbagai negara di Asia. Tingginya
tingkat seleksi dan kemampuan gen-gen S. litura
untuk berevolusi secara cepat sebagai respon terhadap
pemberian insektisida kimia sintetik menjadi masalah Gambar 1. Komoditas yang diusahakan oleh petani
utama bagi petani di berbagai negara (Ahmad et al., responden di desa Mekarjaya.
2008). Armes et al. (1997) melaporkan terjadinya
peristiwa resistensi S. litura terhadap insektisida dari Komoditas yang paling banyak diusahakan oleh
golongan piretroid, karbamat dan organofosfat di petani responden merupakan komoditas kubis dan
daerah Andhra Pradesh, India. Tong et al. (2013) cabai. Komoditas kubis dan cabai selalu ditanam di
melaporkan terjadinya peristiwa resistensi S. litura daerah tersebut dan dinilai memiliki nilai ekonomis
terhadap insektisida dari golongan piretroid dan yang cukup menguntungkan bagi petani responden,
organofosfat di provinsi Hunan, China. Abbas et al. namun komoditas tersebut juga merupakan salah satu
(2014) dan Saleem et al. (2015) melaporkan inang dari hama S. litura.
terjadinya peristiwa resistensi S. litura terhadap
insektisida dari golongan piretroid dan organofosfat di Serangan hama yang dilaporkan
daerah Punjab, Pakistan. Terdapat berbagai hama yang menyerang
Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan komoditas tanaman petani Mekarjaya. Beberapa hama
data mengenai komoditas yang diusahakan, serangan yang dikeluhkan berdasarkan hasil wawancara
hama, cara pengendalian, bahan aktif insektisida, diantaranya Spodoptera litura, Plutella xylostella,
dosis dan konsentrasi insektisida yang digunkaan, Crocidolomia pavonana, Agrotis ipsilon, Trips sp.,
pengetahuan petani desa Mekarjaya mengenai Myzus sp., dan hama dari filum mollusca (Gambar 2).
resistensi hama dan kaitannya terhadap resistensi S. Keberadaan hama S. litura dilaporkan sebagai hama
litura. Penelitian ini merupakan tahapan pertama dari paling tinggi yang menyerang pertanaman petani di
tiga tahapan penelitian yang akan mengkaji mengenai Desa Mekarjaya. Hama S. litura dapat bersifat
status dan mekanisme resistensi pada hama S. litura. polifagus sehingga dapat menyerang berbagai
tanaman yang diusahakan oleh petani responden di
BAHAN DAN METODE Desa Mekarjaya.
Survey lapangan dan pengambilan data Hama S. litura bersifat polifagus sehingga hama
wawancara dilaksanakan pada bulan Januari 2017 tersebut memiliki kisaran inang yang luas. Beberapa
hingga bulan Oktober 2017. Penelitian dilaksanakan tanaman inang S. litura diantaranya cabai, bawang,
di Desa Mekarjaya, Kecamatan Cikajang, Kabupaten kubis, padi, jagung, tomat, tebu, buncis, jeruk,
Garut. Responden yang diwawancarai berasal dari 4 tembakau, terung, kentang, kacang tanah, dan kacang
dusun di desa Mekarjaya yaitu dusun Ranca Pandan, kedelai (Marwoto & Suharsono, 2008).
Baru Bandung, Ciarileu, dan Cinta Kembar.
Pendugaan tingkat resistensi S. litura
dilakukan dengan mewawancarai dan memberikan
kuisioner kepada 20 orang petani responden yang
berasal dari beberapa dusun di wilayah Desa
Mekarjaya. Pertanyaan yang diajukan berkaitan
dengan komoditas yang diusahakan, jenis hama, cara
pengendalian hama, bahan aktif insektisida, dosis dan
166 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Pendugaan peristiwa resistensi Spodoptera ....
Cabang Bandung
DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN DAN SARAN Abbas N., Samiullah, Shad, Sarfraz A. S., Muhammad
Kesimpulan W., & Muhammad A. 2014. Resistance of
Berdasarkan hasil survey dan wawancara yang Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) to
telah dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan Profenofoes: Relative fitness and Cross
diantaranya: Resistance. Journal Elsevier Crop Protection vol.
1) Komoditas yang banyak diusahakan oleh 58 page 49-54.
petani responden di desa Mekarjaya ialah Ahmad M., Sayyed, A. H., & Saleem, M. 2008.
komoditas kubis dan cabai. Komoditas Evidence for fieldevolved Resistance to Newer
tersebut merupakan salah satu inang dari Insecticides in Spodoptera litura (Lepidoptera:
hama S. litura. Noctuidae) from Pakistan. Crop Protect. Vol. 27
2) Keberadaan hama utama yang dilaporkan (10) page 1367-1372.
oleh petani responden ialah S. litura. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2016.
3) Cara pengendalian yang diterapkan oleh Produksi Hortikultura Tanaman Sayuran dan Buah
petani responden seluruhnya menggunakan Semusim Jawa Barat 2015. Statistik Pertanian,
insektisida sintetik dengan interval Bidang Statistik Produksi, Badan Pusat Statistik
penyemprotan satu hingga tiga kali dalam Provinsi Jawa Barat. 46 Halaman.
satu minggu. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012.
4) Bahan aktif yang sering digunakan oleh Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida)
petani responden ialah profenofos 500 g/l dalam Pengendalian Vektor. Kementrian
(organofosfat), klorpirifos 200 g/l Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. 126
(organofosfat), dan λ-sihalotrin 25 g/l Halaman.
(piretroid). Laoh, J. H., Fitri P., & Hendra. 2003. Kerentanan
Larva Spodoptera litura F. terhadap Virus Nuklear
5) Sebagian besar petani responden tidak
mengetahui besaran dan dosis insektisida Polyhedrosis. Jurusan Agronomi Fakultas
yang digunakan, sebagian lainnya Pertanian Universitas Riau, Pekan Baru, Riau.
meningkatkan dosis dan konsentrasi anjuran Jurnal Natura Indonesia Vol. 5 (2) Halaman 145-
dengan alasan penurunan efektifitas 151.
insektisida terhadap hama sasaran. Martin, T., Ochou G. O., Maurice V., & Didier F.
Penurunan efektifitas insektisida terhadap S. 2003. Oxidases Responsible for Resistance to
litura mengindikasikan terjadinya peristiwa Pyrethroids Seinsitize Helicoperva armigera
resistensi di daerah tersebut. (Hubner) to Triazophos in West Africa. Journal
6) Pengetahuan petani responden mengenai Insect Biochemistry and Molecular Biology 33
page 883-337
peristiwa resistensi dinilai masih sangat
rendah. Marwoto & Suharsono. 2008. Strategi dan
Komponen Teknologi Pengendalian Ulat Grayak
(Spodoptera litura Fabricius) pada Tanaman
Saran
Penggunaan bahan aktif dari golongan Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-
kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Jurnal
insektisida yang berbeda dan penggunaan insektisida
Litbang Pertanian, Vol.27 (4) Halaman 131-136.
nabati dapat memperlambat terjadinya peristiwa
resistensi S, litura. Razak, T.A., T. Santhakumar, K. Mageswari, & S.
Santhi. 2014. Studies on efficacy of certain neem
products against Spodoptera litura (Fab.).
168 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Pendugaan peristiwa resistensi Spodoptera ....
Cabang Bandung
Model Prediksi Kelas Bahaya Serangan Rayap Tanah Di Provinsi Dki Jakarta Berbasis
Spesies, Tanah, Dan Iklim
Arinana, Aunu Rauf, Dodi Nandika, Idham Sakti Harahap, I Made Sumertajaya
ABSTRAK
Penelitian ini mengidentifikasi spesies rayap bawah tanah, pengukuran struktur komunitasnya, dan
memformulasikan model untuk memperkirakan kelas bahaya rayap di provinsi DKI Jakarta. Dua kecamatan
di setiap kabupaten dipilih secara acak untuk pengukuran, pengambilan sampel tanah, dan pengukuran iklim.
Frekuensi serangan rayap di setiap kecamatan ditentukan, dan ASTM D1758-06 diterapkan untuk
mengevaluasi kondisi. Rayap diidentifikasi, dan formula dari Margalef, Shannon-Weiner dan Pielou diadopsi
untuk mengukur struktur komunitasnya. Frekuensi serangan dan kombinasi intensitas kerusakan digunakan
untuk mengklasifikasikan tingkat bahaya rayap. Kelas bahaya rayap (variable dependen) adalah ordinal,
sementara karakteristik tanah (ph, C- organic, rasio pasir/liat) dan sifat-sifat iklim (suhu, kelembaban),
bersifat kontinu, dan penemuan spesies rayap dikategorikan. Sebelum melakukan regresi logistic ordinal,
korelasi antar variable dihitung. Korelasi Spearman menunjukkan korelasi tinggi antara pH dengan rasio
pasir/tanah liat dan kelembaban, dan suhu dengan kelembaban, sehingga variable yang layak unutk digunakan
dalam model adalah pH, C-organik, suhu dan spesies rayap. Model ini dapat diandalkan untuk menetukan
kelas bahaya rayap dengan tingkat kepercayaan yang tinggi (lebih dari 95%) dan secara akurat
mengklasifikasikan 62 sampel (78,8%) ke dalam tiga kelas.
Kata kunci: frekuensi, intensitas, regresi logistik ordinal, rayap bawah tanah, keanekaragaman rayap
ABSTRACT
This research identifies the subterranean termite species, measures its community structure, and formulates a
model for estimating the termite hazard class in the province of DKI Jakarta. Two sub-districts in each district
are randomly chosen for stakes burying, soil sampling, and climate measuring. The termite attack frequency
in each sub-district is determined, and ASTM D1758-06 is applied for evaluating the stakes condition. The
termite is identified, and the formula of Margalef, Shannon-Weiner, and Pielou are addopted to measure its
community structure. The attack frequency and the stakes deterioration intensity combination are used to
classify the termite hazard level. The termite hazard class (dependent variable) is ordinal, while soil
characteristics (pH, organic-C, sand/clay ratio) and climate properties (temperature, humidity) are continuous,
and the termite species finding is categorical. Before conducting the ordinal logistic regression, the
correlation between variables is calculated. The Spearman correlation exhibits high correlations between pH
with sand/clay ratio and humidity, and temperature with humidity, thus the feasible variable to be used in the
model are pH, organic-C, temperature, and termite species. The models are reliable for determining the
termite hazard class with high confidence level (more than 95%) and accurately classify the 62 samples
(73.8%) into three classes.
Keywords: frequency, intensity, ordinal logistic regression, subterranean termite, termite diversity
serangan rayap pada bangunan di daerah tertentu 1/2 bagian di atasnya. Penempatan umpan dipilih di
sehingga pengelola dapat merekomendasikan konsep halaman rumah tinggal dan fasilitas umum (taman dan
rancang bangun yang tahan serangan rayap. Konsep tempat bermain) yang tidak dilapisi beton atau
tersebut meliputi aplikasi pencegahan serangan rayap material lain yang menghalangi penanaman kayu. Di
secara pra dan paska konstruksi, tindakan perawatan setiap kelurahan ditanam sebanyak 15 – 25 batang.
dan pemeliharaan bangunan di setiap kelas bahaya. Setelah tiga bulan, kayu umpan dicabut dan diperiksa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber tingkat serangan rayapnya. Kayu umpan dinilai sesuai
informasi untuk penyusunan standar operasional klasifikasi penilaian kerusakan kayu (ASTM D1758-
pengendalian serangan rayap pada bangunan di 06). Spesimen rayap direndam alkohol 70% di dalam
berbagai wilayah di Indonesia berdasarkan kelas botol koleksi. Rayap yang menyerang satu kayu
bahaya serangan rayapnya. umpan diletakkan dalam satu botol koleksi agar
spesies yang menyerang setiap kayu umpan dapat
Tujuan Penelitian diidentifikasi.
Tujuan penelitian ini adalah: Identifikasi spesies rayap dilakukan di Divisi
1. Mengidentifikasi keanekaragaman spesies rayap Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen
tanah di Provinsi DKI Jakarta dan mempelajari Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan
struktur komunitasnya Laboratorium Taksonomi dan Biosistematika
2. Mengklasifikasikan kelas bahaya serangan rayap Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
di Provinsi DKI Jakarta dan membangun model Pertanian IPB. Spesimen difoto menggunakan
penduga berdasar karakteristik tanah (pH, C mikroskop digital. Bentuk dan panjang seluruh tubuh
organik, dan rasio pasir/liat), iklim (suhu dan rayap, panjang kepala dengan mandibel, dan bentuk
kelembaban), dan spesies rayap tanah yang mandibel secara utuh diukur. Identifikasi spesies
menyerangnya. dilakukan berdasarkan morfologi kasta prajurit
mengacu pada kunci identifikasi rayap Tho (1992)
METODOLOGI dan Akhmad (1958).
Struktur komunitas rayap tanah di DKI Jakarta
Analisis Kondisi Lingkungan
didekati dengan parameter indeks kekayaan (Index of
Penelitian dilakukan di 42 kecamatan di
spesies Richness), indeks keanekaragaman (Index of
Provinsi DKI Jakarta pada Maret 2016 – Januari
Heterogenity), dan indeks kemerataan (Index of
2017. Dua kelurahan contoh diambil secara acak dari
Evennes). Rumus Margalef diadaptasi untuk
setiap kecamatan. Di setiap kelurahan dipilih satu
menghitung kekayaan spesies rayap tanah (Ri) di
Rukun Tetangga sebagai lokasi penanaman kayu
setiap kota. Keanekaragaman spesies (H’) dihitung
umpan dan pengambilan contoh uji tanah.
dengan mengadaptasi rumus Shannon-Weiner, dan
Pengambilan sampel contoh uji tanah dilakukan di
kemerataan spesies (E1) dihitung dengan rumus
setiap kelurahan pada kedalaman 0-20 cm (White,
Pielou.
2006). Karakteristik tanah yang dianalisis berupa pH
S 1
tanah, kandungan C-organik, dan tekstur tanah Ri
(persentase pasir, debu, liat). Analisis karakteristik ln N
s ni
tanah dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu
H ' pi ln pi , dimana pi
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian N
i 1
IPB. Data suhu dan kelembaban diperoleh dengan
H'
cara meletakkan Digital Temperature-Humidity Data E1
Logger di salah satu rumah warga di setiap kota ln S
administratif di DKI Jakarta. Data suhu udara dan Keterangan: S = jumlah spesies
kelembaban (RH) direkam setiap jam selama 3 bulan N = jumlah seluruh kayu umpan terserang
dalam memori alat tersebut. ni = jumlah kayu umpan yang terserang
spesies ke-i
Identifikasi Spesies dan Struktur Komunitas Frekuensi Serangan dan Intensitas Kerusakan
Rayap Frekuensi serangan adalah nisbah antara
Rayap tanah dikoleksi dengan cara jumlah kayu umpan yang terserang rayap tanah
mengumpankan kayu yang disukai oleh rayap tanah dengan jumlah kayu umpan yang ditanam. Frekuensi
yaitu Tusam (Pinus merkusii Jungh. & de vriese) dinyatakan dalam persentase. Data frekuensi serangan
(Arinana et al. 2012) yang telah dikeringudarakan dirata-ratakan per kelurahan contoh dan
(kadar air sekitar 20%). Ukuran kayu umpan adalah 2 diklasifikasikan menjadi 6 kelas (Cookson dan
cm 2 cm 46 cm sesuai ASTM D1758-6 (2006). Trajstman 2002) (Tabel 1). Kerusakan kayu umpan
Salah satu ujung kayu dicat agar mudah dikenali. dievaluasi sesuai ASTM-D 1758-06, dan
Kayu umpan ditanam vertikal ke dalam tanah selama diklasifikasikan (Tabel 2). Intensitas kerusakan kayu
tiga bulan, 1/2 bagian di bawah permukaan tanah dan akibat serangan rayap tanah yang tinggi dinyatakan
171 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Mode prediksi kelas bahaya ....
Cabang Bandung
dengan kondisi kayu umpan yang rusak parah (nilai menunjukkan intensitas kerusakan yang rendah.
0), sebaliknya kondisi kayu yang baik (nilai 10)
Tabel 1. Klasifikasi frekuensi serangan rayap (Cookson & Trajstman, 2002)
No Frekuensi Keterangan
1 0 Nil (Tidak ada serangan)
2 1 – 10 Sangat rendah
3 10 – 20 Rendah
4 20 – 30 Sedang
5 30 – 40 Tinggi
6 > 40 Sangat Tinggi
Tabel 2. Klasifikasi penilaian kerusakan kayu terhadap serangan rayap (ASTM D 1758-06)
Nilai Kondisi Serangan
10 Tidak ada serangan; 1-2% kerusakan kecil diperbolehkan
9 Penetrasi mencapai 3% dari penampang melintang
8 Penetrasi 3-10% dari penampang melintangnya
7 Penetrasi 10-30% dari penampang melintangnya
6 Penetrasi 30-50% dari penampang melintangnya
4 Penetrasi 50-75% dari penampang melintangnya
0 Rusak
Kelas Bahaya Serangan Rayap Tanah kombinasi frekuensi serangan dan intensitas
Kombinasi antara frekuensi serangan dan kerusakan kayu (Tabel 3). Kelas bahaya serangan
intensitas kerusakan kayu menunjukkan tingkat rayap di suatu wilayah diduga dipengaruhi oleh
bahaya serangan rayap di lokasi tersebut. Frekuensi kondisi lingkungan (karakteristik tanah dan iklim) dan
dan intensitas berbanding lurus dengan tingkat spesies rayap yang menyerang. Untuk
bahaya. Frekuensi tinggi menunjukkan tingkat bahaya menganalisisnya, regresi logistik ordinal diaplikasikan
yang tinggi, demikian pula dengan intensitas. Tiga dengan model:
kelas bahaya disusun dengan mengklasifikasikan 36
logit PY j xi j
5 m
k 1
k xik
r 6
r , if xir 0
0,if xir 1
Kelas bahaya serangan rayap bersifat ordinal, Lee and Wood (1971). Menurut Lee and Wood (1971)
karakteristik tanah (pH, C-organik, rasio pasir/liat) bahwa tanah yang di dalamnya terdapat aktivitas
dan iklim (suhu dan kelembaban) merupakan data rayap memiliki kandungan bahan organik yang tinggi.
kontinyu, sedangkan ditemukannya spesies rayap Hal ini diperkuat oleh pernyataan Foth (1994) bahwa
merupakan data kategorik. Sebelum analisis regresi bahan organik dipengaruhi oleh arus akumulasi bahan
logistik ordinal dilakukan, hubungan antar peubah asli dan arus dekomposisi serta humifikasi yang
dihitung dengan korelasi Spearman. Peubah bebas sangat tergantung pada kondisi lingkungan. Selain itu,
yang tidak berkorelasi erat dengan peubah bebas hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pH
lainnya saja yang dipilih masuk ke dalam model tanah di DKI Jakarta merupakan nilai netral berkisar
regresi logistik ordinal untuk menghindari 6.67-7.34, sehingga tidak menghambat aktivitas rayap
autokorelasi dan multikolinearitas. tanah. Lee and Wood (1971) melaporkan kandungan
liat pada sarang berbagai spesies rayap, yaitu C.
HASIL DAN PEMBAHASAN acinaciformis, C. lacteus, Amitermes laurensis, A.
meridionalis, dan Nasutitermes triodiae lebih dari
Kondisi Lingkungan
20%, dan pada dua sarang A. merisionalis yang lain
Hasil pengujian tanah menunjukkan bahwa
kandungan liatnya adalah 13% dan 27%. Penelitian
tekstur tanah di DKI Jakarta umumnya liat (terdapat
ini memperlihatkan bahwa tanah di DKI Jakarta rata-
di 54 kelurahan), diikuti dengan lempung berliat (9
rata memiliki kandungan liat yang tinggi (39.62%-
kelurahan), lempung liat berpasir (5 kelurahan),
60.13%), sehingga sebagian besar tekstur tanahnya
lempung berpasir (5 kelurahan), dan tekstur lainnya
masuk dalam kategori adalah liat.
terdapat di beberapa kelurahan. Mahaney (1999)
Suhu dan RH mempengaruhi kondisi
menyatakan bahwa rayap memiliki peran dalam
vegetasi dan perilaku rayap tanah di sekitarnya. Di
meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah
tempat terbuka sinar matahari langsung menembus
yang mereka gunakan untuk membangun sarang dan
permukaan tanah pada tengah hari hingga awal sore
juga memodifikasi komposisi mineral tanah. Rayap
hari ketika suhu berada pada puncaknya, sehingga
tanah memiliki preferensi habitat yang dipengaruhi
rayap sering berada di bawah tanah. Sedangkan rayap
oleh tekstur tanah. Secara umum rayap tidak
tanah berada di permukaan tanah bila terdapat
menyukai tanah berpasir dan memilih tipe tanah yang
naungan yang besar yang menciptakan suhu optimum.
banyak mengandung liat (Lee and Wood 1971).
Rata-rata suhu lingkungan di lokasi penelitian ini
Tekstur tanah penting di dalam menentukan stabilisasi
berkisar 29.3 oC – 30.1 oC, suhu minimum 21.9 oC –
liang-liang kembara rayap di atas atau di bawah
26.1 oC, dan suhu maksimum 35.3 oC – 38.8 oC. Suhu
permukaan tanah yang menghubungkan sarang utama
lingkungan tersebut sangat mendukung kehidupan
dengan sumber makanannya (Robinson 1996).
rayap tanah. Penelitian sebelumnya oleh Arinana et
Jaringan liang kembara dibangun lebih baik pada
al. (2016) menunjukkan bahwa suhu rata-rata di
tanah dengan komposisi campuran pasir, debu, dan
dalam sarang rayap tanah C. curvignathus adalah 31.4
liat yang seimbang dibandingkan tanah dengan o
C (29.4 oC – 33.8 oC), 1.3 oC lebih hangat dibanding
kandungan liat atau pasir yang terlalu tinggi.
di luar sarang.
Rata-rata kandungan C organik pada
Rata-rata RH selama penelitian ini berkisar
penelitian ini adalah 1.32%-2.51%. Hasil penelitian
68.2%-72.3%, nilai minimum sebesar 35.4% pada
Lee and Wood (1971) menunjukkan bahwa
siang hari, dan nilai maksimum sebesar 91.9% di dini
kandungan C organik liang kembara rayap tanah
hari. RH optimum bagi kehidupan rayap tanah adalah
Odontotermes sp. adalah 0.576% sementara itu
75-90% (Nandika et al. 2015). Untuk menciptakan
kandungan C organik tanah sekitarnya lebih kecil
kelembaban optimum, rayap tanah mengisolasi
sedikit yaitu 0.536%. Pada hasil penelitian ini
dirinya dalam sarang dan liang kembara sehingga
kandungan C organik tanah di DKI Jakarta lebih
lebih tahan terhadap perubahan suhu dan kelembaban
tinggi dibanding kandungan C organik hasil penelitian
173 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Mode prediksi kelas bahaya ....
Cabang Bandung
lingkungan. Arinana et al. (2016a) melaporkan iklim Sesuai data pada Tabel 4, di Jakarta Utara
mikro di dalam sarang menjadi lebih stabil yang ditemukan dua spesies yaitu C. curvignathus dan S.
digambarkan dengan wilayah fluktuasi suhu dan javanicus. S. javanicus hanya ditemukan di Jakarta
kelembaban yang lebih sempit daripada di luar sarang. Utara yaitu di Kecamatan Cilincing. Kecamatan
Karakteristik tanah (pH, C organik, rasio Cilincing berbatasan dengan wilayah Bekasi dimana
pasir/liat) dan iklim (suhu dan kelembaban) diuji ditemukan dua spesies yang sama dengan penelitian
keeratan hubungannya menggunakan non parametrik. ini yaitu C. curvignathus dan S. javanicus (Arinana et
Korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat al. 2015). Frekuensi serangan C. curvignathus di
korelasi yang erat antara pH dengan rasio pasir/liat Jakarta Utara lebih tinggi daripada S. javanicus, yaitu
dan kelembaban, dan suhu berkorelasi erat dengan berturut-turut ditemukan di 3 dan 1 kelurahan contoh.
kelembaban. Wilayah yang lembab dan berasio Di Jakarta Pusat ditemukan dua spesies yaitu C.
pasir/liat tinggi maka pH-nya cenderung tinggi karena curvignathus dan M. insperatus yang frekuensi
berkorelasi positif. Suhu berkorelasi negatif sangat serangannya hampir sama besar yaitu masing-masing
erat terhadap kelembaban. Wilayah yang bersuhu di tiga kelurahan contoh. Serupa dengan di Jakarta
tinggi umumnya kelembabannya rendah. Pusat, di Jakarta Barat ditemukan juga dua spesies
tersebut yaitu masing-masing di lima kelurahan
Identifikasi Spesies dan Struktur Komunitas contoh. Kondisi ini berbeda dengan hasil penelitian
Rayap Lantera dan Nandika (2014) yang menemukan dua
Kayu umpan sebanyak 1645 batang telah spesies yaitu M. insperatus dan M. gilvus di Jakarta
ditanam di seluruh kelurahan contoh. Sebanyak 1204 Barat. Tiga spesies ditemukan di Jakarta Timur dan
batang diamati serta dinilai intensitas kerusakannya Jakarta Selatan, yaitu C. curvignathus, M. insperatus,
sedangkan 441 kayu umpan hilang. Dari 1204 batang dan M. gilvus. C. curvignathus menyerang 5
kayu umpan, terdapat 249 batang terserang (20.7%), kelurahan di Jakarta Timur dan enam kelurahan di
dan rayap tanah ditemukan masih aktif menyerang Jakarta Selatan. M. insperatus menyerang 11
168 batang di antaranya. Serangan rayap tanah yang kelurahan di Jakarta Timur dan 10 kelurahan di
masih aktif tersebut ditemukan pada kayu umpan di Jakarta Selatan. Sedangkan M. gilvus menyerang dua
38 kelurahan contoh. kelurahan di Jakarta Timur dan empat kelurahan di
Kasta prajurit setiap spesies rayap (Gambar Jakarta Selatan. Hasil ini selaras dengan hasil
1) serta bentuk dan ukuran mandiblenya digunakan penelitian Arinana et al. (2016b) yang menemukan
sebagai variabel pengidentifikasi spesies. Hasil tiga spesies rayap yang sama di Jakarta Selatan
identifikasi menunjukkan bahwa di DKI Jakarta dengan frekuensi serangan tertinggi oleh M.
sekurang-kurangnya ditemukan empat spesies rayap insperatus. Jakarta Selatan dan Jakarta Timur
tanah yang merupakan anggota dari dua famili, yaitu berbatasan dengan wilayah Bogor, Jawa Barat.
Rhinotermitidae dan Termitidae. Coptotermes Arinana et al. (2016c) telah melakukan penelitian
curvignathus (ditemukan di 43 kayu umpan) dan yang sama di Bogor dan melaporkan bahwa
Schedorhinotermes javanicus (1 kayu umpan) Odontotermes javanicus merupakan spesies rayap
merupakan anggota famili Rhinotermitidae, tanah yang lebih sering ditemukan di Bogor.
sedangkan dua spesies lainnya yaitu Microtermes Kekayaan spesies rayap tanah di Bogor juga lebih
insperatus (111 kayu umpan) dan Macrotermes gilvus tinggi dengan ditemukannya lima spesies rayap yaitu
(13 kayu umpan) merupakan anggota famili C. curvignathus, M. gilvus, S. javanicus, S.
Termitidae. sarawakensis, dan O. javanicus.
a b c d e f g
Gambar 1 Foto mikroskopi kasta prajurit rayap tanah yang ditemukan menyerang kayu umpan di DKI Jakarta,
yaitu C. curvignathus (a); M. insperatus prajurit mayor (b); M. insperatus prajurit minor (c); M.
gilvus prajurit mayor (d); M. gilvus prajurit minor (e); S. javanicus prajurit mayor (f); S. javanicus
prajurit minor (g)
Tabel 4. Rangkuman hasil identifikasi spesies rayap tanah yang menyerang di DKI Jakarta
Kota Jumlah kelurahan ditemukannya spesies rayap
C. curvignathus M. insperatus M. gilvus S. javanicus
Jakarta Utara 3 0 0 1
Jakarta Pusat 3 3 0 0
Jakarta Barat 5 5 0 0
Jakarta Timur 5 11 2 0
Jakarta Selatan 6 10 4 0
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa famili Struktur komunitas rayap tanah digambarkan
Termitidae (M. insperatus dan M. gilvus) dominan dengan indeks kekayaan Margalef (Ri), indeks
menyerang kayu umpan yaitu 73.8% dibandingkan keanekaragaman Shannon Weinner (H’), dan
Rhinotermitidae (C. curvignathus dan S. javanicus). kemerataan Pielou (E1) (Tabel 5). Kekayaan spesies
Termitidae dominan pada daerah tropis (Eggleton tertinggi berada di Jakarta Utara. Kekayaan spesies
2011). Tarumingkeng (2000) melaporkan famili adalah jumlah spesies dalam suatu komunitas.
Termitidae dan Rhinotermitidae merupakan hama Semakin banyak jumlah spesies yang ditemukan maka
perusak kayu bangunan yang terpenting di Indonesia indeks kekayaannya juga semakin besar. Indeks
terutama dari genus Coptotermes, Schedorhinotermes, kekayaan Margalef membagi jumlah spesies dengan
Macrotermes, Microtermes, dan Odontotermes. Pada fungsi logaritma natural yang mengindikasikan
penelitian ini, keempat genus tersebut ditemukan bahwa pertambahan jumlah spesies berbanding
menyerang kayu umpan di DKI Jakarta, kecuali terbalik dengan pertambahan jumlah kayu umpan
Odontotermes. Rhinotermitidae dan Termitidae sering yang terserang rayap. Di Jakarta Utara, jumlah umpan
dijumpai di luar kawasan hutan alam atau kawasan yang terserang rayap lebih sedikit dibanding Jakarta
yang sudah dialihfungsikan menjadi areal perkebunan Pusat dan Jakarta Barat yang sama-sama ditemukan 2
maupun permukiman (Wang et al. 2003), sehingga spesies rayap tanah. Hal tersebut mengindikasikan
serangannya memberikan dampak ekonomi yang bahwa di Jakarta Utara, waktu 3 bulan pengumpanan
cukup besar. Nandika melaporkan C. curvignathus rayap tanah baru datang untuk memakan kayu umpan,
menimbulkan kerugian puluhan milyar per tahun atau dengan kata lain bahwa rayap di Jakarta Utara
akibat serangannya pada bangunan gedung di lebih lambat menemukan kayu umpan dibanding
Indonesia (Nandika et al. 2015). Penelitian Rilatupa dengan di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Sementara
(2006) menunjukkan bahwa C.curvignathus itu kekayaan spesies di Jakarta Timur dan Jakarta
menyerang bangunan apartemen di Jakarta Selatan Selatan yang sama-sama ditemukan 3 spesies,
hingga lantai teratas (Lantai 33) Tower 3, sedangkan memiliki nilai yang lebih tinggi di Jakarta Selatan.
di Tower 1 dan 4 yang memiliki 31 lantai serangan Hal tersebut berarti bahwa di Jakarta Selatan lebih
rayap telah mencapai lantai 25 dan 10. sedikit ditemukan kayu umpan yang terserang rayap
dibanding di Jakarta Timur.
Nilai keanekaragam rayap tanah tertinggi tetapi jumlah kayu umpan yang terserang tiap spesies
ditemukan di Jakarta Selatan, yaitu nilai H’ adalah rayap tanah lebih seragam di Jakarta Selatan yaitu
0.8806 sedangkan terendah di Jakarta Utara yaitu dapat dilihat pada nilai kemerataan yang lebih tinggi
0.4506. Keanekaragaman di Jakarta Selatan memiliki (0.8015) dibandingkan dengan Jakarta Timur.
indeks tertinggi karena ditemukan spesies rayap lebih Indeks kemerataan menunjukkan derajat
banyak, yaitu sama dengan di Jakarta Timur, akan kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies.
Apabila setiap jenis memiliki jumlah individu yang yaitu dari 0 (sangat rusak) sampai dengan 10 (sedikit
sama, maka komunitas tersebut mempunyai nilai rusak). Pada penelitian ini ditemukan bahwa
evenness maksimum. Sebaliknya, jika nilai kerusakan kayu umpan berkisar pada nilai 0 hingga
kemerataan kecil, maka dalam komunitas tersebut 10. Kerusakan parah (0) terjadi pada kayu umpan
terdapat jenis dominan, sub-dominan dan jenis yang yang ditanam di beberapa kelurahan contoh di semua
terdominasi, maka komunitas itu memiliki evenness kota. Intensitas kerusakan kayu dirata-ratakan untuk
minimum. Nilai kemerataan memiliki rentang antara setiap kelurahan. Data frekuensi serangan dan
0-1, jika nilai indeks yang diperoleh mendekati satu intensitas kerusakan kayu umpan pada setiap
berarti penyebarannya semakin merata, hal tersebut kelurahan contoh dijadikan data dasar dalam
dapat dilihat di Jakarta Pusat, nilai indeks penentuan kelas bahaya rayap.
kemerataannya mendekati 1.
Kelas Bahaya Serangan Rayap
Frekuensi Serangan dan Intensitas Kerusakan Berdasarkan frekuensi serangan dan
Kayu intensitas kerusakan kayu, tingkat bahaya serangan
Frekuensi serangan rayap di setiap kelurahan rayap di setiap kelurahan contoh diklasifikasikan ke
bervariasi antara 0% hingga 67%. Ada 63 kelurahan dalam tiga kelas yaitu rendah (1), sedang (2), dan
contoh yang terserang sedangkan sisanya (21 tinggi (3). Bangunan-bangunan di Jakarta Pusat,
kelurahan) tidak terserang. DKI Jakarta memiliki Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan perlu
wilayah bahaya serangan rayap yang sangat lebar didesain sedemikian rupa untuk mengantisipasi
berdasarkan klasifikasi Cookson dan Trajstman 2002, serangan rayap karena wilayah tersebut diduga
yaitu dari Nil (tidak terserang) hingga sangat memiliki kelas bahaya serangan rayap tinggi (3).
berbahaya (frekuensi > 40%). Sementara itu serangan rayap di Jakarta Utara relatif
Intensitas serangan rayap diukur sesuai lebih rendah karena hampir seluruh kelurahan contoh
dengan prosedur ASTM D1758-06. Sesuai dengan termasuk dalam kelas bahaya dalam klasifikasi rendah
standar tersebut intensitas serangan rayap (1) dan hanya 1 kelurahan yang masuk dalam kelas
diklasifikasikan berdasarkan kerusakan kayu umpan bahaya sedang (2). Selengkapnya tersaji pada Tabel 6.
Setiap pembangunan gedung baru di wilayah Meskipun pH, C organik, rasio pasir/liat,
yang termasuk dalam kelas bahaya serangan rayap suhu, dan kelembaban secara parsial tidak berkorelasi
sedang (2) dan tinggi (3) perlu melakukan erat dengan kelas bahaya serangan rayap, namun
pengendalian serangan rayap pada masa pra pengaruh kombinasinya diduga dapat terjadi. Analisis
konstruksi sesuai dengan SNI 2404-2015. Sedangkan regresi logistik ordinal dilakukan untuk membuktikan
bangunan yang sudah berdiri di wilayah tersebut perlu hal tersebut. Regresi logistik ordinal dipilih dalam
disurvei lebih lanjut untuk menerapkan pengendalian penelitian ini karena variabel respon yaitu kelas
rayap paska konstruksi sesuai dengan ketentuan SNI bahaya disusun berdasarkan skala ordinal [berurutan
2405-2015. dari rendah (Nilai 1), sedang (2), dan tinggi (3)]
Kondisi lingkungan yang meliputi sedangkan variabel penduga kondisi lingkungan (pH,
karakteristik tanah (pH, C organik, rasio pasir/liat) C organik, rasio pasir/liat, suhu, dan kelembaban)
diukur di setiap kelurahan, sedangkan iklim (suhu dan merupakan skala yang kontinyu dan spesies rayap
kelembaban) diukur di setiap kota. Uji Korelasi merupakan skala kategorik.
Spearman memperlihatkan bahwa kondisi lingkungan Nilai pH berkorelasi erat secara nyata
berkorelasi kurang erat dengan kelas bahaya serangan dengan rasio pasir liat dan kelembaban, sehingga
rayap. Pengukuran salah satu dari variabel-variabel variabel penduga yang terpilih digunakan dalam
tersebut tidak dapat digunakan untuk menduga kelas model adalah pH (xi1), C organik (xi2), dan suhu (xi4).
bahaya serangan rayap di DKI Jakarta. Variabel Ada 4 jenis rayap yang ditemukan di lokasi penelitian
karakteristik tanah dan iklim harus digunakan secara yaitu C. curvignathus (xi6), M. insperatus (xi7), M.
simultan. gilvus (xi8), dan S. javanicus (xi9). Hanya satu
kelurahan yang teridentifikasi diserang S. javanicus model. Rumus regresi logistik ordinal yang digunakan
(xi9) sehingga variabel xi9 harus dikeluarkan dari adalah:
Model Kategori 1:
logit PY j 1 74.92 1.25 xi1 0.18 xi 2 2.14 xi 4
1.45, if xi 6 0
0, if xi 6 1 2.20, if xi 7 0
0, if xi 7 1 1.66, if xi 8 0
0, if xi 8 1
Model Kategori 2:
logit PY j 2 71.86 1.25 xi1 0.18 xi 2 2.14 xi 4 1.45,if xi 6 0
0, if xi 6 1 2.20,if xi 7 0
0,if xi 7 1 1.66,if xi 8 0
0,if xi 8 1
Regresi logistik ordinal menghasilkan dua persamaan sehingga model cukup baik digunakan sebagai
penduga kelas bahaya serangan rayap. Sebagai penduga kelas bahaya rayap di DKI Jakarta.
pembanding adalah kelas bahaya tertinggi yaitu 3
sehingga apabila nilai variabel dimasukkan dalam Simpulan
Model Kategori 1, dan nilai logit P-nya lebih kecil
1. Sekurang-kurangnya di DKI Jakarta ditemukan
dari 1 maka masuk dalam kelas bahaya 3 dan apabila
empat spesies rayap yaitu Coptotermes
nilai logit P-nya lebih dari 1 maka masuk dalam kelas
curvignathus, Schedorhinotermes javanicus,
bahaya 1. Begitu pula dengan persamaan pada Model
Microtermes insperatus, dan Macrotermes gilvus
Kategori 2. Uji kelayakan model pada regresi logistik
serta keanekaragam rayap tanah tertinggi berada di
ordinal tersebut dilakukan menggunakan uji Pearson
Jakarta Selatan.
dan uji Deviance berdasarkan hipotesis: H0: Model
2. Karakteristik tanah yaitu meliputi pH dan rasio
sesuai vs H1: Model tidak sesuai. Hasil uji kelayakan
pasir/liat, dan kondisi iklim (suhu dan
model memperlihatkan bahwa berdasarkan uji
kelembaban), serta spesies rayap tanah yang
Pearson Chi2, dan uji Deviance model sesuai untuk
ditemukan berpengaruh nyata terhadap kelas
menduga kelas bahaya serangan rayap dengan
bahaya serangan rayap di DKI Jakarta.
kepercayaan lebih dari 95%. Model kelas bahaya
Berdasarkan karakteristik tanah, iklim, dan spesies
serangan rayap yang diduga melalui regresi logistik
yang ditemukan, kelas bahaya serangan rayap
ordinal, telah mampu mengklasifikasikan 62
tanah di DKI Jakarta diklasifikasikan ke dalam
kelurahan contoh dengan tepat sehingga tingkat
tiga kelas dengan model sebagai berikut:
akurasi model adalah 73.8%. Model berhasil
memprediksi kelas bahaya rendah (kelas 1) sebesar
84.44%, kelas 2 (62.50%), dan kelas 3 (60%),
Model Kategori 1:
logit PY j 1 74.92 1.25 xi1 0.18 xi 2 2.14 xi 4
1.45, if xi 6 0
0, if xi 6 1 2.20, if xi 7 0
0, if xi 7 1 1.66, if xi 8 0
0, if xi 8 1
Model Kategori 2:
logit PY j 2 71.86 1.25 xi1 0.18 xi 2 2.14 xi 4
1.45,if xi 6 0
0, if xi 6 1 2.20,if xi 7 0
0,if xi 7 1 1.66,if xi 8 0
0,if xi 8 1
Kualitas Kokon bibit Hibrid Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Asal Bulgaria dan
Indonesia
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk membandingkan kualitas kokon dua hibrid ulat sutra asal Bulgaria dan
Indonesia untuk mengetahui potensi pengembangannya di wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Penelitian dilaksanakan di Desa Cijedil, Kab. Cianjur dengan ketinggian tempat 700 meter dari permukaan
laut. Eksperimen dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan bibit dari 2 hibrid
ulat sutra. Hasil uji kualitas menunjukkan masa larva hibrid Bulgaria lebih pendek 1,5 hari dibandingkan
hibrid dari Indonesia. Persentase penetasan dan rendemen pemeliharaan kedua hibrid menunjukkan hasil
yang tinggi rata-rata lebih dari 90%. Kualitas kokon hibrid Indonesia menunjukkan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan hibrid dari Bulgaria.
Kata kunci : bibit, hibrid, kokon, kualitas
ABSTRACT
The main objective of the study is to compare two F1 silkworm hybrids of Bulgaria and Indonesia to look
for their potentiality to develop in the district of Cianjur, West Java. The experiment was carried out in
Cijedil Village, Cianjur, West Java, at the elevation of about 700 m above sea level. Randomized Complete
Block Design was used in the experiment with 2 treatments of silkworm hybrid and six replications. The
result showed that Bulgarian silkworm hybrid has shorten larval period compare to Indonesian hybrid.
Both hybrids have hatching percentage and harvesting yield quite high with an average greater than 90%.
The Indonesian hybrid has higher cocoon quality than Bulgarian hybrid.
Keywords: cocoon, hybrid, silkworm
diantaranya melalui perbaikan jenis bibit ulat sutera
PENDAHULUAN (Kaomini dan Andadari, 2009), karena selama ini
Latar Belakang pemeliharaan ulat dengan kondisi lingkungan yang
Persutraan alam merupakan kegiatan yang beragam hanya mengunakan jenis ulat yang sama, hal
menghasilkan komoditi yang bernilai tinggi, mudah ini menghasilkan produksi kokon yang berfluktuatif
dilaksanakan dan waktu pengerjaannya relatif singkat. (Andadari & Kuntadi. 2014).
Karena sifatnya yang padat karya, maka budidaya ini Usaha industri persuteraan, kualitas bibit
mampu menciptakan lapangan kerja, menambah merupakan aspek penting karena sering menjadi
penghasilan masyarakat, meningkatkan taraf hidup penyebab kehilangan produksi atau kegagalan.
masyarakat serta ikut serta dalam kegiatan produksi Kriteria bibit yang baik adalah bibit yang bebas
sandang. Kegiatan persuteraan alam merupakan penyakit, mempunyai penetasan yang tinggi dan
rangkaian kegiatan yang dimulai dari penanaman seragam, pertumbuhan ulat seragam, mortalitas
murbei (produksi daun), pembibitan ulat sutera rendah dan menghasilkan kokon yang stabil (Nursita,
(produksi telur), pemeliharaan ulat sutera (produksi 2011)
kokon), pengolahan kokon (produksi benang sutera) Kualitas kokon yang meliputi bobot kokon,
dan penenunan. rasio kulit kokon dan rasio kokon cacat, sangat
Keberhasilan usaha pemeliharaan ulat sutera berpengaruh dalam penentuan perdagangan kokon.
tergantung kepada beberapa faktor, yaitu pakan, bibit Kondisi pemeliharaan akan berpengaruh terhadap
ulat, kondisi pemeliharaan dan sistem pemeliharaan. bobot kokon dan rasio kokon cacat, sedangkan rasio
Meskipun kokon dapat dihasilkan sepanjang tahun, kulit kokon oleh jenis bibit ulat. Faktor penting yang
namun sampai saat ini besarnya produksi masih berhubungan erat dengan hasil benang sutera adalah
fluktuatif. Salah satu faktor yang menjadi rasio kulit kokon, sehingga perlu didapatkan bibit ulat
penyebabnya adalah masih rendahnya produksi sutera yang mempunyai rasio kulit kokon tinggi agar
persatuan luas sehingga penghasilan yang didapat dapat meningkatkan harga jual dari kokon tersebut
belum optimal (Santoso. 2012). Disamping itu banyak (Andadari. 2016), sehingga yang perlu didapatkan
petani yang belum dapat menghasilkan kualitas kokon untuk keberhasilan pengembangan sutera adalah
sebagaimana diinginkan oleh pengrajin sehingga hibrid ulat yang mempuyai kualitas kokon yang baik
import benang masih berlangsung di beberapa daerah.
Sehubungan dengan itu, usaha untuk meningkatkan Tujuan Kegiatan
produksi dan kualitas kokon perlu terus dilakukan,
Mengetahui daya adaptasi hibrid baru ulat mengokon dengan jumlah ulat keseluruhan,
sutera dari Bulgaria untuk potensi pengembangannya kemudian dikalikan 100%
di wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Jumlah ulat yang masuk kea lat pengokonan X 100%
Jumlah ulat pada awal instar V
METODOLOGI
Lokasi Kegiatan 4. Persentase kokon normal, didapatkan dengan
Pemeliharaan ulat dilakukan di Desa Cijedil, cara membandingkan jumlah kokon normal
Cianjur dengan ketinggian tempat 700 meter dari dengan jumlah kokon keseluruhan kemudian
permukaan laut (mdpl), sebelum pelaksanaan dikalikan dengan 100%
dilakukan survei awal lokasi dan kondisi lapangan. 5. Bobot kokon, merupakan bobot kokon rata-rata
Survei awal bertujuan untuk memeriksa kondisi daun dari 30 butir sampel, dalam satuan gram
murbei sebagai pakan dan ketersediaan ruang 6. Persentase kulit kokon, merupakan perbandingan
pemeliharaan ulat untuk menentukan desain dan antara bobot kulit kokon dan bobot kokon utuh
metode pemeliharaan pada saat pelaksanaan kegiatan kemudian dikalikan 100%
ujiadaptasi.
Bahan dan Peralatan HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan yang digunakan berupa telur ulat Kualitas ulat
sutera dari 2 jenis hibrid yang terdiri dari Bugaria dan Parameter yang digunakan untuk
dari Indonesia serta daun murbei (Morus sp.) sebagai menunjukkan kualitas ulat dalam penelitian ini adalah
pakannya. Peralatan berupa cold strorage, inkubator, persentasi penetasan, masa larva dan rendemen
rak pemeliharaan, sasag, alat pengokonan dan lain- pemeliharaan yang disajikan pada Tabel 1.
lain.
Teknik Pelaksanaan a. Persentase penetasan
Pemeliharaan ulat kecil: Jumlah ulat yang Persentase penetasan yang tinggi merupakan
digunakan dalam penelitian ini adalah 12000 ekor hal yang sangat utama dalam usaha budidaya ulat
ulat. Pada instar I – III dipelihara pada enam sasag sutera (Andadari & Kuntadi, 2014). Daya tetas
yang terpisah dan belum dilakukan penghitungan dihitung berdasarkan jumlah telur yang menetas
jumlah ulat, kemudian pada awal instar IV ulat mulai dibagi dengan total telur masing-masing induk dikali
dihitung yang dibagi dalam 12 sasag dengan dua seratus persen. Telur yang menetas memiliki kulit
perlakuan berupa hibrid ulat sutera dan masing – telur berwarna putih, seangkan yelur yang tidak
masing diulang sebanyak enam kali yang terdiri 1000 menetas berwarna abu-abu kehitaman dan kuning.
ekor ulat sutera. Rataan daya tetas telur disajikan pada Tabel 1.
Pakan yang digunakan adalah daun murbei
(Morus cathyana) dan diberikan 3 kali sehari untuk Tabel 1. Perbandingan persentase tetas telur, masa
ulat kecil yaitu pukul 07.00, 12.00 dan 16.00 larva, dan rendemen pemeliharaan ulat sutera hibrid
sedangkan ulat besar frekuensi pemberian pakan Bulgaria dan hibrid Indonesia di Cijedil, Cianjur
ditambahkan pada jam 21.00, hal ini disesuaikan Perlakuan Persentase Masa Rendemen
dengan meningkatnya pertumbuhan. Jumlah daun tetas larva pemeliharaan
yang diberikan sesuai dengan jumlah ulat dan instar. Bulgaria 97,38 a 24 hari 95 a
Untuk instar 1 diberi daun muda yaitu 4 – 5 lembar Indonesia 96,99 a 25 hari 96 a
daun dari ujung, instar II dipetik 6-7 lembar dari 12 jam
ujung, instar III diberi daun 7-8 lembar daun dari Keterangan Nilai dalam kolom yang diikuti
ujung. Untuk instar I-III pemberian pakan dalam : dengan huruf yang sama berarti tidak
bentuk irisan yang ukurannya disesuaikan berbeda nyata pada taraf 5% menurut
perkembangan ulat. Sedangkan untuk ulat besar Uji Jarak Berganda Duncan
(Instar IV dan V) diberi daun murbei utuh dan segar.
Rancangan Penelitian Hasil analisis menunjukkan tidak ada
Rancangan yang digunakan dalam penelitian perbedaan persentase penetasan antara kedua hibrid
ini adalah rancangan acak kelompok dengan dua tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, persentase
perlakuan berupa hibrid ulat sutera dan enam ulangan penetasan kedua hibrid sangat tinggi, semuanya di
Parameter yang diamati atas 95%, menurut Andadari dan Kuntadi (2014) daya
1. Persentase penetasan, yaitu banyaknya telur tetas telur yang dianggap cukup baik adalah 90%, hal
yang menetas dengan jumlah total telur per ini berlaku untuk hibrid dari Indonesia dan hibrid dari
induk dikali 100% Bulgaria. Rendemen pemeliharaan adalah
2. Masa larva, yaitu menghitung jumlah jam dan perbandingan antara ulat yang mengokon dengan
hari pada setiap instar. jumlah ulat yang dipelihara, rendemen pemeliharaan
3. Rendemen pemeliharaan, didapatkan dengan sangat berpengaruh pada jumlah benang yang
cara membandingkan antara jumlah ulat yang dihasilkan. Hasil penelitian menyatakan tidak adanya
perbedaan yang nyata pada kedua hibrid, hal ini Kokon yang dihasilkan dari pemeliharaan
mengindikasikan bahwa kedua hibrid tidak ulat sutera tidak seluruhnya normal dan terdapat
mempengaruhi rendemen pemeliharaan. Rendemen beberapa bagian yang merupakan kokon cacat,
pemeliharaan kedua hibrid sama mencapai sekitar sehingga pada saat panen harus dikelompokkan
95%, hal ini juga merupakan salah satu indikasi menjadi dua macam, yaitu kokon normal dan kokon
bahwa kesehatan ulat cukup baik, karena ulat yang tidak norma (cacat). Persentase kokon normal
kurang sehat umumnya menghasilkan rendemen mempengaruhi jumlah kokon yang dapat digunakan
pemeliharaan yang rendah. untuk proses selanjutnya. Semakin tinggi persentase
b. Masa larva kokon normal yang dihasilkan semakin banyak
Umur ulat selama penelitian yang terhitung jumlah kokon yang dapat dimanfaatkan. Kokon yang
mulai dari pemberian pakan pertama sampai dengan dihasilkan dari pemeliharaan ulat sutera tidak
ulat besar (instar V), berdasarkan Tabel 1, tampak seluruhnya mulus dan terdapat beberapa bagian yang
bahwa hibrid Bulgaria lebih pendek 1 hari 12 jam, merupakan kokon cacat. Kokon yang cacat harus
hasil ini menunjukkan jenis hibrid berpengaruh dipisahkan dari yang normal dan baik, karena tidak
terhadap lamanya periode larva. Lamanya periode baik untuk proses reeling. Beberapa contoh kokon
hidup mulai dari lahir sampai membuat kokon kurang cacat, yaitu kokon ganda, kokon berlubang, kokon
lebih satu bulan, tetapi hal ini biasanya dipengaruhi bernoda dalam, kokon tergencet, bentuk kokon yang
oleh lingkungan yaitu iklim dan temperatur setempat. abnormal, kokon berserabut, kokon berlapis ganda,
c. Rendemen Pemeliharaan dan kokon yang tipis bagian tengahnya (Andadari et
Keunggulan dari ulat sutera dapat dilihat dari al., 2013). Hasil analisis pada parameter persentase
dua segi yaitu kekuatan ulat yang berupa rendemen kokon normal tidak menunjukkan perbedaan yang
pemeliharaan dan kualitas kokon yang dihasilkan. nyata antar kedua hibrid, namun ada kecenderungan
Rendemen pemeliharaan dipengaruhi oleh sifat hibrid Indonesia menunjukkan persentase kokon
keturunan dari jenis ulat, keadaan lingkungan selama normal yang tinggi, hal ini dikarenakan hibrid
pemeliharaan (Andadari et al., 2013), ketrampilan Indonesia sudah lebih lama beradaptasi dengan
pemeliharaan serta kualitas daun murbei yang lingkungan di daerah tropis. Kisaran nilai persentase
digunakan sebagai pakan ulat sutera. Rendemen kokon normal dari kedua hibrid yang digunakan
pemeliharaan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel sebesar 90.30%, semakin besar persentase kokon
1. normal maka akan semakin besar pula raw silk yang
Hasil sidik ragam tidak menunjukkan adanya dihasilkan.
perbedaan yang nyata untuk kedua hybrid yang
digunakan. Kisaran nilai rendemen pemeliharaan Tabel 2. Kualitas kokon hibrid Bulgaria dan hibrid
kedua hibrid yang digunakan sebesar 95%, hal ini Indonesia di Cianjur
menunjukkan larva kedua hibrid tersebut memiliki Perlakuan Persentase Bobot Ratio
kekuatan atau daya tahan hidup atad daya adaptasi kokon normal kokon kulit
yang sama terhadap kondisi lingkungan tempat (%) (g) kokon
pemeliharaan. Rendemen pemeliharaan kedua hibrid (%)
tersebut sudah memenuhi nilai komersial dengan nilai Bulgaria 88,67 a 1,63 b 19,26 b
di atas 90%. Indonesia 91,92 a 1,82 a 20,52 a
Kualitas kokon Keterangan: Nilai dalam kolom yang diikuti
Kokon merupakan hasil akhir dari dengan huruf yang sama berarti tidak
pemeliharaan ulat dan kualitasnya ditentukan oleh berbeda nyata pada taraf 5% menurut
sifat keturunan dari jenis ulat sutera dan kondisi Uji Jarak Berganda Duncan
lingkungan seperti keadaan selama pemeliharaan,
pengokonan, dan lain-lain. Syarat kokon yang baik b. Bobot Kokon Segar
adalah sehat (tidak cacat), bersih (putih bersih), Bobot kokon merupakan salah satu
bagian dalam (pupa) tidak rusak atau hancur, bagian parameter yang harus diketahui pada setiap
kulit kokon (lapisan serat-serat sutera) keras dan jika pemeliharaan ulat sutera, bobot kokon berkorelasi
ditekan sedikit berat. Beberapa parameter kualitas positif dengan hasil kokon per boksnya dan hasil
kokon seperti persentase kokon normal, bobot kokon, benang yang dihasilkan (Muin et al., 2006; Kaomini
dan persentase kulit kokon, adalah parameter penentu & Andadari (2009)). Bobot kokon dipengaruhi oleh
yang secara ekonomi paling penting dalam budidaya jenis ulat, jenis kelamin dan penyediaan daun murbei
ulat sutera, karena merupakan bahanpertimbangan sebagai pakan (Muin et al., 2015). Daun murbei yang
bagi para pemintal sebab berkaitan langsung dengan sehat (normal) serta pemberiannya disesuaikan
harga yang akan dibayarkan dan biaya untuk dengan umur ulat, daun murbei yang memiliki
memproduksi benang. Hasil kualitas kokon hasil uji kualitas baik akan meningkatkan bobot kokon. Hasil
adaptasi disajikan dalam Tabel 2. sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang
a. Persentase Kokon Normal nyata antara kedua hibrid, hibrid Indonesia
menunjukkan bobot kokon yang lebih tinggi Produktivitas dan kualitas Produk Ulat
dibandingkan dengan hibrid dari Bulgaria., sutera. Pusat Penelitian dan Pengembangan
berdasarkan data yang telah diperoleh hibrid Hutan dan Konservasi Alam. Tidak
Indonesia menunjukkan hasil yang lebih tinggi diterbitkan.
dibandingkan hibrid dari Bulgaria. Kumar, S,N., Singh, H., Saha, A.K. & Bindroo, B.B.
c. Rasio Kulit Kokon (2011). Development of bivoltine double
Rasio kulit kokon merupakan salah satu hybrid of the silkworm, Bombyx Mori L.
faktor yang menentukan kualitas kokon, nilai dari tolerant to high temperature and high
rasio kulit kokon erat hubungannya dengan persentase humidity conditions of the tropics. Universal
filament yang akan dihasilkan, terdapat korelasi yang Journal of Environmental Research and
potisif antara bobot kokon dengan rasio kulit kokon Technology. eISSN 2249 0256, 1(4), 423-434.
(Andadari. 2016; Nuraeni & Baharudin, 2009). Hasil Muin, Suryanto, N. & Minarningsih. (2015). Uji coba
sidik ragam rasio kulit kokon kedua hibrid hibrid Morus khunpai dan M. indica sebagai
menunjukkan perbedaan yang nyata, antara kedua pakan ulat sutera ( Bombyx mori Linn.).
hibrid tersebut, rasio kulit kokon hibrid Indonesia Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 4(2),
lebih tinggi dibandingkan hibrid dari Bulgaria, yaitu 137-145.
20,52%. Andadari et al., (2013) menyatakan nilai dari Nursita, I,W. (2011). Perbandingan produktivitas ulat
rasio kuli kokon hibrid (F1) di daerah tropis antara 18 Sutera dari dua tempat pembibitan yang
– 22%. Kisaran nilai ratio kulit kokon kedua hibrid berbeda pada kondisi lingkungan
tersebut memiliki kisaran 19,89%, sudah sesuai pemeliharaan panas. Jurnal Ilmu-ilmu
standar daerah tropis. Diduga penyebabnya adalah Peternakan, 21(3), 10-17.
hybrid Indonesia lebih tahan terhadap kondisi tropis, Nuraeni, S., & Baharudin. (2009). Perbandingan
karena menurut Nursita (2011) dan Kumar & Singh karakteristik dan produktivitas ulat sutera
(2012) adanya perbedaan kemampuan kelenjar sutera (Bombyx mori L.) dari dua sumber bibit di
dalam menghasilkan benang terhadap kondisi Sulawesi Selatan. Jurnal Perennial, 6(1), 39-
lingkungan dengan suhu tinggi dan kelembaban 43.
rendah, dan ulat sutera yang lebih tahan berproduksi
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Andadari. 2016. Pemilihan jenis hybrid ulat sutera
yang optimal untuk dikembangkan di Dataran
Tinggi dan/atau Dataran Rendah. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 13(1), 13 - 21
Andadari & Kuntadi. (2014). Perbandingan hibrid ulat
sutera (Bombyx mori L.) asal Cina dengan
hibrid lokal di Sulawesi Selatan. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 11(3), 173-183.
Andadari, L, S. Pudjiono, Suwandi, and T.
Rahmawati. 2013. Budidaya Murbei dan Ulat
Sutera. dited by M.Kaomini, NF Haneda, and
T.Herawati. Bogor: FORDA Press.
Kaomini, M., & Andadari, L. (2009). Sintesis Hasil
Penelitian Teknologi Peningkatan
182 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Entomophagy: serangga sebagai sumber ....
Cabang Bandung
Lutfi Afifah
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Singaperbangsa Karawang
Jl. HS Ronngowaluyo, Teluk Jambe Timur, Kab. Karawang 41361
*Alamat korespondensi: lutfiafifah@staff.unsika.ac.id
ABSTRAK
Pada negara yang berkembang, kenaikan populasi penduduk yang semakin meningkat dan keterbatasan lahan
pertanian menjadi masalah serius terhadap keamanan pangan. Saat ini permintaan konsumen terhadap protein
hewani juga meningkat. Baru-baru ini terdapat ketertarikan terhadap serangga sabagai bahan pangan pada
kalangan akademisi, industri pangan dan pertanian, dan publik pada umumnya. Untuk alasan ini, upaya baru
harus ditemukan untuk meningkatkan ketersediaan pangan yang berkualitas, terutama perlunya sumber
protein alternatif yang baru. Tujuan dari penulisan review adalah untuk menjelaskan mengenai keterbaruan
data-data penelitian dalam konteks penggunaan serangga sebagai bahan pangan yang potensial sebagai
alternatif sumber protein. Saat ini penggunaan serangga sebagai salah satu bahan pangan semakin
berkembang pada negara tropis maupun subtropis. Serangga bisa menjadi alternatif sebagai bahan pangan
karena (1) serangga mempunyai kandungan protein dan nutrisi lain yang tinggi selain itu juga (2) penggunaan
serangga sebagai bahan pangan mempunyai keuntungan secara ekologis dibandingkan dengan daging
konvensional. Terdapat sekitar 2000 spesies serangga yang dapat digunakan sebagai sumber protein alternatif
sebagai bahan pangan. Kebanyakan spesies tersebut berada pada negara tropis. Serangga yang paling banyak
dikonsumsi antara lain dari Ordo: Coleoptera (31%), Lepidoptera (18%), Hymenoptera (14%), Orthoptera
(13%), Hemiptera (10%), Isoptera (3%), Odonata (3%), Diptera (2%), Ordo lain (5%). Serangga mempunyai
kandungan protein dengan kualitas dan kuantitas yang baik dan mempunyai kandungan asam lemak dan
mineral seperti iron dan zinc. Penggunaan serangga sebagai bahan pangan dan pakan akan memerlukan usaha
perbanyakan massal/peternakan. Masalah dalam keamanan pangan berhubungan erat dengan kontaminasi
mikroorganisme, kimia, dan kontaminasi fisik. Kontaminan tersebut diharapkan tidak ada dalam bahan
pangan, selain itu juga diperlukan higinis dalam produksi pangan berbasis serangga. Di Indonesia,
penggunaan serangga sebagai bahan pangan masih diperlukan banyak kajian dan penelitian. Sehingga di masa
yang akan datang akan dapat dibuat sumber alternatif pangan baru berbasis serangga.
Kata kunci: Entomophagy, alternatif sumber protein, serangga sebagai bahan pangan, nutrisi, keamanan
pangan
ABSTRACT
In developing countries, an increasing population increase and limited agricultural land are becoming serious
problems with food security. Currently, consumer demand for animal protein is also increasing. Recently
there has been an interest in insects as food ingredients in academia, the food and agriculture industry, and the
public at large. For this reason, new efforts must be found to improve the availability of quality food,
especially the need for new alternative sources of protein. The purpose of the review is to explain the updated
data of research in the context of the use of insects as potential food as an alternative source of protein.
Currently, the use of insects as one food material is growing in tropical and subtropical countries. Insects can
be an alternative to food because (1) insects have high protein and other nutrients as well (2) the use of insects
as food has an ecological advantage compared to conventional meat. There are about 2000 species of insects
that can be used as an alternative source of protein as food. Most of these species are in tropical countries.
The most widely consumed insects are from the Order: Coleoptera (31%), Lepidoptera (18%), Hymenoptera
(14%), Orthoptera (13%), Hemiptera (10%), Isoptera (3%), Odonata (3% ), Diptera (2%), Other Orders (5%).
Insects have protein content with good quality and quantity and have fatty acids and minerals such as iron and
zinc. The use of insects as food and feed will require a mass propagation effort/livestock. Problems in food
security are closely related to the microorganism, chemical, and physical contamination. The contaminants
are expected to be absent in foodstuffs, as well as hygiene in insect-based food production. In Indonesia, the
use of insects as food is still needed in many studies and research. So that in the future will be made the
alternative food source of new insect-based.
Keywords: Entomophagy, alternative sources of protein, insects as food, nutrition, food security
pertanian yang luas, air, dan juga energi. Saat ini, disebutkan istilah entomophagy (Evans et al. 2015).
peternakan tradisonal dan produksi dari daging masih Baru pada tahun 1871, Riley mengutarakan mengenai
menjadi tantangan besar dan menjadi pertanyaan. istilah entomophagy melalui tulisannya yang berjudul
Ketertarikan pada alternatif sumber protein baru yang ‘Sixth annual report on the noxious, beneficial, and
mempergunakan lebih sedikit sumber daya menjadi other insects of the state of Missouri’(Evans et al.
daya tarik sendiri di kalangan akademisi, industri 2015).
pangan dan pertanian, dan publik pada umumnya Jumlah dari spesies serangga yang bisa
(Hartmann & Siegrist 2017) dimakan atau biasa disebut edible insects terdapat
Serangga bisa menjadi sumber alternatif sekitar 2000 spesies serangga. Menghimpun data dari
protein yang baik karena mengandung asam amino edible insects tersebut pada dasarnya masih dirasa
esensial, vitamin, dan mineral, bergantung dari jenis sulit karena masih banyak yang mempergunakan
spesies, stadia perkembangan, dan pola makan dari nama lokal (ethnospecies) bahkan pada spesies yang
serangga tersebut. Keunggulan lain dari bahan makan sama. Dengan mempergunakan nama latin, Yde
dari serangga ini adalah proses produksinya relatif Jongema peneliti dari Wageningen University and
aman terhadap lingkungan (environmentally-friendly). Research (WUR) mendapatkan informasi mengenai
Terdapat sekitar 2000 spesies serangga yang bisa jumlah spesies serangga yang dapat di konsumsi.
dimakan (edible insects) dan telah teridentifikasi. Penelitian tersebut berdasarkan studi literatur pada
Kebudayaan beberapa negara seperti Asia Timur, Negara Barat dan negara beriklim sedang / temperate.
Afrika, dan Amerika Selatan, mereka memanen Pada tahun 2002 terdapat sekitar 1900 spesies
serangga dari alam dan merupakan bagian dari diet serangga yang teridentifikasi sebagai edible insects
tradisional. (Van Huis et al. 2013). Perkiraan jumlah edible
Pada banyak negara lain pun seperti Negara insects di Africa yaitu 250 spesies; Meksiko terdapat
Barat masih menjadi polemik antara serangga sebagai 177 spesies; Cina terdapat 170 spesies; Thailand
bahan pangan atau sesuatu yang menjijikan untuk terdapat 164 spesies; dan 428 spesies serangga di
dimakan. Amazon (Gambar 1). Namun untuk penelitian
Namun masih banyak polemik yang menjadi mengenai edible insects ini di Indonesia belum
perdebatan di kalangan akademisi, peneliti, dan juga banyak dilakukan, sehingga data kurang terinformasi
masyarakat luas. Hal ini tidak hanya terjadi pada secara baik (Van Huis et al. 2013).
negara berkembang namun juga pada negara maju.
Walaupun secara nutrisional serangga mempunyai
aspek gizi yang tinggi yang tidak kalah dengan
protein hewani lainnya namun isu kesehatan masih
menjadi perdebatan sampai saat ini. Aspek kesehatan
dari mengkonsumsi serangga bisa dilihat pada gambar
dimana masih terdapat beberapa bahaya seperti
bahaya alergi, bahaya terkontaminasi mikroba, bahaya
parasit, dan bahaya kimiawi. Hal ini patut untuk
menjadi perhatian bagi semuanya, pengetahuan
masyarakat secara luas mengenai paradigma
mengkonsumsi serangga juga harus dibuka. Penelitian
mengenai edible insects juga harus lebih banyak lagi,
sehingga suatu saat nanti akan bisa menjadi sesuatu Gambar 1 Gambaran jumlah serangga yang dapat
yang umum untuk mengkonsumsi protein hewani dari dikonsumsi (edible insects) di seluruh
serangga. dunia (Jongema 2012)
pada fase larva, sedangkan Hymenoptera dikonsumsi tubuh (Belluco et al. 2013). Salah satu serangga yang
sebagian besar pada fase larva atau pupa. Coleoptera banyak di makan di Negara China adalah pupa ulat
banyak dikonsumsi baik pada fase imago maupun sutra, dimana protein ulat sutra dapat dibandingkan
larva. Selain itu, Orthoptera, Hemiptera, Isoptera dengan protein hewan lain (Tabel 1). Protein pada
sebagian besar dikonsumsi pada fase dewasa (Cerritos serangga bisa dicerna oleh tubuh (highly digestible)
2009). antara 77-98%, meskipun serangga dengan
eksoskeleton mempunyai nilai yang lebih rendah
karena adanya kitin (Longvah et al. 2011).
Penghilangan kitin akan meningkatkan kualitas dari
protein serangga jika dibandingkan dengan produk
dari vertebrata lainnya (De Foliart, 2002). Selain itu,
manusia masih bisa mencerna beberapa kitin, 2
kitinase katalitik aktif telah ditemukan: AMCase dan
chitotriosidase (De Foliart 2002).
Serangga sangat bervariasi dalam kandungan
lemak dan energi. Kandungan lemak serangga
berkisar antara 7-77 g/100g berat kering dan kalori
serangga bervariasi antara 293-762 kcal/100 g berat
Gambar 2 Jumlah spesies serangga yang dapat kering (Belluco et al., 2013). Nilai ini tergantung pada
dikonsumsi berdasrkan Ordo. Jumlah pola makan serangga dan spesies serangga. Misalnya
keseluruhan= 1909 (Jongema 2012). ulat dan rayap diketahui mengandung lebih banyak
lemak (Bukkens, 2005) dan menurut (De Foliart,
Kandungan Nutrisi Serangga 2002) beberapa serangga mengandung lebih penting
Serangga dapat memenuhi kebutuhan asam lemak, seperti asam linoleat dan / atau linolenat,
nutrisional dari manusia dan kebanyakan mengandung dibandingkan dengan daging.
asam amino penting penting yang diperlukan oleh
Tabel 1 Perbandingan komposisi asam amino esensial antara pupa ulat sutra segar (silkworm pupae) dan daging
lainnya (Longvah et al., 2011)
Pupa Ulat
Komponen (g/100 g) Daging Sapi Daging Babi Daging Ayam
Sutra
Protein g% 15.8 21.35 21.3 19.4
Aspartic acid 1.54 2.07 1.13 1.91
Threonine 0.75 0.87 0.94 0.95
Serine 0.82 0.86 0.9 0.88
Glutamic acid 2.03 3.61 3.26 2.85
Proline 1.02 0.89 0.85 0.73
Glycine 0.78 1.08 1.02 0.9
Alanine 0.97 1.32 1.25 1.15
Cystine 0.08 0.23 0.29 0.25
Valine 0.84 1.02 1.21 1.04
Methionine 0.36 0.61 0.59 0.62
Isoleucine 0.69 0.92 1.14 0.98
Leucine 1.04 1.82 1.74 1.64
Phenylalanine 0.82 0.86 0.83 0.82
Histidine 0.42 0.82 0.82 0.69
Lysine 1.03 1.94 1.8 1.79
Arginine 0.69 1.3 1.33 1.34
Tantangan Edible Insects dalam Keamanan seperti bahaya alergi, bahaya terkontaminasi mikroba,
Pangan bahaya parasit, dan bahaya kimiawi (Gambar 3). Hal-
Masih banyak polemik mengenai serangga hal tersebut yang hingga kini masih menjadi bahasan
sebagai alternatif sumber protein, hal ini tidak hanya di dunia Internasional (Belluco et al., 2013).
terjadi pada negara berkembang namun juga pada Bahaya alergi didefinisikan reaksi negatif dari respon
negara maju. Walaupun secara nutrisional serangga spesifik imun tubuh sebagai akibat dari terpaparnya
mempunyai aspek gizi yang tinggi yang tidak kalah pada suatu makanan tertentu. Berdasarkan penelitian
dengan protein hewani lainnya namun isu kesehatan oleh (Belluco et al., 2013) sampai saat ini masih
masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Aspek sedikit publikasi mengenai reaksi alergi karena
kesehatan dari mengkonsumsi serangga bisa dilihat mengkonsumsi serangga. Perbedaan tradisi makanan
pada gambar dimana masih terdapat beberapa bahaya secara geografi dapat menjadi perbedaan pada alergi
185 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Entomophagy: serangga sebagai sumber ....
Cabang Bandung
dari mengkonsumsi serangga bisa dilihat pada gambar Jongema Y. 2012. List of edible insect species of the
dimana masih terdapat beberapa bahaya seperti world. Wageningen, Laboratory of
bahaya alergi, bahaya terkontaminasi mikroba, bahaya Entomology, Wageningen
parasit, dan bahaya kimiawi. Hal ini patut untuk University.(available atwww. ent. wur.
menjadi perhatian bagi semuanya, pengetahuan nl/UK/Edible+ insects/Worldwide+ species+
masyarakat secara luas mengenai paradigma list/).
mengkonsumsi serangga juga harus dibuka. Penelitian Longvah T, Mangthya K, Ramulu P. 2011. Nutrient
mengenai edible insects juga harus lebih banyak lagi, composition and protein quality evaluation of
sehingga suatu saat nanti akan bisa menjadi sesuatu eri silkworm (Samia ricinii) prepupae and
yang umum untuk mengkonsumsi protein hewani dari pupae. Food Chemistry 128(2):400-403.
serangga. Ruby MB, Rozin P, Chan C. 2015. Determinants of
willingness to eat insects in the USA and
DAFTAR PUSTAKA India. Journal of Insects as Food and Feed
Belluco S, Losasso C, Maggioletti M, Alonzi CC, 1(3):215-225.
Paoletti MG, Ricci A. 2013. Edible insects in Van Huis A, Van Itterbeeck J, Klunder H, Mertens E,
a food safety and nutritional perspective: a Halloran A, Muir G, Vantomme P. 2013.
critical review. Comprehensive Reviews in Edible insects: future prospects for food and
Food Science and Food Safety 12(3):296- feed security. BioOne.
313. Verbeke W. 2015. Profiling consumers who are ready
Bukkens SG. 2005. Insects in the human diet: to adopt insects as a meat substitute in a
nutritional aspects. Ecological implications Western society. Food Quality and
of minilivestock:545-577. Preference 39:147-155.
Cerritos R. 2009. Insects as food: an ecological, social
and economical approach. CAB Reviews:
Perspectives in Agriculture, Veterinary
Science, Nutrition and Natural Resources
4(027):1-10.
de Boer J, Schösler H, Boersema JJ. 2013.
Motivational differences in food orientation
and the choice of snacks made from lentils,
locusts, seaweed or “hybrid” meat. Food
Quality and Preference 28(1):32-35.
De Foliart GR. 2002. The human use of insects as a
food resource: a bibliographic account in
progress. University of Wisconsin.
Durst PB, Johnson DV, Leslie RN, Shono K. 2010.
Forest insects as food: humans bite back.
RAP publication.
Evans J, Alemu M, Flore R, Frøst M, Halloran A,
Jensen A, Maciel-Vergara G, Meyer-Rochow
V, Münke-Svendsen C, Olsen S. 2015.
‘Entomophagy’: an evolving terminology in
need of review. Journal of Insects as Food
and Feed 1(4):293-305.
Giaccone V. 2005. Hygiene and health features of
mini livestock. Ecological implications of
minilivestock: role of rodents, frogs, snails
and insects for sustainable development.
Science Publisher:579-598.
Hartmann C, Shi J, Giusto A, Siegrist M. 2015. The
psychology of eating insects: A cross-
cultural comparison between Germany and
China. Food quality and preference 44:148-
156.
Hartmann C, Siegrist M. 2017. Insects as food:
perception and acceptance. Findings from
current research. Ernahrungs Umschau
64(3):44-50.
Tingkat Pemahaman Masyarakat Desa Besuki Terhadap Edible Insect : Kajian Awal
Introduksi Berbagai Produk Olahan Berbahan Dasar Serangga Sebagai Sumber
Protein
ABSTRAK
Penelitian mengenai tingkat pemahaman masyarakat Desa Besuki terhadap edible insect ini dilatar belakangi
oleh hasil observasi mudahnya ditemui serangga yang berpotensi untuk diolah menjadi bahan pangan, serta
semakin mahalnya daging sapi yang menjadi salah satu sumber protein. Tujuan utama penelitian ini adalah
mengetahui tingkat pemahaman masyarakat mengenai edible insect yang ada di sekitar mereka, sehingga
dapat dilakukan penelitian lanjutan yang menghasilkan produk laku jual dan dapat sekaligus mencukupi
kebutuhan nutrisi. Metode yang digunakan adalah wawancara dan pembagian angket. Sebanyak 100 orang
dipilih secara acak, dan dijadikan sebagai subjek penelitian. Hasil dari tahap ini diketahui sebanyak 68%
responden tidak mengetahui kebutuhan protein tubuh. Mayoritas responden yang mengetahui kebutuhan
protein tubuh menggunakan daging sapi dan telur ayam sebagai sumber protein utama (72%), sisanya
memenuhi kebutuhan tersebut melalui protein nabati. Dari keseluruhan responden, sebanyak 37% mengetahui
bahwa ada serangga yang dapat dimakan, dan pernah mengkonsumsinya. Dengan demikian, tingkat
pengetahuan masyarakat tentang edible insec masih rendah. Hasil wawancara menunjukkan bahwa serangga
yang lazim dikonsumsi adalah belalang.
Kata kunci: pemahaman masyarakat, edible insect, sumber protein
ABSTRACT
Research on understanding edible insect of Besuki villagers based on beef price which getting expensive. On
the other hand, many potential insect to be an edible insect found but people people are not accustomed to
eating insects. The main purpose of this research is to know the level of public understanding about edible
insect. 100 people were selected randomly to be interviewed and fill out a questionnaire. Results showed that
68% of respondents did not know the importance of protein. Almost all respondents who understand about
protein requirements use beef and eggs (72%). However, only 37% who understand about edible insect. Thus,
the level of public knowledge about edible insect is still low. Interviews showed that the commonly
consumed insects were grasshoppers.
Key words: public knowladge, protein needs, sumber protein
2016; Prameswari & Sulistiyowati, 2016). Namun tanah, baik sebagai petani, pekerja perkebunan,
belum pernah diketahui respon masyarakat terhadap penjual tanaman hias sehingga masyarakat lebih
serangga yang dapat dikonsumsi, kegunaan, dan mengenal variasi makanan berbahan dasar tumbuhan
pengolahannya. dari pada hewan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di desa Besuki yang
berlokasi ± 15 km dari pusat kota Kediri (Gambar 1),
selama bulan April hingga Juli 2017. Penelitian ini
melibatkan sebanyak 100 responden dari berbagai
kalangan masyarakat yang berdomisili di Desa
Besuki. Masing-masing responden menjawab 10
pertanyaan pada angket. Pertanyaan tersebut meliputi
pengetahuan dasar masyarakat tentang serangga yang
dapat dikonsumsi. Beberapa responden diwawancara
untuk memperjelas jawaban agar memudahkan
peneliti dalam pengelompokan jawaban.
Gambar 2. Hasil penelitian: persentase
sumber makanan untuk pemenuh protein
ABSTRAK
Kupu – kupu termasuk serangga yang dapat membantu polinasi bunga. Kupu – kupu menghisap nektar dari
bunga menggunakan probosis. Panjang probosis kupu – kupu berkaitan dengan panjang tabung bunga
penghasil nektar yang dikunjunginya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara panjang
probosis kupu - kupu dengan panjang tabung bunga. Penelitian telah dilaksanakan di tujuh titik pengamatan
yang terdapat di Kampus UI Depok, pada bulan Juli hingga Agustus 2017. Penelitian dilakukan secara
bertahap, diawali dengan survei lokasi yang menjadi titik pengamatan kupu - kupu serta pendataan kupu -
kupu dan bunga yang dikunjunginya dengan metode jelajah bebas. Selanjutnya, pengambilan sampel kupu -
kupu dan bunga yang dikunjunginya dilakukan dengan tiga kali pengulangan. Pengamatan dilakukan
terhadap enam spesies kupu - kupu dari famili Pieridae. Rata - rata panjang probosis kupu - kupu berkisar
0.92 - 1.63 cm, dengan rata - rata panjang tabung bunga yang dikunjungi berkisar 0.92 - 1.37 cm. Analisis
data dilakukan menggunakan software IBM SPSS Statistics 22, nilai korelasi Spearman yang diperoleh
adalah - 0.176, dengan nilai signifikasi sebesar P = 0.738. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada korelasi
negatif antara panjang probosis kupu - kupu Pieridae dengan panjang tabung bunga. Cara kupu - kupu yang
berbeda ketika mengambil nektar dari bunga diduga sebagai penyebab korelasi tersebut bernilai negatif.
Kata kunci: Pieridae, probosis, kupu – kupu, korelasi Spearman, tabung bunga.
ABSTRACT
Butterflies is one of insects that can help flower pollination. Butterflies are sucking nectar from flowers using
proboscis. The length of the butterfly proboscis accord to the length of the tube of the nectar-producing
flower it visits. This study aims to determine the correlation between the length of the butterfly proboscis
with the length of the flower tube. The study was conducted at seven observation points located at UI Depok
Campus, July to August 2017. The study was conducted in stages, beginning with the survey location which
became the observation point of the butterfly and the data collection of butterflies and flowers visited by the
method of free roaming. Furthermore, the sampling of the butterflies and flowers visited by three repetitions.
Observations were made on six species of butterflies of Family Pieridae. The average length of the butterfly
proboscis ranges from 0.92 - 1.63 cm, with the average length of the visited flower tube ranging from 0.92 -
1.37 cm. Data analysis was done using IBM SPSS Statistics 22 software, Spearman correlation value
obtained was - 0.176, with the significance value of P = 0.738. These results indicate that there is a negative
correlation between the probable length of the Pieridae butterfly with the length of the flower tube. Different
butterflies when taking the nectar from the flower is thought to be the cause of the correlation is negative.
Keywords: Pieridae, proboscis, butterfly, Spearman correlation, flower tube.
PENDAHULUAN
Kupu-kupu (Lepidoptera) merupakan berupa nektar dan meletakkan telur pada bagian
serangga yang mudah dikenali karena memiliki tanaman. Peranan kupu - kupu bagi tanaman adalah
sepasang sayap yang tersusun atas sisik-sisik yang sebagai polinator. Kupu – kupu juga berperan penting
menghasilkan suatu pola warna (Peggie & Amir 2006: dalam menjaga keseimbangan ekosistem, karena kupu
14). Ordo Lepidoptera terbagi menjadi 47 Superfamili - kupu menjadi bagian dari rantai makanan dan
dan 124 Famili. Salah satu superfamili Lepidoptera bioindikator perubahan suatu lingkungan (Efendi
yaitu Papilionoidea, yang terdiri dari Famili 2009: 19).
Papilionidae, Pieridae, Riodinidae, Lycaenidae, dan Simbiosis antara kupu – kupu dan bunga
Nymphalidae (Kristensen et al. 2007). Famili Pieridae telah banyak dipelajari. Kupu – kupu membutuhkan
memiliki ciri khas yaitu sayapnya yang berwarna nektar dari bunga sebagai sumber pakan untuk
terang seperti putih, kuning atau oranye dengan bintik keberlangsungan hidupnya. Sebaliknya, kupu-kupu
hitam. Warna berbeda pada sayap kupu-kupu sangat membantu bunga dalam menyebarkan serbuk
dihasilkan oleh pigmen yang berasal dari produk sari sehingga dapat menyentuh putik dan terjadi
limbah di dalam tubuh (Mal et al. 2014: 164). penyerbukan yang akan menghasilkan biji (Saraf &
Terdapat dua tujuan utama kupu – kupu Murali 2017: 48).
mengunjungi tanaman, yaitu mengambil makan
192 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Korelasi panjang proboscis kupu ....
Cabang Bandung
Kupu – kupu mengambil nektar dengan Bahan yang digunakan untuk penelitian antara lain
menggunakan probosis. Probosis merupakan alat spesimen kupu – kupu dan bunga yang telah diambil,
penghisap yang berbentuk belahan tabung panjang papilot, ziplock dan silica gel.
dan tipis yang bersatu. Ukuran panjang probosis kupu Metode
– kupu bervariasi, berkaitan dengan panjang tabung Pendataan kupu-kupu dan bunga yang
bunga yang menjadi preferensi pakannya. dikunjunguinya
Pengambilan nektar oleh kupu-kupu umumnya Penelitian diawali dengan survei lokasi titik
dibatasi panjang mahkota (corolla) bunga suatu pengamatan, mengamati serta mendata kupu – kupu
tumbuhan (Rusman 2015: 3). Kupu – kupu dengan dan bunga yang dikunjunginya dengan metode jelajah
probosis pendek cenderung mengunjungi bunga bebas. Metode jelajah bebas adalah metode
dengan tabung mahkota pendek, sedangkan kupu – pengamatan dengan cara berjalan sepanjang jalur
kupu dengan probosis panjang cenderung pengamatan.
mengunjungi bunga dengan tabung mahkota panjang Pengambilan sampel dan identifikasi
(Bariyah 2011: 8). Tujuan dari penelitian ini adalah Metode penangkapan kupu – kupu yang
untuk mengetahui korelasi antara panjang probosis digunakan adalah metode sweeping, yaitu metode
kupu – kupu dengan panjang tabung bunga penghasil penangkapan dengan menggunakan jaring serangga
nektar. (insect net). Kupu – kupu yang diambil sebanyak tiga
individu tiap spesies. Spesimen yang diperoleh
BAHAN DAN METODE dimasukkan ke dalam kertas minyak yang berbentuk
Waktu dan lokasi penelitian segitiga (papilot) dengan tujuan agar spesimen tidak
Penelitian dilakukan di lingkungan kampus mengalami kerusakan. Bunga yang dikunjungi kupu –
Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat. Lima kupu juga diambil dan dimasukkan ke dalam ziplock.
lokasi di Universitas Indonesia yang dijadikan titik Selanjutnya, dilakukan proses identifikasi dengan
pengamatan yaitu Walace Timur, Walace Barat menggunakan buku literatur, website ataupun kunci
(Hutan Kota UI), Sabda Widya, Mahoni, PPMT, identifikasi.
Menara Air, dan Lab Alam FMIPA UI. Penelitian Perhitungan korelasi
dilakukan pada pagi hari, yaitu pukul 08.00 – 11.00 Probosis kupu – kupu direntangkan di bidang
WIB selama 4 bulan, yaitu pada bulan Juli hingga datar dengan bantuan pinset dan jarum pentul,
Agustus 2017. kemudian panjangnya diukur dengan penggaris.
Panjang tabung bunga diukur dengan kalipter.
Alat dan Bahan Analisis data dilakukan menggunakan software SPSS
Alat yang digunakan untuk penelitian antara untuk mengetahui nilai korelasi Spearman antara
lain insect net, kaliper, penggaris, jarum pentul, panjang probosis kupu – kupu dan panjang tabung
pinset, kotak plastik, alat tulis dan buku catatan. bunga.
Gambar 1. Lokasi penelitian di lingkungan kampus Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat.
Tabel 1. Daftar kupu – kupu Pieridae yang ditemukan beserta bunga yang dikunjunginya
Nama Spesies Bunga
Bunga Bunga Maman Bunga
Rumput Putihan ungu tridax
Nama Spesies kupu-kupu
Israel (Clibadium (Cleome (Tridax
No
(Asystasia surinamens rutidosperm procumbens
gangetica) e) a) )
1 Appias olferna (betina)
2 Appias olferna (jantan)
3 Catopsilia pomona (jantan)
4 Eurema alitha
5 Eurema hecabe
6. Leptosia nina
Rata - rata panjang probosis kupu - kupu (Scott, 2014). Bunga yang dikunjungi oleh kupu –
Pieridae yang diamati berkisar 0.92 - 1.63 cm. Kupu – kupu dipengaruhi banyak faktor, antara lain panjang
kupu dengan rata – rata panjang probosis paling probosis kupu – kupu, batas maksimal probosis
pendek yaitu Appias olferna (betina), sedangkan yang menjangkau nektar, warna bunga, ukuran tabung
paling panjang yaitu Catopsilia pomona (jantan). Rata bunga, jumlah kelompok bunga (inflorescence floral),
- rata panjang tabung bunga yang dikunjungi Pieridae ketinggian bunga, aroma bunga, konsentrasi gula
berkisar 0.92 - 1.37 cm. Bunga putihan (Clibadium dalam nektar bunga, serta pengaruh lingkungan
surinamense) memiliki rata – rata panjang tabung (habitat, ketinggian, dan jumlah tutupan kanopi).
bunga paling pendek, sedangkan bunga rumput Israel Famili Papilionidae menyukai bunga tipe sparsa
(Asystasia gangetica) memiliki rata – rata panjang (kuntum bunga tersebar), Pieridae menyukai bunga
tabung bunga paling besar. tipe sparsa moderat, sedangkan Hesperiidae dan
Kupu – kupu dengan probosis panjang lebih Nymphalidae menyukai bunga bertumpuk (Tiple et
memungkinkan mengunjungi beragam bunga, baik al., 2009).
dengan ukuran tabung bunga panjang maupun pendek
Tabel 2. Rata – rata panjang probosis kupu – kupu Pieridae dan rata – rata panjang tabung bunga
Rata – rata Rata – rata
No Nama Spesies panjang panjang
probosis tabung bunga
1 Appias olferna (betina) 0.92 1.14
2 Appias olferna (jantan) 1.1 0.97
3 Catopsilia pomona (jantan) 1.63 1.37
4 Eurema alitha 1.1 0.92
5 Eurema hecabe 1.17 1.37
6 Leptosia nina 0.95 0.925
DAFTAR PUSTAKA
Bariyah, K. 2011. Hubungan panjang probosis kupu –
kupu dengan preferensi pakan di areal
kampus I Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta [Skripsi].
Jakarta: Universitas Islam Negeri.
Bauder, J.A.S., Warren A.D,. & Krenn H.W. 2015.
The ecological role of extremely long
proboscid Neotropical butterflies
(Lepidoptera: Hesperiidae) in plant-
Keanekaragaman Serangga:
Fakta, Fiksi, dan Keterbaruan Penelitian di Indonesia
ABSTRAK
Hutan hujan tropis dipercaya memegang peranan penting dalam keanekaragaman serangga. Pada banyak
penelitian di daerah tropis seperti Indonesia, banyak digunakan insektisida knock down untuk mengetahui
sampling keanekaragaman serangga. Saat ini, keanekaragaman serangga pada pertanian khususnya dalam hal
ketidakseimbangan ekosistem juga menjadi sorotan. Hal ini didukung dengan banyaknya kasus ledakan hama
yang terjadi, seperti ledakan hama pada belalang kembara Locusta migratoria (Orthoptera: Acrididae) di
Sumba dan ledakan hama ulat bulu Lymantria marganita dan Arctornis submarginata (Lepidoptera:
Erebidae) di Probolinggo. Masyarakat pada umumnya mengetahui serangga dari sisi negatifnya yakni sebagai
hama pada tanaman pertanian, vektor penyakit, dsb. Padahal menurut para ahli, spesies kelimpahan serangga
hama tidak lebih dari 5%. Jasa ekologi dari serangga menghasilkan berbagai produk bernilai ekonomi tinggi
seperti madu, wax, sutera, dan hasil pertanian lainnya. Selain itu, serangga dapat menjadi bioindikator
kesehatan lingkungan. Beberapa spesies serangga dari ordo Trichoptera, Ephemeroptera, dan Plecoptera
digunakan menjadi bioindikator pencemaran air. Serangga memiliki peran fundamental terhadap siklus
karbon global melalui perannya sebagai dekomposer yang handal seperti spesies rayap Nasutitermes
javanicus (Isoptera: Rhinotermitidae) dan Macrotermes glivus (Isoptera: Termitadae). Serangga juga menjadi
model bioinspiration perkembangan teknologi seperti pembuatan lensa kamera yang terinspirasi dari mata
serangga serta pembuatan robot yang terinspirasi dari teknik terbang dan berjalannya serangga. Selain itu, di
Indonesia banyak ditemukannya spesies-spesies serangga baru pada tanaman cengkeh seperti ngengat C.
kwerbaensis, C. watungi (Lepidoptera: Oecophoridae). Spesies tersebut masing-masing ditemukan di
Sulawesi Utara, Halmahera, dan Papua. Hama baru lain pada tanaman kedelai yaitu Diabrotica sp.
(Coleoptera: Chrysomelidae) dan Caloptilia sp. (Lepidoptera: Gracillariidae) di Ngawi, Jawa Timur.
Penelitian mengenai keanekaragaman serangga masih perlu dikembangkan lagi sehingga nantinya dapat
digali potensi serangga lainnya yang dapat bermanfaat bagi manusia, ekosistem, keilmuan, teknologi, dan
ekonomi secara global.
Kata kunci: keanekaragaman serangga, pertanian, ekologis, ekonomis, bioindikator
ABSTRACT
Tropical rain forests play an important role in insects species diversity. Many studies of insect
species diversity in tropical country such Indonesia used knock down insecticides to determine the insect
species diversity. In the last decade, imbalances of insects in agricultural ecosystem become highlight. This is
supported by the number of pest explosion cases, such as pest explosions on Locusta migratoria (Orthoptera:
Acrididae) in Sumba and caterpillar pests of Lymantria marganita and Arctornis submarginata (Lepidoptera:
Erebidae) in Probolinggo. Insects are known as a pest or vector-borne diseases in agricultural crops. But,
according to the experts, the number of harmful insect species are no more than 5%. The ecological services
of insects produce variety of high value economic products such as honey, wax, silk, and other agricultural
products. Besides, insects can become bioindicator of enviromental health. Several species of insects from the
Trichoptera, Ephemeroptera, and Plecoptera are used as a bioindicators of water pollution. Furthermore,
Insects have a fundamental role to the global carbon cycle since its role as a reliable decomposer such as the
termite species Nasutitermes javanicus (Isoptera: Rhinotermitidae) and Macrotermes glivus (Isoptera:
Termitadae). Insects also become bioinspiration models of technological developments such as manufacture
of camera lenses inspired from the eyes of insects and the manufacture of robots that are inspired by flying
techniques and the walking of insects. In addition, in Indonesia many new species of insects are found such as
C. kwerbaensis moths, C. watungi (Lepidoptera: Oecophoridae) in clove plants. The species are found in
North Sulawesi, Halmahera and Papua respectively. Other potential new pest in soybean plants are
Diabrotica sp. (Coleoptera: Chrysomelidae) and Caloptilia sp. (Lepidoptera: Gracillariidae) in Ngawi, East
Java. More research in insect species diversity are required for developing its concept. By continuous
research in this field, we expect the potential of insects can be explored furthermore to give benefits for
humans, ecosystems, technology, and the economy.
Key words: insects species diversity, agriculture, ecology, economy, bioindicator.
iklim yang stabil dan secara geografi adalah negara Keanekaragaman Serangga di Indonesia
kepulauan yang terletak diantara dua benua yaitu Asia Keanekaragaman hayati adalah dasar
dan Australia (Primack et al., 1998). Salah satu kelangsungan hidup manusia, dimana komposisi dan
keanekaragaman hayati tertinggi di indonesia adalah kekayaan kumpulan spesies juga sangat
serangga. Serangga merupakan kelompok binatang mempengaruhi fungsi stabilitas ekosistem (Naeem et
dengan jumlah spesies yang telah diketahui dan al., 1994; Tilman & Downing 1994; McCann, 2000).
diidentifikasikan yakni sekitar 1 juta spesies (Gullan Sebagian besar keanekaragaman di Indonesia
& Cranston, 2010). Menurut para ahli jumlah spesies didominasi oleh serangga jika dibandingkan dengan
serangga akan terus bertambah seiring masih hewan lainnya. Menurut Bappenas (2015) jumlah
banyaknya yang belum teridentifikasi. Serangga tidak insekta dan Hymentoptera di indonesia yakni masing-
hanya sebagai kelas terbesar dari filum artropoda, masing sebanyak 151.847 jenis atau sekitar 15% dari
tetapi juga memiliki kemampuan dalam beradaptasi jumlah jenis biota dan 30.000 jenis Hymemenoptera.
terhadap perubahan ekosistem yang dinamis dan Kemudian jika dibandingkan dengan jenis yang ada
kurang stabil. didunia, Indonesia memiliki sekitar 20% jenis
Serangga merupakan komponen penting bagi Hymenoptera serta 25% capung yang ada diseluruh
ekosistem. Banyak fungsi utama serangga didalam dunia (Bappenas, 2015).
ekosistem yang berhubungan dengan interaksi antara Hutan hujan tropis dipercaya memegang peranan
serangga dengan vegetasi. Hubungan yang saling penting didalam keanekaragaman serangga. Pada
menguntungkan antara tumbuhan dan serangga banyak penelitian di daerah tropis seperti Indonesia,
dimana serangga berperan pada proses persilangan tanaman menyediakan parameter habitat kunci untuk
(polinasi) dan penyebaran biji (Qin & Wang 2001). banyak spesies serangga mulai dari tempat berlindung
Hubungan ini memberikan keuntungan bagi hingga tempat berkembang biak. Interaksi serangga
tumbuhan, karena memberi peluang bagi tumbuhan tanaman memiliki efek langsung, misalnya pada
untuk pertukaran gen dengan individu yang jauh pada penyimpanan dan siklus karbon dan nutrisi, serta
jenis yang sama tanpa kehilangan banyak serbuk sari sangat mempengaruhi suksesi dan pola persaingan di
(polen). komunitas tumbuhan dan interaksi jaringan makanan
Selain itu, serangga tidak hanya sebagai (Swank et al., 1981; Weisser & Siemann 2004).
spesies yang paling kaya jumlahnya di dunia ini, Selain itu terdapat hubungan yang saling
serangga juga memegang peranan penting dalam menguntungkan diantara tumbuhan dan serangga.
ekonomi global (Naeem et al., 1994; Tilman and Serangga membantu tumbuhan didalam proses
Downing, 1994; McCann, 2000). Serangga persilangan (polinasi) dan penyebaran biji (Qin &
mendukung dan menyediakan mata pencaharian bagi Wang 2001). Hubungan ini memberikan keuntungan
banyak orang, dimulai dari perdagangan sutra, bagi tumbuhan, karena memberi peluang bagi
perternakan lebah yang menghasilkan madu, wax, dan tumbuhan didalam pertukaran gen dengan individu
membantu penyerbukan sebagian besar tanaman yang jauh pada jenis yang sama tanpa kehilangan
budidaya buah dan berbagai hasil pertanian lainnya. banyak serbuk sari (polen).
Serangga dan pola tubuh mereka yang berwarna- Fragmentasi habitat dapat mempengaruhi
warni telah memprakarsai kontribusi penting untuk susunan ekologi hutan dalam banyak hal, seperti
seni, sastra serta budaya (Pyle et al., 1981), juga mengubah keanekaragaman dan komposisi biota.
menjadi model bioinspiration perkembangan Lebih jauh dijelaskan dalam teori Biogeografi Pulau
teknologi seperti pembuatan lensa kamera yang yang dikemukakan oleh MacArthur & Wilson (1967)
terinspirasi dari mata serangga serta pembuatan robot bahwa terjadinya peningkatan fragmentasi habitat
yang terinspirasi dari teknik terbang dan berjalannya berpotensi mempengaruhi kelimpahan atau komposisi
serangga. jenis pada bagian habitat tersebut. Fenomena ini
Selain itu, serangga dapat menjadi diduga didasari oleh terjadinya perubahan dalam
bioindikator kesehatan lingkungan. Beberapa spesies komposisi dan kekayaan jenis vegetasi. Hasil
serangga dari ordo Trichoptera, Ephemeroptera, dan penelitian Pajunen et al., (1995), Pearce et al., (2004)
Plecoptera digunakan menjadi bioindikator dan Varady-Szabo & Buddle (2006) mengemukakan
pencemaran air. Serangga memiliki peran bahwa karakterisasi habitat yang terfragmentasi
fundamental terhadap siklus karbon global melalui seperti tutupan kanopi, jumlah seresah dan iklim
perannya sebagai dekomposer yang handal. Dalam mikro menunjukkan pengaruh yang signifikan
tulisan ini akan disampaikan mengenai perkembangan terhadap keberadaan serangga. Galle (2008) dan
penelitian keanekaragaman serangga di indonesia dan Miyasitha (1998) mengamati kepekaan serangga
pentingnya terus dilakukan penelitian mengenai terhadap ukuran habitat dan habitat yang terisolasi.
keanekaragaman serangga. Dengan banyak informasi Peningkatan keragaman tanaman akan memiliki
yang didapat maka dapat digali potensi serangga efek positif yang lebih kuat pada kekayaan spesies
lainnya yang bisa dimanfaatkan bagi manusia, pada tingkat tropis yang lebih tinggi. Namun, review
ekosistem, keilmuan, teknologi, dan ekonomi secara baru-baru ini ditemukan bahwa spesies trofik yang
global di indonesia. lebih rendah merespons dengan lebih kuat
peningkatan keragaman tanaman dari pada tingkat
trofik yang lebih tinggi di padang rumput (Scherber et 2010). Menurut para ahli jumlah spesies serangga
al., 2010). Peningkatan keanekaragaman tanaman akan terus bertambah seiring masih banyaknya yang
akan mengurangi efek invasi biologis, patogen dan belum teridentifikasi. Kelompok serangga
hiperparasitisme (Scherber et al., 2010). Ini berarti diperkirakan mencapai lebih dari setengah dari semua
bahwa peningkatan keanekaragaman tanaman bisa spesies di bumi dan diantara kelompok tersebut
terjadi berpotensi meningkatkan stabilitas ekosistem kumbang (Coleoptera) menjadi kelompok terbesar
(Tilman et al., 2006). Predator lebih efektif dalam yang menyusun sekitar 40% dari seluruh jenis
mengendalikan herbivora/hama di ekosistem dengan serangga (Borror et.al., 1989). Namun, berdasarkan
habitat yang rendah (Southwood & Comins 1976). hal diatas penelitian tentang keanekaragaman
Metode Insektisida Knockdown di Dalam serangga masih terbatas. Keanekaragaman serangga
Pengambilan Sampel masih mendapat sedikit perhatian dikarenakan
Kebanyakan kehidupan tumbuhan dan hewan di banyaknya kendala. Ukuran tubuh yang kecil dan
hutan hujan tropis tidak ditemukan di permukaan variabilitas dalam pola warna membuat kesulitan
tanah (forest floor), melainkan di atas tanah atau di didalam mengidentifikasi serangga. Ini membutuhkan
kanopi pohon. Para peneliti memperkirakan bahwa banyak waktu, energi dan dana didalam menyelidiki
70-90% dari kehidupan di hutan hujan tropis kelompok taksonomi terbesar di bumi ini.
ditemukan dipepohonan, sehingga membuatnya Berdasarkan pengetahuan yang masih sangat
menjadi habitat terkaya bagi kehidupan tumbuhan dan terbatas tentang keanekaragaman serangga, hanya
hewan khususnya serangga. Kanopi biasanya berada sejumlah kecil spesies telah terdaftar dalam daftar
diketinggian 100 kaki (30 m) dari atas tanah (Stork, konservasi regional dan global. Diperkirakan 44.000
1988) kepunahan spesies serangga telah terjadi dalam 600
Didalam pengambilan sampel serangga di hutan tahun terakhir, namun hanya 70 peristiwa semacam
hujan tropis terdapat berbagai macam metode yang itu yang telah didokumentasikan (Dunn, 2005). Dari
dapat digunakan didalam pengambilan sampel sekitar 29.000 jenis serangga yang terancam punah di
serangga. Salah satu metode yang dapat digunakan Amerika Utara, namun hanya 37 spesies serangga
didalam pengambilan sampel serangga yakni dengan yang disertakan dalam daftar merah regional (Redak
menggunakan metode insekstisida knock down. 2000; Dunn, 2005). Di Indonesia juga masih terbatas
Metode yang digunakan meliputi pengasapan didalam penelitian mengenai keanekaragaman
(fogging), dan penyemprotan (spraying). Teknik ini serangga di Indonesia. Padahal Indonesia diprediksi
telah digunakan dengan sukses besar di Inggris dan memiliki keanekaragaman serangga tertinggi karena
Afrika Selatan (Southwood et al., 1982) berada di daerah khatulistiwa dan memiliki wilayah
Penggunaan insektisida knockdown hutan tropis yang besar.
menghasilkan sampel yang sebagian besar tidak Ledakan Hama di Indonesia
bergantung pada aktivitas serangga, dan dapat Pada dasarnya populasi serangga di alam
berhubungan langsung dengan pohon tertentu, bagian selalu dikendalikan oleh berbagai faktor yang
pohon atau volume kanopi yang diketahui. Teknik ini menyebabkan tidak terjadinya ledakan populasi
sebagian besar tidak terpengaruh oleh perubahan serangga spesies tertentu. Berbagai faktor tersebut
kondisi iklim. secara alami mengendalikan populasi serangga yakni
Semprotan halus yang dihasilkan dengan dengan keseimbangan keberadaan antara serangga
menyuntikkan larutan insektisida ke dalam mesin predator, parasit, dan patogen. Namun, seiring
fogging. Mesin fogging diarahkan sekitar 5-10 m ke kebutuhan manusia terhadap kebutuhan pangan.
kanopi. Fogging menghasilkan tetesan yang jauh Manusia merubah ekosistem alami untuk menciptakan
lebih kecil saat insektisida dipecah dengan injeksi ke suatu ekosistem baru yang khusus dibuat untuk
asap knalpot yang dihasilkan oleh mesin. Oleh karena kepentingan pertanian atau disebut agroekosistem.
asap knalpot yang panas, kabut yang dihasilkan Dalam suatu agroekosistem, komponen ekosistem
hangat dan naik melalui kanopi. Semakin lama menjadi lebih sederhana yang terdiri dari populasi
membuang kabut dan mobilitasnya yang lebih besar, tumbuhan pertanian yang sering dibuat seragam
membuat teknik ini lebih sesuai daripada (monokultur). Oleh karena itu, menyebabkan
penyemprotan untuk mempelajari pohon yang lebih keseimbangan ekosistem dapat terganggu. Keadaan
tinggi. Perlu dibantu penggunaan tali dan katrol ini dapat membuat semakin bertambahnya populasi
tambahan untuk mengangkat mesin fogging ke serangga tertentu dan mampu menurunkan populasi
kanopi. Pengambilan sampel di pohon dapat sampai musuh alaminya sehingga sulit untuk mengendalikan
ketinggian 70 meter serangga tersebut dan ledakan hama pun terjadi.
Beberapa kasus ledakan hama yang terjadi,
Kesenjangan Penelitian Keanekaragaman seperti ledakan hama pada belalang kembara Locusta
Serangga migratoria (Orthoptera: Acrididae) di Sumba dan
Serangga merupakan kelompok taksonomi ledakan hama ulat bulu Lymantria marganita dan
yang jumlah spesiesnya kaya di bumi dengan jumlah Arctornis submarginata (Lepidoptera: Erebidae) di
spesies yang telah diketahui dan diidentifikasikan Probolinggo. Kasus ledakan hama belalang kembara
yakni sekitar 1 juta spesies (Gullan dan Cranston, Locusta migratoria (Orthoptera: Acrididae) di Sumba
terjadi pada bulan Juni 2017. Serangan hama belalang kali mengakibatkan musim kering yang panjang
membuat terganggunya penerbangan pada sebuah dengan besaran dan skala yang tidak dapat ditolerir
bandara setempat akibat rendahnya jarak pandangan sehingga musuh alami dari belalang berkurang dan
disekitar bandara tersebut (Kompas, 2017). Belalang menyebabkan belalang mampu menggandakan diri
menghabiskan semua tanaman di kebun, semak, dan tanpa kendali (Roffey & Popov, 1968) khususnya
pohon .Ini diperkirakan disebabkan oleh dampak ketika musim hujan tiba (Magor et al., 2008).
kekeringan akibat El-Nino. Dampak El-Nino sering
Selain itu, beberapa tahun yang lalu terjadi lahan lain seperti kedelai (Kang and Krupke 2009). Di
juga ledakan hama ulat bulu yang menyerang tanaman Indonesia Diabrotica sp. tidak termasuk ke dalam
mangga di Probolinggo. Hama ulat bulu Lymantria kelompok hama penting pada tanaman kedelai
marganita dan Arctornis submarginata (Lepidoptera: (Deptan 2014). Namun dengan tingginya populasi di
Erebidae) menyerang secara massif dan invasif serta lapangan, hama ini sangat potensial untuk menjadi
kemampuan migrasi yang tinggi membuat ribuan hama penting pada tanaman kedelai. Kerusakan yang
tanaman mangga rusak dengan cepat di Probolinggo. ditimbulkan oleh kumbang daun ini adalah pada
bagian akar, batang, maupun daun. Selain itu
Serangga Yang Berpotensi Menjadi Hama Penting kumbang Diabrotica sp. ini dapat menjadi vektor
di Indonesia virus Cowpea Severe Mosaic Virus (CSMV) dan
Status hama pada suatu spesies tertentu lebih Cowpea Chlorotic Mottle Virus (CCMV) pada
banyak disebabkan oleh perubahan stabilitas ekologi tanaman kedelai (Krysan & Miller 2012; Shurtleff &
yang dicirikan dengan menurunnya tingkat keragaman Aoyagi, 2009).
flora dan fauna termasuk musuh alami terutama jenis
predator generalis akibat gerakan manalaginisme Rayap Sebagai Dekomposer Handal Didalam
kearah monokultur, input kimia tinggi (pestisida: Siklus Karbon Global
insektisida, fungisida, herbisida), dan perubahan Rayap memainkan peranan penting didalam
kondisi alam. Salah satu hama baru yang berpotensi siklus karbon global melalui perannya sebagai
menjadi hama penting yaitu Diabrotica sp. dekomposer yang handal didalam penguraian bahan-
(Coleoptera: Chrysomelidae) dan Caloptilia sp. bahan organik dan mempercepat kembalinya bahan
(Lepidoptera: Gracillariidae) pada tanaman kedelai. organik ke dalam tanah. Rayap merupakan salah satu
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan serangga (fauna tanah) yang sangat melimpah di
Afifah et al., (2015) pada musim tanam tahun 2013 semua jenis hutan (Miyashita, 1998). Rayap adalah
dan 2014 di Ngawi, Jawa Timur menyatakan bahwa organisme tanah yang cocok digunakan sebagai
didalam pengamatan lapangan pada tanaman kedelai indikator untuk melihat tingkat kerusakan habitat
populasi kumbang daun yang teramati cukup tinggi karena struktur komunitas dan distribusi rayap sangat
kelimpahannya adalah Diabrotica sp. Kumbang dipengaruhi oleh tingkat penutupan vegetasi, struktur
Diabrotica sp. (Coleoptera: Chrysomelidae) fisik, dan kondisi iklim mikro pada suatu habitat
merupakan hama penting pada tanaman jagung (Zea (Genet et al., 2001). Selain rayap berperan sebagai
mays L.) di Amerika. Serangga Betina Diabrotica sp. dekomposer bahan organik, rayap juga merupakan
yang resisten terhadap rotasi tanaman, meninggalkan mediator penting dalam proses ekosistem dan siklus
inang utama nya pada jagung dan mulai bertelur pada hara (Genet et al., 2001), serta merupakan organisme
tanah yang paling merespon terjadinya perubahan keanekaragaman hayati (Andersen, 1999). Dasar
kondisi lahan. Rayap menunjukkan sensitivitas tinggi pemikiran keberadaan bioindikator adalah hubungan
terhadap kondisi lingkungan, biotik dan abiotik erat antara kehadiran organisme indikator ini dengan
disekitar mereka, dan juga pada proses ekosistem parameter biotik dan abiotik suatu ekosistem
(Jones & Eggleton 2000). (McGeoch et al., 2002). Secara umum, organisme
Hal ini didasarkan oleh beberapa peneliti yang dipromosikan untuk digunakan sebagai
yang menyatakan bahwa keragaman dan kerapatan bioindikator dalam ekosistem terestrial adalah
rayap berkurang seiring dengan meningkatnya serangga (Andersen, 1999; McGeoch, 2007).
kegiatan konversi hutan menjadi bentuk penggunaan Penggunaan serangga sebagai
lahan lainnya (Jones et al., 2003). Rayap menjadi bioindikator akhir-akhir ini dirasakan semakin penting
serangga dekomposer yang berperan penting didalam dengan tujuan utama untuk menggambarkan adanya
daur ulang nutrisi tanaman melalui proses disentegrasi keterkaitan dengan kondisi faktor biotik dan abiotik
dekomposisi material organik dari kayu dan serasah lingkungan (Speight et al., 1999). Serangga
tanaman pada ekosistem hutan tropis (Bignell & mempengaruhi terjadinya keseimbangan dalam
Eggleton 2000). Melalui kegiatan-kegiatan mereka ekosistem, sehingga sering digunakan sebagai
juga turut membantu meningkatkan struktur tanah dan bioindikator dalam suatu ekosistem. Hal ini dipertegas
kandungan hara (Jones et al., 1994; Lavelle et al., oleh Altieri (1999) yang menyatakan bahwa serangga
1997). Beberapa contoh spesies rayap yakni selain berperan menjaga keseimbangan ekosistem
Nasutitermes javanicus (Isoptera: Rhinotermitidae) juga sebagai bioindikator. Beberapa spesies serangga
dan Macrotermes glivus (Isoptera: Termitadae). dari ordo Trichoptera, Ephemeroptera, dan Plecoptera
digunakan sebagai bioindikator pencemaran air.
Serangga Dapat Menjadi Bioindikator Kesehatan Beberapa kelompok serangga yang digunakan
Lingkungan menjadi bioindikator pencemaran air sebagai berikut.
Bioindikator merupakan komponen
penting dalam pengelolaan ekosistem dan konservasi
Tabel 1. Kelompok ordo serangga yang digunakan menjadi bioindikator pencemaran air.
No. Tingkat Cemaran Makroinvertebrata Indikator
1. Tidak Tercemar Trichoptera (Sericosmatidae, Lepidosmatidae, Glossomatidae) ; Planaria
Spesies Serangga Terbaru Di Indonesia cengkeh. Larva spesies ini makan di kulit kayu dan
Cryptophasa Lewin, 1805 adalah genus melubangi batang pohon cengkeh (Syzygium
terbesar di dalam Xyloryctidae, yang terdiri dari lebih aromaticum: Myrtaceae) serta membentuk
dari 60 spesies yang dijelaskan. (McMillan, 2013). Di terowongan dangkal (2-3 cm dalam) untuk menggali.
antara ngengat xyloryctine, genus ini paling beragam Larva selalu aktif membangun tempat
di Australia dengan 55 spesies yang dijelaskan dicatat berlindung/barikade dari frass atau campuran dari
(Common, 1990). Sayangnya, belum ada laporan frass dan daun untuk melindungi liang dari air dan
lengkap tentang spesies Cryptophasa yang ada di predator. Mereka keluar pada malam hari dan
Indonesia meskipun subfamili Xyloryctinae menggigit seluruh daun, kemudian mereka tarik daun-
tampaknya beragam di Malaysia dan New Guinea, daun tersebut kedalam liang mereka untuk makanan.
seperti yang telah dilaporkan oleh Holloway dkk. Barikade bertindak sebagai benteng melawan semut,
(2001). Kemudian pada tahun 2015 telah yang merupakan musuh terburuk dari semua larva.
diidentifikasikan tiga spesies baru Cryptophasa Saat ini, spesies ini menyebabkan kerusakan serius
choliki sp. nov., C. watungi sp. nov. (Lepidoptera: pada ribuan pohon cengkeh di Sulawesi Utara
Oecophoridae), dan Cryptophasa kwerbaensis sp. Pemberian nama Cryptophasa kwerbaensis sp.
nov. Spesies tersebut masing-masing ditemukan di nov. diambil dari desa di Kwerba, Membramo Raya,
Halmahera, Sulawesi Utara, dan Papua . Papua. Informasi tentang distribusi dan biologi
Spesies C. watungi sp. nov. (Lepidoptera: terbatas pada holotype, yang ditangkap dengan
Oecophoridae) merupakan hama pada tanaman menggunakan perangkap ringan selama kunjungan
lapangan di Desa Kwerba, Membramo Raya, Papua tertangkap dengan menggunakan perangkap cahaya
(Sutrisno et al., 2015). selama tujuh hari. Spesies ini dikumpulkan dari hutan
Spesies Cryptophasa choliki sp. nov., diambil dataran rendah Akejira Utara, Halmahera Tengah.
dari nama kolektornya, E. Cholik. Informasi tentang Belum ada informasi biologis yang tersedia dari
distribusi dan biologi C. choliki sp. nov. terbatas spesies ini (Sutrisno et al., 2015).
karena hanya serangga dewasa dari spesies yang
Gambar 2. Cryptophasa watungi sp. nov. Jantan Gambar 3. Cryptophasa watungi sp. nov. Betina
Gambar 4. Cryptophasa kwerbaensis sp. nov. Gambar 5. Cryptophasa choliki sp. nov. Betina
Jantan
(Sumber : https://www.researchgate.net/publication/280910921)
Provinsi Jawa Timur. Prosiding Seminar McCann K S. 2000. The diversity-stability debate.
Nasional Perhimpunan Entomologi Malang.173 Nature, 405(6783): 228–233.
– 180. McGeoch MA, van Rensburg BJ, Botes A (2002) The
Andersen AN.1999. My bioindicator or your? making verification and application of bioindicators: a
the selection. J Insect Cons 3: 61-64. case study of dung beetles in savanna ecosystem.
Alteieri, M.A. 1999.The Ecologycal Role Of J Appl Ecol 39: 661-672.
Biodiversity In Agroecosystems. Agricult McGeoch MA (2007) Insects and bioindication:
Ecosys Enviro.74 : 19-31. theory and progress. In: Stewart AJA, New TR,
Bappenas.2015. Indonesia Biodiversity Strategy Lewis OT (eds). Insect conservation biology.
Action Plan 2015-2020.Badan Perencanaan CABI, Amsterdam.
Pembangunan Nasional. Jakarta McMillan, I. (2013) Xyloryctine moths of Australia.
Bignell DE, Eggleton P. 2000 . Termites in Genera and Species. Diakses dari:
ecosystems. Kluwer, Dordrecht. http://Xyloryctinemothsofaustralia.blogspot.com
Borror, D.J., C.A. Triplehorn, and N.F. Johnson. (24 agustus 2017)
1989. An Introduction to the Study of Insects. Mittermeier RA, Mittermeier CG, Brooks TM,
7th edition. New York: Saunders College Pilgrim JD, Konstant WR,da Fonseca GAB,
Publishing. Kormos C. 2003. Wilderness and biodiversity
Common, I.F.B. (1990) Moths of Australia. conservation. Proceedings of the National
Melbourne. Melbourne University Press. Academy of Sciences 100: 10309–10313.
Dunn R R. 2005. Modern insect extinctions, the Miyashita, T., Shinkai, A., Chida, T. (1998): The
neglected majority.Conservation Biology, 19(4): effects of forest fragmentation on web spider
1030–1036. communities in urban areas. Biological
Gallé, R., Torma, A. & Körmöczi, L. (2007): Epigeic Conservation 86: 357-364
invertebrate assemblages (Araneae,Heteroptera) Naeem S, L J Thompson, S P Lawler, et al. 1994.
of natural forest edges. Proceedings of the 8th Declining biodiversity can alter the performance
Central European Workshop on Soil Zoology, of ecosystems. Nature, 368(6473): 734–737.
Ceske Budejovice Aplil 20-22 2005: 47-52 Pajunen T, Haila Y, Halme E, Niemela ¨ J, Punttila P
Gullan, P. J. and Cranston, P.S. 2010. The Insects an (1995) Ground-dwelling spiders (Arachnida,
Outline of Entomology (4th Edition). Malaysia: Araneae) in fragmented old forests and
Graphicraft Limited Hongkong. 584 pp. surrounding managed forests in southern
Holloway, J.D., Kibby, G. & Peggie, D. (2001) The Finland. Ecography 18:62–72.
families of Malaysian moths and butterflies. Pearce JL, Venier LA, Eccles G, Pedlar J, McKenney
Brill, Leiden, 455 pp. D (2004) Influence of habitat and microhabitat
Jones CG, Lawton JH, Shachak M (1994) Organisms on epigeal spider (Araneae) assemblages in four
as ecosystem engineers. Oikos 69: 373-386. stand types. Biodivers Conserv 13:1305–1334
Jones DT, Eggleton P (2000) Sampling termite Primack, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan, dan P.
assemblages in tropical forest: testing a rapid Kramadibrata, 1998. Biologi Konservasi.
biodiversity assessment protocol. J Appl Ecol Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
37: 191-203. Pyle R, M Bentzien, and P Opler. 1981. Insect
Jones DT, Susilo FX, Bignell DE, Hardiwinoto S, conservation. Annual Review of Entomology,
Gillison AN, Eggleton P (2003) termite 26(1): 233–258.
assemblage collapse along a land-use Qin J D and Wang C Z. 2001. The relation of
intensification gradient in lowland central interaction between insects and plants to
Sumatra, Indonesia. J Appl Eco 40: 380-391. evolution. Acta Ecological Sinica, 44(3): 360–
Kang J, Krupke CH. 2009. Likelihood of multiple 365.
mating in Diabrotica virgivera virgivera Redak R A. 2000. Arthropods and multispecies
(Coleoptera: Chrysomelidae). Field and Forage habitat conservation plans: Are we missing
Crops. 102(6): 2096-2100. something? Environmental Management, 26:
Krysan JL. Miller TA. 2012. Methods for the Study of 97–107.
Pest Diabrotica. USA: Springer Sciences & R.H. MacArthur and E.O. Wilson [1967], The Theory
Business Media. of Island Biogeography, Monographs in
Lavelle P, Bignell D, Lepage M, Wolters V, Roger P, Population Biol.Princeton. Princeton Univ.
Ineson P, Heal OW,Dhillion S (1997) Soil Press.
function in changing world: the role of Roffey, J and Popov, G. 1968. Environmental and
invertebrate ecosystem engineers. Eur J Soil Biol Behavioural Processes in a Desert Locust
33: 159-193. Outbreak. Nature 219(5153):446-450.
Magor, JI., Lecoq, M. and Hunter, D.M. Scherber C, N Eisenhauer, W W Weisser, et al. 2010.
2008.Preventive control and Desert Locust Bottom-up effects of plant diversity on
plagues. Crop Protection 27(12):1527-1533 multitrophic interactions in a biodiversity
experiment. Nature, 468(7323): 553–556.
Shurtleff W. Aoyagi A. 2009. History of Soybean and Tilman D., and J. A. Downing. 1994. Biodiversity and
Soyfood in South America (1882-2009).USA: stability in grasslands. Nature, 367: 363–365.
Soyinfo Center. Tilman D., P B Reich, and J M H Knops. 2006.
Southwood T. R. E., and H N Comins. 1976. A Biodiversity and ecosystem stability in a decade-
synoptic population model. The Journal of long grassland experiment. Nature, 441(7093):
Animal Ecology, 45(3): 949–965. 629–632.
Southwood, T. R. E., Moran, V. C. & Kennedy, C. Trihadiningrum, Y. Dan I. Tjondronegoro. 1998.
E.J,, 1982a. The assessment of arboreal insect Makroinvertebrata Sebagai
fauna-comparisons of knockdown sampling and Bioindikator Pencemaran Badan Air Tawar di
faunal lists. Ecological Entomology, 7: 331-340. Indonesia: siapakah
Speight MR, Hunter MD, Watt AD (1999) Ecology of kita?. Lingkungan & Pembangunan 18 (1).
Insects concepts and applications. Blackwell, Varady-Szabo, H. & Buddle, C.M. (2006): On the
Oxford. Relationships between Ground-dwelling Spider
Sutrisno, Hari., Watung, Jackson F., & Suwito, (Araneae) Assemblages and Dead Wood in a
Awit.2015. Discovery Of Cryptophasa Lewin, Northern Sugar Maple Forest. Biodiversity and
1805 (Lepidoptera: Xyloryctidae) From Conservation, 15, 4119-4141.
Indonesia With The Descriptions Of Three New Weisser W W., and E. Siemann. 2004. Insects and
Species. Diakses dari : ecosystem function. Berlin; London: Springer.
https://www.researchgate.net/publication/280910 [Deptan] Departemen Pertanian. 2014. Hama
921 ( 5 September 2017) Tanaman Kedelai.
Swank W. T., J. B .Waide, D. A. Crossley. 1981. http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/hama-
Insect defoliation enhances nitrate export from tanaman-kedelai.
forest ecosystems. Oecologia, 51(3): 297–299. [http://regional.kompas.com/read/2017/06/12/114600
Stork, N. E., 1987. Guild structure of arthropods from 31/jutaanbelalang.serang.bandara.waingapu.di.
Bornean rain forest trees. London. Ecological sumba.timur] ( diakses 12 juni 2017).
Entomology
Fluktuasi Populasi Lalat Buah Bactrocera dorsalis Kompleks (Diptera: Tehritidae) pada
Pertanaman Salak Di Desa Margaluyu, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya
Agus Susanto1, Yusup Hidayat1, Yadi Supriyadi1, Tohidin1 dan Muhammad Resta Nugraha2
1
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
2
Alumni Departemen HPT, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
*Alamat korespondensi: asusanto@unpad.ac.id
ABSTRAK
Salah satu kendala dalam upaya meningkatkan produksi dan mutu buah salak diduga adalah adanya serangan hama
lalat buah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor abiotik (curah hujan, jumlah hari hujan, suhu,
dan kelembaban) serta faktor biotik (ketersediaan buah) terhadap fluktuasi populasi lalat buah pada pertanaman salak.
Penelitian dilakukan di Desa Margaluyu, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, dengan menggunakan
metode survei dengan memasang perangkap lalat buah pada pertanaman salak sebanyak 10 buah di bagian tepi/luar
kebun dan 10 buah pada bagian dalam, dengan jarak antar perangkap sekitar ±5 meter. Hasil tangkapan lalat buah
dikumpulkan dan dihitung setiap minggunya. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor abiotik seperti curah hujan,
jumlah hari hujan, suhu, dan kelembapan tidak menunjukan korelasi yang nyata terhadap peningkatan populasi lalat
buah. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis regresi masing-masing pada curah hujan (Y = 414,21 + 4,8562x ; R2 =
0,169 ; Sig. > 0,05), jumlah hari hujan (Y = 394,21 + 50,331x ; R2 = 0,232 ; Sig, > 0,05), suhu (Y = -296,97 + 32,93x
; R2 = 0,139 ; Sig. > 0,05), dan kelembaban (Y = -954 + 17, 467x ; R2 = 0,161 ; Sig. > 0,05). Faktor biotik berupa
ketersediaan buah menunjukkan korelasi positif terhadap kenaikan populasi lalat buah berdasarkan hasil analisis
regresi (Y = 139,15 + 115,63x ; R2 = 0,642 ; Sig. < 0,05). Hasil identifikasi menunjukkan bahwa Bactrocera papayae
mendominasi spesies yang menyerang tanaman pepaya dengan proporsi sebesar 80%.
Kata kunci: Bactrocera dorsalis Kompleks, Fluktuasi populasi, Lalat buah, Salak.
ABSTRACT
One of the obstacles increasing the production and quality of snakefruit is allegedly a fruit fly pest. This study aims to
determine the influence of abiotic factors (rainfall, the number of rainy days, temperature, and humidity) and biotic
factors (fruit availability) to the fluctuation of fruit fly population in snakefruit cultivation. The research was
conducted in Margaluyu Village, Manonjaya District, Tasikmalaya Regency, using survey method by installing fruit
fly trap on the snakefruit crop as much as 10 pieces at the edge/outside of the garden and 10 pieces on the inside, with
the distance between traps about ± 5 meters. The catch of fruit flies was collected and calculated on a weekly. The
results showed that abiotic factors such as rainfall, the number of rainy days, temperature, and humidity did not show
a significant correlation to the increase in fruit fly population. This is indicated by the result of regression analysis of
each on rainfall (Y = 414.21 + 4.8562x; R2 = 0.169; Sig.> 0.05), number of rainy days (Y = 394.21 + 50.331x; R2 =
0.232; Sig,> 0.05), temperature (Y = -296.97 + 32.93x; R2 = 0.139; Sig.> 0.05), and humidity (Y = -954 + 17.467x;
R2 = 0.161; Sig.> 0.05). The biotic factors such as availability of fruit showed a positive correlation to population
growth of fruit fly based on regression analysis (Y = 139.15 + 115.63x; R2 = 0.642; Sig. <0.05). The results showed
that Bactrocera papayae dominated the species that attacked papaya plants with a proportion of 80%.
keywords: Bactrocera dorsalis Complex, Fluctuation of population, Fruit Flies, Snakefruit.
Tabel 1. Pengaruh faktor iklim (curah hujan dan jumlah hari hujan) dan kelimpahan buah terhadap hasil tangkapan lalat
buah di Desa Margaluyu, Kec. Manonjaya, Kab. Tasikmalaya
Hari
Pengamatan Perangkap Perangkap Jumlah Curah Hujan Ketersediaan
Hujan
Ke- Luar (ekor) Dalam (ekor) Tangkapan (ekor) (mm) (hari) Buah (skoring)
1 568 323 891 3,6 1 5
2 395 265 660 53 6 4
3 134 103 237 0 0 1
4 218 139 357 9,5 1 2
5 271 106 377 0 0 3
6 242 182 424 4,6 2 1
7 163 135 298 0 0 2
8 259 154 413 0 0 4
Tabel 2. Hubungan Antara Fluktuasi Lalat Buah Dengan Faktor Iklim di Desa Margaluyu, Kec. Manonjaya, Kab.
Tasikmalaya
Faktor Abiotik Persamaan Regresi Df R2 Koefisien Sig.
Korelasi (R)
Curah Hujan Y = 414,21 + 4,8562x 7 0,169 0,411 0,312
Hari Hujan Y = 394,21 + 50,331x 7 0,232 0,481 0,227
Suhu Y = -296,97 + 32,93x 7 0,139 0,373 0,363
Kelembapan Y = -954 + 17, 467x 7 0,161 0,401 0,325
Tabel 4. Hasil analisis regresi antara fluktuasi populasi lalat buah dengan faktor biotik di Desa Margaluyu, Kec.
Manonjaya, Kab. Tasikmalaya
Faktor Abiotik Persamaan Regresi df R2 Koefisien Korelasi (R) Sig.
Ketersediaan Buah Y = 139,15 + 115,63x 7 0,642 0,801 0,017
Gambar 2. Pengaruh ketersediaan buah salak terhadap fluktuasi populasi lalat buah.
Identifikasi Lalat Buah. Berdasarkan data Tabel 2 menggunakan kunci identifikasi lalat buah (Drew &
terdapat dua spesies lalat buah yang terpikat metil Hancock, 1994) serta software “delta intkey”. Hasil
eugenol. Dua spesies lalat tersebut dapat diidentifikasi identifikasi lalat buah pada pertanaman salak
207 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Fluktuasi populasi lalat buah....
Cabang Bandung
menunjukkan bahwa populasi lalat buah pada pertanaman Muryati, Hasyim, A., dan de Kogel, W.J. 2007. Distribusi
tersebut didominasi oleh spesies B. papayae yang spesies lalat buah di Sumatera Barat dan Riau.
merupakan sibling dari spesies B. dorsalis Kompleks. Jurnal Hortikultura 17(1): 61-68.
Dari 80 spesimen yang diamati, 80% diantaranya Price, PW. (1997). Insect Ecology. Third Edition. John
merupakan spesies B. papayae, sedangkan 20% Willey dan Sons, Inc. New York. 874 p.
merupakan spesies B. carambolae. Pundf, L. 2001. Managing Fungus Gnats and Shore Files
in the Greenhouse.
SIMPULAN Sarjan M, Yulistiono Hendro, Haryanto Hery. 2010.
Bedasarkan hasil survei yang dilakukan, maka Kelimpahan dan Komposisi Spesies Lalat Buah
dapat di ambil kesimpulan bahwa faktor iklim berupa pada Lahan kering di Kabupaten Lombok Barat.
curah hujan, hari hujan, suhu, dan kelembapan tidak Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
menunjukan pengaruh yang nyata atau signifikan terhadap Hotikultura. NTB.
fluktuasi populasi lalat jantan. Akan tetapi, ketersediaan Schowalter, Timothy. 2006. Insect Ecology and
buah menunjukan pengaruh yang nyata terhadap fluktuasi Ecosistem approach. Second edition.Elsevier
populasi lalat buah jantan. Hal ini ditunjukan dengan hasil Science and Technology Rights Department.
analisis regresi sederhana (Y = 139,15 + 115,63x ; R2 = Oxford, UK.
0,642 ; Sig. < 0,05). Pada hasil identifikasi menunjukan Susanto, A. 2010. Estimasi dan Dinamika Populasi Lalat
bahwa spesies lalat buah pada pertanaman salak sebagian Buah, Bactrocera dorsalis Kompleks (Diptera:
besar adalah B. papayae dengan proporsi sebesar 80% Tephritidae) Pada Pertanaman Mangga.
dan 20% adalah B. carambolae. Disertasi. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Untung, K. 2001. Pengantar Pengelolaan Hama Tanaman
DAFTAR PUSTAKA Terpadu. Gadjah Mada University. Yogyakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2000. Ye, H., and Liu, J. 2007. Population dynamics of oriental
Penggunaan Perangkap dalam Pengendalian fruit fly Bactrocera dorsalis (Diptera:
Lalat Buah. Badan Penelitian dan Pengembangan Tephritidae) in Xishuangbanna, Yunnan
Pertanian.Jakarta. Province, China. Front. Agric. China 200. 1(1):
Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Buah-buahan 76-80.
Tahun 2014. Badan Pusat Statistik. Jakarta
Bateman, 1972. The Ecology of Fruit Flies. Ann.
Rev. Entomol., 17: 493 – 519.
Chen P and Ye H. 2006. Population dynamics of
Bactrocera dorsalis (Diptera: Tephritidae) and
analysis of factors influencing populations in
Baoshanba, Yunnan, China. China.
Dhillon, M.K., Singh, R., Naresh, J.S., and Sharma, H.C.
2005. The melon fruit fly, Bactrocera
cucurbitae: A review of its biology and
management. J. Insect Sci. 5: 1-16.
Drew, R.A.I., and Hancock, D.L. (1994). The Bactrocera
dorsalis Complex of Fruit Flies (Diptera:
Tephritidae: Dacinae) in Asia. Cabinternasional.
United Kingdom. 98 p.
Dinas Pertanian Tanaman Hortikutura, 2007. Standar
Operasional Prosedur (SOP) Pengelolaan
Tanaman Salak. Dinas Pertanian. Jawa Barat.
Herlinda, Mayasari, R., Adam, T., dan Pujiastuti, Y. 2007.
Populasi dan Serangan Lalat Buah Bactrocera
dorsalis (Hendel) (Diptera : Tephritidae) Serta
Potensi Parasitoidnya Pada Pertanaman Cabai
(Capsicum annuumL.)
Kardinan, A. 2003. Tanaman Pengendali Lalat Buah.
Agromedia Pustaka. Depok.
Manurung, B. Puji, P. Emmi, E.T. 2012. Pola aktivitas
harian dan dinamika populasi lalat buah
Bactrocera dorsalis kompleks pada pertanaman
jeruk di dataran tinggi Kabupaten Karo, Provinsi
Sumatra Utara. J. HPT Tropika. 12(2): 103 –
110.
Lia Sugiarti
ABSTRAK
Peneltian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh efektivitas pestisida nabati daun sirsak (Anonna muricata L)
terhadap ketahanan hidup berbagai serangga hama. Ekstrak daun sirsak mengandung senyawa acimin,
bulatacin dan squamocin. Acetogenin bersifat anti feedant dan bersifat racun perut yang engakibatkan
kematian. Jumlah konsentrasi dan waktu pemberian ekstrak daun sirsak berpengaruh nyata terhadap
mortalitas hidup berbagai macam serangga hama pada berbagai macam jenis tanaman.
Kata Kunci : Pestisida nabati, Daun Sirsak (Anonna muricata L), serangga hama
ABSTRACT
The ressearch was to identify off effectivity organic pesticide from soursop leaves (Anonna muricata L) for
survival of insect live. Soursop leaves was contain acetogenin, acimicin, bulatacin and squamocin. In high
concentration of acetogenin as to be antifeedant and stomach poison until to die. Amount of concetration and
the time of delivery the extract of soursop leaves can be the real effect of mortality the other pest of the many
plants.
Keywords : Organic pesticide, Soursop leaves (Anonna muricata L), pest.
Septarina.2017.http://www.media.aceh.gp.id/uploads/
manfaat_pohon_sirsak.pdf (Diakses tanggal 10
Oktober 2017)
Setiyadi,B.2014.http://digilibunila.ac.id/2323/9/BAB
%2011.pdf (Diakses tanggal 11 Oktober 2017)
Tasirilotik, F.C E. N. 2015. Uji Efektivitas Ekstrak
Daun Sirsak (Annona muricata L) Sebagai
Bahan Pestisida Organik Terhadap Mortalitas
Hama Walang Sangit. Skripsi. Program Studi
Pendidikan Biologi, Jurusan Matematika dan
IPA, FKIP, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. http://www.repository.usd.ac.id
(Diakses Tanggal 11 Oktober 2017)
Tenrirawe, A. 2011. Pengaruh Ekstrak Daun Sirsak
(Annona muricata L) Terhadap Mortalitas
Larva Helicoverpa armigera Pada Jagung.
Seminar Nasional Serealia: 521-529.
http://www.balitsereal.litbangpertanian.go.id
(Diakses Tanggal 10 Oktober 2017)
Wiranto, Siswanto, Trisawa, I.M. 2013.
Perkembangan Penelitian Formulasi dan
Pemanfaatan Pestisida Nabati. Jurnal Litbang
Pertanian Vol 32 No.4 Desember 2013 : 150-
155. http://www.media.neliti.com (Diakses
tanggal 13 Oktober 2017)
Yulia Mustika Sari1*, Sean Providana Mauleti1, Alisa Nurwahidah1, Lela Risma1, dan Hikmat Kasmara
1
Mahasiswa Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran
2
Dosen Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran
*Alamat korespondensi: yuliamustikasari.yms@gmail.com
ABSTRAK
Taman Wisata Alam Pulau Sangiang merupakan salah satu kawasan di Indonesia yang memiliki potensi
keanekaragaman flora dan fauna. Salah satu fauna yang terdapat di Taman Wisata Alam Pulau Sangiang
adalah kupu-kupu, namun informasi mengenai jenis kupu-kupu tersebut masih kurang. Tujuan dari penelitian
ini yaitu untuk mendata jenis kupu-kupu yang ada di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang dengan
cara melakukan identifikasi terhadap kupu-kupu yang diperoleh. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 4-10
Agustus 2017 di tujuh lokasi penelitian berbeda di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, yaitu
Muara Kedongdong, Pantai Matasuta, Tanjung Bajo, Legon Waru, Tembuyung, Pantai Tukik, dan Resort
Green Garden. Penangkapan kupu-kupu dilakukan dengan metode jelajah yakni menjelajahi rute di tujuh
lokasi penelitian pada pagi hari pukul 08.00-11.00 WIB dan dilanjutkan pada sore hari pukul 14.00-16.00
WIB dengan teknik direct sweeping menggunakan jaring serangga (insect net). Selain itu, pada penelitian ini
dilakukan pula pendataan faktor biotik, pengukuran factor abiotik meliputi kelembaban, temperatur udara,
kecepatan angin, dan cuaca, serta pengukuran ketinggian lokasi penelitian. Total kupu-kupu yang dijumpai
pada seluruh lokasi penelitian adalah 38 jenis yang berasal dari 3 Suku dalam Bangsa Lepidoptera, yaitu
suku Papilionidae (13 jenis), suku Nymphalidae (16 jenis), dan suku Pieridae (9 jenis). Hasil dari penelitian
ini diharapkan dapat menjadi data primer bagi penelitian selanjutnya.
Kata kunci: Data Primer, Identifikasi, Kupu-Kupu, Pulau Sangiang.
ABSTRACT
Sangiang Island Nature Park is one of many place in Indonesia that has diversity of flora and fauna. One of
the fauna that found in Sangiang Island Nature Park is butterflies, but less information acquired about the
butterfly species. This study aims to determined the species of butterfly on Sangiang Island Nature Park by
identifying the obtained butterflies. The research conducted on 4-10 August 2017 at seven different research
sites in Sangiang Island Nature Park, such as Kedongdong Estuary, Matasuta Beach, Tanjung Bajo, Legon
Waru, Tembuyung, Tukik Beach and Green Garden Resort. Butterfly collected by field survey method, that
explored seven research sites in the morning at 08.00-11.00 WIB and continued in the afternoon at 14.00-
16.00 WIB with direct sweeping technique using insect net. The measurement of abiotic factors include
humidity, air temperature, wind speed, weather, and altitude of each research sites, also data collection of
biotic factors was conducted. The total of butterflies found on each research sites were 38 species from 3
families in Lepidoptera Order, such as Family Papilionidae (13 species), Family Nymphalidae (16 species),
and Family Pieridae (9 species). The results of this study aim to be the primary data for further research.
Keyword: Butterflies, Identification, Primary Data, Sangiang Island.
tingkat pencemaran yang terjadi di lingkungan. Secara Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang,
ekologis, kupu-kupu dapat dijadikan bioindikator Provinsi Banten (PPK-K3PK, 2016).
kesehatan suatu lingkungan (Rahayu, 2012). Populasi Berdasarkan hasil survei pada tanggal 1 Juli
kupu-kupu yang banyak pada suatu tempat 2017 sampai dengan 3 Juli 2017 terdapat tujuh daerah
mencerminkan lingkungan tersebut masih baik yang ditetapkan sebagai wilayah pengambilan sampel
(Shalihah,dkk., 2012 dalam Gosal, 2016). Kupu-kupu Lepidoptera, yaitu:
juga membantu penyerbukan tanaman berbunga, 1. Muara Kedondong
sehingga proses perbanyakan tumbuhan secara 2. Pantai Matasuta
alamiah dapat berlangsung (Borror et.al, 1992 dalam 3. Tanjung Bajo
Rahayu, 2012) Di beberapa daerah, kupu-kupu pada 4. Legon Waru
tahap larva dimanfaatkan sebagai sumber makanan 5. Tembuyung
(Borror et.al, 1992; Gullan & Crasto, 2005 dalam 6. Pantai Tukik
Rahayu, 2012). Kupu-kupu dapat pula menjadi bahan 7. Resort Green Garden
pelajaran untuk kepentingan studi ilmiah (Subahar &
Yuliana, 2010).
Penelitian ini di lakukan di salah satu Pulau
di Indonesia yaitu Pulau Sangiang Banten. Pulau
Sangiang merupakan taman wisata alam yang terletak
di Selat Sunda. Kawasan ini memiliki luas sekitar
1.420,35 hektar yang terdiri dari dataran seluas 700,35
hektar dan taman laut seluas 720 hektar. Pulau ini
menyimpan berbagai macam flora dan fauna. Oleh
karena itu, Pulau Sangiang mendapat julukan Seven
Wonders of Banten.
Pembuatan Koleksi atau Mounting posisi sayap kanan dan kirinya dengan sudut rentang
Spesimen yang terkumpul dimasukkan sayap 90° tegak lurus dari posisi tubuhnya. Spesimen
kedalam papilot untuk penyimpanan sementara. didiamkan dan ditahan dengan lapisan kertas minyak
Kupu-kupu yang telah ditangkap dan disimpan dalam hingga sayap-sayapnya kaku. Kupu-kupu tersebut
papilot kemudian dikeluarkan dan diawetkan. kemudian diberi label dengan keterangan tanggal dan
Pertama, kupu-kupu diawetkan dengan disuntikkan waktu pengambilan serta tempat ditemukan. Untuk
alkohol 70% pada bagian dada bawah. Spesimen yang menghindari kerusakan spesimen akibat serangga
telah diawetkan kemudian ditusuk bagian dada kecil lainnya, di sekeliling papan perentang diberikan
atasnya dengan jarum secara tegak lurus lalu kapur anti serangga dan kamper.
diletakkan pada papan perentang untuk disejajarkan
Jantan Betina
Panjang proboscis :3
Panjang kepala : 0,4
Panjang tubuh : 4,5
Panjang antena : 2,5
2. NYMPHALIDAE
2.1 Ideopsis juventa juventa
ini hanya menggunakan empat dari enam tungkai mengadakan penelitian ini, kepada Tim Entomologi
karena pasangan tungkai depan terlipat pada tubuh OWA IV yang telah membantu dalam pengambilan
(Peggi dan Amir, 2006). Kupu-kupu dari suku kedua data, dan kepada bapak Hikmat Kasmara, Drs., M.Si.
yaitu suku Papilionidae. Kupu-kupu dari suku ini sebagai dosen pembimbing.
umumnya memiliki tubuh berukuran sedang sampai
besar, memiliki sayap belakang yang berekor, DAFTAR PUSTAKA
memiliki sayap yang berwarna hitam dengan corak Gosal, L.M., Ventje, M., and Jimmy, R. 2016.
jelas berwarna putih atau warna cerah dan terbang Diversity and differences type of butterfly
lambat mirip burung layang-layang (sehingga sering species (Order Lepidoptera) based on the
disebut kupu-kupu sayap burung birdwing atau topography of the three forest location in
swallow tails) (Shalihah,dkk.,2011). North Sulawesi. Jurnal Bioslogos. 6(2).
Banyak jenis Papilionidae bersifat seksual Irni, J., Burhanudin, M., dan Noor, F. 2016.
dimorfisme, yaitu berbeda pola sayap jantan dan Keanekaragaman jenis kupu-kupu berdasarkan
betinanya. Pada beberapa kupu-kupu betina ada yang tipe tutupan lahan dan waktu aktifnya di
bersifat polimorfisme, yaitu terdapat beberapa pola Kawasan Penyangga Tangkahan Taman
sayap. Pada jenis-jenis dimana jantan dan betina Nasional Gunung Leuser. Media Konservasi.
tampak sama maka biasanya betina berukuran lebih 21(3): 225-230.
besar dengan sayap lebih membulat (Peggie dan Lemauk, M. 2003. Hubungan antara ukuran vital
Amir, 2006). Suku terakhir adalah suku Pieridae. statistic kepompong dan kupu-kupu sayap
Kupu-kupu dari suku ini umumnya memiliki tubuh burung (Ornithopthera priamus poseidon
berwarna putih, kuning atau jingga-kuning (lebih Doubleday). Skripsi. Fakultas Pertanian,
banyak yang berwana putih), memiliki bagian bawah Peternakan dan Ilmu Kelautan. Universitas
sayap belakang yang berwarna terang dan umumnya Negeri Papua, Manokwari.
terbang dalam kelompok dan berjumlah banyak Rahayu, S.E., dan Basukriadi, A. 2012. Kelimpahan
(Shalihah,dkk.,2011). dan keanekaragaman spesies kupu-kupu
(Lepidoptera: Rhopalocera) pada berbagai tipe
SIMPULAN habitat di Hutan Kota Muhammad Sabki Kota
Berdasarkan hasil penelitian dapat Jambi. Jurnal of Biospecies 5(2): 40- 48.
disimpulkan bahwa total kupu-kupu yang tercatat di Subahar, T.S.S., dan Yuliana, A. 2010. Butterfly
kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang diversity as a data base for the development
sebanyak 38 jenis dari total 49 individu, yang terbagi plant of Butterfly Garden at Bosscha
kedalam 3 suku yaitu suku Papilionidae (13 jenis), Observatory, Lembang, West Java.
suku Nymphalidae (16 jenis), dan suku Pieridae (9 Biodiversitas 11(1): 24-28.
jenis).
Yuwono, Triwibowo. 2016. Eksplorasi dan
UCAPAN TERIMA KASIH pemanfaatan biodiversitas mikrobia Indonesia
Terima kasih kepada Balai Konservasi untuk pengembangan bioteknologi. Seminar
Sumber Daya Alam Banten atas izin untuk melakukan Nasional Biodiversitas V. Departemen
penelitian di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Mikrobiologi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Sangiang, kepada panitia Observasi Wahana Alam IV Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Himpunan Mahasiswa Biologi UNPAD yang telah
ABSTRAK
Interaksi tiga jenjang trofik antara tanaman, serangga herbivora dan musuh alaminya sangat
kompleks dan melibatkan senyawa-senyawa kimia yang dihasilkan tidak hanya oleh tanaman tetapi juga
serangga herbivora. Volatile Organic Compound (VOC) tanaman berfungsi mempengaruhi serangga
herbivora dalam menentukan inangnya dan keputusan dalam pencarian inang oleh musuh alami serangga
herbivora. Bunga dan organ vegetatif merupakan tempat dihasilkannya senyawa volatil. Volatil pada bunga
berfungsi sebagai atraktan serangga polinator sedangkan pada bagian vegetatif sebagai pertahanan tanaman
untuk melindunginya dari serangga herbivora. Biosintesa dan emisi VOC meliputi produk jalur lipoksigenase
(LOX), seperti oxylipin, Green Leaf Volatile (GLVs), serta banyak terpenoid, termasuk isoprena, beberapa
turunan karotenoid, indol dan fenolat, termasuk metil salisilat (MeSA), dan VOC aromatik. GLVs adalah
molekul multiguna yang diproduksi pada berbagai gangguan sistem tanaman dan membantu tanaman
bertahan di lingkungan yang tidak menguntungkan. Pertahanan tanaman melibatkan hormon Etilen (ET)
digunakan sebagai pertahanan tanaman yang mempengaruhi GLVs. Pelepasan GLVs setelah adanya tekanan
abiotik dan biotik. Tanggapan serangga terhadap GLVs bervariasi tergantung pada komposisi volatil, jenis
kelamin serangga atau spesies, serangga tertarik atau ditolak oleh GLVs. Sintesis GLVs melalui cabang
hidroperoksida lyase (HPL) dari jalur oxylipin. GLVs tidak hanya mengaktifkan pertahanan tanaman tapi
juga sebagai priming. Talking tree hypothesis menjelaskan bahwa volatil yang dilepaskan dari tanaman
mempengaruhi tanaman tetangga yang tidak terinfeksi dari spesies yang sama. Ada dua jenis penerima dalam
plant communication yaitu tanaman tetangga dan bagian tanaman yang terluka. Sampai saat ini mekanisme
mengenai interplant communication belum diketahui secara pasti oleh peneliti-peneliti, oleh sebab itu perlu
penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut.
Kata kunci: VOC (Volatile Organic Compound), Green Leaf Volatile (GLVs), talking tree hypothesis,
serangga herbivora
ABSTRACT
The interaction of three trophic levels between plants, herbivorous insects and natural enemies is
very complex and involves chemical compounds produced not only by plants but also herbivorous insects.
Volatile Organic Compound (VOC) crops affect the herbivorous insects in determining its host and decision
in the search of host by natural enemies of herbivorous insects. Flowers and vegetative organs are the place
to produce volatile compounds. Volatile in flower serves as an attractant of pollinant insects while in the
vegetative part as a plant defense to protect it from herbivorous insects. Biosynthesis and VOC emissions
include products of lipoxygenase (LOX) pathways, such as oxylipin, Green Leaf Volatile (GLVs), as well as
many terpenoids, including isoprene, some carotenoid, indole and phenolic derivatives, including methyl
salicylate (MeSA), and aromatic VOCs. GLVs are multipurpose molecules that are produced on a variety of
plant system disorders and help plants survive in unfavorable environments. Plant defense involves the
hormone Ethylene (ET) used as a plant defense that affects GLVs. Release of GLVs after abiotic and biotic
pressure. Insect responses to GLVs vary depending on volatile composition, sex of insects or species, insects
attracted or rejected by GLVs. Synthesis of GLVs through the lyase hydroperoxide branch (HPL) of the
oxylipine pathway. GLVs not only activate plant defense but also as priming. Talking tree hypothesis
explains that volatiles released from plants affect neighboring uninfected plants of the same species. There
are two types of recipients in plant communication: neighboring plants and injured plant parts. Until now the
mechanism of interplant communication is not known for certain by the researchers, therefore need more
research on it.
Key words: VOC (Volatile Organic Compound), Green Leaf Volatile (GLVs), talking tree hypothesis,
herbivorous insects.
sedangkan organisme diatasnya terdiri dari parasitoid Dua jenis pertahanan yang dapat diinduksi
dan predator memanfaatkan serangga herbivora demi telah diamati pada tanaman yaitu pertahanan langsung
kelangsungan hidupnya. dan pertahanan tidak langsung. Tanaman menghadapi
Serangga herbivora dan musuh alaminya herbivora baik secara langsung (direct defense)
dapat dipengaruhi oleh tanaman. Tanaman dengan mempengaruhi preferensi tanaman inang atau
menghasilkan senyawa volatil yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi, dan
serangga herbivora dalam menentukan inangnya dan secara tidak langsung (indirect defense) melalui
keputusan dalam pencarian inang oleh musuh alami spesies lain seperti menarik musuh alami hama
serangga herbivora (Puspitarini, 2009). Senyawa serangga herbivora (War et al., 2012). Musuh alami
volatil mengarahkan serangga menuju sumber menekan populasi serangga herbivora, dan akibatnya,
makanan, pasangan kawin, dan oviposisi inang. mengurangi kerusakan tanaman akibat serangga
Khusus untuk serangga herbivora, volatil tanaman herbivora (Chen, 2008). Pertahanan langsung
memberikan isyarat penting untuk menemukan dan dimediasi oleh karakteristik tanaman yang
mengidentifikasi tanaman inang yang sesuai untuk mempengaruhi biologi serangga herbivora meliputi
keturunan mereka. Setelah herbivora datang, tanaman perlindungan mekanis pada permukaan tanaman
merespon dengan meningkatkan pelepasan dan (misalnya rambut, trikoma, duri, dan daun yang lebih
sintesis dimulai untuk beberapa senyawa volatil dari tebal) atau produksi bahan kimia beracun seperti
jaringan vegetatif mereka (Mumm & Dicke, 2010). terpenoid, alkaloid, antosianin, fenol, dan quinon yang
Parasitoid mengandalkan bau (aroma) yang dihasilkan membunuh atau menghambat perkembangan serangga
tanaman dalam menangkap mangsanya. Bau tersebut herbivora. Sedangkan pertahanan tidak langsung
merupakan sinyal yang digunakan tanaman dalam terhadap serangga herbivora melalui pelepasan
menghadapi serangan serangga herbivora (Howe & campuran volatil yang secara khusus menarik musuh
Jander, 2008). alami serangga herbivora dan dengan menyediakan
Interaksi tritrofik antara tanaman dengan makanan (misalnya, extrafloral nectar) dan tempat
serangga herbivora dan musuh alaminya perlu tinggal untuk meningkatkan keefektifan musuh alami
dipelajari agar dapat dibuat suatu tindakan dalam (War et al., 2012).
mengendalikan populasi serangga herbivora agar Ciri campuran volatil yang diinduksi
berada dibawah ambang ekonomi. Serangga herbivora serangga herbivora adalah kompleksitasnya, namun
dapat mengurangi tingkat produktivitas dari tanaman sampai saat ini sulit menentukan komponen mana dari
yang dibudidayakan oleh manusia. Sehingga dalam campuran yang dibutuhkan untuk menarik musuh
makalah ini menjelaskan interaksi tanaman dan serangga herbivora (Unsicker, 2009). Perubahan
serangga herbivora dan musuh alaminya, serta cara campuran volatil yang diinduksi pada tanaman oleh
pertahanan tanaman dalam menghadapi serangan serangan serangga herbivora yang banyak dan
serangga herbivora dengan menggunakan senyawa bersamaan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
kimia yaitu senyawa volatil. lain: kebiasaan cara makan serangga (mengunyah,
menusuk atau mengisap), organ tanaman yang
Mekanisme Pertahanan Tanaman diserang (di atas atau di bawah permukaan) atau
Mekanisme pertahanan tanaman dapat kekuatan kerusakan herbivora (kepadatan herbivora,
digeneralisasi menjadi dua kategori yaitu pertahanan waktu dan lokasi penyerangan yang berbeda) (de Rijk
konstitutif dan pertahanan yang dapat diinduksi. et al., 2013). Jumlah optimum senyawa volatil
Pertahanan konstitutif mencakup hambatan fisik dan biasanya dilepaskan oleh tumbuhan ke atmosfir,
kimia yang ada sebelum serangan serangga, sedangkan campuran volatil yang berbeda dihasilkan
sedangkan pertahanan yang dapat diinduksi meliputi sebagai respon terhadap herbivora. Campuran volatil
mekanisme pertahanan yang menjadi aktif pada yang dilepaskan oleh tanaman sebagai respon
serangan serangga. Pertahanan yang dapat diinduksi terhadap serangan serangga sangat spesifik untuk
spesifik telah menjadi fokus penelitian selama sistem tanaman serangga tertentu, termasuk musuh
beberapa dekade terakhir. Secara umum, pertahanan alami dan tanaman tetangga (War, et al.,2012). Dua
yang dapat diinduksi terdiri dari tiga tahap yaitu unsur yang paling umum dari campuran volatil ini
surveillance (pengawasan), transduksi sinyal, dan terpen (C10 monoterpen dan C15 sesquiterpen) dan
produksi bahan kimia pertahanan (Dangl & Green Leaf Volatile (GLVs) (aldehida C6, alkohol dan
McDowell, 2006; Ferry et al., 2004; Kessler & ester yang berasal dari pembelahan lipoksigenase
Baldwin, 2002; Walling, 2000). Pada langkah asam lemak yang mewujudkan bau yang khas pada
pertama, sistem surveillance tanaman mendeteksi daun yang rusak) (Unsicker, et al., 2009).
serangan serangga herbivora dengan pengenalan
sinyal tertentu. Sinyal yang terdeteksi kemudian Kemampuan Tanaman dalam Mengenali
ditransduksi melalui jalur transduksi sinyal jaringan, Serangan Serangga Herbivora
yang akhirnya mengarah pada produksi bahan kimia Tanaman memiliki kemampuan untuk
pertahanan (Smith & Boyko, 2007; Kaloshian, 2004). membedakan antara kerusakan serangga herbivora
dan mekanis, seperti hujan es dan angin, dan juga
225 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Senyawa volatil tanaman sebagai....
Cabang Bandung
untuk mengenali oviposisi. Hal ini berguna dalam sesudahnya (Dudareva et al., 2000; Vassao et al.,
efisiensi pengeluaran emisi VOC dari sistem 2006). Secara umum, VOC dapat membawa berbagai
pertahanan tanaman. Tanaman memiliki kemampuan jenis informasi: (I) informasi kepada serangga
untuk mengenal serangga herbivora dengan feeding herbivora untuk melokalisasi tanaman inang mereka,
guilds, mengetahui sekresi oral serangga, dan cairan (II) pertahanan tidak langsung dengan menggunakan
oviposisi yang dihasilkannya. tingkat trofik ketiga dengan menarik musuh alami,
Kemampuan tanaman dalam feeding guilds dan (III) untuk tanaman tetangga serta (IV) bagian
melalui evaluasi kualitas dan kuantitas kerusakan dari yang jauh dari tanaman yang sama, untuk
bagian tanaman seperti kerusakan yang disebabkan menyesuaikan fenotipe pertahanan mereka yang
ulat yang ketika makan mengikuti pola khusus dengan sesuai (Heil & Bueno, 2007).
mengeluarkan potongan jaringan daun yang berukuran VOC dilepaskan dari daun, bunga dan buah
sama dengan cara yang sangat koreografi dan dapat ke atmosfer dan dari akar ke dalam tanah (Maffei,
diprediksi oleh tanaman. 2010). Fungsi utama VOC di udara adalah untuk
Tanaman juga mampu mengenali senyawa mempertahankan tanaman melawan herbivora dan
dalam sekresi oral serangga, yang menghasilkan patogen, untuk menarik polinator, penyebar biji, dan
respon volatil lebih intens daripada kerusakan hewan dan mikroorganisme bermanfaat lainnya, serta
mekanis saja. Salah satu contoh, tanaman dapat berfungsi sebagai sinyal dalam komunikasi antar
mengenali sekresi oral serangga yaitu pada oral tanaman (Dudareva & Pichersky, 2008). Produksi
Spodoptera exigua yang mengeluarkan N-17- VOC diaktifkan oleh elicitors dari sekresi oral
hydroxylinolenoyl-L-glutamine (volicitin) yang serangga herbivora yang menyerang (Truitt et al.,
merupakan sekresi oral serangga yang pertama kali 2004; Truitt & Pare, 2004).
didentifikasi. Ada beberapa elisitor yang berasal dari Volatil pada bunga berfungsi sebagai
sekresi oral yang benar-benar menekan respon atraktan serangga polinator. Cara VOC menarik
pertahanan tanaman. Misalnya, saliva glukosa polinator dengan memberikan informasi mengenai
oksidase (GOX) dikeluarkan oleh Helicoverpa zea pendaratan dan makanan dengan jarak pendek
dan protein yang diidentifikasi di kelenjar saliva maupun jarak jauh (Dobson, 1994) dan menyediakan
Myzus persicae menambah sifat oksidatif dan penyerbuk dengan informasi spasial berskala baik
mengurangi respon pertahanan tanaman. Tanaman tentang peluang pendaratan dan makanan. Informasi
dapat mengenal cairan oviposisi serangga yang dapat ini tergantung pada jaringan spesifik dan pengaturan
menimbulkan respon pertahanan pada tanaman, perkembangan produksi aroma dan emisi di dalam
membuat tanaman menarik predator telur atau bunga (Dotterl & Jurgens, 2005; Kessler & Baldwin,
memperkuat pertahanannya jika terjadi serangan 2007). Emisi VOC sering berkorelasi dengan aktivitas
serangga herbivora pada masa yang akan datang mencari makan polinator terkait dan menampilkan
seperti pada oviposisi Pieris brassicae pada daun pola diurnal atau nokturnal (Kolosova et al., 2001).
Brassica oleracea mengubah kimia permukaan daun Selain itu, polinator juga mampu membedakan antara
yang menyebabkan parasitoid telur Trichogramma profil volatil kompleks yang beragam dengan rasio
brassicae tertarik datang (Hagg et al., 2013). dan intensitas senyawa yang unik (Wright et al.,
2005) serta mengembangkan preferensi terhadap
Pertahanan Tanaman dengan menggunakan VOC profil spesifik (Ashman, 2000). Preferensi ini
(Volatile Organic Compound) memodulasi perilaku mencari makanan dan
Biosintesa dan emisi VOC meliputi produk meningkatkan kecenderungan untuk berulang kali
jalur lipoksigenase (LOX), seperti oxylipin, Green mengunjungi bunga dengan profil volatil yang
Leaf Volatile (GLVs), serta banyak terpenoid, spesifik, sehingga meningkatkan transfer serbuk sari
termasuk isoprena, beberapa turunan karotenoid, indol ke tanaman yang spesifik dan mencegah stigma
dan fenolat, termasuk metil salisilat (MeSA), dan tersumbat dengan serbuk sari heterospesifik (Gruter &
VOC aromatik (Maffei, 2010). Biosintesis ini Ratnieks, 2011). Selain itu, VOC yang dipancarkan
bergantung pada ketersediaan karbon, nitrogen dan dari bunga yang diserbuki juga dapat menolak
sulfur serta energi yang disediakan oleh metabolisme polinator dan mengarahkannya ke bunga yang belum
primer (Dudareva et al., 2013). Volatil dihasilkan diserbuki (Schiestl & Ayasse, 2001).
tanaman dari organ vegetatif dan generatif. Bunga Peran volatil pada bagian vegetatif adalah
merupakan tempat dihasilkannya volatil paling sebagai pertahanan tanaman terhadap patogen,
banyak dan beragam dibandingkan dengan organ perlindungan terhadap panas dan tekanan oksidatif,
vegetatif (Knudsen et al., 2006). Pada semua organ sebagai sinyal di antara organ tanaman, komunikasi
tanaman, produksi dan emisi VOC diatur secara antar tanaman, allelopati, menolak serangga
progresif dan menunjukkan perkembangan yang herbivora, menarik musuh alami serangga herbivora
serupa, meningkat pada tahap awal perkembangan (Gambar 1). Sebagai contoh, volatil monoterpen dari
(ketika daun muda dan tidak sepenuhnya berkembang, Chrysanthemum morifolium baru-baru ini dilaporkan
buah belum matang, atau sebelum bunga siap untuk menolak ovipositing betina dari diamondback moth
penyerbukan) dan menurun atau tetap relatif konstan (Plutella xylostella). Lepidoptera ini biasanya tidak
226 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Senyawa volatil tanaman sebagai....
Cabang Bandung
bertelur di atas C. morifolium. Namun, betina Faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Emisi VOC
diamondback moth memiliki pengalaman sebelumnya Faktor abiotik
dengan volatil ini tidak harus ditolak (Unsicker et al., Emisi VOC dipengaruhi oleh faktor
2009). Sampai saat ini, sedikit informasi yang tersedia lingkungan seperti intensitas cahaya, konsentrasi CO 2
mengenai bagaimana volatil tanaman benar-benar di atmosfer, suhu, kelembaban relatif, dan keadaan
dapat menolak atau menghambat makan serangga nutrisi (Staudt & Bertin, 1998; Gouinguene &
herbivora. Selain itu, volatil yang disebabkan oleh Turlings, 2002). Emisi VOC dari tanaman sangat
serangga herbivora dapat menjadi sinyal yang bervariasi tergantung pada spesies, organ, stadia
diandalkan untuk serangga herbivora lainnya terkait perkembangan dan kondisi lingkungan. Faktor
dengan adanya pesaing atau bahaya musuh alami. lingkungan, baik biotik maupun abiotik memiliki
Senyawa ini juga bisa menunjukkan bahwa calon dampak yang sangat besar pada volatil yang
inang telah meningkatkan pertahanannya akibat dilepaskan dari bagian vegetatif tanaman. Faktor
serangan serangga herbivora sebelumnya. tekanan abiotik mengubah tingkat metabolit yang
Selanjutnya, volatil dapat memiliki tindakan toksik berbeda pada tanaman sehingga VOC juga
langsung pada herbivora, namun kemungkinan ini terpengaruh. Peningkatan emisi sebagian merupakan
perlu diuji dengan kondisi yang realistis secara proses fisik karena kenaikan tekanan uap VOC pada
biologis dengan konsentrasi senyawa kimia yang suhu yang lebih tinggi. Namun, emisi VOC sering
sesuai, yang sebagian besar dipancarkan pada tingkat meningkat lebih banyak daripada yang dapat
nanogram atau mikrogram per jam per gram jaringan dijelaskan oleh perubahan tekanan uap, menunjukkan
daun (Unsicker et al., 2009). tingkat biosintesis yang lebih tinggi pada suhu tinggi.
Di antara tekanan abiotik lainnya, intensitas cahaya
yang tinggi juga merangsang emisi VOC dalam
berbagai tipe tanaman dan bentuk pertumbuhan yang
berbeda (Holopainen & Gershenzon, 2010).
Faktor biotik
Tekanan biotik juga menginduksi emisi
volatil tanaman. Kerusakan oleh serangga herbivora
pada bagian vegetatif telah berulang kali terbukti
menyebabkan peningkatan pelepasan VOC yang dapat
diinduksi. Aktivitas serangga herbivora dapat
menyebabkan induksi senyawa volatil organik atau
deposisi telur (Oviposition-Induced Plant Volatiles,
OIPVs) (Gambar 2) (Hilker & Fatouros 2015;
Pashalidou et al., 2015). Emisi VOC merupakan
Gambar 1. Peran volatil dalam kehidupan tanaman respon tanaman akibat serangan serangga herbivora
(Unsicker, 2009) yang mengundang musuh alami merupakan strategi
pertahanan tanaman tidak langsung karena volatil ini
Senyawa VOC dapat disimpan pada tidak berdampak langsung pada serangga herbivora
glandural trikoma pada famili dari Lamiaceae, yang menyerang (Martorana et al., 2017). Secara
Asteraceae, Geraniaceae, Solanaceae dan khusus, OIPVs mampu menarik parasitoid telur yang
Cannabinaceae; saluran dan rongga tersembunyi yang dapat meningkatkan kemampuan tanaman, karena
terdiri dari ruang interselular yang relatif besar yang serangga herbivora dapat dibunuh sebelum terjadi
dilapisi oleh epitel sel sekretori (Fahn, 1988). VOC kerusakan tanaman (Pierik et al., 2014; Fatouros et
bioaktif disimpan dan mewakili pertahanan konstitutif al., 2016).
yang siap dikirim jika terjadi pemecahan jaringan; Tekanan pada tanaman biasanya tidak secara
saluran tersembunyi terdapat pada beberapa famili tunggal melainkan bersamaan. Semakin banyak
dari Pinaceae, Myrtaceae, Asteraceae, Umbelliferae tekanan yang diberikan pada tanaman maka semakin
dan Leguminosae sedangkan rongga tersembunyi besar pula emisi VOC yang dilepaskan. Hal tersebut
pada famili Rutaceae, Clusiaceae, Myrtaceae dan didukung dari kasus pada tanaman jagung yang diberi
beberapa lainnya; sel sekretori pada bunga dan akar; tekanan berupa serangga herbivora dari ordo
Extrafloral nectar memegang peranan penting dalam Lepidoptera dan suhu yang tinggi di laboratorium
pertahanan tidak langsung bagi tanaman Acacia di menyebabkan pelepasan VOC lebih besar ketimbang
Amerika tengah karena Extrafloral nectar menarik diberi tekanan tunggal (Holopainen & Gershenzon,
dan memberi makan semut untuk mempertahankan 2010).
tanaman inang dari serangga herbivora, tanaman lima
bean (Phaseolus lunatus L.) juga mengeluarkan
Extrafloral nectar untuk menarik predator terutama
semut (Maffei, 2010).
Interplant communication(komunikasi antar mendeteksi molekul sinyal volatil oleh sel penerima,
tanaman) melalui sinyal di udara merupakan kemudian sinyal akan diaktifkan pada bagian
fenomena dalam ilmu tanaman, namun tetap menjadi tanaman. Sel penerima dapat ditempatkan pada organ
topik yang kontroversial selama bertahun-tahun. lain atau ruang lain dari tanaman yang melepaskan
Perdebatan mengenai talking tree dimulai pada tahun volatil atau sel penerima sinyal jarak jauh yang lebih
1980an, dan selama tiga dekade terakhir, para peneliti jauh bisa berada pada tanaman spesifik atau
telah mengumpulkan bukti signifikan untuk heterospesifik yang berdekatan dengan tanaman
mendukung hipotesis ini (Hasan et al., 2015). Talking (Holopainen & Blande, 2012).
tree hypothesis menjelaskan bahwa volatil yang Senyawa kimia yang terlibat dalam Within
dilepaskan dari tanaman mempengaruhi tanaman plant signaling antara lain: GLVs (E)-2-heksenal, (Z)-
tetangga yang tidak terinfeksi dari spesies yang sama. 3-hexen-1-ol, dan cis-3 -heksenyl asetat, terpene
Selain serangga yang mampu mendeteksi GLVs, myrcene dan blended ocimene volatiles ((E)-β-
tanaman lain juga dapat mengetahui adanya GLVs. ocimene, (Z)-β-ocimene dan allo-ocimene) serta
Namun mekanisme tanaman lain mengetahui adanya fitohormon yaitu metil jasmonat, metil salisilat dan
GLVs yang berasal dari tanaman yang terserang etilen.
serangga herbivora belum diketahui sampai saat ini. Senyawa kimia lain yang terlibat dalam
Ada dua jenis penerima dalam plant communication Within plant signaling:
yaitu tanaman tetangga dan bagian tanaman yang GLVs meliputi berbagai senyawa C6
terluka. Bila sinyal GLVs telah sampai pada tanaman termasuk aldehid, alkohol dan ester. Dibentuk melalui
tetangga, maka tanaman tetangga meningkatkan jalur lipoxygenase, senyawa ini dilepaskan dengan
pertahanan mereka atau menjadi priming. Sehingga cepat pada gangguan tanaman, oleh kerusakan
pertahanan tanaman tetangga tersebut sulit diatasi mekanis dan juga adanya serangga herbivora.
oleh serangga herbivora (Gambar 3) (Holopainen & Senyawa ini menunjukkan adanya kerusakan mekanis
Gershenzon, 2010). dan dapat memberi sinyal awal untuk tanaman
penerima.
Terpenoid adalah kelompok senyawa
sekunder terbesar, yang terdiri dari sekitar 40.000
senyawa, termasuk setidaknya 1.000 monoterpen dan
6.500 seskuiterpen. Adanya kerusakan oleh herbivora
menyebabkan struktur ini rusak dan senyawa
dilepaskan. Biosintesis terpenoid dimulai dan dapat
diinduksi secara lokal dan sistemik oleh serangan
herbivora. Oleh karena itu, terpenoid sebagai
kelompok dapat memberikan sinyal terkait yang
cepat, tetapi juga terkait dengan serangga herbivora
untuk menerima tanaman.
Metil jasmonat adalah turunan volatil asam
jasmonat, yang merupakan komponen integral respon
Gambar 3. Contoh keterlibatan senyawa pertahanan tanaman terhadap serangga herbivora.
volatil di atas tanah dan di bawah tanah tanaman Metil salisilat disintesis dari asam salisilat, merupakan
dalam komunikasi tanaman A) within‑plant senyawa fenolik dan berperan penting dalam
signalling melalui VOC dan (B) komunikasi pertahanan tanaman. Hal ini dilepaskan dalam jumlah
intraspesifik dan interspesifik melalui VOC. Panah yang signifikan dari tanaman sebagai respon terhadap
yang melengkung dengan warna gradien kerusakan oleh aphid yang dilepaskan oleh tembakau
menggambarkan sinyal yang dilaporkan dan panah dan respon terhadap infeksi virus mosaik tembakau.
yang melengkung yang tidak diisi Tanaman tembakau yang terpapar metil salisilat telah
mengindikasikan rute pensinyalan yang diduga terbukti meningkatkan ketahanan terhadap virus
(Holopainen & Blande, 2012). mosaik tembakau. Selain senyawa-senyawa kimia
yang telah dipaparkan, etilen juga terlibat dalam
Within plant signaling merupakan istilah pertahanan tanaman. Etilen terlibat dalam pertahanan
yang digunakan untuk menggambarkan tanaman yang tanaman karena etilen mensinergikan efek GLVs
menerima sinyal VOC yang ditujukan untuk penerima (Holopainen & Blande, 2012).
yang berbeda, dengan dimaksud penerima menjadi Pengetahuan tentang komunikasi volatil di
musuh alami dari serangga herbivora. Namun, bukti rhizosfer terbatas. Interaksi volatilitas potensial dan
yang telah terkumpul untuk menjelaskan komunikasi dilaporkan di atas dan di bawah tanah dirangkum
dalam tanaman (within plant communication) pada dalam Gambar 3. Beberapa senyawa volatil seperti
berbagai jenis tumbuhan menunjukkan bahwa sesquiterpene (E)-β-caryophyllene diinduksi pada
'penerima yang dimaksud' kemungkinan adalah akar tanaman oleh tekanan abiotik seperti tekanan
tanaman yang melepaskan VOC itu sendiri. Setelah panas dan oleh tekanan biotik yang disebabkan oleh
229 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Senyawa volatil tanaman sebagai....
Cabang Bandung
kerusakan aktivitas makan serangga herbivora. Salah Dobson H. E. M. 1994. Floral volatiles in insect
satu spesies tanaman yang kaya sesquiterpene seperti biology. In: Bernays E. A. (ed.) Insect-
Copaifera officinalis dimana beberapa sesquiterpene plant interactions, Vol. V. CRC Press, Boca
ditemukan dari akar, namun dua pertiga jumlahnya Raton, pp. 47 81.
adalah (E)-β-caryophyllene, yang mengindikasikan Dötterl, S, Jürgens, A. 2005. Spatial fragrance
peran spesifik akar untuk senyawa volatil ini. Larva patterns in flowers of Silene latifolia: lilac
Maize root worm (Diabrotica virgifera virgifera) compounds as olfactory nectar guides?.
makan pada akar jagung juga menginduksi (E)-β- Plant Systematics and Evolution, 255(1-2),
caryophyllene produksi di akar dan menarik nematoda 99-109.
tanah entomopatogen. Ini merupakan indikasi bahwa Dudareva, N, Klempien, A, Muhlemann, J. K,
senyawa volatil yang dilepaskan dari sistem akar Kaplan, I. 2013. Biosynthesis, function and
dapat dengan cepat mencapai akar tetangga dan metabolic engineering of plant volatile
berpotensi mentransmisikan informasi antara sistem organic compounds. New Phytologist,
akar sendiri dan tetangga di dalam tanah (Holopainen 198(1), 16-32.
& Blande, 2012). Dudareva, N, Murfitt, L. M, Mann, C. J, Gorenstein,
N, Kolosova, N, Kish, C. M, Bonham, C,
SIMPULAN Wood, K. 2000. Developmental regulation
Penelitian mengenai volatil sampai saat ini of methyl benzoate biosynthesis and
masih terbatas. Sebab banyak informasi yang masih emission in snapdragon flowers. The Plant
kurang tersedia. Informasi yang masih terbatas itu Cell, 12(6), 949-961.
antara lain: keterbatasan pengetahuan tentang Dudareva, N, Pichersky, E. 2008. Metabolic
mekanisme interplant communication belum engineering of plant volatiles. Current
diketahui secara pasti, sedikitnya informasi yang opinion in biotechnology, 19(2), 181-189.
tersedia mengenai bagaimana volatil tanaman benar- Fahn, A. 1988. Secretory tissues in vascular plants.
benar dapat menolak atau menghambat makan New phytologist, 108(3), 229-257.
serangga herbivora, mekanisme tanaman lain Fatouros, N. E, Cusumano, A, Danchin, E. G, &
mengetahui adanya GLVs yang berasal dari tanaman Colazza, S. 2016. Prospects of herbivore
yang terserang serangga herbivora belum diketahui egg‐killing plant defenses for sustainable
sampai saat ini, dan pengetahuan tentang komunikasi crop protection. Ecology and Evolution,
volatil di rhizosfer terbatas. Dari keterbatasan 6(19), 6906-6918.
informasi-informasi tersebut, maka perlu penelitian Ferry, N, Edwards, M. G, Gatehouse, J. A, Gatehouse,
lebih lanjut mengenai hal tersebut. A. M. 2004. Plant–insect interactions:
molecular approaches to insect resistance.
DAFTAR PUSATAKA Current opinion in Biotechnology, 15(2),
Ashman, T. L. 2000. Pollinator selectivity and its 155-161.
implications for the evolution of dioecy and Frost, C. J, Mescher, M. C, Carlson, J. E, De Moraes,
sexual dimorphism. Ecology, 81(9), 2577- C. M. 2008. Plant defense priming against
2591. herbivores: getting ready for a different
Chen, M. S. 2008. Inducible direct plant defense battle. Plant Physiology, 146(3), 818-824.
against insect herbivores: a review. Insect Fürstenberg-Hägg, J, Zagrobelny, M, & Bak, S. 2013.
science, 15(2), 101-114. Plant defense against insect herbivores.
Dangl, J. L, McDowell, J. M. 2006. Two modes of International journal of molecular
pathogen recognition by plants. sciences, 14(5), 10242-10297.
Proceedings of the National Academy of Gouinguené, S. P, Turlings, T. C. 2002. The effects
Sciences, 103(23), 8575-8576. of abiotic factors on induced volatile
de Rijk, M, Dicke, M, & Poelman, E. H. 2013. emissions in corn plants. Plant Physiology,
Foraging behaviour by parasitoids in 129(3), 1296-1307.
multiherbivore communities. Animal Grüter, C, Ratnieks, F. L. 2011. Flower constancy in
Behaviour, 85(6), 1517-1528. insect pollinators: Adaptive foraging
Dicke, M, Baldwin, I. T. 2010. The evolutionary behaviour or cognitive limitation?.
context for herbivore-induced plant Communicative & integrative biology, 4(6),
volatiles: beyond the ‘cry for help’. Trends 633-636.
in plant science, 15(3), 167-175. Hare, J. D. 2010. Ontogeny and season constrain the
Dicke, M, Loon, J. J. 2000. Multitrophic effects of production of herbivore-inducible plant
herbivore‐induced plant volatiles in an volatiles in the field. Journal of chemical
evolutionary context. Entomologia ecology, 36(12), 1363-1374.
experimentalis et applicata, 97(3), 237- Hassan, M. N, Zainal, Z, Ismail, I. 2015. Green leaf
249. volatiles: biosynthesis, biological functions
and their applications in biotechnology.
230 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Senyawa volatil tanaman sebagai....
Cabang Bandung
Plant biotechnology journal, 13(6), 727- present review is one in the special series
739. of reviews on animal–plant interactions.
Heil, M, Bueno, J. C. S. 2007. Within-plant signaling Canadian journal of zoology, 88(7), 628-
by volatiles leads to induction and priming 667.
of an indirect plant defense in nature. Niinemets, Ü, Kännaste, A, Copolovici, L. 2013.
Proceedings of the National Academy of Quantitative patterns between plant volatile
Sciences, 104(13), 5467-5472. emissions induced by biotic stresses and
Hilker, M., & Fatouros, N. E. 2015. Plant responses to the degree of damage. Frontiers in Plant
insect egg deposition. Annual Review of Science, 4.
Entomology, 60, 493-515. Pashalidou, F. G, Gols, R, Berkhout, B. W,
Holopainen, J. K, Blande, J. D. 2012. Molecular plant Weldegergis, B. T, van Loon, J. J, Dicke,
volatile communication. Adv Exp Med Biol, M., Fatouros, N. E. 2015. To be in time:
739, 17-31. egg deposition enhances plant-mediated
Holopainen, J. K, Gershenzon, J. 2010. Multiple detection of young caterpillars by
stress factors and the emission of plant parasitoids. Oecologia, 177(2), 477-486.
VOCs. Trends in plant science, 15(3), 176- Pierik, R, Ballare, C. L, & Dicke, M. 2014. Ecology
184. of plant volatiles: taking a plant community
Howe, G. A, Jander, G. 2008. Plant immunity to perspective. Plant, cell & environment,
insect herbivores. Annu. Rev. Plant Biol., 37(8), 1845-1853.
59, 41-66. Puspitarini, Retno Dyah. 2009. Peranan Alelokimia
Kaloshian, I. 2004. Gene-for-gene disease resistance: dalam Interaksi Tiga Jenjang Trofik :
bridging insect pest and pathogen defense. Pemandu Parasitoid dan Arthropoda
Journal of chemical ecology, 30(12), 2419- Predator dalam Menemukan Inang atau
2438. Mangsanya. Jurnal MAPETA. 1-12.
Kaplan, I. 2012. Attracting carnivorous arthropods Scala, A, Allmann, S, Mirabella, R, Haring, M. A,
with plant volatiles: the future of biocontrol Schuurink, R. C. 2013. Green leaf volatiles:
or playing with fire?. Biological control, a plant’s multifunctional weapon against
60(2), 77-89. herbivores and pathogens. International
Kessler, A, Baldwin, I. T. 2001. Defensive function of journal of molecular sciences, 14(9),
herbivore-induced plant volatile emissions 17781-17811.
in nature. Science, 291(5511), 2141-2144. Schiestl, F. P, Ayasse, M. 2001. Post-pollination
Kessler, D, Baldwin, I. T. 2007. Making sense of emission of a repellent compound in a
nectar scents: the effects of nectar sexually deceptive orchid: a new
secondary metabolites on floral visitors of mechanism for maximising reproductive
Nicotiana attenuata. The Plant Journal, success?. Oecologia, 126(4), 531-534.
49(5), 840-854. Smith, C. M, Boyko, E. V. 2007. The molecular bases
Kessler, A, Baldwin, I. T. 2002. Plant responses to of plant resistance and defense responses to
insect herbivory: the emerging molecular aphid feeding: current status. Entomologia
analysis. Annual review of plant biology, experimentalis et applicata, 122(1), 1-16.
53(1), 299-328. Staudt, M, Bertin, N. 1998. Light and temperature
Knudsen, J. T, Eriksson, R, Gershenzon, J, Ståhl, B. dependence of the emission of cyclic and
2006. Diversity and distribution of floral acyclic monoterpenes from holm oak
scent. The botanical review, 72(1), 1-120. (Quercus ilex L.) leaves. Plant, Cell &
Kolosova, N, Gorenstein, N, Kish, C. M, Dudareva, Environment, 21(4), 385-395.
N. 2001. Regulation of circadian methyl Takabayashi, J, Takahashi, S, Dicke, M, Posthumus,
benzoate emission in diurnally and M. A. 1995. Developmental stage of
nocturnally emitting plants. The Plant Cell, herbivore Pseudaletia separata affects
13(10), 2333-2347. production of herbivore-induced synomone
Maffei, M. E. 2010. Sites of synthesis, biochemistry by corn plants. Journal of Chemical
and functional role of plant volatiles. South Ecology, 21(3), 273-287.
African Journal of Botany, 76(4), 612-631. Truitt, C. L, Pare, P. W. 2004. In situ translocation of
Martorana, L, Foti, M. C, Rondoni, G, Conti, E, volicitin by beet armyworm larvae to maize
Colazza, S, Peri, E. 2017. An invasive and systemic immobility of the herbivore
insect herbivore disrupts plant volatile- elicitor in planta. Planta, 218(6), 999-1007.
mediated tritrophic signalling. Journal of Truitt, C. L, Wei, H. X, Paré, P. W. 2004. A plasma
Pest Science, 1-7. membrane protein from Zea mays binds
Mumm, R, Dicke, M. 2010. Variation in natural plant with the herbivore elicitor volicitin. The
products and the attraction of bodyguards Plant Cell, 16(2), 523-532.
involved in indirect plant defense The
231 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Senyawa volatil tanaman sebagai....
Cabang Bandung
Lupitasari1, Danar Dono1*, Luciana Djaya1, Yusup Hidayat1, Sri Hartati1, dan Rani Maharani2
1
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
2
Departemen Kimia, FMIPA Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor 40600
*Penulis korespondensi: danar.dono@unpad.ac.id
ABSTRAK
Penggunaan insektisida sintetik yang intensif dalam pengendalian hama perlu dikurangi karena dapat
membunuh organisme non sasaran. Alternatif pengendalian yang dapat dikembangkan adalah penggunaan
insektisida ramah lingkungan seperti formulasi minyak biji mimba (Azadirachta indica) yang dikombinasikan
dengan Metarhizium anisopliae. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan kombinasi M.
anisopliae dan formulasi minyak biji mimba 50 EC terhadap kutu Myzus persicae. Percobaan dilaksanakan di
Kebun Percobaan Ciparanje, Jatinangor. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 6
perlakuan dan 5 ulangan. Konsentrasi kombinasi M. anisopliae dengan formulasi minyak biji mimba 50 EC
yang diuji yaitu 0% (sebagai kontrol), 1%, 1,25%, 1,5%, 1,75%, dan 2%. Hasil percobaan menunjukkan
bahwa formulasi biji mimba 50 EC dengan konsentrasi 1,5%, 1,75%, dan 2% cenderung dapat menurunkan
populasi hama M. Persicae di pertanaman cabai.
Kata Kunci : Azadirachta indica, Cabai, Metarhizium anisopliae, Mizus Persicae
ABSTRACT
Intensive use of synthetic insecticides in pest control needs to be reduced because it can kill non-target
organisms. Alternative controls that can be developed are the use of environmentally friendly insecticides
such as the neem seed oil formulation (Azadirachta indica) in combination with Metarhizium anisopliae. This
experiment aims to determine the effectiveness of the combination of M. anisopliae and the neem seed oil
formulation 50 EC on Myzus persicae. The experiment was conducted at Ciparanje Experiment Garden,
Jatinangor. The experiment used a randomized block design using 6 treatments and 5 replications. The
concentration of the combination of M. anisopliae with the Neem seed oil formulation tested was 0% (as
control), 1%, 1.25%, 1.5%, 1.75%, and 2%. The experimental results show that the formulation of 50 EC
neem with the concentration of 1.5%, 1.75% and 2% tend to decrease the population of M. Persicae pests in
chilli plan.
Keywords: Azadirachta indica, Chili, Metarhizium anisopliae, Myzus persicae.
(Sumartini et al., 2001). Dengan demikian terbuka diujikan yaitu perbedaan konsentrasi formula mimba
peluang yang sangat luas untuk memanfaatkan jamur 50 EC yang dikombinasikan dengan jamur M.
M. anisopliae sebagai salah satu agens hayati dalam anisopliae. Perlakuan terdiri dari 6 perlakuan yang
program pengelolaan hama tanaman cabai. Beberapa diulang sebanyak 5 kali sehingga diperoleh 24 unit
kelebihan pemanfaatan jamur entomopatogen dalam percobaan. Pada setiap unit terdapat 10 sampel
pengendalian hama adalah mempunyai kapasitas tanaman. Perlakuan yang diuji terdiri dari enam
reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat perlakuan yaitu A (kontrol), B (Jamur M. anisopliae +
membentuk spora yang tahan lama di alam walaupun Formula Mimba 1%), C (Jamur M. anisopliae +
dalam kondisi yang tidak menguntungkan, relatif Formula Mimba 1,25%), D (Jamur M. anisopliae +
aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan Formula Mimba 1,5%), E (Jamur M. anisopliae +
sangat kecil kemungkinan terjadi resistensi (Prayogo Formula Mimba 1,75%), F (Jamur M. anisopliae +
et al., 2005). Formula Mimba 2% ). Konsentrasi M. anisopliae
Salah satu hama penting yang menyerang yang digunakan adalah 108 spora/ml. Pengaplikasian
tanaman cabai adalah kutu daun persik atau M. diawali dengan menggunakan formula mimba 50 EC,
persicae Sulz. (Meilin, 2014). Kutu daun persik kemudian pada minggu selanjutnya penyemprotan
menyerang tanaman cabai dengan cara menghisap menggunakan jamur M. anisopliae. Penyemprotan
cairan daun secara langsung. Akibatnya, daun menjadi dilakukan setiap minggu pada waktu pagi atau sore
keriput, berwarna kekuningan, dan terpuntir. Selain hari dengan waku aplikasi yang berbeda yaitu selang
itu, pertumbuhan jaringan daun juga terhambat satu minggu.
sehingga menyebabkan tanaman layu dan mati (Ditlin,
2013). Berbagai tindakan pengendalian hama tersebut HASIL DAN PEMBAHASAN
telah dilakukan, diantaranya pengendalian secara Serangan hama M. persicae pada tanaman
kimia, kultur teknis, mekanis, dan hayati. Menurut cabai terjadi pada saat fase vegetatif. Pada
Kardinan (2005) bahwa penggunaan insektisida pengamatan pendahuluan sudah ditemukan adanya
sintetik lebih disukai oleh petani dengan alasan populasi hama M. persicae sehingga aplikasi
mudah didapat, praktis dalam aplikasi, tersedia dalam formulasi minyak mimba 50 EC dilakukan pada hari
jumlah yang banyak, dan hasilnya relatif cepat berikutnya. Kepadatan populasi M. persicae berbeda
terlihat. Selain masih kurangnya minat petani untuk pada tiap petak perlakuan, rata-rata kepadatan
melakukan cara-cara pengendalian non-kimia yang populasi M. persicae tertinggi sebelum aplikasi
lebih ramah lingkungan, pemilihan cara pengendalian formulasi minyak biji mimba 50 EC pada saat
tersebut dilakukan karena insektisida sintetik pengaplikasian ke-1 terdapat pada perlakuan C (FM
dianggap lebih efektif dan efisien dalam 1,25%) sebanyak 15,7 ekor/tanaman sampel,
penggunaannya. Namun, pengaplikasian insektisida Sedangkan rata-rata kepadatan populasi M. persicae
sintetik yang intensif dan berlebihan dapat terendah terdapat pada perlakuan D (FM 1,5%)
menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan sebanyak 4,4 ekor/tanaman sampel. Pada pengamatan
sekitarnya serta bagi pengguna insektisida. ke-1 setelah aplikasi rata-rata kepadatan populasi M.
Belakangan ini telah dikembangkan pengendalian persicae tertinggi terdapat pada perlakuan C (FM
dengan menggunakan insektisida nabati (Meilin, 1,25%) sebanyak 11,5 ekor/tanaman sampel,
2014). sedangkan rata-rata jumlah M. persicae terendah
Pemanfaatan formulasi minyak mimba (A. terdapat pada perlakuan D (FM 1,5%) sebanyak 2,4
indica) dan M. anisopliae dapat menjadi alternatif ekor/tanaman sampel. Pada pengaplikasian ke-2
insektisida nabati untuk mengendalikan hama kutu setelah aplikasi menunjukan bahwa perlakuan A
daun persik pada tanaman cabai. Cara kerja (Kontrol) jumlah M. persicae 17,5 ekor/tanaman
insektisida nabati dapat dimaksimalkan agar terhindar sampel berbeda nyata dengan perlakuan F (FM 2%)
dari resistensi, salah satunya dengan managemen jumlah M. persicae 0,6 ekor/tanaman sampel, sama
resistensi insektisida berupa multiple attack. Multiple halnya pada aplikasi ke 3, 4, 5, dan 6 populasi M.
attack adalah pengaplikasian insektisida dengan persicae berbeda nyata dengan kontrol dan perlakuan
mengkombinasikan beberapa insektisida atau dengan Formula Biji Mimba yang dikombinasikan dengan M.
menggunakan bahan aktif yang memiliki cara kerja anisoplae.
yang berbeda (Sarwar & Salman, 2015). Untuk itu Rendahnya populasi hama M. persicae
diperlukan penelitian mengenai uji kombinasi disebabkan oleh pengaruh formulasi minyak biji
insektisida nabati dengan insektisida mikroba untuk mimba 50 EC yang dikombinasikan dengan jamur M.
mengendalikan hama pada tanaman cabai. anisoplae. Pada konsentrsi 1,5 %, 1,75%, dan 2 %
yang dapat menekan populasi M. persicae. Diduga hal
BAHAN DAN METODE tersebut terjadi karena pengaruh bahan aktif
Percobaan ini dilaksanakan di Kebun azadirachtin yang terkandung didalam formulasi
Percobaan Fakultas Pertanian, Universitas minyak mimba 50 EC sebagai penolak hama (Orwa,
Padjadjaran, Desa Ciparanje, Kecamatan Jatinangor, et al., 2009). Salanin berperan sebagai penurun nafsu
Kabupaten Sumedang. Percobaan menggunakan makan (anti-feedant) yang dapat mengakibatkan daya
rancangan acak kelompok. Perlakuan yang akan rusak serangga sangat menurun, walaupun
234 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI Keefektifan kombinasi aplikasi formula....
Cabang Bandung
serangganya sendiri belum mati. Meliantriol berperan dalam tubuh inang dengan adanya tekanan mekanik
sebagai penghalau (repellent) yang mengakibatkan dan bantuan toksin yang dikeluarkan oleh jamur.
serangga hama tidak mendekati zat tersebut. Serangga dapat terinfeksi konidia melalui kutikula,
Azadirachtin dapat menggangu kopulasi (perkawinan) atau melalui celah di antara segmen-segmen
dan komunikasi seksual serangga. Azadirachtin akan tubuhnya, kemudian jamur berkecambah dengan
bekerja efektif jika masuk ke dalam tubuh serangga membentuk tabung kecambah sehingga jamur dapat
(Wijiastuti, 2013), dalam jumlah sedikit hanya akan masuk ke tubuh inang dan menyebar ke jaringan
mengakibatkan serangga diam dan berhenti makan haemocel (Feng et al. 2004). Selanjutnya jamur
(Samsudin, 2011). menginfeksi saluran makanan dan sistem pernafasan.
Salah satu cara untuk meningkatkan Akibatnya serangga mati. Konidia jamur yang infektif
keefektifan M. anisopliae dalam pengendalian hama segera terbentuk pada bagian luar tubuh inang dan
adalah mengombinasikan jamur entomopatogen M. siap untuk disebarkan oleh angin, air dan bahkan
anisopliae dengan insektisida kimia. (Hasyim, 2016). serangga (Shahid et al. 2012)
Jamur M. anisopliae dapat melakukan penetrasi ke
Tabel 2. Rata-rata jumlah M. persicae (ekor/tanaman sampel) formulasi minyak biji mimba 50 EC
Jumlah M. persicae Pada Minggu Setelah Aplikasi Ke-
Perlakuan
PBA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
A (Kontrol) 12,1a 10,6a 17,5b 27,9c 40,2b 54,9b 17,0b 17,3c 16,2c 16,7c 4,2c 1,8b
B (M. anisopliae+FM 1%) 14,3a 8,8a 13,2ab 12,1bc 16,0ab 13,7a 9,2a 7,5b 3,5b 3,2ab 1,6b 0,4a
C (M. anisopliae+FM 1,25%) 15,7a 11,5a 1,7ab 1,6ab 5,8a 6,2a 0,7a 1,0ab 1,4ab 1,2a 0,6a 0,3ab
D (M. anisopliae+FM 1,5%) 4,4a 2,4a 0,8a 0,3ab 0,9a 0,3a 1,5a 0,5ab 0,4a 0,2a 0,1a 0,0a
E (M. anisopliae+FM 1,75%) 14,0a 10,6a 3,8ab 0,7ab 2,4a 1,3a 0,9a 0,2a 0,1a 0,0a 0,0a 0,0a
F (M. anisopliae+FM 2%) 14,7a 6,1a 0,6a 2,2a 1,2a 0,0a 0,2a 0,0a 0,1a 0,0a 0,0a 0,0a
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%. PBA = Pengamatan Sebelum Aplikasi
Tabel 3. Rata-rata Indeks Efikasi Formulasi Minyak Biji Mimba 50 EC dan M. anisopliae
Indeks Efikasi Formula Biji Mimba 50 EC (%) dan M. anisopliae Pada Minggu Setelah Tanam
Perlakuan
PBA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
A (kontrol) - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
B (M. anisopliae+FM 1%) - 14,29 14,23 72,51 44,76 58,66 43,36 81,73 84,81 80,68 85,77 90,24
C (M. anisopliae+FM 1,25%) - 50,44 48,6 63,83 53,19 65,51 68,47 89,03 87,8 84,66 87,41 88,53
D (M. anisopliae+FM 1,5%) - 51,43 61,91 95,22 87,35 92,85 80,62 95,5 95,63 94,9 95,32 95,8
E (M. anisopliae+FM 1,75%) - 54,85 43,1 89,68 87,34 80,17 89,06 92,85 93,03 91,96 91,38 91,96
F (M. anisopliae+FM 2%) - 66,32 69,22 84,41 76,37 81,29 77,56 94,15 93,48 92,29 92,29 92,29
Keterangan: FM = Formulasi Mimba 50 EC (%)
semakin cepat terlihat. Semakin tinggi konsentrasi Prayogo, Y. Wedanimbi Tengkano & Marwoto. 2005.
formula biji mimba yang diberikan pada tanaman Prospek Cendawan Entomopatogen
kubis maka akan semakin tidak disukai oleh M. Metarhizium anisopliae Untuk
persicae. Senyawa azadirachtin ini berfungsi sebagai MengendalikanUlat Grayak Spodoptera
antifeedant (mencegah makan) dan sebagai repellent Litura Pada Kedelai. Jurnal Litbang
(Widayat, 1994). Pertanian. 24(1): 19-25.
Purwar, JP & Sachan, GC 2006. Synergistic effect of
SIMPULAN entomogenous fungi on some insecticides
Aplikasi Formulasi Minyak Biji Azadirachta against Bihar hairy caterpillas Spilarctia
indica 50 EC yang dikombinasikan dengan jamur M. obliqua (Lepidoptera: Arctiidae). Microbiol
anisopliae pada tanaman cabai dengan konsentrasi Res. 161 (1):38-42.
1,5%, 1,75% dan 2% mampu menekan populasi kutu Samsudin. 2011. Biosintesa dan Cara Kerja
daun cabai M. persicae setelah aplikasi ke-3. Menurut Azadirachtin sebagai Bahan Aktif Insektisida
analisis Efikasi Insektisida Formulasi Minyak Biji Nabati. Seminar Nasional IV Insektisida
Mimba 50 EC yang dikombinasikan dengan M. Nabati. Jakarta. Tersedia
anisopliae pada konsentrasi 1,5%, 1,75% dan 2% http://balittro.litbang.pertanian.go.id/ind/ima
memenuhi kriteria efikasi. ges/publikasi/prosiding/pesnabiv/5.samsudin
%20Azadirachtin%2061-70p.pdf 9-2-17. 8
UCAPAN TERIMA KASIH halaman.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Sarwar, Muhammad., Muhammad Salman. 2015.
Danar Dono, Ir., M.Si., Dr. Luciana Djaya, Ir., M.Si. Insecticides Resistance in Insect Pest or
yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan Vectors and Development of Novel
penelitian ini. Strategies to Combat Its Evolution.
International Journal of Bioinformatics and
DAFTAR PUSTAKA Biomedical Engineering. 1(3): 344-351.
Direktorat Perlindungan Hortikultira (Ditlin). 2013. Shahid, AA, Rao, AQ, Bakhsh, A & Husnain, T 2012,
Kutu Daun Persik. Entomopathogenic fungi as biological
http://ditlin.hortikultura.pertanian.go.id. [24 controller: New insights into their virulence
April 2016] and pathogenicity. Arch. Biol. Sci., Belgrade,
Feng, M, Chen, GB & Ying, SH 2004, ‘Trials of 64(1): 21-42.
Beauveria bassiana, Paecilomyces Sudarmadji, D. 1994. Prospek dan kendala dalam
fumosoroseus, and imidacloprid for pemanfaatan nimba sebagaiinsektisida
management of Trialeurodes vaporariorum nabati.. Dalam Prosiding Hasil Penelitian
(Homoptera: Aleurodidae) on greenhouse dalam rangka Pemanfaatan Insektisida
grown lettuce’, Biocontr. Sci & Technol. 14: Nabati. D. Soetopo (editor). Bogor. Halama
531-44. 222-229.
Gabriel, B.P. dan Riyanto. 1989. Metarhizium Sumartini, Y. Prayogo, S.W. Indiati, dan S.
anisopliae (Metsch.) Sor. Taksonomi, Hardaningsih. 2001. Pemanfaatan jamur
patologi, produksi, dan aplikasinya. Proyek Metarhizium anisopliae untuk pengendalian
Pengembangan Perlindungan Tanaman pengisap polong (Riptortus linearis) pada
Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. kedelai. Simposium Pengendalian Hayati
25 halaman. Serangga. Sukamandi, 14- 15 Maret 2001. 10
Hasyim, Ashol, Wiwin S., Abdi H., Luthfy. 2016. halaman.
Sinergisme Jamur Entomopatogen Thamrin, M, Asikin. S,dan Budiman. A. 2007.
Metarhizium anisopliae dengan Insektisida Potensi ekstrak flora lahan rawa sebagai
Kimia untuk Meningkatkan Mortalitas Ulat insektisida nabati. Monograf:
Bawang Spodoptera exigua. J. Hort. 26 (2): Keanekaragaman Flora dan Buah-buahan
257-266. Eksotik Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian
Kardinan, A., dan Ruhnayat, A., 2003, Mimba dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Budidaya dan Pemanfaatan, Penebar Pertanian.
Swadaya, Jakarta. Halaman 8-9, 12. Wijiastuti, Sri. 2013. Manfaat Tanaman Mimba
Meilin, Araz. 2014. Hama dan Penyakit pada (Azadirachta indica A. Juss). Tersedia di
Tanaman Cabai Serta Pengendaliannya. http://cybex.pertanian.go.id/materipenyuluh
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian an/detail/8427(04-08-2017).
(BPTP) Jambi. Halaman 7-8. Widayat, W. 1994. Pengaruh lamanya waktu
Orwa C, A Mutua, Kindt R , Jamnadass R, S perendaman serbuk daun dan biji nimba
Anthony. 2009 Agroforestree Database:a tree (Azadirachta indica) terhadap ulat jengkal.
reference and selection guide version 4.0 Dalam Prosiding Hasil Penelitian dalam
(http://www.worldagroforestry.org/sites/tree rangka Pemanfaatan Insektisida Nabati.
dbs/treedatabases.asp). [24 April 2016] Bogor. Halaman 208-212.
Parasitoid Telur Dan Intensitas Serangan Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga
Incertulas Walker) Pada Agroekosistem Padi Irigasi
1
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Jl. Raya 9, Sukamandi, Subang
2
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jl.Raya Jakarta Km. 4, Pakupatan, Serang, Banten
*Penulis korespondensi : a.rahmini@gmail.com
ABSTRAK
Hama penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas W) merupakan salah satu hama utama tanaman
padi. Hama ini menyerang semua stadia pertumbuhan padi. Musuh alami penggerek batang padi yang paling
potensial adalah parasitoid telur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan parasitoid telur dan
intensitas serangan penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas Walker) serta menganalisis
hubungan antara parasitasi telur dengan larva yang keluar dari kelompok telur terparasit. Penelitian ini
menggunakan metode survei pada bulan November 2013 sampai Februari 2014 di Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi (BB Padi) Sukamandi-Subang, Jawa Barat. Penelitian ini terdiri dari lima plot dalam hamparan
±250 hektar, untuk diamati intensitas serangan pengerek batang padi dengan melihat 20 rumpun padi dan
mengambil sebanyak 4-6 kelompok telur tiap plot, juga berdasarkan jumlah tangkapan pada pernagkap
lampu. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata tangkapan selama penelitian di light trap populasi penggerek
batang padi kuning (Scirpophaga incertulas W) sebanyak 1574,81 ekor (99,89%), sedangkan penggerek
batang padi merah jambu (Sesamia inferens) hanya 1,68 ekor (0,11%). Intensitas serangan penggerek batang
padi pada stadia vegetatif 1,06%, reproduktif 2,76%, dan stadia pemasakan 1,35%. Tingkat parasitasi
tertinggi ditunjukkan oleh Telenomus rowani Gahan (24,30%), diikuti Tetrastichus schoenobii Ferriere
(6,19%) dan paling rendah Trichogramma japonicum Ashmead (1,21%). Terdapat hubungan yang negatif
antara tingkat parasitasi telur dengan larva yang keluar dari kelompok telur penggerek batang padi.
Kata kunci: padi, lampu perangkap, hama, musuh alami
ABSTRACT
Yellow rice stemborer (Scirpophaga incertulas W) is one of the major pests of rice plants. These pests invade
all stage rice growth. The most potential natural enemies of rice stemborer is egg parasitoid. This research
aimed to determine the egg parasitoid abundance and attack intensity of yellow rice stemborer (Scirpophaga
incertulas Walker) and analyzed the relationship between egg parasitized by the larvae that out of a masses of
parasitized egg. This research was conducted by survey method in November 2013 to February 2014 at
Indonesian Center for Rice Research (ICRR) Sukamandi - Subang, West Java. The research placed on five
plots in a large area ± 250 hectares, damage intensity of the rice stemborer was observed on 20 hills of rice
and 4-6 stemborer eggs was collected each plot, and based on the number of stemborrer captured on the light
trap. During the study (90 trapping nights), the number of yellow stemborer (Scirpophaga incertulas) moth
captured were 1574.81 (99.89%), and only 1.68 (0.11%) pink stemborer (Sesamia inferens) caught. The
damage intensity by the rice stemborer at vegetative stage was 1.06%, 2.76% at reproductive stage, and
maturation stage 1.35 %. The highest level of parasitized shown by Telenomus rowani Gahan (24.30 %),
followed Tetrastichus schoenobii Ferriere (6.19 %) and the lowest Trichogramma japonicum Ashmead
(1.21%). There was a negative relationship between the level of egg parasitized by the larvae out of the rice
stemborer egg masses.
Key words: rice, light traps, rice pests, natural enemies
oleh Hamid dkk. (2003), bahwa penggunaan pestisida Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
berpengaruh negatif terhadap keberadaan dan kelimpahan parasitoid telur dan intensitas serangan
keanekaragaman parasitoid. penggerek batang padi kuning (Scirpophaga
Musuh alami adalah organisme yang incertulas Walker), serta menganalisis hubungan
ditemukan di alam yang dapat membunuh serangga antara parasitasi telur dengan larva yang keluar dari
sekaligus, melemahkan serangga, sehingga dapat kelompok telur penggerek batang padi kuning
mengakibatkan kematian pada serangga, dan (Scirpophaga incertulas Walker) di pertanaman padi
mengurangi fase reproduktif dari serangga. Musuh sawah Sukamandi pada musim tanam 2013/2014.
alami dapat berupa patogen, predator, dan parasitoid. Metodologi Penelitian
Menurut Kasumbogo (2007) parasitoid adalah Waktu dan Tempat
serangga yang hidup pada inang dan akhirnya Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
mematikan inangnya. Kartohardjono (2011) November 2013 sampai Maret 2014 (musim tanam
menjelaskan bahwa parasitoid adalah serangga yang 2013/2014) di area persawahan dan laboratorium
hidup sebagai parasit selama masa pradewasa (larva) Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi)
hidup menumpang pada inang tetapi pada fase dewasa Sukamandi-Subang.
(imago) hidup bebas di luar inang penggerek Bahan dan Alat
Berdasarkan cara parasitasinya parasitoid yang Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
menyerang bagian luar serangga disebut adalah KOH 10 gram dan Aquades 1 liter (untuk
ektoparasitoid, dan jika menyerang bagian dalam membuat larutan KOH 10%), serta tanaman padi
serangga disebut endoparasitoid (Kartohardjono, varietas mekongga dan logawa (namun menurut
2011). Parasitoid dapat memarasit telur, larva, atau Hendarsih dan Usyati (2008) sampai saat ini belum
pupa. Parasitoid telur dapat menekan pertumbuhan ada varietas padi yang tahan terhadap penggerek
serangga hama sejak stadia telur. Hal ini disebabkan batang padi kuning karena terbatasnya sumber gen
parasitoid telur mampu mengendalikan hama sebelum ketahanan). Alat yang digunakan dalam penelitian ini
hama tersebut merusak pertanaman padi (Kusdiaman yaitu lampu perangkap (light trap), mikroskop,
dan Kurniawati, 2007). petridish, wadah plastik, kapas, tabung reaksi, pinset,
Ada tiga jenis spesies parasitoid telur kain kasa dan alat tulis.
penggerek batang padi yaitu Tetrastichus schoenobii Cara Penelitian
Ferriere, Telenomus rowani Gahan, dan Penelitian ini menggunakan metode survei
Trichogramma japonicum Ashmead (Rauf, 2000; pada lima tempat/lokasi/plot percobaan yang telah
Hamid dkk., 2003; Ardjanhar dkk., 2004, Hamijaya ditetapkan untuk diamati intensitas serangan dan
dkk., 2004; Kusdiaman dan Kurniawati, 2007; pengambilan 4-6 kelompok telur penggerek batang
Wilyus, 2012). Menurut Soehardjan (1976) dalam padi. Kelima plot percobaan tersebut berada dalam
Kusdiaman dan Kurniawati (2007) tingkat parasitasi satu hamparan luas (± 300 hektare) dengan jarak antar
atau kemampuan ketiga parasitoid tersebut untuk plot 300 meter dan ukuran luas tiap plot 10 X 5 meter
menurunkan populasi penggerek bervariasi, (Gambar 1). (Sebagai informasi kondisi persawahan
tergantung dari tempat dan lingkungannya. Penekanan yang digunakan dalam penelitian ini sepenuhnya
populasi larva penggerek sangat ditentukan oleh dikendalikan oleh petani sebagai pemilik sawah
spesies parasitoid yang dominan serta keefektifan dari termasuk di dalamnya pengaplikasian insektisida, dan
masing-masing spesies (Rauf, 2000). riwayat penggunaan lahan ini selalu ditanami padi).
Penelitian tentang kelimpahan parasitoid telur Kelompok telur yang telah diambil dari lapangan
telah banyak dilakukan diantaranya oleh Kusdiaman dimasukan kedalam tabung reaksi dan ditunggu
dan Kurniawati pada tahun (2007). Hasil pengamatan beberapa hari di laboratorium, tujuannya untuk
menunjukkan terdapat tiga parasitoid telur penggerek menumbuhkan telur sampai menetas, sehingga akan
kuning di Sukamandi yaitu Trichogramma japonicum, muncul parasitoid dan larva yang terdapat di telur
Telenomus rowani, Tetrastichus schoenobii. Pada tersebut selanjutnya dilakukan pengamatan dibawah
stadia vegetatif diketahui presentase kelompok telur mikroskop untuk melihat jenis dan jumlah parasitoid
terparasit oleh masing-masing parasitoid berturut- yang muncul, larva yang berhasi keluar, serta telur
turut sebanyak 1,77%, 19,83%, dan 3,24%, sedangkan yang tidak menetas. Sementara untuk melihat telur
pada stadia generatif adalah 3,41%, 15,66%, dan 3,88. yang tidak menetas dilakukan sebagai berikut:
Sementara untuk tingkat serangan penggerek batang kelompok telur yang dipenuhi bulu-bulu halus
padi pada awal pertanaman (3 dan 4 MST) direndam dalam larutan KOH 10% selama 24 jam
menunjukkan diatas ambang kendali (tinggi) yaitu (tujuannya untuk memudahkan saat membuka
6,62% sampai dengan 20,6% dan menurun pada kelompok telur). Setelah direndam, kelompok telur
pengamatan berikutnya. diletakkan ke dalam petridish untuk dibuka dan dilihat
Berdasarkan uraian di atas maka perlu di bawah mikroskop, telur yang tidak menetas
dilakukan penelitian mengenai kelimpahan parasitoid dipisah, sehingga mudah untuk dihitung. Pengamatan
dan intensitas serangan penggerek batang padi kuning dimulai ketika ada peningkatan populasi penerbangan
(Scirpophaga incertulas Walker) di penggerek batang padi, maka untuk mengetahui itu,
lapangan/pertanaman padi. yaitu dengan melihat populasi tangkapan dari lampu
238 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI
Cabang Bandung
perangkap (light trap) yang paling dekat dengan petak Kusdiaman dan Kurniawati (2007), menghitung
percobaan yakni di jalan 3 dan di jalan 7 (Gambar 1). keanekaragaman spesies parasitoid menggunakan uji
Pengamatan dilapangan (intensitas serangan dan indeks shannon (Wilyus dkk.,2012), menghitung
pengambilan kelompok telur) dilakukan dengan tingkat parasitasi oleh masing-masing parasitoid
urutan 3, 6, 12, 24 hari setelah ada peningkatan menggunakan modifikasi formula Baehaki (1991),
penerbangan penggerek batang padi di light trap. dan menganalisis hubungan parasitasi parasitoid telur
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan dengan larva penggerek batang padi yang berhasil
menghitung rerata populasi tangkapan penggerek keluar menggunakan analisis regresi-korelasi.
batang padi di light trap, intensitas serangan
penggerek batang padi dengan menggunakan formula
Lightrap Jl. 7
Area persawahan
Sang Hyang Seri
Lightrap Jl. 3
10 m
Plot 1
5m
Pak Bonin
Mekongga, 25 Nov 13
300 m Ukuran Plot: 10X5 m = 50 m
Jarak antar plot: 300 m.
Rumpun yang diamati tiap
Plot 2 300 m Plot 3 plot: 20 rumpun
Kelompok telur yang diambil
Pak Kamad Pak Ayim tiap plot: 5 kelompok telur
terdapat 5 sampel rumpun, sehingga dalam satu plot anakan yang rusak oleh serangan penggerek batang
terdapat sebanyak 100 rumpun sampel. Perhitungan padi dibagi jumlah keseluruhan anakan dikali 100%
intensitas serangan yaitu dengan menghitung jumlah (Kusdiaman dan Kurniawati, 2007), rumusnya sbb:
Intensitas Anakan yang terserang
serangan (I) = X 100 %
Total anakan
Σ( ) ( )
S
ni ln ni
H’ = -
N N
’ Σi = 1
Keterangan:
H’ = Indeks Shannon,
S = Jumlah spesies parasitod pada telur penggerek batang padi,
ni = Jumlah individu spesies ke-I,
N = Total individu semua spesies.
Tingkat Parasitasi oleh Masing-Masing Parasitoid dengan menggunakan modifikasi formula Baehaki
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan (1991) sebagai berikut;
kelompok telur di laboratorium mengenai jenis Tetrastichus schoenobii memarasit 3 butir telur,
parasitoid telur, larva, dan telur penggerek batang padi sehingga tingkat parasitisasinya ditentukan sebagai
yang tidak menetas, kemudian dihitung tingkat berikut:
persentase parasitasi masing-masing parasitoid
3a
P (Tetrastichus schoenobii ) = X 100%
3a+0,5b+c+e+f
Trichogramma japonicum memarasit 1/2 butir telur, sehingga tingkat parasitisasinya ditentukan sebagai berikut:
0,5b
P (Trichogramma japonicum) = X 100%
3a+0,5b+c+e+f
Telenomus rowani memarasit 1 butir telur, sehingga tingkat parasitisasinya ditentukan sebagai berikut:
Hubungan Parasitasi Parasitoid telur terhadap Larva yang berhasil keluar dari kelompok telur penggerek
yang Keluar batang padi. Data diolah dengan menggunakan
Data ini menyajikan hubungan antara analisis Regresi-Korelasi (Sudjana, 2005) dengan
parasitasi parasitoid telur dengan banyaknya larva rumus persamaan
:
Ŷ=a+bX
Dimana: a = konstanta
( (ΣY) (ΣX2) – (ΣX) (ΣXY)
n ΣX2 – (ΣX)2 )
b = koefisien korelasi ( n ΣYX – (ΣX) (ΣY)
n ΣX2 – (ΣX)2
)
Keterangan: Y = variabel terikat (larva yang berhasil keluar dari kelompok penggerek batang padi)
HASIL DAN PEMBAHASAN kuning sangat mendominasi baik di light trap jalan 7
Populasi Penggerek Batang Padi maupun jalan 3 dengan rerata tangkapan sebanyak
Berdasarkan tangkapan pada light trap yang 1995,72 ekor dan 1153,90 ekor, sementara ngengat
terdekat dengan plot percobaan (light trap jalan 7 & penggerek batang merah jambu sangat sedikit yaitu
3) selama Desember 2013 sampai Februari 2014 (90 sebanyak 1,80 ekor dan 1,56 ekor. Berdasarkan
malam) atau selama penelitian bahwa hanya akumulasi rerata tangkapan di light trap jalan 7 & 3,
ditemukan dua spesies ngengat penggerek batang padi populasi penggerek batang padi kuning sebanyak
yaitu penggerek batang padi kuning (Scirpophaga 1574,81 ekor dengan persentase 99,89%, sedangkan
incertulas) dan penggerek batang padi merah jambu penggerek batang padi merah jambu hanya 1,68 ekor
(Sesamia inferens). Ngengat penggerek batang padi dengan persentase 0,11% (Tabel 1).
Tabel 1. Persentase rerata tangkapan penggerek batang padi di light trap jalan 7&3
Populasi Rerata
Penggerek batang padi Light trap Persentase (%)
(ekor) (ekor)
Jalan 7 1995,72
Kuning 1574,81 99,89
Jalan 3 1153,90
Jalan 7 1,80
Merah jambu 1,68 0,11
Jalan 3 1,56
Dominasi tangkapan penggerek batang padi (2002) bahwa sejak tahun 1995 secara bertahap
kuning di light trap jalan 7 maupun jalan 3 diduga dominasi penggerek batang padi putih digeser oleh
karena sifat dari ngengat penggerek batang padi penggerek batang padi kuning. Pada tahun 2007
kuning yang tertarik cahaya (Baehaki, 1992), dilaporkan bahwa di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
sedangkan ngengat penggerek batang padi merah Jawa Timur hampir semua di kabupaten didominasi
jambu kurang tertarik pada cahaya (Hendarsih dan oleh spesies penggerek batang padi kuning yang
Usyati, 2008). Hal ini yang menyebabkan populasi mencapai lebih dari 90%. Sementara penggerek
penggerek batang padi kuning banyak ditemukan atau batang padi putih hanya di temukan di Indramayu dan
tertangkap pada perangkap lampu (light trap) sisanya penggerek batang merah jambu mendominasi
sementara penggerek batang padi merah jambu hanya di wilayah Tegal dan Klaten, Jawa Tengah (Hendarsih
sedikit. Selain itu, ada kemungkinan karena dkk., 2007)
dilapangan yang selalu ditanami sawah secara terus Perbedaan jumlah populasi penggerek batang
menerus sehingga penggerek batang padi kuning yang padi kuning yang tertangkap di light trap dipengaruhi
makanan utamanya padi, akhirnya mampu oleh keberadaan tempat/tata letak dan ketersediaan
berkembang sepanjang tahun. Hal ini seperti yang di makanan bagi penggerek batang padi di sekitar light
jelaskan oleh Hendarsih dan Usyati (2008) bahwa di trap tersebut. Hasil tangkapan penggerek batang padi
daerah tropik penanaman tanaman padi secara terus kuning baik saat terjadi puncak penerbangan pertama
menerus sepanjang tahun menyebabkan penggerek maupun penerbangan kedua menunjukkan populasi
batang padi kuning akan terus berkembang, sehingga lebih banyak di light trap jalan 7 dibandingkan di
dalam satu tahun terdapat 7-8 generasi. Namun, tidak light trap jalan 3, hal ini diduga karena tempat/letak
menutup kemungkinan pula adanya perubahan light trap jalan 3 lebih dekat dengan jalan raya
pergeseran komposisi penggerek batang padi di Pulau sehingga lampu light trap menjadi bias oleh lampu-
Jawa, seperti yang diungkapkan oleh Hendarsih dkk. lampu jalan raya yang akhirnya penggerek batang
241 | ISSN 978-602-439-662-6
Prosiding Seminar Nasional PEI
Cabang Bandung
padi kuning tertarik pula dengan lampu-lampu jalan banyak. Sedangkan tempat/letak light trap jalan 7
raya tersebut. Hal ini yang membuat tangkapan lebih ke dalam area persawahan BB Padi Sukamandi
penggerek batang padi kuning di sekitar light trap yang umur tanamannya masih muda dan
jalan 3 menjadi lebih sedikit karena terbagi dengan ketersediaannya cukup banyak. Kemungkinan yang
lampu-lampu jalan raya. Sedangkan tempat/letak light terjadi adalah penggerek dari sekitar light trap jalan 3
trap di jalan 7 lebih kedalam area persawahan BB bermigrasi ke sekitar area persawahan light trap jalan
Padi Sukamandi dan jauh dari jalan raya sehingga 7. Begitu pula pada saat terjadi puncak populasi
penggerek batang padi kuning hanya tertarik ke lampu kedua, di light trap jalan 7 puncak tangkapan terjadi
light trap tersebut. Ketersediaan sumber makanan pada umur tanaman 12 MST, sedangkan puncak
(tanaman padi) di sekitar light trap juga berpengaruh tangkapan di light trap jalan 3 terjadi pada umur
terhadap tangkapan penggerek batang padi kuning, tanaman 11 MST dan pada minggu berikutnya (12
misalnya pada saat terjadi puncak pertama (5 MST) MST) terjadi penurunan. Hal ini dikarenakan area
tangkapan di light trap jalan 7 terbanyak (7404,86 persawahan milik P.T. Sang Hyang Seri yang sedang
ekor) dibandingkan jalan 3 (5728,14 ekor) (Gambar dipanen dimana letak light trap jalan 3 lebih
2). Hal ini diduga karena letak light trap jalan 3 lebih berdekatan dengan area persawahan tersebut.
berdekatan dengan area persawahan milik P.T. Sang Kemungkinan besar penggerek batang padi mencari
Hyang Seri yang umur tanamannya lebih tua sumber makanan baru. Sehingga populasi tangkapan
sehinggga penggerek batang padi mencari tanaman penggerek batang padi kuning di light trap jalan 7
padi yang lebih muda dengan ketersediaannya yang lebih banyak dari light trap jalan 3..
penerbangan 2
Tangkapan populasi penggerek batang padi di light 3,49%, dan persentase terendah yaitu pada
trap merupakan cerminan populasi penerbangan pengamatan ke-3 yang hanya 0,71% (Tabel 3)
penggerek batang padi di lapangan. Penerbangan Rendahnya persentase serangan penggerek
penggerek batang padi selama penelitian terjadi batang padi di persawahan padi menunjukkan adanya
peningkatan sebanyak dua kali yaitu dimulai pada 23 pengaruh parasitoid yang memparasitasi kelompok
HST/4 MST (tahap pembentukan anakan), dan 67 telur penggerek batang padi kuning (Scirpophaga
HST/10 MST (tahap pembungaan) yang sekaligus incertulas), namun tidak menutup kemungkinan pula
menjadi awal pengamatan penelitian ini. Oleh karena adanya faktor lain. Hal ini sesuai dengan penelitian
itu, maka pengamatan dilakukan sebanyak 8 kali, Maramis dkk. (2011) yang menjelaskan bahwa faktor
seperti yang disajikan pada Tabel 2Intensitas lain yang dapat menekan hama penggerek batang padi
Serangan Penggerek Batang Padi adalah predator dan pathogen. Selain itu, penggunaan
Berdasarkan hasil pengamatan serangan pestisida/insektisida oleh petani (berbahan aktif
pengerek batang padi menunjukkan serangan dimehipo, karbofuran dan abamektin) yang intens
terbanyak terjadi pada stadia reproduktif sebesar dilakukan ketika penerbangan penggerek batang padi
2,76%, sedangkan pada stadia vegetatif dan generatif semakin tinggi dengan interval tiga hari sekali juga
berturut-turut hanya 1,06% dan 1,35%, dengan rerata turut mempengaruhi tingkat serangan penggerek
serangan semua stadia sebesar 1,72%. Pengamatan batang padi. Hal ini sesuai dengan penelitian
lebih seksama menunjukkan rerata persentase Ardjanhar dkk. (2004) yang melaporkan bahwa
serangan penggerek batang padi pada pengamatan ke- peranan parasitoid telur cenderung dipengaruhi oleh
4 merupakan persentase tertinggi yang mencapai perlakuan insektisida kimia.
.
Gambar 3. Parasitoid telur pengerek batang padi kuning: (A) Tetrastichus schoenobii, (B) Trichogramma
japonicum dan (C) Telenomus rowani
Keanekaragaman spesies parasitoid telur penerbangan penggerek dapat diduga oleh perilaku
penggerek batang padi kuning (Scirpophaga petani yang melakukan pengendalian menggunakan
incertulas) paling tinggi yaitu terjadi pada saat insektisida, terlebih pada saat populasi penerbangan
tanaman memasuki stadia pematangan sebesar 0,104, penggerek batang padi semakin tinggi. Hasil
sementara stadia vegetatif dan reproduktif berturut- wawancara langsung kepada petani dapat diketahui
turut hanya 0,018 dan 0,060. Pengamatan lebih bahwa aplikasi insektisida/pestisida (berbahan aktif
seksama, keanekaragaman spesies parasitoid telur dimehipo, karbofuran dan abamektin) menjadi lebih
pada pengamatan ke-4 tanggal 11/01/2014 dan intens dilakukan ketika penerbangan penggerek
pengamatan ke-8 tanggal 24/02/2014 menunjukkan semakin tinggi dengan interval tiga hari sekali. Hal ini
keanekaragaman tertinggi dengan nilai indeks sesuai dengan pernyataan Croft (1990) dalam
keanekaragaman Shannon sebesar 0,150 dan 0,149. Kusdiaman dan Kurniawati (2007) yang menjelaskan
Namun, hal ini berbeda dengan pengamatan ke-2, 3, bahwa penggunaan insektisida kimia akan
dan 6 menunjukkan nilai indeks keanekaragaman menyebabkan terbunuhnya serangga bukan sasaran
Shannon sebesar 0,00, yang artinya tidak terjadi melalui kontak langsung, residu, dan rantai makanan.
keanekaragaman pada pengamatan tersebut (Tabel 4). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Hamid dkk.
Berdasarkan Tabel 4 tersebut terlihat bahwa (2003) bahwa penggunaan pestisida berpengaruh
baik pada penerbangan pertama maupun kedua terjadi negatif terhadap keberadaan dan keanekaragaman
kecenderungan yang sama yakni; pada awal parasitoid. Namun, pada pengamatan akhir
penerbangan penggerek batang (pengamatan ke 1 dan penerbangan yang pertama maupun akhir
5) terjadi keanekaragaman parasitoid yang cukup penerbangan yang kedua (pengamatan ke 4 dan 8)
tinggi, kemudian pada pertengahan penerbangan keanekaragaman parasitoid kembali menjadi lebih
penggerek batang padi (pengamatan ke 2 - 3 dan 6 - 7) tinggi. Hal ini dikarenakan penerbangan ngengat
terjadi penurunan bahkan tidak terjadi penggerek batang padi sudah mengalami penurunan
keanekaragaman, namun pada akhir penerbangan sehingga penyemprotan atau aplikasi
penggerek batang padi, keanekaragaman parasitoid insektisida/pestisida petani sudah sangat jarang
kembali tinggi. Rendahnya keanekaragaman dilakukan.
parasitoid sejak awal sampai pertengahan
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan rowani, diantaranya Susiawan dan Netti (2005) yang
bahwa rerata persentase kelompok telur yang berpendapat bahwa nampaknya parasitoid Telenomus
terparasit bervariasi antara 0 hingga 92,31% dengan sp. mampu beradaptasi pada berbagai ekosistem
rerata 42,60% (Tabel 5). Persentase berdasarkan pada pertanian sehingga mudah tersebar di beberapa
kelompok telur terparasit terhadap total jumlah wilayah serta potensial sebagai agens hayati di Jawa
kelompok telur yang dikumpulkan tidak bisa dan Sumatera. Wilyus dkk. (2012) juga menjelaskan
dijadikan ukuran, karena meskipun kelompok telur bahwa Telenomus rowani memiliki kemampuan untuk
berhasil terparasit, namun sebagian larva penggerek tetap ada pada suatu wilayah lebih tinggi. Sementara
batang instar 1 masih dapat keluar. Hal ini sesuai untuk parasitoid Trichogramma japonicum,
pernyataan Rauf (2000) yang menjelaskan bahwa Kusdiaman dan Kurniawati (2007) menjelaskan
tingginya tingkat parasitasi berdasarkan kelompok tingkat parasitasi Trichogramma japonicum lebih
telur (seperti yang telah disebutkan diatas) tidak rendah dibandingkan dengan Telenomus rowani dan
menjamin pertanaman padi terbebas dari serangan Tetrastichus schoenobii dikarenakan sifat biologi dari
sundep maupun beluk. Oleh karena itu, analisis parasitoid tersebut yang ukuran telurnya lebih kecil
sebaiknya didasarkan pada banyaknya persentase butir dari telur penggerek batang padi, selain itu lama hidup
telur yang terparasit oleh masing-masing parasitoid dari imago paling lama hanya dua hari. Rauf (2000)
terhadap kelompok telur yang terparasit. menambahkan bahwa tekstur telur juga
Hasil pengamatan terhadap tingkat parasitasi mempengaruhi tingkat parasitisasi. Trichogramma
oleh masing-masing parasitoid telur penggerek batang kurang menyukai kelompok telur yang ditutupi sisik.
padi didominasi Telenomus rowani diikuti oleh Hal itu pula tampaknya yang menyebabkan upaya
Tetrastichus schoenobii, dan paling rendah yaitu pengendalian hayati penggerek batang padi kuning
Trichogramma japonicum, berturut-turut sebanyak (Scirpophaga incertulas) dengan pelepasan
24,30%, 6,19 % dan 1,21% (Tabel 5). Hasil ini Trichogramma kurang berhasil. Menurut Soehardjan
hampir sama dengan yang pernah dilakukan di (1976) dalam Kusdiaman dan Kurniawati (2007)
Sukamandi sebelumnya yaitu pada tahun 2007 kemampuan parasitoid memarasit telur penggerek
(Kusdiaman dan Kurniawati, 2007) yang juga batang padi tergantung pada tempat dan
didominasi oleh parasitoid Telenomus rowani diikuti lingkungannya. Rendahnya tingkat parasitasi dari
Tetrastichus schoenobii, dan paling rendah yaitu ketiga parasitoid kemungkinan di pengaruhi
Trichogramma japonicum baik pada stadia vegetatif pengendalian oleh petani diantaranya pengendalian
19, 83%, 3,24%, dan 1,77%, maupun pada stadia mekanis (pengambilan telur) dan pengendalian
generatif 15,66%, 3,88%, dan 3,41%. dengan aplikasi insektisida. Ardjanhar dkk. (2004)
Tingkat parasitasi berdasarkan stadia tanaman melaporkan bahwa penggunaan insektisida cenderung
menunjukkan bahwa disemua stadia (vegetatif, menurunkan peranan parasitoid telur penggerek
reproduktif, dan pematangan) didominasi oleh batang padi. Kartohardjono (2011) juga menjelaskan
Telenomus rowani dengan tingkat parasitasinya bahwa aplikasi insektisida efektif mengendalikan
masing-masing sebesar 14,31%, 26,98%, dan 35,27%. hama secara parsial, tetapi secara bersamaan juga
Dominasi ini diduga karena pada penelitian ini membunuh predator-parasitoid yang sebenarnya
parasitoid Telenomus rowani mampu memarasit telur berpotensi sebagai pengendali hama secara hayati.
bersama dengan Trichogramma japonicum maupun Hubungan parasitoid telur terhadap larva
Tetrastichus schoenobii. Sedangkan Trichogramma penggerek padi kuning yang menetas
tidak terjadi parasitasi bersama Tetrastichus Hasil analisis (Lampiran 3) diperoleh
schoenobii dan sebaliknya (Lampiran 4). Hal ini persamaan regresi linear Y atas X yaitu Ŷ= 85,39 -
sesuai Kartohardjono (2011) yang menjelaskan bahwa 0,86 X. Nilai konstanta (a) sebesar 85,39 dan dapat
parasitoid Telenomus bersifat superparasitisme, yaitu diartikan pada saat parasitasi sebesar 0, maka larva
terdapat lebih dari satu parasitoid yang dapat tumbuh yang keluar sebesar 85,39. Nilai koefisien regresi (b)
dan berkembang hingga menjadi dewasa pada sebesar -0,86 berarti tingkat parasitasi mempunyai
lingkungan satu jenis inangnya. hubungan negatif terhadap larva yang keluar (Gambar
Dominasi parasitasi oleh Telenomus rowani 3), dan dapat diartikan setiap peningkatan 1 satuan
juga terjadi dibeberapa daerah seperti di Kalimantan parasitasi maka akan berpengaruh terhadap penurunan
Selatan (Hamijaya dkk., 2004); Provinsi Jambi larva yang keluar sebesar - 0,86 satuan. Nilai
(Wilyus dkk., 2012); Sumatra Barat (Susiawan dan koefisien korelasi (R) diperoleh sebesar - 0,88, hal
Netti, 2005). Bahkan pada saat terjadi ledakan ini berarti hubungan negatif antara parasitasi
penggerek batang padi putih (Scirpophaga inotata) di parasitoid dengan larva yang keluar cukup tinggi.
Karawang, parasitoid telur penggerek batang padi Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,77, hal ini
juga didominasi Telenomus rowani (Rauf, 2000). menunjukkan kemampuan parasitasi parasitoid dalam
Oleh karena kecenderungan dominasi ini beberapa mempengaruhi larva yang keluar sebesar 77%,
peneliti menjelaskan beberapa kemungkinan atau sedangkan sisanya sebesar 23% dipengaruhi oleh
alasan parasitoid telur didominasi oleh Telenomus faktor lain.
Tabel 5. Persentase kelompok telur terparasit dan tingkat parasitasi penggerek batang padi kuning oleh masing-
masing parasitoid
Sta- Banyaknya Banyaknya Parasitasi berdasarkan butir telur dari
Peng- %Kelompok
dia kelompok kelompok kelompok telur yang terpasit (%)
ama- telur
tana- telur yang telur yang Parasitasi
tan terparasit T.s. T.j. T.r.
man dikumpulkan terparasit semua
1 V 23 8 34,78 12,02 0,10 22,18 34,30
2 V 23 3 13,04 0,00 0,00 20,74 20,74
3 V 25 0 0 0,00 0,00 0,00 0,00
Rerata stadia vegetatif 15,94 4,01 0,03 14,31 18,35
Ŷ= 85,39 - 0,86 X
Gambar 3. Grafik hubungan tingkat parasitasi telur terhadap larva yang keluar.
Tabel 6. Proporsi parasitoid, larva yang keluar, dan telur yang tidak menetas
Jendral Soedirman, PFI Komda Porwokerto, pada Awal 1990-an. Jurusan HPT IPB, Bogor,
PEI Komda Purokerto. 12p. Indonesia.
Hendarsih S., N. Kurniawati, dan D. kertoseputro. Pathak M.D. dan Z.R. Khan. 1994. “Insect Pests of
2007. Penyebaran Spesies Penggerek Batang Rice”. IRRN. ICIPE. Dalam Hendarsih S. dan
Padi di Pulau Jawa. Laporan tahunan DIPA N. Usyati, 2008. Pengendalian Hama
2007. BB Padi: Sukamandi-Subang. Penggerek Batang Padi. Padi Inovasi
Hendarsih S. dan H. Sembiring. 2007. Status Hama Teknologi Produksi 2008. Balai Besar
Penggerek Batang Padi di Indonesia. Apresiasi Penelitian Tanaman Padi: Sukamandi-Subang.
Hasil Penelitian Padi 2007. Balai Besar 323-341 hal.
Penelitian Tanaman Padi: Sukamandi-Subang. Rauf, A. 2000. Parasitisasi Telur Penggerek Batang
Hendarsih S. dan N. Usyati, 2008. Pengendalian Padi Putih (Scirpophaga innotata Walker)
Hama Penggerek Batang Padi. Padi Inovasi (Lepidoptera: Pyralidae), Saat Terjadi
Teknologi Produksi 2008. Balai Besar Ledakan di Karawang pada Awal 1990-an.
Penelitian Tanaman Padi: Sukamandi-Subang. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 12(1):
323-341 hal. 1-10 (2000). Jurusan HPT IPB, Bogor,
Kartohardjono, A. 2011. Penggunaan Musuh Alami Indonesia.
sebagai Komponen Pengendalian Hama Padi Rothschild GHL. 1970. Parasites of Rice Stemborers
Berbasis Ekologi. Pengembangan Inovasi in Sarawak (Malaysian Borneo). Entomophaga
Pertanian. 4(1): 29-46. 15: 2 1 - 5 1. Dalam Rauf, A. 2000.
Kasumbogo, U. 2007. Kebijakan Perlindungan Parasitisasi Telur Penggerek Batang Padi
Tanaman. Gadjah Mada University Press: Putih, (Scirpophaga innotata Walker)
Yogyakarta. (Lepidoptera: Pyralidae), Saat Terjadi
Kusdiaman, D. dan N. Kurniawati. 2007. Kajian Ledakan di Karawang pada Awal 1990-an.
Pengendalian Penggerek Batang Padi dengan Jurusan HPT IPB, Bogor, Indonesia
Monotoring Lampu Perangkap dan Pelepasan Soehardjan, M.M. 1976. Dinamika Populasi
Telur. Dalam Jurnal Apresiasi Hasil Penggerek Batang Padi Kuning (Tryporyza
Penelitian Padi 2007. hal. 383-392. incertulas Walker). Disertasi ITB. Bandung.
Maramis, R.T.D., E. Senewe dan V.V. Memah. 2011. Sudjana. 2005. Metode Statistika. Edisi ke 6. Tarsito:
Kelimpahan Populasi Parasitoid Bandung.
Trichogramma sp dan Serangan Hama Susiawan, E. dan Netti Y. 2005. Distribusi dan
Penggerek Batang Padi Sawah di Kabupaten Kelimpahan Parasitoid Telur Telenomus spp.
Minahasa. Jurusan Hama dan Penyakit di Sumatera Barat: Status dan Potensinya
Tumbuhan Fakultas Pertanian Unsrat Manado. Sebagai Agens Pengendali Hayati. Politeknik
manado. Dalam Eugenia volume 17 no. 1 april Pertanian Universitas Andalas. Dalam J.
2011. Entomol. Indon., September 2006, Vol. 3, No.
paNickel JL. 1964. The possible Role of Biotic 2, 104-113
Factors In An Integrated Program For Rice Wilyus, Fuad N., S. Herlinda, Chandra I., dan Yulia
Stem Borer Control. In: The major insect pests P. 2012. Potensi Parasitoid Telur Penggerek
of the rice plant. Baltimore: John Hopkills Pr. Batang Padi Kuning (Scirpophaga incertulas
p 443-452. Dalam Rauf, A. 2000. Parasitisasi Walker) pada Beberapa Tipologi Lahan Di
Telur Penggerek Batang Padi Putih Provinsi Jambi. J. HPT Tropika. ISSN 1411-
(Scirpophaga innotata Walker) (Lepidoptera: 7525 Vol. 12, No. 1: 56 – 63, Maret 2012.
Pyralidae), Saat Terjadi Ledakan di Karawang