Anda di halaman 1dari 547

Seminar Nasional

Riset Pangan, Obat-Obatan


dan Lingkungan Untuk Kesehatan

SEMINAR NASIONAL
RISET PANGAN, OBAT-OBATAN,
DAN LINGKUNGAN UNTUK
KESEHATAN

PROSIDING
Ketua:
Dr. Sutanto, M.Si

Editor:
Prof. Dr. R. Ukun M.S. Soedjanaatmadja
Prof. Dr. Unang Supriatman
Dr. Tri Panji, MS

Diselenggarakan Oleh :

Program Studi Kimia


FMIPA Universitas Pakuan

Jurusan Kimia FMIPA


Universitas Padjadjaran

12 November 2013

iii
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

SEMINAR NASIONAL
RISET PANGAN, OBAT-OBATAN,
DAN LINGKUNGAN UNTUK
KESEHATAN

PROSIDING
ISBN : 978-602-14503-1-4

Tanggal Terbit : 12 November 2013

Editor : Dr. Sutanto, M.Si, Prof. Dr. R. Ukun


M.S.Soedjanaatmadja, Prof. Dr. Unang
Supriatman, Dr. Tri Panji, MS

Diterbitkan oleh : FMIPA Universitas Pakuan


Jalan Pakuan PO. BOX 452 Ciheuleut Bogor
Telp./Fax. (0251) 8375547

v
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kata Pengantar

Assalamuala ikum warohmatullohiwabarakatuh


Salam sejahtera bagi kita semua

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT atas ridho dan inayah-Nya
sehingga prosiding seminar nasional kimia tahun 2013 ini dapat terselesaikan
dengan baik. Prosiding Seminar ini merupakan hasil seminar nasional yang digagas
dan atas kerja bersama program studi kimia FMIPA Universitas Pakuan, Bogor
dengan jurusan Kimia FMIPA Universitas Padjajaran (UNPAD), Bandung dengan
tema: Riset pangan, obat-obatan, dan lingkungan untuk kesehatan, suatu tema yang
luas tetapi focus yaitu menampung hasil-hasil riset berkaitan dengan kesehatan.
Makalah yang dimuat dalam prosiding ini telah dibahas oleh para mitra bestari
dengan demikian diharapkan dapat menjadi informasi ilmiah yang bermanfaat bagi
dunia riset dan pendidikan umumnya. Selain daripada itu dengan terbitnya
prosiding ini diharapkan dapat memperkaya dokumen ilmiah dari hasil riset di
Indonesia.
Secara khusus ucapan terimakasih kami sampaikan kepada para mitra bestari
yang telah bersedia melakukan telaah karya ilmiah ini, yaitu Prof.Dr.R.Ukun
M.S.Soedjanaatmadja, Prof. Dr. Unang Supratman, dan Dr. Tri Panji, semoga amal
kebaikannya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Alloh SWT. Dalam
kesempatan ini pula, panitia mengucapkan terimakasih kepada perusahaan
pendukung diantaranya : PT Berca Niaga Medica; PT Arico Sainsindo, PT Dwi
Prima Rizky; PT. Antam; PT Ditek Jaya; Bank Mandiri Cabang Bogor; juga
kepada para alumni dan ikatan alumni kimia FMIPA Unpak serta pihak lain yang
tak dapat kami sebutkan satu-persatu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Wabillahitaufwalhidayah, assalamu alaiukm wr.wb.

Bogor, 12 November 2013

Editor

vii
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Sambutan Ketua Pelaksana


Dr. Sutanto, M.Si

Assalamuala ikum warohmatullohiwabarakatuh


Salam sejahtera bagi kita semua

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT atas


ridho dan inayah-Nya seminar nasional kimia tahun 2013 ini dapat terselenggara
dengan baik. Seminar ini digagasdan atas kerja bersama program studi kimia
FMIPA Universitas Pakuan, Bogor dengan jurusan Kimia FMIPA Universitas
Padjajaran, Bandung. Tema yang diangkat dalam seminar ini adalah: Riset pangan,
obat-obatan, dan lingkungan untuk kesehatan, suatu tema yang luas tetapi focus
yaitu menampung hasil-hasil riset berkaitan dengan kesehatan.
Seminar ini diikuti oleh lebih dari 60 pemakalah dari berbagai perguruan tinggi
dan lembaga penelitian. Seperti: UNPAD, ITB, UNPAK, UNPAS, UBAYA, STTIF
Bogor, UNAIR, Univ. Pancasila, Biotek-LIPI, Limnologi, BATAN, BPPT, Pusat
penelitian Kimia-LIPI dan sebagainya.
Banyaknya artikel yang dipresentasikan dalam seminar ini menunjukkan bahwa
seminar ini benar menjadi ajang komunikasi ilmiah yang sangat bermanfaat.
Terimakasih kepada seluruh ilmuwan yang bergabung dalam acara ini, semoga
forum ilmiah ini membawa manfaat bagi kita semua.
Dalam kesempatan ini pula, atas nama panitia seminar nasional kimia
mengucapkan terimakasih perusahaan pendukung dana diantaranya : PT Berca
Niaga Medica; PT Arico Sainsindo, PT Dwi Prima Rizky; PT. Antam; PT Ditek
Jaya; Bank Mandiri Cabang Bogor; Rekan-rekan alumni dan ikatan alumni kimia
FMIPA Unpak serta pihak lain yang tak dapat kami sebutkan satu-persatu.
Terimakasih juga disampaikan kepada seluruh panitia, atas kerja kerasnya dan
kerjasamanya dalam acara seminar ini semoga amal kebaikian yang telah diberikan
mendapat balasan yang berlipat ganda dari Alloh SWT. Amin.
Tiada gading yang tak retak, mohon maaf apabila dalam penyelenggaraan
seminar ini terdapat kekurangan. Terimakasih. Selamat melaksanakan seminar.
Wabillahitaufwalhidayah, assalamu alaiukm wr.wb.

Bogor, 12 November 2013

Dr. Sutanto, M.Si

ix
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Sambutan Dekan FMIPA


Universitas Pakuan
Dr. Prasetyorini, M.S., Dra.

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh

Pada kesempatan yang baik ini, marilah kita panjatkan puji


dan syukur ke hadirat Allah swt., karena kita masih diberikan kesempatan,
kekuatan, dan kesehatan untuk melanjutkan ibadah kita, karya kita, serta tugas dan
pengabdian kita dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara yang
tercinta melalui kegiatan Seminar Nasional ini. Kegiatan Seminar Nasional ini
terselenggara atas kerjasama yang baik antara Program Studi Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan dengan Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pajajaran. Seminar
Nasional ini rencananya akan diselenggarakan selama 2 hari dengan mengusung
tema Pangan, Obat-obatan dan Lingkungan.
Saya atas nama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Pakuan berharap semoga seminar ini dapat menjadi ajang komunikasi untuk saling
berinteraksi bagi para dosen dan peneliti untuk mengembangkan ilmu-ilmu terkait
yang dapat dimanfaatkan bagi masyarakat yang lebih luas dan kami juga berharap
mudah-mudahan seminar ini juga bukan merupakan kerjasama terakhir yang baru
dimulai dengan jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran. Melalui kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih
dan penghargaan kepada Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Budi Nurani Ruchjana beserta rekan-rekan dosen
dari Jurusan Kimia FMIPA-Universitas Padjadjaran.
Mengakhiri sambutan ini, saya atas nama Pimpinan Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan beserta seluruh sivitas akademika dan
karyawan menyampaikan ucapan selamat mengikuti Seminar Nasional ini semoga
kegiatan ini menambah wawasan bapak dan ibu untuk meneruskan pengabdian
bapak dan ibu sebagai ilmuwan professional dan semoga Tuhan Yang Maha Esa
selalu menyertai kita dan melimpahkan berkah, rahmat, dan hidayahNya kepada
kita semua Terimakasih kepada semua pihak atas kerja kerasnya telah membantu
terselenggaranya seminar ini mudah-mudahan kerja keras yang telah dilakukan akan
mendapatkan balasan yang berlimpah dari Allah swt. Wabillahi taufik wal hidayah,
wassalamualaikum wr wb

Bogor, 12 November 2013

Dr. Prasetyorini, MS

xi
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Sambutan Dekan Fmipa


Universitas Padjadjaran
Prof. Dr. Budi Nurani Ruchjana

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh


Selamat pagi dan salam sejahtera

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Pakuan, Ketua Yayasan Pakuan


Siliwangi, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Universitas Pakuan,
para pembicara tamu, serta undangan sekalian.
Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat ilahi karena atas
perkenan-Nya kita diberi kesempatan untuk bertemu dan berkumpul pada Seminar
Nasional ini. Kegiatan Seminar Nasional ini diselenggarakan atas kerjasama antara
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Pakuan dengan Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran. Seminar yang akan dilaksanakan dalam dua hari ini
mengangkat tema Pangan, Obat-obatan, dan Lingkungan.
Saya mengharapkan bahwa seminar ini dapat menjadi wadah bagi para peneliti
untuk saling berinteraksi mengenai hasil penelitiannya dalam rangka untuk
mengembangkan ilmu-ilmu terkait yang dapat dimanfaatkan bukan hanya bagi
kalangan dosen dan peneliti kimia, melainkan juga bagi masyarakat dan para pelaku
industri. Saya sangat berharap kegiatan seminar ini dapat dijadikan sarana untuk
menjalin kerjasama dalam upaya memberdayakan dan melestarikan potensi kimiawi
sumber alam hayati dan non hayati Indonesia.
Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada panitia
penyelenggara atas segala usaha dan upaya yang telah dilakukan dan saya ucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung suksesnya acara ini.
Saya ucapkan selamat melaksanakan seminar nasional ini, semoga berjalan
lancar dan sukses.
Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh

Bogor, 12 November 2013

Prof. Dr. Budi Nurani R.

xiii
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

PANITIA SEMINAR NASIONAL RISET PANGAN, OBAT-OBATAN,


DAN LINGKUNGAN UNTUK KESEHATAN

PANITIA PENGARAH

Pelindung & Pembina


Dr. Bibin Rubini, M.Pd - Rektor UNPAK
Dr. Prasetyorini - Dekan FMIPA UNPAK
Prof. Dr. Budi Nurani R. M.S. - Dekan FMIPA UNPAD

Penanggung Jawab
Drs. Husain Nashrianto, M.S - Kaprodi Kimia FMIPA UNPAK
Dr. Euis Julaeha - Ketua Jurusan Kimia FMIPA UNPAD

PENGARAH SAINTIFIK
Tim : Prof. Dr. R. Ukun M.S. Soedjanaatmadja
: Prof. Dr. Unang Supratman
: Dr. Tri Panji, MS

PANITIA PELAKSANA
1. Ketua : Dr. Sutanto, M.Si
2. Sekretaris : Dr. Diana Rakhmawaty Eddy
dan Kesekretariatan : Diana Widiastuti, M.Sc
3. Bendahara : Ade Heri Mulyati, M.Si
4. Publikasi dan Humas : Dr. Dikdik Kurnia
: Yudhie Suchyadi, S.Si
5. Sie Dana dan Usaha : Dr. Anni Anggraeni
: Ani Iryani, M.Si
: Eka Herlina, M.Pd
6. Sie Acara : Judhi Rachmat, Ph.D
: Dr. Tati Herlina
7. Sie Dokumentasi : Tri Aminingsih, M.Si
: Dadang, M.Pd
8. Sie Konsumsi : Farida Nuraini, M.Si
: Ardi Muharini, M.Si

xv
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

JADWAL ACARA
Hari/Tanggal: Kamis, 27 Juni 2013
Waktu Pembicara Kegiatan/Topik Penanggungjawab/Moderator
07:00 08:00 Registrasi ulang seluruh peserta Sekretariat Panitia
Upacara Pembukaan Seminar
Menyanyikan Lagu Kebangsaan Himaska FMIPA UNPAK
Indonesia Raya
08:00 08:10 Dr. Sutanto Laporan Ketua Panitia Pelaksana Dra. Ani Iryani, M.Si
Seminar
08:10 08:50 Dr. Bibin Rubini, Sambutan Rektor UNPAK Bogor Dra. Ani Iryani, M.Si
M.Pd/Mewakili (sekaligus membuka secara resmi
Seminar)
08:50 09:20 Pembicara Kunci (keynote Applications of Titanium Oxide-base Prof. Dr. Unang Supratman
speaker): Photocatalysts as the Green and
Prof. Masakazu Anpo, Sustainable Science and Technology
Vice President/Executive
Director, Osaka Prefecture
University
09:20 09:30 Rehat pagi (Morning tea) Sekretariat Panitia
09:30 10:00 Prof. Dr. H.O. Suprijana, Produksi 1,3 Dioleil-2-palmitoilgliserol Dr. Tri Panji, M.S
M.Sc melalui reaksi enzimatik dari Palm
Stearin dan aplikasinya dalam formulasi
substitute Lemak Air Susu Ibu
10:00 10:30 Dr. Gan Chee Sian Reliable Performance for Supporting Prof. Dr. R. Ukun M.S.S
High-Precision Drug Analysis in

xvii
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan
Biological Samples
10:30 11:00 Venkatesha High Throughput Analysis of Emerging Prof. Dr. R. Ukun M.S.S
Contaminants in Food and Environment
11:00 12:00 Sesi Poster atau 2 (dua) 20 poster Juri
orang pembicara tamu
(dari sponsor)
12:00 13:00 Makan Siang dan Sholat
13:00 14:00 Sesi Presentasi Paralel Sesi I
14.00 15.00 Sesi Presentasi Pararel Sesi II
15:00 15:30 Istirahat dan Sholat
15:30 16.30 Sesi Presentasi Paralel Sesi III
16.30 17.30 Sesi Presentasi Paralel Sesi IV
17:30 17:35 Penutupan
18.30 - Selesai Gala Dinner
xviii
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

PROGRAM PRESENTASI (Paralel) SESI I


Sesi Paralel I (13:00 14:00)
Ruangan I (Pangan) Ruangan II (Obat-Obatan) Ruangan III (Lingkungan)
Moderator: Diana Widiastuti, M.Sc Moderator: Dr. Euis Julaeha Moderator: Dr. Anni Anggraeni

P-01 O-01 L-01


Aida Wulansari*, Andri Fadillah Martin, Ela Novianti1, Aswin Djoko Baskoro2 Eka Djatnika Nugraha, Eko Pudjadi, Dewi
Deritha Elffy Rantau dan Loeki Enggarfitri2 Kartikasari
dan Tri Muji Ermayanti Jenis Dan Perbedaan Ektoparasit Yang Polutan Senyawa Kimia dan Pengaruhnya Pada
Perbanyakan Beberapa Aksesi Talas Ditemukan Pada Syrian Hamster Proses Pembentukan Hujan di Kawasan Waduk
(Colocasia Esculenta L.) Diploid Secara (Mesocricetus Auratus) Dari Petshop Dan Saguling
Kultur Jaringan dan Konservasinya Pasar Hewan, Malang
Mendukung Diversifikasi Pangan
P-02 O-02 L-02
Sandi Darniadi*), Resa Setia A Wahyu Widowati1, Hana Ratnawati1, Yustinus Purwamargapratala1), Riani
dan Nikmatul Hidayah Tati Herlina2, Angela Novanthia1 Permatasari2), Candra Irawan3)
Karakteristik Fisikokimia Dan Atribut dan Yellianty Yellianty3 Uji Adsorpsi Titanium Dioksida Terhadap
Sensori Pangan Fungsional Snack Bar Ubi Potensi Teh Hijau Sebagai Antiagregasi Kromium
Jalar Hasil Uji Coba Skala Industri Platelet Secara In Vitro Dengan Collagen
Inducer
P-03 O-03 L-03
Livia R. Tanjung Shabarni Gaffar, Siti Nur Inayah, Yeni Elvi Yetti*, Roni Ridwan, Yopi, Dwi
Kandungan Gizi Dan Nilai Ekonomis Pensi, Wahyuni Hartati Susilaningsih, Nanik Rahmani, Wulansih
Tutut Dan Cherax Dari Danau Maninjau Konstruksi Vektor Ekspresi Rekombinan Dwi Astuti, and Yantyati Widyastuti
yang Mengandung Protein Faktor Sekresi Quality of Fermented Feed Treated with Rice
Pichia pastoris dan Kloning dalam Straw from Lombok, NTB Local Recourses
Escherichia coli
P-04 O-04 L-04
Wahyunia,b, A.R. Ballesterc, E. Lita Triratna dan Desriani Sutanto, Ani Iryani
Sudarmonowatib, R.J. Binod, A.G. Bovya Cloning Gen Penyandi Domain Flavin Simulasi Hujan Asam dan Laeching ion dalam

xix
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan
Evaluasi Kandungan Mikronutrient Cellobiose Dehydrogenase untuk Aplikasi tanah Pada Daerah hujan Asam di Wilayah
Pyridoxine (Vitamin B6) pada 32 Aksesi Biosensor Laktose Industri Cibinong Citeureup Bogor
Buah Cabai (Capsicum spp.)
PROGRAM PRESENTASI (Paralel) SESI II
Sesi Paralel II (14:00 15:00)
Ruangan I (Pangan) Ruangan II (Obat-Obatan) Ruangan III (Lingkungan)
Moderator: Dra. Tri Aminingsih, M.Si Moderator: Dr. Tati Herlina Moderator: Dr. Diana Rakhmawaty
P-05 O-05 L-05
Bambang Hariyanto, Indah Kurniasari Yeni Wahyuni Hartati*, Rini Surbakti, Isnaeni1, Rochmah Kurnijasanti2, Mega
Widia Puspantari dan Agus Tri Putranto Nurul Auliany, Santhy Wyantuti, Shabarni Ferdina Warsito1*
Peluang Pengembangan Pangan Sagu Gaffar Korelasi Profil Asam Lemak Metil Ester
Sebagai Makanan Sehat Studi Biosensor DNA dalam deteksi Streptomyces Spp. Dengan Sebaran Habitat
Urutan flagellin Salmonella typhi dari Dan Kemotaksonomi
Amplikon PCR Sampel Darah
P-06 O-06 L-06
Ahmad Fathoni, N. Sri Hartati, Nur Ayu Nirmala Sari Ani Iryani, Sutanto
Kartika I Peran Propolis sebagai Antidiabetes pada Simulasi peningkatan kadar NO3- , Cl- dan NH4
Karakterisasi Tepung Ubi Kayu dan Mocaf Mencit (Mus musculus SW.) Jantan dalam air sumur akibat hujan asam di wilayah
sebagai Bahan Baku Makanan Sehat Berdasarkan Analisis Kadar Glukosa Darah, industri Citerueup Bogor
Kadar Insulin Plasma dan Densitas Reactive
Oxygen Species (ROS) pada Pankreas
P-07 O-07 L-07
Zackiyah1, Florentina Maria Titin Maria Goretti M. Purwanto*, Meiliawati, Seagames Waluyo 1)2), Sustiprijatno 2),
Supriyanti2, Gebi Dwiyanti3, Ruth Chrisnasari Suharsono 1)3)
Karima Huril Aini4 Pengaruh pH, Suhu dan Konsentrasi Substrat Optimasi antibiotic higromisin sebagai
Pemanfaatan Fraksi Aktif Ekstrak Aseton Terhadap Produksi Konsentrat Asam Lemak penunjang transformasi genetic tembakau
Kulit Batang Nangka (Artocarpus Omega 3 Dari Limbah Minyak Ikan Melalui
xx
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Heterophyllus Lamk) Hidrolisis oleh Enzim Lipase dari Candida


Sebagai Bahan Aditif Alami Anti-Pencoklatan rugosa
P-08 O-08 L-08
Ninik Setyowati & Ning Wikan Utami Lukita Devy, Sobir dan Dodo Rusnanda Suyati, Nunung Nuraeni, Dewi Kartikasari,
Potensi Tumbuhan Minor Penghasil Sastra M.Thoyib Thamrin, Dyah Dwi
Karbohidrat dan Protein Untuk Menunjang Analisis Keragaman Genetik Temulawak Kusumawati
Program Kedaulatan Pangan Di Propinsi (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Sebagai Menentukan Intensitas TL dan PPTL pada
Banten Dasar Sampel SiO2
Perekayasaan Varietas Unggul

PROGRAM PRESENTASI (Paralel) SESI III


Sesi Paralel III (15:30 16:30)
Ruangan I (Pangan) Ruangan II (Obat-Obatan) Ruangan III (Lingkungan)
Moderator: Ade Heri Mulyati, M.Si Moderator: Dr. Dikdik Kurnia Moderator: Dr. Sutanto

P-09 O-09 L-09


Farida Nuraeni , Tri Aminingsih, Mira Ade Heri Mulyati, Ratih Wulandari, Diana Rakhmawaty Eddy*, Joice Caroles,
Miranti Husain Nashrianto E. Evy Ernawati
Potensi Antioksidan Labu Kuning (cucurbita Potensi Antibakteri dan Identifikasi Proses Fotokatalisis TiO2-SiO2 CFA (Coal Fly
moschata) pada berbagai Pelarut Komponen Senyawa Organik Ekstrak Ash) dalam Menurunkan Kadar Logam
Metanol, Etil Asetat, dan Heksan dari Sirih Kromium dari Air Sungai
Merah piper cf. fragile benth
P-10 O-10 L-10
Leny Heliawati1.2, Tri Mayanti2, Agus Anggriawan, I.M.B.1, Roswiem, A.P.1, Tri Aminingsih, Tri Panji
Kardinan3, Rukmiati Tjokronegoro2 Nurcholis, W.2 Produksi dan Isolasi Fikosianin dan Asam
Fitokimia dan aktivitas antibakteri dari ekstrak Potensi Ekstrak Air Dan Etanol Kulit Batang Lemak Tak Jenuh Majemuk dari Spirulina
biji gewang (Corypha utan lamk) Kayu Manis Padang Dan Jawa (Cinnamomum platensis yang Dibiakkan dalam Limbah
burmannii Dan Cinnamomum verum) Perkebunan
Terhadap Aktivitas Enzim -Glukosidase

xxi
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan
P-11 O-11 L-11
Sata Yoshida Srie Rahayu Tri Mayanti1, Dewi Suindrati1, Wawan Ahmad ramadhan, Sutanto, ani Iryani
Reduksi Kadar Logam Berat dalam Kijing Hermawan2, Dadan Sumiarsa1, Membandingkan Pereaksi Fenton dan kaporit
Taiwan anodonta woodiana agam menjadi dan Euis Julaeha1 dalam Menurunkan Chemical Oxygen
Bahan Pangan Konsumsi yang Aman Triterpen Onoceranoid Dari Ekstrak Etil Demand (COD) Limbah Larutan Penyapu
Asetat Kulit Batang Pisitan (Lansium Jenuh
Domesticum Corr. Cv. Pisitan) dan Aktivitas
Larvasidanya
P-12 O-12 L-12
Hani Fitriani dan Pramesti Dwi Sadiah Djajasoepena, Saadah Diana Antonio Kautsar S.Si1, Drs. Husain
Aryaningrum Rachman & Netti Vera N. Sembiring Nashrianto, M.Si1, Rudi Heryanto, M.Si2
Respon Pertumbuhan Tunas In Vitro Talas Studi Produksi Vco (Virgin Coconut Oil) Diferensiasi Asal Geografis Kunyit (Curcuma
Satoimo (Colocasia esculenta var. Dengan Cara Fermentasi Menggunakan domestica Val.) Menggunakan Fotometer
antiquorum) Pada Berbagai Jenis Pemadat Neurospora Sitophila Portable dan Analisis Kemometrik
Agar
PROGRAM PRESENTASI (Paralel) SESI IV
Sesi Paralel IV (16:30 17:30)
Ruangan I (Pangan) Ruangan II (Obat-Obatan) Ruangan III (Lingkungan)
Moderator: Dra. Eka Herlina, M.Pd Moderator: Drs. Agus Taufik, M.Si. Moderator: Dra. Ani Iryani, M.Si
P-13 O-13 L-13
Sandi Darniadi1)*), Winda Purwani2) dan Euis Julaeha, Desak Made Malini, dan Topan Sopian, Husain Nashrianto, Ani
Diny A. Sandrasari2) Astri Nuansari H Iryani
Evalusi Sifat Sensori Dan Fisikokimia Histologi Testis Dan Efididimis Mus Isolasi dan Identifikasi Alkaloid Pada Ekstrak
Powder Minuman Instan Stroberi Yang Musculus Setelah Pemberian Senyawa Sterol daun Sirsak (Annona muricata L.)
Dibuat Dengan Metode Foam-Mat Drying Yang Diisolasi Dari Daun Clerodendron
Serratum Terhadap Kualitas Sperma Secara In
Vivo
xxii
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

P-14 O-14 L-14


1
Sri Wardatun, Sutanto, Dara Arum Nur Miftahurrohmah1*, Catur Riani2, Agusta Samodra Putra, 2Sukrido
2
Pringgadani Debbie Sofie Retnoningrum Kajian Reaksi Fermentasi Limbah Cair Tahu
Uji Aktivitas Antioksidan dan Kandungan Spesifisitas Produk Siklodekstrin dari Enzim Cibuntu dengan Saccharomyces cereviceae
Tanin Total Daun Teh camellia sinensin Siklodekstrin Glikosiltransferase (CGTASE) Untuk Pembuatan Bioetanol
kuntze dengan Perbedaan Ketinggian Lahan Bacillus sp. PT2B
P-15 O-15 L-15
Ade Heri, Husain Nashrianti, Eka Tati Herlina, Albertina Johana Maeloa, Evy Ernawati, Solihudin, dan Iman R
Rachmawati Didik Kurnia, Zalinar Udin, Unang Pengaruh Silika Terhadap Derajat
Kandungan Alfatoksin (B1, B2, G1 dan G2) Supratman PenggembunganMembran Pervaporasi Selulosa
pada Kacang Tanah (Arachis Hypogaea L) Senyawa 5,7-dihidrokdi-41-metoksiflavon dari Asetat Albasia Pada Pemisahan Etanol-Air
yang Beredar di Pasar Tradisional Daerah Tumbuhan Akway (Drimys beccariana,
Jabotabek Gibbs) Yang Beraktifitas Antikanker
Payudara dan Antimalaria Secara In Vitro
P-16 O-16 L-16
Diana Widiastuti1, Tomoko Maeda2, Leny Heliawati1., Tri Mayanti2, Agus Atiek Rostika Noviyanti, Muhamad Ali,
Naofumi Morita3 Kardinan3, Rukmiati K Tjokronegoro2 Diana Rakhmawaty Eddy, dan IsmaNuraeni
Application of Soft-type Graded Flours Aktivitas Sitotoksik dari Ekstrak buah gewang Eksfoliasi H2BaBi2Ti4O13 sebagai Katalis
obtained by Polishing Wheat Grains for (Corypha utan lamk) Terhadap Sel Kanker Asam Padat
Breadmaking using enzymes as an improver Murin Leukimia P-388
P-17 0-17 L-17
Tri Muji Ermayanti*, Andri Fadillah Eko Harlah, A. Sri. Anni Anggraeni, Titin Sofyatin, Abdul
Martin, Deritha Elffy Rantau Pembuatan Sabun Mandi Alami Dengan Mutalib, Husein H. Bahti
Koleksi, Kultur Jaringan dan Evaluasi Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma Pembuatan Unsur Tanah Jarang Oksida Dari
Produksi Umbi Tacca Leontopetaloides Ulmifolia Lamk) Mineral Monasit Hasil Samping Penambangan
Tanaman Pangan Alternatif Sumber Timah Dan Ekstraksi Gadolinium
Karbohidrat Menggunakan Ligan Asam Dietilen Triamin
Pentaasetat (Dtpa)

xxiii
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan
O-18
Ela Novianti, Nurlaili Ekawati, Ai Hertati
dan Djadjat Tisnadjaja
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Dari
Angkak Terhadap Kadar Trigliserida dan
Bobot Badan Dari Tikus Putih Jantan
Hiperlipidemia
xxiv
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar Isi

Kata Pengantar vii

PEMBICARA KUNCI 1

Applications of Titanium Oxide-based Photocatalysts as the Green 3


and Sustainable Science and Technology Investigations of highly
active photo-functional materials from molecular level to bulk
semiconductor level-
Masakazu ANPO*

Produksi 1,3 Dioleoil-2-Palmitoilgliserol Melalui Reaksi Enzimatik 5


dari Palm Stearin Dan Aplikasinya Dalam Formulasi Substitut Lemak
Air Susu Ibu
O. Suprijana1,2, A. Zainudin1, Agus Safari1

Reliable performance for supporting high-precision drug analysis in 6


biological samples
Dr. Gan Che Sian

High Throughput Analysis of Emerging Contaminants in Food and 7


Environment
Venkatesha

Bidang Pangan
Perbanyakan Beberapa Aksesi Talas (Colocasia esculenta L.) Diploid 11
Secara Kultur Jaringan dan Konservasinya Mendukung Diversifikasi
Pangan
Aida Wulansari*, Andri Fadillah Martin, Deritha Elffy Rantau
dan Tri Muji Ermayanti

Kandungan Gizi Dan Nilai Ekonomis Pensi, Tutut dan Cherax dari 21
Danau Maninjau
Livia R. Tanjung

Evaluasi Kandungan Mikronutrien Pyridoxine (Vitamin B6) pada 32 31


Aksesi Buah Cabai (Capsicum spp.)
Wahyuni*1,2, Ana Rosa Ballester3, Enny Sudarmonowati2,
Raoul J. Bino4, Arnaud G. Bovy1

xxv
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Peluang Pengembangan Pangan Sagu Sebagai Makanan Sehat 39


Bambang Hariyanto*1, Indah Kurniasari2, Widya Puspantari3,
dan Agus Tri Putranto4

Pemanfaatan Fraksi Aktif Ekstrak Aseton Kulit Batang Nangka 47


(Artocarpus heterophyllus Lamk) Sebagai Aditif Alami Anti-
Pencoklatan
Zackiyah1*, Florentina M.T Supriyanti2, Gebi Dwiyanti3
dan Karima H. Aini4

Potensi Tumbuhan Minor Penghasil Karbohidrat dan Protein untuk 57


Menunjang Program Kedaulatan Pangan di Propinsi Banten*)
Ninik Setyowati

Potensi Antioksidan Labu Kuning (Cucurbita moschata) pada 69


Berbagai Pelarut
Farida Nuraeni1*, Tri Aminingsih2, dan Mira Miranti3

Respon Pertumbuhan Tunas In Vitro Talas Satoimo (Colocasia 81


esculenta var. antiquorum) pada Berbagai Jenis Pemadat Agar
Hani Fitriani*1 dan Pramesti D. Aryaningrum1

Uji Aktivitas Antioksidan dan Kandungan Tanin Total Daun Teh 91


(Camellia sinensis Kuntze) dengan Perbedaan Ketinggian Lahan
Sri Wardatun*1), Sutanto2), Dara A. Pringgadani3)

Kandungan Aflatoksin (B1, B2, G1 DAN G2) Pada Kacang Tanah 101
(Arachis Hypogaea L) di Pasar Tradisional Daerah JABOTABEK
Ade Heri Mulyati*, Husain Nasrianto, dan Eka Rachmawati

Koleksi, Kultur Jaringan dan Evaluasi Produksi Umbi Tacca 113


Leontopetaloides Tanaman Pangan Alternatif Sumber Karbohidrat
Tri Muji Ermayanti*, Andri Fadillah Martin,
dan Deritha Elffy Rantau

Respon Pembentukan Tunas Majemuk Dan Variasi Ukuran Plantlet 123


Talas Satoimo (Colocasia esculenta var.antiquorum) Pada Beberapa
Konsentrasi 6-Benzylaminopurine (BAP) dan Indole-3-Acetic Acid
(IAA)
Pramesti Dwi Aryaningrum* dan N. Sri Hartati

Pengujian Berbagai Jarak Tanam 3 Aksesi Jagung Lokal Maros, 133


Sulawesi Selatan Terhadap Pertumbuhan dan Produksinya
Ninik Setyowati* dan Ning W. Utami

xxvi
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Bidang Obat
Jenis dan Perbedaan Ektoparasit yang Ditemukan Pada Syrian 149
Hamster (Mesocricetus auratus) dari Petshop dan Pasar Hewan,
Malang
Ela Novianti*1, Aswin Djoko Baskoro2, dan Loeki Enggarfitri2

Konstruksi Vektor Ekspresi Rekombinan Yang Mengandung Protein 159


Faktor Sekresi Pichia pastoris dan Kloning Dalam Escherichia coli
Shabarni Gaffar*, Siti N. Inayah dan Yeni W Hartati

Kloning Gen Penyandi Domain Flavin Cellobiose Dehydrogenase 169


Untuk Aplikasi Biosensor Laktosa
Lita Triratna*1 dan Desriani2

Peran Propolis Sebagai Antidiabetes Pada Mencit (Mus Musculus 177


SW.) Jantan Berdasarkan Analisis Kadar Glukosa Darah
Ayu N. Sari*1, Ramadhani E. Putra1 dan Ahmad Ridwan1

Pengaruh pH, Suhu dan Konsentrasi Substrat Terhadap Produksi 189


Konsentrat Asam Lemak Omega 3 Dari Limbah Minyak Ikan
Melalui Hidrolisis Oleh Enzim Lipase dari Candida Rugosa
Maria Goretti M. Purwanto*, Meliawati, Ruth Chrisnasari

Analisis Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza 205


Roxb.) Sebagai Dasar Perekayasaan Varietas Unggul
Lukita Devy *, Sobir dan Dodo Rusnanda Sastra1

Potensi Antibakteri Dan Identifikasi Komponen Senyawa Organik 213


Ekstrak Metanol, Etil Asetat, Dan Heksan Sirih Merah (Piper cf.
Fragile Benth)
Ade Heri Mulyati, Ratih Wulandari dan Husain Nashrianto

Potensi Ekstrak Air Dan Etanol Kulit Batang Kayu Manis Padang 221
(Cinnamomum Burmannii) dan Jawa (Cinnamomum Verum)
Terhadap Aktivitas Enzim -Glukosidase
Made B. Anggriawan*1, Anna P. Roswiem1, dan Waras
Nurcholis2

Triterpen Onoceranoid dari Ekstrak Etil Asetat Kulit Batang Pisitan 235
(Lansium domesticum Corr. cv. pisitan) dan Aktivitas Larvasidanya
Tri Mayanti1*, Dewi Suindrati1, Dadan Sumiarsa1,
Wawan Hermawan2, Euis Julaeha1 dan Tri Mayanti1

xxvii
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Studi Produksi VCO (Virgin Coconut Oil) Dengan Cara Fermentasi 241
Menggunakan Neurospora Sitophila
Sadiah Djajasoepena, Saadah Diana Rachman & Netti Vera N.
Sembiring

Spesifisitas Produk Siklodekstrin dari Enzim Siklodekstrin 253


Glikosiltransferase (CGTase) Bacillus sp. PT2B
Nur Miftahurrohmah1*, Catur Riani2, Debbie S. Retnoningrum2

Aktivitas Sitotoksik Dari Ekstrak Buah Gewang (Corypha Utan 261


Lamk) Terhadap Sel Kanker Murin Leukimia P-388
Leny Heliawati*1.2, Tri Mayanti2, Agus Kardinan3,
Roekmi-ati Tjokronegoro2

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol dari Angkak Terhadap Kadar 267


Trigliserida dan Bobot Badan dari Tikus Putih Jantan Hiperlipidemia
Ela Novianti, Nurlaili Ekawati, Ai Hertati dan Djadjat Tisnadjaja

Bidang Lingkungan
Polutan Senyawa Kimia Dan Pengaruhnya Pada Proses Pembentukan 281
Hujan Di Kawasan Waduk Saguling
Eka Djatnika Nugraha, Eko Pudjadi, Dewi Kartikasari

Uji Adsorpsi Titanium Dioksida Terhadap Kromium 291


Yustinus Purwamargapratala1, Riani Permatasari2,
dan Candra Irawan2

Simulasi Pelindian Fe Dan Ca Akibat Hujan Asam di Wilayah 301


Industri Citeureup Bogor
Sutanto*1 dan Ani Iryani2

Simulasi Peningkatan Konsentrasi NO3-, Cl-, dan Nh4+ Dalam Air 311
Sumur Akibat Hujan Asam Di Wilayah Industri Citeureup Bogor
Ani Iryani* dan Sutanto

Optimasi Antibiotik Higromisin Sebagai Penunjang Transformasi 321


Genetik Tembakau
Seagames Waluyo1&2, Sustiprijatno2* dan Suharsono1

Menentukan Intensitas Tl dan PPPTl Pada Sampel SiO2 327


Suyati, Nunung Nuraeni, Dewi Kartikasari, M.Thoyib Thamrin,
dan Dyah Dwi Kusumawati

xxviii
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Penurunan Chemical Oxygen Demand (COD) Limbah Larutan 333


Penyapu Jenuh Antara Dengan Pereaksi Fenton dan Kaporit
Ahmad Ramadhan*, Sutanto, dan Ani Iryani

Diferensiasi Asal Geografis Kunyit (Curcuma Domestica Val.) 347


Menggunakan Fotometer Portable Dan Analisis Kemometrik
Antonio Kautsar , Husain Nashrianto, Rudi Heryanto

Isolasi dan Identifikasi Alkaloid Pada Ekstrak Daun Sirsak (Annona 361
Muricata L.)
Topan Sopian*, Husain Nashrianto, dan Ani Iryani

Kajian Reaksi Fermentasi Limbah Cair Tahu Cibuntu Dengan 369


Saccharomyces Cereviseae Untuk Pembuatan Bioetanol
Agusta Samodra Putra*1, Sukrido2, Meiliana Fitriani2

Poster
Uji Adsorpsi Titanium Dioksida Terhadap Metil Orange 377
Yustinus Purwamargapratala1, Diah Widiyaningsih2, Hanafi3

Koleksi Kultur In Vitro Ubi Kayu (Manihot Esculenta Crantz) 389


Sebagai Material Perakitan Bibit Unggul
N. Sri Hartati, Nurhamidar Rahman, Hani FItriani,
dan Enny Sudarmonowati

Kualitas Air Pada Uji Pembesaran Larva Ikan Sidat (Anguilla Spp.) 399
Dengan Sistem Pemeliharaan Yang Berbeda
Tri Suryono1, Muhammad Badjoeri1 dan Hasan Fauzi1

Daya Hidup dan Pertumbuhan Kultur In Vitro Ubi Kayu (Manihot 409
Esculanta) Genotip Ubi Kuning Hasil Radiasi
Nurhamidar Rahman*1, Supatmi1, dan Hani Fitriani1

Potensi Skleroglukan Yang Disekresi Sclerotium Glucanicum 415


Sebagai Faktor Prebiotik Bagi Pertumbuhan Beberapa Bakteri
Lactobacillus Sp.
Miratul Maghfiroh*1 dan Jayus2

Penapisan Fitokimia Dan Uji Toksisitas Daun Artocarpus Elasticus 425


Salahuddin*, Megawati, Sofa Fajriah

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Bahan Penstabil Terhadap Sirup 433


Lidah Buaya
Hasnelly, Nana Sutisna Achyadi, dan Noventri Rukmaningrum
xxix
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Perbandingan Penggunaan Enzim Peroksidase dari Batang Sawi 447


Hijau (Brassica Juncea) dan Enzim Horseradish Pada Sintesis
Isoeugenol dan Uji Aktivitas Antioksidan
Andini Sundowo* dan Yulia Anita

Ekstraksi, Partisi Serta Uji Aktivitas Antioksidan dari Daun Tanaman 455
Artemissia Annua L
Andini Sundowo* dan Yulia Anita

Penambahan Virgin Coconut Oil Dalam Sediaan Probiotik 463


Lactobacillus Menggunakan Teknik Spray Drying
Titin Yulinery*dan Novik Nurhidayat

Keragaman Kadar Lovastatin dan Pigmen Dalam Angkak Hasil 473


Fermentasi Isolat Lokal Monascus Purpureus
Titin Yulinery*

Seleksi Bacillus Spp. Terhadap Aktivitas Enzim Amilase Dalam 483


Larutan Substrat Tepung Talas
Sri Hartin Rahaju1

Aktivitas Inhibisi -Glukosidase Ekstrak Etil Asetat dan Heksan 491


Dari Cinnamomum Burmannii dan Cinnamomum Verum
Like Efriani*1, Sitaresmi Yuningtyas1, dan Waras Nurcholis2

Sintesis dan Uji Aktivitas Biologi Diamil Nikotinil Glutamat Ester 497
Yulia Anita*1, M. Hanafi1, Puspa D Lotulung1, Any Kurnia2

Karakterisasi Tepung Ubi Kayu dan Mocaf Sebagai Bahan Baku 505
Makanan Sehat
Ahmad Fathoni*1, N. Sri Hartati1, Nur Kartika I.M2

Ucapan Terimakasih

xxx
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

PEMBICARA
KUNCI

1
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Applications of Titanium Oxide-based


Photocatalysts as the Green and
Sustainable Science and Technology
Investigations of highly active photo-functional
materials from molecular level to bulk
semiconductor level--

Masakazu ANPO*
Osaka Prefecture University
1-1 Gakuen-cho, Sakai, Osaka 599-8531, JAPAN
E-mail: anpo@osakafu-u.ac.jp

Environmentally harmonious, clean and safe scientific technologies and


processes to address pollution and climatic change are the subject of much research
and discussion. Photocatalysis, in which the abundant and clean energy of sunlight
could be harnessed, would be a major advance in the development of sustainable,
non-hazardous and economic technologies. Development of highly functional Ti
oxide-based photocatalysts has been especially promising. However, unlike natural
photosynthesis in green plants, they can make use of only 3-4% of solar light,
necessitating the use of a UV light source. Recently, however, we have
successfully developed unique and efficient Ti-oxide photocatalysts which enable
the absorption of visible light of longer than 550 nm and operating as efficient and
effective environmentally-friendly photocatalytic materials.
The plenary lecture presents the results obtained in the following 3 different
photocatalytic reaction systems: 1) TiO2 nano-powdered photocatalysts; 2) Highly
dispersed Ti-oxide single site photocatalysts prepared within zeolite frameworks
(Ti/zeolite), and 3) visible light-responsive TiO2 thin film photocatalysts for the
decomposition of H2O with a separate evolution of H2 and O2 under sunlight
irradiation.

3
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Design of Highly Active Titanium Oxide Photocatalysts


UV absorption
absorption photoluminescence
CB e-
(1) highly efficient

intensity / a. u.
h
(Ti3+-O-)* VB h+ (2) visible light responsive
h
(Ti4+- O2-)
(3) no binders (anchored or fixed)
200 300 400 500 200 300 400 500 600
Wavelength / nm Wavelength / nm

Conduction band charge transfer


100 excited state
O2-
Transmittance / %

200 band gap


narrowing - Ti4+
50 400
O2- O2- O2-
600
550 nm 380 nm 250
(Visible light) (UV light) 320 nm 300nm
0
200 400 600 800 isolated Ti-oxide
+ single-site species
Wavelength / nm

visible light responsive Single site


TiO2 thin films ground state
Valence band photocatalysts
Metal ion-implantation O2- O2- Ti-O
Ti4+ Ti4+ N=4.2
O2- O2- O2- O2- O2- R=1.83

Anion-doping rutile anatase


4960 5000 0 2 4 6
semiconducting nano-clusters of Ti-oxides
Energy / eV Distance /
TiO2 particles

Fig. Relationship between the structures of various Ti oxide-based photocatalysts and their
energy states

1) M. Anpo and P. V. Kamat, Environmentally Benign Photocatalysts


Applications of Titanium Oxide-based Materials, Springer, USA, (2011),
and references therein.

4
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Produksi 1,3 Dioleoil-2-Palmitoilgliserol Melalui Reaksi


Enzimatik Dari Palm Stearin Dan Aplikasinya
Dalam Formulasi Substitut Lemak Air Susu Ibu

O. Suprijana1,2, A. Zainudin1, Agus Safari1


1
Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran
2
Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia

ABSTRAK

Air susu ibu (ASI) mengandung sekitar 37gram/liter lemak yang asam lemak utamanya
terdiri dari 20-25% asam palmitat (16:0) dan 30-35% asam oleat (18:1 n-9). Lebih dari 60%
asam palmitat dari ASI berada pada posisi sn-2 dari rangka gliserolnya, sedangkan asam
oleat dan linoleat (18:2 n-6) dominan teresterifikasi pada posisi sn-1,3. Sebaliknya, dalam
lemak susu formula bayi, asam palmitat dominan teresterifikasi pada posisi sn-1,3 dan asam
oleat dan linoleat pada posisi sn-2. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi
triasilgliserol (TAG) terstruktur 1,3-dioleoil-2-palmitoilgliserol (OPO), melalui reaksi
enzimatik dari tripalmitin (PPP) dengan etiloleat (EO) menggunakan lipase Rhyzomucor
meihei (Lipozyme RMIM). OPO yang dihasilkan selanjutnya dapat digunakan sebagai
substitut lemak ASI yang dapat digunakan dalam ingredien dalam susu formula bayi.
Analisis komposisi asam lemak dilakukan dengan metode kromatografi gas-spektrometri-
massa (KG-SM), dan asam lemak pada posisi sn-2 pada molekul triasilgliserol dianalisis
dengan menggunakan lipase pankreas spesifik sn-2. Tahap selanjutnya adalah formulasi
substitut lemak ASI yang dilakukan melalui blending OPO hasil produksi tahap pertama
dengan minyak kelapa, sebagai sumber asam lemak rantai sedang (MCFA), dan minyak
kedelai sebagai sumber asam lemak esensial (EFA), dengan perbandingan tertentu. Asam
palmitat pada OPO yang dihasilkan sebanyak 70,82% yang 54,99% diantaranya berada pada
posisi sn-2. Pada formulasi substitut lemak ASI (HMFS), melalui blending OPO hasil
sintesis, minyak kedelai dan VCO dengan rasio berturut-turut 30 : 40 : 10 b/b, dihasilkan
suatu produk dengan kandungan asam palmitat, oleat, laurat, stearat dan linoleat masing-
masing 24,41%, 35,01% , 6,82%, 9,80% dan 4,60%. Komposisi asam lemak pada HMFS
sudah mendekati komposisi asam lemak ASI kecuali kekurangan dalam hal asam lemak
omega-3 (asam alfa-linolenat dan DHA).

Kata Kunci: HMFS, ASI, 1,3-dioleoil-2-palmitoilgliserol, tripalmitin, palm stearin

5
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Reliable performance for supporting high-precision drug


analysis in biological samples
Dr. Gan Che Sian

Analysis of drugs in biological samples often associates with the


complexity and difficulties to differentiate the drug molecules from the
sample matrix. The use of high resolution and high mass accuracy system
such as LC-QTOF provides a powerful workflow with extended ability to
carry out qualitative and quantitative analysis in single run. This topic will
explore the use of LC-QTOF in drug analysis workflow.

6
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

High Throughput Analysis of Emerging Contaminants in


Food and Environment
Venkatesha

ABSTRACT

Emerging contaminants in food and environment are a major concern. Such


contaminants or pollutants often find their way into our daily life either in
drinking water or the food that we take. In order to detect these contaminants
at trace level, LC-MS/MS is the key technique due to its high sensitivity,
high specificity and high selectivity. This topic will discuss the use of LC-
MS/MS in detecting and quantifying emerging contaminants in food and
environment.

7
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

BIDANG
PANGAN

9
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Perbanyakan Beberapa Aksesi Talas (Colocasia esculenta L.)


Diploid Secara Kultur Jaringan dan Konservasinya
Mendukung Diversifikasi Pangan
Aida Wulansari*, Andri Fadillah Martin, Deritha Elffy Rantau
dan Tri Muji Ermayanti

Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI


Jalan Raya Bogor Km 46, Cibinong, 16911
*E-mail : aida_wulansari@yahoo.com

ABSTRAK
Diversifikasi pangan non beras perlu dikembangkan dengan mengoptimalkan
pemanfaatan sumber pangan lain seperti umbi-umbian. Talas (Colocasia esculenta)
merupakan salah satu tanaman penghasil umbi yang telah banyak dikenal masyarakat.
Keragaman talas di Indonesia yang begitu beragam merupakan potensi sumber pangan yang
perlu dikembangkan. Beberapa aksesi talas diploid merupakan merupakan sumber
karbohidrat yang telah banyak dimanfaatkan. Penyediaan bibit talas yang bermutu dan bebas
penyakit merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung program ketahanan pangan.
Teknologi kultur jaringan berpotensi dalam penyediaan bibit bermutu dan bebas penyakit
dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengaplikasikan teknik kultur jaringan pada tiga aksesi talas diploid (mentega, bentul dan
sutra) dalam rangka perbanyakan dan konservasi secara in vitro, melakukan konfirmasi
ploidi dengan flowsitometri dan melakukan karakterisasi jumlah dan ukuran stomatanya.
Hasil penelitian pada 4 MST menunjukkan bahwa media MS yang mengandung 2 mg/l
BAP, 1 mg/l tiamin dan 2 mg/l adenin merupakan media terbaik untuk multiplikasi tunas in
vitro pada ketiga aksesi talas. Laju multiplikasi tunas per bulan adalah 3.67 untuk talas
mentega, 3.89 untuk talas bentul dan 4.00 untuk talas sutra. Konfirmasi dengan
flowsitometer menunjukkan bahwa ketiga aksesi tanaman ini adalah diploid. Jumlah stomata
per mm2 bentul daun epidermis atas adalah 193.86; epidermis bawah adalah 269.30. Jumlah
stomata mentega daun epidermis atas adalah 85.96; epidermis bawah 156.14 dan sutra daun
epidermis atas adalah 142.11; epidermis bawah 186.84. Ukuran stomata ketiga asesi ini juga
bervariasi. Semua aksesi dikoleksi dan diteliti di Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI di
Cibinong, Bogor.

Kata kunci : multiplikasi tunas in vitro, stomata, tingkat ploidi

Pengantar
Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor yang paling strategis bagi suatu
bangsa, karena pangan termasuk kebutuhan pokok. Beras merupakan bahan pangan
utama di Indonesia, namun produktivitasnya masih belum mampu memenuhi
kebutuhan nasional. Program diversifikasi pangan non beras perlu dikembangkan agar
ketahanan pangan dapat terlindungi. Indonesia memiliki beberapa komoditas pangan,
yang dapat dikembangkan sebagai komoditas pangan nasional. Diversifikasi produksi
11
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

pangan ini bisa dilakukan melalui pengembangan pangan karbohidrat khas nusantara
yang spesifik lokasi seperti sukun, talas, garut, sagu, jagung, ubi dan lain-lain.
Tanaman talas telah lama dibudidayakan dan dimanfaatkan sebagai sumber
makanan tambahan di Indonesia. Talas sangat potensial, karena memiliki keragaman
jenis yang sangat besar. Jenis talas di Indonesia yang begitu beragam merupakan
potensi sumber pangan yang perlu dikembangkan. Beberapa aksesi talas diploid
merupakan sumber karbohidrat yang telah banyak dimanfaatkan. Penggunaannya
sebagai bahan makanan dapat diarahkan untuk menunjang ketahanan pangan nasional
melalui program diversifikasi pangan disamping peluangnya sebagai bahan baku
industri yang menggunakan pati sebagai bahan dasarnya (Hartati etal.,2003). Umbi dan
pelepah daunnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat maupun pembungkus,
sedangkan daun, sisa umbi dan kulit umbinya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak
dan ikan secara langsung maupun setelah difermentasi. Talas juga dapat dimanfaatkan
untuk keperluan industri, misalnya sebagai bahan baku kosmetik dan plastik (Setyowati
etal., 2007).
Penyediaan bibit talas yang bermutu dan bebas penyakit merupakan salah satu faktor
penting dalam mendukung program ketahanan pangan. Teknologi kultur jaringan
berpotensi dalam penyediaan bibit bermutu, seragam dan bebas penyakit dalam jumlah
banyak dan waktu yang singkat. Manfaat lain dari penggunaan teknologi kultur jaringan
atau teknik in vitro adalah konservasi atau penyimpanan in vitro plasma nutfah talas.
Penggunaan teknik in vitro dalam penyimpanan plasma nutfah tanaman yang
diperbanyak secara vegetatif sangat bermanfaat karena tanaman tersebut harus setiap
tahun ditanam di kebun untuk mempertahankan koleksinya. Konservasi in vitro
memungkinkan tanaman dapat disimpan dalam jangka waktu lama dan dapat
diperbanyak secara cepat bila sewaktu-waktu diperlukan (Dewi, 2002). Penerapan
teknik in vitro dalam konservasi plasma nutfah merupakan cara alternatif yang saling
mendukung dengan strategi konservasi yang lainnya (in situ dan ex situ).
Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasi teknik kultur jaringan pada tiga aksesi
talas diploid (mentega, bentul dan sutra) dalam rangka perbanyakan dan konservasi
secara in vitro, melakukan konfirmasi ploidi dengan flowsitometri dan melakukan
karakterisasi jumlah dan ukuran stomatanya.

Bahan dan Metode


Kultur jaringan
Eksplan yang digunakan adalah potongan bonggol dari tiga aksesi talas, yaitu
mentega, bentul dan sutra. Bonggol talas dibersihkan dari sisa-sisa tanah dan dicuci
dengan air mengalir, kemudian dikupas sampai bagian terdalam yang berwarna putih
dan berukuran 3-5 cm. Potongan bonggol tersebut kemudian direndam larutan kloroks
30% sambil dikocok selama 60 menit. Setelah itu eksplan dibilas dengan akuades steril
sebanyak tiga kali sampai getahnya hilang. Eksplan dikupas kembali sampai berukuran
1-2 cm. Eksplan tersebut kemudian ditanam pada media MS.
Media perlakuan untuk multiplikasi atau penggandaan tunas merupakan media
MS dengan konsentrasi BAP 1-2 mg/l seperti disajikan pada tabel 1. Penelitian disusun
dalam rancangan acak lengkap. Setiap perlakuan diulang tiga kali dan setiap botol

12
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

terdiri atas tiga tunas tunggal. Pengamatan dilakukan setiap minggu dengan menghitung
jumlah tunas yang terbentuk.

Tabel 1. Media perlakuan untuk multiplikasi tunas pada talas mentega, bentul dan sutra.
Konsentrasi BAP
Kode media Thiamin 1 mg/l + Adenin 2 mg/l
1 mg/l 2 mg/l
M0 - - -
M1 - -
M1TA -
M2 - -
M2TA -

Konfirmasi ploidi
Konfirmasi ploidisasi dilakukan dengan menggunakan flowsitometer. Analisa ploidi
dilakukan dengan menggunakan larutan Cystain UV- ploidy yang berisi buffer dan
pewarna DNA. Potongan daun talas bentul, mentega dan sutra diberi label lalu disimpan
di dalam plastik. Di antara daun diselipkan kertas tisu yang dibasahi dengan akuades.
Potongan daun berukuran 0,5 cm2 diletakkan pada cawan petri dan ditetesi 1,5 ml buffer
cystain UV-Ploidi dan dicacah dengan silet. Cacahan daun disaring dengan saringan 30
m dan filtrat dimasukkan dalam tabung kuvet untuk analisa. Sampel dibaca pada
panjang gelombang 440 nm dan kecepatan 1000 nuclei per detik. Jumlah DNA pada
inti sel sampel kontrol tanaman diploid dikalibrasi pada channel 200. Tanaman diploid
menunjukkan peak pada channel 200, triploid pada channel 300 dan tetraploid pada
channel 400, dan tanaman mixoploid menunjukkan lebih dari 1 peak pada channel yang
berbeda. Rata-rata kandungan DNA (mean) dan coefficient of variation (CV) dari tiap-
tiap sampel pada setiap peak diamati dan dibandingkan dengan tanaman kontrol, dan
ditentukan tingkat ploidinya sesuai dengan kelipatan rata-rata jumlah kandungan DNA.

Penghitungan jumlah dan ukuran stomata


Sampel daun talas bentul, mentega dan sutra diambil dari tanaman yang ditanam
pada kebun koleksi Puslit Bioteknologi di Cibinong. Sampel diambil pada pagi hari
antara pukul 8-9 pada saat stomata dalam keadaan terbuka. Sampel epidermis diambil
dari bagian permukaan atas dan permukaan bawah daun. Epidermis daun bagian ujung,
tengah dan pangkal helai daun diamati masing-masing sebanyak 5 bidang pandang
untuk penghitungan jumlah stomata per mm2.Sampel yang sama juga dipergunakan
untuk pengukuran pajang dan lebar stomata.
Penghitungan jumlah stomata daun talas dilakukan terhadap daun epidermis atas dan
epidermis bawah dengan mikroskop cahaya perbesaran 400 kali. Ukuran stomata diukur
menggunakan skala yang terdapat pada mikroskop dengan mengukur panjang (mulai
dari ujung atas sampai ujung bawah panjang stomata termasuk sel penjaga) dan
mengukur lebar stomata (dari lebar luar satu sel penjaga hingga lebar luar sel penjaga
yang berseberangan dengan lebar stomata). Penghitungan jumlah stomata
dikonversikan menjadi luas 1 mm2. Jumlah stomata epidermis atas dan bawah dihitung
secara terpisah. Penghitungan ukuran stomata dilakukan sebanyak 20 stomata. Data

13
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

ukuran stomata epidermis atas dan bawah digabungkan lalu dirata-ratakan. Kisaran
jumlah stomata dan ukuran stomata juga dicatat.

Hasil dan Pembahasan


Kultur jaringan
Eksplan berupa potongan bonggol talas yang dikulturkan pada media MS tanpa
penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) tampak mulai berkembang pada 1 MST. Pada
tahap selanjutnya, eksplan yang tidak dipindahkan ke media yang mengandung ZPT
akan menghasilkan tunas tunggal. Tunas tunggal yang disubkultur ke media MS yang
dilengkapi dengan ZPT dari golongan sitokinin (BAP) akan menghasilkan tunas
majemuk.
Pengamatan selama 4 MST (tabel 2) terhadap pertambahan jumlah tunas majemuk
menunjukkan bahwa media perlakuan yang mengandung BAP pada konsentrasi 1-2
mg/l dapat lebih meningkatkan proliferasi tunasbila dibandingkan dengan media tanpa
BAP (media M0) yang hanya memiliki laju multiplikasi 1.56 pada ketiga aksesi
talas.Laju multiplikasi tunas 4 MST dari ketiga aksesi pada tiap media perlakuan
menunjukkan angka yang hampir sama. Talas mentega, bentul dan sutra tidak
memperlihatkan respon yang beragam pada tiap media perlakuan.

Tabel 2. Laju multiplikasi tunas 4 MST talas mentega, bentul dan sutra.
Laju multiplikasi tunas 4 MST
Media
Mentega Bentul Sutra
M0 1.56 b 1.56 b 1.56 b
b b
M1 2.11 1.78 1.89 bc
a a
M1TA 3.67 3.67 3.44 a
b b
M2 2.11 1.78 2.33 b
a a
M2TA 3.67 3.89 4.00 a
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Sitokinin merupakan ZPT yang berperan penting dalam pembelahan sel, memecah
dormansi bakal tunas dari dominansi pucuk, membantu perkecambahan biji dan
pembentukan kloroplas (Mok et al., 2000). Pada kultur jaringan, sitokinin seperti BAP
sangat efektif dalam mendukung pembentukan dan penggandaan tunas in
vitro.Penggunaan BAP untuk proliferasitunas telah terbukti berhasil antara lain pada
iles-iles (Imelda et al., 2007), pisang barangan (Jafari et al., 2011) dan pisang asal
Malaysia (Sipen & Davey, 2012) serta nanas (Al-Saif et al., 2011). Konsentrasi BAP
yang optimum perlu diketahui, karena pada konsentrasi yang tinggi, BAP dapat bersifat
mutagenik dan menghambat pertumbuhan tunas (George et al., 2008). Pada penelitian
ini, penambahan BAP sampai 2 mg/l masih dapat meningkatkan jumlah tunas.
Laju multiplikasi tunas pada media yang mengandung BAP dengan penambahan
thiamin dan adenin mampu meningkatkan multiplikasi tunas hampir dua kali lipat
(Gambar 1.). Respon tersebut ditunjukkan pada semua konsentrasi BAP. Penambahan
thiamin dan adenin diduga mempengaruhi aktifitas zat pengatur tumbuh dari golongan
sitokinin seperti BAP. Pada konsentrasi 2 mg/l BAP, penambahan thiamin dan adenin
cenderung meningkatkan laju multiplikasi tunas, diduga BAP pada konsentrasi tersebut
14
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

masih optimal dalam meningkatkan jumlah tunas. Pada buncis (Phaseolus vulgaris L.),
penambahan adenin pada media dengan konsentrasi BAP 5 mg/l masih dapat
meningkatkan jumlah tunas yang terbentuk (Arias et al., 2010).

Gambar 1. Pengaruh penambahan adenin dan thiamin terhadap jumlah tunas majemuk pada
talas umur 4 MST.
A. Media M0 B. Media M1 C. Media M1TA D. Media M2
E. Media M2TA

Konfirmasi ploidi
Konfirmasi tingkat ploidi telah dilakukan pada beberapa aksesi talas yang dimiliki
oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI (Lebot et al. 2004). Berdasarkan data tersebut
diketahui bahwa aksesi talas Bentul memiliki tingkat ploidi 2x atau diploid.
Berdasarkan data ini maka talas Bentul dapat dijadikan standar diploid untuk
mengkonfirmasi tingkat ploidi beberapa aksesi talas yang belum diketahui tingkat
ploidinya. Kontrol tanaman diploid (Bentul) dikalibrasi pada channel 200 (Gambar 2.)
Tanaman diploid menunjukkan peak pada channel 200, triploid pada channel 300 dan
tetraploid pada channel 400. Hasil analisis dengan flowsitometer menunjukkan bahwa
baik talas Mentega (Gambar 3) maupun talas Sutra (Gambar 4) termasuk tanaman
diploid. Analisis flowsitometer selain berguna untuk menghitung kandungan DNA
relatif secara cepat, juga berguna dalam mengkarakterisasi tipe tanaman yang true-to-
type (Ochatt, 2006).

15
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan
File: talas 11 Date: 22-02-2013 Time: 09:50:24 Particles: 2969 Acq.-Time: 127 s partec CyFlow

100

RN1

80

60
counts

40

20

0
0 200 400 600 800 1000
FL1 -
Region Gate Ungated Count Count/ml %Gated Mean-x CV-x% Mean-y CV-y%
RN1 <None> 2432 2432 - 81.91 176.69 7.64 - -

Gambar 2. Grafik kandungan DNA-relatif dari analisis flowsitometer pada talas Bentul
File: Talas 46 Date: 08-01-2013 Time: 10:36:15 Particles: 4109 Acq.-Time: 101 s partec CyFlow

100

RN1

80

60
counts

40

20

0
0 200 400 600 800 1000
FL1 -
Region Gate Ungated Count Count/ml %Gated Mean-x CV-x% Mean-y CV-y%
RN1 <None> 2968 2968 - 72.23 187.85 9.57 - -

Gambar 3. Grafik kandungan DNA-relatif dari analisis flowsitometer pada talas Mentega
File: Talas 27 Date: 08-01-2013 Time: 10:14:34 Particles: 3863 Acq.-Time: 82 s partec CyFlow

100

RN1

80

60
counts

40

20

0
0 200 400 600 800 1000
FL1 -
Region Gate Ungated Count Count/ml %Gated Mean-x CV-x% Mean-y CV-y%
RN1 <None> 2834 2834 - 73.36 206.05 7.69 - -

Gambar 4. Grafik kandungan DNA-relatif dari analisis flowsitometer pada talas Sutra

16
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Penghitungan jumlah dan ukuran stomata


Jumlah stomata pada ketiga aksesi yang berbeda yaitu Bentul, Mentega dan Sutra
pada daun bagian epidermis atas sangat bervariasi. Talas Bentul mempunyai jumlah
stomata terbanyak, Sutra lebih rendah dan Mentega paling rendah (Tabel 3). Jumlah
stomata daun permukaan atas Bentul lebih dari dua kali jumlah stomata talas Mentega.
Perbedaan yang jauh berbeda ini kemungkinan disebabkan oleh ukuran tebal lapisan
lilin pada talas Bentul dan Mentega yang menutupi epidermis daun bawahnya.
Pengamatan tebal lapisan lilin perlu dilakukan. Jumlah stomata pada bagian bawah
daun lebih banyak dibandingkan dengan jumlah stomata bagian daun permukaan atas.
Jumlah stomata permukaan bawah daun talas Bentul adalah 38,9% lebih banyak
dibandingkan dengan permukaan atasnya, pada talas Sutra adalah 31,5% lebih banyak,
sedangkan pada talas Mentega adalah 79,5% lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
stomata pada daun permukaan atasnya. Contoh sebaran stomata pada permukaan daun
bagian bawah dari ketiga aksesi talas diploid tertera pada Gambar 5. Menurut Wang
(1983) jumlah stomata pada talas relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan
tanaman lain yang masih satu genus. Wang (1983) mencatat bahwa kerapatan stomata
pada epidermis atas hanya mencapai 50/mm2 sedangkan epidermis bawah mencapai
116/mm2.

Tabel 3. Jumlah stomata (per mm2) epidermis atas dan bawah talas bentul, mentega dan
sutra
Aksesi Jumlah stomata per mm2
Epidermis atas Epidermis bawah
Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran
Bentul 193,86 157,89-218,42 269,30 244,74-218,42
Mentega 85,96 76,32-92,11 156,14 152,63-157,89
Sutra 142,11 137,47-152,63 186,84 163,16-223,68

Gambar 5. Sebaran stomata daun bagian permukaan bawah dari talas bentul (kiri), mentega
(tengah), sutra (kanan)

Ukuran stomata daun talas ketiga aksesi diploid yaitu Bentul, Mentega dan Sutra
tidak terlalu berbeda (Tabel 4.). Panjang stomata talas Bentul sama dengan talas
Mentega dan sedikit berbeda dari talas Sutra, kisaran panjang stomata juga hampir
sama. Hal ini sejalan dengan laporan Saadu et al. (2009) yang melaporkan bahwa
panjang stomata pada talas berada pada kisaran 0,026 mm. Lebar stomata baik nilai
rata-rata dan kisarannya juga tidak terlalu berbeda. Kisaran lebar stomata pada talas
sutra lebih besar dibandingkan dengan kisaran lebar stomata talas bentul dan mentega.

17
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 4. Ukuran stomata (mm) epidermis atas dan bawah talas bentul, mentega dan sutra
Aksesi Ukuran stomata (mm)
Panjang Lebar
Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran
Bentul 0,025 0,023-0,028 0,018 0,016-0,021
Mentega 0,025 0,022-0,028 0,020 0,016-0,022
Sutra 0,026 0,023-0,029 0,021 0,014-0,023

Kesimpulan
Perbanyakan atau multiplikasi tunas in vitro pada ketiga aksesi talas (bentul,
mentega dan sutra) memberikan hasil terbaik pada media M2TA yang mengandung 2
mg/l BAP, 1 mg/l tiamin dan 2 mg/l adenin. Konfirmasi dengan flowsitometer
menunjukkan bahwa ketiga aksesi tanaman ini adalah diploid. Jumlah dan ukuran
stomata ketiga aksesi ini juga bervariasi.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini didanai oleh Program Kompetitif LIPI, Sub-Kegiatan Eksplorasi dan
Pemanfaatan Terukur Sumber Daya Hayati (Darat dan Laut Indonesia) berjudul
Manipulasi Sel Somatik : Induksi Poliploidi dan Fusi Protoplas untuk Meningkatkan
Produktivitas Talas dan Garut. Ucapan terima kasih kepada Mulyana atas bantuannya
dalam mempersiapkan bahan eksplan untuk teknik in vitro serta Erwin Al-Hafiizh,
Rudiyanto dan Agus Arvani atas bantuannya dalam analisis flowsitometer dan stomata.

Daftar Pustaka
Al-Saif, A.M., A.B.M.S. Hossain, R.M. Taha. 2011. Effects of benzylaminopurine
and naphthalene acetic acid on proliferation and shoot growth of pineapple
(Ananas comosus L.Mer) in vitro. African Journal of Biotechnology 10 (27) :
5291-5295.
Arias, A.M.G., J.M. Valverde, P.R. Fonseca & M.V. Melara. 2010. In vitro plant
regeneration system for common bean (Phaseolus vulgaris L.) : effects of N6-
benzylaminopurine and adenine sulphate. Electronic Journal of
Biotechnology 13(1). DOI: 10.225/vol.13-issue-fulltext-7
Dewi, N., 2002. Perbanyakan dan pelestarian plasma nutfah talas (Colocasia
esculenta (L.) Schott) secara in vitro. Tesis. Program Pascasarjana IPB.
Bogor.
George, E.F., M.A. Hall & G.J.D. Klerk. 2008. Plant propagation by tissue culture
3rd edition. Vol.1. The Background. Springer. Dordrecht, Netherland. 205-
226.
Hartati,N.S & T.K Prana. 2003. Analisis kadar pati dan serat kasar tepung beberapa
kultivar talas (Colocasia esculenta (L.)Schoott). Jurnal Natur Indonesia. Vol.
6 (1) : 29-33.
Imelda, M., A. Wulansari & Y.S. Poerba. 2007. Mikropropagasi tanaman iles-iles
(Amorphophallus muelleri Blume). Berita Biologi 8 (4) : 271-277.

18
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Jafari, N., R.Y. Othman & N. Khalid. 2011. Effect of benzylaminopurine (BAP)
pulsing on in vitro shoot multiplication of Musa acuminate (banana) cv.
Berangan. African Journal of Biotechnology 10 (13) : 2446-2450.
Lebot, V., Prana, M.S., Kreike, N., van Heck, H., Pardales, J., Okpul, T., Genuda,
T., Thongjiem, M., Hue, H., Viet, N., and Yap, T.C. 2004. Characterisation
of taro (Colocasia esculenta (L.) Schott) genetic resources in Southeast Asia
and Oceania. Genetic Resources and Crop Evolution 51:381-392.
Mok, M.C., R.C. Martin & D.W.S. Mok. 2000. Cytokinins : biosynthesis,
metabolism and perception. In Vitro Cellular and Developmental Biology-
Plant 36 (2) : 102-107.
Ochatt, S.J. 2006. Flow cytometry ploidy determination, cell cycle analysis, DNA
content per nucleus. Medicago truncatulata handbook. Dijon, Unit de
Gntique et Ecophysiologie des Lgumineuses.
Saadu, R.O., Abdulrahman, A.A. and Oladele, F.A. 2009. Stomatal complex types
and transpiration rates in some tropical tuber species. African Journal of Plant
Sciences 3(5): 107-112. ISSN 1996-0824.
Setyowati, M., I.Hanarida & Sutoro. 2007. Karakterisasi umbi plasma nutfah
tanaman talas (Colocasia esculenta (L.)Schoott). Buletin Plasma Nutfah 13
(2) : 49-55.
Sipen, P. & M.R. Davey. 2012. Effects of N6-benzylaminopurine and indole acetic
acid on in vitro shoot multiplication, nodule-like meristem proliferation and
plent regeneration of Malaysian bananas (Musa spp.). Tropical Life Sciences
Research 23 (2) : 67-80.
Wang, Jaw-Kai. 1983. Taro A review of Colocasia esculenta and Its Potentials.
University of Hawai Press. ISBN 0-8248-0841-X. pp 21-24.

19
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kandungan Gizi Dan Nilai Ekonomis Pensi, Tutut


dan Cherax dari Danau Maninjau

Livia R. Tanjung

Pusat Penelitian Limnologi LIPI


Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong Science Center, Cibinong 16911
Email: livia.rossila@lipi.go.id

ABSTRAK

Berbagai jenis ikan endemik yang berasal dari Danau Maninjau di Kabupaten Agam,
Sumatra Barat sudah sangat dikenal, di antaranya ikan Bada dan Rinuk. Selain ikan,
sumberdaya perairan bernilai ekonomis tinggi yang sudah diperjualbelikan di pasar-pasar
sekitar Danau Maninjau yaitu Kerang Pensi (Corbicula moltkiana dan Corbicula
sumatrensis) dan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Selain Pensi dan lobster,
Keong Tutut (Filopaludina javanica dan Filopaludina sumatrensis) yang banyak ditemukan
di danau ini tidak dijadikan sebagai salah satu sumber makanan bagi masyarakat setempat.
Tulisan ini ditujukan untuk mengungkapkan informasi mengenai kandungan gizi dan nilai
ekonomis ketiga komoditas tersebut. Untuk itu, dilakukan pengambilan sampel ketiga jenis
komoditas tersebut dari Danau Maninjau pada bulan Oktober 2011. Selanjutnya, dilakukan
analisis proksimat dan mineral untuk ketiganya. Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga
komoditas tersebut memiliki kandungan protein yang tinggi, berkisar dari 43,5% (Kerang
Pensi) sampai 75,0% (Lobster Cherax) dari berat keringnya. Kandungan lemaknya cukup
rendah (1,8-8% berat kering), sehingga kolesterolnya juga sangat rendah. Tutut dan Pensi
mengandung ketiga jenis mineral yang diuji (Ca, Fe dan P) dan kandungan mineral Tutut
lebih tinggi daripada Pensi, sedangkan Cherax memiliki kandungan fosfor tertinggi,
walaupun tidak mengandung besi. Data mengenai nilai ekonomis ketiga komoditas ini
diperoleh dari para pelaku bisnis terkait. Karena harganya yang mahal, Cherax bukanlah
pilihan terbaik sebagai sumber makanan bergizi bagi masyarakat umum. Kandungan protein
Tutut tidak sebanyak Cherax, tetapi kandungan mineral dan kolesterolnya menunjukkan
bahwa Tutut memiliki nilai gizi yang lebih baik daripada Cherax. Pensi yang sangat populer
di daerah Maninjau ternyata memiliki kandungan gizi yang lebih rendah daripada Tutut.

Kata Kunci: Danau Maninjau, kandungan gizi, Keong Tutut, Kerang Pensi, Lobster
Cherax, nilai ekonomis.

Pengantar
Kerang Pensi merupakan sejenis Moluska Bivalvia endemis Danau Maninjau yang
termasuk ke dalam family Corbiculidae dan genus Corbicula (dari bahasa Latin corbis
yang berarti keranjang). Kerang ini disukai sebagai makanan favorit dan menjadi salah
satu sumber protein bagi penduduk sekitar danau, serta bernilai ekonomis karena sangat
laku diperjualbelikan (Gambar 1a). Penduduk setempat biasanya memanen Pensi
dengan cara mengambilnya langsung dari danau dengan menggunakan sekop dan jaring
sebagai saringan. Selain di Danau Maninjau, kerang ini juga ditemukan di Danau

21
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Singkarak (Glaubrecht et al., 2003). Informasi mengenai populasi Pensi dari Danau
Maninjau belum ada yang dipublikasikan. Dengan demikian, data dasar tentang Pensi
perlu dikaji dalam upaya konservasi terutama mengenai kepadatan populasi dan
pertumbuhannya.
Danau Maninjau memiliki dua spesies Pensi, yaitu yang berwarna hitam (Corbicula
moltkiana, Prime, 1878) dan kuning (Corbicula sumatrensis, Dunker, 1853),
diperlihatkan pada Gambar 1b.

a. b.
Gambar 1. Pensi yang dijual di pasar sekitar Danau Maninjau. a. Kerang mentah yang
masih bercangkang dan kerang yang sudah direbus, berwarna putih. b. Pensi
berwarna kuning (C. sumatrensis) dan hitam (C. moltkiana)

Pensi merupakan komoditas yang sangat dikenal masyarakat di daerah Danau


Maninjau. Sebaliknya, keong Tutut tidak dianggap sebagai salah satu sumber makanan
bagi penduduk Maninjau. Tutut adalah sejenis Moluska (Gambar 2) yang telah
dikonsumsi di banyak daerah di Indonesia, seperti di berbagai daerah di Jawa Barat. Di
daerah Payakumbuh (Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat) keong Tutut dikenal
dengan nama Cipuk, yang berarti siput, dan merupakan salah satu makanan yang
digemari.
Keong yang ditemukan di Danau Maninjau adalah dari genus Filopaludina. Keong
ini dikenal juga dengan nama Vivipara javanica dan Bellamya javanica.

22
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 2. Tutut dari Danau Maninjau (Filopaludina spp.)

Selain Pensi dan Tutut, ada satu biota lagi yang sudah menjadi alternatif sebagai
sumber protein bagi masyarakat di sekitar Danau Maninjau sejak tahun 2010, yaitu
lobster air tawar (Cherax). Menurut informasi yang didapat dari masyarakat di sekitar
Danau Maninjau, keberadaan Cherax tersebut di Danau Maninjau adalah karena
diintroduksi secara sengaja untuk bisnis budidaya, dan Cherax yang terlepas menjadi
penghuni Danau Maninjau. Menurut morfologinya, Cherax yang sekarang sudah hidup
bebas tersebut, kemungkinan besar berasal dari dua daerah geografi yang berbeda.
Cherax yang memiliki warna tubuh biru tua dan ujung capit berwarna merah (Gambar
3a.) dan dikenal juga dengan nama Red Claw Crayfish (Cherax quadricarinatus) ini
diduga berasal dari Walkamin, Queensland, Australia, sedangkan Cherax yang berasal
dari Papua, dicirikan dengan warna tubuh coklat tua kehitaman (Gambar 3b).

A B.
Gambar 3. A. Cherax quadricarinatus yang diduga berasal dari Walkamin, Qld, Australia
(Sulawesty, 2010). B. Cherax quadricarinatus yang diduga berasal dari Papua.

Bahan dan Metode


Ketiga jenis komoditas penelitian diambil dari Danau Maninjau pada bulan Oktober
2011. Analisis kandungan nutrisi dikerjakan di Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor sesuai dengan
prosedur dari Muchtadi (1989). Sebelum dianalisis, dari ketiga jenis sampel tersebut
diambil dagingnya, kemudian dihitung persentase berat daging terhadap berat total
individu. Selanjutnya, dilakukan analisis kandungan gizi yang terdapat dalam daging
ketiga jenis sampel yang meliputi kadar proksimat, termasuk mineralnya dan
kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh (LDL dan HDL). Penentuan kadar air dan
23
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

kadar abu menggunakan metode gravimetri. Analisis kandungan lemak menggunakan


metode Folch, sedangkan kadar protein ditentukan dengan metode Kjeldahl. Untuk
penentuan serat kasar dan analisis mineral digunakan metode Wet Ashing berdasarkan
AOAC (2005). Semua analisis kandungan nutrisi dilakukan dengan dua kali
pengulangan.

Analisis Kadar Air


Kuantitas air yang terkandung dalam sampel dihitung dengan memanaskan sampel
yang ditaruh dalam cawan pada suhu 110oC. Apabila semua air sudah menguap, berat
sampel akan berkurang sampai berat konstan. Persentase kadar air ditentukan
berdasarkan banyaknya air yang menguap saat pemanasan, yaitu dengan cara mengukur
selisih antara berat cawan akhir (setelah cawan yang berisi sampel dikeringkan dalam
oven) dengan berat cawan awal (cawan kosong bebas air), dibandingkan dengan berat
sampel.

Analisis Serat Kasar dan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)


Serat kasar adalah pengurangan sisa residu yang dikeringkan pada saat pembakaran
setelah penguraian sampel dengan larutan H2SO4 1,25% dan NaOH 1,25%. Sedangkan
BETN merupakan bagian dari karbohidrat setelah dikurangi serat kasar. BETN tidak
dianalisis secara langsung tetapi melalui penghitungan dengan rumus:
BETN = 100% Kadar Air Protein Lemak Abu Serat Kasar

Analisis Kadar Lemak dengan Metode Folch


Lemak total diekstraksi melalui prosedur pencampuran dengan kloroform dan
metanol dengan rasio 2:1. Lemak diperoleh melalui filtrasi dan evaporasi bahan pelarut
dengan menggunakan vacuum. Prosedur ekstraksi ini menghasilkan 95-99% lemak,
tetapi gangliosida dan glikolipid kadang-kadang hilang pada saat pencucian kecuali
dalam bentuk encer sehingga dapat ditahan dan ditemukan kembali.

Analisis Kadar Protein dengan Metode Kjeldahl


Metode Kjeldahl merupakan metode sederhana untuk menetapkan nitrogen total
pada asam amino, protein dan senyawa yang mengandung nitrogen. Pertama-tama
sampel didestruksi dengan asam sulfat dan dikatalisis dengan katalisator yang sesuai,
sehingga akan menghasilkan amonium sulfat. Setelah pembebasan dengan alkali kuat,
amonia yang terbentuk disuling uap secara kuantitatif ke dalam larutan penyerap, lalu
dititrasi. Metode Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam
bahan makanan secara tidak langsung, karena yang dianalisis adalah kadar nitrogennya.
Dengan mengalikan hasil analisis yang diperoleh dengan 6,25 akan diketahui
kadar protein dalam bahan makanan. Angka 6,25 berasal dari angka konversi serum
albumin yang biasanya mengandung 16% nitrogen.
Kekurangan metode ini adalah purin, pirimidin, vitamin-vitamin, asam amino besar,
keratin dan keratinin ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen protein. Walaupun
demikian, cara ini masih dianggap cukup teliti untuk mengukur kadar protein dalam
bahan makanan.

24
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Analisis Kadar Abu


Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan. Kadar abu berhubungan
dengan kadar mineral. Mineral yang terdapat dalam suatu sampel dapat digolongkan ke
dalam makro-mineral (Ca, Mg, K, Na) dan mikro-mineral (Zn, Mn, Fe,Co). Penentuan
konstituen mineral dalam suatu sampel dibedakan menjadi dua tahap, yaitu penentuan
abu secara total dan penentuan komponen/unsurnya.
Pada penelitian ini penentuan kadar abu dilakukan melalui pemanasan pada suhu
tinggi yang menggunakan tanur (oven elektrik) dan diset pada suhu 600C. Metode ini
tidak merincikan komposisi zat-zat yang terdapat dalam sampel. Namun, penentuan
kadar abu total sangat berguna bagi parameter nilai gizi bahan. Persentase kadar abu
ditentukan oleh banyaknya abu yang tersisa setelah pembakaran dibandingkan dengan
berat sampel.
Analisis Kadar Kolesterol, Trigliserida, LDL dan HDL
Sebanyak 2 g sampel daging dihaluskan dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi
steril, lalu 10 ml dietil eter ditambahkan, kemudian dikocok dan dibiarkan selama 48
jam pada suhu kamar sampai seluruh eter menguap. Jaringan/sampel daging yg sudah
diekstraksi dikeluarkan dari tabung dan ekstrak/endapan lemak yang menempel pada
tabung dilarutkan dengan 1 ml buffer PBS pH 7,2. Larutan tersebut dihomogenisasi dan
disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 3000 rpm. Supernatan yang terbentuk
dipindahkan ke dalam tabung eppendorf untuk dianalisis kadar kolesterol, trigliserida
dan HDL/LDL dengan metode Enzymatic Cholesterol High Performance (CHOD-PAP
Kit) pada = 500 nm.

Analisis Mineral
Untuk menganalisis kandungan mineral terlebih dahulu dilakukan pengabuan basah
(Wet Ashing). Prosedurnya yaitu dengan menambahkan 5 ml HNO3 (p) pada 1 g sampel
daging di dalam erlenmeyer 125 ml dan didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di
ruang asam, lalu dipanaskan pada suhu rendah selama 4-6 jam dan dibiarkan semalam.
Selanjutnya, ditambahkan 0,4 ml H2SO4 (p) dan dipanaskan selama 1 jam sampai larutan
lebih pekat. Kemudian, ditambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4:HNO3 (2:1).
Pemanasan masih terus berlangsung sampai ada perubahan warna dari coklat menjadi
kuning tua yang akhirnya menjadi kuning muda, dan biasanya memakan waktu 1 jam.
Pemanasan masih tetap dilanjutkan selama 10-15 menit, kemudian sampel didinginkan
dan ditambahkan 2 ml aquades dan 0,6 ml HCl (p). Larutan dipanaskan kembali selama
15 menit agar sampel larut, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Apabila ada
endapan disaring dengan glass wool dan dilakukan juga penambahan bahan kimia untuk
menghilangkan ion-ion pengganggu (Cl3La.7H2O). Akhirnya, hasil pengabuan basah
digunakan untuk menganalisis kandungan berbagai jenis mineral dengan menggunakan
spektrofotometer.

Hasil dan Pembahasan


Rata-rata persentase berat daging terhadap berat total masing-masing sampel
diperlihatkan pada Tabel 1. Terlihat bahwa persentase daging (isi) Tutut mencapai 30%
dari berat tubuh total, sedangkan persentase daging Pensi kurang dari setengahnya dan
Cherax memiliki sekitar 27% daging dari berat tubuh total.
25
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 1. Rata-rata persentase berat daging terhadap berat total masing-masing sampel.
Sampel Total Tubuh (g) Cangkang (g) Isi (g) Persentase Isi (%)
Cherax 14.22 8.73 3.80 26.72
Pensi 3.99 2.60 0.58 14.54
Tutut 1.23 0.45 0.37 30.08

Hasil analisis kandungan proksimat yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan
karbohidrat (serat kasar dan BETN) ditampilkan pada Tabel 2, sedangkan kandungan
mineral kalsium, fosfor dan besi disajikan pada Tabel 3. Kadar kolesterol, trigliserida,
HDL dan LDL yang terdapat pada daging Pensi, Tutut dan Cherax dapat dilihat pada
Tabel 4.

Tabel 2. Kadar proksimat dalam berat basah dan berat kering (%)
Karbohidrat
Sampel Air Abu Protein Lemak Serat
BETN
Kasar
Cherax 81.010.08 1.160.11 14.250.04 1.520.38 0.00 2.070.36
Berat
Pensi 79.310.25 1.920.06 9.000.34 3.390.01 0.00 6.390.16
Basah
Tutut 72.500.21 9.600.12 12.180.44 1.810.07 0.00 3.920.41
Cherax 0.00 6.070.51 75.040.56 8.001.98 0.00 10.901.93
Berat
Pensi 0.00 9.290.16 43.471.10 3.390.01 0.00 43.861.27
Kering
Tutut 0.00 34.880.16 44.291.24 1.810.07 0.00 19.031.48

Kandungan air Cherax dan Pensi relatif sama yaitu sekitar 80% dari berat tubuh
(Tabel 2), sedangkan kandungan air Tutut paling rendah, yaitu sekitar 72%. Sebaliknya,
dari berat basahnya kandungan abu Tutut tertinggi yaitu hampir 10%, sedangkan
Cherax dan Pensi hanya mengandung abu 1% dan 2%. Kandungan protein Cherax
adalah yang tertinggi, sekitar 14%, sedangkan yang terendah yaitu Pensi, hanya 9%.
Kadar lemak tertinggi didapat dari Pensi (sekitar 3,4%), sedangkan terendah dari
Cherax (sekitar 1,5%). Tutut mengandung kurang dari 2% lemak dan sekitar 12%
protein.
Moluska Bivalvia yang telah diketahui kandungan nutrisinya adalah Kerang Darah
(Anadara granosa) dan Kerang Pisau (Solen spp.). Menurut Nurjanah et. al. (2005)
Kerang Darah mengandung 74,4% air, 2,2% abu, 19,5% protein dan 2,5% lemak,
sedangkan menurut Virjean (2011) Kerang Darah mengandung 77,8% air, 2,3% abu,
10,3% protein, 5,9% lemak dan 3,8% karbohidrat. Perbedaan ini dimungkinkan karena
habitat, jenis kelamin, umur dan musim penangkapan yang berbeda. Dibandingkan
dengan Kerang Darah, Pensi mengandung kadar abu dan protein yang lebih rendah.
Selain itu, Nurjanah et al. (2012) juga menginformasikan bahwa Sotong (Sepia
recurvirostra) mengandung 13.5% protein, 0.8% lemak dan 1.4% karbohidrat,
sedangkan Kerang Pisau (Solen spp.) mengandung 9,8% protein, 0,3% lemak dan 4,9%
karbohidrat (Nurjanah et al., 2008). Dengan demikian, Cherax mengandung protein dan
lemak yang lebih tinggi daripada Sotong dan Kerang Pisau, sedangkan kandungan
protein Tutut lebih rendah daripada Sotong, tetapi lebih tinggi daripada Kerang Pisau.

26
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Dalam berat kering ketiga jenis sampel terlihat bahwa Cherax mengandung protein
dan lemak tertinggi, yaitu 75% dan 8%. Pensi dan Tutut mengandung kadar protein
yang hampir sama yaitu 43,5% dan 44,3%, tetapi kandungan lemak Pensi lebih tinggi,
yaitu 3,4% dibandingkan dengan Tutut yang hanya 1,8%. Pensi juga memiliki
kandungan karbohidrat tertinggi, yaitu 43,9%. Menurut Nurjanah et al. (2008) Kerang
Pisau (Solen spp.) mengandung 55,3% protein, 1,8% lemak dan 28% karbohidrat,
sedangkan kerang air tawar (Corbicula fluminea) mengandung 57% protein, 7,2%
lemak dan 21,3% karbohidrat (Chijimatsu et al., 2008). Maka, kandungan protein Pensi
dari berat kering lebih rendah daripada kerang Pisau dan kerang air tawar, tetapi
kandungan karbohidratnya lebih tinggi.
Kadar protein dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan tersebut. Nilai
gizi suatu bahan pangan ditentukan bukan saja oleh kadar nutrien yang dikandungnya,
tetapi juga oleh dapat tidaknya nutrien tersebut digunakan oleh tubuh (Muchtadi, 1989).
Gambar 5 menunjukkan kadar protein, lemak dan karbohidrat (dalam bentuk BETN)
yang terkandung dalam berat kering masing-masing sampel, dibandingkan dengan biota
referensi.

Gambar 5. Kadar protein, lemak dan karbohidrat masing-masing sampel dibandingkan


dengan biota referensi.

Terlihat bahwa ketiga jenis sampel memiliki kandungan protein yang tinggi dan
kandungan lemak yang sangat rendah. Analisis kadar mineral memperlihatkan bahwa
Tutut mengandung kalsium (3,62%) dan besi (0,59%) tertinggi, sedangkan Cherax
mengandung kalsium dan besi yang sangat rendah (0,09% dan 0.82 ppm). Sebaliknya,
Cherax mengandung fosfor tertinggi yaitu 0,17%, sedangkan kadar fosfor Pensi dan
Tutut hampir sama (0,13%). Pensi mengandung 2,86% kalsium dan 0,08% besi (Table
3).

27
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 3. Hasil analisis kadar kalsium, besi dan fosfor masing-masing sampel
Sampel Ca (ppm) Ca (%) Fe (ppm) Fe (%) P (ppm) P (%)
Cherax 866 0.09 0.82 0.00 1672 0.17
Pensi 28557 2.86 742 0.08 1218 0.13
Tutut 36172 3.62 5864 0.59 1279 0.13

Menurut Nurjanah et al.(2005) Kerang Darah segar mengandung 698 ppm kalsium
dan 94 ppm besi, sedangkan Sotong, tergantung bagian tubuhnya, mengandung 186-
198 ppm kalsium, 4-7 ppm besi dan 439-570 ppm fosfor (Nurjanah et al., 2012).
Dengan demikian, kandungan mineral yang diuji pada Pensi dan Tutut lebih tinggi
daripada Kerang Darah dan Sotong. Tutut mengandung lebih tinggi kalsium dan besi
daripada kerang laut dan tiram yang hanya mengandung 3,1% kalsium dan 0,32% besi,
tetapi lebih kaya (19%) akan fosfor (Devira, 2009).
Hasil analisis kandungan kolesterol (Tabel 4) menunjukkan bahwa Tutut
mengandung kolesterol terendah (0,12 mg/g), dan Pensi tertinggi (0,878 mg/g).
Demikian juga dengan kandungan LDL (asam lemak jenuh dan lemak trans) yang tidak
terdeteksi pada Tutut, sedangkan Pensi mengandung LDL tertinggi (0,51 mg/g). Cherax
memiliki kandungan trigliserida terendah (1,387 mg/g), sedangkan Tutut memiliki
kandungan HDL (asam lemak tak jenuh) tertinggi (0,041 mg/g). Sebagai pembanding,
Nurjanah et al. (2012) menginformasikan bahwa Sotong mengandung kolesterol yang
lebih tinggi daripada Pensi (0,75-1,09 mg/g), Kandungan kolesterol Pensi mirip dengan
tiram, kerang laut dan abalone (Devira, 2009; CholesterolinDiet.com, 2011), yaitu 0,85
mg/g. Kerang laut dan tiram mengandung asam lemak jenuh (1,49 mg/g) dan tak jenuh
(2,11 mg/g) yang lebih tinggi daripada Pensi (Devira, 2009). Sotong dan Gurita
mengandung kolesterol yang lebih tinggi daripada Cherax, Pensi dan Tutut, yaitu 1,23
mg/g dan 1,39 mg/g. Cumi-cumi mengandung kolesterol yang jauh lebih tinggi (1,8
mg/g) daripada ketiga sampel yang diuji (Okuzumi & Fujii, 2000).

Tabel 4. Hasil analisis kolesterol, trigliserida, HDL dan LDL


Sampel Total Kolesterol Trigliserida HDL LDL
(mg/g) (mg/g) (mg/g) (mg/g)
Cherax 0.393 1.387 0.036 0.08
Pensi 0.878 1.713 0.025 0.51
Tutut 0.120 1.578 0.041 0

Dengan demikian, ketiga jenis biota yang diuji memiliki kandungan gizi yang baik
sebagai sumber protein, lemak dan mineral untuk konsumsi masyarakat. Kandungan
proteinnya berkisar dari 9-14% berat basah atau dari 43,5-75% berat kering. Kandungan
lemaknya cukup rendah (1,5-3,4% berat basah atau 1,8-8% berat kering), sehingga
kolesterolnya juga sangat rendah. Tutut dan Pensi mengandung ketiga jenis mineral
yang diuji (Ca, Fe dan P) dengan kandungan yang dimiliki Tutut lebih tinggi daripada
Pensi, sedangkan Cherax memiliki kandungan fosfor tertinggi, walaupun tidak
mengandung besi.
Informasi mengenai nilai ekonomis Pensi dan Cherax diperoleh dari nelayan dan
pedagang yang terlibat dalam bisnis ini di sekitar Danau Maninjau. Nelayan pencari
Pensi menjual kerang mentah yang masih bercangkang kepada pedagang/pengumpul
28
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

dengan harga Rp 5.000/kg. Pensi umumnya dijual di pasar lokal di sekitar Danau
Maninjau, tetapi ada juga yang dijual ke luar daerah, seperti Bukittinggi, Padang dan
kota-kota lain di Sumatra Barat. Harga sebungkus Pensi (Gambar 6) yang siap dimakan
adalah Rp 2.000. Harga ini bisa berubah menjadi Rp 5.000, bila pembeli terlihat sebagai
pelancong.

Gambar 6. Cemilan Pensi yang gurih dan kenyal (Winneke, 2011).

Sejak tahun 2010, Cherax yang hidup bebas dan berkembang biak di danau sudah
marak diperjualbelikan di pasar sekitar Danau Maninjau dengan harga Rp 25.000/kg.
Harga ini jauh lebih murah dibandingkan apabila Cherax yang sama sudah dibawa ke
Padang, sehingga harganya menjadi Rp 90.000/kg dan akan meningkat lagi menjadi Rp
150.000/kg apabila sudah mencapai Jabotabek, Jawa Barat (Setiawan, 2010)

Kesimpulan
Cherax sangat baik sebagai sumber bahan pangan karena kandungan protein dan
fosfornya sangat tinggi. Namun, karena harga jualnya yang cukup tinggi, Cherax bukan
menjadi pilihan terbaik sebagai sumber makanan bergizi tinggi bagi masyarakat pada
umumnya. Kandungan protein pada Tutut tidak sebanyak Cherax, tetapi kandungan
mineral dan kolesterolnya menunjukkan bahwa Tutut memiliki nilai gizi yang lebih
baik daripada Cherax. Pensi yang sangat populer sebagai makanan yang digemari di
daerah Maninjau ternyata memiliki kandungan gizi yang lebih rendah daripada Tutut.

Ucapaan Terima Kasih


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Ristiyanti Marwoto dan Isnaningsih
dari Pusat Penelitian Biologi LIPI yang telah mengidentifikasi keong dan kerang dari
Danau Maninjau untuk penelitian ini. Kegiatan penelitian ini didanai dari Kegiatan
Tematik LIPI, Program DIPA 2011.

29
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar Pustaka
AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC INTERNATIONAL,18th
Edition, Maryland, USA.
Chijimatsu, T., I. Tatsuguchi, K. Abe, H. Oda & S. Mochizuki. 2008. A Freshwater
Clam (Corbicula fluminea) Extract Improves Cholesterol Metabolism in Rats
Fed on a High-Cholesterol Diet. Biosci. Biotechnol. Biochem., 72(10): 2566-
2571.
CholesterolinDiet.com.2011.
http://www.cholesterolindiet.com/?cholesterolin=abalone. The Cholesterol
and Fat Database.
Devira. 2009. http://devira123.wordpress.com/2009/12/02/kandungan-nutrisi-ada-
kerang-laut-dan-tiram-mentah/ [2 Desember 2009].
Glaubrecht, M., T. von Rintelen & A. V. Korniushin. 2003. Toward A Systematic
Revision of Brooding Freshwater Corbiculidae in Southeast Asia (Bivalvia,
Veneroida): On Shell Morphology, Anatomy and Molecular Phylogenetics of
Endemic Taxa from Islands in Indonesia. Malacologia, 45(1): 1-40.
Muchtadi, D. 1989. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Pangan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor, Institut Pertanian
Bogor.
Nurjanah, Zulhamsyah & Kustiyariyah. 2005. Kandungan Mineral dan Proksimat
Kerang Darah (Anadara granosa) yang Diambil dari Kabupaten Boalemo
Gorontalo. Bul Teknologi Hasil Perikanan. Vol. VIII (2): 15-24.
Nurjanah, Kustiariyah & S. Rusyadi. 2008. Karakteristik Gizi dan Potensi
Pengembangan Kerang Pisau (Solen spp.) di Perairan Kabupaten Pamekasan
Madura. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 13(1): 41-51.
Nurjanah, A. M. Jacoeb, R. Nugraha, S. Sulastri, Nurzakiah & S. Karmila. 2012.
Proximate, Nutrient and Mineral Composition of Cuttlefish (Sepia
recurvirostra). Advance Journal of Food Science and Technology 4(4): 220-
224.
Okuzumi, M. & T. Fujii. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squid and
Cuttlefish. Japan: National Cooperative Association of Squid Processors.
Tokyo, Japan.
Setiawan, C. 2010. www. lobsterairtawar.com. Bintaro Fish Center.
Virjean, P. 2011. Karakteristik Kerang Darah (Anadara granosa). http://id.scribd
.com/doc/82754525/jurnal-kerang-darah [24 Maret 2011]
Winneke, O. 2011. Gurih-gurih Kenyal si Pensi. http://food.detik.com/read/
2011/03/23/115804/ 1599389/482/gurih-gurih-kenyal-si-pensi. [23/03/2011]

30
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Evaluasi Kandungan Mikronutrien Pyridoxine (Vitamin B6)


pada 32 Aksesi Buah Cabai (Capsicum spp.)

Wahyuni*1,2, Ana Rosa Ballester3, Enny Sudarmonowati2, Raoul J. Bino4,


Arnaud G. Bovy1
1
Wageningen UR Plant Breeding, 6708 PB Wageningen, The Netherlands
2
Research Center for Biotechnology, Indonesian Institute of Sciences,
Jl. Raya Bogor KM.46, Cibinong, 16911
3
Instituto de Agroqumica y Tecnologa de Alimentos. Consejo Superior de
Investigaciones Cientficas (IATA-CSIC). Avenida Agustn Escardino 7,
46980 Paterna (Valencia), Spain
4
Wageningen University, Laboratory of Plant Physiology, Arboretumlaan 4,
6703 BD Wageningen, The Netherlands
*E-mail: wahyu004@gmail.com

ABSTRAK
Cabai adalah salah satu komoditas sayuran terpenting dan strategis di Indonesia maupun
di dunia, selain kentang dan tomat. Buah cabai adalah konstituen utama dalam diet
masyarakat yang digunakan sebagai pelengkap bahan utama makanan, bumbu makanan
sehari-hari, serta sebagai bahan industri farmaka dan kosmetika. Buah cabai memiliki
kandungan nutrisi yang penting untuk kesehatan tubuh, seperti vitamin C, E dan A, senyawa
flavonoid, karotenoid dan kapsaisinoid. Senyawa-senyawa ini berfungsi sebagai antioksidan
untuk melawan radikal bebas dan beberapa penyakit degeneratif. Selain itu, buah cabai
dipercaya mengandung mikronutrien lain seperti pyridoxine (vitamin B6). Vitamin B6
berperan sebagai koenzim dalam metabolisme senyawa primer tubuh seperti asam amino,
glikogen dan lipid. Namun data penelitian mengenai kandungan vitamin B6 pada buah cabai
masih sangat kurang. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran
secara ilmiah mengenai kandungan vitamin B6 pada buah cabai. Buah matang dari 32 jenis
cabai dievaluasi kandungan pyridoxine dengan menggunakan HPLC sistem yang terhubung
dengan detektor UV dan flourescence. Hasil menunjukkan bahwa kandungan vitamin B6
bervariasi di antara 32 jenis cabai. Konsentrasi vitamin ini berkisar dari level yang sangat
rendah (tidak terdeteksi sistem detektor) hingga 0.013 mg/100 g berat basah buah pada
Capsicum chinense RU 72-241. Sedangkan pada buah cabai yang berasal dari jenis
komersial, seperti cabai merah keriting, cabai merah besar dan paprika, rata-rata kandungan
vitamin B6 berkisar 0.004 mg/100 g berat basah buah. Dari hasil penelitian ini disimpulkan
bahwa buah cabai sangat potensial sebagai salah satu sumber vitamin B6 alami dan dapat
berkontribusi dalam pemenuhan asupan mikronutrien tubuh jika dikonsumsi sehari-hari.

Kata Kucni: buah cabai, kandungan nutrisi, vitamin B6

31
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pengantar
Cabai (Capsicum) adalah anggota Famili Solanaceae yang menjadi salah satu
komoditas sayuran terpenting dan mempunyai peran ekonomi yang sangat strategis di
Indonesia maupun di dunia, selain kentang dan tomat. Nilai produksi cabai di Indonesia
merupakan yang ke empat di dunia, dengan nilai produksi mencapai 1,4 ribu ton pada
tahun 2010 (FAO, 2012). Berdasarkan morfologi bunga, seperti bentuk kelopak dan
jumlah serta letak bunga, genus Capsicum diklasifikasikan menjadi 25 spesies atau
lebih (Barboza et al. 2005; Basu and De 2003). Lima di antara 25 spesies yaitu
Capsicum annuum, Capsicum chinense, Capsicum frutescens, Capsicum baccatum dan
Capsicum pubescens telah didomestikasi secara luas dan menghasilkan berbagai macam
kultivar.
Buah cabai merupakan salah satu sumber nutrisi yang sangat baik di antara jenis
sayuran yang lain, terutama karena memiliki kandungan metabolit yang dapat
menunjang kesehatan tubuh, seperti vitamin-vitamin (C, E dan A), senyawa flavonoid,
karotenoid dan kapsaisinoid (Howard and Wildman 2007; Wahyuni et al. 2011;
Wahyuni et al. 2013). Senyawa-senyawa ini sudah dibuktikan berfungsi sebagai
antioksidan untuk melawan radikal bebas dan beberapa penyakit degeneratif, seperti
kanker dan arterosklerosis (Padayatty et al. 2003; van Poppel & van den Berg, 1997).
Selain itu, buah cabai mengandung mikronutrien yang lain seperti vitamin B6
(pyridoxine). Vitamin B6 merupakan nutrient yang esensial sebagai koenzim pada
reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Selain itu vitamin ini membantu pembentukan
heme pada sel darah merah dan berperan penting dalam metabolisme energi (Fitzpatrick
et al. 2007).
Kandungan beberapa nutrisi di atas, seperti vitamin C, E dan A bervariasi pada buah
dari kultivar cabai yang berbeda (Hornero-Mendez et al., 2002; Osuna-Garcia et al.,
1998; Topuz and Ozdemir, 2007). Variasi tersebut dapat dipengaruhi oleh genotipe,
faktor lingkungan, tingkat kematangan buah (Conforti et al., 2007; Daood et al., 1996;
Lee et al., 2005). Saat ini informasi yang lengkap mengenai kandungan vitamin B6 di
plasma nutfah cabai masih sangat kurang. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan
untuk mendapatkan gambaran secara ilmiah mengenai kandungan vitamin B6 pada
buah cabai dari 32 aksesi, yang terdiri dari kultivar hasil pemuliaan, landrace, dan
kultivar liar. Aksesi cabai ini terpilih berdasarkan variasi asal daerah benih, karakteristik
morfologi seperti bentuk, warna dan ukuran buah, serta tingkat kepedasan buah.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya variasi konsentrasi vitamin B6 di buah
cabai dari 32 aksesi. Informasi ini dapat dijadikan sumber pengetahuan mengenai
kultivar cabai dengan kandungan vitamin B6 yang tinggi yang dapat digunakan sebagai
sumber genetik untuk perbaikan sifat kultivar melalui program pemuliaan tanaman.

Bahan dan Metode


Bahan
Penelitian ini menggunakan 32 aksesi Capsicum yang berasal dari koleksi benih the
Plant Research International (PRI) dan the Centre for Genetic Resources, the
Netherlands (CGN). Dari keseluruhan aksesi, 17 aksesi adalah C. annuum, 9 aksesi
adalah C. chinense, 4 aksesi dari C. baccatum dan 2 aksesi berasal dari C. frutescens.

32
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Ke 32 aksesi di pilih berdasarkan morfologi buah dan asal benih aksesi (Tabel 1 dan
Gambar 1).
Tanaman cabai dipelihara pada media rock wool di rumah kaca dengan kondisi
lingkungan dan irigasi yang terkontrol. Penanaman di mulai sejak dari bulan Desember
2007 sampai bulan Juni 2008 di Wageningen, Belanda. Tanaman dirancang secara acak
pada 2 blok. Masing-masing blok terdiri dari 32 aksesi cabai yang disusun dalam 1 plot
per 4 tanaman. Sekitar 10 sampai 50 buah (tergantung ukuran buah) cabai yang berasal
dari 2 tanaman per plot dari setiap aksesi dipanen pada bulan Juni 2008. Bagian
perikarp buah dipisahkan dari plasenta dan bijinya, dibekukan langsung pada N2 cair,
digerus dan disimpan pada suhu -80C sampai akan dianalisis.

Metode
Ekstraksi vitamin B6 dilakukan dengan mencampurkan 500 mg perikarp buah beku
yang telah digerus dengan 2 ml larutan pengekstrak dingin (5% asam meta-fosforik dan
1 mM diethylenetriaminepentaacetic acid; DTPA). Ekstrak tersebut kemudian
divorteks, diinkubasi pada es selama 5 menit dan disonikasi selama 15 menit.
Kemudian ekstrak dipresipitasi dengan mensentrifusnya pada kecepatan 2500 rpm
selama 10 menit dan disaring dengan filter polytetrafluoroethylene (PTFE) 0.2 m.
Analisis dilakukan dengan sistem HPLC-PDA (Waters) menggunakan kolum YMC-
Pro C18 (YMC Europe GmbH; 150 x 3.9 mm) dan dikondisikan pada suhu 30C.
Pyridoxine dipisahkan menggunakan gradient flow 50% asetonitril:50% buffer fosfat
50mM dengan kecepatan 1 ml/min. Pyridoxine terdeteksi setelah 9 menit pada gradient
flow. Kolum kemudian dibilas dengan 100% asetonitril setelah 17 menit. Kuantifikasi
pyridoxine dilakukan dengan membandingkan luas area puncak pada panjang
gelombang 290 nm dengan kurva kalibrasi senyawa referens pyridoxine (Merck;
Darmstad, Germany).

Gambar 1. Variasi morfologi buah dari beberapa aksesi Capsicum

33
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hasil dan Pembahasan


Analisis kandungan pyridoxine (vitamin B6) pada perikarp buah 32 aksesi cabai
menunjukkan adanya variasi konsentrasi vitamin B6 (Tabel 1). Konsentrasi pyridoxine
berkisar dari level yang sangat rendah (tidak terdeteksi sistem detektor) hingga
mencapai level tertinggi 0.013 mg/100 g berat basah buah pada Capsicum chinense RU
72-241. Level vitamin B6 yang sangat rendah dideteksi pada 14 aksesi (Tabel 1).
Variasi konsentrasi vitamin ini tidak terkait dengan variasi morfologi buah ataupun asal
negara aksesi cabai. Pada aksesi cabai komersial dengan tipe buah keriting, seperti pada
C. annuum Jatilaba, Laris HS dan I2Tit Super, dan tipe buah paprika, seperti pada C.
annuum Yolo Wonder, Keystone Resistant Giant, Bruinsma Wonder dan California
Wonder, rata-rata kandungan vitamin B6 yang terdeteksi adalah sekitar 0.004 mg/100 g
berat basah buah. Keseragaman pada kandungan vitamin B6 ini mungkin disebabkan
karena aksesi komersial tersebut adalah aksesi yang merupakan hasil domestikasi, di
mana sifat-sifat tertentu yang diinginkan akan dipertahankan dan sifat-sifat yang tidak
diingikan terseleksi dan hilang selama proses pemuliaan tanaman. Dan hilangnya
beberapa sifat pada suatu kultivar mengurangi variasi yang ada pada plasma nutfah
cabai, termasuk variasi genetik yang mengatur proses biosintesis metabolit sekunder
seperti pyridoxine (Djian-Caporilano et al. 2007).
Jumlah asupan vitamin B6 yang direkomendasikan (RDI = recommended daily
intake) untuk orang dewasa adalah 1,3 mg/hari (Food and Nutrition Board, IOM, 2012).
Kandungan pyridoxine pada cabai komersial ataupun pada C. chinense RU 72-241
tidak mencukupi nilai RDI yang disarankan, namun nilai tersebut dapat tercukupi dari
jenis buah dan sayuran lain yang dikonsumsi bersama dengan cabai setiap hari. Secara
umum, kandungan vitamin B6 pada sayuran memang sangat kecil, seperti pada selada
hijau dan bayam yang memiliki konsentrasi yang hampir sama dengan konsentrasi yang
terdeteksi pada cabai, yaitu mencapai 0.008 0.0016 mg/100 g berat basah buah
(Santos et al. 2012). Hal ini menunjukkan bahwa cabai sangat potensial sebagai sumber
vitamin B6.
Pada program pemuliaan tanaman, informasi mengenai aksesi cabai yang memiliki
nutrisi tinggi, seperti vitamin B6, sangat berguna untuk perbaikan sifat dari kultivar
cabai komersial yang telah ada. Perbaikan sifat dilakukan dengan persilangan antara
kultivar komersial dengan kultivar kaya nutrisi, sehingga menghasilkan kultivar baru
dengan kandungan nutrisi yang lebih baik.

34
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 1. Konsentrasi vitamin B6 pada 32 aksesi cabai


Warna Konsentrasi
Standard
No. Spesies Nama aksesi Negara asal buah (mg/100 g berat
deviasi
matang basah buah)
1 C. annuum I2 Tit super Indonesia merah 0.0040 0.0007
2 C. chinense I1 PI 281428 Surinam merah 0 0
I1 PI 315023 (Mishme
3 C. chinense Peru coklat 0 0
Black)
4 C. annuum Laris HS Indonesia merah 0.0031 0.0005
5 C. annuum Jatilaba Indonesia merah 0.0038 0.0001
6 C. annuum Bruinsma Wonder Netherlands merah 0.0032 0.0001
7 C. annuum PBC 473 - none - cayenne SriLanka merah 0.0049 0.0004
PBC 535 - IR - 12x1cm -
8 C. annuum SriLanka merah 0.0035 0.0010
cayenne
9 C. annuum Bisbas Yemen kuning 0.0100 0.0002
10 C. annuum California Wonder 300 USA merah 0.0018 0.0004
11 C. annuum Keystone Resistant Giant USA merah tua 0.0017 0.0002
12 C. annuum Long Sweet Zambia merah 0.0036 0.0003
13 C. annuum Sweet Banana USA merah 0.0018 0.0000
14 C. annuum Yolo Wonder L USA merah 0.0037 0.0017
C. baccatum
15 No. 1553 Bolivia merah 0.0035 0.0001
var. baccatum
Miscucho colorado; PI
16 C. chinense Peru merah 0 0
152225; 1SCA no.6
17 C. chinense No.4661; PI 159236 USA coklat 0 0
No.4661 Selection; PI
18 C. chinense Netherlands coklat 0 0
159236 Selection
19 C. annuum AC 1979 Jamaica merah 0.0058 0.0018
20 C. annuum CM 331; Criollos de Morelos Mexico merah 0.0057 0.0003
21 C. annuum Sweet Chocolate USA coklat 0.0016 0.0009
Chili Serrano; PI 281367;
22 C. annuum Mexico merah 0 0
No. 999
Chili de Arbol; PI 281370;
23 C. annuum Mexico merah 0 0
No. 1184
24 C. chinense AC 2212 n.d. coklat tua 0.0052 0.0031
25 C. chinense No.1720; PI 281426; 1GAA Surinam merah 0 0
26 C. chinense RU 72-194 Brazil salmon 0 0
27 C. chinense RU 72-241 Brazil oranye 0.0134 0.0002
28 C. frutescens Lombok Indonesia merah 0 0
29 C. frutescens Tabasco USA merah 0 0
C. baccatum Aji Blanco Christal; CAP
30 Chile merah 0 0
var. pendulum 333
C. baccatum
31 n.d. merah 0 0
var. pendulum
C. baccatum
32 RU 72-51 Brazil merah 0 0
var. pendulum
n.d. : no data

Kesimpulan
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa kandungan pyridoxine (vitamin B6) pada
buah cabai bervariasi di antara 32 aksesi yang diuji. Konsentrasi vitamin B6 tertinggi
adalah 0.013 mg/100 g berat basah buah pada aksesi C. chinense RU 72-241. Untuk
selanjutnya, informasi yang diperoleh dari penelitian ini sangat berguna untuk program
perakitan kultivar baru dengan target meningkatkan kandungan nutrisi pada buah cabai.

35
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Ucapan terima kasih


Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada the Priority Programme of the
IndonesiaNetherlands Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen (SPIN
KNAW) INDOSOL (05-PP-21) yang telah membiayai penelitian ini. Kami juga
mengucapkan terim kasih kepada the Centre for Genetic Resources, the Netherlands
(CGN) yang telah menyediakan benih untuk penelitian ini.

Daftar Pustaka
Barboza, G.E, Bianchetti, L.D.B & Lammers, T.G. 2005. Three new species of
Capsicum (Solanaceae) and a key to the wild species from Brazil. Syst. Bot.
30 (4):863-871.
Basu, S.K. & De, A.K. 2003. Capsicum: historical and botanical perspectives. In:
De, A.K. (ed) Capsicum: The genus Capsicum, vol 33. Medicinal and
aromatic plants - industrial profiles. Taylor & Francis, Ltd., London, pp 1-15.
FAO. 2012. http://faostat.fao.org/site/567/DesktopDefault.aspx?PageID=567#ancor.
Diakses 22 December 2011.
Conforti, F., Statti, G.A. & Menichini, F. 2007. Chemical and biological variability
of hot pepper fruits (Capsicum annuum var. acuminatum L.) in relation to
maturity stage. Food Chem. 102 (4): 1096-1104.
Daood, H.G., Vinkler, M., Markus, F., Hebshi, E.A. & Biacs, P.A. 1996.
Antioxidant vitamin content of spice red pepper (paprika) as affected by
technological and varietal factors. Food Chem. 55 (4): 365-372.
Djian-Caporilano, C., Lefebvre, V., Sage-Daubeze, A.M. & Palloix, A. 2007.
Capsicum. In: Singh RJ (ed) Genetic Resources, Chromosome Engineering,
and Crop Improvement: Vegetable Crops, vol 3. CRC Press, Boca Raton, pp
185-243.
Fitzpatrick, T.B., Amrhein, N., Kappes, B., Macheroux, P., Tews, I. & Raschle, T.
2007. Two independent routes of de novo vitamin B6 biosynthesis: Not that
different after all. Biochem. J. 407: 113.
Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, National Academies. Dietary
Reference Intakes (DRIs): Recommended Dietary Allowances and Adequate
Intakes, Vitamins.
http://iom.edu/Activities/Nutrition/SummaryDRIs/~/media/Files/Activity%20
Files/Nutrition/DRIs/RDA%20and%20AIs_Vitamin%20and%20Elements.pd
f (diakses 1 Oktober 2012).
Hornero-Mendez, D., Costa-Garcia, J. & Minguez-Mosquera, M.I. 2002.
Characterization of carotenoid high-producing capsicum annuum cultivars
selected for paprika production. J. Agric. Food Chem. 50 (20): 5711-5716.
Howard, L.R. & Wildman, R.E.C. 2007. Antioxidant vitamin and phytochemical
content of fresh and processed pepper fruit (Capsicum annuum). In: Wildman
REC (ed) Handbook of Nutraceuticals and Functional Foods. 2nd edn. CRC
Press, Boca Raton, pp 165-191.

36
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Lee, J.J., Crosby, K.M., Pike, L.M., Yoo, K.S. & Leskovar, D.I. 2005. Impact of
genetic and environmental variation on development of flavonoids and
carotenoids in pepper (Capsicum spp.). Sci. Hortic. 106 (3): 341-352.
Osuna-Garcia, J.A., Wall, M.M. & Waddell, C.A. 1998. Endogenous levels of
tocopherols and ascorbic acid during fruit ripening of New Mexican type
chile (Capsicum annuum L.) cultivars. J. Agric. Food Chem. 46 (12): 5093-
5096.
Padayatty, S.J., Katz, A., Wang, Y., Eck, P., Kwon, O., Lee, J.-H., Chen, S., Corpe,
C., Dutta, A., Dutta, S.K. & Levine, M. 2003. Vitamin C as an antioxidant:
Evaluation of its role in disease prevention. J. Am. Coll. Nutr. 22 (1):18-35.
Santos, J., Mendiola, J.A., Oliveira, M.B.P.P., Ibez, E. & Herrero, M. 2012.
Sequential determination of fat- and water-soluble vitamins in green leafy
vegetables during storage. J. Chromatogr. A. 1261 :179-188.
doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.chroma.2012. 04.067
Topuz, A. & Ozdemir, F. 2007. Assessment of carotenoids, capsaicinoids and
ascorbic acid composition of some selected pepper cultivars (Capsicum
annuum L.) grown in Turkey. J. Food Compos. Anal. 20 (7): 596-602.
van Poppel, G. & den Berg, H. 1997. Vitamins and cancer. Cancer Letters. 114(1-
2): 195-202.
Wahyuni, Y., Ballester, A.R., Sudarmonowati, E., Bino, R.J. & Bovy, A.G. 2011.
Metabolite biodiversity in pepper (Capsicum) fruits of thirty-two diverse
accessions: Variation in health-related compounds and implications for
breeding. Phytochemistry 72 (11-12):1358-1370.
Wahyuni, Y., Ballester, A.R., Sudarmonowati, E., Bino, R.J. & Bovy, A.G. 2013.
Secondary metabolites of Capsicum species and their importance in the
human diet. J. Nat. Prod. 76 (4):783-793.

37
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Peluang Pengembangan Pangan Sagu


Sebagai Makanan Sehat
Bambang Hariyanto*1, Indah Kurniasari2, Widya Puspantari3,
dan Agus Tri Putranto4

Peneliti dan Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi


Gedung BPPT II, Lantai 17 Jakarta Pusat
*Email : bambanghar54@yahoo.com

ABSTRAK
Saat ini Indonesia menempati urutan ke 4 dunia dari jumlah pengidap penyakit diabetes.
Selama ini makanan dari sagu yang secara tradisionil disebut papeda sudah terbiasa
dikonsumsi oleh masyarakat Papua, Maluku dan daerah penghasil sagu lainnya. Data
empiris menunjukkan hubungan masyarakat yang mengkonsumsi sagu dengan penyakit
diabetes belum diperoleh namun secara empiris masyarakat Papua dan Maluku jarang yang
mengidap diabetes. Tujuan penulisan makalah ini adalah melihat peluang pangan berbasis
sagu yang dibuat makaroni yang memiliki IG rendah untuk para penderita diabetes. Metoda
yang digunakan adalah membuat makaroni sagu dengan metoda ekstruder dan diuji IG ke
panelis. Selanjutnya dilakukan analisa SWOT untuk melihat pengembangannya ke depan.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa IG macaroni sagu mencapai 28 dan nilai ini
termasuk golongan IG rendah. Secara umum makanan berbasis sagu memiliki kisaran IG
antara 28-85. Nilai IG dipengaruhi oleh proses pengolahannya. Peluang untuk membuat
makanan sehat berbasis sagu sangat terbuka karena Indonesia memiliki potensi sagu yang
besar. Hambatan yang dihadapi untuk membuat pangan kesehatan berbasis sagu terletak
pada pasokan bahan baku sagu yang kontinyu dan kualitas yang standar.

Kata Kunci : makanan sehat, peluang, pengembangan, pangan sagu

Pengantar
Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi pangan masyarakat berdampak terhadap
peningkatan penyakit degeneratif seperti diabetes, penyakit jantung, dan hipertensi.
Diabetes merupakan satu dari empat penyakit tidak menular tertinggi yang berakibat
pada kematian. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 menunjukkan, diabetes
merupakan penyebab kematian nomor enam dari seluruh kematian pada semua
kelompok umur. Jika tidak ada upaya serius untuk mencegah, menangani, dan
meningkatkan kesadaran masyarakat akan penyakit ini, organisasi kesehatan dunia
(WHO) memperkirakan jumlah penyandang diabetes di Indonesia akan melonjak
drastis. Bila di tahun 2000 jumlah penyandangnya sekitar 8,4 juta, diprediksi akan
mencapai 21,3 juta jiwa pada tahun 2030. Kondisi ini membuat Indonesia menduduki
peringkat keempat setelah Amerika Serikat, Cina, dan India di antara negara-negara
yang memiliki penyandang diabetes terbanyak, dengan populasi penduduk terbesar di
dunia (Aditama TY, 2012).
Jumlah penduduk Indonesia golongan menengah terus berkembang sejalan dengan
pendapatan penduduk Indonesia yang meningkat. Seperti yang dilaporkan oleh

39
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kordinator Menteri Perekonomian pendapatan penduduk Indonesia mencapai US $


4000. Kondisi ini akan memicu tentang pola hidup serta pola makannya. Berbagai data
menunjukkan bahwa semakin maju perekonomian suatu bangsa maka akan
mempengaruhi pola hidup serta mempengaruhi pola makannya. Kondisi ini juga akan
berlanjut dengan semakin banyaknya penyakit yang di derita oleh masyarakat terutama
di perkotaan yang cenderung dengan kehidupan yang serba cepat dan instan. Termasuk
di dalamnya juga penyakit yang berkembang. Dewasa ini penyakit yang berkembang
meliputi penyakit jantung, darah tinggi dan penyakit gula.
Berkembangnya pola makan cepat ditemui dengan semakin banyaknya restoran fas
food atau restoran cepat saji mulai dari Mc Donald, Kentuky dan sebagainya di kota-
kota besar.
Upaya terpenting dalam mencegah timbulnya komplikasi jangka panjang dari
diabetes adalah dengan mempertahankan level glukosa dalam darah mendekati normal.
Fokus utama dalam manajemen nutrisi untuk penderita diabetes ini adalah dengan
mengontrol asupan makanan agar seimbang dengan level insulin dalam tubuh. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pemanfaatan konsep indeks glikemik
(IG), yang diperkenalkan oleh David Jenkins di tahun 1980-an. Penggunaan konsep ini
dalam mengontrol asupan makanan bagi penderita diabetes telah dianjurkan oleh WHO
dan asosiasi diabetes di Eropa, Australia, Afrika Selatan, dan Kanada (FAO, 1998 dan
Nantel, 2003). Informasi IG pangan dapat membantu penderita diabetes dalam memilih
makanan yang tidak menaikkan kadar gula darah secara drastis, sehingga kadar gula
darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman.
Penggunaan IG makanan ini sangat luas dan tidak hanya ditujukan bagi para
penderita diabetes saja. Pengenalan karbohidrat berdasarkan efeknya terhadap kadar
glukosa darah dan respons insulin dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan
jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan
menjaga kesehatan. Informasi IG bermanfaat bagi semua individu. Pangan dengan IG
rendah akan dicerna dan diubah menjadi glukosa secara bertahap dan perlahan-lahan,
sehingga puncak kadar gula darah juga akan rendah dan fluktuasi peningkatan kadar
gulanya relatif pendek. Hal ini sangat penting bagi para penderita diabetes dalam
mengendalikan kadar gula darah. Sebaliknya, olahragawan yang hendak bertanding
memerlukan pangan dengan IG tinggi agar pangan yang dikonsumsi segera dikonversi
menjadi energi. Individu normal yang masih memerlukan tumbuh-kembang (misal
anak-anak) sebaiknya mengonsumsi pangan IG sedang-tinggi. Pangan dengan IG
rendah akan membantu mengendalikan rasa lapar, selera makan, dan kadar gula darah.
Jadi, pangan dengan IG rendah dapat membantu mengurangi kelebihan berat badan.
Pada tahun 1995, telah disusun daftar IG berbagai jenis makanan yang dikumpulkan
dari berbagai hasil penelitian di dunia. Daftar ini kemudian direvisi di tahun 2002
sehingga memuat data IG dari 750 jenis makanan dan dipublikasikan oleh Foster-
Powell K, et al. (2002). Daftar IG ini telah digunakan sebagai referensi di berbagai
tulisan ilmiah. Di Indonesia sendiri, daftar IG internasional ini belum banyak
dimanfaatkan karena makanan yang banyak tersedia di Indonesia belum tercakup di
dalam daftar tersebut. Penelitian mengenai IG pangan lokal khususnya makanan sumber
karbohidrat di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan di antaranya menguji IG untuk satu jenis bahan pangan dengan berbagai
40
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

varietas, seperti pengujian nilai IG beras dari berbagai varietas padi yang dilakukan oleh
Indrasari, et al. (2008) dan Argasasmita (2008), atau penelitian mengenai pengaruh
proses pengolahan terhadap IG makanan, seperti penelitian Riany YE (2006) yang
menguji nilai IG berbagai produk olahan sagu, dan Amalia SN (2011) yang menguji
pengaruh pengolahan jagung manis terhadap nilai IG.
Tujuan penulisan makalah ini adalah melihat peluang pembuatan pangan sehat
berbasis sagu yang memiliki IG rendah yang diperuntukkan untuk penderita diabetes.

Bahan dan metoda


Bahan
Bahan yang digunakanan dalam penelitian ini adalah pati sagu yang dibuat
macaroni. Pati sagu berasal dari pengrajin sagu di Bogor. Selanjutnya makaroni sagu
tersebut dicobakan ke panelis dengan mengacu prosedur pengujian indeks glikemik.
Pembuatan macaroni mengacu pada metoda ekstruder yaitu bahan dilakukan
pregelatinasi terlebih dahulu dan selanjutnya di proses dengan peralatan ekstruder.
Makaroni yang sudah terbentuk selanjutnya diujikan ke panelis.

Metoda
Penjaringan calon panelis dilakukan dengan cara sosialisasi verbal (pengumuman)
meminta kesediaan calon menjadi subjek dalam penelitian. Panelis dimintai
kesediaannya menjadi objek penelitian dan dilengkapi dengan surat pernyataan
kesediaan dan inform consent.
Setelah penelis untuk obyek penelitian yang memenuhi kriteria terkumpul sebanyak
10 orang, selanjutnya diberikan glukosa murni sebagai referensi dan produk olahan
sebagai makanan uji. Prosedur penentuan IG pangan adalah sebagai berikut (Miller,et
al., 1997):
a. Sebanyak 50 g bahan referensi (glukosa murni) diberikan kepada panelis yang
telah menjalani puasa penuh (kecuali air) selama satu malam (sekitar pukul 20.00
sampai pukul 08.00 pagi keesokan harinya).
b. Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel darah. Sampel darah yang diambil
sebanyak 20 mL (finger prick capillary blood sampel method) pada menit ke-0,
15, 30, 45, 60, ke-90, dan ke-120 setelah pemberian pangan uji. Kadar glukosa
darah diukur menggunakan glukometer. Caranya dengan menempelkan sampel
darah yang telah diambil pada alat tersebut, kemudian alat tersebut dengan cepat
akan mengukur dan memberikan hasilnya.
c. Pada waktu yang berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan
makanan uji yang akan ditentukan IG-nya (yang mengandung 50 gram available
carbohydrate) kepada panelis.
d. Nilai kadar glukosa darah yang diperoleh kemudian diplotkan menjadi sebuah
grafik dengan sumbu x adalah waktu pengukuran dan sumbu y adalah kadar
glukosa darah. Nilai IG kemudian dihitung dengan membandingkan luas daerah
dibawah kurva antara pangan sampel (makaroni) dan pangan acuan. Nilai IG
akhir adalah nilai rata-rata dari 10 orang relawan tersebut.

41
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 1. Kurva respons glukosa darah pada pengukuran indeks glikemik makanan: (a)
bahan referensi (glukosa); (b) bahan makanan uji

Rumus/perhitungan:
IG =
luas area di bawah kurva respons glukosa darah setelah mendapat makanan uji x 100
luas area di bawah kurva respons glukosa darah setelah mendapat glukosa murni

Untuk melihat peluang pengembangannya pangan makaroni sagu tersebut dilakukan


dengan metoda SWOT untuk melihat kekuatan, kelemahan, ancaman dan tantangan
.Dari hasil analisa SWOT tersebut dilakukan analisis lebih lanjut Pertimbangan
makanan dibuat makaroni adalah bahwa saat ini dan saat-saat mendatang makanan
bentuk makaroni sangat populer di Indonesia.

Hasil dan Pembahasan


Ditinjau dari aspek pasar makanan makaroni sagu sebagai makanan sehat sangat
besar karena banyak penderita dabetes yang menginginkan kadar gula darahnya ralatif
stabil. Ditinjau dari aspek bahan baku Indonesia memiliki poteni sagu yang terluas di
dunia dan sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Dilihat dari aspek
teknologi pengembangan pangan makaroni sagu sebagai pangan sehat dapat di mulai
dari skala kecil sampai skala besar. Prinsip pembuatan makaroni lebh kearah perlakukan
pragelatinasi tehadap patisa guse belum diproses dengan ekstruder. Dalam perhitungan
indeks glikemik pangan dibagi alam 3 golongan. Golongan indeks glikemik tinggi
adalah pangan dengan nilai indeks glikemik diatas 70, sedangkan untuk pangan indeks
gligemik sedang dengan nlai 56-69 dan indeks glikemik rendah dibawah 55. Untuk
melihat gambaran nilai indeks glikemik pangan sagu olahan dan dibandingkan dengan
IG pangan lain ditunjukkan pada Tabel 1.

42
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 1. Daftar jenis pangan sagu olahan dan pangan lainnya


No Jenis Makanan Nama Makanan Indeks Kriteria
Glikemik
1 Sagu Olahan Sagu serut1) 85 Tinggi
Bagea1) 71 Tinggi
Sinoli1) 70 Tinggi
Papeda1) 63 Sedang
Bubur sagu1) 53 Rendah
Sagu lempeng1) 48 Rendah
Mie sagu2) 28 Rendah
Makaroni sagu3) 28 Rendah
2 Sereal Nasi Merah4) 50 Rendah
Nasi Putih4) 89 Tinggi
Oatmeal instant4) 83 Tinggi
Jagung rebus4) 60 Tinggi
Cornflakes4) 93 Tinggi
3 Pasta Makaroni4) 47 Rendah
Spageti4) 58 Sedang
Mie instan2) 47 Sedang
4 Umbi Talas4) 54 Rendah
Ubi4) 70 Sedang
Wortel4) 35 Rendah
5 Bakery Roti putih4) 71 Tinggi
Roti Hamberger4) 61 Sedang
Cake pisang4) 55 Sedang
6 Kacang-kacangan Kacang Tanah4) 7 Rendah
Kedelai4) 15 Rendah
Kacang Merah4) 29 Rendah
Kacang Hitam4) 30 Rendah
7 Buah-buahan Pisang4) 62 Sedang
Anggur4) 59 Sedang
Apel4) 39 Rendah
Peach4) 42 Rendah
Pear4) 38 Rendah
Keterangan :
Riany, Y.E. 2006
Rimbawan dan Siagian A. 2004
Hariyanto dkk, 2013
Internet (http://www.glicemicindex.com)

Berdasarkan Tabel diatas tampak bahwa bentuk pangan sagu olahan memiliki nilai
IG yang bervariasi dari rendah, sedang dan tinggi. Dalam perhitungan indeks glikemik
pangan dipengaruh oleh sifat bahan asal dan proses pengolahan yang dilakukan.
Sebagai gambaran IG papeda sebesar 63, sedangkan macaroni sagu IG sebesar 28.
Perbedaan nilai IG ini salah satunya dipengaruhi proses pengolahan yang berbeda. Bila
bentuk pangan olahan sagu tersebut dipetakan dalam peta indek glikemik maka petanya
ditunjukkan pada Gambar 2.

43
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 2. Peta bentuk pangan olahan sagu dan nilai indeks glikemik

Bila dilihat dari sisi internal yang meliputi kekuatan dan kelemahan maka diperoleh
bahwa
a. Potensi sagu tersedia melimpah di Indonsia terutama di Papua dan Maluku
b. Teknologi proses sudah dikuasai
c. Pasar terbuka lebar dengan meningkatnya golongn menengah keatas
d. Semakin sadarnya masyaraat tentang pangan sehat
e. Merupakan prodok lokal Indonesia
f. Tidak menimbulkan penyakit autis bagi yang mengkonsumsinya
g. Jumlah penderita diabet yang terus meningkat

Bila ditinjau dari aspek eksternal yang meliputi peluang dan ancaman adalah :
a. Jaringan pasar yang belum terbentuk
b. Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah
c. Pasokan bahan antara dalam hal ini pati sagu belum terjamin lancar
d. Terdapat kesan bahwa bahan baku lokal selalu inferior
e. Belum tersedia produk pangan sehat berbahan sagu yang dikenal di pasaran
f. Kini masyarakat sudah terbiasa mengkonsumsi bahan pangan berbasis terigu
g. Bahan terigu merupakan bahan yang diimpor

Berdasarkan analisa kondisi internal dan eksternal maka dapat diambil strategi
pengembangan sebaga berikut :
a. Mengenalkan pangan sagu dalam bentuk yang lebih dapat diterima masyarakat
misalnya mie atau makaroni
b. Melakukan edukasi ke masyarakat tentang pangan sehat
c. Melakukan sosialisasi bahwa pangan berbasis sagu dapat menyehatkan

44
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

d. Menyediakan bahan baku sagu di pasaran untuk diproses lebih lanjut


e. Memberikan insentif bagi industry yang menggunakan sagu
f. Membuat contoh produk pangan sehat dari sagu dan dikenalkan ke masyarakat
g. Menggandeng industry pangan untuk membuat pangan sehat berbasis sagu dan
dikenalkan ke masyarakat

Namun dari semua itu konsistensi dan kuatnya komitmen dari pemerintah untuk
mengimplementasikan diversifikasi pangan dalam penggunaan bahan pangan lokal
menjadi keharusan dan perlu pengawalan. Selama ini terdapat kesan bahwa penggunaan
pangan lokal yang memang secara agroklimat maupun secara sosial sudah sesuai
dengan masyarakat Indonesia kurang dikembangkan. Oleh sebab itu perencanaan
pangan lokal yang baik dan implementasi di lapangan secara serius dan dikawal maka
pengembangan pangan lokal akan terwujud. Upaya-upaya penggalakan pangan lokal
terus diupayakan agar ketergantungan terhadap pangan impor dapat dikurangi. Bila
ketersediaan pangan lokal di pasaran dapat diwujudkan dan produk yang ditawarkan
sesuai dengan selera serta adanya manfaat kesehatan terlihat maka pangan lokal seperti
sagu tersebut akan dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian penggunaan bahan
baku impor terigu sedikit demi sedikit dapat dikurangi.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa:
a. Makanan berbasis sagu memiliki kisaran IG antara 28-69
b. IG dipengaruhi oleh proses pengolahannya
c. Peluang untuk membuat makanan sehat berbasis sagu sangat terbuka karena
Indonesia memiliki potensi sagu yang besar
d. Makanan berbentuk makaroni atau mie dari sagu memiliki IG rendah
e. Hambatan yang dihadapi untuk membuat pangan kesehatan berbasis sagu
terletak pada pasokan bahan baku sagu yang kontinyu dan kualitas yang standar.
f. Untuk menggalakan bentuk pangan sagu sebagai pangan sehat maka perlu
adanya konsistensi kebijakan dan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah.

Saran
Sebagai saran maka perlu dikembangkan makanan sehat berbasis sagu dan dilengkapi
dengan serat misalnya ditambah bekatul dan dibuat dalam bentuk yang instan. Untuk
mendorong keunggulan pangan lokal maka informasi potensi sagu dan indek glikemik
menjadi sangat penting

45
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar Pustaka
Aditama TY. 2012. Diabetes Jadi Ancaman Serius di Indonesia.
http://health.kompas.com/read/2012/09/19/14071845/Diabetes.Jadi.Ancaman
.Serius.di.Indonesia. diakses tanggal 9 November 2012.
http://www.glycemicindex.com/ diakses tanggal 10 Juni 2013
Amalia SN, Rimbawan, Dewi M. 2011. Nilai indeks glikemik beberapa jenis
pengolahan jagung manis. J. Gizi dan Pangan 6(1): 36-41.
Argasasmita TU. 2008. Karakterisasi sifat fisikokimia dan indeks glikemik varietas
beras beramilosa rendah dan tinggi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian.
IPB. Bogor.
El, S.N.1999. Determination of Glycemic Index for some breads. J. Food Chem. 67:
67-69.
Food and Agriculture Organization of the United Nations/World Health
Organization. Carbohydrates in human nutrition. Report of a Joint
FAO/WHO expert consultation. FAO Food Nutr Pap. 1998;66:1-140.
Foster-Powell K., Holt S.H.A., Brand-Miller J.C. 2002. International table of index
and glycemic load values. Am J. Clin. Nutr. 76:5-56.
Hariyanto, B, Indah K, Widia P. 2013. Laporan Pengukuran Indeks Glikemik
Makaroni Sagu. Laporan Teknis (tidak dipublikasikan). Pusat Teknologi
Agroindustri. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta
Indrasari S.D., et.al. 2008. Nilai indeks glikemik beras beberapa varietas padi.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 27(3): 127-134.
Jenkins DJA,Wolever TMS, Jenkins AL, et al. The glycaemic response to
carbohydrate foods. Lancet. 1984;2:388-391.
Nantel G. Glycemic carbohydrate: an international perspective. Nutr Rev.
2003;61:S34-S39.
Riany YE. 2006. Pengaruh pengolahan terhadap indeks glikemik pangan berbahan
baku sagu (Metroxylon sp.). Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
Rimbawan dan Siagian.A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Penerbit Swadaya.
Jakarta
Tjokroprawiro, A. 2001. Diabetes mellitus: klasifikasi, diagnosis, dan terapi. Edisi
ketiga. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

46
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pemanfaatan Fraksi Aktif Ekstrak Aseton Kulit Batang


Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) Sebagai Aditif
Alami Anti-Pencoklatan
Zackiyah1*, Florentina M.T Supriyanti2, Gebi Dwiyanti3
dan Karima H. Aini4
1,2,3&4
Universitas Pendidikan Indonesia,
Jl. Dr. Setiabudi No. 229 Bandung 40154
*Email: mzackiyah@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan memanfaatkan fraksi aktif ekstrak aseton kulit batang nangka
(Artocarpus heterophyllus Lamk) sebagai bahan aditif anti-pencoklatan. Reaksi pencoklatan
enzimatis adalah suatu reaksi oksidasi senyawa fenolik menjadi kuinon yang dikatalisis oleh
tirosinase (fenoloksidase) ditandai dengan terbentuknya pigmen coklat seperti halnya terjadi
pada kentang setelah dikupas. Reaksi pencoklatan yang tak diinginkan dapat menurunkan
kualitas pangan sehingga perlu upaya penambahan bahan aditif yang aman. Dari penelitian
sebelumnya telah diketahui bahwa senyawa aktif anti-pencoklatan enzimatis yang terdapat
dalam kulit batang nangka, merupakan senyawa flavonoid yang larut dalam aseton. Untuk
meningkatkan efektifitas anti-pencoklatan tersebut, dilakukan pemurnian terhadap ekstrak
aseton menggunakan kromatografi vakum cair (KVC) dan pengujian aktivitasnya dilakukan
secara enzimatis menggunakan teknik spektrofotometri visible. Hasil pemisahan dengan
KVC diperoleh delapan fraksi gabungan, fraksi kelima memiliki aktivitas inhibisi tertinggi,
yaitu sekitar 98%, fraksi ini diaplikasikan sebagai anti-pencoklatan pada pembuatan tepung
kentang. Aplikasi dilakukan terhadap 100 g kentang dengan variasi konsentrasi inhibitor 25,
50, 100, dan 150 mg/l sedangkan optimasi massa dilakukan terhadap 50, 75, 100, 125, dan
150 g kentang pada konsentrasi inhibitor optimum. Uji tingkat kecerahan tepung kentang
dilakukan dengan kromameter. Hasil analisis menunnjukkan bahwa kondisi optimum
diperoleh pada konsentrasi inhibitor 150 mg/l dan massa 75 g dapat menginhibisi 97% .
Tingkat kecerahan tepung kentang meningkat dari L* 63,53, a* 1,40, dan b* 3,54 menjadi
L* 65,38, a*1,19, dan b*2,42. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa fraksi
aktif ekstrak aseton kulit batang A. heterophyllus Lamk lebih effektif digunakan sebagai
bahan aditif makanan alami anti-pencoklatan pada pembuatan tepung kentang.

Kata Kunci: anti-pencoklatan, Artocarpus heterophyllus Lamk, flavonoid, tepung


kentang.

Pengantar
Tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2012 tentang
pangan, diantaranya adalah bahwa pangan harus cukup tersedia dan aman untuk
dikonsumsi. Dewasa ini banyak sekali penggunaan bahan aditif makanan yang
berbahaya bagi kesehatan seperti halnya pada pembuatan tepung kentang sering

47
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

ditambahkan natriumbisulfit sebagai anti-pencoklatan, sementara natriumbisulfit dapat


menggangu sistem pernafasan terutama bagi penderita asmatis (Vasile. 2010). Reaksi
pencoklatan enzimatis terjadi karena oksidasi senyawa mono dan difenol menjadi
kuinon yang dikatalisis oleh fenoloksidase (tirosinase) yang selanjutnya dapat
berpolimerisasi membentuk pigmen coklat atau reaksi dengan asam amino atau protein
menghasilkan warna coklat. Warna merupakan salah satu penentu mutu pangan
(Purwiyanto. 2011), berdasarkan hal tersebut maka perlu dicari bahan aditif anti
pencoklatan yang aman bagi kesehatan, diantaranya dari bahan alam tanaman A.
heterophyllus Lamk.
Penelitian terkait aktivitas inhibisi tirosinase kulit batang tanaman artocarpus
sebelumnya telah dilakukan (Rustianingsih, 2007), yaitu uji aktivitas inhibisi tirosinase
dari A. heterophyllus (nangka), A. altilis (sukun), dan A. communis (kluwih). Hasil
yang diperoleh menunjukan bahwa A.heterophyllus Lamk memiliki aktivitas inhibisi
tertinggi dibandingkan dengan tanaman artocarpus lainnya. Selanjutnya dilakukan
isolasi inhibitor tirosinase dengan berbagai pelarut dan uji aktivitasnya (Zackiyah, et al,
2011a). Hasil penelitian menunjukan bahwa senyawa aktif anti-pencoklatan merupakan
golongan senyawa flavonoid dan pelarut yang menunjukkan aktivitas inhibisi tertinggi
adalah aseton. Aplikasi anti-pencoklatan ekstrak aseton terhadap tepung kentang telah
dilakukan (Zackiyah, et al. 2011b), hasilnya menunjukan bahwa ekstrak aseton dapat
menginhibisi hampir 100% pada konsentrasi ekstrak 0,07% (700 mg/l). Untuk
meningkatkan efektifitas anti-pencoklatan, maka dilakukan fraksinasi terhadap ekstrak
aseton tersebut.

Bahan dan Metode


Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: serbuk halus kulit batang
Artocarpus heterophyllus Lamk, serbuk Mg (merck), HCl pekat (Merck), aseton
(Merck), etil asetat (Merck), n-heksan (Merck), dimetilsulfoksida, (DMSO, Sigma),
lempeng Kromatografi Lapis Tipis silica gel 60 GF254 (sigma), silica gel 60, 37-70
mesh (Merck), larutan buffer fosfat pH 6,5, L-tirosin (Merck), tirosinase (Sigma),
kentang dieng, dan akuades

Metode
Metode penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu determinasi tanaman A.
heterophyllus, untuk memastikan spesies tanaman tersebut, preparasi sampel,
pemisahan fraksi aktif ekstrak aseton anti-pencoklatan (inhibitor tirosinase), dan
aplikasi anti-pencoklatan pada pembuatan tepung kentang. Pemisahan fraksi aktif
ekstrak aseton terdiri dari, ekstraksi, uji senyawa flavonoid, pemisahan fraksi aktif anti-
pencoklatan dengan metode kromatografi vakum cair, dan uji aktivitas anti-
pencoklatan.
Preparasi sampel, kulit batang tanaman A. heterophyllus dibersihkan dan
dikeringkan kemudian digiling sampai berbentuk serbuk dengan ukuran 60 mesh.
Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi, menggunakan aseton. Ekstrak aseton
dievaporasi sehingga didapatkan ekstrak kental. Uji kualitatif senyawa flavonoid

48
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

dilakukan dengan cara menambahkan satu milliliter aseton dan satu gram serbuk Mg
satu, dan HCl pekat sebanyak 10 ml. Warna kuning sampai jingga yang dihasilkan
menandakan adanya senyawa flavonoid di dalam ekstrak tersebut.
Pemisahan fraksi aktif inhibitor tirosinase dilakukan dengan menggunakan
kromatografi lempeng tipis (KLT) dan kromatografi vakum cair (KVC). KLT
dilakukan untuk menentukan eluen yang cocok yang akan digunakan pada pemisahan
dengan KVC. Eluen yang digunakan untuk KLT yaitu heksan : etil asetat (n-heksan 100
%, 9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5, 4:6, 3:7, 2:8, 1:9 dan etil asetat 100 %). Berdasarkan hasil
KLT dengan menggunakan berbagai pelarut, maka eluen yang digunakan untuk KVC
adalah yang menunjukkan pemisahan yang baik. Sebelum dilakukan KVC sampel
diimpregnasi terlebih dahulu (sampel dengan silika impreg = 1:2). Fraksi-fraksi yang
dihasilkan pada KVC kemudian dilakukan KLT kembali. Fraksi-fraksi yang memiliki
pola yang sama digabungkan dan dilakukan uji anti-pencoklatan.
Pengujian aktivitas anti-pencoklatan dilakukan dengan metode Miyazawa dan
Tamura, (2007), yang telah dimodifikasi. Pada pengujian ini dibuat larutan blanko,
kontrol dan sampel dengan komposisi sebagai berikut: Blanko , 760 l larutan buffer
fosfat 0,1M (pH=6,5), 40 l DMSO, dan 200 l akuades. Kontrol, 660 l larutan buffer
fosfat 0,1M (pH=6,5), 40 l DMSO, 200 l L-Tirosin, dan 100 l larutan tirosinase.
Sampel , 660 l larutan buffer fosfat 0,1M (pH=6,5), 40 l larutan ekstrak sampel, 200
l L-tirosin, dan 100 l larutan tirosinase. Masing-masing larutan blanko, kontrol dan
sampel dimasukkan ke dalam eppendorf microsentrifuge tube, untuk larutan tirosinase
dimasukkan dalam eppendorf microsentrifuge tube yang lain, masing-masing
diinkubasi selama 15 menit pada suhu 37oC. Setelah inkubasi, larutan tirosinase
dimasukkan ke dalam larutan kontrol dan sampel kemudian masing-masing larutan
blanko, kontrol dan sampel diinkubasi selama satu jam pada suhu 37oC. Aktivitas anti-
pencoklatan ditentukan dengan mengukur absorbansi sisa hasil reaksi menggunakan
teknik spektrofotometri Visible pada panjang gelombang 475 nm. Dari absorbansi yang
diperoleh, dapat diketahui persen anti-pencoklatan menggunakan rumus sebagai berikut
: % anti-pencoklatan = [(A-B)/A] x 100 % , dimana A adalah absorbansi larutan tanpa
sampel (larutan buffer fosfat 0.1 M, larutan L-tirosin, DMSO dan larutan tirosinase) dan
B adalah absorbansi dengan penambahan larutan fraksi aktif (larutan fraksi aktif, larutan
buffer fosfat 0.1 M, larutan L-tirosin, DMSO, dan larutan tirosinase).
Aplikasi anti-pencoklatan pada tepung kentang mengikuti metode Lee et al. (2001)
yang dimodifikasi. Sebanyak 100 g kentang dicampurkan dengan 100 ml larutan fraksi
aktif ekstrak aseton dengan variasi konsentrasi (25, 50, 100 dan 150 mg/l) kemudian
diblender sehingga diperoleh campuran bubur kentang. Campuran dipisahkan antara
crude dan filtratnya. Filtrat tersebut dibiarkan mengenap sehingga akan terpisah antara
padatan dan supernatannya. Supernatan diinkubasi selama satu jam pada suhu 37oC lalu
diuji aktivitas anti-pencoklatan dengan cara mengukur nilai absorbansinya
menggunakan dengan teknik spektrometri visible pada panjang gelombang 475 nm.
Uji Tingkat Kecerahan Tepung Kentang dilakukan dengan cara yang sama seperti di
atas dengan variasi massa 50, 75, 100, 125, dan 150 g dicampurkan dengan 100 ml
larutan fraksi aktif ekstrak aseton pada konsentrasi anti-pencoklatan optimum. Endapan
hasil pengenapan dicuci dengan akuades, dikeringkan dan dihaluskan sehingga

49
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

diperoleh tepung kentang. Tepung kentang tersebut diuji tingkat kecerahannya


menggunakan kromameter.

Hasil dan Pembahasan


Hasil
Preparasi sampel
Hasil determinasi tanaman adalah sebagai berikut: nama suku / familia : Moraceae,
nama jenis / species :Artocarpus heterophyllus Lamk, sinonim :Artocarpus philippensis
Lamk., Artocarpus brasiliensis Gomez, Artocarpus maxima Blanco, nama umum :
Jackfruit (Inggris), nangka (Indonesia). Pada tahap ini dari tujuh kilogram kulit batang
A. heterophyllus basah setelah dikeringkan dan digiling diperoleh serbuk kulit batang
kering sebanyak 2,2 kg.

Ekstraksi Kulit Batang A. heterophyllus Lamk


Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan aseton 2 kali 24 jam,
Aseton bersifat polar sehingga mampu melarutkan senyawa organik yang polar
terutama flavonoid yang berperan sebagai anti-pencoklatan akan terekstrak. Dari satu
kilogram serbuk kulit batang hasil maserasi diperoleh ekstrak aseton kulit batang
sebanyak 4650 mL, selanjutnya pelarut diuapkan menggunakan rotary vaccum
evaporator diperoleh ekstrak sebesar 2,99%.

Identifikasi Flavonoid secara Kualitatif


Tanaman A. heterophyllus mengandung senyawa flavonoid yaitu senyawa
artocarpanone yang berpotensi sebagai bioaktif inhibitor tirosinase, maka pada
penelitian ini dilakukan identifikasi flavonoid secara kualitatif. Hasil identifikasi
flavonoid terjadi perubahan warna dari warna coklat menjadi kuning. Pada dentifikasi
flavonoid akan menunjukan warna merah sampai jingga, jika senyawa tersebut adalah
flavon, menunjukan warna merah tua, jika senyawa tersebut adalah flavonol atau
flavonon, sedangkan warna hijau sampai biru jika senyawa aglikon atau glikosida.
Berdasarkan hasil diatas, dapat disimpulkan bahwa kulit batang tanaman A.
heterophyllus yang diteliti mengandung flavon.

Pemisahan Fraksi Aktif ekstrak aseton


Pemisahan dilakukan untuk mendapatkan senyawa yang lebih murni yang
mempunyai aktivitas inhibisi yang lebih tinggi sehingga anti-pencoklatan akan lebih
efektif. Metode pemisahan dilakukan dengan kromatografi vakum cair (KVC). Pelarut
yang cocok pada KVC dilakukan berdasarkan hasil kinerja kromatografi lempeng tipis
(KLT). Pelarut yang digunakan pada KLT adalah heksan 100 %, heksan : etil asetat =
9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5, 4:6, 3:7, 2:8, 1:9 dan etil asetat 100 %. Pelarut yang digunakan
adalah yang tingkat kepolarannya menaik sehingga senyawa-senyawa yang terdapat
dalam fraksi dapat terpisah berdasarkan tingkat kepolarannya. Penggunaan pelarut
heksan dan etil asetat sebagai eluen diharapkan harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk
memaksimalkan pemisahan. Fasa diam yang digunakan dalam analisis ini yaitu

50
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

lempeng silica gel GF. Penampakan noda bercak hasil elusi dilakukan dengan melihat
dibawah sinar UV 254 nm.
Berdasarkan pola KLT, pemisahan yang baik yaitu pada perbandingan heksan : etil
asetat = 8:2, 7:3, 4:6, 2:8, dan etilasetat 100 %. Pemisahan menggunakan KVC pada
perbandingan heksan : etil asetat = 8:2 dilakukan sebanyak empat kali, 7:3 dilakukan
sebanyak empat kali, 4:6 dilakukan sebanyak tiga kali, 2:8 dilakukan sebanyak dua kali
dan etil asetat 100 % dilakukan sebanyak dua kali, masing-masing digunakan 100 ml
pelarut.
Ekstrak aseton yang digunakan untuk KVC pertama sebanyak 10,152 g dan yang
kedua sebanyak 9,634 g. Sebelum dilakukan pemisahan dengan KVC sampel terlebih
dahulu diimpregnasi menggunakan pelarut aseton dan silika impreg, dengan
perbandingan sampel : silika impreg = 1:2. Hal ini dilakukan agar sampel dapat terelusi
dengan rata dalam kolom. Fasa diam yang digunakan untuk KVC yaitu silica gel
GF254, sebanyak 100 g dalam kolom berdiameter 7 cm. Elusi diawali dengan eluen
yang paling non-polar, pelarut ini akan membawa senyawa-senyawa yang kurang
terikat pada adsorben (yang paling nonpolar). Sepanjang proses elusi, komposisi eluen
dapat divariasi dengan jalan menambahkan secara gradien pelarut yang lebih polar.
Dengan demikian, senyawa-senyawa akan terelusi ke luar kolom berdasarkan tingkat
kepolarannya.
Hasil KVC pertama dan kedua masing-masing diperoleh 15 fraksi. Fraksi hasil KVC
dipisahkan dari pelarutnya dengan cara diuapkan dalam lemari asam. Setiap fraksi
dianalisis dengan KLT menggunakan perbandingan eluen heksan : etil asetat = 3 : 7
untuk menggabungkan fraksi-fraksi yang mempunyai nilai Rf yang sama. Deteksi noda
hasil KLT dilakukan dibawah sinar UV 254 nm. Kromatogram Fraksi hasil KVC
pertama dan kedua digabungkan, kemudian dianalisis dengan KLT kembali
menggunakan perbandingan eluen heksan : etil asetat = 3 : 7. Hal tesebut dilakukan
untuk memastikan mendapat pola kromatogram yang sama antara fraksi hasil KVC
pertama dan kedua. Hasil dari pola kromatogram fraksi KVC yang digabungkan
berdasarkan nilai Rf yang sama, didapatkan 8 fraksi gabungan. Fraksi A (fraksi 1-3)
sebanyak 4,335 g, fraksi B (fraksi 4-6) sebanyak 2,656 g, fraksi C (fraksi 7-8) sebanyak
1,834 g, fraksi D (fraksi 9) sebanyak 0,633 g, fraksi E (fraksi 10) sebanyak 1,854 g,
fraksi F (fraksi 11-12) sebanyak 2,678 g, fraksi G (fraksi 13-14) sebanyak 1,156 g dan
fraksi H (fraksi 15) sebanyak 1,285 g. Kedelapan fraksi tersebut dilakukan KLT
kembali menggunakan perbandingan eluen diklorometan : methanol = 9 :1.
Kromatogram hasil KLT dari delapan fraksi gabungan pada fraksi C, D, E diperkirakan
sudah terjadi pemisahan yang baik. Oleh karena itu fraksi C, D, E selanjutnya dilakukan
uji inhibisi untuk mengetahui fraksi mana yang memiliki persen aktivitas anti-
pencoklatan terbaik.

Uji Aktivitas anti-pencoklatan Fraksi Aktif Ekstrak Aseton


Pengujian aktivitas anti-pencoklatan ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas
inhibisi reaksi tirosin-tirosinase dengan adanya inhibitor anti-pencoklatan, dalam hal ini
inhibitor yang digunakan yaitu fraksi C, D dan E. Untuk mengetahui aktivitas anti-
pencoklatan dilakukan pengukuran dengan teknik spektrofotometri visible pada panjang

51
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

gelombang 475 nm, metode ini berdasarkan pada penyerapan sinar tampak (visible)
terhadap suatu larutan berwarna.
Reaksi antara tirosin dan tirosinase ini menghasilkan senyawa dopakrom yang
berwarna coklat, dimana reaksi ini optimum pada suhu 37oC, yaitu suhu optimum dari
tirosinase. Kuantitas senyawa dopakrom yang dihasilkan dari reaksi ini dapat dilihat
dari intensitas warnanya. Semakin tinggi intensitas warnanya maka semakin besar
senyawa dopakrom yang dihasilkan, begitu pula sebaliknya. Penambahan inhibitor pada
pengujian ini dimaksudkan untuk mengurangi senyawa dopakrom yang terbentuk,
sehingga intensitas warna yang dihasilkan akan semakin rendah. Hasil uji aktivitas anti-
pencoklatan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil uji aktivitas anti-pencoklatan fraksi C, D dan E pada konsentrasi 100 mg/l.
No Sampel Aktivitas
anti-pencoklatan (%)
1 Fraksi C 95,7
2 Fraksi D 87,7
3 Fraksi E 98,4

Dari Tabel 1 tersebut di atas bahwa fraksi E memiliki persen inhibisi tertinggi yaitu
sebesar 98,4%. Hal ini menunjukan bahwa fraksi E mengandung senyawa anti-
pencoklatan yang mempunyai aktivitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan fraksi
lainnya sehingga untuk aplikasi anti-pencoklatan pada pembuatan tepung kentang
digunakan fraksi E.

Uji aktivitas anti-pencoklatan fraksi E pada aplikasi pembuatan tepung kentang


Proses pengujian dilakukan pada berbagai konsentrasi anti-pencoklatan fraksi E,
yaitu 25, 50, 100, dan 150 mg/l dengan massa kentang yang digunakan 100 g. Hal
tersebut dilakukan untuk mengetahui konsentrasi maksimum dari fraksi E yang dapat
menghambat pencoklatan pada pembuatan tepung kentang. Data hasil pengujian
aktivitas anti-pencoklatan untuk variasi konsentrasi fraksi E dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil uji aktivitas anti-pencoklatan variasi konsentrasi fraksi E pada 100 g kentang.
No Fraksi E (mg/l) Aktivitas anti-pencoklatan (%)
1 0 (kontrol) 0
2 25 60,98
3 50 61,22
4 100 71,06
5 150 98,04

Dari data di atas dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi fraksi E, maka
semakin tinggi aktivitas anti-pencoklatannya. Hal ini menunjukan bahwa konsentrasi
fraksi E sebesar 150 mg/l dapat menghambat pencoklatan paling tinggi pada 100 g
tepung kentang, yaitu sebesar 98,40%.

52
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pengaruh massa terhadap aktivitas anti-pencoklatan pada pembuatan tepung kentang


Hasil pengujian aktivitas anti-pencoklatan pada variasi konsentrasi fraksi E
diperoleh bahwa aktivitas tertinggi pada konsentrasi 150 mg/l. Selanjutnya pengujian
dilakukan pada berbagai variasi massa kentang yaitu pada 50, 75, 100, 125, dan 150 g
dengan konsentrasi fraksi E 150 mg/l. Hasil uji aktivitas inhibisi tirosinase pada
berbagai massa kentang ditunjukan pada Gambar 1

Gambar 1. Kurva hubungan aktivitas inhibisi tirosinase (anti-pencoklatan) dengan variasi


massa kentang pada konsentrasi fraksi E 150 mg/l.

Berdasarkan kurva diatas dapat terlihat bahwa kondisi optimum inhibitor tirosinane
terletak pada massa kentang 75 g dengan persen inhibisi sebesar 96,56%. Sedangkan
pada massa kentang 100, 125 dan 150 g, daya inhibisinya semakin menurun. Hal
tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi massa kentang pada konsentrasi inhibitor
yang tetap maka semakin mudah terjadi reaksi antara senyawa fenolik dengan tirosinase
sehingga semakin banyak senyawa kuinon yang terbentuk. Senyawa kuinon yang
berwarna coklat ini yang terukur nilai absorbansinya pada teknik spektrofotometri
visible pada panjang gelombang 475nm. Berdasarkan hasil pengujian tersebut diperoleh
bahwa kondisi optimum inhibitor tirosinase terletak pada massa kentang 75 g dengan
konsentrasi fraksi E 150 mg/l.

Uji Tingkat Kecerahan Tepung Kentang


Tahap akhir penelitian ini yaitu menentukan tingkat kecerahan dari tepung kentang
dengan menggunakan kromameter. Penentuan tingkat kecerahan ini dilakukan untuk
mengetahui kemampuan anti-pencoklatan dalam menginhibisi aktivitas enzim sehingga
produk tepung kentang yang dihasilkan lebih cerah. Data yang diperoleh dari hasil
analisis menggunakan kromameter yaitu berupa nilai L*, a* dan b*. Untuk memperoleh
data tersebut maka dilakukan pembuatan tepung kentang pada konsentrasi fraksi E 150
mg/l dengan variasi massa kentang yang sesuai pada pengujian aktivitas-

53
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

antipencoklatan, yaitu 50, 75, 100, 125, dan 150 g dengan volume 100 ml. Adapun hasil
uji tingkat kecerahan ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai kecerahan tepung kentang pada berbagai variasi massa kentang dengan
konsentrasi fraksi aktif ekstrak aseton (fraksi E) 150 mg/l.
Massa kentang Nilai kecerahan
No. (g) L* a* b*
1 kontrol 63,53 1,40 3,54
2 50 64,69 1,32 2,97
3 75 65,38 1,19 2,42
4 100 65,12 1,23 2,71
5 125 65,09 1,28 2,89
6 150 64,58 1,30 2,93

Tepung kentang yang paling cerah memiliki nilai L* a* dan b* yang optimum,
yaitu nilai L* paling tinggi dan nilai a* dan b* yang paling kecil. Dari Tabel di atas
dapat dilihat bahwa massa kentang berpengaruh terhadap nilai kecerahan tepung
kentang pada fraksi E 150 mg/l. Tepung kentang tanpa penambahan fraksi E, nilai L*
sebesar 63,53 serta nilai a* dan b* masing-masing 1,40 dan 3,54. Ini menunjukkan
bahwa tingkat kecerahan tepung tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tepung
yang ditambah fraksi E. Hal ini disebabkan pada tepung tanpa penambahan fraksi E
terjadi reaksi enzimatis antara tirosinase dengan senyawa fenolik yang ada pada kentang
sehingga menimbulkan pencoklatan. Pada massa kentang 75 g mempunyai nilai
kecerahan paling baik, yaitu L* 65,38, a* 1,19, dan b* 2,42, sedangkan pada massa di
atas 75 g tingkat kecerahan menurun kembali, hal ini disebabkan masih ada senyawa
fenolik sisa reaksi.
Apabila dihubungkan dengan konsentrasi fraksi E yang paling optimum pada
konsentrasi 150 ppm dengan massa kentang paling optimum pada 75 g dalam 100 ml
larutan, maka didapatkan perbandingan konsentrasi fraksi E dengan massa kentang
yang paling optimum yaitu 1 : 5000, dengan persen inhibisi sebesar 97,13%

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Fraksi E merupakan fraksi aktif ekstrak aseton yang mempunyai aktivitas anti-
pencoklatan optimum pada konsentrasi 150 mg/l dan massa kentang 75 g yang
dapat meningkatkan nilai kecerahan tepung kentang dengan perbandingan antara
konsentrasi fraksi E dengan massa kentang 1 : 5000.
2. Fraksi E lebih effektif sebagai bahan aditif anti-pencoklatan dibandingkan dengan
ekstrak air dan ekstrak aseton.

Saran
1. Perlu dilakukan pemurnian lebih lanjut hingga diperoleh senyawa anti-pencoklatan
yang yang murni.
2. Perlu dilakukan optimasi waktu dan suhu inhibisi.

54
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar Pustaka
S.D. Marliana,. Venty, S & Suyono. 2005. Skrining Fotokimia dan Analisis
Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edul
Jacq.Swartz) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi 3(1): 26-31.
M.K. Lee., Y.K. Kim, N.Y. Kim & G.N. Kim. 2002. Prevention of Browning in
Potato With a Heat-treated Onion Extract. Biosc. Biotechnol. Biochem. 66
(4), 856-858.
Miyazawa, M & Tamura, N. 2007. Inhibitory compound of tyrosinase activity from
the sprout of polygonum Hydropiper L. (benitade). Biology Pharmacheutical
bulletin.30(3),595-597.
Purwiyanto, H. 2011. Food quality: The wise choice. Food Review Indonesia. 6(11)
: 18-23.
Rustianingsih. 2007. Studi pemanfaatan senyawa bioaktif dari kulit batang nangka-
nangkaan (Artocarpus sp.) sebagai inhibitor tirosinase. Skripsi Sarjana
FPMIPA UPI. Bandung: tidak diterbitkan.
Vasile, M. 2010. Sulfites and foods, toxicity and hypersensitivity. Proceeding of
international conference BIOATLAS Transilvania. University of Brasov.
Romania.
Zackiyah., Gebi, D & Rika, A. 2011. Isolasi dan uji aktivitas inhibitor tirosinase
fraksi aseton kulit batang Artocarphus heterophyllus Lamk. Sains Dan
Teknologi Kimia. 2 (1), 44-52.
Zackiyah., Florentina Maria, T.S & Deki, T. 2011. Pemanfaatan ekstrak aseton kulit
batang Artocarpus heterophyllus Lamk pada pembuatan tepung kentang.
J.Si.Tek Kim. 2 (1), 17-22.

55
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Potensi Tumbuhan Minor Penghasil Karbohidrat Dan


Protein Untuk Menunjang Program Kedaulatan
Pangan Di Propinsi Banten*)
Ninik Setyowati
Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong 16911
Email. sety_wangi@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian tentang potensi tumbuhan minor penghasil karbohidrat dan protein


untuk menunjang program kedaulatan pangan telah dilakukan di Propinsi Banten.
Penelitian dilakukan pada 2 kabupaten yaitu kabupaten Lebak dan kabupaten
Pandeglang dengan metode survei, data primer dikumpulkan secara pengamatan
langsung di lapangan, dan wawancara dengan masyarakat lokal. Data sekunder
dikumpulkan secara penelusuran pustaka di perpustakaan dan penelusuran internet.
Penelitian ini dilakukan pada 2 tahap yaitu pada tahap pertama dilakukan survei untuk
mencari keberadaan tumbuhan minor yang dicari (ganyong, garut, gude dan kecipir).
Tahap kedua adalah melakukan pendataan tentang lingkungan tempat tumbuhnya,
dicatat tinggi tempat (TT) berapa m di atas permukaan laut, suhu lingkungan (C),
kelembaban relative (%) dan intensitas cahaya (lux) saat penelitian, untuk selanjutnya
ditabulasi. Dari hasil survei awal ditemukan tumbuhan ganyong, garut dan kecipir
terdapat pada 7 desa yang termasuk dalam 5 kecamatan, sedangkan gude tidak
ditemukan selama survey dilakukan. Selanjutnya 7 desa ini ditetapkan sebagai sampling
lokasi penelitian yaitu desa Mekarsari (kecamatan Sajira, kabupaten Lebak), desa
Beunying, Cilaja (kecamatan Majasari), desa Cianjur, Kadohejo (kecamatan Saketi),
desa Koranji (kecamatan Pulosari) dan desa Mandalawangi (kecamatan Mandalawangi)
dari kabupaten Pandeglang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa propinsi Banten
berpotensi sebagai sumber tumbuhan minor penghasil karbohidrat dan protein seperti
ganyong, garut dan kecipir, namun masyarakat belum memanfaatkan secara optimal,
dan belum membudidayakannya. Ganyong dan garut banyak dijumpai tumbuh meliar di
pinggir jalan, tebing dan di tegalan, di bawah pohon pisang, cengkeh, kopi, mlinjo.
Kecipir hanya dijumpai di pekarangan dan hanya sebagian kecil masyarakat yang
memanfaatkannya sebagai sayur. Tanaman ganyong dijumpai tumbuh pada ketinggian
berkisar antara 68-390 m dpl, suhu 26 - 31 C, kelembaban 68 90 %, intensitas cahaya
1990 - 9800 Lux. Garut dijumpai pada ketinggian 68 - 351 m dpl, suhu 28 - 29 C,
kelembaban 72-84 %, intensitas cahaya 1511 - 4070 Lux. Tanaman kecipir dijumpai
pada ketinggian 68 m dpl, suhu 28 C, kelembaban 84 %, intensitas cahaya 4070 Lux.
Melihat tumbuhan minor tersebut dapat tumbuh baik di wilayah Banten, namun
masyarakat belum memanfaatkannya secara optimal, maka diperlukan adanya
sosialisasi yang lebih intensif baik untuk penanaman dalam skala lebih luas juga
pemanfaatannya sebagai bahan pangan alternatif, begitu juga tentang cara-cara
57
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

pengolahannya, sehingga akan dapat menambah penghasilan keluarga, dan dapat


menunjang program kedaulatan pangan.

Kata Kunci: potensi, tumbuhan minor, penghasil karbohidrat dan protein, kedaulatan
pangan, Banten

Pengantar
Indonesia dikenal sebagai negara megadiversitas yang kaya akan flora yang dapat
menghasilkan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, namun krisis pangan
masih terjadi di Negara kita. Pemerintah harus mencukupi kebutuhan pokok pangan
masyarakat dengan cara mengimpor. Hal ini dapat disebabkan karena masyarakat
belum memanfaatkan sumber daya flora secara optimal sebagai sumber pangan,
kebutuhan pokok yang terfokus pada satu komoditi, pertambahan jumlah penduduk
yang semakin meningkat dan terjadinya konversi lahan pertanian secara besar-besaran,
juga hampir punahnya kearifan lokal pangan.
Hampir punahnya kearifan lokal pangan nasional tidak terlepas dari peran
pemerintah Orde Baru. Penyeragaman pangan menjadi program nasional yang
diterapkan diseluruh wilayah nusantara. Hal ini berdampak pada perubahan pola
konsumsi masyarakat Indonesia. Akibatnya, keterbiasaan mengkonsumsi aneka pangan
seperti singkong, jagung, sagu, ubi jalar, dan talas, hilang yang kemudian digantikan
oleh beras sebagai bahan pangan utama. Ketergantungan pangan pada satu jenis
(homogeny) dan membanjirnya pangan impor menjadikan Indonesia tamu di negeri
sendiri. Penguatan pangan berbasis kearifan lokal perlu menjadi program nasional
dengan mengedepankan pada diversifikasi pangan. Konsep diversifikasi pangan bukan
merupakan hal yang baru, namun perlu kembali dibudayakan untuk mengantisipasi
gejolak harga dan ketergantungan pada pangan impor (Handoyo, 2013). Pemerintah
juga telah berupaya mensosialisasikan program diversifikasi pangan (Tabloid Sinar
Tani, 2012). Pengembangan tumbuhan lokal yang belum tergali dari masing-masing
daerah sangat perlu diangkat untuk ditingkatkan produktivitasnya dan variasi
pemanfaatannya adalah salah satu cara keberhasilan program diversifikasi pangan.
Propinsi Banten yang merupakan salah satu daerah penyangga ibukota diharapkan
dapat menjadi mitra yang serasi dengan ibukota Jakarta, termasuk dalam meningkatkan
pembangunan agribisnis. Banyak potensi agribisnis Banten yang perlu dikembangkan,
termasuk pengembangan potensi tumbuhan minor yang terdapat di wilayah Banten,
sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber pangan lokal. Pada
penelitian ini dicoba untuk menggali beberapa tumbuhan minor yang berpotensi sebagai
penghasil karbohidrat dan protein seperti garut, ganyong, kecipir dan gude. Dari hasil
penelitian ini diharapkan masyarakat dapat mengembangkan tumbuhan minor tersebut
untuk penanaman dalam skala lebih luas juga pemanfaatannya sebagai bahan pangan
alternatif, yang merupakan bentuk nyata penerapan diversifikasi pangan sehingga akan
dapat menambah penghasilan keluarga, dan dapat menunjang program kedaulatan
pangan.
Beberapa tumbuhan seperti Garut, Ganyong, Gembili, Talas dan Kacang Koro
Pedang, telah mendapat prioritas dari DIT. BUKABI 2010 melalui Program

58
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Peningkatan Ketahanan Pangan untuk Peningkatan Produksi, Provitas dan Mutu Produk
Pertanian sebagai pangan alternatif lokal (Anonim, 2010).
Ganyong (Canna edulis), garut (Maranta arundinacea), kacang gude (Cajanus cajan)
dan kecipir (Psophocarpus tetragonolobus) bukan merupakan tumbuhan asli Indonesia
tetapi telah tersebar luas di Indonesia (Ong & Siemonsma, 1996; Villamayor & Jukema,
1996; Lingga, dkk, 1991; Djarwaningsih, 1993; Sunarti, 1993 dan Wawo & Wirdateti,
1993). Keempat jenis tumbuhan ini berpotensi sebagai sumber pangan penghasil
karbohidrat dan protein namun belum dibudidayakan secara maksimal untuk
menghasilkan produksi yang tinggi. Ganyong dan garut memiliki umbi yang
mengandung karbohidrat yang cukup tinggi dan dapat diolah menjadi tepung. Tepung
ganyong dan garut dapat dimakan setelah dimasak menjadi bubur atau diolah menjadi
roti dan kue. Kacang gude dan kecipir menghasilkan biji yang kaya akan protein dan
dapat diolah menjadi tempe, tahu, kecap dan tepung. Biji dari kedua jenis kacang-
kacangan ini dapat menjadi bahan substitusi untuk mengatasi kesulitan produksi kedele.
Umbi ganyong dan garut mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi. Ganyong
dapat dipanen pada umur 4 bulan setelah ditanam untuk direbus, namun apabila akan
diambil patinya dipanen pada umur 8 bulan setelah ditanam karena umbinya telah
membesar dan kandungan karbohidratnya juga bertambah. Produksi umbi diperkirakan
rata-rata 45 - 50 ton per ha atau 4 10 ton tepung per ha (Ong & Siemonsma, 1996).
Garut dipanen pada umur 10 12 bulan setelah ditanam ketika daunnya telah
menguning. Hasil umbi antara 7 47 ton per ha dan jika dikonversi ke produksi tepung
sekitar 2 8 ton per ha (Villamayor & Jukemi, 1996). Beberapa kegunaan lain dari
ganyong dan garut adalah daun digunakan untuk bahan pembungkus, bijinya untuk
obat, tepung umbi juga digunakan untuk obat, ekstrak umbinya untuk pakan ternak.
Begitu pula dengan kedua jenis kacang-kacangan juga berpotensi sebagai obat. Umbi
ganyong dan garut bervariasi dalam ukuran, berat umbi dan kandungan kimianya
(Herman, dkk, 2007). Dari 100 g rimpang ganyong mengandung 22,6 g karbohidrat, 21
mg Ca, 70 mg P, 20 mg Fe, 0,1 mg vitamin B, 10 mg vitamin C (Ong & Siemonsma.
1996). Sedangkan rimpang garut mengandung 19,4-21,7 g pati, 0,6-1,3 g serat, dan 1,3-
1,4 g abu (Villamayor & Jukema, 1996). Pada biji kecipir per 100 g mengandung
protein 33 g, lemak 16 g, karbohidrat 32 g, serat 5 g dan abu 3 g. Nilai energi rata-rata
1.697 kJ/100 g, lebih baik dibandingkan dengan kedelai (Khan, T.N. 1993). Sedangkan
biji Gude protein 14-30 g, lemak 1-9 g, karbohidrat 36-65,8 g, serat 5-9,4 g, abu 3,8 g.
(van der Maesen, 1989).

Bahan dan Metoda


Penelitian dilakukan pada 2 kabupaten yaitu kabupaten Lebak dan kabupaten
Pandeglang dengan metode survei, data primer dikumpulkan secara pengamatan
langsung di lapangan, dan wawancara dengan masyarakat lokal. Data sekunder
dikumpulkan secara penelusuran pustaka di perpustakaan dan penelusuran internet.
Penelitian ini dilakukan pada 2 tahap yaitu pada tahap pertama dilakukan survei untuk
mencari keberadaan tumbuhan minor yang dicari (ganyong, garut, gude dan kecipir).
Tahap kedua adalah melakukan pendataan tentang lingkungan tempat tumbuhnya,
dicatat tinggi tempat (TT) berapa m di atas permukaan laut, suhu lingkungan (C),
kelembaban relative (%) dan intensitas cahaya (lux) saat penelitian, untuk selanjutnya
59
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

ditabulasi. Dari hasil survei awal ditemukan tumbuhan ganyong, garut dan kecipir
terdapat pada 7 desa yang termasuk dalam 5 kecamatan, sedangkan gude tidak
ditemukan selama survey dilakukan. Selanjutnya 7 desa ini ditetapkan sebagai sampling
lokasi penelitian yaitu desa Mekarsari (kecamatan Sajira, kabupaten Lebak), desa
Beunying, Cilaja (kecamatan Majasari), desa Cianjur, Kadohejo (kecamatan Saketi),
desa Koranji (kecamatan Pulosari) dan desa Mandalawangi (kecamatan Mandalawangi)
dari kabupaten Pandeglang.
Tujuan penelitian adalah untuk menggali potensi tumbuhan minor penghasil
karbohidrat dan protein untuk menunjang program kedaulatan pangan di wilayah
Propinsi Banten. Bahan tanaman yang diperoleh seperti umbi ganyong, garut, dan biji
kecipir dibawa untuk ditanam di kebun percobaan CSC sebagai tumbuhan koleksi dan
bahan penelitian selanjutnya.

Hasil dan Pembahasan

Propinsi Banten
Propinsi Banten merupakan salah satu daerah penyangga ibukota. Propinsi Banten
ditetapkan berdasarkan undang-undang no 23 tahun 2000 menjadi propinsi tersendiri,
yang sebelumnya wilayah ini menjadi satu dengan propinsi Jawa Barat. Propinsi Banten
terletak di Pulau Jawa, disebelah barat berbatasan dengan selat Sunda dan Pulau
Sumatera, sebelah utara Laut Jawa, sebelah timur DKI Jakarta dan Jawa Barat dan
sebelah selatan terbentang Samudera Hindia/ Lautan Indonesia. Secara astronomis
terletak antara 5-70 Lintang Selatan dan 1050 48 Bujur Timur.
Pembagian daerah administrasi Propinsi Banten meliputi Kabupaten Serang terdiri
dari 24 kecamatan, Kabupaten Pandeglang (18 kecamatan), Kabupaten Lebak (19
kecamatan), Kota Tangerang (6 kecamatan) dan kota Cilegon (4 kecamatan).

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di propinsi Banten. 1.Kabupaten Pandeglang, 2.Kab. Lebak

Penelitian dilakukan pada 2 kabupaten yaitu kabupaten Lebak dan kabupaten


Pandeglang. Di kabupaten Lebak hanya ada satu kecamatan yaitu di desa Mekarsari
yang terdapat tumbuhan minor yaitu ganyong. Sedangkan di kabupaten Pandeglang
terdapat 4 kecamatan (Majasari, Saketi, Pulosari dan Mandalawangi) pada 6 desa yang

60
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

terdapat tumbuhan minor yang meliputi garut dan kecipir. Sedangkan gude (Cajanus
cajan) tidak ditemukan pada survei ini.
Perjalanan dari kota Bogor menuju Kabupaten Lebak memakan waktu kurang lebih
2 jam dengan mobil. Setelah melewati kabupaten Leuwiliyang, disepanjang jalan
nampak perkebunan kelapa sawit yang cukup luas milik salah satu PTP, kebun karet
dan jati namun tidak seberapa luas juga banyak dijumpai pohon jeunjing dan mlinjo
(Gnetum gnemon). Mata pencaharian penduduknya adalah bertani, menanam padi.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada umumnya di pinggiran galengan sawah
banyak ditanam tales dan pisang.
Sama dengan kabupaten Lebak mata pencaharian penduduk di Kabupaten
Pandeglang juga bertani, menanam padi dan berkebun. Berdasarkan pengamatan di
lapangan, dijumpai berbagai tanaman seperti kopi, mlinjo, cengkeh, jati, pisang yang
ditanam di kebun/ pekarangan sekitar rumah. Tanaman ganyong dan garut banyak
dijumpai di pinggir jalan, pada umumnya di bawah pohon besar seperti pisang, kopi,
jati. Sebagian besar masyarakat kurang mengenal tanaman ganyong, hanya sebagian
kecil yang mengetahuinya dan menyebutnya dengan nama ganyol yang digunakan
sebagai makanan selingan. Begitu juga dengan tanaman garut, kurang dikenal sebagai
makanan. Garut dikenal dengan sebutan tarigu atau koneng leuweung, ada yang
memanfaatkan sebagai obat panas, dicampur dengan daun duku. Tanaman garut banyak
tumbuh meliar di tegalan dibawah pohon cengkeh, kopi, jati. Kadang tanaman ganyong
dan garut dijumpai tumbuh berdekatan, namun pada umumnya tumbuh merumpun
sendiri. Kelompok tumbuhan ganyong jauh lebih banyak dibandingkan garut. Tanaman
ganyong lebih menyukai habitat yang teduh dan lembab, sehingga sering dijumpai
tanaman ganyong tumbuh di dekat galengan, parit dan lereng-lereng yang tanahnya
gembur dan lembab. Kecipir terdapat di desa Pandeglang (kecamatan Pandeglang) dan
desa Koranji (kecamatan Pulosari). Selama penelitian dilapangan tidak ditemukan
tanaman gude.

Hasil penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1, 2 dan gambar-gambar di


bawah ini.

Tabel 1. Data keadaan habitat tumbuhan minor di beberapa lokasi di propinsi Banten
Lokasi Jenis TT Suhu RH Intensitas
Kecamatan Desa tumbuhan (m (C) (%) Cahaya
minor dpl) (lux)
I.Kab. Lebak
1.Sajira 1.Mekarsari Ganyong 70,8 31 71 2490
merah
keunguan
II.Kab.Pandeglang
2.Majasari 2.Beunying Ganyong 156 28 68 7100
merah muda
Ganyong 156 28 68 7100
hijau
3.Cilaja Garut 351 29 72 1511
3.Saketi 4.Cianjur Ganyong 390 26 90 1990

61
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

merah
keunguan
Ganyong 390 26 90 2990
merah muda
Ganyong 390 26 90 1990
putih
5.Kadohejo Ganyong 390 26 90 9800
hijau
4.Pulosari 6.Koranji Ganyong 68 28 84 4070
hijau
Garut 68 28 84 4070
Kecipir 68 28 84 4070
5.Mandalawangi 7.Mandalawangi Kecipir 68 28 84 4070

Pada Table 1 menunjukkan data keadaan habitat tumbuhan minor di beberapa lokasi
di propinsi Banten, yang meliputi tinggi tempat (TT) berapa meter di atas permukaan
laut (m dpl), suhu lokasi tempat tumbuh tanaman, kelembaban relative (RH) dan
intensitas cahaya saat pengamatan di lapangan.

Ganyong (Canna edulis)


Tumbuhan ganyong dijumpai tumbuh liar di beberapa lokasi yaitu di desa Mekarsari
(kecamatan Sajira, kabupaten Lebak), sedangkan di kabupaten Pandeglang dijumpai di
desa Beunying (kecamatan Majasari), desa Cianjur, desa Kadohejo (kecamatan Saketi)
dan desa Koranji (kecamatan Pulosari) (Tabel 1). Dari hasil wawancara dengan
perangkat kecamatan dan penduduk ternyata tidak ada masyarakat yang
membudidayakan ganyong, tumbuhan minor ini hanya ditanam oleh sebagian
penduduk di galengan sawah sebagai tanaman selingan. Di daerah ini ganyong disebut
dengan nama ganyol. Pada umumnya ganyong tumbuh liar di pinggir jalan, kebun, dan
pematang sawah. Di desa Koranji dijumpai tanaman ganyong dan garut tumbuh
berdekatan di bawah pohon kopi, cengkeh, mlinjo, pisang.
Dari hasil pengamatan, secara umum tanaman ganyong dijumpai tumbuh pada
ketinggian berkisar antara 68-390 m dpl, suhu 26 - 31 C, kelembaban 68 90 %,
intensitas cahaya 1990 - 9800 Lux. Di desa Mekarsari ditemukan ganyong merah
keunguan pada ketinggian 70,8 m dpl, pada suhu 31 C, kelembaban 71 % dan
intensitas cahaya 2490 lux. Di desa Beunying ditemukan 2 variasi yaitu ganyong merah
muda dan ganyong hijau terletak pada ketinggian 156 m dpl, pada suhu 28 C,
kelembaban 68 % dan intensitas cahaya 7100 lux. Di desa Cianjur ditemukan 3 variasi
ganyong yaitu merah keunguan, merah muda dan putih terletak pada ketinggian 390 m
dpl, pada suhu 26 C, kelembaban 90 % dan intensitas cahaya 1990-2990 lux. Di desa
Kadohejo dan Koranji ditemukan variasi ganyong hijau terletak pada ketinggian 68-390
m dpl, pada suhu 26-28 C, kelembaban 84-90 % dan intensitas cahaya 4070-9800 lux
(Tabel 1).

62
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Dari hasil penelitian dapat ditemukan 4 macam variasi ganyong (Tabel 2), yaitu:
1. Ganyong merah keunguan dengan ciri-ciri batang hijau keunguan, daun hijau tua
(berwarna keunguan di bagian pinggir, bunga merah, berumbi merah keunguan
(Gambar 2)
2. Ganyong merah muda dengan ciri-ciri batang merah, daun berwarna hijau
dengan strip merah pada tepinya, buah merah, berumbi merah muda (Gambar 3)
3. Ganyong hijau dengan cirri-ciri batang hijau tua, daun berwarna hijau dengan
strip putih pada tepinya, buah hijau, berumbi putih kehijauan (Gambar 4)
4. Ganyong putih dengan ciri-ciri batang hijau muda, daun berwarna hijau, berumbi
putih (Gambar 5)

Ganyong merah keunguan

Gambar 2. Ganyong merah keunguan tumbuh liar di pinggirjalan (rumpun, daun, bunga
dan umbi)

Pada Gambar 2 diperlihatkan variasi ganyong merah keunguan (batang hijau


keunguan, daun hijau tua berwarna keunguan di bagian pinggir, bunga merah, berumbi
merah keunguan) dengan tinggi tanaman berkisar antara 130-150 cm, ditemukan pada 2
desa yaitu Mekarsari dan desa Cianjur. Di desa Mekarsari ganyong tumbuh liar di
pinggir jalan di bawah pohon pisang, juga ditemukan di bawah naungan pohon jati
(Tabel 2). Pertumbuhan tanaman terlihat subur dan menghasilkan umbi rimpang yang
sehat. Artinya di wilayah ini sesuai untuk pertumbuhan ganyong.
Ganyong merah muda

Gambar 3. Ganyong merah muda (rumpun, daun, bunga, buah dan umbi)

63
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pada Gambar 3 diperlihatkan variasi ganyong merah muda (batang merah, daun
berwarna hijau dengan strip merah pada tepinya, buah merah, berumbi merah muda)
dengan tinggi tanaman mencapai 250 cm, ditemukan pada 2 desa yaitu desa Beunying
dan desa Cianjur. Ganyong ini juga tumbuh liar di pinggir jalan di bawah naungan
pohon pisang di pinggir jalan (Tabel 2). Pertumbuhan tanaman terlihat subur dan
menghasilkan umbi rimpang yang sehat. Artinya di wilayah ini sesuai untuk
pertumbuhan ganyong.

Ganyong hijau

Gambar 4. Ganyong hijau (rumpun, kuncup bunga dan umbi)

Pada Gambar 4 diperlihatkan variasi ganyong hijau (batang hijau tua, daun berwarna
hijau dengan strip putih pada tepinya, buah hijau, berumbi putih kehijauan) dengan
tinggi tanaman bervariasi antara 82-264 cm sesuai dengan umur tanaman, ditemukan
pada 3 desa yaitu desa Beunying, desa Kadohejo dan desa Koranji. Ganyong ini juga
ditemukan tumbuh liar di pinggir jalan di bawah naungan pohon pisang di pinggir jalan,
juga tumbuh liar di kebun di bawah pohon kopi, cengkeh, mlinjo, pisang, rambutan,
durian, kelapa dan duku (Tabel 2). Pengamatan pertumbuhan tanaman juga terlihat
subur dan menghasilkan umbi rimpang yang sehat. Artinya di wilayah ini juga sesuai
untuk pertumbuhan ganyong.

Ganyong putih
Pada gambar 5 diperlihatkan variasi ganyong putih (batang hijau muda, daun
berwarna hijau, berumbi putih) ditemukan di desa Cianjur. Ganyong ini juga tumbuh
liar di pinggir jalan di bawah naungan pohon pisang. Pertumbuhan tanaman ganyong
putih ini juga terlihat subur dan menghasilkan umbi rimpang yang sehat. Artinya di
wilayah ini sesuai untuk pertumbuhan ganyong (Gambar 5, Tabel 2).

64
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 5. Ganyong putih (cabutan, rumpun, umbi)


Dengan diketahui adanya beberapa variasi tanaman ganyong ini sangat penting bagi
penelitian selanjutnya yaitu untuk mencari kultivar-kultivar yang mampu berproduksi
tinggi, atau penelitian untuk mempercepat masa panen ganyong, dan dapat
menghasilkan karbohidrat yang tinggi.

Tabel 2. Ciri-ciri fenotipe tumbuhan minor dan lingkungan tumbuhnya


Jenis Nama Nama botani Fenotipe Keterangan
tumbuhan daerah
minor setempat
Ganyong Ganyol Canna edulis Tinggi tanaman 130-150 m Tumbuh di bawah
merah Batang hijau keunguan naungan pohon jati
keunguan Daun hijau tua (keunguan
dipinggir)
Bunga merah, umbi merah
keunguan
Ganyong Ganyol Canna edulis Tinggi tanaman 250 cm Tumbuh di bawah
merah muda Batang merah naungan pohon pisang,
Daun hijau (strip merah di pinggir jalan
pinggir)
Buah merah
Umbi merah muda
Ganyong hijau Ganyol Canna edulis Tinggi tanaman 82-264 cm Tumbuh di bawah
Batang hijau tua naungan pohon pisang,
Daun hijau (strip putih di pinggir jalan; juga di
pinggir) kebun di bawah pohon
Buah hijau kopi, cengkeh, mlinjo,
Umbi putih kehijauan pisang, rambutan,
durian, kelapa, duku.
Ganyong putih Ganyol Canna edulis Batang hijau muda Tumbuh di bawah
Daun hijau naungan pohon pisang
Umbi putih pinggir jalan
Garut Tarigu, Maranta Daun hijau Tumbuh di bawah pohon
koneng, arundinacea Batang hijau cengkeh, kelapa, pisang,
leuweung Umbi putih durian, di tegalan
Kecipir Kecipir Psopocarpus Panjang polong: 15-25cm Ditanam di pekarangan
tetragonolobus Warna biji: coklat tua penduduk
Panjang polong: 20-30 cm Ditanam sebagai pagar
Warna biji: coklat muda di lapangan tenis

Garut (Maranta arundinacea)


Pada gambar 6 diperlihatkan tanaman garut yang tumbuh di bawah naungan pohon
cengkeh, kelapa, pisang, durian, di tegalan. Tanaman garut yang disebut tarigu atau
65
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

koneng leuweung ditemukan hanya 1 variasi dengan cirri fenotipe daun hijau, batang
hijau, umbi putih (Tabel 2) dijumpai pada ketinggian 68 - 351 m dpl, suhu 28 - 29 C,
kelembaban 72-84 %, intensitas cahaya 1511 - 4070 Lux (Tabel 1). Tanaman garut
dijumpai di 2 lokasi yaitu di desa Cilaja (Kecamatan Majasari), dan desa Koranji
(Kecamatan Pulosari).

Gambar 6. Garut yang tumbuh di bawah naungan, rumpun dan umbi garut

Pertumbuhan tanaman garut ini terlihat subur dan menghasilkan umbi rimpang yang
sehat. Artinya di wilayah ini sesuai untuk pertumbuhan garut.

Kecipir (Psopocarpus tetragonolobus)


Tanaman kecipir dijumpai pada ketinggian 68 m dpl, suhu 28 C, kelembaban 84 %,
intensitas cahaya 4070 Lux. Berbeda dengan tanaman ganyong dan garut yang dijumpai
tumbuh meliar, tanaman kecipir umumnya ditanam oleh sebagian kecil masyarakat
namun tidak dibudidayakan dalam skala besar. Tanaman kecipir dijumpai sebagai
tanaman pagar (dirambatkan pada pagar besi), seperti ditemukan di salah satu lapangan
tenis di desa Mandalawangi (kecamatan Mandalawangi). Tanaman kecipir juga
dijumpai di pekarangan rumah penduduk di desa Koranji (kecamatan Pulosari), polong
mudanya dimanfaatkan sebagai sayur untuk kebutuhan keluarga dan biji kecipir yang
tua oleh sebagian masyarakat digunakan sebagai pernak pernik untuk bahan
ketrampilan anak sekolah.

Gambar 8. Kecipir yang merambat, buah dan biji

66
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Dari hasil penelitian ke beberapa lokasi di wilayah Banten ternyata masyarakat


belum/ tidak membudidayakan tumbuhan minor penghasil karbohidrat dan protein
seperti ganyong, garut, kecipir dan gude. Ganyong dan garut banyak dijumpai tumbuh
meliar di pinggir jalan tebing dan di tegalan, di bawah pohon pisang, cengkeh, kopi,
mlinjo dan belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pangan alternatif. Pada satu
lokasi dapat dijumpai ganyong dan garut tumbuh berdekatan, juga ganyong merah dan
hijau. Kecipir dijumpai hanya sebagian kecil masyarakat yang menanam dan terbatas
digunakan sebagai sayur. Tumbuhan gude tidak ditemukan selama penelitian.

Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa propinsi Banten berpotensi sebagai sumber
tumbuhan minor penghasil karbohidrat dan protein seperti ganyong, garut dan kecipir,
namun masyarakat belum memanfaatkan secara optimal, dan belum
membudidayakannya. Ganyong dan garut banyak dijumpai tumbuh meliar di pinggir
jalan, tebing dan di tegalan, di bawah pohon pisang, cengkeh, kopi, mlinjo. Kecipir
hanya dijumpai di pekarangan dan hanya sebagian kecil masyarakat yang
memanfaatkannya sebagai sayur. Tanaman ganyong dijumpai tumbuh pada ketinggian
berkisar antara 68-390 m dpl, suhu 26 - 31 C, kelembaban 68 90 %, intensitas cahaya
1990 - 9800 Lux. Garut dijumpai pada ketinggian 68 - 351 m dpl, suhu 28 - 29 C,
kelembaban 72-84 %, intensitas cahaya 1511 - 4070 Lux. Tanaman kecipir dijumpai
pada ketinggian 68 m dpl, suhu 28 C, kelembaban 84 %, intensitas cahaya 4070 Lux.
Melihat tumbuhan minor tersebut dapat tumbuh baik di wilayah Banten, namun
masyarakat belum memanfaatkannya secara optimal, maka diperlukan adanya
sosialisasi yang lebih intensif baik untuk penanaman dalam skala lebih luas juga
pemanfaatannya sebagai bahan pangan alternatif, begitu juga tentang cara-cara
pengolahannya, sehingga akan dapat menambah penghasilan keluarga, dan dapat
menunjang program kedaulatan pangan.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Puslit Biologi LIPI, yang telah
memberikan fasilitas untuk penelitian ini, kepada Ir. N.W. Utami PU. Sebagai KSK
yang telah memberi kesempatan untuk survei penulisan makalah ini.

Daftar Pustaka
Anonim, 2010. Program dan Kegiatan Utama DIT. BUKABI 2010. 13 Agustus
2010. http://bukabi.wordpress.com/. Selasa, 20-11-2012.
Djarwaningsih, T. 1993. Kacang gude. Dalam : Pendayagunaan Tanaman
Kacang-kacangan pada lahan kritis. Seri Pengembangan Prosea 1.
Bogor.Hal 21 23.
Handoyo, F.W. 2013. Penguatan Diversifikasi Pangan Berbasis Kearifan Lokal.
http://fwh89.blogspot.com/2013/06/penguatan-diversifikasi-pangan-
berbasis.html, Selasa, 18-6-2013.

67
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Herman, M., M.Machmud, Sutoro, I.Mariska, Minantyorini, B. Soegiarto &


K.Mulya, Lima Tahun Litbang Bioteknologi Dan Sumber Daya Genetik
Pertanian di BB-Biogen. Bogor. 122 hal.
Khan, T.N. 1993. Psophocarpus tetragonolobus. In PROSEA 8: Vegetables. Eds.
(Siemonsma, J.S and Piluek, K.). pp. 229-233. Pudoc, Wageningen, The
Netherlands.
Lingga, P., J.J. Afriastini., B.Sarwono., R. Wudianto., F. Rahardi., W.H. Apriadji &
P.C. Rahardja, 1991. Bertanam Ubi-ubian. Penebar Swadaya. Jakarta. 285
hal.
Ong, H.C. & J.S. Siemonsma. 1996. Canna indica. In PROSEA 9: Plants yielding
non-seed carbohydrates. Eds (Flach, M. & Rumawas, F.). pp. 63-66.
Backhuys Publisher, Leiden, The Netherlands.
Sunarti, S, 1993. Kacang uci. Dalam : Pendayagunaan Tanaman Kacang-kacangan
pada lahan kritis. Seri Pengembangan Prosea 1. Bogor. Hal 27 29.
Tabloid Sinar Tani. 2012. Mentan : Indonesia tak Perlu Impor Beras.
http://tabloidsinartani.com/mentan-indonesia-tak-perlu-impor-beras.html. 12-
10-2012
van der Maesen, L.J.G. 1989. Cajanus cajan. In PROSEA 1: Pulses. Eds. (van der
Maesen, L.J.G. & Somaatmadja, S.). pp. 39-42. Pudoc, Wageningen, The
Netherlands
Villamayor Jr., F.G. & J. Jukema. 1996. Maranta arundinacea. In PROSEA 9:
Plants yielding non-seed carbohydrates. Eds. (Flach, M. & Rumawas, F.). pp.
113-116. Backhuys Publisher, Leiden, The Netherlands.
Wawo, A.H & Wirdateti, 1993. Kecipir. Dalam : Pendayagunaan Tanaman
Kacang-kacangan pada lahan kritis. Seri Pengembangan Prosea 1. Bogor.
Hal 29 32.

68
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Potensi Antioksidan Labu Kuning (Cucurbita moschata)


pada Berbagai Pelarut

Farida Nuraeni1*, Tri Aminingsih2, dan Mira Miranti3

Fakultas MIPA Universitas Pakuan Bogor


Jl. Pakuan P.O. Box 452 Bogor
Email : nuraeni.farida@yahoo.com

ABSTRAK

Labu kuning (Cucurbita moschata) merupakan salah satu tanaman yang banyak tumbuh
di Indonesia, yang penanaman,pembibitan maupun perawatannya tidak sulit serta dapat
ditanam di daerah tropis maupun sub-tropis. Labu kuning merupakan bahan pangan yang
kaya vitamin dan mineral yang meliputi beta karoten, vitamin B1, vitamin C, kalsium,
fosfor, besi, kalium dan natrium. Beta karoten yang terkandung dalam labu kuning berfungsi
sebagai antioksidan yang sangat bermanfaat untuk melindungi jaringan tubuh dari efek
negatif radikal bebas. Penelitian meliputi kegiatan : (1) pengujian aktivitas antioksidan
ekstrak tepung labu kuning dalam berbagai pelarut menggunakan metode DPPH ; (2)
pembuatan tepung labu kuning dan analisis proksimat. Target yang akan dicapai dari hasil
penelitian adalah memperoleh pelarut terbaik yang menghasilkan potensi antioksidan labu
kuning paling tinggi. Nilai IC50 untuk ekstrak etanol , ekstrak etil asetat, ekstrak aseton,
ekstrak metanol dan ekstrak heksana masing-masing adalah 101,724 g/mL, 158,518
g/mL, 257,061 g/mL, 242,671 g/mL dan 508,621 g/mL. Aktivitas antioksidan dari
mulai yang paling besar sampai terkecil adalah ekstrak etanol, ekstrak etil asetat, ekstrak
metanol, ekstrak aseton dan ekstrak heksana.

Kata Kunci : Antioksidan, Beta Karoten, DPPH

Pengantar
Penelitian tentang karakteristik dan potensi pemanfaatan komoditas pangan minor
masih sangat sedikit dibandingkan komoditas pangan utama seperti padi dan kedelai.
Labu kuning atau waluh (Cucurbita moschata) yang dalam bahasa Inggris dikenal
sebagai pumpkin termasuk dalam komoditas pangan yang pemanfaatannya masih
sangat terbatas (gklinis,2004). Labu kuning atau waluh merupakan salah satu bahan
pangan lokal Indonesia yang mempunyai potensi gizi dan komponen bioaktif yang baik,
namun belum termanfaatkan secara optimum, salah satu penyebabnya adalah
keterbatasan pengetahuan masyarakat akan manfaat dari komoditas pangan tersebut.
Labu kuning merupakan bahan pangan yang kaya vitamin dan mineral yang
meliputi beta karoten, vitamin B1, vitamin C, kalsium, fosfor, besi, kalium dan natrium.
Dari nilai gizinya, setiap 100g labu kuning mengandung 34 kal; 1,7 g protein, 0,5 g
lemak, 0,8 mineral dan 45 mg kalsium (Shodikin, et al, 2009). Nutrisi yang
dikandungnya menjadikan labu kuning berkhasiat meningkatkan kekebalan tubuh. Beta

69
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

karoten yang dikandung labu kuning berfungsi sebagai antioksidan yang berperan
sebagai penangkal radikal bebas dan mencegah serangan jantung serta berbagai jenis
kanker, terutama kanker prostat.
Pengolahan produk setengah jadi merupakan salah satu cara pengawetan komoditas
pangan yang berkadar air tinggi seperti umbi-umbian dan buah-buahan. Keuntungan
lain dari pengolahan produk setengah jadi, sebagai bahan baku yang fleksibel untuk
industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi serta hemat ruang dan biaya
penyimpanan. Teknologi pembuatan tepung merupakan salah satu proses alternatif
produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur
(dibuat komposit), dibentuk, diperkaya zat gizi, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan
kehidupan modern yang serba praktis (Astawan, 2004).

Bahan dan Metode


Pembuatan Tepung Labu Kuning
Labu kuning harus dipilih yang mengkal, yaitu buah sudah tua tetapi belum masak
optimum. Setelah dikupas kulitnya, labu dibelah-belah dan dilakukan pemblansiran,
yaitu perlakuan dengan uap panas selama 5-10 menit. Selanjutnya labu dirajang dengan
ketebalan 0,1-0,3 cm yang hasilnya dinamakan sawut. Sawut dikeringkan dengan oven
pada suhu 650C selama 8 jam sampai diperoleh kadar air sekitar 14 persen, selanjutnya
digiling menjadi tepung. Penepungan sawut dilakukan dalam dua tahapan, yaitu
penghancuran sawut untuk menghasilkan butiran kecil (lolos 20 mesh) dan
penggilingan/penepungan menggunakan saringan Iebih halus (80 mesh). Tepung labu
kuning dianalisis kadar air, karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, betakaroten, vitamin
C, kalsium, besi, natrium, kalium dan vitamin B. Analisis kadar air dengan metode
gravimetri,analisis karbohidrat dengan metode Loofschrool, analisis protein (metode
Kjeldahl) dan vitamin B dengan spektrofotometer, analisis lemak dengan soxkhlet,
analisis serat kasar dengan gravimetri, analisis betakaroten dengan TLC (Thin Layer
Chromathography) scaner, vitamin C dengan titrasi iodometri, analisis kalsium (metode
titrasi kompleksometri), besi dengan AAS (Absorption Atomic Spectrophotometer),
analisis natrium dan kalium dengan flamefotometer.

Ekstraksi Tepung Labu Kuning


Tepung labu kuning diekstraksi dengan beberapa pelarut yaitu etanol 96%, aseton,
heksana, metanol dan etil asetat selama 5 jam pada suhu 50oC dengan sekali-kali
diaduk. Filtrat didinginkan kemudian dilakukan penyaringan dengan vakum dan kertas
saring kasar. Pelarut diuapkan dengan rotaryevaporator pada suhu 50oC sampai tidak
ada pelarut yang menguap. Ekstraksi dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dan semua
filtrat dievaporasi sampai diperoleh ekstrak yang kental.

70
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pengujian Aktivitas Antioksidan Tepung Labu Kuning dengan Metode


DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)

A. Aktivitas Antioksidan Total (Yen et al, 2003)


Pengujian aktivitas antioksidan dari tepung labu kuning dilakukan dengan
mereaksikan ekstrak labu kuning dalam berbagai pelarut (etanol, metanol, heksana,
aseton dan etil asetat) dengan DPPH. Rancangan percobaan yang digunakan adalah
rancangan acak lengkap satu faktor yaitu jenis pelarut dengan 3 kali ulangan. Data yang
diperoleh meliputi aktivitas antioksidan total dan kapasitas penangkapan radikal bebas.
Larutan DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) 1mM dibuat dengan menimbang 39,5
mg DPPH dilarutkan dalam metanol 100 mL dan disimpan dalam botol gelap untuk
menghindari kerusakan karena cahaya. Sebagai larutan kontrol digunakan 1 mL DPPH
1mM dan dilarutkan dalam 5 mL metanol. Sebanyak 5 mg hasil ekstraksi tepung labu
kuning dengan beberapa jenis pelarut dilarutkan ke dalam masing-masing pelarutnya
sampai volume 5 mL sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 1000 ppm (Larutan
induk).Larutan induk ini kemudian diencerkan menjadi larutan dengan konsentrasi 20
ppm (A), 40 ppm (B), 60 ppm (C), 80 ppm (D), 100 ppm (E). Sebagai larutan
pembanding digunakan larutan vitamin C konsentrasi 1000 ppm (Larutan induk).
Larutan induk ini diencerkan menjadi konsentrasi 4 ppm (A), 8 ppm (B), 12 ppm (C),
16 pm (D), 20 ppm (E).
Pengujian antioksidan dilakukan dengan menambahkan 1 mL larutan DPPH ke
dalam tiap-tiap larutan A,B,C,D dan E kemudian ditera sampai volume 5 mL dengan
metanol dan dihomogenkan. Mulut tabung ditutup dengan aluminium foil kemudian
diinkubasi dalam penangas air 37oC selama 30 menit. Serapan dibaca pada panjang
gelombang 515 nm dan digunakan untuk menghitung persen inhibisi menggunakan
rumus berikut ini.

Hambatan % = absorban kontrol absorban sampel X 100%


Absorban kontrol
Nilai IC50 diperoleh dari perpotongan garis antara 50% daya inhibisi dengan sumbu
konsentrasi (Menggunakan persamaan linear).
Penentuan prosen penghambatan tersebut di atas dapat juga dilakukan dengan
metode berikut ini. Ekstrak tepung labu kuning dilarutkan dalam pelarut yang sesuai
dengan jenis pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi. Sebanyak 0,5 ml larutan
ekstrak ditambah 2,5 ml emulsi asam linoleat ditambah 2 ml buffer fosfat 0,2M pH 7
kemudian diinkubasi 37o C selama 5 hari. (Emulsi asam linoleat = 0,2804 g asam
linoleat ditambahkan 50 ml buffer fosfat dan 0,2804 g tween 20 ). Setiap 24 jam
diambil 0,1 ml campuran reaksi ditambahkan 4,7 ml etanol 70%, 0,1 ml ammonium
tiosianat dan 0,1 ml Feri klorida 0,02mM dalam HCl 3,5% kemudian diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm. (Bilangan peroksida diukur untuk
mengetahui tingkat oksidasi dengan cara mengukur absorbansi). Persentase
penghambatan ekstrak diukur setiap 24 jam dengan rumus berikut ini,
% Penghambatan = 100-[ ( A1 /A0 x 100 ]

71
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

A0 = absorbansi blanko (tanpa penambahan ekstrak)


A1 = absorbansi sample.

B. Kapasitas Penangkapan Radikal Bebas (Kim, 2005)


Larutan ekstrak tepung labu kuning dilarutkan dalam kloroform :
methanol (2:1) dengan konsentrasi 25, 50,100,200, 400,800 dan 1000 ppm.
Sebanyak 4 ml larutan ekstrak dari masing-masing konsentrasi ditambah 1 ml DPPH
0,2 mM dalam metanol kemudian direaksikan selama 30 menit dan di ukur
absorbansinya pada panjang gelombang 517 nm.

Kemampuan penangkapan radikal (%) =


100%-[ (Abs kontrol Abs sampel ) X 100%
Abs kontrol
Penurunan absorbansi menunjukkan peningkatan kemampuan penangkapan radikal.

Hasil dan Pembahasan


Pembuatan Tepung Labu Kuning
Labu kuning yang digunakan diperoleh dari kabupaten Bogor dipilih yang masih
mengkal kira-kira sekitar 5 sampai 10 hari sebelum usia panen dan dideterminasi di
Herbarium Bogoriense LIPI Bogor.

Gambar 1. Labu Kuning

Pembuatan tepung Labu kuning meliputi:


Pengupasan kulit dan pengecilan ukuran
Pemblansiran, yaitu perlakuan dengan uap panas selama 5-10 menit.
Penyawutan ( ketebalan 0,1-0,3 cm). Sawut dikeringkan dengan oven pada suhu
650C sampai diperoleh kadar air kurang dari 14 persen.
Penepungan sawut dilakukan dalam dua tahapan, yaitu penghancuran sawut
untuk menghasilkan butiran kecil (lolos 20 mesh) dan
penggilingan/penepungan menggunakan saringan Iebih halus (80
mesh).Rendemen tepung labu kuning yang diperoleh sebesar 9,62% tertera
pada Tabel 2.

72
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 2. Rendemen tepung labu kuning


Bobot Labu Kuning (g) Bobot Tepung (g) Rendemen (%)

100 9,6226 9,62

Hasil pengujian proksimat tepung labu kuning tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengujian Proksimat Tepung Labu Kuning


NO Komponen yang dianalisis Kadar
1 Air 11,513 %
2 Abu 3,37 %
3 Lemak 1,99 %
4 Protein 10,938%
5 Pati 23,74 %
6 Serat Kasar 5,56 %
7 Beta karoten 0,76 %
8 Vitamin C 2,134 mg/g
9 Tiamin 0,408 ppm
10 Fe 0,682 ppm
11 Ca 0,0137 %
12 K 63 ppm
13 Na 8,89 ppm

Tujuan dilakukan penetuan kadar air adalah untuk memberikan batasan minimal
atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam suatu bahan (Depkes RI, 2000). Air
yang masih ada dalam suatu sediaan contoh dalam kadar tertentu dapat menjadi media
pertumbuhan bagi kapang dan jasad renik lainnya (Depkes RI, 1985). Untuk
mendapatkan kadar air yang sesuai dilakukan dengan proses pengeringan untuk
memperpanjang proses waktu simpan. Kadar air yang dihasilkan memenuhi
persyaratan yang tercantum pada standar mutu tepung yaitu maksimalnya 12% (SNI,
1996).
Penetapan kadar abu dilakukan untuk mengetahui banyaknya zat anorganik yang
terkandung dalam tepung labu. Tingginya kadar abu pada bahan menunjukkan
tingginya kandungan mineral. Hasil kadar abu tepung sebesar 3,37% .
Tepung labu yang dihasilkan memiliki kandungan protein yang cukup tinggi sebesar
10,938 %, pati dan serat yang cukup tinggi masing-masing sebesar 23,37% dan 5,56%.
Kandungan mineral yang paling banyak di dalam tepung labu adalah Ca sebesar 0,0137
%.
Tepung labu mengandung Vitamin C dan karoten masing-masing sebesar 2,134
mg/g dan 0,76%. Vitamin C dan karoten diketahui memiliki aktivitas antioksidan.
Menurut Murray (2003), berdasarkan mekanisme kerjanya, vitamin C, vitamin E, -
karoten, flavonoid, dan tanin merupakan antioksidan sekunder (antioksidan pemutus
rantai) merupakan antioksidan yang bekerja dengan cara memotong reaksi oksidasi
berantai dari radikal bebas, sehingga radikal bebas tidak akan bereaksi dengan
komponen seluler.

73
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Ekstraksi Tepung Labu Kuning


Hasil ekstraksi tepung labu kuning menggunakan lima macam pelarut yaitu etanol,
etil asetat, aseton, metanol dan heksana berwarna kuning kecoklatan sampai coklat
(Gambar 2).

Gambar 2. Ekstrak tepung labu kuning dengan etanol, etil asetat,aseton, metanol dan
heksana (Dari kiri ke kanan)

Perbedaan rendemen ekstrak dipengaruhi oleh pelarut yang digunakan (Depkes


RI,1986). Rendemen yang dihasilkan dari ekstrak etanol tepung labu kuning sebesar
15,38 %, rendemen dari ekstrak aseton dan etil asetat masing-masing 0,59% dan 0,46%,
sedangkan rendemen dari ekstrak metanol dan heksana masing-masing 11,497% dan
0,29% (Tabel 4). Rendemen ekstrak tepung labu kuning yang relatif besar diperoleh
dari hasil ekstraksi menggunakan etanol dan metanol, sedangkan yang diperoleh dari
ekstraksi menggunakan aseton, etil asetat dan heksana sangat kecil yaitu kurang dari
satu persen. Hal ini menunjukkan bahwa komponen di dalam tepung labu kuning yang
lebih banyak terekstraksi ke dalam pelarut adalah senyawa polar dibandingkan senyawa
non polar. Dari kelima jenis pelarut yang digunakan, rendemen ekstrak etanol paling
besar yang menunjukkan bahwa senyawa polar paling banyak terekstraksi ke dalam
etanol.

Tabel 4. Rendemen ekstrak etanol, aseton,etil asetat,metanol dan heksana tepung Labu
kuning
Sampel Bobot tepung Pelarut Bobot ekstrak Rendemen ( % )
(g) (g)
Tepung Etanol 7,6910 15,38
labu kuning 50 Aseton 0,2956 0,59
Etil asetat 0,2322 0,46
Metanol 5,7485 11,497
Heksana 0,145 0,29

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa ekstrak etanol memiliki rendemen yang
paling tinggi, diduga komponen yang terekstrak adalah komponen polar seperti vitamin
C. Sedangkan komponen yang bersifat non polar ataupun semi polar dari tepung labu
cenderung terekstrak relatif sedikit.

74
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Aktivitas Antioksidan Ekstrak Tepung labu Kuning


DPPH merupakan radikal sintetik yang larut dalam pelarut polar seperti metanol dan
etanol. DPPH merupakan radikal stabil yang dapat diukur intensitasnya pada panjang
gelombang 515 nm. Dari nilai absorbansi sampel dan kontrol bisa diketahui daya
antioksidannya. Hasil pengukuran daya antioksidan ekstrak etanol, aseton, etilasetat,
metanol dan heksana dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Daya antioksidan ekstrak etanol,aseton,etil asetat,methanol dan heksana labu


kuning dengan metode DPPH
Kadar Absorbansi
Sampel ekstrak(g/mL) Rata-rata* Hambatan (%) IC50 (g/mL)
20 1,999 0,547
40 1,562 22,288
60 1,412 29,751
Ekstrak 80 1,275 36,567
Etanol 100 1,050 47,761 101,724

20 2,182 6,271
40 2,058 13,119
Ekstrak 60 1,981 14,905
Aseton 80 1,927 17,225

100 1,813 22,122 257,061


20 2,262 2,835
40 1,903 18,256
Ekstrak 60 1,813 22,122
Etilasetat 80 1,774 23,797

100 1,605 31,056 158,518


20 1,878 6,5672
40 1,842 8,3582
Ekstrak 60 1,760 12,4378
metanol 80 1,684 16,4179
100 1,555 22,6368 242,671
20 2,008 0,0995
Ekstrak 40 1,965 2,2388
heksana 60 1,960 2,4876
80 1,905 5,2239
100 1,831 8,9055 508,621

Dari hasil penentuan hambatan (%) untuk ekstrak etanol, aseton. etil asetat dapat
ditentukan nilai IC50 berdasarkan grafik konsentrasi ekstrak (g/ml) sebagai sumbu x
terhadap hambatan (%) sebagai sumbu y. IC50 merupakan konsentrasi ekstrak yang
mampu memberikan persen penangkapan radikal sebanyak 50% dibandingkan dengan
kontrol melalui suatu persamaan garis regresi linier. Kurva hasil uji aktivitas
antioksidan dari ekstraksi berbagai pelarut tertera pada Gambar 6 sampai Gambar 10.

75
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 3. Kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstrak etanol labu kuning

Gambar 4. Kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstrak aseton labu kuning

Gambar 5. Kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstrak etil asetat labu kuning

76
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 6. Kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstrak metanol labu kuning

Gambar 9. Kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstrak heksana labu kuning

Dari kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstrak etanol labu kuning (Gambar
6) diperoleh persamaan garis untuk ekstrak etanol yaitu y = 0,543x 5,236, jika nilai y
= 50 maka diperoleh nilai x sebesar 101,724.Persamaan garis untuk ekstrak aseton yaitu
y = 0,179x + 3,986, jika nilai y = 50 maka diperoleh nilai x sebesar 257,061. Persamaan
garis untuk ekstrak etilasetat yaitu y = 0,309x + 1,018, jika nilai y = 50 maka diperoleh
nilai x sebesar 158,518. Persamaan garis untuk ekstrak metanol yaitu y = 0,201x +
1,223, jika nilai y = 50 maka diperoleh nilai x sebesar 242,671. Persamaan garis untuk
ekstrak heksana yaitu y = 0,103x - 2,388, jika nilai y = 50 maka diperoleh nilai x
sebesar 508,621.
IC50 adalah konsentrasi larutan uji yang mampu menghambat 50% larutan radikal
bebas 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH). Adanya perbedaan jenis pelarut
menyebabkan nilai IC50 yang berbeda, yang berarti aktivitas antioksidan dari tiap
ekstrak berbeda. IC50 ekstrak etanol , ekstrak etil asetat, ekstrak aseton, ekstrak
methanol dan ekstrak heksana masing-masing adalah 101,724 g/mL, 158,518 g/mL,

77
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

257,061 g/mL, 242,671 g/mL dan 508,621 g/mL . Berdasarkan Blois, 1958
diketahui nilai IC50 kurang dari 200 g/mL dikatakan mempunyai aktivitas antioksidan
yang kuat, hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol dan etil asetat yang memiliki
aktivitas antioksidan yang kuat, dimana ekstrak etanol memiliki aktivitas antioksidan
yang lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak etil asetat.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Hasil analisis proksimat terhadap tepung labu kuning yang meliputi kadar air, abu,
lemak, protein, pati, serat kasar,beta karoten,vitamin C ,thiamin, Fe,Ca ,kalium dan
natrium berturut turut sebesar 11,513%, 3,37%, 1,99%, 10,938%,
23,74%,5,56%,0,76 %, 2,134 mg/g, 0,408 ppm, 0,682 ppm, 0,0137 %,63 ppm, dan
8,89ppm.
2. Nilai IC50 untuk ekstrak etanol , ekstrak etil asetat, ekstrak aseton, ekstrak metanol
dan ekstrak heksana masing-masing adalah 101,724 g/mL, 158,518 g/mL,
257,061 g/mL, 242,671 g/mL dan 508,621 g/mL. Aktivitas antioksidan dari
mulai yang paling besar sampai terkecil adalah ekstrak etanol, ekstrak etil asetat,
ekstrak metanol, ekstrak aseton dan ekstrak heksana.

Daftar Pustaka
Abdul Rohman dan Sumantri. 2007. Analisis Makanan. UGM Press.
Ali Shodikin. 2009. Teknologi Pengolahan Waluh. Universitas Negeri Semarang.
Azizah A,H., Wee,K.C, Azizah O, dan Azizah M. 2009. Effect Boiling and Stir
Frying on Total Phenolics, Carotenoids and Radical Scavenging Activity of
Pumpkin Cucurbita moschato ).International Food Research Journal 16 : 45-
51.
Depkes RI 2001. Komposisi Bahan Makanan. Depkes RI.Jakarta
Dinna Sofia. 2005. Antioksidan. http:// www. Chem-is-try.org/antioksidan/radikal
bebas.
gKlinis@ Gizi.net. 2004. Labu Kuning Penawar Racun dan Cacing Pita Yang Kaya
Antioksidan.
Kim,O.S. 2005 . Radical Scavenging Capacity and Antioxidant Activity of the E
Vitamer Fraction in Rice bran. J.Food Sci.70(3): 208-213
Klaui H dan Bauernfeind.1981. Carotenoids as Food Colour, Di dalam Bauernfeind
JC.(ed). Carotenoids as Colorans and Vitamin A Precursor. London: AP Publ.
Kumalaningsih S.2006. Antioksidan Alami. Trubus Agrisana. Surabaya.
Linder MC. 1991. Nutritional Biochemistry and Metabolism with Clinical
Applications. Ed ke-2. California : Pretice- Hall International Inc.
Mandley,D.2000.Technology of Biscuits, Crackers and Cookies.CRC Press. Boca
Raton, USA.
Nishigaki TM dan Waspodo IS. 2007. Khasiat Buah Merah Sebuah Kajian di
Jepang Jakarta : Cindy Printing.

78
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Sarastani D,Soewarno T.S,Tien M, Dedi F.2002. Aktivitas Antioksidan Ekstrak dan


Fraksi Ekstrak Biji Atung . Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. XX(1) :
149-156
Yen, G.C: H.Y. Chen. 2003. Antioksidant Activity of Extracts from Du-zhong
(Eucomia ulmoides) toward Various Lipid Peroxidation Models in Vitro. J.
Agric.Food.

79
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Respon Pertumbuhan Tunas In Vitro Talas Satoimo


(Colocasia esculenta var. antiquorum) pada Berbagai Jenis
Pemadat Agar
Hani Fitriani*1 dan Pramesti D. Aryaningrum1
1
Reseach Centre for Biotehnology, Indonesian Institute of Science
Cibinong Sciene Centre, Jl. Raya Bogor KM 46, Cibinong 16911
Phone : 021-8754587, Fax : 021-8754588
*Email : h_fitriani@plasa.com

ABSTRAK

Talas (Colocasia esculenta L.Schott) sangat potensial untuk dikembangkan sebagai


bahan pangan berbasis umbi-umbian, karena kaya akan karbohidrat, protein, vitamin C,
thiamin, riboflavin dan niasin. Dengan demikian ketersediaan bibit talas satoimo dalam
jumlah besar dan seragam sangat diperlukan untuk mendukung produktivitas yang tinggi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon tanaman terhadap berbagai jenis pemadat
agar meliputi perbanyakan dan pertumbuhan tunas in vitro. Metode penelitian ini terbagi ke
dalam tiga tahap, yaitu inisiasi tunas pada media MS tanpa zat pengatur tumbuhan (zpt) dari
eksplan umbi, perbanyakan tunas majemuk pada media MS yang mengandung hormon 1
mg/l BAP selama 2 minggu, dan tahap terakhir pemanjangan dan perakaran pada media MS
yang mengandung 1 mg/L BAP dan 0,35 mg/L IAA selama 1 bulan. Tunas yang muncul
ditransfer ke media perlakuan 1 mg/L BAP dan 0,35 mg/L IAA dengan berbagai jenis agar
yaitu agar swallow, micro agar, dan gelrite. Parameter pertumbuhan yang diamati ialah
tinggi tunas (cm), jumlah akar dan jumlah tunas yang terbentuk. Data hasil pengamatan
dianalisis secara statistik dengan Uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan in
vitro talas satoimo sangat dipengaruhi oleh jenis pemadat agar. Micro agar memberikan
pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan in vitro talas satoimo dimana keseluruhan nilai rata-
rata untuk pertumbuhannya lebih tinggi dibanding jenis agar lainnya. Rata-rata tinggi tunas,
jumlah akar dan jumlah tunas yang terbentuk pada micro agar masing-masing adalah 0,95
cm; 2,9 dan 3,5 pada taraf uji Anova P<0,05.

Kata Kunci: agar swallow, beda agar, gelrite, micro agar, Talas satoimo

Pengantar
Bertambahnya jumlah penduduk berdampak pula terhadap peningkatan kebutuhan
akan pangan, khususnya kebutuhan pangan karbohidrat. Namun fakta menunjukkan
bahwa kemampuan pangan nasional semakin terbatas. Hal ini ditunjukkan dengan
terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian (perkebunan dan
perumahan). Agar kebutuhan pangan nasional dapat terpenuhi maka perlu dilakukan
upaya peningkatkan kuantitas dan kualitas produktivitasnya, serta melakukan usaha
diversifikasi pangan menggunakan sumber daya pangan lokal. Salah satunya adalah
mengoptimalkan penggunaan umbi talas sebagai sumber bahan pangan karbohidrat
alternatif pengganti beras (Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang, 2001) .

81
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Talas (Colocasia esculenta L.Schott) merupakan tanaman herba perenial yang


termasuk dalam family Araceae C. esculenta yang dikelompokkan menjadi 2 varietas,
yaitu C. esculenta var. esculenta (dasheen) dan C. esculenta var. antiquorum (eddoe).
Talas dasheen memiliki umbi tengah yang besar, sedangkan talas eddoe atau sering
disebut talas satoimo memiliki umbi tengah yang kecil dengan banyak anak umbi di
sekitarnya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa talas berasal dari daerah di Asia
Selatan (India) atau Asia Tenggara (Malaysia), lalu menyebar ke Cina, Jepang, daerah
Asia Tenggara lainnya, Kepulauan Pasifik, Afrika Barat, dan beberapa daerah di
kawasan Caribia melalui migrasi penduduk (Onwueme, 1999). Menurut Purseglove
(1992), talas eddoe terbentuk setelah mengalami perkembangan dan seleksi saat
ditanam di Cina dan Jepang. Di Indonesia talas dapat dijumpai hampir di seluruh
kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan, baik liar maupun budidaya.
Talas sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif, karena
kaya akan karbohidrat, protein, vitamin C, thiamin, riboflavin dan niasin (Niba, 2003).
Selain itu talas juga dapat dijadikan sebagai bahan obat-obatan, substitusi tepung
terigu/gandum dan pakan ternak (Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang, 2001). Ekstrak
dari akar talas dapat digunakan untuk obat tradisional reumatik dan jerawat, sedangkan
ekstrak daunnya digunakan untuk menghentikan pendarahan karena luka, menetralisir
racun ular dan obat pencahar (Thinh, 1997). Jenis talas satoimo saat ini sedang gencar
dibudidayakan diberbagai daerah di Indonesia karena potensi pasar ekspor untuk talas
ini sangat besar, terutama di negara Jepang yang setengah dari jumlah penduduknya
mengkonsumsi talas satoimo sebagai makanan pokok (Pudjiatmoko, 2008). Namun
sayangnya ketersediaan bibit talas satoimo masih sedikit dan perbanyakan bibit dari
anakan perlu waktu cukup lama, serta pertumbuhan tanamannya yang tidak seragam.
Oleh karena itu diperlukan teknologi perbanyakan bibit talas satoimo berkualitas dalam
waktu relatif singkat, yaitu dengan cara teknik kultur jaringan.
Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan
tanaman melalui teknik kultur jaringan (in vitro). Berbagai komposisi media kultur telah
diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang
dikulturkan. Menurut Yusnita (2004), Media dasar dalam kultur jaringan umumnya
menggunakan media Murashige dan Skoog (MS) yang merupakan media pertumbuhan
dengan jenis agar yang diperkaya dengan berbagai senyawa organik, vitamin dan zat
pengatur tumbuh (ZPT). Penambahan ZPT ke dalam media kultur jaringan berperan
untuk mendukung pertumbuhan eksplan. Ada dua jenis ZPT yang digunakan dalam
propagasi secara in vitro, yaitu auksin dan sitokinin. Auksin dapat merangsang
pembentukan akar dan pembentukan kalus, sedangkan sitokinin berperan merangsang
pembelahan sel dalam jaringan eksplan serta berpengaruh terhadap inisiasi atau
pembentukan tunas (Wetherel, 1982).
Bahan pemadat yang umum digunakan dalam media MS adalah agar Bacto, Oxoid,
Gelrite atau Phytagel (Priadi et al., 2008). Bahan pemadat agar dalam media kultur
sangat penting, karena dapat memelihara proses biokimia dan fisiologi dari jaringan
tanaman maupun mikroorganisme yang dikulturkan (Maliro dan Lameck, 2004).
Derajat keasaman (pH) untuk kepadatan bahan pemadat agar dalam media kultur yang
optimum adalah berkisar antara 5,0 - 6,0 (Hartmann et al., 1990).

82
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Penelitaian ini bertujuan untuk mengetahui respon tanaman terhadap berbagai jenis
agar dalam mendukung perbanyakan dan pertumbuhan tunas talas satoimo (Colocasia
esculenta var. antiquorum) secara in vitro.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Tanaman dan


Modifikasi Jalur Biosintesa, Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI.

Bahan Tanaman dan Pemadat


Bagian talas yang digunakan sebagai eksplan adalah bagian umbinya dari
tanaman berumur 6 minggu yang dipelihara di rumah kaca. Bahan tanaman yang
digunakan diperoleh dari koleksi tanaman talas satoimo, SEAMEO BIOTROP.
Umbi tersebut kemudian bagian permukaannya dibersihkan dengan sikat halus dan
detergent cair untuk menghilangkan kotoran dari tanah yang menempel pada bagian
kulit luar umbi lalu direndam dengan aquades steril (60 menit), direndam dalam clorox
1% selama 60 menit, dan terakhir direndam dalam 0,1% HgCl2 selama 1 menit. Pada
tiap tahapan, eksplan dicuci beberapa kali menggunakan akuades steril hingga bersih (3-
5 kali) yang dilakukan di dalam laminar air flow (LAF) dengan kondisi aseptik.
Selanjutnya, eksplan dipotong-potong menjadi beberapa bagian lalu ditiriskan di atas
tissue steril. Eksplan ditanam pada media MS tanpa ZPT kira-kira selama 1 bulan
hingga muncul tunas. Inkubasi di ruang kultur dengan suhu 22C di bawah lampu
flouresent. Pengamatan kultur dilakukan setiap 2 hari sekali untuk mengetahui waktu
tunas muncul (inisiasi tunas) dan pengamatan kontaminasi kultur.

Perbanyakan Tunas Majemuk


Tunas yang tumbuh ditanam pada media perbanyakan. Media yang digunakan
adalah media MS yang mengandung hormon 1 mg/L 6-Benzilamino Purin (BAP) dan
0,35 mg/L Indol 3-Acetic Acid (IAA).

Uji Perlakuan Berbagai Jenis Agar


Tunas majemuk yang dihasilkan dari media multiplikasi tersebut selanjutnya
dijadikan sebagai eksplan untuk uji perlakuan berbagai jenis agar terhadap respon
pembentukan dan pertumbuhan tunas talas satoimo secara in vitro hingga menjadi
tanaman lengkap (plantlet). Media perlakuan adalah media yang sama untuk
multiplikasi tunas yang ditambahkan jenis agar berbeda. Pengamatan uji perlakuan ini
dilakukan secara visual setiap 2 hari sekali selama 2 minggu. Parameter yang diamati
adalah jumlah tunas baru, tinggi tanaman dan jumlah akar.
Jenis agar yang diuji adalah agar gelrite, swallow dan micro agar yang ditambahkan
ke dalam media sehingga diperoleh kepadatan yang sesuai untuk kultur jaringan
tanaman.

83
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Desain Percobaan
Penelitian ini disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
perlakuan berbagai jenis agar yaitu agar swallow, gelrite dan micro agar. Setiap
perlakuan diulang 3 kali, dan setiap perlakuan rata-rata terdiri atas 3 tanaman, sehingga
terdapat 30 sampel. Parameter pengamatan kuantitatif meliputi jumlah tunas yang
terbentuk, jumlah akar dan tinggi tanaman. Faktor pertama adalah jenis agar dan faktor
kedua adalah parameter pertumbuhan (jumlah dan tinggi tunas serta jumlah akar).
Jumlah tunas diamati setiap 2 hari, sedangkan tinggi tunas diamati setelah kultur
berumur 2 minggu. Data dianalisis dengan Uji Duncan dan dilanjutkan dengan
ANOVA menggunakan paket perangkat lunak statistik SPSS 16.0. Ringkasan
rancangan percobaan tersebut disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Ringkasan kombinasi perlakuan faktorial pengaruh jenis bahan pemadat terhadap
parameter pertumbuhan
Perlakuan
Faktor I Jenis agar (%)
Agar Swallow
Gelrite
Micro agar
Faktor II Jumlah tunas yang terbentuk
Tinggi tunas
Jumlah akar

Hasil dan Pembahasan

Daya Hidup dan Jumlah Tunas Tahap Inisiasi Kultur


Seluruh eksplan yang disterilisasi mengalami kontaminasi bakteri dan jamur sejak 1
minggu setelah tanam (MST), namun demikian ada beberapa eksplan yang berhasil
disterilkan dan tumbuh sehingga bisa digunakan untuk percobaan. Berdasarkan
pengamatan sebagian besar kontaminasi disebabkan oleh cendawan dan bakteri.
Persentase eksplan yang terkontaminasi selama pengamatan adalah sebesar 84,6%
(Tabel 2). Selain kontaminasi, sekitar 12,8% eksplan mengalami browning yang
menyebabkan kematian pada ekspan. Menurut Pierik (1987), browning disebabkan
karena adanya aktivitas enzim seperti polifenol oksidase dari dalam eksplan yang
terbentuk pada saat eksplan dilukai, sehingga kematian akibat pencoklatan lebih sulit
diatasi daripada kontaminasi.
Eksplan umbi talas satoimo yang disterilisasi tumbuh tunas pertama kali pada hari
ke-11 (Gambar 1B). Selanjutnya tunas dipindahkan ke media MS yang mengandung 1
mg/L BAP. Pemindahan eksplan ke media yang mengandung BAP tersebut diharapkan
dapat merangsang pembentukan tunas majemuk tunas baru (Gambar 1C). Persentase
daya tumbuh eksplan umbi talas satoimo secara in vitro selama pengamatan (1-4 MST)
adalah 5,1% yaitu dua eksplan. Dari kedua eksplan tersebut juga tumbuh tunas baru
yang selanjutnya dimanfaatkan sebagai material induksi tunas majemuk yang diuji pada
berbagai jenis agar.

84
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 2. Persentase tunas yang muncul dan kontaminasi inisiasi kultur talas satoimo
Persentase
Jumlah Persentase Persentase Jenis
No. eksplan
eksplan kontaminasi browning kontaminasi
tumbuh
bakteri dan
1 5 0 100 0
jamur
2 5 0 60 40 Sda
3 5 20 80 0 Sda
4 4 25 75 0 Sda
5 5 0 100 0 Sda
6 5 0 100 20 Sda
7 5 0 100 0 Sda
8 5 0 60 40 sda
TOTAL 39 5,1 84,6 12,8

A B
C

Gambar 1. Insiasi kultur Talas Satoimo, A = Talas satoimo di polybag umur 4 minggu, B =
kultur umbi yang bertunas pada media 1 mg/L BAP, C = tunas majemuk pada
media MS + 1 mg/L BAP + 2 M IAA.

Pengaruh Agar Terhadap Jumlah Tunas, Tinggi Tunas dan Jumlah Akar
Jumlah Tunas
Berdasarkan analisis ANOVA, jumlah tunas sangat nyata dipengaruhi oleh jenis
agar. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa penggunaan media dengan jenis agar
yang berbeda menyebabkan respon yang berbeda terhadap pembentukan jumlah tunas
talas satoimo. Media yang paling banyak menghasilkan tunas adalah micro agar yaitu
hampir 4 tunas dan berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan agar swallow dan gelrite yang
jumlah tunasnya masing-masing 2 dan 1 tunas (Gambar 2.A-C). Penggunaan agar di
pasaran seperti agar swallow telah digunakan pada perbanyakan tunas berbagai tanaman
seperti pisang (Badan Litbang Pertanian, 2011) dan kencur (Seswita, et al. 2012)
sedangkan gelrite untuk tanaman cabe (Alejo, 2005) tetapi untuk perbanyakan tunas
talas satoimo micro agar memberikan kondisi optimum untuk perbanyakan tunas
dibanding agar swallow. Pengaruh jenis agar terhadap kultur in vitro telah dilaporkan

85
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

oleh Sudarmonowati et al. (2009) dimana persentase pembentukan kalus friable


embryogenic callus (FEC) pada ubi kayu dengan micro agar mencapai 100%
dibandingkan jenis agar oxoid no.6 dan gelrite tidak terbentuk FEC sama sekali (0%).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara visual terhadap morfologi
pertumbuhan tunas pada media dengan agar gelrite menghasilkan tunas yang terbentuk
berukuran lebih kecil dan pendek, daun kecil hingga sedang (Gambar 2). Akibat tunas
yang pendek-pendek tersebut menyebabkan tunas sulit untuk disubkultur atau dipisah-
pisahkan. Tingkat pertumbuhan tunas pada gelrite juga lebih lambat dibanding 2 jenis
agar lainnya.

Tinggi Tunas
Seperti halnya pada jumlah tunas, micro agar memberikan pengaruh yang lebih baik
untuk media pertumbuhan talas satoimo karena menghasilkan nilai rata-rata tinggi tunas
paling tinggi (0,95 cm) dan berbeda nyata (p<0,05) dibanding agar swallow (0,4 cm)
maupun dengan gelrite (0,55 cm).
Kandungan sejumlah mineral tambahan yang cukup signifikan dan matriks gel yang
dihasilkan micro agar (Tabel 3) diduga meningkatkan ketersediaan unsur-unsur hara
yang diperlukan sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.
Menurut Basri (2004), gel pemadat mengandung sejumlah mineral yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman, dimana matriks gel yang dihasilkan dapat
mengikat atau mengabsorbsi mineral seperti kalsium, besi dan seng. Scholten and Pierik
(1997) menyatakan garam-garam Murashige and Skoog yang menjadi immobile pada
gel dapat mencapai 30%. Pada konsentrasi tinggi dimana gel menjadi terlalu keras,
sangat sedikit air yang tersedia dan difusi unsur hara ke dalam jaringan tanaman
menjadi terganggu (Taji et al., 1997). Disamping itu, micro agar adalah pemadat yang
memiliki kemurnian tinggi (Pierik, 1987) dibandingkan agar swallow. Beberapa peneliti
(Scholten and Pierik, 1998), melaporkan bahwa perbedaan kemurnian/jenis agar
menyebabkan variasi dalam respon pertumbuhan.

Tabel 3. Kandungan mineral pada berbagai pemadat agar


Agar Swallow
Properti Micro agar1 Gelrite2
Globe**
Takaran 8 g/L 7 g/L 2 - 4 g/L
Suhu gel 20oC - 25 - 27 oC
pH 6-9 - -
Residu 9,5% - -
Kandungan Mineral (%)
Ca < 2000 ppm 7,56% low
Mg - - low
K - - -
P - - -
Na - - -
I - 0,11% -
Gel strength > 900 g/cm2 550 850 g/cm2 400 700 g/cm2
Sulphated ash < 6% - -
Ash acid insoluble <0,5% - -
Keterangan : 1. Duchefa Biochemie, 2. PhytoTechnology Laboratories

86
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Jumlah Akar
Menurut Matjik (2005), akar merupakan organ tanaman yang berfungsi untuk
menyerap nutrisi (unsur hara ) baik makro maupun mikro dari media tumbuh untuk
kemudian digunakan dalam proses tumbuh dan berkembangnya tanaman. Jumlah akar
memegang peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan eksplan pada kultur in vitro.
Jumlah akar yang semakin banyak bagus untuk penyerapan nutrisi dari media.
Hasil analisis ANOVA pada Tabel 4 menunjukkan pengaruh nyata jenis agar
terhadap pertumbuhan akar (Gambar 2). Rataan jumlah akar yang mampu dihasilkan
micro agar adalah sebanyak 2,9 akar per eksplan, agar swallow 0,99 akar per eksplan
dan gelrite 0,71 akar per eksplan. Artinya media tumbuh dengan micro agar
memberikan hasil yang optimum bagi tanaman talas satoimo untuk tumbuh dengan baik
karena kemampuan tanaman dalam menyerap unsur haranya lebih tinggi dibanding 2
jenis agar lainnya yaitu agar swallow dan gelrite.

Tabel 4. Pengaruh bahan pemadat terhadap tinggi, jumlah akar dan jumlah tunas yang
terbentuk
Jenis agar Tinggi tunas (cm)* Jumlah akar* Jumlah tunas yang
terbentuk*
Micro agar 0,95 2,9 0,9 a 3,5 0,4 a
0,03 a
Agar Swallow 0,55 0,11 b 0,7 0,5 b 2,0 0,5 b
Agar Gelrite 0,4 0,12 b 0,4 0,3 b 1,4 0,4 b
Standar Deviation 0,37 2,12 1,6
*Angka rerata standard error yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf
kepercayaan 95%.

A B C

87
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

D E F

akar
akar akar

Gambar 2. Tunas dan akar pada media dengan bahan pemadat micro agar (A dan D),
gelrite (B dan E) dan agar swallow (C dan F).

Kesimpulan
Pada penelitian ini jenis agar yang yang paling baik digunakan sebagai bahan
pemadat pada kultur jaringan talas satoimo adalah micro agar yang ditunjukkan oleh
parameter pertumbuhan tanaman seperti tinggi dan jumlah tunas serta jumlah akar
memliki nilai tertinggi dibandingkan 2 jenis agar lainnya. Penggunaan bahan pemadat
media yang bersumber dari agar swallow masih merupakan pilihan mengingat agar
untuk kultur jaringan seperti micro agar mempunyai karakteristik fisik yang lebih baik
dari pada agar swallow.

Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Dr. N Sri Hartati yang banyak membantu
dalam penulisan makalah ini.

Daftar Pustaka
Alejo, N.O. 2005. Capsaicin accumulation in Capsicum spp. Suspension culture.
Plant Science 318: 327-334.
Badan Litbang Pertanian. 2011. Prospek Teknik Kultur Jaringan untuk Pengadaan
Bibit Pisang. Agroinovasi edisi 19-25 Oktober 2011. No.3427.
Basri, 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Tadulako Press. Palu.
Seswita D., I. Marsika, E. Gati. 2012. Aplikasi Kultur Jaringan untuk Perbanyakan
Klonal Tanaman Kencur. Warta Tumbuhan Obat Indonesia, Vol.3 No.2.
Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang. 2001. Umbi-Umbian (Tanaman Talas).
http://tanamanpangan.deptan.go.id/doc-upload/talas.pdf. Diakses tanggal 30
Oktober 2012.
Hartmann, H.T., D.E. Kester, dan F.T. Davies. 1990. Plant Propagation: Principles
and Practices. 5th Edition. Prentice Hall Inc., Singapore.
Maliro, M.F.A., dan G. Lameck. 2004. Potential of Cassava Flour as A Gelling
Agent in Media for Plant Tissue Cultures. African Journal of Biotechnology 3
(4): 244-247.
Matjik, N.A. 2005. Peranan kultur jaringan dalam perbaikan tanaman. Orasi Ilmiah
Guru Besar IPB. FP IPB, Bogor.
88
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Niba, L.L. 2003. Processing Effects on Susceptibility of Starch to Digestion in


Some Dietary Starch Sources. International Journal of Food Nutrition 5: 97-
109.
Onwueme, I.C. 1999. Taro Cultivation in Asia and Pacific (FAO-RAP Publication
No. 1999/16).
Pierik, R. L. M. 1987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publ.,
Netherlands. 344pp.
Priadi, D., H. Fitriani, dan E. Sudarmonowati. 2008. Pertumbuhan In Vitro Tunas
Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) pada Berbagai Bahan Pemadat
Alternatif Pengganti Agar. Biodiversitas 9 (1): 9-12.
Pudjiatmoko. 2008. Talas Jepang Satoimo.
http://atanitokyo.blogspot.com/2008/04/talas-jepang-satoimo.html. Diakses
tanggal 30 Oktober 2012.
Purseglove, J. W. 1972. Tropical Crops, Monocotyledon. Longman, London.
Scholten, H.J. and R.L.M. Pierik, 1997. Agar as a gelling agent: chemical and
physical analysis. Biomedical and Life Sciences Plant Cell Reports. Vol. 17
No. 3.
Sudarmonowati E., H. Fitriani, Supatmi, N. Ardiyanti. 2009. Factors Affecting
Friable Embryogenic Callus in Several Plant Species. Journal of
Biotechnology Research in Tropical Region 2 (2): 1979-9756.
Taji, A., William A. Dodd and Richard R. Williams, 1997. Plant Tissue Culture
Practice. 3th Ed. University of New England Printery Armidale, NSW,
Australia.
Thinh, N.T. 1997. Cryopreservation of Germplasm of Vegetatively Propagated
Tropical Monocots by Vitrification. Doctoral Dissertation. Kobe University.
Yusnita. 2004. Kultur Jaringan. Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisisen.
Cetakan Ketiga. Agro Media Pustaka, Jakarta.
Wetherel, D.F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro (Terjemahan).
Avery Publishing Group, New Jersey.

89
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Uji Aktivitas Antioksidan dan Kandungan Tanin Total Daun


Teh (Camellia sinensis Kuntze) dengan Perbedaan Ketinggian
Lahan
Sri Wardatun*1), Sutanto2), Dara A. Pringgadani3)
1,3)
Program Studi Farmasi FMIPA-UNPAK
2)
Program Studi Kimia FMIPA-UNPAK
Email : umi.rafifa@yahoo.com

ABSTRAK
Teh merupakan salah satu minuman yang banyak dikonsumsi sehari-hari oleh
masyarakat. Selain sebagai minuman menyegarkan teh hijau telah lama diyakini bermanfaat
bagi kesehatan tubuh. Manfaat teh salah satunya adalah sebagai antioksidan. Komponen
aktif dalam teh yang memberikan khasiat sebagai antioksidan adalah zat tanin yang cukup
tinggi. Menurut literatur, ketinggian lahan akan mempengaruhi kandungan senyawa aktif
dalam tanaman, sehingga untuk membuktikan pernyataan tersebut dilakukan penelitian
mengenai aktivitas antioksidan dan kadar tanin total pada teh hijau dengan perbedaan
ketinggian lahan. Teh yang digunakan dari ketiga tempat yang berbeda ketinggian lahan
(Gunung Mas 800 1200 m dpl, Gambung 1.300 m dpl dan Rancabali 1.400 1.900m dpl).
Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan pelarut akuabides yang suhu
pelarutnya 500C dan 950C. Penentuan kadar tanin dengan reagen Folin-Ciocalteu, sedangkan
pengujian aktivitas antikosidan menggunakan metode peredaman radikal bebas senyawa
1,1-difenil-2-pikrilhidrazil. Hasil penelitian menunjukkan ketinggian lahan tidak memiliki
perbedaan yang signifikan terhadap kadar tanin dan aktivitas antioksidan, sedangkan Suhu
pelarut akan berbanding lurus dengan kadar tanin terekstrak.

Kata Kunci : antioksidan, tanin, teh

Pengantar
Sejak zaman dahulu teh merupakan salah satu minuman yang sangat populer di
dunia. Di Indonesia teh banyak dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat. Selain sebagai
minuman yang menyegarkan teh telah lama diyakini memiliki khasiat bagi kesehatan
tubuh. Pada masyarakat pedesaan seduhan teh kental digunakan untuk pertolongan awal
pada penderita diare, bahkan seduhan teh pada sebagian masyarakat diyakini
bermanfaat sebagai obat kuat dan dapat membuat awet muda. Umumnya bagian
tanaman yang digunakan adalah pucuk daun teh yang masih muda dari jenis teh
Cammelia sinensis (Syukur, 2007).Tanaman teh dengan nama latin Camelia sinensis,
pada umumnya tumbuh di daerah yang beriklim tropis dengan ketinggian antara 200 m
- 2000 m di atas permukaan laut dengan cuaca 140C 250C. Tanaman teh tersebut
dibudidayakan secara luas dilebih dari 30 negara dan telah memberikan kontribusi yang
tidak sedikit bagi perekonomian negara-negara tersebut (Fernandez et al., 2002).

91
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Negara-negara yang tercatat sebagai produsen teh terbesar di dunia diantaranya Cina,
India, Srilanka, Jepang, Kenya, Bangladesh dan Indonesia (Kumar et al., 2005).
Sejumlah penelitian baik secara epidemiologi maupun farmakologi menyatakan
bahwa mengkonsumsi teh dapat menurunkan resiko terkena kanker,jantung koroner dan
mencegah penuaan dini. Senyawa dalam teh yang berkhasiat untuk menurunkan resiko
terkena kanker,jantung koroner, dan mencegah penuaan dini adalah senyawa
antioksidan. Zat aktif pada teh yang dapat berfungsi sebagai antioksidan adalah Tanin.
Tanin pada teh ini adalah antioksidan yang kekuatannya 100 kali lebih efektif
dibandingkan vitamin C dan 25 kali lebih tinggi dibandingkan vitamin E (Anonimous,
2007).
Menurut Chen (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya aktivitas
antioksidan teh sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia dalam teh tersebut.
Jenis tanaman, jenis petikan, ketinggian kebun dan klon sangat mempengaruhi
kandungan kimia tersebut. Berdasarkan kondisi tanah dan iklim lingkungannya, hampir
100% tanaman teh di Indonesia merupakan tanaman teh Cammelia sinensis varietas
assamica. Varietas ini mempunyai kandungan tanin yang lebih tinggi dibandingkan
dengan varietas sinensis yang dibudidayakan di Jepang, China dan Taiwan sehingga
potensinya sebagai antioksidan lebih baik ( Williams et al., 2003). Menurut Sulistyono
(1995) tinggi tempat berpengaruh terhadap suhu udara dan intensitas cahaya. Suhu dan
intensitas cahaya akan semakin kecil dengan semakin tingginya tempat tumbuh
Berkurangnya suhu dan intensitas cahaya dapat menghambat biosintesis tumbuhan dan
kandungan senyawa dalam tumbuhan. Maka perlu dilakukan penelitian terhadap daun
teh dengan perbedaan ketinggian lahan sebagai pembuktian bahwa ketinggian lahan
akan mempengaruhi kandungan tanin pada teh dan untuk mengetahui jenis daun teh
yang memiliki aktivitas tertinggi sebagai antioksidan. Dalam penelitian ini metode yang
digunakan untuk menentukan kandungan tanin dalam daun teh adalah metode
spektrofotometri UV-VIS karena mudah digunakan, cepat, akurat dan tidak ada
komponen yang mengganggu reaksi. Untuk membuktikan bahwa ketinggian lahan dan
perbedaan suhu maserasi dapat mempengaruhi kandungan tanin dan aktivitas
antioksidan daun teh (Camellia sinensis Kuntze).

Bahan dan Metode


Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah simplisia daun teh hijau (Camellia sinensis Linn)
yang berasal dari perkebunan teh PTPN VIII Gunung Mas Puncak Bogor, PPTK
Gambung Ciwidey Bandung ketinggian dan PTPN XII Rancabali Ciwidey Bandung.
Asam galat, asam klorida, etanol, metanol, DPPH, serbuk magnesium, asam klorida
pekat, eter, asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat, besi (III) klorida,akuabides, pereaksi
Folin Ciocalteu 2N (Merck), Na2CO3 7,5%, pereaksi Mayer, dan pereaksi Bouchardat.
Alat yang digunakan adalah timbangan analitik (ACIS), termometer, waterbath,
spektrofotometer UV-VIS (GENESYS 10 UV) dan alat gelas lainnya.

92
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Metode
Jenis penelitian merupakan penelitian eksperimental di laboratorium meliputi :

Pengumpulan Bahan
Daun teh yang digunakan adalah simplisia daun teh yang diambil dari pucuk sampai
daun ke 3. Daun teh berasal dari perkebunan teh PTPN VIII Gunung Mas Puncak
Bogor, PPTK Gambung Ciwidey Bandung dan PTPN XII Rancabali Ciwidey Bandung.

Penentuan Kadar Air Simplisia


Ditimbangmasing-masing simplisia daun teh 1 g, dimasukkan ke dalam alat
penentu kadar air (Moisture Balance) selama 10 menit.

Pembuatan Ekstrak
1. Sebanyak 50 g simplisia daun teh dimaserasi dengan 500 ml akuabides yang
suhunya 500C selama 1 jam, kemudian disaring hingga dihasilkan ekstrak encer.
Setiap ekstrak disimpan dalam botol coklat.
2. Sebanyak 50 g simplisia daun teh dimaserasi dengan 500 ml akuabides yang
suhunya 950C selama 5 menit, kemudian disaring hingga dihasilkan ekstrak
encer. Setiap ekstrak disimpan dalam botol coklat.

Analisis Fitokimia
Meliputi uji alkaloid, uji flavanoid, uji saponin, uji steroid- triterpenoid, uji tanin
Penetapan Kadar Tanin Total Pada Ekstrak Teh

a. Pembuatan larutan standar asam galat


Ke dalam labu takar 50 ml dimasukkan 50 mg asam galat kemudian ditambahkan
akuabides sampai 50 ml untuk mendapatkan larutan asam galat standar dengan
konsentrasi 1000 mg/l (1000 ppm). Larutan asam galat standar harus selalu
disiapkan dalam keadaan baru.
Pembuatan larutan standar asam galat 20 ppm. Sebanyak 1 ml larutan standar asam
galat 1000 ppm dipipet lalu dimasukkan dalam labu ukur 50 ml dan dilarutkan
dengan akuabides sampai batas.
b. Penentuan panjang gelombang () maksimum
Larutan standar asam galat 20 ppm dipipet 1 ml lalu ditambahkan 5 ml pereaksi
Folin-Ciocalteu 0,1 N dan 4 ml larutan Na2CO3 7,5%. Larutan diinkubasi selama
30 menit pada suhu kamar, selanjutnya serapan diukur pada daerah 700 780
nm. Spektrum absropsi dibuat antara serapan dan panjang gelombang serta
ditentukan panjang gelombang maksimum pada serapan maksimum.
c. Penentuan waktu inkubasi optimum
Larutan asam galat 20 ppm dipipet sebanyak 1 ml lalu ditambahkan 5 ml pereaksi
Folin-Ciocalteu 0,1 N dan 4 ml Na2CO3 7,5%. Serapan diukur pada panjang
gelombang 750 nm tiap 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit, serta ditentukan waktu
optimum (waktu inkubasi yang memberikan serapan cukup stabil). Penentuan
dilakukan 3 kali pengulangan (triplo).
d. Pembuatan kurva kalibrasi

93
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Larutan asam galat 1000 ppm dipipet masing-masing 0, 2 ml, 4 ml, 6 ml, 8 ml dan
10 ml dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml serta diencerkan dengan akuabides
sehingga diperoleh konsentrasi larutan masing-masing 0, 20, 40, 60, 80, dan 100
ppm. Dari masing-masing konsentrasi dipipet 1 ml lalu ditambahkan 5 ml
pereaksi Folin-Ciocalteu 0,1 N dan 4 ml Na2CO3 7,5% selanjutnya diinkubasi pada
suhu kamar selama 50 menit. Serapan dicatat pada panjang gelombang 750 nm
dan dibuat kurva kalibrasi antara serapan dan konsentrasi lalu dibuat persamaan
garisnya. Penentuan dilakukan 3 kali pengulangan (triplo).
e. Penetapan kadar tanin total
Ekstrak daun teh dipipet sebanyak 1 ml, lalu dimasukkan ke dalam labu takar
100 ml dan ditetapkan volumenya dengan akuabides, masing-masing larutan
dipipet 1 ml lalu ditambahkan 5 ml pereaksi Folin-Ciocalteu 0,1 N dan 4 ml
Na2CO3 7,5 % selanjutnya diinkubasi pada suhu kamar selama 50 menit. Serapan
dicatat pada panjang 750 nm dan dihitung kadar tanin pada daun teh tersebut
dengan menggunakan regresi linier dari kurva kalibrasi tanin standar.

Kadar Tanin (ppm)

Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Teh


a. Persiapan Larutan Blanko
Dipipet sejumlah 1,0 ml larutan DPPH 1mM ke dalam labu ukur 5 ml yang
seluruh bagiannya telah ditutup dengan aluminium foil, ditambahkan metanol p.a
sampai tanda batas, lalu dihomogenkan.
b. Penentuan panjang gelombang () maksimum
Dipipet sejumlah 1,0 ml larutan DPPH 1mM ke dalam labu ukur 5 ml yang
seluruh bagiannya telah ditutup dengan aluminium foil, ditambahkan metanol p.a
sampai tanda batas, lalu dihomogenkan. Larutan diinkubasi selama 30 menit pada
suhu kamar, selanjutnya serapan diukur pada daerah 500 530 nm. Penentuan
dilakukan 3 kali pengulangan (triplo).
c. Penentuan waktu inkubasi optimum
Dipipet sejumlah 1,0 ml larutan DPPH 1 mM ke dalam labu ukur 5 ml yang
seluruh bagiannya telah ditutup dengan aluminium foil, ditambahkan metanol p.a
sampai tanda batas, lalu dihomogenkan. Serapan diukur pada panjang gelombang
518 nm tiap 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit, serta ditentukan waktu optimum
(waktu inkubasi yang memberikan serapan cukup stabil). Penentuan dilakukan 3
kali pengulangan (triplo).
d. Persiapan larutan vitamin C (Kontrol positif)
Ditimbang saksama kurang lebih 10 mg vitamin C lalu dilarutkan dalam metanol
sampai 100 ml, sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 100 g/ml (larutan
induk). Dipipet 0 l , 150 l, 300 l, 450 l , 600 l dan 750 l dari larutan induk
94
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

ke dalam labu ukur 5 ml, untuk mendapatkan konsentrasi 0, 3, 6, 9, 12, dan 15


g/ml, kemudian ditambahkan 1 ml DPPH 1 mM dan metanol p.a sampai tanda
batas, lalu dihomogenkan. Seluruh labu ukur ditutup dengan aluminium foil.
e. Persiapan Larutan Uji
Dipipet ekstrak uji yang telah diukur konsentrasinya (Tabel 1):

Tabel 1. Persiapan larutan uji


No Ekstrak Teh Konsentrasi Volume Ekstrak yang
(g/ml) Dipipet (l)
1 Gunung Mas 950 C 161,54 6.190
2 Rancabali 950 C 157,64 6.340
3 Gambung 950 C 120,19 8.320
4 Gunung Mas 500 C 150,86 6.630
5 Rancabali 500 C 99,00 5.050
6 Gambung 500 C 60,19 8.310

Larutan Uji Nomor 1, 2, 3 dan 4


Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, dilarutkan dalam metanol p.a sampai 10
ml sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 100 g/ml (larutan induk).
Dipipet 0l , 150 l, 300 , 450 l, 600 l dan 750 l dari larutan induk ke dalam
labu ukur 5 ml, untuk mendapatkan konsentrasi 0, 3, 6, 9, 12, dan 15 g/ml,
kemudian ditambahkan 1 ml DPPH 1 mM dan metanol p.a sampai tanda batas,
lalu dihomogenkan. Seluruh labu ukur ditutup dengan aluminium foil.

Larutan Uji Nomor 5 dan 6


Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, dilarutkan dalam metanol p.a sampai 10
ml sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 50 g/ml (larutan induk).
Dipipet 0 l, 300 l, 600 l, 900 , 1.200 l, dan 1.500 l dari larutan induk ke
dalam labu ukur 5 ml, untuk mendapatkan konsentrasi 0, 3, 6, 9, 12, dan 15 g/ml,
kemudian ditambahkan 1 ml DPPH 1 mM dan metanol p.a sampai tanda batas,
lalu dihomogenkan. Seluruh labu ukur ditutup dengan aluminium foil.

e. Uji Aktivitas Antioksidan


Larutan blanko, larutan vitamin C (kontrol positif) dan larutan uji kemudian segera
diinkubasi pada suhu kamar selama 50 menit. Serapan larutan diukur pada panjang
gelombang 518 nm dengan spektrofotometer UV-Vis.

Pengukuran persentase hambatan terhadap DPPH dapat dihitung dengan


menggunakan rumus:

Hambatan%= A.blankoA.sampelx 100%


A.blanko

95
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hasil dan Pembahasan


Bahan yang dikumpulkan untuk penelitian ini adalah simplisia daun teh (Camellia
sinensis Kuntze) yang diambil dari 3 pucuk daun teratas. Simplisia teh berasal dari 3
tempat yang memiliki ketinggian berbeda.

Tabel 2. Data Perkebunan Teh


No Tempat Ketinggian Lahan
( m dpl)
1 PTPN VIII Gunung 800 1200
Mas
2 PPTK Gambung 1.300 1.500
3 PTPN XII Rancabali 1.400 1.900

Pengujian kadar air simplisia dilakukan pada simplisia kering daun teh yang
bertujuan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung dalam suatu simplisia daun teh
sehingga mutu simplisia dan ketahanan simplisia dalam penyimpanan dapat diketahui.

Tabel 3. Data Kadar Air Simplisia


No. Sampel Simplisia Rata-rata (%)
1 PTPN VIII Gunung Mas 2,917
2 PTPN XII Rancabali 2,410
3 PPTK Gambung 4,527

Menurut Ditjen POM (2000), kadar air simplisia yang berasal dari daun tidak lebih
dari 5 %. Dari data hasil pengujian kadar air diatas diperoleh kadar air simplisia yang
sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan, sehingga ketiga simplisia tersebut
memiliki mutu yang baik dan dapat disimpan lebih lama di tempat yang kering karena
kemungkinan tumbuhnya mikroba sangat kecil.Kadar air simplisia tertinggi ada pada
simplisia yang berasal dari PPTK Gambung yaitu 4,527 % dan yang terendah ada pada
simplisia yang berasal dari PTPN XII Rancabali yaitu 2,410 % hal ini mungkin terjadi
karena waktu proses pengeringan simplisia PTPN XII Rancabali lebih lama
dibandingkan dengan kedua simplisia yang lainnya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah maserasi pada simplisia daun
teh dengan perbedaan suhu dan waktu maserasi, yaitu pada suhu 500C selama 1 jam dan
suhu 950C selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kandungan tanin dan
aktivitas antioksidan secara langsung seperti yang biasa dilakukan masyarakat dan juga
diharapkan agar kandungan tanin yang terdapat dalam sampel tertarik lebih banyak ke
dalam pelarutnya. Pelarut yang digunakan yaitu akuabides karena akuabides tidak
banyak mengandung senyawa anorganik yang dapat mempengaruhi reaksi pewarnaan,
selain itu tanin bersifat larut dalam air dan aplikasi masyarakat dalam penyeduhan teh
dengan menggunakan air.
Berdasarkan penelitian pada keenam ekstrak simplisia daun teh mengandung
alkaloid, flavanoid, triterpenoid dan tanin serta tidak ada perbedaan kandungan
golongan senyawa pada keenam ekstrak teh. Perbedaan hanya terlihat dari kepekatan
warna yang dihasilkan, dimana ekstrak teh pada suhu 950 C warnanya lebih pekat

96
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

dibandingkan dengan ekstrak teh pada suhu 500C, hal ini mungkin disebabkan karena
jumlah kandungan senyawa pada ekstrak teh pada suhu 950 C lebih banyak
dibandingkan dengan ekstrak teh pada suhu 500C. Dari hasil percobaan pada keenam
ekstrak simplisia daun teh dengan penambahan reagen FeCl3 terbentuk warna hijau,
sehingga dapat disimpulkan pada keenam ekstrak terkandung tanin katekol.
Berdasarkan hasil pengujian panjang gelombang maksimum antara 700 780 nm,
didapatkan serapan cukup stabil dan mencapai titik puncaknya untuk standar asam galat
adalah 750 nm dan waktu inkubasi optimum yang didapatkan yaitu 50 menit. Kurva
kalibrasi ditentukan dengan pembuatan deret standar asam galat dengan konsentrasi 0,
20, 40, 60, 80 dan 100 ppm, lalu diinkubasi selama 50 menit dan diukur serapannya
pada panjang gelombang 750 nm. Berdasarkan hasil pengamatan persamaan regresi
yang didapatkan yaitu y = 0,0059x + 0,0039 dengan nila r = 0,9747.
Dalam menentukan kadar tanin total keenam ekstrak ditetapkan menggunakan
metode spektrofotometri UV-Vis, dimana keenam ekstrak tersebut direaksikan dengan
menggunakan pereaksi Folin-Ciocalteu yang direduksi dalam suasana basa oleh
Na2CO3 dan menghasilkan warna biru.

Tabel 4. Kadar Tanin Total


No. Sampel Rata-rata Serapan Kadar Tanin
(%)
1 Gunung Mas 500C 0,894 15,09
2 Rancabali 500C 0,588 9,90
3 Gambung 500C 0,359 6,02
4 Gunung Mas 950C 0,957 16,15
5 Rancabali 950C 0,934 15,76
6 Gambung 950C 0,713 12,02

Dari data yang ditunjukkan oleh Tabel 4 dapat dilihat bahwa perbandingan kadar
tanin total antara sampel yang berbeda ketinggian lahannya adalah Gunung Mas 950C >
Rancabali 950C > Gambung 950C dan Gunung Mas 500C > Rancabali 500C > Gambung
500C dengan nilai kadar tanin total berturut-turut 16,15% >15,76 % >12,02 % dan
15,09 % > 9,90% >6,02 %, sedangkan perbandingan kadar tanin total antara sampel
yang sama tetapi berbeda suhu adalah Gunung Mas 950C > Gunung Mas 500C,
Rancabali 950C > Rancabali 500C, dan Gambung 950C > Gambung 500C dengan nilai
kadar tanin total berturut-turut yaitu 16,15% > 15,09%, 15,76 % > 9,90% dan 12,02 %
> 6,02%.
Kandungan tanin total tertinggi berdasarkan perbedaan ketinggian lahan ada pada
Gunung Mas 950C dan Gunung Mas 500C, dimana berdasarkan data yang didapatkan
ketinggian lahan di PTPN VIII Gunung Mas lebih rendah dibandingkan dengan
ketinggian lahan di PTPN XII Rancabali dan PPTK Gambung, tetapi PTPN VIII
Gunung Mas memiliki intensitas curah hujan yang cukup tinggi dibandingkan dengan
kedua tempat yang lainnya (Tabel 2). Tinggi rendahnya kandungan tanin sangat
dipengaruhi oleh biosintesis tanaman tersebut, dimana proses pembentukan tanin terjadi
di daun dengan glukosa sebagai bahan awalnya. Glukosa terbentuk melalui proses
reaksi antara karbon dioksida dan air dengan bantuan sinar matahari. Proses biosintesis
dipengaruhi oleh suhu dan intensitas cahaya, dimana suhu dan intensitas cahaya akan
97
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

semakin kecil dengan semakin tingginya tempat tumbuh sehingga berkurangnya suhu
dan intensitas cahaya dapat menghambat biosintesis tumbuhan dan kandungan senyawa
dalam tumbuhan (Sulistyono, 1995). Dari pernyataan tersebut, kandungan tanin total
tertinggi ekstrak simplisia daun teh yang berasal dari PTPN VIII Gunung Mas dengan
ketinggian yang lebih rendah dibandingkan kedua tempat lain kemungkinan terjadi
karena suhu, intensitas cahaya dan curah hujan yang tinggi meningkatkan biosintesis
tanaman teh sehingga kandungan senyawa tanin lebih tinggi dibandingkan dengan
simplisia yang berasal dari PTPN XII Rancabali dan PPTK Gambung.
Kandungan tanin total tertinggi berdasarkan perbedaan suhu ada pada ekstrak teh
yang dimaserasi pada suhu pelarut 950C, hal ini terjadi kemungkinan karena pada suhu
950C senyawa tanin yang terkandung didalam simplisia teh lebih tertarik secara
maksimal ke dalam pelarut karena salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan
suatu zat yaitu suhu, dimana semakin tinggi suhu maka kelarutan akan semakin besar,
sedangkan pada suhu 500C senyawa tanin kurang tertarik sempurna karena suhu yang
kurang panas menyebabkan simplisia daun teh sangat kecil kelarutannya dalam pelarut.
Berdasarkan hasil pengujian panjang gelombang maksimum antara 510 530 nm,
didapatkan serapan cukup maksimum yang mencapai titik puncaknya untuk 1,1-difenil-
2-pikrilhidrazil (DPPH) adalah 518 nm dan waktu inkubasi optimum yang didapatkan
yaitu 50 menit.
Aktivitas antioksidan menggambarkan kemampuan suatu senyawa yang
mengandung antioksidan untuk menghambat laju reaksi pembentukan radikal bebas.
Pengujian aktivitas antioksidan pada penelitian ini menggunakan metode peredaman
terhadap radikal bebas 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil. Pada pengujian ini dilakukan untuk
mengetahui besarnya aktivitas antioksidan pada masing-masing ekstrak uji dalam
meredam radikal bebas 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil yang dapat dilihat dari nilai Inhibisi
Concentration 50 (IC50). Nilai IC50 adalah besarnya konsentrasi antioksidan untuk
menghambat radikal bebas sebesar 50%. Harga IC50 umum digunakan untuk
menyatakan aktivitas antioksidan suatu senyawa dengan metode peredaman radikal
bebas (Chow et.al., 2003).

Tabel 5. Hasil uji aktivitas antioksidan


No. Sampel IC50 (g/ml)
1 Vitamin C 8,43
2 Gunung Mas 500C 8,84
3 Rancabali 500C 9,35
4 Gambung 500C 10,11
5 Gunung Mas 950C 6,85
6 Rancabali 950C 7,20
7 Gambung 950C 8,82

Pada prinsipnya uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan 1,1-difenil-2


pikrilhidrazil (DPPH) adalah mereaksikan antioksidan yang terdapat didalam sampel
ekstrak tanaman dengan 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) sebagai radikal bebas
sehingga terjadi perubahan warna pada struktur 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH)
yang berwarna ungu menjadi 1,1-difenil-2-pikrilhidrazin (DPPHH) yang berwarna

98
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

kuning dan lebih stabil. Pada penelitian ketika penambahan 1 ml DPPH ke dalam
larutan uji, terjadi perubahan warna DPPH yang berwarna ungu gelap menjadi warna
ungu muda, merah jingga, kuning tua dan kuning muda. Perubahan warna yang terjadi
tergantung dari tiap-tiap konsentrasi dan kemampuan larutan uji sebagai antioksidan
untuk menghambat radikal bebas tersebut.
Berdasarkan hasil, persentase hambatan radikal bebas yang mulai mencapai 50%
ada pada konsentrasi 9 g/ml dengan persentase hambatan sebesar 54,33% yang artinya
bahwa vitamin C dapat aktif sebagai antioksidan dimulai pada konsentrasi 9 g/ml,
sedangkan pada konsentrasi 3 dan 6 g/ml vitamin C tidak aktif sebagai antioksidan
karena pada konsentrasi tersebut belum dapat menghambat 50% radikal bebas. Hasil
larutan uji yang tercantum pada Tabel 5 menyatakan bahwa ekstrak teh Gunung Mas
500C (55,93%), Gunung Mas 950C (63,92%) dan Rancabali 950C (65,38%) memiliki
kemampuan sebagai antioksidan yang sama dengan vitamin C dimulai pada konsentrasi
9 g/ml, sedangkan ekstrak Rancabali 500C (59,18%), Gambung 500C (58,10%) dan
Gambung 950C (64,44%) memiliki kemampuan aktif sebagai antioksidan dimulai pada
konsentrasi 12 g/ml.
Berdasarkan data yang didapatkan nilai IC50 ekstrak teh Gunung Mas 500C<
Rancabali 500C< Gambung 500C yaitu 8,84 < 9,35 < 10,11 dan Gunung Mas 950C<
Rancabali 950C< Gambung 950C yaitu 6,85 < 7,20 < 8,82, dapat diartikan bahwa
sampel Gunung Mas 500C dapat menghambat radikal bebas 50% pada konsentrasi 8,84
g/ml, Rancabali 500C pada konsentrasi 9,35 g/ml, Gambung 500C pada konsentrasi
10,11 g/ml, Gunung Mas 950C pada konsentrasi 6,85 g/ml, Rancabali 950C pada
konsentrasi 7,20 g/ml, dan Gambung 950C pada konsentrasi 8,82 g/ml.
Berdasarkan penelitian dan perhitungan data statistik dapat disimpulkan bahwa
perbedaan ketinggian lahan dan suhu maserasi tidak berbeda nyata terhadap kadar tanin
total dan aktivitas antioksidan karena pada seluruh data didapatkan nilai P > 0,05.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
a. Hasil ekstraksi tanin menggunakan pelarut pada suhu 950C lebih baik
dibandingkan ekstraksi tanin dengan pelarut pada suhu 500C, dimana kadar tanin
total terbesar terdapat pada ekstrak teh asal Gunung Mas suhu 950C sebesar
16,15% dan kadar tanin total terendah terdapat pada ekstrak asal Gambung suhu
500C sebesar 6,02%.
b. Nilai IC50 Vitamin C = 8,43 g/ml, nilai IC50 ekstrak teh Gunung Mas 500C<
Rancabali 500C< Gambung 500C yaitu 8,84 < 9,35 < 10,11 dan Gunung Mas
950C< Rancabali 950C< Gambung 950C yaitu 6,85 < 7,20 < 8,82
c. Berdasarkan penelitian dan perhitungan data statistik dapat disimpulkan bahwa
perbedaan ketinggian lahan dan suhu maserasi tidak berbeda nyata terhadap kadar
tanin total dan aktivitas antioksidan karena pada seluruh data didapatkan nilai P >
0,05.

99
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Saran
a. Untuk mengetahui perbedaan yang nyata antara pengaruh ketinggian lahan dengan
kadar tanin total dan aktivitas antioksidan sebaiknya menggunakan daun teh yang
berasal dari ketinggian tempat dengan range yang berbeda jauh
b. Ekstraksi teh dilakukan pada suhu 950C.
c. Meneliti senyawa lain pada teh yang dapat berfungsi sebagai antioksidan.

Daftar Pustaka
Anonimous. 2007. Antioksidan sebagai Penangkal Penuaan. Dikutip dari: News
Letter PT. Askes
Chen H., 2005. Components and Antioxidant Activity of Polysaccharide Conjugate
From Green Tea. Food Chemistry 90 (1-2):17
Chow S.T., WW Chaw and YC Chung. 2003. Antioxidant Activity and Safety of
50% ethanolic red bean extract (Phaceolus raditus L, Var Aurea). Journal of
Food Science. 68(1):21-25
Fernandez P. L., Pablos F., Martin M. J. and Gonzales A. G., 2002. Study of
Catechin and Xanthine Tea Profiles as Geographical Tracers. Journal Agric
Food Chemical. 50(7): 1833-1839
Kumar A. G., Nair G. C., Reddy A. V. R. and Garg A. N., 2005. Availability of
essential elements in Indie and US Tea Brands. Food Chemistry 89 (3):441
Sulistyono. 1995. Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Pertumbuhan. Majalah
Trubus. Jakarta : Trubus Agrisarana. Hal: 5- 6
Syukur, C., 2007. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat Industri.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,13 (3).Hal: 28-31
Williams SN., Picwell G.V. and Quattrochin L. C., 2003. A combination of Tea
(Camellia sinensis) Catechin is Required for Optimal Inhibition of Induced
CYP1A Expression by Green Tea Extract. J Agric Food Chem. 51: 6627-
6634

100
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kandungan Aflatoksin (B1, B2, G1 DAN G2) Pada Kacang


Tanah (Arachis Hypogaea L) di Pasar Tradisional Daerah
JABOTABEK
Ade Heri Mulyati*, Husain Nasrianto, Eka Rachmawati
Program Studi Kimia FMIPA Universitas Pakuan Bogor.
E-mail: adeherimulyati@yahoo.com

ABSTRAK
Parameter penting dalam penentuan kacang tanah yaitu aflatoksin (B1, B2. G1 dan G2),
karena dapat menyebabkan kanker hati. Kacang tanah di pasar tradisional Jabotabek pada
penyimpanan 1, 2, 3 dan 4 minggu dianalisis secara fisik yaitu butir rusak, butir belah, butir
warna lain, butir keriput, kotoran dan diameter, dan secara kimia yaitu kadar air dan
aflatoksin dengan metode KCKT. Hasil uji menunjukkan kandungan aflatoksin (B1, B2, G1
dan G2) yang memenuhi persyaratan standar BPOM tahun 2004, aflatoksin B1 kurang dari
20 ppb dan aflatoksin total kurang dari 35 ppb dan aflatoksin meningkat setelah
penyimpanan 4 minggu. Kadar air, kadar butir rusak, kadar butir belah dan kadar butir
keriput pada kacang tanah meningkat selama penyimpanan sedangkan kadar butir warna
lain, kotoran dan diameter tidak mengalami perubahan. Butir kacang tanah dengan kadar air
yang tinggi selama penyimpanan akan mengalami butir keriput dan butir rusak yang rentan
terhadap infeksi Aspergillus flavus yang dapat meningkatkan kadar aflatoksin.

Kata Kunci : Kacang Tanah,Aspergillus flavus, Aflatoksin, KCKT

Pengantar
Di Indonesia, kacang tanah merupakan jenis kacang-kacangan yang penting kedua
setelah kedelai. Kacang tanah dapat dimanfaatkan secara luas, baik untuk diolah lebih
lanjut atau dikonsumsi secara langsung. Hasil olahannya dapat berupa kacang goreng,
kacang rebus, bumbu pecel, bumbu sate, dan berbagai macam kue. Kacang tanah juga
dapat digunakan sebagai bahan pembuat minyak goreng dan ampas hasil minyaknya
dapat dijadikan pakan ternak yang kaya akan protein. Penyimpanan kacang tanah sangat
peka terhadap serangan jamur, hama, dan rayap. Tingkat kerusakan dalam penyimpanan
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu cara penanganan pasca panen
(pengeringan, perontokan, dan penyimpanan). Penanganan pasca panen tersebut sangat
berpengaruh terhadap mutu awal kacang tanah seperti : kadar air, tingkat kerusakan, dan
kematangan biji sebelum disimpan. Faktor lain adalah cara dan kondisi lingkungan,
seperti suhu dan kelembaban, serta sirkulasi udara dalam ruang penyimpanan. Indonesia
yang memiliki iklim tropis-basah, ternyata memberi peluang besar terhadap tumbuh-
suburnya berbagai jenis kapang pada komoditi pertanian.Beberapa jenis kapang mampu
memproduksi racun yang disebut mikotoksin dan racun yang secara khusus diproduksi
oleh kapang Aspergillus flavus disebut aflatoksin. Substrat (bahan) yang paling baik
bagi kapang yang memproduksi aflatoksin adalah produk yang berasal dari kacang
tanah (Winarno, 2004).

101
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kacang tanah (Arachis Hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal dari
Amerika Selatan namun saat ini telah menyebar ke seluruh dunia yang beriklim tropis
atau subtropis. Biji kacang tanah kaya akan nutrisi karena mengandung karbohidrat,
protein dan lemak sehingga dapat menjadi subtrat yang baik bagi pertumbuhan kapang.
Faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan kapang antara lain kadar air dan kualitas
biji-bijian yang dipengaruhi oleh cara pemanenan dan penanganan pascapanen. Kualitas
kacang tanah ditentukan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3921-1995.

Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Kacang Tanah (Arachis Hypogaea L.)


Persyaratan Mutu
Jenis Uji Satuan
I II III
Kadar air % Maks. 6 Maks. 7 Maks. 8
Butir rusak % Maks. 0 Maks. 1 Maks. 2
Butir belah % Maks. 1 Maks. 5 Maks. 10
Butir warna lain % Maks. 0 Maks. 2 Maks. 3
Butir keriput % Maks. 0 Maks. 2 Maks. 4
Kotoran % Maks. 0 Maks. 0,5 Maks. 3
Diameter mm Min. 8 Min. 7 Min. 6
Sumber : SNI 01-3921-1995

Tabel 2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Kacang Tanah (Arachis Hypogaea L.)


Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu
Aflatoksin B1 ppb Maks. 20
Aflatoksin total ppb Maks. 35
Sumber : BPOM RI tahun 2004

Aflatoksin diproduksi oleh kapang Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus atau


Aspergillus monius, ketiga spesies kapang ini banyak terdapat pada bahan pangan
seperti sereal, kacang-kacangan, rempah-rempahan, dan kopra maupun produk
olahannya seperti bumbu pecel, kacang telur dan kacang atom. Kapang ini biasanya
tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan lembab. Saat ini telah diketahui paling
sedikitnya 4 macam aflatoksin alamiah yang paling sering dijumpai dan bersifat toksin,
yaitu aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 berdasarkan penampakan fluoresensinya pada
lempeng kromatografi lapis tipis dibawah sinar UV yang memberikan warna biru untuk
B dan warna hijau untuk G (Winarno, 2008). Aflatoksin B1 merupakan karsinogen
paling potensial yang banyak menyerang berbagai spesies termasuk primata, burung
ikan, dan rodensia. Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat menyebabkan efek akut.
Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak dan mempunyai efek buruk terhadap paru-
paru, miokarbium dan ginjal. Efek kronik dan sub akut aflatoksin pada manusia yaitu
penyakit hati seperti kanker hati, hepatitis kronik, penyakit kuning, sirosis hati.
Aflatoksin dapat pula mengakibatkan gangguan penyerapan makanan, gangguan
pencernaan akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada
konsentrasi rendah secara terus menerus. Pemanasan hingga 250oC tidak efektif untuk
menginaktifkan senyawa aflatoksin sehingga bahan pangan yang terkontaminasi
aflatoksin biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi. Kapang ini biasanya tumbuh pada
penyimpanan yang tidak dipengaruhi faktor kelembaban (minimun 7%) dan

102
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

bertemperatur tinggi, daerah tropis merupakan tempat berkembangbiak paling ideal


bagi kapang tersebut. Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit, koloni yang sudah
menghasilkan spora berwarna coklat kehijauan hingga kehitaman (Dwidjoseputro,
1989).

Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus


(Sumber: Indrawati, 2006)

Bila Aspergillus flavus telah memproduksi aflatoksin maka biji akan terasa pahit.
Kandungan aflatoksin yang tinggi dikenali dari warna biji yang coklat dan rasa yang
makin pahit. Infeksi Aspergillus flavus dan produksi aflatoksin pada biji-bijian atau
kacang-kacangan melibatkan tiga faktor yaitu varietas tanaman kacang-kacangan yang
peka, Aspergillus flavus yang ganas dan agresif, serta lingkungan yang kondusif bagi
perkembangan dan produksi aflatoksin. Kondisi optimum untuk menghasilkan
aflatoksin adalah pada suhu 25-30oC dengan kelembaban relatif 85% dan pertumbuhan
jamur tersebut optimum pada kandungan air 15-30%. (Dwidjoseputro, 1989).

Bahan dan Metode


Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu kacang tanah yang diambil secara acak dari berbagai
macam pasar tradisional di daerah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, masing-
masing kota diambil dari 2 pasar dengan 2 sampel, Metanol (HPLC grade), Acetonitrile
(HPLC grade), standar aflatoksin mix (B1, B2, G1, G2), aquabidest, TFA (triflouroacetic
acid), NaCl p.a, Gas Nitrogen.
Alat yang digunakan yaitu blender, timbangan analitik, botol timbang, oven,
desikator, jangka sorong, kertas saring, filter microfiber, immunoaffinity column
(Vicam), syringe plastik, vial amber 2 ml, vortex, milipore 45m, ultrasonic, corong,
kaca arloji, pipet serologi 10 ml dan 25 ml, gelas ukur, erlenmeyer 250 ml, piala gelas
100 ml, tabung sentrifuge 50 ml, pipet eppendorf 100 L dan 1000 L. Kolom C-18
Lichrospher (250 mm x 4.0 mm) dengan ukuran partikel 5m, HPLC (Agilent
Technologies 1120) Compact LC Pump, Agilent Technologies 1200 Series Detector.

Metode
Sampling kacang tanah dilakukan di 2 (dua) pasar tradisional di Jabotabek. Masing
masing pasar diambil dua sampel @ 1000 gram pada awal penyimpanan, selanjutnya
kacang tanah disimpan 1, 2, 3 dan 4 minggu. Analisis dilakukan secara fisik dan kimia.

103
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Analisis secara fisik yaitu butir rusak, butir belah, butir warna lain, butir keriput, kotoran
dan diameter, (SNI 01-3921-1995), sedangkan analisis kimia yaitu pengujian kadar air
(SNI 01-2891-1992) dan kadar aflatoksin (AOAC Official Method 991.31) .

Analisis Kadar Aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) (AOAC Official Method 991.31)
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Agilent Technologies 1120 Compact LC Pump,
Agilent Technologies 1200 Series Detector, Fase GerakAcetonitrile:Metanol :
Aquabidest (1:3:6), Laju alir 1,0 ml / menit, volume injeksi sebesar 20 L, detektor
fluorescense pada panjang gelombang eksitasi 365 nm dan panjang gelombang emisi
450 nm, menggunakan kolom Rp-18 Lichrospher dengan panjang 250 mm dan
diameter 4.0 mm dengan ukuran partikel 5m.

Preparasi Larutan Standar


Standar campuran aflatoksin 250 ppb dibuat dengan cara memipet 50 Lstandar
induk aflatoksin 5000 ppb, kemudian diencerkan dengan 950 L acetonitrile dan
dihomogenkan. Standar campuran aflatoksin 25 ppb dibuat dengan cara memipet 100
L standar induk aflatoksin 250 ppb, kemudian diencerkan dengan 900 L acetonitrile
dan dihomogenkan. Deret standar aflatoksin 1 ppb ; 2 ppb ; 5 ppb ; 10 ppb ; 25 ppb ; 50
ppb ; dan 100 ppb di buat dengan cara seperti yang tertera pada Tabel 3.Kemudian
masing-masing deret standar yang telah dibuat dimasukkan ke dalam vial amber,
setelah dicampur larutan dikocok sampai homogen.

Tabel 3. Pembuatan Deret Standar Aflatoksin


Deret Standar Std 25 ppb Std 250 ppb
Acetonitrile (L)
(ppb) (L) (L)
1 40 - 960
2 80 - 920
5 200 - 800
10 400 - 600
25 - 100 900
50 - 200 800
100 - 400 600

Preparasi Sampel
Ditimbang dengan teliti sebanyak 25 gram sampel kacang tanah dan 5 gram serbuk
NaCl dimasukkan ke dalam blender, ditambahkan 125 ml metanol 70%, diblender
dengan kecepatan tinggi selama 2 menit. Larutan disaring dengan kertas saring.Dipipet
15 ml filtrat kemudian diencerkan dengan 30 ml aquabidest, kocok sampai homogen.
15 ml fitrat dilewatkan ke immunoaffinity column dengan kecepatan 1 tetes per detik,
dilewatkan 10 ml aquabidest ke immunoaffinity column dengan kecepatan 2 tetes per
detik. Setelah semua cairan turun, didorong dengan syringe hingga keluar udara dan
dibuang cairan yang ditampung, dilewatkan 1 ml methanol ke immunoaffinity column,
ditampung tetesan ke dalam vial amber.

104
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Derivatisasi Standar dan Sampel


1 ml standar atau sampel dalam metanol dalam vial amber diuapkan dengan gas
nitrogen sampai kering. Setelah kering ditambahkan 100 L TFA (tri fluoro acetic acid)
dan divortex selama 30 detik, diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit (lindungi
dari cahaya), ditambahkan 900 L campuran acetonitril-aquabidest (1: 9), divortex
selama 30 detik. Sampel diinjeksikan ke sistem kromatografi dan dihitung kadar
aflatoksin dalam sampel.

Hasil dan Pembahasan


Kualitas kacang tanah yang beredar di pasar tradisional daerah Jabotabek selama 4
minggu penyimpanan, dianalisis kadar aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2), dan parameter
tambahan kadar air, butir rusak, butir belah, butir warna lain, butir keriput, kotoran dan
diameter.

Kadar Butir Rusak, Butir Belah, Butir Warna Lain, Butir Keriput, dan Kotoran
Hasil analisis kadar butir rusak pada kacang tanah di pasar tradisional di daerah
Jabotabek meningkat selama 4 minggu penyimpanan. Kadar butir rusak dan butir belah
tertinggi terdapat di pasar A-2 sebesar 2,18% (Tabel 4) dan 18,53% (Tabel 5). Kadar
butir warna lain dan kotoran tidak mengalami peningkatan yaitu 0% (Tabel 6). Kadar
butir keriput tertinggi terdapat di pasar G-2 sebesar 23,60% (Tabel 7) sedangkan kadar
kotoran tertinggi terdapat di pasar B-1sebesar 0.30% (Tabel 8).

Tabel 4. Kadar Butir Rusak di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek


Kota Pasar Butir Rusak
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
Ke-0 Ke-1 Ke-2 Ke-3 Ke-4
Jakarta Ps. Minangkabau 1 0,94 0,94 1,12 1,12 1,13
Ps. Minangkabau 2 1,99 1,99 2,00 2,14 2,18
Ps. Rumput 1 1,54 1,54 1,55 1,69 1,77
Ps. Rumput 2 1,86 1,86 2,04 2,04 2,05
Bogor Ps. Bogor 1 0,48 0,48 0,53 0,53 0,70
Ps. Bogor 2 0,40 0,40 0,57 0,57 0,61
Ps. Anyar 1 1,43 1,43 1,60 1,60 1,60
Ps. Anyar 2 1,06 1,06 1,06 1,20 1,25
Tanggerang Ps. Kota Bumi 1 0,72 0,73 0,73 0,87 0,91
Ps. Kota Bumi 2 0,43 0,43 0,51 0,52 0,68
Ps. Jati Uwung 1 0,29 0,29 0,46 0,46 0,50
Ps. Jati Uwung 2 1,28 1,28 1,28 1,34 1,50
bekasi Ps. Tambun 1 1,16 1,16 1,33 1,33 1,38
Ps. Tambun 2 1,19 1,19 1,36 1,36 1,41
Ps. Kranji-1 0,56 0,56 0,56 0,72 0,73
Ps. Kranji-2 0,41 0,41 0,58 0,58 0,66

105
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 5. Kadar Butir Belah di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek


Kota Pasar Butir Belah (%)
Minggu Minggu Minggu Minggu Ke- Minggu
Ke-0 K-1 Ke-2 3 Ke-4
Jakarta Ps. Minangkabau 1 9,08 9,09 9,09 9,53 9,54
Ps. Minangkabau 2 18,46 18,46 18,51 18,52 18,53
Ps. Rumput 1 8,87 8,87 8,91 8,92 8,92
Ps. Rumput 2 5,95 5,95 5,96 6,05 6,05
Bogor Ps. Bogor 1 3,67 3,67 3,87 3,88 3,89
Ps. Bogor 2 6,48 6,48 6,53 6,54 6,54
Ps. Anyar 1 7,75 7,75 7,75 7,88 7,88
Ps. Anyar 2 5,92 5,92 5,98 6,06 6,07
Tanggerang Ps. Kota Bumi 1 2,52 2,52 2,57 2,65 2,65
Ps. Kota Bumi 2 5,61 5,61 5,70 5,78 5,78
Ps. Jati Uwung 1 2,27 2,27 2,32 2,41 2,42
Ps. Jati Uwung 2 2,73 2,73 2,79 2,88 2,88
bekasi Ps. Tambun 1 6,85 6,85 6,96 6,96 6,96
Ps. Tambun 2 13,48 13,48 13,58 13,58 13,60
Ps. Kranji-1 5,84 5,84 5,89 5,89 5,92
Ps. Kranji-2 6,47 6,47 6,53 6,53 6,58

Tabel 6. Kadar Butir Warna Lain di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek


Kota Pasar Butir Warna Lain (%)
Minggu Minggu Minggu Minggu Ke- Minggu
Ke-0 Ke-1 Ke-2 3 Ke-4
Jakarta Ps. Minangkabau 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Minangkabau 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Rumput 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Rumput 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Bogor Ps. Bogor 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Bogor 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Anyar 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Anyar 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Tanggerang Ps. Kota Bumi 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Kota Bumi 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Jati Uwung 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Jati Uwung 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
bekasi Ps. Tambun 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Tambun 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Kranji-1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Kranji-2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Tabel 7. Kadar Butir Keriput di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek


Kota Pasar Butir Keriput (%)
Minggu Minggu Minggu Minggu Ke- Minggu
Ke-0 Ke-1 Ke-2 3 Ke-4
Jakarta Ps. Minangkabau 1 11,36 11,36 11,37 11,38 11,38
Ps. Minangkabau 2 18,99 19,00 19,01 19,01 19,01
Ps. Rumput 1 12,49 12,50 12,53 12,58 12,58
Ps. Rumput 2 10,23 10,23 10,27 10,32 10,32
Bogor Ps. Bogor 1 10,03 10,03 10,13 10,18 10,18
Ps. Bogor 2 14,28 14,28 14,42 14,47 14,47
Ps. Anyar 1 13,86 13,86 13,86 14,02 14,02
Ps. Anyar 2 17,92 17,92 17,92 18,06 18,06
Tanggerang Ps. Kota Bumi 1 10,34 10,34 10,43 10,47 10,47
Ps. Kota Bumi 2 12,68 12,68 12,77 12,81 12,81
Ps. Jati Uwung 1 18,94 18,94 18,94 18,95 18,95
Ps. Jati Uwung 2 10,98 10,98 10,99 10,99 10,99
bekasi Ps. Tambun 1 20,44 20,44 20,63 20,67 20,67

106
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Ps. Tambun 2 23,32 23,33 23,50 23,58 23,60


Ps. Kranji-1 14,21 14,21 14,25 14,35 14,36
Ps. Kranji-2 9,77 9,77 9,93 10,02 10,03

Tabel 8. Kadar Kotoran di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek


Kota Pasar Kotoran (%)
Minggu Minggu Minggu Minggu Ke- Minggu
Ke-0 Ke-1 Ke-2 3 Ke-4
Jakarta Ps. Minangkabau 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Minangkabau 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Rumput 1 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30
Ps. Rumput 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Bogor Ps. Bogor 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Bogor 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Anyar 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Anyar 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Tanggerang Ps. Kota Bumi 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Kota Bumi 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Jati Uwung 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Jati Uwung 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
bekasi Ps. Tambun 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Tambun 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Kranji-1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Ps. Kranji-2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Peningkatan kadar butir rusak, butir belah, butir keriput selama penyimpanan
kemungkinan disebabkan oleh serangan serangga. Serangan serangga pada biji-bijian
dapat menyebabkan kerusakan, sehingga cendawan dapat menyerang biji dengan lebih
mudah.Selain itu serangga dapat membawa spora cendawan pada permukaan tubuhnya
dan keberadaan serangga dapat meningkatkan suhu dan kelembaban sehingga
cendawan dapat tumbuh dengan baik. Diantara mikroorganisme yang mengkoloni biji-
bijian, cendawan merupakan organisme yang paling toleran terhadap kadar air yang
rendah dan paling berperan dalam penyebab kerusakan. Butir kacang tanah dengan
kadar air yang tinggi akan mengakibatkan butir keriput dan butir rusak. Butir keriput
dan biji rusak rentan terhadap infeksi Aspergillus flavus.

Kadar Air
Kadar air merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan Aspergillus
flavus. Berdasarkan Tabel hasil analisis kadar air pada kacang tanah di pasar tradisional
daerah Jabotabek meningkat selama 4 minggu penyimpanan. Kadar air tertinggi
terdapat di pasar C-1 7,93% (Tabel 9). Kadar air kacang tanah dipengaruhi oleh suhu,
kelembaban, aktivitas respirasi biji, serangga dan cendawan, faktor ketinggian diatas
permukaan laut dan curah hujan di setiap kota.Kadar air kacang tanah di setiap kota
selama empat minggu penyimpanan masih tergolong aman untuk disimpan. SNI 01-
3921-1995 menetapkan bahwa kadar air biji kacang tanah yang aman untuk disimpan
adalah 6-8%.

107
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 9. Kadar Air di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek


Kota Pasar Kadar Air (%)
Minggu Minggu Minggu Minggu Ke- Minggu
Ke-0 Ke-1 Ke-2 3 Ke-4
Jakarta Ps. Minangkabau 1 7,30 7,31 7,32 7.33 7,34
Ps. Minangkabau 2 7,00 7,02 7,03 7,04 7,05
Ps. Rumput 1 7,15 7,16 7,17 7,17 7,18
Ps. Rumput 2 7,40 7,40 7,41 7,41 7,42
Bogor Ps. Bogor 1 7,92 7,92 7,92 7,93 7,93
Ps. Bogor 2 7,78 7,79 7,81 7,82 7,83
Ps. Anyar 1 7,79 7,79 7,82 7,82 7,83
Ps. Anyar 2 7,76 7,79 7,80 7,81 7,83
Tanggerang Ps. Kota Bumi 1 7,27 7,29 7,30 7,31 7,34
Ps. Kota Bumi 2 7,88 7,90 7,91 7,92 7,92
Ps. Jati Uwung 1 7,46 7,48 7,49 7,51 7,52
Ps. Jati Uwung 2 7,07 7,11 7,12 7,13 7,15
bekasi Ps. Tambun 1 6,74 6,76 6,77 6,78 6,79
Ps. Tambun 2 6,37 6,39 6,40 6,42 6,42
Ps. Kranji-1 6,57 6,62 6,63 6,65 6,68
Ps. Kranji-2 6,61 6,64 6,66 6,67 6,70

Kadar Aflatoksin
Hasil analisis aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) pada kacang tanah di pasar tradisional
daerah Jabotabek meningkat selama 4 minggu penyimpanan. Kandungan aflatoksin B1
tertinggi (6,03 ppb) (Tabel 10) terdapat di pasar E-2, aflatoksin B2 tertinggi (3,93 ppb)
terdapat di pasar E-1, aflatoksin G1 tertinggi (0,33 ppb) terdapat di pasar G-1,
sedangkan aflatoksin G2 tertinggi (0,52 ppb) terdapat di pasar B-1.

108
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 10. Kadar Aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek
Kadar Aflatoksin (ppb)
Kota Pasar
B1 (minggu ke) B2(minggu ke) G1(minggu ke) G2(minggu ke)
0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4
Ps.
0,29 0,29 0,33 0,34 - - - - - - - - - - - - - - -
Minangkabau1
Ps.
Jakarta 0,32 0,33 0,34 0,36 0,36 - - - - - - - - - - - - - - -
Minangkabau2
Ps. Rumput 1 4,67 4,70 4,72 4,74 4,74 0,37 0,38 0,40 0,41 0,41 0,17 0,18 0,19 0,20 0,19 0,47 0,49 0,50 0,52 0,52
Ps. Rumput 2 0,12 0,13 0,13 0,16 0,17 - - - - - - - - - - - - - - -
Ps. Bogor 1 0,07 0,09 0,10 0,13 0,14 - - - - - - - - - - - - - - -
Ps. Bogor 2 2,92 2,93 2,94 2,96 2,98 1,52 1,54 1,56 1,56 1,56 - - - - - - - - - -
Bogor
Ps. Anyar 1 0,47 0,48 0,49 0,53 0,54 - - - - - - - - - - - - - - -
Ps. Anyar 2 1,05 1,05 1,06 1,07 1,09 0,20 0,21 0,21 0,23 0,22 - - - - - - - - - -
Ps. Kota Bumi
4,92 4,95 4,96 4,96 4,97 3,89 3,91 3,92 3,91 3,98 - - - - - - - - - -
1
Ps. Kota Bumi
5,97 5,97 5,98 5,99 6,03 1,13 1,14 1,14 1,14 1,14 - - - - - - - - - -
2
Tanggerang
Ps. Jati
0,08 0,08 0,09 0,14 0,14 - - - - - - - - - - - - - - -
Uwung 1
Ps. Jati
- 0,08 0,09 0,09 0,11 - - - - - - - - - - - - - - -
Uwung 2

109
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Dharmaputra et.al (1989) menyatakan bahwa laju infeksi Aspergillus flavus dan
produksi aflatoksin sangat dipengaruhi oleh kadar air.Kadar air biji 15-20% sangat
kondusif bagi Aspergillus flavusuntuk menghasilkan aflatoksin sedangkan kadar air biji
seimbang pada kisaran 7-9%. Oleh karena itu untuk mencegah infeksi Aspergillus
flavus, kacang tanah harus disimpan pada kadar air yang sangat rendah atau kadar air
mutlak. Menurut Astanto Kusno (2004) infeksi Aspergillus flavus dan kontaminasi pada
kacang tanah melibatkan tiga faktor yaitu varietas kacang tanah yang peka, Aspergillus
flavus yang ganas dan agresif, serta lingkungan ang kondusif bagi pertumbuhan,
perkembangan dan produksi aflatoksin. Varietas kacang tanah yang ditanam petani
Indonesia umumnya adalah varietas lokal dan varietas unggul yang lama yang peka
terhadap Aspergillus flavus. Musim tanam pada musim kemarau, suhu tanah yang tinggi
pada periode kritis, dan kebiasaan petani untuk tidak segera menjemur polong setelah
panen sangat kondusif bagi infeksi Aspergillus flavus. Kandungan aflatoksin (B1, B2,
G1 dan G2) di pasar tradisional daerah Jabotabek tergolong rendah dan memenuhi
persyaratan BPOM RI tahun 2004 yang menetapkan batas maksimum cemaran
aflatoksin B1 dan total aflatoksin masing-masing adalah 20 ppb dan 35 ppb. Hal ini
diduga karena cara penanganan pascapanennya (pengeringan dan pengupasan polong)
dilakukan secara layak.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
1. Semua sampel kacang tanah yang beredar di pasar tradisional daerah Jabotabek
memiliki kandungan aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) yang memenuhi persyaratan
standar BPOM tahun 2004, kandungan aflatoksin B1 kurang dari 20 ppb dan
aflatoksin total kurang dari 35 ppb dan kandungan aflatoksin meningkat selama 4
minggu penyimpanan.
2. Kadar air, kadar butir rusak, kadar butir belah dan kadar butir keriput kacang tanah
meningkat selama penyimpanan sedangkan kadar butir warna lain, kotoran dan
diameter tidak mengalami perubahan. Butir kacang tanah pada kadar air yang
tinggi selama penyimpanan akan mengalami butir keriput dan butir rusak yang
rentan terhadap infeksi Aspergillus flavus yang dapat memproduksi aflatoksin.

Saran
1. Sebaiknya pemilihan sampel kacang tanah diusahakan memiliki jenis varietas yang
sama.
2. Waktu penyimpanan dilakukan lebih lama agar terlihat pengaruh yang nyata
terhadap produksi aflatoksin pada kacang tanah.
3. Selama penyimpanan suhu dan kelembaban relatif ruang simpan harus dicatat,
karena selain kadar air, suhu dan kelembaban relatif pun dapat mempengaruhi
produksi aflatoksin.

110
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar Pustaka
AOAC. 2005. Official Method 991.31. Aflatoxins In Corn, Raw Peanuts and Peanut
Butter Immunoaffinity Column (Aflatest). Washington DC.
Badan Standarisasi Nasional.Kacang Tanah. SNI-01-3921-1995. ICS 67.180.10
Dharmaputra OS, Tjitrosomo HSS, Susilo HH. 1991. Aspergillus flavus and
aflatoxin in peanuts collected from three markets in Bogor, West Java,
Indonesia. Didalam : Naewbanij JO, editor. Grain Postharvest Research and
Development : Priorities for Nineteeth. Proceedings of the 12th ASEAN
Seminar on Postharvest Technology : Surabaya, 29-31 Aug 1989. Hlm 110-
124.
Dwidjoseputro.1989. Dasar-dasar Mikrobiologi.Jakarta : Jambatan
Freeman, A.F.N.J Morris, dan R.K Willich 1995. Peanut Butter. USA : Departemen
Agriculture.
Gandjar, I. W. Sjamsuridzal, dan A. Oetari.2006. Mikologi Dasar dan Terapan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
N. Saleh, K.H. Hendroatmodjo, Heriyanto, A.Kasno, A.G. manshuri, dan
A.Winarno (Penyunting). Risalah Seminar Nasional Prospek Pengembangan
Agribisnis Kacang Tanah di Indonesia. Balai Penelitian Kacang-kacangan
dan Umbi-umbian, 18-19 Desember 1995.

111
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Koleksi, Kultur Jaringan dan Evaluasi Produksi Umbi


Tacca Leontopetaloides Tanaman Pangan Alternatif Sumber
Karbohidrat

Tri Muji Ermayanti*, Andri Fadillah Martin, Deritha Elffy Rantau

Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI


Jalan Raya Bogor Km 46, Cibinong, 16911
*E-mail : trimujiermayanti@gmail.com

ABSTRAK
Jumlah populasi yang setiap tahun makin tinggi menyebabkan persediaan bahan pangan
utama seperti beras dan jagung juga dituntut meningkat tajam untuk mencukupi kebutuhan
karbohidrat. Upaya pencarian sumber karbohidrat lainnya juga terus dilakukan. Tacca
leontopetaloides merupakan tanaman yang potensial sebagai sumber pangan alternatif
karena kandungan nutrisi pada umbinya mirip dengan kentang. Di Indonesia, tanaman ini
tumbuh terbatas hanya pada beberapa daerah pesisir. Tujuan dari penelitian ini adalah
melakukan koleksi tanaman dari beberapa daerah di indonesia, melakukan perbanyakan
dengan kultur jaringan dan melakukan evaluasi produksi umbi dari tanaman yang ditanam di
lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah berhasil dikoleksi aksesi tanaman dari
Jogyakarta dan sekitarnya, Sukabumi dan Karimunjawa. Kadar air, kadar abu, kadar serat
dan protein umbi tanaman bervariasi tergantung tempat tumbuhnya. Media MS dengan
penambahan 0,5 mg/l kinetin merupakan media terbaik untuk perbanyakan tunas secara
kultur jaringan dibandingkan dengan media MS yang mengandung 0,5 mg/l BA atau MS
tanpa penambahan zar pengatur tumbuh. Penambahan 0,1 mg/l kinetin dapat menghasilkan
rata-rata tunas sebanyak 8,58 selama 16 minggu. Planlet hasil kultur jaringan berhasil
diaklimatisasi dan ditanam di rumah kaca. Hasil penanaman di lapangan menunjukkan
bahwa besarnya umbi yang dipergunakan sebagai benih mempengaruhi besarnya umbi yang
dihasilkan setelah panen, sedangkan waktu panen juga bervariasi sesuai dengan besarnya
umbi yang ditanam. Tanaman berbunga setelah 2 bulan dan umbi dapat dipanen menjelang
tanaman berumur 4 bulan.

Kata Kunci : koleksi, kultur jaringan, pangan alternatif, sumber karbohidrat, Tacca
leontopetaloides

Pengantar
Kebutuhan pangan di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk. Sampai dengan saat ini bahan pangan pokok terbesar
adalah beras. Sebagai alternatif sumber karbohidrat terutama dari tanaman umbi-
umbian saat ini terus dikembangkan baik sebagai upaya substitusi beras maupun
sebagai sumber pagan fungsional. Tacca leontopetaloides merupakan salah satu
tanaman umbi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat. Tanaman ini
dikenal dengan nama daerah Kecondang diJawa Barat; dan disebut Mure di Yogyakarta

113
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

dan di Jawa Tengah.Nama umum tanaman ini antara lain Taka (Indonesia), Gapgap
(Guam), Masoa (Samoa) dan Polynesian Arrowroot (Cook Island, Hawaii).
Secara taksonomi, Tacca leontopetaloides termasuk kedalam keluarga Taccaceae
terpisah dari kerluarga Dioscoreaceae (Caddick et al. 2002), di lapangan dapat tumbuh
menyerupai Amorphophallus.Tacca Leontopetaloides (L.) Kuntze termasuk kingdom
Plantae, subkingdom Tracheobionta, superdivisi Spermatophyta, divisi: Magnoliophyta,
kelas Liliopsida, Monokotiledon, subkelas Liliidae, ordo Dioscoreales, famili Taccaceae
dan genus Tacca J.R. & G. Forst(USDA National Plant Database. 2012). Selain di
Indonesia, tanaman ini dapat dijumpai tumbuh di daerah Afrika bagian tropis, Asia
selatan, Asia tenggara, Australia utara, Papua, Samoa dan Micronesia (Ubwa et al.,
2011).
Habitat taka adalah tepi pantai. Jarang dijumpai di lokasi yang sangat teduh dan di
hutan primer, sering kali dijumpai di tipe vegetasi pantai dibawah ketinggian 200 m dpl
namun kadang dapat tumbuh sampai ketinggian 1100 m dpl. Taka juga dapat tumbuh di
padang rumput, padang alang-alang, savana. Di pantai, taka sering kali berasosiasi
dengan jenis-jenis cemara, Pandanus, Scaveola, Barringtonia dan Eucalyptus. Bijinya
dapat disebarkan oleh burung (Zosterops masii) atau melalui air laut (Flach, M. &
Rumawas F., 1996).
Taka merupakan salah satu jenis tanaman yang umbinya dikonsumsi sebagai bahan
pangan alternatif. Tanaman ini mempunyai kandungan pati (amilosa dan amilopektin)
yang mirip dengan kentang dan jagung (Kunle et al., 2003). Selain sebagai sumber
pangan alternatif, umbi dan akar beberapa jenis Tacca seperti T. chantrieri, T.
plantaginea, T. paxianadan T. subflabellatatelah diteliti mengandung senyawa taccalin
dan taccalonolides yang berpotensi sebagai senyawa antikanker (Yokosuka et al. 2002;
Muhlbauer et al. 2003; Risinger et al. 2010, Lei et al. 2011). Umbi taka juga dapat
digunakan untuk mengobati diare dan disentri. Campuran umbi taka dengan air dan
tanah liat dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan pada usus (Ukpabi et al.
2009).
Umbi taka mengandung 20-30% pati yang mudah diekstrak. Umbi taka
mengandung air sebanyak 60,59%; kulit 2,5%; pati 30,6%; dan serat 6,3%. Umbi
keringnya mengandung protein sebanyak 5,1%; ether 0,2%; karbohidrat 89,4%;
selulosa 2,1%; serat 8,8%; abu 3,2%; Kalsium 0,27%; dan fosfor 0.2%. Asam amino
utama yang terdapat antara lain arginin, asam glutamat, asam aspartat, leusin, lisin dan
valin (Original : Root Crops, 2010). Hasil penelitian Ukpabi et al (2009) terhadap umbi
segar dan umbi yang telah disimpan selama 4 bulan mengandung 28.25-29.00% bahan
kering, 25,00-27,25% pati, 1,67 g/ml densitas, 40-43 mg/100 g asam askorbat.
Berdasarkan berat keringnya, umbi mengandung 3,15-3,58% ekstrak kasar flavonoid,
1,1-1,5% protein, 2,70-2,73% abu, 0,28-0,68% serat, 0,08-0,10% lemak, 95,02-95,42%
karbohidrat total.
Umbi taka tidak dapat langsung dikonsumsi karena mengandung senyawa racun,
namun dapat dihilangkan dengan merendam umbi ke dalam air tawar. Umbi tanaman
ini dapat dijadikan tepung untuk kemudian diolah menjadi makanan yang siap
dikonsumsi. Di Hawaii, tepung dari umbi taka dicampur dengan talas, sukun dan
pandan untuk dijadikan puding. Di Filipina tepungnya sebagai bahan pembuat roti. Di
Indonesia,produk olahan tepungnya dapat ditemukan di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
114
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Mikropropagasi secara cepat pada tanaman T. leontopetaloides telah berhasil


dilakukan oleh Martin et al. (2012b) dan juga diketahui bahwa tanaman T.
leontopetaloides memiliki banyak kandungan antioksidan non-flavonoid (Martin et al.
2012a). Mikropropagasi pada tanaman taka dari spesies lain juga telah dilakukan pada
tanaman T. Chantrieri (Charoensub et al. 2008) Adapuntujuan dari penelitian ini adalah
melakukan koleksi tanaman dari beberapa daerah di Indonesia, melakukan perbanyakan
dengan kultur jaringan dan melakukan evaluasi produksi umbi dari tanaman yang
ditanam di lapangan.

Bahan dan Metode


Bahan Tanaman
Tanaman taka dikoleksi dari berbagai kawasan hutan sekitar pantai di beberapa
lokasi di Indonesia yaitu di Sukabumi, Yogyakarta (di Hutan Bambu Desa Palemahan,
di Hutan Jati Desa Siung, di Gunung Batur Gunung Kidul dan di Pesisir Pantai Glagah
Kulonprogo), Karimunjawa (di pulau Kumbang, dan di Pulau Nyamuk dan Pulau
Katang. Bagian tanaman yang dikoleksi antara lain umbi, biji atau tanaman utuh sesuai
dengan bagian tanaman yang ditemukan di lapangan. Hasil koleksi ditanam di rumah
kaca Puslit Bioteknologi-LIPI di Cibinong. Sebagian bahan tanaman digunakan untuk
eksplan dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.
Dari beberapa hasil koleksi umbi, kandungan kadar air, abu, sari, serat dan protein
dari umbi taka segar dianalisis di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik, Bogor. Kadar air, abu, sari dan serat dianalisis dengan cara gravimetri,
sedangkan kadar protein ditentukan dengan cara titrasi.

Kultur Jaringan
Helai daun tanaman taka yang masih muda dari tanaman yang ditumbuhkan di
dalam rumah kaca dijadikan eksplan untuk inisiasi kultur tunas. Eksplan daun dicuci
dengan air yang diberi beberapa tetes detergen cair selama 10 menit, dibiarkan beberapa
saat dalam air mengalir, kemudian direndam dalam larutan fungisida (Dithane) 3%
selama 30 menit. Selanjutnya eksplan daun dicuci dengan air mengalir selama 30 menit.
Eksplan daun kemudian direndam dalam alkohol 70% selama 1 menit, dibilas dengan
akuades steril, direndam dalam larutan Na-hipoklorit 0,5% selama 10 menit. Eksplan
daun kemudian dibilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali dan dipotong dengan
ukuran 1x1 cm lalu ditanam pada media MS dengan penambahan 0,5 mg/l BAP.
Selanjutnya kalus yang tumbuh diregenerasikan menjadi tunas pada media yang sama.
Pangkal tunas (bonggol) dipergunakan sebagai eksplan untuk perlakuan perbanyakan
menggunakan media MS dengan penambahan 0,5 mg/l BAP, 0,5 mg/l kinetin maupun
MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Setelah terbentuk planlet, dilakukan
aklimatisasi pada media campuran tanah dan kompos. Planlet dikeluarkan dari botol
kultur, akar dicuci dengan air hingga bersih dari media agar kemudian ditanam pada
pot. Pot disungkup dan diletakkan pada tempat teduh. Setelah terbentuk daun baru,
sungkup dibuka dan tanaman dipindahkan ke rumah kaca.
Penanaman di Lapangan
Penanaman dilakukan di lahan Kebun Plasma Nutfah Tumbuhan dan Hewan di
Puslit Bioteknologi-LIPI di Cibinong-Bogor. Penanaman dilakukan pada bulan
115
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Desember 2012. Umbi yang dipergunakan adalah umbi hasil penanaman di rumah kaca,
dikelompokkan menurut beratnya yaitu grade A (>80 gram), B (61-80 gram), C (41-60
gram), D (21-40 gram) dan E (<21 gram). Umbi disimpan pada suhu ruang dan setelah
mulai muncul tunas ditanam di lapangan. Jarak tanam adalah 100 x 50 cm. Sebelum
penanaman, lubang tanam diberi kompos. Setelah umur 4-5 bulan tanaman siap
dipanen. Umbi hasil panen ditimbang berat basahnya.

Hasil dan Pembahasan


Koleksi Tanaman
Distribusi tanaman taka secara rinci perlu ditelusur kembali karena tanaman ini
merupakan jenis tanaman umbi minor yang tidak diperhatikan, namun demikian
sebagian penduduk masih tetap mmanfaatkan umbinya sebagai bahan pangan. Di
Kabupaten Garut (Jawa Barat) tanaman ini ditanam oleh sebagian penduduk dan
umbinya dibuat tepung untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kue.
Hasil koleksi yang dilakukan di kawasan pantai di Daerah Istimewa Yogyakarta,
Kabupaten Sukabumi dan pulau Karimunjawa bahwa tanaman ini masih tumbuh dan
berkembangbiak di beberapa kawasan pantai. Penduduk setempat menyebut tanaman
ini dengan nama Kecondang. Di kawasan pulau Karimunjawa, tanaman masih cukup
banyak ditemukan tumbuh liar di tepi pantai. Tanaman berhasil di koleksi di pulau
Kumbang, pulau Nyamuk dan pulau Katang. Bagian tanaman yang dikoleksi berupa
buah, umbi maupun tanaman utuh. Di Yogyakarta, tanaman ditemukan tumbuh di
kawasan hutan di sekitar pantai antara lain di Hutan Bambu desa Palemahan, Hutan Jati
di desa Siung, di Gunung Batur-Gunung Batur dan di pesisir pantai Glagah di
Kulonprogo. Penyebaran dan populasi tanaman di lokasi-lokasi ini tidak sebanyak yang
ditemukan di kepulauan Karimunjawa. Bahan tanaman yang dapat dikoleksi sama
dengan bahan dari pulau Karimunjawa yaitu berupa buah, umbi dan tanaman utuh.
Tanaman taka juga ditemukan tumbuh di kawasan pantai di Sukabumi, walaupun
penyebarannya di lokasi ini sangat terbatas. Informasi dan studi pustaka tentang
penyebaran tanaman ini masih tetap dilakukan untuk mengetahui secara lengkap
penyebaran tanaman ini di Indonesia. Gambar 1 merupakan contoh bagian tanaman
(buah) dan tanaman utuh yang di koleksi dari lapangan, juga lokasi tempat tumbuh di
sekitar hutan bambu dan kawasan pantai di bawah naungan pohon-pohon tinggi. Satu
tanaman ditemukan pada fase generatif dan tinggi tanaman hampir setara dengan tinggi
tanaman dewasa. Umbi yang ditemukan mempunyai ukuran dan bobot yang bervariasi
tergantung umur tanaman yang ditemukan tumbuh pada habitatnya. Semua tanaman
yang ditemui merupakan tanaman liar yang belum didomestikasi oleh penduduk
setempat.

116
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 1. Lokasi dan bagian tanaman Tacca leontopetaloides yang di koleksi dari
berbagai kawasan pantai di Indonesia

Sebagian tanaman hasil koleksi ditanam di rumah kaca Puslit Bioteknologi-LIPI di


Cibinong. Pertumbuhan tanaman di rumah kaca tidak mengalami kendala. Pada tanah
bercampur kompos, tanaman dapat tumbuh normal, membentuk daun yang sehat dan
dapat berbunga, membentuk buah dan umbi. Tanaman dapat dibiarkan mengalami
dormansi hingga dapat mengalami siklus hidup berikutnya dan membentuk umbi
kembali. Perawatan tanaman tidak diperlukan secara intensif karena tanaman
ditumbuhkan pada lingkungan terkendali (rumah kaca).
Sebagian umbi dilihat beberapa sifat kimianya. Tabel 1 merupakan hasil analisis
kadar air, abu, sari dan serat. Hasil analisis terhadap umbi yang berasal dari berbagai
daerah tidak banyak berbeda. Kadar air umbi dari Sukabumi paling rendah
dibandingkan dengan kadar air umbi dari tanaman yang tumbuh pada habitat yang
lainnya. Umbi dari tanaman asal Hutan Jati Yogyakarta mempunyai kadar air tertinggi.
Umbi asal Hutan bambu mempunyai kadar abu tertinggi, sedangkan umbi dari tanaman
taka yang tumbuh di Gunung Batur mempunyai kadar abu terendah. Umbi dari tanaman
yang tumbuh di gunung Batur mengandung kadar sari tertinggi dibandingkan dengan
kadar serat umbi tanaman yang tumbuh pada tempat lainnya. Kadar serat umbi yang
tumbuh di Hutan bambu adalah tertinggi, dan terendah diperoleh pada umbi dari
tanaman yang tumbuh di Kulonprogo. Kadar protein tertinggai diperoleh dari umbi
tanaman yang tumbuh di Sukabumi dan terendah dari umbi tanaman yang tumbuh di
Hutan Bambu. Kadar karbohidrat pada umbi taka bervariasi, Maulana (2012)
melaporkan bahwa kadar karbohidrat pada umbi taka hanya mencapai 68,27%
sedangkan pada laporan lain disebutkan bahwa umbi taka dapat memiliki kandungan
karbohidrat mencapai 95,42% (Ukpabi et al. 2009). Dari hasil ini menunjukkan bahwa
habitat tempat tumbuh mempengaruhi kandungan kimia dan kandungan nutrisi umbi.
Umbi Taka juga diketahui mengandung vitamin C dengan kadar 40 43 mg/100g
(Ukpabi et al. 2009) dan juga memiliki kandungan flavonoid pada umbinya (Martin et
al. 2012a). Flavonoid pada umbi taka merupakan jenis flavonoid glikosida spesifik yang
disebut dengan taccalin (3,5,7,4-tetrahydroxy flavylium 3-xyloside) yang kemungkinan
berperan dalam pengobatan dengan perut (Kay, 1987). Menurut Schuier et al. (2006),

117
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

flavylium aglycone yang terdapat dalam taccalin menghambat pembentukan cairan


intestinal pada lambung sehingga dapat dijadikan obat dalam menangani diare. Analisis
perlu dilengkapi lagi untuk mengetahui setiap komponen nutrisi dari umbi taka agar
informasi yang lengkap dapat dipergunakan sebagai acuan untuk pengolahan dan
pemanfaatan umbi sebagai bahan pangan.

Tabel 1. Kadar air, abu, sari, serat dan protein umbi segara Tacca leontopetaloides hasil
koleksi dari beberapa lokasi di Pulau Jawa.
Lokasi koleksi
Parameter Kulonprogo Hutan Hutan Sukabumi Gunung
Bambu Jati Batur
Kadar air (%) 67,70 72,19 79,62 62,21 70,74
Kadar abu (%) 0,56 0,64 0,52 0,65 0,42
Kadar abu tak larut dalam 0 0,11 0,09 0,11 0,04
asam (%)
Kadar sari larut dalam air (%) 2,66 3,56 3,03 3,28 4,99
Kadar sari larut dalam alkohol 2,87 4,03 2,70 2,62 6,16
(%)
Kadar serat (%) 0,91 1,40 1,01 1,07 1,02
Kadar protein (%) 4,51 3,12 5,54 6,40 4,80

Perbanyakan dengan Kultur Jaringan


Perbanyakan tunas taka dengan teknik kultur jaringan sudah dilakukan dengan
berbagai media (Martin et al., 2012b; Martin, et al., 2013). Dari seleksi media yang
telah dilakukan dilaporkan bahwa media MS dengan penambahan BAP atau kinetin
merupakan media yang perlu dievaluasi karena penambahan kedua jenis sitokinin ini
menghasilkan pertunasan yang baik. Konsentrasi BAP dan kinetin sebanyak 0,5 mg/l
merupakan media terbaik untuk respon pembentukan tunas (Martin et al., 2012b). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pada dalam jangka waktu yang panjang, kinetin
sebesar 0,5 mg/l merupakan media terbaik untuk perbanyakan tunas taka dibandingkan
dengan media dengan penambahan 0,5 mg/l BAP atau tanpa penambahan sitokinin
(BAP maupun kinetin) (Tabel 2). Hasil yang mirip juga dilaporkan oleh Bennet et al.
(1994) dimana penggunaan kinetin pada kultur Eucalyptuslebih baik dibandingkan
dengan penggunaan BAP. Penggunaan BAP secara terus menurus pada kultur
Eucalyptus menyebabkan penghambatan pertumbuhan, sedangkan penggunaan kinetin
justru meningkatkan multiplikasi tunas. Pada umur 3 minggu belum menampakkan
perbedaan jumlah tunas majemuk yang terbentuk pada ketiga media, pada minggu ke
12 (3 bulan), pembentukan tunas majemuk mulai menampakkan perbedaan antara
ketiga media yang dicobakan. Pada minggu ke-16 (umur sekitar bulan), pembentukan
tunas majemuk tertinggi dicapai oleh media MS dengan penambahan 0,5 mg/l kinetin.
Pada media ini pembentukan tunas sangat berbeda dibandingkan dengan pembentukan
tunas pada media MS tanpa penambahan sitokinin maupun dengan penambahan 0,5
mg/l BAP.

118
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 2. Jumlah tunas majemuk T. leontopetaloides pada umur 3, 12 dan 16 minggu.


Jumlah tunas minggu ke
Media
3 12 16
MS tanpa zat pengatur tumbuh 3,13 4,80 6,60
MS + 0,5 mg/l kinetin 3,59 4,94 8,58
MS + 0,5 mg/l BAP 3,50 4,08 4,64

Gambar 2 menunjukkan gambaran jumlah tunas majemuk yang terbentuk hingga


waktu yang cukup lama. Gambar 2A menunjukkan pembentukan tunas majemuk pada
media MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Pada media ini jumlah tunas
majemuk yang terbentuk sangat lambat, mencapai rata-rata 8,1 tunas pada minggu ke-
20 (sekitar 5 bulan). Pada sat ini media sudah tidak dapat mendukung pertumbuhan
karena nutrisi telah habis. Gambar 2B menunjukkan bahwa pada minggu ke-16
pembentukan tunas majemuk lebih cepat sehingga pada saat ini diperlukan subkultur.
Gambar 3 merupakan contoh pertumbuhan tunas taka pada media MS yang
mengandung 0,5 mg/l kinetin. Setiap tunas dapat dipindahkan peda media baru untuk
perbanyakan tahap selanjutnya. Gambar 4 merupakantanaman taka
hasilaklimatisasidengankeberhasilandiatas 80%. Penambahan BAP tidak efektif untuk
pembentukan tunas majemuk taka karena hingga minggu ke-23 hanya terbentuk rata-
rata tunas majemuk sebanyak 5,93 tunas (Gambar 2C).

A B
p p
e e
r r
l l
a a
k k
u u
C
a a
p
n n
e
Gambar 2. Rata-rata jumlahr tunas majemuk T.0leontopetaloides selama 4-5 bulan pada
0
, media MS tanpa zat pengatur tumbuh, (A), media MS dengan 0,5 mg/l kinetin
l
(B), dan media MS dengan 0,5 mg/l BAP.
0 0
a
5 5
k
% %
u
a
k k
n
o o
0
l
, 119l
k k
0
i i
5
s s
%
i i
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 3. Multiplikasi tunas T. leontopetaloides pada media MS dengan 0,5 mg/l kinetin
umur 3 minggu, 12 minggu dan 16 minggu.

Gambar 4. TanamanTaccaleontopetaloideshasilaklimatisasi.

Pertumbuhan di Lapangan
Evaluasi pertubuhan dan produksi umbi di lapangan harus dilakukan secara intensif
untuk mengetahui pola pertumbuhan dan produksi umbi taka. Hasil panen dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa grade bibit mempengaruhi grade umbi yang dipanen.
Tabel 3 menampilkan hasil penelitian bahwa umbi bibit dengan ukuran besar (grade C,
B dan A) menghasilkan umbi yang mempunyai rata-rata grade besar yaitu A (berat
lebih dari 80 gram). Prosentase grade umbi hasil panen juga bervariasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semua umbi bibit grade terbesar hingga terkecil dapat
menghasilkan umbi grade terbesar (A). Hal ini menunjukkan bahwa dengan teknik
budidaya yang baik dapat menghasilkan hasil panen yang maksimum. Rata-rata berat
umbi hasil panen juga baik yaitu grade C, B dan A. Umbi bibit A-C memberikan hasil
panen yang lebih konsisten dibandingkan dengan penggunaan umbi bibit dengan grade
yang lebih rendah.

120
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Di alam, ukuran umbi yang ditemukan selama melakukan kegiatan koleksi juga
bervariasi yang dikategorikan menjadi grade A hingga E dari urutan umbi ukuran
terbesar. Budidaya tanaman taka belum banyak dilakukan sehingga belum banyak
acuan yang dapat dijadikan pedoman penanaman yang standar.

Tabel 3. Berat umbi hasil panen T. leontopetaloides berbagai grade.


Grade umbi bibit Rata-rata Grade umbi hasil panen (%)
berat umbi A B C D E
(gram)
A (>80 gram) 94,91 (A) 33,34 33,33 0 33,33 0
B (61-80 gram) 90,29 (A) 50,00 16,67 0 16,67 16,66
C (41-60 gram) 80,74 (B) 50,00 25,00 0 25,00 0
D (21-40 gram) 49,13 (C) 16,67 0 33,33 16,67 33,33
E (<21 gram). 61,12 (B) 33,33 16,67 16,67 33,33 0

Kesimpulan dan Saran


KoleksiTacca leontopetaloidestelah dilakukan di kawasan pantai di Yogyakarta,
Sukabumi dan pulau Karimunjawa. Hasil koleksi telah ditanam di Kebun Plasma
Nutfah Tumbuhan dan Hewan di Cibinong. Koleksi juga dilakukan secara in vitro
(dengan kultur jaringan). Media MS dengan penambahan 0,5 mg/l kinetin merupakan
media terbaik untuk pembentukan tunas majemuk. Ukuran umbi yang ditanam di
lapangan mempengaruhi produksi umbi. Bibit umbi dengan ukuran besar menghasilkan
umbi yang juga berukuran besar dalam waktu 4-5 bulan setelah tanam. Pemanfaatan
umbi tanaman ini perlu dievaluasi untuk membuat produk-produk makanan sebagai
substitusi makanan pokok maupun sebagai sumber pangan fungsional.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih ditujukan pada Evan Maulana, Rudiyanto, dan Lutvinda
Ismanjani yang telah membantu dalam penelitian ini. Penelitian ini didanai oleh DIPA
kegiatan prioritas LIPI tahun anggaran 2011-2013.

Daftar Pustaka
Bennet, I.J., McComb, J.A., Tonkin, C.M., McDavid, D.A.J. Alternating Cytokinins in
Multiplication Media Stimulates in vitro Growth and Rooting of Eucalyptus globulus
Labill. Annals of Botany 74 (1994) 53-58
Caddick, R.L., Wilkin, R.P., Rudall. P.J., Hedderson, T.A.J., & Chase, M.W. 2002. Yams
reclassified : a Recircumscription of Dioscoreaceae and Dioscoreales. Taxon. 51:
103-114.
Charoensub, R., D. Thiantong &S. Phansiri. 2008. Micropropagation of Bat Flower Plant,
Tacca chantrieri Andre. Nat. Sci. 42:7-12
Flach, M. &F. Rumawas. (ed.). 1996. Prosea 9 : Plants Yielding non-seed carbohydrates.
156-159. http://www.proseanet.org/prohati2/browser.php?docsid=496
Kay, D.E. 1987. Root Crops. 2nd edn. In: Gooding E.G.B (Ed). Tropical Development and
Research Institute London. Pp:380. ISBN: 085942009
Kunle, O.O., Y.E. Ibrahim, S. Shaba &Y. Kunle. 2003. Extraction, Physicochemical and
Compaction Properties of Tacca Starch a Potential Pharmaceutical Excipient

121
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kunle, O.O., Y.E. Ibrahim, M.O. Emeje, S. Shaba, Y. Kunle. 2003. Extraction,
Physicochemical and Compation Properties of Tacca Starch a Potential
Pharmaceutical Excipient. Starch/Starke. 55 : 319-325.
Lei, I., W. Ni, X-R. Li, Y. Hua, P-L. Fang, L-M. Kong, L-L. Pan, Y. Li, C-X. Chen &H-Y.
Liu. 2011. Taccasubosides AD, Four New Steroidal Glycosides from Tacca
subflabellata. Steroids. 76 (10-11) :10371042.
Martin, A.F., A. Aviana, B.W. Hapsari, D.E. Rantau, dan T.M. Ermayanti. 2012a. Uji
Fitokimia dan aktivitas antioksidan pada tanaman ex vitro dan in vitro Tacca
leontopetaloides. Prosiding Seminar Nasional XXI Kimia dalam Industri dan
Lingkungan 373-378.
Martin, A.F., T.M. Ermayanti, B. W. Hapsari, & D.E. Rantau. 2012b. Rapid
Micropropagation of Tacca leontopetaloides(L.) Kuntze. Proceedings The 5th
Indonesia Biotechnology Conference an International. July 4th-7th 2012. Mataram.
Indonesia 204-251
Maulana, E. 2012. Kombinasi Benzyl Amino Purine (BAP dan Dichlorophenoxy Acetic
Acid (2,4-D) Terhadap Respon Tumbuh Kalus Tacca leontopetaloides dan Uji Kadar
Karbohidrat Umbi Tacca leontopetaloides. Skripsi Sarjana Program Studi Kimia
FMIPA Universitas Nusa Bangsa Bogor.
Muhlbauer, A.&S.S. Five. 2003. Novel Taccalonolides from the Roots of the Vietnamese
Plant Tacca paxiana. Helvetica Chimica Acta Vol 86. 2065-2072.
Original : Root Crops 15. 2010. http://www.appropedia.org/Original:Root_Crops_15
Risinger, A.R.&S.L. Mooberry. 2010. Taccalonolides: Novel Microtubule Stabilizers with
Clinical Potential. Cancer Letter. 291 : 14-19.
Schuier, M., H. Sies, B. Illek& H. Fisher. 2005. Cocoa related flavonoids inhibit CFTR
mediated chloride transport across T84 human colon epithelia. J. Nutr. 135(10):
2320-2325. PMID: 16177189
Subejo. 2010. Perangkap Malthus: Pertarungan Ledakan Penduduk dan Pangan.
http://subejo.staff. ugm.ac.id/ wp-content/malthus-penduduk-pangan.pdf
Ukpabi, U.J., E. Ukenye & A.O., Olojede. 2009. Raw-Material Potential of Nigerian Wild
Polynesian Arrowroot (Tacca leontopetaloides) Tubers and Starch. Journal of Food
Technology 7(4) : 135-138.
Ubwa, S.T., B.A. Anhwange & J.T. Chia. 2011. Chemical Analysis of Tacca
leontopetaloides Peels. American Journal of Food Technology. 6 (10) : 932-938.
USDA. United States Department of Agriculture, National Plant Database. 2012.
http://plants.usda.gov/java/ClassificationServlet?source=profile&symbol=TALE2&di
splay=31.
Yokosuka, Y., Y. Mimaki &Y. Sashida. 2002. Spirostanol Saponins from the Rhizomes of
Tacca chantrieri and Their Cytotoxic Activity. Phytochemistry. 61 : 73-78.

122
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Respon Pembentukan Tunas Majemuk Dan Variasi Ukuran


Plantlet Talas Satoimo (Colocasia esculenta var.antiquorum)
Pada Beberapa Konsentrasi 6-Benzylaminopurine (BAP) dan
Indole-3-Acetic Acid (IAA)

Pramesti Dwi Aryaningrum* dan N. Sri Hartati

Pusat Penelitian Bioteknologi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Jl. Raya Bogor KM 46, Cibinong, Bogor 16911
Telp : 021-8754587, Fax : 021-8754588
*
E-mail : am3_ninesix@yahoo.com

ABSTRAK
Talas satoimo (C.esculenta var.antiquorum) atau sering disebut dengan talas eddoe
memiliki peranan cukup strategis sebagai sumber bahan pangan non beras, bahan baku
industri (tepung talas) dan agroindustri untuk komoditi ekspor. Namun produksi talas
satoimo masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri
maupun pasar ekspor. Oleh karena itu, sangat penting dilakukannya upaya untuk
menyediakan bibit talas satoimo dalam jumlah banyak dan seragam, berkualitas unggul,
serta bebas hama penyakit, dalam kurun waktu yang relatif singkat. Perlakuan induksi tunas
majemuk dalam penelitian ini menggunakan eksplan talas satoimo yang berasal dari tunas
umbi talas yang dipelihara pada media tanah dalam polibag. Media yang digunakan adalah
media MS tanpa zat pengatur tumbuh (ZPT) dan media yang mengandung beberapa
konsentrasi BAP dan IAA. Parameter yang diamati adalah jumlah tunas, jumlah akar dan
variasi ukuran plantlet in vitro, yang meliputi tinggi dan diameter tanaman. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam pembentukan tunas majemuk dan variasi
ukuran plantlet akibat penambahan zat pengatur tumbuh BAP dan IAA. Persentase
pembentukan tunas majemuk terbesar diperoleh pada perlakuan 1 mg/L BAP dan 0,35
mg/L IAA, yaitu sebesar 100% dengan rata-rata jumlah tunas per eksplan adalah 8,25.
Media 1,7 mg/L BAP dan 0,87 mg/L IAA menghasilkan plantlet kategori tinggi (> 4 cm)
yang terbanyak dibandingkan dengan kedua perlakuan media lainnya, yaitu dengan rata-rata
sebesar 3,9 dan kisaran tinggi plantlet adalah 4,3-10 cm. Sedangkan plantlet kategori pendek
( 4 cm) lebih banyak dihasilkan pada media dengan perlakuan 1 mg/L BAP dan 0,35 mg/L
IAA. Akar plantlet pada media dengan penambahan kedua ZPT tersebut menunjukkan
pertumbuhan yang lebih baik dibanding dengan pada media MS tanpa ZPT.

Kata kunci : 6-Benzylaminopurine (BAP), Indole-3-Acetic Acid (IAA), media MS, plantlet,
talas satoimo (Colocasia esculenta var.antiquorum), tunas majemuk

123
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pendahuluan
Diversifikasi pangan dengan memanfaatkan produksi umbi-umbian sekarang ini
sedang gencar dilakukan untuk mewujudkan ketahanan pangan. Umbi talas sebagai
salah satu sumber bahan pangan alternatif pengganti beras memiliki kandungan
karbohidrat berupa pati (17-28% amilosa dan sisanya adalah amilopektin), protein
(asam amino esensial), beberapa mineral seperti kalsium, magnesium, seng, fosfor, zat
besi dan rendah lemak (Onwueme, 1978; Oke, 1990). Jenis talas satoimo saat ini sedang
banyak dibudidayakan di Indonesia, karena permintaan pasar ekspor dan kebutuhan
industri penepungan umbi talas ini semakin meningkat. Umbi talas yang dikonversi
menjadi bentuk tepung akan memudahkan dalam hal pengemasan, penyimpanan, dan
pengiriman, serta akan mendorong berkembangnya industri berbahan dasar tepung
sehingga dapat meningkatkan nilai jual komoditas talas (Hartati dan Prana, 2003;
Maulina et al., 2012).
Propagasi talas satoimo dengan metode konvensional menggunakan benih dari umbi
(cormus) atau anakan umbi (cormel) menjadi penghambat utama dalam kultivasi skala
besar, karena jumlah benih tidak mencukupi untuk propagasi masal, pertumbuhan
tanaman yang cukup lama dan tidak seragam. Kultur in vitro merupakan metode
pendekatan bioteknologi yang memiliki kelebihan dalam propagasi tanaman secara
masal dalam waktu relatif singkat, pengembangan kultivar yang resisten terhadap
penyakit, serta menghasilkan bibit talas satoimo yang seragam dan berkualitas unggul
(Sarono, 1978; Prihatmanti dan Mattjik, 2004; Verma et al., 2010).
Propagasi tanaman secara in vitro memerlukan zat pengatur tumbuh (ZPT) atau
hormon tumbuh, baik auksin maupun sitokinin. Auksin berperan dalam mengatur
pertumbuhan dan pemanjangan sel, sedangkan sitokinin berperanan dalam pembelahan
sel dan morfogenesis. Pemanjangan sel, pembelahan sel, morfogenesis dan pengaturan
pertumbuhan merupakan proses yang sangat penting dalam pembentukan tunas
(Maryani & Zamroni, 2005). Penelitian tentang multiplikasi tunas in vitro dengan
kombinasi hormon BAP dan IAA diantaranya telah berhasil dilakukan pada tanaman
melon (Lidyawati et al., 2012) dan pada tanaman nanas. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui konsentrasi hormon BAP dan IAA yang paling baik dalam pembentukan
tunas majemuk dan plantlet talas satoimo (C. esculenta var. antiquorum) dalam kultur
in vitro.

Bahan dan Metode


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Tanaman dan
Modifikasi Jalur Biosintesa, Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI.

A. Material Tanaman dan Media Perlakuan untuk Multiplikasi Tunas


Bahan tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah tunas umbi talas yang
diperoleh dari koleksi talas satoimo SEAMEO BIOTROP, yang ditanam pada media
tanah dalam polibag dengan umur 4 minggu. Media perlakuan yang digunakan adalah
media MS (Murashige dan Skoog, 1962) dengan sukrosa 3%, agar 8 gr/L, serta
penambahan BAP dan IAA pada berbagai konsentrasi. Penelitian ini menggunakan

124
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan. Media


perlakuannya adalah sebagai berikut :
1. M0 = MS tanpa ZPT
2. M1 = MS + 1 mg/L BAP + 0,35 mg/L IAA
3. M2 = MS + 1,7 mg/L BAP + 0,87 mg/L IAA
Parameter yang diamati adalah jumlah tunas, jumlah akar, tinggi plantlet dan
diameter plantlet. Variasi tinggi plantlet yang dihasilkan oleh setiap perlakuan
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kategori tinggi (> 4 cm) dan kategori
pendek ( 4 cm). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan Analisis Varian,
untuk mengetahui perbedaan rerata pengaruh antar perlakuan dilakukan uji Duncan
Multiple Range Test (DMRT) taraf 5%.

B. Analisis Isozim
Pada penelitian ini dilakukan pula analisis isozim untuk mengetahui apakah ada
variasi pola pita isozim diantara plantlet yang diuji akibat perlakuan dengan
penambahan zat pengatur tumbuh. Penanda isozim banyak dipilih untuk analisis
keragaman genetik karena mudah dalam pengerjaanya dan biaya yang dibutuhkan
relatif murah. Bahan tanaman yang digunakan adalah daun dan petiol plantlet talas
satoimo yang berasal dari kultur in vitro dan aklimatisasi dengan umur 2 bulan. Analisis
isozim yang dilakukan menggunakan empat sistem enzim, yaitu Phospogluconic
dehydrogenase (PGD), Shikimic dehydrogenase (SDH), Malate enzym (ME) dan
Phospoglucomutase (PGM). Metode untuk ekstraksi enzim, elektroforesis dan
pewarnaan gel mengikuti prosedur kerja Hartati dan Prana (1999).

Hasil dan Pembahasan


A. Multiplikasi Tunas dan Variasi Ukuran Plantlet Talas Satoimo (C. esculenta var.
antiquorum)
Hasil pengamatan jumlah tunas setelah dilakukan analisis dengan uji DMRT taraf
5% menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi BAP dan IAA berpengaruh nyata
terhadap pembentukan jumlah tunas majemuk. Jumlah tunas merupakan faktor
terpenting dalam multiplikasi tanaman pada kultur jaringan. Semakin banyak tunas
yang terbentuk, dapat dilakukan multiplikasi kultur untuk mendapatkan tunas-tunas
baru dalam jumlah yang semakin banyak pula (Samanhudi, 2010).

Tabel 1. Persentase multiplikasi tunas talas satoimo pada beberapa jenis media
Media Perlakuan Eksplan Bertunas (%) Rata-rata Jumlah Tunas/Eksplan
M0 88 3,37 0,37 c
M1 100 8,25 0,68 a
M2 96 5,37 0,57 b
Keterangan: Angka rerata standard error diikuti huruf yang sama menujukkan tidak
berbeda nyata menurut uji DMRT (P < 0,05).

Data pada tabel 1 memperlihatkan bahwa persentase eksplan talas satoimo bertunas
yang terbesar diperoleh pada media 1 mg/L BAP + 0,35 mg/L IAA (media M1), yaitu
sebesar 100% dengan rata-rata jumlah tunas per eksplan adalah 8,25. Media M1
125
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

menghasilkan jumlah tunas majemuk paling banyak dibandingkan dengan kedua media
perlakuan lainnya. Walaupun konsentrasi ZPT pada media M1 lebih rendah
dibandingkan dengan konsentrasi ZPT pada media M2, namun kombinasi konsentrasi
ZPT pada media M1 menunjukkan bahwa media tersebut secara efektif mampu
meningkatkan kemampuan sel-sel berdiferensiasi dan membentuk tunas-tunas baru.
Pada media tanpa penambahan ZPT eksplan masih memiliki kemampuan membentuk
tunas karena adanya pengaruh sitokinin endogen yang terkandung dalam eksplan
tersebut. Apabila dalam media kultur konsentrasi sitokinin lebih tinggi dibandingkan
dengan auksin maka akan merangsang pembentukan dan multiplikasi tunas
(Widiastoety et al., 1997).
BAP merupakan ZPT yang sangat efektif dalam menginduksi proliferasi tunas in
vitro pada berbagai jenis tanaman dibandingkan jenis sitokinin yang lain (George &
Sherrington, 1984). BAP sudah terbukti efektif dalam merangsang proliferasi tunas in
vitro berbagai tanaman buah seperti melon (Lidyawati et al., 2012), nanas (Indriani et
al., 2013), buah naga (Hanizah et al., 2013), pir (Ishak, 2009) dan kiwi (Bustami, 2012).
Peran sitokinin didalam memacu pembentukan tunas adalah dengan menekan
dominansi apikal, sehingga merangsang pembentukan tunas-tunas aksilar.

Gambar 1. Tunas majemuk dan akar talas satoimo pada berbagai jenis media.
M0 (A dan D), M1 (B dan E), M2 (C dan F)

126
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Secara keseluruhan dari kombinasi yang ada, media MS dengan penambahan 1,7
mg/L BAP + 0,87 mg/L IAA menghasilkan jumlah akar terbanyak dibandingkan dua
media perlakuan lainnya (Gambar 1.). Akan tetapi, konsentrasi IAA yang tinggi pada
media M2 justru mengakibatkan jumlah tunas yang terbentuk lebih sedikit
dibandingkan pada media M1, meskipun konsentrasi BAP pada media M2 lebih tinggi,
yaitu 1,7 mg/L. Salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan pertumbuhan dan
perkembangan eksplan adalah kadar hormon endogen pada eksplan. Masuknya zat
pengatur tumbuh atau hormon eksogen akan mengubah keseimbangan hormon endogen
dalam tanaman. Guna mendorong dan memacu pertumbuhan, hormon dalam tubuh
tanaman harus berada pada jumlah dan keseimbangan tertentu.
Hasil pengamatan tinggi, diameter dan jumlah akar setelah dilakukan analisis
dengan uji DMRT taraf 5% menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi BAP dan IAA
secara keseluruhan berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan
plantlet talas satoimo dalam kultur in vitro dan setelah aklimatisasi di media tanah,
kecuali pada diameter plantlet yang telah diaklimatisasi menunjukkan beda nyata
(signifikan).

Tabel 2. Rata-rata variasi ukuran plantlet talas satoimo kultur in vitro dan aklimatisasi di
media tanah umur 2 bulan
Kultur In Vitro Aklimatisasi
Media
Kisaran Kisaran
Perlaku Diameter Tinggi Diamete
Tinggi (cm) Jumlah Jumlah
an (mm) (cm) r (mm)
Akar Akar
9,86 3,21 1,14
M0 3,5 0,72a 3,5 0,25a 0,71 0,19a
1,17a 0,33a 0,18a
6,71 2,43 1,04
M1 3,21 0,67a 3,13 0,32a 0,93 0,24a
1,49a 0,29b 0,10a
7,93 1,93 1,14
M2 3,9 0,62a 3,47 0,36a 1,0 0,21a
0,97a 0,12b 0,09a
Keterangan: Angka rerata standard error diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menujukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (P < 0,05).

Pengamatan terhadap tinggi dan diameter tanaman menunjukkan adanya variasi baik
pada kultur in vitro maupun pada media tanah (Gambar 2.). Tabel 2 memperlihatkan
variasi ukuran plantlet talas satoimo pada kultur in vitro dan setelah di media
aklimatisasi umur 2 bulan. Walaupun secara kuantitatif tidak berbeda nyata, tetapi
secara kualitatif media M2 (1,7 mg/L BAP + 0,87 mg/L IAA) menunjukkan pengaruh
yang baik terhadap tinggi plantlet. Plantlet pada media M2 menghasilkan plantlet
kategori tinggi (> 4 cm) terbanyak, yaitu dengan rata-rata sebesar 3,9 dan tinggi plantlet
berkisar antara 4,3-10 cm. Kemudian diikuti oleh media M0 (MS tanpa ZPT) dengan
rata-rata sebesar 3,5 dan media M1 (1 mg/L BAP dan 0,35 mg/L IAA) sebesar 3,21.
Dari nilai rata-rata tinggi plantlet pada setiap perlakuan, dapat diketahui bahwa media
M1 lebih banyak menghasilkan plantlet kategori pendek ( 4 cm). Selanjutnya setelah
plantlet diaklimatisasi selama 2 bulan, plantlet dengan kategori tinggi terbanyak
ditunjukkan oleh perlakuan MS tanpa ZPT, yaitu sebesar 9,86. Kemungkinan hal ini
disebabkan plantlet yang tumbuh pada media MS tanpa ZPT lebih cepat beradaptasi
127
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

dengan kondisi media tanah. Diameter plantlet talas satoimo baik pada kultur in vitro
maupun aklimatisasi, keduanya sama-sama menunjukkan ukuran diameter yang
terbesar terdapat pada perlakuan MS tanpa ZPT, yaitu sebesar 3,5 dan 3,21. Namun
diameter plantlet yang diaklimatisasi menunjukkan beda nyata antara perlakuan MS
tanpa ZPT dengan MS yang diberi ZPT.
Akar plantlet in vitro yang terbentuk pada media dengan penambahan BAP dan IAA
menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pada media MS tanpa ZPT.
Pembentukan akar pada kultur jaringan dapat terjadi langsung pada eksplan yang
ditanam, baik dari jaringan maupun dari kalus, bila ke dalam media diberikan auksin
yang mencukupi (Mattjik, 2005). Pertumbuhan akar terbanyak terjadi pada media M2
dengan konsentrasi IAA sebesar 0,87 mg/L. Hal serupa juga dilaporkan oleh Badriah et
al. (1998) yang menggunakan NAA dalam konsentrasi yang relatif tinggi dapat
meningkatkan jumlah akar.

Gambar 2. Variasi ukuran tinggi dan diameter plantlet talas satoimo pada media
aklimatisasi. (A-C) dan media kultur in vitro (D-F)

Pola pertumbuhan tanaman merupakan hasil interaksi antara auksin dan sitokinin
dengan perbandingan tertentu. Sitokinin diproduksi dari akar dan diangkut ke tajuk,
sedangkan auksin dihasilkan di kuncup terminal kemudian diangkut ke bagian bawah
tumbuhan (Karjadi & Buchory, 2007). Gunawan (1992) menyatakan bahwa interaksi
antara hormon eksogen dan endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur.

128
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

B. Analisis Isozim Plantlet Talas Satoimo Pada Media Perlakuan


Penanda isozim dapat digunakan untuk analisis variasi genetik, karena dikendalikan
oleh gen tunggal dan bersifat kodominan dalam pewarisannya. Metode isozim telah
banyak dimanfaatkan oleh pemulia tanaman untuk mengidentifikasi varietas (Julisaniah,
et al., 2008). Penggunaan sistem enzim PGD, SDH dan ME telah dilakukan
sebelumnya oleh Hartati dkk (2001) untuk identifikasi sidik jari DNA beberapa kultivar
talas Indonesia berdasarkan zimotip hasil analisis isozim.

Gambar 3. Pola pita isozim talas satoimo yang diuji pada media perlakuan dengan
penambahan ZPT menggunakan sistem enzim ME (A) dan PGD (B)

Hasil analisis isozim menunjukkan dua sistem enzim, yaitu Malat enzim (ME) dan
Phospogluconic dehydrogenase (PGD), teridentifikasi adanya pita isozim, sedangkan
untuk sistem enzim Shikimic dehydrogenase (SDH) dan Phospoglucomutase (PGM)
menunjukkan hasil negatf (tidak terbentuk pita isozim) (Gambar 3.). Pada enzim ME
hanya terdapat satu pita, sedangkan pada enzim PGD terdapat dua pita isozim. Masing-
masing dari kedua enzim tersebut memperlihatkan pola pita yang seragam, sehingga
dapat diketahui bahwa kedua enzim tersebut hanya dikontrol oleh satu macam alel dan
bersifat monomorfik. Berdasarkan hasil analisis isozim yang diperoleh diduga tidak
terdapat variasi genetik diantara plantlet talas satoimo yang tumbuh pada media dengan
ZPT ataupun tanpa ZPT. Walaupun demikian diperlukan uji lanjut misalnya
menggunakan teknik analisis molekuler lain RAPD, AFLP maupun mikrosatelit untuk
mengkonfirmasi variasi genetik.

Kesimpulan
1. Pembentukan tunas majemuk dihasilkan pada media perlakuan dengan konsentrasi
1 mg/L BAP + 0,35 mg/L IAA, dengan rata-rata jumlah tunas per eksplan sebesar
8,25.
2. Plantlet kategori tinggi (> 4 cm) yang terbanyak dihasilkan pada media perlakuan
dengan konsentrasi 1,7 mg/L BAP + 0,87 mg/L IAA, sedangkan plantlet kategori
pendek ( 4 cm) lebih banyak dihasilkan pada media perlakuan 1 mg/L BAP +
0,35 mg/L IAA.
3. Pertumbuhan akar plantlet pada media MS dengan penambahan BAP dan IAA
menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pada media MS tanpa
ZPT.

129
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Kompetitif LIPI rekayasa genetika
talas untuk ketahanan terhadap kekeringan tahun anggaran 2013. Penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Hani Fitriani, S.Si yang telah membantu
dalam teknis penelitian dan analisis data serta sdr. Nawawi untuk pemeliharaan
tanaman.

Daftar Pustaka
Badriah, D.S, Mathius N.T, dan Sutater T. 1998. Tanggap Dua Kultivar Gladiol
Terhadap Zat Pengatur Tumbuh Pada Perbanyakan In Vitro. Jurnal
Hortikultura 8 (2): 10481059.
Bustami, M.U. 2012. Pengaruh Berbagai Komposisi Media Terhadap Petumbuhan
Tanaman Kiwi (Actinidia deliciosa) Secara In Vitro. Program Studi Budidaya
Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu.
George, E.F,dan P.D. Sheringgton. 1984. Handbook of Plant Propagation by Tissue
Culture. Eastern Press Ltd.,hal.709.
Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas
Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hanizah, R, I. Mahdi, dan S. Wulandari. 2013. Pengaruh 2,4-D dan BAP Terhadap
Multiplikasi Tunas Eksplan Buah Naga (Hylocereus costaricensis) Melalui
Teknik Kultur Jaringan Secara In Vitro. Program Studi Biologi. Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru.
Hartati, N.S, T.K. Prana, dan M.S. Prana. 2001. Comparative Study on Some
Indonesian Taro (Colocasia esculenta (L.) Schott) Samples Using
Morphological Characters, RAPD Markers and Isozyme Banding Patterns.
Annales Bogorienses 7 (2): 65-73.
Hartati, N.S, dan T.K. Prana. 1999. The Effect of Extracting Buffer Composition
and Sample Preparation on Isozyme Pattern of Taro (Colocasia esculenta (L.)
Schott). Annales Bogorienses 6 (1): 37-48.
Hartati, N.S, dan T.K. Prana. 2003. Analisis Kadar Pati dan Serat Kasar Tepung
Beberapa Kultivar Talas (Colocasia esculenta L.Schott). Jurnal Natur
Indonesia 6: 29-33.
Indriani, F, I. Mahdi, dan S. Wulandari. 2013. Pengaruh Indole Acetic Acid (IAA)
dan Benzyl Amino Purin (BAP) Terhadap Multiplikasi Tunas Nanas Bogor
(Ananas comosus (L.) Merr.) cv. Queen Pada Media Murashige Skoog (MS).
Program Studi Biologi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Riau, Pekanbaru.
Ishak, 2009. Pertumbuhan Tanaman Pir (Pyrus pyrifolia L.) Varietas Sweet Pear
Pada Berbagai Komposisi Media Secara In Vitro. Program Studi Budidaya
Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu.
Julisaniah, N.I, L.Sulistyowati, dan A.N. Sugiharto. 2008. Analisis Kekerabatan
Mentimun (Cucumis sativus L.) Menggunakan Metode RAPD-PCR dan
Isozim. Biodiversitas 9 (2): 99-102.

130
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Karjadi, A.K, dan Buchory A. 2007. Pengaruh NAA dan BAP terhadap
Pertumbuhan Jaringan Meristem Bawang Putih Pada Media B5. Jurnal
Hortikultura. 17 (3): 217-223.
Lidyawati, N.N, Waeniati, Muslimin, dan I.N Suwastika. 2012. Perbanyakan
Tanaman Melon (Cucumis melo L.) Secra In Vitro Pada Medium MS dengan
Penambahan Indole Acetic Acid (IAA) dan Benzil Amino Purin (BAP).
Jurnal Natural Science 1 (1): 43-52.
Maryani, Y, dan Zamroni. 2005. Penggandaan Tunas Krisan Melalui Kultur
Jaringan. Ilmu Pertanian 12 (1): 51-55.
Mattjik, N.A. 2005. Peranan Kultur Jaringan dalam Perbaikan Tanaman. Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Maulina, F.D.A, I.M. Lestari, dan D.S. Retnowati. 2012. Pengurangan Kadar
Kalsium Oksalat Pada Umbi Talas Menggunakan NaHCO3 Sebagai Bahan
Dasar Tepung. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri 1 (1): 277-283.
Murashige, T, dan Skoog F. 1962. A Revised Medium for Rapid Growth and Bio-
Assay with Tobacco Tissue Culture. Physiol. Plant. 15: 473-497.
Oke, O.L. 1990. Roots, Tubers, Plantains and Bananas in Human Nutrition. FAO
Corporate Documentary Repository, Food and Agriculture Organization of
the United Nations, Roma.
Onwueme, I.C. 1978. The Tropical Tuber Crops. John Wiley and Sons, New York.
Prihatmanti, D, dan N.A. Mattjik. 2004. Penggunaan ZPT NAA (Naphthalene
Acetic Acid) dan BAP (6-Benzil Amino Purin) serta Air Kelapa untuk
Menginduksi Organogenesis Tanaman Anthurium (Anthurium andraeanum
Lin). Buletin Agronomi 32 (1): 20-25.
Samanhudi. 2010. Kajian Konsentrasi BAP dan NAA Terhadap Multiplikasi
Tanaman Artemisia annua L. Secara In Vitro. Berk.Penel.Hayati 4A: 109-
113.
Sarono. 1978. Eksplorasi Plasma Nutfah Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) di
Daerah Bogor dan Sekitarnya. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan,
Jakarta.
Verma, V.M, dan J.J. Cho. 2010. Plantlet Development Through Somatic
Embryogenesis and Organogenesis in Plant Cell Cultures of Colocasia
esculenta (L.) Schott. AsPac J. Mol. Biol. Biotechnol. 18 (1): 167-170.
Widiastoety, D, S. Kusumo, dan Syafni. 1997. Pengaruh Tingkat Ketuaan Air
Kelapa dan Jenis Kelapa Terhadap Pertumbuhan Plantlet Anggrek
Dendrobium. Jurnal Hortikultura 7 (3): 768-772.

131
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pengujian Berbagai Jarak Tanam 3 Aksesi Jagung Lokal


Maros, Sulawesi Selatan Terhadap Pertumbuhan
dan Produksinya
Ninik Setyowati* dan Ning W. Utami
Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong 16911
*E-mail: sety_wangi@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian tentang pengujian berbagai jarak tanam 3 aksesi jagung lokal Maros,
Sulawesi Selatan terhadap pertumbuhan dan produksinya telah dilakukan di kebun
percobaan Puslit Biologi LIPI, Cibinong, pada bulan Mei - Agustus 2012. Percobaan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang disusun secara faktorial, 2 faktor
dengan 4 kali ulangan, masing-masing ulangan 10 tanaman . Faktor pertama adalah
aksesi jagung pulut terdiri dari 3 taraf yaitu A1= Pulut Snack, A2= Pulut Beras dan A3=
Pulut Hibrida. Faktor kedua adalah jarak tanam terdiri dari 3 taraf yaitu JT1= 100x20
cm, JT2= 80x20 cm, JT3= 60x20 cm. Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan
setiap minggu sampai tanaman berbunga, dipanen setelah lebih dari 50% buah jagung
siap panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman
meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Sedangkan pertumbuhan
jumlah daun terlihat maksimal pada umur 6 minggu, kemudian menurun, karena
pengurangan jumlah daun yang mengering akibat proses penuaan tanaman. Perlakuan
aksesi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetative jagung pulut. Aksesi A2
(Pulut Beras) paling cepat pertumbuhannya yaitu tinggi 116,35a cm, jumlah daun 11,52a
helai, daripada aksesi A1 (Pulut Snack) yaitu tinggi 91,20b cm, 7,67c helai, dan Aksesi
A3 (Pulut Hibrida) yaitu tinggi 111,96ab cm, jumlah daun 8,28b helai. Pada umur 7 MST
terlihat semua aksesi sudah berbunga antara 70-90 %. Aksesi A1 (Pulut Snack) terlihat
lebih cepat berbuah (90%) daripada A3 (Pulut Hibrida) 80%, dan aksesi A2 (Pulut
Beras) 20%. Aksesi A2 (Pulut Beras) terlihat mempunyai produksi tertinggi
dibandingkan aksesi A1 (Pulut Snack) dan A3 (Pulut Hibrida), namun mempunyai
umur panen paling lama (12 minggu). Aksesi A1 (Pulut Snack) paling cepat panen (9
minggu), menyusul Aksesi A3 (Pulut Hibrida) 10 minggu. Secara umum perlakuan
jarak tanam tidak berbeda nyata baik pada pertumbuhan maupun produksi jagung pulut,
namun dapat disarankan untuk pemakaian jarak tanam rapat (60x20 cm), karena dapat
meningkatkan produksi per luasan tertentu.

Kata Kunci: Pengujian, jarak tanam, aksesi, jagung lokal, Maros, pertumbuhan,
produksi

133
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pengantar
Di Indonesia, jagung merupakan bahan pangan pokok kedua setelah beras, dan
banyak dikonsumsi terutama di pedesaan. Jagung banyak diproduksi dan dikonsumsi
terutama di daerah marginal, karena mempunyai daya adaptasi yang luas (Widowati,
2012). Pada tahun 1966 konsumsi jagung hanya 26,2 kg per kapita per tahun dan
meningkat menjadi 41,0 kg per kapita per tahun pada tahun 1999. Walaupun konsumsi
jagung lebih rendah namun 14% dari produksi jagung digunakan untuk diversifikasi
bahan pangan seperti industri tepung, minyak, dan juga untuk industri bahan pakan
ternak (Pakpahan, 2007). Limbah tanaman jagung juga dapat digunakan sebagai pakan
ternak.
Sebagai tanaman tropik jagung dapat berproduksi tinggi jika dibudidayakan pada
lingkungan yang sesuai, dengan menggunakan teknologi agronomi yang tepat.
Tanaman jagung tumbuh baik pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi pada
ketinggian sekitar 2200 m dpl, membutuhkan curah hujan sekitar 600 mm 1200 mm
per tahun dengan temperatur rata-rata antara 14-30 C. Jenis tanah yang sesuai untuk
jagung adalah tanah alluvial atau tanah lempung yang subur dan bebas dari genangan
air (Kartasapoetra, 1988). Kebanyakan petani menggunakan kultivar-kultivar lokal
sebagai benih dalam pembudidayaan jagung. Dilaporkan bahwa tingkat hasil pertanian
jagung pulut umumnya masih rendah sekitar 2-2,5 ton/ha dan tidak tahan terhadap
penyakit bulai (Anonim, 2012a). Meskipun produksi jagung lokal lebih rendah dari
jagung hibrida namun memiliki keunggulan seperti rasanya lebih enak, tahan kering,
tahan hama penyakit dan memiliki kelobot yang menutupi keseluruhan tongkol
sehingga aman dalam penyimpanan setelah dipanen. Jagung pulut yang terdapat di
Sulawesi Selatan memiliki keunggulan yaitu lebih empuk dan lembut dibanding jagung
pulut dari daerah lain, kandungan amilopektin tinggi yakni lebih dari 80 persen yang
menimbulkan sensasi lengket dan kenyal seperti ketan yang tidak ditemukan pada
jagung jenis lain (Pabendon, 2010).
Kawasan Nusantara Indonesia sangat kaya dengan kultivar-kultivar jagung lokal.
Pembudidayaan jagung lokal juga membantu pelestarian keanekaragaman jagung di
tanah air. Pengembangan jagung lokal sebagai sumber pangan dan pakan belum banyak
informasi terutama dari kawasan timur Indonesia. Berdasarkan pemetaan MP3EI
pengembangan pangan untuk ketahanan pangan nasional diarahkan di pulau Sulawesi
dengan penekanan pada beberapa komoditi seperti padi, jagung, ubikayu dan kedelai.
Propinsi Gorontalo (Sulawesi) pada 10 tahun terakhir dikenal sebagai kantong produksi
jagung terbesar di Indonesia. Keberhasilan tersebut selain dipengaruhi oleh penggunaan
teknologi agronomi yang tepat juga didukung kondisi lingkungan yang sesuai. Oleh
karena itu melalui kegiatan ini dilakukan pengembangan jagung lokal di Sulawesi
Selatan untuk mendukung daya saing dan ketahanan pangan dan pakan ternak. Sulawesi
Selatan merupakan pusat penghasil jagung di Indonesia Timur yang perlu
dipertahankan dan ditingkatkan produktivitasnya. Jarak tanam menentukan populasi,
semakin rapat jarak tanamnya semakin banyak populasinya. Menurut Badan Pengendali
Bimas (1997) pengaturan jarak tanam yang tepat dapat memperkecil persaingan antara
tanaman dalam hal pengembalian unsur hara, air, sinar matahari dan ruang tumbuh
tanaman. Selain itu jarak tanam yang tepat juga dapat menekan pertumbuhan gulma,
sehingga persaingan tanaman dengan gulma dapat dihindari (Anonim, 2012b).
134
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Penggunaan teknologi agronomi yang tepat untuk menanam jagung lokal Sulawesi
diharapkan dapat meningkatkan produksinya.
Oleh karena itu jarak tanam harus diatur untuk mendapatkan populasi yang optimum
sehingga diperoleh hasil yang maksimum (Febrina, 2012). Pada kesempatan ini
dilakukan penelitian tentang pengujian berbagai jarak tanam 3 aksesi jagung lokal
Maros, Sulawesi Selatan terhadap pertumbuhan dan produksinya. Tujuan penelitian
adalah untuk mengetahui pengaruh macam aksesi dan jarak tanam pada pertumbuhan
dan produksinya.

Bahan dan Metode


Bahan
Bahan penelitian berupa 3 macam benih jagung lokal yaitu Pulut Snack (Batara
Punu), Pulut Beras (Batara Koasa) dan Pulut Hibrida (Faramita) berasal dari Maros,
Sulawesi Selatan. Pupuk NPK (25:7:7) Mutiara warna abu-abu. Pupuk kandang kotoran
ayam, sekam.

Metoda
Penelitian dilakukan di kebun percobaan Puslit Biologi LIPI, Cibinong, pada bulan
Mei - Agustus 2012. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang
disusun secara faktorial, 2 faktor dengan 4 kali ulangan, masing-masing ulangan 10
contoh tanaman jagung. Faktor pertama adalah aksesi terdiri dari 3 taraf yaitu A1=
Pulut Snack, A2= Pulut Beras dan A3= Pulut Hibrida. Faktor kedua adalah jarak tanam
terdiri dari 3 taraf yaitu JT1= 100x20 cm, JT2= 80x20 cm, JT3= 60x20 cm. Pemupukan
dilakukan 2 kali yaitu pada awal tanam 5 gr NPK/tanaman dan pada umur 4 minggu
setelah tanam. Selain itu pada awal tanam juga diberikan pupuk kandang kotoran ayam
yang sudah dicampur dengan sekam sebanyak 1 ons/ tanaman. Perawatan tanaman
dilakukan dengan penyiraman tanaman setiap hari yaitu pada pagi hari, dan
pembersihan gulma yang tumbuh.
Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan setiap minggu dimulai pada minggu
ke-3 sampai tanaman berbunga, kemudian dipanen apabila 50% tanaman sudah berbuah
maksimal. Parameter pengamatan pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman,
jumlah daun, jumlah bunga dan jumlah buah. Sedangkan pengamatan produksi tanaman
meliputi Berat Basah Tajuk (BBT); Berat Basah Akar (BBA); Berat Tongkol+Klobot
(BTK); Berat Tongkol Bersih (BTB); Panjang Tongkol+Klobot (PTK); Panjang
Tongkol Bersih (PTB); Diameter Tongkol+Klobot (DTK); Diameter Tongkol Bersih
(DTB); Berat Per 100 Biji Jagung (BBj).

Hasil dan Pembahasan


Pertumbuhan vegetative
Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman jagung pulut dari Sulawesi Selatan pada
umur 3-7 minggu disajikan pada Gambar 1a (tinggi tanaman) dan 1b (jumlah daun).
Rataan pertumbuhan tinggi tanaman meningkat seiring dengan bertambahnya umur
tanaman. Sedangkan pada pertumbuhan jumlah daun terlihat bahwa pertambahan
jumlah daun maksimal pada umur 6 minggu setelah tanam, kemudian terlihat menurun,
hal ini disebabkan karena terjadi proses penuaan tanaman yang ditandai dengan mulai
135
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

mengeringnya daun bagian bawah tanaman kemudian terjadi pengguguran daun.


Penguguran daun (absisi) adalah suatu proses lepasnya tangkai daun dari tanaman yang
menyababkan daun gugur dan terjatuh. Proses ini di pengaruhi oleh banyak faktor baik
faktor dari dalam maupun dari luar. Proses awal gugurnya daun di tandai dengan
perubahan warna pada daun kemudian mengering dan akhirnya gugur. Penguguran
daun ini biasanya terjadi pada daun yang sudah tua, terkena penyakit, atau untuk
menghadapi kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (kemarau dan musim
dingin). Faktor yang mempengaruhi terjadinya pengguguran daun antara lain kehidupan
dari sel tumbuhan, nutrisi tumbuhan, air dalam tumbuhan, dan hormon dalam tumbuhan
(Yudiarta, 2011). Pengamatan pertumbuhan tanaman jagung dihentikan pada umur 7
minggu karena sebagian besar tanaman sudah terlihat berbunga (70-90%) dan 20-90%
sudah berbuah.

Tinggi tanaman
Rataan pertumbuhan tinggi tanaman pada semua aksesi terlihat meningkat seiring
dengan bertambahnya umur tanaman. Rataan tinggi tanaman pada umur 3 minggu
berkisar antara 8,00-14,58 cm dan meningkat setiap minggu menjadi 13,68-20,68 cm;
26,66-43,96 cm; 60,03-94,35 cm dan 82,89-127,94 cm berturut-turut pada umur 4, 5, 6
dan 7 minggu setelah tanam. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman disajikan pada
Gambar 1a.

Jumlah daun
Rataan jumlah daun pada umur 3 minggu berkisar antara 4,98-6,88 helai dan
meningkat setiap minggu menjadi 6,98-8,83 helai; 8,18-10,45 helai; 8,25-11,83 helai,
berturut-turut pada umur 4, 5 dan 6 minggu setelah tanam. Pertambahan jumlah daun
maksimal pada umur 6 minggu setelah tanam, selanjutnya tetap dan bahkan mengalami
penurunan. Hal ini disebabkan karena terjadi proses penuaan tanaman yang ditandai
dengan mengeringnya daun bagian bawah tanaman dan gugur. Grafik pertumbuhan
jumlah daun disajikan pada Gambar 1b.

Gambar 1a. Pertumbuhan tinggi 3 Aksesi jagung dg berbagai jarak tanam

136
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 1a. Pertumbuhan jumlah daun 3 Aksesi jagung dg berbagai jarak tanam

Hasil analisa statistik pada umur 7 minggu setelah tanam (MST) menunjukkan
bahwa perlakuan aksesi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman,
jumlah daun dan jumlah buah, namun tidak berbeda nyata pada parameter jumlah bunga
(Tabel 1). Ukuran tanaman tertinggi terlihat pada aksesi A2 Pulut beras (116,35a cm)
berbeda nyata dengan aksesi A1 Pulut snack (91,20b cm), namun tidak berbeda nyata
dengan Aksesi A3 Pulut hibrida (111,96ab cm). Jumlah daun paling banyak terlihat pada
aksesi A2 Pulut beras (11,52a helai) berbeda nyata dengan aksesi A1 Pulut snack (7,67c
helai), dan Aksesi A3 Pulut hibrida (8,28b helai).

Tabel 1. Pengaruh perlakuan aksesi pada tinggi, jumlah daun, jumlah bunga dan jumlah
buah jagung pulut pada umur 7 Minggu Setelah Tanam (MST)
Perlakuan Tinggi tanaman Jumlah daun Jumlah Bunga Jumlah Buah
Aksesi (cm) (helai)
*) *) *) *)
A1= Pulut Snack 91,20 b 7,67 c 9,25 a 9,75 a
A2= Pulut Beras 116,35 a 11,52 a 7,83 a 2,00 b
A3= Pulut Hibrida 111,96 ab 8,28 b 7,75 a 8,42 a
*) Angka data yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji
Duncan.

Pada umur yang sama (7 minggu ST) aksesi A1 Pulut snack menghasilkan jumlah
bunga cenderung lebih banyak dibandingkan 2 aksesi lainnya. Begitu juga jumlah buah
juga paling banyak dihasilkan oleh aksesi A1 pulut snack (9,75a) tidak berbeda nyata
dengan aksesi A3 pulut hibrida (8,42a), namun berbeda nyata dengan aksesi A2 pulut
beras (2,00b) yang terlihat paling lambat berbuah dibandingkan aksesi yang lain.
Penampilan tanaman jagung aksesi A1, A2 dan A3 dapat dilihat pada Gambar 2.
Sesuai dengan rataan tinggi tanaman (Tabel 1), aksesi A1 memiliki ukuran tanaman
paling pendek dibandingkan dengan A2 dan A3. Aksesi A1 (Pulut Snack)
pertumbuhannya kurang bagus, banyak terserang penyakit bulai, memiliki batang
berwarna hijau dengan buah berukuran relatif kecil, berambut merah (Gambar 2,
Tanaman A1). Dilaporkan bahwa jagung pulut tidak tahan penyakit bulai (Anonim,
137
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

2012a). Aksesi A2 (Pulut Beras) pertumbuhannya paling bagus, ukuran tanaman paling
tinggi, batang berwarna hijau dengan buah relatif besar dibandingkan A1 dan A3,
berambut merah (Gambar 2 Tanaman A2). Aksesi A3 (Pulut Hibrida) ukuran tanaman
sedang, batang berwarna merah, buah pada umumnya kemerahan dan berambut putih,
namun ada beberapa yang berambut merah (Gambar 2 Tanaman A3).

Gambar 2. Fenomena tanaman dan bagian-bagian tanaman jagung (batang, bunga dan
buah) dari Aksesi A1 (Pulut Snack), Aksesi A2 (Pulut Beras) dan Aksesi A3
(Pulut Hibrida).

Hasil pengamatan pertumbuhan vegetatif jagung pulut pada berbagai jarak tanam
pada umur 7 Minggu Setelah Tanam (MST) disajikan pada Tabel 2. Perlakuan jarak

138
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

tanam paling rapat J3 (60x20 cm) nampak menghasilkan ukuran tanaman paling tinggi
dibandingkan J1 (100x20 cm) dan J2 (80x20 cm), namun secara statistik tidak berbeda
nyata. Jumlah daun relatif sama pada semua perlakuan jarak tanam. Begitu juga pada
jumlah bunga dan jumlah buahnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf
0,05 uji Duncan.

Tabel 2. Pengaruh perlakuan Jarak tanam pada tinggi, jumlah daun, jumlah bunga dan
jumlah buah jagung pulut pada umur 7 Minggu Setelah Tanam (MST)
Perlakuan Tinggi tanaman Jumlah daun Jumlah Bunga Jumlah Buah
Jarak tanam (cm) (helai)
*) *) *) *)
J1= 100 x 20 cm 105,46 a 9,22 a 8,58 a 7,00 a
J2= 80 x 20 cm 101,08 a 9,03 a 8,08 a 6,33 a
J3= 60 x 20 cm 112,97 a 9,22 a 8,17 a 6,83 a
*) Angka data yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji
Duncan.

Pada kombinasi perlakuan antara aksesi dan jarak tanam (Tabel 3) dapat dilihat
bahwa aksesi A1 dan A3 cenderung menghasilkan ukuran tanaman relatif lebih tinggi
jika ditanam pada jarak tanam lebih rapat (J3: 60x20 cm ), semakin jarang jarak tanam
(J2: 80x20 dan J1: 100x20 cm) ukuran tanaman semakin pendek. Sebaliknya pada A2
akan menghasilkan ukuran tanaman paling tinggi pada jarak tanam yang lebih jarang
(J1: 100x20 cm). Namun secara statistik perlakuan interaksi antara aksesi dan jarak
tanam tidak berpengaruh nyata pada pertumbuhan tinggi tanaman menurut uji Duncan
pada taraf 5%. Ukuran tanaman paling tinggi (127,94 cm) dan jumlah daun paling
banyak (12,03) diperoleh pada kombinasi perlakuan A2J1. Dilaporkan oleh Dohi
(1998) bahwa rata-rata pertambahan tinggi tanaman jagung tidak dipengaruhi oleh
perbedaan varietas maupun kerapatan tanam, namun jumlah daun dipengaruhi secara
nyata oleh faktor varietas.
Pengamatan pertumbuhan vegetatif tanaman sampai dengan umur 7 minggu setelah
tanam, karena tanaman sudah terlihat berbunga lebih dari 50%. Selanjutnya ditunggu
sampai tanaman siap panen, sesuai dengan kebutuhan dan varitas jagung pulut yaitu
untuk snack atau sebagai pengganti beras.

Tabel 3. Pengaruh perlakuan interaksi Aksesi dan Jarak tanam pada tinggi tanaman, jumlah
daun, jumlah bunga dan buah jagung pulut ( 7 MST)
Perlakuan Tinggi tanaman Jumlah daun Jumlah Bunga Jumlah Buah
Aksesi dan (cm) (helai)
Jarak Tanam
*) *) *) *)
A1 x J1 82.89 a 7.23 d 9.00 a 9.50 a
A1 x J2 89.21 a 7.70 cd 8.75 a 8.75 a
A1 x J3 101.50 a 8.10 c 10.00 a 11.00 a
A2 x J1 127.94 a 12.03 a 8.75 a 2.50 b
A2 x J2 107.03 a 11.15 b 7.00 a 1.25 b
A2 x J3 114.08 a 11.38 ab 7.75 a 2.25 b

139
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

A3 x J1 105.55 a 8.40 c 8.00 a 9.00 a


A3 x J2 107.00 a 8.25 c 8.50 a 9.00 a
A3 x J3 123.33 a 8.18 c 6.75 a 7.25 a
*) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji Duncan taraf 0,05

Pada umur 9 minggu setelah tanam, Aksesi A1 (Pulut Snack) sudah terlihat lebih
dari 50% buahnya besar-besar dan siap dipanen untuk konsumsi rebus. Sedangkan
Aksesi A2 (Pulut Beras) dan Aksesi A3 (Pulut Hibrida) belum terlihat merata besarnya,
sehingga ditunggu sampai lebih dari 50% siap dipanen. Pada umur 10 minggu baru
dilakukan panen Aksesi A3 (Pulut Hibrida), sedangkan Aksesi A2 (Pulut Beras) baru
siap dipanen pada umur 12 minggu setelah tanam.

Produksi tanaman jagung


Pada umur 9 minggu dilakukan panen pertama Aksesi A1 (Pulut Snack), kemudian
pada umur 10 minggu dilakukan panen Aksesi A3 (Pulut Hibrida), dan Aksesi A2
(Pulut Beras) baru siap dipanen pada umur 12 minggu setelah tanam. Panen jagung
dilakukan apabila sudah lebih dari 50% jagung sudah siap dipanen sesuai dengan
keperuntukannya. Dari hasil penelitian ini terlihat Aksesi A1 Pulut Snack paling cepat
panen (9 minggu), menyusul Aksesi A3 Pulut Hibrida (10 minggu), dan yang paling
lambat panen Aksesi A2 Pulut Beras (12 minggu) setelah tanam. Hal demikian dapat
dimengerti karena Aksesi A1 Pulut Snack dan Aksesi A3 Pulut Hibrida diperuntukkan
sebagai jagung rebusan, dipanen pada waktu masih muda, namun sudah berisi.
Sedangkan Aksesi A2 Pulut Beras diperuntukkan sebagai pengganti beras sehingga
harus dipanen dalam kondisi jagung sudah kering.
Hasil pengamatan produksi ditampilkan pada tabel 4, 5 dan 6. Tabel 4
memperlihatkan pengaruh perlakuan aksesi pada produksi jagung pulut Sulawesi
Selatan. Aksesi A2 (Pulut Beras) terlihat mempunyai produksi tertinggi (BTB= 103,74
gr a ) dibandingkan A1 (Pulut Snack =37,55 gr c) dan A3 (Pulut Hibrida= 80,37 gr b),
berbeda sangat nyata pada uji Duncans taraf 5% di semua parameter yang diamati.
Namun A2 mempunyai umur panen yang paling lama (12 minggu) daripada Aksesi
lainnya.

Tabel 4. Pengaruh perlakuan aksesi pada produksi jagung pulut Sulawesi Selatan
BB
BBT A BTK BTB PTK PTB DTK DTB BBj
Aksesi (gr) (gr) (gr) (gr) (cm) (cm) (cm) (cm) (gr)
73,10 9,69 62,06 37,55 10,32 3,19 14,47
A1 c c c c 19,55 b b c 2,74 c c
240,33 41,3 154,8 103,74 13,22 4,48 31,91
A2 a 4a 7a a 24,52 a a a 3,91 a a
103,95 14,7 111,9 80,37 13,73 3,93 20,94
A3 b 0b 3b b 23,65 a a b 3,52 b b

Keterangan:
1. BBT= Berat Basah Tajuk; BBA= Berat Basah Akar; BTK= Berat Tongkol+Klobot;
BTB= Berat Tongkol Bersih; PTK= Panjang Tongkol+Klobot; PTB= Panjang Tongkol

140
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Bersih; DTK= Diameter Tongkol+Klobot; DTB= Diameter Tongkol Bersih; BBj=


Berat Per 100 Biji Jagung.
2. Angka angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji Duncan taraf 0.05.
Karena aksesi A2 (Pulut Beras) hasil panennya diperuntukkan sebagai pengganti beras
sehingga dipanen maksimal sampai biji jagung siap untuk dipipil dan bisa disimpan lama.
Berbeda dengan Aksesi A1 (Pulut Snack), jagung dipanen masih agak muda yang siap
untuk direbus sebagai penganan. Data selengkapnya terlihat pada Tabel 4.

Tabel 5 memperlihatkan pengaruh perlakuan jarak tanam pada produksi jagung


pulut Sulawesi Selatan. Berbeda dengan perlakuan aksesi, pada perlakuan jarak tanam
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada produksi jagung. Pada jarak tanam
renggang (JT1= 100x20 cm) terlihat Berat Tongkol+Klobot paling tinggi (118,52
gram), namun Berat Tongkol Bersih nya pada perlakuan jarak tanam rapat cenderung
lebih tinggi (75,42 gram). Hal demikian mungkin disebabkan karena berat klobot yang
berbeda, artinya pemakaian jarak tanam renggang akan menghasilkan klobot yang lebih
banyak.

Tabel 5. Pengaruh perlakuan jarak tanam pada produksi jagung pulut Sulawesi Selatan
Jarak BBT BBA BTK BTB PTK PTB DTK DTB BBj
Tanam (gr) (gr) (gr) (gr) (cm) (cm) (cm) (cm) (gr)
141,08 118,52 73,98 22,81 12,41 23,85
J1 a 23,49 a a a a a 3,89 a 3,41 a a
142,49 102,75 72,27 22,49 11,88 20,59
J2 a 21,05 a b a a a 3,78 a 3,32 a a
133,79 107,59 75,42 22,42 12,98 22,88
J3 a 21,18 a ab a a a
3,92 a 3,45 a a
Keterangan:
1. BBT= Berat Basah Tajuk; BBA= Berat Basah Akar; BTK= Berat Tongkol+Klobot;
BTB= Berat Tongkol Bersih; PTK= Panjang Tongkol+Klobot; PTB= Panjang Tongkol
Bersih; DTK= Diameter Tongkol+Klobot; DTB= Diameter Tongkol Bersih; BBj=
Berat Per 100 Biji Jagung
2. Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji Duncan taraf 0.05

Oleh karena itu secara umum dapat disarankan pemakaian jarak tanam rapat (60x20
cm), hal demikian akan dapat meningkatkan produksi jagung per satuan luasnya. Ada
beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan jarak tanam jagung
antara lain kondisi tanah, musim, dan varietas.

Tabel 6. Pengaruh perlakuan interaksi Aksesi dan Jarak tanam pada produksi jagung pulut
Sulawesi Selatan
Jarak BBT BBA BTK BTB PTK PTB DTK DTB BBj
Aksesi Tanam (gr) (gr) (gr) (gr) (cm) (cm) (cm) (cm) (gr)
8,17 18,56 2,93 2,62 14,3
J1 68,32de c 51,66 d 31,16 d b 9,58 c d c 8 cd
7,56 20,09 10,41 3,27 2,77 10,9
J2 64,40 e c 65,98 d 36,50 d b bc d c 5d
13,3 20,02 10,97 3,36 2,84 18,0
A1 J3 86,58dce 4c 68,55 d 45,00 d b bc d c 8 bc

141
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

45,8 171,14 25,86 13,73 4,69 4,14 34,7


J1 246,85 a 3a a 115,62a a a a a 5a
41,7 137,04 23,97 12,15 4,24 3,54 29,7
J2 257,55 a 1ab b 87,38bc a ab abc ab 0a
36,4 156,43 23,72 13,79 4,51 4,06 31,2
A2 J3 216,60 b 8b ab 108,22ab a a ab ab 8a
16,4 132,77 24,00 13,92 4,05 3,47 22,4
J1 108,10 c 8c b 75,17 c a a bc b 3b
13,8 105,24 23,43 13,09 3,83 3,64 21,1
J2 105,55 c 8c c 92,92abc a a c ab 3b
13,7 23,52 14,17 3,91 3,45 19,2
A3 J3 98,20 dc 4c 97,78 c 73,04 c a a c b 8b
Keterangan:
1. BBT= Berat Basah Tajuk; BBA= Berat Basah Akar; BTK= Berat Tongkol+Klobot;
BTB= Berat Tongkol Bersih; PTK= Panjang Tongkol+Klobot; PTB= Panjang Tongkol
Bersih; DTK= Diameter Tongkol+Klobot; DTB= Diameter Tongkol Bersih; BBj=
Berat Per 100 Biji Jagung
2. Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji Duncan taraf 0.05.

Hasil analisa statistik perlakuan interaksi aksesi dan jarak tanam pada produksi
jagung ditampilkan pada tabel 6. Pada tabel tersebut terlihat bahwa kombinasi
perlakuan aksesi 2 dengan jarak tanam renggang 100x80 cm (A2J1) menghasilkan
bobot basah tongkol bersih tertinggi (115,62a gram) dibandingkan perlakuan lainnya,
namun secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan jarak tanam rapat (A2J3).
Sehingga perlakuan jarak tanam rapat pada aksesi A2 (Pulut Beras) secara statistik
masih bisa dilakukan. Pada aksesi A3 (Pulut Hibrida), produksi berat tongkol bersih
tertinggi (92,92abc gram) terlihat pada pemakaian jarak tanam sedang (J2= 80x20 cm)
namun secara statistik juga tidak berbeda nyata dengan perlakuan jarak tanam J1 dan J3.
Sehingga perlakuan jarak tanam rapat (J3) pada aksesi A3 secara statistik juga masih
bisa dilakukan. Sedangkan pada aksesi A1 (Pulut Snack) dengan perlakuan jarak tanam
rapat (J3) cenderung menghasilkan berat tongkol bersih paling tinggi (45,00d gram)
daripada jarak tanam J1 dan J2, meskipun secara statistik juga tidak berbeda nyata. Oleh
karena itu secara umum dapat disarankan pemakaian jarak tanam rapat (60x20 cm),
untuk penanaman ketiga aksesi jagung tersebut.
Penampilan buah jagung hasil panen Aksesi A1 (Pulut Snack), Aksesi A2 (Pulut
Beras) dan Aksesi A3 (Pulut Hibrida) pada berbagai jarak tanam dapat dilihat pada
Gambar 3a, 3b dan 3c berturut-turut sebagai berikut:

142
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 3a. Buah jagung aksesi A1 (Pulut Snack) pada berbagai jarak tanam

Gambar 3b. Buah jagung aksesi A2 (Pulut Beras) pada berbagai jarak tanam

Gambar 3c. Buah jagung aksesi A3 (Pulut Hibrida) pada berbagai jarak tanam

Pada Gambar 3a memperlihatkan bahwa buah jagung aksesi A1 memiliki ukuran


tongkol relatif lebih pendek dibandingkan aksesi A2 dan aksesi A3, terlihat bijinya tidak
rapat (jarang/bogang), sehingga menghasilkan produksi paling rendah, pada semua
143
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

parameter panen (BTK= Berat Tongkol Bersih; PTK= Panjang Tongkol+Klobot; PTB=
Panjang Tongkol Bersih; DTK= Diameter Tongkol+Klobot; DTB= Diameter Tongkol
Bersih; BBj= Berat Per 100 Biji) memiliki angka terendah (Tabel 4 ). Sebaliknya pada
A2 memiliki ukuran tongkol yang besar, relatif lebih panjang dan bijinya penuh/rapat
(Gambar 3b) sehingga menghasilkan produksi yang paling tinggi dan berbeda nyata
dengan A1 dan A3 (Tabel 4). Sedangkan Aksesi A3 Pulut Hibrida terlihat tongkolnya
memiliki biji yang cukup rapat meskipun tidak serapat A2 dan juga tidak
bogang/ompong (Gambar 3c) sehingga hasil produksi diantara Aksesi A1 dan aksesi
A2. Pada penelitian ini perbedaan hasil produksi lebih disebabkan oleh perbedaan
aksesi jagung pulut dan bukan karena perlakuan jarak tanam. Penelitian sebelumnya
melaporkan bahwa pertumbuhan dan produksi jagung dipengaruhi oleh varietas
(Anonim, 2012c; Dohi, 1998). Dilaporkan bahwa varietas hibrida menghasilkan jumlah
daun dan produksi jagung rebus dengan kelobot dan tanpa kelobot yang paling tinggi,
diikuti jagung Arjuna dan yang terendah dicapai jagung manis (Dohi, 1998). Selain
dipengaruhi oleh varietas, produksi jagung juga dipengaruhi oleh teknik budidaya
antara lain pemupukan, kesuburan tanah dan musim tanam (Wibisono, 2012). Beberapa
faktor penting yang harus mendapat perhatian dalam teknik budidaya tanaman adalah
air, suhu udara, media, cahaya dan ketersediaan hara mineral esensial bagi tanaman
(Lakitan, 1995).

Kesimpulan
1. Pertumbuhan tinggi tanaman meningkat seiring dengan bertambahnya umur
tanaman. Sedangkan pertumbuhan jumlah daun terlihat maksimal pada umur 6
minggu, kemudian menurun, karena pengurangan jumlah daun yang mengering
akibat proses penuaan tanaman.
2. Perlakuan aksesi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetativ jagung pulut.
Aksesi A2 (Pulut beras) paling cepat pertumbuhannya (tinggi 116.35a cm, jumlah
daun 11.52a helai), daripada aksesi A1 (Pulut snack) (tinggi 91.20b cm, 7.67c
helai), dan Aksesi A3 (Pulut hibrida) (tinggi 111.96ab cm, jumlah daun 8.28b helai).
3. Pada umur 7 minggu ST terlihat semua aksesi sudah berbunga antara 70-90 %,
aksesi A1 pulut snack lebih cepat berbuah (90%), A3 pulut hibrida (80%),
sedangkan aksesi A2 pulut beras (20%).
4. Aksesi A2 (Pulut Beras) terlihat mempunyai produksi tertinggi dibandingkan
aksesi A1 (Pulut Snack) dan A3 (Pulut Hibrida), namun mempunyai umur panen
yang paling lama (12 minggu).
5. Aksesi A1 Pulut Snack paling cepat panen (9 minggu), menyusul Aksesi A3 Pulut
Hibrida (10 minggu), dan yang paling lambat panen Aksesi A2 Pulut Beras (12
minggu) setelah tanam.
6. Perlakuan jarak tanam tidak berbeda nyata baik pada pertumbuhan maupun
produksi jagung pulut, sehingga dapat disarankan untuk pemakaian jarak tanam
rapat (60x20 cm), karena dapat meningkatkan produksi per luasan tertentu.

144
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Puslit Biologi LIPI, yang telah
memberikan fasilitas untuk penelitian ini, kepada ibu Dr. Nuril Hidayati, PU sebagai PI
pada proyek PKPP ini, dan teman-teman teknisi yang telah membantu dalam
pelaksanaan penelitian ini.

Daftar Pustaka
Anonim. 2012a. Mewujudkan Varietas Jagung Pulut Nasional. http://tabloidsinartani.com/
mewujudkan- varietas-jagung-pulut-nasional.html. (diakses 25 Oktober 2012).
Anonim. 2012b. Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Jagung
(Zea Mays L.) Kultivar Cp 1. http://iptekkonsultan.blogspot.com/p/pengaruh-jarak-
tanam-terhadap.html. (diakses 28 Oktober 2012).
Anonim. 2012c. Budidaya Jagung Hibrida. Badan Pusat Informasi Jagung Gorontalo.
http://bpij.gorontaloprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=23
1:budidaya-jagung-hibrida&catid=85:budidaya-jagung.
Dohi, M. 1998. Pengaruh Varietas dan Kepadatan Awal Tanam Terhadap Produksi Jagung
Rerbus dan Hijauan jagung Sebagai Makanan Ternak. http://repository.ipb.ac.id/
bitstream/handle/123456789/21478/1998mdo.pdf?sequence=2. (diakses 28 Oktober
2012).
Febrina, L. 2012. Menentukan Jarak Tanam Pada Jagung. http://cybex.deptan.go.id/lokalita/
menentukan-jarak-tanam-pada-jagung. (diakses 25 Oktober 2012).
Kartasapoetra, A. G. 1988. Jagung (Zea Mays) dalam Teknologi Budidaya Tanaman Pangan
di daerah Tropik Bina Aksara, Jakarta. Hal 90-104.
Lakitan, B. 1995. Teori, Budidaya, dan Pasca Panen. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 219
hal.
Pakpahan, A. 2007. Freedom for farmers, Freedom for all PT Ideals Agro Abarar, Bogor.
331 pp.
Pabendon, M.B. 2010. Peneliti: Sulsel Penghasil Jagung Pulut Terbaik. Antara. Sabtu, 04
September 2010 21:53 WITA Ekonomi. http://www.antara-
sulawesiselatan.com/berita/ 18928/peneliti--sulsel-penghasil-jagung-pulut-terbaik.
(diakses 25 Oktober 2012).
Wibisono, B.K. 2012. Jagung hibrida UNIB lampaui produksi nasional. Kamis, 4 Oktober
2012 07:52 WIB 1538 Views. http://www.antaranews.com/berita/336748/jagung-
hibrida-unib-lampaui-produksi-nasional (diakses 28 Oktober 2012).
Widowati, S. 2012. Keunggulan Jagung QPM (Quality Protein Maize) dan Potensi
Pemanfaatannya dalam Meningkatkan Status Gizi. Majalah Pangan 21(2): 171-184.
Yudiarta, P. 2011. Pengguguran Daun (Absisi). http://putu-yudiarta.blogspot.com/2011
/06/penguguran-daun-absisi.html. Selasa, 16-4-2013

145
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

BIDANG
OBAT

147
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Jenis dan Perbedaan Ektoparasit yang Ditemukan Pada


Syrian Hamster (Mesocricetus auratus) dari Petshop
dan Pasar Hewan, Malang
Ela Novianti*1, Aswin Djoko Baskoro2 dan Loeki Enggarfitri2
1
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
Jalan Raya Bogor KM.46, CibinongBogor, Indonesia
2
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Jalan Veteran, Malang, Indonesia
*E-mail : ela.novianti@gmail.com

ABSTRAK
Hamster merupakan salah satu hewan yang berperan sebagai pembawa ektoparasit
maupun endoparasit kepada manusia. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi jenis
ektoparasit yang ditemukan pada Syrian Hamster (Mesocricetus auratus) yang dijual di
Petshop dan Pasar Hewan, Malang. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
observasional. Dari masing-masing tempat penjualan diambil sepuluh hamster. Ektoparasit
didapatkan dari hasil penyisiran dan pencucian hamster dalam suspensi sabun, kemudian
diamati morfologinya di bawah mikroskop binokuler. Ektoparasit ditemukan pada 75%
hamster yang diteliti. Ada 4 jenis ektoparasit yang ditemukan yaitu Dermatophagoides sp,
Sarcoptes scabei, dan Demodex aureti serta Ixodidae. Ektoparasit dengan jumlah tertinggi
adalah Dermatophagoides sp. Hamster yang berasal dari Pasar Hewan memiliki jumlah dan
jenis ektoparasit yang lebih banyak dibandingkan dengan hamster yang berasal dari Petshop
sehingga lebih berpotensi untuk menularkan penyakit zoonotik.

Kata Kunci : ektoparasit, Mesocricetus auratus, pasar hewan, petshop

Pengantar
Hamster merupakan hewan peliharaan yang sangat popular. Salah satu jenis hamster
yang sering dipelihara adalah Syrian Hamster (Mesocricetus auratus) (Taslim, 2005).
Berbagai penyakit dapat ditemukan pada hamster tersebut, baik yang patogen terhadap
hamster itu sendiri maupun yang dapat ditularkan kepada manusia (penyakit zoonotik)
(Hannes, 1999). Penyakit zoonotik adalah penyakit-penyakit yang umumnya
menyerang hewan, namun karena suatu sebab dapat juga menginfeksi manusia (Beaver
& Jung, 1984; Murphy, 2005). Rodensia, termasuk didalamnya tikus dan hamster, dapat
bertindak sebagai reservoar untuk penyakit zoonotik sedangkan vektornya adalah pinjal,
kutu (mites), caplak (ticks), dan tungau yang merupakan parasit arthropoda (DepkesRI,
2012).
Chen melaporkan bahwa Demodex aureti dan Demodex criceti merupakan
ektoparasit terbanyak pada tubuh hamster (Chen, 1995). Demodex sp. dilaporkan dapat
menyebabkan dermatitis pada manusia (Beaver & Jung, 1984; Achmadi, 2005; Fitri,
2005). Selain ditemukan pada berbagai jenis hamster, ektoparasit tersebut juga dapat
ditemukan pada binatang pengerat lainnya (Cardoso & Franco, 2003). Karaer et al

149
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

melaporkan bahwa Syrian Hamster (Mesocricetus auratus) mudah terkena demodikosis


yang disebabkan oleh Demodex sp dan potensial menularkannya pada manusia (Karaer
et al., 2009).
Di Indonesia, penelitian mengenai ektoparasit sudah banyak dilakukan, namun
penelitian tersebut hanya terbatas pada hewan liar saja, misalnya penelitian Nurisa dan
Ristiyanto yang menunjukkkan bahwa rodensia (tikus dan mencit) bertindak sebagai
reservoar bagi enam macam penyakit zoonotik yang disebabkan oleh parasit, yaitu pes,
scrub thyphus, leptospirosis, eosinophylic meningitis dan echinostomiasis (Nurisa &
Ristiyanto, 2005). Selain itu, tikus, tupai dan kelelawar juga berperan sebagai inang
perantara ektoparasit jenis caplak (ticks) dan kutu (mites) (Saim & Agustinus, 2004).
Sarcoptes scabei juga merupakan ektoparasit yang banyak ditemukan pada hewan, baik
hewan ternak maupun hewan peliharaan (Wardhana, Manurung & Iskandar, 2006).
Namun demikian, persebaran penyakit zoonotik dan pertumbuhan populasi ektoparasit
ternyata dipengaruhi oleh banyak aspek, diantaranya aspek sosial budaya, aspek ekologi
dan yang paling dominan adalah aspek iklim dan cuaca (Natadisastra, 2011). Sebagian
besar ektoparasit, terutama jenis ticks lebih banyak hidup dan berkembang di daerah
tropis (Manelli et al., 1997; Estrada-Pena, 2001; Keeseon, 2003).
Di Indonesia, penelitian mengenai ektoparasit pada hewan peliharaan, terutama pada
hamster dan menyebabkan penyakit pada manusia jarang dilakukan. Oleh karena itu,
penelitian mengenai ektoparasit yang ditemukan pada hamster perlu dilakukan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis ektoparasit pada Syrian Hamster
(Mesocricetus auratus). Fokus penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis dan
perbedaan ektoparasit yang ditemukan pada Syrian Hamster (Mesocricetus auratus) di
Petshop dan Pasar Hewan, Malang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan
potensi hamster sebagai reservoar penyakit zoonotik secara lebih spesifik . Selain itu,
penelitian ini juga diharapkan dapat menambah kelengkapan informasi bagi masyarakat
dan instansi terkait tentang penularan penyakit pada manusia melalui hamster serta cara
penanggulangannya.

Bahan dan Metode


Bahan
Bahan dan alat yang digunakan antara lain mikroskop binokuler, obyek glass,
chloroform, alkohol 70%, kuas kecil, sikat, gelas, container volume 4 liter, kapas,
sarung tangan, detergen, timbangan dan penggaris.

Metode
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2006 Desember 2006. Pengamatan dan
identifikasi ektoparasit dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya, Malang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
deskriptif observasional. Sampel penelitian ini adalah Mesocricetus auratus dengan
berat 85-130 gram dan berusia 3-4 bulan. Sampel diperoleh dengan menggunakan
metode non probability sampling, yaitu quota sampling. Sampel diambil di dua tempat,
yaitu : Petnation Petshop yang berada di Malang Town Square dan Pasar Hewan
Splendid, Malang. Dari masing-masing tempat penjualan diambil 10 hamster.

150
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Masing-masing hamster dicatat berdasarkan daerah penjualan, berat dan panjang


tubuhnya kemudian dilakukan penomoran. Ektoparasit diperoleh dengan cara merujuk
pada metode yang digunakan oleh Saim (Saim & Agustinus, 2004). Sampel hamster
dimasukkan ke dalam plastik yang diberi kapas berchloroform selama 3 menit atau
lebih untuk mematikan hamster beserta ektoparasitnya. Hamster yang telah mati
dimasukan ke dalam suspensi sabun kemudian tubuh hamster disikat. Semua
ektoparasit yang tenggelam dalam dasar maupun yang terapung dikumpulkan dengan
menggunakan kuas dan dimasukkan ke dalam gelas berisi alkohol 70% untuk masing-
masing hamster. Ektoparasit yang didapatkan diamati di bawah mikroskop dengan
pembesaran 100x dan 400x. Ektoparasit kemudian diidentifikasi sesuai ciri morfologi
mengacu pada Atlas of Medical Parasitology dan Buku Ajar Parasitologi Arthropoda
(Keeseon, 2003; Fitri, 2005). Data ini dicatat pada lembar kerja sesuai dengan nomor
hamster mana ektoparasit tersebut diperoleh. Data deskriptif untuk mengetahui
ektoparasit yang terdapat dalam tubuh hamster disajikan dengan menggunakan tabel
frekuensi distribusi.

Hasil dan Pembahasan


Rodensia berperan sebagai inang perantara berbagai jenis ektoparasit (Jekti &
Yuwono, 1990; Saim & Agustinus, 2004; Nurisa & Ristiyanto, 2005; DepkesRI, 2012).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 75% dari 20 hamster yang diteliti mengandung
ektoparasit (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa hamster juga berperan penting
sebagai inang perantara ektoparasit dan berpotensi untuk menyebarkan penyakit
zoonotik.

Tabel 1. Distribusi frekuensi keberadaan ektoparasit pada hamster.


Terinfeksi Ektoparasit
Asal Hamster Jumlah
Jumlah %
Pasar Hewan 10 9 90
Petshop 10 6 60
Total 20 15 75

Terdapat empat jenis ektoparasit yang ditemukan pada hamster yang diteliti, yaitu
mites (soft tick) jenis Dermatophagoides sp, Sarcoptes scabei, dan Demodex aureti serta
hard tick dari famili Ixodidae yang secara visual dapat dilihat pada Gambar 1.

(a) (b)

151
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

(c) (d)
Gambar 1. Ektoparasit yang didapatkan pada tubuh hamster.(a). Dermatophagoides sp dewasa;
(b) Sarcoptes scabei dewasa; (c) Demodex aureti dewasa; (d) Ixodidae sp dewasa

Secara morfologis, Dermatophagoides sp (Gambar 1a) berbentuk bulat lonjong


dengan jumlah kaki 8 buah. Dermatophagiodes sp berukuran sekitar 420 m (sekitar
0,5 mm) panjang dan 250-320 m lebar (Denmark, 2007). Sarcoptes scabei (Gambar
1b) berbentuk oval sampai bulat, pipih dorsoventral, translucent,dengan warna putih
kecoklatan. Sarcoptes scabei jantan berukuran 200-250 mikron, sedangkan Sarcoptes
scabei betina berukuran 330-450 mikron. Mulut Sarcoptes scabei terdiri dari chelicera
bergigi, pedipalpus dan bibir yang berubah bentuk menjadi hypostome. Sarcoptes
scabei memiliki empat pasang kaki, begitu pula bentuk dewasanya. Pada Sarcoptes
scabei betina, kaki pertama dan kedua berakhir dengan sucker, kaki ketiga dan keempat
berakhir dengan bristle. Pada Sarcoptes scabei jantan, kaki pertama, kedua dan keempat
berakhir dengan sucker dan kaki ketiga berakhir dengan bristle (Prastowo &
Sumartono, 1999).
Demodex aureti (Gambar 1c) memiliki bentuk tubuh yang ramping dengan ukuran
tubuh sangat kecil (150-200m), berwarna putih, bentuknya hampir mirip belatung
(cigar shape), dan memiliki empat pasang kaki bulat pendek pada bagian anterior
tubuhnya (Hannes, 1999). Ixodidae sp (Gambar 1d) dikelompokkan sebagai caplak
keras (hard ticks) karena memiliki skutum (perisai dari kitin dengan tekstur keras) yang
melindungi sebagian besar dorsal tubuhnya. Bagian capitulum dan mulut Ixodidae sp
terletak di permukaan bawah anterior dan dilengkapi gigi yang melengkung kebelakang
yang berfungsi untuk menghisap darah dari tubuh inangnya (Keeseon, 2003)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Dermatophagoides sp merupakan
ektoparasit terbanyak yang didapatkan pada hamster (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan
pendapat Hannes yang menyatakan bahwa ektoparasit yang mungkin dapat ditemukan
pada tubuh hamster adalah mites (soft tick), hard ticks, dan pinjal (flea) (Hannes, 1999).

152
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 2. Distribusi frekuensi jenis dan jumlah ektoparasit pada hamster berdasarkan
tempat penjualan
Asal Hamster
Total
Jenis Ektoparasit Pasar Hewan Petshop
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Dermatophagoides sp. 19 46,3 14 34,1 33 80,4
Sarcoptes scabei 4 9,7 - 0 4 9,7
Ixodidae 2 4,8 1 2,4 3 7,2
Demodex aureti 1 2,4 - 0 1 2,4
Total 36 63,2 15 36,5 41 100
Ditemukannya Dermatopaghoides sp. merupakan jenis mites terbanyak, yaitu 33
ekor (80,4%), dikarenakan spesies ini bersifat kosmopolitan (dapat hidup dimana saja)
dan tidak bersifat spesies spesifik (tidak hanya ditemukan pada jenis hewan tertentu
saja). Dermatophagiodes sp banyak ditemukan pada negara beriklim tropis.
Lingkungan yang kotor, hangat, lembab dan terutama berdebu pada hamster merupakan
tempat hidup yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan mites jenis ini (Rand,
1996; Chew, 2003; Keeseon, 2003; Hasanah, Anung & Hidayati, 2005). Pada binatang
peliharaan, Dermatophagoides sp hidup di permukaan kulit tubuh. Makanan
Dermatophagiodes sp adalah serpihan kulit (sel kulit mati) (Provet, 2006).
Dermatophagiodes sp mengekskresikan butiran bulat (round fecal pellet) dengan
ukuran sekitar 20 mikron dan mengandung protein yang dapat menimbulkan alergi.
Karena berukuran sangat kecil, Dermatophagiodes sp mudah diterbangkan angin dan
masuk ke saluran pernafasan. Ketika masuk ke saluran pernafasan, protein yang
dihasilkan Dermatophagiodes sp akan menimbulkan sensitisasi sehingga akan
dihasilkan zat anti alergi. Pada paparan kedua, alergen akan berikatan dengan zat anti
alergi dan menghasilkan histamin yang akan beredar ke seluruh tubuh sehingga
menimbulkan reaksi alergi di beberapa organ (Provet, 2006).
Histamin menyebabkan peningkatan produksi mukus, timbulnya reaksi radang
(inflamasi) dan edema otot-otot saluran pernafasan. Hal ini akan mencetuskan
timbulnya batuk, sesak dan asma. Terapi yang digunakan adalah terapi simptomatik,
sesuai dengan gejala yang timbul. Anti histamin merupakan terapi utama. Pada
serangan asma, terapi diberikan sebagai reliever (mengatasi serangan) dan controller
(mengontrol agar serangan tidak terjadi). Steroid dapat digunakan sebagai terapi akut
(Provet, 2006).
Sarcoptes scabei merupakan jenis mites terbanyak kedua yang ditemukan (9,7%).
Seperti halnya Dermatophagoides sp, Sarcoptes scabei juga merupakan parasit yang
kosmopolitan, dapat menyerang binatang apapun dan di usia berapapun. Sarcoptes
scabei banyak ditemukan di lingkungan dengan populasi yang padat, hygiene rendah
dan tempat-tempat dengan iklim tropis (Chosidow, 2000). Sarcoptes scabei bersifat
obligat parasit yang mutlak memerlukan inang untuk berkembangbiak (Wardhana,
Manurung & Iskandar, 2006). Pernyataan ini juga didukung oleh Brown dan CDC yang
menyebutkan bahwa Sarcoptes scabei merupakan ektoparasit yang dapat hidup pada
tubuh hamster (Brown, 1994; CDC, 2006).
Sarcoptes scabei dapat menyebabkan penyakit skabies pada manusia. Mite ini
mempunyai habitat di kulit, terutama di lipatan-lipatan kulit (sela jari, axilla, inguinal,

153
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

genitalia, dan lipatan belakang paha) bahkan seluruh tubuh. Penyakit skabies dapat
ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tak langsung dengan Sarcoptes
scabei (Chosidow, 2000; Wardhana, Manurung & Iskandar, 2006). Manusia yang
pertama kali terinfeksi Sarcoptes scabei tidak akan memperlihatkan gejala berarti.
Dalam 2-6 minggu kemudian, penderita mulai tersensitisasi hingga timbul gejala.
Gejala klinis akibat infestasi Sarcoptes scabei akan menimbulkan ruam-ruam dan rasa
gatal yang parah terutama pada malam hari atau setelah mandi. Hal ini disebabkan
karena Sarcoptes scabei membuat terowongan pada stratum korneum kulit (2-
3mm/hari) dengan sucker yang ada pada kedua kaki depannya, terutama pada waktu
malam. Rasa gatal dan munculnya skin rash diduga akibat aktivitas dan sekret mites
jenis ini. Terapi scabies menggunakan topikal Permetrin (5%), Benzil Benzoat Emultion
(BBE) 20-25%, Crotamiton, Benzene Hexacloride (Lindane 1%), Ivermectrin oral dan
sabun sulfur. Ivermectrin oral efektif untuk penderita immunocomromised (Brown,
1994).
Demodex aureti sangat sedikit ditemukan pada hamster di penelitian ini (7,2%).
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Chen yang menyatakan bahwa Demodex
criceti dan Demodex aureti merupakan ektoparasit terbanyak yang ditemukan pada
tubuh hamster. Dari penelitian yang dilakukannya ditemukan lebih dari 50% bentuk
dewasa, 10% larva dan 20% nympha dari Demodex aureti sedangkan sisanya
merupakan bentuk dewasa dari Demodex criceti pada tubuh hamster. (Chen, 1995).
Perbedaan ini dapat disebabkan oleh teknis penelitian yang dilakukan. Karena habitat
Demodex aureti adalah pada folikel rambut dan kelenjar sebacea maka pada proses
penyisiran dan penyikatan yang dikerjakan pada penelitian ini daerah tersebut sulit
untuk dijangkau sehingga Demodex aureti sukar ditemukan (Fauzia, 2005).
Demodex aureti dapat menginfeksi manusia (demodikosis) dengan cara kontak
langsung dengan hamster yang terinfeksi. Demodex aureti menyerang manusia di usia
pertengahan dan atau dengan sistem imun tubuh yang buruk. Pada kondisi tersebut,
populasi Demodex aureti akan meningkat. Jika keadaan ini terus berlanjut dan tidak
mendapatkan terapi yang tepat, akan terjadi kerusakan jaringan kulit, menyebabkan
inflamasi pada epidermis (skin rash), menebalnya kulit (hyperplasia) hingga timbulnya
scar. Gejala lain adalah perbesaran pori folikel rambut sehingga terjadi kerontokan
rambut dan bulu mata, timbulnya blefaritis dan acne, hingga terjadinya sindroma
rosasea (Brown, 1994). Selain terapi dengan antiparasit dan meningkatkan imun tubuh,
demodikosis juga dapat diterapi dengan seabucktorn oil (Hippophae rhamnoides).
Bahan ini bekerja dengan cara mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi pada kulit dan
mencegah timbulnya sindroma rosasea (Murphy, 2006).
Jenis ektoparasit terakhir yang ditemukan adalah hard ticks dari famili Ixodidae
(2,4%). Habitat hard ticks jenis ini terutama di tanah rerumputan (Estrada-Pena, 2001).
Adanya hard ticks pada tubuh hamster bisa disebabkan karena faktor alas kandang
hamster yang digunakan terinfestasi oleh telur Ixodidae sp ataupun karena terbawanya
Ixodidae sp dari sayuran yang menjadi sumber makanan bagi hamster maupun hewan
lain yang berada di sekitarnya. Aves, mamalia dan rodensia merupakan inang bagi
Ixodidae sp. Infestasi Ixodidae sp pada tubuh manusia dapat menyebabkan dermatitis
dan anemia (Keeseon, 2003).

154
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Berdasarkan Tabel 2, hamster yang berasal dari Pasar Hewan lebih banyak
mengandung ektoparasit (90%) dibandingkan dengan hamster yang berasal dari Petshop
(60%). Hal ini dapat dihubungkan dengan tingkat kebersihan dari masing-masing lokasi
penjualan tersebut. Standar kebersihan yang rendah turut mempengaruhi jumlah
ektoparasit yang ditemukan pada hamster. Kandang yang kotor dapat menjadi sumber
penyakit. Sistem ventilasi, pemasukan udara dan sinar matahari serta kebersihan
makanan dan air juga berpengaruh terhadap kesehatan hamster (Jekti & Yuwono, 1990;
Beriajaya, 2007). Bila dibandingkan dengan Petshop, kebersihan pada daerah Pasar
Hewan dapat dikatakan lebih rendah. Kondisi lingkungannya kotor, lembab dan
berdebu. Hamster yang berasal dari Pasar Hewan juga lebih banyak kontak dengan
lingkungan luar dikarenakan diletakkannya kandang hamster yang akan dijual di daerah
yang terbuka.
Berdasarkan Tabel 2 juga diketahui bahwa terdapat perbedaan jenis ektoparasit yang
ditemukan di Petshop dan Pasar Hewan. Pada hamster yang berasal dari Pasar Hewan
ditemukan 4 jenis ektoparasit, sedangkan pada hamster yang berasal dari Petshop hanya
ditemukan 2 jenis ektoparasit. Lebih bervariasinya jenis ektoparasit yang berasal dari
Pasar Hewan bila dibandingkan dengan hamster yang berasal dari Petshop dapat
dihubungkan dengan tingkat kebersihan Pasar Hewan yang rendah. Perlakuan dan
perawatan yang didapatkan hamster juga mempengaruhi keragaman jenis ektoparasit
yang ditemukan. Hamster yang berasal dari Petshop diberi perlakuan khusus dan dijaga
kebersihan tempat tinggalnya. Tubuh hamster juga dirawat dan dibersihkan secara rutin.
Hal ini menyebabkan sedikitnya jenis ektoparasit yang ditemukan pada hamster yang
berasal dari Petshop.
Kepadatan populasi hewan peliharaan juga berperan dalam penyebaran ektoparasit.
Populasi yang padat akan meningkatkan faktor resiko terjangkitnya penyakit (Jekti &
Yuwono, 1990). Populasi dalam satu kandang yang terlalu padat pada hamster yang
dijual di Pasar Hewan dan kurangnya perawatan juga membuat hamster terpapar oleh
kondisi yang tidak sehat sehingga ektoparasit akan mudah menjangkiti hamster.
Populasi yang padat memungkinkan terdapatnya variasi keragaman jenis
ektoparasitnya. Pengendalian ektoparasit menyangkut hidup bersih dan kesehatan
lingkungan. Kesehatan lingkungan akan mengurangi populasi ektoparasit dan memutus
siklus hidupnya, sehingga ektoparasit tersebut tidak dapat berkembang (Hollander et al.,
2006).
Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa variasi ektoparasit
yang ditemukan pada tubuh hamster dapat tergantung dari lokasi penjualan sampel
penelitian. Lebih banyak dan bervariasinya jenis ektoparasit pada hamster yang dijual di
Pasar Hewan mengindikasikan bahwa hamster yang dijual di Pasar Hewan lebih besar
kemungkinannya membawa ektoparasit dan menularkannya pada manusia
dibandingkan dengan hamster yang dijual di Petshop.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Ektoparasit dapat ditemukan pada 75% hamster yang diteliti. Terdapat 4 jenis
ektoparasit yang ditemukan yaitu Dermatophagoides sp, Sarcoptes scabei, dan
Demodex aureti serta Ixodidae. Ektoparasit dengan jumlah tertinggi adalah
155
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Dermatophagoides sp. Hamster yang berasal dari Pasar Hewan memiliki jumlah dan
jenis ektoparasit yang lebih banyak dibandingkan dengan hamster yang berasal dari
Petshop sehingga lebih berpotensi untuk menularkan penyakit zoonotik.

Saran
Penelitian lanjutan mengenai dampak kesehatan yang ditimbulkan ektoparasit pada
hamster bagi manusia perlu dilakukan. Selain itu, penelitian serupa dengan jumlah
sampel yang lebih besar, pada area yang lebih luas dan dalam waktu yang lebih panjang
juga perlu dilakukan, sehingga data yang diperoleh lebih banyak dan lebih akurat.

Daftar Pustaka
Achmadi, A. S. 2005. Awas Tertular Penyakit Satwa . Pustaka Utama. Jakarta.
Beaver, P.C. and R.C. Jung. 1984. Clinical Parasitology, nineth edition. Lea and
Febringer Inc. Philadelphia.
Beriajaya. 2007. Peranan Vektor sebagai Penular Penyakit Zoonosis, Lokakarya
Nasional Penyakit Zoonosis.
(http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/lokakarya/lkzo05-44.pdf,
diakses tanggal 7 September 2006).
Brown, H.W. 1994. Basic Clinical Parasitology. Appleton Century Croft. New
York.
Cardoso, M.J.L. and R.S.V.R. Franco. 2003. Demodicosis in Golden Hamster
(Mesocricetus auratus) First Case in Brazil. ARS VETERINARIA,
Jaboticabal, SP, Vol. 19, n 2, 126-128
CDC. 2006. Scabies Life Cycle.(http://www.dpd.cdc.gov/scabies/scabieslifecycle,
diakses 10 September 2006).
Chen,C.1995. Demodicosis in Syrian Hamster. Parassitologia.Mar;39(1):41-5.
Chew,G. L. 2003. Distribution and determinants of mouse allergen exposure in low-
income New York City apartments. USA : Columbia Center for Children's
Environmental Health.
Chosidow,O. 2000. Scabies and Pediculosis. The Lancet Infectious Disease.Vol355,
Issue9206, p818.
Departemen Kesehatan RepubIik Indonesia. 2012. Pedoman Pengendalian Tikus.
(http://www.depkes.go.id/downloads/Pengendalian%20tikus.pdf. Diakses
tanggal 7 September 2006).
Denmark, H.A. 2007. Dermatophagoides.spp. (Arachnida: Acari: Pyroglyphididae).
Department of Entomology and Nematology: University of Florida.
Estrada-Pena, A. 2001. Climate Warming and Changes in Habitat Suitability for
Boophilus micropus (Acari : Ixodidae) in Central America. The Journal of
Parasitology Vol.87 No.5: pp 978 987
Fauzia, N. 2005. Keragaman Ektoparasit pada Tikus yang Tertangkap di Kecamatan
Gayamsari, Kota Semarang. Universitas Diponegoro. Semarang.
Fitri, L.E. 2005. Parasitologi Arthropoda. Laboratorium Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya. Malang.
Hannes,P. 1999. Dermatologic Disease. Journal of Medical Entomologi. Volume:
33, Issue: 4 p: 900-906.
156
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hasanah, A., Anung dan Hidayati. 2005. Perilaku Pengelolaan Tempat Tinggal
Berdasarkan Sumber Allergen Inhalan dalam Debu Rumah pada Masyarakat
Perkotaan Jawa Timur. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Malang. Malang.
Hollander ,A. 1996. Exposure of laboratory animal workers to airborne rat and
mouse urinary allergens. Clin Exp Allergy 27:617-626.
Jekti, R.P, M.E.Sulaksono dan S.S.Yuwono. 1990. Kontaminasi dalam
Pemeliharaan Hewan Percobaan secara Konvensional di Daerah Tropis. Pusat
Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Karaer, Z. 2009. Demodicosis in a Golden (Syrian) hamster (Mesocricetus auratus),
Short Communication. Ankara niv Vet Fak Derg, 56, 227-229
Keeseon.2003. Atlas of Medical Parasitology: House Dust Mites. MedRIC. Korea.
Manelli. 1997. Spatial Distribution and Seasonality of Ticks (Acarina : Ixodidae) in
a Protected Area in Northern Apennines. Parassitologia 39 (1) : 41 - 5
Murphy, F. A. 2006. Emerging Infectious Diseases. Proc. Hawaiian Entomol. So
ocn.41:5356
Natadisastra, D. 2011. Buku Ajar Kesehatan Masyarakat. UI Press. Jakarta.
Nurisa, I. dan Ristiyanto. 2005. Penyakit Bersumber Rodensia (Tikus dan Mencit)
di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 4 No 3: 308 319
Prastowo, J. dan Sumartono. 1999. Kamus Parasiter. EGC. Jakarta.
Provet. 2006. Zoonoses.(http://www.co.uk/health/disease.htm, diakses 15
September 2006).
Rand, M.S. 1996. Zoonotic Diseases (http://research.uc-sb.edu/iacuc/iacuc.shtml,
diakses 7 September 2006).
Saim, A. dan Agustinus S. 2004. Keanekaragaman Fauna Parasit pada Mamalia
Kecil di Kawasan Tesso Nilo, Propinsi Riau. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol
3 No 3: 123 127
Taslim,W. 2005. Sukses Memelihara Hamster. Jakarta: Argomedia Pustaka.
Wardhana, A.H., J.Manurung. dan T.Iskandar. 2006. Scabies : Tantangan Penyakit
Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang. Wartazoa Vol.16 No.1: 40 52

157
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Konstruksi Vektor Ekspresi Rekombinan Yang Mengandung


Protein Faktor Sekresi Pichia pastoris dan Kloning
Dalam Escherichia coli

Shabarni Gaffar*, Siti N. Inayah dan Yeni W Hartati


Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Padjadjaran.
Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21, Jatinangor 453631
*E-mail: era2504@yahoo.com

ABSTRAK

Protein faktor sekresi Pichia pastoris (Sec4p) merupakan salah satu protein yang
berperan untuk menargetkan protein-protein yang disekresikan ke luar sel. Sec4p sangat
diperlukan pada inang ekspresi Pichia pastoris untuk menjamin bahwa semua protein
rekombinan yang dirancang untuk ekspresi ekstraselular dikeluarkan dari sel. Overekspresi
gen SEC4 dalam suatu inang ekspresi dapat meningkatkan sekresi protein rekombinan.
Penelitian ini berhasil mengkonstruksi suatu vektor ekspresi rekombinan yang mengandung
gen SEC4 dan mengkloningnya dalam Escherichia coli. Gen SEC4 diamplifikasi dari genom
P. pastoris menggunakan metode PCR. Fragmen SEC4 dengan ukuran 615 pb diligasi ke
vektor pJET1.2 menghasilkan plasmid rekombinan pJET1.2-SEC4 dan disubkloning dalam
E. coli TOP10F. Gen SEC4 dari plasmid pJET1.2-SEC4 yang telah dikarakterisasi,
dipotong menggunakan enzim restriksi EcoR1. Fragmen SEC4 hasil pemotongan dengan
enzim EcoR1 diligasi ke vektor pPIC3.5K menghasilkan vektor ekspresi rekombinan
pPIC3.5K-SEC4 dan selanjutnya dikloning dalam E. coli TOP10F. Hasil analisis restriksi
dan penentuan urutan nukleotida gen SEC4 dalam plasmid pPIC3.5K-SEC4 hasil kloning
menunjukkan bahwa vektor ekspresi yang mengandung gen SEC4 berhasil dikonstruksi dan
gen SEC4 dengan ukuran 615 pb memiliki urutan nukleotida yang identik dengan urutan
SEC4 P. pastoris di Genbank. Vektor ekspresi yang dihasilkan selanjutnya dapat
diintroduksi ke dalam suatu inang P. pastoris, untuk menghasilkan sel inang yang dapat
mensekresikan protein rekombinan dengan tingkat produksi tinggi.

Kata kunci : faktor sekresi, gen SEC4, vektor ekspresi, Pichia pastoris

Pengantar
Ragi metilotropik P. pastoris semakin banyak digunakan sebagai inang untuk
ekspresi protein rekombinan. P. pastoris lebih mudah dimodifikasi secara genetika dan
dikulturkan dibandingkan dengan sel mamalia dan dapat ditumbuhkan hingga mencapai
densitas sel yang tinggi (Cereghino & Cregg, 2000). Selain itu, karena P. pastoris
merupakan eukariot maka cocok digunakan untuk memproduksi protein eukariot
dengan folding yang tepat dan protein yang membutuhkan modifikasi pascatranslasi,
sehingga protein rekombinan tersebut dapat berfungsi dengan baik (Daly & Hearn,
2005). Lebih dari 550 protein rekombinan yang berasal dari bakteri, ragi, protista,
tumbuhan, invertebrata, manusia dan virus telah berhasil disintesis dan diproduksi
dalam ragi ini (Lin-Cereghino et al., 2006, De Schutter et al., 2009). Teknologi ekspresi
P. pastoris tersedia secara komersial semenjak beberapa tahun yang lalu.
159
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Produksi secara ekstraselular protein rekombinan menggunakan sistem ekspresi


P.pastoris, umumnya lebih disukai karena memudahkan proses pemurnian sehingga
menurunkan biaya produksi. Sekresi protein oleh suatu inang ekspresi memerlukan
sejumlah protein yang berperan pada transportasi protein yang akan disekresikan dari
retikulum endoplasma sampai ke membran sel (Cregg et al., 1993). Selain itu, tingkat
sekresi protein asing juga dipengaruhi oleh jenis kodon yang digunakan dari gen yang
diekspresikan; jumlah kopi gen; kekuatan promotor; sinyal translasi; jenis peptida
sinyal; pemrosesan dan pelipatan protein dalam retikulum endoplasma dan badan Golgi;
faktor lingkungan dalam sekresi ekstraseluler; serta hidrolisis protein oleh protease (Shi
Hwei et al., 2005; Sreekrishna et al., 1997).
Protein faktor sekresi ekstraselular adalah sekelompok protein yang berperan pada
transportasi protein yang akan disekresikan dengan melibatkan organel sel. Secara garis
besar, protein yang baru terbentuk akan melewati retikulum endoplasma (RE),
kompleks Golgi, dan kemudian menuju membran plasma untuk selanjutnya
disekresikan ke luar sel. Transportasi protein antar kompartemen di dalam sel juga
dimediasi oleh suatu vesikel (Oliveira et al., 2010; Salminen & Novick, 1989).
Berdasarkan analisis genetik protein yang terlibat pada jalur sekresi ragi, telah
ditemukan dua puluh enam gen yang produknya diperlukan untuk transportasi protein
dari retikulum endoplasma ke membran plasma. Sepuluh dari gen-gen tersebut
mengatur peredaran vesikuler dari kompleks Golgi ke membran plasma pada tahap
lanjut sekresi protein. Salah satu dari sepuluh gen ini adalah SEC4, yang mengode
protein pengikat GTP yang berasosiasi dengan sisi sitoplasmik dari vesikel sekresi dan
membran plasma. Protein Sec4 (Sec4p) diperlukan pada eksositosis konstitutif pada ragi
dan mengalami siklus antara membran plasma dan vesikel sekresi. Siklus lokalisasi
Sec4p dirangkai dengan siklus pengikatan dan hidrolisis GTP yang berfungsi untuk
mengontrol peredaran vesikuler (Salminen & Novick, 1989).
Peningkatan jumlah Sec4p dalam suatu inang ekspresi diketahui dapat
meningkatkan sekresi protein asing. Shi-Hwei dan koleganya (2004) melaporkan
overekspresi SEC4 Pichia pastoris dalam inang P. pastoris yang telah mengandung gen
pengode glukoamilase, dapat meningkatkan sekresi glukoamilase sebanyak 2x lipat.
Meskipun peran Sec4p pada sekresi protein di P. pastoris belum pernah dipelajari,
namun urutan asam amino Sec4p dari P. pastoris mirip dengan urutan Sec4p ragi lain
pada domain yang terlibat dalam pengikatan dan hidrolisis nukleotida. Penelitian
tersebut membuktikan Sec4p memiliki kontribusi peran yang penting dalam proses
produksi protein rekombinan, khususnya pada proses sekresi protein.
Sec4p merupakan protein berukuran 24 kDA yang dikode gen SEC4 dari
Saccharomyces cerevisiae. Protein ini termasuk ke dalam keluarga protein Rab dari
protein pengikat GTP yang merupakan regulator penting pada semua aktivitas
peredaran vesikuler. Sec4p berperan penting dalam tahap akhir sekresi protein,
berfungsi untuk menargetkan vesikel sekretori ke membran plasma pada proses pasca-
Golgi dalam sekresi protein pada ragi (Walworth et al., 1989).
Permasalahan yang sering timbul pada produksi protein rekombinan yang dirancang
untuk disekresikan oleh inang P. pastoris adalah tingkat sekresinya masih rendah. Salah
satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menambah

160
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

konsentrasi Sec4p intraselular, sehingga jumlah protein rekombinan yang disekresikan


bisa lebih banyak.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bermaksud untuk merancang
suatu vektor ekspresi yang membawa gen SEC4 Pichia pastoris. Vektor ekspresi ini
selanjutnya dapat masukkan ke dalam suatu inang yang dirancang untuk menyekresikan
protein asing. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan vektor ekspresi yang
mengandung gen SEC4 P. pastoris yang dapat digunakan untuk koekspresi SEC4
dalam inang P. pastoris yang telah mengandung gen asing. Koekspresi SEC4
diharapkan dapat meningkatkan level sekresi protein asing oleh P. pastoris.

Bahan dan Metode


Bahan
Galur yang digunakan pada penelitian ini adalah Escherichia coli TOP10F
(Invitrogen) yang digunakan sebagai inang untuk kloning. Vektor yang digunakan
adalah pJet1.2 (Fermentas) dan pPIC3.5K (invitrogen). Enzim restriksi endonuklease
EcoR1, Taq DNA polymerase, dan T4 DNA ligase dari Fermentas. Primer
oligonukleotida untuk PCR (5Sec4f dan 3Sec4r) disintesis oleh Research Biolabs
(Singapura). Kit isolasi DNA: GeneJET Gel Extraction Kit, GeneJET Plasmid Miniprep
Kit dan Genomic DNA isolation Kit dari Fermentas. Marker DNA 1 kb dari Fermentas.
Media pertumbuhan, E. coli TOP 10F dari Pronadisa dan Oxoid. Reagen reagen lain
yang umum digunakan pada laboratorium biologi mulekul dari Sigma Aldrich dan
Merck.

Metode
Amplifikasi SEC4 P. pastoris dan subkloning dalam E. coli.
Gen SEC4 P. pastoris diamplifikasi dengan teknik PCR. Campuran reaksi PCR
terdiri atas 1 L hasil isolasi DNA genom P. pastoris; bufer PCR 1X; primer 5Sec4f
(5-TTGAATTCATGGCATCAAGAGGCACATCA-3) 0,4 M; primer 3Sec4r (5-
TTGAATTCTC AACAACAAGACGATTTGGT-3) 0,4 M (urutan yang
digarisbawahi merupakan urutan sisi pengenalan enzim restriksi EcoR1); dNTP 0,2 mM
(Fermentas); MgCl2 2,5 mM; 1,25 U enzim Taq DNA polymerase (Fermentas) dan air
bebas nuklease hingga 50 L. Proses PCR dilakukan menggunakan mesin
Mastercycler 5330 (Eppendorf) sebanyak 30 siklus, dengan masing-masing siklus
terdiri dari tahap-tahap denaturasi templat pada suhu 95oC selama 1 menit, tahap
penempelan primer (annealing) pada suhu 51oC selama 1 menit, dan tahap
pemanjangan primer pada suhu 72oC selama 1 menit. Hasil PCR dianalisis dengan
elektroforesis gel agaros 1% (b/v), kemudian dimurnikan menggunakan GeneJET Gel
Extraction Kit (Fermentas). Fragmen DNA hasil pemurnian, di analisis dengan
elektroforesis agaros 1 %(b/v).
Setelah dimurnikan, hasil PCR diligasi ke vektor pJet1.2 (Fermentas). Reaksi ligasi
dilakukan dengan perbandingan molar antara vektor pJET1.2 dan insert gen SEC4 1:3.
Campuran reaksi ligasi terdiri dari 10 L buffer 2x reaksi; 5 L purified SEC4 hasil
PCR; 1 L (0.05 pmol ends) vektor pJET1.2; 1 uL blunting enzyme, air bebas nuklease
hingga 19 L; dan 1 L T4 DNA ligase. Volume total reaksi ligasi adalah 20 L.

161
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Campuran kemudian divortex dan disentrifugasi selama 3-5 detik. Campuran


diinkubasi pada suhu 22C selama 15 menit.
Vektor pJet1.2 yang telah membawa gen SEC4 (pJet1.2-SEC4) digunakan untuk
mentransformasi E. coli TOP10F. Pembuatan sel kompeten dilakukan mengikuti
prosedur CaCl2 (Sambrook, et al., 1989). Sejumlah 5 L DNA hasil ligasi ditambahkan
ke dalam tabung yang berisi 50 L sel kompeten, kemudian diinkubasi selama 30 menit
pada suhu 4C, kemudian dilakukan heat shock pada suhu 42C selama 90 detik.
Kemudian segera didinginkan di dalam es selama 10 menit. Campuran ini kemudian
ditambahkan 950 L media LB cair dan diinkubasi pada suhu 37C selama 2 jam
dengan laju pengocokan 150 rpm. Kemudian disentrifugasi pada 12000 rpm selama 30
detik. Sebanyak 900 L supernatan dibuang, pelet sel diresuspensi dengan supernatan
sisa sebanyak 100 L dan kemudian ditumbuhkan pada media LB padat yang telah
mengandung Tetrasiklin 15 g/mL dan Ampicillin 100 g/mL, kemudian diinkubasi
pada suhu 37C selama 16-18 jam.
Koloni transforman E. coli yang tumbuh berwarna putih dikarakterisasi melalui
isolasi plasmid rekombinan (Sambrook, et al., 1989), analisis restriksi menggunakan
EcoR1, kemudian ditentukan urutan nukleotidanya. Urutan nukleotida gen SEC4 hasil
isolasi dari E. coli TOP10F dengan konsentrasi DNA sekitar 100 ng/L ditentukan
dengan metode dideoksi Sanger (Dye Terminator) di Macrogene (Korea). Primer yang
digunakan untuk sekuensing adalah pasangan primer pJetfor dan pJetref (primer
universal untuk vektor pJet1.2). Hasil sekuensing di jajarkan menggunakan program
Seqman pada program DNAStar.

Kostruksi plasmid ekspresi pPIC3,5K-SEC4 dan kloning dalam E. coli


Dua g DNA plasmid pJet1.2-SEC4 dan pPIC3.5K dipotong menggunakan enzim
restriksi EcoR1 (Fermentas). Campuran reaksi mengandung 10 Unit enzim EcoR1 dan
buffer restriksi, kemudian diinkubasi pada suhu 37C selama 1 jam. Pita fragmen DNA
SEC4 (650 pb) dan fragmen pPIC3.5K (9000 pb) di potong dari gel dan dimurnikan
menggunakan GeneJET Extraction Kit (Fermentas) mengikuti prosedur.
Gen SEC4 yang mengandung sisi restriksi EcoR1 pada ujung-ujungnya diligasi
dengan vektor pPIC3.5K yang mengandung sisi restriksi enzim yang sama. Reaksi
ligasi dilakukan dengan perbandingan molar antara vektor pPIC3.5K dan gen SEC4 1:5.
Campuran reaksi ligasi terdiri dari 2 L buffer 10x reaksi; 1.22 L gen SEC4; 1 L
vektor pJET1.2; air bebas nuklease hingga 19 L; dan 1 L T4 DNA ligase. Volume
total reaksi ligasi adalah 20 L. Campuran kemudian divortex dan disentrifugasi selama
3-5 detik. Campuran diinkubasi pada suhu 22C selama 1 jam.
Campuran ligasi yaitu plasmid pPIC3.5K-SEC4 digunakan untuk mentransformasi
E. coli TOP10F dengan metoda CaCl2 (Sambrook, et al. 1989). Transforman E. coli
yang tumbuh merupakan E. coli yang telah mengandung plasmid rekombinan
pPIC3.5K-SEC4. Plasmid rekombinan diisolasi dan dikarakterisasi melalui analisis
restriksi menggunakan enzim EcoR1. Urutan nukleotida gen SEC4 dalam plasmid
pPIC3.5K-SEC4 ditentukan menggunakan pasangan primer 5AOX dan 3AOX
(Invitrogen).

162
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hasil dan Pembahasan


Amplifikasi SEC4 P. pastoris dan subkloning dalam E. coli.
Amplifikasi gen SEC4 dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer 5Sec4f
dan 3Sec4r menghasilkan fragmen berukuran 615 pb (Gambar 1a) sesuai dengan
panjang gen SEC4 P. pastoris di GenBank (nomor akses: XM_002492307.1).
Selanjutnya gen SEC4 telah berhasil disubkloning menggunakan vektor pJet1.2 dalam
E. coli (Gambar 1b). Sebanyak 104 koloni transforman E. coli telah diperoleh dan
diremajakan untuk pencarian koloni yang mengandung plasmid rekombinan.

a. b.
Gambar 1. (a) Produk PCR gen SEC4. (lajur 1) marker 1 kb, (lajur 2) SEC4. (b) Koloni
transforman E. coli [pJET1.2-SEC4].

Hasil isolasi plasmid dan karakterisasi dengan enzim EcoR1 diperoleh koloni
yang positif mengandung gen SEC4 (Gambar 2). Hasil restriksi plasmid yang
ditunjukkan pada Gambar 2 menunjukkan bahwa koloni 92 (lajur 6) positif
mengandung plasmid pJET-SEC4, ditunjukkan dengan adanya pita pada daerah ~3000
bp yang sesuai dengan ukuran plasmid pJET1.2 dan pita pada daerah ~615 bp yang
sesuai dengan ukuran gen SEC4. Koloni 64 dan 68 (lajur 3 dan 4) diduga mengandung
vektor pJET1.2 yang mengalami re-ligasi, ditunjukkan dengan pita plasmid yang tidak
terpotong oleh enzim EcoRI karena vektor pJET1.2 tidak memiliki sisi pengenal EcoRI.
Namun, seharusnya koloni ini tidak tumbuh pada media seleksi karena vektor pJET1.2
yang tidak disisipi DNA sisipan akan mengekspresikan protein yang mematikan bagi
transforman E. coli. Diduga hal ini terjadi karena adanya kontaminasi nuklease.
Kontaminasi ini dapat merusak integritas dari gen mematikan dengan rusaknya ujung
vektor pJET1.2 oleh aktivitas nuklease. Hasil restriksi koloni 21 dan 50 (lajur 2 dan 5)
menghasilkan plasmid yang terpotong oleh enzim EcoRI, namun tidak menunjukkan
pita spesifik pET1.2 maupun SEC4. Diduga hal ini terjadi karena proses restriksi yang
kurang sempurna sehingga menghasilkan plasmid pJET-SEC4 linear, ditunjukkan
dengan pita yang terletak diantara daerah ~3500 pb.

163
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 2. Hasil restriksi plasmid pJET1.2-SEC4 dengan enzim EcoRI. (lajur 1) marker 1
kb, (lajur 2) pJET-SEC4 koloni 21 cut/ EcoRI, (lajur 3) pJET-SEC4 koloni 64
cut/ EcoRI, (lajur 4) pJET-SEC4 koloni 68 cut/EcoRI, (lajur 5) pJET-SEC4
koloni 50 cut/ EcoRI, (lajur 6) pJET-SEC4 koloni 92 cut/EcoRI.

Kostruksi plasmid ekspresi pPIC3,5K-SEC4 dan kloning dalam E. coli


Gen SEC4 hasil subkloning dipotong dari plasmid pJet1.2-SEC4 menggunakan
enzim EcoR1. Pemotongan plasmid ini dengan enzim EcoR1 menghasilkan dua pita
DNA yaitu 3000 pb (vektor pJet1.2) dan 615 pb (gen SEC4). Sedangkan pemotongan
plasmid pPIC3.5K dengan enzim EcoR1 menghasilkan satu pita dengan ukuran 9000
pb (Gambar 3).

Gambar 3. Hasil restriks pJET1.2-SEC4 dan vektor pPICK3.5K dengan enzim EcoR1.
(lajur 1) marker 1 kb, (lajur 2) pPICK3.5K cut/ EcoR1, (lajur 3) pJET1.2-SEC4
cut/ EcoR1.

Fragmen 9000 pb (pPIC3.5K) dan 615 pb(SEC4) dipotong dari gel agaros,
kemudian dimurnikan menggunakan GeneJet Gel Extraction Kit (Fermentas). Kedua
fragmen DNA ini diligasi dengan perbandingan molar fragmen SEC4 : vektor
pPIC3.5K = 5:1. Hasil ligasi kemudian dikloning dalam E. coli TOP10F dan diperoleh
104 transforman E. coli (Gambar 4).

164
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

a. b.

Gambar 4. Koloni E. coli [pPIC3.5K-SEC4] yang diremajakan.(a) koloni 1-52, (b) koloni
53-104.

Hasil penentuan urutan nukleotida gen SEC4 dalam plasmid rekombinan pJet1.2-
SEC4 menunjukkan bahwa gen SEC4 hasil subkloning homologi 100% dengan urutan
gen SEC4 P. pastoris pada GenBank (nomor akses: XM_002492307.1) (Gambar 5).
Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan inang P.
pastoris yang mengandung tambahan gen SEC4 yang diperlukan untuk memfasilitasi
overekspresi protein rekombinan lain. Peningkatan jumlah protein Sec4p intraselular
akan menjamin bahwa semua protein yang diekspresikan dikirim keluar sel. Ragi
metilotropik P. pastoris sudah banyak digunakan untuk ekspresi protein rekombinan,
terutama protein eukariot karena memiliki sistem modifikasi pasca translasi dan dapat
mengekspresikan protein ekstraselular. Salah satu kendala ekspresi ekstraselular adalah
kurangnya jumlah protein yang berperan pada transportasi ekstraselular, salah satunya
adalah Sec4p.
Konstruksi vektor ekspresi yang mengandung gen SEC4 diperlukan untuk
menambah jumlah Sec4p yang dihasilkan oleh inang P. pastoris. Vektor ekspresi yang
digunakan merupakan suttle vector yang dapat bereplikasi dalam inang bakteri
maupun P. pastoris. Peta vektor rekombinan yang dikonstruksi diperlihatkan pada
gambar 6. Transformasi pPIC3.5K-SEC4 ke dalam inang P. pastoris akan
menyebabkan terjadinya integrasi gen SEC4 ke kromosom yang disebabkan oleh
peristiwa rekombinasi homolog antara vektor dan genom, sehingga jumlah gen SEC4
yang terdapat pada genom akan bertambah.

165
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 5. Homologi urutan nukleotida SEC4 hasil subkloning dengan urutan SEC4 nomor
NCBI. Warna merah menunjukkan tingkat homologi 100%.

166
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

pPIC3.5K-
SEC4
10500 pb

Gambar 6. Peta vektor pPIC3.5K-SEC4 hasil konstruksi.

Gen SEC4 diekspresikan di bawah kontrol promotor dan terminator AOX1.


Promotor gen AOX1 paling umum digunakan pada ekspresi protein rekombinan
menggunakan inang P. pastoris. Gen AOX1 mengode enzim alkohol oksidase, yang
merupakan enzim kunci pada metabolisme metanol pada P. pastoris. Induksi ekspresi
protein rekombinan dilakukan dengan penambahan metanol ke media pertumbuhan
(Cereghino dan Cregg, 2000). Inang yang telah membawa tambahan gen SEC4
diharapkan dapat mengatasi masalah ekspresi dan sekresi protein asing dalam P.
pastoris

Kesimpulan
Vektor ekspresi pPIC3.5K-SEC4 telah berhasil dikonstruksi, hasil penentuan urutan
nukleotida gen SEC4 dalam vektor ekspresi menunjukkan homologi 100% dengan gen
SEC4 P. pastoris pada GenBank (nomor akses: XM_002492307.1). Vektor ekspresi
hasil konstruksi ini dapat diko-ekspresikan dalam inang P. pastoris yang telah memiliki
gen asing, sehingga mengatasi permasalahan ekspresi dan sekresi protein rekombinan
oleh P. pastoris.

Ucapan Terimakasih
Peneliti mengucapkan terima kasih pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat Universitas Padjadjaran atas dana penelitian melalui program PUPT
(Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi).

Daftar Pustaka
Cereghino, J. L. and Cregg, J. M. 2000. Heterologous protein expression in the
methylotrophic yeast Pichia pastoris. FEMS Microbiol. Rev. 24: 45-66.
Cregg, J.M., Vedvick, T.S., Raschke, W.C. 1993. Recent advances in the expression
of foreign genes in Pichia pastoris. BioTechnology 11: 905910.

167
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daly, R. and Hearn, M.T.W. 2005. Expression of heterologous proteins in Pichia


pastoris: a useful experimental tool in protein engineering and production. J.
Mol. Recognit. 18: 119-138.
De Schutter, K., Yao-Cheng L., Tiels, P., Van Hecke, A., Glinka, S., Weber-
Lehmann, J., Rouze, P.,Van de Peer, Y., and Callewaert, N. 2009. Genome
sequence of recombinant protein production host Pichia pastoris. Nature
Biotechnology. 27 (6): 561-566.
Invitrogen, A manual of methods for expresion of recombinant proteins in Pichia
Pastoris, 2006. California.
Lin-Cereghino, G.P., Godfrey, L., de la Cruz, B.J., Johnson, S., Khuongsathiene,
S., Tolstorukov, I., Yan, M., Lin-Cereghino, J., Veenhuis, M., Subramani, S.
and Cregg, J.M. 2006. Mxr1p, a key regulator of the methanol utilization
pathway and peroxisomal genes in Pichia pastoris. Mol. Cel. Biol. 26: 883-
897.
Oliveira, D.L., Nakayasu, E. S., Joffe, L. S., Guimaraes, A. J., & Sobreira, T. J. P.
2010. Characterization of Yeast Extracellular Vesicles: Evidence for the
Participation of Different Pathways of Cellular Traffic in Vesicle Biogenesis.
PLoS ONE 5(6): e11113.
Sambrook, J., Fritsch, E.F., and Maniatis, T.1989. Molecular cloning: A laboratory
manual, vol 1,2,3,. Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York.
Salminen, A. & Novick, P. J. 1989. The Sec15 Protein Responds to the Function of
the GTP Binding Protein, Sec4, to Control Vesicular Traffic in Yeast. The
Journal of Cell Biology. 109:1023-1036.
Sreekrishna, K., Brankamp, R.G, Kropp. K.E., Blankenship, D.T., Jiu-Tsair, T,
Smith, P.L., Wierschke, J.D., Subramaniam, A. and Birkenberger L.A. 1997.
Strategies for optimal synthesis and secretion of heterologous proteins in the
methylotrophic yeast Pichia pastoris. Gene. 190: 55-62.
Shi-Hwei, L., Wei-I, C., Chia-Chin, S. and Margaret Dah-Tsyr, C. 2005. Improved
secretory production of glucoamylase in Pichia pastoris by combination of
genetic manipulation. Biochem. Biophys. Res. Comm. 326: 817-824
Walworth, N. C., Goud, B., Alisa, K. K. & Novick, P. J. 1989. Mutational analysis
of SEC4 suggests a cyclical mechanism for the regulation of vesicular traffic.
The EMBO Journal. 8(6)1685 1693.

168
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kloning Gen Penyandi Domain Flavin Cellobiose


Dehydrogenase Untuk Aplikasi Biosensor Laktosa
Lita Triratna*1 dan Desriani2
Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong Kab. Bogor
16911, Tlp. 021-8754587; Fax. 021-8754588
Email: litatriratna@gmail.com

ABSTRAK
Sebanyak 60% dari total penduduk Indonesia dilaporkan menderita intoleransi terhadap
laktosa. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh genetik atau dikarenakan faktor infeksi
seperti pada penyakit gastroentritis. Penggunaan biosensor laktosa akan sangat membantu
penderita intoleransi laktosa dalam memilah makanan yang akan dikonsumsinya dengan
cara mendeteksi kandungan laktosa secara mudah pada produk pangan yang tidak memiliki
daftar kandungan bahan penyusunnya seperti pada kue-kue, panganan dan minuman
tradisional Indonesia yang banyak dikonsumsi dan dijual bebas dipasaran. Enzim CDH dan
domain flavin CDH dilaporkan berpotensi untuk diaplikasikan pada alat biosensor laktosa.
Pada Penelitian ini dilakukan isolasi dan kloning domain flavin CDH dari fungi Trametes
versicolor ke dalam vektor kloning pGEM-Teasy. Isolasi domain flavin CDH telah berhasil
dilakukan dengan ukuran 1698 pasang basa. Penyimpanan material genetik domain flavin
CDH merupakan suatu langkah awal untuk penyiapan biosensor laktosa yang akan
dilakukan pada penelitian kedepannya.

Kata Kunci: Biosensor laktosa, Cellobiose Dehydrogenase, domain flavin, intoleransi


laktosa, Trametes versicolor.

Pengantar
Selama ini banyak ditemui kasus dimana seseorang mengalami gangguan
pencernakan (maldigestion) laktosa, yaitu kondisi dimana laktosa tidak dicerna secara
sempurna dalam usus halus kemudian masuk ke usus besar untuk difermentasikan oleh
mikroflora kolon yang dapat menghasilkan gas. Kondisi ini dikenal sebagai Laktosa
Intoleransi (LI), yaitu kondisi di mana seseorang tidak mampu mencerna laktosa
(bentuk gula yang berasal dari susu). Laktosa intoleransi disebabkan oleh kurangnya
atau tidak mampunya tubuh memproduksi laktase, ketidakmampuan ini disebabkan
oleh faktor genetik, factor infeksi parasit, factor defisiensi besi juga karena penyakit
gastroenteritis (penyakit mematikan nomor 3 di Indonesia) (DEPKES RI tahun 2005).
Tercatat sebanyak 60% dari total penduduk Indonesia dilaporkan menderita
intoleransi terhadap laktosa (Khomsan dalam MEDIA INDONESIA, 18 Maret 2004).
Tidak hanya di Indonesia, frekuensi kejadian intoleransi laktosa juga terjadi pada ras
Kaukasia meskipun lebih sedikit/jarang dibandingkan pada orang Asia, Afrika, Timur
Tengah, dan beberapa Negara Mediterania. Kasus LI juga terjadi pada ras Aborigin
Australia. Diketahui bahwa 5% dari ras Kaukasia dan 75% dari yang bukan ras
Kaukasia yang tinggal di Australia mengalami intoleransi laktosa (Yusra Egayanti,

169
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

2008). Lebih lanjut hampir 95% bangsa Asia, 10-15 % ras Kaukasia, 50% bangsa
Mediterania dan 75% ras kulit hitam menderita Intoleransi terhadap Laktosa (Lactose
Intolerance, LI) (http://mediasehat.com/serba03.php).
Walaupun kondisi LI, seperti sakit perut, perut kembung dan diare, tidak terbilang
berbahaya bagi kesehatan, namun kondisi ini cukup mengganggu si penderita. Oleh
karena itu, penderita LI sebaiknya mampu memilah-milah makanan atau minuman yang
akan dikonsumsi. Jika tingkat intoleransi penderita cukup tinggi, maka sebaiknya
hindari konsumsi produk-produk yang mengandung laktosa.
Penggunaan biosensor laktosa akan sangat membantu penderita intoleransi laktosa
dalam memilah makanan yang akan dikonsumsinya dengan cara mendeteksi kandungan
laktosa secara mudah pada produk pangan yang tidak memiliki daftar kandungan bahan
penyusunnya seperti pada kue-kue, panganan dan minuman tradisional Indonesia yang
banyak dikonsumsi dan dijual bebas dipasaran. Enzim CDH dan domain flavin CDH
dilaporkan berpotensi untuk diaplikasikan pada alat biosensor laktosa (Stoica et al.,
2006).
Cellobiose dehydrogenase (CDH, EC 1.1.99.18) adalah enzim ekstrasellular yang
mengoksidasi cellobiose (Glc--1,4-Glc), lactose (Gal--1,4-Glc) dan disakarida
lainnya ataupun oligosakarida yang berikatan -1,4 pada posisi glukosa non reduksi,
menghasilkan senyawa yang berhubungan dengan lakton(Henricson et al., 2000). CDH
terdiri dari dua domain, heme dan flavin domain (Bao et al., 1993).
Kemampuan transfer electron pada CDH yang dihasilkan oleh fungi (white rot fungi,
brown rot fungi atau fungi patogen terhadap tanaman) ditentukan oleh efisiensi transfer
electron internal diantara kedua domain ini. Stoica dkk (2006) melaporkan, CDH yang
dihasilkan oleh Trametes villosa lebih efisien dalam melakukan transfer electron
internalnya dibanding Phanerochaete chrysosporium. Berdasarkan sifat biokimianya,
CDH memiliki bobot molekul berkisar antara 90-110kDa, 10-20% bobot molekul
tersebut berasal dari hasil glikosilasi di area permukaannya. Titik isoelektrik poin nya
berkisar 4.0. Nilai Km terhadap substrat cellobiose berkisar antara 10-200M dan pH
optimum berada pada kisaran 4-5. Temperatur optimumnya berkisar antara 30-55oC,
tetapi bisa menjadi lebih tinggi. Stoica dkk (2006), telah mengaplikasikan CDH dari
Trametes villosa dan Phanerochaete chrysosporium untuk biosensor laktosa,
berdasarkan prinsip mediated electron transfer (MET) dan direct electron transfer
(DET). Aplikasi biosensor laktosa digunakan untuk mengukur kandungan laktosa pada
susu dan makanan-makanan turunan susu, ditujukan terutama untuk orang-orang yang
menderita intoleransi laktosa. Dibandingkan metoda lain untuk menetapkan konsentrasi
laktosa (spektroskopi infrared, polarimeteri, gravimetric, HPLC), deteksi laktosa
menggunakan biosensor laktosa yang difasilitasi oleh enzim merupakan metoda yang
lebih cepat dan mudah dalam pengoperasiannya.
Pada kegiatan ini telah dilakukan penyimpanan material genetik Domain Flavin
CDH sebagai salah satu langkah awal untuk penyiapan biosensor laktosa yang akan
dilakukan pada penelitian kedepannya. kami melakukan isolasi dan kloning gen flavin
domain cdh dari fungi T. versicolor ke dalam vektor kloning pGEM-Teasy dengan
menggunakan Escherichia coli DH5 sebagai bakteri host.

170
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Bahan dan Metode


Organisme
Trametes versicolor yang diperoleh dari NBRC digunakan sebagai mikroba sumber
gen cdh. Untuk Penyimpanan dan Peremajaan, Trametes versicolor ditumbuhkan pada
media miring Potato Dextrose Agar (PDA), kemudian diinkubasi selama 6-7 hari pada
suhu ruang dan disimpan pada suhu 4C.
Untuk Isolasi RNA total, T.versicolor berumur 7 hari ini kemudian ditumbuhkan
selama 4 hari secara aerob dengan menggunakan incubator shaker dan suhu ruang pada
media selektif dengan komposisi 0.26 %(NH4)2HPO4; 0.115 KH2PO4; 0.2% 2.2-
dimethylsuccine acid; 0.1% Yeast extract; 0.1% Bacto Tryptone; 0.05% MgSO4.7H2O;
1% FeSO4.7H2O; 74% CaCl2.2H2O; 0.6% ZnSO4.7H2O; 0.5% MnSO4.4H2O; 0.1%
CoCl2.6H2O; dan 2% Avicel. Selain itu, Fungi ini juga ditumbuhkan pada media YPD
dengan komposisi 1 % Yeast Extract; 2% Bacto Tryptone; dan 2 % Glucosa.
Escherichia coli DH5 digunakan sebagai host cloning flavin domain. E.coli DH5
ditumbuhkan pada media cair Luria Bertani (LB) yang mengandung antibiotic
ampicilin dengan kondisi inkubasi temperature 37C 150 rpm selama 16 jam.

Mupid DNA Electroforesis, 1% Gel Agarose dan buffer 1x TAE


Untuk mengecek hasil Isolasi RNA, DNA, plasmid dan PCR digunakan mupid-
2plus submarine electrophoresis system Advance dengan kondisi 100 volt selama 25
menit. DNA dicek dengan menggunakan 1% agarose (Molecular Biology Grade,
Invitrogen) serta buffer 1x TAE (Thermoscientific).

Vector cloning
Kloning Flavin domain cdh menggunakan Plasmid pGEM-Teasy dengan ukuran
3015 pasang basa dan resisten terhadap antibiotik Amphicilin (Gibco).

Isolasi RNA total dan Polymerase Chain Reaction (PCR)


Untuk isolasi RNA total T.versicolor ditumbuhkan pada media selektif dan atau
media YPD selama 4 hari kemudian dipanen dan diambil pelletnya. Kedua Pellet
T.versicolor ini selanjutnya diisolasi menggunakan PureLinkTMRNA Mini Kit
(Invitrogen). Hasilnya adalah RNA total yang kemudian digunakan sebagai Template
PCR untuk mendapat gen cdh utuh.
Gen cdh telah diamplifikasi dengan menggunakan PCR dari T. versicolor
menggunakan dua primer yaitu 5gcat .3 dan 5cagt.3. RT PCR ini menggunakan
Invitrogen SuperScriptTM III One Step RT PCR system with Platinum Taq DNA
Polymerase.

171
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Sequencing
Hasil dari RT PCR kemudian di sequencing dengan menggunakan jasa sequencing
Macrogen, Korea. Dengan menggunakan primer yang sama dengan yang digunakan
RT-PCR. Kemudian hasil dari Macrogen di cek tingkat homologinya menggunakan
BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) pada NCBI. Sequencing dilakukan untuk
memastikan bahwa hasil dari RT-PCR adalah benar gen cdh yang diinginkan.

rePCR dan Purifikasi Gel


Flavin domain dari cdh telah diamplifikasi dengan teknik rePCR dari template Gen
cdh utuh hasil PCR. Digunakan 2 primer ( forward dan reverse) yang masing masing
primer sudah di tambahkan dengan situs pemotongan enzim restriksi EcoRI dan NdeI.
rePCR ini menggunakan ThermoScientific Dream Taq Green PCR Master Mix (2x).
Hasil rePCR yang tidak spesifik akan menghasilkan beberapa pita gen, untuk itu
maka perlu dilakukan purifikasi gel untuk mendapatkan flavin domain spesifik.
Purifikasi gel ini menggunakan kit Invitrogen PureLink Gel Extraction.

Kloning gen domain flavin cdh


Domain flavin cdh yang sudah dipurifikasi kemudian diligasi ke vector cloning
pGEM-Teasy dengan menggunakan T4DNA Ligase pada kondisi inkubasi 4 C
overnight. Reaksi ligasi dilanjutkan dengan proses transformasi ke dalam E.coli DH5
secara heat shock, pada temperature 42C selama 45 detik.

Hasil dan Pembahasan


Hasil
Isolasi RNA total dan Polymerase Chain Reaction (PCR)

Gambar 1. Hasil RT PCR. 1: Menggunakan tamplate total RNA hasil isolasi dari T.
versicolor yang ditumbuhkan pada media YPD; 2 : Menggunakan template
total RNA hasil isolasi dari T. versicolor yang ditumbuhkan pada media
minimal. M adalah marker 1 Kb DNA Ladder.

172
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pada Gambar 1 terlihat bahwa total RNA yang diisolasi dari media YPD maupun
media selektif dapat digunakan sebagai template RT-PCR untuk mengamplifikasi gen
cdh dari T. versicolor. Meskipun dari gambar menunjukkan bahwa yang menggunakan
media minimal hasilnya lebih tebal dibandingkan yang menggunakan media YPD.
Selain itu, target gen cdh utuh sebesar 2318 pasang basa telah berhasil diamplifikasi.
Hasil tersebut di tunjukkan dengan posisi pita antara pita marker 2000 pasang basa
dengan 2500 pasang basa (panah biru).

Sequencing
Setelah dilakukan sequencing dan dilakukan pengecekan terhadap tingkat homologi
dari gen cdh hasil RT-PCR. Tingkat homologi dengan gen cdh mRNA dari T.versicolor
adalah 97%. Berarti gen cdh dari T. versicolor telah berhasil di isolasi yang selanjutnya
akan digunakan untuk aplikasi biosensor laktosa (Data hasil sequencing tidak
ditunjukkan).

Re PCR dan purifikasi domain Flavin cdh


Hasil dari rePCR merupakan domain flavin cdh yang ditunjukkan pada gambar 2.
Sedangkan domain flavin cdh yang sudah murni ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 2. Hasil rePCR.

Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa domain flavin cdh dapat diamplifikasi dengan
menggunakan templat complete cdh atau cdh utuh (sampel nomo1). Sedang domain
flavin cdh tidak dapat diamplifikasi ketika menggunakan templat domain flavin cdh
(sampel nomor 2 dan 3).

173
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

(A) (B)

Gambar 3. (A) domain flavin cdh sebelum purifikasi gel. (B). domain Flavin cdh setelah
purifikasi gel.
Pada Gambar 3 dapat dilihat perbedaan antara sebelum purifikasi dengan setelah
dilakukan purifikasi atau pemurnian. Sebelum pemurnian dilakukan, kita mendapatkan
beberapa pita dengan ukuran yang berbeda. Setelah dilakukan purifikasi gel, maka kita
mendapat secara spesifik domain flavin cdh yang kita ingin pada posisi 1698 pasang
basa untuk kemudian diligasi pada vector cloning pGEM-Teasy dan ditransformasi ke
dalam E. coli DH5.

Ligasi dan Transformasi

Gambar 4. Hasil Transformasi

Telah dilakukan pengecekan biru putih untuk mengetahui keberhasilan dari Ligasi.
Koloni putih (ditunjukkan dengan tanda panah putih) menunjukkan bahwa ligasi
domain falvin cdh berhasil diligasi pada pGEM-Teasy. Sedangkan koloni biru
(ditunjukkan dengan panah biru) menunjukkan bahwa ligasi tidak berhasil. Pada
penenlitian ini didapatkan 233 koloni putih dan 50 koloni biru. Tahap selanjutnya
adalah peremajaan, seleksi PCR dan isolasi Plasmid (sedang dalam proses pengerjaan)

174
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kesimpulan dan Saran


Flavin Domain dari gen cdh sudah berhasil diligasi pGEM-Teasy dan ditransformasi
ke dalam E.coli DH5. Selanjutnya Penenlitian ini akan berlanjut pada proses ekspresi
protein Flavin domain dengan menggunakan vector ekspresi dan bakteri yang memiliki
kompetensi dalam ekspresi protein.
Perlu dilakukan pemurnian transformant E.coli DH5 PG-FLV sehingga terjaga
kestabilan dari transformant.

Daftar Pustaka
Bao W, Usha SN, dan Renganathan V. 1993. Purification and characterizationof
cellobiose dehydrogenase, a novel extracellular hemoflavoenzyme from the
white rot fungus Phanerochaete chrysosporium. Arch Biochem Biophys
;300:70513.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Kesehatan Indonesia dalam
Gambar Tahun 1996-2005. Pusat Data dan Informasi Tahun 2005. Jakarta.
Egayanti Y. 2008. Kenali Intoleransi Laktosa Lebih Lanjut. InfoPOM Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.Vol 9, No.1, Januari 2008.
ISSN 1829-9334.
Henriksson G, Zhang L, Li J, Ljungquist P, Reitberger T, Pettersson G, et al. 2000.
Is cellobiose dehydrogenase from Phanerochaete chrysosporium a lignin
degrading enzyme? Biochim Biophys Acta. 2000;1480:8391.
http://mediasehat.com/serba03.php
MEDIA INDONESIA . 18 Maret 2004 . Alergi laktosa, konsumsi Indonesia masih
rendah . http :/ wwwe .gizi .net/cgiiin/berita/fullnews .egi
newsid1079595660,4225.
Stoica, L., R. Ludwig, D. Haltrich, and L. Gorton. 2006. Third-generation biosensor
for lactose based on newly discovered cellobiose dehydrogenase. Anal Chem.
Jan 15; 78(2) : 393-8

175
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Peran Propolis Sebagai Antidiabetes Pada Mencit


(Mus Musculus SW.) Jantan Berdasarkan Analisis
Kadar Glukosa Darah
Ayu N. Sari*1, Ramadhani E. Putra1 dan Ahmad Ridwan1
1
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung
Jalan Ganesha 10 Bandung 40132, Jawa Barat
*E mail: ayunirmala02@yahoo.com

ABSTRAK
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronis yang ditandai dengan hiperglikemia
untuk jangka waktu yang lama. Hiperglikemia terbukti dapat meningkatkan stress oksidatif
akibat produksi reactive oxygen species (ROS) yang melebihi kemampuan pertahanan
antioksidan alami sehingga menyebabkan defisiensi dan resistensi insulin. Pada penelitian
ini dilihat potensi peran propolis dengan kandungan flavonoid tinggi sebagai antidiabetes.
Sebanyak 55 ekor mencit (Mus musculus SW.) jantan dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu
kelompok KN (kontrol normal), P1, P2, P3 dan KDM (kontrol diabetes) yang diinduksi DM
dengan pemberian dosis alloxan 200 mg/kg bb secara intraperitoneal. Larutan propolis 50,
100 dan 175 mg/kg bb diberikan kepada kelompok P1, P2 dan P3 sedangkan akuades
diberikan kepada kelompok KN dan KDM secara oral gavage selama 21 hari. Kadar
glukosa darah (KGD) diukur setiap 3 hari. Hasil perlakuan propolis menunjukkan KGD
terendah pada kelompok P3 (130,030,92 mg/dL), diikuti P2 (154,648,18 mg/dL) dan P1
(218,8129,48 mg/dL). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa pemberian propolis dapat
membantu pemulihan penyakit diabetes dengan menurunkan kadar glukosa darah.

Kata Kunci : alloxan, diabetes mellitus, hiperglikemia, propolis, stress oksidatif, reactive
oxygen species

Pengantar
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronis yang ditandai dengan meningkatnya
kadar glukosa darah (KGD) di atas batas normal (hiperglikemia) dalam jangka waktu
yang panjang (>126 mg/dL dalam kondisi puasa dari makanan, dan >200 mg/dL dalam
kondisi setelah makan) (Wilson & Price, 1992; Can et al., 2004). Hiperglikemia dapat
meningkatkan stres oksidatif akibat radikal bebas, reactive oxygen species (ROS)
(Evans, et al., 2003; Robertson et al, 2003; Jee et al., 2005; Okutan et al., 2005).
Kondisi hiperglikemia yang disertai dengan stress oksidatif dapat menyebabkan
seseorang menderita penyakit diabetes mellitus (Mac Rury et al., 1993; Niskanen et al.,
1995; Santini et al., 1997; Cederberg et al., 2001). Hal ini terjadi karena stress oksidatif
menganggu transduksi sinyal insulin dan sekresi insulin dari sel-sel pankreas yang
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin (Kaneto et al., 1999) serta menyebabkan
terjadi penurunan sensifitas reseptor insulin (resistensi insulin) pada sel yang memiliki
reseptor insulin (Houstin et al., 2006; Bonnard et al., 2008; Kumashiro et al., 2008;
James, 2010). Stress oksidatif menyebabkan kerusakan oksidatif, perubahan struktural

177
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

dan fungsional pada sel sehingga menyebabkan berbagai komplikasi pada DM (Mercuri
et al., 2000; West., 2000; Cam et al., 2003), seperti gangguan viskositas dan velositas
darah yang dapat menyebabkan kerusakan jantung, otak, kaki, ginjal, mata dan saraf
(Halliwel & Gutteridge, 1999; Auslander et al, 2002; Marjani, 2005; Nobecourt et al.,
2005).
Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolik yang menjadi masalah kesehatan
utama dengan prevalensi yang terus meningkat di seluruh dunia dalam beberapa dekade
terakhir (Rohilla & Ali, 2012). Estimasi prevalensi diabetes mellitus pada dewasa (usia
30-79 tahun) sebanyak 6,4% (285 juta orang) pada tahun 2010 dan akan meningkat
menjadi 7,7% atau 439 juta orang pada 2030 (Shaw et al., 2010). Pada tahun 2020,
jumlah penderita DM tipe 2 diperkirakan akan mencapai 250 juta orang di seluruh
dunia (Shulman, 2000). Indonesia sendiri menempati urutan ke-9 dalam estimasi
epidemiologi DM pada tahun 2010 dengan 7 juta kasus dan akan terus naik menjadi
peringkat ke-5 pada tahun 2030 dengan 20 juta kasus (Shaw et al., 2010).
Mengingat adanya kemungkinan peningkatan jumlah penderita dan banyaknya
penyakit serta komplikasi yang mampu ditimbulkan, maka penyakit DM harus segera
ditangani. Pada penelitian ini digunakan propolis yang di ekstraksi dari raw propolis
dari sarang lebah Trigona sp. Propolis merupakan sumber antioksidan dengan
kandungan flavonoid yang berfungsi untuk mengeliminir ROS dari tubuh dengan cara
menangkap radikal hidroksil dan superoksida (Mani et al., 2006). Flavonoid mencegah
terjadinya reaksi berantai superoksida menjadi hidrogen superoksida dengan cara
mengikat superoksida (Halim, 2009).

Bahan dan Metode


Bahan
Hewan uji yang digunakan adalah mencit (Mus musculus SW.) jantan (umur 8
minggu, berat badan 30-45 gram). Mencit ini merupakan hasil breeding pada kandang
pemeliharaan hewan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung.
Mencit dipelihara di dalam kandang beralaskan sekam dengan periode penyinaran
selama 12 jam gelap dan 12 jam terang dalam ruangan dengan suhu 24-28oC dan
kelembaban 60-75%. Penggantian sekam dilakukan 2 kali seminggu. Pakan dan air
minum diberikan setiap hari secara ad libitum untuk mempertahankan berat rata-rata
mencit. Pakan yang diberikan berupa pelet CP 551 dalam bentuk pelet yang diproduksi
oleh PT Charoen Pohkpand.
Pada penelitian ini, dilakukan pengujian propolis dari lebah Trigona lokal sebagai
bahan untuk membantu proses penyembuhan diabetes. Propolis ini diekstraksi dari raw
propolis yang terdapat pada sarang lebah Trigona sp. yang diperoleh dari hutan
Sulawesi.

Metode
Sebelum perlakuan, 5 kelompok mencit diaklimasi selama seminggu pada kandang
kandang beralaskan sekam dengan periode penyinaran selama 12 jam gelap dan 12 jam
terang, suhu 24-28oC dan kelembaban 60-75%. Penggantian sekam dilakukan 2 kali
seminggu sementara pakan dan air minum diberikan setiap hari secara ad libitum. Pakan

178
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

yang diberikan berupa pakan anak babi (CP 551) dalam bentuk pelet yang diproduksi
oleh PT Charoen Pohkpand.

Uji Pendahuluan Penentuan Dosis Optimum Alloxan


Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui dosis optimum alloxan untuk
menginduksi diabetes mellitus pada mencit secara intraperitoneal yang mampu bertahan
diatas 200 mg/dL selama perlakuan. Dosis alloxan 150 mg/kg bb, 200 mg/kg bb dan
250 mg/kg diujikan kepada 15 ekor mencit yang dibagi menjadi 3 kelompok.

Induksi Mencit Menjadi Diabetes Mellitus


Proses induksi DM pada mencit dimulai dengan mengukur berat badan dan
mengambil darah dari vena lateralis pada ekor untuk pengukuran kadar gula darah
(KGD) awal. Dua jam berikutnya mencit disuntik larutan alloxan monohydrat dengan
dosis 200 mg/kg berat berat badan secara intraperitoneal (ip) yang diperoleh dari hasil
uji pendahuluan, mencit selanjutnya dikembalikan ke kandang. Pengukuran KGD
selanjutnya dilakukan 7 hari setelah injeksi alloxan.

Ektraksi Propolis Trigona lokal


Ekstraksi propolis ini dilakukan dengan menggunakan metode maserasi yang
dilakukan di Pusat Terapi dan Rumah Lebah Rahmi, Margaluyu. Proses ini bertujuan
untuk mengubah raw propolis menjadi dalam bentuk crude dengan menggunakan
pelarut propilen glycol. Proses ektsraksi propolis diawali dengan membersihkan raw
propolis dari pengotor alami seperti lumpur atau potongan kayu dengan pinset.
Kemudian propolis dipotong dengan pisau menjadi bagian-bagian kecil untuk
mempermudah melarutkannya. Selanjutnya dilakukan maserasi 400 gram raw propolis
dengan menggunakan 500 mL propilen glycol pada wadah tertutup dan diaduk setiap 2
kali sehari selama dua minggu. Ekstrak dipisahkan dengan residunya dengan
sentrifugasi pada 1500g selama 5 menit. Filtrat yang telah tersaring kemudian
dimasukkan ke dalam freeze drying untuk dihilangkan pelarutnya agar menjadi propolis
dalam bentuk pasta.

Penentuan Dosis dan Perlakuan Propolis


Dosis propolis yang dipakai pada penelitian ini diperoleh dari hasil konversi dosis
harian propolis yang digunakan oleh manusia ke dosis yang akan dipakai oleh mencit
berdasarkan tabel perbandingan rasio permukaan tubuh beberapa spesies hewan yang
digunakan pada laboratorium umum. Berdasarkan perhitungan konversi tersebut
diperoleh dosis propolis yang akan dipakai, yaitu 50 mg/kg bb (P1), 100 mg/kg bb (P2)
dan 175 mg/kg bb (P3) yang akan diberikan selama 21 hari perlakuan dengan cara oral
gavage. Sedangkan untuk kelompok kontrol DM (KDM) dan kontrol normal (KN)
diberikan akuades.

179
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pengukuran Kadar Glukosa Darah


Pengambilan sampel darah untuk pengukuran KGD dilakukan 7 hari setelah induksi
DM. Sampel darah diambil dengan melukai vena lateralis pada ekor mencit, kemudian
darah yang keluar diteteskan pada stripe yang sudah terpasang pada glucometer.
Peningkatan KGD tersebut memenuhi kriteria diabetes mellitus dengan kisaran KGD
200-349 mg/dL (Alarcon et al., 2002). Oleh karena itu, mencit uji yang telah menderita
DM selanjutnya diberi perlakuan dengan pemberian larutan propolis secara oral gavage
dengan 3 dosis yang berbeda. Pemberian propolis dan akuades diberikan selama 21
hari, karena berdasarkan uji pendahuluan yang dilakukan menunjukkan bahwa KGD
mencit yang diinjeksi alloxan 200 mg/dL secara intraperitoneal cenderung stabil >200
mg/dL selama 21 hari.

Hasil dan Pembahasan


Hasil
Dosis Optimum Alloxan
Uji pendahuluan yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dosis optimum alloxan untuk menginduksi diabetes mellitus pada mencit secara
intraperitoneal yang mampu bertahan diatas 200 mg/dL selama perlakuan. Ketiga dosis
yang yang diberikan berhasil menaikkan KGD mencit lebih dari 200 mg/dL pada hari
ke 7 setelah dilakukan injeksi alloxan. Kelompok mencit yang diinjeksi dengan dosis
alloxan 150 mg/kg bb mengalami peningkatan KGD hingga hari ke-6 setelah
dinyatakan diabetes mellitus, namun terjadi penurunan mulai hari ke-9 hingga akhir
pengamatan dengan rata-rata KGD mencapai 192,6 mg/dL. Kelompok mencit yang
diinjeksi dengan dosis alloxan 200 mg/kg bb memiliki kecendrungan KGD yang lebih
stabil, yaitu tetap berada diatas 200 mg/dL selama 21 hari pengamatan. Sedangkan
untuk kelompok mencit yang diinjeksi dosis alloxan 250 mg/kg bb mengalami kenaikan
KGD yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan 2 dosis lainnya, mencapai 600
mg/dL. Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi menyebabkan mencit tidak dapat
bertahan hidup lebih lama, sehingga 2 ekor mencit yang diujikan mati pada hari ke-6
dan ke-9. Terjadinya kenaikan KGD pada mencit hingga melebihi 200 mg/dL
menunjukkan bahwa alloxan monohydrate yang diinjeksikan terbukti sebagai
diabetogen yang efektif.

180
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 1. Rerata KGD Selama 21 Hari Pengamatan

Pengkondisian Diabetes Mellitus Pada Hewan Uji


Dosis optimum yang diperoleh dari uji pendahuluan digunakan untuk menginduksi
DM pada mencit uji. Pada hari pertama (hari diinduksi DM), KGD mencit berada pada
kisaran 123,49,47-141,815,86 mg/dL (Tabel 1). Angka tersebut menunjukkan bahwa
KGD mencit termasuk ke dalam kategori normal (Alarcon et al., 2002). Hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa KGD mencit pada kondisi sebelum DM tidak berbeda
secara nyata. Pengukuran KGD pada hari dinyatakan DM (hari ke-0), menunjukkan
peningkatan KGD pada mencit yang diinjeksi alloxan, yaitu pada kisaran
423,6111,58-487,2103,76 mg/dL. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa KGD
mencit yang diinjeksi alloxan berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan
kelompok kontrol normal (KN). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. dan Gambar 2.

Tabel 1. Rerata KGD 55 Ekor Mencit (Mus musculus SW.) pada Kondisi Sebelum DM
dan Setelah Induksi (Kondisi DM)

Kelompok Hari Induksi (Sebelum DM) Hari ke-0 (Kondisi DM)


P1 123,49,47 474,854,89
P2 128,619,66 487,2103,76
P3 141,815,86 459,4128,65
KN 134,422,19 133,616,47
KDM 129,221,46 423,6111,58
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan
perbedaan secara signifikan P<0,05.

181
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 2. Rerata KGD 55 Ekor Mencit (Mus musculus SW.) pada Kondisi Sebelum DM
dan Setelah Induksi (Kondisi DM)

Menurut Badole et al (2007), senyawa alloxan secara luas telah digunakan untuk
membuat model hewan diabetes karena kemampuan membuat kerusakan pada sel
pankreas. Ketika alloxan diinjeksikan secara intraperitoneal, alloxan akan diserap oleh
duodenum dan masuk ke dalam sistem peredaran darah. Alloxan bekerja pada lokasi
yang sama atau berdampingan dengan glukosa, pada glukoreseptor sel pankreas
dengan cara bereaksi dengan gugus sulfihidril (-SH) (Wikanta et al., 2000). Alloxan
menyebabkan kerusakan pada sel pankreas yang disebabkan oleh oksidasi sulfihidril
pada gugus SH, melalui penghambatan kerja enzim glukokinase, mengganggu
homeostatis kalsium dan membentuk ROS pada sel pankreas (Rohilla & Ali, 2012).
Aksi menyebabkan kerusakan pada pankreas diawali dengan uptake alloxan secara
cepat oleh sel dan pembentukan ROS. Pembentukan ROS didahului oleh reduksi
alloxan yang menghasilkan asam dialurik yang dapat mengalami re-oksidasi menjadi
alloxan dengan hasil sampingan berupa radikal superoksida (Szkudelski, 2001).
Produksi ROS yang meningkat menyebabkan terjadinya stress oksidatif di dalam sel
dan peningkatan konsentrasi ion kalsium di dalam sitoplasma yang berlangsung dengan
cepat. Kondisi ini menyebabkan kerusakan DNA hingga nekrosis sel-sel pankreas.
Sel-sel yang telah rusak tidak dapat memproduksi insulin (Szkudelski, 2001; Lenzen,
2007). Pada sel yang memiliki reseptor insulin, alloxan membentuk ROS di dalam sel
sehingga menyebabkan terjadinya gangguan pada fosforilasi tirosin-kinase oleh insulin
pada reseptor insulin. Kondisi ini menyebabkan terganggunya transduksi sinyal pada
protein kinase B (PKB) untuk mengaktivasi translokasi GLUT-4 dari sitosol menuju
transmembran agar dapat mengikat glukosa untuk dapat masuk ke dalam sel. Hal ini
berakibat pada penurunan sensitifitas reseptor insulin (Evan et al., 2003). Kehadiran
alloxan menghambat kerja dari enzim glukokinase. Apabila kerja dari enzim
glukokinase terhambat, maka akan terjadi penurunan oksidasi glukosa dan
pembentukan ATP, sehingga sekresi insulin ke dalam darah akan terhambat.Rerata
KGD mencit sebelum diinjeksi alloxan adalah 131,4817,907 mg/dL. Kisaran KGD ini
termasuk kategori normal. Selanjutnya, tujuh hari setelah injeksi alloxan 200 mg/kg bb

182
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

secara intraperitoneal, dilakukan uji KGD mencit, hasilnya menunjukan bahwa terjadi
peningkatan rerata KGD mencit menjadi 395,7298,012 mg/dL.

Gambar 3. Rerata KGD Mencit Setelah 21 Hari Perlakuan

Hasil pengamatan KGD pada akhir perlakuan menunjukkan bahwa KGD mencit
kelompok DM masih menempati posisi tertinggi yaitu sebesar 400126,68 mg/dL.
Selanjutnya kelompok P1 yang diberi perlakuan propolis 50 mg/kg bb memiliki rerata
KGD 218,8129,48 mg/dL. Jika dibandingkan dengan KGD sebelum diberi perlakuan
propolis maka KGD mencit kelompok P1 memiliki kecenderungan menurun meskipun
belum sampai pada kategori normal. Sedangkan untuk mencit pada kelompok P2 dan
P3 yang masing-masing diberi perlakuan dosis 100 mg/kg bb dan 175 mg/kg bb
mengalami penurunan KGD menjadi 154,648,18 mg/dL dan 130,030,92 mg/dL.
Bahkan rerata KGD mencit kelompok P3 pada akhir perlakuan lebih kecil dibanding
rerata KGD mencit kelompok KN yang diberi perlakuan akuades, sebesar 131,815,69
mg/dL.

Tabel 2 Uji Statistik Tukey dan Duncan KGD Mencit Selama 21 Hari Perlakuan
Kelompok Rerata KGD Mencit (mg/dL)
Kelompok P1 (Propolis 50 mg/kg bb) 218,8129,48b
Kelompok P2 (Propolis 100 mg/kg bb) 154,648,18a
Kelompok P3 (Propolis 175 mg/kg bb) 130,030,97a
KN (Kontrol Normal) 131,815,69a
KDM (Kontrol DM) 400,0126,68c
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan
perbedaan secara signifikan P<0,05.

Penurunan KGD pada mencit yang diberi perlakuan propolis diduga berkaitan
dengan kandungan flavonoid pada propolis yang berfungsi sebagai antioksidan
(Burdock, 1998; Nijvedt et al., 2001; Sforcina & Bankova, 2011). Flavonoid membantu
penurunan KGD dengan cara mengikat ROS, menghambat oksidasi xantine,
menghambat oksidasi NADPH, dan melindungi antioksidan lipofilik. Flavonoid adalah

183
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

scavenger yang potensial untuk reactive species seperti superoksida, radikal peroksil
dan peroksinitrit (Akhlaghi & Bandy, 2009). Ketika propolis diberikan kepada mencit,
flavonoid akan dihantarakan menuju sel-sel tubuh, termasuk sel-sel pulau Langerhans
dan sel-sel yang memiliki reseptor insulin. Pada sel-sel pulau Langerhans di pankreas,
flavonoid mencegah terjadinya reaksi berantai pengubahan superoksida menjadi
hidrogen peroksil dengan cara mengikat superoksida pada gugus OH, kemudian
diantarkan ke peredaran darah untuk selanjutnya masuk ke dalam sistem eksresi dan
dikeluarkan melalui urin dan keringat (Nijvedt et al.,, 2001). Pada sel yang memiliki
reseptor insulin, pengikatan ROS pada gugus OH flavonoid menyebabkan aktivasi
fosforilasi tirosine-kinase oleh insulin pada reseptor insulin kembali normal. PKB dapat
mengaktivasi GLUT-4 untuk mengikat glukosa dan membawanya ke dalam sel.
Flavonoid menghentikan gangguan transduksi sinyal dalam pemindahan GLUT-4
menuju transmembran dan dapat mengembalikan sensifitas reseptor insulin (Evans et
al., 2003). Terikatnya superoksida sebagai senyawa radikal bebas oleh gugus OH dari
flavonoid menyebabkan kerusakan sel-sel pankreas dapat dihentikan, sehingga
pankreas diduga mengalami proliferasi untuk membentuk sel-sel baru sehingga dapat
memproduksi dan mensekresikan insulin. Kehadiran insulin dalam darah akan
membantu menurunkan kadar glukosa darah.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
propolis dengan kandungan flavonoid, membantu pemulihan kondisi mencit dari
penyakit diabetes dengan menurunkan kadar glukosa darah. Bila semua dosis propolis
dibandingkan, dosis P3 (175 mg/kg bb) merupakan dosis yang paling berpengaruh
terhadap penurunan KGD.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi kandungan flavonoid
yang berpengaruh terhadap penurunan KGD dan pengukuran kadar insulin plasma.

Daftar Pustaka
Akhlaghi, M., & Bandy, B. 2009. Mechanism of flavonoid protection againts
myocardial oschemia-reperfusion injury. J. Biol. Mol. Cardio., 46, 309-317.
Alarcon, F. J., Roman R., Flores, J. L., & Aguirre, F. 2002. Investigation on the
hypoglicemic effect of extracts of four Mexican medicinal plant in normal
and alloxan-induced diabetic mice. Phytotherapy Research, 16, 383-386.
Auslander, W., Haire-Joshu, D., Houston, C., Rhee, C.W., & Williams, J. H. 2002.
A controlled evaluation of staging dietary patterns to reduce the risk of
diabetes. Diabetes Care, 25, 809-814.
Badole, S. L., Patel, N. M., Thakurdesai, P. A., & Bodhankar, S. L. 2007.
Interaction of aqucous extract of Pleurotus pulmonarius with glyburic in
alloxan-induced diabetic mice. Diabetes Care, 21, 1-6.

184
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Bonnard. C., Durand. A., Peyrol. S. Chanseaume. E., Chauvin M. A., Mario. B.,
Vidal. H., & Rieusset. J. 2008. Mitochondrial dysfunvtion results from
oxidative stress in the skeletal muscle of diet-induced insulin-resistence mice.
J. Clin. Invest, 118, 789-800.
Burdock, G.A. 1998. Review of the biological properties and toxicity of bee
Propolis. Food and Chemical Toxicology, 36, 347-363.
Cam, M., Yavuz, O., Guven, A., Ercan, F., & Sutundag, N. 2003. Protective effects
of chronic melatonin treatment againts renal inury in streptozotocin-induced
diabetic rats. J. Pineal Phys., 35, 212-220.
Can, A., Nuriye., Ozov, N., Bolkent, S., & Yanardag, R. 2004. Effect of Aloe vera
leaf and pulp extracts on the liver in type II diabetic rat models. Bio. Pharm.
Bull. 27 (5), 694-698.
Cederberg, J., Basu, S., & Eriksson, U. J. 2001. Increased rate of lipid peroxidation
and protein carbonylation in experimental diabetic pregnancy. Diabetologia,
44, 766-774.
Evans, J. L., Goldfine, I. D., Maddux, B. A. & Grodsky, G.M. 2003. Oxidative
stress-activated signaling pathway mediators of insulin resistance and cells
disfuctions?. Diabetes, 52 (1), 1-8.
Halim, R. R. S. 2007. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Muntingia calabura L.
terhadap Kadar Glukosa Darah Mencit (Mus musculus L.) Swiss Webster
Jantan Dewasa yang dikondisikan Diabetes Mellitus Tipe 2. Skripsi Sarjana
Biologi ITB
Halliwel, B., & Gutteridge. 1999. Free radical in biology and medicine. 3rd ed.
Oxford Univ Press, New York.
Houstin. N., Rosen. E. D., & Lander. E.S. 2006. Reactive oxygen species have a
causal role in multiple forms of insulin resistance. Nature, 440, 944-948.
James, D. E. 2010. The role of ROS in insulin resistence. Australian Physiological
Society, 41, 187-189.
Jee, S. H., Kim, H. J., & Lee, J. 2005. Obesity insulin resistance and cancer risk.
Yonsei Med Journal, 46, 449-455.
Kaneto, H., Fuji, J., Myint, T., Miyazawa, N., Islam, K.N., Kawasaki, Y., Suzuki,
K., Nakamura, M., Tatsumi, H., Yamasaki, Y., & Taniguchi, N. 1996.
Reducing sugars trigger oxidative modification and apoptosis in pancreatic
Cells by provoking oxidative stress through the glycation reaction.
Biochemical Journal, 320, 855-863.
Kaneto, H., Kajimoto, Y., Miyagawa, J., & Hori, M. 1999. Beneficial effects of
antioxidants in diabetes: possible protection of pancreatic -cells againts
glucose toxicity. Diabetes, 48, 2398-2406.
Kumashiro. N., Tamura. Y., Uchida. T., Ogihara. T., Fujitani. Y., Hirose. T.,
Mochizuki. H., Kawamori. H., & Watada. H. 2008. Impact of oxidative stress
and peroxixome proliferator-activated receptor coactivator-1 in hepatic
insulin resistance. Diabetes, 57, 1083-2091.
Mac Rury, S. M., Gordon, D., Wilson, R., Bradley, H., Gemmell, C. G., Paterson, J.
R., Rumley, A. G., & MacCuish, A. C. 1993. A comparison of different

185
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

methods of assessing free radical activity in type 2 diabetes and peripheral


vascular disease. Diabetic Medicine, 10, 331-335.
Mani, F., Damasceno, H. C., Novelli, E. L., Martins, E. A., & Sforcina, J. M. 2006.
Propolis: effect of different concentrations, extracts and intake periode. J.
Enthopharmacol., 105 (2), 95-98.
Marjani, A. 2005. Plasma lipid peroxidation zinc and erthrocyte Cu-Zn superoxide
dismutase enzyme activity in patient with type 2 diabetes mellitus. Internet
Endocrinol, 2 (1), 1647-1648.
Mercuri, F., Quagliaro, L., & Ceriello, A. 2000. Oxidative stress evaluation in
diabetes. Diabetes Technol. Ther., 2, 589-600.
Nijvedt, R. J., Van, E. E., Boelens, P. G., & Van, L. P. A. M. 2001. Flavonoids: a
review of probable mechanisms of action and potential applications.
Diabetes, 74 (4), 418-425.
Niskanen, L. K., Salonen, J. T., Nyyssonen, K., & Uusitupa, M. I. 1995. Plasma
lipid peroxidation and hyperglycaemia: a connection through
hyperinsulinaemia? Diabetic Medicine, 12, 802-808.
Nobercourt, E., Jacqueminet, S., Hanset, B., Chantepie, S., Grimaldi, A., Chapman
M. J., & Kontush, A. 2005. Defective antioxidative activity of small dense
HDL particle in type 2 diabetes: relationship to elevated oxidative stress and
hyperglicemia. Diabetologia, 48 (3), 529-538.Okutan, H., Ozcelik N, Yilmaz
H. R., & Uz, E. 2005. Effect of caffeic acid phenethyl ester on lipid
peroxidation and antioxidant enzymes in diabetic rat heart. Clin. Biochem.,
38 (2), 192-196.
Robertson, R. P., Harmon, J., Tran, P. O., Tanaka, Y., & Takahashi, H. 2003.
Glucose toxycity in beta-cells, type 2 diabetes, good radical gone bad, and the
gluthation connection. Diabetes, 52, 581-587.
Rohilla, A., & Ali, S. 2012. Alloxan induced diabetes: mechanisms dan effects, Int
Journal of Research in Pharmaceutical and Biomedical Science, 3, 819-822.
Santini, S. A., Marra, G., Giardina, B., Cotroneo, P., Mordente, A., Martorana, G.
E., Manto, A., & Ghirlanda, G. 1997. Defective plasma antioxidant defenses
and enhanced susceptibility to lipid peroxidation in uncomplicated IDDM.
Diabetes, 46, 1853-1858.
Sforcina, J. M., & Bankova. V. S. 2011. Propolis: is there a potential for
development of new drugs. Journal of Ethnopharmacol, 133, 253-260.
Shaw, J. E., Saltiel, A. R., & Zimmet, P. Z. (2010) : Global estimates of the
prevalence of 2010 anda 2030. Diabetes Research and Clinical Practice, 87:
4-14.
Shulman, G. I. 2000. Cellular mechanism of insulin resistance. The Journal of
Clinical Investigation, 106 (2), 19-26.
Szkudelski, T. 2001. The Mechanism of alloxan and streptozotocin action cells of
the rat pancreas. Physiology, 50, 536-546.
West, I. C. 2000. Radical and oxidative stress in diabetes. Diabetic Med., 17, 171-
180.

186
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Wikanta, T., Khaeroni & Lestari. 2000. Pengaruh pemberian natrium alginat
terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia, 8 (6),15-20.
Wilson, L. M. & Price, S. A. 1992. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi Keempat. Alih bahasa: Peter Anugrah. Penerbit buku
Kedokteran EGC. Jakarta.

187
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pengaruh pH, Suhu dan Konsentrasi Substrat Terhadap


Produksi Konsentrat Asam Lemak Omega 3 Dari Limbah
Minyak Ikan Melalui Hidrolisis Oleh Enzim Lipase dari
Candida Rugosa

Maria Goretti M. Purwanto*, Meliawati, Ruth Chrisnasari


Faculty of Biotechnology, University of Surabaya
*Email : maria_gmp@staff.ubaya.ac.id

ABSTRAK

Limbah berupa minyak ikan banyak dihasilkan dari industri pengalengan ikan maupun
pembuatan tepung ikan. Minyak ikan ini merupakan sumber asam lemak omega 3 yang
potensial dan melimpah. Konsentrat Omega-3 banyak dimanfaatkan dalam bidang
kesehatan. Pada penelitian ini dilakukan produksi konsentrat asam lemak omega 3 dari
minyak ikan melalui hidrolisis oleh Candida rugosa lipase. Optimasi hidrolisis yang
dilakukan meliputi variable pH buffer, suhu hidrolisis dan konsentrasi substrat. Dalam
penelitian ini hidrolisis oleh enzim lipase dari Candida rugosa dibuktikan berlangsung paling
baik pada sistem dengan pH 6,5; suhu 35C serta konsentrasi substrat 20% (b/v) yang
ditunjukkan oleh bilangan asam yang tertinggi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hasil
hidrolisis trigliserida (TAG) adalah berupa campuran digliserida (DAG), monogliserida
(MAG) dan free fatty acid (FFA).

Kata Kunci: limbah minyak ikan, Candida rugosa lipase, omega 3, EPA&DHA.

Pengantar
Indonesia merupakan negara perairan, dan memiliki berbagai kekayaan laut. Saat ini
telah banyak berdiri industri pengolahan ikan di Indonesia, terutama di Bagan Siapi-api
di Sumatera dan Muncar di Jawa Timur. Industri pengolahan ikan banyak menghasilkan
produk samping berupa minyak ikan, yang merupakan salah satu sumber utama EPA
(Eicosapentaenoic acid - 20:5) dan DHA (Docosahexaenoic acid - 22:6). Namun
umumnya kadar EPA dan DHA dari minyak ikan ini awalnya masih cukup rendah.
Dengan proses pengkonsentratan, maka kadar omega 3 PUFA dalam minyak ikan akan
meningkat seiring berkurangnya kadar Saturated fatty acids (SFA) dan
Monounsaturated fatty acids (MUFA).
Berbagai metode dapat dimanfaatkan untuk pembuatan konsentrat omega 3 PUFA,
antara lain kromatografi, destilasi, kristalisasi pada suhu rendah, ekstraksi cair
superkritis, kristalisasi urea, dan hidrolisis dengan enzim lipase (Zuta et al., 2003;
Shahidi et al., 1998; Shimada et al., 2001). Hidrolisis dengan enzim lipase memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan metode-metode lainnya, antara lain prosesnya tidak
melibatkan pH ekstrim dan suhu tinggi yang dapat menyebabkan oksidasi dan merusak
struktur alami omega 3 PUFA, serta regio-, stereo- dan spesifisitas substrat enzim lipase
(Breivik et al., 1997).

189
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Beberapa enzim lipase tertentu dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan konsentrat


omega 3 PUFA dalam bentuk gliserida, yang tidak dapat disintesis melalui reaksi kimia
sederhana. Wanasundara et al. (1998), Tomoko et al. (2007) dan Sun et al. (2002)
melaporkan bahwa enzim lipase dari Candida rugosa merupakan lipase yang paling
efisien untuk produksi enzimatis omega 3 PUFA dalam minyak ikan. Enzim lipase dari
Candida rugosa memiliki spesifisitas tinggi terhadap rantai asil, sehingga akan
menghidrolisis SFA dan MUFA jauh lebih banyak dibandingkan omega 3 PUFA
sendiri (Derya et al., 2010).
Pada penelitian ini minyak ikan yang merupakan produk samping pabrik pembuatan
tepung ikan di Muncar akan diolah menggunakan enzim lipase dari Candida rugosa
menjadi konsentrat omega 3 PUFA. Dengan demikian diharapkan minyak ikan yang
awalnya merupakan limbah pabrik dapat memiliki nilai ekonomis dan kandungan
omega 3 PUFA yang lebih baik.

Bahan dan Metode


Bahan
Enzim lipase Candida rugosa (Sigma Aldrich, 807 U/mg), getah pepaya, sampel
minyak ikan, olive oil, aquades, NaOH, KOH, phenolphthalein, buffer fosfat, buffer tris
HCl, heksana, HCl, Na2SO4 anhidrat, BF3-metanol, urea, etanol 96%, kloroform,
metanol.

Metode Kerja
Ekstraksi Papain dari Getah Pepaya
Ekstraksi papain dilakukan dengan menambahkan buffer fosfat pH 7 0,1 M
sebanyak 10% (b/v). Campuran diinkubasi selama 1 jam dalam kondisi dingin (dalam
ice bath) pada stirrer. Selanjutnya, campuran disentrifugasi pada kondisi 4.000 rpm,
4C, selama 15 menit. Supernatan diambil kemudian disimpan pada suhu 4C hingga
digunakan untuk proses selanjutnya

Treatment awal Substrat Minyak Ikan


Treatment awal substrat dilakukan dengan cara menambahkan substrat dengan
ekstrak enzim papain dari getah pepaya sebanyak 0,5% (b/b). Campuran diinkubasi
pada suhu 55C selama 1 jam pada hotplate stirrer. Setelah itu, campuran dipisahkan
dengan sentrifugasi pada 4000 rpm selama 15 menit. Fase minyak selanjutnya diambil
dan dipanaskan hingga suhu 40C, kemudian ditambahkan bentonit sebanyak 4% (b/b).
Inkubasi dilanjutkan selama 1 jam disertai dengan pemanasan dan pengadukan pada
hotplate stirrer. Selanjutnya, campuran disentrifugasi pada 4.000 rpm selama 15 menit.
Fase miyak diambil kemudian disimpan pada suhu 4C hingga digunakan untuk proses
selanjutnya.

Penelitian Pendahuluan (Penentuan Waktu Hidrolisis)


Penelitian pendahuluan dilakukan dengan mencampurkan substrat hasil treatment
awal dan 0,1 M buffer fosfat pH 7 dengan rasio substrat:buffer (gr/mL) = 1:2.
Campuran kemudian dipanaskan hingga suhu 35C dengan hotplate stirrer. Setelah
campuran mencapai suhu 35C, ditambahkan enzim lipase (200 U/gram minyak) untuk
190
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

menghidrolisis substrat. Dilakukan sampling secara berkala setiap 1 jam untuk


dilakukan uji bilangan asam dan angka penyabunan. Inaktivasi enzim dilakukan dengan
menambahkan 2,5 ml etanol 96% ke dalam campuran hidrolisis. Penelitian
pendahuluan dilakukan hingga diperoleh waktu hidrolisis optimum berdasarkan
bilangan asam.

Hidrolisis Minyak Ikan dengan Lipase Candida rugosa dengan Variasi pH


Proses hidrolisis dilakukan dengan mencampurkan 3 gram sampel minyak ikan hasil
treatment awal dengan 6 ml 0,1 M buffer fosfat. Pada tahap hidrolisis ini buffer fosfat
divariasikan dengan pH 6,5 ; 7 ; 7,5. Campuran kemudian dipanaskan hingga suhu 35C
serta dihomogenkan dengan hotplate stirrer. Setelah campuran mencapai suhu yang
ditentukan, ditambahkan enzim lipase (200 U/gram minyak) untuk menghidrolisis
substrat. Hidrolisis dilakukan selama waktu hidrolisis terbaik hasil dari penelititan
pendahuluan. Inaktivasi enzim dilakukan dengan menambahkan 2,5 ml etanol 96% ke
dalam campuran hidrolisis. Dari fase minyak hasil hidrolisis, dilakukan uji bilangan
asam. Percobaan dilakukan dengan tiga replikasi.

Hidrolisis Minyak Ikan dengan Lipase Candida rugosa dengan Variasi Suhu
Proses hidrolisis dilakukan dengan mencampurkan 3 gram substrat hasil treatment
awal dengan 6 ml 0,1 M buffer fosfat pH terbaik hasil penelitian tahap sebelumnya.
Campuran kemudian dipanaskan hingga suhu tertentu dengan hotplate stirrer. Pada
percobaan ini suhu reaksi divariasikan pada suhu 30 C, 35C dan 40C. Setelah
campuran mencapai suhu yang diinginkan, ditambahkan enzim lipase (200 U/gram
minyak) untuk menghidrolisis substrat. Hidrolisis dilakukan selama waktu hidrolisis
terbaik hasil dari penelititan pendahuluan. Inaktivasi enzim dilakukan dengan
menambahkan 2,5 ml etanol 96% ke dalam campuran hidrolisis. Dari fase minyak hasil
hidrolisis, dilakukan uji bilangan asam. Percobaan dilakukan dengan tiga replikasi.

Hidrolisis Minyak Ikan dengan dengan Variasi Konsentrasi Substrat


Pada tahap ini, substrat divariasikan dengan konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40% dan
50% (b/v). Sebanyak masing-masing 1, 2, 3, 4, 5 gram substrat ditambahkan buffer
fosfat pH terbaik hasil percobaan sebelumnya. Campuran kemudian dipanaskan hingga
suhu terbaik yang telah diperoleh dari percobaan sebelumnya serta dihomogenkan
dengan hotplate stirrer. Setelah campuran mencapai suhu yang ditentukan,
ditambahkan enzim lipase (600 U) untuk menghidrolisis substrat. Reaksi hidrolisis
dijalankan dalam volume campuran 10 mL. Hidrolisis dilakukan selama waktu
hidrolisis terbaik hasil dari penelititan pendahuluan. Inaktivasi enzim dilakukan dengan
menambahkan 2,5 ml etanol 96% ke dalam campuran hidrolisis. Dari fase minyak hasil
hidrolisis, dilakukan uji bilangan asam. Percobaan dilakukan dengan tiga replikasi.

191
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Uji Bilangan Asam


Campuran hasil hidrolisis disentrifugasi pada 4.000 rpm selama 15 menit untuk
memisahkan fase minyak dan fase air. Sebanyak 2 gram minyak ditambahkan dengan
50 mL etanol 96% netral, kemudian dipanaskan hingga suhu 60C konstan selama 5
menit. Campuran ditunggu hingga suhunya agak turun, kemudian dititrasi dengan KOH
0,1 N menggunakan indikator phenolphthalein. Blanko yang digunakan adalah 50 mL
etanol 96% netral dan diperlakukan sama dengan sampel. Bilangan asam ditentukan
berdasarkan perhitungan:

Uji Bilangan Penyabunan


Campuran hasil hidrolisis disentrifugasi pada 4.000 rpm selama 15 menit untuk
memisahkan fase minyak dan fase air. Sebanyak 2 gram minyak ditambahkan dengan
25 mL etanol 96% netral dan 25 mL KOH 0,1 N. Campuran dipanaskan pada suhu
60C selama 1 jam dengan metode refluks. Campuran ditambahkan dengan indikator
phenolphthalein kemudian dititrasi dengan HCl 0,5 N hingga tidak berwarna. Blanko
yang digunakan adalah campuran 25 mL etanol 96% netral dan 25 mL KOH 0,1 N.
Selama uji, blanko diperlakukan sama dengan sampel. Bilangan penyabunan ditentukan
berdasarkan perhitungan:

Fraksinasi Lemak dengan Metode Thin Layer Chromatography


Fraksinasi asam lemak dalam sampel hasil hidrolisis dilakukan pada lempeng silika
gel, untuk memisahkan monoasilgliserida (MAG), diasilgliserida (DAG), triasilgliserida
(TAG) dan asam lemak bebas (FFA). Sebanyak 10 L sampel minyak ditotolkan pada
lempeng TLC. Fase gerak yang digunakan yang digunakan adalah heksana, eter dan
asam asetat dengan perbandingan 60:40:1. Visualisasi hasil TLC dilakukan dengan
staining menggunakan uap iodin. Masing-masing fraksi asam lemak dikerik dan
diderivatisasi untuk dianalisa dengan gas chromatography (GC).

Hasil dan Pembahasan


Karakterisasi Minyak Awal
Tabel 1. Karakterisasi awal terhadap crude oil dan refine oil
Sampel Rerata Bilangan
Rerata Bilangan Asam Tekstur Warna Bau
minyak Penyabunan
Sangat
Crude oil 6,64 0,32a 198,22 2,92a Kental Coklat
amis
Agak Kuning Agak
Refine oil 6,92 0,43a 194,95 2,92a
kental kecoklatan amis
Catatan: Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan
signifikan (p<0,05). Uji statistik dilakukan dengan 2 sampel T-test.

192
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Penentuan Waktu Hidrolisis

Tabel 2. Bilangan penyabunan pada berbagai waktu hidrolisis uji pendahuluan


Bilangan
Waktu Hidrolisis (Jam)
Penyabunan
0 199,16
1 199,35
2 193,55
3 194,95
24 197,75

Tabel 3. Bilangan asam pada berbagai variasi waktu hidrolisis uji pendahuluan
Waktu Hidrolisis (Jam) Bilangan Asam
2 15,99
4 22,44
6 27,49
8 32,14
10 36,09
12 38,15
14 40,33
16 43,20
18 42,64
20 42,62
22 47,12
23 47,97
24 47,69

Hidrolisis Substrat Minyak Ikan dengan Lipase Candida rugosa dengan Variasi pH
Optimasi pH buffer yang ditambahkan dilakukan menggunakan buffer fosfat 0,1 N
pada pH 6,5 ; 7 ; 7,5. Buffer dengan pH optimum ditentukan dari bilangan asam yang
turut mengindikasikan tingkat hidrolisis enzim terhadap substrat.

Tabel 4. Bilangan asam minyak hasil hidrolisis dengan variasi pH buffer


Variasi pH Rerata Bilangan Asam
6,5 62,83 5,12a
7 48,71 2,84b
7,5 20,94 0,38c
Catatan: Huruf superskrip berbeda pada lajur yang sama menunjukkan adanya perbedaan
signifikan (p<0,05). Uji statistik dilakukan dengan one way ANOVA

Pada tabel dapat dilihat bahwa penambahan buffer fosfat pH 6,5 memberikan
pengaruh yang optimal bagi tingkat hidrolisis lipase. Penambahan buffer fosfat dengan
pH 7 dan 7,5 menyebabkan tingkat hidrolisis lipase, yang diwakili oleh bilangan asam,
menurun secara signifikan.

193
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hidrolisis Minyak Ikan dengan Lipase Candida rugosa dengan Variasi Suhu
Telah dilakukan penelitian untuk menentukan suhu optimal lipase dari Candida
rugosa untuk menghidrolisis minyak ikan.

Tabel 5. Bilangan asam minyak hasil hidrolisis dengan variasi suhu hidrolisis
Variasi Suhu Rerata Bilangan Asam
30C 57,13 0,32a
35C 59,47 0,746b
40C 51,43 0,162c
Catatan: Huruf superskrip berbeda pada lajur yang sama menunjukkan adanya perbedaan
signifikan (p<0,05). Uji statistik dilakukan dengan one way ANOVA

Dari hasil penelitian, tingkat hidrolisis substrat yang diindikasikan dengan bilangan
asam meningkat hingga mencapai optimal pada suhu 35C dan menurun pada suhu
40C. Penurunan ini dapat disebabkan karena terjadinya denaturasi lipase.

Hidrolisis Minyak Ikan dengan Variasi Konsentrasi Substrat


Bilangan asam paling tinggi diperoleh pada konsentrasi substrat 10% (b/v). Hasil
hidrolisis pada konsentrasi substrat 20% menunjukkan hasil statistik bilangan asam
yang tidak berbeda signifikan dengan substrat 10%. Pada konsentrasi substrat 20%,
rasio buffer terhadap minyak adalah 4:1 (b/b) (massa jenis minyak = 0.8420 gr/mL).
Dari hasil penelitian ini, substrat dengan konsentrasi 20% (b/v) disarankan untuk
aplikasi lebih lanjut karena prinsip efisiensi.

Tabel 6. Bilangan asam minyak hasil hidrolisis dengan variasi massa substrat
Rerata Bilangan
Konsentrasi Substrat (b/v)
Asam
10% 63,95 1,13a
20% 61,34 1,71a
30% 54,60 1,71b
40% 50,49 1,12b
50% 45,63 2,82c
Catatan: Huruf superskrip berbeda pada lajur yang sama menunjukkan adanya perbedaan
signifikan (p<0,05). Uji statistik dilakukan dengan one way ANOVA

Fraksinasi Lemak dengan Metode Thin Layer Chromatography


Tabel 7. Hasil fraksinasi lemak dengan metode TLC
Fraksi Retention Factor (Rf)
MAG 0,08
DAG 0,33
FFA 0,57
TAG 0,88

194
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

TAG

FFA

DA
G

MAG

Gambar 1. Lempeng TLC setelah staining dengan uap iodin


Keterangan: Kolom 1,2,3 = sampel; kolom 4 = standar FFA
MAG = monoasilgliserol, DAG = diasilgliserol, TAG = triasilgliserol, FFA = free fatty acid.

Pembahasan
Bilangan asam menunjukkan jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam suatu
sampel minyak, sedangkan bilangan penyabunan menunjukkan jumlah asam lemak
bebas dan asam lemak yang dapat tersabunkan. Dari karakterisasi minyak awal, dapat
disimpulkan bahwa crude oil dan refine oil memiliki bilangan asam dan bilangan
penyabunan yang tidak berbeda signifikan. Hal ini disebabkan karena proses treatment
awal yang dilakukan menggunakan protease dan bentonit, sehingga tidak mengubah
bilangan asam dan bilangan penyabunan dalam minyak.
Minyak ikan hasil samping pengolahan ikan mengandung berbagai senyawa, seperti
asam-asam lemak, gliserol, gum, vitamin, protein, pigmen dan senyawa-senyawa
lainnya. Protease, selain untuk mendegradasi protein-protein pengotor, juga dapat
meningkatkan yield minyak (Dumay et al., 2006; Gbogouri et al., 2006; Santamaria et
al., 2003). Menurut Betty et al. (2010), sekitar 80% dari total lipid dapat diisolasi dari
limbah pengolahan ikan setelah hidrolisis enzimatis menggunakan protease. Pemanasan
yang dilakukan selama hidrolisis dengan protease juga menyebabkan kekentalan
minyak menurun, sehingga gum akan mudah terpisah dari minyak.
Minyak hasil samping penepungan ikan berwarna coklat gelap. Intensitas warna dari
minyak ikan dapat dikurangi dengan pemucatan (bleaching). Pada penelitian ini,
pemucatan dilakukan dengan menambahkan bentonit ke dalam minyak. Bentonit
berfungi sebagai adsorben yang dapat menyerap warna minyak, gum, resin, dan hasil
degradasi minyak seperti peroksida. Proses fisika yang melibatkan oksidasi, reduksi
atau adsorbsi membuat bagian-bagian berwarna lebih larut atau diserap sehingga mudah
dihilangkan selama proses pemucatan. Proses kimia yang terjadi yaitu kemampuan
mengubah bagian berwarna molekul minyak untuk menyerap cahaya, yaitu dengan

195
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

mengubah derajat ketidakjenuhan. Oleh karena itu, minyak ikan yang telah dimurnikan
akan tampak lebih cerah warnanya (Yogaswara, 2008).

Penentuan Waktu Hidrolisis


Hidrolisis selama 22 jam dipilih sebagai waktu terbaik dengan bilangan asam lebih
dari 6 kali minyak awal, dan setelah 22 jam hidrolisis, bilangan asam tidak meningkat
secara drastis.

60
50
Bilangan Asam

40
30
20
10
0
0 4 8 12 16 20 24
Lama Hidrolisis (Jam)

Gambar 2. Grafik bilangan asam terhadap berbagai waktu hidrolisis

Cenderung stabilnya bilangan asam pada kondisi hidrolisis lebih dari 22 jam dapat
disebabkan oleh akumulasi produk samping dan non-regiospesifisitas lipase Candida
rugosa.
Derya dan Xuebing (2011) menyebutkan pada kondisi hidrolisis dengan sistem
batch, dimana tidak ada pemisahan produk samping, akumulasinya (dalam hal ini
adalah asam lemak bebas) lama kelamaan dapat menghambat laju reaksi. Penelitian
Shimada et al. (1994) juga melaporkan tanpa pemisahan asam lemak bebas dari media,
tingkat hidrolisis tidak dapat meningkat meskipun dilakukan hidrolisis ulangan.
Shimada et al. (1994) melaporkan hidrolisis minyak ikan tuna dengan lipase Candida
rugosa dapat meningkatkan konsentrasi EPA dan DHA dari 38,5% menjadi 56,3%, dan
meningkat hingga 65,5% pada hidrolisis ulangan setelah dilakukan pemisahan asam
lemak bebas.
Lipase Candida rugosa memiliki kemampuan untuk meningkatkan kadar baik EPA
maupun DHA. Hal ini mengindikasikan kemampuan lipase Candida rugosa
membedakan asam lemak jenuh (saturated fatty acid, SFA) dan asam lemak tak jenuh
tunggal (monounsaturated fatty acid, MUFA) dari EPA dan DHA dalam minyak ikan
(Betty et al., 2010). Lipase Candida rugosa dapat melakukan hidrolisis selektif terhadap
SFA dan MUFA pada tingkat yang jauh lebih tinggi daripada hidrolisis omega 3.
Mekanisme ini dipengaruhi oleh struktur dari asam-asam lemak tersebut. Konformasi
molekuler ikatan rangkap karbon-karbon cis pada omega 3, terutama EPA dan DHA,
menimbulkan halangan sterik dan menyebabkan pembengkokan pada rantai asam

196
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

lemak, sehingga membawa gugus metil terminal menjadi sangat dekat dengan ikatan
ester. Halangan sterik yang timbul menyebabkan sisi aktif enzim tidak dapat mencapai
ikatan ester asam lemak, sehingga melindungi EPA dan DHA dari hidrolisis oleh lipase.
DHA, memiliki lebih banyak ikatan rangkap, sehingga lebih tahan terhadap hidrolisis
daripada EPA (Okada dan Morrisey, 2007).

Hidrolisis Substrat Minyak Ikan dengan Lipase Candida rugosa dengan Variasi pH
Buffer
Keasaman (pH) adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi aktivitas
enzim pada suatu medium cair (Havva, 2009). Lipase hanya aktif secara kalalitik pada
range pH tertentu, tergantung pada kondisi awal dan ionisasi residu-residu sisi aktif.
Pada sisi aktif lipase terdapat residu basa, asam maupun netral, sehingga residu pada sisi
katalitik hanya aktif pada suatu kondisi ionisasi tertentu (Banu, 2001). Perubahan pH
buffer dalam media juga menghasilkan perubahan konformasi lipase yang disebabkan
oleh perubahan tegangan dari lid yang menghalangi sisi aktif. Hal ini menyebabkan
pH turut mengontrol akses substrat menuju sisi aktif (Benjamin dan Pandey, 1998).
Buffer yang optimal untuk hidrolisis substrat pada penelitian ini adalah pH 6,5. Pada
kondisi pH 7 dan 7,5 tingkat hidrolisis lipase, yang diwakili oleh bilangan asam,
menurun secara signifikan. Penelitian ini turut membuktikan lipase Candida rugosa
dapat melakukan hidrolisis optimal pada larutan pH netral.

Gambar 3. Grafik bilangan asam pada hidrolisis dengan berbagai pH buffer (kondisi reaksi
35C, 22 jam inkubasi)

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Banu (2001) dan Aditi et al. (2012).
Banu (2001) melaporkan lipase Candida rugosa mencapai aktivitas optimal pada pH
6,5 dan dapat mempertahankan aktivitasnya hingga 24 jam hidrolisis pada substrat olive
oil. Di luar range pH 6,07,0 aktivitas lipase akan menurun, hingga akhirnya hilang
pada pH 4,0 dan 9,0. Aditi et al. (2012) menambahkan, umunya residu asam amino
pada sisi aktif lipase memiliki afinitas ikatan maksimum dengan substrat pada range pH
6,5-7.0.

197
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Catalytic triad dari lipase Candida rugosa tersusun atas Ser-209, His-449 dan Glu-
341 (Pawel et al., 1993), dimana histidin berperan sebagai akseptor proton dari Ser-209.
Ketika His-449 dan Glu-341 sama-sama berada dalam kondisi terprotonasi, His-449
dan Glu-341 tidak dapat membantu Ser-209 dalam serangan nukelofiliknya terhadap
karbon karbonil pada ester. Hal ini menyebabkan tidak dapat terbentuknya intermediet
tetrahedral untuk delokalisasi muatan pada catalytic triad (Andrea et al., 2009). Pada
kondisi yang terlalu basa, anion dalam konsentrasi tinggi menyebabkan lebih banyak
ion hidronium yang berikatan dengan asam-asam amino pada permukaan enzim. Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya protonasi His-449 dan Glu-341. Pada kondisi yang
terlalu asam, His-449 juga dapat terprotonasi apabila pH media berada di bawah pKa-
nya. Oleh karena itu diperlukan pH yang tepat untuk mengatur ionisasi dari sisi aktif
lipase.
Jayasundar et al. (2003) melaporkan bahwa pada pH netral, lid yang menghalangi
catalytic triad terbuka lebih lebar daripada pada kondisi pH asam. Terbukanya lid ini
akan mengekspos area hidrofobik lebih lebar, sehingga substrat dengan ukuran yang
besar dan memiliki banyak rantai samping hidrofobik dapat menncapai sisi aktif dengan
lebih mudah.

Hidrolisis Substrat Minyak Ikan dengan Lipase Candida rugosa dengan Variasi Suhu
Ketahanan suhu suatu enzim setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor pertama
yang mempengaruhi adalah struktur primer dari enzim tersebut. kandungan asam amino
hidrofobik yang tinggi pada enzim menghasilkan struktur yang kompak, sehingga tidak
mudah terdenaturasi oleh perubahan kondisi lingkungan eksternal. Jembatan disulfida
dan ikatan-ikatan lainnya menyebabkan enzim lebih resisten terhadap inaktivasi oleh
panas dan denaturasi secara kimiawi. Faktor lainnya adalah komponen-komponen
spesifik seperti polisakarida dan kation divalent, yang dapat membuat enzim lebih
stabil.
Dapat diamati bahwa tingkat hidrolisis oleh lipase meningkat dari suhu 30C dan
mencapai optimal pada 35C. Kenaikan suhu memang dapat meningkatkan laju reaksi,
selama enzim masih stabil. Kenaikan suhu juga dapat mengurangi viskositas serta
meningkatkan difusi substrat menuju sisi aktif (Betty et al., 2010). Pada suhu 40C,
terjadi penurunan bilangan asam yang signifikan jika dibandingkan dengan suhu 35C.
Hal ini disebabkan mulai terjadinya denaturasi lipase oleh panas.
Peningkatan suhu mempengaruhi laju dua proses independen, yaitu hidrolisis oleh
lipase dan inaktivasi lipase (Maidina et al., 2008; Uhlig dan Linsmaier-Bednar, 1998).
Seiring meningkatnya suhu, mobilitas molekul lipase juga meningkat. Pada titik
tertentu, molekul lipase memperoleh energi yang cukup untuk memutuskan interaksi
lemah yang mempertahankan struktur protein globular tetap utuh. Hal ini menyebabkan
terjadinya inaktivasi lipase.

198
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

59
Bilangan Asam

56

53

50
25 30 35 40 45
Suhu (C)

Gambar 4. Grafik bilangan asam pada berbagai suhu hidrolisis (kondisi reaksi buffer fosfat
pH 6,5, 22 jam inkubasi)

Beberapa penelitian melaporkan suhu optimal lipase dari Candida rugosa untuk
melakukan hidrolisis adalah 35C (Aditi et al., 2012; Havva, et al., 2009). Sun et al.
(2002) menyebutkan bahwa suhu 35C merupakan suhu optimum bagi lipase dari
Candida rugosa untuk meningkatkan konsentrasi EPA dan DHA dalam minyak ikan.
Penelitian Aditi et al. (2012) meneliti efek temperatur terhadap aktivitas lipase dari
Candida rugosa pada suhu 25C-50C. Aktivitas lipase terus naik hingga mencapai
suhu optimal 35C dan turun sejak suhu 40C. Penelitian Banu (2001) menunjukkan
lipase dari Candida rugosa dapat stabil pada range 4C-37C.

Hidrolisis Minyak Ikan dengan Lipase Candida rugosa dengan Variasi Konsentrasi
Substrat
Dari hasil penelitian tampak konsentrasi substrat 10% dan 20% adalah yang paling
baik, seperti teramati pada gambar . Peningkatan konsentrasi di atas 20% menyebabkan
tingkat hidrolisis, yang diwakili dengan bilangan asam, menurun secara signifikan.
Melihat fakta bahwa semakin tinggi konsentrasi substrat dalam campuran, buffer yang
ditambahkan semakin sedikit, menunjukkan adanya pengaruh dari jumlah buffer
terhadap tingkat hidrolisis. Hal ini dapat disebabkan karena semakin banyak molekul air
dalam campuran, area interfase yang tersedia juga semakin luas (Derya et al., 2010).
Macrae (1983) menyebutkan bahwa adanya area interfase air-lipid ternyata dapat
meningkatkan aktivitas hidrolitik dari lipase.

199
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 5. Grafik bilangan asam pada hidrolisis dengan berbagai konsentrasi substrat
(kondisi reaksi 35C, buffer fosfat pH 6,5, 22 jam inkubasi)

Fenomena peningkatan aktivitas lipase ini diperkirakan terjadi karena perubahan


konformasi dari enzim. Menurut Schmid dan Verger (1998), pada umumnya lipase
memiliki suatu struktur yang khas, yaitu adanya lid atau flap yang tersusun atas
sekuens polipeptida. Pada kondisi tanpa adanya area interfase atau pelarut organik,
lipase memiliki konformasi tertutup karena lid tersebut menghalangi akses substrat
menuju catalytic triad, yang tersusun dari residu Serin-Histidin-Asam Glutamat. Lebih
lanjut dijelaskan oleh Pawel et al. (1993), lid pada lipase membentang pada posisi
hampir tegak lurus dengan permukaan protein (Gambar 6) dan membentuk sebuah
lekukan yang menghalangi catalytic triad (Gambar 7), dengan residu serin sisi aktif
berada di bagian bawah lekukan tersebut. Area yang berada di sekitar serin sisi aktif ini
bersifat lebih hidrofobik daripada area lain yang terekspos pada solven. Bagian dari
lid yang mengarah ke sisi aktif adalah bagian hidrofobik, yang terutama tersusun oleh
rantai samping alifatik. Sedangkan bagian lid yang arahnya menjauhi sisi aktif
bersifat hidrofilik dan turut distabilkan oleh interaksi dengan permukaan protein.
Pada kondisi reaksi dengan area interfase air-lipid yang luas, daerah hidrofobik dari
polipeptida penghalang, yang sebelumnya tertimbun berdekatan dengan catalytic triad,
menjadi terekspos dan membentuk celah sehingga menyebabkan konformasi enzim
menjadi terbuka. Proses ini menyebabkan catalytic triad tidak lagi terhalangi
sehingga dapat dicapai dengan lebih mudah oleh substrat. Konformasi lipase ini juga
turut distabilkan oleh interaksi hidrofobik dengan lapisan lipid (Pawel et al., 1993).
Aditi et al. (2012) telah melakukan optimasi konsentrasi substrat berupa minyak hati
ikan cod dalam proses hidrolisis dengan lipase dari Candida rugosa. Aditi et al.
melaporkan rasio air dan minyak 4:1 (b/b) adalah titik optimumnya. Dalam
penelitiannya juga disebutkan bahwa molekul air memang dapat meningkatkan aktivitas
lipase, namun molekul air yang berlebihan dapat menghambat substrat berikatan
dengan enzim melalui inhibisi kompetitif.

200
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Sumber: Pawel et al. (1993)

Gambar 6. Struktur lipase Candida rugosa pada kondisi sedikit area interfase. Tampak
posisi rangkaian polipeptida terhadap keseluruhan struktur enzim. Catalityc
triad ditujukkan dengan warna hijau.

Sumber: Pawel et al. (1993)

Gambar 7. Representasi Van der Waals dari lipase Candida rugosa pada kondisi sedikit
area interfase. Residu serin pada catalytic triad (warna hijau) tampak pada
bagian dasar lekukan.

Dengan diperlukannya jumlah molekul air yang pas untuk reaksi, tidak terlalu
sedikit dan tidak terlalu berlebihan, seharusnya dapat diperoleh hasil penelitian
berbentuk kurva dan dicapai suatu titik puncak. Seperti telah disebutkan, titik optimum
pada penelitian ini adalah pada konsentrasi substrat 10% (b/v). Namun, tidak
tercapainya grafik berbentuk kurva menyisakan kemungkinan bahwa titik puncak
sebenarnya berada pada konsentrasi substrat di bawah 10%.

201
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Fraksinasi Lemak dengan Metode Thin Layer Chromatography


Lemak yang paling tidak polar akan bergerak paling cepat, karena cenderung lebih
tidak berikatan dengan silika yang bersifat polar. Hasil separasi dapat divisualisasi
dengan berbagai cara. Pada penelitian ini digunakan iodine staining. Iodin bereaksi
dengan ikatan rangkap pada asam lemak, sehingga lemak yang mengandung ikatan
rangkap akan tampak berwarna kuning kecoklatan.
Pada gambar 1 teramati setiap sampel terfraksinasi menjadi 4 fraksi, yaitu MAG,
DAG, FFA dan TAG. Sebagai catatan, fraksi DAG terdiri atas dua band berdekatan
yang merupakan isomer 1,3-DAG dan 1,2-DAG. MAG, DAG dan TAG merupakan
gliserida yang termasuk dalam golongan lipid netral, yaitu lipid yang bersifat non ionik
dan non polar. Lipid netral tidak memiliki sisi bermuatan listrik, hanya memiliki sedikit
gugus polar, serta banyak karbon dan hidrogen. TAG memiliki lebih banyak karbon dan
hidrogen daripada MAG dan DAG, sehingga TAG bersifat paling non polar dan
memiliki nilai Rf paling tinggi. FFA, atau asam lemak bebas, merupakan asam
monokarboksilat yang berantai panjang dan tidak bercabang. FFA memiliki panjang
rantai hidrokarbon yang bervariasi, tergantung jenis asam-asam lemak dalam fraksi
FFA. Rantai hidrokarbon panjang inilah yang memberikan sifat non polar pada FFA.
Pola separasi dari penelitian ini, dimana nilai Rf dari yang paling rendah ke paling
tinggi adalah MAG-DAG-FFA-TAG, memiliki pola yang sama dengan beberapa
penelitian lain (Soham et al., 2011; Santos et al., 2009; Shah et al., 2004). Betty et al.
(2010) yang juga melakukan fraksinasi lemak pada minyak hasil hidrolisis
menggunakan lipase, mendapatkan nilai Rf MAG = 0,12; DAG = 0,41 ; dan TAG =
0,74.

Kesimpulan dan Saran


Dapat disimpulkan bahwa hidrolisis oleh enzim lipase dari Candida rugosa
berlangsung paling baik pada sistem dengan pH 6,5; suhu 35C serta konsentrasi
substrat 20% (b/v) yang ditunjukkan oleh bilangan asam yang tertinggi. Perlu diteliti
lebih lanjut akan kadar dan distribusi EPA dan DHA dalam minyak sebelum dan
susudah hidrolisis untuk menggali informasi mengenai spesifitas hidrolisis lipase dari
Candida rugosa.

Daftar Pustaka
Aditi Sharma, Satyendra P. Chaurasia, Ajay K. Dalai. 2012. Enzymatic Hydrolysis
of Cod Liver Oil for The Fatty Acids Production. Elsevier
http://dx.doi.org/10.1016/j.cattod.2012.05.006.
Andrea Salis, Maura Monduzzi dan Barry W. Ninham. 2009. Hofmeister Effects in
Enzymatics Activity, Colloid Stability and pH Measurements: Ion-dependent
Speciticity of Intermolecular Forces. Italy: University of Caliagri,
Monserratom
Banu, Ozturk. 2001. Immobilization of Lipase from Candida rugosa on
Hydrophobic and Hydrophilic Supports. Turkey: Department: Biotechnology
and Bioengineering Major: Biotechnology.
Benjamin, S. and Pandey, A. 1998. Candida rugosa Lipases: Molecular Biology
and Versatility in Biotechnology. Yeast, 14, No. 12, 1069.
202
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Betty, Mbatia. 2010. Enzymatic oil extraction and positional analysis of Omega-3
fatty acids in Nile perch and salmon heads. Process Biochemistry 45 (2010)
815819. Sweden: a Department of Biotechnology, Lund University, Box
124, SE-221 00 Lund.
Betty Mbatia, Patrick Adlercreutz, Francis Mulaa dan Bo Mattiasson. 2010.
Enzymatic Enrichment of Omega-3 Polyunsaturated Fatty Acids in Nile
Perch (Lates niloticus) Viscera Oil. Process Biochemistry 45 (2010) 815
819.
Breivik H., Haraldsson G. G., Kristinsson B. 1997. Journal of the American Oil
Chemists' Society. (1997)74: 14251429.
Derya, Kahveci & Xuebing, Xu. 2011. Repeated Hydrolysis Process is Effective for
Enrichment of Omega 3 Polyunsaturated Fatty Acids in Salmon Oil by
Candida rugosa Lipase. Food Chemistry 129 (2011) 15521558. Denmark:
Department of Molecular Biology, Aarhus University, Gustav Wieds Vej 10,
8000 Aarhus C.
Derya, Kahveci. Mia, Falkeborg. Sandra, Gregersen and Xuebing, Xu. 2010.
Upgrading of Farmed Salmon Oil Through Lipase-Catalyzed Hydrolys. The
Open Biotechnology Journal, 2010, 4, 47-55. Denmark: Department of
Molecular Biology, Aarhus University, Gustav Wieds Vej 10, 8000 Aarhus C.
Dumay J., Donnay-Moreno C., Barnathan G., Jaouen P., Berge J. P. Process
Biochemistry. (2006), 41: 23272332.
Gbogouri G. A., Linder M., Fanni J., Parmentier M. European Journal of Lipid
Science and Technology. (2006),108: 766-775.
Havva Tutar, Elif Yilmaz, Erol Pehlivan dan Mustafa Yilmaz. 2009. Immobilization
of Candida rugosa Lipase on Sporopellenin from Lycopodium clavatum.
Journal of Biological Macromolecules 45, 315320.
Macrae A. R. 1983. Journal of the American Oil Chemists' Society. (1983), 60:
291294.
Maidina, A. B., Belova, A. B., Levashov, A. V. and Klyachko, N. L. 2008. Choice
of Temperature for Safflower Oil Hydrolysis Catalyzed by Candida rugosa
Lipase. Moscow University Chemistry Bulletin, 63, No. 2, 108.
Okada, T., & Morrissey, M. T. 2007. Production of n-3 Polyunsaturated Fatty Acid
Concentrate from Sardine Oil by Lipase-catalyzed Hydrolysis. Food
Chemistry, 103, 14111419.
Pawel, Grochulski, Yunge Li, Joseph D. Schragt, Francois Bouthillier, Penny
Smith, David Harrison, Byron Rubin dan Miroslaw Cygler. 1993. Insights
into Interfacial Activation from an Open Structure of Candida rugosa Lipase.
Journal of Biological Chemistry Vol. 285, No. 17.
Santamaria R. I., Soto C., Zuniga M. E., Chamy R., Lopez-Munguia A. Journal of
the American Oil Chemists Society. (2003), 80: 33-36.
Schmid D. Rolf dan Verger Robert. 1998. Lipases: Interfacial Enzymes with
Attractive Applications. Andewandte Chemie, Volume 37, pp 1608-1633.
Shahidi F.,Wanasundura U. N. 1998. Trends in Food Science & Technology.
(1998)9: 230-240.

203
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Shimada Y., Watanabe Y., Sugihara A., Baba T., Ooguri T, Moriyama S., Terai
T.,Tominaga Y. 2001. Journal of Bioscience and Bioengineering. (2001)92:
19-23.
Shimada, Y., Maruyama, K., Okazaki, S., Nakamura, M., Sugihara, A., &
Tominaga, Y. (1994). Enrichment of Polyunsaturated Fatty Acids with
Geotrichum candidum Lipase. Journal of the American Oil Chemists Society,
71, 951954.
Sun, T., Pigott, G. M., Herwing, R. P. 2002. Lipase-assisted concentration of n-3
polyunsaturated fatty acids from viscera of farmed Atlantic salmon (Salmo
salar L.). J. Food Sci. 2002,67, 130136.
Tomoko, O., Morrissey, M. T., 2007. Production of n-3 polyunsaturated fatty acid
concentrate from sardine oil by lipasecatalyzed hydrolysis. Food Chem.
2007, 103, 14111419.
Wanasundara, U. N., Shahidi, F. 1998. Lipase-assisted concentration of n-3
polyunsaturated fatty acids in acylglycerols from marine oils. J. Am. Oil
Chem. Soc. 1998, 75, 945951.
Yogaswara, Ghema. 2008. Mikroenkapsulasi Minyak Ikan dari Hasil Samping
Industri Penepungan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) dengan Metode
Pengeringan Beku (Freeze Drying). Bogor: Program Studi Teknologi Hasil
Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Zuta C. P., Simpson B. K., Chan H. M., Phillips L. 2003. Journal of the American
Oil Chemists Society. (2003)80: 933-93

204
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Analisis Keragaman Genetik Temulawak


(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Sebagai Dasar
Perekayasaan Varietas Unggul
Lukita Devy1*, Sobir2 dan Dodo Rusnanda Sastra1
1
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi,
Email: lukita.devy@bppt.go.id
1
Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT
This study was conducted to determine genetic parameters of 14 temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) accessions in two locations (Serpong and Bogor) from December 2006
to August 2007. Genetic parameters are useful information for the engineering process of
superior variety. The observed traits consist of vegetative, yield and secondary metabolite
components. There are no differences among tested accessions based on the analysis of
variance, except for two traits. Those are tillering number and leaf length/width ratio. The
heritability of these traits were high (h2bs=73.7% and h2bs=61.8%, respectively). However,
their genetic variabilities were narrow ( g < 2
2
). Therefore, the increase of genetic
g2

variability is needed. This could be achieved through exploration, mutagenesis, somaclonal


variation and genetic transformation.

Keywords: genetic parameters, temulawak, yield

Pengantar
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang secara
tradisional telah lama digunakan di Indonesia secara turun-temurun. Tanaman ini
bermanfaat sebagai bahan obat, pangan fungsional maupun kosmetika. Penyebarannya
meliputi Jawa, Bali dan Maluku (Wardini & Prakoso 1999) serta belum umum
dibudidayakan di negara lain.
Fraksi yang terdapat pada temulawak terbagi atas kurkuminoid, minyak atsiri dan
pati. Kurkuminoid berfungsi sebagai anti inflamasi, anti kanker, anti bakteri, anti fungi,
anti parasit, anti imunodefisiensi, anti virus (virus flu burung) dan anti oksidan
(Chattopadhyay et al. 2004). Komponen minyak atsiri temulawak terdiri dari 5
senyawa mayor dan 8 senyawa minor (Agusta & Chairul 1996). Salah satu senyawa
mayor tersebut adalah xanthorrhizol. Xanthorrhizol memiliki fungsi sebagai obat anti
fungi spektrum luas, anti bakteri, anti metastasis sel tumor dan pencegah efek samping
kemoterapi (Choi et al. 2004; Kim et al. 2005, Rukayadi et al. 2006). Sebagai produk
industri, ekstrak temulawak berpotensi untuk perawatan gigi, jerawat dan ketombe

1
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, *Penulis untuk korespondensi, email:
lukita.devy@bppt.go.id
2
Institut Pertanian Bogor

205
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

(Hwang et al. 2008). Oleh karena itu temulawak sebagai tanaman yang sudah
dibudidayakan sejak lama di Indonesia dengan berbagai khasiat farmakologis memiliki
potensi untuk dijadikan tanaman obat unggulan khas Indonesia seperti halnya ginseng
dari Korea.
Permasalahan umum yang dihadapi dalam pengembangan temulawak adalah
rendahnya tingkat produktivitas. Pada tahun 2003 produktivitas tanaman temulawak di
Indonesia adalah 17.18 ton/ha (Deptan 2004) sedangkan potensi produktivitas
temulawak mencapai 20 ton/ha (Wardini & Prakoso 1999) Pada umumnya nilai
produktivitas yang rendah disebabkan oleh belum dilakukannya teknik budidaya
anjuran dan penggunaan bibit yang sembarang sehingga meskipun temulawak telah
tersebar di berbagai daerah namun sampai saat ini belum ada standardisasi bibit
bermutu (Syukur et al. 2006). Oleh karena itu perbaikan mutu bibit perlu dilakukan.
Perbaikan ini mencakup penggunaan varietas unggul yang tahan terhadap organisme
pengganggu, toleran terhadap cekaman lingkungan serta mempunyai potensi hasil
tinggi dengan mutu baik.
Untuk mendapatkan varietas unggul maka perlu dilakukan kegiatan pemuliaan
tanaman. Kegiatan ini dapat terlaksana jika tersedia keragaman genetik dalam suatu
populasi yang akan diseleksi. Hal ini dan kemampuan mengidentifikasikannya meru-
pakan kunci keberhasilan dalam pemuliaan tanaman (Welsh 1981).
Pengkajian ini bertujuan untuk menduga parameter genetik karakter vegetatif, hasil,
komponen hasil dan bahan aktif temulawak. Informasi yang diperoleh diharapkan
dapat menunjang proses perekeyasaan pembentukan varietas unggul temulawak melalui
proses pemuliaan.

Metodologi
Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2006 hingga Agustus 2007. Percobaan
disusun menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (Randomized Complete
Block Design). Sebagai faktor pertama adalah lokasi penanaman yang terdiri dari dua
taraf yaitu di Kebun Percobaan Puspiptek Serpong (70 m di atas permukaan laut-dpl-)
dan di Kawasan Agromedika Hambaro Leuwiliang Bogor (400 m dpl). Sebagai faktor
kedua adalah aksesi temulawak hasil eksplorasi tahun 2004. Aksesi-aksesi tersebut
terdiri dari 14 taraf berdasarkan daerah asalnya yaitu T1 (Pagar Alam), T3 (Manna), T4
(Majenang), T5 (Cikijing), T6 (Ciporang), T7 (Majalengka), T8 (Citangtu), T9
(Sleman), T10 (Bantul), T11 (Gunung Kidul), T12 (Imogiri), T13 (Kalibawang), T14
(Pasir Gaok1) dan T16 (Pasir Gaok3). Percobaan dilakukan sebanyak 3 ulangan
sehingga secara keseluruhan terdapat 84 satuan percobaan. Setiap 1 satuan percobaan
terdiri dari 10 tanaman.
Rimpang yang telah bertunas ditanam dengan jarak 70 cm x 60 cm. Pemberian
pupuk kandang sebanyak 1 kg/lubang tanam dilakukan satu pekan sebelum penanaman.
Pada saat tanam, diberikan 5 g SP-36/lubang tanam. Selanjutnya pada 1 Bulan Setelah
Tanam (BST) diberikan 5 g Urea + 4 g KCl/lubang tanam. Kegiatan pemeliharaan
yang dilakukan meliputi pencabutan gulma dan pembumbunan. Panen dilaksanakan
pada 9 BST dengan cara menggali dan mengangkat rimpang secara keseluruhan.
Rimpang tersebut dicuci dari tanah dan kotoran lalu dikeringanginkan. Kegiatan dalam

206
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

teknik budidaya temulawak ini mengacu pada Standard Operation Procedures (SOP)
menurut Rahardjo dan Rostiana (2005) dengan sedikit modifikasi.
Komponen pengamatan dalam penelitian ini mengacu pada deskriptor untuk
temulawak menurut Ajijah et al. (2006) dan tambahan lain. Komponen vegetatif
diamati pada 4 BST dan terdiri dari 8 karakter yaitu tinggi batang semu, diameter
batang semu, jumlah anakan/rumpun, jumlah daun/batang, panjang daun, lebar daun,
panjang tangkai daun serta rasio panjang/lebar daun (Rasio = panjang daun/lebar daun).
Komponen hasil diamati pada saat panen dan terdiri dari 17 karakter yaitu bobot basah:
rimpang total, rimpang primer, rimpang sekunder, rimpang tersier; bobot kering:
rimpang total, rimpang primer, rimpang sekunder dan rimpang tersier; panjang:
rimpang primer, rimpang sekunder, rimpang tersier; lebar: rimpang primer, rimpang
sekunder dan rimpang tersier; jumlah: rimpang primer, rimpang sekunder, rimpang
tersier. Komponen kandungan bahan aktif terdiri dari 4 karakter yaitu kadar kurkumin,
kadar minyak atsiri, produksi minyak atsiri/rumpun dan produksi kurkumin/rumpun.
Produksi bahan aktif merupakan perkalian antara kadar bahan aktif dengan bobot kering
rimpang/rumpun. Kadar kurkumin diukur menggunakan GC-MS sedangkan kadar
minyak atsiri menggunakan destilasi. Analisis kandungan bahan aktif dilakukan di
Balai Pengembangan Tanaman Rempah dan Obat, Departemen Pertanian RI, Bogor.
Pendugaan parameter genetik diturunkan dari analisis ragam (Tabel 1) menurut
Annichiarico (2002). Analisis dapat dilakukan terhadap karakter yang memiliki
kehomogenan ragam berdasarkan uji Bartlett (Gomez & Gomez 1984).

Tabel 1. Analisis ragam percobaan antar lokasi di Hambaro dan Serpong


Sumber Keragaman Db KT E (KT) F Hitung
Lokasi (L) l-1 M1 e + r gl + g gr l
2 2 2+ 2
M1/M4
Ulangan/Lokasi l (r-1) M2 e + g e
2 2
-
Aksesi (G) (g-1) M3 e + r gl + lr g
2 2 2
M3/M4
GxL (g-1) (l-1) M4 e + r gl
2 2
M4/M5
Galat l (g-1) (r-1) M5 2e -
Keterangan: l=Jumlah lokasi; r=Jumlah ulangan; g=Jumlah aksesi; db=Derajat bebas,

KT=Kuadrat tengah; E(KT)= Harapan kuadrat tengah.


Pendugaan parameter genetik dilakukan terhadap:
M3 M4 4. p = g2 ( e2 / lr ) ( gl
1. g =
2 2 2
/ l)
lr 5.
M4 M5
2. gl
2
= g2 g2

2
r h =
p g ( e / lr ) ( gl / l )
bs 2 2 2 2

3. e2 = M5

g2 M 32 M 22
6. KKG = x100% 8. 2 =
2
x g
(rl ) 2 db 2 db 2
g gl
p2
7. KKP = x100%
x

207
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Keterangan: x : nilai rataan


g2 : ragam genetik 2 g : standar deviasi ragam
gl : ragam genotipe x lokasi
2 genetik
e : ragam galat
2 r : jumlah ulangan
l : jumlah lingkungan (lokasi)
p2 : ragam fenotipe M3 : kuadrat tengah aksesi (genotipe)
hbs2 : heritabilitas arti luas M2 : kuadrat tengah genotipe x
KKG : koefisien keragaman lingkungan
genetik (G x L)
KKP : koefisien keragaman dbg : derajat bebas genotipe
fenotipe dbgl : derajat bebas G x L

Pendugaan heritabilitas dilakukan dengan metode komponen ragam (Osborne &


Paterson 1952, diacu dalam Adie 1992). Kriteria heritabilitas terbagi atas rendah:
0%-20%, sedang: 20%-50% dan tinggi >50% (Stansfield 1983, diacu dalam Zen
1995).
Pendugaan standar deviasi dari ragam genetik yang digunakan adalah untuk
beberapa lokasi dalam satu musim menurut Hallauer dan Miranda (1988).
Parameter ini dapat digunakan untuk menentukan keragaman genetik. Jika ragam
genetik lebih besar daripada dua kali standar deviasi ragam genetik (2g > 2 2g )
maka keragaman genetiknya luas sedangkan jika 2g < 2 2g maka keragaman
genetiknya sempit (Anderson & Bancroft 1952, diacu dalam Ruchjaniningsih
2000).
Pendugaan Koefisien Keragaman Genetik (KKG) dan Koefisien Keragaman
Fenotipe (KKP) dilakukan menurut Poehlman dan Sleeper (1996).

Hasil dan Pembahasan


Analisis ragam berfungsi untuk mengetahui keragaman antar perlakuan yang diteliti
dalam suatu percobaan. Untuk memenuhi asumsi awal dalam pengujian gabungan
percobaan antar lokasi maka dilakukan uji kehomogenan ragam. Jika ragam antar
lokasi bersifat homogen maka dilanjutkan dengan analisis ragam. Melalui analisis
ragam, dapat diduga beberapa parameter pemuliaan diantaranya ragam genetik, ragam
fenotipe dan heritabilitas.
Hasil pengujian kehomogenan ragam menunjukkan bahwa tidak semua karakter
yang diuji memiliki ragam homogen antar lokasi. Analisis ragam dilakukan hanya pada
karakter-karakter yang memiliki ragam homogen. Hasil analisis ragam terhadap
karakter pertumbuhan vegetatif beberapa aksesi temulawak di dua lokasi tidak
menunjukkan interaksi antara lokasi dan aksesi. Perbedaan antar aksesi hanya
ditunjukkan oleh karakter rasio panjang/lebar daun dan jumlah anakan/rumpun (Tabel
2).

208
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 2. Rekapitulasi analisis ragam karakter pertumbuhan vegetatif beberapa aksesi


temulawak di Hambaro dan Serpong
Kuadrat Tengah Uji
No Karakter
Aksesi (G) Lokasi (L) GxL Bartlett
tn tn tn
Rasio panjang/lebar daun 0.03 * 0.35 0.01 0.61
tn tn tn
Tinggi tajuk 104.30 9520.46 * 189.04 0.42
tn tn
Jumlah anakan/rumpun 1.74 ** 152.55 ** 0.42 1.99
tn tn tn
Diameter batang semu 0.22 180.72 ** 0.29 2.81
Keterangan:
**: berbeda nyata pada =1%, *: berbeda nyata pada =5%, tn: tidak berbeda nyata

Kecenderungan serupa ditunjukkan oleh karakter hasil, komponen hasil dan bahan
aktif. Tidak ada perbedaan respon antar aksesi untuk semua karakter yang diamati
sedangkan interaksi antara lokasi dan aksesi hanya ditunjukkan oleh karakter bobot
kering rimpang sekunder (Tabel 3). Pada karakter bahan aktif, interaksi antara lokasi
dan aksesi hanya ditunjukkan oleh kadar kurkumin sedangkan antar aksesi tidak ada
perbedaan (Tabel 4). Tidak adanya perbedaan respon antar aksesi pada hampir semua
karakter yang diamati mengindikasikan bahwa keragaman genetik aksesi temulawak
yang diuji cukup rendah.

Tabel 3. Rekapitulasi analisis ragam karakter hasil dan komponen hasil beberapa aksesi
temulawak di Hambaro dan Serpong
Kuadrat Tengah Uji
No Karakter
Aksesi (G) Lokasi (L) GxL Bartlett
tn tn tn
Bobot basah rimpang total (g) 26992.80 2148051.84 ** 19976.29 0.90
tn tn tn
Bobot basah rimpang primer (g) 9135.71 2442808.14 ** 7214.71 2.14
tn tn tn tn
Bobot basah rimpang sekunder (g) 5899.11 30298.93 4115.02 0.33
tn tn tn
Bobot basah rimpang tersier (g) 973.02 6909.34 ** 1038.87 0.60
tn tn tn
Bobot kering rimpang total (g) 2319.01 42523.65 * 2576.26 0.72
Bobot kering rimpang sekunder
tn tn
(g) 394.13 10073.12 * 610.81 * 2.84
tn tn tn tn
Bobot kering rimpang tersier (g) 46.03 2.40 71.26 1.00
tn tn tn tn
Jumlah rimpang sekunder 6.77 14.56 10.09 0.93
tn tn tn
Panjang rimpang primer (cm) 0.50 21.88 * 1.92 1.07
tn tn tn
Panjang rimpang sekunder (cm) 0.47 18.88 ** 0.78 0.64
tn tn tn tn
Jumlah rimpang tersier 23.41 14.84 18.83 0.64
tn tn tn tn
Lebar rimpang sekunder (cm) 0.25 5.84 0.07 1.93
tn tn tn tn
Lebar rimpang tersier (cm) 0.23 3.19 0.19 2.97
Keterangan:
**: berbeda nyata pada =1%, *: berbeda nyata pada =5%, tn: tidak berbeda nyata

209
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 4. Rekapitulasi analisis ragam karakter kandungan dan produksi bahan aktif
beberapa aksesi temulawak di Hambaro dan Serpong
Kuadrat Tengah Uji
No Karakter
Aksesi (G) Lokasi (L) GxL Bartlett
tn tn tn
Kadar minyak atsiri (%) 0.45 9.51 * 0.61 0.90
tn tn tn
Kadar kurkumin (%) 0.07 0.04 0.06 * 0.43
tn tn tn
Produksi minyak atsiri/rumpun (g) 5.75 8.02 ** 6.31 0.40
tn tn tn tn
Produksi kurkumin/rumpun (g) 0.59 3.50 0.60 0.49
Keterangan:
**: berbeda nyata pada =1%, *: berbeda nyata pada =5%, tn: tidak berbeda nyata

Pendugaan parameter genetik bertujuan untuk mengetahui potensi genetik


temulawak yang diuji. Pengujian hanya dilakukan terhadap karakter yang
menunjukkan adanya keragaman antar aksesi berdasarkan analisis ragam.
Pada percobaan ini, pengujian parameter genetik dilakukan terhadap karakter rasio
panjang/lebar daun dan jumlah anakan/rumpun. Nilai heritabilitas kedua karakter ini
termasuk tinggi (h2bs=61.8% dan 73.7%). Berdasarkan nilai KKG, terlihat bahwa
keragaman genetik jumlah anakan/rumpun lebih besar daripada rasio panjang/lebar
daun namun berdasarkan perbandingan antara ragam genetik dengan simpangan dari
ragam genetik maka keragaman genetik kedua karakter ini termasuk sempit (Tabel 5).
Selisih antara nilai KKP dan KKG pada kedua karakter tersebut cenderung kecil. Hal
ini menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan dapat diabaikan (Kalia & Sood 2004).

Tabel 5. Parameter genetik karakter rasio panjang/lebar daun serta


jumlah anakan/rumpun temulawak di Hambaro dan Serpong
2g 2g h2bs
Rataan KKP KKG
Karakter 2p Nilai
Std Nilai Kriteria Kriteria (%) (%)
(%)
RPL 2.87 0.11 0.003 0.002 sempit 0.005 61.8 tinggi 2.45 1.93

JMA 3.16 0.76 0.195 0.109 sempit 0.264 73.7 tinggi 16.27 13.97
Keterangan:
RPL= Rasio panjang/lebar daun, JMA= Jumlah anakan/rumpun, Std = Standar deviasi, 2g =
Ragam genetik, 2g = Standar deviasi ragam genetik, 2p = Ragam fenotipe, h2bs =
Heritabilitas arti luas, KKG = Koefisien keragaman genetik, KKP = Koefisien keragaman
fenotipe.

Berdasarkan hasil percobaan ini maka langkah pemuliaan temulawak yang dapat
dilakukan di masa mendatang adalah menekankan pada peningkatan keragaman
genetik. Untuk memenuhi hal tersebut maka perlu dicari sumber keragaman genetik
baru. Keragaman genetik ini dapat diperoleh melalui introduksi varietas baru, persila-
ngan atau mutasi (Bari et al. 2006).
Kegiatan pemuliaan temulawak melalui persilangan cukup sulit untuk dilakukan
karena tanaman ini belum pernah ditemukan menghasilkan buah atau biji. Hal ini
disebabkan karena temulawak bersifat triploid dengan jumlah kromosom yang relatif
besar (2n = 3x = 63) (Islam 2004). Sebagai alternatif, salah satu usaha yang dapat
210
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

dilakukan dalam meningkatkan keragaman adalah dengan melakukan eksplorasi ke


berbagai lokasi yang diduga memiliki keragaman hayati yang tinggi. Selain itu,
peningkatan keragaman juga dapat dilakukan melalui induksi keragaman. Kegiatan ini
mencakup mutasi, variasi somaklonal atau transformasi genetik. Pada mutasi buatan,
induksi keragaman dapat dilakukan dengan menggunakan mutagen kimia maupun fisik.

Kesimpulan
Keragaman antar aksesi temulawak dalam percobaan ini cenderung rendah pada se-
mua karakter yang diamati kecuali pada jumlah anakan/rumpun dan rasio panjang/lebar
daun. Kedua karakter ini memiliki nilai heritabilitas yang tinggi namun keragaman
genetik yang sempit. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman genetik temulawak yang
diuji relatif rendah dan untuk hampir semua karakter, proporsi keragaman lebih banyak
dipengaruhi oleh lingkungan.
Perekayasaan temulawak varietas unggul memerlukan keragaman genetik yang
tinggi. Untuk meningkatkan keragaman genetik temulawak maka usaha yang dapat
dilakukan adalah mencari sumber keragaman lain melalui eksplorasi yang lebih intensif.
Selain itu juga dapat dilakukan induksi keragaman diantaranya melalui mutasi, variasi
somaklonal atau transformasi genetik.

Daftar Pustaka
[Deptan] Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura Departemen Pertanian. 2004. Luas
Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Obat. Jakarta: Deptan.
Adie MM. 1992. Interaksi genotipe x lingkungan pada seleksi kedelai [tesis]. Bogor:
Program Pascasarjana IPB.
Agusta A, Chairul. 1996. Analisis komponen kimia minyak atsiri dari rimpang temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami
VIII; Bogor, 24-25 Nov 1994. Perhipba & Balittro. hlm 643-647.
Ajijah N, Setiyono RT, Fatimah S. 2006. Petunjuk pelaksanaan pengelolaan plasma nutfah
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Di dalam: Karmawati E et al., editor.
Petunjuk Pelaksanaan Plasma Nutfah Tanaman Perkebunan. Bogor: Puslitbangbun.
hlm 258-272.
Anicchiarico P. 2002. Genotype x environment interactions: Challenges and opportunities
for plant breeding and cultivar recommendations. Rome: FAO.
Bari A, Musa S, Sjamsudin E. 2006. Pengantar pemuliaan tanaman. Bogor: Faperta IPB.
Chattopadhyay I, Biswas K, Bandyopadhyay U, Banerjee RK. 2004. Tumeric and curcumin:
Biological actions and medicinal applications. Curr Sci 87 (1):4453.
Choi M, Kim S, Cheng W, Hwang J, Park K. 2004. Xanthorrhizol, a natural sesquiterpenoid
from Curcuma xanthorrhiza, has an anti-metastatic potential in experimental mouse
lung metastasis model. Biochem Biophys Res Comm 326:1 abstrak [terhubung
berkala]. http://www.sciencedirect.com/ science? [1 Sep 2008]
Gomez KA, Gomez AA. 1984. Statistical procedures for agricultural research. New York: J
Wiley.
Hallauer AR, Miranda JB. 1988. Quantitative genetics in maize breeding. Iowa: Iowa Univ
Pr.
Hwang J, Rukayadi Y, Lee S, Cheng W, Park K. 2008. Industrial potential of Curcuma
xanthorrhiza as antimicrobial and antiinflamatory agents [abstrak]. Di dalam: The

211
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

First International Symposium on Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.);


Bogor, 27-29 Mei 2008. Bogor: Pusat Biofarmaka IPB. hlm 3. abstr no K-02.
Islam A. 2004. Genetic diversity of the genus Curcuma in Bangladesh and further
biotechnological approaches for in vitro regeneration and long term conservation of
C.longa germplasm [Disertasi]. Germany: Univ of Hannover.
Kalia P, Sood S. 2004. Genetic variation and association analyses for pod yield and another
agronomic and quality characters in an Indian Himalayan collection of broad bean
(Vicia faba L). SABRAO J Breed Gen 36(2): 55-61.
Kim J et al. 2008. Antibacterial characteristics of Curcuma xanthorrhiza extract on
Streptococcus mutans biofilm. J Microbiol 46 (2): 228-232 abstrak [terhubung
berkala]. http://www.springerlink.com/content/640847122052x62n/ [1 Sep 2008].
Kim SH et al. 2005. Xanthorrhizol has a potential to attenuate the high dose cisplatin-
induced nephrotoxicity in mice. Food Chem Tox 43: 117-122.
Poehlman JM, Sleeper DA. 1995. Breeding field crops. Iowa: Iowa Univ Pr.
Rahardjo M, Rostiana O. 2005. Budidaya tanaman temulawak. Sirkuler Balittro 11: 24-30.
Roy D. 2000. Plant Breeding: Analysis and exploitation of variation. New Delhi: Narosa.
Ruchjaniningsih, Imran A, Thamrin M, Kanro MZ. 2000. Penampilan fenotipik dan
beberapa parameter genetik delapan kultivar kacang tanah pada lahan sawah. Zuriat
11(1): 8-14.
Rukayadi Y, Yong, Hwang J. 2006. In vitro anticandidal activity isolated from Curcuma
xanthorrhiza Roxb. J Antimicrob Chem 57: 1231-1234.
Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical method in quantitative genetic analysis. New
Delhi: Kalyani.
Syukur et al. 2006. Petunjuk pelaksanaan pengelolaan plasma nutfah kunyit (Curcuma
domestica Valh.). Di dalam: Karmawati E et al., editor. Petunjuk Pelaksanaan
Plasma Nutfah Tanaman Perkebunan. Bogor: Puslitbangbun. hlm 156-173.
Wardini TH, Prakoso B. 1999. Curcuma L. Di dalam: Padua LS de et al., editor. Plant
Resources of South-East Asia 12 (1): Medicinal and Poisonous Plants 1. Bogor:
PROSEA. hlm 210-219.
Welsh JR. 1981. Fundamentals of plant genetics and breeding. New York: J Wiley.
Zen S. 1996. Heritabilitas, korelasi genotipik dan fenotipik karakter padi gogo. Zuriat 6 (1):
25-32.

212
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Potensi Antibakteri Dan Identifikasi Komponen Senyawa


Organik Ekstrak Metanol, Etil Asetat, Dan Heksan Sirih
Merah (Piper cf. Fragile Benth)
Ade Heri Mulyati, Ratih Wulandari dan Husain Nashrianto
Program Studi Kimia FMIPA Universitas Pakuan
Email: adeherimulyati@yahoo.com

ABSTRAK
Tanaman sirih merah (Piper cf. fragile Benth) dimaserasi menggunakan pelarut metanol,
etil asetat dan heksan secara bertingkat, dipekatkan, diuji fitokimia dan diuji potensi
aktivitas antibakterinya terhadap E.coli, S.aureus, B.substilis, dan P.aeruginosa. Analisis
senyawa organik dengan GC-MS. Diperoleh rendemen ekstrak metanol 21,82%, etil asetat
7,97% dan heksana 2,59%. Uji fitokimia ekstrak metanol mengandung senyawa
triterpenoid-steroid dan tanin, ekstrak etil asetat mengandung senyawa triterpenoid-steroid
dan tanin, sedangkan ekstrak heksana mengandung senyawa triterpenoid-steroid, tanin dan
alkaloid. Ekstrak metanol sirih merah mempunyai daya antibakteri terhadap bakteri S.
aureus sebesar 29,7 mm, E. coli sebesar 27,3 mm, B.substillis sebesar 27,0 mm dan
P.aeruginosa sebesar 12,8 mm. Identifikasi dengan GC-MS pada ekstrak metanol terdapat
senyawa Caryophyllene, (+)-beta funebrene, Germacrene-D, 2,6-Dimetil-3-
(methoxymethyl)-benzoquinone, Beta-Bisabolene, neophytadiene, Methyl Palmitate, Methyl
Stearate, Stigmasterol. Ekstrak etil asetat diperoleh senyawa Sabinene, 4-Vinylphenol, Alpha
Copaene, Calarene, Zingiberene, Caryophyllene, Alpha-Humulene, Benzene, 1-(1,5-
dimethyl-4-hexenyl)-4-methyl, Germacrene D, alpha-Cedrene, beta-Sesquiphellandrene,
beta-Bisabolene, Neophytadiene, Methyl Palmitate, Phytol. Ekstrak heksana diperoleh
senyawa Sabinene, Limonene, Linalyl acetate, Calarene, Caryophyllene, Beta-Funebrene,
Germacrene D, Beta-Bisabolene, 4-(1-Cyclohepten-1-yl)morpholine, Methyl palmitate,
Stigmasterol.

Kata Kunci : Sirih Merah, Maserasi, Fitokimia, Antibakteri, GC-MS

Pengantar
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati. Tanaman yang
tumbuh di Indonesia banyak yang sudah dimanfaatkan sebagai tanaman obat karena
sudah terbukti secara empiris maupun ilmiah dan ada juga yang masih terus
dikembangkan penelitiannya agar diketahui khasiatnya. Penggunaan tanaman obat lebih
disukai karena memiliki efek samping yang lebih kecil dibanding dengan obat sintetik
dan berharga relatif lebih murah.
Tanaman sirih merupakan salah satu tanaman obat yang sudah dikenal sejak lama
akan khasiatnya.
Tanaman sirih merah yang mempunyai nama latin Piper cf. fragile Benth
sebelumnya dimanfaatkan hanya sebagai tanaman hias karena penampilannya yang
eksotik. Anggota Piperaceae itu baru diketahui beberapa tahun terakhir sebagai
tanaman obat setelah diperkenalkan oleh Bambang Sudewo, produsen tanaman obat di

213
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Blunyahrejo. Sirih merah berkhasiat sebagai antikejang, antiseptik, analgetik,


antiketombe, mengendalikan gula darah, lever, antidiare, meningkatkan daya tahan
tubuh, dan meredakan nyeri, juga dipercaya mampu mengatasi radang paru, radang
tenggorokan, radang gusi, hidung berdarah atau mimisan, dan batuk berdarah, akan
tetapi kandungan sirih merah belum diteliti secara mendetail, begitu pula kaitan
kandungan sirih merah terhadap khasiatnya (Sudewo, 2005)
Salah satu khasiat sirih merah adalah sebagai antibakteri, oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian mengenai daya hambat bakteri ekstrak sirih merah. Penelitian
dilakukan terhadap bakteri-bakteri yang mewakili dalam pewarnaan Gram. Bakteri
yang digunakan yaitu bakteri Staphylococcus aureus sebagai perwakilan bakteri Gram
positif bentuk bulat, Escherichia coli perwakilan bakteri Gram negatif bentuk batang
pendek, Bacillus substilis perwakilan bakteri Gram positif bentuk batang dan
Pseudomonas aeruginosa perwakilan bakteri Gram negatif bentuk batang.
Secara umum tanaman sirih merah memiliki kandungan kimia seperti alkaloid,
flavonoid, tanin dan minyak atsiri. Komponen senyawa organik dari sirih merah belum
diteliti secara detail, oleh karena itu dilakukan penelitian dengan menggunakan GC-MS
untuk mengetahui kandungan senyawa organiknya dengan beberapa pelarut yaitu
metanol, etil asetat dan heksana. Metanol merupakan pelarut polar, etil asetat pelarut
semi polar, dan heksana pelarut non polar.

Penelitian ini bertujuan untuk:


1. Mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak sirih merah dengan menggunakan
pelarut metanol, etil asetat dan heksana terhadap bakteri perwakilan gram negatif
dan gram positif.
2. Mengetahui komponen senyawa organik dari ekstrak sirih merah yang diekstrak
dengan pelarut metanol, etil asetat dan heksana dengan menggunakan alat GC-MS

Bahan dan Metode


Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sirih merah, metanol, etil asetat
dan heksana yang diambil dari daerah Citeureup Bogor, HCl 2%, bismut nitrat, asam
asetat glasial, KI, HgCl2, akuades, HCl 10%, NH4OH, CHCl3, serbuk seng, etanol
absolut, HCl pekat, dietil eter, anhidrida asam asetat, H2SO4 pekat, FeCl3 1%, HCl 2N.
bakteri S.aureus, bakteri E.coli, bakteri B.substilis, bakteri P.aeruginosa, Tryptic Soy
Agar (TSA), NaCl, Kloramfenikol 30 g, akuades dan alkohol 70%.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah piala gelas, gelas ukur, corong,
kertas saring, rotary evaporator, kotak timbang, desikator, tabung reaksi, gelas ukur,
pipet tetes, neraca analitik, penangas air, pemusing, sengkelit (ose), pembakar spirtus,
mikropipet, makropipet, cawan petri, vakum, inkubator, jangka sorong, GC/MS merck
Aglient.

214
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Metode
Pembuatan Simplisia
Daun sirih merah yang digunakan diperoleh dari daerah Citeureup Bogor. Daun sirih
merah yang digunakan adalah daun yang berumur lebih dari satu bulan.
Daun sirih segar dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel (sortasi basah),
dicuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian ditiriskan untuk membebaskan
daun dari sisa air cucian. Daun yang telah bersih dan bebas dari air cucian dikeringkan
dalam oven pada temperatur 50 oC selama 24 jam, setelah kering lalu dihalushan
dengan blender hingga membentuk serbuk. Disimpan dalam wadah bersih dan ditutup
rapat.

Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan secara bertingkat. Sejumlah 100 gram simplisia serbuk sirih
merah diekstraksi dengan perbandingan pelarut 1:10 (b/v) (100 gram simplisia
dilarutkan dalam 1000 ml pelarut). Pelarut yang digunakan yaitu metanol. Proses
ekstraksi dilakukan selama 24 jam secara maserasi dengan pengadukan terus-menerus
dan setelah 24 jam filtrat disaring. Filtrat yang didapat selanjutnya diuapkan atau
dikentalkan dengan rotary evaporator, sehingga diperoleh ekstrak kental metanol
dengan hasil rendemen yang dapat ditimbang dan dicatat. Ampas lalu dikeringkan.
Ampas ditimbang dan dilakukan ekstraksi dengan pelarut etil asetat kemudian dengan
pelarut heksana dengan perlakuan yang sama dengan ekstraksi menggunakan pelarut
metanol, kemudian ditentukan kadar rendemennya. Ekstrak heksana lalu diuji fitokimia,
diuji potensi antibakterinya, dan dianalisis senyawa kimianya menggunakan GC-MS.

Pengujian Fitokimia
Alkaloid
Sebanyak 100 mg ekstrak sirih merah dari pelarut metanol, etil asetat dan heksana
masing-masing ditambahkan 5 ml HCl 10% dan amonia encer hingga pH 8, kemudian
diekstraksi dengan 20 ml kloroform, setelah itu kloroform dalam ekstrak diuapkan.
Kemudian ekstrak dilarutkan dengan 2 ml HCl 2%. Larutan tersebut dibagi menjadi tiga
tabung. Tabung pertama digunakan sebagai pembanding, tabung kedua ditambahkan
pereaksi Mayer dan tabung ketiga ditambahkan pereaksi Dragendorff. Alkaloid ada bila
terbentuk endapan berwarna jingga ketika ditambahkan pereaksi Dragendorff atau
terbentuk endapan berwarna putih ketika ditambahkan pereaksi Mayer.
Flavonoid
Sebanyak 100 mg ekstrak sirih merah dari pelarut metanol, etil asetat dan heksana
masing-masing dilarutkan dengan 100 ml air panas, kemudian dididihkan selama 5
menit lalu disaring. Sebanyak 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 mg serbuk Mg, 1 ml HCl
pekat dan 1 ml amil alkohol lalu dikocok kuat-kuat. Flavonoid ada bila terbentuk
larutan berwarna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.
Triterpenoid- steroid
Sebanyak 100 mg ekstrak sirih merah dari pelarut metanol, etil asetat dan heksana
masing-masing ditambahkan 25 ml dietil eter lalu dikocok. Lapisan dietil eter
dipisahkan dan ditambahkan 2-3 tetes pereaksi Liebermann-Burchard. Triterpenoid ada
bila terbentuk larutan berwarna biru dan steroid ada bila terbentuk larutan berwarna
215
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

hijau. Pereaksi Liebermann-Burchard dibuat dengan cara mencampurkan anhidrida


asam asetat dan H2SO4 pekat (1:1).

Tanin
Sebanyak 100 mg ekstrak sirih merah dari pelarut metanol, etil asetat dan heksana
masing-masing ditambahkan 2 ml akuades dan kemudian ditambahkan 2-3 tetes FeCl3
1%. Tanin ada bila terbentuk larutan berwarna biru tua atau hijau kehitaman.
Saponin
Sebanyak 100 mg ekstrak sirih merah dari pelarut metanol, etil asetat dan heksana
masing-masing ditambahkan 10 ml akuades panas, didinginkan, dan dikocok kuat
selama 10 menit. Saponin ada bila terbentuk busa yang mantap dan pada penambahan 1
tetes HCl 2N busa tetap stabil.

Pengujian Aktivitas Antibakteri


Uji daya hambat dilakukan dengan metode difusi sumur (Well) Kirby Bauer. Hasil
uji daya hambat antibakteri didasarkan pada pengukuran diameter daerah hambat
(DDH) pertumbuhan bakteri yang terbentuk di sekeliling lubang . Masing-masing
ekstrak sirih merah dengan kadar 1g/ml, kloramfenikol (sebagai kontrol positif),
akuades (sebagai kontrol negatif) ditetesi sebanyak 50l dengan menggunakan pipet
mikro kedalam media Tryptic Soy Agar (TSA) yang sudah dilubangi dengan vacum
yang masing-masing telah diinokulasi bakteri uji E.coli, S.aureus, B.substillis, dan
P.aeruginosa, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Pengujian
dilakukan dengan 3 kali pengulangan.

Analisis Kandungan Senyawa Kimia


Sampel ekstrak sirih merah dari pelarut metanol, etil asetat dan heksana masing-
masing dianalisis dengan GC/MS merck Aglient untuk mengetahui senyawa organik
yang terkandung di dalamnya. Sebanyak 1 ml ekstrak disaring menggunakan membran
filter yang berdiameter pori 0,45 m dan siap diinjeksikan. Volume filtrat yang
diinjeksikan adalah 10 l. Suhu injektor diset pada suhu 270 C. Helium sebagai gas
pembawa diatur pada kecepatan tetap 10 ml/menit. Suhu kolom Inowax (p = 30 m, =
0,25 mm) diprogram dari 80 C sampai 280 C dengan kecepatan kenaikan suhu 10
C/menit. Spektrum massa yang diperoleh kemudian diidentifikasi dengan cara
membandingkannya dengan library Wiley7Nist05.L yang memuat 62.345 spektrum
massa senyawa yang telah diketahui.

Hasil dan Pembahasan


Hasil
Hasil penetapan kadar air terhadap simplisia sirih merah adalah sebesar 6,47%.
Ekstrak metanol yang diperoleh sebesar 21,82%, ekstrak etil asetat yang diperoleh
sebesar 7,97%, dan ekstrak heksana yang diperoleh sebesar 2,59%.

216
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hasil uji fitokimia ekstrak metanol sirih merah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil uji Fitokimia Ekstrak Sirih Merah

Senyawa uji Estndar Metanol Etil asetat heksan


Alkaloid
a. Dragendorf Endapan jingga - - +
b. Mayer Endapan putih - - +
Flavonoid Larutan merah/kuning/jingga - - -
Triterpenoid-
Larutan biru/hijau + + +
Steroid
Tanin Larutan biru tua/hijau
+ + +
kehitaman
Saponin Terbentuk busa yang stabil - - -

Hasil pengujian DDH pada control negatif (akuades) menunjukkan hasil yang
negatif sedangkan pada control positif (kloramfenikol) menunjukkan hasil yang positif
ditunjukkan dengan adanya zona daya hambat. Hasil pengujian DDH ekstrak etil asetat
dan heksana menunjukkan hasil yang negatif karena tidak menunjukkan zona daya
hambat pada bakteri S.aureus, bakteri E.coli, bakteri B.substilis, dan bakteri
P.aeruginosa, hal ini disebabkan karena zat aktif yang berfungsi sebagai antibakteri
hanya sedikit jumlahnya.
Ekstrak metanol menunjukkan zona daya hambat pada bakteri S.aureus, bakteri
E.coli, bakteri B.substilis, dan bakteri P.aeruginosa, hasil pengukuran DDH ekstrak
metanol sirih merah pada bakteri S.aureus adalah 19,5 mm, bakteri E.coli adalah 16,7
mm, bakteri B.substilis adalah 16,5 mm, sedangkan bakteri P.aeruginosa adalah 15,7
mm.

Hasil uji aktivitas Antibakteri dapat dilihat pada Tabel 2,

Tabel 2. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri


Bahan yang diuji Ulangan Diameter Daya Hambat (mm)
S.aureus E.coli B.substilis P.aeruginosa
Kloramfenikol 1 29,7 27,1 26,9 13,1
(kontrol positif) 2 29,8 27,5 27,1 12,7
3 29,6 27,3 27,0 12,6
Rata-rata 29,7 27,3 27,0 12.8
Akuades 1 - - - -
(Kontrol negatif) 2 - - - -
3 - - - -
Rata-rata - - - -
Ekstrak metanol 1 19,5 17,3 16,4 15,9
sirih merah 2 18,9 16,7 16,2 15,1
3 20,1 16,2 16,9 16,2
Rata-rata 19,5 16,7 16,5 15,7
Ekstrak etil 1 - - - -
asetat sirih 2 - - - -

217
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

merah 3 - - - -
Rata-rata - - - -
Ekstrak heksana 1 - - - -
sirih merah 2 - - - -
3 - - - -
Rata-rata - - - -

Hasil identifikasi senyawa organik menggunakan GC/MS merck Aglient dan


spektrum massa yang diperoleh diidentifikasi dengan cara membandingkannya dengan
library
Wiley7Nist05.L terhadap ekstrak metanol sirih merah dapat dilihat pada Tabel 3,
ekstrak etil asetat sirih merah pada Tabel 4, sedangkan terhadap ekstrak heksana sirih
merah pada Tabel 5.

Tabel 3. Hasil Identifikasi Seyawa Organik Ekstrak Metanol Sirih Merah


Waktu Retensi Golongan
No Senyawa Kimia
(menit)
1 8,968 Caryophyllene seskuiterpenoid
2 9,276 (+)-beta funebrene seskuiterpenoid
3 9,717 Germacrene-D seskuiterpenoid
2,6-Dimetil-3-(methoxymethyl)- Tropolon
4 10,525
benzoquinone
5 10,966 Beta-Bisabolene seskuiterpenoid
6 13,596 neophytadiene Diterpenoid
7 14,522 Methyl Palmitate Ester
8 16,447 Methyl Stearate Ester
9 19,327 Stigmasterol steroid

Tabel 4. Hasil Identifikasi Seyawa Organik Ekstrak Etil Asetat Sirih Merah
Waktu Retensi
No Senyawa Kimia Golongan
(menit)
1 3,117 Sabinene monoterpenoid
2 6,159 4-Vinylphenol Fenol
3 8,365 Alpha -Copaene seskuiterpenoid
4 8,498 Calarene seskuiterpenoid
5 8,615 Zingiberene seskuiterpenoid
6 8,968 Caryophyllene seskuiterpenoid
7 9,409 Alpha-Humulene seskuiterpenoid
8 9,614 Benzene, 1-(1,5-dimethyl-4-hexenyl)-4-methyl seskuiterpenoid
9 9,717 Germacrene D seskuiterpenoid
10 9,967 alpha-Cedrene seskuiterpenoid
11 10,143 beta-Sesquiphellandrene seskuiterpenoid
10,393
12 beta-Bisabolene seskuiterpenoid
10,981
13 13,596 Neophytadiene Diterpenoid
14 14,507 Methyl Palmitate Ester
15 16,344 Phytol Diterpenoid

218
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 5. Hasil Identifikasi Seyawa Organik Ekstrak Etil Asetat Sirih Merah
Waktu Retensi
No Senyawa Kimia Golongan
(menit)
1 3,091 Sabinene monoterpenoid
2 3,767 Limonene Monoterpenoid
3 6,549 Linalyl acetate monoterpenoid
4 8,498 Calarene seskuiterpenoid
5 8,953 Caryophyllene seskuiterpenoid
6 9,276 Beta-Funebrene seskuiterpenoid
7 9,703 Germacrene D seskuiterpenoid
8 10,952 Beta-Bisabolene seskuiterpenoid
9 14,096 4-(1-Cyclohepten-1-yl)morpholine Alkaloid
10 14,493 Methyl palmitate Ester
11 19,327 Stigmasterol steroid

Ketiga ekstrak sirih merah mengandungn senyawaan seskuiterpenoid.


Seskuiterpenoid umumnya berfungsi sebagai senyawa antibakteri, antiinflamasi, dan
insektisida.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap ekstrak metanol, ekstrak etil asetat dan ekstrak
heksana sirih merah, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Ekstrak metanol memiliki Diameter Daya Hambat (DDH) terhadap:
(1). S. aureus sebesar 29,7 mm
(2). E. coli sebesar 27,3 mm
(3). B.substillis sebesar 27,0 mm
(4). P.aeruginosa sebesar 12,8 mm

2. Hasil identifikasi senyawa organik dengan GC/MS diketahui bahwa ekstrak metanol
mengandung berbagai senyawa organik yang memiliki efek antibakteri seperti
Caryophyllene, (+)-beta funebrene, Germacrene-D, 2,6-Dimetil-3-
(methoxymethyl)-benzoquinone, Beta-Bisabolene, neophytadiene.

Saran
1. Perlu dilakukan penelitian menggunakan kapang-kamir patogen seperti
Aspergilus Niger dan Candida albicans
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui senyawa
yang paling kuat daya antibakterinya dengan cara pemisahan senyawa-
senyawa dengan metoda KLT dan diuji kembali aktivitas antibakterinya
dan diidentifikasi senyawa organiknya dengan GC/MS.

219
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar Pustaka
DepKes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: DirJen POM.
DepKes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
DirJen POM. Hlm 1, 5, 10-11.
Dwidjoseputro. 1990. Dasar-dasar Mikrobiologi. Edisi ke-11. Djambatan. Jakarta.
Fessenden, R.J. dan Fessenden, J,S. 1983. Kimia Organik. Edisi ketiga. Jilid kedua.
Erlangga. Jakarta.
Gritter, R. J. Bobbit, J.M. dan Schwartting, A. E. 1991. Pengantar Kromatografi.
Edisi kedua. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Farina, I. S. 2008. Penelusuran Senyawa Aktif Dalam Ekstrak Daun Sirih Merah
(Piper cf. fragile Benth.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Pakuan.
Harborne, J.B. 1975. The Flavonoid. Edisi kesatu. Chapman and Hall. London.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Hendayana., S. dkk. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Edisi kesatu. IKIP Semarang.
Semarang.
Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenil Propanoida dan Alkaloida. USU
Respository.
Madigan, Michael T. and John M Martinko. 2006. Brock Biology of
Microorganism. USA: Pearson Education Inc.
Pelezar, M. J. Jr dan E. C. S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi.
Diterjemahkan oleh Hadioetomo, R. S. dkk. Jakarta: UI Press.
Pelezar, M. J. Jr dan E. C. S. Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi 2.
Diterjemahkan oleh Hadioetomo, R. S. dkk. Jakarta: UI Press.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Institut Teknologi
Bandung. Bandung.
Siswandono dan B. Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Universitas Airlangga.
Surabaya.
Suradikusumah, E. 1989. Kimia Tumbuhan. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayati, Institut Pertanian Bogor.
Syahrurahman, A. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi.
Binarupa Aksara. Jakarta.Drugs. Unido, Bukarest.

220
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Potensi Ekstrak Air Dan Etanol Kulit Batang Kayu Manis


Padang (Cinnamomum Burmannii) dan Jawa (Cinnamomum
Verum) Terhadap Aktivitas Enzim -Glukosidase
Made B. Anggriawan*1, Anna P. Roswiem1, dan Waras Nurcholis2
1
Sekolah Tinggi Teknologi Industri dan Farmasi (STTIF) Bogor.
Jl. Kumbang No. 23 Bogor
2
Departemen Biokimia, FMIPA, IPB Bogor. Jl. Agatis Kampus IPB
Darmaga, Bogor 16680
*Email : made.bayuanggriawan@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian mengenai uji aktivitas ekstrak air dan etanol 30%, 70%, serta 96% dari kulit
batang kayu manis Padang dan Jawa (Cinnamomum burmannii dan Cinnamomum verum)
terhadap enzim -glukosidase secara in vitro telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk
menguji aktivitas inhibisi ekstrak air dan etanol (30%, 70% dan 96%) dari kulit batang kayu
manis Padang dan Jawa terhadap aktivitas enzim -glukosidase (dengan akarbosa sebagai
kontrol positif), identifikasi senyawa pada ekstrak-ekstrak yang mempunyai daya inhibisi
tertinggi dengan GC-MS pyrolisis serta uji fitokimianya. Kulit batang kayu manis di
ekstraksi dengan metode maserasi 3 kali 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ekstrak air dan etanol 30% kayu manis Padang serta ekstrak etanol 30% kayu manis Jawa
mempunyai daya inhibisi berturut-turut sebesar 94.88%, 94.51%, dan 94.06% yang tidak
berbeda nyata dengan daya inhibisi -glukosidase dari akarbosa 1%. Hasil fitokimia
menunjukkan kandungan flavonoid, tanin, dan senyawa fenolik pada ketiga ekstrak tersebut.
Sedangkan hasil analisis kualitatif pada ketiga ekstrak dengan Py-GC-MS menunjukkan
adanya senyawa fenolik-fenolik sederhana seperti pyrocatechol, catechol, guaiacol,dan
hidroquinone yang di duga merupakan hasil penguraian senyawa golongan polifenol. Selain
itu, pada ekstrak etanol 30% Cinnamomum verum terdeteksi adanya kandungan senyawa
turunan triterpenoid yaitu methylsqualene dan Urs-12-en-28-al.

Kata Kunci : Antidiabetes, Cinnamomum burmannii, Cinnamomum verum, Enzim -


Glukosidase, Py-GC-MS.

Pengantar
Diabetes melitus saat ini telah menjadi epidemik dengan kejadian di seluruh dunia
sekitar 5 % dari semua populasi (Jarald et al., 2008). Menurut WHO, prevalensi
penyakit diabetes melitus akan tumbuh dari 171 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta
di tahun 2030 (Cetto et al., 2007). Indonesia berada di urutan ke- 4 setelah India, China
dan Amerika dengan jumlah penderita diabetes sebesar 8,4 juta orang dan diperkirakan
akan terus meningkat hingga 21,3 juta orang di tahun 2030 (Depkes, 2010).
Pengobatan diabetes melitus dapat dilakukan dengan pemberian insulin, obat
hipoglikemik oral baik obat sintetis maupun obat herbal (Wadkar et al., 2007). Obat-
obat sintesis selain harganya mahal biasanya mempunyai efek samping yang merugikan

221
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

kesehatan. Sejak 1997, WHO merencanakan program hidup sehat melalui back to
nature (Setiadi & Sarwono, 2007). Banyaknya penggunaan herbal alam sebagai obat
menimbulkan keinginan banyak peneliti untuk menemukan obat antidiabetes dari bahan
alam yang telah digunakan secara turun temurun. Kulit batang kayu manis dapat
digunakan untuk menurunkan kadar gula dalam darah dan sebagai pengobatan diabetes
tipe 2, dengan mengkonsumsi setengah sendok teh kayu manis perhari.
Tanaman kayu manis merupakan tanaman yang sering dijumpai di daerah tropis,
merupakan tanaman famili Lauraceae dengan jumlah spesies yang beragam. Tanaman
kayu manis yang telah diteliti memiliki efek antidiabetes antara lain Cinnamomum
zeylanicum (Cinnamomum verum), Cinnamomum burmannii dan Cinnamomum cassia.
Ekstrak metanol dari Cinnamomum zeylanicum yang diperoleh dengan cara sokletasi
selama 8 jam, diketahui memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim -glukosidase
sebesar 78,2% dengan kandungan kimia antara lain tanin, flavonoid, glikosida,
terpenoid, kumarin dan antrakuinon (Shihabudeen et al., 2011). Penelitian mengenai
Cinnamomum burmannii sebagai antidiabetes telah dilakukan oleh Apriani (2012)
melalui fraksinasi ekstrak etanol 80% dengan petroleum eter, etil asetat, n-butanol dan
air. Hasil pengujian terhadap enzim -glukosidase menunjukkan IC50 terbaik yaitu pada
fraksi n-butanol 1,168 g/mL. Peneliti lain menyatakan bahwa serbuk Cinnamomum
cassia mampu menghambat enzim -glukosidase dalam berbagai konsentrasi. Hasil uji
inhibisi menunjukkan aktivitas penghambatan bubuk kulit kayu manis sebesar 45,31%
dengan nilai IC50 sebesar 55,02 ppm (Sarjono et al., 2010).
Suatu penelitian juga telah menunjukkan bahwa bahan aktif dalam kayu manis yaitu
sinamaldehida dapat menurunkan kadar glukosa plasma pada tikus diabetes (Ping et al.,
2010). Selain itu kayu manis dapat mengontrol glukosa darah karena mengandung
senyawa polimer tipe-A polifenol (Ziegenfuss et al., 2006 ; Anderson, 2008). Penelitian
lain yang dilakukan Cao et al (2007) juga menyatakan dengan adanya senyawa
golongan polifenol dalam ekstrak Cinnamomum sp dapat mencegah sekresi IR (Insulin
Resisten), dan GLUT4 (Glucose Transporter-4) dalam adiposit 3T3-L1 sehingga
menurunkan kadar gula dalam darah (Vaibhavi et al., 2010).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji aktivitas penghambatan ekstrak air
dan etanol (30, 70, dan 96%) kulit batang kayu manis Jawa (Cinnamomum verum) dan
kulit batang kayu manis Padang (Cinnamomum burmannii) terhadap enzim -
glukosidase, serta mengidentifikasi senyawa yang terkandung dalam ekstrak tersebut
yang memiliki daya inhibisi terhadap enzim -glukosidase tertinggi. Dari hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat bahwa
ekstrak air dan etanol kulit batang kayu manis Jawa (Cinnamomum verum) dan kulit
batang kayu manis Padang (Cinnamomum burmannii) dapat digunakan untuk
pengobatan diabetes alternatif.

222
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Bahan dan Metode


Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bagian kulit batang dari
Cinnamomum burmannii dan Cinnamomum verum yang berasal dari kebun percobaan
Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB daerah Cikabayan, Bogor. Akuades, etanol 30%,
70%, dan 96%, NaOH 10%, metanol, HCl Pekat, amil alkohol, serbuk magnesium
(Mg), larutan FeCl3 1 %, enzim -glukosidase berasal dari Bacilus stearothermophilus
(Sigma G 3651-250UN), p-nitrofenil -D-glukopiranosida (pNPG) (Sigma N 1337-
5G), tablet Glucobay (Akarbosa) (Bayer, Jakarta-Indonesia), HCl 2 N,
dimetilsulfoksida (DMSO), larutan Na2CO3, serum bovin albumin (SBA), bufer fosfat
pH 7, reagen Molisch, H2SO4 pekat, dan CuSO4 0.1%.
Alat-alat yang digunakan adalah tanur (VULCAN, 3-550PD), penguap putar (rotary
evaporator) (BUCHI, R-250, Switzerland), perangkat instrumen microplate reader
(Epoch Microplate Spectrophotometer), microplate (Thermo Scientific NUNC),
micropipet (Thermo Scientific), gas helium, kolom kapiler tipe RTX-5MS (60 m),
detektor FID, dan Pyrolysis Gas Chromatography Mass Spectrophotometer
(SHIMADZU GCMS-QP2010, Tokyo).

Metode
Preparasi Simplisia
Kulit batang kayu manis Padang (C.burmannii) yang telah berusia 8 tahun dan kulit
batang kayu manis Jawa (C.verum) yang berusia 15 tahun di ambil dari kebun LPPM
IPB daerah Cikabayan, Bogor. Selanjutnya kedua sampel di determinasi di Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk memastikan keabsahan sampel yang akan di
uji (hasil determinasi tidak dilampirkan). Kedua sampel di cuci dan dibersihkan dari
pengotor yang mungkin melekat pada sampel. Selanjutnya sampel dirajang dan
dikeringkan di bawah sinar matahari sehingga diperoleh simplisia kering. Pengeringan
dilakukan selama 1 minggu di bawah sinar matahari. Untuk mempercepat proses
pengeringan, maka dilakukan pengeringan dengan oven selama 24 jam. Pengeringan ini
bertujuan untuk mencegah pertumbuhan jamur serta untuk memperpanjang daya
simpan simplisia. Selain itu bertujuan untuk mempermudah proses pemekatan setelah
proses ekstraksi, karena dengan kandungan air yang tinggi akan mempengaruhi proses
ekstraksi. Setelah kulit batang C.burmannii dan C.verum kering, maka dilakukan
penggilingan sampai membentuk serbuk berukuran 60 mesh.

Penentuan Kadar Air (AOAC, 1995)


Penentuan kadar air sampel sebelum ekstraksi dilakukan untuk memberikan batasan
minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan, dimana nilai
maksimal atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi
(Ditjen POM, 2000). Penentuan kadar air juga berhubungan dengan daya simpan
simplisia, sehingga jika melebihi batas yang ditentukan akan sangat mempengaruhi
waktu kadaluarsa (self life) dari simplisia tersebut.

223
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Penentuan Kadar Abu (AOAC, 1995)


Penentuan kadar abu simplisia bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral
dalam simplisia uji.

Ekstraksi
Sebanyak 25 gram simplisia yang telah dikeringkan dimaserasi dengan pelarut air,
etanol 30%, 70% dan 96% masing masing sebanyak 250 mL selama 1 hari pada suhu
kamar di dalam maserator. Rendaman disaring menggunakan kertas saring halus dan
filtratnya disimpan. Residu direndam kembali dalam pelarut yang sama selama 24 jam
dan dilakukan sebanyak 3 kali 24 jam. Filtrat yang diperoleh dijadikan 1 kemudian
dipekatkan dengan penguap putar sehingga diperoleh ekstrak kasar air, etanol 30%,
70%, dan 96%. Ekstrak yang telah dipekatkan selanjutnya diuji aktivitas inhibisinya
terhadap enzim -glukosidase dan untuk ekstrak dengan daya inhibisi tertinggi
diidentifikasi kandungan senyawa aktifnya dengan uji fitokimia (metode Harborne
(1987) yang dimodifikasi) dan analisis Py-GC-MS.

Uji Inhibisi -Glukosidase


Uji in vitro ekstrak kulit batang kayu manis Jawa dan kayu manis padang terhadap
aktivitas enzim -glukosidase dilakukan dengan cara menyiapkan larutan enzim terlebih
dahulu, yakni dibuat dengan melarutkan 1 mg -glukosidase dalam larutan bufer fosfat
(pH 7) 0.01 M yang mengandung 200 mg serum bovin albumin. Sebelum digunakan
sebanyak 1 ml larutan enzim tersebut diencerkan 25 kali dengan bufer fosfat (pH 7).
Kedua sampel yang akan diuji dalam masing-masing ekstrak, dilarutkan dalam pelarut
dimetil sulfoksida (DMSO) dengan konsentrasi 1, 1.5, dan 2% (b/v). Campuran
pereaksi terdiri dari 25 l p-nitrofenil -D-glukopiranosida (p-NPG) 0.5 mM sebagai
substrat (yang telah dilarutkan dalam bufer fosfat (pH 7) 0.1 M , 50 l larutan bufer
fosfat (pH 7) 0.1 M, dan 10 l larutan sampel dalam dimetil sulfoksida (DMSO)
konsentrasi 1, 1.5, dan 2% (b/v). Setelah itu ditambahkan 25 l larutan enzim -
glukosidase, kemudian campuran diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Reaksi
enzim dihentikan dengan penambahan 100 l sodium karbonat (Na2CO3) 0.2 M.
Absorbans dari p-nitrofenol yang merupakan hasil hidrolisis enzimatis dari substrat p-
NPG diukur dengan microplate reader pada panjang gelombang maksimum () 410 nm
(Sancheti et al., 2009).
Selain sampel uji, juga disiapkan campuran ekstrak tanpa direaksikan dengan enzim
(So) yang digunakan sebagai koreksi terhadap absorban ekstrak. Untuk kontrol negatif
(C) merupakan campuran tanpa ekstrak/sampel uji. Kontrol positif dibuat dengan
melarutkan tablet akarbosa (Glucobay) dalam bufer fosfat (pH 7) dan HCl 2 N dengan
konsentrasi larutan standar yang digunakan sama dengan konsentrasi 1% (b/v). Larutan
ini kemudian disentrifuse, supernatant dimasukkan ke dalam campuran pereaksi seperti
pada sampel uji (10 l). Hasil reaksi tersebut diukur dengan spektrofotometer ultraviolet
pada panjang gelombang 410 nm. Data kontrol positif ini digunakan sebagai
pembanding dengan sampel yang diuji. Setiap pengujian diulang sebanyak 2 kali.

224
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Masing-masing sampel uji dihitung persen inhibisinya dengan menggunakan


persamaan sebagai berikut :

% Inhibisi =

Keterangan : C = Absorban campuran tanpa ekstrak; So = Absorban campuran tanpa


enzim namun dengan ekstrak; S1 = Absorban campuran dengan enzim dan ekstrak.
Data hasil pengujian aktivitas enzim -glukosidase menggunakan rancangan
percobaan yaitu rancangan acak lengkap (RAL) yang selanjutnya dianalisis dengan
ANOVA, beda nyata ditindak lanjuti dengan uji Duncan. Hidrolisis pNPG oleh enzim
-glukosidase terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hidrolisis pNPG oleh enzim -glukosidase (Purwatresna, 2012)

Uji Fitokimia
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponen-komponen
bioaktif yang terdapat pada sampel uji. Uji fitokimia difokuskan pada pengujian
flavonoid, tanin, fenolik hidrokuinon, karbohidrat, dan protein. Uji fitokimia tanin,
fenolik hidrokuinon dengan metode Harborne (1987) yang dimodifikasi; uji karbohidrat
dengan uji Molisch dan uji protein dengan uji Biuret.

Identifikasi Senyawa Dengan Gas Chromatography Mass Spectrophotometry (GC-


MS)
Sampel ekstrak dengan daya inhibisi tertinggi selanjutnya dianalisis dengan
Pyrolysis Gas Chromatography - Mass Spectrofotometer (Py-GC-MS) untuk
mengetahui senyawa organik yang terkandung di dalamnya. Sebanyak 20 mg ekstrak
dimasukkan ke dalam ruang kuarsa dalam pirolisis unit yang kemudian dipanaskan
dalam lingkungan bebas oksigen pada suhu 400oC. Suhu injektor/injet adalah 280oC
dan suhu interface 280oC. Kolom yang digunakan adalah kolom kapiler tipe Rtx-5MS
dengan panjang 60 m, diameter 0,25 mm dan film 0,25 mmID, yang berisi 5% Dipenyl
dan 95% Methyl Polysiloxane. Suhu oven diset pada suhu awal 50oC selama 6 menit,
kemudian meningkat hingga suhu 280oC dengan laju kenaikan suhu 10oC/menit dan
akhirnya dibiarkan pada suhu 280oC selama 21 menit. Helium sebagai gas pembawa
(carries gas)/fase gerak diset pada kecepatan tetap 20 mL/menit. Spektrometri massa
diset dengan Temperature Ion Source 200oC, Energy 70 ev dan Setting Mass Range
(BM) antara 40 sampai dengan 600 m/z.

225
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hasil dan Pembahasan


Penentuan Kadar Air Dan Abu
Kadar air rerata yang diperoleh dari serbuk kulit batang kayu manis Padang
(C.burmannii) adalah 5.15% dan kadar air rerata untuk kulit batang kayu manis Jawa
(C.verum) adalah 6.10%. Nilai rerata yang diperoleh artinya bahwa dalam 100 gram
kayu manis Padang dan Jawa terdapat 5.145 gram dan 6.099 gram air. Hal ini
menunjukkan bahwa simplisia kulit batang kayu manis Padang dan Jawa dapat
disimpan dalam jangka waktu yang lama. Menurut Rismunandar dan Farry (2001)
kadar air dari C.burmannii dan C.verum secara berturut-turut adalah 10.50% dan
12.20%. Perbedaan yang signifikan dapat diakibatkan karena perbedaan lamanya proses
pengeringan, dapat juga dikarenakan perbedaan umur dari tanaman tersebut. Penentuan
kadar air berhubungan dengan daya simpan simplisia, sehingga jika melebihi batas yang
ditentukan akan sangat mempengaruhi waktu kadaluarsa (self life) dari simplisia
tersebut. Kadar air yang dipersyaratkan dalam simplisia adalah kurang dari 10%.
Dengan adanya kadar air yang tinggi dapat mengakibatkan tumbuhnya jamur ataupun
mikroorganisme lain dalam simplisia sehingga dapat mempengaruhi daya simpannya.
Penentuan kadar abu bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya mineral dalam
simplisia. Kandungan mineral dalam penelitian ini ditentukan karena obat antidiabetik
oral maupun suplemen untuk penderita diabetes yang beredar dipasaran ada yang
mengandung mineral seperti : kromium (Cr), magnesium (Mg), dan natrium (Na).
Suplemen untuk penderita diabetes yang mengandung kromium, magnesium dan
natrium dapat meningkatkan sensitifitas reseptor insulin (Campbell and Richard, 2012).
Anderson (2008) menyatakan kandungan kromium dalam kayu manis dapat
meningkatkan sensitifitas reseptor insulin sehingga dapat mengontrol kadar gula dalam
darah. Nilai rerata kadar abu kulit batang kayu manis Padang yang diperoleh pada
penelitian ini adalah 1.79%, sedangkan nilai rerata kadar abu kulit batang kayu manis
Jawa adalah 3.94%. Rismunandar dan Farry (2001) menyatakan kadar abu untuk
simplisia C.burmannii dan C.verum berturut-turut adalah 2.20% dan 3.42%. Nilai kadar
abu yang diperoleh sedikit berbeda yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara
lain lamanya proses tanur, ada tidaknya kandungan mineral dalam tanah tempat
tumbuhnya kayu manis, atau pada saat pengarangan tidak sempurna. Nilai kadar abu
dan kadar air dari kulit batang kayu manis Padang dan Jawa dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai kadar air dan kadar abu simplisia kulit batang kayu manis Padang dan Jawa
Kayu manis Kadar air (%) Kadar abu (%)
Padang 5.15 0.09 1.79 0.01
Jawa 6.10 0.22 3.94 0.00

Ekstraksi Simplisia Kulit Batang Kayu Manis Padang Dan Jawa Dengan Air Dan
Etanol (30%, 70%, Dan 96%)
Ekstrak yang diperoleh dari proses penguapan pelarut adalah berbentuk
serbuk/ekstrak kering baik dari kulit batang kayu manis Padang maupunpun Jawa. Nilai
rerata rendemen untuk masing-masing ekstrak dari kedua simplisia disajikan dalam
gambar 1. Pada ekstrak kayu manis Padang semakin tinggi konsentrasi etanol semakin
banyak zat yang terekstraksi yaitu 29.25% untuk ekstrak etanol 96%, tetapi pada ekstrak

226
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

kayu manis Jawa rendemen tertinggi diperoleh pada ekstrak etanol 70% yaitu 16.28%.
Perbedaan rendemen ekstrak air dan etanol karena memang terdapat perbedaan sifat air
dan etanol. Etanol selain bersifat polar, juga bersifat semi polar sehingga mampu
menarik senyawa yang bersifat semi polar. Rendemen ekstrak etanol yang lebih tinggi
jika dibandingkan dengan rendemen ekstrak air menunjukkan bahwa metabolit
sekunder pada kulit batang kayu manis Padang dan Jawa lebih banyak yang bersifat
semipolar dibandingkan senyawa polar.

35
29,25
30 27,53
25
% Rendemen

ekstrak air
20 16,28 ekstrak etanol 30%
15 14,08
ekstrak etanol 70%
10 6,82 8,01
ekstrak etanol 96%
5,16
5 3,64
0
Kayu manis Padang Kayu manis Jawa

Gambar 1. Persentase rerata rendemen ekstrak air dan etanol (30%, 70% dan 96%) kulit
batang kayu manis Padang dan Jawa

Inhibisi Enzim -Glukosidase Oleh Ekstrak Air Dan Etanol Kayu Manis Padang Dan
Jawa
Uji daya inhibisi enzim -glukosidase dilakukan terhadap ekstrak air dan etanol
(30%,70%, dan 96%) kulit batang kayu manis Padang (C.burmannii) dan kayu manis
Jawa (C.verum). Masing-masing ekstrak dibuat 3 konsentrasi yang berbeda yaitu 1%,
1.5%, dan 2%. Tujuan dibuatnya 3 konsentrasi yang berbeda adalah untuk mengetahui
efektifitas inhibisi dari masing-masing ekstrak, serta untuk mengetahui perbedaan
aktivitas inhibisi ekstrak terhadap glucobay (akarbosa) 1% yang merupakan kontrol
positif. Larutan yang digunakan sebagai kontrol negatif adalah DMSO yang juga
digunakan sebagai pelarut ekstrak.
Pengukuran daya inhibisi berdasarkan absorbansi p-nitrofenol yang dihasilkan dari
hidrolisis substrat (p-nitrofenil -D-glukopiranosida) menjadi p-nitrofenol (berwarna
kuning) dan D-glukosa oleh enzim -glukosidase. Intensitas warna kuning p-nitrofenol
yang dihasilkan akan mempengaruhi nilai absorbansi yang diperoleh. Semakin besar
aktivitas inhibisi ekstrak maka jumlah p-nitrofenol yang dihasilkan semakin sedikit
sehingga intensitas warna kuning akan berkurang.
Hasil penelitian menunjukkan ekstrak air dan etanol C.burmannii dan C.verum
mampu menghambat aktivitas enzim -glukosidase. Dari gambar 3 di atas terlihat
bahwa ekstrak air kayu manis Padang 1.5%, ekstrak etanol 30% kayu manis Padang

227
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

1.5%, dan ekstrak etanol 30% kayu manis Jawa 2% memiliki daya inhibisi aktivitas
enzim -glukosidase tertinggi, berturut-turut sebesar 94.51%, 94.88%, dan 94.06%.
Daya inhibisi tersebut tidak berbeda nyata dengan daya inhibisi terhadap enzim -
glukosidase dari glukobay (akarbosa) 1% yaitu 100.03%. Daya inhibisi C.burmannii
dan C.verum pada masing-masing ekstrak tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Hal tersebut disebabkan karena hasil uji fitokimia (tabel 2) dari masing-masing ekstrak
mengandung metabolit sekunder yang sama.

Gambar 3. Aktivitas inhibisi ekstrak air dan etanol kulit batang C.burmannii dan C.cassia :
B1 Air = Ekstrak air C.burmannii, B2 30 = Ekstrak etanol 30% C.burmannii,
B3 70 = Ekstrak etanol 70% C.burmannii, B4 96 = Ekstrak etanol 96%
C.burmannii, C1 Air = Ekstrak air C.verum, C2 30 = Ekstrak etanol 30%
C.verum, C3 70 = Ekstrak etanol 70% C.verum, C4 96 = Ekstrak etanol 96%
C.verum, dan GB = Glucobay 1%. Huruf yang sama pada persen inhibisi
menyatakan tidak berbeda nyata pada P 0.05, n=2

Hasil Analisis Fitokimia dan GC-MS


Analisis senyawa fitokimia merupakan uji pendahuluan yang bersifat kualitatif dan
bertujuan untuk mengetahui kandungan metabolit primer/sekunder yang terdapat dalam
sampel. Hasil uji fitokimia dari ekstrak dengan daya inhibisi tertinggi terlihat pada tabel
2. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada semua ekstrak uji mengandung flavonoid,
senyawa fenolik, tanin, dan karbohidrat. Dari hasil fitokimia yang sama pada setiap
ekstrak uji inilah yang menyebabkan daya inhibisi masing-masing ekstrak kayu manis
tidak berbeda nyata. Sedangkan untuk pengujian protein menunjukkan bahwa hanya
ekstrak etanol 30% C.verum yang mengandung protein, kemungkinan dengan adanya
protein ini akan membentuk kompleks dengan senyawa fenol dan meningkatkan daya
inhibisinya terhadap enzim -glukosidase.

228
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pengujian karbohidrat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya karbohidrat dalam


ekstrak kayu manis, di mana karbohidrat yang berikatan dengan senyawa fenol
membentuk glikosida (gula bukan pereduksi) sehingga walaupun ada kandungan gula
pada kayu manis tersebut, penderita diabetes yang mengkonsumsi ekstrak kayu manis
tersebut tidak akan meningkatkan kadar gula darahnya. Uji protein bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya protein yang berikatan dengan senyawa fenol, karena dengan
adanya ikatan kompleks tersebut dapat mempengaruhi atau meningkatkan inhibisi
terhadap enzim -glukosidase (Harborne, 1987).

Tabel 2. Hasil pengujian fitokimia terhadap ekstrak dengan daya inhibisi terbaik
C.burmannii dan C.verum
Uji fitokimia Ekstrak air Ekstrak etanol 30% Ekstrak etanol
C.burmannii C.burmannii 30% C.verum
Flavonoid ++ +++ +++
Senyawa Fenolik ++ ++ +++
Tanin +++ +++ +++
Karbohidrat + + ++
Protein - - +
Keterangan : (-): negatif, (+): Positif lemah, (+ +): positif kuat, (+ + +): positif sangat kuat

Pengujian fitokimia yang telah dilakukan Shibudeen et al. (2011) ekstrak metanol
kayu manis (C.zeylanicum/C.verum) mengandung tanin, flavonoid, glikosida, terpenoid,
kumarin dan antrakuinon. Apriani (2012) menyatakan fraksi n-butanol dari ekstrak
etanol 80% C.burmannii menunjukkan daya inhibisi tertinggi, secara fitokimia
mengandung flavonoid, glikosida, dan tanin. Sedangkan fraksi air dari ekstrak etanol
80% C.burmannii menunjukkan adanya glikosida, flavonoid, tanin, dan saponin. Hal ini
memperkuat dugaan senyawa fenol/polifenol sangat berpengaruh terhadap aktivitas
penghambatan -glukosidase.
Ziegenfuss et al. (2006) dan Anderson (2008) melakukan pengujian secara in vivo
terhadap ekstrak air kayu manis. Hasil pengujian menunjukkan polimer tipe-A polifenol
merupakan senyawa yang efektif menurunkan kadar glukosa dalam darah. Namun hasil
identifikasi senyawa pada ekstrak air dan etanol-etanol menunjukkan adanya senyawa-
senyawa fenol sederhana dan turunannya, seperti fenol, cathecol, pyrocathecol,
guaiacol, dan hidrokuinon. Senyawa fenol-fenol sederhana tersebut diduga merupakan
hasil penguraian (pirolisis) dari senyawa polifenol, karena identifikasi senyawa-
senyawa tersebut menggunakan metode Py-GC-MS. Dengan demikian diduga kuat
bahwa senyawa dari ekstrak di atas yang mempunyai aktivitas antidiabetes adalah
senyawa polifenol.
Selain itu pada semua ekstrak uji juga terdeteksi adanya senyawa turunan
karbohidrat yaitu Levoglucosan (1,6-anhidro-beta-D-glukopiranosa). Senyawa
karbohidrat tersebut diduga membentuk senyawa glikosida dengan senyawa fenolik
atau polifenol di atas. Sehingga dapat dipahami bahwa aktivitas antidiabetes dari
senyawa-senyawa aktif pada ekstrak-ekstrak tersebut memiliki mekanisme
penghambatan yang mirip dengan akarbosa. Hal itu terbukti dari tidak adanya
perbedaan yang nyata dari aktivitas inhibisi enzim -glukosidase dari ekstrak-ekstrak di
atas dengan akarbosa. Selain itu hasil identifikasi GC-MS pirolisis (Py-GC-MS) dari
229
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

ekstrak etanol 30% C.cassia, teridentifikasi adanya turunan triterpen pentasiklik -


amirin (Urs-12-en-28-al) dan suatu triterpenoid yaitu metil skualen. Hasil tersebut
sesuai dengan hasil penelitian Atchibri (2010) yang menyatakan bahwa terpenoid dari
ekstrak Phaseolus vulgaris mempunyai aktivitas sebagai antidiabetes. Senyawa yang
diduga sebagai agen antidiabetes disajikan pada tabel 3, 4, dan 5.

Tabel 3. Data hasil GC-MS ekstrak etanol 30% C.burmannii yang menunjukkan senyawa
yang diduga sebagai agen antidiabetes
No.Peak Konsentrasi Nama senyawa Golongan Senyawa
(%)
7 1.96 Phenol (CAS) Izal Fenolik sederhana
9 3.44 Phenol, 2-methoxy- (CAS)/ Guaiacol Fenolik sederhana
10 0.53 2-Methoxy-4-methylphenol Fenolik sederhana
12 30.16 1,2-Benzenediol (CAS)/ Fenolik sederhana
Pyrocatechol
14 0.33 3-Methoxy-pyrocatechol Fenolik sederhana
15 0.56 Phenol, 4-ethyl-2-methoxy- (CAS)/ Fenolik sederhana
p-Ethylguaiacol
16 2.14 1.4-Benzenediol (CAS)/ Fenolik sederhana
Hydroquinone
17 9.78 4-methyl-Catechol Fenolik sederhana
18 0.48 Phenol, 4-ethenyl-2-methoxy- Fenolik sederhana
19 1.10 Phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS)/ 2,6- Fenolik sederhana
Dimethoxyphenol
20 0.23 1,4-Benzenediol, 2-methoxy Fenolik sederhana
(CAS)/Hydroquinone, 2-methoxy-
21 2.86 1,6-Anhydro-Beta-D-Glucopyranose Turunan karbohidrat
(Levoglucosan)

Tabel 4. Hasil Analisis GC-MS Ekstrak etanol 30% C.verum yang menunjukkan senyawa
yang diduga sebagai agen antidiabetes
No. peak Konsentrasi (%) Nama senyawa Golongan Senyawa
7 2.00 Phenol (CAS) Izal Fenolik sederhana
8 0.57 Phenol, 4-methyl- (CAS)/p-Cresol Fenolik sederhana
9 4.60 Phenol, 2-methoxy- Fenolik sederhana
(CAS)/Guaiacol
10 17.28 1,2-Benzenediol Fenolik sederhana
(CAS)/Pyrocatechol
11 1.20 Phenol, 4-ethyl-2-methoxy- Fenolik sederhana
(CAS)/p-Ethylguaiacol
12 1.11 1.4-Benzenediol Fenolik sederhana
(CAS)/Hydroquinone
13 5.59 4-methyl-Catechol Fenolik sederhana
14 2.02 Phenol, 2,6-dimethoxy- Fenolik sederhana
(CAS)/2,6-Dimethoxyphenol
15 1.52 1,6-Anhydro-Beta-D- Turunan karbohidrat
Glucopyranose (Levoglucosan)
16 0.77 Phenol, 3,4,5-trimethoxy- (CAS)/ Fenolik sederhana

230
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Antiarol
17 2.49 11-methylsqualene Turunan Triterpenoid
18 5.55 11-methylsqualene Turunan Triterpenoid
19 9.56 11-methylsqualene Turunan Triterpenoid
20 2.62 Urs-12-en-28-al Turunan Triterpenoid
21 6.21 Urs-12-en-28-al Turunan Triterpenoid

Tabel 5. Data hasil GC-MS ekstrak air C.burmannii yang menunjukkan senyawa yang
diduga sebagai agen antidiabetes
No. peak Konsentrasi (%) Nama senyawa Golongan Senyawa
5 3.42 Phenol (CAS) Izal Fenolik sederhana
6 1.75 Phenol, 4-methyl- (CAS)/p-Cresol Fenolik sederhana
7 5.19 Phenol, 2-methoxy- Fenolik sederhana
(CAS)/Guaiacol
8 41.07 1,2-Benzenediol Fenolik sederhana
(CAS)/Pyrocatechol
9 3.84 1.4-Benzenediol (CAS)/ Fenolik sederhana
Hydroquinone
10 15.94 4-methyl-Catechol Fenolik sederhana
11 1.65 Phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS)/2,6- Fenolik sederhana
Dimethoxyphenol
12 10.51 1,6-Anhydro-Beta-D- Turunan karbohidrat
Glucopyranose (Levoglucosan)

Konsentrasi tertinggi pada ketiga ekstrak yang dianalisis Py-GC-MS menunjukkan


senyawa 1,2-Benzenediol (CAS)/Pyrocatechol yang merupakan senyawa turunan
Cathecol. Senyawa turunan cathecol lain yang terdapat dalam ekstrak etanol 30%
C.burmannii yaitu 4-methyl-catechol dan 3-methoxy-pyrocatechol, sedangkan pada
ekstrak air C.burmannii dan etanol 30% C.verum hanya terindentifikasi 4-methyl-
catechol.

Kesimpulan dan Saran


Ekstrak air dan etanol (30%, 70%, dan 96%) kayu manis Padang (Cinnamomum
burmannii) dan kayu manis Jawa (Cinnamomum verum) memiliki aktivitas
penghambatan terhadap enzim -glukosidase. Aktivitas penghambatan tertinggi
terhadap enzim -glukosidase adalah pada ekstrak etanol 30% C.burmannii konsentrasi
1.5%, ekstrak air C.burmannii konsentrasi 1.5% dan ekstrak etanol 30% C.verum
konsentrasi 2% dengan daya inhibisi berturut-turut adalah 94.88%, 94.51% dan
94.06%. Ekstrak tersebut memiliki daya penghambatan tidak berbeda nyata dengan
kontrol positif yaitu Glucobay (akarbosa) 1% sebesar 100.03%. Hasil fitokimia ketiga
ekstrak tersebut menunjukkan adanya kandungan flavonoid, senyawa fenolik dan tanin,
ketiga senyawa tersebut memperkuat dugaan adanya senyawa polimer tipe-A polifenol
yang berkhasiat sebagai antidiabetes. Sedangkan hasil analisis kualitatif dengan Py-GC-
MS pada ketiga ekstrak dengan inhibisi tertinggi menunjukkan adanya senyawa fenolik-
fenolik sederhana seperti pyrocatechol, catechol, guaiacol, dan hidrokuinon yang
diduga kuat merupakan hasil penguraian senyawa golongan polifenol. Pada ekstrak

231
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

etanol 30% Cinnamomum verum terdeteksi adanya kandungan senyawa turunan


triterpenoid (metil skualen dan Urs-12-en-28-al) yang diduga mempunyai aktivitas
sebagai antidiabetes.
Untuk menunjang data penelitian ini, hendaknya dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan penentuan IC50 dan penentuan mekanisme inhibisi dari ekstrak air dan etanol
kayu manis Padang dan Jawa terhadap enzim -glukosidase. Perlu dilakukan penentuan
kandungan mineral dari kayu manis Padang dan Jawa. Isolasi (pemurnian),
karakterisasi, dan pengujian in vitro serta in vivo senyawa aktif pada kayu manis Padang
dan Jawa juga perlu dilakukan, sehingga tanaman tersebut dapat lebih dikembangkan
sebagai obat alternatif untuk diabetes.

Daftar Pustaka
Anderson, R.A. 2008. Chromium and polyphenols from cinnamon improve insulin
sensitivity. Proceedings of the Nutrition Society 67(1): 4853.
Apriani R. 2012. Uji Penghambatan Aktivitas -Glukosidase dan Identifikasi
Golongan Senyawa Dari Fraksi Yang Aktif Pada Ekstrak Kulit Batang
Cinnamomum burmannii (Nees & T.Nees) Blume [Skripsi]. Depok : FMIPA
Universitas Indonesia.
(AOAC) Assosiation of Offcial Analytical Chemist. 1995. Official Methods of
Analysis of AOAC International. Washington DC: AOAC International.
Atchibri A.L., K.D. Brou, T.H. Kouakou, Y.J, Kouadio, & D. Gnakri. 2010.
Screening for antidiabetic activity and phytochemical constituents of
common bean (Phaseolus vulgaris L.) seeds. J Med Plant Res 4:1757-1761.
Campbell, A.P. & S.B. Richard. 2012. Joslin Diabetes Deskbook, 2nd Ed, Excerpt
#16: Vitamins Minerals and Supplements. Sumber :
http://www.diabetesincontrol.com/articles/85-clinical-gems/13625-joslin-
diabetes-desk book-2nd-ed-excerpt-16-vitamins-minerals-and-supplements
[25 April 2013; 16.30 WIB].
Cetto, A.A., J.B. Jimenez, & R.C. Vazquez. 2007. Alfa-Glycosidase Iinhibiting
Activity of Some Mexican Plants Used in The treatment of type 2 diabetes.
Journal of Ethnopharmacology. 116: 2732.
Corwin. E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi Ke-3. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
DepKes RI. 2010. Diabetes Melitus Dapat Dicegah. http://www.depkes.go.id
/index.php/berita/press-release/1314-diabetes-melitus-dapat-dicegah.html.
[30 Agustus 2011].
Ditjen POM. 2000. Metode Analisis PPOM. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Bandung : Armico.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Terjemahan Dari Phytochemical Methods
oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB.
Jarald, E., S.B. Joshi, & D.C. Chain. 2008. Diabetes and Herbal Medicines. Iranian
Journal Of Pharmacology & Therapeutics. 7 (1) : 97-106.
Meena V., N.S. Satya, S.V.S. Prakash, & S. Avanigadda. 2012. A Review on
Pharmacological Activities and Clinical effects of Cinnamon Species.

232
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences. 3


(1):653-663.
Ping, H., G. Zhang, & G. Ren. 2010. Antidiabetic effects of cinnamon oil in
diabetic KK-Ay mice. Food and Chemical Toxicology. 48:23442349.
Purwatresna E. 2012. Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Air dan Etanol Daun Sirsak
Secara In Vitro Melalui Inhibisi Enzim -Glukosidase [Skripsi]. Bogor :
FMIPA Institut Pertanian Bogor.
Sahputra, F.M. 2008. Potensi Ekstrak Kulit dan Daging Buah Salak sebagai
Antidiabetes [Skripsi]. Bogor : FMIPA Institut Pertanian Bogor.
Sancheti S., S. Sancheti, & S.Y. Seo. 2009. Chaenomeles Sinensis : A Potent -and
-Glucosidase Inhibitor. American Journal of Pharmacology and Toxicology
4 (1): 8-11.
Sarjono P.R., I. Ngadiwiyana, & A.P. Nor Basyid. 2010. Aktivitas Bubuk Kayu
Manis (Cinnamomum Cassia) Sebagai Inhibitor Alfa-Glukosidase. http://
ejournal.undip.ac.id/index.php/sm /article/view/3016. [27 Desember 2012].
Setiadi & Sarwono. 2007. Tanaman Obat Keluarga. Jakarta: Samindra Utama.
Shihabudeen M.S., D.H. Priscilla, & K. Thirumurugan. 2011. Cinnamon extract
inhibits a glucosidase activity and dampens postprandial glucose excursion in
diabetic rats. Nutrition & Metabolism. 8 : 46-56. http://www.nutritionand
metabolism.com/content/8/1/46. [18 Februari 2013].
Steel R.E.D. & J.H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Bambang
Sumantri penerjemah. Jakarta : PT Gramedia.
Vaibhavi J., R. Patel, P. Khatri, N. Pahuja, S. Garg, A. Pandey, & S. Sharma. 2010.
Cinnamon: A Pharmacological Review. Journal of Advanced Scientific
Research. 1(2); 19-23
Wadkar, K.A., C.S Magdum, S.S. Patil, & N.S. Naikwade. 2007. Anti-diabetic
Potential And Indian Medical Plants. Journal of Herbal Medicine and
Toxicology 2 (1) 45-50.
WHO. 1999. Monographs on Selected Medicinal Plants Volume 1. Geneva: World
Health Organization.
Ziegenfuss, T. N., E. Jennifer, W.M. Ronald, L. Jamie, & A.A Richard. 2006.
Effects of a Water-Soluble Cinnamon Extract on Body Composition and
Features of the Metabolic Syndrome in Pre-Diabetic Men and Women.
Journal of the International Society of Sports Nutrition. 3(2): 45-53.

233
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Triterpen Onoceranoid dari Ekstrak Etil Asetat


Kulit Batang Pisitan (Lansium domesticum Corr. cv. pisitan)
dan Aktivitas Larvasidanya

Tri Mayanti1*, Dewi Suindrati1, Dadan Sumiarsa1, Wawan Hermawan2,


Euis Julaeha1 dan Tri Mayanti1
1
Jurusan Kimia FMIPA Unpad,
Jl. Raya Sumedang Km 21 Jatinangor-Bandung Indonesia
2
Jurusan Biologi FMIPA Unpad
Jl. Raya Sumedang Km 21 Jatinangor-Bandung Indonesia
Email : trimayanti@unpad.ac.id; t.mayanti@yahoo.co.id

ABSTRAK

Lansium domesticum Correa merupakan tumbuhan suku Meliaceae yang dikenal


menghasilkan zat-zat bermanfaat untuk pengendalian serangga dan obat-obatan. Tumbuhan
ini terdapat hampir di seluruh propinsi di Indonesia. L. domesticum Corr. varietas duku dan
kokosan diketahui memiliki berbagai macam senyawa metabolit sekunder diantaranya
adalah kelompok triterpen onoceranoid serta memiliki berbagai macam aktivitas yaitu
antifeedant, larvasida, antimalaria, dan sitotoksik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memperoleh isolat dan struktur senyawa triterpenoid dari ekstrak etil asetat kulit batang
pisitan (L.domesticum Corr. cv. pisitan) serta aktivitas larvasidanya terhadap larva Aedes
aegypti. Tahap isolasi dimulai dengan maserasi kulit batang pisitan dengan metanol yang
dilanjutkan dengan partisi ekstrak metanol dengan pelarut n-heksana dan etil asetat. Ekstrak
etil asetat kemudian dipisahkan dan dimurnikan dengan teknik kromatografi kolom. Isolat
murni yang diperoleh, selanjutnya dikarakterisasi dengan menggunakan spektroskopi masa,
spektroskopi inframerah, 1H-NMR, 13C-NMR, dan 2D NMR. Struktur kimia isolat
ditetapkan berdasarkan data-data spektroskopi dan dengan perbandingan data-data spektra
yang telah diperoleh sebelumnya. Senyawa hasil isolasi diidentifikasi sebagai asam
lansiolat. Uji aktivitas larvasida isolat terhadap larva Ae. aegypti menunjukkan persen
kematian larva sebesar 90% setelah 48 jam pengamatan pada kosentrasi larutan uji 1%.

Kata Kunci : asam lansiolat, Lansium domesticum Corr, larvasida, pisitan

Pengantar
L. domesticum merupakan tumbuhan suku Meliaceae yang dikenal menghasilkan
zat-zat bermanfaat untuk pengendalian serangga maupun bahan pengobatan. Tumbuhan
ini tersebar hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Sebagian besar tanaman Meliaceae
mengandung senyawa terpenoid pada bagian daun, batang, buah, dan biji (Mayanti,
2009). Kandungan senyawa yang berhasil diisolasi dari L. domesticum Corr adalah
kelompok triterpen onoceranoid, lansiosida, domesticulid, dukunolid, sikloartanoid, dan
kokosanolid. Kelompok triterpen onoceranoid yang telah diisolasi dari berbagai bagian
tumbuhan L. domesticum, diantaranya adalah asam lansat dari kulit buah duku (Kiang

235
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

et al., 1967), asam lansiolat dari daun duku (Nishizawa et al., 1989), dan enam senyawa
triterpen onoceranoid dari kulit batang duku yang diberi nama iso-onoceratrien,
onoceradiendion, 3-keto-22-hidroksionoceradien, asam lansiolat dan asam lansiolat A
yang menunjukkan aktivitas antifeedant terhadap Sitophilus oryzae (Omar et al., 2005).
Asam lansiolat berhasil diisolasi kembali dari kulit duku dengan dua senyawa triterpen
onoceranoid lainnya yaitu 3-hidroksionocera-8(26),14-dien-21-on dan 21-
hidroksionocera 8(26), 14-dien-3-on (Tanaka et al., 2002). Pada varietas kokosan
kelompok senyawa triterpen onoceranoid berhasil diisolasi dari kulit batang kokosan
yang diberi nama 8,14-secogammacera-7,14-dien-3,21-dion dan 8,14-secogammacera-
7-en-14-hidroksi-3,21-dion yang menunjukkan aktivitas antifeedant (Mayanti et al.,
2009). Belum adanya publikasi mengenai kandungan senyawa dari varietas pisitan
menjadikan usaha untuk menggali potensi senyawa-senyawa triterpen onoceranoid dari
varietas ini perlu untuk dilakukan. Selain itu pengujian aktivitas larvasida dari
L.domesticum Corr cv. pisitan menjadi suatu hal yang menarik karena umumnya L.
domesticum merupakan tumbuhan yang dikenal memiliki aktivitas antifeedant.

Bahan dan Metode


Bahan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit batang pisitan (L.
domesticum Corr. cv. pisitan) yang diperoleh dari daerah Bogor, Jawa Barat
(Determinasi di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA Unpad),
methanol, etil asetat, n-heksan, silica gel G60.

Alat. Pengukuran Spektrum IR dilakukan dengan lempeng KBr menggunakan alat


FTIR Shimadzu 8400. Spektra NMR (H-NMR, C-NMR, 2D-NMR) diukur dengan
spektrometer merk JEOL tipe ECA 500 dengan medan magnet 500MHz dan 125 MHz.
Spektroskopi masa dilakukan dengan spektroskopi HRTOFMS JEOL JMS-700 dan
Synapt 62 spektrometer

Uji Aktivitas. Larutan uji berupa larutan fraksi etil asetat 1%, larutan isolat murni 1%,
dan larutan kontrol yang tidak diberi perlakuan masing- masing dimasukan 10 ekor
larva nyamuk Ae. aegypti. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dan 48 jam.

Ekstraksi dan Isolasi. Serbuk kulit batang L.domesticum Corr. cv. pisitan diekstraksi
menggunakan teknik maserasi dengan pelarut metanol. Ekstrak metanol (26 g) dipartisi
dengan n-heksana kemudian fasa air dipartisi kembali dengan etil asetat. Ekstrak etil
asetat (18,94 g) dipisahkan kandungan senyawa kimianya dengan teknik kromatografi
vakum cair dengan fasa diam silika gel 60 (n-heksana, etil asetat, metanol; 10%)
sehingga diperoleh 17 fraksi. Fraksi ke-enam dan ke-tujuh digabungkan dan dipisahkan
kembali dengan kromatografi vakum cair. Fraksi yang mengandung komponen utama
dipisahkan dengan kromatografi kolom terbuka dengan fasa diam silika gel 60 dengan
perbandingan pelarut bergradien (n-heksana: etil asetat, 10%) kemudian fraksi yang
mengandung senyawa target dimurnikan dengan kromatografi kolom terbuka dengan
fasa diam silika gel 60 dengan perbandingan pelarut klorofom: metanol (9,5 : 0,5)
sehingga dihasilkan 15 mg isolat murni. Isolat dikarakterisasi dan ditentukan
strukturnya dengan metode spektroskopi UV, IR, NMR dan MS.
236
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hasil dan Pembahasan


Sebanyak 15 mg isolat berupa kristal tidak berwarna telah berhasil diperoleh dari
kulit batang pisitan (L. domesticum Corr. cv. pisitan ) . Berdasarkan analisis
spektroskopi IR, H-NMR, 13C-NMR, dan 13C-NMR DEPT 135 (Tabel 1) diperoleh
rumus molekul dari asam lansiolat adalah C30H48O3, dugaan rumus molekul ini
kemudian diperkuat hasil pengukuran spektroskopi masa TOF-MS (m/z 457,3426
[M+H]+). Spektrum inframerah menunjukkan adanya regang OH (max 3468,01 cm-1 ),
C=C (max 1660,71 cm-1 ), C=O (max 1710,00 cm-1), dan gem dimetil (max 1381,03cm-1
). Spektrum 1H-NMR menunjukkan adanya enam sinyal singlet dari gugus metil (H
0,67; 0,76; 0,9; 0,81; 1,77 dan 1,73 ppm) yang merupakan proton sp3. Terdapat pula
sinyal pada H 4,50 dan 4,83 ppm (masing-masing 1H); 4,70 dan 4,82 ppm (masing-
masing 1H) serta 5,36 ppm (1H) yang berasal dari proton sp2 dan terdapat sinyal pada
H 3,26 ppm yang berasal dari karbon teroksigenasi. Spektrum 13C-NMR menunjukkan
adanya 30 sinyal karbon. Dua puluh tiga karbon sp3 terdiri atas enam karbon metil,
sembilan karbon metilen, lima karbon metin (satu karbon metin teroksigenasi pada c
79,4 ppm), dan tiga karbon kuartener. Tujuh karbon sp2 terdiri atas dua karbon sp2
metilen (c 106,9 dan 114,1 ppm), satu karbon sp2 metin (c 121,8 ppm), dan empat
karbon sp2 kuartener (c 136,1 ppm, 147,8 ppm, 148,4 ppm, dan satu karbon karbonil c
= 178,0 ppm yang karakteristik untuk gugus karboksilat). Posisi gugus fungsi pada
isolate ditunjukkan dengan korelasi HMBC. Gugus olefin pada C8 ditunjukkan melalui
korelasi sebanyak tiga ikatan antara H-26 (H 4,5 & 4,83 ppm ) dengan C-9 (C 58,5
ppm) dan C-7 (C 38,2 ppm) sedangkan posisi olefin pada C-22 (C 147,8 ppm)
ditunjukkan dengan korelasi sebanyak tiga ikatan antara H-29 (H 4,70 & 4,82 ppm)
terhadap C-17 (C 49,2 ppm) dan H-29 terhadap C-30 (C 23,1 ppm). Analisis spektrum
H-H COSY menunjukkan korelasi antara H-1/H-2, H-5/H-6, H-6/H-7, H-11/H-12, H-
19/H-20 dan H-13/H-17 (Gambar 1).

21
CO2H

12 20 29
19
11
25 18 22
13 17
1 26 30
9 28
2
8 14
16
3 4 27
15
HO 7
6 H H H-H COSY
23 24
H C HMBC
Gambar 1. Struktur Asam Lansioalat dan Analisis HMBC serta H-H COSY

Berdasarkan data-data spektroskopi (Tabel 1) dan dengan perbandingan data-data


spektra yang telah diperoleh sebelumnya, senyawa hasil isolasi diidentifikasi sebagai
asam lansiolat. Larutan ekstrak etil asetat hasil partisi dan asam lansiolat 1% diuji
aktivitas larvasidanya terhadap larva nyamuk A.aegypti instar ke-III . Dari data yang
dihasilkan (Tabel 2) menunjukkan bahwa asam lansiolat memiliki kemampuaan
sebagai agen larvasida, larva yang diberi perlakuan mengalami kematian hingga 90%
pada larutan asam lansiolat 1%.

237
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 1. Data hasil analisis spektroskopi H-NMR, C-NMR, HMQC, HMBC dan HH
COSY
13
C NMR 1HNMR HMBC H-H
Posisi
(C, ppm) (H,Integral, multisipitas,J) (H vs C) COSY
1 37,1 1,81 (2H, m) C-24 2
2 29,6 1,24 (2H, m) - 1
3 79,4 3,26 (1H, dd, 3,9Hz) -
4 39,2 - -
5 54,6 1,08 (1H, m) C-4 6
6 27,9 1,39 (2H, m) C-8 7
7 38,2 1,98 & 2,37 (2H, m) C-23 6
8 148,4 - -
9 58,5 1,56 (1H,m) C-12 & C-25
10 38,7 - -
11 26,1 1,09 (2H, m) C-13 & C-19 11
12 24,1 1,36 (2H, m) C-9 12
13 48,4 1,85 (1H,m) C-27 17
14 136,1 - -
15 121.8 5,36 (1H,brs) - 27
16 27,4 1,62 (2H,m) C-27
17 49,2 2,19(1H, m) - 13
18 39,5 - -
19 32,6 1,64(2H,m) C-29 20
20 28,9 2,43 (2H, m) - 19
21 178,0 - -
22 147,8 - -
23 28,4 0,98 (3H,s) C-3,C-4,C-5,
24 15,6 0,76 (3H,s) C-3,C-4,C-5
25 14,7 0,67 (3H,s) C-1,C-9,C-10
26 106,9 4,5 & 4,83 (masing-masing 1H,s) C-7,C-9
27 23,0 1,73 (3H,s) C-13,C-14, C-15
28 16,4 0,81 (3H,s) C-17,C-18
29 114 4,70 & 4,82 (masing-masing 1H,s) C-17,C-30
30 23,1 1,77 (3H,s) C-17, C-22,C-29

Tabel 2. Jumlah A. aegypti yang hidup setelah diberi perlakuan selama 1 dan 2 hari.
A.aegypti Hidup A.aegypti Hidup
Sampel Total A.aegypti
Hari Ke-1 Hari Ke-1
Kontrol 10 10 10
Ekstrak EA 10 4 1
Isolat murni 10 3 1

Kesimpulan
Asam lansiolat telah berhasil diisolasi dari kulit batang pisitan (L.domesticum Corr.
cv. pisitan) dan memiliki aktivitas larvasida terhadap larva nyamuk A aegypti dengan
presentase kematian larva 90% dengan waktu pengamatan 48 jam.

238
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar Pustaka
Kiang, A.K., E. L. Tan., F.Y. Lim., K. Habaguchi., K. Nakanishi., L. Fachan & G.
Ourisson. 1967. Lansic Acid, a Bicyclic Triterpene. Tetrahedron Letters.37,
3571-3574.
Mayanti,T. 2009. Kandungan Kimia dan Bioaktivitas Duku.Unpad Press. Bandung.
Mayanti, T., U. Supratman, M.R. Mukhtar, K. Awang & S.W. Ng. 2009.
Kokosanolide from the Seed of Lansium domesticum Corr. Acta
Crystallographica. E.65. 750.
Nishizawa, M., Y. Nademoto., S. Sastrapradja., M. Shiro and Y. Hayashi. 1988.
Dukunolide D, E & F: New Tetranortriterpenoids from the Seeds of Lansium
domesticum. Phytochemistry. Pergamon Journal Ltd. Great Britain. 27(1):
237-39.
Omar, S., M. Marcotte, P. Fields, P. E. Sanchez, L. Poveda, R. Matta, A. Jimenez,
T. Durst, J. Zhang, S. Mac Kinnon, D. Leaman, J. T. Arnason, & B. J. R.
Philogene. 2005. Antifeedant Activities of Terpenoids Isolated from Tropical
Rutales. Journal of Stored Products Research
Tanaka,T., Masami,I., Haruhiro,F., Emi,O., Takashi,K.,Thaworn,K., Masahiko,H.
& Kanki,K.2002. New Onoceranoid Triterpene Constituent from Lansium
domesticum.Journal Natural Product.65.1709-1711.

239
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Studi Produksi VCO (Virgin Coconut Oil) Dengan Cara


Fermentasi Menggunakan Neurospora Sitophila

Sadiah Djajasoepena, Saadah Diana Rachman & Netti Vera N. Sembiring

Laboratorium Biokimia,
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran
Jalan Singaperbangsa No.2 Bandung 40133, Indonesia
Email: sadiah@unpad.ac.id

ABSTRAK

Untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas kelapa, diupayakan proses pengolahan
kelapa lebih lanjut yaitu melalui pengembangan produk utama berupa minyak kelapa, tanpa
melalui pemanasan dan penambahan bahan kimia yang disebut sebagai minyak kelapa murni
atau virgin coconut oil (VCO). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses
produksi VCO dengan cara fermentasi menggunakan Neurospora sitophila. Metode yang
digunakan adalah proses fermentasi dengan variasi volume inokulum yang ditambahkan ke
dalam krim dan dilanjutkan dengan analisis karakteristik identitas, kualitas dan analisis
komposisi asam lemak dengan GC-MS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulum
dengan variasi 20% terhadap krim menghasilkan kuantitas VCO terbanyak, yaitu 207 mL
dari 1 kg kelapa parut. Kualitas VCO terbaik didapatkan dari variasi inokulum 10% terhadap
krim, yang memiliki karakteristik identitas dan kualitas sebagai berikut:; densitas 0,9197
g/mL; kadar air 0,16 %; bilangan iod 6,86 g I2/100 g minyak; bilangan penyabunan 253,88
mg KOH/g minyak; bilangan asam 0,11 mg KOH/g minyak; asam lemak bebas 0,04 %; dan
bilangan peroksida 0,95 meq/kg minyak. VCO dengan variasi inokulum 10% terhadap krim
ini memiliki komposisi asam laurat terbesar yaitu 48,06%. Karakteristik identitas, kualitas,
dan komposisi asam lemak VCO yang dihasilkan dengan cara fermentasi menggunakan N.
sitophila memenuhi standar APCC.

Kata Kunci : Fermentasi, VCO, Neurospora sitophila, Asam laurat

Pengantar
Produk kelapa di Indonesia umumnya dipasarkan dalam bentuk primer atau belum
diolah lebih lanjut, sehingga menyebabkan kerugian di pihak petani. Oleh karena itu,
untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas ini secara maksimal, diupayakan suatu
perbaikan proses dan metode pengolahan kelapa yang lebih lanjut melalui
pengembangan produk utama berupa minyak kelapa; pengembangan produk turunan
berupa produk-produk oleokimia dan pengembangan produk samping berupa sabut, air
kelapa, tempurung, dan ampas kelapa (Wahdini, 2005). Kelapa memiliki nilai ekonomi
yang tinggi dibandingkan dengan tanaman lain dari famili yang sama seperti kelapa
sawit, kurma, dan nipah. Hal ini dikarenakan hampir seluruh bagian dari tanaman
kelapa dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia (Price, 2004).

241
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Minyak kelapa merupakan salah satu bahan pangan yang banyak digunakan di
industri pangan, kosmetika, dan farmasi. Banyak penelitian terbaru yang berhasil
membuktikan bahwa minyak kelapa dapat meningkatkan metabolisme tubuh dan
menanggulangi beragam penyakit. Asam laurat (jumlah karbonnya 12) adalah asam
lemak jenuh rantai sedang yang paling banyak terkandung dalam minyak kelapa, yaitu
sekitar 45-55% yang sifatnya tidak membahayakan kesehatan. Asam laurat dari minyak
kelapa disinyalir memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antijamur, dan antivirus
(Walters, 2003).
Virgin Coconut Oil (VCO) merupakan minyak kelapa murni yang dihasilkan dari
buah kelapa tua yang segar, bukan terbuat dari kopra seperti minyak kelapa yang
banyak dikenal (Alamsyah, 2005). VCO dibuat dari buah kelapa segar tanpa pemanasan
dan bahan kimia. Selain itu VCO tidak melalui tahap pemurnian, pemucatan, dan
penghilangan aroma (Sutarmi & Rezaline, 2005). Proses yang tidak melibatkan
pemanasan selain dapat menghasilkan Medium Chain Tryglyceride (MCT) dapat pula
menjamin keberadaan vitamin E, antioksidan, dan enzim-enzim yang terkandung dalam
buah kelapa, menurut Suhirman pada tahun 2004 (dalam Rahmawati, 2009). VCO
mengandung MCT yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit dan
mempercepat penyembuhan serta tidak mendorong terjadinya kegemukan atau obesitas
(Alamsyah, 2005).
Proses pembuatan minyak kelapa secara fermentasi melibatkan mikroba (Rosenthal
et al., 1996). Mikroba dengan berbagai aktivitas enzim yang dimilikinya, seperti
protease, amilase atau enzim lainnya dapat berperan dalam menghidrolisis substrat yang
berupa protein, karbohidrat atau lemak yang terikat dalam emulsi santan. Dalam proses
pembuatan minyak kelapa secara fermentasi, mikroba yang digunakan akan merombak
substrat dengan memutus rantai protein, karbohidrat maupun bahan lain yang
terkandung di dalam emulsi santan. Pada prinsipnya, mikroba dengan aktivitas yang
dimilikinya akan dapat menyebabkan emulsi santan menjadi tidak stabil sehingga
terjadi pemisahan antara fase minyak, blondo, dan air (Rindengan & Novarianto, 2005).
Dalam penelitian yang akan dilakukan, bahan baku yang digunakan untuk membuat
VCO adalah kelapa tua yang masih segar (non-kopra) serta Neurospora sitophila
sebagai jamur penghasil enzim lipase dan protease yang aktif selama proses fermentasi.
N sitophila sendiri biasa digunakan dalam fermentasi makanan yaitu oncom merah dan
dianggap tidak berbahaya (Astawan, 2009). Diharapkan perlakuan ini akan
menghasilkan VCO yang berkualitas dan memiliki kandungan asam lemak yang sesuai
standar mutu.

Minyak Kelapa murni


Minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil, VCO) adalah minyak yang berasal dari
buah kelapa tua segar yang diolah pada suhu rendah (<60C) tanpa proses pemutihan
dan hidrogenasi (Gani, 2005). Selain itu VCO tidak melalui tahap pemurnian,
pemucatan, dan penghilangan aroma (Sutarmi & Rezaline, 2005).
Istilah virgin digunakan untuk membedakan bahwa minyak yang dihasilkan
berbeda dengan minyak konvensional yang diolah dari bahan baku kelapa segar tanpa
proses penyulingan. VCO merupakan minyak kelapa yang diperoleh lewat pemanasan
minimal atau tanpa pemanasan prosesnya lebih rendah dan proses pemurnian kimiawi
242
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

serta tanpa mengubah sifat fisik dan kimia, hanya melalui perlakuan mekanis dan
pemakaian panas yang rendah (Rahmawati, 2009).
VCO merupakan minyak kelapa murni yang tahan terhadap panas, cahaya, oksigen
dan proses degradasi, karena struktur kimianya tidak mengandung ikatan ganda.
Karakterisasi lain dari VCO adalah memiliki warna jernih, beraroma lembut dan
rasanya gurih. Selain itu, VCO mengandung asam-asam lemak jenuh tinggi yang
menjadikannya tidak mudah tengik (Setiaji & Prayugo, 2006).
Pada umumnya asam lemak dalam VCO merupakan asam lemak rantai sedang.
Adanya kandungan jenis asam lemak inilah yang menjadikan VCO memiliki sifat yang
khas dan berkhasiat (Fife, 2005). MCFA merupakan sumber energi yang siap pakai dan
mudah diserap oleh tubuh, yang berbeda dengan asam lemak rantai panjang yang
terlebih dahulu ditimbun sebagai lemak sebelum dipergunakan (Gani dkk., 2005). VCO
juga mengandung zat antioksidan sehingga menurunkan kebutuhan akan vitamin E.
Mengkonsumsi VCO dapat mengaktifkan hormon-hormon antipenuaan, mencegah
serangan jantung, pikun, kegemukan, kanker dan penyakit lain yang berhubungan
dengan penuaan dini (Alamsyah, 2005).
Secara fisik, VCO harus berwarna jernih. Hal ini menandakan bahwa di dalamnya
tidak tercampur oleh bahan dan kotoran lain. Apabila di dalamnya masih terdapat
kandung air, biasanya akan ada gumpalan berwarna putih. Keberadaan air ini akan
mempercepat proses ketengikan. Selain itu, gumpalan tersebut kemungkinan juga
merupakan komponen blondo yang tidak tersaring seluruhnya. Kontaminan seperti ini
secara langsung akan berpengaruh terhadap kualitas VCO (Setiaji & Prayugo, 2006).

Prinsip Pembuatan VCO


VCO dapat dibuat dengan beberapa cara yaitu dengan cara tradisional, pemanasan
bertahap, enzimatis, pengasaman, sentrifugasi, dan pancingan (Setiaji & Prayugo,
2006). Berdasarkan proses pengolahannya, minyak kelapa terbagi dalam dua kategori
utama, yaitu :
a. Minyak kelapa biasa (Refined, Bleached and Deodorized oil / RBD)
b. Minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil / VCO)

Perbedaan antara keduanya terletak pada proses pengolahannya. RBD oil terbuat
dari kelapa kopra (kelapa yang dikeringkan), dan proses pengolahannya meliputi
pemurnian (refining), pemucatan (bleaching), deodorisasi, serta melibatkan pemanasan
dan penggunaan bahan kimia, sedangkan VCO terbuat dari kelapa segar (non-kopra)
dan dalam pengolahannya tidak dilakukan pemanasan serta penggunaan bahan kimia
(Naily, 2006).
Proses pembuatan VCO yang tidak menggunakan pemanasan yang tinggi bukan
hanya menghasilkan lemak berantai sedang tetapi juga dapat mempertahankan
keberadaan vitamin E dan enzim-enzim yang terkandung dalam daging buah kelapa.
VCO yang dibuat dari kelapa segar berwarna putih ketika memadat dan jernih seperti
air ketika berbentuk cair. Salah satu perbedaan utama antara VCO dan minyak kelapa
hasil pemurnian (RBD oil) adalah dalam hal bau (scent) dan rasa (taste). Semua produk
VCO mempunyai bau dan rasa kelapa segar (Alamsyah, 2005).

243
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Proses pembuatan minyak kelapa secara fermentasi melibatkan mikroba (Rosenthal


et al., 1996). Mikroba dengan berbagai aktivitas enzim yang dimilikinya, seperti
protease, amilase atau enzim lainnya dapat berperan dalam menghidrolisis substrat yang
berupa protein, karbohidrat atau lemak yang terikat dalam emulsi santan. Dalam proses
pembuatan minyak kelapa secara fermentasi, mikroba yang digunakan akan merombak
substrat dengan memutus rantai protein, karbohidrat maupun bahan lain yang
terkandung di dalam emulsi santan. Pada prinsipnya, mikroba dengan aktivitas yang
dimilikinya akan dapat menyebabkan emulsi santan menjadi tidak stabil sehingga
terjadi pemisahan antara fase minyak, blondo dan air (Rindengan & Novarianto, 2005).
Proses pembuatan minyak kelapa secara fermentasi mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan cara tradisional, antara lain dapat menghemat tenaga kerja serta
bahan bakar sampai 70% dan produk yang dihasilkan mempunyai kualitas yang jauh
lebih baik dibandingkan dengan produk yang dibuat secara tradisional. Minyak kelapa
murni mengandung kadar air yang rendah yaitu sekitar 0,03%, kandungan asam lemak
bebasnya juga rendah sekitar 0,02%, tidak berwarna (bening), tahan disimpan sampai
70 hari tanpa mengalami perubahan warna, aroma maupun cita rasanya (Naiola, 2008).
Selain beberapa kelebihan yang dimilikinya, proses pembuatan minyak kelapa
secara fermentasi juga mempunyai beberapa kelemahan; salah satu di antaranya
menurut Rindengan dan Novarianto (2005) terdapat pada tahap pemisahan antara fase
minyak, protein (blondo) dan air.

Neurospora sitophila
N. sitophila termasuk dalam kelompok kapang (jamur berbentuk filamen). Sebelum
diketahui perkembangbiakan secara seksualnya, jamur oncom masuk ke dalam
kelompok Deuteromycota dengan nama Monilia sitophila, tetapi setelah diketahui fase
seksualnya, yaitu dengan pembentukan askus, maka jamur oncom masuk ke dalam
golongan Ascomycota dan namanya diganti menjadi N. sitophila. (Mudarwan, 2011).
N. sitophila dikenal sebagai kapang oncom merah yang memiliki konidia berwarna
jingga (oranye) dan tumbuh di atas permukaan substrat. Kapang ini tumbuh baik pada
kelembaban tinggi dan suhu pertumbuhannya sekitar 20-30C pada kondisi aerobik
(Sihombing, 1994). N. sitophila merupakan spesies yang umum dijumpai pada
makanan (Fardiaz, 1992).
Dalam kehidupan sehari-hari kapang Neurospora telah memegang peranan penting
terutama dalam pengolahan makanan fermentasi. Kapang Neurospora telah
dimanfaatkan untuk membuat oncom yang sangat populer bagi masyarakat Jawa Barat.
Di Brazil, Neurospora telah digunakan dalam proses pengolahan singkong menjadi
minuman fermentasi (Mudarwan, 2011). Penambahan mikroba biasa dilakukan dalam
proses pembuatan makanan dan minuman dengan cara fermentasi. Pengertian
fermentasi sendiri adalah proses untuk menghasilkan berbagai produk dengan perantara
atau dengan melibatkan mikroorganisme (Naily, 2006).
Kapang oncom dapat mengeluarkan enzim lipase dan protease yang aktif selama
proses fermentasi dan memegang peranan penting dalam penguraian pati menjadi gula,
penguraian bahan-bahan dinding sel kacang, dan penguraian lemak, serta pembentukan
sedikit alkohol dan berbagai ester yang berbau sedap dan harum (Astawan, 2009).

244
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Bahan dan Metode


Bahan dan Alat
Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah akuades, amilum Merck (p.a.), asam
asetat glasial Merck (p.a.), asam klorida Merck (p.a.), asam oksalat dihidrat Merck
(p.a.), asam sulfat 97% Merck (p.a.), BF3 Merck (p.a.), brom Merck (p.a.), etanol 95%
Brataco Chemika, iodium Merck (p.a.), fenolftalein Merck (p.a.), kalium hidroksida
Merck (p.a.), kalium iodat Merck (p.a.), kalium iodida Merck (p.a.), kalium sulfat
Merck (p.a.), kloroform Mallinckrodt Chemicals (p.a.), kupri sulfat Merck (p.a.), metil
biru Merck (p.a.), metil merah Merck (p.a.), n-heksana Brataco Chemika, natrium
hidroksida Merck (p.a.), natrium klorida Merck (p.a.), natrium tiosulfat Merck (p.a.),
PDA Merck (p.a.). biakan murni N. sitophila (Laboratorium Mikrobiologi Sekolah
Tinggi Ilmu Hayati ITB), PDA.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah GC-MS Shimadzu, alat
Soxhlet, alat distilasi Kjeldahl, desikator, kertas saring, ose, mixer, neraca analitis, oven,
hot plate, shaker, autoclave, penangas air, inkubator, kondensor, piknometer, wadah
plastik transparan, termometer dan peralatan gelas lainnya yang umum digunakan di
laboratorium.

Metode Penelitian
Penentuan kadar lemak dalam kelapa parut dengan metode Soxhlet, (Apriyantono
dkk., 1989). Penentuan kadar protein dalam kelapa parut dengan metode Kjeldahl.
(Apriyantono dkk., 1989). Peremajaan-biakan (Naily, 2006). Pembuatan kurva
pertumbuhan (Kuswandana, 2008). Pembuatan inokulum (Kuswandana, 2008).
Pembuatan VCO (Naily, 2006). Analisis karakteristik identitas VCO. Penentuan
Densitas (Sudarmadji dkk., 1996). Penentuan kadar air (Sudarmadji dkk., 1996).
Penentuan bilangan iod (pereaksi Hanus) (Ketaren, 1986). Penentuan bilangan
penyabunan (Sudarmadji dkk., 1996). Penentuan bilangan asam (Sudarmadji dkk.,
1996). Analisis Karakteristik Kualitas VCO. Warna VCO diamati secara kualitatif.
Asam lemak bebas (Sudarmadji dkk., 1996). Bilangan peroksida (Sudarmadji dkk.,
1996). Analisis Komposisi Asam Lemak VCO Christie (1993).

Hasil dan Pembahasan


Kurva Pertumbuhan
Pada penelitian ini, kurva pertumbuhan dari N. sitophila dibuat berdasarkan metode
berat kering. Kurva pertumbuhan ini diperlukan untuk mengetahui waktu pertumbuhan
optimal dari N. sitophila. Dari kurva pertumbuhan ini akan diperoleh data fase lag
(adaptasi), fase logaritmik, fase stasioner, serta fase kematian dari pertumbuhan N.
sitophila.
Metode ini dilakukan dengan cara menghitung berat miselia dari N. sitophila. Berat
miselia dari N. sitophila diamati setiap 12 jam sampai hari ke-10. Diharapkan dengan
waktu pengamatan selama 10 hari dan waktu sampling setiap 12 jam, setiap fase
pertumbuhan dari N. sitophila dapat diamati.
Spora dari biakan N. sitophila yang berumur 5 hari dibuat suspensi dengan
menambahkan 5 mL larutan natrium klorida 0,85%. Larutan natrium klorida 0,85%

245
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

merupakan larutan isotonis, yaitu larutan yang memiliki konsentrasi yang sama dengan
konsentrasi cairan di dalam sel spora sehingga dapat mencegah terjadinya lisis sel spora.
Kondisi larutan natrium klorida ini juga harus steril untuk mencegah terjadinya
kontaminasi dari larutan pada suspensi spora.
Kultur N. sitophila yang digunakan telah dikondisikan pada media air kelapa, yaitu
pada media kurva pertumbuhan dan media inokulum semuanya menggunakan media air
kelapa. Nutrien-nutrien yang terkandung dalam air kelapa terutama karbohidrat, protein,
dan lemak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan N. sitophila. Sel yang
ditempatkan dalam medium dan lingkungan pertumbuhan yang sama seperti medium
dan lingkungan sebelumnya mungkin tidak memerlukan waktu adaptasi (Fardiaz,
1992). Atas dasar inilah diharapkan pemilihan air kelapa sebagai media kurva
pertumbuhan dan media inokulum dapat mempercepat fase adaptasi dari N. sitophila
pada saat proses fermentasi krim santan kelapa berlangsung, mengingat komposisi buah
kelapa yang hampir sama dengan air kelapa (Alamsyah, 2005).
Pada kurva pertumbuhan N. sitophila, fase adaptasi berlangsung selama 36 jam.
Fase eksponensial berlangsung setelah jam ke-36 hingga jam ke-132. Setelah melewati
jam ke-132, pertumbuhan memasuki fase stasioner hingga jam ke-192. Setelah jam ke-
192, N. sitophila mulai memasuki fase kematian, dimana mulai terjadi penurunan berat
miselia secara kontinyu hingga jam ke-240 (akhir pengamatan).
Dari kurva pertumbuhan tersebut ditunjukkan bahwa setelah melewati fase
eksponensial banyaknya sel hidup cenderung menurun. Ini mengindikasikan terjadinya
lisis pada sel yang menyebabkan massa sel menurun. Keadaan ini mengarah pada
pembentukan medium kompleks dari produk-produk lisis, dan seringkali terbentuk
metabolit sekunder yang semula tidak ada atau tidak berfungsi dalam sel.
Atas dasar itulah, pada penelitian ini penanaman inokulum dilakukan selama 84 jam
sebelum diinokulasikan ke dalam medium fermentasi. Pada penelitian ini fermentasi
berlangsung selama 48 jam. Diharapkan dengan waktu penanaman inokulum selama 84
jam proses fermentasi berakhir sebelum memasuki fase stasioner. Jika fermentasi masih
berlangsung pada fase stasioner dikhawatirkan terbentuk metabolit sekunder yang akan
mempengaruhi kualitas dari hasil fermentasi.

Pembuatan VCO
Pembuatan VCO dilakukan dengan variasi penambahan volume inokulum terhadap
krim santan sebesar 10% ( 60 mL + 600 mL), 15% (90 mL + 600 mL), dan 20% (120
mL + 600 mL). Pada penelitian ini digunakan kelapa parut sebanyak 3 kg dan
disantankan dengan 6 liter air secara bertahap, didapatkan volume santan sebanyak 7,5
liter yang terdiri dari 1875 mL krim dan 5625 mL skim. Krim santan yang diperoleh
dibagi menjadi tiga variasi sehingga untuk setiap variasi digunakan 600 mL krim.
Prinsip pembuatan VCO secara fermentasi menggunakan N. sitophila ini adalah
memecah emulsi dalam krim santan yang terbentuk oleh air, protein, dan minyak
dengan memanfaatkan kerja enzim protease yang dihasilkan oleh N. sitophila. Dalam
emulsi tersebut, protein akan membungkus butir-butir minyak dengan suatu lapisan tipis
sehingga butir-butir minyak tidak akan bisa bergabung, demikian juga dengan air.
Emulsi tersebut tidak akan pernah pecah karena masih ada tegangan muka protein-air

246
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

yang lebih kecil dari protein-minyak. Minyak kelapa (VCO) baru bisa keluar bila ikatan
emulsi tersebut dirusak (Setiaji & Prayugo, 2006).
Proses fermentasi krim santan berlangsung selama 48 jam. Pemisahan terlihat dari
adanya minyak, blondo dan air.
Pengambilan VCO dilakukan sampai jam ke-48, walaupun jika diperhatikan di
dalam blondo masih terdapat minyak. Namun, menurut Alamsyah pada metode
fermentasi, semakin lama inkubasi akan meningkatkan asam lemak bebasnya, sehingga
dikhawatirkan kualitasnya akan menurun.
Kuantitas VCO terbanyak dihasilkan pada variasi inokulum 20% terhadap krim,
karena semakin banyak jumlah inokulum yang ditambahkan maka lebih efektif dalam
memecah emulsi dalam krim santan, sehingga menghasilkan kuantitas VCO yang lebih
banyak.
Analisis Karakteristik Identitas dan Kualitas VCO (Ketaren, 1986).
VCO yang dihasilkan dari setiap variasi dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui
apakah karakteristik identitasnya memenuhi standar mutu VCO yang telah ada. Analisis
karakteristik identitas VCO yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi densitas, kadar
air, bilangan iod (pereaksi Hanus), bilangan penyabunan, dan bilangan asam.

Tabel 1. Data analisis VCO hasil fermentasi menggunakan N. sitophila dengan variasi
penambahan inokulum terhadap krim.
Karakteristik Variasi
inokulum
10% 15% 20%
Identitas
Densitas (g/mL) 0,9197 0,9197 0,9198
Kadar Air (%) 0,160,01 0,170,04 0,200
Bilangan iod (g I2/100 g minyak) 6,860,60 7,070,32 7,360,29
Bilangan penyabunan (mg KOH/g 253,880,52 254,400,32 254,581,58
minyak)
Bilangan asam (mg KOH/g minyak) 0,110,00 0,110,00 0,170,00
Kualitas
Warna Jernih Jernih jernih
Asam Lemak Bebas (%) 0,040 0,040 0,060,03
Bilangan Peroksida (meq/kg minyak) 0,950,00 0,950,00 0,950

Pada Tabel 1. menunjukkan bahwa densitas VCO untuk semua variasi hampir sama
yaitu 0,919 g/mL, hal ini menunjukkan bahwa nilai densitas tidak mengalami banyak
perubahan dengan adanya perbedaan perlakuan dalam penambahan volume inokulum.
Secara keseluruhan densitas dari VCO yang dihasilkan memenuhi standar mutu APCC
(0,915-0,920 g/mL).
Tingginya kadar air dapat mengakibatkan kerusakan pada minyak, yaitu
menyebabkan reaksi hidrolisis yang dapat menghasilkan bau tengik pada minyak.
Berdasarkan Tabel 4.1 nilai kadar air semua VCO yang dihasilkan berkisar antara 0,16
hingga 0,20 %. Nilai kadar air ini masih di bawah 0,5%, sehingga secara keseluruhan
kadar air VCO yang dihasilkan memenuhi standar mutu APCC. Diharapkan dengan
nilai kadar air yang masih memenuhi standar mutu APCC, VCO yang dihasilkan tidak
mudah menjadi tengik.

247
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Bilangan iod digunakan untuk menentukan derajat ketidakjenuhan dan ketengikan


pada minyak. Bilangan iod yang besar menunjukkan jumlah ikatan rangkap asam
lemaknya semakin banyak atau dapat dikatakan kandungan asam lemak tidak jenuhnya
tinggi (Ketaren, 1986). Pada Tabel menunjukkan bahwa bilangan iod dari VCO yang
dihasilkan memenuhi standar mutu APCC berkisar antara 4,1-11. Bilangan iod dari
VCO dengan inokulum 10 % sebesar 6,86 ini menunjukkan bahwa jumlah ikatan
rangkap yang ada dalam asam lemak tidak jenuh pada minyak, hanya sedikit yang
bereaksi dengan iod atau senyawa iod. Sehingga dapat dikatakan bahwa kandungan
asam lemak tidak jenuh di dalam minyak ini jumlahnya sedikit. Selain itu, minyak ini
tergolong baik karena mengandung asam lemak jenuh dalam jumlah besar dan derajat
ketengikannya rendah.
Besar kecilnya nilai bilangan penyabunan tergantung pada panjang pendeknya rantai
karbon asam lemak atau berat molekul dari lemak tersebut. Minyak yang disusun oleh
asam lemak berantai karbon pendek berarti mempunyai berat molekul relatif kecil, akan
mempunyai bilangan penyabunan yang besar dan minyak dengan berat molekul besar
mempunyai bilangan penyabunan relatif kecil (Sudarmadji dkk., 1996). Nilai bilangan
penyabunan dari VCO yang dihasilkan berkisar dari 253,88-254,58. Nilai ini memenuhi
standar mutu yang ditetapkan oleh APCC yaitu 250-260.
Penentuan bilangan penyabunan menggunakan larutan kalium hidroksida alkoholis.
Alkohol yang ada dalam kalium hidroksida ini berfungsi untuk melarutkan asam lemak
hasil hidrolisis agar mempermudah reaksi dengan basa sehingga terbentuk sabun
(Sudarmadji dkk., 1996).
Bilangan asam pada VCO berhubungan dengan kandungan asam lemak bebasnya.
Semakin tinggi bilangan asam maka kualitasnya akan semakin rendah. Bilangan asam
yang rendah dapat terjadi karena minyak lebih banyak mengandung asam lemak jenuh
yang lebih tahan terhadap kerusakan akibat proses oksidasi dibandingkan dengan asam
lemak tidak jenuh dan juga karena minyak belum lama disimpan sehingga belum
banyak terkontaminasi oleh lingkungan sekitar. Dari hasil penelitian, didapat nilai
bilangan asam 0,11 0,17. Menurut standar mutu APCC nilai bilangan asam maksimal
yaitu 0,5, sehingga VCO yang dihasilkan memenuhi standar mutu yang ada.
Analisis karakteristik kualitas VCO meliputi pengamatan warna, kadar asam lemak
bebas dan bilangan peroksida.
VCO yang dihasilkan dari proses fermentasi oleh N. sitophila ini memiliki warna
yang jernih seperti air. Hal ini disebabkan karena pada proses fermentasi ini tidak
melibatkan proses pemanasan. Suhu pemanasan yang tinggi akan mengekstraksi zat
warna yang terdapat dalam kelapa, terutama zat karoten yang menyebabkan warna
kuning pada minyak kelapa (Ketaren, 1986).
Asam lemak bebas erat kaitannya dengan bilangan asam, semakin tinggi bilangan
asam, semakin tinggi pula asam lemak bebas yang dihasilkan. Asam lemak bebas dapat
berasal dari hirdolisis minyak baik oleh air atau udara ataupun karena proses
pengolahan yang kurang baik (Alamsyah, 2005). Nilai kadar asam lemak bebas dari
VCO yang dihasilkan dari proses fermentasi oleh N. sitophila ini berkisar dari 0,04%
sampai 0,06%. Secara keseluruhan kadar asam lemak bebas dari VCO yang dihasilkan
memenuhi standar mutu APCC ( 0,5%).

248
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Bilangan peroksida digunakan untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak


atau lemak. Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena reaksi oksidasi
dan hidrolitik, baik enzimatik maupun non-enzimatik. Bilangan peroksida berguna
untuk menguji ketengikan minyak dengan mengukur senyawa-senyawa hasil oksidasi
seperti peroksida, asam lemak, aldehid dan keton. Bau tengik terutama disebabkan oleh
aldehid dan keton. (Sudarmadji dkk., 1996).
Pada Tabel 1. menunjukkan bahwa nilai bilangan peroksida dari VCO yang
dihasilkan dari berbagai variasi inokulum relatif sama yaitu 0,95. Nilai ini memenuhi
standar mutu APCC ( 3 meq/kg minyak). Nilai bilangan peroksida ini menunjukkan
bahwa VCO yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik dan dapat bertahan lama
tanpa menjadi tengik (tidak mudah teroksidasi), karena dibuat tanpa proses pemanasan.
Menurut Setiaji dan Prayugo (2006), proses pemanasan di atas suhu 80C dapat
menyebabkan kandungan antioksidan menguap dan hampir semua jenis protein
mengalami denaturasi. Oleh karena itu, minyak kelapa yang diproses melalui
pemanasan akan mudah teroksidasi sehingga menyebabkan ketengikan. Nilai bilangan
peroksida yang rendah menunjukkan bahwa VCO hasil fermentasi tahan terhadap
ketengikan karena jumlah peroksida yang terbentuk dari oksigen dan asam lemak tidak
jenuh sedikit (Ketaren, 1986).

Analisis Komposisi Asam Lemak VCO Christie (1993)


Analisis komposisi asam lemak VCO dilakukan dengan GC-MS. VCO sebelum
dianalisis dengan GC-MS, terlebih dahulu diderivatisasi menjadi ester asam lemak yang
bersifat lebih volatil. Pada penelitian ini dilakukan derivatisasi metil ester asam lemak
menggunakan hidrogen klorida metanolik. Christie (1993) menyatakan bahwa metode
hidrogen klorida metanolik merupakan metode terbaik untuk derivatisasi asam lemak
secara umum.
Sampel yang digunakan merupakan VCO dengan variasi inokulum 10% karena
VCO ini mempunyai karakterisrik identitas dan kualitas yang lebih bagus dibandingkan
dengan variasi 15% dan 20%. Berikut ini merupakan spektrum hasil GC-MS dari
derivat VCO dengan variasi inokulum 10% krim hasil fermentasi menggunakan N.
sitophila.

249
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar Spektrum hasil GC-MS dari derivat VCO hasil fermentasi menggunakan N.
Sitophila dengan variasi inokulum 10% terhadap krim menggunakan kolom DB
17 panjang 30 m pd suhu terprogram 100oC 260oC dengan kenaikan
10oC/menit.

Dari kromatogram yang dihasilkan terdapat tujuh macam asam lemak yang
terkandung dalam VCO hasil produksi yang dianalisis, yaitu asam kaprilat (C8:0), asam
kaprat (C10:0), asam laurat (C12:0), asam miristat (C14:0), asam palmitat (C16:0),
asam oleat (C18:1 -9) dan asam linoleat (C18:2 -6).
Data komposisi asam lemak VCO secara fermentasi menggunakan N. sitophila
dengan variasi inokulum 10 % terhadap krim, menunjukkan bahwa kandungan VCO
yang dianalisis terdiri dari asam lemak jenuh sebesar 91,79% dengan kandungan
tertinggi yaitu asam laurat sebesar 48,06% dan asam lemak tak jenuh sebesar 8,21%.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut :
1. Semakin tinggi penambahan volume inokulum terhadap krim maka jumlah VCO
yang dihasilkan dengan cara fermentasi menggunakan N. sitophila semakin
banyak.
2. Karakteristik identitas dan kualitas VCO yang dihasilkan dengan cara fermentasi
menggunakan N. sitophila memenuhi standar APCC.

250
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

3. Komposisi asam lemak VCO yang dihasilkan dengan cara fermentasi


menggunakan N. sitophila, dengan variasi inokulum 10% terhadap krim
menghasilkan asam laurat terbesar yaitu 48,06%.

Daftar Pustaka
Alamsyah, A.N. 2005. Virgin Coconut Oil: Minyak Penakluk Aneka Penyakit
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Sedarnawati & Budianto, S. 1989.
Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Astawan, M. 2009. Sehat dengan Hidangan kacang dan Biji-bijian. Penebar
Swadaya. Jakarta
Christie, W. W. 1993. Preparation of ester derivatives of fatty acids for
chromatographic analysis. Advances in Lipid Methodology. 2: 69-111.
Fardiaz, S.1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fife, B. 2005. Coconut Oil Miracle. Diterjemahkan oleh Annisa Rahmalia. Bhuana
Ilmu Populer. Jakarta.
Gani, Z., Harinawati, Y. & Dede. 2005. Bebas Segala Penyakit dengan VCO.
Puspam Swara. Jakarta.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press.
Jakarta.
Kuswandana, F. 2008. Pembuatan Minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil)
Secara Fermentasi dengan Bantuan Rhizopus sp. Skripsi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. Bandung.
Mudarwan. 2011. Jamur Oncom. http://mudarwan.wordpress.com/ diakses pada
22/09/2011.
Naily, W. 2006. Produksi Minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil) dengan Cara
Fermentasi Menggunakan Rhizopus oligosporus. Skripsi. Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. Bandung.
Naiola, E. 2008. Pembuatan starter untuk ekstraksi minyak kelapa murni
menggunakan mikroba amilolitik. Berita Biologi. 9 (1), 31-38.
Price, M. 2004. Terapi Minyak Kelapa. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta.
Rahmawati, N.A. 2009. Produksi Minyak Kelapa Murni (VCO) dengan Metode
Enzimatis Menggunakan Ekstrak Bonggol Buah Nanas. Skripsi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. Bandung.
Rindengan, B. & Novarianto, H. 2005. Virgin Coconut Oil: Pembuatan dan
Pemanfaatan Minyak Kelapa Murni. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rosenthal, A., Pyle, D.L. & Niranjan, K. 1996. Aqueous and enzymatic processes
for edible oil extraction. Enzyme and Microbial Technology. 19(6), 402-420.
Setiaji, B & Prayugo, S. 2006. Membuat VCO Berkualitas Tinggi. Penebar
Swadaya Jakarta.
Sudarmadji, S., Haryono, B& Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian
. Liberty. Yogyakarta.

251
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Sutarmi & Rezaline, H. 2005. Takl ukkan Penyakit dengan VCO. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Wahdini, Z. 2005. Optimasi Agitasi Pembuatan Minyak Kelapa Hasil Fermentasi
Rhizopus oligosporus yang Mengandung Isoflavon. Skripsi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung.
Bandung
Walters, D.R. 2003. Lauric acid exhibits antifungal activity agains plant pathogenic
fungi. J.Phytopathol. 151, 228-230.

252
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Spesifisitas Produk Siklodekstrin dari Enzim Siklodekstrin


Glikosiltransferase (CGTase) Bacillus sp. PT2B

Nur Miftahurrohmah1*, Catur Riani2, Debbie S. Retnoningrum2


1
Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila,
Jln. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
2
Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung,
Jln. Ganeca No. 10, Bandung.
*
Email: fz28306@yahoo.com

ABSTRAK
Siklodekstrin glikosiltransferase (CGTase, EC No. 2.4.1.19) merupakan suatu enzim
industrial penting yang mengkonversi pati menjadi siklodekstrin (CD). Enzim ini diproduksi
secara ekstraseluler oleh mikroba yang umumnya berasal dari genus Bacillus. CD banyak
digunakan dalam industri farmasi, kosmetik, kimia, makanan dan proteksi lingkungan
karena dapat membentuk kompleks dengan senyawa-senyawa hidrofob dan mengubah sifat
fisikokimianya. Berdasarkan jenis CD dominan yang dihasilkannya, CGTase dibedakan
menjadi CGTase-, dan yang masing-masing menghasilkan CD- , dan sebagai
produk utamanya. Pada penelitian sebelumnya, telah diperoleh isolat bakteri lokal yang
dinamakn Bacillus sp. PT2B sebagai penghasil CGTase. Enzim CGTase PT2B diketahui
memiliki bobot molekul 60 kDa, suhu optimum 60oC dan pH optimum 8. Pada penelitian ini
akan dilakukan analisis spesifisitas produk CGTase Bacillus sp. PT2B untuk mengetahui
jenis CD dominan yang dihasilkan serta pengaruh gelatinasi substrat pati dapat larut
terhadap jumlah CD yang dihasilkan. Enzim direaksikan dengan substrat pati dapat larut
selama 24 jam pada suhu dan pH optimumnya. Jenis dan jumlah produk CD yang dihasilkan
dianalisis menggunakan KCKT detektor indeks refraksi, fase gerak asetonitril air 70:30 dan
kecepatan alir 1 ml/menit. Hasil menunjukkan bahwa produk CD yang dihasilkan CGTase
Bacillus sp. PT2B adalah CD- dan dengan perbandingan 84:16 (4,58:0,89 g/l)
menggunakan substrat pati dapat larut 1% (b/v) tergelatinasi dan 100:0 (0,29:0 g/l)
menggunakan substrat pati dapat larut 1% b/v tidak tergelatinasi. Dari hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa CGTase dari Bacillus sp.PT2B adalah CGTase- dan substrat pati
dapat larut tergelatinasi menghasilkan jumlah CD lebih banyak daripada yang tidak
tergelatinasi.

Kata Kunci: Bacillus sp. PT2B, pati dapat larut, siklodekstrin, siklodekstrin glikosiltrans-
ferase (CGTase),spesifisitas produk.

Pengantar
Siklodekstrin glikosiltransferase (CGTase, EC 2. 4. 1. 19) merupakan enzim yang
mengkatalisis reaksi transglikosilasi dan hidrolisis pati menjadi senyawa oligosakarida
siklik yaitu siklodekstrin (CD). Enzim CGTase dihasilkan secara ekstrasel oleh
beberapa bakteri dan archaea serta Actinomycetes (Endo dkk, 2002). Berdasarkan

253
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

produk siklisasi dominan yang dihasilkan, CGTase diklasifikasikan menjadi tiga jenis
yaitu CGTase-, dan (Qi dan Zimmermann, 2005).
Terdapat tiga jenis utama CD yaitu CD-, dan yang masing-masing terdiri dari 6,
7 dan 8 unit glukosa. Ketiga jenis CD ini biasanya dihasilkan dalam bentuk campuran
yang komposisinya bergantung pada sumber mikroba penghasil CGTase serta kondisi
reaksi (Kelly dkk, 2009). CD memiliki struktur khas dengan bentuk tiga dimensi
menyerupai donat yang bagian tengahnya bersifat relatif hidrofob dan luarnya hidrofil.
Struktur yang demikian menjadikan CD mampu menangkap senyawa asing hidrofob
dan mengubah sifat fisikokimianya. Oleh karena itu, CD banyak dimanfaatkan dalam
formulasi produk farmasi untuk meningkatkan kelarutan, meningkatkan ketersedian
hayati, stabilitas, mengurangi volatilitas serta menutupi rasa dan bau yang kurang baik.
Selain itu, CD juga dimanfaatkan dalam industri kosmetik, makanan, kimia dan
penanganan masalah lingkungan (Szejtli, 2004). Aplikasi yang luas dari CD memicu
munculnya penelitian-penelitian untuk memperoleh mikroba penghasil CGTase.

Bagian dalam
hidrofob
CD- CD- CD-
Bagian luar
hidrofil

(i) (ii)

Gambar 1. Struktur kimia CD-, dan (i) serta ilustrasi molekul CD (ii) (Van der Veen
dkk, 2000). A = Diameter eksternal; B = Diameter internal.

Pada tahun 2010, di Laboratorium Bioteknologi Sekolah Farmasi ITB telah


diperoleh isolat dari sampel lingkungan lokal yang menghasilkan enzim CGTase
menggunakan media Horikoshi sebagai media skrining. Isolat tersebut dinamakan
PT2B yang teridentifikasi termasuk dalam genus Bacillus berdasarkan analisis 16S
rDNA nya (Sagita, 2011). Pada penelitian sebelumnya telah berhasil dilakukan
produksi, pemurnian sebagian dan karakterisasi enzim yang meliputi penentuan suhu
dan pH optimum serta suhu dan pH stabilita CGTase PT2B. Enzim CGTase PT2B
optimum pada suhu 60C dan pH 8 (Miftahurrohmah, 2012). Pada penelitian ini
dilakukan karakterisasi enzim CGTase PT2B untuk menentukan spesifisitas produk CD
yang dihasilkan, sehingga dapat diketahui jenis CGTase PT2B. Selain CD dominan
yang dihasilkan, pada penelitian ini juga dianalisis pengaruh gelatinasi pati terhadap
jumlah CD yang dihasilkan.

Bahan dan Metode


Bahan
Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian ini meliputi: media Horikoshi tanpa
indikator warna {1% (b/v) pati dapat larut/pati dapat larut (Merck), 0,5% (b/v) pepton
(Oxoid), 0,5% (b/v) yeast extract (Oxoid), 0,02% (b/v) MgSO4.7H2O (Merck), 0,1%
(b/v) K2HPO4, 1% (b/v) Na2CO3} (Park dkk, 1989); amonium sulfat (Merck); dapar
254
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tris-Cl; HCl; NaOH; air suling; air dua kali penyulingan; air deion dan asetonitril (JT
Baker). Mikroba yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat Bacillus sp. PT2B
dari Laboratorium Bioteknologi Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung.

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi inkubator (Leoueux, Paris),
inkubator goyang (GSL), autoklaf (OMRON Corporation), laminar air flow cabinet
(Microflow), mikropipet (Eppendorf), tip mikropipet (Axygen), oven (LTE, Ltd.),
sentrifuga (Sorvall, Legend Micro 17 centrifuge), sentrifuga (Mikro200R zentrifugen
Hettich), sentrifuga (Allegra X-15R), tabung mikrosentrifuga 1,5 mL dan 200 L
(Eppendorf), membran dialisis cut off 2 kDa, Nanosep cut off 10 kDa, timbangan
elektrik (Sartorius BP3105), vorteks (Barnstead, Thermolyne), magnetic stirrer,
spektrofotometer sinar tampak (Beckman), pH meter, mikroskop cahaya (Olympus),
kromatografi cair kinerja tinggi dengan detektor indeks refraksi (Hitachi D-2000 RI-
Detector L-2490, Pump HT A L-2130, Jepang) dan kolom KCKT (Waters Spherisorb
NH2 Column, 5 m, 4,6 x 250 mm, Irlandia).

Metode
Produksi dan Isolasi CGTase yang Dimurnikan secara Parsial
Isolat Bacillus sp. PT2B diinkubasi dalam media Horikoshi cair tanpa indikator
warna selama semalam pada suhu 37 C (biakan induk). Biakan induk disub-kultur ke
media Horikoshi cair segar hingga OD660 awal 0,1 dan diinkubasi dalam inkubator
goyang pada 37 C selama 48 jam. Kultur disentrifuga pada 4 C, 4973,7 g selama 15
menit untuk mendapatkan supernatan. Supernatan yang diperoleh dipekatkan dengan
freeze dryer hingga volumenya berkurang menjadi volume awal. Ke dalam
konsentrat supernatan ditambahkan garam amonium sulfat hingga mencapai 76,9 %
saturasi pada 4 C. Campuran tersebut kemudian disentrifuga pada 4 C, 4973,7 g
selama 15 menit. Presipitat yang diperoleh diresuspensi dengan dapar Tris-Cl 15 mM
pH 8,0 (+ 3 kali bobot presipitat). Selanjutnya, larutan protein tersebut didialisis
menggunakan membran dialisis cut off 2 kDa dan larutan dapar Tris-Cl 3 mM pH 8,0.
Dialisis dilakukan selama semalam dengan tiga kali penggantian dapar. Dialisat
dipekatkan dengan Nanosep cut off 10 kDa dan sentrifugasi pada 4 C, 13.304,3 g
selama 10 menit. Fraksi yang diperoleh dari hasil pemekatan dengan Nanosep ini
selanjutnya dinamakan enzim CGTase yang dimurnikan secara parsial.

Uji Spesifisitas Produk Siklisasi


Sebanyak masing-masing 50 l enzim CGTase PT2B yang dimurnikan secara
parsial (setara dengan 0,035 UA) diinkubasi pada suhu 60 C selama 24 jam bersama
dengan pati dapat larut dengan beberapa konsentrasi dan kondisi: 1% (b/v) dan 10%
(b/v) tanpa pregelatinasi serta 1% (b/v) dengan pregelatinasi, dalam 1 ml dapar Tris-Cl
50 mM pH 8,0. Pregelatinasi pati dilakukan dengan memanaskan larutan pati pada suhu
80 C selama 15 menit sebelum direaksikan dengan enzim. Reaksi enzimatik dihentikan
dengan penambahan 100 l HCl 1,2 N. Rasio produk siklisasi dianalisis menggunakan
alat KCKT dengan detektor indeks refraksi dan kolom NH2 (Waters Spherisorb NH2
Column, 5 m, 4,6 x 250 mm). Fase gerak yang digunakan adalah asetonitiril : air
255
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

(70:30) dengan laju alir 1,0 ml per menit (Rahman dkk, 2006). Sebagai pembanding
digunakan larutan standard CD-, , .

Hasil dan Pembahasan


Siklodekstrin glikosiltransferase (CGTase) memiliki nama sistematik 1,4--D-
glukan 4--D-(1,4--glikosil)-transferase (EC 2.4.1.19), termasuk dalam superfamili -
amilase, famili hidrolase glikosida 13 (GH 13) yang mengakatalisis reaksi
transglikosilasi dan hidrolisis pati menjadi senyawa oligosakarida siklik berupa CD-,
dan . Reaksi ini terjadi dengan memotong ikatan -1,4-glikosidik yang terdapat di
dalam molekul polisakarida (Qi dan Zimmerman, 2005).
Jenis CGTase dibedakan berdasarkan spesifisitas produk CD dominan yang
dihasilkannya. Analisis produk siklisasi yang dihasilkan dapat dianalisis menggunakan
spektrofotometer VIS maupun dengan KCKT. Analisis dengan spetrofotometer VIS
didasarkan pada kemampuan CD untuk membentuk kompleks inklusi dengan zat warna
yang mengakibatkan perubahan absrobansi zat warna tersebut pada panjang gelombang
tertentu (CD- dengan metil jingga pada 505 nm; CD- dengan fenolftalin pada 550
nm; CD- dengan hijau bromokresol pada 630 nm).
Pada metode spektrofotometri, selain memerlukan zat warna yang berbeda untuk
deteksi CD, metode ini juga sangat dipengaruhi oleh kondisi reaksi seperti kekuatan
ionik, pH serta kemungkinan adanya senyawa lain yang mampu berikatan dengan zat
warna yang digunakan (Makela dkk, 1987; Qi dan Zimmermann, 2005). Oleh karena
itu, dalam penelitian ini dipilih metode KCKT untuk menganalisis produk siklisasi yang
dihasilkan. Untuk menentukan spesifistas produk siklisasi dari CGTase PT2B
digunakan KCKT dengan detektor indeks refraksi. Detektor berbasis indeks refraksi
merupakan detektor universal yang mampu mendeteksi senyawa gula. Kromatogram
hasil analisis produk siklisasi dengan KCKT dan rasio produk siklisasi yang dihasilkan
ditunjukkan pada Gambar 2 dan Tabel 1.
Dari Gambar 2 dan Tabel 1, terlihat bahwa CGTase yang dimurnikan secara parsial
dari isolat PT2B menghasilkan CD- sebagai produk yang paling dominan setelah 24
jam inkubasi pada suhu dan pH optimumnya. Selain CD- juga dihasilkan CD- dalam
jumlah kecil, sementara CD- tidak terdeteksi. Profil spesifisitas produk siklisasi yang
dihasikan oleh CGTase PT2B di mana CD- lebih dominan daripada CD- dan tidak
ada CD- yang terdeteksi adalah mirip dengan profil yang dihasilkan oleh CGTase dari
Bacillus TS1-1 (Rahman dkk, 2006) dan Bacillus G1 (Ong dkk, 2008). Perbandingan
sifat/karakter enzim CGTase dari beberapa isolat Bacillus yang memiliki kedekatan
spesies dengan PT2B ditampilkan dalam Tabel 2.

Tabel 1. Produk siklisasi CGTase yang dimurnikan secara parsial dari Bacillus sp. PT2B.
Substrat Rasio produk siklisasi (CD- : : )
Pati dapat larut 1% (b/v) tergelatinasi 0 : 84 :16 (0 : 4,58 : 0,89 g/l)
Pati dapat larut 1% (b/v) tidak tergelatinasi 0:1:0 (0 : 0,29 : 0 g/l)
Pati dapat larut 10% (b/v) tidak tergelatinasi 0 : 85 : 15 (0 : 2,77 : 0,48 g/l)

256
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

40

30

20

10

d (d) 0
d
(d)
(d)
-10

-20
( m V )

-30
Intensitas (mV)

(c)
I n t e n s i t y

c
(c) -40
c
(c)
-50

-60

-70

b
(b) -80 b (b)
(b)
-90

-100

-110

a
(a) -120 a (a)
(a)
-130
CD-a CDb CD-g
-140

-150

30 0 5 10 15 20 25 30
Retention Time (min)
a) CD - Vial 1 Inj 1 Waktu retensi (menit)
STANDARD001 - Channel 1
b) CD - Vial 1 Inj 1 STANDARD001 - Channel 1
c) CD - Vial 1 Inj 1 STANDARD001 - Channel 1
d) CD - Vial 1 Inj 1 STANDARD001 - Channel 1

Gambar 2. Multichromatogram display PT2B hasil reaksi siklisasi enzim CGTase yang
dimurnikan secara parsial dari Bacillus sp. PT2B. (a) Standard CD-, dan
(1:5:5 g/l); (b) Substrat pati dapat larut 1% (b/v) tergelatinasi; (c) Substrat
pati dapat larut 1% (b/v) tidak tergelatinasi; (d) Substrat pati dapat larut 10%
(b/v) tidak tergelatinasi.

257
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 2. Perbandingan profil CGTase dari beberapa spesies Bacillus.


Sumber BM Topt Tstab Rasio
pHopt pHstab Pustaka
CGTase (kDa) (C) (C) CD- : :
PT2B 82 60 54,99 7-9 7-10 0 : 84 : 16 Penelitian ini
Bacillus 75 60 60 6 5-10 0 : 90 : 10 Ong dkk, 2008
sp. G1
Bacillus 75 60 70 6 7-9 0 : 86 : 14 Rahman dkk,
sp. TS-1 2006
Bacillus 74,14 - 53 6 - - Kaneko dkk,
sp. 17-1 1989
Bacillus 78,66 37 - 10(7)* - 0,5 : 91,1 : Ramli dkk,
sp. NR5- 8,4 2010 dan 2011
UPM
Bacillus - 45 - 7 - 0,0132 : Yunianto dkk,
BK-1 0,1402 : 2000
0,0012
Keterangan : * : CGTase rekombinannya.
- : Tidak ada data.

Berdasarkan data pada Tabel 1, CGTase yang dimurnikan secara parsial dari PT2B
menghasilkan CD- : CD- dengan rasio 84:16 dari substrat pati dapat larut 1% (b/v)
tergelatinasi, sedangkan CD- tidak terdeteksi pada penggunaan substrat pati dapat larut
1% (b/v) tidak tergelatinasi. Rasio yang hampir sama dihasilkan dari substrat pati dapat
larut 10% (b/v) yang tidak dipregelatinasi, yaitu 85:15. Dengan demikian, perlakuan
terhadap substrat berupa pregelatinasi (dipanaskan pada suhu 80 C selama 15 menit)
sebelum direaksikan dengan enzim tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap
rasio produk siklisasi yang dihasilkan.
Meskipun demikian, perlakuan pregelatinasi terhadap substrat sebelum direaksikan
dengan enzim sangat berpengaruh terhadap jumlah CD yang dihasilkan. Dengan
menggunakan substrat pati dapat larut 1% (b/v) tanpa perlakuan pregelatinasi, CD-
yang dihasilkan oleh CGTase dari PT2B adalah 0,29 g/l dan jumlah CD- yang
dihasilkan meningkat menjadi 4,58 g/l dengan substrat pati dapat larut 1% (b/v)
tergelatinasi. Jumlah ini masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan produk CD-
yang dihasilkan dari substrat berupa pati dapat larut 10% (b/v) yang tidak tergelatinasi
(2,77 g/l) .
Efek perlakuan terhadap substrat berupa pregelatinasi dalam meningkatkan produksi
CD diantaranya dilaporkan pada CGTase dari Bacillus agaradhaerens KSU-A11
(Ibrahim dkk, 2011). Pati kentang (pati dapat larut) yang tidak dipregelatinasi
merupakan struktur kristalin yang kompak sehingga sulit diuraikan oleh enzim-enzim
pendegradasi pati karena lemahnya interaksi antara enzim dengan granul-granul pati.
Proses gelatinisasi mengakibatkan struktur kristalin pati rusak akibat pemanasan dalam
lingkungan air. Pati yang tergelatinasi mengembang secara ireversibel sehingga
menciptakan luas permukaan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan enzim (Tester
dkk, 2004; Ibrahim dkk, 2011).

258
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kesimpulan dan Saran


Enzim CGTase dari Bacillus sp. PT2B menghasilkan produk siklisasi berupa CD-
yang dominan dibandingkan dengan CD- dengan rasio CD-:CD- sebesar 1:0 (0,29:0
g/l) menggunakan substrat pati dapat larut 1% (b/v) tidak tergelatinasi, 84:16
(4,58:0,89 g/l) menggunakan substrat pati dapat larut 1% (b/v) tergelatinasi dan
85:15 (2,77:0,48 g/l) menggunakan substrat pati dapat larut 10% (b/v) tidak
tergelatinasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa CGTase PT2B merupakan
CGTase-. Penggunaan susbtrat pati dapat larut tergelatinasi dan tidak tergelatinasi
tidak memberikan pengaruh berarti terhadap jenis produk CD dominan yang dihasilkan
namun sangat berpengaruh terhadap jumlah CD- yang dihasilkan. CD- dihasilkan
dalam jumlah yang lebih banyak dengan menggunakan substrat pati dapat larut yang
tergelatinasi.
Untuk penelitian lanjutan disarankan menggunakan beberapa macam substrat pati
untuk mengetahui jenis pati terbaik yang dapat menghasilkan CD- dalam jumlah yang
maksimal.

Daftar Pustaka
Endo, T., Zheng, M. dan Zimmermann, W. (2002) : Enzymatic synthesis and
analysis of large-ring cyclodextrins, Australian Journal of Chemistry, 55, 39-
48.
Ibrahim, A.S.S., El-Tayeb, M.A., Elbadawi, Y.B. dan Al-Salamah, A.A. (2011).
Effects of substrates and reaction conditions on production of cyclodextrins
using cyclodextrin glucanotransferase from newly isolated Bacillus
agaradhaerens KSU-A11, Electronic Journal of Biotechnology, 14(5).
Kaneko, T., Song, K.B., Hamamoto, T., Kudo, T. dan Horikoshi, K. (1989) :
Construction of a chimeric series of Bacillus cyclomaltodextrin
glucanotransferase and analysis of the thermal stabilities and pH optima of
the enzyme. Journal of General Microbiology, 135, 3447-3457.
Kelly, R.M., Dijkhuizen, L. dan Leemhuis, H. (2009) : The evolution of
cyclodextrin glucanotransferase product specificity, Applied Microbiology
and Biotechnolgy, 84, 119133.
Makela, M., Korpela, T. dan Laakso, S. (1987) : Colorimetric determination of -
cyclodextrin: two assay modifications based on molecular complexation of
phenolphthalein, Journal of Biochemistry and Biophysical Methods, 14, 85-
92.
Miftahurrohmah, N. (2012) : Karakterisasi Enzimatik Siklodekstrin
Glikosiltransferase yang Dimurnikan Sebagian dari Bacillus sp. LT1B dan
PT2B Asli Indonesia [tesis], Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Ong, R.I., Goh, K.M., Mahadi, N.M., Hassan, O., Rahman, R.N.Z.R.A. dan Illias,
R.M. (2008) : Cloning, extracellular expression and characterization of a
predominant -CGTase from Bacillus sp. G1 in E.coli, Journal of Indian
Microbiology and Biotechnology, 35, 1705-1714.
Park, C.S., Kwan, H.P. dan Seung, H.K. (1989) : A rapid screening method for
alkaline -cyclodextrin glucanotransferase using phenolftalein-methyl

259
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

orange-containing-solid medium, Agricultural Biology and Chemistry, 53,


1167-1169.
Rahman, K., Illias, R.M., Hassan, O., Mahmood, N.A.N., Rashid, N.A.A. (2006) :
Molecular cloning of a cyclodextrin glucanotransferase gene for alkalophilic
Bacillus sp. TS1-1 and characterization of the recombinant enzyme, Enzyme
and Microbial Technology, 39, 74-84.
Ramli, N., Suraini, A.A., Hassan, M.A., Alitheen, N. dan Kamaruddin K. (2010) :
Potential cyclodextrin glycosyltransferase producer from locally isolated
bacteria, African Journal of Biotechnology, 9, 7317-7321.
Sagita, D. (2011) : Isolat Indonesia LT1B dan PT2B Penghasil Siklodekstrin
Glukanotransferase (CGTase): Karakterisasi Spesies, Urutan Gen cgtase dan
Profil Enzim, Tesis Magister, Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung.
Szejtli, J. (2004) : Past, present, and future of cyclodextrin research, Pure and
Applied Chemistry, 76(10), 1825-1845.
Tester, R.F., Karkalas, J. dan Qi, X. (2004) : Starchcomposition, fine structure and
architecture, Journal of Cereal Science, 39(2), 151-165.
Van der Veen, B.A., Uitdehaag, J.C.M., Djikstra, B.W. dan Dijkhuizen, L. (2000) :
Engineering of cyclodextrin glycsyltransferase reaction and product
specificity, Biochimica et Biophysica Acta, 1543, 336-360.
Yunianto, P., Rahayu, K. dan Wahyuntari, B. (2000) : Pengaruh pH dan suhu
terhadap produksi b-siklodekstrin glikosiltrasferase (b-CGTase) oleh Bacillus
sp. BK-1, Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 2, 27-31.

260
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Aktivitas Sitotoksik Dari Ekstrak Buah Gewang


(Corypha Utan Lamk) Terhadap Sel Kanker Murin Leukimia
P-388

Leny Heliawati*1.2, Tri Mayanti2, Agus Kardinan3,


Roekmi-ati Tjokronegoro2
1
Universitas Pakuan, Bogor
2
Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung
3
Balai Penelitian Obat dan Aromatik, Bogor
Email : leny_heliawati@yahoo.com

ABSTRAK
Buah gewang (Corypha Utan lamk) secara tradisional oleh masyarakat Timor Nusa
Tenggara Timur biasa digunakan untuk meracuni ikan. Data empiris ini mengindikasikan
adanya senyawa toksik dalam buah gewang. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
aktivitas sitotoksik ekstrak buah gewang terhadap sel kanker Murin Leukimia P-388.
Metode penelitian diawali dengan maserasi biji dan daging buah gewang menggunakan
pelarut methanol .Ekstrak metanol yang diperoleh diuji toksisitasnya menggunakan BSLT
(Brine Shrimp Lethality Test). Ekstrak metanol dengan toksisitas tertinggi kemudian diuji
aktivitas antikankernya terhadap sel Murin Leukimia P-388. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ekstrak metanol biji gewang dengan toksisitas tertinggi memberikan nilai LC50 =97
ppm dan uji sitotoksik terhadap sel Murin Leukimia P-388 memberikan nilai IC50 = 15,6
ppm.

Kata Kunci : Corypha utan Lamk, sel Murin Leukimia P-388, BSLT, ekstraksi.

Pengantar
Gewang (Corypha utan Lamk) adalah sejenis tanaman palem yang tumbuh liar di
savana Nusa Tenggara Timur (NTT). Buah gewang biasa digunakan untuk meracuni
ikan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur. Pemanfaatan tradisional ini menunjukkan
adanya sifat toksik pada buah gewang sehingga menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Tujuan penelitian ini.adalah untuk mengetahui adanya aktivitas toksik dari buah
gewang terhadap larva udang Artemia salina dan aktivitas sitotoksiknya terhadap sel
murin leukimia P- 388 sehingga dapat diketahui potensinya sebagai antikanker.
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode skrining untuk
menentukan aktivitas toksik suatu ekstrak ataupun senyawa. Metode BSLT juga sering
digunakan untuk bioassay dalam usaha mengisolasi senyawa toksik tersebut dari
ekstrak. Metode ini seringkali dimaknai lebih dari sekedar uji toksisitas. Bila bahan
yang diuji memberikan efek toksik terhadap larva udang, maka hal ini merupakan
indikasi awal dari efek farmakologi yang terkandung dalam bahan tersebut. Menurut
Meyer et al.(1982)1, beberapa penelitian menunjukkan bahwa A. salina memiliki
korelasi positif terhadap ekstrak yang bersifat bioaktif, juga banyak digunakan dalam

261
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

berbagai analisis biosistim seperti analisis terhadap residu pestisida, mikotoksin, polusi,
senyawa turunan morfin, dan karsinogenik dari phorbol ester.
Penelitian Carballo dkk menunjukkan adanya hubungan yang konsisten antara
toksisitas dan letalitas Brine shrimp pada ekstrak tanaman. Metode BSLT dapat
dipercaya untuk menguji aktivitas farmakologis dari bahan-bahan alami. Apabila suatu
ekstrak tanaman bersifat toksik menurut harga LC50 dengan metode BSLT, maka
tanaman tersebut dapat dikembangkan sebagai obat anti kanker. Namun, bila tidak
bersifat toksik maka tanaman tersebut dapat diteliti kembali untuk mengetahui khasiat
lainnya dengan menggunakan hewan coba lain yang lebih besar dari larva Artemia
salina seperti mencit dan tikus secara in vivo (Carballo et al., 2002)2.
Sel murin Leukemia P-388 merupakan salah satu jenis sel tumor yang dijadikan
sebagai salah satu uji protokol sitotoksik oleh lembaga NCI (National Cancer Institute)
Amerika. Hasil pengujian menggunakan sel ini seringkali dijadikan dasar pada uji-uji
sejenis, lebih lanjut dalam rangka mendapatkan senyawa model atau kandidat obat
kanker (Hoetettman and Hamburger, 1991). Berdasarkan Alley (1998) ekstrak
dinyatakan aktif sitotoksik apabila memiliki nilai IC50 < 20 ppm.

Bahan dan Metode


Bahan
Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian buah gewang
yang diperoleh daerah Buat Soe Kabupaten Timor Tengah Selatan, propinsi Nusa
Tenggara Timur, sel Murin P-388, DMSO, PBS (Phosphate Buffer Solution), pereaksi
MTT [3-(4,5-dimeitltiazo-2-il-)-2,5-difenil tetrazolium bromida], FBS (Fetal Bovine
Serum), untuk BSLT : garam laut, larva udang A. Salina

Metode
Pengambilan Sampel dan Ekstraksi
Pengambilan sampel buah Gewang dilakukan di Daerah Buat, Soe Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 3,9 kg buah Gewang
segar dipotong kemudian dipisahkan antara biji dan daging buahnya. Biji dan daging
buahnya dihancurkan dengan menggunakan mesin penggiling dan dimaserasi dengan
menggunakan masing-masing 4 dan 3 liter pelarut metanol. Maserasi dilakukan selama
3 hari. Setelah 3 hari maserat dipisahkan dari ampas dengan cara penyaringan. Maserat
dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator dengan tekanan vakum pada suhu
40C sehingga diperoleh ekstrak pekat metanol.

Uji aktifitas toksik terhadap larva A. Salina


Prinsip kerja uji sifat toksik terhadap larva udang A. Salina sebagai berikut : sampel
dipersiapkan dengan berbagai konsentrasi mulai konsentrasi 1000 sampai 15.725 ppm,
menggunakan system triplo. Larva udang dimasukkan sampel tersebut dan dibiarkan
selama 24 jam. Jumlah rata-rata larva udang yang mati kemudian dibandingkan dengan
jumlah rata-rata total awal larva udang yang dijadikan sampel dan dihitung
menggunakan Bliss metode (Meyer, 1982)

Uji aktifitas sitotoksik terhadap sel Murin leukimia P-388


262
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Prinsip kerja pengukuran sifat sitotoksik terhadap sel kanker murin leukimia P-388
adalah sebagai berikut:aktivitas senyawa-senyawa dan artonin E (senyawa pembanding)
dinyatakan dengan penentuan IC50 yaitu konsentrasi sampel atau pembanding yang di
butuhkan untuk menginhibisi 50% sel tumor murin leukimia P-388 melalui pewarnaan
pereaksi MTT, yang diamati dengan microplate reader pada 540 nm. Uji dilakukan
dengan cara menambahkan berbagai konsentrasi senyawa dan artonin E pada sel tumor
P-388.Setelah di inkubasi selama 48 jam , kedalam sampel ditambahkan pereaksi warna
.Kemudian diinkubasi kembali selama 4 jam.Jumlah sel tumor yg terinhibisi oleh
sampel di hitung serapan nya dengan menggunakan microplate reader pada panjang
gelombang 540 nm setelah penambahan pereaksi stop solution..Nilai IC50 dapat
dihitung melelui ekstrapolasi garis 50% serapan control positif pada kurva serapan
terhadap konsentrasi sampel diatas kertas semilogaritma

Hasil dan Pembahasan


Buah tumbuhan Corypha utan Lamk yang didapat dari daerah Buat Soe
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur dihancurkan dengan
mesin penggiling dan diperoleh sebanyak 3,9 kg. Biji dan daging buahnya dipisahkan
dan dimaserasi secara terpisah. Massa biji 1,3 kg sedangkan buah 2,6 kg. Pemotongan
sampel dilakukan agar dapat memperbesar luas permukaan dan memecah dinding sel
sampel sehingga senyawa-senyawa kimia yang terkandung di dalamnya dapat
terekstraksi secara maksimal.
Sampel yang telah dihancurkan kemudian diekstraksi dengan cara maserasi dengan
pelarut metanol selama 3x24 jam pada suhu ruang. Pengekstraksian dilakukan untuk
memaksimalkan ekstraksi sampel karena dengan jangka waktu tersebut filtrat metanol
sudah berkurang warnanya, artinya pelarut maksimal dalam mengambil senyawa-
senyawa dalam sampel. Penggunaan metanol dalam proses maserasi dikarenakan
metanol dapat melarutkan senyawa-senyawa polar dan nonpolar
sehingga sangat baik untuk mengekstrak kandungan metabolit sekunder dalam
tanaman (Cordell, 1981)4. Adapun pemilihan teknik maserasi sebagai metode ekstraksi
dikarenakan senyawa-senyawa yang akan diisolasi belum diketahui karakteristik
senyawanya, sehingga penggunaan ekstraksi bersuhu tinggi seperti sokletasi dihindari
untuk mencegah terdekomposisi atau rusaknya senyawa-senyawa yang tidak tahan
panas. Namun, maserasi memiliki kekurangan, yaitu prosesnya memerlukan waktu
yang cukup lama dan pelarut yang lebih banyak bila dibandingkan dengan metode
sokletasi.
Maserat kemudian disaring dan dipekatkan menggunakan rotatory evaporator pada
tekanan rendah dan suhu 40C sehingga diperoleh ekstrak pekat metanol biji dan buah.
Teknik penguapan pelarut dengan evaporator ini dilakukan untuk mendapatkan ekstrak
n-heksana, etil asetat, dan metanol pekat dengan cepat dan efisien. Evaporator
dilengkapi pompa vakum atau aspirator, sehingga tekanan dalam sistem menjadi
rendah. Pada tekanan yang rendah, titik didih suatu senyawa menjadi lebih rendah,
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menguapkan pelarut menjadi lebih cepat.
Penggunaan suhu 40C bertujuan untuk mencegah dekomposisi senyawa yang
terkandung dalam ekstrak. Hasil ekstraksi buahgewang seperti tertera dalam Tabel 1

263
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Table 1 Hasil ekstraksi dari buah gewang


Massa Ekstrak
Sampel (kg)
Metanol (g)
Biji (1,3) 21,99
Daging buah (2,6) 261,51

Bhrine Shrimp Lethality Test (BSLT)


Metode BSLT ini digunakan untuk memantau adanya aktivitas toksik dari suatu
ekstrak tanaman. Larva udang (A. salina) merupakan hewan avertebrata yang sangat
sensitif dengan lingkungan sekitarnya, sehingga sangat cocok sebagai hewan uji
aktivitas toksik . Selain itu, permukaan kulit A. salina yang sangat tipis sehingga mudah
dimasuki oleh zat-zat tertentu. Senyawa yang bersifat toksik akan masuk ke dalam
tubuh A. salina melalui kulitnya, karena kulitnya yang begitu halus dan berfungsi
sebagai alat pernapasannya.
Sebagai panduan untuk tahapan selanjutnya, maka dilakukan uji toksisitas
terhadap ekstrak metanol biji gewang dan daging buah gewang sehingga diketahui
ekstrak mana yang mengandung senyawa aktif yang bersifat toksik. Aktivitas toksik
diukur dengan metode BSLT. Bioindikator yang digunakan adalah A. salina. Metode
BSLT dipilih sebagai pemandu bioaktivitas karena metodenya cepat, sederhana dan
efektif (Steven, 1993)6. Selain itu juga, pada penelusuran literatur didapatkan informasi
tentang korelasi aktivitas toksik terhadap larva udang (A. salina) dengan aktivitas
antikanker (Babajide et al., 2008)7.
Ekstrak metanol, dibuat dengan konsentrasi 15,725; 31,25; 62,5; 125; 250; 500;
1000 ppm untuk uji toksisitas. Pelarutnya diuapkan hingga kering kemudian
dimasukkan larva udang yang sudah berumur 24 jam sebanyak 15 ekor. Setelah itu
dimasukkan larutan pemeliharaan sampai 2 ml. Larutan uji dibiarkan selama 24 jam,
kemudian dihitung jumlah larva udang yang mati dan dihitung persentase mortalitasnya
dari setiap ekstrak. Hasil penelitian toksisitas dalam berbagai ektraks dari biji dan buah
gewang diperlihatkan dalam Tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Presentasi kematian larva udang ekstrak biji gewang


Sampel Persentasi kematian larva udang
1000 500 250 125 62,5 31,25 15,725
MeOH biji buah 20 40 20 0 33,3 0 26,67
MeOH daging 86,67 60 33.3 40 40 40 20
buah

Tabel 3. Nilai LC50 dari biji dan daging buah gewang


Ekstrak Metanol Biji gewang Ekstrak Metanol Daging buah gewang
Nilai LC50 Nilai LC50
97. ppm 341.002 ppm

Berdasarkan analisis hasil uji toksisitas terhadap ekstrak metanol menunjukkan


bahwa ekstrak methanol biji gewang paling toksik dengan nilai LC50 sebesar 97 ppm.

264
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Uji sitotoksik sel murin leukimia P-388


Sel murin leukimia P-388 merupakan salah satu jenis sel tumor yang di jadikan
sebagai salah satu uji protocol sitotoksik oleh lembaga NCI (National Cancer Institute)
Amerika . Hasil pengujian menggunakan sel ini sering kali di jadikan dasar pada uji-uji
sejenis ,lebih lanjut dalam rangka mendapatkan senyawa model atau kandidat obat
kanker (Hoetettman and Hamburger,1991)
Sebagai panduan untuk tahapan selanjutnya maka dilakukan uji sitoksitas terhadap
ekstrak methanol biji gewang yang mempunyai sifat toksik yang tinggi dengan LC50=97
ppm. Hasil penelitian sitotoksik pada ekstrak methanol biji gewang diperlihatkan dalam
tabel 4 dan gambar 1

Tabel 4. Serapan Nilai OD terhadap konsentrasi


Kosentrasi sampel Serapan
ppm
100 0,033
30 0,004
10 0,153
3 0,151
1 0,169
0,3 0,299
0,1 0,449

Gambar 1. Kurva serapan terhadap konsentrasi ekstrak metanol


Berdasarkan analisis hasil uji sitotoksik, ekstrak metanol biji gewas menunjukan
nilai IC50 =15,6 ppm

Kesimpulan
Eksrak metanol biji gewang menunjukkan toksiksitas yang tinggi dengan nilai LC50
sebesar 97.ppm dan sitotoksik terhadap sel murin leukimia P-388 dengan nilai IC 50
sebesar 15.6 ppm

265
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar Pustaka
Alley, M. C., Scudiero,D. A., Monks,A., Hursey, M. L., Czerwinski, M.J., Fine, D.
L., Abbott, B. J., Mayo, J. G., Shoemaker, R. H., and Boyd., M. R. 1988.
Feasibility of drug screening with panels of tumor cell lines using a
microculturetetrazolium assay. Cancer Research 48: 589-601.
Babajide, O.J., Babajide, O.O., Daramola, A.O., & Mabusela, W.T. 2008. Flavonols
sand an oxychromonol from Piliostigma reticulatum. Phytochemistry, 69,
2245-2250
Carballo JL, Hernandez-Inda ZL, Perez P, Garcia-Gravaloz MD. 2002. Comparison
between two brine shrimp assays to detect in vitro cytotoxicity in marine
natural products. BMC Biotechnology, 2:1472-6570.
Cordell, G.A. 1981. Introduction to Alkaloid A Biogenetic Approach. Jhon Willey
and Sons, Inc. New York. 890-907.
Finney, D.J. 1971. Probit Analysis. 3rd edition. Cambridge University Press.
Hostettman, K . 1991, Assay of bioactivity. Methode in plant biochemsitry, series
editor P. M. Dey, J. B. hardorne, Vol 6, Academic Press, London.
Meyer, B.N., N.R. Ferrighni, J.E. Putnam, L.B. Jacobson, D.E. Nichols and J.L
McLaughlin, 1982. Brine Shrimp: A Convenient General Bioassay for
Active Plant Constituent. Planta Medica. 45 : 31-34.
Steven, M.C. 1993. Bioactive Natural Product : Detection, isolation, anti Structural
Determination, CRC Press.

266
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol dari Angkak Terhadap


Kadar Trigliserida dan Bobot Badan dari Tikus Putih Jantan
Hiperlipidemia
Ela Novianti, Nurlaili Ekawati, Ai Hertati dan Djadjat Tisnadjaja

Laboratorium Biofarmasetika
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
Jalan Raya Bogor KM.46, Cibinong 16911
E-mail : ela.novianti@gmail.com

ABSTRAK

Salah satu kelainan pada hiperlipidemia adalah kelainan metabolime trigliserida, oleh
karena itu diagnosis hiperlipidemia dapat ditegakkan berdasarkan pada peningkatan kadar
trigliserida dalam darah. Angkak memiliki kandungan senyawa monakolin K yang memiliki
struktur dan khasiat yang serupa dengan lovastatin yaitu suatu senyawa aktif yang banyak
digunakan dalam obat hipolipidemik. Dalam penelitian ini telah dipelajari pengaruh
pemberian ekstrak etanol dari angkak selama 8 minggu terhadap kadar trigliserida dari tikus
putih jantan galur Sprague Dawley yang telah diinduksi pakan tinggi kolesterol. Tikus
dikelompokkan kedalam lima kelompok perlakuan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak dengan dosis 10 mg/kg berat badan memberikan penurunan kadar
trigliserida sebesar 23,30% dan pemberian dosis lebih besar yaitu 20 mg/kg berat badan
tidak diikuti dengan penurunan kadar trigliserida yang lebih tinggi, dimana penurunan yang
terjadi hanya sebesar 19,65%. Tingkat penurunan ini sama seperti yang teramati pada
perlakuan dengan pemberian simvastatin 10 mg, dimana kadar trigliserida mengalami
penurunan sebesar 20,02%. Ekstrak etanol angkak tidak menurunkan bobot badan dan
selera makan tikus Sprague Dawley selama penelitian.

Kata Kunci : angkak, bobot badan, ekstrak etanol, monakolin K, trigliserida.

Pengantar
Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, LDL (Low
Density Lipoprotein) dan penurunan HDL (High Density Lipoprotein) dalam darah
yang disebabkan karena adanya kelainan metabolisme lipid (Hutter, et al., 2004;
Grundy et al., 2005). Peningkatan kadar lipid dalam sirkulasi darah tersebut bisa
menimbulkan gangguan kesehatan jangka panjang. Kondisi hiperlipidemia yang
berkelanjutan dapat memicu terbentuknya aterosklerosis yang menjadi dasar
meningkatnya insiden penyakit kardiovaskuler. Jika aterosklerosis ini terjadi di
pembuluh darah arteri yang memasok oksigen ke jantung, maka hal ini dapat
menyebabkan penyakit jantung koroner, dan jika pada pembuluh darah yang ke otak
akan menyebabkan stroke. Penelitian Interheart tahun 2004 seperti yang dikutip oleh
Bull & Morrel (2007) pada 52 negara menunjukkan bahwa hampir 50% serangan
jantung dikaitkan dengan kadar lipid darah yang abnormal. Orang dengan kadar
kolesterol yang abnormal, tiga kali lebih mudah mendapat serangan jantung dan
267
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

penyakit kardiovaskuler lain dibandingkan mereka yang memiliki kadar kolesterol


normal.
Kelainan metabolisme pada hiperlipidemia salah satunya adalah kelainan
metabolime trigliserida, oleh karena itu diagnosis hiperlipidemia dapat ditegakkan
berdasarkan pada peningkatan kadar trigliserida dalam darah. Trigliserid atau
triasilgliserol terdiri atas 3 asam lemak yang teresterifikasi pada gugus hidroksil dari
molekol gliserol. Sintesis trigliserid berlangsung dalam sitoplasma. Kadar trigliserid
darah normal pada manusia adalah kurang dari 160 mg/dl. Beberapa faktor yang
mempengaruhi kadar trigliserida di dalam darah adalah kegemukan, makanan berlemak,
glukosa dan alkohol. Kadar trigliserida yang tinggi dapat juga terjadi karena adanya
kelainan genetik, pertambahan usia, kurang olahraga dan faktor stres (Goldstein et al.,
1973; Mayes et al., 1990; Kasim dkk, 2006, Soeharto, 2004; Tisnadjaja 2006).
Telah dilaporkan bahwa kadar trigliserida yang tinggi dalam darah merupakan salah
satu faktor resiko penyakit jantung koroner (Assman, 1993; Lacoste et al., 1995; Clause
et al., 2000; Grundy et al., 2005; Santoso & Setiawan, 2005). Hipertrigliserida
menyebabkan sekitar 18 % penyakit serebrovaskular dan sekitar 56 % penyakit jantung
iskemik di seluruh dunia (Kreisberg & Oberman, 2003). Hal tersebut membuktikan
bahwa kondisi peningkatan kadar lipid merupakan masalah kesehatan yang serius dan
dibutuhkan penanganan yang tepat bagi penderitanya.
Penatalaksanaan hiperlipidemia yaitu dengan pengontrolan diet dan pemberian obat
hipolipidemik. Namun, pemberian obat hipolipidemik mempunyai efikasi yang terbatas
dan kadang menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (Kreisberg et al., 2003).
Pengobatan hiperlipidemia juga membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak
sedikit apalagi untuk pasien yang kadar lipidnya jauh lebih tinggi dari normal maka
pengobatannya pun harus dibarengi dengan perubahan pola hidup, khususnya pola
makan. Sedangkan, bagi sebagian besar orang hal ini sangat sulit dilakukan (Cicero
dkk, 2005, Tisnadjaja, 2006). Karena itu, diperlukan alternatif terapi bagi penderita
hiperlipidemia. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional telah diterima secara
luas oleh masyarakat hampir di seluruh negara di dunia. Alasan inilah yang
menyebabkan meningkatnya ketertarikan penggunaan bahan alam untuk menangani
hiperlipidemia.
Angkak adalah produk fermentasi yang di Cina secara tradisional banyak
dimanfaatkan sebagai obat atau bahan baku obat karena kandungan senyawa monakolin
K yang memiliki struktur dan khasiat yang serupa dengan lovastatin suatu senyawa
aktif yang banyak digunakan dalam obat hipolipidemik (Palo, 1960; Hesseltine, 1965;
Ma et al., 2000, 2004;Tisnadjaja dkk, 2004; Chen & Hu, 2005). Senyawa ini
merupakan inhibitor kompetitif bagi enzim 3-hydroxymethyl-glutaryl Coenzyme A
reductase (HMG CoA reduktase), yaitu enzim yang mengontrol jalur biosintesis lipid
(Brown dan Goldstein, 1991; Yang & Mousa, 2012). Heber et al. (1999) menyatakan
bahwa lovastatin dapat menurunkan kadar kolesterol darah sebesar 11-32% dan kadar
trigliserida sebesar 12-19%.
Beberapa studi pre klinik maupun klinik tentang angkak sebagai terapi
hiperlipidemia telah banyak dilakukan. Pemberian angkak selama 21 hari pada tikus
yang diberi diet tinggi kolesterol yang dilakukan Kasim dkk (2006) berhasil
menurunkan kadar kolesterol total hingga 20,78%. Penelitian yang dilakukan Li et al.
268
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

(1998) menggunakan kelinci yang dibuat hiperlipidemia secara endogen maupun


eksogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian angkak menyebabkan
penurunan kadar kolesterol serum dan trigliserida serta menghambat terbentuknya
aterosklerosis. Wei et al. (2003) melaporkan bahwa pemberian angkak terhadap kelinci
yang diberi diet tinggi lemak selama 200 hari menurunkan kadar kolesterol totalnya di
dalam darah sebesar 25-40%. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa kadar
trigliserida juga mengalami penurunan secara signifikan. Sementara itu, uji klinis pada
manusia menunjukkan adanya penurunan kolesterol total sebesar 13 26 %, LDL 21
33 % dan trigliserida 13 34 % setelah pemberian angkak (Wang et al., 1997; Heber et
al., 1999; Qin et al.,1999; Rippe et al., 1999; Keithley et al., 2002). Studi yang
dilakukan di UCLA dan dipublikasikan dalam American Journal of Clinical Nutrition
menemukan bahwa pemberian 2400mg angkak per hari pada manusia dapat
menurunkan kolesterol, trigliserida dan kolesterol LDL sesudah 8 minggu (Anon,
2004).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek hipolipidemia angkak yaitu efek
penurun kadar trigliserida darah dari tikus putih jantan percobaan galur Sprague
Dawley. Selain itu akan dipelajari juga pengaruh ekstrak etanol angkak terhadap bobot
badan hewan uji.

Bahan dan Metode


Bahan
Penelitian menggunakan Kapang M. purpureus koleksi Puslit Bioteknologi LIPI,
beras putih, tepung beras, potassium dihydrogen fosfat, sodium nitrat, magnesium
sulfat, MSG, kalsium klorida, Na asetat, glukosa, simvastatin, pakan tikus standard,
suspensi otak sapi dan PTU (Propil Tio Urasil). Hewan uji menggunakan 25 ekor tikus
putih jantan galur Sprague Dawley. Kadar trigliserida darah diukur menggunakan
Accutrend GCT.

Metode
Produksi Angkak (Beras Merah Hasil Fermentasi)
Bahan penelitian berupa beras merah hasil fermentasi diproduksi melalui proses
fermentasi fasa padat dengan menggunakan beras sebagai media atau sumber karbon
utama. Dalam proses fermentasi ini digunakan kapang Monascus purpureus yang
merupakan koleksi Puslit Bioteknologi-LIPI. Sementara pengembangan inokulum dan
fermentasi fasa cair dilakukan dengan menggunakan media yang mengandung tepung
beras (5%), potassium dihydrogen fosfat (0,25%), sodium nitrat (0,15%), magnesium
sulfat (0,1%), MSG (0,1%), kalsium klorida (0,001%) dan keasaman atau pH diatur
pada nilai 6,2 (Tisnadjaja, 2003; Tisnadjaja dkk, 2005). Media yang digunakan untuk
proses fermentasi fasa padat adalah beras yang sebelumnya direndam di dalam larutan
yang mengandung 2% Na asetat dan 0,3% glukosa dimana perbandingan antara beras
dan larutan perendam adalah 1:1. Setelah direndam, beras yang akan digunakan sebagai
media tersebut ditiriskan sampai tidak ada air yang menetes dan dimasukkan ke dalam
botol fermentasi masing-masing sebanyak 100 g dan kemudian di sterilisasi dengan cara
pengukusan selama 2 jam (Tisnadjaja, 2003).

269
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Fermentasi fasa cair atau submerged yang digunakan untuk mengembangkan


inokulum, dilakukan dengan menggunakan Erlenmeyer ukuran 250 ml yang diisi
dengan media sebanyak 50 ml. Inkubasi dilakukan pada rotary shaker dengan kecepatan
putaran 100 rpm pada suhu ruang selama 7 hari.Sementara proses fermentasi fasa padat,
dengan media utama beras, dilakukan dengan menggunakan botol jam sebagai reaktor
dan inkubasi (kecuali dinyatakan lain) dilakukan selama 14 hari pada suhu ruang.

Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan metode refluks menggunakan pelarut etanol 75%
selama 3 jam, dimana perbandingan antara bahan yang diekstraksi dengan pelarut
adalah 1 : 3 (Tisnadjaja & Irawan, 2006). Ulangan dilakukan sebanyak tiga kali. Hasil
ekstraksi dipekatkan dengan menggunakan vakum evaporator hingga diperoleh ekstrak
kental, dan dilanjutkan dengan pengeringan didalam lemari pengering dengan suhu 50
o
C.

Induksi Hiperlipidemia Hewan Uji


Induksi hiperlipidemia pada tikus dilakukan dengan pemberian pakan tinggi
kolesterol dan propil tiourasil (PTU) 0,01% selama 2 minggu (KKI Phyto Medica,
1993). Pakan tinggi kolesterol menggunakan suspensi otak sapi dosis otak sapi
100g/150ml air (Tisnadjaja dkk, 2011). Otak diberikan secara cekok sebanyak 3
ml/ekor tikus.

Uji Farmakologi
Tikus diadaptasikan selama dua minggu terhadap makanan dan lingkungannya
sebelum dilakukan uji farmakologi. Makanan hewan uji diberikan sebanyak
20g/ekor/hari dan air minum diberikan secara ad libitum. Tikus diletakkan dalam
kandang berukuran 30 X 20 X 20 cm. Pengujian dilakukan menggunakan tikus putih
jantan galur Sprague Dawley berumur 2 3 bulan dengan berat badan rata-rata 200
250 g. Tikus yang telah dibuat hiperlipidemia diberi bahan uji secara oral selama 8
minggu. Sementara pengukuran kadar trigliserida darah dilakukan pada minggu ke 0,
minggu ke 1, minggu ke 2, minggu ke 4 dan minggu ke 8.
Tikus dikelompokkan kedalam lima kelompok perlakuan yang masing-masing
terdiri dari 5 ekor tikus. Kelompok A sebagai kontrol positif diberi perlakuan
pengobatan dengan simvastatin 10mg/kg bobot badan setelah sebelumnya diinduksi
hiperlipidemia, kelompok B yaitu kelompok yang diinduksi hiperlipidemia namun tidak
diobati dan hanya dicekok CMC sebagai kontrol negatif, kelompok C dan D yaitu
kelompok yang diinduksi kemudian diberi perlakuan dengan ekstrak etanol angkak
masing-masing dengan dosis 10 mg dan 20 mg, dan kelompok E yaitu kelompok yang
tidak diberi perlakuan, baik induksi maupun pengobatan, sebagai kontrol normal.

270
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pengambilan dan Pengukuran Trigliserida Darah


Sebelum pengambilan sampel darah, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 12
jam. Darah tikus diambil dengan cara memotong ekor tikus kira-kira 5 mm dari bagian
ujung ekor. Ujung ekor sebelum dan sesudahnya dibersihkan dengan alkohol 70%.
Darah diambil sebanyak 5 ml. Pengukuran trigliserida dilakukan menggunakan
metode enzimatis dengan Accutrend GCT.

Hasil dan Pembahasan


Pengaruh pemberian ekstrak angkak terhadap kadar trigliserida
Dalam penelitian ini digunakan ekstrak etanol angkak dengan dua variasi dosis yaitu
10 mg/kg berat badan dan 20 mg/kg berat badan. Sementara parameter lipid yang
diukur adalah kadar trigliserida.
Pada pengamatan pengaruh perlakuan terhadap perubahan kadar trigliserida (Tabel
1) terlihat bahwa dengan pemberian ekstrak dengan dosis 10 mg/kg berat badan
memberikan penurunan kadar trigliserida sebesar 23,30%. Pemberian dosis lebih besar
yaitu 20 mg/kg berat badan tidak diikuti dengan penurunan kadar trigliserida yang lebih
tinggi, dimana penurunan yang terjadi hanya sebesar 19,65%. Tingkat penurunan ini
sama seperti yang teramati pada perlakuan dengan pemberian simvastatin 10 mg,
dimana kadar trigliserida mengalami penurunan sebesar 20,02%. Triglserida
merupakan bagian yang selalu ada pada semua bentuk lipoprotein termasuk pada LDL
kolesterol dan HDL kolesterol. Oleh karena itu sangat dimungkinkan bahwa pemberian
dosis ekstrak angkak yang lebih tinggi tidak diikuti dengan penurunan kadar trigliserida
yang lebih besar. Hal ini bisa terjadi karena penurunan LDL kolesterol yang diakibatkan
oleh pemberian ekstrak angkak pada kondisi tertentu menyebabkan peningkatan kadar
HDL kolesterol, sehingga kadar trigliserida tidak terlihat berubah secara nyata. Hasil
analisis variansi (Tabel 2) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara
perlakuan terhadap nilai trigliserida. Ini berarti bahwa perbedaan dosis perlakuan tidak
memberikan perbedaan nyata pada penurunan kadar trigliserida.

Tabel 1. Hasil pengukuran trigliserida hewan uji.


Kelompok Trigliserida (mg/dL)
(Perlakuan) Minggu ke-
0 1 2 4 6 8
A (Simvas 10 mg) 155,8 117 128,6 157,6 110,4 124,6
B (Tidak diobati) 135,2 135,4 125 143,2 111,4 130,2
C (Dosis 10 mg) 145,2 147,8 165,2 144,6 112,2 134,8
D (Dosis 20 mg) 141,2 124,6 153,8 147,4 117,6 131
E (Normal) 144,6 105 127 106 102,6 138,2

271
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 2. Hasil analisis variansi trigliserida hewan uji


Sumber variasi dk JK KT F P
Kelompok 4 7283,6 1820,9 2,34 0,059
Minggu Ke- 5 19023,0 3804,6 4,89 0
Kelompok*Minggu ke- 20 14891,7 744,6 0,96 0,519
Galat 120 93426,0 778,5
Total 149 134624,3
H0 = Tidak terdapat perbedaan nyata antara perlakuan tiap kelompok maupun waktu
pengamatan terhadap nilai trigliserida
H1 = Terdapat perbedaan nyata antara perlakuan tiap kelompok maupun waktu pengamatan
terhadap nilai trigliserida

Diketahui nilai F0,05(4,120) = 2,45 dan F0,05(5,120) = 2,29. Hal ini berarti nilai F hitung < F
tabel maka H0 diterima, yang berarti tidak terdapat perbedaan nyata antara perlakuan
tiap kelompok terhadap nilai trigliserida hewan uji. Namun terdapat perbedaan nyata
antar waktu pengamatan terhadap nilai trigliserida karena nilai F hitung lebih besar dari
F Table

Pada kelompok C dan D yang diberi ekstrak angkak terjadi penurunan kadar
trigliserida. Hal ini disebabkan karena angkak mengandung senyawa monakolin K yang
memiliki struktur dan khasiat yang serupa dengan lovastatin. Obat hipolipidemik
golongan statin yang mengandung senyawa penghambat HMG-koA reduktase bekerja
dengan jalan menghambat 3-hydroxy-3-methylglutaryl koenzim A yaitu enzim yang
mengontrol sintesa kolesterol. Hal ini mengakibatkan peningkatan kualitas reseptor
LDL pada sel hepatosit sehingga mempercepat pembersihan lipid dari dalam plasma.
Selain terjadi peningkatan pembersihan LDL dari dalam darah dengan adanya
peningkatan jumlah reseptor, statin juga mengurangi produksi dan mengubah
pembersihan LDL oleh sel hepar sehingga menyebabkan penurunan kadar trigliserida
(Sargowo, 2011). Menurut Grundy (1988), mekanisme penurunan kadar trigliserida
oleh statin dimulai ketika inhibitor tersebut mereduksi konsentrasi kolesterol di dalam
hepatosit dan meningkatkan kinerja LDL-reseptor. Reseptor tersebut juga berhubungan
erat dengan komponen-komponen VLDL, sehingga trigliserida akan ikut tereduksi.

272
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Angkak juga mengandung plant sterol: h-sitosterol, campesterol, stigmasterol,


saponin dan sapogenin; isoflavone dan isoflavone glycoside; selenium dan zinc (Ma et
al., 2000; Wang et al., 1997; Heber et al., 1999). Beberapa penelitian melaporkan
bahwa efek hipolipidemik angkak bukan hanya disebabkan oleh senyawa monakolin,
namun sinergi dari semua komponen yang terkandung didalamnya. Senyawa-senyawa
tersebut mencegah penyerapan lipid dan meningkatkan pembersihan lipid dari sirkulasi
(Li et al., 1998; Ma et al., 2000;Wang et al., 1997; Heber et al., 1999; Keithley et al.,
2002).

Pengaruh pemberian ekstrak angkak terhadap bobot badan


Perkembangan bobot badan tikus selama 8 minggu masa penelitian dapat dilihat di
tabel 3 dan gambar 2. Pada penelitian ini pola makan tikus juga diperhatikan dengan
cara mengumpulkan sisa pakan yang tidak dimakan oleh tikus setiap hari. Sisa pakan itu
kemudian dibuat rerata dan didapatlah hasil seperti pada tabel 5 dan gambar 3 seperti di
bawah. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa bobot badan tikus untuk semua
kelompok perlakuan mengalami peningkatan. Hardiningsih et al. (2004), menyatakan
bahwa pemberian pakan hiperkolesterolemia dapat meningkatkan bobot badan tikus
Wistar.
Tikus normal (kelompok E) selama masa penelitian mengalami kenaikan bobot
sebesar 33,50%. Kenaikan bobot pada kelompok ini sejalan dengan pertambahan usia
tikus. Kelompok C, yang diberi ekstrak angkak dosis 10 mg/kg berat badan setelah
diinduksi pakan tinggi kolesterol mengalami kenaikan bobot badan sebesar 38,70%,
lebih besar dibandingkan dengan kelompok D yang dosis ekstrak angkaknya lebih
tinggi, yakni 20 mg/kg berat badan. Tikus pada kelompok D mengalami kenaikan bobot
badan 35,09% mendekati kenaikan bobot tikus pada kelompok normal. Dengan
demikian, pemberian ekstrak angkak baik dosis 10 dan 20 mg/kg berat badan
memberikan kenaikan bobot badan dan konsumsi yang tidak berbeda dengan tikus
normal. Ekstrak angkak tidak menurunkan bobot badan dan selera makan tikus
Sprague Dawley selama penelitian. Bobot badan tikus yang diberi ekstrak angkak
mengalami kenaikan atau pertumbuhan. Adanya kenaikan bobot badan selama
penelitian pada tikus dan jumlah konsumsi pakan yang sama menandakan kondisi tikus
dalam keadaan sehat.

Tabel 3. Hasil pengukuran bobot badan hewan uji.


Kelompok Bobot badan (g)
(Perlakuan) Minggu ke-
0 1 2 4 6 8
A (Simvas 10 mg) 184 206 212 236 248 294
B (Tidak diobati) 196 212 228 252 292 268
C (Dosis 10 mg) 190 202 224 260 282 310
D (Dosis 20 mg) 196 206 228 256 278 302
E (Normal) 198 216 226 256 276 298

273
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 4. Hasil analisis variansi bobot badan hewan uji


Sumber variasi dk JK KT F P
Kelompok 4 9376,0 2344,0 3,27 0,014
Minggu Ke- 5 195773,3 39154,7 54,58 0
Kelompok*Minggu ke- 20 5000,0 250,0 0,35 0,996
Galat 120 86080,0 717,3
Total 149 296229,3

H0 = Tidak terdapat perbedaan nyata antara perlakuan tiap kelompok maupun waktu
pengamatan terhadap bobot badan
H1 = Terdapat perbedaan nyata antara perlakuan tiap kelompok maupun waktu pengamatan
terhadap bobot badan
Diketahui nilai F0,05(4,120) = 2,45 dan F0,05(5,120) = 2,29. Hal ini berarti nilai F hitung > F tabel
maka H0 ditolak, yang berarti terdapat perbedaan nyata antara perlakuan tiap kelompok
terhadap nilai bobot badan maupun waktu pengamatan hewan uji.

Sedangkan pada kelompok B, yaitu kelompok yang diinduksi hiperlipidemia namun


tidak diobati dan hanya dicekok CMC memperlihatkan kenaikan bobot badan yang
lebih rendah dibandingkan dengan kelompok C dan D yang diberi ekstrak angkak. Hal
ini disebabkan karena tikus pada kelompok ini mengurangi konsumsi pakannya yang
dibuktikan dengan bertambahnya sisa pakan. Dapat dilihat dalam grafik 3, seiring
dengan pertumbuhan tikus dari minggu ke minggu, sisa pakan yang dihasilkan pun
semakin sedikit. Akan tetapi, pada kelompok B sisa pakan lebih banyak dibandingkan
dengan keempat kelompok lainnya. Hal ini mengindikasikan kondisi tikus yang
hiperlipidemi mempengaruhi bobot badan dan selera makan tikus Sprague Dawley
selama penelitian.

274
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 5. Sisa Pakan (Selama masa Perlakuan).


Minggu Ke-
Kelompok
I II IV VI VIII
A 4.14 3.98 4.23 3.06 1.38
B 6.24 5.75 4.89 4.39 2.47
C 5.19 3.82 1.77 1.53 1.11
D 4.15 3.42 2.15 2.32 0.98
E 4.89 3.68 3.40 2.50 1.74

Gambar 3. Hubungan antara sisa pakan hewan uji terhadap waktu perlakuan.

Kesimpulan
Pemberian ekstrak etanol angkak dosis 10 mg/kg berat badan dapat menurunkan
kadar trigliserida tikus wistar galur Sprague dawley sebesar 23,30%, namun pemberian
dosis lebih tinggi (20 mg/kg berat badan tidak diikuti dengan penurunan kadar
trigliserida yang lebih besar. Ekstrak angkak tidak menurunkan bobot badan dan selera
makan tikus Sprague Dawley selama penelitian. Angkak dapat digunakan sebagai
terapi hiperlipidemia.

Daftar Pustaka
Anonymous. 2004. Herbal Methods for High Cholesterol.
www.tips4betterlife.com/herbs/cure-highcholesterol.html [18 Juni 2013].
Assman G. 1993. Lipid metabolism disorder and coronary heart disease, edisi ke-2.
Munich: MMV Medizin Verlag: 71-89.
Brown, M.S. and J.L. Goldstein. 1991. Drugs Used in The Treatment of
Hiperlipoproteinemia. Pharmacological Basis of Therapeutics. 8thedition.
Mc.Graw Hill Book. New York.
Bull, E. dan Morell, J., 2007. Kolesterol. Erlangga. Jakarta, hal. 26-28, 45-46.
Chen, Fusheng & Xiaoqing Hu. 2005. Study on red fermented rice with high
concentration of monacolin K and low concentration of citrinin. International
Journal of Food Microbiology 103, 331 337.
Cicero, A.F.G., M. Brancaleoni, L.Laghi, F. Donati and M. Mino. 2005.
Antihyperlipidemic effect of a Monascus purpureus brand dietary supplement

275
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

on lrge sample of subjects ot low risk for cardiovascular disease : A pilot


study, Complementary Therapies in Medicine vol 1, 273-278.
Clause, Luley., Gunnar Ronquist, Wolfgang Reutter, Valerie Paal, HansDetchlev,
Sabine Westphal, et al. 2000. Point of Care Testing of Triglycerides,
Evaluation of the Accutrend Triglycerides System. Clinical Chemistry. 46:
287-291.
Goldstein, Joseph L, William R Hazzard, Helmut G Schrott, Edwin L Bierman,
Arno G Motulsky. 1973. Hyperlipidemia in Coronary Heart Disease. J Clin
Invest. 52(7): 1533-43.
Grundy, S.M. 1988. HMG-CoA reductase inhibitors for treatment of
hypercholesterolaemia. N.Engl.J.Med., 319: 24 32.
Grundy, Scott M. , Gloria L. Vega, Zhong Yuan, Wendy P. Battisti, William
E. Brady, Joanne Palmisano. 2005. Effectiveness and tolerability of
simvastatin plus fenofibrate for combined hyperlipidemia (the SAFARI trial)
. American Journal of Cardiology Volume 95, Issue 4 , Pages 462-468.
Hardiningsih, R. R.N.R. Napitupulu, T. Yulinery, E.Triana, E. Kasim, dan N.
Nurhidayat. 2004. Pengaruh pemberian pakan hiperkolesterolemia terhadap
bobot badan tikus putih wistar yang diberi bakteri asam laktat. Seminar
Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Semarang,
27-28 Agustus 2004.
Heber, D., Yip, I., Ashley, J.M., Elashoff, D.A., Elashoff, R.M., Go, V.L., 1999.
Cholesterol-lowering effects of a proprietary Chinese red-yeast-rice dietary
supplement. American Journal of Clinical Nutrition 69 (2), 231236.
Hesseltine, C.W. 1965. A millennium of fungi, food, and fermentation. Mycologia
57: 149-197.
Hutter, Carolyn M. Mellisa A Austin, Steve E Humphries. 2004. Familial
Hypercholesterolemia, Peripheral Arterial Disease and Stroke: a Huge
Minireview. American Journal of Epidemiology. 160(5): 430-435.
Journoud , Melanie & Peter J.H. Jones. 2004. Mini review: Red yeast rice: a new
hypolipidemic drug. Life Sciences 74, 26752683.
Kasim, E., Y. Kurniawati dan N. Nuridayat. 2006. Pemanfaatan Isolat Lokal
Monascus purpureus untuk Menurunkan Kolesterol Darah pada Tikus Putih
Galur Sprague-Dawley. Biodiversitas Journal of Biology Diversity, Volume
7, Nomor 2, 123-126.
Keithley, J.K., Swanson, B., Sha, B.E., Zeller, J.M., Kessler, H.A., Smith, K.Y.,
2002. A pilot study of the safety and efficacy of cholestin in treating HIV-
related dyslipidemia. Nutrition 18 (2), 201204.
Kreisberg, Robert A, Albert Oberman. 2003, Medical Management of
Hyperlipidemia/Dyslipidemia. The Journal of Clinical Endocrinology and
Metabolism. 88(6): 2445-61.
Lacoste, Lucie., Jules Y.T. Lam, Joseph Hung, Glaci Letchacovski, Charles B.
Solymoss. David Waters. 1995. Hyperlipidemia and Coronary Disease
Correction of the Increased Thrombogenic Potential With Cholesterol
Reduction. American Heart Association Journals,; 92: 3172-3177

276
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Li , Changling. , Yan Zhu, Yinye Wang, Jia-Shi Zhu, Joseph Chang, David
Kritchevsky. 1998. Monascus Purpureus-fermented Rice (Red Yeast Rice) : a
Natural Food Product that Lowers Blood Cholesterol in Animal Model of
Hypercholesterolemia. NuhitionResearch. Vol. 18, No. 1. pp. 71-81
Ma, J., Y. Li, Q. Ye, J. Li, Y. Hua, D. Ju, D. Zhang, R. Cooper, and M. Chang.
2000. Constituents of red yeast rice, a traditional chinese food and medicine.
Journal of Agricultur, Food & Chemistry 48: 5220-5225.
Mayes PA, Granner DK, Rodwell VW, Martin DW. 1990. Biokimia Harper Edisi
keduapuluh. EGC. Jakarta: 216-285
Palo, M.A. 1960. A study on angkak and its production. The Philippines Journal of
Science 89: 1-22.
Qin, S., Zhang, W., Qi, P., Zhao, M., Dong, Z., Li, Y., Xu, X., Fang, X., Fu, L.,
Zhu, J.-S., Chang, J., 1999. Elderly patients with primary hyperlipidemia
benefited from treatment with a monascus purpureus rice preparation: a
placebo-controlled, double-blind clinical trial. The 39th Annual Conference
on Cardiovascular Disease Epidemiology and Prevention, Poster
presentations (P89), Orlando, Florida, USA, March 2427. Circulation, vol.
99(8), pp. 1123.
Rippe, J., Bonovich, K., Colfer, H., Davidson, M., Dujovne, C., Fried, D.,
Greenspan, M., King, S., Karlsberg, R., LaForce, C., Litt, M., McGhee, J.R.,
1999. A multicenter, self-controlled study of cholestin in subjects with
elevated cholesterol. The 39th Annual Conference on Cardiovascular Disease
Epidemiology and Prevention, Poster presentations (P88), Orlando, Florida,
USA, March 2427. Circulation, vol. 99(8), pp. 1123.
Santoso,M & T. Setiawan. 2005. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia
Kedokteran. 147:6-9.
Sargowo, Djanggan. 2011. Obat-obat yang digunakan dalam terapi dislipidemia.
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Malang.
Soeharto,I. 2004. Serangan Jantung dan Stroke, Hubungannya dengan Lemak dan
Kolesterol. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tisnadjaja, D. 2003. Pengaruh Penambahan Glukosa dan Sodium asetat pada Proses
Produksi Bahan Penurun Kolesterol Monascus Powder. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Proses Kimia VI, FT UI. Depok.
Tisnadjaja, D. 2006. Bebas Kolesterol dan Demam Berdarah dengan Angkak.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Tisnadjaja, D., Suyanto, A. Hertati & N. Ekawati. 2005. Pengaruh
PenambahanMonosodium Glutamat pada Proses Produksi Lovastatin dengan
Menggunakan Galur Kapang Monascus purpureus TISTR 3090 dan Galur
Mutan S 35. Nusa Kimia. Jurnal Ilmu-ilmu Kimia, Vol 5 No.1.
Tisnadjaja, D. & H. Irawan. 2006. Pengaruh Penggunaan Etanol dan Kloroform
pada Proses Pemisahan Senyawa Aktif Lovastatin dari Angkak. Nusa Kimia.
Jurnal Ilmu-ilmu Kimia Vol 6 No.2.
Velayutham Pon, Anand Babu, Dongmin Liu. 2008. Green Tea Catechins and
Cardiovascular Health: An Update. Curr Med Chem15(18);1840-1850.

277
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Wang, J., Lu, Z., Chi, J., Wang, W., Su, M., Kou, W., Yu, P., Yu, L., Chen, L.,
Zhu, J.-S., Chang, J., 1997. Multicenter clinical trial of the serum lipid-
lowering effects of a monascus purpureus (red yeast) rice preparation from
traditional Chinese medicine. Current Therapeutic Research 58 (12), 964
978.
Wei Weia,d., Changling Lia, Yinye Wanga, Huaide Sua, Jiashi Zhub, David
Kritchevskyc. 2003. Hypolipidemic and anti-atherogenic effects of long-term
Cholestin (Monascus purpureus-fermented rice, red yeast rice) in cholesterol
fed rabbits. Journal of Nutritional Biochemistry 14, 314318
Yang,Clinton W &Shaker A. Mousa. 2012. The effect of red yeast rice (Monascus
purpureus) in dyslipidemia and other disorders. Complementary Therapies in
Medicine 20, 466474

278
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

BIDANG
LINGKUNGAN

279
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Polutan Senyawa Kimia Dan Pengaruhnya Pada Proses


Pembentukan Hujan Di Kawasan Waduk Saguling

Eka Djatnika Nugraha, Eko Pudjadi, Dewi Kartikasari

PTKMR-BATAN
Jl. Lebak Bulus Raya No 49 Jakarta 12440
Email : eka.dj.n@batan.go.id

ABSTRAK

Telah dilakukan pengukuran senyawa-senyawa kimia di kawasan Waduk Saguling, Jawa


Barat. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui profil harian senyawa kimia di daerah
tersebut. Profil ini sangat erat kaitannya dengan proses pembentukan hujan di awan.
Konsentrasi senyawa-senyawa kimia diukur secara langsung menggunakan gas monitor
yang dipasang pada ketinggian 1,5 m dari permukaan tanah. Selanjutnya hasil pengukuran
dianalisis menggunakan software Wolfsense untuk mendapatkan konsentrasi senyawa
kimianya. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa konsentrasi tinggi senyawa NH3, H2S dan
CO terjadi pada siang hingga sore hari. Senyawa NO2, CO2, O2 dan total VOC relatif
berfluktuasi dalam stabil sedangkan konsentrasi ozon cenderung berkurang pada sore hari.
Secara umum senyawa-senyawa kimia tersebut memiliki konsentrasi dalam rentang
konsentrasi alamiah. Dengan demikian, potensi pembentukan hujan di daerah ini cukup
besar karena terangkatnya senyawa-senyawa kimia ini sebagai penyuplai inti kondensasi
awan tidak mempengaruhi proses yang berlangsung di awan.

Kata Kunci : aerosol, polutan, hujan

Pendahuluan
Istilah aerosol digunakan untuk menyebut partikel-partikel halus yang tersebar di
atmosfir Bumi dalam ukuran yang berbeda-beda, pada kisaran 0.001 micrometer hingga
100 micrometer (1 micrometer = satu per sejuta meter). Meningkatnya jumlah aerosol
yang dilepas ke atmosfir (misalnya partikel-partikel sulfat, komponen organik instabil,
karbon, dsb.) akibat emisi alamiah dan antropogenik (istilah yang mengacu pada
aktifitas buatan manusia) telah mengurangi intensitas radiasi matahari yang sampai ke
permukaan bumi dalam ukuran 0.5 hingga 2 W/m2. Satuan radiasi itu menyiratkan
bahwa pada permukaan bumi seluas 1 m2, intensitas cahaya matahari mengalami
hambatan/terhalang aerosol di atmosfir sebesar 0,5 hingga 2 Watt. (Ruzer, 2005).
Kompleksitas aerosol di atmosfir ini juga menjadi semakin tinggi akibat emisi gas-
gas efek rumah kaca yang menyebabkan terjadinya efek pemanasan global, sehingga
angka ini juga mengalami berbagai kompensasi. Sifat aerosol yang sangat dinamis
karena senantiasa bergerak dan berubah di atmosfir, baik secara fisis maupun kimiawi
menyebabkan para ahli mengalami kesulitan dalam mengukur besaran radiasi ini.
Padahal kemampuan untuk memprediksi perubahan cuaca akibat perubahan aerosol ini

281
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

memerlukan tidak hanya pengetahuan mengenai emisinya saja, melainkan perpindahan


dan reaksinya yang sangat kompleks di atmosfir (Andrews. 1972).
Partikel-partikel aerosol menghamburkan (atau memantulkan) dan menyerap radiasi
sinar matahari. Sifat menyerap radiasi mengakibatkan memanasnya lapisan atmosfir
yang mengandung aerosol, sementara sifat menghambur radiasi (scattering)
menyebabkan redistribusi (penyebaran kembali) radiasi, termasuk membaliknya radiasi
matahari itu ke arah luar bumi (luar angkasa). Efek radiasi langsung aerosol tergantung
pada sifat fisis yang disebut sebagai single scattering albedo (SSA). SSA didefinisikan
sebagai perbandingan antara radiasi yang dihambur dengan yang diserap oleh partikel-
partikel aerosol . Di atmosfir, partikel-partikel berukuran 0.1 1 micrometer merupakan
partikel yang paling efektif menghambur radiasi, sehingga sangat penting peranannya
dalam mengatur cuaca global. Ada 3 parameter fisis yang sangat penting dalam
mengukur sifat radiatif aerosol, yakni: distribusi ukuran (size distribution), indeks
refraktif dan kepadatan (densitas). (Lestari. 2009)
Ukuran partikel aerosol yang sangat halus berkisar antara 1 nm ( 1 nanometer = satu
per satu milyar meter) (disebut partikel ultra-halus) terbentuk melalui proses-proses
konversi gas ke partikel di atmosfir. Begitu partikel-partikel terbentuk, mereka bisa
berkumpul dalam gugus-gugus (clusters) dalam ukuran yang lebih besar (antara 50-100
nm) sehingga bisa mempengaruhi secara langsung bujet radiasi. Asap (haze) dan
kabut (smog) yang sering terlihat meliputi kota-kota besar diakibatkan efek radiasi
aerosol ini. (Environmental Health Criteria 188. 1997).

Berdasarkan asal terbentuknya aerosol dibagi menjadi dua, yaitu:


A. Aerosol Alami
1. Aerosol Alami dari Vulkanik, berasal dari letusan gunung berapi. Aerosol
vulkanik sebagian besar berupa gas sulfur dioksida (SO2) yang dilepaskan
ke atmosfir. Disamping itu material debu lainnya hasil letusan gunung
berapi juga merupakan jenis aerosol ini. Gas reaktif seperti SO2 ini diketahui
dapat berubah menjadi H2SO4/H2O langsung melalui konversi gas ke
partikel serta reaksi heterogen dengan uap air pada ketinggian tertentu.
2. Aerosol dari biogenik, berasal dari tumbuh-tumbuhan berupa komponen
organik tidak stabil (VOC: volatile organic compounds). Sifat emisi jenis ini
sangat sulit diketahui mengingat beragamnya vegetasi, bahkan pada area
yang dikatakan homogen sekalipun seperti hutan tropis (lebih dari 5000
spesies tumbuhan per 10,000 km2). Dimethyl sulfide (DMS) merupakan
spesies VOC utama yang dilepaskan phytoplankton di lautan dan berperan
penting dalam siklus sulfur di atmosfir. (Wikipedia. 2013)
B. Aerosol antropogenik (akibat aktifitas manusia); gas-gas yang dilepaskan akibat
penggunaan bahan bakar fosil, kebakaran hutan mengakibatkan hujan asam
yang mengakibatkan fertilisasi pada vegetasi dan kerusakan pantai di berbagai
belahan bumi. (Arismunandar. Saito, 1991)

Udara merupakan komponen yang sangat vital bagi kelangsungan hidup semua
mahluk hidup. Selain untuk bernafas karena terdapat oksigen, udara juga memiliki
senyawa-senyawa lainnya yang berfungsi sebagai bahan pembuat hujan. Udara
282
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

merupakan campuran berbagai macam gas dan partikel yang menyelimuti bumi dengan
komposisi tertentu. Udara ada yang mengandung uap air atau disebut udara lembab
(basah) dan ada udara yang sama sekali tidak mengandung uap air atau udara kering.
Komposisi udara kering yang menyelimuti bumi seperti yang ditampilkan pada Tabel 1
(Fardiaz. 1992)

Tabel 1. Komposisi Udara Kering


N2 O2 Ar CO2 Berat Molekul
Volume (%) 78,09 20,95 0,93 0,03 28,97
Berat (%) 75,53 23,14 1,28 0,05 1,293 Kg/m3

Pembentukan Hujan
Proses hujan diawali dari penguapan air yang ada di daratan maupun lautan. Akibat
adanya perbedaan tekanan, uap air dan partikel-partikel lainnya yang ada di udara
terangkat ke atas sehingga mengalami pendinginan dan terbentuklah awan. Selanjutnya
awan ini mengalami proses kondensasi dan membentuk tetes-tetes hujan. Proses
pembentukan hujan dimulai dari pembentukan awan. Berdasarkan suhu di dalam awan
dan perbedaannya dengan suhu lingkungan atmosfer maka awan dibedakan ke dalam
awan dingin dan awan hangat7. Awan dingin adalah awan yang bagian awan atau
seluruh bagian awan berada pada lingkungan atmosfer dengan suhu < 0C. Pada awan
ini hujan dimulai dari adanya kristal-kristal es yang berkembang dan membesar. Proses
membesarnya kristal es ini dapat melalui dua cara yaitu melalui deposit uap air atau air
kelewat dingin (supercooled water) secara langsung pada kristal es atau melalui
penggabungan menjadi butiran es. Keberadaan kristal es ini sangat penting dalam
pembentukan hujan pada awan dingin, sehingga proses pembentukan hujan pada awan
dingin sering disebut sebagai proses pembentukan kristal es. (Wikipedia. 2013)
Awan hangat adalah awan yang bagian awan atau seluruh bagian awan berada pada
lingkungan atmosfer dengan suhu > 0C. Sumber utama inti kondensasi awan adalah
partikel-partikel garam yang berasal dari percikan gelombang air laut. Bersama-sama
dengan partikel-partikel udara lainnya, partikel-partikel tersebut terangkat ke atas oleh
gerak angin. Selanjutnya partikel tersebut mengalami pendinginan dan terjadilah proses
kondensasi membentuk awan. Pada awan ini hanya terdapat dua macam fase yaitu
cairan (tetes awan, cloud droplet) dan gas (uap air) [6]. Proses dimulai dari kondensasi
partikel kelumit (trace particle) yang berfungsi sebagai inti kondensasi efektif dan
membentuk tetes awan. Ada berbagai macam ukuran inti kondensasi yang
menyebabkan ukuran tetes awan juga bervariasi yang berkisar antara 5- 20 m8. Inti
kondensasi yang besar menghasilkan tetes awan yang besar pula. Setelah pembesaran
tetes awan melalui tahap kondensasi berhenti, proses hujan dimulai melalui proses
tumbukan dan penggabungan antar tetes awan yang berukuran berbeda sehingga
menimbulkan perbedaan kecepatan turun. Proses tumbukan (collision) terjadi karena
adanya perbedaan ukuran tetes-tetes awan sehingga kecepatannya berbeda-beda.
Sedangkan proses penggabungan (coalescence) terjadi apabila tetes awan besar
berfungsi sebagai kolektor dan melalui dinamika di dalam awan, tetes besar ini

283
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

mengumpulkan jutaan tetes air lain yang lebih kecil dalam lintasan geraknya. (Farida.
2004)

Hubungan gas polutan dengan pembentukan hujan


Para ilmuwan fisika awan menyimpulkan bahwa aerosol dari udara yang terpolusi
memiliki peranan yang signifikan dalam mengurangi curah hujan. Selain dari ukuran
partikel, mereka menyimpulkan pula penurunan proses terbentuknya hujan dari segi
kualitas aerosol udaranya. Konsentrasi gas-gas SO2, NO2 dan NO di udara memiliki
pengaruh terhadap pembentukan tetes awan (cloud droplet). Gambar 1 menunjukkan
hubungan SO2, NO2 dan total ionik dengan konsentrasi LWC (liquid water content).
Adanya kenaikan konsentrasi SO2 dan NO2 memberi pengaruh pada penurunan
konsentrasi LWC. Sebaliknya, pada saat konsentrasi SO2 dan NO2 sedang minimum
(jam 24.00), konsentrasi LWC menjadi maksimum. Hubungan terbalik ini juga dapat
diamati pada grafik kadar total ionik. Kadar total ionik yang digambarkan dalam
diagram batang menunjukkan pola yang berkebalikan dengan konsentrasi LWC dalam
rentang waktu antara jam 16.00 sampai jam 04.00 hari berikutnya. (Baltensperger ,
Wieprecht., 1995)
Sedangkan Borrys, dkk. (2003) telah menunjukkan bahwa penambahan aerosol
anthropogenik sebesar 1 g/m3 pada latar udara yang bersih dapat mengurangi laju
turunnya salju orografik hingga mencapai 50%. Pengurangan laju precipitasi ini makin
besar pada awan yang lebih dangkal dengan puncak awan hangat, bahkan satelit
observasi menggambarkan bahwa polutan dapat menggagalkan awan menjadi hujan
pada temperatur awan yang lebih besar dari -10oC pada puncaknya. (Borrys., 2003)

Gambar 1. Pengukuran konsentrasi SO2, NO2 dan kadar total ionik di udara menunjukkan
pengaruhnya pada LWC.

284
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Metoda Penelitian
Pada pemantauan ini digunakan alat toxic gas monitor T501 dan T503 yang
ditempatkan pada ketingian 1,5 meter diatas tanah dengan beberapa waktu pengukuran
dengan rentang waktu rata-rata 2 jam dan instrumen pembacaan langsung dengan
program Gray wolfsense. Parameter yang diukur antara lain O2, NO2, NH3, SO2, H2S,
CO, Total VOC, CO2, dan O3. Alat ini menggunakan detektor fotoionisasi. Cara kerja
peralatan ini adalah kontaminan terionisasikan oleh radiasi UV. Aliran listrik yang
dihasilkan lalu terdeteksi oleh detektor dan kemudian aliran listrik ini sebanding dengan
jumlah ion.

Gambar 2. Pengukuran senyawa kimia di waduk saguling dan pengaruhnya terhadap


pembentukan hujan.

Hasil dan Pembahasan


Dari hasil pemantauan pada tanggal 30 September 1 Oktober 2009, hasil yang
didapatkan adalah sebagai berikut:

Tabel 2 Data Pengamatan


NO2 NH3
waktu O2 % H2S ppm CO ppm TVOC ppb CO2 ppm
ppm ppm

08.00 20,75 0,04 0 0,35 0 495 363


10.00 21,05 0,075 0 0,05 0,65 338 408
11.00 21 0,065 0 0,15 0,25 347,5 369
13.00 20,3 0,045 0,4 0,95 6,75 365 361
15.00 20,3 0,03 1,2 0,85 6,45 309 393,5
17.00 20,9 0,045 0,2 0,15 0 365,5 341

20,71667 0,05 0,3 0,4167 2,35 370 372,5833

285
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 3. Grafik Pengamatan

Secara umum profil gas polutan di daerah Waduk Saguling masih memiliki rentang
alami. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keadaan udara di daerah tersebut masih
bersih dan belum tercemar oleh aerosol antropogenik.

Profil Senyawa Kimia (O2, NH3,CO,CO2,H2S, Total VOC)

Gambar 4. Grafik Konsentrasi O2 di Waduk Saguling

Dari hasil grafik pengamatan terlihat bahwa penyebaran gas O2 (Gambar 4) di


Waduk saguling masih stabil dan dalam rentang alam yakni pada konsentrasi 20,5% -
21% . Kondisi lingkungan yang masih memiliki banyak pepohonan penyuplai O2 hasil
dari fotosintesis merupakan penyebab Penyebaran gas O2 di daerah waduk Saguling
masih dalam rentang alam.

286
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Profil gas NO2 menunjukan penyebaran yang fluktuatif dari waktu ke waktu, hal ini
dapat disebakan karena sumber gas NO2 berasal dari aktifitas manusia (memasak,
membakar tanaman parasit di ladang, memberi pupuk di ladang, dll) terkonsentrasi pada
jam 08.00 sampai dengan jam 10.00 dan jam 15.00-16.00 sehingga pada jam berikutnya
profil penyebaran gas NO2 mengalami penurunan. Profil gas NO2 selengkapnya pada
Gambar 5.

Gambar 5. Grafik Konsentrasi NO2 di Waduk Saguling

Gas NH3 dan H2S di lingkungan sangat erat kaitannya dengan aktifitas manusia
seperti berternak, buang air besar, buang air kecil, pemberian pupuk urea dll. Pada
Gambar 6 dan Gambar 7 terlihat bahwa konsentrasi gas NH3 dan H2S mengalami
kecenderungan meningkat pada jam 11.00 sampai dengan jam 17.00. hal ini disebabkan
oleh gas gas NH3 dan H2S hasil aktifitas manusia dan hewan mengalami proses
penyebaran yang berlangsung lambat karena berjarak jauh dari waduk Saguling.
Disekitar waduk saguling terdapat peternakan Sapi dan Ayam sehingga sedikit banyak
memiliki andil dalam penyuplai gas NH3 dan H2S di daerah saguling.

Gambar 6. Grafik Konsentrasi NH3 di Waduk Saguling

287
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 7. Grafik Konsentrasi H2S di Waduk Saguling

Pada profil gas CO dan CO2 pada Gambar 8 dan Gambar 9 terlihat bahwa
penyebaran gas CO dan CO2 terdapat peningkatan pada jam 10.00. Hal ini disebabkan
pada jam 10.00-17.00 banyak aktifitas kendaraan bermotor dan aktifitas manusia
lainnya seperti pembakaran lahan, pembakaran sampah dll. Sedangkan profil Total
VOC cenderung stabil yang berasal dari aktifitas tumbuhan dan plankton yang ada di
danau (Gambar 10).

Gambar 8. Grafik Konsentrasi CO di Waduk Saguling

288
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 9. Grafik Konsentrasi CO2 di Waduk Saguling

Gambar 10. Grafik Konsentrasi Total VOC di Waduk Saguling

Konsentrasi gas hasil pengukuran di Waduk Saguling menunjukan masih dalam


rentang alamiah dan dapat dikatakan masih belum terpolusi hal ini dapat dilihat dari
Gambar 2 sehingga suplai gas untuk aerosol di awan masih bersih.

Kesimpulan
Konsentrasi gas hasil pengukuran menunjukan masih dalam rentang alamiah dan
dapat dikatakan masih belum terpolusi sehingga suplai gas untuk aerosol di awan masih
bersih. Oleh sebab itu proses pembentukan hujan di wilayah Waduk Saguling dan
sekitarnya berlangsung dengan baik secara alami

289
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar Pustaka
Andrews, W.A. 1972. Environmental Pollution. Prentice Hall, Inc., New Jersey
Arismunandar, w dan H. Saito, 1991. Penyegaran udara. Pradnya Paramitha. Jakarta
Baltensperger , Wieprecht., 1995; Environmental Pollution. Canfield Press, New
York
Borrys, A, 2003. Precipitation effect of clouds process. Prentice Hall, Inc., New
Jersey
Environmental Health Criteria 188. 1997. Nitrogen Oxides (second
edition).WHO.Geneva
Farida. 2004. Pencemaran udara dan permasalahannya. IPB
Fardiaz, S. 1992. Polusi air dan udara. Kanisius. Yogyakarta
Giddings, J.S. 1973. Chemistry, Man and Environmental Change. Canfield Press,
New York
Lestari, F. 2009 . Bahaya kimia; Sampling dan pengukuran kontaminan kimia di
udara. Jakarta
Ruzer, H., 2005 (ed.) Aerosols Handbook: Measurenment, Dosimetri and health
effect. CRC
Wikipedia. 2013. Sulfur dioksida, hidrogen sulfida, carbon monoksida. Dikutip dari
http://wikipedia.org. 5 Mei 2013
Wikipedia. 2013. Proses terbentuknya hujan. Dikutip dari http://wikipedia.org. 5
Mei 2013.

290
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Uji Adsorpsi Titanium Dioksida Terhadap Kromium

Yustinus Purwamargapratala1, Riani Permatasari2, Candra Irawan2


1
Badan Tenaga Nuklir Nasional, Serpong
2
Akademi Kimia Analisis Bogor
Email : pratala_yustinus@yahoo.com

ABSTRAK

Kromium merupakan salah satu logam berat yang terkandung dalam limbah cair,
khususnya yang berasal dari industri tekstil. Kandungan logam ini dalam limbah cair dapat
dihilangkan dengan berbagai adsorben, antara lain dengan serbuk titanium dioksida.
Penelitian ini untuk mengetahui kemampuan titanium dioksida sebagai pengadsorpsi
kromium. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri sinar tampak.
Uji konfirmasi dilakukan menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA), energy
dispersive spectroscopy (EDS), dan scanning electron microscopy (SEM). Adsorpsi titanium
dioksida pada rentang konsentrasi kromium 2-8 mg/L secara spektrofotometri sinar tampak
didapatkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,9995, dengan kondisi adsorpsi optimum waktu
adsorpsi 20 menit, laju pengadukan 30 rpm. Kapasitas adsorpsi maksimum titanium dioksida
terhadap kromium 21,19 mg/g. Konfirmasi dengan EDS dan SEM menunjukkan terjadinya
adsorpsi titanium dioksida terhadap kromium.

Kata kunci : adsorpsi, titanium dioksida, kromium

Pengantar
Dalam lingkungan hidup, kromium ditemukan dalam bentuk kromium logam,
bivalen, trivalen, dan heksavalen. Kromium logam memilki massa jenis (20o C) sebesar
650 g/cm3, titik leleh sebesar 1903o C, titik didih sebesar 2642o C, dan tergolong logam
yang mengkilap, keras serta tahan karat sehingga sering digunakan sebagai pelindung
logam lain. Logam kromium larut dalam asam klorida encer atau pekat. Jika tidak
terkena udara, akan terbentuk ion-ion kromium (II) atau kromium bivalen. Kromium
bivalen termasuk senyawa pereduksi kuat. Dengan adanya oksigen dari atmosfer maka
kromium sebagian atau seluruhnya menjadi teroksidasi ke dalam trivalen. Dalam
bentuk heksavalen, kromium terdapat sebagai CrO2- dan Cr2O72-, sedangkan bentuk
trivalen terdapat sebagai Cr3+, [Cr(OH)]2+, [Cr(OH)2]+, dan [Cr(OH)4]-(BRAMANDITA,
2009)
Menurut HUDAYA (2011), kromium termasuk logam berat B3 dan digolongkan
sebagai karsinogenik terhadap manusia oleh United States Enviromental Protection
Agency (USEPA), tingkat daya racun kromium dipengaruhi oleh keadaan ion
valensinya. Ion kromium (VI) sangat beracun, lebih beracun dari pada ion kromium
(III) yaitu sekitar 100 kalinya, sehingga untuk mengolah limbah krom maka kromium
(VI) harus direduksi terlebih dahulu menjadi kromium (III), selain itu juga berdampak
negatif pada kesehatan dan lingkungan, menyebabkan reaksi alergi dan asma,
karsinogenik dan mutagenik. Masalah kesehatan lain yang disebabkan oleh kromium
291
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

(VI) adalah kulit ruam, sakit perut dan bisul, masalah pernapasan, sistem kekebalan
lemah dan ginjal. Secara sederhana logam berat menimbulkan kematian pada beberapa
jenis biota perairan maka keberadaan logam berat di lingkungan harus selalu di pantau.
Efek yang sangat berbahaya dari kromium heksavalen menyebabkan pemerintah
memasukkan kromium heksavalen dalam kriteria nilai baku mutu air.
(BRAMANDITA, 2009). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 82
tahun 2001, air golongan A, B, dan C hanya boleh mengandung kromium heksavalen
maksimum 0,05 ppm. Sedangkan air golongan D hanya boleh mengandung maksimum
0,1 ppm (SUGIHARTO, 2005).
Mengingat bahaya yang ditimbulkannya, maka perlu dilakukan penanganan khusus
terhadap limbah kromium (VI) tersebut. Teknologi konvensional telah banyak
dilakukan untuk mengolah limbah kromium (VI), beberapa upaya pengolahan limbah
kromium (VI) yang telah dilakukan seperti reduksi kimia, ion exchange, adsorpsi
dengan batu bara atau karbon aktif dan reduksi dengan bantuan bakteri, tetapi metode
tersebut masih memiliki beberapa kelemahan, diantaranya efisiensi pengolahan limbah
yang rendah, pemakaian energi dan bahan kimia yang cukup tinggi, serta proses
pengolahan limbah yang dilakukan tersebut ternyata masih menghasilkan residu
berbahaya. (SLAMET et al, 2003)
Titanium dioksida, titanium (IV) oksida atau titania merupakan salah satu oksida
logam transisi yang bersifat semikonduktor dan telah diteliti secara luas dan digunakan
pada berbagai aplikasi teknologi terkini, antara lain sebagai adsorben.
Kebanyakan zat pengadsorpsi atau adsorben adalah bahan-bahan yang sangat
berpori. Adsorpsi berlangsung terutama pada dinding pori atau pada letak tertentu
dalam pertikel itu. Pemisahan terjadi karena perbedaan bobot molekul pada permukaan
itu lebih erat daripada molekul-molekul lain. (McCABE, 1999). Faktor-faktor yang
mempengaruhi adsorpsi anatara lain waktu kontak, karakteristik adsorben, luas
permukaan, kelarutan adsorbat, ukuran molekul adsorbat, pH, dan temperatur
(BROUGHTON, 1981)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan Titanium dioksida sebagai
pengadsorpsi logam kromium, pada kondisi optimum waktu adsorpsi, jumlah adsorben,
laju pengadukan.

Bahan, Alat, dan Metode

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam percobaan ini antara lain titanium oksida produk
MERCK dan bahan uji kalium dikromat. Sedangkan peralatan yang digunakan antara
lain spektrofotometer UV-Visible PERKIN ELMER LAMDA 25, Analytical Scanning
Electron Microscopy JEOL JSM-6510LA, spektrofotometer serapan atom, pH Meter
Fisher Scientific, magnetic stirring, neraca analitik, Sentrifuge Hetrich EBA 20, dan
shaker

292
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Metode
Preparasi dilakukan dengan membuat larutan deret standar kalium dikromat
konsentrasi (2, 4, 6, 8) mg/l, dan pengujian dilakukan terhadap variasi jumlah adsorben
0.025-0,150 gram, konsentrasi , waktu adsorpsi 10-40 menit, dan laju pengadukan.
Pengukuran dilakukan menggunakan spketrofotometer ultraviolet-sinar tampak pada
panjang gelombang 540,2 nm. Dilakukan pula uji konfirmasi titanium oksida sebagai
adsorben menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA) dan uji karakterisasi
energy dispersive (EDS).

Hasil dan Pembahasan


Uji linieritas dilakukan untuk pengaruh konsentrasi analit terhadap nilai
intensitasnya. Lineritas untuk suatu metode dapat diterima apabila koefsien korelasi
yang dihasilkan >0,99 (MILLER dan MILLER, 2001).

Gambar 1. Kurva Kalibrasi Kromium

Dari hasil pengujian linieritas terhadap standar kromium dengan menggunakan


metode Spektrofotometri sinar tampak seperti diperlihatkan pada Gambar 1 didapatkan
persamaan garis Absorbansi = 0,4257 (Konsentrasi Kromium) + 0,5247 dengan nilai
koefisien korelasi sebesar 0,9995 sehingga memenuhi syarat rentang keberterimaan.
Percobaan yang dilakukan menggunakan serbuk titanium dioksida sebagai adsorben
0,1 gram dengan larutan kromium dengan konsentrasi 6 mg/l yang diuji dengan variasi
waktu adsorpsi selama 10-40 menit diperlihatkan pada Gambar 2.

293
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 2. Pengaruh Waktu Adsorpsi Terhadap Kapasitas Adsorpsi

Gambar 2 memperlihatkan bahwa waktu adsorpsi optimal pada kapasitas adsorpsi


titanium dioksida terhadap kromium adalah 20 menit. Penurunan kapasitas adsorpsi
pada penambahan kemungkinan terjadi karena kejenuhan dari serbuk Titanium dioksida
yang digunakan sehingga kromium yang teradsorpsi semakin sedikit.
Pada pengujian variasi jumlah adsorben digunakan kromium 6 mg/l dengan variasi
jumlah adsorben 0,025-0,150 gram dengan waktu pengadukan selama 20 menit.
Diketahui bahwa pengaruh jumlah adsorben terhadap efisiensi adsorpsi diperlihatkan
pada Gambar 3.

Gambar 3. Pengaruh Jumlah Adsorben Terhadap Efisiensi Adsorpsi

Dari Gambar 3. diketahui bahwa semakin banyak jumlah adsorben yang digunakan
akan memperbesar nilai % efisiensi adsorpsi, disebabkan jumlah kromium yang
teradsorpsi akan semakin besar pula. Pada jumlah adsorben 0,15 gram didapatkan nilai
efisiensi tertinggi yaitu 21,19 %. Hal ini yang mendasari digunakannya jumlah adsorben
sebanyak 0,15 gram pada pengukuran selanjutnya.
Pengaruh laju pengadukan terhadap kapasitas adsorpsi diperlihatkan pada gambar 4.
Kapasitas adsorpsi maksimum sebesar 1,8393 mg/g didapat saat laju pengadukan yang
digunakan sebesar 30 rpm.

294
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 4. Pengaruh Laju Pengadukan dan Kapasitas Adsorpsi

Pada uji variasi konsentrasi digunakan larutan uji kromium yang divariasi
konsentrasi (2-10) mg/l dengan jumlah adsorben 0,15 gram, waktu pengadukan 20
menit, dan laju pengadukan 30 rpm, hasil pengukuran diperlihatkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik Perbandingan Konsentrasi Kromium Dengan Kapasitas Adsorpsi

Dari Gambar 5 diketahui adanya kenaikan konsentrasi larutan dan konsentrasi filtrat
kromium dengan jumlah adsorben yang tetap, tetapi perbandingan antara kedua
konsentrasi tersebut tidak proporsional sehingga menyebabkan kapasitas adsorpsi
mengalami kenaikan sampai pada konsentrasi kromium 6 mg/l. Pada konsentrasi 8 mg/l
dan 10 mg/l terjadi penurunan nilai kapasitas adsorpsi karena jumlah kromium yang
terserap semakin besar, yaitu lebih dari setengah nilai konsentrasi sebelum adsorpsi.
Sedangkan pengaruh konsentrasi kromium terhadap efisiensi adsorpsi diperlihatkan
pada Gambar 6. Dari Gambar 6 diketahui terjadi penurunan nilai efisiensi adsorpsi pada
konsentrasi 4-10 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa adsorpsi titanium dioksida terhadap
kromium akan sangat efisien sampai konsentrasi kromium 4 mg/l dan akan mengalami
penurunan pada konsentrasi yang lebih tinggi.

295
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 6. Grafik Perbandingan Konsentrasi Kromium Terhadap Efisiensi Adsorpsi

Penentuan persamaan isotermis adsorpsi Freundlich diperoleh dengan mencari nilai


konsentrasi adsorbat pada kesetimbangan (Ce) dan banyaknya zat yang terserap setiap
satuan berat adsorben atau kapasitas adsorpsi (qe), kemudian dihitung nilai log Ce dan
log qe sehingga dapat dialurkan pada grafik persamaan isotermis adsorpsi Freundlich
seperti diperlihatkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik Isotermis Adsorpsi Freundlich

Penentuan persamaan isotermis adsorpsi Freundlich dapat diketahui dengan cara


melihat nilai korelasi yang dihasilkan. Dari hasil perhitungan pada Lampiran 6 dan
Gambar 7 didapatkan nilai korelasi sebesar 1, sehingga adsorpsi Cr (VI) dengan
adsorben Titanium dioksida mengikuti persamaan isotermis adsorpsi Freundlich, ion
Cr6+ teradsorpsi pada permukaan Titanium dioksida yang memiliki pusat-pusat aktif
yang heterogen membentuk lapisan jamak (multilayer).
Konfirmasi Titanium dioksida sebagai adsorben secara spektrofotometri serapan
atom menggunakan sampel pada keadaan optimum diperlihatkan pada tabel 1.

296
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 1. Hasil Uji Konfirmasi Titanium Dioksida Sebagai Adsorben Kromium Secara
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

Jumlah Adsorben C0 C1 Kapasitas Adsorpsi


Sampel Tipe
(g) (mg/l) (mg/l) (mg/g)
Sampel 1 0,1501 6,000 0,476 3,6802

Tabel 1. menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang signifikan terhadap


konsentrasi kromium di larutan sampel. Hal ini memperlihatkan bahwa hasil
pengukuran menggunakan ultra violet - sinar tampak dan spektrofotometer serapan
atom menunjukkan bahwa titanium dioksida sangat efektif digunakan sebagai adsorben
kromium.
Uji konfirmasi juga dilakukan menggunakan scanning electron microscopy (SEM)
untuk mengamati morfologi bahan seperti ditunjukkan pada Gambar 8. dan energy
dispersive spectroscopy (EDS) untuk mengamati komposisi sampel ditunjukkkan pada
Gambar 9.

Gambar 8. Morfologi titanium dioksida mengadsorpsi kromiu

297
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

(a)

(b)

Gambar 9. Spektrum EDS a. Titanium dioksida, b. Kromium dan Titanium dioksida

298
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 8. menunjukkan morfologi titanium dioksida yang mengadsorpsi kromium


pada bagian permukaannya. Sedangkan spektrum Gambar 9. pada tingkat energi 4,508
keV menunjukkan adanya unsur Ti, pada tingkat energi 0,525 keV menunjukkan
adanya unsur O, dan pada tingkat energi 5,411 keV adanya unsur Cr.

Kesimpulan
Adsorpsi titanium dioksida pada rentang konsentrasi kromium 2-8 mg/L secara
spektrofotometri sinar tampak didapatkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,9995,
dengan kondisi adsorpsi optimum waktu adsorpsi 20 menit, laju pengadukan 30 rpm.
Kapasitas adsorpsi maksimum titanium dioksida terhadap kromium 21,19 mg/g.
Konfirmasi dengan secara spektrofotometri serapan atom (SSA), energy dispersive
spectroscopy (EDS), dan scanning electron microscopy (SEM) menunjukkan terjadinya
adsorpsi titanium dioksida terhadap kromium.

Daftar Pustaka
BRAMANDITA, ANDRE. 2009. Removal of Hexavalent Chromium with Scrap
Iron Filling. Skripsi. Jurusan Kimia FMIPA IPB, Bogor.
BROUGHTON, C. W, 1981. Principles of Liquid-Phase Adsorption. Proceedings
Application of Adsorption to WasteWater treatment. International
Conference on Application of Adsorption Wastewater Treatment. Boston.
HUDAYA, TEDI, SUSIANA PRASETYO, ALVINA MARSHA, dan
EVELINE PARAMITA. 2011. The Treatment Of Chromium Hexavalent
From Electroplating Wastewater By UV/Titanium dioksida Photocatalysis.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan, Yogyakarta.
MC CABE, WARREN L., JULIAN C. SMITH, PETER HARRIOT. 1999.
Operasi Teknik Kimia II. Diterjemahkan oleh Ir. E. Jasjfi, M. Sc. Erlangga.
Jakarta.
MILLER, J. C. dan J. N. MILLER. 2001. Statistika Untuk Kimia Analitik.
Penerbit ITB. Bandung.
SLAMET, RIYADI SYAKUR dan WAHYU DANUMULYO. 2003. Pengolahan
Limbah Logam Berat Chromium (VI) Dengan Fotokatalis Titanium dioksida.
Makara, Teknologi. 7:1.
SUGIHARTO. 2005. Dasar-dasar pengolahan air limbah. UI-PRESS. Jakarta.

299
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Simulasi Pelindian Fe Dan Ca Akibat Hujan Asam Di


Wilayah Industri Citeureup Bogor

Sutanto*1 dan Ani Iryani 2


Jurusan kimia FMIPA Universitas Pakuan,
Jl. Pakuan, Bogor 16144, Indonesia
E-mail: sutanto_psl@yahoo.co.id

ABSTRAK

Wilayah industri Cibinong-Citeureup Bogor telah mengalami hujan asam intensitas


tinggi (pH<5,0). Hujan asam dapat melarutkan logam dalam tanah (pelindian=leaching)
sehingga meningkatkan kadar logam dalam air sumur. Telah dilakukan percobaan simulasi
pengaruh keasaman air hujan buatan terhadap kadar logam Fe dan Ca dalam air lindi.
Tujuan penelitian ini untuk memperlajari hubungan antara keasaman air hujan dengan kadar
kedua logam tersebut dalam air lindi sebagai representasi air sumur. Percobaan simulasi
dilakukan pada kolom pelindi paralon PVCdiameter 3 inchi, tinggi 130 cm. Kolom diisi
tanah dari daerah Citeureup Bogor dengan teknik undisturb. Kolom dimasukkan ke dalam
tanah perlahan hingga kedalaman mencapai setinggi kolom. Dalam laboratorium kolom
dialiri air hujan buatan dengan pH bervariasi: 4,5; 4,0; dan 3,5 dari bawah keatas
(ascending). Air yang keluar dari kolom (air lindi) disampling pada liter ke 5, 10, 15, dan
20. Masing-masing dianalisis kadar Fe dan Ca. Kadar Fe ditentukan dengan metoda o-
fenantrolin secara spektrofotometri UV-VIS, dan Ca ditentukan dengan cara titrasi kompleks
EDTA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh keasaman air hujan buatan sangat
kuat terhadap kadar logam Fe dan Ca dalam air lindi, masing-masing r2 = 1 dan r2 = 0,94.
Pelindian logam akibat asam mengikuti persamaan tingkat pertama dengan tetapan reaksi,
k= -2,1439 untuk Fe , dan k= -0,2546 untuk Ca.

Kata kunci : hujan asam, pelindian, leaching, simulasi,Fe, Ca

Pengantar
Daerah Citeureup dan Cibinong Kabupaten Bogor merupakan wilayah industri,
padat transportasi, dan berdebu dengan jumlah industri mencapai 2.944 buah Kepadatan
penduduk di daerah ini rata-rata 4.131 jiwa/km2. Penduduk di wilayah ini yang
memanfaatkan air sumur sebagai sumber air minum mencapai 75,63% (BPS,. 2008).
Studi kasus hujan asam di wilayah industri Citeureup Bogor menunjukkan bahwa hujan
asam terjadi dengan intensitas tinggi yaitu pH 4,7 terkonsentrasi pada daerah sekitar
pusat industri dengan radius beberapa km. Intensitas hujan asam semakin menurun
dengan semakin jauh jarak dari pusat hujan asam sampai radius 10 km dan kembali
normal (pH > 5,6) pada jarak > 20 km (Sutanto et.al., 2002). Diperkirakan hujan asam
di wilayah ini akan terus berlangsung dan semakin meningkat intensitasnya dan akan
berdampak pada tercucinya (leaching) mineral-mineral dalam tanah dan masuk kedalam
air sumur penduduk.

301
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hujan asam memiliki pH air hujan kurang dari 5,6 (Menz dan Hans, 2004) dan
(Manahan, 2005). Hujan asam yang masuk ke tanah dapat menyebabkan pelindian
(leaching) logam Fe dan Ca sehingga masuk kedalam sumur. Logam Fe dalam tanah
dapat berbentuk sebagai senyawa Fe2O3 (hematite), FeOOH (geotit), dan Fe5(O4H3)3
(ferihidrit). Logam Fe dapat ditranslokasikan dari dekomposisi mineral menjadi bentuk
ion Fe3+, Fe(OH)2+, dan Fe(OH)4- (Tan. 1982). Ketergantungan kelarutan Fe terhadap
asam berbanding lurus. Pada pH 7 kelarutan Fe < 0,001 mg/L dan pada pH 3 kelarutan
Fe > 2mg/L (Weiner, 2000). Selain itu kelarutan Fe juga tergantung kepada adanya
oksidan (Le-ming et al., 2007), suhu dan ukuran partikel (Petrakakis et al., 2007).
Nwoye et al. (2009) menggunakan persamaan % Fe = e-2.042 (lnT) untuk memprediksi %
leaching Fe dengan T adalah suhu (oC). Dalam tanah Ca dapat berbentuk sebagai CaO
atau CaCO3. Dengan adanya air hujan yang mengandung karbon dioksida CaCO3 akan
larut menghasilkan Ca2+ dan HCO3-. Berdasarkan nilai tetapan kesetimbangan kelarutan
karbon dioksida dalam air dan diagram distribusi ketergantungan pH maka jumlah CO2
semakin banyak apabila pH air rendah < 5,0 (Weiner, 2000). Bila air hujan semakin
asam maka reaksi pelepasan Ca akan semakin kuat. Selain tingkat keasaman larutan,
pelindian logam dari dalam tanah juga tergantung kepada rasio jumlah pelarut terhadap
jumlah padatan dalam larutan atau rasio volume cairan dalam liter terhadap berat
padatan dalam kg (L/S) (Sloot et al., 2003). Kadar logam dalam air lindi tak lagi
berubah setelah dicapai L/S minmal 10. Dalam kenyataan di lapangan rasio ini diwakili
oleh curah hujan atau musim. Pada musim kering bukan saja nilai L/S yang dipengaruhi
tetapi juga keasaman air sumur. Pada sumur terbuka pH air sumur dalam lebih rendah
dari pada musim hujan (Efe et al., 2005).
Pemelitian ini bertujuan untuk: (1) melihat pengaruh tingkat keasaman terhadap
pelindian logam Fe dan Ca. (2) Mencari hubungan matematik antara tingkat keasaman
air hujan buatan dengan perubahan kadar Fe dan Ca dalam air lindi pada tanah dari
wilayah industri Citeureup Bogor.

Metoda Penelitian
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan meliputi peralatan botol/jerigen sampling kapasitas 1 liter, tandon
air hujan buatan (ember plastik), kolom leaching dan statif, pH meter (LUTRON),
spektrofotometer UV-VIS (Thermo Scientific, seri Genesis 10uv), neraca analitik,
penangas air, buret, dan glassware lainnya,.
Bahan-bahan yang digunakan adalah: asam sulfat (pa) Merk, asam nitrat (pa) Merk,
kertas pH Universal, EDTA, ZnCl2, Mureksid, EBT, larutan buffer (pH 4, 7 dan 10),
hidroksilamin HCl, amonium hidroksida, kalsium karbonat, aquadest dll.

Metoda
Penelitian simulasi pengaruh pH air hujan terhadap kadar Fe dan Ca dilakukan
menggunakan kolom pelindi. Air hujan buatan pada berbn agai pH dialirkan ke dalam
kolom, dan kadar Fe dan Ca dalam air lindi diamati.
Kolom pelindi dibuat dari paralon 3 inchi tinggi 130 cm. Kolom diisi dengan
tanah di wilayah penelitian dengan. Pengisian kolom dengan tanah dilakukan dengan

302
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

metoda undisturb: kolom dimasukkan kedalam tanah perlahan dengan dipandu alat
potong tanah sehingga tanah mengisi kolom tanpa ada kerusakan struktur tanah. Kolom
selanjutnya dibawa ke laboratorium dan dialiri air hujan buatan (air hujan yang
ditampung dan dikondisikan dengan asam sulfat) dengan berbagai pH, berturut-turut air
hujan: pH 4,5; 4,0; dan 3,50 dengan metoda askending. Air hujan buatan dengan pH
tertentu dialirkan ken dalam kolom dan air yang keluar dari kolom (air lindi) disampling
dan dianalisis kadar Fe dan Ca pada liter ke 5, 10, 15, dan 20. Rancangan alat dan
setting diperlihatkan pada Gambar 1. Data hasil pengukuran di plot untuk melihat
kecenderungan perubahan kadar Fe dan Ca air lindi akibat perubahan pH air hujan
buatan dan dicari kadar Fe air lindi pada liter ke 50 (rasio L/S =10) demikian juga untuk
setiap pH air hujan buatan lainnya yang disimulasikan. Selanjutnya kadar Fe dan Ca air
lindi pada rasio L/S masing-masing diplot terhadap pH air hujan buatan untuk melihat
kecenderungan perubahan kadar Fe air lindi akibat perubahan pH air hujan buatan, serta
untuk menentukan hubungan matematik antara tingkat keasaman dengan peningkatan
kadar Fe dan Ca air lindi

Pembuatan larutan (hujan buatan)


Larutan air hujan buatan dibuat dari air suling dengan penambahan asam nitrat
sehingga mencapai pH 4,5; 4,0; dan 3,0 masing-masig dalam volume 30 liter
Penetapan Kadar Besi (APHA, 315.B)
Sampel air lindi dipekatkan 5 kali dengan cara pemanasan. Penetapan kadar besi
dilakukan dengan metoda o-fenantrolin dengan alat spektrofotometer. Ion besi dalam
sample dibuat bermuatan 2 dengan hidroksilamin HCl, kemudian pada kondisi larutan
pH 2 direaksikan dengan larutan o-fenantrolin. Warna merah intensif diukur serapannya
pada panjang gelombang 510 nm. Konsentrasi (mg/L) Fe diperoleh dari absorban
sampel dengan perhitungan yang diadasarkan garis regresi kurva standar.
Penetapan Kadar Kalsium (APHA, 311 C.)
Sampel air lindi dipekatkan 5 kali dengan cara pemanasan Penetapan kadar kalsium
dilakukan dengan metoda titrimetri, titrasi kompleksometri triplo. Sebagai penitar
digunakan larutan standart EDTA pada kondisi larutan pH 10 menggunakan indikator
visual Eriokrom Black T. Titik akhir titrasi dicapai saat warna biru indikator muncul.

303
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 1. Sekema alat percobaan pelindian

Hasil dan Pembahasan


Rata-rata kadar Fe dan Ca air lindi pada berbagai pH air hujan buatan disajikan pada
Tabel 1. Pada tabel nampak bahwa kadar Fe maupun Ca semakin menurun dengan
semakin bertambahnya rasio L/S. Untuk dapat diperbandingkan kadar Fe dan Ca pada
berbagai pH perlu dicari rasio L/S = 10. Pada rasio ini kadar logam dalam air lindi
sudah stabil, artinya semakin bertambah besar rasio L/S konsentrasi logam relatif sama
atau tidak terpengaruh.

Tabel 1. Rata-rata Kadar Fe dan Ca air lindi


[Fe] (mg/l) [Ca] (mg/l)
L/S
pH
rasio pH 4,00 pH 3,50 pH 4,50 pH 4,00 pH 3,50
4,50
1 0,0471 0,1122 0,1783 18,4988 18,0990 18,6450
2 0,0188 0,0626 0,1493 17,4923 18,1400 19,6690
3 0,0203 0,0587 - 14,9043 16,1400 16,2490
4 0,0234 0,0601 0,1148 14,5650 15,1270 16,5310
Keterangan: - missing data

Untuk mendapatkan konsentrasi logam pada rasio L/S = 10, setiap data diplot
terhadap rasio L/S sehingga ditemukan Persamaan garis yang dapat digunakan untuk
menghitung konsentrasi logam.
Gambar 2. memperlihatkan plot antara kadar Fe (mg/L) terhadap rasio L/S.
Kurva A (pH air hujan buatan = 4,5) memperlihatkan kurva logaritmis dengan nilai R2
= 0,65, r=0,68. Kadar Fe menurun dengan semakin bertambahnya rasio L/S mengikuti
Persamaan: [Fe]al = 0,0178 Ln (L/S) + 0,0416. Kurva B (pH air hujan buatan =4,0)
mengikuti Persamaan : [Fe]al = 0,1145 e -0,1935 (L/S) dengan nilai R2 = 0,64, r = 0,80 dan
kurva C (pH air hujan buatan = 3,5) mengikuti persamaan: [Fe] al = 0,2033 e 0,1445(L/S)
dengan nilai R2 = 0,9939, r = 0,99. Nilai R2 disebut koefisien diterminasi yang

304
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

menjelaskan seberapa jauh perubahan kadar logam Fe dapat dijelaskan oleh perubahan
L/S. Koefisien regresi linier, r menjelaskan hubungan antara kadar logam dengan L/S.
Dari nilai koefisien diterminasi dan korelasi nampak bahwa semakin kecil pH air
hujan buatan semakin kuat berpengaruh terhadap pelindian logam Fe. Nilai koefisien
korelasi meningkat dari 0,65 menjadi 0,80 dan 0,99. Hal ini sesuai dengan reaksi
pelepasan logam bahwa semakin asam proses pelepasan semakin kuat (Weiner, 2000)
berdasarkan reaksi sebagai berikut (Manahan, 2005):
Fe2O3 + 6H+ 2Fe3+ + 3H2O
Semakin banyak ion H+ kondisi semakin asam dan semakin banyak Fe3+ terlindi.

Gambar 3 memperlihatkan plot antara rata-rata kadar Ca (mg/L) dalam air lindi
terhadap rasio L/S. Penurunan kadar Ca terhadap rasio L/S mengikuti persamaan
eksponensial (non linier). Hal ini sesuai dengan percobaan Sloot et al. (2003) bahwa
pengaruh kadar logam dalam air lindi menurun secara logaritmis dengan semakin besar
rasio L/S mengikuti persamaan order pertama. Pola penurunan kadar Ca terhadap L/S
sesuai dengan pola penurunan kadar Fe dalam air lindi, yaitu menurun mengikuti reaksi
orde pertama, namun kuantitas Ca jauh lebih besar. Fe terleaching berada pada kisaran
konsentrasi 0,02- 0,2 mg/l, sedangkan Ca terleaching berada pada kisaran konsentrasi
antara 14,5 sampai 19,67 mg/l. Hal ini berarti kelarutan logam Ca jauh lebih besar
dibandingkan kelarutan logam Fe pada kondisi yang sama

Gambar 2. Kurva perubahan konsentrasi Fe air lindi terhadap rasio L/S dan pH air hujan
buatan. Keasaman air hujan (pH) A=4,5 ; B=4,0; dan C=3,5

305
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

22,0000 -0,0574(L/S)
C: [Ca] = 19,316e
R2 = 0,9074
Rata-rata [Ca] air leaching (mg/L)

20,0000
-0,0672(L/S)
B: [Ca] = 19,82e
18,0000 R2 = 0,8799
A

16,0000 B

14,0000 C
-0,0877(L/S)
A: [Ca] = 20,273e
R2 = 0,9237
12,0000

10,0000
0 1 2 3 4 5
Rasio L/S

Gambar 3. Kurva Perubahan Konsentrasi Ca air leaching terhadap rasio L/S dan pH air
hujan buatan. Keasaman air hujan (pH) A=4,5 ; B=4,0; dan C=3,5

Tingginya kelarutan Ca dalam tanah disebabkan selain pengaruh asam semakin juga
disebabkan adanya peranan gas CO2 berdasarkan reaksi (Manahan, 2005):

CaCO3 (s) + CO2 + H2O Ca2+ + 2 HCO3- , dan reaksi akibat asam
CaCO3 (s) + H+ Ca2+ + HCO3-

Reaksi tersebut akan bergerak kekanan bilamana jumlah CO2 terlarut dalam air
tanah semakin banyak.

Tabel 2. Kadar Fe dan Ca pada L/S = 10

pH [Ca] mg/l [Fe] mg/l


4,5 8,4342 0,0006
4 10,1218 0,0165
3,5 10,8801 0,0479

Perubahan Kadar Fe dan Ca akibat keasaman air hujan buatan


Untuk dapat melihat perbandingan besarnya perubahan konsentrasi Ca dan Fe dalam
air lindi pada berbagai pH air hujan, faktor lain yang mempengaruhi perlu disamakan.
Percobaan ini dilakukan pada tanah yang sama, dan suhu ruang, sehingga faktor sifat
tanah dan suhu sama. Untuk menghilangkan faktor L/S dilakukan perhitungan kadar Fe
pada rasio L/S =10. Pada rasio ini konsentrasi logam dalam air leaching sudah relatif
stabil, artinya konsentrasi logam dalam air lindi tidak berubah dengan semakin
bertambah besar rasio L/S. Perhitungan kadar Fe dan Ca pada L/S = 10 menggunakan
persamaan pada Gambar 2 dan 3 diperoleh data sperti disajikan pada Tabel 2.
306
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 4. Pola perubahan kadar logam dalam air lindi pada L/S 10 akibat perubahan pH air
hujan buatan hasil simulasi dengan kolom pelindian, (a) pola perubahan Fe, dan
(b) pola perubahan Ca

Hasil plot kadar Fe dan Ca dalam air lindi terhadap pH air hujan buatan pada rasio
L/S = 10 diperlihatkan pada Gambar 4.
Gambar 4. memperlihatkan pola perubahan kadar Fe(a), dan pola perubahan kadar
Ca (b) dalam air lindi akibat pH air hujan buatan. Keduanya menunjukkan hubungan
terbalik, semakin besar pH air hujan kadar logam semakin kecil. Dengan kata lain
semakin kecil pH (semakin tinggi tingkat keasaman air hujan) semakin banyak logam
yang terlindi. Hal ini sesuai dengan Wiener (2000), dan percobaan Liao et al.(2007).
Pelindian logam Fe akibat asam mengikuti persamaan: [Fe]al = 88,169e-2,1439(pH),
dengan nilai koefisien diterminasi R2 = 1. Persamaan kelarutan akibat pH ini adalah
persamaan tingkat pertaman yang dapat ditulis: [Fe] pH = [Fe]pHo e -2,1439 (pH), dengan
kelarutan Fe pada pH = 0 mencapai 88,169 mg/L, dan konstanta laju pelindian akibat
pH sebesar, k= -2,1439. Nilai koefisien diterminasi R2 = 1 menyatakan bahwa
kelarutan Fe sangat kuat dipengaruhi oleh pH. Dari persamaan ini dapat dihitung dan
dinyatakan bahwa pada pH air hujan 4,5, kelarutan Fe sebesar 0,006 mg/l dan
meningkat menjadi 0,05 mg/l pada pH 3,5. Selanjutnya dapat diperhitungkan kelarutan
Fe pada pH 2 akan menjadi 1,210 mg/l. Menurut Weiner (2000), kelarutan Fe pada pH
2 > 2 mg/l. Perbedaan ini dapat disebabkan karena beberapa faktor berpengaruh,
terutama dalam hal ini laju alir. Pada percobaan pelindian ini laju alir tak dapat
dikontrol, dan jauh lebih lambat dari yang diharapkan. Kecepatan alir air hujan
diharapkan sama atau mendekati laju infiltrasi di lapangan lebih kurang 1,5 cm/detik.
Dengan laju sebesar ini, berpadanan dengan waktu tinggal air lindi dalam kolom sekitar
86,6 detik. Pada kenyataannya kolom mampat karena mungkin terbentuk partikel halus
yang menutup pori-pori tanah sehingga aliran tertahan, sehingga untuk mengalirkan air
hujan buatan dan mendapatkan air lindi 5 liter memerlukan waktu 5 hari (seharusnya 1
jam 20 menit), dan untuk mendapatkan air lindi 20 liter memerlukan waktu hampir 1
bulan. Laju alir yang lambat akan memperlambat proses pelindian.

307
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pelindian Ca akibat hujan asam buatan mengikuti persamaan [Ca]al = 27,019 e-0,2546
(pH)
dengan nilai koefisien diterminasi R2= 0,9413. Persamaan ini merupakan
persamaan tingkat pertama dengan konstanta reaksi k = -0,2546. Pengaruh pH terhadap
kelarutan Ca sangat kuat . Meskipun kelarutan Ca dalam tanah juga dipengaruhi oleh
adanya CO2 atau karbonat, namun kelarutan Ca terutama ditentukan pH (Tiruta et al.,
2004).

Kesimpulan
Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa kelarutan Fe dan Ca dari dalam tanah
sangat dipengaruhi oleh tingkat keasaman air hujan buatan. Pengaruh keasaman
terhadap kelarutan Fe sangat kuat ( r = 1), dan juga berpengaruh kuat terhadap kelarutan
Ca ( r = 0,94). Hubungan matematik antara tingkat keasaman dan kelarutan Fe
mengikuti persamaan tingkat pertama dengan tetapan k sebesar -2,1439, dan kelarutan
Ca mengikuti persamaan tingkat pertama dengan tetapan k sebesar -0,2546.

Daftar Pustaka
[APHA]. 2005. Standart Methods For the Examination of Water and Waste Water,
14ed. APHA. Washington D.C. 2005.
[BPS]. 2008. Biro Pusat Statistik. Kabupaten Bogor dalam Angka. BPS Kab. Bogor.
Efe SI, Ogban FE, Horsfall M Jnr, Akporhonor EE. 2005. Seasonal Variations of
Physico-chemical Characteristics in Water Resources Quality in Western
Niger Delta Region, Nigeria. J. Appl.Sci. Environ. Mgt. Vol 9(I) 191-195.
Le-ming OU, Rong-quan HE, Qi-ming F, 2007. Influence factors of pyrite leaching
in germ-free system. J.Cent.South Univ. Technol (2007)01-0028-04.
Liao B, Guo Z, Zeng Q, Probst A, Probst J L. 2007. Effects of Acid Rain on
Competitive Releases of Cd, Cu, and Zn from Two Natural Soils and Two
Contaminated Soils in Hunan, China. Water, Air and Soil Pollution: Vol. 7,
No 1-3 (2007) , pp. 151-161.
Manahan S. 2005. Environment Chemistry, Lewis Publ. Boca Raton.
Menz FC dan Hans SM, 2004, Acid rain in Europe and the United States: an update.
Environmental Scince & Policy. Vol.7: 253-265.
Nwoye CI, Gideon CO, Udockchuku M, Stanley I, Chinedu CN, 2009. Model form
Calculating the Concentration of Leached Iron Relative to the Final Solution
Temperature during Sulphuric Acid Leaching of Iron Oxide Ore. New York
Scince Journal, 2009, 2(3), ISSN 1554-0200.
Petrakakis Y, Mylona E, Georgantas D, Geigoropoulou H. 2007. Leaching of Lead
From Clinoptilolite at Acidic Conditions. Global Nest Journal, Vol 9. N0.3,
pp 207-213.
Sutanto, Ani I, Yusnira, 2002, Profil hujan asam di wilayah industri Citeureup-
Cibinong Bogor, Ekologia, vol 2 no.2, 1-6.
Tan KH. 1982. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada Univesity Press.
Yogyakarta.
Tiruta BL, Apichat I, Radu B. 2004. Long-term prediction of leaching behavior of
pollutans from solidified wastes. Advances in Environment Research 8
(2004) 697-711.
308
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

van der Sloot, van Zomeren A, Seignette P, Comans RNJ, van Zomeren A, Dijkstra
JJ, Meeussen H, Hjelmar KDSO. 2003. Evaluation of environmental aspects
of alternative material using an integrated approach assisted by a
database/expert system. Advances in Waste Management and Recycling,
September 2003, Dundee
.Weiner ER. 2000. Applications of Environmental Chemistry. Lewis Publisher,
CRC Press. Boca Raton.

309
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Simulasi Peningkatan Konsentrasi No3-, Cl-, Dan Nh4+ Dalam


Air Sumur Akibat Hujan Asam Di Wilayah Industri
Citeureup Bogor

Ani Iryani* dan Sutanto

Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,


Universitas Pakuan
Jalan Pakuan, Ciheuleut, Bogor 16144.
E-mail: ani_iryani62@yahoo.co.id

ABSTRAK

Telah terjadi hujan asam di wilayah industri Cibinong-Citeureup-Gunung Putri


Kabupaten Bogor. Hujan asam di wilayah industri Citeureup Bogor mengandung sejumlah
polutan yang dapat meresap kedalam tanah dan masuk ke sumur, sehingga mempengaruhi
kualitas air sumur. Telah dilakukan percobaan simulasi untuk mempelajari pengaruh
konsentrasi ion NO3-, NH4+ dan Cl- dalam air hujan buatan terhadap konsentrasi ion-ion
tersebut dalam air lindi sebagai representasi air sumur. Percobaan dilakukan pada kolom
pelindi paralon PVC diameter 3 inchi, tinggi 130 cm. Kolom diisi tanah dari Citeureup
Bogor dengan teknik undisturb. Kolom dimasukkan ke dalam tanah perlahan hingga
kedalaman mencapai setinggi kolom. Di laboratorium, kolom dialiri 3 katagori air hujan
buatan A; B; dan C, masing-masing mengandung ketiga ion tersebut. Konsentrasi nitrat air
hujan buatan bervariasi: 10; 20; dan 30 mg/l; konsentrasi klorida: 13,5; 18; dan 23,00 mg/l;
konsentrasi amonium: 2,0; 4,0; dan 6,0 mg/l. Air hujan buatan dialirkan dari bawah keatas
(ascending). Air yang keluar dari kolom (air lindi) disampling pada liter ke 5, 10, 15, dan
20. Masing-masing diukur konsentrasi ketiga ion tersebut. [NO3-] ditentukan dengan metoda
brucin-sulfat; [NH4+] dengan metoda indofenol biru secara spektrofotometri UV-VIS, dan
Cl- ditentukan dengan titrasi argentometri cara Mohr. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hubungan konsentrasi nitrat dalam air hujan dengan konsentrasi nitrat dalam air lindi sangat
kuat,mengikuti persamaan: [NO3-]air lindi = 0,9499e0,1285[NO3-]air hujan dengan r = 0,80.
Hubungan konsentrasi amonium dalam air hujan dengan konsentrasi amonium dalam air
lindi sangat kuat,mengikuti persamaan [NH4+]air lindi = 1.342e0.293[NH4+]air hujan dengan r = 0,98,
sedangkan hubungan klorida sangat lemah,mengikuti persamaan: [Cl-] air lindi = 4.847ln([Cl-]
air hujan) + 4.052 dengan r = 0.069.

Kata kunci: simulasi, hujan asam, kolom pelindi, nitrat, ammonium, klorida, industri

Pengantar
Daerah Citeureup Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah industri, padat
transportasi dan berdebu. Studi kasus hujan asam di wilayah ini menunjukkan telah
terjadi hujan asam intensitas tinggi mencapai pH 4,7 pada tahun 2001(Sutanto et al,
2002), dan mencapai rata-rata 4,40 pada tahun 2009 (Sutanto, 2011). Hujan asam
diwilayah ini mengandung nitrat (NO3-) dan sulfat (SO4=) masing-masing mencapai

311
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

3,330 mg/l dan 3,580 mg/l pada tahun 2001 (Iryani, 2002) dan meningkat menjadi
5,284 mg/l dan 3,547 mg/l pada tahun 2009 (Sutanto, 2011).
Air sumur di wilayah ini mengandung nitrat rata-rata 6,19 mg/l (Iryani, 2002).
Tingginya konsentrasi nitrat dalam air sumur disebabkan kandungan nitrat dalam air
hujan. Efe et al.(2005) mempelajari kandungan nitrat dalam air sumur dan mendapatkan
bahwa konsentrasi nitrat dalam air sumur dipengaruhi oleh musim, dalam hal ini curah
hujan, demikian juga hasil penelitian Harbele et al. (2009). Keberadaan nitrat dalam air
sumur sebagai air minum sangat berbahaya bila dikonsumsi terutama pada anak-anak,
karena dapat menyebabkan penyakit methemoglobin yaitu timbul sianosis pada bayi
yang dikenal sebagai baby-blues (Luk dan Au-Yeung, 2002).
Ion ammonium dapat berada dalam air hujan karena pelepasan gas ammonia ke
atmosfir dan larut dalam air hujan. Gas ammonia dapat berasal dari emisi industri
seperti industri batu batere, industri pupuk urea dan pupuk ammonium sulfat, dan dapat
juga berasal dari proses pembusukan sampah organik yang mengandung protein. Ion
klorida berada dalam air hujan berasal dari pelepasan klorida dari air laut, dan juga
dapat berasal dari pelepasan klor akibat pembakaran senyawa yang mengandung klor,
seperti polivinil klorida dan lainnya. Hasil pemantauan kualitas air hujan di daerah
Serpong dan Jakarta menunjukkan bahwa dalam air hujan dapat mengandung ion
ammonium hingga 17,4 mol/l dan ion klorida hingga 15,6 mol/l (Eanet, 2009).
Hujan asam umumnya mengandung banyak ion-ion yang jika air hujan ini jatuh
ketanah akan meresap kedalam tanah dan akhirnya dapat masuk kedalam sumur,
sehingga berpengaruh terhadap kualitas air sumur. Jika hujan asam berlangsung terus
menerus dalam kurun waktu yang lama, dikhawatirkan konsentrasi ion-ion polutan
dalam air sumur akan semakin tinggi dan membahayakan jika dikonsumsi penduduk.
Selain konsentrasi ion dalam sumur dipengaruhi oleh kandungan ion dalam air hujan,
akumulasi ion terlindi juga tergantung kepada rasio jumlah air lindi terhadap jumlah
padatan (isi kolom) atau rasio volume cairan dalam liter terhadap berat padatan dalam
kg (L/S). Konsentrasi polutan dalam air lindi tak lagi berubah setelah dicapai rasio L/S
minmal 10 (van der Sloot et al., 2003).
Penelitian ini mempelajari hubungan antara konsentrasi polutan ion NO3-, NH4+ dan
-
Cl dalam air hujan dengan konsentrasi polutan dalam air sumur melalui percobaan
/eksperimental simulasi kolom pelindi. Hubungan antara konsentrasi ion dalam air
hujan buatan dan dalam air lindi sebagai representasi air sumur diperhitungkan pada
nilai rasio L/S = 10.

Bahan dan Metode


Bahan
Bahan kimia Merk: HNO3 (pa) HCl (pa); NH4Cl (pa); brucin; H2SO4 (pa); AgNO3
(pa); aquabidest; fenol; natrium nitropusid, alkalin sitrat, NaOH, K2CrO4 (pa), NaOCl ).

Alat
Peralatan gelas; buret mikro; Erlenmeyer; gelas piala, statif, pipet volumetric, pipet
tetes; gelas ukur dan sebagainya. Instrumen analisis: pHmeter (LUTRON);
Spektrofotometer UV-VIS (Thermo Scientific, seri Genesis 10uiv), dan peralatan
percobaan kolom pelindi.

312
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Metoda
Metode penelitian terdiri dari pengambilan sampel tanah dan pembuatan kolom,,
pembuatan air hujan asam, pelaksanaan pelindian, pengambilan sampel air lindi,
analisis contoh dan pengolahan data.
Sampel tanah diambil dari daerah yang mengalami hujan asam, sedemikian rupa
diusahakan agar struktur tanah tidak berubah. Tanah tersebut kemudian dimasukkan ke
dalam kolom yang terbuat dari paralon yang berdiameter 3 inci dan sepanjang 130 cm.
Selanjutnya kolom dirakit seperti diperlihatkan pada Gambar 1.
Air hujan yang telah ditampung dikondisikan pada berbagai konsentrasi nitrat yaitu
10 ppm, 20 ppm dan 30 ppm. Kandungan ammonium 2 ; 4; dan 6 ppm; kandungan
klorida: 13,5; 18; dan 23 ppm. Semakin besar kandungan ion-ion yang dilarutkan dalam
air hujan, diasumsikan air hujan semakin asam, sehingga air hujan buatan dikondisikan,
yaitu pH 4,5; pH 4,0; pH 3,5.
Air hujan asam buatan ini kemudian dialirkan melalui dasar kolom tanah yang telah
dibuat, dan keluar dari atas kolom sebagai air lindi. Pengambilan sample air lindi
dilakukan pada volume air ke 5, 10, 15, dan 20 liter yang berpadanan dengan rasio L/S
masing-masing: 1; 2; 3; dan 4. Percobaan kolom pelindi dilakukan sebanyak 2 ulangan
dan tiga taraf konsentrasi ion air hujan buatan, dengan tanah kolom berasal dari wilayah
hujan asam Citeureup Kabupaten Bogor. Kemudian sampel air lindi masing-masing
dianalisis konsentrasi NO3-, NH4+ dan Cl-. Data hasil analisis dialurkan untuk
mendapatkan konsentrasi ion pada L/S 10 menggunakan persamaan garis hasil
pengaluran antara konsentrasi ion terhadap rasio L/S. hubungan antara konsentrasi ion
dalam air hujan buatan terhadap konsentrasi ion dalam air lindi.

Gambar 1. Skema alat percobaan pelindian

313
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pembuatan Air Hujan Buatan


Disiapkan 50 liter air suling dalam wadah plastik, kemudian dibuat air hujan buatan
A; B; dan C, masing-masing mengandung ion NO3-, NH4+ dan Cl-. Konsentrasi nitrat
dibuat variasi: 10; 20; dan 30 mg/l; konsentrasi klorida: 13,5; 18; dan 23,00 mg/l; dan
konsentrasi amonium: 2,0; 4,0; dan 6,0 mg/l

Penetapan Konsentrasi Nitrat, NO3- (APHA, 419 D)


Penetapan konsentrasi nitrat berdasarkan pada reaksi antara nitrat dengan bruisin
sulfat dalam suasana asam menghasilkan warna kuning yang digunakan untuk penilaian
kolorimetri pada nitrat. Intensitas warna diukur pada panjang gelombang 410 nm
menggunakan Spektrofotometer UV-VIS. Perhtungan konsentrasi dilakukan
berdasarkan persamaan kurva deret standar.

Penetapan Konsentrasi Klorida, Cl- (APHA, 410 B)


Penetapan konsentrasi klorida dilakukan dengan metoda titrasi argentometri cara
Morh dengan indicator K2CrO4 0,1 M, dalam suasana larutan dibuat netral. Titrasi
dilakukan triplo.

Penetapan Konsentrasi Amonium, NH4+ (APHA, )


Penetapan konsentrasi NH4+ dilakukan metoda indofenol biru. Dalam suasana basa
ammonia bereaksi dengan natrium hipoklorit membentuk senyawa monjokloramin.
Dengan adanya fenol dan hipoklorit berlesbih menghasilkan warna biru dengan serapan
maksium pada 640 nm. Intensitas warna biru diukur menggunakan Spektrofotometer
UV-VIS. Perhtungan konsentrasi dilakukan berdasarkan persamaan kurva deret standar.

Pengolahan Data
Hasil analisis setiap parameter uji dialurkan terhadap rasio L/S sehingga diperoleh
persamaan garis. Dengan persamaan garis ini dihitung kuantitas setiap parameter pada
rasio L/S 10. Hasil perhitungan ini untuk setiap parameter dan setiap
kondisi/Konsentrasi ion dalam air hujan buatan. Dengan mengalurkan antara hasil
perhitungan ion dalam air lindi pada L/S 10 terhadap konsentrasi ion dalam air hujan
buatan dapat diperoleh suatu persamaan yang menghubungkan keduanya.

Hasil Dan Pembahasan


Sampel tanah untuk kolom pelindi diambil dari daerah Citeureup Kabupaten Bogor
yang sering mengalami hujan asam, yaitu daerah Sanja dan daerah Gunung Putri.
Daerah tersebut dianggap cukup representatif terhadap dua jenis tanah yang terdapat di
sebagian besar wilayah Citeureup Kabupaten Bogor. Di daerah tersebut dekat dengan
industri dan pasar yang berkontribusi dalam terjadinya hujan asam. Daerah tersebut
bukan daerah pertanian, jauh dari tumpukan sampah, bukan merupakan tanah yang
diberi pupuk, serta jauh dari kemungkinan sumber nitrat yang lain.
Sampel tanah yang diambil di daerah Desa Sanja merupakan jenis tanah alluvial
coklat kekuningan dengan struktur halus dan drainase sedang, dan sampel tanah yang

314
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

diambil di daerah Gunung Putri merupakan jenis tanah latosol merah dengan struktur
halus dan drainase sedang.

Parameter Nitrat, NO3-


Simulasi dengan kolom pelindi dengan variasi input nitrat air hujan buatan 10; 20;
dan 30 mg/l diperoleh data konsentrasi nitrat pada berbagai rasio L/S dan disajikan
dalam bentuk grafik seperti terlihat pada Gambar 2. Konsentrasi nitrat dalam air lindi
mula-mula rendah dan semakin meningkat dengan bertambahnya rasio L/S.
Peningkatan konsentrasi nitrat dalam air lindi untuk input nitrat 10 dan 20 mg/l tidak
jauh berbeda sebagaimana diperlihatkan kurva A dan kurva B, namun pada input nitrat
30 mg/l memperlihatkan peningkatan konsentrasi nitrat dalam air lindi yang jauh lebih
tinggi, sebagaimana diperlihatkan kurva C.
Peningkatan konsentrasi nitrat yang rendah (kurva A dan B) menunjukkan bahwa
tanah di wilayah penelitian memiliki kemampuan menjerap ion nitrat yang cukup baik
sampai pada batas input nitrat 20 mg/l. Peningkatan yang tajam konsentrasi nitrat dalam
air lindi (kurva C) menunjukkan bahwa pada input nitrat 30 mg/l, tanah telah mendekati
jenuh sehingga daya jerapnya terhadap nitrat rendah.

Gambar 2. Pola perubahan konsentrasi nitrat dalam air lindi pada berbagai input nitra dalam
air hujan buatan (Input nitrat, A 10 mg/l; B 20 mg/l dan C 30 mg/l) terhadap
rasio L/S.

Pada input konsentrasi nitrat 10 mg/l dalam air hujan (kurva A) mengikuti
persamaan [NO3-] = 1,4749e0.0279(L) dan hasil perhitungan pada L/S = 10, Konsentrasi
nitrat dalam air lindi sebesar 5,951 ppm. Dengan cara yang sama, kurva B mengikuti
persamaan [NO3-] = 1,4679e0,0207(L) dengan konsentrasi nitrat sebesar 4,132 mg/l, dan
pada input konsentrasi nitrat 20 ppm didapatkan persamaan [NO3-] = 1,3344e0,0813(L)
dengan konsentrasi nitrat pada L/S = 10 sebesar 77,749 ppm. Hasil pengaluran

315
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

kkonsentrasi input nitrat terhadap Konsentrasi air lindi diperoleh kurva hubungan antara
keduanya seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Kurva hubungan antar keduanya tidak
0,1285[NO3 ]air hujan
linier tetapi logaritmik mengikuti persamaan [NO3 ]air leaching 0,9499e
dengan koefisien korelasi , r = 0,80.

Gambar 3. Kurva hubungan antara konsentrasi input ion nitrat dalam air hujan terhadap
konsentrasi nitrat dalam air lindi.

Parameter Amonium, NH4+


Simulasi dengan kolom pelindi dengan variasi input amonium air hujan buatan 2,0;
4,0; dan 6,0 mg/l diperoleh data konsentrasi amonium pada berbagai rasio L/S dan
disajikan dalam bentuk grafik seperti terlihat pada Gambar 4. Kurva A dengan input
ammonium 2,0 mg/l pola perubahan menurun. Hal ini dimungkinkan sebagian ion
ammonium terjerap oleh tanah. Pada input ammonium yang lebih tinggi, kurva B dan C
cenderung naik menuju konsentrasi input masing-masing, hal ini menunjukkan bahwa
tanah sudah tidak mampu lagi menjerap ion amonium.
Kurva A mengikuti persamaan:[NH4+]air lindi = -0.33ln[NH4+]air hujan) + 3.838, dengan
koefisien korelasi, r = 0.93; kurva B mengikuti persamaan: [NH4+]air lindi =
0.212ln[NH4+]air hujan) + 3.081 dengan r = 0.73; dan kurva C mengikuti persamaan:
[NH4+]air lindi = 5.096e0.009[NH4+]a hujan dengan r = 0.78. Hasil perhitungan dengan masing-
masing persamaan ini pada rasio L/S 10 diperoileh konsentrasi ammonium pada air
lindi: 2.545; 3.910; dan 8.236 mg/l. Selanjutnya konsentrasi amonium dalam air lindi
dialurkan terhadap konsentrasi input air hujan diperoleh kurva seperti diperlihatkan
pada Gambar 5.

316
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 4. Pola perubahan konsentrasi amonium pada berbagai rasio L/S. kurva A: input
amonium 2 mg/l; B input amonium 4 mg/l, dan C input amonium 6 mg/l

Gambar 5. Kurva hubungan antara Konsentrasi ion ammonium dalam air hujan buatan
terhadap Konsentrasi ion ammonium dalam air lindi.

Hubungan antara konsentrasi ion amonium dalam air hujan buatan dengan air lindi
sebagai representasi air sumur mengikuti persamaan [NH4+]air lindi = 1.342e0.293air hujan
dengan koefisien korelasi r = 0.98. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi ion
amonium dalam air hujan sangat kuat berpengaruh terhadap konsentrasi ion amonium
dalam air sumur. Ion ini sedikit sekali mengalami penjerapan dalam tanah.
Parameter Klorida, Cl-
Simulasi dengan kolom pelindi dengan variasi input klorida ([Cl-]) dalam air hujan
buatan 13,5; 18; dan 23,00 mg/l diperoleh data konsentrasi amonium pada berbagai rasio

317
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

L/S dan disajikan dalam bentuk grafik seperti terlihat pada Gambar 6. Kurva A dengan
input klorida 13,5mg/l pola perubahan menurun. Hal ini dimungkinkan sebagian ion
klorida terjerap oleh tanah. Pada input klorida yang lebih tinggi, kurva B dan C
cenderung naik menuju konsentrasi input masing-masing, hal ini menunjukkan bahwa
tanah sudah tidak mampu lagi menjerap ion klorida.

Gambar 6. Kurva pola perubahan konsentrasi klorida (Cl-) pada berbagai konsentrasi input
klorida dalam air hujan buatan terhadap rasio L/S. Kurva A= konsentrasi input
klorida 13,5 mg/l, B= 18 mg/l; dan C = 23,00 mg/l

Pada input konsentrasi klorida 13,5 mg/l , kurva A cenderung meningkat perlahan,
sama halnya dengan kurva C. Semakin banyak air hujan yang dialirkan, semakin besar
konsentrasi ion klorida dalam air lindi. Kurva B cenderung menurun, suatu keadaan
anomali ini mungkin disebabkan karena kolomnya yang mampat.
Kurva A: mengikuti persamaan: [Cl-] air lindi = 1.746ln([Cl-] air hujan) + 15.81,
dengan R = 0.97, dan kuva B mengikuti persamaan: : [Cl-] air lindi = -2.19ln([Cl-] air
hujan) + 18.51 dengan R = 0.755, dan kurva C mengikuti persamaan: : [Cl-] air lindi =
0.428ln([Cl-] air hujan) + 21.06, dengan R = 0.305. Hasil perhitungan konsentrasi ion
klorida pada L/S 10 diperoleh masing-masing:

318
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 7. Kurva hubungan antara konsentrasi ion klorida dalam air hujan buatan dengan
konsentrasi ion klorida dalam air lindi.

Gambar 7 memperlihatkan kurva hubungan antara konsentrasi ion klorida dalam air
hujan (input) dengan konsentrasi ion klorida dalam air lindi. Kurva ini mengikuti
persamaan [Cl-] air lindi = 4.847ln([Cl-] air hujan) + 4.052 dengan nilai koefesian R = 0.069.
Persamaan ini memperlihatkan bahwa hubungan antara konsentrasi ion klorida input air
hujan dengan air lindi sangat lemah dan bahkan tidak mencerminkan hubungan sama
sekali. Hal ini dimungkinkan ion klorida banyak terserap dalam tanah, dan
kemungkinan ion klorida yang keluar bersama air lindi berasal dari dalam tanah itu
semdiri.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian simulasi kolom pelindi untuk ketiga ion dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Semakin tinggi konsentrasi nitrat yang terlarut dalam air hujan asam, semakin tinggi
pula kandungan nitrat yang terlepaskan dan terakumulasi dalam air sumur. Hubungan
konsentrasi nitrat dalam air hujan dengan konsentrasi nitrat dalam air lindi sangat
kuat,mengikuti persamaan: [NO3-]air lindi = 0,9499e0,1285[NO3-]air hujan dengan nilai koefisien
korelasi r = 0,80
Semakin tinggi konsentrasi ammonium dalam air hujan menyebabkan semakin
tinggi konsentrasi ammonium dalam air sumur. Hubungan konsentrasi nitrat dalam air
hujan dengan konsentrasi nitrat dalam air lindi sangat kuat,mengikuti persamaan
[NH4+]air lindi = 1.342e0.293air hujan r = 0,98
Semakin tinggi konsentrasi klorida dalam air hujan menyebabkan semakin tinggi
konsentrasi klorida dalam air sumur. Hubungan konsentrasi klorida dalam air hujan
dengan konsentrasi klorida dalam air lindi sangat lemah,mengikuti persamaan: [Cl-] air
lindi = 4.847ln([Cl-] air hujan) + 4.052 dengan nilai koefesian r = 0.069

319
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Ucapan Terimakasih
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: Fitri Chaerunisa
dan Supriyadi Lubis, dan rekan-rekan laboratorium kimia FMIPA Universitas Pakuan
yang telah membantu penelitian ini.

Daftar Pustaka
[APHA]. 2005. Standart Methods For the Examination of Water and Waste Water,
14ed. APHA. Washington D.C. 2005.
Efe SI, Ogban FE, Horsfall M Jnr, Akporhonor EE. 2005. Seasonal Variations of
Physico-chemical Characteristics in Water Resources Quality in Western
Niger Delta Region, Nigeria. J. Appl.Sci. Environ. Mgt. Vol 9(I) 191-195.
Harbele J, Helena K, Pavel S, Jan K. 2009. The Change of Soil Mineral Nitrogen
Observe on Farm between Autum ang Spring ang Modelled with a Simple
Leaching Equation, Soil & Water Res 4:159-167.
Iryani A. 2002. Pengaruh pencemaran udara terhadap kualitas air sumur penduduk
(studi kasus air sumur penduduk wilayah industri Cibinong-Citeureup kab.
Bogor Jawa Barat) . Tesis. UI. Jakarta.
Luk, G. K. dan W. C. Au-Yeung,. 2002. Experimental Investigation on The
Chemical Reduction of Nitrate From Ground Water (6). Departement of Civil
Engineering. Ryerson Polytechnic University. Canada. 441-453.
Sutanto, Ani I, Yusnira, 2002, Profil hujan asam di wilayah industri Citeureup-
Cibinong Bogor, Ekologia, vol 2 no.2, 1-6.
Sutanto, 2011, Hujan Asam dan Perubahan Kualitas Air Sumur di Wilayah Industri
(studi kasus di Wilayah industry Cibinong-Citeureup Kabupaten Bogor),
Disertasi, Institut Pdertanian Bogor, Bogor.
van der Sloot, van Zomeren A, Seignette P, Comans RNJ, van Zomeren A, Dijkstra
JJ, Meeussen H, Hjelmar KDSO. 2003. Evaluation of environmental aspects
of alternative material using an integrated approach assisted by a
database/expert system. Advances in Waste Management and Recycling,
September 2003, Dundee

320
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Optimasi Antibiotik Higromisin Sebagai Penunjang


Transformasi Genetik Tembakau

Seagames Waluyo1,2, Sustiprijatno2* dan Suharsono1


1
Program Studi Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor,
Jl. Kamper Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680,
2
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111
E-mail: susti11@yahoo.com

ABSTRAK

Seleksi eksplan merupakan tahapan penting untuk mendapatkan tanaman transgenik.


Tujuan penelitian adalah mengetahui konsentrasi optimum untuk seleksi eksplan daun
tembakau. Potongan daun tembakau digunakan sebagai eksplan. Perlakuan 0, 20 mg/l, 30
mg/l dan 50 mg/l higromisin diguakan untuk mendapatkan konsentrasi terendah eksplan
tembakau non transgenik yang sensitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 20 mg/L
higromisin dapat membunuh eksplan non transforman. Konsentrasi 20 mg/l higromsin
mampu membedakan antara eksplan transgenik dan non transgenik.

Kata kunci: Agrobacterium thumefaciens, higromisin dan tembakau cv samsun

Pengantar
Agrobacterium thumefaciens merupakan bakteri yang umum digunakan dalam
transformasi genetik tanaman. Seleksi antibiotik merupakan faktor penting untuk
mendapatkan tanaman transgenik To (Miki & McHugh, 2004). Agen seleksi dapat
menggunakan antibiotik seperti higromisin, kanamisin dan neomisin. Antibiotik ini
dipilih disesuaikan dengan informasi dari gen selective marker dalam T-DNA (Hiei &
Komari, 2008). Gen penanda seleksi mengindentifikasi sel transgenik secara langsung
dengan cara mematikan sel non transgenik putatif. Kemampuan sel transgenik untuk
memproduksi protein tertentu sehingga sel menjadi tahan terhadap antibiotik tersebut
(Aragao & Brasileiro, 2002).
Tumbuhan mempunyai sifat totipoteinsi sel sehingga setiap sel tanaman mampu
membentuk individu baru (Quiroz-Figueroa et al., 2006). Potongan daun (Jones, 1996),
(Su et al., 2012) dan suspesi sel (An, 1985) (Mayo et al., 2006) merupakan eksplan
yang digunakan untuk transformasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi
media untuk regenerasi dan konsentrasi optimum antibiotik higromisin untuk
menyeleksi eksplan N. tabaccum sebagai pendukung dalam kegiatan transformasi.

321
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Bahan dan Metode


Bahan
Tanaman tembakau samsun yang diperoleh dari Prof. Dr. Ir Suharsono, DEA (Ps-
Bioteknologi, IPB) digunakan sebagai tanaman yang ditransformasi. Agrobacterium
tumefaciens LBA 4404 yang membawa pCambia1300int-BtCspB diperoleh dari Dr. Tri
Joko santoso, MSi digunakan sebagai perantara transformasi genetik tembakau. Primer
UbiF: 5-TGA TGA TGT GGT CTG GTT GG-3 dan NosTR: 5- CTG TAA TGC
ATG ACG TTA TTT ATG A-3 digunakan untuk menganalisis integrasi gen BtCspB
dalam kalus putatif transgenik.

Metode
Optimasi media seleksi higromisin Benih tembakau cv samsun direndam dengan
larutan NaOCl 5% selama 1 menit kemudian dibilas 3 kali dengan ddH2O steril. Benih
ditanam pada media Murasihige & Skoog, 1962. Benih ditempatkan di ruang gelap
selama 1 minggu dan 2,5 bulan diruang terang pada suhu 30C. Eksplan ditanam pada
media MS (1 mg/l BAP dan 0,1 mg/l IAA) yang mengandung antibiotik 20, 30 dan 50
mg/l higromisin. Kontrol digunakan eksplan dimedia tanpa mengandung antibiotik
higromisin.
Hasil optimasi antibiotik higromisin kemudian dikonformasi menggunakan
eksplan yang di inokulasi dengan Agrobacterium tumefaciens LBA4404
pCambia1300int::BtCspB. Eksplan diinokulasi dengan suspensi A. tumefaciens
(OD6000,5) selama 20-30 menit. Eksplan ditumbuhkan pada media kokultivasi (MS 1
mg/l BAP, 0,1 mg/l IAA dan 300 M asetosiringone) selama 3 hari diruang gelap.
Eksplan diseleksi pada 20 mg/l higromisin pada media MS 1 mg/l BAP dan 0,1 mg/l
IAA yang merupakan induksi tunas selama 3 minggu.
Analisis molekular dengan PCR (Polymerase chain reaction) DNA genomik
tembakau di isolasi menggunakan metode Wang et al., (1993). Analisis PCR dilkukan
dengan mengampfikasi gen Csp yang berukuran 387 pb. Komposisi PCR terdiri atas
100 ng DNA tembakau, 1x buffer PCR, 10 mM dNTP mix, 25 pmol setiap primer UbiP
dan NosTR, dan 1 unit Taq polymerase (Generay Biotech, USA) ditambahkan ddH2O
hingga volume total reaksi 20 l. PCR dilakukan di dalam mesin thermal cycle (MJ
Research Tetrad) dengan program PCR terdiri atas denaturasi 94C selama 30 detik,
penempelan 63C selama 15 detik, pemanjangan 72C selama 30 detik dengan 25
siklus. Hasil PCR dimigrasikan ke 1% agarose dalam larutan 1xTAE selama 30 menit
dengan divisualisasi EtBR (Ethidium bromida) dan diamati dibawah lampu UV.

Hasil dan Pembahasan


Optimasi higromisin eksplan tembakau cv samsun
Eksplan ditanaman pada media berbagai konsentrasi 0, 20, 30 dan 50 mg/l
higromisin. Pada pengamatan minggu ke-2 dengan media MS mengandung 20 dan 30
mg/l higromisin 5 eksplan (atau 25%) dan 7 (atau 35%) mengalami kematian.
Konsentrasi 50 mg/l higromisin, 12 eksplan (atau 60%) megalami kematian. Semua
potongan daun menunjukkan kematian semua pada berbagai konsentrasi pada minggu
ke-3. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi 20/l higromisin merupakan konsentrasi
terrendah yang mampu mematikan eksplan potongan daun selama 3 minggu.
322
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Eksplan pada media higromisin megalami kemtian yang ditadai eksplan berwarna
coklat pada minggu ke-3. Konsentrasi 20 mg/l higromisin menunjukkan eksplan masih
mampu merespon media yang ditunjukkan eksplan bengkak. Konsentrasi 30 dan 50
mg/l higrimisin eksplan mengalami kematian langsung (Gambar 2).

(a) (b) (c) (d)

Gambar 1. Resistensi eksplan non trasforman pada media higromisin.


a= eksplan ditanam di 0 mg/l higromisin (kotrol); b= eksplan ditanam di 20 mg/L
higromisin; c= eksplan ditanam di 30 mg/L higromisin dan d= eksplan ditanam di
50 mg/L higromisin

Pada 20 mg/l higromisin juga digunakan oleh (Yasin, 2009), di tanaman tembakau,
Andrographis paniculata (Tangopo et al., 2012). Konsentrasi 20 mg/L higromisin lebih
rendah jika dibandingkan dengan Anggarito (2012) yang menyeleksi kalus tembakau 30
mg/L higromisin dan Bhatti & He (2009) yang menggunakan 50 mg/L higromisin
untuk menyeleksi tembakau.
Konsentrasi 20 mg/l higromisin digunakan untuk menyeleksi eksplan daun yang
diinokulasi dengan A. thumefaciens yang membawa plasmid pCambia1300int-BtCspB.
Plasmid pCambia1300int-BtCspB membawa gen hpt sebagai gen seleksi dan gen
BtCspB yang menyandikan protein RNA-chaperone. Gen hpt mempuyai ketahanan
terhadap antibiotik higromisin yang bersifat beracun bagi tanaman.
Dari 80 eksplan terdapat 42 (atau 52,5%) menunjukkan resistensi pada 20 mg/l
higromisin. Eksplan non transforman tanpa inokulasi menunjukkan kematian 100
persen. Eksplan ditumbuhkan pada media seleksi sekaligus media regenerasi dengan
menggunakan media MS, 1 mg/l BAP + 0,1 mg/l iAA dan 20 mg/l higromisin. Pada
minggu ke-3 perbedaan jelas antara kalus yang resisten dan rentan (gambar 2). Hal ini
menunjukkan bahwa dengan 20 mg/l higromisin mampu membedakan antara eksplan
transgenik putatif dengan non-transgenik putatif.

Analisis molekular dengan PCR


Hasil amplifikasi PCR menunjukkan dari 4 kalus independen yang diambil secara
acak menunjukkan keberadaan amplifikasi yang berukuran 387 pb. Hasil amplifikasi
pada 4 kalus independen sesuai dengan amplifikasi pada plasmid yang berukuran 387
pb (Gambar 2). Kalus nontransforman tidak menunjukkan keberadaan pita. Gen hpt
difusikan dengan gen BtCspB sehingga kalus yang tumbuh pada media seleksi juga
membawa gen BtCspB.

323
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

M Nt P 1 2 3 4

(a) (b)
Gambar 2. Ketahanan eksplan pada meda seleksi (20 mg/l higromisin). a. Eksplan di
inokulasi berumur 3 minggu; c. PCR kalus putatif transgenik. M= marker 1 kb;
A= air (kontrol negatif); P= plasmid pCambia1300int::BtCspB; Nt= kalus
tembakau non transforman;1-4= kalus putatif transgenik.

Keberhasilan ini perlu ditunjang dengan regenerasi menjadi tanaman sempurna.


Kombiasi ZPT (Zat pengatur tumbuh) MS dengan 1 mg/l BAP dan 0,1 IAA mampu
menginduksi tunas. Anggarito (2012), Bhatti & He (2009), dan (Yasin 2009)
menggunakan ZPT dengan sitokinin tinggi dan auksin rendah sebagai media regenerasi
dari kalus putatif transgenik.

Kesimpulan
Konsentrasi 20 mg/L higromisin merupakan konsentrsi terendah bagi tembakau non
transgenik dan pada konsentrasi yang sama mampu menyeleksi kalus putatif
transgenik.

Ucapan trimakasih
Ucapan trimakasih disampaikan pada Dr. Sustiprijatno MSc yang telah mendanai
penelitian ini dan Prof. Dr. Suharsono dan Dr. Tri joko santoso MSi yang memberikan
material genetik biji tembakau cv. Samsun dan A.thumefaciens membawa
pCambia1300int-BtCspB.

Daftar Pustaka
An, G. 1985. High efficiency transformation of cultured tobacco cell. Plant Physiol
79: 568-570.
Aragao, J.L.A & A.C.M. Brasileiro. 2002. Positive, negative and marker-free
strategies for transgenic plant selection. Braz. J. Plant Physiol 14 (1): 1-10.
Batti, K.H & C H.E., 2009. Agrobacterium mediated tobacco transformation with
rice fae gene and segregation analysis of T1 generation. Pak. J. Bot 41(1):
403-412.
Hiei. Y & T. Komari. 2008. Agrobacterium-mediated transformation of rice using
immature embryos or calli induced from mature seed. Nature Protocols
3(5):824-834.
324
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Jones H. 1996. Plant gene transfer and expression protocols. Methods in Molecular
Biology 49: 39-48.
Mayo K.J., B.J Gonzalez., & H.S Mason. 2006. Genetik transformation of tobacco
NT1 cell with Agrobacterium tumefaciens. Nature protocol 1(3): 1105-1111.
Miki B & S. McHugh. 2004. Selectable marker genes in transgenic plants:
applications. alternatives and biosafety. J. Biotechnology 107:193-232.
Murashige, T, & F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays
with tobacco tissue cultures. Plant Physiology 15: 473-497
Quiros-Fiqueroa FR, Rojas-Herrera., Galaz-Avalos & Loyola-Vargas. 2006.
Embryo production through somatic embryogenesis can be used to study cell
differentiation in plants. Plant Cell Tiss. Org. Cult 86: 285-301
Su G., S. Park., S. Lee & N. Murai. 2012. Low co-cultivation temperature at 20c
resulted in the reproducible maximum increase in both the fresh weight yield
and stable expression of gus activity after Agrobacterium tumefaciens-
mediated transformation of tobacco leaf disks. American Journal Plant
Sciences 3:537-545.
Tangapo A., E. Marwani & Dwivani. 2012. Transformasi dan Ekspresi Transien
Gen Pelapor Gus pada Andrographis paniculata (Burm.F.) Wallich Ex Ness.
Jur. Bioslogos 2(1):10-19.
Yasin. N. 2009. Transformasi Genetik Nicotiana benthamiana dengan gen CP untuk
mendapatkan ketahanan tanaman terhadap peanut stripe virus. Biospecies
2(2): 31-37.

325
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Menentukan Intensitas Tl Dan PPPTl Pada Sampel SiO2


Suyati, Nunung Nuraeni, Dewi Kartikasari, M.Thoyib Thamrin, Dyah Dwi
Kusumawati
Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi BATAN
Jl. Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta 12440
Email : dewikartikasari@batan.go.id / suyati.batan@gmail.com

ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penyinaran ultra violet (UV)
terhadap hasil bacaan intensitas TL dan PPTL pada sampel serbuk silikon dioksida (SiO2).
Dosimeter SiO2 disinari dengan radiasi gamma dengan dosis 5, 10, 15, 20 dan 25 kGy.
Serbuk silikon dioksida sebanyak 10 mg, selanjutnya diletakkan pada planset aluminium foil
yang selanjutnya intensitas TL nya dibaca dengan menggunakan alat baca TLD Reader
2000A dan 2000B. Setelah proses pembacaan TL, SiO2 kemudian disinari menggunakan UV
dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Serbuk SiO2 dibaca kembali untuk
mengukur intensitas PPTL nya. Serbuk silikon dioksida dapat memberikan tanggapan yang
berbeda untuk setiap penerimaan dosis yang berbeda, sedang untuk pembacaan tanggapan
yang memanfaatkan PTTL yang dibangkitjkan melalui sinar UV dengan panjang gelombang
366 nm cukup baik, semakin lama waktu penyinaran semakin besar pula tanggapan PPTL
nya.

Kata kunci: SiO2, Ultra Violet, Thermoluminance

Pendahuluan
Radiasi pengion dosis tinggi sering dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan industri.
Ada beberapa jenis radiasi pengion yang dapat digunakan untuk kepentingan irradiasi
dalam industri yaitu, sinar gamma yang dipancarkan oleh bahan radioaktif seperti Cs-
137, Co-60, dan sinar-X yang dibangkitkan oleh pesawat, serta berkas elektron cepat
(sinar beta) yang diproduksi oleh mesin pembangkit elektron [1]. Untuk keperluan
dosimetri radiasi dosis tinggi dapat digunakan berbagai jenis dosimeter, salah satu
dosimeter radiasi ini memanfaatkan fenomena termoluminesensi, yang dikenal dengan
nama Thermoluminensi Detektor lebih populer disingkat TLD. Jenis dosimeter lain
yang digunakan serbuk Silikon Dioksida (SiO2). Dari beberapa penelitian diketahui
bahwa serbuk SiO2 ternyata memberikan dapat digunakan juga sebagai dosimeter
gamma dosis tinggi, baik pemanfaatan tersebut melaluipemanfaatan fenomena
thermoluminisensi (TL) maupun photo transfer thermoluminisensi PTTL [2]. Salah satu
keuntungannya yaitu kepekaan tidak sensitif terhadap radiasi gamma dosis rendah
sehingga dosimeter ini kurang baik digunakan sebagai dosimeter pemantau terhadap
radiasi lingkungan.
Pancaran cahaya TL didefinisikan sebagai pancaran cahaya dari benda padat dengan
struktur kristal sebagai akibat proses eksitasi yang disebabkan oleh radiasi pengion.
Fenomena TL dapat terjadi karena adanya kerusakan kisi-kisi pada kristal. Pada daerah
sekitar terjadinya kerusakan itu sering kali terbentuk pusat muatan listrik. Pada muatan
yang cukup kuat dan mampu mengikat ion yang tertarik kepadanya disebut perangkap,

327
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

sedang kemampuan perangkap dalam mengikat ion disebut kedalaman perangkat [2,3].
Banyak perangkap yang tidak stabil secara termik sehingga akan melepaskan
tangkapannya pada suhu kamar. Pada perangkap yang stabil elektron maupun lubang
akan terperangkap sampai memperoleh energi yang cukup untuk keluar melepaskan diri
dari ikatan perangkap tersebut. Cara yang paling umum untuk melepaskan elektron dan
lubang dari perangkap adalah dengan memberi pemanasan dari luar [2]. Pemanasan dari
luar ternyata hanya mampu melepaskan elektron dan lubang dari perangkap yang tidak
terlalu kuat. Ada kalanya elektron dan lubang terikat oleh pusat muatan yang sangat
kuat (perangkap yang sangat dalam) dan belum terlepas karena tidak terpengaruh oleh
pemanasan pertama tadi [3]. Dengan demikian masih ada informasi lain yang tersimpan
di dalam dosimeter tersebut. Informasi ini hanya dapat dikeluarkan dengan adanya
pemanasan yang berikutnya yaitu menggunakan sinar ultra ungu (UV), metoda ini
disebut Regenerasi Termoluminisensi atau dikenal sebagai metoda Phototransfer
Thermoluminescence (PTTL) [3,4].
Makalah ini akan membahas mengenai intensitas TL dan PTTL pada serbuk SiO2
yang diradiasi dengan berbagai variasi dosis dan energi UV.

Metoda Penelitian
Mengingat SiO2 ini banyak mengandung uap air, maka perlu dilakukan pengeringan
uap air tersebut dengan pemanasan 30oC selama 1 jam dengan menggunakan oven.
Kemudian serbuk tersebut diannealing dengan temperatur 500oC selama 1 jam dengan
menggunakan furnace hal ini untuk mengembalikan elektron-elektron yang ada dalam
keadaan dasar. Serbuk SiO2 sebanyak 100 mgr dimasukkan kedalam kapsul gelatin
berbentuk silinder dan dimasukkan ke dalam kapsul plexiglas dengan ketebalan
dindingnya 3 mm.
Penyinaran serbuk SiO2 dilakukan menggunakan Irradiation Gamma Chamber
4000A,yang di dalamnya terdapat sumber gamma Co-60 dengan aktivitas 6210504 Ci
dengan laju dosis sebesar 4,67 kGy/jam pada tanggal/waktu dilakukannya penelitian ini.
Serbuk tersebut diradiasi dengan variasi dosis 5, 10, 15, 20 dan 25 kGy.
Pembacaan respon dilakukan dengan menggunakan alat baca TL Harshaw 2000A
dan 2000B. Selanjutnya serbuk SiO2 yang telah dibaca pada alat baca TL Harshaw
2000A dan 2000B, dengan mengaliri nitrogen kering 20 psi. Kemudian untuk
mengetahui TL dan PTTL SiO2 tersebut disinari kembali dengan radiasi
elektromagnetik berupa sinar ultra ungu (UV) 254 nm dan 366 nm selama 30 menit, hal
ini bertujuan untuk menggali kembali informasi TL yang masih ada. Setelah
penyinaran, serbuk SiO2 dibaca kembali dengan alat baca TL dengan cara serbuk SiO2
yang telah disinari dengan ultra ungu disiapkan pada palnset alumium foil berdiameter 8
mm dengan ketebalan 0,1 mm. Kemudian serbuk tersebut diratakan pada planset
dengan cara menambahkan 3 tetes larutan aceton pure analis dan dikeringkan pada suhu
kamar. Pembacaan dilakukan dengan alat baca TLD Reader 2000A dan 2000B buatan
Harshaw dengan kondisi pembacaan yaitu T1: 100oC dan T2 : 200oC dengan waktu
pembacaan selama 30 detik dan selama pembacaan dialiri dengan gas Nitrogenm kering
(N2)

328
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hasil dan Pembahasan


Data hasil pembacaan intensitas TL serbuk SiO2 yang diiradiasi dengan sumber
gamma disajikan pada Tabel 1. Dari hasil pembacaan intensitas TL terlihat bahwa SiO2
mampu membedakan nilai dosis radiasi yang diterimanya. Kemampuan membedakan
nilai dosis radiasi ini terlihat dari intensitas TL yang berbeda dengan pemberian dosis
yang berbeda pula. Dari hasil pembacaan ini diperoleh nilai selektivitas SiO2 terhadap
radiasi gamma sebesar 2,652 0,748 nC/kGy.

Tabel 1. Intensitas TL pada sampel SiO2 yang diradiasi dengan Co-60

No. Dosis (kGy) Intensitas TL (nC)


1 5 17,69 2,24
2 10 24,04 2,13
3 15 40,97 7,18
4 20 30,83 6,42
5 25 76,15 12,19

Dari data pada Tabel 1 dapat dibuat grafik sehingga didapat persamaan garis y =
2,474x + 0.832 dengan y adalah intensitas TL serbuk SiO2 dan x adalah dosis radiasi
yang diberikan pada serbuk SiO2 dengan koefisien korelasi R2 sebesar 0,720.

Gambar 1. Hasil bacaan intensitas TL

Untuk mengetahui bacaan intensitas Phototransfer Thermoluminisensi dapat dilihat


pada Tabel 2.

329
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 2. Hasil bacaan intensitas PTTL pada sampel SiO2 yang diiradiasi dengan berbagai
variasi dosis dan energi UV

Intensitas PTTL (nC)


No Dosis kGy
UV 254 nm UV 366 nm
1 5 2,253 0,504 1,274 0,543
2 10 1,679 0,318 1,922 0,241
3 15 1,921 0,254 1,635 0,242
4 20 1,282 0,112 1,705 0,279
5 25 2,535 0,488 2,126 0,311

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa ada penyimpangan data dari bacaan intensitas
PTTL pada penyinaran 15 kGy memberikan data yang lebih tinggi dibandingkan
dengan penyinaran dosis 20 kGy. Hal ini disebabkan beberapa hal yang mungkin
menyebabkan terjadinya penyimpangan data tersebut antara lain :
Homogenitas diameter dan kepekaan serbuk SiO2 terhadap Gamma
Permukaan planset aluminium foil untuk pembacaan sampel yang tidak rata dengan
permukaan sistim pemanas alat baca
Kurang teliti dalam penyimpanan sampel sehingga berat sampel pada masing-
masing planset tidak tepat 10 mg.

Gambar 2. Bacaan intensitas TL dan PPTL

Kesimpulan
Serbuk SiO2 yang digunakan dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai
dosimeter gamma dosis tinggi untuk keperluan industri. Serbuk SiO2 ini dapat
memberikan tanggapan yang berbeda untuk setiap penerimaan dosis yang berbeda.
Pembacaan tanggapan yang memanfaatkan PTTL yang dibangkitkan melalui sinar UV
dengan panjang gelombang 366 nm hasilnya cukup baik, semakin lama waktu
penyinaran dengan UV semakin besar pula tanggapan PTTL nya.

330
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar Pustaka
IAEA, Manual of Food Irradiation Dosimetri (technical Report Series 178), IAEA,
Vietnam (1977).
Thamrin, M. Thoyib dan Akhadi, Mukhlis Regenarasi photo transfer
thermoluminisensi pada dosimeter Prosiding Pertemuan dan Presentasi
Ilmiah PPNY-BATAN Yogyakarta (1999)
Akhadi, M, Thamrin, M. Thoyib dan Kusumawati, D. D, Serapan diri intensitas TL
dan PTTL pada dosimeter pasir kwarsa SiO2,
Fathoni, M dan Durrani SA, TL and PTTL Characteristics on quartz irradiated with
Au heavy, Gsi Report 92-1m Darm Stadt, Germany (1991)
Thamrin, M. Thoyib, Studi awal Pemanfaatan Serbuk SiO2 untuk dosimeter
industri, Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah PPNY-BATAN
Yogyakarta Juli (1995)

331
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Penurunan Chemical Oxygen Demand (COD) Limbah


Larutan Penyapu Jenuh Antara Dengan Pereaksi Fenton Dan
Kaporit

*Ahmad Ramadhan, Sutanto, Ani Iryani


1
Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Pakuan Bogor
Jln. Pakuan PO Box 452 Bogor 16143, Jawa Barat
*aramadhan6796@gmail.com ; sutanto_psl@yahoo.co.id ;
ani_iryani62@yahoo.co.id

ABSTRAK

Limbah larutan penyapu jenuh adalah limbah yang berasal dari proses pelarutan tinta dan
daur ulang yang terus menerus sehingga jenuh dan tidak dapat digunakan kembali. Limbah
ini harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan karena bersifat basa,
berbusa, dan mengandung COD yang tinggi. Pereaksi fenton dan kaporit merupakan bahan
yang memiliki sifat oksidator. Radikal hidroksil yang dihasilkan dari perekasi fenton dan ion
hipoklorit yang dihasilkan dari kaporit dapat mengoksidasi zat-zat organik dalam limbah
tersebut sehingga dapat menurunkan nilai COD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kondisi optimum pereaksi fenton dan kaporit untuk menurunkan COD dan efektivitas
keduanya dalam menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh.
Metode penelitian yang dilakukan terdiri dari pengujian karakteristik limbah, perlakuan
terhadap limbah, serta analisis data. Pengujian karakteristik limbah meliputi pengukuran
pH, total padatan, dan COD. Perlakuan terhadap limbah yaitu menggunakan pereaksi fenton
dan kaporit pada kondisi optimum masing-masing pereaksi. Penentuan kondisi optimum
pereaksi fenton menurunkan COD meliputi pH, waktu kontak, konsentrasi FeSO4, dan
konsentrasi H2O2. Penentuan kondisi optimum kaporit menurunkan COD meliputi pH,
waktu kontak, dan konsentrasi kaporit.
Hasil penelitian menunjukkan kondisi optimum pereaksi fenton untuk menurunkan COD
limbah larutan penyapu jenuh yaitu pada pH 3, waktu kontak 90 menit, konsentrasi katalis
FeSO4 1:10 dengan H2O2, dan dosis H2O2 2000 mg/L akan dapat menurunkan COD sebesar
46,41%. Kondisi optimum kaporit untuk menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh
yaitu pada pH 7, waktu kontak 60 menit, dan dosis kaporit 4000 mg/L akan dapat
menurunkan COD sebesar 17,34%.

Kata kunci : Limbah, COD, pereaksi fenton, kaporit, oksidasi

Pendahuluan
Percetakan adalah sebuah proses industri untuk memproduksi secara massal tulisan
dan gambar terutama dengan tinta di atas kertas menggunakan sebuah mesin cetak.
Perkembangan teknologi dan pasar grafika yang terus berubah cepat menjadikan para
pelaku industri percetakan tertuntut harus dapat menyesuaikannya. Perkembangan
industri yang semakin pesat dan peraturan mengenai limbah industri yang semakin ketat

333
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

serta tuntutan untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan, maka


teknologi pengolahan limbah yang efektif dan efisien menjadi sangat penting.
Pada proses pencetakan, tinta pada pelat cetak yang berasal dari rol tinta disapu
dengan rol penyapu menggunakan larutan penyapu yaitu suatu larutan yang digunakan
untuk membersihkan rol penyapu pada proses cetak yang menggunakan sistem water
wiping (Djidas et al., 1988). Kandungan larutan penyapu adalah natrium hidroksida,
sulfonated castor oil (SCO) dan soft water. Larutan penyapu yang telah bercampur
dengan tinta kemudian dilakukan proses daur ulang untuk memisahkan antara tinta dan
larutan penyapu. Hasil proses daur ulang ini berupa larutan penyapu yang jernih dan
dapat digunakan kembali untuk membersihkan silinder penyapu pada proses cetak.
Proses daur ulang yang terus menerus menyebabkan larutan penyapu menjadi jenuh
yang ditandai dengan larutan berwarna coklat dan kurang bersihnya hasil penyapuan
tinta pada silinder penyapu (Mulyani, 2008).
Limbah larutan penyapu jenuh adalah limbah yang berasal dari proses pelarutan tinta
dan daur ulang yang terus menerus sehingga jenuh dan tidak dapat digunakan kembali.
Limbah ini harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan karena bersifat
basa (mengandung NaOH sebagai penghancur yang melarutkan bahan pengikat
(varnish) dari tinta cetak sehingga tinta larut (Wiratno, 2009)), berbusa (mengandung
SCO sebagai penurun tegangan permukaan sehingga tinta tidak menempel pada pelat
yang merupakan hasil proses sulfonasi (substitusi gugus sulfonil (-SO3OH) pada gugus
OH asam risinoleat) dari minyak jarak (Wiratno, 2009)), dan COD tinggi (terlarut
kandungan bahan tinta seperti Plastiscizer, wax, anti set off, pengencer (reducer), anti
oksidan, dan dryer (Eldred, 2001) yang umumnya merupakan senyawa organik berantai
panjang). Limbah dengan nilai COD yang tinggi sangat berbahaya bagi lingkungan
karena dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air. Salah satu cara
menurunkan COD dalam limbah adalah dengan proses oksidasi (Tchobanoglous, et al.,
2003).
Beberapa jenis zat pengoksidasi yang dikenal seperti ozon (O3), H2O2, permanganat
(MnO4-), klorin (Cl2), hipoklorit (OCl-), dan dikromat (Cr2O72-) (Tchobanoglous, et al,.
2003). Percobaan yang dilakukan menggunakan kalsium hipoklorit (kaporit) karena
bahan ini mempunyai kemampuan sebagai oksidator, murah, mudah didapat, dan
mekanisme kerja kaporit mengoksidasi zat organik berdasarkan reaksi reduksi standar
dari ion hipoklorit (Tchobanoglous, et al., 2003), serta menggunakan pereaksi fenton
yang merupakan campuran H2O2 dan katalis FeSO4 untuk menurunkan COD karena
bahan ini dapat menghasilkan radikal hidroksil yang mempunyai kemampuan oksidator
(Industrial Wastewater, 2007), mekanisme kerja radikal hidroksil berbeda dengan
oksidator lain yaitu tidak berdasarkan reaksi reduksi standar dari H2O2, dan reaksi
berjalan cepat karena adanya katalis. Perbedaan mekanisme untuk mengoksidasikan zat
organik ini yang akan dibahas hasilnya terhadap efektivitas keduanya dalam
menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi optimum dan membandingkan
antara pereaksi fenton dan kaporit dalam menurunkan COD limbah larutan penyapu
jenuh. Hipotesis dari penelitian ini pereaksi fenton lebih efektif daripada kaporit dalam
menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh.

334
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Metoda Penelitian
Bahan
Alat dan bahan yang digunakan adalah digestion vessel bertutup ulir, pemanas
dengan lubang penyangga tabung, mikroburet, pengaduk magnetik, pH meter (Fisher
Scientific, Inggris), spektrofotometer UV-VIS (HACH DR2800, Jerman), limbah
larutan penyapu, H2O2, Ca(OCl)2 (Tjiwi Kimia), H2SO4 (MERCK), AgSO4 (MERCK),
AgNO3 (MERCK), K2CrO4 (MERCK), K2Cr2O7 (MERCK), HgSO4 (MERCK), FeSO4
(MERCK), dan C8H5KO4 (MERCK).

Metode
Metode penelitian yang dilakukan terdiri dari pengujian karakteristik contoh limbah
yang meliputi pH, suhu, total padatan, dan chemical oxygen demand (COD), serta
perlakuan terhadap contoh limbah yaitu menggunakan pereaksi fenton dengan variasi
pH, waktu pengadukan, dosis H2O2 dan dosis FeSO4 yang optimum serta menggunakan
kaporit dengan variasi pH, waktu pengadukan dan dosis kaporit yang optimum.

Penentuan Kondisi Optimum Pereaksi Fenton (Industrial waste water, 2007)


Penentuan pH Optimum
Dimasukkan 200 ml limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut
menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH larutan hingga pH 2 dengan
menambahkan H2SO4. Ditambahkan 100 ppm FeSO4 dan 500 ppm H2O2 ke dalam
larutan. Larutan diaduk selama 120 menit, setelah selesai diamkan larutan selama 5
menit. Diambil larutan bagian atas (hingga tinggal bagian endapan) dan diatur pH nya
agar diperoleh pH = 7. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri.
Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi pH larutan diatur hingga pH 3, 4, 5, dan 6.

Penentuan Waktu Pengadukan Optimum


Dimasukkan 200 ml limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut
menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan
menambahkan H2SO4. Ditambahkan 100 ppm FeSO4 dan 500 ppm H2O2 ke dalam
larutan. Larutan diaduk selama 30 menit. Setelah selesai, diamkan larutan selama 5
menit. Diambil larutan bagian atas (hingga tinggal bagian endapan) dan diatur pH nya
agar diperoleh pH = 7. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri.
Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi lama waktu pengadukan selama 60, 90, 120, dan
150 menit.

Penentuan Dosis Optimum FeSO4


Dimasukkan 200 ml limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut
menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan
menambahkan H2SO4. Ditambahkan 100 ppm FeSO4 dan 500 ppm H2O2 ke dalam
larutan. Larutan diaduk selama waktu pengadukan optimum. Setelah selesai, diamkan
larutan selama 5 menit. Diambil larutan bagian atas (hingga tinggal bagian endapan)
dan diatur pH nya agar diperoleh pH = 7. Diperiksa nilai COD nya dengan metode

335
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi dosis FeSO4 sebanyak 62,5
ppm, 50 ppm, 25 ppm, dan 10 ppm.

Penentuan Dosis Optimum H2O2


Dimasukkan 200 ml limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut
menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan
menambahkan H2SO4. Ditambahkan FeSO4 sesuai dengan dosis optimumnya dan 500
ppm H2O2 ke dalam larutan. Larutan diaduk selama waktu pengadukan optimum.
Setelah selesai, diamkan larutan selama 5 menit. Diambil larutan bagian atas (hingga
tinggal bagian endapan) dan diatur pH nya agar diperoleh pH = 7. Diperiksa nilai COD
nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi dosis
H2O2 sebanyak 1000 ppm, 2000 ppm, 4000 ppm, dan 8000 ppm.

Penentuan Kondisi Optimum Kaporit (Tchobanoglous, et al., 2003)


Penentuan pH Optimum
Dimasukkan 200 ml limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut
menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH larutan hingga pH 6 dengan
menambahkan H2SO4. Ditambahkan 500 ppm kaporit 10% ke dalam larutan. Larutan
diaduk selama 120 menit, setelah selesai diamkan larutan selama 5 menit. Diperiksa
nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi
pH larutan diatur hingga pH 7, 8, 9, dan 10.

Penentuan Waktu Pengadukan Optimum


Dimasukkan 200 ml limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut
menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan
menambahkan H2SO4. Ditambahkan 500 ppm kaporit 10% ke dalam larutan. Larutan
diaduk selama 30 menit. Setelah selesai, diamkan larutan selama 5 menit. Diperiksa
nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi
lama waktu pengadukan selama 60, 90, 120, dan 150 menit.

Penentuan Dosis Optimum Kaporit


Dimasukkan 200 ml limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut
menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan
menambahkan H2SO4. Ditambahkan 500 ppm kaporit 10% ke dalam larutan. Larutan
diaduk selama waktu pengadukan optimum. Setelah selesai, diamkan larutan
selama 5 menit. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan
cara kerja yang sama, tetapi konsentrasi kaporit sebanyak 1000 ppm, 2000 ppm, 4000
ppm, dan 8000 ppm.

Pengukuran pH (SNI 06-6989.11 2004)


pHmeter dikalibrasi mengguna- kan buffer standar pH 4 dan 7. Dituangkan limbah
ke dalam piala gelas 250 ml. Dicelupkan elektroda pHmeter ke dalam larutan limbah.
Ditunggu sampai pembacaan nilai pH stabil yang terlihat pada layar pHmeter Fisher
Scientific terdapat tulisan STABLE. Dicatat pH dan suhu limbah.

336
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pengukuran Total Padatan (SNI 06-6989.26-2005)


Dipipet 5 ml contoh limbah ke dalam botol timbang yang telah diketahui bobot
kosongnya. Dipanaskan ke dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam. Didinginkan ke
dalam eksikator dan ditimbang hingga mendapatkan bobot tetap.

Total padatan (%) =

Keterangan :
B = Bobot botol timbang + contoh setelah pengeringan
A = Bobot botol timbang kosong

Penetapan Chemical Oxygen Demand (COD) dengan Refluks Tertutup Secara


Spektrofotometri (SNI 06-6989.2 2009)

Pembuatan Kurva Deret Standar Penetapan COD


Digerus perlahan kalium hidrogen phtalat (KHP), lalu keringkan sampai berat
konstan pada suhu 110oC. Larutkan 425 mg KHP ke dalam air bebas organik dan
tepatkan sampai 1000 ml. Buat deret standar sesuai dengan kebutuhan dengan
konsentrasi yang berbeda. Dipipet maing-masing deret standar 2,5 ml, digestion
solution 1,5 ml, dan 3,5 ml pereaksi asam sulfat ke dalam digestion vessel. Ditutup
tabung tersebut dan dikocok kuat perlahan sampai homogen. Diletakkan tabung pada
pemanas pada suhu 150oC selama 2 jam. Didinginkan perlahan-lahan contoh uji yang
sudah direfluks sampai suhu ruang. Diukur absorbansi standar dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis panjang gelombang 600 nm. Dibuat kurva standar hubungan
konsentrasi dan absorbansi standar.

Pengukuran Nilai COD


Dipipet limbah 2,5 ml, digestion solution 1,5 ml, dan 3,5 ml pereaksi asam sulfat ke
dalam digestion vessel. Ditutup tabung tersebut dan dikocok kuat perlahan sampai
homogen. Diletakkan tabung pada pemanas pada suhu 150oC selama 2 jam.
Didinginkan perlahan-lahan contoh uji yang sudah direfluks sampai suhu ruang. Saat
pendinginan tutup contoh uji dibuka untuk mencegah adanya tekanan gas. Diukur
absorbansi contoh dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS panjang gelombang
600 nm. Dilakukan hal yang sama pada air bebas organik sebagai blanko.
COD (mg O2/L) =
Keterangan :
Fp = faktor pengenceran
Abscontoh = absorbansi contoh

Penetapan Kadar Klorida dengan Metode Argentometri (SNI 06-6989.13-2009)


Dipipet 10 ml contoh diencerkan dalam labu ukur 100 ml hingga tanda tera. Dipipet
10 ml larutan uji ke dalam Erlenmeyer 250 ml dan tambahkan air demin hingga 100 ml.
Ditambahkan indikator 1 ml K2CrO4. Dititar dengan larutan AgNO3 0,01N hingga titik

337
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

akhir yaitu terbentuk warna kuning kemerahan. Dicatat volume larutan AgNO3 yang
dibutuhkan (A ml).
Kadar klorida (mg/L)=
Keterangan :
Fp = faktor pengenceran
A = ml penitar AgNO3
N = normalitas larutan AgNO3
V = volume contoh uji

Penetapan Kadar Besi dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)


(SNI 06-6989.4-2009)
Pembuatan kurva deret standar penetapan kadar besi (Fe)
Dipipet 10 ml larutan standar Fe 1000 mg/L ke dalam labu ukur 100 ml. Dibuat
deret standar dengan konsentrasi berbeda dan diencerkan di dalam labu ukur 100 ml
dengan menggunakan air demin hingga tanda tera. Diukur nilai absorbansinya dengan
menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm.
Pengukuran kadar besi
Dipipet 50 ml contoh ke dalam piala gelas 250 ml. Ditambahkan 5 ml HNO3 pekat.
Dipanaskan hingga sisa volume 15 hingga 20 ml. Disaring dan pindahkan ke dalam
labu ukur 100 ml. Diencerkan dengan menggunakan air demin hingga tanda tera.
Diperiksa absorbansi contoh dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada
panjang gelombang 248,3 nm. Dihitung konsentrasi besi dalam contoh.

Kadar besi (Fe) =


Keterangan :
Fp = faktor pengenceran
Abscontoh = absorbansi contoh

Analisis Data .
Penentuan konsentrasi optimum penurunan COD yang diperoleh dari penelitian ini
dibuat grafik hubungan antara kondisi pH dengan penurunan nilai COD, grafik
hubungan waktu pengadukan dengan penurunan nilai COD, dan grafik hubungan antara
konsentrasi (pereaksi fenton dan kaporit) dengan penurunan nilai COD. Selain itu
dilakukan perbandingan hasil analisis pH, total padatan, COD, dan hasil samping proses
terhadap contoh sebelum dan sesudah perlakuan penurunan COD dengan pereaksi
fenton dan kaporit.

338
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hasil Dan Pembahasan


Hasil

Kondisi Optimum Pereaksi Fenton

Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap perubahan nilai pH seperti yang
disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kurva hubungan kondisi ph versus penurunan COD

Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan kondisi pH optimum pereaksi fenton


menurunkan COD terjadi pada pH 3 yaitu penurunan COD sebesar 1904 mg/L. Pada
pH ini pembentukan radikal hidroksil maksimum sehingga dapat menurunkan COD
yang tertinggi.

H2O2 + Fe2+ Fe3+ + OH- + OH.

Pada pH di bawah 3 pembentukan radikal hidroksil kurang maksimal karena pH


yang terlalu asam sehingga kemungkinan ion besi kurang maksimal mengkatalisis
pembentukan radikal hidroksil, sedangkan pada pH di atas 3, penurunan COD lebih
rendah karena sebagian ion besi mengendap sehingga sebagian H2O2 tidak stabil dan
mengurai menjadi oksigen dan air maka kemampuan oksidasinya berkurang (Industrial
Wastewater, 2007).

H2O2 H2O + O2

Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap waktu kontak seperti yang disajikan
pada Gambar 2.

339
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 2. Kurva hubungan waktu kontak versus penurunan COD

Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar


1935 mg/L dengan waktu kontak optimum 90 menit. Mekanisme kerja suatu radikal
bebas terdiri dari tahap inisiasi (reaksi saat ikatan terlemah pada reaktan atau pada salah
satu dari reaktan-reaktan putus untuk menghasilkan radikal bebas), tahap propagasi
(radikal bebas menyerang reaktan menghasilkan molekul produk dan spesies reaktif
yang lain. Radikal bebas yang baru ini bereaksi lebih lanjut dan membentuk lagi radikal
bebas yang semula, yang sekali lagi menyerang molekul reaktan. Dengan jalan ini
produk dan pembawa rantai terbentuk secara kontinyu), dan tahap terminasi (reaksi
yang mengubah radikal bebas menjadi radikal bebas yang stabil dan tidak reaktif
sehingga reaksi berakhir) (Purnomo, 1999). Hal ini menunjukkan tahap radikal
hidroksil untuk mengoksidasi zat organik membutuhkan waktu yang cukup lama karena
kompleksnya zat organik dalam limbah dan mekanisme reaksi yang bertahap. Waktu
kontak di bawah 90 menit mengakibatan terdapat tahap reaksi yang belum sempurna
sehingga penurunan COD kurang maksimal.
Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap dosis penambahan FeSO4
seperti yang disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Kurva hubungan dosis FeSO4 versus penurunan COD

340
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar


1854 mg/L dengan dosis optimum penambahan FeSO4 sebesar 1:10 dengan H2O2. Hal
ini menunjukkan komposisi antara katalis besi dan H2O2 seimbang sehingga
pembentukan radikal hidroksil maksimum maka terjadi penurunan COD yang tertnggi.
Perbandingan katalis besi dengan H2O2 yang lebih rendah menyebabkan kurang
maksimalnya pembentukan radikal hidroksil karena sebagian H2O2 tidak stabil dan
mengurai menjadi oksigen dan air maka kemampuan oksidasinya berkurang (Industrial
Wastewater, 2007).

H2O2 H2O + O2

Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap dosis penambahan H2O2
seperti yang disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Kurva hubungan dosis H2O2 Versus penurunan COD

Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar


4463 mg/L dengan dosis optimum penambahan H2O2 sebesar 2000 mg/L. Hal ini
kemungkinan disebabkan masih terdapat bahan organik yang hanya dioksidasikan
menjadi senyawa keton, aldehida, dan alkohol. Senyawa-senyawa tersebut masih
menghasilkan nilai COD saat penetapan nilai COD.

CaHbOc + 3OH. CaHbOc. + H2O


(Zat organik) (Radikal zat organik)

CaHbOc. + H2O Campuran produk


(Radikal zat organik) (alkohol,keton,
CO2,H2O)
Sumber : (Fessenden, 1982)

Selain itu, kemungkinan dikarenakan kandungan zat organik yang terlarut dalam
limbah larutan penyapu jenuh yang berupa resin fenolik (bahan baku varnish) yang sulit
untuk dioksidasikan oleh pereaksi fenton. Monomer dari resin fenolik yaitu senyawa
fenol dan formaldehida. Senyawa fenol dapat bertahan dengan oksidasi karena

341
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

pembentukan suatu gugus karbonil akan mengakibatkan dikorbankannya penstabilan


aromatik. Selain itu juga, senyawa fenol memiliki energi resonansi. Energi resonansi
ialah energi yang hilang (kestabilan yang diperoleh) dengan adanya delokalisasi penuh
elektron-elektron dalam sistem pi. Besaran ini merupakan ukuran tambahan kestabilan
sistem aromatik (Fessenden, 1982).

Kondisi Optimum Kaporit


Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap variasi kondisi pH seperti
yang disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Kurva hubungan kondisi pH dan penurunan COD

Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar


660 mg/L dengan kondisi pH optimum pada pH 7. Hal ini sesuai dengan reaksi reduksi
standar dari ion hipoklorit sebagai berikut :

OCl- + H2O + 2e- Cl -+ 2OH- Eo = +0,90V


Berdasarkan reaksi tersebut reduksi ion hipoklorit terjadi pada pH netral yang
ditandai adanya molekul air (H2O) pada sisi kiri reaksi. Bila pH terlalu basa maka reaksi
akan berbalik kembali ke arah kiri sehingga kemampuan oksidasi menjadi kurang
maksimal.

Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap variasi waktu kontak seperti
yang disajikan pada Gambar 6.

342
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 6. Kurva hubungan waktu kontak versus penurunan COD

Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar


634 mg/L dengan waktu kontak optimum 60 menit. Waktu kontak ini lebih cepat
dibandingkan dengan pereaksi fenton karena reaksi pembentukan ion hipoklorit lebih
mudah dan mekanisme ion hipoklorit mengoksidasikan zat organik lebih sederhana.

Ca(OCl)2+ H2O Ca2+ + OH + HOCl

HOCl H+ + OCl

Zat organik + OCl- Senyawa antara

Senyawa sederhana (contoh : H2O, CO2) + Cl-

Selama proses oksidasi, ion hipoklorit akan direduksi sampai menjadi ion klorida
(Tchobanoglous et al. 2003). Waktu kontak di bawah 60 menit menyebabkan reaksi
oksidasi belum sempurna sehingga penurunan COD kurang maksimal.

Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap variasi dosis penambahan
kaporit seperti yang disajikan pada Gambar 7.

343
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 7. Kurva hubungan dosis kaporit versus penurunan COD

Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar


1479 mg/L dengan dosis penambahan kaporit optimum sebesar 4000 mg/L. Nilai
penurunan dengan menggunakan kaporit lebih rendah daripada menggunakan pereaksi
fenton karena kekuatan oksidasi ion hipoklorit yang dihasilkan dari kaporit lebih rendah
yaitu 1,07 dibandingkan dengan kekuatan radikal hidroksil yaitu 2,06 dengan standar
oksidator Cl2 yaitu 1 (Industrial Wastewater, 2007) sehingga lebih banyak terdapat
bahan organik yang hanya dioksidasikan menjadi senyawa keton, aldehida, dan alkohol.
Senyawa-senyawa tersebut masih menghasilkan nilai COD saat penetapan nilai COD
(Fessenden, 1982).

Perbandingan Hasil Sebelum dan Sesudah Perlakuan

Tabel 1. Perbandingan hasil sebelum dan sesudah perlakuan


Sebelum Setelah dengan Setelah dengan
No Parameter Uji
Perlakuan Pereaksi Fenton Kaporit
1 Ph 10,13 7,20 8,05
2 Total padatan (%) 1,62 1,80 1,51
3 COD (mg/L) 8979 4812 7422
Kadar besi
4 ND 6,909 -
(mg/L)
Kadar klorida
5 173 - 1885
(mg/L)

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat hasil samping berupa besi tidak terlalu banyak
setelah perlakuan dengan perekasi fenton yaitu sebesar 6,909 mg/L karena ion ferri hasil
reaksi pereaksi fenton dapat bersifat sebagai koagulan sehingga mengendap dan terpisah
saat penyaringan dan dapat mengurangi hasil samping ion besi.

344
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Fe3+ + 3H2O Fe(OH)3 + 3H+

Hasil samping berupa ion klorida setelah perlakuan dengan kaporit sangat tinggi
yaitu terjadi kenaikan sebesar 1712 mg/L. Hal ini menunjukkan perlu ada perlakuan
tambahan untuk mengurangi jumlah ion klorida pada hasil akhir limbah.
Perubahan yang sangat siginifikan terjadi pada penurunan COD menggunakan
pereaksi fenton yaitu 4812 mg/L (46,41%), sedangkan dengan menggunakan kaporit
sebesar 7421 mg/L (17,34%). Hal ini menunjukkan pereaksi fenton daya
oksidasinya lebih baik daripada kaporit.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa;
1. Kondisi optimum pereaksi fenton untuk menurunkan COD limbah larutan
penyapu jenuh yaitu pada pH 3, waktu pengadukan 90 menit, konsentrasi katalis
FeSO4 1:10 dengan H2O2, dan dosis H2O2 2000 mg/L dapat menurunkan COD
sebesar 46,41%.
2. Kondisi optimum kaporit untuk menurunkan COD di dalam limbah larutan
penyapu jenuh yaitu pada pH 7, waktu pengadukan 60 menit, dan dosis kaporit
4000 mg/L dapat menurunkan COD sebesar 17,34%.
3. Pereaksi fenton lebih efektif untuk menurunkan COD limbah larutan penyapu
jenuh daripada kaporit.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian untuk menurunkan COD lebih lanjut diperlukan adanya
perlakuan tambahan seperti dengan metoda flokulasi atau perlu dicari metode lain
seperti pengolahan secara anaerob menggunakan bakteri (lumpur aktif).

Daftar Pustaka
SNI. 2009. Air dan Air Limbah 06.6989 Bagian 2: Cara Uji Kebutuhan Oksigen
Kimia (Chemical Oxygen Demand / COD) dengan Refluks Tertutup Secara
Spektrofotometri. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
SNI. 2009. Air dan Air Limbah 06.6989 Bagian 4: Cara Uji Besi (Fe) secara
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
SNI. 2004. Air dan Air Limbah 06.6989 Bagian 11: Cara Uji Cara Uji Derajat
Keasaman (pH) dengan menggunakan pHmeter. Badan Standarisasi
Nasional. Jakarta.
SNI. 2009. Air dan Air Limbah 06.6989 Bagian 14: Cara Uji Klorida (Cl-)
dengan Metode Argentometri. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
SNI. 2005. Air dan Air Limbah 06.689 Bagian 26: Cara Uji Kadar Padatan Total
Secara Gravimetri . Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Djidas, L. P. and N. Thomas H. D. 1988. Sheetfed Offset Press Operating. Graphic
Art Technical Foundation. Pittsburgh.

345
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Eldred, Dr. N. R. 2001. What The Printer Should Know About Ink. Graphic Art
Technical Foundation. Pittsburgh.
Industrial Wastewater. 2007. http://h2o2.com/industrial/fentons-reagent.aspx?
pid=143&name=General-Chemistry-of-Fenton-s-Reagent
Mulyani, R. 2008. Peningkatan Kualitas Proses Pengolahan Laritan Pembersih Daur
Ulang dengan Metode Design of Experiment (Studi Kasus PT. XY). Depok.
Purnomo, E. 1999. Penghilangan Warna Limbah Proses Pencelupan Pabrik Tekstil
dengan Menggunakan Metode Oksidasi Fenton. Depok.
Tchobanoglous, G, Franklin L. B., and H. David S. 2003. Waste Water Engineering
Treatment and Reuse. Mc. Graw Hill Companies, Inc. New York.
Wiratno, E. 2009. Analisa Kelayakan Investasi Pembuatan Sulfonated Castor Oil di
Perum Peruri. Karawang.

346
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Diferensiasi Asal Geografis Kunyit (Curcuma Domestica Val.)


Menggunakan Fotometer Portable Dan Analisis Kemometrik
Antonio Kautsar , Husain Nashrianto, Rudi Heryanto

1. Jurusan Kimia FMIPA UNPAK Bogor


Jl. Pakuan PO BOX 452 Bogor, Jawa Barat
2. Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB Bogor
Jl. Taman Kencana No.03 Bogor 16128, Jawa Barat

ABSTRAK
Kunyit (Curcuma Domestica Val.) merupakan salah satu tanaman obat yang banyak
tumbuh dan digunakan sebagai obat di Indonesia. Obat bermutu membutuhkan kunyit yang
bermutu untuk kunyit tergantung pada komposisi kimianya. Keragaman komponen kimia
kunyit dapat ditentukan dengan menggunakan metode spektroskopi. Penelitian ini bertujuan
untuk mendiferensiasikan asal geografis kunyit yang berasal dari Karanganyar, Ngawi, dan
Wonogiri sebagai informasi dan kendali mutu dengan menggunakan alat fotometer portable
dan metode kemometrik. Metode penelitian yang dilakukan terdiri dari analisis kadar
kurkuminoid, uji aktivitas antioksidan DPPH, pembuatan pellet kunyit, pencirian sumber
sinar, prosedur penggunaan fotometer portable, metode deteksi sinar, pengumpulan dan
pengolahan data. Pengukuran sampel dengan fotometer portable diperoleh data berupa
reflektans data unit (mV) yang selanjutnya diolah dengan menggunakan metode pengenalan
pola kemometrik, PCA dan PLSDA. Hasil penelitian menunjukkan Kunyit ( Curcuma
Domestica Val. ) yang berbeda daerah memiliki keragaman kandungan senyawa aktif.
Kandungan kurkumin dan aktivitas antioksidan terkecil didapat pada kunyit asal Ngawi
sebesar 3.28 % dan 75.10 g/ml. Sedangkan untuk daerah Karanganyar dan Wonogiri
memiliki kandungan kurkumin sebesar 3.88 %dan 3.99 % dengan aktivitas antioksidan
sebesar 61.77 g/ml dan 62.59 g/ml. Analisa PCA menggunakan dua PC pertama yaitu PC
1 = 92% dan PC 2 = 8%. Untuk Analisa PLSDA diperoleh 3 model data yaitu model
Karanganyar, model Ngawi dan model Wonogiri. Pada masing masing model diperoleh R2
yang mendekati 1 dan, RMSEP dan RMSEC yang mendekati 0.

Kata kunci : fotometer portable, kemometrik, kunyit, LED, PCA

Pengantar
Indonesia sebagai negara tropis yang dikenal dengan julukan the second mega
biodiversity, memiliki berbagai jenis tanaman yang diketahui secara empirik berpotensi
sebagai tanaman obat. Pada masa sekarang ini tanaman obat telah dimanfaatkan secara
luas oleh masyarakat sebagai solusi alternatif dalam mengatasi masalah kesehatan yang
dihadapi. Penggunaan tanaman obat yang semakin berkembang memerlukan adanya
jaminan terhadap mutu dan keamanannya. Mutu tanaman obat dapat dilihat dari
kandungan senyawa aktif kimia yang dimiliki. Menurut Singh et al. 2010, keragaman
komposisi senyawa aktif kimia dipengaruhi oleh kondisi tanah dan lingkungan sehingga

347
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

dapat mempengaruhi mutu suatu sediaan obat bahan alam. Untuk itu diperlukan kendali
mutu dan diferensiasi asal geografis tanaman obat tersebut.
Pada umumnya metode analisis yang biasa digunakan untuk pencirian tanaman obat
adalah kromatografi. Dengan metode ini akan didapatkan suatu kromatogram sidik jari
yang dapat menampilkan semua kandungan senyawa kimia yang menjadi karakteristik
tanaman obat (Liang et al. 2008). Dengan melihat kromatogram sidik jari ini, kita dapat
mengetahui mutu suatu tanaman obat. Walaupun metode ini memiliki kelebihan dalam
hal akurasi, tetapi masih terdapat kelemahan dalam hal waktu, preparasi sampel, dan
jumlah bahan kimia yang digunakan (Mao & Xu 2006).
Pada penelitian ini digunakan metode spektroskopi. Prinsip dari spektroskopi adalah
melihat perubahan komposisi kimia suatu bahan yang dapat mengakibatkan perubahan
sifat optik (absorbansi, transmisi, dan refleksi) dari suatu bahan (Stuth et al. 2003).
Umumnya alat yang digunakan untuk aplikasi metode spektroskopi adalah FTIR. Akan
tetapi alat ini cukup mahal dan sulit dalam pengoperasiannya. Alternatif alat yang
digunakan pada penelitian ini adalah fotometer portable.
Fotometer portable menggunakan sumber cahaya berupa light emitting diode (LED)
dan detektor photo diode array (PDA). Kelebihan dari alat ini adalah pengoperasiannya
yang lebih sederhana, non-destruktif terhadap bahan, meminimalkan penggunaan bahan
kimia, murah, ringan, dan mudah dibawa. Data yang dihasilkan dari alat fotometer
portable selanjutnya dikombinasikan dengan metode kemometrik, yaitu principle
component analysis (PCA) dan partial least square discriminant analysis (PLSDA).
PCA digunakan untuk melakukan pengenalan pola sehingga kita dapat mengelompokan
tanaman berdasarkan keragaman asal geografis sampel tersebut. Sedangkan PLSDA
digunakan untuk membangun model prediksi dari asal geografis sampel.

Gambar 1. Skema fotometer portable.

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan diferensiasi asal geografis kunyit


(Curcuma domestica Val.) yang berasal dari daerah Ngawi, Wonogiri, dan Karanganyar

348
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

sebagai informasi dan kendali mutu dengan menggunakan fotometer portable dan
metode kemometrik. Sehingga informasi dan klasifikasi mengenai asal tanam geografis
sehingga mutu sediaan obat dapat terjaga.

Metoda penelitian

Bahan dan alat


Bahan-bahan yang digunakanaadalah kunyit yang berasal dari Ngawi, Wonogiri,
dan Karanganyar, asam borat (Merck), asam oksalat (Merck), standard kurkuminoid
(Sigma), DPPH (Aldrich Chemical), Etanol (Merck). Alat-alat yang digunakan adalah
fotometer portable, lampu LED ( LED UV, LED biru ungu, LED putih, LED biru, LED
hijau, LED hijau kuning, LED orange, dan LED IR ), spektrofotometer UV-Vis
(Hitachi U-2800, Jepang), mikroplate reader (Biotek Epoch), mikroplate (Nunc,
Denmark), alat pembuat pellet (Shimadzu, Jepang), labu takar 25 ml (Iwaki Pyrex,
Jepang), labu takar 250 ml (Iwaki Pyrex, Jepang), pipet volumetrik 1 ml (Iwaki Pyrex,
Jepang) dan neraca analitik (Sartorius BSA224S, Jerman). Perangkat lunak yang
digunakan adalah Unscrambler 9.7, dan Minitab 15.

Metode
Penetapan Kadar Kurkuminoid
Sampel ditimbang dengan seksama, kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala 250
ml. Ditambahkan aseton, diaduk hingga rata kemudian disaring. Filtrat ditampung
dalam labu terukur 250 ml ditambah aseton melalui kertas saring hingga tanda batas.
Diambil 1 ml dimasukkan ke dalam labu terukur 25 ml, ditambahkan 50 mg asam borat
dan 50 mg asam oksalat dan dibiarkan selam 30 menit. Larutan ini diukur
menggunakan spektrofotometer sinar tampak dengan panjang gelombang sebesar 491
nm. Kadar kurkuminoid dihitung dalam % b/b dengan membandingkan kurva baku.

Uji Aktivitas Antioksidan


Uji aktivitas antioksidan yang digunakan adalah uji penangkapan radikal bebas 2,2-
difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH). Sampel dilarutkan di dalam etanol hingga diperoleh
konsentrasi 12,5; 25; 50; 100; dan 200 g/mL. Alikuot sampel dan 100 L larutan
DPPH (11,8 mg DPPH dalam 100 mL etanol) ditambahkan ke masing-masing sumur
96- well plate. Setelah 30 menit, diukur absorbansnya pada 517 nm. Nilai IC50
diperoleh dengan cara menghitung menurut rumus y = a + b lnx. Harga y yang
dimasukkan adalah 50, untuk menyatakan inhibisi sejumlah 50% setelah masa inkubasi
30 menit. Nilai a dan b diperoleh dengan perhitungan menggunakan rumus regresi linier
berdasarkan data dari konsentrasi yang digunakan. Harga x yang diperoleh merupakan
konsentrasi larutan yang menyebabkan inhibisi terhadap 50% radikal bebas.

349
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pembuatan Pellet Kunyit


Serbuk kunyit ditimbang sebanyak 350 mg, lalu serbuk dimasukkan ke dalam alat
pembuat pelet. Tekanan diatur hingga mencapai 80 kN, dan diberikan selama 2 menit.
Pelet kunyit lalu dikeluarkan dari alat.

Pencirian Sumber Sinar


Sumber sinar yang akan digunakan ( LED UV, LED biru ungu, LED putih, LED
biru, LED hijau, LED hijau kuning, LED orange, dan LED IR ) dicirikan terlebih
dahulu. Sumber sinar tersebut dinyalakan dan sinar yang keluar diukur panjang
gelombangnya menggunakan spektrometer USB 2000.

Prosedur Penggunaan Fotometer portable


Fotometer portable dinyalakan dengan menekan tombol power, lalu intensitas awal
fotometer ditentukan dengan meletakkan sumber cahaya pada area berwarna putih
sebagai kontrol. Sumber cahaya diletakkan tegak lurus (90) dengan permukaan kertas
standar warna. Diperiksa perbedaan intensitas sinar pada area berwarna putih. Apabila
tidak terdapat perbedaan, maka nilai intensitas awal dinaikkan. Intensitas yang sudah
ditetapkan akan digunakan untuk pengukuran setiap sampel dengan sumber sinar yang
sama. Setiap mengakhiri pengukuran, sumber cahaya dimatikan dan dinyalakan
kembali sebelum mengukur warna standar lainnya. Nilai yang tertera pada fotometer
dicatat setelah angka yang tertera tidak menunjukkan perubahan. Langkah tersebut
diulangi dengan menggunakan kombinasi sumber lampu yang berbeda-beda. Lampu
yang digunakan adalah LED UV, LED biru ungu, LED putih, LED biru, LED hijau,
LED hijau kuning, LED orange, dan LED IR ,

Metode Deteksi Sinar


Permukaan pelet kunyit selanjutnya disinari dengan sumber sinar yang divariasikan.
Pelet kunyit yang digunakan berbeda asal tanamnya dan diukur sebanyak 15 kali
ulangan. Sinar radiasi ini kemudian ditangkap oleh detektor PDA dan intensitasnya
diubah menjadi perbedaan tegangan listrik. Perbedaan tegangan listrik yang dihasilkan
ini dideteksi oleh voltmeter dan dicatat angkanya.

Pengumpulan dan Pengolahan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur intensitas sinar yang dihasilkan dari
sampel serbuk rimpang kunyit (pellet kunyit) berbeda asal tanam dengan menggunakan
masing masing sumber sinar lampu LED yang memiliki panjang gelombang yang
berbeda-beda. Data yang dihasilkan dimasukkan ke dalam skema data yang kemudian
dimasukkan ke dalam program Microsoft Excel 2007 dan dianalisis menggunakan
metode multivariat dengan perangkat lunak The Unscrambler 9.7.

350
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hasil dan Pembahasan


Hasil
Penetapan Kadar Kurkuminoid
Analisis kadar kurkuminoid dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-
Vis pada panjang gelombang 491 nm. Panjang gelombang ini merupakan panjang
gelombang maksimum yang diserap oleh kurkuminoid.

Gambar 2. Kandungan kurkuminoid.

Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa rimpang kunyit pada daerah asal
wonogiri memiliki kandungan kurkuminoid tertinggi dibanding asal daerah
Karanganyar dan Ngawi.

Aktivitas Antioksidan Kunyit


Aktivitas antioksidan diukur dengan melihat kemampuan ekstrak rimpang dalam
menghambat aktivitas radikal bebas DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil). DPPH adalah
radikal bebas yang stabil dalam larutan berair atau larutan dalam etanol serta memiliki
serapan yang kuat pada panjang gelombang 517 nm dalam bentuk teroksidasi (Masuda
et al. 1999). DPPH mampu menerima elektron atau radikal hidrogen dari senyawa lain
sehingga membentuk molekul diamagnetik yang stabil. Aktivitas antioksidan dari
sampel dinyatakan dengan nilai IC50, yaitu konsentrasi sampel yang dibutuhkan untuk
menghambat 50% aktivitas DPPH .Makin rendah nilai IC50 suatu bahan, makin tinggi
aktivitas antioksidannya.

351
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 3. Kandungan aktivitas antioksidan.

Berdasarkan Gambar 3 uji aktivitas antioksidan terhadap ekstrak rimpang yang


mempunyai kadar kurkuminoid tertentu menunjukkan bahwa rimpang kunyit yang
berasal dari Ngawi memiliki IC50 sebesar 75.10 g/ml, sementara daerah Karanganyar
dan Wonogiri berturut-turut memiliki IC50 sebesar 61.77 dan 62.59 g/ml. Hal ini
berarti rimpang kunyit yang berasal dari daerah Ngawi memiliki aktivitas antioksidan
yang paling rendah. Vitamin C sebagai kontrol positif memiliki IC50 yang lebih rendah,
yaitu sebesar 5.74 g/ml.

Korelasi Kandungan Kurkuminoid dan Aktivitas antioksidan

Gambar 4. Korelasi kandungan kurkuminoid ( ) dan aktivitas antioksidan ( ).

352
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Berdasarkan Gambar 4, kadar kurkuminoid dan aktivitas antioksidan rimpang kunyit


didapatkan bahwa aktivitas antioksidan berkorelasi dengan kandungan
kurkuminoidnya. Semakin tinggi kadar kurkuminoid maka semakin tinggi aktivitas
antioksidannya. Tetapi pada aktivitas antioksidan kunyit asal Wonogiri memiliki
aktivitas yang lebih rendah dibandingkan asal Karanganyar meskipun memiliki kadar
kurkuminoid yang besar, hal ini dimungkinkan karena sifat kurkuminoid yang sensitif
terhadap cahaya dan mudah terdegradasi sehingga kemungkinan mempengaruhi
terhadap aktivitas antioksidannya.. Namun berdasarkan uji statistik ANOVA perbedaan
nilai aktivitas daerah Karanganyar dan Wonogiri tidak berbeda nyata dimana nilai P
diatas 5%.

Pencirian Sumber Sinar


Pencirian sumber sinar dilakukan menggunakan spektrometer USB2000. Sumber
sinar yang dicirikan adalah LED UV, LED biru ungu, LED putih, LED biru, LED hijau,
LED hijau kuning, LED orange, dan LED IR. Hasil pencirian sumber sinar bertujuan
mengetahui nilai panjang gelombang yang dominan dari lampu LED yang digunakan
sehingga untuk acuan penelitian selanjutnya.

Tabel 1. Hasil pencirian panjang gelombang.

Panjang gelombang maksimal


lampu LED intensitas tertinggi (counts)
(nm)

UV 409,29 3877,26
Biru ungu 453,60 3874,20
Biru 473,18 3873,93
Putih 462,68 3680,97
Hijau 518,02 3720,98
Hijau kuning 571,68 3870,09
Orange 625,74 3876,62
IR 986,62 3847,92

Analisis rimpang kunyit menggunakan fotometer portable


Hasil pengukuran dengan fotometer portable berupa intensitas radiasi yang
ditangkap oleh PDA dan nilainya diubah menjadi nilai tegangan. Berdasarkan gambar
5, spektrum yang diperoleh memiliki pola yang sama untuk rimpang kunyit daerah
Karanganyar, Ngawi, dan Wonogiri. Hal ini dikarenakan senyawa yang terkandung
pada rimpang kunyit untuk setiap daerah sama. Perbedaan antara tiap daerah terlihat
dari intensitas voltase yang dimiliki.
Rimpang kunyit daerah Ngawi pada panjang gelombang 400 600 nm memiliki
nilai voltase yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Nilai voltase yang
tinggi menunjukkan sinar yang direfleksikan oleh rimpang kunyit juga tinggi. Hal ini
353
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

dikarenakan kandungan senyawa aktif kimia pada kunyit daerah Ngawi paling rendah
dibanding daerah lainnya pada panjang gelombang tersebut. Dengan demikian,
intensitas sinar radiasi yang direfleksikan semakin tinggi juga karena sinar yang tidak
diserap direfleksikan oleh bahan.

Gambar 5. Spektrum pengukuran kunyit Karanganyar ( ) , Ngawi ( ) , dan Wonogiri ( ).

Sifat refleksi dari kunyit pada panjang gelombang 620 980 nm menunjukkan pola
refleksi yang berbeda, yaitu kunyit asal daerah Wonogiri memiliki nilai voltase yang
tinggi. Hal ini dimungkinkan karena interaksi sinar radiasi yang terjadi pada lampu
LED pada panjang gelombang tersebut tidak sampai terserap oleh bahan. Menurut Stuth
et al.2003, pada proses refleksi, jika tidak ada sinar radiasi yang diserap oleh bahan
maka sinar radiasi yang datang hanya berinteraksi dengan permukaan dari bahan tanpa
adanya sinar yang berpenetrasi kedalam bahan. Oleh karena itu, pada proses refleksi ini
yang diperhatikan adalah sifat fisik bahan yang dapat menjelaskan aspek kimia bahan.
Karena perbedaan intensitas yang dihasilkan sangat kecil, diperlukan teknik pengenalan
pola secara kemometrik untuk mengelompokkan rimpang kunyit berdasarkan asal
daerahnya.

Differensiasi Kunyit Menggunakan Analisis PCA


Analisis PCA merupakan salah satu teknik kemometrik yang dapat digunakan untuk
mengekstrak informasi dari data yang didapatkan sehingga kita dapat melakukan
pengenalan pola untuk mengelompokkan tanaman kunyit berdasarkan asal daerahnya.
Hal ini dikarenakan kerumitan data spektrum yang didapatkan dan juga banyaknya

354
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

kemiripan dari spektrum yang dihasilkan. Dengan menggunakan PCA data yang
berukuran besar ini selanjutnya direduksi menjadi komponen utama atau principle
component (PC) yang dapat mewakili struktur dan varians dalam data (Miller & Miller
2000). Analisis PCA dilakukan dengan cara mencari 7 buah PC yang pertama dari data
matriks.
PC 1 memiliki nilai varians terbesar yaitu sebesar 92%, selanjutnya diikuti oleh PC 2
dengan nilai varians sebesar 8 %, Sedangkan PC 3 sampai PC 7 hanya menggambarkan
0.1% varians dalam data. Nilai dari PC 1 yang terbesar karena PC 1 dibuat dengan
memaksimalkan varians dalam data. PC selanjutnya dibuat dengan memaksimalkan
residual atau varians yang tertinggal dalam data setelah menghitung PC 1 (Brereton
2003). Sehingga seluruh PC dapat menjelaskan varians dari data dengan total 100%.

Gambar 6. Proporsi varians PC.

Berdasarkan nilai proporsi varians pada Gambar 6 maka score plot dibuat
menggunakan nilai PC 1 dan PC 2. PC 1 dan PC 2 dapat mewakili varians sebesar
100% (PC 1 = 92% dan PC 2 = 8%). Menurut Brereton 2003, score plot dengan
menggunakan dua buah PC yang pertama biasanya paling berguna karena kedua PC ini
menggambarkan varians yang terbesar dari data. Hal ini mengindikasikan bahwa hanya
dengan dua PC pertama sudah dapat dibuat model PCA yang baik.

355
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 7. Score plot antara PC 1dan PC 2.

Hasil didapat score plot antara PC 1 dan PC 2 pada gambar 7 yang menunjukkan
bahwa sampel kunyit daerah Karanganyar, Ngawi, dan Wonogiri sudah dapat terpisah
dan dikelompokkan dengan baik.
Pengelompokkan kunyit dengan asal daerah yang sama berada saling berdekatan
karena kemiripan sifat dan komposisi kimia yang dimilikinya. Kunyit asal daerah
Karanganyar terlihat mengelompok pada daerah kuadran 4, sampel kunyit asal daerah
Ngawi terletak diantara kuadran 1 dan 3. Sedangkan kunyit asal daerah Wonogiri
terletak pada kuadran 2.

Pembentukan Model Rimpang Kunyit Menggunakan Analisis Diskriminan Kuadrat


Terkecil Parsial (PLSDA)
PLSDA merupakan salah satu teknik kemometrik yang digunakan untuk pengenalan
pola. Pada penelitian ini, analisis PLSDA dilakukan dengan menggunakan 2 buah
matriks, yaitu matriks X dan matriks Y. Matriks X berisi data asli yang berasal dari
hasil pengukuran sampel rimpang kunyit Sedangkan matriks Y merupakan matriks
respon untuk tiap daerah sampel rimpang kunyit. Kebaikan suatu model dengan
menggunakan metode PLSDA dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2), galat
kalibrasi akar rerata kuadrat (RMSEC) dan galat prediksi akar rerata kuadrat (RMSEP).

356
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 2. Kriteria kebaikan model PLSDA.


Kalibrasi Prediksi
Sampel ( daerah )
R2 RMSEC R2 RMSEP
Karanganyar 0.99 0.03 0.99 0.04
Ngawi 0.99 0.008 0.99 0.009
Wonogiri 0.99 0.03 0.99 0.04

Nilai R2 mengindikasikan mutu data antara konsentrasi nyata dan konsentrasi


dugaan. Nilai R2 yang mendekati 1 menunjukkan bahwa antara konsentrasi nyata dan
dugaan memiliki nilai yang sangat dekat serta memiliki galat yang kecil. Nilai RMSEC
merupakan galat yang dihasilkan dari set kalibrasi. Kebaikan suatu model dapat dilihat
nilai R2 mendekati 1 dan nilai galat sangat kecil atau mendekati 0 (Brereton 2003).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa model yang dibangun sebelumnya dapat
memprediksi sampel yang diujikan dan mengklasifikasikan ke dalam daerah
Karanganyar, Ngawi, dan Wonogiri.

Tabel 3. Data prediksi sampel kunyit dengan model PLSDA Karanganyar, Ngawi dan
Wonogiri.

Model Nilai
Sampel Ulangan Nilai referensi
PLSDA prediksi
1 0.983 1
Karanganyar 2 0.983 1
3 0.980 1
1 -0.014 0
Ngawi 2 0.052 0
3 -0.031 0
1 -0.026 0
Karanganyar Wonogiri 2 -0.024 0
3 0.096 0
1 1.648 0
Nagrak 2 1.668 0
3 1.614 0
1 1.514 0
Sukabumi 2 1.497 0
3 1.514 0
1 -0.003 0
Karanganyar 2 -0.003 0
3 0.001 0
1 0.986 1
Ngawi 2 0.986 1
3 1.008 1
1 -0.011 0
Ngawi
Wonogiri 2 0.011 0
3 -0.003 0
1 -0.912 0
Nagrak 2 -0.889 0
3 -0.869 0
1 -0.849 0
Sukabumi
2 -0.844 0

357
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

3 -0.849 0
1 0.019 0
Karanganyar 2 0.019 0
3 0.069 0
1 0.028 0
Ngawi 2 -0.038 0
3 0.023 0
1 1.037 1
Wonogiri Wonogiri 2 1.013 1
3 0.906 1
1 0.265 0
Nagrak 2 0.222 0
3 0.255 0
1 0.335 0
Sukabumi 2 0.347 0
3 0.335 0

Nilai referensi adalah nilai yang digunakan sebagai respon untuk membangun
model. Nilai prediksi yang mendekati nilai referensi menunjukkan bahwa daerah
sampel prediksi sama dengan model yang digunakan. Berdasarkan Tabel 3 terlihat
bahwa nilai prediksi sampel yang diprediksi masing masing berasal dari daerah
Karanganyar, Ngawi, dan Wonogiri pada model PLSDA rimpang kunyit yang telah
dibuat sebelumnya untuk masing masing daerah Karanganyar, Ngawi, dan Wonogiri
mendekati nilai referensi yang digunakan, yaitu 1.
Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang diprediksi mempunyai nilai prediksi yang
sama dengan nilai referensi masing masing daerah yang diprediksi pada saat
diregresikan dengan model PLSDA rimpang kunyit masing masing daerah.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Kunyit
( Curcuma Domestica Val. ) yang berbeda daerah memiliki keragaman kandungan
senyawa aktif. Alat fotometer portable yang dikombinasikan dengan analisis
kemometrik berupa teknik pengenalan pola dapat mendiferensiasikan kunyit asal daerah
Karanganyar, Ngawi dan Wonogiri. Analisa PCA menggunakan dua PC pertama yaitu
PC 1 = 92% dan PC 2 = 8%. Untuk Analisa PLSDA diperoleh 3 model data yaitu
model Karanganyar, model Ngawi dan model Wonogiri. Pada masing masing model
diperoleh R2 yang mendekati 1 dan, RMSEP dan RMSEC yang mendekati 0.
Kandungan kurkumin dan aktivitas antioksidan terkecil didapat pada kunyit asal Ngawi
sebesar 3.28 % dan 75.10 g/ml. Sedangkan untuk daerah Karanganyar dan Wonogiri
memiliki kandungan kurkumin sebesar 3.88 dan 3.99 % dengan aktivitas antioksidan
sebesar 61.77 dan 62.59 g/ml.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian perlu dilakukan validasi antara pengukuran fotometer
dengan instrument lain yang umum digunakan untuk mengetahui secara spesifik
diferensiasi geografis terhadap rimpang kunyit dan perlu dilakukan penyeragaman
358
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

ukuran partikel (mesh) serbuk kunyit sebelum dijadikan pellet untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik dalam proses penyinaran menggunakan fotometer portable.

Daftar Pustaka
Brereton RG. 2003. Chemometrics: Data Analysis for The Laboratory and Chemical Plant.
Bristol: Wiley.
Liang Xin-Mao, Yu Jin, Yan-ping Wang, Gao-wa Jin, Qing Fu, Yuan-sheng Xiao. 2008.
Qualitative and quantitative analysis in quality control of traditional Chinese
medicines. J.Chroma. 026:2033-2044
Lohninger H. 2004. Multivariate calibration. [terhubung berkala].
http://www.vias.org/tmdatanaleng/cc_multivaritae.html [20 Februari 2010]
Mao J, Xu J. 2006. Discrimination of herbal medicines by molecular spectroscopy and
chemical pattern recognition. Spectrochim Acta A 65: 497500.
Masuda T, Isobe J, Jitoe A, Nakatani N. 1992. Antioxidative curcuminoide from rhizomes
of Curcuma xanthorrhiza. Phytochemistry 31(10): 3645-3647..
Menn N. 2004. Practical Optics. New York: Elsevier.
.
Sidik, Moelyono MW, Mutadi A.1995. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.).
Jakarta: Phyto Medika.
Singh SK, Jha SK, Chaudhary, Yadava RDS, Rai SB. 2010. Quality control of herbal
medicines by using spectroscopic techniques and multivariate statistical analysis.
Pharmaceut Biol 48:134-141.
Skoog DA, Donald MW, F James Holler, Stanley RC. 2004. Fundamentals of Analytical
Chemistry. Ed ke-8. Canada: Brooks Cole.
Stuth J, Jama A, Tolleson D. 2003. Direct and indirect means of predicting forage quality.
Field Crops Research 84:45-56.

359
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Isolasi dan Identifikasi Alkaloid Pada Ekstrak Daun Sirsak


(Annona Muricata L.)

*Topan Sopian, Husain Nashrianto, Ani Iryani


Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan, Bogor

ABSTRAK

Sirsak dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat karena didalamnya terkandung senyawa
alkaloid. Sirsak merupakan salah satu tanaman yang memiliki kandungan alkaloid yaitu
aziridine, metilpirazol, pirazol, pirimidin dan indolozin. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi senyawa Alkaloid fenolik dan non fenolik dari ekstrak daun sirsak. Daun
sirsak yang sudah dikeringkan dan dihaluskan, dimaserasi dengan menggunakan heksan dan
metanol dan dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator. Lalu didapatkan ekstrak
kental kemudian ditambahkan asam sitrat dan eter, fraksi asamnya ditambahkan amoniak
dan kloroform. Fraksi kloroform dan fraksi basanya digabungkan lalu dicuci dengan
aquades, dikeringkan dengan MgSO4 menghasilkan alkaloid total. Alkaloid total dilarutkan
dalam kloroform kemudian diekstraksi dengan larutan NaOH. Fraksi kloroform adalah
fraksi alkaloid non fenolik. Fraksi basanya diasamkan dengan NH4Cl sampai pH 8-9.
Endapan yang terbentuk dilarutkan dalam kloroform, kedua fraksi digabungkan, lalu dicuci
dengan air sampai air cucian bersifat netral terhadap kertas lakmus, kemudian dikeringkan
dengan MgSO4 selanjutnya diuapkan pada tekanan rendah menghasilkan fraksi alkaloid
fenolik. Ekstrak serbuk alkaloid fenolik dan non fenolik digunakan untuk identifikasi
senyawa organik dengan menggunakan LC-MS dan FTIR.
Hasil isolasi alkaloid dari ekstrak daun sirsak setelah dianalisis dengan menggunakan
Spektrofotometer FTIR memiliki alkaloid fenolik dan non fenolik. Alkaloid fenolik setelah
diidentifikasi dengan menggunakan LC-MS diduga mengandung senyawa 2-amino-2-
heksadesilpropana-1,3-diol dan 2-[2-(4-Hidrosifenil)-4-fenil-1H-imidazol-5-il]-9H-fluoren-
9-one. Dan alkaloid non fenolik setelah diidentifikasi dengan menggunakan LC-MS diduga
mengandung 3-Etil-N-(2-piridinilmetil)-3H-[1,2,3]triazolo[4,5-d]pirimidin-7-amina dan N-
Heksadecil-1-oktadekanamina.

Keywords : Soursop, Alkaloid, Ekstraktion, isolation, phenolic, FTIR and LC-MS

Pendahuluan
Manusia seringkali menggunakan ekstrak akar, kulit kayu, daun, buah, bunga dan
biji-bijian sebagai obat. Penggunaan tumbuhan dengan maksud pengobatan tidak mesti
berdasarkan ketakhayulan atau khayalan. Banyak tumbuhan mengandung
senyawa yang berdampak faali yang nyata. Zat-zat aktif dalam banyak bahan
tumbuhan ini diisolasi dan diketahui berupa senyawa nitrogen heterosiklik. Salah satu
tanaman itu adalah sirsak (Annona muricata L.).
Banyak senyawa nitrogen dalam tumbuhan mengandung atom nitrogen basa dan
karena itu dapat diekstrak dari dalam bahan tumbuhan itu dengan asam encer. Senyawa
ini disebut alkaloid yang artinya mirip sekali. Alkaloid ialah senyawa yang
mengandung nitrogen yang bersifat basa dari tumbuhan atau hewan, umumnya
361
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

memiliki struktur yang rumit dan bersifat farmakologi (Faali) yang nyata (Harold,
2003)
Pada saat ini banyak penyakit sulit disembuhkan dengan obat modern dan
memerlukan biaya yang cukup tinggi, pengobatan dengan bahan-bahan alami bisa
menjadi alternatif penyembuhan yang tidak kalah manjur. Apalagi saat ini banyak
tumbuhan obat tradisional sudah diuji secara klinik untuk mengetahui komposisi,
kandungan, dan efek farmakologinya. Dibandingkan obat-obatan dokter, pengobatan
dengan bahan tumbuhan ini relatif aman dan tidak berefek samping yang
membahayakan (Jaka Sulaksana, 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi berbagai senyawa
alkaloid dari ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) dengan menggunakan LC- MS
dan FT-IR.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengekstraksi daun sirsak dengan menggunkan
heksan, metanol, Asam sitrat, Eter, Amoniak, NaOH, NH4Cl, Kloroform dan
Magnesium sulfat. Ekstrak alkaloid fenolik dan non fenoliknya dianalisis menggunakan
spektrofotometer FTIR dan LC-MS.

Pembuatan Simplisia
Daun sirsak yang digunakan diperoleh dari daerah Kecamatan Cibeber Kabupaten
Cianjur. Daun sirsak yang digunakan adalah daun yang tidak terlalu tua dan juga tidak
terlalu muda. Daun sirsak segar dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel
(sortasi basah), dicuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian ditiriskan untuk
membebaskan daun dari sisa air cucian. Daun yang telah bersih dan bebas dari air
cucian dikeringkan dalam udara tanpa terkena sinar matahari selama tiga hari, setelah
kering lalu dihaluskan dan disimpan dalam wadah bersih dan ditutup rapat.

Pembuatan Ekstrak Alkaloid Total


500 gram Serbuk daun sirsak dimaserasi dengan n-heksan 1 liter selama 3x24 jam,
residu yang diperoleh dimaserasi kembali dengan metanol dengan perbandingan pelarut
1:10 (b/v). Selanjutnya ekstrak metanol dipekatkan dengan menggunakan rotary
evaporator. Didapatkan hasil residu eksktrak metanol. Ekstrak metanol ditambahkan
dengan larutan asam sitrat 5%. Didapat Fraksi asam, lalu di cuci dengan eter sampai
lapisan itu menjadi tidak berwarna. Lapisan asam dibasakan dengan amoniak sampai
pH 8-9. Endapan yang terbentuk disaring lalu ditambahkan kloroform. Didapat fraksi
kloroform, kemudian dicuci dengan air. Selanjutnya larutan kloroform dikeringkan
dengan MgSO4 anhidrat dan diuapkan sampai tekanan rendah hingga kering. Akhirnya
diperoleh alkaloid total.

Pemisahan Alkaloid Fenolik dan Non Fenolik


Alkaloid total dilarutkan dalam kloroform kemudian ditambahkan dengan larutan
NaOH 5%. Fraksi basanya diasamkan dengan NH4Cl sampai pH 8-9. Endapan yang
terbentuk dilarutkan dengan kloroform, kedua fraksi digabungkan, lalu dicuci dengan

362
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

air sampai air cucian bersifat netral terhadap kertas lakmus, kemudian dikeringkan
dengan MgSO4 anhidrat, selanjutnya diuapkan pada tekanan rendah menghasilkan
fraksi alkaloid fenolik, fraksi kloroform adalah fraksi alkaloid non fenolik.

Uji Fitokimia
Ke dalam tabung reaksi dimasukkan 2 mL pereaksi Dragendorff lalu dimasukkan 1
mL ekstrak kloroform. Diamati endapan yang terbentuk. Hal serupa juga dilakukan
dengan menggantikan jenis pereaksi Mayer dan Wagner, Jika terdapat endapan putih
dengan pereaksi mayer, endapan merah dengan jingga dengan pereaksi Dragendorf dan
endapan coklat dengan pereaksi Wagner, maka terdapat alkaloid dalam ekstrak tersebut.

Penetapan Kadar Air Simplisia


Penetapan kadar air simplisia dilakukan dengan metode gravimetri. Ditimbang 1 g
simplisia ke dalam kotak timbang yang sebelumnya sudah diketahui bobot kosongnya.
Dipanaskan di dalam oven bersuhu 105C selama 2 jam, didinginkan dalam eksikator
dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap. (Penentuan dilakukan triplo).

Kadar air (%) =

Bobot awalBobot akhir x100%


Bobot awal
Penghitungan Kadar Rendemen Ekstrak
Kadar rendemen ekstrak dihitung untuk mengetahui seberapa besar ekstrak yang
dihasilkan dari proses ekstraksi dari masing masing pelarut.

Kadar rendemen ekstrak (%)

= Bobot hasil ekstrak x100%

Bobot simplisia
Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan massa molekul alkaloid fenolik dan
non fenolik. Disiapkan larutan standar 1 ppm. Masing-masing standar disuntikkan ke
dalam sistem LC-MS. Ditentukan parameter standar pada sistem diantaranya ionization
mode ES +, desolvation temp 300 0C, source temp 110 0C, cone 38 volt. Peak dengan
puncak paling tinggi menunjukkan zat yang dimaksud dan dapat diketahui massa (MS
Scan) dan massa pecahan (Daughter Scan).

Metode Analisis LC-MS


Masing - masing 10 mg Sampel alkaloid fenolik dan non fenolik dilarutkan 100 L
kloroform kemudian disentrifus lalu ditambahkan 900 L metanol dan dipisahkan
dengan sentrifus lalu diambil cairanya. kemudian diuapkan pada suhu 400C dibawah
aliran gas nitrogen. kemudian disuntikkan sebanyak 5 L ke dalam sistem LC-MS/MS.
363
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kondisi HPLC meliputi kecepatan alir 0,3 mL/min, fase gerak asam format 0,1 %
dalam air dan asetonitril, guard kolom Acquity UPLC BEH C18 1.7L, 2.1x50 mm.
Kondisi MS disesuaikan dengan kondisi yang diperoleh pada saat uji pendahuluan.

Analisis Spektrofotometri Infra Merah ( FTIR )


Sampel sebagai lempeng dalam Kalium Bromida kering, lempeng tersebut dibuat
dengan jalan menggerus cuplikan kira- kira 1% KBr dan ditekan sekitar 8 ton sehingga
diperoleh sebuah lempeng transparan. Sinar inframerah yang melalui lempeng tersebut
menunjukkan harga - harga bilangan gelombang yang tercatat dalam spektrumnya.
Untuk sampel cairan dioleskan pada plat KBr dan untuk sampel padatan atau serbuk
digerus kan pada plat KBr. Bila sampel mengandung pelarut organik maka setelah
sampel dioleskan pada plat KBr diletakan dibawah lampu pijar untuk menghilangkan
pelarut organik, sehingga yang tertinggal hanya pelarut organiknya saja. Plat yang
mengandung sampel ditempatkan pada alat FTIR dan tunggu sampai spektrum IR
muncul.

Hasil Dan Pembahasan


Hasil Ekstraksi
Penetapan kadar air dilakukan terlebih dahulu pada daun sirsak yang sudah
kering sebelum dilakukan ekstraksi. Kadar air daun sirsak tidak boleh lebih dari 10%
untuk menghindari tumbuhnya mikroba dan jamur. Kadar air serbuk simplisia daun
sirsak diperoleh 4,54%. Kadar air didapatkan dengan menghitung selisih bobot sebelum
dan sesudah pemanasan sampel daun sirsak dapat.
Pada proses ekstraksi menggunakan metode maserasi, hasil ekstraksi daun sirsak
dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator. Penentuan rendemen bertujuan
untuk mengetahui perbandingan hasil ekstrak terhadap simplisia. Berdasarkan nilai
rendemen dapat diketahui jumlah ekstrak dari simplisia pada berat tertentu. Dari hasil
ekstraksi daun sirsak diperoleh ekstrak alkaloid total sebesar 10,59 gram dan hasil
rendemennya sebesar 2,12 %.
Hasil Uji Fitokimia
Uji fitokimia bertujuan untuk mengetahui jenis senyawa yang ada dalam ekstrak
daun sirsak. Uji ini dilakukan terhadap ekstrak metanol daun sirsak, diantaranya adalah
senyawa alkaloid. Hasil uji senyawa alkaloid dapat dilihat Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia
Alkaloid Ekstrak Daun Sirsak.

Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia Alkaloid Ekstrak Daun Sirsak.

No Uji Fitokimia Indikasi Adanya Senyawa Uji Hasil Pengamatan


1 Pereaksi Dragendroft Terbentuk endapan warna orange +
2 Pereaksi Mayers Terbentuk endapan warna putih +
3 Pereaksi Wagner Terbentuk endapan warna coklat +

Dari hasil uji fitokimia dapat diketahui bahwa dalam ekstrak metanol daun sirsak
terkandung senyawa alkaloid. Alkaloid merupakan suatu golongan senyawa organik
364
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

yang terbanyak ditemukan di alam dan memiliki banyak fungsi yang bersifat fisiologis
sehingga digunakan secara luas dalam bidang pengobatan.

Hasil Identifikasi Senyawa Alkaloid Menggunakan LC-MS

Hasil identifikasi senyawa alkaloid menggunakan LC-MS terhadap ekstrak alkaloid


Fenolik dan alkaloid non fenolik daun sirsak dapat dilihat pada Tabel 2. dan Tabel 3.
Masing-masing standar disuntikkan ke dalam sistem LC-MS/MS. Ditentukan parameter
standar pada sistem diantaranya ionization mode ES +, desolvation temp 300 0C, source
temp 110 0C, cone 38 volt. Peak dengan puncak paling tinggi menunjukkan zat yang
dimaksud dan dapat diketahui massa (MS Scan) dan massa pecahan (Daughter Scan).

Tabel 2. Hasil Identifikasi Senyawa Organik Ekstrak Alkaloid Fenolik

Rumus
No WR*(menit) Senyawa Kimia BM** Rumus molekul
Molekul

2-amino-2-
1 4,626 heksadesilpropana- 316,32 C19H42NO2
1,3-diol

2-[2-(4-Hidrosikfenil)-
4-fenil-1H-imidazol-
2 4,519 415,14 C28H19N2O
5-il]-9H-fluoren-9-one

Tabel 3. Hasil Identifikasi Senyawa Organik Ekstrak Alkaloid Non Fenolik

Rumus
N Senyawa
WR*(menit) BM** Rumus molekul Moleku
o Kimia
l
3-Etil-N-(2-
piridinilmetil)-
3H-
[1,2,3]triazolo[ C12H14
1 4,887 256,13
4,5- N7
d]pirimidin-7-
amina

365
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

N-Heksadecil-
1- H3C NH CH C34H72
2 6,297 494,56
oktadekanamin 3 N
a

Hasil analisis identifikasi senyawa organik dengan LC-MS diketahui bahwa dalam
ekstrak alkaloid fenolik mengandung beberapa senyawaan diantaranya adalah: 2-amino-
2-heksadesilpropana-1,3-diol dan 2-[2-(4-Hidrosikfenil)-4-fenil-1H-imidazol-5-yl]- 9H-
fluoren-9-on. Alkaloidnya adalah alkaloid imidazol dan amina.
Hasil analisis identifikasi senyawa organik dengan LC-MS diketahui bahwa dalam
ekstrak alkaloid non fenolik mengandung beberapa senyawaan diantaranya adalah: 3-
Etil-N-(2-piridinilmetil)-3H-[1,2,3]triazolo[4,5-d]pirimidin-7-amina dan N-Heksadecil-
1-oktadekanamina. Alkaloidnya adalah alkaloid pirimidin dan amina.
Pada hasil identifikasi alkaloid fenolik dan non fenolik dengan menggunakan LC-
MS didapat persentasi yang cukup besar antara 99,9 100% senyawa tersebut terdapat
dalam sampel alkaloid fenolik dan non fenolik.

Analisis FTIR Alkaloid Fenolik


Pada gambar 9 menunjukkan hasil analisis FTIR alkaloid fenolik. Adanya sebuah
serapan dalam daerah gugus fungsi sebuah spektrum infra merah merupakan petunjuk
bahwa beberapa gugus fungsi tertentu terdapat dalam cuplikan. Frekuensi rentang O-H
alkohol, fenol ( ikatan H ) menghasilkan puncak serapan besar di daerah 2000 sampai
dengan 3600 cm-1.
Sebuah gugus hidroksi bebas mengambarkan puncak tajam disekitar 3600 cm-1 dan
puncak lebar yang massanya terlihat adalah akibat interaksi
ikatan hidrogen antara gugus hidroksi dari beberapa molekul alkohol. Pada panjang
gelombang 1123,54 cm-1 terdapat ikatan N-H stretching untuk senyawa Alkil Amina,
pada panjang gelombang 1400 cm-1 terdapat ikatan C-N stretching untuk senyawa aril
sekunder amina dan pada panjang gelombang 2500 cm-1 gugus terdapat ikatan C-H
untuk senyawa aromatik.

366
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 1. Spektrum FTIR Alkaloid Fenolik

Analisis FTIR Alkaloid Non Fenolik


Pada gambar 2. Menunjukkan hasil analisis FTIR alkaloid non fenolik. Adanya
sebuah serapan dalam daerah gugus fungsi sebuah spektrum infra merah merupakan
petunjuk bahwa beberapa gugus fungsi tertentu terdapat dalam cuplikan. Frekuensi
rentang C-H untuk ikatan alkana menghasilkan puncak serapan besar di daerah 2850 -
2960 cm-1. Sebuah Ikatan N-H stretching terdapat pada puncak resapan sekitar 3200
3600 cm-1. Ini menunjukan didalam sampel alkaloid non fenolik terdapat senyawa
alkaloid, karena senyawa alkaloid mengandung ikatan N-H.
Pada daerah resapan 2271,41 cm-1 terdapat ikatan senyawa overtune C-H aromatik,
daerah resapan 1377,23 cm-1 terdapat ikatan C-N stretching untuk senyawa Amina
tersier dan pada daerah resapan 752,60 cm-1 terdapat ikatan C-H untuk senyawa Piridin.

Gambar 2. Spektrum FTIR Alkaloid Non Fenolik

367
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut
1. Pada sampel alkaloid fenolik diduga terdapat senyawa; 2-amino-2-
heksadesilpropana-1,3-diol dan 2-[2-(4-Hidrosifenil)-4-fenil-1H-imidazol-5-il]-
9H-fluoren-9-on.
2. Pada sampel alkaloid non fenolik diduga terdapat senyawa; 3-Etil-N-(2-
piridinilmetil)-3H-[1,2,3]triazolo[4,5-d]pirimidin-7-amina dan N-Heksadecil-1-
oktadekanamina.

Saran
1. Penelitian ini harus dilakukan pemurnian kembali agar diperoleh hasil alkaloid
fenolik dan non fenolik yang lebih murni dan diidentifikasi dengan
menggunakan KLT, NMR, UV dan MS.
2. Perlu diuji secara klinik untuk mengetahui efek farmakologinya bagi kesehatan.

Daftar Pustaka
Ansel, H. C.1989. Pengantar bentuk Sediaan Farmasi Edisi keempat. UI press,
Jakarta. Hal 605-607
Day, R.A dan Underwood. 1994. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi 6. Jakarta:
Erlangga.
Department Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV.
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta. Hal 7-39
Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. Terjemahan K.Padmawinata. Edisi II. ITB Press. Bandung:
Halaman 76
Hart, Harold. 2003. Kimia Organik : suatu kuliah singkat. Edisi 11. Jakarta:
Erlangga
Hendayana, S,. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Jakarta : UI Press
Khopkar, S.M. 2007. Konsep Dasar kimia Analitik. Diterjemahkan oleh A.
Saptorahardjo. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
Mulja, Muhammad dan Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya :
Airlangga Unversity Press
Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ronny. 2007. Penentuan Kandungan Minyak Mineral Dalam Sampel Minyak.
Semarang : Universitas Diponegoro
Sovia Lenny. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenil Propanoida, Alkaloida. USU
Repository
Stuart, Barbara. 2004. Infrared Spectroscopy : Fundamentals and Applications.
John Wiley and Sons, Ltd
Suhanda. 2001. Spektroskopi Massa. Bandung : UPI Bandun

368
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kajian Reaksi Fermentasi Limbah Cair Tahu Cibuntu


Dengan Saccharomyces Cereviseae Untuk Pembuatan
Bioetanol
Agusta Samodra Putra*1, Sukrido2, Meiliana Fitriani2
1
Pusat Penelitian Kimia-LIPI
Jl. Cisitu-Sangkuriang, Bandung 40315
2
Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi 40573
Email: chemguzta@gmail.com

ABSTRAK

Limbah cair tahu hasil pencucian terakhir sentra produksi tahu Cibuntu pada saat proses
pencetakan tahu dapat dikembangkan manfaatnya menjadi bioetanol dengan cara mengolah
limbah tersebut secara hidrolisis dan fermentasi menjadi glukosa yang diteruskan menjadi
etanol. Fermentasi secara anaerob menggunakan Saccharomyces cereviceae dilakukan
selama 32 jam pada suhu 300C dan setiap 2 jam sekali, cairan fermentasi diambil untuk
dianalisis kadar etanolnya dengan metode spektrofotometri menggunakan spektrofotometer
UV-VIS U-2800. Persentase etanol terbanyak yang terbentuk sebesar 30,18% diperoleh
pada 32 jam.

Kata kunci: bioetanol, fermentasi

Pendahuluan
Cibuntu merupakan daerah yang dikenal masyarakat Bandung sebagai sentra
industri pembuatan tahu. Selama ini, tingkat permintaan pada tahu Cibuntu cukup tinggi
di masyarakat, karena pada umumnya, masyarakat menyukai makanan dengan harga
yang cukup terjangkau dengan protein yang tinggi. Salah satu kawasan pemasok
makanan di daerah Bandung, yaitu Cikutra, setiap harinya memesan berkilo-kilo tahu
Cibuntu untuk membuat olahan jajanan khas Bandung. Namun ternyata, keharuman
reputasi tahu Cibuntu ini ternyata tidak seharum lingkungan tempat olahan kedelai ini
dibuat (Sintawardhani, 2010).
Limbah cair tahu ini dapat mengganggu lingkungan karena masih mengandung
bahan organik, seperti protein mencapai 40-60 %, karbohidrat 25-50 % dan lemak 10
%. Karakteristik pencemarannya dapat meliputi temperatur, warna, bau, kekeruhan,
Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), dan pH
(Richana, 2009). Meskipun demikian, jumlah limbah yang fantastis ini dapat diolah
menjadi bioetanol dengan jalan fermentasi menggunakan mikroorganisme, salah
satunya adalah Saccharomyces cereviceae, karena dalam limbah cair tahu ini masih
mengandung kandungan zat organik yang cukup tinggi dan mempunyai pH yang
mendekati pH optimal proses fermentasi, sehingga berpotensi sebagai bahan baku
bioetanol (Astuti et al, 2007).
Limbah cair pada proses produksi tahu berasal dari proses perendaman, pencucian
kedelai, pencucian peralatan proses produksi tahu, penyaringan dan

369
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

pengepresan/pencetakan tahu. Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan oleh industri
pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut
dengan air dadih (whey). Cairan ini mengandung kadar protein yang tinggi dan dapat
segera terurai. Limbah ini sering dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih
dahulu sehingga menghasilkan bau busuk dan mencemari lingkungan (Kaswinarni,
2007).
Mikroorganisme yang biasa digunakan dalam produksi etanol adalah dari jenis
Khamir. Khamir yang sering digunakan dalam produksi etanol adalah dari spesies
Saccharomyces cerevisiae. Jenis khamir ini sering digunakan karena dapat
memproduksi etanol dalam konsentrasi tinggi. Khamir dapat toleran terhadap alkohol
yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif
melakukan fermentasi pada suhu 4-32oC (Purwani et al, 2007).
Suatu reaksi agar berlangsung lebih cepat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah temperatur dan pH. Pada penelitian ini, ingin mengetahui kinetika
reaksi yang terjadi pada fermentasi bioetanol, dengan beberapa parameter kinetika
tersebut dibuat tetap yaitu, temperature 30 C dan pH proses fermentasi dijaga pada pH
4. Sehingga dapat diketahui persentasi hasil reaksi yang merepresentasikan cepat
lambatnya reaksi tersebut berlangsung. Kinetika reaksi ini menjadi dasar penting untuk
mendapatkan bioetanol dalam jumlah maksimum.

Metode Penelitian
Bahan (sub bab ditulis cetak miring dengan huruf besar di awal kata, berjarak 1
spasi dari judul bab)
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian kali ini, antara lain limbah cair
tahu Cibuntu, Potato Dextrose Broth (Sigma Aldrich), Natrium agar (Sigma Aldrich),
Saccharomyces cereviseae, NaCl (Merck), Etanol 99,8 % (Merck), HCl 3 % (Merck),
H2SO4 pekat (Merck), KI 20 % (Merck), NaS2O3 0,1 N dan 0,005 N (Merck), Amilum
0,2 % (Merck), larutan Luff Schoorl, NaOH 30 % (Merck), larutan Shaffer-Somogyi,
K2C2O4 (Merck), K2Cr2O7 (Merck), HclO4 65 % (Merck), Aquadest. Alat-alat yang
digunakan pada penelitian kali ini, antara lain alat-alat gelas laboratorium (Pyrex),
jarum inokulasi, pipet mikro 1 ml, pembakar spiritus, kapas bebas lemak, autoklaf,
inkubator, incubator shaker, laminar air flow, spektrofotometer UV-Vis U-2800
(Shimadzu).

Metode
Pada penelitian ini, prosedur penelitian yang digunakan yaitu tahap pengambilan
sampel, tahap menyiapkan medium, peremajaan khamir Saccharomyces cereviceae,
pembuatan starter fermentasi, optimasi mikroba ke dalam limbah cair tahu, tahap
pembibitan (seeding), pengukuran kadar karbohidrat dan glukosa dalam limbah cair
tahu, proses hidrolisa karbohidrat, proses pengukuran kadar glukosa setelah hidrolisa,
proses fermentasi glukosa dan tahap analisa bioetanol.

370
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hasil dan Pembahasan


Tahap Optimasi Pertumbuhan S. Cereviseae dalam Limbah Cair Tahu.

Dari data yang telah diperoleh pada tahap optimasi, penambahan dan pertumbuhan
jumlah sel mikroba dapat digambarkan dalam bentuk kurva pertumbuhan sebagai
berikut:

Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Khamir S. Cereviseae untuk 100 % Limbah Cair tahu

Kurva pertumbuhan suatu mikroba merupakan gambaran dari fase


pertumbuhan secara bertahap sejak awal hingga berhenti mengadakan aktivitas.
Dari data yang telah diperoleh, pada 0 jam sampai 8 jam menandakan terjadinya fase
lag. Pada fase lag, terjadi proses aklimatisasi. Aklimatisasi merupakan proses
pengadaptasian mikroba yang telah dikembangbiakan terhadap lingkungan yang baru.
Selama fase lag, perubahan bentuk dan pertumbuhan jumlah mikroba tidak
terlihat secara jelas karena sedang terjadi penyesuaian untuk suatu
aktivitas di dalam lingkungan yang baru. Setelah mikroba dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang baru, maka mikroba tersebut mulai mengadakan perubahan
bentuk dan meningkatkan jumlah individu (sel) sehingga kurva meningkat dengan
tajam (menanjak).
Konsentrasi sel mengalami peningkatan mulai dari 8 jam sampai 32 jam. Keadaan
ini merupakan fase dimana mikroba mengadakan perubahan bentuk dan meningkatkan
jumlah individu (sel) sehingga dapat dilihat pada kurva pertumbuhan yang meningkat
tajam. Fase ini disebut sebagai fase log atau fase eksponensial atau logaritmik. Pada
fase logaritmik laju pertumbuhan sel mencapai maksimum. Fase ini harus diimbangi
dengan banyak faktor, antara lain faktor biologis, yaitu bentuk dan sifat mikroba
terhadap lingkungan yang ada serta faktor non-biologis yaitu kandungan nutrien di
dalam media, suhu, kadar oksigen, pH dan sebagainya. Dengan pertumbuhan sel yang
mantap, maka laju pertumbuhan spesifik, komposisi sel tetap, sedangkan komposisi

371
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

kimiawi media biakan berubah akibat terjadinya sintesis produk dan penggunaan
substrat.
Menjelang 48 jam saat substrat atau persenyawaan tertentu yang diperlukan
pertumbuhan dalam media biakan mulai mendekati habis dan terjadi penumpukan
produk-produk penghambat, maka terjadi penurunan laju pertumbuhan. Keadaan ini
disebut sebagai fase stasioner, fase saat ketika konsentrasi biomassa mencapai
maksimal. Pertumbuhan berhenti dan menyebabkan terjadinya modifikasi struktur
biokomiawi sel. Fase ini merupakan fase saat mikroba yang mampu bertahan hidup,
kemudian beberapa mikroba sudah tidak melakukan pertumbuhan lagi.
Setelah melewati tahap minimum, kemudian pada 52 jam sampai 56 jam, mikroba
mengalami penurunan yang ditandai oleh berkurangnya jumlah sel hidup dalam media
akibat terjadinya kematian (mortalitas). Fase ini disebut sebagai fase kematian. Faktor-
faktor yang yang dapat menyebabkan terjadinya fase kematian sehingga mengakibatkan
berhentinya pertumbuhan mikroba antara lain:
1. Penyusutan konsentrasi nutrisi yang dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroba
karena habis terkonsumsi.
2. Terbentuknya produk akhir metabolisme yang menghambat pertumbuhan
mikroba karena terjadinya inhibisi dan represi.

Tujuan dari optimalisasi petumbuhan mikroba dalam limbah cair tahu ini adalah
untuk mendapatkan grafik pertumbuhan mikroba pada jam yang optimal. Berdasarkan
data grafik pertumbuhan tersebut, Saccharomyces cereviceae mampu mengadakan
pertumbuhan dari 8 jam dan meningkatkan jumlah sel dengan baik sampai 32 jam. Data
grafik pertumbuhan Saccharomyces cereviceae ini akan dipergunakan sebagai acuan
untuk proses fermentasi bioetanol.
Tahap Analisa Persentase Bioetanol yang Dihasilkan dari Proses Hidrolisa dan
Fermentasi
Tahap pengukuran kadar etanol adalah menggunakan metode spektrofotometri.
Pemilihan metode ini karena analisisnya cepat untuk penentuan etanol dalam sampel
yang tersedia dalam jumlah yang sangat kecil dan / atau ditingkat beralkohol rendah.
Prinsip metode ini adalah kemampuan penentuan spektrofotometri dari jumlah dikromat
yang dikonsumsi. Kromium (VI), dalam asam perklorat, bereaksi secara kuantitatif
dengan etanol untuk membentuk kromium (III) dan asam asetat. Reaksi selesai dalam
waktu sekitar 15-20 menit pada suhu kamar dan kromium (VI) yang dikonsumsi dapat
ditentukan dengan mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 267 nm.

372
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 2. Hubungan antara Bioetanol yang Dihasilkan dari Limbah Cair Tahu dengan
Waktu

Dari grafik tersebut terlihat perolehan etanol mengalami kenaikan seiring


bertambahnya waktu. Persentase etanol terbanyak yang terbentuk sebesar 30,18%
diperoleh pada 32 jam. Dengan melihat grafik, maka tingkat dari reaksi (orde reaksi)
pembentukan etanol melalui proses fermentasi ini dapat ditentukan. Tingkat reaksi atau
orde reaksi menunjukkan hubungan antara perubahan konsentrasi pereaksi dengan
perubahan laju reaksi. Kelinieran pada grafik dapat dilihat dari koefisien korelasi atau
R2. Koefisien korelasi atau R2 dari grafik pengamatan adalah 0,998 atau 1. Nilai R2
mendekati 1 hal ini berarti bahwa, reaksi fermentasi etanol berorde satu.
Produksi bioetanol dari substrat gula oleh khamir Saccharomyces cereviceae hanya
melibatkan satu fase pertumbuhan dan produksi, pada fase tersebut glukosa diubah
secara simultan menjadi biomassa, etanol dan CO2. Harga k rata-rata dalam reaksi
fermentasi etanol ini adalah 7,79 10-7 s-1 . Pada reaksi orde satu, laju reaksi
berbanding lurus dengan konsentrasi pereaksi, hal ini telah dibuktikan melalui grafik di
atas.

Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa :
1. Limbah cair tahu memiliki potensi dan dapat digunakan sebagai bahan baku
produksi bioetanol. Melalui proses fermentasi glukosa menggunakan khamir
Saccharomyces cereviceae pada kondisi anaerob.
2. Kinetika reaksi fermentasi bioetanol dari limbah cair tahu mengikuti orde reaksi
satu. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien korelasi atau R2 dalam pengamatan
0,988 atau 1. Dimana laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi pereaksi.
Pada reaksi fermentasi yang berlangsung secara anaerob, orde reaksi ditentukan
oleh glukosa.

373
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

3. Pengukuran kadar etanol pada proses fermentasi dapat ditentukan dengan


menggunakan metode spektrofotometri. Kadar etanol yang dihasilkan pada
penelitian ini sebanyak 30,18%. Dengan laju reaksi pembentukan etanol sebesar
1,86 10-6 mg/mL.s-1. Dan konstanta laju reaksi rata-rata berdasarkan percobaan
adalah 7,79 10-7 s-1 .
Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai produksi bioetanol
dari limbah cair tahu, tetapi dengan sumber limbah produksi tahu yang berbeda,
misalnya limbah cair pada saat pemasakan, penyaringan atau penggumpalan tahu.
Sehingga perolehan karbohidrat untuk menghasilkan glukosa sebagai substrat
fermentasi dapat meningkat. Kemudian, etanol yang dihasilkan dilakukan
pengukuran juga menggunakan metode Gas Chromatrography (GC), sehingga dapat
diketahui validasi oleh metode spektrofotometrinya. Selain itu, perhatikan pula faktor
lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan Saccharomyces cereviceae.

Daftar Pustaka
Astuti, A.D., Wisaksono, W. dan Nurwini, A.R., 2007. Pengolahan Air Limbah
Tahu Menggunakan Bioreaktor Anaerob-Aerob Bermedia Karbon Aktif
Dengan Variasi Waktu Tunggal. Jurnal Teknologi Lingkungan, 4(2), 30-35
Kaswinarni, F., 2007. Kajian Teknis Pengolahan Limbah Padat dan Cair Industri
Tahu. Jurnal Ilmu Lingkungan, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas
Diponegoro Semarang.
Purwani, Aunur Rofiq Mulyarto, dan Nur Hidayat., 2007. Simulasi Model Produksi
Etanol dari Molase oleh Saccharomyces cereviceae pada Kultur Batch. Jurnal
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas
Brawijaya Malang.
Richana, N., 2009. Fermentasi, Pengembangan Produk dan Teknologi Proses. Jurnal
Bioetanol, Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Sintawardani, N., 13 Februari 2010. Energi Tidur Siap Dibangkitkan di Kota
Bandung. Pikiran Rakyat, Halaman 2.

374
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
Dan Lingkungan Untuk Kesehatan

POSTER

375
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Uji Adsorpsi Titanium Dioksida Terhadap Metil Orange


Yustinus Purwamargapratala1, Diah Widiyaningsih2, Hanafi3
Badan Tenaga Nuklir Nasional, Serpong 1)
Akademi Kimia Analis Bogor 2),3)
Email : pratala_yustinus@yahoo.com

ABSTRAK

Metil orange merupakan salah satu pewarna tekstil yang bersifat toksik dan sebagai
sumber pencemar lingkungan. Titanium oksida dapat berfungsi sebagai adsorben pencemar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unjuk kerja adsorpsi titanium oksida terhadap
metil orange. Pada penelitian ini dilakukan penentuan kondisi optimum adsorpsi seperti pH,
waktu adsorpsi, efektivitas adsorpsi titanium dioksida, rasio massa adsorben terhadap
adsorbat, pH, waktu adsorpsi, dan laju pengadukan. Analisis dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer ultraviolet-tampak dengan panjang gelombang maksimum
metil orange pada 466,4 nm. Pengamatan juga dilakukan menggunakan Fourier Transform
Infrared Spectroscopy (FTIR) dan Scanning Electron Microscopy (SEM). Hasil analisis
spektrofotometer ultraviolet-tampak LAMDA25 pada rentang 2-10 ppm metil orange
dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,9997. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
kondisi optimum proses adsorpsi adalah pH 1, waktu adsorpsi 10 menit, laju pengadukan 50
rpm, didapatkan nilai efisiensi 53,37 % dan kapasitas adsorpsi 4,8939 mg/g Konfirmasi
identitas dengan FTIR dan hasil analisis SEM menunjukkan adanya adsorpsi terhadap metil
orange.

Kata Kunci : adsorpsi, titanium dioksida, metil orange

Pengantar
Salah satu limbah industri tekstil adalah limbah pewarna yang tidak terserap
sempurna. Apabila pembuangan air limbah ini kurang tepat, maka akan mengakibatkan
pencemaran lingkungan. Pewarna sintetik, padatan tersuspensi dan zat organik terlarut
merupakan bahan berbahaya yang sering ditemukan dalam limbah tekstil. Selain adanya
warna yang tidak diinginkan dari limbah tekstil, beberapa pewarna dapat terdegradasi
dan menghasilkan produk karsinogenik dan beracun. Selain itu limbah yang berwarna
berpotensi mengurangi masuknya cahaya matahari dan mencegah fotosintesis. Hal ini
akan berakibat menurunnya kualitas perairan disekitar indusrti, dan makhluk hidup
yang tinggal di dalamnya akan mati karena kekurangan O2 atau terkontaminasi oleh
bahan beracun (WIDJAJANTI, et al, 2011.).
Zat warna yang digunakan diindustri tekstil umumnya terdiri dari kelompok
senyawa azo. Dominasi zat warna jenis ini di pasaran mencapai setengah dari zat warna
komersial yang diperdagangkan. Dari segi strukturnya, senyawa azo sangat bervariasi
hingga diketahui sedikitnya terdapat 300 jenis (ARIANTO,et al,2011.). Salah satu zat
warna yang mempunyai gugus azo adalah metil orange. Struktur molekul metil orange
dapat dilihat pada Gambar 1.

377
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 1. Struktur Molekul Metil Orange

Zat warna indikator metil orange merupakan zat warna anionik atau sering disebut
dengan zat warna asam, yang sangat berguna sebagai larutan indikator asam bagi
kepentingan analitik di berbagai laboratorium kimia. Zat warna metil orange secara
perlahan akan mencemari lingkungan sekitar laboratorium karena metil orange yang
bersifat toksik (WIDHI dan WORO,2003). Dalam dunia industri, metil orange
digunakan sebagai zat pewarna tekstil, sementara itu di laboratorium metil orange
digunakan sebagai indikator pada titrasi basa lemah dengan asam kuat, di mana trayek
pH metil orange berada di antara pH 3,1 (berwarna merah) sampai dengan pH 4,4
(berwarna orange-kuning) (DHAMAYANTI,et al,2005).
Metil orange merupakan salah satu jenis senyawaan zat warna azo yang berwarna
orange dan jika dilarutkan ke dalam air akan berwarna merah-kuning. Metil orange
merupakan salah satu pencemar organik yang bersifat non biodegradable karena
mengandung gugus azo.
Metil orange mempunyasi sistem kromofor gugus azo (-N=N-) yang berikatan
dengan gugus aromatik dan gugus sulfonat (WIDJAJANTI, et al, 2011.).
Limbah industri teksti berasal dari buangan pemasakan serat dan ukuran pabrik yang
memiliki sifat-sifat umum alkali tinggi, pewarnaan, BOD, temperature tinggi, dan
suspense padatan tinggi. Cara pengolahannya adalah dengan penetralan, pengendapan
zat kimia, perlakuan biologi aerasi atau filtrasi (SUGIHARTO, 2005).
Penanganan limbah ini bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya filtrasi,
flokulasi, penghilangan warna (decoloring), dan adsorpsi Freundlich. Namun cara yang
paling mudah diterapkan adalah cara adsorpsi Freundlich (WIDJAJANTI, et al, 2011).
Dalam penanganan limbah industri tekstil selain menggunakan adsorben biasanya
menggunakan bahan semikonduktor. Di antara bahan semikonduktor tersebut, Titanium
dioksida merupakan bahan yang paling banyak digunakan dalam proses fotodegradasi.
Kemampuan Titanium dioksida sebagai fotokatalis akan meningkat pada distribusi yang
merata pada padatan. Hal ini disebabkan oleh peningkatan efektifitas semikonduktor
suatu padatan pada ukuran partikel yang kecil atau dalam skala nanometer (UTUBIRA,
et al, 2006).
Menurut penelitian WIDJAJANTI (2011), variabel bebas yang digunakan untuk
mengadsorpsi metil orange (MO) atau bisa disebut juga dengan metil jingga adalah pH,
waktu adsorpsi dan konsentrasi pewarna dan konsentrasi pewarna ditentukan
menggunakan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 462,5 nm.
378
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Menurut penelitian HERALDY (2012) dapat dianalisis dengan spektrofotometer uv-


vis pada panjang gelombang 512 nm. Sedangkan menurut penelitian WIDHI (2003)
adsorpsi metil orange dapat dianalisis dengan spektroskopi uv-vis pada panjang
gelombang 460 nm.
Diantara beberapa logam fotokatalis, oksida titanium dilaporkan memiliki aktivitas
yang cukup besar dan efektif, selain murah dan non toksik. Dalam reaksi fotokatalis,
titanium dioksida dalam bentuk kristal anatase sebagai komponen aktif sedangkan
dalam bentuk rutile kurang menunjukkan aktifitasnya. Titanium dioksida dengan bentuk
kristal anatase dan rutile jika dikenai suatu sinar UV dengan < 385 nm untuk anatase
dan = 405 nm untuk rutile, akan menghasilkan spesies oksidator pada permukaannya.
+
Titanium dioksida merupakan spesies oksidator kuat yang ditunjukkan H pada
permukaannya. Oleh karenanya titanium dioksida mampu mengoksidasi spesies kimia
yang mempunyai potensi redoks yang lebih kecil. Pengurangan ukuran kristal berguna
- +
untuk menekan rekombinasi fotoeksitasi electron (e ) dan lubang (H ).
Beberapa faktor akan mempengaruhi aktivitas fotokatalist titanium dioksida, salah
satu yang terpenting adalah bentuk kristalnya. Untuk kepentingan pengolahan limbah,
dispersi titanium dioksida pada pengemban berpori (mesoporous material) memberikan
keuntungan lebih khususnya secara ekonomis. Aktivitas titanium dioksida
montmorillonit dapat dimanfaatkan untuk fotodegradasi zat warna dan pada
fotodegradasi senyawa organik dari limbah cair industri tekstil (FATIMAH dan
KARNA,2005.).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan titanium dioksida sebagai
pengadsorpsi metil orange pada kondisi optimum waktu adsorpsi, jumlah adsorben, laju
pengadukan.

Bahan, Alat, dan Metode


Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini antara lain titanium oksida produk
MERCK dan bahan uji kalium dikromat. Sedangkan peralatan yang digunakan antara
lain spektrofotometer UV-Visible PERKIN ELMER LAMDA 25, Analytical Scanning
Electron Microscopy JEOL JSM-6510LA, spektrofotometer serapan atom, pH Meter
Fisher Scientific, magnetic stirring, neraca analitik, Sentrifuge Hetrich EBA 20, dan
shaker
Metode
Preparasi dilakukan dengan membuat larutan induk metil orange 1000 ppm, larutan
induk metil orange 100 ppm, dan larutan deret standar metil orange dengan konsentrasi
2,4,6,8,dan 10 ppm.
Pengukuran sampel dilakukan dengan menetapkan kadar metil orange pada
beberapa variasi, kemudian diukur secara spektrofotometer pada panjang gelombang
446,4 nm. Variasi yang dilakukan antara lain variasi jumlah adsorben, pH, waktu
adsorpsi, dan kecepatan pengadukan. Masing-masing variasi diukur konsentrasinya
sehingga diketahui nilai effisiensinya dan kapasitas adsorspsi dari titanium dioksida.
Selain itu dilakukan juga uji pendukung seperti, konfirmasi identitas menggunakan

379
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

FTIR dan karakterisasi metil orange yang terjerap pada titanium dioksida menggunakan
SEM.

Hasil dan Pembahasan


Efektivitas titanium dioksida dapat diketahui melalui nilai effisiensi yang dihasilkan.
Sedangkan kapasitas adsorpsi dilihat untuk mengetahui banyaknya metil orange yang
diserap oleh banyaknya jumlah titanium dioksida yang digunakan.
Pembuatan kurva linieritas metil orange dilakukan untuk membuktikan adanya
hubungan linier antara konsentrasi analit dengan respon alat, yaitu dengan mengukur
absorbansi larutan deret standar metil orange pada konsentrasi 2,4,6,8, dan 10 ppm
menggunakan spektrofotometer UV-vis pada panjang gelombang 466,4 nm. Kurva
linieritas dapat ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Kurva Linieritas Metil Orange.

Berdasarkan hasil pengukuran kalibrasi metil orange berada pada rentang (0-10)
ppm dengan absorbansi 0-0,7753 diketahui koefisien korelasi sebesar 0,9998
menunjukkan bahwa metode ini dapat dilakukan untuk analisis sampel selanjutnya.
Pengaruh variasi jumlah titanium dioksida pada rentang (0,025-0,150) gram
terhadap efektivitas dan kapasitas adsorpsi metil orange konsentrasi 6 ppm
diperlihatkan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

380
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 3 a. Pengaruh Jumlah Adsorben Terhadap Efektivitas Adsorpsi.

Gambar 3 b. Pengaruh Jumlah Titanium Dioksida Terhadap Kapasitas Adsorpsi.

Gambar 3. memperlihatkan grafik dari nilai efektivitas dan kapasitas adsorpsi


terhadap variasi jumlah adsorben titanium dioksida. Dari gambar tersebut diketahui
perbedaan jumlah adsorben yang optimum antara nilai efektivitas dan kapasitas
adsorpsi. Nilai efektivitas dipilih pada saat jumlah adsorben yang optimum sebesar
0,075 gram, sedangkan pada kapasitas adsorpsi jumlah adsorben yang optimum sebesar
0,025 gram. Semakin besar jumlah adsorben yang digunakan maka nilai kapasitas
adsorpsi yang dihasilkan akan semakin kecil. Berdasarkan nilai effisiensi maka
diketahui perbandingan antara jumlah adsorben dengan zat warna metil orange sebesar
0,075 gram:100 mL. Sedangkan berdasarkan kapasitas adsorpsi, perbandingan rasionya

381
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

adalah 0,025 gram:100 mL. Pada percobaan ini jumlah adsorben optimum yang
digunakan adalah berdasarkan nilai efektivitas optimum karena daya serap yang
dihasilkan sudah cukup stabil.
Pengamatan pengaruh pH dilakukan pada rentang pH 1-10 dengan jumlah titanium
dioksida 0,075 gram, dengan konsentrasi zat warna metil orange sebesar 6 ppm. Hasil
pengukuran menggunakan spektrofotmeter UV-vis ditunjukkan pada Gambar 4 a dan 4
b.

Gambar 4 a. Pengaruh pH Metil Orange Terhadap Efektivitas Adsorpsi Metil Orange Oleh
Titanium Dioksida

Gambar 4 b. Pengaruh pH Metil Orange Terhadap Kapasitas Adsorpsi Metil Orange Oleh
Titanium Dioksida

382
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Berdasarkan grafik tersebut semakin besar pH maka memiliki kecenderungan


efektivitas dan kapasitas adsorpsinya menurun. Penelitian sebelumnya menunjukan
bahwa permukaan sorben mengalami protonasi di pH rendah dan terdeprotonasi di pH
tinggi. Reaksi protonasi dan deprotonasi SOH dapat dinyatakan oleh persamaan berikut:
Pada pH rendah:

SOH + H+ SOH2+

Pada pH tinggi:

SOH + O SO + H2O (WIDJAJANTI, 2011)

Dalam percobaan ini pH yang memiliki nilai efektivitas dan kapasitas adsorpsi
tertinggi terjadi pada pH 1, artinya permukaan titanium dioksida mengalami reaksi
protonasi atau permukaan titanium dioksida memiliki situs aktif SOH2+. Menurut
SEPTINA (2007), titanium dioksida merupakan spesies oksidator kuat yang
+
ditunjukkan H pada permukaannya.
Variasi waktu adsorpsi dilakukan pada rentang waktu 5-30 menit dengan kondisi
jumlah titanium dioksida 0,075 gram, pH 1 dan konsentrasi metil orange 6 ppm. Hasil
pengukuran kadar metil orange menggunakan spektofotometer UV-visdiperlihatkan
pada Gambar 5.

Gambar 5 a. Pengaruh Waktu Pengadukan Terhadap Efektivitas Adsorpsi

383
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 5 b. Pengaruh Waktu Pengadukan Terhadap Kapasitas Adsorpsi.

Grafik nilai efektivitas dan kapasitas adsorpsi memperlihatkan bahwa semakin lama
waktu adsorpsi maka akan mengalami penurunan nilai efektivitas dan kapasitas
adsorpsi. Waktu adsorpsi yang optimum adalah pada menit ke-10, karena pada menit
tersebut relatif stabil dalam proses penyerapan metil orange. Sedangkan jika semakin
lama waktu kontak atau waktu adsorpsi maka titanium dioksida akan melepaskan
kembali partikel metil orange. Jika dibandingkan dengan adsorben lain dengan objek
yang sama yaitu metil orange, waktu adsorpsi ini termasuk lebih cepat dibandingkan
waktu adsorpsi zeolit menyerap metil orange. Hal tersebut dikarenakan titanium
dioksida juga memiliki kemampuan sebagai fotokatalis, maka waktu untuk adsorpsi
tidak terlalu lama.
Variasi kecepatan pengadukan dilakukan pada rentang 20-50rpm dengan kondisi
jumlah titanium dioksida sebesar 0,075 gram, pH 1, waktu yang digunakan selama 10
menit dan konsentrasi metil orange yang digunakan sebesar 6 ppm. Diperoleh hasil
pengukuran metil orange menggunakan spektrofotmeter Uv-vis yang ditunjukkan pada
Gambar 6.

384
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 6 a. Pengaruh Laju Pengadukan Terhadap Efektivitas Adsorpsi

Gambar 6 b. Pengaruh Laju Pengadukan Terhadap Kapasitas Adsorpsi


Hasil dari variasi kecepatan pengadukan tidak jauh berbeda seperti pada variasi
waktu adsorpsi. Pada kecepatan pengadukan awal, yaitu 20 rpm memiliki nilai
efektivitas dan kapasitas adsorpsi yang cukup besar akan tetapi pada saat kecepatan
pengadukan diubah menjadi 30 rpm nilainya mengalami penurunan. Namun pada
kecepatan pengadukan 40 rpm dan 50 rpm nilainya mengalami peningkatan secara
bertahap. Pada kecepatan pengadukan 20 rpm proses adsorpsinya belum stabil maka
pada saat kecepatan pengadukan ditambah mengalami penurunan. Jadi, dapat
disimpulkan kecepatan pengadukan yang memiliki nilai efektivitas dan kapasitas
adsorpsi pada kecepatan pengadukan di atas 50 rpm karena semakin besar kecepatan
pengadukan menghasilkan nilai effisiensi dan kapasitas adsorpsi cenderung bertambah.
385
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 7. Hasil Analisis Sampel Dengan FTIR.

Karakterisasi gugus fungsional secara kualitatif menggunakan spektrofotometer


FTIR dan hasilnya disajikan pada Gambar 7. Untuk spektra titanium dioksida-metil
orange terlihat bahwa serapan pada bilangan gelombang 3385,95 cm-1 karakteristik
untuk rentangan O-H regang dari H2O karena menggunakan pelarut air.
(UTUBIRA,2006). Serapan pada bilangan gelombang 1646,84 cm-1 seperti pada
literatur pita absorbsi pada rentang 1640 cm-1 merupakan vibrasi dari -N=N- (dari
garam diazo). (WIDJAJANTI, et al , 2011). Sedangkan serapan pada bilangan
gelombang 582,65 cm-1, spektra yang dihasilkan khas monosubstitusi benzena.
Morfologi titanium dioksida yang mengadsorpsi metil orange ditunjukkan
denga hasil uji SEM seperti pada Gambar 8. Gambar tersebut memperlihatkan pori-pori
yang terdapat pada titanium dioksida yang menjerap zat warna metil orange.

Gambar 8. Morfologi Titanium Dioksida Yang Mengadsorpsi Metil Orange

386
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kesimpulan
Hasil analisis spektrofotometer ultraviolet-tampak LAMDA25 pada rentang 2-10
ppm metil orange dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,9997. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa kondisi optimum proses adsorpsi adalah pH 1, waktu adsorpsi 10
menit, laju pengadukan 50 rpm, didapatkan nilai efisiensi 53,37 % dan kapasitas
adsorpsi 4,8939 mg/g Konfirmasi identitas dengan FTIR dan hasil analisis SEM
menunjukkan adanya proses adsorpsi terhadap metil orange.

Daftar Pustaka
ARIANTO, FAJAR., AGUS SUBAGIO, dan IIS NURHASANAH. 2011.
SintesisNanokomposit Titanium dioksida-Carbon Nanotubes
MenggunakanMetode Sol-Gel untuk Fotodegradasi ZatWarnaAzo Orange
3R. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi vol
DHAMAYANTI, YUNI., KARNA WIJAYA dan IQMAL TAHIR. 2005.
Fotodegredasi Zat Warna Methyl Orange Menggunakan Fe2O3-
Montmorillonit dan Sinar Ultraviolet, hlm.22-29. Proseding Seminar
Nasional DIES ke 50 FMIPA UGM.
FATIMAH, IS. dan KARNA WIJAYA. 2005. Sintesis Titanium dioksida/ZEOLIT
Sebagai Fotokatalis Pada Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Secara
Adsorpsi-Fotodegradasi. Jurnal TEKNOIN vol 10: 257-267.
HERALDY, EDDY, et al. 2012. Studi Pendahuluan Pemanfaatan Limbah
Desalinasi Untuk Pembuatan Mg/Al Hydrotalcite-Like Sebagai Adsorben
Methyl Orange. Jurnal Bumi Lestari vol 12: 16-23.
SUGIHARTO. 2005. Dasar-dasar pengolahan air limbah. UI-PRESS. Jakarta.
UTUBIRA, YESLIA., KARNA WIJAYA, TRIYONO, dan EKO SUGIHARTO.
2006. Preparasi dan Karakterisasi Titanium dioksida-Zeolit Serta
Pengujiannya pada Degradasi Limbah Industri Tekstil secara Fotokatalitik.
Indo. J. Chem vol 3: 231 237.
WIDHI MAHATMANTI, F. dan WORO SUMARNI.2003. Kajian Termodinamika
Penyerapan Zat Warna Indikator Metil Oranye (MO) dalam Larutan Air
Oleh Adsorben Kitosan. JSKA vol VI: 1-19.
WIDJAJANTI, ENDANG., REGINA TUTIK P., dan M.PRANJOTO UTOMO.
2011. Pola Adsorpsi Zeolit Terhadap Pewarna Azo Metil Merah dan Metil
Jingga, hlm. 115-122. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan
Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas N

387
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Koleksi Kultur In Vitro Ubi Kayu (Manihot Esculenta


Crantz) Sebagai Material Perakitan Bibit Unggul

N. Sri Hartati, Nurhamidar Rahman, Hani FItriani, Enny Sudarmonowati


Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
Jl Raya Bogor Km 46 Cibinong 16911
Email: Hartati12@yahoo.com

ABSTRAK

Penyediaan bibit ubi kayu unggul sangat diperlukan untuk memenuhi produksi ubi kayu
nasional sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri. Teknik kultur in vitro dapat
diaplikasikan untuk propagasi bibit ubi kayu unggul maupun untuk penyediaan material
tanaman guna pemuliaan lebih lanjut. Pada penelitian ini telah dilakukan pengembangan
koleksi kultur in vitro 10 genotip ubi kayu unggul (Apuy, Iding, Kristal Merah, Mentega 1,
Mentega 2, Manggu, Roti, dan Ubi Kuning) dan varitas unggul nasional (Adira 1 dan Adira
4). Optimasi metoda sterilisasi meliputi jenis dan variasi waktu perendaman dalam sterilan
serta sumber eksplan (asal koleksi lapang dan rumah kaca) juga dilakukan untuk
memperoleh metoda sterilisasi yang optimum. Jenis ubi kayu yang paling responsif pada
sterilisasi eksplan dalam hal rendahnya tingkat kontaminasi eksplan (30%) maupun
persentase eksplan membentuk tunas (70%) adalah Iding jika dibandingkan dengan jenis ubi
kayu lainnya. Melalui optimasi metoda sterilisasi eksplan beberapa jenis ubi kayu, saat ini
telah diperoleh koleksi kultur in vitro delapan jenis ubi kayu tersebut yang dapat digunakan
sebagai material untuk perbaikan sifat lebih lanjut seperti induksi varian in vitro dan
irradiasi sinar gamma yang telah dilakukan diantaranya terhadap genotip Roti. Irradiasi sinar
gamma genotip Roti telah dilakukan dengan dosis 5, 10 dan 15 Gray (Gy) dimana pada dosis
10 Gy prosentase tingkat hidup eksplan adalah yang tertinggi (40%). Varian in vitro Roti
yang terjadi karena penggunaan zat pengatur tumbuh (ZPT) 6-Benzylaminopurine (BAP)
menghasilkan fenotipik tanaman yang berbeda dengan asalnya.

Kata Kunci: Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz), kultur in vitro, 6-Benzylaminopurine
(BAP), irradiasi sinar gamma

Pengantar
Perbaikan mutu genetik tanaman dapat dilakukan melalui berbagai cara baik secara
konvensional maupun non konvensional seperti seleksi in vitro, induksi mutasi dengan
sinar gamma. Teknologi mutakhir yaitu rekayasa gentika saat ini telah banyak
diaplikasikan untuk menghasilkan bibit tanaman unggul meiputi keunggulan dalam hal
produksi, nutrisi serta ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Metoda perbaikan
mutu tanaman secara non konvensional dapat dimanfaatkan dengan beberapa
keuntungan diantaranya dapat mengatasi hambatan kompatibilitas seluler, menyingkat
waktu yang dibutuhkan terutama untuk tanaman yang memiliki siklus hidup panjang.
Selain itu pada teknologi rekayasa genetika sumber gen untuk perbaikan genetik dapat
berasal dari spesies tanaman lain bahkan berasal dari organism lain. Sebagian besar
metoda pemuliaan tanaman non konvensional memanfaatkan teknik kultur jaringan baik

389
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

dalam seleksi maupun pemeliharaan tanaman. Dengan demikian teknologi dan koleksi
kultur in vitro sebagai cara dan bahan memegang peranan penting dalam pemuliaan non
konvensional.
Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) sudah sejak lama menjadi komoditas penting
baik untuk pangan maupun untuk industri berbahan baku pati. Saat ini produksi ubi
kayu secara nasional belum mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun
komoditas ekspor. Penyediaan bibit ubi kayu unggul dalam hal produksi maupun
ketahanan terhadap hama penyakit maupun stress abiotik.
Ubi kayu menjadi salah satu sumber pangan penting bukan hanya di Indonesia tetapi
juga di dunia. Lebih dari 500 juta penduduk dunia di negara-negara berkembang banyak
menanam ubi kayu di lahan sempit sebagai sumber pangan (Roca et al,1992). Menurut
Nweke et al. (2002), ubi kayu merupakan bahan pangan pokok terpenting kedua di
Afrika, dimana banyak petani berpenghasilan rendah menanam ubi kayu ini di lahan
marjinal dengan biaya murah dan dapat menghidupi lebih dari 300 juta orang di daerah
tersebut. Singkong (ubikayu) merupakan tanaman pangan non beras yang memiliki
kandungan gizi yang baik. Kandungan karbohidrat ubi kayu sebesar 34.7 gram/100g dan
mengandung protein 1.2 gram/100g (Soetanto, 2008).
Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengembangan agroindusti pangan non-
beras seperti ubikayu salah satu diantaranya adalah ketersediaan bahan baku pangan
lokal yang tidak kontinyu sehingga tidak dapat menjamin keberlanjutan industri
pengolahannya seperti pengolahan menjadi tepung cassava (Suryana, 2009). Dengan
semakin berkembangnya industri pengolahan ubi kayu sekarang ini, menuntut
penyediaan bahan baku ubi kayu dalam jumlah yang besar dan memenuhi kualitas yang
ditetapkan. Sehingga para petani sebagai produsen bahan baku industri membutuhkan
banyak bibit yang berkualitas untuk dapat memenuhi permintaan industri.
Strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan
teknologi modern yang dapat menunjang ketersediaan dan kontinuitas produksinya.
Pembudidayaan ubi kayu melalui teknik in vitro memberikan peluang untuk melakukan
perbanyakan secara masal. Keberhasilan perbanyakan secara in vitro ini akan
bermanfaat untuk menunjang kegiatan penelitian perbaikan tanaman. Selain itu juga
bermanfaat bagi penyediaan bibit tanaman untuk para petani ubi kayu dan pengusaha
bibit tanaman. Pada penelitian ini telah dilakukan percobaan mengenai pengembangan
bibit ubi kayu melalui penyediaan koleksi in vitro, induksi varian tanaman melalui
seleksi in vitro menggunakan zat pengatur tumbuh (ZPT) serta radiasi tunas in vitro
dengan sinar gamma.
Kalus embriogenik merupakan material yang ideal untuk propagasi tanaman maupun
untuk bahan transformasi genetik. Keberhasilan regenerasi melalui embriogenesis
somatik dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain formulasi media (sumber nitrogen
dan gula serta zat pengatur tumbuh) yang berbeda pada setiap tahap perkembangan
embrio somatik serta jenis eksplan yang digunakan (Purnamaningsih, 2002).
Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik umumnya memberikan keberhasilan
pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi. Eksplan yang digunakan dapat berupa
aksis embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil maupun hipokotil
(Purnamaningsih, 2002).Selama embriogenesis single sel berkembang menjadi
organisme multiseluler fungsional. Pada ubi kayu, induksi embriognesis telah
390
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

dilakukan terhadap beberapa genotip ubi kayu diantaranya Iding, Gebang, Roti dan
Adira 4 (Sudarmonowati et al., 2012).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metoda optimum untuk sterilisasi
beberapa genotip ubi kayu terpilih yang memiliki keunggulan baik dalam hal komposisi
nutrisi maupun produksinya, upaya perbaikan mutu genetik melalui induksi varian in
vitro dan radiasi.

Bahan dan Metode


Bahan
Bahan tanaman yang digunakan untuk percobaan induksi tunas aksiler bersakl dari
stek ubi kayu yang ditumbuhkan di baki plastik maupun yang berasal dari lapang
(Kebun Plasma Nutfah Puslit Bioteknologi LIPI).

Metode
Induksi tunas aksiler ubi kayu
Delapan jenis ubi kayu yang digunakan sebagai bahan percobaan yaitu Adira 4,
Iding, Kristal Merah, Manggu dan Mentega 1, Mentega 2, Roti dan Ubi Kuning yang
telah diidentifikasi memiliki potensi yang sangat baik. Bahan tanaman yang digunakan
sebagai eksplan yaitu ruas batang muda atau cabang sepanjang 12-15 cm dengan
jumlah buku 2-4 dan dilakukan sterilisasi permukaan. Eksplan dicuci dengan deterjen di
atas air mengalir selama kurang lebih 1 jam. Pembilasan dilakukan dengan
menggunakan air aquades steril sebanyak 2 kali. Setelah itu eksplan direndam dalam
larutan dithane 4 % lalu di shaker selama 1.5 jam. Tahapan selanjutnya adalah eksplan
di rendam sambil di kocok dalam larutan Clorox 5% selama 7 menit dan dibilas
sebanyak 5 kali dengan aquadest, setelah pembilasan selanjutnya eksplan di rendam
sambil di kocok dengan menggunakan Alkohol 70% dengan memvariasikan waktu
perendaman yaitu selama 7 menit (Metoda A) dan selama 10 menit (Metoda B) dan
dibilas dengan aquadest sebanyak 6 kali. Semua tahapan sterilisasi setelah perendaman
dengan benlate dilakukan didalam Laminar Air Flow. Eksplan ditanam dalam media
MS tanpa zat pengatur tumbuh.

Induksi kalus embriogenik dan regenerasi embrio somatik


Induksi kalus embriogenik dilakukan dengan mengkultur eksplan berupa leaf lobe
ubi kayu genotip Apuy pada beberapa jenis dan konsentrasi hormon yaitu: media MS
yang mengandung berbagai konsentrasi zat pengatur tumbuh picloram (5 -20 mg/L),
CuSO4 (5-10 M) dan glutamine (1-3 mM) yang dikombinasikan yang dikultur selama
2-4 minggu dalam keadaan gelap. Selanjutnya dilakukan induksi pembentukan embrio
somatik dengan mengsubkultur kalus embriogenik yang pada media MS dan MS
dengan menurunkan konsentrasi glutamin. Regenerasi embriosomatik dilakukan pada
media MS yang mengandung giberellic acid (GA3) atau yang dikombinasikan dengan
zeatin.
Induksi mutasi dengan radiasi sinar gamma
Radiasi sinar gamma dilakukan terhadap eksplan tunas in vitro ubi kayu umur 10
minggu., tiap variasi dosis digunakan 3 ulangan masing-masing 3 eksplan sehingga

391
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

jumlah. Dosis yang digunakan adalah 0, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50 Gray (Gy).
Pertumbuhan eksplan setelah radiasi seperti daya hidup, karakter morfologi eksplan,
tinggi, jumlah daun, dan jumlah akar dari eksplan hasil radiasi diamati setiap minggu
selama 2 bulan.

Induski varian in vitro


Eksplan ubi kayu yang ditanam pada media MS (Murashige & Skoog, 1962) tanpa
zat pengatur tumbuh selama 4 6 minggu hingga bertunas (tinggi tunas 4 7 cm).
Selanjutnya tunas in vitro tersebut ditanam pada media MS yang mengandung 0.5 mg/l
BAP. Eksplan yang tumbuh pada media MS+0.5 mg/l BAP selanjutnya diperbanyak
dengan cara memotong-motong ruas batang. Lama kultur pada media BAP adalah 2
bulan. Kultur tunas pada media BAP dilakukan selama 2 minggu 3 bulan. Selanjutnya
planlet diaklimatisasi pada media tanah: pasir: kompos (1:1:1). Setelah tanaman
berumur 3 bulan dipindahkan ke lapang dan diamati pertumbuhannya.

Hasil dan Pembahasan


Induksi tunas aksiler ubi kayu
Inisiasi kultur in vitro beberapa genotip ubi kayu telah dilakukan untuk memperoleh
tunas aksiler ubi kayu. Jenis atau genotip ubi kayu yang digunakan memiliki keunggulan
yaitu daya hasil tinggi (Adira IV, Manggu dan Kristal Merah), tinggi amilosa (Iding)
dan tinggi beta karoten (Mentega 1, Mentega 2) dan genotip Roti yang banyak disukai
karena rasanya yang enak. Pada percobaan sterilisasi permukaan terhadap eksplan
untuk memperoleh tunas in vitro dilakakukan variasi lama perendaman dalam alkohol
70% yaitu 7 menit dan 10 menit. Secara umum tunas aksiler kelima jenis ubi kayu
tersebut tumbuh pada hari ke 3 hingga hari ke 5 (Gambar 1.)
Pada pengamatan minggu ke 1 hingga minggu ke 7 diketahui tingkat kontaminasi
eksplan berkisar antar 30% (Iding) - 100% (Manggu), sedangkan persentase eksplan
membentuk tunas adalah 5% (Mentega 1) - 70% (Iding). Perbandingan metoda
sterilisasi berupa lamanya perendaman dalam alkohol yang dilakukan terhadap dua
genotip yaitu Iding dan Mentega menunjukkan bahwa metoda B (waktu perendaman
dalam alkohol lebih lama dibanding metoda B) menyebabkan persentase eksplan
membentuk tunas yang lebih sedikit bahkan 0% (pada Mentega 2) walaupun tingkat
kontaminasinya 0% (Tabel 1.). Metoda A lebih efektif dalam hal persentase eksplan
membentuk tunas. Namun demikian untuk genotip Manggu masih perlu dilakukan
optimisasi metoda sterilisasi untuk memperoleh tunas in vitro. Selanjutnya tunas in vitro
yang tumbuh dipelihara untuk multiplikasi (Gambar 2.).

392
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 1. Persentase eksplan bertunas dan tingkat kontaminasi kultur in vitro beberapa
genotip ubi kayu.
No Jenis/genotip Metoda Jumlah Persentase Persentase eksplan
sterilisasi eksplan kontaminasi bertunas
(%) (%)
1 Adira IV A 74 66.2 33.78
2 Iding A 20 30 70
B 20 95 5
3 Mentega 1 A 21 95 5
B 16 0 0
4 Manggu A 20 100 10
5 Kristal Merah B 32 93.75 6.25
6 Apuy A 30 81.39 15
7 Roti A 34 64.44 20
8 Mentega 2 A 40 60.4 25
9 Adira 1 A 32 52 27
10 Ubi Kuning A 18 50 50

Gambar 1. Inisiasi kultur in vitro genotip Iding (A) , Kristal Merah (B) dan Mentega (C).

393
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 2. Kultur tunas in vitro beberapa genotip ubi kayu, Adira IV (A), Apuy (B), Roti
(C).

Induksi kalus embriogenik dan regenerasi embrio somatik


Hasil yang diperoleh pada percobaan induksi kalus embriogenik adalah kalus
primary somatic embryo (PSE) fase nodular yang selanjutnya dapat digunakan untuk
induksi SSE yang umumnya lebih mudah jika digunakan sebagai material untuk induksi
FEC. Berdasarkan pengamatan pada minggu ketiga, media yang paling sesuai untuk
mendapatkan PSE ubi kayu Apuy adalah media PSEA yang ditandai dengan
terbentuknya kalus embriogenik fase nodular (Tabel 2.). Kalus ini kemudian disubkultur

394
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

ke media berikutnya yaitu media 1/2GDT. Media ini dimaksudkan untuk mendapatkan
Secondary Somatic Embryo (SSE) sebelum akhirnya mendapatkan Friable
Embryogenic Callus (FEC). Media PSEA merupakan media yang paling sesuai untuk
pembentukan kalus karena pada media ini 94.1 hingga 100% eksplan dengan semua
variasi ukuran dapat membentuk Kalus. Media ini juga paling sesuai untuk
pembentukan PSE dengan efisiensi tertinggi diperoleh dengan menggunakan ukuran
eksplan 1 3 mm (87,5 100% ) dibandingkan pada eksplan dengan ukuran 3 5 mm
dan >5 mm. PSE terbentuk ketika eksplan sekitar 2 3 minggu pada media PSEA
(Gambar 3).
Pada minggu keenam diperoleh kalus SSE yang bervariasi tahapan dan jenisnya
berupa compact embryo (CE), berupa single embryo (SE) dan kotiledon. Proporsi
terbesar jenis SSE adalah kotiledon (81.8%)dan pada Adira 4 adalah single embrio
(83.34%) (Gamabr 3). Kalus embriogenik tahapan PSE maupun SSE dapat digunakan
untuk percobaan lebih lanjut misalnya proliferasi maupun untuk keperluan transformasi
genetik.
Pada percobaan regenerasi kalus SSE genotip Roti pada media regenerasi yang
mengandung BAP dan tanpa BAP, somatic embrio menunjukkan perubahan. Kotiledon
pada media yang mengandung BAP, lebih cepat berkembang dibanding pada media
tanpa hormone (MS + arang aktif) (Gambar 10.). Hal ini terjadi karena zat pengatur
tumbuh kelompok sitokinin dapat memacu pertumbuhan dan pembentukan kuncup
daun.

Tabel 2. Persentase efisiensi Induksi primary somatic embryo (PSE) Apuy pada tiga jenis
media dan ukuran leaf lobe berbeda.
Ukuran leaf lobe, prosentase kalus dan kalus embriogenik yang
terbentuk
Genotip/Jenis 1-3 mm 3-5 mm >5 mm
media kalus Kalus kalus Kalus kalus Kalus
embriogen embriogenik embriogen
ik ik
PSE A 100 63.66 100 77.27 100 66.66
M4+10 0 0 0 0 0
0
CUSO4+10 pic
M4+5 CUSO4+ 0 0 0 0 0 0
10pic

Gambar 3. Induksi PSE (A) dan SSE, compact embryo (B) dan single embryo (C).

395
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Induksi Varian in vitro genotip Roti


Penambahan BAP sebanyak 0.5 mg/l pada media MS memberikan pengaruh
terhadap peningkatan jumlah tunas (1.20.45) dibanding pada media MS tanpa BAP
(2.20.45). Selain itu Roti yang merupakan ubi kayu hasil varian somaklonal
menunjukkan perbedaan morfologi dibanding tanaman kontrol baik ketika masih berupa
kultur in vitro maupun setelah ditransfer ke lapang (Gambar 4 dan 5) yang terlihat jelas
pada warna petiol, tulang daun dan batang. Adanya variasi diharapkan akan terjadi pula
perubahan sifat yang lebih baik.

Gambar 4. Induksi varian in vitro genotip Roti. Kultur in vitro pada media MS + 0.5 mg/l
BAP (A), aklimatisasi planlet varian in vitro (B) dan bibit ubi kayu varain in
vitro umur 2 bulan yang siap di transfer ke lapang.

Gambar 5. Variasi warna pucuk dan petiol genotip Roti varian in vitro (A) dan kontrol (B).

396
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Induksi mutasi genotip Roti dengan radiasi sinar gamma


Radiasi sinar gamma memberikan pengaruh terhadap daya hisup eksplan dan
karakter planlet seperti tinggi dan jumlah daun.. Radiasi pada dosis 5 10 Gy masih
terdapat planlet yang hidup (20 -40%). Akan tetapi pada dosis 15 50 Gy semua
tanaman mengalami nekrosis (layu) dan mati. Dosis 5 Gy menyebabkan kisaran tinggi
planlet dan jumlah daun yang lebih tinggi dibanding kontrol (Tabel 3). Adanya
perbedaan tinggi planlet pada tanaman hasil radiasi diharapkan mengindikasikan adanya
perubahan (mutasi) dan diharapkan sifatnya menjadi lebih baik. Selain perrubahan
kisaran tinggi, jumlah daun dan jumlah akar, pada sebagian kecil planlet yang diradiasi
dengan dosis 5 Gy ukuran ruas bukunya menjadi lebih pendek (Gambar 6.).

Tabel 3. Daya hidup dan karakter morfologi planlet in vitro hasil radiasi 2 bulan setelah
radiasi..
Dosis (Gy) Persentase tanaman Tinggi Jumlah daun Jumlah akar
yang hidup (%) (cm)
Kontrol (0) 100 1.5 3 14 6 15
5 40 26 14 3-6
10 25 24 1-2 15
15 0 - - -
20 0 - - -
30 0 - - -
40 0 - - -
50 0 - - -

Kontrol Radiasi

Gambar 6. Kultur in vitro genotip Roti hasil radiasi dosis 5 Gy.

397
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kesimpulan dan saran


Perbedaan metoda sterilisasi berupa perbedaan lamanya perendaman dalam alcohol
70% menyebabkan perbedaan persentase eksplan steril dan eksplan membentuk tunas.
Koleksi kultur in vitro sepuluh jenis/genotip ubi kayu sanagt bermanfaat untuk
digunakan sebagai bahan propagasi bibit unggul secara cepat dan untuk bahan
pemuliaan dengan metoda lain. Induksi varian terhadap kultur invtro baik dengan
menggunakan ZPT konsentrasi tertentu maupun radiasi sinar gamma dengan dosis
tertentu dapat menyebabkan perubahan morfologi tanaman dan diaharapkan terjadi pula
perubahan sifat agronomi yang lebih baik.

Daftar Pustaka
Nweke, FI., Spencer, SCD., Lynam, KJ. 2002. The Cassava Transformation. Africa
Best Kept Secret. Michigan State University Press, East Lansing:Michigan.
273p.
Pierik, R. L. M. 1987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publ.,
Netherlands. 344 p.
Purnamaningsih R. 2002. Regenerasi Tanaman melalui Embriogenesis Somatik dan
Beberapa Gen yang mengendalikannya. Buletin AgroBio 5(2): 51-58.
Roca,WM., Henry G., Angel F., Sarria R. 1992. Biotechnology Research Applied to
Cassava Improvement at The International Center of Tropical Agriculture
(CIAT).
Soetanto, N.E. 2008. Tepung Kasava dan Olahannya. Kanisius:Yogyakarta.
Suryana, A. 2009. Dukungan kebijakan pengembangan industri tepung cassava.
Prosiding Lokakarya Nasional: Akselerasi Industrialisasi Tepung Cassava
untuk Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional. BULOG dan Fakultas
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Jakarta.

398
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kualitas Air Pada Uji Pembesaran Larva Ikan Sidat (Anguilla


Spp.) Dengan Sistem Pemeliharaan Yang Berbeda

Tri Suryono1, Muhammad Badjoeri1 dan Hasan Fauzi1


1
Pusat Penelitian Limnologi-LIPI
Jln. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong, Bogor. 16911
Email: mbadjoeri@yahoo.com

ABSTRAK

Ikan sidat (Anguilla spp.) merupakan ikan bernilai ekonomis penting. Beberapa Negara
seperti Jepang, Korea dan Negara-negara di Eropa merupakan pangsa pasar ikan sidat yang
potensial. Penyebaran ikan ini di Indonesia sangat luas, salah satunya perairan Danau Poso
Sulawesi Tengah. Stok ikan sidat memiliki keterbatasan karena belum dapat
dikembangbiakkan dengan sistem budidaya, sehingga ketersediaannya sangat tergantung dari
alam. Sampai saat ini aktivitas perikanan terhadap ikan sidat adalah kegiatan pembesaran
sampai ukuran bernilai ekonomis. Penelitian dilakukan dari Mei-September 2012 di Pusat
Penelitian Limnologi LIPI. Tujuan penelitian untuk mengetahui kondisi kualitas air pada
sistem pemeliharaan yang sesuai untuk pembesaran larva ikan sidat. Pembesaran larva sidat
menggunakan dua sistem pemeliharaan, yaitu sistem bak air diam (kubus) dan bak air
mengalir (raceway) dengan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter
konduktivitas (p=0,047), Nitrit (p=0,004), Suhu (p=0,046), Pospat (p=0,049) serta Total
Pospat (p=0,032) menunjukkan perbedaan nyata pada dua system pemeliharaan tersebut.
Hasil analisis PCA menunjukkan pertumbuhan berat (W) dan panjang (L) larva sidat
dipengaruhi oleh konsentrasi DO, Suhu, TP, PO4 dan NH4. Rata-rata pertumbuhan panjang
larva sidat pada bak air diam 65,59 % (3,19 cm) sedangkan pada bak air mengalir 65,92 %
(3,25 cm). Rata-rata pertumbuhan berat larva sidat pada bak air diam 384,49 % (0,756 gr),
sedangkan pada bak air mengalir 412,72 % (0,796 gr). Hasil ini menunjukkan bahwa bak uji
air mengalir lebih baik untuk pemeliharaan atau pembesaran larva ikan sidat.

Kata Kunci: Kualitas air, ikan Sidat (Anguilla spp.), pertumbuhan dan bak uji

Pengantar
Sidat (Anguilla spp.) merupakan jenis ikan yang mempunyai siklus hidup bersifat
katadromus, yaitu berada di perairan darat dari mulai fase larva hingga mencapai
dewasa dan akan beruaya (bermigrasi) ke perairan laut untuk memijah, sehingga ikan
sidat memerlukan wilayah perairan yang sangat khusus. Sulawesi Tengah, khususnya
wilayah Poso memiliki potensi ikan sidat yang cukup tinggi didukung Teluk Tomini
yang cukup dalam serta keberadaan perairan darat yang luas, yaitu Danau Poso dan
Sungai Poso (Tesch 2003 dan McKinnon 2006). Beruayanya ikan sidat berhubungan
dengan musim dan umumnya diawal musim hujan. Intensitas ruaya juga dipengaruhi
oleh faktor arus sungai dan kondisi gelap-terang bulan. Sidat termasuk ikan karnivora
dan bersifat nocturnal (aktif pada malam hari), makanan alaminya berupa udang dan

399
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

kepiting (Crustacea), Cacing dan larva chironomide dan kerang-kerangan (molusca)


(Lukman, 2012).
Di beberapa negara, perikanan sidat merupakan aktivitas penting dan ikan sidat
adalah komoditas perikanan komersial, diantaranya Jepang, yang mana harga jual dan
tingkat konsumsi komoditas ini cukup tinggi (Affandi & Suhenda, 2003). Selain Jepang,
pangsa pasar sidat di luar negeri yang cukup terbuka, adalah Cina, Taiwan, Jerman,
Belanda, Perancis dan Denmark. Tingkat konsumsi sidat di negeri Jepang mencapai
100.000 ton/tahun sedangkan Taiwan 52.000 ton/tahun (Restu, 2006a).
Pengembangan sektor perikanan sidat di Indonesia memiliki peluang cukup besar
sehingga kebijakan pemerintah kedepan dapat dipertimbangkan menjadi prioritas, baik
perikanan tangkap untuk ukuran dewasa, penangkapan larva untuk ekspor, dan
pengembangan budidayanya. Kebutuhan sidat bagi konsumen luar negeri cukup besar,
selain dalam ukuran dewasa (silver eel), tetapi juga larvanya (yellow eel/glass eel).
Negara Jepang dan Korea Selatan membutuhkan larva sidat yang cukup besar.
Kegagalan budidaya sidat di Jepang, diantaranya adalah karena ketidakberhasilan
pemeliharaan larva (Tabeta, 2003). Kebutuhan larva untuk budidaya di Jepang mencapai
220 ton/tahun, dan untuk memenuhinya diantaranya diimpor dari Indonesia. Potensi
Indonesia untuk pengembangan budidaya sidat cukup besar, selain memiliki potensi
larva yang melimpah untuk kebutuhan benihnya, juga didukung ketersediaan lahan yang
luas dan memenuhi syarat, bahan baku pakan yang tersedia dalam jumlah besar, dan
didukung oleh kondisi iklim yang sesuai (Restu, 2006b). Perairan Poso salah satu
perairan yang memiliki potensi besar dalam menunjang pengembangan perikanan sidat
di Indonesia untuk masa yang akan datang.
Estimasi produksi sidat hasil tangkapan pada tahun 1970-an mencapai 22 54
ton/tahun, yang didasarkan pada jumlah alat tangkap yang terpasang di Sungai Poso
yang mencapai 20 25 unit dan dari hasil tangkapan per alat per malam (Sarnita, 1973).
Sidat-sidat yang tertangkap adalah sidat yang beruaya ke laut, hal ini karena alat
tangkap yang digunakan yaitu berupa perangkap Waya Masapi yang diarahkan ke
hulu sungai (Sutardjo & Machfudz, 1974). Berdasarkan data tahun 1990-1995, produksi
rata-rata sidat di perairan ini, pada puncak musim penangkapan yaitu antara bulan
Januari Juni (Musim hujan) berkisar antara 1,75 9,83 ton/bulan, atau rata-rata 5,50
ton/bulan atau mencapai 41,5 ton/tahun, pada tahun 1998 produksinya turun menjadi
30,5 ton dan pada tahun 2006 produksinya hanya mencapai 9,1 ton (Laporan Dinas
Perikanan DT II Poso; Tidak dipublikasikan).
Berdasarkan data-data di atas tampak adanya kecenderungan penurunan produksi
sidat dari Perairan Poso. Hal ini tampaknya terkait dengan penangkapan sidat yang tidak
memperhatikan aspek kelestarian, pada sisi lain perubahan-perubahan habitat baik pada
alur ruaya maupun di habitat-habitat pembesarannya terus terjadi. Penangkapan ikan
sidat dewasa, meskipun tidak secara aktif namun salah satu teknik yang diterapkan,
yaitu penggunaan alat tangkap Waya Masapih di outlet Danau Poso dapat mengancam
kelangsungan regenerasi sidat, karena sidat ditangkap adalah yang akan memijah ke
laut. Alat tangkap tersebut terpasang hampir menutupi sungai di muka Danau Poso,
sehingga jumlah sidat dewasa yang menghilir ke laut akan sangat terbatasi. Sementara
itu penangkapan larva sidat yang memasuki Muara Sungai Poso tampak berlangsung
intensif (Muchsin, 2002), meskipun penangkapan tersebut umumnya hanya untuk
400
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

kebutuhan konsumsi masyarakat setempat. Dengan demikian penangkapan sidat dewasa


di outlet Danau Poso dan penangkapan larva di muara Sungai Poso, pada saatnya nanti
akan menjadi aktivitas perikanan yang saling merugikan. Hal ini karena
keberlangsungan perikanan larva tergantung pada sidat besar yang menjadi calon
indukan yang memijah, demikian sebaliknya kelimpahan sidat dewasa akan tergantung
pada ketersediaan larva.
Selama ini, konsumen sidat dari luar negeri menyukai impor sidat dari Indonesia
dalam berukuran larva (benih) dibanding ukuran dewasa (konsumsi), karena lebih
murah dan lebih mudah transportasinya. Kondisi ini jika berlangsung terus menerus
akan mengancam produktivitas dan kelestarian ikan sidat di alam.
Pembesaran (pendederan) larva sidat merupakan salah satu tahapan budidaya
perikanan sidat, yaitu upaya pemeliharaan larva sidat dari fase glass eel menjadi fase
elver (benih). Pengetahuan dan informasi ilmiah tentang pembesaran larva sidat relatif
sedikit, sehingga pasokan larva untuk budidaya sidat harus diambil langsung dari alam
dengan kualitas larva yang beragam. Teknik pembesaran larva sidat masih belum
banyak dikuasai karena banyak kendala dan faktor-faktor yang mempengaruhinya,
khususnya kondisi kualitas air budidaya. Oleh karna itu perlu dilakukan penelitian uji
pembesaran larva sidat dan faktor fisika-kimia air yang mempengaruhinya.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas air pada sistem pemeliharaan
yang sesuai untuk pembesaran larva ikan sidat.

Bahan dan Metode


Bahan
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan
menggunakan bak uji berbentuk persegi empat berukuran 1 m x 1m x 0,8 m terbuat dari
terpal plastik, sedangkan bak yang lain berupa kolam yang beralir (raceway) terbuat
fiberglass (Gambar 1). Bibit ikan sidat (larva) berukuran rata-rata 4-5 cm dengan berat
berkisar antara 0,1 0,2 gram (Gambar 2) yang didapatkan dari Danau Poso, Sulawesi
Tengah. Tiap bak uji dibuat 3 buah sebagai ulangan. Sampel kualitas air diambil secara
kontinyu setiap 1 minggu sekali. Pengamatan pertumbuhan larva sidat dilakukan
dengan dengan mengukur pertambahan panjang dan berat larva sebanyak 30 ekor yang
diambil secara random setiap 1 bulan sekali. Larva sidat diberi pakan berupa larva
Chironomid beku, secara ad-libitum setiap hari pada pagi dan sore.

Bak pembesaran sistem air diam Bak pembesaran sistem air mengalir (raceway)

Gambar 1. Sistem pemeliharaan larva sidat untuk uji pembesaran

401
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 2. Larva ikan sidat (Anguilla marmorata) dari perairan Danau Poso]

Metode
Parameter fisika-kimia kualitas air yang diamati meliputi pH, suhu, padatan
terlarut total (TDS, total dissolve solid)), konduktivitas, oksigen terlarut (DO, Disolved
oxygen), ammonium, nitrit, nitrat, nitrogen total (TN), pospat total (TP), pospat (PO4),
dan total bahan organic (TOM, total organic matter). Alat dan metode yang digunakan
diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter fisika-kimia air yang diamati dan metode yang digunakan
No Parameter fisika-kimia air Satuan Alat dan metode
1 pH -
o
2 Suhu C
Eutech cyberson PC 300
3 Konduktivitas S/cm
4 Padatan terlarut total, TDS mg/l
5 Oksigen terlarut (DO) mg/l Hanna HI 9146
6 Nitogen total (TN) mg/l
7 Nitrit (NO2) mg/l
8 Nitrat (NO3) mg/l Spektrofotometer Shimadzu,
9 Ammonium (NH4) mg/l spectrofotometri
10 Pospat total (TP) mg/l
11 Pospat (PO4) mg/l
12 Bahan organik total (TOM) mg/l Titrimetri
Hasil dan Pembahasan
Hasil pengmatan kualitas air pada setiap bak uji larva sidat (Tabel 1) menunjukkan
kualitas fisika-kimia air pemeliharaan sidat menunjukkan masih dalam batas toleransi
untuk kehidupan ikan dan biota akuatik umumnya.
Konsentrasi oksigen terlarut dalam air antara bak uji air diam dan air mengalir
hampir sama kisarannya, kondisi ini sesuai dengan kebutuhan ikan sidat, dimana ikan
sidat mampu hidup dalam kondisi minim oksigen terlarut (hypoxia). Larva sidat mampu
bernafas selama 30 menit hanya dengan oksigen yang tersimpan dalam darahnya tanpa
mengambil oksigen dari luar. Konsentrasi oksigen terlarut rata-rata > 4 mg/l
menunjukkan kondisi yang dapat ditolerir oleh sebagian besar biota akuatik (ikan),
apabila konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan kurang dari 2 mg/l dapat
mengakibatkan kematian pada ikan (UNESCO,WHO, & UNEP, 1992).

402
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 1. Hasil analisis beberapa parameter kualitas air dan kondisi pertumbuhan larva
sidat pada dua bak uji yang berbeda.

Nilai konduktivitas merupakan gambaran kemampuan air dalam meneruskan aliran


listrik yang ditunjukkan dengan adanya garam mineral yang terkandung dalam air. Hasil
pengukuran kisaran nilai konduktivitas 1182,7 - 1723,6 S/cm (bak air diam) dan
872,53 -v1270,9 S/cm. Menurut Boyd, 1988 Kondisi tersebut masih dalam kisaran
perairan alami (20 - 1500 S/cm), semakin tinggi nilai konduktivitas di perairan
menunjukkan adanya bahan pencemar yang masuk.
Suhu yang sesuai untuk pemeliharaan larva ikan sidat pada suhu 20 - 29 oC, sehingga
kondisi suhu air bak uji masih dalam kisaran toleransi dan baik untuk pertumbuhan.
Kondisi suhu yang tinggi lebih dari 30 oC maupun kurang dari 10 oC dapat
mempengaruhi sensivitas larva sidat yaitu dapat menghilangkan lendir (mucous) pada
tubuh sidat dimana keberadaan lendir tersebut mengandung zat anti bakteri salah
satunya kelompok bakteri protease seperti Cathepsins L dan B. (Sidat kita, 2013).
Kisaran rata-rata nilai TDS dari hasil pengukuran bak uji air diam adalah 336,8 -
510,16 mg/l dan bak air mengalir rata-rata berkisar 260,01 - 473,8 mg/l. Nilai TDS
dalam perairan biasanya akibat adanya pelapukan batuan, limpasan dari tanah maupun
pengaruh aktivitas antropogenik, hasil pengukuran nilai TDS berasal dari pelapukan
subtract sedimen yang berupa tanah yang ditambahkan dalam kolam pecobaan. Kisaran

403
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

nilai TDS yang diperoleh menurut Mc Neely et al., (1979) juga berkaitan erat dengan
tingkat salinitas air yang digunakan yaitu agak payau (moderately saline).
Nilai pH hasil pengukuran baik bak uji air diam maupun air mengalir kondisinya
hampir sama yaitu rata-rata 5, sedangkan dari beberapa literature untuk pertumbuhan
yang optimal larva sidat kondisi pH air harus berkisar 7 - 8 dan sebagian besar biota
akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH dengan kisaran antara 7 - 8,5
(Novotny dan Olem, 1994). Kondisi pH 5 dari hasil pengukuran menunjukkan perairan
tersebut alkalinitasnya rendah sedangkan konsentrasi gas karbondioksida bebas
meningkat (MacKereth et al., 1989). Kondisi ini disebabkan oleh aktivitas metabolisme
mikroba dalam air dan pertukaran gas dipermukaan air.
Konsentrasi NO2 diperairan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup biota
akuatik. Nitrit diperairan alami biasanya ditemukan dalam jumlah sangat sedikit karena
sifatnya tidak stabil terhadap keberadaan oksigen terlarut. Sumber utama nitrit dalam
perairan adalah limbah hasil kegiatan antropogenik. Konsentrasi nitrit di perairan alami
berkisar antara 0,001 - 0,06 mg/l (Canadian Council of Resource and Environment
Minister, 1987). Konsentrasi nitrit lebih dari 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi
organisme akuatik yang sensitive (Moore, 1991). Rata-rata konsentrasi nitrit pada bak
uji air diam 0,04 - 0,1 mg/l dan pada bak uji air mengalir berkisar 0,02 - 0,03 mg/l.
konsentrasi hasil analisis lebih tinggi dari ketentuan yang ditolerir perairan alami tetapi
hal ini tidak membuat larva sidat mati karena sifat ikan sidat yang lebih tahan terhadap
kondisi perairan dengan konsentrasi oksigen minim. Konsentrasi nitrit pada bak air diam
lebih tinggi dari pada bak air mengalir hal ini disebabkan nitrit yang terkandung pada air
bak mengalir teroksidasi menjadi nitrat oleh oksigen yang masuk ke dalam air.
Nitrat merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrient
utama bagi pertumbuhan mikro algae, nitrat sangat mudah larut dalam air karena tidak
stabil sifatnya dan tidak bersifat toksik. Konsentrasi nitrat di perairan alami biasanya
kurang dari 0,1 mg/l. konsentrasi nitrat lebih dari 5 mg/l menunjukkan adanya
pencemaran dari aktivitas antropogenik. Hasil analisis nitrat pada bak uji air diam rata-
rata konsentrasi antara 2,91 - 3,75 mg/l lebih tinggi dari konsentrasi hasil analisis pada
bak air mengalir (1,84 - 2,9 mg/l) hal ini pada kolam air mengalir terdapat proses
oksidasi menjadi ammonia.
Konsentrasi ammonium merupakan sumber utama nitrogen di perairan selain nitrat
tetapi lebih banyak diserap oleh tumbuhan. Konsentrasi ammonium hasil analisis pada
bak air diam rata-rata berkisar 2,34 3,32 mg/l, sedangkan pada bak air mengalir lebih
rendah yaitu berkisar antara 0,99 1,44 mg/l karena adanya proses oksidasi oksigen
yang terdifusi ke dalam air. Menurut Sawyer dan McCarty (1978) konsentrasi
ammonium pada dasar kolam biasanya lebih tinggi dari permukaan dan pada perairan
yang minim oksigen (anoksik).
TN dalam perairan bersifat larut dan merupakan jumlah dari konsentrasi nitrogen
anorganik dan nitrogen organik yang berupa partikulat yang tidak larut dalam air
(Mackereth et al., 1989). Hasil analisis konsentrasi TN di bak air diam (7,42 - 8,17 mg/l)
lebih tinggi daripada konsentrasi TN bak air mengalir (3,69 - 5,9 mg/l).
Ortofosfat merupakan senyawa anorganik dari fosfor yang bisa ditemukan di alam
dan mudah larut dalam air, sehingga mudah dimanfaatkan oleh algae akuatik (Jeffries &
Mills, 1996). Sedangkan TP merupakan gambaran jumlah total fosfor baik
404
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

yangpartikulat maupun yang terlarut, organic maupun anorganik sehingga kedua


parameter tersebut digunakan untuk penilaian perairan yang memiliki kadar bahan
organic tinggi (Mackereth et al., 1989).
Konsentrasi fosfat dan TP dari dua perlakuan bak uji berturut-turut 0,18 - 0,19 mg/l
(bak air diam) dan 0,06 - 0,1 mg/l (bak air mengalir), sedangkan konsentrasi TP pada
bak air diam rata-rata berkisar 0,21 0,22 mg/l dan pada bak air mengalir 0,08 - 0,13
mg/l menunjukkan air bak uji sudah cenderung eutrofik (Wetzel, 1975).
Total organic matter (TOM) merupakan indicator pemakaian oksigen terlarut dalam
air untuk mengoksidasi bahan organic yang terlarut dalam air. Semakin tinggi
konsentrasi TOM maka semakin tinggi konsentrasi bahan organic (pencemar) yang ada
dalam air. Hasil analisi konsentrasi TOM dari bak air diam rata-rata konsentrasinya 6,74
- 7,46 mg/l sedangkan pada bak air mengalir konsentrasinya rata-rata berkisat 6,31 -
7,14 mg/l. lebih kecilnya konsentrasi TOM di bak air mengalir menunjukkan bahwa
akibat difusi oksigen dipermukaan membantu proses dekomposisi organic yang ada
dalam perairan berjalan lebih baik.
Berdasarkan parameter kualitas perairan tersebut setelah dilakukan uji t guna
menentukan pengaruhnya dalam hal perbedaan perlakuan bak uji (air diam dan air
mengalir) menunjukkan hanya beberapa parameter yang menunjukkan perbedaan antara
lain konduktivitas (p=0,047); nitrit (p=0,0035); TN (p=0,045); PO4 (p=0,049) dan TP
(p=0,032), sedangkan parameter yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
dari kedua perlakuan bak uji.
Hasil analisis PCA dengan software MVSP V.3.1. seperti ditunjukkan gambar 3.
Terhadap seluruh parameter yang dianalisis menunjukkan bahwa parameter
pertumbuhan larva sidat yang ditunjukkan symbol L (panjang) dan W (berat) sangat
dipengaruhi oleh keberadaan konsentrasi TP, PO4 dan NH4, sedangkan DO, suhu dan
pH berbanding terbalik pengaruhnya untuk beberapa bak uji baik air diam maupun air
mengalir.

Gambar 3. Grafik analisis PCA dari seluruh parameter.

405
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 2. Grafik PCA dari parameter kunci yang menunjukkan beda nyata dua perlakuan.

Hasil analisis PCA terhadap parameter kunci yang menunjukkan adanya perbedaan
nyata antara dua perlakuan bak uji dengan air diam maupun mengalir seperti
ditunjukkan pada gambar 2. Pertumbuhan larva sidat (L dan W) sangat dipengaruhi oleh
keberadaan fosfat (o-PO4) maupun total fosfor (TP), sedangkan nitrit, TN dan
konduktivitas berpengaruh secara nyata dalam membedakan dua perlakuan tersebut
tetapi kecil.
Perbedaan yang ditunjukkan oleh parameter TP maupun fosfat dari dua perlakuan
bak uji yang paling nyata adalah pengaruh pergerakan air di bak air mengalir
mempengaruhi pengadukan yang mengakibatkan unsure fosfor (PO4 dan TP) tetap
terlarut di kolom air dan sulit mengendap dibaningkan dengan bak air diam. Selain itu
aliran yang terjadi pada bak air mengalir mengakibatkan lebih meratanya difusi oksigen
dari udara sehingga dapat mengoksidasi beberapa parameter akibatnya rata-rata
konsentrasi beberapa parameter di bak air mengaklir lebih rendah.
Rata-rata pertumbuhan panjang larva sidat pada bak air diam 65,59 % (3,19 cm)
sedangkan pada bak air mengalir 65,92 % (3,25 cm). Rata-rata pertumbuhan berat larva
sidat pada bak air diam 384,49 % (0,756 gr), sedangkan pada bak air mengalir 412,72 %
(0,796 gr). Hasil ini menunjukkan bahwa bak uji air mengalir lebih baik untuk
pemeliharaan atau pembesaran larva ikan sidat. Hal ini diduga karena kondisi kualitas
air yang lebih baik pada bak pemeliharaan sistem air mengalir.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis terhadap beberapa parameter menunjukkan adanya
perbedaan nyata khususnya TP dan PO4 dalam pengaruhnya terhadap pertumbuhan
larva sidat, dimana kedua parameter ini dapat membantu pertumbuhan mikroalga yang
dapat dimanfaatkan oleh larva sidat sebagai pakan alami. Pertumbuhan larva sidat
dengan sistem pemeliharaan air mengalir lebih baik dibanding pada sistem air diam.

406
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar Pustaka
APHA 1995. Standard methods for the examination of water and wastewater. 19th Edition.
American Public Health Association/ American Water Work Association/Water
Environment Federation Washington. Dc. USA: 1100 pp.
Boyd CE. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn
University Agricultural Experiment Station. Alabama, USA. 359 p.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius, Yogyakarta. 258 p.
Goldman CR & Horne AJ. 1983. Limnology. Mc Graw Hill International Book Company.
New York. 464 p.
Lukman, 2012. Konsep Pengelolaan Perikanan Sidat di Perairan Poso Sulwesi Tengah.
Timbangan Ilmiah. Pusat Penelitian Limnologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Bogor. 48 hal.
Mackereth FJH, Heron J, & Talling JF. 1989. Water Analysis. Fresh Water Biological
Assosiation, Cumbria, UK. 120p.
McNeely RN, Nelmanis VP, & Dwyer L. 1979. Water quality source book. A guide to
water quality parameter. Inland Waters Directorate. Water Quality Branch. Ottawa.
Canada: 89 p.
Mc. Kinnon LJ., 2006. A review of eel biology : knowledge and gaps. EPA Victoria and
Audentes Investments Pty. Ltd.
Moore JW. 1991. Inorganic Contaminants of Surface Water. Springer-Verlag, New York.
334 p.
Sidat kita, 2013. Hal yang mempengaruhi kolam sidat.
http://sidatkita.blogspot.com/2011/06/hal-yang-mempengaruhi-kolam-sidat.
2/11/2013 10:14 AM.
Sidat kita, 2013. Cara budidaya sidat yang baik. http://sidatkita.blogspot.com/2011/07/cara-
budidaya-sidat-yang-baik.html. 2/11/2013 10:17 AM
Tesch FW. 2003., The Eel. 3rd Ed., Blackwell Publishing Company,

407
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daya Hidup dan Pertumbuhan Kultur In Vitro Ubi Kayu


(Manihot Esculanta) Genotip Ubi Kuning Hasil Radiasi
Nurhamidar Rahman*1, Supatmi1, dan Hani Fitriani1
1
Pusat Penelitian Bioteknologi - LIPI
Cibinong Science Centre, Jl. Raya Bogor KM 46, Cibinong 16911
Phone: +62 218754587, Fax: +62 218754587
Email: nurhamidarr@yahoo.com

ABSTRAK

Ubi Kuning merupakan salah satu genotipe ubi kayu yang memiliki kadar beta karoten
tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kekurangan vitamin A terutama bagi
masyarakat yang tinggal di daerah marginal. Oleh karena itu, diperlukan ketersediaan bibit
dalam jumlah banyak, seragam dan dalam waktu yang relatif singkat. Induksi mutasi melalui
irradiasi dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan tersebut. Kegiatan penelitian ini
dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan kandidat varian unggul ubi kayu hasil radiasi
yang diharapkan akan memiliki daya hasil dan kadar beta karoten tinggi. Metode yang
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut dibagi ke dalam 2 tahap yaitu (1) sterilisasi
eksplan dan induksi tunas in vitro dan (2) Irradiasi sinar Gamma (Co-60) yang menggunakan
5 variasi dosis, yaitu : 0, 5, 10, 15, 20 Gray (Gy). Parameter pertumbuhan yang diamati
meliputi tinggi, jumlah daun, jumlah nodus dan jumlah akar. Berdasarkan hasil analisis
Duncan diperoleh bahwa eksplan yang diradiasi dengan dosis 10 Gy memberikan respon
terbaik dalam hal pertumbuhan seperti rata-rata tinggi tanaman yang sama dengan tanaman
kontrolnya, yaitu mencapai 2,3 cm. Rata-rata jumlah daun, nodus dan akar terbanyak dari
kontrol juga terdapat pada dosis 10 Gy masing-masing sebesar 2,3; 2,7 dan 2.

Kata Kunci : Ubi Kuning in vitro, radiasi sinar Gamma

Pendahuluan
Ketela pohon (Manihot esculenta) merupakan tanaman pangan yang berbentuk perdu
dengan nama lain ubi kayu, singkong atau kaspe. Ubi kayu berasal dari Brazil kemudian
menyebar ke Afrika dan Asia termasuk ke Indonesia pada tahun 1852. Di Indonesia ubi
kayu menjadi bahan pangan pokok ketiga setelah beras dan jagung dengan sentra
produksi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Lampung (Anonim, 2000) dengan
produksi rata-rata nasional di tingkat petani termasuk rendah yaitu 12 ton/ha sementara
potensinya dapat mencapai 30 40 ton/ha (Iriani dkk,2007). Rendahnya produksi
disebabkan oleh banyak faktor antara lain penyakit pada ubi kayu yang dapat
menurunkan produksi 50 90 persen dan pada serangan berat menyebabkan tanaman
mati (Restrepo, Vadier, 1997). Fassehaie, et al. (1999) menyatakan bahwa pengendalian
dapat dilakukan menggunakan varietas tahan penyakit.
Sementara itu ubi kayu dapat diperbanyak dari tunas hasil kultur jaringan.
(Sudarmonowati, et al., 2002) dan untuk memperoleh varietas tahan penyakit ataupun
sifat unggul lainnya secara in vitro tunas dapat diperlakukan dengan mutagen fisik yang

409
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

bersifat radiasi pengion seperti radiasi sinar gamma, sinar beta, sinar X (Ahlowalia,
1997, IAEA, 1997; Van Harten, 1998).
Sinar Gamma yang berasal dari Cobalt-60 paling banyak dipakai karena mudah
diaplikasikan dan menghasilkan frekuensi mutasi yang tinggi (Rosi Nur Apriyanti,
2007). Radiasi dapat menginduksi terjadinya mutasi karena sel yang teradiasi akan
dibebani oleh tenaga kinetik yang tinggi, sehingga dapat mempengaruhi atau mengubah
reaksi kimia sel tanaman yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya perubahan
susunan kromosom tanaman (Poespodarsono, 1988) oleh karena sinar gamma adalah
energi bukan materi sangat menembus dan dapat menyebabkan kerusakan pada sel
binatang dan tumbuhan. Planlet yang memiliki daya hidup dan respon pertumbuhan
yang baik diharapkan merupakan kandidat varian unggul ubi kayu hasil radiasi contoh
pada tanaman umbi yaitu ubi kayu sedangkan pada tanaman hortikulura yaitu pisang,
cabai, bawang merah dan bawang putih. Tujuan penelitian ini adalah untuk daya hidup
dan pertumbuhan tunas ubi kuning in vitro yang diperlakukan dengan radiasi sinar
gamma.

Metoda Penelitian
Bahan Tanaman
Sumber eksplan yang di gunakan berasal dari Kebun Koleksi plasma nutfahUbi kayu
Puslit Bioteknologi LIPI. Eksplan yang digunakan adalah tanaman ubi kayu (Ubi
Kuning) yang ditumbuhkan di polibag dan dipelihara di rumah kaca sebanyak 36
eksplan, dan tanaman dari lapang sebanyak 10 eksplan. Setelah diperoleh kultur in
vitro steril maka tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah perlakuan radiasi.

Sterilisasi eksplan dan induksi tunas in vitro


Sumber eksplan yang diambil dari lapang di sterilisasi terlebih dahulu. Tahapan
sterlisasi adalah pertama-tama eksplan dipotong sepanjang 12-15 cm ( 3-5 tunas) lalu
dicuci dengan deterjen di bawah air mengalir selama kurang lebih 1 jam. Pembilasan
dilakukan dengan menggunakan aquades steril sebanyak 2 kali. Setelah itu direndam
dithane 4 % dan di shaker selama 1.5 jam. Tahapan selanjutnya dilakukan di dalam air
Laminar flow yaitu eksplan di rendam sambil di kocok terlebih dahulu menggunakan
Clorox 5 % selama 3 menit dan dibilas sebanyak 6 kali, dengan aquadest steril
selanjutnya eksplan di rendam sambil di kocok dengan menggunakan Alkohol 70 %
selama 3 menit dan dibilas sebanyak 6 kali dengan aquades steril. Induksi tunas
dilakukan pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh.

Irradiasi sinar Gamma


Radiasi dilakukan setelah eksplan berumur 8 minggu setelah tanam. Radiasi yang
dilakukan dengan menggunakan Iradiasi Gamma (Co-60), tiap variasi dosis digunakan
3 ulangan masing-masing 1 eksplan sehingga jumlah eksplan yang digunakan sebanyak
15 eksplan. Adapun dosis yang digunakan untuk eksplan yang diradiasi ada 5 variasi
dosis yaitu : 0, 5, 10, 15, 20 Gray (Gy). Pertumbuhan eksplan setelah radiasi seperti
daya hidup, karakter morfologi eksplan, tinggi, jumlah daun, dan jumlah akar dari
eksplan hasil radiasi diamati setiap minggu selama 2 bulan. Pertumbuhan LD50

410
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

didasarkan pada data daya hidup eksplan setelah 21 bulan pertumbuhan di ruang kultur
(Tangpong et al., 2009)

Hasil Dan Pembahasan


Pengamatan terhadap daya hidup eksplan Ubi Kuning pada 2 bulan setelah radiasi
didapatkan bahwa prosentase daya hidup terendah adalah eksplan yang di radiasi dengan
dosis 20 Gy sebesar 33 %, yang ditandai dengan karakter eksplan yang menguning dan
mati pada minggu kedua hingga ketiga lalu diikuti eksplan yang di radiasi dengan dosis
dengan dosis 15 Gy sebesar 67 %, yang ditandai dengan karakter eksplan berbentuk
roset hijau kekuningan (Tabel 1 dan Gambar 1a-1e). Sedangkan pada dosis 10 Gy daya
hidup eksplan adalah 100% dengan karakter eksplan yang terlihat hijau segar. Pada
perlakuan kontrol terlihat bahwa morfologi tanaman yang hijau kekuningan dan pada
minggu ketiga eksplan ada yang mengalami kontaminasi. Selain itu pada dosis yang
lebih rendah yaitu 5 Gy ada yang mengalami kontaminasi bakteri pada minggu ketiga.

Tabel 1. Daya Hidup eksplan Ubi Kuning in vitro pada umur 2 bulan setelah iradiasi
Dosis Eksplan yang Karakter eksplan (Warna) Jarak antar nodus
hidup (%)
0 100 hijau kekuningan Sedang
5 100 Hijau Sedang
10 100 Hijau Sedang
15 67 Hijau kekuningan Sangat pendek (Roset)
20 33 Kurus Sangat pendek

Gambar 1. Morfologi Ubi Kuning in vitro umur 2 bulan setelah radiasi a. Kontrol; b. Dosis
5 Gy; c. Dosis 10 Gy; d. Dosis 15 Gy; e. Dosis 20 Gy.
Untuk mengetahui hubungan antara dosis radiasi dan daya hidup eksplan Ubi
Kuning hasil radiasi maka dilakukan analisis korelasi antara kedua parameter tersebut.

411
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Penentuan LD50 didasarkan pada data daya hidup eksplan setelah 2 bulan di ruang
kultur (Tangpong et al, 2009). Grafik eksponensial yang terbentuk lalu ditarik garis
tegak lurus sumbu xy untuk mendapatkan titik pertemuan kedua sumbu [y = 50%
(LD50)] (Gambar 2). Dari grafik terlihat bahwa hasil uji dosis LD50 Ubi Kuning in vitro
setelah diradiasi selama 2 bulan didapatkan bahwa eksplan mengalami daya hidup yang
lebih tinggi diatas 50% pada range dosis 017.5 Gy. Sedangkan persentasi eksplan yang
mati lebih dari 50% ada pada dosis > 17.5 Gy. Hal ini menunjukkan bahwa tunas Ubi
Kuning in vitro memiliki daya hidup yang tinggi diatas 50% jika diradiasi pada range
dosis 0-17.5 Gy sedangkan lebih dari itu kemungkinan akan mati.

Gambar 2. Hubungan antara dosis radiasi dan daya hidup eksplan ubi kuning in vitro pada
umur 2 bulan setelah radiasi.
Selain dari daya hidupnya, pengaruh radiasi dapat dilihat lebih jauh berdasarkan
tingkat mutasi yang dihasilkan, meskipun mutasi yang diharapkan adalah mutasi yang
menimbulkan karakter yang lebih baik dari kontrol. Dari hasil pengamatan morfologi
eksplan setelah 2 bulan diruang kultur terlihat bahwa dosis 15 Gy dan 20 Gy mengalami
perubahan fenotifik yang ditandai dengan pertumbuhan eksplan yang kerdil pada dosis
15 Gy dan batang berwarna merah namun kurus mengering pada eksplan dengan dosis
20 Gy jika dibandingkan dengan kontrol (Tabel 2). Dari pengamatan morfologi eksplan
yang mengalami mutasi disimpulkan bahwa meskipun eksplan dengan dosis 15 dan 20
Gy masih tetap bertahan hidup namun mutasi yang dihasilkan tidak sesuai yang
diharapkan yaitu pertumbuhan yang kerdil dan batang yang kecoklatan dan mengering.

412
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 2. Rata-rata eksplan Ubi Kuning hasil radiasi in vitro yang mengalami mutasi.
Dosis Jumlah Eksplan Kerdil Petiol Merah
0 3 - -
5 3 - -
10 3 - -
15 3 0,33
20 3 0,33

Pertumbuhan eksplan Ubi Kuning pasca radiasi yang meliputi tinggi, jumlah daun,
jumlah nodus dan jumlah akar hasil radiasi in vitro juga diamati setelah 2 bulan di ruang
kultur (Tabel 3). Hasil analisis uji Duncan didapatkan bahwa tinggi tanaman yang
tertinggi adalah eksplan dengan dosis 10 Gy (23 0.6) meskipun relatif sama dengan
eksplan kontrol (23 0.8) Sedangkan tinggi tanaman yang terendah diperoleh pada
eksplan dengan dosis 20 Gy. Untuk jumlah daun didapatkan bahwa daun terbanyak
diperoleh pada eksplan dengan dosis 20 Gy lalu diikuti 10 dan 15 Gy. Sedangkan
jumlah nodus terbanyak diperoleh pada eksplan dengan dosis 10 Gy. Untuk jumlah akar
terbanyak diperoleh pada dosis perlakuan (10) Gy. Pengaruh radiasi dapat terlihat dari
daya hidupnya, frekuensi mutasi dan pertumbuhannya. Namun pengaruh radiasi yang
diharapkan adalah terjadinya mutasi yang bagus dan diharapkan lebih baik dari kontrol.
Dalam hal ini pertumbuhan tinggi tanaman yang baik, jumlah daun, nodus dan akar
yang banyak. Berdasarkan hasil analisis uji Duncan dan semua parameter pertumbuhan
yang di amati dapat disimpulkan bahwa eksplan dengan dosis 10 Gy memberikan
respon pertumbuhan terbaik dibandingkan dengan kontrol.

Tabel 3. Rata-rata standard error tinggi, jumlah daun, jumlah nodus dan jumlah akar Ubi
Kuning hasil radiasi in vitro setelah 2 bulan di ruang kultur.
Parameter Dosis Rata-rata standar error
Tinggi (ns) 0 2.3 0.8
5 1.8 0.3
10 2.3 0.6
15 1.3 0.3
20 1.0 0.0
Jumlah Daun (ns) 0 0.5 0.6
5 0.5 0.6
10 2.3 1.4
15 1.6 1.7
20 3.0 0.0
Jumlah Nodus (ns) 0 2.0 0.0
5 1.0 0.0
10 2.7 1.2
15 0.7 0.7
20 2.0 0.0
Jumlah Akar (*) 0 1.0 0.0
5 0.0 0.0
10 2.0 0.5
15 0.0 0.0
20 1.0 0.0

413
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kesimpulan
Radiasi dilakukan setelah eksplan berumur 8 minggu setelah tanam. Radiasi yang
dilakukan dengan menggunakan radiasi Gamma (Co-60), tiap variasi dosis digunakan 3
ulangan masing-masing 1 eksplan sehingga jumlah eksplan yang digunakan sebanyak
15 eksplan. Adapun dosis yang digunakan untuk eksplan yang diradiasi ada 5 variasi
dosis yaitu : 0, 5, 10, 15, 20 Gy. Data kuantitatif berupa tinggi, jumlah daun, jumlah
nodus dan jumlah akar dianalisa dengan menggunakan uji ANOVA yang dilanjutkan
dengan uji Duncan dengan taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan hasil analisis uji
Duncan dan semua parameter pertumbuhan yang di amati dapat disimpulkan bahwa
eksplan dengan dosis 10 Gy memberikan respon terbaik dalam peningkatan
pertumbuhan dibandingkan dengan kontrol.

Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Dr. N Sri Hartati yang banyak membantu
dalam penulisan makalah ini.

Daftar Pustaka
Ahlowalia. BS.1997. Improvement of Horticultural Plants Throgh in Vitro Culture and
Induce Mutation. In A . Altman and M,Ziv (Eds). In Vitro Culture and Breeding.
achtaHort. p. 545-549.
Anonim,2009: Ketela Pohon. http//www.ristek.go.id. Tanggal 29 Pebruari 2009. Pukul
09.00.
Fassehaie, A, Widra, Rudolph. 1999. Development of A New Semiselective Medium.
The American Phytopathological Society. Vol. 89 No. 19.
IAEA 1997. Manual on Mutation Viability and Population Structure. Acta Agric.Cand.
IV. p. 601-632.
Iriani, Sularno, Anwar. 2007. Pengaruh Jarak Tanam dan Penggunaan Bahan Organik
Terhadap Pertumbuhan Ubi Kayu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa
Timur.
Poespodarsono S. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. PAU IPB dan LSI-IPB.
168 hal
Restrepo, S., Verdier. 1997. Geographycal Differentiation of The Population of
Xanthomonas axonopodis pv. Manihotis In Columbia. Applied and Enviromental
Microbiology. 63 : 4427-4434.
Rosy Nur Apriyanti. 2007. Gamma Ditembakkan, Abnormal Didapat. Batan. Jakarta.
Sudarmonowati, E.,Retna Hartati dan Taryana 2002. Produksi tunas. Regenerasi dan
evaluasi Hasil Ubikayu (Manihot esculanta) Indonesia Asal Kultur Jaringan di
Lapang. Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI, Cibinong.
Tangpong, P., Taychasinpitak, T., Jompuk, C., Jompuk, P. 2009. Effects of Acute and
Chronic Gamma Irradiations on In vitro Culture of Anubis congensis N.E Brown.
Kasetsart J (Nat Sci) 43:449-457.
Van Harten, A.M. 1998. Mutation Breeding. Theory and Practical Applications.
Cambridge University Press.

414
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Potensi Skleroglukan Yang Disekresi Sclerotium Glucanicum


Sebagai Faktor Prebiotik Bagi Pertumbuhan Beberapa
BakteriLactobacillus Sp.
Miratul Maghfiroh*1 dan Jayus2
1
Pusat Penelitian Limnologi, LIPI
Jalan Raya Bogor Jakarta km. 46, Cibinong Jawa Barat 16911
2
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember
Jalan Kalimantan, Kampus Tegal Boto, Jember, Jawa Timur 68121
Email : miratul@limnologi.lipi.go.id

ABSTRAK

Manusia modern lebih cenderung untuk memandang pangan bukan hanya dapat
memberikan nilai gizi namun juga memberikan peran fungsional bagi kesehatan. Konsep
pangan fungsional muncul dan menjadi isu penting dalam bidang teknologi pangan.
Pertumbuhan pasar prebiotik yang terus meningkat, membuka kesempatan bagi ahli
teknologi pangan untuk senantiasa mencari sumber-sumber prebiotik baru yang dapat
bermanfaat meningkatkan status kesehatan manusia. Senyawa -glukan memiliki potensi
untuk bertindak sebagai prebiotik. Salah satu angota grup -glukan adalah skleroglukan.
informasi mengenai potensi sekleroglukan sebagai prebiotik terbatas sehingga memerlukan
penelitian lebih lanjut. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi potensi prebiotik
skleroglukan melalui pengamatan kecepatan pertumbuhan beberapa bakteri Lactobacillus sp.
yang dtumbuhkan di dalam media dengan penambahan skleroglukan. Pengamatan terhadap
total jumlah Lactobacillus sp. dan pengukuran pH dikontrol pada jam-jam tertentu selama 24
jam dengan suhu inkubasi pada 36o-37oC. Parameter yang dimonitor yaitu total jumlah
bakteri, pH, dan kecepatan pertumbuhan spesifik. Penambahan skleroglukan dengan variasi
konsentrasi 4% dan 8% ke dalam media pertumbuhan memberikan efek yang
berbeda/bervariasi pada bakteri yang diujikan. Penambahan 4% skleroglukan dapat
meningkatkan kecepatan pertumbuhan spesifik yang nyata pada bakteri L. casei dan L.
plantarum (=0,05). Mekanisme represi katabolit karbon diduga teraktifasi ketika
skleroglukan 8% ditambahkan ke dalam media yang berakibat pada penurunan kecepatan
pertumbuhan spesifik.

Kata Kunci : Lactobacillus sp., skleroglukan, Sclerotium glucanicum, prebiotik.

Pengantar
Saat ini, permintaan konsumen terhadap pangan menjadi lebih kompleks.
Perkembangan teknologi dan peradaban manusia membuka era baru konsep pangan
fungsional. Manusia modern lebih cenderung untuk memandang pangan bukan hanya
dapat memberikan nilai gizi namun juga memberikan peran fungsional bagi kesehatan.
Konsep pangan fungsional muncul dan menjadi isu penting dalam bidang teknologi
pangan. Permintaan konsumen terhadap pangan fungsional direspon positif oleh
produsen. Fakta yang terjadi, pasar makanan dan minuman fungsional di Amerika

415
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Serikat, Eropa dan Asia Pasifik dapat meraih keuntungan $72,3 milyar dan diperkirakan
akan naik per tahun sebesar 5,7 % antara tahun 2007 hingga 2012 (Datamonitor
Newswire, 2008).
Aplikasi prebiotik (dengan cara ditambahkan pada produk pangan) lebih luas apabila
dibandingkan dengan probiotik. Prebiotik didefinisikan sebagai komponen pangan yang
tidak dapat dicerna, memberikan pengaruh positif (bermanfaat) bagi inang (subyek yang
mengkonsumsi) dengan memacu pertumbuhan dan/atau aktifitas dari satu atau sejumlah
tertentu bakteri di usus besar secara selektif serta memperbaiki status kesehatan inang
(Collin & Gibson, 1999). Sedangkan, definisi terbaru mengenai prebiotik adalah
komponen pangan difermentasi secara selektif dalam tubuh yang memungkinkan
perubahan spesifik baik dalam komposisi dan/atau aktifitas mikrobiota dalam
pencernaan yang dapat memberikan manfaat kesehatan bagi inangnya (Gibson et al.
dalam FAO, 2007). Prebiotik adalah komponen pangan non-viable (tak-hidup) yang
dapat meningkatkan kualitas kesehatan pencernaan, sehingga prebiotik dapat
ditambahkan ke dalam berbagai macam produk pangan secara mudah. Hal ini berbeda
dengan probiotik yang tidak dapat langsung ditambahkan ke dalam berbagai produk
pangan, mengingat probiotik merupakan kultur mikroorganisme hidup (living
microorganisms) sehingga ketahanan dan viabilitasnya dalam suatu produk perlu
dipelihara (Venter, 2007). Kelebihan prebiotik ini menyebabkan produk-produk pangan
dengan penambahan prebiotik lebih beragam dan mudah dijumpai di pasar. Pada tahun
2007, jumlah produk makanan prebiotik terlisensi sebanyak lebih dari 400 macam dan
lebih dari 20 perusahaan memproduksi oligosakarida dan serat sebagai prebiotik. Pasar
prebiotik di Eropa telah meraih keuntungan 87 juta dan diperkirakan akan naik menjadi
179,7 juta pada tahun 2010 (FAO, 2007). Pertumbuhan pasar prebiotik yang terus
meningkat, membuka kesempatan bagi ahli teknologi pangan untuk senantiasa mencari
sumber-sumber prebiotik baru yang dapat bermanfaat meningkatkan status kesehatan
manusia.
Senyawa -glukan memiliki potensi untuk bertindak sebagai prebiotik (Gorbach dan
Goldin, 2006; Snart dkk, 2006). Polisakarida ini secara luas dihasilkan oleh beberapa
kapang dan yeast secara ekstraselular dan dapat diekstrak dari biji sereal, barley dan
gandum (Clarke in Jayus, 2003). Salah satu angota grup -glukan adalah skleroglukan.
Skleroglukan merupakan senyawa spesifik -glukan dengan konformasi (13)-
(16) dan disekresi oleh kapang berfilamen, Sclerotium glucanicum. Kapang ini
seringkali dikenal sebagai patogen pada tanaman dan bersifat parasit (Survase dkk.,
2006).
Penggunaan skleroglukan pertama kali diterapkan di bidang industri perminyakan.
Sifat fisik dengan viskositas yang baik menjadikan senyawa ini sebagai stabilizer yang
mantap. Seiring dengan kemajuan teknologi, penggunaan skleroglukan mulai beragam
seperti stabilizer untuk pangan, agen gelasi, dan sebagai koagulan (Survase dkk., 2006).
Namun demikian, informasi mengenai potensi sekleroglukan sebagai prebiotik terbatas
sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut. Tujuan penelitian ini yaitu untuk
mengevaluasi potensi prebiotik skleroglukan melalui pengamatan kecepatan
pertumbuhan beberapa bakteri Lactobacillus sp. yang dtumbuhkan di dalam media
dengan penambahan skleroglukan.

416
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Metode
Produksi skleroglukan
Sclerotium glucanicum (La Trobe University, Bendigo-Australia) ditumbuhkan pada
media MEA (Malt Extract Agar, Difco, USA) dan diinkubasi selama satu minggu
dengan suhu inkubasi 27o-28oC. Suspensi sebanyak 10 mL berisi Sclerotium glucanicum
yang telah berumur satu minggu diinokulasi secara aseptis ke dalam 200 mL media cair.
Kang dkk. (2000) mendeskripsikan komposisi media pertumbuhan Sclerotium
glucanicum sebagai berikut. Sukrosa 30.0 g/L, (NH4)2SO4 1.0 g/L, KH2PO4.7H2O 1.0
g/L, MgSO4.7H2O 0.50 g/L, FeSO4.7H2O 0.01 g/L, KCl 0.5 g/L, ekstrak yeast 1.0 g/L.
Media cair berisi inokulum kapang dijaga untuk teraduk selama inkubasi. Pengaduk
berputar (rotary shaker) distabilkan pada kecepatan 100 rpm selama proses fermentasi
kultur berlangsung. Suhu inkubasi diatur pada 27o-28oC (suhu ruang) selama 6 hari.
Filtrat kultur didapatkan dengan metode filterisasi. Kertas saring steril dengan ukuran
pori 0.45 m (Whatman International, Kent, UK) digunakan untuk memisahkan
biomassa kapang dengan filtrat. Gula reduksi yang terlarut dalam filtrat dieliminasi
dengan teknik dialisis. Hasil akhir filtrat ini yang ditambahkan ke dalam media
pertumbuhan Lactobacillus sp. untuk eksperimen secara ex vivo.

Eksperimen secara ex vivo


Ependorf berisi media pertumbuhan dengan maksimum volum 1 mL digunakan pada
eksperimen secara ex vivo. Media pertumbuhan terdiri dari skleroglukan (b/v) 0%, 4%,
dan 8%, MRS Broth (de Man-Rogosa-Sharpe broth, Difco, USA) 70% (v/v), starter
Lactobacillus sp. 10% (w/v ; 102-103 g/mL) dan aquadest steril ditambahkan hingga
volum akhir mencapai 1 mL. Enam macam probiotik Lactobacillus sp. yang
diujicobakan dalam eksperimen ini yaitu Lactobacillus lactis FNCL 0086, Lactobacillus
casei FNCL 0090, Lactobacillus rhamnosus FNCC 0052, Lactobacillus acidophilus
FNCC 0051, Lactobacillus plantarum FNCC 0123, Lactobacillus bulgaricus FNCC
0041.
Pengamatan terhadap total jumlah Lactobacillus sp. dan pengukuran pH dikontrol
pada jam-jam tertentu yaitu setiap 0 jam, jam, 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 6 jam, 9
jam, 18 jam dan 24 jam dengan suhu inkubasi pada 36o-37oC. Ulangan perlakuan
sebanyak dua kali. Penghitungan total jumlah Lactobacillus sp. ditentukan dengan
metode spektrofotometri pada panjang gelombang 625 nm (Kaplan and Hutkins, 2000).
Kurva standar untuk setiap bakteri Lactobacillus sp. yang diujikan, dibuat dengan
memplotkan nilai OD (optical density) sebagai ordinat (Y) dan total Lactobacillus sp.
(g/mL) sebagai absis (X). Pengukuran pH menggunakan pH meter (Jen Way 3320,
Germany).

Analisis Data Eksperimen


Kecepatan pertumbuhan spesifik () (Widdel, 2007) untuk bakteri yang diujikan
dihitung sebagai berikut.

(g/mL/jam)

417
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Variable X didapatkan dari total bakteri pada awal (X1) dan akhir (X2) fase
eksponensial sedangkan t adalah waktu yang dibutuhkan dari total bakteri pada X1
hingga ke X2. Data kecepatan pertumbuhan spesifik yang didapatkan dari eksperimen ini
dianalisis secara statistik melalui uji one way anova ( = 0.05) untuk mendapatkan
informasi adanya beda antar kelompok data. Selanjutnya, apabila diketahui terdapat
beda pada kelompok data tersebut, pengujian dilanjutkan dengan posthoc Duncan ( =
0.05) untuk menentukan kelompok data mana saja kah yang berbeda. Analisis statistik
diselesaikan dengan bantuan SPSS 16.0 software for Windows. Data total jumlah
bakteri dan perubahan pH selama masa inkubasi dipresentasikan dalam bentuk grafik
dan dibahas secara deskriptif.

Pembahasan
Total Jumlah Bakteri Lactobacillus sp.
Pertumbuhan mikrooganisme dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
Modifikasi dan rekayasa terhadap faktor-faktor pertumbuhan dapat mengakibatkan
perubahan terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Penambahan senyawa skleroglukan
pada media pertumbuhan bakteri diharapkan dapat memacu pertumbuhan bakteri
probiotik terpilih, Lactobacillus sp.
Total bakteri L. lactis semakin meningkat seiring dengan lama masa inkubasi dan
relatif konstan setelah masa stasioner tercapai (Gambar 1 (b)). Keadaan ini berlaku
untuk semua sampel L. lactis dengan penambahan maupun tanpa penambahan senyawa
skleroglukan dalam media pertumbuhannya. 1 jam pertama masa inkubasi adalah fase
lag (fase adaptasi) bagi L. lactis sehingga perubahan total bakteri pada 1 jam pertama
inkubasi dibandingkan total inokulum awal, relatif kecil. Fase logaritmik dimulai setelah
2 jam masa inkubasi tercapai. Keadaan ini berlangsung hingga masuk pada masa
inkubasi 6 jam. Pada fase ini, pertumbuhan L. lactis meningkat secara progresif. Pada
masa inkubasi 6 jam, total bakteri terbanyak ditemui pada sampel media broth dengan
penambahan skleroglukan 8% yaitu 5,391E+03 g/mL sedangkan total bakteri L. lactis
kontrol (tanpa penambahan skleroglukan) 4,227E+03 g/mL. Nilai total bakteri kontrol
juga lebih kecil apabila dibandingkan dengan nilai total bakteri yang dicapai L. lactis
pada media yang ditambahkan skleroglukan sebanyak 4% yaitu 4,617E+03 g/mL.
Peningkatan total bakteri juga dialami oleh L. casei dengan penambahan
skleroglukan terlarut 8% pada 6 jam inkubasi sebanyak 6,638E+02 g/mL, lebih besar
daripada total bakteri kontrol 6,097E+02 g/mL (Gambar 1 (a)). Gambar 1 (e)
menunjukkan bahwa pertumbuhan L. rhamnosus lebih lambat apabila dibandingkan
dengan grafik pertumbuhan L. lactis dan L.casei. Pertumbuhan L. lactis dan L. casei
dapat naik hingga mendekati siklus 1 log, tetapi pertumbuhan L.rhamnosus , walaupun
meningkat, tidak mampu mencapai siklus 1 log. Keadaan ini diduga berkaitan dengan
fisiologis L. rhamnosus. Selama 6 jam masa inkubasi, total bakteri yang dicapai oleh L.
rhamnosus dengan penambahan skleroglukan pada media broth untuk semua variasi
pengambilan, lebih banyak daripada total bakteri kontrol, yaitu 1,523E+03; 1,566E+03
g/mL (berurutan untuk penambahan skleroglukan 4%, 8%). Sedangkan total bakteri
kontrol 1,457E+03 g/mL.

418
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Grafik pertumbuhan L. plantarum (Gambar 1 (c)) menerangkan bahwa pada akhir


fase logaritmik (9 jam inkubasi), nilai total bakteri kontrol lebih kecil daripada total
bakteri dengan penambahan skleroglukan untuk semua variasi volum. Pertumbuhan L.
acidophilus meningkat selama fase logaritmik pada sampel dengan penambahan
skleroglukan 8%, apabila dibandingkan dengan pertumbuhan L. acidophilus kontrol
(Gambar 1 (d)).
Pertumbuhan L. bulgaricus relatif dapat dipacu dengan penambahan skleroglukan
4% selama 24 jam masa inkubasi. Hal ini dapat diterangkan dengan mengamati garis
total bakteri kontrol (warna biru tua) yang terletak paling bawah, dibandingkan dengan
garis total bakteri sampel dengan penambahan 4% skleroglukan (Gambar 1 (f)).

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 1. Total Jumlah Bakteri (a) L. casei, (b) L. lactis, (c) L. plantarum,
(d) L. acidophilus, (e) L. rhamnosus, (f) L. bulgaricus, pada konsentrasi penambahan
skleroglukan yang berbeda selama 24 jam masa inkubasi.
Perubahan pH Selama Inkubasi
Perubahan pH merupakan parameter penting untuk diamati ketika pertumbuhan
bakteri asam laktat berlangsung. L. casei, L. lactis, L. plantarum, L. acidophilus, L.
rhamnosus, L. bulgaricus termasuk dalam golongan bakteri asam laktat (BAL)
homofermentatif (Holzapfel dkk., 2001) sehingga fermentasi bakteri ini akan

419
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

menghasilkan produk akhir asam laktat, umumnya 85% atau lebih apabila jenis sakarida
yang difermentasi adalah glukosa (Buchanan and Gibbons, 1974). Oleh karena itu,
adanya perubahan pH media yang semakin menurun selama masa inkubasi,
menunjukkan bahwa semua bakteri yang diuji, memetabolisme substrat yang
ditambahkan sehingga terbentuk metabolit berupa asam. Produk akhir berupa asam yang
terakumulasi menyebabkan pH media semakin menurun.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 2. Profil pH media pertumbuhan (a) L. casei, (b) L. lactis, (c) L. plantarum,
(d) L. acidophilus, (e) L. rhamnosus, (f) L. bulgaricus, pada konsentrasi penambahan
skleroglukan yang berbeda.

420
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

pH awal media pertumbuhan bakteri yang diuji, terukur sebesar 5.0-6.0. Setelah 24
jam masa inkubasi, kisaran pH turun pada level 3.8-4.9 (Gambar 2). Media
pertumbuhan L. casei memperlihatkan nilai pH terendah dibandingkan dengan media
BAL lainnya pada akhir masa inkubasi.

Kecepatan Pertumbuhan Spesifik ()


Penambahan skleroglukan sebesar 4% dan 8% (b/v) ke dalam media broth
pertumbuhan Lactobacillus sp. memberikan efek yang bervariasi pada nilai kecepatan
pertumbuhan spesifik (). Tabel 1 memberikan informasi nilai kecepatan pertumbuhan
spesifik bagi keenam bakteri probiotik golongan lactobacilli yang diujikan.

Tabel. 1 Kecepatan Pertumbuhan Spesifik Beberapa Bakteri Lactobacillus sp.


Kelompok (Kecepatan Pertumbuhan SD) (g/mL/jam)
Lactobacillus 0% skleroglukan 4% skleroglukan 8% skleroglukan
L. casei (0.3010.011)a (0.3950.022)b (0.3290.003)a
a a
L. lactis (0.3030.021) (0.3220.008) (0.3670.034)a
a b
L. plantarum (0.1760.009) (0.2050.001) (0.1790.001)a
a a
L. acidophilus (0.1690.014) (0.2080.046) (0.1750.011)a
a a
L. rhamnosus (0.1430.029) (0.1630.029) (0.1340.014)a
a a
L. bulgaricus (0.1320.000) (0.1350.009) (0.1180.001)a
Pengujian secara statistik dilakukan per-kelompok bakteri masing-masing secara terpisah. Abjad yang
berbeda dalam satu kelompok bakteri yang sama, berarti berbeda secara statistik pada =0.05 melalui
posthoc Duncan.

Nilai tertinggi kecepatan pertumbuhan terdeteksi pada (0.3950.022) g/mL/jam


untuk bakteri L. casei dengan penambahan skleroglukan 4% (b/v) dalam media
pertumbuhannya. Sedangkan kecepatan pertumbuhan terendah (0.1180.001)
g/mL/jam ditemui pada bakteri L. bulgaricus dengan penambahan skleroglukan 8%
(b/v). Menurut uji posthoc Duncan ternyata dapat diperoleh informasi bahwa
penambahan skleroglukan dengan konsentrasi 4% (b/v) pada bakteri L. casei dan L.
plantarum menunjukkan perbedaan peningkatan kecepatan pertumbuhan spesifik secara
signifikan (=0.05).
Pada L. casei, meskipun penambahan 4% skleroglukan dapat meningkatkan
kecepatan pertumbuhannya dibandingkan dengan kontrol, namun penambahan
skleroglukan dengan persentase konsentrasi dua kali lipat menyebabkan nilai kecepatan
pertumbuhan L. casei tidak lebih tinggi daripada kecepatan pertumbuhan bakteri ini
pada media 4% skleroglukan. Hal serupa juga dapat diamati dari kecepatan
pertumbuhan L. plantarum dan L. acidophilus.
Sedangkan pada bakteri L. rhamnosus dan L. bulgaricus, penambahan 8%
skleroglukan ke dalam media broth pertumbuhan dapat memberikan efek penurunan
nilai kecepatan pertumbuhan spesifik dibandingkan dengan perlakuan kontrol.
Mekanisme represi katabolit diduga terjadi dan berpengaruh pada metabolisme
skleroglukan oleh Lactobacillus sp. dan memberikan efek terhadap kecepatan
pertumbuhan spesifik bakteri. Deutscher (2008) menyatakan bahwa adanya mekanisme
represi katabolit menyebabkan adanya penghambatan dalam metabolisme sumber

421
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

karbon. Mekanisme ini dilakukan oleh bakteri untuk beradaptasi dengan lingkungan
dimana terdapat lebih dari satu macam karbohidrat. Barrangou dkk (2006) melakukan
studi pada L. acidophilus dan menemukan bahwa represi katabolit karbon pada bakteri
ini meregulasi enzim-enzim yang terlibat dalam metabolism mono-, di- dan polisakarida
pada substrat glikolisis.
Adanya penambahan 8% skleroglukan pada media diduga mengakibatkan beberapa
bakteri Lactobacillus sp. yang diuji, mengaktifasi mekanisme represi katabolit karbon
dan berpengaruh pada penurunan kecepatan pertumbuhan spesifik.

Kesimpulan
Keenam bakteri Lactobacillus sp. yang diuji, dapat tumbuh dalam media
pertumbuhan yang ditambah dengan skleroglukan hasil sekresi kapang Sclerotium
glucanicum. Metabolisme skleroglukan ditandai dengan adanya penurunan pH media
pada akhir masa inkubasi. Penambahan skleroglukan dengan variasi konsentrasi 4% dan
8% ke dalam media pertumbuhan memberikan efek yang berbeda/bervariasi pada
bakteri yang diujikan. Penambahan 4% skleroglukan dapat meningkatkan kecepatan
pertumbuhan spesifik yang nyata pada bakteri L. casei dan L. plantarum. Mekanisme
represi katabolit karbon diduga teraktifasi ketika skleroglukan 8% ditambahkan ke
dalam media yang berakibat pada penurunan kecepatan pertumbuhan spesifik.

Daftar Pustaka
Barrangou, R., Peril M. Andrea., Duong, T., Conners, S.B., Kelly, R.M.,
Klaenhammer, Todd R. 2006. Global Analysis of Carbohydrate Utilization by
Lactobacillus acidophilus Using cDNA microarrays. National Academy of
Sciences. Vol. 103/10. p.3816-3821.
Buchanan and Gibbons. 1974. Bergeys Manual of Determinative Bacteriology.
Eight Edition. Baltimore : Williams & Wilkins Company.
Collin, M. D. & R. Gibson, G. 1999. Probiotics, Prebiotics and Synbiotics:
Approaches For Modulating The Microbial Ecology Of The Gut. American
Journal of Clinical Nutrition. Vol. 69, No. 5.
Datamonitor Newswire. 2008. Healthy Growth In Functional Food Market Despite
Drop In Consumer Trust. http://www.flex-news-
food.com/pages/14565/Functional/healthy-growth-functional-food-market-
despite-drop-cons umer-trust.html.
Deutscher, Josef D. 2008. The Mechanisms of Carbon Catabolite Repression in
Bacteria. Current Opinion in Microbiology 11 (2): p.8793.
FAO (Food And Agriculture Organization). 2007. FAO Technical Meeting On
Prebiotics. http://www.fao.org/ag/agn/agns/files/Prebiotics_Tech_Meeting_
Report.pdf.
Holzapfel, W.H., Haberer, P., Geisen, R., Bkroth & Schilinger, U. 2001.
Taxonomy and Improtant Features of Probiotic Microorganisms in Food and
Nutrition. Am J Clin Nutr 2001;73(suppl):365S73S.
Jayus. 2003. Properties of The -Glucanases From Acremonium sp. IMI 383086 and
Factors Affecting Their Production. Not Published. Thesis. Bendigo : La
Trobe University Australia.
422
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Snart, J., Bibiloni, R., Grayson, T., Lay, C., Zhang, H., Allison, G.E., Laverdiere,
J.K., Temelli, F., Vasanthan, T., Bell, R., Tannock, G.W. 2006.
Supplementation of The Diet with High-Viscosity Beta Glucan Results in
Enrichment for Lactobacilli in The Rat Cecum. Appl. Environ. Microbiology.
72 (3): p.1925-31.
Survase, S.A., Saudagar, P.S., Bajaj, I.B., Singhal, R.S. 2006. Scleroglucan :
Fermentative Production, Downsteram Processing and Applications. Food
Technol. Biotechnol. 45(2) p.107-118.
Venter, C. 2007. Prebiotics : An Update. Journal of Family Ecology and Consumer
Sciences, Vol 35, 2007. http://www.up.ac.za/academic/acadorgs/
saafecs/vol35/venter.pdf
Widdel, F. 2007. Theory and Measurement of Bacterial Growth. Grundpraktikum
Mikrobiologie Universitt Bremen.

423
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Penapisan Fitokimia Dan Uji Toksisitas


Daun Artocarpus Elasticus
Salahuddin*, Megawati, Sofa Fajriah
Pusat Penelitian Kimia-LIPI,
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314
Email: Uddin_Net@yahoo.co.id

ABSTRAK
Telah dilakukan uji penapisan fitokimia dan uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT) terhadap ekstrak metanol, fraksi metanol, fraksi heksan, fraksi etil
asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari daun Artocarpus elasticus. Kedua jenis uji ini
dilakukan untuk mengetahui jenis kandungan golongan senyawa kimia dan sifat toksik dari
ekstrak metanol dan fraksi-fraksinya. Dari hasil pengujian diketahui bahwa semua fraksi
mengandung senyawa golongan terpenoid, tanin, dan kuinon, golongan flavonoid hanya
terkandung pada fraksi etil asetat, butanol dan air, sedangkan golongan alkaloid negatif pada
semua fraksi. Hasil uji BSLT menunjukkan bahwa fraksi butanol dan air tidak bersifat toksik
dengan nilai LC50 > 1000 ppm, sedangkan fraksi metanol, heksan dan etil asetat bersifat
cukup toksik dengan masing-masing nilai LC50 berturut-turut 238.23, 302.69, dan 796.16
ppm.

Kata Kunci : Artocarpus elasticus, toksisitas, LC50, BSLT

Pengantar
Genus Artocarpus merupakan salah satu genus utama Moraceae. Tumbuhan
spesies Artocarpus tersebar secara meluas di daerah tropis dan subtropis (Nomura,
1998). Sebanyak 23 spesies tumbuhan genus ini telah ditemukan di kawasan hutan
tropis indonesia (Heyne, 1987). Dari berbagai hasil penelitian mengenai kandungan
kimia pada tumbuhan Artocarpus, telah dilaporkan kandungan senyawa-senyawa
fenolik yang meliputi: calkon, flavonoid, santon, stilben, dan jenis adduct Diels-Alder
(Erwin, 2010).
Beberapa spesies tumbuhan Artocarpus telah dikenal oleh masyarakat sebagai
obat tradisional dan mempunyai potensi sangat besar untuk mendapatkan senyawa kimia
dengan aktivitas biologi menarik yang dapat dikembangkan sebagai obat (Erwin, 2010).
Salah satu spesies Artocarpus yang sudah digunakan masyarakat sebagai obat adalah
Artocarpus elasticus.
A. elasticus merupakan tanaman yang mempunyai nama lokal umum Benda.
Daun, buah, dan kulit batang A. elasticus mengandung saponin dan polifenol, di
samping itu daun dan buahnya juga mengandung flavonoid. Kulit Batang A. elasticus
berkhasiat sebagai obat sakit perut dan getahnya sebagai obat sakit mencret
(http://www.warintek.ristek.go. Id//4.009.pdf).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap A. elasticus diantaranya telah
berhasil mengisolasi beberapa senyawa antara lain senyawa artoindonesianin E1,
artocarpin, cycloartocarpin, cudraflavones A, cudraflavones C (Iqbal, 2001),
425
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

sikloartelastoxanton, artelastoheterol, sikloartobiloxanton, artonol (Kai et al, 2009),


artelastin, artelastokromen, artelastisin, artokarpesin, artelastini, artelastofuran,
siklocommunin (Anake et al, 1998).
Diantara beberapa senyawa yang berhasil diisolasi dari tumbuhan A. elasticus,
khususnya golongan flavonoid, beberapa diantaranya mempunyai aktivitas biologi
sebagai antikanker (artoindonesianin E1), antioksidan (siklo-artelastoxanton,
artelastoheterol, sikloartobiloxanton, artonol).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan golongan senyawa
tanaman daun A. elasticus dengan metode uji penapisan fitokimia, yang merupakan
salah satu pendekatan dalam penelitian tumbuhan obat untuk mendeteksi kandungan
senyawa berdasarkan golongan. Pengujian toksisitas dilakukan dengan metode BSLT
(Brine Shrimp Lethality Test), yang merupakan metode screening awal dalam
pengamatan toksisitas suatu ekstrak atau senyawa melalui pengamatan tingkat kematian
larva udang Artemia salina Leach dibandingkan terhadap konsentrasi ekstrak dan/atau
senyawa suatu tanaman. Metode pengujian toksisitas (BSLT) ini merupakan metode
yang dapat dipercaya, tidak mahal dan relatif mudah dilakukan.

Bahan dan Metode Penelitian


Bahan
Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini yaitu daun Artocarpus elasticus
yang diperoleh dari Hutan Mekongga, Sulawesi Tenggara, pada bulan Maret 2012,
voucher spesimen disimpan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi, LIPI.
Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini yaitu aquades, pereaksi Bouchardat,
pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorf, eter, asam sulfat, asam klorida, natrium
hidroksida, FeCl3 1%, dan lain sebagainya.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tabung reaksi, pipet, cawan
penguap, peralatan gelas, hot plate, corong, microplate dan pipet Effendorf.

Metode
Penapisan Fitokimia
Alkaloid (DepKes RI, 1995 dan Farnsworth, 1966)
Larutan uji: 500 mg ekstrak ditambahkan 1 ml HCl 2N dan 9 ml air kemudian
dipanaskan di penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring sehingga diperoleh
filtrat.
Pereaksi Bouchardat
Pereaksi: 2 g iodium P dan 4 g KI P dilarutkan dalam 100,0 ml aquades prosedur: 1
ml filtrat ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat. Jika terbentuk endapan coklat
sampai hitam maka mengandung alkaloid.
Pereaksi Mayer
Pereaksi : campuran larutan raksa (II) klorida P (1,358 g HgCl2 dalam 60 ml akudes)
dengan larutan kalium iodida P (5 g kalium iodida P dalam 10 ml akuades) dicukupkan
volumenya dengan akuades hingga 100,0 ml. Prosedur: 1 ml filtrat ditambahkan 2 tetes
Pereaksi Mayer. Jika terbentuk endapan menggumpal putih atau kuning yang larut
dalam metanol maka positif mengandung alkaloid.

426
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pereaksi Dragendorf
Pereaksi : campuran larutan bismuth nitrat P (8 g bismuth nitrat P dalam 20 ml asam
nitrat) dan larutan iodida P (27,2 g kalium iodida P dalam 50,0 ml akuades) yang
didiamkan hingga memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan dicukupkan
volumenya dengan aqua dest. hingga 100,0 ml. Prosedur: 1 ml filtrat ditambahkan 2
tetes Pereaksi Dragendorf. Jika terbentuk endapan jingga coklat maka mengandung
alkaloid. Serbuk mengandung alkaloid jika sekurang-kurangnya terbentuk endapan
dengan dua golongan larutan percobaan yang digunakan.

Terpenoid (Farnswoth, 1966)


10 mg ekstrak ditambahkan 5 ml eter dan diuapkan di dalam cawan penguap. Residu
ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Ekstrak
mengandung sterol atau terpen apabila terbentuk warna merah-hijau atau violet-biru.

Flavonoid (DepKes RI, 1995)


Beberapa mg ekstrak ditambahkan 4 ml etanol P hingga ekstrak larut.
2 ml larutan ditambahkan 0,5 gram serbuk seng P dan 2 ml HCl 2N, didiamkan
selama 1 menit. Kemudian ditambahkan 10 tetes HCl pekat P. Jika terbentuk warna
merah intensif dalam waktu 2-5 menit menunjukkan adanya flavonoid (glikosida-3-
flavonol)
2 ml larutan ditambahkan 0,1 gram serbuk magnesium P dan 10 tetes HCl pekat P.
Jika terbentuk warna merah jingga sampai merah ungu (positif flavonoid) atau kuning
jingga (flavon, kalkon dan auron)
Ekstrak dilarutkan dalam aseton P kemudian sedikit serbuk halus asam borat P dan
serbuk asam oksalat P, dipanaskan hati-hati dan dihindari pemansan berlebihan. Sisa
dicampur dengan 10 ml eter. Diamati dibawah sinar UV 366 nm, jika larutan
berflurosensi kuning intensif menunjukkan adanya flavonoid.

Tanin (Farnsworth, 1966)


Beberapa mg ekstrak kental ditambahkan 15 ml air panas. Kemudian dipanaskan
hingga mendidih selama 5 menit. Lalu ditambahkan beberapa tetes FeCl3 1 %
menghasilkan hijau violet.

Saponin (Harbone, 1987)


500 mg ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air
panas, dinginkan dan kocok kuat-kuat selama 10 detik. Terbentuk buih yang mantap
setinggi 1 hingga 10 cm selama tidak kurang dari 10 menit. Pada penambahan 1 tetes
HCl 2N buih tidak hilang.

Kuinon dan Antrakuinon (DepKes RI, 1995)


Beberapa mg ekstrak kental ditambahkan 10 ml air panas. Kemudian dipanaskan
hingga mendidih selama 5 menit. Filtrat disaring. Ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan
beberapa tetes larutan NaOH 1 N, terbentuk warna merah mengindikasikan positif
kuinon.

427
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

BSLT
Uji toksisitas metode BSLT digunakan untuk mempelajari toksisitas umum sampel
dengan menggunakan telur udang (Artemia salina Leach). Dua wadah disiapkan untuk
pembenihan udang dan larva. Dalam satu wadah ditempatkan lampu bersuhu hangat di
pembenihan, sementara di wadah lain yang diisikan air laut tidak diberikan. Ke dalam
air laut dimasukan 50-100 mg udang telur untuk penetasan, lalu diinkubasi selama 48
jam. Ekstrak yang akan diuji dibuat dalam konsentrasi 10, 100 , 500 dan 1000 ppm
dalam air laut. Jika sampel tidak larut, tambahkan 10 mL DMSO. Prosedur: Sekitar 100
mL air laut yang mengandung 10-11 larva udang dimasukkan ke dalam wadah uji.
Kemudian ditambahkan larutan sampel yang akan diuji 100 mL masing-masing dengan
konsentrasi 10, 100, 500 dan 1000 ppm. Masing-masing konsentrasi dilakukan tiga kali
pengulangan (triplo). Larutan diaduk sampai homogen. Untuk mengontrol dilakukan
dengan menambahkan 10 mL DMSO. Larutan yang tersisa dibiarkan selama 24 jam,
kemudian dihitung jumlah larva mati dan hidup di setiap lubang. Jumlah mati nomor
larva menjumlahkan larva mati yang mati dalam setiap konsentrasi (3 lubang), dengan
cara yang sama untuk menghitung jumlah larva hidup didasarkan pada larva hidup
disetiap konsentrasi. Akumulasi perhitungan bilangan mati dilakukan dengan cara
sebagai berikut: akumulasi mati 10 ppm = jumlah kematian pada konsentrasi tersebut,
akumulasi mati 100 ppm konsentrasi = jumlah yang mati pada 10 ppm + jumlah
kematian pada 100 ppm konsentrasi, akumulasi mati untuk konsentrasi 500 ppm =
jumlah yang mati pada 10 ppm + nomor mati pada konsentrasi 100 ppm + nomor mati
pada konsentrasi 500 ppm. Akumulasi jumlah mati dihitung sampai dengan 1000 ppm.
Perhitungan akumulasi hidup masing-masing konsentrasi dilakukan dengan cara sebagai
berikut: akumulasi hidup sampai 1000 ppm = jumlah yang hidup pada 1000 ppm,
akumulasi hidup untuk konsentrasi 500 ppm = jumlah yang hidup pada 1000 ppm +
jumlah yang hidup pada konsentrasi 500 ppm, akumulasi hidup untuk konsentrasi 100
ppm = jumlah yang hidup pada 1000 ppm + angka hidup pada konsentrasi 500 ppm +
jumlah yang hidup pada konsentrasi 100 ppm. Akumulasi jumlah hidup dihitung sampai
10 ppm. Selanjutnya, kematian dihitung dengan akumulasi mati dibagi dengan
akumulasi hidup dan mati (total) dikalikan dengan 100%. Grafik dibuat dengan
konsentrasi log sebagai sumbu x terhadap mortalitas sebagai sumbu y. Nilai LC50 adalah
konsentrasi zat yang menyebabkan kematian 50% diperoleh dengan menggunakan
persamaan regresi linier y = a + bx. Sebuah zat aktif atau beracun untuk mengatakan
ketika nilai LC50 <1000 ppm untuk ekstrak dan <30 ppm untuk senyawa murni
(Pimenta et al, 2003) .

Hasil dan Pembahasan


Penapisan fitokimia dilakukan terhadap terhadap ekstrak metanol, fraksi metanol,
fraksi heksan, fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari daun Artocarpus
elasticus untuk mengidentifikasi golongan senyawa kimia yang terkandung di dalam
daun tersebut. Dari data hasil penapisan fitokimia (Tabel 1.) dapat dilihat bahwa daun A.
elasticus tidak mengandung senyawa golongan alkaloid, sedangkan senyawa golongan
terpenoid, tanin dan kuinon menunjukkan hasil positif pada semua fraksi.

428
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 1. Hasil uji penapisan fitokimia dari daun Artocarpus elasticus.


Fraksi
No. Golongan senyawa
Metanol Air Etil Asetat Butanol Heksan
1 Alkaloid (-) (-) (-) (-) (-)
2 Flavonoid (-) (+) (+) (+) (-)
3 Terpenoid (+) (+) (+) (+) (+)
4 Tanin (+) (+) (+) (+) (+)
5 Saponin (+) (+) (-) (+) (+)
Kuinon &
6 Antrakuinon (+) (+) (+) (+) (+)
* (-) = negatif; (+) = positif

(Sumber : http://species.wikimedia.org/wiki/Artocarpus_elasticus)

Gambar 1. Daun Artocarpus elasticus

Uji toksisitas dilakukan terhadap Artemia salina dengan metode BSLT (Brine
Shrimp Lethality Test). Metode BSLT merupakan uji biologis pendahuluan yang sangat
sederhana untuk analisis dalam berbagai penelitian, seperti residu pestisida, toksin,
polutan air, senyawa obat, karsinogenesis dan senyawa aktif dalam ekstrak tanaman dan
sering dipakai sebagai panduan atau petunjuk dalam usaha untuk isolasi senyawa toksik
dari ekstrak. Digunakan Artemia Salina karena mudah didapat, murah, prosesnya cepat
yaitu 1 x 24 jam, mudah dikembangbiakkan dan mudah mati. Uji BSLT dilakukan pada
konsentrasi yang berbeda-beda dan dilakukan pada vial uji. Hasil akan terlihat dalam
jangka waktu 1 x 24 jam, dilihat dari jumlah banyaknya larva udang yang mati dari
tiap-tiap konsentrasi.

429
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 2. Hasil uji BSLT dari daun Artocarpus elasticus.


(K), Akumulasi Akumulasi
No Sampel Mortalitas LC-50
ppm mati hidup
1 F. Metanol 10 20 70 22,222 238,23
100 23 60 27,711
500 33 33 50,000
1000 50 13 79,365
2 F. Heksan 10 3 74 3,896 302,69
100 12 47 20,339
500 27 26 50,943
1000 46 11 80,702
3 F. Etil asetat 10 1 88 1,124 796,16
100 3 59 4,839
500 15 31 32,609
1000 32 13 71,111
4 F. Butanol 10 3 107 2,727 >1000
100 6 80 6,977
500 8 53 13,115
1000 13 25 34,211
5 F. Air 10 2 113 1,739 >1000
100 4 85 4,494
500 5 57 8,065
1000 7 28 20,000

Dalam metode BSLT, tingkat toksisitas dinyatakan dengan nilai LC50 (Lethal
Concentration 50%) yaitu konsentrasi senyawa yang memberikan tingkat mortalitas
sebesar 50%. Senyawa aktif sebagai antikanker bila memberikan harga mortalitas yang
tinggi atau mempunyai nilai LC50 1000 ppm. Hasil uji toksisitas menunjukkan bahwa
fraksi air dan fraksi butanol tidak mempunyai efek toksik karena nilai LC50 > 1000
ppm, fraksi heksan LC50 302,69 ppm, fraksi metanol LC50 238, 23 ppm, dan fraksi etil
asetat memiliki LC50 796,16 ppm.

Kesimpulan
Dari hasil penapisan fitokimia terhadap lima fraksi yaitu fraksi metanol, fraksi
heksan, fraksi etil asetat, fraksi butanol, dan fraksi air dari daun Artocapus elasticus
menunjukkan hasil positif pada golongan terpen, tanin, dan kuinon. Sementara itu,
semua fraksi menunjukkan hasil yang negatif pada golongan alkaloid. Berdasarkan hasil
uji hayati pendahuluan dengan metode BSLT diketahui bahwa fraksi metanol memiliki
sifat toksik yang lebih tinggi dari fraksi lainnya yaitu dengan LC50 238.23 ppm, fraksi
heksan LC50 302.69 ppm, fraksi etil asetat LC50 796.16 ppm, sedangkan fraksi air dan
fraksi butanol tidak toksik dengan LC50 > 1000 ppm.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini didanai oleh proyek Kegiatan Kompetitif Obat LIPI dan dari Fogarty
International Center, the Office of Dietary Supplements, the National Science
430
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Foundation and Department of Energy dengan Grant Number U01TW008160.


Kegiatan ini disupport oleh USDA Agricultural Food Research Initiative of the National
Institute of Food and Agriculture, USDA, Grant #35621-04750.

Daftar Pustaka
Anake, K., H.M. Cidade, M.J.T. Gonzalez, C.M. Afonso, A.M.S. Silva, & W. Herz.
1998. Further prenylflavonoids from Artocarpus elasticus. Phytochemistry. 47(5).
875-8.
DepKes RI. 1995. Materia Medika Indonesia. DepKes RI. Jakarta.
Erwin. 2010. Jurnal Kimia Mulawarman. Kimia F-MIPA Unmul. 8 (1)
Farnsworth, N.R. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plants. Journal of
Pharmaceutical Sciences. Volume 55. Nomor 3
Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Terbitan kedua. ITB Bandung.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II, Dept. Kehutanan, 668-683
http://www.warintek.ristek.go. Id//4.009.pdf diakses tanggal 15 juni 2013
Kai, W.L., H.L. Chiung, Y.T. Huang, H.K.Horng, & L.W Bai. 2009. Antioxidant
prenylflavonoids from Artocarpus communis and Artocarpus elasticus. Food
Chemistry. 115. 558562
Megawati, A Darmawan, S. Fajriah, & L. Meiliawati. 2012. Phytochemistry, toxicity and
antioxidant activities of Kalanchoe Pinnata (lam.)pers. leavea extracts. Jurnal
Bahan Alam Indonesia. Vol 8 No 1. ISSN 1412-2855. 46-49
Megawati, & M. Angelina. 2012. Skrining toksisitas dan uji aktivitas antioksidan
senyawa turunan flavonol isolat dari fraksi etilasetat daun Brucea javanica
Merril. Jurnal Bahan Alam Indonesia. Vol 8 No 1. ISSN 1412-2855. 50-53
Mustapha, I., et al. 2001. An oxepinoflavone from Artocarpus elasticus with cytotoxic
activity against P-388 cells. Arch. Pharm. Res. 32(2). 191-194.
Nomura, T., Y. Hano, & M. Aida. 1998. Heterocycles. 47 (2). 1179-1205
Pimenta, L.P.S., G. B. Pinto, J. A. Takahashi, L. G. F. e Silva1, & M. A. D. Boaventura.
2003. Biological screening of Annonaceous Brazilian Medicinal Plants using
Artemia salina (Brine Shrimp Test). Phytomedicine.10: 209212,

431
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Bahan Penstabil Terhadap


Sirup Lidah Buaya

Hasnelly, Nana Sutisna Achyadi, Noventri Rukmaningrum

ABSTRACT

The purpose of this research is determining the effect of stabilizer type, stabilize
concentrat and interactions both of them to aloe vera syrup. The benefits of this research is
to provide a variety in processing of aloe veras and to improve utilization aloe vera.
Experimental design used was a 3x3 factorial with 3 replications in a randomized block
design. The first factor is the type of stabilizer consisting of n1 (tapioca), n2 (pectin), and n3
(agar-agar). The second factor is the concentration of the stabilizer consistat of r1 (0.5%), r2
(0.75%) and r3 (1%). The results of data analysis showing that stabilizer type influencing the
total sugar content, the levels of total dissolved solids (TSS), and aloe vera syrup viscosity
test. Stabilizing consentrat influencing the total sugar content, the levels of total dissolved
solids (TSS), and aloe vera syrup viscosity. The influence of interaction between stabilizer
type and stabilizer concentrate, levels of total dissolved solids (TSS), and aloe vera syrup
viscosity test. Stabilizer type, stabilizer concentrate and interactions both of them having
no effect to color, flavor, taste, and consistency of aloe vera syrup.

Pengantar
Lidah buaya dikenal sebagai tanaman yang memiliki banyak khasiat. Tanaman ini
tergolong ke dalam suku Liliaceae. Pemanfaatan lidah buaya semakin lama semakin
berkembang. Lidah buaya terlebih dahulu dikenal sebagai obat penyubur rambut,
penyembuh luka, perawatan kulit, bahan baku industri farmasi dan kosmetika, serta
bahan makanan dan minuman kesehatan. Orang-orang kini banyak memanfaatkan lidah
buaya untuk pengobatan selain karena mudah didapat juga obat-obatan dengan bahan
lidah buaya tidak menggunakan bahan pengawet kimia (Kamala, 2008).
Lidah buaya didalamnya terdapat banyak kandungan zat gizi yang diperlukan tubuh
dengan lengkap, diantaranya yaitu vitamin A, B, B2, B3, B12, C, E, choline, inositol, dan
asam folat. Lidah buaya juga terdapat mineral makro dan mikro yaitu kalsium (Ca),
magnesium (Mg), potassium (K), sodium (Na), besi (Fe), zinc (Zn), dan kromiun (Cr).
Selain itu dalam lidah buaya juga terdapat berbagai macam enzim diantaranya amilase,
katalase, carboxypeptidase, bradykinase. Beberapa unsur vitamin dan mineral tersebut
dapat berfungsi sebagai pembentuk antioksidan alami (Kamala, 2008).
Dewasa ini lidah buaya menjadi salah satu komiditas pertanian yang mempunyai
peluang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia sebagai usaha agribisnis.
Produksi lidah buaya pada tahun 2008 sebesar 2.903 ton, tahun 2009 sebesar 5.884 ton
(BPS, 2010).
Kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi minuman yang menyehatkan
cenderung semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan bermunculannya beragam
produk minuman menyehatkan seperti minuman isotonik, teh hijau dan teh hitam.

433
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hadirnya beragam produk minuman tersebut disebabkan karena penerimaan pasar


terhadap produk menyehatkan yang makin meningkat.
SNI (1994), sirup adalah produk minuman yang diperoleh dengan mencampur gula
dan sari buah dengan atau tanpa bagian yang dapat dimakan dari satu jenis buah-buahan
atau lebih dan dalam penggunaannya diencerkan dengan air, dengan kandungan gula
minimal 65%.
Bahan pengental adalah bahan tambahan makanan yang dapat membantu
terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan, sehingga
membentuk kekentalan tertentu (Essautier, 1984).
Seorang pengamat makanan kesehatan (suplemen), dr. Freddy Wilmana, Sp.FK, dari
sekitar 200 jenis tanaman lidah buaya, yang baik digunakan untuk pengobatan adalah
jenis Aloevera Barbadensis miller. Lidah buaya jenis ini mengandung 72 zat yang
dibutuhkan oleh tubuh (Anonim, 2009).
Tranggono (1989), penggunaan penstabil biasanya adalah untuk memperbaiki
kekentalan atau viskositas, tekstur, bentuk makanan. Gum arab dalam industri pangan
biasanya digunakan sebagai pengikat aroma, penstabil, dan pengemulsi. Pektin biasanya
digunakan sebagai pembentuk gel dan penstabil.
Pektin yang ditambahkan dalam industri minuman dapat dilakukan dengan
konsentrasi antara 0,05% - 1%. Pembuatan konsentrat minuman jeruk dilakukan
penambahan pektin dengan konsentrasi antara 0,1-0,2%. Minuman sari buah dan sirup
buah dilakukan penambahan pektin dengan konsentrasi antara 0,05 - 0,1% (Pedersen,
1980). Nelson (1980), pektin bersifat asam dengan nilai pH 2,7-3.
Agar-agar merupakan bahan penstabil yang diekstrak dari ganggang merah,
konsentrasi 1,5% akan membentuk gel yang kaku bila didinginkan pada suhu 32-
39oC dan tidak mencair pada suhu kurang dari 85oC, kekentalannya tidak tergantung pH,
tetapi relatif stabil pada pH 4,5-9,0 (Glicksman, 1982).
Pati tapioka dalam industri pangan digunakan sebagai bahan pengikat maupun
sebagai bahan pengental. Pati tapioka mempunyai amilopektin tinggi, tidak mudah
menggumpal, daya lekatnya tinggi, tidak mudah pecah, atau rusak dan mempunyai suhu
gelatinasasi relatif rendah. Pati Tapioka mempunyai sifat mudah mengembang
(swelling) dalam air panas. Selain itu, pati tapioka mempunyai kadar amilosa sebesar
17%-23% dan suhu gelatinisasi berkisar 52-64C (Ifandro,2011).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi bahan
penstabil terhadap sirup lidah buaya serta interaksi keduanya.

Bahan, Alat dan Metode Penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan April 2012 hingga selesai di Laboratorium
Penelitian Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan Bandung,
Jl. Dr. Setiabudi No. 193.

Bahan dan Alat Penelitian


Bahan-bahan yang Digunakan
Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan minuman sirup lidah buaya ini
adalah lidah buaya organik dengan varietas Aloevera Barbadensis miller. Bahan

434
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

penunjang yang digunakan adalah gula (sukrosa), tapioka, pektin, agar-agar, air, dan
bahan-bahan kimia lainnya yang digunakan untuk analisis bahan baku dan produk
seperti aquades, Na-thiosulfat, H2SO4 6N, HCl 9N, amilum, KI, dan larutan I2.
Alat-alat yang Digunakan
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan minuman sirup buah stroberi ini adalah
pisau, panci, blender, pengaduk, kompor, botol dan tutup yang sudah sterilkan, corong,
thermometer, dan baskom.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan dilakukan meliputi penelitian pendahuluan dan
penelitian utama.
Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk membuat kondisi optimal pada penelitian
utama yaitu penentuan perbandingan air dengan lidah buaya serta analisis kadar gula
total pada bahan baku dan pengukuran pH. Perbandingan air dan lidah buaya yang
digunakan adalah 1:1; 1:1.5; dan 1:2. Analisis respon dilakukan secara organoleptik
dengan metode uji hedonik terhadap 15 panelis, yang dinilai paling baik oleh panelis,
kemudian penilaian dilakukan terhadap warna, rasa, aroma, kekentalan.
Penelitian Utama
Penelitian utama ini merupakan kelanjutan dari penelitian pendahuluan yang
bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis penstabil dan konsentrasi penstabil serta
interaksi keduanya terhadap karakteristik sirup lidah buaya. Penelitian utama ini terdiri
dari rancangan perlakuan, rancangan percobaan, rancangan analisis, dan rancangan
respon.

Rancangan Perlakuan
Rancangan perlakuan pada penelitian utama ini terdiri dari dua faktor, yaitu jenis
penstabil (N) dan konsentrasi penstabil (R).
1. Jenis Penstabil (N) terdiri dari tiga jenis, yaitu :
n1 = Pati tapioka
n2 = Pektin
n3 = Agar-agar
2. Konsentrasi Penstabil (R) terdiri dari tiga taraf, yaitu :
r1 = 0,50% b/v
r2 = 0,75% b/v
r3 = 1,00% b/v

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola faktorial (3 x
3) dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 kali pengulangan. Adapun
variabel yang digunakan adalah jenis penstabil (N) sebanyak 3 taraf dan konsentrasi
penstabil (R) sebanyak 3 taraf.

435
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Rancangan Analisis
1. Berdasarkan rancangan percobaan di atas dapat dibuat analisis variasi (ANAVA)
untuk mendapatkan kesimpulan mengenai pengaruh perlakuan, dimana analisis
variasi) Jika f hitung f tabel pada taraf 5%, maka perlakuan jenis penstabil dan
konsentrasi penstabil serta interaksinya berpengaruh terhadap sirup lidah buaya
yang dihasilkan, dengan demikian hipotesis diterima, kemudian akan dilanjutkan
dengan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perbedaan sampel.
2. Jika f hitung < f tabel pada taraf 5%, maka perlakuan jenis penstabil dan
konsentrasi penstabil serta interaksinya tidak berpengaruh terhadap sirup lidah
buaya yang dihasilkan, dengan demikian hipotesis penelitian ditolak.

Rancangan Respon
Rancangan respon yang dilakukan untuk menentukan optimasi dari perlakuan-
perlakuan meliputi :
1. Respon Kimia
Analisis kimia yang dilakukan terhadap sirup lidah buaya, yaitu analisa gula
dengan metode Luff Schoorl (AOAC, 1995).
2. Respon Fisik
Analisis fisik yang dilakukan terhadap sirup lidah buaya, yaitu uji Viskositas
(Baedhowie M, 1983) dan pengukuran Total Soluble Solute (TSS) dengan
menggunakan alat handrefractometer (Baedhowie M, 1983).
3. Respon Organoleptik
Uji organoleptik yang dilakukan menggunakan metode hedonik dengan
menggunakan 15 orang panelis di setiap perlakuannya. Tujuan percobaan uji
hedonik adalah untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap sifat
organoleptik dalam suatu produk pangan, dengan prinsip percobaan uji hedonik
adalah berdasarkan penilaian panelis terhadap sifat organoleptik dengan
penganalisaan tingkat mutu hedonik (skala mutu) terhadap kesan yang didapat
terhadap sampel-sampel yang disajikan pada panelis, meliputi warna, aroma,
kekentalan dan rasa dari produk sirup lidah buaya.

436
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian Pendahuluan Pembuatan Sirup Lidah Buaya

437
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian Utama Pembuatan Sirup Lidah Buaya

438
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hasil Dan Pembahasan


Hasil dan Pembahasan Penelitian Pendahuluan
Analisa Bahan Baku
Hasil analisis kadar sukrosa dan pH lidah buaya pada lampiran 3 dapat dilihat pada
Tabel 1.
Analisis Kadar
Kadar sukrosa 10,49 %
pH 5
Tabel 1. Hasil Analisis Bahan Baku Lidah Buaya

Analisis bahan baku ini dilakukan untuk mengetahui secara pasti berapa besar
kandungan kadar sukrosa pada lidah buaya tersebut sehingga akan didapatkan
perubahan kandungan kadar sukrosa setelah menjadi sirup lidah buaya. Analisis pH
dilakukan untuk mengetahui kandungan pH dari lidah buaya tersebut.

Penentuan Perbandingan Air dengan Lidah Buaya


Hasil perhitungan Anava (Analisisa Variansi) pada lampiran 3 menunjukan
bahwa perbandingan air dengan lidah buaya tidak berpengaruh terhadap warna, rasa,
aroma, dan kekentalan Sirup Lidah Buaya. Warna yang dihasilkan setiap perlakuan
sama sehingga tidak terjadi perbedaan yang berarti, sedangkan rasa yang dihasilkan juga
sama. Aroma sirup lidah buaya tidak mengeluarkan aroma yang khas sehingga setiap
perlakuan yang ada memiliki aroma yang sama, sedangkan kekentalan sirup memiliki
konsentrasi yang sama sehingga dalam penelitian utama digunakan perbandingan antara
air dengan lidah buaya yaitu 1:1 karena paling efisien dalam penggunaan bahan baku.

Hasil dan Pembahasan Penelitian Utama

Respon Kimia
Analisis Kadar Sukrosa
Sirup pada pembuatannya menggunakan gula pasir (sukrosa) dilarutkan dalam air
dan dipanaskan, sebagian sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa, yang
disebut gula invert. Gula invert ini tidak dapat berbentuk kristal karena kelarutan
fruktosa dan glukosa sangat besar. Semakin tingginya suhu semakin tinggi juga
persentase gula invert yang dapat dibentuk (Winarno, 1992).
Hasil perhitungan ANAVA pada lampiran 4, menunjukkan bahwa jenis penstabil (N)
dan konsentrasi penstabil (R) serta interaksi antara jenis penstabil dan konsentrasi
penstabil (NR) berpengaruh nyata terhadap kadar gula total Sirup Lidah Buaya.
Pengaruh interaksi antara jenis penstabil dan konsentrasi penstabil (NR) terhadap
kadar gula total sirup lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 1 :

439
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 2. Pengaruh Interaksi antara Jenis Penstabil dan Konsentrasi Penstabil (NR) terhadap
Kadar Sukrosa Sirup Lidah Buaya
Konsentrasi Penstabil (R)
Jenis Penstabil (N)
0,5 % (r1) 0,75 % (r2) 1 % (r3)
B A B
Pati Tapioka (n1) 68,28 67,08 66,25
b ab a
A A A
Pektin (n2) 62,55 65,49 62,62
a b a
C A A
Agar-agar (n3) 72,29 65,50 64,18
b a a
Keterangan : Setiap huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
pada taraf 5%. Huruf kecil dibaca horizontal dan huruf besar dibaca vertikal

Data tabel 2, menunjukan bahwa kadar sukrosapada jenis penstabil yang sama dan
konsentrasil penstabil yang berubah (horizontal) pada Pati tapioka (n1) terjadi perbedaan
yang nyata. Pektin (n2) terjadi perbedaan yang nyata. Agar-agar (n3) tidak terjadi
perbedaan yang nyata.
Pektin adalah senyawa yang dengan gula dapat membentuk gel. Koswara (2010),
pektin merupakan turunan dari gula yang biasa terdapat pada tanaman jumlahnya kecil
di banding karbohidrat lain. Pektin di bentuk oleh satuan-satuan gula dan asam
galakturonat yang lebih banyak dari pada gula sederhananya.. Pati tapioka berpengaruh
terhadap kadar gula total karena mengandung polisakarida. Pati banyak digunakan
sebagai pengental.
Agar-agar sebenarnya adalah karbohidrat dengan berat molekul tinggi yang mengisi
dinding sel rumput laut. Agar-agar mengandung karbohidrat yaitu merupakan
polisakarida yang dapat menghasilkan larutan yang sangat kental dan merupakan
pembentuk gel yang paling kuat karena pembentukan gel sudah dapat teramati pada
konsentrasi rendah yaitu 0,04% (FAO 2003).

Respon Fisika
Analisis Kadar Total Padatan Terlarut (TSS)
Total padatan terlarut menunjukkan konsentrasi padatan sirup yang sebagian besar
adalah gula (sukrosa), biasanya ditampilkan dalam bentuk oBrix (N.Potter, 1973).. Nilai
Brix yang ditentukan melalui refraktometer sangat tergantung pada nilai indeks
refraksi, Indeks refraksi bervariasi nilainya berdasarkan temperatur larutan, panjang
gelombang sinar refraktometer dan jumlah padatan yang terlarut.
Hasil perhitungan ANAVA pada lampiran 4, menunjukkan bahwa jenis penstabil
(N) dan konsentrasi penstabil (R) serta interaksi antara jenis penstabil dan konsentrasi
penstabil (NR) berpengaruh nyata terhadap kadar total padatan terlarut (TSS) Sirup
Lidah Buaya.
Pengaruh interaksi antara jenis penstabil dan konsentrasi penstabil (NR) terhadap
kadar total padatan terlarut (TSS) sirup lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 3 :

440
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 3. Pengaruh Interaksi antara Jenis Penstabil dan Konsentrasi Penstabil (NR) terhadap
Kadar Total Tadatan Terlarut (TSS) Sirup Lidah Buaya
Konsentrasi Penstabil (R)
Jenis Penstabil (N)
0,5 % (r1) 0,75 % (r2) 1 % (r3)
A C C
Pati tapioka (n1) 63,84 58,15 61,49
c a b
A BC BC
Pektin (n2) 63,16 57,14 60,84
c a b
A A A
Agar-agar (n3) 62,81 53,13 56,14
c a b
Keterangan : Setiap huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
pada taraf 5%. Huruf kecil dibaca horizontal dan huruf besar dibaca vertikal

Data tabel 2, menunjukan bahwa kadar total padatan terlarut pada jenis penstabil
yang sama dan konsentrasil penstabil yang berubah (horizontal) pada Pati tapioka (n1)
terjadi perbedaan yang nyata. Pektin (n2) terjadi perbedaan yang nyata. Agar-agar (n3)
terjadi perbedaan yang nyata.
Adanya tapioka, agar-agar, dan pektin maka gel terbentuk semakin cepat dan kuat,
karena masing-masing hidrokoloid mempunyai kemampuan membentuk gel. Gel yang
kokoh akan mengikat air dengan kuat sehingga nilai total padatan tertalut tinggi. Gel
yang baik dapat diperoleh dengan pemanasan yang tepat. Mekanisme pembentukan gel
adalah pektin merupakan koloid yang bermuatan negatif, bila dipanaskan senyawa ini
akan berubah menjadi senyawa pektin yang larut dan senyawa pektat. Tinggi rendahnya
nilai total padatan terlarut juga disebabkan terjadinya kesetimbangan antara rasa manis
dari gula dengan jumlah kandungan asam yang terdapat pada lidah buaya yang
digunakan pada pembuatan sirup.

Uji Viskositas
Stabilitas minuman diperoleh apabila semua partikel yang terdapat pada bahan
terdispersi merata di dalam cairan.
Hasil perhitungan ANAVA pada lampiran 4, menunjukkan bahwa jenis penstabil (N)
dan konsentrasi penstabil (R) serta interaksi antara jenis penstabil dan konsentrasi
penstabil (NR) berpengaruh nyata terhadap viskositas Sirup Lidah Buaya.
Pengaruh interaksi antara jenis penstabil dan konsentrasi penstabil (NR) berpengaruh
nyata terhadap Viskositas sirup lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 4 :

441
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 4. Pengaruh Jenis Penstabil (N) terhadap Viskositas Sirup Lidah Buaya
Konsentrasi Penstabil (R)
Jenis Penstabil (N)
0,5 % (r1) 0,75 % (r2) 1 % (r3)
A A A
Pati tapioka (n1) 1,77 1,87 2,13
a a a
B B B
Pektin (n2) 5,90 6,00 5,67
a a a
C C C
Agar-agar (n3) 8,17 8,67 10,33
a a b
Keterangan : Setiap huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
pada taraf 5%. Huruf kecil dibaca horizontal dan huruf besar dibaca vertikal

Data tabel 4, menunjukkan bahwa jenis penstabil terhadap viskositas sirup lidah
buaya untuk jenis penstabil pati tapioka (n1) dan pektin (n2) tidak terjadi perbedaan yang
nyata. Agar-agar (n3) terjadi perbedaan nyata.
Sifat dari agar-agar yang akan membentuk gel pada suhu kamar dan mudah
menyerap air maka agar-agar merupakan pembentuk gel sangat kuat, karena
pembentukan gel sudah dapat teramati pada konsentrasi 0,04%. Gel agar-agar bersifat
reversible terhadap suhu, peningkatan konsentrasi agar-agar akan meningkatkan
kekuatan dan kekerasan gel. Pembentukan gel dari pektin dengan derajat metilasi tinggi
dipengaruhi juga oleh konsentrasi pektin, persentase gula, dan pH. Makin besar
konsentrasi pektin, makin keras gel yang terbentuk. Konsentrasi 1% telah menghasilkan
kekerasan yang cukup baik. Pektin mempunyai sifat dapat larut dalam air tetapi apabila
dicampur dengan gula dan asam akan membentuk gel, karena pektin adalah koloid yang
reversible.

Respon Organoleptik
Warna
Warna merupakan suatu sifat bahan yang dianggap berasal dari
penyebaran spektrum sinar, begitu juga sifat kilap dari bahan dipengaruhi oleh sinar
terutama sinar pantul. Timbulnya warna dibatasi oleh faktor terdapatnya sumber sinar,
pengaruh tersebut terlihat apabila suatu bahan dilihat ditempat yang suram dan ditempat
yang gelap akan memberikan perbedaan yang menyolok (Kartika, dkk., 1988).
Hasil perhitungan ANAVA pada lampiran 4 menunjukkan bahwa jenis penstabil
(N), konsentrasi penstabil (R), serta interaksi jenis penstabil dan konsentrasi penstabil
(NR) tidak berpengaruh terhadap warna Sirup Lidah Buaya.
Uji organoleptik sifatnya subjektif dimana panelis diminta memberikan penilaian
terhadap warna sampel sirup lidah buaya berdasarkan kesukaannya. Warna yang
ditimbulkan oleh sirup lidah buaya adalah warna putih kebeningan karena bahan baku
lidah buaya memiliki warna yang bening serta jenis bahan penstabil yang ditambahkan
pada sirup tidak memiliki perubahan yang berarti. Jenis penstabil yang ditambahkan
yaitu tapioka, pektin, dan agar-agar mempunyai warna yang sama, sehingga pada saat
ditambahkan hasilnya memiliki warna sirup yang sama.
442
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Rasa
Rasa merupakan faktor yang cukup penting dari suatu produk makanan selain
penampakan dan warna. Umumnya bahan pangan tidak hanya terdiri dari salah satu rasa
saja, akan tetapi merupakan gabungan dari berbagai macam rasa yang terpadu sehingga
akan menimbulkan cita rasa makanan yang utuh dan padu (Kartika, dkk., 1988).
Hasil perhitungan ANAVA pada lampiran 4 menunjukkan bahwa jenis penstabil
(N), konsentrasi penstabil (R), serta interaksi jenis penstabil dan konsentrasi penstabil
(NR) tidak berpengaruh terhadap rasa Sirup Lidah Buaya.
Rasa yang ditimbulkan oleh sirup lidah buaya hanya rasa manis yang ditimbulkan
oleh gula karena bahan baku lidah buaya memiliki rasa yang netral serta jenis bahan
penstabil yang ditambahkan pada sirup tidak memberikan rasa. Hal ini disebabkan
karena selain agar-agar, tapioka, dan pektin yang ditambahkan pada sirup lidah buaya
mempunyai rasa yang netral, juga konsentrasi penambahan penstabil yang sedikit
menyebabkan yang ditambahkan tidak mengubah rasa dasar dari sirup lidah buaya.

Aroma
Aroma didefinisikan sebagai suatu yang dapat diamati dengan indera pembau.
Penilaian terhadap aroma dipengaruhi oleh faktor psikis dan fisiologis yang
menimbulkan pendapat berlainan (Winarno, 1997).
Hasil perhitungan ANAVA pada lampiran 4 menunjukkan bahwa jenis penstabil
(N), konsentrasi penstabil (R), serta interaksi jenis penstabil dan konsentrasi penstabil
(NR) tidak berpengaruh terhadap aroma Sirup Lidah Buaya.
Aroma yang ditimbulkan oleh sirup lidah buaya tidak menimbulkan aroma yang
khusus karena bahan baku lidah buaya tidak memiliki aroma yang khas. Jenis bahan
penstabil seperti agar-agar, tapioka, dan pektin yang ditambahkan pada sirup lidah buaya
mempunyai aroma yang netral, juga konsentrasi penambahan penstabil yang sedikit
menyebabkan yang ditambahkan tidak mengubah aroma dasar dari sirup lidah buaya.

Kekentalan
Kekentalan sirup dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain perbandingan jumlah
gula, sari buah dan air perlu diperhatikan agar diperoleh produk akhir dengan
kekentalan yang diinginkan. Glukosa dan fruktosa juga memberikan rasa berisi karena
dapat memperbaiki kekentalan (Lutony, 1993).
Hasil perhitungan ANAVA pada lampiran 4 menunjukkan bahwa jenis penstabil
(N), konsentrasi penstabil (R), serta interaksi jenis penstabil dan konsentrasi penstabil
(NR) tidak berpengaruh terhadap kekentalan Sirup Lidah Buaya.
Uji organoleptik sifatnya subjektif dimana panelis diminta memberikan penilaian
terhadap kekentalan sampel sirup lidah buaya berdasarkan kesukaannya. Kekentalan
yang dihasilkan produk sirup lidah buaya hampir seragam meskipun dengan perbedaan
konsentrasi bahan penstabil yang ditambahkan cenderung tidak mempengaruhi
kekentalan dari sirup lidah buaya.

443
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Setelah dilakukan percobaan dan penelitian pengaruk jenis dan konsentrasi bahan
penstabil terhadap sirup lidah buaya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Jenis bahan penstabil berpengaruh nyata terhadap kadar sukrosa, total padatan
terlarut, dan viskositas sirup lidah buaya, kecuali terhadap respon organoleptik.
2. Konsentrasi bahan penstabil berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut, dan
viskositas sirup lidah buaya, kecuali terhadap kadar sukrosa dan respon
organoleptik.
3. Interaksi antara jenis dan konsentrasi bahan penstabil berpengaruh nyata terhadap
total padatan terlarut dan viskositas sirup lidah buaya, kecuali terhadap kadar
sukrosa dan respon organoleptik.

Saran
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap penelitian yang telah dilakukan, saran-
saran yang dapat diberikan :
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai daya tahan simpan sehingga diperoleh
batas waktu kadaluarsa pada produk sirup lidah buaya.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai metode pembersihan lidah buaya yang tepat
untuk pembuatan sirup lidah buaya.

Daftar Pustaka
Anonim, (2009), Jenis Tanaman Lidah Buaya,(http://kamissore.blogspot.com),
(akses 24-2-2012).
Association Official Analytical Chemists, (1995), Official Methods Of Analysis Of
The association Of Official Analytical Chemists, 14th ed, AOAC, Inc.
Arlington, Virginia.
Badan Pusat Statistik, (2010), Produksi Lidah Buaya. Jakarta
Baedhowie, M., dan Sri P., (1983), Petunjuk Praktek Pengawasan Mutu Hasil
Pertanian I, Penerbit Departement Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Pendidikan Menengah Kejuruan.
Buckle, K.A., Edwards R.A., Fleet G.H., Woottom M. Penterjemah Hari Purnomo
dan Adiono, (1987), Ilmu Pangan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
deMan,M. J., (1997), Kimia Makanan, Edisi ke daua, Penerbit ITB, Bandung.
Essautier, B., (1984), Biotechnologies et Agent Texturants, Biofuture.
Fadhilah, S. R., (2008), Analisa Sikap Konsumen Terhadap Minuman Lidah Buaya
(Aloe vera) KAVERA (Kasus Deepok, Jawa Barat), Fakultas Pertanian, IPB,
Bogor.
Gasperz, T. E., (1995), Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan, Cetakan
Kedua, Penerbit TARSITO, Bandung.
Glicksman, M., (1982), Food Hidrocolloids, Academic Press, New York
Iriani, N.I., (2010), Lidah Buaya, (www.irma.blogspot.com), (akses 26-11-2011).
Meyer, L. H., (1978), Food Chemistry, The AVI Publishing Co., Inc., Westport,
Connecticut.

444
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Mori, B., ( 2008), Aloe vera, (www.blogspot.com), (akses 26-11-2011).


Pedersen, J.K., (1980) Pektin, dalam : CRC Handbook of Water-Soluble Gums and
Resins, McGraw-Hill Book Company, New York.
Satuhu, S.i, (1994), Penanganan dan Pengolahan Buah, Penerbit Penebar Swadaya,
Jakarta.
Soekarto, S. T., (1985), Penilaian Organoleptik, Bhatara Karya Aksara, Jakarta.
Standar Industri Indonesia, SII. 0153, (1977), Syarat Mutu Sirup, Jakarta.
Standar Nasional Indonesia, SNI 01-2984-1994, (1994), Syarat Mutu Sirup, Jakarta.
Standar Nasional Indonesia, (1992), Sirup, Pusat Standarisasi Indonesia,
Departemen Perindustrian Republik Indonesia, Jakarta.
Standar Nasional Indonesia, SNI 10-3140-1992, (1992), Syarat Mutu Sukrosa (Gula
Pasir), Jakarta.
Sudarmadji, S., 2007, Analisis Bahan Makanan dan Pertanian, Penerbit Liberty
Yogyakarta Wijoyo, M. P., 2008, Rahasia Budi Daya Dan Ekonomi Stroberi,
Penerbit Bee Media Indonesia, Jakarta.
Tranggono, (1990), Bahan Tambahan Makanan dan Minuman, PAU Pangan dan
Gizi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
WardhWinarno, F. G, dan Srikandi F., (1980), Pengantar Teknologi Pangan,
PT. Gramedia, Jakarta.
Winarno, F. G, (1997), Kimia Pangan Dan Gizi, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta

445
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Perbandingan Penggunaan Enzim Peroksidase dari Batang


Sawi Hijau (Brassica Juncea) dan Enzim Horseradish Pada
Sintesis Isoeugenol dan Uji Aktivitas Antioksidan
Andini Sundowo* dan Yulia Anita
Pusat Penelitian Kimia LIPI, Kawasan PUSPIPTEK Serpong, Tangerang
Selatan
Email : andinis@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sintesis isoeugenol dengan menggunakan


katalis enzim peroksidase yang berasal dari batang sawi hijau (Brassica juncea) dan enzim
horseradish. Enzim peroksidase merupakan kelompok enzim oksidoreduktase yang mampu
mengkatalisis reaksi oksidasi oleh hidrogen peroksida. Hasil dari sintesis isoeugenol ini
kemudian diuji aktivitas antioksidannya dengan menggunakan metoda DPPH (2,2-diphenyl-
1-picrilhydrazil) dibandingkan dengan quercetin sebagai standar. Dari pengujian antioksidan
diperoleh nilai IC50 masing-masing sebesar 55,99 g/mL untuk sintesis menggunakan enzim
peroksidase dari sawi hijau dan 41,25 g/mL untuk sintesis menggunakan enzim
peroksidase komersil.

Kata Kunci : sintesis isoeugenol, enzim peroksidase,

Pengantar
Polimer fenolik terbentuk dari reaksi kopling oksidatif yang dihasilkan dari oksidasi
fenol oleh peroksidase dengan substrat H2O2.( Cristina, et al, 2010). Beberapa senyawa
fenolik yang sering dijumpai dan bermanfaat antara lain eugenol, isoeugenol , katekin,
cinnamaldehida dan lain-lain. Isoeugenol digunakan pada parfum, sabun, detergen,
penyegar udara dan kosmetik (Kadoma, et al, 2007)
Senyawa fenolik mempunyai struktur yang khas, yaitu memiliki satu atau lebih
gugus hidroksil yang terikat pada satu atau lebih cincin aromatik benzena, sehingga
senyawa ini juga memiliki sifat yang khas, yaitu dapat teroksidasi. Kemampuannya
membentuk radikal fenoksi yang stabil pada proses oksidasi menyebabkan senyawa ini
banyak digunakan sebagai antioksidan (Dewi, 2010).
Peroksidase dapat dianggap sebagai enzim bifungsional yang dapat mengoksidasi
berbagai substrat terhadap H2O2 dan dapat menghasilkan spesies oksigen reaktif.
Tanaman peroksidase berpartisipasi dalam berbagai proses fisiologis termasuk
perpindahan hidrogen peroksida, oksidasi senyawa beracun, biosintesis dinding sel (
lignin dan suberin), biosintesisetilen dan respon pertahanan terhadap tekanan lain.
(Saleh, et al, 2011). Peroksidase sebagai enzim yang mengkatalis reaksi oksidasi oleh
hidrogen peroksida dari sejumlah substrat yang merupakan donor hidrogen, salah satu
contoh donor hidrogen adalah isoeugenol. Peroksidase adalah enzim yang mengkatalis
reaksi oksidasi oleh hidrogen peroksida dari sejumlah substrat yang merupakan donor

447
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

hidrogen seperti anilin, pirogalol, fenol, asam askorbat dan lainnya. Enzim peroksidase
mengkatalisis senyawa fenolik, sedangkan H2O2 berfungsi untuk menginisiasi
biosintesis beberapa metabolisme sekunder yang diperlukan pada proses pertumbuhan
dan diferensiasi (Uyama, 2002). Enzim peroksidase sebagai katalis yang bersifat selektif
terhadap polimerisasi fenolik dan proses reaksi enzimatik ini kerap kali merupakan
suatu proses reaksi yang ramah lingkungan dibandingkan dengan penggunaan katalis
kimia (Shin, 2004)
Proses reaksi ini menggunakan enzim peroksidase sebagai biokatalis dan tanaman
yang telah diketahui banyak mengandung enzim peroksidase adalah tanaman
horseradish (Yulia, 2004). Horseradish merupakan tanaman yang dibudidayakan di
daerah-daerah di dunia, bagian yang digunakan adalah akarnya. Tanaman ini kaya akan
peroksidase. Produksi peroksidase dari akar horseradish relatif besar karena digunakan
sebagai enzim komersil (Nigel, 2004)
Uji antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH free
scavenging activity menggunakan DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazil) yang
merupakan radikal bebas, yang jika direaksikan dengan sampel yang mengandung
antioksidan maka akan terjadi reaksi penangkapan hidrogen dari antioksidan oleh
radikal bebas DPPH (ungu) yang kemudian berubah menjadi 1,1-difenil-2-
pikrilhidrazin (kuning). (Yen, 1995)
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan penggunaan enzim peroksidase yang
berasal dari batang sawi hijau dan enzim horseradish murni sebagai katalis reaksi
kopling senyawa fenolik isoeugenol. Tanaman sawi hijau memiliki aktivitas yang
cukup potensial dalam pembentukan senyawa polimer.

Material dan Metoda


Alat : Spektrofotometer, hotplate stirrer dan alat-alat gelas.
Bahan : Enzim peroksidase dari batang sawi hijau, enzim horseradish, isoeugenol,
H2O2 5%, HCl 5%, buffer posphat pH 7, etil asetat, DPPH (1,1-diphenyl-2-
pikrilhidrazil) dan metanol.

Sintesis isoeugenol dengan katalis enzim peroksidase dari batang sawi hijau
Sebanyak 20 mL enzim peroksidase yang mempunyai aktivitas spesifik sebesar 3.4
U/mg direaksikan dengan 2 mL isoeugenol dan ditambahkan 1 mL H2O2 5% setetes
demi setetes, ketiganya direaksikan selama 2 jam pada suhu dingin, kemudian
ditambahkan larutan HCl 5% sampai pH 2. Setelah reaksi selesai, hasil reaksi
dipindahkan ke dalam corong pisah dan diekstraksi dengan etil asetat. Fase etil asetat
dipisahkan dari fase air sehingga diperoleh fase etil asetat yang berwarna coklat. Fase
etil asetat dihilangkan airnya dengan menambahkan MgSO4 anhidrat.dan dipekatkan
dengan rotary evaporator.

Sintesis isoeugenol dengan katalis enzim horseradish


Sebanyak 1,3 mg enzim horseradish dilarutkan dengan 10 mL buffer posphat pH 7
dan ditambahkan 1 mL H2O2 5% setetes demi setetes, ketiganya direaksikan selama 2
jam pada suhu dingin, kemudian ditambahkan larutan HCl 5% sampai pH 2. Setelah

448
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

reaksi selesai, hasil reaksi dipindahkan ke dalam corong pisah dan diekstraksi dengan
etil asetat. Fase etil asetat dipisahkan dari fase air sehingga diperoleh fase etil asetat
yang berwarna coklat. Fase etil asetat dihilangkan airnya dengan menambahkan MgSO4
anhidrat.dan dipekatkan dengan rotary evaporator.

Uji Antioksidan
Sampel sebanyak 4 mg dilarutkan dalam 4 ml metanol untuk mendapatkan
1.000 mg / mL sebagai larutan stok. Kemudian sampel diencerkan dengan metanol
untuk mendapatkan konsentrasi masing-masing sebesar 10, 40, 200 dan 1000 mg / mL
untuk ekstrak dan 10, 20, 50, 100, dan 200 mg / mL untuk senyawa murni. Masing-
masing ditambahkan DPPH sebanyak 500 mL dan diinkubasi pada suhu 37C selama
30 menit. Kemudian diukur absorbansinya pada 515 nm. Uji kontrol positif
menggunakan quercetin dan asam askorbat (Vit C). Aktivitas antioksidan dihitung
sebagai persentase inhibisi terhadap DPPH ( persentase scavenging effect) dengan
persamaan: [1 - (B / A)] x 100%, A adalah absorbansi blanko dan B adalah absorbansi
sampel. Nilai IC50 menunjukkan konsentrasi sampel yang diperlukan untuk memberikan
% inhibisi sebesar 50%.

Hasil dan Pembahasan


Isoeugenol merupakan senyawa fenolik yang mampu menyumbangkan proton
dari gugus fenolnya jika direaksikan dengan larutan H2O2 yang bertindak sebagai
akseptor proton. Enzim peroksidase dalam penelitian ini digunakan sebagai biokatalis
untuk reaksi polimerisasi senyawa fenolik. Pada penelitian ini digunakan substrat
isoeugenol sebagai senyawa fenolik yang bertindak sebagai donor hidrogen dan H2O2
sebagai substrat akseptor hidrogen. Satu unit enzim peroksidase mampu menguraikan 1
mol peroksida permenit pada suhu 25oC dan pada pH 7, penelitian ini menggunakan
isoeugenol sebagai donor hidrogen. (Yulia 2012). Enzim peroksidase dari sawi hijau
berbentuk cairan dan sedangkan enzim horseradish murni berbentuk padatan.
Reaksi dilakukan pada kondisi dingin untuk menjaga kondisi enzim supaya tidak
rusak karena adanya kenaikkan suhu. Penambahan HCl bertujuan untuk menghentikan
reaksi dan membuat kondisi asam. Reaksi menghasilkan cairan berwarna kuning dan
setelah dipekatkan dengan rotary evaporator berwarna kuning kecoklatan. Untuk reaksi
dengan enzim sawi hijau diperoleh sebesar 1,1374 g dan 1,8059 untuk reaksi dengan
enzim horseradish murni. Proses reaksi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses reaksi isoeugenol dengan enzim peroksidase

449
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Senyawa isoeugenol yang mempunyai gugus fenolik telah dikenal bersifat


antioksidan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antioksidan hasil reaksi
isoeugenol dengan menggunakan enzim dari batang sawi hijau, enzim horseradish
murni dan substratnya yaitu isoeugenol dibandingkan dengan quercetin sebagai standar.
Metoda DPPH dipilih karena merupakan metoda yang sederhana, mudah, cepat dan
peka serta hanya memerlukan sedikit sampel. (Hanani, 2005)
Uji antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH free
scavenging activity menggunakan DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazil) yang
merupakan radikal bebas, yang jika direaksikan dengan sampel yang mengandung
antioksidan maka akan terjadi reaksi penangkapan hidrogen dari antioksidan oleh
radikal bebas DPPH (ungu) yang kemudian berubah menjadi 1,1-diphenyl-2-
pikrilhidrazin (kuning). (Yen, 1995) Reaksi DPPH dengan senyawa yang
mengandungantioksidan dapat dilihat pada Gambar 2.
Aktivitas antioksidan merupakan kemampuan suatu senyawa atau ekstrak untuk
menghambat reaksi oksidasi yang dapat dinyatakan dengan persen peredaman.
Parameter yang digunakan untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah Inhibition
Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan
50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang
memberikan % penghambatan sebesar 50%. (Asnah Marzuki, dkk, 2012)

H
N-N(C6H5)2 N-N(C6H5)2

O2N NO2 O2N NO2


+ AH + A

NO2 NO2

1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazil 1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazin

Gambar 2. Reaksi DPPH dengan senyawa antioksidan

Uji aktivitas antioksidan dengan metoda DPPH ini dilakukan dengan menggunakan
4 konsentrasi dan diukur serapan absorbansinya pada panjang gelombang 515 nm.
Pengujian menggunakan quercetin sebagai standar. Hasil uji antioksidan reaksi
isoeugenol dengan enzim peroksidasi dapat dilihat paga Tabel 1.

450
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 1. Hasil uji antioksidan reaksi isoeugenol dengan enzim peroksidase


Konsentrasi IC50
No. Nama Sampel % Inhibisi
(g/mL) (g/mL)
Quercetin 40 90.68 10.97
30 86.37
1
20 78.19
10 49.38
Isoeugenol 100 90.65 14.71
60 77.36
2 30 60.23
10
48.81
Hasil reaksi 100 92.83 55.99
isoeugenol dengan 60 89.10
3 enzim horseradish 30 84.32
murni 10
57.53
Hasil reaksi 100 93.98 41.25
isoeugenol dengan 60 88.79
4 enzim sawi hijau 30 75.70
10
40.71

Dari data yang diperoleh menunjukkan hasil reaksi baik yang menggunakan enzim
peroksidase dari sawi hijau maupun enzim horseradish murni mempunyai aktivitas
antioksidan yang cukup kuat yaitu mempunyai nilai IC50 < 100 g/mL walaupun masih
lebih besar dari standar quercetin yang mempunyai nilai IC50 sebesar 10.47 g/mL. Dalam
hal ini quercetin berfungsi sebagai standar positif karena mempunyai nilai IC50 lebih kecil
dibandingkan dengan sampel yang diuji. Suatu sampel dikatakan aktif sebagai antioksidan
apabila mempunyai nilai IC50 < 200 g/mL. Semakin kecil nilai IC50 suatu sampel atau
senyawa menunjukkan semakin besar atau kuat kemampuan menangkap radikal bebas dari
sampel atau senyawa tersebut.

Gambar 3. Grafik uji antioksidan reaksi isoeugenol dengan enzim peroksida

451
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Dari Gambar 3 terlihat bahwa nilai % inhibisi untuk masing-masing konsentrasi


berbeda. Pada konsentrasi 10 g/mL, 30 g/mL dan 60 g/mL reaksi yang
menggunakan enzim horseradish murni mempunyai nilai inhibisi terbesar yaitu sebesar
57.53 % , 84.32 % dan 89.10 %. Sedangkan pada konsentrasi 100 g/mL inhibisi
terbesar diperoleh pada reaksi yang menggunakan enzim sawi hijau yaitu sebesar 93.98
%.

Kesimpulan
Hasil reaksi yang menggunakan enzim peroksidase dari sawi hijau mempunyai nilai
IC50 sebesar 41.25 g/mL, lebih kecil dibandingkan dengan reaksi yang menggunakan
enzim horseradish murni yang mempunyai nilai IC50 sebesar 55.99 g/mL. Dengan
demikian penggunaan enzim perosidase dari sawi hijau akan lebih menguntungkan
karena lebih murah dibandingkan dengan enzim horseradish murni. Perlu dilakukan
pemurnian enzim dari sawi hijau untuk meningkatkan aktivitas enzim maupun aktivitas
biologi dari hasil reaksi isoeugenol.

Daftar Pustaka
Asnah, M dkk. 2012. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etil Asetat Kayu Batang
Banyuru Sulawesi (Pterospermum Celebicum Miq.) Dengan Metode
Penangkapan Radikal Bebas DPPH (2,2-Diphenyl-1-Picryl-Hydrazyl).
Majalah farmasi dan farmakologi, Vol. 16,3 : 147-150
Cristina, N.; Candice, G.; Stephanie, B.; Bruno, D.; Sergio, R. 2010. Laccase-
mediated oxidation of phenolic derivatives. Journal of Molecular Catalysis B:
Enzymatic. 65: 5257.
Dewi Elvi. 2010. Sintesis Senyawa Dimer Eugenol dan Isoeugenol yang Dikatalisis
oleh Enzim Peroksidase Dari Tumbuhan Horseradish Serta Uji Aktivitas
Antioksidan. Tesis. Jurusan Kimia. Universitas Indonesia.
Hanani, E. Dkk. 2005. Identifikasi Senyawa Antioksidan Dalam Spons
Callyspongia Sp Dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. II.
3: 127-133
Kadoma, Y . Et.al. 2007. Radical-scavenging Activity of the Reaction Products of
Isoeugenol with Thiol, Thiophenol, Mercaptothiszoline or
Mercaptomethylimidazole Using the Induction Period Method. Molecules,
12, 1836-1844.
Nigel C. Veitch. 2004. Horseradish peroxidase : a modern view of c;lassic enzyme..
Phytochemistry. 65 :249-259
Saleh A Mohamed, et al. 2011. Characterisation of an anionic peroxidase from
horseradish cv. Balady. Food Chemistry. 128 : 725-730
Shin-Cheng Tzeng, Yeuk-Chuen Liu. 2004. Peroxidase-catalyzed synthesis of
neolignan and itsanti-inflammatory activity. Journal of Molecular Catalysis
B: Enzymati. 32: 713.
Uyama, H and Kobayashi, S. 2002. Enzyme-catalyzed polymerization to functional
polymers. Journal of Molecular Catalysis B: Enzymatic. 19-20: 117-127.

452
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Yen, G.C dan H. Y. Chen. 1995. Antioxidant Activity of Various Tea Extracts in
Relation to Their Antimutagenicity. J. Agric. Food. Chem. 27-32
Yulia Anita. 2004. Produksi Senyawa Bioaktif dari reaksi Guaiakol dengan Enzim
Perroksidase dan Uji aktivitas Alelopati. Skripsi. Jurusan Kimia,. Universitas
Indonesia.
Yulia Anita. 2012. Laporan Akhir Tahunan. Disain dan biotransformasi Dimer
Eugenol dan Turunannya Terhadap Reseptor Estrogen Sebagai Obat Kanker
Payudara.

453
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Ekstraksi, Partisi Serta Uji Aktivitas Antioksidan dari Daun


Tanaman Artemissia Annua L

Andini Sundowo* dan Yulia Anita


Pusat Penelitian Kimia LIPI, Kawasan PUSPIPTEK Serpong, Tangerang
Selatan
Email : andinis@yahoo.com

ABSTRAK

Telah dilakukan ekstraksi, partisi dan uji antioksidan dari daun Artemissia annua L yang
berasal dari hasil budidaya di Indonesia. Daun Artemissia annua L diekstraksi dengan
metoda maserasi menggunakan etanol sebagai pelarut, ekstrak yang diperoleh kemudian
dipartisi dengan pelarut heksan-air dan etil asetat-air. Ekstrak dan fraksi-fraksi diuji aktivitas
antioksidannya dengan menggunakan metoda DPPH (2,2-diphenyl-1-picrilhydrazil).
Diperoleh nilai antioksidan yang ditunjukkan dengan IC50 masing-masing sebesar 181,68
g/mL untuk ekstrak etanol, > 200 g/mL untuk fraksi heksan, 228,77 g/mL untuk fraksi
etil asetat dan 176,93 g/mL untuk fraksi air.

Kata kunci : Artemissia annua L, antioksidan, DPPH

Pengantar
Artemisia annua L merupakan tanaman asli Cina yang dikenal dengan nama
quinghao. Tanaman obat ini dapat digunakan sebagai obat demam dan
malaria.(Thomas, et al. 2011) Tanaman ini tumbuh di bagian utara propinsi Chahar dan
Suiyan, tumbuh di ketinggian 1000-1500 m di atas permukaan laut (Rita Baraldi, et al,
2008). Tumbuh liar di beberapa daerah di Eropa dan Amerika bagian Utara. (Bhakuni,
et al, 2001). Beberapa kandungan senyawa dalam tanaman Artemisia annua berpotensi
sebagai antimalaria, antioksidan dan antikanker. (Jorge. F. S. Ferreira, et al. 2010)
Meskipun artemisia berasal dari daerah sub tropis, tetapi dapat dikembangkan di
daerah tropis, melalui pemuliaan (seleksi adaptasi dan hibridisasi). Beberapa negara di
daerah tropis seperti Malaysia, Brazil, Vietnam, Madagaskar, dan Sub Sahara Afrika
telah membudidayakan artemisia dan menghasilkan artemisinin yang cukup tinggi yaitu
0,5 - 1,5%. Kandungan bahan aktif penting artemisia adalah artemisinin yang tergolong
dalam senyawa terpenoid. Senyawa artemisinin yang tinggi terutama terdapat pada
jaringan bagian atas tanaman (daun dan bunga). (Sistem Informasi Tanaman Obat
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga 2011 ).
Senyawa aktif artemisinin sangat efektif mengatasi penyakit malaria. Kasus malaria
di Indonesia sangat tinggi sehingga pengembangan budidaya tanaman artemisia di
Indonesia sangat penting. ( Gusmaini dan Hera. 2007).
Tanaman Artemisia annua dapat dilihat pada Gambar 1.

455
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 1. Tanaman Artemisia annua (http://wisplants.uwsp.edu)

Aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh senyawa metabolit sekunder tanaman


sangat penting karena dapat berfungsi sebagai penagkap radikal bebas yang dapat
melindungi dari penyakit kardiovaskuler, oksidasi lipoprotein densitas rendah (LDL)
dan beberapa penyakit kanker lainnya. (Irma dan Achmad, 2009)
Uji antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH free
scavenging activity menggunakan DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazil) yang
merupakan radikal bebas, yang jika direaksikan dengan sampel yang mengandung
antioksidan maka akan terjadi reaksi penangkapan hidrogen dari antioksidan oleh
radikal bebas DPPH (ungu) yang kemudian berubah menjadi 1,1-difenil-2-
pikrilhidrazin (kuning). (Yen dan Chen, 1995)
Tujuan dari penelitian ini adalah ekstraksi dan partisi daun Artemisi annua yang
berasal dari bududaya di Indonesia yaitu di daerah Cipanas Puncak dan uji aktivitas
antioksidannya dengan menggunakan metoda DPPH.

Material dan Metoda


Material tanaman
Daun Artemisia annua yang digunakan merupakan tanaman Artemisia annua
yang di budidayakan di daerah Cipanas Puncak. Bagian daun dipisahkan dari batangnya
kemudian dikeringkan menggunakan oven 50 C dan dihaluskan dengan blender.

Ekstraksi dan partisi


Ekstraksi
Sebanyak 2 kg daun Artemisia annua yang telah dihaluskan diekstraksi dengan 10 L
Etanol 95 % dengan metoda maserasi. Maserasi dilakukan sebanyak 3 kali ulangan
sampai filtrat tidak berwarna. Filtrat dikumpulkan dan kemudian dipekatkan dengan
rotary evaporator pada suhu 45 C sehingga diperoleh ekstrak etanol pekat.
Partisi
Ekstrak etanol pekat sebanyak 100 g dipartisi secara gradien dengan pelarut heksana
:air (1:1) dan etil asetat : air (1:1). Partisi dilakukan sebanyak 3 kali ulangan sampai
filtrate tidak berwarna. Filtrat heksan dan etil asetat masing-masing dikumpulkan dan

456
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 45 C sehingga diperoleh fraksi heksan,
fraksi etil asetat. Residu dari partisi etil asetat dipekatkan dengan rotary evaporator pada
suhu 50 C dan merupakan fraksi air.

Skema kerja ekstraksi dan partisi daun Artemisi annua dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar. 2. Skema kerja ekstraksi dan partisi daun Artemisi annua

Uji Antioksidan
Uji antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH free scavenging
activity (Yen & Chen 1995) menggunakan DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazil) yang
merupakan radikal bebas, yang jika direaksikan dengan sampel yang mengandung
antioksidan maka akan terjadi reaksi penangkapan hidrogen dari antioksidan oleh
radikal bebas DPPH (ungu) yang kemudian berubah menjadi 1,1-difenil-2-
pikrilhidrazin (kuning). Sampel sebanyak 4 mg dilarutkan dalam 4 ml metanol untuk
mendapatkan 1.000 mg / mL sebagai larutan stok. Kemudian sampel diencerkan dengan
metanol untuk mendapatkan konsentrasi masing-masing sebesar 10, 40, 200 dan 1000
mg / mL untuk ekstrak dan 10, 20, 50, 100, dan 200 mg / mL untuk senyawa murni.
Masing-masing ditambahkan DPPH sebanyak 500 mL dan diinkubasi pada suhu 37C
selama 30 menit. Kemudian diukur absorbansinya pada 515 nm. Uji kontrol positif
menggunakan quercetin dan asam askorbat (Vit C). Aktivitas antioksidan dihitung
sebagai persentase inhibisi terhadap DPPH ( persentase scavenging effect) dengan
457
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

persamaan: [1 - (B / A)] x 100%, A adalah absorbansi blanko dan B adalah absorbansi


sampel. Nilai IC50 menunjukkan konsentrasi sampel yang diperlukan untuk memberikan
% inhibisi sebesar 50%.

Hasil dan Pembahasan


Ekstraksi pada penelitian ini menggunakan metoda maserasi, metoda ini mudah
dilakukan dan cukup murah karena menggunakan alat-alat yang sederhana.(Regina,
dkk, 2008). Pelarut yang digunakan adalah etanol karena pelarut ini dapat melarutkan
hampir semua senyawa organik yang terdapat pada sampel. Maserasi dilakukan
sebanyak 3 kali ulangan sampai filtrat etanol tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh
disatukan kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 40
C. Diperoleh ekstrak etanol pekat sebanyak 200 g.
Sebanyak 100 g ekstrak etanol dipartisi dengan menggunakan pelarut heksan-air
(1:1). Fase heksan dikumpulkan sampai filtrat heksan tidak berwarna kemudian
dipekatkan, diperoleh fraksi heksan sebanyak 28,65 g. Residu dipartisi dengan pelarut
etil asetat-air (1:1). Fase etil asetat dikumpulkan sampai filtrat etil asetat tidak berwarna
kemudian dipekatkan, diperoleh fraksi etil asetat sebanyak 10,41 g. Residu dari fase etil
asetat merupakan fraksi air diperoleh sebanyak 60,94 g. Hasil ekstrak dan partisi dari
daun Artemisia annua dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil ekstrak dan partisi dari daun Artemisia annua

No. Nama sampel Berat (gram) Rendemen (%)


1 Ekstrak Etanol 200 10
2 Fraksi Heksan 28.65 28.65
3 Fraksi etil asetat 10.41 10.41
4 Fraksi air 60.94 60.94

Metoda DPPH dipilih karena merupakan metoda yang sederhana, mudah, cepat
dan peka serta hanya memerlukan sedikit sampel. (Hanani, dkk, 2005)
Uji antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH free scavenging
activity menggunakan DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazil) yang merupakan radikal
bebas, yang jika direaksikan dengan sampel yang mengandung antioksidan maka akan
terjadi reaksi penangkapan hidrogen dari antioksidan oleh radikal bebas DPPH (ungu)
yang kemudian berubah menjadi 1,1-diphenyl-2-pikrilhidrazin (kuning). (Yen dan
Chen, 1995) Reaksi DPPH dengan senyawa yang mengandung antioksidan dapat dilihat
pada Gambar 3.

458
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

H
N-N(C6H5)2 N-N(C6H5)2

O2N NO2 O2N NO2


+ AH + A

NO2 NO2
Gambar 3. Reaksi DPPH dengan senyawa antioksidan

Aktivitas antioksidan merupakan kemampuan suatu senyawa atau ekstrak untuk


menghambat reaksi oksidasi yang dapat dinyatakan dengan persen peredaman.
Parameter yang digunakan untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah Inhibition
Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan
50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang
memberikan % penghambatan sebesar 50%. (Asnah, dkk, 2012)
Uji aktivitas antioksidan dengan metoda DPPH ini dilakukan dengan menggunakan
3 konsentrasi dan diukur serapan absorbansinya pada panjang gelombang 515 nm.
Pengujian menggunakan quercetin sebagai standar. Hasil uji antioksidan tanaman
Artemisia annua dapat dilihat paga Tabel 2 dan Gambar 4.

Tabel 2. Hasil Uji Antioksidan tanaman Artemisia annua


Konsentrasi
No. Nama Sampel % Inhibisi IC50 (g/mL)
(g/mL)
40 90,68 10.97
30 86,37
1 Quercetin
20 78,19
10 49,38
200 55.98
3 Ekstrak Etanol 100 25.32
181.68
50 6.61
200 41.72
4 Fraksi Etil asetat 100 23.01 228.77
50 6.38
200 55.31
5 Fraksi Air 100 31.55 176.93
50 4.75

Dari data yang diperoleh menunjukkan ekstrak etanol dan fraksi air masih berpotensi
sebagai antioksidan karena mempunyai nilai IC50 < 200 g/mL. Sementara aktivitas
antioksidan untuk fraksi etil asetat tidak begitu berpotensi karena nilai IC50nya > 200
g/mL. Pada fraksi heksan aktivitas antioksidannya tidak ditampilkan karena nilai IC50
yang diperoleh > 500 g/mL, dengan demikian fraksi heksan tidak berpotensi sebagai
459
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

antioksidan. Quercetin berfungsi sebagai standar positif karena mempunyai nilai IC50
sebesar 10.97 g/mL lebih kecil dibandingkan dengan sampel yang diuji artinya
quercetin sebagai standar mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi.
Rendahnya aktivitas antioksidan bisa disebabkan karena sampel masih berupa ekstrak
dan fraksi kasar, belum diperoleh senyawa murni yang kemungkinan mempunyai
aktivitas antioksidan yang lebih tinggi.

Gambar 4. Grafik antioksidan ekstrak dan fraksi tanaman Artemisia annua

Suatu sampel dikatakan aktif sebagai antioksidan apabila mempunyai nilai IC50 <
200 g/mL. Semakin kecil nilai IC50 suatu sampel atau senyawa menunjukkan
semakin besar atau kuat kemampuan menangkap radikal bebas dari sampel atau
senyawa tersebut. Adanya perbedaan nilai IC50 dapat disebabkan karena perbedaan
pelarut dan metoda ekstraksi yang digunakan. (Ahmad dan Nina, 2006)

Kesimpulan
Dari hasil penelitian daun tanaman Artemissia annua diperoleh berat ekstrak etanol,
fraksi heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air masing-masing sebanyak 200 g, 28.65 g,
10.41 g dan 60.94 g. Perolehan rendemen masing-masing sebesar 20%, 28.65%,
10.41%dan 60.94%.
Nilai IC50 ekstrak etanol, fraksi etil asetat dan fraksi air masing-masing sebesar
181.68, 228.77 dan 176.93 g/mL. Untuk meningkatkan aktivitas antioksidannya perlu
dilakukan pemurnian lebih lanjut sehingga diperoleh senyawa murni yang aktif.

460
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar Pustaka
Ahmad. D dan Nina A. 2006. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Antioksidan
dari ekstrak Air Daun benalu (Dendrophtheo pentandra L. Miq) yang
Tumbuh pada Cemara (Casuari sp). Widyariset 9 (3) : 43-51.
Asnah, M dkk. 2012. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etil Asetat Kayu Batang
Banyuru Sulawesi (Pterospermum Celebicum Miq.) Dengan Metode
Penangkapan Radikal Bebas DPPH (2,2-Diphenyl-1-Picryl-Hydrazyl).
Majalah farmasi dan farmakologi, Vol. 16,3 : 147-150
Gusmaini dan Hera Nurhayati. 2007. Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia
annua L di Indonesia. Perspektif Vol. 6. No. 2 : 57-67
Hanani, E. Dkk. 2005. Identifikasi Senyawa Antioksidan Dalam Spons
Callyspongia Sp Dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. II.
3: 127-133
http://wisplants.uwsp.edu
Irma Kresnawaty dan Achmad Zainuddin. 2009. Aktivitas antioksidan dan
antibakteri deari derivate metal ekstrak etanol daun gambir (Uncaria gambir).
Jurnal Littri 15 (4) : 145-151
Jorge F. S. Ferreira, et al. 2010. Flavonoids from Artemisia annua L. as
Antioxidants and Their Potential Synergism with artemisinin against Malaria
and Cancer. Molecules 15 : 3135-3170
Regina Andayani, dkk. 2008. Penentuan aktivitas Antioksidan, Kadar Fenolat Total
dan Likopen pada Buah Tomat ( Solanum lycopersicum L). Jurnal sains dan
Teknologi Farmasi. 13 (10)
Rita Baraldi, et al. 2008. Distribution of artemisinin and bioactive flavonoids from
Artemisia annua L. during plant growth. Biochemical Systematics and
Ecology 36. 340-348
R. S. Bhakuni, et al. 2001. Secondary metabolites of Artemisia annua and their
biological activity. Current Science Vol. 80. No.1. 35-48
Thomas Efferth, et al. 2011. Cytotoxic activity of secondary metabolites derived
from Artemisia annua L towards cancer cells in comparison to its designated
active constituent artemisinin. Phytomedicine 18 : 959-969
Sistem Informasi Tanaman Obat. 2011. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Surabaya
Yen, G.C dan H. Y. Chen. 1995. Antioxidant Activity of Various Tea Extracts in
Relation to Their Antimutagenicity. J. Agric. Food. Chem. 27-32

461
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Penambahan Virgin Coconut Oil Dalam Sediaan Probiotik


Lactobacillus Menggunakan Teknik Spray Drying
Titin Yulinery*dan Novik Nurhidayat
Puslit Biologi- LIPI
Jl.Raya Bogor Jakarta km 46 Cibinong
*Penulis untuk korespondensi,
Email: tyulinery@yahoo.co.id

ABSTRAK

Probiotik Lactobacillus plantarum Mar8 merupakan bakteri hidup non patogen yang bila
diasup sebagai suplemen dapat menguntungkan kesehatan, diantaranya menurunkan jumlah
bakteri patogen. Salah satu alternatif untuk pengawetan kultur tersebut adalah dengan
pengeringan namun viabilitasnya kurang optimal akibat adanya penguapan air sehingga
terjadi kekeringan pada sel. Untuk itu dilakukan penelitian penambahan Virgin Coconut Oil
(VCO) sebagai pelindung dengan berbagai konsentrasi yakni 0,5%, 1%, 2% dan 3%. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi VCO yang optimal sebagai penyalut dan
pelindung L.plantarum sehingga menghasilkan viabilitas yang tinggi dan daya terima yang
baik dalam masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen hasil enkapsulasi dengan penyalut
dekstrin dan penambahan 2% VCO memberikan hasil yang tertinggi yakni seberat 20,425 g
(51,06%). Sedangkan viabilitas setelah enkapsulasi yang relatif lebih baik dari semua
konsentrasi VCO yaitu pada penambahan VCO 1% dengan nilai log rata-rata sebesar 9,645
CFU/g. Pada penyimpanan suhu 4oC selama 2 minggu masih dapat memenuhi syarat
minimum probiotik yakni 106CFU/g. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan minyak
VCO dapat digunakan sebagai bahan penyalut untuk melindungi probiotik Lactobacillus
plantarum Mar8 serta memberikan informasi kepada pelaku industri bahwa pembuatan
serbuk Lactobacilus dapat dilakukan dengan metoda spray-drying dan dengan penambahan
VCO sebagai tambahan bahan penyalut.

Kata kunci: Lactobacillus plantarum, VCO, spray dryer.

Pengantar
Penyembuhan penyakit melalui konsumsi makanan tertentu untuk mengembalikan
pertahanan alami tubuh dengan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan obat
selalu dikembangkan untuk kesehatan bagi semua kelompok umur (Reid, 2002). Oleh
karena itu penelitian dan pengembangan pangan fungsional seperti probiotik saat ini
merupakan hal yang penting dari industri makanan (Guarner dan Schaafsma,1998).
Minat konsumen dalam produk probiotik meningkat dengan pesat karena beberapa
manfaat untuk kesehatan (Prado et al., 2008). Probiotik mewakili lebih dari 65% dari
pasar makanan fungsional (Agrawal, 2005). Memperkaya makanan dengan probiotik
tidak hanya meningkatkan kesehatan juga keragaman dalam pilihan makanan. Spesies
mikroba yang umum digunakan sebagai probiotik adalah Lactobacillus, Bifidobacteria,
Enterococcus, Saccharomyces, dan Lactococcus (Gibson, 2000).

463
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Probiotik sudah dikenal secara luas seperti di India disebut dengan Dahi
(Lactobacillus strains), di Nigeria Kindrimo, nono dan Warankasi (jenis keju dengan
Lactococcus dan Lactobacillus strains), dan Amasi (susu fermentasi dengan
Lactococcus sp.) di Zimbabwe (Ukeyima et al., 2010).
Secara umum probiotik yang banyak beredar di pasaran dalam bentuk cair yang
dikemas dalam botol, bentuk sediaan ini kurang stabil, tidak tahan lama dan juga tidak
praktis jika akan dibawa, oleh karena itu diupayakan menggunakan teknik
mikroenkapsulasi yang diharapkan bakteri probiotik bisa terlindungi dan dalam bentuk
sediaan serbuk. Pada awalnya, mikroenkapsulasi digunakan untuk menutupi rasa
bahan makanan dan untuk konversi cairan ke padatan dan juga dalam pemisahan fisik
sel yang sensitif dari lingkungan eksternal yang merugikan (Sultana et al, 2000;
Weinbreck et al, 2010). Dengan enkapsulasi dapat melindungi mikroorganisme yang
sensitif terhadap lingkungan (Krasaekoopt et al., 2003). Aplikasi ini dapat digunakan
untuk produk makanan atau bahan bahan dalam makanan kesehatan seperti probiotik
dengan cara pengeringan semprot, pengeringan beku,dengan bahan pelindungnya Ca-
alginat, karagenan, gum arab, pati, dektrin dll.
Banyak kasus terhadap fungsional probiotik karena kualitas yang kurang dalam
standar sediaan probiotik makanan dan juga kurangnya studi klinik (Azcarate-Peril et
al, 2009;. Hamilton-Miller dan Shah, 2002; Klaenhammer, 2000; Timmerman et
al,2004). Tujuan dari mikroenkapsulasi tidak hanya perlindungan melalui penghalang
fisik tetapi juga pelepasan yang terkontrol dari fungsi probiotik itu sendiri yang efektif
mencapai usus(Picot dan Lacroix, 2004). Probiotik harus tahan terhadap lingkungan
asam dan garam empedu (Burgain et al., 2011).
Teknik mikroenkapsulasi dilakukan menggunakan spray drying atau pengeringan
semprot. dengan menggunakan bahan penyalut dekstrin. Namun ternyata, enkapsulasi
tersebut memiliki viabilitas yang kurang optimal. Hal ini disebabkan karena adanya
penguapan air sehingga terjadi kekeringan pada sel yang mengakibatkan kematian
bakteri probiotik tersebut. Untuk menghindari hal tersebut, maka enkapsulasi dilakukan
dengan menggunakan tambahan minyak VCO (Virgin Coconut Oil), yang diharapkan
dapat melindungi dan menyalut bakteri dari pengaruh lingkungan luar sehingga dapat
membantu mengurangi penguapan serta meningkatkan viabilitas.
Virgin Coconut Oil atau minyak kelapa murni terbuat dari daging kelapa segar.
Prosesnya semua dilakukan dalam suhu relatif rendah. Daging buah diperas santannya.
Santan ini diproses lebih lanjut melalui pemanasan dengan suhu relatif rendah,
fermentasi, pendinginan, penambahan enzim, tekanan mekanis atau sentrifugasi.
Hasilnya berupa minyak kelapa murni yang rasanya lembut dan bau khas kelapa yang
unik. Dalam keadaan beku VCO berwarna putih murni dan dalam keadaan cair tidak
berwarna atau bening. VCO mengandung 92% asam lemak jenuh rantai karbon sedang
(MCFA) dan tidak berikatan ganda, sehingga sangat stabil, tahan panas, radiasi dan
oksidasi. VCO memiliki ciri khas yaitu mengandung asam laurat. Asam laurat ini
diduga memiliki kemampuan untuk menghancurkan membran dari virus dan bakteri
yang berbahan dasar lemak seperti virus pada demam berdarah. VCO dianggap
berkualitas apabila memiliki kadar asam laurat antara 43-53%, terbebas dari logam
berat, kandungan air maksimal 0,25-0,05% dan tidak keruh.

464
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Riset dan uji klinis telah membuktikan keampuhan dan khasiat VCO. Beberapa
manfaat dari VCO antara lain : Membunuh virus, bakteri, jamur dan parasit penyebab
penyakit infeksi lainnya, membantu melindungi tubuh dan mengurangi resiko terserang
berbagai penyakit kanker atau tumor, mendukung fungsi sistem kekebalan tubuh,
memperbaiki sistem pencernaan dan penyerapan nutrisi, serta masih banyak lagi yang
lainnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui viabilitas L. plantarum dalam
sediaan oralit dengan penambahan VCO (Virgin Coconut Oil) pada suhu ruang.

Bahan dan Metode


Preparasi kultur Lactobacillus plantarum Mar 8
Lactobacillus plantarum Mar8 diremajakan menggunakan media GYT (Glucose
Yeast Tryptone dengan komposisi dalam 1 liter yaitu bacto agar 20 g, glukosa (merck)
10 g , yeast ekstrak (Difco) 10 g, trypton (Pronadisa) 5g, beef ekstrak (Difco) 2g , Na-
asetat.H2O (Merck) 1,4g, tween 80 (Merck) 0,5g, CaCO3 (Merck) 0,075 g/mL, dan salt
solution 5 mL (komposisi salt solution: MgSO4.7H2O(Merck) 0,1g; MnSO4.4H2O
(Merck) 0,1g; FeSO4.7H2O (Merck) 0,1g; NaCl (Merck) 0,1g; dilarutkan dalam
akuades sebanyak 50 mL), lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Diambil 1
ose kultur lalu ditanam secara aseptik pada media GYT broth 100 ml dan diinkubasi
dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 37oC (kultur induk)
Preparasi Sampel untuk enkapsulasi
Diambil sebanyak 10 mL L.plantarum dari kultur induk kemudian diinokulasi
secara aseptik ke dalam media GYT Broth 100 ml, lalu diinkubasi selama 48 jam pada
suhu 37oC. Setelah diinkubasi disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10
menit sehingga terpisah antara L. plantarum dengan media GYT Broth. Kemudian
pelet dicuci dengan akuades steril dan disentrifugasi kembali.
Pelet dari L. plantarum secara aseptik ditambahkan ke dalam larutan dekstrin 10%
dan juga penambahan VCO (Virgin coconut oil) dengan berbagai konsentrasi yaitu
0,5%, 1%, 2% dan 3%. Sebanyak 5 mL dari sampel disimpan dalam eppendorf untuk
keperluan uji viabilitas tahap 1.
Sisa sampel dienkapsulasi dengan spray-dryer pada suhu inlet 125oC sampai
diperoleh masa berbentuk serbuk. Hasil proses enkapsulasi tiap sampel disimpan dalam
plastik yang tahan panas dan kemudian di tutup dengan menggunakan zipper hot,
sehingga hasil enkapsulasi diharapkan tetap steril dan tidak berhubungan dengan udara
luar.
Hasil enkapsulasi probiotik Lactobacillus, lalu diuji viabilitasnya dengan cara
ditanam segera setelah enkapsulasi. Sisa enkapsulasi disimpan pada suhu 4oC dan
didiamkan selama 2 minggu untuk uji viabilitas tahap selanjutnya.

Pengujian viabilitas hasil enkapsulasi


Untuk analisis viabilitas tahap 1 dilakukan sebelum enkapsulasi. Untuk analisis
viabilitas tahap 2 dilakukan segera setelah enkapsulasi. Untuk analisis viabilitas tahap 3
dilakukan setelah enkapsulasi dan disimpan selama 2 minggu pada suhu 4oC.
Analisis viabilitas sebelum enkapsulasi (tahap 1). Diambil sebanyak 100 l. Masing-
masing dibuat pengenceran secara seri sampai 10-7 dengan larutan NaCl fisiologis
465
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

(0,85%) dan dihomogenkan. Setelah itu dipipet sebanyak 100 L dimasukkan ke dalam
cawan petri steril yang sudah berisi media GYT padat + CaCO3. Kemudian inkubasi
selama 48 jam pada suhu 37oC. Lalu dihitung koloni yang tumbuh (Cfu/mL)
Untuk analisis viabilitas segera setelah enkapsulasi dan dua minggu setelah
enkapsulasi, Diambil sebanyak 0,1 g serbuk hasil spray-dryer. Masing-masing dibuat
pengenceran secara seri sampai 10-7 dengan larutan NaCl fisiologis (0,85%) dan
dihomogenkan. Setelah itu sebanyak 100 L dimasukkan ke dalam cawan petri steril
yang sudah berisi media GYP padat + CaCO3. Lalu dihomogenkan dengan
menggunakan segitiga penyebar steril. Kemudian diinkubasi selama 48 jam pada suhu
37oC dan dihitung koloni yang tumbuh (Cfu/mL)

Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Statistical Package For
The Social Sciences (SPSS) For Window v.10.0 untuk mengetahui adanya perbedaan
dari tiap perlakuan. Untuk mengetahui jumlah bakteri asam laktat (CFU) per gram (mL)
dari hasil analisis viabilitas L.plantarum Mar 8 yang telah dienkapsulasi dapat
menggunakan rumus sebagai berikut :

Bakteri (CFU) per gram (mL)

Keterangan :
bakteri (CFU) per gram = Jumlah bakteri dalam 1 gram
koloni = Koloni yang terbentuk pada proses pemupukan
Faktor Pengenceran = Banyaknya pengenceran yang dipakai pada saat
pemupukan
Volume Pemupukan = Jumlah volume sampel yang dipipet pada saat penanaman
tode

Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan metode spray drying dapat
dihasilkan rendemen yang berbeda-beda (Gambar 1). Hasil enkapsulasi dari 40 gram
dekstrin diperoleh rendemen pada perlakuan tanpa penambahan VCO sebesar 12,260
gram, pada penambahan VCO 0,5% sebesar 18,334 gram, VCO 1% sebesar 16,240
gram, VCO 2% sebesar 20,425 gram, VCO 3% sebesar 15,759 gram. Rendemen yang
dihasilkan pada penelitian ini dilakukan dengan metode spray drying. Perbedaan hasil
rendemen ini disebabkan oleh konsentrasi suspensi yang berbeda-beda akibat
penambahan VCO sehingga pada waktu dienkapsulasi menjadi lengket dan akhirnya
banyak rendemen yang tertinggal dan menempel pada alat spray dryer, di samping itu
adanya sebagian suspensi yang tidak terkena kontak panas sehingga masih ada yang
keluar dalam bentuk cairan. Hal ini juga menyebabkan berkurangnya jumlah rendemen
enkapsulasi yang dihasilkan. Metode spray drying dapat dilindungi bahan makanan dari
penguapan, oksidasi, dan reaksi kimia (Rosenberg et al, 1990).
Pada konsentrasi VCO 2% memiliki nilai yang paling tinggi dibanding konsentrasi
lainnya. Hal ini disebabkan sewaktu proses spray drying berlangsung cairan yang

466
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

terbuang tidak terlalu banyak, kemudian rendemen yang menempel pada alat spray
dryer masih dapat diambil dengan bantuan manual.

Gambar 1. Rendemen hasil enkapsulasi L.plantarum dengan penyalut dekstrin dan


VCO

Hasil Analisa Viabilitas L.plantarum Mar 8


Pada Gambar 2. Dapat dilihat Analisis viabilitas L.plantarum Mar 8 dengan
penambahan berbagai konsentrasi VCO sebelum enkapsulasi dan setelah dienkapsulasi.
Viabilitas dilakukan untuk mengetahui jumlah sel yang masih dapat hidup biasanya
diperkirakan sebagai ukuran konsentrasi sel (Brooks et al, 2001). L. plantarum Mar8
yang dienkapsulasi menggunakan penyalut dekstrin 10% memiliki viabilaitas yang
lebih baik dibanding tanpa menggunakan penyalut (data tidak ditampilkan)
Pada Gambar 2 terlihat bahwa L.plantarum Mar 8 mengalami penurunan viabilitas
pada saat setelah enkapsulasi. Hal ini dapat terjadi oleh beberapa faktor diantaranya
pada proses spray drying menggunakan suhu hingga 130C sehingga menyebabkan
sebagian L. plantarum Mar 8 yang tidak tersalut oleh dektrin dan VCO tidak dapat
bertahan hidup (mati) karena L. plantarum Mar 8 merupakan bakteri mesofil yaitu
bakteri yang dapat bertahan hidup sampai suhu 45oC (Costilow 1981). Akan tetapi
pada masing-masing konsentrasi VCO yang berbeda tidak ditemukan perbedaan yang
berarti, namun terlihat pada gambar 2, bahwa pada konsentrasi VCO 1% memiliki nilai
viabilitas yang lebih baik dibanding pada konsentrasi lainnya saat setelah enkapsulasi
yaitu sebesar 9,65 CFU/gr. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan minyak VCO
dengan konsentrasi 1% ke dalam penyalut dektrin dapat meningkatkan viabilitas L.
plantarum Mar8 setelah proses enkapsulasi dibandingkan dengan konsentrasi lainnya.
Untuk mengetahui perbedaan nilai viabilitas tiap perlakuan, analisis statistik dengan
SPSS (dengan taraf kepercayaan ()=0,05 maka perlakuan konsentrasi memberikan

467
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah koloni sebelum enkapsulasi. Hasil uji
Duncan(taraf 5%) menunjukkan bahwa semua perlakuan konsentrasi VCO memberikan
pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol terhadap jumlah koloni.
Hasil statistik juga menunjukkan perlakuan konsentrasi VCO memberikan pengaruh
berbeda nyata terhadap jumlah koloni setelah enkapsulasi pada rendemen, dan dengan
uji Duncan (taraf 5%) menunjukkan semua perlakuan konsentrasi VCO berbeda nyata
dibandingkan kontrol terhadap jumlah koloni kecuali konsentrasi 0,5%.

Gambar 2. Viabilitas L plantarum selama proses enkapsulasi

Hasil penyimpanan pada suhu 4oC


Setelah dilakukan analisis viabilitas sebelum dan setelah enkapsulasi, kemudian
dilakukan analisis viabilitas pada penyimpanan suhu 4C selama dua minggu. Pada
gambar 3. terlihat bahwa pada semua konsentrasi, L.plantarum Mar 8 tetap dapat hidup
pada suhu 4oC, karena pada suhu tersebut memang merupakan suhu yang paling cocok
untuk penyimpanan L.plantarum Mar 8. Sedangkan pada penambahan VCO semua
konsentrasi terlihat adanya pertumbuhan L.plantarum Mar 8. Penyimpanan pada suhu
4C semua konsentrasi VCO yaitu kontrol, 0,5%, 1%, 2% dan 3% masih dapat
memenuhi syarat minimum probiotik (10 CFU/gr).
Pada gambar 3 terlihat perbandingan tiap-tiap konsentrasi terhadap persen(%)
kontrol. Hal ini dimaksudkan untuk melihat pengaruh penambahan VCO terhadap
proses enkapsulasi dimulai dari setelah enkapsulasi sampai kepada perlakuan suhu
selama dua minggu. Secara statistik perlakuan konsentrasi memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap jumlah koloni minggu ke 2 pada suhu 4oC dengan rendemen.
Zamora et al (2006) menunjukkan bahwa kultur kering bakteri asam laktat yang
disimpan pada suhu dingin (4oC) mempunyai viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kultur kering yang disimpan pada suhu kamar. Selanjutnya Semyonov et al.
(2010) mengatakan bahwa mikroenkapsulasi secara luas dimanfaatkan untuk
meningkatkan umur simpan dan mempertahankan probiotik sifat kesehatan

468
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Hasil uji Duncan dengan taraf 5% menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi VCO
2% dan 3% memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol
terhadap jumlah koloni pada minggu ke 2.

Gambar 3. Viabilitas L plantarum selama penyimpanan 4oC

Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen hasil enkapsulasi dengan penyalut
dekstrin dan penambahan 2% VCO memberikan hasil yang tertinggi yakni seberat
20,425 g (51,06%). Sedangkan viabilitas setelah enkapsulasi yang relatif lebih baik dari
semua konsentrasi VCO yaitu pada penambahan VCO 1% dengan nilai log rata-rata
sebesar 9,645 CFU/g. Pada penyimpanan suhu 4oC selama 2 minggu masih dapat
memenuhi syarat minimum probiotik yakni 106CFU/g. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan minyak VCO dapat digunakan sebagai bahan penyalut untuk melindungi
probiotik Lactobacillus plantarum Mar8 serta memberikan informasi kepada pelaku
industri bahwa pembuatan serbuk Lactobacilus dapat dilakukan dengan metoda spray-
drying dan dengan penambahan VCO sebagai tambahan bahan penyalut

469
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar pustaka
Agrawal R. 2005. Probiotics: An emerging food supplement with health benefits.
Food Biotechnology 19:227-246
Azcarate-Peril MA, Tallon R, Klaenhammer TR. 2009. Temporal gene expression
and probiotic attributes of Lactobacillus acidophilus during growth in milk.
Journal of Dairy Science 92:870-886 based microcapsules and survival in
simulated gastrointestinal conditions and in yoghurt. International Dairy
Journal 14:505-515.
Brooks F, Geo, Butel S, Janet dan Morse A, Stephen. 2001. Mikrobiologi
Kedokteran Edisi Pertama. Penerjemah dan Editor : bagian Mikrobiologi
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Erlangga. Salemba Medika:
Jakarta
Burgain J, Gaiani C, Linder M, Scher J. 2011. Encapsulation of probiotic living
cells: From laboratory scale to industrial applications. Journal of Food
Engineering 104:467-483
Costilow RN. 1981. Manual of Methods for General Bacteriology. American
Society for Microbiology Washington DC.
Gibson G. 2000. Introduction. Dalam: G. Gibson dan F. Angus (Editors). LFRA
Ingredients Handbook: Prebiotics and Probiotics. LFRA Limited. Randalls
Road, Leather Shead, England.
Guarner F, Schaafsma GJ. 1998. Probiotics. International Journal of Food
Microbiology 39:237-238.
Hamilton-Miller JMT, Shah S. 2002. Deficiencies in microbiological quality and
labelling of probiotic supplements. International Journal of Food
Microbiology 72:175-176.
Klaenhammer TR. 2000. Probiotic bacteria: Today and tomorrow. Journal of
Nutrition 130:415S-416S
Krasaekoopt W, Bhandari B, Deeth H. 2003. Evaluation of encapsulation
techniques of probiotics for yoghurt. International Dairy Journal 13:3-13.119
Picot A, Lacroix C. 2004. Encapsulation of bifidobacteria in whey protein based
microcapsules and survival in simulated gastrointestinal conditions and in
yoghurt. International Dairy Journal 14:505-515.
Prado FC, Parada JL, Pandey A, Soccol CR. 2008. Trends in non-dairy probiotic
beverages. Food Research International 41:111-123.
Reid G. 2002. The Role of Cranberry and Probiotics in Intestinal and Urogenital
Tract Health. Critical Reviews in Food Science and Nutrition 42:293 -300
Rosenberg M, Kopelman IJ, and Talmon Y. 1985. A scanning electron microscopy
study of microencapsulation of volatile materials. Journal of Agricultural and
Food Chemistry. 38: 1288-1294.
Semyonov D, Ramon O, Kaplun Z, Levin-Brener L, Gurevich N, Shimoni E. 2010.
Microencapsulation of Lactobacillus paracaseiby spray freeze drying. Food
Research International 43:193-202.

Sultana K, Godward G, Reynolds N, Arumugaswamy R, Peiris P, Kailasapathy K.


2000. Encapsulation of probiotic bacteria with alginate-starch and evaluation
470
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

of survival in simulated gastrointestinal conditions and in yoghurt.


International Journal of Food Microbiology 62:47-55.
Timmerman HM, Koning CJM, Mulder L, Rombouts FM, Beynen AC. 2004.
Monostrain, multistrain and multispecies probiotics--A comparison of
functionality and efficacy. International Journal of Food Microbiology
96:219-233
Ukeyima MT, Enujiugha VN and Sanni TA. 2010. Current applications of
probiotic foods in Africa,AfricanJournal of Biotechnology; 9(4):197
Weinbreck F., Bodnr I., Marco ML. 2010. Can encapsulation lengthen the shelf-
life of probiotic bacteria in dry products? International Journal of Food
Microbiology 136:364-367.
Zamora LM, Carretero C, Pars D. 2006. ComparativeSurvival Rates of Lactic Acid
Bacteria Isolated from Blood, Following Spray-drying and Freeze-drying.
Food Science and Technology International:77-84.

471
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Keragaman Kadar Lovastatin dan Pigmen Dalam Angkak


Hasil Fermentasi Isolat Lokal Monascus Purpureus
Titin Yulinery*
Puslit Biologi- LIPI
Jl.Raya Bogor Jakarta km 46 Cibinong
*Penulis untuk korespondensi,
E-mail: tyulinery@yahoo.co.id

ABSTRAK

Angkak merupakan sumber lovastatin dan dapat digunakan untuk kepentingan medis.
Setiap angkak memiliki kandungan lovastatin yang berbeda beda, demikian juga dengan
pigmen yang dihasilkannya, karena adanya variasi kandunganlovastatin tersebut, perlu
dilakukan pengukuran kadar lovastatin dalam angkak sehingga dapat diketahui besarnya
manfaat angkak bagi kepentingan medis. Penelitian ini bertujuan menentukan kadar
lovastatin dan pigmen dalam angkak yang dihasilkan melalui fermentasi beras dengan
menggunakan kapang Monascus purpureus. Tujuh isolat lokal yang berasal dari berbagai
daerah di Indonesia dianalisa kadar lovastatin dengan menggunakan metode KCKT dan
analisis pigmen menggunakan metode spektrofotometri UV-tampak. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat keragaman kadar lovastatin dari berbagai isolat Monascus
purpureus. Kadar lovastatin tertinggi dihasilkan oleh isolat SR yang berasal dari Samarinda
yaitu sebesar 1,59 mg/l; kadar pigmen merah tertinggi dihasilkan oleh isolat SR (Samarinda)
dan BPA (Balikpapan) dan kadar pigmen kuning tertinggi juga dihasilkan oleh isolat SR.
Kadar pigmen diduga memiliki korelasi positif terhadap kadar lovastatin dalam angkak,
sehingga semakin pekat warna angkak menunjukkan kadar lovastatin yang semakin tinggi.

Kata Kunci: Angkak, Monascus purpureus, lovastatin, pigmen.

Pengantar
Berbagai macam penelitian terus dilakukan untuk mendapatkan senyawa aktif yang
berkhasiat sebagai obat. Senyawa aktif obat dapat diperoleh dengan metode fermentasi
(Erdogrul &Azirak(2004). Banyak mikroorganisme yang menghasilkan metabolit
sekunder pada saat fermentasi, salah satunya Monascus purpureus yang menghasilkan
metabolit sekunder berupa senyawa aktif lovastatin (Ma et al., 2000)
Angkak atau beras merah adalah produk fermentasi menggunakan kapang
Monascus sp.Angkak merupakan sumber lovastatin dan dapat digunakan untuk
kepentingan medis. Beras angkak yang diproduksi oleh Monascus purpureus dalam
farmakope Cina kuno telah didokumentasikan sejak Dinasti Ming (1368 -1644) dalam
mengatasi masalah kesehatan lambung(pencernaan, diare) dan revitalisasi darah.
Angkak dalam bentuk bubuk disebutnya sebagai ZhiTai dan ketika diekstraksi dengan
alkohol disebut XueZhiKang.
Penelitian yang dilakukan Ye et al. (2007) menyimpulkan bahwa terapi penurun
lemak dengan xuezhikang relatif aman dan efektif untuk pencegahan penyakit jantung
koroner pada lansia. Selanjutnya Zhao et al (2007) menyatakan bahwa terapi penurun

473
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

lipid tersebut telah terbukti mengurangi komplikasi makrovaskuler diabetes tipe 2.


Peneliti lain Kou et al. (1997) membandingkan antara xuezhikang dengan simvastatin
(Zocor) terhadap 108 pasien, namun tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan
antara kedua kelompok dalam kolesterol total, LDL, HDL maupun trigliserida,
sedangkan efek samping Zocor lebih banyak dibandingkan Xuezhikang. Hsieh & Tai
(2003), berhasil membuktikan bahwa penambahan seduhan angkak dapat menurunkan
tekanan darah pada tikus Sprague Dawley (SD) yang diinjeksi dengan fruktosa.
Berbagai jenis isolat Monascus purpureus ditemukan di Indonesia. Kasim et
al.,(2005) mengungkapkan keragaman dan keunikan spesies jenis ini yang berlimpah di
Indonesia. Studi fisiologi pertumbuhan dan sintesis metabolit sekunder dari isolat-isolat
kapang tersebut telah mengungkapkan potensi produksi bahan bioaktif lovastatin
sebesar 0,2-0,9%.
Angkak menghasilkan beberapa pigmen. Lee et al.,(2001), komponen pigmen yang
dihasilkan oleh kapang ini adalah rubropunktatin (merah), monaskorubin (merah),
monaskin (kuning), ankaflavin (kuning), rubropunktamin (ungu), dan
monaskorubramin (ungu). Di Jepang angkak juga disebut dengan Koji, Ang-Khak,
Beni-Koji, Red-Koji, dan di Eropah disebut Rotschimmelreis atau Red Mould (di USA)
(Bakosova et al. 2001).
Pigmen yang berasal dari angkak digunakan sebagai pewarna dan pengawet
makanan. Banyak jenis pewarna sintetis berbahaya bagi kesehatan manusia, oleh karena
itu diperlukan pencarian sumber pewarna alternatif untuk pewarna makanan alami yang
berasal dari mikroba. Pewarna makanan yang berasal dari mikroba relatif tinggi
stabilitasnya terhadap pH dan suhu (Pastrana et al., 1995)
Lee et al.,(2001)menyampaikan bahwa pembentukan pigmen ini dipengaruhi
konsentrasi glukosa dan etanol. Konsentrasi etanol di atas 4% (w/w) akan menghambat
pembentukan pigmen pada beras. Intensitas pigmen merah yang dihasilkan kapang
Monascus sp tergantung pada nutrisi dan kondisi lingkungannya. Pigmen bisa
mengindikasikan banyaknya lovastatin yang diproduksi. Prekursor pigmen lovastatin
dan citrinin adalah tetraketida (Hajjaj et al, 2000; Stocking & Williams, 2003).
Tetraketida selanjutnya disintesis menjadi pigmen dan lovastatin (Stocking dan
Williams, 2003). Reaksi dengan asam amino menghasilkan pigmen merah,
monascorubramine dan rubropunctamine yang larut dalam air (Dikshit & Tallapragada,
2011)
Beras angkak sebagai suplemen herbal sebaiknya tidak digunakan jika mempunyai
sifat alergi atau memiliki riwayat penyakit hati. Beberapa suplemen herbal harus dibeli
dari sumber yang dapat dipercaya untuk meminimalkan resiko kontaminasi.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kadar lovastatin dan
pigmen dalam angkak yang dihasilkan melalui fermentasi beras dengan menggunakan
beberapa isolat kapang Monascus purpureus.

Bahan dan Metode


Persiapan isolat Monascus purpureus
Isolat yang digunakan pada penelitian ini merupakan isolat-isolat lokal yang berasal
dari berbagai daerah yakni: 2 isolat dari Medan (isolat TP, TOS), 3 isolat dari Berastagi

474
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

(TA, SSA. SPS2) dan 1 isolat berasal dari Samarinda yakni isolat SR dan terakhir isolat
BPA berasal dari Balikpapan.
Masing-masing isolat diremajakan dalam media Malt Extract Agar miring kemudian
diinkubasi pada suhu 30oC, sampai seluruh permukaan media tertutupi oleh
pertumbuhan kapang Monascus purpureus.

Fermentasi beras menggunakan isolat Monascus purpureus


Fermentasi ini dilakukan untuk memproduksi angkak, Substrat yang digunakan
adalah beras IR42. Sebanyak 25 g beras dicuci bersih, lalu direndam dengan air selama
18 jam dan ditiriskan. Beras yang telah ditiriskan di sterilisasi dengan otoklaf pada suhu
121oC selama 20 menit. Beras didinginkan, kemudian diinokulasi dengan isolat M
purpureus . Campuran ini diaduk dengan rata menggunakan sendok steril, lalu
diinkubasi pada suhu 30oC selama 10-14 hari. Setelah selesai inkubasi, angkak
dikeringkan dengan oven pada suhu 50oC sampai kering. Lama pengeringan 24 jam.
Angkak yang telah kering, dihaluskan dengan blender untuk bahan kering. Serbuk
angkak yang telah jadi disimpan dalam wadah steril untuk kemudian dilakukan analisis
kadar lovastatin, kadar pigmen merah dan pigmen kuning.

Analisis kadar Lovastatin


Kadar lovastatin ditentukan dengan metode KCKT. Instrumen yang digunakan
adalah KCKT Shimadzu LC20AB dengan detector UV dan kolom C8. Kadar
lovastatin diukur pada panjang gelombang 235nm dengan suhu kontak kolom 45oC.
Fase gerak yang digunakanadalah asetonitril dan H3PO4 0,1% dengan perbandingan
65:35
Bubuk angkak ditimbang sebanyak 1 g, kemudia di tambah dengan 2 ml asetonitril
dan 0,1 ml H3PO4 0,1%. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu ruang selama 30
menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama10 menit.
Supernatan diambil, lalu dikeringkan dengan freeze dryer. Ekstrak kering tersebut
dilarutkan kembali dengan 1 ml fase gerak. Larutan disaring menggunakan kertas
saring dengan ukuran 0,45 l, kemudian diinjeksikan pada kolom KCKT dengan
volume injeksi 20 l dan laju alir fase gerak 1ml/menit.

Analisa kadar pigmen


Kadar pigmen dari angkak ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer
UV tampak. Serbuk angkak ditimbang sebanyak 0,05 g, kemudian pigmen diekstrak
menggunakan 10 ml methanol dan dilakukan pengocokan selama 24 jam. Ekstrak yang
dihasilkan disaring, kemudian filtratnya diencerkan dengan faktor pengencaran sebesar
25. Kadar pigmen dalam larutan tersebut diukur dengan spektrofotometer UV
Shimadzu Pharmaspec 1700 pada panjang gelombang 390 nm untuk mengukur pigmen
kuning dan 500 nm untuk mengukur pigmen merah.

Hasil dan Pembahasan


Analisis kadar lovastatin dapat dilakukan dengan menggunakan KCKT dengan
proses pemisahan fase terbalik. Sampel angkak diekstrak dengan campuran pelarut
asetonitril dan H3PO4 0,1% karena lovastatin termasuk senyawa polar dan tidak larut
475
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

dalam air maka untuk mengekstraknya diperlukan pelarut yang bersifat polar seperti
asetonitril. Scoot (2012) mengatakan asetonitril pada dasarnya adalah pelarut polar
yang larut dengan air tetapi memiliki dispersif yang cukup (hidrofobik) untuk
mengelusi zat dari kolom kromatografi cair.
Untuk memaksimalkan jumlah lovastatin yang terekstrak dalam sampel angkak
diperlukan inkubasi 30 menit dalam suhu ruang. Sampel perlu dikering bekukan
dengan freeze drying tujuannya adalah untuk menstabilkan lovastatin serta
menghilangkan pengotor-pengotor dengan bobot molekul yang rendah dan mudah
menguap bersama dengan pelarut.
Metode KCKT dipilih untuk mengukur kadar lovastatin karena lovastatin
merupakan senyawa yang termolabil. Metode KCKT lebih sensitif, presisi dan akurasi
yang lebih baik serta limit deteksi yang lebih rendah serta mudah digunakan jika
dibandingkan dengan metode lain seperti metode elektroforesis kapiler (Rajh et al.,
2003; Orkoula et al., 2004)
Pemisahan lovastatin menggunakan suhu kolom 45oC, hal ini dilakukan agar supaya
proses pemisahan berlangsung lebih cepat sehingga dapat mempersingkat waktu retensi.
Harvey (2000) dalam penelitiannya mengatakan bahwa pada pemisahan fese terbalik,
senyawa paling polar hanya tertahan dalam waktusingkat pada fase stasioner dan zat
yang terlarut pertama yang terelusi dari kolom.
Hasil pengukuran lovastatin yang memiliki konsentrasi 1000 mg/l memberikan
waktu retensi sebesar 8,429 menit dan luas area sebesar 36542910. Kadar lovastatin
diperoleh dengan membandingkan luas area sampel dan luas area standar. Hasil
penelitian pengukuran lovastatin menunjukkan bahwa semua isolat M. purpureus
yang digunakan mampu menghasilkan lovastatin.
Pada Tabel 1. dapat dilihat hasil analisis kadar lovastatin dari ke tujuh isolat
Monascus purpureus yang sangat bervariasi antara 436,28-1.588,11 mg/l dengan bobot
lovastatin 0,44-1,59 mg/g angkak. Kadar lovastatin tertinggi dihasilkan oleh isolat SR
(dari Samarinda) yakni 1588,1 mg/l sedangkan kadar lovastatin terendah dihasilkan
oleh isolat SPS2 (dari Berastagi) yakni 436,28 mg/l. Hal ini menunjukkan keragaman
angkak dari beberapa isolat Monascus yang digunakan dan masing-masing isolat
mempunyai kemampuan yang berbeda beda dalam menghasilkan lovastatin. Kadar
lovastatinnya ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Lopez et al.,(2004) yang
mengemukakan bahwa kadar lovastatin yang dihasilkan oleh A. tereus bervariasi dari
47,2 mg/l 202.8mg/l. Selanjutnya Kasim et al (2005) membuktikan 19 isolat M.
purpureus dapat menghasilkan lovastatin dengan kadar yang bervariasi. Kadar
lovastatin tertinggi dihasilkan oleh isolat JmbA yakni sebesar 0,92%, sedangkan yang
terendah dihasilkan oleh isolat MlgA yaitu sebesar 0,05%.
Demikian juga dengan bobot lovastatin dalam angkak tersebut (Gambar 1). Bobot
lovastatin yang tertinggi dihasilkan oleh isolat SR yakni 1,59 mg/g angkak dan bobot
lovastatin terendah dihasilkan oleh SPS2 yakni 0,44 mg/g angkak.

476
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 1. Hasil pengukuran kadar lovastatin angkak.


Isolat Kadar lovastatin (mg/l) Bobot lovastatin (mg/g angkak)
TP 826.25 0.83
TOS 477.6 0.48
TA 701.63 0.70
SSA 670.60 0.67
SR 1588.11 1.59
SPS2 436.28 0.46
BPA 1071.73 1.07

Gambar 1. Kadar lovastatin(mg/l) angkak dari masing-masing isolat M.purpureus

Isolat M. purpureus mengandung bermacam-macam pigmen terutama


mengandung pigmen merah dan kuning. Menurut Erdogrul dan Azirak (2004)
Monascus sp. memproduksi pgmen-pigmen, antara lain pigmen jingga (Monascorubin
dan Rubropunctatin) pigmen kuning (Monascin dan Ankaflavin dan pigmen merah
(Monacorbramin dan Rubropunctamin).
Ekstraksi pigmen merah dan kuning M purpureus dari sampel angkak dilakukan
dengan menggunakan methanol. Ekstrak pigmen yang dihasilkan lalu diencerkan
menggunakan metanol dengan faktor pengenceran sebesar 25. Hal ini dilakukan karena
ekstrak yang dihasilkan terlalu pekat sehingga alat tidak terbaca oleh detector. Selama
diekstrak dilakukan pengocokan selama 24 jam. Pengocokan ini bertujuan
memaksimalkan jumlah pigmen yang terekstrak. Selanjutnya dilakukan pengukuran
kadar pigmen merah dan kuning tersebut dengan menggunakan spektrofotometer UV
tampak dengan panjang gelombang yang berada pada kisaran daerah sinar tampak.
Pigmen kuning diukur pada panjang gelombang 390 nm, sedangkan pigmen merah
diukur pada panjang gelombang 500 nm sesuai yang dilakukan oleh Yulinery dan
Nurhidayat (2012)

Tabel 2. Hasil pengukuran kadar pigmen merah dan kuning angkak.


Isolat Kadar pigmen merah Kadar pigmen kuning
(=390 nm) (=500 nm)
TP 0.0755 0.1270
TOS 0.0500 0.0835

477
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

TA 0.0550 0.1145
SSA 0.0740 0.2990
SR 0.2230 0.1135
SPS2 0.0630 0.1135
BPA 0.2230 0.1175

Gambar 2. Kadar pigmen merah (=390 nm) dari beberapa isolat M.purpureus

Gambar 3. Kadar pigmen kuning (=500 nm) dari beberapa isolat M.purpureus

Rata-rata absorban pigmen kuning tertinggi dihasilkan oleh isolat SR yaitu sebesar
0,29990; sedangkan rata-rata absorban pigmen kuning terendah dihasilkan oleh isolat
TA, yaitu sebesar 0,0835. Rata-rata absorban pigmen merah tertinggi dihasilkan oleh
isolate SR dan BPA, yaitu sebesar 0,2230; sedangkan rata-rata absorban pigmen kuning
terendah dihasilkan oleh isolat TOS yaitu sebesar 0,0500 (Tabel 2)
Berdasarkan hasil pada Gambar 2 dan 3, setiap isolat M purpureus memiliki
kemampuan yang berbeda-beda dalam memproduksi pigmen, baik pigmen kuning
maupun pigmen merah. Produksi pigmen tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor
lingkungan, antara lain kelembaban, oksigen/aerasi, pH, suhu, dan kualitas inokulum
(Timotius, 2004).

478
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Pengukuran absorban pigmen kuning dan pigmen merah angkak dapat menjadi
indikator penentuan kadar pigmen-pigmen tersebut. Hal ini didasarkan pada hukum
Lambert-Beer yang menunjukkan hubungan linier antara absorban dan konsentrasi
(Harvey, 2000). Berdasarkan hubungan tersebut dapat diketahui bahwa isolat SR
memiliki kadar pigmen kuning tertinggi; isolat SR dan BPA memiliki kadar pigmen
merah tertinggi; dan isolat TA dan TOS masing-masing memiliki kadar pigmen kuning
dan pigmen merah terendah.
Hubungan linier antara kadar pigmen dan kadar lovastatin dapat diduga melalui uji
korelasi. Korelasi antara dua peubah tersebut dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi
(p). Nilai pyang mendekati1 atau -1 menunjukkan terdapat korelasi antara kedua
peubah, sedangkan nilai p yang mendekati 0 menunjukkan tidak terdapat korelasi antara
kedua peubah. Korelasi antara dua peubah dapat juga dilihat dari nilai peluang nyata
(p-value). Jika lebih kecil dari taraf nyata, maka terdapat korelasi yang nyata antara
kedua peubah tersebut (Mattjik & Sumertajaya, 2006).
Uji korelasi antara kadar pigmen kuning dan kadar lovastatin menghasilkan nilai p
sebesar 0,863 dan p-value sebesar 0,012; sedangkan kadar pigmen merah dan kadar
lovastatin menghasilkan nilai p sebesar 0,882 dan p value sebesar 0,009. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa terdapat korelasi atau hubungan linier yang positif antara kadar
pigmen, baik pigmen kuning maupun merah dan kadar lovastatin. Berdasarkan uji
korelasi tersebut , peningkatan kadar pigmen sebanding dengan peningkatan kadar
lovastatin. Hal tersebut diduga dapat menjadi indikator bagi konsumen dalam memilih
angkak. Angkak yang memiliki warna pekat menunjukkan kadar lovastatin yang tinggi.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat keragaman dari
kadar lovastatin,kadar pimen merah dan kuning dari beberapa isolat M.purpureus.
Kadar lovastatin tertinggi dihasilkan oleh isolat SR, yaitu sebesar 1.588,11 mg/l; kadar
pigmen kuning tertinggi dihasilkan oleh isolate SR dan kadar pigmen merah tertinggi
dihasilkan oleh isolate SR dan BPA. Kadar pigmen diduga memiliki korelasi positif
terhadap kadar lovastatin dalam angkak, sehingga semakin pekat warna angkak
menunjukkan kadar lovastatin yang semakin tinggi.
Penggunaan angkak untuk konsumen sebaiknya memilih warna merah yang pekat,
sehingga memiliki manfaat yang lebih besar untuk kepentingan medis.

Ucapan terima kasih


Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Dr.Novik Nurhidayat yang telah
memberikan ide dan bimbingannya selama penelitian berlangsung. Selanjutnya kepada
Ibu Dra.Ernawati Kasim,MSc dan Ratih Handayani yang terlibat dalam penelitian ini.

479
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar Pustaka
Bakosova, A., Mate, D., Laciakova, A., Pipova, M. 2001. Utilization of Monascus purpureus
in the production of foods of animal origin. Bull. Vet. Inst. Pulawy, 45: 111-116.
Dikshit R and P Tallapragada. 2011. Monascus purpureus: A potential source for natural
pigment production J. Microbiol. Biotech. Res. Vol. 1(4):164-174
Erdogrul O and S Azirak. 2004. Riview of The Studies on The Red Yeast Rice (M
purpureus ). Turkish Electronic Journal of Biotechnology. Vol.2:37-49
Hajjaj H, A Klaebe, G Goma, PJ Blanc, E Barbier and J Francois. 2000. Medium Chain
Fatty Acids affect citrinin production in the filamentous fungus monascus ruber.
Appl. Environ. Microbiol. Vol. 66(3):1120-1125.
Harvey D.2000. Modern Analytical Chemistry. USA: McGraw-Hill.
Hsieh PS and YH Tai. 2003. Aquaeous Extract of Monascus purpureus M9011 Prevents and
Reverses Fructose-Induced Hypertension in Rats, Journal of Agricultural and Food
Chemistry. Vo.l51:3945-3950
Kasim E, S Astuti, dan N Nurhidayat. 2005. Karakterisasi pigmen dan kadar lovastatin
beberapa isolat Monascus purpureus. Biodiversitas 6 (4): 245-247.
Kou W, Z Lu, J Guo. 1997. Effect of xuezhikang on the treatment of primary
hyperlipidemia. Zhonghua Nei Ke Za Zhi. Vol. 36(8):529-31.
Lee BK, NH Park, HY Piao, and WJ Chung. 2001. Production of Red Pigments by
Monascus purpureusin Submerged Culture Biotechnol. Bioprocess Eng.Vol. 6: 341-
34
Lopez C , JAS Perez , JMF Sevilla , FGA Fernandez , EM Grimaand, Y Chisti. 2004.
Fermentation optimization for the production of lovastatin byAspergillus terreus: use
ofresponse surface methodology. J Chem Technol Biotechnol Vol.79:11191126
Ma J, Y Li, Q Ye, J Li, Y Hua, D Ju, D Zhang, R Cooper and M Chang. 2000. Constituents
of Red Yeast Rice, a Traditional Chinese Food and Medicine. J.Agric.Food Chem.
Vol.48: 5220 5225.
Maattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab Jilid 1, Ed ke-2. Bogor:IPB Press.
Orkoula MG, Kontoyannis CG, Markopoulou CK, Koundourellis JE. 2004. Development of
mothodologist based on HPLC and raman spectroscopy for monitoring the stability
of lovastatin in solid state in the presence of gallic acid. Pharmaceutical and
Biomedical Analysis 35:1011-1016.
Pastrana, L, PC Blanc, MO Santerre, O Loret and G Goma. 1995. Production of red
pigments by production of foods of animal origin. Bull. Vet. Inst. Pulawy. 45: 111-
116
Rajh SJ, Kreft S, Strukelj B, Vrecer F. 2003. Comparison of CE and HPLC methods for
determining lovastatin and its oxidation products after exposure to an oxidative
atmosphere. CCACAA 76(3):263-268
Scott RPW. 2012. Principles and Practice of Chromatography (Chrom-Ed Book Series)
[Kindle Edition]
Reese-Scott Partnership pub. p.140
Stocking EM & RM Williams. 2003. Chemistry and Biology of Biosynthetic Diels-Alder
Reactions. Angew. Chem. Vol.42:3078-3115
Timotius KH. 2004. Produksi pigmen angkak oleh Monascus. Jurnal Teknologi dan Industri
PanganVol.15(1):79-85
Yulinery T dan N Nurhidayat. 2012. Analisa Kandungan Lovastatin, Pigmen dan Citrinin
Pada Fermentasi Beras IR-42 Dengan Mutan Monascus purpureus. Berita Biologi.
Vol.11(1):121-131.

480
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Ye P, ZL Lu, BM Du, Z Chen, YF Wu, XH Yu, YC Zhao. 2007. Effect of xuezhikang on


cardiovascular events and mortality in elderly patients with a history of myocardial
infarction: a subgroup analysis of elderly subjects from the China Coronary
Secondary Prevention Study.J Am Geriatr Soc. Vol. 55(7):1015-22.
Zhao SP, ZL Lu, BM Du, Z Chen, YF Wu, XH Yu, YC Zhao, L Liu, HJ Ye, ZH
Wu.2007.Xuezhikang, an extract of cholestin, reduces cardiovascular events in type 2
diabetes patients with coronary heart disease. J Cardiovasc Pharmacol. Vol. 49(2):81-
4.

481
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Seleksi Bacillus Spp. Terhadap Aktivitas Enzim


Amilase Dalam Larutan Substrat Tepung Talas

Sri Hartin Rahaju1


1
Pusat Penelitian Biologi - LIPI
Jl. Raya Jakarta-Bogor km 46, Cibinong
Email : hartinrm@yahoo.co.id

ABSTRAK

Indonesia selain berlimpah dengan bahan baku tepung juga kaya dengan sumber daya
mikroba, namun pemanfaatannya belum maksimal. Oleh karena itu pengujian ini ditujukan
untuk memperoleh Bacillus spp yang berpotensi dan informasinya tentang aktivitas enzim
amilase dalam larutan substrat tepung talas untuk menentukan konstanta michaelis menten
(Km) dan kecepatan maximum (Vmaks) dari Bacillus sp. terseleksi. Pengujian dilakukan
bertahap yaitu peremajaan bakteri, tahap propagasi bakteri, produksi enzim, penyeleksian
bakteri, dan penentuan Vmaks dan Km bakteri terseleksi. Bakteri yang diseleksi yaitu
Bacillus sp. CW-1, Bacillus sp. SW-2, B. laterosporus, B. cereus, B. stearo, B. circulans, B.
badius A, B. panthotericus. Uji aktivitasnya menggunakan substrat tepung dapat larut,
tepung talas dan isolat dengan aktivitas tertinggi ditentukan Vmaks dan Km-nya berdasarkan
metode Linewearver-Burk menggunakan data aktivitas enzim pada beberapa variasi
konsentrasi substrat (0.25%; 0.5%; 1%; 2%; 3%; 4%; dan 5%) dan waktu inkubasi (10
menit, 20 menit, 30 menit dan 40 menit). Dari hasil seleksi diperoleh bakteri B.
panthotenticus yang memiliki aktivitas amilase yang paling baik. Nilai Vmaks terbaik pada
waktu inkubasi 10 menit, nilai Km terendah diperoleh pada waktu inkubasi 30 menit.
Berdasarkan hasil uji waktu inkubasi yang memperoleh hasil degradasi yang terbaik yaitu
pada waktu inkubasi 10 menit karena waktu inkubasi lebih cepat dan laju degradasi substrat
lebih tinggi.

Kata kunci: Bacillus sp., enzim amilase, substrat tepung talas dan waktu inkubasi

Pengantar
Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki bahan baku tepung berlimpah
seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu, jagung, talas, pisang, dan lain-lain. Tepung digunakan
sebagai bahan dasar industri makanan, juga untuk keperluan farmasi, tekstil, lem, serta
keperluan industri bioteknologi (monosodium glutamat, dekstrosa dll). Glukosa,
fruktosa merupakan turunan dari tepung jagung, tapioka, gandum, padi, kentang, dan
sagu. Pengembangan tepung menjadi produk biologis melalui proses fermentasi telah
banyak dilakukan, namun enzim yang digunakannya sebagian besar masih import.
Dalam proses fermentasi tepung diperlukan enzim amilase dari mikroba yang
berpotensi mampu menghidrolisis tepung menjadi gula. Beberapa kegunaan amilase
adalah sebagai suplemen dalam aktivitas diastatik (Whitaker, 1972), menyempurnakan
dalam mencerna beberapa bahan makanan ternak sehingga membuat makanan lebih
berguna (Rutten dan Daugulis, 1987). Kegunaan lain adalah sebagai bahan mentah
483
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

untuk membantu pencernaan makanan (Pamatong, 1991), degradasi tepung dalam


proses pembuatan tekstil (Bajpai dan Bajpai, 1987) dan memperbaiki tekstur roti
(Lowry et al., 1951).
Telah diketahui dari beberapa penelitian terdahulu bahwa sebagian besar bakteri
genus Bacillus spp. merupakan genus yang memiliki aktivitas amilolitik dan ada pula
genus lain yang memiliki aktivitas amilolitik. Holt (1977) melaporkan, lebih dari 142
jenis bakteri mampu menggunakan tepung sebagai sumber karbon dan energi. Bakteri-
bakteri tersebut akan mengeluarkan enzim-enzim untuk mendegradasi substratnya dan
produknya akan digunakan untuk metabolismenya. Dalam mendegradasi substrat
amilum, bakteri amilolitik mengeluarkan enzim amilolitik yang menghasilkan produk
akhir berupa glukosa, maltose, maltotriosa, maltotetraosa, dan maltoheksosa (Nigam &
Singh, 1995). Speses-spesies Bacillus spp. sangat beragam, namun secara filogenik
[berdasarkan sekuens gen (tRNA)] memiliki kesamaan dalam cirri-ciri morfologi,
fisiologi dan ekologi. Bacillus spp. yaitu bakteri berbentuk batang yang merupakan
gram positif yang mampu membentuk endospora (Nigam & Singh, 1995).
Standar aktivitas enzim telah ditetapkan oleh Komisi Enzim Internasional yaitu
jumlah substrat (M) yang diubah menjadi produk per menit pada kondisi lingkungan
tertentu. Maka digunakan metode pengukuran jumlah produk atau gugus peroduksi
yang dibentuk (Robyt, 1984), reagen yang digunakan yaitu reagen asam 3,5-
dinitrosalisilat adalah reagen yang sangat baik dan relative mudah dalam memberikan
hasil kualitatif jumlah gugus pereduksi yang dihasilkan dari reaksi hidrolisis tepung
oleh enzim amilase.
Indonesia selain berlimpah dengan bahan baku tepung juga kaya dengan sumber
daya mikroba, namun pemanfaatannya belum maksimal. Oleh karena itu pengujian ini
ditujukan untuk memperoleh Bacillus spp yang berpotensi dan informasinya tentang
aktivitas enzim amilase dalam larutan substrat tepung talas untuk menentukan konstanta
michaelis menten (Km) dan kecepatan maximum (Vmaks) dari Bacillus sp. terseleksi.

Bahan dan Metoda


Dalam penelitian ini dilakukan pekerjaan bertahap yaitu peremajaan bakteri, tahap
propagasi bakteri, produksi enzim, penyeleksian bakteri, dan penentuan Vmaks dan Km
bakteri terseleksi.
Bakteri yang diseleksi terdiri dari 8 (delapan) isolat yang berasal dari beberapa
daerah yaitu Bacillus sp. CW-1 (Ciseeng, Bogor), Bacillus sp. SW-2 (Serpong,
Tangerang), B. laterosporus (Lombok), B. cereus (Bogor), B. stearo (Lombok), B.
circulans (Lombok), B. badius A (Lombok), B. panthotenticus (Lombok). Dilakukan
peremajaan bakteri-bakteri yang akan diseleksi dalam media LB (agar, tripton, NaCl,
ekstrak khamir, tepung dapat larut, tepung talas dan aquades) agar miring steril dan
diinkubasi dalam inkubator pada suhu 370C selama 48 jam. Setelah tumbuh dari setiap
bakteri tersebut diambil 1 ose ditumbuhkan dalam petri berisi media padat LB ditambah
Soluble Starch 1% selama 48 jam pada suhu kamar dan diuji amilum dengan
meneteskan larutan jodium dan terlihat zona beningnya. Selanjutnya dari setiap bakteri
tersebut diambil 2 ose ditumbuhkan dalam media LB cair (50 ml) kemudian dishaker
150 rpm selama 24 jam pada suhu kamar.

484
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Produksi enzim dilakukan setelah kultur media propagasi memiliki rapat optis 0.5
pada 600 nm, kemudian kultur tersebut ditumbuhkan/fermentasi dalam 50 ml media LB
cair-tepung talas secara aseptik dan di dishaker 150 rpm selama 48 jam pada suhu
kamar. Selanjutnya 8 bakteri tersebut disentrifus dengan kecepatan 12.000 rpm selama
15 menit, supernatant disimpan dan dianggap sebagai enzim (crude enzyme). Kemudian
dari ke 8 isolat tersebut diuji aktivitasnya dengan menggunakan substrat tepung dapat
larut. Substrat 0.25 ml (2% tepung dapat larut dalam 0.05 M buffer fosfat pH 7.0) dan
0.25 ml buffer fosfat dimasukkan kedalam tabung reaksi, diinkubasi dalam penangas air
suhu 400C selama 5 menit, kemudian ditambah 0.5 ml enzim dan diinkubasi lagi dalam
penangas air suhu 400C selama 10 menit, kemudian ditambah 1 ml reagen DNS
(dinitrosalycilic acid) lalu divorteks dan disimpan di air mendidih selama 5 menit.
Setelah dingin larutan diencerkan 10 kali dengan aquades dan diukur rapatan optisnya
(OD) dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.
Isolat yang memiliki OD tinggi yaitu isolat yang memiliki aktivitas tertinggi dan
akan dipilih untuk ditentukan Vmaks dan Km-nya. Satu unit aktivitas enzim
didefinisikan sebagai jumlah enzim yang melepaskan 1 mol gula pereduksi/menit
setara dengan 1 mol glukosa/menit (Bernfeld, 1955 dan Lehninger, 1982). Penentuan
Vmaks dan Km dilakukan berdasarkan metode Linewearver-Burk menggunakan data
aktivitas enzim pada beberapa variasi konsentrasi substrat (0.25%; 0.5%; 1%; 2%; 3%;
4%; dan 5%) dan waktu inkubasi (10 menit, 20 menit, 30 menit dan 40 menit).

Hasil dan Pembahasan


Kedelapan jenis bakteri Bacillus spp. tumbuh subur di media padat yang
mengandung pati 1% sebagai sumber karbon dan energi. Selain dapat tumbuh dengan
baik, bakteri Bacillus spp. tersebut juga dapat memecah pati menjadi senyawa yang
lebih sederhana sehingga di sekitar bakteri Bacillus spp. tersebut terlihat zona bening
karena di atas permukaan media tersebut ditetesi larutan jodium. Zona bening terlihat
karena area tersebut sudah tidak mengandung tepung.
Sebelumnya dilakukan peremajaan bakteri ditujukan untuk bakteri yang baru dan
muda yang berada pada fase eksponential. Bakteri pada umumnya akan memproduksi
enzim dalam jumlah yang optimal dalam fase eksponential atau akhir fase eksponential.
Pada fase eksponensial, sel telah beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Sel akan
tumbuh dengan cepat, sehingga massa sel dan jumlah sel akan bertambah secara
eksponensial terhadap waktu, terjadi balance growth yaitu semua komponen dalam sel
tumbuh dengan kecepatan yang sama. Komposisi sebuah sel mendekati konstan. Pada
balance growth, laju pertumbuhan spesifik akan sama baik ditentukan secara massa sel
ataupun jumlah sel. Konsentrasi nutrien pada fase ini besar, maka laju pertumbuhan
tidak dipengaruhi oleh konsentrasi nutrien. Laju pertumbuhan pada fase eksponensial
mengikuti persamaan diferensial (Shuler and Kargi, 1992).
Pengukuran rapatan optis didasarkan pada hamburan cahaya monokromatis oleh
bakteri Bacillus spp. (bakteri) dimana sel memiliki ukuran yang tetap maka hamburan
cahaya sebanding dengan jumlah bakteri. Dalam beberapa penelitian dinyatakan bahwa
aktivitas enzim amilase bertambah selaras dengan bertambahnya pertumbuhan sel
(Robyt, 1984). Oleh karenanya rapat optis semua isolat disamakan menjadi 0.5 setara
dengan 108 bakteri ketika akan difermentasikan pada media.
485
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Substrat pati talas pada tahap fermentasi akan menginduksi sintesis enzim amilase
(Fogarty, 1983) dimana pati talas berperan sebagai induser bagi bakteri untuk
mensekresikan enzim amilase, selain itu pati talas yang mengandung kalsium akan
meningkatkan produksi enzim amilase oleh bakteri (Muchtadi dkk., 1992). Karena
bakteri mengeluarkan enzim amilase untuk mendegradasi tepung menjadi senyawa-
senyawa sederhana yang akan digunakan untuk aktivitas metabolismenya (Colby,
1985).
Amilase merupakan enzim ekstraseluler, dan pada tahap fermentasi enzim tersebut
bekerja diluar sel dan terdapat dalam media fermentasi. Pemisahan enzim amilase
dikerjakan dengan cara sentrifugasi pada 12.000 rpm, dan enzim berada dalam
supernatan sehingga dianggap sebagai enzim kasar (crude enzyme).
Enzim dari masing-masing isolat diproduksi dan ditentukan aktivitasnya dengan
menggunakan substrat tepung dapat larut. Pati dapat larut digunakan agar larutan tidak
berbentuk koloid/keruh sehingga tidak mengganggu pembentukan senyawa berwarna
dan pengukurannya secara spektrofotometri (Whitaker, 1994). Aktivitas enzim yaitu
jumlah enzim yang melepaskan 1 mol gula pereduksi /menit atau setara dengan 1
mol glukosa/menit (Bernfeld, 1955). Setelah dilakukan seleksi beberapa bakteri
Bacillus spp. maka diperoleh Bacillus yang memiliki aktivitas enzim yang paling baik
adalah B. panthotenticus yaitu 0.6554 (Grafik 1), berarti bahwa enzim amilase yang
disekresikan oleh B. panthotenticus memiliki daya amilolitik yang paling baik dan
mampu menghasilkan glukosa sebesar 0.6554 mol setiap menit dari tiap volume (ml)
substrat. Oleh karenya B. panthotenticus merupakan bakteri yang terseleksi dan dipilih
untuk digunakan pada penelitian berikutnya, yaitu penentuan nilai Vmaks dan Km
enzim.

Grafik 1. Diagram seleksi beberapa Bacillus spp. terhadap aktivitas enzim amilase

Penetuan parameter kinetika enzim yaitu penentuan nilai Km, adalah afinitas enzim
yang bereaksi dengan substrat dan mengetahui nilai Vmaks, yaitu laju perpecahan
substrat oleh enzim (Bergneyer, 1983). Penelitian dilakukan dengan konsentrasi substrat
486
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

pada berbagai variasi waktu inkubasi (Grafik 2), bahwa pada waktu inkubasi yang sama
dan perlakuan konsentrasi substrak semakin besar diperoleh enzim amilase semakin
besar pula. Pada konsentrasi yang rendah, aktivitas enzim yang terukur juga rendah. Hal
ini karena pada kondisi itu tidak semua enzim amilase tidak berada dalam kompleks
enzimsubstrat (ES)yang kemudian menghasilkan produk berupa glukosa yang terukur.
Ada sebagian enzim tidak bereaksi karena sedikitnya substrat, dalam hal ini substrat
berperan sebagai pereaksi pembatas ( Lehninger, 1982 dan Primrose, 1987).
K1 k3

E+S ES E+P

K2

Kecepatan reaksi (aktivitas) meningkat ketika konsentrasi substrat bertambah,


dikarenakan seluruh enzim terjenuhi oleh substrat. Pada kondisi ini semua enzim
amilase bebas E akan berubah menjadi bentuk ES. Kompleks ES terus menerus
terbentuk dan dengan cepat terurai menghasilkan produk (P) glukos dan enzim amilase
bebas E. Pada konsentrasi substrat yang cukup tinggi, enzim bebas E segera berikatan
dengan molekul S yang lain. Pada keadaan ini tercapai suatu keadaan seimbang dengan
enzim amilase yang senantiasa jenuh oleh subtract dan tercapai kecepatan maksimum
(Vmaks). Aktivitas enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya konsentrasi
substrat, pH, suhu, dan inhibitor/penghambat (Campbell, 1987). Enzim adalah
katalisator biologis, karena suatu katalisator merupakan suatu senyawa yang
mempercepat laju reaksi kimia. Hampir semua reaksi kimia yang penting bagi
kehidupan akan berlangsung sangat lambat tanpa adanya katalisator yang sesuai.
Dikatakan pula bahwa mekanisme kerja enzim berlangsung dalam dua tahap. Banyak
enzim menggunakan lebih dari satu substrat tetapi untuk memahami prinsip dasar kerja
enzim dengan mudah dengan memperhatikan reaksi enzim dengan satu substrat seperti
berikut (Primrose, 1987), segera setelah enzim bergabung dengan substratnya, akan
bebas kembali.

487
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Grafik 2. Diagram aktivitas enzim amilase dari B. panthotenticus.

Terjadi hubungan regresi linier posisif nyata antara penambahan substrat dengan
aktivitas enzim yang berarti semakin tinggi subtrat yang didegratasi akan semakin tinggi
pula aktivitas enzim yang diperoleh (Grafik 2). Namun semakin lama waktu inkubasi
aktivitas enzim amilase menjadi turun yang terbaik lama inkubasi 10 menit terlihat pada
garis regresi linier. Menurut Miller (1959), dalam reaksi enzimatik tersebut glukosa
yang terukur dapat berkurang karena glukosa teroksidasi oleh oksigen terlarut menjadi
asam uronat, Proses oksidasi glukosa juga dipengaruhi oleh lamanya inkubasi. Maka
kecilnya nilai aktivitas ini tidak menunjukkan rendahnya daya amilolitik enzim karena
glukosa produk bereaksi lebih lanjut menjadi asam uronat sehingga glukosa yang
terukur menjadi rendah.
Berdasarkan beberapa variasi waktu inkubasi (Grafik 3), diperoleh Vmaks terbaik
yaitu pada waktu inkubasi 10 menit, yaitu 0.4825 Unit, berarti kecepatan maksimum
enzim dalam merubah substrat menjadi produk yaitu 0.4825 mol/menit. Semakin
tinggi nilai Vmaks akan semakin baik karena akan semakin banyak pati terdegradasi
menjadi produk dalam waktu yang sama. Oleh karenanya enzim yang memiliki nilai
Vmaks yang besar akan menghasilkan jumlah produk yang lebih banyak dalam satuan
waktu dan jumlah substrat yang sama.
Semakin kecil nilai Km suatu enzim akan semakin baik, karena nilai Km yang
rendah menunjukkan tingginya afinitas enzim terhadap substrat, sehingga semakin
rendah konsentrasi enzim yang diperlukan untuk mencapai kecepatan reaksi maksimum
(Fogarty, 1983). Nilai Km menunjukkan banyaknya enzim yang diperlukan untuk
menghidrolisis 1 ml substrat. Dalam praktiknya, enzim yang yang memiliki nilai Km

488
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

yang kecil lebih sedikit dibutuhkan dari pada enzim yang memiliki nilai Km yang besar
untuk merubah substrat menjadi produk dalam satuan waktu dan jumlah substrat yang
sama. Bila ditinjau pada Grafik 3, nilai Km yang terkecil adalah pada waktu inkubasi 30
menit sebesar 1.0832. Nilai ini sebenarnya tidak setara dengan nilai Vmaks-nya yang
kecil dibandingkan dengan nilai Vmaks pada waktu inkubasi yang lain sehingga tidak
bisa dihubungkan secara langsung karena nilai Vmaks-nya tidak menunjukkan laju
amilolitik yang sebenarnya (hubungan regresi linier-nya tidak menunjukkan beda nyata/
R2= 0.674 dan 0.156). Nilai Km waktu inkubasi 10 menit sebesar 1.7991, merupakan
nilai Km tertinggi, namun bila dibandingkan dengan efisiensi waktu inkubasi dan nilai
Vmaks-nya yang menunjukkan efektifitas degradasi pati, maka degradasi pati yang
optimal pada wakti inkubasi 10 menit.

Grafik 3. Diagram hasil uji Vmaks dan Km enzim amilase pada B. panthotenticus

Nilai Vmaks dan Km ditentukan dari aktivitas enzimnya. Untuk enzim yang sama
(amilase), nilai-nilai tersebut bervariasi tergantung mikroba penghasilnya, kondisi
fermentasi, serta faktor eksternal lain. Pada penelitian yang telah dilakukan pada
inkubasi suhu ruang, semua bakteri uji menunjukkan aktivitas enzim yang berbeda
(Grafik 1). Pada kondisi inkubasi suhu ruang ini, bakteri B. panthotericus memiliki
nilai aktivitas enzim yang paling baik.

Kesimpulan
Dari hasil seleksi diperoleh bakteri B. panthotenticus yang memiliki aktivitas
amilase yang paling baik. Nilai Vmaks terbaik pada waktu inkubasi 10 menit, nilai Km
terendah diperoleh pada waktu inkubasi 30 menit. Berdasarkan hasil uji waktu inkubasi
yang memperoleh hasil degradasi yang terbaik yaitu pada waktu inkubasi 10 menit
karena waktu inkubasi lebih cepat dan laju degradasi substrat lebih tinggi.

Daftar Pustaka

489
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Bergneyer, HU. 1983. Methodes of Enzymatic Analysis. Third Edition Vol. I:


Fundamental. Florida:Venag Chemie.
Bernfeld, P. 1955. Amilase and . Di dalam SP Colowick & NO Kaplan
(Penyunting). Methode in Enzymology. New York: Academic.
Campbel and Reece. 2002. Biologi Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Colby, DS. 1985. Ringkasan Biokimia Harper. Terjemahan Adjie Dharma. Jakarta:
EGC.
Fogarty, 1983. Dasar-dasar Biokimia Jilid 1. Terjemehan Maggy Thenawidjaja.
Jakarta: Erlangga.
Holt, J.G. 1977. The Shorter Bergeys Manual Determinative Bacteriology. 8th
edition. Baltimore: The Williams and Wilkins Co.
Lehninger, Al. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: Erlangga.
Lowry, O.H., N. Rosenbrough, N. Farm, and R. Randall. 1951. Protein
measurement with the Folin-Phenol reagent. Journal of Biological Chemistry
193: 265-275.
Nigam, P. & D. Singh, 1995. Enzym and Microbial System Involved in Starch
Processing. Enzy. Microbio. Tech. 17: 770-778.
Miller, Gl. 1959. Use of Dinytrosalicylic Acid Reagent for Determination of
Reducing Sugar. Anal. Chem. 31: 760-763.
Pamatong, F.U. 1991. Enzymatic Production of Maltodextrin from Cassava Starch.
[M.Sc.-Thesis]. Chiang Mai: University of Chiang Mai.
Primrose. 1987. Modern Biotechnology. London: Blackwell Scientific Publications.
Robyt, JF. 1984. Enzym in Hidrolysis and synthesis of Starch. Di dalam RL,
Whistler, JN, Bemiller & EF, Paschall (Penyunting). Starch: Chemistry and
Technology, Second Edition. Orlando: Academic.
Rutten, R. and A.J. Daugulis. 1987. Continuous production of -amylase by
Bacillus myloliquefaciens in a two-stage fermentor. Biotechnology Letters 9:
505-510.
Shuler M.L., and F. Kargi. 1992. Bioprocess Engineering Basic Concepts, Prentice-
Hall International Inc., New Jersey.
Whitaker, J.R. 1972. Principles of Enzymology for the Food Sciences . New York:
Marcell Dekker, Inc.

490
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Aktivitas Inhibisi -Glukosidase Ekstrak Etil Asetat dan


Heksan Dari Cinnamomum Burmannii
dan Cinnamomum Verum

Like Efriani*1, Sitaresmi Yuningtyas1, dan Waras Nurcholis2


1
Sekolah Tinggi Teknologi Inustri dan Farmasi (STTIF) Bogor. Jl.
Kumbang No. 23 Bogor
2
Departemen Biokimia, FMIPA, IPB Bogor. Jl. Agatis Kampus IPB
Dramaga, Bogor 16680
*Email : like.efriani@yahoo.com

ABSTRAK

Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar
gula dalam darah. Penggunaan obat-obatan sintesis sebagai antidiabetes masih tergolong
sangat mahal maka sebagai alternatif pengobatan digunakan tanaman yang relatif murah
dan mudah didapat oleh masyarakat, salah satunya yaitu tanaman kayu manis. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui daya inhibisi ekstrak etil asetat, heksan, dan etil asetat : heksan
(1:1) kulit batang kayu manis (Cinnamomum burmannii dan Cinnamomum verum) dengan
konsentrasi 0.375% terhadap aktivitas enzim -glukosidase dan dibandingkan dengan
akarbosa 0.375%. Selain itu penelitian ini menentukan komposisi fitokimia dalam ekstrak
tersebut. Kulit batang kayu manis Cinnamomum burmannii dan Cinnamomum verum
diekstraksi dengan metode maserasi. Ekstrak yang diperoleh diuji daya inhibisinya terhadap
-glukosidase secara in vitro dan ditentukan komponen fitokimianya. Ekstrak dengan daya
inhibisi terbaik adalah ekstrak etil asetat Cinnamomum burmannii dan Cinnamomum verum
dengan nilai inhibisi berturut-turut sebesar 88.08% dan 77.53% yang tidak berbeda nyata
dengan akarbosa. Berdasarkan hasil uji fitokimia senyawa yang terkandung di dalam
ekstrak etil asetat Cinnamomum burmannii adalah flavonoid, tanin, saponin, hidrokuinon
dan triterpenoid. Sedangkan senyawa yang terkandung didalam ekstrak etil asetat
Cinnamomum verum adalah flavonoid, tanin, saponin, hidrokuinon, steroid dan triterpenoid.

Kata kunci : Antidiabetes, Cinnammomum burmannii, Cinnammomum verum, -


glukosidase.

Pengantar
Penyakit Diabetes Melitus (DM) yang juga dikenal dengan penyakit kencing manis
atau penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemia) sebagai akibat adanya gangguan
sistem metabolisme dalam tubuh, di mana organ pankreas tidak mampu memproduksi
hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh. Rata-rata 1,5-2,0% dari seluruh penduduk
dunia menderita penyakit diabetes yang bersifat menurun. Penyebab penyakit DM
tergantung pada jenis diabetes yang diderita. Ada 2 jenis diabetes yang umum terjadi
dan diderita banyak orang yaitu diabetes tipe I dan diabetes tipe II. Perbedaannya
adalah diabetes tipe I disebabkan oleh masalah fungsi organ pankreas tidak dapat
491
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

menghasilkan insulin, sedangkan diabetes tipe II disebabkan oleh masalah jumlah


insulin yang kurang bukan karena pankreas tidak bisa berfungsi dengan baik (Bailey &
Day, 2003).
Indonesia merupakan daerah tropis yang kaya akan tanaman dan banyak sekali
tanaman yang dipercaya memiliki khasiat sebagai tanaman obat yang berkhasiat sebagai
antidiabetes. Salah satu tanaman yang memiliki khasiat sebagai antidiabetes adalah
kayu manis (Sarjono et al., 2010). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Apriani (2012) bahwa kayu manis dari spesies C.burmannii memiliki efek
penghambatan enzim -glukosidase dari fraksi ekstrak n-butanol dengan nilai IC50
sebesar 1,168 g/mL. Nilai IC50 dari ekstrak etil asetat, air dan petroleum eter berturut-
turut sebesar 19,239 g/mL, 24,244 g/mL, dan 69,717 g/mL yang dapat digunakan
sebagai antidiabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hambat ekstrak etil
asetat, heksan, dan etil asetat:heksan (1:1) kulit batang kayu manis (C.burmannii dan
C.verum) terhadap aktivitas enzim -glukosidase dan dibandingkan dengan akarbosa
yang akan digunakan sebagai kontrol positif. Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui komponen fitokimia dari ekstrak yang memiliki daya inhibisi yang terbaik.

Bahan dan Metode


Bahan
Bahan yang digunakan adalah adalah kulit batang kayu manis Padang
(Cinnamomum burmannii) berumur 7 tahun dan kuit batang Kayu manis Jawa
(Cinnamomum verum) berumur 15 tahun yang berasal dari perkebunan Biofarmaka IPB
Dramaga Cikabayan Bogor- Jawa Barat kemudian dideterminasi di Herbarium
Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong Bogor-Jawa Barat.
Bahan kimia yang digunakan adalah etil asetat, heksan, asam asetat anhidrat, H2SO4
pekat, pereaksi Lieberman-Buchard, kloroform, pereaksi Meyer, Wagner dan
Dragendorf, amil alkohol, HCl pekat, H2SO4 2 M, eter , serbuk magnesium (Mg),
larutan FeCl3 1 %, -glukosidase (Sigma G 3651-250UN), p-nitrofenil -D-
glukopiranosida (pNPG) (Sigma N 1337-5G), tablet Glucobay (Akarbosa) (Bayer,
Jakarta-Indonesia), HCl 2 N, Dimetilsulfoksida (DMSO), Larutan Na2CO3, Serum
Bovin Albumin (SBA), dan buffer fosfat pH 7. Alat yang digunakan adalah penguap
putar (BUCHI, R-250, Switzerland), perangkat instrumen microplate reader (Epoch
Microplate Spectrophotometer), microplate (Thermo Scientific NUNC) dan pipet mikro
(Thermo Scientific). Metode

Penyiapan Bahan
Kulit batang kayu manis disortasi basah dan dilakukan perajangan. Hasil perajangan
dikeringkan dibawah paparan sinar matahari dan ditutup dengan kain. Setelah sampel
kering dilanjutkan uji kadar air dan kadar abu. Bila kadar airnya sudah dibawah 10%
maka sampel dapat dihaluskan dengan blender dan disaring dengan ukuran 60 mesh
hingga diperoleh simplisia kulit kayu manis berbentuk serbuk.

492
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Ekstraksi
Simplisia kulit batang C.burmannii dan C.verum masing-masing sebanyak 25 gram
dimaserasi dengan etil asetat, heksan dan etil asetat : heksan (1:1) masing-masing
sebanyak 250 mL selama 24 jam pada suhu kamar. Rendaman disaring menggunakan
kertas saring halus dan filtratnya disimpan. Residu direndam kembali dalam pelarut
yang sama selama 24 jam hingga diperoleh filtrat yang tidak berwarna. Filtrat yang
diperoleh dijadikan satu kemudian dipekatkan dengan penguap putar (rotavapor) (pada
suhu 50C) sehingga diperoleh ekstrak kering.

Uji Inhibisi -Glukosidase (Sancheti S et al., 2009)


Campuran reaksi terdiri 50 L 0.1 M buffer fosfat (pH 7.0), 25 l 0.5 mM pNPG
(terlarut dalam 0.1 M buffer fosfat, pH 7.0), 10 l sampel uji (Sampel yang diuji
dilarutkan dalam DMSO dengan konsentrasi konsentrasi 0.375% b/v) dan 25 L -
glukosidase. Campuran reaksi kemudian diinkubasi pada suhu 37C selama 30 menit.
Kemudian, reaksi enzim dihentikan dengan penambahan 100 l Na2CO3 0.2 M.
Hidrolisis enzimatik substrat p-nitrofenol yang dihasilkan dibaca absorbansinya dengan
microplate reader pada panjang gelombang 410 nm. Kontrol positif digunakan
Akarbosa 0.375% b/v. Sampel dan kontrol positif dilakukan dua kali ulangan (duplo).
Data kontrol positif digunakan sebagai pembanding dengan sampel yang diuji. Persen
inhibisi dapat dihitung dengan persamaan

S : absorbansi sampel (S1-S0)


S1 : absorbansi sampel dengan penambahan enzim
S0 : absorbansi sampel tanpa enzim
C : absorbansi larutan kontrol (DMSO), tanpa sampel (blanko).

Uji fitokimia
Uji fitokimia meliputi uji flavonoid, uji saponin, uji tanin, uji steroid/triterpenoid dan
uji alkaloid. Pengujian meliputi uji flavonoid, alkalod, tanin, saponin, hidrokuinon,
triterpenoid dan steroid. Metode uji ini berdasarkan Harborne (1987).

Analisis Data
Data penelitian ini dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA yaitu RAL
(Rancangan Acak Lengkap) satu faktor dengan dua kali ulangan pada tingkat
kepercayaan 95% dan taraf 0.05 dan kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan.

Hasil dan Pembahasan


Kadar Air dan Kadar Abu C. burmanii dan C. verum
Penentuan kadar air berguna unuk menyatakan kandungan zat dalam tumbuhan
sebagai persen bahan kering dan untuk mengetahui ketahanan suatu bahan dalam
penyimpanan. Kadar air yang baik adalah kurang dari 10%. Kadar air yang diperoleh
untuk sampel C.burmannii sebesar 6.06% dan untuk sampel C.verum sebesar 5.15%.
Penetuan kadar abu digunakan sebagai standar mutu dan karakteristik dari tanaman
493
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

tersebut dan untuk mengetahui mineral total yang ada pada sampel (Anderson, 2008).
Rata-rata kadar abu yang diperoleh dari sampel C.burmannii 1.79% dan C.verum
sebesar 3.94%.

Hasil Ekstraksi
Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi. Penggunaan metode maserasi
sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman
sampel tumbuhan akan terjadi kontak sampel dan pelarut cukup lama. Dengan
terdistribusinya pelarut organik yang terus menerus kedalam sel tumbuhan
mengakibatkan perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga pemecahan
dinding dan membran sel serta metabolit sekunder yang berada di sitoplasma akan
terlarut dalam pelarut organik. Hasil rendemen ekstrak pada spesies C.burmanni
memiliki hasil tertinggi pada pelarut etil asetat dengan randemen sebesar 3.11%. Pada
spesies C.verum juga memiliki nilai rendemen tertinggi pada pelarut etil asetat sebesar
1.09%. Hasil rendemen ekstrak dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rendemen ekstrak C.burmanni dan C.verum.


Sampel Pelarut Rendemen ekstrak (%)
C.burmannii Etil asetat 3.11b 0.822
Heksan 0.43a 0.074
Etil asetat:heksan (1:1) 0.75a 0.017
C.verum Etil asetat 1.09a 0.640
Heksan 0.07a 0.025
Etil asetat:heksan (1:1) 1.04a 0.912
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom rendemen ekstrak menunjukan nilai beda
nyata (<0,05).

Daya Inhibisi -Glukosidase


Daya inhibisi -glukosidase oleh ekstrak etil asetat, heksan, dan etil asetat : heksan
(1:1) C.burmannii konsentrasi 0.375% secara berturut-turut adalah 88.08%, 50.34%,
dan 77.54%. Sedangkan daya inhibisi -glukosidase oleh ekstrak etil asetat, heksan,
dan etil asetat : heksan (1:1) C.verum 0.375% secara berturut-turut adalah 77.53%, -
3.30%, 48.25%. Untuk kontrol positif yaitu menggunakan akarbosa 0.375% memiliki
nilai inhibisi sebesar 99.07%. Data dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan analisis data
yang diperoleh ternyata aktivitas inhibisi -Glukosidase oleh akarbosa 0.375% setara
dengan daya inhibisi dari ekstrak etil asetat C.burmannii 0.375%, ekstrak etil asetat :
heksan C.burmannii 0.375% serta ekstrak etil asetat C.verum 0.375%. Tingginya
persentase inhibisi ekstrak etil asetat C.burmannii dan C.verum disebabkan kandungan
senyawa metabolit sekunder yang dapat menginhibisi -glukosidase yaitu flavonoid dan
triterpenoid lebih tertarik ke pelarut etil asetat yang bersifat lebih polar dibandingkan
dengan heksan.

494
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Tabel 2.Daya inhibisi aktivitas -glukosidase dari ekstrak C. burmannii dan C. verum.
Sampel Pelarut % Inhibisi
C.burmannii Etil asetat 88.08c 14.211
Heksan 50.34b 15.155
Etil asetat : Heksan 77.54c 10.632
C.verum Etil asetat 77.53c 5.129
Heksan -3.30a 5.641
Etil asetat : Heksan 48.25b 9.900
Akarbosa - 99.07c 0.220
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom % inhibisi menunjukan nilai beda nyata
pada <0.05.

Uji Fitokimia
Berdasarkan hasil inhibisi terbaik -glukosidase oleh ekstrak etil asetat C.burmannii
dan ekstrak etil asetat C.verum maka dilakukan pengujian fitokimia terhadap ekstrak
tersebut. Hasil uji fitokimia dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan hasil uji fitokimia
senyawa yang terkandung di dalam ekstrak etil asetat C. burmannii adalah flavonoid,
tanin, saponin, hidrokuinon dan triterpenoid. Sedangkan senyawa yang terkandung
didalam ekstrak etil asetat C. verum adalah flavonoid, tanin, saponin, hidrokuinon,
steroid, dan triterpenoid. Menurut Zhao et. al. (2009), senyawa fitokimia yang diketahui
memiliki peran sebagai antidiabetes diantaranya flavonoid, alkaloid, dan triterpenoid.
Flavonoid pada sampel C.burmannii lebih banyak dibandingkan dari C.verum hal ini
mempengaruhi inhibisi -glukosidase sehingga persentase inhibisi C.burmannii lebih
tinggi dibandingkan dengan C.verum.

Tabel 4. Hasil uji fitokimia.


C.burmannii C.verum
Alkaloid
Mayer - -
Wagner - -
Dragendrof - -
Falvonoid +++ ++
Tanin ++ ++
Saponin + +++
Hidrokuinon +++ ++
Steroid - +
Triterpenoid ++ ++
Keterangan : (+): sedikit; (++): sedang; (+++): banyak

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Daya inhibisi -glukosidase oleh ekstrak etil asetat 0.375% C.burmannii dan
C.verum berturut-turut sebesar 88.08% dan 77.53%. Hal ini tidak berbeda nyata dengan
aktivitas inhibisi -glukosidase oleh akarbosa sebesar 99.07%. Pada ekstrak yang di uji
inhibisi terbaik yang dilanjutkan dengan uji fitokimia menunjukkan ekstrak
C.burmannii etil asetat mengandung tanin, flavonoid, hidrokuinon, saponin,
495
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

triterpenoid. Sedangkan ekstrak C.verum mengandung tanin, flavonoid, hidrokuinon,


saponin, triterpenoid, steroid.

Saran
Perlu dilakukan purifikasi ekstrak dari fraksi etil asetat sehingga diperoleh senyawa
aktif yang berperan sebagai antidiabetes dan juga uji in vivo menggunakan hewan
percobaan.

Daftar pustaka
Anderson, R.A. 2008. Chromium an polyphenols from cinnamomum improve
insulin sensitivy. Proceeding of the anautrition Society 67 : 48 - 53.
Apriani, Riza. 2012. Uji Penghambatan Aktivitas -glukosidase Dan Identifikasi
Golongan Senyawa Dari Fraksi Yang Aktif Pada Ekstrak Kulit Batang
Cinnammum burmanni ( Ness & T.Ness) Blume. Depok. Universitas
Indonesia.
Bailey, C.J & C. Day. 2003. Antidiabetic drugs. Br J Cardiol. 10 : 126-36.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Ter. Dari Phytochemical Methods oleh
Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung. Penerbit ITB.
Harjadi, W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gramedia.
Sancheti, S., Sandesh,. Sancheti,. Seo, Sung Yum. 2009. Chaenometes Sinensis A
Potent and - Glucosidase Inhibitor. America Journal of Pharmacology and
Toxicology. 4(1) : 8-11.
Sarjono P.R., Ismiyarta., Ngadiwiyana, & Prasetya, N.B.A. 2010. Aktivitas Bubuk
Kayu manis (Cinnamomum cassia) Sebagai Inhibitor Alfa-Glukosidase.
http://ejournal.undip.ac.id /index.php/sm/article/view/3016. [27 Desember
2012]

496
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Sintesis dan Uji Aktivitas Biologi


Diamil Nikotinil Glutamat Ester
Yulia Anita*1, M. Hanafi1, Puspa D Lotulung1, Any Kurnia2
1
Pusat Penelitian Kimia, Serpong, LIPI
2
Jurusan Kimia, Departemen FMIPA-UI
*myname_yulia@yahoo.com

ABSTRAK

Sintesis Diamil nikotinil glutamat ester, merupakan turunan dari senyawa analog UK-
3A. UK-3A telah diketahui mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan sel kanker. Oleh
karena itu, senyawa turunan UK-3A disintesis, dengan tujuan mempunyai aktivitas yang
lebih atau sama aktifnya dengan senyawa utama,UK-3A. Sintesis Diamil Nikotinil Glutamat
di sintesis melaui 2 tahap yaitu reaksi esterfikasi antara L-Glutamat dengan n-pentanol dan
p-TSOH sebagai katalis. Tahap Selanjutnya, reaksi amidasi, dari hasil esterifikasi
direaksikan dengan asam 2-hidroksinikotinat menggunakan DCC/DMAP. Hasil sintesis
esterifikasi dan amidasi menghasilkan rendemen yang cukup tinggi masing-masing 90,58%
dan 71,57%. Hasil uji toksisitas terhadap larva udang Artemia Salina L. menunjukkan LC50
180,2 ppm dan uji sitotoksisitas terhadap sel Murine Leukemia P-388 menunjukkan aktivitas
IC50 sebesar 47 g/mL. Uji aktivitas antikanker Diamil nikotinil glutamat mempunyai
aktivitas antikanker yang lebih rendah dibandingkan senyawa UK-3A yaitu 38 g/mL.

Kata Kunci : Amidasi, Artemia Salina L., esterifikasi, sel Murine Leukemia P-388, UK-3A

Pendahuluan
Senyawa antibiotika baru berhasil diisolasi dari miselium Streptomyces sp. 517-02,
yaitu UK-2A sebagai komponen utama dan UK-3A sebagai komponen minor (Ueki et
al. 1996). Senyawa antibiotika UK-3A menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap sel
kanker, jamur dan mikroba, sehingga berpotensi untuk dijadikan sebagai obat antifungi,
antibakteri dan antikanker (Hanafi, 1995). Senyawa antibiotika UK-3A juga telah
terbukti dapat menghambat pertumbuhan sel kanker murine leukemia P388, dengan
nilai IC50 sebesar 38 g/mL (Ueki, et al. 1997b). Pada Penelitian Hanafi tahun 1995
dilaporkan bahwa struktur senyawa UK-3A (Gambar 1) memiliki gugus-gugus aktif
yang menunjukkan aktivitas penghambatan yang tinggi terhadap sel kanker seperti
hidroksi (OH), amida (CONH) dan gugus dilakton.

497
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

OH O

O
O

N HN

O O O

Gambar 1. Struktur molekul senyawa UK-3A.

Senyawa UK-3A adalah senyawa yang aktif namun sulit untuk diisolasi karena
jumlah rendemen kecil dan juga membutuhkan waktu dan tenaga yang ekstra, oleh
karena itu senyawa analog UK-3A dapat di sintesis tanpa menghilangkan gugus-gugus
aktif yang berperan penting dalam meningkatkan aktivitasnya. Teknik sintesis dapat
dilakukan diantaranya dengan mengubah gugus dilkaton yang bersifat lipofilik dengan
gugus rantai panjang (alkil) yang juga mempunyai sifat lipofilik sehingga menjadi
rantai terbuka yang lebih mudah di sintesis. Penggantian gugus alkil diharapkan dapat
menunjukkan data aktivitas yang aktif senyawa analog UK-3A (Hanafi , 1997 ; Ueki, et
al., 1997).
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan senyawa antikanker baru dengan aktivitas
yang tinggi, mengingat penyakit kanker telah semakin meluas dan menjadi penyakit
yang mendunia serta kanker merupakan salah satu penyebeb kematian yang paling
sering dan kasus penderita semakin bertambah (Marlupi 2007). Kebutuhan obat dapat
dipenuhi dari berbagai sumber di antaranya hasil sintesis kimia, semisintetik, tumbuh-
tumbuhan dan hewan. Bahan alami telah banyak digunakan secara empirik untuk
pengobatan. Bahan alami untuk obat ini mulai dikembangkan dengan cara isolasi dan
selanjutnya di buat melalui sintesis. Penemuan obat baru dengan cara mengembangkan
struktur senyawa induk yang sudah diketahui aktivitasnya, lebih disukai karena lebih
cepat dan ekonomis. Penelitian dalam penemuan obat baru dalam waktu relatif singkat
dan mungkin dapat dilakukan adalah membuat senyawa analog atau modifikasi struktur
molekul yang lebih sederhana tetapi mempunyai aktivitas lebih besar atau mendekati
aktivitas senyawa aslinya yang sudah diketahui aktivitasnya. (Siswandono & Soekardjo,
1995).
Total sintesis terhadap senyawa UK-3A telah berhasil dilakukan oleh Hanafi et al.
Namun diperlukan rute yang cukup rumit dan panjang dan memerlukan biaya yang
besar. Sintesis senyawa analog UK-3A dilakukan melalui modifikasi molekul, dengan
tujuan untuk mendapatkan senyawa baru yang memiliki aktivitas yang setara atau
mungkin lebih tinggi, toksisitas/efek samping lebih rendah, selektif dan stabil.
Penelitian ini dilakukan untuk mensintesis senyawa analog UK-3A yaitu senyawa
diamil nikotinil glutamat ester, senyawa ini diharapkan memiliki aktivitas antikanker

498
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

yang setara atau mungkin lebih tinggi dari senyawa UK-3A sehingga dapat diperoleh
senyawa baru yang berpotensi sebagai obat antikanker.

Metode Penelitian
Alat :Labu bulat, magnetic stirrer, gelas ukur, alat destilasi, kolom
kromatografi, hot plate stirrer, spektrofotometer FT-IR, dan
spektrometer NMR

Bahan : metilenklorida, n-heksana, metanol, etil asetat, benzena dan piridin, L-


glutamat, amil alkohol, asam 2-hidroksinikotinat, asam p-toluenasulfonat,
N,N-dimetilaminopiridin (DMAP), disikloheksilkarboimida (DCC)

Metode Sintesis:
a. Esterifikasi : Sintesis senyawa diamil glutamat ester
Sintesis senyawa diamil glutamat ester yaitu dengan mereaksikan 15 mmol
asam L-glutamat dan 75 mmol amil alkohol dan ditambahkan asam p-
toluensulfonat monohidrat dan pelarut benzena. Reaksi esterfikasi dilakukan
selama 24 jam, produk yang dihasilkan selanjutnya diidentifikasi dengan
spektrofotometer FT-IR dan NMR.
b. Amidasi : Sintesis senyawa diamil nikotinil glutamat ester
Sintesis senyawa diamil nikotinil glutamat ester dilakukan dengan mereaksikan
2,48 mmol diamil glutmat ester dengan 6 mmol 2-hidroksinikotinat kemudian
ditambahkan katalis 6 mmol DCC dan 1,2 mmol DMAP dengan palarut piridin.
Campuran direfluk selama 48 jam pada suhu 550C. Produk yang terbentuk di
murnikan dengan menggunakan kromatografi kolom, senyawa murni hasil
kolom selanjutnya diidentifikasi dengan spektrofotometer FT-IR dan NMR.

NH 2 NH 2

p-TsOH C5 H 11 O OC5 H 11
HO OH
+ C5H11OH

O O O O

+
HO O

DCC/DMAP
N OC 5H 11
piridin, 55o C OH

OH O O
N
O OC5 H 11

Bagan 1. Sintesis Diamil nikotinil glutamat ester

499
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Metode Uji aktivitas biologi


Uji toksisitas Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

Telur udang Artemia salina L dimasukkan ke dalam kotak yang berisi air laut dan di
tutupi dengan sebagian aluminium foil lalu dibiarkan selama 24 jam sehingga semua
telur akan menetas menjadi larva. Kemudian larva yang telah berumur 1 hari di ambil
sebanyak 10 15 ekor dan ditempatkan di dalam vial pengujian yang telah diisi dengan
100 L larutan sampel dan dibiarkan selama 24 jam pada tempat yang cukup cahaya
dan udara. Pengamatan terhadap jumlah larva yang mati di lakukan setelah 24 jam dan
pengujian sampel dilakukan triplo (secara bersamaan). Blanko untuk uji BSLT ini juga
dilakukan dengan cara yang sama dengan sampel tetapi tanpa penambahan air laut.
Data yang diperoleh menggunakan analisis regresi linier dengan cara membuat
grafik hubungan antara presentase kematian dengan konsentrasi sampel. Nilai LC50
ditentukan dengan cara mengalurkan data pada grafik (Chozin, et al. 1997).
Uji aktivitas antikanker secara in vitro terhadap sel murine leukemia P-388
Sel kanker Murine leukemia P-388 dengan pertumbuhan pada fase logaritma,
dilarutkan dalam tabung kultur dengan jumlah sel sekitar 3 x 103 sel/mL dalam media
RPMI 1640. Sel diinokulasikan dalam microplate 96 lubang dasar rata, dikultivasi
dalam inkubator CO2 selama 24 jam untuk menumbuhkan sel. Hari kedua dilakukan
penambahan sampel yang dilarutkan dalam pelarut DMSO dan pengenceran sampel
yang dilarutkan juga dengan pelarut DMSO. Pengenceran sampel dilakukan dengan
menambahkan PBS (Phosphoric buffer solution) pH (7,30 7,65). Sampel dengan
konsentrasi yang beragam ditambahkan ke dalam sel dalam microplate mixer dan
simpan kembali dalam inkubator CO2. Sel di inkubasi selama 48 jam, kemudian
ditambahkan reagen MTT [3-(4,5-dimetil thiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida]
dan dikocok menggunakan microplate mixer. Inkubasi dilanjutkan selama 4 jam,
kemudian ditambahkan stop solution (SDS) dan dikocok dengan baik tanpa
meninggalkan busa yang mengganggu dalam pengamatan. Inkubasi dilanjutkan
kembali selama 24 jam. Pengukuran optical density (OD) dilakukan dengan microplate
reader 24 jam setelah penambahan stop solution. Nilai IC50 dilihat dari grafik hubungan
antara senyawa bahan uji. Apabila dilihat dibawah mikroskop, sel hidup berbentuk bulat
dengan warna biru, sedangkan sel mati berbentuk tidak teratur. IC50 merupakan
konsentrasi yang diperlukan untuk penghambatan pertumbuhan sel sebesar 50%. Uji
aktivitas antikanker ini dilakukan dengan tiga kali ulangan (Sahidin et al.,2005)

Pembahasan
Senyawa antikanker yang disintesis pada penelitian ini adalah senyawa diamil
nikotinil glutamat ester, sintesis senyawa ini dilakukan dengan dua tahap yaitu
esterifikasi dan amidasi. Reaksi esterifikasi antara asam L-glutamat dan amil alkohol
dan menggunakan katalias asam kuat yaitu asam p-toluensulfonat meghasilkan suatu
produk ester. Produk ester yang masih campuran dimurnikan lebih lanjut dengan
kromatografi kolom menghasilkan senyawa ester murni dan di KLT (kromatografi
lapis tipis) mempunyai nilai Rf yang berbeda dengan senyawa utamanya. Senyawa ester
murni dengan nilai Rf 0,75 sedangkan asam L-glutamat dengan nilai Rf 0. Senyawa
500
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

ester murni berupa cairan kental berwarna kuning ini diharapkan adalah senyawa diamil
glutamat ester yang mempunyai rendemen sebesar 90,58%. Ester yg terbentuk
diidentifikasi menggunakan spektrofotometer FT-IR dan spektrofotometer NMR. Hasil
analisis menggunakan FT-IR pada spektrum senyawa diamil glutamat ester muncul pita
serapan pada gelombang, = 1735 cm-1 yang merupakan ikatan karbonil ester (C=O)
dan diperkuat dengan pita serapan pada bilangan gelombang, = 1205 cm-1 yang
merupakan ikatan COOR ester. Adanya pita serapan pada bilangan gelombang, =
2965-2860 cm-1 menunjukkan ikatan C-H alifatik. Dari data spektra FT-IR dapat
diambil kesimpulan bahwa reaksi esterifikasi telah terbentuk. Pengukuran senyawa
dengan spektrometer 1H dan 13C- NMR di dalam pelarut CDCl3 menggunakan standar
TMS. Pada pergeseran = 0,63 dan 0,67 ppm menunjukkan adanya 3 buah proton dari
gugus metil (t, 2 x 3H, 2xCH3), dan sinyal pada = 1,06 ppm menunjukkan adanya 8
buah proton yang berasal dari 4 buah gugus metilen (m,8H,CH2). Sinyal pada = 1,32
ppm merupakan pergeseran kimia dari 4 buah proton dari gugus metilen yang
bertetangga dengan 2 gugus metilen lainnya (m,4H, CH2). Sedangkan sinyal pada =
3,75 ppm (m, 4H,OCH2) merupakan pergeseran kimia dari 4 buah proton dari gugus
metilen yang bertetangga dengan sebuah gugus metilen lainnya, dan muncul downfield
karena berdekatan dengan atom oksigen. Jika dilihat jumlah proton-proton tersebut
adalah 22 proton hal ini sesuai dengan jumlah proton yang terdapat diamil gluatamat
ester (2 X C5H11). Analisis spektrum 13C NMR senyawa diamil glutamat ester pada
sinyal = 171,93 dan 172,24 ppm merupakan pergeseran kimia dari atom karbon gugus
karbonil ester. Hasil analisa FT-IR dan NMR menunjukkan bahwa produk ester telah
terbentuk yaitu diamil glutamat ester. Reaksi selanjutnya adalah amidasi yaitu antara
diamil glutamat ester dan 2-hidroksinikotinat dengan menggunakan aktivator DCC dan
katalis DMAP. Gugus amida terbentuk karena gugus asam pada 2-hidroksinikotinat
diaktivasi menggunakan aktivator DCC dan katalis DMAP sehingga mudah bereaksi
dengan senyawa diamil glutamat ester. Pemurnian senyawa hasil reaksi dilakukan
dengan menggunakan kromatografi kolom, produk amidasi diperoleh rendemen sebesar
71,57 % Diamil Nikotinil Glutamat ester. Pada spektrum FT-IR dapat diketahui bahwa
pita serapan pada = 3215 cm-1 yang merupakan gugus amida sekunder dan serapan
pada bilangan gelombang = 1685 cm-1 yang merupakan gugus C=O amida. Pada
spektroskopi 1H dan 13C NMR menunjukkan adanya gugus amida yaitu muncul pada
pergeseran = 10,13 ppm dengan 1 proton ( d,1H, NH) dan = 7,58 8,55 ppm
menunjukkan adanya 3 proton aromatik yang berasal dari cincin piridin dari 2 asam-
hidroksinikotinat. Sedangkan pada 13C NMR adanya gugus amida yang di tunjukkan
pada pergeseran kimia = 163,88 ppm dan = 107,61 -145,47 ppm muncul sinyal-
sinyal yang merupakan karbon dari aromatik. Dari data tersebut menunjukkan telah
berhasil disintesis produk amidasi berupa Diamil Nikotinil Glutamat ester. Senyawa
analog UK-3A, diamil nikotinil glutamat ester, di uji aktivitas biologi dengan uji Brine
Shrimp Lethality Test untuk mengetahui efek toksisitas dan uji sitotoksisitas terhadap
sel Murine Leukemia P-388.

501
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Uji Aktivitas Biologi.


Uji Brine Shrimp Lethality Test

Uji ini dilakukan untuk mengetahui efek toksisitas senyawa yang dinyatakan dalan
LC50. Perhitungan nilai LC50 melalui kurva regresi linier dengan memplotkan %
kematian udang terhadap log konsentrasi dari masing-masing senyawa uji sehingga
diperoleh konsentrasi yang menyebabkan kematian 50 % larva udang Artemia salina L.
Hasil uji toksisitas terhadap larva udang Artemia salina L. menunjukkan nilai LC50
180,2 ppm. Senyawa Diamil Nikotinil Glutamat ester menunjukkan toksisitas yang
rendah , karena berdsasarkan literatur suatu senyawa mempunyai efek toksisitas yang
signifikan jika nilai LC50 30 ppm.

Gambar . Grafik uji BSLT senyawa diamil nikotinil glutamat ester

Uji sitotoksisitas terhadap sel Murine Leukemia P-388

Uji sitotoksisitas terhadap sel Murine Leukemia P-388 menunjukkan aktivitas IC50
sebesar 47 g/mL. Uji aktivitas antikanker Diamil Nikotinil Glutamat ester mempunyai
aktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan aktivitas antikanker senyawa UK-3A
yaitu 38 g/mL. Hal ini mungkin dikarenakan rantai pendek (alkil) pada gugus ester,
perlu di sintesis untuk gugus ester yang lebih panjang rantai alkil seperti heptil dan oktil.

Kesimpulan
Diamil Nikotinil Glutamat ester, yang merupakan analog UK-3A, telah berhasil
disintesis melalui 2 tahapan yaitu esterifikasi dan amidasi. Hasil rendemen senyawa
analog UK-3A cukup tinggi yaitu 71,57% Uji sitotoksisitas terhadap sel Murine
Leukemia P-388 menunjukkan aktivitas IC50 sebesar 47 g/mL. Perlu disintesis
senyawa analog UK-3A lainnya dengan rantai alkil yang lebih panjang seperti heptil
maupun oktil.

502
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Daftar Pustaka
Chozin,A., et al. 1997. Uji Brine Shrimp dan analisis kandungan kimia fraksi
ekstrak etanol 95 % daun suren, Toona sureni (BI) Merr. Prosiding
simposium penelitian Bahan Obat Alami VIII, Puslitbang farmasi
Balitbangkes, Jurusan Farmasi-FMIPA, ITB, Bandung.
Hanafi, M. 1995. Studies of novel antibiotic metabolites from Streptomyces sp. 517-
02. Department of Chemistry, Faculty of Science, Osaka City University.
Marlupi, U.D. 2007. Sintesis senyawa analog UK-3A dan uji aktivitas secara in
vitro terhadap sel kanker murine Leukemia P-388, tesis, kimia, Institute
Pertanian Bogor, Bogor.
Sahidin, Hakim, EH. et al. 2005. Cytotoxic properties of oligostilbenoids from the
tree barks of hopea dryobalanoides. 60c: 723.
Shimano,et al. 1998. Total synthesis of the antifungal dilactones UK-2A and UK-
3A : The determination of their relative and absolute configuration, analog
synthesis and antifungal activities, Tetrahedron. 54 : 12745-12774.
Siswandono,Soekarjo.1995. Kimia Medisinal, Airlangga Surabaya.
Ueki, M.; et al. 1997b. The Mode of action of UK-2A and UK-3A novel antifungal
from Streptomyces sp. 517-02. J Antibiotic. 50 (12): 1052-1057
Ueki, M.; et al. 1997a. UK-3A, A novel antifungal antibiotics from Streptomyces
sp. 517-02 fermentation, isolation, structure elucidation and biological
properties.J. Antibiotic., 50 (7): 551-555
Ueki, M.; et al. 1996a. UK-3A, A novel antifungal antibiotics from Streptomyces
sp. 517-02 fermentation, isolation, and biological properties.J. Antibiotic., 49:
639-644
Ueki, M.; et al. 1996. UK-2A, B, C, and D novel antifungal antibiotics from
streptomyces sp. 517-02, structure elucidation. J. Antibiotic. 49: 1226-1231

503
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Karakterisasi Tepung Ubi Kayu dan Mocaf Sebagai Bahan


Baku Makanan Sehat
Ahmad Fathoni*1, N. Sri Hartati 1, Nur Kartika I.M2
1
Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI
Jl. Raya Bogor KM. 46 Cibinong
2
Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna-LIPI
Jl. KS Tubun No. 5 Subang
e-mail: ahmad.fathoni@lipi.go.id; ahmad.fathoni1737@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa karakter tepung ubi kayu
termodifikasi (modified cassava flour atau mocaf) dan tepung ubi kayu non- fermentasi.
Material ubi kayu yang digunakan merupakan jenis ubi kayu unggul hasil penelitian ubi
kayu, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI yaitu genotip Mentega 2 dan varietas unggul
nasional, Adira 1. Proses penepungan ubi kayu dilakukan di Laboratorium, Balai Besar
Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B2PTTG) LIPI, Subang dan hasil kerjasama dengan
mitra industri mocaf, PT. Multi Usaha Wisesa (MUW), Gunung Putri, Bogor. Beberapa
karakter tepung yang diamati antara lain; visualisasi warna, karakter struktur permukaan
bahan menggunakan alat scanning electron microscope (SEM), ukuran granula, uji lugol
dan swelling power tepung. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan warna antara
tepung ubi kayu dan mocaf, dimana tepung ubi kayu yang dihasilkan tanpa proses
fermentasi berwana kekuningan dan warna produk tepung hasil fermentasi berwarna putih.
Dari hasil analisis struktur permukaan bahan menggunakan SEM diperoleh adanya
perbedaan yang cukup nyata pada struktur kedua bahan. Pengamatan karakter lainnya
seperti ukuran granula, uji lugol dan swelling power pada tepung ubi kayu dan mocaf juga
menunjukkan variasi antara keduanya. Teknologi proses fermentasi atau mocaf ini mampu
meningkatkan daya saing produk dan nilai ekonominya. Selain itu juga tepung ubi kayu dan
mocaf sangat bagus digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional karena keunggulan
yang dimilikinya seperti gluten free dan indeks glikemik yang rendah.

Kata Kunci: fermentasi, mocaf, pangan fungsional,scanning electron microscope (SEM),


tepung ubi kayu,

Pengantar
Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu komoditi pangan non
beras yang sangat potensial baik dimanfaatkan secara langsung maupun digunakan
sebagai bahan baku berbagai industri di Indonesia seperti industri bioetanol, industri
makanan olahan hingga industri farmasi. Meskipun memiliki potensi yang besar,
pemanfaatan ubi kayu segar sebagai bahan pangan memiliki banyak keterbatasan terkait
masa simpan dan aplikasi penggunaannya. Untuk mengatasi masalah tersebut,
diperlukan pengolahan lebih lanjut terhadap ubi kayu segar salah satunya menjadi
tepung. Ubi kayu dalam bentuk tepung ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya;
memiliki masa simpan yang lebih lama karena berbentuk serbuk dan kering, kemudian

505
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

memiliki aplikasi penggunaan yang lebih luas yaitu dapat digunakan sebagai bahan
baku utama atau campuran dalam berbagai makanan olahan berbasis ubi kayu.
Pada umumnya, pengolahan tepung ubi kayu dilakukan menggunakan metode
sawut. Namun, tepung ubi kayu hasil pengolahan dengan metode ini masih memiliki
kelemahan yaitu karakter adonan yang dihasilkan memiliki elastisitas yang rendah.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh para peneliti untuk memperoleh karakter tepung
ubi kayu yang lebih baik antara lain menggunakan teknologi fermentasi (Beni et al.
2009). Pengembangan teknologi pengolahan tepung ubi kayu secara fermentasi antara
lain telah dilaporkan oleh Subagio (2008), dalam bentuk mocaf/mocal (modified
cassava flour). Prinsip dari teknologi mocaf/mocal ini yaitu melakukan modifikasi
struktur sel terutama pati pada ubi kayu secara enzimatis menggunakan bakteri asam
laktat (BAL). Pati merupakan komponen terbesar pada tepung dan sifat fisik maupun
kimia pati akan berpengaruh terhadap kualitas produk olahan yang dihasilkan. Sifat
fisiko kimia seperti kadar air, kadar gula dan pati, kadar amilosa, swelling power dan
karakteristik pasta merupakan hal penting yang menentukan sifat produk (Wireko-
Manu et al., 2011). Jika pati dipanaskan bersama air, granula pati akan mengembang
sehingga volumenya bertambah. Perubahan yang diakibatkan daya mengembang pati
berhubungan dengan daya mengembang (swelling power) dengan karakter spesifik
produk olahan pati (Sasaki & Matsuki, 1998).
Pada proses fermentasi oleh BAL, pati mengalami reaksi liberasi dan hidrolisis
sehingga mampu menghasilkan karakter tepung ubi kayu yang lebih baik. Menurut
Subagio (2008), tepung hasil fermentasi yang dihasilkan dapat digunakan untuk
membuat aneka produk pangan antara lain kue lapis maupun produk bihun. Saat ini,
aplikasi penggunaan tepung ubi kayu sebagai bahan baku makanan olahan mulai
popular di masyarakat seperti untuk produk cake, mie kering, brownies dan bubur yang
terbuat dari tepung ubi kayu termodifikasi. Untuk mengetahui lebih detail mengenai
perbedaan karakter antara tepung ubi kayu non-fermentasi dan tepung ubi kayu
fermentasi akan didiskusikan dalam paper ini.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi terhadap tepung ubi kayu
yang sudah dimodifikasi menggunakan teknologi fermentasi di Industri dan tepung ubi
kayu non-fermentasi sebagai data pembanding. Beberapa karakter tepung yang diamati
antara lain; visualisasi warna, karakter struktur permukaan bahan menggunakan alat
scanning electron microscope (SEM), ukuran granula, uji lugol dan swelling power
tepung.

Bahan dan Metode


Tempat penelitian
Penelitian ini (penepungan ubi kayu) dilakukan di dua lokasi yang berbeda yaitu
Laboratorium PPP dan Unit Pengolahan Sari Buah, Balai Besar Pengembangan
Teknologi Tepat Guna (B2PTTG)-LIPI, Subang dan PT. Multi Usaha Wisesa (MUW),
Gunung Putri, Bogor sebagai mitra kerja.

Bahan
Bahan umbi segar yang digunakan pada proses penepungan ini adalah ubi kayu
unggul hasil penelitian Pusat Penelitian (Puslit) Bioteknologi-LIPI yaitu genotip
506
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Mentega 2 dan varietas unggul nasional yaitu Adira 1. Kedua jenis ubi kayu tersebut
diperoleh dari kebun koleksi plasma nutfah Puslit Bioteknologi-LIPI.
Bahan kimia yang digunakan selama proses penepungan antara lain; Natrium bisulfit
sebagai bahan antioksidan untuk perendaman pada proses penepungan non-fermentasi
dan starter BIMO-CF untuk proses fermentasi.

Metode
Tepung ubi kayu adalah bentuk hasil pengolahan bahan umbi segar dengan proses
penggilingan atau penepungan. Tepung ubi kayu non-fermentasi, diperoleh melalui
tahapan pengupasan kulit, pencucian, pengecilan ukuran, blanching (70C) selama 10
menit, pembuatan chip/sawut, perendaman bahan anti-oksidan; natrium bisulfit 0.3%
selama 30 menit, pengeringan menggunakan cabinet dryer pada suhu 50C selama 22
jam, penggilingan, pengayakan 60 mesh.
Sedangkan pada pembuatan tepung ubi kayu melalui proses fermentasi, secara
umum proses penepungannya hampir sama dengan proses penepungan yang ada
(seperti tersebut di atas), hanya berbeda pada beberapa tahap proses penepungan. Selain
tidak melalui proses blanching, proses perendaman dilakukan dalam bak fermentasi
yang mengandung BAL, starter Bimo-CF untuk proses fermentasi. Setelah itu,
pengeringan sawut dilakukan dalam bed dryer selama 10 jam sebelum proses
penggilingan dan pengayakan.
Setelah tepung ubi kayu diperoleh, kemudian dilakukan analisa terhadap beberapa
karakteristik fisik (visualisasi warna dengan kamera, struktur permukaan menggunakan
SEM) dan karakteristik fungsional (uji lugol, kondisi mikroskopis granula tepung dan
daya mengembang tepung atau swelling power.

Visualisasi warna
Warna tepung dibedakan melalui visual gambar yang diambil menggunakan kamera
DSLR merk Nikon D5100 DX AF-S NIKKOR 18-55 mm VR, setting ISO 800.

Scanning electron microscope (SEM)


Kondisi struktur permukaan granula tepung diamati dengan metode Scanning
electron microscope (SEM) menggunakan Hitachi Tabletop Microscope TM3000.

Granula tepung
Bentuk dan ukuran granula tepung diamati menggunakan mikroskop Leica DFC
310 FX pada perbesaran 400x. Sampel tepung disiapkan pada glass slide secukupnya
lalu ditetesi larutan lugol sebanyak 1 tetes dan diamati.

Uji lugol
Uji lugol dilakukan dengan melarutkan 0.1 gram tepung ke dalam 5 ml air dan
larutan ditetesi larutan lugol sebanyak 3-5 tetes. Kemudian diamati perubahan warna
yang terjadi.

507
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Swelling power tepung


Pada percobaan ini, Swelling power (SP) ditentukan dengan cara mencampurkan
0.064 gram tepung ubi kayu dengan 1 ml larutan 1% AgNO3 dalam eppendorf tube
yang sudah ditimbang terlebih dahulu. Selanjutnya dipanaskan dalam water bath
dengan suhu 80-85C selama 10 menit. Tabung didinginkan dalam air biasa/dingin dan
disentrifuse pada 5000 rpm selama 4 menit. Supernatan dibuang dan selanjutnya
swelling power dihitung berdasarkan berat sedimen (g/g) (Sasaki & Matsuki, 1998).

Hasil dan Pembahasan


1. Visualisasi Warna
Pada penelitian ini, jenis ubi kayu yang digunakan adalah Genotip unggul, Mentega
2 dan Varietas unggul,Adira 1 dimana keduanya memiliki karakter umbi berwarna
kuning karena kandungan beta-karoten yang tinggi dalam umbi. Hasil pengamatan
secara visual pada warna tepung menunjukkan tepung hasil fermentasi lebih putih
dibandingkan dengan tepung non-fermentasi dan diproses menggunakan bahan
antioksidan, natrium bisulfit 0.3% (Gambar 1).

Gambar 1. Visualisasi warna tepung ubi kayu terfermentasi menggunakan starter BIMO-
CF (A) dan tepung ubi kayu biasa.

Pembuatan tepung ubi kayu biasa dilakukan dengan penambahan natrium bisulfit
yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pencoklatan yang diakibatkan oleh reaksi
enzimatis senyawa polifenol (reaksi antara polifenolase dengan oksigen dari udara)
dalam umbi selama proses berlangsung. Selain itu, penggunaan bahan anti-oksidan ini
untuk menjaga kandungan nutrisi terutama beta-karoten yang peka terhadap udara dan
cahaya. Pada proses fermetasi, warna tepung lebih putih, hal ini diduga BAL yang
digunakan dalam proses fermentasi mampu menghasilkan enzim yang memiliki
aktivitas untuk mendegradasi senyawa yang dapat menimbulkan warna coklat dan
protein pada produk sehingga tepung yang dihasilkan menjadi lebih putih dibandingkan
dengan tepung ubi kayu biasa. Menurut Sobawale (2007), kadar protein ubi kayu yang
menyebabkan warna kecoklatan saat pengeringan berkurang secara nyata selama proses
fermentasi. Wahjuningsih (2011) melaporkan bahwa BAL memiliki sifat proteolitik

508
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

yang dapat menguraikan senyawa protein dalam umbi yang memberikan warna coklat
pada proses pengeringan pada suhu 60C (dalam keadaan panas) selama 18 jam
sehingga tepung yang dihasilkan menjadi lebih putih.
Selain dapat mencegah reaksi pencoklatan secara enzimatis, proses fermentasi juga
dapat menghambat reaksi pencoklatan non-enzimatis (maillard), dimana maillard
terjadi jika gula pereduksi bereaksi dengan senyawa-senyawa yang memiliki gugus -
NH2 (protein, asam amino, peptide dan ammonium). Reaksi ini terjadi pada saat bahan
pangan mengalami pemanasan dan atau reaksi dehidrasi (Fardiaz, 1992).

2. Granula Tepung
Pengamatan mikroskopis granula tepung merupakan pengamatan kondisi granula
tepung menggunakan mikroskop yang dilakukan pada perbesaran 400x. Hasil
pengamatan kondisi granula tepung atau pati dapat menjelaskan apakah tepung atau pati
telah mengalami proses pengembangan atau pembengkakan, ataukah amilosa sudah
mengalami proses difusi dan keluar dari granula pati (amylose leaching), sehingga
seluruh molekul amilosa telah keluar dari granula pati dan terperangkap dalam matriks
amilopektin (pati telah tergelatinisasi sempurna) (Muchtadi et al. 1988),
Hasil pengamatan kondisi mikroskopis granula tepung menunjukkan bahwa tepung
ubi kayu fermentasi dan tepung ubi kayu non-fermentasi memiliki kondisi mikroskopis
granula yang hampir sama dari segi bentuk dengan ukuran granula yang bervariasi.
Bentuk granula kedua jenis tepung pada perbesaran 400x memiliki bentuk bulat dengan
ukuran granula bervariasi (Gambar 2). Dari hasil analisa ukuran granula tepung
menggunakan software aplikasi dari mikroskop Leica DFC 310 FX diperoleh ukuran
diameter rata-rata granula tepung hasil fermentasi lebih kecil (11.55 m) dibandingkan
tepung non-fermentasi (14.19 m).
Gambar mikroskopis granula juga memperlihatkan pada tepung dengan fermentasi
(Gambar 2.(A)) terjadi pemecahan pada granula tepung (terllihat tidak utuh seperti yang
ditunjukkan oleh tanda panah).

Gambar 2. Bentuk dan ukuran granula tepung ubi kayu terfermentasi (A) dan tepung ubi
kayu non-fermentasi (B).

3. Scanning electron microscope (SEM)


Analisa karakteristik permukaan granula tepung lebih lanjut dilakukan
menggunakan SEM pada perbesaran obyek mencapai 2000x. Pada pengujian ini dapat
diketahui lebih jelas apakah granula tepung mengalami perubahan karakter fisik pada

509
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

permukaan granula setelah mengalami proses fermentasi. Gambar micrograph tepung


fermentasi menunjukkan telah terjadi pemecahan granula tepung dimana struktur
permukaan granula menjadi bentuk yang tidak teratur atau pecah (Gambar 3. (A)).
Zubaidah, E., dan N. Irawati (2012) melaporkan bahwa degradasi pati dapat
menyebabkan permukaan granula pati mengalami erosi dan mengakibatkan permukaan
menjadi besar. Selama fermentasi BAL dan kapang menghasilkan enzim amilolitik dan
selulase yang dapat memecah dinding sel ubi kayu., sehingga granula pati menjadi
terbuka dan secara mikroskopis terlihat granula pati membengkak. Menurut Subagio,
dkk (2006), selama proses fermentasi berlangsung, BAL menghasilkan enzim amilase
yang kemudian menghidrolisis pati ubi kayu dan mengakibatkan permukaan granula
pati berlubang atau tidak utuh lagi.

Gambar 3. Scanning electron photograph granula tepung ubi kayu terfermentasi (A) dan
tepung ubi kayu non-fermentasi (B).

Prawira (2009) juga menjelaskan bahwa proses fermentasi mampu merusak jaringan
sel ubi kayu dan menjadikan bahan menjadi lunak. Fermentasi juga menyebabkan
liberasi granula pati sehingga tepung yang dihasilkan memiliki bentuk yang tidak
teratur. Jadi, proses fermentasi pada ubi kayu menggunakan starter ini menyebabkan
perubahan pada karakteristik fisik yang nyata yaitu pada permukaan granula tepung
seperti pada gambar 3.

4. Uji Lugol
Uji lugol merupakan salah satu metode yang sederhana untuk mengetahui
kandungan amilum pada sampel (tepung). Selain itu juga dapat digunakan untuk
menguji apakah amilum pada bahan sudah mengalami degradasi menghasilkan
senyawa turunan yang lebih sederhana. Menurut Kearsley and Dziedzic (1995),
senyawa pati apabila bereaksi dengan Iod akan membentuk warna biru, tetapi senyawa
turunan hasil hidrolisis pati seperti dekstrin akan menghasilkan warna ungu kemerahan
jika bereaksi dengan Iod karena memiliki rantai polimer yang lebih sederhana.
Hasil pengujian dengan larutan lugol menunjukkan bahwa tepung ubi kayu yang
diproses menggunakan metode fermentasi dan tanpa proses fermentasi masing-masing
membentuk warna biru tua dan biru muda (Gambar 4).

510
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Gambar 4. Pembentukan warna biru hasil reaksi menggunakan larutan lugol pada tepung
hasil fermentasi (A) dan tepung non-fermentasi (B).

Tidak terbentuknya warna ungu kemerahan pada kedua sampel diduga bahwa
selama proses fermentasi tidak dihasilkan produk turunan pati seperti dekstrin.
Sebaliknya, pada tepung hasil fermentasi diduga terjadi peningkatkan kadar amilosa
yang ditunjukkan oleh hasil uji lugol, dimana tepung terfermentasi memiliki warna biru
lebih tua dibandingkan tepung non-fermentasi. Peningkatan kadar amilosa ini dapat
disebabkan oleh aktivitas enzim dari BAL yang menghidrolisis cabang rantai
amilopektin sehingga menghasilkan rantai lurus senyawa amilosa. Kenaikan jumlah
amilosa dikarenakan oleh terjadinya pemutusan rantai cabang amilopektin dan
menghasilkan rantai lurus amilosa sehingga jumlah amilosa pada tepung hasil
fermentasi akan meningkat (Zubaidah, E., dan N. Irawati, 2012).

5. Daya Mengembang atau Swelling power (SP)


Swelling power menunjukkan kemampuan suatu bahan untuk mengembang saat
dipanaskan. Kekuatan atau daya mengembang pada tepung menggambarkan
kemampuan pati berinteraksi dengan air. Pemanasan pati dalam air panas dapat
menyebabkan granula pati mengembang dengan cepat dan ikatan molekuler hidrogen
akan terlepas dan air yang akan berikatan dengan air. Proses pemanasan tepung akan
menyebabkan granula tepung semakin membengkak karena penyerapan air semakin
banyak. Kemudian air yang masuk ke dalam granula terperangkap pada susunan
molekul penyusun pati (Zubaidah, E., dan N. Irawati, 2012) Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tepung yang diproses menggunakan BAL (fermentasi) memiliki
daya mengembang (swelling power) yang lebih tinggi (8.13 0.71) dibandingkan
dengan tepung non-fermentasi (8.02 0.04).
Peningkatan daya mengembang pada tepung terfermentasi dapat disebabkan karena
adanya BAL yang menghasilkan enzim dengan aktivitas tinggi untuk proses pemecahan
granula pati ubi kayu. Proses pemecahan pati tersebut dapat menyebabkan rasio starch
damage yang lebih tinggi sehingga granula pati lebih permeable dan penetrasi air ke
dalam granula menjadi lebih mudah dan pada saat pati dipanaskan tepung akan mudah
mengembang. Hal ini sesuai dengan hasil analisa menggunakan SEM, dimana struktur
granula tepung setelah difermentasi pecah dan tidak beraturan sehingga memudahkan

511
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

molekul air berinteraksi dengan granula tepung dan lebih mudah mengalami
pengembangan.
Karakter daya mengembang tepung ubi kayu ini sangat penting dalam aplikasinya
sebagai bahan baku dari berbagai jenis makanan olahan seperti cake, cookies, brownies,
kue kukus. Tepung ubi kayu sebagai pangan fungsional selain untuk mendukung
ketahanan pangan nasional, jenis produk ini juga dikenal sebagai makanan sehat karena
memiliki karakteristik gluten free yang sangat cocok untuk penderita autis dan indeks
glikemik (GI) yang rendah (46) dibandingkan tepung lainnya seperti terigu (70)
membuat tepung ubi kayu sangat bagus untuk penderita diabetes
(http://tribune.com.ng/index.php/agriculture/42744-cassava-bread-is-good-for-
diabetics-nsn-president).

Kesimpulan
Dari hasil pengujian beberapa karakteristik tepung ubi kayu hasil fermentasi dan
tepung non-fermentasi diperoleh kesimpulan sebagai berikut; tepung terfermentasi atau
mocaf memiliki karakteristik lebih baik seperti warna tepung lebih putih. Struktur
permukaan hasil analisa menggunakan SEM juga menunjukkan terjadinya perubahan
fisik granula tepung dimana granula pecah dan berbentuk tidak beraturan yang
membuat tepung mocaf lunak strukturnya dan memiliki swelling power yang lebih
tinggi.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini didanai oleh DIPA PN Pusat novasi-LIPI tahun 2012. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada teknisi Laboratorium B2PTTG-LIPI, Subang dan
PT. Multi Usaha Wisesa, Bogor atas kontribusinya dalam penepungan ubi kayu.

Daftar Pustaka
Beni, H., N. Kalsum & Surfiana. 2009. Karakterisasi Tepung Ubi Kayu Modifikasi
Yang Diproses Menggunakan Metode Pragelatinisasi Parsial. Jurnal
Teknologi Industri dan Hasil Pertanian Vol. 14 No. 2: 148-159.
Fardiaz, S. 1992. Analisis Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
(http://tribune.com.ng/index.php/agriculture/42744-cassava-bread-is-good-for-
diabetics-nsn-president).
Kearsley, MW, Dziedzic. 1995. Handbook of Starch Hydrolysis Product and Their
Derivatives. Blackie Academic & Professional, Glasgow.
Muchtadi, T.R., Purwiyatno, Ahza A.A. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi.
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
Prawira, M. Iqbal. 2009. Karakteristik Tepung Sorgum Coklat (Shorghumbicolor L.
Moench) Hasil Fermentasi dengan Metode Tempe dan Ampok. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Sasaki, T., and Matsuki, J. 1998. Effect of wheat starch structure on swelling power.
Cereal Chemistry, 75, 525-529.
Sobawale , AO, Olurin, T.O. and Oyewole,O.B. 2007. Effect of lactic acid bacteria
starter culture fermentasion of cassava on chemical and sensory
characteristics of fufu flour. University of Agriculture, Nigeria.
512
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Subagio, A. 2008. Proses Produksi Mocal.http://tepungmocal.ning.com.


Subagio. 2006. Ubi Kayu Substitusi Berbagai Tepung-tepungan. Vol 1-Edisi 3 Food
Review (April, 2006): hal 18-22.
Wahjuningsih, S.B, Cahyani Nani dan Ika Febriana, 2011. Pemanfaatan Limbah Air
Rendaman Ubi Kayu Sebagai Biang Alami Pada Fermentasi Tepung Mokal.
Laporan Penelitian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Semarang
Wireko-Manu, F.D., W.O. Ellis, I. Oduro, R. Asiedu, and B. Maziya-Dixon. 2011.
Physicochemical and Pasting Characteristics of Water Yam (D. alata) in
Comparison with Pona (D. rotundata) from Ghana. Europen Journal of Food
Research and Review. 1 (3): 149-158.
Zubaidah, E., dan N. Irawati. 2012. Pengaruh Penambahan Kultur (Asergillus niger
L. Plantarum) Dan Lama Fermentasi Terhadap Karakteristik Mocaf.
Teknologi Hasil Pertanian, FTP UB.

513
Seminar Nasional
Riset Pangan, Obat-Obatan
dan Lingkungan Untuk Kesehatan

Ucapan Terima Kasih


Panitia mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
atas konstribusi dalam Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-obatan, dan
Lingkungan untuk Kesehatan, sehingga terselenggara sesuai dengan rencana
kepada :

1. Rektor Universitas Pakuan


2. Dekan FMIPA Universitas Pakuan
3. Dekan FMIPA Universitas Padjajaran
4. Ketua Program Studi Kimia FMIPA Universitas Pakuan
5. Ketua Jurusan Kimia FMIPA Universitas Padjajaran
6. PT. Berca Niaga Medika
7. PT. Dwi Prima Rezeki
8. Bank Mandiri
9. PT. Antam Tbk.
10. PT. Arico Sainsindo
11. Ikatan Alumni Kimia FMIPA Universitas Pakuan

Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga kontribusi yang telah diberikan dapat menjadi inspirasi untuk
mengembangkan apa yang sudah dicapai dari kegiatan ini.

515

Anda mungkin juga menyukai