Anda di halaman 1dari 53

PENGARUH PEMBERIAN UMBI BAWANG PUTIH

(Allium sativum L)SEBAGAI ANTI KUTU BERAS


(Sitophilus oryzae L)DAN PEMANFAATANNYA
UNTUK BAHAN AJAR PADA MATA KULIAH
BIOLOGI TERAPAN

SKRIPSI

PUTRI RAHAYU
NIM : 20111113020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2015
PENGARUH PEMBERIAN UMBI BAWANG PUTIH
(Allium sativum L)SEBAGAI ANTI KUTU BERAS
(Sitophilus oryzae L)DAN PEMANFAATANNYA
UNTUK BAHAN AJARPADA MATA KULIAH
BIOLOGI TERAPAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar SARJANA PENDIDIKAN

PUTRI RAHAYU
NIM : 20111113020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surabaya
Juni 2015
PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Putri Rahayu

Nim : 20111113020

Program Studi : S1 Pendidikan Biologi

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri

bukan hasil plagiasi, baik sebagian maupun keseluruhan. Apabila dikemudian hari

terbukti hasil plagiasi, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai

ketentuan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Surabaya, 16 Juni 2015

Yang membuat pernyataan,

Putri Rahayu
(20111113020)
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi yang ditulis oleh Putri Rahayu ini telah disetujui oleh dosen pembimbing

untuk diujikan tanggal 26 Juni 2015

Dosen Pembimbing Tanda Tangan Tanggal

Ir. Ruspeni Daesusi, M.Kes ............................................... .............................

Dra. Peni Suharti, M.Kes .............................................. .............................

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Biologi

Dr. Wiwi Wikanta, M.Kes

HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah diuji dan dinyatakan sah oleh Panitia Ujian Tingkat Sarjana (S1)

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kependidikan.

Dosen Penguji Tanda Tangan Tanggal

Dra. Peni Suharti, M.Kes ............................................... 26 Juni 2015

Dra. Yuni Gayatri, M.Pd ............................................... 26 Juni 2015

Drs. Anjisman, M.Pd ............................................... 26 Juni 2015

Mengetahui,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Muhammadiyah Surabaya

Dekan,

Dr. M. Ridlwan, M.Pd.


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sesuai waktu yang

direncanakan. Skripsi yang berjudul Pengaruh Pemberian Umbi Bawang Putih

(Allium sativum L) Sebagai Anti Kutu Beras (Sitophilus oryzae L) dan

Pemanfaatannya Untuk Bahan Ajar Pada Mata Kuliah Biologi Terapanini disusun

untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi

Pendidikan Biologi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas

Muhammadiyah Surabaya.

Untuk dapat menyelesaikan skripsi ini, penulis memperoleh bantuan dan

dorongan dari berbagai pihak, baik secara moril dan materiil. Untuk itu, tiada kata

yang layak penulis sampaikan selain ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya,

khususnya kepada :

1. Dr. dr. Sukadiono, M. M.,Bapak Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya.

2. Dr. M. Ridlwan, M.Pd.,Bapak Dekan FKIP UMSurabaya.

3. Dr. Wiwi Wikanta, M.Kes., ketua Program Studi Pendidikan Biologi yang telah

meluangkan waktu demi terselesaikannya skripsi ini.

4. Ir. Ruspeni Daesusi, M.Kes., selaku dosen pembimbing I yang dengan sabar

membimbing penulis sampai terselesaikannya penulisan skripsi ini.

5. Dra. Peni Suharti, M.Kes., selaku dosen pembimbing II yang dengan sabar

membimbing sampai terselesaikannya skripsi ini.


6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Biologi yang telah memberikan

bekal ilmu pengetahuan kepada penulis.

7. Ayah dan ibu yang selalu menjadi motivasi terbesar dalam hidup penulis,

terimakasih atas segala jerih payah, do’a dan jasa-jasa kalian.

8. Seseorang yang selalu bersedia mendengarkan keluh kesah saya dan yang tak

pernah henti-hentinya memberikan semangat, dorongan dan do’a kepada penulis

untuk mengejar masa depan.

9. Teman-teman seperjuangan Program Studi Pendidikan Biologi angkatan 2011

yang saling memberikan dukungan dan semangat satu sama lain, terimakasih

kepada Iffatur Rizqiyah yang telah banyak membantu, terimakasih juga kepada

Nurul Islam B. Tamimi, Zuhrotul Firdaus dan Sri wahyuni yang telah bersedia

untuk berbagi referensi.

Penulis menyadari bahwa penyusunan dan penulisan skripsi ini masih banyak

kekurangan. Atas kekurangan dan kekhilafan maka dengan rendah hati penulis

memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Surabaya, Juni 2015


Penulis

Putri Rahayu
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………………………………………………………………………… i

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. ii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… iv

DAFTAR TABEL ………………………………………………………………… vi

DAFTAR GRAFIK ………………………………………………………………. vii

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….. viii

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………… ix

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………… 1


1.1 Latar Belakang ………………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………….. 4
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………… 5
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………….. 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ……………………………………………………... 6


2.1 Kerusakan Beras ………………………………………………………. 6
2.2 Tinjauan Tentang Kutu Beras .………………………………………… 9
2.3 Tinjauan Tentang Insektisida ………………………………………….. 14
2.4 Bawang Putih Sebagai Insektisida Nabati …………………………….. 17
2.5 Kerangka Berpikir …………………………………………………….. 25
2.6 Hipotesis ………………………………………………………………. 26

BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………………….. 27


3.1 Jenis dan Desain Penelitian …………………………………………… 27
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………………… 28
3.3 Populasi dan Sampel ………………………………………………….. 28
3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ………………………… 29
3.5 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ……………………………. 30
3.6 Prosedur Penelitian ……………………………………………………. 32
3.7 Teknik Analisis Data ………………………………………………….. 36

BAB IV HASIL PENELITIAN …………………………………………………... 37


4.1 Hasil Penelitian ………………………………………………………... 37
4.2 Analisis Data …………………………………………………………... 38
4.3 Pembahasan ……………………………………………………………. 40

BAB V PENUTUP ……………………………………………………………….... 44


5.1 Kesimpulan …………………………………………………………….. 44
5.2 Saran …………………………………………………………………… 44

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….... 45

LAMPIRAN ………………………………………………………………………. 47
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Kandungan Umbi Bawang Putih per 100 gram……………………………….23

3.1 Hasil Pengamatan Respon Kutu Beras………………………………………..31

4.1 Data Hasil Pengamatan Respon Kutu Beras………………………………….37

4.2 Hasil Uji Kruskal-Wallis………………………………………………………39

4.3 Ringkasan Hasil Uji Mann-Whitney …………………………………………40


DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

4.1 Prosentase Respon Kutu Beras……………………………………………… 38


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1 Kutu Beras (Sitophilus oryzae) ……………………………………………10
2.2 Umbi Bawang Putih ……………………………………………………….18
3.1 Desain Acak Lengkap ……………………………………………………..27
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1 Berita Acara Bimbingan Skripsi ……………………………………..47

Lampiran 2 Tabel Hasil Pengamatan Respon Beras……………………………….48

Lampiran 3 Analisis Data SPSS 16.0 ………………………………………….....49

Lampiran 4 Dokumentasi………………………………………………………….55

Lampiran 5 Implementasi Bahan Ajar……………………………………………. 61

Lampiran 6 Pernyataan tidak melakukan Plagiat………………………………… 71

Lampiran 7 Riwayat Hidup……………………………………………………….72


DAFTAR PUSTAKA

Anggara, A.W. 2007. Hama Pasca Panen Padi dan Pengendaliannya. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Puslitbangtan, Jawa Barat.

Anonymous. 2012. Tanaman Bahan Pestisida.


http//kicauan.files.wordpress.com/2012/tanaman-bahan-pestisida.pdf. Diakses
pada tanggal 7 januari 2015.

Anonymous. 2012a. Sitophilus oryzae (Lesser Grain Weevil).


http://www.cabi.org/isc/datasheet/10887 Diakses Pada Tanggal 8 April 2015

Anonymous. 2013. Canadian Grain Commission : Rice Weevil (Sitophilus oryzae L.).
http://www.grainscanada.gc.ca/storage-entrepose/pip-irp/rw-cr-eng.htm. Diakses
Pada Tanggal 9 Maret 2015.

Arannilewa, et al. 2006. Laboratory evaluation of four medicinal plants as


protectants against the maize weevil, Sitophilus zeamais. African Journal of
Biotechnology, ISSN 1684–5315, 2006 Academic Journals (online)
http://www.academicjournals.org/AJB. Diakses Pada Tanggal 29 Mei 2015

Aryati. 2013. Panen dan Pasca Panen Padi. Badan Lintang Pertanian. Edisi 17-23
Juli No.3516 Tahun XLIII

Asmaliyah, dkk. 2010. Pengenalan Tumbuhan Penghasil Pestisida Nabati dan


Pemanfaatannya Secara Tradisional. Booklet Kementerian Kehutanan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Produktivitas Hutan. Isbn : 978-602-98588-0-8.

Djojosumarto, Panut. 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Yogyakarta:


Penerbit Kanisius.

Ilfi, Anisah. 2005. Skripsi: Pengaruh Konsentrasi Perasan Bawang Putih (Allium
sativum L) Terhadap Pertumbuhan Candida albicans. Skripsi yang tidak
dipublikasikan. Surabaya: Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu
pendidikan. Universitas Muhammadiyah Surabaya

Kartasapoetra, A.G. 1991. Hasil Tanaman Dalam Gudang. Jakarta: Rineka Cipta.
Kartasapoetra, A.G. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Jakarta: Bumi
Aksara.

Koehler, P. G. 2012. Rice Weevil, Sitophilus Oryzae (Coleoptera: Curculionidae).


Entomology And Nematology Department, Florida Cooperative Extension
Service, Institute Of Food And Agricultural Sciences, University Of Florida.
www.edis.ifas.ufl.edu/ig120. Diakses Pada Tanggal 9 Maret 2015.

Myers, P., Espinosa, R., dkk. 2015. The Animal Diversity Web (online) : Sitophilus
oryzae. http://animaldiversity.org/accounts/Sitophilus_oryzae/classification/.
Diakses Paada Tanggal 15 April 2015.

Rahmawati, Reny. 2012. Bawang Putih Tunggal (Bawang Lanang) Untuk Mengobati
Berbagai Penyakit. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Santoso, Hieronymus B. 1989. Bawang Putih. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Setyono, Agus. 2010. Perbaikan Teknologi Pascapanen Dalam Upaya Menekan


Kehilangan Hasil Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Jurnal
Pengembangan Inovasi Pertanian 3

Sulardjo. 2014. Penanganan Pasca Penen Padi. Jurnal Magistra No. 88 Th. XXVI
Juni 2014 ISSN 0215-9511.

Sumampouw, Simone P M, dkk. 2014. Pengaruh Larutan Bawang Putih Pada Larva
aides spp Di Kecamatan Malalayang Kota manado. Jurnal e-Biomedik (eBM).
Volume 2 Juli No. 2 Tahun 2014.

Untung, Kasumbogo. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu (Edisi Kedua).


Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara yang penduduknya mayoritas mengonsumsi

beras. Beras menjadi bahan makanan pokok hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Beras mempunyai peran yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Beras

dianggap sebagai komoditi yang paling pas untuk memenuhi kebutuhan zat gizi

terutama karbohidrat sebagai sumber energi.Namun,ada juga sebagian masyarakat

dari beberapa daerah di Indonesia yang tidak menjadikan beras sebagai makanan

pokok, masyarakat tersebut mengkonsumsi jagung, sagu dan umbi-umbian.

Kondisi penyimpanan merupakan faktor penting terhadap menjaga mutu

beras yang disimpan dan kondisi udara yang lembab perlu diperhatikan karena

dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganismeseperti bakteri dan

jamur, serta serangga seperti kutu beras (Sitophilus oryzae). Penyimpanan beras

umumnya menggunakan wadah pengemas yang berfungsi untuk melindungi beras

dari kontaminasi. Penyimpanan beras yang dikemas dengan menggunakan

pengemas dari polipropilen dan polietilen dapat memperpanjang daya simpan

beras dibandingkan dengan penggunaan karung dan kantong plastik (Setyono,

2010).

Penyimpanan inilah yang memang harus diperhatikan agar tidak terjadi

penurunan mutu karena munculnya kutu beras tersebut, apalagi jika terjadi

penimbunan beras. Perlu diperhatikan penangan penyimpanan dengan baik.

Kerusakan pada beras yang ditimbulkan oleh hama termasuk kerusakan

1
2

yangberat. Hama yang menimbulkan kerusakan pada beras adalah hama kutu

beras (Sitophilus oryzae).

Hama kutu beras (Sitophilus oryzae) selain merusak butiran beras, juga

merusak simpanan jagung, padi, kacang tanah, gaplek, kopra, dan butiran lainnya.

Akibat dari serangan hama ini, butir beras menjadi berlubang kecil dan bercabang,

sehingga menyebabkan butiran beras yang terserang menjadi mudah pecah dan

remuk seperti tepung. Kualitas beras akan rusak sama sekali akibat serangan hama

ini yang bercampur dengan air liur hama. Kutu beras merupakan hama perusak

bahan pangan. Kutu ini tidak hanya menyerang beras, jagung dan gandum, tetapi

juga merusak bahan pangan lainnya seperti sorgum, ketela, kedelai, kacang hijau,

biji semangka hingga biji bunga matahari (Kartasapoetra, 1991).

Selama ini penanganan untuk membasmi kutu beras yaitu menggunakan

insektisida kimia. Insektisida merupakan salah satu jenis dari pestisida atau

pembunuh hama.Banyak dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia yaitu

terkontaminasinya bahan pangan serta pencemaran lingkungan (Kartasapoetra,

1993). Untuk mengurangi pencemaran tersebut salah satu alternatifnya adalah

menggunakan pestisida yang ramah lingkungan, yaitu insektisida nabati atau

dapat disebut juga sebagai biopestisida.

Pada umumnya, Insektisida nabati merupakan insektisida alami yang

bahannya diambil langsung dari tanaman atau dari hasil tanaman. Insektisida

botani merupakan insektisida yang paling banyak digunakan sebelum insektisida

sintetik ditemukan. Namun, insektisida nabati ini kurang stabil di lingkungan

karena mudah teruarai. Insektisida nabati dikenal sebagai pestisida yang resikonya

kecil bagi kesehatan dan lingkungan hidup (Untung, 2006). Menurut


3

Sastrosiswojo (2002) dalam Asmaliyah (2010), ada 1800 jenis tanaman yang

mengandung senyawa pestisida nabati yang dapat digunakan untuk pengendalian

hama antara lain daun mimba, sirsak, serai, jambu mete, bakung, bawang putih,

akar tuba, belimbing wuluh, jeruk purut dan lain-lain.

Tanaman-tanaman tersebut mengandung senyawa yang mampu menghalau

kutu, salah satunya adalah bawang putih (Allium sativum L).Bau khas bawang

putih (Allium sativum L) yang menyengat tidak disukai oleh banyak orang juga

tidak disukai oleh serangga. Umbi bawang putih (Allium sativum L) mengandung

ikatan asam amino yang disebut aliin. Aliin dapat berubah menjadi allicin.Allicin

itulah yang mengeluarkan bau khas yang menyengat dari bawang putih (Allium

sativum). Aroma tajam menyengat yang dikeluarkan allicin, membuat hama

enggan mendekat. Allicin dari bawang putih (Allium sativum) tidak akan

memunculkan resistensi karena dari baunya saja sudah membuat serangga enggan

mendekat (Santoso, 1989; Anonymous, 2012).

Hasil penelitian ini dimanfaatkan pada pembelajaran biologi perguruan

tinggi dalam mata kuliah biologi terapan. Penelitian ini merupakan proses

pembelajaran yang mudah untuk dilakukan sehingga membuat proses

pembelajaran menjadi menarik, hal ini karena perlengkapan alat dan bahan yang

mudah digunakan. Penelitian ini mnggunakan metode yang dipilih secara ilmiah

mulai dari alat, bahan dan prosedur penelitian yang sistematis. Hal ini juga

didukung dari penelitian Arannilewa (2006), yaitu penelitiannya pada kutu jagung

dengan insektisida bawang putih telah mendapatkan hasil bahwa bawang putih

berpotensi terhadap kematian kutu jagung (Sitophilus zeamais) karena aroma

tajam yang dihasilkan oleh bawang putih dapat menyebabkan efek keracunan
4

karena mengganggu aktivitas pernafasan hama tersebut, sehingga menyebabkan

kematian.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarikuntukmenelitifenomena

tersebutmelaluipenelitian :“Pengaruh Pemberian Umbi Bawang Putih (Allium

sativum L.)Sebagai Anti Kutu Beras (Sitophilus oryzae L.) dan Pemanfaatannya

Untuk Bahan Ajar Pada Mata Kuliah Biologi Terapan”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Adakah pengaruh pemberianumbi bawang putih (Allium sativum L.)sebagai

antikutu beras(Sitophilus oryzae L.)?

2. Pada perlakuan manakah yang paling efektif sebagai anti kutu beras

(Sitophilus oryzae L.)?

3. Bagaimana bentuk bahan ajar yang dapat dimanfaatkan dari hasil penelitian

tentang pengaruh pemberian umbi bawang putih sebagai anti kutu beras?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

1.3.1 Untuk mengetahui pengaruh pemberian umbi bawang putih (Allium

sativumL) sebagai anti kutu beras (Sitophilus oryzaeL).

1.3.2 Untuk mengetahui bagian umbi bawang putih (Allium sativum L) yang

paling efektif sebagai anti kutu beras (Sitophilus oryzae L).

1.3.3 Memberikan tambahan bahan ajar untuk materi perkuliahan Biologi

Terapan.
5

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1.4.1 Bagi Peneliti

Dapat menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam

bidang sains maupun pertanian tentang pengaruh pemberian bawang putih

(Allium sativumL) sebagai anti kutu beras (Sitophilus oryzaeL)

1.4.2 Bagi Mahasiswa

Memberikan informasi tentang kandungan kimia, khasiat dan manfaat

umbi bawang putih (Allium sativum L) sebagai anti kutu beras (Sitophilus

oryzae L).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerusakan Beras

2.1.1 Standarisasi Mutu Beras

Standar mutu beras sesuai dengan SNI, yaitu (1) bebas dari hama dan penyakit,

beras yang terserang kutu akan menjadi berlubang kecil-kecil sehingga menyebabkan

beras mudah pecah, (2) bebas bau busuk, asam atau bau-bau lainnya dan (3) bebas

dari bahan kimia seperti sisa-sisa pupuk, insektisida, fungisida dan bahan kimia

lainnya (Aryati,2013).

2.1.2 Penyebab Kerusakan Beras

Kerusakan beras terjadi dari cara panen ataupun penyimpanan yang tidak tepat.

Cara-cara penanganan hasil tanaman padi yang baik, dapat mengurangi kehilangan

atau penyusutan secara kuantitatif dan penyusutan kualitatif. Penyusutan kuantitatif

terjadi karena gabah banyak terbuang pada saat panen, sedangkan kualitatif dapat

disebabkan karena adanya kerusakan kimiawi atau fisis, seperti hasil panen menjadi

berkecambah, fisik beras banyak yang retak, biji beras menguning (Sulardjo, 2014)

Bentuk kerusakan karena kehilangan berat dan turunnya nilai gizi dapat terjadi

karena kadar air yang cukup tinggi, yaitu sekitar 25% keatas yang langsung

dimasukkan ke dalam ruang penyimpanan mengakibatkan aktivitas pernafasan gabah

akan terangsang, akibat tingginya kadar air mengakibatkan temperature ruangan

menjadi tinggi, uap air dan gas asam arang makin banyak dikeluarkan gabah sehingga

kehilangan berat dan turunnya nilai gizi (Sulardjo, 2014).

6
7

Proses pemanenan padi juga dapat menyebabkan kerusakan beras. Pemanenan

harus dilakukan pada umur panen yang tepat, menggunakann alat dan mesin panen

yang memenuhi perssyaratan teknis, kesehatan, ekonomi serta menerapkan sitem

panen yang tepat. Ketidaktepatan dalam melakukan pemanenan padi dapat

mengakibatkan kehilangan hasil panen yang tinggi dan mutu hasil yang rendah. Pada

tahap pemanenan kehilangan hasil dapat mencapai 9,52% apabila pemanenan

dilakukan secara tidak tepat. Pemanenan padi dilakukan pada umur panen yang

memenuhi persyaratan, yaitu (1) 90 – 95% gabah dari malai tampak kuning, (2)

berumur 30 – 35 hari setelah bunga merata, dan (3) kadar air gabah 22 – 26% yang

diukur dengan moisture tester (Aryati, 2013)

Alat dan mesin yang digunakan untuk pemanenan padi telah berkembang

mengikuti berkembangnya varietas baru ynag dihasilkan. Cara pemanenan padi dapat

menggunakan ani-ani, sabit ataupun reaper. Cara pemanenan dengan ani-ani adalah

cara yang paling tradisional, sehingga kurang efektif untuk dapat menekan kehilangan

hasil panen. Cara pemanenan dengan sabit sabit sangat dianjurkan karena dapat

menekan kehilangan hasil panen sebesar 3% (Damardjati, 1989; Nugraha, 1990

dalam aryati, 2013). Sedangkan pemanenan dengan menggunakan reaper dianjurkan

pada daerah-daerah yang kekurangan tenaga kerja dan dioperasikan di lahan dengan

kondisiyang baik (tidak tergenang, tidak berlumpur dan tidak becek). Menurut hasil

penelitian, penggunaan reaper dapat menekan kehilangan hasil panen sebesar 6,1%

(Aryati, 2013).

Menurut Sulardjo (2014), penentuan waktu panen sebaiknya tidak terlalu awal

atau terlalu akhir. Pemanenan yang terlalu awal dapat berakibat penurunan kualitas
8

karena gabah terlalu banyak mengandung butir hijau dan kapur, redemennya rendah

dan menghasilkan lebih banyak dedak. Pemanenan yang terlalu awal maupun terlalu

lambat akan lebih banyak mengalami kehilangan hasil panen yang disebabkan akibat

kerontokan gabah karena terlalu masak.

Setelah pemanenan kondisi masa Pascapanen padi juga dapat mempengaruhi

hasil panen. Pascapanen yaitu mencakup pemanenan hasil dan pemrosesan gabah

hingga siap digunakan konsumen (Anggara, 2007). penanganan pascapanen atau

pengelolaan pascapanen adalah kegiatan yang dilakukan terhadap hasil pertanian

setelah hasil pertanian dipanen (Sulardjo, 2014).

Setelah melewati proses pemanen dan tahap-tahap penanganan hasil panen

maka dilakukan penyimpanan yang bertujuan untuk mempertahankan kualitas, serta

mencegah kerusakan dan penyusutan hasil panen yang disebabkan karena faktor-

faktor luar maupun dalam. Faktor dalam meliputi kandungan air dalam gabah,

aktivitas resparasi dan pemanasan sendiri. Sedangkan faktor dalam meliputi

temperature, penyimpanan, kelembaban udara, konsentrasi oksigen udara, serangan

mikroba, hama dan iklim (Sulardjo, 2014).

Penyimpanan beras umumnya menggunakan wadah pengemas yang berfungsi

untuk melindungi beras dari kontaminasi. Penyimpanan beras yang dikemas dengan

menggunakan pengemas dari polipropilen dan polietilen dapat memperpanjang daya

simpan beras dibandingkan dengan penggunaan karung dan kantong plastik (Setyono,

2010).

Sehubungan dengan kerusakan dan kehilangan serta faktor-faktor penyebab

kerusakan, maka diusahakan pencegahan yaitu dengan melengkapi ruang


9

penyimpanan dengan alat dan bahan untuk mengendalikan faktor-faktor pengebab,

antara lain dengan: (a) melengkapi ruang penyimpanan dengan alat pengatur

temperatur ruangan, sitem ventilasi yang baik, (b)fasilitas pencegahan hama dan

perkembangan mikroba, (c) mengusahakan agar dinding ruang penyimpanan terbuat

dari bahan-bahan yang tidak mudah terpengaruh oleh air hujan, suhu luar yang dingin

dan teriknya sinar matahari, serta letaknya harus terbebas dari pengaruh polusi, dan

(4) mengusahakan agar ruang penyimpanan cukup leluasa menampung penyimpanan

sejumlah besar gabah, serta letaknya dekat dengan tempat pengeringan (Sulardjo,

2014).

2.2 Tinjauan Tentang Kutu Beras (Sitophilus oryzae L)

2.2.1 Tinjauan Umum dan Sistematika

Kutu beras (Sitophilus oryzae L) merupakan salah satu hama paling serius yang

menyerang bahan makanan simpanan di seluruh dunia. Hama ini berasal dari India

dan tersebar luas ke penjuru dunia melalui perdagangan. Hama Sitophilus oryzae

menyerang golongan biji-bijian seperti, gandum, jagung, sorgum, soba, kacang dan

produk dari biji-bijian seperti macaroni (Koehler, 2012).

Gambar 2.1 Kutu beras (Koehler, 2012)


10

Menurut Myers (2015), klasifikasi kutu beras adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Hexapoda
Class : Insecta
Order : Coleoptera
Super Family : Curculionoidea
Family : Dryophthoridae
Genus : Sitophilus
Spesies : Sitophilus oryzae

2.2.2 Morfologi Kutu Beras

Kutu beras merupakan hewan yang kecil berukuran 2-3mm dan terlihat gemuk.

Penampilan kutu beras sangat mirip dengan kutu lumbung. Kutu beras berwarna

merah-kecoklatan sampai hitam dengan empat bintik berwarna kuning cerah atau

kemerahan di sudut elytra (cangkang keras yang meliindungi sayap) (Koehler, 2012).

Menurut Kartasapoetra (1991), ukuran panjang tubuh kutu beras antara 3,5-

5mm, tergantung dari tempat hidup larvanya, artinya pada material baikyang

berukuran besar seperti pada butiran jagung, potongan gaplek ukuran kutunya lebih

besar daripada kutu yang terdapat pada butiran beras. Pada gaplek dan jagung rata-

rata kutu berukuran 4,5mm, sedangkan kutu pada beras berukuran sekitar 3,5mm.

Larvanya tidak berkaki, berwarna putih atau jernih ketika melakukan gerakan

akan membentuk dirinya dalam keadaan agak mengkerut (agak membulat),

sedangkan kepompongnya tampak seakan-akan telah dewasa (Kartasapoetra, 1991).

Kutu beras memiliki moncong yang sangat panjang berukuran satu mm, hampir
1
/3 dari ukuran panjang tubuhnya. Moncongnya memanjang dari prothorax atau

elytra. Protorax (tubuh bagian belakang dari kepala) sangat kuat dan elytra memiliki
11

garis dengan alur membujur. Saat terganggu, imago akan menarik kaki, menjatuhkan

diri ke permukaan tanah dan berpura-pura mati (Koehler, 2012).

2.2.3 Daur Hidup

Aktifitas dan masa kopulasinya selalu dilakukan pada malam hari. Masa

kopulasikutu beras (Sitophilus oryzae) berlangsung lebih lama dibandingkan dengan

masa kopulatif hama gudang lainnya. Selama siklus hidupnya antara tiga sampai lima

bulan, setiap induk hama dapat memproduksi sebanyak 300–400 butir

telur(Kartasapoetra, 1991).Sedangkan menurut (Koehler, 2012), imago betina

meletakkan rata-rata empat telur per hari dan dapat hidup bekisar antara empat

sampai lima bulan. Telur menetas sekitar tiga hari, larva dapat memakan biji padi

berlubang sekitar umur 18 hari. Larva berkembang dalam biji dan menetap pada biji

yang berlubang.

Telur diletakkan induk hama pada tiap butir beras yang telah dilubangi terlebih

dahulu, masing-masing lubang tersebut ditutup dengan sisa gerekan. Lubang-lubang

yang digerek pada butiran beras dengan kedalaman 1 mm digunakan untuk

memasukkan telur yang berbentuk lonjong dengan bantuan moncongnya

(Kartasapoetra, 1991).

Masa inkubasi telur sekitar 6 hari pada suhu 25° C. Telur diletakkan pada suhu

antara 15 dan 35° C (suhu optimal sekitar 25° C) dan pada kadar air biji-bijian yang

lebih dari 10% (Anonymous, 2012a)

Tahap pupa berakhir sekitar 6 hari, imago akan menetap dalam biji selama tiga

sampai empat hari untuk memperkuat dan menjadi dewasa. Keseluruhan siklus hidup
12

kutu beras bekisar 26 sampai 32 hari, tetapi siklus hidup kutu beras dapat melakukan

periode yang lama selama musim dingin (Koehler, 2012). Sedangkan menurut

Anonymous (2013), Periode perkembangan telur sekitar lima sampai enam hari, pada

larva sekitar 16 sampai 20 hari dan pada periode perkembangan pupa sekitar delapan

sampai sembilan hari, keseluruhan siklus berkembang pada suhu 23-35° C. Umur

imago kutu beras jantan adalah 114-115 hari, sedangkan kutu beras betina 119-120

hari.

Menurut Kartasapoetra (1991), siklus hidup kutu beras sekitar 28 sampai 90

hari, tetapi umumnya sekitar 31 hari. Menurut penelitian Donald (1962) dalam

Kartasapoetra (1991), panjang atau pendeknya siklus hidup hama tergantung pada,

(1) temperatur di dalam ruang penyimpanan, yaitu dengan suhu 87oF, (2) kelembaban

atau kandungan air pada produk simpanan, kelembaban udara relative 75% dan

kandungan air bekisar 14% (3) jenis produk yang diserangnya, siklus hidup hama

pada hasil panen juga mempengaruhi siklus hidupnya. Antara media beras, gandum

dan jagung siklus hidup hama dapat berbeda-beda.

2.2.4 Pengendalian Kutu Beras (Sitophilus oryzae L)

Akibat serangan hama kutu beras terhadap butir-butir beras, beras akan

berlubang kecil-kecil sehingga dapat menjadikan butiran beras cepat pecah dan

remuk bagaikan tepung. Butiran beras yang terserang kutu, dalam keadaan rusak

bercampur dengan tepung yang dipersatukan oleh air liur larva sehingga kualitas

beras menjadi rusak (Kartasapoetra, 1991).


13

Aspek yang terpenting dalam pengendalian adalah lokasi dari sumber infestasi.

Tempat yang lembab merupakan sumber infestasi, area dengan kelembaban tinggi

yang dapat menarik kutu beras (Koehler, 2012).

Cara penanggulangan dan pembasmian kutu beras (Sitophilus oryzae L) dapat

dilakukan dengan secara mekanis, (1) penjemuran bahan-bahan yang terserang pada

terik sinar matahari, dilakukan beberapa kali sehingga kontak anatara sinar matahari

dengan tubuh kutu yang masih hidup dapat berlangsung sempurna. Telur, larva, pupa

hingga imago dewasa dapat dibunuh melalui pemanasan dengan suhu 50oC selama

satu jam atau pendinginan dengan suhu -18oC selama satu minggu, (2) pengaturan

penyimpanan bahan dengan baik, teratur, pada tempat yang kering dan terawat

dengan baik(Kartasapoetra, 1991; Koehler, 2012).

Cara penanganan kutu beras secara kimiawi yaitu dengan penggunaan obat-

obatan untuk mengendalikan pengrusakan yang dilakukan hama gudang. Cara

penanganan dengan fumigasi dan tidak dilakukan dengan cara spraying. Penanganan

dengan cara spraying dapat membahayakan konsumen, hal ini karena obat-obatan

yang digunakan dapat meresap ke dalam bahan pangan, selain itu juga menyebabkan

kadar air menjadi bertambah. Fumigasi dilakukan menggunakan obat-obatan seperti

Pyrenone Grain Protectant, penggunaan tablet phostoxin dan menggunakan HCN

(Kartasapoetra, 1991; Koehler, 2012).

Cara penanggulangan hama gudang secara biologis dapat dilakukan dengan

menggunakan bahan alami sebagai bipestisida. Seperti pada penelitian Da Silva

(2012), yang menggunakan ekstrak biji Medicago truncatula sebagai daya racun

untuk kutu beras. Penelitian tersebut dilakukan karena biji Medicago


14

trunculamengandung senyawa saponin yang bersifat anti kutu, senyawa tersebut

bersifat racun dan dapat digunakan sebagai pembasmi hama. Penelitian Arannilewa

(2006), menunjukkan bahwa bawang putih mampu mengendalikan hama gudang

yaitu pada kutu jagung.

2.3 Insektida

Insektisida adalah salah satu jenis dalam lingkup pestisida. Insektisida dikenal

dengan insektisida organis dan insektisida sintetis. Insektisida organis yaitu yang

berasal dari tanaman atau dapat disebut dengan insektisida nabati. Sedangkan

insektisida sintesis atau kimia adalah insektisida yang dibuat oleh pabrik melalui

proses kimiawi dan banyak mengandung logam berat, seperti air raksa, timah,

arsenat, seng dan fosfor (Kartasapoetra, 1993).

Menurut “cara kerja” atau gerakannya pada tanaman setelah diaplikasikan,

insektisida dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a. Insektisida sismetik

Insektisida yang diserap oleh organ-organ tanaman, baik lewat akar, batang

ataupun daun. Selanjutnya, insektisida sistemik mengikuti gerakan cairan

tanaman dan ditransportasikan ke bagian-bagian tanaman lainnya, dari atas ke

bawah atau disebut dengan “sistemik basipetal” termasuk sedangkan gerakan

dari bawah ke atas atau disebut dengan “sistemik akropetal”. Contoh

insektisida sistemik adalah furatiokarb, fosfamidon, isolan, karbofuran, dan

monokrotofos.
15

b. Insektisida non-sistemik

Insektisida non-sistemik diaplikasikan pada tanaman sasaran dan tidak diserap

oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel dibagian luar tanaman.

Insektisida non-sistemik sering disebut insektisida kontak. Insektisida non-

sistemik merupakan insektisida bagian terbesar yang dijual di pasaran

Indonesia. Contoh insektisida non-sistemik antara lain dioksikarb, diazinon,

diklorvos, profenofos, dan quinalfos.

c. Insektisida sistemik lokal

Insektisida sistemik lokal adalah kelompok insektisida yang dapat diserap oleh

jaringan tanaman umumnya pada daun, tetapi tidak ditranslokasikan ke bagian

tanaman lainnya. Beberapa contoh insektisida sistemik lokal di antaranya

adalah dimetan, furatiokarb, pyrolan, dan profenofos (Djojosumarto, 2000).

Insektsida juga digolongkan menurut cara masuk ke dalam tubuh

serangga, anatara lain:

a. Sebagai racun lambung (racun perut, stomach poison)

Insektisida yang dapat membunuh serangga sasaran dengan cara masuk ke

dalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan.

Insektisida tersebut dibawa oleh cairan tubuh serangga menuju ke sasaran yang

mematikan, misalnya ke susunan syaraf serangga.

b. Sebagai racun kontak

Insektisida yang bersinggungan langsung dengan cara masuk ke dalam tubuh

serangga lewat kulit disebut sebagai racun kontak. Serangga akan mati bila
16

bersinggungan langsung dengan insektisida tersebut. Pada umumnya racun

kontak juga berperan sebagai racun perut.

c. Sebagai racun pernapasan

Insektisida yang bekerja lewat saluran pernapasan, jika insektisida yang dihirup

oleh serangga dalam jumlah yang cukup maka serangga akan mati. Pada

umumnya racun napas berupa gas, atau dengan wujud asalnya padat atau cair,

yang dapat berubah dan menghasilkan gas serta diaplikasikan sebagai

fumigansia. Contohnya, metil bromida, aluminium (Djojosumarto, 2000).

2.3.1 Insektisida Nabati

Insektisida nabati merupakan insektisida alami yang bahannya diambil

langsung dari tanaman atau dari hasil tanaman. Insektisida botani merupakan

insektisida yang paling banyak digunakan sebelum insektisida sintetik ditemukan.

Namun, insektisida nabati ini kurang stabil di lingkungan karena mudah teruarai.

Insektisida nabati dikenal sebagai pestisida yang resikonya kecil bagi kesehatan dan

lingkungan hidup (Untung, 2006).

Beberapa jenis insektisida nabati yang sudah lama dikenal adalah piretrium

yang diambil dari bunga Chrysanthemum, rotenon diambil dari akar tanaman

leguminoseae atau tanaman tuba (Derris elliptica). Senyawa rotenon dapat berupa

racun kontak dan perut tetapi pengaruhnya tidak pada sistem saraf. Selain itu, ada

juga senyawa ryania yang diambil dari akar tanaman Ryania speciosa, dan sabadilla

dari biji tanaman Schoenocaulon officinale (Untung, 2006).


17

Menurut Sastrosiswojo (2002) dalam Asmaliyah (2010), ada 1800 jenis

tanaman yang mengandung senyawa pestisida nabati yang dapat digunakan untuk

pengendalian hama antara lain daun mimba, sirsak, serai, jambu mete, bakung,

bawang putih, akar tuba, belimbing wuluh, jeruk purut dan lain-lain.

2.4 Bawang Putih (Allium sativum L) Sebagai Insektisida Nabati

Bawang putih mempunyai nama latin Allium sativum Linn. Sativum berarti

dibudidayakan, karena allium yang satu ini diduga merupakan keturunan dari bawang

liuar Allium longicurpis Regel. Keluarga atau genus Allium sebenarnya ada sekitar

500 jenis, lebih dari 250 jenis ini diantaranya termasuk bawang-bawangan (Siti

Syamsiah I dan Tajudin, 2003 dalamIlfi, 2005).

2.4.1 Sistematika Bawang Putih

Menurut Rahmawati (2012), klasifikasi bawang putih adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Klas : Monocotyledoneae
Ordo : Liliales
Famili : Liliaceae
Genus : Allium
Spesies : Allium sativum
18

Gambar 2.2 Umbi bawang putih (http://plants.usda.gov)

Tanaman bawang putih yang tergolong genus Allium yang meliputi ribuan

spesies, namun yang dibudidayakan hanya beberapa. Misalnya, bawang putih (Allium

sativum L), bawang prei (Allium ampeloprasum L), bawang merah (Allium cepa L),

bawang kucai (Allium schoenoprasum L), bawang ganda (Allium odorum L) dan

bawang bakung (Alliumfistulosum L) (Hieronymus, 1989).

2.4.2 Morfologi Tanaman

Umbi bawang putih berlapis-lapis, maka bawang putih termasuk jenis tanaman

umbi lapis. Sebuah umbi bawang putih terdiri dari 8-20 siung anak bawang. Antara

siung yang satu dengan siung yang lain dipisahkan oleh kulit tipis dan liat, sehingga

membentuk satu kesatuan yang rapat (Hieronymus, 1989).

Organ-organ penting dan spesifikasi tiap organ tanaman bawang putih adalah sebagai

berikut:

a. Akar, tanaman bawang putih memiliki akar berbentuk serabut dengan panjang

maksimum 10 cm. Akar yang tumbuh pada batang pokok redumenter (tidak

sempurna) berfungsi sebagai alat penghisap makanan. Kondisi tanah yang

gembur sangat cocok untuk perkembangan akar dan umbi bawang putih.
19

b. Batang, batang tanaman bawang putih bersifat redumenter (tidak sempurna) yang

terbentuk dari tunas vegetatif

c. Daun, pada tanaman bawang putih panjangnya seperti pita, berbentuk pipih, lebar

daun berukuran kecil, dan melipat ke arah dalam sehingga membentuk sudut

pada pangkalnya. Setiap tanaman memiliki 8-11 helai daun. Permukaan daun

bagian atas berwarna hijau tua dan permukaan daun bagian bawah berwarna

hijau muda. Kelopak daun tipis, kuat, dan membungkus kelopak daun yang lebih

muda sehingga tampak menyerupai batang. Fungsi daun tersebut adalah sebagai

tempat berlangsungnya proses fotosintesis dan dari hasil fotosintesis tersebut

digunakan untuk pertumbuhan tanaman.

d. Bunga, bentuk bunga bawang putih adalah majemuk bulat dan dapat membentuk

biji. Biji tersebut tidak bisa digunakan untuk pembiakan dan tidak semua jenis

bawang putih dapat berbunga.

e. Umbi, setiap umbi bawang putih tersusun dari beberapa siung yang masing-

masing terbungkus oleh selaput tipis yang sebenarnya merupakan pelepah daun.

Jika siung bawang putih dibelah menjadi dua, di dalamnya terdapat lembaga,

dalam siung bawang putih terdapat daging pembungkus lembaga. Fungsi daging

pembungkus lembaga adalah melindungi lembaga, sekaligus sebagai tempat

persediaan makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan

tanaman baru (Santoso, 1989; Samadi B, 2000 dalamIlfi, 2005).


20

2.4.3 Varietas

Varietas adalah berbagai jenis bawang putih yang mempunyai perbedaan ciri

permanen atau tidak berubah, seperti tinggi rendahnya tanaman, besar kecilnya umbi,

umur panen, jumlah dan ukuran siung, serta iklim pertumbuhannya. Secara garis

besar berdasarkan iklim yang dibutuhkan, bawang putih dikelompokkan menjadi dua

varietas, yaitu varietas yang bisa tumbuh di dataran tinggi dengan iklim subtropis dan

varietas yang mampu tumbuh di dataran rendah. Jenis bawang putih yang banyak di

tanam di Indonesia ada tiga varietas yang dikenal unggul, yaitu lumbu hijau dan

lumbu kuning untuk lahan dataran tinggi, serta lumbu putih untuk dataran rendah.

Sedangkan varietas lain yang ada merupakan modifikasi dari ketiga varietas tersebut

dan diberi nama sesuai dengan daerah asal penamaannya (Siti Syamsiah I dan

Tajudin, 2003 dalamIlfi, 2005).

Varietas yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang putih varietas

lumbu hijau, dengan ciri-ciri bentuk umbi bulat telur, ujung meruncing dan dasarnya

datar. Diameter umbi berukuran ± 3cm, panjang 2,6 cm - 2,8 cm (Samadi B, 2000

dalam Ilfi, 2005).

2.4.4 Habitat

Bawang putih dapat tumbuh di dataran rendan maupun datara tinggi. Bawang

putih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 700 meter sampai 1.100

meter di atas permukaan laut. Sedangkan jenis bawang putih yang tumbuh pada

dataran rendah, cocok ditanam pada ketinggian 20 sampai 250 meter di atas

permukaan laut. Bawang putih yang tumbuh pada dataran tinggi memerlukan suhu
21

yang paling baik anatra 20–25oC. Jika suhu terlalu panas atau lebih dari 27oC, dapat

menyebabkan umbi tidak dapat tumbuh. Demikian juga jika suhu terlalu dingin atau

kurang dari 15oC dapat menyebabkan perkembangan umbi terhambat. Sedangkan

untuk bawang putih yang tumbuh di dataran rendah memerlukan suhu sekitar 27–

30oC. Bawang putih memerlukan penyinaran matahari yang cukup dan berawan cerah

(Santoso, 1989).

2.4.5 Kandungan Kimia dan Manfaat Bawang Putih

Bawang putih mengandung minyak atsiri yang bersifat antibakteri dan

antiseptik. Bawang putih mengandung 0,2% minyak atsiri yang berwarna kuning

kecoklatan, dengan komposisi utama adalah turunan asam amino yang mengandung

sulfur (aliin 0,2 – 1%). Bawang putih juga mengandung senyawa sulfur, termasuk zat

kimia aliin yang membuat bawang putih mentah terasa getir rasanya (Rahmawati,

2012).

Menurut Santoso (1989), bawang putih mengandung ikatan asam amino yang

disebut aliin. Bila aliin mendapat pengaruh dari enzim aliinase, aliin dapat berubah

menjadi allicin. Allicin terdiri dari beberapa jenis sulfida dan yang paling banyak

adalah allyl sulfida (Santoso, 1989).

Bawang putih memiliki aroma yang khas, aroma tersebut makin menguat jika

siung dipotong atau diiris. Karena dalam hal ini terjadi perubahan kimia, enzim

allinase memecahkan aliin menjadi allicin. Menurut Mc Anwyll (2000) dalam

Rahmawati 2012, senyawa allicin memiliki daya antibiotik yang kuat, namun
22

merupakan senyawa yang labil, dalam 1 menit di udara bebas dapat berubah menjadi

dialil disulfida.

Senyawa aliin atau S-Alil-L-sistein sulfoksida (C6H11NO2S) merupakan

senyawa yang tidak berwarna. Senyawa aliin memiliki potensi sebagai anti bakteri.

Pemberian perlakuan enzim alinase akan segera memecah aliin menjadi allicin.

Allicin bebas tersebut yang berdaya sebagai anti bakteri. Allicin (C6H10OS2)

berbentuk cairan dengan bau yang khas pada bawang putih.

Rumus bangun senyawa allicin

Kandungan bawang putih


http://lansida.blogspot.com
23

Kedua stuktur paling bawah ditemukanoleh Eckner dkk. (1993) sebagai

senyawa asam amino baru (Rahmawati, 2012)

Menurut Syamsiah dan Tajudin (2003) dalamIlfi (2005), zat yang berperan

memberi aroma bawang putih yang khas adalah allicin, karena mengandung sulfur

dengan struktur tidak jenuh dan dapat terurai menjadi senyawa dialil-disulfida.

Allicin merupakan zat aktif yang memiliki daya antibiotika yang cukup ampuh.

Berikut ini adalah kandungan kandungan umbi bawang putih per 100 gram

(Santoso, 1989; Rahmawati 2012).

Tabel 2.1Kandungan Umbi Bawang Putih per 100 gram


No Uraian Nilai Gizi Keterangan
1 Air 71 gram Bagian yang dapat dimakan
2 Kalori 122 kal 88%
3 Kalsium 42 mg
4 Protein 4,5 gram
5 Lemak 0,2 gram
6 Fosfor 134 mg
7 Karbohidrat 23,1 gram
8 Vitamin B 0,22 mg
9 Vitamin C 15 mg
10 Besi 1 mg
11 Natrium 16 mg
Bawang putih memiliki banyak manfaat, terutama sebagai bahan pengobatan

tradisional. Senyawa allicin yang terkandung pada bawang putih merupakan zat aktif

yang mempunyai daya bunuh terhadap bakteri dan daya antiradang. Bawang putih

juga sebagai antitoksin, anti racun yang dapat membersihkan racun-racun bakteri

ataupun polusi logam-logam berat, selain itu juga berfungsi sebagai anti alergi dan

memperkuat daya tahan tubuh (Santoso, 1989)


24

Menurut Anonymous (2012), Aliin yaitu senyawa aktif bawang putih

sebenarnya tidak berbau. Namun, jika terkena sulfur atau belerang, aliin berubah

menjadi allicin. Allicin inilah yang menimbulkan bau khas bawang putih. Aroma

tajam yang diuraikian allicin membuat hama enggan mendekat, karena allicin

berakibat buruk terhadap sistem koordinasi hama. Penggunaan allicin tidak

menimbulkan resistensi karena baunya saja sudah membuat serangga enggan

mendekat.

Pada penelitian Arannilewa (2006), bawang putih digunakan sebagai penangkal

kutu jagung karena bawang putih menunjukkan beberapa potensi sebagai penghambat

nafsu makan pada hama, sebagai racun perut, racun kontak serta sebagai repellent

(penolak). Sedangkan pada penelitian Sumampouw (2014), Allicin bersifat toksik

terhadap sel parasit maupun bakteri. Allicin bekerja dengan merusak aulfhidril (SH)

yang terdapat pada protein. Diduga struktur membran sel larva terdiri dari protein

dengan sulfhidril. Allicin akan merusak membran sel larva sehingga terjadi lisis.

Toksisitas allicin tidak berpengaruh pada sel mamalia karena sel mamalia memiliki

gluthathione yang dapat melindungi sel mamalia dari efek allicin.


25

2.5 Kerangka Berpikir


BERAS

Panen Pasca
panen

- Pemanenan Penyimpanan
- Penggilingan
- Penyosohan
- Penjemuran
Tempat
penyimpanan

Hama

Pemberian umbi Kutu Beras


bawang putih

Menimbulkan
respon mati
danmenjauh
Teori yang mendukung

Bawang putih
mengandungsenyawa
allicin yang dapat Keterangan :
menimbulkan aroma
menyengat sebagai : tidak diteliti
racun perut serta
mengganggu pernafasan : diteliti
serangga (Arannilewa,
2006)
26

2.6 Hipotesis

Dari tinjauan pustaka diatas, dapat diusulkan hipostesis sebagai berikut:

Ha :ada pengaruh pemberian umbi bawang putih (Allium sativum) sebagai anti

kutu beras (Sitophilus oryzae)

Ho : tidak ada pengaruh pemberian umbi bawang putih (Allium sativum)

sebagai anti kutu beras (Sitophilus oryzae)


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, yaitu melakukan kegiatan

untuk meneliti respon yang tampak pada kutu beras (Sitophilus oryzae) dengan

pemberian umbi bawang putih (Allium sativum) yang berupa kulit bawang putih,

bawang putih tanpa kupas dan bawang putih kupas.

Desain yang digunakan dalam eksperimen ini dengan menggunakan Desain

Acak Lengkap yang terdiri dari 4 kelompok dan 6 pengulangan. Rancangan

penelitian dapat dilihat melalui skema berikut :

K4 P1.1 P3.4 P2.2

P3.3 P3.1 P2.4 K3

P1.3 P2.3 K1 P1.5

P2.5 K5 P1.2 P3.5

P2.1 P1.4 P3.2 K2

K6 P2.6 P1.6 P3.6

Gambar 3.1 Desain acak lengkap

27
28

Keterangan :

K1 – K6 : Kontrol (tanpa perlakuan), pengulangan ke 1 - 6

P1.1 – P1.6 : Dengan pemberian kulit bawang putih, pengulangan ke 1 -6

P2.1 – P2.6 : Dengan pemberian bawang putih tanpa dikupas kulitnya,pengulangan

ke 1 - 6

P3.1 – P3.6 : Dengan pemberian bawang putih yang telah dikupas kulitnya,

pengulangan ke 1 – 6

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanan di Laboratorium Biologi,Universitas Muhammadiyah

Surabaya Jalan Sutorejo No. 59 Surabaya dan di rumah peneliti Jalan Bronggalan IIG

No. 61 Surabaya. Adapun waktu penelitian ini dimulai pada bulan maret 2015.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah sekelompok kutu beras (Sitophilus oryzae)

yang diperoleh dari wadah penyimpanan atau kemasan beras yang telah berkutu,

yaitu kutu (Sitophilus oryzae). Kutu beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kutu beras yang memiliki ukuran tubuh yang sama.

3.3.2 Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kutu beras (Sitophilus

oryzae)yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan, dalam setiap perlakuan per


29

pengulangan digunakan 10 ekor kutu beras (Sithopilus oryzaeL). Jadi, total sampel

adalah 4 perlakuan X 6 pengulangan X 10 ekor kutu beras. Sehingga jumlah semua

kutu beras (Sitophilus oryzae L) adalah 240 ekor. Pengambilan sampel diambil dari

wadah penyimpanan beras yang telah berkutu, dengan cara mengambil kutu beras

dari tempat penyimpanan beras kemudian dipindahkan ke wadah penelitian.

Rumus replikasi sebagai berikut :

(t – 1) (r – 1) ≤ 15

(t – 1) (4 – 1) ≤ 15

(3) (r – 1) ≤ 15

3r – 3 ≤ 15

3r ≥ 15 + 3

r≥6

Keterangan :

t (treatment) : perlakuan

r (replikasi) : pengulangan

3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.4.1 Variabel

a. Variabel bebas : pemberian umbi bawang putih (Allium sativum)

b. Variabel terikat : anti kutu beras (Sitophilus oryzae)

c. Variabel kontrol : wadah, tempat, jenis beras, jumlah beras, jumlah kutu

beras, umbi bawang putih (Allium sativum L)


30

3.4.2 Definisi Operasional

Devini operasional dalam penelitian ini adalah :

1. Pemberianbagian umbi bawang putih (Allium sativum L) dalam penelitian ini

dikategorikan menjadi :

a. Kulit dari bawang putih (Allium sativum L).

b. Bawang putih (Allium sativum L) tanpa dikupas kulitnya.

c. Bawang putih (Allium sativum L) yang telah dikupas kulitnya.

2. Anti kutu beras adalah respon yang diberikan kutu beras dengan cara menjauh

atau mati.

Respon tersebut adalah :

1. Mati, jika kutu beras diam tanpa memegang beras dan/atau posisi kaki

menghadap ke atas dan tidak bergerak

2. Menjauh, jika kutu beras menjauhi wadah yang diberikan perlakuan, sehingga

berada pada lorong atau saluran yang menghubungkan antara 2 wadah.

Anti kutu beras dihitung berdasarkan jumlah kutu yang menunjukkan respon

mati atau menjauhi atau kedua respon dan prosentasenya.

3.5 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Data penelitian ini dikumpulkan berdasarkan pengamatan respon kutu beras

yang ada pada setiap wadah, yang diamati pada minggu ke 1 dan 2 sehingga

penelitian ini membutuhkan waktu selama 2 minggu.

Data yang diperoleh akan ditabulasikan menggunakan tabel pengamatan

dibawah ini:
31

Tabel 3.1Hasil Pengamatan Respon Kutu Beras


Jumlah Kutu yang Menunjukkan Respon
Kelompok Minggu I Minggu II Total
Replikasi
Perlakuan Respon
Menjauhi Mati Menjauhi Mati
K 1
2
3
4
5
6
P1 1
2
3
4
5
6
P2 1
2
3
4
5
6
P3 1
2
3
4
5
6

3.6 Prosedur Penelitian

1. Persiapan Wadah

a. Alat : gunting, carter, botol air mineral, lem G, penggaris, bulpoin, tali rafia,

kain, mika dan kertas label.

b. Bahan : beras dan kutu beras (Sitophilus oryzae L)

c. Cara Pembuatan Wadah :


32

1. 2 botol air mineral yang berukuran 1500 ml dipotong ± 15 cm, dan yang

digunakan adalah bagian bawahnya.

2. Botol yang telah dipotong tersebut, diukur dari bawah dengan ukuran 3 cm

dan dilubangi bagian sisinya dengan diameter ± 3 cm.

3. Memotong mika dengan ukuran 9x4cm, mika dibentuk seperti pipa

(terowongan)

4. Mika yang telah dibentuk sedemikian rupa akan disambungkan antara botol

air mineral potongan I dan botol air mineral potongan II.

5. Menutup bagian atas wadah dengan kain yang telah dipotong dengan

menggunakan bantuan karet gelang.

2. Pembuatan Sediaan

a. Alat : timbangan, pisau

b. Bahan : bawang putih (Allium sativum L)

c. Prosedur :

1. Membuat sediaan kulit bawang putih, yaitu dengan cara menimbang

sebanyak 5 gram kulit bawang putih untuk setiap wadah perlakuan.

2. Membuat sediaan bawang putih tanpa kupas, yaitu dengan cara menimbang

sebanyak 5 gram bawang putih yang masih utuh atau belum dikupas

kulitnya untuk setiap wadah perlakuan.

3. Membuat sediaan bawang putih kupas, yaitu dengan cara menimbang

sebanyak 5 gram bawang putih yang telah dikupas kulitnya hingga bersih

untuk setiap wadah.


33

3. Pelaksanaan

1. Pemberian Perlakuan

a. Alat : timbangan, wadah, kain potongan, karet gelas

b. Bahan : beras, kutu beras (Sitophilus oryzae), sediaan bawang putih

(Allium sativum)

c. Prosedur :

1. Menyiapkan beras, kutu beras, sediaan umbi bawang putih dan wadah yang

telah didesain sedemikian rupa.

2. Beras ditimbang sebanyak 50 gram untuk setiap wadah dengan desain

kanan dan kiri.

3. Beras yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam wadah penelitian dan

diberi 10 ekor kutu beras pada masing-masing wadah.

4. Pada kelompok kontrol (tanpa perlakuan) yaitu K1 sampai K6, setelah

beras dan kutu dimasukkan ke dalam wadah, ditutup dengan menggunakan

kain yang telah dipotong sesuai ukuran yang pas untuk menutupi wadah

yang terbuka, kemudian dirapatkan dengan menggunakan karet gelang.

5. Pada perlakuan P1.1 sampai P1.6, setelah beras dan kutu dimasukkan ke

dalam wadah, ditambahkan kulit bawang putih (Allium sativum) sebanyak

5 gram, kulit bawang putih (Allium sativum) diletakkan di tengah-tengah

beras. Setelah itu ditutup dengan menggunakan kain yang telah dipotong

sesuai ukuran yang pas untuk menutupi wadah yang terbuka, kemudian

dirapatkan dengan menggunakan karet gelang.


34

6. Pada perlakuan P2.1 sampai P2.6, setelah beras dan kutu dimasukkan ke

dalam wadah, ditambahkan bawang putih (Allium sativum) tanpa dikupas

kulitnya sebanyak 5 gram, bawang putih (Allium sativum) tanpas kupas

diletakkan di tengah-tengah beras. Setelah itu ditutup dengan menggunakan

kain yang telah dipotong sesuai ukuran yang pas untuk menutupi wadah

yang terbuka, kemudian dirapatkan dengan menggunakan karet gelang.

7. Pada perlakuan P3.1 sampai P3.6, setelah beras dan kutu dimasukkan ke

dalam wadah, ditambahkan bawang putih (Allium sativum) yang telah

dikupas kulitnya sebanyak 5 gram, bawang putih (Allium sativum) tanpa

kulit tersebut diletakkan di tengah-tengah beras. Setelah itu ditutup dengan

menggunakan kain yang telah dipotong sesuai ukuran yang pas untuk

menutupi wadah yang terbuka, kemudian dirapatkan dengan menggunakan

karet gelang.

8. Setelah semua kelompok perlakuan telah siap, diletakkan di tempat yang

teduh.

2. Pengamatan

a. Alat : alat tulis, tabel hasil pengamatan, nampan

b. Bahan : habitat kutu beras

c. Prosedur :

untuk mengetahui pengaruh pemberian bagian umbi bawang putih terhadap

respon kutu beras. Penghitungan respon dari kutu beras tersebut dilakukan

pada minggu ke-1 dan 2 setelah pemberian perlakuan lalu masukkan

hasilnya pada tabel hasil pengamatan.


35

1. Pada kelompok kontrol (tanpa perlakuan) pengulangan ke 1 – 6, dengan

cara mengeluarkan satu per satu isi dari wadah mulai dari pengulangan ke 1

hingga ke 6. Isi dari setiap wadah pengulangan tersebut dikeluarkan di atas

nampan agar memudahkan untuk mengamati jumlah kutu beras yang

menjauh atau mati.

2. Pada kelompok P1.1 – P1.6, yaitu pengulangan ke 1 – 6, dengan cara

mengeluarkan satu per satu isi dari wadah mulai dari pengulangan ke 1

hingga ke 6. Isi dari setiap wadah pengulangan tersebut dikeluarkan di atas

nampan agar memudahkan untuk mengamati jumlah kutu beras yang

menjauh atau mati.

3. Pada kelompok P2.1 – P2.6, yaitu pengulangan ke 1 – 6, dengan cara

mengeluarkan satu per satu isi dari wadah mulai dari pengulangan ke 1

hingga ke 6. Isi dari setiap wadah pengulangan tersebut dikeluarkan di atas

nampan agar memudahkan untuk mengamati jumlah kutu beras yang

menjauh atau mati.

4. Pada kelompok P3.1 – P3.6, yaitu pengulangan ke 1 – 6, dengan cara

mengeluarkan satu per satu isi dari wadah mulai dari pengulangan ke 1

hingga ke 6. Isi dari setiap wadah pengulangan tersebut dikeluarkan di atas

nampan agar memudahkan untuk mengamati jumlah kutu beras yang

menjauh atau mati.


36

3.7 Teknik Analisis Data

Data dari anti kutu beras yang berdistribusi normal dianalisis menggunakan uji
Anova dengan taraf signifikansi α = 0,05 dan dilanjutkan uji LSD, jika menunjukkan
ada pengaruh. Tetapi, jika data tidak berdistribusi normal dianalisis menggunakan uji
Kruskal-Wallis dan dilanjutkan uji Mann-Whitney jika menunjukkan ada pengaruh.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Ada pengaruh pemberian umbi bawang putih (Allium sativum L) sebagai kutu

beras(Sitophilus oryzae L).

2. Pemberian bawang putih kupas paling efektif menyebabkan respon pada kutu

beras.

3. Bentuk bahan ajar yang dapat dimanfaatkan dari hasil penelitian tentang

pengaruh pemberian umbi bawang putih sebagai anti kutu beras yaitu berupa

panduan praktikum bagi mahasiswa pada mata kuliah Biologi Terapan.

5.2 Saran

Adapun saran yang perlu dilakuan untuk penelitian selanjutnya adalah:

1. Untuk menjadikan bawang putih sebagai insektisida nabati yang lebih ampuh

sebaiknya diekstrak dahulu agar senyawa kimia dalam bawang putih lebih

terlihat manfaatnya sebagai anti kutu.

2. Perlu adanya penelitian yang lebih lanjut tentang pengaruh bawang putih

sebagai insektisida kutu beras (Sitophilus oryzae L).

44

Anda mungkin juga menyukai