Anda di halaman 1dari 149

SKRIPSI

APLIKASI SERBUK DAUN SALAM DENGAN PENAMBAHAN


KARAGENAN SEBAGAI PENGAWET DAN PENGENYAL
PADA BAKSO

Disusun oleh :
Vivi Indriasti Freshily
NPM : 130801397

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA


FAKULTAS TEKNOBIOLOGI
PROGRAM STUDI BIOLOGI
YOGYAKARTA
2017
APLIKASI SERBUK DAUN SALAM DENGAN PENAMBAHAN
KARAGENAN SEBAGAI PENGAWET DAN PENGENYAL
PADA BAKSO

SKRIPSI

Diajukan kepada Program Studi Biologi


Fakultas Teknobiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
guna memenuhi sebagai syarat untuk memperoleh
derajat Sarjana S-1

Disusun oleh :
Vivi Indriasti Freshily
NPM : 130801397

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA


FAKULTAS TEKNOBIOLOGI
PROGRAM STUDI BIOLOGI
YOGYAKARTA
2017
ii
PERSEMBAHAN

“Hasil tidak pernah jauh dari suatu tindakan dan doa

Terus berjuang dan tetap percaya”

Tugas Akhir ini aku persembahkan untuk :

Tuhan YME

Keluarga tercinta (Bapak, Ibuk, Adik, dan Keluarga Kawara)

Seseorang terkasih

Sahabat dan rekan seperjuangan

Yogyakarta, 5 Juni 2017

(Penulis)

iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertandatangan di bawah ini :


Nama : Vivi Indriasti Freshily
NPM : 130801397
Judul Skripsi : APLIKASI SERBUK DAUN SALAM DENGAN
PENAMBAHAN KARAGINAN SEBAGAI PENGAWET DAN
PENGENYAL PADA BAKSO

Menyatakan bahwa skripsi dengan judul tersebut di atas adalah benar-benar


merupakan hasil karya saya sendiri dan saya susun dengan sejujur-jujurnya
berdasarkan norma akademik dan bukan merupakan hasil plagiat. Adapun semua
kutipan di dalam skripsi ini telah saya sertakan nama penulisnya dan telah saya
cantumkan ke dalam Daftar Pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sadar dan sebesar-benarnya. Apabila ternyata
dikemudian hari ternyata saya terbukti melanggar pernyataan saya tersebut, saya
bersedia menerima sanksi akademik yang berlaku(dicabut predikat kelulusan dan
gelar kesarjanaan saya). Demikian pula apabila terjadi plagiarism terhadap skripsi
dengan judul tersebut, maka saya berhak menuntut pihak yang bersangkutan
dengan sanki hokum (pidana maupun perdata) dan akademik yang berlaku.

Yogyakarta, 5 Juni 2017


Yang menyatakan

Vivi Indriasti Freshily


130801307

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur layak dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat, karunia serta kasih penyertaan-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan

dan menyelesaikan tugas akhir serta menyusun Naskah Skripsi yang berjudul

“Aplikasi Serbuk Daun Salam dengan Penambahan Karagenan Sebagai Pengawet

dan Pengenyal Pada Bakso”.

Naskah Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

kuliah dan guna mendapatkan gelar Sarjana Sains (S.Si) pada program studi

Biologi Fakultas Teknobiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta minat studi

Pangan. Melalui naskah skripsi ini, penulis berharap hasil yang telah penulis

peroleh dari proses dan pelaksanaan tugas akhir dapat bermanfaat bagi semua

pihak serta dapat menjadi batu loncatan untuk memperbaiki kualitas pangan di

Indonesia. Penulis berharap hasil yang diperoleh ini dapat menjadi bukti dan saksi

yang kemudian dapat dijadikan patokan dalam proses pembuatan bahan pengawet

alami yang diharapkan.

Penulis menyadari bahwa dalam proses pembuatan tugas akhir ini, penulis

mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun

tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan

lancar. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

v
1. Ibu L.M. Ekawati Purwijantiningsih, S.Si, M.Si., selaku dosen pembimbing

utama yang telah banyak membantu, memberikan pengarahan, bimbingan,

petunjuk, dan nasihat selama proses pembuatan tugas akhir ini sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dan naskah skripsinya dengan

lancar.

2. Bapak Drs. F. Sinung Pranata, M.P., selaku Dosen Pembimbing Pendamping

yang telah memberikan dukungan, bimbingan, koreksi, masukan, dan saran

sehingga naskah skripsi ini menjadi lebih baik.

3. Kedua orang tua penulis, Triwiyono, Mursinah dan adik penulis Maitri Ega

Oriza, serta keluarga besar Kawara yang selalu memberikan doa, kasih

sayang, kekuatan, dan dukungan yang positif, serta kehangatan kekeluargaan

selama proses yang telah dilalui oleh penulis.

4. Teruntuk Divo Kawara yang senantiasa memberikan cinta, kesabaran,

keyakinan, perhatian, nasehat, kekuatan, dan dukungan yang tidak pernah

terputus.

5. Teman seperjuangan Ayu Tya Rima, Martha Veronica, Felisita Angela,

Nathalia Rizki dan teman-teman lain yang tergabung dalam “Pejuang

Skripsi” yang telah memberikan dukungan, semangat, dan suasana nyaman

serta kekeluargaan selama proses pembuatan tugas akhir.

6. Trifonia Javalin dan Lince Ria Sitohang yang senantiasa memberikan saran,

dukungan, dan semangat serta sebagai sahabat dalam berkeluh kesah.

7. Teman-teman seperjuangan selama penulis menempuh pendidikan S1 di

Teknobiologi Atma Jaya terutama kepada angkatan 2013.

vi
8. Mas Wisnu, Pak Antok, dan segenap staff Laboratorium yang telah

membantu dan memfasilitasi penulis selama proses di dalam Laboratorium.

9. Seluruh dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang pernah mengajar,

membimbing, dan menjadi contoh bagi penulis selama kuliah di Program

Studi Biologi Fakultas Teknobiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

10. Tidak lupa kepada staff Tata Usaha Fakultas Teknobiologi Universitas Atma

Jaya Yogyakarta serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan, yang

telah memberikan dukungan dan kerjasama selama penulis menyelesaikan

proses pembuatan tugas akhir.

Penulis menyadari bahwa laporan tugas akhir ini jauh dari kata sempurna,

oleh karena itu penulis akan berterima kasih apabila ada kritik dan saran yang

membangun sehingga laporan ini dapat disempurnakan. Akhir kata, semoga

laporan Skripis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, Juni 2017

Penulis

vii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………………… ………...i
HALAMAN PENGENSAHAN …………………………………….. ………..ii
HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………….. ………iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ……………………… .............iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………. ………..v
DAFTAR ISI ………………………………………………………… ……..viii
DAFTAR TABEL…………………………………………………. ……….xi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………… ……xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………. ………xv
INTISARI ……………………………………………………………. ……xvi
I. PENDAHULUAN ……………………………………………. ……….1
A. Latar Belakang ……………………………………………... ……….1
B. Keaslian Penelitian …………………………………………. ……….3
C. Perumusan Masalah ………………………………………… ……….7
D. Tujuan Penelitian …………………………………………… ……….7
E. Manfaat Penelitian ………………………………………….. ……….8
F. Kegunaan Penelitian ………………………………………... ……….8

II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………. ………..9


A. Pengertian Bakso …………………………………………… ………..9
B. Proses Pembuatan Bakso …………………………………… ………11
C. Bahan Baku Pembuatan Bakso ……………………………... ………12
D. Bakteri Staphylococcus aureus Pada Bakso ……………….. ………17
E. Morfologi dan Taksonomi Tanaman Salam ……………....... ………18
F. Kegunaan Daun Salam ……………………………………... ………19
G. Kandungan Kimia Daun Salam …………………………….. ………20
H. Kegunaan Karaginan Pada Produk Pangan ………………… ………25
I. Teknik Pengeringan Pada Proses Penyerbukan Ekstrak …… ………26
J. Hipotesis …………………………………………………… ………28

III. METODE PENELITIAN ……………………………………. ………29


A. Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………… ………29
B. Alat dan Bahan …………………………………………….. ………29
C. Populasi Sampel ……………………………………………. ………30
D. Rancangan Percobaan ………………………………………. ………31
E. Cara Kerja ………………………………………………….. ………32

viii
A. Preparasi Sampel Daun Salam …………………………. ………32
B. Pengeringan Sampel Daun Salam ……………………… ………32
C. Penyerbukan Daun Salam Kering ……………………… ………33
D. Pembuatan Ekstrak Daun Salam ……………………….. ………33
E. Uji Fitokimia Ekstrak Daun Salam …………………….. ………34
F. Pembuatan Serbuk Pengawet dan Pengenyal ………….. ………35
G. Proses Penyerbukan …………………………………….. ………36
H. Analisa Serbuk (Uji Zona Hambat) …………………….. ………37
I. Penentuan Serbuk Terbaik ……………………………… ………38
J. Pembuatan Bakso ………………………………………. ………39
K. Analisis Bakso ………………………………………….. ………40
a. Mikrobiologi ……………………………………… ………40
i. Angka Lempeng Total ………………………….. ………41
ii. Perhitungan Bakteri Staphylococcus aureus …… ………42
iii. Kualitatif Salmonella …………………………… ............43
b. Fisik ………………………………………………… ………44
i. Uji pH ………………………………………….. ………44
ii. Uji Tekstur (Kekenyalan) ………………………. ………44
iii. Daya Mengikat Air …………………………….. ………45
c. Kandungan Kimia Bakso …………………………… ………45
i. Uji Protein ……………………………………… ………45
ii. Uji Kadar Air …………………………………… ………46
iii. Uji Lemak ……………………………………… ………47
d. Organoleptik ………………………………………. ………48
F. Analisis Hasil …………………………………………….... ………49

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………. ………50


A. Uji Fitokimia Ekstrak Daun Salam ………………………… ………50
B. Pembuatan Serbuk Pengawet dan Pengenyal ……………… ………57
C. Analisa Serbuk (Uji Zona Hambat) ………………………… ………61
D. Penentuan Serbuk Terbaik ………………………………….. ………65
E. Analisis Bakso ……………………………………………… ………68
1. Mikrobiologi ……………………………………………. ………68
a. Angka Lempeng Total ……………………………… ………68
b. Jumlah Bakteri Staphylococcus aureus ……………. ………74
c. Uji Kualitatif Bakteri Salmonella …………………. ………80
2. Fisik …………………………………………………….. ………83
a. Uji pH ………………………………………………. ………83
b. Daya Mengikat Air …………………………........... ………85
c. Uji Tekstur (Kekenyalan) …………………………. ………88

ix
3. Kandungan Kimia Bakso ……………………………… ..……..93
a. Kadar Protein ……………………………………….. ………93
b. Kadar Air ……………………………………........... ………96
c. Kadar Lemak ……………………………………….. ….…101
4. Organoleptik ……………………………………………. ……104

V. SIMPULAN DAN SARAN ………………………………….. ……112


A. Simpulan ……………………………………………………. ……112
B. Saran ……………………………………………………….. ……112

VI. DAFTAR PUSTAKA ……………………………………….. …….114

VII. LAMPIRAN …………………………………………………. ……..120

x
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Kriteria Mutu Sensori Bakso …………………………….. ……….9
Tabel 2. SNI No 01-3818-1995 Tentang Syarat Mutu Bakso ……. ……...10
Tabel 3. Rancangan Percobaan Pembuatan Serbuk ……………….. ……...31
Tabel 4. Rancangan Percobaan Lama Penyimpanan dan Komposisi
Bahan dalam Pembuatan Bakso …………………………. ……...31

Tabel 5. Perlakuan Pembuatan Serbuk Pengawet dan Pengenyal … ……...36


Tabel 6. Komposisi Bahan Pembuatan Bakso …………………… ……...39
Tabel 7. Perlakuan Penambahan Serbuk dalam Pembuatan Bakso .. ……...40
Tabel 8. Hasil Uji Fitokimia ………………………………………. ……...50
Tabel 9. Hasil Zona Hambat Serbuk ………………………………. ……...61
Tabel 10. Hasil Angka Lempeng Total Serbuk Perlakuan pada
Daging Sapi Giling ………………………………………. ……...63

Tabel 11. Tingkat Efektifitas Zona Hambat Antibakteri …………… ……...67


Tabel 12. Perubahan Jumlah Angka Lempeng Totalpada Bakso
dengan Perbedaan Penambahan Serbuk selama
Penyimpanan .......................................................................
……...69
Tabel 13. Perubahan Jumlah Bakteri Staphylococcus aureus pada
Bakso dengan Perbedaan Penambahan Serbuk selama
Penyimpanan …………………………………………….
……...77
Tabel 14. Hasil Uji Kualitatif Salmonella………………………… ……...81
Tabel 15. Perubahan Nilai pH pada Bakso dengan Perbedaan
Penambahan Serbuk selama Penyimpanan ……………… ……...83

Tabel 16. Perubahan Nilai Daya Mengikat Air pada Bakso dengan
Perbedaan Penambahan Serbuk selama Penyimpanan …... ……...85

Tabel 17. Perubahan Nilai Kekenyalan pada Bakso dengan


Perbedaan Penambahan Serbuk selama Penyimpanan …... ……...89

Tabel 18. Perubahan Kadar Protein pada Bakso dengan Perbedaan


Penambahan Serbuk selama Penyimpanan ………………. …….93

xi
Tabel 19. Perubahan Nilai Kadar Air pada Bakso dengan
Perbedaan Penambahan Serbuk selama Penyimpanan …... ……...97

Tabel 20. Perubahan Nilai Kadar Lemak pada Bakso dengan


Perbedaan Penambahan Serbuk selama Penyimpanan …... …….101

Tabel 21. Hasil Uji Organoleptikpada Bakso dengan Perbedaan


Penambahan Serbuk selama Penyimpanan ………………. …….105

Tabel 22. Jadwal Penelitian ………………………………………… …….120


Table 23. Parameter Uji Organoleptik ……………………………… …….121
Tabel 24. Anava Zona Hambat Serbuk …………………………….. …….122
Tabel 25. Duncan Zona Hambat Serbuk …………………………… …….122
Table 26. Anava Zona Hambat Serbuk yang dilarutkan …………… …….122
Tabel 27. Duncan Zona Hambat Serbuk yang dilarutkan …………... …….122
Tabel 28. Anava ALT Serbuk ………………………………………. …….122
Tabel 29. Duncan ALT Serbuk …………………………………….. …….123
Tabel 30. Anava ALT Bakso ……………………………………… …….123
Tabel 31. Duncan ALT Sampel …………………………………… …….123
Tabel 32. Duncan ALT Penyimpanan ……………………………... …….123
Tabel 33. Anava S.aureus ………………………………………….. …….124
Tabel 34. Duncan S.aureus Sampel ………………………………. …….124
Tabel 35. Duncan S.aureus Penyimpanan ………………………… …….124
Tabel 36. Oneway S.aureus ………………………………………… …….125
Tabel 37. Anava pH ……………………………………………….. …….125
Tabel 38. Anava Kekenyalan (Springiness) ………………………... …….125
Tabel 39. Duncan Kekenyalan Penyimpanan ………………………. …….126
Tabel 40. Anava Daya Mengikat Air ………………………………. …….126
Tabel 41. Duncan Daya Mengikat Air Penyimpanan ……………… …….126
Tabel 42. Anava Kadar Air ………………………………………… …….126
Tabel 43. Duncan Kadar Air Sampel ……………………………… …….127
Tabel 44. Anava Kadar Protein ……………………………………. …….127
Tabel 45. Anava Kadar Lemak …………………………………… …….127
Tabel 46. Duncan Lemak ………………………………………… …….127

xii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1 Bentuk Daun Salam ……………………………………. ……...19
Gambar 2 Struktur Umum Tanin ………………………………….. ……...22
Gambar 3 Struktur Umum Flavonoid …………………………….. ……...24
Gambar 4 Struktur Saponin Steroid dan Triterpenoid …………….. ……...25
Gambar 5 Reaksi Tanin dan FeCl3 membentul Kompleks Warna
Hijau Kehitaman………………………………………... ……...51

Gambar 6 Hasil Uji Kualitatif Tanin Sampel Hasil Ekstraksi


Pertama dan Ekstraksi Kedua ……………………….. ……...52

Gambar 7 Hasil Uji Kualitatif Tanin dengan Pengencerannya …… ……..53


Gambar 8 Reaksi Flavonid dengan Penambahan NaOH …………. ……...53
Gambar 9 Hasil Uji Kualitatif Flavonoid Pada Sampel Ekstrak ……...54
Hasil Ekstraksi Pertama dan Ekstraksi Kedua ………….
Gambar 10 Uji Kualitatif Flavonoid dan Pengencerannya …………. ……...55
Gambar 11 Reaksi Hidrolisis Saponin ……………………………… ……...55
Gambar 12 Hasil Uji Kualitatif Saponin Hasil Ekstraksi Pertama
dan Ekstraksi Kedua …………………………………… ……...56

Gambar 13. Gambar Serbuk Perlakuan A, B, C, dan D …………….. ……...58


Gambar 14. Hasil Zona Hambat Serbuk dan Pengencerannya ……… ……...61
Gambar 15. Serbuk Pengawet dan Pengenyal Terbaik Perlakuan A ... ……...65
Gambar 16. Perbandingan Hasil Zona Hambat Serbuk Terbaik ……. ……...66
Gambar 17. Hasil Zona Hambat Serbuk Terbaik …………………… ……...66
Gambar 18. Perubahan Jumlah Angka Lempeng TotalBakso dengan ……...69
Perbedaan Penambahan Serbuk Selama Penyimpanan ...
Gambar 19. Perubahan Jumlah Bakteri Staphylococcus aureusBakso ……...75
dengan Perbedaan Penambahan Serbuk Selama
Penyimpanan …………………………………………..
Gambar 20. Perubahan Nilai pH Bakso dengan Perbedaan
Penambahan Serbuk Selama Penyimpanan …………… ……...84

xiii
Gambar 21. Perubahan Nilai Daya Mengikat Air Bakso dengan
Perbedaan Penambahan Serbuk Selama Penyimpanan ……...86
…………….
Gambar 22. Perubahan Nilai Kekenyalan Bakso dengan Perbedaan
Penambahan Serbuk Selama Penyimpanan ……………. ……...90

Gambar 23. Perubahan Nilai Kadar Protein Bakso dengan Perbedaan


Penambahan Serbuk Selama Penyimpanan ……………. .……..95

Gambar 24. Perubahan Nilai Kadar Air Bakso dengan Perbedaan


Penambahan Serbuk Selama Penyimpanan ……………. .……..97

Gambar 25. Perubahan Kadar Lemak Bakso dengan Perbedaan


Penambahan Serbuk Selama Penyimpanan …………… …….102

Gambar 26. Bakso Perlakuan Kontrol dan Perlakuan A (1,5%) Hari …….106
Ke-0 …………………………………………………….
Gambar 27. Bakso Perlakuan B (2,5%) dan Perlakuan C (3,5%) Hari …….106
Ke-0 …………………………………………………….
Gambar 28. Preparasi Daun Salam ………………………………….. …….128
Gambar 29. Proses Ekstraksi Daun Salam ………………………….. …….128
Gambar 30. Hasil Perhitungan Angka Lempeng Total Hari Ke-0
pada Pengenceran 10-3, 10-4, dan 10-5 …………………
…….128
Gambar 31. Hasil Perhitungan Angka Lempeng Total Hari Ke-1
pada Pengenceran 10-6, 10-7, dan 10-8…………………. …….129
Gambar 32. Hasil Perhitungan Angka Lempeng Total Hari Ke-2
pada Pengenceran 10-6, 10-7, dan 10-8 ………………… …….129
Gambar 33. Hasil Perhitungan Jumlah Bakteri Staphylococcus
aureus Hari Ke-0 Tiga Kali Pengulangan Pada …….130
Pengenceran 10-1 ……………………………………….
Gambar 34. Hasil Perhitungan Jumlah Bakteri Staphylococcus 130
aureus Hari Ke-1 Pada Pengenceran 10-5 dan 10-6 ……..
Gambar 35. Hasil Perhitungan Jumlah Bakteri Staphylococcus 131
aureus Hari Ke-2 Pada Pengenceran 10-5 dan 10-6 ……..
Gambar 36. Hasil Uji Kualitatif Salmonella ………………………... 131

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Tabel Jadwal Penelitian …………..……………… ...…….120
Lampiran 2. Tabel Parameter Uji Organoleptik ……………… ………121
Lampiran 3. Hasil SPSS (Anava Zona Hambat Serbuk, Duncan
Zona Hambat Serbuk,Anava Zona Hambat Serbuk
yang dilarutkan, Duncan Zona Hambat Serbuk yang
dilarutkan)..…………………………………... ……..122
Lampiran 4. Hasil SPSS (Anava ALT Serbuk, Anava ALT
Bakso, Duncan ALT Sampel, Duncan ALT
……..123
Penyimpanan)………………………………………
Lampiran 5. Hasil SPSS (Anava S.aureus, DuncanS.aureus
Sampel, Duncan S.aureus Penyimpanan) ……...124
.……………………………………………………..
Lampiran 6. Hasil SPSS (OneWay S.aureus,Anava pH,
AnavaKekenyalan (Springiness)). ……..125
……..………………...
Lampiran 7. Hasil SPSS (Duncan Kekenyalan (Springiness)
(Penyimpanan), AnavaDayaMengikat Air, Duncan
……..126
DayaMengikat Air (Penyimpanan),Anava Kadar
Air ). ……………………………...………...
Lampiran 8. Hasil SPSS (Duncan Kadar Air (Sampel), Anava
Kadar Protein, Anava Kadar Lemak, Duncan Kadar ……..127
Lemak (Sampel)).
………………………………………………………
Lampiran 9. Gambar (Preparasi Daun Salam, Preparasi Ekstraksi
Daun Salam, hasil Perhitungan Angka Lempeng
………128
Total Hari Ke-0 …………………………………….
Lampiran 10. Gambar (Hasil Perhitungan Angka Lempeng Total
Hari Ke-1 dan Hari Ke-2) ………………………… ……...129
Lampiran 11. Gambar (Hasil Perhitungan Jumlah Bakteri
Staphylococcus aureus Hari Ke-0 dan Hari Ke-1) ………130
Lampiran 12. Gambar (Hasil Perhitungan Jumlah Bakteri
Staphylococcus aureus Hari Ke-2, Hasil Uji ………131
Kualitatif Salmonella) ……………………………

xv
INTISARI

Bakso merupakan produk makanan olahan daging yang mudah mengalami


kontaminasi sehingga bakso memiliki masa simpan yang rendah (12-24 jam).
Guna memperpanjang masa simpan bakso, tak jarang sering digunakan bahan
pengawet kimia berbahaya yang berupa boraks yang dapat memperpanjang masa
simpan dan memperbaiki kekenyalan bakso. Oleh karena itu, diperlukan upaya
untuk menemukan dan mencari alternative bahan pengawet dan pengenyal yang
bersifat alami yang dapat menggantikan fungsi boraks pada makanan. Penelitian
ini bertujuan untuk mencari dan menemukan pengganti borak yaitu bahan
pengawet dan pengenyal alami yang berupa serbuk, yang dapat memperpanjang
masa simpan dan mengenyalkan bakso, sekaligus mengetahui komposisi
penambahan serbuk pengawet dan pengenyal alami tersebut pada bakso.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu faktor lama penyimanan (hari ke-0, 1,
dan 2) dan faktor variasi penambahan serbuk pengawet dan pengenyal (Kontrol ;
A (1,5%) ; B (2,5%) ; dan C (3,5%)) dengan tiga kali pengulangan. Berdasarkan
hasil penelitian, penambahan serbuk pengawet dan pengenyal pada bakso
berpengaruh nyata terhadap penurunan jumlah total bakteri dan jumlah bakteri
S.aureus pada bakso, serta berbeda nyata terhadap parameter kadar air dan kadar
lemak pada bakso, namun tidak berbeda nyata terhadap nilai pH, daya mengikat
air, kekenyalan, kadar protein, dan sifat organoleptik pada bakso.

xvi
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Produk pangan khususnya produk pangan asalternak seperti daging,

susu, dan telur serta produk olahannya memiliki nilai gizi yang tinggi

(Irzamiyati, 2014). Hal ini menyebabkan produk pangan asal ternak dan

olahannya sangat berisikoterhadap cemaran yang dapat berupa cemaran fisik,

kimia, dan mikrobiologi. Cemaran mikrobiologi pada produk pangan asal

ternak dan olahannya dapat mempengaruhi masa simpan dankualitas dari

produk tersebut sehingga tidak layak dikonsumsi (Irzamiyati, 2014). Salah

satu produk olahan pangan asal hewan yangpaling banyak diminati

masyarakat yaitu bakso.

Menurut BSN (1995-a) pada SNI No 01-3818 1995, bakso adalah

produk olahan makanan yang berbentuk bulat yang dibuat dari campuran

daging ternak seperti ayam dan sapi yang ditambahkan dengan pati atau

serealia serta bumbu-bumbu lain dengan atau tanpa Bahan Tambahan Pangan

(BTP) yang diizinkan sedangkan Angga (2007) bakso merupakan produk

olahan daging yang memiliki nutrisi tinggi, pH 6.0-6.5 dan Aw tinggi (>0.9)

sehingga masa simpan maksimalnya adalah 1 hari (12-24 jam). Masa simpan

yang cukup pendek ini menyebabkan adanya usaha untuk memperpanjang

masa simpan bakso dengan menambahkan bahan tambahan pangan yang

berupa bahan pengawet baik yang diijinkan maupun yang tidak diijinkan.

1
2

Akhir-akhir ini, penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak

diijinkan seperti boraks dan formalin pada bakso dengan tujuan untuk

memperpanjang masa simpan dan memperbaiki kualitas bakso telah banyak

digunakan masyarakat. Menurut Cahyadi (2008), boraks yang dicampurkan ke

dalam makanan berfungsi sebagai bahan pengawet dan pengenyal sedangkan

Widayat (2011), boraks sebagai bahan pengawet terbukti efektif terhadap

khamir, jamur, dan bakteri. Selain itu, boraks juga sering digunakan untuk

mengenyalkan makanan (Yuliarti, 2007).

Penggunaan boraks sebagai pengawet dan pengenyal dalam makanan,

tidak luput dari adanya resiko atau bahaya yang ditimbulkan. Asam borat atau

boraks (boric acid) merupakan salah satu zat pengawet berbahaya yang tidak

diizinkan digunakan sebagai campuran bahan makanan. Boraks memiliki efek

racun pada sistem metabolisme manusia terutama pada beberapa organ seperti

hati dan ginjal. Boraks juga bersifat karsinogenik serta dapat mengganggu

kerja otak (Widayat, 2011). Adanya dampak yang cukup tinggi dengan

penggunaan boraks sebagai bahan pengenyal dan pengawet pada makanan,

maka diperlukan suatu usaha dan inovasi baru untuk mengurangi penggunaan

bahan kimia dan menggantinya dengan bahan alami dengan cara membuat

produk pengawet yang memiliki fungsi sama yaitu sebagai pengawet dan

pengenyal pada makanan.


3

Salah satu bahan alami yang memiliki potensi sebagai bumbu

sekaligus pengawet makanan yaitu daun salam. Menurut Enda (2009), daun

salam biasa digunakan sebagai rempah pengharum pada masakan serta

memiliki nilai guna positif pada bidang kesehatan salah satunya dapat

menurunkan kadar gula darah sedangkan Priyawan (2014), ekstrak air daun

salam mengandung tanin, flavonoid, dansaponin. Menurut Fitri (2007),

andungan tanin dan flavonoidpada daun salam dapat berfungsi sebagai

antimikrobia, serta menurut Samudra (2014), ekstrak daun salam juga

berfungsi sebangai anti jamur. Hal inilah yang menjadi dasar untuk

menggunakan daun salam sebagai bahan dasar alami pembuatan bahan

pengawet pada makanan.

Selain faktor ketahanan pangan dan masa simpan, faktor lain yang juga

diperhatikan dalam proses pembuatan bakso yaitu kekenyalan bakso. Salah

satu bahan organik yang biasa digunakan sebagai bahan tambahan pengenyal

pada makanan yaitu karaginan. Menurut Nafiah, dkk (2012), karaginan

merupakan salah satu bahan alami yang dapat digunakan sebagai bahan

alternatif yang aman untuk pengganti boraks sebagai pengenyal pada

makanan. Karaginan memiliki sifat unik yaitu dapat membentuk gel dan dapat

menstabilkan emulsi. Karaginan biasa digunakan sebagai pengontrol kadar air,

tekstur, dan pembentuk tekstur emulsi pada beberapa produk seperti jelly dan

sejenisnya. Hal ini menunjukan bahwa adanya potensi yang besar penggunaan

karaginansebagai pengenyal pada makanan (Aulawi dan Ninsix, 2009).


4

B. Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2007) menemukan bahwa daun

salam mengandung tannin, minyak atsiri (salamol dan eugenol), flavonoid

(kuersetin, kuersitrin, mirsetin, dan mirsitrin), keskuiterpen, triterpenoid,

fenol, steroid, sitral, lakton, saponin, dan karbohidrat. Selain itu, Priyawan

(2014), juga menemukan bahwa ekstrak air daun salam mengandung

flavonoid, saponin dan tanin. Hasil ini didukung dengan penelitian yang

dilakukan oleh Sudirman (2014), yang menunjukkan bahwa ekstrak daun

salam dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus. Penelitian Kharismawati dkk (2009), menemukan

bahwa kadar tanin pada infusa daun salam muda 2,38±0,036% sedangkan

pada daun tua sebesar 2,45±0,007%.

Cornelia dkk., (2005) melakukan penelitian mengenai metode yang

tepat untuk ekstraksi daun salam. Pada penelitiannya diketahui bahwa ekstrak

daun salam yang didapat dengan menggunakan metode pemanasan hingga

mendidih selama 30 menit menunjukan adanya pengaruh dalam menghambat

pertumbuhan mikrobia dan E. coli pada daging ayam segar. Hasil

penelitiannya menunjukan bahwa umur simpan daging ayam segar yang

direndam dengan ekstrak daun salam (pH 3,5) dapat diperpanjang sekitar 2

hari (Cornelia dkk., 2005).


5

Proses ekstraksi komponen kimia dari daun dapat digunakan pelarut

air. Penelitian Purnomo dkk (2014), melakukan ekstraksi dari daun jati untuk

membuat serbuk pewarna alami. Purnomo dkk (2014), menggunakan pelarut

air dengan perbandingan antara bahan dan pelarut yaitu 1 : 10. Ekstrak cair

hasil ekstraksi dengan air selanjutnya dilakukan pengeringan yang kemudian

dihasilkan serbuk pewarna alami daun jati guna memberikan kemudahan

dalam penggunaan.

Pada penelitiannya Purnomo menggunakan perbandingan antara

banyaknya penyalut yang digunakan dengan ekstrak pewarna alami daun jati

yaitu 3 : 10. Selain itu, Purnomo dkk (2014) juga menggunakan beberapa

variasi penggunaan bahan penyalut yaitu menggunakan maltodekstrin,

karaginan, dan whey. Hasil yang didapat menunjukan bahwa dengan rasio

antara maltodekstrin dan karaginan sebesar 2 : 1 membentuk serbuk pewarna

alami daun jati yang memiliki warna yang paling baik (Purnomo dkk., 2014).

Penelitian lain yang dilkukan oleh Sembiring (2009), menunjukan bahwa pada

proses pengeringan suatu ekstrak hingga terbentuk serbuk, diperlukan bahan

pengisi yang berupa amilum untuk mempersingkat proses pengeringan serta

mencegah kerusakan bahan akibat panas.

Penelitian yang dilakukan oleh Purnamayati dkk. (2016) tentang

proses mikroenkapsulasi fikosianin spirula dengan menggunakan konsentrasi

bahan penyalut maltodekstrin dan karaginan. Pada penelitiannya, Purnamayati

memisahkan ekstrak fikosianin spirula dengan cara pengendapan kemudian

endapan hasil pemisahan ditambahkan dengan maltodekstrin dan karaginan.


6

Hasil yang didapat yaitu dengan penambahan bahan penyalut maltodekstrin

dan karaginan dengan perbandingan 9% : 1% (b/b), yang didapat hasil bahwa

dengan konsentrasi tersebut dapat mempertahankan warna serbuk yang paling

baik, zat padat terlarut yang rendah, dan waktu release yang paling lama

(Purnamayati dkk., 2016).

Selain bahan pengisi yang harus diperhatikan dalam proses

penyerbukan suatu ekstrak, juga diperlukan teknik yang tepat dapat

mengeringkan ekstrak tersebut. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Winangsih dkk, (2013), mereka melakukan proses pengeringan ekstrak dari

daun lempuyang wangi. Pengeringan terbaik untuk mengeringkan simplisia

lempuyang wangi yaitu menggunakan metode oven pada suhu 500C.

Pada beberapa penelitian sebelumnya, karaginan selain digunakan

sebagai bahan penyalut dan pengisi dalam proses pembuatan serbuk atau

pengeringan ekstrak juga digunakan dalam campuran bahan pangan guna

memberikan efek kekenyalan pada bahan pangan. Penelitian yang dilakukan

oleh Aulawi dan Ninsix (2009), menunjukan bahwa pada proses pembuatan

bakso, selain bahan baku yaitu daging juga digunakan bahan pengisi dan

pengenyal. Bahan pengisi yang lazim digunakan pada proses pembuatan bakso

yaitu tepung pati. Salah satu bahan pengisi dan pengenyal kimia yang sering

digunakan yaitu STTP sedangkan bahan pengenyal organik yang sering

digunakan yaitu karaginan (Aulawi dan Ninsix, 2009).


7

Menurut Aulawi dan Ninsix (2009), penggunaan karaginan sebagai

bahan pengisi pada makanan dilakukan pada konsentrasi 0,005% (rendah)

sampai 3% (tinggi) tergantung produk yang ingin dihasilkan. Menurut

Wibowo (2013), perbandingan bahan pengisi pada bakso yang paling

optimum dilakukan dengan menambahkan tepung tapioka sebanyak 17,5%

dan karaginan sebanyak 2,5%. Bakso dengan penambahan karaginan sebanyak

2,5% menghasilkan bakso dengan tingkat kekenyalan yang paling baik

(Wibowo, 2013).

C. Perumusan Masalah

1. Berapakah komposisi yang tepat dalam proses pembuatan serbuk

pengawet dan pengenyal berbahan dasar daun salam dan karaginan?

2. Bagaimana pengaruh serbuk pengawet dan pengenyal daun salam dan

karaginan dalam memperpanjang masa simpan dan mengenyalkan bakso?

3. Berapakah variasi serbuk pengawet dan pengenyaldaun salam dan

karaginan yang tepat untuk mendapatkan bakso dengan kualitas terbaik?

D. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui komposisi yang tepat dalam proses pembuatan serbuk

pengawet dan pengenyal berbahan dasar daun salam dan karaginan.

2. Mengetahui pengaruh penambahan serbuk daun salam dan karaginan

sebagai pengawet dan pengenyal makanan terhadap kekenyalan dan umur

simpan bakso.
8

3. Mengetahui variasi penggunaan serbuk pengawet dan pengenyal daun

salam dan karaginan yang tepat untuk mendapatkan bakso dengan kualitas

terbaik.

E. Manfaat Penelitian

1. Terbentuknya suatu produk alternative pengganti bahan pengawet

berbahaya terutama boraks.

2. Terbentuknya serbuk pengawet dan pengenyal yang bersifat alami dan

praktis.

3. Terbentuknya suatu metode produksi dalam proses pembuatan serbuk

pengawet dan pengenyal.

4. Mengurangi kerugian besar akibat rendahnya umur simpan makanan

khususnya bakso.

F. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat menjadi awal pengujian dalam pembuatan bahan

pengawet dan pengenyal alami terutama yang berbahan baku daun salam dan

karaginan, sehingga akan membuka peluang yang besar untuk diproduksinya

pengawet dan pengenyal alami yang komersial serta aman untuk dikonsumsi.

Selain itu, dengan adanya penelitian ini juga diharapkan dapat membuka

pengetahuan mengenai pemanfaatan bahan-bahan alami yang mudah

ditemukan sebagai bahan pengganti kimia dan sintetik yang berbahaya.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Bakso
Bakso adalah makanan khas Indonesia yang digemari banyak orang.

Bakso daging menurut BSN (1995-a) pada SNI No 01-3818 1995 merupakan

produk makanan basah berbentuk bulatan atau bentuk lain yang diperoleh dari

campuran daging ternak yang dapat berupa sapi atau ayam (kadar daging tidak

kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa Bahan Tambahan

Pangan (BTP) yang diizinkan. Bakso sapi mempunyai kandungan nutrisi

cukup baik karena terbuat dari daging sapi yang kadar proteinnya tinggi yaitu

sebesar 20-22% dengan kadar lemak 4,8% (lean meat) (Aulawi dan Ninsix,

2009). Menurut Wibowo (2005), cara paling mudah untuk menilai mutu bakso

serta mengenali bakso dengan kualitas yang baik adalah dengan menilai mutu

sensoris atau mutu organoleptiknya. Paling tidak, ada 5 parameter sensoris

utama yang dapat dinilai, yaitu kenampakan, warna, bau, rasa, dan tekstur.

Kriteria mutu sensori bakso dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Kriteria Mutu Sensosi Bakso


Parameter Bakso Daging
Kenampakan Bentuk bulat halus atau kasar, berukuran seragam, berisi dan
tidak kusam,tidak berjamurdan tidak berlendir.
Warna Cokelat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau cokelat
muda hingga cokelat muda agak keputihan atau abu-abu.
Warna tersebar merata.
Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tidak bau tengik, asam,
basi atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup
menonjol tapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing
yang mengganggu.
Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau
membal, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh.
Sumber : Wibowo, 2005

9
10

Syarat mutu Bakso Daging mengacu pada SNI 01-3818-1995, dapat

dilihat pada Tabel 2 :

Tabel 2. SNI No. 01-3818-1995 Tentang Syarat Mutu Bakso


No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
1.1 Bau - Normal khas daging
1.2 Rasa - Gurih
1.3 Warna - Normal
1.4 Tekstur - Kenyal
2 Air %b/b Maks 70,0
3 Abu %b/b Maks 3,0
4 Protein %b/b Min 9,0
5 Lemak %b/b Maks 2,0
6 Boraks %b/b Tidak boleh ada
7 Bahan tambahan makanan Sesuai SNI 01-0222-1997 dan revisinya
8 Cemaran Logam
8.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0
8.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 20,0
8.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 40,0
8.4 Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0
8.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,03
9 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks 1,0
10 Cemaran mikrobia
10.1 Angka Lempeng Koloni/g Maks 1 × 105
Total
10.2 Bakteri bentuk coli APM/g Maks 10
10.3 Escherichia coli APM/g <3
10.4 Enterococci Koloni/g Maks 1 × 103
10.5 Clostridium Koloni/g Maks 1 × 102
perfingens
10.6 Salmonella - Negative
10.7 Staphylococcus Koloni/g Maks 1 × 102
aureus
Sumber : BSN, 1995-a
11

B. Proses Pembuatan Bakso

Menurut Putri (2009), proses pembuatan bakso terdiri dari beberapa

tahapan, yaitu penghancuran daging, pembuatan dan pencampuran adonan,

pencetakan bakso dan pemasakan bakso.Penghancuran daging memiliki tujuan

untuk memperluas permukaan daging sehingga protein larut garam dapat

ditarik keluar yang kemudian akan menyebabkan perubahan jaringan lunak

pada daging menjadi mikropartikel. Adonan bakso dibuat dengan cara daging

yang telah dihancurkan dicampur dengan garam dan bumbu secukupnya

kemudian ditambahkan dengan tepung, pati, atau tapioka, sedikit demi sedikit

sambil diaduk dan dilumatkan hingga homogen(Yunarni, 2012).

Proses pembuatan adonan bakso memerlukan air es atau air dingin

sebanyak ± 20-30% dari berat adonan dengan tujuan untuk membentuk emulsi

yang baik dan mencegah kenaikan suhu akibat gesekan. Selain itu, es

berfungsi untuk mempertahankan adonan agar tidak kering dan rendemennya

tinggi (Widayat, 2011).

Menurut Yunarni (2012), proses pencetakan bakso dapat dilakukan

dengan tangan dengan cara meremas-remas adonan di tangan kemudian

menekannya ke tengah-tengah jari antara ibu jari dan jari telunjuk kemudian

adonan yang keluar diambil dengan menggunakan sendok. Pemasakan bakso

harus memperhatikan suhu, hal ini berkaitan dengan proses denaturasi protein

pada bakso sehingga terbentuk gel. Proses pembentukan gel akan terjadi

dalam keadaan garam 0,6 M, pH 6, dan suhu 650C. Proses pemasakan


12

dilakukan dengan menggunakan air mendidih atau menggunakan uap panas

pada suhu 85-900C (Yunarni, 2012).

Bakso yang matang ditandai dengan mengapungnya bakso ke

permukaan. Selain itu, kematangan bakso juga dapat dilihat dengan mengiris

bakso, apabila bagian dalam tampak mengkilap agak transparan, tidak keruh

seperti adonan lain, maka bakso dikatakan telah matang. Proses pemasakan

bakso biasanya dilakukan selama 15 menit. Bakso yang telah matang dapat

langsung dikonsumsi atau dapat disimpan. Proses penyimpanan bakso dapat

dilakukan pada suhu 50C (Widayat, 2011).

C. Bahan Baku Pembuatan Bakso

Menurut Sari dan Widjanarko (2015),bahan bakuutama dalam

pembuatan bakso adalah daging sapi dan bahan tambahan lainnya

sepertitepung, garam, es, Sodium Tripolyposphat (STPP) dan bumbu-bumbu

penyedap. Menurut Yunarni (2012), selain garam dan tepung, pada proses

pembuatan bakso digunakan bawang merah, bawang putih, dan merica.

Bahan pengisi dan pengenyal merupakan bahan bukan dagingyang

ditambahkan dalam pembuatan bakso. Fungsi penambahan bahan pengisi dan

pengenyal adalah memperbaiki stabilitas emulsi, mereduksi penyusutan

selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan,meningkatkan citarasa dan

mengurangi biaya produksi (kecuali bahan pengisi), bahan ini dapat

mengabsorpsi air dua sampai tiga kali lipat dari berat semula, sehingga adonan

bakso menjadi lebih besar (Aulawi dan Ninsix 2009).


13

Bahan pengisi sekaligus pengenyal yang biasa ditemukan pada proses

pembuatan bakso yaitu tepung pati singkong, pati aren, atau sagu yang

mengandung karbohidrat tinggi. Menurut BSN (1995-a) pada SNI No 01-

3818-1995 bahan pengisi yang dapat digunakan pada bakso yaitu masimum

50% dari berat daging. Menurut Fadlan (2001), penggunaan bahan pengisi

yang optimum sebaiknya ditambahkan sebanyak 25%.

1. Tepung Tapioka

Tepung berpati sebagai bahan pengisi dapat digunakan untuk

meningkatkan daya mengikat air karena mempunyai kemampuan menahan

air selama proses pengolahan dan pemanasan. Disamping itu, tepung

berpati dapat mengabsorbsi airdua sampai tiga kali dari berat semula

sehingga adonan bakso menjadi lebih besar (Wibowo, 2013). Menurut

Putri (2009), bahan pengisi yang ditambahkan ke dalam adonan bakso

maksimal sebanyak 50%.

2. Es atau Air Es

Menurut Wibowo (2013), air es ditambahkan ke dalam adonan

bakso dengan tujuan untuk menurunkan panas produk adonan. Selain itu

air es juga berfungsi untuk melarutkan bahan-bahan dan bumbu serta

mendistribusikan secara merata bahan tersebut dengan daging. Air es juga

berfungsi dalam pembentukan emulsi, dan mempermudah ekstraksi

protein.
14

3. Garam Dapur (NaCl)

Secara umum garam pada proses memasak digunakan sebagai

bahan penyedap rasa dan pemberi rasa asin pada makanan. Selain itu

garam juga dapat berfungsi sebagai bahan pengawet terutama untuk jenis

mikrobia yang tidak tahan dengan kadar garam tinggi. Garam dalam

proses pembuatan bakso selain berfungsi dalam dua hal tersebut juga

berfungsi sebagai pengekstraksi protein dan pengurain myofibril sehingga

garam berperan dalam proses emulsi. Penambahan garam ke dalam adonan

bakso sebaiknya tidak kurang dari 2%, karena penambahan garam yang

kurang dari 1,8% akan menyebabkan rendahnya protein terlarut pada

bakso (Wibowo, 2013).

4. Bumbu

Bumbu secara umum dalam proses memasak akan berfungsi dalam

meningkatkan citarasa dalam produk, selain juga sebagai bahan pengawet

makanan alami. Bumbu yang digunakan dalam adonan bakso secara

umum yaitu bawang putih dan lada. Bawang putih akan membentuk aroma

khas bawang putih yang menyebabkan bakso memiliki aroma bumbu yang

kuat. Lada cenderung akan membentuk rasa agak pedas sehingga apabila

ditambahkan dalam jumlah yang terlalu banyak, bakso yang dihasilkan

akan berasa pedas (Wibowo, 2013).


15

5. Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (2013),

bahan tambahan pangan disingkat BTP merupakan bahan yang

ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk

pangan. Menurut Widyaningsih dan Murtini (2006),BTP adalah bahan

yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil

dengan tujuan untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur dan

memperpanjang daya simpan. Selain itu, juga dapat meningkatkan nilai

gizi seperti protein, mineral dan vitamin. BTP tidak dimaksudkan untuk

dikonsumsi secara langsung dan atau tidak dipergunakan sebagai bahan

baku pangan. BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan

ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi

(BPOM, 2013).

Salah satu jenis bahan pangan yang sering digunakan oleh

masyarakat yaitu pengawet. Menurut Badan POM (2013), pengawet

merupakan bahan tambahan pangan yang berfungsi untuk mencegah atau

menghambat fermentasi, pengasaman, penguraian, dan perusakan lainnya

terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pengawet biasa

ditambahkan pada makanan yang mudah rusak atau yang disukai sebagai

medium pertumbuhan bakteri atau jamur. Beberapa contoh bahan

pengawet yaitu asam benzoate dan garamnya dan ester parahidroksi

benzoate untuk produksi buah-buahan, kecap, keju, dan margarine, serta

asam propinoat untuk keju dan roti (Widayat, 2011).


16

Salah satu bahan tambahan pangan yang sering digunakan dalam

proses pembuatan bakso yaitu STTP dan boraks.

1. STTP (Sodium Tripoliphospat)

STTP atau sodium tripoliphospat (Na5P3O10) merupakan bahan

tambahan pengan yang sering digunakan dalam proses pembuatan

bakso untuk mengenyalkan bakso (Ulupi dkk., 2005). STTP

merupakan produk sintesis yang memiliki pembatas (self limiting),

karena STTP akan memiliki rasa pahit pada konsentrasi tertentu

sehingga penggunaan umumnya berkisar antara 0,3-0,5% (Ranken,

2000). Menurut Ulupi dkk. (2005), STTP dapat menurunkan

penyusutan makanan, meningkatkan daya mengikat air, dan bersifat

sebagai antioksidan.

2. Boraks

Boraks merupakan senyawa berbentuk kristal putih, tidak

berbau, dan stabil pada suhu ruang. Boraks merupakan senyawa kimia

dengan nama natrium tetraborat (NaB4O7 10 H2O), jika larut dalam air

akan membentuk hidroksida dan asam borat (H3BO3) (Tubagus dkk.,

2013). Menurut Widayat (2011),boraks digunakan ke dalam pangan

dan bahan pangan sebagai pengental ataupun pengawet. Boraks dapat

memperbaiki struktur dan tekstur makanan.

Menurut Widayat (2011),efek negatif dari penggunaan boraks

dalam pemanfaatannya yang salah pada kehidupan dapat berdampak

sangat buruk pada kesehatan manusia. Boraks memiliki efek racun


17

yang sangat berbahaya pada sistem metabolisme manusia sebagai

halnya zat-zat tambahan makanan lain yang merusak kesehatan

manusia. Sering mengkonsumsi makanan berboraks akan

menyebabkan gangguan otak, hati, lemak dan ginjal. Dalam jumlah

banyak, boraks menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknya urin),

koma, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan efek depresi,

apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan bahkan

kematian (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

D. Bakteri Staphylococcus aureusPada Bakso

Bakteri Staphylococcus aureus merupakan jenis bakteri pencemar

alami yang biasa hidup di lungkungan. Menurut Misna dan Diana (2016),

bakteri Staphylococcus aureus merupakan jenis bakteri yang hidup di

permukaan tubuh individu sehat tanpa membahayakan terutama sekitar

hidung, mulut, alat kelamin, dan rectum. Bakteri Staphylococcus aureus akan

berbahaya apabila menginfeksi jaringan.

Menurut Adrianto (2012), bakteri S.aureus memiliki ciri-ciri bakteri

Gram positif, berbentuk bulat yang khas membentuk pasangan atau rantai

selama masa pertumbuhannya. Bakteri S.aureus merupakan bakteri yang

bersifat non motil, tidak berspora, kokus katalase-negatif, anaerob fakultatif,

dan terkadang anaerob abligat. Menurut Lestari (2016), infeksi yang

disebabkan oleh bakteri S.aureus diantaranya bisul, jerawat, pneumonia,

meningitis, dan arthritis. Sebagian besar penyakit yang disebabkan oleh

bakteri ini memproduksi nanah, oleh karena itu bakteri ini disebut piogenik.
18

Bakteri S.aureus merupakan jenis bakteri penyebab food poisoning

yang dapat menimbulkan terjadinya gastroenteritis akibat mengkonsumsi

makanan yang mengandung salah satu atau lebih enteroksin yang dihasilkan.

Toksin yang dihasilkan bersifat tahan panas, meskipun bakteri mati dalam

suhu tinggi namun enteroksin yang terbentuk tidak akan mengalami kerusakan

karena panas dan enteroksin masih akan bertahan walaupun pada suhu

pendinginan atau pembekuan (Chotiah, 2009).

E. Morfologi dan Taksonomi Tanaman Salam

Tanaman salam merupakan salah satu jenis tanaman berkayu yang

mempunyai ketinggian ± 20 meter dan merupakan jenis tanaman yang sangat

baik dibudidayakan di daerah ketinggian 5-1000 meter dari permukaan laut.

Salah satu bagian dari tanaman salam yang sering digunakan yaitu daunnya

(Sudirman, 2014).Menurut Sudirman (2014),tanaman salam memiliki nama

ilmiahEugenia polyantha wight/Syzygium polyantha wight. dan Eugenia

lucidula Miq. Tanaman ini masuk di dalam suku Myrtaceae.

Menurut Samudra (2014), kedudukan taksonomitanaman salam adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Sub Kelas : Dialypetalae
Bangsa : Myrtales
Suku : Myrtaceae
Marga : Syzygium
Jenis : Syzygium polyanthum
19

Bagian dari tanaman salam yang paling banyak dan sering digunakan

serta memiliki banyak kegunaan yaitu daun salam. Menurut Sudirman (2014),

daun salam termasuk dalam daun tunggal dengan bentuk lonjong hingga elips,

kedudukkan saling berhadapan, panjang tangkai 0,5-1 cm, ujung daun

meruncing, pangkal daun runcing, memiliki tepi daun rata, panjang daun ±5-

15 cm dan lebar ± 3-8 cm, memiliki tipe tulang daun menyirip, permukaan

atas daun licin dan berwarna hijau tua, serta permukaan bawah berwarna hijau

muda (Gambar 1). Daun salam biasanya berbau wangi saat diremas.

Gambar 1. Bentuk Daun Salam


Sumber : Sumono dan Wulan, 2009.

F. Kegunaan Daun Salam

Daun salam biasanya digunakan sebagai bahan rempah pengharum

pada masakan. Daun salam dapat dicampur dalam keadaan utuh, kering,

ataupun segar, dan turut dimasak hingga masakan matang (Enda, 2009).

Menurut Fitri (2007), Badan POM menetapkan daun salam sebagai salah satu

obat dari sembilan tanaman obat unggulan yang telah diteliti dan diuji secara

klinis untuk menanggulangi masalah kesehatan tertentu.


20

Menurut Enda (2009), dalam bidang kesehatan daun salam terbukti

efektif dalam menurunkan kadar gula darah, tekanan darah, dan kadar

kolesterol darah. Selain itu, daun salam juga dapat menurunkan kadar asam

urat, mengobati sakit maag, gatal-gatal,eksim, dan kudis. Menurut Sudirman

(2014), berkumur dengan air rebusan daun salam terbukti dapat mengurangi

jumlah Streptococcus sp.Menurut Priyawan (2014), daun salam dapat

berfungsi sebagai serat aktif. Hal ini terjadi karena daun salam mengandung

tanin yang dapat menghambat penyerapan lemak dalam usus.

G. Kandungan Kimia Daun Salam

Daun salam yang berwarna coklat kering bersifat aromatik yang

menghasilkan aroma seperti buah jeruk atau cengkeh, dan rasa sedikit asam.

Ekstrak air daun salam terbukti mengandung flavonoid, saponin dan tanin

(Priyawan, 2014).Menurut Fitri (2007), daun salam mengandung beberapa

senyawa utama seperti tannin, minyak atsiri, dan flavonoid serta senyawa

tambahan lain seperti keskuiterpen, triterpenoid, fenol, steroid, sitral, lakton,

saponin, dan karbohidrat. Tiga senyawa utama dalam daun salam ini memiliki

peran sebagai senyawa antimikrobia. Hal ini terjadi karena ketiga senyawa

tersebut mengandung gugus OH. Gugus OH ini dapat melunturkan komponen

lipid yang menyusun dinding sel mikrobia (Fitri, 2007).

1. Tanin

Menurut Sudirman (2014),tanin merupakan suatu senyawa yang

memiliki inti berupa glukosa dan dikelilingi oleh lima atau lebih gugus

ester galoil, dengan inti molekul berupa senyawa dimer asam galat
21

(Gambar 2). Menurut Samudra (2014), tanin dapat menyebabkan

terjadinya denaturasi protein dengan cara membentuk komplek protein

melalui proses pembentukan ikatan hydrogen dan ikatan kovalen. Menurut

Sudirman (2014), tanin juga memiliki kemampuan dalam mengendapkan

protein dengan permeabilitas rendah.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (2004) menyatakan

bahwa tanin yang terkandung di dalam daun salam tidak kurang dari

21,7%. MenurutKharismawati, dkk, (2009),kandungan tanin pada infusa

daun salam muda dan daun salam tua secara berurutan yaitu 2,38±0,036%

dan 2,45±0,007% yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan

antara kadar tanin pada daun salam muda dengan kadar tanin pada daun

salam tua.

Tanin dalam konsentrasi yang rendah dapat menghambat

pertumbuhan mikrobia, sedangkan pada konsentrasi yang tinggi akan

bekerja sebagai antimikrobia (membunuh mikrobia). Mekanisme kerja dari

tanin sebagai zat antimikrobia yaitu dengan menonaktifkan beberapa

enzim sehingga akan menghambat rantai ligan di beberapa reseptor. Selain

itu, tanin juga mampu menginaktivasi adhesi sel pada permukaan sel

mikrobia. Tanin juga memiliki kemampuan dalam merusak peptidoglikan

pada dinding sel (Sudirman, 2014).


22

Gambar 2. Struktur Umum Tanin.


Sumber : Sudirman, 2014

Tanin merupakan senyawa phenol yang memiliki berat molekul

antara 500 dan 3000 Da dan larut dalam air (Ismarani, 2012). Menurut

Ismarani (2012), tannin memiliki beberapa sifat fisik dan kimia,

diantaranya :

a. Sifat Fisik Tanin :

i. Tanin berwarna putih kekuningan hingga coklat terang.

ii. Tanin berbentuk serbuk atau berlapis-lapis seperti kulit kerang,

berbau khas dan mempunyai rasa sepat.

iii. Warna tanin menjadi gelap apabila terkena cahaya langsung, dan

dibiarkan di udara terbuka.


23

b. Sitak Kimia Tanin :

i. Tanin memiliki gugus phenol dan bersifat koloid, sehingga apabila

terlarut dalam air akan bersifat koloid dan asam lemah.

ii. Tanin larut dalam air, dan akan semakin besar kelarutannya apabila

dilarutkan pada air panas.

iii. Tanin dapat dihidrolisis oleh asam, basa, dan enzim.

iv. Tanin akan terurai menjadi pyrogallol, pyrocatechol, dan

phloroglucino bila dipanaskan sampai suhu 98,89-101,670C.

2. Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa yang sering ditemukan pada

sebagian besar tumbuh-tumbuhan. Flavonoid tidak hanya berperan sebagai

pigmen pada tumbuhan, namun juga sangat penting untuk pertumbuhan,

perkembangan, dan pertahanan pada tumbuhan. Flavonoid pada tumbuhan

dapat berfungsi sebagai inhibitor, prekursor bahan toksik, melindungi

tumbuhan dari bakteri, virus, radikal bebas, dan radiasi UV (Sabir, 2003).

Flavonoid mempunyai aktivitas biologis dan farmakologis, antara

lain sebagai antibakteri karena flavonoid mempunyai gugus

hidroksil(Sudirman, 2014). Flavonoid sebagai antibakterial dapat menekan

pertumbuhan bakteri yang mengkontaminasi luka sehingga infeksi dapat

dihindari (Dharmayanti, 2000). Sebagai antibakteri, flavonoid bekerja

dengan menghambat perkembangan mikroorganisme karena mampu

membentuk senyawa komplek dengan protein melalui ikatan

hidrogen(Andrianto, 2012).
24

Mekanisme kerjanya dengan mendenaturasi molekul


molekul-molekul

protein dan asam nukleat yang menyebabkan koagulasi dan pembekuan

protein yang akhirnya akan terjadi gangguan


gangguan metabolisme dan fungsi

fisiologis bakteri. Jika metabolisme bakteri terganggu maka kebutuhan

energi tidak tercukupi sehingga mengakibatkan rusaknya sel bakteri secara

permanen yang pada akhirnya menyebabkan kematian bakteri (Andrianto,

2012). Struktur utama flavonoid dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur Umum Flavonoid.


Sumber : Sudirman, 2014

3. Saponin

Saponin merupakan glikosida alami


alami yang terkait dengan alkaloid

(Robinson,
Robinson, 1995). Saponin terbagi dalam dua jenis senyawa turunan yaitu

triterpenoid
rpenoid dan streroid (Hassan, 2008). Saponin bersifat pahit, berbusa

dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik, mempunyai aktivitas

hemolisis (merusak sel darah merah), tidak beracun bagi binatang berda
berdarah

panas, mempunyai sifat anti


antieksudatif
eksudatif dan mempunyai sifat anti inflamatori

(Prihandono,
dono, 2001). Senyawa saponin memiliki kemampuan sebagai

pembersih dan antiseptik yangg berfungsi membunuh atau menceg


mencegah

pertumbuhan mikroorganisme (Robinson, 1995). Struktur steroid dan

triterpenoid dapat dilihat pada Gambar 4.


25

Gambar 4. Struktur Saponin Steroid dan Triterpenoid.


Sumber : Jaya, 2010.

H. Kegunaan Karaginan Pada Produk Pangan

Karaginan adalah bahan alami pembentuk gel yang dapat digunakan

sebagai bahan alternatif yang aman untuk pengganti boraks dan STTP.

Karaginan mempunyai kemampuan yang unik yaitu dapat membentuk

berbagai variasi gel pada temperatur ruang. Larutan karaginan dapat

mengental dan menstabilkan partikel-partikel sebaik pendispersian koloid dan

emulsi air atau minyak (Nafiah dkk., 2012).

Karaginan memiliki nama latin Kappaphycus alvarezii atau

Eeucheuma cottoni yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan

polisakarida linier yang tersusun dari unit-unit galaktosa (Aulawi dan Ninsix,

2009). Karaginan tersusun dari unit D-galaktosa dan 3,6-anhidro-D-galaktosa

dengan ikatan α-1,3 dan β-1,4 pada polimer heksosanya. Karaginan terbagi

menjadi tiga faksi yaitu kappa karaginan, iota karaginan, dan lambda

karaginan. Perbedaan fraksi ini didasarkan pada persentasi kandugan ester

sulfatnya, yaitu kappa (25-30%), iota (28-35%), dan lambda (32-39%)

(Aulawi dan Ninsix 2009).


26

Karaginan sebagai bahan olahan rumput laut sering digunakan sebagai

penstabil, pengemulsi, pembentuk gel padaproduk-produk pasta makanan,

antara lain seperti permen jelly dari buah apel seafood atau surimi maupun

produk derivatnya(Tamrin dan Sadimantara, 2014). Karaginan dapat

menyerap air sehingga menghasilkan tekstur yang kompak, meningkatkan

rendemen, meningkatkan daya mengikat air, menambah kesan juiciness,

meningkatkan kemampuan potong produk, dan melindungi produk dari efek

pembekuan dan thawing (Keeton, 2001).

Karaginan dapat diaplikasikan pada berbagai produk sebagai

pengontrol kadar air, tekstur, pensuspensi, pembentuk tekstur emulsi, terutama

pada produk-produk jelly, permen, sirup, dodol, nugget, produk susu, bahkan

untuk industri kosmetik dan obat-obatan, menambah ketebalan (thickening)

dan pembentuk gel atau penstabil (Aulawi dan Ninsix 2009). Menurut

Wibowo (2013), penggunaan karaginan biasanya dilakukan pada konsentrasi

0,005% (rendah) sampai 3% (tinggi) tergantung produk yang ingin dihasilkan.

Pada proses pembuatan bakso, karagianan dapat digunakan sebagai bahan

pengisi yang sekaligus berfungsi dalam mengenyalkan bakso. Bakso yang

dibuat dari campuran bahan pengisi berupa 17,5% tepung tapioka dan 2,5%

karagianan dapat menghasilkan bakso dengan tekstur dan kekenyalan paling

tinggi.
27

I. Teknik Pengeringan Pada Proses Penyerbukan Ekstrak

Pengeringan merupakan salah satu cara untuk mengeluarkan atau

menghilangkan sebagian besar air yang dikandung melalui penggunaan energi

panas. Pengeringan memiliki keuntungan yaitu bahan menjadi lebih awet dan

volume bahan lebih kecil, sehingga mempermudah dan menghemat ruang

pengangkutan dan pengepakan. Kerugian yang mungkin disebabkan karena

pengeringan yaitu adanya perubahan sifat fisik dan kimia pada bahan,

penurunan mutu, dan adanya pekerjaan tambahan seperti dehidrasi (serbuk

dibasahi kembali).

Terdapat beberapa metode pengeringan yang sering dilakukan.

Pengeringan dengan oven dirasa lebih menguntungkan karena akan terjadi

pengurangan kadar air dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat (Muller

dan Heindl, 2006). Pengeringan dengan oven harus memperhatikan suhu

pengeringan, Menurut Winangsih dkk (2013), penggunaan suhu yang terlalu

tinggi dapat meningkatkan biaya produksi selain itu terjadi perubahan

biokimia sehingga mengurangi kualitas produk yang dihasilkan.

Pengeringan ekstrak menjadi serbuk bertujuan untuk mengawetkan

ekstrak serta memberikan kemudahan dalam penggunaan. Pada proses

pengeringan ekstrak harus diperhatikan suhu yang digunakan, karena hal ini

berkaitan dengan komponen kimia di dalam ekstrak. Suhu yang biasa

digunakan dalam proses pengeringan ekstrak yaitu 50˚C (Winangsih dkk.,

2013).
28

J. Hipotesis

1. Komposisi serbuk yang paling baik digunakan yaitu serbuk dengan

komposisi ekstrak daun salam dengan penambahan bahan pengisi dengan

perbandingan pati dan karaginan 9% : 1%.

2. Serbuk daun salam dengan penambahan karaginan dapat memperpanjang

masa simpan dan mengenyalkan bakso.

3. Variasi penggunaan serbuk yang tepat dalam membuat bakso dengan

kualitas terbaik yaitu variasi B yaitu penambahan serbuk pengawet dan

pengenyal sebanyak 2,5% ke dalam bakso.


III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknobio-Pangan dan

Laboratorium Produksi, Fakultas Teknobiologi, Universitas Atma Jaya

Yogyakarta. Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2016 hingga April

2017 (Lampiran 1).

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian yaituautoclave Hirayama

Hiclave HVE-50, blender Philip, hotplateIKAMAC RH (Junke & Kunke),

centrifuge, inkubator Mammert, Laminar Air Flow Laminar Flow SV 1200

SG atau Esco-Laminar Flow Cabinet, lemari es Shamp/Gassio/National,

magnetic stirrer, microwave Ixctrolux, moinsture balanching Phoenix

Instrument BN-65, Oven Ecocell, pHmeter Eutech, sokhhet Isopad, tekstur

analyer LFM-Texture analyzre, timbangan analitik Explorer D’Haus, vortex

Thermolyne/Phoenix Instrumen RS-VA10/Maxi Mix II.

Alat-alat pendukung yang digunakan pada penelitian yaitu aluminium

foil, ayakan 61 mesh, baskom, benang, bunsen, buret, cawan petri, desikator,

destilasi, erlenmeyer, gelas beker, gelas pengaduk, gelas ukur, gloves, grinder,

gunting, jarum ose, kain perca, kain saring, kalkulator, kapas, karet, kertas

payung, kertas saring, kertas timbang, kompor,korek, kotak tertutup, label,

loyang, mangkok, masker, mikropipet, mikrotip, nampan, panci, pengaduk,

penggaris, perforator, pipet tetes, pipet ukur, pisau, plastik bening, plastik

29
30

hitam, plastik siller, probe 43, sarung tangan plastik, sendok, sendok besi,

sendok timbang, seperangkat computer, serok, spiritus, statif, stopwatch,

tabung kjeldahl, tabung reaksi, talenan, thermometer, timbangan biasa,

trigalski, wajan, dan wrap.

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian yaitu air, air es, alcohol

70%, aquades, aquades steril, asam borat 4% jenuh, asam sulfat (93-98%

bebas N), bawang putih bubuk, biakan bakteri Staphylococcus aureus, BPW

(Buffer Pepton Water), daging sapi cincang, daun salam, FeCl3, garam, HCl

0,02 N, HCL 1 M, indikator methylen red-bromo cresol, indikator methylen

red-methil blue, karaginan, katalisator (Na2SO4 : HgO = 20:1), lada putih

bubuk, LB (Lactose Broth), maltodekstrin, MSA (Manitol Salt Agar), NA

(Nutrient Agar), NaOH, NaOH 2%,Na2SO4, NB (Nutrient Broth), pati kanji,

PCA (Plate Count Agar),PE (petroleum eter), SCB (Selenite Cistein Broth),

SSA (Salmonella Shigela Agar).

C. Populasi Sampel

Sampel daun salam diambil sebanyak 2,595 kg dari desa Sigarut,

Rejosasi, Bansari, Temanggung, Jawa Tengah. Daun salam yang diambil yaitu

daun salam dengan ciri-ciri warna hijau tua. Karaginan diambil sebanyak 100

gram dari Toko Kimia Chemix dalam bentuk serbuk kering. Daging sapi

cincang diambil sebanyak 2,5-3 kg di Superindo Barbarsari Yogyakarta

dengan syarat daging segar. Biakan bakteri Staphylococcus aureus diambil

dari hasil biakan Laboratorium Teknobio-Pangan Universitas Atma Jaya

Yogyakarta.
31

D. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan dua Rancangan Percobaan yaitu

Rancangan Acak Lengkap pada proses pembuatan serbuk (Table 3) serta

Rancangan Acak Lengkap Faktorial pada proses aplikasi serbuk pada bakso

(Tabel 4). Rancangan Acak Lengkap Faktorial pada proses aplikasi serbuk

pada bakso dilakukan dengan menggunakan dua faktor yaitu variasi serbukdan

lama penyimpanan dengan 3 kali pengulangan untuk setiap pengujian.

Tabel 3. Rancangan Percobaan Proses Pembuatan Serbuk


perlakuan
ulangan
a b c d
1 a1 b1 c1 d1
2 a2 b2 c2 d2
3 a3 b3 c3 d3
Keterangan : a, b, c, dan d = serbuk perlakuan
1, 2, dan 3 = pengulangan ke-1, ke-2, dan ke-3

Tabel 4. Rancangan Percobaan Lama Penyimpanan dan Komposisi Bahan


dalam Pembuatan Bakso
Lama Penyimpanan
Perlakuan Ulangan (hari)
0 1 2
1 K01 K11 K21
Kontrol 2 K02 K12 K22
3 K03 K13 K23
1 A01 A11 A21
A 2 A02 A12 A22
3 A03 A13 A23
1 B01 B11 B21
B 2 B02 B12 B22
3 B03 B13 B23
1 C01 C11 C21
C 2 C02 C12 C22
3 C03 C13 C23
Keterangan : A = variasi serbuk 1,5%,
B = variasi serbuk 2,5%,
C = variasi serbuk 3,5%,
K = tanpa penambahan serbuk
0,1,2 = pengamatan hari ke 0, atau 1, atau 2
1,2,3 = pengulangan ke 1, atau ke 2, atau ke 3
32

E. Cara Kerja

1. Preparasi Sampel Daun Salam (Kharismawati dkk, 2009, dengan


modifikasi).

Daun salam diambil di Desa Sigarut, Rejosari, Bansari,

Temanggung, Jawa Tengah, dengan ciri warna daun hijau tua sebanyak

2,595 kg daun.Sampel daun salam disortir dan dipilih dengan ketentuan

tidak rusak, kemudian daun dicuci hingga bersih dengan cara air

dimasukkan ke dalam baskom kemudian daun salam dimasukkan ke dalam

baskom dan dilakukan sebanyak 2×. Selanjutnya daun salam dibersihkan

dan dikeringkan dengan cara diusap dengan menggunakan kain perca.

Daun salam yang telah dicuci dan telah kering selanjutnya dipotong kecil-

kecil dengan menggunakan gunting dan bagian ibu tulang daun dari daun

salam dihilangkan.

2. Pengeringan Sampel Daun Salam (Ismarani, 2012 dan Winangsih


dkk, 2013 dengan modifikasi).

Daun salam ditimbang maksimal 200 g untuk setiap pengeringan,

kemudian daun salam diratakan di atas loyang aluminium dan dipanaskan

dalam oven menggunakan oven dengan merk Ecocell. Daun salam

selanjutnya dikeringkan dengan metode oven dengan suhu 50-70˚C selama

± 1 jam untuk setiap pengeringan hingga kadar air <10%. Setaip 15 menit,

daun salam dicek dengan cara diremas. Pengukuran kadar air dilakukan

dengan menggunakan alat Moinsture Balanching. Daun salam yang telah

kering dan memiliki kadar air <10% selanjutnya dimasukkan ke dalam

kotak tertutup dan diwrap.


33

3. Penyerbukan Daun Salam Kering (Sembiring, 2009 dengan


modifikasi).

Daun salam yang telah kering diambil secukupnya, kemudian

diblender hingga halus. Daun salam yang telah diblender dilanjutkan

dengan diglinder hingga halus. Serbuk yang telah halus selanjutnya diayak

dengan ukuran ayakan 61 mesh (lubang ukuran 0,25 mm). Serbuk yang

telah halus kemudian dimasukkan ke dalam kotak tertutup dan diwrap.

4. Pembuatan Ekstrak Daun Salam (Cornelia dkk., 2005, Purnomo dkk,


2014, dan Sembiring, 2009 dengan modifikasi).

Ekstraksi dilakukan sebanyak dua kali, hasil ekstrak pertama yaitu

E1 dan hasil ekstrak kedua atau reekstrak yaitu E2. Ekstraksi serbuk

dilakukan dengan mencampurkan serbuk daun salam dan air dengan

perbandingan 1 : 10 (b/v). Campuran serbuk daun salam dan air diaduk

hingga homogen kemudian dipanaskan diatas kompor hingga mendidih

dengan suhu (± 98-101˚C) dan ditunggu kurang lebih selama 15 menit

sambil diaduk dengan menggunakan pengaduk. Ekstrak daun salam

kemudian disaring.

Saringan tahap pertama dilakukan dengan menggunakan kain

saring, kemudian saringan kedua dilakukan dengan menggunakan kertas

saring yang dilakukan sebanyak dua kali. Ampas hasil ekstraksi pertama

digunakan untuk ekstraksi kedua dengan metode yang sama dengan

ekstraksi pertama. Cairan hasil ekstraksi pertama dan kedua yang telah

jadi selanjutnya dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditutup dengan

menggunakan aluminium foil kemudian diwrap.


34

5. Uji Fitokimia Ekstrak Daun Salam (Lestari, 2016, dengan modifikasi).

a. Uji Tanin

Ekstrak cair daun salam diambil sebanyak 5 ml dengan

menggunakan pipet ukur kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

Ekstrak daun salam kemudian ditambahkan dengan larutan FeCl3

sebanyak 2 tetes dengan menggunakan pipet tetes, kemudian divortex

hingga homogen. Hasil positif ekstrak mengandung tanin ditunjukkan

dengan adanya perubahan warna menjadi hijau kehitaman atau biru tua.

b. Uji Flavonoid

Ekstrak cair daun salam diambil sebanyak 1 ml dengan

menggunakan pipet ukur kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

Ekstrak daun salam selanjutnya ditambahkan dengan larutan NaOH 2%

sebanyak 2 ml dengan menggunakan pipet ukur kemudian divortex

hingga homogen. Hasil positif ekstrak yang mengandung flavonoid akan

menunjukkan warna kuning kecoklatan.

c. Uji Saponin

Ekstrak cair daun salam diambil sebanyak 1 ml dengan

menggunakan pipet ukur kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

Ekstrak daun salam selanjutnya dikocok selama 1 menit kemudian

ditambahkan dengan larutan HCl 1M sebanyak 2 tetes dengan

menggunakan pipet tetes. Hasil positif ekstrak mengandung saponin

ditunjukkan dengan adanya busa pada ekstrak yang bertahan selama 7

menit.
35

6. Pembuatan Serbuk Pengawet dan Pengenyal (Purnamayati dkk, 2016,


Purnomo dkk, 2014, dan Sembiring dkk, 2009 dengan modifikasi).

Komposisi “a”, serbuk pengawet dan pengenyal dibuat dari ekstrak

cair daun salam dengan penambahan bahan penyalut berupa pati dan

karaginan. Pembuatan didasarkan pada perbandingan kompoisisi bahan

penyalut yang digunakan yaitu pati dan karaginan dengan perbandingan

9% : 1% dari volume total ekstrak yang digunakan.

Komposisi “b”, serbuk pengawet dan pengenyal dibuat dari ekstrak

cair daun salam dengan penambahan bahan penyalut berupa maltodekstrin

dan karaginan. Pembuatan didasarkan pada perbandingan antara ekstrak

cair daun salam dan bahan penyalut yaitu 10 : 3. Kompoisisi bahan

penyalut yang digunakan yaitu maltodekstrin dan karaginan dengan

perbandingan 2 : 1.

Komposisi “c”, serbuk pengawet dan pengenyal dibuat dari ekstrak

cair daun salam dengan penambahan bahan penyalut berupa maltodekstrin

dan karaginan. Pembuatan didasarkan pada perbandingan kompoisisi

bahan penyalut yang digunakan yaitu maltodekstrin dan karaginan dengan

perbandingan 9% : 1% dari volume total ekstrak yang digunakan.

Komposisi “d”, serbuk pengawet dan pengenyal dibuat dari ekstrak

cair daun salam dengan penambahan bahan penyalut berupa pati dan

karaginan. Pembuatan didasarkan pada perbandingan antara ekstrak cair

daun salam dan bahan penyalut yaitu 10 : 3. Kompoisisi bahan penyalut

yang digunakan yaitu pati dan karaginan dengan perbandingan 2 : 1.

Campuran ekstrak dan bahan penyalut yang berupa komposisi “a”, “b”,
36

“c”, dan “d”, selanjutnya dihomogenkan dengan menggunakan stirrer

dengan suhu ± 40˚C dan kecepatan ± 5000-6000 rpm. Komposisi

pembuatan serbuk dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perlakuan Pembuatan Serbuk Pengawet dan Pengenyal


Perlakuan Komposisi Bahan Jenis Bahan Pengisi
a Ekstrak + Pati 9% + Karaginan 1%
Ekstrak : Bahan Pengisi Maltodekstrin : Karaginan
b
= 10 : 3 =2:1
Maltodekstrin 9% + Karaginan
c Ekstrak +
1%
Ekstrak : Bahan Pengisi Pati : Karaginan
d
= 10 : 3 =2:1

7. Proses Penyerbukan (Sembiring dkk, 2009, dan Winangsih dkk, 2013,


dengan modifikasi).

Penyerbukan dilakukan dengan menggunakan metode oven.

Campuran ekstrak daun salam dan bahan penyalut dalam komposisi a, b, c,

dan dyang telah dihomogenisasi selanjutnya dituangkan ke dalam loyang

yang berbeda dan kemudian diratakan. Sebelum digunakan, loyang dilapisi

dengan plastik mika hingga menutupi seluruh permukaan atas loyang.

Bahan selanjutnya dikeringkan dengan oven dengan suhu ± 50-60˚C

hingga kering dan dapat dipisahkan dari mika.

Ekstrak kering selanjutnya dihancurkan dengan menggunakan

blender dan glinder hingga halus. Serbuk yang telah jadi selanjutnya

diayak dengan ayakan 61 mesh (lubang ukuran 0,25 mm). Serbuk

pengawet dan pengenyal kemudian ditampung dan disimpan di dalam

plastik siller dan ditempatkan di wadah tertutup.


37

8. Analisis Serbuk (Noriko dkk., 2014, dengan modifikasi)

Uji zona hambat dilakukan dalam 4 tahap pengujian yaitu pembuatan

medium, pembuatan suspensi bakteri, uji antimikrobia ekstrak daun salam,

dan perhitungan zona hambat.

i. Pembuatan medium

Medium NA (Nutrient Agar) dan NB (Nutrient Broth)

disiapkan.Medium NA sebanyak 5.6 gram ditimbang kemudian

dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan dengan aqudes

sebanyak 200 ml. Medium NB sebanyak 2.6 gram ditimbang

kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan dengan

aqudes sebanyak 200 ml. Masing-masing medium selanjutnya

dicampur hingga homogen dan disterilisasi dengan menggunakan

autoclave dengan suhu 1210C. Medium NA (Nutrient Agar) yang telah

steril selanjutnya dituangkan ke dalam cawan petri ±15 ml dan tabung

reaski sebanyak ± 7 ml kemudian tabung reaksi dimiringkan dan

medium ditunggu hingga memadat. Medium NB (Nutrient Broth)

diambil sebanyak 10 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung

reaksi.

ii. Pembuatan suspensi bakteri S.aureus

Suspensi bakteri dibuat dengan menggunakan biakan bakteri

S.aureus yang telah ada kemudian diambil sebanyak 1 ose dan

dibiakan pada medium NB (Nutrient Broth) dan diinkubasi selama 24

jam.
38

iii. Uji antimikrobia ekstrak daun salam.

Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode difusi agar.

Pengujian antimikrobia serbuk dilakukan dengan dua jenis sampel

yaitu sampel serbuk dan sampel serbuk yang telah diencerkan ke

dalam aquades hingga pengenceran 10-1. Biakan bakteri yang telah

siap diambil sebanyak 100 µl kemudian dituangkan ke dalam medium

NA (Nutrient Agar) yang telah memadat di dalam cawan petri dan

diratakan dengan menggunakan triglaski hingga rata. Medium

ditunggu selama beberapa saat hingga permukaan medium tidak terlalu

basah. Medium yang telah memadat selanjutnya dibuat lubang dengan

perforator.

Setiap lubang selanjutnya diisi dengan serbuk daun salam

hingga penuh dengan menggunakan sendok besi dan diisi dengan

serbuk yang telah diencerkan dengan menggunakan mikropipet

sebanyak ±50 µl. Cawan petri selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C

selama 18 dan 24 jam. Zona hambat bakteri diukur dengan

menggunakan penggaris.

9. Penentuan Serbuk Terbaik

Serbuk terbaik diambil dari hasil pengukuran zona hambat

terhadap bakteri S.aureus. Serbuk dengan zona hambat paling besar

ditetapkan sebagai serbuk terbaik. Penentuan serbuk terbaik dilakukan


39

dengan menguji zona hambat sebanyak tiga kali pengulangan dengan

sampel berupa serbuk serta serbuk yang diencerkan.

10. Pembuatan Bakso (Aulawi dan Ninsix, 2009, BSN, 1995-a, dengan
modifikasi).

Daging sapi cincang dicuci hingga bersih, kemudian dihaluskan

dengan blender hingga halus. Cincangan daging selanjutnya ditambahkan

dengan pati dengan perbandingan antara daging dan pati yaitu 75% : 25%

atau perbandingan 3 : 1. Bumbu yang berupa, garam, lada, dan bawang

putih ditambahkan dengan ketentuan garam sebanyak 2%, bawang putih

bubuk sebanyak 2% dan lada putih sebanyak 1% dari total daging dan pati.

Selanjutnya adonan ditambahkan dengan air sebanyak 15% dari total

jumlah daging dan pati. Adonan diblender kembali hingga homogen dan

halus kemudian adonan dibagi menjadi 5 adonan yang berbeda. Komposisi

bahan pembuatan bakso dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi Bahan Pembuatan Bakso


Bahan Takaran Keterangan
Daging sapi giling 75%
dari 1kg bahan
Pati Kanji 25%
Bawang putih bubuk 2%
Lada putih bubuk 1%
dari berat total daging dan pati
Garam 2%
Air Es 15 %

Adonan 1 digunakan sebagai perlakuan Kontrol yaitu adonan tanpa

penambahan serbuk. Adonan 2 digunakan sebagai perlakuan A dengan

penambahan serbuk 1,5% dari berat adonan, adonan 3 digunakan sebagai

perlakuan B dengan penambahan serbuk 2,5% dari berat adonan. Adonan


40

4 digunakan sebagai perlakuan C dengan penambahan serbuk sebanyak

3,5% dari berat adonan. Serbuk dicampurkan pada adonan dengan cara

ditaburkan dengan merata pada adonan. Adonan selanjutnya diratakan

kembali dengan cara dicampur dengan menggunakan tangan. Perlakuan

serbuk dalam pembuatan bakso dapat diihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Perlakuan Penambahan Serbuk dalam Pembuatan Bakso


Perlakuan Serbuk Keterangan
Kontrol Tanpa serbuk
A 1,5%
B 2,5% Berat total adonan
C 3,5%

Adonan selanjutnya dicampur dengan menggunakan tangan yang

telah menggunakan sarung tangan plastik hingga adonan tercampur

merata. Adonan selanjutnya dicetak dengan cara dibentuk bulat-bulat

dengan menggunakan tangan dan sendok kemudian dimasukkan ke dalam

air mendidih hingga bakso mengembang dan terapung. Bakso yang telah

matang selanjutnya dilakukan analisis bakso yang berupa uji fisik, mikro,

dan kimia dalam rentan masa simpan selama 3 hari yaitu hari ke 0, ke 1,

dan ke 2. Penyimpanan bakso dilakukan dengan menggunakan plastik siler

dan disimpan pada suhu ruang.

11. Analisis Bakso

a. Analisis Mikrobiologi (BSN, 2008 pada SNI No 2897-2008 dengan


modifikasi).
Analisis mikrobia meliputi tiga pengujian mikrobia yaitu uji

Angka Lempeng Total, Uji bakteri Staphylococcus aureus, dan Uji

Bakteri Salmonella. Pengujian mikro menggunakan beberapa medium


41

yang digunakan yaitu BPW (Buffer Pepton Water) atau aquades steril,

PCA (Plate Count Agar), MSA (Manitoll Salt Agar), LB (Lactose

Broth), SCB (Selenit Sistein Broth), dan SSA (Salmonella Shigella

Agar). Preparasi medium dilakukan dengan cara melarutkan serbuk

medium ke dalam aquades dengan ukuran yang diinginkan kemudian

dihomogenkan dengan cara digoyang-goyang dan dimicrowave. Medium

selanjutnya disterilkan dengan menggunakan autoclave pada suhu 1210C

selama 15 menit.

Sampel bakso dari setiap perlakuan diambil dan ditimbang

sebanyak 1 gram kemudian dihancurkan dan dimasukkan ke dalam

medium BPW atau aquades steril sebanyak 9 ml. Sampel divortex dan

dihasilkan pengenceran seri 10-1. Sampel dengan nilai pengenceran 10-1

selanjutnya diencerkan kembali dengan cara yang sana. Hasil

pengenceran membentuk larutan 10-2.Pengenceran terus dilanjutkan

hingga seri pengenceran yang diperlukan.

i. Angka Lempeng Total (BSN, 2008).

Pengujian angka lempeng total atau total mikrobia dilakukan

dengan menggunakan pengenceran 10-3 sampai 10-5 pada hari ke-0

dan pengenceran 10-6 sampai 10-8 pada hari pertama dan kedua.

Masing-masing hasil pengenceran sampel dipipet sebanyak 1 ml ke

dalamcawan petri steril, kemudian medium Plate CountAgar

(PCA)dituangkan sebanyak 15 hingga 20 ml. Cawan petri digoyang


42

dan diputar mengikuti angka 8 sampai medium tersebar merata dan

homogen.

Setelah medium membeku, cawan petri dibungkus dengan

kertas payung dan diinkubasi pada suhu 370C selama 48 jam. Koloni

yang tumbuh pada setiap cawan petri dihitung. Jumlah pertumbuhan

koloni selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus :

€ terhitung
TPC =
[( ) ( , )

Keterangan
n1 = jumlah cawan terhitungan pada pengenceran tersebut
n2 = jumlah cawan terhitung pada pengenceran selanjutnya
d = yaitu nilai pengenceran terendahke dalam salah satu petri dan
medium ke dalam petri lain.

ii. Perhitungan Bakteri Staphylococcus aureus(BSN, 2008 dengan


modifikasi).

Perhitungan Bakteri Staphylococcus aureusdilakukan dengan

menggunakan pengenceran 10-1 sampai 10-2 pada hari ke-0 dan

pengenceran 10-5 sampai 10-6 pada hari pertama dan kedua. Masing-

masing hasil pengenceran sampel dipipet sebanyak 1 ml ke

dalamcawan petri steril, kemudian medium MSA (Manitoll Salt

Agar) dituangkan sebanyak 15-20 ml. Cawan petri selanjutnya

digoyang dan diputar mengikuti angka 8 sampai medium tersebar

merata dan homogen.

Setelah medium membeku, cawan petri dibungkus dengan

kertas payung dan diinkubasi pada suhu 370C selama 48 jam. Koloni
43

yang tumbuh berwarna kuning pada setiap cawan petri dihitung.

Jumlah pertumbuhan koloni selanjutnya dihitung dengan

menggunakan rumus :


TPC =
[( ) ( , )

Keterangan
n1 = jumlah cawan terhitungan pada pengenceran tersebut
n2 = jumlah cawan terhitung pada pengenceran selanjutnya
d = yaitu nilai pengenceran terendahke dalam salah satu petri dan
medium ke dalam petri lain.

iii. Salmonella (BSN, 2008 dengan modifikasi).

Sampel yang berupa bakso dipotong-potong dengan

menggunakan gunting. Sampel bakso selanjutnya diambil sebanyak

1 gram dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi medium

LB (Lactose Broth) sebanyak 9 ml. Sampel selanjutnya divortex

hingga homogen kemudian sampel diinkubasi pada suhu 350C

selama 24 jam.

Hasil inkubasi selanjutnya diinokulasikan ke dalam medium

SCB (Selenit Sistein Broth) sebanyak 10 ml dengan cara diambil

sebanyak 1 ose kemudian divortex. Medium diinkubasi pada suhu

350C selama 24 jam. Sampel hasil inkubasi selanjutnya

diinokulasikan ke dalam medium SSA(Salmonella Shigella Agar)

dengan cara streak plate kemudian diinkubasi pada suhu 350C

selama 24 jam. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya


44

pertumbuhan koloni berwarna hitam dengan lendir di sekitarnya

(berbentuk mata ikan).

b. Analisis Fisik

i. Uji pH (Wiraswanti, 2008).

Sampel bakso dipotong kecil-kecil kemudian ditimbang dengan

menggunakan timbangan analitik sebanyak 5 gram. Bakso yang telah

ditimbang kemudian dicampurkan dengan aquades sebanyak 45 ml dan

diaduk hingga rata. pHmeter dengan merk senz pH Pro

Scientificdimasukkan ke dalam larutan campuran kemudian tekan

tombol on/read. Nilai pH tertera pada layar pHmeter.

ii. Uji Kekenyalan (Kusnadi dkk., 2012).

Analisis fisik salah satu parameter yang digunakan yaitu tekstur

yang termasuk di dalamnya adalah kekenyalan. Analisis tekstur

dilakukan dengan menggunakan alat Texture Analyserdengan merk

LFM-Texture analyzre. Pengujian kekenyalan pada bakso dilakukan

dengan menggunakan probe (jarum) nomer 43 dengan bentuk bulat

besar dan agak ringan. Alat texture disetting sesuai dengan yang

dikehendaki, kemudian sampel bakso diletakkan pada meja benda, dan

pengukuran dilakukan. Hasil uji tekstur ditampilkan dalam bentuk

grafik dan nilai. Nilai kekenyalan yang dilihat yaitu nilai Springiness.

iii. Uji Daya Mengikat Air (Putri, 2009).

Sampel bakso diambil sebanyak 1 gram kemudian dimasukkan

ke dalam tabung falkon. Sampel bakso selanjutnya ditambahkan


45

dengan aquades sebanyak 10 ml. Sampel selanjutnya divortex hingga

homogen. Sampel didiamkan selama 30 menit.

Sample bakso selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan

3500 rpm selam 30 menit. Volume supernatant diukur dengan

menggunakan pipet ukur. Daya mengikat air diukur dengan

menggunakan rumus :

% Daya mengikat air = 100%


Keterangan : A = Volume aquades yang ditambahkan (ml)
B = volume supernatant yang dihasilkan (ml)

c. Analisis Kandungan Kimia Bakso

i. Protein menggunakan metode Mikro-Kjeldhal (AOAC, 1995).

Pengujian protein terdiri dari beberapa tahap, yaitu

destruksi, destilasi, dan titrasi. Sampel berupa bakso ditimbang

sebanyak50–60miligram dan sampel dimasukkan ke dalam tabung

kjeldahl kapasitas 50 ml. Sampel basko kemudian ditambahkan

dengan asam sulfat (93-98% bebas N) sebanyak 2 ml dan

katalisator (campuran Na2SO4 : HgO → 20:1) sebanyak 0,5 - 2

gram. Tabung kjeldahl dibakar selama 90 menit di atas lampu

Bunsen sampai mendidih dan dilanjutkan selama 30 menit.

Tabung kjeldahl yang telah dingin dicuci dengan

menggunakan aquades pada bagian dalam tabung kemudian

dididihkan kembali selama 30 menit. Setelah dingin larutan

ditambahkan dengan aquades sebanyak 5-10 ml dan ditambahkan


46

dengan larutan NaOH – Na2SO4 (40 : 5 gram dan diencerkan

dengan aquades sampai 100 ml).

Tabung kjeldahl kemudian didestilasi di atas nyala lampu

spirtus. Hasil destilasi selanjutnya ditampung di dalam erlenmeyer

yang telah diisi denganasam borat 4% sebanyak 5 ml jenuh dan

indikator methil red-methil blue atau methyl red-bromo cresol

green. Destilasi dilakukan hingga larutan mencapai 150 ml.

Tahap selanjutnya yaitu titrasi. Titrasi dilakukan dengan

menggunakan titran HCL ± 0,02 N hingga terbentuk warna merah

muda pada larutan. Volume HCL ± 0,02 N yang digunakan titrasi

kemudian digunakan untuk menghitung kadar protein sampel

bakso. Perhitungan kadar protein dilakukan dengan menggunakan

rumus :

× × . ×
% Protein =
100%

ii. Kadar Air (Winangsih dkk., 2013 dengan modifikasi).

Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan alat

monsture balanching. Alat dinyalakan dengan menekan tombol

on/off kemudian cawan logam dimasukkan ke dalam alat. Tekan

tombol zero kemudian tunggu hingga layar menunjukkan angka 0.

Bakso yang telah dipotong kecil-kecil selanjutnya diambil dan

diratakan di atas cawan logam hingga berat dalam cawan ± 1 gram.

Alat ditutup kemudian tombol start ditekan dan alat ditunggu


47

hingga alarm berbunyi. Hasil pengukuran kadar air tertera pada

layar alat.

iii. Lemak (Untoro dkk., 2012 dengan modifikasi).

Kertas saring disiapkan dan dikeringkan di dalam oven

selama 1 jam dengan suhu 100-105˚C. Kertas saring diambil dan

dimasukkan ke dalam desikator selama 1 jam. Sampel berupa

bakso diambil dan ditimbang kurang sebih sebanyak 1,5 gram.

Hasil penimbangan selanjutnya dinyatakan dengan berat A. Sampel

bakso selanjutnya dibungkus dengan kertas saring yang telah

dikeringkan. Kertas saring dan sampel bakso selanjutnya diikat

dengan menggunakan benang.

Sampel bakso yang telah dibungkus selanjutnya

dikeringkan dengan menggunakan oven dengan suhu 100-105˚C

selama 1-1,5 jam. Hasil pengeringan ditimbang. Bungkusan sampel

kemudian ditimbang dan hasil penimbangan dinyatakan dengan

berat B. Sampel bakso yang telah dikeringkan selanjutnya

dimasukkan ke dalam alat sokhlet. Air pendingin dialirkan melalui

kondensor dan tabung ekstrasi dipasang pada alat destilasi soxhlet

dengan pelarut petroleum eter secukupnya kemudian sampel

dimasukkan ke dalam alat sohlet dan diekstraksi selama kurang

lebih 4 jam.
48

Bungkus sampel dikeluarkan dari sokhlet kemudian

dimasukkan ke dalam oven dan dikeringkan dengan cara diangin-

anginkan dan kemudian dipanaskan dalam oven selama kurang

lebih 15 menit. Sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam desikator

kurang lebih selama 15 menit. Sampel ditimbang dan hasil

penimbangan selanjutnya dinyatakan dengan berat C. Kadar lemak

dihitung dengan rumus:

Kadar lemak (%) = x 100%


Keterangan : A = Berat sampel awal
B = Berat Sampel sebelum diekstraksi
C = Berat Sampel akhir setelah diekstraksi

d. Analisis Organoleptik(Susiwi, 2009 dengan modifikasi)

Uji organoleptik dilakukan selama masa simpan yaitu hari ke-0,

1, dan 2. Pengujian organoleptik dilakukan dengan cara sampel bakso

disiapkan, kemudian diamati dengan indera. Pengujian masa simpan

baksodilakukan dengan cara mengamati bakso dengan beberapa

parameter. Parameter yang digunakan adalah tekstur, warna, aroma, dan

rasa (hanya pada hari ke 0).

Parameter rasa langsung dilakukan dengan mencicipi bakso

secara langsung. Parameter aroma diamati dengan cara mencium

aromabakso yang diujikan secara langsung dan mencatat aroma yang

ditimbulkan. Tekstur dan warna bakso diamati secara langsung apakah

tekstur bakso menjadi keras atau lunak atau berlendir.


49

Pada penelitian kali ini, panelis yang digunakan merupakan

panelis tunggal (individual expert), yaitu peneliti itu sendiri yang akan

menyatakan besaran kesan yang diperolehnya melalui bentuk skala

numerik (skoring) dengan degradasi yang mengarah. Hal ini didasarkan

pada fokus penelitian yang mengarah ke masa simpan bakso. Uji

organoleptik dilakukan setiap hari dari hari ke-0, 1, dan 2. Nilai yang

diberikan berada pada rentang 1 sampai 5, yang masing-masing kualitas

sensori memiliki interpretasi yang berbeda beda.

Pada kualitas sensori warna, (5): warna khas bakso, (4): warna

bakso sedikit kusam, (3): warna bakso sedikit coklat, (2): warna coklat

dan kusam, dan (1): warna sangat coklat dan sangat kusam.Pada kualitas

sensori aroma, (5): bau khas bakso, (4): muncul bau lain selain bumbu,

(3): muncul bau asam, (2): sangat bau asam, dan (1): bau busuk. Pada

kualitas sensori rasa, (5): rasa khas bakso, (4): rasa sedikit asam, (3):

rasa sedikit pahit, (2): rasa bumbu sangat kuat, (1): rasa tidak enak. Pada

kualitas sensori tekstur, (5): kenyal khas bakso, (4): lebihkenyal, (3):

agak keras, (2): keras, (1): keras sekali.Pada kualitas sensori

kenampakan, (5): tidak berlendir, kesat, (4) tidak berlendir tapi tidak

kesat, (3) lendir mulai muncul, (2) berlendir, (1) sangat berlendir

(Lampiran 3).

F. Analisis Hasil (Lestari, 2016)

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANAVA dengan

tingkat kepercayaan sebesar 95%. Apabila hasil ANAVA menunjukkan hasil


50

yang beda nyata, analisis dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test

(DMRT) untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan. Analisis ANAVA

dan DMRT dilakukan dengan menggunakan program SPSS 15.0.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Uji Fitokimia Ekstrak Daun Salam

Uji fitokimia yang dilakukan ditujukan untuk mengetahui ada tidaknya

kandungan tanin, flavonoid, dan saponin. Keberadaan komponen ini akan

menjadi penentu apakah bahan atau ekstrak yang digunakan mengandung

komponen kimia yang berfungsi sebagai bahan antimikrobia, sehingga serbuk

yang dihasilkan akan benar menjadi bahan pengawet dan bahan antimikrobia

untuk makanan. Hasil uji fitokimia dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Uji Fitokimia


Uji Pereaksi Sampel Warna Hasil Keterangan
Hijau Kehitaman
E1 ++++ Positif
FeCl3 Pekat
Tanin
1% Hijau Kehitaman
E2 ++++ Positif
Pekat
NaOH E1 Kuning Kecoklatan +++ Positif
Flavonoid
2% E2 Kuning Kecoklatan +++ Positif
HCl 1 E1 Ada Busa + Positif
Saponin
M E2 Tidak ada Busa - Negatif
Keterangan : E1 = Hasil ekstrak pertama, E2 = Hasil ekstrak kedua (++++) =
banyak, (+++) = sedang, (+) = ada, (-) = tidak ada

1. Uji Tanin

Pengujian tanin menggunakan pereaksi FeCl3 1% (Besi (III)

Klorida) pada ekstrak daun salam dengan hasil positif menghasilkan warna

hijau kehitaman pekat. Terbentuknya warna hijau kehitaman ini terjadi

oleh adanya reaksi antara tanin yang ada dalam ekstrak dengan ion Fe3+

yang membentuk kompleks senyawa yang dapat dilihat pada Gambar 5

(Setyowati dkk., 2014).

50
51

Gambar 5. Reaksi Tanin dan FeCl3 membentul Kompleks Warna Hijau


Kehitaman (Setyowati, dkk., 2014).

Sampel ekstrak terdiri dari dua jenis yaitu sampel hasil ekstrak

pertama atau E1 dan sampel hasil ekstrak kedua atau E2. Berdasarkan

Tabel 8 hasil uji fitokimia ekstrak menunjukkan bahwa antara sampel E1

dan E2 sama sama terbentuk kompleks warna hijau kehitaman pekat

(Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa dari hasil ekstrak pertama dan

kedua kandungan tanin dalam ekstrak masih tetap tinggi. Hasil uji tanin

ini menunjukkan bahwa hasil ekstrak kedua dapat dimanfaatkan dan

digunakan seperti hasil ekstrak pertama sebagai bahan baku pembuatan

serbuk pengawet.
52

Gambar 6. Hasil Uji Kualitatif Tanin Sampel Hasil Ekstraksi Pertama


(Kiri) dan Ekstraksi Kedua (Kanan) (Dokumentasi Pribadi,
2016).

Ekstrak daun salam dibuat dengan memanaskan serbuk kering

daun salam
m di dalam air hingga mendidih dengan suhu (98-101˚C)
(98 ˚C) selama

± 15 menit. Berdasarkan data hasil pengujian menunjukkan bahwa tanin

pada ekstrak daun salam memiliki kandungan yang cukup tinggi yang

ditandai dengan terbentuknya komplek warna yang pekat. Hal iini

didukung dengan teori yang dikemukakan oleh Ismarani (2012), yang

menyatakan bahwa tanin mudah larut dalam air dan akan semakin besar

kelarutannya apabila dilarutkan dalam air panas. Hal ini juga menunjukkan

bahwa tanin tidak mengalami kerusakan apabila diekstrak dengan

menggunakan suhu tinggi.

Tingginya kandungan tanin ini ditunjukkan dengan uji fitokimia

dengan sampel ekstrak daun salam yang telah diencerkan hingga

pengenceran 10-1
-
atau kandungan ekstrak 10% dari hasil ekstrak sampel.
53

Hasil pengujian menunjukkan bahwa sampel masih mengandung tanin

dengan ditandai terbentuknya warna hijau kehitaman pada pengujian

sampel ekstrak yang dihasilkan. Hasil pengujian ini dapat dilihat pada

Gambar 7.

Gambar 7. Hasil Uji Kualitatif Tanin (Kiri) dengan Pengencerannya


(Kanan) (Dokumentasi Pribadi, 2016).

2. Uji Flavonoid

Flavonoid akan bereaksi dengan NaOH membentuk komplek

senyawa berwarna kuning. Senyawa krisin merupakan salah satu senyawa

turunan dari senyawa flavon. Krisin dengan penambahan NaOH akan

mengalami penguraian oleh basa menjadi molekul seperti asetofenon yang

berwarna kuning. Reaksi senyawa krisin dan NaOH tersebut dapat dilihat

pada Gambar 8.

Gambar 8 Reaksi Flavonid dengan Penambahan NaOH (Lestari, 2016).


54

Tabel 8 menunjukkan bahwa sampel hasil ekstraksi pertama

terbukti mengandung flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna

kuning kecoklatan pada ekstrak setelah ditambahkan dengan pereaksi

NaOH. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh ekstrak hasil ekstraksi kedua

(Gambar 9). Hal ini menunjukkan bahwa hasil ekstraksi baik pertama

ataupun kedua dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan serbuk

pengawet.

Gambar 9. Hasil Uji Kualitatif Flavonoid Pada Sampel Ekstrak Hasil


Ekstraksi Pertama (Kiri) dan Ekstraksi Kedua (Kanan)
(Dokumentasi Pribadi, 2016).

Guna memastikan hasil pengujian fitokimia tersebut dilakukan uji

kualitatif terhadap sampel hasil ekstraksi yang diencerkan (Gambar 10).

Berdasarkan Gambar 10 terlihat bahwa sampel hasil ekstraksi yang telah

diencerkan hingga 10% menunjukkan hasil yang positif.


55

Gambar 10. Hasi Uji Kualitatif Flavonoid (Kiri) dan Pengencerannya


(Kanan) (Dokumentasi Pribadi, 2016).

3. Uji Saponin

Pengujian saponin menggunakan uji Forth dengan menggunakan

pereaksi HCl 1 M yang kemudian akan membentuk busa yang tahan tidak

kurang dari 7 menit (Setyowati, dkk., 2014). HCl berfungsi sebagai bahan

penghidrolisis senyawa saponin menjadi glukosa. Reaksi hidrolisis

saponin dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Reaksi Hidrolisis Saponin (Setyowati dkk., 2014).


56

Hasil pengujian saponin terhadap sampel E1 dan E2 menunjukkan

bahwa sampel E1 mengandung saponin dalam jumlah sedikit yang

ditunjukkan dengan adanya busa yang sedikit sedangkan sampel E2 tidak

terbukti mengandung saponin dengan hasil yang ditunjukkan bahwa tidak

terbentuk busa dalam sampel. Hasil ini menunjukkan bahwa sampel hasil

ekstrak pertama masih mengandung saponin dalam jumlah yang sedikit

sedangkan sampel hasil ekstrak kedua tidak mengandung saponin.

Gambar 12. Hasil Uji Kualitatif Saponin Hasil Ekstraksi Pertama (Kiri)
dan Ekstraksi Kedua (Kanan) (Dokumentasi Pribadi, 2016).

Berdasarkan data hasil uji fitokimia, ekstrak daun salam banyak

mengandung tanin dan flavonoid, serta masih sedikit mengandung

saponin. Flavonoid sebagai antibakteri berperan dalam proses

penghambatan bakteri dengan cara membentuk senyawa komplek dengan

protein melalui ikatan hidrogen. Hal ini akan menyebabkan koagulasi dan

denaturasi protein dengan mendenaturasi molekul-molekul protein dan

asam nukleat. Adanya koagulasi dan denaturasi protein pada sel bakteri

akan mengganggu metabolisme dan fungsi fisiologis dari bakteri sehingga


57

kebutuhan bakteri akan energi terganggu. Hal ini akan berakibat pada

kematian bakteri (Samudra, 2014).

Tanin merupakan senyawa antibakteri yang banyak mengandung

gugus OH fenolik sehingga tanin dapat membentuk komplek chelat

dengan logam. Tanin dapat berikatan dengan protein sehingga akan dapat

menggangu kerja sel bakteri (Ismarani, 2012). Sama halnya dengan

flavonoid, tanin akan mengikat protein sehingga terjadi koagulasi dan

denaturasi protein pada sel bakteri yang kemudian akan mengganggu

aktivitas dan metabolisme bakteri.

Tanin disebut juga sebagai zat antinutrisi (Tandi, 2010). Tanin

akan mengikat protein membentuk ikatan komplek protein tanin sehingga

protein akan sukar dicerna oleh enzim protease. Tanin juga dapat

mempengaruhi metabolisme karbohidrat dengan mengikat pati sehingga

sukar dicerna oleh enzim amilase.

B. Pembuatan Serbuk Pengawet dan Pengenyal

Pembuatan serbuk pengawet menggunakan bahan dasar ekstrak

daun salam dengan penambahan bahan pengisi yang berupa maltodekstrin

atau pati dan karagenan menggunakan metode pengeringan oven. Pada

penelitian ini, peneliti melakukan percobaan komposisi antara bahan

pengisi dan ekstrak yang digunakan serta jenis bahan pengisi yang

digunakan. Terdapat 4 perlakuan yang berbeda. Perlakuan tersebut dapat

dilihat pada Tabel 5. Serbuk hasil pengeringan dari keempat komposisi

dapat dilihat pada Gambar 13.


58

“d”

“c”
“a”

“b”

Gambar 13. Serbuk Perlakuan “a”, “b”, “c”, dan “d” (Dokumentasi
Pribadi, 2016).

Keterangan : “a” (ekstrak + pati 9% + karaginan 1%), “b” (ekstrak :


maltodekstrin : karaginan = 10 : 2: 1), “c” (ekstrak +
maltodekstrin 9% + karaginan 1%), “d” ( ekstrak : pati :
karaginan = 10
1 : 2 : 1).

Berdasarkan Gambar 13, serbuk perlakuan “c” memiliki warna yang

sangat hitam dan serbuk perlakuan “d” memiliki warna yang sangat putih.

Perbedaan warna ini dapat disebabkan oleh tidak meratanya proses penuangan

campuran ekstrak dan bahan pengisi


pengisi ke dalam loyang, sehingga proses

pemanasan tidak merata. Selain karena faktor teknik pengeringan yang kurang

merata, komposisi dan jenis bahan pengisi juga penyebab perbedaan warna

pada serbuk.

Pada penelitian ini, ekstrak daun salam berwarna coklat kek


kekuningan.

Proses penyerbukan juga menggunakan suhu tinggi sehingga dimungkinkan

adanya reaksi pencoklatan terjadi pada ekstrak. Penambahan bahan pengisi


59

yang berupa amilum ke dalam ekstrak yang dikeringkan akan mempengaruhi

dan memperbaiki warna serbuk yang dihasilkan (Novianna, 2004).

Pengeringan suatu ekstrak dengan tujuan untuk memanfaatkan

komponen aktif di dalam ekstrak membutuhkan suatu usaha untuk menjaga

dan melindungi komponen yang ada dalam ekstrak(Sembiring, 2009). Salah

satu teknik untuk menjaga dan melindungi komponen aktif dalam ekstrak

adalah dengan menambahkan bahan pengisi. Bahan pengisi selain berfungsi

menjaga komponen aktif di dalam ekstrak juga berfungsi untuk mempercepat

proses pengeringan dan meningkatkan jumlah total padatan. Semakin tinggi

konsentrasi bahan pengisi yang ditambahkan ke dalam ekstrak yang akan

dikeringkan, waktu pengeringan akan semakin singkat sehingga kerusakan

komponen dalam ekstrak dapat dikurangi. Bahan pengisi yang biasa

ditambahkan merupakan dapat berupa amilum (Sembiring, 2009).

Bahan pengisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

maltodekstrin atau pati dengan penambahan karagenan. Menurut Purnamayati,

dkk, (2016), bahan pengisi atau bahan peyalut yang dapat digunakan haruslah

bersifat emulsifier. Ketiga bahan yang digunakan dapat membentuk emulsifier

serta memiliki sifat sebagai bahan penyalut.

Menurut Sembiring (2009), penambahan bahan pengisi berupa amilum

ke dalam ekstrak hingga 30% dapat membentuk warna coklat kekuningan

pada serbuk dan pada konsentrasi yang lebih tinggi akan berwarna lebih cerah.

Salah satu bentuk amilum yang paling komplek yaitu pati. Pati akan menjaga

komponen aktif di dalam ekstrak serta akan mengurangi efek pemanasan yang
60

terjadi pada ekstrak yang berakibat pada perubahan warna pada ekstrak. Hal

ini berkaitan dengan warna putih dari pati. Penambahan pati dalam jumlah

banyak akan memudarkan warna dari ekstrak dan mengurangi efek reaksi

pencoklatan pada ekstrak.

Purnamayati dkk (2016), maltodekstrin memiliki sifat browning yang

rendah. Namun menurut Husniati (2009), maltodekstrin merupakan bahan

turunan pati yang dihasilkan dari penguraian pati dengan menggunakan enzim

amilase. Hal ini menunjukkan bahwa pati memiliki molekul yang lebih

komplek dibandingkan dengan maltodekstrin. Peruraian atau hidrolisis pati

menjadi maltodekstrin akan berakibat pada perubahan struktur molekul.

Perubahan struktur ini akan berpengaruh terhadap kemampuannya dalam

membentuk gel. Dalam penelitian Husniati (2009), maltodekstrin biasa

digunakan dalam bahan makanan sebagai bahan tambahan pemanis yang

berkalori.

Menurut Purnomo dkk (2014), penggunaan karaginan sebagai bahan

penyalut dalam proses mikroenkapsulasi pewarna alami daun jati terbukti

dapat menjaga warna asli ekstrak. Karaginan dapat menjaga komponen aktif

di dalam ekstrak sehingga tidak terjadi kerusakan dan perubahan warna pada

ekstrak walaupun dilakukan proses pemanasan. Hal ini berkaitan dengan

kemampuan karaginan dalam pembentukan gel. Gel akan menyelimuti

komponen aktif di dalam ekstrak sehingga komponen aktif tersebut dapat

terjaga.
61

C. Analisis Serbuk

Uji zona hambat dilakukan dengan menggunakan metode sumuran.

Medium yang digunakan yaitu media NA (Nutrient Agar) dengan metode

spread plate. Biakan bakteri yang digunakan pada uji zona hambat yaitu

biakan bakteri S.aureus. Medium NA dilubangi dengan menggunakan

perforator kemudian lubang diisi dengan serbuk dan serbuk yang dilarutkan

dalam aquades. Hasil zona hambat diamati pada jam ke 24. Hasil zona hambat

dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil Zona Hambat Serbuk


Hasil Zona Hambat (mm)
Perlakuan
Serbuk Serbuk yang dilarutkan
a 5,5 2,25
b 4 0,75
c 7 2
d 0 0,5
Kontrol 0 0
Keterangan : Kontrol berupa aquades steril. a (ekstrak + pati 9% + karaginan
1%), b (ekstrak : maltodekstrin : karaginan = 10 : 2: 1), c
(ekstrak + maltodekstrin 9% + karaginan 1%), d ( ekstrak : pati :
karaginan = 10 : 2 : 1).

Gambar 14. Hasil Zona Hambat Serbuk (Kiri) dan Serbuk yang dilarutkan
(Kanan) (Dokumentasi Pribadi, 2016).
62

Berdasarkan Tabel 9 hasil zona hambat, serbuk dengan perlakuan “a”

memiliki zona hambat sebesar 5,5 mm sedangkan hasil zona hambat serbuk

perlakuan “a” yang dilarutkan memiliki zona hambat sebesar 2,25 mm. Serbuk

dengan perlakuan “b” memiliki zona hambat sebesar 4 mm sedangkan hasil

zona hambat serbuk perlakuan “b” yang dilarutkan memiliki zona hambat

sebesar 0,75 mm. Serbuk perlakuan “c” memiliki zona hambat sebesar 7 mm

sedangkan hasil zona hambat serbuk perlakuan “c” yang dilarutkan sebesar 2

mm. Serbuk perlakuan “d” memiliki zona hambat sebesar 0 mm sedangkan

zona hambar serbuk perlakuan “d” yang dilarutkan sebesar 0,5 mm.

Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa serbuk dengan perlakuan “d”

tidak efektif menghambat bakteri S. aureus sehingga serbuk perlakuan D tidak

digunakan dalam uji selanjutnya. Serbuk perlakuan “c” memiliki zona hambat

paling bagus diantara serbuk perlakuan “a”, “b”, dan ”d” yaitu sebesar 7 mm.

Disusul dengan serbuk perlakuan “a” yang memiliki zona hambat 5,5 mm.

Serbuk perlakuan “a” dan “c” menggunakan komposisi ekstrak daun

salam ditambahkan dengan bahan pengisi yang berbeda. Pada serbuk “a”

bahan pengisi yang digunakan yaitu pati dan karagenan sedangkan pada

perlakuan “c” bahan pengisi yang digunakan yaitu maltodekstrin dan

karagenan. Bahan pengisi pati digunakan sebagai bahan pengganti

maltodekstrin yang memiliki nilai ekonomis yang lebih rendah sehingga akan

menurunkan harga produksi dalam proses pembuatan serbuk.


63

Selain itu, pati juga memiliki kemampuan membentuk gel yang lebih

baik dibandingkan dengan maltodekstrin. Maltodekstrin merupakan produk

turunan pati yang banyak mengandung α-D-glukosa. Hal ini menyebabkan

maltodekstrin lebih banyak digunakan dalam bahan makanan sebagai bahan

tambahan pemanis berkalori dibandingkan sebagai penyalut (Husniati, 2009).

Guna memastikan dan mencari perlakuan serbuk yang terbaik, maka

peneliti melakukan percobaan uji Angka Lempeng Total perlakuan pada

daging sapi giling. Serbuk ditambahkan pada daging sapi giling dengan

konsentrasi 3% dari berat total daging sapi yang digunakan. Hasil uji Angka

Lempeng Total serbuk keempat perlakuan terhadap daging sapi giling dapat

dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Angka Lempeng Total Serbuk Perlakuan pada Daging Sapi
Giling
ALT
Perlakuan
(CFU/gram)
a 2,7 x 105
b 4,4 x 105
c 3,4 x 105
d 9,9 x 105
Kontrol 5,6 x 105
Keterangan : “a” (ekstrak 100% + pati 9% + karaginan 1%), ”b” (ekstrak :
maltodekstrin : karaginan = 10 : 2: 1), “c” (ekstrak 100% +
maltodekstrin 9% + karaginan 1%), “d” ( ekstrak : pati :
karaginan = 10 : 2 : 1).

Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa serbuk perlakuan terbaik yaitu

perlakuan “a” yang menghasilkan ALT paling sedikit yaitu sebesar 2,7 x 105

CFU/gram. Perlakuan “a” dibuat dari ekstrak yang ditambahkan dengan

bahan pengisi berupa pati dan karagenan dengan perbandingan 9%:1%.


64

Perlakuan “c” memiliki nilai Angka Lempeng Total sebesar 3,4 x 105

CFU/gram, lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan “a”. Berbeda dengan

hasil zona hambat yang menunjukkan bahwa perlakuan “c” merupakan

perlakuan terbaik dengan zona hambat terbesar.

Perlakuan “a” memiliki nilai ALT yang lebih rendah dibandingkan

dengan perlakuan “c”. Hal ini dapat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang

digunakan untuk pembuatan serbuk. Pada perlakuan “a” digunakan bahan

pengisi pati, sedangkan perlakuan “c” digunakan bahan pengisi maltodekstrin.

Menurut Husniati (2009), maltodekstrin merupakan produk modifikasi pati

yang dapat dihasilkan dari hidrolisis pati oleh enzim α-amilase secara parsial.

Berdasarkan keterangan Husniati (2009), tersebut berarti maltodekstrin

merupakan produk turunan pati, yang mana produk tersebut lebih rentan

terhadap bakteri karena lebih mudah untuk diurai oleh bakteri dibandingkan

dengan pati yang memiliki rantai molekul yang utuh. Hal ini juga berarti

bahwa pati memiliki daya simpan yang lebih lama dibandingkan maltodektrin

dalam keadaan dan kondisi yang sama.

Pada penelitian ini, karagenan yang ditambahkan ke dalam ekstrak

memiliki komposisi yang sama, sehingga karaginan tidak banyak berpengaruh

terhadap jumlah total bakteri dalam serbuk. Menurut Purnomo dkk (2014),

karaginan memiliki sifat membentuk gel yang kuat yang kemudian akan

menjaga komponen aktif di dalam ekstrak dari proses pemanasan. Hal ini

menunjukkan bahwa karaginan akan berperan dalam menjaga komponen


65

antimikrobia di dalam ekstrak sehingga kemungkinan karaginan dalam

mengkontaminasi serbuk sangat kecil.

Secara umum, pati memiliki nilai jual jauh lebih rendah dibandingkan

maltodekstrin. Guna memperkercil ongkos produksi dan mencapai tujuan

dalam proses pembuatan serbuk pengawet dan pengenyal ini, maka digunakan

perlakuan “a” sebagai serbuk pengawet dan pengenyal. Diharapkan dengan

ongkos produksi yang juga kecil, serbuk pengawet dapat memiliki nilai jual

yang lebih rendah, sehingga dapat mencapai tujuan pembuatan serbuk yaitu

menjangkau kalangan menengah ke bawah.

D. Penentuan Serbuk Terbaik

Serbuk terbaik diambil dari hasil zona hambat dan data pendukung

yang berupa hasil Angka Lempeng Total pada keempat perlakuan. Serbuk

terbaik yang diambil yaitu serbuk perlakuan “a” dengan komposisi ekstrak dan

bahan pengisi yang berupa pati dan karagenan dengan konsentrasi 9% : 1%.

Guna menguji kemampuan serbuk maka serbuk perlakuan “a” (Gambar 15)

dilakukan uji zona hambat.

Gambar 15. Serbuk Pengawet dan Pengenyal Terbaik Perlakuan “a”


(Dokumentasi Pribadi, 2017).
66

Serbuk perlakuan “a” diuji zona hambat dalam dua bentuk yaitu

bentuk serbuk dan serbuk yang dilarutkan. Hal ini bertujuan untuk melihat

kemampuan serbuk apabila dilarutkan hingga 10% apakah masih memiliki

zona hambat yang bagus atau tidak. Hasil uji zona hambat serbuk perlakuan

“a” yaitu serbuk dengan menggunakan ekstrak yang ditambahkan dengan

bahan pengisi berupa pati sebanyak 9% dan karaginan sebanyak 1% dapat

dilihat pada Gambar 16 dan Gambar 17.

8 7,5 7,5
7
6
5
mm 4
3
2
1 0
0
Kontrol Serbuk Pengenceran

Hasil Zona Hambat

Gambar 16. Perbandingan Hasil Zona Hambat Serbuk Terbaik

a b c
Gambar 17. Hasil Zona Hambat Serbuk Perlakuan “a”, (a) Kontrol berupa
aquades, (b) serbuk padat, (c), serbuk yang dilarutkan
(Dokumentasi Pribadi, 2017).
67

Berdasarkan Gambar 16 terlihat bahwa rata-rata zona hambat serbuk

sebesar 7,5 mm begitu pula untuk serbuk yang dilarutkan memiliki rata-rata

zona hambat sebesar 7,5 mm. Hasil ini menunjukkan bahwa serbuk memiliki

zona hambat yang bagus bahkan setelah dilarutkan, dan pengenceran tidak

berpengaruh nyata terhadap penurunan zona hambat.

Menurut Prayoga (2013), efektifitas suatu zat antibakteri dapat

dikategorikan menjadi beberapa level yang dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Tingkat Efektifitas Zona Hambat Antibakteri


Diameter Zona Terang Respon Hambatan Pertumbuhan
>20 mm Kuat
16-20 mm Sedang
10-15 mm Lemah
<10 mm Tidak ada

Hasil menunjukkan bahwa zona hambat serbuk pengawet masih belum

efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureusdilihat

dari zona hambat yang dihasilkan kurang dari 10 mm. Penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh Cornelia dkk., (2005) menunjukkan bahwa masa simpan

daging ayam segar yang direndam dalam ekstrak daun salam dapat

diperpanjang selama 2 hari dan pertumbuhan total bakteri pada daging ayam

segar dapat ditekan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Fitri (2007) dengan

menggunakan daun salam sebagai bahan tambahan dalam memperpanjang

masa simpan telur asin menunjukkan bahwa jumlah bakteri Staphylococcus

aureus dapat diturunkan dan berdampak pada perpanjangan masa simpan telur

asin.
68

Menurut Samudra (2014), kandungan utama yang terdapat dalam daun

salam yaitu minyak atsiri. Menurut Dewanti dan Wahyudi (2011), daun salam

dari Sukabumi mengandung minyak atsiri sebesar 0,023%, sedangkan dari

Bogor sebesar 0,018%. Pada penelitian ini, proses ekstrasi dilakukan dengan

menggunakan pelarut air, yang diketahui bahwa penggunaan air dalam proses

ektraksi kurang efektif dalam mengekstrak minyak atsiri. Kandungan lain

yang terdapat dalam ekstrak daun salam yaitu tanin dan flavonoid.

Menurut Kharismawati dkk., (2009), kandungan tanin dalam daun

salam muda dan tua berturut-turut sebesar 2,38±0,036% dan 2,45±0,007%.

Pada penelitian ini, peneliti melakukan ekstraksi daun salam dengan cara

mendidihkan serbuk daun hingga suhu 101˚C. Menurut Ismarani (2012), tanin

akan terurai menjadi pyrogallol, pyrocatechol, dan phloroglucinol bila

dipanaskan sampai suhu 98,89-101,67˚C. Hal ini juga akan mempengaruhi

kemampuan tanin dalam menghambat pertumbuhan bakteri.Tanin yang terurai

secara otomatis akan berikatan dengan air dan protein bebas, sehingga

kemampuan tanin dalam mengikat protein dalam sel bakteri akan semakin

berkurang.

E. Analisis Bakso

1. Analisis Mikrobiologi

a. Angka Lempeng Total

Nilai Angka Lempeng Total menunjukkan jumlah total mikrobia

pada bakso yang selanjutnya akan dapat menentukan kualitas bakso.

Bakso dinilai memiliki kualitas yang baik apabila nilai angka lempeng
69

total bakso tidak lebih dari 105 (CFU/gram) atau 5 (Log CFU/gram). Hasil

perhitungan nilai ALT dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Perubahan Jumlah Angka Lempeng Total pada Bakso dengan
Perbedaan Penambahan Serbuk selama Penyimpanan
Lama Penyimpanan Rata-Rata
Perlakuan (hari) (Log
0 1 2 CFU/gram)
Kontrol 5,400a 9,320a 9,780a 8,167B
a a a
A 4,107 8,063 8,770 6,980A
B 4,360a 9,157a 9,937a 7,818B
a a a
C 4,097 8,520 9,140 7,252A
A B C
Rata-Rata 4,490 8,765 9,407
Keterngan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang
sama menunjukkan tidak adanya beda nyata antar perlakuan
dengan tingkat kepercayaan 95%.

12.00 9.94
10.00 9.32 9.78 8.77 9.15 9.14
8.52
(Log CFU/gram)

8.06
8.00
6.00 5.40
4.11 4.36 4.10 Hari Ke-0
4.00 Hari Ke-1
2.00
Hari Ke-2
0.00
Kontrol A (1.5%) B (2.5%) C (3.5%)
Perlakuan

Gambar 18. Perubahan Jumlah Angka Lempeng TotalBakso dengan


Perbedaan Penambahan Serbuk Selama Penyimpanan.

Tabel 12 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada

faktor perlakuan yaitu antara perlakuan A dan C dengan perlakuan Kontrol

dan B. Perlakuan A memiliki nilai rata-rata Angka Lempeng Total

terendah yang berarti bahwa bakso dengan perlakuan A memiliki jumlah

bakteri yang paling sedikit dan memiliki kualitas yang terbaik yaitu

sebesar 6,980 (Log CFU/gram). Sebaliknya perlakuan Kontrol memiliki


70

nilai rata-rata ALT tertinggi yang berarti bakso dengan perlakuan Kontrol

memiliki kualitas yang paling jelek yaitu sebesar 8,167 (Log CFU/gram).

Hasil Tabel 12 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata

pada faktor perlakuan lama penyimpanan bakso yaitu lama penyimpanan

pada hari ke-0, hari pertama, dan hari kedua. Pada hari pembuatan yaitu

hari ke-0 bakso memiliki rata-rata nilai ALT terendah sebesar 4,490 (Log

CFU/gram), sedangkan nilai tertinggi terdapat pada bakso hari kedua

dengan nilai rata-rata ALT sebesar 9,407 (Log CFU/gram).

Menurut BSN (1995-a) pada SNI No 01-3813-1995 bakso

memiliki kualitas yang baik apabila bakso memiliki nilai ALT maksimal

1x105 (CFU/gram) atau 5 (Log CFU/gram). Berdasarkan data Tabel 12

bakso yang memiliki nilai ALT yang memenuhi standar SNI merupakan

bakso perlakuan A, B, dan C pada hari ke-0. Bakso perlakuan Kontrol

pada hari ke-0 sudah tidak memenuhi standar SNI dengan nilai ALT yang

melebihi 5 (Log CFU/gram) yaitu sebesar 5,400 (Log CFU/gram), begitu

pula dengan bakso pada hari pertama dan kedua yang sudah melebihi batas

SNI.

Menurut Angga (2007), bakso memiliki masa simpan maksimal 1

hari (12-24 jam). Hal ini terjadi karena bakso memiliki nutrisi yang sangat

tinggi dengan pH yang mendekati normal 6,0-6,5 dan kadar air tinggi.

Bakso juga merupakan produk olahan daging, dimana daging merupakan

suatu produk segar yang sangat rentan terhadap kontaminasi bakteri. Hal

ini menjadi penyebab utama masa simpan bakso yang sangat rendah.
71

Gambar 18 menunjukkan bahwa nilai ALT bakso mengalami

peningkatan dari hari ke-0 hingga hari kedua. Bakso pada hari pembuatan

atau hari ke-0 masih memenuhi standar SNI dengan rata-rata nilai ALT

yang dibawah 5 (Log CFU/gram), sedangkan hari pertama dan kedua

dengan semua perlakuan tidak memenuhi standar SNI yang berlaku

dengan nilai ALT di atas 5 Log CFU/gram. Menurut Angga (2007), bakso

pada suhu ruang dapat bertahan antara 12-24 jam. Pada penelitian ini,

bakso pada jam ke 24 diketahui memiliki nilai total mikrobia yang tidak

memenuhi standar SNI dan tidak layak dikonsumsi.

Kenaikan jumlah total bakteri pada bakso yang cukup signifikan

dari hari ke-0 hingga hari pertama (24 jam) dapat disebabkan oleh bahan

utama pembuatan bakso itu sendiri. Menurut Wulandari (2014), jumlah

total bakteri yang ada pada daging sapi segar tanpa perlakuan pada jam ke-

0 sebesar 6,1 x 105, pada jam ke 6 sebesar 1,6 x 107, dan jam ke 12 sebesar

1,6 x 107. Selain daging, bahan-bahan tambahan yang ditambahkan dalam

proses pembuatan bakso juga berpotensi menyumbang bakteri.

Pati merupakan bahan pangan yang banyak mengandung zat gizi

karena pati tersusun dari komponen glukosa yang membentuk karbohidrat

komplek. Pati tapioka mengandung ± 85% karbohidrat dan ± 15% air

(Amin, 2013). Berdasarkan pernyataan Amin tersebut, pati dapat menjadi

sumber bakteri terutama bakteri yang tahan terhadap kadar air rendah

(xerofilik).
72

Hasil Tabel 12 menunjukkan bahwa bakso yang memiliki kualitas

terbaik dengan nilai rata-rata angka lempeng total terendah yaitu bakso

perlakuan A dengan penambahan serbuk 1,5%, sedangkan pada bakso

perlakuan B dan C dengan penambahan serbuk lebih banyak, jumlah total

bakteri lebih banyak pula. Hal ini berkaitan dengan kemampuan serbuk

sebagai pengawet bakso.

Serbuk pengawet yang digunakan dibuat dari bahan dasar berupa

ekstrak daun salam dengan penambahan karaginan dan pati. Menurut

Priyawan (2014), ekstrak air daun salam mengandung flavonoid, saponin,

dan tanin, sedangkan Kharismawati (2009), kandungan terbesar pada

infusa daun salam yaitu tanin. Menurut Sudirman (2014), tanin dalam

konsentrasi yang rendah akan dapat menghambat bakteri sedangkan pada

konsentrasi yang tinggi dapat bekerja sebagai antibakteri (membunuh

bakteri).

Menurut Pratama (2015), mekanisme kerja antimikrobia suatu zat

terhadap mikrobia dapat dikelompokan menjadi tiga jenis, yaitu

bakteriostatik, bakteriosidal, dan bakteriolitik. Bakteriostatik yaitu jenis

kerja antimikrobia yang menghambat pertumbuhan bakteri, bakteriosidal

yaitu jenis antimikrobia yang membunuh bakteri, sedangkan bakteriolitik

yaitu jenis antimikrobia yang dapat melisiskan sel bakteri.

Berdasarkan keterangan Pratama (2015) tersebut, maka mekanisme

kerja serbuk pengawet dan pengenyal yang dibuat bersifat bakteriostatik

yaitu menghambat bakteri tanpa dapat membunuh bakteri. Perbedaan sifat


73

antimikrobia ini dpat dilihat dari fase logaritmik pertumbuhan bakteri

dimana bakteri tetap mengalami pertumbuhan dan pertambahan sel namun

pertumbuhan dan pertambahan tersebut mengalami penghambatan atau

lebih sedikit dari pada Kontrol.

Serbuk yang digunakan dalam proses pembuatan bakso

ditambahkan dalam konsentrasi yang rendah yaitu 1,5%, 2,5%, dan 3,5%.

Jumlah yang sedikit ini memungkinkan kandungan tanin dalam serbuk

juga sedikit sehingga tanin memiliki kemampuan untuk menghambat

bakteri tidak untuk membunuh bakteri.

Selain karena kandungan tanin yang rendah, bahan pengisi yang

digunakan dalam proses pembuatan serbuk yang berupa pati dan

karagenan merupakan jenis bahan yang tinggi nutrisi. Menurut Aulawi dan

Ninsix (2009), karaginan merupakan polimer linier yang tersusun dari

unit-unit galaktosa, sedangkan Amin (2013), pati merupakan karbohidrat

komplek yang tersusun dari homopolimer glukosa. Kandungan gizi yang

tinggi pada pati dan karaginan juga memungkinkan keduanya sebagai

sumber nutrisi untuk bakteri.

Kandungan tanin yang rendah serta tingginya nutrisi pada serbuk

memungkinkan serbuk memiliki kemampuan menghambat bakteri namun

juga meningkatkan bakteri. Hal inilah yang menyebabkan adanya

kenaikan yang cukup signifikan jumlah total bakteri dari hari ke-0 ke hari

pertama. Pada hari ke-0 jumlah total bakteri akan banyak berkurang juga

karena adanya proses pemanasan pada bakso.


74

Menurut Putri (2009), proses pemanasan pada bakso terdiri dari

dua tahap, yang pertama bakso direndam pada suhu 50-60˚C dengan

tujuan untuk mencegah keriput pada bakso, dan tahap kedua bakso

dimasak dengan suhu 100˚C untuk mematangkan bakso. Proses

pemanasan ini akan mengurangi jumlah total bakteri pada bakso.

b. Jumlah Bakteri Staphylococcus aureus

Pengujian jumlah bakteri S.aureus di dalam produk makanan

bertujuan untuk mengetahui tingkat kontaminasi bakteri yang mana bakteri

S.aureus merupakan jenis bakteri flora normal yang banyak ditemukan di

lingkungan. Selain itu, bakteri S.aureus juga merupakan jenis bakteri

pathogen yang dapat menyebabkan penyakit dalam jumlah tertentu karena

bakteri S.aureus dapat membentuk enterotoksin.

Pengujian cemaran bakteri S.aureus pada bakso juga penting

dilakukan mengingat bahan dasar pembuatan bakso menggunakan daging,

yang mana daging memiliki nutrisi yang tinggi sehingga rawan akan

adanya kontaminasi. Batas cemaran bakteri S.aureu pada bakso menurut

BSN (1995-a), sebesar 102 CFU/gram atau 2 (Log CFU/gram). Hasil

perhitungan jumlah bakteri S.aureus pada bakso dapat dilihat pada

Tabel 13.
75

Tabel 13. Perubahan Jumlah Bakteri Staphylococcus aureus pada Bakso


dengan Perbedaan Penambahan Serbuk selama Penyimpanan
Lama Penyimpanan Rata-Rata
Perlakuan (hari) (Log
0 1 2 CFU/gram)
Kontrol 2,833c 7,377d 8,220e 6,143C
a d d
A 1,027 7,180 7,203 5,137A
B 2,297bc 7,343d 7,500d 5,713B
b d d
C 2,003 7,223 7,327 5,518B
A B C
Rata-Rata 2,040 7,281 7,563
Keterngan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang
sama menunjukkan tidak adanya beda nyata antar perlakuan
dengan tingkat kepercayaan 95%.

9.00 8.22
7.2 7.5 7.33
8.00 7.38 7.18 7.34 7.23
7.00
(Log CFU/gram)

6.00
5.00
4.00 Hari Ke-0
2.83
3.00 2.30 2.00 Hari Ke-1
2.00 1.03 Hari Ke-2
1.00
0.00
Kontrol A (1.5%) B (2.5%) C (3.5%)
Perlakuan

Gambar 19. Perubahan Jumlah Bakteri Staphylococcus aureusBakso


dengan Perbedaan Penambahan Serbuk Selama
Penyimpanan.

Tabel 13 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata

antara perlakuan A dengan perlakuan B dan C serta perlakuan Kontrol.

Hasil menunjukkan bahwa perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan A

dengan nilai rata-rata bakteri S.aureus teredah sebesar 5,137 (Log

CFU/gram). Sebaliknya nilai rata-rata bakteri S.aureus tertinggi terdapat

pada perlakuan Kontrol sebesar 6,143 (Log CFU/gram). Hasil Tabel 13


76

menunjukkan bahwa dengan penambahan serbuk ke dalam adonan bakso

dapat menurunkan jumlah bakteri S.aureus.

Serbuk dibuat dari ekstrak air daun salam yang ditambahkan

dengan pati dan karaginan. Ekstrak air daun salam banyak mengandung

tanin yang dalam konsentrasi rendah bersifat bakteriostatik (menghambat)

dan dalam konsentrasi tinggi bersifat bakteriosidal (membunuh)

(Sudirman, 2014). Menurut Kharismawati, dkk (2009), kandungan tanin

dalam infusa daun salam muda dan tua bertutur-turut sebesar 2,38 ±

0,036% dan 2,45 ± 0,007%. Pada penelitian ini, serbuk yang ditambahkan

ke dalam adonan bakso sebesar 1,5%, 2,5%, dan 3,5% yang termasuk

dalam konsentrasi yang rendah, sehingga tanin dalam serbuk juga rendah.

Hal ini menunjukkan bahwa serbuk lebih bersifat menghambat

pertumbuhan bakteri bukan membunuh bakteri.

Berdasarkan uji fitokimia yang telah dilakukan, hasil uji ekstrak

daun salam mengandung tanin dan flavonoid (Tabel 7). Menurut Fitri

(2007), tanin dan flavonoid masuk ke dalam senyawa fenol. Mekanisme

senyawa fenol dalam menghambat pertumbuhan bakteri yaitu dengan

mekanisme denaturasi dan koagulasi protein. Interaksi fenol dengan

bakteri terjadi dengan proses absorbsi.

Fenol dalam kadar rendah akan berikatan dengan protein pada

dinding sel bakteri. Ikatan ini bersifat lemah dan mudah terurai. Peruraian

komplek protein pada dinding sel bakteri diikuti dengan penetrasi fenol ke

dalam sel bakteri. Hal ini menyebabkan terjadinya presipitasi serta


77

denaturasi protein pada plasma sel bakteri. Adanya gangguan pada plasma

sel akan berakibat pada kemampuan metabolism sel yang kemudian akan

berakibat perkembangan dan pertumbuhan sel (Fitri, 2007).

Selain karena kandungan tanin, pati dan karaginan juga

berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri karena pati dan karaginan

merupakan jenis bahan yang mengandung karbohidrat tinggi yang dapat

menjadi sumber energi untuk pertumbuhan bakteri (Aulawi dan Ninsix,

2009 dan Amin, 2013). Tabel 13 menunjukkan bahwa semakin banyak

serbuk yang ditambahkan jumlah bakteri S.aureus semakin bertambah

meski masih di bawah Kontrol (bakso tanpa penambahan serbuk). Hal ini

menunjukkan bahwa semakin banyak serbuk yang ditambahkan, maka

kandungan nutrisi juga semakin tinggi sehingga pertumbuhan bakteri akan

semakin tinggi pula. Jumlah penambahan serbuk yang paling efektif yaitu

sebesar 1,5%.

Tabel 13 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada

faktor lama penyimpanan yaitu antara hari ke-0, pertama, dan kedua. Nilai

rata-rata tertinggi jumlah bakteri S.aureus pada bakso terjadi pada hari

kedua sebesar 7,563 (Log CFU/gram), sedangkan nilai terendah terjadi

pada hari ke-0 sebesar 2,040 (Log CFU/gram). Hal ini menunjukkan

bahwa terjadi peningkatan jumlah bakteri S.aureus pada bakso dari hari

ke-0 hingga hari kedua.


78

Peningkatan jumlah bakteri S.aureus dapat dipengaruhi oleh

beberapa hal. Pada hari pembuatan atau hari ke-0, dilakukan pemanasan

pada proses pembuatan bakso. Proses pemanasan juga akan menurunkan

jumlah bakteri S.aureus sehingga jumlah bakteri S.aureus pada hari ke-0

sedikit. Jumlah bakteri S.aureus mengalami peningkatan yang signifikan

pada hari pertama dan kedua.

Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor internal dari bakso tersebut.

Bakso dibuat dengan menggunakan bahan utama daging, dimana daging

memiliki nutrisi yang sangat tinggi. Selain karena daging, serbuk juga

menyumbang nutrisi yang tinggi dengan adanya kandungan pati dan

karaginan. Nutrisi yang tinggi pada bakso akan menjadikan bakso sangat

rentan terhadap pertumbuhan mikrobia.

Kandungan tanin di dalam serbuk memiliki konsentrasi yang

rendah, sehingga serbuk sebagai pengawet lebih bersifat menghambat

pertumbuhan bakteri. Menurut Pratama (2015), adanya proses

penghambatan bakteri dilihat dari adanya penambahan dan pertumbuhan

jumlah bakteri pada produk, namun pertambahan dan pertumbuhan ini

terhambat yang dilihat dengan jumlah bakteri kurang dari Kontol.

Berdasrkan jenis sifat antimikrobia menurut Pratama (2015), maka serbuk

memiliki sifat bakteriostatik atau menghambat pertumbuhan bakteri tanpa

membunuh dan melisiskan sel bakteri. Gambar 19 menunjukkan bahwa

terdapat penghambatan bakteri pada perlakuan A, B, dan C yang dilihat

dengan jumlah bakteri S.aureus yang dibawah Kontrol.


79

Menurut BSN (1995-a) pada SNI No 01-3818-1995 jumlah bakteri

Staphylococcus aureuspada bakso maksimal 102 CFU/gram atau 2 Log

CFU/gram. Hasil di atas menunjukkan bahwa sampel bakso pada semua

perlakuan sudah tidak baik pada hari ke-0, pertama, maupun kedua karena

tidak memenuhi standar SNI yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa

sampel bakso yang dibuat tidak bagus dan memiliki kualitas yang jelek.

Bakteri Staphylococcus aureusmerupakan bakteri pathogen utama

yang dapat hidup dimana saja termasuk di udara, air, debu, jaringan hidup

seperti kulit, rambut, bahkan saluran pernafasan. Daging merupakan salah

satu produk yang sangat rentan akan kontaminasi bakteri Staphylococcus

aureus karena memiliki kandungan gizi yang tinggi. Selain karena faktor

internal daging, kontaminasi juga dapat terjadi akibat proses pemotongan,

pengolahan, dan penyimpanan daging (Rahayu dkk., 2014).

Pengolahan daging menjadi bakso merupakan salah satu usaha

untuk mengurangi kontaminasi bakteri terutama bakteri Staphylococcus

aureus. Menurut Chotiah (2009), keracunan makanan akibat adanya

bakteri Staphylococcus aureus bukan hanya disebabkan karena jumlah

bakteri yang melebihi batas SNI namun lebih disebabkan oleh adanya

enteroksin yang dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. Pedoman

kerawanan adanya enteroksin yang dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus

aureus dalam jumlah 105 (CFU/gram). Jumlah bakteri Staphylococcus

aureus yang biasanya menyebabkan keracunan pada makanan sebesar 108

(CFU/gram) atau lebih (Chotiah, 2009).


80

Berdasarkan Tabel 13, bakteri S.aureuspada hari ke-0 sebesar

2,040 (Log CFU/gram), hari pertama sebesar 7,281 (Log CFU/gram), dan

hari kedua sebesar 7,563 (Log CFU/gram). Berdasarkan hasil tersebut,

jumlah bakteri S.aureus pada hari ke-0 masih aman untuk dikonsumsi

karena belum melebihi standar kerawanan enteroksin sebesar 5 (Log

CFU/gram), sedangkan pada hari pertama dan kedua sudah tidak aman

untuk dikonsumsi karena telah melebihi batas kerawanan enteroksin dan

kemungkinan pembentukan enteroksin telah terjadi.

c. Uji Kualitatif bakteri Salmonella

Uji kualitatif Salmonella bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya

bakteri Salmonella pada sampel. Bakteri Salmonella merupakan jenis

bakteri pathogen yang diharuskan tidak ada atau memiliki nilai 0 pada

suatu produk. Apabila bakteri Salmonella ada di dalam suatu produk

maka, produk tersebut dapat dikatakan memiliki kualitas yang jelek, dan

tidak layak dikonsumsi.

Menurut Fitri (2007), bakteri Salmonella merupakan jenis bakteri

infektif yang dalam jumlah sedikit 1-100 koloni akan dapat menyebabkan

penyakit pada manusia. Sehingga uji kualitatif Salmonella ini penting

dilakukan untuk melihat keamanan produk bakso yang dibuat. Hasil uji

kualitatif Salmonella dapat dilihat pada Tabel 14.


81

Tabel 14. Hasil Uji Kualitatif Salmonella


Media
Sampel Ulangan Keterangan
LB SCB SSA
1 keruh keruh Koloni merah muda negatif
K 2 keruh keruh Koloni merah muda negatif
3 keruh keruh Koloni merah muda negatif
1 keruh keruh Koloni merah muda negatif
A 2 keruh keruh Koloni merah muda negatif
3 keruh keruh Koloni merah muda negatif
1 keruh keruh tidak ada koloni negatif
B 2 keruh keruh Koloni merah muda negatif
3 keruh keruh Koloni merah muda negatif
1 keruh keruh tidak ada koloni negatif
C 2 keruh keruh Koloni merah muda negatif
3 keruh keruh Koloni merah muda negatif

Berdasarkan Tabel 14, koloni yang tumbuh pada medium LB dari

empat sampel yang diuji yaitu sampel A, B, C, dan Kontrol semuanya

merubah medium menjadi keruh. Pada medium SCB dari keempat sampel

yang diujikan medium berubah menjadi keruh.Medium LB dan SCB yang

keruh menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri pada medium. Pada

kedua medium ini, ada tidaknya bakteri Salmonella pada sampel belum

dapat diketahui. Hal ini terjadi karena kedua medium ini berfungsi sebagai

medium penyegaran dan pengembangbiakan bakteri. Bakteri yang tumbuh

belum spesifik bakteri Salmonella.

Hasil uji pada medium SSA pada sampel Kontrol dengan tiga kali

pengulangan menunjukkan hasil terbentuknya koloni merah muda pada

medium, namun koloni yang terbentuk bukanlah koloni mata ikan. Hasil

ini menunjukkan bahwa sampel Kontrol terbukti tidak tercemar bakteri

Salmonella. Hasil uji sampel A menunjukkan hal yang sama dengan


82

sampel Kontrol. Hasil menunjukkan terbentuk koloni merah muda pada

medium SSA, namun koloni yang terbentuk bukanlah koloni mata ikan.

Hasil ini menandakan bahwa sampel A juga tidak tercemar bakteri

Salmonella.

Hasil yang sama ditunjukkan pada sampel B dan C yang

menunjukkan hasil adanya koloni merah muda pada medium SSA, namun

koloni yang terbentuk bukanlah koloni mata ikan. Hasil ini menunjukkan

bahwa kedua sampel tidak tercemar bakteri Salmonella. Adanya koloni

bakteri yang terbentuk pada medium SSA menunjukkan adanya

pertumbuhan koloni bakteri yang mirip dengan bakteri Salmonella. Pada

sampel B dan sampel C pengulangan pertama menunjukkan hasil tidak

terbentuk koloni pada media SSA. Hal ini menunjukkan bahwa sampel B

dan C tidak tercemar bakteri Salmonella atau bakteri jenis lain yang

memiliki sifat hampir mirip dengan bakteri Salmonella.

Menurut Fitri (2007), bakteri Salmonella masuk ke dalam jenis

bakteri Enterobacteriaceae yang dapat membentuk H2S. Terbentuknya

koloni mata ikan (tengah hitam dengan lingkaran putih disekelilingnya)

pada media SSA menunjukkan bahwa bakteri Salmonella dapat

menghasilkan H2S yang terkumpul di bagian tengah koloni sehingga

koloni yang terbentuk bukanlah merah muda atau putih. Berdasarkan data

hasil di atas, penambahan serbuk pengawet pada adonan pembuatan bakso

tidak banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan koloni bakteri


83

Salmonella. Hal ini terjadi karena pada sampel Kontrol koloni bakteri

Salmonella juga tidak terbentuk.

Proses pembuatan bakso melibatkan pemanasan pada suhu tinggi.

Menurut Fitri (2007), bakteri Salmonella memiliki suhu habitat hidup

yaitu pada suhu 35-37˚C. Pada proses pembuatan bakso, bakso

dimatangkan pada suhu air mendidih yaitu ± 100˚C. Penamanasan ini

dapat mengurangi bahkan mematikan bakteri Salmonella pada bakso.

2. Analisis Fisik

a. Uji pH

Pengukuran nilai pH bertujuan utuk mengetahui tingkat keasaman

sampel yang didasarkan pada jumlah ion hidrogen pada sampel

(Hardiprasetya, 2015). Menurut Putri (2009), nilai pH berpengaruh

terhadap perubahan fisik bakso terutama perubahan warna serta tekstur

dari bakso. Hasil pengukuran nilai pH bakso dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Perubahan Nilai pH pada Bakso dengan Perbedaan Penambahan


Serbuk selama Penyimpanan
Lama Penyimpanan
Perlakuan (hari) Rata-Rata
0 1 2
Kontrol 6,570a 6,317a 6,517a 6,468A
a a a
A 6,403 6,293 6,487 6,394A
a a a
B 6,497 6,433 6,513 6,481A
C 6,460a 6,417a 6,577a 6,485A
A A A
Rata-Rata 6,483 6,365 6,523
Keterngan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang
sama menunjukkan tidak adanya beda nyata antar perlakuan
dengan tingkat kepercayaan 95%.
84

6.65
6.60 6.57 6.58
6.55 6.52 6.51
6.49 6.50 6.46
6.50
6.45 6.43 6.42
6.40
6.40
6.35 6.32 Hari Ke-0
6.29
6.30 Hari Ke-1
6.25 Hari Ke-2
6.20
6.15
6.10
Kontrol A (1.5%) B (2.5%) C (3.5%)
Perlakuan

Gambar 20 . Perubahan Nilai pH Bakso dengan Perbedaan Penambahan


Serbuk Selama Penyimpanan.

Berdasarkan Tabel 15, perlakuan penambahan serbuk pada proses

pembuatan bakso tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH pada bakso.

Begitu pula dengan lama penyimpanan bakso tidak berpengaruh nyata

terhadap nilai pH bakso. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Aulawi dan Ninsix (2009), menunjukkan bahwa bakso dengan

penambahan bahan pengenyal yang berupa karagenan memiliki nilai pH

yang relatife normal yaitu 6-7. Penambahan karagenan tidak menyebabkan

perbedaan yang nyata terhadap perubahan nilai pH pada bakso.

Bahan dasar pembuatan serbuk yang berupa karagenan dan ekstrak

daun salam yang banyak mengandung tanin tidak banyak berpengaruh

terhadap pH bakso akhir. Menurut Ismarai (2012), tanin merupakan

senyawa yang memiliki sifat asam lemah. Penambahan tanin dalam jumlah

yang sedikit tidak akan merubah pH suatu produk. Pada penelitian ini,
85

penambahan serbuk ke dalam adonan bakso dilakukan dalam konsentrasi

yang rendah yaitu 1,5%, 2,5%, dan 3,5%. Penambahan serbuk yang rendah

ini pula menandakan bahwa kandungan tanin di dalam bakso juga sedikit

sehingga tanin tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan pH pada

bakso.

b. Uji Daya Mengikat Air

Menurut Montolalu dkk, (2013), daya mengikat air penting

diperhatikan untuk mengetahui dan mengontrol kualitas bakso. Daya

mengikat air adalah kemampuan daging atau produk olahannya untuk

dapat mengikat air dari luar yang ditambahkan selama proses pemasakan

atau pembuatan (Putri, 2009). Menurut Aulawi dan Ninsix (2009), air

merupakan komponen penting dalam suatu produk yang dapat

berpengaruh penting terhadap perubahan rasa, kenampakan, dan tekstur.

Hasil uji Daya mengikat air dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Perubahan Nilai Daya Mengikat Air pada Bakso dengan
Perbedaan Penambahan Serbuk selama Penyimpanan
Lama Penyimpanan
Perlakuan (hari) Rata-Rata
0 1 2
Kontrol 23,167a 12,667a 7,000a 14,278A
a a a
A 22,500 15,333 11,333 16,389A
a a a
B 20,167 12,000 5,667 12,611A
C 23,000a 15,000a 7,667a 15,222A
A B C
Rata-Rata 22,208 13,750 7,917
Keterngan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang
sama menunjukkan tidak adanya beda nyata antar perlakuan
dengan tingkat kepercayaan 95%.
86

25.00 23.17 22.50 23.00


20.17
20.00
15.33 15.00
15.00 12.67
11.33 12.00
(%) Hari Ke-0
10.00 7.67
7.00 Hari Ke-1
5.67
5.00 Hari Ke-2

0.00
Kontrol A (1.5%) B (2.5%) C (3.5%)
Perlakuan

Gambar 21. Perubahan Nilai Daya Ikat Air Bakso dengan Perbedaan
Penambahan Serbuk Selama Penyimpanan.

Tabel 16menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata

pada faktor perlakuan yaitu antara perlakuan A, B, C, dan Kontrol. Hal ini

menunjukkan bahwa penambahan serbuk pengawet dan pengenyal tidak

mempengaruhi daya mengikat air bakso. Daya mengikat air bakso

dipengaruhi oleh beberapa hal seperti bahan baku.

Serbuk pengawet dan pengenyal dibuat dengan menambahkan pati

dan karaginan ke dalam ekstrak daun salam. Penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Montolalu dkk, (2013), penambahan tepung ubi jalar akan

meningkatkan daya mengikat air pada bakso. Hal ini berkaitan dengan

kemampuan tepung sebagai pengikat. Jadi semakin banyak penambahan

serbuk ke dalam adonan bakso maka kandungan pati juga semakin banyak,

dan daya mengikat air semakin tinggi. Penelitian lain yang dilakukan oleh

Putri (2009), menyatakan bahwa penambahan karaginan ke dalam adonan

bakso dapat meningkatkan daya mengikat air bakso dan meningkatkan


87

juiceness, namun tidak dapat mempertahankan kemampuan daya mengikat

air bakso, karena karaginan lebih bersifat sebagai pengikat (binding

agent).

Pada penelitian ini, penambahan serbuk pengawet dan pengenyal

ke dalam adonan bakso dilakukan dalam konsentrasi yang rendah yaitu

1,5%, 2,5%, dan 3,5%. Rendahnya konsentrasi serbuk yang ditambahkan

akan menyebabkan penambahan serbuk tidak banyak berpengaruh

terhadap perubahan daya mengikat air pada bakso. Selain itu, daya

mengikat air pada bakso juga dipengaruhi oleh pH daging, metode

pemasakan, dan kandungan lemak pada daging (Putri, 2009).

Tabel 16 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata

kemampuan daya mengikat air bakso pada hari ke-0 , pertama, dan kedua.

Daya mengikat air terbesar terjadi pada hari ke-0 yaitu sebesar 22,208%

sedangkan daya mengikat air terkecil terjadi pada hari kedua sebesar

7,917%. Pada hari pembuatan (hari ke-0), terjadi proses pemanasan

dimana akan menyebabkan terjadinya proses gelatinisasi pada pati bakso.

Proses gelatinisasi merupakan proses pengikatan air oleh granula pati.

Granula-granula pati akan mengikat air pada matrik daging sebanyak

mungkin yang dapat menyebabkan granula pati pecah, sehingga

kandungan air di dalam bakso akan rendah (Amin, 2013).

Pada hari ke-0, kandungan pati dan protein di dalam bakso yang

belum berikatan dengan air masih tinggi, sehingga kemampuan pati bakso

dalam mengikat air bebas juga masih tinggi. Apabila air pada matrik
88

daging telah terikat, maka granula pati yang masih dapat melakukan

gelatinisasi akan dapat mengikat air bebas di lingkungan sehingga

kemampuan daya mengikat airnya tinggi. Pada hari pertama dan kedua,

daya mengikat air pada bakso menurun. Hal ini berkaitan dengan proses

retrogradasi pati pada bakso. Menurut Amin (2013), proses retrogradasi

terjadi apabila pati yang telah tergelatinisasi mengalami penurunan suhu

yang cukup signifikan sehingga granula pati yang telah mengembang

kembali mengkristal yang mengakibatkan terbentuknya jala kaku. Pada

proses ini terjadi peruraian air yang semula terperangkap di dalam granula

pati (Amin, 2013).

c. Uji Kekenyalan (Springiness)

Tingkat kekenyalan pada bakso sangat penting diperhatikan untuk

menentukan kualitas bakso. Tingkat kekenyalan pada bakso berhubungan

dengan kemampuan bakso dalam membentuk gel dimana gel akan

terbentuk dengan adanya proses gelatinisasi (Putri, 2009). Gelatinisasi

pada bakso dihasilkan dari adanya bahan pengisi yang berupa pati atau

bahan jenis lain yang memiliki sifat untuk membentuk gel. Pengukuran

tingkat kekenyalan bakso dilakukan dengan prinsip mengukur kemampuan

bakso dalam menahan tekanan dari luar serta kembali ke dalam bentuk

yang semula (Putri, 2009). Hasil pengukuran tingkat kekenyalan bakso

dapat dilihat pada Tabel 17.


89

Tabel 17. Perubahan Nilai Kekenyalan pada Bakso dengan Perbedaan


Penambahan Serbuk selama Penyimpanan
Lama Penyimpanan
Perlakuan (hari) Rata-Rata
0 1 2
Kontrol 8,223a 7,880a 7,597a 7,900A
a a a
A 8,270 7,983 7,697 7,983A
B 8,273a 7,977a 7,907a 8,052A
a a a
C 8,650 8,063 7,990 8,234A
A B B
Rata-Rata 8,354 7,976 7,797
Keterngan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang
sama menunjukkan tidak adanya beda nyata antar perlakuan
dengan tingkat kepercayaan 95%.

Hasil Tabel 17menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang

nyata pada faktor perlakuan yaitu antara perlakuan A, B, C, dan Kontrol.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan penambahan serbuk

pengawet dan pengenyal tidak berpengaruh nyata terhadap kekenyalan

bakso. Secara umum penambahan serbuk pengawet dan pengenyal

cenderung akan meningkatkan kekenyalan bakso. Hal ini sesuai dengan

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wibowo (2013), menunjukkan

bahwa dengan penambahan karaginan sebesar 2,5% pada adonan bakso

dapat meningkatkan kekenyalan bakso.

Serbuk dibuat dengan mencampurkan ekstrak air daun salam

dengan pati 9% dan karaginan 1% dari total ekstrak yang digunakan.

Penambahan karaginan 1% dilakukan pada serbuk bukan pada adonan

bakso. Konsentrasi penambahan karaginan dalam adonan bakso sangat

rendah. Hal ini menyebabkan penambahan karaginan tidak berpengaruh


90

nyata terhadap kekenyalan bakso, namun kekenyalan bakso cenderung

mengalami peningkatan seiring dengan penambahan serbuk.

Selain dipengaruhi oleh kandungan karaginan, kekenyalan bakso

juga dapat dipengaruhi oleh kandungan pati pada bakso. Serbuk yang

dibuat juga mengandungan pati, sehingga semakin tinggi konsentrasi

serbuk yang ditambahkan maka pati yang terkandung di dalam bakso juga

semakin banyak. Pati berpengaruh dengan kekenyalan bakso melalui

mekanisme gelatinisasi pati. Semakin tinggi proses gelatinisasi, maka akan

semakin banyak gel yang terbentuk sehingga sifat kenyal akan semakin

tinggi (Putri, 2009).

8.80 8.65
8.60
8.27
8.40 8.22 8.27 8.06
7.98
8.20
7.98 7.99
8.00 7.88 7.91
(mm) 7.70 Hari Ke-0
7.80
7.60
7.60 Hari Ke-1
7.40 Hari Ke-2
7.20
7.00
Kontrol A (1.5%) B (2.5%) C (3.5%)
Perlakuan

Gambar 22. Perubahan Nilai Kekenyalan Bakso dengan Perbedaan


Penambahan Serbuk Selama Penyimpanan.

Tabel 17 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata

antara bakso pada penyimpanan hari ke-0 dengan bakso pada

penyimpanan hari pertama dan kedua. Gambar 22 menunjukkan bahwa

bakso mengalami penurunan tingkat kekenyalan yang cukup signifikan


91

dari hari ke-0 ke hari pertama. Penurunan tingkat kekenyalan pada bakso

dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti proses pembuatan dan bahan.

Pada hari pembuatan bakso (hari ke-0), terjadi proses pemanasan

bakso, dimana proses ini akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi pada

pati di dalam bakso. Proses gelatinisasi terjadi akibat adanya

pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Granula

pati akan menyerap air dan mengembang membentuk struktur seperti jala

(Amin, 2013). Pembentukan jala inilah yang menyebabkan adanya sifat

kenyal pada produk olahan pati.

Pada hari ke-0 atau hari pembuatan, pati pada bakso akan

mengalami proses gelatinisasi maksimal sehingga tingkat kekenyalan

bakso tinggi. Pada hari pertama dan kedua, terjadi proses retrogradasi,

dimana granula pati yang sebelumnya telah mengembang kembali

mengkristal dan menyebabkan terbentuknya jala-jala yang bersifat kaku

(Amin, 2013). Sifat kaku ini akan menurunkan tingkat kekenyalan dari

bakso tersebut dan merubah sifat kenyal menjadi keras.

Kekenyalan bakso juga berhubungan dengan daya mengikat air dan

kadar air di dalam bakso. Menurut Putri (2009), daya mengikat air pada

bakso tinggi akan menyebabkan kekenyalan meningkat karena kandungan

air di dalam bakso juga meningkat. Hasil daya mengikat air (Tabel 16)

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada faktor

perlakuan, begitu pula dengan tingkat kekenyalan bakso (Tabel 17) yang
92

mendapatkan hasil bahwa dengan penambahan serbuk tidak banyak

berpengaruh terhadap tingkat kekenyalan pada bakso.

Hal berbeda ditunjukkan pada faktor lama penyimpanan dimana

hasil daya mengikat air (Tabel 16) menunjukkan bahwa semakin lama

penyimpanan maka daya mengikat air semakin turun. Begitu pula dengan

tingkat kekenyalan (Tabel 17) yang menunjukkan bahwa, dengan

bertambahnya lama penyimpanan, maka tingkat kekenyalan bakso juga

semakin turun.

Hal ini dipengaruhi oleh sifat gelatinisasi pati pada bakso. Menuru

Amin (2013), proses gelatinisasi sangat berpengaruh terhadap tingkat

kekenyalan bakso, dimana proses gelatinisasi pati akan membentuk gel

yang bersifat kuat dan lentur hasil hasil pengikatan air dengan protein.

Semakin tinggi proses gelatinisasi pada pati menunjukkan bahwa semakin

tinggi pula interaksi antara air dan pati yang kemudian juga akan

meningkatkan daya mengikat air pada bakso.

Sebaliknya, setelah mengalami proses gelatinisasi, akan terjadi

proses retrogradasi pada pati bakso. Proses ini terjadi apabila terjadi

perubahan suhu pada bakso yang menyebabkan granula pati yang semula

mengembang akan mengkristal dan mengkerut kembali. Proses

rettrogradasi ini akan menyebabkan terurainya air dari granula pati

sehingga akan menurunkan tingkat kekenyalan dan daya mengikat air pada

bakso.
93

3. Analisis Kandungan Kimia Bakso

a. Kadar Protein

Pengukuran kadar protein dalam suatu produk akan berkaitan

dengan masa simpan produk. Kandungan protein akan mencerminkan

kualitas mikrobia dari suatu produk pangan. Selain itu, kandungan protein

pada makanan juga sangat penting dilakukan karena menjadi patokan

suatu produk pangan memiliki kualitas gizi yang bagus atau tidak. Hasil

pengukuran kadar protein bakso dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Perubahan Kadar Protein pada Bakso dengan Perbedaan


Penambahan Serbuk selama Penyimpanan
Lama Penyimpanan
Perlakuan (hari) Rata-Rata
0 2
Kontrol 9,033a 9,503a 9,268A
a a
A 8,983 9,887 9,435A
B 9,640a 10,200a 9,920A
a a
C 9,613 10,120 9,867A
A A
Rata-Rata 9,317 10,927
Keterngan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang
sama menunjukkan tidak adanya beda nyata antar perlakuan
dengan tingkat kepercayaan 95%.

Berdasarkan data Tabel 18, terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan

yang nyata untuk setiap perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa

penambahan serbuk ke dalam adonan bakso tidak berpengaruh nyata

terhadap kadar protein pada bakso. Perubahan kadar protein cenderung

meningkat seiring dengan penambahan serbuk ke dalam adonan bakso.

Hal ini menunjukkan bahwa penambahan serbuk pengawet dapat

meningkatkan kandungan protein di dalam bakso.


94

Serbuk pengawet dan pengenyal dibuat dengan mencampurkan

ekstrak cair daun salam dan ditambahkan dengan karaginan dan pati.

Menurut Wiraswanti (2008), karaginan dapat berinteraksi dengan

makromolekul bermuatan seperti protein yang berakibat pada peningkatan

viskositas, pembentukan gel, pengendapan dan stabilisasi. Pada

penambahan jumlah serbuk yang lebih tinggi, maka karaginan di dalam

serbuk juga akan semakin tinggi pula. Hal ini memungkinkan bahwa

seiring dengan penambahan serbuk maka, kadar protein akan semakin

tinggi karena protein akan berikatan dengan karaginan.

Menurut BSN (1995-a) pada SNI No 01-3818-1995, kadar protein

pada bakso minimal 9%. Tabel 18 menunjukkan bahwa secara keseluruhan

kadar protein pada bakso telah memenuhi standar SNI yaitu di atas 9%.

Kadar protein yang tinggi pada produk bakso lebih banyak dipengaruhi

oleh bahan baku yang berupa daging. Menurut Kusnadi dkk (2012),

daging sapi memiliki kadar protein sebesar 16-22%. Adanya penurunan

kadar protein dari daging menjadi produk bakso dapat dipengaruhi oleh

proses pengolahan daging seperti proses pemasakan bakso.

Pada proses pembuatan bakso terjadi proses pemasakan dimana

pada proses ini dimungkinkan adaya kandungan pati yang larut air.

Menurut Wiraswanti (2008), protein terdiri dari tiga jenis yaitu protein

larut air, protein larut garam, dan proteun yang tidak larut. Protein

sarkoplasma merupakan jenis protein yang larut air dan secara normal

ditemukan di plasma sel. Selain itu, menurut Kaswinarni (2015),


95

perebuasan bahan pangan dan perlakuan dengan suhu tinggi pada bahan

pangan akan membuat protein menjadi terdenaturasi sehingga kandungan

protein di dalam bahan akan berkurang.

Tabel 18 menunjukkan bahwa, kadar protein tidak mengalami

perubahan yang signifikan setelah lama penyimpanan, namun cenderung

mengalami kenaikan. Kenaikan kadar protein ini berkaitan dengan jumlah

total bakteri pada bakso. Hasil data Angka Lempeng Total pada bakso

(Tabel 12) menunjukkan bahwa angka lempeng total bakteri akan

mengalami peningkatan dari hari ke-0 hingga hari kedua.

10.40
10.20
10.20 10.12
10.00 9.88
9.80 9.64 9.61
9.60 9.50
9.40
(%)
9.20 9.03 Hari Ke-0
8.98
9.00
Hari Ke-2
8.80
8.60
8.40
8.20
Kontrol A (1.5%) B (2.5%) C (3.5%)
Perlakuan

Gambar 23. Perubahan Nilai Kadar Protein Bakso dengan Perbedaan


Penambahan Serbuk Selama Penyimpanan.

Berdasarkan Gambar 23 terlihat bahwa kadar protein cenderung

akan mengalami pengingkatan dari hari ke-0 hingga hari kedua. Menurut

Putri (2009), tanin memiliki sifat mengendapkan dan mengikat protein.


96

Hasil di atas menunjukkan bahwa semakin hari kadar protein semakin

tinggi. Hal ini dapat terjadi apabila tanin dalam bakso berikatan dengan

protein yang ada dalam sel bakteri. Menurut Fitri (2007), tanin dapat

menyebabkan denaturasi dan koagulasi protein pada sel bakteri dengan

cara mengikat protein pada bakteri.

Menurut Wibowo (2013), karagenan merupakan polisaksarida

yang berbentuk linier dan lurus dan merupakan molekul galaktan dengan

unit-unit utamanya merupakan galaktosa. Karagenan akan lebih mudah

digunakan oleh bakteri untuk pertumbuhannya. Karagenan menjadi bahan

utama untuk konsumsi bakteri. Atas dasar inilah maka dapat

dimungkinkan bakteri akan terlebih dahulu mengkonsumsi komponen gula

pada karagenan dari pada protein pada daging bakso. Hal ini menyebabkan

tidak terjadi penurunan kadar protein seiring dengan semakin

bertambahnya jumlah bakteri pada bakso.

b. Kadar Air

Air merupakan komponen penting yang ada dalam makanan. Hal

ini berkaitan dengan adanya berbagai reaksi yang terjadi oleh adanya air

seperti reaksisi enzimatik, hidrolisis, dan pengikatan. Selain itu air juga

berpengaruh nyata terhadap kenampakan, teksture, dan daya simpan

produk makanan (Montolalu dkk., 2013). Pengukuran kadar air di dalam

bakso dilakukan dengan menggunakan alat moinsture balanching. Hasil

pengukuran kadar air dapat dilihat pada Tabel 19.


97

Tabel 19. Perubahan Nilai Kadar Air pada Bakso dengan Perbedaan
Penambahan Serbuk selama Penyimpanan
Lama Penyimpanan Rata-Rata
Perlakuan (hari) (%)
0 1 2
Kontrol 24,943a 28,410a 28,573a 27,309C
a a a
A 24,820 25,433 25,443 25,232BC
B 23,067a 24,213a 24,233a 24,057B
a a a
C 19,337 21,820 22,427 21,194A
A A A
Rata-Rata (%) 23,042 24,969 25,169
Keterngan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang
sama menunjukkan tidak adanya beda nyata antar perlakuan
dengan tingkat kepercayaan 95%.

28.57 25.44 24.23


30.00 28.41 25.43 24.21 22.43
24.94 24.82
25.00 23.07 21.82
19.34
20.00
Hari Ke-0
(%) 15.00
Hari Ke-1
10.00 Hari Ke-2

5.00

0.00
Kontrol A (1.5%) B (2.5%) C (3.5%)
Perlakuan

Gambar 24. Perubahan Nilai Kadar Air Bakso dengan Perbedaan


Penambahan Serbuk Selama Penyimpanan.

Tabel 19menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada

faktor perlakuan yaitu antara perlakuan Kontrol, perlakuan B, serta

perlakuan C, sedangkan perlakuan A tidak beda nyata dengan perlakuan

Kontrol dan B. Hasil Tabel 19menunjukkan bahwa perlakuan Kontrol

memiliki rata-rata kadar air yang paling tinggi dibandingkan


98

ketigaperlakuan lain dengan nilai rata-rata kadar air sebesar 27,309%.

Perlakuan C memiliki rata-rata kadar air paling rendah dibandingkan

dengan ketiga perlakuan yang lain yaitu sebesar 21,194%. Tabel 19

menunjukkan bahwa, seiring dengan penambahan jumlah serbuk ke dalam

adonan bakso, kadar air dalam bakso mengalami penurunan. Hasil ini

menunjukkan bahwa, penambahan serbuk dapat menurunkan kadar air dari

bakso.

Serbuk pengawet dibuat dari ekstrak daun salam yang ditambahkan

dengan karaginan dan pati. Menurut Montolalu, dkk (2013), penambahan

tepung ubi jalar dapat menurunkan kadar air pada bakso. Hal ini berkaitan

dengan kemampuan tepung atau pati sebagai pengikat. Tepung atau pati

akan berinteraksi dan mengikat komponen air dan protein di dalam matriks

daging, sehingga kadar air pada bakso menurun. Penurunan kadar air

diakibatkan oleh adanya mekanisme interaksi pati dan protein sehingga air

tidak dapat diikat dengan sempurna karena ikatan hidrogen yang

seharusnya mengikat air air bebas telah dipakai untuk interaksi pati dan

protein.

Hal ini juga berhubungan dengan kemampuan gelatinisasi pada

pati. Proses gelatinisasi pati melibatkan interaksi antara komponen granula

pati dengan air. Secara umum, komponen pati akan berikatan dengan air

terutama air yang ada di dalam matrik daging sehingga air akan

terperangkap di dalam granula pati yang mengalami pembengkakan

(Amin, 2013).
99

Interaksi ini menyebabkan terbentuknya gel yang bersifat kuat dan

lentur. Air di dalam granula pati ini tidak akan mudah terurai. Interaksi air

pada matrik daging dengan granula pati menyebabkan kandungan air di

dalam bakso menurun (Amin, 2013).

Menurut SNI No 01-3818-1995, bakso memiliki kadar air

maksimal sebesar 70%. Hasil pengujian menunjukkan data yang jauh

berbeda dari kadar air yang ditetapkan. Hasil ini dapat dipengaruhi oleh

jenis bakso yang diuji. Bakso pada umumnya disajikan dalam keadaan

panas dan berada dalam kuah sehingga hal ini akan dapat meningkatkan

kadar air dari bakso tersebut. Selain karena faktor kuah bakso, pemanasan

juga dapat menjadi penyebab perbedaan yang sangat jauh antara SNI dan

hasil penelitian.

Menurut Putri (2009), pemanasan bakso biasanya dilakukan dalam

dua tahapan. Pertama bakso direndam dalam air panas suhu sekitar 50-

60˚C hingga bakso mengembang. Hal ini bertujuan untuk menghindari

bakso dari kekusutan yang menyebabkan teksture bakso jelek. Tahap

kedua pemanasan bakso dilakukan pada air yang mendidih dengan tujuan

untuk proses pematangan bakso. Adanya pemanasan yang berulang dapat

berpengaruh terhadap daya serap air bakso. Secara umum, kadar air bakso

tidak melebihi standar SNI bakso. Hal ini menunjukkan bahwa bakso

memiliki kualias yang bagus.


100

Tabel 19 juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang

nyata pada semua perlakuan dalam faktor lama penyimpanan yaitu pada

hari ke-0, hari pertama, dan hari kedua. Hal ini menunjukkan bahwa

sampel bakso tidak banyak mengalami perubahan kadar air setelah

disimpan selama 2 hari. Berdasarkan Gambar 24 kadar air bakso

cenderung mengalami peningkatan dari hari ke-0 hingga hari kedua

walaupun tidak berbeda nyata.

Bakso disimpan dengan menggunakan plastik siller sehingga

dimungkinkan tidak akan ada air dan udara masuk ke dalam plastik,

sehingga kandungan air di dalam bakso tidak akan mengalami peningkatan

yang signifikan. Secara umum, kadar air bakso cenderung mengalami

peningkatan dari hari ke-0 hingga hari kedua. Peningkatan kadar air dapat

disebabkan oleh reaksi retrogradasi.

Proses retrogradasi terjadi apabila bakso mengalami penurunan

suhu yang signifikan sehingga granula pati yang telah mengalami proses

gelatinisasi kembali membentuk Kristal dengan mengurai air (Amin,

2013). Adanya peruraian air ini meningkatkan kadar air pada bakso. Kadar

air juga berhubungan dengan tekstur bakso, dimana bakso semakin hari

semakin lembek atau tidak kenyal. Adanya peruraian airakibat proses

retrogradasi pada pati bakso akan menyebabkan kekenyalan bakso

berkurang.
101

Menurut Putri (2009), kadar air memiliki sifat yang berkebalikan

dengan daya mengikat air pada bakso. Bakso dengan daya mengikat air

yang tinggi memiliki kadar air yang rendah. Sebaliknya, bakso dengan

daya mengikat air rendah akan memiliki kadar air yang tinggi. Proses ini

berhubungan dengan interaksi antara air dengan pati dan protein. Dimana

semakin banyak interaksi pengikatan air oleh pati dan protein maka

kandungan air di dalam bakso akan semakin rendah, begitu pula

sebaliknya apabila interaksi antara air dengan protein dan pati sedikit

maka kadar air akan semakin banyak.

c. Kadar Lemak

Kadar lemak suatu produk makanan menunjukkan kualitas gizi

produk tersebut. Lemak merupakan jenis pangan berenergi tinggi yang

mana lemak memiliki tingkat kalori yang lebih tinggi dibandingkan

dengan karbohidrat dan protein (Wiraswanti, 2008). Hasil pengujian kadar

lemak dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Perubahan Kadar Lemak pada Bakso dengan Perbedaan


Penambahan Serbuk selama Penyimpanan
Variasi Serbuk Lama Penyimpanan
Daun Salam dan (hari) Rata-Rata
Karaginan 0 2
Kontrol 1,920a 1,890a 1,905A
A 2,453a 1,950a 2,202B
a a
B 1,930 1,850 1,890A
a a
C 2,150 2,007 2,078AB
Rata-Rata 2,06A 1,89B
Keterngan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang
sama menunjukkan tidak adanya beda nyata antar perlakuan
dengan tingkat kepercayaan 95%.
102

3.00
2.45
2.50 2.15
1.92 1.93
1.95 2.01
2.00 1.89 1.85

(%) 1.50
Hari Ke-0
1.00
Hari Ke-2

0.50

0.00
Kontrol A (1.5%) B (2.5%) C (3.5%)
Perlakuan

Gambar 25. Perubahan Kadar LemakBakso dengan Perbedaan


Penambahan Serbuk Selama Penyimpanan.

Tabel 20 menunjukkan bahwa penambahan serbuk pengawet dan

pengenyal pada bakso berpengaruh nyata terhadap kadar lemak bakso.

Perlakuan Kontrol tidak berbeda nyata dengan perlakuan B dan C,

sedangkan perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan Kontrol dan B.

Perlakuan C tidak berbeda nyata dengan perlakuan Kontrol dan B serta

perlakuan A. Kadar lemak tertinggi terjadi pada perlakuan A yaitu sebesar

2,202 %, sedangkan kadar lemak terendah terdapat pada perlakuan B

sebesar 1,890 %.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kaswinarni (2015),

menunjukan adanya hubungan antara penurunan jumlah bakteri dengan

kenaikan kadar lemak. Tempura yang ditambahkan dengan bawang putih

mengalami penurunan jumlah bakteri yang kemudian kadar lemaknya

mengalami kenaikan. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas bakteri lipolitik


103

yang dapat memecah lemak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Septiana

dkk, (2004), menunjukkan bahwa aktivitas bakteri akan dapat

menghidrolisis lemak menjadi asam lemak bebas dan gliserol.

Hasil kadar lemak pada Tabel 20 menunjukkan bahwa perlakuan A

memiliki kadar lemak paling tinggi dan perlakuan B memiliki kadar lemak

paling rendah. Hasil perhitungan jumlah total mikrobia pada Tabel 12

menunjukkan bahwa perlakuan A memiliki jumlah total bakteri yang

paling sedikit, sedangkan perlakuan B dan Kontrol tidak berbeda nyata

dengan jumlah total bakteri paling banyak. Hal ini telah sesuia dengan

hasil perhitungan kadar lemak.

Tabel 20 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata

antara kadar lemak pada penyimpanan hari ke-0 dengan penyimpanan hari

kedua yang menunjukkan adanya penurunan kadar lemak. Hasil jumlah

total bakteri (Tabel 12) menunjukkan bahwa seiring dengan lama

penyimpanan bakso maka, jumlah total bakteri juga semakin banyak. Hasil

ini juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah total bakteri

dengan kadar lemak.

Kehilangan lemak pada bahan pangan, selain karena aktivitas

bakteri juga dapat dipengaruhi oleh pemanasan. Menurut Risnawanti

(2015), proses pemanasan akan berpengaruh terhadap kehilangan lemak

pada produk. Hal ini berkaitan dengan proses denaturasi dan koagulasi

protein di dalam bahan dimana protein yang berikatan dengan lemak, dan

apabila protein terkoagulasi atau terdenaturasi, maka lemak akan hilang.


104

Lemak yang tidak berikatan dengan protein akan berikatan dengan

komponen lain seperti amilosa. Menurut Amin (2013), amilosa merupakan

komponen pati yang memiliki sifat larut air dan tidak mudah mengalami

gelatinisasi karena rantai amilosa yang lurus. Jenis granula pati yang lebih

cepat mengalami gelatinisasi yaitu jenis amilopektin. Hal ini berkaitan

dengan sifat amilopektin yang tidak larut air dan memiliki rantai cabang

yang banyak (Amin, 2013). Pada proses gelatinisasi ini air dan

amilopektin akan lebih banyak berperan membentuk gel sedangkan

amilosa selain dapat berikatan dengan air bebas juga dapat berikatan

dengan lemak, yang kemudian akan terlarut ke dalam air panas.

Menurut BSN (1995-a) pada SNI No 01-3818-1995 menyebutkan

bahwa kadar lemak maksimal pada bakso daging sapi sebesar 2%. Hasil

menunjukkan bahwa perlakuan B dan Kontrol memenuhi SNI sedangkan

perlakuan A dan C tidak memenuhi standart SNI. Kadar lemak dalam

bakso akan berpengaruh terhadap tekstur bakso. Menurut Kaswinarni

(2015), kadar lemak yang tinggi dapat memberikan tekstur yang lebih

halus dan lembut.

4. Analisis Organoleptik

Uji organoleptik secara kualitatif dengan menggunakan parameter

sensori berfungsi sebagai uji untuk mengetahui kualitas fisik bakso. Uji ini

penting dilakukan untuk mengentahui daya terima konsumen terhadap

bakso tersebut (Putri, 2009). Uji organoleptik ini dilakukan hanya oleh

peneliti atau panelis tunggal (individual exspert) dengan parameter yang


105

memiliki skoring untuk setiap parameternya. Uji ini mencakup beberapa

parameter yaitu warna, aroma, tekstur, kenampakan, dan rasa.

Pengujian organoleptik ditujukan untuk mengetahui kualitas fisik

produk bakso secara sensori. Hal ini berkaitan dengan penerimaan produk

bakso pada konsumen. Pada pengujian organoleptik ini terdapat beberapa

parameter yang digunakan yaitu, warna, aroma, tekstur, kenampakan dan

rasa. Hasil uji organoleptik bakso pada parameter warna dapat dilihat pada

Tabel 21.

Tabel 21. Hasil Uji Organoleptik pada Bakso dengan Perbedaan


Penambahan Serbuk selama Penyimpanan
Parameter
Hari Perlakuan
Warna Aroma Tekstur Kenampakan Rasa
0 K 5 5 5 5 5
A 3 5 4 5 5
B 3 5 4 5 5
C 3 5 4 5 5
1 K 5 3 5 3 -
A 3 3 4 4 -
B 3 3 4 4 -
C 3 3 4 4 -
2 K 4 2 5 1 -
A 4 2 4 2 -
B 4 2 4 2 -
C 4 2 4 2 -
Keterangan : Kontrol (tanpa penambahan serbuk), A (penambahan serbuk
sebesar 1,5%), B (penambahan serbuk sebesar 2,5%), dan C
(penambahan serbuk sebesar 3,5%).
106

K A

Gambar 26. Bakso Perlakuan Kontrol (Kiri) dan Perlakuan A (1,5%)


(Kanan) Hari Ke-0 (Dokumentasi Pribadi, 2017).

B C
Gambar 27. Bakso Perlakuan B (2,5%) (Kiri) dan Perlakuan C (3,5%)
(Kanan) Hari Ke-0
Ke (Dokumentasi Pribadi, 2017).

Paramter warna menunjukkan adanya perubahan warna atau tidak

dengan adanya penambahan serbuk pengawet dan pengenyal pada bakso.

Guna mengukur perubahan warna tersebut, makan terdapat scoring yang

menjadi penilaian bakso. Parameter warna dinilai dengan skor : (1) sangat

coklat dan sangat kusam, (2) coklat dan kusam, (3) sedikit coklat, (4),

sedikit kusam, dan (5) khas bakso.


107

Tabel 21 menunjukkan bahwa bakso pada perlakuan control

memiliki warna khas bakso dengan scoring (5), sedangkan pada perlakuan

penambahan serbuk A (1,5%), B (2,5%), dan C (3,5%) memiliki warna

yang sedikit coklat dengan scoring (3). Hal ini menunjukkan bahwa

penambahan serbuk pengawet dan pengenyal pada bakso berpengaruh

terhadap warna dari bakso tersebut. Serbuk pengawet dan pengenyal

memiliki warna coklat. Warna coklat ini berasal dari ekstra daun salam

serta adanya proses pemanasan pada serbuk yang menyebabkan terjadinya

reaksi pencokatan. Perubahan warna yang terjadi pada bakso ini masih

tergolong wajar karena perubahan yang terjadi tidak terlalu signifikan

serta tidak berpengaruh terhadap penerimaan konsumen.

Lama penyimpanan bakso pada hari pertama tidak banyak

berpengaruh terhadap warna bakso. Warna pada bakso mengalami

perubahan pada penyimpanan hari kedua dimana bakso pada semua

perlakuan memiliki warna sedikit kusam dengan scoring (4). Hal ini

terjadi karena adanya perubahan kadar air dan tekstur pada bakso, dimana

bakso pada hari kedua memiliki kadar air yang tinggi dan tekstur yang

lembek.

Parameter aroma atau bau pada bakso berkaitan dengan adanya

perubahan bau yang disebabkan oleh penambahan serbuk atau tidak.

Penilaian mutu aroma bakso dinilai dengan scoring : (1) bau busuk, (2)

sangat bau asam, (3) muncul bau asam, (4) tidak berbau, dan (5) bau khas

bakso. Tabel 21 menunjukkan bahwa bakso pada semua perlakuan yaitu


108

Kontrol, A, B, dan C pada hari ke-0 memiliki bau dan aroma yang sama

yaitu bau khas bakso dengan scoring (5). Hal ini menunjukkan bahwa

penambahan serbuk pada bakso tidak berpengaruh terhadap aroma dan bau

bakso.

Lama penyimpanan bakso berpengaruh terhadap perubahan aroma

bakso. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan aroma bakso dari hari

ke-0 yaitu aroma khas bakso ke hari pertama pada semua perlakuan yaitu

aroma muncul bau asam. Begitu pula pada hari kedua aroma bakso

mengalami perubahan dari yang semula muncul bau asam menjadi sangat

bau asam.

Bau atau aroma bakso menandakan kualitas bakso. Bau yang asam

dipengaruhi oleh adanya aktivitas enzimatik serta adanya aktivitas

metabolisme oleh bakteri. Tabel 12 menunjukkan adanya penambahan

jumlah bakteri total pada bakso dari hari ke-0 hingga hari kedua. Hal ini

berbanding lurus dimana semakin banyak bakteri maka akan semakin

tinggi aktivitas enzimatik pada produk yang menyebabkan terbentuknya

bau asam pada produk bakso.

Parameter tekstur bakso akan berkaitan dengan kekenyalan dari

bakso. Parameter tekstur dinilai dengan scoring : (1) keras sekali, (2)

keras, (3) agak keras, (4) lebih kenyal, dan (5) kenyal khas bakso. Tabel

21 menunjukkan bahwa bakso pada hari pertama perlakuan Kontrol

memiliki tekstur kenyal khas bakso dengan scoring (5), perlakuan A, B,

dan C memiliki tekstur lebih kenyal dengan scoring (4).


109

Sesuai dengan hasil uji kekenyalan bakso pada Tabel 16

menunjukkan bahwa bakso perlakuan A, B, dan C, memiliki tingkat

kekenyalan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakso perlakuan

Kontrol. Hasil Tabel 21 menunjukkan bahwa penambahan serbuk dari

konsentrasi 1,5% hingga konsentrasi 3,5% akan meningkatkan kekenyalan

dan tekstur bakso.

Tekstur bakso selain berkaitan dengan kekenyalan juga berkaitan

dengan kadar lemak bakso. Kadar lemak yang tinggi dapat membentuk

bakso dengan tekstur yang lebih halus dan kenyal (Kaswinarni, 2015).

Lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap perubahan tekstur pada

bakso. Pada hari pertama dan kedua tekstur bakso tetap sama pada hari ke-

0 pada semua perlakuan. Hal yang berubah dari bakso berupa

terbentuknya lendir yang masuk ke dalam parameter kenampakan.

Parameter kenampakan menunjukkan sifat fisik bakso dimana

bakso memiliki kenampakan yang bagus apa jelek. Pada parameter

kenampakan bakso dinilai dengan scoring : (1) sangat berlendir, (2)

berlendir, (3) lendir mulai muncul, (4) tidak berlendir tapi tidak kesat, dan

(5) tidak berlendir dan kesat. Tabel 21 menunjukkan bakso pada hari ke-0

pada semua perlakuan memiliki kenampakan yang sama yaitu tidak

berlendir dan kesat.

Lama penyimpanan bakso berpengaruh terhadap kualitas

kenampakan bakso. Pada hari pertama, bakso pada perlakuan Kontrol

telah mengalami perubahan yaitu telah muncul lendir dengan scoring (3),
110

sedangkan pada perlakuan lain yaitu A, B, dan C, bakso tidak banyak

mengalami perubahan. Bakso hari pertama perlakuan A, B, dan C,

memiliki kenampakan tidak berlendir namun tidak kesat. Bakso pada hari

kedua mengalami perubahan yang cukup drastis pada parameter

kenampakan. Bakso pada hari kedua perlakuan Kontrol telah membentuk

lendir yang sangat banyak dengan scoring (1), sedangkan perlakuan lain

yaitu A, B, dan C juga membentuk lendir namun tidak banyak.

Parameter rasa bakso dilakukan uji hanya pada hari ke-0. Hal ini

bertujuan untuk menghindari adanya resiko penyakit pada penguji.

Parameter rasa bakso dinilai dengan scoring : (1) tidak enak, (2) tidak

berasa, (3) sedikit pahit, (4) sedikit asam, dan (5) khas bakso. Bakso pada

hari pertama pada semua perlakuan memiliki rasa yang sama yaitu rasa

khas bakso dengan scoring 5.

Secara umum bakso yang dihasilkan pada semua perlakuan dengan

parameter warna, aroma, tekstur, dan rasa pada hari ke-0 sesuai dengan

SNI No 01-3818-1995 yang mensyaratkan bakso memiliki warna yang

normal khas bakso, aroma khas bakso, tektur normal khas bakso, dan rasa

khas bakso. Pada hari pertama bakso pada perlakuan A, B, dan C masih

memenuhi standar SNI, sedangkan pada perlakuan Kontrol sudah banyak

berubah terutama kenampakan yang sudah berlendir. Bakso pada hari

kedua pada semua perlakuan sudah tidak sesuai dengan SNI dan tidak

layak untuk dikonsumsi.


111

Uji organoleptik menunjukkan bahwa bakso tidak mengalami

banyak perubahan seiring dengan penambahan serbuk ke dalam adonan

bakso. Hal berbeda ditunjukan pada faktor lama penyimpanan dimana

hasil Tabel 21 menunjukkan bahwa adanya tren yang semakin menuru dari

hari ke-0 hingga hari kedua. Menurut Angga (2007), bakso dalam suhu

ruang hanya dapat bertahan selama 12-24 jam. Hasil uji organoleptik

menunjukkan bahwa bakso pada hari pertama masih dapat dikonsumsi

sedangkan pada hari kedua sudah tidak layak dikonsumsi. Hal ini sesuai

dengan pendapat Angga (2007) yang menyatakan bahwa bakso memiliki

masa simpan 1 hari (12-24 jam).

Penurunan kualitas bakso ini dapat dipengaruhi oleh banyak hal.

Hal yang paling dominan mempengaruhi kualitas bakso adalah jumlah

total bakteri pada bakso. Hasil menunjukkan bahwa jumlah total bakteri

bakso pada hari pertama dan kedua sudah tidak sesuai dengan SNI yang

berlaku.
V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Simpulan yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

sebagai berikut :

1. Komposisi yang paling tepat untuk pembuatan serbuk pengawet dan

pengenyal menggunakan ekstrak daun salam dan bahan pengisi yang

berupa pati 9% dan karagenan 1%.

2. Penambahan serbuk pengawet dan pengenyal pada bakso berpengaruh

nyata terhadap penurunan jumlah total bakteri dan bakteri Staphylococcus

aureus, kadar air, dan kadar lemak, namun tidak berpengaruh terhadap

bakteri Salmonella, pH, daya mengikat air,kekenyalan, kadar protein,dan

organoleptik pada bakso.

3. Konsentrasi penambahan serbuk pengawet dan pengenyal yang optimal

untuk mengawetkan bakso yaitu 1,5%.

B. Saran

Saran dari peneliti dengan harapan dapat menjadi lebih baik :

1. Perlu adanya pencarian metode yang tepat untuk mengekstrak daun salam

guna mendapatkan komponen fenolik yang paling optimal.

2. Diperlukan metode penyerbukan serbuk pengawet dan pengenyal yang

tepat guna menjaga komponen aktif dalam daun salam serta membentuk

serbuk dengan kualitas fisik yang bagus.

112
113

3. Pengamatan masa simpan bakso dilakukan dalam jangka waktu 6 jam atau

12 jam agar dapat mengetahui dengan pasti kemampuan pengawetan

serbuk.

4. Diperlukan metode aplikasi yang tepat untuk pengaplikasian serbuk

pengawet dan pengenyal ke dalam adonan bakso.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, N. A. 2013. Pengaruh Suhu Fosforilasi Terhadap Sifat Fisikokimia Pati


Tapioka Termodifikasi. Naskah Skripsi S1. Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin, Makasar.

Andrianto, A. W. 2012. Uji Daya Antibakteri Ekstrak Daun Salam (Eugenia


polyantha Wight) Dalam Pasta Gigi Terhadap Pertumbuhan
Streptococcus mutans. Naskah Skripsi S1. Fakultas Kedokteran Gigi.
Universitas Jember, Jember.

Angga, W. D. 2007. Pengaruh Metode Aplikasi Kitosan, Tanin, Natrium


Metabisulfit dan Mix Pengawet terhadap Umur Simpan Bakso Daging
Sapi Pada Suhu Ruang. Naskah Skripsi S1. Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

AOAC. 1995. Official Method of Analysis. Association of Official Analytical


Chemist, Washington DC.

Aulawi, T., dan Ninsix, R. 2009. Sifat Fisik Bakso Daging Sapi Dengan Bahan
Pengenyal dan Lama Penyimpanan Yang Berbeda. Jurnal Peternakan 6
(2) : 44-52

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Batas Maksimum Penggunaan Bahan
Tambahan Pangan Pengawet. BPOM, Jakarta.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2004.Monografi Ekstrak Tumbuhan


Obat Indonesia Vol 1. BPOM, Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 1995-a. SNI No 01-3818-1995 Syarat Mutu Bakso.


BSN, Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 1995-b. SNI No. 01-0222-1995 Bahan Tambahan


Pangan. BSN, Jakarta.

Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan


Edisi2Cetakan I. Bumi Aksara, Jakarta. (di dalam Widayat 2011).

Chotiah, S. 2009. Cemaran Stapgylococcus aureus pada Daging Ayam dan


Olahannya. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai
Besar Veteriner, Bogor.

Cornelia, M., Nurwitri, C. C., dan Manissjah. 2005. Peranan Ekstrak Kasar Daun
Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) Dalam Menghambat
Pertumbuhan Total Mikrobia dan Escherichia coli Pada Daging Ayam
Segar. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan 3 (2) : 35-45

114
115

Dalilah, E. 2006. Evaluasi Nilai Gizi dan Karakteristik Protein Daging Sapid an
Hasil Olahannya. Naskah Skripsi S1.Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Dewanti, S., dan Wahyudi, M. T. 2011. Uji Aktivitas Antimikrobia Infusum Daun
Salam (Folia Syzygium poluanthum Wight) Terhadap Pertumbuhan
Bakteri Escherichia coli Secara In-Vitro. Jurnal Medika Planta 1 (4) :
79-81
Dharmayanti, S. E. 2000. Efektifitas Pemberian Propolis Lebah dan Royal Jelly
Pada Abses Yang Disebabkan Staphylococcus aureus. Hasil Penelitian.
LIPI, Bogor.
Enda, W. G. 2009. Uji Efek Antidiare Ekstrak Etanol Kulit Batang Salam
(Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) Terhadap Mencit Jantan. Naskah
Skripsi S1. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan. (di
dalam Samudra).
Eveline., Sofia, D., dan Winarto, C. 2010. Pengaruh Konsentrasi Serbuk dan
Konsentrasi Kappa Karagenan Terhadap Karakteristik Minuman Serbuk
Jeli Belimbing Manis. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan 8 (1) : 31-43
Fadlan, F. 2001. Mempelajari Pengaruh Bahan Pengisi dan Bahan Makanan
Tambahan Terhadap Mutu Fisik dan Organoleptik Basko Sapi, Naskah
Skripsi S1. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Fitri, A. 2007. Pengaruh Penambahan Daun Salam (Eugenia polyantha Wight)
Terhaddap Kualitas Mikrobiologis, Kualitas Organoleptik dan Daya
Simpan Telur Asin Pada Suhu Kamar. Naskah Skripsi S1. Fakultas MIPA
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Hardiprasetya, D.B. 2015. Penggunaan Lactobacillus sp. Sebagai Biopreservatif
pada Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus affinis). Naskah Skripsi S1.
Fakultas Teknobiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Hassan, S. M. 2008. Antimicrobial Activities Of Saponin-Rich Guar Meal
Extract. Dissertation.Texas A&M University, Texas.
Husniati. 2009. Studi Karakteristik Sifat Fungsi Maltodekstrin dari Pati Singkong.
Jurnal Riset Industri. 3 (2) : 133-138
Irzamiyati. C. 2014. Monitoring dan Survey Residu, Cemaran Mikrobia Pada
Produk Hewan di Wilayah BPPV Regional II Bukittinggi. Laporan
Pelaksanaan Kegiatan. Balai Veteriner Bukittinggi, Padang. Hal 1
Ismarani. 2012. Potensi Senyawa Tannin Dalam Menunjang Produksi Ramah
Lingkungan. Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah 3 (2) : 46-55

Kaswinarni, F. 2015. Aspek Gizi, Mikrobiologis, dan Organoleptik Tempura Ikan


Rucah dengan Berbagai Konsentrasi Bawang Putih (Allium sativa). Pros
Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1 (1) : 127-130
116

Kharismawati, M.,Utami, P. I., dan Wahyuningrum, R. 2009. Penetapankadar


Tanin Dalam Infusa Daun Salam (Syzygium Polyanthum(Wight.) Walp))
Secara Spektrofotometri Sinar Tampak. Pharmachy, 6 (1) : 22-27

Keeton, J. T. 2001. Formed and Emulsion Product. Dalam Shams, A. R (Ed).


Poultry Meat Processing. CRC Press, Boca Raton.

Kusnadi, D. C., Bintoro, V. P., dan Al-Baari, A. N. 2012. Daya Ikat Air, Tingkat
Kekenyalan dan Kadar Protein Pada Bakso Kombinasi Daging Sapid an
Daging Kelinci. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 1 (2) : 28-31

Lestari, J. H. 2016. Dekok Daun Kersen (Muntingia calabura L.) Sebagai Cairan
Sanitasi Tangan Penjamah Makanan dan Buah Apel Manalagi (malus
sylvestris Mill.). Naskah Skripsi S1. Fakultas Teknobiologi Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, Yohyakarta.

Misna., dan Diana, K. 2016. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Bawang Merah
(Allium cepa L.) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus. Galenika
Journal of Pgarmacy 2 (2) : 138-144

Montolalu, S., Lontaan, N., Sakul, S., dan Mirah, A.D. 2013. Sifat Fisiko-Kimia
dan Mutu Organoleptik Bakso Broiler dengan Menggunakan Tepung Ubi
Jalar (Ipomoea batatas L.). Jurnal Zootek 32 (5) : 1-13

Muller, J., dan Heindl, A. 2006. Drying of Medicinal Plants In Bogers, R. J.,
Craker, L. E., and Lange, D. (eds.). Medicinal and Aromatic Plant.
Springer, The Netherleands. P.237-252

Nafiah, H., Winarni., dan Susatyo, E. B. 2012. Pemanfaatan Karagenan Dalam


Pembuatan Nugget Ikan Cucut. Indonesian Journal of Chemical Science
1 (1) : 27-31

Noriko, N., Masduki, A., Azhari, R., dan Nufadianti, G. 2014. Uji In Vitro Daya
Ani Bakteri Virgin Coconut Oil (VCO) Pada Salmonella typhi. Jurnal
AL-Azhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi 2 (3) : 188-192

Novianna, E. H., Sofia, D., dan Magdalena, S. 2014. Pengaruh Penambahan


Bahan Pengisi Terhadap Kualitas Bubuk Minuman Lidah Buaya (Aloe
vera L.). Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan 2 (1) : 101-106

Prabowo, T.T. 2009. Uji Aktivitas Antioksidan dari Keong Matah Merah
(Cerithidea obtusa). Naskah Skripsi S1. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pramono, S. 2006. Penanganan Pascapanen dan Pengaruh Terhadap Efek Terapi


Obat Alami. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia
XXXVIII, Bogor 15-18 Sept. 2005. Halaman 1-6.
117

Pratama, E.Y. 2015. Aktivitas Antimikrobia Ekstrak Daun dan buah Ginje
(Thevetia peruviana) Terhadap Staphylococcus aureus dan Candida
albicans Secara In vitro. Naskha Skripsi S1. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Prayoga, E. 2013. Perbandingan Efek Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper betle L.)
dengan Metode Difusi Disk dan Sumuran Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcus aureus. Naskah Skripsi S1. Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Prihandono, R. 2001.Pengaruh Suplementasi Probiotik Bioplus, Lisinat Zn dan


Minyak Ikan Lemuru (Sardinella Longiceps) Terhadap Tingkat
Penggunaan Pakan dan Produk Fermentasi Rumen Domba.Naskah
Skripsi S1. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Priyawan, T. L. 2014. Pengaruh Pemberian Daun Salam (Eugenia polyantha)


Terhadap Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas
Bontomarannu Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa. Naskah
Tesis. Universitas Hasanuddin, Makasar.

Purnamayati, L., Dewi, E. N., dan Kurniasih, R. A. 2016. Karakteristik Fisika


Mikroenkapsul Fikosianin Spirulina Pada Konsentrasi Bahan Penyalut
Yang Berbeda. Jurnal Teknologi Hayati Pertanian IX (1) : 1-8

Purnomo, W., Khasanah, L. U., dan Anandito, R. B. K. 2014. Pengaruh Rasio


Kombinasi Maltodekstrin, Karagenan, dan Whey Terhadap Karakteristik
Mikroenkapsulasi Pewarna Alami Daun Jati (Tectona grandis). Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan 3 (3) : 121-129

Putri, A.F.E. 2009. Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Sapi Pada Lama
Postmortem yang Berbeda dengan Penambahan Karagenan. Naskah
Skripsi S1. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rahayu, N.P.N., Kawuri, R., dan Suriani, N.L. 2014. Uji Keberadaan
Staphylococcus aureus pada Sosis Tradisional (Urutan) yang Beredar di
Pasar Tradisional di Denpasar Bali. Jurnal Simbiosis. 2 (1) : 147-157

Rahman, A.M. 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia dan Fisik Tepung Tapioka
dan Mocal (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang pada
Produk Kacang Salut. Naskah Skripsi S1. Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ranken, M. D. 2000. Water Holding Capacity of Meat and Its Control Them. And
Inc 24 :1502
118

Risnawanti, Y. 2015. Komposisi Proksimat Tempe Yang Dibuat Dari Kedelai


Lokal dan Kedelai Import. Artikel Publikasi Ilmiah. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Robinson, T. 1995. Kandungan organik tumbuhan tinggi. Edisi VI.Diterjemahkan


oleh Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung. Halaman 281

Sabir, A. 2003. Pemanfaatan Flavonoid di Bidang Kedokteran Gigi. Airlangga


University Press, Surabaya.

Samudra, A. 2014. Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium


polyanthum Wight) Dati Tiga Tempat Tumbuh di Indonesia. Naskah
Skripsi S1. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi
Farmasi. UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Sari, H. A., dan Widjanarko, S. B. 2015. Karakteristik Kimia Bakso Sapi (Kajian
Proporsi tepung Tapioka : Tepung Porang dan Penambahan NaCl).
Jurnal Pangan dan Agroindustri 3 (3) : 784-792

Sembiring, B. S., Winarti, C., dan Baringbing, B. 2009. Identifikasi Komponen


Kimia Minyak Daun Salam (Eugenia polyantha) dari Sukabumi dan
Bogor. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Septiana, Y., Purwoko, T., dan Pangastuti, A. 2004. Kadar Karbohidrat, Lemak,
dan Protein pada Kecap dari Tempe. Jurnal Bioteknologi 1 (2) : 48-53.

Setyowati, W.A.E., Arani, S.R.D., Ashadi., Mulyani, B., dan Rahmawati, C.P.
2014. Skrining Fitokimia dan Identifikasi Komponen Utama Ekstrak
Metanol Kulit Durian (Durio zibethinus Murr.) Varietas Petruk. Seminar
Nasional, Kimia dan Pendidikan Kimia VI. Surakarta, 21 Juni 2014.

Sudirman, T. A. 2014. Uji Efektivitas Ekstrak Daun Salam (Eugenia polyantha)


Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus Secara In Vitro. Naskah
Skripsi S1. Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Hasanuddin, Makasar.

Sumono, A., dan Wulan, A. 2009. Kemampuan Air Rebusan Daun Salam
(Eugenia polyantha W) Dalam Menurunkan Jumlah Koloni Bakteri
Streptococcus sp. Majalah Farmasi Indonesia 20 (3) : 112-117

Susiwi, S. 2009. Penilaian Organoleptik. Buku Panduan mata Kuliah Regulasi


Pangan.Fakultas Pendidikan Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Tamrin., dan Sadimantara, M. S. 2014. Kadar Karagenan Terhadap karakteristik


Kimia Pasta Mete. Jurnal Agriplus 24 (2) : 161-168
119

Tandi, E.J. 2010. Pengaruh Tanin Terhadap Aktivitas Enzim Protease. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, Makasar.
Tubagus, I., Citraningtyas, G., dan Fatimawali. 2013. Identifikasi dan Penetapan
Kadar Boraks Dalam Bakso Jalanan di Kota Manado. Jurnal Ilmiah
Farmasi-UNSRAT 2 (4) : 142-148
Ulupi, N., Komariah., dan Utami, S. 2005. Evaluasi Penggunaan Garam dan
Sodium Tripoliphospat Terhadap Sifat Fisik Bakso Sapi. Jurnal
Indon.Trop.Anim.Agric. 30 (2) : 88-95
Untoro, N.S., Kusrahayu., dan Setiani, B.E. 2012. Kadar Air, Kekenyalan, Kadar
Lemak, dan Citarasa Bakso Daging Sapi dengan Penambahan Ikan
Bandeng Presto (Channos channos forsk). Animal Agriculture Journal. 1
(1) : 567-583
Wibowo, P. D. K. 2013. Variasi Karagenan (Eucheuma cottoni Dotty) Pada
Proses Pembuatan Bakso Daging Sapi Dengan Bahan Pengawet Tanin
Dari Pisang Kluthuk. Naskah Skripsi S1. Fakultas Teknobiologi
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Wibowo, S. 2005. Pembuatan Bakso Daging dan Bakso Ikan. Penebar Swadaya,
Jakarta. .
Widayat, D. 2011. Uji Kandungan Boraks Pada Bakso (Studi pada Warung Bakso
di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember). Naskah Skripsi S1.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember, Jember.
Widyaningsih, T.D. dan Murtini, E.S. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada
Produk Pangan. Jakarta: Trubus Agrisarana
Winangsih., Prihastanti, E., dan Parman, S. 2013. Pengaruh Metode Pengeringan
Terhadap Kualitas Simplisia Lempuyang Wangi (Zingiber aromaticum
L.). Buletin Anatomi dan Fisiologi XXI (1) : 19-25
Wiraswanti, I. 2008. Pemanfaatan Karagenan dan Kitosan Dalam Pembuatan
Bakso Ikan Kurisi (Nemipterus nematopharus) Pada Penyimpanan Suhu
Dingin dan Beku. Naskah Skripsi S1. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wulandari, F. 2014. Total Jumlah Bakteri pada Daging Sapi Segar yang
Dibungkus Daun Jati dengan Variasi Lama Penyimpanan. Naskah Skripsi
S1. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta.
Yuliarti, N. 2007. Awas Bahaya di Balik Lezatnya Makanan. Andi, Yogyakarta.
(dalam Widayat 2011).
Yunarni. 2012. Studi Pembuatan Bakso Ikan Dengan Tepung Biji Nangka
(Artocarpus heterophyllus Lam). Naskah Skripsi S1. Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin, Makasar.
Lampiran 1. Jadwal Penelitian

Tabel 22. Jadwal Penelitian

120
121

Lampiran 2. Parameter Uji Organoleptik

Tabel 23. Parameter Uji Organoleptik


Parameter Skala Keterangan
Warna 1 Sangat coklat dan sangat kusam
2 Coklat dan kusam
3 Sedikit coklat
4 Sedikit kusam
5 Khas bakso
Aroma 1 Bau busuk
2 Sangat bau asam
3 Muncul bau asam
4 Tidak berbau
5 Khas bakso
Rasa 1 Tidak enak
2 Tidak berasa
3 Sedikit pahit
4 Sedikit asam
5 Khas bakso
Tekstur 1 Keras sekali
2 Keras
3 Agak keras
4 Lebih kenyal
5 Khas bakso
Kenampakan 1 Sangat berlendir
2 Berlendir
3 Lender mulai muncul
4 Tidak berlendir tapi tidak kesat
5 Tidak berlendir dan kesat
122

Lampiran 3. Hasil SPSS (Anava Zona Hambat Serbuk, Duncan Zona Hambat
Serbuk,Anava Zona Hambat Serbuk yang dilarutkan, Duncan Zona
Hambat Serbuk yang dilarutkan).

Tabel 24. Anava Zona Hambat Serbuk


Sumber Keragaman JK db Kt F.Hitung Sig.
Antar grup 122,400 4 300,600 122,400 ,000
Dalam grup 2,500 10 ,250
Total 234,900 14

Tabel 25. Duncan Zona Hambat Serbuk


Subset
Sampel N
1 2 3 4
“d” 3 ,0000
“k” 3 ,0000
“b” 3 4,0000
“a” 3 5,5000
“c” 3 7,0000
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Tabel 26. Anava Zona Hambat Serbuk yang dilarutkan


Sumber Keragaman JK Db Kt F.Hitung Sig.
Antar grup 11,498 4 2,875 22,995 ,000
Dalam grup 1,250 10 0,125
Total 12,748 14

Tabel 27. Duncan Zona Hambat Serbuk yang dilarutkan


Subset
Sampel N
1 2 3
“k” 3 ,0000
“d” 3 ,5000 ,5000
“b” 3 ,7500
“c” 3 2,0000
“a” 3 2,2533
Sig ,114 ,407 ,401

Tabel 28. Anava ALT Serbuk


Sumber Keragaman JK Db Kt F.Hitung Sig.
Antar grup 97,140 4 24,285 485,700 ,000
Dalam grup ,500 10 ,050
Total 97,540 14
123

Lampiran 4. Hasil SPSS (Anava ALT Serbuk, Anava ALT Bakso, Duncan ALT
Sampel, Duncan ALT Penyimpanan).

Tabel 29. Duncan ALT Serbuk


Subset
Sampel N
1 2 3 4 5
“a” 3 2,7000
“c” 3 3,4000
“b” 3 4,4000
“k” 3 5,4000
“d” 3 9,9000
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000

Tabel 30. Anava ALT Bakso


Sumber Keragaman JK db Kt F.Hitung Sig.
Koreksi 180,554a 11 16,414 63,300 ,000
Intersep 2054,356 1 2054,356 7922,528 ,000
Sampel 7,789 3 2,596 10,031 ,000
Penyimpanan 171,383 2 85,691 330,465 ,000
Sampel*Penyimpanan 1,382 6 ,230 ,888 ,519
Galat 6,223 24 ,259
Total 2241,133 36
Koreksi Total 186,777 35

Tabel 31. Duncan ALT (Sampel)


Subset
Sampel N
1 2
A (1,5%) 9 6,9800
C (3,5%) 9 7,2522
B (2,5%) 9 7,8187
Kontrol 9 8,1667
Sig. ,268 ,159

Tabel 32. Duncan ALT (Penyimpanan)


Subset
Penyimpanan N
1 2 3
H0 12 4,4908
H1 12 8,7650
H2 12 9,4067
Sig. 1,000 1,000 1,000
124

Lampiran 5. Hasil SPSS (Anava S.aureus, DuncanS.aureus Sampel, Duncan


S.aureus Penyimpanan).

Tabel 33. Anava S.aureus


Sumber Keragaman JK db Kt F.Hitung Sig.
Koreksi 239,287a 11 21,753 208,050 ,000
Intersep 1140,188 1 1140,188 10904,801 ,000
Sampel 4,738 3 1,579 15,104 ,000
Penyimpanan 232,175 2 116,087 1110,264 ,000
Sampel*Penyimpanan 2,375 6 ,396 3,786 ,009
Galat 2,509 24 ,105
Total 1381,984 36
Koreksi Total 241,797 35

Tabel 34. Duncan S.aureus (Sampel)


Subset
Sampel N
1 2 3
A (1,5%) 9 5,1367
C (3,5%) 9 5,5178
B (2,5%) 9 5,7133
Kontrol 9 6,1433
Sig. 1,000 ,212 1,000

Tabel 35. Duncan S.aureus (Penyimpanan)


Subset
Penyimpanan N
1 2 3
H0 12 2,0400
H1 12 7,2808
H2 12 7,5625
Sig. 1,000 1,000 1,000
125

Lampiran 6. Hasil SPSS (OneWay S.aureus,Anava pH, AnavaKekenyalan


(Springiness)).

Tabel 36.OneWay S.aureus


Subset untuk a = ,05
Perlakuan N
1 2 3 4 5
A (1,5%), H0 3 1,0267
C (3,5%), H0 3 2,0033
B (2,5%), H0 3 2,2967 2,2967
Kontrol, H0 3 2,8333
A (1,5%), H1 3 7,1800
A (1,5%), H2 3 7,2033
C (3,5%), H1 3 7,2233
C (3,5%), H2 3 7,3267
B (2,5%), H1 3 7,3433
Kontrol, H1 3 7,3767
B (2,5%), H2 3 7,5000
Kontrol, H2 3 8,2200
Sig. 1,000 ,278 ,053 ,300 1,000

Tabel 37. Anava pH


Sumber Keragaman JK db Kt F.Hitung Sig.
Koreksi ,263a 11 0,024 ,864 ,584
Intersep 1500,917 1 1500,917 54146,711 ,000
Sampel ,048 3 ,016 ,581 ,633
Penyimpanan ,162 2 ,081 2,925 ,073
Sampel*Penyimpanan ,053 6 ,009 ,319 ,921
Galat ,665 24 ,028
Total 1501,846 36
Koreksi Total ,929 35

Tabel 38. AnavaKekenyalan (Springiness)


Sumber Keragaman JK db Kt F.Hitung Sig.
Koreksi 2,643a 11 ,240 1,879 ,095
Intersep 2328,545 1 2328,545 18211,123 ,000
Sampel ,547 3 ,182 1,425 ,260
Penyimpanan 1,939 2 ,970 7,583 ,003
Sampel*Penyimpanan ,157 6 ,026 ,205 ,972
Galat 3,069 24 ,128
Total 2334,257 36
Koreksi Total 5,712 36
126

Lampiran 7. Hasil SPSS (Duncan Kekenyalan (Springiness) (Penyimpanan),


AnavaDayaMengikat Air, Duncan DayaMengikat Air
(Penyimpanan),Anava Kadar Air ).

Tabel 39. Duncan Kekenyalan (Springiness) (Penyimpanan)


Subset
Penyimpanan N
1 2
H2 12 7,7975
H1 12 7,9758
H0 12 8,3542
Sig. ,234 1,000

Tabel 40. AnavaDayaMengikat Air


Sumber Keragaman JK db Kt F.Hitung Sig.
Koreksi 1334,521a 11 121,320 10,858 ,000
Intersep 7700,063 1 7700,063 689,129 ,000
Sampel 68,799 3 22,933 2,052 ,133
Penyimpanan 1239,292 2 619,646 55,456 ,000
Sampel*Penyimpanan 26,431 6 4,405 ,394 ,875
Galat 268,167 24 11,174
Total 9302,750 36
Koreksi Total 1602,687 35

Tabel 41. Duncan DayaMengikat Air (Penyimpanan)


Subset
Penyimpanan N
1 2 3
H2 12 7,9167
H1 12 13,7500
H0 12 22,2083
Sig. 1,000 1,000 1,000

Tabel 42. Anava Kadar Air


Sumber Keragaman JK db Kt F.Hitung Sig.
Koreksi 222,457a 11 20,223 2,643 ,023
Intersep 21421,250 1 21421,250 2799,249 ,000
Sampel 177,712 3 59,237 7,741 ,001
Penyimpanan 33,126 2 16,563 2,164 ,137
Sampel*Penyimpanan 11,620 6 1,937 ,253 ,953
Galat 183,660 24 7,652
Total 21827,367 36
Koreksi Total 406,117 35
127

Lampiran 8. Hasil SPSS (Duncan Kadar Air (Sampel), Anava Kadar Protein,
Anava Kadar Lemak, Duncan Kadar Lemak (Sampel)).

Tabel 43. Duncan Kadar Air (Sampel)


Subset
Sampel N
1 2 3
C (3,5%) 9 21,1944
B (2,5%) 9 23,8378 23,8378
A (1,5%) 9 25,2322 25,2322
Kontrol 9 27,3089
Sig. ,054 ,296 ,124

Tabel 44. Anava Kadar Protein


Sumber Keragaman JK db Kt F.Hitung Sig.
Koreksi 4,263a 7 ,609 1,018 ,456
Intersep 2222,220 1 2222,220 3713,009 ,000
Sampel 1,852 3 ,617 1,032 ,405
Penyimpanan 2,233 1 2,233 3,730 ,071
Sampel*Penyimpanan ,178 3 ,059 ,099 ,959
Galat 9,576 16 ,598
Total 2236,059 24
Koreksi Total 13,839 23

Tabel 45. Anava Kadar Lemak


Sumber Keragaman JK db Kt F.Hitung Sig.
Koreksi ,821a 7 ,117 3,722 ,014
Intersep 97,808 1 97,808 3104,209 ,000
Sampel ,399 3 ,133 4,223 ,022
Penyimpanan ,215 1 ,215 6,814 ,019
Sampel*Penyimpanan ,207 3 ,069 2,191 ,129
Galat ,504 16 ,032
Total 99,133 24
Koreksi Total 1,325 23

Tabel 46. Duncan Kadar Lemak (Sampel)


Subset
Sampel N
1 2
B (2,5%) 9 1,8900
Kontrol 9 1,9050
C (3,5%) 9 2,0783 2,0783
A (1,5%) 9 2,2017
Sig. ,100 ,246
128

Lampiran 9.Gambar (Preparasi Daun Salam, Proses Ekstraksi Daun Salam, Hasil
Perhitungan Angka Lempeng Total Hari Ke-0).

Gambar 28.PreparasiDaun Salam (DokumentasiPribadi, 2016).

Gambar 29.Proses EkstraksiDaun Salam (DokumentasiPribadi, 2016).

Gambar 30. Hasil Perhitungan Angka Lempeng Total Hari Ke-0 pada
Pengenceran 10-3, 10-4, dan 10-5(DokumentasiPribadi, 2017).
129

Lampiran 10. Gambar (Hasil Perhitungan Angka Lempeng Total Hari Ke-1 dan
Hari Ke-2)

Gambar 31.HasilPerhitunganAngkaLempeng Total Hari Ke-1 padaPengenceran


10-6, 10-7, dan 10-8 (DokumentasiPribadi, 2017).

Gambar 32.HasilPerhitunganAngkaLempeng Total Hari Ke-2 padaPengenceran


10-6, 10-7, dan 10-8 (DokumentasiPribadi, 2017).
130

Lampiran 11. Gambar (Hasil Perhitungan Jumlah Bakteri Staphylococcus aureus


Hari Ke-0 dan Hari Ke-1).

Gambar 33.HasilPerhitunganJumlahBakteriStaphylococcus aureusHari Ke-0 Tiga


Kali PengulanganPadaPengenceran 10-1 (DokumentasiPribadi,
2017).

Gambar 34.HasilPerhitunganJumlahBakteriStaphylococcus aureusHari Ke-1


PadaPengenceran 10-5dan 10-6 (DokumentasiPribadi, 2017).
131

Lampiran 12. Gambar (Hasil Perhitungan Jumlah Bakteri Staphylococcus aureus


Hari Ke-2, Hasil Uji Kualitatif Salmonella).

Gambar 35.HasilPerhitunganJumlahBakteriStaphylococcus aureusHariKe-


2PadaPengenceran 10-5dan 10-6 (DokumentasiPribadi, 2017).

Gambar 36.HasilUjiKualitatifSalmonella (DokumentasiPribadi, 2017).

Anda mungkin juga menyukai