Anda di halaman 1dari 44

PROPOSAL

PRAKTIKUM IPA TERPADU (KIMIA)


ISOLASI SENYAWA KURKUMIN dari RIMPANG TEMULAWAK

OLEH
KELOMPOK 3

1. ANDI MUTIA FITRI (I2E016003)


2. ARIEF RAHMAN HAKIM (I2E016004)
3. HIDMI GRAMATOLINA R (I2E016014)
4. IWAN DAHLAN (I2E016015)
5. SARIAH (I2E016027)
6. SURIYA NINGSIH (I2E016033)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN IPA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MATARAM
2016

1
LEMBAR PENGESAHAN

ISOLASI SENYAWA KURKUMIN dari RIMPANG TEMULAWAK

OLEH :

KELOMPOK 3

1. Andi Mutia Fitri (I2E016003)


2. Arief Rahman H. (I2E016004)
3. Hidmi Gramatolina R. (I2E016014)
4. Iwan Dahlan (I2E016015)
5. Sariah (I2E016027)
6. Suriya Ningsyih (I2E016033)

Menyetujui

Pembimbing Praktikum I Pembimbing Praktikum II

Dr. Aliefman Hakim, S.Si., M.Si Dr. rer. nat. Lalu Rudiyat Telly Savalas, S.Si., M.Sc
NIP. 198103272005011003 NIP. 197506262003121002

Dosen Pengampu,

Prof. Drs. H. Agus Abhi Purwoko, M.Sc., P.hD


NIP. 195908231985021001

2
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang tiada hentinya memberikan rahmat

dan hidayah-Nya kepada manusia yang selalu bersyukur kehadirat-Nya dan atas kehendak-

Nyalah penulis dapat menyelesaikan proposal ini. Shalawat dan salam selalu tercurahkan

untuk Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia ke jalan yang benar

dan diridhoi oleh Allah SWT, yaitu Addinul Islam.

Proposal ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah

praktikum IPA kimia Program Studi Magister Pendidikan IPA Universitas Mataram. Dalam

penyusunan proposal ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan beberapa pihak. Oleh

karena itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang

sedalam-dalamnya.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan proposal ini. Semoga

Tuhan memberikan imbalan atas segala bantuan yang telah diberikan.

Mataram, 8 Desember 2016

Penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... ii

KATA PENGANTAR................................................................................................. iii

DAFTAR ISI.............................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................ 3
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 3
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................... 4
2.1 Temulawak..................................................................................................... 4
2.2 Rimpang Temulawak ..................................................................................... 4
2.3 Kurkumin ...................................................................................................... 5
2.4 Isolasi Metabolit Sekunder ........................................................................... 8
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................ 12

3.1 Waktu dan Tempat.......................................................................................... 12


3.2 Metode yang digunakan................................................................................. 12
3.3 Alat dan Bahan .............................................................................................. 12
3.4 Prosedur kerja ................................................................................................ 13
3.5 Perbandingan metode dari Referensi yang digunakan dengan usulan
Dari praktikan................................................................................................. 15
3.6 Rancangan kegiatan ...................................................................................... 16
3.7 Rancangan Dana ............................................................................................ 16
BAB IV ANALISIS DATA........................................................................................ 18
4.1 Identifikasi Pelarut KLT ................................................................................ 18
4.2 Hasil Pemisahan dan Kolom ......................................................................... 19
4.3 Identifikasi KLT Hasil Kolom ....................................................................... 19
4.4 Identifikasi KLT hasil Kolom dengan Penggabungan Beberapa Sampel ..... 19
4.5 Hasil Totolan Pada Plat Dengan Sampel Kolom Gabungan ........................ 20
4.6 Identifikasi Perbandingan Hasil KLT dan Senyawa Standard Kurkumin ..... 21
BAB V PEMBAHASAN........................................................................................... 22
BAB VI PENUTUP................................................................................................... 36
6.1 Kesimpulan ................................................................................................. 36
6.2 Saran .............................................................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA

4
LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak kehidupan manusia pertama Nabi Adam Alaihis Salam, hingga detik ini
manusia memanfaatkan bahan alam untuk hidup. Untuk mendukung kehidupan:
kelahiran, pertumbuhan, makan, minum, pakaian, papan, keindahan, seni, beragama, dan
5
kematian manusia tidak bisa terlepas dari bahan alam. Kesemua aspek kehidupan
tersebut manusia sangat tergantung dengan zat alami yang dihasilkan oleh makhluk
hidup lain. Dari sisi makhluk produsen, senyawa alami ada yang digunakan sebagai zat
esensial untuk hidup dan ada zat yang sekedar untuk mendukung kehidupan. Zat esensial
untuk hidupdigunakan untuk dasar-dasar kehidupan: tumbuh, berkembang, dan
bereproduksi. Sedangkan zat pendukung kehidupan digunakan sebagai zat pertahanan
dari gangguan makhluk lain, menarik (attractant) makhluk lain, dan alelopat untuk
mendominasi suatu kawasan, menetralkan racun, dll.
Senyawa alami secara umum adalah molekul kimia berupa mineral, metabolit
primer, dan metabolit sekunder. Secara famili besar, metabolit primer dan metabolit
sekunder adalah senyawa organik. Bahan alam dibedakan menjadi dua berdasarkan
fungsi terhadap makhluk hidup pembuatnya yakni: 1. Metabolit primer 2. Metabolit
sekunder adalah senyawa yang disintesis oleh makhluk tumbuhan, mikrobia atau hewan
melewati proses biosintesis yang digunakan untuk menunjang kehidupan namun tidak
vital (jika tidak ada tidak mati) sebagaimana gula, asam amino dan asam lemak.
Metabolit ini memiliki aktifitas farmakologi dan biologi. Di bidang farmasi secara
khusus, metabolit sekunder digunakan dan dipelajari sebagai kandidat obat atau senyawa
penuntun (lead compound) untuk melakukan optimasi agar diperoleh senyawa yang lebih
poten dengan toksisitas minimal (hit) (Saifudin, 2014).
Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb) adalah salah satu tumbuhan obat
keluarga Zingiberaceae yang banyak tumbuh dan digunakan sebagai bahan baku obat
tradisional di Indonesia (Sidik et al. 1992; Prana 2008). Tumbuhan temulawak secara
empiris banyak digunakan sebagai obat tunggal maupun campuran. Terdapat lebih dari
dari 50 resep obattradisional menggunakan temulawak (Achmad et al. 2007). Eksistensi
temulawak sebagai tumbuhan obat telah lama diakui, terutama dikalangan masyarakat
Jawa. Rimpang temulawak merupakan bahan pembuatan obat tradisional yang paling
utama. Kasiat temulawak sebagai upaya pemelihara kesehatan, disamping sebagai upaya
peningkatan kesehatan atau pengobatan penyakit. Temulawak sebagai obat atau bahan
obat tradisional akan menjadi tumpuan harapan bagi pengembangan obat tradisional
Indonesia sebagai sediaan fitoterapi yang kegunaan dan keamanan dapat
dipertanggungjawabkan (Sidik et al. 1992).
Pengujian khasiat rimpang temulawak dapat diketahui melalui bukti empiris
melalui pengujian secara in vitro, pengujian praklinis kepada binatang dan uji klinis
terhadap manusia (BPOM, 2004). Secara empiris rimpang temulawak diketahui memiliki
6
banyak manfaat salah satunya potensi sebagai antioksidan (WHO, 1999). Komponen
aktif yang bertanggung jawab sebagai antioksidan dalam rimpang temulawak adalah
kurkumin, demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin (Masuda, 1992). Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa rimpang temulawak mempunyai efek antioksidan.
Penelitian Jitoe et al. (1992) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak
temulawak ternyata lebih besar dibandingkan dengan aktivitas tiga jenis kurkuminoid
yang diperkirakan terdapat dalam temulawak. Jadi, diduga ada zat lain selain ketiga
kurkuminoid tersebut yang mempunyai efek antioksidan di dalam ekstrak temulawak.
Demikian pula penelitian Rao (1995) bahwa kurkumin lebih aktif dibanding
dengan vitamin E dan beta karoten. Hal ini dikarenakan peranan kurkumin sebagai
antioksidan yang menangkal radikal bebas tidak lepas dari struktur senyawa kurkumin.
Kurkumin mempunyai gugus penting dalam proses antioksidan tersebut. Struktur
kurkumin terdiri dari gugus hidroksifenolik dan gugus diketon. Gugus hidroksi fenolik
berfungsi sebagai penangkap radikal bebas pada fase pertama mekanisme antioksidatif.
Pada struktur senyawa kurkumin terdapat 2 gugus fenolik, sehingga 1 molekul kurkumin
dapat menangkal 2 radikal bebas. Gugus diketon berfungsi sebagai penangkap radikal
pada fase berikutnya.
Penelitian terdahulu terhadap rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.),
diketahui bahwa rimpang temulawak merupakan salah satu bagian tanaman yang
dimanfaatkan dalam mencegah dan mengobati berbagai penyakit. Rimpang temulawak
mengandung dua komponen utama yaitu 1,6-2,2% kurkuminoid dan 1,48-1,63% minyak
atsiri, selain itu rimpang temulawak segar juga mengandung selulosa, pati, protein,
mineral (Depkes, 1979). Pemanfaatan bahan tanaman sebagai bahan obat sangat
ditentukan oleh kandungan zat aktif yang dikandung dalam bahan tanaman tersebut.
Mendapatkan bahan aktif dari dalam tanaman juga sangat ditentukan oleh bagaimana
cara atau metode mengekstraksinya. Disamping metode ekstraksi bahan aktif tersebut
juga ditentukan oleh pelarut yang digunakan.
Tumbuhan ini dijadikan sebagai biofarmaka andalan komoditas Indonesia, karena
termasuk dalam kelompok lima besar tanaman obat yang berpotensial untuk
dikembangkan (Departemen Pertanian, 2007). Berdasarkan data BPS tahun 2010,
tanaman temulawak mengalami perkembangan produksi dari tahun ke tahun. Oleh
karena itu, penelitian yang berhubungan dengan komoditi temulawak akan terus menjadi
hal yang menarik untuk dilakukan.

7
Berdasarkan uraian diatas maka akan diadakan penelitian dengan judul Isolasi
Kurkumin dari Rimpang Temulawak.

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah :
Bagaimanakah proses pemurnian senyawa kurkumin dari rimpang temulawak?

1.3. Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui proses pemurnian senyawa kurkumin dari rimpang temulawak?

1.4. Manfaat Penelitian


1. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dalam melaksanakan penelitian khususnya tentang
Isolasi Senyawa Kurkumin dari Rimpang Temulawak
Meningkatkan keterampilan generik dalam laboratorium kimia, terutama
keterampilan dalam proses Isolasi Senyawa Kurkumin dari Rimpang
Temulawak
2. Bagi Pembaca
Sebagai bahan masukan dan dokumen yang bermanfaat dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan khususnya ilmu Kimia dan Kimia Bahan Alam
Sebagai bahan perbandingan penelitian selanjutnya terutama untuk penelitian
yang serupa.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Temulawak
Temulawak yang merupakan famili Zingiberaceae mengandung minyak atsiri dan
kurkuminoid. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) banyak ditemukan di hutan-

8
hutan tropis. Temulawak juga berkembang biak di tanah tegalan sekitar pemukiman,
terutama pada tanah gembur, sehingga buah rimpangnya mudah berkembang menjadi
besar. Bagian yang digunakan dari tanaman temulawak yaitu rimpangnya.Rimpang ini
baunya harum dan rasanya pahit agak pedas. Secara tradisional rimpang temulawak
dimanfaatkan untuk tujuan perbaikan pencernaan, meningkatkan nafsu makan pada anak-
anak, peluruh batu empedu, pelancar ASI, pelancar pencernaan, penurun panas, peluruh
batu ginjal, dan penurun kolesterol (Sudarsono et al. 1985). Di Indonesia, temulawak
dikenal dengan berbagai nama daerah, misalnya koneng gede (Sunda), temulawak
(Sumatra dan Jawa), dan temu lobak (Madura) (Prana, 2008).
Menurut Sidik et al. (1995), produksi rimpang dipengaruhi oleh tempat tumbuh.
Pada daerah rendah (240 m di atas permukaan laut) produksi rimpang lebih tinggi. Kadar
pati di dataran rendah juga lebih tinggi dan kadar tersebut semakin berkurang pada
dataran tinggi. Sebaliknya kadar minyak atsiri tertinggi diperoleh pada ketinggian 1200
m di atas permukaan laut. Pertumbuhan temulawak dipengaruhi oleh iklim, media tanam,
dan ketinggian tempat. Dengan kondisi penanaman yang berbeda maka kandungan bahan
aktif dari temulawak dimungkinkan juga berbeda. Menurut Wahid dan Sudiarto (1985),
mutu rimpang temulawak sangat tergantung pada umur, tempat tumbuh, dan jenis tanah.

2.2. Rimpang Temulawak


Temulawak adalah tanaman monokotil yang tidak memiliki akar tunggang, akar
yang dimiliki berupa rimpang yang terdiri dari rimpang utama (induk) dan rimpang
samping (cabang). Rimpang induk atau rimpang utama berbentuk jorong atau gelendong,
sedangkan rimpang samping atau rimpang cabang berupa akar yang menggembung pada
ujungnya membentuk umbi. Rimpang samping atau cabang yang dihasilkan setiap kali
pemanenan jumlahnya hampir sama dengan rimpang utama, tetapi rimpang cabang ini
selalu dibuang karena dianggap tidak mempunyai khasiat obat, untuk itu perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui kandungan zat berkhasiat dan potensi sebagai tanaman obat.
Rimpang temulawak diketahui memiliki banyak manfaat diantaranya sebagai
antihepatitis, antihiperlipidemia, antiinflamasi, antitumor, antioksidan, antikarsinogenik,
antimikroba, antivitral dan detoksifikasi (WHO, 1999).

2.3. Kurkumin
Rimpang temulawak mengandung zat kuning kurkumin, minyak atsiri, pati,
protein, lemak, selulosa, dan mineral (Ketaren 1998). Metabolit yang terdapat dalam

9
rimpang temulawak yang menopang manfaat kesehatan antara lain kurkuminoid dan
minyak atsiri. Kurkuminoid terdiri atas senyawa berwarna kuning kurkumin,
desmetoksikurkumin (suatu zat warna kuning, turunan dari heptanoid), dan
bisdesmetoksikurkumin (Stankovic 2004). Menurut Kertia et al. (2005) pada rimpang
temulawak tidak ditemukan bisdemetoksikurkumin. Hanya pada rimpang kunyit
ditemukan bisdemetoksi di dalam kurkuminoid.
Kurkumin merupakan salah satu senyawa aktif yang diisolasi dari rimpang
Curcuma xanthorrhiza (temulawak). Namun berdasarkan penelitian terbaru, kurkumin
juga dapat diisolasi dari Curcuma zedoaria dan Curcuma aromatica. Kurkumin
dihasilkan secara alami dari rimpang Temulawak bersamaan dengan dua senyawa analog
kurkumin lainnya, yaitu demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin. Kurkumin
dihasilkan dari rimpang temulawak dalam jumlah yang paling banyak dibandingkan
dengan demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin (Afifah, 2005).

Gambar 2.1 Struktur Kurkuminoid dari Rimpang Temulawak


Komponen yang terdapat di dalam kurkuminoid yang dianalisa dari hasil
kromatografi adalah kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin.
Dinamakan demetoksi kurkumin karena hilangnya satu gugus metoksi pada struktur
kurkumin, sedangkan dinamakan bisdemetoksikurkumin karena hilangnya dua gugus
metoksi pada kurkumin. Tingkat kepolaran antara kurkumin, demetoksikurkumin, dan
bisdemetoksikurkumin diakibatkan hilangnya gugus metoksi pada struktur kurkumin.
Dari ketiga komponen diatas, yakni kurkumin, demetoksikurkumin, dan
bisdemetoksikurkumin, yang bersifat paling polar adalah bisdemetoksikurkumin. Hal
ini dikarenakan dari ketiganya, molekul bisdemetoksi kurkumin berukuran paling

10
kecil sehingga menambah kepolaran senyawanya. Dari percobaan Kromatografi Lapis
Tipis (KLT) sebelum di kromatografi kolom, kurkumin berada pada posisi paling atas
pada pelat kromatografi lapis tipis, dibawahnya ada demetoksikurkumin, dan yang
paling bawah adalah bisdemetoksikurkumin. Hal itu menunjukkan bahwa kurkumin
adalah senyawa yang lebih non polar dibanding 2 senyawa lainnya, sedangkan
bisdemetoksikurkumin merupakan senyawa yang lebih polar daripada 2 senyawa lain
(Afifah, 2005).

2.3.1. Sifat Fisikokimia Kurkuminoid


Menurut Sidik et al. (1995), kandungan utama temulawak digunakan sebagai
sumber bahan pangan, bahan baku industri, atau bahan baku obat yang dapat
dibedakan atas beberapa fraksi, yaitu fraksi pati, fraksi kurkuminoid, dan fraksi
minyak atsiri. Kandungan kurkuminoid dalam rimpang temulawak keringberkisar
3.16%, sedangkan kurkumin dalam kurkuminoid rimpang temulawak sekitar 58-71 %
dan demetoksi kurkumin berkisar 29-42 %.
Tabel 2.1 Sifat Fisikokimia Kurkuminoid Rimpang Temulawak
Sifat Kimia Kurkumin Demetoksikurkumin Bisdemetoksikurkumin
Rumus Molekul C21H20O6 C20H18O5 C19H16O4
Bobot Molekul 368,385 338,395 308,333
Titik Leleh 183C 168C 224C
Kristal Jingga Jingga-kuning Kuning cerah
Kelarutan
Tidak Larut Air, heksana Air, heksana Air, heksana
Larut sedang Benzena, eter, Benzena, eter, Benzena, eter,
Sangat larut Kloroform, Kloroform Kloroform
Alkohol, aseton, asam Alkohol, aseton, asam Alkohol, aseton, asam
asetat glasial asetat glacial asetat glasial
Reaksi dengan asam Warna merah Warna merah Warna merah
Reaksi dengan basa Warna kuning cerah Warna kuning cerah Warna kuning cerah
Sumber : Parthasarathy et al. (2008)
2.3.2. Karakteristik Kurkumin
Kurkumin bersifat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol dan asam
asetat glasial. Kurkumin akan terdegradasi pada pH di atas 7.2 dan oleh sinar ultra
violet. Oleh sebab itu pada proses pengeringan menggunakan sinar matahari dan
ekstraksi hal tersebut perlu diperhatikan, agar efikasi kurkumin tetap terjamin
(Nurlaili, dkk., 2014).
Kurkumin termasuk zat yang tidak toksik, daya serap tubuh terhadap
kurkumin rendah sampai sedang. Penyerapan kurkumin dalam tubuh dapat dibantu
oleh piperin. Di dalam tubuh kurkumin diserap oleh darah, dengan cepat

11
dimetabolisasi di dalam liver dan dibuang melalui kotoran. Penggunaan jangka
pendek dan menengah cukup aman. Percobaan pada tikus, pemakaian dosis tinggi
secara terus menerus dalam jangka panjang sampai 24 bulan bisa menimbulkan efek
samping (adenoma, lymphoma) (Nurlaili, dkk., 2014).
Kurkumin yang diekstrak dari jenis Curcuma yang berbeda memilki efek
terapeutik yang berbeda, antara lain karena efek terapeutik tiap kurkumin dan
perbandingan ketiga kurkumin tersebut dalam tiap jenis tanaman berbeda. Sebagai
contoh, daya hambat tumor yang diinduksi pada tikus menggunakan kurkumin I
mencapai 90 %, kurkumin II 80 % dan pada kurkumin III hanya 60 %. Perbandingan
antara kurkumin I, II dan III pada kunyit adalah 46,9%:23,0%:29,2%, sedangkan pada
temulawak 62,4 %: 37,6 %: 0 % (Natarajan, 1980).

2.3.3. Identifikasi Senyawa Kurkumin


Identifikasi senyawa metabolit sekunder dalam fraksi kloroform rimpang
temulawak (Curcuma xanthorrhiza) menggunakan spektrofotometer UV-Vis,
spektrometer IR, spektrometer 1H-NMR, spektrometer 13C-NMR, HMQC, HMBC dan
COSY.Hasil analisis dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menunjukkan adanya
noda tunggal dengan perbandingan eluen n-heksana : etil asetat = 6:4(Rf = 0,4),
petroleum eter:etil asetat = 6 : 4 (Rf = 0,286) dan petroleum eter:etil asetat = 8 : 2 (Rf
= 0,086). Spektra UV-Vis memberikan serapan dengan panjang gelombang
maksimum pada 271 nm dan 418 nm. Spektra IR menunjukkan adanya gugus OH,
C=C, gugus C=O, C-H alifatik, dan gugus C-O. Spektra 1H-NMR menunjukkan
13
adanya proton alifatik, proton aromatik dan proton metoksi. Spektra C-NMR
menunjukkan adanya C=O karbonil, C=C, dan C-O. Berdasarkan analisis data
spektrofotometer UV-Vis, spektrometer IR, spektrometer 1H-NMR, spektrometer 13C-
NMR, HMQC, HMBC dan COSY dapat disimpulkan bahwa senyawa hasil isolasi
dari rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza) dalam fraksi kloroform
menunjukkan bahwa senyawa tersebut termasuk golongan kurkumin yaitu
demetoksikurkumin (Nuryanti, 2015).
Identifikasi keberadaan kurkuminoid hasil ekstraksi dapat dilakukan secara
cepat dengan KLT, menggunakan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak
campuran CHCl3/Et-OH (98/2). Gambar 2.2 menunjukkan pola kromatogram hasil
KLT. Seluruh sampel (segar, O1, O3, O5, L1, L3, L5) memperlihatkan pola

12
kromatogram yang hampir sama, yaitu terdeteksi 2 noda berwarna kuning pada pelat
KLT (Cahyono, dkk., 2011).

Gambar 2.2 Pola KLT kurkuminoid dari 7 sampel (Segar, O1, O3, O5, L1, L3, L5) dengan
fase gerak CHCl3 : Et-OH (98 : 2)

Menurut Cahyono,dkk., 2011, Hasil KLT diperoleh untuk senyawa Kurkumin :


Nilai Rf standar 0,3 dan Rf sampel 0,37 dengan warna Kuning pekat sedangkan
senyawa Demetoksikurkumin : Nilai Rf standar 0,15 dan nilai Rf sampel 0,15 dengan
warna kuning. Dibandingkan dengan harga Rf literatur (Govindarajan, 1980), noda-
noda hasil KLT dapat diusulkan sebagai senyawa kurkumin (noda 1) dan
demetoksikurkumin (noda 2). Intensitas warna noda 1 lebih pekat daripada noda 2
(demetoksikurkumin), sehingga dapat memberikan indikasi awal bahwa kandungan
senyawa kurkumin lebih besar daripada senyawa demetoksikurkumin. Senyawa
bisdemetoksikurkumin tidak terdeteksi, diduga kadarnya relatif kecil (Cahyono, dkk.,
2011).
2.3.4. Spektrum IR Senyawa Kurkumin Temulawak
Radiasi inframerah (Infrared, IR) tidak memiliki cukup energi untuk
menyebabkan transisi elektronik. Bila radiasi IR dilewatkan melalui suatu cuplikan,
maka molekul akan menyerap energi sehingga terjadi vibrasi (Hendayana dkk., 1994).
Panjang gelombang serapan oleh suatu ikatan bergantung pada jenis getaran ikatan
antar atom. Oleh karena itu, tipe ikatan yang berlainan akan menyerap radiasi IR pada
panjang gelombang yang berbeda (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Spektrum inframerah kurkumin terdiri dari gugus fungsional alkena, karbonil,
alkana, benzena dan hidroksi. Kesamaan serapan alkena terhadap serapan aromatik
menyebabkan sukar untuk mendeteksi gugus alkena dalam molekul aromatik. Puncak
sedang hingga kuat di daerah 1650-1450 cm-1 sering diinterpretasikan sebagai cincin
aromatik. Kenampakan yang paling umum dari serapan C-H ulur (alkana) adalah
munculnya dua pita kuat di sebelah kanan 3000 cm-1 dan C-H tekuk di sekitar 1390

13
cm-1. Gugus karbonil (C=O) memberi puncak kuat di daerah 1820-1600 cm-1
(Sastrohamidjojo, 2007).
Molekul-molekul hanya akan menyerap sinar inframerah pada frekuensi
tertentu jika di dalam molekul ada transisi tenaga sebesar =h. Transisi yang terjadi
di dalam molekul berkaitan dengan perubahan-perubahan vibrasi di dalam molekul.
Sebagai contoh, pita kuat di daerah 1700 cm-1 mempunyai frekuensi yang sama
dengan ikatan C=O yang mengalami vibrasi ulur. Ikatan-ikatan yang berbeda (C-C,
C=C, CC, C-O, C=O, O-H, N-H dsb.) mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda
dan kita dapat mendeteksi adanya ikatan-ikatan tersebut dalam molekul organik
dengan mengidentifikasi frekuensi-frekuensi karakteristiknya sebagai pita serapan
dalam spektrum inframerah (Sastrohamidjojo, 2007).
Spektra kurkumin seperti disajikan pada Gambar 2.3 menunjukkan serapan
pada daerah 3433,1 cm-1 yang merupakan karakteristik OH, baik substituen sistem
aromatis ataupun kemungkinan adanya bentuk enol. Ikatan rangkap dua karbon-
karbon (C = C) alifatis yang memiliki vibrasi rentang ikatan = C H terekam pada
frekuensi 2947,0 cm-1 yang diperkuat oleh adanya serapan kuat pada 964,3 cm-1
akibat vibrasi lekuk = C H dalam bidang. Pita serapan karbonil C = O berada pada
1627,8 cm-1 yang bergeser dari frekuensi standar karbonil karena adanya sistem
konjugasi, berupa resonansi sistem -diketon dengan ikatan rangka C = C dan cincin
aromatis serta adanya ikatan H (yang mencirikan kurkumin bentuk enol) (Didik,dkk.,
2007).

14
Gambar 2.3 Spektra IR Kurkumin Temulawak

Pita-pita dalam daerah 3000 2800 cm-1 menunjukkan adanya rentangan


ikatan C H sistem jenuh yang diperkuat adanya pita 1373,2 cm-1 yang merupakan
indikasi CH3 pada gugus OCH3 dan pita 1427,2 cm-1 menunjukkan adanya gugus
metilen CH . Sedangkan dua pita pada 1596,9 cm-1 dan 1512,1 cm-1 merupakan
frekuensi rentangan simetris C = C cincin aromatis. Substituen-substituen cincin ini
memberikan pita pada frekuensi 817,8 cm-1 dan 470,6 cm-1. Sementara itu rentangan
simetris sistem C cincin O C muncul pada daerah 1033,8 cm-1. Dan rentangan
simetris O C = C (cincin) pada daerah sekitar 1134,1 cm-1. Pita-pita pada daerah
1200 1300 cm-1 muncul karena rentangan C C(O) C dan/atau gerak melengkung
sistem C C(O) C (Didik, dkk., 2007).

2.3.5. Spektra IR
Hampir setiap senyawa yang memiliki ikatan kovalen, apakah senyawa
organik atau anorganik, akan menyerap berbagai frekensi radiasi elektromagnetik
dengan panjang gelombang () 0,5 1000 m). Dalam kimia organik, fungsi utama
dari spektrometri inframerah adalah mengenal (elusidasi) struktur molekul, khususnya
gugus fungsional seperti OH, C = O, C = C. Daerah yang paling berguna untuk
mengenal struktur suatu senyawa adalah pada daerah 10.000 400 cm -1. Dalam

15
praktek satuan yang lebih umum dipakai adalah satuan frekuensi (cm -1) dan bukan
saatuan panjang gelombang. Serapan setiap tipe ikatan (N - H, C - H , O - H, C - X, C
= O, C - O, C C, C = C, C = N, dan sebagainya) hanya diperoleh dalam bagian-
bagian kecil tertentu dari daerah vibrasi infra merah. Kisaran serapan yang kecil dapat
digunakan untuk menentukan setiap tipe ikatan.
Dalam rangka memperoleh informasi struktur senyawa organik yang
dianalisis, kita harus terbiasa dengan frekuensi atau panjang gelombang dimana
berbagai gugus fungsional menyerap. Sebagai contoh, setiap serapan dalam kisaran
3000 + 150 cm hampir selalu disebabkan adanya ikatan C=O (gugus karbonil). Dalam
Gambar 2.4 berikut tersusun secara sistematik daerah serapan yang sesuai dengan
ikatan yang terdapat dalam senyawa (Kristianingsih, 2016).

Gambar 2.4 Daerah Serapan Infra Merah

2.4. Analisis Kualitatif dengan IR


Sebagai pelengkap untuk memperoleh informasi struktur dari senyawa melalui
interpretasi. Spektrum IR dapat dipakai tabel korelasi IR (Tabel 2.1) yang memuat
informasi dimana gugus fungsional menyerap. Ini umumnya berguna untuk
mengklasifikasi seluruh daerah kedalam tiga sampai empat daerah yang lebar. Salah satu
cara ialah dengan mengkategorikan sebagian daerah IR dekat (0,7-2,5); daerah
fundamental (2,5-5,0); dan daerah IR jauh (50-500). Cara yang lain adalah dengan
mengklasifikasikannya sebagai daerah sidik jari (6,7-14). Dari kedua klasifikasi ini
tampak bahwa dalam kategori kedua semua daerahnya adalah fundamental, dan ini
paling banyak digunakan.
a) Daerah ulur hidrogen (3700-2700 cm-1). Puncak terjadi karena vibrasi ulur dari atom
hidrogen dengan atom lainnya. Frekuensinya jauh lebih besar sehingga interaksi
dapat diabaikan. Puncak absorpsi timbul pada daerah 3700-3100 cm-1 karena vibrasi
ulur dari O-H atau N-H. Ikatan hidrogen menyebabkan puncak melebar dan terjadi
pergeseran ke arah bilangan gelombang yang lebih pendek. Sedangkan vibrasi C-H
alifatik timbul pada 3000-2850 cm-1. Perubahan struktur dari ikatan C-H akan

16
menyebabkan puncak bergeser kearah yang maksimum. Ikatan C=H timbul pada
3300 cm-1. Hidrogen pada gugus karbonil aldehid memberikan puncak pada 2745-
2710 cm-1. Puncak vibrasi ulur CH dapat didefinisikan dengan mengamati atom H
oleh deuterium.
b) Pada daerah ikatan rangkap tiga (2700-1850 cm-1), gugus-gugus yang mengabsorpsi
terbatas, seperti untuk vibrasi ulur ikatan rangkap terjadi pada daerah 2250-2225 cm-1
(Misal : untuk C=N pada 2120 cm-1, -C-=N- pada 2260 cm-1). Puncak untuk SH
adalah pada 2600-2550 cm-1 untuk pH pada 2240-2350 cm-1 dan SiH pada 2260-2090
cm-1.
c) Pada daerah ikatan rangkap dua (19501550 cm-1), vibrasi ulur dari gugus karbonil
dapat dikarakteristikkan di sini, seperti aldehid, asam, aminola, karbonat, semuanya
mempunyai puncak pada 1700 cm-1. Ester, halida-halida asam, anhidrida-anhidida
asam, mengabsorpsi pada 1770-1725 cm-1. Konjugasi menyebabkan puncak absorpsi
menjadi lebih rendah sampai 1700 cm-1. Puncak yang disebabkan oleh vibrasi ulur
dari C=C- dan C=N terletak pada 1690-1600cm-1, berguna untuk identifikasi olefin.
Cincin aromatik menunjukkan puncak dalam daerah 1650-1450cm -1, yang dengan
derajat substitusi rendah (low degree of substitution) menunjukkan puncak pada
1600, 1580, 1500, dan 1450cm-1.
d) Daerah sidik jari berada pada 1500-1700 cm-1, dimana sedikit saja perbedaan dalam
struktur dan susunan molekul, akan menyebabkan distribusi puncak absorpsi
berubah. Dalam daerah ini, untuk memastikan suatu senyawa organik adalah dengan
cara membandingkan dengan perbandingannya. Pita absorpsi disebabkan karena
bermacam-macam interaksi, sehingga tidak mungkin dapat menginterpretasikan
dengan tepat.
Tabel 2.1 Pita Absorbsi Infra Merah
Gugus Senyawa Frekuensi (cm-1) Lingkungan Nama
lingkungannya
spektral cm-1(
)
OH Alkohol 3580-3650 3333-3704
Asam 2500-2700
(2,7-3,0 )
NH Amina primer dan -3500
sekunder 3310-3500
Amida 3140-3320 2857-3333 Lingkungan vibrasi
(3,0-3,5 ulur hidrogen

CH Alkuna 3300
Alkena 3030-3095
Aromatik -3030

17
Alkana 2853-2962
Aldehida 2700-2900 2500-2857
(4,0-4,5 )
SH Sulfur 2500-2700
C=C Alkuna 2190-2260
C
Alkilnitril 2240-2260 2222-2500 Lingkungan ikatan
(4,5-5,0 ) ganda tiga
C
Iosianat 2240-2275
Arilnitril 2220-2240
-N=C=N Diimida 2130-2155 2000-2222
(5,0-5,5 )
-N3 > CO Azida 2120-2160
Aldehid 1720-1740 818-2000
(5,5-6,0 )
Keton 1675-1725
Asam karboksilat 1700-1725
Ester 2000-2300
Asilhalida 1755-1850 1667-1818 Lingkungan ikatan
(6,0-6,5 )
ganda dua

Amida 1670-1700
CN Oksin 1640-1690
CO -diketon 1540-1640
C=O Ester 1650
C=C Alkena 1620-1680
N-H(b) Amina 1575-1650 1538-1667 Daerah sidik jari
-N=N- Azo 1575-1630
(6,5-7,5 )
-C-NO2 Nitro 1550-1570
-C-NO2 Nitro aromatik 1300-1570 1538-1667
C-O-C Eter 1230-1270
1053-1333
(7,5-9,5 )
-(CH2)n Senyawa lain -722 666-900
(11-15,0 )

2.5. Isolasi Metabolit Sekunder


Isolasi kurkumin adalah menggunakan menggunakan metode dan pelarut yang
berbeda. Berdasarkan hasil yang diperoleh, sistem dengan sokletasi menggunakan etanol
menghasilkan kurkuminoid yang lebih banyak daripada sistem yang lain. Kurkumin
sudah lama digunakan sebagai bahan baku di dalam industri obat alami, akan tetapi
masih banyak dijumpai perusahaan obat alami di Indonesia yang hanya melakukan
ekstraksi tanpa mempertimbang-kan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi proses.
Di samping itu, kualitas ekstrak yang di-hasilkan belum seragam kandungan senyawanya

18
untuk setiap batch yang berbeda. Perbedaan ini kemungkinan diakibatkan belum
diterapkannya sistem produksi yang baik pada tahap budidaya, pasca panen dan proses
ekstraksinya (Afifah, 2005).
Isolasi metabolit sekunder dari suatu tumbuhan terdiri atas tahapan seleksi
tumbuhan, pengumpulan sampel, identifikasi sampel, ekstraksi, fraksinasi, pemurnian
dan karakterisasi isolat. Berikut ini uraian tentang langkah langkah isolasi metabolit
sekunder.
2.5.1. Fraksinasi dan Pemurnian
Fraksinasi dan pemurnian bahan alam biasanya dilakukan dengan teknik
kromatografi. Kromatografi dapat digunakan untuk mengetahui gambaran umum
metabolit sekunder suatu spesies tumbuhan. Kromatografi dapat memisahkan dua atau
lebih senyawa berdasarkan perbedaan migrasi dan distribusi senyawa di dalam dua fasa
yang berbeda. Fasa dalam kromatografi dapat berwujud padat-cair, cair-cair, atau gas-
cair. Berdasarkan fasa geraknya, kromatografi dapat dibagi menjadi dua yaitu
kromatografi cair dan kromatografi gas sedangkan berdasarkan fasa diamnya,
kromatografi terbagi menjadi kromatografi cair-padat, kromatografi cair-cair,
kromatografi gas-padat, dan kromatografi gas-cair. Berdasarkan mekanisme
pemisahannya kromatografi dibagi menjadi empat jenis, yaitu kromatografi adsorbsi,
kromatografi partisi, kromatografi penukar ion, dan kromatografi eksklusi. Zat terlarut
dengan afinitas lebih besar terhadap fase gerak akan tertahan lebih lama pada fase gerak,
sedangkan zat terlarut dengan afinitas lebih kecil terhadap fasa gerak akan tertahan lebih
lama pada fasa diam (Hakim,A., 2016).
Adapun pelarut organik etil asetat, butanol, diklorometan/kloroform, dan heksana
lazim digunakan untuk tahap fraksinasi dengan metode partisi cair-cair atau enap tuang
(padat cair). Penggunaan langsung salah satu jenis pelarut organik itu juga tidak bisa
disalahkan asal cukupnya pertimbangan pustaka.
Jika skrining telah dilakukan dan menunjukkan salah satu sampel aktifitas poten
maka dilakukan pekerjaan isolasi. Untuk tujuan isolasi direkomendasikan bobot bahan
simplisia awal sebaiknya minimal 1 kg agar peluang mendapatkan senyawa aktif
farmakologis secara secara kualitatif maupun kuantitatif lebih tinggi.
Seringkali (hampir selalu) tahap fraksinasi belum mendapatkan senyawa tunggal.
Fraksinasi tahap II biasanya dilakukan dengan cara kromatografi kolom. Kromatografi
kolom pilihan utama adalah fase normal. Kemudian jika masih belum mencapai target

19
dilakukan fraksinasi tahap ke III dengan fase terbalik. Kromatografi permeasi dengan
fase diam polisakarida sering dilakukan setelah fraksinasi tahap II (Saifudin, 2014).
2.5.2. Dasar-dasar kromatografi untuk pemisahan
Di dalam isolasi senyawa, kromatografi sangat penting dan fundamental untuk
identifikasi, deteksi pemisahan, deteksi optimasi fase gerak, deteksi kemurnian, dll. Jadi
kromatografi adalah metode dasar. Ada dua tipe kromatografi berdasarkan pengepakan
fase diam. Yakni kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi kolom. Kromatografi
lapis tipis (KLT) adalah fundamental untuk mendapatkan visi terkait metode pemisahan
yang akan kita pilih. KLT cenderung bersifat analitis, hanya pekerjaan tertentu untuk
isolasi (preparatif). KLT akan memvisualkan senyawa-senyawa yang terkandung di dalam
bahan sehingga bisa diketahui sifat-sifatnya terutama polaritas. Sistem yang dipilih fase
diam dan fase gerak sebisa mungkin memberikan jumlah bercak sebanyak mungkin.
Pemisahan alkaloid: membutuhkan fase diam silika dengan fase gerak dengan orientasi
seperti poin 1 akan tetapi perlu ditambahkan basa lemah: misalnya CHCl3 - metanol
ammonia (atau basa lemah lain)= 7: 3 : 0.1.Kromatografi Kolom dan Subfraksinasi:
Untuk memilih kapan menggunakan fase diam tipe terbalik atau tipe normal maka KLT
baik dengan fase diam normal atau terbalik harus dilakukan terlebih dahulu. Jika KLT tipe
silika mampu memberikan pemisahan terbanyak maka kolom silika digunakan.Akan
tetapi jika fase diam terbalik memberikan pemisahan maksimal maka fase terbaliklah
yang digunakan (Saifudin, 2014).
Fraksinasi adalah upaya pemisahan yang dilakukan setelah mendapatkan fraksi
aktif atau ekstrak aktif. Untuk fraksinasi dilakukan dengan cara kromatografi kolom
dengan adsorben/fase diam/penjerap berupa silika atau fase terbalik C-18. Yang
dimaksudkan C-18 di sini adalah oktil dekana yang terikat dengan silika. Adsorben
dengan silika disebut fase normal sedangkan adsorben C-18 bersifat terbalik (reversed
phase/RP) seringkali disebut ODS (okta desil silika). Perlu dicatat disini bahwa ODS
adalah bahan yang mahal sehingga untuk menggunakan perlu hati-hati. Bagaimanakah
polaritas fase normal silika dan C-18 ini?. Bilamana memilih silika atau ODS sebagai fase
diam (Saifudin, 2014).
Agar potensi mendapatkan senyawa target lebih tinggi, untuk melakukan
kromatografi kolom ini sebaiknya minimal bobot bahan adalah 5-10 g. Kemudian bahan
tersebut dibuat serbuk dengan mencampurkan dengan silika atau ODS. Untuk membuat
serbuk yang baik ekstrak dilarutkan dengan aseton karena mudah menguap lalu

20
dicampurkan fase diam. Jika bobot > 8 gram dicampur dengan fase diam dan serbukkan
dengan rotaroty evaporator. Kemudian dan dikepak pada pre kolom.
Kromatografi kolom: digunakan untuk memisahkan/fraksinasi ekstrak kasar
maupun halus. Untuk pemisahan kasar, fase diam umumnya terbuat dari serbuk silika
yang dikepak/dimasukkan ke dalam kolom dalam bentuk larutan dalam pelarut organik
atau serbuk kering. Sedangkan pemisahan halus biasanya melibatkan fase diam non polar
misal okta desil silika atau polikasakarida misal Sephadex (Saifudin, 2014).
Ukuran Partikel: Khusus untuk kromatografi kolom silika. Ukuran partikel silika yang
digunakan untuk tahap fraksinasi adalah:
40-63 m (230-400 Mesh). Luas penggunaan dan lazim digunakan
63-200 m (70-230 Mesh) untuk kolom yang mengandalkan gravitasi.
Ukuran lebih kecil dari 40 m digunakan untuk KLT

2.5.3. Karakterisasi Metabolit Sekunder


Karakterisasi senyawa murni hasil isolasi dapat dilakukan melalui data
spektroskopi. Spektroskopi merupakan studi tentang antaraksi cahaya dengan atom atau
molekul. Beberapa jenis spektroskopi yang bisa digunakan yaitu : a. Spektroskopi UV-Vis
digunakan untuk mengetahui gugus fungsi dari senyawa kurkumin tersebut, b.
Spektroskopi Infra Red digunakan untuk mengetahui fibrasi metoksil, aromatis
(Hakim,A. 2016).
Analisis Spektrofotometri UVTampak. Di dalam suatu larutan, prinsip pewarnaan
dari kurkuminoid adalah tampilnya bentuk tautomeri ketoenol, serta sekitar 95% berada
dalam bentuk konfigurasi enol (Bong, 1999). Secara keseluruhan, kandungan sampel
yang dikeringkan cenderung lebih besar daripada sampel segar, diduga disebabkan
perlakuan pengeringan dapat meratakan penyebaran kurkuminoid dalam rimpang
temulawak, sehingga akan memudahkan pelarut mengekstrak kurkuminoid (Cahyono,
dkk., 2011).

21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Adapun waktu dan tempat dilaksanakannya praktikum ini yaitu :
Hari/Tanggal : Selasa, 6 Desember 2016 selesai
Tempat : Laboratorium Kimia FKIP Universitas Mataram

3.2 Metode yang digunakan


Praktikum ini menggunakan metode meserasi, penguapan pelarut, pemisahan dengan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT), dan Kromatografi Kolom.

3.3 Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu:
1. Alat
a. Gelas kimia
b. Tabung reaksi
c. Labu ukur
d. Pipet
e. Corong ejana kaca
f. Eluen, yaitu CH2Cl2 : MeOH (97 : 3)
g. Fraksi dari Curcumae domesticate rhizome
h. Pensil
i. Pipa kapiler
j. Kertas Saring
k. Penjerap KLT preparatif dengan tebal 0,5 - 2 mm dan ukuran biasanya 20 x 20 cm
l. Batang pengaduk
m. Klem
n. Statif
o. Botol kaca
p. Pompa vakum
2. Bahan
a. Temulawak
b. Silika Gel
c. Cerium Sulfat (CeSO4)
d. n-Heksan
e. Etil Asetat
22
f. Methanol 96 %
g. Alcohol 70 %
h. Alumunium foil
i. Kertas saring
j. Klorofom

3.4 Prosedur Kerja


1. Maserasi sampel
Sampel temulawak yang sudah dalam bentuk serbuk ditimbang sebanyak 100
gram, kemudian direndaam di dalam toples kaca dengan menggunakan pelarut
methanol 96 % selama 3 hari, kemudian disaring menggunakan corong dan kertas
saring, dan didiam kan selama 1 minggu untuk mengeringkan endapan dari hasil
penyaringan.

2. Penguapan Pelarut
Filtrat temulawak yang di dapatkan dari hasil maserasi didiamkan dan di
angin-anginkan selama 3 hari sehingga pelarut dari hasil maserasi tadi menguap dan
sudah tidak mengandung pelarut lagi dari ekstrak temulawak yang di dapatkan.

3. Identifikasi dengan cara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan cara :


a Alat dan Bahan disiapkan
b Menandai penjerap (biasanya silika gel) dengan menggunakan pensil
c Eluen dimasukkan ke dalam gelas kimia
d Penotolan ekstrak fraksi Curcumae domesticate rhizome dilakukan dengan
melarutkan ekstrak dalam sedikit pelarut. ekstrak ditotolkan berupa pita dengan
jarak sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Pelarut yang
baik untuk melarutkan ekstrak adalah pelarut yang mudah menguap/atsiri
e Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca
f Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut pengembang dengan bantuan kertas
saring yang diletakkan berdiri di sekeliling permukaan bagian dalam bejana

g Setelah noda cuplikan naik, keluarkan plat dari bejana kaca, biarkan kering,
kemudian hasilnya dilihat di bawah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm
h Pita noda yang terbentuk ditandai dengan pensil agar lebih jelas dalam
memisahkan noda.
i Setelah dilakukan KLT mengandung lampu UV yang membantu mendeteksi letak
pita yang terpisah pada senyawa yang menyerap sinar ultraviolet. Untuk
mendeteksi senyawa yang tidak menyerap sinar ultraviolet yaitu dengan cara

23
menutup plat dengan sepotong kaca lalu menyemprot kedua sisi dengan
penyemprot
4. Pemisahan dengan cara Kromatografi Kolom :
a) Siapkan kolom untuk kromatografi, masukkan kapas dan kertas saring pada bagian
kolom dan kran kolom ditutup.
b) Tuangkan eluen (klorofom) sampai setengah bagian kolom, masukkan silika gel
yang akan digunakan sampai jumlah yang dikehendaki.
c) Keluarkan eluen (klorofom) sampai 1 cm diatas permukaan silika gel. Amati
dengan baik. Perhatikan jangan sampai ada gelembung udara dalam silika gel.
Kolom siap digunakan.
d) Secara perlahan buka kran kolom sehingga eluen (klorofom) akan mengalir keluar.
e) Catat waktu pertama setelah penetesan eluen (klorofom).
f) Fraksi yang keluar ditampung tiap 2 mL, catat pada menit beberapa tetesan atau
fraksi yang berisi analit pertama mulai keluar (menit pertama dan terakhir untuk
suatu analit yang sama).
g) Demikian seterusnya untuk analit berikutnya.
h) Perhatian: penambahan eluen (klorofom) jangan sampai terlambat yaitu jangan
sampai silika gel di atas eluen (klorofom) habis.
j Setelah pita ditampakkan dengan cara yang tidak merusak maka senyawa yang
tidak berwarna dengan penjerap dikerok dari plat kaca. Cara ini berguna untuk
memisahkan campuran beberapa senyawa sehingga diperoleh senyawa murni

5. Prinsip Kerja Preparasi Sampel Cair Pada IR

SAMPEL

Diencerkan
dengan
Kloroform

Diinjeks
24
i
Sel FTIR

Hasil

Cuplikan dilarutkan dengan pelarut klorofom secara kualitatif kemudian di injeksi


dengan menggunakan suntikan dan dimasukan kedalam instrumen sel FTIR sehingga
dianalis oleh IR.

3.5 Perbandingan Metode dari Referensi yang Digunakan dengan Usulan dari
Praktikan

Rancangan Metode Dalam Langkah Kerja

Dari Referensi Yang Dari Usulan


Digunakan Praktikan
(Afifah dkk, 2013)

Maserasi
Preparasi rimpang
Fraksinasi ekstrak 25
tamulawak Metanol
Kromatografi
tamulawak dengan
dengan
Ekstrasi senyawa
metode
metode kromatografi
kromatografi
kurkuain dengan
Etan
lapisan
cair tipis
sekletasi
vakum
Pengering ol
Penguapan
pelarut

Identifikasi dengan cara


Kromatografi Lapis Tipis

( KLT)

Pemisahan denga cara


Kromotografi Kolom

Standar dengan KLT

Spektrum IR

26
BAB IV

ANALISIS DATA

4.1 Identifikasi Pelarut KLT

No Gambar UV Asli
1.

Hasil KLT menggunakan UV untuk pelarut


Kloroform
2.

Hasil KLT menggunakan UV untuk pelarut


Methanol
3

27
Hasil KLT menggunakan UV untuk pelarut
n-Heksan

4.2 Hasil Pemisahan Kromatografi Kolom

4.3 Identifikasi KLT Hasil Kolom

NO Gambar KLT di UV KLT Asli


.
1.

Hasil Identifikasi dengan UV totolan pada


plat dengan sampel kolom 5, 10, dan 15
2

28
Hasil Identifikasi dengan UV totolan pada
plat dengan sampel kolom 20, 25 dan 30
3

Hasil Identifikasi dengan UV totolan pada


plat dengan sampel kolom 35

4.4 Identifikasi KLT hasil Kolom dengan Penggabungan Beberapa Sampel

N Gambar KLT Asli


o
1

Hasil totolan pada plat dengan sampel


kolom campuran 20-30
2

29
Hasil totolan pada plat dengan sampel
kolom campuran 31-36

4.5 Hasil Totolan Pada Plat dengan Sampel Kolom Gabungan

N Gambar KLT di UV RF
o
1
RF untuk Fraksi 20-30
jarak spot
RF = jarak total iluen

1,5
RF = 2,7 = 0,56

RF untuk standar senyawa curcumin


jarak spot
RF = jarak total iluen

1,4
RF = 2,7 = 0,52

Hasil totolan pada plat dengan sampel


kolom gabungan sebelah kiri
(campuran 20-30) sebelah kanan
(campuran 31-36)

4.6 Identifikasi Perbandingan HasiL KLT dan Senyawa Standar Kurkumin

NO Gambar KLT di UV KLT Asli RF


.
1 RF untuk Fraksi 20-30

30
jarak spot
RF = jarak total iluen

2,5
RF = 2,7 = 0,92

RF untuk standar
senyawa curcumin
jarak spot
RF = jarak total iluen

2,4
RF = 2,7 = 0,89

Hasil KLT perbandingan Hasil KLT perbandingan


Senyawa Standard dan fraksi Senyawa Standard dan
kolom 20-30 dengan eluen fraksi kolom 20-30
kloroform dengan eluen kloroform
3 RF untuk Fraksi 31-36
jarak spot
RF = jarak total iluen

2,5
RF = 2,7 = 0,92

RF untuk standar
senyawa curcumin
jarak spot
RF = jarak total iluen

2,4
RF = 2,7 = 0,89

Hasil KLT perbandingan Hasil KLT perbandingan


Senyawa Standard dan fraksi Senyawa Standard dan
kolom 31-36 dengan eluen fraksi kolom 31-36
kloroform dengan eluen kloroform

4.7 Pemurnian Hasil Kolom dengan Standar KLT

No Gambar KLT di UV KLT Asli RF


.
1 RF untuk Fraksi 20-30

31
jarak spot
RF = jarak total iluen

0,6
RF = 2,5 = 0,24

RF untuk standar
senyawa curcumin
jarak spot
RF = jarak total iluen

0,4
RF = 2,5 = 0,16

Hasil KLT perbandingan Hasil KLT perbandingan


Senyawa Standard dan fraksi Senyawa Standard dan
kolom 20-30 dengan iluen fraksi kolom 20-30
kloroform + n-heksan dengan iluen kloroform +
n-heksan
2 RF untuk Fraksi 20-30
jarak spot
RF = jarak total iluen

2,1
RF = 3 = 0,7

RF untuk standar
senyawa curcumin
jarak spot
RF = jarak total iluen

2,1
RF = 3 = 0,7

Hasil KLT perbandingan Hasil KLT perbandingan


Senyawa Standard dan fraksi Senyawa Standard dan
kolom 20-30 dengan iluen fraksi kolom 20-30
kloroform + etil asetat dengan iluen kloroform +
etil asetat

BAB V
PEMBAHASAN

32
Kurkumin adalah senyawa turunan fenolik dari hasil isolasi rimpang tanaman
temulawak. Zat ini adalah polifenol dengan rumus kimia C21H20O6. Kurkumin dapat memiliki
dua bentuk tautomer: keton dan enol. Struktur keton lebih dominan dalam bentuk padat,
sedangkan struktur enol ditemukan dalam bentuk cairan. Senyawa ini memiliki rumus
molekul 2 gugus vinilguaiacol yang saling dihubungkan dengan rantai alfa beta diketon.
Sejauh ini senyawa yang paling banyak diisolasi dari kunyit adalah kurkumin (1,7-bis (4-
hidroksi-3-metoksifenil)-1,6-heptadiena-3,5-dion). Kurkumin dikabarkan memiliki
kemampuan sebagai anti tumor dan antioksidan.
Pada percobaan ini, langkah awal yang dilakukan adalah proses maserasi
(perendaman serbuk temulawak, agar mempermudah pemisahan kurkumin dari temulawak,
dimana sampel temulawak yang digunakan berbentuk serbuk halus sebnyak 100 gram dengan
metanol sebnyak 1 liter, proses maserasi dilakukan selama 3 hari, kemudian dilakukan
penyaringan sehingga hasil yang didapatkan adalah filtrat temulawak. Filtrat temulawak
yang diperoleh dari hasil maserasi tersebut dilakukan penguapan filtrat selama 4 hari agar
ekstrak temulawak tidak mengandung pelarut dari hasil maserasi sebelumnya.
Setelah dilakukan proses maserasi, dilakukan identifikasi eluen dengan Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) dengan tiga eluen yang berbeda, yaitu metanol yng besifat polar, klrofom
yang bersifat semi polar dan n-hexsan yang bersifat non polar hal ini dilakukan untuk
mengetahui eluen yang terbaik untuk dilakukan pemisahan pada kromatografi kolom. Setelah
dilakukan KLT dengan menggunakan tiga eluen yang berbeda dengan masing-masing tiga
kali penotolan pada plate KLT kemudian plate KLT yang sudah diberi penotolan dimasukan
kedalam gelas kima yang berisi eluen yang berbeda-beda, maka terlihat hasil yang paling
baik pemisahannya yaitu pada eluen klorofom yang bersifat semi polar, karena didalam
temulawak senyawa mayornya dalah kurkumin, dimana kepolaran kurkumin lebih larut
dalam klorofom
Isolasi kurkumin dari rimpang temulawak pada percobaan ini dilakukan dengan
metode kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis. Metode kromatografi kolom
bertujuan untuk memisahkan kurkumin murni beserta eluennya dan KLT bertujuan untuk
mengidentifikasi keberadaan kurkumin dalam fraksi.
Mekanisme kerja dari kromatografi kolom gravitasi adalah pemisahan suatu senyawa
dalam kolom kromatografi dengan silika gel sebagai fasa diam dan klorofom sebagai fasa
gerak yang akan mengelusi sampel, eluen bergerak turun dan mengelusi sampel digerakkan
oleh gaya grafitasi bumi. Eluen (klorofom) akan mengelusi sampel temulawak dan membawa
senyawa bersamanya menuju wadah eluat (keluar dari kolom), fasa diam (silika gel) memiliki
33
daya adsorbsi yang cukup besar, sehingga ketika eluen yang membawa sampel melewati fasa
diam akan terbentuk fraksi-fraksi warna yang berbeda, sehingga hasil kromatografi kolom
yang kami lakukan terdapat 36 fraksi yang warnanya berbeda. Fraksi warna yang berbeda ini
menunjukkan perbedaan senyawa atau zat aktif yang dipisahkan dari setiap fraksi. Semakin
pekat warna fraksi, maka semakin banyak senyawa atau zat aktif yang terpisahkan dalam
fraksi tersebut.
Untuk menguji keberadaan kurkumin maka dilakukan metode pemisahan dengan
kromatografi lapis tipis. Eluen yang digunakan untuk mengelusi sampel pada KLT ini sama
dengan eluen yang digunakan dalam kromatografi kolom, yaitu klorofom. Agar dapat
memisahkan sampel dengan baik, eluen akan mengelusi sampel pada plat KLT ke arah atas
akibat gaya kapilaritas. KLT dilakukan dengan menggunakan tiga plat, dimana plat yang
pertama dilakukan untuk tiga penotolan frasik yang berbeda yaitu pertama dengan fraksi 5,
10 dan 15, plat kedua dengan fraksi 20, 25 dan 30 dan plat yang ketiga yaitu fraksi 35. Dari
hasil pembacaan spot atau noda pada plat KLT yang telah dibasahi oleh eluen larutan
klorofom dan dimasukan di dalam lampu UV 254 untuk melihat pemisahananya dengan
jelas, setelah dilihat di dalam lampu UV 254 diketahui pada plat yang pertama dengan tiga
totolan fraksi yang berbeda (5,10,15) terdapat masing-masing satu spot atau satu noda yang
terbentuk pada totolan 10 dan 15 sedangakn pada totolan 5 tidak terdapat noda (lihat data
pengamatan), hasil pada plat KLT kedua dengan fraksi (20,25,30) terdapat masing-maing satu
spot secara sejajar dari ketiga fraksi ini, dan hasil pada plat KLT ketiga dengan fraksi 35
dimana hasil yang di dapatkan setelah dilihat di lampu UV 254 terdapat satu spot. Dari ketiga
plat KLT dari hasil kromatografi kolom ini dibandingkan sehingga terlihat spot yang yang
paling baik adalah pada plat KLT yang kedua dan ketiga yaitu spot pada fraksi 20,25,30 dan
35. Oleh karena itu dilakukan gabunngan atau campuran menjadi dua fraksi, dimana fraksi
pertama campuran dari fraksi 20- 30 dan fraksi kedua dari fraksi 31-36 kemudian dilakukan
KLT dengan menggunakan satu plat KLT dengan dua totolan (frasksi 20-30 dan fraksi 31-36),
dari hasil KLT dan terlihat di lampu UV 254 terdapat masing-masing satu spot. Dengan
membandingkan jarak noda atau spot dan jarak pelarut maka akan didapatkan nilai Rf dari
masing-masing spot tersebut, dimana Rf untuk spot pertama (20-30) adalah 0,56 sedangkan
Rf pada spot kedua (31-36) adalah 0,52. Dari kedua spot tersebut terlihat bahwa Rf dari
keduanya ini tidak berbeda jauh hal ini disebabkan karna kemungkinan besar dari kedua spot
ini memiliki senyawa murni yang sama yaitu kurkumin.
Untuk mendapatkan kepastian yang jelas apakah senyawa yang praktikan dapatkan
benar-benar merupakan senyawa murni kurkumin maka perlu pembuktian dengan melakukan
34
perbandingan dengan senyawa standar dari kurkumin itu sendiri dengan metode KLT yang
dibandingkan dengan standar dengan menngunakan eluen yang sama yaitu klorofom. Plat
KLT pertama untuk dua totolan yaitu fraksi 20-30 dan standar kurkumin, plat KLT kedua
yaitu untuk totolan fraksi 31-36 dan standar kurkimin. Hasil KLT yang dilihat melalui lampu
UV 254 dari plat pertama dan plat kedua hasilnya sama dimana terlihat masing-masing satu
spot atau noda pada tiap totolan tersebut dengan Rf spot (20-30) dan spot (31-36) adalah
0,92 sedangkan untuk Rf spot standar dari dua plat ini sama yaitu 0,89, tetapi hasil KLT
dari plat kedua (31-36) pemisahan spotnya tidak terlihat sebaik yang ada pada plat pertama
(20-30) ini disebakan karna pada plat kedua (31-36) pada saat penotlannya kurang baik
sehingga terlihat bercak-bercak. Hal ini menunjukan dari data Rf yang didapatkan pada spot
(20-30) dan spot (31-36) memiliki Rf yang sama, artinya senyawa murni yang didaptakan
semakin bagus dan semakin murni jika di bandaingkan dengan Rf standar yang didapatkan
hasilnya tidak berbeda jauh dengan Rf pada spot murni yang di dapatkan praktikan dan
hampir mendekati, artinya senyawa yang di dapatkan oleh praktikan dapat di prediksi yaitu
kurkumin .
Setelah dilakukan uji standar kemudian dilakukan uji kemurnian, untuk uji kemurnian
ini minimal menggunakan tiga jenis eluen yang berbeda, yang pertam dengan eluen klrofom,
kedua dengan eluen klrofom + n-hexsan dan ketiga dengan menggunakan eluen klorofom +
etilasetat. Karna dengan menngunakan eluen klorofom sudah dilakukan dan mendapatkan
hasil, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan dua eluen. Plat KLT pertama
menggunakan eluen (klorofom + n-hexsan) dan cukup dengan menggunakan Fraksi (20-
30) sebagai sampel, karna dari dua spot tadi menunjukan Rf yang sama dengan standar
kurkumin. Hasil KLT yang terlihat pada plat KLT pertama dengan lampu UV 254 dengan
menggunakan eluen (klorofom + n-hexsan) terdapat satu spot atau satu noda pada tiap
totolan (lihat data pengamatan) dengan Rf pada spot (20-30) adalah 0,24 sedangkan pada Rf
standar adalah 0,16, dari kedua nilai Rf tersebut terlihat berbeda jauh hal ini menunjukkan
bahwa senyawa kurkumin yang diperoleh belum murni, kemungkinan dipengaruhi oleh eluen
yang digunakan sehingga kepolaran untuk serapan sampel berbeda. Hasil pada plat KLT yang
kedua dengan mengunakan eluen klorofom + etil asetat pada totolan ( fraksi 20-30) terlihat
ada dua spot yang muncul hal ini disebabkan bahwa senyawa yang didapatkan belum benar-
benar murni sedangkan hasil dari standar terdapat satu spot yang Rfnya sama dengan spot
yang pertama yang terdapat pada spot (fraksi 20-30) yaitu 0,7 ini menunjukkan bahwa
senyawa yang didapatkan adalah kurkumin karena memiliki Rf yang sama dengan standar,

35
akan tetapi hasil yang didapatkan belum maksimal murni masih ada terlihat spot yang lain
yang mengikuti.
IR dilakukan untuk mengetahui gugus fungi dari senyawa kurkumin dimana dari hasil
preparasi sampel cair kurkumin diperoleh grafik sebagai berikut :

BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan

36
Berdasarkan proses pemurnian senyawa kurkumin dari rimpang temulawak yang telah
dilakukan, belum didapatkan senyawa kurkumin murni, ditinjau dari nilai Rf pada hasil
isolasi dibandingkan dengan nilai Rf standar kurkumin.

6.2 Saran
Untuk memperoleh senyawa Kurkumin murni dari rimpang temulawak, perlu fraksi
lebih banyak misalnya hingga 50 botol.

37
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, Efi. 2005.Khasiat & Manfaat Temulawak Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit.
Agromedia Pustaka. Jurnal Online (Diakses Tanggal 1 Desember 2016).

Cahyono, dkk., 2011.Pengaruh Proses Pengeringan Rimpang Temulawak (Curcuma


Xanthorriza Roxb) Terhadap Kandungan Dan Komposisi Kurkuminoid. Jurnal
Reaktor, Vol. 13 No. 3, Juni 2011, Hal. 165-171. http://oaji.net/articles/2015/1604-
1421910950.pdf diakses 7 Desember 2016.

Didik, dkk. 2007. Reduksi Kurkumin: Kajian Awal Elektrosintesis Dalam Sistem Etanol.
JSKA.Vol.X.No.2.Tahun.2007.

Fessenden, R.J dan Fessenden, J.S. 1997. Dasar-dasar Kimia Organik. a.b. Dra. Sukmariah
M, dkk., Jakarta : Binarupa Aksara

Hakim, A. 2016. Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Kimia Bahan Alam Melalui


Praktikum. Lombok : ArgaPuji Press.

Jitoe A, Masuda T, Tengah IGP, Suprapta DN, Gara LW,Nakatani N. 1992. Antioxidant
activity of tropical ginger extracts and analysis of the contained
curcuminoids.Journal Agric FoodChemistry. 40: 1337-1340.

Kertia N, Sudarsono. 2005. Kontroversi Penggunaan Temulawak Sebagai Obat Asli Indonesia
Untuk Menangani Masalah Kesehatan Khususnya Osteoartritis, dalam Seminar
Nasional Tanaman Obat dan Obat Tradisional : Obat Tradisional Yang Aman,
Berkhasiat Dan Bermutu Mendukung Pelayanan Kesehatan Masyarakat.

Ketaren. 1998. Penentuan Utama Komponen Minyak Atsiri Temulawak (Curcuma


xanthorriza Roxb.) [Tesis]. Bandung : FMIPA, ITB.

Kristianingrum, Susila. 2016. Handout Spektroskopi Infra Merah. Yogyakarta : UNY.

Masuda T, Isobe J, Jitoe A, Naktani, Nobuji. 1992. Antioxidative curcuminoids from rhizomes
of Curcuma xanthorrhiza. JournalPhytochemistry. 31(10): 36453647.

Natarajan, C.P. dan Y.S. Lewis. 1980. Technology of ginger and tumeric dalam M.K. nari, T.
Prenkumar, P.N. Ravindran dan Y.R. Sarma. Proceeding of the National Seminar on
Ginger and Tumeric. Calcuta Central Plantation Crops Research Inst. Kerala. India

Nurlaili, dkk. 2014. Status Teknologi Budidaya Dan Pasca Panen Tanaman Kunyit Dan Temu
Lawak Sebagai Penghasil Kurkumin. Jurnal Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik.http://balittro.litbang.pertanian.go.id Diakses 5 Desember 2016.

Nuryanti, Irma. 2015. Isolasi Dan Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder Pada Fraksi
Kloroform Rimpang Temulawak (Curcuma
xanthorriza).http://eprints.uny.ac.id/15011/ Diakses 5 Desember 2016

38
Parthasarathy VA, Chempakam B, Zachariah TJ. 2008. Chemistry of Spices. Oxford: CABI.

Prana, MS. 2008. The biologi of temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Bogor (ID)
:JournalBiopharmaca Research Center Bogor Agricultural University. Hal. 151-156.

Rao, MNA. 1995. Antioxidant properties of curcumin. International symposium on curcimin


phannacochemistry (ISCP). Yogyakarta (ID) : Fakultas Farmasi Universitas Gajah
Mada bekerjasama dengan The Departement of Pharmacochemistry Vrije
Universiteit Amsterdam

Saifudin, A. 2014. Senyawa Alam Metabolit Sekunder. Yogyakarta : Penerbit Deepublish.

Sastrohamidjojo, H., 2007. Spektroskopi, edisi ke-2. Yogyakarta : Liberty.

Sidik, et al. 1992. Temulawak. Jakarta: Yayasan Pengembangan Bahan Alami Phyto Medica.

Sidik, Mulyono MW, Muhtadi A. 1995. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Jakarta (ID):
Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica.

Stankovic, I. 2004. Curcumin. Chemical and Technical Assessment (CTA). FAO. p.1-8.

Wahid P, Sudiarto. 1985. Pembudidayaan Tanaman Temulawak. Prosiding Symposium


Nasional Temulawak. Bandung : Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran.

WHO. 1999. WHO Monograph on selected medicinal plants Journal. Vol I. ISBN 92
125178. Geneva: WHO.www.psa@ deptan.go.id

39
Lampiran I Jadwal kegitan praktikum

No Hari /Tgl Waktu Rancangan Kegiatan Tempat

1. Selasa, 6-12-2016 14.00 Perendaman sampel dengan Laboratorium Kimia


methanol (maserasi) FKIP UNRAM
2. Jumat, 9-12-2016 7.30 Sampel disaring Laboratorium Kimia
FKIP UNRAM
3. Jumat, 9-12-2016 9.00 Sampel ekstrak di keringkang Laboratorium Kimia
FKIP UNRAM
4. Sabtu, 10-12-2016 7.30 Identifikasi dengan cara Laboratorium Kimia
Kromatografi Lapis Tipis FKIP UNRAM
(KLT)
5 Rabu, 14-12-2016 7.30 Pemisahan dengan cara Laboratorium Kimia
kromatografi kolom FKIP UNRAM

Lampiran 2
Rincian Dana Praktikum Kimia Isolasi Senyawa Kurkumin

No Nama Bahan Jumlah Harga

1. Metanol 96% 1 Liter Rp. 65.000


2. Klorofom 1 Liter Rp. 190.000
3. Serbuk Temulawak 100 Gram Rp. 100.000
4. Plat KLT 1 Lembar Rp. 40.000
5. Silica Gel 40 Gram Rp. 80.000
6. Kain Saring 1 Lembar Rp. 15.000
7. Tisu 1 Kotak Rp. 10.000
8. Nampan 2 Buah Rp. 20.000
9. Senyawa Standar 1 Botol Rp. 500.000
10. Identifikasi Spektroskopi IR - Rp. 50.000
11. n-Heksana Rp. 30.000
Jumlah Rp. 1.100.000

40
Lampiran 3

Catatan Kegiatan Praktikum IPA Terpadu (Kimia)


Isolasi Senyawa Kurkumin dari Rimpang Temulawak
Program Studi Magister Pendidikan IPA
Tahun 2016

41
N Hari/Tanggal Waktu Kegiatan Hasil
o (wita)
1. Selasa, 13.00- Maserasi (Perendaman 100
6 -12-2016 13.30 gram serbuk Temulawak
dengan Methanol (1 Liter))

Proses Maserasi
2. Jumat, 09.00- Penyaringan rendaman
9 -12 -2016 11.00 serbuk temulawak hasil
proses Maserasi

Proses Penyaringan

Penguapan pelarut hasil


proses Maserasi ( 5 hari)

Ekstrak Temulawak Hasil


Penguapan

3. Rabu, 08.00- Kromatografi Lapis Tipis


14-12-2016 14.00 Ekstrak Temulawak, dengan
tiga jenis pelarut yaitu:
a. Methanol 10 ml
b. Klorofom 10 ml
c. n-heksana 10 ml
Untuk mengetahui pelarut
terbaik dalam Proses KLT Ekstrak Kurkumin
Kromatografi Kolom dengan Eluen Methanol

KLT Ekstrak Kurkumin


dengan Eluen Kloroform

42
KLT Ekstrak Kurkumin
dengan Eluen n-Heksan
4. Kamis, 07.30- Kromatografi Kolom
15-12-2016 13.00 menggunakan eluen
klorofom

Kromatografi Kolom

Diambil sebanyak 36
botol fraksi

5. Sabtu, 09.00- KLT dengan Senyawa


17-12-2016 13.00 Kurkumin Standar
menggunakan eluen klorofom

KLT Fraksi 20-30 dan 31-36


6. Rabu, 08.00- KLT dengan eluen berbeda,
21-12-2016 12.00 yaitu:
a. Klorofom klorofom
(1:1)
b. Klorofom
n-heksana (1:1)
c. Klorofom
etil asetat (1:1)

43
Untuk Pemurnian Senyawa
Kurkumin dari Temulawak
7. Kamis, 10.00 Spektroskopi Infra Red
22-12-2016 (Identifikasi gugus fungsi
senyawa kurkumin
temulawak) dilakukan di Lab.
Kimia Analitik UNRAM

44

Anda mungkin juga menyukai