Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN

PEMISAHAN DAN IDENTIFIKASI CURCUMIN

IDA BAGUS PUTU NATHA KUSUMA


1008505037
KELOMPOK VII
GOLONGAN I

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2011

I.

TUJUAN PERCOBAAN
Mahasiswa mampu menerapkan prinsip maserasi dan kolom kromatografi

II. DASAR TEORI


Kunyit merupakan tanaman obat yang berupa semak dan termasuk
tanaman tahunan. Rimpang dari tanaman kunyit merupakan bagian yang
paling sering digunakan ataupun diolah. Klasifikasi dari rimpang kunyit,
yaitu :
Kingdom
Divisi
Sub-divisi
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

:
:
:
:
:
:
:
:

Plantae
Spermatophyta
Angiospermae
Monocotyledoneae
Zingiberales
Zingiberaceae
Curcuma
Curcuma domestica

Kunyit memiliki khasiat sebagai anti inflamasi, anti oksidan, anti


mikroba, pencegah kanker, anti tumor, dan menurukan kadar lemak dalam
darah dan kolesterol, serta sebagai pembersih darah. Kandungan utama
kunyit yaitu kurkumin (Anonim a, 2011).
II.1.

Maserasi
Maserasi merupakan suatu metode pemisahan dengan cara penyarian

yang sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia


dalam cairan penyari. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang
mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak
mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak
mengandung benzoin, stirak dan lain lain. Cairan penyari yang digunakan
dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain (Anonim b, 1986).
Adapun prinsip-prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam
pengerjaan maserasi adalah
1. Merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama
waktu tertentu, pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya

2. Proses difusi terjadi sampai tercipta keseimbangan konsentrasi antara


larutan di luar sel dan di dalam sel
3. Selama proses dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari
4. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan.
Penyarian dengan metode maserasi memiliki keuntungan dan kerugian.
Keuntungannya yaitu cara pengerjaannya mudah dan peralatan yang
digunakan

sederhana.

Sedangkan

kerugiannya

yaitu

pengerjaannya

membutuhkan waktu yang relatif lama (Anonim b, 1986).


II.2. Kromatografi Kolom
Pada proses pemisahan ini campuran yang akan dipisah diletakkan
pada bagian atas kolom adsorben yang berada dalam suatu tabung seperti
gelas logam ataupun plastik. Pelarut sebagai fase gerak karena gaya berat
atau didorong dengan tekanan tertentu
dibiarkan

mengalir

melalui

kolom

membawa serta pita linarut yang bergerak


dengan kecepatan berbeda. Linarut yang
telah memisah dikumpulkan berupa fraksi
yang keluar dari bagian bawah kolom,
sehingga

metode

ini

merupakan

kromatografi elusi (Kusmardiyani, 1992).


Beberapa hal yang perlu diketahui
dalam pengerjaan metode ini antara lain
pemilihan

jenis

pelarut,

adsorben,

rancangan alat dan sifat bahan yang akan dianalisis. Ada dua cara
pengemasan kolom, yaitu cara basah dan cara kering. Cara basah sering
digunakan untuk pembuatan kolom silika gel dan cara kering sering
digunakan untuk pembuatan kolom alumina (Al2O3). Dalam pemilihan
pelarut elusi didasarkan atas faktor-faktor seperti polaritas dan kelarutan.
Pelarut yang umum digunakan meliputi deretan pelarut seperti petroleum eter
(PE), karbon tetraklorida, sikloheksana, karbon disulfida, eter, aseton,

benzena, ester organik, alkohol, air, piridin, asam asetat, campuran asam atau
basa dengan air, alkohol dan piridin (Kusmardiyani, 1992).
II.3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi digunakan untuk memisahkan substansi campuran
menjadi komponen-komponennya. Seluruh bentuk kromatografi bekerja
berdasarkan prinsip ini. Kromatografi lapis tipis adalah teknik pemisahan
campuran

berdasarkan

perbedaan

kecepatan

perambatan komponen dalam


medium

berupa

lempengan

kromatografi.

Pada

kromatografi

lapis

tipis,

komponen-komponen

suatu

campuran

akan

senyawa

dipisahkan antara dua buah fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam
akan menahan komponen campuran sedangkan fase gerak akan melarutkan
zat komponen campuran. Komponen yang mudah tertahan pada fase diam
akan tertinggal. Sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak
akan bergerak lebih cepat (Haqiqi, 2008).
Pada kromatografi lapis tipis memiliki fase diam contohnya silika gel
dan fase gerak atau eluen berupa pelarut. Fase gerak mengalir melalui fase
diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat dalam campuran.
Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang berbeda
sehingga spot yang terlihat dengan UV akan berbeda-beda pula jaraknya
(Haqiqi, 2008).
Pada prinsipnya pengerjaan KLT meliputi tahap-tahap

pembuatan

pelat, penotolan pada pelat, pemilihan adsorben, pemilihan pelarut, pemilihan


sistem

pengembang

yang

cocok,

pengamatan

lokasi

kromatogram, deteksi dan identifikasi (Kusmardiyani, 1992).


III. ALAT DAN BAHAN

bercak

pada

A. Alat

Alat alat Gelas

Batang Pengaduk

Chamber

Cawan Porselin

Batang Bambu

Sarung Tangan

Masker

Botol Vial yang sudah dikalibrasi dengan volume 5 ml dan diberi


nomor I-V

Kertas Saring

Kolom Kromatografi

Toples Kaca

Spektrofotometri UV

B. Bahan

Serbuk Kunyit

Etanol 96%

Silika Gel

N-Heksana

Kloroform

Plat KLT

IV. PROSEDUR KERJA


A. Pembuatan Ekstrak Curcumae domesticae rhizoma
Ditimbang 10 gram serbuk kering Curcumae domesticae rhizoma
Dimasukkan ke dalam toples kaca terbungkus kain hitam

Ditambahkan dengan 100 ml etanol 96%


Ditutup dan didiamkan selama 4 hari sambil berulang diaduk (setiap
1 hari sekali)

Setelah 4 hari, sari disaring, ampas diperas


Ampas ditambah 25 ml etanol 96%, diaduk dan dibiarkan 3 hari lalu
disaring
Ekstrak yang diperoleh diuapkan di atas water bath menggunakan
cawan porselin yang sudah ditimbang sebelumnya sampai didapat
ekstrak kental
Cawan porselin yang berisi ekstrak kental ditimbang
Ekstrak kental yang diperoleh dihitung
B. Pemisahan dengan Kolom Kromatografi
1. Pembuatan Kolom Kromatografi
Kolom ditegakkan pada statif

Dimasukkan glass wool sebagai dasar kolom


Silika gel ditimbang sebanyak 20 gram

Dituangkan ke dalam gelas beker


Ditambah dengan kloroform 50 mL

diaduk sampai terbentuk campuran seperti bubur


Bubur silika gel dimasukkan sedikit demi sedikit dengan pipet ke
dalam kolom yang berisi 10 mL kloroform dan diusahakan tidak
terbentuk gelembung

Kolom disimpan selama 3 hari sebelum siap digunakan


2. Pengisian Cuplikan/Sampel ke dalam Kolom
Ekstrak kental yang diperoleh ditambahkan 10 ml etanol 96%
Eluen (N-heksana : kloroform : Etanol 96% = 45:45:10) dibuat
sebanyak 70 mL
Ekstrak yang telah dilarutkan dimasukkan ke dalam kolom
kromatografi sedikit demi sedikit melalui dinding

Wadah ekstrak dibilas dengan sedikit eluen


Dituangkan kembali ke kolom
Kloroform yang berada di bawah larutan ekstrak dikeluarkan
melalui keran sambil memasukkan eluen
3. Pemisahan
Kolom dielusi dengan eluen sampai keluar eluatnya (kecepatan
elusi diatur kurang lebih 1 ml per 5 menit)
Eluat ditampung dalam 10 botol vial sebanyak 5 ml
Eluat dibungkus dengan plastik ikan dan aluminium foil
C. Identifikasi kurkumin dengan KLT
Eluen (N-heksana : kloroform : Etanol 96% = 45:45:10) dibuat
sebanyak 20 mL, kemudian chamber dijenuhkan

Semua fraksi yang telah didapat ditotolkan sebanyak 10L pada plat
KLT silika gel GF254 dengan pipet kapiler 2 L
Plat KLT dimasukkan ke dalam chamber lalu dielusi sampai jarak
pengembangan 1 cm dari tepi atas

Plat diangin-anginkan selama 10 menit


Diamati di bawah sinar UV 366nm dan sinar matahari
Spot atau noda plat dibawah sinar UV 366 nm dan sinar matahari
ditandai di atas kertas kalkir dan dihitung Rf masing-masing spot
serta ditentukan spot yang diduga kurkumin
V. HASIL
a. Bobot serbuk kunyit : 10 gram
b. Volume etanol 96% yang digunakan untuk maserasi : 100 mL
c. Lama proses maserasi: 6 x 24 jam
d. Bobot ekstrak kental: 1,4534 gram
e. Rf dan warna spot kurkumin:
Tabel bahan untuk maserasi
NO.
1
2
3
4
5
6

NAMA BAHAN
Serbuk Kunyit
Etanol 96%
Etanol 96%
Cawan porselen kosong untuk penguapan
Cawan porselen + ekstrak kental
Ekstrak kental yang diperoleh

JUMLAH
10 gram
100 mL
25 mL
67.4444 gram
68.8978 gram
1,4534 gram

Tabel bahan yang digunakan pada kromatografi kolom


NO.
1
2
3

NAMA BAHAN
Silika Gel
Kloroform untuk mengisi kolom awal
Klorofom untuk membuat bubur silika gel

JUMLAH
20 gram
10 mL
50 mL

4
5
6
7

Klorofom untuk pendiaman kolom 1 hari


Etanol 96 % untuk melarutkan ekstrak kental
Tinggi kolom yang diperoleh
Eluen yang digunakan untuk mengelusi

10 mL
13,3 cm
50 ml

N-Heksana : Klorofom : Etanol (45 : 45 : 10)


Penambahan eluen untuk mengelusi

20 mL

Pembuatan eluen 70 mL untuk kromatografi kolom :


N-heksana
: kloroform : etanol 96%
45

45

10

Perhitungan :
N-heksana

Kloroform

Etanol 96%

45
x 70 31,5 mL
100
45
x 70 31,5 mL
100
10
x70 7 mL
100

Tabel bahan yang digunakan pada kromatografi lapis tipis (KLT)


NO.
1
2

NAMA BAHAN
Etanol 96 % untuk melarutkan fraksi yang
kering
Eluen yang digunakan untuk mengelusi plat

JUMLAH
10mL
20 mL

N-Heksana : Klorofom : Etanol (45 : 45 : 10)


Pembuatan eluen 20 mL untuk kromatografi lapis tipis :
N-heksana
: kloroform : etanol 96%
45

45

10

Perhitungan :
N-heksana

Kloroform

Etanol 96%

45
x 20 9 mL
100
45
x 20 9 mL
100
10
x 20 2 mL
100

Tabel fraksi setelah metode KLT :


Fraksi I
Di bawah UV 366 nm

Spot
-

Di bawah sinar matahari

Rf

HRf

Warna

Keterangan

Rf

HRf

Warna

Keterangan

Fraksi II
Di bawah UV 366 nm

Spot
-

Di bawah sinar matahari

Rf

HRf

Warna

Keterangan

Rf

HRf

Warna

Keterangan

Fraksi III
Di bawah UV 366 nm

Spot
1

Di bawah sinar matahari

Rf

HRf

Warna

Ket.

Rf

HRf

Warna

Ket.

0,49

49

Hijau
terang

Fraksi IV
Spot

Di bawah UV 366 nm

Di bawah sinar matahari

Rf

HRf

Warna

Ket.

Rf

HRf

Warna

Ket.

0,27

27

Hijau
Terang

Bisdes

0,27

27

Kuning
muda

Bisdes

0,36

36

Hijau
Terang

Des

0,35

35

Jingga

Des

0,40

40

Hijau
Gelap

Kur

0,45

45

Jingga

Kur

Fraksi V
Di bawah UV 366 nm

Spot

Di bawah sinar matahari

Rf

HRf

Warna

Ket.

Rf

HRf

Warna

Ket.

0,29

29

Hijau
Gelap

Bisdes

0,27

27

Jingga

Bisdes

0,34

34

Hijau
Gelap

Bisdes

0,35

35

Jingga

Des

0,44

44

Hijau
Gelap

Kur

0,44

44

Jingga

Kur

Fraksi VI
Spot

Di bawah UV 366 nm

Di bawah sinar matahari

Rf

HRf

Warna

Ket.

Rf

HRf

Warna

Ket.

0,27

27

Hijau
Gelap

Bisdes

0,26

26

Jingga

Bisdes

0,35

35

Hijau
Gelap

Des

0,32

32

Jingga

Bisdes

0,45

45

Hijau
Gelap

Kur

0,42

42

Jingga

Kur

Fraksi VII
Spot

Di bawah UV 366 nm
Rf

HRf

Warna

Ket.

0,29

29

Hijau
Gelap

0,36

36

0,39

39

Di bawah sinar matahari


Rf

HRf

Warna

Ket.

Bisdes

0,27

27

Jingga

Bisdes

Hijau
Gelap

Des

0,32

32

Jingga

Des

Hijau
Gelap

Des

0,44

44

Jingga

Kur

Fraksi VIII
Di bawah UV 366 nm

Spot

Di bawah sinar matahari

Rf

HRf

Warna

Ket.

Rf

HRf

Warna

Ket.

0,27

27

Hijau
Gelap

Bisdes

0,27

27

Jingga

Bisdes

0,44

44

Hijau
Gelap

Kur

0,32

32

Jingga

Bides

0,44

44

Jingga

Kur

Fraksi IX
Spot

Di bawah UV 366 nm

Di bawah sinar matahari

Rf

HRf

Warna

Ket.

Rf

HRf

Warna

Ket.

0,32

32

Hijau
Gelap

Bisdes

0,27

27

Jingga

Bisdes

0,41

41

Hijau
Gelap

Kur

0,4

40

Jingga

Kur

0,51

51

Hijau
Gelap

0,50

50

Jingga

Fraksi X
Spot

Di bawah UV 366 nm

Di bawah sinar matahari

Rf

HRf

Warna

Ket.

Rf

HRf

Warna

Ket.

0,41

41

Hijau
Gelap

Kur

0,44

44

Jingga

Kur

0,51

51

Hijau
Gelap

0,52

52

Jingga

0,61

61

Hijau
Gelap

0,61

61

Jingga

Keterangan :

Bisdes
Des
Kur

: Bisdesmetoksikurkumin
: Desmetoksikurkumin
: Kurkumin

VI. PERHITUNGAN
Perhitungan Rf dan hRf pada pemisahan dengan metode KLT pada
pengamatan dengan sinar UV 366 nm :
Rf

Jarak yang ditempuh komponen


Jarak yang ditempuh pelarut

hRf = Rf x 100

Fraksi I

: tidak tampak adanya spot

Fraksi II

: tidak tampak adanya spot

Fraksi III

Spot 1
Rf

3,9
0,49
8

Fraksi IV

hRf = 0,49 x 100 = 49

Spot 1
Rf

2,2
0,27
8

hRf = 0,27 x 100 = 27

Spot 2
Rf

2,9
0,36
8

hRf = 0,36 x 100 = 36

Spot 3
Rf

3,2
0,4
8

Fraksi V
Spot 1

hRf = 0,4 x 100 = 40

Rf

2,3
0,29
8

hRf = 0,29 x 100 = 29

Spot 2
Rf

2,7
0,34
8

hRf = 0,34 x 100 = 34

Spot 3
Rf

3,5
0,44
8

Fraksi VI

hRf = 0,44 x 100 = 44

Spot 1
Rf

2,2
0,27
8

hRf = 0,27 x 100 = 27

Spot 2
Rf

2,8
0,35
8

hRf = 0,35 x 100 = 35

Spot 3
Rf

3,6
0,45
8

hRf = 0,45 x 100 = 45

Fraksi VII
Spot 1
Rf

2,3
0,29
8

hRf = 0,29 x 100 = 29

Spot 2
Rf

2,9
0,36
8

hRf = 0,36 x 100 = 36

Spot 3
Rf

3,1
0,39
8

hRf = 0,39 x 100 = 39

Fraksi VIII
Spot 1
Rf

2,2
0,27
8

Spot 2

hRf = 0,27 x 100 = 27

Rf

3,5
0,44
8

hRf = 0,44 x 100 = 44

Fraksi IX
Spot 1
Rf

2,6
0,32
8

hRf = 0,32 x 100 = 32

Spot 2
Rf

3,3
0,41
8

hRf = 0,41 x 100 = 41

Spot 3
Rf

4,1
0,51
8

hRf = 0,51 x 100 = 51

Fraksi X
Spot 1
Rf

3,3
0,41
8

hRf = 0,41 x 100 = 41

Spot 2
Rf

4,1
0,51
8

hRf = 0,51 x 100 = 51

Spot 3
Rf

4,9
0,61
8

hRf = 0,61 x 100 = 61

Perhitungan Rf dan hRf pada pemisahan dengan metode KLT pada


pengamatan dengan sinar matahari :

Rf

Jarak yang ditempuh komponen


Jarak yang ditempuh pelarut

hRf = Rf x 100

Fraksi I

Fraksi II

Fraksi III

Fraksi IV
Spot 1
Rf

2,2
0,27
8

hRf = 0,27 x 100 = 27

Spot 2
Rf

2,8
0,35
8

hRf = 0,35 x 100 = 35

Spot 3
Rf

3,6
0,45
8

hRf = 0,45 x 100 = 45

Fraksi V
Spot 1
Rf

2,2
0,27
8

hRf = 0,27 x 100 = 27

Spot 2
Rf

2,7
0,34
8

hRf = 0,34 x 100 = 34

Spot 3
Rf

3,5
0,44
8

hRf = 0,44 x 100 = 44

Fraksi VI
Spot 1
Rf

2,1
0,26
8

hRf = 0,26 x 100 = 26

Spot 2
Rf

2,6
0,32
8

hRf = 0,32 x 100 = 32

Spot 3
Rf

3,4
0,42
8

hRf = 0,42 x 100 = 42

Fraksi VII
Spot 1
Rf

2,2
0,27
8

hRf = 0,27 x 100 = 27

Spot 2
Rf

2,6
0,32
8

hRf = 0,32 x 100 = 32

Spot 3
Rf

3,5
0,44
8

hRf = 0,44 x 100 = 44

Fraksi VIII
Spot 1
Rf

2,2
0,27
8

hRf = 0,27 x 100 = 27

Spot 2
Rf

2,6
0,32
8

hRf = 0,32 x 100 = 32

Spot 3
Rf

3,5
0,44
8

hRf = 0,44 x 100 = 44

Fraksi IX
Spot 1
Rf

2,2
0,27
8

hRf = 0,27 x 100 = 27

Spot 2
Rf

3,2
0,4
8

hRf = 0,4 x 100 = 40

Spot 3
Rf

4,0
0,5
8

hRf = 0,5 x 100 = 50

Fraksi X
Spot 1
Rf

3,5
0,44
8

hRf = 0,44 x 100 = 44

Spot 2
Rf

4,2
0,52
8

Spot 3

hRf = 0,52 x 100 = 52

Rf

4,9
0,61
8

hRf = 0,61 x 100 = 61

VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan proses pemisahan dan identifikasi
senyawa kurkumin pada serbuk simplisia Curcumae domesticae Rhizoma.
Proses pemisahan ini dilakukan dengan menggunakan tiga metode, yaitu
maserasi, kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis (KLT).
Metode pertama yaitu maserasi dimana cara penyariannya yang
sederhana dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan
penyari. Pada proses maserasi ini, penyari yang digunakan adalah etanol
karena kurkumin yang bersifat non polar dapat larut dalam etanol. Hal ini
dapat terjadi karena etanol memiliki sifat yang cenderung non polar jika
dibandingkan dengan air (H2O). Etanol (C2H5OH) memiliki dua gugus
berbeda, yaitu gugus hidroksi (OH) yang bersifat polar dan gugus alkana
(C2H5) yang cenderung bersifat non polar yang dapat melarutkan kurkumin.
Proses pertama saat maserasi yaitu serbuk kunyit ditimbang 10 gram
lalu ditambahkan etanol 96% sebanyak 100mL kemudian dimasukkan ke
dalam toples kaca yang dibungkus kain hitam agar terlindung dari cahaya.
Hal ini perlu dilakukan agar kurkumin tidak mengalami penguraian akibat
kontak dengan cahaya. Cairan penyari yaitu etanol 96% akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung analit, analit
akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan berisi
analit di dalam sel dengan yang diluar sel, maka larutan yang lebih pekat
akan terdesak keluar. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang hingga terjadi
kesetimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel
(Anonim b, 1986)
Perendaman ini dilakukan selama 5 hari dengan pengadukan berulang
sekali sehari. Perendaman dilakukan agar zat pengotor dapat mengendap
sedangkan dilakukan pengadukan tujuannya untuk meratakan konsentrasi di
luar butir-butir serbuk simplisia dan menjaga perbedaan konsentrasi sekecil-

kecilnya antara larutan di dalam sel dan di luar sel (Sudjadi, 1986). Setelah 5
hari, maserat disaring menggunakan corong dan kertas saring. Sebelum
digunakan, kertas saring harus dijenuhkan terlebih dahulu dengan
menggunakan pelarutnya yaitu etanol 96% dengan menggunakan pipet tetes.
Hal ini dilakukan untuk mengkondisikan kertas saring pada corong agar
mempermudah dan mempercepat proses penyaringan. Jika tidak dilakukan
penjenuhan terlebih dahulu, maka larutan simplisia yang akan disaring akan
menjenuhkan kertas saring terlebih dahulu, akibatnya akan memperlambat
proses penyaringan. Selanjutnya ampas sisa penyaringan diremaserasi
kembali dengan etanol 96% sebanyak 25 ml kemudian didiamkan terendam
selama 2 hari dan disaring lagi. Tujuan remaserasi adalah untuk melarutkan
analit kurkumin yang tertinggal pada ampas sekaligus mengendapkan zat
pengotor pada saat perendaman kembali. Perlu dilakukan remaserasi karena
kelemahan maserasi adalah tidak dapat mengekstraksi senyawa analit yang
diinginkan dengan sempurna sebab hanya mengandalkan proses difusi pada
saat perendaman dan pengadukan.
Semua maserat yang telah diperoleh kemudian diuapkan di atas water
bath dengan suhu 345oC sampai terbentuk ekstrak kental. Fungsi penguapan
maserat adalah untuk menghilangkan etanol pada maserat. Pada proses
pemekatan ini dilakukan juga pengadukan, supaya permukaan kontak
dengan panas menjadi lebih luas, sehingga suhu di dalam cawan porselen
menjadi merata merata. Selain itu, cawan juga diangin-anginkan agar uap
pelarut tidak menumpuk di atas cawan porselin sehingga proses pemekatan
ekstrak dapat berlangsung dengan waktu yang seminimal mungkin. Ekstrak
kental yang diperoleh adalah 1,4534 gram. Setelah itu ekstrak kental yang
ada dalam cawan porselin ditutup dengan aluminium foil agar tidak terkena
kontak dari udara luar sehingga pengotor yang ada di udara tidak
mengkontaminasi ekstrak kental.
Metode selanjutnya yaitu kromatografi kolom. Pada proses pemisahan
ini campuran yang akan dipisah diletakkan pada bagian atas kolom adsorben
yang berada dalam suatu tabung seperti gelas logam ataupun plastik. Pelarut

sebagai fase gerak karena gaya berat atau didorong dengan tekanan tertentu
dibiarkan mengalir melalui kolom membawa serta pita linarut yang bergerak
dengan kecepatan berbeda. Linarut yang telah memisah dikumpulkan berupa
fraksi yang keluar dari bagian bawah kolom, sehingga metode ini
merupakan kromatografi elusi (Kusmardiyani, 1992).
Ada dua cara pembuatan kromatografi kolom, yaitu cara basah dan
cara kering. Dalam praktikum ini, cara yang digunakan yaitu cara basah.
Fase gerak atau eluen yang digunakan adalah campuran antara N-heksana:
kloroform: etanol 96% (45:45:10). Fase gerak tersebut merupakan pelarut
organik yang bersifat nonpolar. Sementara fase diam atau adsorben yang
digunakan adalah serbuk silika gel yang bersifat polar. Pembuatan kolom
dengan menggunakan cara basah, mula-mula kolom dipasang pada statif
agar berdiri tegak lurus. Pada dasar bagian kolom diisi dengan anyaman
glass wool agar dapat menahan silika gel yang akan dimasukkan ke dalam
kolom. Silika gel yang digunakan dalam praktikum ini adalah 20 gram.
Pelarut yang digunakan adalah kloroform sebanyak 50 mL, dan pelarut yang
dimasukkan ke kolom adalah 10 mL. Silika gel yang telah ditimbang
dimasukkan ke dalam gelas beker dan ditambahkan 50 mL kloroform
kemudian diaduk sampai terbentuk bubur silika. Setelah itu bubur silika
dimasukkan ke dalam kolom menggunakan corong dan dialirkan turun
melalui dinding kolom agar tidak terbentuk rongga udara yang dapat
merusak kolom. Bubur silika yang menempel didinding juga harus segera
dibilas dengan kloroform untuk mencegah mengerasnya silika gel pada
dinding kolom. Saat pengisian bubur silika ke dalam kolom, keran dapat
dibuka dan ditutup sehingga kloroform dapat keluar tetapi pengeluaran eluen
dijaga agar silika gel pada kolom tidak kering. Setelah bubur silika
dimasukkan semua ke dalam kolom, ditambahkan sejumlah kloroform
hingga berjarak beberapa cm dari silika, dimana bertujuan agar silika tidak
kering dan tetap terendam. Kemudian bagian atas kolom ditutup dengan
plastik ikan dan aluminium foil, agar kloroform tidak menguap. Kemudian
kolom didiamkan selama 1-2 hari sebelum digunakan. Pendiaman dilakukan

untuk mendapatkan kolom yang homogen dan kompak agar hasil pemisahan
yang diperoleh lebih baik.
Setelah didiamkan 1-2 hari, tahap berikutnya adalah pengisian
cuplikan atau sampel ke dalam kolom. Ekstrak kental dilarutkan terlebih
dahulu dalam etanol 96% sebanyak 10mL setelah itu dimasukkan sedikit
demi sdikit melalui dinding agar kolom tidak rusak. Wadah ekstrak kental
dibilas sedikit dengan kloroform kemudian dimasukkan ke dalam kolom.
Setelah itu, keran kolom dibuka untuk mengeluarkan kloroform sambil
menambahkan eluen (N-heksana : kloroform : etanol 96% = 45 :45 :10)
sedikit demi sedikit kira-kira berbanding lurus dengan pengeluaran
kloroform melalui keran dan diusahakan agar eluen tetap berada diatas silika
agar silika tidak kering. Setelah kloroform sudah berada di glass wool dan
larutan ekstrak berwarna kuning berada diatas glass wool, segera diambil
tetesan fraksi pertama sebanyak 5mL dengan menggunakan botol vial
sebagai wadah yang telah ditera 5mL. Langkah tersebut dilakukan sampai
mendapat 10 fraksi dan kolom tetap dijaga agar tidak kering dengan
menambahkan eluen sampai pada fraksi ke-10. Setiap fraksi masing-masing
diberikan label agar tidak tertukar. Fraksi-fraksi dalam botol vial dibungkus
dengan plastik ikan dan aluminium foil agar tidak terkontaminasi dari udara
luar dan tidak terurai akibat kontak dengan cahaya. Sepuluh fraksi yang
didapatkan menghasilkan warna yang berbeda-beda, yaitu fraksi I dan II
berwarna kuning muda, fraksi III dan IV berwarna kuning tua dan sudah
mulai agak pekat. Dan pada fraksi V dan VI berwarna kuning pekat,
sedangkan fraksi VII dan VIII, warnanya kembali mennjadi kuning tua. Dan
yang terakhir pada fraksi IX dan X berwarna kuning.
Setelah terkumpul semua fraksi, tahap berikutnya yaitu metode
pemisahan kromatofrafi lapis tipis (KLT). Kromatografi lapis tipis adalah
teknik pemisahan campuran berdasarkan perbedaan kecepatan perambatan
komponen

dalam

medium

berupa

lempengan

kromatografi.

Pada

kromatografi lapis tipis, komponen-komponen suatu campuran senyawa


akan dipisahkan antara dua buah fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase

diam akan menahan komponen campuran sedangkan fase gerak akan


melarutkan zat komponen campuran. Komponen yang mudah tertahan pada
fase diam akan tertinggal. Sedangkan komponen yang mudah larut dalam
fase gerak akan bergerak lebih cepat (Haqiqi, 2008).
Ada beberapa tahap yang dilakukan pada KLT yaitu penyiapan plat,
pemilihan adsorben, pemilihan pelarut, menentukan sistem pengembang
yang cocok, pengamatan lokasi bercak pada kromatogram, deteksi dan
identifikasi (Kusmardiyani, 1992).
Dalam praktikum KLT ini fase diam yang digunakan adalah silika gel
GF254 yang bersifat polar dan fase geraknya yaitu pelarut campuran (Nheksana : kloroform : etanol 96% = 45:45:10) yang bersifat non polar. Fase
diam silika gel GF254 yang mana G adalah Gypsum (pengikat) biasanya
pengikat yang digunakan adalah kalsium sulfat, F adalah Flouresence
(panjang gelombang), dan 254 adalah panjang gelombang yang digunakan
yaitu 254 nm. Jadi arti GF254 adalah penjerap silika gel dengan pengikat
kalsium sulfat dengan ditambahkan indikator yang dapat berflouresensi jika
dideteksi pada sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 254 nm.
Indikator flouresensi adalah senyawa yang memancarkan sinar tampak jika
disinari dengan sinar ultraviolet (Gritter, 2011).
Sebelum dilakukan penotolan sampel, plat silika yang telah dipotong
dengan ukuran 10x10 cm seharusnya dicuci terlebih dahulu dalam chamber
dengan menggunakan pelarut methanol namun dalam praktikum kali ini hal
tersebut tidak dilakukan. Pemilihan methanol dibandingkan dengan etanol
karena sifat semipolar methanol (CH3OH) dimana mengandung tiga atom H
dan satu gugus OH. Karena sifatnya yang semipolar, methanol lebih mampu
membersihkan zat-zat pengotor dibandingkan dengan etanol yang bersifat
nonpolar. Selain itu methanol lebih cepat menguap dibandingkan etanol
96% yang berisi beberapa bagian air. Setelah dicuci, plat kemudian
diaktivasi pada suhu 110 selama 30 menit namun pada praktikum kali ini,
plat tidak diaktivasi sesuai panduan praktikum. Pengaktivasian plat ini

bertujuan untuk menjaga kelembaban plat dan menghilangkan sisa methanol


dan air pada plat. Jika suhu pengaktifan jauh diatas 110, mungkin terjadi
degradasi yang tak bolak-balik pada penjerap dan menyebabkan pemisahan
kurang efektif (Gritter, 1991).
Setelah itu eluen dibuat dan dimasukkan ke dalam chamber kemudian
dijenuhkan. Penjenuhan chamber bertujuan untuk mendapatkan uap dan
tekanan yang sama pada chamber. Pada penjenuhan ini dapat digunakan
kertas saring yang dilapisi pada dinding chamber sebagai indikator bahwa
chamber sudah jenuh. Waktu penjenuhan adalah 30 menit. Sambil
menunggu penjenuhan dilakukan penotolan cuplikan atau sampel setiap
fraksi sebanyak 10 L pada plat silika gel GF254. Dalam praktikum,
digunakan pipa kapiler untuk penotolan. Pipa kapiler yang digunakan adalah
2 L, maka banyaknya penotolan yang dilakukan sebanyak 5 x 2L.
Penotolan sampel digunakan sebesar 10 L karena volume ini merupakan
rekomandasi terbaik untuk penotolan secara manual baik untuk data KLT
kualitatif dan kuantitatif (Dekker, 2003).
Plat yang sudah ditotol dengan cuplikan atau sampel dimasukkan ke
dalam chamber yang sebelumnya sudah dijenuhkan. Pengembangan
dilakukan dengan memasukkan plat KLT yang telah ditotolkan dengan
sepuluh fraksi yang didapat ke dalam chamber. Plat selanjutnya dielusi
hingga jarak 1 cm dari tepi atas. Pada praktikum ini, cara pengembangan
yang digunakan adalah ascending (menaik), yaitu pengembangan yang
berdasarkan pada daya kapiler (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).
Saat pengembangan, chamber ditutup rapat agar eluen tidak menguap.
Setelah selesai pengembangan, plat dikeluarkan dari dalam chamber
kemudian plat diangin-anginkan agar eluen dalam plat cepat menguap.
Setelah itu, plat dideteksi dan diamati di bawah sinar UV 366 dan spot
digambar pada kertas kalkir yang sebelumnya telah dipotong 10x10cm. Lalu
plat juga diamati di bawah sinar matahari dan spot yang terlihat digambar
pada kertas kalkir lalu catat hasil dari pengamatan yang dilakukan.
Hasil pemisahan yang didapat pada praktikum kali ini kurang baik
karena terdapat ekor pada hampir semua spot pada plat. Pembentukan ekor

merupakan salah satu gangguan yang dapat kita temukan dalam KLT,
dimana pembentukan ekor ini ditandai jika senyawa yang dipisahkan
berekor panjang, bukan bercak yang agak bundar. Penyebab utama
pembentukan ekor ini adalah cuplikan terlalu banyak atau pembebanan yang
berlebih, dan hal ini hanya dapat dihilangkan dengan mengurangi cuplikan
(Gitter, 1991).

spot

Gambar
yang
dilihat di
bawah

sinar

UV366

pada

kertas
kalkir

Gambar

spot

yang
dilihat di
bawah

sinar

matahari
pada kertas kalkir
Berdasarkan hasil yang didapat dari sepuluh fraksi, terdapat beberapa

fraksi yang tidak menghasilkan spot, ada yang menghasilkan 1 spot dan 3
spot. Fraksi yang tidak menghasilkan spot adalah fraksi 1 dan 2. Fraksi 3
hanya menghasilkan satu spot saja, hal ini terjadi karena ketika penetesan
fraksi dari dalam kolom, hanya sedikit sampel yang melewati silika gel dan
sisanya kebanyakan eluen. Kemudian fraksi yang menghasilkan 3 spot
adalah fraksi IV, V, VI, VII, VIII, IX dan X. Ketiga spot ini adalah senyawa
kurkuminoid yang juga merupakan pigmen warna kuning pada kunyit, yaitu
kurkumin, desmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin.

Data yang diperoleh dari KLT preparatif adalah nilai Rf yang


berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai
jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang
ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh sebab itu bilangan Rf selalu lebih
kecil dari 1,0. Setelah dideteksi di bawah sinar UV 366 nm terlihat seluruh
spot pada sampel yang berpendar dengan warna yang berbeda-beda, ada
yang tampak kuning muda dan ada yang tampak jingga kecoklatan. Dan
setelah di amati di bawah sinar matahari langsung, dari semua spot yang ada
berpendar warna jingga.
Setelah dihitung dan dilihat dari nilai Rf dan Hrf masing-masing spot
dapat ditentukan komponen apa saja yang terkandung pada kunyit.

Komponen

hRf

Warna Dengan
( Egon, 1985)
IV/1, UV365
IV/2 Sinar Matahari

Kurkumin
Desmetoksikurkumin
Bisdesmetoksikurkumin

40-45 Merah-darah
35-40 Salmon
25-35 Merah-jingga muda

Jingga
Jingga
Kuning

Apabila dilihat berdasarkan nilai Rf dan hRf-nya dan pada pustaka,


hasil identifikasi pada kunyit dalam praktikum ini menunjukkan hasil positif
adanya senyawa kurkumin, yaitu pada fraksi IV, V, IV, VII, VIII, IX dan X,
tetapi warna yang terjadi setelah dideteksi di bawah sinar UV366 tidak seperti
pada literatur. Warna yang didapatkan adalah warna coklat, hal ini mungkin
terjadi karena plat tidak dicuci dan diaktivasi terlebih dahulu. Berdasarkan
hasil pengembangan terjadi tailing (pengekoran) yang menunjukan bahwa
hasil pemisahan kurang baik.
Pada fraksi I dan fraksi II tidak didapatkan spot saat dilihat dibawah
sinar UV366 dan sinar matahari.
Pada fraksi III setelah dilihat di bawah pada UV366 tampak 1 spot yang
menampakkan warna hijau terang dengan jarak 3,9 cm dan memiliki
nilai hRf

49 yang mana menunjukan tidak adanya kandungan

kurkumin pada spot ini, tetapi jika dilihat di bawah sinar matahari tidak
tampak adanya spot.
Pada fraksi IV terdapat 3 spot, yaitu :
a. Spot 1 yang dilihat di bawah UV366 dan sinar matahari memiliki
jarak 2,2 cm dan nilai hRf 27. Spot pada sinar UV 366 menampakkan
warna hijau terang, dan pada sinar matahari menampakkan warna
kuning

muda.

Spot

ini

memiliki

kandungan

bisdesmetoksikurkumin.
b. Spot 2 yang dilihat di bawah sinar UV366 memiliki jarak 2,9 cm dan
nilai hRf 36 serta pada spot ini menampakkan warna hijau terang.
Kemudian jika dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak
2,8 cm dengan nilai hRf 35 dan menampakkan warna jingga. Spot
ini mengandung desmetoksikurkumin.
c. Spot 3 yang dilihat di bawah sinar UV366 memiliki jarak 3,2 cm
dengan nilai hRf 40 dan spot ini menampakkan warna hijau gelap.
Kemudian jika dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak

3,6 cm dan nilai hRf 45 dan menampakkan warna jingga. Spot ini
mengandung kurkumin.
Pada fraksi V menunjukkan adanya 3 spot
a. Spot 1 yang dilihat di bawah sinar UV366 memiliki jarak 2,3 cm dan
nilai hRf 29. Spot ini menampakkan warna hijau gelap. Kemudian
jika dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak 2,2 cm
dengan nilai hRf 27 dan menampakkan warna jingga. Spot ini
mengandung bisdesmetoksikurkumin.
b. Spot 2 yang dilihat di bawah sinar UV366 memiliki jarak 2,7 cm dan
nilai hRf 34. Spot ini menampakkan warna hijau gelap. Kemudian
jika dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak 2,7 cm
dengan nilai hRf 34 dan menampakkan warna jingga. Spot ini
mengandung desmetoksikurkumin.
c. Spot 3 yang dilihat di bawah sinar UV366 memiliki jarak 3,5 cm dan
nilai hRf 44. Spot ini menampakkan warna hijau gelap. Kemudian
jika dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak 3,5 cm
dengan nilai hRf 44 dan menampakkan warna jingga. Spot ini
mengandung kurkumin.
Pada fraksi VI menunjukkan adanya 3 spot
a. Spot 1 yang dilihat dari sinar UV366 memiliki jarak 2,2 cm dan nilai
hRf 27. Spot ini menampakkan warna hijau gelap. Kemudian jika
dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak 2,1 cm dengan
nilai hRf 26 dan menampakkan warna jingga. Spot ini mengandung
bisdesmetoksikurkumin.
b. Spot 2 yang dilihat dari sinar UV366 memiliki jarak 2,8 cm dan nilai
hRf 35. Spot ini menampakkan warna hijau gelap. Kemudian jika
dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak 2,6 cm dengan
nilai hRf 32 dan menampakkan warna jingga. Spot ini mengandung
desmetoksikurkumin.
c. Spot 3 yang dilihat di bawah sinar UV366 memiliki jarak 3,6 cm dan
nilai hRf 45. Spot ini menampakkan warna hijau gelap. Kemudian
jika dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak 3,4 cm
dengan nilai hRf 42 dan menampakkan warna jingga. Spot ini
mengandung kurkumin.

Pada fraksi VII menunjukkan ada 3 spot


a. Spot 1 yang dilihat di bawah sinar UV366 memiliki jarak 2,3 cm dan
nilai hRf 29. Spot ini menampakkan warna hijau gelap. Kemudian
jika dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak 2,2 cm
dengan nilai hRf 27 dan menampakkan warna jingga. Spot ini
mengandung bisdesmetoksikurkumin.
b. Spot 2 yang dilihat di bawah sinar UV366 memiliki jarak 2,9 cm dan
nilai hRf 36. Spot ini menampakkan hijau gelap. Kemudian jika
dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak 2,6 cm dengan
nilai hRf 32 dan menampakkan warna jingga. Spot ini mengandung
desmetoksikurkumin.
c. Spot 3 yang dilihat di bawah sinar UV366 memiliki jarak 3,1 cm dan
nilai hRf 39. Spot ini menampakkan warna hijau gelap, yang mana
mengandung desmetoksikurkumin. Dan pada spot dilihat dibawah
sinar matahari memiliki jarak 3,5 cm dengan nilai hRf 44 dan
menampakkan warna jingga, yang mana mengandung kurkumin.
Pada fraksi VIII setelah dilihat pada UV366 menunjukkan 2 spot dan
sedangkan pada dilihat di bawah sinar matahari menunjukkan 3 spot
1. Pada sinar UV366 ada 2 spot
a. Spot 1 memiliki jarak 2,2 cm dan nilai hRf 27. Spot ini
menampakkan warna hijau gelap. Komponen yang terkandung
adalah bisdesmetoksikurkumin.
b. Spot 2 memiliki jarak 3,5 cm dan nilai hRf

44. Spot ini

menampakkan warna hijau gelap. Komponen yang terkandung


adalah kurkumin.
2. Pada sinar matahari ada 3 spot
a. Spot 1 memiliki jarak 2,2 cm dan nilai hRf

27. Spot ini

menampakkan warna jingga. Komponen yang terkandung


adalah bisdesmetoksikurkumin.
b. Spot 2 memiliki jarak 2,6 cm dan nilai hRf

32. Spot ini

menampakkan warna jingga. Komponen yang terkandung


adalah desmetoksikurkumin.
c. Spot 3 memiliki jarak 3,5 cm dan nilai hRf

44. Spot ini

menampakkan warna jingga. Komponen yang terkandung


adalah kurkumin.

Pada fraksi IX menunjukkan ada 3 spot


a. Spot 1 yang dilihat di bawah sinar UV366 memiliki jarak 2,6 cm dan
nilai hRf 32. Spot ini menampakkan warna hijau gelap. Kemudian
jika dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak 2,2 cm
dengan nilai hRf 27 dan menampakkan warna jingga. Komponen
yang terkandung adalah bisdesmekurkumin.
b. Spot 2 yang dilihat di bawah sinar UV366 memiliki jarak 3,3 cm dan
nilai hRf 41. Spot ini menampakkan warna hijau gelap. Kemudian
jika dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak 3,2 cm
dengan nilai hRf 40 dan menampakkan warna jingga. Komponen
yang terkandung adalah kurkumin.
c. Spot 3 yang dilihat di bawah sinar UV366 memiliki jarak 4,1 cm dan
nilai hRf 51. Spot ini menampakkan warna hijau gelap. Kemudian
jika dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak 4 cm dengan
nilai hRf

50 dan menampakkan warna jingga. Spot ini tidak

terkandung senyawa kurkumin.


Pada fraksi X menunjukkan ada 3 spot
a. Spot 1 yang dilihat di bawah sinar UV366 memiliki jarak 3,3 cm dan
nilai hRf 41. Spot ini menampakkan warna hijau gelap. Kemudian
jika dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak 3,5 cm
dengan nilai hRf 44 dan menampakkan warna jingga. Komponen
yang terkandung adalah kurkumin.
b. Spot 2 yang dilihat di bawah sinar UV366 memiliki jarak 4,1 cm dan
nilai hRf 51. Spot ini menampakkan warna hijau gelap. Kemudian
jika dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak 4,2 dengan
nilai hRf

52 dan menampakkan warna jingga. Spot ini tidak

mengandung senyawa kurkumin.


c. Spot 3 yang dilihat di bawah sinar UV 366 memiliki jarak 4,9 cm dan
nilai hRf 61. Spot ini menampakkan warna hijau gelap. Kemudian
jika dilihat dibawah sinar matahari spot memiliki jarak 4,9 dengan
nilai hRf

61 dan menampakkan warna jingga. Spot ini tidak

mengandung senyawa kurkumin.


VIII. KESIMPULAN

1. Pemisahan dari identifikasi kurkumin dilakukan dengan tiga tahap


percobaan, yaitu maserasi, kromatografi kolom dan kromatografi lapis
tipis.
2. Prinsip maserasi adalah cairan penyari akan menembus dinding sel dan
masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan
larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif
di dalam sel dengan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat
didesak keluar
3. Prinsip kromatografi kolom sama dengan prinsip kromatografi lapis
tipis (KLT) adalah fase diam yang polar akan mengelusi senyawasenyawa non polar turun bersama fase gerak yang digunakan,
sementara senyawa-senyawa polar akan tertahan pada fase diamnya.
4. Jika dilihat dari nilai hRf yang dibandingkan dengan pustaka yang
dideteksi pada sinar matahari ditemukkan senyawa kurkumin pada
fraksi IV, V, VI, VII, VIII, IX dan X.
5. Jika dilihat dari nilai hRf yang dibandingkan dengan pustaka yang
dideteksi di bawah sinar UV366 ditemukan senyawa kurkumin pada
fraksi IV, V, VI, VIII, IX, dan X.
6. Spot pada plat KLT bentuknya tidak bundar dan adanya tailing. Hal ini
disebabkan cuplikan terlalu banyak.
7. Hasil warna pada praktikum ini tidak sesuai dengan pustaka,
dikarenakan oleh beberapa faktor pada tahap maserasi kualitas pelarut
kurang baik, dan pada KLT tidak adanya proses pencucian dan
pengaktivasian plat.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim a. 2011. Budidaya Kunyit. (Cited: 2011 Sept, 28). Available from :
http://www.migroplus.com/brosur/Budidaya%20kunyit.pdf
Anonim b. 1986. Sediaan Galenik . Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Dekker, Marcel. 2003. Basic Technique, Materials, Apparatus. In: Sherma,
Joseph.,

Fried,

Bernard.,

editors.

Handbook

of

Thin-Layer

Chromatography, 3th ED. Switzerland: Marcel Dekker Inc. P. 19


Gritter, Roy J, dkk. 1991. Pengantar Kromatografi. Bandung: Penerbit ITB.
Haqiqi, Sohibul Himam. 2008. Kromatografi Lapis Tipis. (Cited: 2011
September, 30). Available from: http://d4him.files.wordpress.com /
2009/02/paper-kromatografi-lapis-tipis.pdf
Kusmardiyani, Siti dan Nawawi As'ari. 1992. Kimia Bahan Alam.
Yogyakarta: Pusat antar Universitas Bidang Ilmu Hayati

Stahl, Egon. 1985. Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi.


Bandung: Penerbit ITB
Sudjaji. 1986. Metode Pemisahan. Yogyakarta: UGM Press

Anda mungkin juga menyukai