Kromatografi Kolom
Pada prinsipnya kromatografi kolom adalah suatu teknik pemisahan yang
didasarkan pada peristiwa adsorpsi. Sampel yang biasanya berupa larutan pekat
diletakkan pada ujung atas kolom. Eluen atau pelarut dialirkan secara continue
ke dalam kolom. Dengan adanya gravitasi atau karena bantuan tekanan, maka
eluen/pelarut akan melewati kolom dan proses pemisahan akan terjadi. Seperti
pada umumnya, eluen/pelarut yang digunakan dimulai dari yang paling
nonpolar dan dinaikkan secara gradient kepolarannya hingga pemisahan dapat
terjadi. Sama halnya pada KLT, pemisahan dapat terjadi karena adanya
perbedaan afinitas senyawa pada adsorben dan perbedaan kelarutan senyawa
pada eluen/pelarut.
Ketika sampel diletakkan di ujung kolom, seketika itu juga sudah terjadi
peristiwa adsorpsi oleh permukaan adsorben yang berbatasan dengan sampel.
Eluen yang dialirkan secara kontinu ke dalam kolom akan menyebabkan adanya
peristiwa adsorpsi dan desorpsi senyawa-senyawa pada sampel. Molekulmolekul senyawa akan dibawa ke bagian bawah kolom dengan kecepatan yang
bervariasi bergantung pada besarnya afinitas molekul tersebut pada adsorben
dan juga pada besarnya kelarutan molekul tersebut dalam eluen/pelarut. Cairan
yang keluar dari kolom ditampung dan dilakukan analisis menggunakan KLT
untuk melihat hasil pemisahannnya.
Pada kromatografi kolom, hal-hal yang paling berperan dalam kesuksesan
pemisahan adalah adsorben dan eluen/pelarut, dimensi kolom yang digunakan
serta kecepatan elusi yang dilakukan.
(Pustaka : Buku Ajar Fitokimia, Airlangga University Press, Surabaya :
2008)
besar.
Beberapa macam teknik untuk optimasi pemisahan seperti pengembangan 2
dimensi, pengembangan bertingkat, dan pembaceman penjerap dapat
3.
4.
kapan saja.
Semua komponen dalam sampel dapat dideteksi.
Penjerap yang paling sering digunakan pada KLT adalah silika dan serbuk
selulosa, sementara mekanisme sorpsi-desorpsi yang utama pada KLT
2.
3.
4.
Spektra UV-Vis
Spektroskopi
Spektrometri
Spektrofotometer : Alat/instrumen
Spektroskopi
adalah
sebuah
cabang
ilmu
pengetahuan
yang
C. SKEMA KERJA
Penyiapan Kolom Kromatografi
Kolom kromatografi
dicuci bersih
Ekstrak dicampur
homogen dengan sedikit
fase diam Kieselgel 60
Diamkan semalam
Pada praktikum ini digunakan metode kromatografi kolom basah yaitu silika gel
dilarutkan dalam fase gerak kemudian dituang ke dalam kolom dan didiamkan semalam
supaya campuran menjadi homogen dan memberi kesempatan campuran memadat sehingga
tidak ada udara yang terjebak di dalam kolom. Fase gerak harus selalu berada di atas
permukaan fase diam karena jika sampai fase gerak habis dapat menyebabkan fase diam
menjadi kering dan terjadi keretakan pada kolom.
Setelah fase diam mampat, kolom diisi dengan ekstrak temulawak dan dialiri dengan
fase geraknya sehingga ada senyawa akan terbawa oleh fase gerak dan teradsorbsi oleh fase
diam. Senyawa yang terlarut dalam eluen terbawa sampai ke bagian bawah kolom dan
kemudian keluar melalui kran. Senyawa yang lebih mudah larut akan terbawa lebih dahulu
bersama fase gerak.
Segera diambil tetesan fraksi pertama sebanyak 5mL dengan menggunakan botol vial
sebagai wadah yang telah dikaliberasi 5 mL. Langkah tersebut dilakukan sampai mendapat
50 fraksi dan kolom tetap dijaga agar tidak kering dengan menambahkan eluen sampai pada
fraksi ke-50. Setiap fraksi masing-masing diberikan label agar tidak tertukar. Fraksi-fraksi
dalam botol vial dibungkus dengan aluminium foil agar tidak terkontaminasi dari udara luar
dan tidak terurai akibat kontak dengan cahaya. Lima puluh fraksi yang didapatkan
menghasilkan warna yang berbeda-beda ada yang berwarna kuning muda, kuning tua, kuning
pekat, sesuai dengan kadungan senyawa yang terlarut dalam eluen.
Identifikasi dilakukan untuk mengetahui kemurnian dan adanya zat kurkimin dari
hasil pemurnian dengan kromatografi kolom, Oleh kerena itu perlu dilakukan tahapan
identifikasi ini antara lain:
A. Kromatografi Lapis Tipis
Fase Diam
: Silikagel GF 254
Fase Gerak
: kloroform-benzena-etanol (45:45:10)
Penampak Noda : KOH 5% dalam etanol
Dalam praktikum KLT ini fase diam yang digunakan adalah silika gel GF254 yang
bersifat polar dan fase geraknya yaitu pelarut campuran (Benzena : kloroform : etanol 96% =
45:45:10) yang bersifat non polar. Fasediam silika gel GF254 yang mana G adalah Gypsum
(pengikat) biasanya pengikat yang digunakan adalah kalsium sulfat, F adalah Flouresence
(panjang gelombang), dan 254 adalah panjang gelombang yang digunakan yaitu 254 nm. Jadi
arti GF 254 adalah penjerap silika gel dengan pengikat kalsium sulfat dengan ditambahkan
indikator yang dapat berflouresensi jika dideteksi pada sinar ultraviolet dengan panjang
gelombang 254 nm. Indikator flouresensi akan padam jika terdapat senyawa yang terjerap
1 16 21 26 31 36 41 46
1
Gambar 1. Hasil KLT secara kromatografi kolom penotolan vial 1 sampai
46 dengan kelipatan 5
1 6
1 16 21 26 31 36 41 46
1 16 21 26 31 36 41 46
Gambar
1
2. Noda pada sinar UV 254 nm Gambar
1 3. Noda pada sinar
UV 365 nm
Fraksi 11-16 ditotolkan pada lempeng klt dan dieluasi dengan fase gerak yang
sama dan diukur Rfnya, yaitu Rf= 0,51. Perlakuan yang sama dilakukan untuk fraksi
dari vial 21-26 dan vial 31-41, dan diperoleh Rf secara berturut yaitu Rf= 0,34 dan
Rf= 0,21.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut diketahui bahwa senyawa kurkuminoid
yang diperoleh melalui hasil pemurnian dengan kromatografi kolom merupakam 3
senyawa kurkuminiod yang terbesar kandungannya dalam temulawak, yaitu:
curcumin, demetoksikurkumin, bidesmetoksikurkumin. Sesuai data yang diperoleh
dari pustaka, dari Kromatogram HPLC dari rimpang temulawak dapat mendeteksi
adanya 4 senyawa yaitu kurkumin 61-67%, desmetoksikurkumin 22-26%,
bisdesmetoksikurkumin 1-3%, dan turunan kurkuminoid 10-11%. (Cahyono, 2011).
Berdasarkan hasil Rf dari ketiga senyawa kurkumin yang diperoleh dalam proses
pemurnian ini dapat diketahui bahwa senyawa pada vial 11-16 adala kurkumin, vial
21-26 adalah demetoksikurkumin, dan vial no 31-41 adalah bidesmetoksikurkumin.
Hal ini sesuai dengan pustaka, yaitu : curcuminoids standard dengan fase diam silica
gel GF 254, Fase gerak kloroform-benzena-etanol (45:45:10) Rf = 0.4 curcumin, Rf =
0.35 desmethoxy curcumin, and Rf = 0.25 bisdesmethoxy curcumin. (Asghari, 2009).
Berdasarkan kepolaran dari senyawa kurkuminoid maka dapat diketahui bahwa
curcunin bersifat lebih non polar dibandingkan senyawa kurkuminoid lain secara
berturut-turut: desmetoksikurkumin dan bisesmetoksikurkumin. Kurkumin lebih
terlarut dan terbawa oleh fase gerak yang bersifat non polar dibandingkan terjerap
dalam fase gerak yang bersifat lebih polar.
B. Spektrofotometri UV-Vis
Sampel
Pelarut
: Etanol 96%
Pereaksi Geser
: NaOH 2M
422 nm. Hal ini sesuai dengan pustaka yaitu panjang gelombang maksimum kurkumin
dalam etanol berkisar antara 420-430 nm (Verghese, 1999) dan pustaka lain yang
mengatakan panjang gelombang maksimum kurkumin dalam etanol adalah 425 nm
sehingga dapat disimpulkan bahwa isolat yang didapat adalah kurkumin yang murni.
Hasil pengujian kurkumin dalam pelarut metanol secara spektrofotometri UV-VIS
setelah ditambah 3 tetes NaOH 2M, tampak ada perubahan warna senyawa dari
kekuningan menjadi merah, serta hasil pembacaan panjang gelombang maksimumnya
mengalami pergeseran sebesar 54 nm sehingga panjang gelombang maksimumnya
menjadi 476 nm. Pergeseran panjang gelombang yang terjadi adalah pergeseran
batochromic yaitu pergeseran absorbansi maksimum ke arah panjang gelombang yang
lebih besar.
Gambar 8. Spektra
Gambar
Spectrofotometri
9. Spektra Spectrofotometri
UV-Vis Kurkumin
UV-Vis
dalam
Kurkumin
pelarut
dalam pelarut etanol
etanol
dan setelah penambahan NaOH
Adanya pergeseran puncak spectra terjadi karena adanya perubahan struktur dari
kurkumin, dimana kurkumin mrmiliki gugus hidroksil bereaksi dengan NaOH (suatu
basa kua)t sehingga akan mengionkan semua gugus hidroksil yang ada menjadi gugus
fenolat
E. KESIMPULAN
Dari Hasil pemurnian ini diketahui bahwa senyawa kurkuminoid terdiri dari
F. DAFTAR PUSTAKA
Asghari, G, A. Mostajeran, M. Shebli. 2009. Curcuminoid And Essential Oil Components Of
Turmeric At Different Stages Of Growth Cultivated In Iran. Research in Pharmaceutical
Sciences, April 2009; 4(1): 55-61
Cahyono, Bambang, Muhammad Diah Khoirul Huda, dan Leenawaty Limantara. 2011.
PENGARUH PROSES PENGERINGAN RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma
xanthorriza ROXB) TERHADAP KANDUNGAN DAN KOMPOSISI KURKUMINOID.
Reaktor, Vol. 13 No. 3, Juni 2011, Hal. 165-171.
Food and agriculture organization of united states. 2003.
Curcumin.www.fao.org/ag/agn/jecfa-addivitives/spec/monograph1/Additive-140.pdf
Kristanti, Alfinda Novi, dkk. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Surabaya: Airlangga University
Press.
Lide, David. 2001. Handbook of Chemistry and Physic.
Soesilo, Slamet, dkk. 1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Repulik Indonesia.