Anda di halaman 1dari 27

FARMASETIKA SEDIAAN SEDIAAN STERIL (FAF-210)

NAMA / NIM : TESSA AMANDA SAVETRI

HARI / KELOMPOK PRAKTIKUM : JUMAT / C1

TANGGAL PRAKTIKUM : 13 NOVEMBER 2020

TOPIK FORMULASI : INFUS DEKSTROSA 2,5 % ISOTONI DENGAN NaCl

A. PRAFORMULASI
I. TINJAUAN FARMAKOLOGI BAHAN OBAT
a. Dekstrosa
Dextrosa merupakan senyawa yang siap dimetabolisme di dalam tubuh.
Senyawa ini meningkatkan kadar glukosa dalam darah, sehingga dapat memenuhi
kebutuhan akan kalori. Konsentrasi dektrosa akan menurun apabila terjadi
penurunan jumlah protein dan nitrogen dalam tubuh, dan juga dapat memicu
pembentukan glikogen. Dextrosa merupakan senyawa monosakarida yang sangat
cepat diserap dalam usus halus dengan mekanisme difusi aktif. Dextrosa juga
disimpan sebagai glikogen pada hati dan otot. Metabolisme dextrosa akan
menghasilkan CO2, air dan sumber energi (Reynolds, 1982)..
• Indikasi a. Sebagai terapi parenteral untuk memenuhi kalori pada pasien yang
mengalami dehidrasi. b. Sebagai terapi pada pasien hipoglikemi yang
membutuhkan konsentrasi glukosa dalam darah, hal ini dipenuhi dengan cara
menyimpan dekstrosa yang ada sebagai cadangan gula dalam darah. (McEvoy,
2002)
• Efek Samping 1. Poliuria: peningkatan jumlah urin, yang disebabkan karena
gula yang ada menyerap air dengan kuat dalam tubuh. 2. Nyeri setempat: hal ini
disebabkan karena konsentrasi sediaan yang terlalu tinggi, biasanya diberikan pada
pasien yang membutuhkan nutrisi parenteral dengan konsentrasi dekstrosa yang
tinggi. 3. Hiperglikemia: terjadi peningkatan kadar gula dalam darah dan
glukosuria. (McEvoy, 2002)
• Kontraindikasi Pada pasien hiperglikemi (diabetes), pasien gangguan ginjal,
gangguan absorpsi glukosa-galaktosa, sepsis akut (McEvoy, 2002).
b. NaCl
Larutan sodium klorida dan glukosa diindikasikan saat terdapat kombinasi
kekurangan air dan sodium campuran 1:1 sodium klorida isotonis dan 5 % glukosa
memungkinkan air (bebas sodium) memasuki sel yang dehidrasi sedangkan garam
sodium dengan air ditentukan oleh Na plasma normal ekstraseluler.
 Indikasi Sodium klorida digunakan dalam pengaturan defisiensi ion
sodium dan klorida dalam kondisi kehilangan garam. Larutan sodium klorida
digunakan sebagai sumber sodium klorida dan air untuk hidrasi.
 Konraindikasi Garam sodium harus diberikan dengan perhatian pada
pasien hipertensi, gagal jantung, oedema peripheral atau pulmonal, gagal
ginjal, pre-eclampsia atau kondisi lain yang berubungan dengan retensi sodium.
Sodium klorida tidak boleh diberikan untuk menginduksi emesis, hal ini
berbahaya dan kematian dari hipernatremia telah dilaporkan.
 Efek samping Menimbulkan ketidakseimbangan elektrolit dari
kelebihan sodium. Retensi kelebihan sodium dalam tubuh biasaya muncul saat
ada retensi sodium renal yang kurang baik. Hal ini berakibat akumulasi cairan
ekstraseluler untuk mempertahankan osmolalitas plasma normal, yang dapat
menghasilkan oedema pulmonal dan peripheral dan efek-efeknya yang lain.
(Martindale, 36th Ed)
II.TINJAUAN SIFAT FISIKOKIMIA BAHAN OBAT
a.Dekstrosa
1. Struktur dan Berat Molekul
Dekstrosa monohidrat Dekstrosa anhidrat

BM = 198,17 g/mol BM= 180,16 g/mol


2. Kelarutan
Mudah larut dalam air, sangat mudah larut dalam air mendidih; larut dalam
etanol mendidih; sukar larut dalam etanol (Depkes RI, 1995).
3. Stabilitas
- Terhadap cahaya: dekstrosa memiliki daya tahan yang baik terhadap cahaya,
namun penyimpanannya diusahakan terlindung dari sinar matahari (McEvoy,
2002).
- Terhadap suhu : dekstrosa tidak stabil terhadap suhu tinggi, pada pemanasan
suhu tinggi dekstrosa akan berubah menjadi 5- hidroksi-metil-furfural, yang
akhirnya berubah menjadi asam lauvulinic. Penyimpanan pada suhu 2o-25oC
atau disimpan pada suhu kamar (tahan sampai 14 bulan) (McEvoy, 2002).
- Terhadap pH: dekstrosa stabil pada pH 3,5 sampai 6,5 (Depkes RI, 1995).
Menurut Kibbe (2000), stabilitas dekstrosa terdapat pada rentang 3,5 sampai 5,5
(dalam 20% b/v larutan) dimana pH yang lebih rendah akan menyebabkan
terbentuknya karamel. Jika pH terlalu basa, dekstrosa akan terdekomposisi dan
berwarna coklat.
- Terhadap oksigen: dekstrosa anhidrat memiliki kemampuan absorpsi yang
signifikan pada suhu 250°C dan kelembaban sekitar 85% (McEvoy, 2002).
4. Titik lebur
83°C (Dekstrosa monohidrat), 146°C (Dekstrosa anhidrat)
5. Inkompatibilitas
- Sediaan dekstrosa tidak bercampur dengan obat-obat vitamin B12,
kanamicin sulfat, Na- novobiosin, warfarin. Eritromicyn tidak stabil pada
larutan dekstrosa pada pH di bawah 5,05 sedangkan vitamin B12 mengalami
dekomposisi atau penguraian bila dipanaskan dengan sediaan dekstrosa
(McEvoy, 2002).
- Pada sediaan aldehid, glukosa bereaksi dengan senyawa amin, amida asam
amino, peptida, dan protein. Perubahan warna menjadi coklat dan penguraian
dapat terjadi apabila sediaan bereaksi dengan senyawa alkali kuat (McEvoy,
2002).
 Natrium Klorida (NaCl)
1. Struktur dan Berat Molekul

BM = 58,44 g/mol

2. Kelarutan
Sedikit larut dalam etanol, arut 1:10 dalam gliserin, larut 1:250 dalam etanol
95%, larut 1:2,8 dalam air dan 1:2,6 pada suhu 100°C (HPE 6th ed, p.639)
3. Stabilitas
Stabil dalam bentuk larutan. Larutan stabil dapat menyebabkan pengguratan
partikel dari tipe gelas.
4. Titik Lebur
800,7°C
5. Inkompatibilitas
Natrium klorida bersifat korosif pada logam. Bereaksi membentuk endapan
dengan perak, garam merkuri.

III. BENTUK SEDIAAN, DOSIS DAN CARA PENGGUNAAN


Bentuk sediaan Sediaan larutan steril infus dekstrosa 2,5 % volume 500 ml
Dosis Dosis tergantung pada kebutuhan pasien, penggunaan glukosa maksimal
500-800 mg/kg BB perjam. Untuk penggantian air, sumber energi (infus
dekstrosa monohidrat) 1-3 Liter perhari dengan larutan 20-50 %. Untuk nutrisi
dan hidrasi parenteral, pasien pediatric dosis disesuaikan berdasarkan BB pasien,
kondisi klinis dan hasil lab. Pada dewasa, dosis disesuaikan berdasarkan umur, BB,
kondisi klinis, keseimbangan cairan dan elektrolit, serta keseimbangan asam basa
pasien.Untuk pengobatan hipoglikemia dosis umumnya adalah 20-50 mL
dekstrosa 50%, yang diberikan dengan lambat. Untuk pengobatan gejala
hipoglikemia akut pada bayi dan anak-anak dosis umumnya adalah 2mL/kg dengan
konsentrasi glukosa 10%-25% (McEvoy, 2002).

Cara Pemberian Intravaskular (IV)


B. FORMULASI
I. PERMASALAHAN
 Sediaan infus dekstrosa merupakan sediaan parenteral yang memiliki
persyaratan jernih, bebas mikroorganisme dan bebas partikel.
 Sediaan harus bebas pirogen.
 Sediaan diberikan secara intravena maka harus isotonik agar tidak terjadi rasa
sakit atau iritasi saat injeksi
 Dekstrosa dapat mengalami perubahan menjadi menjadi 5-hidroksi-metil-
furfural

II. PENCEGAHAN MASALAH


 Dilakukan penyaringan dengan membran filter berulang kali terhadap sediaan
 Ditambahkan karbon aktif sebagai adsorben untuk membebaskan sediaan dari
pirogen
 Ditambahkan agen pengisotonis seperti NaCl
 Menggunakan metode sterilisasi panas basah/otoklaf dengan suhu 115°C
selama 30 menit

III.MACAM - MACAM FORMULASI


IV. FORMULASI YANG DIRENCANAKAN
Nama Bahan Fungsi Kadar Jumlah per Jumlah 10.000
(%) sediaan L
Dekstrosa Bahan aktif 2.5 12,5 g 250 kg
NaCl Pengisotonis 0.5 2,5 g 50 kg
Karbon aktif Adsorben 0,015 75 mg 1,50 kg
Water for Pelarut Ad 100 Ad 500 mL Ad 10.000 L
Injection

Nama Bahan Fungsi Kelarutan pH stabilitas Cara


sterilisasi
Dekstrosa Bahan Aktif Mudah larut dalam 3,2-6,5 Autoklaf
air, sangat mudah
larut dalam air
mendidih; larut
dalam etanol
mendidih; sukar
larut dalam etanol
(Depkes RI, 1995).

NaCl Pengisotonis  Sedikit larut 6,7-7,3 Autoklaf


dalam etanol (HPE 6th ed,
 Larut 1:10 p.637)
dalam gliserin
 Larut 1:250
dalam etanol
95%
 Larut 1:2,8
dalam air dan
1:2,6 pada
suhu 100 ° C
(HPE 6th ed,
p.639)
Karbon aktif Adsorben Praktis tidak larut - Autoklaf
air dan etanol
Water for Pelarut Larut dengan 5,0-7,0 Autoklaf
Injection hampir semua
pelarut polar
CARA STERILISASI SEDIAAN : Autoklaf dengan suhu 115°C selama 30 menit

C. PEMBUATAN SEDIAAN
I. PERHITUNGAN BAHAN
1. Perhitungan Volume dan Jumlah Sediaan
Volume sediaan = 500 ml + 2 % = 510 ml
Sediaan yang dibuat = 10.000 L/510 ml = 19.607 sediaan
2. Perhitungan Jumlah Zat
Dekstrosa = 2,5 % = 2,5 g/ 100 ml = 12,5 g + (5 %) = 13,125 g/510 ml
Karbon aktif = 0,015 % = 0,015 g/100 ml = 75 mg/500 ml
3. Perhitungan Tonisitas
Penurunan t.b. 1% NaCl 0,576°C
Penurunan t.b 1% Dekstrosa 0,1°C
Rumus :
W = (0,52 - a) / b
W = (0,52 - (2,5 x 0,1)) / 0,576
W = 0,47 % NaCl ≈ 0,5 %NaCl = 0,5 gram /100 ml=2,5 g /500 ml
4. Penimbangan Bahan
 Dekstrosa = 13,125 g × 19.607 sediaan = 257,34 kg = 258 kg
 NaCl = 2,5 g × 19.607 sediaan = 49, 07 kg = 50 kg
 Karbon aktif = 75 mg × 19.607 sediaan = 1,471 kg = 1,50 kg
 Water For Injection ad 10.000 L

Nama Bahan Jumlah per ampul Jumlah 10.000 ampul


Dekstrosa 12,5 g 258 kg
NaCl 2,5 g 50 kg
Karbon aktif 75 mg 1,50 kg
Water For Injection Ad 510 ml Ad 10.000 L

II. CARA KERJA


1. Ditimbang bahan dekstrosa anhidrat
2. Ditimbang bahan NaCl
3. Ditimbang norit
4. Disiapkan water for injection sebanyak ¾ volume (80 %) ke dalam tangki
5. Dilarutkan bahan dekstrosa dengan water for injection aduk ad homogen
6. Ditambahkan NaCl ke dalam larutan dekstrosa dan diaduk ad homogen
7. Dilakukan cek pH(adjust pH menggunakan NaOH atau HCl 0,1 N bila perlu)
8. Digenapkan volume akhir dengan menggunakan watre for injection hingga
100 % volume dan dicek pH.
9. Dipanaskan larutan pada suhu 60-70°C selama 15 menit (waktu dihitung
setelah dicapai 60-70°C) sambil diaduk.
10. Dimasukkan norit ke dalam larutan (yang sebelumnya diaktifkan di oven
100°C selama 30 menit) dan diaduk selama 15 menit
11. Disaring larutan hangat menggunakan flannel filter. Dilakukan penyaringan
minimal dua kali sampai didapatka larutan bebas norit
12. Larutan disaring melalui membran filter 0,45 µm
13. Larutan diisikan ke dalam botol infus sebanyak 510 ml
14. Botol infus ditutup
15. Disterilisasi akhir menggunakan autoklaf suhu 115°C selama 30 menit
16. Evaluasi sediaan
17. Diberikan etiket dan dikemas dalam dus dengan menyertakan brosur informasi
obat.

III. ALAT-ALAT YANG DIGUNAKAN DAN CARA STERILISASI


No Nama Alat Ukuran Jumlah Cara Sterilisasi Suhu Waktu
(°C)
1. Gelas beaker 25 ml 1 Autoklaf 115 30 menit
2. Botol Infus 500 ml 19.607 Autoklaf 115 30 menit
3. Batang - 1 Panas api langsung ±20 detik
pengaduk
Tangki pencampuran dan mesin produksi di desinfeksi secara berkala agar
tetap steril.

IV. EVALUASI HASIL SEDIAAN


1. Penetapan kadar
Dengan KCKT
 Membuat Dapar asetat: Buat larutan dalam air yang mengandung 6,8 g
natrium asetat P dan 2,9 ml asam asetat glasial P per liter.
 Fase gerak: Masukkan 5,1 g tetrabutilamonium hidrogen sulfat P ke
dalam labu tentukur 1000-ml,tambahkan 50 ml asetonitril P, encerkan
dengan Dapar asetat sampai tanda. Atur pH hingga 5,5 ± 0,1 dengan
penambahan natrium hidroksida 5 N.
 Larutan baku: Timbang saksama sejumlah Atropin Sulfat BPFI, larutkan
dan encerkan dengan air hingga kadar lebih kurang 80 µg per ml.
 Larutan uji Ukur: sejumlah volume injeksi setara dengan lebih kurang 2
mg atropin sulfat masukkan ke dalam labu tkur 25-ml, encerkan dengan
air sampai tanda.
 Larutan resolusi : Buat larutan asam p-hidroksibenzoat dalam air hingga
kadar lebih kurang 2,5 µg per ml.Encerkan 1 bagian volume larutan
dengan 4 bagian volume Larutan baku.
 Sistem kromatografi: Kromatograf cair kinerja tinggi dilengkapi dengan
detektor 254 nm dan kolom 3,9 mm x 30 cm berisi bahan pengisi L1. Laju
alir lebih kurang 2 ml per menit. Lakukan kromatografi terhadap Larutan
baku, ukur respons puncak seperti tertera pada Prosedur: simpangan baku
relatif pada penyuntikan ulang tidak lebih dari 1,5%. Lakukan
kromatografi terhadap Larutan resolusi, rekam kromatogram dan ukur
respons puncak seperti tertera pada Prosedur: wakturetensi relatif asam p-
hidroksibenzoat terhadap atropine lebih kurang 1,6, dan resolusi, R, antara
puncak asam p-hidroksibenzoat dan atropin tidak kurang dari 2,2.
 Prosedur Suntikkan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih kurang
100 µl) Larutan baku dan Larutan uji ke dalam kromatograf, rekam
kromatogram dan ukur respons puncak utama. Hitung jumlah dalam mg,
atropine sulfat, (C17H23NO3)2.H2SO4.H2O dalam tiap ml injeksi dengan
rumus:
694,83 dan 676,83 berturut-turut adalah bobot molekul atropin sulfat
monohidrat dan atropin sulfat anhidrat; C adalah kadar Atropin Sulfat
BPFI dalam mg per ml Larutan baku;V adalah volume injeksi yang
digunakan dalam ml; rU dan rS berturut-turut adalah respons puncak dari
Larutan uji dan Larutan baku.
2. Penetapan pH
Alat : Bisa digunakan pH meter atau kertas indikator universal

Prosedur :

1. Menyalakan pH meter
2. Mencuci elektrode dan mengeringkannya
3. Masukkan elektrode pada larutan standar pH 7, tekan tombol “Autoread”
dan “Enter”
4. Mencatat pH dan suhu yang tertera pada alat
5. Elektrode dibilas dengan aquadest lalu dikeringkan dengan tisu
6. Batang electrode dicelupkan dalam sediaan injeksi yang akan diukur
pHnya
7. Menekan tombol autoread lalu enter
8. Tunggu angka sampai berhenti
9. Catat pH dan suhu yang tertera
10. Elektrode dicuci dengan aquadest dan masukkan pada KCl
3. Uji Bahan Partikulat
Tujuan :Menghitung partikel asing subvisibel dalam rentang ukuran tertentu
dalam sediaan injeksi.
Metode:
 Uji ukuran partikel secara hamburan cahaya
 Uji ukuran partikel secara mikroskopik
Keterangan:
Larutan injeksi mula-mula diuji dengan metode penghamburan cahaya. Jika
tidak memenuhi batas yang ditetapkan, larutan uji harus memenuhi
prosedur mikroskopik dengan batas-batas tersendiri. Jika larutan uji, karena
alasan teknis tidak dapat diuji secara penghamburan cahaya, maka dapat
dilakukan dengan pengujian mikroskopik saja.

Prinsip:Pengukuran jumlah partikel berdasarkan hamburan cahaya larutan uji.


Pengukuran jumlah partikel berdasarkan perhitungan partikel yang terlihat
dengan mikroskop
Prosedur:
Metode hamburan cahaya
1. Menyiapkan wadah-wadah yang digunakan
2. Mencampur atau mensusupensikan bahan partikulat dalam tiap unit dengan
cara membalikkan unit sebanyak 20 kali. Catatan: karena produk volume
kecil, diperlukan pengocokkan lebih kuat agar partikelnya tersuspensi
dengan baik.
3. Mencampurkan isi dari 10 unit atau lebih ke dalam suatu wadah yang
bersih, untuk memperoleh volume tidak kurang dari 20 ml
4. Awaudarakan larutan gabungan dengan cara sonikasi selama 30 detik atau
dengan cara mendiamkan larutan sampai bebas gelembung udara
5. Mengadukisi wadah secara perlahan-lahan secara manual atau mekanis,
jangan sampai gelembung udara atau cemaran masuk
6. Mengambil sekurang-kurangnya tiga alikot dan masing-masing tidak
kurang dari 5 ml. Catatan: Untuk beberapa produk, suatu gabungan dari 15
unit atau lebih diperlukan untuk memperoleh volume gabungan yang
cukup untuk tiga alikot sampel dengan volume 5 ml. Alikot sampel yang
lebih kecil (< 5 ml) dapat digunakan jika hasil penetapan yang diperoleh
dengan alikot kecil divalidasi dan hasil penilaiannya menunjukkan
kesesuaian bets yang setara dengan hasil yang diperoleh dengan volume
alikot 5 ml tersebut diatas
7. Menuang kedalam sensor penghitung penghamburan cahaya
8. Membuang data dari bagian pertama

Metode mikroskopik
1. Mencampur unit-unit yang akan diuji dengan cara membalikkan sebanyak
20 kali
2. Membuka unit-unit untuk tersebut dengan cara menghasilkan sesedikit
mungkin partikel yang berasal dari lingkungan
3. Membuka dan menggabung isi 10 unit atau lebih di dalam wadah yang
bersih
4. Memindahkan seluruh volume gabungan larutan atau unit tunggal ke
dalam corong penyaring dan vakum
Keterangan: Corong penyaring sesuai volume pengujian dengan diameter
minimum ± 21 mm. Corong penyaring yang dilengkapi vakum mampu
menyalurkan pelarut yang tersaring dengan ukuran tertahan1,2µm atau
lebih kecil pada rentang 10-80 psi dan penyaring membrane (25 atau 47 mm
berpetak-petak atau tidak dengan porositas 1,0 µm atau lebih kecil)
5. Jika volume larutan yang akan disaring melebihi volume corong
penyaringan, menambahkan bagian larutan secara bertahap sampai seluruh
volume tersaring
6. Jika akan digunakan prosedur hitung parsial, jangan biarkan volume cairan
pada corong penyaring turun di bawah setengah volume corong diantara
tiap penambahan volume. Catatan: Corong penyaring yang digunakan
sesuai dengan volume larutan, jika akan menggunakan prosedur hitung
parsial untuk memastikan penyebaran partikel-partikel merata pada
membrane analitik
7. Setelah penambahan larutan terakhir, dinding corong dibilas dengan cara
mengarahkan aliran air suling atau deionisasi yang telah disaring
bertekanan rendah dengan gerak melingkari dinding corong dan
pembilasan corong dihentikan sebelum volume turun di bawah seperempat
volume corong. Vakum dipertahankan hingga cairan di corong tidak tersisa
8. Mengangkat corong penyaring dari dasar sambil mempertahankan vakum,
kemudian vakum dihentikan dan membrane penyaring diangkat dengan pin
settumpul.
9. Menempatkan penyaring di bawah cawan petri atau wadah sejenis, dan
dilekatkan dengan pita perekat bersisi dua dan tandai dengan identitas
sampel
10. Membiarkan penyaring mengering di udara dalam lemari laminar bertutup
dengan penutup yang sedikit terbuka
11. Setelah membrane kering, diamati dengan mikroskop pada perbesaran
100x
12. Jumlah partikel dengan dimensi linier efektif 10 µm atau lebih besar dan 25
µm atau lebih besar dihitung. Catatan: Apabila terdapat 20 partikel
berukuran10 µm atau lebih besar dan 5 partikel berukuran 25 µm atau lebih
besar, maka tingkat partikel blangko cukup rendah untuk pelaksanaan
penetapan mikroskopik

Interpretasi
 Metode hamburan cahaya

Injeksi volume kecil memenuhi syarat uji jika jumlah partikel yang
dikandung:
≥ 10µm ≥ 25µm
Injeksi volume kecil 6000 600 per wadah

 Metode mikroskopik
Injeksi volume kecil memenuhi syarat uji jika jumlah partikel yang
dikandung:

≥ 10µm ≥ 25µm
Injeksi volume kecil 3000 300 per wadah

4. Uji Kebocoran (Agoes, 2009, 191-192)


Tujuan: Memeriksa keutuhan kemasan untuk menjaga sterilitas dan volume serta
kestabilan sediaan
Prinsip: untuk cairan bening tida berwarna,
- Wadah takaran tunggal yang masih panas setelah disterilkan, dimasukkan ke
dalam larutan metilen biru 0,1%.
- Jika terdapat wadah yang bocor maka larutan metilen biru akan masuk ke dalam
karena perubahan tekanan di luar dan di dalam wadah tersebut sehingga larutan
dalam wadah akan menjadi biru.

Jumlah sampel : 4
Hasil (kriteria penerimaan): Tidak ada satu pun ampul bocor (larutan dalam
wadah tidak berwarna biru).

5. Uji Kejernihan
Uji kejernihan untuk larutan steril adalah dengan menggunakan latar belakang putih
dan hitam di bawah cahaya lampu untuk melihat ada tidaknya partikel
viable(Ayuhastuti, 2016).
Tujuan : Memastikan bahwa setiap larutan obat suntik jernih dan bebas pengotor.
Prinsip : Wadah-wadah kemasan akhir diperiksa satu persatu dengan menyinari
wadah dari samping dengan latar belakang hitam untuk menyelidiki
pengotor berwarna putih dan latar belakang putih untuk menyelidiki
pengotor berwarna.
Hasil : Memenuhi syarat apabila tidak ditemukan pengotor dalam larutan

6. Uji Sterilitas Sediaan (FI V : 1362-1365)


Jumlah Bahan yang Diuji
 Jumlah Minimum yang Digunakan untuk Tiap Media( Tabel 1 )
Isi per wadah Jumlah minimum yang digunakan
(kecuali dinyatakan lain)
Larutan
Kurang dari 1 ml Seluruh isi tiap wadah
1 – 40 ml Setengah isi tiap wadah, tetapi tidak
kurang dari 1 ml
Lebih dari 40 ml, tidak lebih dari 100 20 ml
ml
Lebih dari 100 ml 10% isi wadah, tetapi tidak kurang
dari 20 ml
Larutan antibiotik 1 ml
Sediaan larut dalam air lainnya atau Seluruh isi tiap wadah, sebanding
dalam isopropil miristat dengan tidak kurang dari 200 mg
Sediaan yang tidak larut, krim dan Gunakan isi tiap wadah yang
salep, yang tersuspensi atau teremulsi sebanding dengan tidak kurang dari
200 mg
 Jumlah Minimum Bahan yang Diuji Sesuai dengan Jumlah Bahan dalam
Bets( Tabel 2 )
Jumlah wadah dalam bets Jumlah minimum wadah yang diuji
tiap media (kecuali dinyatakan lain)
Sediaan parenteral
Tidak lebih dari 100 wadah 10% atau 4 wadah, diambil yang lebih
besar
Tidak lebih dari 100, tetapi tidak lebih 10 wadah
dari 500 wadah
Lebih dari 500 wadah 2% atau 20 wadah, diambil yang lebih
kecil
Untuk sediaan volume besar 2% atau 10 wadah, diambil yang lebih
kecil
Prosedur Pengujian :

1. Gunakan jumlah wadah seperti tertera pada tabel 1 dan tabel 2. Jika isi tiap wadah
mencukupi (lihat Tabel 2) isi wadah dapat dibagi sama banyak dan ditambahkan pada
media yang sesuai. Jika isi wadah tidak cukup untuk masing – masing media, gunakan
jumlah dua kali dari yang tertera pada Tabel 2.
2. Pengujian terhadap contoh uji dilakukan menggunakan teknik Penyaringan Membran.
 Gunakan penyaring membran dengan porositas tidak lebih dari 0,45 µm yang
telah terbukti efektif menahan mikroba (dapat digunakan penyaring selulosa
nitrat).
 Peralatan penyaring dan membran disterilisasi dengan cara yang sesuai.
Peralatan dirancang hingga larutan uji dapat dimasukkan dan disaring pada
kondisi aseptik, membran dapat dipindahkan secara aseptik ke dalam media.
3. Pindahkan isi wadah atau beberapa wadah yang akan diuji ke dalam satu membran
atau beberapa membran, jika perlu diencerkan dengan pengencer steril yang dipilih
sesuai volume yang digunakan pada Uji Kesesuaian Metode, tetapi jumlah yang
digunakan tidak kurang dari yang tertera pada Tabel 1 dan Tabel 2.
4. Saring segera.
5. Pindahkan seluruh membran utuh ke dalam media atau potong menjadi dua bagian
yang sama secara aseptik dan pindahkan masing-masing bagian ke dalam dua media
yang sesuai.
6. Gunakan volume yang sama pada tiap media seperti pada Uji Kesesuaian Metode.
Sebagai pilihan lain, pindahkan media ke dalam membran pada alat penyaring.
7. Inkubasi media selama tidak kurang dari 14 hari.
8. Gunakan kontrol negatif yang sesuai.

Pengamatan dan Penafsiran Hasil Uji :

1. Pada interval waktu tertentu dan akhir periode inkubasi, amati secara visual adanya
pertumbuhan mikroba dalam media.
2. Jika bahan uji menimbulkan kekeruhan pada media sehingga tidak dapat ditetapkan
secara visual ada atau tidaknya pertumbuhan mikroba 14 hari sejak mulai inkubasi:
 Pindahkan sejumlah media (tiap tabung tidak kurang dari 1 ml) ke dalam
media segar yang sama.
 Inkubasi bersama – sama tabung awal selama tidak kurang dari 4 hari.
3. Jika tidak terjadi pertumbuhan mikroba, maka bahan uji memenuhi syarat sterilitas.
4. Jika terbukti terjadi pertumbuhan mikroba, maka bahan uji tidak memenuhi syarat
sterilitas, kecuali dapat ditunjukkan bahwa uji tidak absah disebabkan oleh hal yang
tidak berhubungan dengan bahan uji.

Uji dikatakan tidak absah jika satu atau lebih kondisi dibawah ini dipenuhi :
a. Data pemantauan mikrobiologi terhadap fasilitas uji sterilitas menunjukkan
ketidaksesuaian.
b. Pengkajian prosedur uji yang digunakan selama pengujian menunjukkan
ketidaksesuaian.
c. Pertumbuhan mikroba ditemukan pada kontrol negatif.
d. Setelah dilakukan identifikasi mikroba yang diisolasi dari hasil uji, pertumbuhan
mikroba (beberapa mikroba) dapat dianggap berasal dari kesalahan pada bahan uji,
atau teknik pengujian yang digunakan pada prosedur uji sterilitas.

Jika pengujian dinyatakan tidak absah, lakukan uji ulang dengan jumlah bahan yang
sama dengan uji awal. Jika tidak terbukti terjadi pertumbuhan mikroba pada uji ulang,
maka contoh memenuhi syarat uji sterilitas. Jika ditemukan pertumbuhan mikroba
pada uji ulang, maka contoh tidak memenuhi syarat uji sterilitas.
7. Uji Endoktoksin Bakteri (FI V hal. 1406 - 1411)

Uji endotoksin bakteri adalah uji untuk deteksi atau kuantitasi endotoksin
bakteri yang mungkin terdapat dalam sampel yang diuji. Pengujian dilakukan
menggunakan Limulus Amebocyte Lysate (LAL) yang diperoleh dari ekstrak air
amebosit dari kepiting ladam kuda (Limulus polyphemus atau Tachypleus tridentatus)
dan dibuat khusus sebagai pereaksi LAL.

Terdapat dua tipe teknik uji yang dapat digunakan yaitu teknik pembentukan
jendal gel dan teknik fotometrik. Teknik fotometrik, mencakup metode turbidimetri,
yang didasarkan pada pembentukan kekeruhan setelah penguraian substrat endogen,
dan metode kromogenik yang didasarkan pada pembentukan warna setelah terjadi
penguraian kompleks kromogen-peptida sintetik. Lakukan salah satu dari teknik
tersebut, kecuali jika dinyatakan lain dalam monografi. Didalam monografi injeksi
atropin sulfat tidak dijelaskan teknik yang digunakan. Jika terjadi keraguan, maka
keputusan akhir didasarkan pada hasil Teknik Pembentukan Jendal Gel, kecuali
dinyatakan lain dalam monografi.

Pada Teknik Pembentukan Jendal Gel penetapan titik akhir reaksi dilakukan
dengan membandingkan langsung enceran dari zat uji dengan enceran endotoksi baku,
dan jumlah endotoksin dinyatakan dalam unit Endotoksin FI.

Pereaksi LAL diformulasikan juga untuk digunakan dalam pengujian


turbidimetri untuk digunakan dalam pengujian turbidimetri dan kolorimetri, maka
pengujian-pengujian tersebut dapat digunakan untuk memenuhi persyaratan yang
ditetapkan. Kedua uji ini memerlukan pembuatan kurva baku dan kandungan
endotoksin dari zat uji ditetapkan dengan interpolasi dari kurva tersebut. Prosedur
meliputi inkubasi selama waktu yang telah ditetapkan dari endotoksin yang bereaksi
dan larutan kontrol dengan pereaksi LAL, dan pembacaan serapan cahaya pada
panjang gelombang yang sesuai. Pengukuran titik akhir pada prosedur secara
turbidimetri, pembacaan dilakukan segera pada akhir masa inkubasi. Pengukuran titik
akhir pada prosedur secara kolorimetri, reaksi dihentikan pada akhir dari waktu yang
telah ditetapkan, dengan penambahan zat pemutus-reaksi-enzim, sebelum pengukuran.
Pada penetapan kadar secara kinetik (turbidimetri dan kolorimetri), serapan diukur
selama periode reaksi dari pengukuran tersebut ditetapkan nilai kecepatan reaksi.
Alat dan Alat Gelas

Peralatan gelas dan bahan tahan panas lainnya hendaknya dilakukan


depirogenasi dalam oven udara panas yang prosesnya telah divalidasi. Umumnya
waktudan suhu minimum yang digunakan adalah 30 menit pada suhu 250°C. jika ada
peralatan plastik yang digunakan seperti sumuran mikro dan “pipet tips” untuk pipet
otomatis maka gunakan yang sudah dibuktikan bebas endotoksin sehingga tidak
mengganggu pengujian.

Baku Pembanding dan Baku Kontrol Endotoksin

Baku pembanding endotoksin adalah Endotoksin BPFI yang telah diketahui


potensinya dalam unit Endotoksin FI per vial.

1. Mengkonstitusikan seluruh isi vial dengan 5,0 mL air pereaksi LAL (air pereaksi LAL
adalah air steril untuk injeksi atau air lain yang nantinya tidak ada reaksi spesifik
dengan pereaksi LAL, gunakan pereaksi LAL dengan sensitivitas tidak kurang dari
0,15 unit Endotoksin FI per mL).
2. Mengocok menggunakan vorteks secara intermitten selama 30 menit. Lalu gunakan
larutan pekat ini untuk seri pengenceran yang sesuai.
3. Menyimpan larutan pekat yang akan digunakan lagi didalam lemari pendingin dan
tidak lebih dari 14 hari untuk pengenceran selanjutnya.
4. Apabila ingin digunakan kocok kuat dengan vorteks selama 3 menit.
5. Mencampur setiap enceran tidak kurang dari 30 detik sebelum membuat pengenceran
berikutnya.
6. Enceran tidak boleh disimpan seperti larutan pekat karena dapat menyebabkan
hilangnya aktivitas oleh penyerapan kecuali ada data penunjang tentang hal ini.

 Penyiapan Uji
Ingat gunakan pereaksi LAL yang sudah ditetapkan kepekaannya sesuai dengan
yang tertera pada etiket.
Keabsahan hasil uji untuk endotoksin bakteri memerlukan pembuktian yang
cukup dimana bahan atau larutan, pencuci, atau ekstrak yang digunakan pada uji tidak
mengganggu pengujian dengan cara apapun. Validasi yang dilakukan dengan Uji
penghambatan atau pemacuan sebagaimana yang diuraikan pada tiga teknik yang
telah disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu perlu adanya kontrol negatif yang
sesuai. Apabila formulasi atau pereaksi LAL atau metode pembuatan berubah maka
dilakukan validasi ulang.

 Penyiapan Larutan Uji


Menyiapkan larutan uji yaitu injeksi atropin sulfat. Beberapa bahan mungkin
lebih baik dilarutkan, diencerkan atau diekstraksi dalam larutan mengandung air
lainnya. Jika perlu diatur pH larutan (atau hasil pengenceran) yang akan diuji hingga
pH campuran perekasi LAL dan larutan uji terletak pada rentang pH yang diingin
produsen pereaksi LAL. Biasanya digunakan pada produk dengan rentang pH 6,0-8,0.
Pengaturan pH dapat dilakukan dengan penambahan asam atau basa atau dapar yang
sesuai dengan rekomendasi produsen. Asam dan basa yang digunakan dapat berupa
konsentrat atau padatan yang dilarutkan dengan air pereaksi LAL dalam wadah bebas
endotoksin. Apabila digunakan larutan dapar harus divalidasi agar bebas dari
endotoksin atau faktor pengganggu.

Penetapan Pengenceran Maksimum yang Absah (PMA)

Perlu dilakukan penetapan PMA untuk mengetahui pengenceran maksimum


yang dapat dilakukan agar batas endotoksin yang masih dapat ditentukan. PMA sesuai
untuk sediaan injeksi parenteral yang dalam penggunaannya perlu konstitusi atau
pengenceran atau volume sediaan obat yang diberikan bervariasi. Batas kadar
endotoksin injeksi atropin sulfat dinyatakan dalam endotoksin FI per mg, maka
kalikan batas kadar endotoksin dengan kadar obat dalam larutan uji atau larutan
terkonstitusi dan bagi dengan λ (kepekaan) sehingga akan diperoleh faktor PMA.
Faktor PMA yang diperoleh merupakan faktor batas pengenceran untuk penyiapan
larutan uji yang absah.

CARA JENDAL GEL

Cara ini dapat mendeteksi atau mengkuantitasi endotoksin berdasarkan pembentukan


jendal dari pereaksi LAL dengan adanya endotoksin. Untuk memastikan presisi dan
keabsahan pengujian maka perlu dilakukan uji konfirmasi kepekaan pereaksi LAL
(tercantum pada etiket) dan uji faktor penggangu .

 Kriteria Penerimaan pada Monografi


Tidak lebih dari 55,6 unit Endotoksin FI per mg atropin sulfat.
 Uji batas jendal gel
Dilakukan jika dalam monografi sudah dituliskan batas endotoksin.
1. Menyiapkan larutan A, B, C dan D sesuai tabel dibawah ini

2. Mencampur pereaksi LAL dengan sejumlah volume (0,1 mL) larutan A,B,C dan
D di masing-masing tabung reaksi. Inkubasi sesuai dengan petunjuk dari
produsen pereaksi LAL (umunynya 37°C±1°C dengan waktu 60±2 menit) dan
hindari adanya getaran.
3. Melanjutkan dengan uji integritas, tabung reaksi diambil dari inkubator dan
langsung dibalik 180° secara perlahan.
4. Apabila didapatkan gel yang kuat dan tetap ditempatnya ketika dibalik maka
dinyatakan positif, sedangkan apabila gel yang terbentuk jatuh ketika dibalik
maka dinyatakan negatif.
5. Interpretasi hasil memenuhi syarat jika diperoleh hasil negatif pada kedua
tabung reaksi A dan tidak memenuhi syarat jika diperoleh hasil positif. Ulangi
pengujian jika diperoleh hasil positif pada satu tabung reaksi larutan A dan satu
lainnya negatif. Jika setelah diulang kedua tabung hasilnya negatif maka maka
uji memenuhi syarat, sedangkan apabila hasil masih positif maka dilakukan
pengujiaan ulang dengan pengenceran lebih besar tanpa melebihi PMA.

Penetapan Kadar Endotoksi Bakteri dengan Cara Jendal Gel

Penetapan kadar ini menghitung jumlah endotoksin bakteri dalam larutan


sampel dengan cara titrasi hingga titik akhir. Prosedur yang dilakukan adalah dengan
menyiapkan larutan A, B, C, dan D seperti tertera pada tabel dibawah inikemudian uji
larutan ini mengikuti prosedur Uji Konfirmasi Kepekaan Pereaksi LAL, tertera dalam
Uji Persiapan untuk Cara Jendal Gel.
Perhitungan dan Interpretasi
Pengujian telah memenuhi syarat jika :

1. Kedua replikasi dari control negatif larutan D adalah negative


2. Kedua replikasi dari control positif larutan B adalah positif
3. Rata-rata geometrik kadar titik akhir larutan C pada 0,5λ - 2λ

Untuk menentukan kadar endotoksin dalam larutan A, hitung kadar titik akhir
setiap seri replikasi dari pengenceran dengan mengalikan tiap faktor pengenceran titik
akhir dengan λ. Kadar endotoksin dalam sampel adalah rata-rata geometrik kadar titik
akhir replikasi (lihat rumus yang diberikan dalam Uji Konfirmasi Kepekaan Pereaksi
LAL, yang dijelaskan dalam Uji Persiapan untuk Cara Jendal Gel).

Jika dilakukan pengenceran dalam pengujian, hitung kadar endotoksin dalam


sampel awal dengan mengalikannya dengan faktor pengenceran. Kadar endotoksin
dilaporkan dengan cara berikut :

 Laporkan kadar endotoksin <λ jika tidak ada pengenceran sampel yang positif
dalam pengujian absah (jika enceran sampel yang diuji <λ dikalikan faktor
pengenceran terkecil dari sampel)
 Laporkan kadar endotoksin ≥ faktor pengenceran terbesar dikalikan λ jika semua
pengenceran positif.
Bahan memenuhi syarat jika kadar endotoksin kurang dari nilai yang dinyatakan
dalam masing-masing monografi.

CARA FOTOMETRIK

Metode turbidimetri menguur peningkatan kekeruhan. Metode ini dibagi menjadi :

 Turbidimetri titik akhir, yaitu berdasarkan pada hubungan kuantitatif antara kadar
endotoksin dan kekeruhan (serapan atau transmisi) dari campuran reaksi pada
akhir masa inkubasi
 Turbidimetri kinetik, yaitu dilakukan dengan mengukur waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai nilai serapan yang telah ditetapkan atau kecepatan kekeruhan.

Metode kromogenik mengukur kromofor yang dilepaskan dari peptida kromogenik


yang sesuai, yang dihasilkan dari reaksi antara endotoksin dengan pereaksi LAL.
Metode ini dibagi menjadi :

 Kromogenik titik akhir, yaitu berdasarkan pada hubungan kuantitatif antara kadar
endotoksin dan pelepasan kromofor pada akhir masa inkubasi
 Kromogenik kinetik, yaitu dilakukan dengan mengukur waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai nilai serapan yang telah ditetapkan atau kecepatan pembentukan
warna.
Seluruh pengujian fotometrik dilakukan pada suhu inkubasi yang
direkomendasikan oleh produsen Pereaksi LAL, umumnya 37°±1.

Uji Persiapan Cara Fotometrik

a. Verifikasi Kriteria Kurva Baku


1. Menyiapkan minimal 3 kadar endotoksin menggunakan larutan endotoksin
baku untuk membuat kurva baku.
2. Melakukan pengujian menggunakan minimal 3 replikasi untuk masing-
masing kadar endotoksin baku, sesuai instruksi produsen pereaksi LAL
(perbandingan volume, waktu inkubasi, suhu, pH, dan lain-lain).
3. Jika rentang yang diinginkan dalam metode kinetik > 2 log, maka harus
dimasukkan larutan baku tambahan agar setiap kenaikan log tetap berada
dalam rentang kurva baku.
4. Nilai | r | harus ≥ 0,980 untuk rentang kadar endotoksin

b. Uji Faktor Pengganggu untuk Cara Fotometrik


1. Memilih satu kadar endotoksin pada atau di sekitar pertengahan kurva baku
endotoksin.
2. Menyiapkan larutan A, B, C, dan D seperti tabel di bawah.
3. Melakukan uji terhadap larutan A, B, C, dan D minimal duplo sesuai instruksi
untuk pereaksi LAL yang digunakan
4. Rata-rata perolehan kembali endotoksin yang ditambahkan adalah kadar
endotoksin total dalam larutan semula (jika ada)
5. Agar dinyatakan bebas dari faktor pengganggu pada kondisi pengujian, hasil
pengukuran kadar endotoksin yang ditambahkan pada sampel harus berada
diantara 50-200% dari kadar endotoksin yang ditambahkan.
6. Bila perolehan kembali endotoksin berada di luar rentang yang ditetapkan maka
faktor pengganggu harus dihilangkan dengan melakukan Uji Faktor Pengganggu
untuk Cara Jendal Gel sebagaimana yang dijelaskan dalam Uji Persiapan Cara
Jendal gel. Ulangi Uji Faktor Pengganggu untuk Cara Jendal Gel untuk
memvalidasi perlakuan.

Prosedur Cara Fotometrik

Melakukan prosedur seperti tertera pada Uji Faktor Pengganggu untuk Cara
Fotometrik dalam Uji Persiapan Cara Fotometrik.

Perhitungan Untuk Cara Fotometrik

Menghitung kadar endotoksin dari tiap-tiap replikasi larutan uji A,


menggunakan kurva baku yang dibuat dengan kontrol positif larutan C. Uji
dinyatakan absah jika kondisi berikut dipenuhi :

1. Hasil kontrol positif larutan C memenuhi persyaratan validasi yang ditetapkan pada
Verifikasi Kriteria Kurva Baku dalam Uji Persiapan Cara Fotometrik
2. Perolehan kembali endotoksin, dihitung dari konsentrasi endotoksin larutan B
setelah dikurangi konsentrasi endotoksin larutan A, berada pada rentang 50% -
200%
3. Hasil kontrol negative larutan D tidak melebihi batas nilai blangko yang
dipersyaratkan dalam uraian pereaksi LAL yang digunakan.

Penafsiran Hasil Cara Fotometrik

Sediaan uji memenuhi syarat jika rata-rata kadar endotoksin dari replikasi
larutan A, setelah koreksi pengenceran dan kadar, lebih kecil dari batas endotoksin
produk.
8. Uji Kandungan Hidroksi Metil Furfural (HMF)
a. Pembuatan Larutan Blanko
Aquades ditambahkan laruta Carrez I dan Carrez II masing-masing 0,50
ml hingga batas volume 50 ml.
b. Preparasi Sampel
Preparasi sampel dilakukan untuk menjernihkan larutan dengan
pengendapan protein yang akan dianalisa menggunakan spektrofotometer UV.
Sampel sebanyak 5 gram dilarutkan dalam aquades hingga volume 25 ml.
Larutan sampel ditambahkan larutan Carrez I dan Carrez II masing-masing
sebanyak 0,50 ml. Kemudian larutan ditambahkan aquades dan dihomogenkan
hingga volume 50 ml. Larutan sampel disaring hingga jernih. Larutan sampel
sebanyak 1 ml ditambahkan aquades sebanyak 19 ml merupakan larutan A.
Larutan pembanding dibuat dari natrim biulfit 0,2 % 10 ml dan natrium
biulfit 0, % 9 ml dan dihomogenkan. Larutan pembanding ini merupakan
larutan B.
c. Pengujian Sampel
Larutan A dan larutan B dibaca menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang 28 nm dan 336 nm.
9. Uji Keseragaman Volume (FI IV hal.1044)
Diletakkan pada permukaan yang rata secara sejajar lalu dilihat keseragaman volume
secara visual.
V. RANCANGAN KEMASAN DAN BROSUR
 Kemasan Sekunder

 Etiket
 Brosur
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C., Allen, L.V., and Popovich, N.G. 1989.Ansel’s Pharmaceutical Dosage Form
and Drug Delivery Systems, Eight Edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins a wottersKluver Company.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV.Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
DepKes RI, 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV.Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Hal 764, 784, 785, 1044..
DepKes RI, 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV.Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1791, 1815..
Jenkins, G.L. 1957. Scoville’s The Art of Compounding, 9th edition. New York: Mac Graw
Hill Book Co. Inc. Kibbe, A. H. 2000. Handbook of Pharmaceutical Excipients Third
Edition. London: Pharmaceutical Press (PhP). Hal 175.
Lachman, L., H. A. Libermen, dan J.L. Kanig. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri,
Edisi Ketiga. Jakarta: UI Press.
Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Steril. Yogyakarta: Penerbit Andi. McEvoy, G. K. 2002.
AHFS Drug Information. United State of America: American Society of Health
System Pharmcists.
Niazi, S. K.. 2004. Handbook of Pharmaceutical Manufacturing Formulations: Sterile
Products Volume 6. Boka Raton: Pharmaceutical Press.
Reynolds, J. E. F. Martindale: The Extra Pharmacopea Twenty Eight Edition Book 1.
London: Pharmaceutical Press (PhP).
Rowe, C. R., P. J. Shekey and P. J. Weller. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients.
USA: Pharmaceutical Press and American Pharmaceutical Association.
Sweetman, S. C. 2009. Martindale : The Complete Drug Reference Thirty-Sixth Edition.
London: Pharmaceutical Press
UK Health Department. 2009. British National Formulary. Great Britain: BMJ Publishing
Group and RPS Publishing.

Anda mungkin juga menyukai